Keajaiban Toko Kelontong Namiya Bab 3

Bab 3 Semalam Di Civic

Setelah melewati loket pemeriksaan karcis, ia mengecek arlojinya.

Kedua jarum penunjuk menunjukkan pukul 20.30 lebih sedikit.

Aneh, pikirnya.

Ia memandang sekeliling kemudian melirik jam yang terpampang di atas jadwal kereta.

Sesuai dugaan, jam itu menunjukkan pukul 20.45.

Kedua ujung mulut Namiya Takayuki berkerut, lalu ia berdecak.

Lagi-lagi jam tangannya yang sudah butut berulah.

Akhir-akhir ini arloji yang diterimanya sebagai hadiah kelulusan universitas dari ayahnya sering tiba-tiba berhenti sendiri.

Tidak heran, karena umur arloji itu sudah dua puluh tahun.

Ia sedang mempertimbangkan untuk menggantinya dengan jam tangan guartz baru.

Dulu harga arloji sistem osilator yang diinginkannya kira-kira sama dengan harga sebuah mobil kecil, tapi belakangan ini harganya menurun drastis.

Takayuki meninggalkan stasiun dan menyusuri jalan di depan deretan pertokoan.

Ia kaget masih ada toko yang beroperasi pada jam ini.

Kalau dilihat sekilas dari luar, sepertinya toko-toko ini lumayan sukses.

Dengar-dengar, akibat bertambahnya permukiman dan kedatangan warga baru, permintaan untuk dibangunnya distrik pertokoan di depan stasiun pun meningkat.

Memangnya bisa di kota kecil seperti ini? Namun, setelah mendengar efek pembangunan yang membawa kesejahteraan pada wilayah tempatnya lahir dan dibesarkan, Takayuki tidak keberatan.

Sama sekali tidak.

Bahkan ia berpikir seandainya saja toko milik keluarganya juga ada di kompleks pertokoan dekar stasiun ini.

Ia berbelok meninggalkan distrik pertokoan lalu berjalan lurus.

Tidak lama kemudian, ia tiba di daerah permukiman.

Setiap kali mampir ke sini, ia selalu menemukan ada perubahan pemandangan akibat rumah-rumah baru yang terus-terusan dibangun.

Dari apa yang didengarnya, sebagian penghuni di sini bolak-balik ke Tokyo untuk bekerja setiap hari.

Meskipun naik kereta ekspres, perjalanannya masih memakan waktu dua jam.

Takayuki tak bisa membayangkan melakukan itu setiap hari sehingga sampai saat ini ia masih tinggal di sebuah unit apartemen sewaan di Tokyo.

Meski sempit, apartemen yang ditempatinya bersama istri dan putranya yang berusia sepuluh tahun itu sudah dilengkapi ruang duduk, ruang makan, dapur, serta dua kamar tidur.

Namun, setelah dipikir-pikir lagi, walaupun waktu perjalanan tidak masuk akal, mungkin ada baiknya ia berkompromi dari segi lokasi.

Bagaimanapun, hidup cenderung tidak berjalan seperti yang diinginkan.

Paling-paling ia hanya perlu bersabar menempuh waktu pulang-pergi yang lebih lama.

Setelah melewati wilayah permukiman, ia pun sampai di sebuah pertigaan berbentuk huruf T.

Takayuki berbelok ke kanan dan terus berjalan hingga tiba di tanjakan ringan.

Meskipun dengan mata tertutup, ia yakin masih bisa menemukan jalan.

Ia ingat betul sejauh mana ia harus berjalan dan kapan ia harus berbelok.

Bagaimana tidak? Ini rute jalan yang selalu ditempuhnya hingga lulus SMA.

Di depan tampak sebuah bangunan mungil di sisi kanan jalan.

Meskipun sudah dibantu penerangan lampu jalan, sulit untuk membaca tulisan yang tertera di papan namanya.

Pintu gulung bangunan pun dalam keadaan tertutup.

Takayuki menghentikan langkah di depan toko, lalu mendongak menatap papan nama itu.

TOKO KELONTONG NAMIYA.

Ia baru bisa membacanya dari jarak dekat, itu pun agak kesulitan.

Ada gang selebar kurang lebih satu meter di antara bangunan toko dan gudang di sebelahnya.

Takayuki menelusurinya untuk memutar ke belakang rumah.

Saat masih duduk di bangku SD, di sinilah tempat ia biasa memarkir sepedanya.

Di belakang toko ada pintu khusus untuk penghuni rumah.

Tepat di sebelah pintu tergantung kotak penyimpanan susu.

Sampai sepuluh tahun lalu, keluarga mereka masih berlangganan susu sapi, tapi tak lama setelah ibunya meninggal, rutinitas itu berhenti.

Namun, kotak itu masih dibiarkan di sana.

Ada tombol di sebelah kotak tersebut.

Dulu, tombol itu akan mengeluarkan deringan jika ditekan, tapi sekarang sudah tidak berfungsi lagi.

Takayuki menarik kenop pintu.

Pintunya terbuka dengan mudah.

Dari dulu memang begitu.

Sepasang sandal rumah dan sepatu kulit tua yang sudah tidak asing berjejer di tempat penghuni rumah melepaskan sepatu mereka.

Keduanya milik orang yang sama.

“Selamat malam,” sapanya dengan suara rendah.

Tidak ada jawaban, tapi ia terus melangkah masuk.

Setelah melepas sepatu, Takayuki langsung berjalan ke dapur.

Di ujung dapur ada sebuah ruang tarami yang sisi depannya dijadikan ruangan toko.

Di ruang tatami itu, ada Yuji yang sedang duduk bersimpuh di depan meja rendah.

Mengenakan sweter dan baju dalaman panjang, dia duduk dengan punggung tegak lurus.

Perlahan, dia menoleh ke arah Takayuki.

Kacamata tua yang dipakai Yuji merosot hingga ujung hidung.

“Oh, ternyata kau?” “Kenapa malah bilang “ternyata? Pintunya tidak terkunci.

Padahal aku selalu berpesan untuk menguncinya dengan benar.” “Tenang.

Aku langsung tahu kalau ada yang datang.” “Tapi tadi Ayah tidak tahu kalau aku datang.

Apakah Ayah bisa dengar suaraku?” “Dengar, tapi tadi aku sedang memikirkan sesuatu jadi malas menjawab.” “Lagi-lagi alasan...” Takayuki meletakkan kantong kertas yang dibawanya di meja, lalu ikut duduk bersila.

“Lihat! Kubawakan roti isi selai kacang merah kesukaan Ayah dari Toko Kimura!” “Wah.” Mara Yfji berbinar-binar.

“Maaf merepotkanmu.” “Tidak masalah.” “Hup?” Yoji bangkit sambil membawa kantong berisi roti.

Pintu altar keluarga yang tepat di sebelah mereka berada dalam posisi terbuka.

Yuji meletakkan kantong itu di meja altar kemudian membunyikan bel dua kali sebelum akhirnya kembali duduk di tempat semula.

Perawakan tubuh Yiji memang kurus kecil, ditambah usianya sudah nyaris delapan puluh tahun, tapi postur tubuhnya masih tegap.

“Sudah makan malam?” “Tadi aku makan soba sepulang dari kantor.

Malam ini aku akan menginap di sini.” “Hmmm...

Kau sudah minta izin pada Fumiko-san?” “Ya.

Dia juga sangat mengkhawatirkan Ayah, terutama kondisi fisik Ayah.” “Terima kasih, tapi aku sehat-sehat saja.

Kau tak perlu repotrepot datang menjenguk.” “Padahal sudah kuusahakan supaya bisa datang, tapi kenapa Ayah malah bicara seperti itu?” “Maksudku, tak ada yang perlu dicemaskan.

Oh ya, tadi aku baru saja berendam dan airnya masih hangat.

Kau boleh menggunakannya kapan saja.” Di tengah-tengah percakapan, tatapan Yiji tertuju ke atas meja.

Ada sehelai kertas surat dalam keadaan terbuka, dan ada amplop di sampingnya.

Di bagian depan amplop tercantum tulisan “Kepada Toko Kelontong Namiya”.

“Surat itu baru tiba malam ini?” tanya Takayuki.

“Tidak, sebenarnya kemarin malam.

Tapi aku baru melihatnya tadi pagi.” “Bukankah seharusnya Ayah sudah mengirimkan balasannya pagi tadi?” Setiap balasan surat konsultasi masalah yang ditujukan kepada Toko Kelontong Namiya akan diletakkan di kotak susu keesokan paginya...

Demikian peraturan yang ditetapkan sendiri oleh Yiji.

Karena itulah dia selalu bangun pukul 05.30 setiap hari.

“Tidak.

Kelihatannya si pengirim surat baru memutuskan untuk berkonsultasi saat malam sudah larut.

Dia bilang tidak masalah kalau jawabannya terlambat sehari.” “Begitu, ya?” Takayuki selalu merasa segala hal tentang ini aneh.

Mengapa seorang pemilik toko kelontong mau repot-repot membantu memecahkan masalah orang lain? Tentu saja ia tahu kenapa itu bisa terjadi.

Sejak wawancara di majalah mingguan, jumlah surat yang ingin berkonsultasi dengan ayahnya terus saja bertambah.

Memang ada surat yang serius ingin bertanya, tapi sebagian besar isinya lelucon belaka.

Bahkan banyak juga yang isinya jelas-jelas menghina.

Pernah satu malam ayahnya menerima lebih dari tiga puluh pucuk surat yang jelas-jelas ditulis oleh orang yang sama dan semua isinya hanya tulisan iseng.

Meskipun begitu, Yiji tetap membalas semuanya dengan tekun.

“Jangan! Buat apa Ayah lakukan itu?” Saat itu Takayuki mencoba menghentikan ayahnya.

“Sudah jelas isinya omong kosong.

Konyol sekali kalau Ayah menanggapinya dengan serius.” Namun, ayahnya yang sudah lanjut usia tetap keras kepala.

Ayahnya malah menjawab dengan nada kasihan, “Rupanya kau belum mengerti apa-apa, ya?” Ketika ditanya apa maksud perkataannya, dengan ekspresi tenang Yuji menjelaskan, “Entah berisi hinaan atau hanya ulah iseng, semua orang yang mengirimkan surat ke Toko Kelontong Namiya pada dasarnya adalah orang-orang yang ingin menceritakan masalah mereka.

Di dalam hati mereka seperti ada lubang menganga dan semua hal yang berharga bagi mereka mengalir keluar dari sana.

Buktinya orang-orang itu selalu datang untuk mengecek apakah ada jawaban dariku.

Mereka berhenti dan memeriksa kotak penyimpanan botol susu di depan sana.

Mereka ingin tahu jawaban apa yang diberikan Kakek Namiya atas surat yang mereka tulis.

Coba pikir baik-baik.

Seandainya benar surat itu keisengan belaka, tetap saja dia mengeluarkan banyak tenaga untuk menulis tiga puluh pucuk surat seperti itu.

Orang yang mau bersusah payah melakukannya pasti mengharapkan jawaban.

Karena itulah aku memutuskan menulis surat balasan.

Aku membalasnya dengan sepenuh hati karena tidak bisa mengabaikan suara hati seseorang seperti dia.” Pada akhirnya, Yoji menulis surat balasan satu per satu untuk ketiga puluh surat yang dikirimkan oleh satu orang yang sama tersebut.

Keesokan paginya, semua surat itu dia masukkan ke kotak susu.

Tepat menjelang jam buka toko, yaitu pukul 08.00, semua surat itu sudah dibawa pergi oleh seseorang.

Setelah peristiwa itu, tidak pernah lagi ada surat iseng yang datang.

Sebagai gantinya, pada suatu malam Yuji menerima kiriman selembar kertas yang hanya berisi kalimat “Maafkan saya.

Terima kasih banyak”.

Gaya tulisannya mirip dengan penulis ketiga puluh surat sebelumnya.

Sampai sekarang Takayuki tidak pernah melupakan ekspresi bangga di wajah sang ayah saat dia memperlihatkan kertas itu padanya.

Takayuki menyadari bahwa mungkin inilah cara ayahnya melanjutkan hidup.

Sepuluh tahun lalu, setelah ibu Takayuki meninggal akibat penyakit jantung, Yuji kehilangan semangat hidup.

Ditambah lagi semua anaknya sudah meninggalkan rumah.

Kehidupan sepi yang dijalaninya seorang diri sudah cukup untuk merenggut semangat hidup seorang pria yang saat itu akan genap berusia tujuh puluh tahun.

Takayuki memiliki kakak perempuan yang usianya dua tahun lebih tua, Yoriko.

Tapi kakaknya tinggal bersama kedua orangtua suaminya sehingga tidak bisa diandalkan untuk mengurus Yiji.

Hanya Takayuki yang bisa mengurus Yuji, padahal saat itu ia baru saja berkeluarga dan tidak punya tempat untuk menampung ayahnya di rumah sempit milik perusahaan yang disewanya.

Yoji memahami masalah yang dihadapi anak-anaknya.

Karena itulah dia tidak pernah mengatakan akan menutup toko meskipun sedang dalam kondisi patah semangat.

Demi Takayuki, dia berusaha bersikap tegar.

Namun, pada suatu hari, Takayuki menerima telepon mengejutkan dari Yoriko.

“Aku benar-benar kaget.

Ayah kelihatan sehat, bahkan mungkin lebih segar dibandingkan sebelum Ibu meninggal.

Kelihatannya untuk sementara waktu ini kita bisa tenang.

Omong-omong, kenapa kau tidak coba menjenguknya? Kau pasti akan heran sendiri.” Untuk seseorang yang sudah lama tidak menjenguk ayahnya, suara kakaknya terdengar penuh semangat.

Dengan nada penasaran, kakaknya bertanya apakah Takayuki tahu alasan ayah mereka kini kembali bersemangat.

Ketika Takayuki menjawab tidak tahu, kakaknya berkomentar, “Benar juga.

Mana mungkin kau tahu.

Aku sendiri sampai tak percaya alasannya.” Akhirnya Yoriko bercerita bahwa ayah mereka telah membuka semacam biro konsultasi masalah.

Mendengar penjelasan itu, Takayuki sama sekali tidak paham.

Ia hanya bisa berpikir, Apa maksudnya biro konsultasi? Pada hari libur berikutnya, ia segera bergegas pulang ke rumah masa kecilnya.

Dan di sana ia disambut oleh pemandangan yang sulit dipercaya.

Banyak orang berkumpul di depan Toko Kelontong Namiya.

Sebagian besar adalah anak-anak, tapi ada juga orang dewasa.

Sepertinya mereka sedang menatap dinding toko yang ditempeli banyak kertas sambil tertawa ketika membaca isinya.

Takayuki mencoba mendekat.

Ia mendongak melewati kepala anak-anak supaya bisa melihat lebih jelas.

Kertas-kertas yang ditempelkan di dinding toko itu terdiri atas kertas surat biasa, kertas untuk menulis laporan sekolah, sampai kertas memo berukuran kecil.

Ia mencoba membaca salah satu isinya.

Aku ingin bertanya.

Bagaimana caranya memperoleh nilai seratus dalam tes tanpa belajar, menyontek, atau berbuat curang? Apa yang harus kulakukan? Jelas itu tulisan anak-anak.

Ada selembar kertas berisi jawaban ditempelkan tepat di bawahnya.

Isinya adalah tulisan tangan Yuji yang sudah tidak asing lagi bagi Takayuki.

Minta pada gurumu untuk membuatkan soal tes tentang dirimu sendiri.

Dijamin semua jawabanmu akan benar.

Apa-apaan? Alih-alih konsultasi masalah, ini lebih tepat disebut adu keisengan.

Mata Takayuki menelusuri pertanyaan-pertanyaan lain dan ternyata semuanya berisi hal-hal konyol.

Ada yang bilang ingin Sinterklas datang ke rumahnya, tapi tidak tahu bagaimana caranya karena rumahnya tidak memiliki cerobong asap.

Ada juga yang bertanya kepada siapa sebaiknya dia belajar bahasa monyet jika suatu saat bumi berubah menjadi tempat seperti di film Planet of the Apes.

Yuji menjawab semua pertanyaan dengan sungguh-sungguh dan sepertinya itu berhasil.

Di sebelah dinding diletakkan sebuah kotak berlubang yang ditempeli sehelai kertas bertuliskan: Kotak Konsultasi Masalah Silakan berkonsultasi tanpa ragu-ragu.

—Toko Kelontong Namiya “Yah, anggap saja ini untuk seru-seruan.

Sebenarnya ini dimulai oleh anak-anak sekitar rumah, dan aku meladeni permainan mereka, tapi ternyata malah jadi populer.

Banyak orang yang datang dari jauh hanya untuk membaca kertas-kertas itu.

Aku tidak tahu alasannya, tapi akhir-akhir ini anak-anak sekitar datang untuk mengadukan masalah yang lebih serius, mau tak mau aku harus memutar otak.

Cukup melelahkan juga.” Walaupun menjawab sambil tertawa masam, ekspresi wajah Yoji tampak hidup.

Jauh berbeda dari kondisinya setelah ditinggal sang istri.

Ternyata Yoriko tidak berbohong.

Kehidupan baru Yoji sebagai teman diskusi awalnya lebih condong ke arah main-main, tapi sepertinya dia pun mulai menerima permintaan diskusi masalah yang lebih serius.

Merasa akan timbul masalah jika dia terus menggunakan kotak yang terbuka di hadapan publik, Yuji lantas menggantinya dengan lubang surat di pintu gulung toko dan kotak penyimpanan botol susu.

Khusus untuk surat permintaan diskusi yang bernada humor, dia tetap menempelkannya pada dinding seperti sebelumnya.

Yoji duduk tegak di balik meja pendek sambil bersedekap.

Kertas surat terhampar di hadapannya, tapi belum ada tanda-tanda dia akan mengangkat bolpoin.

Bibir bagian bawahnya sedikit maju, dahinya berkerut.

“Jangan terlalu keras berpikir,” kata Takayuki.

“Apa masalahnya cukup berat?” Yoji mengangguk pelan.

“Pengirimnya seorang perempuan.

Aku paling tidak jago menjawab persoalan seperti ini.” Pasti soal percintaan, tebak Takayuki.

Ia tahu bahwa ayahnya menikah setelah melalui proses perjodohan, tapi sampai tepat di hari pernikahan, tidak banyak yang diketahuinya tentang sang calon istri.

Sama sekali tidak masuk akal membahas masalah asmara dengan manusia seperti Yuji yang hidup pada masa di mana perjodohan seperti itu masih umum terjadi.

“Jawab saja seadanya.” “Apa katamu? Mana bisa begitu.” Nada Yiiji terdengar agak kesal.

Takayuki hanya mengangkat bahu, lalu berdiri.

“Ada bir? Aku minta ya.” Yuji diam saja.

Takayuki membuka kulkas dua pintu yang digunakan oleh mertua Yoriko sebelum mereka membeli kulkas baru dua tahun lalu.

Sebelumnya keluarga Namiya menggunakan kulkas satu pintu yang dibeli pada tahun 35 Showa'f dan waktu itu Takayuki masih kuliah.

Di dalam kulkas ada dua botol bir berukuran sedang.

Yuji memang menyukai minuman beralkohol dan tidak pernah keha'STahun 1960 bisan persediaan bir di kulkas.

Dulu dia tidak pernah menyentuh makanan manis.

Kegemarannya pada roti isi selai kacang merah dari Toko Kimura baru dimulai setelah menginjak usia lebih dari enam puluh tahun.

Takayuki mengambil sebotol bir dan membuka tutupnya.

Ia juga mengambil dua gelas dari lemari peralatan makan, kemudian kembali ke meja.

“Ayah mau minum juga?” “Tidak, nanti saja.” “Oh ya? Tumben.” “Aku tidak minum bir sebelum selesai menulis surat balasan.

Bukankah selalu seperti itu?” Takayuki mengangguk sambil menuang bir ke gelasnya sendiri.

Wajah Yoji yang tampak sedang merenungkan sesuatu perlahan berpaling ke arah Takayuki.

“Si ayah memiliki istri dan anak,” katanya tiba-tiba.

“Hah?” Takayuki terkejut.

“Apa maksud Ayah?” Yoji mengacungkan amplop yang ada di dekatnya.

“Pengirim surat ini seorang wanita.

Dia bilang si ayah punya istri dan anak.” Takayuki sama sekali tidak mengerti.

Dia meneguk bir, kemudian meletakkan gelas.

“Memangnya itu aneh? Aku punya ayah, juga istri dan anak.

Walaupun Ibu sudah tiada, setidaknya aku sebagai anaknya masih hidup.” Wajah Yuji berkerut.

Dia menggeleng kesal.

“Kau tidak menyimak ceritaku? Yang kumaksud “si ayah' itu bukan ayah si pengirim surat, tapi ayah anaknya.” “Anak? Anak siapa?” “Sudah kubilang...” Yoji semakin kesal dan mengibas-ngibaskan tangan.

“Anak dalam kandungan si pengirim surat!” “Apa?” Takayuki berseru kaget, tapi sedetik kemudian ia mengerti.

“Ah, jadi si pengirim surat sedang hamil, tapi ayah anak dalam kandungannya itu sudah berkeluarga?” “Ya.

Sejak tadi aku sudah bilang begitu.” “Tapi tadi penyampaian Ayah tidak jelas.

Waktu mendengar kata “ayah”, semua pasti langsung mengira yang dimaksud adalah ayah si pengirim surat.” “Kau saja yang suka buru-buru mengambil kesimpulan.” “Mungkin.” Takayuki menggeleng-geleng, kemudian meraih gelasnya.

“Bagaimana pendapatmu?” tanya Yiji.

“Tentang apa?” “Tentang ini.

Kekasih pengirim surat ini sudah punya istri dan anak, padahal wanita ini sedang mengandung anaknya.

Menurutmu apa yang sebaiknya dia lakukan?” Akhirnya Takayuki paham masalah si pengirim surat.

Ia meneguk bir, lalu mendesah.

“Wanita zaman sekarang memang tidak bisa menjaga diri, ditambah lagi mereka bodoh.

Menjalin hubungan dengan pria yang sudah beristri itu jelas bukan ide bagus.

Entah apa yang dipikirkannya.” Yoji memasang wajah masam dan memukul permukaan meja.

“Sudah cukup ceramahnya.

Cepat jawab apa yang sebaiknya dia lakukan.” “Soal itu sudah jelas.

Satu-satunya jalan hanya aborsi.

Memangnya ada jawaban lain?” Yoji mendengus seraya menggaruk-garuk bagian belakang telinga.

“Aku salah bertanya padamu.” “Hei, apa maksud Ayah?” Yoji mengetuk-ngetuk amplop di meja sambil mengertakkan gigi, seolah hampir kehilangan kesabaran.

“Tadi kau bilang “satu-satunya jalan hanya dengan aborsi, memangnya ada jawaban lain”.

Dari awal si pengirim surat juga sudah mempertimbangkan pilihan itu.

Apakah kau tidak bisa memahami beban pikirannya?” Takayuki terdiam mendengar tudingan ayahnya.

Ayahnya benar.

“Dengar,” kata Yiiji.

“Wanita ini bilang dia paham bahwa hal terbaik adalah melakukan aborsi.

Selain karena tidak yakin pacarnya bersedia bertanggung jawab, dia juga sudah bisa menduga kehidupannya akan sulit jika memilih membesarkan anak itu seorang diri.

Meski begitu, dia tidak bisa menyingkirkan nalurinya untuk mempertahankan bayi itu dan sama sekali tidak sanggup melakukan aborsi.

Kau tahu alasannya?” “Tidak.

Memangnya Ayah tahu?” “Hanya karena aku sudah membaca suratnya.

Dia bilang karena ini adalah kesempatan terakhir.” “Terakhir?” “Jika dia tidak memanfaatkan kesempatan ini, dia tidak akan pernah bisa memiliki anak.

Ternyata sebelumnya dia pernah menikah tapi kesulitan memiliki anak.

Sadar ada yang tidak beres dengan kondisi tubuhnya, dia memeriksakan diri ke rumah sakit dan dokter bilang sebaiknya dia mengurungkan niat untuk memiliki anak.

Akibatnya pernikahannya pun berakhir.” “Jadi maksudnya dia mandul?” “Pokoknya bagi dia, ini kesempatan terakhir untuk memiliki anak.

Setelah mendengarnya, sekarang kau mengerti kenapa aku tidak bisa dengan enteng menjawab bahwa jalan satu-satunya adalah aborsi?” Takayuki menenggak habis isi gelasnya, kemudian meraih botol bir.

“Aku mengerti maksud Ayah, tapi bukankah lebih baik kalau dia tidak mempertahankan kehamilannya? Aku kasihan pada anaknya.

Kehidupannya pasti akan sulit.” “Dia bilang sudah mempersiapkan diri untuk kemungkinan itu.” “Itu yang dia bilang sekarang.” Takayuki kembali menuangkan bir ke gelas, kemudian mendongak menatap ayahnya.

“Kalau memang begitu, dia tidak meminta saran.

Sejauh ini dia sudah memutuskan akan mempertahankan anak itu, seakan tidak peduli apa pun jawaban Ayah.” Yuji mengangguk.

“Mungkin kau benar.” “Mungkin...?” “Setelah sekian lama membaca surat permintaan konsultasi, ada satu hal yang kupahami.

Dalam berbagai kasus, sebenarnya si pengirim surat sudah menemukan jawabannya.

Mereka berkonsultasi hanya demi memastikan bahwa orang lain juga membenarkan keputusan mereka.

Banyak di antara mereka yang kembali menulis surat setelah membaca balasan dariku, mungkin karena jawabanku berbeda dengan yang ada di benak mereka.” Takayuki meneguk bir lalu mengernyit.

“Dan sudah sekian tahun Ayah harus berurusan dengan hal-hal merepotkan seperti itu.” “Aku membantu orang lain.

Justru hal-hal yang kaubilang merepotkan itulah yang membuat semua upayaku berharga.” “Ayah memang suka cari masalah.

Tapi kalau si pengirim surat sudah memutuskan, berarti Ayah tak perlu repot-repot berpikir lagi, bukan? Karena dia sudah memutuskan mempertahankan bayinya, Ayah tinggal menulis semoga dia melahirkan bayi yang sehat.” Yoji menatap wajah putranya.

Ujung-ujung mulutnya tertarik ke bawah sementara dia menggeleng perlahan.

“Kau memang tidak mengerti apa-apa.

Dari isi suratnya memang terasa betapa kuat keinginannya untuk mempertahankan si bayi, tapi yang paling penting di sini adalah yang kita rasakan dan yang kita ketahui adalah dua hal yang berbeda.

Bisa jadi dia memang merasakan dorongan kuat untuk mempertahankan si bayi, tapi karena dia juga tahu bahwa aborsi adalah satu-satunya jalan, dia menulis surat ini untuk meneguhkan niatnya.

Jika dugaanku benar, aku tidak mungkin membalas suratnya dengan mendoakan semoga kelahiran bayinya berjalan lancar.

Itu akan membuatnya semakin tertekan.” 'Takayuki memijat-mijat pelipis dengan ujung jemari.

Kepalanya mulai pusing.

“Kalau jadi Ayah, aku akan menulis “terserah kau mau melakukan apa.” “Tenang, tidak ada yang minta jawaban darimu.

Aku harus mencoba memahami isi hati si penulis dari gaya bahasanya di surat ini.” Yuji kembali bersedekap.

Repot juga memikirkan masalah orang lain seperti ini, batin Takayuki.

Tapi justru proses memikirkan jawaban yang tepat adalah sesuatu yang menyenangkan bagi Yiji.

Ini yang membuat semakin sulit bagi Takayuki untuk memulai percakapan karena sebenarnya tujuan kedatangannya malam ini bukan sekadar untuk menjenguk ayahnya yang sudah tua.

“Hei, Ayah, boleh minta waktu sebentar? Ada yang ingin kubicarakan.” “Kau lihat sendiri kalau aku sedang sibuk, kan?” “Tidak akan makan waktu lama.

Lagi pula, yang Ayah maksud dengan “sibuk sebenarnya hanya merenung.

Mungkin ada baiknya kalau Ayah mengalihkan pikiran ke hal lain sebentar.” Merasa usulan itu benar, Yiiji mengatupkan mulut dan memutar tubuh menghadap Takayuki.

“Ada apa?” Takayuki duduk lebih tegak.

“Aku sudah dengar dari Kakak kalau kondisi toko sepertinya memprihatinkan.” Yoji langsung mengernyit jengkel.

“Dasar Yoriko! Kenapa dia harus membahas omong kosong seperti itu?” “Dia memberitahuku karena khawatir.

Wajar, bukan? Dia putri Ayah.” Dulu Yoriko pernah bekerja di kantor akuntan pajak dan dia memanfaatkan pengalaman kerjanya untuk menangani laporan penghasilan tahunan Toko Kelontong Namiya.

Namun, setelah menyelesaikan laporan tahun ini, kakaknya langsung menelepon Takayuki.

“Kondisi toko itu parah sekali.

Ini sudah termasuk kategori bangkrut, bukan sekadar defisit.

Hasil auditnya akan tetap sama walaupun orang lain yang mengerjakan laporannya.

Aku bahkan tak perlu berusaha mencari celah supaya Ayah bisa dapat pengurangan pajak karena selama laporan diisi apa adanya, Ayah bahkan tak perlu membayar pajak, saking buruknya keadaan toko.” “Seburuk itu?” tanya Takayuki.

Yoriko menjawab, “Kalau Ayah sendiri yang melaporkannya, mungkin mereka akan menyarankan supaya dia menerima bantuan pemerintah.” Takayuki kembali menarap ayahnya.

“Bagaimana kalau Ayah tutup saja toko ini? Ayah tahu bahwa sebagian besar pengunjung saat ini lebih sering ke distrik pertokoan di depan stasiun.

Bahkan sebelum stasiun itu selesai dibangun, di sekitar sini juga sudah banyak toko-toko lain karena jaraknya yang dekat dari terminal bus.

Tidak ada gunanya lagi meneruskan toko ini.

Sebaiknya Ayah berhenti saja.” Yuji menggaruk-garuk dagu, raut wajahnya terlihar lelah.

“Lalu apa yang harus kulakukan setelah menutup toko?” Takayuki mengambil napas sejenak.

“Ayah bisa tinggal di rumahku.” Alis Yoji berkerut.

“Apa?” Takayuki memandang ke sekeliling ruangan.

Matanya menangkap retakan pada dinding.

“Setelah menutup toko, Ayah tak perlu lagi tinggal di tempat yang tidak praktis dan jauh dari mana-mana ini.

Tinggallah bersama kami.

Fumiko juga setuju.” Yoji mendengus.

“Maksudmu di rumah mungilmu itu?” “Tidak.

Sebenarnya kami berencana pindah.

Tidak lama lagi kami akan membeli rumah.” Mata Yuji terbelalak dari balik kacamata bacanya.

“Kau? Membeli rumah?” “Bukan hal yang aneh.

Sebentar lagi usiaku empat puluh tahun, dan banyak yang harus kupikirkan, termasuk situasi Ayah selanjutnya.” Yoji mengalihkan tatapan sambil mengibaskan tangan.

“Kau tak usah memikirkanku.” “Kenapa?” “Soal apa yang akan kulakukan selanjutnya, biar kuurus sendiri.

Kalian tak perlu repot-repot memikirkannya.” “Walaupun bilang begitu, tetap saja Ayah tak bisa lari dari kenyataan, bukan? Bagaimana Ayah bisa hidup tanpa penghasilan yang memadai?” “Bukan urusanmu.

Aku sudah bilang akan mengurusnya.” “Tapi bagaimana—” “Berisik?” potong Yiji tajam.

“Kau besok harus berangkat ke kantor dari sini, bukan? Itu artinya kau harus bangun pagi-pagi sekali.

Jadi hentikan segala omong kosong ini, sana mandi dan cepat tidur.

Aku masih sibuk.

Banyak yang harus dikerjakan.” “Yang harus Ayah kerjakan hanya menulis surat itu, bukan?” Takayuki mengangkat dagu ke arah surat di meja.

Tanpa berkata apa pun, Yuji memelototi kertas surat di hadapannya.

Kelihatannya dia tidak berniat menjawab.

Takayuki mengembuskan napas panjang, lalu bangkit berdiri.

“Aku mandi dulu.” Masih tidak ada jawaban.

Kamar mandi di rumah keluarga Namiya berukuran kecil.

Sambil berendam dalam bak mandi tua, Takayuki menjulurkan tangan untuk memeluk lututnya—seperti yang biasa dilakukan dalam pemanasan olahraga—sambil memandang ke luar jendela.

Sebatang pohon pinus besar tumbuh tepat di sebelah jendela dan ia hanya bisa melihat sebagian dahannya.

Itu adalah pemandangan yang sudah biasa dilihatnya sejak masih kecil.

Jelas bukan masalah toko yang membuat Yuji gundah, melainkan sesi konsultasi masalah yang selama ini dia lakukan.

Apabila Yuji harus meninggalkan tempat ini setelah toko ditutup, tidak akan ada lagi orang yang datang berkonsultasi.

Pasti itu yang dipikirkan Ayah, Takayuki membatin.

Orang-orang menyukai sistem yang sekarang.

Rasanya menyenangkan.

Karena itu juga banyak yang meminta saran kepada ayahnya.

Bagaimana bisa ia tega merenggut satu-satunya kesenangan dalam hidup ayahnya? Takayuki bangun pada pukul 06.00 keesokan harinya.

Ternyata beker yang sudah digunakannya sejak dulu masih berguna juga.

Ketika berganti pakaian di lantai dua, ia mendengar bunyi dari luar jendela.

Ia membuka tirai dan melongok ke bawah.

Tampak sosok yang sedang menjauh dari kotak penyimpanan botol susu.

Sosok seorang wanita berambut panjang dan mengenakan baju putih.

Takayuki meninggalkan kamar dan turun ke lantai satu.

Yiji yang juga sudah bangun sedang berdiri di dapur dan memanaskan air.

Takayuki mengucapkan selamat pagi.

“Oh, kau sudah bangun?” Yiiji melirik jam dinding.

“Mau sarapan apa?” “Tidak usah.

Aku harus segera pergi.

Omong-omong, bagaimana dengan surat semalam?” Tangan Yiji yang sedang meraup katsuobushi dari kaleng bergeming.

Dia menatap Takayuki dengan raut memberengut.

“Aku sudah selesai menulis balasannya.

Butuh waktu sampai tengah malam.” “Apa jawaban Ayah?” “Rahasia.” “Kenapa?” “Tentu saja karena memang begitu peraturannya.

Apalagi ini menyangkut privasi seseorang.” “Hmmm...” Takayuki menggaruk-garuk kepala.

Ternyata Yiji tahu juga istilah “privasi”.

“Tadi wanita itu sudah membuka kotak susu.” “Apa? Kau mengawasinya?” Tampak ekspresi menuduh pada wajah Yuji.

“Aku kebetulan melihatnya dari jendela lantai dua.” “Apakah menurutmu dia sadar sedang diamati?” “Menurutku tidak.” “Menurutmu?” “Tenang saja, aku hanya sekilas melihatnya.” Yoji menggeleng sambil cemberut.

“Sosok asli si pengirim surat tidak boleh sampai diketahui, itu salah satu peraturan yang lain.

Kalau sampai terlihat, dia tidak akan lagi mau berkonsultasi.” “Sudah kubilang aku bukannya sengaja mengawasinya.

Kebetulan saja terlihat.” “Huh, setelah sekian lama tidak mampir ke sini, begitu kau muncul langsung timbul masalah.” Yoji menggerutu sambil mulai membuat kaldu katsuobushi.

“Maaf,” ujar Takayuki lirih.

Ia masuk ke toilet, kemudian menyikat gigi dan mencuci wajah di wastafel, bersiap berangkat kerja.

Di dapur, Yuji sedang membuat tamagoyaki.

Mungkin karena sudah sekian lama hidup sendirian, ayahnya terlihat begitu mahir.

“Jadi, untuk sementara ini, tidak apa-apa,” ujar Takayuki sembari menatap punggung ayahnya.

“Ayah tidak perlu tinggal bersama kami.” Yoji tidak berkata apa pun.

Kelihatannya dia merasa tidak perlu menanggapi ucapan Takayuki tersebut.

“Baiklah, aku pergi dulu.” “Ya,” Yuji menjawab lirih, nyaris tak terdengar.

Dia masih memunggungi putranya.

Takayuki keluar dari pintu belakang.

Ia memeriksa kotak susu dan mendapati tidak ada apa-apa di dalamnya.

Apa yang ditulis ayahnya? Takayuki sedikit penasaran—tidak, ia amat sangat penasaran.

Berlokasi di Shinjuku, kantor Takayuki adalah sebuah gedung lima lantai yang langsung terlihat dari Jalan Yasukuni.

Perusahaan ini bergerak di bidang penjualan dan penyewaan peralatan kantor.

Sebagian besar klien mereka berasal dari perusahaan kecil hingga menengah.

Direkturnya yang masih muda sering memperingatkan para pegawainya, “Ini zamannya maikon!” Yang dimaksud adalah perangkat microcomputer.

Menurut direktur itu, akan tiba masa di mana perangkat microcomputer akan dipasang di semua kantor di seluruh dunia.

Takayuki yang lulusan Fakultas Humaniora sempat bertanya-tanya dalam hati apa manfaat perangkat tersebut, tapi menurut sang direktur, perangkat itu memiliki kemungkinan penggunaan yang tidak terbatas.

“Jadi mulai sekarang kalian harus mempelajarinya?” Itulah kalimat favorit sang direktur akhir-akhir ini.

Takayuki sedang membaca buku berjudul Pengantar Ilmu Komputer Mikro yang sama sekali tidak bisa ia cerna sampaisampai nyaris melemparnya ke tempat sampah ketika kakaknya menelepon “Maaf, aku sampai menelepon ke kantor begini,” kata Yoriko dengan nada menyesal.

“Tidak masalah.

Ada apa? Soal Ayah lagi?” Memang hanya itu yang ada di benak Takayuki setiap kali kakaknya menelepon.

Dugaannya benar.

“Ya,” jawab kakaknya.

“Kemarin aku pergi menengoknya, tapi rupanya dia sedang meliburkan tokonya.

Kau tahu kenapa?” “Tidak, aku tidak tahu apa-apa.

Memangnya apa yang terjadi?” “Aku juga menanyakan hal yang sama, tapi Ayah bilang tidak ada apa-apa.

Dia bilang selama ini memang sesekali meliburkan toko.” “Itu masuk akal.

Terus kenapa?” “Ternyata bukan itu alasannya.

Dalam perjalanan pulang, aku sempat bertemu salah seorang tetangga dan menanyakan kabar Toko Kelontong Namiya belakangan ini.

Dia bilang sudah seminggu ini toko itu tutup.” Takayuki mengerutkan kening.

“Aneh sekali.” “Aneh, bukan? Raut wajah Ayah juga terlihat tidak sehat.

Sekarang tubuhnya sangat kurus.” “Jangan-jangan dia sakit?” “Bisa jadi.” Kini Takayuki benar-benar khawatir.

Saat ini hal yang paling berarti bagi ayahnya adalah sesi konsultasi, dan syarat utama supaya bisa melanjutkannya adalah dengan membiarkan toko tetap buka.

Sudah dua tahun berlalu sejak ia berusaha membujuk ayahnya supaya mau menutup toko.

Mengingat kondisi ayahnya saat itu yang sehat-sehat saja, jelas tidak akan tebersit dalam benak untuk menutup toko.

“Baiklah.

Aku akan mampir ke sana setelah pulang kantor nanti.” “Tolong ya.

Kalau kau yang bertanya, mungkin Ayah mau menceritakan yang sesungguhnya.” Takayuki tidak begitu yakin.

Namun, ia memberitahu kakaknya, “Nanti kutanyakan,” lalu menutup telepon.

Begitu jam kerja berakhir, ia segera meninggalkan gedung kantor dan berangkat ke rumah ayahnya.

Di tengah jalan ia sempat menggunakan telepon umum untuk menghubungi istrinya.

Ketika Takayuki menjelaskan apa yang terjadi, Fumiko pun terdengar cemas.

Terakhir kali Takayuki bertemu Yiji adalah saat liburan Tahun Baru.

Ia mengajak Fumiko dan putra mereka pergi ke rumah sang ayah.

Saat itu Yiji terlihat sehat-sehat saja.

Namun, itu sudah setengah tahun yang lalu.

Apakah selama itu terjadi sesuatu? Takayuki tiba di Toko Kelontong Namiya pada pukul 21.00 lebih sedikit.

Ia berhenti melangkah dan mengamati toko tersebut.

Memang bukan hal aneh jika pintu gulung toko dalam keadaan tertutup, tapi kali ini ia juga merasakan hawa kehidupan seakan lenyap dari keseluruhan bangunan.

Ia pergi ke bagian belakang toko, lalu memutar kenop pintu.

Tidak seperti biasanya, kali ini pintu dalam keadaan terkunci.

Ia mengeluarkan kunci cadangan.

Sudah lama sekali ia tidak menggunakan kunci itu.

Takayuki membuka pintu lalu masuk.

Lampu dapur dalam keadaan padam.

Ia terus berjalan sampai melihat sosok Yuji sedang berbaring di futon yang ada di ruang tatami.

Menyadari ada suara, Yiji memutar tubuh menghadap Takayuki.

“Lho? Ada apa?” “Jangan bilang “ada apa.

Kakak sampai meneleponku saking khawatirnya.

Benarkah Ayah sudah menutup toko selama seminggu?” “Lagi-lagi Yoriko? Anak itu memang suka seenaknya ikut campur urusan orang.” “Ini kan urusan keluarga.

Sebenarnya apa yang terjadi? Kondisi Ayah sedang tidak sehat?” “Tidak ada yang serius.” Itu berarti memang ada sesuatu yang tidak beres dengan kesehatan ayahnya.

“Bagian mana yang sakit?” “Sudah kubilang tidak ada yang serius.

Aku tidak sakit.” “Lantas ada apa? Kenapa Ayah sampai meliburkan toko? Jelaskan padaku.” Yoji terdiam.

Takayuki mengira ayahnya masih mencoba bersikap keras kepala, tapi saat menatap wajah ayahnya, ia tertegun.

Dahi Yuji berkerut dan bibirnya terkatup rapat.

Semburat kesedihan membayang di wajahnya.

“Ayah, apa...” “Takayuki,” Yoiji membuka mulut dengan raut muram.

“Masih ada kamar?” “Maksud Ayah?” “Kamar di rumahmu.

Di Tokyo.” Oh.

Takayuki mengangguk.

Ia memang sudah membeli sebuah rumah di daerah Mitaka tahun lalu.

Itu properti tua, tapi sempat direnovasi sebelum didiami Takayuki dan keluarganya.

Yuji juga pernah berkunjung ke sana.

“Aku mengerti jika kalian sudah tidak ada kamar kosong.” Takayuki mengerti apa yang dimaksud Yiji.

Ia terkejut dengan perubahan hati yang mendadak ini.

“Masih ada,” jawab Takayuki.

“Aku sudah menyiapkannya untuk Ayah.

Kamar model tradisional di lantai satu.

Ayah pernah melihatnya waktu terakhir kali berkunjung, bukan? Memang agak sempit, tapi banyak dapat sinar matahari.” Yoji mendesah panjang kemudian menggaruk-garuk alis.

“Bagaimana dengan Fumiko-san? Apakah dia setuju? Padahal kalian baru saja punya rumah sendiri dan bersiap-siap memulai kehidupan tanpa campur tangan pihak keluarga.

Apa dia tidak akan jengkel karena terpaksa menerima kehadiran kakek tua ini?” “Tentu saja tidak.

Waktu membeli rumah, kami memang sengaja memilih dengan mempertimbangkan Ayah.” “Begitu, ya?” “Ayah sudah memutuskan kapan akan pindah? Kami siap menyambut kapan saja.” “Baiklah,” kata Yuji, masih dengan ekspresi serius.

“Kalau begitu, aku boleh tinggal bersamamu?” Dada Takayuki bagai diremas-remas.

Akhirnya hari ini tiba juga.

Kendati demikian, ia berhati-hati supaya wajahnya tetap tenang.

“Jangan sungkan-sungkan.

Tapi, sebenarnya apa yang terjadi? Padahal sebelumnya Ayah bilang akan terus membuka toko.

Apa kesehatan Ayah memang menurun?” “Bukan.

Tak perlu mencemaskan yang tidak-tidak.

Hanya saja...” Yuji terdiam beberapa saat sebelum melanjutkan, “memang sudah saatnya berhenti.” “Begitu.” Takayuki mengangguk.

Ia tak tahu harus berkata apa lagi.

Seminggu kemudian, Yiji meninggalkan Toko Kelontong Namiya.

Yang membantu berkemas hanya keluarga, tanpa memakai jasa pengangkutan.

Yuji hanya membawa sedikit barangbarang penting, sementara sisanya ditinggalkan di toko karena dia belum memutuskan apa yang akan dia lakukan terhadap bangunan itu.

Bagaimanapun, belum tentu ada yang berniat membeli walau dia menjualnya.

Akhirnya, untuk sementara bangunan itu dibiarkan apa adanya.

Dalam perjalanan menuju rumah Takayuki, lagu Itoshi no Ellie—Ellie Tersayang dari Southern All Stars mengalun dari radio truk yang mereka sewa.

Lagu yang dirilis pada bulan Maret ini memang sangat populer.

Istri Takayuki, Fumiko, dan putra mereka menyambut sang teman rumah baru.

Tentu saja Takayuki paham bahwa Fumiko sebenarnya merasa tidak nyaman—apalagi anaknya—tapi istrinya itu tidak pernah menyatakannya karena memang berwatak bijak dan lembut.

Itulah alasan ia menikahi Fumiko.

Yoji tampak bersemangat menjalani kehidupan barunya.

Dia melewatkan waktu di kamar dengan membaca buku, menonton TV, dan sesekali pergi jalan-jalan.

Sepertinya dia benar-benar merasa senang karena bisa melihat wajah cucu laki-lakinya setiap hari.

Sayangnya, hari-hari itu tidak berlangsung lama.

Tak lama sejak tinggal bersama keluarga Takayuki, tiba-tiba Yuji jatuh pingsan akibat rasa sakit yang dialaminya tengah malam.

Dia langsung dibawa ke rumah sakit naik ambulans dan mengeluh pada dokter bahwa dia merasakan sakit perut yang hebat.

Takayuki waswas karena ini baru pertama kalinya terjadi.

Keesokan harinya, mereka menerima penjelasan dari dokter.

Walau masih harus dilakukan pemeriksaan yang lebih mendetail, Yuji diduga mengidap kanker hari.

“Kankernya sudah mencapai tahap akhir,” seorang dokter berkacamata menjelaskan dengan datar.

Ketika Takayuki ingin memastikan apakah itu berarti penyakit ayahnya tidak bisa diobati, dokter itu menjawab ada baiknya Takayuki beranggapan demikian.

Bahkan operasi pun tidak akan bisa menolong.

Tentu saja Yiji tidak berada di sana saat pembicaraan tersebut berlangsung.

Ayahnya tertidur akibat pengaruh obat bius.

Mereka sepakat untuk tidak memberitahukan diagnosis dokter pada Yuji dan akan menyebutkan penjelasan lain yang masuk akal.

Begitu mendengar informasi tersebut, Yoriko menangis dan menyalahkan diri sendiri, berpikir bahwa seharusnya dia membawa sang ayah ke rumah sakit lebih cepat.

Mendengar kata-kata itu, hati Takayuki langsung hancur.

Ja sudah menduga kondisi ayahnya tidak begitu sehat, tapi tidak sekali pun ia membayangkan kalau ternyata sang ayah mengidap penyakit serius.

Pertarungan Yuji melawan penyakitnya pun dimulai.

Tetapi untungnya, dia nyaris tidak pernah mengeluh.

Takayuki memang sedih melihat ayahnya semakin kurus setiap kali datang menjenguk di rumah sakit, tapi setidaknya dia terlihat ceria di atas tempat tidur.

Sebulan sejak dirawat di rumah sakit, Takayuki datang menjenguk ayahnya sepulang kerja.

Tidak seperti biasanya, Yiiji duduk di tempat tidur dan memandang ke luar jendela.

Kamar tempatnya dirawat berkapasitas dua orang, tetapi ranjang di sebelahnya kebetulan sedang kosong.

“Ayah tampak sehat,” sapa Takayuki.

Yoji menengadah menatap putranya, lalu tertawa terkekehkekeh.

“Karena biasanya lebih parah, ya? Tapi hari ini aku memang merasa lebih sehat.” “Baguslah.

Ini roti isi selai kacang merah untuk Ayah.” Takayuki meletakkan sebuah kantong kertas di rak sebelah ranjang.

Yoji menatap kantong itu, lalu menoleh ke arah Takayuki.

“Aku punya satu permintaan.” “Apa?” Setelah berdeham sekali, Yuji menunduk.

Kemudian dengan segan dia membuka mulut dan mengucapkan kata-kata yang benar-benar di luar perkiraan Takayuki.

“Aku ingin kembali ke toko,” kata Yiji.

“Kenapa? Ayah ingin melanjutkan bisnis? Dengan kondisi seperti sekarang?” Yoji menggeleng.

“Bagaimana mungkin aku membuka toko padahal tidak ada barang untuk dijual? Tidak, bukan itu.

Aku hanya ingin kembali ke sana.” “Untuk apa?” Yoji bungkam, seakan tidak yakin apakah dia harus menjelaskan atau tidak.

“Coba pikir secara logis.

Mana bisa Ayah tinggal sendirian dengan kondisi seperti sekarang? Harus ada seseorang yang mengutrus Ayah.

Ayah paham bahwa hal itu agak mustahil, bukan?” Yoji mengerutkan alis seraya menggeleng.

“Aku tidak butuh diurus.

Aku bisa tinggal di sana sendirian.” “Yang benar saja! Mana bisa aku membiarkan orang sakit seperti Ayah tinggal sendirian? Tolong jangan bicara yang tidaktidak.” Yoji menatap ke arah Takayuki dengan sorot memohon.

“Hanya satu malam.” “Satu malam?” “Ya, hanya satu malam.

Aku ingin tinggal di rumah itu sendirian.” “Permintaan macam apa itu?” “Percuma aku menjelaskan, mungkin kau takkan mengerti.

Ah, bahkan orang lain pun takkan mengerti.

Paling-paling kau hanya akan merasa permintaanku gila dan tidak mau menyanggupi.” “Bagaimana aku bisa mengerti kalau Ayah tidak mau cerita?” “Yah...” Yuji menggeleng.

“Percuma.

Kau tidak akan percaya.” “Hah? Tidak percaya pada apa?” “Takayuki.” Nada suara Yiji berubah.

“Kau pasti sudah diberitahu dokter bahwa aku bisa meninggalkan rumah sakit ini kapan saja.

Bukankah dia juga bilang supaya aku diizinkan melakukan apa saja yang kuinginkan? Apalagi penyakitku tidak bisa disembuhkan.” Giliran Takayuki yang terdiam.

Semua perkataan Yuji benar.

Pihak rumah sakit memang sudah menyatakan bahwa Yiji bisa meninggal kapan saja.

“Aku mohon, Takayuki.” Yiji mengatupkan kedua telapak tangan di depan kepala, memohon kepada putranya.

Takayuki mengernyit.

“Hentikan!” “Aku sudah tidak punya waktu lagi.

Kali ini saja, tolong kau jangan berkomentar atau bertanya-tanya, biarkan aku melakukan apa yang ingin kulakukan.” Mendengar kata-kata ayahnya yang sudah lanjut usia itu, dada Takayuki terasa bagai ditimpa sesuatu yang berat.

Sebenarnya, ia sama sekali tidak memahami apa yang sedang terjadi, tapi ia harus mengabulkan permintaan sang ayah.

Ia mendesah.

“Kapan Ayah mau ke sana?” “Lebih cepat lebih baik.

Bagaimana kalau malam ini?” “Malam ini?” Tanpa sadar Takayuki membelalak.

“Kenapa terburu-buru sekali?” “Sudah kubilang waktunya terbatas.” “Tapi aku harus mengabari orang-orang.” “Tidak perlu.

Jangan beritahu Yoriko dan yang lain.

Kau hanya perlu bilang ke pihak rumah sakit bahwa kita akan pergi sebentar.

Dari sini kita bisa langsung ke toko.” “Ayah, sebenarnya apa yang terjadi? Paling tidak, jelaskan alasannya.” Yoji memalingkan wajah.

“Kalau kuberitahu, kau pasti akan berubah pikiran.” “Tidak akan, aku janji.

Nah, ayo ceritakan.

Biar nanti aku yang mengantar Ayah ke sana.

Jadi, beritahu aku.” Perlahan Yiiji kembali menatap Takayuki.

“Sungguh? Kau akan memercayai ceritaku?” “Ya.

Aku pasti percaya.

Anggap ini sebagai janji antarlelaki.” Yoji mengangguk.

“Kalau begitu, akan kuceritakan.” Yuji duduk di kursi penumpang, nyaris tidak berbicara selama perjalanan naik mobil, tapi sepertinya dia juga tidak tidur.

Tiga jam setelah meninggalkan rumah sakit, perasaan nostalgia mulai melanda Takayuki selagi memandang ke luar jendela dan mendapati pemandangan yang familier.

Ia hanya memberitahu Fumiko tentang rencananya untuk mengantar Yuji.

Mengingat mustahil mengadakan perjalanan kereta api bersama ayahnya yang masih sakit, akhirnya ia memutuskan naik mobil.

Lagi pula, kemungkinan besar ia tidak bisa pulang malam ini.

Di depan mereka, Toko Kelontong Namiya perlahan-lahan terlihat.

Takayuki memarkir mobil Civic yang ia beli tahun lalu di depan toko.

Setelah memasang rem tangan, ia melirik jam tangannya.

Waktu menunjukkan pukul 23.00 lebih sedikit.

“Kita sudah sampai.” Takayuki mematikan mesin mobil dan hendak bangkit dari kursi pengemudi saat Yiiji mengulurkan tangan dan mencengkeram pahanya.

“Sampai di sini saja.

Kau boleh pulang.” “Tapi—” “Sudah kubilang berkali-kali, bukan? Biarkan aku sendirian.

Aku tidak ingin ditemani.” Takayuki menunduk.

Ia mengerti alasan Yuji tidak mau ditemani.

Cukup masuk akal, selama ia memercayai cerita ajaib sang ayah.

“Maaf,” kata Yuji.

“Padahal kau sudah mengantarku sejauh ini, tapi aku malah bertindak seenaknya.” “Tidak apa-apa.” Takayuki mengusap-usap bagian bawah hidungnya.

“Kalau begitu, besok pagi aku akan datang lagi.

Aku akan menunggu di tempat lain.” “Kau mau tidur di mobil? Itu tidak bagus untuk tubuh.” Takayuki mendecakkan lidah.

“Bisa-bisanya Ayah bicara seperti itu padahal jelas-jelas Ayah yang sedang sakit parah? Coba tempatkan diri Ayah di posisiku.

Apa Ayah pikir aku bisa meninggalkan Ayah yang sedang sakit di rumah yang sudah terbengkalai ini dan pulang begitu saja? Pokoknya aku akan ke sini lagi besok pagi.

Lebih praktis kalau aku menunggu di mobil.” Yuji mengernyit, kerutan di dahinya bertambah dalam.

“Maaf.” “Ayah yakin tidak apa-apa sendirian? Kasihan Ayah kalau sampai harus bergelap-gelap di dalam sana.” “Tidak apa-apa.

Lagi pula jaringan listrik bangunan belum diputus, jadi di dalam sana tidak akan gelap.” Sambil berkata demikian, Yuji membuka pintu mobil dari sisi kursi penumpang, lalu menjejakkan kaki ke tanah.

Gerakannya terlihat goyah.

“Oh ya.” Yuji kembali menoleh.

“Aku sampai lupa satu hal penting.

Aku harus memberikan ini padamu.” Dia mengulurkan sepucuk amplop.

“Sebenarnya aku berniat menulisnya sebagai surat wasiat, tapi berhubung tadi aku sudah menceritakan semuanya, tidak apa-apa kalau kuserahkan di sini.

Mungkin justru lebih baik begitu.

Bacalah setelah aku masuk rumah, lalu pastikan kau menepati janjimu padaku tadi.

Jika tidak, semua ini tidak akan ada artinya.” Takayuki menerima amplop tersebut.

Tidak ada tulisan di bagian depan maupun belakangnya, tapi ia bisa merasakan lembaran kertas surat di dalam.

“Tolong ya.” Yoji turun dari mobil, kemudian mulai berjalan menggunakan tongkat yang dibawanya dari rumah sakit.

Takayuki hanya bisa membisu karena tidak tahu lagi harus berkata apa.

Tanpa satu kali pun menoleh ke arah putranya, Yoji memasuki gang di antara toko dan gudang, lalu menghilang di tengah kegelapan malam.

Untuk beberapa saat, Takayuki duduk tertegun.

Ketika tersadar kembali, ia memeriksa isi amplop yang dipegangnya.

Ternyata di dalamnya memang ada surat dan isinya sangat aneh.

Kepada Takayuki, Kalau kau membaca surat ini, iru berarti aku sudah tidak ada di dunia.

Memang menyedihkan, tapi apa boleh buat.

Dan karena sekarang aku sudah tiada, sepertinya aku tidak akan lagi merasakan kepedihan itu.

Satu-satunya alasanku meninggalkan surat ini padamu adalah aku memiliki sebuah permintaan.

Apa pun yang terjadi, kau harus menyanggupinya.

Singkatnya, aku ingin kau mengumumkan sesuatu untuk semua orang menjelang 33 tahun peringatan wafatnya diriku.

Berikut isi pengumuman itu: “Pada tanggal X bulan X (masukkan tanggal kematian Ayah di sini), sesi konsultasi Toko Kelontong Namiya akan dibuka lagi mulai pukul 00.00 sampai menjelang fajar.

Bagi Anda yang pernah berkonsultasi dan menerima surat balasan, saya ingin sekali mengetahui pengaruh surat tersebut terhadap kehidupan Anda.

Apakah jawaban itu membantu Anda? Atau justru tidak? Saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia memberikan pendapat secara jujur.

Sama seperti dulu, silakan masukkan surat Anda lewat lubang surat di pintu gulung toko.

Semoga Anda berkenan melakukannya.” Aku tahu permintaan ini terdengar gila, tapi bagiku, ini sangat penting.

Kumohon, kabulkanlah permintaan ini.

Ayah Takayuki membaca surat itu dua kali, kemudian tertawa getir.

Seandainya ayahnya tidak menjelaskan lebih dulu, kira-kira apa yang akan dilakukannya saat menerima surat wasiat ini? Jawabannya sudah jelas.

Kemungkinan besar ia akan mengabaikannya dan menganggap pikiran ayahnya terganggu menjelang meninggal.

Titik.

Bahkan meski sedikit penasaran, ia akan sertamerta melupakannya.

Dan jika ia tidak lupa serta-merta, tiga puluh tahun kemudian ia tentu tidak akan lagi ingat tentang surat itu.

Yang jelas, saat ini ia tidak bisa mengabaikan surat itu akibat cerita ganjil yang baru saja didengarnya dari Yiji.

Apalagi ternyata cerita itu adalah beban pikiran Yuji selama ini.

Saat mulai bercerita, ayahnya menyodorkan selembar potongan artikel.

“Bacalah,” katanya.

Itu artikel surat kabar yang terbit sekitar tiga bulan lalu.

Isinya tentang kematian seorang wanita yang tinggal di kota sebelah.

Menurut artikel itu, banyak orang yang menyaksikan sebuah mobil melaju dari jalanan pelabuhan ke laut.

Polisi dan pemadam kebakaran yang menerima informasi kecelakaan itu bergegas datang menolong, tapi wanita yang duduk di kursi pengemudi tersebut telanjur meninggal dunia.

Namun, sepertinya dia masih sempat melempar bayi yang diperkirakan berusia satu tahun yang duduk di kursi penumpang, tepat setelah mobil itu jatuh.

Ajaibnya, bayi yang ditemukan terapung di permukaan air tidak jauh dari lokasi kecelakaan itu ternyata selamat.

Wanita yang mengemudikan mobil itu bernama Kawabe Midori, usia 29 tahun, dan tidak menikah.

Dia meminjam mobil itu dari sahabatnya karena ingin membawa bayinya ke rumah sakit.

Menurut orang-orang di sekitarnya, dia hidup susah karena tidak punya pekerjaan.

Bahkan akibat tunggakan uang sewa, dia sudah diminta pindah dari apartemen pada akhir bulan tersebut.

Karena polisi tidak menemukan tanda-tanda bahwa korban menginjak rem, besar kemungkinan korban berniat melakukan bunuh diri ganda sehingga pihak kepolisian berniat membuka penyelidikan.

Artikelnya berakhir sampai situ.

“Memangnya ada apa dengan artikel ini?” tanya Takayuki.

Yoji tampak menderita.

Kerutan mendalam terbentuk di sudut-sudut matanya.

Dia menjawab, “Apakah kau masih ingat aku pernah menerima surat dari seorang wanita yang kebingungan karena mengandung anak dari pria yang sudah menikah? Kurasa dialah wanita dalam artikel tersebut.

Lokasinya di kota tetangga, usia bayinya juga baru menginjak setahun.” “Tidak mungkin,” kata Takayuki.

“Bukannya itu hanya kebetulan?” Yoji menggeleng.

“Si pengirim surat menggunakan nama palsu untuk berkonsultasi, Green River.

Kawabe Midori"-san...

“Sungai Hijau'...

Masih mau bilang ini hanya kebetulan? Menurutku sudah pasti bukan.” Takayuki tidak tahu harus berkata apa.

Memang semua ini terlalu pas untuk dianggap sebagai kebetulan belaka.

“Sebenarnya,” Yuji menambahkan, “benar atau tidaknya wanita itu adalah orang yang pernah berkonsultasi padaku tidak perlu kita pikirkan.

Yang lebih penting adalah: apakah jawabanku waktu itu sudah tepat? Tidak, bukan hanya jawabanku waktu itu saja.

Maksudku, apakah sekian banyak jawaban yang kutulis selama ini benar-benar bermanfaat bagi setiap orang yang berkonsultasi? Aku selalu berpikir keras setiap kali menulis su"Karakter Kanji “Kawa” (JII) dari “Kawabe” berarti “sungai”, sedangkan “Midori” berarti “hijau”.

rat balasan dan berani bersumpah tidak pernah satu kali pun menjawab asal-asalan.

Namun, aku tidak tahu apakah jawabanjawaban tersebut memang membantu mereka.

Bagaimana jika mereka menuruti nasihatku dan tindakan tersebut membawa ketidakbahagiaan bagi mereka? Yang seperti itu mungkin saja terjadi.

Saat menyadari itu, aku jadi gelisah dan kehilangan semangat untuk menerima surat permohonan konsultasi.

Karena itulah aku menutup toko.” Ternyata itu penyebabnya.

Selama ini, Takayuki tidak pernah tahu alasan Yiiji yang awalnya bersikeras menolak menutup toko akhirnya mendadak berubah pikiran.

“Bahkan setelah tinggal bersamamu, aku tetap tidak bisa menyingkirkan pikiran itu.

Aku sampai sulit tidur karena terus bertanya-tanya apakah nasihatku selama ini malah menghancurkan kehidupan seseorang.

Ketika jatuh pingsan, aku bertanya-tanya apakah mungkin ini hukuman dari Tuhan?” “Ayah jangan berpikir terlalu jauh,” kata Takayuki.

“Apa pun saran yang Ayah berikan, yang mengambil keputusan akhir tetaplah si pengirim surat.

Meskipun hasilnya tidak memuaskan, Ayah tidak perlu merasa bertanggung jawab.” Namun, Yiji tidak bisa diyakinkan.

Katanya, bahkan saat masih terbaring di rumah sakit, hanya soal itu yang dia pikirkan.

Lalu suatu malam, dia mulai bermimpi aneh.

Mimpi tentang Toko Kelontong Namiya.

“Saat itu tengah malam.

Seseorang memasukkan surat ke lubang surat di pintu gulung.

Aku melihat adegan itu dari suatu tempat, tapi entah dari mana.

Rasanya seperti melihat dari langit, atau persis di depan adegan itu.

Yang pasti aku melihatnya.

Masalahnya, entah bagaimana aku tahu bahwa apa yang kulihat itu baru akan terjadi beberapa puluh tahun ke depan...

Kalau ditanya mengapa aku bisa sampai berpikir seperti itu, aku sendiri tidak tahu.

Pokoknya aku yakin.” Mimpi itu muncul hampir setiap malam.

Akhirnya Yiji sadar bahwa itu bukan sekadar mimpi.

Dia sedang melihat apa yang terjadi di masa depan.

“Surat yang dimasukkan lewat lubang itu ternyata berasal dari orang-orang yang pernah berkonsultasi dan menerima balasan dariku.

Semuanya memberitahu bagaimana surat balasan itu telah mengubah hidup mereka.

Itulah yang membuatku ingin pergi untuk mengambil surat-surat itu,” jelas Yiji.

“Tapi bagaimana mungkin mereka bisa mengirim surat dari masa depan?” tanya Takayuki.

“Pokoknya aku yakin akan menerima surat-surat itu kalau pergi ke toko.

Aku tahu kedengarannya gila, tapi begitulah yang kurasakan.

Bagaimanapun caranya, aku ingin pergi ke toko.” Nada suara Yiiji terdengar mantap.

Dia juga tidak terlihat seperti orang yang sedang berhalusinasi, setidaknya di mata Takayuki.

Pada akhirnya, cerita itu memang sukar dipercaya, tapi Takayuki sudah berjanji untuk memercayai ayahnya.

Ia harus mewujudkan keinginan sang ayah.

Suasana di sekitar Takayuki masih gelap saat ia terbangun di dalam mobil Civic-nya yang sempit.

Ia menyalakan lampu dalam untuk mengecek waktu.

Masih beberapa menit menjelang pukul 05.00.

Ia memarkir mobilnya di jalan sebelah taman.

Karena pegal semalaman duduk bersandar, ia pun meluruskan punggung kemudian menggerak-gerakkan kepala ke kanan dan ke kiri sebelum turun dari mobil.

Ia pergi ke toilet di taman, sekalian membasuh muka.

Saat masih kecil, ia sering bermain di taman ini.

Setelah keluar dari toilet, ia memandang sekeliling dan sedikit terkejut saat menyadari betapa sempitnya taman ini.

Bagaimana bisa ia bermain bisbol di tempat sesempit ini dulu? Takayuki kembali ke mobil dan menyalakan mesin.

Setelah menyalakan lampu utama, barulah ia perlahan melajukan mobil.

Jarak dari taman menuju rumah sekitar beberapa ratus meter.

Langit mulai terang.

Saat tiba di depan Toko Kelontong Namiya, tulisan yang tercantum di papan toko kini lebih mudah dibaca.

Takayuki turun dari mobil lalu memutar ke belakang bangunan.

Pintu belakang tertutup rapat dan dalam keadaan terkunci.

Sebenarnya ia membawa kunci cadangan, tetapi ia lebih memilih mengetuk pintu.

Beberapa puluh detik setelah mengetuk, samar-samar terdengar bunyi langkah dari balik pintu.

Kemudian terdengar bunyi kunci diputar dan pintu terbuka, menampakkan wajah Yiiji.

Ekspresi ayahnya tampak tenang.

“Sebentar lagi kita pulang,” kata Takayuki.

Suaranya serak.

“Ya, masuklah.” Begitu Takayuki menjejakkan kaki ke dalam, pintu belakang langsung tertutup.

Atmosfer dalam ruangan sedikit berubah.

Ia merasa seolah dirinya terputus dari dunia di luar sana.

Setelah melepas sepatu, Takayuki masuk ke ruangan.

Walaupun sudah beberapa bulan tidak ditempati, ruangan ini bersih.

Debu pun nyaris tidak ada.

“Wah, tak kusangka ruangan ini masih bersih.

Padahal sirkulasi udaranya—” Takayuki baru saja hendak mengucapkan “sama sekali tidak ada”, tapi terdiam saat melihat meja dapur.

Di meja berjejer amplop demi amplop—jumlahnya lusinan— dengan tampilan luar yang rapi dan bersih.

Sebagian besar bagian depannya bertuliskan “Untuk Toko Kelontong Namiya”.

“Ini semua...

tiba tadi malam?” Yuji mengangguk, kemudian duduk di kursi.

Setelah mengamati amplop-amplop itu, dia mendongak menatap Takayuki.

“Perkiraanku benar.

Begitu aku duduk di sini, surat-surat itu jatuh satu demi satu dari lubang surat.

Seakan menanti kepulanganku.” Takayuki menggeleng-geleng.

“Setelah Ayah masuk rumah, aku masih sempat menunggu di depan sambil mengawasi toko.

Tidak ada seorang pun yang datang, juga tidak ada orang yang lewat di depan rumah.” “Begitu? Tapi buktinya surat-surat ini tiba.” Yuji meregangkan jemari tangan.

“Surat balasan dari masa depan.” Takayuki menarik kursi dan duduk di hadapan Yiji.

“Sulit dipercaya...” “Apakah kau tidak percaya saat aku menjelaskan semuanya padamu?” “Tidak, maksudku, yah, aku percaya.” Yoji tertawa masam.

“Dalam hati kau pasti bilang “tidak mungkin”.

Tapi bagaimana pendapatmu setelah melihat semua ini? Apa kaukira aku yang menulis semuanya?” “Aku tidak bilang begitu.

Ayah tidak akan punya cukup waktu untuk itu” “Untuk menyiapkan amplop dan kertas surat saja butuh usaha ekstra.

Anggaplah aku berniat melakukannya, masalahnya toko kita tidak pernah menjual amplop-amplop sejenis ini.” “Aku tahu.

Aku belum pernah melihat yang seperti itu di toko.” Takayuki merasa tidak nyaman.

Mungkinkah peristiwa yang mirip cerita dongeng ini benar-benar terjadi? Ia curiga janganjangan ini permainan kotor seseorang, tetapi ia tidak menemukan alasan yang masuk akal.

Apa serunya menipu orang tua yang sudah menjelang ajal? Surat dari masa depan...

Mungkin itu satu-satunya penjelasan yang masuk akal.

Jika benar, ini sungguh luar biasa.

Perasaan Takayuki bergejolak membayangkan seandainya surat-surat itu benar-benar datang dari masa depan.

Meskipun demikian, Takayuki tetap berusaha berkepala dingin.

Herannya, ia masih bisa tampil tenang di depan ayahnya.

“Ayah sudah membaca semuanya?” “Ya.” Yoji mengambil salah satu amplop, lalu mengeluarkan kertas surat dari dalamnya yang kemudian dia serahkan pada Takayuki.

“Coba baca.” “Ayah yakin aku boleh baca?” “Tentu, tidak masalah.” Takayuki mengambil kertas surat itu dan membuka lipatannya.

“Wah!” Ia terkesiap.

Surat itu bukan ditulis oleh tangan, melainkan dicetak di atas kertas putih.

Yoji mengangguk.

“Lebih dari setengah surat yang datang ditulis seperti itu.

Sepertinya di masa depan setiap orang memiliki semacam mesin untuk mencetak surat.” Itu bukti yang cukup kuat bahwa surat-surat tersebut datang dari masa depan.

Takayuki menghela napas dalam-dalam sebelum matanya menelusuri isi surat tersebut.

Kepada Toko Kelontong Namiya, Benarkah toko Anda akan beroperasi kembali? Tapi mengapa di pengumuman tertulis banya untuk semalam? Sebenarnya saya sempat bimbang dan menduga jangan-jangan ini hanya tipuan, tapi akhirnya saya memberanikan diri menulis surat ini.

Sudah empat puluh tahun berlalu, ya? Waktu itu saya menulis pertanyaan seperti ini: Bagaimana caranya mendapat nilai 100 dalam ujian tanpa perlu belajar.

Waktu itu saya masih duduk di bangku SD dan jelas itu pertanyaan bodoh.

Namun, Namiya-san memberikan jawaban yang luar biasa.

“Minta gurumu untuk membuatkan soal tes tentang dirimu sendiri.

Dijamin semua jawabanmu benar dan kau akan dapat nilai sempurna.” Dulu saat membaca jawaban itu, saya sempat mengira jawaban Namiya-san hanya iseng belaka, padahal waktu itu saya serius ingin tahu cara mendapat nilai 100 untuk mata pelajaran sungguhan seperti Bahasa dan Matematika.

Sampai sekarang jawaban itu tetap terpatri dalam ingatan saya.

Saat duduk di bangku SMP, lalu SMA, saya selalu teringat pada jawaban itu setiap kali menghadapi tes, saking mendalamnya kesan yang tertinggal.

Saya senang karena Anda mau meladeni pertanyaan seorang anak kecil, betapa pun konyolnya pertanyaan itu.

Namun, saya baru menyadari betapa hebatnya jawaban itu saat mengajar anak-anak.

Benar.

Kini saya adalah seorang guru.

Tidak lama setelah mengajar, saya menghadapi masalah.

Murid-murid di kelas tidak mau membuka diri, juga tidak mau menyimak perkataan saya.

Bahkan hubungan sesama murid pun tidak bisa dibilang bagus.

Apa pun yang saya lakukan sama sekali tidak mengalami kemajuan.

Mereka sulit fokus, tidak mau bekerja sama, dan kecuali kepada beberapa teman dekat, mereka selalu bersikap dingin kepada satu sama lain.

Saya sudah mencoba mengadakan acara olahraga dan permainan supaya mereka semua bisa bersenang-senang, bahkan sempat menyelenggarakan acara debat.

Tapi semuanya gagal.

Tidak ada seorang pun yang menikmatinya.

Salah seorang murid saya bilang, dia tak berminat mengerjakan berbagai kegiatan itu karena hanya ingin dapat nilai 100 dalam tes.

Begitu mendengar itu, saya langsung teringat pada satu hal penting.

Seperti yang sudah bisa Anda tebak, saya menyuruh muridmurid mengerjakan tes tertulis yang disebut “Tes Teman”.

Saya memilih seorang murid secara acak, kemudian membuat soal-soal yang berkaitan dengan anak itu, misalnya tanggal, bulan, dan tahun lahir, alamat, punya saudara atau tidak, apa pekerjaan orangtuanya, bobi, keahlian khusus, artis favorit, dan lain-lain.

Setelah tes selesai, murid yang tadi dipilih akan menjawab semua pertanyaan dan murid-murid lain akan mengecek jawaban masing-masing.

Awalnya mereka memang kebingungan, tapi setelah dua atau tiga kali percobaan, akhirnya mereka mulai termotivasi.

Hanya ada satu cara untuk mendapat nilai tinggi dalam tes, yaitu mengenal dengan lebih baik teman sekelas mereka sendiri.

Semakin sering mereka menjawab salah, semakin sering mereka terpaksa berkomunikasi.

Ini benar-benar suatu pengalaman luar biasa bagi guru baru seperti saya.

Saya semakin yakin bahwa saya memang mampu menjadi guru, dan keyakinan itulah yang membuat saya masih menjadi guru hingga saat ini.

Semua ini terjadi berkat bantuan Toko Kelontong Namiya.

Sebenarnya saya sangat ingin mengungkapkan rasa terima kasih, tapi sayang tidak tahu bagaimana caranya.

Karena itulah saya sangat senang bisa mendapatkan kesempatan untuk menulis surat.

Salam hangat, Bocah Nilai Seratus P.S.

Apakah keluarga Namiya-san yang akan mengumpulkan semua surat yang datang? Saya berharap semoga surat ini bisa diletakkan di depan altar Namiya-san.

“Bagaimana?” Yuji langsung bertanya begitu Takayuki mendongak dari surat tersebut.

“Ini bagus, bukan?” Takayuki spontan berkomentar.

“Aku masih ingat pertanyaan ini.

Dia minta tolong diberitahu cara mendapat nilai seratus tanpa harus belajar.

Ternyata anak itu yang menulis surat ini.” “Aku sendiri juga kaget melihatnya begitu berterima kasih.

Padahal yang kulakukan hanya membalas pertanyaan setengah usil ini dengan sedikit bijak.” “Justru itu alasan dia tidak pernah lupa.” “Sepertinya begitu.

Selain tidak pernah lupa, dia juga menyerapnya dan menerapkannya.

Sebenarnya dia tak perlu berterima kasih padaku karena kemampuannya sendiri yang membuat segalanya berjalan lancar.” “Jelas dia sangat bahagia karena pertanyaan yang dilontarkannya dengan niat bercanda justru ditanggapi serius.

Tidak heran dia terus mengingatnya.” “Padahal jawabanku bukan sesuatu yang luar biasa.” Yiji mengedarkan pandangan ke amplop-amplop lainnya.

“Begitu juga dengan surat-surat yang lain.

Semuanya berisi ucapan terima kasih untuk surat balasan Toko Kelontong Namiya.

Tentu saja aku sangat menghargainya, tapi setelah membacanya, satu-satunya alasan nasihatku bisa membantu mereka tidak lain karena niat si pengirim surat sendiri.

Seandainya mereka tidak berkeinginan menjalani hidup dengan baik dan tekun, mungkin jawaban apa pun yang kuberikan tidak akan ada gunanya bagi mereka.” Takayuki mengangguk setuju.

“Baguslah kalau mereka paham.

Artinya Ayah mengarahkan mereka ke jalan yang benar.” “Menurutmu begitu?” Yiji menggaruk-garuk pipi dengan ujung jemari, kemudian mengambil sepucuk amplop lain.

“Coba baca yang satu ini.” “Kenapa yang ini?” “Baca saja.

Nanti kau juga akan tahu.” Takayuki menerima amplop itu dan mengeluarkan isinya.

Kali ini suratnya ditulis tangan.

Tampak huruf-huruf indah berjejer rapi.

Kepada Toko Kelontong Namiya, Begitu mengetahui informasi dari internet bahwa Anda akan beroperasi lagi khusus malam ini, saya merasa harus menulis surat mn.

Sebenarnya saya mengetahui tentang Namiya-san hanya lewat cerita, karena ada seseorang yang saya kenal yang berkonsultasi dengan Anda.

Tetapi sebelum membeberkan siapa orang itu, saya ingin menjelaskan tentang latar belakang saya.

Saat masih kecil, saya tinggal di panti asuhan.

Saya sama sekali tidak punya kenangan sejak kapan tinggal di sana, karena seingat saya, saya memang dibesarkan bersama anak-anak lain.

Waktu itu saya kira itu hal yang wajar-wajar saja.

Namun, sejak masuk sekolah, saya mulai bertanya-tanya.

Mengapa saya tidak punya orangtua? Mengapa saya tidak punya rumah? Suatu hari, saya memohon pada staf panti asuhan yang paling saya percayai untuk menjelaskan secara mendetail mengapa saya sampai diserahkan ke panti ini.

Menurut dia, ibu saya meninggal karena kecelakaan saat saya berusia setahun.

Sedangkan mengenai ayah saya, dia menjelaskan bahwa pada dasarnya saya tidak punya ayah.

Informasi yang lebih lengkap akan diceritakan saat saya sudah lebih besar, begitu katanya.

Saya bingung.

Apa maksudnya? Mengapa saya tidak punya ayah? Sementara saya masih dilanda ketidakpuasan, waktu terus berlalu.

Akhirnya saya duduk di bangku SMP.

Saat pelajaran Ilmu Sosial, kami diberi tugas untuk menyelidiki apa saja yang terjadi pada tahun kelahiran masing-masing.

Ketika saya sedang mengamati artikel-artikel dalam format digiral di perpustakaan, sebuah artikel menarik perhatian saya.

Artikel itu menyebutkan tentang seorang wanita bernama Kawabe Midori yang tewas saat mobil kecil yang dikemudikannya jatuh ke laut.

Disebutkan juga bahwa ada bayi berusia setahun yang ikut di mobil itu, juga tidak tanda-tanda bahwa korban sempat menginjak rem.

Karena saya tahu nama Ibu dan daerah di mana dulu dia tinggal, saya yakin bahwa kami berdualah yang disebut-sebut dalam artikel tersebut.

Saya terguncang.

Ternyata ibu saya bukan meninggal akibat kecelakaan, tapi diduga karena bunuh diri, bahkan sebenarnya dia merencanakan bunuh diri ganda.

Saya merasa seperti dihantam saat mengetahui kalau ibu saya sendiri ingin saya mati.

Setelah meninggalkan perpustakaan, saya tidak kembali ke panti asuhan.

Kalau ditanya ada di mana saya waktu itu, saya tidak bisa menjawab karena saya sendiri tidak ingat.

Yang ada di kepala saya waktu itu hanya pikiran kalau saya seharusnya sudah mati, dan tidak ada gunanya saya hidup.

Sosok ibu yang seharusnya menjadi seseorang yang mencurahkan kasih sayang paling dalam di dunia ini malah nyaris membunuh saya.

Apa gunanya manusia seperti saya hidup di dunia ini? Pada hari ketiga, saya diamankan oleh polisi yang menemukan saya jatuh pingsan di sebuah taman bermain kecil yang ada di atap gedung sebuah toko serbaada.

Saya tidak tahu mengapa bisa sampai ke sana, tapi saya masih ingat bahwa saya sempat berpikir betapa mudahnya mati dengan menjatuhkan diri dari tempat tinggi.

Mereka membawa saya ke rumah sakit, bukan hanya karena kondisi fisik saya semakin melemah, tapi juga karena banyak luka bekas sayatan di pergelangan tangan.

Dari dalam tas kesayangan saya, mereka menemukan pisau silet yang masih menyisakan bekas darah.

Selama beberapa waktu, saya sama sekali tidak mau berbicara dengan orang lain.

Sebenarnya itu karena saya merasa tersiksa saat bertatap muka dengan mereka.

Hari demi hari, saya semakin kurus karena nyaris tidak pernah makan.

Suatu hari, seseorang datang membesuk saya.

Dia sahabat akrab saya di panti asuhan.

Usia kami sebaya, dan dia punya seorang adik laki-laki yang memiliki kebutuhan khusus.

Saya dengar mereka berdua dimasukkan ke panti asuhan akibat dianiaya oleh orangtua mereka sendiri.

Sahabat saya ini jago menyanyi, sementara saya sendiri juga penyuka musik.

Karena itulah kami jadi akrab.

Berkat kehadirannya, saya pun jadi merasa mampu berbicara.

Setelah berbasa-basi sejenak, tiba-tiba dia bilang kalau hari ini dia akan memberitahu sesuatu hal yang penting.

Dia bilang sudah mendengar tentang asal-usul saya dari staf panti asuhan, jadi dia ingin membahas hal itu.

Sepertinya dia memang dimintai tolong oleh staf panti karena mereka merasa saya hanya mau berbicara dengan dia.

Saya jawab bahwa saya tidak ingin mendengarnya lagi karena sudah tahu semuanya.

Dia menggeleng kuat-kuat dan berkata, “Yang kauketahui itu hanya sebagian kecil! Kau belum tahu apa yang terjadi sebenarnya.” Dia bertanya apakah saya tahu berapa berat badan ibu saya saat dia meninggal.

Tentu saja saya tidak tahu.

Tiga puluh kilogram.

Begitu jawabnya.

Saya sontak ingin bertanya dari mana dia bisa tahu, sebelum akhirnya beralih ingin memastikan sesuatu.

Tiga puluh kilogram? Hanya sekian bobot tubuhnya? Sahabat saya mengangguk dan mulai bercerita.

Saat jenazahnya ditemukan, tubuh Kawabe Midori sangat kurus.

Polisi memeriksa kamarnya dan melihat tidak ada makanan selain susu bubuk.

Di dalam kulkas pun hanya ada sekaleng makanan bayi.

Menurut keterangan pihak yang berwenang, Kawabe Midori tidak memiliki pekerjaan dan tabungannya juga sudah menipis.

Akibatnya dia terpaksa menunggak sewa apartemen sampai disuruh supaya meninggalkan tempat itu.

Semua bukti ini cukup untuk mendukung teori bahwa dia bunuh diri serta mencoba membunuh anaknya karena saking putus asa.

Namun, ada satu teka-teki besar, yaitu soal si bayi.

Mengapa bayi itu secara ajaib bisa selamat? Sebenarnya iru tidak ada kaitannya dengan keajaiban, kata sahabat saya.

Namun, sebelum menjelaskannya, dia ingin saya membaca sesuatu.

Dia lantas mengeluarkan sepucuk surat.

Menurutnya, surat ini ditemukan di kamar almarhumah ibu saya yang menyimpannya baik-baik bersama potongan tali pusar saya, sebelum akhirnya pihak panti asuhanlah yang menyimpan surat itu.

Sahabat saya sudah bicara dengan staf panti asuhan dan mereka bilang surat itu akan diserahkan kepada saya jika waktunya sudah tiba.

Surat itu disimpan dalam sepucuk amplop.

Di bagian depan amplop tertulis “Untuk Green River-san”.

Dengan segan saya membuka surat itu.

Tampak sederetan kalimat tulisan tangan yang indah.

Saya sempat mengira ibu saya yang menulisnya, tapi setelah membaca isinya, ternyata bukan.

Surat ini justru dialamatkan pada Ibu.

Green River yang dimaksud dalam surat adalah mendiang ibu saya.

Singkatnya, surat itu berisi nasihat untuk Ibu.

Sepertinya Ibu sempat berkonsultasi dengan si penulis.

Dilihat dari isi surat, rupanya Ibu mengandung anak dari seorang pria yang sudah berkeluarga, dan sedang dalam dilema apakah dia akan mempertahankan bayi dalam kandungannya atau melakukan aborsi.

Saya kembali terguncang setelah mengetahui rahasia kelahiran saya.

Rasanya begitu memalukan karena ternyata saya lahir akibat perbuatan amoral.

Saya meluapkan kemarahan selama ini pada Ibu di hadapan sahabat saya.

Mengapa dia mempertahankan saya? Padahal akan lebih baik jika dia melakukan aborsi supaya tidak perlu repot-repot hidup menderita.

Takkan terlintas di benaknya untuk melakukan bunuh diri ganda.

“Bukan seperti itu.” Kemudian sahabat saya meminta saya meneruskan membaca.

Si penulis surat berkata bahwa yang paling penting adalah apakah Ibu bisa membahagiakan anaknya yang akan segera labir itu atau tidak.

Memiliki orangtua lengkap tidak menjamin bahwa si anak akan bahagia.

Dia menekankan bahwa selama Ibu merasa belum siap untuk membahagiakan anaknya dengan cara apa pun, lebih baik Ibu tidak usah mengandung si anak sekalipun dia memiliki suami.

Ibumu memilih mempertahankanmu karena merasa sudah siap membahagiakan anaknya,” sahabat saya menjelaskan.

“Buktinya bisa dilihat dari bagaimana dia menyimpan surat ini baik-baik.” Karena itu tidak ada alasan baginya untuk melakukan bunuh diri ganda, kata sahabatku lagi.

Saat mobil itu jatuh, pintu dari sisi pengemudi dalam keadaan terbuka lebar.

Hari itu hujan turun sejak pagi, dan sulit membayangkan dia akan membuka pintu itu saat sedang memacu mobil.

Itu berarti, satu-satunya kemungkinan adalah dia baru membuka pintu setelah mobilnya jatuh.

Dengan kata lain, ini bukan tindakan bunuh diri, melainkan murni kecelakaan.

Selama ini Kawabe Midori tidak cukup makan.

Diduga dia menderita anemia akibat kekurangan gizi saat sedang mengemudi.

Menurut teman yang meminjamkan mobil kepadanya, mendiang Ibu memang hendak membawa anak bayinya ke rumah sakit dengan mobil itu.

Dia memang sempat kehilangan kesadaran akibat anemia, tapi kembali siuman setelah jatuh ke laut.

Di tengah kekalutan, dia langsung membuka jendela mobil dan yang pertama dilakukan adalah mengeluarkan anaknya dari sana seraya berdoa semoga sang anak selamat.

Jenazah Kawabe Midori ditemukan masih memakai sabuk pengaman.

Dia pasti mengalami pusing akibat anemia yang dideritanya.

Sebagai informasi tambahan, bobot tubuh si bayi lebih dari sepuluh kilogram.

Jelas Kawabe Midori memberinya makanan yang cukup.

Setelah selesai bercerita, sahabat saya bertanya apa pendapat saya.

Apakah saya masih merasa lebih baik jika saya tidak pernah dilahirkan? Saya tidak bisa memahami perasaan saya kala itu.

Pertama, saya tidak pernah bertemu dengan Ibu, sehingga rasa benci yang masih tersimpan dalam bati ini lebih merupakan sesuatu yang abstrak.

Walaupun ingin mengubahnya menjadi rasa terima kasih, yang ada hanya kebingungan.

Akhirnya kata yang terucap dari mulut saya adalah, “Aku tidak punya komentar apa pun.” Mobil itu jatuh ke laut karena kesalahannya sendiri, dan itu tidak akan terjadi seandainya dia punya cukup uang untuk makan.

Lalu soal alasan dia memilih menyelamatkan anaknya, itu tindakan wajar sebagai orangtua.

Kebodohannyalah yang menyebabkan dia tidak bisa menyelamatkan diri sendiri juga.

Begitu kata saya selanjutnya.

Detik itu juga, sahabat saya menampar pipi saya.

Sambil menangis, dia memohon supaya saya jangan pernah meremehkan nyawa seseorang seperti itu.

“Apa kau sudah lupa peristiwa kebakaran tiga tahun lalu?” tanyanya.

Mendengar itu saya terkejut.

Kebakaran itu terjadi di panti asuhan tempat kami tinggal.

Saat itu Malam Natal, dan waktu itu saya pun sangat ketakutan.

Adik laki-laki sahabat saya terlambat melarikan diri dan nyaris saja tewas.

Dia selamat karena ada seseorang yang menolongnya, yaitu musisi amatir yang datang ke pesta Natal yang diadakan panti asuhan.

Saya masih ingat laki-laki itu, wajahnya sangat ramah.

Ketika semua orang melarikan diri, hanya dia yang mendengarkan permintaan sahabat saya dan langsung kembali menaiki tangga demi menyelamatkan adiknya.

Alhasil, adik sahabat saya selamat, tapi lelaki itu menderita luka bakar di sekujur tubuh.

Dia meninggal di rumah sakit.

Sahabat saya berkata dia dan adiknya selamanya akan terus merasa berterima kasih dan berusaha membalas kebaikan lelaki itu.

Sambil menangis, dia berkata, “Aku ingin kau, termasuk aku, bisa menghargai nyawa seseorang.” Kini saya paham mengapa pihak panti asuhan mengirim dia untuk mendatangi saya.

Tidak ada orang selain dia yang bisa mengajarkan cara mencerna perasaan saya terhadap ibu saya.

Dan mereka benar.

Seakan terpengaruh oleh sahabat saya itu, saya pun ikut menangis.

Kini saya mulai bisa berterima kasih pada Ibu, walau tidak sekeping pun kenangan tentang dirinya tersimpan di benak saya.

Sejak hari itu, saya tidak pernah berpikir akan lebih baik jika saya tidak pernah dilahirkan.

Memang jalan yang saya tempuh sampai bari ini tidak selalu mulus, tapi fakta bahwa saya masih hidup membuat saya yakin bisa mengatasi setiap penderitaan yang menyertainya.

Saru hal yang membuat saya penasaran adalah sosok yang membalas surat Ibu.

Orang yang mengakhiri suratnya dengan nama “Toko Kelontong Namiya”.

Belum lama ini saya mendapat informasi dari internet bahwa dia adalah seorang kakek yang sangat suka menjadi teman bicara orang-orang yang ingin mendiskusikan masalah mereka.

Di antara sekian banyak orang-orang itu, ada yang menulis kenang-kenangan tentang sesi diskusi itu di blog mereka.

Saya sedang mencari apakah ada informasi lainnya ketika saya menemukan pengumuman ini.

Untuk Toko Kelontong Namiya: Terima kasih karena sudah memberikan nasihat pada ibu saya.

Sebenarnya sudah lama saya ingin menyampaikannya karena berkat Anda, kini saya memiliki rasa percaya diri untuk berkata bahwa saya bersyukur telah dilahirkan.

Salam, Anak Perempuan Green River P.S.

Sekarang saya bekerja sebagai manajer sahabat saya.

Berkat bakat musik yang dimilikinya, kini dia menjadi artis papan atas di Jepang, sekaligus sebagai bentuk balas budi pada orang yang telah mengorbankan hidupnya.

Takayuki melipat kembali kertas surat tebal itu dengan hatihati, lalu mengembalikannya ke dalam amplop.

“Syukurlah, ternyata nasihat Ayah tidak salah.” Yoji menggeleng tidak setuju.

“Aku pernah bilang, yang paling penting adalah niat orang yang bersangkutan.

Memang aku selalu pusing memikirkan apakah jawaban itu justru akan membuat mereka semakin gundah, tapi kalau dipikir-pikir sebenarnya lucu juga.

Mana bisa jawaban dari seorang kakek biasa sepertiku memiliki kekuatan untuk mengendalikan hidup seseorang? Rupanya aku saja yang terlalu khawatir.” Walau berbicara seperti itu, ekspresi ayahnya terlihat senang.

“Semua surat ini harus disimpan baik-baik.

Ini harta karun Ayah,” kata Takayuki.

Yuji termenung sejenak.

“Soal itu, aku ingin minta bantuan» mu.

“Apa?” “Aku ingin kau yang menyimpan semua surat ini.” “Aku? Kenapa?” “Kau tahu hidupku tidak akan lama lagi.

Semua surat ini datang dari masa depan, bisa-bisa timbul masalah kalau aku yang menyimpannya dan orang lain yang menemukannya.” Takayuki mengangguk.

Benar yang dikatakan ayahnya.

Semua hal yang ditulis dalam surat-surat itu memang belum terjadi.

“Sampai kapan aku harus menyimpannya?” Yoji mendesah.

“Mungkin sampai aku meninggal.” “Baiklah.

Bagaimana kalau surat-surat ini kumasukkan ke dalam peti sebelum kremasi? Jadi bisa ikut terbakar.” “Ide bagus.” Yoji menepuk lutut.

“Lakukan itu.” Takayuki kembali mengangguk, kemudian mengamati suratsurat itu.

Ia masih sulit percaya bahwa semuanya ditulis oleh orang-orang dari masa depan.

“Ayah,” katanya.

“Internet itu apa, ya?” “Oh, itu.” Yoji mengangkat telunjuknya.

“Aku juga tidak tahu dan penasaran.

Istilah itu juga sesekali muncul di surat lain, misalnya di kalimat “melihat pemberitahuan di internet.

Ah, kata “ponsel juga ada.” “Ponsel? Kira-kira apa itu?” “Mana aku tahu? Semacam surat kabar di masa depan?” Yiji menyipitkan mata dan menatap putranya.

“Kau sudah membaca surat tadi.

Rupanya kau memang mengumumkannya pada peringatan 33 tahun meninggalnya aku sesuai permintaan.” “Lewat internet dan ponsel?” “Sepertinya begitu.” Raut wajah Takayuki berubah muram.

“Perasaanku malah jadi tidak enak begini.” “Tak usah cemas.

Di masa depan nanti kau juga pasti mengerti.

Nah, mau berangkat sekarang?” Saat itu juga, terdengar bunyi samar dari arah toko.

Bunyi barang jatuh.

Takayuki dan Yuji bertukar pandang.

“Sepertinya masih ada lagi yang datang,” kata Yiji.

“Surat?” Yoji mengangguk.

“Tolong periksa.” “Baiklah.” Takayuki pergi ke bagian toko.

Barang-barang jualan yang belum dibereskan masih berjejer di rak penjualan.

Sebuah kotak kardus diletakkan tepat di belakang pintu gulung.

Saat memeriksa isinya, Takayuki menemukan kertas yang dilipat-lipat yang sepertinya terdiri atas kertas surat.

Ia mengambil kertas itu sebelum kembali ke ruang tatami.

“Ada yang mengirim ini,” katanya.

Yoji membuka lipatan kertas itu.

Ekspresinya terlihat heran.

“Ada apa?” tanya Takayuki.

Dengan mulut terkatup rapat, Yuji mengulurkan kertas itu padanya.

“Eh?” Tanpa sadar Takayuki berseru.

Tidak ada tulisan di kertas itu.

“Apa maksudnya ini?” “Entahlah.” “Ulah iseng seseorang?” “Mungkin, tapi...” Yiji mengamati kertas surat itu, “sepertinya bukan.” “Lalu apa?” Yoji meletakkan kertas itu di meja, lalu bersedekap.

“Mungkin dari seseorang yang belum menemukan jawaban untuk persoalannya.

Mungkin orang ini masih terbebani dengan sesuatu dan tidak tahu harus menulis apa.” “Tapi kenapa harus mengirim kertas kosong segala?” Yoji menoleh pada Takayuki.

“Maaf, bisa tunggu di luar sebentar?” Takayuki mengerjap.

“Apa yang akan Ayah lakukan?” “Sudah tentu menulis surat balasan.” “Hah? Tapi orang ini sama sekali tidak menulis apa-apa.

Bagaimana Ayah akan menjawabnya?” “Biar nanti kupikirkan.” “Nanti ...?” “Ini tidak akan makan waktu lebih dari sejam.

Pergilah.” Melihat tekad Yaji sudah bulat, akhirnya Takayuki menyerah.

“Ya sudah.

Lakukanlah secepat mungkin.” “Ya,” balas Yuji sementara matanya tertuju pada kertas surat.

Sepertinya dia sedang merenung.

Saat Takayuki meninggalkan rumah, keadaan di luar masih gelap.

Aneh sekali, pikirnya.

Padahal rasanya aku menghabiskan waktu cukup lama di dalam rumah.

Ia kembali ke mobil Civic, kemudian melemaskan otot-otot leher saat mendadak langit berubah terang.

Kini ia sadar bahwa ada perbedaan antara aliran waktu di dalam dan di luar rumah.

Takayuki berniat merahasiakan kejadian aneh ini dari Yoriko maupun Fumiko.

Lagi pula mereka tidak akan percaya.

Ia menguap beberapa kali dan sedang menguap ketika mendengar bunyi dari arah rumah.

Yiji muncul dari gang, kemudian mendekatinya sambil bertelekan tongkat.

Takayuki turun dari mobil untuk membantu ayahnya.

“Sudah selesai menulis?” Ya.” “Lalu Ayah apakan surat balasan itu?” “Tentu saja kumasukkan ke kotak susu.” “Ayah yakin? Apakah dia akan menerimanya?” “Ya, aku yakin dia akan menerimanya.” Takayuki menggeleng.

Rasanya ayahnya bukan manusia biasa.

Mereka masuk ke mobil.

“Apa yang Ayah tulis untuk menjawab surat kosong itu?” tanya Takayuki.

Yoji menggeleng.

“Aku tak bisa cerita.

Sudah pernah kubilang, bukan?” Takayuki mengangkat bahu dan menyalakan mesin mobil.

Namun, sebelum mobil itu sempat melaju, Yiji berkata, “Tunggu sebentar!” Takayuki buru-buru menginjak rem.

Yiji yang duduk di kursi penumpang memandang lurus ke arah toko.

Toko yang selama puluhan tahun telah menyokong kehidupannya.

Dia pasti kesulitan mengucapkan selama tinggal karena baginya bangunan itu bukan sekadar tempat berjualan.

Yoji bergumam pelan, “Baiklah.

Ayo kita pergi.” “Ayah yakin?” “Ya.

Urusanku sudah selesai,” kata Yuji sembari memejamkan mata.

Takayuki mulai menjalankan mobilnya.

Walaupun sangat disayangkan karena tulisan “Toko Kelontong Namiya” sudah sulit dibaca saking kotornya, ia tetap menekan tombol shutter kamera.

Setelah itu, ia memotret dari beberapa sudut berbeda.

Kameranya memang bukan jenis mahal, dan ia sendiri ragu dirinya pandai memotret.

Tapi itu bukan masalah, karena ia takkan memperlihatkan foto-foto itu pada orang lain.

Sambil menatap bangunan tua itu dari sisi lain jalan, Takayuki teringat pada kejadian setahun lalu.

Malam yang dilewatkannya berdua bersama Yiji.

Kalau dipikir-pikir, memang sulit menganggap malam itu sungguh-sungguh nyata.

Bahkan sampai sekarang, Takayuki masih sering curiga itu mimpi belaka.

Benarkah ada surat yang dikirimkan dari masa depan? Ia tidak pernah lagi membicarakan peristiwa malam itu dengan Yiji.

Namun, tumpukan surat yang Takayuki masukkan ke peti jenazah Yiiji adalah fakta yang tak terbantahkan.

Ketika Yoriko dan yang lain menanyakan surat apa itu, Takayuki tidak menjawab.

Bicara soal keajaiban, begitu pula yang terjadi pada kematian Yuji.

Kendati sudah diberitahu bahwa dia bisa meninggal kapan saja, dia sama sekali tidak mengeluh sakit, justru api dalam jiwanya terus berkobar bagaikan benang natto yang tiada putusputusnya.

Dokter Yiji sampai ikut terkejut.

Meskipun jarang makan dan hanya menghabiskan sebagian waktu dengan tidur, Yuji masih bertahan hidup nyaris setahun sejak kejadian di toko.

Seakan waktu berjalan lambat di dalam tubuhnya.

Sementara Takayuki termenung membayangkan semua itu, terdengar seseorang menyapa.

“Permisi...” Takayuki menoleh dan melihat seorang wanita muda berperawakan tinggi mengenakan kostum olahraga.

Wanita itu sedang berdiri sambil memegangi setang sepeda.

Di bagian boncengannya bertengger tas olahraga.

“Ya?” Takayuki balas menyapa.

“Ada yang bisa saya bantu?” Wanita itu tampak ragu-ragu.

“Anda punya hubungan keluarga dengan Namiya-san?” Takayuki tersenyum kecil.

“Saya putranya.

Dulu ini toko milik ayah saya.” Mulut wanita itu menganga terkejut sebelum mengerjapkan mata.

“Oh, begitu.” “Anda tahu tentang toko kami?” “Ya.

Ah, tapi saya belum pernah berbelanja di situ.” Wanita itu menunduk dengan penuh penyesalan.

Takayuki mengangguk, paham apa yang terjadi.

“Anda pernah berkonsultasi?” “Benar,” jawab wanita itu.

“Beliau memberikan nasihat yang sangat berharga.” “Syukurlah kalau begitu.

Kapan itu terjadi?” “Bulan November tahun lalu.” “November tahun lalu?” “Apakah toko ini sudah tutup?” tanya wanita itu sembari memandangi toko.

“Ya, ayah saya sudah meninggal.” Wanita itu terperanjat.

Kedua alisnya berkerut penuh duka.

“Jadi beliau sudah meninggal? Kapan?” “Bulan lalu.” “Aah...

Saya turut berduka cita.” “Terima kasih.” Takayuki mengangguk.

“Anda aktif di olahraga?” tanyanya sambil memandang tas olahraga di sepeda.

“Ya.

Anggar.” “Anggar? Wah.” Takayuki terbelalak.

Sungguh di luar perkiraan.

“Memang olahraga ini tidak populer di masyarakat biasa.” Wanita itu tersenyum, kemudian kembali naik ke sepeda.

“Maaf sudah mengganggu Anda.

Permisi.” “Silakan.” Takayuki memandangi sosok wanita itu semakin menjauh.

Anggar.

Memang bukan olahraga yang populer.

Apakah pertandingannya akan disiarkan di TV? Setidaknya versi cuplikannya, walau belum ada tanda-tanda dia bisa menontonnya karena Jepang memboikot Olimpiade Moskow tahun ini.

Wanita itu tadi juga menyebut-nyebut soal bulan November.

Mungkin ada kesalahan karena saat itu Yiiji sudah terbaring di rumah sakit.

Mendadak terpikir olehnya sesuatu, lalu dia menyeberangi jalan dan masuk ke gang di sebelah toko.

Ia memutar ke belakang dan membuka tutup kotak penyimpanan susu.

Kotak itu kosong.

Apakah surat yang ditulis Yuji malam itu sebagai balasan untuk si pengirim kertas kosong sungguh tiba dengan selamat di masa depan? September 2012.

Namiya Shungo sedang kebingungan di depan komputer.

Apa sebaiknya kuhentikan saja? Bisa repot kalau nanti malah timbul keributan hanya gara-gara aku melakukan hal aneh seperti ini.

Karena menggunakan komputer rumah, ia paham bagaimana efeknya jika polisi sampai turun tangan menyelidiki.

Apalagi kejahatan di internet dianggap sebagai tindakan kriminal serius.

Namun, ia yakin Takayuki tidak akan memintanya melakukan hal yang salah.

Sampai saat terakhir, beliau sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kepikunan, nada bicaranya pun terdengar mantap.

Takayuki adalah kakek Shungo, beliau meninggal pada akhir tahun lalu.

Kanker perut.

Karena ayah Takayuki juga meninggal akibat kanker, mungkin keluarga mereka memang memiliki kecenderungan mengidap penyakit tersebut.

Sebelum Takayuki masuk rumah sakit, dia memanggil Shungo ke kamarnya.

Tiba-tiba, kakeknya berkata bahwa dia punya satu permohonan.

Dia juga bilang Shungo harus merahasiakannya pada orang lain.

“Permohonan apa?” tanya Shungo, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.

“Kakek dengar Shungo jago komputer, ya?” tanya Takayuki.

“Yah, lumayan,” jawab Shungo.

Di SMP dia memang bergabung dengan Klub Matematika, makanya ia sering menggunakan komputer.

Takayuki memberikan selembar kertas.

“Bulan September tahun depan, Kakek minta bantuanmu menyebarkan apa yang tertulis di sini lewat internet.” Shungo menerima kertas itu dan membacanya.

Isinya sangat aneh.

“Apa ini? Apa maksudnya?” 'Takayuki menggeleng.

“Tak perlu terlalu dipikirkan.

Yang penting Kakek minta bantuanmu menyebarkan apa yang tertulis di situ.

Shungo pasti bisa, kan?” “Bisa, tapi...” “Sebenarnya Kakek ingin melakukannya sendiri karena sudah berjanji.” “Janji? Dengan siapa?” “Ayahku.

Kakek buyutmu.” “Dengan ayahnya Kakek ya...” “Masalahnya Kakek harus masuk rumah sakit, juga tidak tahu sampai kapan masih bisa hidup, makanya Kakek minta bantuan» mu.

Shungo tidak sanggup membantah.

Ia sudah tahu dari orangtuanya bahwa kakeknya tidak akan berusia panjang.

“Baiklah,” jawab Shungo.

Takayuki mengangguk puas beberapa kali.

Tidak lama setelah pembicaraan itu, Takayuki meninggal dunia.

Shungo menghadiri acara persemayaman dan pemakaman.

“Serahkan saja padaku,” begitu katanya pada jenazah kakeknya di dalam peti.

Setelah itu ia tidak bisa melupakan janjinya pada Takayuki.

Yang ada di benaknya hanya apa yang sebaiknya ia lakukan, sampai akhirnya September pun tiba.

Shungo menatap kertas di tangannya.

Kertas yang dulu diberikan Takayuki.

Berikut isinya: Pada tanggal 13 September, sesi konsultasi Toko Kelontong Namiya akan dibuka lagi mulai pukul 00.00 sampai menjelang fajar.

Bagi Anda yang pernah berkonsultasi dan menerima surat balasan, saya ingin sekali mengetahui pengaruh surat tersebut terhadap kehidupan Anda.

Apakah jawaban itu membantu Anda? Atau justru tidak? Saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia memberikan pendapat secara jujur.

Sama seperti dulu, silakan masukkan surat Anda lewat lubang surat di pintu gulung toko.

Semoga Anda berkenan melakukannya.

Selain kertas itu, Takayuki juga memberikan satu hal lain.

Foto Toko Kelontong Namiya.

Shungo belum pernah pergi ke sana, tapi ia diberitahu bahwa toko itu masih ada sampai sekarang.

Ia juga pernah diberitahu Takayuki bahwa dulu Keluarga Namiya memiliki usaha toko kelontong, tapi belum pernah mendengar cerita lengkapnya Apa maksudnya sesi konsultasi? Lalu apa artinya “aktif kembali”? Sebaiknya aku tidak melakukannya.

Kalau sampai terjadi sesuatu, bisa-bisa aku yang repot.

Shungo sudah hendak menutup komputernya saat ada sesuatu yang menarik perhatiannya.

Arloji yang dipajang di sudut meja.

Ini arloji kesayangan Kakek...

maksudnya Takayuki, yang diberikan padanya sebagai tanda mata.

Arloji yang kini dalam sehari bisa macet setiap 5 menit ini dulu dihadiahkan ayah Takayuki pada putranya sebagai perayaan masuk universitas.

Shungo terus menatap layar komputer.

Di layarnya yang hitam, ia bisa melihat pantulan wajahnya seakan bersatu dengan wajah kakeknya.

Ini adalah janji antarlelaki.

Aku harus menepatinya...

Shungo menyalakan komputernya.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar