Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Jilid 05

 
Jilid 05

Kembali Ui Kiang dan Ui Kong saling pandang. Mulut mereka tidak mengatakan sesuatu, akan tetapi pandang mata mereka menyatakan berbagai macam perasaan. Terkejut, heran, ragu, cemas dan bimbang, bahkan seolah takut kalau-kalau dirinya terpilih oleh ayah mereka harus menikah dengan gadis yang sama sekali tidak mereka kenal itu!

“Ui Kiang, engkau lebih dulu mengatakan, bagaimana menurut pendapatmu menghadapi persoalan ini?” tanya Ui Cun Lee kepada anak sulungnya.

Ui Kiang terkejut, lalu memandang kepada ayahnya dan berkata dengan tenang dan lembut.

“Tidak dapat disangkal lagi, ayah. Pesan ibu yang sudah meninggal merupakan pesan wasiat yang sama sekali tidak boleh diabaikan dan harus dilaksanakan. Janji mendiang ibu harus dipenuhi, tidak boleh diingkari karena hal itu menyangkut kehormatan keluarga ibu, yaitu ayah, saya dan Kong-te. Karena itu, sayapun setuju kalau ayah hendak memenuhi janji ibu itu. Adapun siapa di antara saya dan Kong-te yang harus memenuhi janji itu dan menjadi jodoh Nona Lim Bwee Hwa, hal itu saya kira harus dipertimbangkan dengan penuh kebijaksanaan. Menurut cerita ayah tadi, nona itu adalah seorang ahli silat yang pandai, seorang gadis pendekar. Keadaannya itu sama benar dengan keadaan Kong-te, maka saya kira mereka berdua akan lebih cocok dan serasi untuk menjadi suami isteri. Begitulah pendapat saya, ayah. Maafkan kalau ada kesalahan dalam kata-kata saya tadi.”

Ui Cun Lee mengangguk-angguk senang. Pendapat putera sulungnya itu memang cocok sekali dengan pendapatnya sendiri. Memang, kalau dilihat dari keadaannya, gadis itu lebih cocok menjadi isteri Ui Kong, sama-sama ahli silat dan berjiwa pendekar!

Kini orang tua itu memandang kepada anak bungsunya. “Dan sekarang aku minta pendapatmu, Ui Kong!”

Ui Kong juga terkejut. “Aku, ayah? Ah, aku sih setuju dengan pendapat Kiang-ko bahwa janji mendiang ibu harus ditepati. Itu merupakan keharusan! Kalau tidak, berarti kita mengkhianati ibu. Akan tetapi aku sama sekali tidak setuju dengan pendapat Kiang-ko bahwa akulah orangnya yang tepat menjadi suami gadis itu. Mana ada aturan seperti itu? Kiang-ko adalah saudara tua, anak sulung! Masa kakak sulung belum menikah, adik bungsu harus menikah lebih dulu melangkahi kakaknya? Tidak mungkin ini, ayah. Aku tidak mau menjadi terkutuk karena kesalahan ini. Kiang-ko yang tepat untuk menaati pesan ibu dan menikah dengan Nona Lim Bwee Hwa itu. Dia seorang siucai (sastrawan) dan Nona Lim Bwee Hwa seorang lihiap (pendekar wanita). Alangkah sudah serasinya ini. Kelak anak mereka tentu menjadi bun- bu-cwan-jai (ahli sastra dan silat)! Ayah akan mempunyai cucu-cucu yang hebat!”

Mendengar ini, Ui Kiang cemberut dan mengerutkan alisnya, akan tetapi Ui Cun Lee tertawa. Pendapat putera bungsunya itu pun cocok dengan pendapatnya. Akan tetapi dia teringat akan kericuhan ini dan menghela napas panjang.

“Inilah yang membuat hatiku bingung. Memang, kalau mengingat kepatuhan, seharusnya Ui Kiang yang menikah lebih dulu, akan tetapi kalau mengingat keahlian yang sama, agaknya Ui Kong lebih tepat menjadi jodoh gadis itu.”

“Akan tetapi, apakah ayah sudah memutuskan?” kedua orang kakak beradik itu bertanya, suara mereka hampir berbareng.

“Belum. Biarpun terkadang aku gelisah dan jengkel memikirkan betapa sampai sekarang, setelah Kiang-ji (anak Kiang) dan Kong-ji (anak Kong) berusia duapuluh empat dan duapuluh satu tahun belum juga mau menikah, akan tetapi dalam urusan ini aku tidak mau memaksa kalian. Kalian harus menentukan jodoh kalian masing-masing. Akan tetapi, aku telah mengambil keputusan agar janji mendiang ibu kalian tidak kita ingkari, dan kalian berdua juga menyetujui hal itu, maka aku telah mengambil suatu keputusan.”

“Keputusan yang bagaimanakah itu, ayah?” tanya Ui Kong dan kedua orang pemuda tampan itu menanti jawaban ayah mereka dengan jantung berdebar tegang.

“Keputusanku ini telah kusampaikan kepada Ong Siong Li dan diapun sudah menyetujuinya. Besok pagi- pagi, kita bertiga akan pergi sembahyang untuk arwah ibumu di Kuil Ban-hok-si di sebelah timur kota itu dan pada waktu itu, Ong Siong Li akan mengajak Lim Bwee Hwa ke kuil itu, melihat orang-orang yang melakukan upacara sembahyang. Dengan demikian kalian dapat bertemu dan berkenalan dengan Lim Bwee Hwa dan kita lihat saja nanti, siapa di antara kalian yang suka dan bersedia menjadi calon suaminya.”

“Akan tetapi, ayah. Bagaimana kalau pilihan itu jatuh kepadaku? Aku tidak mau, tidak berani melangkahi Kiang-ko dan menikah lebih dulu.”

“Kong-te (adik Kong), jangan hiraukan hal itu. Aku tidak apa-apa walau engkau melangkahiku dan menikah lebih dulu. Aku rela sepenuhnya!”

“Akan tetapi aku yang akan celaka, kualat! Arwah ibu juga tentu akan marah besar kepadaku kalau ia melihat aku melangkahimu dan menikah lebih dulu!”

“Sudahlah jangan ribut. Kalian berdua harus mau saling mengalah sedikit. Begini saja. Kalau yang merasa suka itu Kiang-ji, maka tidak ada masalah dan dia boleh menikah dengan Bwee Hwa, akan tetapi seandainya yang cocok dan suka itu Kong-ji, maka dia akan bertunangan dulu dengan Bwee Hwa dan baru akan dilangsungkan pernikahan kalau Kiang-ji sudah mendapatkan jodohnya. Nah, ini merupakan perintah yang tidak boleh kalian bantah lagi!”

Sejenak dua orang kakak beradik itu diam. Mereka tidak berani membantah lagi karena memang keputusan ayah mereka itu mereka anggap sudah seadil-adilnya. Tidak ada unsur paksaan, dan tidak ada masalah lagi.

“Bagaimana, kalian setujukah? Hayo katakan kalau setuju dan kalau tidak setuju juga katakan terus terang dan kemukakan alasannya,” kata Hartawan Ui itu.

“Maaf, ayah. Saya sama sekali bukan tidak setuju, bahkan mendukung keputusan ayah yang sudah adil itu. Akan tetapi, kita harus memikirkan kemungkinan ketiga. Kemungkinan ketiga yang akan menghancurkan sama sekali rencana ayah yang amat baik ini.”

“Hemm, kemungkinan ketiga yang bagaimana itu?” Hartawan Ui bertanya dengan alis berkerut. Hatinya sudah senang dengan keputusannya yang disetujui kedua orang anaknya itu dan yang dianggapnya merupakan rencana yang pasti berhasil karena tidak ada halangan apapun lagi. Maka adanya “kemungkinan ketiga” yang dikatakan Ui Kiang ini membuat dia gelisah.

“Kemungkinan itu, ayah, adalah bagaimana kalau di antara Kong-te dan saya tidak ada yang suka atau cocok dengan gadis itu? Bagaimana kalau misalnya ia cacat atau. jelek sekali wajahnya sehingga kami

berdua tidak suka sama sekali?”

“Wah, benar sekali itu, ayah! Lebih celaka lagi, kalau ia ternyata seorang gadis yang sesat dan jahat, mengingat bahwa ayah tirinya juga sesat dan jahat, tentu biar matipun aku tidak sudi menjadi suaminya!” kata Ui Kong penuh semangat.

Hartawan Ui menghela napas panjang, “Mudah-mudahan tidak begitu dan aku percaya tidak akan muncul kemungkinan ketiga itu. Aku ingat benar bahwa Lim Sun seorang laki-laki yang berwajah tampan, sedangkan isterinya juga lembut dan cantik. Suami isteri itu memiliki watak yang amat baik. Tidak mungkin kalau anak tunggalnya cacat badan dan batinnya. Kecuali kalau Thian menghendaki lain apa boleh buat, kita akan bicarakan lagi seandainya memang terjadi kemungkinan ketiga itu. Bersiaplah kalian, besok pagi-pagi kita berangkat ke kuil Ban-hok-si!” Kuil Ban-hok-si adalah sebuah kuil besar di mana dipuja beberapa tokoh dewa. Akan tetapi yang membuat Ban-hok-si (Kuil Selaksa Rejeki) terkenal adalah pemujaan terhadap Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) yang patungnya ter-buat dari emas terukir indah.

Patung Dewi Kwan Im emas itu merupakan hadiah dari Kaisar Yung Lo yang memindahkan kota raja dari Nan-king di selatan ke Peking di utara, setelah dia berhasil merampas singasana dari keponakannya sendiri, Kaisar Hui Ti. Kaisar Yung Lo adalah putera dari Kaisar Thai Cu atau yang tadinya bernama Cu Goan Ciang, pendiri dinasti Beng. Melihat keponakannya diangkat menjadi kaisar, dia merasa lebih berhak maka dia yang menjadi panglima berkedudukan di Peking lalu memberontak, menyerbu ke Nanking dan merampas kedudukan kaisar. Dia menjadi kaisar dan berkedudukan di kota raja Peking. Ketika kisah ini terjadi, Kaisar Yung Lo telah memerintah selama kurang lebih sepuluh tahun.

Ketika Yung Lo menyerbu ke selatan untuk merampas tahta kerajaan, dia terpisah dari pasukannya dan sudah terkepung pasukan tentara selatan. Dia melarikan diri ke kuil Ban-hok-si itu dan bersembunyi di dalam kuil. Secara aneh sekali, pasukan selatan yang melakukan pengejaran dan pencarian tidak dapat menemukannya. Padahal, Yung Lo bersembunyi di bawah meja patung Kwan-im Pouwsat yang tertutup kain. Kalau dia dapat ditemukan tentu akan dikeroyok dan tewas. Tentara musuh sudah memasuki ruangan itu, namun tiada seorangpun menyingkap kain dan menemukannya.

Peristiwa yang ganjil ini oleh Kaisar Yung Lo dianggap sebagai perlindungan Kwan-im Pouwsat kepadanya, maka dia lalu melanjutkan penyerbuannya ke selatan. Setelah dia berhasil merebut tahta kerajaan Beng dari tangan keponakannya, Kaisar Hui Ti, dia lalu memerintahkan kepada seorang ahli pembuat patung emas terpandai untuk membuatkan patung Kwan-im Pouwsat dari emas itu dan menaruhnya di Kuil Ban-hok-si sebagai pengganti patung yang sudah lama dan buruk.

Demikianlah, riwayat patung itu menambah kepercayaan penduduk, apalagi ditambah kesaksian mereka yang merasa tertolong dan terpenuhi permohonannya melalui Dewi Kwan Im, maka kini Kuil Ban-hok-si menjadi kuil yang dikunjungi banyak orang. Apalagi pada hari-hari tertentu, seperti pada hari itu yang merupakan hari sembahyangan umum, menyembahyangi arwah para leluhur, kuil itu menjadi ramai sekali.

Banyak sekali pengunjung, bukan hanya mereka yang memang hendak sembahyang, melainkan banyak di antara mereka yang sekadar melihat-lihat keramaian. Mereka yang membayar kaul karena merasa permohonan mereka terpenuhi, ada yang menyewa para pemain ba-rong-sai, liong (naga) dan po-te-hi (wayang golek). Banyak pula penjaja makanan memenuhi pelataran kuil amat luas, melayani kebutuhan para pengunjung. Bahkan kesempatan itu dipergunakan pula oleh muda-mudi untuk mencari jodoh. Siapa tahu, berkat kemurahan hati Dewi Kwan Im, mereka akan saling berkenalan dan menemukan jodohnya di tempat itu!

Sementara itu, ketika Ong Siong Li kembali dari rumah Hartawan Ui dan menceritakan pertemuan dan percakapannya dengan Ui Cun Lee kepada Bwee Hwa, berbagai macam perasaan teraduk dalam hati gadis itu. Ia merasa bersyukur bahwa calon ayah mertua pilihan ibunya itu ternyata seorang hartawan yang dermawan. Hal ini tentu saja menyenangkan hatinya. Coba andaikata ia mendengar bahwa calon ayah mertuanya itu seorang penjahat seperti mendiang ayah tirinya, tentu saja ia akan menolak perjodohan itu mentah-mentah! Ia mendengar pula bahwa Nyonya Ui telah meninggal dunia dan bahwa Ui Cun Lee mempunyai dua orang putera, keduanya belum menikah. “Karena kedua orang putera Paman Ui Cun Lee itu masih belum menikah, maka menurut dia, yang berhak menikah lebih dulu adalah putera sulungnya yang bernama Ui Kiang. Ternyata Paman Ui seorang yang bijaksana sekali, Hwa-moi. Biarpun dia setuju untuk memenuhi janji mendiang ibumu dan ibu pemuda itu, namun dia tidak mau memaksakan kehendaknya kepada kalian. Dia ingin agar engkau dapat bertemu dan berkenalan dengan puteranya itu dan kalau kalian berdua setuju, barulah pernikahan dapat dilangsungkan. Bukankah itu menunjukkan bahwa dia seorang tua yang bijaksana sekali?”

Bwee Hwa mengangguk-angguk. “Memang bijaksana sekali, Li-ko. Akan tetapi bagaimana aku dan Ui Kiang itu dapat bertemu dan berkenalan? Tentu aku merasa tidak enak dan sungkan untuk berkunjung ke rumah mereka.”

“Hal itupun dimaklumi oleh Paman Ui. Karena itu, dia sudah mengambil cara yang dapat kuterima karena merupakan rencana yang baik dan sopan. Besok pagi kebetulan ada upacara sembahyangan umum di Kuil Ban-hok-si, kurang lebih sepuluh lie (mil) di sebelah timur kota ini. Nah, dia dan kedua orang puteranya akan berada di sana untuk menyembahyangi arwah isterinya dan dia minta agara engkau dan aku berkunjung pula sana. Besok kuil itu menjadi tempat perkunjungan umum sehingga tidak akan ketahuan orang bahwa pertemuan itu diatur. Kita berdua akan bertemu mereka di sana, engkau dapat berkenalan dengan mereka dan kalian berdua yang sudah dijodohkan dapat menarik kesan hati masing-masing.”

Bwee Hwa menundukkan mukanya yang berubah merah. Biarpun ia seorang gadis bebas yang tidak pernah malu-malu namun bicara tentang perjodohan dengan Siong Li membuat ia tersipu juga.

“Berapa usia pemuda bernama Ui Kiang itu, Li-ko?”

“Aku tidak tahu, Hwa-moi. Paman Ui tidak mengatakan itu. Akan tetapi aku ingat....... ketika hendak meninggalkan rumah itu, di pekarangan aku berpapasan dengan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan gagah, usianya kurang lebih duapuluh satu tahun. Kami hanya saling mengangguk. Aku tidak tahu siapa dia dan kalau dia itu putera Paman Ui, engkau sungguh beruntung, Hwa-moi. Dia tampan, gagah, dan dari gerakan langkahnya, aku yakin bahwa dia itu seorang ahli silat yang pandai.”

“Hemm, itu bukan merupakan syarat yang paling utama untuk seorang calon suami, Li-ko.” “Ehh? Lalu syarat utamanya apa, Hwa moi?”

“Syarat utamanya adalah budi yang baik, bersusila, sikap yang adil dan penentang kejahatan, seperti.......

misalnya seperti engkau, Li-ko.”

Siong Li menjadi salah tingkah wajahnya merah mendengar ini. Akan tetapi dia pura-pura tidak mendengar ucapan terakhir itu dan berkata.

“Aku yakin bahwa putera Paman Ui tentu seorang yang baik budi, mengingat betapa Paman Ui sendiri seorang dermawan. Aku telah melihat betapa dia membagi-bagikan beras kepada orang-orang miskin.”

Biarpun agak segan dan sungkan, akhirnya Bwee Hwa tidak dapat menolak rencana Hartawan Ui untuk mempertemukan ia dan putera Hartawan Ui yang telah dijodohkan sejak kecil oleh ibu masing-masing. “Pakailah pakaianmu yang paling baru dan indah, Hwa-moi,” Ong Siong Li berkata sambil tersenyum. “Di tempat keramaian itu semua orang, terutama wanitanya, pasti mengenakan pakaian baru.”

“Hemm, kenapa aku harus memakai pakaian baru, Li-ko?” tanya Bwee Hwa. “Karena biasanya, orang dihargai karena pakaiannya!”

“Hemm, aku tidak pernah menilai seseorang dari pakaiannya! Mungkin banyak sekali orang jembel yang compang-camping pakaiannya memiliki budi pekerti yang jauh lebih bersih daripada seorang hartawan atau bangsawan yang berpakaian serba indah!”

Siong Li tersenyum. “Tepat! Akupun berpendapat demikian, Hwa-moi. Akan tetapi dalam hal ini lain lagi. Engkau akan bertemu dan berkenalan dengan calon suamimu. Tidak pantas kalau pakaianmu tampak kumal dan wajahmu muram. Hayolah, kenakan pakaian yang paling baik.”

Bwee Hwa sudah mandi dan berganti pakaian, walaupun bukan pakaiannya yang terbaik, melainkan pakaian biasa yang berwarna merah, warna kesukaannya. Ia menunduk, memandang ke arah pakaian yang dipakainya.

“Apakah pakaian ini tidak patut bagiku?”

Siong Li memandang dan terpaksa dia mengatakan apa yang menjadi suara hatinya. “Patut, pantas sekali! Akan tetapi kalau ada yang lebih baru lagi ”

“Sudahlah, Li-ko, hayo berangkat. Cerewet amat sih engkau! Kaya nenek-nenek saja!”

Siong Li tertawa dan mereka berdua lalu berangkat, keluar dari kota Ki-lok menuju ke timur. Ternyata jalan menuju ke kuil itu ramai sekali. Banyak orang berjalan ke arah kuil itu, ada pula yang naik kereta atau menunggang kuda. Dan benar saja seperti yang diperkirakan Siong Li tadi, kebanyakan orang-orang itu mengenakan pakaian baru seperti hendak merayakan pesta!

Tak lama kemudian sampailah mereka di depan Kuil Ban-hok-si. Di sana sudah terdapat banyak orang. Kurang lebih duaratus orang, laki-laki dan perempuan, tua muda, telah berkerumun di situ. Ada pula yang sedang sibuk melakukan upacara sembahyang. Di luar kuil terdapat banyak orang berjualan bermacam-macam makanan.

Siong Li mulai mencari-cari dengan pandang matanya, tentu saja mencari Hartawan Ui Cun Lee. Akan tetapi orang yang dicarinya itu tidak berada di dalam pekarangan yang penuh orang itu. Mungkin berada di dalam kuil, sedang bersembahyang, pikirnya. Bukankah mereka datang ke kuil untuk sembahyang?

Tiba-tiba dia merasa lambungnya disikut orang. Dia menoleh ke kiri dan melihat Bwee Hwa memberi isyarat dengan kedipan mata padanya. Gadis itu lalu menunjuk dengan dagunya ke arah kiri.

Aneh, apakah Bwee Hwa sudah dapat menemukan Hartawan Ui yang belum pernah dilihatnya itu? Akan tetapi ketika dia memandang ke arah yang ditunjuk oleh Bwee Hwa dan pandang matanya mencari-cari, dia terkejut juga melihat tiga orang yang sudah dikenalnya dengan baik. Di sana, di antara kerumunan orang banyak, dekat ruangan depan bagian kuil yang menjadi tempat pemujaan Dewi Kwan Im, berdiri tiga orang yang bukan lain adalah Sam-kauwcu (Ketua Agama Ketiga) yang bertubuh tinggi berwajah tampan pucat berusia kurang lebih empatpuluh tahun, Lie Hoat yang buntung lengan kirinya, dan Souw Ban Lip. Dua orang terakhir ini adalah para pembantu kepala gerombolan Gak Sun Thai.

Sam-kauwcu dapat lolos ketika Siong Li dan Bwee Hwa membasmi para gerombolan perampok, sedangkan Lie Hoat buntung lengan kirinya oleh pedang Siong Li dan Souw Ban Lip terkena senjata rahasia jarum tawon yang lihai dari Bwee Hwa. Sam-kauwcu dan Li Hoat yang pendek kurus mata juling itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun, sedangkan Souw Ban Lip berusia sekitar enampuluh tahun.

Siong Li mengerutkan alisnya. Mau apa tiga orang penjahat itu berada di tempat itu? Sudah pasti tidak mempunyai niat yang baik, pikirnya. Tiba-tiba dia menyentuh lengan Bwee Hwa dan menunjuk ke arah dua orang yang berada di belakang tiga orang penjahat itu. Bwee Hwa memperhatikan.

Dua orang itu berpakaian serupa, dengan pakaian serba putih dan di sebelah luar memakai jubah longgar berwarna kuning. Rambut kepala mereka digelung ke atas, diikat dengan pita putih, model gelung para tosu (Pendeta Agama To) dan di punggung mereka tergantung sebatang pedang. Dari belakang, dua orang yang layak disangka pendeta itu tampak kembar dan serupa, akan tetapi ketika mereka miring sehingga tampak wajah mereka, Siong Li memegang lengan Bwee Hwa dengan kuat sehingga gadis itu mengerutkan alis dan merenggut lepas lengannya.

Siong Li menyadari hal ini dan berbisik. “Maaf, akan tetapi aku terkejut sekali melihat wajah mereka. Tidak salah lagi, mereka itulah yang di dunia kang ouw (sungai telaga, persilatan) dikenal sebagai Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih) dan Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam), dua orang tokoh besar dari Pek-lian- kauw (Agama Teratai Putih)!”

Bwee Hwa terkejut juga dan teringat betapa ketiga kepala agama, yaitu Toa-kauwcu, Ji-kauwcu dan Sam-kauwcu adalah tiga orang yang lihai sekali. Ilmu silat mereka adalah Go-bi-kiam-sut (Ilmu Pedang Go-bi) bercampur dengan ilmu yang aneh dan berbahaya dari ilmu-ilmu Pek-lian-kauw seperti yang pernah ia dengar dari gurunya. Kalau Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko itu dua orang tokoh Pek-lian- kauw, ilmu-ilmu mereka pasti hebat dan jelas bahwa kehadiran lima orang itu tentu mempunyai maksud tertentu yang buruk!

“Cepat kita dekati dan bayangi mereka, Li-ko!” bisiknya dan mereka berdua kini tidak perduli lagi akan Hartawan Ui. Ada tugas di depan mata, yaitu mencegah terjadinya kejahatan yang pasti akan dilakukan oleh lima orang, terutama dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu.

Kedua orang itu lalu menyelinap di antara banyak orang, menghampiri ke arah ruangan bagian kuil di mana terdapat patung Dewi Kwan Im, di mana mereka bersembahyang.

Dugaan Bwee Hwa dan Siong Li memang tidak meleset.

Pada waktu itu, sekitar tahun 1413, semasa pemerintahan kerajaan Beng dipegang oleh Kaisar Yung Lo yang sepuluh tahun lalu merebut tahta kerajaan dari tangan Kaisar Hui Ti, keponakannya. Yung Lo telah mengadakan pembangunan besar-besaran di Cina. Tembok Besar Cina yang terkenal di seluruh dunia itu diteruskan pembangunannya, karena tembok besar yang panjangnya sekitar selaksa mil ini merupakan benteng pertahanan yang kokoh kuat untuk menahan gangguan dan serbuan bangsa-bangsa di utara, terutama bangsa Mongol. Juga terusan besar yang menghubungkan Sungai Yang-ce dan Huang-ho dibangun, diteruskan dan diselesaikan. Kota raja baru Peking juga dibangun sehingga pada masa itu, kota raja Peking merupakan kota raja yang terkenal memiliki bangunan-bangunan yang serba indah dan besar.

Namun, tiada gading yang tak retak. Tidak ada keindahan buatan manusia yang sempurna. Pembangunan besar-besaran itupun mempunyai akibat sampingan yang menyedihkan. Hampir sebagian pembesar yang menangani pembangunan, tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk melakukan tindak tercela korupsi besar-besaran. Banyak pula yang menindas rakyat jelata, memperkerjakan mereka seperti kuli rodi sehingga dalam pembangunan Tembok Besar dan Terusan Besar itu banyak rakyat menjadi korban. Di mana-mana rakyat merasa penasaran dan muncullah pemberontakan- pemberontakan.

Walaupun dengan tangan besi Kaisar Yung Lo dapat membasmi para pemberontak, bahkan menalukkan kembali daerah Yun-nan dan daerah selatan yang tadinya membebaskan diri, namun masih ada gerombolan-gerombolan pemberontak yang selalu merongrong pemerintah. Di antara para gerombolan pemberontak itu, yang paling terkenal adalah munculnya Pek-lian-kauw, gerombolan pemberontak yang berkedok agama baru yang berdasar Agama To dan Agama Buddha yang diselewengkan, bercampur dengan segala macam ilmu sihir dan ilmu sesat.

Pek-lian-kauw yang menentang pemerintah itu bahkan tidak mengharamkan cara-cara yang biadab. Dalam mencari dana untuk kegiatan yang mereka namakan “perjuangan”, mereka tidak segan-segan untuk melakukan pencurian atau perampokan. Kalau ada yang menentang atau menghalangi perbuatan ini, merekapun tidak merasa bersalah untuk melakukan pembunuhan. Dengan tindakan seperti itu, maka rakyat juga tidak suka kepada Pek-lian-kauw, walaupun banyak juga rakyat dapat dikelabuhi oleh cara-cara mereka yang seolah melindungi rakyat kecil dengan sihir-sihir mereka. Bagi para pendekar, Pek-lian-kauw dianggap sebagai sebuah perkumpulan sesat yang menggunakan cara-cara yang biasa dipakai para penjahat.

Seperti kita ketahui, Lie Hoat yang kini buntung lengan kirinya, dan Souw Ban Lip yang pernah terluka lehernya, oleh Hong-cu-ciam (Jarum Tawon) senjata rahasia Bwee Hwa, adalah pembantu-pembantu mendiang Gak Sun Thai yang dahulu menjadi anak buah mendiang Kauw-jiu Pek-wan Kiu Ciang Hok. Mereka berdua itu tidak dibunuh oleh Bwee Hwa atas permintaan Siong Li yang merasa kasihan kepada mereka.

Dua orang ini lalu terpaksa menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw karena merasa bahwa gerombolannya sendiri sudah hancur dan untuk “berdiri sendiri” merasa kurang kuat. Yang mengajaknya untuk masuk menjadi anggauta Pek-lian-kauw adalah Sam-kauwcu yang sesungguhnya bernama Ban Kit yang sebelumnya memang pernah menjadi anggauta Pek-lian-kauw sebelum menjadi ketua agama dengan kedudukan sebagai Sam-kauwcu (Ketua Agama Ketiga). Mereka bertiga diterima baik oleh para pimpinan Pek-lian-kauw dan karena mereka bertiga memiliki ilmu silat yang lumayan tingginya, maka mereka diangkat menjadi tokoh-tokoh yang ditugaskan untuk aksi-aksi yang penting.

Pada pagi hari itu, mereka bertiga dikawal oleh dua orang pimpinan Pek-lian-kauw yang lebih tinggi tingkatnya, yaitu Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko, dikirim oleh Pek-lian-kauw ke Kuil Ban-hok-si dengan tugas khusus, yaitu untuk merampas patung emas Dewi Kwan Im yang berada di kuil itu, karena benda itu merupakan benda bersejarah dan terbuat dari emas yang tentu saja amat mahal nilainya.

Mereka berlima berangkat dan sama sekali mereka tidak tahu bahwa pada hari itu merupakan hari sembahyangan umum sehingga tempat itu menjadi ramai sekali dan penuh orang. Mereka agak terkejut dan ragu. Akan tetapi dasar mereka berlima adalah orang-orang yang selalu memandang rendah orang lain dan amat mengagulkan diri sendiri, maka mereka berlima bersepakat untuk nekat melanjutkan niat mereka untuk merampas patung itu seperti yang diperintahkan para pimpinan mereka. Mereka memandang rendah orang banyak itu yang mereka anggap tidak akan ada yang mampu menghalangi mereka!

Setelah menerima isyarat dari dua orang pimpinan Pek-lian-kauw, lima orang itu menyelinap memasuki ruangan di mana banyak keluarga antri untuk melakukan upacara sembahyang. Karena pada saat itu yang melakukan sembahyang adalah keluarga Hartawan Ui Cun Lee, yaitu ayah dan dua orang puteranya yang dikenal baik dan dihormati semua orang karena kedermawanan mereka, maka keluarga lain tidak mau mengganggu. Mereka bahkan mundur dan memberi tempat yang luas kepada tiga orang itu untuk melaksanakan upacara sembahyang mereka.

Melihat betapa di depan meja sembahyang, di balik tirai sebelah dalam dari balik meja sembahyang itu, hanya terdapat Hartawan dan dua orang pemuda, dilayani oleh tiga orang hwesio penjaga atau pelayan kuil Ban-hok-si, maka ini dianggap sebagai kesempatan baik oleh lima orang penjahat itu. Hanya enam orang lemah! Mereka segera melompat masuk ruangan itu.

Melihat ada lima orang berlompatan memasuki ruangan dan mereka semua membawa senjata, semua orang terkejut dan mundur menjauh saling bertabrakan.

Tiga orang hwesio pelayan itu melihat gelagat buruk dan agaknya merasa bahwa lima orang itu berniat buruk, segera maju untuk menegur dan menghalangi. Akan tetapi, Sam-kauwcu menggerakkan pedangnya, Lie Hoat yang lengan kirinya buntung itu menggerakkan tangan kanan dengan ilmu Tiat-see- ciang (Tangan Pasir Besi), dan Souw Ban Lip menggerakkan goloknya dan. tiga orang hwesio itupun

roboh mandi darah! Tentu saja semua orang menjadi kaget, panik ketakutan. Wanita-wanita menjerit, orang orang berdesakan untuk berlumba melarikan diri menjauhi tempat itu.

Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko cepat bertindak. Pek-bin Moko yang mukanya putih pucat seperti dikapur itu melompat ke atas meja untuk mengambil patung Dewi Kwan Im. Sementara itu, ketika melihat seorang pemuda tinggi tegap dan tampan yang bukan lain adalah Ui Kong melompat maju hendak menghalangi Pek-bin Moko, Hek-bin Moko yang mukanya hitam pekat seperti dicat arang itu, menyambutnya dengan tamparan tangan kirinya yang mengandung tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang ampuh sekali.

Tamparan itu menyambar ke arah kepala Ui Kong dari samping. Ui Kong maklum bahwa serangan itu berbahaya, maka dia cepat menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga Liap-kiang Pek-ko-jiu yang membuat tangan dan lengannya menjadi sekeras baja.

“Dukkk……!” Keduanya terpental ke belakang. Hek-bin Moko terkejut bukan main. Sama sekali tidak disangkanya bahwa di tempat itu dia akan bertemu seorang pemuda yang demikian lihainya! Sementara itu, Pek-bin Moko karena tidak ada yang menghalanginya, dengan mudah dapat menyambar patung Dewi Kwan Im yang beratnya sekitar duapuluh kati itu dan mengempitnya dengan tangan kiri. Dia melompat dari atas meja. Melihat ini, Ui Kiang yang biarpun tidak pandai silat seperti adiknya, mencoba untuk menghalanginya.

“Jangan curi patung itu!” katanya. Akan tetapi Pek-bin Moko menyambutnya dengan bacokan pedang yang sudah dicabutnya dengan tangan kanan.

“Singgg…… carttt……!” Darah muncrat dan tubuh Hartawan Ui roboh mandi darah karena pundak dan dadanya terbacok pedang. Ui Kiang menubruk ayahnya.

“Ayahhhhhh……!” Dia berteriak dengan sedih. Ayahnya tadi sengaja menghadang serangan pedang Pek- bin Moko untuk melindunginya, dan ayahnya yang menjadi korban pedang itu!

Pek-bin Moko menggerakkan pedangnya lagi untuk membacok Ui Kiang, akan tetapi tiba-tiba sesosok bayangan merah berkelebat masuk.

“Trangggg……!” Bunga api berpijar ketika pedang di tangan Pek-bin Moko itu bertemu dengan Sin-hong- kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangan Bwee Hwa yang menangkisnya.

Merasa betapa tangannya yang memegang pedang tergetar hebat, Pek-bin Moko terkejut dan marah. Dia lalu menyerang Bwee Hwa yang melompat ke belakang untuk mencari tempat yang lebih lega. Pek- bin Moko mengejar dan mereka berdua sudah terlibat dalam perkelahian pedang yang seru dan mati- matian.

Sementara itu, Sam-kauwcu atau Ban Kit, Lie Hoat dan Souw Ban Lip, setelah merobohkan tiga orang hwesio, kini diserang oleh Siong Li yang sudah mengamuk dengan pedangnya. Pemuda itu marah sekali dan merasa menyesal mengapa tadi dia dan Bwee Hwa terhalang banyak orang sehingga kedatangan mereka di ruangan itu agak terlambat dan para penjahat telah merobohkan tiga orang hwesio dan juga Hartawan Ui. Dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya sehingga tiga orang penjahat itu agak kewalahan dan akhirnya mereka bertiga berloncatan keluar untuk mencari tempat yang lebih luas sehingga pengeroyokan mereka akan lebih leluasa.

Ui Kong juga terkejut melihat ayahnya roboh mandi darah. Dia mencabut pedangnya dan hendak menyerang Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya, akan tetapi Hek-bin Moko sudah menyerang dengan pedang sehingga terpaksa dia melayani Iblis Muka Hitam itu.

Ui Kiang tidak memperdulikan mereka yang bertempur. Dengan bantuan dua orang hwesio yang berindap-indap menghampiri dengan takut, dia mengangkat tubuh ayahnya yang mandi darah ke sebelah dalam kuil. Seorang hwesio tua yang paham akan ilmu pengobatan berusaha untuk menolong Hartawan Ui dengan memberi obat kuat untuk diminumkan, lalu obat untuk menghentikan keluarnya darah dan membalut lukanya yang parah. Hartawan Ui belum tewas, akan tetapi keadaannya payah sekali. Luka di pundak terus ke dada itu cukup dalam. Napasnya terengah-engah dan dia berada dalam keadaan tidak sadar.

Sementara itu, perkelahian di luar ruangan depan kuil itu yang kini tampak sepi karena semua pengunjung telah kabur melarikan diri, masih berlangsung seru. Melihat betapa gadis baju merah yang menjadi lawannya itu hebat bukan main memainkan pedangnya yang mengeluarkan bunyi berdengung seperti ada banyak lebah mengurungnya, Pek-bin Moko sengaja bergerak mendekati rekannya, Hek-bin Moko yang masih bertanding melawan Ui Kong. Ternyata pemuda she Ui inipun gagah perkasa karena dia mampu menandingi kehebatan ilmu pedang tokoh Pek-lian-kauw itu.

Yang agak kerepotan malah Siong Li. Biarpun tingkat kepandaiannya lebih tinggi daripada lawan- lawannya, akan tetapi karena mereka maju bertiga me-ngeroyoknya, dan ketiganya memang cukup tangguh, maka dia kewalahan dan Siong Li terpaksa hanya dapat memutar pedangnya sehingga gulungan sinar pedangnya menjadi perisai melindungi seluruh tubuhnya.

Ban Kit yang dulu menjadi ketua agama tingkat tiga memiliki ilmu pedang yang dasarnya adalah Go-bi- kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Go-bi), akan tetapi telah bercampur dengan ilmu pedang Pek-lian-kauw yang memiliki gerakan aneh dan curang sehingga cukup berbahaya. Adapuh Lie Hoat, biarpun lengan kirinya telah buntung dalam perkelahian melawan Siong Li dahulu, ternyata tangan kanannya masih ampuh dengan ilmu silat Kang-jiauw-eng (Garuda Cakar Baja) masih ampuh sekali, tidak kalah berbahayanya dibandingkan senjata tajam. Souw Ban Lip juga amat tangguh dengan goloknya yang lebar dan tipis, amat tajam.

Melihat betapa kawan-kawannya ditandingi orang-orang yang tangguh dan tampaknya tidak akan mudah menang, Pek-bin Moko menjadi khawatir. Dia khawatir kalau-kalau tugas yang mereka pikul gagal. Para pimpinan tertinggi Pek-lian-kauw tentu akan memberi hukuman berat kalau tugas tidak dapat dilaksanakan dengan hasil baik. Karena itu, paling penting adalah menyelamatkan patung emas Kwan-im Pouwsat yang sudah dikempitnya!

“Hek-te (Adik Hitam), dan tiga orang kawan-kawan, lawan terus!” katanya dan tiba-tiba dia meloncat jauh ke depan.

Ketika Bwee Hwa mengejarnya dan berseru nyaring, “Keparat, hendak lari ke mana engkau?”

Tiba-tiba Pek-bin Moko membanting sebuah benda ke atas tanah. Sebuah ledakan terdengar dan tampak asap hitam mengepul tebal. Bwee Hwa terkejut dan cepat melompat ke belakang karena khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Akan tetapi ternyata tidak dan ketika ia hendak mengejar, bayangan Pek-bin Moko telah lenyap.

Dengan marah sekali ia lalu memandang ke arah Hek-bin Moko yang masih bertanding pedang dengan hebatnya melawan pemuda tampan gagah yang lihai itu. Ia terkejut ketika melihat betapa dasar gerakan ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu sama benar dengan dasar gerakan ilmu pedangnya sendiri. Ia teringat! Itulah Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) yang juga menjadi dasar dari Sin-hong Kiamsut (Ilmu Pedang Tawon Sakti) yang sengaja dirangkai oleh gurunya, Sin-kiam Lojin untuk disesuaikan dengan gerakan seorang wanita dan diajarkan kepadanya!

Melihat betapa pemuda itu mampu mengimbangi permainan pedang Iblis Muka Hitam, bahkan mampu mulai mendesaknya, ia menoleh ke arah Siong Li dan terkejutlah ia ketika melihat betapa Siong Li yang dikeroyok tiga oleh lawan-lawannya yang tangguh itu terdesak hebat dan hanya mampu melindungi diri saja! Bwee Hwa menjadi marah sekali. Cepat ia melompat ke arah medan pertempuran itu, tangan kirinya siap dengan jarum-jarumnya. “Bangsat-bangsat rendah, mampuslah!” bentaknya dan ia telah menggerakkan tangan kirinya. Jarum- jarum lembut yang mengeluarkan suara berdengung menyambar ke arah tiga orang yang mengeroyok Siong Li.

Souw Ban Lip dapat menangkis dengan senjata mereka akan tetapi Lie Hoat yang hanya mengandalkan tangan kanan yang tak bersenjata, tak sempat mengelak dan dia roboh terpelanting ketika ada jarum mengenai pundak dan tengkuknya.

Bwee Hwa mengayun pedangnya dan tewaslah Lie Hoat! Setelah membunuh Lie Hoat, Bwee Hwa menyerang Ban Kit yang dulu sempat meloloskan diri.

Ban Kit terkejut dan juga gentar bukan main melihat kini gadis yang berjuluk Ang-hong-cu (Si Tawon Merah) itu menyerangnya dengan pedang yang me-ngeluarkan bunyi seperti ratusan tawon itu. Dia melawan mati-matian, akan tetapi karena gugup dan takut, gerakannya menjadi kacau dan pedang di tangan Bwee Hwa menyambar dari samping. Lambungnya tersayat dan Ban Kit terjungkal roboh untuk tidak bangun kembali.

Pada saat itu juga, Souw Ban Lip juga roboh oleh pedang Siong Li. Setelah dia hanya menghadapi seorang lawan saja, Siong Li yang memang lebih tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah mengalahkan Souw Ban Lip. Tiga orang anak buah Pek-lian-kauw itu tewas semua.

Melihat betapa tiga orang kawannya tewas dan Pek-bin Moko sudah melarikan diri sehingga dia tinggal seorang diri, Hek-bin Moko menjadi gentar dan diapun ingin melarikan diri. Dia sudah mengeluarkan sebuah alat peledak dan siap membanting alat peledak yang menimbulkan asap tebal itu. Akan tetapi sekali ini Bwee Hwa telah waspada karena tadi ia telah tertipu oleh Pek-bin Moko dengan alat peledak itu sehingga ia kehilangan lawannya yang menggunakan akal licik.

Kini ia telah siap siaga, maka begitu Hek-bin Moko mengambil sesuatu dari kantung jubahnya, ia mendahuluinya dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar sinar lembut meluncur ke arah tubuh Hek-bin Moko. Pendeta atau anggauta pimpinan cabang Pek-lian-kauw itu tidak menduga akan diserang dengan senjata rahasia yang meluncur demikian cepatnya.

Beberapa batang Hong-cu-ciam (Jarum Tawon) mengenai tenggorokan, dada dan perutnya dan robohlah Hek-bin Moko. Alat peledak itupun ikut terbanting dan terdengarlah ledakan dibarengi asap tebal mengepul. Akan tetapi setelah asap itu membuyar, tampak tubuh Hek-bin Moko terbujur kaku karena sudah tewas.

Siong Li menhampiri, menyingkap jubahnya dan di bawah jubah itu tampak lukisan setangkai bunga teratai putih di bajunya yang putih, yang membuktikan bahwa dia adalah seorang pimpinan Pek-lian- kauw.

Tiba-tiba Ui Kong berseru, “Ayah.    !”

Dan tanpa memperdulikan Bwee Hwa dan Siong Li, dia melompat dan berlari memasuki kuil yang telah kosong dan sepi itu.

Siong Li memberi isyarat kepada Bwee Hwa dan keduanya juga lari memasuki kuil karena tadi Siong Li juga melihat robohnya Hartawan Ui. Ketika Siong Li dan Bwee Hwa memasuki ruangan dalam kuil itu, mereka melihat laki-laki berusia limapuluh tahun itu menggeletak di atas dipan. Bajunya telah ditanggalkan dan tampak pundak dan dadanya dibalut kain putih. Laki laki ini adalah Ui Cun Lee yang telah dikenal Siong Li. Ui Kiang duduk di atas bangku dekat dipan dan Ui Kong yang baru datang berlutut di dekat dipan. Seorang hwesio kurus tua duduk di atas sebuah kursi.

“Ayah……!” Ui Kong berseru, lalu dia memegang lengan kakaknya. “Kiang-ko, bagaimana keadaan ayah kita?”

Ui Kiang memandang adiknya dan menghela napas dengan wajah sedih. “En-tahlah, Kong-te, lo-suhu ini sudah berusaha mengobatinya, akan tetapi lukanya amat parah dan dia mengeluarkan banyak darah……”

Ui Kong lalu bangkit berdiri dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan hwesio tua itu. “Lo-suhu, tolonglah ayah kami. Obati dan sembuhkan dia, lo-suhu. !”

“Omitohud, siapa yang tidak akan suka menolong Ui-wangwe ( Hartawan Ui) yang terkenal bijaksana dan dermawan? Pinceng (saya) sudah berusaha se-mampunya, akan tetapi semua hasilnya terserah kepada Yang Maha Kuasa, Omitohud!” kata pendeta itu sambil merangkap kedua tangan di depan dadanya.

Pada saat itu, Hartawan Ui bergerak membuka matanya dan mengeluh panjang.

“Ayah……!” Ui Kiang dan Ui Kong berseru, mendekati ayah mereka. Akan tetapi Ui Cun Lee mencari-cari dengan pandang matanya, lalu bertanya, suaranya lemah.

“Mana ia.......? Mana Lim Bwee Hwa      ?”

Kedua orang kakak beradik itu bingung karena mereka sendiri tidak tahu di mana gadis yang ditanyakan ayah mereka itu. Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, Siong Li segera menarik tangan, Bwee Hwa untuk maju menghampiri pembaringan dan berkata.

“Paman Ui, inilah nona Lim Bwee Hwa!”

Ui Kiang dan Ui Kong menoleh dan terbelalak memandang gadis berpakaian merah yang tadi mereka lihat membela mereka dengan gagah perkasa. Mereka lalu bangkit dan memberi ruang kepada Siong Li dan Bwee Hwa. Gadis itu merasa terharu dan iba kepada Ui Cun Lee. Ia maju dan berlutut di dekat pembaringan sambil berkata.

“Paman, sayalah Lim Bwee Hwa dan maafkan bahwa saya terlambat menolong paman tadi.”

Hartawan Ui melebarkan matanya untuk dapat memandang gadis itu lebih jelas. Lalu dia tampak tersenyum girang. “Hemmm, engkau cantik seperti ibumu dan seperti ayahmu! Aku aku

senang.........” Hartawan Ui itu terengah-engah, lalu menoleh kepada anak-anaknya. “.......Kiang-ji dan Kong-ji ”

“Ya, ayah.” Kedua orang pemuda itupun berlutut tak jauh dari Bwee Hwa. “…… katakan.      siapa di antara…… kalian…… yang setuju……?”

“Saya siap melaksanakan perintah ayah,” kata Ui Kiang. “Aku setuju, ayah!” kata Ui Kong.

Biarpun dengan lemas, lemah dan napas terengah-engah, Hartawan Ui tertawa sehingga dia terbatuk- batuk. “Ha-ha...... ugh-ugh-ugh…… kalian selalu berebut…… sekarang, kuserahkan keputusannya…… kepadamu, Bwee Hwa....... Engkau kuterima...... menjadi mantuku....... dan engkau berhak. memilih

di antara...... kedua...... putera...... ku...... i...... ni.......” Hartawan Ui terkulai, matanya terpejam dan napasnya berhenti.

“Ayah.    !!” Ui Kiang dan Ui Kong menubruk ayah mereka, mengguncang tubuh itu, akan tetapi Ui Cun

Lee telah mati.

Ui Kiang menangis seperti anak kecil. Ui Kong tadinya juga menangis, akan tetapi kemudian tiba-tiba dia bangkit berdiri, mencabut pedangnya dan sambil mengacungkan pedangnya ke atas, dia berkata dengan suara bergetar penuh kemarahan dan dendam.

“Aku Ui Kong, bersumpah, tidak akan berhenti sebelum dapat membalas dendam kematian ayahku. Akan kubunuh jahanam bermuka putih itu dan konco-konconya!!”

Mendengar ucapan yang lantang ini, Ui Kiang juga berdiri dan merangkul adiknya. Dia mengusap air matanya dan berkata kepada adiknya. “Kong-te, tenanglah. Yang terpenting sekarang kita bawa pulang jenazah ayah dan mengurus pemakamannya baik-baik.”

Siong Li yang merasa kasihan kepada kakak beradik ini lalu berkata, “Jiwi Ui-kongcu (kedua tuan muda Ui), perkenalkan, nona ini adalah Nona Lim Bwee Hwa dan aku sendiri bernama Ong Siong Li, seorang sahabat yang ikut merasa berduka atas musibah yang menimpa keluarga ji-wi (anda berdua).”

Empat orang itu saling memberi hormat dengan nnengangkat kedua tangan depan dada. “Perkenalkan, aku bernama Ui Kiang dan ini adalah adikku Ui Kong. Kami berdua mengucapkan terima kasih atas bantuan Nona Lim Bwee Hwa dan saudara Ong Siong Li yang ikut menghadapi lima orang penjahat tadi.”

Bwee Hwa merasa tidak enak kalau berdiam diri saja. Memang pada dasarnya ia seorang gadis yang bebas dan tidak malu-malu, maka iapun berkata, “Apa yang dikatakan Ui toa-kongcu (tuan muda pertama Ui) tadi memang benar sekali. Ui ji-kongcu (tuan muda kedua Ui) harap tenang dan bersabar. Memang, penjahat muka putih yang lolos itu, yang menurut keterangan Li-ko adalah Pek-bin Moko, harus dikejar dan bersama teman-temannya harus dibasmi. Percayalah, aku dan Li-ko siap membantu untuk membalas kematian Paman Ui dan juga untuk merebut kembali patung Kwan-im Pouwsat dari kuil ini.”

Dua orang kakak beradik Ui itu memandang dan mendengarkan ucapan Bwee Hwa. Keduanya merasa kagum bukan main. Gadis yang “dijodohkan” dengan seorang di antara mereka itu benar-benar hebat. Cantik jelita, gagah perkasa, dan juga cerdik dan pandai bicara, tidak malu-malu seperti gadis biasa. Sungguh jauh melampaui perkiraan mereka! “Aku protes, nona! Sungguh tidak enak dan terasa asing mendengar engkau menyebut kami dengan sebutan Ui toa-kongcu dan Ui ji-kongcu, juga mendengar saudara Ong Siong Li menyebut kami kongcu (tuan muda). Bukankah di antara kita terdapat hubungan dekat? Apalagi setelah kita bersama-sama melawan lima orang penjahat tadi. Nona, tidakkah sudah sepantasnya kalau engkau menyebut kakakku ini cukup dengan Kiang-ko (kakak Kiang) dan menyebut aku dengan Kong-ko (kakak Kong) saja, sedangkan kami menyebutmu dengan Hwa-moi (adik Hwa)?”

Bwee Hwa tersenyum dan mengangguk. “Begitupun baik dan boleh saja, Kong-ko.”

“Bagus!” kata Ui Kong. “Terima kasih, Hwa-moi. Dan engkau, saudara Ong Siong Li. Engkaupun kami anggap sebagai sahabat baik sendiri, maka sudah sepatutnya kita saling memanggil seperti saudara, menurut banyaknya usia masing-masing. Berapa usiamu sekarang?”

Siong Li juga tersenyum. Dia menyukai sikap keterbukaan Ui Kong yang tampak jujur dan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup lihai itu.

“Usiaku sekarang duapuluh dua tahun,” jawabnya.

“Wah, kalau begitu, di antara kita bertiga, Kiang-ko yang paling tua, kemudian engkau, dan yang paling muda adalah aku. Jadi aku harus menyebutmu Li-ko (kakak Li). Nah, sekarang kita seperti keluarga sendiri dan kami ingin sekali mengetahui riwayat kalian masing-masing,” kata Ui Kong.

“Kong-te, kurasa hal itu akan terlalu panjang dan makan waktu untuk dibicarakan. Padahal, yang terpenting sekarang adalah membawa jenazah ayah pulang dan mengurus pemakamannya. Biarlah kelak kalau semua pengurusan jenazah beres, kita sambung lagi pembicaraan ini.”

“Tepat sekali apa yang dikatakan Kiang-ko itu, Kong-te!” kata Siong Li yang merasa kagum kepada putera pertama Hartawan Ui yang bijaksana.

“Akupun setuju!” kata Bwee Hwa. “Mari kita atur untuk membawa pulang jenazah Paman Ui, Kiang-ko dan Kong-ko!”

Dengan bantuan para hwesio Kuil Ban-hok-si, jenazah Ui Cun Lee dinaikkan ke atas kereta keluarga Ui yang masih berada di luar pekarangan. Jenazah itu diangkut ke kota Ki-lok, dikawal oleh empat orang muda itu. Adapun para hwesio Kuil Ban-hok-si sibuk menguburkan empat orang mayat para penjahat yang tewas dalam pertempuran tadi.

Selama upacara kematian sampai ke pemakaman yang makan waktu tiga hari tiga malam, di mana seluruh penduduk kota Ui Cun Lee datang melayat. Bwee Hwa dan Siong Li mendapatkan masing-masing sebuah kamar di rumah gedung keluarga Ui yang kini hanya tinggal Ui Kiang dan Ui Kong berdua.

Setelah upacara pemakaman selesai dan jenasah Ui Cun Lee dimakamkan di tanah kuburan di luar kota Ki-lok yang jaraknya belasan lie (mil) dari kota itu, kakak beradik Ui itu mengajak Bwee Hwa dan Siong Li bicara di ruangan depan rumah gedung mereka.

Melihat wajah kedua orang kakak beradik itu muram, Bwee Hwa merasa iba dan setelah mereka duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil minum teh yang disuguhkan pelayan, ia berkata. “Kiang-ko dan Kong-ko, aku sungguh ikut merasa berduka cita atas kematian ayah kalian.” “Hemm, aku pasti akan membalas dendam kepada mereka, setelah jenazah ayah dimakamkan!” kata Ui Kong dengan gemas.

“Sudahlah, Hwa-moi, hal itu sudah berlalu. Setiap kematian memang menda-tangkan duka, akan tetapi setiap kematianpun adalah takdir manusia yang tak dapat dihindarkan. Kita tidak boleh terlalu tenggelam dalam duka. Sekarang, mari kita lanjutkan perakapan kita tempo hari dengan menceritakan riwayat masing-masing agar perkenalan di antara kita lebih akrab,” kata Ui Kiang.

“ltu benar!” kata Ui Kong. “Kita mulai dari riwayatmu, Hwa-moi. Aku tertarik sekali melihat permainan pedangmu karena kalau tidak salah, permainan pedangmu itu memiliki dasar yang sama dengan ilmu pedangku. Dari manakah engkau mempelajari ilmu pedangmu itu?”

“Aku sendiripun heran melihat engkau memainkan pedangmu, Kong-ko, karena akupun melihat persamaan dasar ilmu pedang kita. Bahkan aku dapat menduga, kalau tidak salah ilmu pedangmu itu adalah Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti), bukan?”

“Wah, tepat sekali! Eh, Hwa-moi, cepat katakan, siapa yang mengajarmu ilmu pedang itu? Aku sudah ingin sekali mendengarnya!” kata Ui Kong.

“Yang mengajarkan adalah Sin-kiam Lojin (Orang Tua Pedang Sakti),” kata Bwee Hwa.

“Sin-kiam Lojin dari Heng-san? Dia itu adalah Toa-suhengku (kakak sepergu-ruan tertua)! Bahkan dia yang mengajarku, mewakili mendiang suhu Pek-mau Sanjin (Manusia Gunung Rambut Putih). Jadi, biarpun kedudukannya sebagai kakak seperguruanku, sebenarnya dia itu guruku juga,” seru Ui Kong girang.

“Kalau begitu, engkau masih suhengku (kakak seperguruanku) sendiri, Kong-ko!” kata Bwee Hwa gembira.

“Hemm, kalau melihat kedudukan kalian, Kong-te adalah susiok-mu (paman seperguruanmu), Hwa-moi. Engkau adalah keponakan muridnya,” kata Ui Kiang.

Diam-diam Siong Li mendengarkan dengan hati risau. Tampak benar bahwa kakak dan adiknya itu seolah bersaing untuk memperebutkan hati Bwee Hwa!

“Riwayatmu telah kami dengar dari mendiang ayah seperti yang diceritakan Li-te (adik Li) ini kepadanya, Hwa-moi. Dan engkaupun tentu sedikit banyak sudah mendengar cerita Li-te tentang keluarga kami seperti diceritakan mendiang ayah kepadanya. Nah, sekarang kami ingin mendengar tentang riwayatmu, Li-te. Bukankah engkaupun sekarang telah menjadi sahabat kami?” kata Ui Kiang lebih lanjut.

Siong Li tersenyum. “Wah, sebenarnya tidak ada sesuatu yang menarik untuk diceritakan tentang diriku.”

“Aih, hayolah, Li-ko. Berceritalah! Semenjak aku mengenalmu, beberapa bulan yang lalu sampai sekarang, engkau tidak pernah menceritakan tentang asal usulmu kepadaku. Engkau tidak ingin merahasiakan dirimu dari kami semua, bukan?” kata Bwee Hwa. Ong Siong Li menghela napas panjang. “Baiklah, akan kuceritakan tentang diriku yang tidak menarik ini.”

“Tidak menarik?” bantah Bwee Hwa. “Kiang-ko dan terutama engkau, Kong-ko. Ketahuilah bahwa di dunia kang-ouw kakak Ong Siong Li ini terkenal dengan julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Satu)!”

“Eh? Kenapa julukannya begitu aneh? Kulihat Li-te tidak bertanduk, kenapa pakai julukan Naga Bertanduk Satu?” tanya Ui Kiang dengan heran.

“Wah, pernah aku mendengar julukan itu! Menurut kabar yang pernah kudengar, adalah seorang tokoh Thai-san-pai yang lihai? Benarkah itu, Li-ko?” kata Ui Kong.

Siong Li tersenyum. “Untuk menjawab pertanyaan Kiang-ko tadi, mungkin yang dimaksudkan orang- orang yang memberi julukan Naga Bertanduk Satu kepadaku, yang dimaksudkan dengan tanduk itu adalah pedangku ini. Dan apa yang kaudengar itu, Kong-te, memang benar. Aku adalah seorang murid Thai-san-pai (Aliran Persilatan Thai-san).”

“Kiang-ko dan Kong-ko, biarkan Li-ko menceritakan tentang asal usulnya dari semula, tidak dipotong- potong begitu!” cela Bwee Hwa.

Ong Siong Li lalu terpaksa menceritakan tentang dirinya.

“Dia berasal dari sebuah dusun di kaki pegunungan Thai-san sebelah timur, yaitu dusun Ban-ki-cung. Ketika dia berusia sekitar lima tahun, dusun Ban-ki-cung dilanda wabah yang amat ganas. Hampir separuh penduduk dusun itu, berjumlah ratusan orang tewas karena penyakit menular yang ganas. Untung bahwa pada saat wabah itu mengganas, kebetulan Cheng-han Tojin, seorang pertapa yang menjadi ketua dari Thai-san-pai di Thai-san yang sakti dan pandai ilmu pengobatan, lewat di dusun itu. Biarpun dia hanya seorang diri dan kebetulan saja lewat di situ, namun melihat penderitaan rakyat, Cheng-han Tojin bekerja keras dan cepat bertindak.

Setelah memeriksa dan mengetahui jelas jenis wabah penyakitnya, dia lalu mencari akar-akar dan daun- daun obat, kemudian dia mengobati mereka dan ratusan orang dapat diselamatkan. Betapapun juga, sudah ratusan orang mati, termasuk ayah dan ibu Ong Siong Li.

Melihat keadaan anak itu, Cheng-han Tojin merasa kasihan dan dia lalu membawa Siong Li ke Thai-san. Di Thai-san dia dan murid-murid tertuanya menggembleng Siong Li dengan ilmu-ilmu silat Thai-san-pai, juga mengajari ilmu membaca menulis. Cheng-han Tojin sendiri yang lebih banyak duduk diam bersamadhi, lebih banyak mengajarkan tentang filsafat, budi pekerti dan keagamaan kepada Siong Li.

Setelah berusia duapuluh tahun dan menjadi seorang pemuda dewasa, Cheng-han Tojin yang seolah merupakan pengganti orang tuanya, menyuruh dia turun gunung untuk merantau dan mencari pengalaman. Dalam waktu hampir setahun saja Siong Li telah melakukan perbuatan-perbuatan gagah perkasa, menentang penjahat-penjahat besar sehingga dia memperoleh julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Sakti).

Ketika perkumpulan Hwe-coa-kauw merajalela di Tit-le, Siong Li bersama beberapa orang suhengnya dan para pendekar dari aliran lain, bersatu menentang perkumpulan sesat yang amat kuat itu dan akhirnya setelah terjadi pertempuran besar, para pendekar dapat membasmi sarang Hwe-coa-kauw di Title. Akan tetapi seorang suheng dari Siong Li tewas dalam pertempuran itu. Hal ini membuat pemuda itu sakit hati dan mulailah dia melakukan penyelidikan dan dalam perjalanan ini dia bertemu dengan Bwee Hwa dan bersama-sama membasmi sisa-sisa anggauta Hwe-coa-kauw.”

“Nah, demikianlah riwayat hidupku. Tidak ada yang menarik,” Siong Li meng-akhiri ceritanya.

“Menarik sekali, Li-ko. Ternyata engkau seorang pendekar sejati, aku kagum sekali padamu!” kata Ui Kong.

“Dan bagaimana engkau dapat menjadi suheng       eh, susiok dari Hwa-moi, Kong-te?” tanya Siong Li.

“Sejak kecil aku suka mempelajari ilmu silat dan ketika aku berusia sepuluh tahun, secara kebetulan aku bertemu dengan Pek-mau Sanjin (Orang Gunung Rambut Putih). Karena aku melihat dia melompati sebuah jurang di luar kota, aku lalu mohon menjadi muridnya. Dia mengunjungi ayah dan setelah berbicara, ayah mengijinkan aku belajar silat dari Pek-mau Sanjin. Aku lalu diajak ke rumahnya yang berada di puncak Bukit Cemara. Di sana aku digembleng ilmu silat. Akan tetapi karena suhu Pek-mau Sanjin sudah tua renta, aku lalu dilatih oleh dua orang muridnya, yaitu Sin-kiam Lojin dan Beng-san Cinjin. Suhu meninggal dua tahun kemudian dan setelah toa-suheng Sin-kiam Lojin pindah ke Heng-san, aku selanjutnya dilatih oleh ji-suheng (kakak seperguruan kedua) Beng-san Cinjin. Setelah tamat belajar aku pulang.”

“Hemm, menarik juga ceritamu,” puji Siong Li.

“Yang lebih menarik lagi ternyata kita semua ini orang-orang yatim piatu, tidak punya ayah ibu lagi,” kata Bwee Hwa.

Ucapan wajar ini ternyata bagi Ui Kiang yang amat perasa dan peka merupakan tikaman pada jantungnya. Tak tertahankan lagi dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Walaupun dia menahan isak tangisnya, namun kedua pundaknya bergoyang-goyang dan ada juga air mata menetes dari celah- celah jari tangannya.

Sejak perkenalan pertama, Bwee Hwa merasa kasihan kepada Ui Kiang. Ia tahu bahwa Ui Kiang tidak mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia seorang sastrawan, juga seniman. Wataknya yang lembut, sikapnya yang penuh sopan santun, perasaannya yang peka mendatangkan rasa kagum tersendiri dalam hatinya.

Melihat keadaan pemuda itu demikian terpukul oleh ucapannya, Bwee Hwa menyadari kesalahannya. Ia teringat bahwa kakak beradik Ui itu baru saja beberapa hari kehilangan ayah mereka. Maka iapun segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ui Kiang dan menyentuh pundak pemuda itu.

“Kiang-ko, ah, maafkan kata-kataku tadi. Aku tidak bermaksud menyakiti ha-timu, Kiang-ko.”

Mendengar ucapan gadis ini dan merasakan sentuhan pada pundaknya, Ui Kiang cepat mengeluarkan saputangan dan menghapus air matanya sampai bersih, lalu berusaha tersenyum dan memandang kepada Bwee Hwa.

“Terima kasih, Hwa-moi. Tidak ada yang perlu dimaafkan. Akulah yang harus minta maaf karena aku terlampau cengeng. Engkau benar dengan kata-katamu tadi, kita semua ini yatim piatu. Setidaknya kebersamaan ini mengurangi rasa sakit di hati karena mendapat sahabat senasib sependeritaan.” Bwee Hwa tersenyum girang dapat menghibur hati Ui Kiang dan ia duduk di atas kursinya.

Ui Kong bangkit berdiri, kedua tangannya terkepal. “Kiang-ko, jangan bersedih. Hari ini juga aku akan berangkat mencari musuh besar kita, pembunuh ayah kita! Baik-baiklah saja di rumah, aku tidak akan kembali sebelum berhasil membunuh Pek-bin Moko itu!”

Siong Li kembali merasa cemas. Dia tahu bahwa secara diam-diam kedua orang kakak beradik Ui itu sedang bersaing untuk menjadi suami Bwee Hwa. Dia dapat melihat api cemburu bersinar di mata Ui Kong melihat sikap lembut Bwee Hwa terhadap kakaknya tadi! Maka diapun cepat berkata kepada Ui Kong yang masih berdiri.

“Kong-te, kuharap engkau suka tenang dan bersabar. Silakan duduk. Ketahuilah bahwa Hwa-moi dan aku sendiri sudah mengambil keputusan untuk membantumu mencari Pek-bin Moko dan kawan-kawannya, selain untuk membalas kematian Paman Ui, juga untuk merampas kembali patung Dewi Kwan Im dari Kuil Bak-hok-si.”

“Benar, Kong-ko. Duduklah dan mari kita rundingkan dulu bagaimana baiknya,” Bwee Hwa ikut membujuk Ui Kong yang masih berdiri dengan muka merah dan tangan terkepal.

Mendengar bujukan Bwee Hwa ini, Ui Kong lalu duduk kembali dan dia berkata, “Akan tetapi apalagi perlu dirundingkan? Kita pergi saja sekarang juga dan melakukan pengejaran dan pencarian, habis perkara,” kata Ui Kong yang masih belum hilang kemarahannya karena teringat kepada Pek-bin Moko yang telah membunuh ayahnya.

“Ingat, Kong-te, musuh kita tidak boleh dipandang rendah. Engkau menyaksikan sendiri bahwa Hek-bin Moko yang tewas itu adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw, jelas tampak dari pakaian sebelah dalam, di mana terdapat gambar teratai putih. Tentu pasangannya, Pek-bin Moko juga seorang tokoh Pek-lian- kauw. Jadi yang kita hadapi bukan perorangan, melainkan perkumpulan pemberontak golongan sesat itu. Tiga orang anak buah yang tewas itupun merupakan anggauta gerombolan sesat, yang seorang tokoh Hwee-coa-kauw dan yang dua orang lagi bekas anak buah Kauw-jiu Pek-wan. Agaknya mereka bertiga sudah menggabungkan diri dengan Pek-lian-kauw.”

“Nah, kalau begitu kita cari sarang Pek-lian-kauw dan kita basmi mereka!” kata Ui Kong.

“Maaf, Kong-te. Agaknya engkau belum mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw. Tahukah engkau di mana sarang pusat perkumpulan Pek-lian-kauw itu?” tanya Siong Li.

Ui Kong menggeleng kepalanya. “Akan tetapi kita dapat mencari keterangan sampai dapat menemukan sarang mereka!”

“Tidak perlu susah mencarinya. Pusat Pek-lian-kauw berada di Pegunungan Teratai di Propinsi Ho-pei.” “Kalau begitu sekarang juga kita pergi ke sana!”

“Ucapanmu itu membuktikan bahwa engkau sama sekali tidak mengenal Pek-lian-kauw, Kong-te. Ketahuilah, perkumpulan itu pada pusatnya sana teramat kuat. Mereka menduduki daerah Pegunungan Teratai di Propinsi Ho-pei sebelah selatan sampai menyeberang propinsi ke lembah Sungai Kuning bagian utara. Jumlah anggauta mereka mencapai seribu orang lebih. Kaisar sendiri yang bertangan besi, beberapa kali sudah mengerahkan pasukan, namun tak pernah berhasil membasmi perkumpulan itu sampai ke akarnya. Paling-paling hanya membuat perkumpulan itu lari mengungsi, berpindah-pindah di daerah yang sulit karena penuh dengan perbukitan dan anak sungai yang curam itu.”

“Wah, kalau begitu, bagaimana kalian dapat mencari pembunuh ayah itu? Tak mungkin kalian bertiga melawan ribuan orang Pek-lian-kauw!” seru Ui Kiang gelisah.

“Aku yakin bahwa Pek-bin Moko bukan anggauta pusat, Kiang-ko. Pek-lian-kauw mempunyai banyak sekali cabang. Cabang-cabang ini tempatnya tersembunyi, dan anggautanya juga tidak berapa banyak. Kalau Pek-lian-kauw sampai mau mencuri patung emas, berarti pelakunya tentu anggauta sebuah cabang saja untuk mengumpulkan dana. Karena itu, sekarang yang harus dicari adalah di mana adanya cabang Pek-lian-kauw yang berada di sekitar daerah ini,” Siong Li menjelaskan.

Ui Kong tampak lemas dan menghela napas. “Ah, memang sayang sekali, sete-lah dulu aku dilatih oleh suheng Sin-kiam Lojin dan beliau pindah ke Heng-san, aku tidak mau ikut, sehingga aku tidak sempat merantau jauh dan mencari pengalaman. Setelah tamat belajar, aku lalu pulang dan tak pernah meninggalkan ayah. Aku hanya menentang kejahatan yang terjadi di sekitar daerah Ki-lok saja sehingga aku hampir buta tentang dunia kang-ouw.”

“Aih, tidak perlu berkecil hati, Kong-ko. Aku sendiripun tidak memiliki penge-tahuan seluas Li-ko mengenai dunia kangouw. Dunia kang-ouw itu luas sekali dan memiliki tokoh-tokoh yang terhitung banyaknya. Sekarang jalan terbaik adalah melakukan penyelidikan di mana kiranya ada cabang Pek-lian- kauw di daerah Ki-lok ini atau di daerah Propinsi Hok-kian.”

“Sayang aku bukan seorang ahli silat sehinga aku tidak berdaya untuk mem-bantu kalian. Akan tetapi menurut pendapatku, akan lebih berhasil kalau kalian mencari sarang cabang Pek-lian-kauw itu dari para penjahat di daerah ini. Bukankah ada ucapan orang bijaksana yang mengatakan bahwa burung gagak selalu bergaul dengan burung gagak dan burung Hong hanya mau berpasangan dengan burung Hong lainnya? Mencari sarang perkumpulan jahat harus melalui para penjahat. Dan aku mendengar bahwa dalam Propinsi Hok-kian ini, gerombolan penjahat yang paling terkenal adalah Gerombolan Sembilan Naga di lembah Sungai Kiu-liong (Sungai Sembilan Naga). Entah benar atau tidak pendapatku ini.”

“Wah, hebat! Benar sekali pendapatmu itu, Kiang-ko! Hampir aku lupa. Memang, gerombolan yang menamakan dirinya Gerombolan Sembilan Naga itu amat terkenal dan sukar dibasmi karena daerah mereka amat luas, di sepanjang lembah Sungai Kiu-liong,” kata Ui Kong.

“Kalau begitu, ke sanalah kita pergi! Biasanya, gerombolan penjahat akan lari mengungsi kalau diserbu pasukan pemerintah yang besar jumlahnya. Akan tetapi kalau hanya kita bertiga yang muncul, tentu mereka akan memandang rendah dan kita dapat bertemu dengan pimpinan mereka untuk mencari keterangan tentang cabang Pek-lian-kauw di Propinsi Hok-kian ini,” kata Siong Li.

“Bagus, kita berangkat sekarang!” kata Bwee Hwa.

Kedua orang kakak beradik Ui itu mengadakan persiapan. Ui Kiang yang tidak pandai ilmu silat tentu saja tidak dapat ikut karena dia tidak akan dapat membantu malah hanya menjadi beban karena yang lain harus melindunginya. Ui Kiang dan adiknya mempersiapkan tiga ekor kuda yang baik. Juga Ui Kong membawa sekantung uang bekal dalam perjalanan yang belum mereka ketahui berapa lamanya itu. Setelah persiapan selesai, tiga orang muda perkasa itu, Ui Kong, Siong Li, dan Bwee Hwa, berangkat menunggang kuda keluar dari kota Ki-lok, menuju ke lembah Sungai Kiu-liong.

Melakukan perjalanan diapit dua orang pemuda yang ia tahu sama-sama mencintanya, Bwee Hwa merasa bingung. Apalagi kalau ia teringat Ui Kiang yang tidak ikut. Ia tahu bahwa Ui Kiang, pemuda sasterawan itu, juga jatuh cinta padanya. Tiga orang pemuda mencintanya dan ia harus memilih seorang di antara mereka! Atau lebih tepat lagi, karena oleh mendiang ibunya ia sudah dijodohkan dengan putera keluarga Ui, ia harus memilih antara Ui Kiang dan Ui Kong.

Secara resmi, Siong Li sudah berada di luar hitungan. Semua ini membuat ia merasa bingung sekali. Dua orang saudara Ui itu sama baiknya, yang seorang lemah lembut dan bijaksana, juga terpelajar tinggi. Yang seorang lagi gagah perkasa, memiliki ilmu silat yang tangguh. Keduanya sama tampan menarik pula! Baru memilih di antara keduanya ini saja sudah membingungkan.

Apalagi kalau ia teringat kepada Siong Li! Pemuda ini telah banyak jasanya, dan ia sudah membuktikan sendiri bahwa pemuda ini amat mencintanya, juga merupakan seorang pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Ia menjadi bingung, tidak tahu harus memilih yang mana!

Bwee Hwa tidak tahu betapa sejak tadi Ui Kong memperhatikannya. Ketika itu, matahari telah naik tinggi. Mereka telah melakukan perjalanan beberapa hari dan terik matahari yang menyengat membuat mereka merasa lelah. Juga kuda mereka tampak kelelahan.

“Sebaiknya kita berhenti mengaso di sini agar kuda kita juga dapat mengaso,” kata Siong Li yang dianggap sebagai pemimpin mereka.

Mereka berhenti di tepi sebuah hutan, melepas kuda agar dapat makan rumput yang tumbuh subur di bawah pohon-pohon. Mereka bertiga lalu duduk di bawah pohon yang teduh, duduk di atas batu-batu yang banyak terdapat di situ. Ui Kong segera menurunkan bekal makanan dan minuman dari atas sela kudanya. Roti dan daging kering merupakan makanan lezat pada saat itu, dan minumannya hanya air jernih yang dituang dari guci.

Sehabis makan mereka membiarkan tubuh mereka beristirahat dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ui Kong untuk menyatakan perasaan hatinya melihat Bwee Hwa sejak tadi banyak termenung.

“Hwa-moi, aku melihat wajahmu sejak tadi tampak muram. Kenapakah, Hwa-moi? Ah, aku merasa menyesal sekali bahwa karena urusan keluarga kami, engkau dan juga Li-ko menjadi ikut repot dan bersusah payah menemani aku untuk mencari pembunuh ayah.”

“Ah, kenapa engkau berpendapat seperti itu, Kong-ko? Aku termenung bukan sekali-kali karena merasa repot mengejar pembunuh ayahmu. Hal itu memang sudah menjadi kewajibanku menentang kejahatan!” kata Bwee Hwa.

“Benar apa yang dikatakan Hwa-moi, Kong-te. Selain mencari pembunuh Paman Ui Cun Lee, juga kita sudah sepatutnya merampas kembali Patung Kwan Im yang dicuri dan dilarikan Pek-bin Moko tokoh Pek-lian-kauw. Semua itu, seperti dikatakan Hwa-moi tadi, sudah menjadi tugas kewajiban kita, sama sekali tidak merepotkan dan menyusahkan!” Ui Kong tersenyum dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat. “Terima kasih banyak. Memang jiwi (kalian berdua), Hwa-moi dan Li-ko adalah pendekar-pendekar budiman yang bijaksana dan gagah perkasa. Akan tetapi, aku melihat Hwa-moi banyak melamun sehingga timbul pertanyaan itu dalam hatiku. Maafkan aku.”

Bwee Hwa tersenyum. Pada dasarnya, ia seorang gadis periang sehingga tidak dapat lama terbenam dalam lamunan tentang cinta yang membingungkan hatinya tadi. Kini ia memandang wajah Ui Kiong dan tertawa. “Heheh, engkau ini lucu, Kong-ko. Orang melamun saja ditafsirkan. Aku tadi memang melamun karena teringat akan keadaanku yang hidup sebatang kara di dunia yang penuh kejahatan ini.”

“Aih, Hwa-moi, kenapa hal seperti itu diingat lagi? Apa engkau sudah lupa bahwa aku juga seorang yatim piatu dan hidup sebatang kara di dunia ini?” kata Siong Li sambil tertawa pula.

“Dan aku bagaimana? Juga kakakku Kiang-ko? Kami juga tidak mempunyai ayah dan ibu lagi!” kata Ui Kong pula.

“Nah, selain kita berempat, masih banyak sekali manusia di dunia ini yang sudah menjadi yatim piatu. Akan tetapi jangan katakan bahwa kita hidup sebatang kara di dunia yang penuh kejahatan ini, Hwa-moi. Kita tidak sebatang kara. Kita hidup dengan banyak manusia lain. Setidaknya, bukankah kita sekarang ini saling bersahabat dan saling membantu? Dunia tidak hanya terisi kejahatan, Hwa-moi, akan tetapi juga terdapat banyak kebaikan.”

“Ah, aku jadi ingat kepada kakakku. Kiang-ko seringkali bicara tentang kehi-dupan ini, tentang kebaikan dan kejahatan. Sering aku menjadi termangu keheranan kalau dia bicara tentang kehidupan, dan sama sekali kata-katanya itu tidak dapat dibantah dan aku harus mengakui kebenaran ucapannya,” kata Ui Kong.

Hati Bwee Hwa menjadi tertarik sekali. Iapun dapat merasakan bahwa Ui Kiang yang lemah tak pandai silat itu memiliki kelebihan dalam lain hal.

“Apa yang dia katakan tentang kebaikan dan kejahatan, Kong-ko? Aku ingin sekali mendengarnya,” kata Bwee Hwa.

“Dia bicara tentang dua unsur yang membuat dunia ini berputar, yang membuat segala sesuatu berimbang, yaitu Im dan Yang (positive dan negative). Tanpa adanya kedua unsur yang saling berlawan an namun saling menunjang ini, segala sesuatu di alam ini akan mandeg, segala kegiatan alam akan berhenti. Karena itu, keduanya sama pentingnya, misalnya siang dan malam, terang dan gelap, pria dan wanita, dan segala sesuatu dengan kebalikkannya. Juga kebaikan dan kejahatan. Satu antara lain dia berkata begini. Kalau tidak ada kejahatan, mana bisa ada kebaikan? Sebaliknya karena ada kebaikan, maka timbul kejahatan. Yang satu tidak lebih penting daripada yang lain. Demikianlah yang dikatakan kakakku itu.”

Bwee Hwa mengerutkan alisnya. “Kejahatan tidak kalah pentingnya dari pada kebaikan? Wah, yang ini aku kurang mengerti, Kong-ko. Bukankah kejahatan itu bertolak belakang dengan pandangan kita? Bukankah kita oleh guru-guru kita selalu dianjurkan untuk menentang kejahatan? Bagaimana bisa dikatakan bahwa kebaikan tidak lebih penting daripada kejahatan?” Ui Kong mengangkat kedua pundaknya. “Begitulah yang dikatakan kakakku. Kalau engkau hendak mengetahuinya lebih jelas seharusnya ditanyakan kepada Kiang-ko. Aku sendiri juga tidak mengerti jelas.” Lalu Ui Kiong menoleh kepada Siong Li dan berkata, “Li-ko memiliki pengalaman luas, barangkali dapat menjelaskan dan menjawab pertanyaan Hwa-moi tadi?”

Siong Li tersenyum. “Ucapan Kiang-ko itu mengandung arti yang mendalam dan tak dapat dibantah kebenarannya, akan tetapi bagi yang tidak mengerti dapat menimbulkan salah-paham, apalagi bagi orang yang suka berbuat jahat, akan dapat membenarkan perbuatan jahatnya yang dianggap sama pentingnya dengan perbuatan baik.”

“Nah, itulah yang membingungkan aku, Li-ko. Kalau dianggap sama, lalu untuk apa kita membela kebenaran dan menentang kejahatan? Kalau dianggap sama pentingnya, lalu apakah kita seharusnya melakukan kejahatan seperti kita melakukan kebaikan?” bantah Bwee Hwa penasaran.

Siong Li tertawa. “Ha-ha! Bukan begitu, Hwa-moi. Kejahatan, atau keadaan apapun juga yang kita anggap tidak baik, merupakan tantangan dalam hidup ini. Misalnya kalau ada gelap kita akan berusaha untuk mengatasinya kegelapan dengan menyalakan api penerangan dan sebagainya. Kejahatan seperti juga penyakit dan kita harus mengatasinya, menentangnya. Menentang kejahatan dan melakukan kebaikan merupakan kewajiban dalam hidup ini. Melakukan kebaikan berarti membiarkan diri menjadi alat Tuhan, sebaliknya melakukan kejahatan berarti membiarkan diri menjadi alat setan.”

“Nah, kalau begitu, bagaimana dikatakan bahwa kebaikan tidak lebih penting daripada kejahatan? Dan engkau tadi mengatakan bahwa pendapat itu tidak dapat dibantah kebenarannya! Bagaimana ini, Li- ko?”

“Memang sesungguhnya, kita yang tidak mau menjadi alat setan akan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi kejahatan itu sendiri amat penting bagi kehidupan, karena merupakan perimbangan keadaan, seperti siang dan malam tadi, yaitu Im dan Yang. Kalau tidak ada perbuatan jahat, mana ada perbuatan baik? Justeru kejahatan merupakan tantangan bagi manusia untuk memacu kebaikan. Makin hebat kejahatan merajalela, makin tekun orang memperhatikan pelajaran tentang kebaikan. Makin liar setan merajalela, manusia semakin bersemangat untuk mendekatkan diri kepada kepada Tuhan. Makin ganas si penyakit, makin tekun orang mencari obatnya. Semua itu memang harus berimbang, Im dan Yang, saling bertentangan akan tetapi juga saling menunjang. Kekuasaan Tuhan tampak jelas melalui perimbangan ini, melalui Im dan Yang. Bahkan segala yang tampak di dunia ini terjadi karena perpaduan antara Im dan Yang.”

“Wah, aku menjadi pening, Li-ko, biarpun aku dapat mengerti sedikit pen-jelasanmu itu,” kata Bwee Hwa sambil tertawa.

“Ha-ha-ha, sama dengan aku, Hwa-moi!” kata Ui Kong. “Akupun sering merasa pening kalau Kiang-ko bicara tentang semua itu. Akan tetapi dia pernah memberi perumpamaan yang lebih agak jelas. Begini katanya: Dalam batin manusiapun Im dan Yang bekerja sepenuhnya. Baik dan buruk bekerja dalam batin manusia, seolah manusia itu berbatin setengah malaikat setengah iblis. Maka setiap orang manusia itu ada baiknya dan ada pula jahatnya. Kalau dia baik sepenuhnya, maka bukan manusia namanya, melainkan malaikat. Kalau jahat sepenuhnya, diapun bukan manusia melainkan iblis. Terkadang baik dituntun malaikat, terkadang jahat dituntun iblis, itulah manusia!” Mereka bertiga tertawa. Mereka kini sudah cukup beristirahat dan tiga ekor kuda mereka juga sudah cukup mengaso dan makan rumput. Dengan hati gembira setelah bercakap-cakap tadi, Bwee Hwa tidak melamun lagi dan rasa lelah setelah melakukan perjalanan selama tiga hari rasanya hilang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar