Keajaiban Toko Kelontong Namiya Bab 5 (Tamat)

Bab 5 Doa Dari Langit (Tamat)

Shota kembali dari toko dengan wajah muram.

“Masih belum ada?” tanya Atsuya.

Shota mengangguk, lalu mendesah.

“Sepertinya hanya bunyi pintu gulung toko yang terkena embusan angin.” “Oh, begitu,” kata Atsuya.

“Ya sudah.” “Kira-kira surat kita dibaca atau tidak, ya?” Kali ini giliran Kohei yang bertanya.

“Kemungkinan besar dibaca,” jawab Shota.

“Soalnya surat yang tadi kutaruh dalam kotak susu sudah lenyap.

Tidak mungkin orang lain yang mengambilnya.” “Oh.

Terus kenapa balasannya belum datang?” Shota sudah nyaris menjawab, tapi berhenti saat menatap Atsuya.

“Apa boleh buat,” kata Atsuya.

“Apalagi isi surat balasan dari kita seperti itu.

Bisa saja si penerima tidak paham maksudnya, bukan? Selain itu, kalau ada balasan, itu hanya akan jadi masalah.

Bagaimana jika dia malah menanyakan apa maksud kita?” Kohei dan Shota menunduk membisu.

“Kalian tak bisa menjawabnya, kan? Jadi biarkan saja seperti ” ini.

“Tapi aku sendiri sampai kaget,” komentar Shota.

“Kok bisa ada kebetulan seperti ini? Siapa sangka si Musisi Toko Ikan ternyata orang itu.” “Memang.” Arsuya mengangguk setuju.

Ia tidak bisa memungkiri bahwa ia sendiri pun terkejut.

Setelah sesi diskusi dengan wanita calon atlet Olimpiade berakhir, mereka menerima surat permintaan diskusi berikutnya dari orang lain.

Begitu membaca isinya, Atsuya dan kawan-kawannya langsung kesal.

Menurut mereka, isi surat yang menanyakan apakah sebaiknya si pengirim melanjutkan bisnis toko ikan milik keluarganya atau memilih berkarier di bidang musik tidak bisa dianggap sebagai masalah besar.

Bagi mereka, si pengirim surat tak ubahnya manusia beruntung yang egois.

Mereka bertiga lantas menulis surat balasan yang bernada menghina dan mengolokolok.

Tapi di luar dugaan, si pengirim surat yang memakai nama samaran “Musisi Toko Ikan” kembali mengirim surat balasan yang isinya membela diri.

Menghadapi itu, Atsuya dan kawankawan langsung mengirimkan surat yang awalnya mereka maksudkan sebagai surat terakhir, dan sedang menunggu balasannya ketika terjadi hal aneh.

Waktu itu mereka bertiga berada di dalam toko dengan maksud menunggu surat dari Musisi Toko Ikan.

Tidak lama kemudian, memang benar ada surat yang sedang dimasukkan ke lubang surat, tapi mendadak berhenti begitu saja.

Hal mengejutkan pun terjadi sesudahnya.

Dari arah lubang surat, terdengar alunan harmonika.

Melodi lagu yang sangat dikenal Atsuya dan kawan-kawan, bahkan mereka juga tahu judul lagu itu.

Terlahir Kembali.

Lagu itu dikenal sebagai karya yang telah mengangkat nama seorang penyanyi wanita bernama Mizuhara Seri, tapi sebenarnya ada anekdot terkenal di baliknya.

Dan anekdot itu sangat mengena bagi Atsuya dan kedua kawannya.

Berdua dengan adik laki-lakinya, Mizuhara Seri dibesarkan di sebuah rumah perlindungan anak bernama Taman Marumitsu.

Saat duduk di bangku SD, Taman Marumitsu mengalami kebakaran.

Seorang pria menyelamatkan adik Seri yang terlambat melarikan diri.

Pria itu adalah musisi amatir yang dipanggil ke tempat itu untuk mengadakan konser Natal.

Sekujur tubuhnya mengalami luka bakar parah dan akhirnya dia meninggal di rumah sakit.

Terlahir Kembali adalah lagu ciptaan musisi itu.

Sebagai tanda terima kasih, Mizuhara Seri selalu menyanyikannya dan alhasil, kesuksesannya sebagai seorang artis tidak tergoyahkan.

Atsuya dan kawan-kawan sudah sering mendengar cerita ini sejak masih kecil.

Mengapa? Karena mereka juga dibesarkan di Taman Marumitsu.

Mizuhara Seri adalah kebanggaan Taman Marumitsu sekaligus seorang bintang yang kehadirannya membuat anak-anak lainnya yang tinggal di sana bermimpi kelak juga bisa seperti dia.

Tidak heran Atsuya dan kawan-kawan terkejut saat mendengar Terlahir Kembali.

Begitu alunan harmonika itu berhenti, surat tadi jatuh dari lubang surat seperti didorong dari luar.

Mereka bertiga lantas membahas apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Semua pengirim surat mereka seharusnya hidup di tahun 1980.

Saat itu Mizuhara Seri memang sudah lahir, tapi dia masih kecil.

Tentu saja lagu Terlahir Kembali belum dikenal masyarakat.

Hanya ada satu kemungkinan.

Sang Musisi Toko Ikan adalah pencipta lagu Terlahir Kembali.

Orang yang dianggap dewa penolong oleh kakak-adik Mizuhara.

Dalam suratnya, sang Musisi Toko Ikan berkata bahwa meski dia terkejut membaca surat balasan dari Toko Kelontong Namiya, dia akan mencoba mengintrospeksi diri.

Dia bahkan menyatakan niatnya untuk bertemu langsung dengan mereka.

Atsuya dan kawan-kawannya jelas kebingungan.

Haruskah mereka memberitahu apa yang akan terjadi pada Musisi Toko Ikan di masa depan? Pada Malam Natal tahun 1988, kau akan meninggal akibat kebakaran yang menimpa Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu? “Beritahu saja,” ujar Kohei.

“Dengan begitu, dia tak perlu tewas di sana.” “Tapi dengan begitu, sebagai gantinya adik Mizuhara Seri yang akan meninggal.” Giliran Shota angkat bicara.

Kohei tidak bisa membantahnya.

Akhirnya Atsuya yang mengambil keputusan terakhir.

Mereka tidak akan memberitahukan soal kebakaran itu.

“Jika dia diberitahu, belum tentu akan ditanggapi dengan serius.

Paling-paling dia hanya akan kesal, menganggapnya sebagai ramalan nasib buruk, lalu segera melupakannya.

Selain itu kita sudah tahu bahwa kelak Mizuhara Seri akan menyanyikan Terlahir Kembali setelah peristiwa kebakaran di Taman Marumitsu dan itu tidak akan bisa diubah.

Tak peduli seperti apa surat balasan kita, hasilnya tetap akan sama.

Lebih baik kita menulis sesuatu yang bisa membangkitkan semangatnya.” Baik Shota maupun K6hei menyetujui saran Atsuya.

Katakata seperti apa yang sebaiknya mereka tulis? “Aku...

ingin mengucapkan terima kasih,” kata Kohei.

“Kalau tidak ada dia, Mizuhara Seri tidak akan menjadi penyanyi terkenal, selain itu kita juga tidak akan bisa mendengarkan Terlahir Kembali.” Atsuya sependapat.

Shota berkata, “Kalau begitu, ayo kita tulis seperti itu.” Mereka bertiga lantas sibuk mengarang kalimat.

Berikut isi surat tersebut: Perjalanan Anda di dunia musik tidak akan sia-sia.

Saya percaya kelak lagu Anda akan menyelamatkan seseorang.

Dengan begitu, musik Anda pasti akan terus dikenang.

Mungkin Anda heran mengapa saya bisa begitu yakin, tapi itu memang benar.

Pokoknya percayalah pada hal ini.

Sampai di saat terakhir.

Hanya itu yang bisa saya sampaikan.

Mereka memasukkan surat itu ke kotak susu.

Beberapa saat kemudian, surat itu sudah tidak ada ketika mereka mencoba mengeceknya.

Sepertinya sudah sampai di tangan Musisi Toko Ikan.

Mereka kira akan langsung mendapat surat balasan yang nadanya membela diri.

Makanya sejak tadi mereka menutup pintu, untuk menunggu surat balasan itu.

Namun, jawaban itu tidak kunjung datang.

Biasanya tepat setelah mereka memasukkan surat balasan ke kotak, surat berikutnya akan muncul dari lubang surat.

Mungkin setelah membaca surat dari Atsuya dan kawan-kawan, Musisi Toko Ikan telah menemukan jalan keluar masalahnya.

“Kita buka saja pintu belakang,” Atsuya berkata sambil bangkit berdiri.

“Tunggu.” Kohei menyambar ujung celana jins Atsuya.

“Bisa tunggu sebentar lagi?” “Menunggu apa?” Kohei menjilat bibir.

“Sebentar saja.

Biarkan pintu itu tertutup.” Atsuya mengerutkan alis.

“Untuk apa? Kurasa si Musisi Toko Ikan tak bakal membalas.” “Aku tahu.

Ini bukan soal dia.” “Lalu apa?” “Maksudku...

mungkin akan ada orang lain yang mengirim surat.” “Apa?” tukas Arsuya tajam, sementara Kohei menunduk.

“Kau bilang apa? Kau tahu kan aliran waktu tidak akan berjalan jika pintu belakang terus ditutup?” “Ya, aku tahu.” “Artinya kau tahu ini bukan waktunya untuk melakukan itu.

Kita sudah menemani si Musisi Toko Ikan sejauh ini karena merasa perlu ikut campur, tapi sekarang sudah selesai.

Konsultasi main-main ini harus berakhir!” Atsuya menarik kakinya dari cengkeraman Kohei dan berjalan menuju pintu belakang.

Sebelum menutupnya, ia pergi ke luar untuk memastikan waktu.

Pukul 04.00 lebih sedikit.

Masih dua jam lagi.

Rencananya adalah meninggalkan tempat ini setelah lewat pukul 06.00.

Saat itu kereta api seharusnya sudah beroperasi kembali.

Ia kembali ke dalam.

Kohei sedang duduk dengan wajah muram, sementara Shota sibuk memainkan ponsel.

Atsuya duduk di kursi ruang makan.

Api lilin-lilin di atas meja bergerak-gerak.

Pasti karena tiupan angin dari luar.

Benar-benar rumah yang ajaib, pikir Atsuya sambil memandang dinding yang sudah menghitam.

Apa penyebab peristiwaperistiwa ajaib itu? Lalu kenapa mereka bisa sampai terlibat? “Aku tidak tahu apakah ini masuk akal,” bisik Kohei, “seumur hidup, malam ini untuk pertama kalinya aku merasa bisa jadi manusia yang berguna.

Aku.

Orang bodoh seperti aku.” Atsuya mengernyit.

“Jadi itu alasanmu ingin melanjutkan sesi konsultasi ini? Padahal jelas-jelas tidak ada untungnya.” “Ini bukan masalah uang.

Aku juga tidak cari untung.

Baru kali ini aku mencoba menempatkan diri di posisi orang lain, bahkan mungkin membantu mereka.” Atsuya mendecak keras.

“Lantas, apa gunanya? Kita terbuai membayangkan saran kita bisa membantu orang lain.

Sebenarnya tidak ada yang butuh nasihat kita.

Perempuan Olimpiade itu memanfaatkan jawaban kita hanya demi meyakinkan diri sendiri, lalu kita juga tidak bisa berbuat apa-apa terhadap si Musisi Toko Ikan.

Sejak awal sudah kubilang, pecundang seperti kita tidak pantas memberi nasihat kepada orang lain.” “Tapi Atsuya terlihat senang waktu membaca surat terakhir dari Kelinci Bulan.” “Aku memang tidak menyesal, tapi jangan salah paham.

Kita bukan manusia yang bisa memberikan nasihat pada orang lain.

Kita adalah...” Atsuya menunjuk ke arah tas yang teronggok di sudut ruangan.

“Kita hanya maling kelas teri.” Kohei menunduk dengan ekspresi terluka.

Melihat itu, Arsuya hanya mendengus.

Detik itu juga, Shota berseru keras.

Terkejut, Atsuya tanpa sadar bangkit dari kursinya.

“Ada apa?” “Tidak apa-apa, tapi...” Shota menunjukkan ponselnya.

“Toko Kelontong Namiya muncul di internet!” “Di internet?” Alis Atsuya berkerut.

“Paling-paling hanya orang-orang yang menuliskan kenangan masa lalu mereka tentang tempat ini.” “Kupikir juga begitu ketika mencari kata “Toko Kelontong Namiya' karena aku yakin pasti ada orang yang menulis tentang tempat itu.” “Ada cerita-cerita lama yang muncul?” “Bukan seperti itu.” Shota menghampiri Atsuya dan menyodorkan ponselnya.

“Coba baca sendiri.” “Apa...” kata Atsuya sambil menerima ponsel itu.

Tatapannya kemudian menelusuri huruf-huruf yang terpampang di layar telepon.

Di situ tertulis: “Toko Kelontong Namiya: Sesi Konsultasi Terbatas.

Hanya Semalam.” Pantas saja Shota kaget.

Atsuya sendiri merasa seakan-akan suhu tubuhnya meningkat drastis.

Pada tanggal 13 September, sesi konsultasi Toko Kelontong Namiya akan dibuka lagi mulai pukul 00.00 sampai menjelang fajar.

Bagi Anda yang pernah berkonsultasi dan menerima surat balasan, saya ingin sekali mengetahui pengaruh surat tersebut terhadap kehidupan Anda.

Apakah jawaban itu membantu Anda? Atau justru tidak? Saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia memberikan pendapat secara jujur.

Sama seperti dulu, silakan masukkan surat Anda lewat lubang surat di pintu gulung toko.

Semoga Anda berkenan melakukannya.

“Apa-apaan? Apa maksudnya ini?” “Tidak tahu.

Tapi di sini tertulis mereka melakukan ini untuk memperingati 33 tahun meninggalnya sang pemilik toko.

Orang yang mengunggah berita ini adalah keturunannya.” “Eh? Apa?” Kohei datang menghampiri.

“Apa yang terjadi?” Setelah menyerahkan ponselnya pada Kohei, Shota berkata, “Atsuya, hari ini tanggal 13 September.” Atsuya juga menyadarinya.

Pukul 00.00 tanggal 13 September hingga fajar menyingsing...

Itu berarti sekarang, dan mereka tepat berada di tengah-tengahnya.

“Apa maksudnya ini? Dibukanya kembali sesi konsultasi...” Kohei berulang kali mengerjapkan mata.

“Kurasa ini ada kaitannya dengan semua keanehan yang terjadi sejauh ini,” celetuk Shota.

“Aku yakin telah muncul semacam koneksi antara masa kini dan masa lalu karena hari ini adalah hari istimewa.” Atsuya mengusap-usap wajah.

Meskipun tidak mengerti alasannya, mungkin yang dikatakan Shota memang benar.

Ia menatap pintu belakang yang terbuka lebar.

Di luar sana masih gelap gulita.

“Kalau pintunya terbuka, koneksi dengan masa lalu akan hilang.

Masih ada waktu sampai fajar.

Bagaimana, Atsuya?” tanya Kohei.

“Bagaimana apanya...?” “Mungkin kita telah mengusik aliran waktu di rumah ini.

Bukankah seharusnya pintu itu selalu dalam keadaan tertutup sepanjang malam?” Kohei bangkit dan mendekati pintu belakang tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Ditutupnya pintu itu sampai rapat.

“Hei! Jangan berbuat seenaknya!” Atsuya mengingatkan.

Kohei berbalik menatapnya, kemudian menggeleng.

“Bagaimanapun, pintu itu harus ditutup.” “Kenapa? Aliran waktu tidak akan bisa berjalan kalau pintu ditutup! Kalian mau terus tinggal di sini?” Mendadak tebersit ide di benak Atsuya.

“Aku dapat ide.

Pintu ini akan kita tutup, tapi sebelumnya, kita keluar dulu dari sini.

Itu menyelesaikan masalah, dan kita juga tidak akan mengganggu apa pun.

Benar, kan?” Namun, kedua temannya tidak mengangguk setuju.

Ekspresi mereka tampak kecewa.

“Sekarang apa? Kalian mau bilang apa lagi?” Akhirnya Shota angkat bicara.

“Aku masih ingin tinggal di sini untuk beberapa saat lagi.

Kalau Atsuya mau keluar, silakan.

Kau boleh menunggu di luar atau pergi lebih dulu.” “Aku juga.” Kohei langsung menambahkan.

Atsuya menggaruk-garuk kepala.

“Lalu apa yang akan kalian lakukan di sini?” “Kami tidak akan melakukan apa pun,” jawab Shota.

“Hanya mengamati.

Mengamati apa yang akan terjadi di rumah ajaib ini.” “Kalian ini mengerti atau tidak? Masih ada waktu sejam sebelum fajar tiba, sedangkan satu jam di dunia luar sama dengan beberapa hari di dalam rumah ini.

Apa kalian akan terus tinggal di sini tanpa makan dan minum? Aku tidak akan mengizinkannya!” Shota memalingkan wajah.

Dia tahu yang dikatakan Atsuya masuk akal.

“Menyerah sajalah,” kata Atsuya.

Tapi Shota tidak menjawab.

Tepat setelah itu, terdengar bunyi derak pintu gulung yang terkena tiupan angin.

Arsuya dan Shota bertukar pandang.

Kohei berlari kecil ke arah toko.

“Paling-paling angin lagi,” komentar Atsuya sambil memandangi punggung temannya.

“Pintu itu hanya terkena tiupan angin.” Tidak lama kemudian, Kohei kembali dengan tangan kosong.

“Benar karena angin, kan?” Kohei tidak segera menjawab, melainkan menghampiri kedua temannya sambil tersenyum lebar dan tangan kanan disembunyikan di balik punggung.

“Ta-da!” katanya sambil mengeluarkan tangan kanannya yang ternyata menggenggam sebuah amplop.

Rupanya amplop itu disembunyikannya di saku belakang celana.

Atsuya langsung cemberut.

Lagi-lagi mereka harus dibuat repot.

“Ini yang terakhir, Atsuya,” kata Shota sambil menunjuk amplop.

“Setelah membalasnya, kita akan meninggalkan rumah ini, Aku janji.” Atsuya mendesah dan kembali duduk di kursi.

“Mari kita baca dulu suratnya.

Barangkali masalahnya di luar kemampuan kita.” Kohei mulai merobek ujung amplop dengan hati-hati.

Halo, Toko Kelontong Namiya.

Saya menulis surat ini untuk menceritakan masalah saya.

Musim semi tahun ini saya lulus dari sebuah SMA vokasi dan mulai bekerja di sebuah perusahaan di Tokyo sejak April lalu.

Alasan saya tidak melanjutkan ke universitas adalah kondisi keInarga yang membuat saya ingin secepatnya bekerja.

Namun, begitu mulai bekerja, saya jadi ragu apakah ini keputusan yang benar.

Masalahnya karena pegawai perempuan lulusan SMA yang dipekerjakan oleh perusahaan itu hanya diberi tugas-tugas remeh.

Setiap hari yang saya lakukan hanya menyeduh teh, mengambil hasil fotokopi, menulis kembali dokumendokumen yang ditulis dengan serampangan oleh para pegawai laki-laki supaya terlihat lebih rapi.

Intinya, tugas-tugas yang bisa dikerjakan oleh semua orang, bahkan oleh anak SMP, tidak, bahkan anak SD pun bisa melakukannya.

Saya sama sekali tidak merasakan kepuasan saat menyelesaikan sebuah pekerjaan, padahal saya juga punya sertifikat Tata Buku tingkat 2, tapi kalau begini terus, keahlian itu akan terbuang sia-sia.

Sementara itu, pihak perusahaan yakin bahwa para wanita yang mencari pekerjaan sebenarnya sedang mencari calon suami, dan begitu menemukan yang cocok, mereka akan segera menikah dan berhenti bekerja di sana.

Perusahaan tidak lagi mempermasalahkan latar belakang pendidikan, karena para pegawai perempuan hanya diminta mengerjakan tugas-tugas mudah.

Perusahaan menginginkan perputaran pegawai perempuan yang konstan, supaya para pegawai laki-laki mempunyai lebih banyak pilihan.

Mereka juga berusaha menggaji pegawai perempuan sekecil mungkin.

Itu bukan alasan saya mencari pekerjaan.

Saya ingin menjadi wanita mandiri dengan status ekonomi stabil.

Sedikit pun tak pernah terpikir oleh saya untuk menjadi office lady yang tak dianggap.

Sementara saya pusing memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan, pada suatu hari seseorang menyapa saya di kota dan menawarkan kerja di tokonya.

Yang dimaksud “toko” adalah kelab malam di Shinjuku.

Ya, benar.

Orang itu sedang mencari hostes.

Setelah mendengarkan penjelasannya, saya terkejut karena tawarannya sangat bagus, jauh lebih tinggi dibandingkan gaji di tempat saya bekerja.

Saking mengeiurkannya tawaran itu, saya sempat curiga bahwa sebenarnya ada udang di balik batu.

Orang itu lantas mengundang saya datang berkunjung dan saya akhirnya pergi ke sana.

Boleh dibilang di sana saya mengalami gegar budaya.

Bicara soal dunia hiburan malam, setiap kali kita mendengar kata “kelab” dan “hostes”, biasanya kesan yang timbul adalah sesuatu yang tidak senonoh, tapi ternyata apa yang ada di kelab itu adalah dunia orang dewasa yang begitu menakjubkan.

Para wanita di sana tidak sekadar berdandan cantik, tapi juga terlihat mengatur strategi demi memuaskan para tamu mereka.

Saya tidak yakin bisa melakukannya, tapi bagi saya ini tantangan yang patut dicoba.

Maka saya bekerja di kantor pada siang hari, lalu malam harinya mulai menjalani kehidupan sebagai hostes.

Sebenarnya usia saya baru sembilan belas tahun, tapi di kelab saya mengaku sudah berumur dua puluh tahun.

Secara fisik pekerjaan ini memang melelahkan, tapi ternyata mendampingi tamu setiap hari jauh lebih memuaskan daripada dugaan saya semula.

Uang pun mengalir lancar.

Namun, dua bulan kemudian, mulai timbulpertanyaan dalam benak saya.

Bukan tentang pekerjaan sebagai hostes, melainkan tentang apakah saya harus terus bekerja sebagai pegawai kantor.

Jika saya masih akan diminta melakukan tugas-tugas remeh seperti sekarang, tidak ada artinya lagi saya bersusah payah melanjutkan pekerjaan itu.

Selain itu, dengan sepenuhnya mendedikasikan diri pada pekerjaan sebagai hostes, dari sisi keuangan kehidupan saya akan jauh lebih baik.

Namun, saya masih merahasiakan profesi ini dari orang-orang sekitar.

Bila saya tiba-tiba berhenti bekerja di kantor, saya khawatir akan timbul banyak masalah.

Hanya saja, sekarang saya merasa telah menemukan pekerjaan yang saya sukai.

Karena itu, saya berharap Anda memberi saran bagaimana supaya orang-orang bisa memahami saya dan bagaimana saya bisa berhenti bekerja di perusahaan tersebut tanpa harus menimbulkan keributan.

Sebelumnya saya ucapkan terima kasih.

Dari Anak Anjing yang Kebingungan Atsuya mendengus keras saat membaca surat itu.

“Benarbenar omong kosong.

Aku sampai tak bisa berkomentar.

Ini sesi konsultasi terakhir kita?” “Memang mengecewakan.” Shota menimpali dengan nada mencemooh.

“Tapi memang di setiap zaman pasti ada saja anak perempuan yang terpikat oleh kerjaan seperti ini.” “Pasti dia cantik,” komentar Kohei dengan wajah senang.

“Dia kan ditawari pekerjaan pas lagi di jalan, belum lagi hanya dalam dua bulan penghasilannya sudah cukup mapan.” “Ini bukan waktunya untuk kagum! Hei, Shdta, ayo tulis surat balasannya.” “Aku harus menulis apa?” Shota menggenggam bolpoin.

“Sudah pasti, kan? Tulis jangan bermimpi di siang bolong!” Shota mengerutkan kening.

“Apa itu tidak terlalu kasar? Kita sedang menghadapi anak berusia sembilan belas tahun.” “Anak bodoh seperti ini tidak akan sadar kecuali kata-kata kita kasar.” “Aku paham, tapi sebaiknya kita memilih cara yang lebih lembut.” Atsuya mendecakkan lidah.

“Kau ini memang terlalu lembek, Shota.” “Kalau kita terlalu kasar, dia pasti tidak akan terima.

Atsuya sendiri juga seperti itu, bukan?” Berikut isi surat balasan yang ditulis Shota.

Kepada Anak Anjing yang Kebingungan, Saya sudah membaca surat Anda.

Sejujurnya, saya ingin menyarankan supaya Anda berhenti berkecimpung di bisnis hiburan malam.

Jangan menyia-nyiakan diri.

Saya paham bahwa penghasilan Anda kini jauh lebih banyak dibandingkan dengan saat Anda masih menjadi pegawai perusahaan.

Selain itu, pekerjaan yang sekarang lebih menyenangkan.

Wajar kalau Anda tidak ingin melepaskannya karena berkat pekerjaan inilah Anda bisa menikmati hidup mewah dengan mudah.

Namun, semua itu hanya bisa Anda nikmati selagi masih muda.

Saat ini Anda memang masih muda, ditambah lagi baru bekerja selama dua bulan sehingga Anda belum paham betapa beratnya profesi itu.

Tamu-tamu yang datang terdiri atas bermacam tipe.

Pasti banyak laki-laki yang terpikat oleh penampilan fisik Anda, bukan? Sanggupkah Anda menolak mereka? Atau Anda malah memilih melayani mereka semua? Sama saja Anda menyia-nyiakan tubuh Anda sendiri.

Anda bilang ingin mendedikasikan diri pada profesi ini? Sampai usia berapa Anda bisa melakukannya? Walaupun Anda ingin menjadi wanita mandiri, semakin usia Anda bertambah, tidak akan ada yang mau mempekerjakan Anda.

Apa yang ingin Anda capai dengan terus bekerja sebagai hostes? Menjadi Mama dari sebuah kelab malam? Jika itu benar, saya tidak bisa berkata apa-apa selain mengucapkan selamat berjuang.

Bahkan jika Anda memiliki kelab malam sendiri, kerasnya bisnis dalam bidang itu bukanlah hal yang enteng.

Tidakkah kelak Anda ingin menikah dengan seseorang, memiliki anak, dan membangun rumah tangga bahagia? Karena itu, jangan melakukan sesuatu yang tidak-tidak.

Lebih baik Anda segera berhenti dari pekerjaan itu.

Menurut Anda, dengan terus bekerja sebagai hostes, orang seperti apa yang akan Anda nikahi? Salah seorang tamu? Dari sekian banyak pengunjung yang datang ke bar, berapa persen yang masih bujangan? Pikirkan juga tentang orangtua Anda.

Mereka telah membesarkan dan menyekolahkan Anda bukan supaya Anda melakukan pekerjaan ini.

Apakah menjadi pegawai kantor yang kerjanya duduk-duduk saja adalah sesuatu yang sangat buruk? Anda tinggal datang ke kantor dan menerima gaji meskipun tidak mengerjakan tugastugas yang penting.

Ditambah lagi banyak pegawai lain di sekitar Anda yang tentunya tertarik pada Anda, dan bukan mustahil pada akhirnya Anda akan menikah dengan salah seorang dari mereka.

Setelah menikah, Anda tak perlu lagi bekerja seumur hidup.

Bukankah itu pilihan yang sempurna? Apa yang masih membuat Anda tidak puas? Biar saya beritahu: di dunia ini banyak orang yang kebingungan karena tidak punya pekerjaan.

Dengan senang hati mereka akan membuatkan teh atau melakukan apa saja meskipun gaji yang diterima hanya setengah dari gaji seorang gadis lulusan SMA.

Saya sama sekali tidak berniat buruk dengan menulis semua ini.

Semua yang saya tulis demi kebaikan Anda sendiri.

Percayalah, dan lakukan apa yang saya minta.

Toko Kelontong Namiya “Sepertinya pilihan kata-katamu sudah oke.” Atsuya kembali memeriksa isi surat ivu dan mengangguk.

Padahal orangtua gadis itu sudah menyekolahkannya hingga tingkat SMA, dan dia juga berhasil mendapatkan pekerjaan, tapi mengapa sampai timbul ide di benaknya untuk menjadi hostes? Ingin rasanya Atsuya mengomeli gadis itu.

Shota pergi untuk memasukkan surat balasan itu ke kotak penyimpanan botol susu.

Begitu dia kembali dan pintu belakang ditutup, langsung terdengar bunyi samar dari balik pintu gulung toko.

“Biar kuambil,” kata Shota sambil menuju arah toko.

Tidak lama kemudian dia kembali dengan senyum lebar.

“Sudah datang.” Dia melambai-lambaikan sepucuk amplop.

Kepada Toko Kelontong Namiya, Terima kasih banyak untuk surat balasan Anda yang begitu cepat.

Saya sangat lega karena sempat khawatir Anda tidak akan membalas surat saya.

Namun, setelah membaca surat Anda, saya merasa telah gagal menyampaikan apa yang saya inginkan, karena sepertinya Namiya-san salah paham tentang berbagai hal.

Seharusnya saya menjelaskan lebih lengkap tentang diri saya.

Alasan saya ingin terus bekerja sebagai hostes bukan karena menginginkan kehidupan mewah.

Yang saya inginkan adalah kemandirian finansial.

Itu adalah senjata saya supaya bisa hidup tanpa perlu bergantung pada orang lain.

Saya tidak yakin bisa mendapatkannya jika saya terus bekerja sebagai pegawai kantor yang kerjanya hanya duduk-duduk.

Sebagai informasi tambahan, saya juga tidak berniat menikah.

Memiliki anak dan menjalani kehidupan rumah tangga memang bisa membawa kebahagiaan, tapi saya tidak pernah berpikir untuk memilih kehidupan seperti itu.

Mengenai kerasnya bisnis dunia hiburan malam, sedikit banyak saya mengetahuinya.

Setiap kali melihat para hostes senior di sekeliling saya, saya bisa dengan mudah membayangkan kesulitan apa saja yang menanti saya di masa depan.

Dengan kesadaran itu, saya tetap memutuskan untuk hidup di jalan ini.

Dan ya, saya juga mempertimbangkan untuk memiliki kelab sendiri di masa depan.

Saya merasa percaya diri.

Walaupun baru bekerja selama dua bulan, sudah ada beberapa pengunjung yang menyukai saya.

Hanya saja, saya tidak bisa melayani mereka dengan baik.

Penyebab utamanya adalah saya masih harus bekerja di kantor pada siang hari.

Karena baru bisa datang ke bar setelah jam kantor, bahkan untuk menemani mereka makan malam saja tidak bisa.

Itulah salah satu alasan saya ingin berhenti kerja dari kantor.

Saya juga merasa harus membantah kekhawatiran Namiyasan bahwa saya melakukan hubungan intim dengan para tamu.

Satu kali pun saya tidak pernah melakukan hal itu.

Meskipun tentu saja saya tidak bisa bilang bahwa tidak ada seorang pun di antara mereka yang meminta, tapi sejauh ini saya selalu bisa menolak dengan baik-baik.

Lagi pula, saya bukan lagi anak kecil.

Jujur, wali asuh saya pasti akan sangat cemas jika mereka tahu tentang hal ini.

Namun, saya melakukan ini demi mereka supaya bisa membalas semua kebaikan mereka kelak.

Apakah Anda masih beranggapan bahwa pola pikir saya ini sembrono? Anak Anjing yang Kebingungan P.S.

Yang ingin saya diskusikan dengan Anda hanya bagaimana saya bisa meyakinkan orang-orang di sekeliling saya tentang pilihan ini.

Jika Anda tidak setuju dengan pilihan gaya hidup saya, silakan abaikan surat ini.

“Abaikan dia,” kata Atsuya sambil mengulurkan kertas surat itu.

“Apa maksudnya “saya merasa percaya diri? Jangan meremehkan dunia!” “Yah, kurasa kau benar,” kata Kohei dengan wajah sedih sambil menerima kertas surat yang disodorkan.

“Tapi apa yang ditulis gadis ini tidak salah.” Giliran Shota berbicara.

“Jika seorang perempuan tanpa latar belakang pendidikan ingin hidup mandiri dari segi ekonomi, cara tercepat adalah terjun ke dunia hiburan malam.

Jalan pikirannya cukup masuk akal.

Semua yang ada di dunia ini membutuhkan uang.

Tanpa uang, kita takkan bisa berbuat apa-apa.” “Tidak perlu diberitahu juga aku sudah paham,” hardik Atsuya.

“Pola pikirnya memang tidak salah, tapi selalu ada kemungkinan pilihannya itu tidak berhasil.” “Lalu kenapa kau begitu yakin dia tidak akan berhasil? Kita belum tahu hasilnya, bukan?” balas Shota tajam.

“Karena lebih banyak manusia yang gagal dibandingkan sukses,” Atsuya menukas.

“Tidak ada yang salah dengan seorang hostes populer yang ingin hidup mandiri, dan katakanlah dia berhasil membuka kelab sendiri, tapi banyak usaha seperti itu yang tutup hanya dalam jangka waktu setengah tahun setelah buka.

Memulai bisnis bukan perkara mudah.

Uang memang penting, tapi bukan berarti semuanya akan baik-baik saja dengan adanya uang.

Mudah bagi dia untuk menulis bahwa dia pasti akan bisa menghadapi semuanya, tapi itu kata-kata belaka, dan dia tak lebih dari seorang gadis yang belum kenal asam garam kehidupan.

Aku yakin dia begitu percaya diri karena sudah termakan ide menjalani kehidupan yang enak.

Begitu dia sadar, semuanya sudah terlambat.

Saking terlalu fokus pada pekerjaannya sebagai hostes, tahu-tahu dia sudah melewati usia ideal untuk menikah.

Jika itu sampai terjadi, sudah terlambat untuk menyesalinya.” “Anak ini baru sembilan belas tahun.

Kau tak perlu mengkhawatirkannya sampai sejauh itu...” “Justru aku bicara begini karena dia masih muda,” sergah Atsuya dengan suara keras.

“Pokoknya, suruh dia menyingkirkan ide bodoh itu.

Suruh dia berhenti dari pekerjaan sebagai hostes, lalu minta supaya dia fokus mencari pasangan hidup di kantornya.” Shota menatap kertas surat yang terhampar di meja lalu menggeleng pelan.

“Justru aku ingin mendukungnya.

Menurutku dia sudah berpikir matang sebelum menulis surat ini.” “Matang atau tidak, bukan itu masalahnya.

Ini tentang hidup di dunia nyata.” “Kupikir surat ini cukup realistis.” “Bagian mana yang realistis? Oke, mau bertaruh apakah gadis ini bakal sukses sebagai pemilik kelab malam atau tidak? Aku yakin saat bekerja sebagai hostes, dia akan terlibat dengan lakilaki yang tidak jelas dan akhirnya mengandung anak tanpa ayah hingga merepotkan orang-orang di sekelilingnya.” Shota terkesiap, menahan napas.

Kemudian dia menunduk dengan canggung.

Kesunyian yang mencekam memenuhi ruangan itu.

Atsuya pun ikut menunduk.

“Hei,” kali ini Kohei yang angkat bicara.

“Bagaimana kalau kita pastikan dulu?” “Apanya?” tanya Atsuya.

“Maksudku ajukan pertanyaan yang lebih detail.

Dari pembicaraan kalian, menurutku kalian berdua sama-sama ada benarnya.

Bagaimana kalau kita pastikan dulu keseriusan gadis ini, baru memikirkan langkah selanjutnya?” “Sudah pasti dia akan bilang bahwa dia serius.

Dia memang berniat melakukannya,” komentar Atsuya.

“Coba tanyakan hal-hal yang lebih mendasar,” usul Shota sambil mendongak.

“Misalnya, alasan dia ingin mandiri dari segi ekonomi atau alasan dia yakin kehidupan pernikahan tidak akan membuatnya bahagia.

Kita juga bisa menanyakan detail rencananya tentang memiliki kelab malam sendiri di masa depan.

Seperti Atsuya bilang, tidak mudah untuk memulai sebuah bisnis.

Jika dia tidak bisa menjawab pertanyaan ini dengan tegas, aku pun akan setuju kalau impian anak ini tidak realistis.

Setelah itu, kita tinggal suruh dia berhenti dari profesi sebagai hostes.

Bagaimana?” Atsuya mendengus sebelum mengangguk.

“Sebenarnya kupikir percuma menanyakannya, tapi lakukan saja.” “Bagus.” Shota meraih bolpoin.

Sambil menatap Shota yang sibuk menulis surat—sambil sesekali diselingi jeda untuk berpikir—Atsuya mengingat-ingat kembali kata-kata yang tadi diucapkannya.

“saat bekerja sebagai hostes, dia akan terlibat dengan laki-laki yang tidak jelas dan akhirnya mengandung anak tanpa ayah hingga merepotkan orang-orang di sekelilingnya.” Itu yang terjadi pada ibunya sendiri.

Tidak heran kedua kawannya yang mengetahui hal tersebut langsung terdiam.

Ibu Atsuya melahirkan putranya saat berusia 22 tahun.

Ayah Atsuya adalah bartender yang bekerja di bar yang sama, usianya lebih muda daripada ibunya.

Namun, tepat sebelum ibu Atsuya melahirkan, laki-laki itu menghilang.

Ibu Atsuya tetap meneruskan pekerjaannya di bisnis hiburan malam sambil mengasuh anaknya yang masih menyusu.

Tidak ada pekerjaan lain yang bisa dilakukannya.

Begitu Atsuya cukup besar untuk mengingat, di sisi ibunya sudah ada pria lain.

Namun, Atsuya tidak pernah menganggap pria itu sebagai ayah.

Tidak lama kemudian, pria itu menghilang entah ke mana dan segera digantikan oleh kehadiran pria lain yang tinggal di kamar mereka.

Ibu Atsuya bahkan memberinya uang karena pria itu pengangguran.

Tapi pria itu juga menghilang dan digantikan oleh yang lain lagi.

Hal ini terjadi berulang kali, sampai akhirnya, pria itu muncul.

Pria itu sering menyiksa Atsuya tanpa alasan jelas.

Tidak, mungkin memang ada alasan tertentu, tapi yang jelas saat itu Atsuya tidak memahaminya.

Pernah satu kali, pria itu meninju wajah Atsuya karena pria itu bilang dia tidak menyukai wajahnya.

Itu terjadi saat Atsuya masih duduk di kelas 1 SD.

Ibunya sama sekali tidak melindunginya dan justru menganggap putranyalah yang telah membuat pria itu tersinggung.

Atsuya selalu berusaha menutupi lebam-lebam di sekujur tubuhnya.

Jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah, pasti akan timbul keributan dan ia tahu masalahnya akan lebih runyam.

Pria yang menyiksanya itu ditangkap polisi akibat perjudian saat Atsuya duduk di kelas 2 SD.

Beberapa polisi datang ke rumah dan salah seorang di antaranya menyadari bahwa tubuh Atsuya yang kala itu mengenakan baju olahraga pendek dipenuhi memar.

Saat ibu Arsuya ditanyai, dia berusaha mengelak, tapi pada akhirnya kebohongan itu terbongkar.

Pihak polisi menghubungi Lembaga Perlindungan Anak, yang kemudian mengirim seorang petugas ke rumah mereka.

Menanggapi pertanyaan dari petugas itu, ibu Atsuya menjawab tegas bahwa dia sanggup membesarkan putranya seorang diri.

Sampai sekarang Atsuya tidak mengerti alasan ibunya menjawab seperti itu karena beberapa kali dia mendengar ibunya bicara lewat telepon bahwa dia benci anak-anak dan berharap tidak pernah melahirkan.

Setelah petugas itu pulang, hanya ada Atsuya dan ibunya yang tinggal di sana.

Atsuya mengira setelah ini tidak akan ada lagi yang memukulinya.

Memang benar bahwa ia tidak pernah lagi dipukuli, tapi bukan berarti kehidupannya berjalan normal.

Sejak dulu ibunya memang jarang pulang dan tidak pernah meninggalkan uang walau dia selalu menyuruh Atsuya menyiapkan makanan sendiri.

Makanan di sekolahlah yang menjadi penyelamatnya.

Atsuya tidak pernah memberitahukan situasi ini pada orang lain.

Ia sendiri tidak tahu alasannya.

Mungkin karena ia benci dikasihani.

Musim dingin datang.

Atsuya kembali sendirian di Hari Natal karena sekolah diliburkan.

Sudah dua minggu ibunya belum juga pulang.

Kulkas mereka kosong.

Tanggal 28 Desember, Atsuya ditangkap karena mengutil ayam goreng dari sebuah penjaja kaki lima.

Sejak awal liburan musim dingin hingga hari itu, ia sama sekali tidak ingat pernah makan.

Bahkan kalau boleh jujur, ia juga tidak ingat telah mengutil sesuatu.

Alasan ia bisa begitu mudah tertangkap adalah ia jatuh pingsan akibat anemia saat tengah melarikan diri.

Tiga bulan kemudian, Atsuya dibawa ke Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu.

Kepada Anak Anjing yang Kebingungan, Surat kedua Anda sudah saya terima.

Kini saya paham bahwa tujuan Anda menjadi hostes bukan karena mengejar kemewahan.

Menurut saya, cita-cita Anda untuk kelak memiliki kelab malam sendiri sangat hebat.

Tapi jujur saja, saya curiga bahwa karena baru dua bulan bekerja, Anda masih terbius suasana glamor dan penghasilan yang besar.

Bagaimana Anda akan menabung untuk memulai bisnis kelab malam? Apakah Anda sudah memiliki rencana jelas bagaimana menggunakan uang tersebut? Satu hal lagi, bagaimana cara Anda memajukan bisnis? Anda perlu mempekerjakan banyak orang untuk menjalankan bisnis kelab malam.

Bagaimana Anda mendapat pengetahuan tentang seluk-beluk dunia bisnis? Apakah Anda yakin bisa mempelajari semuanya selama bekerja sebagai hostes? Apakah Anda yakin betul rencana-rencana tersebut akan berhasil? Jika ya, apa alasannya? Menurut saya, gagasan untuk mandiri secara finansial adalah hal yang bagus.

Namun, tidakkah terpikir oleh Anda bahwa menikah dengan seseorang yang kuat secara finansial juga gagasan yang sama bagusnya, karena itu berarti Anda otomatis memperoleh kehidupan yang mapan? Bahkan meskipun Anda tidak bekerja dan mendapat pendapatan sendiri, dengan mendukung suami Anda dari belakang saja sudah membuktikan bahwa Anda istri yang mandiri, bukan? Anda juga menyebut-nyebut tentang keinginan membalas budi pada orangtua Anda, tapi perlu diingat bahwa balas budi bukan hanya sebatas mengembalikan uang.

Selama Anda berbahagia, orangtua Anda pasti akan merasa puas, dan itu juga bisa dianggap sebagai bentuk balas budi.

Saya tahu Anda minta supaya saya mengabaikan surat Anda jika tidak sependapat, tapi saya tak bisa mengabaikannya begitu saja sehingga memutuskan menulis surat ini.

Saya mohon, tolong jawab dengan jujur.

Toko Kelontong Namiya “Cukup bagus,” komentar Atsuya sambil mengembalikan kertas surat pada Sh6ta.

“Kira-kira apa reaksinya, ya? Apakah dia akan membalas dengan detail rencana masa depan yang jelas?” Mendengar kata-kata Shota, Atsuya menggeleng.

“Aku tidak yakin.” “Kenapa? Kalau mau berpikiran buruk seperti itu, setidaknya jelaskan alasanmu.” “Andaikan dia sudah punya rencana, aku yakin yang dianggapnya sebagai rencana itu lebih tepat disebut khayalan.

Misalnya, meminta uang dari selebritas terkenal atau atlet bisbol profesional yang menyukai dia.” “Hei, ide itu bisa berhasil,” celeruk Kohei.

“Bodoh! Bukan itu maksudku.” “Pokoknya biar kumasukkan dulu surat ini.” Shota memasukkan kertas surat ke amplop, kemudian bangkit dari kursi.

Atsuya dan Kohei melihat Shota berjalan ke pintu belakang dan mendengar bunyi tutup kotak susu yang dibuka, disusul bunyi kotak yang ditutup kembali.

Mendadak Atsuya berpikir entah sudah berapa kali mereka mendengar bunyi itu malam ini.

Shota kembali, lalu menutup pintu.

Tidak lama kemudian, mereka mendengar pintu gulung toko berderak.

“Aku saja yang ambil,” kata Kohei yang langsung berlari ke sana.

Atsuya menarap Shota.

Mereka berpandangan.

“Apa yang akan dia tulis?” Atsuya bertanya-tanya.

“Entahlah.” Shota mengangkat bahu.

Kohei kembali sambil membawa amplop.

“Boleh kubaca lebih dulu?” “Silakan,” jawab Arsuya dan Shota bersamaan.

Kohei mulai membaca surat itu.

Awalnya ekspresinya terlihat senang, tapi perlahan-lahan wajahnya berubah serius.

Melihat Kohei mulai menggigiti kuku ibu jari, Atsuya menoleh ke arah Shota.

Itu kebiasaan Kohei setiap kali dia merasa panik.

Sepertinya surat itu lebih panjang daripada sebelumnya.

Karena tak sabar, Atrsuya langsung menyambarnya begitu Kohei selesai membaca.

Kepada Toko Kelontong Namiya, Saya sudah membaca surat balasan Anda yang kedua.

Dan lagi-lagi saya menyesalinya.

Sejujurnya, saya tersinggung karena Anda mengira saya memilih profesi hostes hanya karena terbius oleh suasana glamor dan penghasilan yang besar.

Memangnya ada orang waras yang bekerja sebagai hostes karena senang melakukannya? Namun, setelah kembali tenang, saya merasa bahwa kata-kata Namiya-san masuk akal.

Wajar jika Anda tidak percaya bahwa ada seorang gadis sembilan belas tahun yang menulis bahwa dia ingin memulai bisnis.

Saya lantas sadar bahwa tidak baik jika masih ada yang ditutup-tutupi.

Karena itu, kali ini saya akan menjelaskan semuanya.

Seperti yang sudah berkali-kali saya sebutkan, saya ingin menjadi wanita yang mandiri secara finansial.

Dan saya tidak bermaksud sekadar hidup berkecukupan.

Saya ingin menjadi orang kaya.

Tapi saya tidak menginginkannya untuk diri sendiri.

Sebenarnya, kedua orangtua saya sudah meninggal saat saya masih kecil.

Saya menghabiskan enam tahun, sampai lulus SD, di sebuah rumah perlindungan anak.

Namanya Taman Marumitsu.

Namun, boleh dibilang saya beruntung karena tepat setelah lulus SD, saya pindah ke rumah kerabat.

Berkat mereka, saya bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang SMA.

Di Taman Marumitsu, saya melihat banyak anak yang menjadi korban kekerasan dari orangtua kandung mereka sendiri.

Belum lagi kasus di mana ada anak yang tidak bisa makan dengan layak karena mantan orangtua angkat mereka banya mengincar uang subsidi.

Dibandingkan dengan mereka, saya merasa sangat beruntung.

Karena itulah, saya merasa harus membalas kebaikan wali saya kelak.

Masalahnya tidak ada banyak waktu yang tersisa.

Kerabat yang telah mengasuh saya selama ini sudah berusia lanjut dan hanya bisa bertahan hidup dengan sedikit sisa tabungan karena tidak memiliki pekerjaan.

Hanya saya yang bisa menolong mereka.

Uang itu tak akan bisa terkumpul hanya dengan menyeduh teh dan mengumpulkan dokumen fotokopi di kantor.

Dan tentu saja saya punya rencana bagaimana memulai bisnis kelab.

Sudah jelas saya harus menabung, tapi selain itu saya juga punya seorang penasihat andal.

Dia salah seorang pengunjung kelab yang berkecimpung dalam bisnis industri makanan dan minuman, juga memiliki kelab malam sendiri.

Dia bilang jika sudah tiba waktunya saya untuk mandiri, dia akan membantu saya sekuat tenaga.

Namun, saya yakin Namiya-san juga akan mempertanyakan hal ini, bukan? Mengapa orang itu begitu berbaik hati pada saya? Akan saya ceritakan sejujurnya.

Sebenarnya dia menanyakan apakah saya bersedia menjadi kekasihnya.

Jika saya bersedia, setiap bulan dia akan memberikan uang pada saya.

Tentu saja dalam jumlah yang tidak kecil.

Saya memutuskan untuk mempertimbangkannya, apalagi saya sendiri tidak membenci orang itu.

Sekian jawaban saya atas semua pertanyaan yang diajukan Namiya-san.

Apakah kini Anda mengerti bahwa saya menjadi hostes bukan untuk sekadar bersenang-senang? Tidakkah Anda bisa memahami keseriusan saya dari surat ini? Atau Anda hanya akan menyebutnya sebagai khayalan seorang gadis kecil? Kalau begitu, saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia menunjukkan mana yang tidak boleh saya lakukan dan apa saja kekurangan saya.

Salam hormat, Anak Anjing yang Kebingungan “Aku mau pergi ke pertokoan dekat stasiun kereta sebentar,” kata Harumi pada Hideyo yang sedang membelakanginya di dapur.

Tercium aroma katsuobushi.

“Baiklah.” Sang nenek menoleh dan mengangguk.

Ia baru saja menyendok kuah kaldu ke piring kecil untuk mencicipinya.

Harumi keluar dari rumah, kemudian naik ke sepeda yang diparkir di sebelah gerbang.

Perlahan, ia mulai mengayuh pedal.

Ini ketiga kalinya ia meninggalkan rumah pagi-pagi sekali selama musim panas.

Mungkin Hideyo bertanya-tanya dalam hati, tapi neneknya tidak pernah bertanya langsung karena dia percaya pada Harumi.

Lagi pula Harumi memang tidak melakukan sesuatu yang buruk.

Harumi menelusuri rute yang biasa ditempuhnya dengan santai.

Akhirnya ia sampai di tempat tujuannya.

Mungkin karena semalam turun hujan, kabut masih membayang di sekitar Toko Kelontong Namiya.

Setelah memastikan tidak ada orang lain di sekitar situ, Harumi berjalan ke gang yang ada di sebelah toko.

Saat pertama kali ke sana, ia merasa jantungnya berdebar-debar, tapi kini ia sudah terbiasa.

Di belakang toko ada pintu kedua.

Tepat di sebelahnya tergantung sebuah kotak penyimpanan botol susu yang sudah tua.

Setelah menarik napas panjang, Harumi membuka tutup kotak, memeriksa isinya dan menemukan amplop yang sama seperti sebelumnya.

Tanpa sadar dia mengembuskan napas lega.

Setelah meninggalkan gang, ia kembali menaiki sepedanya untuk pulang ke rumah.

Kira-kira seperti apa isi surat balasan ketiga ini? Saking tidak sabar ingin membacanya, kayuhan pedal sepedanya semakin kuat.

Muto Harumi pulang ke rumah pada hari Sabtu minggu kedua bulan Agustus.

Ia beruntung karena kantor tempatnya bekerja di siang hari serta kelab di Shinjuku tempat ia bekerja malam diliburkan bersamaan dalam rangka Hari Raya Obon?.

Seandainya tidak, ia takkan bisa pulang karena tidak ingin mengajukan cuti pada kantor sebelum liburan dimulai.

Di lain pihak, meskipun kelab malam tempatnya bekerja mengizinkan ia cuti sebelum liburan, Harumi sendiri tidak ingin melakukannya.

Selama ada kesempatan untuk menghasilkan uang, ia akan terus bekerja.

Walaupun Harumi memakai istilah “pulang ke rumah”, sebenarnya tempat yang dituju Harumi bukanlah rumah kelahirannya.

Di gerbang rumah terpampang papan bertuliskan “Tamura”.

Liburan hari raya yang berkaitan dengan tradisi masyarakat Jepang untuk merayakan kedatangan arwah leluhur.

Hari libur ini juga menjadi ajang kumpul sesama anggota keluarga di kampung halaman yang dilanjutkan dengan kunjungan ke makam leluhur mereka.

Saat Harumi berusia lima tahun, kedua orangtuanya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.

Kecelakaan itu seharusnya tidak terjadi.

Sebuah truk datang dari arah berlawanan, menerobos garis pemisah, dan akhirnya menabrak mobil mereka.

Saat itu Harumi sedang berlatih untuk Festival Seni di TK.

Ia tidak ingar bagaimana reaksinya saat mengetahui kejadian itu.

Seharusnya saat itu ia dilanda kesedihan mendalam, tapi ingatannya benarbenar buram.

Baru belakangan ia mendengar bahwa setelah kecelakaan itu, ia mogok bicara selama hampir setengah tahun.

Sebenarnya Harumi masih memiliki keluarga jauh, tapi nyaris tidak ada interaksi di antara mereka.

Wajar jika tidak ada satu pun dari kerabat itu yang muncul untuk mengadopsi Harumi, sampai pasangan suami-istri Tamura menyambutnya dalam keluarga mereka.

Tamura Hideyo adalah kakak nenek Harumi dari pihak ibu, yang berarti dia masih terhitung nenek Harumi.

Kakek Harumi meninggal di masa perang, sedangkan neneknya meninggal akibat sakit tidak lama setelah perang berakhir.

Hideyo menyayangi Harumi seperti cucunya sendiri.

Mengingat tidak ada kerabat lain yang bisa dimintai bantuan, boleh dianggap ini adalah karunia dari langit.

Suami Hideyo juga selalu bersikap baik padanya.

Namun, kebahagiaan tersebut tidak berumur panjang.

Pasangan Tamura memiliki seorang putri.

Suatu hari, putri mereka itu datang tanpa pemberitahuan apa pun bersama suami dan anak-anaknya.

Belakangan, Harumi baru tahu bahwa si suami mengalami kegagalan bisnis dan terlilit utang dalam jumlah besar sehingga harus kehilangan rumah tempat mereka tinggal.

Kira-kira saat Harumi duduk di bangku SD, ia diserahkan ke rumah perlindungan anak.

“Kami akan segera menjemputmu kembali.” Begitu kata Hideyo di hari perpisahan mereka.

Enam tahun kemudian, Hideyo menepati janjinya.

Putri keluarga Tamura akhirnya meninggalkan rumah orangtuanya.

Pada hari pertama kembali ke rumah Tamura, Harumi melihat neneknya bersujud di depan altar keluarga dan berbisik pada foto adiknya, “Akhirnya aku bisa lega.

Dengan begini aku berani bertatap muka denganmu lagi.” Ada keluarga bernama Kitazawa yang tinggal di rumah berseberangan secara diagonal dengan rumah keluarga Tamura.

Keluarga itu memiliki seorang putri bernama Shizuko, usianya tiga tahun lebih tua daripada Harumi.

Ketika Harumi pertama kali datang ke rumah keluarga Tamura, mereka pernah beberapa kali bermain bersama.

Sekarang setelah Harumi kembali, siap melanjutkan pendidikan di tingkat SMP, Shizuko sudah duduk di bangku SMA.

Setelah sekian lama tidak bertemu, Shizuko terlihat jauh lebih dewasa darinya.

Shizuko sangat gembira bisa bertemu kembali dengan Harumi.

“Aku benar-benar mengkhawatirkanmu,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Sejak hari itu, jarak di antara mereka pun terkikis dengan cepat.

Shizuko menyayangi Harumi seperti adiknya sendiri, sementara Harumi juga menganggap Shizuko sebagai kakak.

Ditambah dengan rumah mereka yang berdekatan, mereka bisa bertemu kapan saja.

Sebenarnya hal yang paling menyenangkan bagi Harumi dari acara pulang kampung ini adalah bisa bertemu kembali dengan Shizuko.

Saat ini Shizuko adalah mahasiswi tingkat empat di sebuah universitas olahraga, di mana dia adalah atlet olahraga anggar yang sudah ditekuninya sejak SMA dan kini sedang mengincar posisi untuk masuk ke kontingen Olimpiade.

Meskipun setiap hari berangkat ke universitas dari rumah, Shizuko semakin sibuk berlatih setelah resmi menjadi atlet profesional, belum lagi dengan semakin bertambahnya pertandingan di luar negeri membuat dia sering meninggalkan rumah untuk waktu lama.

Namun, musim panas ini, Shizuko yang selalu sibuk itu bersantai di rumah.

Harumi sempat mencemaskan Shizuko yang pasti sangat terguncang karena Pemerintah Jepang memboikot ajang Olimpiade Moskow, tapi rupanya kekhawatirannya tidak terbukti.

Justru ekspresi wajah Shizuko yang sudah lama tidak ditemuinya terlihat cerah, dia juga tidak menolak membahas topik Olimpiade.

Rupanya dia tidak terpilih sebagai atlet yang mewakili Jepang, tapi baginya itu bukan masalah.

“Aku hanya kasihan pada para atler yang sudah terpilih.” Hanya saat itulah suara Shizuko yang pada dasarnya memang berhati lembut terdengar sedih.

Sudah dua tahun sejak terakhir kali Harumi bertemu Shizuko.

Dulu Shizuko memiliki perawakan tubuh yang langsing, tapi kini tubuhnya terlihat tegap khas seorang atlet.

Bahunya lebar, sementara otot lengannya jauh lebih kekar dibandingkan para lelaki kurus di sekitar lingkungan mereka.

Ternyata postur tubuh orang yang bercita-cita ikut Olimpiade memang luar biasa.

“Ibuku sering bilang kalau ada aku, ruangan jadi terasa sempit,” kata Shizuko sambil mengerutkan hidung.

Itu sudah jadi kebiasaannya sejak dulu.

Harumi pertama kali mendengar tentang Toko Kelontong Namiya dari Shizuko saat mereka dalam perjalanan pulang setelah menonton perayaan Obon tidak jauh dari rumah mereka.

Saat mereka sedang membahas tentang cita-cita masa depan dan pernikahan, Harumi bertanya pada sahabatnya, “Yang mana yang akan kaupilih? Pacar atau anggar?” Sebenarnya ia menanyakan hal itu hanya untuk menggoda sahabatnya.

Mendengar itu, Shizuko berhenti berjalan.

Ditatapnya Harumi lurus-lurus.

Sorot matanya benar-benar serius.

Shizuko mulai meneteskan air mata.

“Hei, ada apa? Apakah aku mengatakan sesuatu yang salah? Maaf.

Aku tidak bermaksud menyinggungmu.” Harumi merasa kecewa pada diri sendiri dan buru-buru meminta maaf.

Shizuko menggeleng lalu menyeka air mata dengan lengan yukata.

Dia kembali tersenyum.

“Tidak apa-apa.

Maaf sudah membuatmu kaget.

Tidak ada apa-apa.

Aku baik-baik saja.” Setelah beberapa kali menggeleng, dia kembali berjalan.

Mereka berdua melanjutkan perjalanan tanpa berkata apa pun.

Jarak menuju rumah terasa jauh.

Lagi-lagi Shizuko berhenti.

“Harumi-chan, bagaimana kalau kita mampir sebentar?” “Mampir? Boleh saja, tapi ke mana?” “Nanti kau juga tahu.

Tenang, tidak terlalu jauh.” Shizuko membawa Harumi ke depan sebuah toko kecil yang sudah tua.

Di papan nama tertulis “Toko Kelontong Namiya”.

Pintu gulungnya dalam keadaan tertutup, entah karena sudah jam tutup toko atau karena sudah tidak ada lagi yang berjualan di sana.

“Kau tahu tentang toko ini?” tanya Shizuko.

“Namiya...

Sepertinya aku pernah mendengarnya.” “Silakan berkonsultasi tentang masalah yang membebani pikiran Anda dengan kami, Toko Kelontong Namiy2,” kata Shizuko seperti sedang menyanyi.

“Ah!” Harumi berseru.

“Aku pernah dengar kata-kara itu dari teman.

Wah, jadi tempatnya di sini, ya?” Ia memang pernah mendengar gosip itu saat duduk di bangku SMP, tapi belum pernah datang berkunjung.

“Walaupun toko ini sudah tidak aktif, mereka masih melayani permintaan konsultasi.” “Oh ya?” Shizuko mengangguk.

“Karena belakangan ini aku menerima nasihat bagus.” Harumi membelalakkan mata.

“Serius...?” “Aku tak pernah memberitahu siapa pun, tapi aku akan menceritakannya kepada Harumi-chan.

Soalnya tadi kau telanjur melihatku menangis.” Mata Shizuko kembali basah.

Cerita Shizuko membuat Harumi terkejut.

Ternyata sahabatnya jatuh cinta pada mantan pelatih anggarnya dan bahkan pernah berniat menikah.

Yang lebih mengejutkan adalah mendengar bahwa pria itu sudah tiada, dan Shizuko harus menahan perasaannya sementara bersiap-siap mengikuti Olimpiade.

“Aku takkan bisa melakukan hal seperti itu,” aku Harumi.

“Apalagi kalau orang yang kusukai mengidap penyakit yang tak bisa disembuhkan.

Aku yakin takkan bisa konsentrasi berlatih.” “Itu karena Harumi-chan tidak tahu soal kami,” kata Shizuko dengan nada suara dan ekspresi wajah tenang.

“Dia sendiri tahu bahwa usianya tidak akan panjang, jadi sisa waktu yang tinggal sedikit itu digunakannya untuk berdoa.

Berdoa supaya impianku dan impiannya tercapai.

Setelah memahami semuanya, aku tidak lagi merasa bimbang.” Yang membuatnya bisa menyingkirkan semua kebimbangan itu adalah Toko Kelontong Namiya.

Begitu kata Shizuko.

“Menurutku dia sangat hebat.

Tidak ada yang disembunyikan maupun ditahan-tahan.

Bahkan aku sampai kena marah.

Tapi berkat beliau, aku sadar bahwa selama ini aku telah menipu diri sendiri.

Karena itu aku bisa kembali menekuni latihan anggar tanpa beban.” “Hmmm...” Sementara menatap pintu gulung Toko Kelontong Namiya yang sudah tua, Harumi merasa ada sesuatu yang janggal.

Bagaimanapun, tempat ini terlihat sudah tidak dihuni.

“Aku tahu apa yang kaupikirkan,” kata Shizuko.

“Tapi semua yang kukatakan tadi benar.

Sepertinya rumah ini sudah tidak dihuni, tapi setiap tengah malam ada orang yang datang khusus untuk mengambil surat-surat.

Setelah menulis surat balasan, dia akan memasukkannya ke kotak susu pagi-pagi sekali.” “Hmm...” Harumi bertanya-tanya mengapa ada orang yang mau repot-repot melakukan semua itu.

Tapi kalau Shizuko bilang begitu, itu pasti benar.

Sejak malam itu, Harumi tidak bisa berhenti memikirkan Toko Kelontong Namiya.

Alasannya jelas.

Karena Harumi memiliki beban pikiran yang tidak bisa didiskusikan dengan orang lain.

Singkat kata, masalah uang.

Memang Harumi tidak mendengarnya secara langsung dari Nenek, tapi dia tahu bahwa kondisi keuangan keluarga Tamura tidak begitu baik.

Jika rumah tangga Tamura diibaratkan sebuah kapal, kondisi mereka sama dengan kapal yang nyaris tenggelam.

Mereka harus bersusah payah mengeluarkan air yang memenuhi kapal menggunakan ember, yang tentu saja tidak akan bisa bertahan untuk waktu lama.

Sebenarnya dulu keluarga Tamura adalah keluarga berada yang memiliki banyak tanah di wilayah sekitar.

Namun, sebagian besar terpaksa dijual selama beberapa tahun terakhir.

Alasannya hanya satu: demi melunasi utang suami putri mereka.

Kemudian setelah semuanya beres, putri mereka dan keluarganya pindah, dan Harumi kembali disambut di rumah mereka.

Namun, kesulitan keluarga Tamura belum berakhir.

Akhir tahun lalu, kakek Harumi jatuh pingsan akibat stroke.

Tubuh sebelah kanannya sulit digerakkan.

Di tengah situasi demikian, Harumi pun pergi ke Tokyo untuk mencari pekerjaan.

Ia merasa berkewajiban membantu keluarga Tamura, tapi karena nyaris semua gajinya habis untuk memenuhi kebutuhan sendiri, impiannya untuk membantu keluarga Tamura masih hanya sebuah impian.

Pertemuannya dengan dunia hiburan malam terjadi ketika pikirannya sedang dirongrong masalah tersebut.

Mungkin jika masalah itu tidak pernah ada, tak akan pernah terpikir olehnya untuk mencoba profesi di bidang itu.

Sejujurnya, ia sempat memiliki pandangan negatif terhadap profesi hostes.

Tapi sekarang situasinya berbeda.

Harumi berpikir apakah sebaiknya ia berhenti bekerja di perusahaan dan fokus pada profesi hostes supaya bisa membalas budi pada keluarga Tamura.

Apakah aku boleh meminta nasihat tentang ini? Apakah masalahku ini akan dianggap menjengkelkan? Harumi merenungkannya sambil duduk di depan meja yang sudah digunakannya sejak SMP.

Namun, masalah Shizuko juga termasuk masalah pelik.

Kendati demikian, Toko Kelontong Namiya berhasil memberikan solusi sempurna.

Kalau begitu, bisa jadi Harumi akan mendapatkan jawaban serupa untuk masalah yang sedang dihadapinya.

Tidak ada gunanya mencemaskan hal ini.

Yang penting tulis dulu suratnya.

Setelah berpikir seperti itu, Harumi akhirnya menulis tentang masalahnya.

Namun, saat hendak memasukkan surat itu ke lubang surat Toko Kelontong Namiya, ia ragu-ragu.

Benarkah ia akan menerima surat balasan? Menurut Shizuko, dia menerima surat balasan tahun lalu.

Bagaimana kalau toko ini sudah ditelantarkan, dan surat Harumi hanya akan tergeletak begitu saja di dalam bangunan tua itu? Ah, peduli amat.

Akhirnya ia menyelipkan surat itu.

Ta tidak menuliskan namanya supaya jika surat itu sampai dibaca orang lain, takkan ada yang bisa menebak siapa yang dimaksud dalam surat tersebut.

Ketika Harumi datang keesokan paginya, ia mendapati sebuah amplop di dalam kotak susu.

Tentu saja ia memang berharap dapat balasan, tapi tetap situasi itu terasa ganjil.

Ia membaca surat balasan itu.

Jadi begitu, pikirnya.

Benar yang dikatakan Shizuko.

Nada kalimat dalam surat tersebut sungguh blak-blakan, sama sekali tanpa basa-basi.

Tidak ada rasa segan, bahkan kata-katanya cenderung kasar.

Harumi sampai berpikir apakah si penulis memang sengaja memprovokasinya supaya marah.

“Memang begitulah cara Namiya-san membantu kita.

Dengan demikian beliau bisa menyingkap apa sebenarnya tujuan kita, sekaligus mengarahkan supaya kita bisa menemukan jalan yang benar dengan kekuatan sendiri.” Begitu penjelasan Shizuko.

Tetap saja Harumi merasa isi surat itu terlalu kasar.

Dengan seenaknya Namiya-san memutuskan bahwa Harumi sangat ingin menjadi hostes hanya karena mengejar kehidupan glamor.

Ia segera mengirimkan surat klarifikasi.

Dalam surat, ia menjelaskan bahwa alasan ia ingin berhenti bekerja di perusahaan dan memutuskan fokus pada profesi hostes bukan karena mengincar kehidupan glamor, melainkan karena ia bercita-cita membuka kelab sendiri kelak.

Namun, surat balasan kedua dari Toko Kelontong Namiya lagi-lagi membuatnya jengkel.

Berani-beraninya Namiya-san mempertanyakan keseriusan niat Harumi.

Kalau Harumi benar-benar ingin membalas budi pada orang-orang yang sudah menjaganya, kenapa ia tidak menikah dan membangun keluarga saja? Nada surat balasan tersebut benar-benar terkesan memaksa.

Harumi lantas berpikir mungkin dirinyalah yang salah.

Mungkin ia tidak bisa menyampaikan isi hatinya dengan tepat karena masih ada hal penting yang disembunyikan.

Maka dalam surat ketiga, ia membuka diri.

Dijelaskannya tentang lingkungan tempat ia lahir dan dibesarkan, juga masalah yang sedang dihadapi kedua walinya.

Ia juga menjelaskan tentang rencana masa depannya.

Kira-kira bagaimana balasan dari Toko Kelontong Namiya, ya? Harumi mendorong amplop melewati lubang surat dengan perasaan harap-harap cemas.

Sarapan sudah siap saat ia tiba kembali di rumah.

Harumi duduk di meja rendah di ruangan bergaya tradisional dan mulai makan.

Kakek sedang berbaring di futon di ruangan sebelah, sementara Hideyo menyuapinya dengan bubur menggunakan sendok, lalu memberinya teh memakai gelas kecil.

Melihat pemandangan itu, Harumi merasa dirinya didesak waktu.

Bagaimanapun, ia harus melakukan sesuatu untuk menolong mereka berdua.

Setelah sarapan, Harumi segera kembali ke kamar.

Ia mengeluarkan amplop dari saku, kemudian duduk di kursi.

Begitu membuka lipatan kertas surar, seperti biasa ia langsung disambut oleh sederetan huruf yang tidak terlalu rapi.

Namun, isi surat kali ini jauh berbeda dengan sebelumnya.

Kepada Anak Anjing yang Kebingungan, Saya sudah membaca surat ketiga Anda.

Kini saya mengerti betapa berat masalah yang sedang Anda hadapi, juga tentang keseriusan Anda untuk membalas budi.

Namun, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan: « Apakah orang yang ingin menjadikan Anda kekasihnya adalah sosok yang bisa dipercaya? Anda bilang dia membantu membangun beberapa bisnis, tapi apakah Anda sudah bertanya apa nama-nama bisnis yang dia bantu itu, dan bagaimana caranya dia membantu? Jika Anda bisa membujuknya membawa Anda ke salah satu tempat tersebut, pergilah di luar jam kerja dan cobalah mengobrol dengan para staf di sana dan cari tahu pendapat mereka soal dia.

s Apakah ada jaminan tertulis bahwa orang itu sungguhsungguh bersedia membantu saat Anda memulai bisnis kelab malam? Apakah dia akan tetap menepati janji tersebut seandainya hubungan kalian sampai ketahuan oleh istrinya? » Apakah Anda ingin selamanya menjalin hubungan dengan orang itu? Bagaimana jika Anda bertemu dengan orang yang benar-benar Anda sukai? « Anda ingin terus bekerja di dunia hiburan malam demi memperoleh kemampuan finansial yang mapan supaya kelak bisa membuka kelab sendiri, tapi bukankah ada cara lain untuk mendapatkan uang? Atau ada alasan lain Anda harus terus berkecimpung di bisnis itu? “ Jika saya bilang bahwa ada cara selain bisnis hiburan malam yang bisa membuat Anda mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, bersediakah Anda menuruti perkataan saya? Ada kemungkinan saya harus menyuruh Anda berhenti dari pekerjaan sebagai hostes atau melarang Anda menjadi kekasih pria yang tidak jelas.

Silakan jawab semua pertanyaan di atas dan kirimkan lewat surat.

Saya bisa membantu mewujudkan impian Anda, tapi tentu saja semua ini tergantung pada jawaban Anda.

Pasti Anda mengira ini hanya omong kosong, bukan? Tapi saya sama sekali tidak berniat menipu.

Ingat, saya tidak akan mendapatkan apa-apa dengan menipu Anda.

Percayalah.

Tapi ada sesuatu yang perlu saya ingatkan: saya hanya bisa berkomunikasi dengan Anda sampai tanggal 13 September.

Setelah itu, Anda tidak akan bisa lagi menghubungi saya.

Saya mohon, pikirkan masak-masak.

Toko Kelontong Namiya Setelah mengantar ke luar rombongan tamu yang ketiga, Maya menarik Harumi ke toilet khusus staf.

Maya lebih tua empat tahun daripada Harumi.

Begitu masuk ke toilet, Maya langsung menjambak rambut Harumi.

“Mentang-mentang masih muda, jangan belagu ya!” Sambil mengernyit menahan sakit, Harumi bertanya, “Ada apa?” “Bukan “ada apa! Aku tak suka kau merayu tamuku!” Bibir Maya yang dipoles lipstik merah tampak berkerut.

“Siapa? Aku tidak merayu siapa-siapa.” “Jangan berlagak bodoh! Tadi kau bergenit-genit dengan si tua Sat6.

Aku yang menarik dia ke sini dari kelab tempatku bekerja sebelumnya!” Sato? Harumi tidak bisa memercayai ini.

Aku merayu laki-laki gemuk itu? Yang benar saja! “Dia yang mengajakku bicara.

Aku hanya bersikap sopan.” “Bohong! Kau tadi terlalu genit!” “Kita hostes.

Sudah tugas kita untuk bersikap ramah.” “Cerewet!” Maya melepaskan cengkeraman dari rambut Harumi dan mendorongnya.

Punggung Harumi membentur dinding.

“Lain kali takkan kubiarkan.

Ingat itu!” Sambil mendengus, Maya meninggalkan toilet.

Harumi menatap pantulannya di cermin.

Rambutnya berantakan.

Sambil merapikan rambutnya dengan tangan, ia berusaha membuat ekspresinya terlihat tenang.

Jangan sampai ia terintimidasi oleh kejadian barusan.

Begitu keluar dari toilet, ia diminta datang ke meja baru.

Di sana ada tiga pria yang berpenampilan kaya.

“Wah! Lagi-lagi kita kedatangan anak yang masih muda!” Salah seorang pria yang berkepala botak menengadah dan mengamati Harumi dari atas sampai bawah sambil tersenyum genit.

“Nama saya Miharu.

Senang bertemu dengan Anda,” jawab Harumi, menatap pria itu lekat-lekat sambil duduk di sampingnya.

Hostes senior yang sudah lebih dulu duduk di meja itu menyunggingkan senyum yang dibuat-buat sambil melemparkan tatapan dingin padanya.

Dulu Harumi juga pernah terlibat pertengkaran dengan seniornya ini karena dia menyuruhnya supaya jangan tampil terlalu mencolok.

Memangnya ada yang salah dari penampilanku? pikir Harumi.

Apa gunanya melakukan pekerjaan ini jika tidak bisa menarik perhatian tamu? Beberapa saat kemudian, Tomioka Shinji muncul seorang diri.

Dia mengenakan jas abu-abu dan dasi merah.

Penampilannya yang ramping sama sekali tidak membuatnya terlihat seperti pria berusia 46 tahun.

Seperti biasa, Harumi dipanggil ke mejanya.

“Di Akasaka ada bar trendi,” bisik Tomioka setelah meneguk campuran wiski dan air.

“Mereka buka sampai pukul lima pagi.

Di sana juga ada koleksi anggur dari seluruh penjuru dunia.

Mereka baru saja menerima kiriman berbagai macam kaviar dan memintaku datang untuk mencobanya.

Bagaimana kalau kita pergi setelah ini?” Harumi sangat ingin pergi ke bar itu, tapi ia malah menyatukan kedua tangan di depan wajah dan membungkuk dengan imut.

“Maaf, tapi aku tidak boleh datang terlambat besok.” Ekspresi Tomioka berubah murung.

Dia mendesah.

“Sudah kubilang, lebih baik kau berhenti kerja dari...

perusahaan apa itu?” “Perusahaan pembuat alat-alat tulis.” “Lalu apa kerjamu di sana? Paling-paling hanya kerjaan kantor biasa.” Harumi mengangguk, walaupun sebenarnya bukan “kerjaan kantor biasa”, lebih tepatnya kerjaan remeh-temeh.

“Apa yang akan kaulakukan dengan gaji bulanan sekecil itu? Masa mudamu tidak akan kembali untuk kedua kalinya.

Kau harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya jika ingin impianmu tercapai.” “Ya.” Harumi kembali mengangguk.

Ia menatap Tomioka.

“Omong-omong, Tomioka-san pernah bilang akan mengajakku ke bar sekaligus restoran di daerah Ginza, bukan? Tomioka-san juga bilang waktu bar itu dibuka, Anda ikut dalam persiapannya.” “Oh, tempat itu.

Boleh.

Kapan saja bisa.

Kapan kau ingin ke sana?” Tomioka mencondongkan tubuhnya.

“Kalau bisa, di luar jam buka tempat itu.” “Di luar jam buka?” “Benar.

Aku ingin mendengar cerita para staf di sana.

Aku juga ingin melihat apa yang terjadi di balik layar, sekalian belajar.” Saat itu juga, raut wajah Tomioka berubah suram.

“Soal itu, bagaimana ya...” “Apakah tidak bisa?” “Kebijakanku adalah memisahkan bisnis dari kehidupan pribadi.

Meski aku dekat dengan sang pemilik, bukan berarti aku boleh seenaknya mengajak orang luar untuk melihat apa yang terjadi di balik layar.

Aku yakin para staf akan merasa terganggu.” “Oh...

begitu.

Baiklah.

Aku minta maaf karena sudah meminta hal yang tidak masuk akal.” Harumi menunduk.

“Yah, tapi tidak akan ada masalah kalau kita datang sebagai tamu.

Dalam waktu dekat ini aku akan mengajakmu ke sana.” Ekspresi Tomioka kembali ceria.

Malam itu, Harumi pulang ke apartemennya di daerah Koenji pukul 03.00 lebih sedikit.

Ia diantar oleh Tomioka dengan taksi.

“Aku tidak akan meminta diajak masuk ke kamarmu.” Begitu kata-kata Tomioka yang selalu diucapkannya di dalam mobil.

“Tolong pikirkan soal itu baik-baik.” Yang dimaksudnya adalah tawaran untuk menjadi kekasihnya.

Harumi hanya tertawa samar.

Begitu masuk kamar, yang pertama dilakukannya adalah meminum segelas air.

Dalam seminggu, ia bekerja di kelab malam sebanyak empat hari dan biasanya ia memang selalu pulang ke rumah sekitar jam segini.

Artinya, hanya tiga kali dalam seminggu ia bisa mengunjungi pemandian umum.

Harumi menghapus riasan, mencuci wajah, kemudian memeriksa rencana keesokan harinya di buku agenda.

Karena ada rapat pagi-pagi sekali, ia harus datang ke kantor setengah jam lebih cepat untuk menyiapkan teh dan lain-lainnya.

Jadi, ia hanya punya waktu empat jam untuk tidur.

Ia menjejalkan buku agendanya kembali ke tas.

Setelah itu, ia mengeluarkan sebuah amplop.

Ia membuka lipatan kertas surat yang ada di dalamnya dan mendesah.

Ia sudah sering membaca surat itu sampai bisa menghafal isinya.

Meskipun begitu, ia tetap membacanya sehari sekali.

Ini adalah surat ketiga yang ia terima dari Toko Kelontong Namiya.

Apakah orang yang ingin menjadikan Anda kekasihnya adalah sosok yang bisa dipercaya? Harumi sendiri juga menyimpan pertanyaan serupa, tapi mencegah diri memikirkannya lebih jauh.

Karena jika semua yang dikatakan Tomioka itu tidak benar, itu berarti impian yang hendak diraihnya akan semakin jauh dari jangkauan.

Kalau dipikir-pikir, pertanyaan dari Toko Kelontong Namiya memang masuk akal.

Katakanlah Harumi bersedia menjadi kekasih Tomioka, apakah pria itu akan tetap membantunya meskipun hubungan mereka dipergoki sang istri? Rasanya semua orang setuju bahwa itu mustahil.

Lalu, tingkah laku Tomioka malam ini.

Wajar jika dia ingin memisahkan pekerjaan dengan kehidupan pribadi, tapi Tomioka sendiri yang pernah berkata ingin mengajak Harumi ke sana karena ingin memamerkan hasil kerjanya.

Harumi mulai berpikir mungkin ia memang tidak bisa mengandalkan Tomioka.

Lantas, ia harus berbuat apa? Tatapannya kembali tertuju pada surat itu.

Jika saya bilang bahwa ada cara selain bisnis hiburan malam yang bisa membuat Anda mendapatkan uang sebanyak-banyaknya, bersediakah Anda menuruti perkataan saya?” Lalu, bagian ini: “Saya bisa membantu mewujudkan impian Anda, tapi tentu saja semua ini tergantung pada jawaban Anda.” Apa maksud kalimat itu? Nadanya begitu percaya diri, mirip dengan kata-kata pelaku bisnis investasi abal-abal yang berusaha meyakinkan calon korbannya.

Dalam situasi biasa, Harumi pasti memilih mengabaikannya.

Masalahnya, pengirimnya adalah Toko Kelontong Namiya.

Sosok yang telah membantu Shizuko mengatasi masalahnya.

Tanpa testimonial dari Shizuko sekalipun, korespondensi mereka selama ini sudah cukup membuat Harumi merasa bahwa sosok Namiya-san bisa dipercaya.

Dia tidak berbasa-basi dan tidak peduli dengan reaksi Harumi.

Sikapnya blak-blakan, kikuk namun jujur.

Yang dikatakan Namiya-san dalam surat ini tidak salah.

Dia jelas tak akan memperoleh keuntungan apa-apa dengan mengelabui Harumi.

Meskipun begitu, Harumi tidak bisa begitu saja menelan mentah-mentah semua yang dikatakannya.

Jika memang ada cara mudah mendapatkan uang, takkan ada seorang pun yang menderita.

Rasanya janggal jika sampai sekarang pemilik Toko Kelontong Namiya belum menjadi miliuner.

Karena liburan Obon sudah berakhir, Harumi harus kembali ke Tokyo tanpa sempat menulis surat balasan.

Tidak lama kemudian, kelab malam tempatnya bekerja kembali beroperasi.

Harumi pun kembali menjalani kehidupan ganda sebagai karyawan kantor dan hostes.

Kalau boleh jujur, setiap hari ia merasa kondisi fisiknya semakin terkuras habis.

Sering kali ia berpikir ingin berhenti saja bekerja di perusahaan.

Masih ada satu hal yang membuatnya gelisah.

Tatapan Harumi tertuju pada kalender di meja.

Hari ini tanggal 10 September, hari Rabu.

Ia masih bisa berkomunikasi dengan Toko Kelontong Namiya sampai tanggal 13 September, tapi setelah itu ia takkan bisa menghubunginya lagi.

Tanggal 13 jatuh pada hari Sabtu minggu ini.

Mengapa hanya bisa sampai tanggal itu? Apakah itu adalah kali terakhir Toko Kelontong Namiya membuka jasa layanan konsultasi? Harumi merasa tidak ada salahnya ia menjawab semua pertanyaan Namiya-san.

Ia juga akan meminta supaya diberi penjelasan mendetail, baru setelah itu ia memutuskan akan mengikutinya atau tidak.

Ia bisa berjanji, tapi bukan berarti ia harus menepati janji itu.

Namiya-san takkan tahu jika Harumi melanggar janjinya dan terus bekerja sebagai hostes.

Sebelum tidur, ia menatap cermin dan mendapati ada jerawat di sebelah bibirnya.

Ia memang kurang tidur.

Jika berhenti kerja dari perusahaan, ia akan bisa tidur sampai menjelang sore, pikirnya.

Hari Jumat tanggal 12 akhirnya tiba.

Setelah pekerjaan kantor selesai, Harumi berangkat menuju rumah keluarga Tamura.

Hari ini ia mengambil cuti dari kelab malam Shinjuku.

Pasangan Tamura sedikit terkejut karena belum sebulan berlalu sejak kedatangan Harumi saat liburan Festival Obon, walau tentu saja mereka menyambutnya dengan senang.

Saat kunjungan terakhir ia tidak sempat mengobrol santai dengan kakeknya, tapi selama makan malam ini ia bisa bercerita tentang kabarnya.

Tentu saja ia tidak bercerita tentang pekerjaannya sebagai hostes kepada mereka berdua.

“Apakah kau bisa membayar sewa dan tagihan air apartemenmu? Kalau uangmu tidak cukup, uh, jangan segan-segan miminta pada kami,” kata kakeknya yang memang sudah tidak bisa menggerakkan mulutnya dengan leluasa.

Beliau tidak menyadari kondisi keuangan keluarga Tamura karena selama ini urusan itu selalu diserahkan pada Hideyo.

“Tidak apa-apa, aku masih bisa menabung.

Apalagi saking sibuknya bekerja, aku tidak punya waktu luang untuk bersenangsenang, jadi aku tak banyak menghabiskan uang,” jawab Harumi ringan.

Memang benar ia tidak punya waktu untuk bersenangsenang.

Setelah selesai makan malam, ia pergi mandi.

Dipandanginya langit malam lewat jendela yang dipasangi kasa nyamuk.

Bulan purnama tampak bergelayut di langit.

Kelihatannya cuaca esok hari akan cerah.

Apa yang akan ditulis Namiya-san di surar balasan? Dalam perjalanan menuju kediaman pasangan Tamura, sebenarnya Harumi sempat singgah ke Toko Kelontong Namiya.

Dimasukkannya surat yang intinya menyatakan bahwa ia tidak lagi ingin bekerja di dunia hiburan malam, tidak mau berurusan lagi dengan tawaran menjadi kekasih seseorang hanya demi bisa menggapai impiannya, bahwa ia sudah memutuskan berhenti dari profesi hostes dan akan menuruti saran Toko Kelontong Namiya.

Besok tanggal 13.

Apa pun jawaban yang diterima Harumi, itu akan menjadi jawaban terakhir.

Setelah membacanya, barulah ia akan memutuskan tindakan selanjutnya.

Keesokan harinya, Harumi sudah terjaga sebelum pukul 07.00.

Sebenarnya lebih tepat disebut ia akhirnya memutuskan bangun karena muak tidak bisa tidur nyenyak semalaman.

Neneknya sudah selesai menyiapkan sarapan.

Dari arah ruangan tatami, samar-samar tercium aroma tidak sedap.

Pasti Hideyo sedang membantu suaminya karena beliau sudah tidak bisa ke toilet seorang diri.

Setelah berkata bahwa ia ingin menghirup udara segar sebentar, Harumi meninggalkan rumah.

Ia menaiki sepedanya dan menyusuri rute yang sudah sangat dikenalnya selama liburan Festival Obon.

Akhirnya Harumi sampai di depan Toko Kelontong Namiya.

Bangunan yang diselimuti atmosfer masa lalu itu seperti tengah menanti kedatangannya dengan tenang.

Harumi lantas memasuki gang di samping toko.

la membuka tutup kotak susu yang tergantung tepat di sebelah pintu untuk tamu dan melihat ada amplop di dalamnya.

Hati Harumi langsung disergap harapan, kecemasan, kecurigaan, dan rasa penasaran.

Ketika ia mengulurkan tangan ke dalam kotak untuk mengambil amplop, serbuan perasaan-perasaan tersebut membuat tangannya gemetar.

Karena tidak sabar menunggu hingga tiba di rumah, saat melewati sebuah taman, Harumi mengerem sepedanya.

Setelah memastikan di sekitarnya tidak ada orang lain—masih dalam posisi duduk di atas sepeda—ia mengeluarkan kertas surat dari dalam amplop.

Kepada Anak Anjing yang Kebingungan, Saya sudah membaca surat Anda dan merasa senang karena Anda memutuskan untuk memercayai Toko Kelontong Namiya.

Tentu saja, saya tidak punya cara untuk memastikan apakah yang Anda tulis itu benar-benar berasal dari lubuk hati, karena ada kemungkinan Anda menulis seperti itu hanya karena penasaran dengan jawaban saya.

Tapi karena saya tidak bisa berbuat apa-apa soal itu, saya menulis surat ini dengan asumsi bahwa kata-kata Anda memang tulus.

Nah, Anda bertanya apa yang sebaiknya Anda lakukan untuk mewujudkan impian Anda, bukan? Jawabannya adalah belajar.

Lalu menabung.

Selama lima tahun ke depan, saya menyarankan Anda untuk belajar segalanya tentang ekonomi, khususnya saham dan bisnis properti.

Supaya Anda bisa fokus, Anda harus berhenti bekerja di perusahaan.

Untuk sementara, Anda bisa terus bekerja sebagai hostes.

Lalu, soal menabung.

Tujuannya adalah supaya di kemudian hari Anda bisa membeli properti.

Sebisa mungkin pilihlah bangunan yang dekat dengan pusat kota, entah itu sebidang tanah, apartemen, maupun bangunan kecil.

Tidak jadi masalah meskipun bangunannya sudah tua dan berukuran kecil, tapi sebisa mungkin belilah sebelum tahun 1985.

Oh ya, bangunan ini bukan untuk Anda tempati.

Pada tahun 1986, Jepang akan memasuki periode pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Nilai properti akan meroket.

Jual properti Anda dan beli properti baru yang lebih mahal karena harganya pun akan ikut naik.

Lakukan proses ini beberapa kali, kemudian gunakan uang yang Anda peroleh untuk membeli saham.

Untuk alasan itulah saya minta supaya Anda memiliki pengetahuan cukup tentang dunia saham.

Tidak peduli saham merek apa yang Anda beli, Anda tidak akan mengalami kerugian sepanjang rentang waktu tahun 1986 hingga 1989.

Keangeotaan klub golf adalah investasi lain yang menjanjikan.

Semakin cepat Anda membelinya, semakin bagus.

Tapi saya harus memperingatkan Anda.

Anda hanya bisa melakukan semua investasi menguntungkan ini sepanjang tahun 1988 hingga 1989, karena di tahun 1990, situasi akan berubah drastis.

Meski nilai saham terlihat akan terus naik, Anda harus mencairkan semua investasi tersebut.

Situasi ini sama dengan permainan kartu Babanuki—di mana waktu menentukan menang atau kalah.

Percayalah pada saya dan lakukan semua saran saya di atas.

Setelah itu, ekonomi di Jepang hanya akan semakin terpuruk.

Apa pun yang Anda lakukan, jangan berkecimpung dalam investasi lagi.

Semua itu hanya akan berakhir buruk.

Anda harus mulai mencari pendapatan lain yang lebih stabil.

Sampai di sini, Anda pasti kebingungan.

Mengapa saya bisa begitu yakin tentang situasi yang baru akan terjadi beberapa tahun kemudian? Mengapa saya bisa meramalkan situasi ekonomi di Jepang? Sayangnya, saya tidak bisa menjelaskan karena saya yakin Anda pun tidak akan percaya.

Karena itu, anggap saja ini sebagai ramalan yang luar biasa akurat.

Izinkan saya memprediksi sedikit lagi tentang situasi mendatang.

Tadi saya sudah menyinggung tentang kondisi ekonomi Jepang yang memburuk, tapi itu bukan berarti tidak ada impian dan harapan.

Era 90-an adalah era munculnya bisnis baru yang penuh harapan.

Perangkat komputer akan menyebar ke seluruh penjuru dunia dan akan tiba saat di mana setiap keluarga akan memiliki satu komputer, ralat, maksud saya satu orang akan memiliki satu komputer.

Semua komputer itu akan saling terhubung dan memungkinkan manusia di seluruh dunia berbagi informasi.

Mereka juga akan memiliki telepon yang bisa dibawa ke manamana dan juga disambungkan ke jaringan komputer.

Anda harus seceparnya berkecimpung dalam bisnis yang menggunakan jaringan komputer.

Ini akan berperan dalam kesuksesan Anda.

Dengan jaringan itu Anda bisa mengiklankan perusahaan, toko, maupun produk, atau bisa juga Anda langsung berjualan di sana.

Potensi bisnis ini benar-benar tidak terbatas.

Anda bebas memilih untuk percaya atau tidak.

Tapi tolong jangan lupakan satu hal.

Seperti yang saya tulis sebelumnya, tidak ada gunanya saya menipu Anda.

Surat ini adalah hasil kerja keras saya memikirkan jalan yang terbaik bagi kehidupan Anda selanjutnya.

Sebenarnya saya ingin lebih banyak membantu, tapi tidak ada waktu lagi.

Ini adalah surat terakhir karena setelah ini saya tidak akan bisa menerima surat Anda.

Sekali lagi, keputusan untuk memercayai saya atau tidak ada di tangan Anda.

Tapi saya berdoa dengan sepenuh hati bahwa Anda memilih untuk percaya.

Toko Kelontong Namiya Setelah selesai membaca surat itu, Harumi tertegun.

Isinya sangat mengejutkan.

Jelas ini adalah ramalan.

Dan isinya penuh dengan kepastian.

Saat ini tahun 1980, dan jelas kondisi perekonomian Jepang tidak bisa dibilang baik.

Dampak krisis minyak masih berlanjut, dan para mahasiswa sulit mencari kerja.

Namun, surat itu menyatakan bahwa dalam beberapa tahun ke depan, Jepang akan memasuki periode pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Benar-benar sulit dipercaya.

Pasti ini tipuan.

Tapi seperti yang ditulis dalam surat, tidak ada untungnya bagi Toko Kelontong Namiya untuk mengelabui Harumi.

Berarti, semua yang ditulis dalam surat ini benar? Jika ya, mengapa Namiya-san bisa tahu? Dia bukan hanya memprediksi tentang perekonomian Jepang, tapi dia juga meramalkan kemunculan beragam teknologi di masa depan.

Tidak, bukan ramalan.

Surat ini membuatnya terdengar seakan Namiya-san sedang menyatakan fakta.

Jaringan komputer, telepon yang bisa dibawa ke mana-mana...

Harumi sama sekali tidak bisa paham.

Masih dua puluh tahun lagi sebelum abad ke-21 tiba.

Tidak aneh jika segala teknologi yang kini hanya sebatas mimpi bisa terwujud di masa mendatang.

Namun, yang tertulis dalam surat itu terdengar seperti sesuatu dari anime ataupun fiksi ilmiah.

Sepanjang hari itu Harumi hanya bisa merenung.

Saat malam tiba, ia beranjak ke meja tulis.

Ia membuka lembaran kertas lalu mulai menulis surat.

Tentu saja surat itu ditujukan kepada Toko Kelontong Namiya.

Ia tahu sebenarnya ia sudah tidak bisa melanjutkan korespondensi itu, tapi sekarang masih tanggal 13.

Selama jam belum menunjukkan pukul 00.00, mungkin dia masih punya kesempatan.

Dalam surat itu ia menulis ingin mengetahui bukti apa yang mendukung semua prediksi yang disebutkan dalam surat sebelumnya.

Ia tidak keberatan meskipun penjelasan itu sulit dipercaya.

Yang penting setelah mendengarnya, ia bisa memutuskan langkah apa yang akan ditempuhnya.

Menjelang pukul 23.00, diam-diam Harumi meninggalkan rumah.

Dikayuhnya sepedanya menuju Toko Kelontong Namiya.

Setibanya di depan toko, ia kembali memastikan waktu.

Pukul 23.05.

Masih sempat, pikirnya sambil mendekati toko.

Namun pada detik berikutnya, langkahnya terhenti.

Saat melihat bangunan itu, ia sadar bahwa ia sudah terlambat.

Toko Kelontong Namiya telah berubah total.

Aura misterius yang selama ini seolah menyelimuti toko kini lenyap.

Yang berdiri di sana tidak lebih dari sekadar toko kelontong biasa.

Harumi memang tidak bisa menjelaskan kenapa ia merasa seperti itu, tapi ia yakin.

Harumi tidak jadi memasukkan suratnya ke lubang surat.

Ia kembali menaiki sepedanya dan pulang ke rumah.

Dugaannya baru terbukti benar empat bulan kemudian.

Harumi yang kembali pulang ke rumah dalam rangka liburan Tahun Baru, pergi bersama Shizuko ke kuil terdekat untuk memanjatkan doa begitu tahun berganti.

Shizuko sendiri sudah mendapat pekerjaan.

Dia akan mulai bekerja di kantor pusat supermarket besar mulai April mendatang.

Tentu saja tidak ada Divisi Anggar di perusahaan itu, yang berarti tidak akan ada lagi pertandingan anggar bagi Shizuko.

“Sayang sekali,” komentar Harumi.

Namun, Shizuko malah menggeleng sambil tersenyum.

“Aku sudah cukup menekuni dunia anggar.

Demi menjadi wakil di Olimpiade Moskow, aku sudah berusaha habis-habisan Kurasa kekasihku yang ada di surga mungkin akan setuju.” Dia mendongak menatap langit.

“Mulai sekarang aku harus memikirkan langkah berikutnya.

Pertama, bekerja dengan giat.

Kemudian menemukan seseorang yang cocok.” “Seseorang yang cocok?” “Ya, aku ingin menikah dan mengandung bayi yang sehat.” Shizuko tersenyum jail.

Di hidungnya muncul kerutan.

Ekspresinya sudah tak lagi dipenuhi kesedihan seseorang yang kehilangan kekasihnya setahun yang lalu.

Dalam perjalanan pulang dari kuil, Shizuko berseru, “Ah!” Sepertinya dia baru teringat akan sesuatu.

“Masih ingat percakapan kita musim panas lalu? Soal toko kelontong ajaib tempat kita bisa berkonsultasi tentang masalah yang membebani pikiran kita?” “Ingat.

Maksudmu Toko Kelontong Namiya, kan?” jawab Harumi dengan berdebar-debar.

Ia tidak bercerita pada Shizuko bahwa ia juga pernah mengirim surat.

“Sekarang toko itu sudah tutup karena kakek pemiliknya meninggal dunia.

Waktu itu aku menanyakannya pada seseorang yang sedang memotret di depan toko.

Ternyata dia putra almarhum.” “Oh, begitu.

Kapan kau bicara dengannya?” “Kalau tidak salah, bulan Oktober.

Waktu itu dia bilang ayahnya baru meninggal sebulan lalu.” Harumi menahan napas.

“Itu berarti, kakek pemilik toko meninggal bulan September...” “Benar.” “September tanggal berapa?” “Aku tidak bertanya sejauh itu.

Kenapa?” “Ah, tidak...

Aku hanya bertanya.” “Kelihatannya toko itu tutup karena kesehatan si kakek memburuk.

Tapi sesi konsultasi terus berjalan.

Jangan-jangan aku orang terakhir yang berkonsultasi dengannya.

Memikirkannya saja sudah membuatku terharu,” kata Shizuko dengan penuh perasaan.

Bukan, akulah yang terakhir! Ingin rasanya Harumi mengatakan itu, tapi ia menahan diri.

Ia menduga almarhum pemilik toko meninggal pada 13 September.

Jangan-jangan karena sudah tahu usianya hanya sampai tanggal itu, dia menulis itulah saat terakhir dia bisa menerima surat.

Seandainya benar, itu berarti si pemilik toko memang memiliki kemampuan meramal.

Dia bahkan bisa meramalkan kematiannya sendiri.

Jangan-jangan itu berarti...

Benak Harumi mulai berkecamuk.

Berarti semua yang ditulis dalam surat itu benar.

Bulan Desember 1988 Di ruangan yang dihiasi lukisan cat minyak, Harumi sedang dalam proses mengunci kesepakatan jual-beli.

Ia sudah beberapa kali melakukan transaksi serupa selama beberapa tahun ini.

Pembelian senilai puluhan juta yen sudah menjadi sesuatu yang biasa baginya.

Namun, meskipun harga properti kali ini tidak begitu mahal, Harumi merasakan semacam kegugupan yang belum pernah dialaminya.

Ia tidak pernah terlibat secara emosional dalam pembelian properti seperti ini sebelumnya.

“Jika Anda menyetujui semua persyaratan di atas, silakan tanda tangan kontrak ini dan bubuhkan cap Anda.” Begitu kata seorang staf laki-laki dari kantor properti.

Jas merek Dunhill yang dikenakan agen properti itu pasti harganya tidak kurang dari dua ratus ribu yen.

Wajahnya terlihat kecokelatan, Harumi tebak pria itu pasti sering tanning di salon.

Harumi diizinkan memakai ruangan kantor cabang Shinjuku dari bank ternama—bank tempat perusahaan Harumi meminta pinjaman.

Selain pria dengan setelan jas Dunhill, yang berperan sebagai penengah, ada Tamura Hideyo dan Kozuka Kimiko yang hadir sebagai pihak penjual.

Kimiko didampingi suaminya, Shigekazu.

Tahun lalu usia Kimiko sudah melampaui lima puluh tahun.

Rambutnya pun mulai dihiasi uban.

Harumi memandang wajah para pihak penjual.

Hideyo dan Kimiko menunduk, sementara Shigekazu tampak kesal dan memalingkan muka.

Benar-benar pria menyebalkan, pikir Harumi.

Kalau tidak suka situasi ini, setidaknya beranikan dirimu untuk menatapku.

Harumi mengeluarkan bolpoin dari tas.

“Tidak ada masalah,” katanya sebelum membubuhkan tanda tangan dan cap.

“Terima kasih.

Dengan demikian, kontrak ini sudah sah.

Semoga bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya,” kata pria berjas Dunhill itu dengan suara keras, kemudian mulai membereskan dokumen.

Meskipun ini bukan proyek besar, pasti pria itu tetap puas karena mendapatkan sejumlah komisi.

Sementara kedua belah pihak menerima dokumen masingmasing, Shigekazu bangkit lebih dulu.

Kimiko masih tetap duduk dengan kepala tertunduk.

Melihat itu, Harumi mengulurkan tangan kanannya.

Kimiko terkejut dan mendongak.

“Aku ingin berjabat tangan untuk suksesnya penandatanganan kontrak ini,” kata Harumi.

“Oh, baiklah” Kimiko menyambut tangan Harumi.

“Aku...

minta maaf.” “Kenapa harus minta maaf?” Harumi tersenyum.

“Bukankah justru bagus? Kedua belah pihak sama-sama memperoleh penyelesaian yang memuaskan.” “Yah, memang benar.” Kimiko tidak membalas tatapannya.

“Hei!” Shigekazu memanggil istrinya.

“Sedang apa? Ayo kita pergi!” “Ya” Kimiko mengangguk, lalu menatap sosok tua ibunya yang duduk di sebelah Harumi.

Wajahnya tampak bimbang.

“Soal Bibi, biar aku yang mengantarnya,” kata Harumi.

Meskipun status Hideyo adalah neneknya, sejak dulu dia selalu memanggilnya Bibi.

“Serahkan saja padaku.” “Oh, baiklah.

Ibu tidak keberatan?” “Ibu tidak keberatan,” kata Hideyo lirih.

“Baiklah.

Tolong, ya, Harumi-san.” Sebelum Harumi sempat menjawab “Ya”, Shigekazu sudah meninggalkan ruangan.

Dengan wajah meminta maaf, Kimiko berpamitan lalu mengikuti suaminya.

Setelah meninggalkan bank, Harumi mengantar Hideyo ke mobil BMW-nya di tempat parkir terdekat, lalu mereka bertolak menuju kediaman sang nenek.

Sebetulnya tempat itu sudah tidak bisa lagi disebut rumah keluarga neneknya karena rumah keluarga Tamura telah dibeli oleh Harumi.

Penandatanganan kontrak tadi sudah meresmikannya.

Kakek meninggal dunia pada musim semi tahun ini—karena usia lanjut, di futon yang basah oleh urine.

Saat itu jugalah kehidupan Hideyo sebagai perawat Kakek berakhir.

Sejak mengetahui usia kakeknya tidak akan panjang, ada satu hal yang mengusik Harumi.

Soal warisan.

Atau lebih tepatnya, rumah mereka.

Dulu, keluarga Tamura memang punya banyak aset, tapi sekarang rumah itulah satu-satunya harta mereka.

Tiga tahun terakhir ini harga properti memang terus meroket.

Walaupun jarak dua jam dari Tokyo menjadikan rumah ini tidak begitu praktis, nilainya sebagai properti cukup tinggi.

Tidak heran Harumi mulai curiga bahwa Shigekazu, menantu Hideyo, mengincar rumah itu.

Seperti biasa, pria itu selalu terlibat dalam bisnis yang mencurigakan, tapi sepertinya bisnis itu sedang kena masalah.

Sesuai dugaan, genap 49 hari setelah Kakek meninggal, Hideyo menerima telepon dari Kimiko.

Dia bilang ingin membahas tentang kepemilikan properti.

Karena hanya rumah itu satu-satunya properti milik mereka, Kimiko mengusulkan supaya bangunan itu dibagi dua untuk Hideyo dan dirinya.

Namun, karena tidak mungkin memotong rumah jadi dua, Kimiko menyarankan supaya kepemilikan rumah dipindahkan atas nama Kimiko, lalu dia akan meminta bantuan ahli untuk menaksir harganya dan membayar setengah dari total nilainya pada Hideyo.

Tentu saja Hideyo masih bisa menempati rumahnya, hanya saja Hideyo jadi harus membayar sewa.

Untuk memudahkan, Kimiko bisa memotong utangnya kepada Hideyo dengan biaya sewa itu.

Dengan begitu, semuanya akan lunas pada akhirnya.

Saran tersebut memang terdengar masuk akal dan sah secara hukum.

Namun, begitu mendengar ceritanya dari Hideyo, Harumi langsung merasa ada yang janggal.

Itu berarti hak kepemilikan rumah akan dialihkan ke pihak Kimiko, belum lagi Hideyo tidak akan menerima satu sen pun dari putrinya.

Kimiko juga bisa menjual rumah itu kapan pun dia mau, meskipun Hideyo sedang mendiaminya.

Hideyo bukan penyewa biasa.

Hideyo ibu kandungnya.

Yang berarti ada banyak cara untuk mengeluarkan Hideyo dari rumah itu.

Kalau memang itu yang akan terjadi, nantinya Kimiko wajib membayar Hideyo untuk bagian Hideyo atas properti itu.

Namun, Kimiko juga pasti tahu bahwa Hideyo tidak akan menuntutnya sampai ke pengadilan meskipun dia hanya membayar ibunya dalam jumlah kecil.

Harumi tidak ingin berpikir bahwa putri kandung Hideyo sendiri bisa memiliki ide sekeji itu.

Pasti Shigekazu yang mengatur semuanya dari balik layar.

Harumi lantas mengusulkan bahwa ia akan membeli rumah itu, dan uang hasil penjualannya akan dibagi dua untuk Hideyo dan Kimiko.

Tentu saja Harumi akan membiarkan Hideyo tetap tinggal di sana.

Dugaannya terbukti.

Begitu Hideyo menyampaikan berita ini pada Kimiko yang kemudian memberitahukannya pada suaminya, Shigekazu mencoba mengintervensi.

“Memangnya saran kami tidak cukup baik?” protesnya.

Menghadapi menantunya, Hideyo berkata, “Saya pikir niat Harumi-chan untuk membeli rumah ini adalah solusi yang paling tepat.

Saya harap kalian bisa memaafkan keegoisan saya.” Shigekazu tidak bisa membantah, lagi pula sebetulnya dia memang tidak punya hak untuk protes.

Setelah mengantar Hideyo pulang ke rumah keluarga Tamura, Harumi memilih untuk menginap di sana.

Ia harus berangkat pagi-pagi besok.

Kantornya memang libur setiap hari Sabtu, tapi ada proyek besar yang harus ia urus.

Ia sedang mengatur sebuah pesta yang akan diadakan di sebuah kapal di Teluk Tokyo dalam rangka Malam Natal.

Dua ratus tiket yang disediakan langsung ludes dalam sekejap.

Sambil berbaring di futon dan memandangi langit-langit ruangan yang sudah tidak asing lagi baginya, Harumi merasa sangat emosional.

Ia masih sulit percaya bahwa rumah ini kini menjadi miliknya.

Emosi yang timbul jauh berbeda dengan saat pertama kali ia membeli unit apartemen yang kini ditinggalinya.

Pembelian rumah ini bukan untuk investasi.

Jika kelak Hideyo meninggal, ia akan mempertahankan rumah ini.

Mungkin sebagai rumah keduanya.

Kini semuanya berjalan lancar.

Saking lancarnya sampai terasa menakutkan.

Seakan-akan ada yang melindungi Harumi.

Semua berawal dari surat itu...

Saat hendak memejamkan mata, huruf-huruf yang sudah akrab dengannya itu pun terbayang-bayang di benaknya.

Surat misterius dari Toko Kelontong Namiya.

Walaupun isi surat tersebut penuh dengan hal-hal yang sulit dicerna nalar, pada akhirnya Harumi memutuskan menuruti semua instruksi di dalamnya.

Lagi pula saat itu ia memang tidak bisa memikirkan jalan lain.

Kini setelah bisa berpikir jernih, ia sadar betapa berbahayanya bergantung pada orang seperti Tomioka.

Selain itu, tidak ada salahnya belajar ekonomi.

Harumi berhenti dari perusahaan tempatnya bekerja di siang hari.

Sebagai gantinya, ia mendaftar ke sekolah kejuruan.

Kalau sempat, ia juga belajar tentang saham dan properti bangunan, serta berhasil memperoleh beberapa kualifikasi di bidang tersebut.

Di lain pihak, meskipun masih fokus pada profesinya sebagai hostes, ia juga memutuskan hanya akan bekerja sampai tujuh tahun lagi.

Menentukan batas waktu bagi dirinya sendiri justru semakin memperkuat fokusnya.

Semakin keras ia bekerja di kelab itu, semakin besar penghasilan yang didapatkannya.

Dalam waktu singkat, jumlah pelanggannya sudah lebih banyak daripada gadis-gadis lain dan dia juga yang menghasilkan penjualan terbesar.

Setelah tawaran untuk menjadi kekasihnya ditolak Harumi, Tomioka tidak pernah lagi berkunjung, tapi Harumi dengan mudah bisa mengabaikan hal itu.

Belakangan, ia baru tahu bahwa cerita Tomioka yang mengaku membantu mengelola beberapa bisnis makanan dan minuman hanyalah bualan.

Rupanya, Tomioka hanya membantu menjawab pertanyaan yang dilontarkan beberapa pemilik bisnis, hanya itu saja kontribusinya.

Bulan Juli 1985, Harumi memulai gebrakan pertamanya.

Selama beberapa tahun terakhir, ia telah berhasil mengumpulkan sebanyak tiga puluh juta yen dalam tabungannya.

Tabungan itu digunakannya untuk membeli sebuah unit apartemen tua di daerah Yotsuya.

Harumi menaksir bahwa harga properti itu tidak akan turun meskipun terjadi krisis.

Kurang lebih dua bulan kemudian, perekonomian dunia mengalami guncangan besar.

Setelah Perjanjian Plaza? ditandatangani di Amerika Serikat, nilai tukar yen melonjak, sementara nilai dolar jatuh.

Harumi bergidik.

Ekonomi Jepang sangat bergantung pada industri ekspor.

Jika nilai tukar yen terus melonjak, Jepang bisa jatuh ke jurang resesi.

Di masa-masa ini Harumi sudah terjun dalam investasi saham.

Ia tahu jika situasi ekonomi lesu, nilai saham juga ikut jatuh.

Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah situasi ini berlawanan dengan prediksi Toko Kelontong Namiya? Perjanjian Plaza: kesepakatan antara Pemerintah Prancis, Jerman Barat, Jepang, Amerika Serikat, dan Britania Raya untuk melakukan depresiasi atas dolar Amerika Serikat terhadap yen Jepang dan mark Jerman.

Kesepakatan ini ditandatangani pada 22 September 1985 di Hotel Plaza, New York.

Untungnya situasi tidak berubah ke arah yang lebih buruk.

Pemerintah yang merasa takut akan terjadinya kemunduran ekonomi mengumumkan kebijakan penurunan tingkat suku bunga.

Mereka juga berinvestasi dalam proyek-proyek yang berkaitan dengan kepentingan umum.

Pada awal musim panas 1986, Harumi ditelepon oleh perusahaan properti tempat dia membeli apartemen.

“Sepertinya Anda belum tinggal di sana,” kata si agen, “kami hanya menelepon untuk bertanya apakah Anda punya rencana untuk pindah ke sana.” Harumi memberikan jawaban tidak jelas.

Agen tersebut berkata jika Harumi ingin menjual apartemen itu, mereka bersedia membelinya dari Harumi.

Kata-kata tersebut bagaikan petunjuk.

Pasar real estat mulai melonjak.

Harumi berkata bahwa ia tidak tertarik menjual apartemennya dan menutup telepon.

Setelah itu, ia bergegas menuju bank.

Ia berniat memastikan berapa uang yang bisa diterimanya dengan mengagunkan apartemennya di Yotsuya.

Beberapa hari kemudian, ia dibuat terkejut oleh laporan orang yang bertugas menaksir harga apartemennya.

Ternyata nilainya sudah meningkat lima puluh persen dari waktu ia membelinya.

Harumi buru-buru mengisi formulir pinjaman dana sekaligus mulai mencari properti lain.

Ia menemukan properti yang cocok di daerah Waseda dan langsung membelinya dengan uang pinjaman dari bank.

Tidak berapa lama kemudian, harga properti yang baru dibelinya itu pun ikut naik.

Harga naik begitu pesat sampai tingkat bunga pun tidak lagi dipikirkan.

Berikutnya, Harumi kembali mengagunkan properti baru ini untuk meminjam dana.

Atas rekomendasi pihak konsultan bank, ia mendirikan sebuah perusahaan karena akan lebih memudahkan dalam mengatur keuangannya.

Inilah awal lahirnya perusahaan “Office Little Dog”.

Kini Harumi yakin bahwa prediksi Toko Kelontong Namiya memang benar.

Hingga musim gugur tahun 1987, Harumi sudah beberapa kali membeli apartemen dan menjualnya kembali.

Dalam setahun harga semua properti itu naik nyaris tiga kali lipat.

Kenaikan ini boleh dibilang drastis jika dibandingkan dengan nilai saham yang juga ikut terdongkrak.

Akhirnya Harumi bisa mengucapkan selamat tinggal pada profesinya sebagai hostes.

Namun, ia memanfaatkan koneksi-koneksi yang ia dapatkan selama di kelab untuk membangun bisnis perencana acara.

Ia memikirkan tema-tema pesta dan mengirim para hostes ke sana.

Dunia sedang makmur dan di mana-mana selalu ada yang mengadakan pesta mewah.

Jasanya selalu dibutuhkan.

Memasuki tahun 1988, Harumi mulai menaksir harga semua properti, saham, dan investasi keanggotaan klub golf yang dimilikinya.

Ia mulai menyadari bahwa kenaikan harga sudah nyaris mencapai batas maksimum.

Meskipun kondisi pasar masih baik, lebih baik ia bermain aman.

Harumi percaya pada prediksi Toko Kelontong Namiya.

Perumpamaan permainan kartu Babanuki itu memang tepat.

Kalau dipikir-pikir, tidak mungkin ledakan ekonomi berlangsung selamanya.

Beberapa hari lagi tahun 1988 akan berakhir.

Akan seperti apa tahun berikutnya? Sambil merenungkan hal itu, Harumi pun terlelap.

Pesta Natal di kapal pesiar berakhir sukses.

Harumi merayakannya bersama para staf dengan minum-minum sampai pagi.

Ia tidak ingat berapa botol Dom Perignon Rose yang telah ia buka selama pesta berlangsung.

Keesokan harinya, Harumi terbangun di apartemennya di daerah Aoyama, kepalanya masih pengar.

Ia merangkak turun dari tempat tidur dan menyalakan TV yang sedang menyiarkan acara berita.

Sepertinya telah terjadi kebakaran di suatu tempat.

Harumi yang tadinya hanya termangu-mangu menatap layar TV tiba-tiba membelalak saat melihat tulisan yang terpampang di layar.

Di situ tertulis “Setengah bagian dari Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu dilalap api”.

Harumi buru-buru memasang telinga untuk menyimak, tapi berita itu sudah berakhir.

Ia mencoba mengganti ke saluran berita lain, tapi tidak ada yang menyiarkannya.

Ia pun bergegas berganti pakaian untuk mengambil surat kabar.

Apartemen tempat tinggalnya ini memang memiliki sistem keamanan canggih dengan pintu yang akan terkunci secara otomatis, tapi bagi Harumi tetap saja merepotkan karena untuk mengambil kiriman pos dan surat kabar ia jadi harus turun hingga ke lantai dasar.

Karena hari ini hari Minggu, surat kabar yang diterimanya cukup tebal, dipenuhi selebaran yang diselipkan ke dalamnya, sebagian besar tentang bisnis properti.

Mata Harumi menelusuri setiap sudut surat kabar, tapi tidak menemukan artikel tentang kebakaran di Taman Marumitsu.

Mungkin karena kejadiannya di luar kota.

Harumi menghubungi Hideyo.

Ia yakin berita itu pasti dimuat di surat kabar lokal.

Dugaannya tepat.

Hideyo bilang berita tentang kebakaran itu memang muncul di berita lokal.

Kebakaran itu terjadi pada malam tanggal 24 Desember.

Satu orang meninggal dan sepuluh orang menderita luka bakar ringan hingga berat.

Korban yang meninggal bukan penghuni panti, melainkan seorang musisi amatir yang dipanggil untuk meramaikan pesta.

Sebenarnya Harumi ingin segera berangkat ke Taman Marumitsu, tapi akhirnya memutuskan untuk menunggu karena belum tahu bagaimana situasi di sana.

Jika ia yang notabene orang luar memaksakan diri datang saat situasi masih kacau balau, bisa-bisa kehadirannya malah akan mengganggu.

Harumi meninggalkan Taman Marumitsu bertepatan dengan saat ia lulus SD.

Setelah itu ia masih beberapa kali berkunjung ke sana, begitu pula ketika melanjutkan pendidikan ke SMA vokasi dan sedang mencari pekerjaan.

Namun, ia tidak pernah lagi datang setelah bekerja sebagai hostes karena khawatir penampilannya atau gerak-geriknya akan menyiratkan bahwa ia bekerja di dunia hiburan malam.

Keesokan harinya, Hideyo menelepon ke kantor Harumi.

Rupanya informasi lanjutan tentang kebakaran itu muncul di surat kabar pagi.

Menurut artikel yang dimuat, para staf dan anak-anak di Taman Marumitsu harus mengungsi ke gedung olahraga milik SD terdekat.

Tinggal di aula di tengah dinginnya cuaca bulan Desember...

Membayangkannya saja sudah membuat Harumi menggigil.

Harumi meninggalkan kantor lebih awal dan mengendarai mobil BMW-nya menuju Taman Marumitsu.

Di tengah jalan, ia sempat mampir ke apotek dan membeli banyak kantong penghangat sekali pakai, obat flu, obat sakit perut, dan kebutuhan lainnya yang kemudian dimasukkan ke kardus.

Pasti tidak sedikit anak-anak penghuni rumah perlindungan yang kondisi badannya menurun.

Harumi juga membeli banyak makanan siap saji di supermarket di sebelah apotek karena tahu para staf pasti kerepotan menyiapkan makanan untuk anak-anak karena tidak ada dapur.

Setelah selesai menyimpan semua barang belanjaannya, Harumi kembali melaju dengan mobil BMW-nya.

Lagu dari Southern All Stars berjudul Minna no Uta—Lagu Semua Orang, mengalun dari radio mobil.

Itu lagu yang ceria, tapi hati Harumi tidak dipenuhi keceriaan.

Ia pikir tahun ini akan berjalan lancar, tapi ternyata menjelang akhir malah terjadi musibah seperti ini.

Kira-kira dua jam kemudian ia tiba di tempat kejadian.

Bangunan putih yang selama ini selalu terekam dalam kenangan Harumi kini menjadi semacam gumpalan hitam.

Walaupun ia tidak diizinkan mendekat karena petugas pemadam kebakaran dan polisi masih melakukan penyelidikan, Harumi bisa mencium aroma bara api dan jelaga dari tempatnya berdiri.

Gedung olahraga tempat para staf dan anak-anak mengungsi berjarak sekitar satu kilometer dari situ.

Direktur Taman Marumitsu, Minazuki Yoshikazu, terkejut sekaligus terharu oleh kunjungan Harumi.

“Terima kasih banyak karena sudah bersedia datang dari jauh.

Saya benar-benar tidak menyangka kau akan datang.

Ah, selain sudah dewasa, ternyata kau sudah jadi orang sukses dengan bisnis sendiri,” kata Minazuki sambil berkali-kali menatap kartu nama yang diberikan Harumi.

Mungkin akibat peristiwa kebakaran itu, Minazuki terlihat lebih kurus dibandingkan saat Harumi terakhir kali menemuinya.

Usia pria itu pasti sudah di atas tujuh puluh tahun.

Rambut putih tebal yang dulu memenuhi kepalanya pun kini tinggal sedikit.

Harumi memberikan kantong penghangat sekali pakai, obatobatan, dan makanan yang diterima Minazuki dengan gembira.

Rupanya makanan memang menjadi masalah utama bagi mereka.

“Jika ada hal lain yang Anda butuhkan, silakan beritahu saya.

Saya akan membantu sebisanya.” “Terima kasih.

Mendengar kata-kata itu saja sudah membuat saya lega.” Mata Minazuki terlihat basah.

“Pokoknya jangan segan-segan.

Saya ingin mengambil kesempatan ini untuk membalas budi.” “Terima kasih,” kata Minazuki sekali lagi.

Saat hendak pulang, Harumi bertemu dengan orang yang sudah lama tidak dilihatnya, Fujikawa Hiroshi, yang juga pernah tinggal di Taman Marumitsu.

Usianya empat tahun di atas Harumi dan dia meninggalkan rumah perlindungan setelah lulus SMP.

Dia juga orang yang membuatkan ukiran kayu anak anjing yang sampai sekarang masih dibawa ke mana-mana oleh Harumi layaknya jimat.

Dari situlah inspirasi nama Office Little Dog berasal.

Fujikawa kini seorang seniman ukiran kayu ternama.

Sama seperti Harumi, begitu mendengar berita tentang kebakaran itu, dia langsung bergegas datang.

Dia masih pendiam seperti dulu.

Selain kami, pasti masih banyak mantan penghuni Taman Marumitsu yang mencemaskan kebakaran ini, pikir Harumi setelah berpisah dengan Fujikawa Hiroshi.

Di awal Tahun Baru terjadi peristiwa besar, yaitu meninggalnya sang Kaisar.

Peristiwa ini sekaligus menjadi awal era baru yang disebut Era Heisei.

Untuk sementara waktu kehidupan sehari-hari masyarakat terasa sedikit berbeda dengan menghilangnya semua acara berbau hiburan dari TV dan ditundanya pertandingan pertama Turnamen Sumo Tahun Baru di Tokyo selama sehari.

Memanfaatkan suasana tenang itu, Harumi pergi mengunjungi Taman Marumitsu.

Ia bertemu Minazuki di sebuah kantor sederhana yang dibangun di luar gedung olahraga.

Walaupun anak-anak masih tinggal di gedung itu, proyek pembangunan tempat tinggal sementara telah dimulai.

Begitu tempat itu rampung, anak-anak akan dipindahkan lebih dulu ke sana, sementara proyek renovasi bangunan yang dulu akan diteruskan.

Mereka telah mengetahui penyebab kebakaran.

Menurut pihak pemadam kebakaran dan polisi, terjadi kebocoran gas yang berasal dari bagian ruang makan yang sudah rapuh.

Udara kering sepertinya telah memicu percikan api.

“Seharusnya bangunan ini direnovasi lebih awal,” kata Minazuki dengan ekspresi menyesal.

Sepertinya fakta bahwa peristiwa ini telah memakan korban jiwalah yang paling membuat Minazuki terguncang.

Musisi amatir yang meninggal dunia itu menolong seorang anak kecil yang terlambat menyelamatkan diri.

“Tentu saja kita semua menyesalkan itu, tapi bukankah kita juga beruntung karena semua anak selamat?” Harumi mencoba menghiburnya.

“Ya, benar juga.” Minazuki mengangguk.

“Mengingat banyaknya anak yang tidur di sana saat malam hari, satu kesalahan saja bisa menimbulkan musibah.

Karena itulah saya sempat bilang pada para staf bahwa mungkin direktur yang sebelumnya telah melindungi kami.” “Seingat saya direktur sebelumnya seorang wanita?” Samar-samar Harumi teringat akan seorang wanita tua berperawakan mungil dan memiliki raut wajah lembut.

Ia tidak ingat kapan wanita itu digantikan oleh Minazuki.

“Dia kakak perempuan saya.

Dialah yang mendirikan Taman Marumitsu.” Harumi menatap wajah Minazuki yang penuh keriput.

“Benarkah?” “Kau tidak tahu? Mungkin karena kau masih kecil saat datang ke sini.” “Ini pertama kali saya mendengarnya.

Tapi mengapa kakak Anda mendirikan rumah itu?” “Ceritanya panjang, tapi singkatnya, dia ingin membalas budi.” “Membalas budi?” “Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi sebenarnya nenek moyang kami adalah tuan tanah yang memiliki banyak aset.

Setelah ayah kami meninggal, harta warisannya diberikan pada kami.

Saya menginvestasikan bagian saya di perusahaan yang saya dirikan, tapi kakak saya menggunakan uang warisannya untuk mendirikan Taman Marumitsu bagi anak-anak yang tidak beruntung.

Dulu dia pernah bekerja sebagai guru di masa perang dan selalu memikirkan nasib anak-anak yang menjadi yatim-piatu.” “Kapan kakak Anda meninggal?” “Sembilan belas...

tidak, saya kira dua puluh tahun yang lalu.

Sejak lahir jantungnya memang lemah.

Dia meninggal dengan tenang dikelilingi oleh kami semua, seperti hanya tertidur.” Harumi menggeleng pelan.

“Maaf, saya benar-benar tidak tahu.” “Tidak apa-apa.

Keinginan terakhirnya sebelum meninggal adalah supaya anak-anak jangan diberitahu kalau dia sedang menjalani perawatan.

Saya menyerahkan urusan perusahaan pada putra saya dan segera mengambil alih tugas kakak saya, tapi untuk sementara waktu jabatan saya adalah direktur pelaksana.” “Lalu, apa maksud Anda soal kakak Anda yang melindungi kalian semua?” “Sebelum mengembuskan napas terakhir, kakak saya berbisik, Jangan khawatir.

Aku akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian dari atas langit.” Karena itulah saya lantas teringat.” Minazuki tersenyum sedikit malu.

“Yah, kesannya saya percaya pada hal mistis, ya?” tambahnya.

“Tidak, itu sungguh cerita yang indah.” “Terima kasih.” “Bagaimana dengan keluarga kakak Anda?” Minazuki mendesah sambil menggeleng.

“Kakak saya tidak pernah menikah.

Dia mendedikasikan seluruh hidupnya untuk pendidikan.” Wah, beliau orang yang luar biasa.” “Tidak, tidak, saya rasa kakak saya tidak akan suka disebut Tuar biasa”.

Dia hanya ingin hidup dengan melakukan apa yang dia sukai.

Dan, bagaimana denganmu? Punya rencana menikah? Atau kau sedang menjalin hubungan dengan seseorang?” Ketika topik pembicaraan mendadak beralih kepadanya, Harumi langsung tergagap.

“Tidak.

Saya sedang tidak menjalin hubungan apa pun,” katanya sambil mengibaskan tangan untuk menyangkal.

“Begitu? Jika seorang wanita terlalu fokus bekerja, dia akan kehilangan kesempatan untuk menikah.

Memiliki perusahaan memang bagus, tapi kau juga harus menemukan pria yang baik.” “Sayangnya, sama seperti kakak Anda, saya hanya ingin hidup dengan mengerjakan hal yang saya sukai.” Minazuki tergelak.

“Kau memang tangguh.

Tapi alasan kakak saya tidak menikah bukan semata karena ingin mendedikasikan diri pada pekerjaannya.

Sebenarnya saat masih muda, dia pernah satu kali menjalin hubungan dengan seorang laki-laki—mereka bahkan berencana kawin lari.” “Benarkah?” Cerita yang menarik.

Harumi sampai mencondongkan tubuhnya.

“Laki-laki itu usianya sepuluh tahun lebih tua daripada kakak saya.

Dia bekerja di sebuah pabrik kecil dan mereka saling kenal saat kakak saya minta bantuan untuk memperbaiki sepedanya.

Sejak itu mereka sering bertemu diam-diam saat jam istirahat pabrik karena saat itu seorang perempuan berjalan kaki dengan laki-laki saja bisa dijadikan bahan gosip.” “Soal rencana kawin lari, apakah karena orangtua Anda tidak menyetujui hubungan mereka?” Minazuki mengangguk.

“Ada dua alasan.

Pertama, karena kakak saya masih bersekolah di sekolah khusus wanita.

Tapi sebenarnya itu hanya masalah waktu.

Faktor paling krusial adalah alasan kedua.

Seperti yang tadi saya ceritakan, keluarga kami dulu adalah keluarga kaya raya.

Karena punya banyak uang, keluarga kami juga menginginkan reputasi terpandang.

Ayah kami ingin menikahkannya dengan putra keluarga terpandang lainnya.

Tentu saja seorang pekerja pabrik tanpa status tak akan dipertimbangkan oleh Ayah.” Raut wajah Harumi menegang sementara ia menunduk.

Cerita itu terjadi enam puluh tahun yang lalu, dan pasti sering terjadi pada masa itu.

“Jadi, apa yang terjadi dengan rencana kawin lari mereka?” Minazuki mengangkat bahu.

“Sudah pasti gagal.

Rencananya adalah kakak saya akan mampir ke sebuah kuil sepulang sekolah untuk berganti baju, kemudian menuju stasiun kereta.” “Berganti baju?” “Di rumah kami ada beberapa pelayan wanita, dan salah seorang di antaranya usianya sebaya dengan kakak saya.

Mereka juga berteman akrab.

Atas permintaan kakak saya, dia harus membawakan baju ganti ke kuil, yaitu kimono yang biasa dikenakan pelayan itu sendiri.

Tentu saja karena gaun bergaya Eropa yang dikenakan kakak terlalu mencolok.

Di lain pihak, pemuda pabrik itu akan menunggunya di stasiun dalam samaran.

Begitu mereka bertemu, mereka berniat melarikan diri dengan menaiki kereta uap.

Sebenarnya rencana itu cukup matang.” “Tapi ternyata tidak berhasil.” “Sayangnya, ketika kakak saya pergi ke kuil, yang menunggunya di sana bukan pelayan yang dimintai bantuan, melainkan seorang pria yang bekerja untuk ayah kami.

Rupanya pelayan yang dimintai bantuan itu ketakutan dan memberitahu seorang pelayan senior.

Makanya rencana kabur jadi berantakan.” Harumi bisa memahami perasaan pelayan muda itu.

Mengingat zaman itu, dia sama sekali tidak bisa disalahkan.

“Lalu kekasihnya...

Apa yang terjadi pada pemuda itu?” “Ayah saya menyuruh bawahannya menyampaikan sepucuk surat untuknya di stasiun.

Isi surat itu adalah “Lupakan aku' Surat itu ditandatangani dengan nama kakak saya.” “Apakah ayah Anda menyuruh seseorang untuk menulis surat palsu?” “Tidak, bukan begitu.

Kakak saya sendiri yang menulisnya.

Dia melakukannya karena Ayah menyuruhnya untuk melepaskan pemuda itu.

Dia hanya bisa menurutinya karena Ayah juga punya pengaruh di kepolisian.

Kalau mau, Ayah bisa menyuruh pemuda itu dipenjarakan.” “Setelah membaca surat itu, apa yang terjadi pada pemuda itu?” Minazuki menelengkan kepala.

“Entahlah.

Yang jelas dia meninggalkan kota.

Dia memang bukan penghuni asli.

Sempat beredar gosip dia pulang ke kampung halamannya, tapi entah benar atau tidak.

Lagi pula saya hanya pernah bertemu dengannya satu kali.” “Oh ya? Apa yang terjadi?” “Kejadiannya tiga tahun kemudian.

Saat itu saya masih pelajar.

Saya keluar dari rumah dan sedang berjalan ke sekolah ketika seseorang menyapa dari belakang.

Saya berbalik dan melihat seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahun.

Ketika kehebohan soal rencana kawin lari itu terjadi, saya sama sekali tidak tahu wajah kekasih Kakak, jadi saya tidak mengenali siapa yang ada di hadapan saya.

Dia menyerahkan sepucuk surat dan berpesan supaya surat itu diberikan pada Akiko-san...

Akiko itu nama kakak saya.

Ditulis dengan huruf “Akatsuki” dan “Ko' dari “Kodomo'?.” “Apakah dia tahu Minazuki-san adalah adik kekasihnya?” “Saya tidak yakin, tapi mungkin dia memang sudah mengikuti saya sejak dari rumah.

Melihat saya ragu-ragu, dia bilang saya boleh membaca surat itu jika merasa ada yang mencurigakan, bahkan dia juga bilang boleh saja memperlihatkannya pada kedua orangtua kami.

Yang penting Akiko-san harus membaca surat itu.

Akhirnya saya menerima surat itu.

Kalau boleh jujur, saya ingin sekali membacanya.” “Jadi Anda membacanya?” “Tentu saja, apalagi amplop surat itu tidak disegel.

Saya membacanya di tengah perjalanan ke sekolah.” “Apa isi surat itu?” “Itu...” Minazuki terdiam, menatap Harumi dengan ekspresi merenung.

Kemudian dia menepuk lututnya.

“Daripada saya jelaskan, lebih cepat kalau diperlihatkan,” gumamnya.

“Eh? Memperlihatkan...?” “ Akatsuki” berarti “fajar”.

“Kodomo” berarti “anak”.

“Tunggu sebentar.” Minazuki membuka salah satu dari tumpukan kardus yang ada di sebelahnya, lalu mulai mencari-cari sesuatu.

Di sisi kardus itu tertulis “Kantor Direktur” menggunakan spidol.

“Karena ruang kerja saya letaknya agak jauh dari ruang makan yang menjadi sumber kebakaran, nyaris tidak ada kerusakan yang berarti.

Saya sengaja membawa barang-barang ini kemari dengan niat membereskannya.

Barang peninggalan kakak saya juga masih ada.

Ah, ketemu!” Minazuki mengeluarkan sebuah kotak persegi.

Dia membuka tutupnya di depan Harumi.

Di dalam kotak itu ada beberapa buku catatan serta foto.

Minazuki mengeluarkan salah satu amplop dan meletakkannya di hadapan Harumi.

Di bagian depannya tertulis “Untuk Nona Minazuki Akiko”.

“Silakan baca,” kata Minazuki.

“Sungguh?” “Tidak masalah.

Surat ini memang ditulis supaya bisa dibaca oleh siapa saja.” “Baiklah, kalau begitu.” Di dalam amplop itu ada sehelai kertas surat putih yang dilipat.

Harumi membukanya dan melihat sederetan huruf yang ditulis dengan pena.

Tulisan tangannya rapi dan indah, sama sekali berbeda dengan citra seorang pekerja pabrik.

Kepada Yang Terhormat, Sebelumnya saya mohon maaf karena tiba-tiba mengirim surat seperti ini.

Saya melakukannya karena khawatir jika dikirimkan lewat pos biasa, ada kemungkinan surat ini akan dibuang sebelum sempat dibaca.

Akiko-san, apa kabar? Saya Namiya yang tiga tahun lalu bekerja di Pabrik Kusunoki.

Mungkin Anda sudah melupakan nama saya, tapi saya akan sangat bahagia jika Anda bersedia membaca surat ini sampai akhir.

Tujuan saya menulis surat ini tidak lain untuk meminta maaf.

Sebelumnya sudah beberapa kali saya berniat melakukannya, tapi gagal karena pada dasarnya saya memang seorang pengecut.

Akiko-san, sekali lagi saya mohon maaf.

Saya sungguh-sungguh menyesali kebodohan besar yang telah saya lakukan.

Jika mengingat kembali ulah saya yang telah mengacaukan pikiran Anda yang waktu itu masih seorang siswi, dan bagaimana tindakan saya itu nyaris membuat Anda terpisah dari orangtua, perbuatan saya benar-benar suatu kejahatan besar.

Tidak ada alasan untuk menyangkalnya.

Pilihan Anda waktu itu memang tepat.

Meskipun ada kemungkinan Anda melakukannya karena didorong oleh orangtua, saya justru harus berterima kasih pada mereka karena saya nyaris saja melakukan sebuah kesalahan fatal.

Saat ini saya bertani di kampung halaman saya.

Tidak ada satu pun bari yang terlewatkan tanpa mengenang Anda.

Meskipun singkat, hari-hari yang saya lalui bersama Anda adalah saat-saat paling sempurna dalam hidup saya, tapi di saat yang sama saya juga tak pernah berhenti menyesal.

Membayangkan bahwa tindakan saya waktu itu mungkin telah melukai Anda membuat tidur saya tidak nyenyak.

Akiko-san, semoga Anda berbahagia.

Saat ini hanya itu yang bisa saya doakan.

Saya juga berharap kelak takdir akan mempertemukan Anda dengan seorang pria yang baik.

Teriring salam untuk Nona Minazuki Akiko.

Namiya Yuji Harumi mendongak.

Tatapannya berserobok dengan Minazuki.

“Bagaimana?” tanya Minazuki.

“Sepertinya dia laki-laki yang baik.” Minazuki mengangguk mendengar komentar itu.

“Saya pikir juga begitu.

Jelas dia telah merenungkan banyak hal setelah rencana kawin lari itu gagal.

Saya mengira dia akan menyimpan dendam pada orangtua kami dan kecewa akibat pengkhianatan kakak saya.

Tapi setelah mengingatnya kembali tiga tahun kemudian, dia justru bisa menerimanya.

Meskipun demikian, dia sadar bahwa dia perlu meminta maaf secara pantas pada kakak saya, karena Jika tidak, tindakannya itu akan meninggalkan luka di hati kakak.

Dia tidak ingin kakak saya menyalahkan diri sendiri karena telah mengkhianati kekasihnya.

Itulah alasan dia menulis surat seperti ini.

Karena memahami perasaannya, saya serahkan surat itu pada Kakak, tentu saja tanpa sepengetahuan orangtua kami.” Harumi mengembalikan kertas surat itu ke dalam amplop.

“Jadi kakak Anda selalu menyimpan surat ini?” “Benar.

Saat saya menemukan surat ini di meja kerjanya setelah dia meninggal, jantung saya serasa jungkir balik.

Rupanya pria inilah alasan dia terus hidup seorang diri.

Sampai saat terakhir, dia tidak pernah mencintai laki-laki lain dan sebagai gantinya, dia mengabdikan hidupnya untuk Taman Marumitsu.

Menurutmu mengapa dia mendirikan rumah perlindungan anak di lahan ini? Sebenarnya lahan ini bukan milik keluarga kami, tapi saya rasa mungkin karena lokasinya yang dekat dengan kampung halaman laki-laki itu—walau kakak saya tidak pernah bilang begitu.

Saya tidak tahu alamat tepat laki-laki itu, tapi berdasarkan percakapan kami, saya rasa memang di sekitar sini.” Harumi menggeleng pelan sambil mendesah kagum.

Ia menyayangkan bahwa kedua orang itu tidak bisa bersatu, tapi pada saat yang sama ia juga merasa iri karena Akiko bisa mencintai seorang pria dengan begitu mendalam.

“Di saat terakhirnya, Kakak memang bilang akan selalu mendoakan kebahagiaan kami dari atas langit, tapi saya percaya dia juga selalu menjaga laki-laki ini yang kini entah tinggal di mana, jika dia masih hidup.” Raut wajah Minazuki terlihat serius.

“Yah, mungkin saja,” kata Harumi, sementara pikirannya tertuju pada sesuatu.

Nama laki-laki pengirim surat itu.

Namiya Yiji.

Selama berkorespondensi dengan Toko Kelontong Namiya, Harumi tidak pernah mengetahui nama asli pemiliknya.

Hanya berdasarkan cerita Shizuko dia yakin bahwa usianya sudah cukup tua di tahun 1980.

Kalau dikaitkan dengan sosok dari cerita Minazuki, sepertinya mereka sebaya.

“Ada apa?” “Ah, tidak apa-apa.” Harumi mengibaskan tangan.

“Yah, tentu saja kami tidak akan semudah itu membiarkan rumah perlindungan anak yang telah dirintis oleh kakak saya sejauh ini berakhir begitu saja.

Bagaimanapun, kami pasti akan membangun ulang,” kata Minazuki mengakhiri pembicaraan.

“Semoga berhasil.

Saya akan mendukung Anda,” kata Harumi sambil mengembalikan amplop tadi.

Mendadak, tatapannya tertuju pada tulisan “Kepada Nona Minazuki Akiko” di bagian depan.

Dia yakin tulisan itu jauh berbeda dengan surat-surat yang diterimanya dari Toko Kelontong Namiya.

Rupanya hanya kebetulan...

Harumi memutuskan untuk tidak memikirkannya lebih jauh.

Begitu bangun, Harumi langsung bersin-bersin hebat.

Ditariknya selimut handuk hingga sebatas bahu.

AC kamarnya terlalu dingin.

Ia memang menurunkan sedikit temperaturnya karena semalam udara terasa panas, tapi malah lupa mengembalikannya ke posisi semula sebelum tidur.

Buku yang sedang dibacanya tergeletak di tepi bantal, sedangkan lampu meja dalam keadaan menyala.

Bekernya menunjukkan waktu sudah menjelang pukul 07.00.

Ia sudah menyetel alarm supaya berbunyi tepat pukul 07.00, tapi ia jarang mendengar bunyinya karena tepat sebelum alarm berbunyi, ia pasti sudah bangun dan mematikannya.

Harumi mengulurkan tangan untuk mematikan alarm, lalu memaksa dirinya meninggalkan tempat tidur.

Cahaya musim panas menembus dari sela-sela tirai jendela.

Kelihatannya udara hari ini akan panas.

Ia berjalan ke toilet lalu menuju wastafel.

Ia tertegun menatap bayangan wajah dirinya yang terpantul pada cermin besar.

Entah mengapa ia merasa seperti berusia dua puluhan, tapi nyatanya yang ada di cermin itu adalah wajah seorang wanita berusia 51 tahun.

Harumi menatap cermin dengan bingung.

Mungkin perasaan itu muncul akibat mimpi yang dialaminya semalam.

Meskipun tidak bisa mengingat detailnya, samar-samar ia ingat bermimpi tentang dirinya di masa muda.

Direktur Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu juga muncul dalam mimpi itu.

Ia bisa menebak apa penyebab mimpi itu.

Yang disesalinya adalah ia tidak bisa mengingat detailnya.

Harumi menatap wajahnya sendiri dan mengangguk.

Ia tidak bisa menghindari kulit yang mengendur dan keriput yang muncul.

Ia tidak merasa malu karena itu adalah bukti kerja kerasnya selama ini.

Setelah mencuci wajah, Harumi memoleskan riasan sambil memeriksa beragam informasi di tabletnya lalu mulai sarapan.

Semalam, ia membeli roti lapis dan jus sayuran.

Ia tidak ingat kapan terakhir kali memasak makanannya sendiri karena di malam hari ia lebih sering makan di luar.

Setelah semuanya siap, ia meninggalkan apartemennya pada jam seperti biasa.

Kali ini ia mengendarai mobil hybrid berukuran kecil produksi dalam negeri karena sudah bosan dengan mobil mewah besar dari luar negeri.

Harumi mengemudikan sendiri mobilnya dan tiba di Roppongi pada pukul 08.30 lebih sedikit.

Ia memarkir mobil di tempat parkir bawah tanah gedung kantor sepuluh lantai itu.

Ketika hendak menuju pintu masuk utama, terdengar suara laki-laki memanggilnya, “Direktur! Direktur Muto!” Seorang pria gemuk berkaki pendek yang mengenakan kemeja polo berwarna abu-abu tergopoh-gopoh menghampirinya.

Wajah pria itu tidak asing, tapi Harumi tidak ingat siapa dia.

“Direktur Muto, saya mohon.

Bisakah Anda pertimbangkan kembali soal Sweets Pavillion?” “Sweets? Oh...” Kini Harumi ingat.

Pria ini adalah direktur toko kue manji.

“Satu bulan.

Bisakah Anda memberi kami satu bulan lagi? Saya pasti bisa membangunnya kembali.” Pria itu membungkuk dalam-dalam.

Deretan rambut tipis melapisi kepalanya, mirip barcode.

Kepalanya berkilau seperti kue manja isi kenari produksi perusahaannya.

“Apakah Anda lupa kesepakatan kita? Jika popularitas toko berada di peringkat terbawah selama beberapa bulan berturutturut, kami berhak meminta Anda keluar.

Itu sudah tertulis dalam kontrak.” “Saya tahu.

Justru karena itulah saya mohon supaya diberi waktu sebulan lagi.” “Tidak bisa.

Kami sudah mendapat penyewa lain.” Harumi melenggang pergi.

“Saya akan berusaha.” Direktur toko manju yang belum menyerah mencoba mengikuti Harumi.

“Saya percaya kali ini pasti akan membuahkan hasil.

Saya yakin itu.

Tolong beri kami kesempatan sekali lagi.” Petugas keamanan datang karena mendengar keributan.

“Ada apa?” “Dia orang luar.

Tolong minta dia keluar dari sini.” Ekspresi sang petugas berubah.

“Siap.” “Tidak, tunggu dulu! Saya bukan orang luar.

Kami partner bisnis.

Direktur! Direktur Muto!” Harumi bisa mendengar teriakan direktur toko manjii itu saat berjalan ke arah lift.

Lantai lima dan lantai enam gedung ini digunakan sebagai kantor Perusahaan Little Dog.

Sembilan tahun lalu ia pindah ke sini dari Shinjuku.

Ruangan direktur ada di lantai enam.

Di sinilah Harumi biasa menggunakan komputer sehari-hari.

Sekali lagi, ia memeriksa serta menyortir semua informasi yang masuk, dan kembali dibuat jengkel oleh banyaknya e-mail tidak jelas yang diterimanya.

Sebetulnya ia sudah memasang sistem penyaring, tapi tetap saja banyak e-mail omong kosong membanjiri kotak masuknya.

Waktu menunjukkan pukul 09.00 lebih sedikit saat Harumi selesai membalas beberapa e-mail.

Ia mengangkat gagang telepon internal kantor dan menekan nomor ekstensi.

Telepon itu langsung tersambung.

“Selamat pagi.” Ia bisa mendengar suara manajernya, Sotojima.

“Kau bisa ke sini?” “Baik.” Sotojima muncul semenit kemudian.

Pria itu mengenakan kaus lengan pendek.

Seperti tahun lalu, perusahaan mereka mencoba mengurangi pemakaian AC.

Harumi menceritakan insiden di tempat parkir.

Sotojima hanya bisa tertawa getir.

“Orang itu, ya? Aku sudah dengar dari supervisor.

Katanya dia sibuk memohon-mohon padanya juga.

Tapi aku kaget beraniberaninya dia mencoba bernegosiasi langsung dengan Anda.” “Apa maksudmu? Bukannya kau bilang kau sudah berbicara dengan mereka dan mereka setuju untuk meninggalkan tempat itu?” “Memang, tapi kelihatannya direktur toko manja itu belum mau menyerah.

Kudengar jumlah pengunjung di toko pusatnya menurun drastis dan kondisi mereka saat ini cukup mengenaskan.” “Aku menyesal mendengarnya, tapi kita juga harus memikirkan bisnis.” “Anda betul.

Makanya, menurut saya tak ada yang perlu dipikirkan,” kata Sotojima ringan.

Dua tahun lalu, saat akan diadakan pembaharuan sebuah pusat perbelanjaan di daerah Teluk Tokyo, Harumi dan perusahaannya diundang untuk memberikan pendapat apakah lokasi itu bisa digunakan secara lebih efektif.

Awalnya lokasi itu diubah menjadi tempat mengadakan konser musik atau semacamnya, tapi penerapannya kurang lancar.

Harumi langsung melakukan riset dan analisis.

Kesimpulannya adalah: lebih baik jika mereka membangun semacam pusat toko-toko manisan.

Mereka akan mengumpulkan beberapa toko permen dan camilan manis, serta kafe yang kemudian ditempatkan di lokasi bekas pusat perbelanjaan ini.

Tidak hanya itu, ia juga menghubungi toko-toko permen dan camilan manis di seluruh Jepang agar mau mengisi tempat ini dengan toko-toko cabang mereka.

Maka berdirilah Sweets Pavilion.

Lebih dari tiga puluh toko beroperasi di sana sejauh ini.

Berkat promosi gencar-gencaran lewat TV dan majalah wanita, proyek ini pun sukses besar.

Nilai penjualan yang meningkat ikut mendongkrak penjualan di toko-toko utama, tanpa terkecuali.

Namun, mereka tidak boleh lengah, karena menjual produk yang sama bisa menimbulkan kejenuhan.

Yang terpenting adalah menarik pengunjung agar tetap kembali.

Karena itulah mereka harus mengganti toko yang ada secara teratur dengan menggunakan sistem popularitas.

Mereka mengadakan semacam survei kepada para pengunjung dan memperingatkan toko-toko yang mendapat hasil survei kurang baik.

Kadang-kadang, ada toko yang diminta keluar.

Tidak heran jika setiap bulan toko-toko itu harus berjuang mati-matian.

Bagi mereka, toko lain adalah rival.

Direktur toko manja tadi memiliki toko utama di kampung halaman Harumi.

Ketika rencana ini dimulai, Harumi mengundang toko manja itu ikut serta karena berpikir, “Demi kemajuan kampung halamanku.” Toko manja tersebut menerima tawaran itu dengan senang hati.

Namun, ternyata hasil penjualan manjis isi kenari yang diproduksinya tidak begitu bagus.

Bahkan belakangan popularitas tokonya berada di peringkat paling bawah.

Dalam kondisi seperti ini, mereka tertinggal jauh dari toko-toko lain dan malah menyeret toko lain jadi ikut terkesan buruk.

Memang, saat berbisnis, kita tidak boleh melibatkan perasaan.

Inilah yang membuat dunia bisnis begitu keras.

“Oh ya, bagaimana dengan animasi 3D itu?” tanya Harumi.

“Apakah bisa digunakan?” Sotojima mengernyit.

“Saya sudah menonton video demonya.

Secara teknis lumayan, tapi sulit ditonton mengingat ukuran layar smartphone yang kecil.

Bagaimana jika nanti Anda melihatnya sendiri setelah mereka membuat versi yang sudah dikembangkan?” “Akan kulakukan.

Tidak apa-apa, aku hanya penasaran.” Harumi tersenyum.

“Itu saja dariku.

Bagaimana denganmu? Ada yang perlu dilaporkan?” “Tidak.

Semua hal penting sudah saya kirimkan lewat e-mail.

Tapi ada sesuatu yang agak menarik.” Sotojima melemparkan tatapan penuh arti.

“Soal rumah perlindungan anak.” “Itu proyek pribadi.

Tidak ada kaitannya dengan perusahaan.” “Sebagai orang dalam perusahaan, saya paham.

Tapi tidak terlihat seperti itu dari mata orang luar.” “Apakah ada masalah?” Sotojima mengerutkan bibir.

“Ada yang menghubungi kita soal itu.

Mereka ingin tahu apa rencana perusahaan kita terhadap Taman Marumitsu.” Harumi mengernyit sambil menggaruk-garuk pangkal poninya.

“Asraga...

Kenapa bisa sampai begitu?” “Karena Anda terlalu mencolok, Direktur.

Bahkan hal wajar sekalipun akan terlihat tidak wajar jika Anda yang melakukannya.

Berhati-hatilah.” “Apa kau menyindirku?” “Bukan.

Saya hanya menyampaikan fakta,” kata Sotojima tenang.

“Baiklah.

Sudah cukup.” Sotojima pamit, lalu meninggalkan ruangan.

Harumi bangkit dan berdiri di dekat jendela.

Ruangan ini tidak bisa dibilang tinggi karena terletak di lantai enam.

Sebenarnya mereka bisa pindah ke lantai yang lebih tinggi, tapi ia membatalkan niat untuk membelinya karena tidak mau menjadi terlalu angkuh.

Meskipun demikian, hanya dengan melihat keluar jendela seperti ini saja sudah membuatnya merasa sangat jauh dari titik ia mulai dulu.

Mendadak, ingatannya tentang apa yang telah terjadi selama dua puluh tahun terakhir kembali muncul.

Ia sadar betapa pentingnya membangun bisnis mengikuti perkembangan zaman, meskipun kadang itu membuatnya merasa dunianya jungkir balik.

Pada bulan Maret 1990, Menteri Keuangan Jepang memberlakukan kebijakan pembatasan pemberian dana dari institusiinstitusi keuangan demi meredam naiknya harga properti, yang disebut juga pembatasan perdagangan dalam volume besar.

Hal itu perlu dilakukan karena harga lahan ikut naik sampai pegawai kantor biasa kesulitan memiliki rumah pribadi.

Bukan hanya Harumi yang meragukan apakah kebijakan ini sanggup meredam kenaikan harga.

Pihak media massa pun menyebutnya sebagai “menyiramkan air ke batu yang terbakar”? karena sebenarnya harga tanah tidak akan jatuh secepat harapan.

Kebijakan itu akhirnya menghancurkan struktur ekonomi Jepang.

Pertama, harga saham Nikkei mulai turun.

Ditambah lagi serangan Irak ke Kuwait pada bulan Agustus mengakibatkan harga minyak mentah melonjak dan memicu resesi ekonomi.

Akhirnya harga lahan pun jatuh.

Namun, di dunia ini mitos tentang tanah masih eksis dan banyak orang percaya bahwa situasi seperti sekarang tidak akan Yakeishi ni mizu.

Peribahasa yang berarti bantuan atau usaha sangat kecil yang tidak berpengaruh apa-apa.

berlangsung lama.

Di akhir tahun 1992-lah mereka baru menerima kenyataan bahwa pesta sudah berakhir.

Harumi yang berpegang pada prediksi dari Toko Kelontong Namiya sadar bahwa keuntungan dari investasi di bidang properti hanya sampai di sini saja.

Karena itu sebelum tahun 1989, ia sudah menjual semua propertinya, begitu pula dengan saham dan keanggotaan klub golf.

Dalam permainan kartu Babanuki kali ini Harumi berhasil keluar sebagai pemenang karena berhasil memperoleh keuntungan ratusan juta yen di tengah situasi yang disebut “gelembung ekonomi” ini.

Di saat mata dunia mulai terbuka akan situasi tersebut, Harumi sudah mulai memancangkan antena baru.

Ia percaya pada kata-kata Toko Kelontong Namiya bahwa komputer dan telepon genggam akan menjadi sarana informasi terbaru.

Selain prediksi tentang telepon genggam yang benar-benar menjadi kenyataan, perangkat komputer pun mulai digunakan dalam setiap rumah tangga.

Mustahil ia tidak memanfaatkan tren yang sedang berlangsung ini.

Dengan menggunakan komputer sebagai sarana komunikasi, Harumi membayangkan betapa luasnya dunia impian yang terbentang di hadapannya.

Bayangan itu mendorongnya untuk belajar giat dan mengumpulkan informasi terbaru.

Ketika pemakaian internet mulai meluas tahun 1995, Harumi mempekerjakan beberapa mahasiswa dari Fakultas Ilmu Komputer.

Masing-masing mendapatkan satu unit komputer dan diminta memikirkan ide apa saja yang bisa dilakukan menggunakan internet.

Para mahasiswa itu menghabiskan waktu sepanjang hari di depan komputer.

Office Little Dog mengembangkan sayap pertamanya ke bisnis online dengan mendesain situs web.

Sebagai langkah pertama, mereka mendesain sebuah situs web untuk diri mereka sendiri dan mengiklankan jasa mereka.

Sebuah surat kabar menulis artikel tentang mereka, dan responsnya luar biasa.

Alhasil, mereka mulai mendapat pesanan untuk membuat situs, baik dari klien perusahaan maupun individu.

Meskipun saat itu belum semua orang bisa mengakses internet, di zaman resesi seperti ini, harapan akan media iklan yang baru sangat tinggi.

Pesanan untuk membuatkan situs pun terus berdatangan.

Selama beberapa tahun ke depan, Office Little Dog berhasil meraup keuntungan dengan mudah.

Sejumlah iklan yang mereka buat menggunakan sarana internet, mulai dari iklan penjualan sampai promosi game, semuanya sukses besar.

Memasuki tahun 2000, Harumi mulai memikirkan ide pengembangan bisnis berikutnya.

Ia lantas mendirikan divisi konsultan.

Ia terinspirasi saat menerima pesan dari kenalannya yang memiliki bisnis restoran.

Karena penjualan yang tidak meningkat, restoran itu mengalami masalah keuangan.

Harumi memiliki kualifikasi nasional sebagai konsultan untuk perusahaan kecil hingga menengah.

Ia lantas mempekerjakan staf penuh waktu dan mulai melakukan riset.

Kesimpulan yang didapat adalah: restoran itu seharusnya tidak hanya fokus pada iklan, tapi juga memperbaiki interior ruangan dan memiliki konsep hidangan yang lebih jelas.

Pihak restoran lantas mengadakan pembaharuan berdasarkan nasihat mereka, dan ternyata sukses besar.

Hanya tiga bulan setelah dibuka kembali, orang-orang harus antre jika ingin memesan tempat di sana.

Harumi pun yakin bahwa jasa konsultasi akan menghasilkan uang, tapi tidak boleh dilakukan dengan setengah-setengah.

Siapa saja bisa meneliti penyebab sebuah usaha bisnis tidak menghasilkan keuntungan, tapi dibutuhkan usaha drastis untuk memperpanjang usia usaha tersebut.

Untuk itulah ia memutuskan merekrut orang-orang berbakat dari luar.

Terkadang, tim Harumi berperan aktif dalam pengembangan produk klien, tapi terkadang mereka tidak segan-segan mengusulkan pengurangan pegawai.

Perusahaan Litile Dog terus berkembang dengan divisi IT dan divisi konsultan sebagai dua pilar utama.

Jika menoleh kembali ke belakang, kesuksesan perusahaan itu memang terlalu mencolok.

Banyak orang berkomentar bahwa “Muto-san adalah seorang visioner.” Memang ada benarnya, tapi tanpa surat dari Toko Kelontong Namiya, mustahil semuanya akan berjalan sedemikian lancar.

Karena itulah Harumi bertekad untuk membalas budi, kalau ada kesempatan.

Bicara soal balas budi, tentu saja ia tidak melupakan Taman Marumitsu.

Tahun ini ia mendengar kabar burung bahwa tempat itu sedang mengalami masalah pengelolaan.

Setelah diselidiki, ternyata berita itu benar.

Direktur Minazuki meninggal dunia pada tahun 2003, dan sepertinya putra sulungnya yang memiliki bisnis pengangkutan barang tidak bisa memberikan perhatian sepenuhnya pada Taman Marumitsu karena bisnisnya sendiri sedang mengalami defisit besar.

Harumi segera menghubungi Taman Marumitsu.

Saat itu posisi direktur memang dijabat oleh putra sulung almarhum Minazuki, tapi orang yang sebenarnya memegang kendali pengelolaan adalah Wakil Direktur Kariya.

Harumi berkata bahwa Kariya boleh memberitahunya jika ada yang bisa ia lakukan, bahkan ia bersedia berinvestasi jika diperlukan.

Namun, Kariya sama sekali tidak tergerak.

Bahkan dia berkata sebisa mungkin tidak ingin mengandalkan bantuan orang lain dengan nada bicara seakan-akan tidak ada masalah besar yang sedang terjadi.

Merasa menemui jalan buntu, Harumi mendatangi keluarga Minazuki dan bertanya apakah dirinya diizinkan mengelola Taman Marumitsu.

Namun, jawaban yang diterimanya kurang lebih sama karena “tempat itu kini dikelola oleh Kariya-san.” Harumi mencoba menyelidiki tentang Taman Marumitsu dan menemukan bahwa selama beberapa tahun terakhir ini jumlah staf tetap telah berkurang hingga setengahnya, tapi anehnya, jumlah staf paruh waktu dengan jabatan-jabatan tidak jelas relatif banyak.

Belum lagi, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka sungguh pernah bekerja di sana.

Kini Harumi sadar bahwa ada sesuatu yang tidak beres setelah Direktur Minazuki meninggal dunia.

Sepertinya telah terjadi penggelapan dana bantuan di sana dan jelas tersangka utamanya adalah Kariya.

Kariya menolak tawaran investasi dari Harumi karena tidak ingin perbuatannya ketahuan.

Setelah beberapa lama, Harumi semakin kesulitan untuk berpura-pura tidak tahu.

Ia harus melakukan sesuatu.

Harumi mulai berpikir bahwa hanya dirinyalah yang bisa menyelamatkan Taman Marumitsu.

Informasi itu didapatkan Harumi secara kebetulan.

Ia sedang menelusuri internet menggunakan smartphone ketika tidak sengaja menemukan artikel yang berbunyi, “Toko Kelontong Namiya: Sesi Konsultasi Terbatas.

Hanya Semalam.” Toko Kelontong Namiya...

Jelas Harumi belum melupakannya.

Tidak, Harumi tidak akan pernah bisa melupakannya.

Ia langsung memeriksa informasi itu lebih detail dan akhirnya menemukan situs aslinya.

Di situ tertulis: Pada tanggal 13 September, sesi konsultasi Toko Kelontong Namiya akan dibuka lagi mulai pukul 00.00 sampai menjelang fajar.

Bagi Anda yang pernah berkonsultasi dan menerima surat balasan, saya ingin sekali mengetahui pengaruh surat tersebut terhadap kehidupan Anda.

Apakah jawaban itu membantu Anda? Atau justru tidak? Saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia memberikan pendapat secara jujur.

Sama seperti dulu, silakan masukkan surat Anda lewat lubang surat di pintu gulung toko.

Semoga Anda berkenan melakukannya.

Sulit dipercaya.

Ia tidak menyangka masih bisa melihat nama toko itu di era sekarang.

Lalu apa maksudnya dengan “Sesi Konsultasi Terbatas.

Hanya Semalam.”? Pengelola situs itu ternyata cicit almarhum si pemilik toko, tapi dia tidak menuliskan informasi lebih lengkap selain sesi ivu diadakan dalam rangka 33 tahun meninggalnya sang kakek buyut.

Awalnya Harumi curiga ini hanya ulah iseng seseorang, tapi apa untungnya melakukan ini? Memangnya berapa orang yang akan menyadari keberadaan informasi ini? Hal yang paling membuat hatinya tergerak adalah tanggal meninggal sang pemilik toko.

13 September.

Pada tanggal itulah, 32 tahun yang lalu, ia mendapat kesempatan terakhir untuk mengirim surat kepada Toko Kelontong Namiya.

Kini Harumi percaya bahwa acara yang disebutkan itu benarbenar ada, bukan sekadar keisengan.

Itu berarti ia tidak boleh berdiam diri karena ia percaya dirinya termasuk salah satu dari orangorang yang harus menulis surat itu.

Surat tanda terima kasih.

Namun, ia harus memastikan beberapa hal terlebih dulu.

Apakah Toko Kelontong Namiya masih ada? Bagaimana situasinya sekarang? Walau dalam setahun Harumi beberapa kali pergi ke rumah keluarga Tamura, ia tidak pernah lagi mengunjungi toko itu.

Harumi hendak pergi ke Taman Marumitsu untuk menghadiri pertemuan yang membahas rencana pengambilalihan tempat itu.

Ia akan mampir ke Toko Kelontong Namiya dalam perjalanan pulang nanti.

Seperti biasa, Wakil Direktur Kariya yang menghadiri pertemuan itu.

“Saya sudah diberi hak penuh oleh pasangan Minazuki untuk mengurus masalah ini.

Sampai sekarang mereka tidak pernah terlibat dalam segala urusan administrasinya,” jelas Kariya, alisnya yang tipis berkedut ketika bicara.

“Bagaimana kalau Anda tunjukkan laporan keuangan tempat ini kepada mereka? Siapa tahu mereka akan berubah pikiran.” “Tanpa perlu disuruh Anda pun, saya selalu melapor secara teratur.

Seperti tadi saya bilang, mereka telah menyerahkan semua urusan kepada saya.” “Begitu ya.

Boleh saya lihat laporannya?” “Tidak bisa.

Anda orang luar.” “Kariya-san, tolong pikirkan dengan jernih.

Kalau begini terus, Taman Marumitsu akan hancur.” “Anda tak perlu khawatir.

Kami akan berusaha mengatasinya dengan kekuatan kami sendiri.

Silakan Anda pulang.” Kariya menunduk, menunjukkan rambutnya yang tersisir rapi ke belakang.

Hari ini Harumi memutuskan untuk mundur, tapi bukan berarti ia akan menyerah.

Bagaimanapun, ia harus berusaha meyakinkan pasangan Minazuki.

Ia berjalan ke tempat parkir dan mendapati beberapa gumpalan lumpur menempel di mobilnya.

Harumi menatap ke sekelilingnya.

Tampak beberapa anak menatapnya secara sembunyisembunyi dari atas pagar.

Ya ampun...

Harumi mendesah.

Kelihatannya mereka menganggapnya orang jahat.

Tidak salah lagi, pasti Kariya menghasut anak-anak itu.

Harumi menjalankan mobilnya yang berselimut lumpur.

Saat melirik kaca spion, anak-anak tadi muncul kembali dan meneriakkan sesuatu dengan marah.

“Jangan kembali!” atau semacamnya.

Walaupun baru dirundung kejadian menyebalkan, ia tidak melupakan rencananya untuk melihat-lihat keadaan Toko Kelontong Namiya.

Mengandalkan ingatannya yang samar-samar, Harumi terus mengemudi.

Akhirnya Harumi sampai di daerah perkotaan yang sudah tidak asing lagi baginya.

Setelah tiga puluh tahun, nyaris tidak ada perubahan berarti.

Toko Kelontong Namiya juga masih tampak seperti saat ia mengirim surat ke sana.

Meskipun tulisan pada papan nama toko sudah sulit dibaca dan pintu gulung toko sudah berkarat parah, bangunan tersebut malah terasa seperti diselimuti atmosfer hangat, bagaikan sosok seorang kakek yang sedang memeluk cucu perempuannya.

Harumi menghentikan mobil, kemudian membuka jendela dari sisi kursi pengemudi.

Setelah menatap Toko Kelontong Namiya, ia kembali menjalankan mobil.

Terpikir olehnya untuk mengecek keadaan rumah keluarga Tamura juga.

Setelah jam kerja pada tanggal 12 September berakhir, Harumi bergegas kembali ke rumah, menyalakan komputer, kemudian mulai memikirkan isi surat yang akan ditulisnya.

Sebenarnya ia ingin menulisnya lebih awal, tapi karena sepanjang hari ia disibukkan oleh pekerjaan, ia baru punya waktu sekarang.

Bahkan malam ini seharusnya Harumi menghadiri acara makan malam bersama klien, tapi ia berdalih bahwa ada urusan penting dan meminta bantuan staf yang paling ia percaya untuk menggantikannya.

Setelah beberapa kali membaca dan menulis ulang, akhirnya surat itu selesai pada pukul 21.00 lebih sedikit.

Baru setelah itu Harumi menyalinnya pada kertas surat.

Baginya, surat untuk seseorang yang penting harus ditulis dengan tangan.

Setelah membaca ulang surat yang sudah selesai disalin untuk memastikan tidak ada yang salah, Harumi memasukkannya ke amplop.

Baik kertas surat maupun amplop itu memang khusus dibelinya untuk hari ini.

Karena waktu yang tersita untuk mempersiapkan berbagai hal, Harumi baru bisa meninggalkan rumah menjelang pukul 22.00.

Diinjaknya pedal mobil sambil tetap berhati-hati supaya tidak melanggar batas kecepatan.

Sekitar dua jam kemudian, ia sampai di area sekitar toko.

Sebenarnya ia ingin langsung menuju Toko Kelontong Namiya, tapi karena masih ada waktu hingga pukul 00.00, diputuskannya untuk singgah dulu di rumah keluarga Tamura untuk meletakkan barang-barangnya.

Malam ini ia akan menginap di situ.

Setelah Harumi mendapatkan hak kepemilikan rumah, sesuai janji awal, ia meminta Hideyo untuk tetap tinggal di sana.

Tapi ternyata Hideyo tidak hidup cukup lama untuk menyambut datangnya abad ke-21.

Setelah neneknya meninggal, Harumi merenovasi rumah itu sedikit dan menggunakannya sebagai rumah kedua.

Baginya, rumah keluarga Tamura sudah seperti rumahnya sendiri.

Ia sangat menyukai rumah ini karena masih banyak pemandangan rimbun di sekelilingnya.

Hanya saja, selama beberapa tahun terakhir, ia hanya bisa berkunjung sekali dalam satu atau dua bulan.

Di dalam kulkas saat ini hanya ada makanan kaleng dan makanan beku.

Pada jam-jam ini, daerah sekeliling rumah Tamura selalu gelap karena tak banyak lampu jalanan.

Tapi berkat cahaya rembulan malam ini, bentuk rumah itu sudah terlihat dari jauh.

Tidak ada orang di sekitar rumah.

Sebenarnya ada garasi di sebelah rumah, tapi Harumi memarkir mobilnya di jalan.

Sambil menyandang tas tenteng berisi baju ganti dan perlengkapan rias, Harumi keluar dari mobil.

Bulan purnama bergelayut di langit sana.

Harumi melewati gerbang dan membuka kunci pintu depan.

Begitu pintu terbuka, tercium aroma wewangian dari arah rak sepatu.

Ja memang meletakkan pewangi di sana saat terakhir kali ke tempat ini.

Ia menggantungkan kunci mobil di sebelah rak.

Tangannya meraba-raba dinding sampai menemukan tombol lampu yang kemudian dinyalakannya.

Setelah melepaskan sepatu, barulah ia masuk ke koridor menuju ruang utama.

Sebenarnya di situ juga ada sandal rumah, tapi ia jarang memakainya karena malas.

Harumi terus menelusuri koridor sampai tiba di pintu menuju ruang duduk.

Sama seperti tadi, setelah membuka pintu, ia kembali mencaricari tombol lampu.

Tapi mendadak ia menghentikan gerakannya karena merasakan atmosfer yang aneh.

Tidak, bukan atmosfer, melainkan bau asing.

Bau yang tidak ada kaitan dengan dirinya dan seharusnya tidak pernah ada kamar tidurnya.

Harumi sadar akan adanya bahaya dan sudah berniat berbalik arah.

Namun, sebelum ia sempat melakukannya, seseorang mencengkeram tangannya yang hendak menekan tombol lampu, kemudian menariknya dengan sekuat tenaga.

Sementara itu, mulut Harumi juga dibekap oleh sesuatu.

Ia tidak punya kesempatan untuk berteriak.

“Jangan ribut.

Pokoknya selama kau diam, kau tidak akan diapa-apakan.” Terdengar suara seorang laki-laki muda di dekat telinganya.

Wajahnya tidak terlihat karena dia ada di belakang Harumi.

Benak Harumi langsung kosong.

Mengapa bisa ada orang asing di rumah ini? Apa yang sedang dilakukannya? Dan mengapa ia harus mengalami kejadian ini? Beberapa pertanyaan berkecamuk di benaknya.

Ingin rasanya Harumi melawan, tapi tubuhnya sama sekali tidak bisa digerakkan.

Sarafnya seakan-akan lumpuh.

“Hei! Di kamar mandi ada handuk, kan? Bawa beberapa ke sini!” teriak pemuda itu.

Tidak ada reaksi.

Jengkel, pemuda itu mengulangi perintahnya.

“Ayo cepat! Handuk! Jangan bengong saja!” Di tengah kegelapan, tampak sesosok bayangan.

Rupanya ada lebih dari satu orang.

Napas Harumi memburu.

Walaupun jantungnya masih berdebar kencang, penglihatannya sudah pulih.

Ia tahu tangan yang membungkamnya itu memakai sarung tangan lateks.

Saat itu juga, telinganya menangkap suara laki-laki lain dari belakang.

“Ini bisa jadi gawat,” kata laki-laki itu lirih.

Pemuda yang membungkam mulut Harumi menjawab, “Apa boleh buat.

Coba periksa tasnya.

Mungkin di dalamnya ada dompet.” Tas tenteng Harumi dirampas dan langsung digeledah.

Akhirnya, laki-laki yang memeriksa tas itu berkata, “Ada!” “Berapa jumlah uang di situ?” “Sekitar dua puluh atau tiga puluh ribu yen.

Sisanya hanya kartu-kartu tidak jelas.” Harumi bisa mendengar desahan di dekat telinganya.

“Kenapa hanya sedikit? Tapi sudahlah, yang penting ada uang tunai.

Kartu kredit tidak ada gunanya bagi kita.” “Dompetnya? Kelihatannya ini merek mahal.” “Jangan ambil barang yang sudah dipakai.

Kita ambil saja tas ini karena sepertinya masih baru.” Tidak lama kemudian, terdengar bunyi langkah seseorang.

“Ini cukup?” tanyanya.

Suaranya juga terdengar seperti suara anak muda, seperti yang kedua orang lainnya.

“Cukup.

Sekarang gunakan handuk itu untuk menutup matanya.

Ikat dari belakang kuat-kuat, jangan sampai ada bagian yang longgar.” Harumi bisa merasakan pemuda itu ragu sejenak sebelum akhirnya menutup matanya dengan handuk.

Sekilas tercium aroma deterjen, deterjen yang biasa digunakan Harumi.

Kedua ujung handuk itu diikatkan kuat-kuat dari belakang kepala.

Sama sekali tidak ada celah.

Berikutnya, mereka mendudukkan Harumi di kursi ruang makan, dan mengikat kedua pergelangan tangannya ke belakang kursi.

Berikutnya giliran kedua kaki Harumi yang diikat pada kaki kursi.

Sementara itu, pemuda yang mengenakan sarung tangan masih membekap mulut Harumi.

“Ada yang ingin kubicarakan,” kata si pemimpin kelompok ini, pemuda yang membekap mulutnya.

“Aku akan menarik tanganku, tapi jangan coba-coba berteriak karena kami membawa senjata tajam dan tidak akan segan membunuhmu.

Tapi ingat bahwa sebenarnya kami tak ingin melakukan hal itu.

Selama kau bersedia bicara dengan pelan, tidak akan ada yang disakiti.

Kalau kau bersedia berjanji, mengangguklah.” Tidak ada alasan bagi Harumi untuk membantah.

Ia melakukan sesuai dengan yang diminta.

Akhirnya tangan yang menutup mulutnya menjauh.

“Aku minta maaf,” kata si pemimpin lagi.

“Mungkin kau sudah tahu bahwa kami adalah pencuri.

Sebenarnya malam ini kami memang berniat mencuri di rumah ini, tapi kedatanganmu benar-benar di luar perhitungan.

Bahkan tindakan kami mengikatmu seperti ini juga di luar perhitungan.

Jadi, tolong jangan berpikiran buruk tentang kami.” Harumi hanya bisa mendesah tanpa mengatakan apa-apa.

Setelah apa yang dialaminya, sepertinya mustahil kalau ia diminta supaya jangan berpikiran buruk.

Namun, jauh di lubuk hati, ia berusaha memahami motivasi mereka.

Secara naluriah, ia tahu ketiga pemuda ini pada dasarnya bukan orang jahat.

“Kami akan segera pergi setelah tujuan kami tercapai.

Yang dimaksud “tujuan' adalah barang-barang berharga.

Tapi dengan situasi sekarang, kami tidak bisa pergi karena belum menemukan apa yang dicari.

Nah, mari kita bahas soal ini.

Di mana barang-barang berharga itu? Kali ini aku tidak minta yang terlalu mewah, pokoknya apa saja.” Harumi mengatur napasnya sebelum menjawab, “Di sini...

tidak ada apa-apa.” Terdengar seseorang mendengus.

“Tidak mungkin.

Aku sudah mencari tahu tentang dirimu.

Percuma saja mengelabui kami.” “Aku tidak bohong,” Harumi menggeleng.

“Kalau benar kau sudah mencari tahu, pasti kau sudah tahu kalau aku jarang tinggal di sini, bukan? Karena itulah aku tidak pernah menyimpan uang atau barang berharga di sini.” “Tapi pasti ada sesuatu.” Kini suara pemuda itu mulai terdengar jengkel.

“Coba ingat-ingat lagi.

Pasti ada sesuatu.

Kalau tidak, kami tidak akan pergi.

Kau pasti akan kerepotan.” Walaupun yang dikatakannya benar, sayangnya di rumah ini memang tidak ada barang-barang berharga.

Bahkan semua barang-barang peninggalan Hideyo sudah dipindahkan ke apartemennya.

“Di ruang tatami sebelah ada tokonoma”.

Cawan-cawan yang dipajang di sana seingatku hasil karya seniman terkenal...” “Kami sudah ambil cawan-cawan itu.

Juga lukisan gulung di sana.

Bagaimana dengan yang lain?” Hideyo pernah bercerita bahwa cawan itu asli, sedangkan lukisan gulung di ruangan itu hanya sebuah replika.

Tapi Harumi merasa lebih baik ia diam saja.

“Sudah periksa kamar di lantai dua? Yang luasnya hanya 8 tatami." “Sudah, tapi tidak ada barang berharga.” “Bagaimana dengan laci lemari rias? Laci kedua dari atas itu dibagi menjadi dua bagian, dan di dalam laci paling bawah ada perhiasan.

Sudah lihat di sana?” Pemuda itu terdiam, sepertinya dia sedang memberi isyarat kepada kedua rekannya untuk memastikan.

“Coba cek,” perintahnya.

Harumi bisa mendengar bunyi langkah yang menjauh.

Lemari rias itu milik almarhumah Hideyo.

Harumi masih menyimpannya karena menyukai desainnya yang antik.

Memang benar ada perhiasan di laci itu, tapi itu bukan milik Harumi, melainkan milik putri Hideyo, Kimiko, yang dikumpulkannya sejak dia belum menikah.

Harumi sendiri belum pernah memeriksanya dengan teliti, tapi ia yakin tidak ada benda yang terlalu mahal di situ.

Jika ada, Kimiko pasti sudah membawanya saat dulu menikah.

Tokonoma: sebidang ruang di washitsu (ruangan khas Jepang yang dipasangi tatami) yang digunakan untuk memajang barang-barang seperti keramik, ikebana, dan lain-lain.

“Mengapa kalian mengincar aku...

maksudku mengincar rumah ini?” tanya Harumi.

“Tidak ada alasan khusus,” kata si pemimpin setelah terdiam sesaat.

“Hanya kebetulan.” “Tapi tadi kau bilang sudah menyelidiki tentang aku, bukan? Pasti ada alasan lain.” “Berisik! Itu tidak penting.” “Itu penting bagiku.” “Sudah kubilang tidak! Sekarang diam!” Mendengar kata-kata itu, Harumi memutuskan tutup mulut.

Tidak baik membantah lawan bicaranya.

Suasana sunyi bercampur canggung menyelimuti ruangan itu untuk beberapa saat sampai seseorang berkata, “Ada yang ingin kutanyakan.” Dia bukan si pemimpin.

Di luar dugaan, bahasanya cukup sopan.

“Oi?” Sang pemimpin memperingatkan.

“Kau mau apa?” “Tidak apa-apa.

Aku hanya ingin memastikan sesuatu.” “Jangan!” “Apa yang ingin kautanyakan?” kata Harumi.

“Silakan bertanya apa saja.” Terdengar decakan keras.

Mungkin suara si pemimpin.

“Benarkah tempat itu akan dijadikan hotel?” tanya orang yang bukan si pemimpin.

“Hotel?” “Kudengar Taman Marumitsu akan dirobohkan dan sebagai gantinya kalian akan membangun love hotel.” Harumi terkejut mendengar Taman Marumitsu disebutsebut.

Ini benar-benar di luar dugaan.

Mungkinkah mereka orang-orang suruhan Kariya? “Tidak ada rencana seperti itu.

Aku ingin membangun kembali Taman Marumitsu, makanya aku membelinya.” “Semua orang bilang itu bohong,” si pemimpin menimpali.

“Kudengar perusahaanmu sering memperbaharui gedung yang sudah dirobohkan demi mendapat keuntungan.

Kalian juga sering mengubahnya menjadi hotel bisnis atau love hotel.” “Memang ada yang seperti itu, tapi tidak ada kaitannya dengan masalah kali ini.

Taman Marumitsu adalah proyek pribadiku.” “Bohong.” “Aku tidak bohong.

Lagi pula tidak akan ada pengunjung datang jika di tempat itu dibangun love hotel.

Mustahil aku melakukan hal sebodoh itu.

Percayalah, aku selalu memihak pada mereka yang lemah.” “Benarkah?” “Jelas dia berbohong! Jangan percaya.

Apa pula memihak pada mereka yang lemah? Paling-paling kau akan segera menyingkirkannya begitu tahu tempat itu tidak menghasilkan uang.” Setelah itu terdengar bunyi langkah menuruni tangga.

“Lama sekali! Apa yang kaulakukan di atas?” hardik si pemimpin.

“Tadinya aku tak tahu cara membuka laci dobel itu, tapi sekarang sudah bisa.

Coba lihat ini! Hebat, kan?” Terdengar bunyi berderak.

Kelihatannya pemuda yang baru saja datang itu membawa seluruh laci itu turun.

Kedua temannya terdiam.

Mungkin mereka sedang menilainilai berapa harga perhiasan-perhiasan tersebut, walaupun sepertinya mereka tidak tahu caranya.

“Ya sudah,” kata si pemimpin.

“Lumayan daripada tidak ada sama sekali.

Kita ambil semuanya lalu langsung pergi.” Telinga Harumi menangkap bunyi ritsleting yang dibuka lalu ditutup dengan cepat.

Sepertinya barang-barang curian itu dimasukkan ke tas atau semacamnya.

“Bagaimana dengan dia?” tanya pemuda yang tadi menyinggung soal Taman Marumitsu.

“Ambil lakban,” kata si pemimpin setelah berpikir sejenak.

“Bisa bahaya kalau dia membuat keributan.” Terdengar bunyi lakban dipotong.

Berikutnya, benda itu ditempelkan ke mulut Harumi.

“Kita tidak bisa meninggalkan dia dalam keadaan begini.

Bagaimana kalau tidak ada orang lain yang datang? Bisa-bisa dia mati kelaparan.” Suasana kembali hening.

Rupanya si pemimpin yang memiliki hak mengambil keputusan untuk semuanya.

“Setelah berhasil kabur, kita akan hubungi perusahaannya dan bilang bahwa direktur mereka sedang dalam keadaan terikat di sini.

Tidak akan ada masalah.” “Bagaimana kalau dia harus ke toilet?” “Pasti dia bisa tahan.” “Bisa tahan?” Pertanyaan itu ditujukan pada Harumi.

Ia mengangguk.

Sebenarnya ia memang sedang tidak ingin ke toilet, tapi ia juga akan menolak kalau diantarkan ke toilet saat ini juga.

Yang paling diinginkannya sekarang adalah mereka segera meninggalkan tempat ini.

“Oke.

Ayo pergi.

Jangan sampai ada yang ketinggalan,” kata si pemimpin.

Tidak lama kemudian, mereka bertiga meninggalkan ruangan.

Bunyi langkah mereka pun semakin menjauh.

Kemungkinan mereka keluar dari pintu depan.

Tidak lama kemudian, samar-samar terdengar suara ketiga laki-laki itu.

Sepertinya mereka sedang membicarakan kunci mobil.

Harumi terperanjat.

Ia ingat kunci mobilnya diletakkan di atas rak sepatu.

Celaka, pikirnya sambil menggigit bibir.

Ia juga ingat kalau tas tangannya ada di kursi penumpang mobilnya yang diparkir di jalan.

Sebelum turun dari mobil, ia memang mengeluarkannya dari tas tenteng.

Dompet yang ditemukan dalam tas tenteng adalah dompet cadangan, sedangkan dompet yang dipakainya sehari-hari ada di dalam tas tangan.

Di dalam dompet itu ada uang tunai sejumlah dua ratus ribu yen lebih, belum lagi kartu kredit dan kartu-kartu bank lainnya.

Namun, yang paling disesalkan Harumi bukan soal dompet.

Baginya tidak masalah bila mereka hanya membawa dompetnya.

Tapi pasti mereka tidak akan melakukannya, mengingat mereka ingin segera melarikan diri.

Jelas tas tangan itu akan ikut terbawa oleh mereka tanpa sempat memeriksa isinya.

Di dalam tas itu ada surat yang ditujukan kepada Toko Kelontong Namiya.

Harumi tidak ingin surat itu sampai ikut terbawa.

Tapi apa gunanya? Meskipun surat itu tidak dibawa mereka, ia tidak bisa berbuat apa-apa dalam kondisinya sekarang.

Ja tidak bisa bergerak sampai besok pagi, sementara sesi konsultasi terbatas Toko Kelontong Namiya akan berakhir saat fajar menyingsing.

Padahal aku ingin mengucapkan terima kasih, pikirnya.

Berkat Anda, kini aku berhasil memperoleh kekuatan besar yang akan kugunakan untuk menolong banyak orang.

Begitulah yang ia tulis dalam surat itu.

Ia benar-benar tidak habis pikir.

Mengapa hal seperti ini harus dialaminya? Perbuatan jahat apa yang dilakukannya? Ia sama sekali tidak ingat telah melakukan sesuatu yang membuatnya pantas mendapat ganjaran pahit.

Padahal yang dilakukannya selama ini hanya terus berjuang.

Tiba-tiba, kata-kata si pemimpin tadi kembali terngiangngiang di benaknya.

Apa pula “memihak pada mereka yang lemah”? Paling-paling kau akan segera menyingkirkannya begitu tahu tempat itu tidak menghasilkan uang...

Mana pernah Harumi melakukan hal seperti itu? Tapi di detik berikutnya, wajah sang direktur toko manja yang memohonmohon muncul di benaknya.

Harumi mengembuskan napas dari hidung.

Senyum pahit tersungging di bibirnya saat mengingat dirinya kini dalam keadaan mata ditutup serta kaki dan tangan diikat.

Memang selama ini ia telah berlari dengan sekuat tenaga, tapi mungkin selama ini pula fokusnya hanya tertuju pada apa yang ada di depan sana.

Bisa jadi ini bukan ganjaran dari langit, melainkan sedikit peringatan karena ia tidak menyisakan sedikit ruang untuk rasa simpati pada orang lain.

Aku akan memberi kesempatan pada tuan kepala manji itu, renungnya.

Sepertinya sebentar lagi fajar.

Atsuya menatap kertas surat kosong itu.

“Hei, apakah ini benar-benar mungkin?” “Apa maksudmu dengan “benar-benar mungkin?” tanya Shota.

“Yah,” kata Atsuya, “bahwa ternyata rumah ini bisa menghubungkan masa lalu dengan masa kini.

Surat-surat yang dikirimkan dari masa lalu bisa sampai ke tempat kita, begitu pula surat balasan yang kita masukkan ke kotak penyimpanan botol susu bakal sampai ke masa lalu.” “Memangnya kau baru sadar?” Muncul kerutan di tengahtengah dahi Shota.

“Justru karena itulah kita melakukan korespondensi lewat surat dengan mereka dari tadi, kan?” “Aku tahu.” “Tapi aneh juga ya,” kali ini Kohei yang angkat bicara.

“Ternyata ini ada hubungannya dengan “Sesi Konsultasi Terbatas Toko Kelontong Namiya yang hanya diadakan satu malam.” “Baiklah,” kata Atsuya sambil bangkit.

Tangannya masih memegang lembaran kertas surat kosong itu.

“Mau ke mana?” tanya Shota.

“Ingin memastikan sesuatu.” Atsuya keluar dari pintu belakang, lalu menutup pintu.

Ia menyusuri gang sebelum memutar ke depan, lalu ia memasukkan kertas surat yang sudah dilipat itu lewat lubang surat yang ada di pintu gulung toko.

Setelah itu, ia kembali ke dalam rumah melalui pintu belakang dan menuju ruangan yang ada di balik pintu gulung.

Kertas surat yang baru saja dimasukkannya ternyata tidak ada di dalam kardus yang diletakkan di sana.

“Ternyata dugaanku benar,” kata Shota dengan nada bangga.

“Surat yang dimasukkan dari luar toko lewat lubang surat masa sekarang mungkin bakal tiba di masa 32 tahun lalu.

Itulah alasan sesi konsultasi hanya diadakan selama semalam.

Selama ini, kita berada di masa lalu.” “Itu berarti saat fajar menyingsing di sini, yang terjadi di dunia 32 tahun lalu adalah...” Shota meneruskan kalimat Atsuya, “Kakek itu meninggal.

Kakek pemilik Toko Kelontong Namiya.” “Hanya itu penjelasan yang masuk akal.” Atsuya mengembuskan napas panjang.

Memang cerita yang aneh, tapi tidak ada penjelasan lain.

“Bagaimana kabar anak itu sekarang, ya?” Kohei bergumam sendiri.

Atsuya dan Shota menoleh ke arahnya, dan ia menunduk.

“Maksudku si “Anak Anjing yang Kebingungan”,” katanya.

“Apakah surat kita berguna untuknya?” “Entahlah.” Hanya itu yang bisa dikatakan Atsuya.

“Yah, paling-paling dia tidak akan memercayai isinya.” “Kalau dipikir-pikir, isi surat kita memang mencurigakan.” Shota menggaruk-garuk kepala.

Setelah membaca surat ketiga dari Anak Anjing yang Kebingungan, Atsuya dan kawan-kawan tidak tahan lagi.

Mereka yakin anak itu sedang dipermainkan—bahkan dimanfaatkan oleh laki-laki yang tidak jelas.

Apalagi setelah mereka tahu anak itu juga berasal dari Taman Marumitsu.

Jelas mereka harus menyelamatkannya...

Tidak, mereka bertiga harus memikirkan cara supaya anak gadis itu kelak bisa sukses.

Akhirnya mereka sepakat untuk memberitahukan apa yang akan terjadi di masa depan sampai batas tertentu.

Mereka tahu bahwa situasi yang disebut “gelembung ekonomi” terjadi pada akhir 1980-an.

Mereka bisa menasihatinya tentang cara memanfaatkan hal-hal yang akan terjadi.

Mereka mulai mencari informasi di ponsel tentang apa saja yang terjadi pada era itu dan menuliskannya dalam surat untuk gadis itu dalam bentuk prediksi.

Mereka juga menambahkan informasi apa yang terjadi setelah situasi gelembung ekonomi itu berakhir.

Sulit rasanya tidak menggunakan kara “internet”.

Yang membuat bingung adalah apakah sebaiknya mereka memberitahu soal kecelakaan dan bencana alam.

Di tahun 1995 terjadi Gempa Bumi Besar Hanshin, lalu di tahun 2011 terjadi Gempa Bumi Besar Bagian Timur Jepang.

Begitu banyak yang ingin mereka sampaikan.

Namun, pada akhirnya mereka memutuskan untuk tidak menceritakannya, sama seperti saat mereka tidak menceritakan soal kebakaran pada Musisi Toko Ikan.

Mereka merasa tidak berhak ikut campur dalam urusan nyawa orang lain.

“Hal lain yang membuatku penasaran adalah Taman Marumitsu,” celetuk Shota.

“Mengapa semua yang terjadi berkaitan dengan tempat itu? Apakah ini hanya kebetulan?” Atsuya juga menyadarinya.

Semua ini terlalu berkaitan untuk disebut sebagai kebetulan.

Apalagi alasan malam ini mereka bertiga bisa ada di sini juga ada kaitannya dengan Taman Marumitsu.

Shota-lah yang pertama kali mendapat informasi bahwa rumah perlindungan tempat mereka dibesarkan sedang dalam kesulitan.

Awal bulan lalu, seperti biasa mereka bertiga termasuk Kohei sedang asyik minum-minum.

Hanya saja mereka tidak melakukannya di bar atau semacamnya, melainkan di sebuah taman dengan bekal bir kaleng murah dan Chu-H??.

“Kudengar ada seorang direktur wanita dari perusahaan entah mana ingin membeli Taman Marumitsu dan merobohkannya.

Dia bilang dia akan merenovasi tempat itu.

Aku yakin dia pasti bohong.” Belum lama ini Shota dipecat dari pekerjaannya di sebuah toko perlengkapan rumah tangga, tapi dia berhasil menyambung hidup dengan bekerja sambilan di sebuah konbini.

Sesekali, dia masih berkunjung ke Taman Marumitsu karena lokasinya yang dekat dari tempat kerjanya.

Alasan dia dipecat dari toko perlengkapan rumah tangga adalah pengurangan karyawan massal.

“Yah...

Padahal aku berharap bisa tinggal di sana jika sampai Chu-Hi (Chihai): minuman beralkohol yang terbuat dari shocha dan air soda dengan rasa jeruk.

berakhir di jalanan,” Kshei mengeluh sedih.

Statusnya sekarang adalah pengangguran karena bengkel mobil tempatnya bekerja mendadak bangkrut di bulan Mei lalu.

Saat ini dia masih tinggal di mes perusahaan, tapi dalam waktu dekat dia pasti akan diminta meninggalkan tempat itu.

Atsuya sendiri juga belum mendapat pekerjaan.

Sampai dua bulan lalu ia masih bekerja di pabrik pembuat komponen.

Suatu hari, mereka mendapat pesanan komponen baru dari perusahaan induk.

Atsuya sampai berkali-kali memastikannya karena dimensi komponen yang dipesan kali ini berbeda dengan yang biasa.

Tapi akhirnya ia membuatnya juga karena pihak sana sudah yakin bahwa tidak ada kesalahan.

Ternyata memang ada kesalahan.

Pegawai baru dari perusahaan induk yang menjadi penghubung mereka sepertinya telah salah menyebutkan angka yang tepat.

Alhasil, pabrik tempat Atsuya bekerja telanjur membuat sejumlah besar komponen dengan ukuran yang salah, dan Atsuya-lah yang harus bertanggung jawab.

Mereka bilang Arsuya tidak mengecek dengan saksama.

Peristiwa seperti ini sudah beberapa kali terjadi.

Perusahaan tempat Atsuya bekerja tidak berani melawan perusahaan induk, bahkan bos Atsuya tidak membelanya.

Setiap kali ada masalah, pasti semua kesalahan tersebut ditimpakan pada pegawai rendahan seperti Atsuya.

Tidak bisa lagi menahan marah, tanpa basa-basi Atsuya langsung berkata, “Aku berhenti.” Ditinggalkannya pabrik itu.

Ia nyaris tidak memiliki tabungan.

Ketika mengecek buku tabungannya, ia mendapati uangnya lebih sedikit daripada perkiraannya.

Lebih parah lagi, sudah dua bulan ia belum membayar sewa tempat tinggal.

Dalam situasi seperti itulah mereka berkumpul, tiga orang yang sama-sama mencemaskan nasib Taman Marumitsu tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

Hal yang bisa mereka lakukan hanya mencaci-maki sang direktur wanita yang hendak membeli tempat itu.

Sebenarnya Atsuya tidak ingat siapa yang pertama kali punya ide itu, bisa jadi dirinya sendiri.

Ia tidak yakin.

Yang jelas, ia ingat bagaimana saat itu ia mengepalkan tangannya.

“Ayo kita lakukan saja.

Aku yakin Bunda Maria pun akan mengampuni tindakan kita mencuri uang perempuan itu.” Shota dan Kohei ikut mengacungkan kepalan tangan mereka.

Mereka bertiga diliputi semangat berapi-api.

Umur mereka sepantaran, dan mereka selalu bersama-sama dari masa SMP hingga SMA, di mana mereka melakukan tindakan kejahatan seperti mengutil, mencuri tas, mencuri dari mesin penjual otomatis, pokoknya semua tindakan kejahatan yang tidak melibatkan kekerasan.

Yang paling mengejutkan adalah sampai sekarang mereka tidak pernah tertangkap.

Mereka punya prinsip—tidak pernah mencuri di tempat yang sama dan tidak pernah menggunakan trik yang sama—dan jangan sampai mereka melakukan sesuatu yang dianggap tabu.

Hanya sekali mereka sampai menyelundup masuk ke rumah kosong.

Waktu itu mereka duduk di kelas 3 SMA dan sangat membutuhkan baju baru karena musim mencari pekerjaan sebentar lagi tiba.

Tempat yang diincar adalah rumah keluarga murid yang paling kaya di sekolah mereka.

Mereka baru melakukannya setelah menyelidiki kapan keluarga itu pergi berlibur dan mengecek sistem keamanan di rumah tersebut.

Sama sekali tidak terpikir apa yang akan mereka lakukan seandainya rencana ini gagal.

Yang mereka curi adalah semua yang ada dalam sebuah laci yang terbuka, termasuk uang tiga puluh ribu yen.

Itu saja sudah cukup bagi mereka bertiga yang kemudian langsung melarikan diri.

Yang paling menarik adalah penghuni rumah itu sama sekali tidak pernah menyadari pencurian tersebut.

Sungguh permainan yang seru.

Setelah lulus SMA, mereka tidak pernah lagi mencuri karena kini mereka sudah dianggap dewasa.

Nama mereka akan muncul di surat kabar jika sampai tertangkap.

Namun, kali ini mereka bertiga sepakat.

Mereka sama-sama dalam situasi tersudut dan merasa perlu meluapkan rasa frustrasi.

Sejujurnya, Atsuya sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Taman Marumitsu.

Direktur sebelumnya memang sangat baik padanya, tapi Atsuya tidak menyukai Kariya.

Suasana di tempat itu memburuk setelah dia menjadi direktur.

Shota bertugas mengumpulkan informasi seputar target mereka.

“Aku punya kabar baik,” katanya dengan mata berbinarbinar saat mereka berkumpul lagi beberapa waktu kemudian.

“Aku sudah tahu di mana rumah kedua direktur perempuan itu.

Begitu mendengar dia datang ke Taman Marumitsu, aku langsung menyiapkan skuter dan menunggu.

Setelah mengikutinya, akhirnya aku berhasil menemukan di mana dia tinggal.

Sebuah rumah kecil manis yang jaraknya hanya dua puluh menit dari Taman Marumitsu.

Rumah seperti itu bisa dengan mudah kita masuki.

Menurut cerita tetangga, rumah itu hanya didatanginya sebulan sekali.

Oh! Aku sudah berhati-hati agar wajahku tidak sampai dikenali oleh si tetangga, jadi tak usah cemas.” Informasi dari Shota memang sebuah kabar baik, tapi masalahnya apakah di sana ada barang berharga atau tidak.

“Pasti ada,” kata Sh6ta yakin.

“Direktur itu selalu memakai barang bermerek dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Dia juga pasti menyimpan batu-batu berharga di rumah kedua itu.

Aku yakin pasti ada juga benda-benda seperti guci mahal atau lukisan.” “Kau benar.” Atsuya dan Kohei sependapat.

Sejujurnya, mereka sama sekali tidak punya bayangan apa saja yang disimpan orang kaya di rumah mereka.

Yang ada di benak mereka hanya gambaran tidak realistis tentang orang kaya yang mereka lihar di anime maupun serial drama TV.

Mereka memutuskan untuk datang ke sana pada malam hari tanggal 12 September.

Tidak ada alasan khusus.

Memang, hari itu Shota libur dari pekerjaan sambilannya, tapi dia memang sering libur.

Karena itulah tidak ada yang istimewa dengan hari itu.

Kohei menyiapkan kendaraan yang akan mereka gunakan untuk rencana tersebut.

Dia memang memiliki keahlian untuk mengutak-atik kendaraan semasa masih bekerja di bengkel, tapi kelemahannya adalah dia hanya mampu mengutak-atik mobilmobil tua.

Tanggal 12 September.

Setelah waktu menunjukkan pukul 23.00 lebih, mereka pun menyelinap masuk dengan menggunakan metode klasik: memecahkan pintu kaca taman dan membuka gerendel.

Saat dipecahkan, pintu kaca itu sama sekali tidak menimbulkan bunyi karena sebelumnya telah dipasangi lakban menyilang.

Sesuai perkiraan, rumah itu kosong.

Mereka bebas mencari apa saja di seluruh penjuru rumah sehingga semangat mereka ikut meluap-luap.

Tapi hanya sampai di situ saja.

Luapan semangat yang tadi mereka rasakan kini lenyap bagaikan tertiup angin.

Setelah mencari ke mana-mana, mereka tidak menemukan satu pun barang berharga.

Mengapa rumah kediaman seorang direktur yang selalu mengenakan barang-barang merek mahal itu tidak ada bedanya dengan rumah orang-orang biasa? “Kok aneh?” kata Shota keheranan.

Pasti ada sesuatu yang berharga di suatu tempat.

Saat itu juga, terdengar bunyi mobil berhenti tidak jauh dari rumah.

Mereka bertiga langsung mematikan senter.

Berikutnya, terdengar bunyi kunci pintu depan dibuka.

Kedua kaki Atsuya langsung lemas.

Ternyata direktur itu datang! Meskipun kesal karena informasi Shota salah, sekarang sudah terlambat untuk mengeluh.

Lampu pintu depan dan koridor dinyalakan.

Bunyi langkah pun semakin dekat.

Perut Atsuya terasa melilit.

“Hei, Shota!” panggil Atsuya.

“Sebenarnya bagaimana kau bisa menemukan rumah tua kosong ini? Aku tahu kau bilang itu hanya kebetulan, tapi tidak seperti biasanya kau sampai datang ke daerah ini.” “Hmmm, sebenarnya memang bukan karena kebetulan,” kata Shota dengan raut wajah malu.

“Sudah kuduga.

Jadi bagaimana kejadiannya?” “Jangan memelototiku seperti itu! Sebenarnya tidak ada yang istimewa.

Aku sudah cerita bahwa aku menemukan rumah kedua itu saat sedang mengikuti si direktur.

Nah, ternyata sebelumnya dia sempat berhenti di depan toko ini.” “Berhenti? Untuk apa?” “Entah.

Aku tidak tahu alasannya, tapi dia terus menatap papan nama toko.

Karena penasaran, aku kembali ke toko setelah menemukan lokasi rumah si direktur.

Waktu itu yang ada di benakku hanya bahwa toko ini mungkin bisa kita manfaatkan.” “Dan ternyata toko ini sebuah mesin waktu ajaib.” Shota mengangkat bahu.

“Yah, kurang lebih begitu.” Atsuya bersedekap, lalu menggeram pelan.

Matanya tertuju pada tas di dinding.

“Siapa sebenarnya direktur itu? Siapa namanya?” “Muto...siapa ya? Kalau tidak salah Haruko.” Shota pun tidak yakin.

Atsuya mengambil tas tenteng si direktur, membuka ritsletingnya, kemudian mengeluarkan sebuah tas tangan.

Ia tidak akan mencuri benda itu seandainya tidak menyadari kunci mobil yang diletakkan di atas rak sepatu.

Saat membuka pintu mobil yang diparkir di jalan, tas tangan itu ada di kursi penumpang.

Tanpa pikir panjang, ia langsung menjejalkannya ke dalam tas tenteng.

Ia membuka tas tangan itu, dan benda yang pertama-tama menarik perhatiannya adalah sebuah dompet panjang berwarna biru tua.

Atsuya mengambilnya lalu memeriksa isinya.

Di sana ada uang tunai paling sedikit dua ratus ribu yen.

Tidak sia-sia usaha mereka menyelinap ke rumah itu.

Ia sama sekali tidak berminat pada kartu debit maupun kartu kredit.

Di dompet itu juga ada SIM.

Di situ tercantum nama Muto Harumi.

Kalau dilihat dari foto, dia cukup cantik.

Menurut Shota, usia wanita ini sudah lebih dari lima puluh tahun, tapi sama sekali tidak terlihat dari penampilannya.

Saat itu Shota menatap Atsuya.

Matanya terlihat merah, mungkin akibat pengaruh kurang tidur.

“Ada apa?” tanya Arsuya.

“Ini...

ini ada di dalam tas.” Shota mengulurkan sebuah amplop.

“Apa ini? Ada apa?” Shota hanya diam sambil memperlihatkan bagian depan amplop.

Begitu melihatnya, jantung Atsuya rasanya seperti hendak melompat keluar.

Untuk Toko Kelontong Namiya.

Begitu yang tertulis di bagian depan amplop.

Kepada Yang Terhormat Toko Kelontong Namiya, Saya menemukan informasi tentang acara “Sesi Konsultasi Terbatas dengan Toko Kelontong Namiya” di internet.

Apakah itu benar? Tapi karena saya percaya pada Anda, saya pun menulis surat ini.

Apakah Anda masih ingat? Saya pernah menulis surat kepada Anda pada musim panas 1980 dengan memakai nama “Anak Anjing yang Kebingungan”.

Waktu itu saya baru lulus SMA dan hanya seorang remaja yang belum berpengalaman.

Isi surat saya yang menyebalkan itu menanyakan bagaimana cara meyakinkan orang-orang terdekat bahwa saya memutuskan untuk bekerja di bisnis hiburan malam.

Tentu saja Anda langsung memarahi saya habis-habisan.

Saya yang waktu itu masih muda tidak bisa diyakinkan begitu saja.

Saya mencoba berdalih bahwa ini kehidupan saya, dan bahwa inilah satu-satunya cara untuk membalas budi pada orang-orang yang telah membesarkan saya.

Waktu itu Anda pasti tidak tahan menghadapi sikap saya yang keras kepala.

Tapi Anda sama sekali tidak mengatakan sesuatu seperti terserah kau mau melakukan apa”.

Anda malah memberikan nasihat bagaimana sebaiknya saya menata kehidupan.

Nasihat yang Anda berikan juga bukan sekadar kata-kata samar, melainkan hal-hal konkret.

Anda memberitahu saya apa yang harus saya pelajari dan sampai kapan saya harus belajar, apa saja yang harus saya gunakan dan apa saja yang sebaiknya disingkirkan, juga di bidang mana saja saya harus fokus.

Semua yang Anda katakan waktu itu tak ubahnya sebuah prediksi.

Saya menuruti semua nasihat Anda, walau jujur saja pada awalnya saya masih setengah percaya dan setengah tidak percaya.

Namun, semua keraguan itu pun lenyap setelah semua yang Anda katakan ternyata berjalan sesuai prediksi.

Ini benar-benar ajaib.

Bagaimana bisa Anda memprediksi tibanya masa gelembung ekonomi dan kapan masa itu berakhir? Bagaimana bisa Anda memprediksi tibanya era internet? Namun, sepertinya tidak ada gunanya lagi saya menanyakan semua hal itu karena mengetahui jawabannya tidak akan mengubah apa pun.

Karena itu, tidak ada hal lain yang ingin saya sampaikan pada Tuan Namiya kecuali kata-kata berikut: Terima kasih banyak.

Terima kasih banyak dari lubuk hati saya yang paling dalam.

Tanpa bantuan Anda, saya tidak akan bisa menjadi diri saya yang sekarang.

Mungkin saat ini saya sudah terpuruk entah di mana.

Sampai kapan pun Anda adalah penyelamat saya.

Meskipun saya menyesal karena tidak bisa membalas kebaikan Anda, setidaknya lewat surat ini saya ingin menyampaikan rasa terima kasih itu.

Saya berjanji selanjutnya akan menolong banyak orang.

Menurut situs, hari ini adalah peringatan 33 tahun meninggalnya Tuan Namiya.

Karena saya mengirim surat pada Anda sekitar 32 tahun lalu, saya rasa sayalah klien terakhir Anda.

Mungkin memang ada ikatan takdir di antara kita.

Semoga Anda beristirahat dengan tenang.

Anak Anjing yang Tak Kebingungan Lagi Begitu selesai membaca surat itu, Atsuya memegang kepalanya.

Ia merasa otaknya akan meledak.

Ia ingin mengatakan apa yang ada di benaknya sekarang juga, tapi tidak sanggup menemukan kata-kata yang tepat.

Kedua temannya pun merasakan hal serupa.

Mereka duduk sambil memeluk lutut.

Pandangan Shsta tampak nanar.

Siapa sangka? Baru saja mereka mengarahkan gadis yang ingin menjadi hostes ke jalan yang berbeda, dengan menjelaskan apa yang akan terjadi di masa depan.

Rupanya kini gadis itu benarbenar sukses.

Tapi setelah 32 tahun, Atsuya dan kawan-kawannya malah menyelinap ke rumahnya untuk mencuri...

“Pasti ada sesuatu,” gumam Atsuya.

Shota menoleh ke arahnya.

“Apa?” “Entah...

Aku tidak bisa menjelaskannya.

Pasti ada hubungan istimewa antara Toko Kelontong Namiya dan Taman Marumitsu.

Seperti ada benang tak terlihat yang menghubungkan keduanya, seolah-olah ada seseorang di langit sana yang mengendalikannya.” Shota menatap langit-langit.

“Bisa jadi,” katanya.

“Ah!” Kohei berseru.

Dia menatap ke arah pintu belakang.

Pintu itu dalam keadaan terbuka dan sinar matahari menerobos masuk.

Fajar telah tiba.

“Surat ini tidak akan sampai ke Toko Kelontong Namiya,” kata Kohei.

“Tidak apa-apa, lagi pula surat ini ditujukan pada kita.

Benar kan, Atsuya?” Shota melanjutkan, “Dia ingin mengucapkan terima kasih pada kita.

Dia menulis “terima kasih banyak untuk kita.

Untuk manusia-manusia sampah seperti kita.” Atsuya menatap mata Shota.

Mata temannya yang memerah itu tampak berkaca-kaca.

“Aku percaya padanya, waktu dia bilang tidak akan membangun love hotel atau sejenisnya.

Dia tidak bohong.

Anak Anjing yang Kebingungan tidak akan berbohong pada kita.” Atsuya mengangguk setuju.

“Terus sekarang bagaimana?” tanya Kohei.

“Sudah jelas, bukan?” Atsuya bangkit.

“Kita kembali ke rumah itu dan mengembalikan barang-barang yang tadi kita curi.” “Kita harus melepaskan ikatan di tangan dan kakinya,” imbuh Shota.

“Juga penutup mata dan lakban di mulutnya.” “Benar.” “Setelah itu? Kita kabur?” Atsuya menggeleng.

“Tidak.

Kita akan menunggu sampai polisi datang.” Baik Shota maupun Kohei tidak membantah.

Kohei hanya berkata dengan bahu lemas, “Kita akan masuk penjara.” “Mungkin kita akan mendapat keringanan hukum karena kita menyerahkan diri.” Shota menoleh pada Atsuya.

“Pertanyaannya adalah apa yang terjadi setelah itu.

Kita tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan.

Apa yang harus kita lakukan?” Atsuya menggeleng.

“Aku tidak tahu.

Yang jelas aku tidak akan mengambil barang milik orang lain lagi.” Shota dan Kohei mengangguk dalam diam.

Setelah membereskan barang-barang, mereka meninggalkan tempat itu lewat pintu belakang.

Sinar matahari terasa menyilaukan.

Dari suatu tempat terdengar kicauan burung pipit.

Atsuya menatap ke arah kotak penyimpanan botol susu.

Entah sudah berapa kali ia membuka dan menutupnya.

Membayangkan bahwa ia tidak akan pernah menyentuhnya lagi membuatnya sedih.

Ia mencoba membukanya untuk terakhir kali.

Ternyata di dalamnya ada sebuah amplop.

“Oi?” Ia memanggil Shsta dan Kohei yang sudah berjalan pergi lebih dulu.

“Aku menemukan ini!” Ia mengangkat amplop itu.

Di bagian depan amplop tercantum tulisan “Untuk Seseorang Tanpa Nama” yang ditulis dengan pena tinta.

Tulisannya sangar indah.

Atsuya membuka amplop itu dan menarik selembar kertas surat.

Ini adalah jawaban saya untuk seseorang yang telah mengirimkan kertas surat kosong.

Bagi yang tidak berkepentingan, diharap mengembalikan amplop ini ke tempatnya semula.

Atsuya menahan napas.

Yang dimaksud pasti kertas surat kosong yang tadi dimasukkannya ke lubang surat.

Dan inilah jawabannya.

Itu berarti penulisnya adalah Kakek Namiya.

Berikut isi surat tersebut: Untuk Seseorang Tanpa Nama, Saya mencoba memikirkan alasan apa yang mendorong Anda mengirimkan kertas surat kosong pada kakek-kakek seperti saya.

Jelas ini sesuatu yang penting dan saya tidak boleh menulis jawaban yang asal-asalan.

Setelah berpikir sedemikian keras sampai saya memukulmukul kepala sendiri supaya tetap bisa berpikir jernih, saya berkesimpulan bahwa Anda belum memiliki peta.

Jika semua orang yang mengirimkan surat pada saya diibaratkan seperti anak yang tersesat, sering terjadi bahwa sebenarnya mereka memiliki peta, hanya saja mereka menolak melihatnya.

Atau ada juga yang tidak mengetahui di mana posisi mereka sekarang.

Namun, Anda jelas berbeda.

Karena peta yang Anda miliki masih berupa kertas kosong, itulah mengapa meskipun sudah memiliki tujuan, Anda belum menemukan di mana jalan yang bisa membawa Anda ke sana.

Itu wajar.

Siapa pun pasti akan merasa kebingungan.

Cobalah untuk mengubah sudut pandang.

Karena peta Anda masih berupa kertas kosong, Anda jadi bebas menggambar apa saja.

Semuanya terserah pada Anda.

Anda bebas melakukan apa saja karena kesempatan terbentang luas di hadapan Anda.

Bagi saya, ini adalah hal yang menakjubkan.

Percayalah pada diri sendiri.

Saya doakan semoga Anda bisa menjalani hidup dengan bebas tanpa penyesalan.

Setelah ini, saya tidak akan pernah lagi menulis surat balasan untuk permintaan konsultasi.

Tapi saya ucapkan terima kasih banyak atas pertanyaan yang luar biasa menggugah ini.

Toko Kelontong Namiya Atsuya mendongak dari kertas surat, lalu menatap kedua temannya.

Mata mereka berdua tampak berkilauan.

Dan Atsuya yakin, matanya sendiri juga mengeluarkan kilau yang sama.

Tamat  
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar