Jilid 07
Ketika menuruni lereng bukit itu, Bun Sam merasa dirinya seolah menjadi seekor burung yang terbang melayang seorang diri dengan bebasnya. Dua macam perasaan teraduk di hatinya. Sedih dan girang. Dia bersedih memikirkan gurunya yang dia tinggalkan, gurunya yang sudah tua dan membutuhkan pelayanan. Akan tetapi diapun girang karena dia merasa bebas memasuki kehidupan baru di dunia ramai.
Pemuda itu menuruni bukit terakhir dari Pegunungan Himalaya yang panjang. Usianya sekitar duapuluh dua tahun, tubuhnya tegap dan wajahnya tampan. Semua orang akan tertarik kalau bertemu dengannya. Wajah tampan itu selalu tersenyum ramah dan matanya tajam bersinar-sinar. Dia adalah Thio Kam Ki yang sejak kecil sekali telah dipelihara dan dididik oleh Leng-hong Hoatsu. Hatinya masih gembira sekali mengenang betapa dengan sekali serang saja menggunakan Ang-tok-ciang yang dipelajarinya dari Hwa Hwa Cinjin, dia mampu merobohkan Sie Bun Sam, suhengnya yang sejak kecil selalu mengunggulinya dalam segala hal.
Sekarang dia bebas, dapat melakukan apa saja yang dikendakinya, sesuka hatinya. Biasanya, di pondok Leng-hong Hoatsu, dia merasa seperti dikekang dan diikat oleh segala macam peraturan. Begini tidak boleh, begitu dilarang. Apalagi suhengnya, Bun Sam itu. Seringkali mengomelinya, menasihatinya sampai dia merasa bosan.
Hanya satu hal yang dibutuhkannya saat ini, ialah pakaian pengganti dan bekal uang. Dia meninggalkan pondok suhunya tanpa membawa apa-apa. Semua pakaian dia tingalkan karena dia takut kalau-kalau perbuatannya memukul roboh suhengnya akan ketahuan suhunya. Akan tetapi itu adalah soal kecil. Di mana-mana tersedia pakaian dan segala kebutuhannya! Tinggal ambil saja! Mau uang? Pakaian? Bahkan teman wanita yang cantik?
“Ha-ha-ha, tinggal ambil, tinggal pilih!” Kam Ki tertawa sendiri sambil berlari cepat, membayangkan segala macam keindahan, segala macam keenakan dan kenikmatan, seolah melihat semua yang serba menyenangkan itu seperti buah-buahan yang bergantungan di depan matanya, tinggal mengulur tangan memetik dan menikmatinya!
Ketika dia tiba di sebuah pedusunan yang agak besar, dusun besar pertama yang ditemuinya semenjak dia turun gunung, dia melihat sebuah rumah besar, yang terbesar dan terindah di antara semua rumah di dusun itu. Ketika mendengar bahwa rumah itu adalah tempat tinggal kepala dusun yang kaya, Kam Ki menjadi girang sekali. Di rumah inilah tersedia kebutuhanku, pikirnya. Pada saat itu yang amat dibutuhkan adalah uang karena dengan uang dia akan dapat membeli segala kebutuhannya. Terutama sekali yang terpenting pakaian karena dia tidak mempunyai pengganti sepotongpun pakaian. Lalu makanan enak dan lain-lain.
Malam itu, dengan mudah saja dia memasuki rumah kepala dusun itu melalui atap dan setelah mencari- cari, akhirnya dia menemukan cukup banyak uang perak dan emas dalam sebuah almari. Dia mengambil sekantung uang perak dan emas, lalu meninggalkan rumah itu tanpa suara sehingga tidak ada penghuni rumah yang mengetahui bahwa rumah itu kecurian banyak uang. Barulah pada keesokan harinya, tuan rumah terkejut karena sekantung perak dan emas lenyap tanpa meninggalkan jejak. Pintu jendela masih utuh dan tertutup rapat, maka gegerlah seisi rumah. Tentu saja hanya ada dua tersangka yang dapat mencuri sekantung uang itu, yaitu pelayan atau setan!
Kalau seisi rumah kepala dusun ribut dan panik, Kam Ki dengan santai membelanjakan uangnya, membeli beberapa stel pakaian dan makan sekenyangnya di warung makan. Hari itu juga dia melanjutkan perjalanan ke timur dengan menunggang kuda, seekor kuda yang dibelinya di dusun itu, berikut pelananya. Sejak kecil dia tidak pernah menunggang kuda, akan tetapi karena dia seorang ahli silat yang bertubuh kuat, maka sebentar saja dia sudah menguasai kudanya dan berani membalapkan kudanya di sepanjang jalan raya yang kasar.
Hari ini panas sekali. Matahari memancarkan cahayanya tanpa terhalang awan. Panasnya menyengat kulit dan jalan itu menjadi kering berdebu. Kam Ki ingin berhenti mengaso, selain untuk berlindung dari terik matahari di bawah pohon rindang, juga dia ingin memberi kesempatan kepada kudanya untuk mengaso. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat di depan sana gerakan beberapa orang yang agaknya sedang berkelahi. Maka dibalapkannya kudanya ke depan.
Setelah dekat dia melihat seorang wanita cantik jelita sedang berkelahi dikeroyok oleh tiga orang laki- laki yang berusia antara tigapuluh sampai enampuluh tahun. Wanita itu memiliki gerakan yang cepat sekali, memainkan sebatang pedang. Senjata ini digerakkan sedemikian cepatnya sehingga membentuk gulungan sinar putih.
Namun, ketika Kam Ki melompat turun dari kuda, membiarkan kudanya makan rumput di tepi jalan, dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat oleh tiga orang pengeroyoknya. Tiga orang laki-laki itu masing- masing memainkan sepasang golok sehingga wanita itu seolah dikeroyok oleh enam batang golok! Dan gerakan tiga orang pengeroyok itu, walaupun tidak secepat gerakan pedang wanita, namun karena mereka maju bertiga, tetap saja wanita itu menjadi repot melindungi dirinya dari sambaran enam batang golok yang bertubi-tubi!
Melihat ini, Kam Ki tidak tahu siapa yang baik dan siapa yang jahat diantara mereka, akan tetapi karena melihat betapa wanita itu masih muda, tampaknya tidak lebih dari duapuluh tahun usianya dan cantik bukan main dan ia berada dalam keadaan terdesak, maka otomatis hati Kam Ki condong membela wanita itu. Maka, dia lalu membungkuk dan mengambil dua butir batu kerikil.
Menurut penglihatannya, ilmu silat tiga orang itu biasa-biasa saja dan baginya masih rendah, maka dia lalu menyambit dengan dua buah kerikil ke arah dua orang di antara mereka. Tampak dua sinar hitam menyambar dan dua orang pengeroyok itu berteriak mengaduh dan terpelanting roboh tak mampu bergerak lagi karena benturan kerikil itu telah menotok jalan darah mereka sehingga mereka tidak mampu menggerakkan kaki dan tangan mereka. Wanita cantik itu ketika melihat dua orang lawannya roboh, lalu mengeluarkan teriakan melengking, “Hyaaaaatttt……!” Pedangnya menyambar dengan gerakan melengkung dan robohlah lawan ketiga dengan leher terluka dalam. Wanita itu tidak berhenti sampai di situ saja. Ia melompat ke depan, dua kali pedangnya berkelebat dan dua orang yang tadi roboh tertotok sambaran kerikil, juga dibacok lehernya. Darah membanjir dan tiga orang itu tewas seketika! Barulah wanita itu memeriksa pedangnya. Tidak ada darah sedikitpun mengotori pedangnya. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya pedang itu tadi membacok leher sehingga tidak sampai ternoda darah. Lalu ia menyarungkan pedangnya di belakang punggung, dan ia memutar tubuh untuk memandang orang yang telah membantunya.
Mereka berhadapan dalam jarak empat meter dan kedua pihak terpesona! Kam Ki terpesona karena setelah wanita itu tidak bergerak, baru tampak jelas olehnya betapa cantiknya wajah itu, betapa putih mulusnya kulit yang tampak di leher itu. Putih mulus kemerahan, dengan bentuk tubuh menggairahkan, pinggang ramping, pinggul dan dada menonjol dan lekuk lengkung tubuhnya indah menggairahkan. Sepasang mata itu bersinar seperti bintang dan bibir yang merah basah itu sedikit terbuka, setengah tersenyum menantang, membuat jantung dalam dada Kam Ki berdebar tegang.
Namun kekejaman wanita itu yang membunuh pula dua orang lawan yang sudah roboh tertotok, membuat pemuda itu penasaran. Biarpun hatinya sudah mulai menyeleweng meninggalkan kebenaran setelah dia berguru kepada Hwa Hwa Cinjin, namun belum pernah Kam Ki melakukan pembunuhan, apalagi dengan cara kejam seperti itu. Bagaimanapun juga, sejak kecil dia menjadi murid Leng-hong Hoatsu yang mengajarkan kebenaran. Maka menyaksikan wanita itu membunuhi orang secara kejam, hatinya merasa penasaran dan agak menolak. Akan tetapi di lain pihak, rasanya tidak bisa dia kalau harus marah dan berkata-kata kasar terhadap seorang wanita yang demikian cantik jelitanya!
“Nona, kenapa engkau membunuh mereka? Kenapa?”
Wanita itu juga memandang kepada pemuda tampan itu dengan mata penuh kagum dan bibirnya kini merekah, senyumnya melebar. Wanita itu menggunakan tangan kiri untuk menyentuh setangkai bunga berwarna putih yang menghias rambut kepalanya sebelah kiri seolah hendak melihat apakah hiasan rambut itu masih berada di tempatnya. Pakaiannya yang terbuat dari sutera berwarna putih itu indah sekali, melekat ketat pada tubuhnya karena pakaian dari sutera itu potongannya memang ketat mencetak bentuk tubuhnya.
Ia adalah seorang tokoh besar di kalangan kang-ouw, berjuluk Pek-hwa Sianli (Bidadari Bunga Putih) karena ia selalu memakai hiasan rambut kembang putih. Biarpun dia dijuluki Sian-li atau Bidadari, agaknya itu hanya untuk menyatakan kekaguman orang akan wajahnya yang cantik jelita seperti bidadari, juga bentuk tubuhnya yang aduhai! Akan tetapi sesungguhnya wanita yang sudah berusia tigapuluh tahun lebih namun masih tampak seperti baru berusia duapuluh tahun ini terkenal sebagai datuk wanita yang amat kejam dan jahat. Ia adalah seorang iblis betina yang cabul.
Tiga orang itu adalah Siang-to Sam-hengte (Tiga Bersaudara Sepasang Golok), tiga orang pendekar yang suka menentang kejahatan mengandalkan ilmu sepasang golok mereka. Ketika mereka mendengar bahwa Pek-hwa Sianli mengganggu sebuah dusun, menculik pemuda dan kalau sudah bosan lalu membunuh pemuda itu, tiga orang pendekar itu ialu mencari dan menyerangnya. Kalau saja Kam Ki tidak kebetulan lewat dan membantu wanita itu, tentu Pek-hwa Sianli akan tewas oleh pengeroyokan mereka bertiga. Mendengar pertanyaan Kam Ki, Pek-hwa Sianli tersenyum dan matanya memandang penuh daya tarik. “Aih, taihiap (pendekar besar), apakah engkau lebih senang melihat aku yang mereka bunuh?”
Tentu saja Kam Ki gelagapan mendengar jawaban yang berbalik menjadi pertanyaan itu. Dia menggeleng kepalanya. “Tentu saja tidak, nona. Akan tetapi, mengapa engkau berkelahi dengan mereka dan apakah kesalahan mereka maka engkau membunuh mereka?”
“Jawabannya adalah pertanyaan itu tadi, taihiap yang gagah perkasa. Mereka menyerangku dan hendak membunuhku, karena itulah maka aku harus membunuh mereka karena aku tidak ingin mereka yang membunuhku. Dalam perkelahian mati-matian hanya ada dua pilihan, bukan? Dibunuh atau membunuh, dan kalau engkau yang menjadi aku, engkau pilih dibunuh atau membunuh?”
Mau tidak mau Kam Ki tersenyum. Cara wanita itu bicara, sungguh menarik hati sekali. Bibirnya yang indah manis itu bergerak-gerak menantang! Suaranya juga merdu dan kata-katanya seolah tidak dapat dibantah kebenarannya.
“Tentu saja aku tidak memilih dibunuh!” jawabnya sejujurnya. “Akan tetapi kenapa mereka itu mengeroyokmu dan hendak membunuhmu? Apakah kesalahanmu, nona?”
“Kesalahanku? Aihh, aku tidak melakukan sesuatu yang salah terhadap mereka. Kalau mau dicari kesalahanku, mungkin kesalahanku terletak pada wajah dan tubuhku!”
Setelah berkata begitu, Pek-hwa Sianli mengerlingkan matanya dengan gaya yang menarik sekali. Akan tetapi, pada waktu itu Kam Ki adalah seorang perjaka yang belum pernah bergaul dekat dengan wanita, maka dia belum dapat menangkap apa yang tersirat dalam gerak dan gaya memikat itu.
“Wajah dan tubuhmu? Kenapa? Aku tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhmu, nona. Apa maksud kata-katamu itu?”
“Aihh, benarkah itu, taihiap? Kau tidak melihat sesuatu yang salah dengan wajah dan tubuhku? Kalau menurut penilaianmu, bagaimana dengan wajah dan tubuhku, taihiap?” Pertanyaan itu disertai gaya menggoda yang memikat dengan gerakan pundak dan dadanya, disertai bibir bawah yang mencebil dan kedipan mata kiri yang penuh arti.
Kam Ki yang sama sekali belum berpengalaman itu hanya tertegun karena terpesona oleh semua kecantikan yang memiliki daya tarik amat kuat itu dan dia menjawab gagap. “Wajah dan tubuhmu……? Ahh....... aku....... aku tidak tahu, wajahmu cantik jelita dan tubuhmu indah. ”
Pek-hwa Sianli tertawa geli sambil menutupi mulutnya. Dari sikap pemuda itu tahulah ia bahwa pemuda yang berilmu tinggi ini sama sekali belum berpengalaman, tentu masih perjaka tulen dan hal ini membuat hatinya seperti terbakar oleh gairah berahi. Pemuda-pemuda perjaka yang pernah ia dapatkan hanyalah orang-orang lemah. Belum pernah ia mendapatkan seorang pemuda perjaka yang memiliki kepandaian tinggi seperti pemuda yang telah menyelamatkan nyawanya ini.
“Terima kasih atas pujianmu, taihiap. Engkau sendiri, menurut penglihatanku, engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan ganteng, tampan bukan main.” Wajah Kam Ki berubah merah. “Eh…… aku…… aku masih ingin mengetahui apa kesalahanmu terhadap mereka bertiga itu sehingga mereka mengeroyok dan hendak membunuhmu, nona.”
“Apakah engkau tidak dapat menduga apa yang hendak mereka lakukan setelah mereka melihat kecantikan wajahku dan keindahan tubuhku? Aih, engkau seperti bukan laki-laki saja, taihiap. Mereka bertiga itu tergila-gila kepadaku dan mereka menginginkan tubuhku, mereka ingin memiliki aku. Akan tetapi, huh, tubuhku yang indah ini tidak akan mudah begitu saja kuserahkan kepada sembarang laki-laki yang tidak kucinta! Karena aku menolak mereka, maka mereka menjadi marah dan hendak membunuh aku. Aku melawan mereka. Bagiku, daripada menyerahkan tubuhku ini kepada mereka, lebih baik aku melawan sampai mati. Untung engkau muncul dan engkau merobohkan dua orang dari mereka dengan sambitan kerikil. Taihiap, engkau yang masih begini muda sudah memiliki kepandaian yang begini tinggi, engkau telah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Engkau adalah dewa penolongku. Taihiap, bolehkah aku mengetahui siapa nama besarmu?”
Keterangan panjang lebar dari wanita itu tidak sepenuhnya dapat dia mengerti, walaupun dapat dia rasakan. Biarpun dia belum mengalami, namun dia mengerti apa maksud wanita itu ketika mengatakan bahwa tiga orang laki-laki itu ingin memiliki wajahnya yang cantik dan tubuhnya yang indah itu. Timbul rasa cemburu dan bencinya ketika dia mengetahui bahwa tiga orang itu hendak memaksakan kehendak mereka, yaitu memiliki tubuh wanita yang menggairahkan ini.
“Hemm, kalau begitu pantas mereka dibunuh!” katanya penuh geram.
Mendengar ini, Pek-hwa Sianli lalu maju menghampiri Kam Ki dan memegang kedua tangan pemuda itu, menggenggamnya erat-erat.
“Ah, taihiap, engkau benar-benar memihakku? Syukurlah, taihiap, aku senang sekali, aku berterima kasih sekali padamu, untuk pertolonganmu dan untuk pengertianmu! Akan tetapi engkau belum memperkenalkan namamu.”
Gemetar kedua tangan Kam Ki ketika dipegang oleh sepasang tangan yang berkulit lunak, halus dan hangat itu. Juga hidungnya mencium keharuman bunga yang semerbak keluar dari rambut dan tubuh wanita itu.
“Aku…… namaku…… Thio Kam Ki. Dan engkau siapakah, nona?” suara Kam Ki juga agak gemetar karena jantungnya berdebar keras. Belum pernah dia berdekatan dengan wanita yang begini cantiknya, apalagi dipegang kedua tangannya.
“Thio Kam Ki? Thio Kam Ki alangkah gagah namamu, Thio-taihiap!” Pek-hwa Sianli memuji. “Dan engkau masih begini muda…… ah, begini muda, seorang perjaka murni……”
Kam Ki kini sudah dapat menenangkan hatinya dan dia menganggap wanita cantik ini lucu sekali. “Ah, nona, usiaku sudah duapuluh dua tahun bukan muda lagi.”
“Duapuluh dua tahun, aih muda belia yang gagah perkasa!” wanita itu berkata lembut, suaranya seperti membelai perasaan hati Kam Ki.
Kam Ki merasa senang, akan tetapi juga geli. “Nona, engkau bicara seolah engkau sudah nenek-nenek, padahal engkau masih remaja, jauh lebih muda dibanding aku.” Wajah wanita itu berseri, matanya bersinar-sinar dan mulutnya terbuka dalam senyum, sehingga tampak deretan giginya yang putih berjejer rapi, rongga mulut yang kemerahan.
“Aihh, Thio-taihiap (pendekar besar Thio), kaukira berapa usiaku?”
“Hemm, paling banyak sembilan belas tahun. Engkau jauh lebih muda daripada aku, nona.”
Wanita itu memandang kepada Kam Ki dengan wajah terbelalak dan tampak girang bukan main. Wanita mana yang tidak akan senang kalau usianya disangka jauh lebih muda daripada yang sebenarnya? Dia sudah berusia tigapuluh tahun, dan disangka baru sembilan belas tahun!
“Aduh! Luar biasa……, luar biasa……, luar biasa sekali, engkau begitu pandai menebak usiaku, twako. Aku boleh menyebutmu Thio-twako (kakak Thio), bu-kan?”
“Tentu saja boleh,” kata Kam Ki yang mulai dapat menguasai debaran jantung-nya dan kini merasa gembira sekali mendapatkan seorang teman yang begini cantik dan menarik, juga ramah sekali. “Akan tetapi, aku belum mengetahui namamu.”
“Namaku, twako? Orang-orang menyebut aku Pek-hwa Sianli.”
“Pek-hwa Sianli (Dewi Bunga Putih)? Ah, tentu saja karena engkau memakai hiasan rambut setangkai bunga putih dan engkau juga cantik jelita seperti seorang dewi!” Kata Kam Ki, “akan tetapi kalau engkau menyebut aku Thio-twako, lalu aku harus menyebutmu bagaimana?”
“Sebut saja aku Pek-hwa.”
“Pek Hwa-moi (adik Hwa), ya, aku akan menyebut engkau Hwa-moi.”
“Aku, senang sekali, twako. Akan tetapi bicara di sini tidak enak,” kata Pek-hwa Sianli sambil menuding ke arah mayat tiga orang tadi. “Mari, twako, kuundang engkau singgah di rumahku.”
Kam Ki merasa gembira sekali. Memang dia ingin mengenal gadis jelita ini lebih baik. “Akan tetapi, orang tuamu ” katanya agak ragu.
“Heh-heh, aku tidak mempunyai orang tua lagi, twako. Aku tinggal seorang diri saja, bersama dua orang adik perempuanku, akan tetapi saat ini kedua orang adikku itu sedang melakukan perjalanan jauh. Hanya ada dua orang pelayan yang menemaniku di rumah. Marilah, Thio-twako.”
“Baik, Hwa-moi, akan tetapi aku tadi menunggang kuda.” Dia menengok dan melihat kudanya masih makan rumput. “Di manakah rumahmu?”
“Itu di sana, di lereng bukit.” Pek-hwa Sianli menuding ke arah sebuah bukit kecil di selatan. “Wah, cukup jauh kalau jalan kaki, Hwa-moi.”
“Bukankah engkau mempunyai kuda? Kita dapat berboncengan naik kuda. Ku-lihat kudamu itu cukup besar dan kuat,” kata Pek-hwa Sianli dan suaranya sama sekali tidak mengandung keraguan. Kam Ki yang menjadi merah mukanya. Tak dapat dia membayangkan naik kuda berboncengan dengan seorang wanita!
“Boncengan naik kuda?” tanyanya ragu.
Pek-hwa Sianli tersenyum lebar dan mengerlingkan matanya. “Aih, kalau ber-boncengan kenapa? Apakah engkau merasa keberatan untuk berboncengan dengan aku, Thio-twako? Kalau begitu biarlah engkau yang naik kuda dan aku berjalan kaki saja.”
“Ah, sama sekali tidak, Hwa-moi. Hanya…… apakah orang lain tidak akan menganggap banwa hal itu kurang pantas?”
“Aih, twako, perduli apa dengan anggapan orang lain? Kita bebas melakukan apapun juga yang kita sukai, bukan? Kalau ada orang berani usil mencela kita, hemm, kita sikat saja mereka!”
“Sikat?” Kam Ki bertanya, bingung.
“Ya, kita sikat nyawanya! Kita pecahkan kepalanya!” jawab Pek-hwa Sianli sambil tertawa dan mendengar ini, Kam Ki juga tertawa. Kiranya yang di-masudkan sikat adalah bunuh.
Pendapat ini tidak asing bagi Kam Ki. Guru gelapnya, Hwa Hwa Cinjin, juga pernah mengatakan bahwa kalau ada orang menentang kita, sepatutnya kita bunuh saja! Karena itu pulalah dia merobohkan suhengnya. Bun Sam telah lama menimbulkan iri hati dan membuat dia membencinya secara diam- diam, maka setelah dia merasa kuat, dia tidak segan-segan untuk memukul roboh dan melukai suhengnya yang selalu bersikap baik dan menyayangnya itu.
“Ha-ha-ha, engkau benar, Hwa-moi. Benar sekali! Hayo kita pergi ke rumahmu, naik kuda berboncengan!” kata Kam Ki dan sambil tertawa-tawa mereka berdua lalu menghampiri kuda milik Kam Ki. Setelah memasangkan kendali dan pelana, Pek-hwa Sianli melompat ke atas punggung kuda dan Kam Ki melompat dan duduk di belakangnya. Karena Kam Ki yang memegang kendali, maka seolah kedua lengannya memeluk tubuh wanita itu. Kuda lalu dijalankan congklang dan Pek-hwa Sianli yang duduk di depan menjadi penunjuk jalan.
Setelah kuda berlari congklang, Kam Ki merasakan sesuatu yang selamanya belum pernah dirasakannya dan hal ini membuat jantung berdebar kencang dan mukanya menjadi kemerahan! Betapa tidak? Karena berboncengan seperti itu, tubuh depannya berhimpitan dengan tubuh belakang Pek-hwa Sianli. Terasa olehnya betapa tubuh wanita yang lunak dan hangat itu menempel ketat pada tubuhnya dan larinya kuda yang congklang membuat tubuh mereka saling bergesekan.
Selain itu, karena kepala Pek-hwa Sianli amat dekat dengan mukanya, maka rambut yang halus panjang itu melambai dan menggelitik dagu dan lehernya, ditambah lagi bau harum yang menyengat hidungnya. Kam Ki terpaksa harus mengerahkan tenaga saktinya untuk menahan diri dan melawan gejolak berahi yang merangsangnya. Keadaan ini mendatangkan perasaan senang dan nikmat, namun juga membuatnya rikuh dan gelisah.
Tentu saja Pek-hwa Sianli yang sudah berpengalaman belasan tahun bergaul dengan bermacam-macam pria itu dapat mengetahui keadaan pemuda itu. Ia merasa girang bukan main, juga geli hatinya. Ia tahu benar bahwa Kam Ki adalah seorang pemuda perjaka yang sama sekali belum berpengalaman dengan wanita, dan bahwa pada saat itu, pemuda itu telah terangsang dan ia akan dapat dengan mudah menundukkannya.
Seorang pemuda yang bukan saja tampan dan gagah, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang amat tinggi. Baginya, mudah saja mencari pemuda tampan dan ganteng, akan tetapi mencari pemuda ganteng yang lihai seperti Kam Ki ini, tentu akan sukar didapat. Maka, ia lalu sengaja menyandarkan tubuhnya ke belakang sehingga lebih rapat dengan tubuh pemuda itu dan ia menyandarkan kepalanya di atas dada Kam Ki.
Jantung dalam dada Kam Ki menjadi semakin berdebar keras dan hal ini tentu saja terasa, bahkan terdengar degup jantung itu oleh telinga Pek-hwa Sianli yang tentu saja amat menyenangkan dan membanggakan hati wanita itu.
Kuda yang membawa beban dua orang itu akhirnya tiba di lereng bukit kecil itu, di mana terdapat sebuah pondok mungil dengan taman bunga yang luas mengelilinginya. Rumah mungil ini berdiri terpencil tanpa tetangga. Hal ini tidaklah aneh karena memang bukit kecil itu telah dibeli oleh Pek-hwa Sianli dari tangan para petani setempat sehingga kini menjadi milik pribadinya.
Kuda itu memasuki pekarangan depan yang juga penuh tetumbuhan bunga beraneka warna. Kam Ki dan Pek-hwa Sianli melompat turun dari atas punggung kuda. Dua orang wanita berusia kurang lebih tigapuluh tahun, keduanya berpakaian seperti pelayan namun wajah mereka cantik dan kulit mereka putih bersih, berlari menyambut. Dari gerakan kaki mereka ketika berlari keluar, Kam Ki dapat menduga bahwa mereka berdua bukanlah wanita biasa yang lemah, melainkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat yang lumayan.
“Sian-li sudah pulang!” kata mereka yang segera menangkap kendali kuda itu. Ketika mata mereka memandang kepada Kam Ki dengan pandang mata bertanya, Pek-hwa Sianli lalu berkata kepada mereka.
“A-kui dan A-hui, ini adalah kongcu (tuan muda) Thio Kam Ki, sahabat baikku.”
Dua orang wanita itu lalu membungkuk dengan sikap hormat kepada Kam Ki dan berkata dengan suara berbareng, “Selamat datang, Thio-kongcu!”
“A-hui, bawa kuda ini ke kandang dan A-kui, cepat siapkan pesta makan siang untuk menyambut kedatangan Thio-kongcu!”
Dua orang wanita itu menjawab sambil tersenyum, “Baik, Sian-li.”
A-hui yang pakaiannya berwarna hijau segera menuntun kuda melalui samping rumah, dan A-kui segera berlari memasuki rumah dan langsung ke dapur. Setelah mengandangkan kuda, A-hui juga cepat membantu temannya dan dua orang wanita itu sibuk di dapur mempersiapkan tambahan masakan untuk menghormati pemuda itu. Sambil sibuk mempersiapkan masakan, kedua orang wanita itu dengan genit membicarakan Thio Kam Ki yang mereka puji-puji sebagai seorang pemuda yang tampan dan menarik. Bagi mereka, bukan hal aneh kalau majikan mereka yang atas permintaan Pek-hwa Sianli sendiri mereka sebut Sian-li itu, pulang sambil membawa seorang pemuda ganteng. Juga mereka mengetahui betapa setelah beberapa hari bersenang-senang dengan pemuda itu, pada suatu hari Pek-hwa Sianli akan mengajak pemuda itu pergi dan selanjutnya mereka tidak lagi melihat pemuda itu. Beberapa hari kemudian mereka hanya mendengar dari para penduduk pedusunan di kaki bukit bahwa telah diketemukan mayat seorang pemuda dalam sebuah jurang.
Sementara itu, Kam Ki duduk di ruangan dalam rumah itu bersama Pek-hwa Sianli. Pemuda itu merasa kagum sekali. Rumah itu tidak berapa besar akan tetapi mungil dan indah. Semua prabot rumah di dalamnya juga mewah, indah dan bersih sekali. Tak pernah dia dapat membayangkan sebuah rumah yang memiliki perabot rumah begini indah sehingga dia merasa kagum bukan main. Kursi-kursi dan mejanya juga merupakan perabot rumah yang halus mengkilap terukir indah, tentu amat mahal harganya. Pot-pot kuno indah menghias setiap sudut dengan tanaman bunga di dalamnya. Di dinding bergantungan lukisan-lukisan yang indah, juga kain sutera beraneka warna bergantungan dari langit- langit, menambah indahnya suasana dalam ruangan.
Mereka duduk menghadapi meja, di atas kursi-kursi yang ditilami bantal lunak. A-kui tadi menghidangkan minuman anggur manis dan beberapa piring kue kering yang tentu hanya dapat dibeli dari kota-kota besar. Mereka minum anggur dan makan kue sambil bercakap-cakap.
Pek-hwa Sianli ramah sekali dan sikapnya amat akrab sehingga sebentar saja, Kam Ki sudah dapat menyesuaikan, diri dalam suasana yang menyenangkan itu dan tidak merasa rikuh lagi. Bahkan kalau dalam percakapan kadang-kadang Pek-hwa Sianli menggerakkan tangannya dan menyentuh tangan atau lengannya, Kam Ki juga merasa senang saja dan tidak malu-malu lagi. Perlahan-lahan, Kam Ki mulai dituntun ke dalam jaringan nafsu oleh Pek-hwa Sianli seperti seekor domba yang dituntun masuk ke dalam rumah jagal!
“Twako, kita sudah berkenalan dengan baik dan menjadi sahabat, akan tetapi aku belum mengetahui betul siapa engkau ini. Ceritakanlah padaku, twako, tentang keluargamu dan dari mana engkau datang, hendak ke mana, dan siapa pula gurumu. Mau kan engkau menceritakan riwayatmu kepadaku, twako?” kata Pek-hwa Sianli dengan suara manja dan jari-jari tangannya yang runcing mungil itu memegang dan memainkan jari tangan Kam Ki, membelainya.
“Ah, aku tidak mempunyai riwayat yang menarik, Hwa-moi. Hanya menyedihkan saja. Dalam usia tiga tahun aku telah ditinggal mati ayah ibuku dan sekecil itu aku diambil murid oleh suhu Leng-hong Hoatsu dan dibawa ke Himalaya.”
“Aih……! kaumaksudkan Leng-hong Hoatsu yang amat terkenal sebagai guru besar dan pendiri Hwe-coa- kauw (Agama Ular Terbang) itu?” tanya Pek-hwa Sianli yang benar-benar terkejut karena ia sudah mendengar akan nama besar pertapa yang kabarnya sakti seperti dewa itu. Matanya yang indah memandang kepada Kam Ki dengan terbelalak.
Kam Ki sudah mendengar dari suhunya bahwa Hwe-coa-kauw adalah orang-orang yang mempergunakan nama Hwe-coa (Ular Terbang) peliharaan suhunya untuk menyeleweng. Karena ular itu dipuja-puja maka Leng-hong Hoatsu meninggalkan Tiong-goan (Cina) dan kembali ke Himalaya. Penyelewengan itu sungguh tidak disukai suhunya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau menceritakan hal ini kepada Pek- hwa Sianli yang agaknya kagum kepada nama besar suhunya. “Benar, Hwa-moi. Sejak itu, aku menjadi murid dan juga melayani suhu dan baru saja aku turun gunung setelah tamat belajar dan dalam perjalananku ke dunia ramai, aku bertemu dengan engkau yang dikeroyok tiga orang itu, hanya itulah yang dapat kuceritakan padamu, Hwa-moi.”
“Aih, kasihan engkau, Thio-twako. Sejak kecil kehilangan orang tua. Apakah selain suhumu, engkau tidak mempunyai sanak keluarga lain?”
Kam Ki teringat akan Bun Sam. Akan tetapi mungkin suhengnya itu telah mati oleh pukulannya, maka dia menggeleng kepalanya sebagai jawaban.
“Tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini? Juga belum beristeri?”
Kam Ki tertawa, akan tetapi mukanya merah. “Ah, engkau ini aneh-aneh saja, Hwa-moi. Tentu saja belum!”
“Akan tetapi kalau pacar sudah punya, kan? Seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah seperti engkau, tentu sudah mempunyai pacar, tentu dikejar banyak gadis!”
“Ha-ha-ha, kaumaksudkan gadis-gadis kera dan binatang hutan lainnya? Aku tinggal bersama suhu di pegunungan Himalaya, bagaimana mungkin mempunyai pacar?”
Wajah Pek-hwa Sianli semakin berseri. “Hemm, mungkin sekarang tidak punya pacar. Akan tetapi aku yakin engkau sudah seringkali berpacaran dan bergaul dengan wanita bukan?”
“Salah, dugaanmu salah sama sekali, Hwa-moi! Sungguh mati, aku belum pernah berdekatan dengan wanita!”
“Hemm, maksudmu, sekarang ini untuk yang pertama kali engkau berdekatan dengan wanita? Dengan aku?”
“Benar, Hwa-moi,” kata Kam Ki sejujurnya dan dari pandang mata dan suara pemuda itu Pek-hwa Sianli yakin bahwa pemuda itu berkata benar sehingga ia menjadi semakin girang. Ingin ia langsung merangkul dan mencumbu pemuda itu, akan tetapi ia harus berlaku cerdik. Pemuda ini tidak boleh ia perlakukan sembarangan dan sesuka hatinya saja seperti kalau ia memperlakukan para pemuda terdahulu yang menjadi korbannya. Pemuda ini lihai sekali sehingga kalau sampai merasa tidak suka atau marah kepadanya, ia bisa celaka!
“Dan bagaimana rasa hatimu, twako? Senangkah engkau bergaul dengan aku?” “Senang sekali, Hwa-moi. Engkau sungguh baik dan menyenangkan hati.”
Dua orang pelayan itu, A-kui dan A-hui, mengetuk pintu ruangan itu dan setelah Pek-hwa Sianli membolehkan mereka masuk, dua orang pelayan itu berkata, “Hidangan telah siap, Sian-li. Silakan!”
Pek-hwa Sianli memegang tangan Kam Ki dan menariknya berdiri sambil berkata dengan nada gembira, “Hayo, twako, kita makan dulu!” Sambil tertawa-tawa wanita itu menggandeng tangan Kam Ki, diajak memasuki ruangan makan. Dua orang itu tersenyum dan saling lirik penuh arti, lalu mereka mengambil guci anggur dan membawanya ke ruangan makan. Mereka siap melayani kedua orang itu makan. Kam Ki duduk berhadapan dengan Pek-hwa Sianli, dan dengan kagum memandang makanan yang dihidangkan di atas meja. Tidak kurang dari delapan macam masakan terhidang di atas meja, masih mengepulkan uap dan baunya sedap menimbulkan selera.
“Tinggalkan kami berdua,” kata Pek-hwa, “biar aku sendiri yang melayani Thio-kongcu.”
A-kui dan A-hui tersenyum dan dengan langkah genit mereka meninggalkan ruangan makan itu. Mereka berdua lalu makan minum dengan gembira. Pek-hwa Sianli dengan penuh perhatian melayani Kam Ki. Sekali ini ia tidak berani main-main seperti kalau menjamu makan para pemuda yang pernah dibawanya pulang. Kepada para pemuda itu, ia selalu menaburkan obat bius yang mengandung perangsang dalam anggur. Akan tetapi sekali ini ia tidak berani melakukan hal itu. Kalau Kam Ki yang amat lihai mengetahui dan menjadi curiga, ia bisa celaka!
Setelah makan minum sampai puas, Pek-hwa Sianli tersenyum memandang wajah Kam Ki yang kemerahan. Pemuda ini selama menjadi murid Leng-hong Hoatsu, tentu saja tidak pernah minum minuman keras. Akan tetapi ketika dia berguru kepada Hwa Hwa Cinjin, pertapa sesat ini suka minum arak dan Kam Ki juga ketularan, walaupun dia bukan peminum berat, namun dia sudah sering minum arak. Maka, biarpun anggur yang disuguhkan Pek-hwa Sianli tidak sekeras arak, namun karena dia minum agak banyak, maka kulit mukanya menjadi merah.
“Mari kita duduk di dalam, twako, kita lanjutkan percakapan kita tadi.”
Pek-hwa Sianli menggandeng tangan Kam Ki yang menurut saja dengan gembira ketika diajak memasuki ruangan dalam. Kam Ki menahan napas saking kagumnya. Ruangan ini bukan ruangan tidur, akan tetapi lebih pantas disebut ruangan bersantai! Terhias lukisan-lukisan indah, pemandangan alam, binatang- binatang dan lukisan wanita dengan pakaian tipis yang tembus pandang, dalam posisi yang memikat. Di atas lantai yang bersih itu tergelar kasur lebar dengan tilam sutera merah muda dan bantal-bantal yang sarungnya dari sutera disulam. Di dinding dekat kasur terdapat sebuah rak pendek dengan beberapa botol anggur bermacam rasa dan di dekatnya tergantung sebuah yang-kim (siter).
“Mari, duduklah, Thio-twako,” kata Pek-hwa Sianli sambil membuka sepatunya lalu ia duduk di atas kasur.
Kam Ki juga melepas sepatunya dan duduk di depan wanita itu. Pek-hwa Sianli menuangkan anggur merah ke dalam dua cawan perak dan menyerahkan yang sebuah kepada pemuda itu. Mereka minum anggur merah yang rasanya manis dan baunya harum. Wanita itu memandang kepada Kam Ki dengan wajah berseri.
“Twako, aku merasa berbahagia sekali dapat berkenalan dan bersahabat dengan engkau yang telah menyelamatkan nyawaku. Selama ini, aku merasa kesepian, twako. Hidup di tempat sunyi ini, hanya ditemani dua orang pelayanku A-kui dan A-hui itu.”
“Hemm, tentu mereka itu merupakan pelayan yang amat setia padamu, Hwa-moi. Akan tetapi, kalau tadi engkau sudah mendengar riwayatku, kini aku ingin sekali mendengar tentang dirimu. Mengapa seorang gadis…… eh, seperti engkau……”
“Seperti apa, twako?” 'Maksudku, gadis secantik engkau. ”
“Benarkah, twako? Sudah dua kali engkau mengatakan aku cantik. Terima kasih atas pujianmu. Nah, lanjutkan pertanyaanmu tadi.”
“Mengapa engkau hidup seorang diri dan kesepian di tempat sunyi ini? Padahal engkau berkepandaian tinggi dan kulihat engkau kaya raya. Tentu engkau dapat tinggal di kota besar dalam sebuah gedung mewah dan…… tentu saja, bersama seorang suami yang pandai, kaya raya dan mencinta.”
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi muram. Alis yang hitam melengkung itu berkerut dan bola mata yang jernih itu menjadi basah. Pek-hwa Sianli menghela napas panjang.
“Aih…… kata-katamu menusuk perasaanku dan membuat aku sedih sekali me-ngenang nasibku yang buruk, twako. ” katanya lirih dan jari tangannya menyeka dua butir air mata yang bergantung di bulu
matanya.
“Ah, kalau begitu maafkan aku, Hwa-moi. Kalau engkau tidak mau, tidak usah kauceritakan riwayatmu yang menyedihkan hatimu,” Kam Ki cepat berkata.
Sepasang bibir itu tersenyum lagi. “Tidak, twako. Engkau sudah kuanggap sebagai seorang sahabat baik dan engkau boleh mengetahui riwayatku yang menyedihkan. Seperti juga engkau, aku seorang yatim piatu, twako. Ayah ibu sudah tidak ada, juga aku tidak mempunyai saudara, tidak ada sanak kadang, hanya sebatang kara hidup di dunia ini.”
“Wah, kasihan engkau, Hwa-moi.”
“Engkau juga! Kita sama-sama sebatang kara, bukan?”
“Akan tetapi engkau wanita, dan orang secantik engkau tentu tidak lama hidup seorang diri!”
“Aku hidup sebatang kara dan merantau, mempelajari ilmu-ilmu silat untuk bekal menjaga diri. Dan sebetulnya akan tetapi jangan engkau kecewa, twako.”
“Kenapa mesti kecewa? Ceritakan saja terus terang.” “Sebetulnya aku…… aku pernah menikah……”
Kam Ki terkejut. “Ah, engkau punya suami? Kalau begitu, kehadiranku di sini dapat membuat suamimu salah sangka dan marah!” Kam Ki hendak bangkit, akan tetapi wanita itu memegang tangannya dan menariknya, menahannya untuk tetap duduk.
“Aku hanya pernah menikah, sekarang tidak lagi. Aku pernah menjadi isteri orang, akan tetapi perjodohan kami hanya bertahan beberapa bulan saja.”
“Eh? Kenapa begitu, Hwa-moi?” “Pada suatu hari aku menangkap basah suamiku, mendapatkan dia menyeleweng, berjina dengan seorang wanita lain. Aku merasa sakit hati sekali, marah dan mata gelap, maka kubunuh mereka berdua!”
Setelah berkata demikian, Pek-hwa Sianli mengepal tinju dan mukanya berubah merah. Apa yang ia ceritakan itu memang benar. Terjadinya sekitar sepuluh tahun yang lalu. Setelah membunuh suaminya yang menyeleweng, ia berubah. Ia menjadi seorang wanita yang sakit hati dan mendendam kepada pria, menjadi kejam bukan main, mempermainkan pemuda-pemuda untuk memuaskan nafsunya, kemudian setelah bosan ia membunuh mereka!
“Ah, aku ikut menyesal mendengar riwayatmu yang menyedihkan itu, Hwa-moi.”
Pek-hwa Sianli tersenyum lagi. “Aku sudah melupakan semua peristiwa itu, twako. Sejak itu, aku tidak pernah lagi mau berdekatan dengan pria. Bagiku semua pria itu tidak setia!”
“Wah, kalau begitu…… ah, kenapa sekarang kita bersahabat dan berdekatan? Bukankah engkau membenci semua pria?” Kam Ki memandang penuh curiga.
Pek-hwa Sianli memegang tangan Kam Ki dan…… mencium tangan itu. “Aih, engkau lain lagi, twako. Engkau seorang pria jantan sejati yang telah menolongku. Engkau tidak seperti para pria lainnya. Twako, setelah kita menjadi sahabat, ada sebuah keinginanku dan kuharap engkau tidak akan menolak permintaanku ini.”
“Hemm, permintaan apakah itu, Hwa-moi?” tanya Kam Ki sambil menarik lepas tangannya dengan jantung berdebar tegang karena belum pernah dia bergaul dengan wanita sedekat ini, apalagi wanita secantik Pek-hwa Sianli.
“Begini, twako. Aku sejak kecil suka sekali akan ilmu silat dan aku melihat tadi betapa hebat gerakan silatmu. Maka, aku ingin menguji diriku sendiri dan aku minta agar engkau suka melayani aku untuk bertanding silat sehingga aku dapat mengukur kemampuan sendiri.”
Ia lalu memandang dengan mata setengah terkatup dan bibir terbuka sehingga wajahnya tampak menggairahkan dan seolah menantang. Kam Ki tidak dapat menolak permintaan itu, apalagi dia memang ingin memamerkan kepandaiannya agar dipuji dan dikagumi wanita cantik yang menggairahkan ini.
“Kalau itu keinginanmu, marilah,” katanya.
Wajah yang manis itu tampak gembira, mulutnya tersenyum lebar sehingga tampak deretan gigi yang putih mengkilap dan rapi seperti mutiara berjajar, bibir yang merah basah itu merekah sehingga sekilas tampak rongga mulut yang merah.
“Ah, terima kasih, twako. Mari kita ke lian-bu-thia (ruang berlatih silat)!” kata Pek-hwa Sianli yang tanpa sungkan-sungkan lagi lalu memegang tangan Kam Ki dan menggandeng pemuda itu keluar dari kamar itu, memasuki sebuah ruangan kosong yang dipergunakan untuk berlatih silat. Di sudut ruangan itu terdapat sebuah rak senjata, penuh dengan senjata lengkap delapanbelas macam. Mereka memasuki ruangan itu dan segera disusul datangnya A-hui dan A-kui yang membawa dua baskom air dan sehelai handuk. Setelah menaruh barang-barang itu di atas sebuah meja di sudut ruangan, keduanya sambil tersenyum manis keluar lagi dari ruang latihan silat itu.
“Nah, marilah kita bertanding tangan kosong, twako. Hati-hati, jangan pandang rendah ilmuku, twako, jangan-jangan engkau akan kalah olehku!”
Kam Ki tersenyum. Dia tadi sudah melihat ketika wanita ini dikeroyok oleh tiga orang lawannya sehingga dia dapat mengukur sampai di mana kepandaian Pek-hwa Sianli dan tentu saja dia sudah dapat mengira- ngirakan apakah dia akan mampu mengalahkan wanita itu. Akan tetapi dia tidak mau memandang rendah dan dia hanya tersenyum, lalu dia berdiri dengan santai dan berkata kepada wanita itu.
“Nah, mulailah, Hwa-moi, aku sudah siap sekarang.”
Berbeda dengan Kam Ki yang berdiri santai tidak memasang kuda-kuda namun tetap waspada mengamati gerak gerik lawan, Pek-hwa Sianli memasang kuda-kuda yang tampak gagah. Ia membuka ilmu silat Sin-hong-kun (Silat Burung Hong Sakti) dengan kuda-kuda Sin-hong-liang-ci (Burung Hong Sakti Pentang Sayap), kedua kakinya di depan dan belakang berjingkat, kedua lengan dipentang ke kanan kiri dengan tangan ditekuk menunjuk ke atas, kepala tegak dan matanya memandang kepada Kam Ki dengan mulut tersenyum manis.
“Nah, seranglah, Hwa-moi. Aku siap melayanimu,” kata pula Kam Ki.
“Awas seranganku, Ki-twako. Hyaaatttt……!” Wanita itu menyerang dengan dahsyat. Ketika tangannya menyambar dan menampar dari kiri. Kam Ki merasa betapa kuatnya angin pukulan yang terdorong oleh tangan kiri lawannya. Akan tetapi dia tidak menangkis, melainkan menghindarkan diri dengan elakan. Dia membiarkan wanita itu menyerangnya secara bertubi-tubi sampai belasan jurus. Pek-hwa Sianli menampar, memukul, mendorong dan menendang, namun semua serangannya hanya mengenai angin saja. Wanita itu memang menyerang dengan menggunakan jurus-jurus yang paling ampuh karena sebetulnya ia ingin benar-benar menguji sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik hatinya itu.
Setelah belasan kali mengelak, Kam Ki mulai menangkis untuk mengukur sampai di mana kekuatan yang terkandung dalam lengan wanita itu.
“Duk-dukk……!” Dua kali lengan mereka beradu dan Pek-hwa Sianli terhuyung ke belakang. Dia merasa lengannya bertemu dengan benda yang kenyal seperti karet, namun yang mengandung tenaga kuat sekali sehingga, tenaganya membalik dan membuat dia terhuyung. Dengan kagum ia melihat dua kenyataan akan kelebihan pemuda itu, yaitu dalam ilmu meringankan tubuh yang membuat pemuda itu dapat bergerak gesit sekali sehingga belasan kali serangannya yang dilakukan cepat dan bertubi itu, tak sekalipun mengenai tubuh pemuda itu. Kemudian dalam mengadu tenaga sinkang, jelas bahwa iapun jauh kalah kuat.
Di samping perasaan kagum, ia juga merasa girang sekali karena pemuda itu ternyata menyambut atau menangkis pukulannya dengan menggunakan tenaga lunak. Hal ini menandakan bahwa Kam Ki tidak ingin ia terluka karena kalau pemuda itu menangkis dengan tenaga keras, bukan mustahil ia akan menderita luka luar maupun dalam. Akan tetapi Pek-hwa Sianli masih belum merasa puas. Ia lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Kam Ki melihat betapa kedua telapak tangan yang berkulit putih halus itu kini menjadi merah sekali.
“Twako, awas, sambutlah Ang-tok-ciang ini!” Setelah berkata demikian, ia menyerang lagi dengan jurus- jurus Sin-hong-kun, akan tetapi sekali ini dengan kedua telapak tangan merah yang mengandung racun. Itulah Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang berbahaya sekali! Lawan yang terkena tamparan tangan merah ini akan menderita luka yang beracun dan dapat mengakibatkan kematian! Akan tetapi Pek-hwa Sianli tidak khawatir karena seandainya pemuda itu terkena tangan racun merahnya, ia memiliki obat untuk memunahkan racun itu.
Tentu saja Kam Ki tidak tahu akan obat ini. Diam-diam ia terkejut karena sebagai murid Hwa Hwa Cinjin, yaitu pertapa sesat yang diam-diam menjadi gurunya yang kedua, tentu saja dia mengenal ilmu-ilmu sesat. Dia tahu betapa berbahayanya Ang-tok-ciang ini. Akan tetapi untuk menyambut serangan ini dengan kekerasan, diapun merasa tidak tega. Wanita cantik jelita ini menerimanya sebagai sahabat dan tamu yang diperlakukan dengan manis budi, maka diapun tidak mau menyakiti Pek-hwa Sianli. Maka, semua serangan dengan kedua tangan yang berubah merah itu dia hindarkan dengan kecepatan gerakannya, mengelak ke sana-sini sambil mencari datangnya kesempatan baik untuk mengalahkan gadis itu tanpa melukai atau menyakitinya. Setelah melihat ada kesempatan terbuka, cepat dia balas menyerang dengan totokan jari tangannya. Dengan cepat, bagaikan patukan ular, dua kali jari tangannya menotok kedua pundak Pek-hwa Sianli.
“Tuk-tukk. !”
Pek-hwa Sianli terbelalak karena seketika ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Ia tahu bahwa dirinya terkena totokan yang ampuh sekali. Yang membuat ia merasa heran bagaimana ia sampai dapat tertotok. Padahal, selama ini ia jarang bertemu tanding. Paling-paling ia bertemu dengan lawan yang seimbang tingkat kepandaiannya atau yang sedikit melebihi tingkatnya. Akan tetapi pemuda ini yang tadi selalu hanya mengelak, tiba-tiba begitu bergerak mampu menotoknya. Hal ini saja menunjukkan bahwa tingkat kepandaian Kam Ki jauh melampaui tingkatnya.
Akan tetapi hanya beberapa detik ia tak mampu bergerak karena segera tangan Kam Ki menepuknya dan totokan itupun punah sehingga ia dapat bergerak lagi.
Bukan main kagumnya hati Pek-hwa Sianli. Akan tetapi dasar ia seorang wanita yang tidak mudah merasa puas, ia masih ingin mencoba lagi.
“Hebat, twako. Ilmu silat tangan kosongmu benar-benar luar biasa dan aku mengaku kalah. Akan tetapi sebelum engkau dapat mengalahkan senjataku siang-kiam (sepasang pedang) aku masih belum mengaku kalah mutlak. Maukah engkau melayani aku bersilat pedang?”
Kam Ki memang ingin memamerkan kepandaiannya kepada gadis itu, maka sambil tersenyum dia menjawab. “Baiklah, Hwa-moi, aku akan melayanimu main-main sebentar dengan sepasang pedangmu.”
Pek-hwa Sianli menjadi girang sekali. Ia berlari ke arah rak senjata dan mengambil sepasang pedang. Kemudian ia berkata kepada Kam Ki. “Twako, cepat pilih senjata mana yang kausukai!” Wanita ini tidak ragu untuk bertanding dengan senjata karena biarpun menggunakan senjata, seorang yang ilmu silatnya telah mencapai tingkat tinggi, dapat menguasai senjatanya sepenuhnya sehingga dia tidak akan melukai lawan kalau hal itu tidak dikehendakinya. Semua gerakan terkendali sehingga tidak mungkin kelepasan melukai lawan.
Kam Ki yang sudah dapat mengukur tingkat kepandaian Pek-hwa Sianli dan memang ingin memamerkan kepandaiannya, sambil tersenyum menggeleng kepalanya.
“Aku tidak perlu menggunakan senjata, Hwa-moi, bukan sekali-kali karena aku meremehkan ilmu pedangmu, melainkan aku percaya bahwa engkau tidak akan melukai aku. Pergunakanlah siang-kiam itu untuk menyerangku, aku akan mencoba menghindarkan diri dari serangan sepasang pedangmu.”
Pek-hwa Sianli mengerutkan alisnya, bukan merasa tersinggung karena iapun sudah mengerti bahwa pemuda ini lebih lihai darinya, hanya ia ragu apakah benar pemuda itu mampu menghadapi siang- kiamnya dengan tangan kosong. Sepasang pedangnya itu jarang bertemu lawan yang dapat mengalahkannya. Ia memiliki ilmu pedang Liap-liong-siang-kiam (Sepasang Pedang Pengejar Naga) yang terkenal lihai sekali.
“Betulkah engkau akan menghadapi sepasang pedangku dengan tangan kosong, twako? Ketahuilah bahwa aku mempunyai ilmu Liap-liong-siang-kiam yang amat lihai, dan selama ini jarang ada orang yang mampu mengalahkan sepasang pedangku. Karena itu, aku ragu-ragu untuk menyerangmu kalau engkau bertangan kosong.”
“Jangan khawatir, Hwa-moi. Bagaimanapun juga, engkau tidak akan menggunakan sepasang pedangmu itu untuk membunuh atau melukai aku, bukan?”
Melihat senyum yang membuat wajah pemuda itu amat tampan dan menarik hatinya, Pek-hwa Sianli terpesona dan ia semakin kagum akan keberanian pemuda itu.
“Baiklah kalau begitu. Nah, bersiaplah, twako!” Gadis itu lalu memasang kuda-kuda, pembukaan ilmu pedang Pengejar Naga. Mula-mula sepasang pedang itu berpisah, yang kiri menunjuk ke bumi, yang kanan menunjuk ke langit, lalu sepasang pedang bergerak dan saling bertemu di depan dada, mengeluarkan bunyi berdenting dan tampak bunga api berpijar ketika sepasang pedang bertemu dan pedang-pedang itu bersilang!
Kam Ki memandang kagum. Betapa gagah dan cantiknya gadis ini, pikirnya. Diapun kini memasang kuda- kuda yang tampak gagah sekali, kaki kiri ke belakang, kaki kanan di depan dengan lutut ditekuk, tangan kanan di pinggang dikepal dan tangan kiri di depan dada membentuk cakar.
Melihat ini, Pek-hwa Sianli menjadi gembira sekali dan iapun mulai mengelebatkan sepasang pedangnya dan berseru, “Twako, awas, aku mulai menyerang!”
Sepasang pedang itu menyambar-nyambar dan lenyap bentuknya menjadi dua gulungan sinar. Kam Ki sudah waspada dan tubuhnya juga bergerak cepat sekali sehingga dia berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua gulungan sinar pedang itu!
Ke manapun sepasang pedang itu menyambar, selalu tubuh Kam Ki dapat menghindar seolah dapat menyelinap di antara sepasang pedang. Pek-hwa Sianli kagum dan terkejut juga, sama sekali tidak mengira betapa sepasang pedangnya sama sekali tidak berdaya, seolah-olah ia menyerang sebuah bayangan saja!
Sampai tigapuluh jurus lebih ia menyerang tanpa hasil dan tiba-tiba ia merasa lengan kanannya lumpuh dan pedang itu tahu-tahu telah pindah ke tangan Kam Ki. Ketika ia menyerang dengan pedang kirinya, Kam Ki menggerakkan pedang rampasan itu dengan pengerahan tenaga.
“Tranggg.......!” Pek-hwa Sianli tidak mampu menahan dan pedangnya sudah terlempar lepas dari tangan kirinya. Kam Ki melompat dan menyambar pedang itu sehingga kini sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya!
Pek-hwa terkejut sekali dan kini Kam Ki menghampirinya dan menyerahkan sepasang pedang itu kembali kepadanya.
“Maaf, Hwa-moi, ilmu pedangmu sungguh lihai, terpaksa aku menggunakan akal untuk merampasnya. Kalau tidak, sungguh amat berbahaya bagiku!” kata Kam Ki sambil tersenyum.
Bukan main kagum dan senangnya hati Pek-hwa Sianli. Ia merasa kagum karena ternyata pemuda itu mampu mengalahkan ia hanya dengan tangan kosong, bahkan tanpa melukai dan dapat merampas sepasang pedangnya begitu saja! Dan hatinya senang karena jelas bahwa Kam Ki merendahkan diri dan memuji ilmu pedangnya!
Ia melempar sepasang pedangnya ke arah rak senjata dan sepasang pedang itu dengan tepat menancap di tiang rak itu! Ia lalu memegang kedua tangan Kam Ki.
“Aih, twako, sungguh engkau hebat, luar biasa, aku taluk padamu, aku kagum sekali……!” Ia lalu menarik pemuda itu ke meja di mana terdapat dua baskom air dan mengajak pemuda itu mencuci muka dan lengan yang berkeringat, lalu mengusapinya dengan handuk yang tersedia tadi.
Sekali ini, Pek-hwa Sianli benar-benar telah jatuh cinta kepada pemuda itu. Ia lalu menggandeng tangan Kam Ki dan mengajaknya makan hidangan yang serba lezat dan mewah, yang telah dipersiapkan oleh dua orang pelayannya, A-hui dan A-kui. Dua orang pelayan yang cantik manis ini melayani mereka dengan penuh hormat.
Dua orang gadis pelayan ini telah mengetahui bahwa pemuda itu lihai sekali, dapat mengalahkan nona mereka sehingga mereka berdua pun kagum bukan main. Maka, dengan mencuri-mencuri, terkadang mereka melepas kerling tajam disertai senyum manis kepada Kam Ki ketika mereka berada di belakang Pek-hwa Sianli. Kam Ki melihat ini, akan tetapi dia tidak mengacuhkannya karena seluruh perhatiannya sedang tertarik kepada Pek-hwa Sianli.
Dengan cerdik, Pek-hwa Sianli yang sudah berpengalaman banyak bergaul dengan para pemuda itu berusaha untuk memikat hati Kam Ki. Kam Ki sendiri se-orang pemuda yang sama sekali belum pernah bergaul erat dengan wanita. Dia adalah seorang perjaka tulen dan masih hijau tentang wanita. Bagaikan seekor laba-laba yang mempergunakan jala benang halus yang ditata indah untuk memikat dan menjebak seekor serangga yang masih bodoh, Pek-hwa Sianli mempergunakan segala kecantikan wajahnya, keindahan bentuk tubuhnya, kemanisan rayuannya, ditambah makanan lezat dan anggur merah manis yang keras namun lembut sehingga setelah selesai makan dan minum banyak anggur, wajah Kam Ki menjadi kemerahan. Bagaikan seekor domba yang dituntun ke tempat penyembelihan, Kam Ki dituntun Pek-hwa Sianli ke dalam kamarnya. Memang pada dasarnya Kam Ki adalah seorang laki-laki yang berbatin rapuh, pertahanannya lemah membuat pendirian dan pertimbangannya goyah sehingga dengan mudah saja dia bertekuk lutut kepada nafsunya sendiri. Maka, tidak sukar bagi Pek-hwa Sianli untuk merayunya dan akhirnya dia jatuh ke dalam pelukan wanita itu dengan gairah yang berkobar-kobar, dengan senang hati menuruti semua keinginan Pek-hwa Sianli. Kam Ki bagaikan seekor serangga yang akhirnya terjerat, dilibat dan dihisap oleh laba-laba sampai habis darahnya dan menjadi kering.
Kam Ki yang masih hijau itu terjatuh ke pelukan Pek-hwa Sianli yang berpengalaman. Dia bagaikan mabok berenang dalam lautan madu yang nikmat dan menyeretnya ke dalam cengkeraman gairah nafsunya sendiri.
Akan tetapi anehnya, bukan Kam Ki yang tergila-gila. Sekali ini Pek-hwa Sianli yang jatuh hati dan tergila- gila. Biasanya tidak ada pemuda yang dikeram wanita itu lebih dari satu minggu. Ia segera menjadi bosan dan untuk merahasiakan ulahnya, pemuda itu lalu dibunuh dan mayatnya dilempar ke jurang. Akan tetapi sekali ini, sudah lewat dua bulan masih saja Kam Ki dan Pek-hwa Sianli bersenang-senang.
Siang malam mereka berenang dalam lautan gairah asmara bagaikan sepasang pengantin baru sedang berbulan madu panjang. A-hui dan A-kui yang menjadi pelayan setia dari Pek-hwa Sianli menjadi terheran-heran melihat keadaan ini dan tahulah mereka bahwa sekali ini majikan mereka benar-benar tergila-gila kepada pemuda yang gagah perkasa dan lihai itu.
Ada dua kasih sejati yang perlu kita Ketahui. Kasih sejati dan kasih atau cinta nafsu. Cinta kasih sejati mengesampingkan kesenangan jasmani kita sendiri dan mendahulukan kepentingan kebahagiaan orang yang dicinta. Cinta nafsu hanya mengejar kesenangan bagi diri sendiri sehingga cinta seperti itu dengan mudah dapat berubah menjadi benci kalau yang dicinta itu tidak mendatangkan kesenangan lagi. Sebaliknya, cinta sejati membuat kita selalu merasa kasihan kepada orang yang dicinta, ingin membahagiakan orang itu, ikut prihatin kalau melihat orang itu berduka dan ikut bahagia kalau melihat orang itu bersuka. Karena sifatnya hanya mengejar kesenangan jasmani, maka cinta nafsu selalu mementingkan si-aku, kalau aku disenangkan, aku cinta, sebaliknya kalau aku disusahkan, aku benci.
Mungkin baru sekarang Pek-hwa Sianli benar-benar jatuh hati dan tergila-gila kepada seorang pemuda. Tentu saja seorang yang telah menjadi hamba nafsu seperti wanita ini tidak pernah mengenal cinta sejati. Cintanya bergelimang nafsu dan karena belum pernah ia mendapatkan seorang laki-laki seperti Kam Ki, maka ia melekat dan tergila-gila. Di lain pihak, Kam Ki yang baru pertama kali mengalami bergaul rapat dengan seorang wanita, setelah lewat tiga bulan, mulailah dia merasa jemu dan bosan!
Memang, nafsu selalu mengejar kesenangan dan kesenangan itu, apabila dikejar dan luput mendatangkan kecewa dan duka, akan tetapi setelah didapatkan, dibayangi kebosanan karena nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain, yang baru dan yang dibayangkan sebagai yang lebih menyenangkan daripada yang telah diraihnya.
Kam Ki mulai merasa bosan dan mulailah dia melirik A-hui dan A-kui! Dalam kebosanannya, tampaklah cacat-cacat yang ada pada diri Pek-hwa Sianli. Se-baliknya A-hui dan A-kui yang “baru” tampak keindahannya saja. Tidak mengherankan kalau dalam pandang mata Kam Ki, dua orang gadis pelayan ini tampak lebih cantik, lebih menarik, lebih menggairahkan nafsunya dari Pek-hwa Sianli! Kemudian, hal yang tidak terelakkan pun terjadilah! Pada suatu malam Pek Hwa Sianli menangkap basah Kam Ki yang tengah bermesraan dengan A-hui dan A-kui, di “keroyok” dua oleh gadis-gadis pelayan itu! Bukan main marahnya hati Pek-hwa Sianli! Ia mengamuk dan membunuh kedua orang pelayannya itu.
Kam Ki sendiri segera melarikan diri, bukan karena takut kepada Pek-hwa Sianli, melainkan karena malu! Dia, yang baru saja berkecimpung dalam lautan asmara, masih mempunyai rasa malu akan penyelewengannya dan diapun melarikan diri, meninggalkan Pek-hwa Sianli baginya sudah membosankan.
Pek-hwa Sianli marah dan menangis, akan tetapi tidak berdaya karena andaikata ia mengejar sekalipun, ia tidak akan menang melawan Kam Ki.
Selama tiga bulan Kam Ki seolah menjadi murid Pek-hwa Sianli berenang dalam lautan asmara. Hal ini membangkitkan gairah berahinya. Bagaikan harimau buas yang selama ini tidur, kini dibangkitkan oleh usikan Pek-hwa Sianli sehingga Kam Ki menjadi seorang yang haus oleh gairah berahi yang berkobar. Dia benar-benar telah menjadi budak dari nafsu berahinya sendiri dan kehausan itu yang mendorong dia mendekati A-hui dan A-kui.
Kini dia telah bebas dari rangkulan Pek-hwa Sianli dan di dunia bertambah seorang manusia hamba nafsu yang berkeliaran, bagaikan seekor harimau buas yang selalu mencari mangsa. Dalam perjalanannya merantau itu, setiap kali gairah berahinya menguasai pikirannya dan amat menyiksanya, dia lalu mencari mangsa. Dia tidak kuat menahan gelora nafsunya dan mencari mangsa di dusun-dusun yang dilaluinya. Kalau ada wanita muda yang cantik tidak perduli gadis atau isteri orang, lalu diculiknya dan dipaksanya untuk melayani gairah nafsunya, kemudian ditinggalkannya begitu saja.
Pada suatu pagi perjalanannya yang tanpa tujuan tertentu itu membawanya ke kaki Siong-san (Bukit Siong). Baru saja dia meninggalkan sebuah dusun yang cukup ramai dan di dusun itu selain melampiaskan gairah nafsunya pada seorang wanita yang diculiknya, dia juga melakukan pencurian di rumah seorang hartawan menggondol emas dan perak sekantung dan pakaian baru beberapa pasang. Kini dia berjalan di kaki Siong-san, menggendong sebuah buntalan hasil pencuriannya.
Di puncak bukit itu terdapat perkampungan cabang Pek-lian-kauw. Cabang Pek-lian-kauw di Bukit Siong itu dipimpin oleh tiga orang bersaudara seperguruan. Ketuanya adalah Ang-bin Moko (Iblis Muka Merah), dibantu oleh Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih) dan Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam), dengan anak buah sebanyak limapuluh orang lebih. Pek-lian-kauw adalah sebuah perkumpulan yang selalu menentang pemerintahan dan untuk memperoleh dana mereka tidak segan untuk melakukan kejahatan seperti merampok dan memaksa orang-orang yang lewat di daerah itu untuk membayar “pajak”.
Ketika Kam Ki berjalan dengan santai di kaki Siong-san yang sunyi itu, tiba-tiba dari balik batu besar dan pohon-pohon di tepi jalan berlompatan keluar belasan orang. Mereka adalah anak buah Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Hek-bin Moko, pemimpin ketiga dari cabang Pek-lian-kauw itu.
“Berhenti!” bentak seorang anak buah sedangkan Hek-bin Moko yang merasa terlalu tinggi kedudukannya untuk memeras seorang pejalan kaki, hanya berdiri memandang. Mukanya yang hitam arang ltu menyeramkan sekali.
“Sobat, serahkan pajak sebesar limapuluh tail. perak, kalau tidak punya, tinggalkan buntalanmu itu di sini, baru engkau boleh melanjutkan perjalanan melewati daerah ini!” Kam Ki tersenyum mengejek, tahu bahwa orang-orang ini berniat merampoknya. Tentu saja dia mempunyai uang yang hanya limapuluh tail perak itu karena dia mempunyai sekantung uang perak dan emas.
“Hemm, kalian minta pajak limapuluh tail perak? Biar limaratus atau limaribu tail sekalipun aku dapat memberi, akan tetapi aku harus tahu lebih dulu siapa yang memungut pajak di sini! Kalian ini siapakah yang begitu sombong hendak memaksa orang membayar pajak? Kalian bukan pemerintah yang menguasai daerah ini. Kalau mau mengemis, jangan dengan paksaan begitu!”
Semua anggauta Pek-lian-kauw melotot mendengar penghinaan itu. “Mengemis? Jahanam busuk, kami adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang berkuasa di daerah ini!” bentak orang yang mewakili para anggautanya itu.
Kam Ki tersenyum. Dia sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw, sebuah perkumpulan besar dan kuat yang berpengaruh di antara para tokoh di dunia kang-ouw, seperti yang pernah dia dengar dari Hwa Hwa Cinjin. Tidak menguntungkan kalau dia bermusuhan dengan Pek-lian-kauw dan alangkah baiknya kalau dia dapat menjadi pemimpin mereka. Namanya akan menjadi terkenal, ditakuti dan dihormati dunia kang-ouw dan dia mempunyai banyak anak buah yang boleh diandalkan. Daripada hidup tanpa tempat tinggal dan kedudukan tetap, alangkah baiknya kalau dia dapat menjadi ketua Pek- lian-kauw, walaupun hanya ketua cabang saja.
“Dengar, kalian orang-orang Pek-lian-kauw. Aku ingin berteman dan bicara dengan pimpinan kalian. Soal pajak itu, jangan khawatir, seratus kali dari itupun aku sanggup memberinya!”
Orang-orang itu tentu saja memandang rendah pemuda yang tampan dan berpakaian mewah ini. Pemuda ini tidak membawa senjata, tampaknya seperti seorang kongcu (tuan muda) yang kaya saja.
Karena melihat Hek-bin Moko, pemimpin mereka, masih diam saja karena si muka hitam ini yakin bahwa tanpa dia turun tangan, belasan orang anak buahnya tentu akan mampu mengatasi pemuda itu, maka para anak buah Pek-lian-kauw segera mengepung Kam Ki. Juru bicara mereka tadi, seorang anggauta Pek-lian-kauw berusia sekitar empatpuluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok, maju menghadapi Kam Ki dan menghardiknya.
“Bocah macam engkau hendak bertemu dengan pimpinan kami yang terhormat? Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi. Serahkan buntalan itu kepada kami dan cepat menggelinding pergi dari sini kalau engkau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!”
Kam Ki tersenyum akan tetapi sepasang matanya mencorong. Ini merupakan tanda bahwa dia sudah marah sekali. Akan tetapi dalam benaknya masih terbayang keinginannya untuk dapat menjadi pemimpin cabang Pek-lian-kauw, maka dia menahan kesabarannya dan meyakinkan hatinya bahwa dia tidak boleh melakukan pembunuhan kalau menghendaki kedudukan itu.
“Coba kalian semua maju dan siapa yang dapat menghancurkan kepalaku lebih dulu, boleh memiliki buntalan ini. Kalian tahu, dalam buntalan ini terdapat emas dan perak yang amat mahal. Hayo hancurkan kepalaku!” Di antara para anggauta yang jumlahnya enambelas orang itu, ada yang tertawa geli. Kiranya mereka berhadapan dengan seorang pemuda gendeng (ediot)! Karena merasa diri gagah, tentu saja mereka tidak mau mengeroyok seorang pemuda gila, dan mereka sama sekali tidak percaya akan cerita tentang emas dan perak itu.
Anggauta Pek-lian-kauw yang tinggi besar itu dengan marah membentak, “Bocah gila, mampuslah!” Dia mengayun tangannya yang besar menghantam ke arah kepala Kam Ki dan agaknya dia tidak bicara kosong belaka kalau hendak memecahkan kepala Kam Ki karena mungkin hantaman yang dahsyat itu akan dapat memecahkan kepala seorang laki-laki biasa. Akan tetapi hantaman itu luput dan tiba-tiba tubuhnya terbanting roboh tidak mampu bangkit lagi, hanya merintih-rintih. Memegangi perut yang rasanya mulas bukan main!
Lima belas orang rekannya terkejut dan juga marah. Mereka segera maju mengeroyok. Akan tetapi empat orang yang berada paling depan, juga berpelantingan dan tidak mampu bangkit, terkena tamparan kedua tangan Kam Ki. Masih untung mereka tidak tewas karena Kam Ki membatasi tenaganya, namun cukup membuat mereka yang roboh tidak mampu bangkit kembali.
Kini sisa anak buah Pek-lian-kauw mencabut senjata dan dengan buas mereka menyerang Kam Ki dengan golok atau pedang. Hujan senjata itu disambut Kam Ki dengan tenang, namun tubuhnya berkelebatan di antara sebelas orang pengeroyok itu sambil membagi-bagi tamparan dan tendangan. Dalam waktu yang cepat, enambelas orang anak buah Pek-lian-kauw itu sudah roboh semua dan belum ada yang dapat bangkit kembali karena mereka masih mengaduh-aduh sambil memegangi bagian yang kena tampar atau tendang!
Wajah Hek-bin Moko menjadi semakin hitam. Kedua matanya yang lebar itu melotot dan dia segera menghampiri Kam Ki. Pemuda itu memandang penuh perhatian. Yang berada di depannya adalah seorang laki-laki berusia sekitar limapuluh tahun, bajunya putih dan memakai jubah yang terbuka sehingga tampak gambar bunga teratai putih dalam lingkaran berdasar biru. Rambutnya digelung ke atas dan diikat pita putih model gelung para tosu (pendeta Agama To), dan di punggungnya tergantung sebatang pedang.
“Engkaulah pemimpin Pek-lian-kauw di sini?” Kam Ki bertanya.
“Pimpinan cabang Pek-lian-kauw di sini adalah kami bertiga. Aku, ji-suheng (kakak seperguruan kedua) dan twa-suheng (kakak seperguruan pertama). Siapakah engkau yang berani menentang kami dan merobohkan anak buahku?”
“Aku Kam Ki dan engkau tadi melihat sendiri bahwa anak buahmu yang menyerang aku sehingga mereka mencari penyakit sendiri. Akan tetapi engkau juga melihat bahwa aku tidak membunuh mereka, hal ini karena aku ingin menjadi pemimpin Pek-lian-kauw yang menguasai daerah ini.”
“Keparat sombong!” Hek-bin Moko sudah mencabut pedangnya. Langsung saja dia menyerang Kam Ki dengan pedangnya. Hal ini saja menunjukkan betapa curangnya pemimpin Pek-lian-kauw ini. Dia menyerang dengan pedang lawan yang tidak bersenjata dan belum siap tanpa peringatan terlebih dulu.
“Singgg……!” Pedang itu mendesing dan menyambar ke arah leher Kam Ki. Melihat sambaran pedang itu cukup dahsyat, Kam Ki tahu bahwa lawannya bu-kan orang lemah seperti para anak buahnya tadi. Dia mengelak dengan mudah. Hek-bin Moko mengejar dengan serangan bertubi-tubi. Namun sama sekali semua serangan itu tidak dapat mengenai tubuh lawan.
Diam-diam Kam Ki membuat perhitungan. Sebaiknya kalau dia bertemu dengan para pimpinan yang lain dan mengajak mereka bertanding daripada membiarkan perkumpulan itu mengerahkan seluruh anak buahnya untuk mengeroyoknya. Maka dia mengambil keputusan untuk tidak melukai Hek-bin Moko, hanya membuat lawan menjadi jerih dan melarikan diri ke sarangnya untuk mencari bala bantuan.
Setelah mendapat kesempatan, dia menotok siku lengan kanan lawan sehingga Hek-bin Moko merasa tangannya kaku dan dengan mudah pedangnya dapat dirampas Kam Ki. Pemuda ini lalu menggunakan kedua tangannya, mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematahkan sebatang lidi saja! Melihat ini, Hek-bin Moko terbelalak, lalu dia melompat pergi dan sebelum melarikan diri dia berteriak.
“Orang she Kam, kalau memang gagah berani, tunggulah pembalasanku di sini!”
Kam Ki tersenyum. Inilah yang dia kehendaki. Dia melihat belasan orang yang roboh tadi sudah ada yang merangkak bangun dan mereka saling tolong. Dia tidak memperdulikan mereka lalu melompat jauh dan membayangi Hek-bin Moko yang lari mendaki bukit.
Tergopoh-gopoh Hek-bin Moko memasuki pondok besar dalam perkampungan Pek-lian-kauw itu, sebuah pondok besar yang berada di tengah perkampungan, di antara banyak pondok-pondok yang kecil. Setelah tiba di ruangan tengah di mana dia lihat kedua pemimpin Pek-lian-kauw yang lain duduk, dia menjatuhkan diri di atas sebuah kursi dan terengah-engah.
“Celaka, ji-suheng dan twa-suheng. Aku dan enambelas orang anak buah telah dikalahkan oleh seorang pemuda bernama Kam Ki yang tadinya kami hadang. Dia lihai bukan main dan katanya ingin bicara dengan para pimpinan Pek-lian-kauw!”
Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko mengerutkan alis mereka. Mereka berdua marah sekali. Siapa orangnya berani main-main dengan Pek-lian-kauw, pikir mereka.
“Kurang ajar!” kata Ang-bin Moko sambil bangkit berdiri. “Kita harus cari dan hajar bocah itu!”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di ambang pintu ruangan itu telah berdiri seorang pemuda yang bukan lain adalah Kam Ki. Pemuda itu tersenyum dan sikapnya tenang sekali.
“Tidak perlu repot-repot mencari. Aku sudah berada di sini dan aku memang ingin bertemu dan bicara dengan para pimpinan Pek-lian-kauw.”
Tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw itu terkejut bukan main. Mereka semua bangkit dan Hek-bin Moko berseru, “Inilah orangnya yang bernama Kam Ki!”
“Benar, aku Kam Ki dan aku menawarkan diri untuk menjadi pemimpin kalian, memimpin cabang Pek- llan-kauw ini agar memperoleh kemajuan!” Ang-bin Moko dan Pek-bin Moko marah bukan main. “Bangsat cillk! Orang macam engkau hendak menjadi pemimpin cabang Pek-lian-kauw? Hemm, agaknya engkau sudah bosan hidup!” bentak Ang-bin Moko yang bertubuh tinggi kurus dan mukanya kemerahan.
“Berani benar engkau datang memusuhi kami!” bentak pula Pek-bin Moko.
“Tenanglah! Kalau aku datang untuk memusuhi kalian, tentu si muka hitam ini dan belasan orang anak buahnya tadi sudah kubunuh semua! Tidak, aku datang hendak memimpin kalian dan memajukan Pek- lian-kauw yang sudah lama kudengar namanya. Bahkan guruku menganjurkan agar aku membantu Pek- lian-kauw.”
“Gurumu? Siapa gurumu?” tanya Ang-bin Moko dengan alis berkerut. Alangkah beraninya pemuda ini sehingga membuat dia ingin mengetahui siapa gurunya.
“Aku mempunyai banyak guru dan yang kumaksudkan adalah guruku kedua, yaitu Hwa Hwa Cinjin, pertapa di pegunungan Himalaya.”
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw itu terkejut. Mereka sudah lama mendengar akan nama besar Hwa Hwa Cinjin yang kabarnya bahkan pernah mengajarkan suatu ilmu kepada ketua umum Pek-lian- kauw pusat! Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi hati-hati dan ragu untuk mengerahkan semua anak buah untuk mengeroyok Kam Ki.
“Kam Ki, engkau hanyalah seorang pemuda. Bagaimana engkau akan dapat menjadi ketua cabang Pek- lian-kauw? Kami bertiga, aku Ang-bin Moko menjadi ketua cabang dan dua orang suteku (adik seperguruanku) ini, Pek-bin Moko dan Hek-bin Moko, menjadi ketua kedua dan ketiga. Sekarang, katakan, apa kehendakmu?”
“Begini, kita bukanlah musuh, maka kita atur dengan adil. Aku akan bertanding menghadapi kalian bertiga untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas menjadi ketua. Kalau aku kalah dan tewas, tidak akan ada yang menuntut kalian. Akan tetapi kalau kalian bertiga tidak mampu mengalahkan aku, maka kalian harus mengangkat aku menjadi ketua dan kalian bertiga menjadi pembantu- pembantuku. Bagaimana pendapat kalian?”
Tiga orang itu saling pandang. Biarpun pemuda ini mengaku murid Hwa Hwa Cinjin dan sudah membuktikan kelihaiannya dengan mengalahkan Hek-bin Moko dan enambelas orang anak buah, akan tetapi kalau mereka maju bersama, tidak mungkin mereka akan kalah.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kami terima tantanganmu, Kam Ki.”
“Memang seharusnya begitu. Mari kita keluar dan bertanding di tempat terbuka agar semua anak buah Pek-lian-kauw menyaksikan siapa yang lebih patut memimpin mereka,” kata Kam Ki yang cepat melompat keluar dari ruangan dan pondok besar itu.
Tiga orang ketua cabang Pek-lian-kauw lalu bersiap-siap. Hek-bin Moko yang kehilangan pedangnya, mengambil pedang baru dan tiga orang itu lalu keluar dari rumah.
Sementara itu, enambelas orang anak buah Pek-lian-kauw tadi memasuki per-kampungan dan kini seluruh anggauta Pek-lian-kauw yang mendengar bahwa ada seorang pemuda mengacau di sarang mereka, semua keluar untuk menanti perintah para pimpinan mereka. Kurang lebih limapuluh orang anggauta Pek-lian-kauw kini berkumpul di pekarangan rumah induk perkumpulan itu, di mana tiga orang pimpinan mereka tinggal.