Kim Ji-Yeong Lahir Tahun 1982 ~ Jilid 1 : Musim Gugur 2015

Jilid 1 : Musim Gugur 2015

KIM Ji-yeong berumur 34 tahun. Ia menikah tiga tahun yang

lalu dan melahirkan anak perempuannya tahun lalu. Ia tinggal di apartemen mewah seluas 80 meter persegi di pinggiran Seoul bersama suaminya, Jeong Dae-hyeon, dan putrinya, Jeong Jiwon. Jeong Dae-hyeon bekerja di perusahaan IT, sementara Kim Ji-yeong dulu bekerja di agensi humas berskala kecil sebelam putrinya lahir. Jeong Dae-hyeon sering bekerja sampai tengah malam dan sering bekerja di akhir pekan. Karena mertuanya tinggal di Busan dan karena orangtuanya sendiri membuka restoran, Kim Ji-yeong harus mengurus anaknya yang masih bayi sendirian. Sejak musim panas lalu, ketika usianya sudah satu tahun, Jeong Ji-won pun mulai dititipkan ke tempat penitipan anak di lantai dasar kompleks apartemen mereka. Keanehan Kim Ji-yeong pertama kalinya disadari pada tanggal 8 September. Jeong Dae-hyeon mengingat tanggal itu karena saat itu awal musim gugur. Ia sedang sarapan roti panggang dan susu ketika Kim Ji-yeong mendadak pergi ke beranda dan

membuka jendela. Matahari bersinar cerah, tetapi begitu jendela dibuka, udara dingin berembus masuk sampai ke ruang makan.

Kim Ji-yeong menggigil dan kembali ke meja makan.

“Beberapa hari terakhir ini angin bertiup kencang, ternyata hari ini sudah awal musim gugur. Ladang padi pasti tertutup butiran embun,” katanya.

Mendengar istrinya berbicara seperti orang tua, Jeong Daehyeon pun tertawa. “Kau ini kenapa? Seperti ibumu saja.”

“Sebaiknya kau mulai membawa jaket, Dae-hyeon. Udara di pagi dan malam hari sangat dingin.”

Saat itu Jeong Dae-hyeon berpikir istrinya hanya bergurau. Karena cara Kim Ji-yeong memanggil namanya. Ia selalu memanggil Jeong Dae-hyeon seperti itu dan mata kanannya akan berkerut apabila ia menginginkan sesuatu. Akhir-akhir ini ia mungkin kelelahan mengurus bayi, karena ia sering melamun dan meneteskan air mata setiap kali mendengarkan musik. Namun, biasanya Kim Ji-yeong adalah wanita yang periang, sering tertawa, dan suka mengulangi lelucon-lelucon yang didengarnya di televisi untuk membuat Jeong Dae-hyeon tertawa. Jadi Jeong Dae-hyeon pun tidak terlalu memikirkan hal itu. Ia memeluk istrinya dan berangkat kerja.

Malam itu, Jeong Dae-hyeon pulang dan menemukan Kim Ji-yeong tidur di samping putri mereka. Ibu dan anak itu tidur sambil mengisap ibu jari. Sejenak Jeong Dae-hyeon menatap istrinya dengan perasaan geli sekaligus heran, lalu ia menarik tangan istrinya, mengeluarkan jarinya dari mulut. Kim Ji-yeong mengecap-ngecapkan lidah seperti anak kecil, dan tetap tertidur pulas. Beberapa hari kemudian, Kim Ji-yeong berkata ia adalah Cha

Seung-yeon, teman satu klubnya di universitas yang sudah meninggal tahun lalu. Cha Seung-yeon seangkatan dengan Jeong Dae-hyeon, yang berarti ia lebih tua tiga tahun daripada Kim Ji-yeong. Dulu Jeong Dae-hyeon dan Kim Ji-yeong kuliah di universitas yang sama dan sama-sama bergabung dengan klub hiking, tetapi selama masa kuliah mereka sama sekali tidak pernah bertemu. Jeong Dae-hyeon terpaksa membatalkan rencananya untuk kuliah S2 karena kondisi keluarga. la baru mengikuti wajib militer setelah menyelesaikan tahun ketiganya di universitas. Setelah menyelesaikan wajib militer, ia cuti kuliah selama setahun untuk pulang ke Busan dan bekerja paruh waktu di sana. Saat itulah Kim Ji-yeong mulai kuliah dan bergabung dengan klub hiking.

Cha Seung-yeon bergaul baik dengan para anggota junior. la bersahabat dengan Kim Ji-yeong karena mereka sama-sama tidak suka hiking. Setelah Cha Seung-yeon lulus kuliah pun mereka masih berhubungan. Dan di resepsi pernikahan Cha Seung-ycon-lah Jeong Dae-hyeon dan Kim Ji-yeong bertemu untuk pertama kalinya.

Cha Seung-yeon meninggal dunia akibat emboli air ketuban ketika melahirkan anak keduanya. Kenyataan itu, ditambah dengan depresi pascamelahirkan yang dialaminya sendiri, membuat Kim Ji-yeong merasa sulit menghadapi hidup.

Saat itu Kim Ji-yeong dan Jeong Dae-hyeon sedang bersantai dan minum bir setelah menidurkan Ji-won. Kim Jiyeong sudah hampir menenggak habis bir ketika ia menepuk bahu suaminya dan berkata, “Dae-hyeon, akhir-akhir ini Jiyeong sedang sedih. Secara fisik dia memang sudah membaik, tetapi pikirannya resah. Sering-seringlah kau menghibur dan

berterima kasih kepadanya.”

“Apa-apaan lagi ini? Baiklah, baiklah. Kau luar biasa, Kim Ji-yeong. Kau sudah bekerja keras. Terima kasih. Aku mencintaimu,” kata Jeong Dae-hyun sambil mencubit pelan pipi istrinya.

Kim Ji-yeong memukul tangan Jeong Dae-hyeon dan berkata dengan wajah serius, “Kaupikir aku masih Cha Seungyeon yang berumur 20 tahun yang tergagap-gagap menyatakan perasaanku padamu?”

Jeong Dae-hyeon seketika membeku. Kejadian itu sudah dua puluh tahun yang lalu. Saat itu siang hari, musim panas, matahari bersinar terik, dan mereka berdiri di tengah lapangan olahraga terbuka yang tidak menawarkan tempat berteduh. Jeong Dae-hyeon tidak ingat kenapa ia bisa berada di sana, tetapi ia secara kebetulan bertemu dengan Cha Seung-yeon, lalu Cha Seung-yeon mendadak menyatakan perasaan. Dengan wajah berkeringat, bibir gemetar, dan suara tergagap, ia berkata bahwa ia menyukai Jeong Dae-hyeon. Namun, kerika ia melihat ekspresi Jeong Dae-hyun yang kebingungan, Cha Seung-yeon langsung menyerah.

“Ah, ternyata kau tidak merasakan hal yang sama. Baiklah. Anggap saja kau tidak mendengar pengakuanku hari ini. Lupakan apa yang terjadi. Aku akan tetap memperlakukanmu seperti dulu.”

Setelah itu, ia pun berderap pergi melintasi lapangan. Sejak saat itu Cha Seung-yeon benar-benar bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa dan memperlakukan Jeong Dae-hyeon seperti biasa, membuat Jeong Dae-hyeon bertanya-tanya apakah semua itu hanya bayangannya. Ia pun tidak pernah memikirkannya lagi selama ini. Kini istrinya mendadak meng-

ungkit sesuatu yang terjadi pada suatu siang yang terik dua puluh tahun lalu yang tidak diketahui siapa pun selain Cha Seung-yeon dan Jeong Dae-hyeon.

“Ji-yeong.” Jeong Dae-hyeon tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya. Ia hanya bisa terus menyebut nama istrinya.

“Semua orang tahu kau suami yang baik, jadi berhentilah memanggil nama Ji-yeong. Dasar kau ini.”

Itu adalah gaya bicara Cha Seung-yeon ketika ia sedang mabuk. Dasar kau ini. Bulu kuduk Jeong Dae-hyeon meremang. “Berhentilah bicara sembarangan,” katanya dengan suara yang diusahakan terdengar tenang.

Kim Ji-yeong meletakkan kaleng birnya yang sudah kosong di meja, masuk ke kamar tanpa menyikat gigi lebih dulu, dan berbaring di samping putrinya. Ia langsung tertidur pulas.

Jeong Dae-hyeon mengeluarkan sekaleng bir lagi dari kulkas dan langsung menenggaknya sampai habis. Apakah istrinya tadi hanya bergurau? Mabuk? Atau apakah ini semacam kasus kerasukan seperti yang pernah ditayangkan di TV?

Keesokan paginya, Kim Ji-yeong terbangun sambil memijatmijat pelipis, dan sama sekali tidak ingat apa yang terjadi kemarin malam. Jeong Dae-hyeon lega karena istrinya hanya mabuk, tetapi ia juga resah memikirkan bagaimana istrinya bisa mengatakan apa yang dikatakannya kemarin. Ia juga heran bagaimana istrinya bisa begitu mabuk sampai kehilangan kesadaran. Bagaimanapun, Kim Ji-yeong hanya minum sekaleng bir.

Sejak saat itu keanehan-keanehan lain pun bermunculan. Kim Ji-yeong tidak pernah menggunakan emotikon dalam SMS-nya, tetapi sekarang semua SMS-nya sarat emotikon. Ia juga memasak sup tulang sapi dan japchae padahal sebelumnya ia tidak suka dan tidak bisa memasak kedua hidangan itu. Jeong

Dae-hyeon sering merasa istrinya bagaikan orang lain. Istrinya sekarang sama sekali tidak seperti Kim Ji-yeong yang dulu berpacaran dengannya selama dua tahun, yang hidup bersamanya selama tiga tahun terakhir, yang sering mengobrol dengannya, yang sering membelainya dengan lembur, dan yang sudah me-

lahirkan seorang anak perempuan yang mirip mereka berdua.

Masalah semakin parah ketika mereka pulang ke rumah orangtua Jeong Dae-hyeon untuk merayakan Chuseok'. Jeong Daehyeon mengambil cuti di hari Jumat. Mereka bertiga berangkat dari rumah jam tujuh pagi dan tiba di Busan lima jam kemudian. Setibanya di sana, mereka makan siang bersama orangtua Jeong Dae-hyeon, lalu Jeong Dae-hyeon tidur siang sebentar karena kelelahan setelah mengemudi selama itu. Dulu ia dan istrinya akan bergantian mengemudi apabila mereka menempuh perjalanan jauh, tetapi sejak anak mereka lahir, Jeong Daehyeon-lah yang selalu mengemudi. Anak mereka tidak suka kursi bayi, jadi ia sering menangis, merengek, dan merajuk, dan Kim Ji-yeong yang lebih ahli membujuknya, dengan bermain dengannya atau memberi kudapan kepadanya.

Setelah mencuci piring bekas makan siang, Kim Ji-yeong beristirahat sejenak dan minum kopi, lalu pergi ke pasar bersama ibu mertuanya untuk membeli persediaan makanan untuk Chuseok.

Sejak sore ia merebus tulang sapi, membumbui daging, dan

membersihkan sayuran. Sebagian sayurannya direbus dan

'"Thanksgiving Korea, hari ke-15 di bulan ke-8 menurut kalender bulan. sebagian lagi disimpan di dalam kulkas. Kemudian ia menyi-

apkan sayuran dan hidangan laut yang akan digunakan untuk membuat jeor' dan gorengan. Setelah itu ia menyiapkan makan malam, dan membersihkan semua peralatan makan setelah semua orang selesai makan.

Keesokan harinya, sejak pagi-pagi sekali, Kim Ji-yeong dan ibu Jeong Dae-hyeon sibuk menggoreng jeon, merebus daging, membuat kue beras, dan memasak nasi. Seluruh keluarga dengan gembira menikmati hidangan liburan itu. Jeong Ji-won juga tidak bersikap merepotkan. Anak itu makan dengan manis dan menghibur kakek neneknya dengan tingkah lakunya yang lucu.

Keesokan harinya adalah Cpuseok. Karena sepupu Jeong Daehyeon yang tinggal di Seoul yang akan mengadakan upacara sembahyang, rumah Jeong Dae-hyeon tidak ramai, Mereka semua bangun siang dan menyantap sarapan sederhana. Setelah sisa sarapan dibereskan, keluarga adik perempuan Jeong Daehycon, Jeong Soo-hyeon, datang. Jeong Soo-hyeon, yang lebih muda dua tahun daripada Jeong Dae-hyeon dan satu tahun lebih tua daripada Kim Ji-yeong, tinggal di Busan bersama suami dan dua anak laki-lakinya. Mertuanya juga tinggal di Busan. Keluarga mertuanya keluarga besar, jadi setiap hari raya selalu menimbulkan tekanan besar karena mereka harus menyiapkan banyak makanan dan menerima banyak tamu. Begitu tiba di rumah orangtuanya, Jeong Soo-hyeon langsung merebahkan diri. Kim Ji-yeong dan ibu Jeong Dae-hyeon memasak sup talas dengan sup tulang yang masih tersisa, memasak nasi lagi, me-

manggang ikan, dan menyiapkan sayuran untuk makan siang.

Panekuk ala Korea Setelah makan siang, Jeong Soo-hyeon mengeluarkan berba-

gai macam baju terusan, rok tutu, jepit rambut, kaus kaki berenda dalam berbagai warna sambil berkata bahwa ia membeli semua itu untuk Ji-won. Ia memasang jepit rambut di rambut Ji-won dan memakaikan kaus kaki di kaki Ji-won sambil berkata bahwa ia juga ingin punya anak perempuan, bahwa anak perempuan memang yang terbaik, dan terus memuji-muji keponakannya. Sementara itu Kim Ji-yeong mengupas apel dan pir, tetapi semua orang berkata bahwa mereka sudah kenyang. Ketika kue beras disajikan, hanya Jeong Soo-hyeon yang mengambil sebuah.

“Ibu membuat kue beras ini sendiri?”

“Tentu saja.”

“Aduh, sudah kubilang Ibu tidak perlu memasak. Mulai sekarang, Ibu tidak perlu memasak sup tulang lagi, jeon bisa dibeli sedikit di pasar, dan kue beras juga bisa dibeli di toko kue. Kenapa harus masak sebanyak itu padahal upacara sembahyang tidak diadakan di sini? Ibu pasti repot, Ji-yeong juga pasti repot.”

Ekspresi ibunya berubah muram. “Memasak untuk keluarga sendiri sama sekali tidak merepotkan. Bukankah rasanya menyenangkan kalau semua orang berkumpul, memasak bersama dan makan bersama?” Tiba-tiba ibu Jeong Dae-hyeon bertanya kepada Kim Ji-yeong, “Kau lelah?”

Pipi Kim Ji-yeong memerah, sementara wajahnya melembut dan sinar matanya berubah hangat. Jeong Dae-hyeon merasa resah, tetapi ia tidak tahu bagaimana harus mengalihkan topik pembicaraan dan menyelamatkan istrinya.

Lalu Kim Ji-yeong berkata, “Aduh, Ibu, sebenarnya tubuh Ji-yeong selalu sakit dan pegal setiap hari raya.” Semua orang bergeming. Rasanya seolah-olah semua orang

sedang duduk di atas sepotong es yang licin. Jeong Soo-hyeon menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan napas berupa uap putih.

“Se-sepertinya popok Ji-won harus diganti, bukan?” kata Jeong Dae-hyeon sambil cepat-cepat menarik tangan istrinya.

Kim Ji-yeong menepis tangan suaminya. “Dae-hyeon, kau juga sama. Kau selalu menghabiskan sepanjang hari libur di Busan, sementara kau tidak pernah mau tinggal lama kalau mengunjungi rumah kami. Kali ini kau harus datang lebih awal.” Mata kanannya berkerut.

Tepat pada saat itu putra sulung Jeong Soo-hyeon, yang berumur lima tahun dan yang sedang bermain dengan adiknya di sofa, mendadak terjatuh dan menangis. Tidak seorang pun bergerak untuk menghiburnya. Setelah melihat para orang dewasa yang bergeming dengan mulut menganga, anak itu pun berhenti menangis. Lalu ayah Jeong Dae-hyeon berseru, “Ji-yeong, apa maksudmu? Sikap macam apa itu di depan orangtua? Memangnya berapa kali dalam setahun kita sekeluarga bisa berkumpul dengan Dae-hyeon dan Soo-hyeon? Memangnya kau keberatan berkumpul dan menghabiskan waktu dengan keluarga? Begitu?”

“Ayah, tidak seperti itu,” sela Jeong Dae-hyeon, tetapi ia sama sekali tidak tahu penjelasan seperti apa yang harus diberikannya.

Kim Ji-yeong mendorong Jeong Dae-hyeon dan berkata tenang, “Ayah, dengan segala hormat, izinkan aku mengatakan sesuatu. Apakah yang dinamakan keluarga hanya terbatas pada keluarga ini? Pihak kami juga termasuk keluarga. Kami juga hanya bisa bertemu dengan ketiga anak kami di hari raya.

Seperti itulah kehidupan anak-anak muda zaman sekarang. Jika anak perempuan kalian pulang ke rumah, seharusnya

kalian mengizinkan anak perempuan kami pulang juga.”

Pada akhirnya Jeong Dae-hyeon membekap mulut istrinya dan menariknya keluar. “Dia sedang tidak sehat, Ayah. Ibu, Ayah, Soo-hyeon, maaf. Akhir-akhir ini dia sedang tidak sehat. Akan kujelaskan nanti.”

Bahkan tanpa berganti pakaian lebih dulu, Jeong Dae-hyeon, Kim Ji-yeong, dan Jeong Ji-won masuk ke mobil. Jeong Daehyeon menyandarkan kening ke roda kemudi dengan ekspresi tersiksa, sementara Kim Ji-yeong bernyanyi kepada putrinya, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Orangtua Jeong Dae-hyeon tidak mengantar kepergian mereka, hanya menyuruh Jeong Soo-hyeon mengemasi barang-barang kakaknya dan memasukkannya ke bagasi mobil.

“Ucapan Ji-yeong benar, Kak. Kita terlalu mengabaikan perasaannya. Sebaiknya kalian tidak bertengkar dan tidak saling marah. Saling berterima kasih dan meminta maaf saja. Mengerti?”

“Aku pergi dulu. Tolong jelaskan kepada Ayah.”

Jeong Dae-hyeon tidak marah. Ia resah, bingung, dan takur.

Pada awalnya, Jeong Dae-hyeon sendiri yang pergi menemui psikiater untuk berkonsultasi tentang kondisi istrinya dan membahas pengobatan. Lalu ia menyarankan Kim Ji-yeong yang pergi berkonsultasi dengan alasan bahwa ia merasa Kim Ji-yeong tidak bisa tidur akhir-akhir ini dan terlihat lelah. Kim Ji-yeong berterima kasih kepada suaminya, berkata bahwa ia memang merasa sangat lesu akhir-akhir ini dan tidak bersemangat melakukan apa pun. Ia juga berkata bahwa ia mungkin mengalami depresi pascamelahirkan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar