Kisah Si Tawon Merah Dari Bukit Hengsan Jilid 06

 
Jilid 06

Setelah menyeberangi hutan itu, tibalah mereka di lembah sungai dan ketiganya mulai bersikap waspada karena mereka telah memasuki daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kiu-liong-pang (Perkumpulan Sembilan Naga). Nama perkumpulan yang sesungguhnya merupakan gerombolan penjahat yang suka merampok dan mencuri ini, amat terkenal di Propinsi Hok-kian. Mereka sering melakukan perampokan ke dusun-dusun dan bahkan berani menjarah sampai ke kota.

Pada mereka yang berani melakukan perjalanan melewati lembah sungai itu, tentu akan bertemu anggauta gerombolan yang minta semacam “uang pajak”. Kalau permintaan ini ditolak, mereka akan menggunakan kekerasan, membunuh dan merampok dengan kejam. Juga mereka yang melakukan perjalanan dengan perahu di Sungai Kiu-liong, pasti akan mereka hadang pula dan mereka mintai uang, kalau menolak mereka akan membajak dan membunuh.

Ada sudah usaha para pedagang yang melakukan perjalanan, baik melalui darat maupun melalui air, menyewa para piauw-su (pengawal kiriman) untuk melindungi mereka dari gangguan para anak buah gerombolan Kiu-liong-pang itu. Namun, setelah beberapa kali piauw-su itu bahkan menjadi korban, maka para pedagang mengalah dan merasa lebih aman untuk membayar “pajak” kepada gerombolan itu.

Kiu-liong-pang dipimpin oleh tiga orang pemimpinnya yang terkenal tangguh dan amat lihai ilmu silatnya. Mereka biasa disebut sebagai Toa-liong (Naga Pertama), Ji-liong (Naga Kedua) dan Sam-liong (Naga Ketiga), merupakan tiga orang kakak beradik seperguruan yang berusia antara empatpuluh sampai limapuluh tahun. Gerombolan Kiu-liong-pang itu memiliki anak buah yang cukup banyak, tidak kurang dari seratus orang. Karena itu kedudukan mereka amat kuat.

Pihak pemerintah sudah pula berusaha untuk membasmi gerombolan ini dengan mengerahkan pasukan yang besar jumlahnya. Akan tetapi, kalau diserbu pasukan yang besar, semua anak buah gerombolan melarikan diri dan karena daerah lembah Sungai Kiu-liong itu amat luas dan panjang, melewati hutan- hutan lebat, maka sukar sekali bagi pasukan pemerintah untuk membasmi mereka.

Bwee Hwa, Siong Li dan Ui Kong yang telah tiba di lembah sungai dan mengharapkan dapat bertemu dengan anggauta gerombolan Kiu-liong-pang, sampai menjelang senja belum juga menemukan mereka. Daerah itu sunyi bukan main karena memang merupakan daerah yang dianggap berbahaya sehingga jarang ada yang berani melakukan perjalanan lewat lembah itu.

Terpaksa ketiga orang muda itu berhenti di tepi sungai yang terbuka, melepaskan kendali kuda dan menambatkan kuda mereka pada pohon yang tumbuh dekat tempat mereka berada. Ui Kong lalu mencari dan mengumpulkan kayu kering untuk persiapan membuat api unggun. Api unggun amat penting bagi mereka dalam melewatkan malam di tempat seperti itu. Selain dapat mengusir hawa malam yang dingin, juga terutama sekali dapat mengusir nyamuk-nyamuk yang tentu akan sangat mengganggu.

Sementara itu, Siong Li mencari anak sungai yang menumpahkan airnya ke Sungai Kiu-liong. Biasanya dalam hutan terdapat banyak anak sungai kecil yang jernih airnya. Setelah mendapatkan anak sungai yang jernih airnya, Siong Li memberi tahu Bwee Hwa dan gadis ini lalu pergi mandi dan berganti pakaian bersih. Setelah ia selesai, lalu Ui Kong mandi dan yang terakhir giliran Siong Li. Mereka bertiga merasa segar sehabis mandi dan berganti pakaian bersih.

Setelah itu, kembali mereka makan roti dan daging kering yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Sejak siang tadi mereka tidak pernah bertemu dengan dusun atau bahkan orang lain sehingga mereka tidak dapat membeli makanan lain. Bagi Bwee Hwa dan Siong Li yang sudah terbiasa melakukan perjalanan dan mengalami makan seadanya dan tidur di tempat seadanya pula, keadaan seperti itu sama sekali tidak merupakan gangguan. Mereka dapat makan apa saja dengan lezat asalkan perut mereka lapar dan tidur di manapun asalkan mata mereka mengantuk.

Akan tetapi tidak demikian dengan Ui Kong. Biarpun pemuda ini pernah mempelajari ilmu silat sampai tingkat tinggi, namun dia tidak pernah melakukan perantauan seperti itu dan hidupnya selalu bergelimang kemewahan dan kecukupan. Makan selalu dengan lauk pauk yang serba lengkap dan mewah, tidurpun di kamar indah dengan tempat tidur yang lunak. Maka pengalaman selama tiga hari ini cukup membuat dia merasa menderita.

Ketika mereka makan roti dan daging kering, makanan yang itu-itu juga yang mereka makan selama tiga hari ini, Bwee Hwa melihat betapa Ui Kong makan dengan alis berkerut, sama sekali tidak lahap seperti ia dan Siong Li yang merasa lapar. Setelah selesai makan, Ui Kong berkata, “Biarlah malam ini aku yang berjaga di sini. Kalian mengaso dan tidurlah.”

“Ah, mana bisa begitu, Kong-te? Kita melakukan penjagaan dengan bergilir. Setidaknya kita berdua yang bergiliran dan Hwa-moi boleh mengaso dan tidur.”

“Ah, tidak bisa! Akupun harus mendapat giliran seperti dua malam yang lalu. Aku tidak mau enak- enakan sendiri tidur sedangkan kalian berdua melakukan penjagaan!” kata Bwee Hwa.

“Sebetulnya tidak perlu bergilir, biar aku saja yang berjaga semalam ini. Ba-gaimanapun, kalau tiba giliran kalian, tetap saja aku tidak dapat pulas.”

Bwee Hwa yang sejak hari pertama perjalanan sudah memperhatikan pemuda yang tampak menderita melakukan perjalanan itu, tersenyum, “Ah, engkau tidak dapat tidur pulas karena tempatnya, Kong-ko?”

Ui Kong tersenyum dan mengangguk, lalu berkata sejujurnya. “Ya, begitulah.”

“Kulihat tadi engkau makan juga tidak lahap, seperti dipaksakan. Makanannya kurang enak bagimu, ya?” tanya Bwee Hwa.

Ui Kong mengerutkan alisnya. “Sialan itu gerombolan Kiu-liong-pang! Di mana saja sih mereka itu, belum juga menampakkan diri? Membuat aku kesal!”

“Nah, inilah sebabnya mengapa dulu guruku pernah mengatakan bahwa jauh lebih baik membiasakan diri hidup sederhana daripada hidup bermewah-mewahan,” kata Siong Li.

“Akan tetapi, Li-ko, apakah orang yang keadaannya cukup atau kaya harus hidup sederhana? Lalu untuk apa semua harta yang diperolehnya dalam pekerjaannya?” bantah Ui Kong. “Tentu saja tidak begitu yang dimaksudkan suhu. Hidup sederhana bukan berarti orang kaya harus hidup serba kekurangan atau melarat. Yang dimaksudkan agar dalam kehidupan sehari-hari tidak bermewah- mewah, tidak berlebihan. Hidup sederhana berarti merasa puas dengan apa yang ada, tidak main royal- royalan memanjakan nafsu keinginan yang bersifat angkara murka.

Kalau kita sudah terbiasa dengan apa adanya, maka makanan apapun akan terasa lezat kalau kita lapar dan tempat tidur manapun akan terasa nyaman kalau kita mengantuk. Hidup sederhana merupakan pencerminan jiwa yang sederhana, dalam arti kata tidak menginginkan sesuatu yang tidak ada dan dapat menerima dan menikmati apa yang ada sehingga setiap saat kita dapat bersyukur kepada Thian (Tuhan) akan apa yang diberikanNya kepada kita.”

Ui Kong mengangguk-angguk. “Aku mengerti sekarang, Li-ko. Agaknya yang kaumaksudkan adalah agar kita tidak memanjakan keinginan nafsu-nafsu kita yang selalu haus akan kesenangan. Begitukah?”

“Kurang lebih begitulah, Kong-te,” kata Siong Li.

Malam itu, ketika giliran Ui Kong untuk tidur, dia dapat tidur nyenyak di bawah pohon, di atas tanah begitu saja. Melihat ini, Siong Li tersenyum. Ternyata pemuda hartawan itu sudah dapat memetik manfaat dari percakapan mereka tadi!

Mereka tidur bergiliran dan pada keesokan harinya, setelah membersihkan badan, mereka hendak melanjutkan perjalanan mereka. Akan tetapi, tiba-tiba mereka mendengar tiga ekor kuda mereka meringkik ketakutan. Mereka cepat menengok dan tampaklah belasan orang laki-laki muncul dan tiga orang di antara mereka sudah menguasai kuda-kuda mereka yang tadinya ditambatkan pada batang pohon.

“Keparat busuk, lepaskan kuda-kuda kami!” bentak Bwee Hwa marah dan gadis ini sudah siap untuk menyerang para pencuri kuda-kuda itu dengan jarum-jarumnya.

Akan tetapi Siong Li cepat memegang lengannya. Pemuda ini khawatir kalau-kalau Bwee Hwa akan membunuh orang. Kalau hal itu terjadi, akan sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan tentang cabang Pek-lian-kauw. Diapun menghadapi belasan orang yang kini menghadang di depan mereka, lalu berkata dengan sikap bersahabat dan tersenyum ramah.

“Kalau kami tidak salah duga, cu-wi (anda sekalian) tentu anggauta-anggauta dari Kiu-liong-pang, bukan?”

Seorang dari mereka yang bertubuh tinggi kurus, memandang tajam dan menoleh ke arah kawan- kawannya yang rata-rata bertubuh kokoh kuat dan bersikap kasar. “Kawan-kawan, mereka mengenal kita!” kata si tinggi kurus lalu menjawab pertanyaan Siong Li. “Benar, kami adalah orang-orang Kiu-liong- pang. Setelah kalian bertiga mengetahui, hayo cepat serahkan buntalan-buntalan itu dan gadis ini harus ikut bersama kami sebagai oleh-oleh untuk ketua kami!” Ucapan si tinggi kurus ini disambut tawa terbahak oleh orang-orang kasar itu.

Bwee Hwa mengerutkan alisnya dan wajahnya berubah merah sekali. Melihat ini, Siong Li berbisik kepadanya.

“Hwa-moi, jangan bunuh orang, kita perlu keterangan mereka.” Bwee Hwa menjawab, “Jangan khawatir, aku tidak akan bunuh orang, akan tetapi mulut orang itu harus dihajar!” Setelah berkata demikian, ia melangkah ke depan, menghadapi si tinggi kurus lalu membentak.

“Jahanam bermulut busuk! Hayo cepat berlutut dan minta maaf atas kelancangan mulut busukmu, atau aku akan menghancurkan mulut busukmu itu!”

Si tinggi kurus adalah seorang anggauta Kiu-liong-pang yang agak menonjol kemampuannya, maka dia diangkat menjadi kepala dari belasan orang itu. Melihat sikap dan mendengar ucapan Bwee Hwa itu, dia tertawa bergelak, diikuti tawa para kawannya yang menganggap gertakan gadis cantik jelita itu terdengar amat lucu!

“Awas, Boan-ko, mulutmu akan digigitnya hancur kalau engkau menciumnya!” kata seorang anggauta dan ucapan inipun memancing tawa bergelak.

“Boan-ko, kalau engkau memberikan gadis ini kepada toa-pangcu (Ketua Pertama), engkau tentu akan menerima hadiah besar. Toa-pangcu paling suka kepada wanita cantik dan galak seperti ini. Katanya dia paling suka kuda betina liar!” kata anggauta perampok yang lain.

Si tinggi kurus yang bernama Boan Kit itu tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, nona manis, engkau hendak menghancurkan mulutku? He-heh, bagaimana engkau akan menghancurkannya? Dengan gigitanmu, ha- ha-ha!”

Tiba-tiba saja tubuh Bwee Hwa bergerak ke depan dan kedua tangannya menyambar dari kanan kiri, cepat bukan main, seperti kilat menyambar sehingga gerakan kedua tangan itu tidak tampak jelas.

“Wuuutttt…… plakkkk! Plokkk!!” Tubuh tinggi besar itu terjengkang ke belakang dan dia mengeluarkan suara merintih, kedua tangan menutupi mulutnya yang pecah berdarah karena ditampar oleh kedua tangan Bwee Hwa dari kanan kiri. Bibirnya pecah-pecah dan beberapa buah giginya rontok! Boan Kit jatuh terduduk dan mengaduh-aduh dengan suara yang tidak jelas.

Kawan-kawannya marah bukan main, juga terkejut dan heran. Boan Kit adalah seorang yang bagi mereka merupakan orang pandai silat dan tangguh, akan tetapi mengapa sekali serang saja gadis itu mampu benar-benar menghancurkan mulutnya seperti ancamannya tadi?

Empatbelas orang anggauta Kiu-liong-pang itu adalah orang-orang kasar yang biasa melakukan kekerasan. Mereka adalah orang-orang bodoh dan nekat, sudah terbiasa memaksakan kehendak sendiri. Maka, hajaran kepada Boan Kit itu masih belum menyadarkan mereka bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang lihai sekali. Robohnya Boan Kit itu malah membuat mereka marah dan empatbelas orang itu sudah mencabut golok masing-masing, lalu sambil mengeluarkan teriakan-teriakan ganas mereka menyerbu dan menyerang tiga orang muda itu!

“Jangan bunuh orang!” sekali lagi Siong Li memperingatkan Ui Kong dan Bwee Hwa.

Mereka bertiga menyambut serbuan para anggauta Kiu-liong-pang dengan tangan kosong. Dengan tamparan-tamparan dan tendangan, tiga orang itu mengamuk dan dalam waktu singkat saja, empatbelas orang itu sudah berpelantingan dan golok mereka beterbangan! Mereka terkejut bukan main dan barulah mereka kini mengadari bahwa tiga orang muda itu adalah pendekar-pendekar yang amat lihai. Mereka menjadi ketakutan dan merangkak bangun untuk melarikan diri, termasuk Boan Kit. Akan tetapi Siong Li sudah melompat ke depan dan menangkap lengan Boan Kit. Bwee Hwa juga menangkap seorang anggauta gerombolan, demikian pula Ui Kong menangkap seorang lain. Yang lain-lain dapat meloloskan diri, termasuk tiga orang anggauta gerombolan yang sudah lebih dulu melarikan tiga ekor kuda.

“Dengar kalian bertiga!” kata Siong Li kepada tiga orang anak buah gerombolan yang mereka tawan. “Kami tidak ingin memusuhi kalian maka tadi kami tidak membunuh kalian. Kami hanya ingin bicara dengan pimpinan kalian. Nah, sekarang bawalah kami bertemu dengan pimpinan Kiu-liong-pang!”

Boan Kit dan dua orang kawannya yang tertawan itu sudah tidak berdaya dan mati kutu. Mereka maklum sepenuhnya bahwa di depan tiga orang ini mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa dan masih untung bahwa mereka tidak dibunuh. Mereka mengangguk lalu menjadi penunjuk jalan bagi tiga orang yang mengikuti mereka berjalan ke barat, menyusuri sepanjang pantai Sungai Kiu-liong.

Akan tetapi belum terlalu lama mereka berjalan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari depan dan tak lama kemudian tampak tiga orang laki-laki menunggang kuda tiba di depan mereka. Siong Li, Ui Kong dan Bwee Hwa mendongkol sekali melihat betapa tiga orang itu menunggang kuda mereka yang dicuri tadi! Akan tetapi sebelum Bwee Hwa melampiaskan kemarahannya, Siong Li sudah memberi isyarat kepadanya agar bersabar dan diam. Pemuda ini lalu melangkah maju, menghadapi tiga orang yang juga sudah berlompatan turun dari atas kuda mereka. Tiga orang anggauta gerombolan yang ditawan itu cepat maju dan memegang kendali tiga ekor kuda yang tadi ditunggangi tiga orang ketua mereka.

Siong Li memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan di depan dadanya, lalu bertanya, “Apakah kami berhadapan dengan para pemimpin Kiu-liong-pang?”

Orang yang bertubuh tinggi besar dan mukanya penuh brewok menjawab dengan suaranya yang besar dan parau sambil menatap wajah Bwee Hwa bagaikan mata seekor srigala melihat seekor domba.

“Benar, kami adalah pimpinan Kiu-liong-pang! Siapakah kalian bertiga yang sudah berani menyiksa anak buah kami?”

“Kami tidak menyiksa. Adalah mereka yang hendak mengganggu kami, terpaksa kami membela diri. Kalau kami berniat buruk, tentu mereka semua telah mati di tangan kami. Ketahuilah, pangcu (ketua), kami hanya ingin bertemu dan membicarakan sesuatu dengan pimpinan Kiu-liong-pang, tidak ingin bermusuhan. Namaku Ong Siong Li dan di dunia kang-ouw dikenal dengan julukan It-kak-liong (Naga Tanduk Satu). Saudara ini bernama Ui Kong, pendekar dari kota Ki-lok dan nona ini adalah Lim Bwee Hwa yang dijuluki Ang-hong-cu (Si Tawon Merah). Kalau boleh kami ketahui, siapakah sam-wi (anda bertiga) ini?”

Siong Li sengaja menyebutkan nama-nama julukan, bukan untuk pamer atau menyombongkan diri, melainkan untuk membuat tiga orang kepala gerombolan itu tidak memandang rendah mereka dan mau diajak bicara baik-baik.

Dan usahanya ini memang berhasil baik. Mendengar nama-nama julukan ini, tiga orang itu saling pandang, lalu si tinggi besar brewok yang usianya sekitar limapuluh lima tahun itu memperkenalkan diri. “Aku disebut Toa-liong, ketua pertama Kiu-liong-pang!” “Aku Ji-liong!” kata orang kedua yang bertubuh gendut pendek dan matanya sipit sekali seperti terpejam.

“Dan aku Sam-liong!” kata orang ketiga yang bertubuh tinggi kurus.

Siong Li tersenyum dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya sam-wi (anda bertiga), Toa-liong (Naga Pertama), Ji-liong (Naga Kedua) dan Sam-liong (Naga Ketiga) yang menjadi pimpinan Kiu-liong-pai? Bagus, memang kami ingin berjumpa dengan sam-wi untuk menanyakan sesuatu, harap sam-wi suka memberi keterangan yang kami butuhkan.”

“Hemm, apa yang hendak kalian tanyakan?” tanya Toa-liong, suaranya tidak ramah, bahkan agak ketus karena dia masih marah mendengar laporan para anak buahnya betapa belasan orang anak buahnya dihajar oleh tiga orang muda ini. Dan sejak tadi, pandang mata Toa-liong tidak pernah lepas dari wajah dan tubuh Bwee Hwa, biarpun dia bicara kepada Siong Li.

Melihat kenyataan ini saja, Bwee Hwa sudah merasa muak dan marah sekali. Ui Kong juga merasa mendongkol melihat betapa si tinggi besar brewokan itu selalu memandang kepada Bwee Hwa dengan pandang mata kagum yang tidak disembunyikan sehingga kelihatan kurang ajar sekali.

Ui Kong yang sudah tidak sabar langsung berkata, “Kami ingin mengetahui di mana adanya Pek-bin Moko tokoh Pek-lian-kauw itu. Harap kalian memberitahu kepada kami!”

Mendengar ucapan Ui Kong yang galak itu, Toa-liong berkata dengan senyum mengejek. “Hemm, kalian sudah tahu sendiri bahwa Pek-bin Moko adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Tentu saja dia berada di Pek-lian-kauw dan kami tidak mempunyai urusan dengan Pek-lian-kauw!” Jawaban ini tidak kalah kasarnya dibandingkan ucapan Ui Kong tadi.

Siong Li segera berkata untuk mencegah Ui Kong atau Bwee Hwa bicara dengan marah. “Kami juga mengerti bahwa Pek-bin Moko sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw tentu berada di Pek-lian-kauw, Toa-pangcu. Akan tetapi masalahnya, kami tidak tahu di mana adanya cabang Pek-lian-kauw di Propinsi Hok-kian ini. Karena itulah maka kami mengharapkan keterangan dan petunjuk darimu.”

Tiga orang pimpinan Kiu-liong-pang itu saling pandang dan Ji-liong atau ketua yang kedua, yang bertubuh gemuk pendek itu berkata dengan suaranya yang parau, “Enak saja kalian bertiga ini. Hendak minta keterangan dari kami akan tetapi merobohkan belasan orang anak buah kami!”

“Bukan kesalahan kami!” Bwee Hwa berseru. “Kami sudah memberitahu mereka bahwa kami hendak bertemu dan bicara dengan pimpinan mereka, akan tetapi mereka malah menyerang dan hendak merampok kami!”

“Dan engkau sudah memukul mulut anak buah kami Boan Kit sampai terluka parah!” bentak pula Sam- liong yang tinggi kurus dan bermuka pucat.

“Tentu saja! Habis mulutnya kotor dan busuk menghinaku! Masih untung aku hanya menghancurkan mulutnya bukan kepalanya!” teriak lagi Bwee Hwa. Siong Li segera berkata kepada Toa-liong. “Sudahlah, Toa-pangcu. Yang sudah terjadi itu hanya salah paham yang dimulai oleh belasan orang anak buahmu sendiri. Bahkan mereka telah melarikan tiga ekor kuda kami. Sekarang kami harap engkau suka memberi petunjuk kepada kami agar kami dapat menemukan Pek-bin Moko dan biarlah aku yang memintakan maaf atas peristiwa yang terjadi tadi.”

“Hemm, tidak begitu mudah, It-kak-liong!” kata Toa-liong kepada Siong Li. “Anak buah kami telah kalian robohkan, kami sebagai pimpinan mereka merasa ditantang!”

“Lalu apa yang engkau kehendaki, pangcu?” tanya Siong Li, masih bersikap tenang dan sabar.

“Sekarang diatur begini saja. Kalian tiga orang dan kami pimpinan Kiu-liong-pang juga tiga orang. Mari kita bertanding satu lawan satu. Kalau kami kalah, barulah kami akan bicara tentang Pek-lian-kauw dan mengembalikan tiga ekor kuda kalian. Akan tetapi kalau kami yang menang……” Toa-liong menghentikan kata-katanya dan sepasang matanya memandang kepada Bwee Hwa dengan senyum menyeringai yang artinya dapat diduga dengan jelas.

Bwee Hwa dan dua orang pemuda itu merasa marah sekali, akan tetapi karena niat kotor yang terkandung dalam pandang mata dan senyum ketua pertama Kiu-liong-pang itu tidak diucapkan, merekapun hanya dapat menahan diri.

“Kalau kami yang kalah, lalu apa? Kalau kami kalah tentu saja kami siap untuk minta maaf,” kata Siong Li.

“Hemm…… hemm…… biarlah kami akan tentukan nanti apa yang harus kalian lakukan kalau kalian kalah. Nah, beranikah kalian bertanding melawan kami satu lawan satu?”

Pada saat itu terdengar suara banyak orang dan datanglah berbondong-bondong anak buah Kiu-liong- pang yang kurang lebih limapuluh orang banyaknya. Anak buah yang lain berada terpencar di tempat lain, akan tetapi yang berkumpul di situ sudah cukup banyak. Sikap mereka kasar dan menyeramkan. Akan tetapi BWee Hwa sama sekali tidak menjadi gentar dan ia bahkan menjawab dengan lantang.

“Siapa takut kepada kalian? Aku hanya sangsi apakah kalian benar-benar berani bertanding satu lawan satu, melihat begini banyaknya anak buah kalian berkumpul di sini!” kata Bwee Hwa dengan suara mengejek. “Jangan mengira bahwa kami takut menghadapi puluhan orang anak buah kalian. Akan tetapi perlu kuperingatkan kalian bahwa kalau semua anak buahmu berani mengeroyok kami, sekali ini kami tidak akan memberi ampun lagi dan semua anak buah Kiu-liong-pang akan mati di sini!”

“Hemm, gadis sombong! Kuda betina liar! Lihat saja nanti, aku yang akan menjinakkan kamu!” kata Toa- liong sambil menyeringai.

Sam-liong, ketua ketiga yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat itu sudah melompat ke depan dan menantang dengan sikap congkak. “Nah, aku maju pertama, siapa si antara kalian bertiga yang berani menandingiku?”

Ui Kong segera melangkah ke depan menghadapi Sam-liong. Tiga orang pendekar itu memiliki tingkat kepandaian yang hampir seimbang maka siapapun yang maju lebih dulu atau paling akhir sama saja.

“Aku yang akan melayanimu, Sam-liong!” kata pemuda itu dengan sikap tenang. Sam-liong tersenyum dan mukanya yang pucat itu tampak menyeramkan ketika dia tersenyum, seperti mayat tersenyum!

“Bagus! Kalau begitu bersiaplah kamu!” kata Sam-liong dan dia lalu memasang kuda-kuda. Kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangannya juga dipentang seperti sayap burung yang terbang, tubuhnya rendah seperti berjongkok.

Melihat lawannya memasang kuda-kuda yang digagah-gagahkan itu, Ui Kong tampak tenang saja, masih berdiri santai dengan kedua tangan tergantung di kanan kiri tubuhnya. Pemuda bertubuh tinggi tegap ini adalah murid seorang sakti dan sudah mempelajari ilmu silat tinggi, maka melihat kuda-kuda yang tampaknya saja gagah akan tetapi sebetulnya memiliki banyak kelemahan itu, dia dapat menilai bahwa ilmu silat orang itupun tidak seberapa hebat, hanya gagah bagian luarnya saja namun tidak “berisi”.

“Mulailah, Sam-liong, aku sudah siap,” kata Ui Kong biarpun dia masih berdiri santai dan tidak memasang kuda-kuda, namun seluruh urat syarafnya siap siaga menghadapi serangan yang bagaimanapun juga.

Melihat pemuda itu berdiri santai tidak memasang kuda-kuda, Sam-liong menilai bahwa pemuda itu belum belajar silat secara mendalam, maka dia memandang rendah.

“Sambut seranganku!” bentaknya dan diapun menyerang, tubuhnya menerjang ke depan dengan kedua tangan membentuk cakar menerkam ke arah Ui Kong, tangan kanan mencengkeram ke arah leher dan tangan kiri mencengkeram ke arah perut. Inilah serangan dengan jurus Leng-mouw-po-ci (Kucing Menerkam Tikus) yang dilakukan dengan cepat dan dengan menggunakan tenaga dalam yang cukup kuat.

Namun bagi Ui Kong serangan itu sama sekali tidak berbahaya. Dia yang memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang sudah tinggi tingkatnya, dapat bergerak lebih cepat daripada gerakan lawan. Maka dengan mudah saja dia mengelak dari serangan itu.

Serangan pertama yang dapat dielakkan lawan dengan mudah itu membuat Sam-liong menjadi penasaran. Dia cepat mengubah gerakannya dan kini menyerang lagi dengan jurus Pek-wan-hian-ko (Lutung Putih Memberi Buah). Tangan kanannya menjadi kepalan dan memukul lurus ke arah ulu hati lawan sedangkan tangan kirinya menyusulkan pukulan berikutnya ke arah pelipis kanan Ui Kong.

Serangan kedua ini cukup berbahaya karena Sam-liong yang merasa penasaran mengerahkan seluruh tenaganya. Ui Kong lalu bergerak dengan ilmu silat Sin-liong-kun (Silat Naga Sakti). Dia menangkis dengan Sin-liong-tian-jiauw (Naga Sakti Mementang Cakar), kedua tangannya bergerak dari dalam keluar, menangkis serangan dua lengan tangan lawan.

“Duk-dukk!” Kedua lengan mereka bertemu dan tubuh Sam-liong terhuyung ke belakang. Hal ini membuat Sam-liong menjadi semakin penasaran dan marah. Dia lalu menghujani Ui Kiong dengan serangan yang nekat dengan gerakan mengamuk seperti orang gila.

Menghadapi serangan bertubi-tubi yang dilakukan dengan kemarahan meluap-luap itu, Ui Kong tetap bersikap tenang. Dengan ginkangnya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan dan selalu dapat mengelak dari semua pukulan, tamparan dan tendangan lawan. Ui Kong memang hanya mempermainkan lawan. Dia tahu bahwa dia membutuhkan tiga orang pemimpin Kiu-liong-pang ini, maka dia tidak akan melukai para lawannya, apalagi sampai membunuh.

Setelah merasa cukup lama hanya menyambut serangan lawan dengan tangkisan dan elakan, sampai lewat belasan jurus, tiba-tiba Ui Kong membalas. Setelah mengelak ke kiri, dia membalik dan mendorongkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka ke arah kedua pundak Sam-liong.

“Mundurlah!” teriaknya dan dengan jurus Sin-liong-tui-in (Naga Sakti Tolak Awan) itu dia mengerahkan tenaganya. Sam-liong berusaha untuk menangkis kedua lengan yang mendorong itu, akan tetapi tetap saja dia terpental ke belakang dan terhuyung-huyung sampai lima langkah! Sudah jelas bahwa dia kalah dalam pertandingan tangan kosong itu, akan tetapi dia tidak mau menerima kekalahan. Malah dia menjadi penasaran dan marah. Dicabutnya senjatanya, yaitu sebatang ruyung besi, semacam penggada yang berduri dan tampak berat dan menyeramkan. Dia memutar ruyung itu di atas kepalanya dan terdengar suara mengiuk nyaring.

Melihat betapa lawannya mengeluarkan sebatang ruyung dan senjata itu tampaknya berbahaya, Ui Kong juga menghunus pedangnya. Dia tersenyum.

“Sam-liong, engkau masih belum menyudahi pertandingan ini dan hendak mempergunakan senjata? Baiklah, kalau engkau belum merasa puas dan hendak melanjutkan pertandingan, silakan maju, aku sudah siap menghadapi senjatamu itu!” kata Ui Kong dengan sikapnya yang masih tenang.

Sam-liong sudah merasa penasaran dan marah sekali, juga malu karena bagaimanapun juga, diakuinya atau tidak, sudah jelas bahwa dalam pertandingan silat tangan kosong tadi dia menderita kekalahan. Maka untuk menebus kekalahannya itu, dia hendak nekat dan menggunakan senjatanya untuk menebus kekalahannya, kalau perlu membunuh lawannya. Maka, mendengar tantangan Ui Kong itu, dia tidak menjawab hanya mukanya yang pucat dan muram itu cemberut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.

Kemudian dia melangkah cepat menghampiri Ui Kong dan menerjang seperti seekor serigala yang haus darah. Ruyung yang tadinya diputar-putar di atas kepala itu lalu dipergunakan untuk menyerang. Serangannya ganas bukan main, dengan jurus yang disebut Hek-in-ci-tian (Awan Hitam Keluarkan Kilat). Ruyung itu menyambar ganas dari atas mengarah kepala Ui Kong. Ruyung itu berat dan digerakkan oleh tangan yang mengandung lweekang (tenaga dalam) yang amat kuat sehingga dapat dibayangkan kalau sampai mengenai kepala orang. Permukaannya yang berduri itu tentu akan meremukkan kepala!

Ui Kong juga maklum akan ganasnya serangan ini. Dia menarik tubuhnya ke kiri sehingga ruyung itu lewat bersiut di samping kepalanya. Diapun cepat menggerakkan pedangnya dengan ilmu silat pedang yang bernama Sin-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) dan memainkan jurus Sin-liong-sia-hui (Naga Sakti Terbang Miring). Pedangnya menyambar dari samping dengan tubuhnya miring dan pedang itu mengancam pergelangan tangan kanan Sam-liong yang memegang ruyung. Sam-liong terkejut bukan main sampai dia mengeluarkan seruan kaget dan cepat memutar pergelangan tangannya sehingga ruyungnya menyambar ke bawah dan menangkis pedang lawan yang mengancam pergelangan tangannya itu.

“Tranggg       !!” Bunga api berpijar ketika dua senjata itu bertemu dan Ui Kong merasa betapa berat dan

kuatnya ruyung itu. Ternyata lawannya menjadi jauh lebih lihai setelah menggunakan senjata ruyungnya. Akan tetapi tentu saja dia tidak menjadi gentar dan cepat dia mainkan pedangnya dengan Sin-liong-kiam-sut yang merupakan ilmu pedang tingkat tinggi. Pedangnya lenyap berubah menjadi gulungan sinar seolah seekor naga sakti yang melayang-layang di udara, menyambar-nyambar dengan cepatnya seperti kilat menyambar. Tubuh pemuda itupun lenyap, hanya kadang-kadang saja tampak kaki tangannya, selebihnya dia hanya seperti bayangan yang terbungkus gulungan sinar pedang.

Menghadapi ilmu pedang yang luar biasa dan jauh lebih tinggi tingkatnya daripada ilmu silat ruyungnya sendiri yang hanya mengandalkan berat senjata ditambah tenaga dalamnya, Sam-liong menjadi bingung. Bagi pandang matanya, lawannya itu seolah berubah menjadi banyak orang yang mengeroyoknya dari empat penjuru!

Tiba-tiba Ui Kong membuat gerakan berputaran sehingga lawannya menjadi pening karena harus mencari dan menduga di mana adanya tubuh lawan dan pada saat Sam-liong kebingungan itu, Ui Kong berseru nyaring.

“Awas pedang!” Tahu-tahu ujung pedang Ui Kong sudah menempel di leher Sam-liong. Ketika Sam-liong hendak menggerakkan ruyungnya menangkis, tangan kiri Ui Kong bergerak memukul dengan bacokan pinggir tangan ke arah pergelangan tangan Sam-liong yang memegang ruyung.

“Dukk.......! Auhhh.......!” Sam-liong berteriak kesakitan dan ruyung itu terlepas dari tangan kanannya yang tiba-tiba terasa nyeri dan lumpuh. Sementara itu, ujung pedang di tangan Ui Kong masih menempel di lehernya.

Betapapun keras kepala dan hati Sam-liong, sekarang mau tidak mau dia harus mengaku kalah. Dia menghela napas panjang dan melangkah mundur. Ketika melihat betapa Ui Kong tidak mengejarnya, bahkan menarik kembali pedangnya dan memasukkan pedang ke sarung pedangnya, Sam-liong lalu kembali ke dekat dua orang rekannya.

Melihat betapa Sam-liong sudah kalah, Ji-liong yang merasa penasaran lalu melompat ke depan. Tingkat ilmu silatnya tentu saja lebih tinggi daripada tingkat Sam-liong dan orang yang bertubuh gemuk pendek bermata sipit dan berusia limapuluh dua tahun ini terkenal lihai sekali memainkan siang-to (sepasang golok). Sepasang goloknya itu tipis dan panjang, ringan dan tajam sekali.

Melihat kekalahan Sam-liong, Ji-liong berpikir cerdik. Dia tahu bahwa dia dan dua orang rekannya kurang pandai bersilat tangan kosong dan selalu mengandalkan senjata. Kalau dia harus bertanding tangan kosong, sukar baginya untuk menang. Akan tetapi kalau dia mengandalkan sepasang goloknya yang biasanya dia banggakan dan selama ini belum terkalahkan, hatinya menjadi besar dan banyak kemungkinan dia akan dapat mengalahkan lawannya.

“Nah, aku Ji-liong, ketua kedua Kiu-liong-pang sekarang maju. Seorang di antara kalian boleh maju menandingi aku!” katanya dan dia menggerakkan kedua tangannya ke punggung. Tampak dua sinar berkelebat dan kedua tangannya sudah memegang golok yang berkilau saking tajamnya.

Siong Li memandang kepada Bwee Hwa untuk menawarkan kalau-kalau Bwee Hwa ingin menandingi orang kedua dari Kiu-liong-pang ini agar nanti ketua pertamanya yang tentu paling lihai itu dia yang akan menandinginya. Akan tetapi Bwee Hwa yang marah terhadap Toa-liong, berkata, “Biar engkau saja yang menghadapinya, Li-ko.” Siong Li tersenyum. Dia sudah mengenal benar watak gadis yang berhati baja ini, maka dia berkata lirih, “Asal engkau ingat dan tidak sampai membunuh orang, Hwa-moi.”

“Aku tahu!” jawab Bwee Hwa singkat.

Siong Li lalu maju menghadapi Ji-liong dan dia melihat Toa-liong menyeringai, agaknya senang karena dia mendapatkan lawan Bwee Hwa! Akan tetapi Siong Li tidak memperdulikannya. Dia percaya penuh akan kemampuan gadis itu. Tidak jauh bedanya apakah dia yang maju melawan Toa-liong, ataukah Bwee Hwa. Hanya dia khawatir kalau-kalau Bwee Hwa tidak dapat menahan diri dan membunuh ketua Kiu- liong-pang itu. Setelah berhadapan dengan Ji-liong yang telah memegang kedua goloknya, disilangkan di depan dada, dia lalu mencabut pula pedangnya.

“Ji-liong, aku sudah siap. Mulai dan seranglah!” katanya menantang.

Ji-liong tidak bersikap sungkan lagi. Dia lalu mengambil sikap dan memasang kuda-kuda. Tubuhnya yang sudah pendek itu menjadi lebih pendek lagi ketika dia menekuk kedua lututnya sehingga karena kedua kakinya memang pendek, pantatnya hampir menyentuh tanah. Kedua tangan digerakkan dan sepasang golok itu diputar di atas kepalanya, lalu berhenti bergerak dengan sepasang golok bersilang di depan, menunjuk ke atas.

Kemudian, dia mengeluarkan teriakan panjang dan tubuhnya yang gendut pendek sehingga tampak bulat itu seolah menggelinding ke depan dan dia sudah menerjang Siong Li dengan sepasang goloknya melakukan serangan kilat. Golok tangan kiri membacok ke arah leher, disusul golok di tangan kanan membabat ke arah kaki lawan. Jurus serangan ini dalam Ilmu golok yang dikuasai Ji-liong disebut Siang- kwi-jio-beng (Sepasang Setan Berebut Nyawa)! Memang hebat dan berbahaya sekali. Serangan golok ke arah leher itu membuat perhatian lawan tertuju ke atas, tidak tahunya yang amat berbahaya adalah serangan susulan lain golok yang membabat ke arah kedua kaki!

Namun, Siong Li adalah seorang pendekar yang sudah berpengalaman dan sering bertanding melawan tokoh-tokoh sesat yang memiliki ilmu silat yang ganas, curang dan penuh tipu muslihat. Karena itu, menghadapi Ji-liong dia sudah waspada. Maka, ketika serangan ke arah lehernya dilakukan lawan, dia tidak lengah dan dapat melihat gerakan kedua yang merupakan serangan susulan dan juga merupakan serangan inti. Maka, ketika golok menyambar ke arah lehernya, dengan tenang dia menangkis dengan pedangnya.

“Tranggg......!!” Ketika golok kedua membabat kaki, dia melompat dan sambil melompat itu, pedang yang tadi menangkis golok sudah dikelebatkan mengancam ke arah ubun-ubun kepala si pendek gendut!

“Hehh!” Ji-liong terkejut dan cepat melompat ke belakang. Lawan yang diserang dengan sepasang goloknya itu bukan hanya dapat menghindarkan diri, malah berbalik mengirim serangan balasan kontan yang tidak kalah dahsyatnya!

Ji-liong lalu menerjang lagi, memainkan sepasang goloknya dengan cepat dan kuat sekali. Tampak dua gulungan sinar golok menyambar-nyambar. Siong Li meimbangi sepasang golok lawan dengan Thai-san Kiam-sut (Ilmu Pedang Aliran Thai-san-pai) yang cepat dan indah gerakannya.

Dua orang itu lalu bertanding dan tampaknya memang ramai dan seru sekali. Gulungan sinar pedang beradu dan saling dorong, saling belit melawan dua gulungan sinar golok. Bagi para anak buah Kiu-liong- pang tampaknya pertandingan itu seru sekali dan mereka tidak tahu siapa yang lebih unggul di antara kedua orang itu. Akan tetapi, Toa-liong, Sam-liong, Bwee Hwa dan Ui Kong dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya, perlahan-lahan sinar pedang itu mulai mendesak dan menindih dua sinar golok yang makin lama menjadi semakin sempit gulungan sinarnya. Sebaliknya sinar pedang itu semakin luas, menyambar-nyambar dengan dahsyat.

Ji-liong mulai menjadi bingung. Tadi dia masih dapat mengamuk dengan sepasang goloknya. Akan tetapi perlahan-lahan, gerakan sepasang goloknya selalu bertemu sinar pedang yang amat kuat dan selalu membuat sepasang goloknya terpental. Akhirnya, dia hanya mampu menangkis dengan kedua batang goloknya, hanya mampu memutar sepasang goloknya untuk melindungi dirinya dari ancaman pedang. Inipun tidak banyak menolong. Sinar pedang itu masih terus mengancamnya sehingga terpaksa dia harus mundur dan terus mundur karena terdesak dan tertekan.

Siong Li mendesak terus dengan pedangnya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawannya. Akan tetapi untuk dapat melakukan hal itu, dia harus menyerang dengan jurus maut. Padahal dia tidak mau membuat Ji-liong terluka parah, apalagi sampai terbunuh. Dia mencari kesempatan baik untuk dapat mengalahkan pemimpin kedua dari Kiu-liong-pang itu tanpa harus melukai dengan parah.

Akhirnya, kesempatan yang dinanti-nantikan itu tiba. Ketika dia menyerang dengan bacokan pedangnya dan ditangkis oleh golok di tangan kiri Ji-liong, dia sengaja mengerahkan seluruh tenaga pada bacokan itu.

“Trangggg……!” Ji-liong terkejut dan tidak dapat mempertahankan goloknya yang sebelah kiri. Ketika dia menangkis pedang itu, dan goloknya beradu dengan kuatnya dengan pedang, dia merasa betapa lengan kirinya tergetar hebat dan jari-jari tangannya tidak mampu lagi menahan pegangan goloknya. Golok yang kiri itu terlempar jauh dan pada saat dia terkejut sekali, tiba-tiba kaki Siong Li mencuat dengan amat kuatnya, tepat menendang tangan kanannya yang memegang golok. Rasa nyeri yang hebat membuat tangan itu terpaksa melepaskan golok kedua itu dan tiba-tiba ujung pedang di tangan Siong Li telah menodong dadanya!

Si gemuk pendek ini tak mampu berbuat atau berkata sesuatu. Matanya menjadi semakin sipit seperti terpejam dan mulutnya menyeringai, tersenyum masam. Lenyap semua kesombongannya dan dia hanya dapat berha-ha-ha-he-he lalu mundur mendekati dua orang rekannya. Siong Li juga tidak mengejar dan menyimpan kembali pedangnya.

Siong Li lalu berkata kepada ketua pertama gerombolan itu.

“Toa-liong, di pihakmu, dua orang telah kami kalahkan, berarti pihakmu telah kalah dan pertandingan ketiga tidak perlu diadakan lagi. Andaikata engkau menang sekalipun, tetap saja pihakmu menderita kalah, dua lawan satu.” Siong Li memang ingin mencegah Bwee Hwa bertempur mengingat akan keganasan gadis itu.

“Hemm, tidak bisa begitu!” kata Toa-liong dengan suaranya yang berat dan parau. “Aku harus bertanding dengan nona ini, dengan Ang-hong-cu (Si Tawon Merah). Kalau aku kalah, ha-ha-ha!” Dia tertawa, seolah merasa geli mendengar dia akan kalah melawan gadis muda yang tampaknya masih remaja itu. “Kalau aku kalah, tentu saja kami akan menceritakan apa yang kami ketahui tentang Pek-lian- kauw menurut perjanjian. Akan tetapi kalau aku menang……” Dia menghentikan kata-katanya. “Kalau engkau menang, tetap saja pihakmu kalah!” kata Ui Kong.

“Tidak bisa!” bantah Toa-liong. “Kalau dalam pertandingan antara aku dan Si Tawon Merah ini aku yang menang, maka aku akan menantang kalian berdua agar maju satu demi satu melawanku. Kalau aku dapat mengalahkan kalian berdua pula, berarti pihakku yang menang dan akulah yang berhak menentukan apa yang selanjutnya kita lakukan!”

“Baik, kami terima aturan itu. Sudah, jangan banyak cakap lagi, mari kita bertanding!” bentak Bwee Hwa.

“Ha-ha-ha, nanti dulu, Ang-hong-cu,” kata Toa-liong yang agaknya memang sengaja hendak memancing kemarahan tiga orang pendekar itu karena kemarahan membuat orang menjadi lengah. Ketua pertama ini memang seorang yang licik dan banyak pengalaman karena dalam usianya yang sudah limapuluh lima tahun sudah banyak dia malang melintang di dunia kang-ouw (sungai telaga, persilatan). “Aku belum menjelaskan, Ang-hong-cu. Kalau aku yang dapat mengalahkan kalian bertiga satu demi satu, maka kalian bertiga harus menerima hukuman karena kalian bertiga sudah berani merobohkan belasan orang anak buahku. It-kak-liong dan Pendekar Ki-lok ini harus berlutut minta maaf kepada kami, menyerahkan kuda dan barang-barang kalian, sedangkan engkau, Ang-hong-cu, engkau harus menjadi tamuku selama tiga hari tiga malam, ha-ha-ha!”

Merah wajah Bwee Hwa mendengar ucapan yang bukan saja amat sombong, akan tetapi juga menghinanya karena sudah jelas bahwa dalam ucapannya yang mengharuskan ia menjadi tamu selama tiga hari tiga malam itu mengandung maksud yang kotor dan rendah!

“Jahanam keparat engkau, Toa-liong! Tutup mulutmu yang busuk dan mari kita mulai bertanding!” bentak Bwee Hwa dan tidak seperti dua orang temannya yang tadi bersikap tenang dan sabar, gadis ini sudah mencabut pedang pusaka Sin-hong-kiam dan begitu dicabut, saking cepat dan kuatnya, pedang yang berada di tangannya itu tergetar dan mengeluarkan suara berdengung seperti tawon terbang!

“Ingat, Hwa-moi, jangan bunuh orang!” kata Siong Li.

Tanpa menoleh kepada Siong Li, Bwee Hwa menjawab pendek dan ketus. “Anjing ini tidak perlu dibunuh, hanya harus diberi hajaran agar mulutnya tidak menggonggong terus!”

Siong Li menghela napas panjang dan saling pandang dengan Ui Kong. Tanpa bicara kedua orang pendekar ini sudah sepakat, yaitu, bahwa mereka akan menjaga dan mencegah kalau Bwee Hwa akan membunuh Toa-liong. Terbunuhnya ketua Kiu-liong-pang itu mungkin saja akan membuat dua orang ketua lainnya menutup mulut dan tidak mau bercerita tentang Pek-lian-kauw.

Sementara itu, melihat Bwee Hwa bermuka merah dan sikapnya menunjukkan bahwa gadis itu marah besar, Toa-liong tertawa. Itulah yang dia kehendaki. Memang ketua ini terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan memandang rendah seorang lawan yang hanya seorang gadis muda remaja. Apalagi yang dalam keadaan marah seperti itu, tentu akan mudah dia kalahkan. Diapun menghunus sebatang pedang yang panjang dan besar lagi tajam berkilauan.

“Lihat serangan pedangku!” Bwee Hwa membentak dan ia yang mendahului mengirim serangan kilat. Pedangnya membentuk sinar yang panjang dan mengeluarkan bunyi berdengung-dengung. Toa-liong terkejut juga, akan tetapi dia juga sudah menggerakkan pedangnya yang panjang dan berat, menangkis sambil mengerahkan tenaga dalamnya untuk mematahkan pedang lawan atau setidaknya untuk membuat pedang gadis itu terlepas dari pegangannya.

“Tranggg……!” Bunga api berpijar, akan tetapi dengan kaget Toa-liong melihat betapa pedang lawan itu tidak terlepas, bahkan pedang yang kecil dibandingkan pedangnya yang panjang besar itu demikian kuatnya sehingga membuat telapak tangannya yang memegang gagang pedang tergetar dan panas ketika pedang mereka saling beradu.

Setelah Toa-liong membalas serangan Bwee Hwa dan, mencoba untuk mendesak gadis itu, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis Bwee Hwa, ketua pertama Kiu-liong-pang itu menjadi penasaran dan marah. Akan tetapi kini diapun tidak berani meremehkan lawannya lagi, maklum bahwa gadis itu ternyata memang lihai bukan main.

Lenyaplah gairah berahinya, kalau tadinya dia hendak menundukkan gadis itu dengan ilmu pedangnya dan tidak ingin melukainya karena dia ingin mendapatkan gadis yang cantik denok itu, kini mulailah dia menyerang dengan sepenuh tenaganya dan mengeluarkan semua jurusnya yang paling ampuh. Kini dia bermaksud merobohkan gadis itu, tidak perduli bahwa pedangnya akan dapat mendatangkan luka parah. Kalau perlu dia akan membunuh gadis yang berbahaya itu.

Bwee Hwa juga merasakan betapa lawannya kini mengamuk dengan sekuat tenaga. Iapun mengimbangi ilmu pedang lawan yang cukup berbahaya itu dengan Ilmu Pedang Tawon Sakti. Karena maklum bahwa ilmu pedang Toa-liong itu jauh lebih berbahaya dibandingkan kedua orang ketua yang lain, maka Bwee Hwa juga mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan pedangnya dengan cepat. Pedangnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan terdengarlah bunyi berdengung-dengung seperti ada ratusan ekor tawon yang beterbangan dan menyambar ke arah Toa-liong.

Pertandingan antara Toa-liong dan Bwee Hwa ini paling seru dan ramai di antara pertandingan melawan dua orang ketua yang lain tadi. Toa-liong memang lebih lihai dibandingkan kedua orang rekannya. Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Si Tawon Merah yang amat lihai. Setelah mati-matian melawan sampai tigapuluh jurus lebih, perlahan-lahan Bwee Hwa mulai dapat mendesak lawannya.

Toa-liong menjadi semakin penasaran. Sukar baginya untuk dapat percaya bahwa gadis muda yang tampaknya masih remaja ini mampu mendesaknya! Dia, ketua Kiu-liong-pang yang ditakuti, yang telah berusia limapuluh lima tahun dan sudah tigapuluh tahun malang melintang di dunia kang-ouw, sudah banyak pengalaman, kini harus kalah melawan seorang perempuan, masih muda remaja lagi, masih hijau dan patutnya hanya menjadi muridnya atau anaknya?

Tiba-tiba Toa-liong mengeluarkan teriakan seperti seekor biruang marah dan tangan kirinya yang besar itu dengan telapak tangan terbuka mendorong ke arah dada Bwee Hwa, pada saat pedangnya untuk ke sekian kalinya beradu dengan pedang Bwee Hwa.

“Tranggg…… wuuuutttt……!!” Pukulan jarak jauh dengan tangan kiri yang mengandung sin-kang (tenaga dalam) kuat itu mendatangkan angin menyambar ke arah dada Bwee Hwa.

Gadis ini maklum akan kehebatan serangan tangan kiri itu. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. Bukannya mengelak, Bwee Hwa malah menyambut pukulan tangan kiri lawan itu dengan tangan kirinya pula sambil mengerahkan ilmu Liap-kang Pek-ko-jiu yang dapat mengeraskan tangan, juga yang mengandung tenaga dahsyat. “Dessss……!” Tangan Bwee Hwa yang lunak, mungil dan indah itu bertemu dengan telapak tangan Toa- liong dan akibatnya, Bwee Hwa terdorong mundur dua langkah, akan tetapi Toa-liong terhuyung-huyung ke belakang. Selagi dia mengatur keseimbangan tubuhnya yang hampir jatuh terjengkang, Bwee Hwa sudah bergerak cepat sekali. Pedangnya menyambar-nyambar. Toa-liong tidak mampu melindungi dirinya dengan baik.

“Srattt……!” Seperti kilat menyambar pedang itu berkelebat di depan muka Toa-liong. Begitu tajam ujung pedang Sin-hong-kiam dan begitu cepat gerakan tangan Bwee Hwa sehingga Toa-liong sendiri tidak menyadari apa yang telah terjadi dengannya.

Tiba-tiba saja kaki Bwee Hwa sudah menendang tangannya yang memegang pedang dan pedangnya terlepas dari tangan dan terlempar jauh, sedangkan semua orang memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Ada darah di kanan kiri mulutnya. Ketika merasakan perih-perih pada mulutnya, Toa-liong meraba mulutnya dan baru dia tahu bahwa mulutnya terluka ketika melihat tangannya berdarah. Tepi mulutnya, kanan kiri, telah terobek ujung pedang sehingga mulutnya bertambah lebar. Ketika dia hendak mengeluarkan suara, baru terasa betapa mulutnya perih dan nyeri dan dia lalu menutupi mulutnya dengan kedua tangan!

Siong Li dan Ui Kong terkejut, akan tetapi hati mereka lega ketika Toa-liong tidak roboh dan ternyata hanya luka ringan, ujung bibirnya kanan kiri dirobek ujung pedang!

Toa-liong memberi isyarat dengan tangan kepada anak buahnya untuk mengeroyok. Akan tetapi tiga orang pendekar muda itu sudah berloncatan dan pedang mereka sudah ditodongkan ke dada tiga orang ketua itu. Siong Li membentak kepada anak buah Kiu-liong-pang yang sudah mengepung tempat itu. Limapuluh orang lebih itu sudah mencabut senjata, siap mengeroyok!

“Semua mundur atau kami akan membunuh tiga orang pimpinan kalian kemudian membasmi kalian sampai tidak ada seorangpun dapat lolos!”

Gertakan ini manjur. Melihat betapa tiga orang pimpinan mereka sudah ditodong dan menyadari betapa lihainya tiga orang muda itu, para anak buah Kiu-liong-pang menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Mereka memandang ke arah tiga orang pimpinan mereka, tidak berani sembarangan bergerak.

“Kalian mundur semua! Tolol! Hayo mundur!” teriak Ji-liong dan Sam-liong karena Toa-liong tidak mampu bersuara dengan mulutnya yang robek itu. Mereka berdua merasa betapa ujung pedang yang menodong mereka itu telah menembus baju dan ujungnya yang runcing terasa menempel di kulit dada mereka. Karena maklum bahwa nyawa mereka terancam, maka mereka menjadi ketakutan dan cepat membentak para anak buah agar mundur. Mendengar bentakan dua orang pimpinan itu, puluhan anak buah Kiu-liong-pang segera mundur.

“Nah, Ji-liong dan Sam-liong, kalian telah kalah semua dan harus memenuhi janji. Karena Toa-liong tidak dapat bicara, maka kalian berdua harus mewakilinya. Cepat katakan di mana adanya Pek-bin Moko dan di mana pula cabang Pek-lian-kauw di daerah ini!” kata Siong Li.

“Sam-liong, engkau wakililah kami,” kata Ji-liong setelah memandang kepada Toa-liong dan ketua pertama ini masih menutupi mulutnya dengan kedua tangan, mengangguk. “Sesungguhnya kami tidak mempunyai hubungan dengan Pek-lian-kauw dan tidak mengenal tokohnya yang berjuluk Pek-bin Moko,” kata Ji-liong.

“Itu tidak perlu. Katakan saja di mana sarang cabang Pek-lian-kauw di daerah ini,” kata pula Siong Li, dan Ui Kiong menekankan pedangnya ke dada Sam-liong sehingga orang tinggi kurus bermuka pucat ini menyeringai kesakitan.

“Cepat katakan!” bentak Ui Kong.

“Baiklah, Pek-lian-kauw mempunyai cabang yang bersarang di puncak Bukit Siong di sebelah utara itu!” kata Sam-liong sambil menuding ke arah sebuah bukit yang tampak dari situ.

“Katakan, siapa pemimpin mereka dan berapa banyak jumlah anak buah mereka!” kata pula Siong Li.

“Kami hanya tahu bahwa pimpinan mereka terdiri dari tiga orang yang berjuluk Ang-bin Moko (Iblis Muka Merah), Hek-bin Moko (Iblis Muka Hitam) dan Pek-bin Moko (Iblis Muka Putih). Akan tetapi kami tidak mengenal mereka. Ada pun berapa jumlah anak buah mereka, kami tidak tahu, hanya kabarnya anak buah mereka tidak banyak akan tetapi ilmu kepandaian para pimpinan itu tinggi sekali,” kata pula Sam-liong.

Tentu saja tiga orang pendekar muda itu tidak merasa gentar, bahkan mereka telah menewaskan Hek- bin Moko. Sambil memandang ke arah bukit yang ditunjuk itu, sebuah bukit yang tidak berapa tinggi dan bukit itu tampak menghijau, tentu banyak hutan dan pohon Siong di sana, Siong Li berkata dengan suara lantang.

“Baik, aku percaya akan keterangan kalian. Akan tetapi awas, kalau ternyata kalian berbohong, kami akan mencari kalian dan tidak akan memberi ampun! Sekarang, hayo kembalikan tiga ekor kuda kami berikut semua barang yang berada di atas kuda! Awas, kami tidak akan mengampuni kalau ada sebuahpun barang kami dicuri. Cepat!”

“Cepat taati perintah itu dan kembalikan kuda dan barang-barang mereka!” bentak Ji-liong kepada anak buah mereka.

Bergegas para anak buah itu menuntun tiga ekor kuda yang tadi mereka rampas. Juga semua barang mereka kembalikan ke atas sela kuda.

“Coba periksa isinya, Hwa-moi dan Kong-te.”

Ui Kong dan Bwee Hwa lalu saling pandang dan seperti telah mengerti maksud masing-masing mereka bergerak cepat menotok dan Toa-liong roboh terkulai, berbareng dengan Sam-liong yang juga roboh terkulai karena tertotok jalan darah mereka. Setelah membuat dua orang ketua ini tidak berdaya, Ui Kong dan Bwee Hwa menghampiri kuda mereka dan memeriksa. Ternyata buntalan pakaian mereka masih utuh, juga kantung uang yang dibawa Ui Kong sebagai bekal. Mereka lalu mengangguk kepada Siong Li dan cepat sekali Siong Li juga bergerak menotok Ji-liong yang roboh terkulai pula. Tiga orang ketua itu tertotok roboh dan tak mampu bergerak. Siong Li berteriak kepada para anggauta Kiu-liong-pang. “Para pimpinan kalian kami robohkan dan sebelum lewat satu jam, mereka tidak akan dapat bergerak. Awas, jangan ada yang menghalangi kami pergi dari sini!”

Setelah Siong Li berkata demikian, tiga orang pendekar muda itu lalu melompat ke atas punggung kuda masing-masing dan segera melarikan kuda ke arah utara di mana tampak bukit yang diceritakan Sam- liong sebagai sarang cabang Pek-lian-kauw, yaitu Bukit Siong.

Apa yang pernah diceritakan oleh Ong Siong Li tentang Leng-hong Hoatsu memang benar. Leng-hong Hoatsu adalah seorang pertapa yang datang dari Himalaya, seorang peranakan dari ayah bangsa Han dan ibu bangsa India. Sejak muda dia mengasingkan diri di Himalaya, bertemu dengan orang-orang sakti, pertapa-pertapa yang tinggi ilmunya dan dia memang suka sekali mempelajari ilmu kesaktian sehingga akhirnya dia menjadi seorang tua yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dia merantau ke timur, ke daratan Cina dan mengajarkan Agama Buddha bercampur Agama Hindu. Dia menasihati rakyat agar hidup jalan kebenaran karena jalan itulah yang membawa kebaikan, kesejahteraan dan kebahagiaan selama hidup di dunia. Dia juga selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang terserang penyakit karena di samping ilmu silat dan ilmu sihir, Leng-hong Hoatsu juga mahir ilmu pengobatan.

Pertapa sakti ini mempunyai peliharaan, seekor ular yang aneh. Di kanan kiri bawah leher, ular itu memiliki tonjolan yang dapat mekar seperti sayap sehingga ular itu disebut Hwee-coa (Ular Terbang). Sesungguhnya bukan terbang, melainkan melompat dari pohon ke pohon dan ketika melompat, tonjolan di kanan kiri itu berkembang sehingga ular itu dapat melayang.

Akan tetapi, pada waktu itu, rakyat, terutama di dusun-dusun, masih amat tahyul. Mereka mulai menyembah ular itu yang mereka anggap seekor ular sakti penjelmaan dewa dan mereka bahkan lebih menghormati ular itu daripada Leng-hong Hoatsu sendiri. Kakek pertapa itu berusaha untuk membantah. Namun, ketahyulan yang sudah mencengkeram hati dan pikiran manusia memang sukar sekali untuk dihilangkan. Akhirnya Leng-hong Hoatsu kembali ke barat karena dia tidak ingin ular peliharaannya dipuja-puja orang.

Kakek sakti ini mempunyai dua orang murid. Yang pertama bernama Sie Bun Sam, pada saat kisah ini terjadi, telah berusia duapuluh lima tahun. Sie Bun Sam adalah seorang pemuda yatim piatu dan telah menjadi murid Leng-hong Hoatsu sejak dia berusia lima tahun dan hidup sebatang kara dan terlantar karena ayah bundanya mati karena wabah yang mengamuk di desanya, di daerah Sin-kiang. Sie Bun Sam berwajah sederhana saja, seperti pemuda dusun kebanyakan, tidak buruk akan tetapi juga tidak terlalu tampan.

Namun ada sesuatu yang amat menarik pada wajahnya, yang membuat orang yang bertemu dengannya timbul rasa suka. Mungkin mulutnya yang selalu dihias senyum, dan matanya yang bersinar lembut penuh pengertian dan kesabaran itu. Tubuhnya sedang saja, tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang yang sakti dan lihai sekali. Pakaiannya juga sederhana namun bersih.

Kesukaannya memakai sebuah caping lebar yang melindungi mukanya dan kepalanya dari sengatan matahari dan guyuran air hujan. Dia juga tidak membawa senjata apapun, namun kalau berada di tangannya, benda apapun dapat dijadikan senjata yang ampuh! Sie Bun Sam, seorang pemuda yang berbudi luhur, setia dan berbakti kepada gurunya, maka Leng-hong Hoatsu amat sayang kepada murid ini.

Selain Sie Bun Sam, Leng-hong Hong masih mempunyai seorang murid lain, bernama Thio Kam Ki. Sebetulnya, Leng-hong Hoatsu yang bermata tajam dan peka perasaannya itu tidak begitu suka kepada anak ini, akan tetapi karena Thio Kam Ki juga ditemukan sebagai seorang anak berusia tiga tahun yang sebatang kara dan terlantar, dia merasa kasihan dan membawa anak ini ke pondoknya.

Pada saat sekarang, Thio Kam Ki berusia duapuluh tiga tahun. Dia memiliki tubuh sedang dan wajahnya tampan dan pasti akan menarik perhatian banyak wanita. Berbeda dengan Sie Bun Sam suhengnya (kakak seperguruannya) yang sederhana, sebaliknya Thio Kam Ki ini sejak kecil suka akan kemewahan. Dia suka iri hati dan pandai mengambil hati dengan sikap yang manis buatan. Karena sifat-sifat ini maka Leng-hong Hoatsu lebih sayang kepada Sie Bun Sam dan dia mengajarkan lebih banyak ilmu kepada murid pertamanya itu. Diam-diam Thio Kam Ki tahu ini dan dia merasa iri hati kepada suhengnya.

Tanpa setahu guru dan suhengnya, diam-diam ketika dia berusia duapuluh tahun, dia berguru kepada seorang pendeta aliran sesat yang juga bertapa di Pegunungan Himalaya, tidak begitu jauh dari tempat pertapaan Leng-hong Hoatsu. Dengan jalan sembunyi-sembunyi, selama dua tahun Thio Kam Ki mempelajari beberapa ilmu silat dan sihir yang sesat dari pertapa aliran sesat itu.

Pendeta itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin yang mengajarkan ilmu sihir aliran sesat yang biasa disebut sihir hitam. Setelah menjadi guru secara rahasia dari Thio Kam Ki selama dua tahun, Hwa Hwa Cinjin meninggalkan tempat pertapaannya di Himalaya. Hal ini terjadi setahun yang lalu dan ketika itu Kam Ki berusia duapuluh dua tahun.

Kam Ki kini merasa bahwa dirinya sudah memiliki ilmu yang amat tangguh. Biarpun tadinya dia merasa iri hati kepada Sie Bun Sam karena guru mereka, Leng-hong Hoatsu mengajarkan ilmu yang lebih banyak kepada suhengnya itu, namun setelah selama dua tahun menimba ilmu dari Hwa Hwa Cinjin, Kam Ki merasa bahwa kini dia tidak akan kalah oleh suhengnya.

Pada suatu sore, seperti biasa setelah menyelesaikan semua tugas pekerjaan mereka seperti membersihkan rumah dan pekarangan tempat tinggal guru mereka, mengumpulkan dan memotongi kayu bakar, mengangkut air dari sumber dan memenuhi semua kolam kamar mandi, mempersiapkan makan malam untuk Leng-hong Hoatsu dan mereka sendiri, kedua orang kakak beradik seperguruan itu berada di kebun belakang pondok guru mereka. Biasanya, sebelum mereka mandi, mereka akan lebih dulu berlatih silat untuk menyegarkan tubuh. Bun Sam sudah duduk di atas bangku di kebun itu ketika sutenya, Kam Ki, datang menghampirinya.

“Suheng      !” Kam Ki menegur sambil tersenyum akrab.

“Eh, sute. Apakah engkau sudah membersihkan kamar samadhi suhu? Hari ini giliranmu membersihkannya, ingat?”

Sambil tersenyum lebar Kam Ki berkata, “Jangan khawatir, suheng! Tentu saja aku ingat dan aku sudah membersihkannya dengan rapi!”

“Bagus! Eh, sute, sudah beberapa lama ini aku sering melihat engkau malam-malam meninggalkan pondok. Pergi ke mana saja sih engkau?” “Ah, aku mencari tempat yang sunyi untuk berlatih dengan tekun, suheng. Juga aku perlu tempat sunyi dan dingin untuk menghimpun hawa murni dan memperkuat tenaga sakti. Selama ini aku memperoleh banyak kemajuan, suheng. Maukah engkau melayani aku berlatih sore ini? Hitung-hitung engkau memberi petunjuk kepadaku agar aku dapat memperbaiki kekuranganku.”

Bun Sam tersenyum. Memang sudah lama sekali dia tidak pernah latihan ber-sama sutenya ini karena dahulu, kalau mereka berdua latihan, tingkat kepandaian adik seperguruannya ini masih jauh di bawahnya. Sekarangpun dia merasa yakin bahwa sutenya ini bukan lawan seimbang. Akan tetapi untuk menyenangkan hati sutenya, dia mengangguk.

“Baiklah, sute. Mari kita latihan bersama.”

Mereka berdua segera mulai latihan dengan ilmu silat yang diajarkan oleh Leng-hong Hoatsu, yaitu Hwe- coa-sin-kun (Silat Sakti Ular Terbang). Mereka berdua sudah mempelajari ilmu silat yang amat hebat ini. Kedua lengan mereka bergerak seperti ular, meliuk-liuk dan selain cepat gerakannya dan tidak mudah diikuti lawan karena perubahan-perubahannya yang aneh, juga mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat. Karena Bun Sam maklum bahwa tenaga sutenya tidak seimbang dengan tenaganya, maka dia hanya mengeluarkan sebagian tenaganya saja, membatasi gerakannya dan sesekali kalau sutenya membuat gerakan atau jurus yang kurang sempurna, dia memberi tahu.

Mereka saling serang sampai puluhan jurus dan tidak kurang dari sepuluh kali Bun Sam menunjukkan kesalahan atau ketidaksempurnaan gerakan sutenya. Akhirnya Bun Sam merasa cukup dan begitu dia mempercepat gerakannya, dia berhasil mendorong pundak sutenya sehingga tubuh Thio Kam Ki terdorong ke belakang dan dia harus membuat salto sampai tiga kali ke belakang agar tidak terjengkang. Akan tetapi dia tidak terluka karena memang Bun Sam tadi membatasi tenaganya.

“Cukup, sute. Engkau memang telah memperoleh kemajuan pesat!” kata Bun Sam untuk menyenangkan dan memberi semangat kepada Kam Ki.

Wajah Kam Ki berubah pucat lalu kemerahan. Namun dia tersenyum dan tidak merasa kecewa. Mereka tadi berlatih menggunakan ilmu silat yang sama. Kalau dia kalah matang, gerakannya kalah gesit maka hal itu tidaklah mengherankan. Sekaranglah tiba saatnya untuk memberi hajaran kepada suhengnya yang telah lama mulai dibencinya karena perasaan iri hati yang memenuhi hatinya. Bagaimanapun juga, kalau dia bertanding melawan suhengnya mempergunakan ilmu silat, pasti dia akan kalah.

“Terima kasih, suheng. Akan tetapi aku masih ingin menguji sampai di mana kemajuanku dalam hal tenaga dalam. Karena itu, sambutlah seranganku ini, suheng!”

Bun Sam hendak menolak untuk mengadu tenaga sakti, akan tetapi sutenya telah memasang kuda-kuda dan menggerakkan kedua lengan untuk melancarkan pukulan jarak jauh dengan dorongan tenaga sakti. Maka, terpaksa dia harus menyambut, selain untuk melindungi dirinya, juga untuk mengukur sampai di mana kekuatan tenaga sakti sutenya agar dia mengetahui kemajuannya. Biasanya, dia dapat mengukur kekuatan tenaga sakti sutenya itu sekitar setengah ukuran tenaganya sendiri. Maka, karena mengira bahwa tenaga sakti sutenya mungkin sudah agak naik kekuatannya, dia menambah sedikit tenaganya, menggunakan tiga perempat bagian tenaganya dan mendorongkan kedua tangan ke depan menyambut serangan sutenya. Tentu saja dia menggunakan tenaganya untuk menahan saja, bukan untuk menyerang. Dengan demikian, maka dia akan memenangkan adu tenaga itu tanpa melukai sutenya, hanya membuat sutenya terpental mundur saja dan paling hebat terjengkang dan terbanting jatuh.

Akan tetapi dia kaget sekali melihat mulut sutenya berkemak-kemik dan gerakan kedua lengan ketika mendorong itu sama sekali berbeda dengan apa yang diajarkan guru mereka. Dia menjadi curiga akan tetapi terlambat dan pada saat itu, dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu di udara, di antara mereka.

“Wuuuutttt…… blaaarrr……!!” Tubuh Bun Sam terlempar ke belakang dan dia terbanting roboh dalam keadaan pingsan!

Melihat ini, Kam Ki menghampiri suhengnya untuk memeriksa dan melihat kakak seperguruannya itu benar-benar jatuh pingsan, dia menggosok-gosok kedua telapak tangannya yang berubah merah lalu berdongak dan tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha……!”

Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan Leng-hong Hoatsu dan suara tawanya itu terhenti seperti dicekik. Timbul rasa takutnya. Kalau Leng-hong Hoatsu sampai mengetahui perbuatannya, dia pasti celaka! Bahkan guru gelapnya sendiri, Hwa Hwa Cinjin, merasa takut kepada Leng-hong Hoatsu dan ketika Hwa Hwa Cinjin mengetahui bahwa Kam Ki adalah murid Leng-hong Hoatsu, dia melarikan diri meninggalkan tempat itu. Hwa Hwa Cinjin takut kalau dituduh merampas murid Leng-hong Hoatsu, maka dia melarikan diri ketakutan. Apalagi dia!

Berpikir demikian, Thio Kam Ki lalu melarikan diri turun dari lereng bukit, tidak berani mengambil pakaiannya yang berada di dalam pondok. Dia berlari cepat dengan hati ngeri seolah mendengar langkah Leng-hong Hoatsu mengejarnya!

Ketika peristiwa itu terjadi, Leng-hong Hoatsu sedang tekun dalam samadhinya. Tiba-tiba ada perasaan tidak enak mengusiknya dan dia lalu membuka matanya dan bangkit berdiri. Tidak terdengar suara dalam pondok kayunya yang cukup besar itu, menandakan bahwa kedua orang muridnya tentu berada di luar pondok. Dia lalu melangkah keluar pondok. Karena dia tahu bahwa biasanya dua orang muridnya itu berlatih silat di kebun sebelum mereka mandi, Leng-hong Hoatsu lalu melangkahkan kakinya menuju kebun.

Tak lama kemudian Leng-hong Hoatsu sudah berjongkok dekat tubuh Bun Sam dan memeriksa keadaan muridnya itu. Bun Sam masih pingsan dan pernapasannya sesak. Leng-hong Hoatsu membuka baju pemuda itu dan dia mengerutkan alisnya dan menggumam.

“Hemm, siapa yang memukulnya dengan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang keji ini?” Karena maklum bahwa nyawa Bun Sam terancam bahaya maut, Leng-hong Hoatsu cepat turun tangan.

Dia duduk bersila menempelkan tangan kirinya ke dada Bun Sam lalu menyalurkan hawa murni ke dalam tubuh muridnya itu. Tenaga sakti Leng-hong Hoatsu sudah mencapai tingkat tinggi sekali, maka dalam waktu beberapa menit saja, warna merah darah di dada Bun Sam menghilang dan kulit dada itu menjadi putih bersih kembali. Bun Sam kini bernapas normal dan tak lama kemudian dia membuka matanya. Leng-hong Hoatsu melepaskan tangannya. Melihat suhunya bersila di dekatnya, Bun Sam cepat bangkit duduk dan berlutut memberi hormat. Dia maklum bahwa suhunya telah menolongnya dan mungkin sekali menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut.

“Suhu……!”

“Bun Sam, apa yang terjadi? Siapa yang memukulmu?” tanya Leng-hong Hoatsu.

Bun Sam menghela napas panjang. Rasanya berat untuk menceritakan pengalamannya karena ceritanya itu pasti akan membuat gurunya menjadi sedih. Dia sendiri menyayang Kam Ki karena sejak kecil mereka berdua hidup bersama Leng Hoat Hoatsu, suka duka dihadapi bersama. Dia sendiri merasa sedih sekali melihat kelakuan Kam Ki dan tidak tahu bagaimana adik seperguruannya yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri itu dapat menguasai ilmu pukulan beracun yang demikian hebatnya dan kejamnya.

Setelah menghela napas beberapa kali dia lalu berkata, “Suhu, harap suhu suka memaafkan sute Thio Kam Ki……”

Leng-hong Hoatsu mengerutkan alisnya yang sudah putih dan memandang wajah Bun Sam penuh selidik, “Hemm, kenapa sutemu? Apa yang telah terjadi? Ceritakanlah, Bun Sam!”

“Teecu (murid) sendiri sampai saat ini masih terheran-heran, suhu. Tadi, sute mengajak teecu untuk latihan bersama. Mula-mula kami berdua berlatih dengan ilmu silat Hwe-coa-sin-kun dan dalam latihan itu, teecu lihat sute memang ada kemajuan, walaupun tidak banyak. Akan tetapi dia kemudian mengajak latihan mengukur tenaga sakti. Sebetulnya teecu hendak menolak, akan tetapi dia telah melakukan serangan pukulan jarak jauh kepada teecu. Terpaksa teecu menyambutnya dan teecu membatasi tenaga teecu agar dia tidak sampai terluka. Akan tetapi teecu melihat gerakan kedua tangannya berbeda dengan gerakan yang suhu ajarkan, dan dari kedua telapak tangan itu menyambar sinar merah yang aneh. Teecu merasa betapa ada kekuatan dahsyat mendorong teecu, membuat teecu terpental ke belakang dengan dada terasa nyeri dan teecu tidak ingat apa-apa lagi.”

“Hemm, kalau engkau menggunakan seluruh tenagamu, belum tentu engkau yang terluka, mungkin dia sendiri yang terluka oleh tenaganya yang membalik. Akan tetapi aneh, bagaimana Kam Ki dapat memiliki Ang-tok-ciang seperti itu……?”

“Ang-tok-ciang, suhu?”

Leng Hoat Hoatsu mengangguk. “Benar, pukulan ini adalah Ang-tok-ciang, satu di antara ilmu pukulan jarak jauh yang mengandung tenaga sihir. Hemm, di mana sekarang Kam Ki?”

“Teecu tidak tahu, suhu. Mungkin dia telah kembali ke pondok.”

“Panggil dia, Bun Sam. Aku harus bicara dengannya, kutunggu di ruangan depan!”

Bun Sam lalu mencari-cari. Akan tetapi dia tidak menemukan sutenya. Bahkan ketika dia mencari di kamar sutenya, kamar itupun kosong. Dia keluar dari pondok, memanggil-manggil, namun tidak ada jawaban. Akhirnya Bun Sam menduga bahwa besar kemungkinannya sutenya itu telah pergi, mungkin takut setelah merobohkannya. Maka dia lalu menghadap Leng-hong Hoatsu di ruangan depan dan melaporkan bahwa sutenya tidak ada. “Hemm, kita tunggu sampai satu dua hari. Kalau dia tidak pulang, berarti dia telah melarikan diri,” kata Leng-hong Hoatsu dan dia merasa menyesal bukan main telah menerima anak itu menjadi muridnya. Memang sejak dulu dia sudah merasa bahwa Kam Ki memiliki watak dasar yang lemah dan anak itu akan mudah dikuasai oleh nafsu-nafsu daya rendah. Akan tetapi dia sama sekali tidak mengira anak itu berani mempelajari ilmu sesat, entah dari siapa, bahkan menggunakan ilmu itu untuk memukul Bun Sam yang menyayangnya seperti adik sendiri sehingga hampir saja Bun Sam tewas!

Setelah ditunggu sampai dua hari dan Kam Ki belum juga pulang, tahulah Leng-hong Hoatsu dan Bun Sam bahwa Kam Ki benar-benar telah minggat dan tidak akan pulang lagi. Leng-hong Hoatsu memanggil Bun Sam.

“Bun Sam, sekarang sudah tiba saatnya bagimu untuk turun gunung dan mengamalkan semua ilmu yang kaupelajari selama ini di sini.”

“Maaf, suhu. Rasanya teecu tidak tega meninggalkan suhu seorang diri di sini. Apalagi sekarang sute Kam Ki juga telah pergi. Perkenankan teecu menemani suhu di sini dan melayani suhu yang sudah berusia lanjut.”

“Bun Sam, apakah engkau lupa berapa usiamu sekarang? Engkau sudah berusia kurang lebih duapuluh empat tahun! Engkau bukan anak-anak lagi dan engkau telah mempelajari banyak ilmu. Semua ilmu tidak akan ada artinya kalau tidak kau amalkan. Semua jerih payahmu mempelajarinya selama bertahun- tahun akan terbuang percuma saja. Tidak perlu mengkhawatirkan diriku, Bun Sam. Aku adalah sebagian dari alam ini. Bagaimana aku dapat hidup sendiri? Aku tidak sendiri di dunia ini dan aku sudah biasa hidup tanpa bantuan orang lain. Tumbuh-tumbuhan di pengunungan ini akan mencukupi semua kebutuhan hidupku. Nah, aku minta agar engkau meninggalkan gunung, terjun ke dunia ramai mengamalkan semua ilmumu untuk kepentingan orang banyak. Untuk membela yang lemah tertindas dan menentang yang kuat sewenang-wenang, membela dan menegakkan kebenaran dan keadilan.”

Biarpun hatinya merasa sedih dan terharu karena harus meninggalkan gurunya yang merupakan segala- galanya bagi Bun Sam. Kakek itu menjadi pengganti orang tuanya, gurunya, juga sahabatnya. Akan tetapi mendengar ucapan gurunya yang panjang lebar itu, dia tidak berani membantah.

“Baik, suhu. Teecu akan menaati semua perintah suhu!” katanya dengan suara tegas setelah berhasil menekan keharuan dan kesedihannya.

“Ada sebuah tugas lagi yang penting. Engkau harus mencari Kam Ki dan usahakan agar dia tidak terseret ke dalam kesesatan. Kalau dia tidak dapat dibujuk dan ternyata menjadi orang tersesat, terpengaruh ilmu-ilmu sesat yang entah dia pelajari dari mana itu, maka engkau harus mencegahnya melakukan perbuatan jahat. Kalau perlu lenyapkan semua ilmunya agar dia menjadi orang lemah yang tidak dapat mengganggu orang lain.”

“Akan tetapi, suhu.     ” Bun Sam merasa sangsi apakah dia akan mampu melakukan hal itu. Dia amat

sayang kepada sutenya yang telah dia anggap sebagai adik sendiri itu.

“Bun Sam, ingat. Tugasmu adalah menentang yang jahat. Tidak perduli siapa orangnya, bahkan keluarganya sendiri sekalipun, kalau jahat, harus engkau bujuk dan sadarkan, dan kalau bujukan tidak berhasil menyadarkannya, harus kau tentang. Sebaliknya, kalau ada orang tak bersalah tertindas, siapapun dia itu, harus kaubela. Dalam membela kebenaran dan keadilan, dan menentang kejahatan, engkau sama sekali tidak boleh pilih kasih. Terkadang pilih kasih ini membuat orang kehilangan rasa keadilannya. Karena itu, menghadapi Kam Ki, engkau tidak boleh terpengaruh perasaan pilih kasih itu!”

Bun Sam mengangguk-angguk. “Betapa pun beratnya, suhu, teecu akan menaati dan selalu ingat akan perintah suhu.”

“Bagus, sekarang berkemaslah dan berangkatlah hari ini juga.”

Bun Sam berkemas, membawa pakaian dalam sebuah buntalan kain kuning, lalu berlutut memberi hormat dan pamit kepada suhunya. Kemudian dia turun dari bukit itu dan melakukan perjalanan menuju ke timur.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar