Bab 4 Mengheningkan Cipta Bersama The Beatles
Begitu meninggalkan stasiun dan berjalan di sepanjang distrik pertokoan, Waku Kosuke sadar perasaan tidak nyaman yang sejak tadi bersemayam di dadanya semakin menjadi-jadi.
Dugaannya benar.
Ternyata masa-masa sulit juga menghantam kota ini.
Tahun 1970-an, kedatangan orang-orang dari daerah lain yang kemudian menetap telah menumbuhkan distrik pertokoan di depan stasiun ini.
Kini empat puluh tahun telah berlalu.
Zaman telah berubah.
Hampir di setiap sudut kota terpampang toko-toko dengan pintu gulung tertutup.
Rupanya kota ini pun tidak termasuk dalam perkecualian.
Ia berjalan perlahan sambil mencocokkan pemandangan sekitar dengan yang dulu pernah dilihatnya.
Memang kenangannya akan kota ini hanya samar-samar, tapi semakin banyak yang dilihac, ternyata banyak juga yang masih ia ingar.
Ia sendiri terkejut saat menyadari itu.
Bukan berarti kota ini sama sekali tidak berubah.
Toko ikan tempat ibunya dulu sering berbelanja kini telah menghilang dari distrik pertokoan.
Kalau tidak salah namanya Toko Uomatsu.
Dulu, pemiliknya yang berkulit kecokelatan karena terpaan sinar matahari sering berdiri menghadap jalan sambil menyapa pelanggan dengan ramah.
“Nyonya, kerang hari ini bagus-bagus, lho! Rugi kalau tidak beli! Bisa dihidangkan untuk suami Anda.” Apa yang terjadi pada toko ikan itu? Kalau tidak salah, ia pernah dengar si penjual ikan punya seorang putra yang akan mengambil alih bisnis toko itu, tapi ia sendiri tidak begitu ingat.
Mungkin ia salah mengingat toko itu dengan toko lain.
Pasti ada di sekitar sini, pikirnya penuh harap sambil berbelok ke kanan.
Ia tidak yakin bisa sampai ke tujuan dengan mulus.
Di tengah gelapnya jalan, Kosuke terus berjalan.
Memang ada lampu jalan, tapi tidak semuanya dinyalakan.
Sejak bencana gempa tahun lalu, diberlakukan peraturan penghematan tenaga listrik di seluruh penjuru Jepang.
Sekarang, masih untung kalau lampu jalan bisa menerangi langkahnya.
Dibandingkan dengan saat Kosuke masih kanak-kanak, rumah-rumah di wilayah ini tampak jauh lebih padat.
Samar-samar ia ingat saat masih duduk di bangku SD, betapa bersemangatnya ia saat mendengar rencana pengembangan kota ini.
Salah seorang teman sekelasnya berkata dengan semangat, “Kudengar mereka juga akan membangun gedung bioskop!” Sampai di titik tertentu, rencana tersebut memang berjalan lancar.
Lalu, tiba masanya gelembung ekonomi yang membuat kota ini menjadi tempat bermukim orang-orang yang sehari-hari bekerja di Tokyo.
Jalan tempat Kosuke berjalan mulai membentuk pertigaan huruf T.
Bukan sesuatu yang aneh, justru sesuai dengan ingatannya.
Kosuke berbelok ke kanan dan sesaat kemudian ia tiba di sebuah tanjakan kecil.
Kalau tidak salah ingat, ia hanya harus berjalan kaki sedikit lagi sebelum sampai di toko tersebut.
Tentu saja selama informasi yang dibacanya bukan sekadar gosip.
Kosuke terus berjalan sambil memandangi kakinya sendiri.
Kalau saja ia memandang ke depan, sebenarnya ia akan lebih cepat tahu bahwa toko itu masih berdiri.
Namun, ia terus melangkah tanpa mendongak.
Adakalanya mengetahui jawaban lebih awal justru membuatnya takut.
Di lain pihak, ia juga tidak ingin terlalu banyak berharap seandainya informasi itu terbukti palsu.
Kemudian ia menghentikan langkah.
Ia tahu toko itu tepat ada di sebelahnya karena dulu ia sering melewati jalan ini.
Kosuke mendongak dan langsung menarik napas panjang, yang kemudian diembuskannya kembali.
Ternyata toko itu memang ada.
Toko Kelontong Namiya.
Toko yang berkaitan erat dengan nasibnya.
Perlahan ia mendekat.
Huruf-huruf di papan nama toko sudah sulit dibaca, sedangkan pintu gulung toko penuh dengan karat.
Walaupun demikian, toko itu masih berdiri, seakan-akan menunggu kedatangan Kosuke.
Ia melirik jam tangannya.
Rupanya ia datang sedikit terlalu awal karena waktu belum menunjukkan pukul 23.00.
Kosuke memandang ke sekeliling.
Tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain.
Ia yakin tidak ada yang mendiami rumah ini.
Apa informasi itu sungguh dapat dipercaya? Apalagi informasi itu berasal dari internet, wajar saja ia sangsi.
Namun, apa gunanya menyebarkan informasi palsu dengan memakai nama “Toko Kelontong Namiya” di zaman sekarang? Pasti hanya sedikit orang yang mengetahui keberadaan toko ini.
Yah, pokoknya sekarang aku akan melihat-lihat keadaan sebentar, pikir Kosuke.
Ditambah lagi, ia belum menulis surat.
Kalaupun ia ingin terlibat dalam peristiwa ajaib ini, ia tak bisa bisa melakukannya tanpa surat.
Kosuke kembali ke jalan yang tadi dilewatinya, lalu melintasi daerah perumahan untuk kembali ke distrik pertokoan depan stasiun.
Sebagian besar toko di sana sudah tutup.
Tadinya ia berharap akan menemukan restoran yang buka 24 jam, tapi rupanya tidak ada.
Ia masuk ke sebuah konbini.
Ada beberapa barang yang harus ia beli.
Ia mengambil semua yang diperlukan di Pojok Alat Tulis sebelum bergegas menuju kasir.
Pegawai yang bertugas adalah seorang lelaki muda.
“Apakah di sekitar sini ada toko yang buka sampai larut? Misalnya izakaya" atau sejenisnya?” tanya Kosuke setelah selesai membayar belanjaannya.
“Di depan sana ada beberapa bar, hanya selisih beberapa bangunan dari sini, tapi saya sendiri belum pernah ke sana,” si pegawai menjawab singkat.
“Baik, terima kasih.” Kosuke meninggalkan konbini.
Setelah berjalan kaki sebentar, ia menemukan sederetan bangunan izakaya.
Tidak ada tandatanda bahwa toko ini juga ikut kecipratan efek makmur pembangunan.
Mungkin lebih sering hanya dijadikan tempat kumpulkumpul para pemilik toko yang merupakan penduduk asli kota ini.
Kosuke langsung berhenti melangkah saat melihat papan nama salah satu toko.
Di situ tertulis “Bar Fab4”.
Nama toko yang jelas tidak bisa dilewatkannya begitu saja.
Dibukanya pintu toko yang dicat hitam, kemudian mengintip ke dalam.
Di bagian depan ada dua meja, sedangkan bagian dalam dijadikan konter.
Seorang wanita yang mengenakan gaun terusan hitam tanpa leJzakaya: bar bernuansa khas Jepang yang menyediakan minuman beralkohol dan camilan.
Biasa dikunjungi orang-orang yang baru pulang dari kantor.
ngan sedang duduk di sebuah kursi tanpa sandaran.
Rambutnya dipotong pendek gaya bob.
Berhubung tidak ada orang lain di sana, mungkin dia adalah pemilik bar ini, seorang Mama.
Wanita itu menatap Kosuke dengan sedikit terkejut.
“Anda datang untuk minum?” Usianya sekitar pertengahan 40-an, wajahnya khas perempuan Jepang.
“Apakah masih bisa? Sudah larut begini.” Mendengar pertanyaan Kosuke, sang Mama tersenyum samar sambil turun dari kursi yang didudukinya.
“Masih bisa.
Bar ini buka sampai tengah malam.” “Kalau begitu, saya pesan minuman segelas.” Kosuke masuk ke bagian bar paling dalam dan memilih duduk di kursi paling ujung di konter.
“Anda tidak perlu duduk sejauh itu.” Wanita itu tertawa masam sambil menyodorkan handuk tangan hangat yang setengah basah.
“Saya yakin hari ini tidak ada lagi tamu yang datang.” “Tidak apa-apa.
Kebetulan ada yang ingin saya kerjakan sambil minum.” Kosuke menerima handuk itu yang lantas digunakannya untuk menyeka tangan dan wajah.
“Mengerjakan sesuatu?” “Ya, begitulah,” jawabnya samar.
Terlalu sulit untuk menjelaskannya.
Mama itu tidak menggali lebih jauh.
“Oh, begitu.
Silakan santai saja, saya tidak akan mengganggu.
Anda mau minum apa?” “Hm...
bir saja.
Ada bir hitam?” “Ada Guinness.
Bagaimana?” “Guinness juga boleh.” Sang Mama membungkuk di bagian dalam konter.
Sepertinya di sana ada kulkas.
Dia mengeluarkan sebotol Guinness, membuka tutupnya, lalu menuangkan isinya ke dalam gelas.
Caranya menuang bir sangat cekatan.
Buih setebal 2 cm yang menyerupai krim terapung-apung di atas gelas.
Kosuke meneguk birnya, lalu menyeka sudut mulutnya dengan tangan.
Rasa pahit yang khas menyebar di bagian dalam mulutnya.
“Kalau Mama-san mau, silakan ikut minum juga.” “Terima kasih banyak.” Setelah meletakkan sepiring kacang di depan Kosuke, wanita itu mengeluarkan sebuah gelas kecil kemudian menuangkan bir ke dalamnya.
“Mari minum,” katanya.
“Silakan,” jawab Kosuke sambil mengeluarkan isi kantong belanja konbini, yaitu kertas surat dan bolpoin.
Ia menjejerkan barang-barang itu di meja.
“Wah!” Wajah Mama-san tampak heran.
“Anda mau menulis surat?” “Benar.” Mama mengangguk paham, kemudian pindah ke tempat yang sedikit lebih jauh agar tamunya merasa lebih leluasa.
Kosuke kembali meneguk Guinness sebelum melayangkan pandangan ke sekeliling.
Untuk ukuran sebuah bar di kota kecil, tempat ini cukup memiliki cita rasa.
Baik kursi maupun meja dirancang dengan sederhana tapi berkelas.
Dinding bar ditempeli beberapa poster dan ilustrasi yang menampilkan empat pemuda yang merupakan artis paling populer empat puluh tahun lalu.
Ada juga yang bergambar kapal selam kuning bergaya pop.
“Fab4” adalah singkatan dari “Fabulous 4”, julukan untuk keempat anggota The Beares.
“Apakah bar ini memang dirancang dengan tema The Beatles?” Kosuke bertanya pada sang Mama.
Wanita itu hanya sedikit mengangkat bahu.
“Kurang lebih begitu.
Soalnya lumayan menjual.” “Hmmm.” Kosuke kembali mengedarkan pandangan ke bagian dalam toko.
Di dinding juga terpajang layar LCD.
Kosuke penasaran video mana yang akan diputar.
Hard Days Night? Atau Help? Ia tidak menyangka bakal menemukan video-video berharga seperti ini di sebuah bar di kota terpencil.
“Tentunya saat Mama-san lahir, The Beatles sudah lama bubar, bukan?” Wanita itu kembali mengangkat bahu.
“Jangan konyol.
Waktu saya masuk SMP, mereka baru bubar sekitar dua tahun.
Boleh dibilang di era kamilah mereka mencapai puncak kejayaan.
Di mana-mana diadakan banyak acara bertema The Beatles.” Kosuke menatap wajah wanita itu.
“Sepertinya tidak sopan mengajukan pertanyaan ini pada seorang wanita, tapi...” Seakan bisa menduga apa yang hendak ditanyakan, wanita itu tertawa masam.
“Di usia saya sekarang, sudah bukan waktunya lagi meributkan masalah umur.
Saya lahir pada Tahun Babi.” “Babi? Artinya...” Kosuke mengerjapkan mata.
“Anda hanya lebih muda dua tahun dari saya?” Sukar dipercaya bahwa wanita itu sudah berusia lebih dari lima puluh tahun.
“Ah, malah saya kira Anda yang lebih muda,” komentar Mama.
Tentu saja ini sekadar basa-basi.
“Mengejutkan sekali,” gumam Kosuke pada diri sendiri.
Mama mengulurkan sehelai kartu nama.
Di kartu itu tercantum nama Haraguchi Eriko.
“Anda bukan orang sekitar sini, bukan? Anda datang untuk urusan kerja?” Kosuke bimbang bagaimana harus menjawab.
Ia tidak begitu pandai berbohong.
“Bukan urusan kerja.
Saya pulang kampung.
Saya pernah tinggal di kota ini, kurang lebih empat puluh tahun yang lalu.” Wah...” Mata sang Mama membelalak.
“Berarti bisa saja kita pernah bertemu di suatu tempat.” “Bisa jadi.” Kosuke kembali meminum birnya.
“Omongomong, kenapa tidak memasang musik latar?” “Ah, maafkan saya! Anda tidak keberatan kalau saya memasang CD lagu-lagu standar?” “Apa saja boleh.” Mama kembali ke konter dan menyalakan sesuatu.
Sesaat kemudian, intro lagu yang sudah tidak asing lagi mengalun dari pengeras suara yang terpasang di dinding.
Itu intro lagu Love Me Do.
Botol bir pertama sudah kosong.
Kosuke memesan botol kedua.
“Anda masih ingat saat The Beatles datang ke Jepang?” Wanita itu mengiakan sambil meringis.
“Kalau tidak salah saya menonton lewat TV, tapi saya hanya ingat samar-samar.
Mungkin sebenarnya saya hanya mendengarnya dari obrolan kakak-kakak saya dengan teman mereka.” Kosuke mengangguk.
“Bisa jadi begitu.” “Anda sendiri masih ingat?” “Begitulah.
Sebenarnya waktu itu saya pun masih kecil, tapi saya melihatnya dengan mata kepala sendiri.
Walau bukan siaran langsung, saya ingat sempat menonton adegan The Bearles turun dari pesawat dan menyusuri jalan bebas hambatan kota dengan mobil Cadillac—baru belakangan saya tahu itu adalah Cadillac.
Lagu pengiring yang digunakan judulnya Mr.
Moonlight.” “Mr.
Moonlight,” ulang Mama.
“Lagu itu bukan lagu asli mereka, bukan?” “Benar.
Tapi karena mereka memainkannya saat konser di Jepang, lagu itu jadi sangat populer dan banyak orang mengira itu lagu asli mereka.” Sadar dirinya berbicara dengan nada berapi-api, Kosuke langsung menutup mulut.
Sudah lama ia tidak mengobrol tentang The Beatles.
“Zaman yang menyenangkan,” komentar Mama.
“Sangat menyenangkan.” Kosuke mengosongkan gelasnya, kemudian kembali menuang bir hitam.
Pikirannya kembali melayang ke masa empat puluh tahun silam.
Ketika The Beatles datang ke Jepang, Kosuke belum banyak tahu tentang mereka, selain mereka adalah grup beranggotakan empat orang dari luar negeri yang sangat populer.
Karena itulah ia sangat terkejut sepupu laki-lakinya menangis saat menonton tayangan kedatangan mereka di TV.
Sepupunya sudah duduk di bangku SMA, dan di mata Kosuke yang waktu itu berumur sembilan tahun, dia layaknya orang dewasa.
Ternyata di dunia ini ada orang-orang yang sedemikian hebat hingga kedatangan mereka ke Jepang saja bisa membuat seorang pria dewasa sampai menangis tersedu-sedu.
Tiga tahun kemudian, sepupunya meninggal akibat kecelakaan sepeda motor.
Sambil menangis, kedua orangtuanya menyesal setengah mati karena telah mengizinkannya memiliki SIM.
Di pemakaman, mereka juga bercerita bahwa putra mereka jadi bergaul dengan teman-teman yang memiliki pengaruh buruk akibat mendengarkan “musik sampah”.
Yang dimaksud adalah The Beatles.
Dengan nada sengit, ibu almarhum bersumpah akan membuang semua koleksi rekaman The Beatles milik sang anak.
“Kalau begitu, berikan padaku saja,” kata Kosuke.
Ia masih ingat peristiwa tiga tahun sebelumnya.
Ia ingin memastikan dengan telinganya sendiri, siapa sebenarnya The Beatles yang sanggup membuat sepupunya tergila-gila.
Ditambah lagi dalam waktu dekat Kosuke akan duduk di bangku SMP, masa-masa di mana minatnya pada musik begitu menggebu-gebu.
Kerabat lain meminta kedua orangtua Kosuke untuk mencegah putra mereka bersentuhan dengan musik, alasannya karena khawatir Kosuke akan menjadi anak berandalan seperti almarhum sepupunya.
Namun, orangtua Kasuke cuek saja.
“Penyebab berubahnya kelakuan seorang anak menjadi buruk tidak terbatas pada mendengarkan musik pop, apalagi pada dasarnya Tetsuo-kun anak yang baik.
Soal motor, aku percaya semua anak SMA yang penuh semangat pasti pernah mencoba mengendarainya.” Begitu kata Sadayuki, ayah Kosuke, sambil tertawa menghadapi kekhawatiran para kerabat yang sudah lanjut usia.
“Benar.
Putra kami akan baik-baik saja.” Ibu Kosuke, Kimiko, sependapat.
Kedua orangtua Kosuke memang menyukai hal-hal baru.
Pola pikir mereka berbeda dengan orangtua lain yang umumnya langsung menilai anak muda berambut gondrong sebagai seorang kriminal.
Almarhum sepupu Kosuke mengoleksi hampir semua rekaman The Beatles yang dirilis di Jepang.
Kosuke mendengarkan semua koleksi peninggalan sepupunya dengan sepenuh hati.
Selama ini, ia belum pernah mendengar musik seperti musik The Beatles.
Melodi yang untuk pertama kali dicicipinya, irama yang untuk pertama kali ini diresapinya, semua itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya.
Akibat kedatangan The Beatles, banyak band dengan fokus instrumen gitar elektrik bermunculan, bahkan pernah dalam suatu waktu wabah band itu menyapu industri musik Jepang.
Tapi menurut Kosuke, band-band itu sekadar meniru The Beatles, tak ubahnya sebuah tiruan yang buruk.
Buktinya wabah itu hanya berlangsung dalam waktu singkat sebelum akhirnya lenyap.
Ketika Kosuke masuk SMP, ternyata di kelasnya banyak penggemar The Beatles.
Sesekali ia mengundang teman-temannya ke rumah.
Saat memasuki kamarnya, biasanya teman-teman Kosuke akan berseru kagum melihat perangkat tata suara yang diletakkan di sana.
Itu wajar.
Di mata mereka, sistem yang terdiri atas gabungan perangkat amplifier model terbaru dan pengeras suara itu sama hebatnya dengan mesin dari masa depan.
Mereka bahkan terheran-heran mengapa perangkat seperti itu disimpan di kamar anak.
Masa itu, bahkan di rumah keluarga yang cukup kaya, perlengkapan stereo biasanya dipajang layaknya perabotan di ruang duduk, di mana sekeluarga bersama-sama mendengarkan musik.
“Kalimat favorit ayahku adalah jangan segan-segan mengeluarkan uang untuk seni”.
Apalagi kalau sudah urusan mendengarkan musik, apa gunanya kalau tidak bisa mendengarkan suara berkualitas tinggi?” “Hebat!” teman-teman Kosuke berseru iri.
Kosuke memutarkan lagu-lagu The Beatles untuk temantemannya menggunakan alat pemutar musik paling mutakhir masa itu.
Pokoknya semua album The Beatles yang dijual di Jepang pasti ada di kamarnya.
Tentu saja teman-temannya pun terkejut.
“Sebenarnya ayahmu kerja apa?” Demikian pertanyaan yang pasti diajukan oleh teman-temannya yang datang ke rumah.
“Aku tidak tahu detailnya, yang jelas dia membeli dan menjual macam-macam barang.
Kalau barang-barang yang dibeli murah itu kemudian dijual dengan harga tinggi, pasti dia akan dapat untung, kan? Dia punya perusahaan yang melakukan halhal seperti itu.” “Kalau begitu, ayahmu seorang direktur?” Menghadapi pertanyaan itu, biasanya dia akan menjawab, “Kurang lebih begitu.” Memang sulit untuk tidak terdengar bangga.
Sebenarnya, Kosuke tahu hidupnya memang penuh berkah.
Rumah yang ditinggali keluarganya adalah sebuah bangunan bertingkat dua gaya Eropa yang terletak di atas bukit.
Halamannya ditanami rumput: jika cuaca cerah, mereka sekeluarga suka mengadakan acara barbekyu di sana.
Pada saat-saat seperti itulah ayahnya sering dikunjungi para pegawai perusahaannya.
“Dulu warga Jepang masih dianggap kategori pegawai rendahan di mata dunia.” Sadayuki sering mengatakan hal itu di depan para pegawainya.
“Tetapi sekarang berbeda.
Kita harus menjadi pemimpin.
Untuk itu, penting bagi kita untuk mengenal dunia.
Memang negara-negara asing adalah rival bisnis kita, tapi mereka juga merupakan rekan bisnis.
Kalian jangan sampai melupakan hal itu.” Mendengar suara bariton ayahnya saat berbicara, Kosuke bangga bukan main.
Ia memercayai semua kata-kata ayahnya.
Ia juga yakin bahwa ayahnya adalah orang paling bisa diandalkan di muka bumi ini.
Berasal dari keluarga berada, Kosuke sama sekali tidak pernah mengalami masalah.
Koleksi mainan plastik, board game, piringan hitam...
Semua yang diinginkannya dapat diperoleh dengan mudah.
Bahkan benda-benda yang tidak pernah secara khusus ia minta pun bisa didapatkannya, seperti jam tangan dan pakaian mahal.
Kedua orangtuanya pun menjalani gaya hidup mewah.
Di pergelangan tangan Sadayuki melingkar arloji emas.
Dia juga selalu mengisap cerutu berkualitas tinggi dan membeli mobil keluaran terbaru.
Tentu saja ibu Kosuke, Kimiko, tidak mau kalah menampilkan citra berkelas.
Setiap kali berbelanja, dia akan memanggil staf sales ke rumah dan memesan semua barang yang ada dalam katalog.
“Jika seseorang mengenakan produk murah, dia akan menjadi manusia murahan,” kata Kimiko.
“Tidak sekadar terlihat murahan, tapi benar-benar jadi murahan luar-dalam.
Mungkin lebih tepat kalau dibilang bahwa barang-barang murah mengurangi kemanusiaan kita? Karena itulah, yang melekat di tubuh kita haruslah barang-barang berkualitas tinggi.” Kimiko sangat memperhatikan penampilan dan kecantikan diri.
Tidak heran jika dia kadang terlihat jauh lebih muda dibandingkan wanita lain seusianya.
Semua teman sekelas Kosuke terkejut saat Kimiko muncul pada Hari Kunjungan Orangtua.
Wah, senangnya punya ibu semuda itu...
Tidak terhitung berapa kali Kosuke mendengar komentar-komentar seperti itu.
Ia selalu percaya bahwa ia dan keluarganya bisa menggapai hal-hal setinggi langit, dan cahaya matahari akan terus menyinari mereka.
Setidaknya, begitulah yang ia kira.
Tapi kemudian ia mulai merasakan adanya perubahan.
Awalnya tidak kentara.
Kehadiran awan gelap tersebut mulai dirasakan sejak awal tahun 1970.
Topik terbesar pada tahun ini penyelenggaraan Pameran Internasional di Osaka.
Antusiasme warga pun mencapai puncaknya.
Kosuke yang akan duduk di kelas 2 SMP pada bulan April ingin mengunjungi pameran tersebut saat liburan musim semi.
Alasannya adalah ia bisa berbangga diri karena menjadi salah satu orang yang lebih awal mengunjunginya.
Ayahnya juga pernah berjanji akan pergi ke sana.
Tanggal 14 Maret, Pameran Internasional tersebut resmi dibuka dengan upacara gegap gempita.
Kosuke menyaksikannya lewat TV.
Meskipun upacara pembukaan yang disiarkan lewat kotak berwarna cokelat itu terkesan terlalu norak sehingga esensi utamanya tidak terasa, tapi paling tidak tujuan mereka untuk memperlihatkan kemajuan pesat Jepang dalam bidang ekonomi pada dunia telah tercapai.
Benar kata ayahnya.
Kini Jepang telah memimpin dunia.
Namun, belakangan Sadayuki mulai terkesan tidak berniat pergi ke pameran itu.
Ketika Kosuke menyinggung topik itu pada suatu malam, wajah Sadayuki berubah masam.
“Pameran? Saat ini tidak bisa.
Ayah sedang sibuk,” katanya tegas.
“Kalau sekarang tidak bisa, bagaimana kalau saat libur Golden Week?” Ayahnya tidak menjawab.
Dia sedang membaca surat kabar ekonomi dengan ekspresi kesal.
“Kau yakin mau pergi ke sana?” kata Kimiko yang duduk di seberang.
“Itu hanya acara tempat perwakilan berbagai negara memamerkan kelebihan masing-masing dengan beberapa wahana yang dibuat untuk hiburan anak kecil.
Masa anak SMP seperti kau masih mau pergi ke tempat seperti itu?” Kosuke tidak bisa membalas perkataan ibunya.
Tapi memang sebenarnya ia tidak punya tujuan khusus untuk pergi ke sana selain karena telanjur pamer pada teman-temannya.
“Pokoknya tahun ini kau harus fokus pada pelajaran.
Tahun depan kau sudah kelas 3, lalu tahu-tahu saja dalam setahun kau akan mengikuti ujian masuk SMA.
Tidak ada waktu untuk pergi ke pameran,” Kimiko menguliahi putranya dengan kata-kata yang tidak bisa dibantah.
Kosuke hanya diam.
Namun, keanehan yang dirasakannya tidak berhenti sampai di situ.
Kosuke mulai merasakan perubahan dalam berbagai hal di sekelilingnya.
Misalnya soal baju olahraga.
Karena dia sedang dalam masa pertumbuhan, dalam waktu singkat baju olahraganya jadi kekecilan.
Dalam kasus seperti ini, biasanya ia akan langsung dibelikan yang baru begitu meminta, tapi kini Kimiko menunjukkan reaksi berbeda.
“Sudah kekecilan? Padahal Ibu baru membelinya musim gugur lalu.
Bersabarlah sebentar.
Lagi pula kalau dibelikan yang baru, nanti juga akan kekecilan dalam waktu singkat.” Seakanakan tumbuh besar adalah kesalahan Kosuke.
Tidak pernah lagi ada pesta barbekyu di halaman.
Tidak ada lagi karyawan yang mampir di hari libur.
Sadayuki juga tidak pernah lagi pergi bermain golf.
Sebaliknya, keributan terus terjadi di rumah karena Sadayuki dan Kimiko bertengkar soal segala hal.
Kosuke tidak tahu pasti apa yang mereka pertengkarkan, tapi ia tahu itu berkaitan dengan uang.
“Seharusnya kau lebih serius menyikapi kondisi ini,” keluh Sadayuki.
Kimiko langsung membalas, “Ini tidak akan terjadi seandainya kau lebih pintar mencari uang!” Tahu-tahu saja mobil Ford Thunderbird kesayangan Sadayuki lenyap dari garasi.
Kini ayahnya berangkat kerja naik kereta api.
Kimiko pun tidak pernah lagi berbelanja.
Mereka berdua juga selalu terlihat jengkel.
Di tengah situasi seperti itulah Kosuke mendengar kabar yang mengejutkan: The Beatles bubar.
Begitu yang ditulis oleh surat kabar Inggris.
Ia langsung bertukar informasi dengan kawan-kawannya.
Zaman itu belum ada internet, apalagi Mixi—platform media sosial yang belakangan akan terkenal di Jepang.
Satu-satunya sumber berita untuk orang-orang awam adalah dari paparazi.
“Aku pernah lihat liputannya”, “Kata mereka di radio”, “Ada surat kabar asing yang membahas begitu” —kalau semua informasi dari sumber-sumber tidak jelas seperti itu dikumpulkan, beritanya akan jadi terdengar nyata.
Mustahil, pikir Kosuke.
Kenapa harus terjadi sekarang? Alasan yang menjadi penyebab bubarnya grup itu sangat simpang siur.
Ada yang bilang istri Paul McCartney tidak akur dengan Yoko Ono, ada juga yang bilang George Harrison sudah muak dengan kegiatan grup.
Mana yang benar dan mana yang bohong, Kosuke sama sekali tidak tahu.
“Kau tahu?” Salah seorang temannya bercerita.
“Soal konser di Jepang, katanya The Beatles tidak ingin melakukannya.
Tapi karena dianggap menguntungkan, pihak perusahaan memaksa mereka.
Saat itu The Beatles sudah muak mengadakan konser dan ingin berhenti saja.
Sebenarnya itulah alasan mereka berhenti mengadakan konser.” Kosuke pernah mendengar cerita itu, tapi tidak percaya.
Mungkin lebih tepatnya, tidak ingin memercayainya.
“Tapi kudengar konser itu sangat meriah.
Para anggota The Beatles juga tampak menikmatinya.” “Itu tidak benar.
Awalnya mereka bahkan tidak berniat bermain serius.
Mereka berpikir suara penonton pasti akan begitu berisik sampai lagu maupun instrumen mereka tak bakal terdengar.
Jadi mereka yakin tidak akan ada seorang pun yang sadar apakah mereka menyanyi dan memainkan instrumen dengan baik atau tidak.
Tapi karena penonton di Jepang jauh lebih tenang daripada yang mereka sangka, dan suara di panggung terdengar jelas, akhirnya di tengah-tengah konser mereka harus kembali bermain serius.” Kosuke menggeleng-geleng.
“Aku tidak percaya.” “Itu benar.
Aku juga tak mau percaya, tapi mau bilang apa lagi? Para anggota The Beatles juga manusia.
Bagi mereka, Jepang tak ubahnya negara kecil kampungan.
Pasti yang ada di benak mereka saat itu kurang lebih seperti “Ah, biar saja kami sedikit berpura-pura di beberapa bagian, yang penting setelah konser ini kami bisa langsung pulang ke Inggris.” Kosuke terus menggeleng.
Kenangannya akan kedatangan The Beatles yang disiarkan TV muncul kembali di benaknya, juga wajah mendiang sepupunya yang menangis saat menonton sang idola.
Jika yang dikatakan sahabatnya benar, lalu apa artinya air mata sepupunya itu? Setibanya di rumah, Kosuke lantas mengurung diri di kamar dan terus mendengarkan lagu-lagu The Beatles.
Ja masih sulit percaya bahwa grup itu tidak akan lagi merilis lagu baru.
Waktu terus berlalu dalam suasana penuh tekanan.
Liburan musim panas akhirnya tiba, tapi suasana hati Kosuke sama sekali tidak secerah cuaca di luar sana.
Ia terus memikirkan soal The Beatles, apalagi setelah beredar informasi bahwa film tentang mereka yang berjudul Let It Be akan segera tayang.
Namun, film itu tidak akan diputar di kota kediaman Kosuke dan kawan-kawan.
Menurut kabar burung, dengan menonton film itu orang-orang akan mengetahui alasan di balik bubarnya The Beatles.
Kosuke sampai tidak bisa tidur karena terus memikirkan seperti apa ceritanya.
Pada masa itulah ia disudutkan untuk mengambil keputusan penting yang menyangkut kehidupannya, keputusan yang baginya ibarat angin perubahan besar.
Pada suatu malam, seperti biasa Kosuke sedang asyik mendengarkan lagu-lagu The Beatles di kamar, mendadak pintu kamarnya terbuka tanpa diketuk terlebih dulu.
Ternyata Kimiko yang datang.
Kosuke sudah siap mengeluh, tapi langsung bungkam karena belum pernah melihat wajah ibunya sesuram itu.
“Kemarilah sebentar.
Ada hal penting yang ingin kami bicarakan.” Kosuke hanya bisa diam dan mengangguk.
Ia mematikan tombol pengeras suara.
Meskipun tidak tahu apa yang akan dibicarakan, sejak dulu ia sudah menduga saat seperti ini akan tiba.
Mungkin ini akan jadi pembicaraan yang tidak menyenangkan, pikirnya.
Sadayuki sedang meminum brendi di ruang duduk.
Brendi mahal bebas pajak yang dibelinya saat pergi ke luar negeri Begitu Kosuke duduk, Sadayuki mulai berbicara.
Isi pembicaraannya mengubah kehidupan Kosuke seratus delapan puluh derajat.
Akhir bulan ini mereka akan pindah dan Kosuke diminta bersiap-siap.
Ayah Kosuke juga melarangnya memberitahukan rencana ini pada siapa pun.
Kosuke sama sekali tidak mengerti.
Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa mereka harus pindah semendadak ini? Sadayuki menjawab, “Ayah ini seorang pebisnis.
Bisnis itu sama seperti perang.
Penting bagi kita untuk merebut aset musuh.
Kau paham, bukan?” Kosuke mengangguk karena ayahnya sering mengoceh seperti itu.
Sadayuki melanjutkan, “Saat sedang berperang, kadang ada waktunya kita harus mundur.
Itu hal yang wajar karena jika kita sampai tewas, habislah semuanya.
Soal ini pasti kau juga sudah paham.” Kali ini Kosuke tidak mengangguk.
Memang wajar jika itu terjadi dalam perang sungguhan.
Tapi apa benar nyawa seseorang bisa terenggut hanya gara-gara bisnis? Namun, Sadayuki sepertinya tidak ambil pusing dan melanjutkan, “Kita akan “mundur pada akhir bulan, yang berarti rumah ini akan ditinggal untuk musuh.
Tapi tidak apa-apa, kau tak usah cemas.
Yang perlu kaulakukan hanya tutup mulut.
Tidak masalah juga kalau kau harus pindah sekolah.
Kebetulan sekarang sedang liburan musim panas, jadi kita bisa menunda sampai semester berikutnya selesai.” Kosuke terperanjat.
Ia harus memulai semester dari awal di sekolah baru? “Tidak akan terjadi apa-apa,” kata Sadayuki ringan.
“Banyak anak lain yang terpaksa pindah sekolah karena pekerjaan ayahnya.
Ini bukan hal yang aneh.” Untuk pertama kalinya, ucapan ayahnya membuat Kosuke merasa gelisah.
Gelisah menghadapi kehidupan.
Keesokan harinya, Kosuke mendekati ibunya yang tengah memasak di dapur.
Ia berdiri di depan pintu dapur dan bertanya, “Apakah kita akan kabur di malam hari?” Kedua tangan Kimiko yang sedang menggoreng sesuatu di panci terhenti.
“Kau dengar dari mana?” Kosuke menggeleng.
“Tidak dari siapa-siapa.
Tapi dari pembicaraan Ayah terakhir, aku mendapat kesan seperti itu.” Kimiko mendesah, lalu kembali melanjutkan memasak.
“Pokoknya jangan beritahu orang lain.” Sanggahan yang diam-diam ia harapkan ternyata tidak muncul.
Hidupnya jadi suram.
“Kenapa harus seperti ini? Apakah kita benar-benar sudah tidak punya uang sepeser pun?” Ibunya tidak menjawab.
Kimiko hanya membisu sementara tangannya terus bekerja.
“Memangnya apa yang terjadi? Bagaimana dengan SMA-ku nanti? Aku harus pergi ke SMA mana?” Kimiko hanya menggeleng pelan.
“Soal itu akan kita pikirkan kalau sudah tiba di sana.” “Di sana itu di mana? Di mana kita akan tinggal?” “Cukup!” kata Kimiko seraya memunggungi anaknya.
“Kalau ingin protes, protes kepada ayahmu.
Dia yang memutuskan semuanya.” Kosuke kehabisan kata-kata.
Perasaannya campur aduk, ia tidak tahu apakah dirinya harus marah atau bersedih.
Selama hari-hari berikutnya, ia mengurung diri di kamar dan mendengarkan lagu-lagu The Beatles.
Ia memakai headphone dan menyetel volume kencang.
Hanya dengan cara itu ia bisa melupakan segala pikiran yang tidak menyenangkan.
Namun, bahkan satu-satunya kesenangan yang tersisa itu pun direnggut.
Sadayuki menyuruhnya menyingkirkan semua perangkat stereo.
Sudah pasti Kosuke protes.
Ia menolak mentah-mentah.
Ayahnya tetap bersikeras.
“Sulit membawa benda sebesar itu saat pindah rumah.
Nanti setelah semuanya beres, akan Ayah belikan perangkat stereo baru.
Untuk sementara kau harus bersabar,” kata Sadayuki dengan nada dingin.
Amarah Kosuke meledak.
“Kita bukan pindah rumah!” katanya tanpa pikir panjang.
“Tapi kabur di tengah malam!” Sadayuki melotot ke arahnya dengan penuh amarah.
“Kau...
Awas kalau kau sampai bicara di luar sana!” Gaya bicaranya sekarang mirip yakuza.
“Tolong hentikan.
Tolong.
Kenapa kita harus kabur diamdiam?” “Tutup mulut! Kalau tidak paham lebih baik diam saja!” “Tapi...” “Kita bisa dibunuh!” Sadayuki melotot.
“Kalau sampai ketahuan kita kabur saat tengah malam, kita semua akan dibunuh! Memangnya kau mau? Hanya ada satu kesempatan dan kita harus memutuskan dengan hati-hati.
Jika gagal, bisa-bisa kita bertiga harus gantung diri! Karena situasinya sudah separah ini, kita harus bisa kerja sama.” Mata ayahnya terlihat merah.
Kosuke kehilangan kata-kata.
Sesuatu dalam dirinya bergemuruh, dunianya luluh lantak.
Beberapa hari kemudian, beberapa lelaki asing datang ke rumah dan mengangkut semua peralatan stereo yang ada di kamar Kosuke.
Salah seorang dari mereka menyerahkan uang pada Kimiko.
Sadayuki tidak terlihat batang hidungnya.
Sambil memandangi kamarnya yang kosong, pikiran-pikiran brutal berkecamuk di hati Kosuke.
Ia ingin mati saja, merasa hidup ini tidak lagi memiliki arti.
Karena sudah tidak bisa mendengarkan lagu-lagu The Beatles, tidak ada alasan lagi baginya untuk mengurung diri di rumah.
Kosuke mulai sering menghabiskan waktu di luar, hanya saja ia tidak menemui sahabat-sahabatnya karena khawatir akan kelepasan membeberkan rencana kabur itu pada mereka.
Ia juga merasa sulit menjelaskan kenapa perangkat stereo di kamarnya sudah tidak ada kalau teman-temannya mampir ke rumah.
Karena hanya memiliki sedikit uang, ia tidak bisa menghabiskan waktu lama di game center.
Tempat yang kini paling sering dikunjunginya adalah perpustakaan.
Perpustakaan terbesar di kota ini memang terbilang lengang, dengan perkecualian Ruang Belajar yang selalu ramai oleh para siswa karena dipasangi AC.
Sebagian besar dari mereka adalah siswa SMA yang hendak menempuh ujian masuk universitas dan para ronin?.
Sambil mengamati mereka yang tengah fokus gila-gilaan belajar, Kosuke merasa gelisah dan bertanya-tanya apakah kelak dirinya juga bisa seperti mereka.
Ia sudah kehilangan harapan terhadap orangtuanya, terutama pada Sadayuki.
Selama ini ia sangat bangga pada ayahnya.
Semua yang dilakukan ayahnya selalu terlihat benar sehingga ia percaya dirinya bisa sukses jika mengikuti jejak sang ayah.
Namun, faktanya ternyata bertolak belakang.
Dari beberapa bagian percakapan kedua orangtuanya yang sempat tertangkap olehnya, Kosuke akhirnya mengerti garis besar apa yang sebenarnya terjadi.
Ternyata Sadayuki bukan hanya pebisnis gagal, tapi juga seorang pengecut yang berniat kabur karena terlilit utang besar dan membiarkan orang lain mengurus utang-utangnya.
Entah bagaimana, Sadayuki telah melakukan hal-hal yang merugikan perusahaan.
Para pegawai perusahaan sepertinya tidak diberitahu tentang kondisi ini karena ada kemungkinan semuanya akan terbongkar pada akhir bulan, sementara Sadayuki hanya ingin menyelamatkan diri sendiri dan keluarganya.
Apa yang harus Kosuke lakukan? Apakah mengikuti arahan orangtuanya adalah satu-satunya cara agar bisa bertahan hidup? Sebenarnya ia tidak mau menjalankan rencana tidak jelas begitu, tapi tidak ada pilihan lain.
Sambil membaca buku-buku tentang The Beatles yang tersedia di perpustakaan, Kosuke terus memikirkan masalah itu.
Tak satu pun buku yang menyimpan jawabannya.
"Ronin: istilah untuk para lulusan SMA yang gagal menempuh ujian masuk universitas dan memutuskan belajar sendiri supaya bisa menempuh ujian tahun berikutnya (mengambil gap year).
Hari di mana mereka sekeluarga berencana kabur semakin dekat, dan Kosuke masih tidak tahu harus berbuat apa.
Kedua orangtuanya sudah menyuruhnya untuk membereskan barangbarang, tapi ia seolah tidak punya tenaga untuk melakukan apa pun.
Suatu hari, Kosuke yang hendak pergi ke perpustakaan terpaksa mengambil jalan memutar karena jalan yang biasa digunakan sedang ditutup untuk perbaikan.
Sekelompok anak tampak sedang berkerumun di salah satu toko di pinggir jalan.
Mereka tertawa-tawa sambil mendongak menarap dinding toko.
Kosuke mendekat, lalu ikut mendongak di belakang anakanak itu.
Tampak beberapa lembar kertas menyerupai kertas surat ditempelkan pada dinding toko.
Pertanyaan: Gamera kan terbang sambil berputar-putar.
Apakah dia tidak pusing? —Sobat Gamera Jawaban: Kurasa Gamera belajar balet.
Penari balet kan tidak merasa pusing walau berputar-putar secepat apa pun.
—Toko Kelontong Namiya Pertanyaan: Aku ingin meniru Atlet 0? memukul bola hanya dengan mengandalkan satu kaki, tapi malah gagal mencetak home-run.
Bagaimana caranya? —Penakluk Base Bisbol ) Sadaharu (alias Wang Chen-chih), atlet bisbol keturunan China-Jepang yang bermain selama 22 musim untuk Klub Yomiuri Giants.
Jawaban: Kau harus berhasil melakukan home-run dengan dua kaki, baru coba dengan satu kaki.
Kalau dengan dengan dua kaki masih belum bisa, bagaimana kalau tambahkan satu kaki lagi supaya total ada tiga? Yang penting, sejak awal tak perlu memaksakan diri.
— Toko Kelontong Namiya Oh, jadi ini toko itu.
Kini Kosuke paham.
Ia pernah mendengar cerita tentang tempat ini dari teman-temannya.
Katanya, orang-orang bisa berkonsultasi tentang masalah mereka di toko ini, walau tentu saja kebanyakan bukan masalah yang serius, melainkan pertanyaan iseng untuk menggoda si kakek pemilik Toko Kelontong Namiya.
Yang menarik adalah si kakek selalu punya jawaban bagus untuk pertanyaan-pertanyaan itu.
Buang-buang waktu saja, pikir Kosuke.
Seperti permainan anak kecil.
Namun, mendadak ia mendapat ilham.
Ia lantas buru-buru pulang.
Sadayuki masih di kantor, dan Kimiko pun tidak ada di rumah.
Kosuke masuk ke kamar dan mengambil kertas yang biasa digunakan untuk menulis laporan sekolah.
Karena ia tidak begitu pandai menyusun kalimat, butuh lebih dari setengah jam untuk menyelesaikan surat yang isinya sebagai berikut: Kedua orangtuaku akan membawaku kabur dari rumah pada malam hari.
Kudengar mereka terlilit utang besar dan tidak bisa melunasinya.
Akibatnya perusahaan Ayah terancam bangkrut.
Akhir bulan ini rencananya kami akan pergi diam-diam.
Mereka juga bilang aku akan pindah sekolah.
Aku ingin melakukan sesuatu untuk mencegah mereka, apalagi kudengar para penagih utang pasti akan terus mengejar ke mana pun kami pergi.
Aku takut selamanya harus menjalani hidup dengan terus melarikan diri.
Apa yang sebaiknya kulakukan? Paul Lennon Setelah beberapa kali membaca surat tersebut, Kosuke melipatnya menjadi empat dan memasukkannya ke saku celana jins sebelum meninggalkan rumah.
Mengambil rute yang sama dengan tadi, akhirnya ia tiba di depan Toko Kelontong Namiya.
Ia mengamati bagian dalam toko itu dari seberang jalan, dan sepenglihatannya tidak ada pengunjung lain.
Kakek pemilik toko pun sedang membaca surat kabar di dalam sana.
Ini kesempatan bagus, pikirnya.
Setelah menarik napas panjang satu kali, Kosuke mendekati toko.
Tadi ia sudah memastikan letak kotak tempat memasukkan surat permohonan konsultasi, lokasinya memang sulit terlihat dari tempat si kakek berada sekarang.
Tentu saja memang karena sengaja dibuat begitu.
Sambil terus mengawasi si kakek, Kosuke masuk ke toko.
Kini kakek itu sedang membaca surat kabar yang dibentangkan lebar-lebar.
Kosuke lantas mengeluarkan kertas yang dilipat empat dari saku celananya, lalu ia berdiri sambil mendongak ke arah tembok yang ditempeli kertas-kertas.
Kotak yang dicarinya tepat ada di depan dinding.
Jantungnya mulai berdegup kencang.
Keragu-raguan mulai menyelimutinya.
Apakah ia sungguh-sungguh yakin mau melakukan ini? Pada saat bersamaan, terdengar suara anak-anak.
Sepertinya ada beberapa orang.
Gawat, batinnya.
Kalau mereka sampai datang ke toko, hilang sudah kesempatannya.
Tanpa pikir panjang lagi, ia mendorong surat itu masuk ke kotak.
Trek.
Terdengar bunyi keras saat surat itu membentur dasar kotak, lebih keras daripada perkiraannya.
Ia langsung berjengit.
Anak-anak itu masuk dengan heboh.
“Kakek! Ada kotak pensil Kitar6?” seru salah seorang dari kerumunan anak yang sepertinya masih kelas 5 SD.
“Oh, ya.
Aku berhasil dapat beberapa buah dari toko agen.
Yang seperti ini?” “Wow! Anak itu langsung bersorak.
“Persis sekali! Sama seperti yang kulihat di majalah.
Kakek, tunggu sebentar ya.
Aku pulang ke rumah dulu untuk mengambil uang.” “Boleh.
Hati-hati di jalan.” Kosuke meninggalkan toko sambil menyimak percakapan di belakangnya.
Rupanya anak itu memesan kotak pensil bergambar karakter Ge Ge Ge no Kitaro.
Sebelum mulai berjalan, Kosuke menyempatkan diri menoleh satu kali ke arah toko, tepat saat si kakek pemilik toko juga menatap ke arah wajahnya.
Untuk sedetik, tatapan mereka bertemu sebelum Kasuke buru-buru membuang muka dan bergegas pergi.
Dalam perjalanan pulang, ia mulai menyesali tindakannya.
Seandainya saja ia tidak memasukkan surat itu.
Kakek itu telanjur mengetahui wajahnya, belum lagi ia sempat menimbulkan bunyi keras saat hendak memasukkan surat.
Bagaimana jadinya nanti saat kakek itu membuka kotak dan menemukan surat tadi, bisa-bisa dia langsung tahu bahwa Kosuke-lah pengirimnya? Di luar kekhawatiran tersebut, Kosuke sebenarnya tidak peduli.
Yang penting adalah surat itu akan dipajang.
Pasti kakek itu akan memajang surat dari “Paul Lennon” seperti kebiasaannya selama ini, bukan? Kosuke tidak tahu bagaimana si kakek akan menjawab suratnya, tapi yang terpenting adalah: suratnya akan dibaca oleh para penduduk kota.
Seseorang di kota ini berencana melarikan diri—mungkin ini akan menjadi bahan gosip.
Gosip yang menyebar itu pasti akan sampai juga ke telinga orang-orang yang meminjamkan uang pada perusahaan milik Sadayuki, dan mereka akan mulai curiga jangan-jangan keluarga Waku Sadayuki-lah yang berencana melarikan diri.
Jika itu benar, mereka pasti akan bereaksi.
Tentu akan sangat sempurna jika orangtua Kosuke lebih dulu mendengar gosip itu hingga memutuskan membatalkan rencana mereka.
Ini adalah pertaruhan Kosuke.
Pertaruhan nekat yang dilakukan oleh seorang siswa kelas 2 SMP.
Keesokan sorenya, Kosuke meninggalkan rumah dan langsung menuju Toko Kelontong Namiya.
Untungnya si Kakek tidak ada di depan toko, mungkin sedang ke kamar mandi.
Merasa ini saat yang tepat, Kosuke mendongak menatap dinding.
Jumlah kertas yang ditempelkan di sana memang bertambah selembar, tapi bukan sebuah jawaban.
Begini yang tertulis pada kertas itu: Kepada Paul Lennon-san, Saya sudah menerima surat Anda.
Jawaban surat sudah saya masukkan ke kotak penyimpanan botol susu.
Silakan memutar ke belakang rumah.
Untuk yang lain, Surat yang ada di kotak susu itu adalah jawaban dari Toko Kelontong Namiya untuk Paul Lennon-san.
Selain dia, jangan sampai ada orang lain yang menyentuhnya.
Melihat surat orang lain seenaknya atau mencurinya adalah tindak kejahatan.
Terima kasih atas perhatiannya.
Toko Kelontong Namiya Kosuke tertegun.
Perkembangan ini sama sekali di luar dugaan karena ternyata suratnya tidak dipajang di dinding.
Niatnya untuk bertaruh langsung lenyap bagaikan tersapu angin.
Namun, kini ia jadi penasaran.
Nasihat apa yang ditulis oleh si kakek? Kosuke pergi ke bagian dalam toko, lalu setelah memastikan tidak ada orang lain, ia melangkah ke gang selebar satu meter di sebelah toko.
Ia terus berjalan hingga sampai di belakang rumah.
Di sana ada pintu masuk dan tepat di sampingnya tergantung sebuah kotak kayu penyimpanan botol susu.
Dengan takut-takut ia membuka tutup kotak.
Yang ada di dalam sana bukan botol susu, melainkan sebuah amplop.
Kosuke meraih amplop itu dan mengamatinya.
Di bagian depan tertulis “Untuk Paul Lennon-san”.
Ia kembali ke gang sambil memegang amplop itu erat-erat.
Saat hendak keluar dari situ, ia buru-buru membungkuk karena ada seseorang yang melintas.
Setelah memastikan tidak ada siapasiapa, ia pun bergegas lari.
Kosuke sampai di perpustakaan.
Namun, alih-alih masuk seperti biasa, kali ini ia duduk di bangku di sebuah taman kecil di depan perpustakaan.
Diamatinya kembali amplop yang dilem dengan rapi itu, mungkin supaya jangan sampai dibaca oleh orang yang tidak berkepentingan.
Dengan hati-hati, ia membuka amplop tersebut menggunakan ujung jari.
Ada beberapa lembar kertas surat yang terlipat di dalamnya.
Rupanya surat Kosuke sebelumnya juga ikut dilampirkan.
Ia membuka kertas itu dan melihat sederetan huruf-huruf rapi yang ditulis dengan pena hitam.
Untuk Paul Lennon-san, Saya sudah membaca surat Anda dan jujur, saya sangat terkejut.
Sebenarnya kegiatan konsultasi masalah ini dimulai dari ulah anak-anak yang terus menyebut toko saya sebagai “Toko Kelontong Nayami”.
Bagi saya, ini murni hiburan, tidak lebih dari sekadar permainan.
Tapi dari surat Anda, saya bisa merasakan betapa mendesak dan pentingnya masalah Anda.
Saat membacanya, saya sempat mengira mungkin Paul Lennon-san telah salah sangka karena termakan gosip tentang Toko Kelontong Namiya yang bisa memecahkan masalah apa saja, sehingga Anda menulis masalah seserius ini.
Seandainya benar, saya merasa surat ini harus dikembalikan karena akan lebih baik jika Anda mencari orang lain yang lebih tepat untuk berkonsultasi.
Itulah alasan surat Anda saya selipkan dalam amplop.
Namun, di lain pihak, rasanya sangat tidak bertanggung jawab kalau saya sama sekali tidak menanggapi surat Anda.
Walau mungkin Anda telah salah sangka, setidaknya saya harus mencoba memberikan beberapa jawaban karena sejak awal niat Anda adalah berkonsultasi dengan Kakek yang ada di Toko Kelontong Namiya.
Meskipun dengan kapasitas otak yang pas-pasan, saya berpikir keras apa yang sebaiknya Anda lakukan.
Yang terbaik tentu saja Anda meminta pada orangtua Anda untuk membatalkan rencana kabur itu.
Saya sendiri kenal beberapa orang yang pernah melakukannya.
Walau tidak tahu persis kasus mereka, saya merasa mungkin mereka tidak begitu bahagia.
Bisa saja ada saat di mana mereka merasa lega sesaat, tapi seperti Anda bilang, mereka harus terus menghindari kejaran tukang kredit atau yang lainnya.
Mungkin Anda akan kesulitan untuk meyakinkan orangtua Anda.
Saya yakin mereka mengambil keputusan seperti itu setelah memikirkannya masak-masak.
Dan mereka sudah pasti tahu lebih banyak detail penting tentang situasi tersebut ketimbang Anda.
Seandainya mudah mengubah pikiran mereka, Anda tentu tidak akan menulis surat kepada saya.
Izinkan saya menanyakan satu hal.
Bagaimana perasaan Anda terhadap orangtua Anda? Sayang? Benci? Memercayai mereka atau justru kepercayaan itu kini sudah hilang? Dari pertanyaan Anda, saya menduga sebenarnya yang ingin ditanyakan bukan apa yang sebaiknya keluarga Anda lakukan, tapi apa yang harus Anda lakukan.
Karena itulah, pertama-tama saya ingin tahu bagaimana hubungan Anda dengan kedua orangtua Anda.
Seperti yang saya tulis di awal surat, ini kali pertama Toko Kelontong Namiya menerima permohonan diskusi topik serius, jadi saya belum bisa memberikan jawaban yang sepantasnya.
Saya maklum jika itu membuat Anda kehilangan kesabaran, tapi seandainya Anda masih mau melanjutkan berkonsultasi, tolong jawab pertanyaan tadi dengan jujur.
Dengan begitu, saya bisa memberikan saran-saran yang mungkin bisa membantu.
Untuk selanjutnya, Anda tidak perlu memasukkan surat ke kotak permohonan konsultasi.
Karena pintu gulung toko ini selalu ditutup pada pukul 20.00, silakan masukkan surat Anda lewat lubang surat di pintu itu.
Surat balasan akan saya masukkan ke kotak susu pagi-pagi sekali keesokan harinya.
Anda bisa mengambilnya setelah toko buka atau setelah toko tutup.
Waktu buka toko adalah pukul 08.30.
Maaf jika jawaban saya terkesan belum selesai, tapi saya sudah berusaha sebaik mungkin menulisnya.
Mohon maaf sebesarbesarnya.
Toko Kelontong Namiya Kosuke termenung setelah membaca surat itu.
Dibacanya sekali lagi dari awal supaya benar-benar memahami isinya.
Pertama, kini ia mengerti alasan Kakek tidak menempelkan suratnya.
Kalau dipikir-pikir memang wajar, mengingat setengah dari isi surat yang ditempel di dinding selama ini tak lebih dari lelucon dan si Kakek yang menganggapnya lucu ingin memperlihatkannya pada semua orang.
Namun, karena topik konsultasi kali ini sangat serius, wajar saja kalau Kakek Toko Namiya enggan membaginya dengan orang banyak.
Selain itu, Kakek juga bilang akan membantu memecahkan masalahnya sebaik mungkin, alih-alih menolak dengan alasan tidak menerima permintaan konsultasi masalah berat.
Itu saja sudah membuat Kosuke senang.
Setidaknya perasaannya kini sedikit lebih tenang karena ada orang lain yang mengetahui beban masalahnya.
Ia bersyukur telah menulis surat itu.
Masalahnya, Kakek belum memberikan jawaban yang pasti.
Dia hanya meminta Kosuke menjawab pertanyaannya lebih dulu.
Kelihatannya setelah itu baru dia akan memberikan jawaban.
Malam itu, Kosuke kembali duduk menghadapi lembaran kosong kertas laporan sekolah.
Ia hendak menjawab semua pertanyaan dari Kakek.
Bagaimana perasaan Anda terhadap orangtua Anda? Kosuke menggeleng.
Seperti apa perasaannya terhadap mereka? Ia sendiri tidak begitu paham.
Setelah duduk di bangku SMP, kejengkelannya pada mereka memang semakin bertambah, tapi tidak sampai benci.
Ia hanya kesal karena mereka sering ikut campur urusannya dan memperlakukannya seperti anak-anak.
Namun, setelah muncul rencana melarikan diri itu, ia benarbenar kecewa pada mereka.
Jika ditanya apakah ia menyayangi atau membenci mereka, ia hanya bisa menjawab bahwa ia benci situasinya sekarang, yang merupakan akibat perbuatan orangtuanya.
Ia juga tak lagi bisa percaya pada orangtuanya, makanya ia ragu apakah mengikuti rencana mereka sungguh merupakan pilihan paling tepat.
Meski sudah dipikir berulang kali, hanya jawaban itu yang muncul di benaknya.
Akhirnya Kosuke pun menulis apa adanya.
Selesai menulis, ia melipat kertas itu dan menyelipkannya ke saku celana, bersiap untuk pergi.
Ketika Kimiko bertanya ia mau ke mana, Kosuke hanya menjawab “ke rumah teman”.
Mungkin karena benak Kimiko sedang kalut akibat rencana melarikan diri, ibunya juga tidak bertanya lebih jauh.
Saat itu Sadayuki masih belum pulang.
Karena waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 lebih, pintu gulung Toko Kelontong Namiya sudah dalam keadaan tertutup.
Kosuke memasukkan kertas surat yang dilipat empat ke lubang surat, kemudian bergegas pergi.
Keesokan harinya ia bangun pada pukul 07.00 lebih sedikit.
Semalam ia tidak bisa tidur nyenyak.
Kedua orangtuanya masih tidur.
Diam-diam Kosuke meninggalkan rumah.
Pintu gulung Toko Kelontong Namiya masih tertutup.
Ia mengamati keadaan sekelilingnya, memastikan tidak ada orang lain, lalu masuk melalui gang di samping toko.
Perlahan, dibukanya tutup kotak botol susu.
Sama seperti kemarin, di dalamnya ada amplop.
Setelah memastikan surat itu memang untuknya, ia segera angkat kaki dari tempat itu.
Kosuke tidak bisa menunggu sampai ia tiba di perpustakaan.
Melihat ada sebuah truk kecil diparkir di ujung jalan, ia pun duduk di bawah bayang-bayang truk dan mulai membaca surat balasan itu.
Kepada Paul Lennon-san, Saya memahami perasaan Anda.
Dalam situasi seperti sekarang, saya paham alasan Anda tidak bisa memercayai kedua orangtua Anda, bahkan mungkin wajar jika Anda sampai membenci mereka.
Namun, saya tidak bisa menyarankan sesuatu seperti “abaikan saja orangtuamu dan pilihlah jalan yang menurutmu benar”.
Konsep sederhana saya tentang keluarga adalah, sebisa mungkin mereka harus selalu bersama-sama, tentu saja kecuali mereka berpisah demi mengejar hal positif.
Memisahkan diri dari keluarga, entah dengan alasan benci atau kesal, menurut saya bukan wujud keluarga sesungguhnya.
Anda menulis “saat ini aku membenci kedua orangtuaku”.
Saya masih menaruh harapan pada dua kata “saat ini”.
Itu berarti dulu Anda menyayangi mereka dan bukannya tidak mungkin ke depannya perasaan Anda akan kembali seperti dulu.
Itu berarti hanya ada satu pilihan.
Melarikan diri bukan sesuatu yang baik.
Jika memungkinkan, Anda harus mencegahnya.
Tapi seandainya memang tidak bisa, menurut saya sebaiknya Anda ikuti kemauan orangtua Anda.
Orangtua Anda berpikir layaknya orangtua, saya percaya mereka pasti juga sadar bahwa melarikan diri tidak akan memecahkan masalah.
Mungkin mereka merencanakan untuk bersembunyi sementara, menanti kesempatan, kemudian sedikit demi sedikit membereskan semua masalah yang ada.
Mungkin akan dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk membereskan semuanya, dan bisa jadi kalian akan mengalami banyak kesusahan, tapi, justru di situlah pentingnya kebersamaan keluarga.
Walau mungkin ayah Anda tidak mengatakan apa pun di depan Anda, dia pasti siap berbuat apa saja.
Tidak lain tidak bukan demi melindungi keluarganya.
Tugas Anda dan ibu Anda adalah mendukungnya dari belakang.
Skenario terburuk dari semua ini adalah jika keluarga Anda sampai tercerai-berai akibat rencana melarikan diri tersebut.
Semuanya akan sia-sia belaka.
Memang melarikan diri bukan pilihan yang tepat, tapi selama kalian sekeluarga bisa berada di kapal yang sama, masih ada kemungkinan untuk kembali ke jalan yang benar.
Saya tidak tahu berapa usia Anda, tapi dilihat dari gaya tulisan, saya menduga Anda adalah siswa SMP atau SMA.
Suatu hari nanti, akan tiba saat Anda harus menjaga keluarga Anda.
Saya doakan semoga Anda bisa mempersiapkan diri untuk menyambut hari itu.
Percayalah pada saya.
Apa pun yang terjadi, hari esok akan lebih baik daripada hari ini.
Toko Kelontong Namiya Liburan musim panas tersisa kurang dari seminggu lagi saat sahabat Kosuke yang juga sesama penggemar The Beatles menelepon.
Sahabat yang dulu bercerita tentang apa yang terjadi di balik konser Jepang itu bertanya apakah ia boleh mampir ke rumah Kosuke.
Kelihatannya ia ingin bertemu untuk mengobrol soal The Beatles.
Sahabat Kosuke ini memang penggemar grup itu, tapi dia sama sekali tidak memiliki satu pun rekaman mereka, bahkan di rumahnya juga tidak ada alat pemutar musik.
Biasanya jika ingin mendengarkan musik mereka, dia akan datang ke rumah Kosuke “Maaf, tapi untuk sementara tidak bisa, soalnya rumahku sedang diperbaiki dan perlengkapan stereoku tidak bisa dipakai.” Sejak perangkat stereonya disingkirkan, Kosuke kini sudah mahir memberi alasan setiap kali ada teman yang bertanya.
“Oh, begitu?” Nada suara sahabatnya terdengar kecewa.
“Padahal aku ingin sekali mendengarkan lagu The Beatles dengan kualitas suara yang bagus.” “Memangnya ada yang terjadi?” “Ya,” jawab sahabatnya singkat.
“Aku baru saja menonton filmnya,” katanya setelah diam untuk beberapa saat.
“Hari ini mulai ditayangkan.” “Ah!” Kosuke berseru.
Ia langsung tahu bahwa yang dimaksud adalah film Let It Be.
“Bagaimana filmnya?” tanyanya.
“Hm, bagaimana ya? Aku jadi mengerti banyak hal.” “Mengerti? Mengerti apa?” “Berbagai macam hal.
Misalnya alasan mereka bubar.” “Ada yang menjelaskan soal itu?” “Tidak, bukan begitu.
Saat film itu sedang digarap, sepertinya mereka belum berpikir untuk bubar.
Tapi entah mengapa, aku bisa merasakannya, seperti “Oh, ada ya kejadian seperti ini?.
Pokoknya susah diungkapkan lewat kata-kata...
Mungkin kau akan mengerti sendiri kalau menontonnya.” “Hm...” Obrolan tersebut tidak berlanjut ke mana-mana, jadi Kosuke mengakhiri percakapan lewat telepon, lalu kembali ke kamar.
Dipandanginya sampul koleksi album The Beatles miliknya satu per satu.
Jika koleksi peninggalan almarhum sepupunya ditambah dengan koleksi yang dibelinya sendiri, total jumlahnya lebih dari lima puluh album.
Ia takkan rela berpisah dengan koleksinya.
Apa pun yang terjadi, ia akan membawa semuanya ke alamat rumah baru.
Orangtuanya sudah mengingatkan untuk membawa sesedikit mungkin barang, tapi ia tak bakal meninggalkan album-albumnya.
Mengenai rencana melarikan diri pada malam hari, ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkannya lagi.
Seandainya pun ia protes, ia tidak yakin orangtuanya akan bersedia mengubah rencana, apalagi tidak mungkin jika Kosuke sendiri yang tidak pergi.
Seperti kata Kakek Namiya, orangtuanya sudah berpikir masak-masak.
Ia hanya bisa percaya bahwa mereka bisa menyelesaikan masalah ini suatu hari nanti.
Omong-omong, mengapa sahabatnya bicara seperti itu? Apa yang akan ia pahami dengan menonton Let It Be? Setelah makan malam, untuk pertama kalinya Sadayuki membeberkan rencana melarikan diri yang telah disusun.
Mereka akan berangkat pada tanggal 31 Agustus tengah malam, tepat menjelang pergantian tanggal.
“Kita akan berangkat tanggal 31 Agustus karena bertepatan dengan hari Senin.
Tidak akan ada yang merasa aneh dengan ketidakhadiranku karena aku sudah bilang pada orang kantor akan berlibur selama seminggu mulai tanggal satu September.
Masalahnya, minggu depan tagihan-tagihan juga akan berdatangan dari berbagai tempat dan semuanya akan segera terungkap walaupun kita sudah melarikan diri.
Untuk sementara kita harus hidup tidak mencolok di rumah baru, tapi kalian tak usah cemas.
Aku sudah menyiapkan uang tunai yang cukup untuk kita bertiga hidup selama satu atau dua tahun ke depan.
Sementara itu, aku akan memikirkan langkah berikutnya.” Sadayuki berbicara dengan penuh rasa percaya diri.
“Bagaimana dengan sekolah? Aku akan pindah ke SMP mana?” Mendengar pertanyaan itu, ekspresi Sadayuki berubah keruh.
“Mengenai itu, nanti akan Ayah pikirkan.
Tapi Ayah tidak bisa membereskannya dalam sekejap.
Untuk sementara kau harus belajar sendiri.” “Belajar sendiri...
Maksud Ayah aku tak bisa pergi ke sekolah?” “Bukan itu maksud Ayah.
Masalahnya kita tidak bisa melakukannya dengan tergesa-gesa.
Tapi tenang saja.
SMP itu termasuk pendidikan wajib dan kau bisa masuk ke sekolah mana saja.
Jadi kau tak perlu membayangkan yang bukan-bukan.
Nanti biar Ayah yang menghubungi wali kelasmu untuk menjelaskan kau akan pergi ke luar negeri selama seminggu bersama keluarga karena urusan pekerjaan, karena itu kau baru akan masuk sekolah setelah pulang,” jelasnya dengan tegas.
Lalu bagaimana dengan SMA...? Kosuke sebenarnya ingin menanyakan itu, tapi akhirnya ia memilih diam karena sudah bisa membayangkan reaksi ayahnya.
Nanti akan Ayah pikirkan lagi, kau tak usah khawatir.
Pasti bakal seperti itu.
Apa aku sungguh akan baik-baik saja bersama mereka? Hatinya kembali dihinggapi kegelisahan.
Ia tahu bahwa tidak ada pilihan lain, tapi ia belum siap menghadapinya.
Waktu pun terus berlalu.
Tiba-tiba, besok adalah tanggal 31 Agustus.
Malam itu, saat sedang membereskan barang-barang, tiba-tiba pintu kamarnya terbuka.
Kosuke mendongak terkejut, dan melihat Sadayuki berdiri di ambang pintu.
“Boleh Ayah bicara sebentar?” “Boleh saja...” Sadayuki duduk bersila di samping putranya.
“Barang-barangmu sudah dibereskan?” “Sedikit lagi.
Aku sedang berpikir untuk membawa bukubuku pelajaran sekolah.” “Ya, buku-buku itu memang penting.” “Satu lagi, aku harus membawa ini.” Kosuke menyeret kardus di sebelahnya yang berisi album-album The Beatles.
Sadayuki mengintip isi kardus, lalu mengerutkan alis.
“Sebanyak ini?” “Aku sudah mengurangi jumlah barang-barang lain sebisanya.
Tapi khusus yang satu ini, aku harus membawa semuanya,” Kosuke berkata mantap.
Sadayuki mengangguk pelan, kemudian mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar.
Setelah itu, dia kembali menatap putranya.
“Bagaimana perasaanmu terhadap Ayah?” Tiba-tiba saja dia bertanya.
“Apa maksudnya?” “Apakah kau marah pada Ayah akibat semua kejadian ini? Kau pasti menganggap Ayah ini ayah yang payah, bukan?” “Ayah tidak payah...” Kosuke terdiam sejenak, lalu melanjutkan, “Hanya saja aku sendiri tidak mengerti apa yang ada dalam pikiranku saat ini.
Yang jelas, aku gelisah.” “Hmmm...” Sadayuki mengangguk.
“Itu masuk akal.” “Ayah, apakah kita akan baik-baik saja? Bisakah kita kembali hidup seperti dulu?” “Kita akan baik-baik saja,” jawab Sadayuki sambil mengerjap beberapa kali.
“Saat ini Ayah tidak bisa bilang sampai kapan kita akan hidup seperti ini, tapi Ayah janji suatu hari nanti kehidupan kita akan kembali seperti dulu.” “Sungguh?” “Ya.
Bagi Ayah, keluargalah yang paling penting.
Ayah akan melakukan apa saja demi melindungimu dan ibumu, meskipun itu berarti nyawa taruhannya.
Jadi...” Sadayuki menatap Kosuke larus-lurus.
“Jadi kita harus melarikan diri...” Ayahnya terdengar tulus.
Hati Kosuke merasa tersentuh karena ini kali pertama ia mendengar ayahnya bicara seperti itu.
“Baiklah, Ayah,” katanya.
“Bagus.” Sadayuki menepuk kedua lutut dan bangkit.
“Apa yang akan kaulakukan besok siang? Mumpung hari terakhir liburan musim panas, mungkin ada teman yang ingin kautemui?” Kosuke menggeleng.
“Tidak ada.” Nyaris saja ia keceplosan melanjutkan, “Lagi pula aku takkan bisa bertemu lagi dengan mereka.” “Tapi,” ujarnya lagi.
“Bolehkah aku pergi ke Tokyo?” “Tokyo? Untuk apa?” “Film.
Ada film yang ingin kutonton.
Katanya diputar di Bioskop Subaru-za, Yirakucho.” “Apa harus besok?” “Masalahnya kalau ditunda, belum tentu bioskop di area kita tinggal nanti memutarnya.” Sadayuki mengerutkan bibir kemudian mengangguk.
“Begitu.” “Boleh aku pergi?” “Ya, tapi kau harus cepat pulang.” “Aku tahu.” Sadayuki mengucapkan selamat tidur, lalu meninggalkan kamar.
Kosuke mengintip isi kardus dan mengeluarkan sebuah piringan hitam.
Piringan hitam lagu Let It Be yang dibelinya tahun ini.
Sampulnya menampilkan foto wajah keempat anggota The Beatles yang disusun membentuk segi empat.
Malam ini, ia akan tidur sambil memikirkan film itu.
Pagi berikutnya, Kosuke meninggalkan rumah setelah sarapan.
“Seharusnya di hari seperti ini kau jangan pergi menonton film.” Kimiko sempat menyatakan ketidaksetujuannya, tapi berhasil diyakinkan oleh Sadayuki.
Kosuke pernah beberapa kali pergi ke Tokyo bersama temannya, tapi ini pertama kalinya ia pergi seorang diri.
Sesampainya di Stasiun Tokyo, ia berganti kereta jurusan Jalur Yamanote, kemudian turun di Yiirakucho.
Ia mengecek peta stasiun dan ternyata gedung bioskop yang dicari ada tepat di sebelah bangunan stasiun.
Mungkin karena ini hari terakhir liburan musim panas, ada banyak orang berkerumun di depan bioskop.
Kosuke mengantre untuk membeli tiket.
Ia sudah memastikan jam tayang film di surat kabar sebelum berangkat, jadi ia tahu bahwa masih ada waktu setengah jam sebelum pertunjukan berikutnya dimulai.
Daripada menghabiskan waktu di situ, Kosuke memutuskan berjalan-jalan di daerah sekitar.
Kendati pernah ke Tokyo, ini pertama kalinya dia mengunjungi daerah Yirakuch6 dan Ginza.
Setelah beberapa menit berjalan kaki, ia terpesona karena tidak menyangka ada distrik sebesar ini.
Ia terkejut melihat banyaknya manusia dan gedung-gedung raksasa di sekitar Yirakuch6.
Namun, Ginza-lah yang benar-benar membuatnya terpesona.
Deretan toko-toko di pinggir jalan terlihat begitu ramai dan ceria sampai-sampai seperti sedang ada acara spesial.
Orang-orang yang lalu-lalang pun berpenampilan modern dan makmur.
Di kota biasa, distrik mewah seperti itu biasanya hanya ada di satu tempat tertentu dan disebut distrik pusat perbelanjaan.
Namun, semua tempat di distrik ini sama mewahnya, seolah-olah sedang ada festival.
Kemudian Kosuke menyadari banyak logo bertuliskan “Pameran Internasional” ditempelkan di berbagai tempat.
Ah, benar juga.
Ia baru ingat bahwa Pameran Internasional di Osaka masih berlangsung.
Rupanya seluruh penjuru Jepang juga ikut antusias menyambutnya.
Ia merasa seperti seekor ikan sungai kecil yang tersesat di pintu masuk menuju lautan luas.
Ternyata di dunia ada tempat seperti ini.
Ternyata ada orang-orang yang menikmati hidup di sana.
Tapi ia merasa tidak berjodoh dengan dunia seperti ini, apalagi mulai besok dia akan menjalani hidup di dasar sungai, jauh dari pandangan publik...
Kosuke menunduk dan memutuskan meninggalkan tempat itu.
Itu bukan tempat untuknya.
Ia tiba tepat waktu di bioskop.
Setelah memperlihatkan tiket, Kosuke masuk ke gedung dan memastikan lokasi tempat duduknya.
Ternyata ruangan tempatnya menonton tidak seramai yang diduga, sepertinya banyak pengunjung yang juga datang menonton sendirian.
Sesaat kemudian, film dimulai.
Yang pertama kali muncul di layar adalah tulisan “THE BEATLES”.
Jantung Kosuke berdegup kencang.
Akhirnya ia bisa menyaksikan penampilan The Beatles.
Membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya terasa hangat.
Namun, seiring dengan berlangsungnya film, antusiasmenya yang menyala-nyala itu akhirnya pudar.
Sementara menyaksikan film itu, samar-samar ia mulai mengerti apa yang tengah terjadi.
Seharusnya Let It Be adalah film dokumenter yang berisi gabungan geladi resik dan pertunjukan langsung dari The Beatles.
Bagaimanapun, timbul kesan bahwa film ini bukan sesuatu yang memang sudah direncanakan sejak awal.
Para anggota The Beatles sendiri memang bereaksi pasif terhadap rencana pembuatan film ini, sehingga film ini seolah-olah kumpulan informasi yang diambil secara acak dan mendapat persetujuan setengah hati dari mereka.
Di antara adegan latihan yang dilakukan dengan setengahsetengah, terselip percakapan antar sesama anggota.
Lagi-lagi percakapan itu sulit dimengerti.
Kendati Kosuke sudah berusaha membaca teks terjemahan, ia masih kesulitan memahami maksud percakapan semua anggota.
Walaupun begitu, ada satu hal yang akhirnya ia pahami.
Yaitu tentang jiwa-jiwa yang sudah tidak sehati.
Mereka bukannya bertengkar satu sama lain.
Mereka juga tidak menolak tampil.
Keempat orang itu tetap menjalankan apa yang ada di hadapan mereka saat ini.
Hanya saja, mereka semua paham bahwa semua itu tidak akan menghasilkan apa-apa.
Begitulah kesan yang terlihat.
Sebagai adegan pamungkas, keempat anggota The Beatles naik ke atap Apple Building dengan membawa semua instrumen musik dan perlengkapan tata suara.
Para staf juga berkumpul.
Karena saat itu musim dingin, mereka terlihat menggigil kedinginan.
John Lennon muncul dalam balutan mantel bulu.
Sementara itu, mereka mulai memainkan lagu Get Back.
Tersiar kabar bahwa pertunjukan ini sebenarnya tidak mendapat izin.
Begitu suara natural para anggota 'The Beatles menggelegar dari puncak gedung terdengar, timbul keributan sampai melibatkan pihak kepolisian.
Pertunjukan dilanjutkan dengan Don't Let Me Down dan I've Got a Feeling, tapi tidak ada gairah yang terasa.
Padahal ini pertunjukan terakhir dari The Beatles, tapi mereka berempat sama sekali tidak terlihat sentimental.
Dan film pun berakhir.
Bahkan setelah lampu dalam ruangan bioskop menyala, Kosuke masih terbengong-bengong di kursinya, seakan tidak berniat bangkit.
Bagian dalam perutnya terasa berat seperti habis menelan timah hitam.
Apa-apaan ini? pikirnya.
Sama sekali bertolak belakang dengan harapannya semula.
Mereka memang tidak bertengkar, tapi mereka juga jarang saling bicara.
Yang terlontar dari bibir mereka hanya keluhan, sarkasme, dan tawa yang dipaksakan.
Gosip menyatakan bahwa semua orang yang menonton film ini akan mengerti alasan The Beatles bubar.
Nyatanya, Kosuke sama sekali tidak memahami alasannya.
Karena The Beatles di film tersebut jelas-jelas sudah bubar.
Padahal Kosuke ingin tahu apa yang menyebabkan mereka bisa sampai berakhir seperti itu.
Namun, mungkin sebenarnya memang begitulah yang namanya perpisahan...
Kosuke mencoba berpikir ulang dalam perjalanan pulang naik kereta api.
Tidak ada alasan tertentu yang membuat orang-orang saling menjauh.
Tidak, meskipun mereka mengatakan itu terjadi karena sudah tidak ada kecocokan, bisa jadi itu hanya alasan yang mengada-ada.
Mengapa? Karena jika mereka masih satu hati, seharusnya salah seorang dari mereka berusaha memperbaiki ketika mulai ada tanda-tanda perpisahan akan terjadi.
Jelas, alasan para anggota The Beatles tidak melakukannya adalah mereka sudah tidak memiliki tujuan yang sama.
Karena itulah mereka berempat tidak berusaha menyelamatkan ketika kapal bernama The Beatles mulai tenggelam.
Kosuke merasa dikhianati.
Seakan-akan sesuatu yang selama ini begitu berharga baginya kini hancur berkeping-keping.
Kemudian ia pun membulatkan tekad.
Setibanya di stasiun, ia memasuki bilik telepon umum dan menghubungi sahabatnya.
Sahabat yang minggu lalu menonton Let It Be.
Sahabatnya ada di rumah.
Begitu dia menyapa, Kosuke langsung bertanya apakah dia berminat membeli album-albumnya.
“Album? Album apa?” “Tentu saja album The Beatles.
Dulu kau pernah bilang ingin mengoleksinya, bukan?” “Memang...
Album yang mana?” “Semuanya.
Apakah kau ingin membeli semua koleksiku?” “Semuanya...?” “Sepuluh ribu yen.
Bagaimana? Kalau kau beli satuan, mustahil bisa dapat harga segitu.” “Aku tahu.
Aku hanya bingung karena tiba-tiba kau menawarkannya.
Belum lagi di rumahku tidak ada perangkat stereo.” “Ya sudah.
Kalau begitu aku akan cari pembeli lain.” Kosuke bersiap-siap memutuskan pembicaraan ketika mendadak terdengar seruan “Tunggu!” dari gagang telepon.
“Beri aku sedikit waktu untuk berpikir.
Aku akan menjawabnya besok.
Bagaimana?” Masih menempelkan gagang telepon di telinga, Kosuke menggeleng.
“Besok tidak bisa.” “Kenapa?” “Pokoknya tidak bisa.
Tidak ada waktu lagi.
Pokoknya kalau kau tidak segera memutuskan, aku akan tutup teleponnya.” “Tunggu! Tunggu sebentar! Lima menit.
Tunggu lima menit saja!” Kosuke mendesah panjang.
“Baik.
Kutelepon lima menit lagi.” Setelah meletakkan kembali gagang telepon, ia langsung keluar dari bilik.
Saat mendongak ke arah langit, tampak matahari yang mulai condong ke arah barat.
Ia sendiri tidak mengerti mengapa sampai menjual semua koleksinya.
Ia hanya tahu bahwa ia tak lagi ingin mendengarkan musik-musik The Beatles.
Mungkin lebih tepat dibilang ini adalah akhir suatu fase dalam hidupnya.
Lima menit berlalu.
Kosuke kembali masuk ke bilik dan menelepon sahabatnya.
“Aku akan membelinya,” kata sahabatnya.
Suaranya terdengar luar biasa gembira.
“Aku sudah bicara dengan orangtuaku dan mereka mau membelikannya.
Tapi mereka juga bilang kalau aku harus membeli peralatan stereo sendiri.
Boleh kuambil sekarang?” “Oke.
Aku tunggu.” Transaksi mereka sukses.
Semua album itu akan ia lepas.
Hanya dengan memikirkan itu saja, hati Kosuke terasa pedih, tapi kemudian ia menggeleng perlahan untuk mengusir perasaan itu.
Ini bukan masalah besar.
Sesampainya di rumah, Kosuke mengeluarkan koleksi piringan hitam dari kardus dan mengemasnya dalam dua kantong kertas supaya mudah dibawa.
Satu demi satu, ditatapnya sampul depan album-album itu.
Setiap album menyimpan kenangan baginya.
Tangannya terhenti saat melihat sampul album Sgt.
Peppers Lonely Hearts Club Band.
Sepanjang karier musik mereka, The Beatles beberapa kali mengadakan eksperimen gaya musik dan album ini disebut sebagai buah eksperimen paling sukses.
Sampul depannya menampilkan keempat anggota dalam seragam militer berwarna-warni, dikelilingi oleh sosok-sosok terkenal baik dari Barat maupun Timur.
Di ujung kanan ada sosok wanita yang menyerupai Marilyn Monroe, tapi sosok sebelahnya tampak seperti “ditambal” dengan spidol hitam.
Dulu, almarhum sepupunya yang juga bekas pemilik album ini menempelkan fotonya di situ.
Sebagai penggemar berat The Beatles, mungkin dia merasa ingin menjadi bagian dari sampul album tersebut.
Waktu Kosuke melepaskan foto itu, ternyata meninggalkan bekas sehingga harus ditutupi spidol hitam untuk menyamarkannya.
Maaf karena aku telah menjual koleksi album kesayanganmu, tapi apa boleh buat...
Ia meminta maaf sepenuh hati pada almarhum sepupunya yang ada di surga.
Saat mengangkut kedua kantong itu ke pintu depan, Kimiko bertanya, “Kau sedang apa?” Merasa tidak perlu menyembunyikannya, Kosuke menjelaskan semuanya.
“Hmmm...” Kimiko hanya mengangguk dengan ekspresi tidak peduli.
Tidak lama kemudian, sahabat Kosuke tiba.
Setelah menerima amplop berisi selembar sepuluh ribu yen darinya, Kosuke pun menyerahkan kedua kantong kertas tadi.
“Hebat...” sahabatnya berseru sambil memeriksa isi kantong.
“Tapi apa kau yakin? Padahal kau sudah berjuang mengoleksi» nya.
Kosuke tertegun, kemudian menggaruk tengkuk.
“Yah, sebenarnya tiba-tiba saja aku merasa bosan dan tidak mau lagi mendengarkan musik The Beatles.
Sebenarnya aku baru menonton film itu.” “Let It Be?” “Ya.” “Ah, begitu rupanya.” Ekspresi sahabatnya tampak seperti setengah paham dan setengah tidak puas mendengar jawaban itu.
Karena sahabatnya harus mengangkut dua kantong sekaligus, Kosuke membukakan pintu depan untuknya.
“Thank you,” gumam sahabatnya sambil keluar dari pintu.
Kemudian dia menoleh ke arah Kosuke dan berkata, “Sampai besok.” Besok? Butuh beberapa detik bagi Kosuke untuk memahami ucapan temannya.
Ia lupa kalau besok semester kedua akan dimulai.
Ia terbata-bata menjawab sahabatnya yang menatapnya dengan sorot bingung, “Tentu.
Sampai besok.
Di sekolah.” Setelah menutup pintu rumah, Kosuke mengembuskan napas panjang.
Nyaris saja ia meringkuk di depan pintu karena tidak kuat menahan emosinya.
Sadayuki pulang tak lama setelah pukul 20.00.
Belakangan ini dia tidak pernah lagi pulang larut.
“Aku sudah melakukan persiapan akhir di kantor.
Sebisa mungkin aku ingin memperlambat keributan yang akan terjadi,” katanya sambil melonggarkan dasi.
Kausnya basah oleh keringat sampai melekat di kulit.
Kemudian mereka menyantap makan malam lebih malam daripada biasanya.
Makanan terakhir di rumah itu adalah sisa kare kemarin karena saat ini kulkas mereka sudah kosong melompong.
Sambil makan, dengan suara pelan Sadayuki dan Kimiko mulai membahas tentang barang-barang yang akan dibawa.
Mereka hanya akan membawa barang-barang berharga, pakaian, keperluan sehari-hari, perlengkapan belajar Kosuke, sementara yang lainnya akan ditinggalkan di rumah.
Mereka hanya ingin memastikan untuk terakhir kalinya karena sebelumnya topik ini sudah beberapa kali dibahas.
Di tengah-tengah pembicaraan, Kimiko bercerita tentang koleksi album milik Kosuke.
“Kau menjualnya? Semuanya? Kenapa?” Sadayuki tampak sungguh-sungguh terkejut.
“Tidak kenapa-kenapa,” jawab Kosuke sambil menunduk.
“Lagi pula, kita sudah tak punya perlengkapan stereo.” “Oh, begitu.
Jadi kau menjualnya.
Baguslah, itu akan sangat membantu meringankan bawaan.” Kemudian Sadayuki bertanya, “Kaujual berapa?” Karena Kosuke tidak langsung menjawab, Kimiko mewakilinya.
“Sepuluh ribu yen.” “Sepuluh ribu yen? Serius?” Mendadak nada suara Sadayuki berubah.
“Kau ini bodoh atau bagaimana? Kebanyakan koleksimu itu album yang berisi lebih dari sepuluh lagu, bukan? Menurutmu berapa harga satuannya kalau kau ingin mengoleksi semuanya? Tidak mungkin hanya dua puluh atau tiga puluh ribu yen.
Tapi kau malah melepasnya seharga sepuluh ribu yen.
Apa yang kaupikirkan?” “Aku memang tidak cari untung,” kata Kosuke, masih sambil menunduk.
“Toh sebagian besar adalah peninggalan Kak 'Tetsuo.” Sadayuki mendengus keras.
“Kenapa bicaramu jadi sentimental seperti itu? Saat mengambil uang dari seseorang, jangan sampai kau tidak dapat untung lebih, walaupun itu hanya sepuluh atau dua puluh yen sekalipun.
Ingat, kehidupan kita selanjutnya tidak akan sama seperti dulu.
Paham?” Kosuke mendongak.
Dan itu semua gara-gara siapa? Ingin rasanya ia mengatakan itu.
Sadayuki melihat sesuatu yang berbeda pada ekspresi putranya dan mengulang, “Kau paham?” Alih-alih mengangguk, Kosuke malah meletakkan sendok yang dipakainya untuk menyantap kare, lalu mengucapkan, “Terima kasih untuk makanannya,” sebelum bangkit dari kursi.
“Hei, kenapa kau malah—” “Cerewet.
Aku sudah paham.” “Apa-apaan ini? Kenapa kau berani bicara seperti itu pada orangtuamu sendiri?” “Suamiku, sudahlah,” lerai Kimiko.
“Tidak bisa.
Hei, ke mana perginya uang itu?” tanya Sadayuki.
“Uang sepuluh ribu yen itu?” Kosuke menatap ayahnya.
Urat-urat pembuluh darah muncul di pelipis Sadayuki.
“Uang siapa yang kaupakai untuk membeli album? Kau membelinya dengan uang saku, bukan? Nah, dari siapa kau mendapatkannya?” “Hentikan, suamiku! Apa kau akan mengambil uang anakmu sendiri?” “Dia harus tahu uang milik siapa itu!” “Cukup! Kasuke, kembali ke kamarmu.
Bersiap-siaplah untuk berangkat.” Menuruti Kimiko, Kosuke meninggalkan ruang duduk.
Ia menaiki tangga, masuk ke kamar, dan langsung berbaring di tempat tidur.
Tatapannya jatuh pada poster The Beatles yang masih terpajang di dinding.
Setengah bangkit, ia melepas poster itu lalu merobek-robeknya sampai jadi serpihan-serpihan kecil.
Dua jam kemudian, ia mendengar pintu kamarnya diketuk.
Wajah Kimiko muncul dari balik pintu.
“Sudah selesai berkemas?” “Tinggal sedikit lagi.” Kosuke menunjuk ke sebelah meja dengan dagunya.
Di sana ada sebuah kardus dan satu tas olahraga.
Hanya itu sisa barang yang ia miliki.
“Kita akan berangkat sekarang?” “Sebentar lagi.” Kimiko masuk ke kamar anaknya.
“Maaf, kau sampai harus melalui semua ini.” Kosuke diam saja.
Ia tidak tahu harus membalas apa.
“Ibu yakin semuanya akan baik-baik saja.
Yang penting Ibu minta kau bersabar sedikit.” “Baik,” Kosuke menjawab pelan.
“Ayah dan Ibu—yah, terutama ayahmu—sangat memikirkanmu, Kosuke.
Asalkan kau bahagia, kami siap melakukan apa saja, bahkan kalau perlu sampai mempertaruhkan nyawa.” Dasar pembohong! Kosuke mengutuk dalam hati sementara ja menunduk.
Bisa-bisanya kedua orangtuanya begitu yakin bahwa memaksa putra mereka melarikan diri akan membuatnya bahagia? “Bawa barang-barangmu ke bawah setengah jam lagi.” Setelah berkata demikian, Kimiko meninggalkan kamar.
Seperti Ringo Starr, batin Kosuke.
Dalam film Let It Be, Ringo terlihat berusaha memperbaiki situasi internal The Beatles yang sudah di ambang kehancuran.
Walaupun demikian, usaha kerasnya tidak membuahkan hasil.
Tengah malam buta, Kosuke dan keluarganya meninggalkan rumah di tengah kegelapan.
Sadayuki sudah menyiapkan sebuah mobil van tua warna putih untuk perjalanan melarikan diri ini.
Mereka bertiga duduk berjajar di depan, Sadayuki mencengkeram erat setir.
Bagasi mobil dipenuhi kotak-kotak kardus dan tas-tas.
Sepanjang perjalanan, mereka nyaris tidak mengobrol.
Sebelum naik ke mobil, Kosuke sempat bertanya pada ayahnya ke mana mereka akan pergi, dan hanya dijawab Sadayuki, “Nanti kau juga akan tahu”.
Itulah satu-satunya percakapan yang terjadi di antara mereka.
Tidak lama kemudian, mobil mereka memasuki jalan bebas hambatan.
Kosuke sama sekali tidak tahu di mana mereka berada dan ke mana mereka akan pergi.
Memang sesekali ada papan penunjuk jalan, tapi yang tercantum di sana hanya nama-nama daerah yang asing baginya.
Dua jam kemudian, Kimiko berkata dia ingin ke kamar kecil.
Sadayuki lantas mengarahkan mobilnya masuk ke area peristirahatan terdekat.
Tampak papan penunjuk jalan bertuliskan “Fujikawa”.
Mungkin karena sudah larut malam, tempat parkir di area itu kosong.
Kendati demikian, Sadayuki tetap memarkir mobilnya di tempat paling ujung, berusaha menghindari kecurigaan.
Kosuke pergi ke toilet bersama ayahnya.
Saat tengah mencuci tangan di wastafel, Sadayuki menghampirinya.
“Untuk sementara tidak ada uang saku untukmu.” Merasa curiga, Kosuke menatap bayangan ayahnya lewat cermin.
“Wajar saja,” lanjut Sadayuki.
“Kau punya uang sepuluh ribu yen, bukan? Itu sudah cukup.” Lagi-lagi soal itu, pikir Kosuke muak.
Padahal hanya uang sepuluh ribu yen.
Milik anaknya sendiri.
Sadayuki meninggalkan toilet tanpa mencuci tangan.
Sambil menatap sosok ayahnya dari belakang, Kosuke merasa seperti ada benang putus dalam dirinya.
Mungkin itu adalah benang harapan terakhir yang menghubungkannya dengan kedua orangtuanya.
Kini ia yakin betul bahwa benang itu sudah terputus.
Kosuke keluar dari toilet, tapi alih-alih pergi ke tempat mobil keluarganya diparkir, ia malah berlari ke arah sebaliknya.
Ia tidak mengenal area parkir itu, tapi yang ada di kepalanya hanyalah pergi sejauh mungkin dari kedua orangtuanya.
Ia terus berlari tanpa arah seperti kesetanan.
Tahu-tahu saja ia sudah muncul di area parkir lain.
Di sana ada banyak truk sedang diparkir.
Beberapa saat kemudian, seorang pria datang dan naik ke salah satu truk.
Kelihatannya dia sedang bersiap-siap untuk berangkat.
Kosuke menghampiri truk itu, lalu memutar ke belakang.
Diintipnya bak belakang truk yang ternyata penuh tumpukan kotak kayu.
Tidak ada bau menyengat dan masih ada tempat untuk bersembunyi.
Mendadak, mesin truk menyala dan truk itu mundur.
Di detik-detik terakhir, Kosuke membulatkan tekad dan menyelinap masuk ke bak belakang.
Tidak lama berselang, truk itu mulai bergerak.
Jantung Kasuke berdebar kencang, napasnya terengah-engah dan sepertinya tidak akan kembali normal.
Ia duduk memeluk lutut, membenamkan wajah di sana, lalu memejamkan mata.
Ingin rasanya ia tidur dan baru memikirkan apa yang akan ia lakukan saat terjaga nanti.
Namun, setiap kali teringat bahwa ia baru saja melakukan hal drastis, semangatnya yang semula berapi-api berubah menjadi kegelisahan saat memikirkan bagaimana nasibnya selanjutnya.
Kosuke sama sekali tidak bisa menebak ke arah mana truk itu pergi.
Jangankan di tengah kegelapan malam, bahkan di siang bolong sekalipun ia tidak mungkin tahu dirinya ada di mana hanya dengan melihat pemandangan sekitar.
Walaupun sempat mengira tidak akan bisa tidur, nyatanya ia sempat terlelap.
Saat terjaga, truk yang ditumpanginya sudah berhenti, bukan karena menunggu lampu lalu-lintas, melainkan karena sudah sampai ke tujuan.
Kosuke mengintip dari dalam bak untuk memeriksa situasi di luar.
Sepertinya mereka berada di tempat parkir yang sangat luas karena di sekitarnya juga ada beberapa truk lain yang sedang diparkir.
Setelah memastikan tidak ada orang lain di dekat situ, Kosuke keluar dari bak, lalu berlari menuju pintu masuk tempat parkir.
Untungnya tidak ada petugas keamanan.
Setelah berhasil keluar, ia memandang ke arah papan yang tergantung di pintu masuk dan akhirnya tahu bahwa ia berada di sebuah perusahaan transportasi di Edogawa, Tokyo.
Hari masih gelap.
Belum ada toko yang buka.
Kosuke tak punya pilihan selain terus berjalan kaki.
Meskipun tidak tahu ke mana arah yang akan dituju, yang penting ia harus berjalan karena yakin dirinya akan tiba di suatu tempat.
Fajar menyingsing sementara ia terus berjalan.
Sesekali tampak halte bus.
Begitu melihat arah tujuan bus yang lewat situ, ia seolah dapat ilham.
Stasiun Tokyo.
Sempurna.
Kalau terus berjalan, ia bisa sampai ke sana.
Namun, apa yang akan dilakukannya begitu tiba di Stasiun Tokyo? Ke mana ia akan pergi? Banyak kereta yang berangkat dari stasiun itu, yang mana yang akan ia naiki? Ia memikirkan itu sambil meneruskan berjalan.
Setelah beristirahat sejenak di sebuah taman kecil, ia melanjutkan perjalanannya.
Pikirannya tidak bisa lepas dari kedua orangtuanya.
Apa yang terjadi pada mereka setelah menyadari putra mereka lenyap? Kosuke yakin mereka tidak bakal bisa mencarinya, apalagi melapor pada polisi.
Mereka juga pasti tidak akan kembali ke rumah lama.
Kedua orangtuanya pasti akan melanjutkan perjalanan sesuai rencana.
Setelah menenangkan diri beberapa saat, barulah mereka akan mencarinya.
Tentu saja mereka tidak akan melakukan sesuatu yang mencurigakan seperti menghubungi kerabat atau kenalan karena khawatir para kreditor atau siapa pun yang mereka takuti itu pasti sudah menebar jaring di tempat-tempat itu.
Kosuke juga tidak akan bisa menemukan kedua orangtuanya lagi.
Mereka berdua pasti sudah menyembunyikan identitas dan tidak akan menggunakan nama asli.
Dengan kata lain, ia tidak akan pernah bertemu lagi dengan mereka untuk selamanya.
Memikirkan itu, dada Kosuke terasa nyeri, tapi ia sama sekali tidak menyesal karena hati mereka memang sudah terpisah.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan untuk memperbaikinya.
Kebersamaan mereka tidak berarti lagi baginya.
Itulah yang ia pelajari dari The Beatles.
Waktu terus berlalu dan jumlah mobil yang melintas semakin banyak.
Orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar pun semakin bertambah.
Saat melihat ada beberapa anak yang sepertinya sedang dalam perjalanan ke sekolah, Kosuke lantas teringat bahwa hari ini adalah awal semester dua.
Ia terus berjalan mengikuti alur bus yang melaju melewatinya.
Saat itu bulan September, tapi sisa hawa panas dari musim panas masih tersisa.
Kaus yang dikenakan Kosuke basah oleh peluh dan debu.
Ia tiba di Stasiun Tokyo pukul 10.00 lebih sedikit.
Saat berjalan mendekati stasiun, ia tidak langsung sadar bahwa tempat itu adalah stasiun yang pernah ia datangi.
Bangunan raksasa yang dilapisi batu bata merah itu mengingatkannya akan istana-istana di Eropa Abad Pertengahan.
Begitu menginjakkan kaki ke dalam stasiun, Kosuke terkesima melihat betapa besarnya stasiun itu.
Ia berjalan tak tentu arah sambil memandang ke sekelilingnya hingga matanya menangkap tulisan Shinkansen.
Dulu, ia pernah berharap bisa naik Shinkansen dan mengira kesempatan itu akan tiba tahun ini dengan dibukanya Pameran Internasional di Osaka.
Sebenarnya poster-poster promosi acara itu sendiri juga ditempelkan di berbagai sudut stasiun.
Menurut keterangan yang tercantum, warga yang ingin datang menonton bisa dengan mudah pergi lokasi Pameran Internasional menggunakan Shinkansen, disambung dengan kereta bawah tanah dari Stasiun Shin-Osaka.
Tanpa pikir panjang, Kosuke memutuskan untuk pergi ke Osaka.
Di dompetnya ada uang sejumlah empat belas ribu yen.
Sepuluh ribu yen dari hasil penjualan koleksi rekaman The Beatles, empat ribu yen adalah sisa uang hadiah Tahun Baru.
Ia belum memutuskan apa yang akan dilakukannya setelah tiba di lokasi pameran, tapi ia yakin akan mendapat ide, apalagi acara ini diramaikan oleh orang-orang dari seluruh penjuru Jepang, ralat, oleh orang-orang dari seluruh penjuru dunia! Kosuke percaya ia bisa menemukan cara untuk melanjutkan hidup di tempat tersebut.
Ia menuju tempat penjualan tiket dan memeriksa harganya.
Begitu melihat harga tiket ke Shin-Osaka, ia menarik napas lega.
Ternyata tidak semahal dugaannya semula.
Ada dua kategori Shinkansen, yaitu Hikari dan Kodama.
Walaupun sempat bimbang, akhirnya ia memilih Kodama.
Ia perlu berhemat.
“Satu tiket ke Shin-Osaka,” katanya pada petugas laki-laki di loket.
Petugas itu melemparkan tatapan tajam menyelidik padanya.
“Dengan diskon pelajar?” tanyanya.
“Kau harus menunjukkan bukti diskon dan kartu pelajar untuk itu.” “Oh, tidak ada.” “Baiklah.
Jadi tiket harga biasa?” Ya.” Si petugas menanyakan serentetan pertanyaan, mulai dari jam berapa Kosuke ingin pergi, juga apakah ia ingin memesan tempat duduk khusus atau tidak.
Kosuke menjawabnya dengan kelabakan.
Petugas itu menyuruhnya menunggu sebentar sementara dia masuk ke ruangan dalam.
Kosuke memeriksa isi dompetnya.
Setelah mendapat tiket, ia akan membeli ekiben? untuk bekal nanti.
Tiba-tiba ada tangan seseorang yang memegang bahunya.
“Ada waktu sebentar?” Kosuke menoleh.
Seorang pria yang mengenakan jas berdiri di belakangnya.
“Ada apa?” “Ada yang ingin saya tanyakan.
Silakan ikut saya,” kata pria itu dengan nada mengintimidasi.
“Tapi aku...
tiket...” Perbedaan antara Hikari dan Kodama adalah jumlah stasiun yang disinggahi Kodama lebih banyak dibandingkan dengan Hikari hingga waktu tempuh perjalanan lebih panjang dan harga tiketnya lebih murah.
Ekiben: singkatan dari eki bento (bento stasiun kereta api).
Varian bento yang dijual di stasiun kereta api.
“Tidak akan makan waktu lama.
Kau cukup menjawab beberapa pertanyaan.
Ayo.” Pria itu mencengkeram lengan Kosuke.
Cengkeramannya begitu kuat sampai Kosuke yakin bahwa tak ada gunanya melawan.
Ia dibawa ke sebuah ruangan yang sepertinya adalah kantor stasiun.
Pria itu bilang tidak akan memakan waktu lama, tapi nyatanya Kosuke terkurung di sana selama berjam-jam karena tidak mau menjawab pertanyaan yang diajukan.
Bahkan pertanyaan pertama.
“Siapa namamu dan di mana alamatmu?” Orang yang tadi menghampirinya di loket tiket adalah detektif dari Divisi Anak Departemen Kepolisian Metropolitan.
Para detektif mengawasi Stasiun Tokyo dalam pakaian biasa karena banyak anak laki-laki maupun anak perempuan yang meninggalkan rumah setelah liburan musim panas.
Tidak heran dia langsung curiga saat melihat Kosuke yang bercucuran peluh berkeliaran di dalam stasiun dengan raut wajah gelisah.
Dia mengikuti Kosuke hingga ke loket dan menanti saat yang tepat sebelum dia mengedipkan mata pada petugas loket sebagai kode.
Bukan suatu kebetulan petugas loket itu kemudian meninggalkan posnya.
Detektif tersebut menceritakan semua ini dengan harapan bisa mengorek informasi dari Kosuke.
Dia sama sekali tidak mengira akan sesulit ini.
Dia berpikir begitu Kosuke memberitahu nama dan alamat lengkapnya, seperti anak-anak lain pada umumnya, dia tinggal menghubungi entah orangtua atau sekolah anak itu supaya datang menjemput.
Namun, Kosuke bertekad tidak akan memberitahukan identitasnya sama sekali.
Kalau ia sampai menyebut identitasnya sedikit saja, ia harus menceritakan tentang pelarian kedua orangtuanya juga.
Bahkan setelah dipindahkan dari kantor stasiun ke ruang interogasi polisi, ia masih memilih untuk diam.
Onigiri dan teh gandum yang dihidangkan untuknya pun tidak ia sentuh.
Sebenarnya ia kelaparan setengah mati, tapi ia menolak makan.
Karena kalau ia makan, ia pasti diharuskan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai gantinya.
Menyadari hal itu, detektif itu tersenyum kecut.
“Makanlah dulu.
Kita gencatan senjata untuk sementara.” Setelah itu, dia meninggalkan ruangan.
Kosuke langsung menjejali mulutnya dengan onigiri.
Ini adalah makanan pertamanya sejak menyantap sisa nasi kare di rumahnya semalam.
Padahal ini hanya onigiri yang diisi umeboshi, tapi baginya ini makanan terlezat di dunia.
Detektif itu kembali tidak lama kemudian.
“Apa kau sudah bersedia bicara?” tanyanya tiba-tiba.
Kosuke hanya menunduk.
“Ternyata belum ya.” Sang detektif mendesah.
Petugas polisi lain datang dan berbicara dengan detektif itu.
Dari potongan-potongan pembicaraan mereka, Kosuke tahu mereka sedang melakukan verifikasi dengan data permintaan penyelidikan anak-anak yang meninggalkan rumah di seluruh Jepang.
Yang membuatnya cemas adalah masalah sekolah.
Seandainya mereka sampai menanyai seluruh SMP yang ada, pasti akan ketahuan bahwa ia tidak hadir di sekolah.
Memang Sadayuki pernah bilang akan memberitahu sekolah kalau Kosuke akan pergi ke luar negeri bersama keluarganya selama seminggu, tapi apakah pihak sekolah tidak akan curiga? Malam tiba.
Kosuke sedang menyantap makanan kedua untuk hari ini di ruang interogasi.
Menu malam ini adalah gyadon.
Rasanya luar biasa lezat.
Detektif itu mulai putus asa.
Dia terus memohon supaya setidaknya Kosuke mau memberitahukan namanya.
Mau tidak mau Kosuke merasa agak kasihan padanya.
Ia menggumamkan nama “Fujikawa”.
Sang detektif mendongak terkejut dan bertanya, “Tadi kau bilang apa?” “Fujikawa...
Hiroshi...” Detektif itu buru-buru mengambil kertas dan bolpoin.
“Jadi itu namamu? Bagaimana menulisnya? Atau bagaimana kalau kautulis sendiri?” Kosuke mengambil pena yang disodorkan, kemudian menulis Fujikawa Hiroshi.
Sebenarnya ia hanya asal-asalan memilih nama palsu.
Nama “Fujikawa” diambil dari Area Peristirahatan Fujikawa, sedangkan “Hiroshi” diambil dari Pameran Internasional?.
“Alamatmu?” Detektif itu bertanya lagi.
Kali ini Kosuke menggeleng.
Malam itu Kosuke menginap di ruang interogasi.
Sebuah tempat tidur lipat telah disiapkan untuknya.
Ia menutupi tubuh dengan selimut pinjaman dan tidur nyenyak.
Keesokan harinya, detektif kemarin duduk berhadap-hadapan dengan Kosuke.
“Waktunya memutuskan apa yang akan kaulakukan,” katanya.
“Apakah kau akan bicara jujur? Atau memilih pergi ke Lembaga Perlindungan Anak? Kalau terus seperti ini, bisa-bisa kita akan berada di sini selamanya.” Namun, Kosuke tetap bungkam.
Sang detektif menggarukgaruk kepala dengan jengkel.
Dalam bahasa Jepang, acara Pekan Internasional disebut dengan nama “Bampaku' (585).
Karakter Kanji kedua, 1# juga bisa dibaca sebagai “Hiroshi'.
“Sebenarnya apa yang terjadi? Di mana orangtuamu? Bagaimana bisa mereka tidak sadar kalau anaknya hilang?” Bukannya menjawab, Kosuke malah menatap permukaan meja.
“Apa boleh buat.” Sang detektif sepertinya menyerah.
“Kelihatannya kau sedang mengalami masalah serius, ya? Fujikawa bukan nama aslimu, bukan?” Kosuke melirik ke arah wajah sang detektif, lalu kembali menunduk.
Tahu dugaannya tepat, detektif ivu mengembuskan napas panjang.
Beberapa saat kemudian, Kosuke dipindahkan ke Lembaga Perlindungan Anak.
Awalnya ia membayangkan tempat itu akan mirip dengan sekolah, jadi ia terkejut saat pergi ke sana dan malah melihat sebuah bangunan tua bergaya Eropa.
Ia mendengar sebenarnya dulu bangunan ini adalah tempat kediaman seseorang, tapi karena kondisi bangunan yang menurun drastis, di sana-sini banyak tembok yang sudah mulai retak, ditambah banyak papan lantai ruangan yang sudah melengkung.
Dua bulan berikutnya dilewatkan Kosuke di Lembaga Perlindungan Anak.
Di sana ia dipertemukan dengan banyak orang seperti dokter dan psikolog.
Kelihatannya mereka semua berusaha keras mengungkap identitas anak muda yang menggunakan nama Fujikawa Hiroshi ini, tapi tak ada seorang pun yang berhasil.
Satu hal yang membuat mereka heran adalah tidak ada satu pun kantor polisi di Jepang yang menerima permintaan penyelidikan anak hilang dengan ciri-ciri seperti dirinya.
Sebenarnya apa yang dilakukan orangtua atau wali anak ini? Pada akhirnya semua orang berkomentar demikian.
Setelah Lembaga Perlindungan Anak, berikutnya Kosuke dipindahkan ke Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu.
Jaraknya lumayan jauh dari Tokyo, tapi masih bisa ditempuh dalam setengah jam dengan mobil dari rumah lama Kosuke.
Ia sempat cemas karena mengira identitasnya sudah ketahuan, tapi kalau mengamati gerak-gerik orang dewasa di sana, sepertinya alasan ia dibawa ke Taman Marumitsu hanya karena di sana masih ada tempat kosong.
Bangunan bertingkat empat itu terletak di sebuah bukit dan dikelilingi pepohonan hijau.
Penghuninya mulai dari bayi hingga siswa SMA yang kumisnya baru mulai tumbuh.
“Tidak apa-apa kalau kau tidak ingin memberitahukan identitasmu, tapi kuharap kau mau memberikan informasi tanggal, bulan, dan tahun kelahiran.
Saat ini kami belum bisa mengirimmu bersekolah karena tidak tahu kau duduk di kelas berapa,” kata seorang instruktur setengah baya dan berkacamata.
Kosuke termenung sejenak.
Sebenarnya ia lahir pada tanggal 26 Februari 1957.
Tapi jika menyebutkan usianya, ia khawatir identitasnya akan segera terungkap.
Hanya saja, ia tidak bisa berpura-pura kalau usianya lebih tua karena ia belum pernah menyentuh buku pelajaran untuk kelas 3 SMP.
Setelah berpikir, akhirnya ia menjawab bahwa ia lahir pada tanggal 29 Juni 1957.
Juni...
Tanggal kedatangan The Beatles ke Jepang.
Kini botol kedua Guinness yang dipesannya juga sudah kosong.
“Anda mau tambah?” tanya Eriko.
“Atau mau pesan minuman lain?” “Ah, ya.” Kosuke menatap deretan botol di rak.
“Saya minta Bunnahabhain dengan es batu.” Eriko mengangguk, lalu mengeluarkan rock glass?'.
Kini lagu I Feel Fine mengalun di dalam bar.
Kosuke sudah nyaris mengetuk-ngetuk meja mengikuti irama sebelum buruburu menghentikan diri.
Ia melayangkan pandangan ke seluruh penjuru bar.
Ia sama sekali tidak menyangka ada bar seperti ini di sebuah kota kecil.
Memang, beberapa teman Kosuke waktu tumbuh besar juga menggemari The Beatles, tapi ia cukup yakin bahwa dirinyalah penggemar terberat grup musik itu di kota ini.
Mama sudah mulai mencacah es batu dengan alat pemotong es.
Melihat pemandangan itu, Kosuke lantas teringat saat ia sering memahat kayu dengan pisau pemotong.
Kehidupan di rumah perlindungan anak tidak buruk.
Selain tidak perlu memusingkan soal makanan, ia juga bisa pergi ke sekolah.
Karena berbohong soal umurnya, ia jadi mengulang satu tahun dan sama sekali tidak kesulitan menghadapi pelajaran sekolah di tahun ajaran pertama.
Ia terus menggunakan nama Fujikawa Hiroshi.
Semua orang memanggilnya Hiroshi.
Awalnya ia sempat terlambat bereaksi setiap kali dipanggil dengan nama itu, tapi lambat laun ia mulai terbiasa.
Kendati demikian, ia tidak memiliki seseorang yang bisa dianggap sebagai sahabat.
Atau lebih tepatnya, menurutnya lebih baik jika ia tidak memiliki sahabat.
Kalau akrab dengan seseorang, ia pasti akan tergerak untuk memberitahukan nama aslinya, juga “Rock glass: gelas berukuran 8-15 oz yang digunakan untuk menyediakan minuman beralkohol.
menceritakan kisah hidupnya.
Supaya itu tidak terjadi, ia merasa harus selalu menyendiri.
Mungkin karena sikapnya yang seperti itu, hanya sedikit orang yang mendekatinya.
Bahkan anak-anak lain menganggapnya terlalu aneh untuk diganggu sehingga ia selalu sendirian, baik di Taman Marumitsu maupun di sekolah.
Kosuke memang tidak pernah bermain dengan temantemannya, tapi ia tidak pernah merasa kesepian.
Sejak tinggal di Taman Marumitsu, ia menemukan satu kesenangan baru, yaitu memahat kayu.
Ia sering memungut kayu jatuh yang ada di dekatnya, kemudian mengukirnya dengan pisau khusus menjadi bentuk yang ia sukai.
Awalnya itu sekadar untuk menghabiskan waktu luang, tapi setelah membuat beberapa pahatan, ia menjadi kecanduan.
Banyak variasi pahatan yang dibuatnya, mulai dari bentuk binatang, robot, boneka, mobil, dan banyak lagi.
Semakin sulit pahatan yang harus dibuatnya, semakin ia merasa tertantang.
Justru lebih menarik jika ia bisa menyelesaikan sebuah pahatan tanpa harus membuat pola lebih dulu, jadi ia lebih bebas berkreasi.
Semua pahatan yang sudah selesai diberikannya pada anakanak yang lebih muda.
Walaupun mereka sempat kebingungan karena Fujikawa Hiroshi yang terkenal sulit bergaul itu mau menghadiahkan sesuatu, wajah-wajah mereka langsung dihiasi senyum begitu menerima pemberiannya.
Tidak heran, karena mereka jarang bisa mendapat mainan baru.
Lama-kelamaan, ia banyak mendapat permintaan membuat berbagai bentuk paharan baru.
“Berikutnya buatkan Moomin ya!” “Aku mau Kamen Rider!” Kosuke memenuhi semua keinginan anak-anak itu.
Bisa melihat senyum bahagia di wajah mereka adalah suatu kesenangan tersendiri baginya.
Keahlian Kosuke dalam memahat mulai dikenal di kalangan para pengurus rumah perlindungan.
Suatu hari, ia dipanggil oleh Direktur Taman Marumitsu yang kemudian menanyakan sesuatu yang tak terduga: Apakah Kosuke berminat bekerja di studio pahatan kayu? Sang direktur punya kenalan yang berprofesi pemahat yang katanya sedang mencari seorang penerus.
Jika Kasuke bersedia tinggal di rumah orang itu sebagai muridnya, ada kemungkinan ia bisa melanjutkan ke bangku SMA lewat sistem kelas malam.
Dengan semakin mendekatnya waktu kelulusan SMP, para pengurus rumah perlindungan pasti sedang pusing memikirkan apa yang harus dilakukan terhadap Kosuke.
Bahkan, pihak rumah perlindungan juga sudah mengurus status legal Kosuke.
Mereka ingin Kosuke memiliki nama yang sah dan sudah membuat permohonan ke Kantor Pengadilan Urusan Keluarga dan memproses Kartu Keluarga untuk Kosuke.
Permohonan itu sudah dikabulkan.
Umumnya pengadilan tidak bersedia memproses permintaan untuk anak seusia Kosuke karena biasanya hanya mengurus permintaan untuk anak-anak yang masih sangat kecil.
Hanya saja, karena Kosuke selalu bersikeras menyembunyikan identitas diri bahkan sampai pada titik di mana polisi juga tak bisa menemukan apa pun, mereka jadi tak punya pilihan untuk mengesahkan nama legal baru untuknya.
Kasus Kosuke ini benar-benar unik.
Kosuke sudah beberapa kali berjumpa dengan petugas Pengadilan Keluarga.
Seperti yang lain, mereka mencoba membuat Kosuke berbicara tentang keluarganya, latar belakang, apa pun, tapi reaksi Kosuke tetap sama.
Ia memilih terus diam.
Akhirnya para orang dewasa itu menarik kesimpulan sendiri: Akibat guncangan kejiwaan yang berat, ada kemungkinan Kosuke telah kehilangan ingatan tentang identitasnya sendiri.
Dengan kata lain, Kosuke memang tidak tahu identitasnya sendiri.
Mungkin mereka sengaja berpikir begitu karena itulah cara termudah untuk memproses masalah rumit ini.
Tepat sebelum lulus SMP, Kosuke menerima kartu keluarga dengan nama “Fujikawa Hiroshi”.
Tak lama setelah itu, ia resmi menjadi murid seorang ahli pahat kayu yang berdomisili di Saitama.
Belajar menjadi pemahat tidaklah mudah, apalagi guru Kosuke adalah tipikal seniman yang tidak fleksibel dan keras kepala.
Sepanjang tahun pertama, yang dilakukan Kosuke hanya membersihkan sisa-sisa materi pahatan di studio kerja dan merawat peralatan.
Ia baru diizinkan memahat kayu setelah duduk di kelas 2 SMA yang dijalaninya lewat kelas malam.
Setelah itu pun ia hanya boleh memahat bentuk sesuai perintah gurunya.
Ia pernah mengulang memahat satu bentuk hingga dua puluh atau tiga puluh kali dalam sehari dan baru boleh beralih ke bentuk lain ketika semuanya sudah sama persis.
Sungguh pekerjaan yang tidak menarik.
Meskipun demikian, pada dasarnya guru Kosuke adalah orang baik yang sangat memperhatikan masa depan muridnya.
Sang guru merasa memiliki misi untuk menjadikan Kosuke seorang seniman yang andal, dan itu bukan hanya karena beliau menginginkan seorang penerus.
Istri beliau juga orang yang baik hati.
Setelah lulus SMA, Kosuke mulai membantu pekerjaan gurunya, diawali dengan tugas-tugas mudah.
Setelah mulai terbiasa dan meraih kepercayaan sang guru, tugas-tugasnya pun semakin sulit, tapi juga makin memuaskan.
Seperti itulah kehidupannya sehari-hari.
Kendati kenangan tentang hari saat ia melarikan diri bersama orangtuanya masih terbayang dalam benak, ia semakin jarang memikirkannya.
Sekarang ia yakin bahwa keputusannya tidak mengikuti orangtuanya adalah keputusan yang benar.
Perpisahannya malam itu adalah jawaban yang benar.
Entah apa yang terjadi jika ia menuruti nasihat dari Kakek Toko Kelontong Namiya.
Namun, kedamaian Kosuke terusik pada bulan Desember 1980.
Ia mendengar berita mengejutkan di TV.
John Lennon, mantan anggota The Beatles, dibunuh.
Samar-samar, ia teringat akan masa-masa di mana ia begitu tergila-gila pada grup itu.
Kenangan yang terasa begitu pahit dan menyedihkan, bercampur dengan nostalgia.
Apakah John Lennon pernah menyesal telah membubarkan The Beatles? Pertanyaan itu muncul di benak Kosuke.
Apakah John Lennon pernah berpikir bahwa tindakan itu terlalu terburuburu? Kosuke langsung menepis pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Mustahil.
Setelah bubar, para anggota The Beatles memiliki kegiatan masing-masing.
Mereka telah lolos dari mantra pengikat bernama “The Beatles”.
Kosuke sendiri juga baru berhasil meraih kebahagiaan setelah memutuskan hubungan dari kedua orangtuanya.
Begitu hati mereka menjauh, tidak ada lagi yang bisa memperbaikinya—begitu pikirnya dulu.
Delapan tahun kemudian, pada suatu hari di bulan Desember, Kosuke melihat artikel mengejutkan di surat kabar.
Telah terjadi kebakaran di Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu.
Diduga ada korban jiwa.
Karena guru Kosuke menyuruhnya pergi ke sana untuk mengecek keadaan, keesokan harinya Kosuke mengemudikan mobil van kecil milik studio pahat menuju Taman Marumitsu.
Terakhir kali ia mampir ke sana untuk bertukar kabar adalah setelah ia lulus dari sekolah malam.
Setengah bagian dari bangunan Taman Marumitsu habis terbakar.
Anak-anak dan para staf kini tinggal di aula olahraga milik SD dekat sana.
Walaupun sudah disediakan beberapa tungku, sepertinya mereka semua masih kedinginan.
Direktur Taman Marumitsu yang kini sudah berusia lanjut menyambut kedatangan Kosuke dengan gembira sekaligus kaget.
Beliau terkejut melihat remaja yang dulu selalu bungkam soal identitas aslinya ini kini sudah tumbuh menjadi orang dewasa yang mengkhawatirkan rumah tempat tinggalnya dulu yang baru saja dilalap api.
Kosuke berkata ia akan membantu sebisanya, dan Direktur menjawab bahwa niat membantu saja sudah cukup.
Saat akan meninggalkan tempat itu, seseorang menyapanya.
“Fujikawa-san?” Kosuke menoleh dan melihat seorang wanita muda menghampirinya.
Usianya sekitar pertengahan dua puluhan dan dia mengenakan mantel bulu yang tampak mahal.
“Ternyata benar.
Kau Fujikawa Hiroshi-san, bukan?” Mata wanita itu berbinar-binar.
“Aku Harumi.
Muto Harumi.
Masih ingat?” Sayangnya Kosuke tidak ingat nama itu.
Wanita itu membuka tas tangan yang dia bawa kemudian mengeluarkan sesuatu.
“Nah, bagaimana dengan ini? Kau ingat?” Sebuah pahatan kayu berbentuk anak anjing.
Ya, Kosuke ingat.
Ia membuatnya saat masih tinggal di Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu.
Ia menatap wajah wanita di depannya.
Kini ia ingat pernah bertemu dengan wanita itu di suatu tempat.
“Kau dulu juga tinggal di Taman Marumitsu?” “Ya.” Wanita itu mengangguk.
“Fujikawa-san yang memberikan ini padaku.
Waktu itu aku masih kelas 5 SD.” “Sekarang aku ingat.
Sedikit.” “Begitukah? Padahal aku terus mengingat Fujikawa-san sampai sekarang.
Bagiku pahatan ini adalah harta karun.” “Oh, maaf aku lupa.” Wanita itu tersenyum dan kembali memasukkan pahatan anak anjing tadi ke tas.
Kini dia mengeluarkan selembar kartu nama.
Di kartu itu tertulis “Office Litde Dog.
Direktur: Mito Harumi”.
Kosuke balas memberikan kartu namanya.
Wajah Harumi tampak cerah.
“Pemahat kayu...
Rupanya kau sudah jadi seorang profesional.” “Menurut guruku, kemampuanku masih setengah matang,” ujar Kosuke sembari menggaruk-garuk kepala.
Mereka berdua duduk di sebuah bangku taman yang ada di luar aula olahraga.
Kata Harumi, dia juga mendengar soal kebakaran itu dari berita TV dan bergegas datang.
Dia juga menawarkan bantuan pada Direktur Taman Marumitsu.
“Dulu orang-orang di rumah ini sudah banyak membantuku.
Ini kesempatanku untuk membalas budi.” “Kau baik sekali.” “Fujikawa-san juga begitu, bukan?” “Sebenarnya aku ke sini karena disuruh oleh guruku.” Kosuke menatap kartu nama yang diberikan wanita itu.
“Jadi sekarang kau mengelola perusahaan? Perusahaan apa?” “Hanya perusahaan kecil.
Tugasku adalah membuat acara yang ditujukan kepada anak muda sekaligus membuat rencana promosinya, seperti iklan dan semacamnya.” “Wah...” ia bergumam walaupun sebetulnya sama sekali tidak paham penjelasan wanita muda itu.
“Hebat.
Padahal kau masih muda.” “Tidak.
Aku hanya beruntung.” “Menurutku itu bukan sekadar karena nasib baik, justru bagus karena sejak awal kau sudah berniat membangun perusahaan sendiri.
Walau tentu saja menjalani kehidupan dengan bekerja untuk orang lain dan menerima bayaran jauh lebih mudah.” Harumi tampak memikirkan ucapan Kosuke.
“Memang seperti itulah sifatku.
Aku tidak begitu suka bekerja untuk orang lain.
Bahkan pekerjaan sambilanku pun tidak bertahan lama sehingga aku kebingungan bagaimana bisa hidup setelah meninggalkan rumah perlindungan.
Untung saat itu ada seseorang yang memberikan nasihat berharga sehingga aku bisa menentukan arah hidup selanjutnya.” “Seseorang?” “Dia...” Harumi berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Dia pemilik sebuah toko kelontong.” “Toko kelontong?” Kosuke mengerutkan alis.
“Lokasinya dekat dengan rumah temanku dan sangat populer karena pemiliknya membuka jasa layanan konsultasi.
Kalau tak salah, toko itu juga pernah muncul di sebuah majalah mingguan.
Aku merasa tidak ada salahnya mencoba menulis surat padanya, dan beliau memberikan nasihat yang sangat bagus.
Berkat beliau, aku bisa menjadi seperti sekarang.” Kosuke tertegun.
Tidak salah lagi, yang sedang dibicarakan wanita itu adalah Toko Kelontong Namiya.
Tidak ada toko lain yang seperti itu.
“Ceritaku sulit dipercaya, ya?” tanya Harumi.
“Ah, tidak juga.
Hmmm, jadi ada toko seperti itu ya.” Kosuke berpura-pura bersikap santai.
“Menarik, bukan? Aku tidak tahu apakah sekarang toko itu masih ada atau tidak.” “Yang penting sekarang pekerjaanmu lancar.” “Terima kasih.
Tapi sebenarnya justru pekerjaan sambilanku yang lebih menghasilkan banyak keuntungan.” “Pekerjaan sambilan?” “Investasi.
Bisa berupa saham atau properti bangunan.
Lalu investasi keanggotaan klub golf.” “Oooh...” Kosuke mengangguk.
Belakangan ini ia memang sering mendengar soal itu.
Meroketnya harga properti bangunan akan menciptakan iklim usaha yang bagus, yang berimbas positif pula pada bisnis pahatan kayunya.
“Fujikawa-san berminat berinvestasi dalam bentuk saham?” Kosuke tertawa masam sambil menggeleng.
“Sama sekali tidak.” “Oh? Baguslah kalau begitu.” “Kenapa?” Harumi bimbang sejenak, lalu kembali berbicara.
“Jika kau punya investasi saham dan properti bangunan, sebaiknya kaujual semuanya sebelum tahun 1990, karena setelah itu ekonomi Jepang akan terpuruk.” Terpana, Kosuke menatap wajah wanita itu dengan sorot bertanya.
Caranya berbicara terdengar begitu yakin.
“Maaf.” Harumi tersenyum canggung.
“Barusan aku mengatakan sesuatu yang aneh.
Tolong lupakan saja.” Dia mengecek jam tangannya, lalu bangkit.
“Senang berjumpa denganmu lagi setelah sekian lama.
Semoga kapan-kapan kita bisa bertemu lagi.” “Ya.” Kosuke juga ikut bangkit.
“Jaga dirimu.” Setelah berpisah dengan Harumi, Kosuke kembali ke mobil.
Ia menyalakan mesin dan sudah siap menjalankan mobil sebelum mendadak menginjak rem.
Toko Kelontong Namiya...
Mendadak saja Kosuke penasaran akan nasib toko itu.
Dulu ia memang tidak menuruti nasihat kakek pemiliknya dan merasa pilihannya adalah pilihan terbaik, tapi rupanya ada orang seperti Harumi yang justru merasa berterima kasih.
Bagaimana kabar toko itu sekarang? Kosuke kembali melajukan mobil.
Setelah bimbang sejenak, ia mengarahkan mobil ke jalur yang berbeda dengan jalur yang seharusnya ia tempuh untuk pulang.
Ia ingin melihat Toko Kelontong Namiya sekali lagi.
Memang ada kemungkinan toko itu sudah dihancurkan, tapi ia merasa dirinya bisa lebih tenang jika ia memastikannya.
Sudah delapan belas tahun sejak ia meninggalkan kota kelahirannya.
Sambil mengemudi, ia kembali mencoba mengingatingat.
Ia tidak yakin masih ada orang yang bisa mengenalinya sebagai Kosuke di kota ini, tapi sebisa mungkin ia menghindari bertemu orang.
Ia merasa tidak nyaman mendadak datang ke arca tempat rumahnya dulu berada.
Pemandangan kota ini sudah banyak berubah.
Semakin banyak permukiman dan jalan yang dibangun.
Mungkin ini pengaruh dari iklim ekonomi yang maju pesat.
Meskipun demikian, Toko Kelontong Namiya masih berada di lokasi semula dan masih tampak seperti dulu.
Walaupun toko itu sudah mulai bobrok dan huruf-huruf yang tercantum di papan nama toko pun sudah sulit dibaca, bentuk bangunan itu masih tetap sama.
Kosuke yakin jika pintu gulung toko dibuka, ia masih bisa menemukan deretan barang-barang jualan di rak.
Kosuke turun dari mobil dan mendekati bangunan toko.
Perasaan haru dan nostalgia datang silih berganti.
Kenangan tentang kegundahan apakah dirinya harus ikut orangtuanya melarikan diri atau tidak, juga saat ia memasukkan surat ke lubang surat di pintu toko muncul kembali dalam benaknya.
Ia menyusuri jalan di sebelah rumah dan memutar ke belakang.
Kotak penyimpanan susu masih tergantung di tempat biasa, sama seperti dulu.
Kosuke membuka tutupnya, tapi tidak menemukan apa-apa di dalamnya.
Ia mendesah panjang.
Sudah cukup, pikirnya.
Waktunya mengakhiri semua ini.
Mendadak pintu di samping kotak susu terbuka, disusul sosok seorang pria.
Usianya sekitar akhir lima puluhan.
Pria itu juga sama terkejutnya.
Dia pasti tidak menyangka ada orang di sini.
“Ah, maafkan saya.” Kosuke buru-buru menutup kotak susu.
“Saya bukan orang jahat.
Saya hanya...
yah, bagaimana, ya...” Ia tidak bisa menemukan penjelasan yang tepat.
Dengan sorot menyelidik, pria itu bolak-balik menatap wajah Kosuke lalu menatap kotak susu.
Kemudian dia bertanya, “Jangan-jangan Anda orang yang pernah berkonsultasi?” “Eh?” Kosuke balas menatap pria itu.
“Apa Anda pernah mengirim surat permintaan konsultasi pada ayah saya?” Saking kagetnya karena tertangkap basah, Kosuke sampai melongo.
Ia hanya bisa mengangguk.
“Ya, sebenarnya dulu saya memang pernah...” Ujung mulut pria itu kini terlihat santai.
“Sudah saya duga.
Jika bukan, tak mungkin Anda akan menyentuh kotak ini.” “Sekali lagi maafkan saya.
Sudah lama sekali saya tidak ke daerah ini, jadi seperti ada rasa rindu...” Kosuke menunduk.
Pria ivu mengibas-ngibaskan tangan.
“Tak perlu minta maaf.
Saya putra Namiya.
Sebenarnya ayah saya sudah meninggal delapan tahun lalu.” “Begitu rupanya.
Lalu rumah ini...?” “Rumah ini sudah tidak dihuni.
Sesekali saya ke sini untuk mengecek keadaannya.” “Apakah Anda tidak berencana membongkarnya?” “Hmmm...” pria itu bergumam pelan.
“Ada alasan tertentu mengapa saya tidak bisa melakukannya.
Saya akan membiarkannya tetap seperti ini untuk sekarang.” Kosuke ingin tahu apa alasan yang dimaksud, tapi tidak berani menggali sejauh itu karena kesannya kurang sopan.
“Pasti konsultasi masalah serius, ya?” tanya pria itu.
“Anda sampai datang kemari untuk memeriksa kotak susu, artinya isi surat Anda dulu benar-benar serius, bukan? Bukan sekadar surat yang isinya mengisengi ayah saya.” Kosuke langsung memahami apa maksudnya.
“Anda benar.
Waktu itu rasanya memang serius bagi saya.” Pria itu mengangguk, kemudian menatap ke arah kotak susu.
“Ayah saya benar-benar aneh.
Saya selalu bilang jika dia punya waktu untuk membantu memecahkan masalah orang lain, seharusnya dia mencurahkan waktunya itu pada bisnis.
Tapi, kenyataan bahwa ia bisa membantu oranglah yang membuatnya bersemangat dalam hidup.
Saya rasa dia cukup puas, pada akhirnya, terutama ketika banyak orang yang berterima kasih padanya.” “Apakah orang sering datang untuk berterima kasih?” “Ya, kurang lebih begitu.
Banyak juga yang mengiriminya surat lagi.
Sebenarnya ayah saya sangat khawatir apakah nasihatnya benar-benar berguna atau tidak, jadi beliau merasa tenang setelah membaca surat-surat itu.” “Jadi, mereka mengirim surat yang isinya ucapan terima kasih.” “Benar.” Pria itu kembali mengangguk, sorot matanya tampak lebih serius.
“Salah seorang dari mereka pernah menerima nasihat dari Ayah saat masih kecil, lalu di kemudian hari setelah berhasil menjadi guru, dia menulis surat ucapan terima kasih.
Ada juga yang menulis surat bukan demi kepentingan pribadi, tapi karena memikirkan putrinya.
Dia ingin berkonsultasi dengan Ayah apakah sebaiknya dia mempertahankan bayi hasil hubungannya dengan laki-laki yang sudah beristri atau tidak.” “Ternyata ada macam-macam masalah, ya?” “Betul sekali.
Begitu kesan yang saya tangkap saat mencoba membaca beberapa surat yang datang.
Dan Ayah terus saja menerima surat sejenis, mulai dari masalah serius seperti si pengirim surat yang bimbang apakah dia harus ikut orangtuanya yang berencana kabur dari rumah, sampai masalah seperti seseorang yang mengaku jatuh cinta pada guru di sekolah dan bertanya apa yang sebaiknya dia lakukan...” “Tunggu sebentar.” Kosuke mengangkat tangan kanannya.
“Benarkah ada yang pernah berkonsultasi apakah dia harus ikut orangtuanya kabur dari rumah?” “Ya, ada,” jawab pria itu dengan ekspresi bertanya-tanya.
“Dan orang itu juga mengirim surat tanda terima kasih?” “Ya.” Pria itu mengangguk.
“Kelihatannya ayah saya menyarankan supaya anak itu mengikuti orangtuanya.
Lalu anak itu menulis bahwa kini dia bersyukur karena telah menuruti nasihat ayah saya.
Kalau tak salah dia hidup bahagia bersama kedua orangtuanya.” Kosuke mengerutkan alis.
“Kapan itu terjadi? Maksud saya, kapan ayah Anda menerima surat tanda terima kasih itu?” “Tidak lama sebelum beliau meninggal,” pria itu menjawab setelah sempat tersirat keraguan di wajahnya.
“Hanya saja, sebenarnya surat itu bukan ditulis pada saat itu.” “Apa maksud Anda?” “Sebenarnya...” Pria itu membuka mulut untuk mengatakan sesuatu sebelum akhirnya memilih bungkam.
“Aku ini memang payah,” gumamnya.
Kemudian dia berkata lagi, “Seharusnya saya tidak bicara yang aneh-aneh.
Tolong jangan diambil hati.
Saya tidak bermaksud apa-apa.” Suasana berubah menjadi canggung.
Pria itu buru-buru meraih kunci pintu belakang rumah.
“Saya permisi dulu.
Silakan melihat-lihat dengan santai, walau sebenarnya di sini tidak ada yang istimewa.” Dia merunduk untuk melawan hawa dingin lalu berjalan melewati gang sempit.
Setelah mengamati kepergian pria itu, tatapan Kosuke kembali jatuh pada kotak susu.
Sekilas, kotak itu terlihat seperti melengkung.
Lagu Yesterday tengah mengalun saat Kosuke kembali tersadar dari lamunannya.
Ia meneguk habis wiski pesanannya, lalu berkata pada sang Mama, “Tambah lagi.” Dipandanginya kertas surat yang ada di tangannya.
Setelah memeras otak, seperti inilah isi surat tersebut.
Kepada Toko Kelontong Namiya, Empat puluh tahun lalu, saya pernah mengirim surat untuk Anda menggunakan nama alias Paul Lennon.
Apakah Anda masih ingat? Waktu itu saya menulis tentang rencana pelarian kedua orangtua saya, juga bertanya apa yang sebaiknya saya lakukan karena mereka ingin saya ikut, tapi saya bimbang.
Di surat balasan, Anda bilang bahwa sebuah keluarga tidak seharusnya tercerai-berai, dan saya harus memercayai tindakan apa pun yang diambil oleh kedua orangtua saya.
Saya mencoba melakukan itu, setidaknya pada awalnya.
Ketika kami meninggalkan rumah, kami bersama-sama.
Namun di tengah perjalanan, terjadi sesuatu yang membuat saya tidak bisa menahan diri, sesuatu yang membuat saya tidak bisa lagi mengandalkan mereka, terutama ayah saya.
Saya tidak sanggup menyerahkan kehidupan saya di tangan mereka.
Saat itulah saya tahu bahwa ikatan orangtua dan anak di antara kami telah terputus.
Saat kami singgah di suatu tempat, saya melarikan diri.
Waktu itu saya tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, yang pasti saya tidak ingin lagi tinggal bersama mereka.
Setelah kejadian itu, saya sama sekali tidak mengetahui bagaimana nasib kedua orangtua saya.
Namun, saya yakin bahwa keputusan yang saya ambil waktu itu sudah tepat.
Meskipun harus menempuh jalan yang berliku-liku, saya berhasil meraih kebahagiaan dan kini menjalani hidup yang relatif stabil, baik dari segi mental maupun finansial.
Dengan kata lain, tindakan saya yang tidak menuruti nasihat dari Namiya-san adalah jawaban yang tepat.
Untuk menghindari kesalahpahaman, niat saya menulis surat ini bukanlah untuk menyindir Anda.
Dari informasi yang saya lihat di internet, sepertinya Anda ingin diberitahu secara jujur bagaimana pengaruh nasihat Anda dalam kehidupan mereka yang pernah menulis pada Anda.
Saya pikir ini kesempatan baik untuk memberitahukan bahwa ada di antara mereka yang tidak mengikuti nasihat itu.
Saya berkesimpulan bahwa seseorang hanya bisa merintis kehidupannya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri.
Jika ada anggota keluarga Namiya-san yang kebetulan membaca surat ini dan merasa tidak nyaman, saya minta maaf sebesar-besarnya.
Silakan singkirkan surat ini.
Paul Lennon Mama meletakkan gelas di konter.
Kosuke langsung meneguk wiski pesanannya.
Pertemuan menjelang akhir tahun 1988 itu kembali terlintas di benaknya.
Saat itulah ia mendengar dari putra kakek pemilik toko bahwa ada seseorang yang mengirim surat permintaan konsultasi masalah yang sama persis dengan Kosuke.
Si pengirim surat rupanya menuruti nasihat dari sang kakek untuk mengikuti kedua orangtuanya dan kini hidup bahagia.
Sungguh kebetulan yang aneh.
Ternyata di kota ini pernah ada anak lain yang juga mengalami masalah serupa.
Bagaimana cara si anak dan kedua orangtuanya bisa meraih kebahagiaan? Kosuke teringat pada masalah yang menimpa keluarganya dan yakin tidak semudah itu bisa menemukan jalan keluar.
Justru orangtuanya memilih kabur karena tidak punya jalan keluar alternatif.
“Suratnya sudah selesai?” tanya sang Mama.
“Begitulah.” “Di zaman sekarang sudah jarang orang menulis surat dengan tangan.” “Memang.
Yah, kebetulan saja ada sesuatu yang terlintas di pikiran.” Tadi siang, saat Kosuke sedang menjelajahi internet, ia tak sengaja membaca sesuatu di blog milik seseorang, yaitu sebuah pengumuman yang menyebut-nyebut tentang Toko Kelontong Namiya.
Berikut isi pengumuman tersebut: Kepada semua orang yang mengetahui tentang Toko Kelontong Namiya, Pada tanggal 13 September, sesi konsultasi Toko Kelontong Namiya akan dibuka lagi mulai pukul 00.00 sampai menjelang fajar.
Bagi Anda yang pernah berkonsuliasi dan menerima surat balasan, saya ingin sekali mengetahui pengaruh surat tersebut terhadap kehidupan Anda.
Apakah jawaban itu membantu Anda? Atau justru tidak? Saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia memberikan pendapat secara jujur.
Sama seperti dulu, silakan masukkan surat Anda lewat lubang surat di pintu gulung toko.
Semoga Anda berkenan melakukannya.
Betapa terkejutnya Kosuke.
Tidak mungkin.
Ini pasti ulah iseng seseorang.
Tapi untuk apa orang itu melakukannya? Ia langsung melacak sumber asli informasi tersebut, yaitu dari situs yang diberi nama “Toko Kelontong Namiya: Sesi Konsultasi Terbatas.
Hanya Semalam.” Pemilik situs menggunakan nama alias “Cicit Toko Kelontong Namiya”.
Menurutnya, acara ini diadakan karena tanggal 13 September adalah hari peringatan 33 tahun meninggalnya sang pemilik toko.
Sepanjang hari ini Kosuke sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan informasi itu, bahkan ia sampai tidak bisa berkonsentrasi di tempat kerja.
Biasanya ia akan langsung pulang ke rumah setelah menyantap makan malam di restoran, tapi kali ini ada semacam perasaan yang terus mengganggunya.
Akhirnya ia kembali meninggalkan rumah tanpa berganti pakaian lebih dulu.
Ia tidak perlu berpamitan kepada siapa pun karena selama ini tinggal sendirian.
Kosuke berangkat naik kereta api, tanpa benar-benar menyadari apa yang ia lakukan, seolah-olah dirinya digerakkan oleh sesuatu.
Dibacanya kembali surat yang baru saja selesai ia tulis.
Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah surat ini bisa merampungkan halhal yang selama ini belum terselesaikan.
Musik di bar kini berganti ke lagu Paperback Writer, lagu yang dulu menjadi salah satu kesukaan Kosuke.
Tanpa sadar, ia memperhatikan alat pemutar CD milik bar itu dengan lebih teliti dan langsung melihat alat pemutar piringan hitam tepat di sebelahnya.
“Anda pernah memainkan lagu-lagu dari rekaman analog?” tanyanya.
“Jarang sekali.
Biasanya hanya jika ada permintaan khusus dari pengunjung.” “Bolehkah saya melihatnya? Tidak perlu diputar.” “Tentu.” Mama berjalan ke balik konter, lalu muncul kembali sambil membawa beberapa piringan hitam.
“Sebenarnya masih ada yang lain, tapi saya simpan di atas,” katanya sambil menjejerkan piringan hitam itu di atas konter.
Kosuke mengambil salah satunya.
Abbey Road.
Walaupun dirilis lebih dulu dari album Let It Be, sebenarnya ini album terakhir yang digarap The Beatles.
Sampul depannya yang menggambarkan mereka berempat sedang menyeberang jalan sangat populer hingga dianggap legendaris.
Entah mengapa Paul McCartney sengaja bertelanjang kaki hingga beredar gosip bahwa “sebenarnya Paul sudah meninggal”.
“Sudah lama sekali,” gumamnya tanpa sadar seraya meraih album kedua.
Magical Mystery Tour.
Seingatnya lagu-lagu di album ini dijadikan soundtrack film berjudul sama, dan kabarnya isi film itu benar-benar “ngawur”.
Album ketiga adalah Set.
Peppers Lonely Hearts Club Band yang dianggap sebagai pencapaian monumental dalam kancah musik rock.
Mata Kosuke tertuju pada satu titik, tepatnya sosok wanita cantik berambut pirang yang ada di sisi kanan sampul album.
Dulu ia kira wanita itu adalah Marilyn Monroe dan baru tahu setelah dewasa kalau sebenarnya sosok itu adalah artis Diana Dors.
Tepat di samping sosok wanita itu, Kosuke melihat bekas robekan yang ditutupi dengan spidol hitam.
Darah di sekujur tubuhnya berdesir.
Jantungnya mulai berdegup kencang.
“Ini...
album ini...” Suaranya serak.
Ia menelan ludah dan menatap Mama.
“Apakah ini milik Anda?” Sang Mama tampak agak kebingungan.
“Saat ini memang saya yang menyimpannya, tapi dulu semuanya milik kakak lakilaki saya.” “Kakak laki-laki? Lalu kenapa sekarang Anda yang simpan?” Wanita itu mendesah.
“Kakak saya meninggal tiga tahun lalu.
Dialah alasan saya jadi penggemar The Beatles.
Sejak kecil, dia penggemar berat grup itu, bahkan setelah dewasa pun dia pernah bilang ingin membangun sebuah bar bertema The Beatles.
Di usia tiga puluhan, dia keluar dari pekerjaannya dan mulai membuka bar ini.” “..Begitu rupanya.
Apakah dia meninggal karena sakit atau...?” “Ya.
Ada kanker di dadanya.” Wanita itu menepuk-nepuk dada.
Kosuke menatap kartu nama pemberian wanita itu.
Di situ tertulis nama Haraguchi Eriko.
“Apakah nama keluarga kakakmu juga Haraguchi?” “Bukan.
Nama keluarganya Maeda.
Haraguchi adalah nama saya setelah menikah.
Walaupun sekarang sudah bercerai dan masih sendirian, saya tetap menggunakan nama itu karena malas repot mengurus proses penggantiannya.” “Maeda-san...” Tidak salah lagi.
Nama keluarga sahabat Kosuke yang dulu membeli semua koleksi albumnya adalah “Maeda”.
Dengan kata lain, piringan hitam yang sedang dipegangnya sekarang dulu adalah bagian dari koleksinya.
Kosuke memang terkejut, tapi sama sekali tidak menganggap ini sebagai sebuah keajaiban.
Kalau diingat-ingat lagi, hanya sedikit orang di kota ini yang bisa memiliki ide mendirikan bar bertema The Beatles.
Saat melihat papan nama bertuliskan “Fab4”, seharusnya ia sadar ada kemungkinan pemiliknya adalah orang yang ia kenal.
“Ada apa dengan nama keluarga kakak saya?” tanya Mama.
“Oh, tidak apa-apa.” Kosuke menggeleng.
“Jadi semua koleksi album ini adalah peninggalan kakak Anda?” “Bisa dibilang begitu, tapi ini juga peninggalan dari pemilik sebelumnya.” Kosuke mengira ia salah dengar.
“Pemilik sebelumnya...” “Hampir semua koleksi ini dibeli kakak saya dari temannya waktu masih SMP.
Jumlahnya ada beberapa puluh album.
Kakak bilang sahabatnya itu jauh lebih menggemari The Beatles daripada kakak saya, tapi tiba-tiba saja dia ingin menjual koleksinya.
Meskipun senang, kakak merasa ada sesuatu yang ganjil...” Sampai di situ, Mama menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Maaf.
Kenapa saya malah menceritakan hal membosankan seperti ini.” “Tidak, tidak.
Saya ingin mendengarnya.” Kosuke menyesap wiskinya.
“Tolong ceritakan apa yang terjadi pada temannya itu.” “Yah...” Eriko menelengkan kepala.
“Setelah liburan musim panas berakhir, temannya itu tidak pernah lagi muncul di sekolah.
Ternyata dia dan kedua orangtuanya melarikan diri malam sebelum hari pertama semester baru.
Kakak saya bilang keluarga itu terlibat utang besar.
Tapi sepertinya rencana melarikan diri itu malah berakhir menyedihkan...” “Apa yang terjadi?” Mama menunduk sesaat, lalu perlahan mengangkat pandangan ke arah Kosuke.
“Dua hari setelah kabur, mereka semua bunuh diri.
Sepertinya bunuh diri yang dipaksakan.” “Bunuh diri? Mereka meninggal? Siapa saja?” “Keluarga itu terdiri atas tiga orang.
Saya dengar si ayah membunuh istri dan putranya sebelum akhirnya bunuh diri....” Kosuke nyaris berseru “Tidak mungkin!”, tapi berhasil mencegah diri dengan susah payah.
“Bagaimana cara si ayah membunuh mereka? Istri dan putranya...” “Saya tidak tahu detail pastinya, tapi saya dengar si ayah memberi mereka obat tidur, lalu membuang tubuh mereka berdua di laut dari perahu.” “Dari perahu?” “Rupanya pada tengah malam mereka mencuri sebuah perahu nelayan untuk pergi ke laut.
Tapi karena si ayah ternyata tidak meninggal karena dosis obat untuk dirinya kurang, dia terdampar di darat dalam kondisi hidup kemudian gantung diri.” “Bagaimana dengan dua jenazah lainnya? Apakah jenazah istri dan putranya ditemukan?” Mama mengangkat bahu.
“Saya tidak tahu sampai sejauh itu.
Tapi si ayah meninggalkan surat sebelum bunuh diri.
Kelihatannya surat tersebut merupakan bukti yang cukup kuat bagi pihak berwenang untuk menyatakan bahwa anak dan istrinya sudah meninggal.” “Astaga.” Kosuke menghabiskan minumannya, kemudian meminta tambah lagi.
Pikirannya kacau balau.
Tanpa pengaruh alkohol yang menumpulkan pikirannya, ia tak yakin bisa menjaga sikapnya agar tetap tenang.
Meskipun ada jenazah yang ditemukan, sudah pasti hanya jenazah Kimiko.
Tapi jika dalam surat wasiat itu disebut-sebut bahwa si ayah membunuh istri dan putranya, kecil kemungkinan polisi akan mencurigai kebenaran isi surat itu walaupun jenazah si anak belum ditemukan.
Pertanyaannya adalah: kenapa Sadayuki sampai bertindak sejauh itu? Kosuke teringat pada kejadian mengenaskan 42 tahun lalu itu.
Malam saat dia melarikan diri dari Area Peristirahatan Fujikawa dan bersembunyi di bak truk.
Jelas Sadayuki dan Kimiko panik saat menyadari putra mereka hilang dan tidak tahu harus berbuat apa.
Apakah mereka harus tetap melakukan rencana pelarian dan melupakan putra mereka begitu saja? Atau memilih mencari Kosuke? Dulu Kosuke merasa mereka melakukan pilihan pertama karena tidak ada cara untuk mencari dirinya.
Namun, rupanya mereka tidak memilih kedua-duanya.
Yang mereka pilih justru bunuh diri.
Kosuke meraih gelas di hadapannya.
Perlahan, ia mengguncang gelas hingga es batu di dalamnya bergemerincing.
Mungkin tindakan bunuh diri sekeluarga ini sudah lama ada di benak Sadayuki, walaupun tentu saja itu adalah pilihan terakhir.
Bagaimanapun, sudah pasti ulah Kosuke-lah yang mendorongnya mengambil keputusan itu.
Tidak, tidak mungkin ini rencana ayahnya seorang.
Pasti Sadayuki sudah membicarakannya dengan Kimiko.
Lalu mengapa dia harus repot-repot mencuri perahu dan menenggelamkan jenazah Kimiko? Hanya ada satu alasan bagi mereka untuk melakukan semua itu: membuat putranya seakan ikut tewas.
Di lautan seluas ini, bukan hal aneh jika jenazahnya tidak ditemukan.
Di ambang bunuh diri, kedua orangtuanya masih memikirkan Kosuke.
Apa yang akan terjadi pada anak mereka jika mereka berdua meninggal? Mereka mungkin tidak bisa membayangkan bagaimana putra mereka bisa bertahan hidup sebatang kara.
Namun, pasti mereka sadar bahwa Kosuke takkan bisa memulai hidup baru dengan identitas lamanya.
Jika itu yang terjadi, berarti mereka tidak ingin menjadi penghalang baginya.
Karena itulah mereka memutuskan menghapus keberadaan sosok bernama Waku Kasuke dari dunia ini.
Detektif dari Divisi Anak Departemen Kepolisian Metropolitan, staf Lembaga Perlindungan Anak, dan semua orang dewasa sudah berusaha mengungkap identitas Kosuke, tapi tidak ada seorang pun yang berhasil.
Tentu saja.
Semua data yang berkaitan dengan Waku Kosuke sudah lebih dulu dilenyapkan.
Kosuke lantas teringat akan perkataan Kimiko, saat ibunya itu datang ke kamarnya di malam sebelum pelarian mereka.
“Ayah dan Ibu—yah, terutama ayahmu—sangat memikirkanmu, Kosuke.
Asalkan kau bahagia, kami siap melakukan apa saja, bahkan kalau perlu sampai mempertaruhkan nyawa.” Ibunya tidak berbohong.
Kenyataan bahwa Kasuke bisa bertahan hidup seperti sekarang adalah berkat pengorbanan nyawa mereka.
Kosuke menggeleng-geleng, lalu meneguk wiski.
Tidak.
Justru karena mereka adalah orangtuanya, Kosuke harus mengalami penderitaan yang seharusnya tidak perlu ia rasakan, bahkan ia sampai harus membuang nama aslinya.
Semua yang ia miliki saat ini adalah murni berkat hasil kerja kerasnya.
Tidak ada yang lain.
Namun, di lain pihak, hatinya diliputi penyesalan dan rasa bersalah.
Gara-gara ia melarikan diri, kedua orangtuanya jadi tidak punya pilihan lain.
Kosuke sudah membuat mereka berdua terpojok.
Mengapa ia tidak mencoba sekali lagi meyakinkan mereka sebelum melarikan diri? Mengapa ia tidak meminta mereka membatalkan rencana itu dan pulang ke rumah saja? Mengajak mereka kembali hidup layaknya keluarga mulai dari awal.
“Ada apa?” Kosuke mendongak dan mendapati sang Mama sedang menatapnya dengan khawatir.
“Sepertinya ada yang mengganggu pikiran Anda.” Kosuke menggeleng.
“Tidak ada apa-apa.
Terima kasih.” Tatapannya kembali jatuh pada kertas surat di tangannya.
Sementara ia membaca kembali isinya, hatinya mulai digerogoti perasaan tidak nyaman.
Kini isi surat itu tak ubahnya sederetan kalimat penuh keangkuhan yang tidak berarti.
Sama sekali tidak ada rasa hormat terhadap sosok yang telah berusaha menjadi tempatnya berkonsultasi.
Apa pula arti kalimat “seseorang hanya bisa merintis kehidupannya dengan mengandalkan kekuatannya sendiri”? Padahal ia tidak tahu apa yang akan menimpa dirinya, seandainya kedua orangtuanya yang selama ini ia remehkan tidak mengorbankan nyawa mereka.
Ia mengambil kertas itu kemudian merobek-robeknya sampai jadi serpihan-serpihan kecil.
Sang Mama terkesiap.
Kosuke bertanya, “Maaf, tapi bolehkah saya tetap di sini untuk beberapa saat lagi?” “Ya, tentu saja boleh,” jawab Mama sambil menyunggingkan senyum.
Kosuke mengambil bolpoin dan kembali menatap kertas surat.
Mungkin benar yang dikatakan Kakek Namiya: “...jika dengan begitu kalian sekeluarga bisa berada di kapal yang sama, masih ada kemungkinan untuk kembali ke jalan yang benar.” Ia teringat kembali sebagian jawaban dalam surat itu.
Namun, karena hanya dirinya yang melarikan diri, kapal itu pun kehilangan tujuannya.
Kalau begitu, apa yang sebaiknya ia tulis? Haruskah ia menceritakan yang sesungguhnya, soal bagaimana ia mengabaikan nasihat Kakek Namiya dan memisahkan diri dari kedua orangtuanya, yang kemudian malah mendorong mereka bunuh diri? Kosuke langsung berubah pikiran.
Tidak.
Sebaiknya ia tidak usah menulisnya karena belum jelas seberapa banyak yang diketahui warga kota ini tentang peristiwa bunuh diri keluarga Waku.
Tapi bagaimana jika dulu berita itu sudah sampai ke telinga Kakek Namiya? Apakah Kakek bertanya-tanya apakah itu keluarga si pengirim surat yang memakai alias Paul Lennon? Mungkin Kakek Namiya menyesal karena pernah menasihatinya untuk mengikuti kedua orangtuanya.
Acara malam ini diadakan untuk memperingati 33 tahun meninggalnya Kakek Namiya, yang berarti mereka harus membuat beliau merasa tenang di alam sana.
Tentu saja Kosuke diizinkan menyampaikan pendapat jujurnya, tapi ia merasa tidak perlu menuliskan apa yang sungguh terjadi.
Yang penting ia bisa menyampaikan isi hatinya bahwa ternyata nasihat Kakek Namiya ada benarnya.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya ia menulis surat baru.
Awal surat baru ini hampir sama dengan surat sebelumnya.
Kepada Yang Terhormat Toko Kelontong Namiya, Empat puluh tahun lalu, saya pernah mengirim surat untuk Anda menggunakan nama alias Paul Lennon.
Waktu itu saya menulis tentang rencana pelarian kedua orangtua saya, juga bertanya apakah sebaiknya saya ikut mereka atau tidak.
Saya masih ingat saat itu Anda tidak menempelkan surat saya di dinding dengan alasan itu adalah kali pertama Anda menerima permintaan konsultasi masalah yang cukup serius.
Dalam surat balasan, Namiya-san menyemangati saya bahwa sebuah keluarga tidak seharusnya tercerai-berai, bahwa saya harus memercayai tindakan apa pun yang diambil oleh kedua orangtua saya.
Selama kami sekeluarga masih berada di kapal yang sama, masih ada kemungkinan untuk kembali ke jalan yang benar.
Begitulah nasihat berharga yang saya terima dari Anda saai itu.
Menuruti kata-kata Anda, saya pun memutuskan menemani kedua orangtua saya, dan belakangan terbukti itu adalah keputusan yang tepat.
Saya tidak akan bercerita secara mendetail, tapi saya bisa menyampaikan bahwa kami—orangtua dan anak—bisa mengatasi segala kesulitan.
Walaupun kedua orangtua saya meninggal dunia beberapa tahun yang lalu, setidaknya mereka sempat merasakan kehidupan bahagia.
Saya sendiri merasa hidup saya ini beruntung.
Saya percaya ini semua berkat jasa Namiya-san.
Karena itu, saya memberanikan diri mengambil bolpoin dan menulis surat ini.
Jika surat ini bisa dibaca oleh anggota keluarga Namiya-san saat peringatan 33 tahun meninggalnya beliau, saya akan sangat senang.
Paul Lennon Setelah membaca surat tersebut berulang kali, mendadak Kosuke merasa ada yang ganjil.
Menurut putra Kakek Namiya, ayahnya juga menerima surat tanda terima kasih dengan isi serupa dari seorang anak yang juga pernah melarikan diri bersama kedua orangtuanya.
Tentu saja itu kebetulan belaka, bukan? Ia melipat kertas surat itu, lalu memasukkannya ke amplop.
Kemudian ia melirik jam tangannya.
Hanya beberapa saat lagi sebelum tengah malam.
“Saya ingin minta tolong,” katanya seraya bangkit.
“Saya harus mengirimkan surat ini ke suatu tempat.
Tidak akan makan waktu lama.
Apakah nanti setelah kembali saya masih boleh memesan segelas minuman?” Sang Mama silih berganti menatap surat tersebut dan wajah Kosuke dengan raut kebingungan, kemudian mengangguk sambil tertawa kecil.
“Ya, boleh-boleh saja.” Kosuke mengucapkan terima kasih.
Ia mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu yen dari dompet yang lalu diletakkannya di konter supaya tidak dikira ingin kabur tanpa membayar.
Ia meninggalkan bar dan menyusuri jalanan yang gelap.
Beberapa bar dan kedai makanan kecil lain di sekitarnya sudah tutup.
Begitu melihat tulisan “Toko Kelontong Namiya”, langkahnya terhenti.
Ada bayangan seseorang di depan toko.
Kosuke perlahan mendekat dengan ragu dan melihat sosok seorang wanita mengenakan setelan jas.
Usianya sekitar pertengahan tiga puluhan.
Di dekatnya terparkir sebuah mobil Benz.
Kosuke mengintip ke dalam mobil dan melihat kardus di bangku depan.
Di dalamnya ada beberapa CD dari seorang artis wanita.
Mungkin ada kaitannya dengan wanita di depan toko itu.
Wanita tersebut memasukkan sesuatu ke lubang surat, lalu meninggalkan tempat itu.
Namun, dia bergeming saat menyadari kehadiran Kosuke.
Ekspresi waspada menghiasi wajahnya.
Kosuke mengangkat amplop yang dibawanya, kemudian menunjuk ke arah lubang surat di pintu gulung toko.
Begitu paham, ekspresi wajah wanita itu pun berubah tenang.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia mengangguk, lalu masuk ke mobil Benz di depan toko.
Berapa banyak orang yang datang malam ini? pikir Kosuke.
Sepertinya Toko Kelontong Namiya telah menyentuh lebih banyak hidup orang daripada yang ia sangka.
Setelah mobil Benz itu lenyap dari pandangan, giliran Kosuke memasukkan amplop ke lubang.
Trek! Terdengar bunyi benda jatuh di balik pintu.
Bunyi yang sudah lama tidak terdengar sejak 42 tahun lalu.
Kosuke merasa luar biasa lega.
Mungkin karena semua masalahnya sudah terselesaikan.
Saat kembali ke Fab4, ia melihat lampu-lampu listrik pada hiasan-hiasan kristal di dinding telah dinyalakan.
Mama tampak sibuk mengerjakan sesuatu di balik konter.
Kosuke bertanya apa yang sedang dia kerjakan.
“Ada video yang dulu jadi favorit almarhum kakak saya.
Sepertinya ini versi bajakan karena versi resmi belum dirilis.” “Oh...
“Anda mau pesan minuman apa?” “Sama seperti tadi.” Segelas Bunnahabhain diletakkan di depan Kosuke.
Ia mengulurkan tangan untuk mengambilnya ketika video yang disebutsebut Mama tadi diputar.
Tepat sebelum bibirnya menyentuh gelas, ia bergeming.
Karena ia tahu video apa itu.
“Ini...” Video itu adalah rekaman pertunjukan di atap Apple Building.
Di tengah menusuknya angin musim dingin, The Beatles memulai konser mereka.
Rekaman itu menampilkan adegan klimaks dari film Let It Be.
Kosuke meletakkan gelasnya, lalu menatap ke arah layar.
Ini adalah film yang telah mengubah hidupnya.
Dulu saat menyaksikan adegan itu, ia menyadari betapa rapuhnya ikatan hati antarmanusia.
Namun...
Para anggota The Beatles dalam rekaman ini entah kenapa sedikit berbeda dengan yang ada dalam kenangan Kosuke.
Ketika menonton di bioskop, timbul kesan bahwa mereka berempat sudah tidak lagi sehati sehingga penampilan mereka pun tidak konsisten.
Namun, kesan yang muncul saat ini berbeda.
Keempat anggota The Beatles tampil dengan sungguh-sungguh.
Mereka bahkan terlihat sangat menikmatinya.
Meskipun di ambang perpecahan, bisa jadi mereka teringat kembali akan perasaan yang dulu meluap-luap dalam hati mereka setiap tampil di konser.
Bisa jadi waktu menonton di bioskop dulu Kosuke menganggap penampilan mereka sangat buruk karena pengalamannya sendiri yang menyakitkan.
Saat itu ia sudah tak percaya bahwa hubungan-hubungan bisa dipertahankan.
Kosuke mengambil gelas, kemudian menenggak isinya.
Perlahan, ia memejamkan mata sebelum memanjatkan doa untuk kebahagiaan kedua orangtuanya di alam sana.