Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Jilid 02

 
Jilid 02

“Akan tetapi, seperti sering kali terjadi di dunia ini, siapa yang sadar akan kekuatan dan pengaruh mereka, akan muncul watak sewenang-wenang mengandalkan kekuatan itu. Demikian pula dengan Hwe-coa-kauw. Setelah merasa kuat, mereka tidak puas hanya dengan menerima sumbangan- sumbangan, dan mulailah tampak belang mereka. Tiga kauwcu dan para pembantunya yang memang berasal dari golongan sesat, mulailah melakukan perbuatan sewenang-wenang dan memaksakan kehendak mereka sehingga rakyat yang tadinya percaya dan kagum, mulai memandang dengan alis berkerut, dan akhirnya menjadi ketakutan dan membenci. Hwe-coa-kauw berubah menjadi perkumpulan orang jahat yang tidak segan melakukan perbuatan keji apapun juga. Bahkan mereka berani melakukan penculikan, perkosaan dan peram pasan hak milik orang lain!

“Karena inilah maka banyak pendekar pembela kebenaran dan keadilan bertindak. Mereka bersatu padu dan memusuhi Hwe-coa-kauw yang berpusat di Tit-le itu. Para pendekar dari berbagai partai persilatan ini berhasil mengobrak-abrik sarang Hwe-coa-kauw, membunuh banyak anak buah mereka. Akan tetapi tiga orang kauw-cu (ketua agama) itu berhasil melarikan diri bersama sisa anak buah mereka yang tinggal sedikit.”

“Aku mewakili perguruan Thai-san-pai bergabung dengan para pendekar itu,” Siong Li melanjutkan ceritanya. “Aku amat membenci para pimpinan Hwe-coa-kauw itu karena mereka telah membunuh seorang suheng (kakak seperguruan) yang pernah mencoba menentang mereka seorang diri saja. Maka setelah mereka melarikan diri, aku segera mengejar mereka dan melakukan penyelidikan. Akhirnya aku mendapat keterangan bahwa ke tiga orang kauw-cu itu menyusun anak buah mereka dan membangun sarang baru di sebuah hutan besar dekat kota Ki-ciu, maka aku segera menyelidiki ke sini.”

Bwe Hwa yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh kekaguman, bertanya. “Dan engkau telah menemukan sarang mereka yang baru itu?” “Kebetulan saja ketika aku sedang menyelidiki ke hutan, aku melihat mereka membawa lari seorang gadis. Aku segera mencoba untuk menolongnya. Akan tetapi ketika tiga orang pemimpin mereka yang mereka sebut Toa-kauwcu (Ketua Agama Pertama) Ji-kauwcu (Ketua Agama kedua) dan Sam-kauwcu (Ketua Agama ke Tiga) maju mengeroyokku, terpaksa aku melarikan diri karena aku tidak mampu menandingi pengeroyokan mereka yang lihai. Dan ketika melihat engkau mengejarku, kukira engkau seorang di antara mereka. Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat bentrok dengan mereka dan siapa pula gadis yang mereka culik dan larikan itu.”

Bwee Hwa dengan singkat menceritakan tentang pertemuannya dan perkenalannya dengan Jaksa Thio dan anak isterinya. “Jaksa Thio itu seorang pejabat yang adil dan jujur. Isterinya juga ramah dan puterinya, Thio Cin Lan, adalah seorang gadis yang cantik dan lembut. Ketika malam tadi aku bermalam di rumah Keluarga Jaksa Thio, penjahat-penjahat itu menyerang dan aku cepat melawan mereka. Tidak tahunya mereka itu membakar belakang gedung dan selagi aku sibuk melawan penjahat dan semua pengawal memadamkan api, penjahat mempergunakan kesempatan itu untuk menculik Enci Cin Lan. Aku merasa heran sekali mengapa Hwe-coa-kauw itu memusuhi Jaksa Thio seperti itu?”

“Tidak aneh, li-hiap. Agaknya Hwe-coa-kauw bermaksud untuk menanam pengaruh di daerah Ki-ciu. Mendengar akan keadilan dan kejujuran Jaksa Thio, tentu saja mereka ingin menyingkirkan pejabat yang berbahaya bagi mereka itu.”

“Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong), sukakah engkau bersamaku membasmi sarang Hwe-coa-kauw yang jahat itu dan menolong Thio Cin Lan?” tanya Bwee Hwa sambil menatap tajam wajah pemuda itu.

Ong Siong Li tersenyum. “Tentu saja, hal itu tidak perlu ditanyakan lagi. Akan tetapi harap engkau jangan menyebut tai-hiap (pendekar besar) kepadaku.”

“Tentu saja aku menyebut tai-hiap, karena engkaupun menyebutku li-hiap (pendekar wanita)!” “Ha-ha, baiklah, aku yang salah, lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”

Bwee Hwa juga tersenyum. “Jawab dulu pertanyaanku. Aku harus menyebutmu apa?”

“Kita orang segolongan dan sealiran, sudah seperti saudara sendiri. Karena aku sudah berusia duapuluh satu tahun dan tentu lebih tua ketimbang engkau, maka bagaimana kalau engkau menyebut aku toako (kakak) saja?”

“Baiklah, Li-ko (kakak Li) dan engkau sebut aku Hwa-moi (adik Hwa).”

“Hwa-moi, kalau begitu mari kita pergi menyelidiki sarang Hwe-coa-kauw di dalam hutan besar itu. Mereka menggunakan sebuah kuil tua yang sudah kosong sebagai sarang dan mereka telah membangun kembali kuil itu. Akan tetapi kita harus berhati-hati, karena tiga orang kauw-cu itu benar-benar lihai sekali.”

“Baik, mari kita pergi.”

Keduanya lalu bangkit dan pergi menuju sarang Hwe-coa-kauw dengan Siong Li sebagai penunjuk jalan. Dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, tubuh kedua orang pendekar muda itu melesat seperti terbang saja cepatnya. Thio Cin Lan membuka kedua matanya. Ia merasa seperti dalam mimpi, mimpi yang buruk sekali, bermimpi bahwa ia diculik seorang laki-laki berkepala gundul yang membawanya lari seperti terbang keluar dari rumah orang tuanya di Ki-ciu. Kini ia sudah terbangun dan tentu mendapatkan dirinya tertidur dalam kamarnya dan semua tadi hanya mimpi kosong belaka.

Ia membuka matanya, mengeluh lirih dan bangkit duduk, menggosok-gosok kedua matanya dengan punggung tangan. Ia tidak berada dalam kamarnya sendiri! Ia rebah di atas sebuah pembaringan bertilam merah, dalam sebuah kamar yang sama sekali asing! Oh, ia tidak bermimpi! Ia benar-benar diculik dan dilarikan orang lalu kini dikeram dalam kamar ini!

Cin Lan cepat turun dari pembaringan, bermaksud untuk melarikan diri keluar dari dalam kamar itu. Akan tetapi, tiba-tiba muncul lima orang wanita muda yang cantik-cantik dan mereka segera memegang kedua lengannya.

“Thio-siocia (Nona Thio), engkau tidak boleh keluar dari kamar ini. Seorang nona pengantin tidak boleh keluar dari kamar ini sebelum pernikahan disahkan!” kata seorang di antara lima wanita itu.

“Apa? Kau gila! Siapa yang menjadi nona pengantin? Siapa yang akan menikah?” bentak Cin Lan.

“Nona pengantinnya adalah engkau, Thio-siocia! Engkau yang akan menikah dengan Hwe-coa-sian (Dewa Ular Terbang) dan menjadi dewi!” jawab lima orang wanita itu hampir berbareng.

“Tidak! Kalian gila! Lepaskan aku……!” Cin Lan meronta-ronta dan mengamuk, akan tetapi lima orang gadis itu memeganginya dan tentu saja ia kalah kuat menghadapi lima orang wanita itu.

Cin Lan adalah seorang gadis terpelajar. Tentu saja ia tidak mau percaya sama sekali akan bujukan mereka yang penuh tahyul itu. Akan tetapi ia cukup cerdik untuk mengetahui bahwa ia berada dalam tangan orang-orang yang percaya akan tahyul, maklum bahwa ia berada dalam ancaman bahaya besar. Maka, ia pura-pura bersikap mengalah dan tidak meronta lagi sehingga lima orang wanita itu mengendurkan pegangan mereka. Cin Lan menggunakan kesempatan ini untuk tiba-tiba meronta dan berlari lepas dari tangkapan mereka, langsung lari ke pintu kamar yang terbuka.

Akan tetapi tiba-tiba ia menjerit kecil dan menahan larinya, bahkan lalu melangkah mundur sambil menatap wajah orang yang tiba-tiba muncul di ambang pintu dengan mata terbelalak. Yang muncul itu adalah seorang bertubuh tinggi kurus, berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan ia ingat bahwa orang inilah yang menculiknya keluar dari rumah orang tuanya di Ki-ciu.

Laki-laki berpakaian jubah pendeta dan kepalanya gundul itu tersenyum mengejek. Wajahnya cukup tampan akan tetapi kulit mukanya pucat kekuningan. Inilah Sam-kauwcu (Ketua Agama ketiga) dan ketika lima orang gadis itu melihat dia memasuki kamar, mereka segera menjatuhkan diri berlutut dengan memberi hormat secara merendah sekali. Mereka menjulurkan kedua tangan ke depan dan mencium lantai, seperti para hamba yang memberi hormat kepada rajanya!

Pendeta tinggi kurus itu memasuki kamar dan menghampiri Cin Lan yang masih berdiri memandangnya dengan mata bersinar penuh keberanian dan kemarahan. “Nona, mengapa engkau menentang nasibmu yang amat baik ini? Ketahuilah, jika engkau menjadi pengantin Dewa Ular Terbang, engkau akan menjadi dewi dan hidupmu akan berbahagia dan terhormat.”

Mengingat bahwa orang ini yang menculiknya, Cin Lan menjadi marah dan ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Sam-kauwcu lalu membentak, “Penjahat yang berkedok pendeta! Siapa sudi mendengar ocehanmu? Cepat antarkan aku kembali, kalau tidak ayah tentu akan mengirim para pengawal untuk menyeretmu di depan meja pengadilan dan menghukum dengan seribu kali cambukan!”

Sam-kauwcu tersenyum menyeringai dan berkata, “Kalau begitu, terpaksa kami menggunakan kekerasan!” Tangannya menyambar ke depan dengan cepat sekali dan tahu-tahu Cin Lan telah tertotok dua kali yang membuat ia menjadi lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara. Lima orang wanita pelayan, itu cepat memeluk tubuh Cin Lan sehingga tidak jatuh terkulai di atas lantai.

“Cepat dandani ia dengan pakaian pengantin yang sudah dipersiapkan karena upacara pernikahan akan dilangsungkan hari ini juga!” kata Sam-kauwcu kepada lima orang wanita pelayan itu, lalu diapun keluar dari dalam kamar.

Thio Cin Lan sama sekali tidak berdaya melawan ketika ia dimandikan oleh lima orang wanita itu, kemudian pakaian baru dikenakan pada tubuhnya. Pakaian dalam dari sutera halus, lalu pakaian luamya adalah pakaian mempelai berwarna merah berkembang-kembang dari kain tipis tembus pandang sehingga bentuk tubuhnya yang langsing dan kulitnya yang putih mulus itu membayang di balik pakaian pengantin itu. Rambutnya disisir rapi dan digelung secara indah, dihias tiara penuh mutiara. Wajahnya juga dihias sehingga Cin Lan tampak benar-benar cantik jelita dan agung bagaikan seorang bidadari!

Lewat tengah hari terdengar bunyi canang dan tambur. Mempelai perempuan diarak keluar dari kamarnya menuju ke ruangan tengah di mana semua anggauta Hwe-coa-kauw telah berkumpul. Di tengah-tengah ruangan itu dikelilingi oleh para anggauta yang duduk agak jauh, terdapat sebuah bangku tinggi yang sudah dihias dengan bunga-bunga dan kertas berwarna.

Cin Lan yang masih berada di bawah pengaruh totokan, tak mampu meronta atau berteriak, dinaikkan ke atas bangku tinggi dan didudukkan di sana. Gadis yang tak berdaya itu hanya dapat duduk lemas dan sepasang matanya memandang dengan penuh rasa ngeri. Di depannya, kurang lebih dua tombak jauhnya, terdapat sebuah kotak emas yang tergantung oleh tali dari tiang penglari. Kotak itu seluruhnya terbuat dari emas dan diukir indah, ukiran berbentuk seekor ular yang sedang terbang. Walaupun tidak diberitahu, Cin Lan dapat merasakan bahwa bahaya yang mengancam dirinya tentu datang dari kotak emas yang aneh itu, maka ia memandang ke arah kotak emas itu dengan gelisah.

Semua anggauta gerombolan itu tidak ada yang mengeluarkan suara, hanya mata mereka memandang ke arah gadis itu dengan mata kagum dan penuh gairah. Dari pandang mata mereka tampak kesan seolah mereka hendak menelan gadis itu bulat-bulat! Hal ini terasa oleh Cin Lan dan menambah kengerian hatinya. Siapa takkan merasa ngeri, dalam keadaan tidak berdaya berada di tengah-tengah kurang lebih tigapuluh orang laki-laki yang tampak buas dan pandang mata mereka seperti orang berotak miring itu! Di bawah gantungan kotak emas itu duduk tiga orang pendeta berkepala gundul dan berjubah longgar. Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok namun kepalanya gundul, matanya mencorong lebar, usianya kurang lebih limapuluh lima tahun. Inilah Toa-kauwcu, ketua agama yang pertama.

Yang kedua adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, pendek gendut sekali sehingga dia seperti seekor babi saja, wajahnya tampak lucu dan sama sekali tidak serem walaupun dia berusaha untuk membuat wajahnya tampak serem. Dia adalah Ji-kauwcu, ketua kedua. Adapun orang ketiga adalah Sam-kauwcu yang tinggi kurus berwajah pucat kekuningan dan berusia empatpuluh tahun itu. Mereka bertiga duduk di atas kursi-kursi berukir dengan gambar ular terbang.

Setelah menaikkan Cin Lan ke atas bangku tinggi itu, lima orang pelayan wanita itu lalu mengundurkan diri ke dalam kamar atau ruangan di bagian belakang bangunan besar bekas kuil itu, seperti para wanita pelayan yang lain. Mereka itu dilarang menyaksikan upacara perkawinan. Cin Lan ditinggalkan seorang diri dan gadis ini dengan wajah pucat ketakutan memandang ke sekeliling melalui kerudung pengantin yang berupa tirai tipis tembus pandang itu.

Kemudian tiga orang ketua agama itu berdoa dengan suara yang tidak jelas, seakan-akan hanya digumam saja. Akan tetapi aneh, semua anggauta yang berada dalam ruangan itu lalu menundukkan muka dan ikut berdoa sehingga ruangan itu penuh dengan suara orang berdoa yang menimbulkan gaung aneh dan suasananya menjadi seram sekali. Cin Lan mendengarkan dengan mata terbelalak dan bulu tengkuknya meremang karena ngeri dan takut. Toa-kauwcu lalu membakar dupa wangi yang asapnya memenuhi ruangan itu. Bau dupa yang harum aneh ini menambah suasana yang aneh dan menyeramkan.

Tiba-tiba semua mulut terdiam seperti mendapat komando tak bersuara. Suasana menjadi sunyi, sunyi yang aneh karena suara doa gemuruh tadi berhenti secara tiba-tiba. Tiga orang ketua agama itu lalu bangkit berdiri dan menghampiri Cin Lan yang duduk di atas bangku tinggi. Mereka menggeser kursi mereka ke dekat bangku tinggi yang diduduki Cin Lan, lalu mereka berdiri di atas kursi sehingga dapat berhadapan sama tingginya dengan gadis itu.

“Ya dewa ular yang maha agung, terimalah persembahan kami ini, pengantin paduka!” kata Ji-kauwcu dalam doanya sambil merenggut kerudung penutup kepala dan muka Cin Lan. Pada saat yang sama Sam-kauwcu membuka totokan pada urat gagu Cin Lan akan tetapi pada saat yang sama juga menotok pundak gadis itu sehingga Cin Lan menjadi lemas tak mampu bergerak sedikitpun. Gadis itu kini hanya mampu bersuara akan tetapi tidak mampu bergerak. Terdengarlah isak tangisnya yang ketakutan. Kalau saja ia tidak ditotok sehingga tak mampu bergerak, tentu Cin Lan akan melompat turun dari bangkunya yang tinggi.

Sementara itu, Toa-kauwcu menekan tombol yang terdapat pada kotak emas itu sehingga terdengar suara menjepret dan kotak emas itupun terbuka. Tampaklah dari kotak itu kepala seekor ular kecil yang menjulur keluar dengan sepasang matanya yang liar berwarna kemerahan dan lidahnya menjilat-jilat keluar dari moncongnya. Lidah itu lebih merah lagi warnanya.

Perlahan-lahan ular itu merayap keluar sehingga tampak tubuhnya yang kecil panjang berbintik-bintik merah dan hitam. Binatang itu merayap ke atas peti dan akhirnya melingkar diam di atas peti, kepalanya memandang ke sana-sini seperti seorang raja sedang memeriksa para hulubalangnya yang menghadap di depannya. Agaknya ular itu hendak turun, akan tetapi peti emas itu tergantung begitu tinggi sedangkan untuk turun tidak terdapat tempat untuk merayap. Ular itu lalu menggerak-gerakkan kepalanya mencari tempat yang dekat untuk diloncati, dan tentu saja yang terdekat dengan tempatnya adalah Cin Lan yang duduk di atas bangku itu. Maka perhatian ular itu kini pindah seluruhnya kepada gadis itu yang duduk tak bergerak bagaikan patung di atas bangkunya.

Cin Lan terbelalak memandang ular itu. Melihat betapa binatang itu memandang kepadanya sambil menjilat-jilatkan lidahnya, Cin Lan menjadi begitu ngeri dan takut sekali sehingga air matanya mengalir membasahi pipinya yang pucat tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun suara karena ditahan-tahannya hati yang ingin menjerit-jerit, takut kalau-kalau hal itu akan membuat ular itu menyerangnya.

Pada saat itu, Toa-kauwcu berdiri dari kursinya dan menghampiri Cin Lan yang hampir pingsan ketakutan. Kauw-cu ini memegang secawan anggur dan berbisik kepada Cin Lan.

“Nona pengantin, silakan minum anggur pengantin untuk menghormati pengantin pria.”

Tentu saja Cin Lan tidak sudi menerimanya, bahkan ia memandang pendeta tinggi besar itu dengan mata penuh sinar kebencian. Toa-kauwcu lalu berdiri di atas kursinya dan berkata lirih, “Betapapun juga, lebih baik mati minum racun daripada mati tersiksa.”

Mendengar ucapan ini, Cin Lan menganggap bahwa ucapan itu ada benarnya juga. Karena menyangka bahwa yang berada dalam cawan itu tentu racun yang akan mematikannya, cepat ia berkata, “Baik.....

berikan anggur itu..... akan kuminum.     !”

Karena Cin Lan tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang tertotok lemas, Toa-kauwcu lalu mengangkat cawan itu ke bibir Cin Lan dan menunangkan isi cawan ke dalam mulut gadis itu yang menerimanya lalu meminumnya sampai habis. Rasa minuman itu manis akan tetapi berbau amis, akan tetapi karena merasa lebih baik mati cepat daripada menghadapi siksaan yang mengerikan itu. Cin Lan menahan kemuakannya dan menelan semua isi cawan.

Toa-kauwcu tersenyum lalu turun dari kursi dan meninggalkan Cin Lan setelah dia membebaskan gadis itu dari totokan yang membuatnya lemas tak mampu bergerak tadi.

Gadis yang malang itu merasa betapa kepalanya menjadi pening dan pandang matanva kabur. Segala sesuatu tampak berpusing dan ia memejamkan kedua matanya, siap menerima datangnya kematian. Ia merasa tubuhnya ringan sekali dan anehnya, ia merasa nyaman, enak dan menyenangkan! Untuk beberapa saat lamanya ia memejamkan kedua matanya dan di depan mata yang terpejam itu ia melihat banyak macam warna beterbangan, berputar-putar dan berkilauan amat indahnya.

Ketika ia membuka mata kembali, sungguh heran, ia merasa segar dan senang sekali. Ia melihat betapa ular yang berada di atas kotak emas itu mengangkat kepalanya dan kini tampak jelas betapa di bagian dada dan perut ulat itu terkembang sayap di kanan kiri! Alangkah indahnya ular itu. Kulitnya yang bertotol-totol merah hitam itu mengkilap dan warnanya amat indah.

Cin Lan merasa suka sekali melihat ular itu, bagaikan seorang gadis melihat setangkai bunga atau seekor burung yang bulunya berwarna indah. Tanpa disadarinya sendiri gadis itu mengangkat kedua lengannya ke atas seolah-olah hendak dijulurkan dan hendak membelai ular yang kini siap hendak meloncat! Semua anggauta Hwe-coa-kauw yang berada di situ memandang ke arah dua mahluk yang saling berhadapan itu dan mereka menahan napas dengan hati tegang. Mereka semua maklum bahwa sebentar lagi, “pengantin pria” itu akan melompat dan menerkam leher “pengantin wanita”, dalam gigitannya yang berbisa dan mematikan. Setiap tahun sekali terjadilah persembahan kurban seperti ini yang dipilih di antara gadis-gadis cantik. Dan tahun ini yang dipilih adalah Thio Cin Lan, yang selain cantik jelita dan menjadi kembang kota Ki-ciu, juga ia berdarah bangsawan dan terutama sekali puteri Jaksa Thio yang tidak disuka oleh Hwe-coa-kauw.

Suasana yang tegang memuncak dan semakin mencekam ketika orang-orang melihat betapa ular itu kini mengembang kan “sayapnya” yang sebetulnya hanyalah tubuh ular yang digepengkan sehingga menjadi lebar seperti sayap. Ular itu kini siap untuk “terbang” atau melompat ke arah Cin Lan yang berada di bawah pengaruh minuman perangsang itu, menanti ular kecil indah itu dengan senyum yang amat manis! Ular itu mendesis beberapa kali, kemudian tiba-tiba ia “terbang” melompat ke arah Cin Lan, meluncur ke leher gadis itu. Semua orang menahan napas melihat tubuh ular itu melayang, hati mereka penuh ketegangan.

Pada saat itu, dari luar jendela ruangan itu menyambar sinar-sinar kecil yang mengeluarkan suara berdengung seperti ada serombongan tawon kecil terbang masuk dan sinar-sinar kecil itu menyambar ke arah tubuh ular yang sedang meluncur di udara itu. Ular itu terpental di tengah udara sambil menggeliat-geliat dan jatuh ke bawah. Ketika tiba di atas lantai, ular itu berkelojotan sebentar lalu diam mati. Kepala dan lehernya penuh ditancapi jarum-jarum kecil. Itulah hong-cu-ciam (jarum tawon), senjata rahasia yang amat ampuh dari Bwee Hwa Si Tawon Merah!

Untuk sejenak keadaan menjadi sunyi dan semua orang yang berada di situ tercengang keheranan. Demikian pula tiga orang Kauw-cu yang sama sekali tidak menduga akan terjadi hal seperti itu. Mereka tertegun dan tak dapat berbuat sesuatu kecuali memandang bangkai ular pujaan mereka yang telah mati. Namun, keadaan ini tidak berlangsung lama. Segera mereka bertiga melompat dengan marah sambil mencabut senjata masing-masing.

“Jahanam busuk, jangan lari!” mereka berseru dan cepat mereka melompat keluar dari ruangan itu melalui jendela. Di luar jendela telah berdiri Bwee Hwa dan Ong Siong Li, menanti dengan sikap tenang dan dengan pedang di tangan kanan.

“Keparat, engkau berani datang lagi? Agaknya memang sudah bosan hidup!” teriak Toa-kauwcu yang segera mengenal Siong Li yang tadi pagi melarikan diri setelah menghadapi pengeroyokan mereka bertiga.

Siong Li tersenyum mengejek.

“Selama pedang ini masih berada di tanganku, aku takkan berhenti berusaha untuk membasmi Hwe- coa-kauw yang terkutuk!”

Bwee Hwa juga tidak mau kalah dan dengan pedang melintang depan dada, telunjuk tangan kirinya menuding ke arah tiga orang itu. “Kalian ini orang-orang sesat yang menyamar sebagai pendeta agama sesat. Kalau kalian ingin selamat, bebaskan nona Thio dan bubarkan perkumpulan jahat ini, lalu kalian menyerah kepada yang berwajib untuk menerima hukuman. Kalau tidak demikian, terpaksa kami turun tangan dan tidak saja kami akan membinasakan kalian bertiga, tapi juga akan kami obrak-abrik dan bakar sarang kalian ini!” “Nah, bukankah engkau ini perempuan yang semalam telah membunuh beberapa orang anak buah kami? Bagus, tidak usah kami bersusah payah mencari, engkau telah datang mengantarkan nyawa ke sini!” teriak Toa-kauwcu.

“Bunuh mereka!” bentak Ji-kauwcu yang segera menyerang Bwee Hwa dengan serangan kilat. Pedangnya membacok ke arah leher gadis itu.

“Wuuuttt       trang……” Bunga api berpijar ketika Bwee Hwa menangkis serangan itu dengan Sin-hong-

kiam di tangannya. Tangan Ji-kauwcu tergetar dan tahu bahwa mereka akan dikeroyok, Bwee Hwa dan Siong Li cepat berlompatan keluar dari kuil untuk mencari tempat yang luas. Mereka tiba di luar kuil yang luas dan di sana mereka menanti tiga orang yang mengejar mereka.

Tiga orang Kauw-cu itu segera serentak menyerang dan terjadilah perkelahian dua lawan tiga yang seru sekali. Bayangan lima orang yang tangguh ini berkelebatan di antara gulungan lima sinar pedang.

Para anak buah Hwe-coa-kauw juga mengejar dengan senjata di tangan. Akan tetapi ketika mereka hendak maju mengepung dua orang muda itu, tiba-tiba terdengar sorak sorai menggegap gempita dan muncullah limapuluh orang perajurit pengawal di bawah pimpinan Thio-taijin sendiri!

Kiranya tadi sebelum memasuki hutan, Bwee Hwa dan Siong Li bersepakat untuk minta bantuan Thio- taijin mengingat bahwa gerombolan itu mempunyai banyak anak buah. Mendengar permintaan Bwee Hwa yang sudah mengetahui sarang gerombolan yang menculik puterinya, Thio-taijin yang marah dan ingin segera menyelamatkan puterinya turun tangan dan memimpin sendiri limapuluh orang perajurit pengawal ditemani para perwira yang memiliki ilmu silat tinggi, mengikuti Siong Li dan Bwee Hwa. Mereka berindap-indap menghampiri kuil di tengah hutan itu.

Karena semua anggauta Hwe-coa-kauw sedang sibuk mengadakan upacara “pernikahan” maka tidak ada yang mengetahui akan datangnya pasukan ini. Pasukan bersembunyi di luar kuil dan setelah melihat Bwee Hwa dan Siong Li keluar dan bertempur, melihat pula puluhan anak buah Hwe-coa-kauw siap mengeroyok, baru pasukan itu keluar sambil bersorak sorai dan dengan senjata di tangan.

Para anggauta gerombolan terkejut bukan main. Akan tetapi karena pasukan itu sudah menyerbu, tidak ada jalan lain bagi mereka. Terpaksa mereka melawan mati-matian dan terjadilah pertempuran yang hebat di depan kuil itu. Sementara itu Thio-taijin sendiri, dikawal beberapa orang perwira, menyerbu kuil yang sudah ditinggalkan para anggauta gerombolan yang bertempur di luar. Mereka hanya menemukan belasan orang wanita cantik yang dipaksa menjadi pelayan di situ. Para wanita ini berlutut dan menyerah tanpa perlawanan. Jaksa Thio mendapatkan puterinya di ruangan tengah, mengenakan pakaian pengantin.

Ketika melihat ayahnya, Cin Lan berlari menyambut dan jatuh pingsan dalam pelukan ayahnya. Cepat Jaksa Thio mem bawa puterinya pulang lebih dulu untuk merawat gadis itu dan menyerahkan pimpinan pasukan kepada para perwira.

Biarpun mereka melakukan perlawanan nekat, namun karena jumlah mereka kalah banyak, hanya kurang lebih setengahnya, maka gerombolan Hwe-coa-kauw dapat dihancurkan. Banyak di antara mereka yang yang terbunuh atau tertawan, sisanya melarikan diri cerai berai ke dalam hutan. Sebagian perajurit lalu melakukan penggeledahan ke dalam kuil, menawan para wanita pelayan. Sebagian pula mengepung tiga orang kauw-cu yang masih bertanding melawan Bwee Hwa dan Siong Li. Mereka hanya berani mengepung dari jarak jauh karena ketika tadi mereka berusaha mengepung dari dekat dan membantu dua orang muda itu, baru beberapa gebrakan saja dua orang perajurit telah roboh terkena sambaran pedang tiga orang Kauw-cu yang lihai itu.

Memang kepandaian tiga orang kauwcu itu tangguh sekali. Ilmu pedang mereka berdasarkan ilmu pedang dari Go-bi-pai, walaupun mereka sama sekali bukan murid-murid perguruan besar itu. Entah bagaimana mereka dapat mencuri dan mempelajari ilmu pedang ini. Akan tetapi ilmu pedang Go-bi Kiam-sut itu sudah bercampur dengan ilmu silat aliran Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sebuah perkumpulan besar berkedok agama yang suka menentang pemerintah dan juga tidak segan melakukan perbuatan jahat.

Tiga orang ini selain memiliki ilmu pedang yang kuat juga mereka memiliki tenaga sakti yang cukup tangguh di samping gerakan mereka cepat sekali. Karena inilah maka sampai sebegitu jauh Bwee Hwa dan Siong Li masih juga belum mampu mengalahkan mereka. Hal ini membuat Bwee Hwa merasa penasaran dan marah sekali. Diam-diam gadis perkasa ini mengeluarkan enam batang jarum kecil dan dengan mengerahkan tenaga, tangan kirinya bergerak tiga kali.

“Sambut hong-cu-ciam ini!” bentaknya.

Sebagai seorang pendekar, ia memberi peringatan lebih dulu kepada orang yang ia serang dengan senjata rahasia. Ini merupakan peraturan tak tertulis bagi para pendekar agar tidak dianggap curang. Terdengar bunyi dengung dan tiga orang kauw-cu itu disambar senjata rahasia itu, masing-masing dua batang jarum.

Mereka bertiga terkejut dan maklum akan hong-cu-ciam, mereka cepat memutar pedang untuk menangkis sehingga jarum-jarum itu runtuh. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Bwee Hwa untuk menyerang hebat. Pedangnya berkelebatan dan dari mulutnya terdengar dengung tawon yang membuat tiga orang lawannya terganggu konsentrasinya. Juga Siong Li menyerang dengan dahsyat menggunakan kesempatan selagi gerakan tiga orang itu kacau setelah diserang hong-cu-ciam.

Agaknya Toa-kauwcu yang bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan kepalanya gundul itu merasa bahwa kalau melawan terus, dia dan kawan-kawannya tidak akan menang, bahkan keadaan dia dan dua orang sutenya (adik seperguruannya) amat berbahaya karena anak buah mereka telah dihancurkan, segera dia memberi isyarat dengan teriakan rahasia kepada dua orang saudaranya. Mereka bertiga lalu berlompatan ke belakang sambil mengeluarkan senjata rahasia piauw beracun dan tanpa memberi peringatan seperti kelicikan para tokoh sesat, mereka menyambitkan piauw ke arah Siong Li dan Bwee Hwa.

Dua orang muda ini sudah waspada sejak tadi, maka ketika ada sinar-sinar hitam menyambar, mereka berdua cepat memutar pedang. Sinar pedang mereka membentuk payung yang menjadi perisai diri dan semua piauw itu runtuh tertangkis sinar pedang.

Kesempatan ini dipergunakan oleh tiga orang ketua gerombolan Hwe-coa-kauw untuk berlompatan keluar dari kepungan perajurit pengawal dan melarikan diri. Tentu saja Bwee Hwa dan Siong Li tidak mau membiarkan mereka lolos. Dengan cepat mereka berdua melakukan pengejaran sambil mengerahkan ilmu berlari cepat mereka. Setelah jarak antara mereka dan tiga orang kepala gerombolan itu cukup dekat, Bwee Hwa lalu menyerang dengan hong-cu-ciam (jarum tawon) ke arah orang yang berada paling belakang. Sinar lembut menyambar, terdengar dengung dan Ji-kauwcu yang bertubuh pendek gendut itu berteriak dan tubuhnya terpelanting. Sebatang jarum telah menancap di tengkuknya, membuat lemas dan sama sekali dia tidak dapat melakukan perlawanan ketika para perajurit pengawal datang lalu membelenggunya.

Melihat Ji-kauwcu roboh, Toa-kauwcu mewjadi marah sekali. Dia merasa sakit hatinya kepada dua orang pendekar yang telah mengobrak-abrik gerombolannya bahkan telah membunuh banyak pembantunya, maka dengan nekat dia lalu membalikkan tubuh dan mengamuk. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sam-kauwcu untuk melarikan diri. Ketua ketiga dari Hwe-coa-kauw ini memang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi dan dia mampu berlari dengan amat cepatnya.

Siong Li berusaha mengejarnya, namun dia segera kehilangan jejak dan karena dia mengkhawatirkan keselamatan Bwee Hwa, dia cepat kembali dan ikut mengeroyok Toa-kauwcu. Tentu saja ketua Hwe- coa-kauw ini tidak mampu menandingi dua orang pendekar muda itu dan lewat belasan jurus saja dia sudah roboh dan tewas. Maka terbasmilah perkumpulan agama sesat Hwe-coa-kauw. Hanya Sam- kauwcu seorang yang berhasil meloloskan diri. Banyak anak buahnya tewas atau tertawan dan hanya sedikit yang melarikan diri cerai berai mencari keselamatan masing-masing.

Ketika Bwee Hwa dan Siong Li kembali ke sarang Hwe-coa-kauw, mereka disambut dengan penuh kegembiraan dan kehormatan oleh Jaksa Thio.

“Bagaimana keadaan Enci Cin Lan, lo-pek?” tanya Bwee Hwa kepada Jaksa Thio.

“Ia baik-baik saja, hanya terkejut dan sekarang sudah diantar pulang. Syukurlah, semua ini karena pertolonganmu dan Ong-taihiap (Pendekar Besar Ong). Kami sekeluarga berhutang budi kepada kalian berdua.”

“Ah, harap jangan bicara tentang budi, taijin. Kami berdua hanya melakukan apa yang menjadi tugas kewajiban kami,” kata Ong Siong Li.

“Aku ingin melihat keadaan Enci Cin Lan sebentar,” kata Bwee Hwa kepada Siong Li.

Pemuda itu mengangguk dan mereka semua lalu kembali ke kota Ki-ciu dengan gembira karena selain Cin Lan telah dapat ditemukan dan diselamatkan, juga gerombolan agama sesat Hwe-coa-kauw telah dapat dibasmi.

Setibanya di gedung keluarga Jaksa Thio, Bwee Hwa lalu pergi ke kamar. Ia melihat Cin Lan dalam keadaan sehat. Gadis bangsawan yang mengalami peristiwa yang amat mengerikan dan menakutkan itu kini sedang tidur pulas. Bwee Hwa tidak mau mengganggunya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan menuju ke luar di mana Siong Li duduk bersama Jaksa Thio. Melihat gadis itu keluar dan sudah menggendong buntalan pakaiannya, Jaksa Thio terkejut sekali. Dia cepat bangkit berdiri. Siong Li juga bangkit dari duduknya.

“Eh, Bwee Hwa, engkau menggendong buntalan pakaianmu? Hendak ke manakah?” Nyonya Thio juga datang berlari dari dalam. “Bwee Hwa, jangan pergi sekarang. Tinggallah dulu di sini selama yang kaukehendaki! Kami senang engkau berada di sini!”

Bwee Hwa tersenyum dan menggeleng kepalanya. Ia tahu bahwa kalau ia lebih lama tinggal di situ, ia hanya akan menerima pujian-pujian dan penghormatan-penghormatan yang sesungguhnya sama sekali tidak ia kehendaki atau cari.

“Tidak mungkin, lopek dan bibi. Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan. Maka aku harus pergi sekarang juga melanjutkan perjalananku. Kelak, kalau aku lewat di kota ini pasti aku akan singgah untuk menanyakan keselamatan kalian dan Enci Cin Lan.”

“Thio-taijin, apa yang dikatakan Hwa-moi tadi memang benar. Kami masih mempunyai banyak urusan masing-masing yang harus diselesaikan. Karena itu, sayapun mohon pamit!”

Jaksa Thio dan isterinya mencoba untuk menahan. Akan tetapi Bwee Hwa tidak dapat ditahan. Bahkan ketika Jaksa Thio menawarkan pemberian uang untuk bekal, baik Bwee Hwa maupun Siong Li menolak dengan halus. Mereka berdua lalu pergi meninggalkan Jaksa Thio dan isterinya yang hanya dapat mengikuti mereka dengan pandang mata heran dan kagum.

Setelah tiba di luar kota Ki-ciu, Bwee Hwa berhenti di sebuah perempatan dan ia berkata, “Li-ko, sekarang kita harus berpisah di sini. Engkau teruskanlah perjalananmu dan aku akan melanjutkan perjalananku sendiri.”

Siong Li tidak memperlihatkan rasa kecewa yang menyelubungi hatinya. Dia masih tersenyum ketika berkata, “Hwa-moi, apa salahnya kalau kita mengambil jalan bersama? Apakah engkau mempunyai tujuan tertentu?”

Bwee Hwa menggeleng kepala. “Kurasa lebih baik kita mengambil jalan masing masing, Li-ko. Tidak baik kalau engkau berjalan denganku karena hal itu akan mengakibatkan urusanmu sendiri terbengkalai. Aku hendak mencari seseorang.”

Ong Siong Li maklum bahwa gadis itu merasa tidak enak kalau harus melakukan perjalanan bersama dia dan diapun maklum akan hal ini, karena sebagai seorang gadis, tentu saja Bwee Hwa merasa malu untuk melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang sama sekali tidak ada hubungan apapun dengannya. Bahkan berkenalanpun baru saja! Dia menghela napas panjang dan bertanya.

“Tidak apalah kalau kita harus berpisah, Hwa-moi. Mungkin dan mudah-mudahan saja kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali. Akan tetapi tentang orang yang kau cari itu, siapakah dia kalau aku boleh mengetahuinya?”

“Namanya akupun tidak tahu. Aku hanya mengetahui bahwa julukannya adalah Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Sembilan).”

Setelah berpikir dan mengingat-ingat berapa lamanya, Siong Li lalu berkata, “Aku pernah mendengar nama julukan yang cukup terkenal itu, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengan orangnya.”

“Di mana dia tinggal?” tanya Bwee Hwa, ingin tahu sekali. Siong Li menggeleng kepalanya. “Menurut pendengaranku, dia adalah seorang tokoh kenamaan yang menjagoi beberapa belas tahun yang lalu, akan tetapi akhir-akhir ini tidak terdengar lagi namanya. Dahulu dia menjagoi di daerah utara, sekarang entah berada di mana, akupun tidak pernah mendengar lagi tentang dia.”

Bwee Hwa kecewa mendengar bahwa kawan baru ini tidak tahu di mana orang yang dicarinya itu berada.

“Sebetulnya dia itu orang apakah? Apa kedudukannya dan apa yang dikerjakannya? Melihat julukannya, tentu dia seorang ahli silat yang tangguh.”

Siong Li memandangnya dengan sinar mata heran. “Engkau mencari dia akan tetapi tidak tahu dia itu orang macam apa? Sungguh aneh sekali. Kauw-jiu Pek-wan adalah seorang perampok tunggal yang namanya ditakuti orang karena kejam dan lihainya. Engkau mencari dia ada urusan apakah, Hwa-moi? Hati-hati, dia seorang yang lihai sekali, dan terkenal amat kejam dan menurut apa yang pernah kudengar, dia suka mengganggu wanita.”

Tiba-tiba muka Bwee Hwa menjadi merah. “Ah, tidak ada apa-apa. Terima kasih atas semua keteranganmu, Li-ko. Nah, biarlah kita berpisah di sini.”

Biarpun hatinya terasa berat harus berpisah dari gadis yang baru saja dikenalnya akan tetapi yang amat dikaguminya dan amat menarik hatinya itu, Siong Li tidak dapat membantah. Mereka lalu mengangkat kedua tangan dada, saling menghormat.

“Selamat berpisah, Li-ko.”

“Selamat jalan, Hwa-moi. Semoga Thian (Tuhan) selalu melindungimu.” Mereka mengambil jalan masing-masing. Bwee Hwa menuju ke utara dan Siong Li menuju ke timur.

Bwee Hwa berjalan seorang diri. Ia tidak memperhatikan ke mana ia menuju. Ia membiarkan dirinya ke mana saja kedua kakinya membawanya. Pikirannya melamun tiada hentinya, mengenang apa yang ia dengar dari Ong Siong Li tentang Kauw-jiu Pek-wan. Dia itu, ayah kandungnya, adalah seorang perampok yang amat lihai dan amat kejam! Alangkah rendahnya! Jadi, ia adalah puteri seorang perampok, seorang penjahat?

Ia mencoba untuk membayangkan lagi wajah seorang laki-laki yang diingatnya sebagai ayahnya dahulu. Seorang laki-laki tinggi besar bermuka seperti harimau dengan sepasang mata bundar besar dan suara yang keras dan kasar. Memang pantas kalau ayahnya menjadi perampok, akhirnya ia menarik kesimpulan sebagai hasil lamunannya itu dan ia menghela napas dalam. Inilah agaknya yang menjadi sebab mengapa gurunya tidak pernah mau menceritakan siapa sebetulnya ayahnya itu. Agaknya sudah mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang penjahat kejam.

Bwee Hwa menghampiri sebatang pohon besar dan duduk di atas sebuah batu besar yang berada di bawah pohon itu. Timbul perasaan ragu dalam hatinya untuk melanjutkan pencarian terhadap ayahnya. Ia merasa malu memikirkan keadaan ayahnya sebagai seorang perampok, sebagai seorang penjahat besar yang kejam, bahkan yang menurut Siong Li tadi, seorang pengganggu wanita! Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan wajah ibunya. Ia masih ingat bahwa ibunya adalah seorang wanita yang cantik, akan tetapi seingatnya wanita cantik ibunya itu selalu diliputi kedukaan, sinar mata itu selalu sayu dan tak bersemangat. Ia menjadi terharu dan bibirnya berbisik lirih.

“.......ibu ”

Seketika lenyaplah semua keraguannya. Ia bukan hendak mencari ayahnya yang menjadi perampok jahat dan kejam, akan tetapi ia hendak mencari ibunya! Ibunya yang terkasih, ibunya yang cantik jelita dan ibunya yang selalu bersedih itu.

Menurut keterangan Siong Li tadi, ayahnya dahulu menjagoi di daerah utara. Karena itulah ia tadi memilih jalan yang menuju ke utara. Bwee Hwa bangkit dan melanjutkan perjalanannya, menuju utara. Mudah-mudahan ia akan dapat menemukan ibunya. Kini hanya ibunya yang menjadi tujuan perjalanannya. Ia mencari Kauw-jiu Pek-wan hanya untuk dapat bertemu dengan ibunya.

Karena ia tidak mengenal jalan dan hanya ngawur saja menuju ke utara, maka ketika bukit Siauw-liong- san menghadang di depannya, iapun langsung mendaki bukit itu. Bukit yang penuh hutan lebat dan besar, hutan-hutan liar yang jarang dimasuki orang dan bukit itu terkenal sebagai sarang gerombolan penjahat yang ganas. Orang-orang yang tinggal di daerah itu mengenal tempat ini dan tidak ada pemburu yang berani memburu binatang di hutan-hutan itu, tidak ada pedagang yang berani melalui jalan di hutan itu.

Berhari-hari Bwee Hwa keluar masuk hutan dan masih juga ia belum dapat keluar dari bukit penuh hutan liar itu. Ia kehabisan bekal roti kering yang dibelinya di sebuah dusun yang terakhir dilewatinya, dan sudah dua hari ia terpaksa mencari buah-buahan di hutan untuk dimakan. Bahkan ia terpaksa makan pupus-pupus daun agar jangan mati kelaparan. Baru gadis ini merasakan betapa susahnya melakukan perjalanan merantau ke daerah yang asing dan tidak dikenalnya sama sekali.

Setelah berputar-putar dalam hutan-hutan di atas bukit itu selama lima hari, pada hari keenam karena kesal dan bingung ia melompat ke atas cabang pohon lalu memanjat naik ke puncak pohon yang tinggi itu untuk melihat keadaan sekeliling mencari kalau-kalau ia dapat melihat sebuah dusun tak jauh dari situ. Tiba-tiba dari atas melayang turun dua titik hitam.

Setelah dekat, ternyata bahwa dua titik hitam itu adalah dua ekor burung kim-gan-tiauw (rajawali mata emas), semacam burung rajawali yang besar sekali dan matanya berwarna kuning emas dan bersinar mencorong! Kedua ekor burung itu mengeluarkan suara teriakan melengking dan langsung menyerang Bwee Hwa dengan sambaran kuku cakar mereka yang tajam dan runcing melengkung.

Bwee Hwa terkejut bukan main dan cepat ia melompat ke bawah pohon dan langsung mencabut pedangnya. Ia melihat dua ekor burung itu melayang turun. Bukan main besarnya burung-burung itu, ketika berdiri di atas tanah, tingginya hampir sama dengannya! Burung-burung rajawali raksasa itu masih memekik-mekik nyaring dan mereka lalu menerjang dengan paruh mereka yang kokoh kuat sambil mengibas-ngibaskan sayap mereka yang besar.

Bwee Hwa tidak merasa takut. Gadis perkasa ini bergerak cepat menghindarkan diri dari terjangan mereka dan membalas dengan serangan pedangnya.

“Trak-tranggg……!” Bwee Hwa terkejut sekali. Ketika pedangnya bertemu dengan paruh burung, paruh itu tidak terpotong dan bahkan tangannya yang memegang pedang tergetar saking kuatnya tenaga burung-burung itu. Dan kibasan sayap-sayap mereka mendatangkan angin kuat sehingga amat sukar bagi Bwee Hwa untuk menyerang. Menghadapi dua ekor burung rajawali itu, agaknya ilmu silat dan kecepatan gerakan gadis itu tidak ada artinya.

Bagaimanapun juga, ia masih dapat menyelamatkan diri dengan elakan-elakan cepat sambil mengerahkan pedangnya ke arah leher atau kepala kedua ekor burung itu. Akan tetapi gerakan burung- burung itu demikian cepatnya dan kibasan sayap mereka membuat serangannya selalu gagal, bahkan beberapa kali ketika pedangnya bertemu paruh yang keras dan kuat, hampir saja senjata itu terlepas dari genggamannya.

Dua ekor burung rajawali itu agaknya juga mulai menyadari bahwa lawan mereka sekali ini berbeda dengan manusia lain yang pernah mereka serang dan menjadi mangsa mereka. Dua ekor burung itu menjadi marah lalu terbang dan berputaran di atas kepala Bwee Hwa, memekik-mekik dan menyerang dari atas, menyambar-nyambar dari segala penjuru menggunakan cakar dan paruh mereka yang kuat.

Menghadapi serangan dari atas yang jauh lebih dahsyat dan berbahaya daripada serangan di atas tanah tadi, Bwee Hwa terkejut sekali. Kalau tadi, diserang dari depan ia masih dapat mengandalkan kegesitannya untuk mengelak dengan berloncatan ke kanan kiri atau belakang, sekarang serangan itu datangnya dari atas depan, belakang, dan kanan kiri. Terpaksa ia kadang-kadang harus menggulingkan tubuhnya ke atas tanah.

“Brett......!” Bajunya terkena cakaran dan robek di bagian pundaknya. Biarpun kulit pundaknya tidak terluka, namun hal ini membuat Bwee Hwa menjadi marah sekali. Ia lalu mengambil senjata rahasianya, yaitu hong-cu-ciam, jarum-jarum lembut dan cepat ia menyerang dua ekor burung itu dengan jarum- jarumnya.

“Wuuuttt      sut-sut-sut!” Jarum-jarum itu lenyap di balik bulu-bulu tebal burung-burung itu. Bulu itu

terlalu tebal dan lemas licin sehingga jarum-jarumnya tidak mampu menembus, tidak sampai mengenai kulit. Bwee Hwa menjadi bingung. Untuk membidik ke arah muka, gerakan mereka terlalu cepat ketika menyambar turun.

Bwee Hwa terdesak hebat dan ia menjadi bingung dan lelah sekali. Kalau terus-menerus ia harus menghindarkan serangan mereka yang berbahaya itu, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan tidak akan mampu membalas serangan sama sekali. Karena tidak melihat jalan lain, Bwee Hwa lalu mengambil keputusan untuk nekat dan mengadu nyawa mati-matian. Tiba-tiba ia menjatuhkan dirinya telentang dengan tangan kanan siap memegang pedang dan tangan kiri menggenggam jarum-jarumnya. Seluruh urat syarafnya menegang dan siap siaga.

Sepasang rajawali itu melihat bahwa calon mangsa mereka telah roboh seolah tidak berdaya. Mereka segera memekik penuh kemenangan, beberapa kali terbang mengitari tubuh Bwee Hwa lalu mereka menukik ke bawah sambil memekik nyaring, seolah sedang berlumba untuk menerkam ke arah leher dan dada gadis itu, untuk berpesta pora menikmati daging dan darah korban itu!

Akan tetapi pada detik terakhir, ketika paruh kedua ekor burung itu sudah dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tiba-tiba terdengar pekik melengking mengerikan. Seekor rajawali, yang terbang lebih cepat dan lebih dekat dengan tubuh Bwee Hwa, tahu-tahu terpenggal kepalanya, disambar pedang Sin-hong-kiam. Gerakan tangan kanan Bwee Hwa demikian cepat dan sama sekali tidak terduga oleh burung yang sudah kegirangan dan bemafsu itu sehingga tahu-tahu kepalanya telah terpisah dari tubuhnya! Sedangkan burung kedua, tiba-tiba merasa nyeri pada kedua matanya yang disambar banyak jarum kecil lembut sehingga kedua matanya menjadi buta seketika!

Semua telah terjadi dengan cepat dan dengan gerakan kilat Bwee Hwa sudah menggerakkan tubuhnya bergulingan menyingkir dari tempat ia telentang tadi sampai beberapa meter jauhnya. Untung ia dapat bergerak cepat lalu melompat bangun berdiri. Dengan mata terbelalak ia melihat betapa rajawali yang sudah terpenggal kepalanya itu masih mencengkeram ke bawah sehingga tanah dan batu berhamburan. Kalau ia tidak cepat menyingkir, tentu tubuhnya yang akan tercabik oleh sepasang cakar burung yang sudah tak berkepala lagi itu.

Kemudian burung kedua, yang sudah buta matanya, menerkam ke bawah, mengenai tubuh burung pertama. Cakar dan paruhnya mematuk dan mencabik sehingga tubuh kawannya itu terkoyak-koyak, darah muncrat ke mana-mana! Bulu burung berhamburan bersama daging dan darah. Rajawali buta itu agaknya menyadari bahwa yang dicabik-cabiknya itu bukan tubuh manusia melainkan tubuh kawannya sendiri. Dia memekik-mekik mengerikan dan menyabet-nyabetkan sayapnya ke kanan kiri membabi buta dan suaranya berubah seperti raungan penuh sakit dan kesedihan.

Melihat keadaan burung itu, Bwee Hwa yang sejak tadi menonton dengan hati merasa ngeri, menjadi tidak tega juga. Kini dia teringat akan ucapan gurunya bahwa apa yang dinamakan binatang buas itu sebenarnya sama sekali tidak dapat dikatakan jahat.

Seperti burung rajawali ini. Kalau dia suka membunuh mahluk lain termasuk manusia, hal itu dilakukan bukan karena dia berhati jahat, melainkan dia menyerang dan membunuh untuk mempertahankan hidup, untuk mengisi perutnya yang lapar. Membunuh karena harus membunuh untuk dapat makan!

Rajawali ini tidak suka makan daun atau buah, makanannya memang daging dan darah, karena itu dia harus membunuh mahluk lain termasuk manusia agar tidak mati kelaparan. Dia tidak jahat!

Ia memandang dan merasa kasihan. Didekatinya burung buta itu dari belakang dan sekali pedangnya menyambar, leher burung itupun putus dan tubuh burung itu roboh dan mati.

Setelah semua itu berakhir, barulah Bwee Hwa menjatuhkan diri di bawah pohon dan bersandar pada batang pohon sambil mengatur pernapasannya yang masih terengah-engah karena kelelahan dan ketegangan. Ia memandang ke arah bangkai dua ekor burung itu dan diam-diam ia memuji keindahan dan kehebatan dua ekor burung rajawali itu. Selama hidupnya baru satu kali ini ia melihat burung yang demikian indah dan demikian kuat. Kalau saja tadi ia tidak mempergunakan akal yang nekat dan berbahaya, agaknya sekarang mungkin saja tubuhnya sudah dicabik-cabik dan sepotong demi sepotong masuk ke dalam perut dua ekor burung itu. Ia bergidik ngeri membayangkan hal itu.

Setelah mengaso sejenak dan merasa tangannya telah pulih kembali, Bwee Hwa lalu mengambil buntalan pakaiannya yang tadi ia lepas dan lemparkan ke bawah pohon sebelum ia memanjat pohon itu. Ia menggendong lagi buntalan pakaiannya dan melanjutkan perjalanannya. Ia ingin keluar dari hutan lebat itu sebelum hari menjadi gelap. Karena tidak mengenal daerah itu, ia berjalan ke depan dengan ngawur saja.

Akan tetapi tidak lama kemudian, hampir ia berseru gembira ketika ia melihat sebuah tempat terbuka di dalam hutan itu. Hutan di bagian itu sudah dibuka dan menjadi semacam ladang yang ditumbuhi tanaman sayur-sayuran, bahkan ada banyak pohon buah yang sudah digantungi buah-buahan yang masak. Ladang ini menunjukkan bahwa di situ terdapat orang-orang dan tidak jauh dari perkampungan! Karena perutnya lapar, maka ia tidak perduli akan kenyataan bahwa pohon-pohon buah itu tentu ada pemiliknya. Ia memetik beberapa butir buah pir dan memakannya dengan enak!

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar langkah dan gerakan orang di sekelilingnya dan tak lama kemudian bermunculan belasan orang laki-laki yang berpakaian kasar dan berwajah bengis. Juga mereka itu tampak bertubuh kuat dan di antara mereka terdapat seorang yang melihat pakaiannya tentu memiliki kedudukan yang lebih tinggi di antara mereka. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, tubuhnya pendek tegap dan dia membawa senjata sebuah tombak bergagang panjang yang lebih tinggi daripada tubuhnya yang katai.

Kini belasan orang itu mengepung Bwee Hwa yang sudah tidak makan lagi. Dengan tenang gadis yang tabah itu menyapu mereka dengan pandang matanya dan ia mengerutkan alisnya ketika melihat betapa belasan orang laki-laki itu memandangnya dengan mulut menyeringai dan mata seolah hendak menelannya bulat-bulat!

Orang pendek gempal yang agaknya menjadi pemimpin gerombolan itu juga memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan keheranan. Siapa takkan heran melihat seorang gadis muda belia seorang diri berada di dalam daerah hutan yang lebat dan liar itu? Akan tetapi ketika kepala gerombolan itu melihat sebatang pedang tergantung di punggung Bwee Hwa, dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia persilatan) yang memiliki ilmu kepandaian silat sehingga berani merantau seorang diri karena merasa mampu menjaga dan membela diri.

Dia dapat menduga ini, akan tetapi tetap saja dia merasa heran dan kagum karena keberanian gadis itu sungguh berlebihan. Dia lalu menegur dengan suara yang tinggi mirip suara wanita.

“Nona, engkau berjalan seorang diri di daerah kami, hendak pergi ke manakah?”

Bwee Hwa sudah merasa sebal melihat sikap para anak buah gerombolan itu, akan tetapi ia memaksa diri bersabar ketika menjawab. “Aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Ada urusan apakah kalian menghadangku dan bertanya-tanya?”

Para anak buah gerombolan itu tersenyum dan ada yang tertawa mendengar jawaban Bwee Hwa yang mereka anggap lucu. Pemimpin gerombolan itupun tersenyum dan berkata lagi.

“Memang engkau yang memiliki kaki yang indah mungil itu, tentu saja engkau pula yang menentukan ke mana hendak melangkah dan pergi. Akan tetapi ketahuilah, nona, bahwa di sini bukan tempat untuk berjalan-jalan dan bertamasya. Hutan-hutan di sini amat liar dan terdapat banyak sekali binatang buas, di antaranya terdapat burung-burung rajawali raksasa yang ganas dan suka makan orang!”

Bwee Hwa tersenyum mengejek, akan tetapi dalam pandangan para anggauta gerombolan itu, senyum ini tampak manis bukan main.

“Engkau maksudkan kim-gan-tiauw (rajawali bermata emas)? Hemm, baru saja aku membunuh dua ekor!”

Meledaklah tawa semua anggauta gerombolan itu mendengar ucapan gadis itu. Siapa dapat percaya akan kata-kata itu? Membunuh dua ekor kim-gan-tiauw? Sedangkan beberapa hari yang lalu mereka mengeroyok seekor kim-gan-tiauw saja tidak berhasil melukai, apalagi membunuhnya, bahkan tiga orang di antara mereka tewas! Dan gadis kecil ini seorang diri membunuh dua ekor?

Merasa ia ditertawakan, Bwee Hwa membentak marah, “Kalian menertawakan siapa?”

Seorang anak buah gerombolan yang bertubuh tinggi besar dan tangannya memegang sebatang golok, berkata dan tertawa terkekeh-kekeh.

“Heh-heh-heh, mungkin yang kaubunuh itu dua ekor burung gereja! Wah, kalau gadis ini menjadi biniku, aaahh betapa senangnya hatiku dan akan amanlah hidupku. Ha-ha-ha……”

Belum juga ia menutupkan kembali mulutnya, tiba-tiba dia memekik ngeri dan dia roboh dengan mata mendelik karena bagaikan kilat menyambar sebatang hong-cu-ciam (jarum tawon) telah memasuki mulutnya yang ternganga dan menancap di langit-langit mulutnya! Ini terjadi karena ketika dia tertawa tadi, mulutnya terbuka lebar dan dia tertawa sambil mengangkat muka ke atas sehingga langit-langit mulutnya menghadap ke depan!

Terkejutlah semua anggauta gerombolan itu, akan tetapi pemimpin mereka marah sekali. Tadi dia melihat gerakan tangan Bwee Hwa dan dia dapat menduga bahwa anak buahriya itu tentu menjadi korban senjata rahasia yang lembut dan berbahaya.

“Keparat! Berani engkau membunuh anak buah kami?” bentaknya dan dia sudah menerjang dan menusukkan tombaknya dan para anak buahnya juga sudah maju mengeroyok.

Agaknya anak buah gerombolan yang belasan orang banyaknya ini berlumba untuk dapat menangkap gadis itu karena mereka maju dengan tangan kosong dan tangan-tangan itu meraih dan mencengkeram. Ingin mereka mendekap dan merangkul gadis yang cantik jelita itu.

Melihat dirinya diserbu, Bwee Hwa tersenyum geli. Orang-orang kasar ini tidak ada artinya baginya. Jauh lebih berbahaya serangan burung rajawali tadi. Ia lalu menyambut mereka dengan gerakan tangan kiri dan sinar-sinar kecil jarum-jarumnya menyambar-nyambar, disusul jeritan beberapa orang yang roboh terpelanting.

Pimpinan gerombolan itu menjadi marah. Dia berteriak dan tombaknya me-luncur, menusuk ke arah lambung Bwee Hwa. Namun, dengan mudah saja Bwee Hwa mengelak dan dari samping kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah tombak.

Si pendek kekar itu berseru kaget karena hampir saja tombaknya terlepas dari tangannya ketika tertendang kaki mungil Bwee Hwa. Para anak buah yang melihat robohnya beberapa orang kawan juga menjadi marah dan mereka kini menyerbu dengan senjata mereka dengan niat untuk membunuh gadis itu.

Bwee Hwa tidak gentar sedikitpun juga. Ia kini telah mendapat kenyataan bahwa orang-orang itu hanya tampaknya saja kekar dan bengis, akan tetapi sebenarnya hanya merupakan kekuatan tenaga kasar, hanya mengandalkan tenaga luar belaka. Maka iapun lalu mengerahkan gin-kangnya (ilmu meringankan tubuhnya), tubuhnya bergerak cepat sehingga ia seolah berubah menjadi bayangan merah yang menyambar-nyambar dan terdengarlah seruan mengaduh berturut-turut disusul tubuh yang berpelantingan terkena sambaran kaki tangannya yang bergerak amat cepatnya. Melihat kelihaian gadis berpakaian merah ini, para anggauta gerombolan dan pemimpin mereka yang pendek itu terkejut setengah mati. Kalau tidak menga-lami sendiri, sukarlah bagi pemimpin gerombolan itu untuk percaya bahwa se-orang gadis jelita yang masih amat muda itu dapat menghadapi pengeroyokan mereka yang bersenjata hanya dengan tangan kosong saja, bahkan sebentar saja sudah merobohkan lima orang! Dengan jerih pemimpin gerombolan itu memberi isyarat dan mereka yang masih mampu lalu berloncatan melarikan diri meninggalkan teman-teman yang terluka, mengaduh- aduh dan tidak mampu melarikan diri.

Bwee Hwa bertolak pinggang mengikuti mereka dengan pandang matanya mengejek. “He-he-heh! Monyet-monyet busuk! Aku Ang-hong-cu masih berlaku murah hati kepada kalian. Kalau tidak tentu kalian sekarang bukan hanya menderita luka, melainkan sudah tak bernyawa lagi!”

Setelah berkata demikian dan memandang kepada para anak buah gerombolan yang terluka, ia lalu pergi meninggalkan mereka, melangkah dengan tenang. Ia teringat bahwa gerombolan yang melarikan diri tadi menuju ke arah kiri, maka ke sana pula ia menuju, dengan harapan akan bertemu dengan sebuah perkampungan. Ia masih sempat memetik beberapa butir buah pir yang masak, lalu melanjutkan perjalanan sambil makan buah itu untuk menghilangkan rasa lapar dan haus.

Baru saja ia tiba di ujung hutan terbuka yang sudah menjadi ladang itu, tiba-tiba terdengar suara orang di sebelah kiri.

“Ah, nona sungguh merupakan seorang pendekar wanita yang amat mengagumkan. Masih semuda ini sudah memiliki kepandaian tinggi dan berani melakukan perantauan di dunia kang-ouw seorang diri saja. Bukan main!”

Bwee Hwa sudah menahan langkahnya dan ia memutar tubuh ke kiri. Ia kini berhadapan dengan seorang laki-laki berusia hampir limapuluh tahun yang bertubuh tinggi kurus. Gerak-gerik dan kata-kata orang itu tidak sekasar gerombolan tadi, juga pakaiannya lebih bersih dan rapi. Tampaknya bukan seperti seorang jahat dan ia sudah menjadi gembira karena mengira bahwa orang itu tentulah seorang penduduk sebuah pedusunan yang berada dekat situ.

“Siapakah engkau dan ada keperluan apakah sehingga engkau berani menghadang perjalananku?” tanya Bwee Hwa yang bagaimanapun juga masih merasa curiga karena orang itu muncul di daerah yang dikuasai gerombolan penjahat tadi.

Akan tetapi laki-laki itu tidak menjawab dan hanya mengamati wajah Bwee Hwa dengan bengong seperti orang yang terheran-heran melihat sesuatu yang aneh! Melihat ini, Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan mulai marah.

“Hei! Kau melihat apa?” bentaknya dan sinar matanya mulai mencorong.

Laki-laki itu terkejut dan seperti baru sadar dari mimpi, dia cepat memberi hormat dengan menjura dan berkata dengan hormat. “Ah, sungguh sukar sekali untuk dapat dipercaya. Bagaimana mungkin seorang pembantuku dan belasan orang anak buahnya dikalahkan oleh seorang dara muda remaja! Li-enghiong (nona pendekar), sungguh aku merasa kagum sekali akan kegagahanmu. Ketahuilah, aku adalah Gak Sun Thai yang memimpin kawan-kawan di pegunungan ini dan terus terang saja, baru sekali ini aku merasa benar-benar heran dan kagum. Engkau patut dipuji, Li-enghiong. Jika engkau suka dan berani, aku mempersilakan engkau untuk singgah di perkampungan kami.”

Dengan tenang disertai senyuman mengejek Bwee Hwa menjawab. “Hemm, kiranya engkau yang menjadi kepala perampok yang tadi berani menggangguku? Perlu apa aku harus singgah di sarang perampok?”

Berkerutlah sepasang alis kepala perampok itu. Alangkah angkuhnya gadis ini, pikirnya. Sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Akan tetapi dia masih dapat menahan perasaan tidak senang ini dan berkata.

“Li-enghiong, kalau engkau tidak suka dan tidak berani berkunjung ke per-kampungan kami memenuhi undanganku, tentu saja aku tidak dapat memaksa. Akan tetapi ini berarti bahwa engkau tidak dapat menghargai penghormatan seorang dari kalangan liok-lim (hutan rimba) dan berarti bahwa engkau melanggar kesopanan yang berlaku di dunia kang-ouw.”

Bwee Hwa sudah hendak marah, akan tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa ayah kandungnya sendiri juga seorang penjahat dan bahkan datuk perampok! Hemmm, siapa tahu orang-orang ini akan dapat memberi keterangan kepadanya tentang di mana kini ayahnya berada.

“Orang she Gak, aku tidak mengerti maksudmu dengan segala kesopanan dunia persilatan dan dunia perampok. Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut untuk datang ke sarangmu!”

Wajah kepala perampok itu berubah girang. “Kalau begitu engkau mau singgah di perkampungan kami?”

Bwee Hwa mengangguk. “Akan tetapi jangan sekali-kali engkau dan anak buahmu bersikap kurang ajar kepadaku, karena pedangku pasti tidak akan mengampuni kalian.”

Alangkah jumawanya, pikir Gak Sun Thai. Akan tetapi karena dia tahu bahwa gadis ini masih muda dan tentu kurang pengalaman, maka dia hanya tersenyum saja.

“Kalau begitu, marilah kita berangkat, li-enghiong. Perkampungan kami tidak begitu jauh dari sini.”

Dengan tabah Bwee Hwa mengikuti kepala perampok itu memasuki hutan yang menyambung ladang itu. Kurang lebih dua kilometer dari situ, mereka tiba di sebuah perkampungan di tengah hutan. Kedatangan Gak Sun Thai bersama Bwee Hwa disambut dengan keheranan oleh para anak buah, akan tetapi Gak Sun Thai memerintahkan mereka untuk mempersiapkan sebuah perjamuan meriah untuk menghormati kunjungan seorang pendekar wanita gagah yang dihormatinya.

Perkampungan itu merupakan sarang para perampok. Di tengah perkampungan berdiri sebuah rumah kayu yang besar dan cukup mewah seperti rumah seorang kaya saja. Di sekeliling rumah itu terdapat rumah-rumah yang lebih kecil yang menjadi tempat tinggal para anggauta perampok. Keadaan mereka agaknya cukup dan ternyata para anggauta perampok itu sebagian besar sudah berkeluarga. Terdapat banyak anak-anak dan wanita di perkampungan itu, seperti pedusunan biasa.

Bwee Hwa merasa terheran-heran. Mereka itu agaknya orang-orang biasa yang juga berkeluarga. Mengapa orang-orang itu sampai begini tersesat dan menjadi perampok? Gak Sun Thai mempersilakan Bwee Hwa duduk di kursi depan yang luas dan tak lama kemudian Bwee Hwa dijamu makan minum dengan ramah dan hormat oleh Gak Sun Thai. Dalam kesempatan menikmati hidangan yang masih panas itu dan Bwee Hwa makan minum dengan lahapnya karena berhari-hari ia tidak makan nasi dan masakan, gadis itu tidak tahan untuk tidak mengeluarkan pertanyaan yang sejak tadi menggelitik keinginan tahunya.

“Paman Gak Sun Thai      ”

Kepala perampok itu tersenyum memandang kepada Bwee Hwa. Hatinya geli akan tetapi senang mendengar gadis itu menyebutnya “paman”. Biasanya, orang menyebutnya “tai-ong”, yaitu sebutan kepala gerombolan yang berarti “raja besar”.

“Engkau hendak bertanya apakah, nona?” Diapun menyebut nona, bukan pen-dekar wanita agar terdengar lebih akrab.

“Bukan maksudku untuk mencampuri urusan rumah tangga anak buahmu, akan tetapi setelah aku memasuki perkampunganmu, aku melihat bahwa anak buahmu juga merupakan orang-orang biasa saja yang mempunyai keluarga baik-baik. Mengapa engkau mengajak mereka untuk melakukan kejahatan dan menjadi perampok? Bukankah lebih baik kalau kalian melakukan pekerjaan yang halal dan tidak melakukan pelanggaran dan tidak mengganggu orang lain?”

Mendengar ucapan gadis yang merupakan nasihat yang seolah keluar dari mulut seorang pendeta tua itu, Gak Sun Thai tersenyum geli, lalu dia menghela napas panjang.

“Memang, dipikir sepintas lalu saja memang demikianlah keadaannya dan kata-katamu tadi benar sekali, nona. Akan tetapi dari ucapanmu tadipun mudah diketahui bahwa engkau masih belum banyak mengetahui tentang keadaan orang-orang golongan kami. Nona tadi mengatakan bahwa lebih baik mencari pekerjaan yang halal dan tidak melanggar peraturan pemerintah, begitukah? Coba tolong beritahu, pekerjaan apakah yang dapat dikerjakan para anak buahku yang terdiri dari orang-orang kasar dan bodoh itu?”

“Bukankah banyak sekali lapangan pekerjaan? Misalnya jadi pelayan, menjadi petani dan lain-lain,” kata Bwee Hwa, tentu saja secara ngawur karena ia sendiri juga tidak banyak mengetahui tentang lapangan pekerjaan!

Kembali Gak Sun Thai tersenyum, “Ketahuilah, nona. Anak buahku yang puluhan orang banyaknya dan kini menjadi penghuni perkampungan ini bukan dilahirkan sebagai perampok. Mereka itu tadinya juga petani-petani, nelayan-nelayan dan pekerja-pekerja kasar. Akan tetapi, apakah yang dihasilkan oleh pekerjaan mereka itu? Hanya kelaparan bagi keluarganya. Bahkan untuk mengenyangkan perut sendiri sehari-hari saja kadang-kadang gagal. Apalagi untuk membeli pakaian yang pantas dan lebih-lebih lagi untuk menghasilkan rumah yang memadai. Pekerjaan apakah bagi orang kasar dan bodoh pada dewasa ini yang dapat cukup menghasilkan pangan-sandang-papan yang cukup beradab? Banyak anggauta keluarga mereka yang mati kelaparan karena kurang makan atau mati karena penyakit karena tiada biaya untuk pengobatan. Bertani tanpa memiliki tanah berarti hanya menjadi buruh tani yang diperas tenaganya habis-habisan oleh para majikan pemilik tanah seperti kerbau saja. Sedangkan pekerjaan- pekerjaan kasar lainnya amatlah sulitnya, harus bersaing hebat karena banyaknya penganggur sehingga digaji sedikitpun terpaksa diterima dan akibatnya, penghasilan kecil sekali dan tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Ah, nona, sungguh engkau tidak banyak mengetahui tentang keadaan rakyat kecil yang miskin pada dewasa ini.”

Mendengar ucapan panjang lebar itu, Bwee Hwa tertegun. Seakan baru terbuka matanya dan ia merasa heran sekali. Timbul pertanyaan dalam hatinya mengapa begitu banyak kesengsaraan di antara manusia, dan mengapa hanya untuk sekedar makan kenyang saja demikian sulitnya bagi banyak manusia? Akan tetapi banyak pula manusia yang hidupnya demikian kaya raya, bahkan berlebihan! Salah siapakah ini?

Di satu pihak, beberapa orang memiliki tanah beratus hektar luasnya, di lain pihak banyak orang yang tidak memiliki tanah secuilpun. Di satu pihak, beberapa orang memiliki rumah gedung ratusan buah banyaknya. Di lain pihak, banyak orang harus cukup puas tinggal di gubuk yang reyot dan bocor, bahkan banyak pula yang tidak memiliki tempat tinggal. Di satu pihak, beberapa orang menyimpan bahan makanan sampai membusuk dalam gudang karena terlalu banyak dan terlalu lama disimpan, di lain pihak banyak orang kelaparan. Di satu pihak, beberapa orang yang tidak pernah mengeluarkan keringat hidup kaya raya, hartanya berlebihan. Di lain pihak, banyak orang yang memeras keringat membanting tulang setiap hari, hidup miskin dan papa, pakaian tak utuh makan tak kenyang.

Di mana letak semua kesalahan ini? Tidak dapatkah yang berlebihan itu membuka jalan bagi yang kekurangan sehingga penghasilan mereka meningkat dan cukup untuk biaya hidup sehari-hari? Siapa yang berkewajiban mengatur semua ini?

“Paman Gak, apakah keadaan semacam ini tidak dapat diubah?”

Gak Sun Thai tersenyum. “Hemm, siapakah yang harus mengubah, nona?”

“Tentu saja pemerintah! Pemerintah yang harus mengubahnya, mengatur agar terdapat lapangan kerja yang cukup dan agar penghasilan rakyat meningkat sehingga setiap orang pekerja berpenghasilan cukup untuk biaya hidup keluarganya.”

Gak Sun Thai tertawa. “Ha-ha-ha, pendapatmu itu benar akan tetapi lucu, nona.”

“Lucu? Kenapa? Bukankah sudah semestinya kalau pemerintah mengatur agar rakyat hidup sejahtera?”

“Hemm, engkau belum banyak berkelana dan tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. Lihat saja kehidupan para pembesar tinggi, terutama di kota raja. Mereka hidup berdampingan dan bergandeng tangan dengan para hartawan, saling bantu, bahu membahu membagi rejeki yang berlebihan. Memikirkan keadaan rakyat kecil yang miskin? Mana mungkin? Mereka hanya memikirkan bagaimana untuk menggendutkan perut sendiri! Bagaimana kita dapat mengharapkan pemerintah penjajah untuk melindungi rakyat bangsa Han? Penjajah Mongol itu hanya memikirkan diri sendiri, keluarga sendiri, bahkan memeras rakyat dengan berbagai peraturan yang menekan dan berbagai pajak yang memberatkan. Ahh, jangan mengharapkan kebaikan dari pemerintah penjajah Mongol, nona. Ah, kita sudah bicara banyak akan tetapi nona belum memperkenalkan nama. Bolehkah kami mengetahui nama nona?”

“Namaku Bwee Hwa.”

“Dan she (marga) nona yang mulia?” Bwee Hwa tidak mau bercerita banyak tentang dirinya. “Jangan tanyakan itu. Sebut saja aku Ang-hong- cu.”

“Si Tawon Merah? Ah, julukan yang tepat sekali. Nona masih muda dan cantik namun dapat bergerak lincah seperti seekor lebah, dan dengan pakaian yang serba merah maka cocok sekali kalau nona berjuluk Ang-hong-cu. Ang-hong-cu, karena engkau kami anggap sebagai seorang tamu agung, sekarang kami mohon sudilah kiranya engkau memberi kehormatan kepadaku yang bodoh untuk menyaksikan kehebatan merasakan kelihaian kepandaianmu.”

Bwee Hwa mengerti apa yang dimaksudkan kepala gerombolan itu dan ia mengangguk. Mereka sudah selesai makan dan Bwee Hwa merasa puas akan perjamuan yang membuatnya merasa kenyang dan tubuhnya terasa segar itu. “Engkau hendak menguji kepandaian, paman? Boleh, boleh! Silakan memberi pelajaran kepada aku yang muda.”

“Bagus ! Marilah kita keluar, nona. Pekarangan rumah ini cukup luas sehingga kita dapat bermain-main dengan leluasa!”

Bwee Hwa menurut dan mengikuti tuan rumah keluar dari ruangan itu. Memang benar, pekarangan rumah itu cukup luas. Ketika para anak buah gerombolan mendengar bahwa tamu mereka, gadis perkasa berjuluk Ang-hong-cu itu hendak pi-bu (mengadu ilmu silat) dengan para pemimpin mereka, berbondong-bondong mereka datang dan berdiri melingkari pekarangan itu. Bahkan para wanita dan anak-anak tidak mau ketinggalan. Semua keluarga anak buah gerombolan berkumpul semua di pekarangan itu.

Gak Sun Thai mempunyai tiga orang pembantu yang terkenal memiliki ilmu silat yang tangguh. Tingkat kepandaian mereka hanya sedikit berada di bawah tingkat ilmu silat Gak Sun Thai. Setelah semua anak buah dan keluarganya berjongkok dan berdiri dengan tertib, Gak Sun Thai lalu berkata kepada tiga orang pembantunya yang berdiri di dalam lingkaran itu sambil berpangku tangan.

“Saudara-saudara, kalian sudah mendengar bahwa nona gagah perkasa yang berjuluk Ang-hong-cu ini memiliki ilmu silat yang tinggi. Kini ia berkenan untuk memberi pelajaran kepada kita, maka siapakah di antara kalian bertiga yang menjadi orang pertama suka menerima pelajarannya?”

Seorang di antara tiga pembantu itu, yang bertubuh tinggi besar dan tampak kuat sekali melangkah maju. “Gak-twako (Kakak Gak), biarlah aku mencoba-coba tenagaku melawan Ang-hong-cu!”

Gak Sun Thai mengangguk.

Orang tinggi besar ini berusia kurang lebih empatpuluh lima tahun, bernama Lui Thong. Dia memang terkenal memiliki tenaga luar yang hebat melebihi tenaga seekor kerbau jantan. Kepandaian silatnyapun cukup tinggi dan senjatanya yang ditakuti lawan adalah sebuah twa-to (golok besar).

Bwee Hwa menghadapi Lui Thong yang mukanya tampak bengis dengan kulit kasar hitam itu dengan tenang. Melihat ketenangan gadis itu, diam-diam Lui Thong merasa heran. Sukar dipercaya bahwa gadis yang begitu muda dan cantik jelita, berkulit halus mulus itu memiliki ilmu silat yang tangguh.

“Ang-hong-cu, aku bernama Lui Thong dan orang-orang menyebutku Twa-to Hek-gu (Kerbau Belang Bergolok Besar), seorang di antara para pembantu Gak-twako.” “Hemm, Paman Lui Thong, engkau ingin bertanding dengan tangan kosong ataukah dengan senjata?” tanya Bwee Hwa dengan sikap acuh tak acuh.

Lui Thong mengerutkan alisnya yang tebal. Dia sudah mendengar bahwa gadis ini selain lihai ilmu silatnya, juga wataknya angkuh. Pertanyaannya tadi saja mengandung sikap meremehkannya.

“Nona, engkau adalah seorang gadis muda berkulit halus, tidak seperti aku yang kasar, maka tidak baik kalau kita bermain-main dengan senjata yang tak bermata dan dapat melukai kulitmu yang halus. Biarlah kita menggunakan tangan kosong saja sehingga pukulanku dapat ditarik kembali sebelum melukaimu.”

Bwee Hwa maklum bahwa biarpun kelihatan kasar dan bodoh, namun sebenarnya orang tinggi besar bermuka hitam ini cukup cerdik. Memang, dalam pertandingan tangan kosong, tenaga besar amatlah berguna, tidak demikian kalau pertandingan dilakukan dengan senjata tajam yang tidak begitu mengandalkan tenaga besar karena dengan tenaga kecilpun tetap saja senjata tajam akan dapat melukai lawan. Agaknya alasan inilah yang membuat Lui Thong yang bertenaga besar itu memilih pertandingan tangan kosong di mana dia dapat memanfaatkan tenaga besarnya untuk mencapai kemenangan! Akan tetapi Bwee Hwa tetap tenang saja dan sama sekali tidak merasa gentar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar