Keajaiban Toko Kelontong Namiya Bab 2

Bab 2 Alunan Harmonika Di Malam hari

Sosok yang berdiri di balik jendela yang berfungsi sebagai loket penerima tamu adalah seorang laki-laki kurus yang berusia kirakira lebih dari enam puluh tahun.

Mungkin pensiunan pegawai kantor pemerintah terdekat yang pindah ke sini, karena tahun lalu bukan lelaki paruh baya itu yang menjaga meja penerima tamu.

Katsurd memperkenalkan diri, merasa sedikit waswas.

“Saya Matsuoka.” Sesuai dugaannya, laki-laki itu bertanya, “Matsuoka-san yang mana?” “Matsuoka Katsuro.

Saya kemari karena akan tampil di konser amal.” “Amal?” “Untuk Naral...” “Aaah...” Sepertinya laki-laki itu mulai paham.

“Saya dengar ada penampil yang akan datang, tapi saya kira rombongan.

Ternyata hanya seorang, ya?” “Ah, maafkan saya,” Katsurd mendapati diri meminta maaf.

“Mohon tunggu sebentar.” Laki-laki itu mulai menelepon.

Setelah mengucapkan dua atau tiga patah kata pada lawan bicaranya, dia berkata pada Katsurg, “Silakan tunggu di sini.” Tidak berapa lama kemudian, seorang wanita berkacamata menghampirinya.

Wajahnya familier.

Ternyata dia orang yang sama dengan yang mengurus pesta tahun lalu.

Kelihatannya dia juga masih mengingat Katsur6 karena sambil tersenyum dia menyapa, “Sudah lama tidak bertemu.

Terima kasih sudah bersedia datang.” “Terima kasih untuk kesempatan tahun ini,” kata Katsur6.

“Sama-sama,” balas wanita itu.

Katsuro diantarkan ke ruang tunggu, sebuah ruangan dengan perabotan sederhana.

“Anda punya waktu kurang lebih empat puluh menit di panggung.

Apakah daftar lagu yang akan dibawakan bisa Anda sesuaikan sendiri seperti tahun lalu?” “Tidak masalah.

Saya akan fokus membawakan lagu-lagu Natal yang sesekali diselingi lagu-lagu orisinal.” “Oh, begitu.” Wanita itu tersenyum manis, mungkin berusaha mengingat-ingat lagu orisinal yang Katsuro bawakan tahun lalu.

Karena masih ada waktu sebelum konser dimulai, Katsuro menunggu di ruang tunggu tersebut.

Dia menuang teh dari botol plastik yang telah disediakan ke dalam gelas kertas, lalu meminumnya.

Ini kunjungan keduanya ke Rumah Perlindungan Anak Taman Marumitsu.

Gedung bertingkat empat yang dibangun dari besi dan semen ini berlokasi di sebuah bukit dan dilengkapi dengan ruang makan dan kamar mandi selain kamar pribadi tempat para penghuninya—mulai dari anak kecil hingga remaja berusia delapan belas tahun—menjalani hidup sebagai sebuah kelompok.

Katsuro sudah mendatangi berbagai tempat seperti ini, dan Taman Marumitsu termasuk rumah perlindungan anak yang besar.

Katsurd meraih gitar, memetik ringan beberapa nada, dan berlatih bernyanyi sedikit.

Kedengarannya bagus.

Staf wanita tadi kembali untuk menyampaikan bahwa sebentar lagi pertunjukan akan dimulai.

Katsuro kembali meneguk segelas teh dingin lalu bangkit dari kursi.

Pertunjukan dilangsungkan di gedung olahraga.

Anak-anak duduk berderet dengan rapi di kursi lipat.

Sebagian besar dari mereka adalah anak-anak SD.

Saat memasuki ruangan, Katsurd langsung disambut oleh tepuk tangan mereka, yang sepertinya diarahkan oleh sang pengawas.

Mikrofon, kursi, dan sandaran partitur untuk Katsur6 sudah disiapkan.

Setelah mengangguk ke arah anak-anak, barulah ia duduk.

“Halo semuanya.” Anak-anak itu balas menyapanya.

“Ini kunjungan saya yang kedua kalinya karena tahun lalu saya juga datang saat Malam Natal.

Sebenarnya saya ini mirip Sinterklas yang datang setiap Malam Natal, tapi sayangnya saya tidak membawa hadiah.” Terdengar tawa kecil.

“Sebagai gantinya, saya akan menghadiahkan lagu-lagu seperti tahun lalu.” Ia mulai memetik gitar dan menyanyikan lagu Rudolph the Red-Nosed Reindeer.

Lagu ini memang cukup populer di kalangan anak-anak sehingga di tengah-tengah lagu mereka mulai ikut menyanyi.

Setelah lagu itu selesai, berturut-turut ia membawakan beberapa lagu Natal spesial lainnya, diselingi sesi mengobrol.

Semua anak tampak menikmati penampilannya, bahkan mereka bertepuk tangan mengikuti irama lagu.

Boleh dibilang suasananya lumayan meriah.

Namun, di tengah-tengah lagu, ada seorang anak yang menarik perhatian Katsuro.

Anak perempuan tersebut duduk di baris kedua kursi paling ujung.

Kelihatannya dia murid SD tingkat atas.

Tatapan matanya tertuju ke arah lain, sama sekali tidak melihat ke arah Katsuro.

Sepertinya anak itu tidak tertarik dengan lagu-lagu yang dimainkan, mulutnya sama sekali tidak bergerak.

Ekspresi sedih anak itulah yang membuat Katsuro penasaran.

Ada aura tertentu yang membuatnya tidak seperti anak kebanyakan.

Ingin rasanya Katsuro membuat perhatian anak itu tertuju padanya.

Menduga bahwa anak itu mungkin bosan dengan lagu-lagu yang terlalu kekanak-kanakan, Katsurc mencoba menyanyikan lagu dari Matsutoya Yumi yang berjudul Koibito ga Santa Claus—Sayangku, Sinterklas.

Lagu ini pernah muncul dalam film populer Bawalah Aku ke Tanah Bersalju yang ditayangkan tahun lalu.

Sebenarnya, menyanyikan lagu itu di tempat ini adalah pelanggaran hak cipta, tapi Katsurd yakin tak akan ada yang melaporkannya.

Banyak anak yang menikmati pertunjukannya, tetapi anak perempuan itu masih memandang ke arah lain.

Katsuro bahkan mulai memainkan lagu yang menurutnya sesuai dengan usia anak itu, tetapi hasilnya nihil.

Ia hanya bisa menyerah dan pasrah berpikir bahwa anak itu memang tidak tertarik pada musik.

“Berikutnya adalah lagu yang selalu saya mainkan di akhir pertunjukan.

Semoga kalian senang mendengarkannya.” Karsuro menaruh gitarnya lalu mengeluarkan harmonika.

Ia memejamkan mata, mengatur napas, lalu perlahan mulai meniup harmonika itu.

Ini lagu yang sudah ribuan kali ia mainkan sehingga ia tak lagi membutuhkan partitur.

Ia memainkan lagu itu selama tiga setengah menit.

Suasana di dalam gedung olahraga pun seolah tenggelam dalam kesunyian.

Tepat sebelum mengakhiri permainan harmonikanya, Katsuro membuka mata.

Dan ia langsung tertegun.

Anak perempuan yang tadi menarik perhatiannya kini menatapnya.

Sorot mata anak itu tampak serius.

Katsuro langsung panik, sampai lupa bersikap tenang layaknya orang dewasa.

Setelah pertunjukan selesai, Katsuro meninggalkan panggung diiringi tepuk tangan anak-anak.

Staf wanita tadi mendaranginya seraya mengucapkan terima kasih.

Awalnya Katsur6 ingin bertanya tentang anak perempuan itu, tetapi akhirnya mengurungkan niat karena tahu bahwa ia tak punya alasan yang cukup kuat untuk bertanya.

Di luar dugaan, ia justru berhasil bicara dengan anak itu.

Katsuro diundang ke pesta yang diadakan di kafetaria setelah konser selesai.

Gadis kecil itu menghampirinya saat Katsur6 tengah menyantap makanannya.

“Lagu apa itu?” tanya si gadis kecil tanpa basa-basi sambil menatap tepat ke mata Katsurs.

“Lagu yang mana?” “Lagu terakhir yang kaumainkan dengan harmonika.

Aku belum pernah mendengarnya.” Katsuro tertawa, lalu mengangguk.

“Kau benar.

Itu memang lagu orisinal.” “Orisinal?” “Lagu ciptaanku sendiri.

Kau suka?” Gadis kecil itu mengangguk kuat-kuat.

“Suka sekali.

Aku ingin mendengarnya lagi.” “Begitu? Tunggu sebentar.” Rencananya malam ini Katsur6& akan menginap di rumah perlindungan anak ini.

Ia pergi ke kamar yang telah disediakan untuknya, mengambil harmonika, lalu kembali ke kafetaria.

Ia mengajak gadis kecil itu ke koridor, lalu memainkan lagu itu kembali.

Si gadis kecil menyimaknya dengan serius.

“Apakah lagu ini tidak punya judul?” “Ada.

Judulnya Terlahir Kembali.” “Terlahir Kembali...” gumam gadis kecil itu.

Kemudian dia mulai bersenandung, nadanya persis dengan lagu gubahan Katsur6.

Katsuro terkejut mendengarnya.

“Kau sudah hafal?” Untuk pertama kalinya, gadis kecil itu tersenyum.

“Aku memang jago menghafal lagu.” “Hebat!” Katsuro menatapnya lekat-lekat.

Kata genius terlintas di benaknya.

“Apa Matsuoka-san tak ingin jadi musisi profesional?” “Profesional? Entahlah.” Katsurc menggeleng sembari menyembunyikan getaran yang bergejolak dalam hatinya.

“Aku percaya lagu itu pasti bakal sukses besar.” “Sungguh?” Gadis kecil itu mengangguk.

“Soalnya aku suka.” Katsuro tergelak.

“Terima kasih.” “Seri-chan!” Seorang staf wanita melongok ke luar dari kafetaria.

“Bisa tolong suapi Tatsu-kun?” “Ah, baik!” Gadis kecil yang dipanggil Seri itu membungkuk pada Katsurc dan kembali ke kafetaria.

Beberapa saat kemudian Katsuro juga kembali ke sana.

Seri duduk di samping seorang anak laki-laki, membantunya memegang sendok.

Anak laki-laki itu berperawakan mungil dan wajahnya tak berekspresi.

Staf wanita yang bertanggung jawab mengatur konser kebetulan berdiri di dekat Katsurd.

Dengan santai, Katsurd bertanya kepadanya tentang dua anak itu.

Wajah wanita itu lantas berubah serius.

“Kakak-adik itu mulai tinggal di sini pada musim semi tahun ini, kalau tidak salah akibat disiksa orangtuanya.

Tatsu-kun, si adik, tidak mau bicara kecuali kepada Seri-chan.” “Oooh...” Katsurd mengamati Seri yang sedang mengurus adiknya.

Kini ia mulai mengerti alasan gadis kecil itu tidak tertarik pada lagu-lagu Natal.

Setelah acara makan malam berakhir, Katsure kembali ke kamar.

Saat berbaring di tempat tidur, terdengar suara ramai dari luar.

Ia bangun dan memandang ke luar jendela.

Rupanya anakanak sedang bermain kembang api tanpa memikirkan dinginnya udara.

Seri dan Tatsu juga ada di sana.

Mereka sedang menonton dari jarak yang agak terpisah dari anak-anak lain.

Apakah Matsuoka-san tidak ingin jadi musisi profesional? Sudah lama sekali ia tidak mendengar kata-kata itu.

Dan sudah sepuluh tahun sejak ia menyembunyikan perasaannya di balik alasan ala kadarnya.

Hanya saja perasaannya saat itu jauh berbeda dengan yang sekarang.

“Ayah,” gumam Katsurd sambil menatap langit malam.

“Aku sudah membuatmu kecewa.

Aku bahkan tidak punya kesempatan dalam perjuangan sia-sia ini.” Pikirannya lantas melayang ke delapan tahun yang lalu.

Pada awal bulan Juli, Katsur6 menerima berita tentang kematian neneknya.

Ia sedang bersiap-siap membuka toko saat adik perempuannya, Emiko, menelepon.

Ia sudah lama tahu tentang kondisi neneknya yang memburuk.

Kondisi hati dan ginjal sang nenek memang sudah melemah, jadi neneknya bisa mengembuskan napas terakhir kapan saja.

Meskipun demikian, Katsuro tidak pernah pulang menjenguknya.

Bukannya ia tidak mencemaskan sang nenek, hanya saja ia punya alasan tersendiri untuk tidak pulang.

“Besok Nenek akan disemayamkan, lalu lusa pemakaman.

Kakak, kapan kau pulang?” tanya Emiko.

Katsuro menopangkan siku di meja sambil memegang gagang telepon, dan menggaruk kepala dengan tangannya yang lain.

“Aku sibuk kerja.

Aku juga harus bertanya dulu pada Bos.” Ia bisa mendengar Emiko menghela napas.

“Kerja? Tugasmu hanya membantunya, bukan? Dulu pemilik toko itu juga menjalankan usahanya sendirian.

Aku yakin tidak akan jadi masalah kalau kau mengambil cuti satu atau dua hari.

Bukankah kau pernah bilang kau memilih bekerja di toko itu karena di sana bisa mengambil libur kapan saja?” Memang benar.

Emiko memiliki daya ingat kuat, tegas, dan tidak mudah tertipu oleh omong kosong.

Katsurd terdiam.

“Aku kerepotan kalau kau sampai tidak pulang.” Kini nada suara Emiko terdengar tajam.

“Kondisi kesehatan Ayah tidak begitu baik, Ibu kelelahan karena selama ini harus merawat Nenek.

Kak, dulu kau pernah diasuh Nenek.

Setidaknya kau harus datang saat pemakaman.” Katsuro mendesah.

“Baiklah.

Akan kuusahakan.” “Tolong pulang secepatnya.

Kalau bisa malam ini.” “Itu tidak mungkin.” “Kalau begitu besok pagi.

Paling lambat siang.” “Akan kupikirkan.” “Pikirkan baik-baik.

Selama ini kau selalu berbuat sesuka hatimu.” Katsurd baru saja hendak bertanya apa pula yang dimaksudkan adiknya itu, tapi Emiko telanjur menutup telepon.

Katsuro meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya, lalu duduk di bangku.

Sambil termangu, ia menatap lukisan di dinding yang sepertinya menggambarkan pantai pasir di Okinawa.

Bosnya sangat menyukai Okinawa.

Tidak heran seluruh bar kecil ini dihiasi pernik-pernik khas daerah tersebuc.

Kini pandangan Katsur6 tertuju ke sudut toko.

Di situ terdapat kursi rotan dan gitar folk yang khusus disiapkan untuknya.

Setiap kali ada pengunjung yang meminta lagu, ia akan duduk di kursi itu dan memainkan gitar.

Adakalanya ia mengiringi nyanyian pengunjung, tetapi biasanya Katsuro yang menyanyi.

Umumnya pengunjung yang baru pertama kali mendengarkan nyanyiannya akan terkejut karena menurut mereka, penampilan Katsuro sama sekali tidak seperti seorang amatir.

Mereka sering berkomentar bahwa Katsur6 bisa menjadi musisi profesional.

“Ah, Anda terlalu memuji,” biasanya ia akan menjawab merendah, padahal dalam hati berpikir, Memang itu cita-citaku.

Bahkan, demi cita-cita itulah ia sampai berhenti kuliah.

Katsuro sudah menaruh minat pada musik sejak masa SMP.

Waktu kelas dua SMP, ia pergi main ke rumah salah satu teman sekelasnya dan melihat sebuah gitar di sana.

Temannya bilang gitar itu milik kakak laki-lakinya lalu mengajarinya cara bermain.

Sejak lahir, itu kali pertama Katsuro menyentuh gitar.

Awalnya jemarinya bergerak dengan kaku, tetapi setelah berulang kali mencoba, akhirnya ia bisa memainkan satu bait lagu sederhana.

Kegembiraannya saat itu benar-benar tidak bisa dilukiskan.

Pengalamannya sama sekali berbeda dengan meniup seruling di kelas musik.

Getaran asing menjalari pembuluh darahnya.

Beberapa hari kemudian, Katsurd memberanikan diri memberitahu orangtuanya ia ingin memiliki gitar.

Ayahnya adalah pemilik toko ikan yang sama sekali tidak pernah menyentuh alat musik.

Mendengar permintaan itu, ayahnya terkejut kemudian berubah marah.

Dia berteriak melarang Katsuro bermain dengan temannya itu.

Rupanya sang ayah menganggap anak muda yang bermain gitar sama saja dengan anak berandal.

Katsuro tidak menyerah.

Ia menjanjikan semua hal yang bisa ia pikirkan.

Ia berjanji akan rajin belajar agar bisa masuk SMA terbaik di daerahnya.

Jika gagal, ia berjanji akan menyingkirkan gitarnya dan takkan pernah memainkannya lagi.

Kedua orangtuanya terkejut karena selama ini Katsuro belum pernah menginginkan sesuatu sampai seserius itu.

Ibunya yang lebih dulu melunak, disusul sang ayah yang akhirnya mau berkompromi.

Hanya saja, bukannya pergi ke toko alat musik, Katsuro malah diajak ke pegadaian.

Menurut ayahnya, ia harus puas dibelikan gitar bekas yang digadaikan pemilik sebelumnya.

“Benda ini mungkin akan berakhir di tempat sampah.

Aku tak mau membelikan yang mahal,” gerutu ayahnya dengan wajah masam.

Meski demikian, Katsuro tetap gembira karena akhirnya memiliki gitar.

Malam itu, saat hendak tidur, ia meletakkan gitar folk tua yang baru dibelikan untuknya itu di bantal.

Hampir setiap hari Katsurd tekun berlatih dengan bantuan buku-buku pelajaran gitar yang dibelinya di toko buku bekas.

Tentu saja, ia juga menepati janji pada kedua orangtuanya dengan tetap rajin belajar.

Berkat itu, prestasinya di sekolah meningkat sehingga orangtuanya tidak pernah protes, walaupun ia mengunci diri dan berlatih gitar di kamarnya di lantai dua pada hari libur.

Akhirnya Katsuro berhasil masuk SMA terbaik di daerahnya.

Begitu mengetahui di sekolah itu ada klub musik, ia lantas bergabung.

Bersama dua teman yang ditemuinya di sana, mereka membentuk band yang kemudian mulai tampil di berbagai tempat.

Awalnya mereka hanya membawakan lagu-lagu band yang sudah eksis lebih dulu, tetapi lama-kelamaan mereka mulai memainkan lagu orisinal.

Sebagian besar lagu itu diciptakan oleh Katsuro yang juga mengisi posisi sebagai vokalis.

Rekan-rekan satu band-nya sangat kagum dengan lagu ciptaannya.

Namun, ketika duduk di kelas 3 SMA, band mereka bubar.

Tentu saja, penyebabnya adalah ujian masuk universitas.

Mereka sempat berjanji akan aktif kembali kalau mereka lulus ujian, tetapi janji itu tidak bisa dipenuhi karena salah satu dari mereka ada yang tidak lulus.

Walaupun setahun kemudian dia berhasil masuk universitas, rencana pembentukan kembali band mereka tidak pernah dibahas lagi.

Katsuro masuk Fakultas Ekonomi di sebuah universitas di Tokyo.

Sebenarnya ia masih ingin meniti karier di jalur musik, tetapi ia menyerah karena tahu bahwa kedua orangtuanya pasti akan menentang, terutama karena ia diharapkan melanjutkan usaha toko ikan milik keluarga.

Hal itu sudah ditetapkan sejak Katsuro masih kecil, dan sepertinya kedua orangtuanya bahkan sama sekali tidak pernah berpikir ada kemungkinan Katsurd ingin memilih karier lain.

Katsuro sendiri juga merasa bahwa seperti itulah jalan hidupnya di masa depan.

Di universitas sendiri banyak klub pencinta musik.

Ia sempat bergabung dengan salah satu klub, tetapi belum lama terlibat, ia langsung kecewa karena anggota-anggota lain hanya ingin bersenang-senang.

Mereka sama sekali tidak serius tentang musik.

Saat protes soal itu, ia malah ditarap dengan sinis.

“Kau mau sok keren, ya? Yang namanya musik itu harus dinikmati!” “Benar.

Buat apa kau repot-repot serius? Toh kita tidak bakal jadi musisi profesional.” Tanpa membalas sepatah kata pun, Katsur6 memutuskan keluar dari klub.

Percuma saja berdebat karena tidak ada gunanya.

Perbedaan tujuan di antara mereka terlalu besar.

Setelah itu, ia tidak pernah bergabung dengan klub lain karena merasa lebih baik menekuni musik seorang diri.

Bergabung bersama orang-orang yang tidak memiliki ambisi dan semangat bermain musik hanya membuatnya stres.

Karena sudah cukup sering tampil di depan umum sejak SMA, ia pun menguji kemampuannya dengan mengikuti kontes penyanyi amatir.

Meskipun di awal-awal ia selalu gugur di babak awal, tapi setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil maju ke babak yang lebih jauh.

Di kontes itu sendiri banyak peserta yang rutin mengikuti kontes sejenis.

Perlahan-lahan, Katsuro mulai berinteraksi dengan mereka.

Dari orang-orang seperti merekalah ia mendapat suntikan semangat.

Bagi mereka, hasrat menekuni musik adalah satu-satunya tujuan hidup.

Mereka bersedia mengorbankan apa pun demi membuat musik sendiri.

Aku tidak boleh kalah...

Begitu yang ada di benak Katsurc setiap kali menonton pertunjukan teman-temannya.

Bisa dibilang, sebagian besar waktunya dicurahkan untuk musik.

Saat makan, bahkan saat mandi, yang ada di dalam kepalanya hanyalah lagu yang tengah ia tulis.

Ia semakin jarang kuliah karena merasa tidak ada lagi yang ingin dicapainya di kampus.

Tidak heran jika ia terus gagal memenuhi persyaratan lulus di banyak mata kuliahnya.

Kedua orangtuanya yang telah mengizinkan Katsuro pergi ke Tokyo sama sekali tidak tahu soal keadaan putra mereka satu-satunya itu.

Mereka sekadar berasumsi bahwa putra mereka akan lulus setelah empat tahun kuliah, lalu kembali ke kampung halaman.

Pada suatu hari di musim panas, Katsuro yang kini berusia 21 tahun menelepon mereka untuk mengabarkan bahwa ia telah berhenti kuliah.

Ia bisa mendengar tangisan ibunya sebelum ayahnya yang geram mengambil alih telepon, mengamuk dan berteriak sampai telinga Katsuro sakit, menuntut apa yang sebenarnya diinginkan Katsur6.

Katsurd menjawab bahwa ia ingin menekuni musik, jadi ia merasa tidak ada gunanya lagi kuliah.

Jawaban itu membuat ayahnya semakin naik pitam.

Tidak tahan mendengar lebih banyak omelan lagi, Katsuro pun langsung menutup telepon.

Malam itu juga kedua orangtuanya datang ke Tokyo.

Wajah ayahnya tampak merah padam, sementara wajah ibunya pucat.

Sampai menjelang fajar, mereka berbicara dengan Katsuro di kamar kecilnya yang seluas 6 tatami.

Kedua orangtuanya berkata jika Katsurd memang tidak ingin lagi kuliah, ia harus segera kembali ke kampung halaman untuk mewarisi usaha toko ikan keluarga.

Tekad Katsuro tidak goyah.

Ia membalas bahwa jika ia melakukan itu, seumur hidup dirinya akan menyesal.

Ia memutuskan untuk tetap tinggal di Tokyo hingga cita-citanya tercapai.

Kedua orangtuanya kembali ke kampung dengan kereta paling awal tanpa sempat tidur.

Lewat jendela apartemennya, Katsuro mengamati punggung mereka berdua.

Dari belakang, mereka terlihat begitu kecil dan kesepian sehingga tanpa sadar Katsurd menyatukan kedua tangannya untuk berdoa.

Tiga tahun berlalu.

Seharusnya saat itu Katsur6 sudah lulus dari universitas, tapi ia belum juga meraih pencapaian apa pun.

Seperti biasa, ia menjalani hari-harinya dengan terus berlatih supaya bisa tampil di konser-konser amatir dan memang sempat beberapa kali terpilih.

Ia yakin jika bisa terus tampil, suatu saat dirinya akan menarik perhatian orang dari perusahaan rekaman.

Namun, sejauh ini belum ada yang menghubunginya.

Ia juga sudah mengirim demo tape ke beberapa perusahaan rekaman, tetapi belum ada tanggapan.

Pernah satu kali, salah seorang pengunjung bar memperkenalkannya pada seorang kritikus musik.

Katsuro lantas memainkan dua lagu karyanya di hadapan sosok berambut putih ikal itu.

Selama ini Katsuro sudah membulatkan tekad ingin menjadi penyanyi sekaligus penulis lagu, jadi ia cukup yakin akan kualitas kedua lagu ciptaannya tersebut.

“Boleh juga,” komentar sang kritikus.

“Melodinya segar, caramu menyanyi juga cukup mahir.

Bagus.” Hati Katsuro langsung melambung.

Dadanya serasa akan meledak karena membayangkan akan segera memperoleh kesempatan debut.

Mewakili Katsur6, pengunjung yang memperkenalkannya pada sang kritikus bertanya, “Apa menurut Anda dia bisa menjadi musisi profesional?” Sekujur tubuh Katsur6c menegang.

Ia tidak berani menatap wajah sang kritikus.

“Hmmm...” Sang kritikus berpikir sejenak, lalu berkata, “Lebih baik tidak usah berpikir sejauh itu.” Katsuro mendongak dan bertanya, “Kenapa?” “Karena banyak orang yang bisa menyanyi sama bagusnya dengan dirimu.

Lain cerita kalau suaramu punya keunikan tersendiri.

Tapi kenyataannya, tidak ada.” Katsuro tidak bisa membalas komentar tajam itu karena ia sendiri sudah menyadarinya.

“Bagaimana dengan musiknya? Menurutku cukup bagus,” tanya bos Katsurd yang juga ada di situ.

“Untuk ukuran amatir memang bagus,” komentar sang kritikus blak-blakan.

“Tapi sayangnya belum pantas berada di level profesional karena masih terpengaruh oleh lagu-lagu yang sudah ada.

Dengan kata lain, sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru.” Mendengar kata-kata pedas itu, tubuh Katsur6 seperti terbakar oleh amarah sekaligus frustrasi.

Jadi, dirinya dianggap tidak berbakat? Apakah selama ini ia terlalu besar kepala karena mengira bisa mencari nafkah lewat musik? Sejak hari itu, pikiran tersebut selalu berputar-putar dalam benaknya.

Menjelang siang keesokan harinya, Katsurd meninggalkan apartemen dengan membawa tas olahraga dan tas pakaian.

Tas pakaian itu berisi jas hitam yang dipinjam dari bosnya.

Karena belum tahu kapan akan kembali ke Tokyo, sebenarnya Katsur6 ingin membawa gitarnya juga, tapi ia menahan diri karena tidak bisa membayangkan seperti apa komentar orangtuanya nanti.

Sebagai gantinya, ia menyelipkan harmonika ke dalam tas.

Katsuro naik kereta dari Stasiun Tokyo.

Gerbong tempatnya duduk relatif kosong sehingga ia bisa menempati bilik berisi empat kursi seorang diri.

Ia mencopot sepatu, lalu menumpangkan kaki di kursi seberang.

Perjalanan dari Stasiun Tokyo menuju kota tempat rumah orangtuanya memakan waktu sekitar dua jam, diselingi ganti kereta.

Ia dengar banyak orang yang naik kereta ini untuk pergi ke kantor mereka di Tokyo setiap hari, tapi bagi Katsuro kehidupan seperti itu benar-benar tidak terbayangkan.

Begitu mendengar berita meninggalnya nenek Katsuro, bosnya langsung mengizinkannya pulang kampung.

“Ini kesempatan baik untuk berbicara dengan orangtuamu, misalnya tentang rencana masa depan,” ujar bosnya dengan nada menasihati.

Di telinga Katsuro kata-kata itu terdengar seperti saran tidak langsung supaya ia berhenti mengejar karier di dunia musik.

Apakah hanya sampai di sini saja karier musikku? Katsura termenung seraya menatap pemandangan khas daerah pedesaan yang melintas di jendela kereta.

Saat ia sampai di rumah, pasti akan ada yang berkomentar.

Sampai kapan kau mau terus bermimpi? Dunia ini bukan tempat kau bisa bermanja-manja! Lebih baik kau cepat sadar dan urus bisnis keluarga kita.

Itu jauh lebih baik daripada kau tidak punya pekerjaan tetap—Karsuro dengan mudah bisa membayangkan seperti apa kalimat-kalimat bernada tudingan dari kedua orangtuanya.

Katsuro menggeleng-geleng.

Belakangan ini yang dipikirkannya hanya hal-hal yang membuat depresi.

Ia membuka tas olahraganya, lalu mengambil Walkman dan headphone.

Alat yang mulai dijual tahun lalu ini dianggap sebagai terobosan produk akustik.

Dengan Walkman, semua orang bisa mendengarkan musik di mana pun mereka berada.

Ia menekan tombol “Play”, lalu memejamkan mata.

Bunyi yang kini mengalun di telinganya adalah melodi indah musik elektronika yang dibawakan oleh Yellow Magic Orchestra.

Semua anggota grup ini adalah orang Jepang, tetapi mereka lebih dulu populer di luar negeri.

Menurut cerita yang pernah didengarnya, saat grup ini tampil sebagai band pembuka The Tubes dalam konser di Los Angeles, semua penonton bersorak-sorai hingga berdiri dari kursi.

Mungkin orang-orang seperti mereka yang bisa dibilang berbakat...

Memikirkan hal itu, rasa pesimistis kembali memenuhi dadanya.

Akhirnya, kereta tiba di stasiun terdekat dari rumah orangtuanya.

Saat keluar dari stasiun, mata Katsuro langsung disambut pemandangan familier deretan toko-toko kecil di tepi jalan utama yang terhubung dengan jalan bebas hambatan.

Pengunjung toko-toko itu hanyalah langganan yang tinggal di sekitar.

Meskipun ini pertama kalinya ia kembali ke kota kelahirannya setelah berhenti kuliah, sama sekali tidak ada yang berubah dari kota ini.

Langkahnya berhenti di depan toko yang diapit toko bunga dan toko buah-sayuran.

Pintu gulung toko yang lebar bagian depannya sekitar 2 ken? itu dalam keadaan setengah terbuka.

Di atas pintu terpampang sebuah papan bertuliskan “Uomatsu”, lalu di sebelahnya ada tulisan lebih kecil berbunyi “Menyediakan Katering Ikan Segar”.

Seingat Katsuro, kakeknyalah yang pertama kali memulai usaha penjualan ikan ini.

Toko pertama berada di lokasi berbeda dan lebih luas, tapi habis terbakar di masa perang.

Setelah perang berakhir, kakeknya mendirikan toko baru di lokasi yang sekarang ini.

ken: 1,8 meter.

Katsur menyelinap masuk lewat pintu gulung.

Bagian dalam toko gelap gulita.

Ia menyipitkan mata, tetapi tidak melihat ada ikan di lemari pendingin konter penjualan.

Di musim seperti sekarang, biasanya mereka memang tidak memajang ikan-ikan segar sepanjang hari di sana karena takut cepat busuk sehingga kebanyakan disimpan di freezer.

Di dinding toko terpampang sehelai kertas bertuliskan “Tersedia Belut Kabayaki'?”.

Aroma ikan di tempat itu membangkitkan rasa nostalgia.

Karsuro terus berjalan ke bagian dalam toko.

Di sana tersedia semacam keset tempat tamu bisa melepas sepatu mereka sebelum masuk ke bangunan utama.

Pintu gesernya dalam keadaan tertutup, tapi ada secercah sinar yang menyelip keluar lewat celah pintu.

Katsur6 bisa melihat gerak-gerik orang di dalam.

Katsuro menghela napas, lalu berkata, “Aku pulang.” Tetapi kemudian ia berpikir mungkin lebih baik jika ia mengucapkan “Selamat siang.” Pintu terbuka dengan cepat.

Emiko yang mengenakan gaun terusan hitam berdiri di depannya.

Setelah sekian lama tidak bertemu, adiknya sudah tampak lebih dewasa.

Begitu melihat Katsurd, Emiko langsung mendesah lega.

“Syukurlah! Kukira kau tidak jadi datang.” “Kenapa bicara begitu? Kan sudah kubilang akan kuusahakan.” Katsurd mencopot sepatu, lalu masuk rumah.

Sekilas ia memandangi ruangan sempit itu.

“Kau sendirian, Emiko? Di mana Ayah dan Ibu?” Emiko mengernyit.

“Mereka berangkat duluan ke tempat persemayaman.

Sebenarnya aku juga harus membantu mereka, $Belut Kabayaki: Belut yang dimasak dengan cara dibelah dan dibuang isi perutnya, lalu ditusuk dengan bambu/besi kemudian dilumuri saus campuran kecap asin, mirin, gula pasir, dan sake.

tapi kupikir bagaimana kalau tidak ada orang di sini saat kau datang? Jadi kuputuskan menunggu.” Katsuro mengangkat bahu.

“Oh.” “Kak, kau tidak akan ke sana dengan penampilan seperti ini, kan?” Katsurd memang hanya mengenakan kaus dan celana jins.

“Tentu saja tidak.

Tunggu sebentar, aku mau ganti pakaian dulu.” “Yang cepat ya.” “Ya, ya.” Sambil menenteng barang-barangnya, Katsur6 naik ke lantai dua.

Di sana ada dua ruangan bergaya Jepang, masing-masing seluas 4 tatami dan 6 tatami.

Ruangan yang lebih besar adalah kamar yang digunakan Katsur6 hingga lulus SMA.

Ia menggeser pintu itu dan langsung terperanjat.

Suasana di dalam gelap gulita karena tirai kamar ditutup.

Katsur6 menekan sakelar lampu.

Di bawah cahaya putih lampu, ruangan yang pernah ia tempati ini seolah tidak tersentuh waktu.

Alat penyerut pensil tua miliknya masih tergeletak di meja belajar, poster-poster artis idola favoritnya masih terpasang di dinding.

Buku pelajaran sekolah dan buku panduan belajar gitar berjejer memenuhi lemari buku.

Katsuro pernah mendengar dari ibunya bahwa tidak lama setelah ia pindah ke Tokyo, sebenarnya Emiko ingin pindah ke kamarnya.

Ia menjawab bahwa ia tidak keberatan.

Saat itu ia sudah bertekad mengejar karier di bidang musik, sehingga tidak ada ada rencana untuk kembali ke rumah orangtuanya.

Namun, ketika melihat kondisi kamarnya yang masih seperti dulu, mungkin kedua orangtuanya masih berharap suatu saat ia akan pulang.

Memikirkan itu, hatinya jadi terasa berat.

Katsuro berganti pakaian lalu berangkat bersama Emiko.

Meskipun saat itu bulan Juli, untungnya cuaca sejuk.

Upacara persemayaman dilaksanakan di Balai Pertemuan Kota yang belum lama ini selesai didirikan.

Untuk mencapai tempat itu dibutuhkan waktu sekitar sepuluh menit dengan berjalan kaki.

Begitu memasuki area permukiman, Katsuro agak terkejut melihat perubahan di sana.

Emiko memberitahu bahwa jumlah penduduk baru memang semakin banyak.

Bahkan kota sekecil ini pun sedikit-banyak mengalami perubahan, batinnya.

“Jadi, bagaimana, Kak?” tanya Emiko sementara mereka berjalan.

Meski tahu apa yang dimaksud oleh adiknya, Katsurd sengaja mengelak.

“Apanya yang bagaimana?” “Maksudku, apa kau sudah menentukan rencana masa depan? Memang sangat bagus jika kau bisa hidup dari musik, tapi apakah kau yakin bisa sukses?” “Tentu saja.

Kalau tidak, mana mungkin aku mau melakukannya.” Hati Karsur6 serasa ditusuk saat menjawab pertanyaan Emiko.

Ia tengah mengelabui diri sendiri.

“Tapi aku tidak pernah menyangka bahwa di keluarga kita ada yang punya bakat musik.

Aku pernah menonton pertunjukanmu dan menurutku kemampuanmu lumayan.

Tapi sepertinya untuk menjadi musisi profesional itu lain cerita, ya?” Katsurd memberengut.

“Sombong sekali.

Memangnya kau tahu apa? Kau cuma orang awam.” Ia sempat mengira adiknya akan marah, tetapi Emiko tetap tenang.

“Ya, aku memang hanya orang yang tidak paham tentang bisnis musik.

Justru karena itu aku tanya.

Karena kau begitu percaya diri, kau pasti bisa bercerita lebih mendetail tentang visimu, bukan? Apa rencanamu dan bagaimana perkembangannya sejauh ini? Seberapa cepat rencana itu bisa membantumu mencari nafkah lewat musik? Aku khawatir karena sepertinya kau sama sekali tidak punya rencana.

Kurasa Ayah dan Ibu jauh lebih khawatir.” Kata-kata Emiko masuk akal, tapi Katsuro mendengus mendengarnya.

“Kalau saja semua bisa berjalan mulus sesuai rencana seperti katamu, tidak akan ada lagi orang yang harus berjuang mati-matian.

Tapi mungkin hal itu sulit dipahami oleh seseorang yang akan langsung bekerja di bank lokal setelah lulus dari universitas lokal khusus perempuan.” Ia merujuk pada Emiko.

Adiknya baru akan lulus musim semi tahun depan, tapi sudah berhasil mendapat pekerjaan dan akan langsung mulai bekerja setelah lulus nanti.

Kali ini ia yakin Emiko akan marah, tapi rupanya adiknya hanya mengembuskan napas panjang.

“Kak, pernah terpikir olehmu bahwa usia Ayah tidak lagi muda?” Katsuro terdiam.

Orangtua yang sudah berusia lanjut...

Itu sesuatu yang tidak pernah ingin ia pikirkan.

“Kira-kira sebulan lalu Ayah jatuh pingsan.

Lagi-lagi karena serangan jantung.” Katsuro berhenti melangkah, lalu menatap adiknya.

“Serius?” “Tentu saja serius.” Emiko balas menatapnya dengan tajam.

“Untungnya tidak parah.

Itu terjadi tak lama setelah kondisi Nenek bertambah buruk.” “Aku sama sekali tidak tahu.” “Ayah berpesan pada Ibu supaya tidak memberitahumu.” “Hmmm...” Bisa jadi mereka merasa tidak perlu menghubungi anak durhaka seperti dirinya.

Karena tidak bisa membantah, Katsurd diam saja.

Mereka berdua kembali melanjutkan perjalanan.

Sampai mereka tiba di balai pertemuan, Emiko juga tidak mengatakan sepatah kata pun.

Balai pertemuan adalah sebuah bangunan yang berukuran sedikit lebih besar daripada rumah penduduk pada umumnya.

Beberapa pria dan wanita yang mengenakan pakaian berkabung tampak sibuk hilir-mudik.

Ibu Katsuro, Kanako, ada di meja penerima tamu dan sedang berbincang dengan seorang laki-laki bertubuh kurus kering.

Perlahan, Katsuro mendekatinya.

Menyadari kehadiran putranya, mulut Kanako terbuka seperti ingin mengucapkan “Ah?” Katsuro ingin mengatakan “Aku pulang”, tetapi suaranya seolah lenyap saat menatap wajah lakilaki di samping ibunya.

Laki-laki itu adalah Takeo, ayah Katsuro.

Katsuro sempat mengira ayahnya orang lain karena kini tubuhnya bagai tinggal tulang-belulang.

Setelah menatap tajam putranya, Takeo membuka mulut yang semula tertutup rapat.

“Oh, jadi kau datang juga? Siapa yang memberitahu?” Nada bicaranya tanpa basa-basi.

“Aku dengar dari Emiko.” “Huh.” Takeo menatap Emiko, lalu kembali menatap putranya.

“Jadi kau masih sempat datang ke sini.” Karsuro merasa perkataan itu adalah versi singkar dari “Bukannya kau sama sekali tidak berniat pulang sebelum keinginan» mu tercapai: “Kalau Ayah ingin aku kembali ke Tokyo, aku akan balik ke sana saat ini juga.” “Katsur6,” Kanako memperingatkan.

Takeo mengibaskan tangan dengan jengkel.

“Bukan itu maksudku.

Sudahlah, aku sedang sibuk.

Jangan bicara sembarangan.” Dia bergegas meninggalkan mereka.

“Akhirnya kau pulang juga,” kata Kanako saat Katsurd masih menatap punggung ayahnya.

“Kami mengira kau tak mau datang ke sini lagi.” Sepertinya Kanako-lah yang menyuruh Emiko menelepon Katsuro .

“Aku pulang karena Emiko terus-menerus memaksaku.

Oh ya, kelihatannya Ayah lebih kurus.

Kudengar dia sempat jatuh pingsan lagi.

Apakah dia baik-baik saja?” Pundak Kanako melesak saat mendengar ucapan Katsuro.

“Ayahmu memang berpura-pura masih kuat, tapi aku bisa melihat bahwa kondisi kesehatannya sudah menurun.

Lagi pula umurnya sudah di atas enam puluh tahun.” “Setua itukah?” Konon, Takeo sudah berumur 36 tahun ketika dia menikah dengan Kanako.

Saking sibuknya membangun kembali usaha Uomatsu, ayahnya tidak sempat mencari calon istri.

Setidaknya, itulah cerita yang sering Katsuro dengar saat kecil.

Menjelang pukul 18.00, upacara persemayaman dimulai.

Kerabat mereka pun mulai berdatangan.

Karena Takeo memiliki banyak saudara, jumlah kerabat dari pihaknya saja mencapai dua puluh orang.

Sudah lebih dari sepuluh tahun lalu sejak terakhir kali Katsuro bertemu mereka.

Salah seorang pamannya—yang lebih muda tiga tahun dari Takeo—menjabat tangan Katsur6 dengan penuh rasa nostalgia.

“Wah, Katsur6, kau tampak sehat.

Kudengar kau masih tinggal di Tokyo.

Kau sibuk bekerja apa di sana?” “Ah, uhm, saya mengerjakan macam-macam hal.” Katsurd mengutuk diri sendiri karena tidak bisa menjawab dengan jelas.

“Macam-macam hal? Jangan bilang kau harus mengulang kuliah setahun gara-gara keseringan bermain-main?” Katsuro tertegun.

Rupanya kedua orangtuanya tidak pernah memberitahu kerabat mereka bahwa ia sudah berhenti kuliah.

Kanako yang berada di dekat situ seharusnya bisa mendengar percakapan barusan, tetapi ibunya malah menoleh ke arah lain tanpa berkata apa-apa.

Rasa malu bergejolak dalam dirinya.

Jadi Takeo dan Kanako tidak sanggup memberitahu orang lain tentang putra mereka yang sedang meniti karier di bidang musik.

Namun, Katsuro sadar bahwa selama ini dirinya sendiri juga tak pernah bisa mengakuinya.

Apa ia akan berdiam diri dan tak bisa berkata-kata scperti orangtuanya? Tidak, pikirnya.

Aku takkan membiarkan itu.

Karsuro menjilat bibir, kemudian menatap lurus-lurus wajah pamannya.

“Saya sudah berhenti.” “Heh?” Pamannya terheran-heran.

“Saya sudah berhenti kuliah.” Ekor matanya mengamati tubuh ibunya yang seakan berubah kaku sementara ia terus melanjutkan, “Saya bercita-cita berkarier di dunia musik.” “Mu...sik?” Ekspresi pamannya seperti orang yang belum pernah mendengar kata itu.

Pembicaraan mereka terhenti karena acara sudah dimulai.

Dengan wajah kebingungan, paman Katsuro menemui kerabar yang lain dan langsung terlibat pembicaraan serius.

Pasti mereka sedang bertanya-tanya apakah benar Katsurs sudah berhenti kuliah.

Dengan dimulainya pembacaan sutra, acara persemayaman berlangsung secara resmi sesuai tradisi.

Katsuro ikut menyalakan dupa di depan foto almarhumah neneknya yang sedang tersenyum ramah.

Ia teringat betapa dulu neneknya sangat menyayanginya saat ia masih kecil.

Andai saja masih hidup, neneknya pasti akan mendukungnya.

Setelah acara berakhir, mereka pindah ke ruangan lain di mana sudah disediakan sushi, bir, dan lain-lain.

Sejauh mata memandang, ruangan itu dipenuhi oleh para kerabat.

Karena Nenek sudah hampir berusia sembilan puluh tahun saat meninggal, raut kesedihan di wajah-wajah mereka tidak terlalu kentara.

Justru atmosfer yang menyelimuti ruangan itu lebih tepat disebut sebagai acara kumpul-kumpul anggota keluarga yang sudah lama tidak bertemu.

Di tengah keriuhan obrolan, tiba-tiba saja terdengar teriakan seseorang.

“Berisik! Apa yang terjadi di rumahku bukan urusanmu!” Bahkan tanpa melihatnya langsung, Katsur6 langsung mengenali itu suara Takeo.

“Rumahmu? Sebelum pindah ke lokasi sekarang, toko itu ada di rumah almarhum Ayah.

Aku juga pernah tinggal di sana!” Ternyata lawan bicaranya adalah paman yang tadi.

Wajah keduanya merah, mungkin akibat cfek sake.

“Toko yang dibangun almarhum Ayah sudah habis terbakar saat masa perang.

Karena akulah pendiri toko yang sekarang, kau tak punya alasan untuk bicara ini-itu.” “Kau bicara apa? Kalau bukan karena nama Uomatsu, kau tak bakal bisa membuka ulang toko.

Aku tahu kau mewarisi papan nama itu dari Ayah, tapi memangnya kaupikir bisa menutup usaha itu tanpa berunding dengan kami? Toko itu kebanggaan Ayah.” “Siapa bilang aku akan menutup toko? Aku masih berniat melanjutkan.” “Dengan kondisi tubuh seperti sekarang, sampai kapan kau bisa melakukannya? Bahkan untuk mengangkut kotak berisi ikan tuna saja kau tidak bisa.

Lagi pula kau ini aneh karena mengirim putramu satu-satunya berkuliah di Tokyo.

Memangnya penjual ikan butuh pendidikan tinggi seperti itu?” “Hah! Serendah itukah profesi keluarga kita di matamu?” Takeo bangkit dari kursi.

Pertengkaran sengit nyaris saja meledak seandainya orangorang di sekitar mereka berdua tidak bergegas melerai.

Akhirnya Takeo kembali duduk.

“..Dasar sinting! Apa yang dipikirkannya?” Sang paman menggerutu sambil menenggak sake untuk menenangkan diri.

“Berhenti kuliah hanya untuk jadi penyanyi? Benar-benar ide bodoh!” “Diam! Urus saja urusanmu sendiri!” balas Takeo.

Melihat gejala pertengkaran akan kembali memanas, bibi Katsuro dan keluarga yang lain segera membawa sang paman ke kursi lain.

Walaupun pertengkaran mereka berhasil dicegah, atmosfer penuh tekanan di ruangan itu tidak bisa diredam.

“Aku pamit dulu.” Salah seorang kerabat mereka bangkit dari kursi, diikuti yang lain.

“Kalian pulang saja duluan,” kata Takeo pada Kanako dan Katsur6.

“Biar aku yang mengawasi dupa.” “Kau yakin? Jangan memaksakan diri,” kata Kanako cemas.

“Jangan perlakukan aku seperti orang penyakitan!” Takeo membalas jengkel.

Katsurd meninggalkan balai pertemuan itu bersama Kanako dan Emiko, tapi baru berjalan beberapa langkah, ia berhenti.

“Maaf, tapi kalian berdua pulang saja lebih dulu,” katanya pada ibu dan adiknya.

“Ada apa? Ada barang tertinggal?” tanya Kanako.

“Tidak, bukan begitu...” Katsuro bergumam “Kakak ingin bicara dengan Ayah?” Katsurd mengangguk.

“Kupikir ada baiknya mengobrol sedikit dengannya.” “Baiklah.

Ayo kita pulang saja, Bu.” Namun, Kanako tetap bergeming.

Selama beberapa saat dia hanya menunduk seolah tenggelam dalam pikirannya sebelum akhirnya mengangkat kepala dan menatap Katsur6.

“Ayah tidak pernah marah padamu, Katsurd.

Menurutnya, kau bebas melakukan apa saja yang kauinginkan, asalkan kau bahagia.” “..Benarkah?” “Karena itulah tadi dia sampai bertengkar dengan pamanmu.” “Ya...” Katsuro juga merasakannya.

Diam! Urus saja urusanmu sendiri! Dari kata-kata yang ditujukan pada pamannya tadi, ayahnya seperti ingin menunjukkan pada dunia luar bahwa dia tidak keberatan putra semata wayangnya berbuat sesuka hati.

Itulah alasan Katsur6 ingin mendengar langsung apa sebenarnya maksud sang ayah.

“Ayahmu ingin kau bisa meraih impianmu,” ujar Kanako.

“Dan dia tidak mau jadi penghalang.

Dia tidak ingin kau sampai membuang impianmu gara-gara penyakitnya.

Tidak masalah kalau kau ingin bicara dengannya, tapi jangan lupakan kata-kata Ibu barusan.” “Aku mengerti.” Setelah mengamati ibu dan adiknya berjalan pergi, Katsuro berbalik.

Saat naik kereta di Stasiun Tokyo, ia sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa situasinya akan menjadi seperti ini.

Sebelum berangkat, ia sudah mempersiapkan diri untuk dimarahi kedua orangtuanya dan juga disalahkan oleh para kerabat, tapi orangtuanya malah membelanya.

Katsur6 lantas teringat saat mereka meninggalkan apartemennya tiga tahun lalu.

Padahal mereka gagal meyakinkan putra mereka, tapi mengapa kini mereka malah berubah pendapat? Balai pertemuan nyaris gelap gulita.

Namun, tampak seberkas cahaya lampu dari jendela belakang.

Alih-alih menuju pintu depan, Katsurc pelan-pelan berjalan mendekati jendela.

Jendela itu dilapisi kertas pelapis sehingga pemandangan di dalam tak terlihat, tapi jendelanya sedikit terbuka.

Lewat celah itu, ia mengintip ke dalam.

Itu bukan ruangan yang tadi digunakan untuk acara persemayaman, melainkan ruangan untuk peti jenazah.

Batang-batang dupa dinyalakan di altar depan peti.

Di barisan paling depan deretan kursi, Takeo duduk seorang diri.

Ketika Katsuro bertanya-tanya dalam hati apa yang sedang dilakukan ayahnya, Takeo bangkit dari kursi.

Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam koper yang ada di sebelahnya.

Sesuatu yang dibungkus kain putih.

Sambil mendekati peti jenazah, Takeo perlahan membuka kain putih itu.

Dari dalam kain muncul kilaran cahaya.

Saat itu juga, Katsurd tahu apa benda itu.

Pisau.

Pisau dapur yang sudah tua.

Katsurd sudah terlalu sering mendengar tentang riwayatnya.

Pisau itu sudah digunakan oleh kakek Katsur6 sejak pertama kali beliau mendirikan Uomatsu.

Saat Takeo ditetapkan sebagai ahli warisnya, benda itu juga ikut diserahkan padanya.

Semasa muda, memang pisau itulah yang Takeo gunakan untuk belajar memotong ikan.

Takeo menggelar kain putih di atas peti jenazah dan meletakkan pisau itu di atasnya.

Setelah melihat foto jenazah ibunya, dia menyatukan kedua telapak tangan, lalu mulai berdoa.

Dada Katsur6 terasa sesak melihat sosok sang ayah.

Ia bisa menebak apa yang sedang diutarakan Takeo kepada almarhumah lewat doa.

Takeo sedang meminta maaf.

Karena toko kebanggaan warisan sang ayah harus tutup.

Karena tidak bisa mewariskan pisau tua itu pada putra semata wayangnya.

Katsuro menjauh dari jendela.

Ia tidak berjalan menuju pintu depan, melainkan langsung meninggalkan tempat itu.

Kini Katsuro merasa prihatin dengan kondisi sang ayah.

Untuk pertama kalinya, perasaan bersalah muncul dari lubuk hati terdalamnya.

Bagaimanapun, ia harus berterima kasih pada sang ayah yang telah memaafkan perbuatan egois putranya sendiri.

Akan tetapi, apakah ia bisa terus bertahan hidup seperti ini? Seperti kata pamannya, kondisi kesehatan Takeo semakin memburuk.

Tidak ada yang tahu sampai kapan ayahnya bisa terus menjalankan bisnis.

Mungkin Kanako bisa menggantikan sementara, tapi dia juga harus merawat Takeo.

Bukan tidak mungkin mereka harus menutup toko dengan mendadak.

Kalau itu yang terjadi, lantas bagaimana? Emiko akan mulai bekerja pada musim semi mendatang.

Dia bisa pulang ke rumah dengan mudah karena ia bekerja di bank lokal.

Tapi, apa penghasilannya cukup untuk merawat kedua orangtua mereka? Bagaimana sekarang? Haruskah Katsur6 membuang impiannya menjadi musisi supaya bisa menjadi ahli waris Uomatsu? Itu memang langkah yang paling realistis, tapi bagaimana dengan impian yang telah dipupuknya selama bertahun-tahun? Menurut Kanako, bahkan Takeo tidak ingin Katsurd membuang cita-citanya gara-gara kondisi kesehatan sang ayah.

Katsurd mendesah panjang, memandang ke sekelilingnya, lalu berhenti berjalan.

Ia mendapati diri berada di wilayah yang tidak ia kenal.

Mungkin ia tersesat karena rumah-rumah baru di arca itu membuatnya bingung.

Ia berlari kecil memutari wilayah itu sampai akhirnya tiba di jalan yang sudah tidak asing lagi.

Kini ia berada di dekat lahan kosong yang dulu sering menjadi tempatnya bermain saat masih kanak-kanak.

Jalan itu mengarah ke sebuah tanjakan kecil.

Perlahan, Katsurd mulai berjalan sampai melihat sebuah bangunan familier di sisi kanan, sebuah toko kelontong tempatnya dulu sering membeli alar-alat tulis.

Tidak salah lagi.

Di papan toko yang menghitam akibat jelaga, tertulis “Toko Kelontong Namiya”.

Selain membeli alat tulis, ia juga memiliki kenangan lain di tempat ini.

Kakek pemilik toko tersebut sering mendengarkan curahan hati Katsuro dan memberinya saran.

Tentu saja kalau sekarang dipikir-pikir, semua masalah yang diceritakannya saat itu bukan masalah serius.

“Bagaimana cara supaya bisa meraih peringkat satu di lomba lari Pekan Olahraga Sekolah?” atau “Bagaimana cara supaya bisa dapat lebih banyak angpao Tahun Baru?” Tetap saja Kakek Namiya menjawab pertanyaan-pertanyaannya dengan sungguh-sungguh.

Menurut Kakek Namiya, cara untuk menambah jumlah uang angpao adalah dengan “menciptakan hukum yang menetapkan bahwa uang hadiah harus dimasukkan ke kantong transparan”.

Alasannya? “Supaya para orang dewasa yang gengsian tidak berani memasukkan jumlah yang sedikit”.

Bagaimana kabar kakek itu sekarang? Katsuro membatin sambil menatap ke arah toko dengan penuh nostalgia.

Pintu gulung toko yang sudah berkarat dalam keadaan tertutup.

Tidak ada cahaya yang memancar dari arah jendela lantai dua yang dulu adalah kediaman sang pemilik toko.

Katsuro memutar arah ke gudang yang ada di sebelah toko.

Dulu ia sering mencorat-coret dinding gudang ini, tapi Kakek Namiya sama sekali tidak marah dan hanya berpesan agar ia menggambar sesuatu yang lebih bagus.

Sayangnya Katsuro tidak bisa menemukan coretan-coretan itu sekarang.

Sudah sepuluh tahun lebih berlalu, mungkin coretan itu pudar akibat cuaca.

Tiba-tiba, terdengar bunyi decit rem sepeda dari arah depan.

Katsuro mengintip dari bayang-bayang bangunan gudang.

Seorang wanita muda turun dari sepeda, lalu memiringkan tas yang dibawanya untuk mengeluarkan sebuah benda.

Kemudian diselipkannya benda itu lewat lubang surat yang terpasang pada pintu gulung Toko Kelontong Namiya.

“Eh?” Melihat adegan itu, Katsuro refleks mengeluarkan suara.

Sebenarnya suaranya tidak keras, tapi itu sudah cukup untuk menyulut kekagetan di tengah suasana sesunyi ini.

Ketakutan, wanita itu menatap Katsuro dan langsung terburu-buru menaiki kembali sepedanya.

Mungkin dia menganggap Katsur6 orang mesum.

“Tunggu, tolong tunggu sebentar.

Aku bukan orang jahat.” Katsuro melompat keluar sambil melambai-lambaikan tangan.

“Aku bukan sedang bersembunyi, hanya sedang melihat-lihat bangunan ini karena sudah lama tidak kemari.” Wanita muda yang sudah siap mengayuh pedal sepedanya itu kini menatapnya dengan waswas.

Rambutnya yang panjang diikat ke belakang.

Wajahnya dirias tipis, tapi terlihat menawan.

Tampaknya dia sebaya dengan Katsuro, mungkin sedikit lebih muda.

Dia mengenakan kaus dan kalau melihat lengannya yang berotot, sepertinya dia atlet atau semacamnya.

“Kau memergoki aku, ya?” tanya wanita itu.

Suaranya agak parau.

Karena tidak mengerti, Katsurd diam saja.

“Maksudku, apa barusan kaulihat apa yang kulakukan?” Nadanya seperti menuduh.

“Aku hanya melihatmu memasukkan semacam amplop...” Mendengar jawaban Katsuro, dahi wanita itu berkerut.

Kemudian dia menggigit bibir bawah dan mernalingkan wajah sebelum akhirnya kembali menatap Katsuro .

“Aku punya satu permintaan.

Tolong lupakan apa yang tadi kaulihat, termasuk soal diriku.” Wanita itu pamit lalu mulai mengayuh sepedanya.

“Tunggu! Tolong jelaskan satu hal?” Katsur6c mengejarnya dan mengadang di depan sepeda wanita itu.

“Jangan-jangan amplop tadi berisi surat permintaan konsultasi?” Wanita itu mengangkat dagu dan menatapnya dengan sorot curiga.

“Siapa kau?” “Seseorang yang cukup tahu tentang toko ini.

Waktu masih kecil, aku juga sering minta saran kepada si kakek...” “Siapa namamu?” Alis Katsuro berkerut.

“Sebelum menanyakan nama orang lain, bukankah kau yang seharusnya lebih dulu menyebutkan namamu?” Masih duduk di atas sepedanya, wanita itu mendesah.

“Aku tak bisa menyebutkan namaku.

Yang kumasukkan tadi bukan surat permintaan konsultasi, tapi surat ucapan terima kasih.” “Ucapan terima kasih?” “Lebih dari setengah tahun lalu, aku pernah berkonsulrasi dan beliau memberikan saran yang sangat berharga.

Aku ingin berterima kasih karena berkat saran itu, masalahku jadi terpecahkan.” “Berkonsultasi? Di Toko Kelontong Namiya ini? Apa kakek itu masih tinggal di sini?” tanya Katsurd.

Tatapannya bolak-balik terarah ke wajah wanita itu dan ke bangunan toko yang sudah reyot di samping mereka.

Wanita itu menggeleng.

“Soal beliau masih tinggal di sini atau tidak, aku tidak tahu.

Tapi saat mengirimkan surat setengah tahun lalu, keesokan harinya aku menerima surat balasan di dalam kotak penyimpanan botol susu.” Begitu.

Jadi bila kita memasukkan surat permintaan konsultasi pada malam hari lewat lubang surat di pintu gulung, keesokan paginya surat balasannya sudah ada di dalam kotak susu.

“Kira-kira sekarang kakek itu masih menerima permintaan konsultasi tidak, ya?” “Entahlah.

Setelah terakhir kali menerima nasihatnya, cukup lama aku tidak menghubunginya lagi, jadi mungkin saja beliau tidak membaca surat terima kasihku.

Tapi bagiku itu bukan masalah.” Sepertinya nasihat yang diterima wanita ini benar-benar menolongnya.

“Maaf,” kata wanita itu.

“Sampai di sini saja ya.

Orang-orang di rumah bisa khawatir kalau aku sampai terlambat pulang.” “Ah, maaf, silakan.” Begitu Karsuro bergeser dari depan sepeda, wanita muda itu langsung mengayuh pedal sepeda dengan kuat.

Setelah sepeda itu bergerak, dia langsung menambah kecepatan.

Tidak sampai sepuluh detik kemudian dia sudah lenyap dari pandangan Katsur6.

Katsuro kembali menatap Toko Kelontong Namiya.

Sama sekali tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain.

Jika benar ada surat balasan tentang permintaan konsultasi dari sini, satusatunya penjelasan yang bisa Katsurd temukan adalah tempat ini dihuni hantu.

Ia mendengus.

Benar-benar konyol! Mana mungkin hal seperti itu bisa terjadi.

Sambil menggeleng-geleng pelan, ia berjalan pergi.

Setibanya di rumah, ia mendapati Emiko di ruang keluarga sendirian.

Adiknya bilang tidak bisa tidur, jadi memutuskan untuk minum-minum sedikit.

Tampak botol wiski dan gelas di meja makan.

Ternyata adiknya memang sudah dewasa.

Kanako sudah tidur lebih dulu.

“Sudah bicara dengan Ayah?” tanya Emiko.

“Belum.

Aku tidak jadi kembali ke balai pertemuan.

Barusan aku hanya berjalan-jalan sebentar.” “Jalan-jalan? Selarut ini? Ke mana saja?” “Yah, pokoknya ke sana-sini.

Oh ya, kau masih ingat Toko Kelontong Namiya?” “Namiya? Aku ingat.

Toko itu ada di lokasi yang aneh.” “Apakah masih ada yang tinggal di situ?” “Apa?” Emiko terdengar bingung.

“Kurasa tidak mungkin.

Setelah toko itu ditutup belum lama ini, tempat itu selalu dalam keadaan kosong.” “Hmmm...

Jadi begitu.” “Kenapa? Ada apa dengan toko itu?” “Tidak ada apa-apa.” Emiko mengernyit curiga.

“Jadi, bagaimana selanjutnya, Kak? Apakah kau akan mengabaikan Uomatsu?” “Jangan bicara seperti itu.” “Tapi benar, bukan? Kalau kau tidak mau mewarisinya, satu-satunya cara hanya menutupnya.

Aku tidak keberatan, tapi bagaimana dengan Ayah dan Ibu? Jangan bilang kalau kau juga akan mengabaikan mereka?” “Jangan cerewet.

Aku sedang memikirkannya.” “Apa yang kaupikirkan? Beritahu aku.” “Sudah kubilang jangan cerewet.” Katsur6 berlari menaiki tangga, lalu mengempaskan diri ke tempat tidur, masih mengenakan jas.

Bermacam hal berkelebat dalam benaknya, tapi sepertinya pengaruh alkohol membuatnya tak bisa menata pikirannya.

Setelah beberapa saat, ia pelan-pelan bangkit dari tempat tidur kemudian duduk menghadap meja belajar.

Ia membuka laci meja dan mengambil sehelai kertas yang biasa dipakai untuk menulis laporan sekolah sekaligus sebuah bolpoin.

Ia membuka kertas yang terlipat itu dan mulai menulis.

Kepada Toko Kelontong Namiya...

Upacara pemakaman keesokan harinya berjalan lancar.

Raut wajah para pelayat tidak jauh berbeda dari kemarin.

Para kerabat datang lebih awal, tapi akibat kejadian semalam, mereka bersikap agak dingin kepada Katsuro.

Paman yang kemarin menyapanya juga tidak mendekatinya.

Selain kerabat, kehadiran para pemilik toko di distrik pertokoan serta para anggota perhimpunan warga setempat menarik perhatiannya.

Mereka semua adalah orang-orang yang Katsurd kenal sejak masih kecil.

Katsurd melihat sosok teman sekelasnya di antara mereka.

Ia sempat tidak mengenalinya karena temannya itu berpakaian resmi, tapi jelas pria itu teman sekelasnya di SMP.

Sama seperti Uomatsu, keluarga temannya membuka usaha pembuatan hanko” di distrik pertokoan.

Katsuro teringat cerita hidup temannya itu.

Ayah teman sekelasnya itu meninggal saat dia masih kecil, dan dia mempelajari teknik mengukir stempel dari kakeknya.

Setelah lulus SMA, dia langsung ikut membantu di toko keluarga.

Itu berarti hari ini dia hadir sebagai perwakilan toko keluarganya.

Setelah menyalakan dupa, saat lewat di depan Katsurd dan keluarganya, temannya itu menunduk dengan khidmat.

Penampilan temannya itu membuatnya terlihat lebih tua daripada Katsur6.

Setelah upacara selesai, peti jenazah dibawa keluar dari ruangan, dilanjutkan dengan prosesi kremasi.

Setelah itu hanya anggota keluarga dan kerabat yang kembali ke balai pertemuan untuk mengadakan ritual shonanoka'?.

Terakhir, Takeo memberi salam di depan para kerabat, sekaligus menandai berakhirnya prosesi acara.

Setelah mengantar para kerabat pulang, Katsur6 dan keluarga mulai berkemas.

Banyak sekali barang yang harus dibereskan.

MHanko: stempel nama keluarga yang digunakan sebagai pengganti tanda tangan pada dokumen-dokumen resmi.

'$Shonanoka: pembacaan doa di hari ketujuh meninggalnya sescorang.

Katsuro membuka pintu bagasi mobil van milik toko supaya bisa memasukkan perlengkapan altar dan bunga.

Akibatnya, kursi di mobil jadi sempit.

Takeo masuk dan duduk di kursi pengemudi.

“Katsuro, duduklah di kursi depan,” Kanako menyuruh.

Katsurd menggeleng.

“Tidak usah, Ibu saja.

Aku akan jalan kaki.” Kanako terlihat kecewa.

Ibunya pasti menyangka Katsuro enggan duduk di sebelah ayahnya.

“Aku harus mampir ke suatu tempat.

Aku akan segera pulang.” “Hmmm...” Kanako dan anggota keluarga lainnya tampak tidak puas mendengar penjelasannya.

Katsuro membelakangi mereka dan bergegas pergi.

Bisa repot kalau mereka bertanya lebih lanjut.

Sambil berjalan, ia mengecek jam tangannya.

Sebentar lagi pukul 18.00.

Tengah malam kemarin, ia meninggalkan rumah dan pergi ke Toko Kelontong Namiya dengan sebuah amplop cokelar dijejalkan ke saku celana jinsnya.

Amplop itu berisi lembaran kertas yang memuat lengkap semua masalah yang dihadapinya saat ini.

Tentu saja Katsur6 sendiri yang menulisnya.

Kendati tidak menyebutkan namanya secara spesifik, ia berusaha menceritakan semua fakta tanpa ada yang disembunyikan, dan meminta saran apa yang sebaiknya ia lakukan.

Haruskah ia terus mengejar impiannya? Atau haruskah ia melupakannya dan mewarisi bisnis keluarga? Kurang lebih begitulah garis besar isi suratnya.

Sebenarnya, begitu bangun pagi tadi, ia sempat merasa malu sendiri.

Kebodohan macam apa yang telah ia lakukan? Lagi pula rumah itu sudah tidak dihuni.

Jangan-jangan pikiran wanita yang semalam ditemuinya itu agak terganggu.

Jika benar, malah bisa repot.

Katsuro tidak ingin orang lain sampai membaca suratnya.

Di lain pihak, ia masih berharap.

Bagaimana jika ternyata ia juga menerima surat balasan berisi saran seperti wanita itu? Masih diliputi keraguan, Katsurd mulai mendaki tanjakan sampai akhirnya bisa melihat bangunan tua Toko Kelontong Namiya itu.

Semalam, ia tidak bisa melihatnya dengan jelas karena terlalu gelap, tetapi rupanya dinding bangunan yang aslinya dicat krem kini berubah keabu-abuan.

Ada gang kecil di antara bangunan toko dan gudang, satusatunya jalan untuk memutar ke belakang rumah.

Berhati-hati supaya pakaiannya tidak kotor terkena dinding, Katsurd terus berjalan.

Pintu khusus untuk penghuni rumah ada di belakang, dengan sebuah kotak kayu untuk menyimpan botol susu sapi tergantung tepat di sebelahnya.

Katsuro menelan ludah, lalu menarik tutup kotak itu.

Walau agak sedikit keras, akhirnya kotak itu terbuka.

Ia mengintip isinya, melihat sebuah amplop cokelat, lalu menjulurkan tangan untuk mengambilnya.

Kelihatannya si pengirim surat memakai kembali amplop yang dipakai Katsuro.

Pada kolom alamat tercantum Untuk Tuan Artis Toko Ikan yang ditulis dengan bolpoin hitam.

Katsuro tercengang.

Apa masih ada orang yang tinggal di sini? Ia berdiri di hadapan pintu belakang dan memasang telinga, tapi tidak bisa mendengar suara apa pun.

Atau jangan-jangan si pengirim surat ini tinggal di tempat lain dan setiap malam datang untuk memeriksa apakah ada surat datang? Itu lebih masuk akal, tapi buat apa repot-repot melakukan itu? Dengan kebingungan, Katsuro meninggalkan tempat itu.

Apa pun penjelasannya, itu tidak penting.

Toko Kelontong Namiya pasti punya alasan tertentu untuk melakukan itu.

Yang lebih membuatnya penasaran sekarang adalah isi surat balasan yang baru saja diterimanya.

Sambil mencengkeram amplop tersebut, Katsurc berjalan mengelilingi wilayah sekitar, ingin mencari tempat yang tenang untuk membaca surat.

Akhirnya ia menemukan sebuah taman kecil.

Di sana hanya ada ayunan, papan perosotan, dan kotak pasir.

Tidak ada tandatanda kehadiran orang lain.

Katsurc duduk di bangku taman yang ada di sudut, menarik napas panjang beberapa kali, lalu membuka amplop.

Isinya adalah sehelai kertas surat.

Dengan jantung berdebar-debar, ia mulai membaca.

Kepada Tuan Artis Toko Ikan, Saya sudah membaca surat Anda.

Terima kasih karena sudah berbagi keluhan yang angkuh dan tidak tahu malu ini dengan saya.

Baiklah, jadi Anda putra tunggal pemilik toko ikan yang sudah berjalan selama beberapa generasi? Artinya Anda akan mewarisi toko itu tanpa perlu melakukan apa pun, bukan? Toko itu pasti sudah memiliki langganan dan reputasi sehingga Anda tidak perlu banting tulang untuk menarik pelanggan baru.

Kalau boleh tanya, apakah di sekitar Anda ada orang yang kesulitan mencari pekerjaan? Jika tidak, berarti dunia Anda memang sangat menyenangkan.

Ingat kata-kata saya.

Tiga puluh tahun mendatang, Anda tidak akan bisa bicara sesantai itu.

Akan tiba masa di mana sekadar lulus dari universitas belum tentu menjamin Anda mendapat pekerjaan.

Masa itu pasti akan tiba.

Saya berani bertaruh.

Apakah Anda mengundurkan diri di tengah-tengah masa kuliah? Apakah Anda berhenti begitu saja? Anda membuang kesempatan kuliah, padahal orangtua Anda sudah mengeluarkan uang? Waaaah...

Dan semua ini demi musik.

Jadi Anda bercita-cita menjadi artis? Anda berniat mengabaikan toko yang sudah berjalan selama beberapa generasi dan memilih bermain gitar? Ckckck...

Saya jadi malas menawarkan nasihat apa pun, pasti Anda akan tetap berbuat sesuka Anda.

Saya yakin ada baiknya jika manusia yang hidup dengan pikiran naif sesekali dihadapkan dengan pengalaman pahit.

Namun, mengingat saya mewakili nama Toko Kelontong Namiya, kali ini saya akan memberikan jawaban.

Saran saya, singkirkan gitarmu dan segeralah menjadi pewaris toko ikan.

Bukankah kondisi kesehatan ayahmu sedang buruk? Kau tidak akan bisa makan hanya lewat musik, karena yang bisa melakukannya hanya orang-orang istimewa yang berbakat.

Kau tidak seperti mereka, jadi berhentilah bermimpi seperti orang bodoh.

Lihatlah kenyataan yang ada.

Toko Kelontong Namiya Tangan Katsurd gemetar selagi membaca isi surat.

Gemetar marah.

Apa-apaan? pikir Katsuro.

Kenapa kata-katanya sekejam itu? Berhenti main musik dan menjadi ahli waris bisnis keluarga—Katsur6 sudah membayangkan akan menerima jawaban itu.

Itu adalah solusi yang realistis dan aman.

Tapi, bukankah orang yang membalas suratnya tidak perlu sampai menulis seperti itu? Kata-kata dalam surat itu sangat kasar.

Katsurd langsung menyesal meminta saran.

Ia meremas kertas dan amplop surat itu kemudian menjejalkannya ke saku celana sebelum bangkit dari bangku.

Ja berniat membuangnya begitu menemukan tempat sampah.

Namun, selama perjalanan pulang ia tidak melihat satu tempat sampah pun sehingga kertas dan amplop itu masih tetap di sakunya sampai di rumah.

Kedua orangtuanya dan Emiko sedang menyusun peralatan di depan altar keluarga.

“Kau ke mana saja? Baru pulang selarut ini,” tanya Kanako.

“Ah, ada urusan sebentar...” Katsurd menjawab sambil menaiki tangga.

Setibanya di kamar, ia berganti baju, kemudian melemparkan gumpalan kertas dan amplop itu ke tempat sampah, tapi ia lantas berubah pikiran dan kembali memungutnya.

Ia membuka lembaran kertas yang sudah berkerut-kerut itu dan membacanya isinya sekali lagi.

Bahkan setelah beberapa kali membacanya, isi surat itu masih sama parahnya.

Sebenarnya ia ingin mengabaikan surat itu, tapi ada beberapa hal yang tidak tahan ingin ia luruskan karena kelihatannya orang yang menulis surat ini telah salah paham mengenai dirinya.

Ditilik dari kalimat “toko ikan yang sudah berjalan selama beberapa generasi”, mungkinkah siapa pun yang menulis jawaban surat itu membayangkan sebuah toko yang megah? Bagaimana kalau dia mengira Katsur6 adalah tipikal anak manja yang dibesarkan di keluarga kaya raya? Lalu kalimat “Lihatlah kenyataan yang ada”.

Sampai detik ini, Katsuro tidak pernah satu kali pun mengabaikan kenyataan yang ada di depan mata.

Tebakannya, orang yang membalas suratnya tidak memahami apa sebenarnya yang membebani pikirannya.

Katsuro kembali duduk menghadap meja belajar.

Ia membuka laci dan mengeluarkan kertas serta bolpoin.

Setelah menulis selama beberapa saat, berikut isi suratnya: Kepada Toko Kelontong Namiya, Terima kasih banyak untuk jawaban Anda.

Sejujurnya saya terkejut karena tidak menyangka akan menerima surat balasan, tapi saat membaca isinya, saya sangat kecewa.

Jelas Anda tidak paham apa yang menjadi beban pikiran saya.

Saya tahu betul bahwa mengambil alih bisnis keluarga adalah pilihan paling bijak, bahkan tanpa perlu diberitahu oleh Anda.

Namun, untuk saat ini, yang “paling bijak” belum tentu menjamin bahwa itu keputusan paling baik untuk jangka panjang.

Karena sepertinya Anda telah salah paham, perlu saya jelaskan bahwa toko ikan kami hanyalah toko kecil seluas 2 ken.

Jangankan sukses, bahkan penghasilan kami nyaris tidak cukup untuk biaya hidup sehari-hari.

Meski saya mengambil alih bisnis toko tersebut, belum tentu masa depan saya akan terjamin.

Bukankah dalam situasi demikian wajar bila saya mempertimbangkan memilih karier lain? Seperti yang saya singgung di surat sebelumnya, kini kedua orangtua saya mendukung keputusan saya sepenuhnya.

Mereka berdua akan sangat sedih jika saya membuang impian itu sekarang.

Satu lagi hal yang perlu diluruskan: saya selalu menganggap musik sebagai profesi yang harus dijalani dengan serius, bukan sekadar hobi.

Entah itu menyanyi, tampil di konser, ataupun menciptakan lagu, saya ingin mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari dari bidang itu.

Tapi kelihatannya Anda menganggap saya hanya melakukannya untuk bersenang-senang, bukan? Itukah alasan Anda menggunakan kata-kata “Artis Toko Ikan? Soal itu, saya harus membantah.

Saya bercita-cita menjadi artis profesional, bukan sekadar berangan-angan.

Saya ingin jadi musisi.

Saya tahu hanya orang-orang berbakat yang bisa sukses dalam bidang tersebut, tapi mengapa Anda begitu yakin kalau saya tidak berbakat? Anda belum pernah mendengar lagu-lagu saya, bukan? Tolong jangan mengambil kesimpulan dari dugaan semata.

Selama belum dicoba, kita tidak akan tahu bagaimana hasilnya.

Saya tunggu jawaban Anda.

Musisi Toko Ikan “Kapan kau kembali ke Tokyo?” Saat itu sehari setelah pemakaman sang nenek.

Katsur6 sedang menyantap makan siang saat Takeo masuk dari arah toko dan mengajukan pertanyaan itu, bandana handuk terlilit di kepalanya.

Hari ini Uomatsu kembali beroperasi seperti biasa.

Pagi-pagi sekali, dari jendela kamarnya Katsurd memperhatikan ayahnya pergi dengan mengendarai mobil van untuk mengambil stok ikan.

“Belum kuputuskan,” gumam Katsurs.

“Memangnya tidak apa-apa kalau kau bersantai saja di sini? Apa perjalanan karier dalam dunia musik itu sebegitu mudahnya?” “Aku bukannya sedang bersantai.

Banyak hal yang harus kupikirkan.” “Misalnya apa?” “Ayah tak perlu tahu.” “Padahal tiga tahun lalu kau melontarkan kata-kata tajam seperti “Meskipun harus mati, aku akan melakukan semua yang bisa kulakukan”.” “Sudahlah! Aku mengerti.

Ayah tidak perlu mengingatkan aku.” Katsurd meletakkan sumpitnya lalu berdiri.

Emiko mengawasi mereka dengan cemas dari dapur.

Menjelang sore, Katsuro meninggalkan rumah.

Tentu saja tujuannya adalah Toko Kelontong Namiya.

Semalam, ia telah mengirim suratnya yang kedua lewat jendela kecil yang ada di pintu gulung.

Begitu tutup kotak penyimpanan susu dibuka, ia kembali menemukan amplop yang kemarin digunakannya untuk mengirim surat.

Jelas bahwa orang yang membalas suratnya itu datang setiap hari untuk mengecek apakah ada surat yang datang atau tidak.

Katsurd membaca surat tersebut di taman yang sama dengan kemarin.

Berikut isi suratnya: Kepada Tuan Musisi Toko Ikan, Yang namanya toko tetaplah toko, tidak peduli besar atau kecil.

Berkat toko itulah Anda bisa melanjutkan pendidikan di universitas.

Andai benar bisnis sedang lesu, bukankah sudah menjadi tugas Anda sebagai seorang putra untuk berbuat sesuatu? Anda juga bercerita tentang dukungan kedua orangtua Anda.

Di mana-mana, orangtua yang baik adalah orangtua yang selalu mendukung apa yang dilakukan anak-anak mereka selama itu bukan tindakan kriminal.

Bagaimana jadinya bila Anda menyalahgunakan dukungan itu? Sejak awal saya tidak melarang Anda bermusik.

Tapi bolehkah saya sarankan untuk melakukannya sebagai hobi saja? Sejujurnya, saya yakin Anda memang tidak berbakat.

Saya sudah tahu itu walaupun belum pernah mendengarkan lagu-lagu Anda.

Bagaimana tidak? Anda sudah berjuang selama tiga tahun, tapi usaha Anda belum juga membuahkan hasil.

Itulah bukti bahwa Anda tidak berbakat.

Coba lihat orang-orang yang sukses, mereka semua tidak membutuhkan waktu lama untuk menarik perhatian.

Setiap orang pasti akan menyadari kehadiran sosok yang memiliki faktor istimewa seperti mereka.

Tapi tak ada seorang pun yang mengeubris Anda.

Terimalah kenyataan itu.

Anda tidak mau disebut artis? Kalau begitu, mungkin pola pikir Anda yang memang sudah ketinggalan zaman.

Pokoknya saya sarankan supaya Anda secepatnya menjadi pemilik toko ikan.

Toko Kelontong Namiya Katsuro menggigit bibir.

Sama seperti sebelumnya, nada surat kali ini pun sangat pedas.

Anehnya, reaksi Katsur6 tidak semarah kemarin.

Malah, ia cukup senang ada yang menulis seblak-blakan itu.

Katsuro membaca surat itu sekali lagi.

Tanpa sadar ia mendesah berat.

Dalam hati, ia mulai merasa isi surat itu ada benarnya.

Walaupun kejam, kata-kata dalam surat menghadapkannya pada kebenaran.

Siapa pun pasti akan menyadari kehadiran sosok yang memiliki faktor istimewa—sebenarnya Katsuro sudah lama menyadari hal ini, tapi ia seakan memilih menutup mata dan menghibur diri dengan berkata bahwa keberuntungan belum berpihak padanya.

Namun, orang-orang yang sungguh berbakat mungkin tak perlu menunggu takdir membawa keberuntungan.

Selama ini belum pernah ada seorang pun yang berani mengatakan hal itu padanya.

Lebih baik berhenti jika tidak sanggup— belum pernah ada yang bilang begitu.

Memang, mereka pasti tak ingin bertanggung jawab atas ucapan mereka.

Namun, penulis surat ini berbeda.

Dia sama sekali tidak menyensor kata-katanya.

Soal itu, pikirnya sementara tatapannya kembali jatuh ke kertas surat.

Siapa orang yang begitu berani menulis surat tanpa sedikit pun rasa segan seperti ini? Biasanya orang lain akan menggunakan kata-kata tersirat, tapi surat ini justru blak-blakan.

Gaya tulisan dalam surat ini tidak sama dengan gaya tulisan Kakek Namiya yang selama ini dikenal Katsuro.

Kakek satu itu pasti akan menggunakan kalimat yang lebih halus.

Ia ingin bertemu dengan orang ini.

Banyak hal yang tak bisa disampaikannya hanya lewat surat.

Ia ingin mereka bertemu langsung.

Malam harinya, Katsuro kembali meninggalkan rumah.

Seperti biasa, ia menyimpan amplop di saku celana jins.

Kali ini isinya tiga lembar kertas.

Berikut isi surat yang ditulisnya setelah melalui banyak pertimbangan: Kepada Toko Kelontong Namiya, Terima kasih untuk surat balasan Anda yang kedua.

Kalau boleh jujur, saya sangat terguncang karena tidak menyangka akan menerima kecaman yang begitu parah.

Dulu saya meyakinkan diri bahwa saya orang yang berbakat dan saya berharap suatu hari nanti dunia akan menyadari keberadaan saya.

Tapi berkat kata-kata Anda, kini pikiran saya menjadi jernih.

Saya akan melakukan introspeksi diri.

Kalau dipikir-pikir, selama ini saya memang terlalu memaksakan diri mengejar impian, sampai tak pernah sedikit pun tebersit dalam benak saya untuk mundur.

Karenanya, saya jadi malu mengakui bahwa tekad saya belum surut karena masih ada sedikit keinginan untuk meniti karier di bidang musik, seandainya bisa.

Kini saya sadar apa yang sebenarnya menjadi beban pikiran selama ini.

Sejak lama saya sudah tahu apa yang seharusnya saya perbuat, tapi saya tidak sanggup melepaskan impian itu.

Dan sampai sekarang saya belum mengerti bagaimana melakukannya.

Ibarat cinta yang bertepuk sebelah tangan, saya belum bisa melupakan orang yang saya cintai walaupun tahu cinta itu takkan terbalas.

Saya punya satu permintaan.

Karena saya merasa tidak bisa mengekpresikan isi hati saya dengan baik lewat surat, bolehkah saya bertemu dengan Anda sekali saja untuk menceritakannya secara langsung? Selain itu, saya sangat penasaran seperti apa Anda sebenarnya.

Bisakah kita bertemu di suatu tempat? Jika Anda bersedia, saya tidak keberatan bertemu di mana pun.

Musisi Toko Ikan Seperti biasa, bangunan Toko Kelontong Namiya menjulang dalam keheningan di tengah kegelapan malam.

Katsurd menghampiri pintu gulung, lalu membuka tutup lubang surat.

Ia baru saja menyelipkan setengah bagian amplop yang dikeluarkannya dari saku ke dalam lubang itu, ketika ia merasakan kehadiran seseorang di balik pintu.

Kalau dugaannya benar, orang itu pasti akan menarik amplop tersebut.

Katsur& memutuskan untuk mengamati situasi.

Ia mengecek jam tangan.

Pukul 23.00 lebih sedikit.

Katsuro memasukkan tangan ke sakunya yang satu lagi lalu mengeluarkan sebuah harmonika.

Setelah menarik napas panjang, ia menghadap ke arah pintu gulung dan perlahan mulai meniupnya.

Ia ingin memperdengarkan musiknya pada orang di dalam toko.

Lagu ini adalah karya yang paling berarti baginya.

Judulnya Terlahir Kembali.

Belum ada lirik, dan ia merasa memang lebih cocok dibiarkan seperti itu.

Ia selalu memainkannya dengan harmonika di setiap pentas di live-house atau di kesempatan lainnya.

Lagu itu memiliki melodi balada yang ringan dan menenangkan.

Setelah selesai memainkan lagu itu sampai chorus, ia menjauhkan harmonika dari mulut, lalu menatap ke arah amplop yang masih terselip di lubang surat.

Belum ada yang mengambilnya.

Kelihatannya memang tidak ada siapa-siapa di dalam sana.

Mungkin baru besok pagi seseorang akan mengambil surat itu.

Katsurd mendorong amplop itu dengan ujung jarinya.

Tok.

Samar-samar terdengar bunyi benda jatuh dari balik pintu.

“Katsuro! Bangun!” Karsuro membuka mata karena tubuhnya diguncang-guncang dengan keras.

Di hadapannya tampak wajah pucat Kanako.

Katsurd mengernyit sambil mengerjap-ngerjapkan mata.

“Ada apa?” tanyanya sambil meraih jam tangan yang diletakkannya di nakas.

Pukul 07.00 lewat.

“Ini gawat! Ayahmu jatuh pingsan di pasar!” “Apa?” Katsuro langsung terlonjak duduk di tempat tidur.

Pikirannya langsung terjaga.

“Kapan?” “Baru saja.

Seseorang dari pasar menelepon dan bilang bahwa Ayah sudah dibawa ke rumah sakit.” Katsurd melompat dari tempat tidur.

Disambarnya celana jins yang ia sampirkan di punggung kursi.

Setelah bersiap-siap, ia meninggalkan rumah bersama Kanako dan Emiko.

Sebelumnya, ia sempat menempelkan sehelai kertas bertuliskan HARI INI TOKO TUTUP di pintu gulung toko mereka.

Mereka memanggil taksi dan bergegas ke rumah sakit, tempat seorang lelaki setengah baya yang bertugas di pasar ikan telah menanti.

Sepertinya dia sudah saling kenal dengan Kanako.

“Tiba-tiba dia tampak kesakitan saat mengangkut barang.

Jadi saya segera memanggil ambulans...” laki-laki itu menjelaskan.

Kanako berterima kasih.

“Maaf sudah merepotkan.

Karena kami sudah ada di sini, sebaiknya Anda segera kembali ke pasar.” Setelah pemeriksaan selesai, mereka mendengarkan penjelasan dari dokter yang bertugas.

Katsurd menyimaknya ditemani Emiko.

“Kesimpulannya, beliau menderita kelelahan luar biasa yang membebani jantungnya.

Apakah kalian tahu apa yang belakangan ini membuatnya kecapaian?” Dokter yang tampak berwibawa dan berambut putih itu menjelaskan dengan tenang.

Setelah Kanako menjelaskan bahwa belum lama ini mereka mengadakan upacara pemakaman, sang dokter mengangguk paham.

“Mungkin beliau menderita tekanan tidak hanya secara fisik, tapi juga mental.

Mengenai kondisi jantungnya, belum bisa dipastikan dalam waktu singkat, tapi sebaiknya beliau berhati-hati.

Saya sarankan supaya dilakukan pemeriksaan rutin.” “Akan kami lakukan,” jawab Kanako.

Setelah diizinkan, mereka langsung masuk kamar perawatan.

Takeo yang sedang berbaring di ranjang khusus pasien gawat darurat melihat mereka.

Wajahnya tampak sedikit malu.

“Sebenarnya terlalu berlebihan kalau kalian datang semua.

Ini bukan masalah serius.” Takeo berpura-pura kuat, tapi suaranya sama sekali tidak bertenaga.

“Sudah kubilang terlalu cepat buka toko.

Seharusnya kita meliburkannya dulu dua atau tiga hari.” Mendengar perkataan Kanako, Takeo mengernyit dan menggeleng-geleng.

“Mana bisa begitu? Aku baik-baik saja.

Kalau toko diliburkan, para pelanggan pasti akan kebingungan.

Kau tahu banyak orang yang menyukai ikan dari toko kita.” “Tapi apa gunanya kalau kau memaksakan diri dan malah membahayakan kesehatanmu?” “Sudah kubilang, ini bukan masalah besar.” “Ayah tak usah memaksakan diri,” ujar Katsurd.

“Kalau Ayah tetap ingin toko beroperasi, aku akan ikut membantu.” Mereka bertiga menoleh ke arahnya, tatapan mereka samasama diwarnai rasa terkejut.

“Kau bicara apa?” hardik Takeo setelah mereka semua sejenak terdiam.

“Memangnya kau bisa apa? Kau bahkan tidak bisa membersihkan ikan!” “Iru tidak benar.

Apakah Ayah lupa aku pernah membantumu setiap liburan musim panas sampai SMA?” “Itu bukan pekerjaan level profesional!” “Tapi...” Katsuro terdiam, karena Takeo mengeluarkan tangan kanan dari balik selimut, menghentikan ucapan Katsur6.

“Bagaimana dengan musikmu?” “Aku berpikir-pikir ingin berhenti...” “Apa?” Sudut mulut Takeo berkerut.

“Kau ingin menyerah begitu saja?” “Tidak, hanya saja kupikir sebaiknya aku meneruskan usaha toko ikan kita.” Takeo mendecakkan lidah.

“Tiga tahun lalu kau begitu membanggakan rencanamu, dan sekarang hanya ini hasilnya? Asal tahu saja, aku tak berniat mewariskan toko itu padamu!” Katsur6 terbelalak menatap ayahnya.

“Takeo,” Kanako menegur dengan cemas.

“Lain cerita jika kau memang benar-benar ingin meneruskan usaha toko kita, tapi kau melakukan ini hanya karena rasa kasihan.

Kau tidak akan bisa mengurus toko ikan dengan baik kalau begitu.

Setelah beberapa tahun, kau akan menyesal tidak berkarier di bidang musik dan akan mulai berkeluh kesah lagi.” “Itu tidak benar.” “Ya, kau memang seperti itu.

Ayah tahu betul.

Begitu saar itu tiba, kau akan mencari-cari alasan seolah-olah kau terpaksa mewarisi toko karena ayahmu sakit atau kau mengorbankan diri demi keluarga, pokoknya macam-macam.

Bukannya bertanggung jawab, kau malah akan menyalahkan semuanya pada orang lain.” “Suamiku, tak perlu bicara seperti itu.” “Kau jangan ikut campur.

Nah, bagaimana? Tidak bisa jawab, kan? Kalau mau membuktikan aku salah, silakan.” Katsuro memberengut sambil menatap kesal pada Takeo.

“Apakah memikirkan keluarga itu hal yang buruk?” Takeo mendengus.

“Kau baru berhak bicara seperti itu setelah berhasil mencapai sesuatu.

Apakah sejauh ini kau sudah meraih sesuatu lewat musik? Belum, kan? Kalau kau memang berniat menekuni sesuatu—bahkan jika itu berarti mengabaikan ucapan orangtuamu sendiri, kau harus tetap fokus pada bidang itu.

Kalau orang yang belum bisa mencapai apa-apa malah merasa bisa menjalankan toko ikan, itu sama saja dengan menghina profesi penjual ikan.” Setelah omelan panjang-lebar tersebut, Takeo mengernyit seperti menahan sakit dan menekan dadanya.

“Takeo!” seru Kanako.

“Kau tidak apa-apa? Emiko, cepat panggilkan dokter!” “Tenang saja, ini bukan apa-apa.

Hei, Katsurd, dengar baikbaik.” Takeo berbaring sambil menatap putranya dengan serius.

“Kondisiku maupun Toko Uomatsu belum sedemikian parahnya sampai harus diurus olehmu.

Jadi, singkirkan semua pikiran yang tidak-tidak itu, dan kembalilah ke jalur yang telah kaurintis.

Kembali ke medan perangmu di Tokyo.

Tidak masalah jika kau tidak berhasil memenangi perang itu.

Bahkan perjuangan yang sia-sia pun berharga.

Yang penting kau bisa menorehkan jejakmu di sana.

Jangan pernah berpikir untuk pulang sebelum kau berhasil melakukannya.

Paham?” Katsuro hanya bergeming, tak mampu membalas kata-kata ayahnya.

“Paham atau tidak?” Takco memastikan sekali lagi dengan nada keras.

“Aku paham,” jawab Katsurg lirih.

“Benar? Kuanggap itu sebagai janji antarlelaki.” Katsurd mengangguk mantap.

Sepulang dari rumah sakit, Katsuro segera membereskan barang-barangnya.

Bukan hanya barang-barang yang dibawa dari Tokyo, melainkan juga beberapa benda yang masih tersisa di kamarnya.

Karena sudah lama tidak dibereskan, akhirnya ia malah sekalian bersih-bersih.

“Buang saja meja dan kursi di kamarku, juga rak bukunya.

Aku sudah tidak memerlukannya,” kata Katsurd pada Kanako saat ia beristirahat sejenak untuk menyantap makan siang di meja makan.

“Aku tidak akan memakai kamar itu lagi.” “Jadi kamarmu boleh kupakai?” Emiko langsung bertanya.

“Boleh.” “Asyik” Emiko bertepuk tangan kecil.

“Katsuro, walaupun ayahmu bicara seperti itu, kau tetap boleh kembali ke rumah kapan saja.” Katsur6 tersenyum pahit mendengar ucapan ibunya.

“Ibu dengar sendiri, bukan? Ini adalah janji antarlelaki.” “Tapi...” Kanako ingin membantah, tapi akhirnya memilih menutup mulut.

Katsuro membersihkan kamar sampai sore.

Sementara itu, Kanako sempat pergi ke rumah sakit untuk menjemput suaminya.

Dibandingkan tadi pagi, raut wajah Takeo kini jauh lebih sehat.

Menu makan malam hari ini adalah sukiyaki.

Kanako berbelanja melebihi anggaran biasa dan membeli daging berkualitas tinggi.

Sementara Emiko kegirangan seperti anak kecil, Takeo mengeluh tidak bisa minum bir karena disuruh mengurangi rokok dan minuman beralkohol selama dua atau tiga hari.

Bagi Katsur6, ini pertama kalinya keluarganya makan dengan damai setelah upacara pemakaman.

Selesai makan malam, Katsur6 pun siap kembali ke Tokyo.

Sebenarnya Kanako memintanya untuk pulang besok, tapi Takeo mengingatkan Kanako supaya membiarkan Katsuro memutuskan sendiri.

“Aku pergi dulu.” Katsurd berpamitan pada kedua orangtuanya dan Emiko, kedua tangannya penuh dengan barang.

Kanako berpesan, “Jaga dirimu.” Takeo tidak mengatakan apa-apa.

Begitu meninggalkan rumah, bukannya menuju stasiun, Katsuro mengambil jalan memutar.

Ia ingin mengunjungi Toko Kelontong Namiya untuk terakhir kalinya.

Mungkin saja jawaban untuk surat yang kemarin ia kirimkan sudah ada di dalam kotak susu.

Ia memeriksa kotak penyimpanan susu dan mendapati surat jawaban itu memang sudah ada.

Setelah menyelipkannya ke saku celana, Katsuro kembali menatap toko yang sudah bobrok itu selama beberapa saat.

Papan nama toko yang kini dipenuhi debu itu seolah ingin menuturkan sesuatu kepadanya.

Ia meneruskan perjalanan ke stasiun.

Setelah naik kereta, barulah ia membaca surat tersebut.

Untuk Musisi Toko Ikan, Saya sudah membaca surat Anda yang ketiga.

Karena alasan yang tidak bisa saya jelaskan secara mendetail, saya tidak bisa menemui Anda.

Bahkan saya rasa sebaiknya kita tak usah bertemu karena mungkin Anda akan kecewa.

Setelah berdiskusi sejauh ini, Anda pasti merasa kesal pada diri sendiri, bukan? Jadi, mari kita hentikan pembahasan topik ini.

Rupanya Anda berniat berhenti meniti karier di bidang musik? Tapi saya pikir mungkin niat itu hanya bertahan sementara waktu karena sepertinya Anda sungguh-sungguh ingin menjadi musisi.

Tidak mustahil Anda sudah berubah pikiran saat membaca surat ini.

Entah itu baik atau buruk, sayangnya saya sendiri tidak tahu, tapi ada satu hal yang ingin saya sampaikan.

Perjalanan Anda di dunia musik tidak akan sia-sia.

Saya percaya kelak lagu Anda akan menyelamatkan seseorang.

Dengan begitu, musik Anda pasti akan terus dikenang.

Mungkin Anda heran mengapa saya bisa begitu yakin, tapi itu memang benar.

Percayalah pada ini.

Sampai di saat terakhir.

Hanya itu yang bisa saya sampaikan.

Toko Kelontong Namiya Setelah selesai membaca, Katsuro malah semakin kebingungan.

Jawaban macam apa ini? Kenapa begitu sopan? Sama sekali tidak ada kalimat-kalimat kasar seperti dalam dua surat sebelumnya.

Yang paling ganjil adalah, si penulis surat bisa begitu yakin Katsuro akan kembali meraih impiannya menjadi musisi.

Mungkin kemampuan untuk membaca isi hati seseorang itulah yang membuat toko itu dijuluki “Toko Kelontong Namiya, sang Teman Diskusi Masalah”.

Lalu kata-kata “Percayalah pada ini.

Sampai di saat terakhir”.

Apa maksudnya? Apakah itu berarti kelak impiannya akan terwujud? Tapi, kenapa kata-katanya begitu yakin seperti itu? Ia kembali memasukkan surat itu ke amplop sebelum menjejalkannya ke tas.

Setidaknya dia mendukungku, pikirnya.

Saat kebetulan lewat di depan toko CD, dilihatnya tumpukan CD dengan sampul album biru.

Katsurd mengambil satu, dan kegembiraan langsung memenuhi hatinya.

Judul Terlahir Kembali tercetak di sampul depan CD tersebut, disertai nama “Matsuoka Katsuro” di sebelahnya.

Akhirnya ia berhasil sampai sejauh ini.

Ia telah tiba di ujung jalur yang diinginkannya.

Sungguh perjalanan yang panjang.

Dengan tekad kuat, Katsur6 yang memutuskan pulang ke Tokyo sekali lagi bergelut dengan musik, kali ini dengan lebih berapi-api daripada sebelumnya.

Ia mengasah kemampuannya lewat kontes-kontes, mengikuti audisi, juga terus mengirimkan rekaman musik ke perusahaanperusahaan rekaman.

Tak terhitung lagi berapa kali ia tampil live dadakan di tepi jalan.

Namun, kesempatannya tak kunjung tiba.

Waktu terus berlalu dan Katsuro mulai kehilangan arah.

Pada saat itulah salah seorang pengunjung yang sesekali menonton pertunjukannya bertanya apakah ia berminat mengadakan konser amal di rumah perlindungan anak.

Ia setuju, walaupun tidak berharap apa-apa dari kesempatan itu.

Jumlah anak di fasilitas pertama yang dikunjunginya bahkan tidak sampai dua puluh orang.

Masih kebingungan, Katsurd memulai konsernya.

Anak-anak yang mendengarkan permainannya juga sama kebingungannya dengan Katsuro.

Kemudian salah seorang anak mulai bertepuk tangan.

Seakan mendapat sinyal, anak-anak lain pun ikut bertepuk tangan penuh semangat.

Katsur6 akhirnya ikut terbawa suasana.

Konser itu menyenangkan.

Sudah lama ia tidak segembira itu saat menyanyi.

Sejak itu, Katsuro mulai mengadakan konser keliling di fasilitas-fasilitas serupa di seluruh penjuru Jepang.

Ia sudah menghafal lebih dari seribu lagu anak-anak di luar kepala, tapi keinginannya untuk debut belum juga terwujud...

Katsuro menggeleng.

Apakah ia belum berhasil debut? Lantas, CD apa yang dipajang di toko musik di depannya ini? Bukankah itu berarti ia sudah berhasil mencapai impiannya? Apalagi dengan lagu yang paling disukainya.

Ia ingin menyanyikan lagu Terlahir Kembali, tapi entah mengapa tak bisa mengingat liriknya.

Mustahil.

Jelas-jelas itu lagu ciptaannya sendiri.

Seperti apa liriknya? Katsurd membuka kotak CD dan mengeluarkan sampulnya untuk mengecek lirik, tapi tidak sanggup menggerakkan jemarinya.

Ia tidak bisa membuka lipatan sampul CD.

Dari dalam toko terdengar dengungan musik yang sangat kencang sampai membuat telinganya sakit.

Apa ini? Musik apa ini? Sedetik berikutnya, Katsurd membuka mata.

Ia tidak langsung menyadari di mana dirinya berada.

Langit-langit ruangan yang asing, dinding, tirai...

Setelah mengamati keadaan sekelilingnya, barulah ia sadar bahwa ia berada di salah satu kamar di Taman Marumitsu.

Bel berbunyi kencang.

Terdengar teriakan.

“Ada kebakaran! Harap semuanya tetap tenang!” Katsurs meloncat bangun.

Disambarnya tas dan jaketnya sebelum cepat-cepat mengenakan sepatu.

Untung saat berangkat tidur tadi ia masih mengenakan pakaian lengkap.

Bagaimana dengan gitarku? Sedetik kemudian, ia mengambil keputusan.

Biar kutinggal saja.

Ia terkejut saat keluar dari kamar.

Koridor di depannya dipenuhi asap.

Seorang staf laki-laki yang mulutnya ditutup saputangan memberi isyarat padanya.

“Lewat sini.

Silakan keluar dari sini.” Katsurd mengikuti staf itu.

Mereka harus menuruni dua lantai lewat tangga.

Namun, tepat satu lantai di bawah, langkahnya berhenti.

Ia melihat Seri berdiri di koridor.

“Sedang apa di situ? Cepat lari!” seru Karsurd.

Mata Seri merah.

Pipinya basah oleh air mata.

“Adikku...

Tatsuyuki tidak ada.” “Apa katamu? Dia ke mana?” “Entahlah, mungkin di atap? Biasanya dia selalu ke sana kalau tidak bisa tidur.” “Atap...” Ia bimbang sesaat, tapi langsung bertindak cepat.

Ia menyodorkan semua barang bawaannya pada Seri sambil berkata, “Bawa barang-barang ini.

Kau harus segera melarikan diri.” “Apa?” Meninggalkan Seri yang menatapnya dengan terbelalak, Katsuro bergegas menaiki tangga.

Hanya dalam sekejap, asap semakin tebal.

Air matanya mengalir.

Tenggorokannya sakit.

Bukan hanya jarak pandang yang semakin memburuk, ia juga mulai merasa tak bisa bernapas.

Yang paling parah adalah ia tidak bisa melihat posisi api.

Sebenarnya dari mana asal kebakaran ini? Ia sadar bahwa ada kemungkinan dirinya takkan selamar.

Apakah ia masih sempat melarikan diri? Saat berpikir demikian, terdengar tangisan anak kecil.

“Hei! Kau ada di mana?” Katsur6 memanggil.

Saat itulah asap masuk ke tenggorokannya.

Sambil baruk-batuk hebat, ia terus menerjang asap.

Terdengar bunyi sesuatu yang runtuh.

Pada saat bersamaan, asap pun menipis, menguak sesosok anak laki-laki yang sedang meringkuk di tangga.

Tidak salah lagi, dia pasti adik Seri.

Katsuro langsung memanggul anak laki-laki itu di bahunya dan bersiap-siap turun, tapi detik itu juga, langit-langit ruangan runtuh dengan bunyi bergemuruh.

Dalam sekejap, mereka berdua dikelilingi lautan api.

Anak itu menangis menjerit-jerit.

Katsuro sendiri kebingungan, tapi ia tidak bisa berdiri saja.

Satu-satunya jalan untuk lolos hanya dengan menuruni tangga.

Masih menggendong anak itu, Katsurd menerobos api.

Ia tidak tahu ke arah mana ia pergi.

Gumpalan api raksasa sedikit demi sedikit mulai mengurungnya.

Sekujur tubuhnya terasa sakit sementara ia terus berlari.

Ia tak bisa bernapas sama sekali.

Tubuhnya seperti diselubungi cahaya merah dan kegelapan pekat secara bersamaan.

Rasanya seperti ada seseorang yang memanggilnya, tapi ia tidak bisa menjawab.

Sekujur tubuhnya tidak bisa digerakkan sedikit pun, bahkan Katsuro tidak yakin ia masih ada di dalam tubuhnya.

Kesadarannya semakin melemah, rasa kantuk mulai menerpanya.

Kalimat dalam surat itu muncul di benaknya yang kosong.

“Perjalanan Anda di dunia musik tidak akan sia-sia.

Saya percaya kelak lagu Anda akan menyelamatkan seseorang.

Dengan begitu, musik Anda pasti akan terus dikenang.

Mungkin Anda heran mengapa saya bisa begitu yakin, tapi itu memang benar.

Percayalah pada ini.

Sampai di saat terakhir.” Aah...

jadi inikah yang dimaksud surat itu? Inikah saat-saat terakhirnya? Masih bisakah aku memercayainya? Ayah, apakah dengan cara ini aku akan meninggalkan jejak? Perjuanganku yang sia-sia selama ini ternyata berharga...

Sampai beberapa menit yang lalu, seluruh arena yang dipenuhi penonton itu dipenuhi sorak-sorai yang berapi-api.

Ketiga lagu yang sejauh ini telah dibawakan untuk sesi encore memang dipersiapkan untuk membakar semangat mereka.

Namun, di lagu terakhir, suasana konser berubah total.

Para penggemar lama sudah paham, dan ketika sang penyanyi wanita mengambil mikrofon, puluhan ribu penggemarnya pun tenggelam dalam keheningan khusyuk.

“Ini lagu terakhir malam ini,” ujar sang penyanyi yang disebut-sebut memiliki bakat unik itu.

“Walau lagu ini yang telah melahirkan sosok saya sebagai artis, sebenarnya lagu ini memiliki makna yang lebih dalam.

Bagi saya, pencipta lagu ini adalah dewa penolong yang telah menyelamatkan satu-satunya saudara saya.

Dia mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan adik laki-laki saya.

Seandainya tidak bertemu dengan orang itu, saya yang sekarang berdiri di sini takkan pernah ada.

Sebagai bentuk balas budi, satu-satunya yang bisa saya lakukan hanyalah terus menyanyikan lagu ini, judulnya Terlahir Kembali.

Selamat mendengarkan.” Intro lagu Terlahir Kembali pun mulai mengalun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar