Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 ~ Jilid 4 : 2001 – 2011

Jilid 4 : 2001 – 2011

SETELAH masuk universitas, Kim Ji-yeong belajar dengan

tekun demi mendapat beasiswa, tetapi gagasan itu terasa sangat jauh. Sejak semester pertama, ia selalu mendapat nilai yang kurang memuaskan, walaupun ia sudah menghadiri semua kelas, menyelesaikan PR, dan belajar dengan rajin. Ketika masih SMP dan SMA, ia mampu mempertahankan nilai bagus. Jika gagal dalam satu ujian, ia akan belajar lebih keras lagi sehingga bisa memperbaiki nilainya dalam ujian berikut. Namun, sulit rasanya melompat tinggi di universitas karena orang-orang yang memiliki nilai yang sama berkumpul di satu tempat yang sama. Ia juga tidak tahu bagaimana harus belajar karena tidak ada buku referensi yang bisa dijadikan panduan untuk memahami buku pelajarannya dan tidak ada kumpulan contoh soal ujian yang bisa dipelajarinya.

Tidak ada lagi yang berkata bahwa mahasiswa hanya makan dan tidur sepanjang hari. Karena tidak ada lagi mahasiswa

yang duduk santai dan minum-minum. Sebagian besar mahasiswa kini sibuk mengumpulkan nilai mata kuliah, belajar

bahasa Inggris, dan magang. Ketika Kim Ji-yeong memberitahu kakaknya bahwa romansa kuliah sepertinya sudah menguap, kakaknya balas berkata bahwa Kim Ji-yeong sudah gila.

Di masa SMP dan SMA, teman-teman Kim Ji-yeong sering bercerita tentang usaha ayah mereka yang terpuruk atau ayah mercka yang terpaksa pensiun dini. Situasi perekonomian masih belum membaik, pekerjaan paruh waktu teman-temannya, serta pekerjaan para orangtua mereka juga tidak berubah. Namun, biaya kuliah—yang sempat stagnan pada masa IMF—perlahan-lahan mulai meningkat. Pada tahun 2000-an, biaya kuliah naik dua kali lipat daripada tingkat inflasi”. Seorang teman dekat Kim Ji-yeong di universitas cuti kuliah setelah menyelesaikan tahun pertama. Katanya, kampung halamannya berjarak tiga jam naik bus dari Seoul, tetapi karena ingin hidup terpisah dari orangtuanya, ia bersikeras kuliah di Seoul. Kim Ji-yeong tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi karena temannya tidak berkata apa-apa, tetapi sepertinya dia tidak mendapat dukungan finansial dari orangtuanya. Temannya berkata bahwa walaupun sudah bekerja paruh waktu, ia tetap tidak sanggup menutupi biaya kuliah, biaya buku, biaya akomodasi, dan biaya sehari-hari.

“Siangnya aku harus mengajar di tempat kursus, setelah itu bekerja paruh waktu di kafe. Ketika aku pulang ke kamar sewaanku dan mandi, saat itu sudah jam dua pagi. Lalu aku masih harus mempersiapkan materi mengajar atau mengoreksi hasil tes anak-anak. Kau juga tahu aku bekerja di sela-sela

 Memahami Perjuangan Biaya Kuliah. Yeonhap News, 2011. 4, 6, mata kuliahku. Jujur saja, aku sangat kelelahan hingga sering

ketiduran di kelas. Kehidupan kuliahku kacau gara-gara aku berusaha mengumpulkan uang untuk membiayai kuliahku. Belum lagi urusan nilai mata kuliah. Aduh.”

Katanya ia akan pulang kampung dan mengumpulkan uang selama setahun. Karena tidak tahu harus memberikan hiburan apa, Kim Ji-yeong pun hanya bisa mendengarkan kisah temannya. Temannya yang memiliki tinggi tubuh 160 sentimeter berkata bahwa berat badannya sudah turun 12 kilogram sejak ia masuk kuliah dan sekarang berat tubuhnya tidak lebih dari 40 kilogram.

“Kata orang-orang, berat badan kita bisa turun setelah kuliah,” katanya sambil bertepuk tangan dan tertawa seolaholah itu lelucon yang sangat lucu. Tulang-tulang terlihat menonjol di pergelangan tangannya yang kurus.

Kim Ji-yeong, yang masih tinggal di rumah orangtuanya, yang tidak perlu mengambil pinjaman mahasiswa, dan bekerja paruh waktu sebagai guru les privat berkat bantuan ibunya, menjalani kehidupan yang cukup nyaman di masa kuliah. Nilai-nilainya memang kurang memuaskan, tetapi jurusan yang dipelajarinya menyenangkan. Ia belum memikirkan karier yang akan dipilihnya setelah lulus kuliah, jadi ia pun mencoba mengikuti semua akademi dan klub yang ada di kampus. Siapa tahu ada yang bisa membantunya mendapatkan pekerjaan nanti. Walaupun tidak ada yang menawarkan hasil langsung, semua kegiatan itu bukannya tidak berguna. Kim Ji-yeong dulunya menganggap dirinya introver karena ia tidak merasa memiliki kesempatan untuk berpikir, tidak memiliki

pendapat, dan tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun kemudian, ia menyadari bahwa ternyata ia menyukai orang-

orang, suka bergaul dengan banyak orang, dan suka melakukan sesuatu di depan orang banyak. Dan ia bertemu dengan kekasih pertamanya dalam klub hiking.

Pria itu seumuran dengannya dan mengambil jurusan Pendidikan Jasmani. Para kakak senior memintanya membantu Kim Ji-yeong yang selalu tertinggal di belakang dalam perjalanan mendaki gunung. Perlahan-lahan mereka pun semakin akrab. Berkat kekasihnya, Kim Ji-yeong pun bisa mengunjungi stadion bisbol dan lapangan sepak bola untuk pertama kalinya dalam hidup. Walaupun tidak memahami jalannya pertandingan, ia merasa gembira, entah karena suasana di dalam stadion atau karena ia menyukai kekasihnya. Karena Kim Ji-yeong tidak tahu apa pun tentang olahraga, kekasihnya akan menjelaskan pemain-pemain terkenal dan beberapa peraturan penting sebelum pertandingan dimulai. Setelah itu mereka berdua akan berkonsentrasi menyaksikan pertandingan. Kim Ji-yeong pernah bertanya kepada kekasihnya kenapa ia tidak menjelaskan tepat ketika pertandingan sedang berlangsung.

“Kau juga tidak menjelaskan setiap dialog yang ada di dalam film ketika kita sedang menonton, bukan? Pria-pria yang menjelaskan setiap hal kepada wanita selama pertandingan berlangsung terlihat seolah-olah—apa istilahnya ya#—merendahkan. Entah mereka datang ke sini karena benar-benar ingin menonton pertandingan atau hanya karena berpura-pura tertarik. Pokoknya, kesannya tidak baik.”

Mereka juga sering pergi menonton film yang diselenggarakan secara gratis oleh klub film di kampus, dan Kim Ji-

yeong-lah yang selalu memilih film mana yang harus ditonton.

BU Kekasihnya menyukai semua jenis film, dari film horor, film

sedih, film sejarah, sampai film sci-f. Ketika menonton, kekasihnya itu lebih sering tertawa dan menangis daripada Kim Ji-yeong. Ia akan cemburu apabila Kim Ji-yeong menganggap aktor pria di dalam film itu tampan. Ia mengingat semua film yang disukai Kim Ji-yeong, lalu mengumpulkan semua soundtrack-nya di dalam satu CD yang kemudian dihadiahkannya kepada Kim Ji-yeong.

Mereka sering bertemu di lingkungan kampus. Mereka belajar bersama di perpustakaan, mengerjakan PR bersama di warnet, atau duduk mengobrol di anak tangga lapangan olahraga. Mereka makan di kantin, membeli camilan di toko swalayan baru yang ada di gedung pusat mahasiswa, dan minum kopi di kedai kopi yang ada di samping gedung itu. Kadang-kadang, di hari istimewa, mereka akan menabung dan pergi ke restoran Jepang atau restoran-restoran lain yang di atas budeet para mahasiswa pada umumnya. Kekasihnya berkata bahwa ia suka mendengar Kim Ji-yeong bercerita tentang komik-komik yang dibacanya ketika masih kecil, novel-novel laris, atau serial televisi yang ditontonnya. Namun, ia juga mendesak Kim Ji-yeong untuk berolahraga sedikit, misalnya

lompat tali.

Ibu mendengar kabar bahwa rumah sakit anak yang dilengkapi dengan klinik rawat inap akan dibuka di gedung baru di seberang toko mereka. Ia berkata kepada Ayah, yang tidak lagi ingin membuka toko franchise, untuk membuka restoran

bubur. Benar saja, rumah sakit anak dibuka dan menempati lantai 2 sampai lantai 8. Mungkin makanan di rumah sakit

tidak enak, karena banyak orangtua yang membeli bubur untuk dibawa ke rumah sakit. Dan banyak anggota keluarga lain yang mampir untuk makan dalam perjalanan pulang atau pergi ke rumah sakit. Saat itu kompleks perumahan di sekitar sana sudah penuh, dan para orangtua muda sepertinya terbiasa makan di luar. Pada hari-hari kerja, orang-orang biasanya akan mengajak keluarga mereka untuk makan malam di luar. Keluarga-keluarga yang punya anak kecil biasanya tidak memiliki banyak pilihan menu, jadi mereka menjadi pelanggan tetap restoran bubur. Penghasilan keluarga Kim Ji-yeong kini jauh lebih besar daripada penghasilan yang diterima Ayah sebelum ia pensiun.

Ternyata Ibu sudah membeli apartemen baru seluas 140 meter persegi di dekat kompleks pertokoan. Selama ini ia melakukan pembayaran secara berkala, tetapi berkat kesuksesan restoran bubur mereka dan ditambah uang hasil penjualan rumah yang mereka tinggali sekarang, Ibu pun bisa melunasi pembayaran untuk apartemen. Dan ketika Kim Eun-yeong kembali ke Seoul setelah lulus kuliah, mereka tinggal bersamasama di apartemen baru tersebut. Kim Eun-yeong pun akhirnya lulus Uji Kompetensi Guru di Seoul.

Suatu hari, Ayah pulang ke rumah larut malam sehabis minum-minum bersama mantan rekan-rekan kerjanya. Lalu ia berteriak memanggil ketiga anaknya dari ruang duduk. Awalnya putra bungsunya tidak menyadari kepulangan Ayah karena sedang mendengarkan musik dengan earphone. Namun,

setelah si putra bungsu, muncul di ruang duduk bersama Kim Eun-yeong dan Kim Ji-yeong yang terbangun dari tidur, Ayah

mengeluarkan uang dan kartu kredit dari dompet, lalu menyerahkannya kepada anak-anaknya.

Ibu keluar dari kamar sambil menguap dan bertanya kenapa Ayah membangunkan semua orang.

Ayah berkata, “Ketika aku menemui teman-temanku hari ini, aku menyadari bahwa keadaankulah yang paling baik. Hidupku sukses! Kalian sudah bersusah payah! Kita sudah berusaha dengan baik selama ini!”

Mantan rekan-rekan kerjanya yang berinvestasi pada perusahaan Cina sudah kehilangan seluruh uang pensiun mereka, sementara rekan-rekan kerjanya yang masih bekerja sebagai pegawai negeri dan rekan-rekannya yang membuka usaha sendiri setelah pensiun seperti Ayah masih memiliki penghasilan yang lumayan. Ayahlah yang paling beruntung dan yang memiliki rumah yang paling besar di antara mereka semua. Lalu katanya semua orang iri padanya karena putri sulungnya adalah guru, putri keduanya sedang kuliah di Seoul, dan ia bahkan punya seorang anak laki-laki yang bisa diandalkan. Ayah membusungkan dada dengan bangga.

Ibu bersedekap dan tertawa. “Aku yang mengusulkan kita membuka restoran bubur. Aku juga yang membeli apartemen ini. Selama ini anak-anak yang mengurus diri mereka sendiri. Hidupmu memang sukses, tetapi bukan atas usahamu sendiri. Jadi, bersikaplah yang baik padaku dan anak-anak. Kau bau minuman keras. Sebaiknya kau tidur di ruang tamu hari ini.”

“Tentu saja! Tentu saja! Setengahnya berkat dirimu! Kau memiliki rasa hormatku, Nyonya Oh Mi-sook!”

“Setengah? Bukankah seharusnya 70:30? Aku 70, kau 30.”

B7 Ibu menguap sekali lagi, lalu melempar bantal dan selimut

ke ruang tamu.

Ayah meminta putra semata wayangnya menemaninya tidur di ruang tamu, tetapi putranya menolak karena Ayah bau minuman keras. Walaupun begitu, suasana hati Ayah sedang baik, jadi ia langsung berbaring di tengah-tengah ruang tamu,

menyelimuti diri dengan selimut, lalu mulai mendengkur.

Kekasih Kim Ji-yeong ikut wajib militer setelah menyelesaikan tahun kedua kuliahnya. Kim Ji-yeong pergi mengunjungi orangtua kekasihnya, bahkan juga sempat mengunjungi tempat pelatihan kekasihnya dan menangis di sana. Namun setelah beberapa bulan, rasa kesepiannya nyaris tak tertahankan. la sering menulis surat panjang lebar, tetapi ia juga bisa mendadak merasa begitu marah hingga tidak mau menjawab telepon. Kekasihnya, yang pada dasarnya adalah orang yang lembut dan santai, kebingungan menghadapi sikapnya. Kim Ji-yeong merasa kesal, resah, dan marah karena berpikir ia menghabiskan masa-masa terpenting dalam hidupnya tanpa melakukan apa-apa. Bahkan ketika mereka bertemu di hari libur, mereka terus bertengkar.

Akhirnya Kim Ji-yeong yang meminta berpisah lebih dulu. Kekasihnya menerima keputusan itu dengan tenang. Namun, di hari-hari liburnya, ia akan menelepon Kim Ji-yeong berkalikali dalam keadaan mabuk, mengirim pesan berbunyi, “Sudah tidur?” di tengah malam buta, dan bahkan pernah muntahmuntah di depan restoran bubur orangtua Kim Ji-yeong.

Gosip mulai menyebar di kompleks pertokoan itu, bahwa putri kedua pemilik restoran bubur berselingkuh dengan pria

lain ketika kekasihnya sedang mengikuti wajib militer, dan oleh karena itu, kekasihnya datang untuk membuat keributan.

Kim Ji-yeong merasa canggung menghadiri klub lagi, tetapi ia sering mampir untuk membantu para mahasiswi junior. Sebagian besar anggota klub adalah pria dan banyak anggota wanita yang tidak bisa menyesuaikan diri sehingga mereka hanya memaksa diri sekadar hadir dan menunjukkan wajah. Ia dulu bisa bertahan di klub juga berkat bantuan Cha Seungyeon. Karena itu, ia juga ingin menjadi senior yang baik bagi junior-juniornya. Para anggota laki-laki selalu memperlakukan anggota wanita dengan penuh hormat. Mereka selalu membantu anggota wanita mengangkut barang-barang, selalu memilih tempat berkumpul dan menu makan siang yang sesuai untuk para anggota wanita. Apabila mereka melakukan perjalanan ke luar kota, anggota wanita akan mendapat kamar yang paling besar dan paling bagus. Namun kemudian, mereka berkata bahwa klub mereka sukses berkat para anggota pria yang santai, kuat, dan bisa bergaul dengan baik dengan sesama anggota. Posisi ketua, wakil ketua, dan manajer dijabat oleh pria. Mereka mengadakan acara bersama dengan universitas wanita, tetapi ternyata ada acara terpisah untuk anggota pria. Cha Seung-yeon selalu berkata bahwa ia tidak menginginkan perlakuan khusus dan ingin anak-anak perempuan diberi kesempatan melakukan pekerjaan yang sama. Ia juga berkata bahwa ia tidak ingin hanya diminta memilih menu makanan, tetapi ingin diberi posisi ketua klub. Para anggota lain sering kali hanya mengiakan sambil tersenyum, tetapi

seorang anggota pria senior yang sudah bergabung selama sembilan tahun terakhir selama ia kuliah S2 selalu memberi-

kan jawaban yang sama.

“Sudah berapa kali kukatakan? Wanita tidak bisa melakukannya karena itu pekerjaan yang sulit. Kalian sudah sangat membantu kami hanya dengan bergabung dengan klub ini.”

“Aku bergabung dengan klub ini bukan untuk menyemangatimu. Kalau kau merasa lesu, minum vitamin saja. Aku sebenarnya ingin mengundurkan diri, tapi aku tetap bertahan karena aku ingin melihat ada wanita yang menjadi ketua klub di sini.”

Sampai Cha Seung-yeon lulus kuliah pun, tidak ada anggota wanita yang diangkat menjadi ketua klub. Namun kemudian, mereka mendengar berita bahwa seorang anggota wanita yang sepuluh tahun lebih muda daripada Cha Seungyeon akhirnya menjabat sebagai ketua klub. Saat itu Cha Seung-yeon berkata, “Keadaan akhirnya berubah setelah sepuluh tahun.”

Kim Ji-yeong keluar dari klub pada tahun ketiganya setelah mengikuti pelatihan lapangan di musim gugur. Mereka meletakkan barang-barang di akomodasi mereka yang berlokasi dekat hutan rekreasi, melakukan hiking ringan, bermain-main, dan minum-minum. Kim Ji-yeong kedinginan dan menduga dirinya mulai demam. Ia pun masuk ke kamar tempat para anggota baru sedang berkumpul dan bermain kartu, berbaring dan menarik selimut sampai menutupi kepalanya. Lantai kamar terasa hangat, tubuhnya yang kaku mulai terasa lebih lemas, suara tawa dan obrolan para juniornya membuainya ke alam mimpi. Namun, mendadak ia tersadar kembali keti-

ka mendengar namanya disebut-sebut. “Kayaknya hubungan dia dan Kim Ji-yeong sudah berakhir.”

Lalu terdengar suara-suara lain yang ikut menimpali. “Bukankah kau sudah menyukai Kim Ji-yeong sejak dulu?” “Sepertinya dia tidak hanya sekadar suka.”

“Berusahalah.”

“Kami akan membantumu.”

Awalnya Kim Ji-yeong merasa sedang bermimpi, tetapi ia kemudian bisa menebak siapa-siapa saja yang ada di dalam kamar. Mereka adalah para kakak senior yang tadi minumminum di luar. Kini Kim Ji-yeong sudah terbangun dan agak kepanasan, tetapi ia tidak bisa keluar dari balik selimut karena ada orang-orang yang sedang membicarakan dirinya.

Sementara ia merasa malu karena menguping pembicaraan tentang dirinya sendiri, sebuah suara yang tidak asing berkata, “Ah, sudahlah. Siapa yang mau mengunyah permen karet yang sudah diludahkan?”

Itu suara kakak senior yang suka minum-minum tetapi menyarankan agar orang lain tidak minum, dan yang suka mentraktir anggota junior makan tetapi tidak pernah ikut makan bersama mereka. Kim Ji-yeong dulu merasa ia orang yang baik karena sikapnya yang sopan dan penampilannya yang rapi. Takut salah mengenali orang, Kim Ji-yeong pun menajamkan telinga, tetapi itu memang suara si kakak senior. Mungkin ia sedang mabuk, mungkin ia malu, mungkin ia berkata sekasar itu karena takut teman-temannya melakukan sesuatu yang bodoh. Kim Ji-yeong sudah memikirkan segala macam alasan yang mungkin, tetapi ia tetap tidak merasa lebih baik. Ternyata pria yang sehari-harinya terlihat baik dan

normal pun akan berbicara sembarangan seperti itu tentang wanita yang disukainya. Ternyata aku adalah permen karet

yang sudah diludahkan, pikir Kim Ji-yeong.

Sekujur tubuhnya berkeringat dan ia nyaris sesak napas, tetapi Kim Ji-yeong tetap bersembunyi di balik selimut, takut tertangkap basah seperti orang yang sudah melakukan kesalahan. Beberapa saat kemudian, setelah ia mendengar para senior keluar dari kamar dan suasana di sekelilingnya berubah sepi, ia pun keluar dari selimut dan pindah ke kamar anggota wanita.

Ia tidak bisa tidur sepanjang malam. Keesokan paginya, ia berpapasan dengan si kakak senior ketika sedang berjalan-jalan di sekitar tempat penginapan.

“Matamu merah. Kau tidak bisa tidur?” tanya si kakak senior dengan sikapnya yang ramah seperti biasa.

Kim Ji-yeong ingin berkata, “Memangnya permen karet bisa tidur?” Hanya saja, pada akhirnya ia tidak berkata apa-

apa.

Kim Ji-yeong mulai bersiap-siap mencari pekerjaan pada liburan musim dingin di tahun ketiga kuliahnya. Ia berusaha memperbaiki nilainya dengan mengambil ulang mata kuliah yang mendapat nilai jelek sejak tahun pertamanya. Nilai TOEIC-nya perlahan-lahan membaik, tetapi ia masih merasa resah. Ia memutuskan berkarier di bidang humas atau pemasaran, jadi ia pun berusaha mencari lowongan kerja magang di bidang-bidang itu. Namun, karena jurusan yang diambilnya tidak sesuai, ia tidak bisa mendapat bantuan dari kampusnya.

Selama liburan, ia pun mengikuti kursus di pusat budaya, lebih untuk memperluas koneksi pribadi daripada mempelajari

sesuatu. Untunglah ia bertemu beberapa orang yang cocok dengannya dan mereka membentuk kelompok belajar bersama. Awalnya kelompok belajar itu hanya terdiri atas tiga orang, lalu ada yang mengajak teman-teman mereka, dan ada yang keluar. Pada akhirnya, ada tujuh orang yang tergabung dalam kelompok belajar itu. Juga ada seorang mahasiswi jurusan bisnis administrasi seperti Kim Ji-yeong. Namanya Yoon Hyejin. Ia berada di tahun yang sama dengan Kim Ji-yeong, tetapi usianya setahun lebih tua karena ia harus mengulang beberapa mata kuliah. Yoon Hye-jin meminta Kim Ji-yeong berbicara dengannya seperti teman sebaya dan memanggil namanya saja. Para anggota saling berbagi informasi tentang lowongan pekerjaan dan bersama-sama menulis CV dan surat perkenalan diri masing-masing. Kim Ji-yeong dan Yoon Hyejin bersama-sama ikut kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan berbagai perusahaan dan kegiatan-kegiatan untuk mahasiswa. Mereka juga mengikuti program magang dan berhasil memenangkan beberapa kompetisi.

Kim Ji-yeong tidak merasa khawatir sampai ia sadar dirinya tidak pernah dipanggil untuk wawancara meski sudah mengirim banyak surat lamaran. Ia tidak keberatan bekerja di perusahaan kecil, selama perusahaan itu memiliki kebijakan yang sesuai dengan prinsipnya sendiri dan ia bisa melakukan pekerjaan yang disukainya. Yoon Hye-jin lebih pesimistis. Dibandingkan Kim Ji-yeong, Yoon Hye-jin memiliki nilai mata kuliah yang lebih tinggi, nilai TOEIC yang lebih tinggi, kemampuan komputer yang lebih tinggi, juga memiliki ser-

tifikat keterampilan yang dibutuhkan dalam pekerjaan, seperti word processor. Namun, ia berkata bahwa ia bahkan tidak

yakin bisa diterima di perusahaan kecil yang tidak jelas, apalagi di perusahaan besar.

“Kenapa?” tanya Kim Ji-yeong.

“Karena kita bukan lulusan SKY'.”

“Coba lihat para senior yang datang untuk memberikan presentasi pekerjaan. Banyak lulusan universitas kita yang berhasil diterima di perusahaan bagus.”

“Sebagian besar senior kita itu pria. Berapa banyak kakak senior wanita yang pernah kaulihat?”

Kim Ji-yeong mengerjap. Benar juga. Di tahun keempat kuliahnya, ia selalu menghadiri seminar profesi bersama para senior, tetapi ia tidak pernah melihat ada senior wanita dalam acara-acara itu. Pada tahun 2005 ketika Kim Ji-yeong lulus, sebuah survei di situs informasi pekerjaan yang dilakukan pada lebih dari 100 perusahaan menyatakan bahwa jumlah wanita yang diterima bekerja hanya 29,696. Konon, angka itu menuai protes", Pada tahun yang sama survei dilakukan terhadap kepala HRD dari 50 perusahaan dan 4490 dari mereka menyatakan bahwa apabila para pelamar memiliki kualifikasi yang sama, mereka lebih memilih pelamar pria. Tidak seorang pun menyatakan bahwa mereka lebih memilih wanita".

Menurut Yoon Hye-jin, di jurusan Bisnis Administrasi,

perusahaan yang membuka lowongan pekerjaan biasanya

Singkatan dari Seoul Narional University, Korea University, dan Yonsei University. MPasar Pekerjaan 2005 Sebagai Kata Kunci, Dong-ah Ilbo, 2005. 12. 14

"Diskriminasi Gender dan Penampilan dalam Penerimaan Karyawan Baru

Masih Terjadi. Yeonhap News, 2005. 7, 11 meminta rekomendasi dari pihak fakultas atau dosen, tetapi

yang direkomendasikan selalu adalah laki-laki. Karena semua itu dilakukan secara diam-diam, tidak seorang pun tahu siapa yang dipilih, perusahaan apa yang meminta rekomendasi, dan apa alasan mereka diterima. Tidak ada yang tahu apakah pihak universitas yang merekomendasikan laki-laki atau apakah itu atas permintaan perusahaan yang bersangkutan.

Lalu Yoon Hye-jin bercerita tentang salah seorang kakak senior perempuan yang lulus kuliah beberapa tahun sebelumnya. Kakak senior itu adalah lulusan terbaik di jurusannya, dan nilai bahasa asingnya juga tinggi. Ia juga pernah menerima penghargaan, pernah mengikuti program magang, berbagai klub, dan program kerja sosial. Ada satu perusahaan yang ingin dimasukinya, dan ia terlambat mengetahui bahwa universitas sudah merekomendasikan empat mahasiswa pria untuk diwawancara. la mendengar berita itu dari salah seorang mahasiswa yang gagal dalam proses wawancara. Kakak senior perempuan itu bertanya kepada dosen pembimbing, ingin tahu kriteria apa yang diinginkan, dan berkata bahwa ia tidak akan memperpanjang masalah apabila ia merasa kriteria ivu memang bisa diterima. Ia menghadap beberapa dosen dan akhirnya menghadap dekan. Selama itu ia diberi alasan yang tidak masuk akal, seperti perusahaan-perusahaan lebih menyukai kesan yang dipancarkan pria, karena pria sudah menjalani wajib militer, karena pria nantinya akan menjadi kepala keluarga, dan lain-lain.

Di antara semua itu, jawaban yang paling meruntuhkan semangat adalah jawaban dari dekan. “Perusahaan akan merasa terbebani apabila seorang wanita terlalu pintar. Coba lihat seka-

rang, apakah kau tahu betapa mengintimidasinya dirimu?” Lalu bagaimana? Pintar salah, bodoh salah, melakukan

sesuatu setengah-setengah juga salah. Karena merasa perlawanannya tidak ada artinya, kakak senior perempuan itu pun berhenti memprotes. Pada akhir tahun, perusahaan itu membuka lowongan pekerjaan untuk umum dan si kakak senior berhasil diterima bekerja di sana.

“Wah, hebat. Jadi sekarang dia bekerja di perusahaan itu?”

“Tidak. Dia berhenti bekerja setelah enam bulan.”

Suatu hari kakak senior perempuan tersebut menyadari bahwa tidak ada seorang wanita pun yang menduduki jabatan kepala bagian. Ketika sedang makan siang di kafetaria, ia melihat seorang wanita yang sedang hamil. Ia pun bertanya berapa lama cuti melahirkan yang diberikan perusahaan. Kelima orang yang duduk semeja dengannya, mulai dari staf biasa sampai kepala bagian, menjawab bahwa mereka tidak tahu karena mereka belum pernah menghadapi situasi seperti itu. Ia tidak bisa membayangkan dirinya di sana sepuluh tahun ke depan, jadi ia pun menyerahkan surat pengunduran diri. Itulah yang membuat pendapat bahwa wanita tidak cocok di dunia kerja muncul kembali.

Jumlah karyawan wanita yang mengambil cuti melahirkan pada tahun 2003 adalah sebesar 2090. Pada tahun 2009 angka tersebut sudah meningkat menjadi di atas 5090, tetapi masih ada empat di antara sepuluh wanita yang tidak mengambil cuti melahirkan dan tetap bekerja".

Tentu saja di masa lalu banyak wanita yang berhenti be-

"Yoon Jeong-hye, Status dan Implikasi dari Sistem Cuti Melahirkan, Laporan Tren Ketenagakerjaan 2015. 7, kerja setelah menikah, hamil, atau melahirkan, sehingga tidak

diikutsertakan dalam contoh statistik untuk cuti melahirkan. Pada tahun 2006, sebesar 10,22Yo pekerja wanita menduduki jabatan manajer dan angka itu tetap bertahan selama beberapa waktu, sampai pada tahun 2014 ketika angkanya naik menjadi 18,376. Namun, itu artinya masih kurang dari satu orang di antara sepuluh orang". “Lalu apa yang dilakukan kakak senior itu sekarang?” “Tahun lalu dia lulus ujian menjadi pengacara. Beritanya cukup heboh karena dia bisa lulus hanya setelah beberapa tahun. Bahkan ada spanduknya. Kau lihat spanduk itu, bukan?” “Ah, benar. Aku ingat. Waktu itu aku kagum padanya.” “Universitas kita konyol sekali, bukan? Waktu itu mereka berkata dia terlalu pintar dan mengintimidasi. Sekarang setelah dia berhasil lulus ujian tanpa dukungan sedikit pun dari universitas, mereka sibuk membangga-banggakan lulusan mereka.” Kim Ji-yeong merasa dirinya seolah-olah berdiri di jalan sempit yang diselimuti kabut tebal. Pada akhir tahun, ketika perusahaan-perusahaan mulai membuka lowongan pekerjaan

untuk umum, kabut itu berubah menjadi hujan yang membasahi kulitnya.

Kim Ji-yeong ingin bergabung dengan perusahaan makanan, tetapi ia tetap mengirimkan surat lamaran ke berbagai perusahaan besar. Di antara 43 perusahaan yang dikirimi surat

"Laporan Penerimaan Tenaga Kerja 2015, Kementerian Tenaga Kerja, halaman

-84. lamaran, tidak ada satu pun yang menghubunginya. Setelah

itu, ia mengirimkan surat lamaran kepada 18 perusahaan yang lebih kecil tapi stabil. Namun, ia tetap tidak dihubungi. Yoon Hye-jin sering dipanggil mengikuti tes psikologi dan wawancara, tetapi kemudian gagal di tahap itu. Setelah itu, mereka berdua langsung mengisi formulir aplikasi setiap kali mereka melihat ada iklan lowongan pekerjaan. Suatu ketika, Kim Jiyeong lupa mengganti nama perusahaan di surat lamarannya, tetapi itulah pertama kalinya ia dihubungi setelah mengirim surat lamaran.

Setelah dirinya dihubungi dan diminta datang untuk wawancara, barulah Kim Ji-yeong mencari tahu tentang perusahaan itu. Ternyata perusahaan itu adalah perusahaan yang membuat mainan, peralatan sekolah, dan keperluan sehari-hari, dan mereka kini berkembang pesat setelah bekerja sama dengan agensi hiburan untuk menjual produk-produk dengan karakter-karakter selebritas. Mereka menjual barang-barang remeh seperti boneka, diari, dan mug dengan harga tinggi. Singkat kata, perusahaan itu adalah perusahaan yang menghasilkan uang dari anak-anak kecil. Kim Ji-yeong merasa ragu. Pada awalnya ia tidak terlalu gembira, tetapi ketika hari wawancara semakin dekat, ia pun mulai berubah pikiran, dan akhirnya benar-benar ingin bergabung dengan perusahaan itu.

Ia terus berlatih menjawab pertanyaan wawancara dengan kakaknya sampai larut malam sehari sebelum hari H. Waktu sudah menunjukkan jam satu lewat ketika ia membalurkan pelembap ke wajah dan berbaring. Namun, ia tidak bisa tidur. Karena ada krim tebal yang menutupi wajahnya, ia pun tidak

bisa berbaring miring. Ia hanya bisa berbaring tegak lurus dengan mata terpejam. Ia baru tertidur saat fajar. Ia bermim-

pi tidak jelas. Ia lelah karena kurang tidur dan riasan wajahnya terlihat aneh. Ditambah lagi, ia tertidur di dalam bus dan melewatkan halte yang seharusnya menjadi tempat perhentiannya. la masih punya banyak waktu, tetapi ia memutuskan naik taksi karena tidak ingin bersikap gegabah di hari sepenting itu.

Sopir taksi yang sudah tua dan dengan rambut tersisir rapi itu melirik bayangan Kim Ji-yeong di kaca spion dan berkata, “Mau menghadiri wawancara kerja?”

“Ya,” sahut Kim Ji-yeong singkat.

“Biasanya aku tidak menerima wanita sebagai tamu pertamaku, tetapi aku memutuskan mengantarmu karena aku tahu kau hendak menghadiri wawancara kerja.”

Mengantarnya? Sesaat Kim Ji-yeong mengira ia tidak perlu membayar ongkos taksi, tetapi beberapa saat kemudian ia baru mengerti. Apakah si sopir taksi berharap Kim Ji-yeong berterima kasih kepadanya padahal Kim Ji-yeong harus membayarnya? Dasar orang kasar yang mengira dirinya berbuat baik! Karena tidak tahu bagaimana harus memprotes dan karena tidak ingin bertengkar, Kim Ji-yeong pun memilih memejamkan mata.

Tiga orang diminta memasuki ruang wawancara sekaligus. Dua orang yang memasuki ruangan bersama Kim Ji-yeong juga adalah wanita. Seolah-olah sudah janjian sebelumnya, mereka bertiga berambut pendek, memoleskan lipstik berwarna merah muda, dan mengenakan setelan abu-abu tua. Para penguji membaca CV dan surat perkenalan diri mereka, mengajukan perta-

nyaan tentang masa-masa sekolah mereka, lalu bertanya tentang pengalaman kerja mereka. Setelah itu para penguji meminta

komentar para pelamar tentang perusahaan ini, tentang pandangan mereka terhadap industri ini, dan strategi pemasaran. Ketiga pelamar itu menjawab dengan mudah karena mereka sudah mengantisipasi pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Akhirnya, seorang direktur yang menempati kursi paling ujung, yang selama ini hanya duduk diam dan mengangguk, bertanya, “Anggaplah kalian pergi menemui klien di luar kantor. Tetapi si klien terus berusaha melakukan kontak fisik. Misalnya menyentuh bahu atau paha kalian. Kalian mengerti maksudku, bukan? Lalu apa yang akan kalian lakukan? Silakan dijawab, mulai dari Kim Ji-yeong.”

Kim Ji-yeong tahu ia tidak boleh terlihat bingung seperti orang bodoh. Ia juga berpikir sikap yang terlalu serius tidak akan membuatnya mendapat nilai baik, jadi ia pun menjawab, “Aku akan menghindar dengan alasan pergi ke kamar kecil atau pergi mengambil berkas-berkas lain.”

Pelamar kedua memberikan jawaban yang keras dengan berkata bahwa itu jelas-jelas adalah pelecehan seksual dan ia akan memberikan peringatan. Apabila hal itu terus berlanjut, ia akan mengambil jalur hukum. Si direktur yang mengajukan pertanyaan tadi mengangkat alis, lalu menulis sesuatu di kertasnya, membuat Kim Ji-yeong resah.

Pelamar ketiga, yang mendapat waktu paling panjang untuk memikirkan jawaban terbaik, berkata, “Aku akan memeriksa apakah pakaian yang kukenakan sudah pantas. Apabila memang ada sesuatu yang menyebabkan si klien bertindak se-

perti itu, maka aku akan memperbaikinya.” Pelamar kedua terkesiap keras seolah-olah ia tidak percaya

dirinya mendengar jawaban seperti itu.

Kim Ji-yeong juga merasa pahit mendengar jawaban tersebut, tetapi di lain pihak, ia juga merasa sedikit menyesal dan berpikir bahwa jawaban seperti itu mungkin akan mendapat nilai tinggi.

Beberapa hari kemudian, Kim Ji-yeong menerima e-mail yang menyatakan bahwa ia tidak lolos seleksi. Mungkin garagara pertanyaan terakhir waktu itu. Tidak mampu mengenyahkan rasa penasarannya, ia pun menghubungi bagian HRD perusahaan itu. Staf HRD berkata bahwa jawaban itu sama sekali tidak memengaruhi keputusan, bahwa semuanya tergantung orang yang bertanya, dan bahwa Kim Ji-yeong mungkin belum berjodoh dengan perusahaan mereka. Sepertinya staf itu hanya memberikan jawaban standar sesuai buku pedoman, tetapi jawaban itu membuat Kim Ji-yeong merasa sedikit lebih baik. Setelah hatinya merasa lega, ia pun bertanya apakah dua pelamar lain yang ikut wawancara bersamanya lolos seleksi. Ia tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin menjadikan mereka sebagai patokan untuk wawancara berikutnya. Staf HRD itu terdengar enggan memberikan jawaban.

“Saat ini aku benar-benar putus asa,” desak Kim Ji-yeong.

Staf HRD itu pun berkata bahwa mereka berdua juga tidak lolos seleksi.

Ternyata begitu. Kim Ji-yeong mendadak merasa lesu. Sekarang karena ia sudah gagal, ia merasa berani mencurahkan isi hatinya.

“Kalau begitu, tangan bajingan itu harus dipatahkan! Masalahnya juga ada di kalian! Bertanya seperti saat wawancara juga adalah pelecehan seksual! Memangnya kalian juga meng-

ajukan pertanyaan itu kepada pelamar pria?”

Ia berdiri di depan cermin dan mencurahkan semua yang ingin dikatakannya, tetapi hal itu tidak membuatnya merasa lebih baik. Sampai ketika waktunya tidur pun ia masih merasa mendidih dan menendang selimutnya berkali-kali. Sejak saat itu ia sudah diwawancara beberapa kali, sering mendengar lelucon kasar tentang penampilan atau pakaian. Beberapa bagian tubuhnya juga pernah menjadi sasaran tatapan atau sentuhan. Ia tidak bisa mendapatkan pekerjaan. Kim Ji-yeong berpikir ingin menunda kelulusannya, atau mengambil cuti kuliah, atau belajar bahasa asing di luar negeri. Namun tanpa disadari, semester musim gugur sudah berakhir dan yang tersisa hanyalah hari

kelulusannya.

Walaupun Kim Eun-yeong dan Ibu menyuruhnya jangan terburu-buru, Kim Ji-yeong tetap merasa tidak sabar. Yoon Hyejin mulai bersiap-siap mengikuti ujian PNS dan ia meminta Kim Ji-yeong belajar bersama, tetapi Kim Ji-yeong ragu. Pertama-tama, ini bukan jenis ujian yang membuat Kim Ji-yeong percaya diri. Jika ia menghabiskan waktunya dengan belajar dan kemudian gagal dalam ujian, usianya akan semakin bertambah sementara ia masih belum memiliki pengalaman kerja. Dan saat itu ia tidak memiliki rencana cadangan. Kim Ji-yeong pun terus mengirimkan surat lamaran, sedikit demi sedikit menurunkan sasarannya.

Di saat penuh tekanan seperti itu, ia mendapat seorang kekasih. Ia hanya memberitahu kakaknya. Kakaknya menatapnya sejenak, lalu menggeleng-geleng dan berkata, “Dalam keadaan seperti ini kau masih sempat jatuh cinta? Masih bisa

merasakan sesuatu? Hebat sekali.”

Kim Ji-yeong hanya tersenyum dan menjawab, “Begitulah. Pasangan kekasih pada masa-masa hendak berpisah pun bisa jatuh cinta dengan orang lain, bukan?”

Butir-butir salju beterbangan di luar jendela, dan puisi yang pernah dibacanya dulu tebersit kembali dalam benaknya. Apakah belitan kemiskinan membuatmu tak paham arti kesepian? Sinar bulan menerangi jalan kecil bersalju di mana kita berpisah...

Kekasih baru Kim Ji-yeong adalah teman Yoon Hye-jin sejak kecil. Usianya setahun lebih tua daripada Kim Ji-yeong, tetapi ia masih kuliah karena baru kembali dari wajib militer. la sangat memahami situasi dan perasaan Kim Ji-yeong. Ia tidak memancarkan optimisme berlebihan, tidak pernah menghibur Kim Ji-yeong dengan berkata bahwa terlambat mencari pekerjaan juga tidak apa-apa, dan tidak pernah mengkritik daftar keterampilan Kim Ji-yeong. Ia mengawasi proses persiapan Kim Ji-yeong tanpa berkomentar apa pun, memberikan bantuan apabila diperlukan, dan mentraktir Kim Jiycong minum-minum apabila Kim Ji-yeong mendapatkan hasil buruk.

Dua hari sebelum hari kelulusan, keluarga Kim Ji-yeong sarapan bersama. Ayah resah berpikir apakah ia harus menutup tokonya setengah hari supaya bisa menghadiri upacara kelulusan putri keduanya. Kim Ji-yeong berkata bahwa ayahnya tidak perlu menghadiri upacara kelulusannya. Ayah mengomel panjang lebar, berkata bahwa Kim Ji-yeong sudah

tidak waras, tetapi Kim Ji-yeong tidak lagi tersinggung. Saat itu, selain kata “gagal”, tidak ada kata lain yang bisa menya-

kiti perasaan Kim Ji-yeong. Melihat putrinya tidak terpengaruh omelannya, Ayah pun menambahkan, “Jadi anak patuh dan menikah saja.”

Kim Ji-yeong, yang selama ini sudah mendengar omelan yang lebih parah, mendadak tidak tahan lagi. Sementara ia memegang sendok dan menahan napas, mendadak terdengar bunyi keras.

Ternyata Ibu membanting sendok dengan keras ke meja dengan wajah merah padam. “Kau kira kau masih hidup di zaman apa? Ji-yeong, kau jangan patuh saja. Kau harus berjuang! Terus berjuang! Mengerti?”

Karena Ibu terlihat sangat menggebu-gebu, Kim Ji-yeong cepat-cepat mengangguk untuk menenangkan ibunya. Ayah mendadak cegukan, mungkin karena malu. Kalau dipikir-pikir, itu pertama kalinya Kim Ji-yeong melihat ayahnya cegukan. Ketika mereka sekeluarga berkumpul dan makan ubi rebus tanpa kimchi, Ibu, Kim Eun-yeong, Kim Ji-yeong dan adik mereka akan mulai cegukan satu demi satu. Mereka semua akan tertawa karena hanya Ayah sendiri yang tidak cegukan. Seperti putri duyung yang kehilangan suaranya demi mendapat sepasang kaki, apakah pria juga tidak akan cegukan dan memiliki jalan pikiran yang semakin kaku seiring bertambahnya usia? Kim Ji-yeong mendadak berpikir tentang penyihir. Ledakan emosi Ibu menghentikan ucapan Ayah yang kolot dan membuatnya bisa cegukan kembali.

Siang hari itu, Kim Ji-yeong mendapat kabar bahwa ia berhasil diterima oleh agensi humas yang sudah mewawanca-

rainya beberapa waktu lalu. Selama ini ia sudah berusaha keras menahan keresahan, rasa malu, dan perasaan tak berda-

ya. Air mata Kim Ji-yeong langsung tumpah begitu ia mendengar kara “diterima” di telepon. Orang yang paling gembira mendengar kabar itu adalah kekasihnya.

Kim Ji-yeong berangkat ke universitas bersama orangtuanya dengan hati ringan. Kekasihnya juga datang. Itu pertama kalinya ia memperkenalkan sang kekasih kepada orangtuanya. Karena mereka tidak memasuki ruang upacara, mereka pun berkeliling kampus, berfoto, dan minum kopi di kafe. Suasana kampus hari itu ramai sekali, begitu pula suasana di kafe. Kekasih Kim Ji-yeong memesan empat jenis kopi yang berbeda dengan suara lantang, meletakkan keempat cangkir itu di meja untuk empat orang, dan melipat serbet menjadi segitiga dan meletakkannya di samping /atte Ibu dengan rapi. Dengan raut wajah serius, Ayah bertanya kepada kekasih Kim Ji-yeong tentang jurusan kuliahnya, tempat tinggalnya, dan hubungan dengan keluarganya. Kekasih Kim Ji-yeong menjawab dengan cepat dan bersungguh-sungguh, Kim Ji-yeong harus menunduk dan menggigit bibir untuk menahan senyum.

Ketika tidak ada lagi yang bisa dikatakan, mereka berempat pun terdiam. Ayah mengajak mereka pergi makan. Ibu berbalik menghadap Ayah dan mengatakan sesuatu dengan suara rendah. Lalu Ayah terbatuk kecil, mengeluarkan kartu kredit dari dompet dan mengulurkannya kepada Kim Ji-yeong. Ayah melirik Ibu dan berkata bahwa mereka harus kembali ke restoran, jadi Kim Ji-yeong dan kekasihnya sebaiknya

makan berdua saja. Di akhir ucapan Ayah yang tergagap-gagap, Ibu menceng-

keram lengan kekasih Kim Ji-yeong dan berkata, “Senang sekali berkenalan denganmu hari ini. Sayang sekali kami harus pulang sekarang. Kalian makan berdua saja, lalu pergi nonton, pergi berkencan. Lain kali, mampirlah ke restoran kami.”

Ibu menggamit lengan Ayah dan meninggalkan kampus. Kekasih Kim Ji-yeong membungkuk dalam-dalam sampai kepalanya nyaris menyentuh tanah untuk memberi hormat kepada orangtua Kim Ji-yeong yang berjalan pergi.

Saat itulah Kim Ji-yeong baru tertawa. “Ibuku menggemaskan, bukan? Ibuku memutuskan pergi karena takut kau merasa tidak nyaman.”

“Mm. Sepertinya begitu. Omong-omong, apa makanan yang paling enak di restoran kalian?”

“Yang pasti makanan apa pun lebih enak daripada masakan Ibu. Sebenarnya ibuku tidak bisa memasak, tapi aku selalu makan dengan teratur dan tumbuh sehat dengan makanan dari restoran.”

Karena kampus sedang ramai, mereka pun naik kereta bawah tanah ke Gwanghwamun. Menuruti kata-kata Ibu, mereka pergi makan, pergi nonton, lalu pergi ke toko buku untuk membeli buku. Kekasihnya sempat ragu menggunakan kartu kredit ayah Kim Ji-yeong, tetapi Kim Ji-yeong berkata bahwa ayahnya pasti senang apabila mereka menggunakan kartunya untuk membeli buku. Akhirnya kekasihnya pun memilih buku yang selama ini diinginkannya tetapi tidak mampu dibelinya karena terlalu mahal.

Salju mulai turun ketika mereka berdua menaiki tangga keluar dari gedung sambil mendekap buku setebal ensiklope-

dia. Butiran salju melayang turun seperti hadiah yang dicurahkan secara merata dari langit yang gelap, lalu mengempas ke segala arah begitu tertiup angin.

Kekasih Kim Ji-yeong mengulurkan tangan dan berkata, “Kalau aku berhasil menangkap butiran salju, harapanku akan terkabul.”

Namun, ia tidak berhasil menangkap apa-apa.

Setelah mencoba beberapa kali, akhirnya sebutir besar salju berukuran heksagonal mendarat di ujung jari telunjuknya. Kim Ji-yeong pun bertanya, “Apa harapanmu?”

“Aku berharap kau senang bekerja di perusahaan itu. Aku berharap kau tidak lagi merasa susah, tidak lagi merasa sedih, dan tidak lagi merasa frustrasi. Aku berharap pekerjaanmu lancar dan kau bisa mentraktirku makan enak dengan gajimu nanti.”

Kim Ji-yeong merasa seolah-olah butiran salju meresap masuk ke dadanya. Rasanya sejuk dan nyaman. Seperti kata kekasihnya, Kim Ji-yeong pun tidak lagi merasa susah, sedih, ataupun frustrasi. Dan seperti kata ibunya, yang harus dila-

kukannya adalah terus berjuang.

Dengan tanda pengenal yang tergantung di leher, Kim Ji-yeong pun pergi makan siang. Orang-orang lain tidak mengenakan tanda pengenal mereka karena merasa terlalu merepotkan, tetapi Kim Ji-yeong sengaja memakainya. Di sepanjang jalan utama yang diapit gedung perkantoran di pusat kota, ia sering berpa-

pasan dengan orang-orang yang mengenakan tali tebal bertuliskan nama perusahaan dengan kartu tanda pengenal yang ter-

bungkus plastik transparan tergantung di ujung tali tersebut. Kim Ji-yeong dulu sangat iri pada mereka. Ia sangat ingin berjalan bersama rekan-rekan kerjanya, dengan tanda pengenal tergantung di leher, dengan dompet dan ponsel di satu tangan, dan berkata, “Kita makan apa hari ini?”

Perusahaan tempatnya bekerja adalah perusahaan yang cukup besar dengan sekitar lima puluh orang karyawan. Walaupun banyak pria yang menduduki posisi manajerial, jumlah karyawan wanitanya lebih banyak. Orang-orangnya cukup baik dan ramah. Suasana kantor juga menyenangkan. Hanya saja, beban kerjanya berat dan mereka harus sering bekerja lembur dan bekerja di akhir pekan tanpa bayaran tambahan. Ada empat karyawan baru, termasuk Kim Ji-yeong. Dua wanita dan dua pria. Kim Ji-yeong adalah karyawan termuda di perusahaan itu, karena ia tidak pernah cuti kuliah dan ia langsung bekerja setelah lulus. Setiap pagi, Kim Ji-yeong menyeduh kopi untuk rekan-rekan satu timnya, sesuai kesukaan mereka, dan meletakkannya di meja masing-masing. Lalu ia pergi ke ruang makan dan meletakkan serbet, sendok, dan sumpit. Ketika mereka hendak memesan makanan, Kim Jiyeong-lah yang bertugas mencatat pesanan semua orang dan menelepon restoran. Selesai makan, ia juga yang pertama kali maju untuk membereskan piring-piring kotor. Anggota termuda dalam tim bertugas membaca koran setiap pagi untuk mengumpulkan semua berita menyangkut klien mereka dan menyusun laporan sederhana mengenai hal itu.

Suatu hari, ketua tim membaca laporan Kim Ji-yeong dan

memanggilnya ke ruang rapat. Kim Eun-sil adalah satu-satunya ketua tim wanita di antara empat ketua tim yang ada.

Kim Ji-yeong pernah mendengar bahwa ia memiliki seorang anak perempuan yang duduk di bangku SMP dan ibunya tinggal bersamanya, jadi ibunyalah yang mengurus anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga sementara Kim Eun-sil bekerja. Ada yang menganggapnya hebat, ada yang berpikiran negatif tentang hal itu, dan ada yang anehnya justru memuji suaminya. Konon, hidup dengan orangtua istri lebih sulit daripada hidup dengan orangtua suami, dan di masa sekarang konflik dalam keluarga sudah menjadi masalah sosial. Jadi, walaupun mereka belum pernah bertemu dengan suami Kim Eun-sil, mereka merasa ia pria yang baik, karena bersedia menampung ibu mertuanya. Kim Ji-yeong berpikir tentang ibunya sendiri yang harus tinggal bersama mertua selama tujuh belas tahun. Selama ibu bekerja di salon, Nenek hanya akan membantu menjaga si anak bungsu sebentar, sama sekali tidak membantu mengurus hal-hal lain seperti memberi makan, memandikan, atau menidurkan ketiga cucunya. Nenek juga tidak mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Ibu Kim Ji-yeong yang menyiapkan makan untuk Nenek, mencuci pakaian Nenek, dan membersihkan kamar Nenek. Namun, Nenek tidak pernah sekali pun memuji Ibu.

Ketua tim mengembalikan laporan Kim Ji-yeong dan memujinya. Katanya, Kim Ji-yeong teliti dalam memilih artikel dan pintar menulis laporan. Itulah pengakuan pertama yang diterima oleh Kim Ji-yeong di tempat kerja pertama dan untuk pekerjaan pertamanya. Kim Ji-yeong merasa pujian dari sang ketua tim akan mampu menyemangatinya apabila ia

menghadapi rintangan dalam pekerjaannya di kemudian hari. Ia merasa gembira dan bangga, tetapi tidak ingin menunjuk-

kannya karena takut hal itu dianggap tidak pantas, jadi Kim Ji-yeong pun hanya mengucapkan terima kasih.

Ketua timnya tersenyum dan berkata, “Kau tidak perlu menyeduh kopi lagi untukku. Kau juga tidak perlu menyiapkan sendok untukku di ruang makan dan tidak perlu membereskan piring-piring kotorku.”

“Aku minta maaf apabila Anda merasa tidak nyaman.”

“Bukan tidak nyaman. Hanya saja, itu bukan tugasmu. Selama ini aku sudah merasakannya setiap kali kami menerima karyawan baru. Karyawan wanita yang paling muda pasti akan melakukan semua hal itu bahkan tanpa diminza. Tetapi karyawan pria tidak pernah melakukannya. Walaupun dia karyawan baru atau paling muda, dia bahkan tidak berpikir untuk melakukannya. Tetapi kenapa wanita selalu merasa mereka harus melakukannya?”

Kim Eun-sil bercerita bahwa ia sudah bekerja di perusahaan ini sejak perusahaan ini hanya memiliki tiga orang karyawan. Sementara ia menyaksikan perusahaan ini bertambah besar dan ia juga berkembang bersama para karyawan lain, ia merasa semakin percaya diri dan bangga. Rekan-rekan kerja prianya yang dulu bekerja bersamanya kini sudah menjadi ketua tim seperti dirinya, atau bergabung dengan bagian humas di perusahaan besar, atau membangun perusahaan sendiri. Mereka masih aktif bekerja. Namun, tidak seorang pun karyawan wanita yang masih bekerja.

Kim Eun-sil tidak pernah meninggalkan acara kumpul-kumpul dengan rekan-rekan sekantor sebelum selesai, membuat orang-orang menyebutnya tidak seperti wanita. Ia juga selalu

menawarkan diri bekerja lembur dan melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Ia bahkan sudah kembali bekerja sebulan

setelah melahirkan anaknya. Pada awalnya ia merasa bangga, tetapi setiap kali ada rekan kerja wanita yang berhenti bekerja, ia merasa bingung, dan akhir-akhir ini ia merasa menyesal. Acara kumpul-kumpul sebenarnya tidak penting. Dan mereka hanya perlu menambah jumlah karyawan agar ia tidak perlu terlalu sering bekerja lembur, bekerja di akhir pekan, atau melakukan perjalanan dinas. Cuti melahirkan adalah cuti yang wajar, tetapi hal itu seolah-olah dirampas dari para rekan kerja juniornya. Setelah berhasil menduduki posisi manajerial, yang pertama kali dihapuskannya adalah acara kumpul-kumpul, piknik, dan workshop yang tidak penting. Ia juga menjamin pria dan wanita mendapat cuti melahirkan. Katanya, ia tidak bisa melupakan perasaan ketika ia—untuk pertama kalinya sejak perusahaan ini berdiri—meletakkan karangan bunga di meja bawahannya yang akan kembali dari cuti melahirkan selama setahun.

“Siapa orangnya?”

“Dia sudah mengundurkan diri, beberapa bulan setelah itu.”

Meski sudah melakukan beberapa perubahan, Kim Eun-sil tidak bisa mengurangi jam lembur dan karyawan harus tetap bekerja di akhir pekan. Bawahannya itu menghabiskan sebagian besar gaji untuk membayar pengasuh anak, sibuk mencari orang-orang kepada siapa anaknya bisa dititipkan. Dia sering bertengkar dengan suaminya di telepon. Suatu kali di akhir pekan, dia bahkan membawa anaknya ke kantor. Namun, akhirnya dia pun mengundurkan diri. Dia meminta maaf kepada Kim Eunzsil, tetapi Kim Eun-sil sama sekali tidak bisa ber-

kata apa pun. Er

Kim Ji-yeong mendapat tugas resmi pertamanya. Ia harus menulis pernyataan pers tentang hasil penelitian terhadap tingkat kontaminasi pada seprai yang dilakukan oleh perusahaan seprai ramah lingkungan. Ia menghabiskan waktu beberapa malam menulis surat pernyataan sebanyak dua lembar itu karena ia benar-benar ingin melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Ketua timnya berkata bahwa tulisannya bagus, tetapi lebih terasa seperti artikel berita. Mereka tidak seharusnya menulis artikel, tetapi menulis sesuatu yang membuat pers tergerak untuk menulis artikel. Ia menyuruh Kim Ji-yeong menulis ulang. Kim Ji-yeong pun begadang malam itu. Kemudian ketua timnya berkata bahwa tulisan Kim Ji-yeong bagus. Tanpa banyak revisi, tulisan kali ini sudah berubah menjadi pernyataan pers. Koran harian, majalah ibu rumah tangga, dan siaran berita di televisi pun mengutip pernyataan pers itu untuk dijadikan berita. Kim Ji-yeong tidak lagi menyeduh kopi untuk semua orang di pagi hari dan tidak lagi menyiapkan sendok dan gelas di ruang makan. Tidak seorang pun berkata apa-apa.

Pekerjaan dan rekan-rekan kerjanya menyenangkan. Namun, berurusan dengan reporter, klien, dan bagian promosi sangat merepotkan. Bahkan setelah waktu berlalu, setelah pengalaman dan keterampilannya meningkat, dan setelah ia sudah tidak asing dengan pekerjaannya, rasanya tetap masih ada jurang di antara mereka. Dari sudut pandang agensi humas, mereka adalah satu kelompok yang sama, sebagian besar terdiri atas pria-pria setengah baya yang memiliki jabatan tertentu. Ka-

renanya, mereka memiliki selera humor yang berbeda. Mereka terus melontarkan gurauan-gurauan yang panjang, sehing-

ga pendengar mereka pun tidak tahu kapan ia harus tertawa atau apa yang harus ia katakan. Jika si pendengar tersenyum, mereka akan melanjutkan gurauan mereka. Jika si pendengar tidak tersenyum, mereka akan mendesak ingin tahu apa masalah si pendengar.

Kim Ji-yeong pernah pergi makan siang bersama seorang klien di restoran Korea, dan salah seorang perwakilan dari perusahaan klien melihat Kim Ji-yeong memesan gandoenjang" dan berkata, “Rupanya anak-anak muda bisa makan gandoenjang juga? Apakah Nona Kim adalah gadis doenjang'? Ha ha ha ha.”

Saat itu istilah “gadis doenjang” mulai populer dan saat itu juga muncul berbagai istilah yang ditujukan untuk merendahkan wanita. Ia tidak tahu apakah istilah "gadis doenjang” itu dimaksudkan sebagai lelucon atau apakah ditujukan untuk merendahkan dirinya. Pria itu tertawa bersama rekan-rekan kerjanya, sementara Kim Ji-yeong dan rekan-rekan seniornya tersenyum kikuk dan berusaha mengalihkan pembicaraan. Begitulah.

Kim Ji-ycong pernah diundang menghadiri jamuan bersama departemen promosi dari sebuah perusahaan berskala sedang. Kim Ji-yeong dan ketua timnya, Kim Eun-sil, diundang sebagai ungkapan terima kasih karena mereka sudah melakukan tugas dengan baik, mulai dari merencanakan pesta perayaan sampai menyebarkan pernyataan pers.

Dalam perjalanan ke restoran di distrik universitas tempat

'#Sup sayuran yang terbuat dari doenjang (-termentasi kacang kedelai). "Istilah untuk wanita yang dianggap memerlukan perawaran mahal. para karyawan bagian promosi sudah berkumpul, Kim Eun-sil

berkata, "Aku benar-benar tidak ingin pergi. Kalau mereka memang ingin berterima kasih, mereka bisa mengirim uang atau hadiah saja kepada kita. Mereka tahu betapa merepotkannya bagi kita untuk pergi ke sana. Mereka mau berterima kasih dengan makan dan minum bersama? Bukankah maksud mereka sudah jelas? Mereka hanya ingin memamerkan kekuasaan mereka untuk yang terakhir kali. Aduh, aku benar-benar tidak ingin pergi. Tapi apa boleh buat?”

Ada enam orang karyawan dalam departemen promosi itu, termasuk tiga pria yang masing-masing berumur 50-an, 40-an, dan 30-an tahun, lalu tiga wanita berumur 20-an tahun. Yang hadir dari agensi Kim Ji-yeong ada tiga orang, yaitu Kim Jiyeong sendiri, Kim Eun-sil, dan seorang karyawan pria yang sudah membantu menyelenggarakan acara ini.

Wajah ketua departemen promosi sudah memerah ketika mereka tiba, mungkin karena ia sudah minum-minum lebih dulu. Begitu melihat Kim Ji-yeong, pria itu langsung bersorak gembira. Rekannya yang duduk di sampingnya segera berdiri sambil membawa gelas bir dan peralatan makannya, lalu memberi isyarat kepada Kim Ji-yeong agar duduk di samping ketua departemen. Sang ketua terkekeh dan memuji ketajaman pikiran anak buahnya. Sementara itu, Kim Ji-yeong merasa situasi itu sangat memalukan dan ia sama sekali tidak sudi duduk di samping pria itu. Walaupun ia berkali-kali berkata bahwa ia ingin duduk bersama rekan-rekan kerjanya sendiri, mereka terus mendesak Kim Ji-yeong duduk di samping ketua departemen. Orang-orang lain hanya mengamati mereka dengan resah, se-

mentara ketua timnya yang tadi pergi ke kamar kecil baru masuk ke restoran setelah semua masalah itu selesai. Pada akhirnya,

Kim Ji-yeong duduk di samping sang ketua departemen, menerima bir yang dituangkan pria itu untuknya, dan menenggak beberapa gelas karena tidak mampu menolak.

Sang ketua departemen, yang baru pindah dari bagian pengembangan produk ke bagian promosi tiga bulan lalu, tidak henti-hentinya memberikan nasihat dari pengalamannya sendiri dalam hal hubungan masyarakat dan marketing. Ia bahkan berkata bahwa Kim Ji-yeong memiliki wajah yang cantik dan hidung yang mancung, jadi Kim Ji-yeong hanya perlu melakukan operasi lipatan mata. Kim Ji-yeong sama sekali tidak rahu apakah pria itu memujinya atau justru mencelanya. Pria itu kemudian bertanya apakah Kim Ji-yeong sudah memiliki kekasih. Ia bahkan kemudian melontarkan lelucon-lelucon yang tidak senonoh dan tidak lucu seperti, “Gol yang berhasil dicetak di gawang yang dijaga baru akan terasa memuaskan.” Atau, “Ada wanita yang belum pernah melakukannya, tetapi tidak ada wanita yang hanya melakukannya satu kali.”

Kim Ji-yeong terus didesak menenggak minuman. Ia sudah beralasan bahwa ia sudah minum sampai melewati kapasitasnya, bahwa perjalanannya pulang ke rumah akan berbahaya, dan bahwa ia tidak bisa minum lagi, terapi mereka kemudian berkata bahwa ada banyak pria di sana, jadi Kim Ji-yeong tidak perlu khawatir.

Justru kalian yang paling membuatku khawatir, pikir Kim Ji-yeong sambil diam-diam menuangkan minumannya ke gelas atau mangkuk kosong lain.

Ketika waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, si

ketua departemen menuangkan minuman ke gelas Kim Jiyeong, lalu berdiri sambil terhuyung. Ia berbicara dengan sopir-

nya di telepon dengan suara lantang yang terdengar sampai ke seluruh penjuru restoran. Setelah itu ia berkata kepada orangorang di sekelilingnya, “Putriku bersekolah di universitas di depan sana. Dia sedang belajar di perpustakaan dan karena sekarang sudah larut, dia minta dijemput. Maaf, tapi aku pulang dulu. Kim Ji-yeong, kau harus menghabiskan minumannya!”

Kendali diri terakhir Kim Ji-yeong seolah-olah putus. Apakah kau tidak sadar beberapa tahun lagi putrimu tersayang juga akan berakhir sepertiku? Dan kau masih bisa memperlakukanku seperti ini? batinnya. Ia mendadak merasa mabuk dan mengirim pesan kepada kekasihnya untuk datang menjemputnya. Namun, ia tidak menerima balasan.

Hiruk pikuk pun mereda setelah si kepala departemen pergi. Beberapa orang mulai saling mengobrol sendiri, beberapa orang pergi ke luar untuk merokok, dan salah seorang karyawan wanita dari departemen promosi menghilang entah ke mana. Beberapa orang berusaha kembali meramaikan suasana dengan mengusulkan ronde kedua, tetapi untunglah Kim Eun-sil bersikap tegas dan mereka bertiga pun bisa keluar dari sana tanpa kesulitan. Ketua tim berkata bahwa ibunya sedang sakit, jadi ia pulang lebih dulu dengan taksi. Kim Ji-yeong dan rekan kerja prianya duduk di depan toko swalayan sambil minum kopi kalengan. Kim Ji-yeong yang mengusulkan agar mereka minum kopi karena ia berpikir kopi dingin mungkin bisa membantu mereka menghilangkan mabuk. Namun, bukannya merasa lebih sadar, ia malah mulai mengantuk, mungkin karena ia sudah berhasil keluar dari situasi yang tidak mengenakkan dan kegu-

gupannya sudah menguap. Kim Ji-yeong mendadak menelungkupkan diri di meja yang dipenuhi bekas sup ramyeon, dan ti-

dak bisa bangun walaupun rekan kerjanya mengomel dan menendang kakinya.

Tepat pada saat itu kekasih Kim Ji-yeong menelepon. Karena Kim Ji-yeong sudah tertidur pulas, rekan kerjanyalah yang menjawab telepon, berpikir ia bisa meminta kekasih Kim Ji-yeong datang menjemput. Namun, keputusannya salah.

“Ah, halo. Saya rekan kerja Ji-yeong...”

“Di mana Ji-yeong?”

“Ji-yeong sedang tidur, jadi saya yang mengangkat telepon...

“Sedang tidur? Apa-apaan ini? Siapa kau?”

“Bukan! Bukan! Bukan seperti itu! Kau salah paham. Jiyeong mabuk...”

“Berikan teleponnya kepada Ji-yeong sekarang juga!”

Pada akhirnya, kekasihnya membopong Kim Ji-yeong pulang ke rumah dengan selamat. Sayangnya, hubungan mereka

berdua mulai goyah.

Untunglah banyak orang baik di perusahaan tempatnya bekerja, dan Kim Ji-yeong menjalani kehidupan sosial yang baik, tidak merasa susah, sedih atau frustrasi. Ia sering membeli makanan enak untuk kekasihnya, juga membeli tas, pakaian dan dompet untuknya. Kadang-kadang ia bahkan memberikan uang taksi kepada kekasihnya. Sebagai gantinya, kekasihnya sering menghabiskan waktu dengan menunggu. Ja menunggu Kim Ji-yeong pulang kerja dan menunggu datangnya hari

libur. Kim Ji-yeong yang merupakan staf jajaran bawah tidak bisa menentukan jadwal kerjanya sendiri, jadi kekasihnya

harus menunggu sampai Kim Ji-yeong punya waktu untuk menemuinya. Ia juga harus menunggu telepon dan pesan dari Kim Ji-yeong. Sejak mulai bekerja, Kim Ji-yeong semakin jarang menelepon dan mengirim pesan kepadanya. Kekasihnya pernah menggerutu dan bertanya apakah Kim Ji-yeong tidak punya waktu sedikit pun untuk mengirim pesan, misalnya ketika Kim Ji-yeong sedang berada di kereta bawah tanah, di kamar kecil, ketika makan siang, atau pada waktu istirahat. Kim Ji-yeong bukannya tidak punya waktu untuk iru, tetapi ia tidak punya waktu untuk bersantai. Banyak pasangan kekasih pekerja-mahasiswa juga mengalami hal yang sama, entah itu pihak wanita yang bekerja atau pihak pria yang bekerja.

Kim Ji-yeong merasa bersalah karena tidak sempat membantu kekasihnya yang sedang bersiap-siap mencari pekerjaan karena sebentar lagi ia akan lulus. Kim Ji-yeong ingat bagaimana kekasihnya sudah banyak membantunya dulu ketika Kim Jiyeong berada dalam situasi yang sama. Ketika Kim Ji-yeong mengingat masa-masa itu, hatinya selalu terasa hangat. Namun, kini kehidupan sehari-hari Kim Ji-yeong juga penuh perjuangan. Ja tidak mampu memastikan keselamatan orang lain apabila dirinya sendiri terancam bahaya. Kekecewaan di antara mereka pun semakin bertumpuk, seperti debu yang tanpa disadari semakin bertumpuk di atas kulkas atau di rak kamar mandi. Dan suatu malam, mereka pun bertengkar hebat.

Selama ini kekasih Kim Ji-yeong tahu bahwa Kim Ji-yeong tidak pernah minum sampai mabuk, bahwa Kim Ji-yeong terpaksa menenggak minuman keras pada malam jamuan itu

diadakan, dan bahwa Kim Ji-yeong sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan rekan kerjanya yang menjawab

teleponnya malam itu. Kekasihnya tahu benar, tetapi semua itu tidak penting. Karena sepercik api sudah jatuh di atas debu kering. Masa-masa muda yang indah itu pun langsung terbakar habis.

Sejak saat itu Kim Ji-yeong menerima tiga atau empat ajakan kencan buta, dan di antara semua pria yang ditemuinya itu, ada pria yang ditemuinya lagi beberapa kali untuk nonton atau makan bersama. Semua teman kencannya adalah pria yang lebih tua daripada Kim Ji-yeong, dengan jabatan yang lebih tinggi, dan dengan gaji yang mungkin lebih besar. Merekalah yang melakukan apa yang dilakukan Kim Ji-yeong dulu. Mereka yang membayar makanan, membeli tiket bioskop, dan membeli hadiah-hadiah besar dan kecil. Hanya saja, tidak seorang pun dari mereka berhasil membuat hati Kim Ji-yeong terpikat.

Terdengar kabar bahwa perusahaan tempat Kim Ji-yeong bekerja akan membentuk tim perencanaan. Selama ini, setelah berhasil mendapat klien, mereka baru akan mulai bekerja sesuai permintaan klien. Sekarang, mereka ingin membuat rancangan terlebih dulu baru menawarkannya kepada klien. Tentu saja hal itu tidak dimaksudkan hanya sebagai rencana satu kali, terapi sebagai sesuatu yang bisa dilakukan untuk jangka panjang. Saat itu bisnis sedang lesu. Walaupun mungkin tidak bisa langsung menghasilkan keuntungan, mereka berpikir dengan menjalin hubungan yang baik dengan klien, mereka bisa mendapatkan penghasilan dan mengalami per-

tumbuhan yang stabil. Sebagian besar karyawan, termasuk Kim Ji-yeong, merasa rencana itu menarik. Ketika Kim Eun-

sil ditetapkan sebagai ketua tim bagian perencanaan, Kim Ji-yeong pun menyatakan keinginannya untuk bergabung dengan tim itu.

“Baiklah. Aku yakin kita akan sukses apabila kau bergabung,” kata Kim Eun-sil dengan nada positif.

Namun, pada akhirnya Kim Ji-yeong tidak bisa bergabung. Yang terpilih untuk bergabung dengan tim perencanaan adalah tiga orang manajer senior, yang dianggap cekatan bekerja, dan dua orang rekan kerja pria Kim Ji-yeong. Tim perencanaan itu terkesan seperti tim elit, dan hal itu membuat Kim Ji-yeong dan rekan kerjanya, Kang Hye-soo, merasa tersisih. Selama ini karyawan-karyawan wanitalah yang memiliki reputasi bagus. Rekan-rekan senior sering bergurau blakblakan bahwa mereka semua diterima pada waktu yang sama dan atas kriteria yang sama, tetapi kenapa kedua pria itu yang terpilih untuk bergabung dengan tim perencanaan? Kedua karyawan pria itu bukannya tidak bisa bekerja, tetapi mereka memang mendapat klien-klien yang lebih mudah dihadapi.

Mereka berempat adalah orang-orang yang unik. Mereka bergaul dengan baik tanpa pernah berselisih walaupun memiliki kepribadian yang sangar berbeda. Namun, sejak kedua pria itu pindah ke tim perencanaan, jurang yang aneh pun mulai terbentuk. Mereka tidak lagi saling mengirim chatting internal. Tidak ada lagi empat sekawan yang minum kopi bersama, makan siang bersama, atau minum-minum bersama. Apabila berpapasan di koridor, mereka akan berusaha menghindari kontak mata dengan canggung. Mungkin karena

merasa situasi itu tidak boleh berlanjut terus, Kang Hye-soo yang usianya lebih tua pun memutuskan mengadakan acara

minum-minum bersama.

Walaupun mereka banyak minum, tidak seorang pun yang mabuk. Dulu, setiap kali mereka berkumpul, mereka pasti akan tertawa dan bersenda gurau seperti anak kecil, mengeluh tentang pekerjaan yang berat, dan saling melontarkan keluhankeluhan ringan tentang anggota-anggota dalam kelompok kerja mereka. Namun, hari itu untuk pertama kalinya suasana terasa serius. Karena Kang Hye-soo berkata bahwa ia pernah berkencan dengan seseorang di dalam perusahaan mereka.

“Sekarang hubungan kami sudah berakhir. Jangan tanya siapa orangnya, jangan menebak-nebak, dan jangan menyebarkan hal ini kepada orang lain. Bagaimanapun, itulah alasannya aku jarang bicara akhir-akhir ini. Jadi, hiburlah aku.”

Wajah-wajah karyawan yang masih lajang berputar-putar dalam benak Kim Ji-yeong. Namun, mendadak terpikir olehnya bahwa mungkin saja pria yang dimaksud itu bukan pria lajang. Dan gagasan itu membuat kepalanya sakit. Kedua rekan kerja pria mereka menenggak bir dengan cepat. Kemudian salah seorang dari mereka berkata bahwa ia mencemaskan adiknya yang sudah lulus kuliah tahun lalu tapi belum berhasil mendapatkan pekerjaan. Ia sendiri bahkan tidak mampu melunasi pinjaman kuliahnya, apalagi sekarang ditambah pinjaman kuliah adiknya.

Pria yang satu lagi menggaruk-garuk kepala. “Apakah ini waktunya membuat pengakuan? Apakah aku juga harus mengaku? Sebenarnya aku tidak cocok bekerja dengan tim peren-

canaan.” Kim Ji-yeong mengetahui banyak hal selama acara minum-

minum hari itu. Konon, anggota-anggota tim perencanaan ditetapkan sendiri oleh direktur perusahaan. Para manajer dipilih karena tim perencanaan itu harus berhasil mendapatkan pekerjaan bagus, dan rekan-rekan kerja pria Kim Ji-yeong dipilih karena proyek itu adalah proyek jangka panjang. Sang direktur tahu benar bahwa tuntutan pekerjaan akan membuat karyawan wanita sulit menyeimbangkan kewajiban profesional dan perkawinan mereka, terutama apabila mereka sudah memiliki anak. Karena itu sang direktur tidak menganggap karyawan wanita sebagai karyawan jangka panjang. Sayangnya, tidak ada rencana untuk memperbaiki kesejahteraan karyawan. Bukannya menciptakan situasi untuk mendukung karyawan supaya bisa bertahan lama, sang direktur justru memilih menambah jumlah karyawan yang dianggapnya bisa bertahan lama. Alasan itulah yang membuat Kim Ji-yeong dan Kang Hye-soo harus menghadapi klien-klien yang sulit. Bukan karena mereka berdua mendapat kepercayaan lebih, tetapi karena perusahaan tidak ingin karyawan pria, yang dianggap bisa bertahan lebih lama di perusahaan, merasa patah semangat dan tidak ingin bekerja lagi.

Kim Ji-yeong merasa seolah-olah sedang berdiri di tengahtengah labirin. Ia berusaha keras mencari jalan keluar, tetapi sejak awal tidak ada jalan keluar sama sekali. Kata orang, manusia tidak boleh diam saja, harus berusaha keras, walaupun itu berarti harus merobohkan dinding yang menghalangi. Tujuan akhir perusahaan adalah mendapatkan uang, dan seorang direktur tidak bisa dipersalahkan apabila ia ingin meng-

hasilkan keuntungan besar dengan investasi seminim mungkin. Namun, apakah adil apabila yang selalu dipilih adalah efisi-

ensi dan rasionalisasi yang terlihat di depan mata? Pada akhirnya apa lagi yang akan tersisa di dunia yang tidak adil ini? Apakah orang-orang yang tersisa itu akan bahagia?

Kim Ji-yeong tahu sejak mereka bergabung dengan perusahaan, pendapatan tahunan para rekan kerja pria pasti lebih tinggi, tetapi ia tidak merasakan apa-apa lagi karena kekageran dan kekecewaan yang dirasakannya hari itu sudah terlalu besar. Ia tidak lagi yakin ingin bekerja keras dan percaya pada direktur dan para rekan seniornya, tetapi ketika pagi menjelang, ia tetap berangkat kerja seperti biasa. Dan seperti sebelumnya, melakukan apa yang disuruh, tetapi semangat dan kepercayaannya sudah memudar.

Di antara anggota-anggota OECD Organisation for Economic Cooperation and Development—Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi), Korea Selatan adalah negara yang memiliki selisih penghasilan terbesar antara pria dan wanita. Menurut data statistik tahun 2014, apabila penghasilan pria adalah 1.000.000 won, maka penghasilan rata-rata wanita dalam OECD adalah 844.000 won, sementara penghasilan wanita di Korea adalah 633.000 won”. Menurut Index Langit-langit Kaca yang diumumkan oleh majalah Inggris Economist, di antara negara-negara yang diikutkan dalam survei, Korea berada di posisi paling bawah. Hal itu menandakan bahwa Korea merupakan negara yang paling tidak ramah bagi pekerja perempuan,
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar