Bab 03
”Kapan-kapan aku akan menganalisis dengan teliti bagaimana kerja logikamu sebenarnya,” komentar Manabu Yukawa sambil bertopang dagu dengan wajah bosan. Kemudian ia menguap lebar-lebar, yang sepertinya disengaja. Ia mencopot kacamata kecil berbingkai metal yang sejak tadi dikenakannya, lalu diletakkan di samping. Tentu saja dengan gaya seakan ia tidak lagi memerlukannya.
Mungkin ia memang tidak memerlukannya. Sudah lebih dari dua puluh menit Kusanagi menekuri papan catur di depannya, tetapi belum juga mendapatkan jalan keluar. Jangankan meloloskan bidak Raja, melancarkan serangan nekat untuk membuktikan "terkadang yang lemah akan mengalahkan yang kuat” saja ia tak sanggup. Sebenarnya ada beberapa langkah yang terpikir oleh Kusanagi, tetapi ia menyadari pihak lawan akan memblokirnya lebih dulu.
”Bagaimanapun, catur tidak cocok untukku,” gerutu Kusanagi. ”Ah, mulai lagi.”
”Tapi coba pikir, kenapa kita tidak diizinkan memakai Kuda yang susah payah direbut dari lawan? Padahal itu termasuk rampasan perang.”
”Dan kau malah menyalahkan aturan dasar permainan? Kuda bukan barang rampasan perang, tapi prajurit. Prajurit yang tertangkap berarti nyawanya melayang. Kau takkan bisa menggunakan prajurit yang mati, kan?”
”Tapi kau bisa melakukannya dalam shogi 4!”
”Dalam shogi, kau tak perlu membunuh prajurit musuh demi merebut Kuda, kau hanya perlu membuat mereka menyerah. Karena itulah Prajurit bisa digunakan lagi. Aku sangat menghormati keluwesan berpikir penciptanya.”
”Asyik juga kalau catur bisa seperti itu.”
”Tapi kode etik kesatria melarang keras segala bentuk pembelotan. Nah, sekarang hentikan semua omong kosongmu dan amati situasi pertempuran secara logis. Ingat, kau baru satu kali menggerakkan Kuda. Sekarang langkah kudamu minim sekali, ke arah mana pun kau melangkah Kuda-mu takkan bisa menghentikan langkahku. Sekali saja Kesatria-ku melangkah, sekakmat!”
”?Aku menyerah! Ternyata catur memang buang-buang waktu saja!” Kusanagi bersandar di kursi besar yang didudukinya.
Yukawa mengenakan kembali kacamatanya, lalu menatap jam dinding. "Total 42 menit. Yah, setidaknya nyaris semuanya kaupikirkan sendiri. Omong-omong, tidak apa-apa kau bersantai-santai di sini? Bagaimana kalau atasanmu yang galak itu menghukummu?”
”Aku diberi cuti singkat setelah menyelesaikan kasus pembunuhan si penguntit itu.” Kusanagi mengulurkan tangan untuk
Shogi: catur Jepang meraih mug yang sedikit bernoda. Kopi instan yang dibuatkan Yukawa kini sudah dingin. Selain mereka berdua, tidak ada orang lain di Laboratorium No. 13 milik Jurusan Fisika Universitas Teito karena mahasiswa lain sedang mengikuti kuliah. Kusanagi yang mengetahuinya memang sengaja mampir di jam-jam itu.
Telepon genggam Kusanagi di saku berbunyi. Sambil mengenakan jas putih, Yukawa tersenyum masam dan berkomentar, "Wah, kau dapat panggilan darurat.”
Kusanagi cemberut dan memeriksa isi pesan. Benar kata Yukawa. Si penelepon detektif junior rekan satu timnya.
Tempat Kejadian Perkara berada di tepi Sungai Edo di sisi Tokyo. Di dekatnya terdapat pabrik pengolahan limbah, sementara Prefektur Chiba berada di seberang sungai. Pekerjaanku akan jadi lebih mudah jika kasus ini terjadi di seberang sana, pikir Kusanagi sambil menegakkan kerah jas.
Mayat itu digeletakkan di tepi sungai dan ditutupi plastik biru yang kelihatannya diambil dari pabrik. Penemunya pria lanjut usia yang sedang lari pagi. Perhatiannya tertarik oleh satu kaki yang menjulur keluar dari plastik biru itu, dan dengan takut-takut ia menyingkapnya.
”Usia kakek itu sudah 75 tahun dan dia sering lari pagi di tengah udara dingin. Kasihan, sudah setua itu malah harus menyaksikan pemandangan tidak menyenangkan.”
Kusanagi mengernyit sementara ia mendengarkan penjelasan Detektif Junior Kishitani yang tiba lebih dulu.
”Kau sudah melihat mayat itu, Kishi?”
”Sudah.” Mulut Kishitani berkerut seakan ia menahan penderitaan. "Komandan menyuruhku mengamatinya baik-baik.” ”Dia memang selalu seperti itu, tidak pernah mau melihat sendiri.”
Kau mau melihatnya, Senior?”
”Tidak. Bisa gawat kalau aku disuguhi hal seperti itu.”
Menurut laporan Kishitani, mayat itu ditemukan dalam kondisi mengenaskan: telanjang bulat, bahkan sepatu dan kaus kakinya tidak ada. Wajahnya hancur seperti semangka yang dibelah, demikian Kishitani mendeskripsikan kondisi mayat yang langsung membuat Kusanagi mual. Jemari mayat itu juga dibakar, kemungkinan untuk melenyapkan sidik jari.
Mayat itu berjenis kelamin lelaki. Selain bekas cekikan di leher, sepertinya di tubuhnya tidak ditemukan luka luar lain.
"Semoga Tim Forensik akan menemukan sesuatu,” kata Kusanagi sambil berjalan di rerumputan. Ia berpura-pura mencari sesuatu yang mungkin ditinggalkan si pelaku karena sadar banyak mata mengawasinya. Sebenarnya, ia lebih suka menyerahkan urusan ini pada para ahli karena ia tidak yakin dirinya akan menemukan sesuatu yang penting.
”Ada sepeda di sebelah mayat. Sekarang sudah diangkut ke Polsek Edogawa.”
”Sepeda? Paling-paling sampah milik seseorang.”
"Sepeda itu masih baru, tapi kedua rodanya sengaja dikempiskan, mungkin dengan paku atau sejenisnya.”
”? Hmmm, mungkinkah milik korban?”
”Belum bisa dipastikan. Mungkin kita bisa mengetahui siapa pemiliknya karena di situ masih ada nomor registrasinya.”
”Semoga benar milik korban,” ujar Kusanagi. "Kalau tidak, kujamin kita yang akan repot setengah mati. Kau tahu perbedaannya ibarat surga dan neraka?”
”0Oh, ya?” ”Kishi, ini kali pertama kau melihat mayat tanpa identitas?”
Ya.”
”Coba pikirkan baik-baik. Karena kondisi wajah dan sidik jari korban rusak, artinya si pelaku ingin menyembunyikan identitas korban. Jelas itu juga berarti kita bisa menangkap si pelaku dengan mudah begitu identitas mayat diketahui. Masalahnya, nasib kita akan ditentukan oleh berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengungkap identitas itu.”
Di saat yang sama, ponsel Kishitani berdering. Ia menerimanya, berbicara beberapa saat, lalu berkata pada Kusanagi, ”Kita diminta datang ke Polsek Edogawa.”
”Fiuuuh, untunglah.” Kusanagi bangkit dari rumput, menegakkan badan, lalu menepuk celananya dua kali.
Di Polsek Edogawa, mereka mendapati Mamiya sedang menghangatkan diri di dekat mesin pemanas di ruang Divisi Detektif. Mamiya atasan Kusanagi dan kawan-kawan. Di sekelilingnya tampak beberapa pria—mungkin detektif Polsek Edogawa—sedang tergopoh-gopoh menyiapkan ruangan untuk posko penyelidikan.
”Hari ini kau menyetir sendiri?” tanya Mamiya begitu melihat Kusanagi muncul.
”Ya. Stasiun keretanya terlalu jauh.”
”Kau kenal baik daerah ini?”
”Tidak juga, tapi boleh dibilang lumayan.”
” Jadi kau tidak memerlukan penunjuk jalan. Nah, ajak Kishitani dan datangi alamat ini.” Mamiya mengulurkan selembar kertas. Di situ tertera alamat di Shinozaki, Distrik Edogawa, di bawah nama seorang wanita: Yoko Yamabe.
"Siapa orang ini?”
”Kau sudah memberitahunya tentang sepeda itu?” tanya Mamiya pada Kishitani. ”Sudah.”
”Maksud Anda sepeda yang ditemukan di dekat mayat?” Kusanagi menatap wajah angker atasannya.
”Benar. Setelah diteliti, nomor registrasinya cocok dengan sepeda yang dilaporkan hilang oleh wanita ini. Kami sudah menghubunginya dan sekarang dia di rumah. Pergilah sekarang dan dengarkan keterangannya.”
”Apakah ada sidik jari di sepeda itu?”
”Itu bukan urusanmu. Pokoknya cepat pergi!” Suara galak Mamiya seketika membuat Kusanagi dan Kishitani terbirit-birit meninggalkan markas.
”Sudah kuduga ternyata itu memang sepeda curian.” Kusanagi mendecakkan lidah sambil mengemudikan mobil kesayangannya: Nissan Skyline warna biru yang dimilikinya selama delapan tahun terakhir.
”Menurutmu si pelaku mencuri lalu membuang sepeda itu?”
”Mungkin. Jika itu benar, mewawancarai pemiliknya tidak akan membawa kita ke mana-mana karena tak mungkin dia tahu siapa pencurinya. Yah, asalkan kita tahu lokasi hilangnya sepeda itu, mungkin kita akan mendapatkan sedikit petunjuk tentang rute si pelaku.”
Mengikuti petunjuk alamat dan peta, Kusanagi memutari area Blok 2 Shinozaki sampai akhirnya menemukan rumah yang dituju. Rumah putih bergaya Eropa dengan papan nama bertuliskan ”Yamabe”.
Yoko Yamabe adalah ibu rumah tangga berusia pertengahan empat puluhan. Wajahnya dirias, kelihatannya ia sengaja melakukannya setelah mendengar polisi akan mampir.
”Tidak salah lagi. Ini memang sepeda saya,” kata Yamabe-san tegas setelah melihat foto sepeda yang disodorkan Kusanagi. Foto itu diperoleh dari Tim Forensik. Saya harap Anda bersedia datang ke markas dan mengidentifikasikannya secara langsung.”
”Dengan senang hati. Tapi apakah saya bisa memperolehnya kembali?”
”Tentu saja, tapi mungkin Anda harus sedikit menunggu karena masih ada penyelidikan yang perlu dilakukan. Begitu selesai pasti segera kami kembalikan.”
”Tapi saya memerlukannya segera! Rasanya tidak praktis pergi belanja tanpa sepeda itu.” Alis Yoko Yamabe berkerut menandakan kekecewaan. Nada suaranya terdengar seakan ia menyalahkan polisi hingga sepedanya dicuri. Kusanagi mengeluh dalam hati. Rupanya wanita ini belum tahu ada kemungkinan sepedanya terkait dengan kasus pembunuhan. Andai ia tahu, Kusanagi yakin ia tak akan sudi mengendarainya. Belum lagi kalau ia sampai melihat kedua roda sepedanya yang kempis, bisa-bisa ia akan meminta ganti rugi pada kepolisian.
Menurut Yoko Yamabe, sepedanya dicuri kemarin, tepatnya tanggal sepuluh Maret, antara pukul 11.00 hingga pukul 22.00. Saat itu ia pergi ke Ginza untuk menjumpai seorang teman, lalu berbelanja dan makan sebelum akhirnya kembali ke Stasiun Shinozaki pukul 22.00 lewat dan mendapati sepedanya sudah lenyap. Alhasil, ia terpaksa pulang naik bus.
”Anda menitipkannya di tempat parkir?”
”Tidak. Saya memarkirnya di jalan.”
”Dalam keadaan terkunci?”
”Ya. Saya juga merantainya di pagar trotoar.”
Kusanagi belum mendengar ada yang menyebut-nyebut rantai ditemukan di TKP. Kemudian ia mengantarkan Yoko Yamabe ke Stasiun Shinozaki supaya wanita itu bisa menunjukkan lokasi sepedanya dicuri. ”Di sekitar sini.” Wanita itu menunjuk ke tepi jalan yang berjarak sekitar dua puluh meter dari supermarket di depan stasiun. Saat ini pun banyak sepeda berjejer di sana.
Kusanagi mengedarkan pandang ke sekeliling. Di situ juga berdiri kantor cabang Bank Shinkin, toko buku, dan masih banyak lagi. Pasti banyak pejalan kaki berlalu lalang sepanjang siang dan malam. Tidak sulit bagi seseorang yang cukup bernyali untuk memotong rantai sepeda itu secepat kilat, lalu mengambilnya seolah itu miliknya sendiri, tapi kemungkinan besar perbuatan itu dilakukannya saat suasana sudah lebih sepi.
Mereka membawa Yamabe-san ke Polsek Edogawa untuk mengidentifikasi sepeda itu.
”Memang nasib saya sedang sial, padahal sepeda itu baru dibeli bulan lalu,” kata Yamabe-san dari kursi belakang. "Begitu tahu sepeda itu dicuri, saya sangat marah dan langsung mengisi laporan kehilangan di kantor polisi depan stasiun sebelum pulang.”
”Dan Anda masih ingat nomor registrasinya?”
”Yah, itu barang baru. Nota pembeliannya masih saya simpan di rumah. Saya menelepon putri saya dan meminta dia memberitahukan nomornya.”
”Rupanya begitu.”
”Sebenarnya ini kasus apa? Polisi yang menelepon sebelumnya sama sekali tidak menjelaskan apa-apa.”
”Kami sendiri belum mengetahuinya. Belum ada data yang lebih rinci.”
”Oh, begitu? Hmm... kalian para polisi memang paling pandai menutup mulut.”
Kishitani yang duduk di sebelah Kusanagi berusaha menahan tawa. Kusanagi bersyukur karena ia mengunjungi wanita itu hari ini dan bukannya nanti. Begitu kasus ini diumumkan secara resmi, jelas Kusanagi akan diberondong pertanyaan.
Di Polsek Edogawa, Yamabe-san memastikan sepeda itu miliknya. Begitu melihat kedua ban yang bocor dan goresan-goresan, ia bertanya pada Kusanagi siapa yang akan mengganti kerusakan itu.
Tim Forensik berhasil menemukan beberapa sidik jari di kemudi, sadel, dan rangka sepeda. Selain itu, hanya beberapa ratus meter dari TKP, mereka juga menemukan pakaian yang diduga milik korban. Pakaian yang terdiri atas jaket, baju hangat, celana panjang, kaus kaki, dan celana dalam itu dijejalkan ke dalam tong sake dan sebagian sudah terbakar. Diduga pelakulah yang menyalakan api lalu pergi, tanpa mengetahui api telanjur padam sebelum menyelesaikan tugasnya.
Mengenai pakaian, tim penyidik tidak berhasil menemukan keanehan, karena pakaian seperti itu mudah ditemukan di mana pun. Sebagai gantinya, tim menggunakan pakaian dan bentuk tubuh mayat untuk membuat ilustrasi yang menggambarkan penampilan korban semasa hidup. Berbekal ilustrasi itu, beberapa polisi langsung dikirim ke Stasiun Shinozaki dan mulai mengajukan pertanyaan. Namun karena tidak ada sesuatu yang mengemuka, baik dari pakaian maupun korban itu sendiri, mereka belum berhasil memperoleh informasi berharga.
Acara berita televisi ikut menayangkan ilustrasi itu. Informasi mulai membanjir, tapi tidak ada satu pun yang menghubungkannya dengan mayat di tepi Sungai Kyuu-Edo. Polisi juga membandingkan data mayat dengan daftar nama orang hilang, sayangnya mereka juga tidak menemukan nama yang cocok. Satu-satunya petunjuk menjanjikan muncul saat polisi memeriksa penginapan dan hotel di Distrik Edogawa untuk melacak apakah ada tamu pria yang tiba-tiba lenyap. Ada informasi seorang tamu pria Hostel Ogiya di Kameido hilang tanggal sebelas Maret, tepat pada hari mayat itu ditemukan. Staf hostel memeriksa kamarnya karena sang tamu sudah melewati waktu checkout, tapi hanya menemukan barang-barang pribadi tamunya. Pihak manajer tidak meneruskan informasi itu kepada polisi karena tamu itu sudah membayar di muka.
Tim forensik bergegas memeriksa kamar yang dimaksud, termasuk mengambil semua sidik jari dan rambut rontok. Akhirnya mereka berhasil menemukan kecocokan satu helai rambut dengan rambut mayat, juga sidik jari dari sepeda di TKP yang ternyata sama dengan sidik jari yang tertinggal di kamar dan barang-barang pribadi si tamu,
Tamu yang hilang itu sempat menuliskan namanya di buku tamu: Shinji Togashi. Alamatnya di Nishi-Shinjuku, Shinjuku.