Kesetiaan Mr. X Bab 11

Bab 11

Setelah keluar dari Jalur Toei-Shinjuku di Stasiun Shinozaki, Kusanagi mengambil telepon genggamnya. Ia mencari nomor Yukawa dan menekan tombol ”panggi?”. Didekatkannya telepon itu ke telinga sementara ia melihat keadaan sekeliling. Meski saat itu baru pukul 15.00, waktu yang terbilang tanggung, cukup banyak orang di sekitarnya. Sepeda berderet di depan supermarket.

Tidak lama kemudian, panggilan telepon Kusanagi terhubung. la bisa mendengar nada panggil yang ditunggu-tunggu. Namun tepat sebelum panggilan itu direspons, Kusanagi langsung memutus sambungan karena matanya lebih dulu menangkap sosok yang diincarnya.

Duduk di atas pagar pembatas di depan toko buku, tampak Yukawa sedang makan es krim. Ia mengenakan kaus hitam tiga per empat berpotongan cutsew dan celana putih, ditambah kacamata hitam kecil.

Kusanagi menyeberangi jalan dan mendekatinya dari belakang. Sepertinya Yukawa sedang mengamati keadaan di sekitar supermarket. "Detektif Galileo!”

Sebenarnya Kusanagi berniat mengagetkan temannya, tapi di luar dugaan, reaksi Yukawa sangat lamban. Ia menoleh perlahan, layaknya adegan lambat dalam film, dan masih menjilati es krimnya.

"Wow, daya penciumanmu memang tajam. Pantas saja detektif sering diolok-olok sama seperti anjing.” Ekspresi pria itu nyaris tidak berubah. "Sedang apa kau di sini? Ah, tunggu. Aku tidak mau mendengar jawaban 'sedang makan es krim'.”

Yukawa tertawa kering. "Coba kalau aku yang balik bertanya, jawabanmu pasti sudah jelas. Kau sedang mencariku. Oh, lebih tepatnya, menyelidiki apa yang sedang kulakukan.”

”Nah, kalau sudah tahu, jawab yang jujur. Sedang apa kau di sini?”

”Menunggumu.”

”Menungguku? Jangan bercanda!”

”Aku serius. Barusan aku menelepon universitas, dan ada mahasiswa pascasarjana bilang kau mampir semalam. Dia pasti memberitahumu aku sedang ke Shinozaki, bukan? Jadi kupikir kau pasti akan muncul jika aku menunggu di sini.”

Perkataan Yukawa benar. Ketika tadi mampir lagi ke universitas, Kusanagi memang diberitahu hari ini Yukawa juga sedang keluar. Dari cerita mahasiswa yang ditemuinya semalam, ia sudah menduga temannya itu ada di Shinozaki.

”Aku ingin tahu apa yang kaulakukan di sini,” kata Kusanagi dengan suara sedikit keras. Ia ingin sekali membiasakan diri dengan gaya bicara Yukawa yang bertele-tele, tapi tetap tak bisa menahan kejengkelannya.

”Tak usah terburu-buru. Mau kopi? Tapi ini hanya kopi dari mesin penjual otomatis, pasti jauh lebih tidak enak daripada kopi di ruang penelitianku.” Yukawa bangkit dan membuang contong es krim ke tempat sampah terdekat. Lalu ia membeli kopi dari mesin di depan supermarket dan duduk di sepeda di sampingnya.

Kusanagi membuka kaleng kopi dan menoleh ke sana kemari. ”Hei, jangan naik sepeda orang seenaknya.”

”Tenang, toh pemiliknya belum muncul.”

” Kenapa kau bisa tahu?”

”Setelah menyimpan sepeda di sini, si pemilik naik kereta bawah tanah untuk pergi ke stasiun berikutnya. Tetap saja dia butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk menyelesaikan urusannya dan kembali ke sini.” Yukawa meneguk kopi sekali, lalu mengernyit.

”?Dan kau memperhatikannya sambil makan es krim?”

”Salah satu hobiku memang mengamati manusia. Kegiatan yang cukup menyenangkan.”

”Waktumu untuk pamer sudah habis. Nah, sekarang cepat jelaskan kenapa kau di sini. Dan jangan coba-coba berbohong karena sudah jelas ada hubungannya dengan kasus pembunuhan ini.”

Yukawa memutar tubuh dan memperhatikan bagian penutup roda belakang sepeda yang didudukinya. ”Akhir-akhir ini semakin sedikit orang yang menuliskan nama di sepeda mereka. Pasti karena mereka takut identitasnya diketahui orang lain. Beda dengan dulu, hampir setiap orang mencantumkan namanya. Tapi seiring zaman, kebiasaan itu juga berubah.”

"Kelihatannya kau tertarik sekali pada sepeda itu. Sebelumnya kau juga bilang begitu.” Dari gerakan dan ucapannya, Kusanagi memahami temannya baru menyadari sesuatu.

Yukawa mengangguk. "Dulu kau bilang kecil kemungkinan si pelaku membuang sepeda itu sebagai bagian dari kamuflase.” ? Justru menurutku tindakan kamuflase itu tidak berarti. Kalau si pelaku sengaja menempelkan sidik jari korban di sepeda, kenapa dia harus membakarnya?”

”Itu dia. Bagaimana jika tidak ada sidik jari di sepeda? Apakah kau masih bisa menemukan identitas mayat?”

Pertanyaan itu membuat Kusanagi terdiam selama sepuluh detik. Ia belum pernah memikirkannya sejauh itu. Akhirnya ia menjawab, "Tentu saja masih bisa. Kami memang berhasil mengungkapnya berdasarkan kecocokan sidik jari mayat dengan pria yang diam-diam meninggalkan hotel, tapi bahkan tanpa itu pun sebenarnya bukan masalah. Apa aku sudah bilang akan diadakan tes DNA?”

”Aku tahu. Berarti percuma saja si pelaku membakar sidik jari mayat. Tapi bagaimana kalau ini sudah diperhitungkan si pelaku?”

”?Menurutmu dia tahu membakar sidik jari itu sia-sia?”

”Aku yakin tindakan itu berarti bagi pelaku, tapi jelas bukan demi menyembunyikan identitas mayat. Lalu soal sepeda yang dibuang, bagaimana kalau itu juga siasatnya supaya kita menyangka itu bukan kamuflase?”

Opini yang di luar dugaan itu sesaat membuat Kusanagi membisu. "Menurutmu segala tindakan itu murni kamuflase?”

”'Ya, tetapi aku belum tahu apa yang diinginkannya dari tindakan itu.” Yukawa turun dari sepeda yang didudukinya. "Jelas dia ingin kita menyangka korbanlah yang mengendarai sepeda itu menuju TKP, tapi tujuannya belum jelas.”

"Bagaimana kalau dia ingin mengecoh karena sebenarnya bukan korban yang mengendarai sepeda itu?” komentar Kusanagi. "Saat itu korban sudah tewas dan dia menggunakan sepeda itu untuk mengangkut mayatnya. Atasanku menyetujui teori

»”

itu ”Tapi kau sendiri tidak setuju. Pasti karena tersangka utama, Yasuko Hanaoka, tidak memiliki SIM?”

”Andai dia memiliki rekan, akan lain ceritanya,” jawab Kusanagi.

"Ide bagus. Tapi waktu yang dipilih untuk mencuri sepeda itulah yang paling membuatku penasaran. Kita tahu benda itu dicuri antara pukul 10.00 dan 22.00, tapi ada yang membuatku curiga. Sesuatu yang lebih spesifik.”

”Maubagaimanalagi? Pemiliknya sendiri yang mengatakannya. Bukan sesuatu yang sulit.”

” Justru disitumasalahnya.” Yukawamenyodorkankopikalengan pada Kusanagi. "Kenapa kalian bisa secepat itu menemukan pemiliknya?”

”Mudah saja. Kami bisa segera menanganinya karena dia langsung melaporkan kehilangan itu pada polisi.”

Yukawa menggeram pelan. Bahkan orang lain bisa merasakan sorot mata yang tajam di balik kacamata hitamnya.

”Kenapa? Ada yang membuatmu kesal?”

Yukawa menatap Kusanagi. "Kau tahu di mana sepeda itu dicuri?”

”Tentu saja tahu. Aku sudah mewawancarai pemiliknya.”

”Kau mau memberitahuku di mana tepatnya? Apa di sekitar sini?”

Kusanagi balas memandang Yukawa, ingin balik bertanya apa sebenarnya maksud temannya, tetapi ia menahan diri. Mata Yukawa bersinar tajam, seperti yang selalu terjadi saat ia menyusun deduksi.

”Di sini,” jelas Kusanagi sambil berjalan. Jaraknya tidak sampai lima puluh meter dari tempat mereka minum kopi. Ia berdiri di hadapan sederetan sepeda. "Pemiliknya menguncinya dengan rantai yang dikaitkan ke pagar trotoar.” ”'Dan si pelaku memotong rantai itu?”

”Kemungkinan besar begitu.”

” Jadi dia sudah menyiapkan pemotong rantai...” komentar Yukawa sambil mengamati sepeda yang berjejer. "Padahal banyak sepeda lain yang tidak dirantai, tapi kenapa dia harus bersusah payah begitu?”

”Mana kutahu? Atau memang sepeda yang diincarnya kebetulan dirantai.”

”Yang diincar...” Yukawa menggumam sendiri. "Apa yang membuat sepeda itu begitu spesial?”

”Sebenarnya apa maksudmu?” Kusanagi sedikit kesal.

Yukawa berbalik menatap temannya. "Kau tahu kemarin aku juga datang ke wilayah ini untuk mengamati suasana sekitar. Sepanjang hari itu banyak sepeda yang diparkir di sini. Ada yang dikunci, tapi ada juga yang dibiarkan begitu saja, seperti mengundang untuk dicuri. Mengapa si pelaku memilih sepeda tipe pertama dari sekian banyak yang ada?”

”Karena dia belum yakin akan mencurinya.”

”Baik, anggap saja si korban yang mencurinya. Tapi tetap saja: mengapa harus sepeda itu?”

Kusanagi menggeleng. ”Aku tidak mengerti. Tidak ada yang istimewa dari sepeda itu. Orang akan berpendapat kebetulan saja sepeda itu yang dipilih.”

”Bukan, bukan begitu.” Yukawa menggoyang-goyangkan jari telunjuk. "Menurut analisisku, dia memilihnya karena sepeda itu baru, atau mirip dengan sepeda baru. Bagaimana? Apa aku benar?”

Kusanagi terkejut setengah mati. Diingat-ingatnya kembali percakapannya dengan ibu rumah tangga pemilik sepeda curian itu. ”Kau benar,” jawabnya. ”Kalau tak salah dia baru membelinya bulan lalu.” Yukawa mengangguk dengan ekspresi yakin. "Betul, kan? Makanya sepeda itu dirantai supaya dia bisa segera melaporkannya pada polisi jika sampai hilang. Itulah yang diinginkan si pelaku sehingga dia menyiapkan pemotong rantai karena tahu ada beberapa sepeda yang tidak dikunci. ”

”Dia sengaja mengincar sepeda baru?”

”Begitulah.”

”Tapi untuk apa?”

"Sejauh yang bisa kuduga, tujuannya hanya satu: dia ingin si pemilik melaporkan kehilangan itu pada polisi karena, dengan alasan yang belum kita ketahui, akan membuat posisi si pelaku lebih menguntungkan. Pada dasarnya, si pelaku ingin menimbulkan efek tertentu supaya penyelidikan polisi menuju ke arah yang salah.”

”Pantas dulu kau pernah bilang ada sesuatu yang janggal dari perkiraan waktu-pencurian sepeda itu. Tapi kurasa si pelaku tidak tahu bagaimana si pemilik sepeda memberikan kesaksian. ”

"Itu hanya masalah waktu, tapi jelas si pemilik akan melaporkan sepeda itu dicuri di Stasiun Shinozaki.”

Kusanagi menahan napas dan menatap wajah sang fisikawan. ”Si pelaku menciptakan kamuflase supaya penyelidikan kami terarah ke Stasiun Shinozaki?”

”Boleh juga idemu.”

”Memang benar banyak waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk menyelidiki daerah sekitar stasiun itu. Jika analisismu benar, maka semua usaha kami sia-sia?”

”Tidak, karena faktanya memang sepeda itu dicuri di Stasiun Shinozaki. Menurutku kasus ini tidak sesederhana yang terlihat. Semuanya diatur dengan sangat licin dan penuh perhitungan,” kata Yukawa sambil memutar tubuh dan berjalan. Kusanagi bergegas mengejarnya. "Kau mau ke mana?”

”Pulang.”

”Tunggu sebentar!” Kusanagi memegang bahu temannya. ”Aku belum menanyakan sesuatu yang penting. Apa yang membuatmu tertarik pada kasus ini?”

”Sebenarnya tidak bisa dibilang tertarik.”

”Itu bukan jawaban!”

Yukawa menepis tangan Kusanagi dari bahunya. "Memangnya aku tersangka?”

"Tersangka? Maksudmu...”

”Selama tidak mengganggu penyidikkan kalian, aku bebas melakukan apa saja yang kuinginkan.”

”Tapi kau sendiri malah memakai namaku untuk membohongi guru yang tinggal di sebelah apartemen Yasuko Hanaoka. Kau bilang aku butuh bantuannya untuk keperluan penyidikan atau apalah... Tentu saja aku berhak bertanya.”

Yukawa menatap Kusanagi. Ekspresi wajahnya berubah dingin. Kusanagi belum pernah melihatnya seperti itu.

”Kau sudah pergi ke tempatnya?”

”Sudah. Dan kau sama sekali tidak menceritakannya.”

”?Apa yang harus kuceritakan?”

"Sebentar, justru aku yang seharusnya bertanya. Menurutmu guru matematika itu terkait dengan kasus ini?”

Yukawa hanya melengos. Lalu ia kembali berjalan ke arah stasiun.

”Hei! Kubilang tunggu!” seru Kusanagi.

Yukawa berhenti dan menoleh. "Sudah kubilang kali ini aku tak bisa membantumu sepenuhnya karena keterbatasan waktu. Tolong jangan terlalu mengandalkanku. Ada alasan pribadi mengapa aku masih menyelidiki kasus ini.” ”Kalau begitu aku juga tidak bisa memberimu informasi lengkap seperti dulu.”

Sesaat Yukawa menundukkan wajah, lalu mengangguk. "Apa boleh buat. Mulai sekarang kita ambil jalan sendiri-sendiri,” katanya dan mulai berjalan. Kusanagi tak sanggup berkatakata sementara ia menatap punggung Yukawa yang seakan menyuarakan keteguhan hatinya.

Kusanagi baru berjalan menuju stasiun setelah menghabiskan sebatang rokok. Ia sengaja menghabiskan waktu lebih dulu karena merasa sebaiknya ia dan Yukawa tidak naik kereta yang sama. Rupanya ada alasan pribadi di balik kasus ini sehingga Yukawa memutuskan untuk menanganinya sendiri. Apa pun alasannya, Kusanagi tidak ingin mengusiknya.

Kusanagi terus berpikir seiring guncangan kereta yang ditumpanginya. Apa yang sedang direncakan Yukawa...

Pasti berhubungan dengan guru matematika bernama Ishigami. Sejauh ini, kepolisian belum menemukan sesuatu yang menghubungkannya dengan kasus ini. Lalu mengapa Yukawa sampai penasaran?

Kusanagi kembali teringat peristiwa yang dilihatnya sore hari itu di kedai bent6, saat Yukawa dan Ishigami muncul di sana. Menurut Ishigami, Yukawa yang ingin datang ke Benten-tei. Karena tahu Yukawa bukan tipe yang mau melakukan sesuatu tanpa tujuan, pasti ada yang diincarnya sampai ia mengajak Ishigami untuk menemani. Tapi apa itu?

Tak lama kemudian Kudo muncul di kedai. Namun Kusanagi yakin itu di luar dugaan Yukawa. Lalu ia teringat keterangan yang didengarnya dari Kudo. Nama Ishigami tidak muncul, atau lebih tepatnya ia tidak menyebutkan nama seseorang secara spesifik. Ditambah pernyataan Kudo bahwa dirinya bukan pengadu. Detik itu juga, ada sesuatu yang menarik perhatian Kusanagi. Kudo tidak suka mengadu... Apa yang mereka bahas saat itu hingga Kudo sampai menyinggungnya?

Ada tamu yang hampir setiap hari membeli bento supaya bisa menemui Yasuko Hanaoka. Kusanagi ingat ekspresi Kudo yang berusaha menahan kekesalan saat membahas topik itu.

Kusanagi menarik napas panjang dan melemaskan otot-otot punggungnya. Wanita muda yang duduk di seberang menatapnya aneh. Ia mendongak mengamati peta rute kereta bawah tanah.

Aku akan turun di Hamacho, ia memutuskan.

Setelah tiga puluh menit menyetir, ia mendapati dirinya kembali terbiasa setelah lama tidakmenyentuh kemudi. Kendati demikian, tetap saja dibutuhkan sedikit waktu untuk memarkir kendaraan dengan benar karena khawatir akan mengganggu kendaraan lain. Untungnya, beberapa truk ringan yang diparkir sembarangan membuatnya bisa parkir tepat di belakang salah satunya.

Ini kali kedua ia menyewa mobil. Ketika masih menjadi asisten dosen, ia terpaksa menyewa kendaraan supaya bisa mengantar para mahasiswa berkaryawisata ke pabrik pembangkit tenaga listrik. Bedanya, mobil yang disewanya waktu itu wagon berkapasitas tujuh penumpang, yang ini hanya mobil biasa berukuran kecil. Tidak heran ia merasa nyaman mengemudikannya.

Ishigami mengamati bangunan kecil di sebelah kanan dengan cermat. Tampak papan bertuliskan ”PT. Hikari Graphic”. Perusahaan milik Kuniaki Kudo. Tidak sulit untuk mencarinya. Hanya berbekal informasi dari Detektif Kusanagi tentang nama Kudo dan bahwa ia memiliki perusahaan percetakan, Ishigami memanfaatkan internet untuk memeriksa tautan berisi daftar perusahaan percetakan membatasinya dengan yang berlokasi di Tokyo saja. Hanya PT. Hikari Graphic yang memunculkan nama Kudo.

Hari ini selepas mengajar, Ishigami bergegas ke tempat penyewaan untuk mengambil mobil yang dipesan sebelumnya dan mengemudikannya ke daerah ini. Tentu saja tindakannya itu mengundang bahaya karena berarti ia meninggalkan bukti. Namun ia telah mempertimbangkan semua kemungkinan.

Saat jam digital yang terpasang di mobil menunjukkan pukul 17.50, beberapa pria dan wanita muncul dari pintu depan gedung. Tubuh Ishigami seolah kaku setelah memastikan Kuniaki Kudo ada di antara mereka. Diraihnya kamera digital di kursi penumpang lalu dinyalakan. Ishigami mengintip lewat jendela bidik, memfokuskan lensa pada Kudo, kemudian mengatur zoom.

Seperti biasa, Kudo selalu tampil elegan. Ishigami tidak tahu tempat yang menjual baju seperti yang dikenakan pria itu. Jadi ini pria yang disukai Yasuko, pikirnya. Bukan hanya Yasuko, tapi juga banyak wanita lain di dunia ini. Andai mereka diminta memilih antara aku dan Kudo, jelas Kudo yang akan terpilih.

Dihantam kecemburuan, Ishigami menekan tombol shutter. Ia sudah mengatur supaya lampu kilat kamera tidak menyala. Sosok Kudo terlihat jelas di layar LCD kamera. Posisi matahari saat itu masih tinggi sehingga suasana di sekitar gedung cukup terang.

Kudo berjalan memutar ke belakang gedung. Ishigami sudah memeriksa di sana ada tempat parkir. Kini ia tinggal menunggu mobil pria itu muncul.

Akhirnya ada mobil Bentz yang meluncur keluar. Warnanya hijau. Begitu melihat Kudo duduk di bangku pengemudi, Ishigami langsung menyalakan mesin. Ia lantas memacu mobil sambil mengawasi bagian belakang Bentz itu. Meski tidak terbiasa mengemudi, Ishigami tidak kesulitan menguntitnya. Namun tidak lama kemudian, sebuah mobil lain berada di antara mereka dan mobil Kudo nyaris lolos dari pandangannya. Akan sulit baginya untuk mengejar jika lampu lalu lintas berubah warna. Untungnya, Kudo tipe pengemudi yang mengutamakan keselamatan. Ia tidak pernah memacu mobilnya melebihi kecepatan normal dan berhenti tepat saat lampu lalu lintas menunjukkan warna kuning. Justru Ishigami yang cemas jika mobilnya terlalu dekat dengan mobil Kudo hingga dirinya ketahuan. Namun ia tidak bisa berhenti. Kemungkinan terburuk di benak Ishigami, Kudo sadar dirinya dikuntit.

Sambil mengemudi, Ishigami sesekali memperhatikan sistem navigasi mobil. la memang tidak begitu familier dengan daerah itu. Mobil Kudo sepertinya menuju ke arah Shinagawa. Jumlah mobil semakin bertambah dan usaha penguntitan itu pun semakin sulit. Ishigami sempat lengah dan sebuah truk menghalangi pandangannya. Akibatnya, ia tak bisa melihat mobil Bentz itu. Ditambah lagi lampu lalu lintas yang telanjur berubah warna saat ia belum bisa memutuskan apakah ia harus pindah jalur atau tidak. Truk itu tepat di depannya. Itu berarti, mobil Bentz hijau lenyap entah ke mana.

Ternyata sampai di sini saja.... Ishigami mendecakkan lidah.

Begitu lampu berubah hijau, ia kembali memacu mobil. Tak lama kemudian, matanya menangkap mobil Bentz yang sedang memberi sinyal belok kanan di lampu lalu lintas berikutnya. Tidak salah lagi, itu mobil Kudo. Sepertinya ia hendak masuk ke hotel di sisi kanan jalan.

Tanpa ragu-ragu Ishigami menempatkan mobil tepat di belakang Bentz hijau. Mungkin ia akan dicurigai, tapi setelah sampai sini, ia tidak bisa mundur lagi. Begitu lampu tanda belok kanan menyala, mobil Bentz itu bergerak, diikuti mobil Ishigari. Mereka memasuki gerbang hotel. Di sisi kiri ada turunan menuju bawah tanah yang kelihatannya menjadi pintu masuk tempat parkir. Pada detik-detik terakhir, mobil Ishigami mengikuti Bentz hijau itu meluncur ke dalam.

Kudo sempat menoleh sedikit saat mengambil tiket parkir. Ishigami menundukkan kepala, bertanya-tanya apakah pria itu menyadari sesuatu.

Tempat parkir kosong. Mobil Bentz berhenti di dekat pintu masuk hotel. Ishigami memarkir mobil di tempat yang agak jauh. Dimatikannya mesin mobil dan diraihnya kamera. Sementara itu, Kudo turun dari mobil. Ishigami langsung mengabadikan momen itu. Kudo menoleh ke arah mobil Ishigami, seperti mencurigai sesuatu. Spontan Ishigami menundukkan kepala.

Tapi Kudo terus berjalan ke pintu masuk hotel. Setelah memastikan pria itu sudah lenyap dari pandangannya, Ishigami memajukan mobil.

Untuk sementara, kedua foto ini cukup.

Dengan cermat Ishigami mengemudikan mobil menaiki landaian sempit tempat parkir. Saat melewati gerbang, ia tidak perlu membayar parkir karena hanya sebentar di sana.

Aku harus memikirkan kalimat yang cocok untuk kedua foto ini, pikir Ishigami.

Kurang lebih seperti inilah susunan kalimat di benaknya:

”Dengan foto ini, kuharap kau paham. Aku sudah tahu identitas pria yang akhir-akhir ini sering kautemui. Sebenarnya apa hubunganmu dengannya? Jika kau menjalin cinta dengannya, itu pengkhianatan besar.

Kau sadar apa yang selama ini telah kulakukan untukmu? Kau harus segera berpisah dengannya. Jika tidak, pria itu akan jadi sasaran kemarahanku. Mudah sekali membuatnya mengalami nasib sama dengan mendiang Togashi. Aku punya cara dan siap melakukannya kapan saja.

Kuulangi sekali lagi: aku takkan memaafkanmu jika benar ada cinta di antara kalian. Yakinlah, aku pasti akan membalas dendam.”

Ishigami menggumamkan kalimat yang disusunnya, meresapinya dalam-dalam untuk memastikan efek ancaman di dalamnya. Lampu sinyal berubah warna dan ia hendak melewati gerbang hotel saat matanya tertumbuk pada seseorang.

Ishigami terbelalak melihat Yasuko Hanaoka hendak memasuki hotel. 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar