Kilat Pedang Membela Cinta Jilid 4

Jilid 4

Pembesar itu mengumpulkan para pengawalnya dan marah-marah, memerintahkan mereka untuk melakukan penyelidikan dan pengejaran sampai dapat menangkap maling itu. Dari pengawal yang tertendang lututnya dan roboh tadi, komandan pengawal mendengar bahwa pencuri itu adalah seorang yang bentuk tubuhnya seperti seorang wanita, kecil ramping, akan tetapi tidak begitu jelas mukanya karena hanya sebentar saja dia melihat wajah orang itu, dan di dalam keadaan remang-remang.

Pada keesokan hariya, ketika dia mandi lalu keluar ke ruangan depan rumahnya, Kwee Lok terheran melihat seorang pemuda duduk di situ. Akan tetapi ketika dia menghampiri dan pemuda itu bangkit berdiri memandangnya, dia terbelalak.

“Kwi-moi...? Kenapa engkau berpakaian begini...?” Dia memandang Adik angkatnya yang sudah mengenakan pakaian pria dan sebuah buntalan besar berada di atas meja.

“Toako, aku mau pergi sekarang juga.” “Pergi? Kemana?”

“Aku akan melakukan perjalanan berlayar ke selatan, ke Kerajaan Majapahit.” Kwee Lok makin terkejut. “Apa? Kenapa...? Dan perjodohan itu...?”

“Duduklah, Toako, dan mari kita bicara.” kata Bi Kwi dengan sikap tenang sekali. Kwee Lok duduk di depan Adik angkatnya sambil mengerutkan alisnya, menduga akan mendengar keputusan yang tidak menyenangkan hatinya.

“Toako, ketahuilah bahwa selama beberapa hari ini aku telah pergi menyelidiki keadaan orang bernama Cu Hok Sim itu. Dan tahukah engkau apa yang telah kudapatkan dalam penyelidikanku? Bahwa dia akan menipuku, menipumu, aku tidak akan diambil sebagai isteri, melainkan sebagai seorang di antara selir- selirnya yang amat banyak itu! Huh, tentu saja aku tidak sudi dan lebih baik mati dari pada menjadi seorang selirnya! Karena itu, aku telah memutuskan untuk menolak pinangan itu, Toako dan aku akan berangkat berlayar ke selatan sekarang juga.” Kwee Lok demikian kaget mendengar keputusan ini sehingga sampai beberapa lamanya dia tidak mampu bicara. Akhirnya dia mengerutkan alisnya dan memandang marah.

“Kwi-moi! Engkau sungguh akan membikin susah padaku saja! Aku telah memberi harapan kepada Cu- Kongcu, untuk menerima lamarannya. Kalau kini engkau menolak, bagaimana aku akan mampu berhadapan dengannya?”

“Kenapa tidak mampu, Toako? Bukankah aku yang telah menolak? Katakan saja bahwa aku tidak sudi menjadi jodohnya, habis perkara!”

 “Ah, engkau tidak tahu siapa dia! Ayahnya amat berkuasa, Kwi-moi...”

“Jadi engkau takut menolaknya? Lalu bagaimana? Apa yang akan kau lakukan, Toako?” Pemuda itu bangkit berdiri, mukanya merah dan sepasang matanya memandang dengan sinar mata penuh kemarahan.

“Kwi-moi, engkau adalah adikku! Akulah wakil orang tuamu, akulah yang menjadi walimu. Engkau harus taat kepadaku! Engkau harus menerima pinangan Cu-Kongcu!” Melihat sikap Kakak angkatnya yang marah, Bi Kwi juga bangkit berdiri dan mukanya juga berubah merah, sepasang matanya yang jeli berkilat.

“Toako, tidak perlu banyak cekcok dan berbantahan dalam hal ini! Pilih saja, engkau menyetujui aku menolak dan membiarkan aku berlayar ke selatan untuk mencari pembunuh Kakakku, atau kalau engkau memaksa, aku menurut akan tetapi masih belum terlambat bagiku kalau sudah tiba di rumah keluarga Cu, untuk membunuh Cu-Kongcu kemudian melarikan diri! Engkau pilih yang mana?” Wajah pemuda itu berubah pucat, lalu merah lagi.

“Kwi-moi...!” Dia membentak. Sejenak mereka berpandangan, dan dari sinar mata Adik angkatnya tahulah Kwee Lok bahwa keputusan adiknya itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Adiknya telah nekat dan kalau dia memaksanya menerima pinangan itu, tentu akan terjadi hal seperti yang diancamkan olehnya. Dan kalau sampai terjadi pembunuhan atas diri Cu-Kongcu, akibatnya akan lebih hebat lagi. Akan tetapi menolak pinangan? Dia tidak mungkin dapat melakukannya! Menghadapi dua pilihan yang sama beratnya ini, Kwee Lok menjadi bingung dan akhirnya dia menjatuhkan diri di atas kursi, menutupi mukanya dengan kedua tangan. Melihat keadaan Kakak angkatnya ini. Bi Kwi menjadi kasihan dan ia tahu bahwa ia telah mendesak Kakaknya ke sudut.

“Toako, harap maafkan aku kalau aku menyusahkan hatimu. Akan tetapi aku tidak berbohong kalau aku mengatakan bahwa lebih baik aku mati daripada menjadi selir Cu-Kongcu. Pertama, karena aku ingin sekali membalas dendam kematian Kakakku, dan keduanya, aku tidak sudi dijadikan selirnya. Nah, sekarang engkau memilihnya, Toako.”

“Ah, adikku, engkau tidak tahu betapa besar kekuasaan keluarga jaksa Cu itu! Mana mungkin aku menolak pinangannya? Sama saja dengan mencari penyakit atau membunuh diri.”

“Toako! Takut apa? Engkau bukan orang lemah! Kalau perlu, mari kita lawan mereka, kita hadapi dengan pedang!”

“Hemm, enak saja kau bicara, Kwi-moi. Kita hadapi dengan kekerasan dan kemudian kita berhadapan dengan pasukan pemerintah? Kita menjadi buronan pemerintah? Mana mungkin itu? Berarti kita memberontak.” Bi Kwi sadar bahwa usulannya itu memang tidak mungkin. Melawan jaksa Cu dengan terang-terangan sama dengan melawan pemerintah, karena tentu keluarga jaksa itu akan melontarkan tuduhan memberontak terhadap pemerintah.

“Kalau begitu, mari kita diam-diam datang ke gedungnya dan membunuh pemuda she Cu itu saja!” Kwee Lok terbelalak.

 “Hushhh...! Omongan apa ini, Kwi-moi? Gedung itu dijaga ketat dan kalau kita ketahuan, akan lebih hebat akibatnya. Tidak! Aku sudah mengambil keputusan. Engkau nekat menolak dan hendak berlayar ke selatan. Akan tetapi, bagaimana dengan biayanya?” Bi Kwi tersenyum penuh rahasia.

“Jangan khawatir, Toako. Aku sudah mengumpulkan biaya yang cukup untuk keperluan pelayaran ke selatan.” Ia menepuk-nepuk buntalannya.

“Aku tidak percaya!” Bi Kwi tidak menjawab, melainkan membuka batalannya dan begitu ia membuka buntalan kecil terisi emas yang banyak sekali, mata Kwee Lok terbelalak.

“Kwi-moi, dari mana engkau mendapatkan semua ini...?” Bi Kwi tersenyum.

“Takkan kuberitahukan kepadamu sekarang, Toako. Yang penting, aku sudah memperoleh bekal untuk biaya perjalanan yang jauh itu.”

“Kalau begitu, aku ikut!” Bi Kwi merasa heran melihat perubahan pada diri Kakak angkatnya ini, walaupun tentu saja iapun merasa girang karena hanya kalau ia pergi bersama Kakaknya pencaharian terhadap pembunuh Kakak kandungnya itu akan lebih mudah.

“Toako, aku gembira sekali kalau engkau mau menemaniku pergi. Akan tetapi, mengapa tiba-tiba saja engkau berubah?” Kwee Lok menghela napas panjang.

“Aah, engkau tidak tahu. Apa artinya bagiku tinggal di sini setelah engkau pergi? Cu-Kongcu tentu akan menuntut padaku dan bagaimana aku akan dapat menghadapinya? Memaksamu menerima pinangan juga tidak benar setelah melihat kenekatanmu. Dan kini, ternyata engkau telah berhasil mendapatkan emas cukup banyak untuk bekal perjalanan. Tidak ada pilihan lain yang lebih baik bagiku kecuali menyertaimu berlayar ke selatan karena kita tidak mungkin akan dapat dikejar oleh pasukan pemerintah yang tentu akan dikerahkan oleh keluarga Cu untuk menangkap kita.” Bi Kwi menjadi girang sekali. Ia dapat menerima alasan Kakak angkatnya itu, maka iapun memegang lengan Kwee Lok.

“Maafkan aku, Toako. Selama ini engkau telah bersikap demikian baik kepadaku, kepada mendiang Ayah dan kini aku hanya membalas budimu itu dengan perbuatan yang membuatmu repot saja. Akan tetapi aku girang sekali kalau engkau mau menemaniku berlayar ke selatan.”

“Sudahlah, bagaimanapun juga, aku senang pergi ke selatan. Negeri itu indah bukan main, dan banyak rahasia, banyak pula keanehan di sana. Akupun mempunyai banyak kenalan di Lumajang, tentu senang sekali berjumpa kembali dengan mereka.”

“Kalau begitu, cepat berkemas, Toako. Kita berangkat sekarang juga!” Kwee Lok memang tidak melihat jalan lain yang lebih baik kecuali ikut bersama Adik angkatnya meninggalkan dusun itu.

Kalau adiknya nekat menolak pinangan Cu-Kongcu dan pergi, tentu dia akan menghadapi kemarahan Cu- Kongcu dan dia tidak sanggup menghadapinya. Daripada celaka di tangan Cu-Kongcu, lebih baik dia menemani Adik angkatnya, karena selain hal itu merupakan kewajibannya juga banyak hal menarik yang menantinya di Lumajang! Kwee Lok dan Bi Kwi membeli dua ekor kuda yang baik, lalu mereka menunggang kuda, melarikan kuda keluar dari pintu gerbang sebelah barat kota Thian-Cin. Menurut rencana Kwee Lok, mereka akan berkuda ke selatan dan pelayaran dimulai dari Shanghai dengan perahu dagang. Bi Kwi yang sama sekali tidak berpengalaman, hanya menurut saja kepada Kakak angkatnya. Sambil membiarkan kuda mereka lari perlahan karena tadi mereka telah membalapkan kuda sampai beberapa lamanya, agar kuda mereka dapat beristirahat, Kwee Lok bertanya kepada Bi Kwi.

“Adikku yang baik, sekarang ceritakanlah dari mana engkau mendapatkan emas sebanyak itu.”

“Tadinya aku sendiri merasa bingung setelah mendengar keteranganmu bahwa pelayaran ke selatan membutuhkan uang banyak untuk biaya, Toako. Aku masih belum tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan biaya itu. Akan tetapi, ketika aku melakukan penyelidikan ke gedung keluarga Cu, aku mendengar Cu-Kongcu bicara dengan para selirnya tentang diriku. Betapa dia hendak menipu kita, bukan mengambilku sebagai isteri, melainkan sebagai selir dan kalau aku tidak mau dia akan menggunakan kekerasan memaksaku. Aku sudah marah sekali dan ingin menghajarnya, akan tetapi aku tidak mau menimbulkan keributan. Kemudian tiba-tiba saja teringat olehku akan suatu cara lain untuk menghukum keluarga Cu itu, dan sekaligus menolongku. Aku lalu masuk dan mengambil uang emas itu dan perhiasaan dari lemari besar keluarga itu.” Kwee Lok terbelalak, lalu tiba-tiba dia tertawa.

“Ha-ha-ha, lucu sekali. Jadi kau... kau malah mencuri dari keluarga Cu?” Dia tertawa lagi, nampaknya geli dan juga senang mendengar hal itu. Lega rasa hati Bi Kwi.

“Engkau tidak marah, bukan? Aku sudah khawatir engkau akan marah, Toako, maka ketika kau tanya tadi aku belum memberi keterangan.”

“Sepatutnya aku marah karena adikku telah menjadi pencuri! Akan tetapi, mengingat bahwa tentu rumah dan tanah kita akan disita oleh mereka, dan bahwa kita memang memerlukan sekali biaya itu, aku tidak marah kepadamu, bahkan bersyukur karena tanpa kenekatanmu itu, bagaimana mungkin kita dapat membiayai perjalanan yang jauh dan mahal ini?” Tiba-tiba mereka mendengar derap kaki banyak kuda dari belakang. Mereka telah tiba di kaki bukit yang sunyi dan matahari telah naik tinggi. Mendengar bunyi derap kaki banyak kuda, mereka menoleh dan nampaklah debu mengepul tanda bahwa ada banyak penunggang kuda datang dari arah belakang.

“Jangan-jangan ada yang mengejar kita!” kata Bi Kwi. “Mari kita membalapkan kuda, Toako.” Kwee Lok memandang ke depan. Bukit itu gundul, tidak ada hutannya. Melarikan diri akan sia-sia saja karena tentu akan nampak oleh para pengejar dan sukar untuk menyembunyikan diri di bukit gundul itu. Kuda merekapun tentu akan kehabisan tenaga untuk membalap sambil mendaki bukit.

“Tenanglah, Kwi-moi. Kita minggir saja dan kita lihat apakah mereka itu akan mengganggu kita ataukah tidak. Engkau siap-siap saja menghadapi segala kemungkinan.” Melihat sikap Kakaknya yang tenang, Bi Kwi juga tenang. Akan tetapi karena Kakaknya sudah bersiap-siap dengan mengendurkan tali pedang di punggungnya, iapun diam-diam mempersiapkan pedang curiannya yang masih disembunyikan dalam bungkusan.

Tak lama kemudian nampaklah belasan orang penunggang kuda dan setelah dekat, terkejutlah Kwee Lok melihat bahwa di antara mereka itu terdapat Cu Hok Sim! Celaka, pikirnya. Kiranya Cu-Kongcu sendiri yang melakukan pengejaran dan belasan orang itu tentulah pasukan pengawal pilihan! Apa boleh buat, sudah kepalang tanggung, dia akan melawan kalau perlu. Maka dengan tenang diapun menyambut mereka setelah mengikatkan kudanya pada batang pohon. Bi Kwi meniru perbuatan Kakaknya dan kini mereka berdiri di tepi jalan, melihat betapa rombongan itu berloncatan turun dari kuda setelah melihat mereka. Diapit oleh dua orang perwira pengawal, dengan tangan memegang cambuk kuda, Cu Hok Sim yang bertubuh tinggi besar itu melangkah lebar menghampiri Kwee Lok dan Bi Kwi. “Kwee Lok keparat, penghianat engkau! Kau kira akan dapat lari begitu saja dariku?” Cu-Kongcu membentak marah, setelah berhadapan dengan Kwee Lok. “Setelah engkau berhutang demikian banyak kepadaku, kini engkau hendak lari begitu saja?” Dimaki demikian, wajah Kwee Lok menjadi merah. Dia merasa malu kepada adiknya.

“Cu-Kongcu, aku meninggalkan rumah dan tanahku, cukup untuk membayar hutang-hutangku kepadamu.”

“Jahanam busuk! Siapa butuh rumah dan tanahmu yang tiada artinya itu? Engkau bukan menjanjikan rumah dan tanah melainkan adikmu! Dimana kau sembunyikan adikmu? Bukankah kau sudah berjanji akan menerima pinanganku dan memberikan adikmu kepadaku?”

“Tidak mungkin, Cu-Kongcu. Adikku tidak mau menjadi isterimu, dan tentang hutang-hutangku biarlah kubayar dengan rumah dan tanahku. Harap engkau tidak mengganggku lagi.”

“Jahanam busuk! Penipu busuk!” Cu Hok Sim mengayun cambuknya dan cambuk kuda itu meledak mengenai muka Kwee Lok yang tidak mengelak sehingga pipi kanannya terpukul ujung cambuk meninggalkan bekas merah memanjang. Kwee Lok memang sengaja tidak melawan karena dia tidak mau memperbesar kemarahan Cu Hok Sim. Dia mengharap agar urusan selesai sampai di situ saja. Akan tetapi Cu Hok Sim belum puas. Dia memaki-maki dan cambuknya melayang lagi.

“Manusia kejam, iblis busuk!” Tiba-tiba Bi Kwi melangkah maju, menyambar ujung cambuk dan merampasnya dengan mudah dari tangan Cu Hok Sim. “Engkau ini iblis berwajah manusia, mengandalkan kedudukan orang tua dan hartamu, hendak menghina orang? Nah, makanlah cambukmu sendiri!”

“Tar-tarr...!” Dua kali cambuk meledak dan kedua pipi Cu Hok Sim berdarah tersayat cambuk! Dia terbelalak dan mundur, mengusap kedua pipinya. Bi Kwi mendengus melemparkan cambuk itu ke atas tanah.

“Kau... kau... perempuan... Ahh, engkau Ong Bi Kwi...!” Cu Hok Sim berseru kaget bukan main. Tadi dia hanya mengira bahwa “pemuda” ini seorang teman dari Kwee Lok, maka tidak diperhatikannya. Ketika Bi Kwi merampas cambuk dan melecutinya, dia masih belum tahu. Baru setelah dalam kemarahannya Bi Kwi memaki, dia tahu bahwa “pemuda” itu seorang wanita, dan diapun teringat kepada wajah Bi Kwi yang membuatnya tergila-gila.

“Aih, Cu-Kongcu... gadis ini... benar, ialah yang semalam merobohkan saya...!” Tiba-tiba seorang perajurit pengawal berseru dan dia adalah perajurit pengawal yang semalam menyerang Bi Kwi di dekat taman dan dirobohkan oleh Bi Kwi dengan tendangan ke lututnya. Mendengar ini, sadarlah Cu Hok Sim, sambil mengusap kedua pipinya yang masih berdarah, dia membentak marah.

“Bagus sekali! Kalian pemberontak hina! Kwee Lok, manusia busuk. Engkau sudah tidak membayar hutangmu, bahkan adikmu mencuri emas di rumah keluargaku, dan kini hendak melarikan diri begitu saja! Tangkap mereka! Bunuh mereka!” Melihat betapa belasan orang itu telah melakukan pengepungan, Bi Kwi lalu melolos pedang dari buntalan di punggunya. Pedang itu mengeluarkan sinar berkilauan.

 “Ah, itu pusaka Liong-Cu-Kiam (Pedang Mustika Naga), pedang milik Ayah! Benar gadis inilah pencurinya!” Cu Hok Sim semakin marah. Melihat adiknya sudah mencabut pedang, Kwee Lok yang maklum bahwa tidak ada jalan keluar kecuali melawan, mencabut pedangnya pula. Ketika para pengawal itu menyerbu, Kakak beradik inipun memutar pedang mereka mengamuk! Biarpun Bi Kwi seorang wanita dan ia baru belakangan belajar ilmu silat di Siauw-Lim-Si, namun tingkat kepandaiannya tidak kalah oleh Kwee Lok, karena ia memang memiliki bakat yang amat baik, ditambah oleh kemauannya terdorong oleh dendam atas kematian Kakaknya. Kini ia mengamuk dan sebentar saja tiga orang telah roboh oleh pedangnya, terluka cukup parah.

Namun Bi Kwi sejak tadi berusaha untuk mencari adanya Cu Hok Sim. Melihat pemuda bangsawan itu menonton dari pinggiran, agaknya merasa yakin bahwa tentu belasan orang pengawal pilihan itu akan dapat membunuh atau menangkap Kakak beradik yang memberontak itu. Bi Kwi segera menerjang ke arah pemuda itu. Cu Hok Sim tidak pandai ilmu silat walaupun dia suka mempergunakan kekerasan menyiksa orang-orang bawahannya yang bersalah. Melihat gadis itu menerjang ke arahnya, dia terkejut dan untung masih ada dua orang pengawal cepat menyambut terjangan gadis itu sehingga kembali Bi Kwi terhalang dan dikeroyok banyak pengawal. Kwee Lok yang juga maklum bahwa dia dan adiknya harus mengalahkan belasan orang pengawal ini sebelum dapat melarikan diri, memutar pedangnya dan diapun berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok.

Pedang di tangannya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, merupakan benteng sinar yang rapat melindungi tubuhnya sehingga setiap serangan senjata para pengeroyoknya terpental ketika bertemu dengan sinar pedangnya. Sebaliknya dari gulungan sinar pedangnya itu kadang-kadang mencuat ujung pedangnya merobohkan seorang pengeroyok, atau tangan kirinya menampar, atau kakinya menendang. Pertempuran itu berjalan dengan seru dan mati-matian. Namun, dua orang murid Siauw-Lim-Pai itu memperlihatkan kegagahan mereka dan lebih dari separuh jumlah para pengeroyok telah roboh! Hal ini mengejutkan sisa para pengeroyok, bahkan Cu Hok Sim juga mulai merasa takut. Diam-diam dia lolos dan meloncat ke atas punggung kuda, hendak melarikan diri lebih dahulu. Akan tetapi, Bi Kwi yang melihat hal ini, cepat memungut sebatang golok yang tercecer dari para pengeroyoknya dan berseru.

“Manusia keji, makanlah ini!” Golok itu disambitkannya dan dengan tepat mengenai punggung Cu Hok Sim yang menjerit keras dan terguling dari atas kudanya. Melihat ini, para perajurit pengawal menjadi semakin panik. Mereka lalu menyambar tubuh teman-teman yang terluka, juga mengangkut tubuh Cu- Kongcu dan melarikan diri dari situ sejadi-jadinya.

“Tidak perlu mengejar mereka, Kwi-moi!” Kata Kwee Lok melihat betapa Adik angkatnya itu kelihatan masih penasaran dan hendak melakukan pengejaran. Pihak pengeroyok mereka meninggalkan golok- golok yang berserakan, bercak-bercak darah di atas tanah dan tiga ekor kuda.

“Setelah kita diketahui, tidak aman lagi melakukan perjalanan melalui darat, Kwi-moi. Kita harus berganti haluan.” Mendengar ini, timbul kekhawatiran di hati Bi Kwi. Iapun maklum bahwa tentu keluarga Cu tidak akan berhenti sampai di situ saja. Tak lama lagi tentu ada rombongan pasukan yang lebih kuat dan besar jumlahnya, mungkin ratusan, yang akan dikerahkan untuk melakukan pengejaran terhadap mereka. Dan tidak mungkin mereka yang hanya berdua saja melawan pasukan yang besar jumlahnya.

“Lalu bagaimana baiknya, Toako?”

  “Tenanglah dan ikuti saja petunjukku. Kita ambil semua bekal kita dari atas kuda, kemudian kita cambuki kuda-kuda itu agar mereka semua lari ke selatan. Dari tempat ini, pihak pengejar tentu akan melacak kaki kuda dan akan mengira bahwa kita melanjutkan perjalan ke selatan. Mereka akan mengikuti jejak kaki kuda kita, sementara itu, dengan berjalan kaki kita menuju ke timur, ke arah pantai.”

“Pantai Pohai?”

“Benar. Kita melanjutkan dengan perahu dan kalau sudah begitu, tidak mungkin lagi mereka dapat mengejar kita. Mari, Kwi-moi.” Mereka lalu menurunkan semua bekal dari atau kuda, menjadikannya satu buntal yang digendong di masing-masing punggung mereka. Kemudian mereka mencambuki dua ekor mereka, juga tiga ekor kuda yang di tinggalkan pasukan tadi. Lima ekor kuda itu lari cerai berai dan ketakutan, menuju ke selatan.

Mereka berdua terus meneriaki terus sehingga binatang-binatang itu semakin panik dan berlari cepat kabur ke selatan. Setelah mereka tak nampak lagi, barulah Bi Kwi dan Kwee Lok berlari cepat menuju ke timur. Mereka telah memiliki ilmu ginkang (meringankan tubuh) yang baik sehingga mereka dapat berlari cepat sekali menuruni bukit menuju ke timur. Memang tepat sekali perhitungan Kwee Lok. Beberapa jam kemudian, pasukan yang jumlahnya lebih dari seratus orang telah tiba di bukit itu. Mereka melakukan pelacakan dan melihat betapa kaki-kaki kuda menuju ke arah selatan. Padahal, pada saat itu, Kakak beradikitu telah menyewa sebuah perahu nelayan kecil, bercampur dengan perahu-perahu nelayan lainnya sehingga takkan mungkin ditemukan oleh para pengejar yang kini berpencar mencari ke selatan itu.

Beberapa hari kemudian, Kwee Lok dan Bi Kwi sudah menumpang sebuah perahu besar yang membawa dagangan menuju ke selatan, ke Nan-Yang (Lautan Selatan), ke negeri yang masih asing sama sekali bagi Bi Kwi. Ia merasa beruntung sekali bahwa Kakak angkatnya mau menemaninya, karena andaikata tidak, mungkin sekarang ia sudah tertawan oleh pihak musuh yang melakukan pengejaran. Andaikata ia berhasil juga meloloskan diri dan menumpang perahu dagang, tentu ia akan merasa bingung dan khawatir menghadapi perjalanan yang sama sekali asing baginya itu. Bahkan naik perahu berlayar di lautanpun baru pertama kali itu ia lakukan! Beruntunglah ia ada Kwee Lok di sampingnya yang sudah berpengalaman dan pernah berlayar ke selatan.

“Toako, ketika kita bertemu dengan Cu Hok Sim, mengapa ia mengatakan bahwa engkau banyak berhutang kepadanya?” Bi Kwi bertanya ketika mereka berdiri di geladak perahu besar itu yang meluncur dengan tenang menuju ke selatan. Kwee Lok mengerutkan alisnya dan menarik napas panjang.

“Aih, kalau diingat sungguh memalukan dan aku merasa menyesal sekali, Kwi-moi. Ketika engkau masih berlatih silat di Kuil, dan aku menjadi gila judi! Setelah aku keluar dari ketentaraan sepulangku dari selatan, aku menganggur dan agaknya hal inilah yang menyeretku ke dalam pergaulan sesat. Aku hanya menganggur, berjudi, pelesir, dengan kawan-kawan dan yang menjadi tulang punggung orang-orang macam itu hanyalah Cu-Kongcu. Cu-Kongcu yang tergila-gila kepadamu, pernah dia melihatmu, agaknya hendak memperlihatkan kebaikannya dan dialah yang membuat aku semakin terjerumus. Dia selalu meminjamkan uang untuk modal judi dan untuk pelesir. Akhirnya aku terjeblos, hutangku banyak sekali...”

 “Hemm, jadi karena hutang-hutangan itulah engkau hendak membujuk aku agar suka menjadi... selirnya?” Bi Kwi bertanya, matanya memandang tajam dan suaranya penuh teguran.

“Tidak, Bi Kwi, jangan salah mengerti. Engkau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri, mana aku tega menjebloskan engkau? aku tadinya sungguh melihat kesempatan baik untuk mengangkat dirimu ke dalam kemuliaan dan kehormatan dengan menjadi isteri Cu-Kongcu, mantu dari jaksa Cu-Taijin! Sungguh aku tidak tahu bahwa dia hanya akan mengambilmu sebagai selir. Kau memaafkan kesalahanku itu, bukan?” Bi Kwi menghela napas dan menyentuh lengan Kakak angkatnya.

“Toako, kalau aku tidak memaafkan, apa kau kira aku sekarang berada di sampingmu melakukan perjalanan bersama? Aku masih percaya kepadamu, Toako, dan aku mengharapkan pertolonganmu untuk dapat menemukan pembunuh Cun-Koko, di negeri asing itu.”

“Jangan khawatir, Kwi-moi. Aku akan membantumu sekuat tenaga.” Dalam pelayaran yang memakan waktu lama ini, seringkali Bi Kwi mabok laut dan Kwee Lok membuktikan dirinya sebagai seorang Kakak angkat yang baik hati. Dialah yang merawat Bi Kwi penuh perhatian sehingga hati gadis itu makin memaafkan semua kesalahan Kwee Lok yang telah lalu. Juga pemuda ini selalu bersikap sopan, dan menjaga benar-benar agar rahasianya sebagai seorang gadis yang menyamar pria tidak sampai ketahuan oleh para penumpang perahu lainnya. Dalam kesempatan ini Bi Kwi seringkali bertanya kepada Kakak angkatnya tentang Ong Cun, tentang pertunangannya, tentang kematiannya sehingga berulang-ulang Kwee Lok menceritakan kepadanya apa yang diketahuinya tentang pertunangannya dan kematian Ong Cun.

“Cantikkah gadis yang bernama Darmini, kekasih Cun-Koko itu, Toako?” “Ia seorang gadis yang manis dan menarik, juga berbudi halus.”

“jadi kau pikir kematian Cun-Ko adalah karena dia bertunangan dengan Darmini itu?” Yang ditanya mengangguk.

“Kurasa begitu, karena seorang gadis seperti Darmini tentu sekali mempunyai banyak pengagum. Bukan tidak mungkin pembunuhan itu dilakukan karena cemburu dan iri hati. Engkau tahu, Kakakmu adalah seorang asing bagi mereka, juga seorang yang agamanya berbeda dengan agama mereka. Akan tetapi aku hanya menduga demikian, tidak yakin benar karena aku menemukan Kakakmu sudah terluka dan hampir tewas dalam rangkulan Darmini. Agaknya ketika meninggalkan taman keDemangan itu diluar taman mendiang Suheng di serang orang, setelah terluka parah berhasil masuk ke taman lagi dan menurut Darmini, ia mendengar suara Suheng memanggil-manggil namanya. Ia lari keluar dan melihat Suheng sudah terkulai dengan luka parah.” Untuk kesekian kalinya kalau mendengar tentang kematian Kakak kandungnya, Bi Kwi termenung.

“Agaknya memang karena pertunangannya dengan Darmini itulah dia dibunuh orang. Habis kalau tidak karena itu, karena apa lagi? Apakah engkau pernah melihat dia bermusuhan dengan orang di sana, Toako?”

“Permusuhan pribadi agaknya tidak ada. Tentu saja diam-diam kami banyak dimusuhi orang karena baru saja terjadi perang dan pihak kami juga terseret ke dalam perang saudara itu sehingga kami kehilangan seratus tujuh puluh orang yang tewas.”

 “Lalu, mengenai hubungannya dengan Darmini, apakah engkau melihat ada orang yang merasa tidak suka, cemburu atau iri hati?” Kwee Lok mengerutkan alisnya, mengingat-ingat peristiwa yang sudah terjadi lebih dari lima tahun yang lalu itu. Kemudian dia mengangguk-angguk.

“Kalau tidak engkau tanyakan, mungkin aku tidak ingat lagi. Sekarang aku ingat, pada suatu malam, ketika aku menyusul Suheng yang mengadakan pertemuan dengan kekasihnya di taman, aku melihat seorang Kakek dan seorang pemuda yang kelihatan marah-marah. Bahkan kilatan mata pemuda itu kepada Suheng penuh dengan kebencian!”

“Ah, itu merupakan bahan yang baik untuk penyelidikanku!” kata Bi Kwi girang. “Siapakah Kakek dan pemuda itu, Toako?”

“Itulah kesalahanku, Kwi-moi. Agaknya Suheng tidak suka membicarakan mereka, maka akupun tidak mendesak untuk bertanya siapa adanya mereka. Akan tetapi, agaknya aku tidak akan lupa kalau bertemu muka dengan pemuda itu, seorang pemuda bangsawan yang tampan gagah, dan pakaiannya mewah. Aku tidak dapat melupakan kilatan pandang matanya ketika ditujukan kepada Suheng.”

“Agaknya kalau kita sudah tiba di sana, pertama-tama aku harus menyelidiki dua orang itu.” Bi Kwi berkata sambil mengepal tinju. “Selain mereka berdua, apakah tidak ada orang lain yang harus patut kita curigai?” Kembali Kwee Lok mengingat-ingat.

“Memang ketika terjadi pertempuran dan kami berdua lari kembali ke rombongan kami, terjadi pertempuran dan kami berdua juga bertempur membela rombongan kami. Akan tetapi tentu saja aku tidak mengenal lawan dalam pertempuran seperti itu...”

“Tentu saja, pertempuran itu bukan permusuhan pribadi. Akan tetapi apakah tidak ada perkelahian lain kecuali pertempuran itu?”

“Ah, benar! Ketika Suheng menolong Darmini, dia berkelahi melawan tiga orang jahat! Ketika itu, aku dan Suheng sedang berjalan ketika mendengar jerit wanita. Kami melakukan pengejaran dan melihat seorang wanita hendak diperkosa tiga orang itu, Suheng lalu mengamuk dan menghajar mereka. Itulah perkenalan pertama antara Suheng dan Darmini.”

“Hemm, mereka harus dimasukkan daftar orang-orang dicurigai. Siapakah mereka itu, Toako?”

“Mana aku tahu? Suhengpun tidak tahu, bahkan Darminipun tidak tahu. Mereka adalah perampok- perampok yang mempergunakan kesempatan selagi terjadi perang, mereka merampok dan menculik wanita. Mereka penjahat-penjahat biasa.” Demikianlah, di sepanjang pelayaran itu, Bi Kwi selalu mendesak Kakak angkatnya untuk mengingat kembali semua peristiwa sampai sekecil-kecilnya, dan ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Dan Kwee Lok menceritakan segala yang dialaminya dan diketahuinya, seperti yang sudah kita ketahui bersama dari cerita ini di bagian depan.

“Mohon Eyang sudi memberi ampun kepada saya,” kata Darmini sambil bersimpuh dan menyembah di depan Sang Panembahan Ganggamurti. “Saya mohon diri, Eyang, karena sudah cukup lama saya belajar di sini dan saya merasa rindu kepada Ibu.” Kakek itu mengelus jenggot putihnya, sikapnya lembut namun sinar matanya yang mencorong tajam itu seperti terasa oleh Darmini, seperti menusuk dirinya dan menjenguk isi hatinya. Namun ia tidak merasa khawatir. Selama ini, tidak sia-sia ia menggembleng diri, bersamadhi dan berhasil menguasai dirinya, berhasil meniadakan dendam kebencian di dalam hatinya. Tekadnya untuk menyelidiki dan menghukum pembunuh Ong Cun dan Nala, juga pemerkosa dirinya, masih ada. Akan tetapi dasarnya bukan lagi dendam, kebencian, melainkan niat untuk menentang kejahatan dan menghukum orang yang telah melakukan kejahatan itu.

“Angger Darmini, seorang Guru akan selalu merasa ragu bahkan berkeberatan melihat muridnya meninggalkan perguruan, kecuali kalau dia yakin akan kemampuan muridnya. Oleh karena itu, sebelum aku menyatakan persetujuanku, aku ingin sekali melihat kemajuanmu yang terakhir. Nah, cobalah perlihatkan kepadaku apakah engkau sudah mampu membela diri dengan baik.” Darmini menyembah lagi, dan karena ia ingin memperlihatkan kepandaiannya yang dilatihnya selama ini dibawah petunjuk Kakek sakti itu, ia lalu mengeluarkan pedangnya, menyembah lagi, kemudian meloncat dan mencabut pedang Lian-Hwa-Kiam, lalu bermain pencak silat dengan pedangnya itu. Gerakannya ringan dan cepat bukan main, juga tenaga Bayu-sakti yang diajarkan gurunya selama ini telah mendarah daging dalam dirinya.

Ia telah berhasil menghimpun tenaga Bayu-sakti yang amat kuat sehingga pedang yang dimainkannya itu mengeluarkan suara berdengung seperti banyak lebah beterbangan disitu! Demikian cepatnya gerakan pedang itu sehingga bentuk pedang tidak nampak melainkan sinar terang saja berkelebat menyambar- nyambar. Diam-diam Kakek itu terkejut melihat sinar pedang itu. Kini mengertilah dia mengapa muridnya ini minta diajarkan ilmu senjata pedang. Kiranya murid wanita ini memiliki simpanan pedang yang luar biasa! Memang Darmini selalu menyembunyikan pedang pemberian kekasihnya itu, dan setiap kali berlatih ilmu pedang, ia hanya mempergunakan pedang biasa yang terdapat disitu. Setelah Darmini menghentikan permainannya dan kembali duduk bersimpuh, Kakek itu berkata,

“Cukup baik, dan dengan ilmu-ilmu yang telah kau miliki, terutama ilmu pedang tadi, kiranya engkau akan mampu melindungi dan membela diri dengan baik. Berikan pedang itu, aku ingin sekali melihatnya, Nini.” Darmini tidak berani membantah dan menyerahkan pedang dalam sarungnya itu kepada Sang Panembahan. Kakek itu menerima dan mencabutnya, matanya bersinar-sinar dan wajahnya berseri-seri.

“Pedang baik... pedang baik... dari mana engkau memperoleh sebatang pedang asing yang amat baik ini?” Sampai saat itu, Darmini tidak pernah bercerita tentang Ong Cun kepada siapapun juga, maka sambil menyembah ia menjawab,

“Saya mendapatkan pedang itu dari seorang sahabat baik berbangsa Cina, Eyang.” Melihat betapa muridnya hanya menjawab singkat dan agaknya tidak ingin menceritakan lebih panjang lagi, Kakek itupun mengangguk-angguk,

“Memang banyak pedang baik datang dari negeri itu, dan hawa pedang inipun baik. Nah, simpanlah dan mudah-mudahan engkau akan mempergunakannya dengan bijaksana, bukan untuk berbuat kejahatan dan terdorong kebencian, melainkan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan dan membela yang tertindas.” Darmini menerima kembali pedangnya dan berkata,

“Saya harap Eyang akan menyetujui dan mengijinkan kepergian saya.”

“Baiklah, memang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung. Hanya pesanku, jangan engkau terdorong oleh nafsu amarah, jangan membiarkan kebencian mengcengkeram batinmu dan jangan tergesa-gesa menghukum orang yang melakukan perbuatan jahat. Sadarkanlah mereka itu, kalau engkau berhasil, hal itu jauh lebih bermanfaat dan lebih baik dari pada kalau engkau menghukum mereka.” “Saya akan selalu mengingat dan mentaati petunjuk Eyang.”

“Oomm, shanti-shanti-shanti... semoga engkau akan selalu mengambil jalan kebenaran, angger. Aku kini dapat melepas kepergianmu dengan hati lega, Pergilah!” Darmini menyembah lagi.

“Saya menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan Eyang yang selama lima tahun ini dilimpahkan kepada saya, dan mohon Eyang sudi memberi ampun jika sekiranya ada kesalahan saya terhadap Eyang. Selamat tinggal, Eyang.”

“Selamat jalan, Nini. Yang baik-baik menjaga dirimu, selamat jalan.” Darmini menyembah dan keluar dari dalam gubuk Gurunya untuk kembali ke dalam pondoknya sendiri. Ia ingin berkemas dan berpamit kepada para cantrik, dan terutama kepada Sridenta, baru ia akan turun gunung. Akan tetapi, ketika ia keluar dari pondok menggendong buntalan pakaian yang juga terisi pedangnya, ia bertemu dengan Sridenta yang agaknya sudah menanti di depan pondoknya.

“Diajeng Darmini...”

“Raden Sridenta...” Mereka berdiri saling pandang dan ada keharuan menyelinap ke dalam hati Darmini. Pemuda ini selalu bersikap baik sekali kepadanya seperti Kakaknya sendiri, bahkan lebih dari ini Sridenta selalu memberi bimbingan kepadanya, mengawasi latihannya, bahkan menjaga kalau ia sedang bersamadhi agar tidak terganggu, memberi petunjuk-petunjuk. Biarpun pemuda itu tidak pernah mengatakan sesuatu tentang isi hatinya, namun Darmini dengan naluri kewanitaannya, melihat dengan jelas melalui pandangan mata pemuda itu, gerak geriknya, suaranya, bahwa pemuda itu jatuh cinta kepadanya!

Ia sendiripun harus mengaku bahwa ia amat kagum dan suka kepada Sridenta, seorang ksatria tulen, pemuda yang berpikiran luas, bersikap sopan dan ramah, memiliki ilmu kepadaian tingi. Akan tetapi jatuh cinta? Tidak, hal itu tidak mungkin lagi baginya. Bagaimana ia dapat mencinta pria lain kalau ia teringat betapa Ong Cun mati dengan penasaran? Betapa pembunuhnya belum terhukum sehingga keadilan belum berjalan. Apalagi kalau ia mengingat akan keadaan dirinya, yang diterjang aib, yang ternoda, bagaimana mungkin ia berani menerima cinta seorang pemuda seperti Raden Sridenta? Mendengar gadis itu menyebutnya Raden, wajah Sridenta menjadi seperti biasa lagi, dan dia tersenyum.

“Ah, Darmini, kenapa engkau masih selalu menyebut Raden kepadaku? Untuk terakhir kalinya, kuminta agar engkau jangan memanggil Raden kepadaku.”

“Kenapa tidak? Engkau adalah seorang pemuda keturunan bangsawan walaupun engkau tak pernah menceritakan siapa sesungguhnya dirimu, putera siapa. Bukankah Eyang sendiri kadang-kadang menyebutmu Raden dan semua Kakang cantrik juga?”

“Biarpun demikian, Diajeng Darmini, kita adalah saudara seperguruan, jangan engkau bersikap sungkan seperti itu.” Darmini tersenyum dan ia mengalah, mengingat bahwa ia akan segera meninggalkan pemuda ini.

“Baiklah, Kakang-Mas Sridenta...”

 “Nah, begitu lebih nyaman didengar telinga bukan? Tidak seperti orang asing. Bukankah kita ini adalah Kakak dan Adik seperguruan? Eh, kenapa engkau membawa buntalan itu? Akan pergi sekarangkah engkau, Diajeng?”

“Benar, Kakang-Mas. Aku sudah berpamit kepaya Eyang dan telah memperoleh ijin beliau. Aku memang hendak mencarimu untuk berpamit, juga berpamit kepada semua Kakang cantrik.” Sridenta duduk di atas bangku di depan pondok yang sebelum Darmini datang adalah pondok tempat tinggalnya itu. Melihat pemuda itu duduk, Darmini juga duduk di atas bangku didepannya karena ia tahu bahwa pemuda itu agaknya ingin mengajaknya bicara dalam pertemuan yang mungkin merupakan pertemuan terakhir ini.

“Diajeng, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak kemanakah setelah turun gunung?” “Kembali ke Lumajang, pulang kerumah orang tuaku.”

“Diajeng Darmini, sebenarnya siapakah orang tuamu? Dan kenapa engkau seorang gadis mengorbankan waktu, bersusah payah mempelajari ilmu kedigdayaan?” Sampai beberapa lamanya Darmini tidak menjawab, kadang-kadang menundukkan mukanya, lalu mengangkat muka menatap wajah pemua itu penuh selidik, lalu menunduk kembali,

“ini... hal ini...” ia meragu. Sridenta dapat memaklumi keraguan gadis itu. Biarpun mereka sudah saling berkenalan, bahkan menjadi sahabat atau saudara seperguruan yang akrab selama lima tahun, akan tetapi tetap saja mereka asing satu sama lain, dan selama itu Darmini tidak pernah bicara tentang dirinya sendiri.

“Soalnya begini, Diajeng. Akupun hendak turun gunung dalam minggu-minggu mendatang ini.”

“Ahh?” Darmini mengangkat muka dan memandang dengan kaget, akan tetapi juga lega bahwa percakapan telah beralih dari dirinya. “Kenapa, Kakang-Mas?”

“Akupun sudah minta ijin kepada Eyang. Sudah lama sekali aku belajar disini, sudah kurang lebih se puluh tahun dan selama itu aku belum pernah meninggalkan tempat ini. Karena itu, setelah tamat belajar, aku harus turun gunung dan menyumbangkan tenagaku untuk berbakti kepada negara dan bangsa.”

“Engkau hendak pergi kemana, Kakang Sridenta?” “Aku hendak pergi ke Majapahit.”

“Apakah Kakang-Mas mempunyai keluarga disana? Orang tuamu disana, Kakang-Mas Sridenta?” Pemuda itu mengangguk.

“Benar, akan tetapi hanya tinggal Ibuku. Ayahku telah meninggal dunia, ketika terjadi geger antara Majapahit dan Lumajang.”

“Ahh...! Apakah… Ayahmu menjadi korban perang saudara, Kakang-Mas?” Sridenta menggeleng kepala.

 “Sama sekali bukan korban dalam perang, walaupun juga dapat dikatakan korban karena adanya perang saudara. Ayahku paling prihatin melihat adanya perang saudara itu, bahkan Ayahku paling depan menentang. Karena itu, dia bahkan dianggap berkhianat, disangka hendak membela Adipati Wirabumi. Ayah menjadi demikian malu dan berduka sehingga beliau jatuh sakit, sampai meninggal dunia. Bahkan karena adanya geger perang saudara itulah maka Ayah memaksaku untuk tinggal terus disini, mempelajari ilmu, dan tidak boleh kembali ke Majapahit.” Darmini menarik napas panjang, merasa kasihan kepada pemuda itu.

“Memang, perang saudara hanya menimbulkan penderitaan kepada rakyat...” Ia teringat akan nasibnya sendiri. “Siapakah Ayahmu, Kakang-Mas?”

“Mendiang Ayah bernama Arya Cakra...”

“Ahh...! Jadi Kakang-Mas ini putera seorang Pangeran...!” Darmini lalu menyembah dan melihat ini, Sridenta cepat memegang lengan gadis itu dan diangkatnya bangun kembali.

“Duduklah, Diajeng, dan mari kita bicara yang wajar saja. Biarpun Kanjeng Rama adalah seorang Pangeran, akan tetapi ia telah dikeluarkan dari keluarga Kerajaan karena dia dianggap pengkhianat, dianggap membela Adipati Wirabumi. Dan kini Kanjeng Ibu hidup menjanda, sebagai rakyat biasa. Karena itu, aku belajar dengan rajin agar aku dapat berbakti kepada negara dan bangsa, untuk mengangkat kembali nama mendiang Kanjeng Rama yang sudah jatuh. Nah, engkau sudah mendengar tentang diriku, Diajeng. Maukah kini engkau menceritakan siapa sesungguhnya engkau ini?” Mendengar pemuda ini telah membuka rahasia dirinya, Darmini tidak ragu lagi dan iapun menjawab,

“Sesungguhnya Ayahku adalah Ki Demang Bragolo, seorang Punggawa Kadipaten Lumajang, Kakang- Mas. Ketika Lumajang kalah, Ayahku seorang diantar para bekas Punggawa Lumajang yang mendapat pengampunan, bahkan diperkenankan melanjutkan tugas dan kedudukannya sebagai Demang. Ketika terjadi perang dan Lumajang diserbu pasukan dari Majapahit, malapetaka menimpa diriku. Tiga orang perampok memasuki rumah kami selagi Ayah tidak berada dirumah. Mereka merampok barang berharga, bahkan aku mereka culik dan bawa lari...!”

“Ah! Keparat! Lalu, bagaimana, Diajeng?”

“Hampir saja aku celaka, Kakang-Mas. Untunglah pada saat itu, muncul seorang penolong. Dia berhasil mengusir tiga orang perampok itu dan menyelamatkan diriku dari penghinaan.”

“Bagus! Agaknya para Dewata masih melindungimu, Diajeng.”

“Setelah itu, terjalin persahabatan antara aku dan penolongku itu, Kakang-Mas, bahkan kemudian... kami lalu bertunangan, kami... kami saling mencinta, Kakang...” Suara Darmini tersendat karena ia teringat kembali kepada Ong Cun, akan tetapi ia tidak menangis. Tidak, setelah digembleng selama lima tahun, ia tidak lagi selemah dahulu, tidak akan mudah mencucurkan air mata.

“Baik sekali,Diajeng. Tentu penolongmu itu seorang yang bijaksana dan baik budi maka engkau sampai dapat jatuh cinta kepadanya,” kata Sridenta denga suara biasa, penuh perhatian akan cerita gadis itu.

“Dia memang seorang pria yang luar biasa, Kakang-Mas. Akan tetapi... Pada suatu malam, ketika dia meninggalkan taman setelah mengadakan pertemuan dengaku, dia… dia dibunuh orang...” “Ahhh...!!” Sridenta bangkit berdiri dan mukanya berubah pucat. Akan tetapi dia dapat menenangkan hatinya lalu duduk kembali, kini memandang kepada Darmini dengan sinar mata penuh dengan perasaan iba. “Siapakah pembunuhnya, Diajeng? Dan mengapa dia dibunuh?”

“Aku tidak tahu, Kakang-Mas. Tidak ada yang tahu. Tunanganku juga tidak sempat memberi tahu ketika dia tewas dalam pelukanku.” Darmini menunduk, tidak menangis walaupun kenangan akan kematian Ong Cun itu meremas hatinya. Sridenta juga diam, mengangguk-angguk. Kini maklumlah dia mengapa gadis ini nekat pergi meninggalkan rumah, menyamar sebagai pria dan mempelajari ilmu kedigdayaan, maklum mengapa ketika ia pertama kali berjumpa dengan Darmini, sinar mata gadis itu mengandung kekerasan dan dendam yang amat mendalam.

“Diajeng, sungguh menyedihkan sekali riwayat hidupmu. Kalau boleh aku bertanya, siapakah tunanganmu itu?” Darmini dengan tabah kini mengangkat muka memandang wajah Sridenta sambil menjawab,

“Namanya Ong Cun, dia seorang Cina, anggauta rombongan yang berada di Lumajang.”

“Ahhh! Kau maksudkan rombongan Bangsa Cina yang ikut pula berperang membantu Lumajang sehingga bentrok dengan pasukan Majapahit?” Sridenta berseru, kaget dan heran karena pengakuan itu sama sekali tak pernah disangkanya.

“Benar, Kakang-Mas. Akan tetapi sesungguhnya rombongan orang Cina itu hanya datang berkunjung dan kebetulan saja berada di Lumajang, bukan maksud mereka membantu Adipati Wirabumi. Karena berada disana ketika terjadi penyerbuan pasukan Majapahit, maka mereka disangka membantu Lumajang sehingga diserang pula dan terjadi bentrokan antara mereka dan pasukan Majapahit.”

Sridenta mengangguk-angguk, masih merasa heran bukan main mendengar bahwa gadis yang berada di depannya ini, gadis yang sejak bertemu pertama membuat dia jatuh cinta, pernah bertunangan dan saling mencinta dengan seorang pemuda asing, seorang Cina. Tiba-tiba timbul kekhawatiran didalam hatinya, Darmini telah mempelajari ilmu kedigdayaan, bahkan pandai memainkan sebatang pedang, tentu gadis ini akan menuntut balas! Dan mengingat betapa tunangan gadis itu yang tangguh, sampai dapat terbunuh orang, maka pembunuhnya tentulah seorang yang sakti, dan gadis ini akan terancam bahaya kalau sampai menandingi orang itu!

“Diajeng, kuharap saja… engkau akan selalu ingat akan pelajaran dari Eyang Panembahan, agar tidak menaruh hati dendam dan benci…”

“Jangan khawatir, Kakang-Mas. Pelajaran itu selalu kuingat dan kutaati, dan agaknya akupun sudah berhasil mengurus dendam kebencian dari hatiku. Akan tetapi, akan tidak adil sekali kalau kematian Ong Cun itu tidak diselidiki, kalau pembunuhnya tidak terhukum. Akan kuselidiki mengapa Ong Cun terbunuh, dan kalau ternyata dia bersalah dan pantas dibunuh, tentu aku tidak akan menuntut kepada pembunuhnya. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tidak bersalah, dan karena itu, pembunuhnya haruslah dicari, ditemukan dan dihukum. Selain itu, akupun ingin mencari pembunuh paman Nala...”

“Paman Nala, siapakah itu pula, Diajeng?”

 “Ketika aku meninggalkan Lumajang untuk mencari Guru kesini, aku diantar oleh tukang kebun kami yang setia dan yang sudah menjadi tukang kebun kami sejak aku masih kecil, namanya Paman Nala. Akan tetapi ketika kami tiba di dalam hutan diluar dusun Talasan, dia terkena panah gelap dan tewas di hutan itu. Aku ketakutan dan melarikan diri meninggalkan mayatnya, karena aku tahu betul bahwa anak panah itu sebenarnya ditujukan untuk membunuhku, bukan Paman Nala.”

“Eh, bagaimana engkau bisa tahu?”

“Pada saat itu, cuaca remang-remang dan kebetulan sekali aku membungkuk untuk mengambil bunga yang tadinya kupegang dan terjatuh ke atas tanah. Pada saat aku membungkuk itulah anak panah mengenai tubuh Paman Nala. Andaikata aku tidak kebetulan membungkuk, tentu akulah yang terkena, bukan Paman Nala. Dan pada saat itu aku mendengar suara kaki kuda menjauh. Nah, akupun harus mencari pembunuh Paman Nala yang tidak berdosa itu, kalau tidak, arwah Paman Nala akan selalu penasaran seperti juga arwah Ong Cun.” Sridenta mengerutkan alisnya, makin khawatir karena agaknya gadis ini dikelilingi musuh-musuh yang berbahaya.

“Dan mengingat orang bertopeng yang pernah menyerangmu di dalam guha itu... hemm, apakah kiranya ada hubungan antara orang bertopeng itu dengan pembunuhan-pembunuhan itu?”

“Hal itu akan kuselidiki, Kakang-Mas.” Ia tidak mau bercerita tentang perkosaan atas dirinya yang terjadi pada malam harinya ketika Ong Cun terbunuh. Ia merasa malu untuk menceritakan hal itu. Biarlah aib itu dideritanya dengan diam-diam, tak perlu menambah penderitaannya dengan menceritakannya kepada orang lain. Hanya ia sendiri dan si pemerkosa itu, yang tahu akan peristiwa jahanam itu. Akhirnya merekapun berpisah. Darmini berangkat meninggalkan Gunung Bromo setelah ia berpamit dari semua cantrik yang berada di pertapaan Sang Panembahan Ganggamurti itu. Apalagi Sridenta yang diam-diam jatuh cinta kepada Darmini, bahkan para cantrikpun merasa kehilangan ketika gadis itu meninggalkan pertapaan.

Mereka merasa kehilangan dan tempat itu tiba-tiba, seolah-olah kehilangan cahaya yang biasanya menyinari tempat itu. Mereka termangu-mangu, bahkan Sridenta lalu pergi menyepi ke puncak untuk mengatasi penderitaan hatinya harus berpisah dari orang yang amat dicintanya. Cinta timbul dari pergaulan. Akan tetapi setiap pertemuan akan selalu diakhiri dengan perpisahan. Oleh karena itu, seorang bijaksana akan melihat dengan jelas bahwa ikaan hanya menimbulkan duka, karena itu, dia tidak mau mengikatkan diri dengan orang atau barang atau gagasan apapun juga selagi hidup, semua perasaan cinta dan sukanya bukan bersifat memiliki karena siapa yang memiliki dialah yang akan kehilangan! Dan ini menimbulkan duka. Semenjak padamnya perang Paregreg, lima tahun lebih yang lalu, terjadi perubahan besar di Kerajaan Majapahit.

Kerajaan ini, yang dahulu dijaman Sang Prabu Hayam Wuruk dan Sang Patih Gajah Mada merupakan Kerajaan yang amat besar kekuasannya, bahkan sampai ke luar pulau, kini mengalami kemerosotan dan kemunduran yang amat besar. Semenjak perang saudara ini, terjadi perpecahan didalam keluarga Kerajaan, dan banyak terjadi perang saudara dan pemberontakan kecil disana-sini. Negara-negara tetangga tidak mau tunduk lagi melihat kelemahan Majapahit, bahkan Adipati-Adipati dan Raja-Raja muda juga menjadi acuh dan ingin berdaulat sendiri. Karena itu, muncullah golongan-golongan yang dipimpin oleh anggauta keluarga Kerajaan yang merasa tidak puas dan ingin memperlebar sayap dan kekuasaan masing-masing, Ada pula golongan yang pro kepada Kerajaan Majapahit dan ada pula yang anti, baik yang terang-terangan maupun secara diam-diam.

 Terutama sekali golongan yang masih kerabat dan anggauta keluarga dari mendiang Wirabumi, yang merasa masih menjadi keturunan langsung dan darah Sang Prabu Hayam Wuruk, berusaha untuk menghimpun kekuatan rahasia di antara mereka. Dengan demikian, maka keadaan di dalam negeri amatlah kacau. Dan pada waktu itu banyak orang-orang dari negeri Cina berdatangan dan menetap dipesisir utara Pulau Jawa, terutama sekali dipesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mereka hidup sebagai pedagang. Mungkin suatu kebetulan bahwa pada waktu itu agama Islam juga mulai berkembang dengan pesat terutama sekali di kota-kota pesisir utara itu. Para Bupati yang tadinya merupakan hulu tanah dari Majapahit, kini berbalik, dan kebanyakan dari mereka, terutama di Demak, Jepara, Lasem, Tuban, Gresik, Surabaya dan Giri, masuk agama Islam. Kekuasaan Majapahit semakin terpecah-pecah.

Malam yang gelap dan sunyi. Sore tadi hujan deras dan semua masih basah malam itu. Pohon-pohon, jalan-jalan, genteng-genteng rumah dan hawa udara dingin sekali. Cuaca juga amat gelap karena walaupun hujan sudah berhenti namun langit masih ditutupi mendung. Memang musim hujan sedang besar-besarnya. Sesosok bayangan hitam berkelebat dari rumah ke rumah. Dia dapat bergerak leluasa karena selain malam gelap dan ia mengenakan pakaian hitam, juga dia memiliki gerakan yang amat cepat dan malam itu jarang ada orang berada diluar rumah yang yang dingin.

Kotaraja Majapahit nampak sunyi. Masih ada kadang-kadang halilintar menggeluduk di angkasa, sekilat cahaya membakar cahaya seperti bentuk keris raksasa menghujam lalu lenyap. Bayangan itu menyelinap di antara pohon-pohon di tepi jalan, meloncat ke dalam kegelapan di belakang gedung-gedung dan akhirnya dia menghampiri sebuah rumah besar yang berdiri agak terpencil di bagian barat kota. Dia mengintai dari balik pintu gerbang ke dalam. Gelap saja di dalam. Tidak ada gerakan. Tidak ada suara. Dia lalu meloncat ke atas pintu gerbang, langsung meloncat lagi ke dalam. Ketika dia menyelinap masuk ke pendopo di bagian depan gedung itu, tiba-tiba saja nampak sinar terang dan di kanan kirinya telah berdiri seorang perajurit pengawal dengan lampu di tangan, sedangkan di depannya telah berdiri tiga orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah bengis.

“Berhenti! Siapa engkau?” bentak seorang di antara mereka itu, yang kumisnya sekepal sebelah dan perutnya agak gendut. Biarpun dia agak terkejut melihat betapa tiba-tiba saja dia telah diketahui orang dan terancam, namun orang yang berpakaian serba hitam dan mengenakan topeng di mukanya itu bersikap tenang saja.

“Aku datang untuk bertemu dengan Raden Wiratama. Ini rumahnya, bukan?” “Siapa engkau?” kembali si jenggot tebal membentak.

“Beritahukan saja kepada Raden Wiratama bahwa aku Walet Hitam datang berkunjung.” kata pula orang bertopeng itu, sikapnya masih tenang.

“Babo-babo, keparat!” si kumis tebal membentak marah. “Enak saja engkau memerintah orang, apalagi menyuruh begitu saja Raden Wiratama keluar menemui orang macam engkau. Katakan dulu siapa engkau dan buka topengmu, baru kami akan menangkapmu dan menyeretmu di depan Raden Wiratama!”

“Jangan bicara sembarangan, sobat,” kata si Walet Hitam. “Aku adalah sahabat baik Raden Wiratama dan dia tentu akan gembira sekali mendengar akan kunjunganku ini. Katakan saja bahwa aku datang dan dia tentu akan keluar menyambut.”

 “Sungguh manusia sombong engkau! Sejak engkau berada di luar tadi, gerak-gerikmu sudah kami awasi dan engkau tentu seorang pencuri yang kini berlagak sebagai tamu. Kalau engkau tidak mau membuka topeng memperkenalkan diri, kami akan memaksamu!”

“Hemm, engkau akan mendapat marah dari Raden Wiratama kalau menerimaku seperti ini, sobat. Ingin kulihat bagaimana engkau dapat memaksaku!” Si Walet Hitam berkata, suaranya mengandung ejekan.

“Apa susahnya memaksamu!” bentak si kumis hitam dan diapun sudah menubruk dengan kedua lengan dikembangkan, jari-jari tangan membentuk cakar seperti harimau menubruk dan menerkam, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang marah. Namun, dengan gerakan yang amat ringan dan lincah, Walet hitam mengelak kekiri dan secepat kilat kakinya menyentuh lutut kanan lawan. Perlahan saja, akan tetapi karena yang tersentuh ujung sepatu itu sambungan lutut kaki kanannya, seketika sikumis tebal jatuh berlutut. Dia tidak terluka dan marahnya bukan kepalang. Dicabutnya sebatang golok dari pinggangnya.

“Jahanam, engkau sudah bosan hidup!” bentaknya dan diapun menyerang dengan goloknya.

“Hemm, engkau seperti celeng mabok!” Walet Hitam mengejek dan kembali dia mengelak dengan mudah. Si kumis tebal menyerang terus bertubi-tubi, namun semua serangannya hanya mengenai angin saja. Melihat keadaan ini, dua orang tinggi besar lainnya sudah pula maju menyerang, seorang memegang ruyung, dan orang ketiga memegang keris yang besar dan panjang.

“Hemm, tak kusangka Raden Wiratama menyambutku seperti ini!” Walet Hitam itu mengomel dan kini gerakannya semakin cepat. Tubuhnya benar-benar seperti burung walet saja gesit dan ringannya, sukar sekali disentuh tiga orang lawan yang mengeroyoknya, menyelinap diantara sinar senjata lawan.

“Kalian memang perlu dihajar!” Tiba-tiba dia berkata lembut dan tahu-tahu sikumis tebal mengaduh, goloknya terlepas dan dia meloncat mundur sambil memegangi lengan kanannya yang terasa nyeri bukan main, seolah-olah tadi bertemu dengan sepotong baja saja ketika ditangkis lawan. Juga dua orang kawannya berturut-turut mengaduh dan merekapun berloncatan ke belakang, senjata mereka telah jatuh semua ke atas lantai.

Orang ke dua terkena tamparan pundaknya dan orang ke tiga merasa betapa jari tangannya seperti remuk bertemu dengan tamparan tangan Walet Hitam. Pada saat itu nampak sinar terang dan banyak orang keluar dari dalam, mengiringkan seorang laki-laki bertubuh jangkung kurus. Baik dari gerak- geriknya, sikapnya, pakaiannya, orang ini memiliki wibawa sehingga dia berbeda dari orang-orang lain yang menyertainya keluar, sungguhpun beberapa orang diantara mereka juga bersikap seperti bangsawan. Dikanan kiri mereka nampak pasukan pengawal, belasan orang jumlahnya, dengan senjata di tangan dan siap untuk menyerbu Walet Hitam yang berdiri tegak di pendopo itu. Ketika melihat bahwa yang menimbulkan keributan itu seorang laki-laki berperawakan sedang yang mengenakan pakaian dan topeng serba hitam, Raden Wiratama, laki-laki jangkung kurus itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau yang datang Walet Hitam!” katanya dengan suara mengandung kegembiraan.

“Benar, Raden Wiratama, akulah yang datang memenuhi janjiku. Sayang bahwa kedatanganku disambut dengan golok dan keris!” Orang bertopeng itu mengamati keadaan tuan rumah. Masih tidak berubah, pikirnya. Raden Wiratama seorang laki-laki yang kini usianya lebih empat puluh lima tahun, tubuhnya  

jangkung kurus sekali sampai kedua pipinya kempot, ketika tertawa tadi mulutnya terbuka dan nampak deretan gigi yang hitam mengkilap karena biasa makan sirih, mukanya licin tanpa kumis dan kedua matanya besar sebelah namun mengeluarkan sinar aneh. Seorang yang berbahaya, pikirnya, dan melihat sikap orang-orang yang mengelilinginya, lebih berbahaya dari pada dahulu.

“Ha-ha, itu hanya salah paham saja, sobat. Orang-orangku belum pernah melihatmu, tentu saja mereka curiga. Akan tetapi sekarang mereka sudah mengenalmu bukan? Mengenal kehebatanmu. Mari, mari silahkan masuk dan kita bicara di dalam, sobat!” Dengan langkah gagah Walet Hitam mengikuti tuan rumah dan orang-orang lain masuk ke ruangan dalam dan ternyata mereka semua masuk ke dalam sebuah ruangan di belakang yang luas sekali. Rumah itu menunjukkan bawah penghuninya seorang bangsawan yang kaya raya. Setelah duduk menghadapi meja besar, Walet Hitam melihat bahwa Raden Wiratama ditemani oleh lima orang lain yang bersikap seperti bangsawan tadi. Raden Wiratama lau memperkenalkan Walet Hitam kepada mereka.

“Inilah sobat kita Walet Hitam seperti yang pernah saya ceritakan kepada andika sekalian. Dia datang memenuhi janjinya. Walet Hitam, mereka ini adalah sahabat-sahabat, bahkan kerabatku, bangsawan- bangasawan dari Lumajang yang kini tinggal di daerah Majapahit.” Kemudian katanya kepada lima orang itu,

“Saya kira, sudah cukup percakapan kita malam ini dan maafkan bahwa saya harus mengadakan pembicaraan empat mata dengan Walet Hitam. Mungkin saja saya akan dapat mempergunakan dia, minta bantuannya, untuk mencapai niat kita yang pertama.” Lima orang itu bangkit lalu pergi dan berpamit kepada Raden Wiratama dan juga kepada Walet Hitam yang bangkit untuk mengucapkan selamat jalan kepada mereka. Setelah lima orang itu pergi, barulah Raden Wiratama menjabat Walet Hitam dengan sikap Ramah dan akrab.

“Wah, siang malam aku selalu menanti kemunculanmu, sobat. Siapa mengira bahwa engkau akan muncul malam ini? mengejutkan saja, akan tetapi juga menggembirakan.”

“Memang aku sengaja datang malam-malam yang sunyi begini, Raden Wiratama. Aku melihat keadaan di Majapahit begini menegangkan, dan setelah mencarimu dengan sia-sia di Lumajang, aku mendengar bahwa engkau sudah pindah ke Majapahit, maka aku menyusul ke sini. Akan tetapi, tidak berbahayakah tamu-tamu tadi melihat kedatanganku?”

“Ha-ha-ha, jangan khawatir. Mereka adalah segolongan, bahkan sekutu kami. Dan mereka semua sudah mendengar tentang engkau yang pernah menyelamatkan Kanjeng Adipati Wirabumi lima tahun yang lalu ketika beliau melarikan diri dari Lumajang dengan perahu. Biarpun kemudia dia terbunuh oleh Raden Gajah, akan tetapi engkaulah yang telah membantunya berhasil lari keluar dari Lumajang yang sudah terkepung pasukan Majapahit waktu itu. Sudahlah, jangan khawatir tentang para tamu tadi. Lalu bagaimana dengan janjimu itu? Berhasilkah engkau mendapatkan seorang puteri untukku?” Walet Hitam tersenyum.

“Agaknya sobatku ini masih belum hilang semangatnya untuk menghisap madu kembang.”

“Ha-ha-ha-ha, bahkan lebih bersemangat daripada dahulu, sobat! Akan tetapi, sudah lama aku merindukan seorang puteri dari utara yang berkulit kuning langsat, mulus dan bersih. Bagaimana, berhasilkah engkau mendapatkan seorang saja untukku?” “Sabar dulu, Raden. Kalau sudah kujanjikan pasti akan kupenuhi, akan tetapi bagaimana pula dengan patung emas sebagai imbalan atau penukarnya itu? Aku tetap menginginkan benda itu.”

“Ha-ha, engkau memang pedagang yang licin sekali! Patung Sang Budha dari emas itu datang dari tanah Hindu, amat sukar didapat dan amat mahal, merupakan benda pusaka keramat yang berharga sekali. Dibeli berapapun takkan kulepas, akan tetapi kalau memang puteri itu berkenan dihatiku, aku akan rela menukarnya. Bagaimanapun juga, benda itu hanyalah benda mati, tidak dapat bergerak dan hangat seperti seorang puteri, ha-ha-ha!”

“Kalau begitu baiklah, Raden. Bergembiralah karena puteri itu sudah kudapatkan. Ia baru saja datang dari Cina bersama seorang saudaranya, seorang pemuda yang juga pandai ilmu silat seperti gadis itu sendiri. Karena itu, kita harus berhati-hati menghadapi mereka.”

“Wah, puteri itupun pandai silat? Ha-ha-ha, lebih menyenangkan lagi kalau ia bisa menjadi selirku!”

“Engkau harus hati-hati, karena ilmu silat gadis itu amat tinggi. Aku sendiri agaknya tidak akan mudah mengalahkannya, apalagi Kakak angkatnya.”

“Wah...!” Raden Wiratama terkejut. “Kalau demikian tangguhnya, bagaimana mungkin aku mampu menaklukkannya? Apakah ia mau secara baik-baik menjadi selirku? Barangkali dengan pengaruh harta...?” Walet Hitam menggeleng kepala.

“Tidak mungkin. Ia tidak mungkin dapat dipikat dengan harta. Dengar baik-baik, Raden. Ia datang jauh- jauh kesini dengan niat membalas dendam. Kakaknya yang dulu ikut rombongan Laksama The Ho telah terbunuh di Lumajang...”

“Ah, terbunuh dalam perang, bagaimana ia hendak membalas dendam?”

“Tidak terbunuh dalam perang. Kakaknya terbunuh oleh seseorang dan kini ia sebagai adiknya hendak mencari dan menyelidiki sampai ia dapat menemukan pembunuh itu dan membalas dendam.”

“Wah, kalau ia demikian tangguh, bagaimana aku dapat memperolehnya? Mungkinkah ia akan suka melihat aku dan mau menjadi selirku?” Walet Hitam menggeleng kepala.

“Sedikit sekali kemungkinan itu. Ia masih muda, belum dua puluh tahun usianya. Kita harus menggunakan siasat, Raden. Bukankah Raden memiliki ilmu-ilmu sihir untuk menundukkan orang tanpa kekerasan? Aji pengasihan dan guna-guna? Nah, hanya dengan itulah ia dapat ditundukkan, bukan dengan kekerasan. Dan sekali ia sudah menjadi milikmu, tentu akan mudah engkau menguasainya.” Raden Wiratama menggosok-gosok kedua telapak tangannya, nampaknya gembira sekali.

“Jangan khawatir, aku bahkan memperdalam ilmu-ilmuku. Tapi... apakah ia cantik? Cukup berharga untuk ditukar dengan patung keramat itu?”

“Engkau lihatlah sendiri nanti. Akan kuatur agar mereka berdua itu datang menghadapmu untuk mencari keterangan. Aku mendengar bahwa di Lumajang mereka mencari seorang bernama Ki Demang Bragolo..”

 “Ah, dia sudah naik pangkat dan pindah ke Majapahit sini.”

“Kalau begitu lebih baik lagi. Kalau mereka datang menemuimu, beritahukan alamat Ki Demang Bragolo itu kepada mereka. Usahakan agar mereka berdua itu dapat saling berpisah dan agar gadis itu dapat bermalam disini. Nah, ketika itulah engkau dapat mengerjakan... hemm, kau tahu sendiri, Raden.” Wiratama kembali menggosok-gosok kedua tangannya dan mengangguk-angguk.

“Akan tetapi tunggu dulu, hal itu baru aku lakukan kalau aku benar-benar suka kepadanya. Kalau tidak, semua janji penukaran ini batal.”

“Baiklah, Raden…”

“Ada lagi satu hal yang mengkhawatirkan. Andaikata aku suka kepada gadis itu dan berhasil menundukkannya, lalu bagaimana kalau saudaranya itu…”

“Dia Kakaknya…”

“Apalagi Kakaknya! Bagaimana kalau Kakaknya itu tidak setuju dan marah, dan menuntut adiknya agar kulepaskan?”

“Sudah kuselidiki keadaan Kakaknya, Raden. Beri saja dia benda-benda kuno terbuat dari emas permata sebagai hadiah, dan andaikata dia tetap bersikeras dan tidak mau menerima, akulah yang akan menandingi dan melenyapkannya!”

“Bagus! Engkau memang seorang sobat yang baik sekali, seorang sekutu yang boleh diandalkan. Dan seperti telah kujanjikan kepada rekan-rekanku tadi, maukah engkau membantu gerakan kami!”

“Aku selalu siap membantu asalkan imbalannya sepadan, Raden. Akan tetapi lebih dulu ceritakan, apakah gerakan kalian itu dan tugas apa yang harus kulakukan? Aku harus mengetahui lebih dahulu keadaannya yang jelas.”

Dengan suara bisik-bisik Raden Wiratama lalu menceritakan keadaan Majapahit yang dilanda permusuhan antara saudara itu, terutama sekali pihak keluarga dan handai taulan yang setia kepada Kadipaten Lumajang yang menentang keluarga Kerajaan Majapahit. Diantara keluarga mendiang Wirabumi, ada sebagian yang tidak suka akan penggunaan kekerasan mengingat bahwa keluarga Kerajaan masih ada hubungan keluarga dengan mereka, dan mereka itu tidak setuju kepada golongan yang mempergunakan kekerasan. Oleh karena itu, golongan merekapun terpecah menjadi dua, Raden Wiratama termasuk golongan ke dua ini yang suka mempergunakan kekerasan dan dia telah menghimpun teman-teman sehaluan.

“Kami telah mengadakan kontak dengan beberapa orang tokoh di Tumapel dan di Daha yang sehaluan dengan kami, dan kami menanti datangnya saat yang baik untuk bergerak memberontak dan menggulingkan pemerintah Kerajaan Majapahit. Akan tetapi hal itu tidak akan tergesa-gesa dilakukan dan sekarang ini merupakan tahap pertama di mana tugas kami adalah membikin kacau di sini, dan melakukan pembunuhan diam-diam terhadap anggauta kelompok pihak lawan.” Dengan hati-hati Walet Hitam mendengarkan semua keteranan itu. Kemudian dia bertanya,

 “Raden Wiratama, apakah engkau mengenal seorang yang bernama Empu Tanding dan puteranya yang bernama Panji Sarono? Aku mendengar bahwa mereka adalah orang-orang setia kepada Kerajaan Majapahit.”

“Benar sekali! Mereka termasuk daftar hitam kami, dan mereka termasuk orang-orang yang harus disingkirkan!”

“Kalau begitu, mengapa tidak menggunakan akal mengadu domba saja? Kalau Kakak gadis itu datang dan minta keterangan setelah berhasil kupancing, engkau tinggal mengatakan saja bahwa Empu Tanding dan Panji Sarono itu merupakan orang-orang yang patut dicurigai, Kakak gadis itu tentu akan menyerbu kesana membunuh mereka.”

“Wah, itu bagus sekali! Akan tetapi bagaimana kalau tidak berhasil dan Kakak gadis itu malah yang tewas? Empu Tanding bukanlah orang yang mudah dibunuh begitu saja, juga putera-puteranya amat tangguh.”

“Kalau Kakak gadis itu yang mati, bukankah kebetulan sekali? Gadis itu mutlak menjadi milikmu tanpa ada gangguan lagi.”

“Ha-ha-ha, benar sekali. Baik, akan kuatur begitu. Akan tetapi apa alasannya yang harus kupergunakan untuk mengadu domba?”

“Mudah saja. Engkau harus dapat memancing mereka, sebut saja nama Ong Cun, Kakak kandung gadis itu yang terbunuh di Lumajang, katakan engkau mengenalnya dan kedatangan mereka mengingatkanmu kepada Ong Cun. Nah, tentu gadis itu akan mencari keterangan lebih lanjut karena tertarik, lalu kau katakan bahwa engkau mendengar pula akan pembunuhan itu dan kau jatuhkan kecurigaanmu kepada Empu Tanding dan puteranya. Mudah bukan?”

“Wah, wah, engkau memang hebat! Baiklah, akan kuatur seperti itu.”

“Dan sekarang, setelah aku mendengar semua keteranganmu tentang keadaan di sini, tugas apa yang dapat kulakukan untukmu?”

“Begini, Walet Hitam! Kami merencanakan untuk dapat membunuh Raden Gajah yang dulu membunuh Sang Adipati Wirabumi! Dan kira-kira hanya engkau yang akan mampu melakukan tugas sukar ini, dan untuk itu, jangan khawatir, kami akan memberi imbalan yang besar.”

“Berapa besar?” Walet Hitam mendesak.

“Ha-ha, sudah kukatakan engkau memang pedagang yang licin! Baiklah, sudah kami setujui bersama untuk membeli nyawa Raden Gajah seharga seratus tahil emas.” Sepasang mata di balik kedok hitam itu bersinar-sinar. Seratus tahil emas? Bukan jumlah sedikit! Merupakan jumlah yang cukup untuk dipakai modal berdagang besar. Ditambah lagi dengan patung Buddha emas itu, dia akan menjadi orang yang kaya raya!

“Baiklah Raden Wiratama. Akan kucoba untuk membunuh Raden Gajah.” Dia menyanggupi.

“Bagus, mudah-mudahan engkau berhasil. Dan puteri itu, kapan aku dapat bertemu dengannya?” “Akan kuatur secepat mungkin, kalau bisa dalam dua tiga hari ini. Akan tetapi jangan kaget, ia menyamar sebagai seorang pria dan engkau bersikaplah pura-pura tidak tahu, Raden. Dengan demikian akan lebih mudah untuk menjebaknya.” Mereka lalu berbisik-bisik mengatur siasat lebih lanjut dan sampai jauh lewat tengah malam, setelah Raden Wiratama merasa puas, Walet Hitam meninggalkan ruangan itu, pergi mempergunakan kecepatan gerakannya seperti seekor burung walet terbang saja.

“Bagaimana sekarang, Toako? Keluarga yang kita cari itu sudah pindah!” kata Bi Kwi kepada Kwee Lok ketika mereka sudah kembali ke dalam pondok yang mereka sewa di Lumajang. Pondok kecil itu memiliki dua buah kamar, dan mereka masing-masing mendiami sebuah kamar. Mereka sudah pergi mengunjungi gedung keluarga Ki Demang Bragolo, akan tetapi ternyata gedung itu telah ditinggali keluarga bangsawan lain dan mereka mendapat keterangan bahwa Ki Demang Bragolo sekeluarga kini telah pindah ke Kotaraja Majapahit, sudah tiga tahun yang lalu!

“Tidak ada jalan lain, kita harus menyusul ke Majapahit dan mencari mereka. Bukankah engkau ingin bertemu Darmini agar engkau dapat menanyakan sendiri tentang kematian Suheng?”

“Benar, Toako. Akan tetapi Suheng tewas di Lumajang, dan tentu pembunuhnya berada di Lumajang. Sayang engkau tidak mengenal nama pemuda yang membenci Kakakku, yang pernah kau lihat di taman itu. Tentu dia tinggal di Lumajang.”

“Akan tetapi aku mengenal wajahnya dan wajah kakek itu, kita dapat menyelidiki dan mencarinya.”

“Kalau begitu memang sebaiknya kita mencari keluarga Demang itu di Majapahit, Toako. Dari mereka engkau dapat bertanya tentang dua orang yang mencurigakan itu. Aku ingin lebih dulu berkunjung ke makam Kakakku, aku ingin menjenguk makamnya.

“Baik, Kwi-moi. Kita pergi mengunjungi makam lalu kembali ke sini, dan besok pagi baru kita akan pergi ke Majapahit. Aku masih mempunyai beberapa urusan pribadi, mengunjungi kenalan-kenalanku yang kujumpai dahulu.” Biarpun di dalam hatinya merasa tidak suka, akan tetapi Bi Kwi terpaksa membiarkan Kakak angkatnya itu beberapa kali pergi sendiri tanpa ia karena Kakaknya ingin menemui kenalan- kenalan dan hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan penyelidikannya tentang kematian Ong Cun.

Pergilah mereka ke makam Ong Cun dan di situ Bi Kwi duduk termenung. Ia terkenang kepada Kakaknya, Kakak tunggal yang amat dicintainya, dan masih teringat olehnya betapa ia dahulu menangis ketika Kakaknya berangkat ke selatan, dan betapa Ong Cun menghiburnya dan menjanjikan akan membawakan oleh-oleh yang aneh dan indah dari negeri asing di selatan. Siapa kira, sekarang ia hanya dapat melihat gundukan tanah makam Kakaknya! Andaikata Kakaknya tidak mati, dan pulang ke Cina, memang Kakaknya akan membawa oleh-oleh yang luar biasa, yaitu seorang wanita asing yang menjadi isterinya! Ketika mereka pulang kembali ke pondok sewaan mereka, Bi Kwi berjalan di depan dan lebih dulu masuk ke dalam pondok, Kwee Lok mengikutinya dari belakang.

“Wirr, cepp! Heiii...!” Bi Kwi terkejut dan cepat menengok. Ia melihat Kwee Lok meloncat ke halaman depan yang sudah mulai gelap karena senja baru saja lewat. Ia terkejut dan menduga tentu terjadi sesuatu, maka iapun mengejar ke halaman depan. Disitu ia melihat Kakak angkatnya celingukan seperti mencari-cari sesuatu.

“Ada apakah, Toako?” tanyanya, mendekati.

“Ada orang menyambitkan pisau. Untung tidak mengenai kita dan tadi menancap di atas daun pintu. Aku mencoba mengejar bayangan yang berkelebat di sini, akan tetapi dia telah lenyap.” Mendengar ini, Bi Kwi juga ikut mencari dengan memandang ke sana-sini, bahkan dia meloncat kesamping pondok untuk melihat kalau-kalau bayangan itu lari ke belakang pondok.

“Sudahlah, Kwi moi. Dia tentu sudah pergi. Mari kita lihat saja pisau yang disambitkannya itu.” Mereka kembali ke pintu depan dan benar saja.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar