Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Jilid 01

 
Jilid 01

Musim dingin baru tiba. Bunga-bunga salju kecil ringan bagaikan kapas melayang-layang turun dari langit, bertebaran menutupi segala benda di permukaan bumi. Di mana-mana tampak putih, putih bersih menyedapkan penglihatan. Biasanya, pada awal musim salju, segalanya tampak indah. Warna keputih-putihan yang bersih itu diselingi warna totol-totol hitam dari benda berwarna yang luput dari tutupan salju, bagaikan hiasan di atas dasar putih, tampak indah sekali.

Tentu saja, seperti sudah menjadi watak manusia, segala yang pada mulanya tampak indah itu tidak berlangsung selamanya. Segala sesuatu di dalam dunia ini hanya pada mulanya saja dapat dinikmati manusia. Pemandangan indah itu dalam waktu yang tidak lama akan terlihat membosankan, menjemukan dan tidak lagi menyenangkan. Hawa udara yang tadinya terasa sejuk segar akan segera terasa dingin menusuk tulang.

Dinginnya hawa udara memang amat menusuk, terutama di puncak bukit Heng-san yang menjulang tinggi. Semua pohon di hutan-hutan yang memenuhi bukit itu, yang biasanya kaya dengan warna hijau daun-daun, kini tertumpuk salju. Daun-daun hijau telah rontok meninggalkan cabang-cabang dan ranting-ranting gundul yang kini telah dicat putih oleh salju. Jarang tampak binatang hutan yang dahulunya banyak. Entah ke mana mereka pergi bersembunyi menyelamatkan diri dari musim dingin yang terkadang terasa kejam bagi mereka itu.

Keadaan di bukit Heng-san seakan-akan mati. Sunyi sekali, agaknya tidak ada mahluk hidup yang berani meninggalkan tempat berlindung pada saat hawa sedingin itu.

Akan tetapi kiranya tidak demikian! Lihat di lereng dekat puncak itu! Dua sosok bayangan manusia sedang bergerak menuruni lereng yang amat terjal. Ada sesuatu yang aneh. Dua orang manusia itu bergerak demikian cepatnya menuruni lereng yang terjal dan berbahaya, menerjang hujan salju seolah- olah tidak merasa dingin. Sepatutnya hanya sebangsa kera saja yang akan mampu bergerak sedemikian cekatan menuruni lereng yang terjal. Apalagi setelah dua sosok bayangan itu dilihat dari dekat. Orang akan menjadi semakin heran.

Seorang dari mereka adalah kakek berjenggot panjang. Rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, seperti benang-benang sutera putih, berkibar-kibar ketika dia bergerak. Bahkan alisnya juga sudah putih semua, bukan putih oleh salju, melainkan putih uban. Pakaiannya amat sederhana, pakaian petani dan bentuk tubuhnya yang kurus itu masih tampak tegak dan kuat walaupun usianya tentu sudah mencapai tujuhpuluh tahun lebih.

Adapun orang kedua juga menimbulkan keheranan bagi yang melihat mereka tadi menuruni lereng yang terjal itu. Orang kedua ini ternyata seorang gadis muda yang usianya paling banyak baru delapanbelas tahun. Rambutnya hitam tebal dikepang menjadi dua kuncir panjang tebal yang bergantungan di kanan kiri lehernya, panjang sampai ke punggung.

Mengherankan memang melihat seorang kakek tua dan seorang gadis muda bergerak demikian cekatan dan lincah melalui tebing terjal dalam hujan salju yang mendatangkan hawa dingin menyusup tulang. Dan keduanya kini melangkah dengan wajah berseri dan tetap segar, sama sekali tidak tampak kelelahan maupun kedinginan. Akan tetapi kalau orang sudah mengenal siapa mereka, tentu tidak akan merasa heran lagi. Kakek itu adalah seorang yang amat terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga) dan bu-lim (rimba persilatan), bahkan para penjahat ganaspun kiranya akan cepat lari bersembunyi dengan tubuh gemetar ketakutan kalau melihat kakek itu. Dia bukan lain adalah datuk persilatan yang dikenal dengan julukan Sin-kiam Lojin (Kakek Tua Pedang Sakti) dari Heng-san yang memiliki tingkat tinggi sekali dalam dunia persilatan.

Sin-kiam Lojin adalah seorang ahli pedang yang telah berhasil merangkai jurus-jurus ilmu pedang yang kabarnya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki Si Pedang Sakti. Karena ilmunya yang tinggi, maka tubuhnya yang sudah tua itu amat kuat sehingga setua itu dia masih mampu bergerak menuruni lereng terjal itu dengan cepat tanpa merasa lelah dan juga tidak kedinginan walaupun diterpa hujan salju.

Adapun gadis muda itu, yang berwajah manis sekali, hanya dikenal dengan nama Bwee Hwa, adalah murid Sin-kiam Lojin. Maka, tentu saja ia sudah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek itu dan tidaklah aneh kalau ia mampu bergerak cepat tanpa kelelahan dan kedinginan. Gadis ini cantik jelita dan tampaknya demikian lemah gemulai sehingga melihat wajah dan bentuk tubuhnya, tidak akan ada orang menyangka bahwa dalam tubuh yang indah dan sempurna lekuk lengkungnya itu terkandung kekuatan yang amat dahsyat dan ilmu silat yang amat lihai.

Wajahnya bulat telur, dengan sepasang mata yang lebar, jeli, bercahaya jernih akan tetapi terkadang dapat mencorong tajam penuh wibawa. Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah sekali. Sepasang bibir yang selalu merah segar itu amat menggairahkan. Tubuhnya yang padat dan indah, dengan kulit putih mulus itu mengenakan pakaian yang indah sekali, jauh berbeda jika dibandingkan pakaian Sin-kiam Lojin. Baju dan celananya terbuat dari sutera halus berwarna merah dengan sulaman kembang kuning di sana-sini.

Ia memakai sebuah baju luar berwarna kuning emas yang berkibar-kibar di belakang, terkadang kalau terhembus angin berkembang mirip sayap lukisan bidadari. Ketika jubah itu tersingkap, tampaklah sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah, tergantung di pinggang kiri. Sepatunya memakai sol besi dan berwarna hitam mengkilap. Bentuk tubuh dengan lekuk lengkung sempurna itu sedang saja dan tampak serasi, hanya rampingnya pinggang dan panjangnya leher dan kaki membuat ia tampak jangkung.

Guru dan murid itu berjalan cepat menuruni bukit, berjalan berdampingan tanpa bercakap-cakap. Kakek itu tampak tenang-tenang saja, akan tetapi si dara tampak gelisah atau tidak senang, sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu berkerut. Pandang matanya juga menunjukkan bahwa hatinya sedang murung.

Setelah menuruni lereng-lereng terjal, terkadang harus melompati jurang, akhirnya mereka tiba di kaki bukit, dan mereka berhenti di sebuah jalan simpang tiga. Mereka saling pandang dan kakek itu berkata, suaranya besar dan penuh wibawa.

“Nah, Bwee Hwa, akhirnya tiba juga saatnya bagi kita untuk berpisah. Engkau ambillah jalan menuju ke timur ini, sedangkan aku akan mengambil jalan menuju ke barat.”

“Suhu (guru)……” tiba-tiba sepasang mata yang jeli itu terpejam. Bwee Hwa menahan agar kedua matanya yang terasa panas itu tidak sampai menitikkan air mata. “. mengapa suhu tidak mengijinkan teecu (murid) mengembara bersama suhu! Selama teecu belajar dan ikut suhu, belum pernah teecu dilepas seorang diri di dunia yang luas ini……” ucapan itu mengandung penuh permohonan.

Sin-kiam Lojin mengerutkan alisnya yang putih, menatap tajam wajah muridnya penuh selidik dan kedua tangannya bertolak pinggang, sikapnya berwibawa sekali.

“Hemmmm, apa pula ini? Engkau…… takut……?”

Melihat sikap dan mendengar ucapan suhunya, tiba-tiba Bwee Hwa mengangkat mukanya dan memandang suhunya dengan sinar mata tajam. Kemuraman yang tadi menyelubungi wajahnya yang jelita itu lenyap seketika dan sepasang matanya bersinar-sinar, kepalanya tegak.

“Suhu! Teecu takut? Apakah teecu bukan murid suhu? Ah, teecu sama sekali tidak takut dan tentu suhu juga tahu betul akan hal ini. Akan tetapi, setelah hidup bersama suhu selama kurang lebih sepuluh tahun lamanya, dan selama itu suhu telah melimpahkan budi kebaikan kepada teecu, mendidik, memelihara, berupaya dengan susah dan penuh kasih sayang untuk menjadikan teecu seperti yang suhu harap- harapkan, kini…… suhu melepaskan teecu pergi begitu saja ”

“Muridku, memang demikianlah keadaan dalam kehidupan ini, sesuai dengan hukum alam, tiada yang kekal di dunia ini. Ada waktunya bertemu, ada waktunya berkumpul dan ada waktunya berpisah.”

“Suhu benar sekali. Akan tetapi, suhu telah teecu anggap seperti orang tua sendiri dan teecu belum diberi kesempatan untuk membalas semua budi kebaikan suhu. Suhu sekarang sudah tua, teecu ingin merawat suhu dan biarkanlah teecu membalas budi sebagai seorang murid atau anak yang berbakti.”

Sin-kiam Lojin menghela napas panjang, bukan karena duka, melainkan karena lega dan senang.

“Bwee Hwa, engkau tidak mengecewakan hati gurumu. Tidak sia-sia kiranya aku menculikmu dahulu dan mengambilmu sebagai murid. Akan tetapi engkau tidak usah merasa berhutang budi kepadaku, Bwee Hwa. Engkau tidak berhutang apapun kepadaku, karena akupun tidak merasa menghutangkan apa-apa kepadamu. Aku tidak merasa telah memberi apapun kepadamu dan kalau pelajaran ilmu silat itu kau anggap sebagai pemberian, akupun tidak kehilangan apa-apa. Asal engkau mempergunakan semua ilmu itu untuk membela kebenaran dan keadilan, menantang kejahatan, itu berarti engkau telah membayar segala jerih payahku mengajarimu, juga membayar segala jerih payahmu sendiri ketika mempelajari kepandaian itu. Tentang berbakti tadi hemm, engkau masih mempunyai orang tua, kepada merekalah

engkau harus berbakti.”

Ucapan ini mengingatkan Bwee Hwa akan keadaan dirinya dan ia menatap wajah gurunya. “Teecu hampir lupa akan ayah ibu teecu. Setelah kini suhu ingatkan, harap suhu memberitahu, di mana teecu dapat menemukan mereka?”

Sin-kiam Lojin menghela napas lagi, sekali ini helaan napasnya karena dia seakan-akan merasa menyesal telah mengingatkan muridnya akan orang tuanya.

“Bwee Hwa, terus terang saja, aku sendiri tidak tahu di mana adanya orang tuamu karena mereka tidak memiliki tempat tinggal yang tetap.” Bwee Hwa mengerutkan alisnya. “Tidak apa, suhu. Tolong suhu beritahu saja siapa nama ayah teecu karena sesungguhnya teecu telah lama lupa sama sekali akan nama ayah dan ibu.”

“Nama aselinya akupun tidak tahu. Akan tetapi ayahmu terkenal dengan julukan Kauw-jiu Pek-wan (Lutung Putih Tangan Sembilan).”

Bwee Hwa merasa penasaran. Sejak ia ikut dengan gurunya, setiap kali ia tanyakan, gurunya seolah tidak mengacuhkan pertanyaannya tentang orang tuanya dan sekarang ia menduga bahwa ayahnya yang mempunyai julukan seperti itu, tidak salah lagi tentu seorang yang terkenal di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli silat yang pandai.

“Apakah yang menjadi pekerjaan ayah, suhu?”

“Aku tidak dapat menceritakan kepadamu, Bwee Hwa,” Sin-kiam Lojin menggeleng-geleng kepalanya. “Pernah kuceritakan kepadamu bahwa dahulu aku menculikmu karena aku melihat engkau berbakat baik dan aku ingin mengambil engkau sebagai muridku. Ketika engkau kubawa lari, aku mendengar orang memanggilmu dengan nama Bwee Hwa. Ketika itu engkau berusia kurang lebih delapan tahun. Tentu engkau akan dapat mengenal wajah orang tuamu kalau engkau bertemu dengan mereka. Cari saja Kauw-jiu Pek-wan dan engkau tentu akan bertemu dengan ayah ibumu. Percayalah bahwa kelak kita tentu akan dapat saling berjumpa lagi. Baik-baiklah engkau menjaga dirimu dan setiap menghadapi persoalan ingatlah akan semua petuah dan nasihatku agar engkau selalu mengikuti jalan yang ditempuh para pendekar. Nah, selamat berpisah, Bwee Hwa!”

Sehabis berkata demikian, kakek itu mengebutkan lengan bajunya dan tubuhnya berkelebat ke arah barat. Bwee Hwa menggerakkan tangannya hendak mengejar, namun ia ingat akan watak suhunya yang aneh dan keras. Sekali suhunya mengeluarkan kata-kata, tidak akan ditarik kembali atau ditunda-tunda. Maka iapun lalu menjatuhkan dirinya berlutut ke arah perginya Sin-kiam Lojin sebagai penghormatan terakhir.

Hatinya disentuh keharuan dan tak terasa lagi air matanya mengalir turun di sepanjang kedua pipinya. Ia merasa betapa ia sangat mencinta dan menghormat gurunya yang ia anggap sebagai pengganti orang tuanya itu.

Ketika akhirnya ia bangkit berdiri sambil mengusap air matanya dengan ujung lengan baju, ia teringat akan ayah ibunya. Ia lalu duduk di atas sebongkah batu besar yang berada di tepi jalan dan mengingat- ingat, mengenang masa kecilnya.

Samar-samar ia ingat bahwa ayahnya adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi besar yang mukanya penuh cambang bauk yang hitam. Wajah ayahnya itu gagah sekali dan juga menyeramkan seperti harimau. Yang terbayang dalam benaknya adalah bahwa suara ayahnya itu besar dan lantang, dan sepasang matanya lebar dan bundar, pandang matanya tajam.

Ia lalu mencoba untuk mengingat-ingat wajah ibunya dan terbayanglah dibenaknya wajah seorang wanita yang cantik berkulit putih dan wajahnya selalu kepucat-pucatan dengan sepasang mata yang selalu tampak sayu dan sedih. Mengingat ibunya, hatinya kembali diliputi keharuan dan bibirnya gemetar ketika ia berbisik, “Ibu……” Kini ia hidup seorang diri. Dilepas sendirian di dunia yang luas ini, ia sama sekali tidak merasa khawatir atau takut. Ia hanya merasa kesepian. Dulu telah beberapa kali suhunya membawa ia berkeliling dari dusun ke dusun lain sehingga ia tidak merasa terlalu asing akan keadaan dusun-dusun dan kota. Juga di dalam buntalan pakaiannya yang tergantung di punggungnya terdapat beberapa potong uang perak pemberian suhunya untuk bekal dalam perantauannya.

Kalau ia kehabisan uang untuk biaya perjalanannya, suhunya berpesan bahwa boleh saja ia mengambil uang dari tangan para gerombolan perampok, atau dari rumah seorang pembesar yang terkenal korup, atau dari rumah seorang hartawan yang kikir dan suka menggunakan harta benda untuk berbuat sewenang-wenang.

Setelah menenangkan hatinya, Bwee Hwa lalu membenarkan letak buntalan pakaiannya, mengencangkan tali sepatu dan ikat pinggangnya, lalu berangkatlah ia menuju ke timur. Dengan hati tabah dan tekad bulat, ia mulai dengan pengembaraannya tanpa tujuan tertentu kecuali hendak mencari orang tuanya yang hanya dikenal sebagai Kauw-jiu Pek-wan dan akan mempergunakan semua kepandaian yang telah dikuasainya untuk membela kebenaran, keadilan dan kebaikan.

Kota Ki-ciu merupakan kota yang makmur dan ramai dikunjungi para pedagang dari daerah-daerah lain. Kota ini memiliki daerah petanian dan perkebunan yang subur dan terkenal sebagai daerah yang menghasilkan banyak buah-buahan, palawija, bahkan rempa-rempa. Hasil bumi yang banyak itu banyak dicari para pedagang yang membawanya ke luar daerah sehingga keadaan kota Ki-ciu menjadi ramai, penduduknya mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga kehidupan mereka lebih makmur dibandingkan penduduk kota lain yang tidak memiliki tanah sesubur di daerah Ki-ciu. Karena keadaannya yang baik ini, makin lama kota Ki-ciu menjadi semakin besar.

Banyak pedagang menanamkan modalnya di situ, dan banyak penduduk daerah lain pindah ke daerah Ki-ciu untuk mencari nafkah. Kotanya sendiri semakin besar. Banyak toko-toko menjual segala macam kebutuhan. Banyak pula rumah makan dan rumah penginapan untuk melayani para pendatang dan pedagang yang bermalam di kota itu. Rumah-rumah besar dibangun untuk mengganti rumah-rumah butut. Tanah di daerah Ki-ciu, terutama di dalam kota, menjadi mahal sekali. Rumah-rumah besar dan bagus yang berderet-deret di sepanjang jalan raya kota itu menjadi lambang kemakmuran kota.

Pada suatu hari, kota Ki-ciu menjadi lebih ramai dari pada biasanya. Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan raya, di daerah toko-toko dan rumah-rumah besar, tampak berseri-seri, dan banyak rumah yang dihias dengan kertas-kertas berwarna, bunga-bunga dan daun-daunan. Suasananya seperti kalau penduduk menyambut hari besar atau hari raya. Padahal hari itu tidak merupakan hari raya. Namun, penduduk kota Ki-ciu menyambut hari itu seperti sedang merayakan sesuatu yang menggembirakan.

Memang, sebagian besar penduduk Ki-ciu sedang bergembira, menyambut dan ikut merayakan hari ulang tahun Thio-taijin (Pembesar Thio) yang menjadi jaksa di kota Ki-ciu. Sungguh amat mengherankan kalau penduduk menyambut gembira perayaan hari ulang tahun seorang pembesar, apa lagi seorang jaksa! Padahal, pada waktu itu, pada umumnya rakyat membenci para pembesar yang mereka anggap sebagai penguasa yang suka menyalah-gunakan kekuasaan mereka, sewenang-wenang terhadap rakyat dan suka melakukan korupsi.

Akan tetapi, Thio-taijin terkenal sebagai seorang bangsawan dan jaksa yang adil dan jujur, dengan tegas dan adil membela kebenaran, suka membela rakyat kecil sehingga tidak mengherankan apabila dia disegani dan dicinta oleh penduduk kota Ki-ciu. Namun, seperti lajim terjadi di bagian manapun di dunia ini, kalau ada yang diuntungkan pasti ada pula yang dirugikan. Kalau yang diuntungkan mencinta jaksa Thio yang adil itu, pasti banyak pula yang membencinya, yaitu mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan sang jaksa. Yang jelas, para penjahat amat membenci Jaksa Thio karena dia tidak pernah memberi ampun kepada penjahat yang tertangkap. Dan tidak segan menjatuhkan hukuman berat kepada para pemerkosa, perampok, pencuri, penipu dan sebagainya.

Selain para penjahat, juga banyak hartawan membencinya, yaitu para hartawan yang suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan hartanya, ingin menjadi “raja kecil”, suka membeli tanah rakyat kecil dengan paksa. Mereka ini membentur karang dan tidak berdaya menghadapi Jaksa Thio karena dalam segala perkara yang diajukan di pengadilan, Jaksa Thio bertindak tegas dan adil, memenangkan yang benar dan mengalahkan yang salah. Para hartawan itu sama sekali tidak mampu untuk menyogok atau menyuapnya. Bahkan yang berani coba-coba, ditindak tegas dan dihukum!

Para pembesar lain di kota Ki-ciu tidak ada yang berani banyak ulah berbuat sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya karena tentu akan ditentang Jaksa Thio. Mereka ini “terpaksa” ikut menjadi baik pula. Keadaan inilah yang menambah tenteram dan makmur para penduduk kota Ki-ciu.

Pagi itu Bwee Hwa memasuki kota Ki-ciu yang sedang dalam suasana gembira itu. Gadis yang bagaikan seekor burung baru meninggalkan sarangnya itu merasa gembira sekali. Ia berjalan perlahan, memandangi ke kanan kiri, memuaskan pandang matanya yang mengagumi keindahan gedung-gedung dengan cat beraneka warna dan ukir-ukiran yang menghias wuwungan atap dan tiang-tiangnya. Bahkan ia menjadi agak bingung melihat banyaknya orang lalu lalang di atas jalan raya, di depan toko-toko bagaikan rombongan semut!

Ketika tiba di depan sebuah kuil, ia menghentikan langkahnya dan memandang dengan penuh kekaguman. Pernah ia melihat kuil-kuil di dusun yang dilewatinya, akan tetapi tidak seperti ini. Kuil-kuil itu kecil sederhana saja. Akan tetapi kuil ini besar, dengan ukiran-ukiran dan tata warna indah sekali. Di atas atapnya terdapat ukir-ukiran sepasang naga sedang memperebutkan sebuah bola mustika. Di depan kelenteng terdapat banyak arca besar yang menggambarkan perajurit-perajurit yang gagah perkasa, arca yang besar dan megah. Dari dalam kelenteng tampak asap mengepul keluar dan tercium bau hio (dupa) yang harum.

Kuil ini menjadi tempat pemujaan terhadap Kwan Kong atau Kwan In Tiang, seorang panglima besar, seorang tokoh yang amat terkenal akan kesaktian, kegagahan, kesetiaan dan kejujurannya dalam kisah lama Sam Kok (Tiga Negara). Kuil ini memang terpelihara baik-baik karena Jaksa Thio adalah seorang pemuja Kwan Kong dan dia merayakan hari ulang tahunnya di kuil itu. Jaksa inilah yang membiayai pemeliharaan kuil sehingga masih tampak terawat dan indah.

Pada saat itu, orang-orang memenuhi halaman kuil, bahkan banyak yang berdesak-desakan di jalan raya depan kuil. Mereka berdesakan hendak melihat Jaksa Thio sekeluarga yang sedang menyalakan lilin-lilin dan hio, kemudian melakukan sembahyang di depan arca Kwan Kong yang sangat besar. Sebetulnya, hal ini sama sekali tidak aneh dan tidak ada harganya untuk ditonton. Apakah anehnya orang sembahyang? Akan tetapi ada sesuatu yang amat menarik perhatian sekalian banyaknya penonton yang sebagian besar adalah laki-laki itu. Bwee Hwa yang berada di antara mereka mendengar percakapan mereka dan segera ia tahu bahwa yang membuat orang berjubal di tempat itu adalah untuk melihat seorang gadis yang ikut melakukan sembahyang dalam keluarga dalam kuil itu. Ia sendiri tidak mau berdesakan dan segera menjauh, lalu ia mendekati seorang wanita setengah tua yang juga ikut menonton dari kejauhan.

“Bibi yang baik, tolong tanya. Siapakah keluarga yang sedang bersembahyang di kuil itu dan kenapa begitu banyaknya orang berdesakan untuk menonton. Dan pula, suasana dalam kota ini seperti Orang- orang sedang merayakan pesta, ada perayaan apakah sebetulnya?”

Wanita setengah tua itu memandang kepada Bwee Hwa dan matanya terbelalak kagum. Jelas bahwa ia merasa kagum sekali akan kecantikan Bwee Hwa dengan pakaiannya yang berwarna merah dan mencolok indah itu.

“Aduh, nona. Kukira Thio-siocia (Nona Thio) sendiri yang datang di depanku! Aih, engkau tidak tahu apa yang terjadi dan tidak mengenal keluarga yang sedang bersembahyang dan menjadi tontonan? Kalau begitu, mudah saja menduga bahwa engkau tentu bukan orang sini!”

“Memang benar, bibi. Akan tetapi orang-orang itu berdesakan ingin melihat gadis itu. Siapakah ia?”

“Ia adalah Thio-siocia dan engkau mirip sekali dengannya, nona. Coba lihat, sungguh mirip! Heii, kalian lihatlah, bukankah nona ini mirip Thio-siocia?” Wanita itu tidak memberi keterangan kepada Bwee Hwa malah berteriak-teriak untuk menarik perhatian orang.

Beberapa orang laki-laki yang sedang berdesakan itu melotot dan mereka terbelalak memandang kepada Bwee Hwa dengan penuh kagum. Memang gadis ini mirip Thio-siocia, cantik jelita, bahkan lebih cantik ditambah gagah lagi. Mereka berseru kagum dan seruan ini membuat sebagian besar pria yang sedang menonton ke dalam menengok. Ketika mereka melihat Bwee Hwa, mereka semua memutar tubuh dan kini lebih banyak pria yang menengok ke luar daripada yang memandang ke dalam!

Tadinya para penonton pria memang terkagum-kagum kepada seorang gadis yang ikut bersembahyang. Gadis itu adalah puteri Jaksa Thio yang bernama Thio Cin Lan. Ia memang cantik sekali, bahkan terkenal sebagai kembangnya kota Ki-ciu! Sebagai puteri bangsawan tentu saja Cin Lan jarang sekali memperlihatkan diri di depan umum dan karena itu, semakin banyak saja pemuda yang merindukannya.

Bukan saja rindu karena berangan-angan kosong untuk memilikinya sebagai isteri, namun juga rindu untuk sekadar melihat dan mengagumi kecantikannya. Karena itu, tidak mengherankan kalau banyak sekali pemuda berdesakan di depan kuil itu hanya sekadar untuk dapat melihat wajah dan tubuh gadis yang disohorkan cantik jelita itu.

Thio Cin Lan atau penggilannya Thio-siocia (Nona Thio) bukan tidak maklum akan hal ini. Ia maklum bahwa dirinya menjadi pusat perhatian, maka ia bersembahyang dengan muka tunduk dan kedua pipinya yang putih mulus itu kemerahan karena ia merasa malu. Betapapun juga, ia tidak marah, bahkan sebaliknya, di lubuk hatinya ia merasa bangga dan girang, dan jantungnya berdebar.

Beberapa kali ia mencuri dengan sudut matanya mengerling keluar dan ia tersenyum geli melihat betapa pandang mata para pemuda itu bagaikan mata harimau yang kelaparan. Dan setiap kali ia mengerling dengan sudut matanya, setiap orang laki-laki merasa bahwa dirinyalah yang dilirik! Akan tetapi tiba-tiba suasana di luar kelenteng (kuil) itu berubah. Para penonton pria itu banyak yang berbalik menonton keluar. Hal ini membuat Cin Lan merasa tidak senang dan heran. Ia cepat menyelesaikan sembahyangnya, kemudian ia memandang keluar. Karena tempat sembahyang itu agak tinggi, maka ia dapat melihat kepala dan dada Bwee Hwa dan tahulah ia bahwa gadis berpakaian merah itulah yang menjadi sebab para penonton membalik keluar dan tidak memperhatikan dirinya lagi. Ia merasa tertarik kepada gadis berpakaian merah itu dan segera berbisik kepada ayahnya.

“Ayah, di luar ada seorang gadis yang agaknya sangat ingin menonton perayaan kita dari dekat. Kasihan ia berdesak-desakan di luar. Iebih baik suruh ia masuk saja, ayah.”

Jaksa Thio adalah seorang tua yang baik hati. Pembesar yang usianya kurang lebih limapuluh tahun ini selain menjadi pejabat yang bijaksana, juga amat mencinta puterinya. Mendengar ucapan Cin Lan, dia segera berpaling dan memandang keluar. Dia segera dapat melihat siapa yang dimaksud puterinya. Melihat gadis berbaju merah itu menjadi pusat perhatian para penonton, Jaksa Thio lalu turun dari atas tempat sembahyang dan berkata kepada para penonton.

“Hai, saudara-saudara, berilah jalan kepada nona baju merah yang berdiri di luar itu agar ia dapat masuk!” Kemudian dia memandang kepada Bwee Hwa dan berseru, “Nona baju merah, silakan masuk saja, tidak baik berdesakan di luar!”

Melihat keramahan laki-laki tua berpakaian indah itu, Bwee Hwa merasa senang. Ia melihat wajah laki- laki yang berwibawa namun ramah dan sikapnya lembut, juga hormat kepadanya. Maka iapun tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia melangkah masuk dan karena ia terhalang banyak orang, ia menggunakan kedua tangannya untuk mendorong perlahan ke kanan kiri, membuka jalan.

Dasar para pemuda, di mana-manapun sama saja. Melihat gadis baju merah yang jelita ini menggunakan tangan mendorong ke kanan kiri, banyak di antara mereka sengaja berdiri menghalang agar didorong dan disentuh tangan yang putih mulus itu. Inilah kesempatan untuk bersentuhan dengan gadis cantik jelita itu!

Akan tetapi, kalau tadinya mereka menanti sentuhan sambil tersenyum-senyum memasang gaya, pada saat tangan lembut itu mendorong perlahan, mereka terbelalak kaget dan senyum mereka seketika berubah menjadi seruan kaget karena mereka terdorong ke kanan kiri seperti dilanda gempa bumi saja! Mereka yang tidak menggunakan tangan untuk melawan dorongan itu, hanya terdorong minggir saja. Akan tetapi mereka yang menggunakan tenaga untuk melawan dan menahan dorongan Bwee Hwa, merasa tubuh mereka dilanda tenaga raksasa sehingga mereka menubruk orang di sampingnya dan terhuyung!

Hal ini hanya diketahui dan dirasakan oleh mereka yang bersangkutan saja. Thio-taijin sekeluarga dan orang lain tidak mengetahuinya sedangkan mereka yang merasakan tentu saja merasa malu untuk menceritakan betapa mereka terdorong sampai terhuyung oleh tangan halus gadis itu yang tampaknya hanya mendorong dengan perlahan saja.

Biarpun jarang bergaul, namun Bwee Hwa cukup diajar tata cara sopan santun oleh Sin-kiam Lojin. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada, menjura kepada Jaksa Thio. Akan tetapi karena ia tidak tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang bangsawan yang berkedudukan tinggi, maka ia berkata dengan lembut namun bersahaja. “Lo-pek (paman tua), terima kasih banyak atas kebaikanmu.”

Tentu saja para keluarga Jaksa Thio dan para penonton yang mendengar ucapan itu terbelalak heran dan memandang khawatir dan tegang, takut kalau Jaksa Thio menjadi marah. Akan tetapi Jaksa Thio sendiri setelah memandang dengan kaget dan heran, lalu tertawa bergelak-gelak sampai kedua bola matanya menjadi basah. Dia benar-benar merasa geli hatinya karena selama hidupnya belum pernah dia disebut paman tua begitu saja oleh seorang gadis asing.

Sebaliknya Bwee Hwa yang melihat orang tua itu tertawa bergelak-gelak, ikut pula tertawa dan tawanya bebas, tidak menutupi mulutnya seperti kebiasaan gadis malu-malu sehingga mulutnya terbuka dan orang dapat melihat deretan gigi yang putih dan rapi, lidah dan rongga mulut yang merah. Bwee Hwa menganggap orang tua itu tentu girang sekali dan menurut pelajaran tata susila yang pernah ia dapatkan dari gurunya, jika orang-orang tertawa, biarpun ia tidak tahu apa sebabnya, maka sebaiknya iapun tertawa pula.

Melihat betapa Jaksa Thio dan gadis baju merah itu sama-sama tertawa besar, orang-orang yang tadinya terheran-heran kini semakin melongo keheranan dan saling pandang dengan muka bodoh!

“Ha-ha-ha-ha! Nona baju merah, engkau sungguh lucu sekali! Lucu dan baik!” kata Jaksa Thio sambil memandang kepada Bwee Hwa. “Engkau tentu bukan orang sini dan agaknya engkau seorang gadis kang-ouw karena aku melihat pedang tergantung di pinggang, di balik baju luarmu. Nona yang baik, siapakah namamu dan di mana tempat tinggalmu?”

Melihat di situ terdapat banyak bangku bundar yang terukir indah, tanpa diminta lagi Bwee Hwa lalu duduk di atas sebuah bangku sebelum menjawab pertanyaan itu. Melihat ini, Jaksa Thio tersenyum dan memberi isyarat kepada isteri dan puterinya untuk duduk. Mereka lalu duduk mengelilingi meja, berhadapan dengan Bwee Hwa. Setelah itu, Jaksa Thio lalu berseru kepada para penonton.

“Saudara-saudara, silakan mengambil tempat duduk dan merayakan ulang tahun kami bersama-sama!”

Seruan ini disambut dengan riuh gembira oleh semua penonton dan mereka lalu menduduki bangku- bangku yang memang telah disediakan di pekarangan itu. Jaksa Thio memberi isyarat kepada para pelayan untuk mengeluarkan hidangan kepada semua orang. Semua orang merasa girang dan berterima kasih sekali karena kembali pembesar itu memperlihatkan kebijaksanaan dan kebaikan hatinya terhadap siapa saja.

Setelah duduk berhadapan dengan Jaksa Thio dan anak isterinya, Bwee Hwa menjawab pertanyaan tadi dengan sikap sederhana.

“Namaku Bwee Hwa dan entahlah, aku sendiri tidak tahu apakah aku ini seorang gadis kang-ouw atau bukan. Aku juga tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Aku baru datang dari bukit Heng-san, berpisah dari guruku dan aku kini sedang merantau.”

Mendengar jawaban yang sangat terbuka dan sederhana ini mengertilah Jaksa Thio bahwa dia sedang berhadapan dengan seorang gadis yang benar-benar bodoh dan jujur, bukan seorang kang-ouw yang biasanya bersikap takacuh dan berani bersikap ugal-ugalan terhadap siapa saja. Maka diapun lalu memperkenalkan diri, isteri dan puterinya. Biarpun kini ia tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga bangsawan dan pembesar, sikap Bwee Hwa masih biasa saja, bersahabat dan tidak menjilat. Hal ini membuat Jaksa Thio menjadi semakin kagum. Dia sudah jemu dengan sikap orang yang biasanya amat menghormat, bahkan terkadang berlebihan seperti menjilat terhadap dirinya dan dia tahu benar bahwa penghormatan itu sesungguhnya bukan ditujukan kepada pribadinya, melainkan kepada kedudukan dan kekuasaannya!

Thio Cin Lan mengamati pakaian dan pedang Bwee Hwa dengan tertarik sekali. Pakaian Bwee Hwa itu indah dan juga ringkas, enak dipakai dan membuat gadis itu dapat bergerak leluasa, tidak seperti pakaiannya, pakaian seorang gadis bangsawan yang gedombrangan dan membuat ia tidak dapat bergerak leluasa.

“Berapakah usiamu sekarang? Engkau tampak masih sangat muda.”

Bwee Hwa memandang Cin Lan dan tersenyum. “Usiaku delapanbelas tahun.”

“Ah, masih muda sekali. Aku sudah sembilan belas tahun. Adik Bwee Hwa, dalam usia semuda ini engkau sudah berani berkelana seorang diri. Engkau tentu pandai sekali bersilat. Maukah engkau bersilat pedang sebentar untuk kami?”

Bwee Hwa memandang Cin Lan dan tersenyum menggeleng kepalanya. “Tidak, enci Cin Lan. Aku tidak mau.”

Jaksa Thio ikut membujuk Bwee Hwa untuk memperlihatkan permainan pedangnya. Pembesar ini suka sekali melihat pertunjukan silat, walaupun dia sendiri tidak sangat pandai bermain silat. Dia mempunyai banyak pengawal yang ahli dalam hal ilmu silat, bahkan di sekitar kuil itu terdapat banyak pengawalnya yang menjaga keselamatan keluarganya. Dia hanya ingin memeriahkan suasana dengan membujuk Bwee Hwa bersilat pedang dan dia mengira bahwa gadis itu hanya memiliki kepandaian silat biasa saja.

Akan tetapi ternyata Bwee Hwa juga menolak keras. “Tidak mungkin!” gadis itu menggeleng-geleng kepalanya. “Suhu bilang bahwa sekali-kali aku tidak boleh bermain-main dengan pedang, lebih-lebih untuk sekedar memamerkan kepandaian. Aku hanya mau mencabut pedangku dan memainkannya jika terjadi kejahatan dan ada orang yang perlu kubela dan kutolong. Harap kalian tidak kecewa dan tidak marah.”

Biarpun mulutnya tersenyum, namun di dalam hatinya Jaksa Thio menganggap bahwa Bwee Hwa terlampau angkuh. Akan tetapi karena ucapan gadis itu jelas sekali terdengar demikian berterus terang dan jujur, maka diapun tidak menjadi kecewa dan mereka lalu makan minum.

Bwee Hwa tidak merasa malu-malu atau sungkan-sungkan lagi. Setelah dipersilakan, ia lalu menggasak hidangan di atas meja karena memang sejak pagi tadi ia belum sarapan. Apalagi masakan yang dihidangkan di atas meja itu ternyata lezat dan belum pernah ia makan senikmat itu.

Jaksa Thio sekeluarga merasa geli dan juga senang melihat sikap Bwee Hwa dan cara makannya yang gembul itu. Mereka membiarkan saja gadis itu makan sampai kenyang dan ayah, ibu dan puteri mereka itu dengan ramah bergantian menawarkan masakan-masakan yang belum disentuh Bwee Hwa. Akhirnya mereka merasa cukup dan melihat Bwee Hwa tidak makan lagi dan hendak menyusut bibirnya dengan ujung lengan baju, Cin Lan memegang lengannya dan menyerahkan sehelai kain lap putih yang memang disediakan untuk menyusut bibir dan tangan.

Bwee Hwa menerima dan tersenyum senang.

“Bwee Hwa,” kata Jaksa Thio yang mulai merasa akrab dengan gadis itu maka ia memanggil namanya begitu saja. “Engkau belum mengatakan siapa She (marga) dan siapa pula orang tuamu, di mana tempat tinggal mereka.”

Bwee Hwa mengerutkan alisnya akan tetapi ia menjawab juga.

“Aku tidak tahu siapa she-ku. Sejak kecil aku ikut suhu dan aku tidak tahu pula siapa nama orang tuaku, hanya ayahku berjuluk Kauw-jiu Pek-wan dan sekarang aku sedang mencari orang tuaku.”

Jaksa Thio mengangkat alisnya. “Akan tetapi, di mana tempat tinggal mereka?”

Bwee Hwa menggeleng kepalanya. “Aku tidak tahu, akan tetapi aku akan mencarinya.”

Jaksa Thio dan anak isterinya merasa suka dan iba sekali kepada gadis baju merah yang cantik jelita dan bersikap polos itu. Jaksa Thio juga tidak bertanya lebih lanjut agar tidak membangkitkan kenangan sedih dalam hati Bwee Hwa.

Pada saat keluarga Jaksa Thio dan semua orang sudah menyelesaikan perjamuan itu, tiba-tiba sebuah benda kecil hitam menyambar dari luar ke arah dada Jaksa Thio. Pembesar ini dapat melihat benda itu dan cepat mengelak dengan miringkan tubuhnya, akan tetapi gerakannya kurang cepat dan benda itu menancap di pundak kirinya. Jaksa Thio berteriak kesakitan dan semua orang terkejut. Benda hitam itu ternyata adalah sebuah senjata rahasia piauw (besi runcing bersayap).

Pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dari mulut Bwee Hwa dan gadis ini melompat ke atas. Kedua tangannya bergerak menangkap dua benda piauw lagi yang melayang ke arah tubuh Jaksa Thio. Piauw ke empat ia tendang dengan sepatunya sehingga senjata rahasia itu mencelat ke atas dan menancap pada langit-langit ruangan kuil itu. Akan tetapi pada saat itu, dari luar menyambar lagi empat buah piauw ke arah Jaksa Thio dan isterinya!

Bwee Hwa kembali mengeluarkan bentakan nyaring, cepat ia menyambitkan dua batang piauw di tangannya, dengan tepat mengenai dua batang piauw yang melayang dari luar sehingga runtuh. Kemudian dengan kepretan tangan ia menangkis dua batang lagi sehingga dua batang piauw itupun jatuh ke lantai.

Bwee Hwa lalu tersenyum kepada Thio Cin Lan dan berkata, “Enci Lan, engkau tadi ingin melihat aku bermain pedang? Nah, sekaranglah waktunya aku bermain pedang!”

Cin Lan hanya memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat dan tiba-tiba pandang matanya menjadi silau ketika Bwee Hwa tahu-tahu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya. Itulah pedang mustika Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) pemberian gurunya. Kemudian, dengan menggunakan jurus Sin-liong-coan-in (Naga Sakti Menembus Awan), tubuh Bwee Hwa melompat tinggi dan melayang keluar ruangan itu. Di lain saat gadis baju merah itu telah bertanding di pekarangan kuil melawan tiga orang laki-laki yang berpakaian serba biru dan yang bertubuh tinggi besar. Bwee Hwa melihat betapa di bagian dada kiri tiga orang lawannya itu terdapat sulaman gambar seekor ular kecil bersayap. Mereka bertiga memegang golok dan ternyata ilmu golok merekapun cukup lihai.

Para pengawal Jaksa Thio hanya mengepung dari jauh. Mereka ada belasan orang, akan tetapi karena tadi ketika mereka hendak menangkap orang-orang yang menyerang Jaksa Thio dengan senjata rahasia, merekapun diserang dengan piauw dan tiga orang di antara mereka roboh. Karena itulah mereka menjadi gentar dan melihat nona baju merah itu bertanding seru melawan tiga orang penjahat, mereka hanya mengepung dan siap dengan senjata mereka.

Para penonton yang tadi ikut makan minum, menjadi ketakutan, akan tetapi karena perkelahian itu terjadi di pekarangan kuil, merekapun tidak berani keluar dan tinggal berkumpul dalam ruangan depan kuil itu sambil menonton pertandingan di pekarangan dengan muka pucat. Lima orang pengawal kini berdiri menjaga dan melindungi Jaksa Thio dan anak isterinya. Sikap mereka berlagak gagah-gagahan, seolah merekalah yang menyelamatkan keluarga itu!

Tiga orang laki-laki tinggi besar itu memang mahir sekali bersilat golok. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi murid Sin-kiam Lojin yang memainkan pedang pusaka ampuh dan ilmu pedangnya tinggi sekali. Belum sampai duapuluh jurus mereka bertempur, seorang pengeroyok telah roboh dengan pundak terluka tusukan pedang di tangan Bwee Hwa.

Dua orang pengeroyok lain yang sudah terdesak, tidak sanggup menandingi kelihaian Bwee Hwa. Mereka berseru keras dan melompat jauh, menyimpan golok mereka dan kedua tangan mereka bergerak. Dari masing-masing tangan mereka menyambar tiga batang piauw sehingga sekaligus ada dua belas batang piauw menyambar.

Bwee Hwa merasa kagum juga. Ia cepat memutar pedangnya sehingga piauw-piauw itu tertangkis runtuh. Akan tetapi ia mendengar jeritan di belakangnya dan ketika ia menengok, ia melihat betapa seorang penjahat yang tadi dirobohkannya telah tewas dengan dua batang piauw menancap di lehernya! Dan ketika dia memandang ke arah dua orang yang melarikan diri tadi, mereka sudah lenyap.

Bwee Hwa dengan tenang menyarungkan kembali pedangnya, lalu dipungutnya sebatang piauw yang tadi tertangkis runtuh ke atas tanah. Seperti semua piauw yang dipergunakan para penjahat itu, yang melukai jaksa Thio dan yang menewaskan penjahat, senjata rahasia itu berbentuk aneh. Kepala piauw itu berbentuk seekor ular bersayap. Ia teringat akan gambar sulaman di baju bagian dada kiri para penjahat.

Setelah seorang penjahat tewas dan dua orang melarikan diri, para penonton yang ikut berpesta bubaran tanpa sempat pamit atau berterima kasih kepada Jaksa Thio. Mereka menjadi ketakutan. Para pengawal kini sibuk berkumpul dekat keluarga Jaksa Thio dengan muka pucat. Ada pula yang mengurus mayat penjahat itu.

“Bwee Hwa, kami sekeluarga telah engkau selamatkan. Kalau tidak ada engkau di sini, besar kemungkinan kami tewas di tangan para penjahat. Marilah, Bwee Hwa, marilah ikut dengan kami ke rumah kami di mana kita dapat bicara dengan leluasa,” kata Thio-taijin setelah pundaknya diberi obat oleh kepala pengawal. “Terima kasih, lopek. Aku hendak melanjutkan perjalananku,” Bwee Hwa menolak.

Cin Lan menghampiri dan merangkulnya. “Adik Bwee Hwa, marilah engkau ikut dengan kami ke rumah. Engkau bukan saja telah menyelamatkan kami, akan tetapi aku sudah menganggap engkau sebagai adikku sendiri. Marilah, Bwee Hwa!”

Nyonya Thio juga membujuk. “Bwee Hwa, kami mohon agar engkau suka ikut dengan kami. Kami khawatir sekali. Bagaimana kalau para penjahat itu datang lagi dan mengulangi serangan mereka kepada kami?”

Karena keluarga itu membujuk-bujuk dan Bwee Hwa sendiri juga khawatir kalau-kalau para penjahat itu akan mengganggu lagi, maka akhirnya ia ikut juga. Keluarga itu bersama Bwee Hwa lalu menuju ke rumah Jaksa Thio, dikawal oleh para perajurit pengawal. Di sepanjang perjalanan, banyak orang menonton karena berita tentang gadis baju merah yang amat lihai dan yang sudah menyelamatkan nyawa keluarga Jaksa Thio telah tersebar luas di seluruh kota Ki-ciu.

Jaksa Thio yang sudah mendapat perawatan dan lukanya tidak terasa terlalu nyeri lagi, lalu memanggil semua pengawal yang tadi bertugas mengawalnya. Dia memarahi mereka dan menyatakan penyesalannya bahwa mereka itu lalai dan lemah.

“Bagaimana mungkin ada tiga orang penjahat dapat menyerang kami padahal kalian belasan orang menjaga di sana?” Jaksa Thio menegur kepala pengawal yang bernama Kim Tiong, seorang perwira pengawal yang bertubuh tinggi besar dan berkumis tebal.

“Mohon beribu maaf, taijin,” Kim-ciangkun (Perwira Kim) berkata sambil memberi hormat. “Hamba dan teman-teman sudah berusaha menangkap mereka, akan tetapi mereka itu lihai sekali sehingga tiga orang anak buah hamba roboh terluka. Akan tetapi hamba telah tahu siapa mereka yang menyerang taijin tadi.”

“Hemm, bagus. Siapakah mereka yang seberani itu?”

“Mereka adalah anggauta-anggauta perkumpulan rahasia yang menamakan diri Hwe-coa-kauw (Agama Ular Terbang), taijin.”

Tidak hanya Jaksa Thio yang terkejut mendengar nama perkumpulan rahasia yang berkedok agama dan yang amat tersohor itu, bahkan Bwee Hwa juga terkejut.

“Jadi benarkah mereka itu para anggauta Hwe-coa-kauw?” kata Bwee Hwa. “Tadi telah kuduga ketika melihat senjata rahasia dan sulaman pada dada mereka. Suhu pernah bercerita tentang kekejaman dan kesesatan perkumpulan ini. Aku senang sekali telah dapat menghalangi niat jahat mereka tadi!”

“Bahkan lihiap (Pendekar wanita) telah berhasil membunuh seorang di antara mereka,” kata Kim Tiong dengan kagum.

“Bukan aku yang membunuhnya, akan tetapi kawan-kawannya sendiri. Agaknya mereka yang melarikan diri itu khawatir kalau kawan yang terluka itu akan membuka rahasia, maka mereka lalu membunuhnya dengan piauw mereka,” kata Bwee Hwa. Jaksa Thio menggeleng-geleng kepalanya. “Memang demikianlah yang kudengar. Mereka itu menculik, membunuh, dan mereka selalu membunuh kawan mereka yang tertawan. Akan tetapi setahuku, perkumpulan jahat itu berada di daerah Tit-le. Kenapa mendadak mereka berada di sini dan datang- datang mereka itu hendak membunuhku?”

“Ah, sekarang aku merasa menyesal sekali mengapa tadi aku tidak mengejar dan menangkap yang dua orang lagi. Kupikir mereka tidak berhasil membunuh, dan seorang di antara mereka telah dapat kurobohkan, maka aku sengaja memberi keringanan kepada mereka dan membiarkan mereka pergi.”

“Betapapun, engkau telah berjasa besar menyelamatkan kami sekeluarga, Bwee Hwa,” kata Jaksa Thio dan dia lalu memerintahkan para kepala pengawal agar melakukan penjagaan dengan ketat agar jangan ada penjahat yang mampu datang mengganggu.

Ketika malam tiba, Cin Lan mengajak Bwee Hwa tidur di dalam kamarnya yang cukup luas dan indah. Bwee Hwa merasa senang sekali. Ia belum pernah bergaul dengan gadis sebaya, dan kini bertemu dengan Cin Lan yang amat ramah dan tidur sekamar dengan gadis itu, ia bergembira sekali dan mereka berdua ngobrol sampai jauh malam.

Lewat tengah malam, Bwee Hwa masih belum tidur. Suasana dalam kamar yang indah dan harum itu amat berbeda dengan tempat seadanya di mana ia biasa melewatkan malam. Mungkin terlalu nyaman dan terlalu indah, kasurnya juga terlalu lunak baginya sehingga ia malah sukar untuk jatuh pulas. Padahal, pernah ia terpaksa tidur di dalam sebuah kuil kosong yang pengap dan kotor, atau di dalam sebuah guha batu dan ia dapat tidur dengan nyenyak!

Tiba-tiba pendengarannya yang peka dan tajam karena terlatih, mendengar suara perlahan di atas atap. Ia menoleh dan melihat Cin Lan sudah tidur pulas. Wajah gadis itu lembut dan cantik sekali ketika tidur, bibirnya lersenyum.

Bwee Hwa cepat turun dari pembaringan, mengenakan sepatu, membereskan pakaiannya dan mencabut pedangnya. Ia merasa yakin bahwa suara itu tentu gerakan kaki orang di atas genteng, gerakan kaki yang menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) tingkat tinggi. Ia merasa heran bagaimana orang itu dapat tiba di atas genteng, padahal rumah jaksa Thio dijaga ketat oleh pasukan pengawal, dijaga bagian bawah dan bagian atasnya! Sekeliling gedung telah dikepung pasukan pengawal, namun masih saja ada orang yang dapat menyusup.

Dari tempat ia berdiri, yaitu di dekat jendela, Bwee Hwa meniup ke arah lilin kecil yang dibiarkan menyala di atas meja. Iilin itu padam dan Bwee Hwa lalu membuka daun jendela dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara. Ia melompat keluar dan pada saat itu ia mendengar teriakan-teriakan orang dan berkerontangannya senjata tajam beradu.

Suara itu terdengar dari atas genteng. Tahulah Bwee Hwa bahwa tentu para pengawal sudah memergoki penjahat dan kini mereka sedang mengeroyok penjahat itu. Maka cepat iapun keluar dan melompat naik ke atas genteng.

Benar saja dugaannya. Dia bawah sinar bulan yang cukup terang, Bwee Hwa melihat seorang laki-laki berkepala gundul sedang dikepung dan dikeroyok tujuh orang pengawal! Si kepala gundul itu memainkan sebatang golok besar dengan hebatnya. Goloknya berubah menjadi segulungan sinar putih yang menahan serangan tujuh orang pengeroyoknya yang juga mempergunakan golok.

Namun, Bwee Hwa melihat jelas betapa sinar golok yang dimainkan si kepala gundul itu jauh lebih dahsyat daripada para pengeroyoknya sehingga ia mampu mendesak ke tujuh orang pengawal. Bahkan pada saat itu, tendangan kakinya mengenai dada seorang pengeroyok sehingga tubuhnya terguling- guling dan jatuh ke bawah, mengeluarkan suara berdebuk.

“Para bu-su (pengawal), serahkan bangsat gundul ini kepadaku!” bentak Bwee Hwa sambil melompat dekat. Para pengawal yang sudah merasa jerih, merasa lega mengenal suara Bwee Hwa dan mereka segera mundur, membiarkan gadis perkasa itu untuk menghadapi lawan yang lihai itu.

“Ha-ha-ha!” Si gundul tertawa sambil memandang kepada Bwee Hwa dengan sinar mata jalang. “Benar sekali kata-kata Tiat-ko (kakak Tiat). Nona baju merah ini selain hebat ilmu silatnya, juga amat cantik jelita!”

Di bawah sinar bulan Bwee Hwa yang sudah berhadapan dengan penjahat itu dapat melihat dengan jelas. Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu berusia kurang lebih empatpuluh tahun, kepalanya gundul dan pakaiannya juga mirip jubah yang biasa dipakai para hwesio (pendeta Buddha), akan tetapi di dadanya sebelah kiri, di atas bajunya terdapat sulaman seekor ular bersayap! Tahulah ia bahwa hwesio ini tentu anggauta perkumpulan Hwe-coa-kauw itu. Perkumpulan penjahat yang berkedok agama! Pantas saja tokohtokohnya ada yang berpakaian seperti hwesio, dengan kepala digunduli.

“Hemm, engkau ini seorang pendeta mengapa menjadi penjahat? Percuma saja engkau berpakaian pendeta dan menggunduli kepalamu. Engkau hwesio palsu, penjahat yang berkedok pendeta!” Bwee Hwa memaki sambil menudingkan pedangnya ke arah muka orang itu.

Hwesio itu hanya tertawa, akan tetapi tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan enam batang hwe-coa- piauw (Piauw Ular Terbang) sudah menyambar ke arah bagian tubuh Bwee Hwa yang cepat memutar pedangnya. Pedangnya berubah menjadi gulungan sinar yang melindungi tubuhnya dan semua piauw itu terpental ke kanan kiri. Tangan kiri gadis itu cepat merogoh sebuah kantung di pinggangnya.

“Makanlah ini!” bentak Bwee Hwa dan begitu tangan kirinya bergerak, sinar-sinar kecil berkeredepan menyambar ke arah tubuh si kepala gundul. Itulah hong-cu-ciam (jarum tawon), senjata rahasia berbentuk jarum yang dibagian belakangnya ada lubangnya sehingga ketika disambitkan dengan pengerahan tenaga dalam, jarum itu meluncur dan mengeluarkan bunyi berdengung seperti tawon! Tanpa menggunakan tenaga dalam yang amat kuat, tidak mungkin jarum-jarum itu dapat mengeluarkan suara berdengung seperti itu.

Hwesio palsu itu terkejut bukan main melihat senjata rahasia lembut yang menyambar sambil berdengung-dengung seperti sekumpulan tawon menyerangnya itu. Cepat dia memutar goloknya dengan gerakan Sian-jiu-khai-mo (Dewa Membuka Payung). Goloknya berubah menjadi gulungan sinar seperti payung yang menangkis semua jarum.

Melihat jarum-jarumnya gagal, Bwee Hwa lalu menerjang dan menyerang dengan pedangnya. Sinar pedangnya berkelebat dan sebuah tusukan kilat menyambar ke arah leher hwesio itu. Si pendeta palsu mengerahkan seluruh tenaga sakti dan menggunakan goloknya menangkis sekuat tenaga dengan maksud untuk membuat pedang lawan patah atau setidaknya terpental. “Wuuutttt…… trangg. !!” Hwesio Hwe-coa-kauw itu terkejut setengah mati karena bukan pedang gadis

itu yang patah atau terpental. Bahkan golok di tangannya hampir saja terlepas karena tangannya tergetar hebat. Kiranya gadis itu memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang tidak kalah kuatnya! Dia lalu balas menyerang dan bersilat dengan hati-hati sekali karena maklumlah dia bahwa dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh.

Akan tetapi, gerakan pedang Bwee Hwa terlampau cepat dan tenaga sin-kang gadis itu terlampau kuat bagi pendeta Hwe-coa-kauw itu. Dia terdesak hebat dan nyaris tidak mampu balas menyerang. Akan tetapi pada saat itu, tampak sesosok bayangan berkelebat datang dan muncullah seorang hwesio lain yang memegang golok. Hwesio pertama menjadi girang.

“Sute (adik seperguruan), mari kita bunuh kuda betina liar ini!”

Ternyata hwesio kedua itupun lihai ilmu goloknya dan Bwee Hwa lalu dikeroyok dua. Namun gadis perkasa itu tidak menjadi gentar. Ia malah mempercepat gerakan pedangnya sehingga Sin-hong kiam itu berubah menjadi gulungan sinar yang lebar dan tubuh gadis itu lenyap dalam sinar pedangnya.

Ketika para pengawal yang belasan orang jumlahnya itu datang hendak membantu, muncul pula tiga orang hwesio lain. Pertempuran menjadi semakin hebat. Bwee Hwa tetap dikeroyok dua, sedangkan belasan orang pengawal itu mengeroyok tiga orang pendeta Hwe-coa-kauw yang baru muncul. Sayang sekali bahwa di antara para pengawal, hanya perwira Kim Tiong seorang yang kepandaian silatnya lumayan, sedangkan yang lain jauh di bawah tingkatnya. Oleh karena itu, maka amukan tiga orang hwesio yang baru datang itu membuat para pengawal kocar-kacir dan sebentar saja empat perajurit pengawal sudah roboh terkena sambaran golok tiga orang pendeta gundul itu.

Bwee Hwa maklum bahwa keadaan para pengawal terancam bahaya. Ia menjadi marah dan kini pedangnya menyambar-nyambar dahsyat dan mulut gadis itu mengeluarkan suara berdengung yang tinggi. Suara itu tidak keras, seperti dengung lebah-lebah yang mengamuk, akan tetapi karena suara itu dikeluarkan dengan pengerahan sin-kang, maka mengandung getaran yang dapat menggetarkan perasaan lawan sehingga melemahkan semangat lawan.

Usahanya itu berhasil baik. Kedua orang pengeroyoknya melemah pertahanannya dan dengan jurus Sin- liong-bhok-cu (Naga Sakti Menyambar Mustika) pedangnya meluncur dan seorang pengeroyok berteriak dan roboh bergulingan di atas genteng lalu jatuh ke bawah, tewas seketika karena dadanya tertembus pedang. Pengeroyok kedua terkejut bukan main dan melompat ke belakang.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan kebakaran dari belakang gedung dan tampak api berkobar menjilat-jilat ke atas payon. Melihat ini, sebagian para pengawal segera meninggalkan atap dan lari ke belakang untuk membantu teman-teman mereka yang berusaha memadamkan api agar jangan sampai menjalar ke bagian tengah gedung.

Bwee Hwa tidak berani meninggalkan atap itu karena ia harus melindungi Jaksa Thio sekeluarga. Ia mengamuk dan pedangnya menyambar-nyambar dengan ganasnya mendesak hwesio kedua yang tadi mengeroyoknya. Akan tetapi hwesio itu meloncat pergi melarikan diri dan terdengar suara mendesis- desis seperti ular. Suara itu menjadi isyarat bagi kawanan gerombolan Hwe-coa-kauw untuk melarikan diri. Bwee Hwa menjadi marah. Tubuhnya melayang bagaikan seekor tawon terbang dan sekali pedangnya berkelebat, hwesio yang melarikan diri terkena babatan pedangnya sehingga sebelah kakinya buntung dan dia menjerit kesakitan, tubuhnya menggelinding dan terjatuh ke bawah. Akan tetapi tiga orang hwesio lain sudah melarikan diri dan menghilang dalam kegelapan malam.

Bwee Hwa melompat turun. Ternyata banyak juga pengawal yang terluka, bahkan ada juga yang tewas. Sedangkan yang berhasil dirobohkan hanya dua orang penjahat gundul yang roboh oleh pedangnya tadi.

Ketika ia hendak masuk ke bagian dalam gedung untuk melihat keadaan Jaksa Thio sekeluarga, tiba-tiba ia melihat Jaksa Thio berlari keluar dengan napas terengah-engah dan pembesar itu berteriak-teriak.

“Tolong…..! Tolong….. Cin Lan diculik penjahat……!” Dia melihat Bwee Hwa berdiri di situ dengan pedang di tangan. Jaksa Thio lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Tolonglah, Bwee Hwa tolong Cin

Lan…… ia dibawa lari penjahat berkepala gundul……!”

Bwee Hwa tidak menunggu sampai pembesar itu habis berkata-kata. Tubuhnya berkelebat lenyap dari depan Jaksa Thio dan sebentar saja dara perkasa itu sudah berlari-lari di atas genteng mencari ke sana- sini. Akan tetapi dalam kegelapan malam yang hanya disinari bulan remang-remang itu, ke mana ia harus mencari?

Setelah mengejar ke mana-mana, mengelilingi kota tanpa hasil, ia teringat akan dua orang hwesio yang dirobohkannya tadi. Cepat ia kembali ke gedung Jaksa Thio. Dia situ orang masih sibuk menolong mereka yang terluka dan mengurus yang tewas. Dua orang pendeta palsu itu masih menggeletak di sana. Yang seorang telah tewas mandi darah sedangkan yang buntung sebelah kakinya sudah tiga perempat mati karena banyak mengeluarkan darah dan tidak ada yang sudi menolongnya.

Bwee Hwa menyeret tubuh penjahat itu ke tempat terang. Ia menotok pangkal paha kaki yang buntung untuk menghentikan keluamya darah dan mengurangi rasa nyeri. Hwesio itu bergerak perlahan dan membuka matanya, memandang muka Bwee Hwa dengan kagum dan benci.

“Engkau akan mati. Lebih baik engkau menebus dosamu dengan memberitahukan kepadaku di mana sarang kawan-kawanmu. Mungkin dengan jalan ini dosa-dosamu menjadi ringan,” kata Bwee Hwa.

Dengan susah payah orang gundul itu bertanya, “......engkau... engkau...... engkau... siapakah.     ?”

“Aku Bwee Hwa, murid Sin-kiam Lojin!” jawab Bwee Hwa tegas. Ia sengaja memperkenalkan nama gurunya yang dia tahu amat ditakuti para penjahat di dunia kang-ouw.

Kedua mata orang itu terbelalak, mukanya pucat sekali ketika dia memandang wajah Bwee Hwa. ““ahh…… engkau.... hong-cu…… Ang-hong-cu. !” setelah berkata terengah-engah itu kepalanya terkulai

dan diapun tewas.

Bwee Hwa menghela napas panjang. Ia telah gagal memaksa orang itu mengakui di mana sarang Hwe- coa-kauw. Akan tetapi ia tertarik mendengar ucapan terakhir orang tadi. Ia dapat menduga bahwa pendeta Hwe-coa-kauw itu tentu mengenal baik nama besar gurunya dan tentu mengenal pula kesaktian gurunya yang pandai menggunakan senjata rahasia jarum yang disebut hong-cu-ciam (jarum tawon), maka tadi dia menyebutnya sebagai Ang-hong-cu. Tentu karena pakaiannya serba merah itulah. Ang-hong-cu? Hemm, julukan yang tepat dan tidak buruk, bahkan lucu. Ia memang berpakaian merah, warna kesukaannya, dan ia pandai mempergunakan hong-cu-ciam, bahkan pedang pemberian gurunya juga disebut Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti)! Boleh juga, pikirnya. Mulai sekarang aku akan menggunakan julukan Ang-hong-cu!

Ia bangkit berdiri dan pada saat itu Jaksa Thio menghampirinya dan dengan suara gemetar dia bertanya mengenai Cin Lan, puterinya. Nyonya Thio berada di belakang suaminya, wajahnya pucat sekali.

“Harap lopek bersabar,” kata Bwee Hwa. “Aku sudah mencari ke seluruh penjuru kota, akan tetapi belum menemukan jejak penculik itu. Ketika aku memaksa keterangan dari penjahat yang terluka, sayang sebelum dapat memberi keterangan orang itu telah tewas.”

Mendengar ini, Nyonya Thio menjerit-jerit dan menangis sedih, sedangkan Jaksa Thio membanting- banting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan sedih dan bingung.

“Jahanam Hwe-coa-kauw! Kalau kamu hendak membunuhku, datanglah dan cobalah, jangan menggangu puteriku yang tidak berdosa!” teriak Jaksa Thio sambil mengamangkan kepalan tangannya ke arah genteng rumah.

“Lopek dan bibi, biarlah aku mencari enci Cin Lan sampai dapat!” Setelah berkata demikian, tubuh Bwee Hwa melayang ke atas genteng dan sebentar saja bayangannya sudah lenyap.

Malam telah hampir habis, terganti fajar yang berwarna putih keabu-abuan. Ketika Bwee Hwa sedang berlompatan dari sebuah genteng rumah ke genteng rumah yang lain, dengan gerakan cepat dan ringan sehingga tidak menimbulkan suara, tiba-tiba ia melihat bayangan orang berlari-lari di sebelah timur. Bayangan itu berlari di atas genteng dengan cepat sekali.

Bwee Hwa tentu saja menjadi curiga. Tak salah lagi, bayangan itu tentu seorang di antara para anggauta Hwe-coa-kauw, pikirnya, maka iapun cepat melompat dan melakukan pengejaran. Agaknya bayangan itu mengetahui bahwa dirinya dikejar orang. Dia mempercepat larinya dan sebentar-sebentar menengok ke belakang.

Dalam kejar-mengejar ini, keduanya terkejut dan heran karena mendapat kenyataan bahwa baik yang mengejar maupun yang dikejar tidak mampu mengubah jarak yang ada di antara mereka. Tidak dapat lebih dekat atau lebih jauh. Ini hanya berarti bahwa ilmu berlari cepat dan ilmu meringankan tubuh mereka setingkat dan seimbang! Hal ini membuat Bwee Hwa merasa penasaran sekali karena suhunya sendiri pernah mengatakan bahwa jarang ada orang yang mampu menandingi kecepatan larinya.

Mereka berkejaran terus sampai keluar dari kota. Kabut pagi menipis terusir cahaya matahari yang makin meninggi sehingga kini Bwee Hwa dapat melihat orang yang dikejarnya itu dengan jelas. Sebaliknya, orang yang dikejarnya itu ketika menengok, dapat melihat pengejarnya dengan jelas pula dan dia tertegun. Tak disangkanya bahwa orang yang sejak tadi mengejarnya adalah seorang gadis berpakaian serba merah. Diapun tersenyum dan menghentikan larinya, membalikkan tubuh dan menanti datangnya pengejar itu. Bwee Hwa yang sudah merasa panas hatinya dan penasaran bahwa sejak tadi ia tidak mampu menyusul orang itu, begitu berhadapan segera menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka orang itu dan memaki. “Pengecut jangan lari kalau engkau memang gagah!”

Ternyata pelari itu adalah seorang pemuda yang berwajah cukup ganteng dengan bahu bidang dan tubuh yang agak pendek, hanya lebih tinggi sedikit ketimbang Bwee Hwa.

“Astaga, kukira siapa yang mengejar-ngejarku sejak tadi      ”

“Hemm, kaukira siapa?” bentak Bwee Hwa yang marah dengan suara ketus.

Pemuda itu tersenyum dan wajahnya tampak manis kekanak-kanakan kalau dia tersenyum lebar. “Kukira setan atau siluman, tidak tahunya ” dia tidak melanjutkan kata-katanya dan mengamati gadis

itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, membuat Bwee Hwa merasa risi sekali. “Tidak tahunya siapa? Hayo bicara yang jelas!”

“Tidak tahunya seorang bidadari baju merah yang cantik jelita dan galak!”

“Bangsat kurang ajar!” Bwee Hwa memaki lalu cepat ia menggerakkan pedangnya yang sejak tadi sudah dipegangnya, menyerang dengan tusukan ke arah dada pemuda itu. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga sakti yang amat kuat, terbukti dari suara pedang itu yang menggetar ketika ditusukkan.

Pemuda itu terkejut, maklum bahwa gadis itu memiliki pedang yang amat berbahaya dan merupakan lawan yang lihai sekali. Diapun cepat mencabut pedangnya dan segera menyambut dengan gerakan tangkas, cepat dan bertenaga. Juga dia bersilat dengan hati-hati sekali. Setelah beberapa kali serangan Bwee Hwa dapat dia hindarkan dengan elakan cepat, tiba-tiba pedang gadis itu menyambar dengan babatan cepat ke arah lehernya. Tentu saja pemuda itu tidak mengehendaki lehernya dipenggal. Dari samping diapun menggerakkan pedangnya menangkis sambil mengerahkan tenaga sekuatnya.

“Tranggg……!” Bunga api berpijar menyilaukan mata dan pemuda itu terkejut bukan main. Ternyata tangkisannya tidak mampu mematahkan pedang di tangan gadis itu, bahkan tangannya tergetar ketika dua pedang bertemu, menunjukkan tenaga sin-kang (tenaga sakti) gadis itu benar-benar amat kuat!

Juga Bwee Hwa merasa tercengang. Tangan kanannya yang memegang pedang tergetar hebat dan biasanya, pedang lawan yang berbenturan sedemikian kuatnya dengan pedang Sin-hong-kiam (Pedang Tawon Sakti) di tangannya, pasti menjadi buntung. Akan tetapi pedang lawannya ini tidak apa-apa. Hal itu berarti bahwa pemuda itupun memiliki sebatang pedang pusaka yang kuat dan ampuh!

Mendapatkan kenyataan ini, Bwee Hwa menjadi penasaran sekali. Maka ia lalu mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kemampuannya, memainkan ilmu pedang yang khusus dirangkai oleh Sin- kiam Lojin untuknya, disesuaikan dengan pedang pusakanya. Pedang pusakanya itu bernama Sin-hong- kiam (Pedang Tawon Sakti), ada ukiran beberapa ekor tawon di sepanjang badan pedang. Gurunya telah merangkai ilmu pedang yang disebut Sin-hong-kiam (Ilmu Pedang Tawon Sakti).

Pedangnya berubah menjadi segulungan sinar, ujungnya berkelebatan seperti tawon menyambar- nyambar dan mulut gadis itu mengeluarkan suara berdengung lembut tajam seperti dengungan banyak tawon yang mengamuk. Itulah Sin-hong-kiam-sut! Pemuda itu terkejut bukan main dan dia mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk membela diri agar jangan sampai terdesak. Bukan hanya kecepatan gerakan pedang gadis itu yang membuatnya terkejut, terutama sekali suara dengungan seperti ada tawon-tawon yang mengiang- ngiang di dekat telinganya itulah yang membuat dia menjadi bingung. Suara itu sungguh membuat telinganya sakit, konsentrasinya buyar dan karenanya permainan pedangnya menjadi kacau.

Karena pemuda itu tidak bermaksud untuk berkelahi sungguh-sungguh dan tadi hanya ingin mencoba atau menguji saja, maka melihat kesungguhan gadis itu dalam penyerangannya, diapun melompat jauh ke belakang dan berseru, “Tahan. !”

Bwee Hwa menahan serangannya, menghentikan gerakannya dan dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan menggerakkan pedangnya melintang di depan dada, berkata dengan suara mengejek.

“Hemm, pengecut. Kalau sudah terdesak minta berhenti. Kau mau apa?”

Tiba-tiba pemuda itu memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarung pedang, lalu tersenyum dan menjura dengan sikap hormat.

“Li-hiap (pendekar wanita), maafkan aku yang salah sangka. Tadinya aku mengira bahwa engkau adalah seorang anggauta Hwe-coa-kauw yang terkutuk itu, akan tetapi tadi setelah berhadapan denganmu, aku segera tahu bahwa engkau bukanlah anggauta gerombolan busuk itu. Aku tadi hanya ingin mengujimu dan ternyata engkau sungguh hebat dan lihai sekali, membuat aku kagum dan tunduk. Ketahuilah, pujianku ini bukan main-main untuk bermuka-muka, karena aku Ong Siong Li bukanlah laki-laki yang suka berbohong.”

Mendengar nama itu, Bwee Hwa menjadi ragu-ragu dan ia mengerutkan sepasang alisnya, mengingat- ingat. Suhunya pernah memperkenalkan nama orang-orang yang terkenal di dunia kang-ouw, sebelum ia berpisah dari gurunya itu. Dan kini ia ingat bahwa nama Ong Siong Li juga pernah disebut suhunya.

“Aku tadi juga menyangka bahwa engkau seorang anggauta Hwe-coa-kauw, maka aku mengejarmu karena aku memang sedang mencari-cari mereka. Namamu pernah kudengar dari suhuku. Bukankah engkau seorang tokoh Thai-san-pai (Partai Thai-san) yang berjuluk Kim-kak-liong (Naga Tanduk Emas)?”

Pemuda itu tersenyum lebar. “Ingatanmu sungguh kuat, nona. Memang benar akulah orang yang kaumaksudkan itu. Akan tetapi sebutan yang diberikan kepadaku oleh orang-orang dunia kang-ouw itu sungguh terlalu tinggi untukku.”

Kini Bwee Hwa tersenyum lega. Senyum yang membuat Siong Li terpesona karena begitu tersenyum, wajah cantik jelita yang tadi tampak galak itu berubah menjadi ramah dan manis bukan main. Bwee Hwa memasukkan pedangnya di sarung pedang yang tergantung di pinggang kiri. Ia maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang pemuda tokoh Thai-san-pai yang terkenal sebagai pendekar pembela kebenaran dan keadilan dan menurut suhunya pendekar muda itu memiliki kepandaian yang tinggi. Hal ini telah ia buktikan sendiri karena ketika tadi ia bertanding melawan pemuda itu, ia mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang pemuda itu tidak berada di bawah tingkat kepandaiannya sendiri.

“Memang kalau tidak bertanding lebih dulu kita tidak akan dapat berkenalan dengan baik seperti kata suhu dahulu,” kata Bwee Hwa. “Maaf, nona. Suhumu yang mulia agaknya sudah mengenalku. Siapakah sesungguhnya nama suhumu? Dan siapa pula nama dan julukan nona sendiri kalau aku boleh mengetahuinya?”

“Suhu berjuluk Sin-kiam Lojin.     ”

“Wah! Kiranya engkau murid locianpwe (orang tua gagah) itu? Dan namamu……” “Namaku Bwee Hwa boleh juga disebut Ang-hong-cu (Si Tawon Merah).”

“Ah, pantas saja aku menjadi sibuk setengah mati menghadapi ilmu pedangmu. Tak tahunya engkau murid seorang ahli pedang yang hebat. Dan julukanmu tadi memang tepat sekali. Ketika tadi aku bertanding denganmu, aku merasa seolah-olah aku diserang ribuan ekor tawon yang luar biasa, membuat aku bingung dan permainanku menjadi kacau. Dan kalau tidak salah, locianpwe Sin-kiam Lojin adalah seorang ahli pula dalam mempergunakan senjata rahasia berupa jarum yang disebut hong-cu- ciam (jarum tawon). Tentu engkau pandai pula mempergunakannya. Pantas sekali kalau engkau disebut Ang-hong-cu. Dengan pakaian merahmu memang engkau seperti seekor tawon yang sengatannya dahsyat dan berbahaya sekali!”

“Hemm, sengatanku hanya kutujukan kepada para penjahat!” kata Bwee Hwa dan mukanya berubah agak merah oleh pujian pemuda itu. Diam-diam ia merasa suka kepada pemuda yang peramah dan wajahnya cerah gembira ini.

Karena merasa lelah setelah tadi berkejaran kemudian bertanding, Siong Li lalu duduk di atas sebuah batu besar yang berada di tepi jalan dan mempersilakan Bwee Hwa untuk duduk pula.

“Kita beristirahat sejenak agar lebih enak bercakap-cakap. Kukira, banyak yang dapat kita bicarakan tentang Hwe-coa-kauw yang sama-sama kita musuhi itu, bukan?”

Bwee Hwa mengangguk. “Agaknya engkau mengetahui banyak tentang perkumpulan gerombolan jahat itu. Ceritakanlah karena aku ingin menolong seorang gadis yang mereka culik.”

“Hemm, agaknya gadis yang aku tahu mereka larikan itu. Baiklah, aku mulai bercerita tentang asal usul mereka. Perkumpulan Hwe-coa-kauw sudah berdiri kurang lebih tigapuluh tahun. Timbulnya agama baru ini dari dunia barat. Pada suatu hari dari barat datanglah seorang pendeta perantau yang menyebarkan pelajaran tentang hidup yang baik dan benar. Pendeta ini mempunyai seekor ular yang aneh. Ular itu kecil saja, akan tetapi mempunyai keanehan. Ia mempunyai tonjolan di kanan kiri perutnya yang bentuknya seperti sayap dan ular itu dapat meloncat dan meluncur dengan cepat seperti seekor burung saja.”

“Mungkin ular kobra yang dapat mengembangkan lehernya,” kata Bwee Hwa.

“Mungkin saja. Akan tetapi ular kobra hanya dapat mengembangkan tubuh bagian leher saja, sedangkan ular kecil milik pendeta itu mengembangkan bagian perutnya mirip sayap. Karena itulah maka ular kecil itu disebut Hwe-coa (Ular Terbang) oleh penduduk.”

Siong Li melanjutkan ceritanya. “Pendeta itu bernama Leng Kong Hoatsu. Selain mengajar tentang budi pekerti baik, juga dia adalah seorang ahli pengobatan yang pandai dan banyak orang diselamatkan dari penyakit yang gawat. Sebetulnya ular itu hanya merupakan binatang peliharaan kesayangannya saja. Akan tetapi karena pada jaman itu orang-orang masih sangat bodoh dan percaya akan tahyul yang bukan-bukan, segera tersiar kabar bahwa Leng Kong Hoatsu mendapatkan ilmu kepandaiannya itu berkat kesaktian ular terbang itu! Mulailah orang-orang memuja ular kecil itu sebagai penjelmaan dewa! Sia-sia saja usaha Leng Kong Hoatsu untuk membantah kabar itu sehingga akhirnya pendeta ini menjadi kecewa dan meninggalkan tempat itu, kembali ke dunia barat, di balik pegunungan Himalaya.

“Biarpun Leng Kong Hoatsu dan “ular terbangnya” telah tidak ada lagi, orang-orang tetap memuja ular terbang. Kebodohan dan ketahyulan orang-orang ini dimanfaatkan orang-orang jahat dan timbullah perkumpulan yang disebut Hwe-coa-kauw (Agama Ular Terbang). Perkumpulan agama baru ini sebentar saja mendapat banyak pengikut dan untuk mendapatkan “berkat” dari Dewa Ular Terbang itu, orang- orang rela menyerahkan uang dan harta benda mereka, disumbangkan kepada perkumpulan agama baru itu.

“Setelah muncul tiga orang pendeta, sebenarnya mereka itu adalah bekas perampok yang kini mengenakan pakaian pendeta dan mencukur rambut mereka, yang memimpin Hwe-coa-kauw, perkumpulan itu maju pesat. Hal ini karena tiga orang pendeta itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pandai pula bermain sihir sehingga orang-orang menjadi semakin percaya. Tiga orang bekas perampok itu mengangkat diri mereka menjadi Kauw-cu (Ketua Agama). Tiga orang ini memilih para pembantu mereka dari golongan penjahat yang memiliki kepandaian silat tinggi. Para pembantu ini dilatih dan tak lama kemudian Hwe-coa-kauw menjadi perkumpulan yang kaya, kuat dan berpengaruh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar