Keajaiban Toko Kelontong Namiya Bab 1

Bab 1 Jawaban Ada Di kotak Susu

Shota-lah yang pertama kali menyinggung tentang rumah bobrok itu.

Atau lebih tepatnya, bercerita bahwa ia menemukan rumah bobrok yang “pas”.

“Hah? Rumah bobrok yang pas.

Apa maksudmu?” Atsuya menatap Shota yang berperawakan mungil dan berwajah seperti anak-anak.

“Maksudku, rumah itu pas sekali dipakai untuk bersembunyi.

Kebetulan saja aku menemukannya.

Aku tidak menyangka kita benar-benar akan menggunakannya.” “Maaf, Kawan-kawan.” Tubuh Kohei yang besar seakan menciut.

“Aku tidak tahu baterai mobilnya bakal habis, dan habis di sini pula.

Benar-benar di luar dugaan.” Dia menatap mobil Toyota Crown yang diparkir di seberang jalan dengan penuh penyesalan.

Atsuya mendesah.

“Ya sudah, untuk saat ini kita tak bisa berbuat apa-apa.” “Tapi kenapa bisa mogok, ya? Padahal sejauh ini tidak ada masalah...

Bahkan lampu mobil juga tidak kita nyalakan terus-terusan...

“Namanya juga mobil tua,” Shota berkomentar datar.

“Lihat saja angka di penunjuk jarak tempuh, mobil itu sudah menempuh lebih dari seratus ribu kilometer.

Sama saja dengan batas usia manusia.

Sejak awal mobil ini memang sudah hampir mati, tidak heran kalau akhirnya mati total setelah kita kendarai sejauh ini.

Seharusnya kalau memang sudah niat mencuri, kita pilih mobil yang lebih baru.

Seperti yang sudah kubilang.” “Aaah...” erang Kohei sambil bersedekap.

“Tapi mobil jenis baru pasti dipasangi alarm anti-maling yang canggih.” “Sudahlah.” Atsuya mengibaskan tangan.

“Shota, apa kita sudah dekat dengan rumah kosong yang tadi kausebut?” Shota menelengkan kepala.

“Kalau kita jalan cepat, mungkin sekitar dua puluh menit.” “Oke, ayo lekas ke sana.

Tunjukkan jalannya.” “Aku mau-mau saja, tapi bagaimana dengan mobil ini? Apa tidak akan jadi masalah kalau ditinggal begitu saja?” Atsuya memandang sekeliling.

Saat ini mereka berada di tempat parkir sebuah area perumahan yang disewa bulanan.

Mereka memang bisa menggunakannya karena masih ada tempat kosong, tapi yang pasti, penyewa asli tempat itu akan menghubungi polisi begitu menyadari kehadiran mobil tersebut.

“Menurutku jelas bakal jadi masalah, tapi karena sudah telanjur mogok dan tak bisa dibawa ke mana-mana, apa boleh buat.

Kalian tidak menyentuh-nyentuh mobil ini dengan tangan kosong, kan? Asalkan tidak meninggalkan jejak, kita akan aman.” “Dengan kara lain, serahkan saja semuanya pada nasib.” “Makanya tadi kubilang hanya itu yang bisa kita lakukan.” “Baiklah.

Oke, ikuti aku.” Shota berjalan dengan langkah ringan, diikuti Atsuya yang tangan kanannya menenteng sebuah tas berat.

Kohei menyusul mereka.

“Hei, Atsuya, kenapa tidak naik taksi saja? Sebentar lagi kita sampai di jalan besar, di sana pasti ada taksi kosong.” Atsuya mendengus.

“Aku yakin pengemudinya bakal mengingat wajah tiga pemuda mencurigakan yang mencegat taksi di tempat seperti ini saat hari sudah larut.

Kalau mereka sampai merilis sketsa wajah yang menyerupai kita, habislah sudah.” “Memangnya kau yakin si pengemudi bakal mengamati wajah kita?” “Bagaimana kalau ya? Ada orang yang punya bakar mengingat wajah orang lain hanya dengan sekilas pandang.” Kohei terdiam.

Setelah berjalan beberapa saat, ia berkata lirih, “Maaf.” “Sudah, lupakan saja.

Diam dan teruslah berjalan.” Mereka terus berjalan sampai ke sebuah daerah perumahan di atas bukit.

Saat itu pukul 02.00.

Rumah-rumah di sana dibangun dengan desain serupa, tapi hanya sedikit jendela yang lampunya menyala.

Tetap saja, mereka tidak boleh lengah.

Jika mereka berbicara terlalu keras, bisa-bisa ada orang yang melapor pada polisi tentang “beberapa pemuda mencurigakan yang berjalan di malam buta”.

Atsuya ingin polisi mengira bahwa mereka telah melarikan diri dari TKP dengan mobil, tentu saja dengan catatan mobil Toyota Crown curian itu tidak langsung ditemukan.

Jalan mulai agak menanjak, tapi sedikit demi sedikit tanjakan itu semakin curam dan jarak antara rumah semakin jauh.

“Hei, masih jauh?” tanya Kohei sambil terengah-engah.

“Sedikit lagi,” balas Shota.

Tak lama kemudian, langkahnya terhenti.

Tampak sebuah rumah di sampingnya.

Bangunan yang tidak seberapa besar itu adalah kombinasi rumah pribadi dan toko.

Bagian rumah terbuat dari kayu dengan bentuk rumah khas Jepang, sedangkan bagian yang digunakan sebagai toko luasnya kurang lebih 2 ken' dipasangi pintu gulung yang kini dalam keadaan tertutup.

Ada lubang di pintu gulung yang berfungsi untuk memasukkan kiriman surat dan sebagainya, tapi selain itu, tidak ada apa pun di sana.

Di sebelahnya berdiri sebuah pondok yang sepertinya berfungsi sebagai gudang penyimpanan, dan sepertinya dulu dijadikan garasi.

“Ini tempatnya?” tanya Atsuya.

“Hm...” Shota menyipitkan mata dan menatap bangunan itu sambil menelengkan kepala.

“Seharusnya di sini.” “Apa maksudmu “seharusnya? Jangan bilang kau salah rumah.” “Tidak, aku yakin ini tempatnya.

Tapi entah mengapa agak berbeda dari waktu aku ke sini terakhir kali.

Waktu itu bangunan ini terkesan lebih baru.” “Waktu itu kau datang di siang hari, bukan? Mungkin itu penyebabnya.” “Bisa jadi.” Atsuya mengeluarkan senter dari tas, lalu menyorotkannya ke sekitar pintu gulung.

Sebuah papan nama toko tergantung di atas pintu dengan tulisan samar-samar “Toko Kelontong”.

Masih ada beberapa huruf di belakang kata itu yang kemungkinan besar adalah nama toko, tapi tulisannya terlalu sulit untuk dibaca.

“Toko kelontong? Di tempat seperti ini? Memangnya ada pembeli yang datang?” Atsuya langsung berkomentar.

“Justru tutup karena tidak ada pembeli yang datang, bukan?” Alasan Shota cukup masuk akal.

“Benar juga.

Nah, sekarang kita masuk dari mana?” “Ada pintu di belakang.

Kuncinya sudah rusak.” 'ken: 3,31 meter persegi Sambil menunjukkan jalan, Shota masuk ke gang di antara toko dan pondok diikuti kedua temannya.

Lebar gangnya sekitar satu meter.

Sambil terus melangkah, mereka mendongak ke arah langit.

Bulan purnama bergelayut tepat di atas mereka.

Ternyata di belakang ada pintu menuju dapur.

Sebuah kotak kayu dipasang di dinding di sebelah pintu.

“Apa ini?” gumam Kohcei.

“Masa tidak tahu? Itu kotak untuk botol susu sapi.

Setiap kiriman susu yang datang dimasukkan ke situ,” jawab Atsuya.

“Ooooh...” Kohei menatap kotak itu dengan kagum.

Mereka membuka pintu belakang dan masuk.

Tercium bau debu, tetapi tidak sampai membuat tidak nyaman.

Sebuah mesin cuci berkarat yang kelihatannya sudah rusak diletakkan di dalam ruangan seluas 2 tatami? berlantai kotor itu.

Sepasang sandal rumah yang dilapisi debu tergeletak di tempat melepaskan sepatu.

Mereka bertiga melangkahi sandal itu, berusaha tidak menyentuhnya, dan terus masuk dengan tetap memakai sepatu.

Mereka mendapati diri berada di dapur yang berlantai papan kayu.

Kompor dan bak cuci piring berdiri berdampingan di tepi jendela.

Di sebelahnya ada kulkas dua pintu sementara meja dan kursi diletakkan di tengah-tengah ruangan.

Kohei membuka pintu kulkas.

“Sial, tidak ada isinya.” “Wajar, kan?” cetus Shota.

“Memangnya mau kauapakan kalau di dalamnya ada makanan? Mau kaumakan?” “Aku cuma bilang kulkasnya kosong.” Di sebelah mereka ada sebuah ruangan bergaya Jepang yang masih menyisakan sebuah lemari dan altar keluarga.

Beberapa tatami: 1,6 meter persegi.

bantal duduk ditumpuk di sudut.

Ada juga lemari dinding, tetapi mereka tidak punya nyali untuk membukanya.

Di ujung ruangan bergaya Jepang adalah bagian yang dipakai sebagai toko.

Atsuya mengintip dan mengarahkan senter ke situ.

Rak etalase toko masih terisi bermacam-macam barang jualan, seperti alat tulis, perlengkapan dapur, sampai alat pembersih, meskipun jumlahnya tinggal sedikit.

“Kita beruntung?” seru Shota yang baru saja memeriksa laci di bawah altar.

“Di sini ada lilin.

Kita tidak akan kekurangan penerangan.” Mereka lantas menyalakan beberapa batang lilin yang kemudian mereka sebar di sana-sini, cukup untuk menerangi seluruh ruangan.

Atsuya mematikan senternya.

“Wah, wah.” Kohei duduk bersila di atas tatami.

“Jadi kita hanya akan menunggu sampai matahari terbit?” Atsuya mengeluarkan ponsel untuk mengecek waktu.

Pukul setengah tiga pagi lebih sedikit.

“Oh, rupanya ada benda seperti ini?” Shota menarik keluar sesuatu yang menyerupai majalah dari laci paling bawah.

Ternyata memang majalah mingguan edisi lama.

“Coba lihat.” Atsuya mengulurkan tangan untuk mengambil majalah itu.

Ia mengibaskan debu yang menempel sebelum mengamati foto seorang gadis yang sedang tersenyum di sampul depannya.

Seorang artis? Wajah gadis itu seperti tidak asing.

Setelah mengamatinya dengan cermat, akhirnya ia sadar gadis itu seorang aktris yang kini sering muncul di TV sebagai pemeran tokoh ibu.

Saat ini usianya kurang lebih pertengahan enam puluhan.

Atsuya membalik majalah itu untuk memeriksa tanggal terbitnya.

Di situ tercantum tanggal yang menandakan bahwa majalah tersebut terbit sekitar empat puluh tahun lalu.

Atsuya dan Shota sama-sama terbelalak melihatnya.

“Wah...

Kira-kira apa saja yang terjadi di masa itu, ya?” tanya Shota.

Atsuya membolak-balik halaman majalah.

Isinya nyaris tidak berbeda dengan majalah terbitan masa kini.

“Terjadi keributan di supermarket karena orang-orang memborong tisu toilet dan detergen...

Apa ini? Kok rasanya aku pernah dengar?” “Aku tahu,” ujar Kohei.

“Itu gara-gara oil shock?.” Atsuya mengecek bagian daftar isi lalu melihat-lihat halaman yang khusus memajang foto-foto perempuan seksi sebelum menutup majalah.

Tidak ada foto idola atau foto pose telanjang.

“Kira-kira kapan, ya, terakhir kali rumah ini ditempati?” Atsuya mengembalikan majalah ke dalam laci altar sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling.

“Di toko masih tersisa sedikit barang jualan, kulkas dan mesin cuci juga ada.

Kesannya penghuni sebelumnya pindah dengan terburu-buru.” “Mungkin kabur di malam hari? Pasti begitu.” Shota terdengar yakin.

“Tidak ada pengunjung yang datang ke toko sementara mereka terjerat utang.

Akhirnya pada suatu malam mereka berkemas-kemas lalu pergi.

Pasti itu yang terjadi.” “Bisa jadi.” “Aku lapar...” keluh Kohei.

“Di sekitar sini ada konbini' tidak, ya?” “Biarpun ada, kau tak boleh pergi ke sana.” Atsuya memelototi temannya itu.

“Kita akan tetap di sini sampai pagi.

Kau tidur saja, pasti tidak akan terasa.” ?Krisis minyak.

Pertama kali terjadi tahun 1973 karena kenaikan harga minyak nyaris sebesar 40096 akibat embargo yang dilakukan oleh OAPEC (Organization of Arab Petroleum Exporting Countries).

Jepang termasuk salah satu negara yang terkena efek tersebut bersama Kanada, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.

4Konbini: minimarket Kohei menunduk sedih lalu memeluk lutut.

“Masalahnya aku tak bisa tidur kalau perutku lapar.” “Aku juga tak bisa berbaring di tatami berdebu begini,” imbuh Shota.

“Kalau saja ada alas yang bisa dipakai...” “Tunggu.” Atsuya berdiri, mengeluarkan senter, dan pergi ke bagian toko.

Ia berkeliling sambil menyorotkan senter ke rak barang-barang.

Mungkin di sini ada semacam terpal plastik, pikirnya.

Ia menemukan gulungan kertas yang digunakan untuk shoj??.

Kurasa ini bisa dipakai sebagai alas kalau dibentangkan, pikirnya sambil mengulurkan tangan untuk mengambil.

Detik itu juga, terdengar bunyi samar di belakangnya.

Terkejut, Atsuya langsung menoleh.

Rasanya ia melihat sesuatu yang berwarna putih jatuh ke dalam kotak kardus yang ditaruh dekat pintu gulung.

Ia memeriksa kotak itu menggunakan senter dan menemukan sesuatu yang menyerupai amplop.

Jantungnya langsung berpacu.

Ada yang menyelipkan surat lewat lubang surat, padahal seharusnya tidak ada kiriman surat di larut malam, apalagi ditujukan ke rumah kosong seperti ini.

Itu berarti seseorang telah menyadari kehadiran Atsuya dan kawankawan dan ingin menyampaikan sesuatu.

Atsuya menarik napas dalam-dalam, membuka tutup lubang surat, dan mengamati keadaan di luar.

Ia mengira akan mendapari tempat itu telah dikepung mobil patroli polisi, tapi ternyata di luar gelap gulita.

Tidak ada tanda-tanda kehadiran satu orang pun.

Sedikit lega, Atsuya mengambil amplop itu.

Bagian depannya kosong.

Saat ia membaliknya, tampak tulisan “Kelinci Bulan” yang ditulis dengan huruf-huruf bular.

'Shaji: panel dari rangka kayu berlapis kertas transparan, berfungsi sebagai pintu geser, jendela, atau partisi.

Ia berjalan kembali ke ruang tatami sambil membawa amplop tersebut.

Ketika memperlihatkan amplop itu pada kedua temannya, wajah mereka langsung pucat pasi.

“Tolong bilang kalau benda ini sudah lama ada di sana,” kata Shota.

“Baru saja diselipkan lewat lubang surat.

Aku melihatnya sendiri.

Selain itu amplopnya masih baru.

Kalau sudah lama ada di sana, pasti sudah dalam kondisi berdebu.” Kohei membungkukkan tubuhnya yang besar.

“Janganjangan polisi...?” “Tadinya kupikir begitu, tapi sepertinya bukan.

Polisi tidak akan melakukan hal sekonyol ini.” Shota menggumam setuju.

“Polisi juga tidak akan memakai nama seperti Kelinci Bulan.” “Kalau begitu siapa?” Kohei mengerutkan kening, bola matanya yang gelap bergerak-gerak gelisah.

Atsuya kembali menatap amplop di tangannya.

Saat membawanya tadi ia merasa isinya cukup tebal.

Kalau benar ini surat, pasti isinya panjang.

Sebenarnya apa yang ingin disampaikan si pengirim pada mereka? “Tidak,” gumamnya sambil menggeleng-geleng.

“Surat ini bukan ditujukan kepada kita.” Kedua temannya menatapnya dengan sorot bertanya-tanya.

“Coba pikir.

Sudah berapa lama sejak kita menyelinap ke sini? Kalau hanya catatan pendek masih wajar, tapi menulis surat sepanjang ini pasti membutuhkan waktu setidaknya setengah jam.” “Ucapanmu benar.” Shota mengangguk.

“Tapi belum tentu amplop itu berisi surat.” “Ya, mungkin saja memang bukan.” Tatapan Atsuya kembali tertuju pada amplop yang disegel rapat-rapat itu.

Akhirnya ia memutuskan membuka bagian yang dilem.

“Kau mau apa?” tanya Shota.

“Membuka amplop ini.

Cara paling cepat adalah dengan melihat isinya.” “Tapi surat itu bukan untuk kita,” protes Kohei.

“Mana bisa kita seenaknya membukanya?” “Apa boleh buat.

Lagi pula tidak ada nama penerimanya.” Atsuya merobek amplop itu, kemudian menarik keluar isinya dengan jemarinya yang terbungkus sarung tangan.

Setelah dibuka, tampak barisan huruf yang ditulis dengan tinta biru.

Awal surat itu berbunyi “Dengan surat ini, saya ingin mendiskusikan sesuatu.” “Apa ini?” Atsuya tanpa sadar bergumam.

Kohei dan Shota ikut mengintip isi surat itu dari samping.

Surat yang aneh.

Dengan surat ini, saya ingin mendiskusikan sesuatu.

Sebelumnya perkenalkan, nama saya Kelinci Bulan.

Jenis kelamin perempuan.

Mohon maaf karena saya tidak bisa menggunakan nama asli.

Sebenarnya saat ini saya menggeluti sebuah cabang olahraga.

Sekali lagi mohon maaf karena tidak bisa menyebutkan jenis olahraga apa, tetapi saya cukup bangga karena telah berhasil meraih prestasi sehingga dipilih menjadi calon perwakilan negara di Olimpiade tahun depan.

Jika saya menyebutkan cabang olahraga yang saya ikuti, ada kemungkinan seseorang akan mengenali saya, karena tidak banyak atlet Jepang yang dikirim ke Olimpiade.

Namun, saya harus menyebut-nyebut soal Olimpiade ini karena kalau tidak, saya tidak bisa menjelaskan masalah saya secara menyeluruh.

Mohon pengertian Anda.

Saya memiliki seorang kekasih.

Dia sosok yang paling penuh pengertian, kooperatif, sekaligus pendukung nomor satu.

Selama ini dia selalu berbarap saya bisa berlaga di ajang Olimpiade, sehingga dia tidak keberatan meskipun harus mengorbankan apa pun.

Sebenarnya sejauh ini pun dia sudah banyak sekali membantu, baik secara fisik maupun mental.

Dedikasinya adalah bagian dari semua perjuangan ini, termasuk saat saya harus menjalani latihan keras.

Saya pikir, berdiri di panggung Olimpiade adalah bentuk balas budi saya untuknya.

Namun, terjadi insiden yang tak ubahnya mimpi buruk bagi kami berdua.

Suatu hari, tiba-tiba saja dia jatuh pingsan.

Saat mendengar apa penyebabnya, semua yang ada di depan saya pun seolah berubah gelap.

Kanker.

Dokter memberitahu saya bahwa kemungkinan untuk sembuh sangat kecil.

Diperkirakan dia hanya akan bisa bertahan hidup selama setengah tahun.

Kekasih saya tidak diberitahu tentang ini, tapi sepertinya dia sendiri juga sudah tahu apa yang menimpanya.

Kendati harus berbaring di ranjang, dia tetap ingin saya fokus pada kompetisi.

Ini saat-saat yang penting, begitu katanya.

Sebenarnya saya juga memiliki banyak rencana seperti masuk ke pusat pelatihan dan mengikuti kompetisi di luar negeri, karena saya harus bekerja keras demi bisa terpilih menjadi atlet Olimpiade.

Pikiran logis saya paham betul akan hal itu.

Namun, jauh di lubuk hati, bagian lain dari diri saya yang bukan seorang atlet justru ingin berada di sisinya.

Bahkan saya berpikir untuk mengabaikan latihan supaya bisa mendampingi dan merawatnya.

Saya sempat melontarkan usul supaya saya mundur dari pemilihan atlet Olimpiade, tetapi kalau teringat betapa sedih wajahnya saat itu, rasanya saat ini saya ingin menangis.

Dia bilang, “Jangan pernah memikirkan hal itu! Justru impian terbesarku adalah melihatmu di Olimpiade! Apa pun Pp yang terjadi, aku takkan mati sampai kau bertanding di sana Dia meminta saya berjanji untuk terus berusaha keras.

Sampai sekarang saya belum memberitahukan kepada siapa pun tentang detail penyakit kekasih saya.

Rencananya kami akan menikah setelah Olimpiade berakhir, tapi kami juga belum membicarakannya dengan keluarga masing-masing.

Hari demi hari saya jalani tanpa tahu apa yang harus saya perbuat.

Saat latihan, saya sama sekali tidak bisa berkonsentrasi.

Akibatnya prestasi saya tidak mengalami kemajuan.

Kalau terus seperti ini, bukankah lebih baik kalau saya berhenti dari kompetisi? Walau gagasan itu sering terlintas, saya tidak pernah berani melakukannya karena teringat akan wajah sedih kekasih saya.

Di tengah-tengah penderitaan yang harus saya hadapi sendirian ini, saya mendengar kabar burung tentang Toko Kelontong Namiya.

Saya memberanikan diri menulis surat ini, dengan harapan Anda dapat membantu saya.

Berikut saya sertakan amplop balasan.

Saya mohon, tolonglah saya! Kelinci Bulan Setelah selesai membaca surat itu, mereka bertiga berpandangan.

“Apa ini...?” Shota yang akhirnya pertama kali angkat bicara.

Kenapa ada yang mengirim surat seperti ini? » “Karena dia tidak tahu harus berbuat apa lagi,” ujar Kohei.

“Begitu yang tertulis di surat.” “Aku tahu itu.

Maksudku, apa yang membuat dia sampai mengirim surat konsultasi ke toko kelontong? Ke toko kelontong yang sudah tidak dihuni pula.” “Kalau soal itu, jangan tanya aku.” “Aku memang tidak bertanya padamu, Kohei.

Aku hanya menyuarakan apa yang kupikirkan.

Apa ini?” Tanpa menyimak pembicaraan kedua temannya.

Atsuya kembali memeriksa bagian dalam amplop dan menemukan amplop lain dalam keadaan terlipat dan di bagian penerima tercantum nama alias “Kelinci Bulan” yang ditulis dengan pena.

“Apa maksud semua ini?” Akhirnya Atsuya bersuara.

“Keliharannya dia bukan sekadar iseng, tapi benar-benar butuh teman berdiskusi.

Apalagi masalahnya cukup berat.” “Mungkin dia salah toko?” tanya Shota.

“Bisa saja di sekitar sini ada toko kelontong lain yang biasa menawarkan saran-saran.

Pasti begitu.” Atsuya mengeluarkan senter, lalu bangkit.

“Biar kupastikan dulu.” Ia keluar dari pintu belakang, lalu memutar ke bagian depan toko.

Diperiksanya papan nama toko yang sudah kotor menggunakan senter.

Atsuya menyipitkan mata.

Catnya sudah terkelupas hingga sulit dibaca, tetapi ia cukup yakin yang tertulis di belakang kata “Toko Kelontong” adalah kata “Namiya”.

Ia kembali ke ruangan lalu memberitahu kedua temannya.

“Jadi memang benar toko ini? Memangnya wajar, ya, orang mengirim surat ke toko tak berpenghuni dan mengharapkan balasan?” Shota terheran-heran mendengar penjelasan itu.

“Bagaimana kalau yang dimaksud adalah toko Namiya yang berbeda?” Giliran Kohei berkomentar.

“Mungkin di suatu tempat ada toko kelontong lain bernama sama, jadi si pengirim salah lokasi.” “Tak mungkin.

Tulisan tipis “Namiya di papan di depan nyaris tak terbaca.

Perempuan ini pasti yakin tidak ada toko lain, makanya dia kirim ke sini.

Selain itu...” Atsuya mengeluarkan kembali majalah mingguan tadi.

“Aku merasa pernah melihatnya.” “Melihat apa?” tanya Shota.

“Nama Namiya”.

Kalau tak salah tercantum juga di sini.” “Oh ya?” Atsuya membuka halaman daftar isi majalah.

Matanya menyusuri daftar itu hingga akhirnya berhenti di satu bagian.

Judul artikel itu berbunyi: Popularitas yang Meroket! Solusi Masalah dari Sebuah Toko Kelontong.

“Ini dia.

Bukan Namiya, tapi Nayami.” Atsuya membuka halaman yang dimaksud.

Berikut isi artikel tersebut: Sebuah toko kelontong naik daun karena dapat memberikan solusi untuk setiap masalah.

Toko yang dimaksud berlokasi di kota XX.

Jika seseorang menulis surat untuk mengadukan masalahnya dan memasukkannya ke lubang surat di pintu gulung toko, surat balasannya bisa ditemukan di kotak penyimpanan botol susu sapi yang ada di belakang toko keesokan harinya.

Sang pemilik toko, Namiya Yiji (72 tahun) bercerita sambil tertawa, “Ini semua diawali dari lelucon dengan anak-anak sekitar sini.

Nayami, Nayami...

Mereka selalu sengaja salah menyebut nama toko.

Ditambah lagi karena di bagian bawah papan toko tertulis bahwa aku siap diajak berdiskusi.

Alhasil banyak anak yang datang bertanya, “Kakek, boleh tidak aku bercerita SKata “masalah” yang menjadi judul artikel majalah menggunakan kata nayami dalam bahasa Jepang.

Hal itulah yang membuat Arsuya merasa tidak asing lagi dengan nama Namiya.

tentang masalahku? Kujawab kalau aku siap mendengarkan dan akhirnya anak-anak itu benar-benar datang.

Karena awalnya sekadar bercanda, yang kami bahas pun banya masalah-masalah konyol, misalnya anak yang malas belajar tapi ingin tahu caranya supaya nilai rapornya bagus semua, dan banyak lagi.

Namun, karena aku selalu menjawab dengan serius, jumlah pertanyaan yang lebih serius pun bertambah, misalnya anak yang bingung karena kedua orangtuanya bertengkar.

Sementara itu aku juga mulai menerima surat permintaan diskusi lewat lubang surat di pintu gulung.

Semua jawaban untuk surat-surat itu kutaruh di kotak penyimpanan botol susu supaya kami bisa berkorespondensi secara anonim.

Lalu, surat dari orang-orang dewasa pun mulai berdatangan.

Sebenarnya aku heran kenapa mereka memilih berkonsultasi dengan orang tua biasa sepertiku, tapi aku berusaha sebaik mungkin untuk menjawab semua surat dari mereka.” Ketika ditanya topik masalah apa yang paling banyak dia terima, Namiya berkata bahwa sebagian besar adalah masalah percintaan.

“Jujur saja, justru topik itulah yang paling sulit kujawab hingga akhirnya malah jadi masalah tersendiri bagiku.” Sebuah foto kecil menyertai artikel tersebut.

Tidak salah lagi, itu adalah foto toko ini.

Seorang lelaki tua berperawakan kecil berdiri di depannya.

“Majalah ini tidak ketinggalan, tapi memang sengaja ditinggalkan di sini karena memuat artikel tentang dia dan tempat ini.

Tapi, aku kaget...” gumam Arsuya pelan.

“Toko Kelontong Namiya.

Tempat orang-orang berkonsultasi tentang masalah mereka? Dan masih ada orang-orang yang ke sini untuk mengadukan masalah mereka? Maksudku, ini sudah empat puluh tahun yang lalu,” katanya sembari menatap surat dari Kelinci Bulan.

Shota memegang surat itu.

“Di sini ditulis dia tahu tentang Toko Kelontong Namiya lewat kabar burung.

Kalau menilai dari isi suratnya, sepertinya baru akhir-akhir ini dia mendengarnya.

Berarti kabar burung tentang tempat ini memang masih beredar.” Atsuya bersedekap.

“Kedengarannya memang sulit dibayangkan, tapi mungkin benar.” “Atau dia mendengarnya dari orang tua lain yang sudah pikun?” Giliran Kohei berkomentar.

“Dan si orang tua itu memberitahu si Nona Kelinci tentang Toko Kelontong Namiya tanpa tahu kalau kondisinya sudah jadi seperti ini.” “Tidak.

Justru kalau begitu, seharusnya dia sadar ada sesuatu yang aneh saat datang ke sini.

Sudah jelas rumah ini tidak didiami selama bertahun-tahun.” “Kalau begitu ada yang tidak beres dengan otak si Nona Kelinci.

Saking berat masalahnya, dia sampai jadi gila.” Atsuya menggeleng.

“Kurasa surat ini tidak ditulis oleh orang yang pikirannya terganggu.” “Lalu apa maksud semua ini?” “Ya, itu yang sedang kupikirkan.” “Bagaimana kalau...” Mendadak Shota angkat bicara.

“Bagaimana kalau sebenarnya semua ini masih berlangsung?” Atsuya menatap Shota.

“Apanya?” “Soal sesi konsultasi masalah.

Di tempat ini.” “Di tempat ini? Maksudmu?” “Memang rumah ini sudah tidak ditempati, tapi bukan berarti sesi konsultasi sudah tidak berjalan, kan? Bisa jadi si kakek pindah ke tempat lain dan sesekali datang ke sini untuk mengambil surat-surat yang masuk.

Setelah itu baru nanti surat balasannya dimasukkan ke kotak susu.

Itu lebih masuk akal.” “Memang, tapi itu berarti si kakek pemilik toko masih hidup.

Kalau benar begitu, usianya pasti sudah lebih dari seratus tahun.” “Berarti ada yang menggantikannya.” “Tak ada tanda-tanda orang keluar-masuk rumah ini.” “Dia tak perlu masuk.

Cukup membuka pintu gulung untuk mengambil surat-surat.” Teori Shota masuk akal.

Mereka bertiga pun mendatangi pintu depan toko untuk memastikan, tetapi yang mereka dapati adalah pintu gulung itu ternyata sudah dilas dari dalam supaya tidak bisa dibuka.

“Sial!” Shota mengumpar.

“Apa-apaan ini?!” Mereka bertiga kembali ke ruang tatami.

Atsuya membaca surat dari Kelinci Bulan.

“Lalu, sekarang kita harus bagaimana?” tanya Shota.

“Hei, tidak perlu dipusingkan.

Toh kita akan segera pergi dari sini begitu pagi tiba.” Atsuya mengembalikan surat ke dalam amplop, lalu meletakkannya di atas tatami.

Sesaat tak ada yang berkata apa pun.

Terdengar bunyi angin.

Api lilin bergoyang-goyang pelan.

“Kira-kira apa yang bakal dia lakukan, ya?” Kohei berbisik, seakan-akan berbicara pada diri sendiri.

“Apa maksudmu?” tanya Atsuya.

“Soal Olimpiade.

Apakah dia memutuskan menyerah?” Atsuya menggeleng, seakan mengisyaratkan “Entahlah.” “Semoga dia tidak melakukannya,” celetuk Shota.

“Apalagi pacarnya berharap dia bisa tampil di Olimpiade.” “Laki-laki yang dia cintai sudah di ambang kematian.

Mana bisa dia berlatih dalam situasi seperti itu? Lebih baik dia mendampingi pacarnya.

Aku yakin sebenarnya pacarnya juga mengharapkan hal yang sama,” sergah Kohei dengan nada yang lebih ngotot daripada biasanya.

“Menurutku tidak.

Pacarnya pasti ingin melihat sosoknya yang ceria sementara dia bertarung melawan penyakitnya.

Aku yakin laki-laki itu akan terus berjuang untuk bertahan hidup.

Jika si penulis surat sampai menyia-nyiakan kesempatan ikut Olimpiade, jangan-jangan pacarnya justru akan kehilangan semangat hidup.” “Tapi di sini ditulis bahwa dia tidak bisa konsentrasi latihan.

Mana bisa dia ikut Olimpiade dalam kondisi begitu? Sudah tidak bisa bertemu dengan kekasihnya, ditambah lagi keinginannya tampil di Olimpiade tidak terwujud.

Itu namanya sudah jatuh tertimpa tangga.” Justru dalam kondisi terpuruk seperti itulah dia harus berjuang mati-matian.

Yang bisa dilakukannya untuk sang pacar hanyalah berlatih keras supaya bisa terpilih ikut Olimpiade.” “Entahlah,” Kohei mengerutkan wajah.

“Aku tidak akan sanggup.” “Tidak ada yang menyuruhmu melakukannya.

Kita sedang membicarakan si Nona Kelinci.” “Hmmm...

Aku tidak bisa menyuruh orang lain melakukan sesuatu yang tidak sanggup kulakukan sendiri.

Kalau kau bagaimana, Shota? Apa kau bisa?” Mendadak ditanya seperti itu, Sh6ta tidak tahu harus menjawab apa.

Dengan wajah cemberut, ia malah menoleh ke Atsuya.

“Kalau kau bagaimana, Atsuya?” Atsuya menatap wajah kedua temannya silih berganti.

“Kalian...

kenapa malah jadi serius? Kita tak perlu pusingpusing memikirkannya!” “Lalu harus diapakan surat ini?” tanya Kohei.

“Diapakan? Ya, biarkan saja apa adanya.” “Tapi kalau tidak dibalas, dia pasti bakal menyerah.” “Hah?” Atsuya balik menatap wajah Kohei yang bulat.

“Kau...

serius ingin membalas surat itu?” Kohei mengangguk.

“Lebih baik tulis saja balasannya.

Apalagi kita sudah seenaknya membuka surat itu.” “Ngawur! Di sini seharusnya tidak ada siapa-siapa.

Salah dia sendiri masih mengirim surat ke sini, wajar saja kalau mereka tidak menerima jawaban.

Kau setuju, kan, Shota?” Shota menggaruk-garuk dagu.

“Yah, kurasa itu masuk akal.” “Benar, kan? Lebih baik biarkan saja surat itu.

Tak perlu melakukan hal yang aneh-aneh.” Atsuya berjalan ke toko lagi dan kembali dengan membawa beberapa gulung kertas shoji yang kemudian ia berikan pada dua temannya.

“Ini.

Gunakan untuk alas dan tidurlah sana.” “Thank you,” gumam Shota.

“Terima kasih,” kara Kohei.

Atsuya menggelar kertas shoji di atas tatami dan berbaring dengan hati-hati.

Ia memejamkan mata.

Ia berusaha tidur, tapi menyadari bahwa kedua temannya masih bergeming.

Ia kembali membuka mata dan mengangkat kepala.

Shota dan Kohei sedang duduk bersila sambil mendekap gulungan kertas shoji jatah mereka.

“Kenapa dia tidak diajak saja?” gumam Kohei.

“Siapa?” “Pacarnya yang sedang sakit itu.

Kalau dia bisa menemaninya ke pusat pelatihan atau kompetisi, mereka selalu bisa bersamasama.

Si Nona Kelinci bisa fokus pada latihan dan ikut kompetisi.” “Percuma.

Pacarnya itu sakit parah.

Dia hanya punya setengah tahun lagi untuk hidup.” “Tapi kita belum tahu apakah dia bisa bergerak atau tidak.

Selama dia bisa memakai kursi roda, menurutku si Nona Kelinci bisa mengajaknya.” “Kalau bisa, dia takkan mengirim surat untuk minta bantuan seperti ini.

Mungkin saat ini pacarnya hanya bisa berbaring dan tidak bisa diajak ke mana-mana.” “Oh ya?” “Mungkin.” “Oi!” Atsuya memanggil mereka.

“Mau sampai kapan kalian mengoceh tidak keruan? Sudah kubilang biarkan saja!” Kedua temannya langsung bungkam dan menunduk.

Namun, tak lama kemudian, Shota kembali mendongak.

“Aku paham maksudmu, Atsuya, tapi aku tak bisa diam saja.

Aku ingin membantu karena sepertinya si Nona Kelinci benarbenar bingung.” Atsuya mendengus dan bangkit duduk.

“Ingin membantu? Jangan konyol.

Memangnya orang seperti kita bisa apa? Sudah tidak punya uang, tidak punya latar belakang pendidikan atau koneksi...

Yang bisa kita lakukan paling-paling hanya mencuri.

Itu pun kita tidak becus.

Begitu akhirnya dapat barang berharga, ujung-ujungnya mobil yang kita gunakan untuk kabur malah mogok.

Akibatnya kita jadi harus mengungsi di tempat bobrok penuh debu ini.

Apa menurutmu orang-orang seperti kita yang tidak bisa mengatasi masalahnya sendiri bisa membantu mengatasi masalah orang lain?” Omelan Atsuya membuat Shota kembali menunduk.

“Pokoknya sekarang tidur saja.

Begitu pagi tiba, jalanan akan penuh dengan orang-orang yang pergi bekerja.

Kita bisa membaur dengan kerumunan dan kabur.” Setelah selesai bicara, Atsuya kembali berbaring.

Akhirnya, Shota mulai menghamparkan kertas shoji di atas tatami, tetapi gerak-geriknya sangat lambat.

“Hei,” kata Kohei ragu-ragu.

“Sambil menunggu pagi, bagaimana kalau kita menulis?” “Menulis?” tanya Shota.

“Ya, menulis balasan surat itu.

Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja.

Aku khawatir...” “Kalian itu memang bodoh atau apa?” semprot Arsuya.

“Kenapa masih memusingkan hal itu?” “Setidaknya itu lebih baik dibandingkan tidak membalas sama sekali.

Kita sering dengar bahwa sebenarnya orang-orang merasa bersyukur selama ada yang mau mendengarkan cerita mereka.

Dari isi suratnya, aku bisa tahu betapa menderitanya si Nona Kelinci karena tidak bisa menceritakan masalahnya kepada orang lain.

Meski tidak bisa memberi saran yang bermanfaat, setidaknya kita bisa menulis bahwa kita memahami perasaannya dan mendukungnya melakukan yang terbaik.

Aku yakin perasaannya akan sedikit lega.” “Terserah!” Atsuya mencetus kesal.

“Lakukan saja sesukamu! Dasar bodoh!” Kohei bangkit berdiri.

“Di sini ada alat tulis tidak, ya?” “Kalau tak salah, di toko masih ada.” Shota dan Kohei pergi ke area toko dan langsung kembali dalam waktu singkat.

“Kalian menemukannya?” tanya Atsuya.

“Ya.

Semua pena tinta sudah mengering dan tidak bisa dipakai, tapi bolpoinnya masih bisa.

Aku juga mengambil kertas surat,” jawab Kohei dengan wajah semringah sebelum masuk ke dapur.

Dia menghamparkan kertas di meja makan, kemudian duduk di kursi.

“Nah, sebaiknya aku menulis apa, ya?” “Bukankah baru saja kau mengatakannya? Kita memahami penderitaannya dan mendukungnya untuk terus berjuang.

Tulis itu saja,” celetuk Atsuya.

“Hmmm, tapi sepertinya terdengar agak blak-blakan.” Atsuya mendecakkan lidah.

“Terserah.” “Bagaimana kalau kausarankan dia mengajak pacarnya seperti yang tadi kita bahas?” usul Shata.

“Bukannya tadi kau sendiri yang bilang jika memang bisa, dia takkan sampai meminta saran seperti ini?” “Memang, tapi kupikir tak ada salahnya memastikan.” Kohei yang bimbang menoleh ke arah Atsuya.

“Bagaimana menurutmu?” “Tidak tahu!” Atsuya berbalik badan.

Kohei meraih bolpoin.

Namun, sebelum mulai menulis, ia kembali menoleh ke arah Atsuya dan Shota.

“Bagaimana caranya menulis kalimat pembuka surat?” “Hm, bagaimana, ya? Kau bisa menulis “Kepada Yang Terhormat...” kata Shota, “tapi kurasa tidak perlu menulis kalimat seperti itu.

Anggap saja kau sedang menulis e-mail.” “Oh, ya.

Seperti menulis e-mail.

Eh, jangan sampai kutulis e-mail.

Ini kan surat.

“Aku...

sudah...

membaca...

suratmu...'” “Tak perlu kaubaca keras-keras,” Shota mengingatkan.

Telinga Atsuya menangkap suara Kohei yang sedang menulis.

Bunyi goresan bolpoinnya terdengar penuh tenaga.

Beberapa saat kemudian, Kohei berseru, “Selesai!” Dia lantas membawa kertas surat itu ke tempat kedua temannya.

Shota mengambil kertas tersebut.

“Tulisan tanganmu benarbenar jelek.” Atsuya yang ada di sebelahnya ikut membaca.

Benar-benar berantakan, belum lagi surat itu ditulis dengan huruf Hiragana dari awal sampai akhir.

Aku sudah membaca suratmu dan bisa memahami kesedihanmu.

Kalau boleh usul, kenapa tidak kauajak saja kekasihmu setiap kali kau pergi latihan? Maaf aku tidak bisa memikirkan saran yang lebih bagus lagi.

“Bagaimana?” Kohei bertanya.

“Yah, lumayan,” jawab Shota yang lantas menoleh pada Atsuya untuk mencari dukungan.

“Terserah kalian,” balas Atsuya.

Kohei melipat kertas surat itu dengan rapi, lalu memasukkannya ke amplop balasan yang ditujukan pada Kelinci Bulan.

“Biar kumasukkan ke kotak.” Ia keluar dari pintu belakang.

Atsuya mendesah.

“Apa yang dia pikirkan? Ini bukan waktunya mengurus masalah orang asing.

Kau juga, Shota, sampai ikut-ikutan.

Kalian ini kenapa?” “Sudahlah.

Kadang-kadang kita perlu juga melakukan hal seperti ini.” “Apa maksudmu “kadang-kadang?” “Coba ingat-ingat.

Dalam situasi biasa, kita tidak pernah mendengar masalah orang lain.

Tidak ada yang mau mendengar pendapat kita.

Mungkin akan terus begitu seumur hidup.

Jadi anggap saja ini kesempatan pertama sekaligus terakhir.

Menurutku tidak ada salahnya.” “Huh.” Atsuya kembali mendengus.

“Lagakmu seperti tahu segalanya saja.” Kohei kembali ke ruangan.

“Tutup kotak susu itu sudah mengeras.

Mungkin karena sudah lama tidak dipakai.” “Sudah pasti, kan? Memangnya zaman sekarang siapa yang masih memakai jasa layanan pengantaran susu...” Mendadak Atsuya berhenti bicara.

“Oi, Kohei! Mana sarung tanganmu?” “Sarung tangan? Ada di sini.” Kohei menunjuk ke arah meja makan.

“Kau...

Sejak kapan kaulepas?” “Waktu menulis surat.

Soalnya sulit kalau harus memakai sarung tangan.” “Bodoh!” Arsuya bangkit.

“Bagaimana kalau sidik jarimu menempel di kertas surat?” “Sidik jari? Memangnya berbahaya, ya?” Ingin rasanya Atsuya menampar wajah bulat Kohei yang mengajukan pertanyaan sebodoh itu.

“Pada akhirnya polisi akan tahu kita menyelinap ke rumah ini.

Bagaimana kalau perempuan Kelinci Bulan' itu tidak mengambil balasan surat yang kauletakkan di kotak susu? Begitu sidik jari di surat itu diperiksa, tamatlah riwayat kita.

Sidik jarimu pernah diambil gara-gara kasus pelanggaran lalu lintas, kan?” “Oh...

kau benar.” “Makanya sudah kubilang jangan melakukan hal-hal yang tidak perlu.” Atsuya mengambil senter, lalu melintasi dapur dengan langkah-langkah lebar menuju pintu belakang.

Kotak susu itu memang dalam keadaan tertutup.

Tertutup amat rapat, seperti kata Kohei, tapi Atsuya berhasil membukanya meski dengan susah payah.

Atsuya menyoroti bagian dalam kotak dengan senter.

Tidak ada apa pun.

Ia membuka pintu belakang dan bertanya ke dalam ruangan, “Hei, Kohei! Surat itu kautaruh di mana?” Kohei keluar dari ruangan sambil mengenakan sarung tangan.

“Di mana? Ya di dalam kotak susu.” “Tidak ada apa pun di sana.” “Eh? Harusnya ada...” “Mungkin surat itu terselip jatuh ke luar kotak waktu kau memasukkannya?” Atsuya menyorotkan senter ke permukaan tanah.

“Tidak! Aku benar-benar sudah memasukkannya.” “Terus ke mana surat itu?” Kohei menelengkan kepala dengan bingung.

Mendadak dari belakang terdengar bunyi langkah yang disusul dengan kedatangan Shota.

Atsuya bertanya, “Ada apa?” “Tadi aku mendengar bunyi dari arah toko, jadi aku pergi ke sana untuk mengecek.

Aku menemukan ini terjatuh di bawah lubang surat.” Dengan wajah pucar, Shota menyodorkan sebuah amplop.

Atsuya terkesiap.

Ia mematikan senter lalu berjalan ke samping rumah dengan hati-hati supaya langkahnya tidak menimbulkan bunyi.

Dari bawah bayang-bayang bangunan rumah, diam-diam ia mengamati bagian depan toko.

Namun...

Tidak ada siapa pun.

Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa seseorang baru saja ada di sana.

Terima kasih banyak untuk tanggapan Anda yang begitu cepat.

Sebenarnya setelah mengeposkan surat itu, sepanjang hari ini saya terus berpikir apakah tindakan saya mendiskusikan masalah itu justru malah merepotkan Anda.

Namun, surat balasan Anda membuat saya lega.

Usulan Namiya-san masuk akal.

Seandainya bisa, saya ingin sekali mengajak kekasih saya ikut ke pusat latihan atau kompetisi, Namun mengingat kondisinya, itu tidak mungkin karena 32 dia masih harus dirawat di rumah sakit untuk memperlambat penyebaran penyakitnya.

Mungkin Anda juga berpikir apa tidak sebaiknya saya berlatih di dekatnya.

Sayangnya di sekitar rumah sakit tempat dia dirawat tidak ada fasilitas latihan yang bisa saya gunakan.

Hanya di hari-hari libur baru saya bisa menemuinya setelah menempuh perjalanan yang cukup memakan waktu.

Di lain pihak, tanggal keberangkatan ke pusat latihan semakin dekat.

Hari ini saya menjenguknya dan hanya bisa berkata “Ya” saat dia berpesan supaya saya memberikan yang terbaik.

Padahal sebenarnya saya ingin mengaku bahwa saya sangat ingin menemaninya, tetapi saya menahan diri karena paham betul itu hanya akan membuatnya gundah.

Saya berangan-angan andai saja ada telepon merangkap TV seperti yang sering muncul di komik-komik.

Dengan begitu dia bisa melihat wajah saya meski kami terpisah jauh.

Tapi ini hanya angan-angan...

Namiya-san, terima kasih banyak karena sudah bersedia mendengarkan keluh-kesah saya.

Walaupun hanya bisa menceritakannya lewat surat, paling tidak perasaan saya kini jauh lebih tenang.

Seandainya Anda merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan, tolong balas surat ini.

Sebaliknya, jika menurut Anda tidak ada lagi yang perlu dikatakan, tolong tuliskan apa adanya di surat balasan.

Saya tidak ingin merepotkan Anda lebih jauh.

Apa pun jawaban Anda, saya akan kembali mengecek kotak susu besok.

Terima kasih banyak.

Shota yang terakhir membaca isi surat itu.

Selesai membaca, ia mendongak dan mengerjap dua kali.

“Ini...

apa maksudnya?” “Entahlah,” jawab Atsuya.

“Aku juga tak mengerti.” “Bukankah ini surat balasan dari si Nona Kelinci?” kata Kohei.

Mendengar jawaban itu, Atsuya dan Shota serentak menatap Kohei.

“Terus kenapa surat balasannya bisa datang?” Mereka berdua bertanya bersamaan.

“Kenapa, ya?” Kohei menggaruk-garuk kepala dengan bingung.

Atsuya menunjuk pintu belakang.

“Baru lima menit lalu kau memasukkan surat itu ke kotak susu, kan? Tapi surat itu sudah lenyap waktu kuperiksa.

Jika benar surat itu diambil oleh perempuan dengan alias “Kelinci” ini, tetap saja dia butuh waktu untuk menulis balasannya.

Tetapi nyatanya, surat kedua darinya datang dalam sekejap.

Bagaimanapun, ini sangat aneh.” “Memang aneh, tapi ini sudah pasti surat balasan dari si Nona Kelinci, bukan? Dia menjawab saran yang kutulis di surat pertama.” Atsuya tidak bisa membantah.

Ucapan Kohei benar.

“Coba kulihat,” katanya sambil merebut surat itu dari Shota.

Ia membacanya ulang.

Jelas si pengirim tidak akan menulis seperti itu jika tidak membaca jawaban Kohei sebelumnya.

“Sial! Apa maksud semua ini? Jangan-jangan ada yang mempermainkan kita!” Shota berseru frustrasi.

“Nah, itu dia.” Atsuya menghunjamkan jari telunjuk ke dada Shota.

“Kita sedang dipermainkan.” Ia melempar surat itu ke samping dan membuka lemari di dekatnya.

Di dalam hanya ada kasur futon dan kardus-kardus.

“Kau sedang apa, Atsuya?” tanya Shota.

“Aku mau memastikan apa ada seseorang yang bersembunyi di sini.

Jelas dia mencuri dengar percakapan kita sebelum Kohei menulis surat, lalu menulis balasannya lebih dulu.

Tunggu, mungkin ada alat penyadap? Kalian coba periksa sekitar sini.” “Tunggu dulu! Memangnya siapa yang mau repot-repot melakukan itu?” “Mana kutahu? Mungkin dia hanya iseng dan ingin mempermainkan orang-orang yang menyelinap ke rumah bobrok ini.” Atsuya memeriksa bagian dalam altar menggunakan senter.

Baik Shota maupun Kohei tetap bergeming.

“Hei, kenapa kalian tidak mulai mencari?” Ditanya begitu, Shota malah menggeleng-geleng.

“Entahlah, aku hanya ragu.

Sulit dipercaya ada orang yang mau capek-capek melakukan semua itu.” “Kurasa ada saja.

Memangnya kau punya penjelasan lain?” “Entahlah.” Sepertinya Shota masih belum puas.

“Lalu bagaimana dengan surat yang hilang dari dalam kotak susu?” “Itu...

pasti semacam trik.

Seperti trik sulap.” “Trik...” Kohei mendongak setelah membaca surat itu untuk kedua kalinya.

“Nona Kelinci ini agak aneh.” “Aneh bagaimana?” tanya Atsuya.

“Dia menulis seandainya ada telepon yang bisa menayangkan video seperti TV.

Memangnya dia tidak punya ponsel? Atau ponselnya tidak punya fungsi itu?” “Mungkin maksudnya dia tidak bisa menggunakannya di lingkungan rumah sakit,” balas Shota.

“Tapi dia juga menulis kalau benda-benda itu sering muncul di komik.

Kesannya dia tidak tahu kita bisa melakukan panggilan video lewat ponsel.” “Aku tak percaya.

Itu mustahil, apalagi di zaman sekarang.” “Tidak, kurasa dia memang tidak tahu.

Baiklah, biar kujelaskan padanya.” Kohei berjalan ke arah meja makan.

“Hei! Kau berniat membalas suratnya lagi? Sadar tidak kalau kau hanya dipermainkan?” kata Atsuya.

“Tapi kita belum yakin soal itu.” “Jelas-jelas kau sedang dipermainkan.

Aku yakin orang yang menguping pembicaraan kita saat ini sudah mulai menulis suratnya...

Tunggu?” Sebuah ide tebersit di benak Atsuya.

“Oke, Kobhei, tulislah balasannya.

Aku baru saja dapat ide bagus.” “Kenapa tiba-tiba? Apa idemu?” tanya Shota.

“Sabarlah.

Nanti juga kau bakal mengerti.” Setelah selesai menulis, Kohei meletakkan bolpoin.

Atsuya yang berdiri di sebelahnya menunduk dan membaca isinya.

Seperti biasa, tulisan Kohei lebih mirip cakar ayam.

Saya sudah membaca surat kedua.

Ada kabar bagus untuk Anda.

Sebenarnya saat ini sudah ada ponsel yang dilengkapi perangkat video.

Ada beragam merek yang bisa dipilih.

Supaya tidak ketahuan, sebaiknya gunakan diam-diam saat di rumah sakit.

“Bagaimana?” “Cukup oke,” sahut Atsuya.

“Tidak masalah kau mau menulis apa.

Cepat masukkan suratnya ke amplop.” Kohei melipat surat itu dan memasukkannya ke amplop balasan yang disertakan oleh Kelinci Bulan, sama seperti waktu mengirim surat pertama.

“Biar kutemani.

Shota, kau tetap di sini.” Atsuya mengambil senter dan menuju pintu belakang.

Setibanya di luar, Atsuya memastikan Kohei sudah benarbenar memasukkan surat itu ke dalam kotak susu.

“Nah, Kohei, sekarang bersembunyilah di suatu tempat dan amati kotak ini.” “Oke.

Kau sendiri bagaimana?” “Aku akan memutar ke belakang supaya bisa memastikan siapa sebenarnya yang memasukkan surat itu.” Atsuya mengamati bagian depan toko dari balik bayangbayang sisi rumah yang menjadi tempat persembunyiannya.

Belum ada tanda-tanda kehadiran orang.

Beberapa saat kemudian, ia merasakan kehadiran seseorang di belakangnya.

Atsuya menoleh dan melihat Shota berjalan menghampirinya.

“Hei! Bukankah kau sudah kusuruh tinggal di rumah saja?” “Ada orang datang?” “Belum.

Makanya aku masih di sini.” Raut wajah Shota berubah bingung.

Mulutnya setengah menganga.

“Ada apa? Apa yang terjadi?” Shota mengulurkan sehelai amplop untuk menjawab pertanyaan Atsuya.

“Ada lagi.” “Apa ini?” “Itu...” Shota menjilat bibir sebelum melanjutkan, “surat ketiga.” Terima kasih atas kesediaan Anda membalas kembali surat saya.

Pengertian dari Anda membuat saya sedikit terhibur.

Sebelumnya saya mohon maaf, tapi sejujurnya, ada satu hal dalam surat balasan Namiya-san yang sama sekali tidak saya pahami.

Saya pikir mungkin ini karena saya yang kurang berpendidikan sehingga tidak memahami lelucon Namiya-san yang sebenarnya berniat menyemangati saya.

Saya benar-benar merasa malu pada diri sendiri.

Ibu saya sering berkata jika ada sesuatu yang tidak saya pahami, jangan langsung menanyakannya kepada orang lain.

Beliau bilang saya harus berusaha keras mencari tahu sendiri lebih dulu, tapi kali ini saya benar-benar tidak paham.

Kalau boleh tahu, apa yang Anda maksud dengan “keitai”? Saya mengira itu istilah dari bahasa asing karena ditulis menggunakan Katakana, tapi saya tidak bisa menemukannya.

Kalau memang berasal dari bahasa Inggris, kata yang paling mendekati adalah “catie” atau “katy”, tapi saya rasa bukan itu maksudnya.

Apakah kata ini memang bukan dari bahasa Inggris? Karena saya belum bisa memahami apa arti kata tersebut, maka petuah penting Anda itu saat ini ibarat “membacakan doa di telinga kuda”? atau “memberi uang logam pada kucing”.

Saya akan sangat berterima kasih jika Anda bersedia menjelaskan.

Saya sungguh-sungguh minta maaf karena sudah mengganggu kesibukan Anda.

Kelinci Bulan Keitai: singkatan dari keitai-denwa yang berarti telepon genggam atau ponsel.

8Uma no mimi ni nenbutsu.

Peribahasa Jepang yang kurang lebih berarti sia-sia saja memberikan sesuatu yang berharga pada seseorang yang tidak memahami nilainya.

?Neko ni koban.

Peribahasa yang artinya sama dengan peribahasa sebelumnya.

Mereka bertiga duduk di kursi mengelilingi surat ketiga dari Kelinci Bulan yang dibentangkan di meja.

“Mari kita susun kronologisnya,” Shota angkat bicara.

“Surat yang baru saja Kohei masukkan ke kotak susu juga lenyap, padahal tidak ada seorang pun yang mendekati kotak itu saat Kohei tadi mengawasinya diam-diam.

Sementara itu, Atsuya yang mengawasi bagian depan toko juga tidak melihat ada yang mendekati pintu gulung, tapi tetap saja surat ketiga muncul.

Apakah ceritanya benar sampai di sini?” “Ya.” Atsuya mengangguk singkat, sementara Kohei hanya mengangguk diam.

“Dengan kata lain,” Shota mengangkat telunjuknya.

“Kita tahu surat yang dikirimkan Kohei lenyap dan surat baru dari si Nona Kelinci datang, padahal tak ada seorang pun yang mendekati rumah ini.

Kotak susu dan pintu gulung juga sudah diperiksa dengan teliti, tapi kita tidak menemukan celah rahasia atau semacamnya.

Menurut kalian, apa sebenarnya yang terjadi?” Atsuya bersandar di kursi sambil menautkan kedua tangan di belakang kepala.

“Tidak tahu.

Makanya kita sibuk membahas ini.” “Bagaimana, Kohei?” Pipi bulat K6hei ikut bergoyang saat menggeleng.

“Entahlah.” “Shota, kau punya teori?” Ditanya Atsuya, Shota kembali menunduk memperhatikan ketiga surat tersebut.

“Apa kalian tidak merasa aneh? Orang ini bilang dia tidak tahu apa itu 'ponsel, bahkan mengira itu istilah bahasa asing.” “Dia pasti hanya pura-pura tidak tahu untuk mengerjai kita.” “Mungkin.” “Pasti benar begitu! Di zaman sekarang mana ada orang Jepang yang tidak tahu ponsel?” Shota menunjuk surat pertama.

“Bagaimana dengan ini? Dia menulis tentang Olimpiade tahun depan.

Tapi seingatku tahun depan tidak ada Olimpiade Musim Dingin maupun Olimpiade Musim Panas.

Apalagi Olimpiade London baru saja selesai.” “Ah?” Atsuya berseru tanpa sadar.

Ia mengernyit dan mengusap-usap ujung hidung untuk menyembunyikan reaksinya.

“Pasti ada kesalahpahaman.” “Kau yakin? Tidak mungkin dia salah soal itu.

Itu kompetisi terbesar yang akan dia ikuti.

Belum lagi dia tidak tahu apa-apa soal ponsel tadi.

Bukankah tidak masuk akal kalau memang cuma karena salah paham?” “Ya, memang...” “Lalu ada satu hal lagi.” Shota memelankan suaranya sampai jadi berbisik.

“Sesuatu yang amat sangat ganjil.

Aku menyadarinya waktu berada di luar rumah tadi.” “Apa?” Sesaat Shota tampak ragu, sebelum akhirnya melanjutkan, “Atsuya, coba cek ponselmu.

Pukul berapa sekarang?” “Ponsel?” Atsuya mengeluarkan ponsel lalu mengecek jam di layar.

“Pukul 03.40.” “Oke.

Berarti sudah lebih dari satu jam sejak kita tiba di sini.” “Benar.

Memangnya ada yang aneh?” “Ya, coba ikuti aku.” Shota bangkit dan keluar rumah melalui pintu belakang.

Ia berdiri di gang penghubung ke gudang sebelah dan mendongak memandang langit malam.

“Waktu pertama kali melewati gang ini, posisi bulan tepat di atas kita.” “Aku juga tahu.

Memangnya kenapa?” Shota menatap Atsuya dengan serius.

“Apa kau tidak merasa ada yang janggal? Kita sudah berada di sini lebih dari satu jam, tapi posisi bulan nyaris tidak berubah.” Untuk sesaat, Atsuya tidak menangkap maksud ucapan Shata, tetapi begitu paham, jantungnya langsung berdegup kencang.

Wajahnya memanas, sementara gelombang dingin merayap di punggungnya.

Dia kembali mengecek ponselnya.

Waktu menunjukkan pukul 03.42.

“Apa-apaan ini? Kenapa bulan itu tidak bergerak?” “Mungkin karena memang sedang musimnya?” usul Kohei.

Shota menatap Kohei.

“Mana ada musim seperti itu!” tukasnya.

Pandangan Atsuya bolak-balik tertuju ke ponsel di tangannya dan bulan di langit.

Dia sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi.

“Oh, biar kucoba sesuatu.” Shota mulai mengutak-atik ponselnya sendiri, sepertinya hendak menelepon.

Mendadak, ekspresinya berubah kaku, bahkan matanya sama sekali tidak berkedip.

“Ada apa? Siapa yang kautelepon?” tanya Atsuya.

Tanpa berkata apa pun, Shota mengulurkan ponselnya supaya Atsuya bisa mendengarkan sendiri.

Atsuya menempelkan telepon itu ke telinga.

Terdengar suara wanita, “Saat ini waktu menunjukkan pukul 02.36.” Mereka bertiga kembali masuk rumah.

“Ponsel ini tidak rusak,” ujar Shota.

“Justru rumah ini yang aneh.” “Maksudmu sesuatu di rumah ini mengacaukan penunjuk waktu di ponselmu?” Kali ini Shota menyanggah, “Aku yakin tidak.

Semuanya masih berfungsi normal.

Masalahnya jam itu menunjukkan waktu yang berbeda dengan yang sebenarnya.” Atsuya mengernyit.

“Lalu apa penyebabnya?” “Menurutku, aliran waktu yang berjalan di dalam rumah berbeda dengan di luar.

Waktu tidak berjalan normal.

Bisa saja waktu di dalam rumah ini terasa panjang, tapi waktu di luar sana hanya berlangsung sekejap.” “Kau ini bicara apa?” Tatapan Shota tertuju pada surat-surat di meja sebelum akhirnya kembali pada Atsuya.

“Kita tahu tak ada seorang pun yang mendekati rumah ini, tapi buktinya surat yang ditulis Kohei langsung lenyap dan kita terus-terusan menerima kiriman surat dari Nona Kelinci.

Jelas, hal seperti ini harusnya mustahil, tapi bagaimana kalau kita anggap saja begini: seseorang telah membawa pergi surat Kohei, lalu setelah membacanya, dia membawakan surat balasannya.

Tapi masalahnya sosoknya tidak terlihat oleh kita.” “Tidak terlihat? Mana ada manusia tak kasatmata?” bantah Arsuya.

“Ah, aku mengerti,” Kohei menimbrung.

“Yang kaumaksud hantu, kan? Hm, tapi hantu itu ada atau tidak, ya?” Ia langsung meringkuk sambil menatap sekeliling.

Shota menggeleng pelan.

“Bukan perbuatan manusia tak kasatmata atau hantu.

Siapa pun itu, dia bukan manusia dari masa ini.” Ta menunjuk surat ketiga.

“Melainkan dari masa lalu.” “Masa lalu? Apa maksudmu?” Nada suara Arsuya terdengar tajam.

“Teoriku seperti ini: lubang surat di pintu gulung dan kotak botol susu itu adalah penghubung ke masa lalu.

Jika seseorang di masa itu mengirim surat ke Toko Namiya versi masa lalu, surat itu akan sampai di toko yang sama versi masa kini.

Sebaliknya, jika kita memasukkan surat ke kotak susu sekarang, surat itu akan muncul di kotak susu versi masa lalu.

Aku memang tak tahu bagaimana itu bisa terjadi, tapi itu penjelasan yang paling masuk akal.” Si Nona Kelinci adalah manusia dari masa lalu.

Shota mengakhiri penjelasannya dengan mengucapkan kalimat itu.

Atsuya butuh waktu untuk bereaksi.

Ia tidak tahu harus berkata apa karena otaknya seolah menolak berpikir.

“Mustahil...” Akhirnya ia bisa berkata-kata.

“Mustahil hal seperti itu bisa terjadi.” “Kupikir juga begitu, tapi tidak ada penjelasan lain.

Kalau menurutmu aku salah, coba pikirkan teori lain.

Teori yang masuk akal.” Atsuya terpaksa menyimpan kembali segala kalimat bantahan di otaknya karena tidak bisa memikirkan penjelasan apa pun.

“Gara-gara kau bersikeras menulis surat balasan, kita jadi repot begini,” cetusnya lemah, setengah menyalahkan Kohei.

“Maaf...” “Tidak usah menyalahkan Kohei.

Selain itu, kalau teoriku benar, jelas ini sesuatu yang luar biasa! Bayangkan, kita sedang berkomunikasi dengan orang-orang di masa lalu lewat surat!” Mara Shota berbinar-binar.

Benak Atsuya kacau balau.

Ia tidak tahu harus berbuat apa.

“Ayo,” ujarnya seraya berdiri.

“Ayo pergi dari sini.” Kedua temannya menengadah menatapnya dengan terkejut.

“Kenapa?” tanya Shota.

“Hei, apa kalian tidak seram dengan situasi ini? Bisa gawat kalau kita sampai terlibat yang aneh-aneh.

Ayo cepat pergi.

Masih ada banyak tempat persembunyian yang lain.

Toh pagi tidak akan kunjung datang, berapa lama pun kita menunggu.

Jadi tak ada gunanya kita terus berdiam di sini.” Namun, kedua temannya tidak sependapat.

Mereka hanya membisu dengan wajah muram.

“Apa lagi sekarang? Cepat katakan!” Atsuya mulai marah.

Shota mendongak menatap Atsuya.

Sorot matanya serius.

“Aku ingin di sini saja untuk sementara waktu.” “Hah? Untuk apa?” Shota menelengkan kepala.

“Aku sendiri tidak tahu untuk apa.

Yang pasti aku tahu kalau kita sedang mengalami petualangan yang luar biasa.

Jarang-jarang ada kesempatan seperti ini...

Tidak, mungkin kesempatan ini hanya datang sekali seumur hidup, jadi aku takkan menyia-nyiakannya.

Silakan saja kalau kau mau pergi, Atsuya, tapi aku masih mau di sini.” “Memangnya kau mau apa di sini?” Shota menatap ketiga surat yang berjajar di meja.

“Menulis surat.

Rasanya hebat sekali bisa berkomunikasi dengan orangorang di masa lalu.” “Ya, benar.” Kohei ikut mengangguk.

“Kita juga masih harus memecahkan masalah si Nona Kelinci.” Atsuya mundur beberapa langkah sembari menatap wajah kedua temannya.

Dia menggeleng kuat-kuat.

“Kalian sudah gila! Apa yang ada di benak kalian? Apa asyiknya berkomunikasi dengan orang-orang dari masa lalu? Sudah, hentikan! Bagaimana kalau kalian terlibat masalah? Aku tidak mau ikut-ikutan!” “Makanya tadi kubilang silakan saja kalau kau mau pergi.” Sorot mata Sh6ta melembut.

Atsuya menarik napas dalam-dalam.

Walaupun ingin protes, dia tidak bisa menemukan kata-kata.

“Terserah kalau begitu.

Kalau sampai terjadi apa-apa, itu bukan urusanku.” Ia kembali ke ruang bergaya Jepang, mengambil tasnya, lalu meninggalkan rumah itu lewat pintu belakang tanpa menatap kedua temannya.

Sesampainya di luar, ia mendongak.

Bulan purnama di atas sana belum juga bergerak.

Ia mengeluarkan ponselnya, teringat bahwa ponsel itu dilengkapi jam radio yang bisa mencocokkan waktu secara otomatis.

Waktu yang tertera di layar LCD sama sekali tidak bergeser semenit pun sejak terakhir kali mereka menelepon dan mendengar informasi waktu.

Seorang diri, Atsuya mulai menyusuri jalan gelap yang nyaris tidak diterangi cahaya lampu jalan.

Udara malam itu cukup dingin, tapi ia tidak sadar karena wajahnya panas.

Ini tidak mungkin terjadi, pikirnya.

Lubang surat di pintu gulung dan kotak penyimpanan botol susu adalah penghubung ke masa lalu sehingga mereka bisa menerima surat dari Nona Kelinci yang dikirimkan dari masa lalu? Omong kosong.

Memang, teori itu bisa menjelaskan apa yang terjadi sejauh ini, tapi secara logika itu mustahil.

Pasti ada kesalahan.

Pasti ada seseorang yang sedang mempermainkan mereka.

Seandainya teori Shota ternyata benar, Atsuya sudah memutuskan lebih baik ia tidak terlibat dengan dunia yang ganjil itu.

Kalau sampai terjadi sesuatu, tidak akan ada seorang pun yang akan menyelamatkan mereka.

Mereka hanya bisa melindungi diri sendiri karena hanya dengan cara itulah mereka bisa hidup sampai sekarang.

Tidak ada gunanya berurusan dengan orang lain, apalagi berurusan dengan orang-orang dari masa lalu.

Orangorang itu takkan bisa melakukan apa-apa untuk mereka bertiga yang hidup di masa kini.

Setelah beberapa saat, Atsuya tiba di jalan besar.

Sesekali tampak mobil-mobil melaju melewati jalan itu.

Saat mulai menyusuri jalan, tampak sebuah konbini di depan sana.

Atsuya teringat Kohei yang dengan sedih mengeluh lapar.

Semakin lama mereka berdua terjaga di tempat itu, pasti mereka akan semakin lapar.

Apa yang akan mereka lakukan? Atau mungkin mereka tidak akan merasa lapar karena waktu tidak berjalan di rumah itu? Atsuya khawatir pegawai toko akan mengingat wajahnya kalau ia masuk dini hari begini.

Belum lagi kalau sampai tersorot kamera pengawas.

Masa bodoh dengan kedua temannya.

Mereka pasti bisa melakukan sesuatu.

Sambil berpikir demikian, Atsuya menghentikan langkahnya.

Tampaknya selain pegawai toko, tidak ada orang lain di dalam konbini.

Atsuya mendesah.

Aku ini terlalu baik...

Dia menyembunyikan tas di balik tempat sampah lalu mendorong pintu kaca untuk masuk ke konbini.

Dengan cepat, dia membeli onigiri, roti manis, dan air mineral dalam botol, lalu langsung meninggalkan toko.

Pegawai toko yang sedang bertugas itu masih muda, tetapi pemuda itu bahkan tidak mendongak menatap Arsuya.

Seandainya wajahnya memang tertangkap kamera pengawas, berbelanja pada jam-jam begini tidak akan menarik kecurigaan polisi.

Justru aneh jika ada kriminal yang nekat berbelanja terang-terangan seperti ini.

Atsuya berusaha menenangkan diri sendiri dengan pikiran itu.

Setelah mengambil tas, ia kembali menyusuri jalan yang baru saja ia lewati.

Ia berniat memberikan makanan itu untuk kedua temannya lalu langsung pergi lagi.

Ia tidak ingin berlama-lama di tempat aneh itu.

Tak lama kemudian ia tiba di rumah tadi.

Untungnya ia tidak berpapasan dengan seorang pun selama perjalanan.

Atsuya mengamati rumah itu.

Ia bertanya-tanya jika saat ini ia memasukkan surat lewat lubang surat di pintu gulung, kira-kira surat itu akan sampai di era mana? Ia melewati gang sempit yang berada di antara toko dan gudang, lalu memutar ke belakang.

Pintu belakang masih terbuka.

Sambil mengintip ke dalam, Atsuya melangkah masuk.

“Ah! Atsuya!” Kohei terlihat girang melihatnya.

“Akhirnya kau kembali juga! Tadinya kupikir kau takkan kembali karena sudah sejam lebih.” “Satu jam?” Atsuya mengecek jam di ponsel.

“Aku cuma pergi lima belas menit.

Lagi pula, aku bukannya kembali.

Aku hanya mampir untuk memberikan ini.” Dia menaruh kantong belanjaan di meja.

“Soalnya aku tak tahu sampai kapan kalian masih mau tinggal di sini.” “Wah!” Dengan wajah berseri-seri, Kohei menyambar onigiri dari dalam kantong belanja.

“Kalau kalian tetap di sini, pagi tidak akan datang,” Atsuya berkata pada Shota.

“Aku punya solusi bagus untuk itu.” “Solusi bagus?” “Pintu belakang dalam posisi terbuka, kan?” “Ya.” “Jika pintu belakang dibiarkan terbuka, alur waktu di dalam rumah akan sama dengan di luar sana.

Kohei dan aku sampai harus mencoba berbagai cara sebelum akhirnya menyadari itu.

Makanya selisih waktu antara kita hanya satu jam saja.” “Begitu ya...” Atsuya menatap pintu belakang.

“Kok bisa? Sebenarnya ini rumah apa?” “Entahlah.

Yang pasti, tidak ada alasan lagi bagimu untuk pergi.

Kita tetap bisa menunggu pagi datang walau berada di rumah ini.” “Benar! Lebih asyik kalau bersama-sama, kan?” Kohei ikut menimpali.

“Tapi kalian masih ingin terus membalas surat aneh itu?” “Tidak masalah, kan? Kau tak perlu terlibat kalau memang tidak mau, walaupun sebenarnya ada yang ingin kami diskusikan.” Atsuya mengerutkan alis.

“Diskusi?” “Jadi tadi setelah kau pergi, kami menulis surat jawaban ketiga dan mengirimkannya.

Lagi-lagi kami menerima balasan.

Pokoknya coba baca dulu.” Atsuya menatap kedua temannya yang balik menatapnya dengan sorot memohon.

“Aku hanya akan baca saja.” Atsuya duduk di kursi.

“Memangnya kalian menulis jawaban apa?” “Ini versi kasarnya.” Shota menyerahkan selembar kertas.

Kali ini Shota yang menulis jawaban.

Tulisannya khas Shota, mudah dibaca dan menggunakan huruf Kanji.

Pertama-tama, tolong lupakan saja soal ponsel karena itu tidak ada kaitannya dengan masalahmu sekarang.

Tolong jelaskan sedikit tentang dirimu dan pacarmu.

Apakah kalian punya keahlian khusus? Apakah kalian punya hobi yang sama? Apakah belakangan ini kalian pernah berwisata? Apakah kalian menonton film? Jika kalian penggemar musik, lagu apa yang akhir-akhir ini sedang populer dan apakah kalian menyukainya? Alasan saya menanyakan semua ini adalah untuk mempermudah diskusi kita.

Terima kasih.

Salam, Toko Kelontong Namiya P.S.

Tulisan di surat ini memang berbeda dari surat-surat sebelumnya, tapi itu tidak perlu dipikirkan.

“Apa-apaan ini? Kenapa kalian menanyakan semua ini?” tanya Atsuya sambil mengibas-ngibaskan kertas yang baru saja dibacanya.

“Karena, pertama, kita harus mencari tahu orang yang menggunakan nama alias “Nona Kelinci ini berasal dari era mana.

Kalau tidak, bakal sulit mengajaknya berdiskusi.” “Langsung saja tulis seperti itu.

Tanyakan terang-terangan dia hidup di era kapan.” Mendengar jawaban Atsuya, Shota mengerutkan kening.

“Coba tempatkan dirimu di posisinya.

Dia tidak tahu apa-apa soal situasi ini.

Kalau mendadak kita bertanya begitu, bisa-bisa kita dikira gila.” Atsuya memberengut sambil menggaruk-garuk pipi dengan jari telunjuk.

Ia tidak bisa membantah.

“Baiklah, jadi apa balasannya?” Shota mengambil sebuah amplop dari meja.

“Yah, coba kaubaca.” Atsuya mengeluarkan surat dari dalam amplop itu, bertanyatanya alasan Shota sok jual mahal.

Ia membentangkan kertas itu di meja.

Terima kasih banyak untuk surat jawaban Anda yang ketiga.

Sejak surat terakhir, saya terus mencari arti istilah “keita?”, bahkan sampai bertanya pada orang-orang—walau tentu saja mereka tidak memahaminya.

Meski sangat penasaran, jika benar itu tidak ada hubungannya dengan saya, saya akan mencoba untuk tidak memikirkannya lagi sekarang.

Tapi saya akan sangat berterima kasih jika kelak Anda bersedia menjelaskannya.

Anda benar.

Memang sebaiknya saya bercerita sedikit tentang kami berdua.

Pertama, seperti yang saya tulis sebelumnya, saya seorang atlet.

Kekasih saya adalah salah seorang peserta di salah satu pertandingan yang saya ikuti, dan di sanalah kami saling mengenal.

Dia juga pernah menjadi calon atlet Olimpiade.

Tetapi di luar itu, kami berdua sebenarnya hanya manusia biasa.

Bicara soal hobi, kami sama-sama suka menonton film dan filmfilm yang kami tonton tahun ini antara lain Superman, Rocky 2, dan masih banyak lagi.

Oh, kami juga sempat menonton Alien dan kekasih saya berkata film itu sangat seru, tapi jujur saya tidak tahan dengan film genre begitu.

Kami juga sering mendengarkan musik dan akhir-akhir ini kami menyukai lagu-lagu dari Godieg0' dan Southern All Stars''.

Lagu Itoshi no Ellie dari Southern All Stars benar-benar sebuah mahakarya, bukan? Saat menulis surat ini, hati saya terasa bahagia karena teringat kembali pada masa-masa saat kekasih saya masih dalam kondisi sehat.

Jangan-jangan memang ini yang Anda inginkan, Namiyasan? Bagaimanapun, saya akui bahwa korespondensi (mungkin pemilihan kata saya terkesan aneh) kita ini benar-benar telah membangkitkan semangat saya.

Tolong balas surat saya ini besok, jika Anda berkenan.

Kelinci Bulan “Jadi begitu,” gumam Atsuya setelah selesai membaca.

“Film Alien dan lagu Itoshi no Ellie.

Dari sini aku bisa menebak dia berasal dari era kapan.

Mungkin satu generasi dengan orangtua kita.” “Godiego (dibaca Go-Die-Go): grup musik rock Jepang.

Populer dengan lagu Monkey Magic yang menjadi lagu pembuka serial TV Saiyaki.

“Southern All Stars: grup musik rock Jepang.

Pada tahun 2003 menduduki peringkat pertama daftar “100 Musisi Jepang Paling Berpengaruh” yang dirilis oleh HMV Japan Shota mengangguk.

“Tadi aku sempat mengecek di ponsel.

Omong-omong, ternyata ponsel memang tidak bisa dipakai di dalam rumah dan baru berfungsi lagi setelah pintu belakang dibuka.

Yah, pokoknya aku sudah mengecek tanggal penayangan ketiga film yang disebutkan dalam surat dan ternyata semuanya ditayangkan tahun 1979.

Lagu Itoshi no Ellie juga dirilis pada tahun yang sama.” Atsuya mengangkat bahu.

“Kalau begitu tak diragukan lagi.

Dia jelas berada di tahun 1979.” “Ya.

Itu berarti Olimpiade yang akan diikuti si Nona Kelinci adalah Olimpiade yang diselenggarakan tahun 1980.” “Benar.

Terus kenapa?” Shota melemparkan tatapan tajam ke Atsuya, seperti ingin menembus ke relung hatinya yang terdalam.

“Ada apa?” tanya Atsuya.

“Ada yang menempel di wajahku?” “Jangan bilang kau tidak tahu.

Kalau Kohei yang tidak tahu wajar saja, tapi kalau kau juga sampai tidak tahu...” “Kau ini bicara apa?” Shota menarik napas sebelum melanjutkan, “Olimpiade 1980 diadakan di Moskow.

Jepang memboikot acara itu.” Tentu saja Atsuya tahu tentang insiden tersebut, hanya saja ia tidak tahu bahwa kejadiannya tahun 1980.

Peristiwa itu terjadi saat Perang Dingin antara Blok Timur dan Blok Barat masih berkecamuk.

Penyebabnya adalah invasi Uni Soviet ke Afghanistan di tahun 1979.

Sebagai bentuk protes, pertama-tama Amerika Serikat mengumumkan bahwa mereka akan memboikot Olimpiade dan meminta negara-negara sekutunya di Blok Barat untuk mengikuti langkah mereka.

Kendati sempat menunda-nunda keputusan sampai detik terakhir, akhirnya Jepang memilih ikut memboikot...

Kurang lebih seperti itulah ringkasan peristiwa yang dibaca Shota di internet.

Baru kali ini Atsuya tahu detail insiden tersebut.

“Kalau begitu masalah selesai, bukan? Karena tahun depan Jepang tidak akan berpartisipasi, tulis saja di surat, suruh dia melupakan Olimpiade dan fokus merawat pacarnya.” Wajah Shota langsung muram begitu mendengar perkataan Atsuya.

“Kalau aku menulis seperti itu, dia pasti tidak akan percaya.

Sebelum keputusan boikot itu diumumkan secara resmi, para atlet Jepang yang dipilih masih percaya bahwa mereka akan berkompetisi di sana.” “Seandainya kita mengaku bahwa kita datang dari masa depan...” Atsuya menghentikan kata-katanya dan mengerutkan kening.

“Lupakan.” “Paling dia hanya akan menganggap kita bergurau.” Atsuya mendecakkan lidah, lalu memukul meja dengan kepalan tangannya.

“Hei...” Kohei yang sejak tadi diam saja memotong pembicaraan dengan ragu-ragu.

“Bagaimana kalau kita tidak menuliskan alasannya?” Atsuya dan Shdta serempak menatapnya.

“Maksudku...” Kohei menggaruk-garuk bagian belakang kepala.

“Kita tak usah menuliskan alasan sebenarnya.

Pokoknya suruh saja dia berhenti latihan supaya bisa merawat pacarnya.

Tidak bisa, ya?” Atsuya bertukar pandang dengan Shota.

Tanpa sadar mereka sama-sama menelengkan kepala.

S1 “Bisa, kok,” kata Shota.

“Menurutku itu ide bagus.

Bukankah dia sendiri yang meminta saran harus berbuat apa? Karena saat ini dia seperti orang yang nyaris tenggelam dan berusaha mencari pegangan, menurutku kita tak perlu menjelaskan lagi alasannya.

Yang penting jawab dengan tegas bahwa dia harus mendampingi pacarnya sampai saat terakhir dan jauh di lubuk hati sebenarnya si pacar juga menginginkan hal itu.” Shota meraih bolpoin dan mulai menulis.

“Bagaimana?” katanya sambil memperlihatkannya pada Atsuya.

Isi surat itu kurang lebih sama dengan yang tadi disebutnya.

“Boleh juga.” “Oke.” Shota membawa surat itu dan keluar lewat pintu belakang yang kemudian ditutupnya.

Atsuya dan Kohei memasang telinga dan bisa mendengar bunyi tutup kotak penyimpanan botol susu yang dibuka.

Trek.

Bunyi kotak ditutup.

Sedetik kemudian, dari belakang terdengar bunyi benda jatuh.

Atsuya pergi ke bagian toko untuk memeriksa kotak kardus di dekat pintu gulung dan menemukan amplop lagi.

Terima kasih sedalam-dalamnya untuk jawaban Anda.

Sejujurnya, saya tidak pernah membayangkan akan menerima jawaban yang begitu tegas.

Bukannya saya mengira saran Anda akan tidak jelas, tapi saya pikir Anda akan memberi jawaban yang ambigu, yang pada akhirnya membiarkan saya mengambil keputusan sendiri.

Namun, saya rasa Namiya-san bukan tipe orang yang bertindak setengah-setengah.

Tidak heran saya banyak mendengar kisah dari orang-orang tentang “Toko Kelontong Namiya” yang begitu dicintai dan diandalkan.

“Kalau kau mencintainya, teruslah mendampinginya sampai saat terakhir.” Kalimat ini benar-benar menghunjam hati dan sedikit pun saya tidak meragukannya kebenarannya.

Hanya saja, saya tidak yakin kekasih saya menginginkan hal yang sama.

Sebenarnya hari ini saya meneleponnya dan sesuai nasihat Namiya-san, saya ingin menceritakan niat saya untuk mundur dari Olimpiade.

Tapi seakan-akan bisa menerkanya, dia malah mendahului dengan berkata jika saya punya waktu untuk menelepon, dia ingin saya menggunakan waktu itu untuk latihan.

Katanya, “Aku senang mendengar suaramu, tapi aku khawatir sementara kita mengobrol seperti ini, kau malah jadi tertinggal dari saingan-sainganmu.” Kini saya malah jadi gelisah.

Seandainya saya mundur dari Olimpiade, bagaimana kalau kondisi kesehatan kekasih saya semakin memburuk akibat patah hati? Selama tak ada jaminan itu takkan terjadi, saya tak punya keberanian untuk menyampaikan niat saya padanya.

Sepertinya saya ini memang pengecut.

Kelinci Bulan Selesai membaca surat tersebut, Arsuya mendongak memandang langit-langit rumah yang penuh debu.

“Aku tidak tahu lagi harus bilang apa.

Ada apa dengannya? Kalau dia tidak mau mengikuti saran kita, untuk apa dari awal dia bertanya?” Shota mendesah.

“Apa boleh buat? Dia pasti tidak menyangka sedang berkomunikasi dengan manusia di masa depan.” “Dia juga menyebut-nyebut soal bicara lewat telepon, artinya saat ini dia tinggal terpisah dari pacarnya,” komentar Kdhei sambil menatap surat tersebut.

“Kasihan.” “Laki-laki itu juga menyebalkan,” kata Atsuya.

“Menyuruhnyuruh pacarnya supaya tetap ikut bertanding dengan alasan memahami perasaannya.

Padahal Olimpiade itu hanya versi mewah dari pertandingan olahraga biasa, kan? Ujung-ujungnya tetap saja olahraga.

Dia pikir perempuan ini bisa mencurahkan perhatian pada pertandingan sementara pacarnya menderita penyakit yang tak bisa disembuhkan? Mentang-mentang sedang sakit, laki-laki itu dengan egoisnya malah membuat pacarnya kebingungan.” “Laki-laki itu pasti juga sedih.

Justru karena dia tahu impian pacarnya adalah bisa tampil di Olimpiade, dia tak ingin si pacar menyerah hanya karena dirinya.

Aku tidak tahu apakah itu yang disebut sikap sok kuat atau menahan diri, tapi mungkin memang agak berlebihan.” “Di situ bagian yang paling menyebalkan.

Laki-laki itu justru sedang menyiksa diri sendiri dengan percuma.” “Kurasa kau benar....” “Jelas.

Dia menganggap dirinya tokoh utama dalam cerita tragedi.” “Kalau begitu, kita harus balas apa?” tanya Shota sambil menggeser kertas surat.

“Tulis bahwa hal pertama yang harus dia lakukan adalah menyadarkan si pacar.

Katakan dengan jelas pada laki-laki itu bahwa hanya karena olahraga, bukan berarti dia bisa mengekangnya, apalagi Olimpiade itu pada dasarnya sama saja dengan kompetisi olahraga biasa.

Jangan disikapi berlebihan.” Shota mengernyit sementara tangannya memegang bolpoin.

“Mustahil kita bisa menyuruh dia berkata seperti itu.” “Mustahil atau tidak, dia harus mengatakannya.” “Yang benar saja.

Kalau dia memang bisa, tak mungkin dia menulis surat seputus asa itu.” Atsuya menggaruk-garuk kepala dengan kedua tangan.

“Sungguh merepotkan.” “Kita suruh saja dia mencari seseorang untuk menggantikannya memberitahu pacarnya,” Kohei berkomentar singkat.

“Pengganti? Siapa?” tanya Shota.

“Selama ini dia tak pernah memberitahu tentang penyakit pacarnya pada orang lain.” “Justru itu.

Kenapa pula orangtua mereka tidak diberitahu? Kalau dia bercerita, aku yakin mereka semua akan memahami perasaannya.” “Selain itu,” Atsuya menjentikkan jari.

“Tidak masalah siapa yang diberitahu: orangtuanya atau orangtua laki-laki itu.

Yang penting dia memberitahu soal penyakit pacarnya, pasti takkan ada yang menyuruhnya tetap mengejar cita-citanya mengikuti Olimpiade.

Tulis saja seperti itu, Shota.” “Oke.” Bolpoin Shota mulai menari-nari di atas kertas.

Berikut isi suratnya: Saya mengerti betapa bingungnya perasaanmu saat ini, tapi percayalah pada saya.

Wajar jika kau merasa dicurangi nasib, tapi setidaknya tolong lakukan apa yang tertulis berikut.

Katakan dengan tegas pada kekasihmu bahwa dia salah.

Ini semua banya masalah olahraga, bahkan dengan embel-embel sebutan “Olimpiade” pun, sebenarnya ini tak lebih dari sebuah pertandingan olahraga berskala raksasa.

Kau harus membuatnya mengerti bahwa menyia-nyiakan waktu yang tinggal sedikit untuk mendampingi kekasihmu hanya demi mengikuti Olimpiade adalah sebuah kebodohan.

Kau harus mengatakannya pada pacarmu sampai dia paham.

Andai saja bisa, sebenarnya saya ingin sekali menggantikanmu mengatakan semua ini padanya, tapi itu mustahil.

Saran saya, ceritakanlah semuanya, entah kepada orangtuamu atau orangtuanya.

Saya yakin mereka semua akan membantu kalian setelah kau memberitahu mereka tentang penyakitnya.

Jadi, kau tak perlu bimbang lagi.

Lupakan soal Olimpiade.

Tidak akan ada yang menyalahkanmu.

Lakukan saja.

Kau akan lega setelah menuruti semua nasihat saya di atas.

Salam, Toko Kelontong Namiya Shota keluar untuk meletakkan surat itu di dalam kotak susu, lalu kembali lewat pintu belakang.

“Surat balasan tadi nadanya agak mendesak.

Semoga dia bisa diyakinkan.” Atsuya berseru kepada Kohei yang ada di ruang depan, “Surat darinya belum tiba?” “Belum!” balas Kohei dari arah toko.

“Belum? Kok aneh...” Shota bingung.

“Padahal surat balasan sebelumnya selalu langsung tiba.

Apa karena pintu belakang belum ditutup rapat?” Tetapi saat dia bangkit dari kursi untuk memeriksa, terdengar bunyi dari arah toko.

“Suratnya sudah datang!” Kohei masuk sambil membawa sepucuk surat.

Ini Kelinci Bulan.

Mohon maaf karena nyaris sebulan saya tidak membalas surat Anda.

Sebenarnya saya sudah berniat membalas surat Anda secepat mungkin, tetapi kamp pelatihan sudah dimulai.

Tapi saya rasa itu hanya alasan.

Jujur saja, saya tidak tahu harus menulis apa.

Saya sedikit kaget saat Anda berkata dengan blak-blakan bahwa kekasih saya salah.

Anda tidak ragu bersikap tegas meski orang yang dimaksudkan sedang sakit parah, dan hal itu membuat saya tersentak.

Sepertinya saya harus banyak belajar dari Anda.

Itu hanya olahraga, hanya Olimpiade...

Mungkin memang benar.

Ralat.

Saya yakin itu benar.

Mungkin selama ini justru kami yang menyusahkan diri sendiri dengan masalah sepele seperti itu.

Namun, saya tidak sanggup mengatakan itu padanya.

Mungkin bagi orang lain itu hanya masalah sepele, tapi sebenarnya kami berdua sama-sama pernah mempertaruhkan nyawa demi mengikuti pertandingan.

Cepat atau lambat, orangtua dari kedua belah pihak memang harus diberitahu tentang penyakit ini, tapi tidak sekarang.

Sebenarnya adik perempuan kekasih saya belum lama ini melahirkan dan orangtuanya masih dipenuhi kegembiraan.

Kekasih saya bilang dia ingin memberi kesempatan pada mereka untuk sedikit lebih lama menikmati kegembiraan itu, dan saya bisa memahaminya.

Selama mengikuti kamp pelatihan ini saya sempat beberapa kali meneleponnya.

Dia sangat senang ketika saya bilang saya akan berusaha keras dalam latihan.

Saya yakin itu reaksi tulus, bukan sekadar akting.

Apakah sebaiknya saya melupakan saja soal Olimpiade? Apakah sebaiknya saya meninggalkan latihan dan fokus untuk merawat dia? Apakah itu akan membantunya? Semakin lama memikirkannya, justru saya semakin bingung.

Kelinci Bulan Atsuya menggeram keras.

Ja naik pitam membaca surat balasan itu.

“Perempuan ini benar-benar cari masalah! Sudah kita suruh berhenti, tapi dia malah pergi ke kamp pelatihan! Bagaimana kalau pacarnya meninggal saat dia di sana?” “Justru demi pacarnya dia jadi tak berani bolos latihan,” kata Kohei santai.

“Tapi jelas-jelas percuma saja dia ikut kamp pelatihan.

Dia bahkan bilang semakin memikirkannya, dia malah semakin kebingungan.

Kenapa dia tidak menuruti nasihat kita?” “Karena memikirkan pacarnya,” balas Shdta.

“Dia tidak mau memadamkan impian pacarnya.” “Apa pun pilihannya, toh dia tetap tidak akan tampil di Olimpiade! Brengsek! Apa tidak ada cara untuk membuatnya mengerti?” Sekujur tubuh Atsuya gemetar saking marahnya.

“Bagaimana kalau dia sengaja mencederai diri?” usul Kohei.

“Pacarnya takkan memaksa kalau dia tidak bisa tampil di Olimpiade gara-gara terluka.” “Boleh juga idemu,” Atsuya setuju.

Shota membantah, “Tidak bisa! Kalau begitu, tetap saja dia memupuskan impian si pacar.

Si Nona Kelinci justru kebingungan karena dia tak tega melakukan itu.” Atsuya mengerutkan hidung.

“Impian, impian...

Dari tadi kau terus meributkan soal itu.

Olimpiade bukan satu-satunya impian dalam hidup, tahu!” Mata Shota terbelalak lebar, seperti baru menyadari sesuatu.

“Itu dia! Si Nona Kelinci harus berusaha meyakinkan pacarnya kalau Olimpiade bukan satu-satunya impian.

Dia bisa memberi alasan kalau dia punya impian lain, misalnya...” Setelah berpikir sejenak, ia melanjutkan, “Anak.” “Anak?” “Maksudku bayi.

Kita sarankan supaya dia bilang kalau dia sedang mengandung—tentu saja anak dari pacarnya—supaya tidak bisa mengikuti Olimpiade.

Jelaskan pada pacarnya kalau dia bisa beralih memimpikan punya anak sendiri.

Dengan begitu, dia akan punya alasan lain untuk hidup.” Atsuya merenungkan ide ini.

Sesaat kemudian, ia bertepuk tangan.

“Shota, kau memang genius! Aku setuju dengan idemu! Sempurna! Seingatku pacarnya hanya punya waktu setengah tahun lagi.

Dia tidak akan tahu kalau perempuan itu berbohong.” “Oke.” Shsta kini duduk menghadap meja.

Atsuya yakin kali ini Kelinci Bulan bakal bisa diyakinkan.

Memang tidak jelas kapan tepatnya si pacar menerima diagnosis itu, tapi berdasarkan surat-surat yang datang sejauh ini, setidaknya belum sampai beberapa bulan.

Katakanlah mereka menjalani hidup secara normal, mereka pasti sudah melakukan hubungan intim.

Bisa jadi mereka memakai alat kontrasepsi, tapi itu bisa dipikirkan dan dibicarakan lagi.

Namun, seperti inilah isi surat berikutnya yang mereka terima tidak lama setelah surat balasan diletakkan di kotak susu.

Saya sudah membaca surat Anda dan ide yang Anda jelaskan membuat saya terkejut sekaligus kagum.

Saya rasa itu salah satu cara untuk menggantikan impian Olimpiade yang selama ini membuatnya bertahan.

Kalau dia tahu saya hamil, saya yakin dia takkan menyuruh saya untuk menggugurkannya demi bisa ikut Olimpiade—justru dia akan berharap semoga bayi itu lahir dalam keadaan sehat.

Hanya saja, ada satu masalah.

Tentang masa kehamilan.

Terakhir kali kami berhubungan intim adalah sekitar tiga bulan lalu.

Jika saya bilang saat ini saya hamil, bukankah itu terdengar tidak wajar? Bagaimana kalau dia menginginkan bukti? Seandainya pun dia memercayai perkataan saya, mungkin dia akan memberitahu orangtuanya—tentu saja berita itu juga akan sampai ke orangtua saya.

Belum lagi kerabat dan kenalan.

Tak mungkin saya bisa mengatakan bahwa kehamilan ini bohong belaka karena itu berarti saya harus menjelaskan alasan saya berbohong.

Saya tidak pandai berakting, juga tidak pandai berbohong.

Saya tak yakin bisa terus berakting sementara orang-orang di sekitar saya meributkan soal kehamilan.

Belum lagi mereka akan beran jika setelah beberapa bulan perut saya tidak membesar, yang berarti saya harus mengganjal perut saya untuk berpurapura.

Sulit membayangkan orang-orang akan percaya.

Masih ada satu lagi masalah penting.

Seandainya proses menjalarnya penyakit yang diidap kekasih saya melambat, artinya dia masih akan hidup saat tanggal perkiraan melahirkan tiba.

Dia akan tahu bahwa saya berbohong jika di hari itu tidak ada anak yang lahir.

Hati saya sakit membayangkan betapa dia akan kecewa.

Ide Anda sangat bagus, tapi saya tidak bisa melakukannya.

Namiya-san, saya sungguh berterima kasih karena Anda telah bersusah payah memikirkan pemecahan masalah ini.

Bisa mendiskusikannya dengan Anda saja sudah membuat saya senang dan sangat bersyukur.

Saya sadar ini masalah yang harus saya cari sendiri jawabannya.

Anda tidak perlu lagi membalas surat ini.

Mohon maaf karena selama ini sudah merepotkan Anda.

Kelinci Bulan “Apa-apaan ini?!” Atsuya bangkit sambil melempar surat itu.

“Setelah kita repot-repot membantunya, pada akhirnya dia hanya bilang kita tak perlu lagi membalas suratnya? Sebenarnya dari awal perempuan ini serius minta saran atau tidak? Kenapa malah semuanya dia abaikan?” “Yah, menurutku omongannya masuk akal.

Memang sulit untuk terus berakting,” komentar Kohcei.

“Diam! Apa gunanya menuruti kemauan perempuan itu sementara pilihan bagi pacarnya hanya hidup atau mati? Kalau sudah berhadapan dengan kematian seperti itu, kita bisa melakukan apa pun.” Atrsuya duduk di depan meja dapur.

“Kau mau menulis balasan surat untuknya, Atsuya?” tanya Shota.

“Tapi nanti tulisan tangannya berubah lagi.” “Itu tidak penting.

Yang jelas aku harus meluapkan kekesalanku!” “Baiklah.

Bilang saja apa yang ingin kausampaikan.

Biar aku yang menulis.” Shota duduk di depan Atsuya.

Kepada Nona Kelinci, Kau ini bodoh? Oh ya, kau memang bodoh.

Padahal aku sudah banyak menasihatimu, tapi kenapa tidak kauturuti? Tahu mengapa kusarankan untuk melupakan Olimpiade? Karena latihan apa pun tidak akan membawamu ke sana.

Kau takkan bisa tampil di Olimpiade, jadi berhentilah berlatih.

Sia-sia saja.

Yang paling sia-sia adalah memusingkan masalah itu.

Kalau memang ada waktu luang, pergilah ke tempat pacarmu.

Memangnya dia akan menangis kalau kau tidak tampil di Olimpiade? Atau kesehatannya akan memburuk? Jangan bercanda.

Memangnya apa pengaruhnya kalau kau tidak ikut? Saat ini di dunia sedang terjadi perang di sana-sini.

Banyak negara yang tidak ikut Olimpiade.

Jepang tak bisa mengesampingkan masalah ini lebih lama lagi.

Kaulihat saja nanti.

Tapi sudahlah.

Terserah.

Lakukan sesukamu, lalu kau tinggal menyesalinya kemudian.

Terakhir, aku ingin mengatakan sekali lagi.

Kau memang BODOH.

Toko Kelontong Namiya Shota menyalakan lilin baru.

Mungkin karena mata mereka sudah terbiasa, mereka bisa melihat ke sudut-sudut ruangan hanya dengan penerangan beberapa batang lilin.

“Belum ada surat datang,” kata Kohei.

“Padahal sebelumnya tidak pernah selama ini.

Jangan-jangan dia tidak mau menulis lagi.” “Menurutku dia memang tidak bakal membalas.” Shota mendesah.

“Siapa pun yang kena omel seperti itu biasanya akan sakit hati atau marah.

Apa pun itu, aku tak yakin dia masih menulis lagi.” “Apa maksudmu? Memangnya aku salah?” Atsuya memelototi Shota.

“Bukan begitu.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan apa yang kautulis karena aku juga sependapat.

Tapi karena kau sudah menulis semua yang ingin kausampaikan, tak ada lagi yang bisa kita lakukan jika dia tidak membalas.” &..Baguslah kalau begitu.” Atsuya melengos.

“Tapi bagaimana kabarnya sekarang, ya?” kata Kohei.

“Maksudku, apakah dia masih mengikuti pelatihan dan terpilih jadi atlet Olimpiade? Dia pasti kaget waktu tahu Jepang memboikot acara itu.” “Kalau benar, biar dia tahu rasa.

Salahnya sendiri tidak mendengarkan saran kita.” Atsuya kembali menggerutu.

“Aku ingin tahu kabar pacarnya.

Sampai kapan dia bertahan hidup? Apakah dia masih hidup saat keputusan boikot itu diumumkan?” Atsuya terdiam mendengar perkataan Shota.

Keheningan canggung menyelimuti mereka bertiga.

“Hei, mau sampai kapan kita terus seperti ini?” tanya Kohei tiba-tiba.

“Pintu belakang masih tertutup.

Kau bilang aliran waktu akan terus berhenti jika pintu itu ditutup?” “Tapi kalau dibiarkan terbuka, jalur penghubung dengan masa lalu akan terputus.

Seandainya perempuan itu menulis surat lagi, kita takkan bisa menerimanya.” Shota menoleh ke arah Atsuya.

“Sebaiknya bagaimana?” Atsuya menggigit bibir dan mulai mengertakkan buku jari.

Setelah mengertakkan kelima jemari kirinya, ia menatap Kohci.

“Kohei, buka pintu belakang.” “Kau yakin?” Shota memastikan.

“Memangnya kenapa? Lupakan saja si Nona Kelinci.

Kita tak ada urusan dengannya.

Sana cepat, Kohei.” “Baik.” Namun, tepat saat Kohei bangkit dari kursi, terdengar bunyi tok dari arah belakang.

Mereka bertiga serempak terdiam.

Setelah bertukar pandang, mereka sama-sama mengarahkan tatapan ke ruang depan.

Perlahan, Atsuya bangkit dari kursi dan pergi ke arah toko, diikuti Shota dan Kohei.

Lagi-lagi terdengar bunyi tok tok.

Seseorang sedang mengetuk-ngetuk pintu gulung.

Dari caranya mengetuk, sepertinya orang di balik pintu ingin mengecek situasi di dalam.

Atsuya berhenti melangkah, lalu menahan napas.

Sehelai amplop meluncur jatuh dari lubang surat.

Apakah Namiya-san masih tinggal di rumah ini? Jika tidak, saya mohon pengertian Anda yang menerima surat ini untuk segera membakarnya tanpa membacanya terlebih dulu, tentu saja jika Anda tidak keberatan.

Selain tidak ada hal penting dalam surat ini, Anda tidak akan mendapatkan apa-apa dengan membacanya.

Surat berikut ditujukan kepada Namiya-san: Apa kabar? Apakah Anda masih mengingat saya? Saya Kelinci Bulan yang tahun lalu beberapa kali berkorespondensi lewat surat dengan Anda.

Tidak disangka-sangka, sudah setengah tahun berlalu sejak saat itu.

Apakah Anda sehat-sehat saja? Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak karena Anda sudah begitu baik hati meladeni diskusi dengan saya, sesuatu yang takkan pernah saya lupakan selamanya.

Saya bisa merasakan ketulusan dalam setiap surat jawaban dari Anda.

Ada dua hal yang ingin saya sampaikan.

Saya pikir Anda pasti sudah bisa menduga yang pertama: bahwa Jepang secara resmi memutuskan memboikot Olimpiade.

Meskipun pada titik tertentu saya sudah mempersiapkan diri, tapi saat itu benar-benar terjadi, bagi saya tetap saja itu kejutan luar biasa.

Walaupun sudah tahu bahwa saya tak akan berangkat, hati saya rasanya seperti diremas-remas saat memikirkan nasib teman-teman yang tadinya sudah terpilih.

Politik dan olahraga...

Keduanya memang sangat berbeda, tetapi masih bisakah kita menganggapnya demikian saat ada perpecahan antarnegara? Hal kedua adalah tentang kekasih saya.

Meski terus berjuang melawan penyakitnya, akhirnya dia mengembuskan napas terakhir di rumah sakit pada tanggal 15 Februari tahun ini.

Kebetulan hari itu jadwal saya kosong sehingga saya langsung bergegas ke rumah sakit.

Saya sempat menggenggam tangannya saat mengantar kepergiannya.

Kata-kata terakhir yang diucapkannya pada saya adalah, “Terima kasih telah membiarkan aku bermimpi.” Sampai di saat terakhir, dia selalu memimpikan saya bisa tampil di Olimpiade.

Saya rasa keinginan itulah yang mendorongnya tetap bertahan hidup.

Setelah dia meninggal, saya langsung kembali mengikuti sesi latihan.

Saya tahu waktunya tinggal sedikit menjelang seleksi akhir, tapi saya memang berniat mengerahkan segenap tenaga demi meraih kesempatan terakhir Saya sudah sempat menyinggung hasilnya di awal surat.

Ya, saya memang tidak terpilih.

Saya dianggap tidak memenuhi syarat.

Tapi saya tidak menyesal karena setidaknya ini adalah hasil yang saya dapat lewat perjuangan terbaik.

Seandainya pun terpilih, saya tetap tidak akan bisa tampil, tapi saya pikir setahun terakhir yang saya jalani bukanlah sebuah kesalahan.

Harus diakui kalau saya bisa berpikir seperti itu berkat Namiya-san.

Jujur, ketika mengirimkan surat konsultasi pertama, sebenarnya tekad saya sudah bulat untuk berhenti dari seleksi Olimpiade.

Tentu saja niat itu muncul karena saya ingin mendampingi dan merawat kekasih saya hingga akhir.

Namun, sebenarnya bukan hanya karena itu.

Saat itu saya merasa kewalahan dengan semua 66 turnamen yang saya ikuti.

Setiap hari saya tersiksa dengan pikiran bahwa usaha yang terburu-buru tidak akan menciptakan hasil yang baik, juga soal kemampuan saya yang terbatas.

Rasa lelah berhadapan dengan para atlet saingan, ditambah tekanan untuk tampil di Olimpiade, akhirnya membuat saya goyah.

Ingin rasanya saya melarikan diri.

Pada saat itulah kami diberitahu tentang penyakit tersebut, Saya tak bisa menyangkal bahwa saya merasa itu kesempatan saya untuk kabur dari kompetisi yang berat.

Saat kekasih saya menderita karena penyakitnya tak bisa disembuhkan, takkan ada yang menyalahkan saya kalau saya memutuskan untuk fokus merawatnya.

Saya terus berusaha meyakinkan diri dengan semua alasan itu.

Namun, dia menyadari kelemahan saya.

Dia terus berharap saya tidak menyerah mengikuti seleksi Olimpiade, apa pun yang terjadi.

Dia bilang jangan sampai saya merenggut impiannya, padahal sebenarnya dia bukan tipe orang yang akan mengatakan hal egois seperti itu.

Saya tidak tahu apa yang sebaiknya saya lakukan.

Saya ingin merawat kekasih saya, ingin meninggalkan seleksi Olimpiade, tapi juga ingin mewujudkan impiannya.

Semua pikiran itu terus berputar-putar di benak saya, sampai saya tidak tahu lagi apa yang sebenarnya saya inginkan.

Di tengah kegundahan itulah saya menulis surat pertama.

Hanya saja saya tidak menceritakan yang sebenarnya.

Saya menyembunyikan kenyataan bahwa jauh di dalam hati saya, saya berniat meninggalkan Olimpiade.

Meskipun demikian, Namiya-san pasti bisa menerkanya karena setelah beberapa kali berkorespondensi, tiba-tiba Anda menekankan bahwa “kalau kau mencintainya, tetaplah berada di sisinya sampai akhir.” Hanya dengan membaca satu kalimat itu saja, rasanya seperti ada palu yang menghantam kepala saya.

Bagaimana tidak? Alasan saya tidak murni, melainkan licik, keji, dan picik.

Setelah itu, Anda memberikan nasihat yang sangat tegas.

“Itu hanya olahraga.” “Yang namanya Olimpiade sama saja dengan pekan olahraga sekolah berskala raksasa.” “Yang paling sia-sia adalah memusingkan masalah itu.

Kalau memang ada waktu luang, pergilah ke tempat pacarmu.” Aneh sekali.

Mengapa Anda bisa mengatakannya dengan begitu yakin? Saat itulah saya baru sadar bahwa Namiya-san sedang menguji saya.

Jika saya langsung menurut ketika Anda menyuruh saya berhenti dari seleksi Olimpiade, artinya memang hanya sampai di situ keinginan saya.

Tapi selama saya sendiri memang tidak berniat berhenti, itu hanya akan menguatkan tekad saya walaupun Anda berkali-kali menyuruh saya berhenti Saat memikirkan itu, mendadak saya menyadari bahwa Olimpiade adalah cita-cita utama saya.

Cita-cita yang sudah ada sejak saya masih kecil.

Cita-cita yang tidak bisa begitu saja dibuang.

Saya memberitahu kekasih saya.

“Aku mencintaimu lebih daripada siapa pun dan ingin selalu bersamamu.

Bahkan aku takkan segan-segan berhenti mengikuti turnamen jika itu bisa menyelamatkan nyawamu.

Tapi jika tidak bisa, aku tetap takkan membuang cita-citaku.

Bukankah kau justru menyukaiku karena sikapku yang terus mengejar cita-cita dan hidup dengan berpegang pada prinsip itu? Sampai kapan pun, aku takkan pernah melupakanmu.

Tapi biarkan aku mengejar impianku.” Mendengar itu, kekasih saya yang terbaring sakit langsung meneteskan air mata.

“Kata-kata itulah yang selama ini selalu kunantikan karena aku tak tahan melihatmu menderita garagara aku.

Bagiku, membuang cita-cita demi orang yang dicintai jauh lebih menyakitkan daripada kematian.

Meskipun terpisah jauh, hasi kita akan selalu satu.

Kau tak perlu khawatir lagi karena aku ingin kau terus mengejar impianmu tanpa penyesalan.” Begitu katanya.

Sejak hari itu, saya terus mati-matian berlatih.

Kini saya paham bahwa istilah “selalu mendampingi” bukan hanya berarti saya harus terus berada di sisinya.

Kata-kata terakhir dari kekasih saya, “Terima kasih sudah membiarkan aku bermimpi”, juga wajahnya yang tampak damai saat meninggal, sudah merupakan penghargaan terbesar bagi saya.

Saya memang tidak bisa mengikuti Olimpiade, tetapi saya berhasil meraih sesuatu yang nilainya melebihi medali emas.

Namiya-san, terima kasih banyak.

Tanpa percakapan kita selama ini, mungkin saya akan kehilangan sesuatu yang paling berharga dan akan seumur hidup menyesalinya.

Dari lubuk hati terdalam, izinkan saya menyampaikan penghormatan dan rasa terima kasih untuk semua nasihat Anda.

Saya berdoa semoga surat ini tetap sampai ke tangan Anda walaupun mungkin Anda sudah pindah.

Kelinci Bulan Shota dan Kohei terdiam.

Atsuya yakin itu karena mereka tidak sanggup membayangkan apa yang harus diucapkan, karena itulah yang ia sendiri rasakan.

Surat terakhir dari Kelinci Bulan benar-benar tak disangka.

Ternyata dia tidak jadi mengundurkan diri dari Olimpiade, bahkan terus berjuang sampai akhir dan sama sekali tidak menyesal meskipun tidak terpilih dan pada akhirnya Jepang tidak jadi mengikuti ajang olahraga tersebut.

Dia justru gembira karena merasa telah memperoleh sesuatu yang lebih berharga daripada medali emas.

Kelinci Bulan yakin itu semua berkat Toko Kelontong Namiya.

Dia percaya telah memilih jalan yang benar setelah membaca surat bernada marah dan kesal dari Atsuya dan kawankawan.

Sepertinya dia tidak bersikap sinis ataupun ironis, karena dia takkan menulis surat yang begitu panjang kalau itu yang dia rasakan.

Atsuya merasa geli.

Keseluruhan situasi ini begitu konyol.

Getaran kecil di dadanya berubah menjadi ringisan, yang kemudian berubah menjadi tawa terkekeh, yang akhirnya berubah menjadi tawa terbahak-bahak.

“Kenapa?” tanya Shota.

“Kau tidak merasa ini sangat lucu? Perempuan ini benar-benar bodoh.

Kita sudah berusaha menyuruhnya melupakan Olimpiade, tapi dia malah seenaknya memutuskan untuk ikut dan justru berterima kasih pada kita karena puas dengan hasil akhirnya.

Bahkan dia sampai menyampaikan rasa hormat! Padahal mana pernah kita menyarankan dia untuk tetap ikut latihan.” Ekspresi Shota berubah lebih santai.

“Tidak apa-apa, kan? Selama dia puas dengan hasil akhirnya.” “Benar! Dan ini menyenangkan!” Kohei menimpali.

“Baru kali ini aku bisa memberi saran kepada orang lain.

Tidak peduli semua ini kebetulan saja atau tidak, aku senang dimintai saran.

Memangnya kau tidak senang, Atsuya?” Atsuya memberengut sambil mengusap-usap hidung.

“Yah, aku tidak merasa buruk.” “Ya, kan? Aku tahu itu!” “Tapi jangan pikir aku segembira kalian.

Pokoknya cukup sampai di sini saja.

Sekarang waktunya membuka pintu belakang karena aliran waktu tidak bisa berjalan selama pintu ditutup.” Atsuya berjalan ke arah pintu.

Tepat saat dia memegang kenop pintu dan hendak membukanya...

“Tunggu!” seru Shata.

“Ada apa lagi?” Tanpa menjawab, Shsta melangkah ke bagian toko.

“Kenapa?” tanya Atsuya kepada Kohei, yang balas menjawab dengan gelengan.

Beberapa saat kemudian, Shota muncul kembali.

Wajahnya terlihat serius.

Atsuya bertanya, “Ada apa?” “Ada surat lagi,” jawab Shota sembari mengangkat tangan kanannya.

“Sepertinya dari orang lain.” Jemarinya menjepit sehelai amplop cokelat.

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar