Lembah Selaksa Bunga Jilid 08

Jilid 08

Tek Kun tersenyum. “Kalianlah yang membuat kekacauan dan kalian yang sepatutnya ditangkap dan dihukum!”

“Kalian bosan hidup!” bentak Si pemegang Tombak dan bersama seorang temannya yang bersenjatakan sebatang golok besar, dia menerjang ke depan.

“Tar-tarrrr......!!” Sinar merah melecut dan meledak-ledak di atas kepala dua orang itu, membuat mereka terkejut dan cepat melompat ke belakang. Enam orang itu segera mengepung suami isteri yang sudah siap siaga dan Lian Hong berkata kepada suaminya.

“Hemm, mari kita hajar manusia-manusia tak tahu diri ini!”

Sebelum kedua pihak saling serang, terdengar suara nyaring membentak. “Tahan !!”

Seorang yang bertubuh tinggi dan gemuk, berwajah angker dan mengenakan pakaian pembesar muncul. Melihat Pangeran Bouw Ji Kong, tujuh orang itu tampak jerih dan mereka segera mundur dan berdiri bergerombol walaupun wajah mereka masih muram dan mata mereka melotot ke arah Tek Kun dan Lian Hong.

Melihat bahwa yang hendak dikeroyok itu adalah Sim Tek Kun dan isterinya, Pangeran Bouw Ji Kong segera menghampiri.

“Aih, ternyata Sim Tek Kun dan isterinya yang akan dikeroyok! Kesalahpahaman apakah ini? Ketahuilah kalian berdua bahwa mereka ini adalah Kang-lam Jit-sian, para pengawal pribadiku.”

Sim Tek Kun memberi hormat, akan tetapi Lian Hong berkata kepada pangeran itu. “Paman Pangeran Bouw Ji Kong, mengapa Paman memelihara Kang-lam Jit-kauw (Tujuh Anjing Kang-lam) yang menjemukan ini?” Ia sengaja mengganti julukan Jit-sian (Tujuh Dewa) menjadi Jit-kauw (Tujuh Anjing).

Mendengar ucapan isterinya yang penuh ejekan ini, Sim Tek Kun segera berkata dengan nada menghormat, “Paman Pangeran, mereka agaknya telah mabok dan seorang di antara mereka mengeluarkan ucapan yang kurang ajar terhadap isteri saya yang lalu menghajarnya. Akan tetapi yang lain maju dan mereka hendak mengeroyok kami.”

Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang cerdik. Biarpun hatinya merasa panas melihat tujuh orang jagoannya dihina bahkan Gu Mo Ek, yang termuda di antara Kang-lam Jit-sian masih “menangis” karena kedua matanya pedih dan sukar dibuka, namun dia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya untuk membela para jagoannya dan menyalahkan Sim Tek Kun, putera dari pangeran Sim Liok Ong yang masih keponakannya sendiri. Dia menoleh kepada tujuh orang pembantunya itu dan berkata dengan marah.

09.26. Jebakan Lembah Ban-hwa-kok

“Kalian bertujuh memang bodoh dan bandel! Sudah kularang untuk mabok-mabokan di luar akan tetapi masih nekat dan dalam keadaan mabok membuat onar di luar. Kalian tahu siapa yang kalian hadapi ini? Dia adalah Kongcu (Tuan Muda) Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong, dan isterinya. Mereka berdua adalah pendekar-pendekar yang amat lihai! Kalian membikin malu saja! Hayo cepat kembali ke tempat kalian!”

Tujuh orang itu segera pergi seperti segerombolan anjing yang ketakutan. Gu Mo Ek yang masih memejamkan kedua matanya, dituntun oleh saudara-saudaranya.

Pangeran Bouw Ji Kong lalu menghadapi suami isteri itu. Dia menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.

“Nanda Sim Tek Kun berdua, maafkanlah para pengawalku tadi. Mereka itu orang-orang kasar dan sedang mabok. Aku akan membuat teguran keras pada mereka.”

“Tidak mengapa, Paman Pangeran. Untung isteri saya yang digoda, kalau wanita lain tentu akan ada wanita terhina. Maafkan kami.” Tek Kun lalu mengajak isterinya keluar dari rumah makan itu.

Pangeran Bouw Ji Kong berkata kepada pengurus rumah makan. “Hitung berapa jumlah semua kerugian kalian, akan kubayar semua!”

Peristiwa itu tidak berekor panjang, namun setidaknya mendatangkan perasaan saling tidak suka kepada kedua pihak. Tek Kun dan Lian Hong semakin menaruh perhatian kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu memelihara orang-orang golongan sesat dan hal ini saja sudah patut menimbulkan kecurigaan.

Tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba kuning itu menghela napas panjang. Dia duduk bersila di atas batu dan memandang kepada pemuda berpakaian sastrawan yang tampan lembut yang duduk berlutut di depannya. Pemuda itu tampak berduka, bahkan ada dua tetes air mata di atas kedua pipinya. Dia menangis tanpa suara!

Tosu itu adalah Ouw-yang Sianjin dan pemuda itu adalah Bouw Cu An.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong yang tidak setuju dengan niat ayahnya yang hendak memberontak dan telah bersekutu dengan utusan Mancu, utusan Suku Hui, dan Pek-lian-kauw, melarikan diri meninggalkan gedung ayahnya. Diam-diam dia diikuti dan dihadang oleh Hongbacu, tokoh Mancu itu yang hendak membunuhnya. Akan tetapi dia kebetulan bertemu dan ditolong Ouw-yang Sianjin, kemudian menjadi muridnya. Kepada Ouw-yang Sian-jin, Cu An menceritakan keadaan ayahnya yang hendak memberontak.

Pagi hari itu, Ouw-yang Sianjin menceritakan kepada muridnya bahwa kemarin ketika dia turun dari puncak bukit, dia bertemu dengan utusan Panglima besar Chang Ku Cing yang minta kepadanya untuk membantu panglima itu mencari para pembunuh yang mengacauan kota raja. Tosu itu memberitahu bahwa kini Cu An sudah cukup belajar ilmu dan sudah memiliki bekal yang cukup kuat. Mereka harus saling berpisah karena dia hendak memenuhi panggilan Jenderal Chang. Mendengar ini, Cu An menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan menahan tangisnya sehingga kedua pipinya basah air mata namun tangisnya tidak bersuara.

“Cu An, engkau yang memiliki semangat besar dan tahan menderita sehingga aku suka menerimamu menjadi murid, mengapa sekarang mengeluarkan air mata seperti seorang wanita cengeng? Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah, mengapa harus disesali perpisahan yang sudah semestinya terjadi?”

“Suhu, teecu sama sekali tidak sedih atau menyesali perpisahan ini, teecu tidak peduli akan penderitaan teecu sendiri, akan tetapi teecu berduka akan nasib yang mengancam Ayah teecu ”

“Apa maksudmu, Cu An?”

“Teecu sudah menceritakan kepada Suhu tentang rencana pemberontakan Ayah. Teecu hampir yakin bahwa kekacauan di kota raja itu pasti ada hubungannya dengan rencana Ayah. Sekarang Suhu hendak ke kota raja membantu Jenderal Chang menangkap pembunuh. Bagaimana teecu tidak akan merasa sedih melihat nasib buruk yang mengancam orang tua teecu, sedangkan teecu sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya? Teecu memang tidak setuju dengan perbuatan Ayah, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah orang tua teecu!”

Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk. “Hemm, lalu sekarang apa yang akan kaulakukan?”

“Teecu tidak mungkin membantu Ayah melakukan pemberontakan, akan tetapi teecu juga tidak mungkin menentang orang tua sendiri. Teecu sedih dan bingung, Suhu, mohon petunjuk Suhu apa yang harus teecu lakukan dalam keadaan seperti ini.”

“Pinto (Aku) bangga mendapat kenyataan bahwa engkau seorang anak yang berbakti kepada orang tua akan tetapi juga engkau menentang perbuatan yang sesat. Memang engkau berada dalam keadaan yang sulit dan membingungkan, Cu An. Sekarang begini saja. Pinto akan membantumu menyadarkan Pangeran Bouw Ji Kong. Kalau ternyata benar bahwa dia terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan itu, pinto akan menyadarkan kesalahannya dengan menceritakan bahwa engkau pernah hampir dibunuh oleh Hongbacu utusan dari Mancu itu.

“Dan engkau sendiri, pinto beri tugas untuk menemui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Ia adalah keponakan muridku. Sampaikan pesanku kepadanya agar ia suka pergi ke kota raja membantu pemerintah seperti yang pernah ia lakukan. Pinto juga akan menghubungi murid pinto Ong Lian Hong dan suaminya di kota raja agar membantu.”

Cu An mengenal siapa Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun yang masih merupakan saudara misannya. Akan tetapi dia tidak mengenal Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang harus dia jumpai.

“Suhu, di mana teecu dapat menemukan Hwee-thian Mo-li Nyo Siang Lan itu?”

“Pinto pernah mendengar bahwa ia kini telah menjadi ketua dari Ban-hwa-pang yang berada di puncak Bukit Selaksa Bunga (Ban-hwa-san) yang merupakan satu di antara bukit-bukit di pegunungan Lu-liang-san. Kaupergilah ke sana. Kalau ia mengetahui bahwa engkau muridku, ia pasti akan mendengarkan semua pesanku darimu.”

Demikianlah, guru dan murid itu berpisah dan mengambil jalan masing-masing. Ouw-yang Sianjin pergi ke kota raja dan Bouw Cu An pergi ke Lu-liang-san. Hati pemuda ini sudah agak lega karena gurunya berjanji untuk membujuk dan menyadarkan ayahnya agar tidak melanjutkan keinginannya untuk memberontak.

Sebetulnya, perintah Ouw-yang Sianjin agar muridnya ini pergi menemui Hwe-thian Mo-li di Lembah Selaksa Bunga hanya untuk menghibur hati pemuda itu dan untuk mencegah agar pemuda itu tidak kembali ke kota raja. Dia tahu betapa bingung hati Cu An kalau di kota raja dia melihat ayahnya masih melakukan usaha pemberontakan yang sama sekali tidak disetujuinya itu.

Setelah mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin, kini Bouw Cu An telah memiliki ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia telah dapat menghimpun tenaga sakti yang cukup kuat sehingga dia mampu melakukan perjalanan yang cepat menuju ke Pegunungan Lu-liang-san.

Sekarang dia hanya mengenakan pakaian biasa, seperti pakaian pemuda dusun. Tak seorang pun akan menyangka bahwa dia putera seorang pangeran yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja. Kulitnya pun tidak terlalu putih seperti dulu karena selama berguru dan tinggal bersama Ouw-yang Sianjin, pemuda bangsawan ini mengerjakan pencangkulan dan penanaman di kebun mereka sehingga dia sering mandi sinar matahari yang membuat kulitnya menjadi agak gelap.

Karena penampilannya yang biasa dan sederhana ini maka perjalanannya lancar dan tidak mendapatkan gangguan. Mereka yang biasa menghadang orang lewat dan melakukan perampokan juga tidak ada niat untuk merampok pemuda dusun yang kelihatan sederhana dan miskin ini!

Pada suatu siang Bouw Cu An tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san. Dari para penduduk dusun di sekitarnya, dia mendapatkan petunjuk di mana adanya bukit Selaksa Bunga. Dia lalu menuju bukit itu dan mulai pendakian. Sementara itu, matahari mulai condong ke barat dan ketika akhirnya dia tiba di lereng yang menjadi perbatasan Lembah Selaksa Bunga, cuaca mulai remang-remang.

Akan tetapi Cu An masih dapat menikmati keindahan lembah itu. Dalam cuaca remang itu dia masih dapat menyaksikan ribuan bunga beraneka bentuk dan warna memenuhi seluruh lereng dari tempat itu sampai ke puncak. Keharuman yang semerbak dan aneh karena merupakan campuran ribuan bunga itu terbawa angin dan terasa nyaman dan segar. Cu An mulai agak ragu. Kalau dia mendaki terus, tentu dia akan sampai di puncak setelah malam tiba. Sopankah berkunjung di waktu malam? Akan tetapi kalau dia berhenti di situ melewatkan malam, sungguh tidak menyenangkan karena di lereng itu dia tidak melihat adanya pohon di bawah mana dia dapat berlindung.

Kemudian dia melihat sebuah pondok seperti gubuk kecil yang dicat merah indah di lereng sebelah atas. Sebaiknya aku melewatkan malam di gubuk itu, pikirnya. Hanya naik mendaki dua lereng saja.

Mulailah dia melangkah dan mendaki naik. Ketika dia mulai memasuki daerah lembah dengan bunga-bunga di kanan kiri, dia melalui jalan setapak yang diatur rapi, dengan batu-batu yang ditata sambung- menyambung sehingga mudah dilalui dan tidak perlu mencari-cari jalan karena agaknya memang jalan itu sengaja dipasang untuk memudahkan orang naik ke puncak.

Dia melangkah dengan senang, seolah seperti sedang berjalan-jalan dalam sebuah taman yang indah. Akan tetapi tiba-tiba kakinya melanggar semacam tali melintang di jalan setapak itu. Tali itu tidak tampak karena warnanya gelap dan tiba-tiba dari kanan kiri meluncur sebatang anak panah menyerang ke arah kedua kakinya!

Cu An terkejut akan tetapi tidak percuma dia mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin. Dia sudah memiliki kepekaan, kewaspadaan dan keringanan tubuh sehingga menghadapi serangan mendadak ke arah kakinya itu, dia dapat mendengar berdesirnya dua batang anak panah dari kanan kiri itu. Cepat dia melompat tinggi ke depan sehingga terhindar dari sambaran dua batang anak panah itu.

Dia membuat pok-sai (salto) dua kali di udara dan turun agak jauh dari tempat jebakan tadi. Akan tetapi ketika kedua kakinya hinggap di atas jalan setapak itu, batu yang diinjaknya terbuka dan dia terjeblos ke dalam sebuah lubang!

Akan tetapi sekali ini Cu An sudah lebih waspada setelah tadi dia mendapat serangan anak panah. Tubuhnya memang sudah terlanjur terjeblos, akan tetapi kedua tangannya dapat menekan tanah di kiri kanan lubang dan dengan mengerahkan tenaganya dia dapat mengenjot dengan kedua tangan itu sehingga tubuhnya meloncat ke atas dan dapat hinggap di atas tanah.

Diam-diam Bouw Cu An terkejut juga. Tak disangkanya tempat seindah itu mengandung perangkap dan jebakan yang berbahaya! Dia harus berhati-hati dan semakin tetap keputusannya untuk berhenti di pondok kecil itu dan melewatkan malam di situ. Besok pagi baru dia akan melanjutkan perjalanannya. Pondok itu tidak begitu jauh dan dia mulai melangkah satu-satu dan hati-hati sekali menuju pondok.

Hatinya lega karena ternyata tidak ada lagi rintangan dan dia dapat tiba di pondok itu dengan selamat. Pondok itu kecil akan tetapi bersih, merupakan beranda tanpa dinding. Atapnya tinggi dan lantainya dari papan.

Beranda itu dicat merah dan di situ terdapat sebuah dipan dengan kasur bantal bertilam sutera kuning bersulamkan bunga-bunga merah. Dipan itu seperti menantang Cu An yang sudah kelelahan. Sungguh merupakan tempat yang nyaman sekali untuk duduk atau tidur. Letaknya di tengah ruangan beranda itu.

Dengan girang Cu An lalu memasuki beranda melalui undak-undakan (tangga), lalu melangkah menuju dipan yang menantang itu. Pondok yang bersih, dengan hiasan gambar-gambar indah di dinding, dipan yang menantang, seolah menarik Cu An dan pemuda itu lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas dipan. Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dan dia sudah tergantung dengan kedua kaki di atas!

Kiranya ketika dia duduk tadi, sehelai tali lasso telah terpasang di atas lantai dengan warna yang sama dengan lantainya sehingga tidak tampak. Kebetulan sekali kedua kaki Cu An berada di tengah lingkaran dan begitu dia duduk, lingkaran itu bergerak, mengikat kedua kakinya dan terangkat ke atas dengan kecepatan luar biasa sehingga Bouw Cu An tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu tubuhnya sudah tergantung di tengah-tengah ruangan itu. Atap itu tinggi dan kini kedua kakinya berada dekat langit-langit dan kepalanya tergantung di bawah.

Pada saat itu juga, tali itu ujungnya sudah membelit-belit tubuhnya sehingga bukan hanya kedua kakinya yang terikat, akan tetapi juga kedua lengannya yang terbelit-belit tali pada tubuhnya. Dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya dan ketika dia berusaha untuk meronta, melepaskan kedua lengan dan kakinya, ternyata tali itu kuat dan lentur sehingga sia-sia saja dia meronta. Dia tergantung seperti seekor kelelawar dengan kepala di bawah!

Setelah segala usahanya untuk melepaskan diri gagal dan merasa sama sekali tidak berdaya, Cu An tidak merasa malu-malu lagi untuk berteriak-teriak! “Heiii. Aku bukan orang jahat, melainkan tamu yang berkunjung di Lembah Selaksa Bunga! Kalau aku dianggap bersalah, maafkanlah aku, akan tetapi harap lepaskan aku lebih dulu. Tolong..... tolong......

toloooooonnnggg......!!” Akan tetapi betapa kuat pun dia berteriak-teriak, tak seorang pun tampak datang dan dia tetap saja tergantung-gantung di tengah ruangan itu.

Akhirnya dia mengerti bahwa, entah ada yang mendengar ataukah tidak, tidak akan ada orang menolongnya malam itu dan Cu An tidak mau berteriak-teriak lagi. Dia menenangkan hatinya dan dia malah melakukan siu-lian (samadhi) dalam keadaan jungkir balik.

Keadaan seperti ini memang bukan asing baginya. Oleh gurunya, Ouw-yang Sianjin, dia pernah dilatih melakukan samadhi dengan cara tubuh tergantung jungkir balik seperti ini. Maka dia kini juga melakukan samadhi jungkir balik, walaupun sekali ini dia melakukannya dalam keadaan terpaksa!

Setelah dia tergantung jungkir balik dalam keadaan samadhi, dia tidak menderita lagi, bahkan dapat beristirahat. Malam itu lewat tanpa terjadi sesuatu.

Pada keesokan harinya, Cu An yang berada dalam keadaan samadhi seperti orang tidur nyenyak, terbangun oleh suara burung-burung berkicau di sekeliling pondok. Dalam keadaan jungkir balik itu dia membuka matanya dan melihat keindahan luar biasa di luar pondok.

Sinar matahari muda yang hangat dan masih lemah keemasan menghidupkan segala sesuatu di sekitar situ. Bunga-bunga bermekaran, dan kupu-kupu beraneka warna dan macam beterbangan di atas bunga- bunga. Mereka itu seperti menari-nari dengan riang gembira, hinggap dari satu kembang ke lain kembang, bermandikan cahaya matahari pagi dan memilih madu di antara bunga-bunga.

Betapa bahagianya kupu-kupu itu, begitu indah menciptakan pemandangan yang luar biasa, indah tanpa suara. Pencipta keindahan suara adalah burung-burung yang sukar ditangkap pandang mata karena mereka lebih suka bersembunyi di pohon-pohon, akan tetapi kicauan mereka merupakan musik yang merdu, sambung-menyambung dan mengandung kegembiraan yang membuat suasana menjadi riang gembira.

Bouw Cu An, dalam keadaan tergantung jungkir balik, merasa betapa seluruh dirinya seolah berada dalam kebahagiaan yang luar biasa, bukan kesenangan akan sesuatu, melainkan perasaan kebahagiaan yang menyeluruh, terasa oleh semua inderanya! Semua inderanya merasakan berkat yang berlimpahan.

Melalui matanya dia dapat menikmati pemandangan indah, kecerahan sinar matahari keemasan bunga- bunga beraneka warna dan bentuk, mekar berseri dengan kupu-kupu beterbangan di atasnya. Melalui hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga, daun-daun, rumput dan tanah yang sedap menyegarkan, menggugah semangat dan gairah hidup.

Melalui telinganya dia dapat menikmati suara musik kicau burung-burung di antara desau angin mempermainkan daun-daunan menyeling gemercik air terjun yang berada tidak jauh dari pondok. Suara merdu dan indah itu membuat sukma terasa melayang-layang!

Dan semua itu seolah dihidangkan kepadanya dengan cuma-cuma dan lengkap. Perasaan hati pemuda itu berbahagia dan bersyukur sehingga dia memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih.

Suara wanita membuat dia sadar dari lamunannya dan menyeretnya kembali ke alam kenyataan. Betapa pahitnya kenyataannya! Dia masih tergantung seperti seekor kelelawar, ah bukan, keadaannya mengingatkan dia akan ikan-ikan besar yang setelah digarami oleh para nelayan lalu diikat ekornya dan digantung dengan kepala di bawah agar menjadi ikan asin!

Sialan! Dia tidak berteriak lagi karena empat orang wanita yang berjalan di luar itu kini menghampiri pondok. Mereka mengenakan pakaian berpotongan sederhana namun berkembang-kembang sehingga seperti pot bunga berjalan. Usia mereka antara duapuluh lima dan tigapuluh tahun dan wajah mereka lumayan cantik. Akan tetapi sikap mereka gagah, atau galak?

Benar saja dugaan dan harapannya. Empat orang wanita itu memasuki pondok dan kini mereka berada di bawah mengelilingi Cu An sambil menengadah mengamati pemuda yang tergantung dengan kepala di bawah itu seperti orang-orang mengamati seekor binatang aneh yang tertangkap jebakan yang memang banyak dipasang di daerah kekuasaan Lembah Selaksa Bunga yang kini diketuai Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.

Tentu saja sejak pemuda itu mendaki Ban-hwa-kok, para anggauta Ban-hwa-pang sebanyak kurang lebih limapuluh orang wanita telah mengetahui dan diam-diam mengikuti gerak-geriknya. Para anggauta Ban- hwa-pang itu tentu saja kagum melihat betapa pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri dari jebakan anak panah dan lubang. Agaknya pemuda itu sudah lelah sekali maka dengan mudah dia dapat terjebak ketika hendak tidur.

Karena pada waktu itu, Sang Ketua, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan tidak berada di Ban-hwa-kok, maka yang bertugas sebagai pengganti pimpinan adalah Kui Li Ai, dibantu oleh Bwe Kiok Hwa, yang dianggap murid pertama di antara para anggauta Ban-hwa-pang.

Melihat empat orang wanita itu kini hanya menonton dia sambil bicara lirih dan tertawa cekikikan dengan suara tertahan, Cu An merasa mendongkol sekali. Sialan! Gadis-gadis ini menjebaknya, semalam suntuk membiarkan dia tergantung seperti ikan asin dijemur, dan sekarang mereka datang menonton seperti nonton seekor binatang hutan yang terjebak sambil cekikikan! Akan tetapi pemuda yang cerdik itu maklum bahwa kalau dia hanya menurutkan nafsu amarahnya, hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan.

Semalam dia sudah membolak-balik pikirannya dan dia sudah mempertimbangkan dan mengakui bahwa sesungguhnya pihaknyalah yang bersalah. Dia telah memasuki daerah orang, telah melanggar dan memasuki Lembah Selaksa Bunga tanpa ijin lebih dulu. Bisa saja dia dianggap maling karena para penghuni lembah itu tidak mengenalnya.

“Enci-enci yang baik, harap lepaskan jala ini dan turunkan aku. Ketahuilah aku bukan orang jahat, bukan maling bukan rampok. Aku ini datang sebagai tamu dan hendak bertemu dengan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Tolong lepaskan aku!”

Empat orang anggauta Ban-hwa-pang itu saling pandang, tidak berani mengambil keputusan. Mereka semalam memang bertugas jaga di bagian ini dan setelah melihat ada seorang pemuda berani memasuki daerah mereka, mereka segera siap dengan jebakan mereka dalam pondok itu.

Setelah berhasil menjebak dan menangkap pemuda itu mereka pun mendiamkannya saja, dengan maksud menghukum pelanggar itu sesuai dengan ketentuan dan tugas mereka. Kini mendengar pemuda itu datang sebagai tamu, tentu saja mereka merasa khawatir dan untuk membela diri seorang dari mereka membantah.

“Tidak ada tamu datang berkeliaran di sini pada malam hari. Kalau engkau seorang tamu, mengapa tidak datang pada siang hari secara berterang? Kami tidak dapat membebaskanmu, harus menanti datangnya pimpinan kami.” Kata-kata ini disusul tawa mereka dan keempatnya kini duduk di atas bangku dan tidak lagi mempedulikan Cu An.

09.27. Di Sini Terpasang Banyak Jebakan!

Cu An semakin mendongkol. Dia seorang pemuda yang mempelajari kesusastraan dan bahkan pandai pula membuat sajak yang dinyanyikannya dengan suara yang cukup merdu. Melihat sikap empat orang wanita itu, dia pun lalu merangkai sajak dan dinyanyikannya dengan suara lantang.

Nyanyian itu isinya menyindir empat orang wanita yang mula-mula mendengarkan dengan gembira dan merasa lucu, akan tetapi akhirnya wajah mereka berubah merah setelah mengerti isi nyanyian.

“Wanita itu bagaikan bunga.

Keindahan bunga adalah kecantikannya, keharuman bunga adalah sifatnya, kehalusan bunga adalah wataknya.

Sayang empat tangkai bunga di lembah ini, cantiknya sih cantik,

akan tetapi sifatnya sama sekali tidak harum, dan wataknya tidak lembut.

Bodoh-bodoh lagi,

tidak mengenal bahwa yang mereka jebak adalah seorang pangeran dan

seorang adik seperguruan dari Hwe-thian Mo-li sendiri!

Aih, jangan-jangan tempat yang dikenal sebagai Ban-hwa-kok ini

hanya dipenuhi bunga-bunga seperti itu!”

Empat orang itu merasa tersindir, akan tetapi diam-diam mereka juga terkejut dan heran mendengar bahwa pemuda itu seorang pangeran, bahkan masih sute (adik seperguruan) dari Hwe-thian Mo-li! Mereka merasa tegang dan khawatir. Tentu saja mereka tidak perlu percaya akan obrolan pemuda itu, akan tetapi bagaimana kalau ucapannya itu sungguh-sungguh?

Kalau dia seorang pangeran masih belum berapa hebat, akan tetapi bagaimana kalau dia itu benar-benar sute dari Hwe-thian Mo-li ketua mereka? Biarpun ketua mereka tidak jahat, namun keras hati dan mereka bisa dihukum berat kalau menjebak dan menangkap seorang sutenya.

Tiba-tiba masuk dua orang wanita ke dalam ruangan itu. Yang seorang adalah seorang gadis muda berusia sekitar sembilanbelas tahun, berkulit putih mulus, tinggi ramping berwajah manis sekali, sepasang matanya lebar dan wajahnya berbentuk bulat. Gadis ini bukan lain adalah Kui Li Ai yang kini menjadi murid dan juga mewakili Hwe-thian Mo-li memimpin anak buah di Lembah Selaksa Bunga.

Adapun wanita kedua adalah Bwe Kiok Hwa, berusia sekitar tigapuluh tahun lebih yang juga berwajah cukup cantik dan bersikap keras. Ialah murid pertama dan anggauta yang diberi kekuasaan untuk mengepalai para murid dan agaknya kedudukannya ini yang membuat Bwe Kiok Hwa memiliki sikap yang agak kaku dan keras, memegang teguh peraturan sehingga ia ditakuti para anggauta lainnya.

Begitu tiba di situ, Kui Li Ai menatap wajah Cu An yang tergantung membalik itu. Dua pasang mata bertemu dan mata Cu An terbelalak kagum.

“Nona manis yang cantik jelita, kasihanilah aku yang tidak berdosa, disiksa seperti ini selama semalam suntuk oleh bunga-bunga yang baunya tidak enak ini,” katanya.

Tentu saja Li Ai menjadi bingung. “Apa maksudmu bunga-bunga yang baunya tidak enak?” bentaknya. “Gadis-gadis cantik ini seperti bunga akan tetapi sikap mereka sungguh tidak enak,” kata Cu An.

“Enci Bwe Kiok Hwa, bebaskan dia dari jala!” Kui Li Ai berkata kepada Bwe Kiok Hwa.

“Akan tetapi, Kui Siocia (Nona Kui), orang ini telah melanggar wilayah kita dan sudah sepatutnya dia dihukum. Biarkan dia tergantung di sana menunggu sampai pang-cu pulang dan memberi keputusan apa yang harus kita lakukan kepadanya!”

“Wah, bunga yang ini baunya malah lebih busuk lagi!” kata Cu An dengan hati mendongkol. “Baik, kita sama lihat saja apa yang akan dikatakan Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan kalau ia pulang dan melihat sutenya disiksa seperti ini!”

Mendengar ini, Kui Li Ai berkata lagi, kini lebih tegas memerintah kepada Bwe Kiok Hwa. “Enci Bwe, cepat bebaskan dia, biar aku yang bertanggungjawab terhadap Enci Siang Lan!”

Mendengar ucapan dan melihat sikap Li Ai yang bersungguh-sungguh, Bwe Kiok Hwa tidak berani membantah lagi, hanya mengomel kepada diri sendiri. “Hemm, laki-laki tidak sepatutnya diberi hati ” Dan

ia lalu melompat dan sekali ia menggerakkan pedangnya, tali jala itu putus dan tubuh Cu An jatuh ke bawah.

Biarpun berada dalam lipatan dan belitan tali jala, akan tetapi ketika tubuhnya terjatuh ke bawah Cu An dapat bergerak jungkir balik sehingga dapat hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya lebih dulu. Cepat dia bergerak membuka libatan jala dan tali dan setelah membuang jala itu ke sudut ruangan, kini dia berdiri berhadapan dengan enam orang wanita itu.

Hanya sekelebatan saja dia memandang Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata Kui Li Ai, dia tertegun dan terpesona. Tadi memang dia sudah tertarik sekali ketika pandang matanya bertemu dengan wajah gadis remaja yang memerintahkan agar dia dibebaskan. Akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika kepalanya tergantung ke bawah sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas. Kini, setelah mereka berdua berdiri berhadapan barulah dia tertegun dan sekali gus terpesona.

Bouw Cu An adalah putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong. Sebagai seorang putera pangeran keponakan kaisar, pemuda bangsawan yang sastrawan dan telah digembleng ilmu silat pula oleh Ouw-yang Sianjin, sudah barang tentu Cu An tidak asing dengan puteri-puteri bangsawan yang anggun dan cantik, yang lebih pandai dan lebih banyak waktu untuk merawat dan mempercantik diri dibandingkan para gadis biasa yang lebih banyak harus bekerja.

Biarpun selama ini dia tekun mempelajari Bun (Sastra) dan sedikit Bu (Silat) kemudian selama setahun digembleng dengan keras dalam ilmu silat oleh Ouw-yang Sianjin sehingga dia tidak banyak bergaul dengan para gadis bangsawan, namun dia banyak sudah melihat gadis bangsawan yang cantik. Akan tetapi sekali ini, begitu berhadapan dengan Kui Li Ai yang berpakaian baju berkembang-kembang dengan potongan sederhana, ia terpesona sampai hanya membuka mata dan mulut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

Di lain pihak, Kui Li Ai juga tertegun. Tak disangkanya bahwa “laki-laki kurang ajar” seperti yang dilaporkan anak buah Ban-hwa-pang, yang katanya malam-malam naik ke lembah seperti maling yang tertawan, setelah kini berhadapan dengannya, adalah seorang pemuda yang masih muda, berpakaian bersih namun tidak terlalu mewah, lembut dan ramah, wajahnya tampan, bentuk tubuhnya tegap sedang, sepasang matanya jernih agak lebar dan sepasang mata dan senyumnya menunjukkan kelembutan hatinya.

Sebagai seorang puteri panglima yang sejak kecil hidup di kota raja dan banyak bertemu dengan orang- orang bangsawan, sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pemuda bangsawan. Dan tadi dia mendengar sendiri pemuda itu mengaku putera seorang pangeran atau bahkan seorang pangeran seperti yang ia dengar laporan anak buah yang simpang-siur.

“Hemm, sobat, kalau benar engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapa engkau malam- malam mencoba untuk menyusup ke lembah kami? Siapakah engkau dan apa artinya semua pengakuanmu tadi, terutama bahwa engkau adik seperguruan ketua kami Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan? Sobat, jangan kau main-main dengan kami! Ketahuilah bahwa lembah kami Ban-hwa-kok merupakan tempat terlarang bagi kaum pria dan apa yang telah kaulakukan ini merupakan sebuah pelanggaran besar!”

Melihat sikap yang anggun berwibawa namun tidak kasar, dan mendengar ucapan yang teratur, bukan seperti ucapan para anggauta Ban-hwa-pang tadi yang kasar, Cu An tidak berani main-main dan ada perasaan heran dalam hatinya. Yang dia tahu dari cerita orang-orang, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu saja bersikap tegas dan kasar, dan terbukti tadi ucapan para gadis yang menjadi anak buahnya juga kasar.

Akan tetapi mengapa gadis ini memiliki sikap yang demikian lembut, dan ucapannya terdengar teratur seperti seorang gadis berpendidikan? Dia lalu cepat mengangkat kedua tangan depan dada, menjura dengan hormat.

“Harap maafkan aku, Nona. Sesungguhnya aku sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Ban-hwa- pang. Namaku adalah Bouw Cu An dan aku tidak berbohong ketika memperkenalkan diri sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang kini menjadi penasihat Pamanda Kaisar Wan Li di kota raja. Juga aku tidak berbohong ketika mengaku sebagai sute (adik seperguruan) dari Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan karena aku menjadi murid Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjadi sute dari mendiang Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, guru Suci Nyo Siang Lan. Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Suci Nyo Siang Lan, akan tetapi hubungan itu membuat aku menjadi sutenya, bukan?”

Mendengar penjelasan yang rinci itu, Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang menjadi terkejut sekali dan tanpa dapat dicegah lagi wajah mereka menjadi pucat dan mereka segera memberi hormat kepada pemuda itu dan Bwe Kiok Hwa berkata dengan sikap hormat.

“Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), harap engkau suka maafkan kami, karena kami tidak mengenal Kongcu dan menganggap Kongcu seorang pelanggar daerah kami dan...... dan kami tadi tidak percaya kepada

Kongcu lalu bersikap kasar.”

Bouw Cu An tersenyum dengan tulus. “Wah, sikap kalian mengakui kesalahan ini saja sudah cukup membuka mataku bahwa kalian adalah para anggauta perkumpulan yang ditangani pemimpin yang baik. Tentu saja aku melupakan peristiwa semalam dan sekarang aku bisa mengatakan bahwa bunga-bunga di lembah ini memang indah dan harum!”

Mendengar ini, wajah pucat lima orang wanita itu berubah kemerahan dan bibir mereka berlumba senyum manis!

Li Ai juga senang mendengar ucapan Cu An dan tidak keliru dugaannya bahwa pemuda ini bukan orang jahat maka tadi memerintahkan untuk membebaskannya. Ia membalas penghormatan Cu An dan berkata.

“Bouw Kongcu, kalau begitu, engkau bukanlah orang lain, melainkan seorang tamu terhormat. Aku bernama Kui Li Ai, dan mari kita menuju perkampungan kami di atas, di mana kita dapat bicara dengan leluasa.”

Li Ai lalu mendahului pemuda itu berlari ke arah puncak dan agaknya ia sengaja hendak menguji kepandaian Cu An dengan menggunakan keringanan tubuhnya berlari cepat melalui berbagai rintangan dan jebakan.

“Hati-hati, Bouw Kongcu, di sini memang dipasangi banyak jebakan,” katanya. Cu An mengerti dan melihat gerakan ringan itu dia pun mengerahkan gin-kang agar selalu dapat menginjak bekas injakan gadis itu dan tidak sampai terperangkap.

“Baiklah, Kui Siocia!” katanya.

Lima orang wanita tadi memandang kagum, kemudian empat orang kembali ke tempat penjagaan masing- masing menanti rekan-rekan yang akan menggantikan mereka. Bwe Kiok Hwa mengikuti Li Ai dan Cu An naik ke puncak di mana perkampungan Ban-hwa-pang berada.

Setelah tiba di rumah induk, Cu An dipersilakan duduk di ruangan tamu, akan tetapi sebelum pihak nona rumah mengajaknya bicara, dengan sikap ramah Li Ai berkata.

“Bouw Kongcu, mengingat bahwa semalam engkau tidak tidur dan berada di dalam keadaan yang tidak menyenangkan, kami persilakan kongcu untuk mandi dulu dan berganti pakaian. Kemudian kita sarapan, baru kita akan bicara tentang maksud kunjunganmu ini. Bagaimana pendapatmu, Kongcu?”

Bouw Cu An tersenyum, hatinya senang. Nona rumah ini ternyata penuh perhatian terhadap tamunya, ramah dan hormat.

Sebetulnya, tanpa mengaso atau mandi juga dia merasa segar karena semalam, biarpun digantung jungkir balik, dia bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya dan dia dapat mengaso dengan baik. Hanya saja, tentu dia akan tampak lebih bersih dan “ganteng” kalau diberi kesempatan mandi, menyisir rambut membereskan kuncirnya yang panjang dan tebal, berganti pakaian bersih.

Dan berhadapan untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis seperti Kui Li Ai yang sepagi itu sudah mandi segar dan berdandan rapi, memang perlu sekali dia mempertampan dirinya! Maka dengan girang dia lalu menuju ke kamar mandi sambil membawa buntalan pakaiannya, ditunjukkan oleh seorang anggauta Ban- hwa-pang yang sejak tadi mengikuti mereka, yaitu Bwe Kiok Hwa sendiri.

Tak lama kemudian, Cu An sudah duduk berhadapan dengan Li Ai di ruangan makan, menghadapi meja makan di mana telah dihidangkan sarapan pagi yang cukup lengkap dan masih mengepulkan uap yang sedap dan menimbulkan selera. Tidak ada anggauta Ban-hwa-pang yang berada dalam ruangan makan itu untuk melayani.

Sejak berada di situ memang Li Ai menghapuskan cara-cara bangsawan di mana kalau majikan makan harus ada pelayan yang berada di ruangan itu untuk melayani. Ia sendiri yang menuangkan air teh ke dalam cawan di depan Cu An. Mereka makan sarapan dengan santai sambil bercakap-cakap.

“Maaf, Nona. Aku datang berkunjung untuk menghadap Ketua Ban-hwa-pang, yaitu Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi mengapa ia belum juga datang menemuiku? Apakah engkau ini ”

Li Ai tersenyum dan menggerakkan tangan menyangkal. “Aih, bukan. Aku adalah Kui Li Ai, seorang......

sahabatnya, juga adik angkat dan muridnya. Enci Siang Lan pada saat ini tidak berada di sini, sedang keluar, Kongcu.”

“Wah, ia tidak ada? Kalau begitu sia-sia saja aku datang jauh-jauh mencarinya di sini!”

Mereka selesai makan lalu Li Ai mengajak tamunya duduk kembali di ruangan tamu, meninggalkan meja yang akan dibersihkan para anggauta Ban-hwa-pang. Setelah mereka duduk berhadapan di ruangan tamu, Li Ai bertanya.

“Kongcu, selama Enci Siang Lan tidak berada di sini, yang berwajib menggantikannya adalah aku sendiri, dibantu Enci Bwe Kiok Hwa tadi. Nah, sekarang engkau boleh saja menyampaikan keperluanmu itu kepadaku, siapa tahu kami di sini dapat membantumu atau kelak kalau Enci Siang Lan pulang aku dapat menyampaikan apa yang kaupesan.”

“Terima kasih, Nona. Engkau baik sekali. Sesungguhnya aku menerima perintah Suhu Ouw-yang Sianjin, yaitu Susiok (Paman Guru) dari Suci Nyo Siang Lan untuk mencari dan menemui Suci di sini. Menurut perintah Suhu, Enci Nyo Siang Lan diminta agar suka membantu Jenderal Chang Ku Cing dalam tugasnya menyelidiki dan menangkap pelaku pembunuhan enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar. Aku disuruh mohon kepada Enci Siang Lan agar ia suka pergi ke kota raja dan membantu Jenderal Chang.

“Sore tadi, ketika tiba di kaki Ban-hwa-san, aku bingung akan tetapi mengambil keputusan untuk mencoba naik karena aku ingin segera menghadap Hwe-thian Mo-li. Siapa tahu, perangkap di sini lihai sekali sehingga aku terjebak.” “Ah, kalau saja aku mendengar teriakan dan pengakuanmu tentang dirimu, tentu aku dapat mencegah terjadinya peristiwa itu. Sekarang enci Nyo Siang Lan tidak berada di sini, akan tetapi tugasmu memanggil Enci Siang Lan membantu pemerintah untuk menangkap pembunuh para pembesar itu bahkan terlambat, Bouw Kongcu. Ketahuilah bahwa Enci Siang Lan sudah pergi ke Kota raja untuk keperluan yang sama. Ada seorang murid Siauw-lim-pai bernama Chang Hong Bu yang datang ke sini dan dia juga disuruh oleh pemerintah untuk mengundang enci Siang Lan membantu pemerintah menghadapi para pemberontak dan pembunuh.”

“Ah, begitukah? Bagus kalau begitu. Aku tinggal memberitahu Suhu bahwa Suci Nyo Siang Lan sudah pergi ke kota raja.”

“Bouw Kongcu, apakah engkau juga merupakan pembantu dari Jenderal Chang Ku Cing?” pertanyaan ini diajukan oleh gadis itu yang tiba-tiba suaranya menjadi tidak manis.

Bouw Cu An dapat menangkap suara yang kering keras ini. Dia menggelengkan kepalanya. “Bukan, Nona. Aku bukan pembantunya atau pembantu siapa pun kecuali membantu Suhu Ouw-yang Sianjin.”

“Akan tetapi engkau tentu mengenal Jenderal Chang Ku Cing itu, bukan?”

“Tentu saja, siapa tidak mengenalnya? Akan tetapi aku tidak mempunyai hubungan dengan dia, aku bahkan tidak pernah berhubungan dengan orang-orang di kalangan bangsawan kota raja.”

“Akan tetapi sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang berkedudukan tinggi, engkau tentu memiliki hubungan yang luas. Aku merasa heran mengapa ketika aku masih berada di kota raja tinggal di rumah ayahku, aku tidak pernah mendengar tentang dirimu. Maaf, Bouw Kongcu, terus terang saja, setahun lebih yang lalu aku tinggal di kota raja dan banyak melihat para pemuda dan gadis bangsawan, akan tetapi aku tidak pernah bertemu denganmu.”

Bouw Cu An tertawa. “Ha, memang aku lebih suka bersembunyi dalam kamar untuk belajar sastra atau silat, hampir tidak pernah ikut Ayah dalam pesta-pesta pertemuan sehingga jarang mengenal orang-orang muda di kalangan bangsawan terutama para gadisnya. Nona, aku melihat bahwa engkau seorang gadis yang terpelajar dan sikap serta budi bahasamu menunjukkan bahwa engkau seorang gadis bangsawan pula. Salahkah dugaanku bahwa engkau juga merupakan puteri seorang pejabat tinggi, seorang bangsawan?”

Li Ai menundukkan mukanya. Kesedihan besar menyelimuti perasaannya karena pertanyaan pemuda itu mendatangkan semua kenangan pahit dalam hidupnya. Akan tetapi, pemuda ini sudah dengan terbuka memperkenalkan dirinya, bagaimana ia dapat tidak menceritakan keadaan dirinya. Pemuda ini tampak demikian sopan, jujur dan sejak pertemuan pertama telah membangkitkan rasa suka dalam hatinya, membuat ia tertarik sekali.

“Bouw Kongcu, aku hanya anak seorang perwira yang telah tewas setahun lebih yang lalu. Beliau adalah mendiang Perwira Kui

“Ahh......!” Cu An bangkit berdiri dengan kaget. “Maksudmu...... Kui Ciang-kun, perwira tinggi pembantu Jenderal Chang Ku Cing yang...... kabarnya...... maaf membunuh diri di depan Jenderal Chang itu?”

Li Ai menghela napas panjang, tidak merasa heran karena tentu saja peristiwa pembunuhan diri ayahnya itu telah tersebar luas di seluruh kota raja, bahkan mungkin di seluruh negeri. Menjadi kewajibannyalah untuk membela nama ayahnya!

“Benar sekali, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengerti, apa sebabnya Ayahku sampai membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing?”

10.28. Mengapa Tergesa-Gesa, Masih Pagi?

Cu An merasa kasihan sekali dan dia tidak tega untuk menjawab bahwa dia mendengar akan aib yang menimpa keluarga gadis itu. Dia hanya mengangguk sambil menundukkan pandang matanya, tidak tega menentang pandang mata yang penuh kesedihan itu.

“Ya, kurasa semua orang mengetahui apa yang menyebabkan Ayahku membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing. Benar sekali, Ayah membunuh diri karena merasa telah berbuat salah melanggar hukum, yaitu ayah telah membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan ketika orang-orang Pek- lian-kauw memberontak dan menyerbu kota raja. Memang Ayahku telah melakukan kesalahan besar itu, akan tetapi sekarang aku bertanya kepadamu, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengetahui mengapa ayah yang terkenal setia kepada Kaisar melakukan hal itu? Mengapa Ayahku membebaskan tiga orang tawanan penting itu?”

Cu An yang merasa iba sekali kepada Li Ai, menggelengkan kepala karena dia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan ini. Baru sekarang dia teringat bahwa seorang perwira tinggi yang setia seperti Kui Ciang-kun sampai melakukan perbuatan yang demikian besar kesalahannya, pasti juga mempunyai alasan yang amat memaksanya.

Apakah dia memang seorang pengkhianat yang berpihak kepada Pek-lian-kauw? Rasanya tidak mungkin!

Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan Perwira Kui itu masih ada hubungan persekutuan dengan ayahnya sendiri yang dia tahu juga mengusahakan pemberontakan yang amat tidak disetujuinya! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan jalan pikirannya ini dan seperti tadi ketika menjawab “ya” dia hanya mengangguk, kini untuk menjawab “tidak” dia pun hanya menggeleng sambil kini menatap wajah gadis itu.

Dia terkejut karena melihat perubahan hebat pada wajah yang jelita itu. Kalau tadi sebelum membicarakan hal ayahnya wajah Li Ai segar dan ceria seperti seekor bunga yang sedang mekar, kini wajah itu seperti bunga yang mulai layu! Pucat dan matanya kehilangan sinar gairah hidup!

“Benar dugaanku, mungkin jarang ada orang mengetahui alasan Ayahku melepaskan tiga orang tawanan itu. Akan tetapi engkau boleh mengetahui, Bouw Kongcu. Terserah engkau mau percaya atau akan menganggap alasan ini hanya dicari-cari untuk membela Ayahku saja.

“Ketahuilah bahwa dalam pembasmian dan penangkapan para pemberontak Pek-lian-kauw itu, yang berjasa besar adalah mendiang Ayahku yang dibantu oleh banyak pendekar, di antaranya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Nah, pada suatu hari, seorang tokoh besar Pek-lian-kauw berhasil menculik diriku. Aku dijadikan sandera, dan mereka lalu mengirim pesan kepada mendiang Ayahku agar Ayah suka membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang ditangkap dan dipenjara itu. Kalau Ayah tidak melaksanakan permintaan itu, aku akan dibunuh mereka.

“Bouw Kongcu, Ayah hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu aku, maka mendapatkan surat itu, dia lalu nekat dan membebaskan tiga orang tawanan itu. Kemudian Jenderal Chang Ku Cing dan pasukannya datang kepada Ayah setelah mendengar bahwa Ayah membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan menuduh Ayah berkhianat.

“Ayah sudah memberitahu alasannya membebaskan para pimpinan Pek-lian-kauw demi menyelamatkan aku, akan tetapi Ayah tidak menyangkal kesalahannya dan untuk menebus kesalahannya, Ayah lalu membunuh diri di depan kaki Jenderal Chang Ku Cing! Nah, Bouw Kongcu, demikianlah kejadiannya, terserah engkau percaya ataukah tidak.”

Li Ai menghentikan ceritanya dan setelah menceritakan hal itu, hatinya terasa agak lega seperti telah memuntahkan sesuatu yang tidak enak dari dalam perutnya.

Bouw Cu An percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Dia pun mendengar bahwa mendiang Kui Ciang-kun adalah seorang perwira tinggi yang gagah perkasa dan amat setia kepada pemerintah. Bahkan dia yang memimpin pasukan sehingga berhasil membasmi para pemberontak Pek-lian-kauw dan menangkap para pemimpinnya. Maka mustahil kiranya kalau kemudian dia malah nekat meloloskan mereka dengan terang- terangan sehingga semua orang mengetahui bahwa dia yang melepaskan mereka! Perbuatan itu pasti memiliki alasan yang kuat, dan alasan apa yang lebih kuat daripada melihat puterinya diculik orang Pek- lian-kauw?

“Aku percaya sepenuhnya kepadamu, Nona, dan sungguh sengsara sekali nasibmu, kehilangan ayah yang bijaksana seperti itu. Akan tetapi, maafkan pertanyaanku ini, Nona, akan tetapi mengapa engkau sekarang berada di sini, menjadi murid Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, tidak berada di rumah tempat tinggal mendiang Ayahmu?”

Li Ai hampir menangis mendengar pertanyaan ini karena ia teringat akan nasib dirinya yang menjadi korban perkosaan dan akan sikap ibu tirinya. Tidak mungkin ia menceritakan aib yang menimpa dirinya. Satu- satunya manusia di dunia ini yang mengetahui akan nasibnya itu hanyalah Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menjawab.

“Ayah telah meninggal dan aku sudah tidak mempunyai ibu kandung sejak kecil. Ibu tiriku membenciku dan bahkan menyalahkan aku karena kematian Ayahku adalah untuk membela diriku. Maka aku lalu ikut Enci Siang Lan dan hidup bersamanya di sini.” “Aduh, sungguh buruk nasibmu, Nona, sungguh mengenaskan. Aku ikut merasa prihatin, Kui Siocia    ”

kata Bouw Cu An dengan suara mengandung keharuan. Puteri seorang perwira tinggi yang terkenal, kiranya sekarang hidup seorang diri di pegunungan seperti ini!

Li Ai memaksa diri tersenyum dan menghela napas panjang.

“Aih, Bouw Kongcu, jangan mengembalikan perasaan iba diri yang sudah lama berhasil kuusir keluar dari ingatanku. Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Kongcu? Engkau adalah putera seorang pangeran, mengapa engkau bersusah payah menjadi murid Locianpwe Ouw-yang Sianjin dan tidak memegang kedudukan tinggi di pemerintahan? Malah engkau sekarang agaknya hidup sebagai seorang pemuda kang-ouw?!”

Pertanyaan ini juga mendatangkan pesaan sedih dalam hati pemuda itu. Bagaimana mungkin dia dapat mengaku bahwa ayahnya adalah seorang pengkhianat, seorang yang merencanakan pemberontakan terhadap Kaisar? Bahkan dia hampir saja dibunuh oleh para tokoh yang menjadi sekutu ayahnya sendiri untuk memberontak? Kalau tidak diselamatkan Ouw-yang Sianjin, dia tentu telah tewas di tangan Hongbacu, tokoh bangsa Mancu yang bersekongkol dengan Ayahnya itu.

“Ah, aku tidak suka menjadi seorang pembesar, Nona. Kulihat di kota raja selalu berada dalam keadaan kacau, terjadi pemberontakan dan perebutan kekuasaan. Saling jegal, saling fitnah, menjatuhkan lawan masing-masing yang dianggap menghalangi kehendaknya memperoleh kedudukan lebih tinggi. Persaingan yang tidak sehat. Aku melihat hal-hal yang kotor di antara para pejabat tinggi yang hanya mementingkan diri sendiri dengan cara melakukan korupsi, pemerasan, kecurangan dan lain-lain. Aku merasa muak maka aku lebih senang meninggalkan kota raja dan hidup dengan tenang tenteram mempelajari ilmu ikut Suhu Ouw- yang Sianjin.”

Li Ai menghela napas panjang dan perasaan sukanya kepada pemuda itu bertambah. Bouw Cu An ini tidak seperti para pemuda bangsawan yang pernah dia jumpai dan kenal di kota raja. Sama sekali berbeda!

“Aih, memang sukar dipercaya kalau kita ceritakan kepada orang lain, Bouw Kongcu. Semua orang tentu akan menganggap bahwa kehidupan seorang anggauta keluarga para bangsawan yang berpangkat tinggi dan kaya raya di kotaraja pasti enak dan menyenangkan. Akan tetapi apa yang telah kita alami? Kepahitan dan ketidak-tenteraman, sungguh menyedihkan.”

Dua orang muda itu saling tertarik, bahkan mungkin saja mereka itu telah jatuh cinta pada pertemuan pertama ini. Akan tetapi diam-diam keduanya merasa tidak berharga bagi yang lain. Bouw Cu An merasa tidak berharga untuk menjadi pasangan Li Ai mengingat bahwa kalau Li Ai puteri seorang perwira tinggi yang jelas amat setia kepada negara dan sudah banyak dan besar jasanya, maka sebaliknya dia adalah putera seorang pangeran yang hendak mengkhianati dan memberontak kepada pemerintah!

Sebaliknya, Li Ai sendiri juga merasa tidak pantas menjadi pasangan Cu An mengingat bahwa kalau Cu An putera seorang pangeran, bahkan masih keponakan kaisar, ia sendiri hanya puteri seorang perwira yang dianggap pengkhianat dan dirinya sendiri telah ternoda, bukan perawan lagi! Hampir saja ia tidak dapat menahan runtuhnya air matanya ketika ia ingat akan hal ini.

Pada saat itu, tiba-tiba Bwe Kiok Hwa memasuki ruangan tamu itu dengan muka pucat dan suaranya terdengar gemetar.

“Nona, celaka, Nona! Dari bagian utara datang segerombolan orang bekas anak buah Ban-hwa-pang yang lama menyerbu dan mereka sudah membakar tanaman di sana dan merobohkan beberapa orang anak buah! Tentu orang ini yang menjadi mata-mata mereka!” Bwe Kiok Hwa dengan marah lalu menerjang Cu An dengan pedangnya!

Tentu saja Cu An cepat mengelak dan dari samping dia menendang lutut kiri Bwe Kiok Hwa. Hampir saja tendangannya mengenai sasaran, akan tetapi Bwe Kiok Hwa yang sudah memperoleh latihan yang lumayan dari Hwe-thian Mo-li dapat melompat ke belakang walaupun tubuhnya terhuyung. Sebelum ia nekat menyerang lagi, Li Ai sudah membentaknya.

“Enci Bwe, hentikan itu! Jangan menyerang orang secara sembarangan dan menuduh membabi-buta! Bouw Kongcu adalah adik seperguruan Enci Siang Lan, dan engkau berani menyerangnya?”

Ditegur begitu, Bwe Kiok Hwa menghentikan serangannya dan memandang bingung. Tadi ia memang memiliki kecurigaan dan dugaan keras bahwa kedatangan pemuda itu tentu ada hubungannya dengan gerombolan Ban-hwa-pang lama yang tiba-tiba pagi itu datang menyerbu, membakari tanaman untuk menghalau semua jebakan yang dipasang di bagian itu. “Mari, Kongcu, kita lihat keadaannya!” Li Ai mengajak Cu An dan mereka berdua lalu berlari cepat keluar dari bangunan induk itu, diikuti oleh Bwe Kiok Hwa yang masih memegang pedang. Tidak sukar mencari tempat yang dimaksudkan karena dari atas sudah tampak lereng di bagian utara yang mengepulkan asap tanda kebakaran.

Semua anak buah Ban-hwa-pang tampak berlari-larian ke arah itu. “Bawa peralatan untuk memadamkan kebakaran!” teriak Li Ai. . “Bawa kayu-kayu pemukul dan air!” teriak pula Cu An.

Para anggauta Ban-hwa-pang itu mentaati perintah ini dan ramai-ramai mereka lari ke lereng utara sambil membawa alat-alat untuk memadamkan kebakaran.

Setelah mereka berdua menuruni lereng itu, Li Ai dan Cu An melihat sekitar duapuluh orang laki-laki, dipimpin seorang laki-laki tua bermuka penuh berewok yang memegang sepasang golok, sedang berkelahi melawan puluhan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang. Karena para anggauta wanita Ban-hwa-pang baru sekitar setahun lebih belajar ilmu silat, mereka tampak kewalahan menghadapi serbukan gerombolan laki- laki yang tampak buas itu.

Namun, karena yang menggembleng mereka adalah Hwe-thian Mo-li, maka dalam setahun itu mereka telah memperoleh tenaga dan kegesitan yang lumayan sehingga walaupun terdesak hebat, mereka masih mampu melakukan perlawanan. Sementara itu, para anggauta lain sibuk memadamkan api agar jangan menjalar ke atas.

“Kongcu, mari kita hajar mereka!” kata Li Ai dan tanpa menanti jawaban gadis ini sudah mencabut pedangnya dan menerjang para penyerbu, diikuti Cu An yang juga sudah mencabut pedangnya.

Dua orang muda ini menerjang dan mengamuk dengan hebatnya. Biarpun Li Ai tidaklah sehebat Cu An ilmu pedangnya, namun karena marah dan penuh semangat, gerakan Li Ai amat ganas. Pedangnya berkelebatan seperti halilintar menyambar-nyambar. Juga gerakan pedang Cu An amat kuat sehingga sebentar saja enam orang penyerbu telah roboh oleh pedang sepasang orang muda ini.

Hal ini membakar semangat para anggauta wanita Ban-hwa-pang dan mereka melawan dengan lebih gigih. Sebaliknya, para penyerbu menjadi terkejut bukan main.

Memang sebagian besar dari mereka sudah jerih terhadap nama Hwe-thian Mo-li. Mereka baru berani diajak menyerbu oleh pemimpin baru mereka setelah mendengar bahwa Hwe-thian Mo-li sedang tidak berada di Ban-hwa-kok. Akan tetapi ternyata sekarang muncul sepasang orang muda yang demikian ganas dan lihai ilmu pedangnya! Hal ini membuat nyali mereka menjadi semakin mengecil.

Li Ai dan Cu An kini menerjang ke arah pemimpin gerombolan yang mukanya penuh berewok itu. Dia ini dahulunya merupakan pembantu utama Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang yang telah terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li. Semua anggauta Ban-hwa-pang berikut ketuanya telah dibasmi dan dibunuh habis oleh Hwe-thian Mo-li yang menjadi seperti gila dan mengamuk setelah merasa dirinya dinodai dan Si Berewok ini adalah salah satu di antara beberapa orang saja yang sempat melarikan diri, walaupun terluka parah.

Kini, dia mengumpulkan teman-teman para perampok untuk membalas dendam, membakar dan mencoba untuk menguasai kembali Ban-hwa-pang. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa di situ terdapat Li Ai dan Cu An yang cukup lihai sehingga pihak mereka yang kini terdesak hebat.

Si Berewok cukup lihai. Andaikata yang melawannya hanya Li Ai atau Cu An sendiri, kiranya dia tidak akan mudah dikalahkan. Akan tetapi kini dua orang muda itu maju bersama dan mereka saling melindungi dan saling bantu karena memang ada perasaan yang dekat dan saling menyayang di antara keduanya, maka pertahanan maupun penyerangan mereka dapat disatukan dan menjadi terlalu kuat bagi Si Berewok.

Setelah melawan mati-matian selama duapuluh jurus, akhirnya Si Berewok roboh terkena sabetan pedang Li Ai dan tusukan pedang Cu An. Dia roboh dan tewas.

Melihat ini, sisa para gerombolan menjadi panik, sebaliknya para wanita anggauta Ban-hwa-pang menjadi semakin bersemangat. Bagaikan harimau-harimau betina mereka berteriak-teriak menerjang sisa gerombolan, dipimpin Li Ai dan Cu An sehingga akhirnya semua anggauta gerombolan yang menyerbu telah dapat dirobohkan dan ditewaskan!

Para wanita itu bersorak gembira karena kemenangan ini, kemenangan dalam pertempuran yang pertama kali mempertahankan tempat kediaman mereka! Hanya ada enam orang wanita rekan mereka yang terluka. Mereka segera dirawat dan atas perintah Li Ai, semua mayat para gerombolan itu dikubur dalam beberapa lubang, jauh di kaki bukit Ban-hwa-san.

Li Ai dan Cu An berjalan berdampingan naik kembali ke puncak Ban-hwa-kok. Sejak itu, mereka merasa semakin dekat satu kepada yang lain. Terasa suatu kemesraan yang amat membahagiakan hati mereka.

Wajah mereka cerah penuh senyum, terutama setiap kali pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut. Walaupun mulut mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, namun sinar mata mereka telah mengutarakan seluruh isi hati mereka yang dapat mereka tangkap dan mengerti sedalam-dalamnya.

Mereka saling jatuh cinta! Ada perasaan bahagia yang mendalam, namun kebahagiaan yang mendatangkan duka apabila mereka mengingat akan keadaan diri masing-masing. Li Ai teringat akan keadaan dirinya yang sudah ternoda, dan Cu An teringat akan keadaan dirinya sebagai putera seorang pengkhianat dan pemberontak!

Akan tetapi peristiwa penyerbuan gerombolan itu membuat Cu An mendapatkan alasan dan kesempatan untuk bermalam satu malam lagi di Ban-hwa-kok, dalam waktu itu membuka peluang bagi mereka untuk saling memperlihatkan perasaan hati masing-masing, walaupun hanya melalui pandang mata dan senyum penuh madu. Tanpa bicara pun mereka yakin bahwa mereka saling mencinta. Mereka makan siang, lalu makan malam bersama.

Pada keesokan harinya, setelah mandi dan makan pagi, suasananya diliputi keharuan dan kesedihan karena saatnya telah tiba bagi mereka untuk saling berpisah. Pagi itu setelah sarapan, Cu An harus meninggalkan Ban-hwa-pang, menyusul gurunya ke kota raja! Mereka berdua sarapan, akan tetapi tidaklah senikmat biasanya. Bahkan rasanya sukar menelan makanan menghadapi perpisahan di depan mata.

Setelah selesai makan, Cu An berkata lirih. “Sekarang aku harus berkemas ”

“...... Kongcu mengapa tergesa-gesa? Hari masih amat pagi.”

Cu An memandang wajah gadis itu dengan sinar mata tajam. “Nona Kui, setelah apa yang kita alami bersama, rasanya kaku dan tidak enak mendengar engkau masih menyebut aku Kongcu.”

“Engkau pun menyebut aku Siocia ” bantah Li Ai.

Cu An tersenyum dan gadis itu pun ikut tersenyum pula. Tanpa bicara lagi mereka sudah saling mengetahui isi hati masing-masing yang ingin mendapatkan sebutan yang lebih akrab lagi, bukan sebutan bersopan- sopan seperti dua orang yang asing satu sama lain.

“Baiklah mulai sekarang, aku akan menyebutmu Moi-moi (Adik Perempuan), bolehkah, Ai-moi?” “Tentu saja, dan aku akan senang kalau boleh menyebutmu An-ko (Kakak Laki-laki An).”

Keduanya saling tersenyum lagi dan kini pandang mata mereka lebih leluasa mengirim sinar-sinar kasih. “Sekarang aku harus berkemas dan siap untuk turun dari sini, Ai-moi.”

“Baiklah, silakan An-ko.”

Cu An lalu memasuki kamarnya dan mengemasi buntalan pakaiannya. Setelah dia keluar, dia melihat Li Ai sudah menunggunya dan ketika dia menuruni puncak bukit itu, Li Ai mengantarnya dan berjalan di sampingnya, sebagai pengantar dan penunjuk jalan karena jalan menurun itu penuh jebakan dan perangkap. Mereka berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.

“Aku merasa senang dan berbahagia sekali dapat berkenalan denganmu, Ai-moi.”

“Aku pun merasa senang dan terhormat dapat bertemu dan berkenalan denganmu, An-ko. Engkau seorang putera pangeran yang terhormat dan berkedudukan tinggi, sedangkan aku ”

“Hushh, jangan berkata begitu, Ai-moi,” kata Cu An sambil memegang tangan kiri gadis itu yang berjalan di samping kanannya.

Merasa betapa tangan kirinya dipegang erat, Li Ai terkejut akan tetapi biarpun hatinya menolak, jari-jari tangannya dengan hangat membalas genggaman tangan pemuda yang kokoh kuat itu.

“Aku bicara sejujurya, An-ko. Bahkan berjalan berdua begini saja sebetulnya tidak pantas bagiku ” 10.29. Pertemuan Dua Saudara Perguruan

“Ai-moi    !” Cu An berhenti melangkah dan menarik gadis itu sehingga mereka berdiri berhadapan, dekat

sekali dan ketika mereka saling pandang, Cu An agak menunduk dan Li Ai agak berdongak, mereka dapat merasakan hembusan napas masing-masing di muka mereka.

“Jangan engkau sekali lagi berkata seperti itu, Ai-moi. Ucapan itu amat menyakitkan hatiku. Engkau lebih dari pantas berjalan dalam kehidupan ini di sampingku, akulah yang tidak pantas bagimu. Ai-moi, aku......

aku sayang kamu, aku cinta kamu    ”

“An-ko    !” Kini kedua tangan mereka saling bertemu dan jari-jari tangan mereka saling remas. Sejenak Li

Ai yang, merasa tubuhnya lunglai, menyandarkan mukanya di dada pemuda itu yang merangkul pundaknya. Biarpun tidak lama mereka berada dalam keadaan seperti ini, namun rasanya hati mereka telah menjadi satu dan sukar untuk dipisahkan lagi. Akan tetapi Li Ai segera menyadari keadaan dirinya. Ia menjauhkan diri dan berkata lirih.

“Dari sini ke bawah sudah tidak ada perangkap lagi, An-ko. Selamat jalan, An-ko dan terima kasih, engkau baik sekali. Nanti kalau Enci Siang Lan kembali, akan kuceritakan padanya tentang kunjunganmu.” Li Ai menguatkan hatinya, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar agak gemetar karena haru dan sedih akan berpisah dari pemuda itu.

“Baik, Ai-moi. Kurasa aku akan dapat bertemu dengannya di kota raja. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuceritakan pembelaanmu kepada Ban-hwa-pang dari serbuan pengacau.”

Cu An mengambil sebuah kantung kecil yang biasa dia pergunakan untuk menyimpan uang emas, sebuah kantung kecil dari kain disulam indah dengan gambar sepasang kupu-kupu dan memberikannya kepada Li Ai.

“Ai-moi, aku tidak mempunyai apa-apa yang berharga. Harap engkau suka menerima hadiah dariku ini sebagai tanda mata atas persahabatan kita.”

Li Ai menerimanya dengan tangan gemetar, lalu berkata, “Aku pun tidak mempunyai apa-apa, An-ko, akan tetapi silakan ambil apa saja yang kausuka.”

Cu An mengamati gadis itu, lalu mengelus rambutnya yang hitam panjang lebat dan agak berikal itu. “Bolehkah aku mengambil hiasan rambutmu ini, Ai-moi?”

“Tentu saja boleh, An-ko,” jawab gadis itu dengan muka berubah kemerahan.

Cu An mengambil tusuk sanggul yang berupa bunga teratai itu dan begitu dicabut sanggulnya terlepas dan rambut yang panjang itu terurai menutupi kedua pundak Li Ai.

“Alangkah indah rambutmu, Ai-moi,” Cu An mengelus rambut itu dengan mesra.

Selama hidupnya baru sekali ini Li Ai merasa dicinta pria, sebaliknya juga Cu An baru sekali ini merasa dekat sekali dengan wanita. Keduanya salah tingkah dan merasa canggung, jantung berdebar tegang dan tidak tahu harus berkata dan berbuat apa.

“Nah, selamat tinggal, Adikku sayang.” “Selamat jalan, An-ko.”

Kedua tangan yang saling berpegang itu merenggang dan perlahan-lahan terlepas ketika Cu An mulai melangkah meninggalkan Li Ai. Setelah mengikuti bayangan pemuda yang menuruni lereng terakhir itu sampai bayangan itu lenyap barulah Li Ai tidak dapat menahan tangisnya. Ia menangis sedih, berjalan mendaki bukit sambil menangis. Ia teringat akan keadaan dirinya, yakin bahwa ia tidak akan mungkin dapat hidup berjodoh dengan Cu An, pemuda yang telah merebut cintanya.

Ia teringat akan Bong Kim atau Bong Kongcu, putera Hartawan Bong di kota raja, pria pertama yang mengaku cinta dan melamarnya sebagai isteri. Mula-mula ia memang tertarik, akan tetapi setelah pemuda itu diberitahu bahwa ia bukan perawan lagi, Bong Kim malah menghinanya dan memandang rendah kepadanya dan hanya ingin mengambilnya sebagai seorang selir. Karena ia tidak mencinta Bong Kim, maka sikap Bong Kim itu tidak begitu menyakitkan hatinya, apalagi pemuda hartawan itu telah menerima hajaran keras dari Hwe-thian Mo-li.

Akan tetapi ia benar-benar jatuh cinta kepada Bouw Cu An. Kalau sampai Bouw Cu An nanti memperlihatkan sikap seperti Bong Kim, ia tidak akan kuat menerimanya. Lebih baik mati saja! Karena itu, sebaiknya kalau ia tidak melanjutkan hubungan cintanya dengan Bouw Cu An. Bahkan, sebaiknya kalau ia tidak saling mencinta dengan pria manapun juga agar jangan sampai tersiksa hatinya kelak.

Pemuda mana yang akan mau menerima jodoh seorang gadis yang bukan perawan lagi? Ah, betapa tololnya dan tidak adilnya laki-laki! Ia bukan perawan lagi bukan karena kesalahannya, bukan karena kehendaknya, melainkan karena terpaksa! Orang bernasib buru sepertinya bukannya dikasihani, malah dihina, direndahkan, dan diejek!

Bagaimana sebaliknya kalau pria? Berapa banyaknya laki-laki yang ketika menikah bukan perjaka lagi, dan hal itu pun terjadi karena dia sengaja, karena kesalahannya, bukan karena ada yang memaksa, akan tetapi kalau laki-laki tidak ada yang menghina atau menyalahkannya! Betapa tidak adilnya ini. Pikiran seperti ini mengganggu kepalanya ketika ia mendaki pulang ke perkampungan Ban-hwa-pang sehingga setelah tiba di rumah, ia merasa pening dan segera merebahkan diri tidur dengan muka masih ada bekas air mata.

Sementara itu, Bouw Cu An yang menuruni bukit itu pun dilanda perasaan campur aduk. Ada rasa gembira dan bahagia karena dia merasa benar bahwa dia telah jatuh cinta kepada Kui Li Ai dan dia merasa bahwa gadis itu pun membalas cintanya. Mereka berdua saling mencinta dan alangkah akan bahagianya kalau kelak dia dapat menjadi jodoh, menjadi suami gadis yang baginya paling cantik menarik di antara semua wanita di dunia ini. Akan tetapi perasaan bahagia ini dinodai ingatannya akan ayahnya. Ayahnya mempunyai niat memberontak berarti ayahnya mempunyai watak khianat terhadap pemerintah.

Sebaliknya, Kui Li Ai adalah puteri tunggal mendiang Kui Ciang-kun, seorang perwira tinggi yang patriotik, seorang pahlawan yang gagah perkasa dan dihormati karena setianya kepada pemerintah. Kalau kemudian Li Ai mengetahui bahwa ayahnya seorang pengkhianat, apakah gadis itu sudi menjadi mantu pengkhianat?

Ingatan ini membuat hati Cu An merasa berat dan sedih sekali. Dia mengambil keputusan untuk menentang ayahnya sendiri, untuk berusaha sekuatnya menyadarkan keinginan ayahnya yang hendak memberontak itu. Bagaimanapun juga, ayahnya telah mendapatkan kedudukan yang cukup tinggi dari kaisar, diangkat menjadi penasihat Kaisar dalam urusan hubungan dengan para suku lain di luar daerah kekuasaan kerajaan Beng. Dengan keputusan hati yang tetap, pemuda itu lalu mempercepat perjalanannya menuju ke kota raja.

Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan memasuki kota raja. Jantungnya berdebar juga ketika ia memasuki kota raja yang sudah dikenalnya dengan baik itu. Sudah lama ia merasa rindu sekali kepada Ong Lian Hong, adik seperguruan atau adik angkatnya sendiri, puteri dari gurunya.

Dulu, ia tidak jadi singgah di rumah adiknya itu karena bagaimanapun juga, ia masih merasa tidak enak untuk bertemu dengan Sim Tek Kun, putera Pangeran Sim Liok Ong yang pendekar Kun-lun-pai dan kini menjadi suami Ong Lian Hong itu. Ia pernah jatuh cinta kepada putera pangeran itu.

Sim Tek Kun merupakan pria pertama yang dicintanya, akan tetapi kemudian dia mengetahui bahwa Sim Tek Kun adalah pemuda yang sudah dijodohkan dengan Ong Lian Hong sejak mereka kecil dan ternyata keduanya juga jatuh cinta setelah bertemu pada saat mereka telah dewasa. Bahkan ia sendiri yang mendorong keduanya dapat saling bertemu dan berjodoh!

Biarpun ia melepas cinta pertamanya itu dengan rela, namun tetap saja ada bekas luka dalam hatinya, walau kini luka itu sudah mengering. Ia merasa amat rindu kepada Ong Lian Hong dan kini ia tidak dapat menahan lagi rasa rindunya. Ia menekan perasaan tegangnya, lalu setelah mengambil keputusan, pada siang hari itu ia melanjutkan langkahnya langsung saja ke istana Pangeran Sim Liok Ong, di mana tentu saja Ong Lian Hong tinggal bersama suaminya, putera pangeran itu.

Penjaga istana Pangeran Sim tentu saja tidak mengenalnya. Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri sebagai Hwe-thian Mo-li dan ingin bertemu dengan suami isteri Sim Tek Kun, dua orang perajurit itu terkejut dan cepat memberi hormat lalu mempersilakan Siang Lan duduk menanti di dalam gardu penjagaan karena mereka hendak melaporkan ke dalam istana.

Tak lama kemudian, Siang Lan melihat Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun berlari-larian keluar dari dalam istana menuju ke gardu penjagaan dekat pintu gerbang. Ia bangkit berdiri dan keluar dari gardu menyambut mereka. Hatinya terharu sekali ketika ia melihat Lian Hong masih tetap cantik dan anggun, akan tetapi agak gemuk dan setelah dekat, ia gembira sekali melihat bahwa adiknya itu ternyata agak gendut, tanda bahwa Ong Lian Hong telah mengandung! Mungkin baru beberapa bulan sehingga tidak tampak terlalu besar, namun ia dapat menduga bahwa adiknya itu telah hamil!

“Enci Lan    !!” Lian Hong berlari dan mengembangkan kedua lengannya.

“Hong-moi!” Siang Lan juga menyambut dan keduanya berangkulan, dan Lian Hong menangis terisak-isak. “Hushh ! Lian Hong, kenapa pertemuan menggembirakan ini kausambut dengan tangis?” kata Siang Lan

tersenyum, akan tetapi kedua matanya basah. “Enci...... maafkan aku ”

Tiba-tiba Lian Hong merasa lengannya dipegang suaminya dan tahulah ia bahwa suaminya melarang ia membicarakan urusan lama yang hanya akan menimbulkan singgungan dalam hati, maka ia melanjutkan dengan maksud lain. “ maafkan kami tidak tahu akan kunjunganmu sehingga lambat menyambutmu.”

“Aih, tidak apa-apa, Adikku. Aku pun tidak memberi kabar lebih dulu, bagaimana kalian bisa tahu?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar