Lembah Selaksa Bunga Jilid 09

Jilid 09

“Hwe-thian Mo-li, sungguh kami merasa bahagia sekali dapat menerima kunjunganmu!” kata Sim Tek Kun dengan ramah dan gembira.

“Kun-lun Siauw-hiap, bagaimana keadaan kalian? Engkau menjaga Adikku dengan baik-baik, bukan?” kata pula Hwe-thian Mo-li dan suaranya terdengar biasa karena hatinya kini sudah tenteram melihat bahwa mereka berdua agaknya juga tidak ingin bicara tentang masa lalu.

“Kami dalam keadaan baik, terima kasih. Mari kita bicara di dalam saja. Hong-moi, ajak Encimu masuk ke dalam.”

“Mari, Enci Lan!” Lian Hong lalu menggandeng tangan Siang Lan dan mereka berdua lalu berjalan menuju ke istana Pangeran Sim, diikuti oleh Sim Tek Kun dari belakang. Setelah oleh Lian Hong encinya itu dipertemukan dengan Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Lian Hong dan Sim Tek Kun lalu mengajak Siang Lan masuk ke dalam dan di ruangan dalam mereka bertiga bercakap-cakap dengan gembira.

“Sudah berapa bulan kandunganmu, Lian Hong?”

Lian Hong menundukkan muka memandang ke arah perutnya, mukanya berubah kemerahan dan tangan kirinya mengelus perut, mengerling sambil tersenyum kepada suaminya lalu menjawab, “Dua bulan lebih, Enci Lan.”

“Mudah-mudahan anakmu yang pertama laki-laki, Adik Hong!”

“Nona Nyo Siang Lan, sungguh kami berdua merasa beruntung sekali dapat menerima kunjunganmu ini. Akan tetapi kalau boleh kami mengetahui, apakah selain kunjungan persaudaraan, kedatanganmu ini ada hubungannya dengan undangan Jenderal Chang Ku Cing?”

“Aih, benar sekali! Bagaimana engkau dapat mengetahuinya, Sim Kongcu?”

“Wah, kenapa sih kalian menggunakan sebutan seperti orang asing begitu? Aku jadi merasa tidak enak mendengarnya. Kun-ko, dan Lan-ci, kenapa kalian tidak menyebut seperti kakak dan adik saja?” tegur Lian Hong sambil tertawa.

Wanita muda ini maklum bahwa terdapat kecanggungan di antara dua orang yang dulu saling memiliki hubungan batin itu, maka ia lalu mencairkan kekakuan dan kecanggungan itu. Sim Tek Kun dan Nyo Siang Lan tertawa mendengar ini.

“Nah, kalau engkau sudah ditegur oleh isterimu yang galak ini, lalu bagaimana sikapmu, Kun-ko?” kata Siang Lan, menyebut Kun-ko (Kakak kun) tanpa canggung karena memang ia sudah lama mengenal Sim Tek Kun, bahkan sebelum Lian Hong mengenal putera pangeran itu.

Sim Tek Kun tertawa. “Ha-ha, memang aku yang bersalah, Lan-moi. Sepantasnya memang kita tidak bersikap sungkan dan asing satu sama lain. Bukankah kita telah menjadi lebih akrab daripada sekadar teman, kini dapat dibilang menjadi keluarga? Isteriku adalah adik angkatmu, maka aku pun berarti saudaramu pula.”

Percakapan menjadi lebih ramah dan akrab. Siang Lan lalu menceritakan maksud kunjungannya ke kota raja, menjawab pertanyaan Tek Kun tadi.

“Sesungguhnya memang benar bahwa Paman Jenderal Chang Ku Cing mengutus Saudara Chang Hong Bu berkunjung ke Ban-hwa-kok dan mengundangku agar aku membantu dia melakukan penyelidikan dan menangkap para pembunuh yang telah melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar. Karena kami di Ban-hwa-kok sedang membangun, maka aku minta Bu-ko, maksudku saudara Chang Hong Bu untuk kembali dulu ke kota raja, kemudian aku menyusul setelah pekerjaan di sana selesai. “Setelah memasuki kota raja, sebelum menghadap Paman Jenderal Chang Ku Cing, aku ingat kepada kalian, maka aku langsung saja berkunjung ke sini lebih dulu. Kalian tentu lebih tahu apa yang telah terjadi di kota raja sehingga Paman Jenderal Chang perlu untuk mengundang dan minta bantuanku.”

Ong Lian Hong menjawab, “Paman Jenderal Chang Ku Cing juga sudah mengundang kami berdua dan minta bantuan kami, juga menanyakan alamatmu kepada kami. Kami hanya mengira-ngira saja di mana adanya dirimu, Enci Lan, karena kami telah mendengar tentang engkau yang membasmi gerombolan Ban- hwa-kok dan memimpin perkumpulan itu. Ada pun tentang pembunuhan-pembunuhan itu, memang aneh, dan agaknya suamiku dapat bercerita lebih banyak.”

Siang Lan memandang Tek Kun. “Apakah yang telah terjadi, Kun-ko?”

Tek Kun menghela napas panjang sebelum menjawab. “Telah terjadi pembunuhan atas diri enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar dan melihat cacat yang diderita enam orang itu mudah diketahui bahwa pembunuhnya tentu ada tiga orang. Penyebab kematian itu ada tiga macam, jadi mungkin setiap orang pembunuh telah membunuh dua orang pejabat tinggi. Melihat dari cacat yang menyebabkan kematian, dan cara mereka membunuh tanpa diketahui seorang pun petugas jaga, padahal yang dibunuh adalah pejabat-pejabat tinggi yang rumahnya dijaga, maka jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi.”

“Hemm, apakah bukan orang-orang Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw yang melakukannya? Ingat, dulu pun yang melakukan pemberontakan adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang mempunyai banyak sekali tokoh lihai.”

“Jenderal Chang juga menduga demikian. Akan tetapi anehnya, begitu diadakan pembersihan dan seluruh kota raja digeledah, tidak dapat ditemukan jejak para pembunuh itu. Padahal kalau ada orang-orang Pek- lian-kauw bersembunyi di kota raja, sudah pasti dapat diketahui dan ditangkap karena penggeledahan dilakukan sampai ke pelosok-pelosok. Mereka itu seolah menghilang dan setelah melakukan pembunuhan- pembunuhan itu dan pemerintah mengadakan pembersihan dan pencarian, pembunuhan itu pun berhenti tiba-tiba.

“Kami berdua juga sudah membantu sedapat kami, menyelidiki seluruh tempat, bahkan beberapa malam kami bergadang dan meronda secara diam-diam, namun tidak menemukan apapun. Melihat penjagaan yang dilakukan atas perintah Jenderal Chang, tidak mungkin ada orang asing dapat keluar masuk pintu gerbang kota raja seenaknya saja.”

“Hemm, kalau begitu, apakah tidak mungkin kalau ada pengkhianatan di dalam kota raja yang sengaja menyembunyikan para pembunuh itu?” tanya Hwe-thian Mo-li.

“Persis, itu pun telah kami pikirkan. Dan mengingat bahwa hanya rumah-rumah pejabat yang amat tinggi kedudukannya saja yang terbebas dari penggeledahan, maka andaikata ada pengkhianat, dia pasti seorang pejabat tinggi. Akan tetapi siapa? Siapakah pejabat tinggi yang hendak mengkhianati kaisar dan bersekutu dengan pihak pemberontak?”

“Seorang pengkhianat yang bergerak dengan diam-diam dan rahasia jauh lebih berbahaya daripada pemberontakan yang bergerak dengan terang-terangan,” kata Siang Lan. “Apakah setelah pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu, lalu berhenti dan tidak terjadi pembunuhan lagi?”

“Itulah masalahnya maka amat sukar menyelidiki siapa dalang pembunuhan-pembunuhan itu. Setelah terjadi pembunuhan enam orang pejabat tinggi itu dan Jenderal Chang melakukan penyelidikan dengan ketat, pembunuhan itu berhenti dan tidak pernah terjadi lagi kerusuhan apalagi pembunuhan,” kata Sim Tek Kun.

“Hemm, agaknya dalangnya memang cerdik. Kalau menurut aku, sebaiknya kalau kita pancing dia keluar, dengan jalan memperlemah penjagaan dan penyelidikan. Kalau para pembunuh itu menganggap penjagaan menjadi lemah kemungkinan besar mereka akan bergerak lagi dan itulah kesempatan bagi kita untuk menangkapnya.”

“Akan tetapi hal itu membahayakan keselamatan para pejabat tinggi!” seru Ong Lian Hong.

“Sebaiknya kalau engkau menghadap Jenderal Chang dan membicarakan hal ini dengan dia, Lan-moi. Hanya dialah yang berhak mengambil keputusan,” kata Tek Kun.

“Akan tetapi nanti dulu, Enci Lan. Jangan tergesa-gesa meninggalkan aku. Aku masih rindu. Biarlah engkau tinggal dulu barang sehari dua hari di sini. Aku ingin mengadakan pesta keluarga untuk menyambutmu. Setelah itu baru engkau pergi menemui Jenderal Chang dan mulai bekerja!” kata Lian Hong dan atas permintaan adik angkatnya ini tentu saja Siang Lan tidak mampu menolak.

Ketika berada berdua saja di dalam kamar mereka, Lian Hong berkata kepada suaminya. “Kun-ko, aku ingin mengadakan pesta keluarga dan mengundang Chang Hong Bu untuk datang dan ikut dalam pesta makan untuk menyambut kunjungan Enci Lan.”

Mendengar sesuatu yang agak aneh dalam nada suara isterinya, Tek Kun memandang wajah Lian Hong dan alisnya berkerut. “Eh, Hong-moi, apa artinya ini? Apa maksudmu mengundang Chang Hong Bu ke dalam pesta keluarga kita? Dia itu tidak mempunyai hubungan keluarga dengan kita atau dengan Siang Lan!”

Isterinya tersenyum manis. “Aih, suamiku! Apakah engkau tidak dapat menduga apa maksudku? Kita sudah tahu bahwa Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa. Dia keponakan Jenderal Chang, murid Siauw-lim-pai yang tinggi ilmu silatnya, juga seorang pemuda terpelajar dan baik budi, tampan pula. Tidakkah engkau pikir dia itu cocok sekali kalau menjadi pasangan hidup Enci Lan?”

“Oh-oh ! Maksudmu, engkau hendak main menjadi comblang? Isteriku, jangan kau gegabah. Bagaimana

kalau Siang Lan tidak setuju? Ingat, ia galak sekali, jangan-jangan ia akan marah kepadamu karena ulahmu yang nakal ini!”

10.30. Penyerangan Sarang Pemberontak

“Kun-ko, apakah engkau tidak melihat wajah Enci Lan ketika ia bercerita tentang pertemuannya dengan Chang Hong Bu di Lembah Selaksa Bunga? Kemudian ia menceritakan betapa bersama Chang Hong Bu ia dikeroyok orang-orang lihai dari Pek-lian-kauw. Ketika menceritakan tentang kegagahan Chang Hong Bu, kulihat wajahnya berseri dan sinar matanya masih membayangkan kekaguman terhadap pemuda pendekar Siauw-lim-pai itu!

“Nah, berdasarkan kenyataan ini, salahkah aku kalau aku sekarang berusaha untuk saling mendekatkan mereka? Siapa tahu mereka akan dapat menjadi jodoh yang serasi dan bahagia, seperti kita, suamiku!”

Melihat pandang mata Lian Hong membayangkan keharuan dan kesedihan hati, Tek Kun maklum apa yang dipikirkan isterinya. Isterinya sudah dia beritahu bahwa dahulu, sebelum dia bertemu dengannya, dia telah mempunyai hubungan batin dengan Siang Lan. Hwe-thian Mo-li mencintanya, akan tetapi sengaja mengalah ketika mengetahui bahwa selain dia tunangan Lian Hong, juga saling mencinta dengan tunangannya itu.

Mendengar itu, hati Lian Hong terharu dan sedih sekali. Ia merasa iba kepada Siang Lan yang amat dikasihinya seperti kakaknya sendiri. Maka kalau kini ia berusaha untuk membahagiakan hati Siang Lan dan mencoba mencarikan jodohnya yang setimpal, apa salahnya hal itu dicobanya?

Dia merangkul isterinya. “Baiklah, isteriku, lakukanlah semua rencana baikmu itu.”

Lian Hong merasa girang dan mencium pipi suaminya. “Engkau memang suami yang paling baik, Kun-ko!”

Demikianlah, malam itu diadakan pesta makan keluarga. Karena yang berpesta itu orang-orang muda dan di situ hadir pula Chang Hong Bu, maka Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya setelah selesai makan lalu masuk ke dalam, tidak ingin mengganggu kegembiraan pertemuan orang-orang muda itu.

Kini tinggal Sim Tek Kun, Ong Lian Hong, Chang Hong Bu, dan Nyo Siang Lan berempat yang bercakap- cakap. Setelah makan selesai mereka pindah duduk di ruangan tamu dan melanjutkan percakapan di situ.

Siang Lan juga terkejut namun gembira ketika melihat kedatangan Hong Bu yang diundang untuk ikut berpesta. Akan tetapi ia tidak berprasangka karena ia tahu bahwa hubungan antara keponakan Jenderal Chang dan Sim Tek Kun tentu akrab, maka undangan itu pun dianggapnya wajar saja. Sebaliknya, Hong Bu gembira sekali karena memang dia telah jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li sejak pertama kali berjumpa.

“Wah, kalau aku tahu engkau sudah berada di kota raja, Lan-moi, aku tentu segera menemuinya di sini! Paman Jenderal Chang sudah amat menanti-nanti kedatanganmu,” demikian Hong Bu berkata sambil menatap wajah yang jelita itu.

“Sebetulnya begitu tiba di kota raja, aku ingin segera menghadap Paman Jenderal Chang, Bu-ko, akan tetapi ini, Hong-moi dan Kun-ko menahan aku.” “Habis, kami sudah amat kangen sih!” kata Lian Hong dan mereka berempat bercakap-cakap tentang keadaan di kota raja.

“Keadaan di kota raja memang aman-aman saja akan tetapi paman Jenderal Chang masih tetap merasa penasaran. Setelah melakukan penggeledahan dengan cermat di kota raja dan hasilnya tidak ada, kini penyelidikan mulai diarahkan keluar kota raja dan agaknya Paman Chang telah mempunyai rencana untuk melakukan gerakan pembersihan di tempat-tempat tertentu. Agaknya Paman Chang hanya menanti kedatanganmu, Lan-moi, untuk mulai dengan gerakan pembersihan itu. Oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau segera menghadap ke sana.”

Mereka lalu memutuskan untuk besok pagi pergi menghadap Jenderal Chang. Hong Bu berjanji untuk menyampaikan dulu kepada pamannya akan kedatangan Siang Lan dan besok pagi dia akan datang menjemput dan mereka berempat akan bersama-sama menghadap Jenderal Chang.

Pertemuan ramah tamah dan akrab itu membuat hati Chang Hong Bu semakin tertarik kepada Siang Lan. Hal ini diketahui oleh Lian Hong dan suaminya yang menjadi girang sekali, juga dirasakan oleh Siang Lan sendiri. Sebetulnya ia merasa bersyukur bahwa seorang pemuda perkasa seperti Chang Hong Bu menaruh perhatian terhadap dirinya, akan tetapi ia masih sangsi. Dapatkah ia menjalin asmara dengan seorang pria?

Sesungguhnya, pada saat itu hatinya sudah lebih condong kepada Paman Bu-beng-cu, laki-laki yang telah melepas banyak sekali budi kebaikan kepadanya, laki-laki yang telah menumbuhkan semangat hidupnya, dan satu-satunya laki-laki yang amat dikaguminya. Akan tetapi, kalau mengingat keadaan dirinya yang sudah ternoda, ia takut untuk menyatakan cinta kepada seorang pria.

Bagaimana kalau laki-laki seperti Chang Hong Bu mengetahui bahwa ia bukan perawan lagi? Akan berubahkan sikapnya, berbalik merasa jijik dan tidak cinta lagi? Ah, betapa dia akan merasa terhina, marah, dan mungkin saja ia berbalik menjadi amat benci kepada Hong Bu!

Panglima besar Jenderal Chang Ku Cing menerima kedatangan Nyo Siang Lan yang ditemani Chang Hong Bu, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong dengan wajah berseri gembira. Jenderal yang usianya sudah limapuluh dua tahun itu masih tampak gagah perkasa, dengan tubuh tinggi tegap, wajahnya penuh wibawa dengan kumis dan jenggot pendek dibentuk rapi, sepasang matanya yang tajam mengandung keteguhan seorang pemimpin. Akan tetapi dia tampak ramah ketika menyambut kedatangan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang memang dia kagumi.

“Selamat datang, Hwe-thian Mo-li! Kami sudah lama menunggu kedatanganmu!”

“Maafkan saya, Paman. Karena masih harus membenahi Lembah Selaksa Bunga, maka kedatangan saya agak terlambat,” kata Siang Lan.

“Kami kira, kalian tentu sudah mendengar dengan jelas akan peristiwa pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi kerajaan sekitar sebulan lebih yang lalu. Sejak terjadinya pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu, sampai kini tidak ada lagi pembunuhan. Kami sudah mengerahkan semua tenaga untuk membongkar dan mencari pembunuhnya, namun selama ini kami gagal dan belum dapat menangkap para pembunuhnya.

“Tiga orang pembunuh itu jelas merupakan orang-orang yang amat tinggi ilmu silatnya, dan tentu mereka itu mempunyai hubungan dengan pihak yang berkhianat terhadap kerajaan. Sayang sampai sekarang kami belum berhasil membongkar rahasia itu. Agaknya pihak mereka juga ketakutan dan berdiam diri tidak membuat gerakan sehingga sulit untuk dilacak.”

“Paman, seperti telah saya laporkan kemarin, bagaimana pendapat Paman tentang usul Hwe-thian Mo-li untuk mengendurkan penjagaan dan memberi kesempatan serta memancing para pembunuh agar mereka berani beraksi kembali? Dengan demikian kita dapat melacaknya,” kata Hong Bu kepada pamannya.

Jenderal Chang mengangguk-angguk.

“Usul yang dikemukakan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memang cukup baik. Akan tetapi kami kira hasilnya tidaklah sepadan dengan resikonya. Kalau kita menggunakan siasat mengendurkan penjagaan, hal ini mungkin saja mudah diketahui mereka karena seperti kami katakan tadi, para pembunuh itu tentu mempunyai hubungan persekutuan dengan orang dalam yang akan mengetahui pula tentang siasat kita mengendurkan penjagaan.

“Padahal resikonya cukup berat. Bagaimana kalau mereka itu serentak bergerak melakukan pernbunuhan- pembunuhan lagi? Tidak, kami kira siasat itu terlalu berbahaya untuk dilakukan. Akan tetapi kami telah mendapatkan titik-titik terang. “Penyelidikan kami telah dapat menemukan tempat persembunyian gerombolan yang mencurigakan. Mungkin saja mereka itu adalah gerombolan Pek-lian-kauw atau Ngo-lian-kauw yang memperkuat diri dan siap di dalam hutan luar kota raja untuk sewaktu-waktu apabila saatnya tiba, akan mengadakan penyerbuan besar-besaran ke kota raja.

“Nah, penemuan inilah yang lebih penting! Kita harus mendahului mereka, memukul mereka dan menghancurkan mereka sebelum mereka sempat bergerak. Dan untuk membantu para perwira tinggi memimpin pasukannya menyerbu dan membasmi gerombolan itu, kami minta agar kalian berempat membantu.”

Tentu saja empat orang muda itu menyatakan kesanggupan mereka untuk membantu. Mereka berlima lalu mempelajari kedudukan gerombolan yang diketahui bermarkas dalam hutan di sebelah barat kota raja, di sebuah bukit yang berhutan lebat. Mereka mempelajari gambaran peta yang telah dipersiapkan oleh Jenderal Chang dan menurut Jenderal Chang, para penyelidiknya menaksir bahwa kekuatan gerombolan itu terdiri dari sekitar empatratus orang yang telah terlatih dengan baik dan rata-rata menguasai ilmu silat.

“Mereka adalah sisa-sisa para anggauta Ngo-lian-kauw. Para pemimpin Ngo-lian-kauw, yaitu Ngo-lian Heng-te yang dahulu berkedudukan di Poa-teng, Hopak, telah dibasmi oleh Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Kini agaknya sisa para anggauta dan pimpinan Ngo-lian-kauw mengadakan gerakan pemberontakan, bergabung dan diperkuat oleh Pek-lian-kauw.”

Setelah mereka mempelajari peta itu dengan seksama, Jenderal Chang Ku Cing lalu memanggil para perwira tinggi yang menjadi pembantunya. Mereka semua juga sudah diberi penjelasan tentang rencana penyerbuan itu dan semua perwira merasa gembira sekali dan berbesar hati ketika mendengar bahwa mereka, dalam penyerbuan itu akan dibantu oleh dua pasang orang muda yang sudah mereka ketahui kehebatannya.

Terutama sekali dengan adanya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan di pihak mereka, hati mereka menjadi lega dan bersemangat. Tadinya mereka memang agak merasa khawatir mendengar bahwa gerombolan yang akan mereka serbu dipimpin oleh orang-orang Ngo-lian-kauw dan terutama Pek-lian-kauw yang sudah terkenal amat lihai itu.

Siang Lan membantu Sim Tek Kun membujuk Lian Hong agar wanita yang sedang mengandung, walaupun baru dua bulan lebih itu, tidak usah ikut membantu penyerbuan pasukan ke hutan tempat bermarkas gerombolan. Akhirnya Lian Hong mau mengalah dan tinggal di rumah, sedangkan mereka bertiga, Siang Lan, Tek Kun, dan Hong Bu, menemani lima orang perwira tinggi memimpin sekitar tujuhratus orang perajurit melakukan penyerbuan ke hutan itu pada pagi-pagi sekali.

Setelah berhasil melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar, Pangeran Bouw Ji Kong menghentikan aksi itu, bahkan segera menyelundupkan tiga orang sakti yang menjadi sekutunya dan yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu keluar dari kota raja. Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su, datuk Pek-lian-kauw, Hongbacu, tokoh Mancu utusan Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, dan Tarmalan, datuk atau dukun bangsa Hui yang menjadi utusan bangsa Hui yang mendukung gerakan Pangeran Bouw Ji Kong yang ibunya juga puteri kepala suku bangsa Hui.

Pangeran Bouw Ji Kong tidak mengadakan gerakan, maklum bahwa Jenderal Chang yang diserahi tugas menangkap para pembunuh mengadakan penjagaan yang amat ketat. Akan tetapi diam-diam Pangeran Bouw masih mengadakan hubungan dengan pihak Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw, dan persekutuan ini mengadakan pemusatan kekuatan baru di dalam hutan di Bukit Cemara yang terletak di sebelah barat kota raja.

Bukit Cemara itu penuh dengan hutan lebat, maka amat baik dijadikan markas dan tempat persembunyian. Apalagi di bukit itu terdapat banyak guha-guha yang oleh para anggauta Pek-lian-kauw telah dibuat terowongan-terowongan. Juga di situ dibuat perangkap dan jebakan yang berbahaya karena para anggauta Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw memang ahli dalam membuat jebakan-jebakan dan penyebaran racun.

Menurut Pangeran Bouw Ji Kong, pihak Pek-lian-kauw sudah dipesan agar jangan membuat gerakan lebih dulu karena pertahanan di kota raja amat kuat. Dianjurkan agar pihak pemberontak itu menanti tanda darinya karena dia hendak menyusun siasat baru agar keadaan di kota raja kacau dan dalam keadaan kacau di mana pertahanannya melemah, barulah pasukan Pek-lian-kauw akan melakukan penyerbuan.

Akan tetapi pangeran Bouw Ji kong terlalu memandang remeh kecerdikan Jenderal Chang Ku Cing. Secara diam-diam jenderal yang pandai dan berpengalaman ini mengalihkan perhatiannya ke luar kota raja, menyebar para penyelidik yang pilihan sehingga akhirnya dia mendapatkan keterangan bahwa bukit Cemara menjadi sarang para gerombolan pemberontak. Bahkan tanpa adanya kebocoran gerakan pembersihan yang dilakukan pagi hari itu berjalan dengan sempurna. Para pemberontak baru tahu setelah bukit itu dikepung pasukan kerajaan!

Bukit Cemara itupun geger! Terjadi pertempuran di seluruh permukaan bukit. Pertempuran mati-matian yang amat dahsyat, campur aduk sehingga kedua pihak tidak mungkin dapat mempergunakan senjata anak panah karena besar kemungkinan akan mengenai kawan sendiri.

Banyak perajurit kerajaan terjebak perangkap dan berjatuhan, ada pula yang terkena ledakan dari alat-alat peledak yang dipasang orang-orang Ngo-lian-kauw. Akan tetapi karena jumlah pasukan kerajaan hampir dua kali lipat besarnya maka di pihak pemberontak lebih banyak lagi yang jatuh korban. Apalagi di situ ada Hwe-thian Mo-li, Sim Tek Kun, Chang Hong Bu yang membantu para perwira, mengamuk seperti tiga ekor naga sakti.

Pangeran Bouw Ji Kong terkejut mendengar bahwa pasukan kerajaan menyerbu tempat yang dijadikan sarang kaum Pek-lian-kauw dan Ngo-lian-kauw di Bukit Cemara. Dia tentu saja mengetahui bahwa mereka itu adalah sisa para anak buah Pek-lian-kauw cabang Liauw-ning yang berada di sebelah timur Peking, dan sebagian lagi sisa anak buah Ngo-lian-kauw di Po-teng.

Dia cukup cerdik sehingga pangeran itu tidak menaruh orang-orangnya di hutan itu, sehingga tidak perlu khawatir rahasianya bersekutu dengan mereka akan diketahui pemerintah. Kang-lam Jit-sian yang menjadi para jagoannya hanya dikenal sebagai para pengawal pribadinya.

Bagaimanapun juga, Pangeran Bouw Ji Kong masih mengharapkan pertempuran itu akan merugikan pasukan kerajaan karena dia tahu bahwa di antara para pimpinan Pek-lian-kauw, terdapat beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw yang sakti, di antaranya terdapat dua orang tokoh yang dikirim dari pusat Pek-lian- kauw, yang berjuluk Thian-te Lo-mo (Iblis Tua langit dan Bumi) terdiri dari dua orang kakek pendeta Pek- lian-kauw.

Seorang berjuluk Thian Lo-mo (Iblis Tua langit) yang bermuka putih seperti kapur dan Tee Lo-mo (Iblis Tua bumi) yang bermuka hitam seperti arang. Sepasang kakek berusia sekitar enampuluh tahun ini merupakan pasangan yang amat hebat, selain memiliki ilmu silat tinggi juga mereka berdua mahir menggunakan ilmu sihir.

Memang dua orang pendeta Pek-lian-kauw ini lihai bukan main. Ketika pasukan kerajaan datang menyerbu, mereka berdua mengamuk dan sepak terjang mereka menggiriskan semua orang. Bukan saja golok besar mereka itu bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk di angkasa, akan tetapi juga mereka berdua dapat mengadakan awan dan halilintar dari sihir mereka yang membuat para perajurit gentar dan banyak yang roboh oleh mereka. Akan tetapi tiba-tiba muncul tiga orang muda itu! Hwe-thian Mo-li sudah berkelebat dan pedang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) di tangannya menyambar bagaikan halilintar, menangkis golok besar di tangan Thian Lo-mo.

“Tranggg......!” Thian Lo-mo yang sedang mengamuk dan sudah membunuh delapan orang perajurit itu terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada halilintar menyambar dan goloknya terpental, tangan kanannya terasa panas sehingga hampir saja dia melepaskan gagang golok yang dipegangnya itu. Ketika dia melompat ke samping dan cepat memutar tubuh, dia berhadapan dengan seorang gadis cantik yang gagah perkasa.

Gadis berusia sekitar duapuluh tiga tahun, tubuhnya padat ramping dan indah menggairahkan, rambutnya hitam panjang ikal mayang dengan anak rambut berjuntai lembut di dahi dan kedua pelipisnya. Matanya bagaikan sepasang bintang kejora. Hidungnya mancung kecil dan mulutnya merupakan daya tarik yang amat menggairahkan. Seorang gadis yang benar-benar jelita namun juga tampak gagah berwibawa.

Thian Lo-mo sudah mendengar akan nama besar Hwe-thian Mo-li, maka begitu berhadapan dengan Siang Lan dan merasakan tangkisan pedang Lui-kong-kiam tadi, dia membentak.

“Engkaukah yang berjuluk Hwe-thian Mo-li?”

“Benar, aku Hwe-thian Mo-li yang telah datang untuk membasmi pemberontak jahat macam kalian!”

“Perempuan hina! Engkau telah membunuh sahabat-sahabat kami Ngo-lian Heng-te dan beberapa orang saudara kami dari Pek-lian-kauw sekarang rasakan pembalasan kami! Tee Lo-mo, ini musuh kita Hwe-thian Mo-li!” teriak Thian Lo-mo dengan marah sekali.

Pada saat itu, seorang kakek lain yang bermuka hitam arang datang menerjang dengan golok besarnya. Hwe-thian Mo-li cepat mengelak dan ia pun segera menggerakkan pedangnya, menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu. Ternyata mereka berdua itu tangguh sekali setelah maju bersama. Bukan hanya ilmu golok mereka yang amat kuat, namun juga tangan kiri mereka seringkali melancarkan pukulan dorongan jarak jauh yang mendatangkan angin kuat dan menghembuskan uap.

Uap putih keluar dari telapak tangan Thian Lo-mo dan uap hitam keluar dari tangan Tee Lo-mo! Betapa pun lihainya, Siang Lan terdesak oleh pengeroyokan dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dua orang pemuda sudah menerjang maju membantu Siang Lan. Mereka adalah Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu yang tadi mengamuk merobohkan banyak anak buah Pek-lian-kauw dan melihat betapa Siang Lan menghadapi pengeroyokan dua orang pendeta Pek-lian-kauw yang lihai, mereka berdua menerjang maju dan menyerang Thian Lo-mo!

“Trang-cringgg    !” Thian Lo-mo terhuyung ke belakang ketika dia menangkis dua sinar pedang itu dengan

goloknya. Dia terkejut sekali akan tetapi segera menghadapi serangan dua orang pemuda yang memiliki gerakan pedang amat hebat. Diam-diam dia mengeluh karena dia benar-benar menghadapi dua orang lawan yang amat tangguh. Melawan seorang saja dari mereka sudah cukup berat apalagi mereka itu maju bersama.

Sim Tek Kun adalah seorang murid Kun-lun-pai, sedangkan Chang Hong Bu adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai! Tentu saja Thian Lo-mo terdesak hebat dan hanya dapat melindungi diri dengan putaran golok besarnya sambil terus bergerak mundur.

Sementara itu, ditinggalkan seorang diri melawan Hwe-thian Mo-li yang memiliki ilmu pedang amat dahsyat itu, Tee Lo-mo juga segera terdesak hebat. Pengerahan tenaga sihir dan permainan goloknya semua dikeluarkan namun sia-sia belaka, dia tidak mampu menghindarkan semua sambaran kilat halilintar dari pedang gadis itu dan setelah lewat duapuluh jurus, pedang Siang Lan menyambar lehernya dan Tee Lo-mo roboh dan tewas seketika!

Siang Lan tidak mempedulikannya lagi dan cepat ia mencari dua orang pemuda yang tadi bertanding mengeroyok Thian Lo-mo. Tak jauh dari situ ia melihat dua orang itu baru saja merobohkan Thian Lo-mo yang tewas terkena sambaran pedang jago-jago muda dari Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai itu.

Pertempuran berlangsung seru, akan tetapi setelah dua orang tokoh besar Pek-lian-kauw itu tewas, semangat para pemberontak menjadi lemah. Mereka masih melawan mati-matian dan bertahan sampai tengah hari, akan tetapi ketika satu demi satu para pimpinan mereka roboh dan banyak rekan-rekan mereka berjatuhan, mereka menjadi panik.

Akhirnya, tak dapat mereka pertahankan lagi dan mulailah mereka melarikan diri cerai-berai. Ada yang mencoba untuk bertahan dalam terowongan-terowongan, ada pula yang melarikan diri menggunakan alat peledak yang mengeluarkan asap tebal. Akan tetapi, akhirnya paling banyak hanya seratus orang saja dari mereka yang berhasil lolos dan melarikan diri. Lainnya roboh tewas atau luka dan tertawan.

Biarpun di pihak pasukan pemerintah ada pula yang gugur, namun pasukan pemerintah memperoleh kemenangan dalam pertempuran itu dan mereka bersorak gembira ketika membakar bekas-bekas sarang gerombolan di Bukit Cemara itu. Hampir semua pemimpin gerombolan tewas dalam pertempuran itu.

11.31. Gadis Desa Penjual Silat

Akan tetapi, diam-diam Hwe-thian Mo-li dan dua orang pemuda perkasa, Sim Tek Kun dan Chang Hong Bu, tiga para perwira tinggi yang memimpin pasukan pemerintah, kecewa karena mereka tidak menemukan para pembunuh yang dicari-cari oleh Jenderal Chang. Tadinya Siang Lan menduga bahwa dua orang Thian-te Lo-mo adalah pembunuh-pembunuh itu, akan tetapi setelah ia bersama Tek Kun dan Hong Bu menewaskan mereka, ia menduga bahwa para pembunuh itu bukan mereka dan agaknya tidak ikut dalam gerombolan yang telah dibasmi itu.

Biarpun demikian, Jenderal Chang Ku Cing merasa gembira akan keberhasilan operasi pembasmian gerombolan pemberontak itu. Hal ini setidaknya membuat para pemberontak menjadi jerih dan tidak berani main-main di kota raja. Dan dia pun tetap meningkatkan penjagaan karena siapa tahu, para pemberontak akan melakukan kekacauan seperti itu pula, ialah membunuhi para pejabat tinggi.

Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ditahan oleh Ong Lian Hong untuk sementara agar tinggal di rumah mereka. Selain Lian Hong merasa rindu kepada enci angkatnya itu, iapun mempunyai niat yang kuat untuk mendekatkan dan menjodohkan Nyo Siang Lan dengan Chang Hong Bu. Ia merasa bahwa pemuda keponakan Jenderal Chang itu merupakan jodoh yang tepat sekali bagi Nyo Siang Lan. Maka ia membujuk suaminya untuk menyetujui kalau mereka mengundang Hong Bu untuk datang bertamu dan bermain di rumah mereka agar memberi kesempatan sebanyaknya kepada dua orang muda itu untuk saling berkenalan lebih akrab lagi.

Bahkan Sim Tek Kun terpaksa memenuhi permintaan yang sangat dari isterinya untuk diam-diam menghubungi Jenderal Chang Ku Cing dan mengajukan usul mereka untuk menjodohkan Chang Hong Bu dengan Nyo Siang Lan. Jenderal Chang Ku Cing dengan sendirinya merasa setuju sekali karena dia memang pengagum besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Dia menyatakan persetujuannya dan berjanji untuk membicarakan hal itu kepada keponakannya.

“Enci Lan, aku ingin mengajakmu untuk mengunjungi Ibu kandungku dan kakek serta Nenekku. Maukah engkau?” Pada pagi hari itu Lian Hong berkata kepada Siang Lan setelah mereka sarapan pagi.

“Kalian berdua pergilah, aku sendiri harus menghadap Paman Jenderal Chang yang kemarin memesan agar aku pagi ini berkunjung kepadanya karena ada urusan penting yang akan dibicarakan.”

Lian Hong tersenyum, maklum bahwa yang akan dibicarakan suaminya dan Jenderal Chang Ku Cing adalah urusan perjodohan antara Chang Hong Bu dan Nyo Siang Lan seperti yang mereka rencanakan. Akan tetapi ia diam saja karena hal itu masih mereka rahasiakan terhadap Siang Lan sendiri. Mereka masih khawatir kalau-kalau Siang Lan akan merasa tersinggung dan marah.

Mereka menghendaki agar hubungan antara Siang Lan dan Hong Bu terjadi secara wajar dan timbul keakraban dan kasih sayang di antara mereka. Kalau sudah begitu keadaannya, maka mudahlah bagi mereka untuk mengusulkan perjodohan tanpa menyinggung perasaan gadis yang keras hati itu.

Siang Lan terkejut akan tetapi juga gembira dan tegang hatinya mendengar disebutnya ibu kandung Lian Hong. Ibu kandung Lian Hong berarti isteri mendiang gurunya, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri!

“Ah, aku akan merasa senang dan terhormat sekali bertemu dengan ibu kandungmu atau isteri mendiang Guruku, Hong-moi!” katanya. “Di mana beliau tinggal?”

“Ibuku tinggal di rumah Kakekku, yaitu Jaksa Ciok Gun. Dahulu Kakekku adalah Jaksa di Hun-lam, akan tetapi sudah lama beliau pindah ke kota raja dan menjadi jaksa di daerah bagian selatan kota raja.”

Demikianlah, dengan gembira dua orang wanita itu lalu menuju ke bagian selatan kota raja, ke rumah Jaksa Ciok yang menjadi kakek Ong Lian Hong. Seperti kita ketahui, Ciok Bwe Kim, yaitu ibu kandung Ong Lian Hong, kini tinggal bersama ayahnya, Jaksa Ciok Gun itu. Mereka naik kereta karena Ong Lian Hong adalah mantu Pangeran Sim Liok Ong, jadi ia kini termasuk seorang wanita bangsawan yang tentu saja tidak pantas kalau melakukan perjalanan dengan jalan kaki!

Dua orang wanita cantik itu disambut dengan gembira bukan main oleh keluarga Ciok. Jaksa Ciok sudah lama mendengar dan mengagumi nama besar Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, apalagi gadis perkasa itu adalah murid mantunya, mendiang Ong Han Cu. Juga Nyonya Ciok Bwe Kim yang kini telah berusia empatpuluh tahun lebih dan masih tampak cantik itu, merasa girang dan terharu sekali. Ia pun sudah banyak mendengar tentang Nyo Siang Lan, sebagai murid tersayang mendiang suaminya.

Siang Lan dihormati dan disanjung, diterima dengan pesta makan keluarga sehingga gadis itu merasa senang dan berterima kasih. Ternyata bukan hanya mendiang gurunya saja yang baik terhadap dirinya, melainkan juga isteri gurunya dan keluarganya. Baru lewat tengah hari mereka berdua naik kereta meninggalkan gedung tempat tinggal Jaksa Ciok Gun untuk kembali ke rumah Pangeran Sim Liok Ong.

Ketika kereta tiba di dekat lapangan terbuka di depan pasar, di seberang jembatan besar, Siang Lan melihat banyak orang berkerumun dan terdengar suara tambur dan canang dipukul seperti biasa dilakukan para penjual obat yang biasa mendemonstrasikan ilmu silat untuk menarik minat penonton agar suka membeli obat yang mereka tawarkan. Mendengar pukulan tambur dan canang yang berirama gagah dan mengandung tenaga, Siang Lan tertarik dan menyuruh kusir kereta menghentikan keretanya. Lian Hong tertawa melihat encinya seperti kanak-kanak hendak menonton penjual obat, akan tetapi ia pun ikut turun dan bergembira bersama Siang Lan menghampiri kerumunan orang banyak itu.

Beberapa orang penonton memberi tempat kepada dua orang gadis itu di depan. Mereka menyingkir dengan sopan ketika melihat bahwa dua orang gadis jelita yang hendak menonton itu turun dari kereta dan melihat sikap mereka seperti gadis-gadis bangsawan.

Siang Lan dan Lian Hong kini melihat dengan hati tertarik. Ternyata yang dijadikan tontonan itu adalah seorang gadis muda belia dan seorang kakek yang rambutnya sudah putih. Gadis itu cantik manis, usianya kitar tujuhbelas atau delapanbelas tahun, pakaiannya sederhana dan rapi serba ketat sehingga menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya yang laksana bunga sedang mulai mekar.

Adapun kakek tentu sudah berusia sekitar enampuluh tiga tahun, wajahnya tampak ada garis-garis penderitaan, rambutnya putih semua, tampaknya lemah dan pakaiannya juga sederhana seperti pakaian petani. Kakek itulah yang menabuh canang, sedangkan gadis itu dengan gerakan gagah dan mengandung tenaga, menabuh tambur yang bunyinya seperti derap kaki pasukan atau seperti permainan barong-sai.

Setelah melihat betapa banyak orang mengerumuninya, kakek itu memberi isyarat kepada si Gadis dan mereka menghentikan bunyi-bunyian itu. Kakek itu lalu memberi hormat sambil membungkuk ke empat penjuru.

Mulailah orang-orang ramai bicara sendiri dan terdengar suara, “Mana obat yang dijualnya?”

Setelah memberi hormat ke empat penjuru, terdengar suara kakek itu, suaranya lemah dan tidak lantang. “Cu-wi (Saudara Sekalian) yang terhormat. Sebelumnya kami berdua kakek dan cucu mohon maaf kepada Cu-wi. Kami bukan penjual obat, kami tidak mempunyai sesuatu untuk ditawarkan dan dijual. Akan tetapi karena dalam melakukan perjalanan ini kami kehabisan bekal, maka kami hanya mohon kedermawanan Cu-wi untuk memberi sumbangan dan kami hanya dapat menyuguhkan beberapa permainan silat dari cucu kami yang masih bodoh. Sekali lagi, kalau pertunjukan cucu kami tidak berharga, mohon Cu-wi memaafkan kami.”

Setelah berkata demikian, kakek itu mengambil tambur dari tangan cucunya, lalu mulai menabuh tambur itu dengan pukulan yang lemah. Siang Lan dan Lian Hong melihat bahwa pukulan tambur kakek itu sama sekali berbeda dengan pukulan cucunya yang mengandung tenaga cukup kuat sehingga mereka berdua sudah mengetahui bahwa agaknya hanya Sang Cucu itu yang mahir ilmu silat sedangkan sang Kakek adalah seorang petani biasa yang lemah.

Kini gadis manis itu berdiri tegak lalu memberi hormat keempat penjuru dengan merangkap kedua tangan depan dada. Setelah itu ia mulai bersilat. Gerakannya cukup ringan, cepat dan mengandung tenaga.

Bagi Siang Lan dan Lian Hong, gerakan silat gadis itu biasa saja dan belum cukup tinggi, akan tetapi keduanya terkejut dan tertarik sekali karena mengenal bahwa ilmu silat yang dimainkan gadis itu adalah ilmu silat Kun-lun-pai! Gadis itu memiliki ilmu silat aliran Kun-lun-pai, satu perguruan dengan Sim Tek Kun!

Tentu saja hal ini amat menarik perhatian mereka, terutama sekali perhatian Lian Hong karena gadis itu masih memiliki hubungan seperguruan dengan suaminya. Akan tetapi ketika ia hendak menyapa, lengannya dipegang Siang Lan dan Hwe-thian Mo-li memberi isyarat agar adik angkatnya itu diam dan melihat saja perkembangannya.

Setelah gadis itu selesai bersilat selama belasan jurus dan berhenti bergerak, terdengar tepuk tangan memuji dari para penonton. Bagi para penonton, terutama yang tidak mahir ilmu silat, permainan silat itu cukup mengagumkan, apalagi karena memang gadis itu cukup cantik dan terutama sekali memiliki bentuk tubuh yang denok menggairahkan hati pria, terutama yang memiliki watak mata keranjang.

Pada saat itu Sang Kakek membawa sebuah caping lebar yang ditelentangkan dan dia berjalan menghampiri para penonton dan mengelilingi tempat itu sambil mengacungkan caping mohon sumbangan. Hampir semua orang melemparkan sepotong atau sekeping uang ke dalam caping, yang diterima dengan wajah berseri dan muka mengangguk-angguk oleh kakek itu. Setelah berputar sekeliling dan sudah cukup banyak uang terkumpul dalam caping, kakek itu lalu melangkah ke tengah lapangan, meletakkan capingnya di atas tanah lalu dia memberi hormat lagi ke empat penjuru.

“Banyak terima kasih atas sumbangan Cu-wi. Sudah sering kami mendengar bahwa para penghuni kota raja adalah orang-orang dermawan, dan baru siang hari ini kami melihat buktinya. Terima kasih banyak, sumbangan Cu-wi dapat menyambung hidup kami selama beberapa hari.”

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh tinggi besar dari kerumunan penonton. Dia seorang laki-laki berusia sedikitnya tigapuluh lima tahun, wajahnya bopeng (bekas cacar) dan matanya lebar, tubuhnya kokoh kuat dan wajahnya bengis. Dia sudah berdiri dekat kakek itu dan berkata dengan suaranya yang lantang.

“Enak saja engkau orang tua mengumpulkan uang orang tanpa memberi sesuatu! Ini namanya penipuan! Orang menerima uang harus memberi sesuatu, akan tetapi kalian tidak memberi apa-apa, obat juga tidak. Bagaimana mau enaknya saja mengambil uang orang-orang? Engkau penipu!” Kakek itu memandang dengan kaget. “Tuan, maaf, kami memang tidak mempunyai apa-apa untuk diberikan. Akan tetapi cucu saya tadi sudah menghibur dengan permainan silatnya ”

“Huh, apa artinya menonton gerakan silat yang begitu saja? Biasanya untuk menghibur orang-orang diadakan pertunjukan yang lebih ramai, setidaknya untuk permainan silat diadakan pertunjukan pi-bu (adu ilmu silat). Kalau ada pi-bu, nah, itu baru namanya pertunjukan dan kami semua akan senang mengeluarkan uang. Akan tetapi kalian ini tidak memberi pertunjukan apa-apa. Kalau mau mengemis, lakukan saja seperti biasa, duduk berjongkok di tepi jalan dan mengacungkan tangan mohon sedekah!”

Di antara para penonton, terdapat pula banyak orang muda yang biasa bersikap berandalan. Mendengar ucapan itu mereka bersorak dan mentertawakan kakek yang tampak bengong ketakutan itu. Lian Hong sudah hendak maju, akan tetapi kembali Siang Lan menahan lengannya can menggelengkan kepalanya.

Kini gadis manis itu menghampiri kakeknya dan berkata. “Kong-kong, minggirlah, biarkan aku yang bicara dengan Tuan ini.”

Mendengar ini, kakek itu minggir dengan wajah pucat dan tampaknya dia gelisah sekali akan keselamatan cucunya.

“Tuan, kami tidak mengenal Tuan, juga kami tidak mempunyai urusan denganmu, apalagi mengganggumu. Akan tetapi mengapa sekarang engkau hendak mengganggu kami yang hanya sekedar minta bantuan kepada para budiman ini karena bekal kami telah habis. Apa sih kesalahan kami kepadamu?”

Si Tinggi Besar muka bopeng itu kini memandang kepada gadis itu sambil menyeringai. Mulutnya yang lebar terbuka dan dia memperlihatkan giginya yang besar-besar dan banyak yang rusak hitam, seperti seekor orang utan menyeringai.

“Nona, engkau seorang gadis yang masih muda dan begini cantik, sungguh sayang Kakekmu membiarkan engkau mencari uang dengan menjadi tontonan. Akan tetapi karena engkau sudah memperlihatkan ilmu silatmu, aku menjadi tertarik dan aku menantangmu untuk melakukan pi-bu.”

“Tuan, kami datang di sini bukan untuk mencari permusuhan, juga bukan untuk pamer kepandaian apalagi untuk pi-bu. Aku tidak mau melakukan pi-bu dengan siapapun juga,” jawab gadis itu dengan sikap tenang.

“Ha-ha, kalau engkau yang sudah berani memperlihatkan ilmu silat menolak pi-bu, maka berarti engkau mengaku kalah. Sekarang begini saja, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri. Disaksikan oleh semua penonton di sini, mari kita membuat pertaruhan begini. Kita bertanding pi-bu dengan tangan kosong.

“Kalau aku kalah, maka uang sumbangan dalam caping itu akan kutambah lagi dengan lima tail perak dan engkau boleh bebas mencari sumbangan di sini. Akan tetapi kalau engkau kalah, uang dan ditambah lima tail perak tetap kuberikan kepadamu, akan tetapi engkau harus mau menjadi kekasihku selama satu bulan! Ha-ha, adil sekali, bukan?”

Wajah gadis itu berubah merah sekali, akan tetapi ia masih tenang walaupun kakeknya tampak pucat dan gemetaran.

“Hemm, begitukah keinginanmu? Dan bagaimana tandanya kalah atau menang?” tanya Si Gadis, sedangkan para penonton menjadi tegang dan memandang penuh perhatian. Sudah biasa bagi penonton, suka sekali mereka menyaksikan ketegangan, apalagi akan menyaksikan pi-bu dan di antara mereka bahkan sudah banyak yang diam-diam ikut bertaruh!

“Tentu saja siapa yang roboh dianggap kalah!” kata laki-laki itu. “Ha-ha-ha, aku Si Tinju Maut Koan Sek kalau sampai kalah oleh Nona manis ini, mau mencium kakimu yang mungil, Nona!” Dia tertawa diikuti banyak pemuda yang tertawa secara kurang ajar.

Melihat Lian Hong marah-marah, Siang Lan berbisik. “Kita lihat saja dulu. Simpan marahmu, kalau engkau marah dan benci, jangan-jangan anakmu kelak bisa seperti dia.”

Diingatkan demikian, Lian Hong terkejut dan segera menenangkan diri karena ia merasa ngeri kalau sampai anaknya kelak keluar seperti si Bopeng itu. Diam-diam ia mengelus perutnya!

Gadis itu memberi isyarat kepada kakeknya untuk menyingkirkan caping itu ke pinggir, kemudian ia mengikat sabuknya sehingga ketat melingkari pinggangnya yang ramping, menggulung lengan bajunya sampai ke siku. Kemudian ia berdiri dengan tenang, menanti lawannya dan setelah berhadapan, ia lalu menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan berkata dengan suara lantang dan tegas. “Koan Sek, buka telingamu dan dengarkan baik-baik, disaksikan oleh semua penonton di sini, nonamu she Siauw akan mengucapkan pendirianku! Boleh jadi kakekku dan aku adalah orang-orang miskin berasal dari dusun, tidak memiliki kekayaan dan tidak memiliki kepandaian, melainkan orang-orang sederhana dan bodoh. Akan tetapi, ketahuilah, hai orang yang menjadi budak nafsu, kami adalah manusia-manusia yang masih memiliki kesusilaan, kesopanan, jalan kebenaran, yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, tidak sudi melakukan hal-hal yang rendah dan hina!

“Engkau memaksa aku untuk pi-bu, kalau aku menolak tentu aku akan dianggap pengecut. Tidak, aku tidak menolak. Guruku mengajarkan aku selain ilmu silat juga tentang kegagahan dan harga diri. Kalau aku bisa menangkan pertandingan ini, aku tidak butuh uangmu, tidak butuh apa-apa darimu. Akan tetapi kalau aku kalah darimu, aku pun tidak sudi menuruti semua keinginanmu yang hina dan rendah. Kalau kau hendak bunuh aku, silakan, aku tidak takut mati membela kehormatan diriku!”

Ucapan itu membuat Siang Lan dan Lian Hong tertegun dan terkagum-kagum. Bukan main gadis remaja ini. Demikian gagahnya seolah ia seorang pendekar besar saja! Dan agaknya banyak pula para penonton yang merasa kagum karena tepuk tangan riuh menyambut ucapan itu, membuat Koan Sek yang berjuluk Si Tinju Maut itu menjadi salah tingkah dan mukanya yang bopeng tampak hitam karena semua darah berkumpul di sana.

“Gadis sombong, rasakan pukulan mautku!” Dia berseru dan mulai menyerang dengan pukulan yang amat kuat ke arah dada yang membusung itu.

Baru pukulan ke arah dada gadis itu saja sudah merupakan cara serangan yang tidak mengenal sopan, padahal pertandingan itu hanyalah sebuah pi-bu. Jelas bahwa Koan Sek ini adalah golongan orang yang kasar dan kejam.

“Wuuttt    !” Pukulan itu luput ketika gadis yang mengaku she Siauw itu mengelak dengan gerakannya yang

cukup ringan. Akan tetapi tamparan ke arah dada yang luput itu dilanjutkan oleh Koan Sek dengan mencengkeram ke arah dada! Gadis itu menggerakkan tangan kanan dari luar dan menangkis.

“Plakk!” Ia berhasil menangkis walaupun ia merasa betapa kuatnya lengan besar laki-laki itu sehingga tubuhnya agak condong ke samping ketika lengan mereka bertemu. Akan tetapi gadis itu dengan sigapnya lalu menggerakkan kakinya menendang ke arah lambung lawan.

“Wuuuttt...... plakk!” Koan Sek dapat, menangkis tendangan ini dan mereka segera saling serang dengan seru.

Siang Lan dan Lian Hong melihat betapa gerakan gadis itu sudah baik dan aseli merupakan ilmu silat Kun- lun-pai, akan tetapi agaknya ia masih belum menguasai ilmu silatnya dengan matang. Gerakannya cukup lincah dan tubuhnya ringan, akan tetapi tenaganya masih kurang kuat sehingga tiap kali tangan atau kaki mereka berbenturan, tubuh gadis itu terhuyung mundur.

Melihat ini, Koan Sek sudah tertawa-tawa mengejek. Sikap sombong dan memandang rendah lawan merupakan sikap yang dipantang oleh seorang ahli silat yang sudah mendalami ilmunya karena sikap ini mendatangkan kelengahan kepada dirinya sendiri.

Hal ini terbukti ketika perkelahian itu telah berlangsung belasan jurus di mana Koan Sek terus mendesak gadis itu sambil tertawa-tawa dan mengeluarkan ucapan yang tidak senonoh. Pada saat dia berhenti menyerang untuk tertawa bergelak, tiba-tiba tubuh gadis itu menyambar dengan cepat sekali sambil menendang dengan tubuh melompat tinggi!

Koan Sek terkejut dan cepat ia menangkap kaki kiri gadis itu yang menyambar ke arah mukanya.

“Plakk!” Dia berhasil menangkap pergelangan kaki kiri gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kaki kanan gadis itu menendang dengan pengerahan seluruh tenaganya bertekankan kepada kaki kirinya yang ditangkap.

“Wuuttt...... desss......!” Sepatu kaki kanan gadis itu tepat mengenai ulu hati Koan Sek sehingga tubuhnya terjengkang dan dia terbanting jatuh demikian kuatnya sehingga sejenak dia menjadi nanar dan matanya melihat segala sesuatu berputar-putar.

Ketika mendengar sorak-sorai dan tepuk tangan penonton, dia menyadari keadaannya. Cepat dia melompat berdiri, menggoyang kepalanya mengusir kepeningan dan di lain saat dia telah mencabut sebatang golok dari pinggangnya!

11.32. Murid Susiok Kim-gan-liong Para penonton ada yang menjerit-jerit ketika melihat Koan Sek dengan golok telanjang kini menerjang dan menyerang gadis itu membabi buta! Gadis itu mencoba untuk berloncatan ke kanan kiri mengelak dari sambaran golok, akan tetapi tiba-tiba kaki kiri Koan Sek menendang, mengenai pahanya dan gadis itu pun terpelanting.

Bagaikan binatang buas, Koan Sek yang marah dan malu karena tadi dirobohkan gadis itu, mengejar dengan loncatan dan mengayun goloknya ke atas untuk dibacokkan ke arah gadis itu. Gadis itu sudah terjatuh miring dan agaknya ia tidak akan mampu menghindarkan dirinya dari bacokan, akan tetapi ia sama sekali tidak tampak takut, bahkan memandang kepada penyerangnya dengan mata mencorong penuh kemarahan!

Golok di tangan Koan Sek terayun turun dan......

“Desss......!!” tubuh Koan Sek terpental dan dia terbanting jatuh di atas tanah. Dia hanya merasa dirinya disambar halilintar sehingga tidak dapat melihat jelas bahwa sesungguhnya tadi ada seorang pemuda gagah perkasa melompat dan menendangnya sambil melompat.

Pemuda itu bukan lain adalah Chang Hong Bu. Pemuda yang kebetulan sedang lewat di situ dan melihat rame-rame itu lalu datang menonton dan melihat Koan Sek hendak menyerang seorang gadis dengan goloknya, dia menjadi marah dan sekali terjang, tubuh Koan Sek terlempar!

Pada saat itu, muncul dua orang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun. Mereka ini adalah kakak- kakak seperguruan dari Koan Sek. Mereka bertiga pada hari itu memasuki kota raja untuk pelesir dan bersenang-senang. Karena mereka adalah tiga orang seperguruan yang biasa memaksakan kehendak melakukan kekerasan dan merasa diri mereka jagoan, maka tadi melihat gadis manis itu, Koan Sek menjadi iseng dan ingin memamerkan kepandaiannya, juga ingin mempermainkannya karena dia termasuk seorang laki-laki hidung belang yang suka mempermainkan wanita.

Kini, melihat adik seperguruan mereka ditendang seorang pemuda, dua orang kakak seperguruan Koan Sek menjadi marah dan mereka sudah melompat memasuki kalangan sambil mencabut golok masing-masing.

“Keparat, jangan main keroyokan!” bentak orang yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat seperti berpenyakitan. Akan tetapi orang kedua, yang bertubuh pendek gemuk dan matanya sipit sekali seperti terpejam, sudah menyerang Chang Hong Bu dengan goloknya.

Permainan golok Si pendek Gendut itu ternyata cepat dan kuat sekali, jauh lebih cepat dibandingkan gerakan Koan Sek. Akan tetapi dengan mudah saja Hong Bu mengelak. Sementara itu, Si Tinggi kurus muka pucat juga sudah menggerakkan goloknya hendak mengeroyok, akan tetapi Lian Hong sudah melompat ke dalam lapangan itu dan membentak.

“Jahanam-jahanam busuk dari mana berani mengacau di sini?”

Melihat wanita yang cantik jelita muncul di depannya, Si Tinggi kurus menyeringai. “Ah, kalau harus melukaimu, aku tidak tega, Nona manis! Minggirlah jangan sampai golokku melukai kulitmu yang lembut dan mulus!”

Lian Hong marah sekali. “Keparat busuk!” Dan ia pun sudah menerjang dengan tamparan tangan kirinya yang mendatangkan angin dahsyat sehingga Si Tinggi kurus terkejut bukan main dan melompat ke belakang.

Kini Koan Sek yang melihat kedua suhengnya maju, mendapat hati dan dia pun sudah bangkit berdiri lalu melangkah lebar menghampiri gadis pemain silat tadi dengan golok masih di tangan.

Akan, tetapi tiba-tiba tampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan sudah berada di depannya. Koan Sek yang mata keranjang sampai bengong melihat gadis yang cantik ini berdiri di depannya.

“Manusia busuk, mampuslah kau!” Siang Lan berseru, tubuhnya berputar dan kaki kirinya mencuat dalam tendangan berputar.

“Syuuttt...... desss    !!” Tubuh Koan Sek terkena tendangan tepat di dadanya sehingga tubuhnya terlempar

dan dia jatuh terbanting dengan keras!

Sebelum dia dapat merangkak bangun, sekali tubuh Siang Lan melayang ia sudah tiba di depan laki-laki muka bopeng itu dan kembali kakinya menendang. Kini yang menjadi sasaran adalah pergelangan tangan kanan Koan Sek yang memegang golok. “Wuuttt krekk!” Tulang pergelangan tangan itu patah-patah dan goloknya terlempar jauh.

“Aduhh !” Koan Sek menjerit dan memegangi pergelangan tangan kanan dengan tangan kirinya.

Sementara itu, pertandingan antara si Tinggi kurus melawan Lian Hong juga berat sebelah. Baru tiga kali membacok dan selalu luput, tangan kiri Lian Hong menampar dan tepat mengenai pipi kanan si Tinggi kurus.

“Wuutt...... krekk !” Tulang rahang pipi kanan si Tinggi kurus patah-patah dan tendangan kedua membuat

goloknya terlempar. Si Tinggi kurus menjerit kesakitan dan terpelanting keras, memegangi rahangnya yang pecah-pecah berdarah.

Demikian pula, si Gendut Pendek bukan lawan Hong Bu. Baru dua gebrakan saja dia pun sudah roboh tertendang dan goloknya juga terpental jauh. Si Tinggi kurus yang mencoba bangun, kembali harus terbanting oleh tendangan susulan Lian Hong. Demikian pula Si pendek Gendut dijadikan bola ditendang ke sana sini oleh Hong Bu sehingga dia berkaok-kaok kesakitan.

Pada saat itu, banyak orang mengenal tiga orang muda perkasa ini. Melihat Siang Lan, ada yang berteriak. “Ah, ia adalah Hwe-thian Mo-li! Mampuslah orang-orang jahat ini!”

Mendengar disebutnya nama Hwe-thian Mo-li, Koan Sek dan dua orang suhengnya terkejut setengah mampus. Nyali mereka terbang dan mereka bertiga segera menjatuhkan diri berlutut menghadapi tiga orang itu, menyembah-nyembah dan membenturkan dahi mereka ke atas tanah berulang-ulang seperti tiga ekor ayam sedang makan beras.

“Ampunkan hamba...... ampunkan hamba...... ampunkan hamba    ” berulang-ulang mereka bergumam dan

tentu saja suara si Tinggi kurus muka pucat itu tidak karuan karena rahangnya yang pecah-pecah membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara dengan jelas. Si Pendek Gendut saking takutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi gendut disembelih dan yang lucu dan mengherankan adalah Koan Sek sendiri.

Orang tinggi besar berwajah menyeramkan ini saking takutnya kini menangis, mengguguk seperti anak kecil dan melihat betapa di bawah tubuh mereka basah, sukar diketahui siapa di antara mereka yang mengompol saking takutnya. Mungkin ke tiganya!

Para penonton melihat betapa jauh bedanya sikap tiga orang ini dengan sikap gadis manis tadi. Dalam keadaan terancam maut, gadis tadi bersikap gagah perkasa dan sama sekali tidak gentar menghadapi ancaman maut, sedangkan tiga orang yang sombong dan tampak gagah ini, begitu terancam maut menjadi ketakutan seperti orang-orang yang berjiwa pengecut!

Kini Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan telah dapat mengenal gadis manis itu. Melihat kakek itu dan gadis ini, ia tidak ragu lagi bahwa gadis itu adalah Siauw Kim, gadis yang pernah ditolongnya dari tangan Hartawan Siong Tat yang hendak memaksa gadis itu menjadi pemainannya. Ia berhasil membunuh Siong Tat dan menghajar para jagoannya, membebaskan Siauw Kim dan kakeknya itu yang bernama Lim Bun, seorang petani dari dusun Kang-leng.

Siang Lan masih sangsi karena setahunya, tiga-empat tahun yang lalu Siauw Kim adalah gadis remaja yang lemah dan tidak pandai silat. Sekarang, walaupun ilmu silatnya belum matang, namun jelas ia memiliki dasar ilmu silat aliran Kun-lun-pai! Mengingat akan nasib Siauw Kim dan melihat kegagahannya, hati Siang Lan menjadi panas sekali kepada tiga orang laki-laki jahat itu. Diambilnya golok mereka yang tergeletak di atas tanah, lalu ia berseru.

“Sebetulnya tiga orang jahanam macam kalian tidak berhak hidup di dunia ini karena hanya akan menimbulkan kekacauan dan kejahatan. Akan tetapi aku, Hwe-thian Mo-li tak pernah memberi ampun kepada jahanam laki-laki yang memandang rendah wanita tanpa memberi hukuman yang setimpal.”

Setelah berkata demikian, golok di tangannya berkelebat tiga kali bagaikan halilintar menyambar dan tiga orang penjahat itu menjerit kesakitan, bukit hidung mereka terbabat buntung dan darah muncrat membasahi muka mereka!

“Nah, pergilah kalian anjing-anjing keparat! Kalau aku melihat muka kalian muncul di kota raja lagi, kepalamu yang akan kubuntungi!” Setelah berkata demikian, kaki Siang Lan menendang tiga kali dan tubuh mereka terpental dan jatuh bergulingan.

Sambil menangis kesakitan tiga orang itu lalu terhuyung-huyung setengah merangkak, melarikan diri dari tempat itu. Para penonton merasa senang akan tetapi juga merasa ngeri sehingga satu demi satu mereka membubarkan diri meninggalkan tempat itu. Ketika Siang Lan memandang dan mencari gadis tadi, ternyata gadis itu bersama kakeknya kini sedang berlutut di depan kaki Chang Hong Bu. Agaknya gadis itu menangis dan terdengar suaranya yang penuh keharuan.

“Kalau tidak ada Tai-hiap yang menolong saya dan kong-kong, kami berdua tentu telah tewas di tangan orang-orang jahat itu. Kami berhutang budi dan nyawa kepada Tai-hiap, dan kami bersedia mengorbankan jiwa raga kami untuk membalas kebaikan Tai-hiap. Kalau kami tidak mampu membalasnya, kami akan bersembahyang setiap hari mohon kepada Thian (Tuhan) agar Dia yang membalas budi kebaikan Tai-hiap kepada kami.”

Melihat gadis itu dan kakeknya berlutut di depan kakinya, Hong Bu menjadi serba salah. Untuk membangunkan gadis itu, dia harus menyentuhnya dan hal ini dia tidak mau melakukannya karena tentu dianggap kurang sopan. Kalau tidak dibangunkan, dia merasa rikuh sekali dua orang kakek dan cucu itu berlutut seperti itu di depan kakinya.

“Nona dan engkau, Kakek yang baik, bangkitlah dan jangan berlutut seperti ini!” katanya, akan tetapi gadis itu tidak mau bangkit dan kakeknya pun agaknya hanya ikut-ikutan tidak mau bangkit berdiri. Melihat Siang Lan dan Lian Hong memandang ke arah mereka, Hong Bu lalu berseru kepada Siang Lan.

“Lan-moi, tolonglah, bangkitkan mereka    ”

Siang Lan menghampiri dua orang yang masih berlutut itu sedangkan Hong Bu sudah mundur menjauhkan diri sehingga mereka tidak lagi berlutut di depan kakinya.

“Siauw Kim, engkaukah ini? Dan bukankah ini kakek Lim Bun yang dulu tinggal di Kang-leng?”

Gadis itu memang Siauw Kim adanya dan kakeknya adalah Kakek Lim Bun. Tiga empat tahun yang lalu ketika dalam keadaan miskin, terpaksa untuk mengobati cucunya Kakek Lim Bun menggadaikan cucunya, Siauw Kim, kepada Hartawan Siong Tat, hampir saja Siauw Kim menjadi korban kejahatan Siong Tat yang mata keranjang dan hampir Kakek Lim Bun bunuh diri. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan menolong mereka, bahkan membunuh Hartawan Siong Tat dan menghancurkan rumah tangga gadai, menghajar para anak buah pegadaian itu.

Ketika Siauw Kim memandang dan melihat Siang Lan, segera ia teringat maka ia pun menubruk kaki Siang Lan sambil menangis. Juga Kakek Lim mengenal Siang Lan. “Ah, kiranya engkau juga yang menolong kami, Li-hiap!” katanya.

Siang Lan menarik bangun Siauw Kim dan memandangi gadis itu dengan kagum. Gadis remaja dahulu itu kini telah dewasa dan cukup cantik manis dan gagah.

“Bagaimana kalian dapat berada di kota raja dan mengapa kalian tadi mencari sumbangan?” “Aih, Li-hiap. Panjang ceritanya ” kata Siauw Kim.

“Enci Lan, tidak baik bicara di sini. Mari kita ajak Adik ini dan kakeknya ke rumah dan kita bicara di sana! Kakak Chang Hong Bu, karena sudah saling bertemu di sini secara kebetulan, mari engkau ikut dengan kami.”

Ajakan Lian Hong ini diterima senang oleh Hong Bu karena memang tadinya Hong Bu bermaksud pergi mengunjungi Siang Lan, gadis yang telah memikat hatinya.

Setelah tiba di rumah Pangeran Sim Liok Ong, mereka disambut oleh Sim Tek Kun dan mereka semua mengajak Siauw Kim dan kakeknya ke dalam ruangan tamu. Lian Hong menceritakan dengan singkat kepada suaminya tentang Siauw Kim dan kakeknya.

Kemudian tiba giliran Siang Lan untuk bercerita kepada mereka tentang Siauw Kim dan Lim Bun yang ditolongnya sekitar tiga tahun lebih yang lalu di Kang-leng. Setelah itu, Siang Lan memegang tangan Siauw Kim dan bertanya.

“Nah, sekarang tiba giliranmu, Siauw Kim. Ceritakan keadaan dirimu sejak kita saling berpisah. Bagaimana engkau kini dapat menjadi murid Kun-lun-pai dan bagaimana pula engkau sampai tiba di kota raja.”

Siauw Kim lalu menceritakan riwayatnya. Setelah dulu ditolong Siang Lan, gadis remaja itu masih mengalami banyak kesengsaraan lagi. Ibunya dan tiga orang adiknya mati satu demi satu karena wabah penyakit yang mengamuk. Kakek Lim Bun terpaksa membawa cucunya yang tinggal seorang itu pergi meninggalkan dusun Kang-leng yang diserang wabah. Akan tetapi di tengah perjalanan yang sengsara itu, tiba-tiba Kakek Lim Bun jatuh sakit pula. Agaknya wabah itu telah menular kepadanya juga.

Mujur baginya, dalam keadaan setengah mati di lereng sebuah bukit, mereka berdua bertemu dengan seorang pertapa miskin sederhana yang dapat mengobati kakek Lim Bun sampai sembuh. Mendengar riwayat Siauw Kim yang penuh kesengsaraan, pertapa itu lalu mengijinkan Siauw Kim dan kakeknya tinggal di bukit tempat dia bertapa, hidup sederhana dan Siauw Kim lalu dilatih ilmu silat olehnya.

“Akan tetapi sungguh nasib kami amatlah buruknya, Li-hiap,” kata Siauw Kim dan tiba-tiba gadis itu menangis. Lim Bun juga menundukkan mukanya yang telah keriputan dan menghela napas berulang-ulang.

“Nanti dulu, Nona!” tiba-tiba Sim Tek Kun berkata. “Siapakah pertapa yang melatih silat kepadamu itu? Apakah dia seorang tokoh Kun-lun-pai?” Dia tadi sudah mendengar dari isterinya bahwa Siauw Kim tadi memperlihatkan ilmu silat Kun-lun-pai.

Siauw Kim menyusut air matanya. “Nama Suhu hanya saya ketahui julukannya saja karena beliau tidak pernah menceritakan nama aselinya. Julukannya Kim-gan-liong ”

Tentu saja Tek Kun, Lian Hong, dan Siang Lan terkejut sekali mendengar ini.

“Ah, kiranya gurumu itu adalah Susiok Kim-gan-liong!” seru Tek Kun, “Dan di mana beliau sekarang?”

Siauw Kim menangis lagi. “Itulah, nasib kami sungguh selalu buruk. Setelah hidup tenang dan tenteram bersama Suhu, walaupun dalam keadaan sederhana sekali, selama hampir tiga tahun, Suhu meninggal

dunia ”

“Beliau meninggal......?” Tek Kun berseru kaget. “Akan tetapi kenapa? Bagaimana beliau yang belum tua benar sampai meninggal?”

Siauw Kim menggelengkan kepala dengan sedih. “Sejak hidup bersamanya, kami melihat Suhu seperti hidup dalam timbunan duka. Beliau tidak pernah tampak gembira, bahkan seringkali tampak gelisah dan berduka, dan kesehatannya sering terganggu. Akhir-akhir ini beliau sering batuk-batuk dan       kalau batuk

terkadang mengeluarkan darah       dan pada suatu malam, sekitar empat bulan yang lalu, Suhu meninggal

dunia ”

“Aih, kasihan susiok.    ” Sim Tek Kun menghela napas panjang.

Lian Hong dan Siang Lan juga menundukkan muka mereka. Dahulu, mereka menganggap bahwa Kim-gan- liong merupakan seorang di antara musuh besar yang mengeroyok dan membunuh guru mereka, Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu ayah kandung Ong Lian Hong. Akan tetapi kemudian Siang Lan mengetahui bahwa Kim-gan-liong sama sekali tidak ikut mengeroyok, melainkan dia mengajak pi-bu Pat-jiu Kiam-ong karena memang pi-bu merupakan kesukaan Kim-gan-liong.

Agaknya peristiwa itu, walaupun dia tidak ikut mengeroyok namun menjadi penyebab tewasnya Pat-jiu Kiam-ong yang diracuni dan dikeroyok banyak orang. Hal itu meracuni hatinya sehingga dia sakit-sakitan, menjadi pertapa dan dalam usia yang belum tua, baru sekitar limapuluh empat tahun, telah meninggal karena digerogoti penyakit yang timbul dari penyesalan dan duka!

“Siauw Kim, setelah gurumu meninggal, lalu engkau dan kakekmu pergi ke kota raja?” Siang Lan bertanya.

Seperti yang telah dilakukan sejak tadi dan ini tidak luput dari perhatian Siang Lan, Siauw Kim mengerling ke arah wajah Chang Hong Bu, kerling tajam yang mengandung penuh kekagumanan terima kasih!

“Sebelum meninggal dunia Suhu memesan kepada saya, karena saya sudah tidak mempunyai keluarga lain kecuali kong-kong, Suhu memerintahkan saya untuk pergi ke kota raja. Kami orang miskin, Suhu juga tidak mempunyai apa-apa. Setiap hari kami hanya makan dari tanaman di lereng bukit. Maka ketika kami berangkat kami tidak membawa bekal uang, hanya membawa bahan makanan.

“Akan tetapi setelah bahan makanan habis, terpaksa kami      minta sumbangan dan untuk balas jasa, saya

memperlihatkan ilmu silat yang pernah saya pelajari dari Suhu selama tiga tahun ini. Saya dan kong-kong tidak tahu bagaimana harus mencari uang untuk sekedar makan dan kami hanya mengharapkan belas kasihan dan kedermawanan orang.

“Setiba kami di sini, kami kehabisan uang dan terpaksa tadi saya dan kong-kong minta sumbangan sekadarnya. Sama sekali tidak kami sangka akan muncul tiga orang jahat itu. Ah, kalau saja tidak ada......

In-kong (Tuan Penolong) ini...... ah, tentu kami kakek dan cucu telah menjadi korban    ” “Nanti dulu, Siauw Kim. Kenapa gurumu menyuruh engkau dan kakekmu pergi ke kota raja? Apa tujuan kalian datang ke kota raja ini?” tanya Siang Lan.

“Suhu berpesan agar kami mencari seorang murid keponakan suhu yang berada di kota raja dan suhu mengharapkan agar murid keponakannya itu dapat membantu dan memberi jalan demi kebaikan hidup kami kakek dan Cucu.”

“Siapakah murid keponakan Gurumu itu, Siauw Kim?” tanya Siang Lan sambil mengerling kepada Sim Tek Kun.

Sim Tek Kun dan isterinya juga memandang Siauw Kim dengan hati tegang karena mereka berdua sudah menduga siapa yang dimaksudkan Siauw Kim sebagai murid keponakan Kim-gan-liong itu.

“Kata Suhu, murid keponakannya itu adalah putera seorang pangeran dan bernama Sim Tek Kun,” kata Siauw Kim yang sama sekali tidak pernah mengira bahwa orang yang disebut namanya itu berada di depannya.

11.33. Kegelisahan Hati Pangeran Bouw

“Hemm, Siauw Kim, apakah engkau pernah bertemu dengan murid keponakan Gurumu itu?” desak Siang Lan.

Siauw Kim menggelengkan kepalanya dan lagi-lagi ia mengerling kepada Chang Hong Bu yang ikut mendengarkan.

“Nah, kalau begitu kuperkenalkan. Dia inilah putera pangeran yang bernama Sim Tek Kun dan ini adalah isterinya, Ong Lian Hong adikku,” kata Siang Lan sambil menudingkan telunjuknya kepada Tek Kun.

Tentu saja Siauw Kim terkejut bukan main dan ia pun cepat menjura dengan hormat kapada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.

“Ah...... kiranya Paduka    ”

“Hushh, jangan menyebut Paduka kepada suamiku, Siauw Kim,” kata Lian Hong. “Bagaimanapun juga, engkau masih merupakan adik misan seperguruan dari suamiku. Engkau dan suamiku satu perguruan, sama-sama murid Kun-lun-pai, maka engkau adalah Sumoinya (Adik Perempuan seperguruan) dan suamiku adalah Suhengmu (Kakak laki-laki Seperguruanmu).”

“Ah, mana saya pantas menjadi adik seperguruan beliau    ?” bantah Siauw Kim dengan sungkan.

“Sumoi Siauw Kim, jangan bersikap begitu. Isteriku benar, bagaimanapun juga engkau adalah murid mendiang Susiok Kim-gan-liong, berarti engkau adalah Sumoiku dan aku adalah Suhengmu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar