Kasih Di Antara Remaja Jilid 08

Jilid 08

26. Amukan Di Istana Raja Muda

BHOK-KONGCU mencak-mencak ketika kembali dari Lu-liang-san ke rumahnya di kota raja mendengar bahwa Bi Eng diminta oleh Pangeran Yong Tee. Ia mendongkol sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan terhadap putera kaisar? Biarpun Yong Tee hanya putera dari selir, namun tetap saja kedudukan pangeran itu jauh lebih tinggi dari padanya. Maka ia hanya dapat menyimpan kemarahannya dan hal ini malah memperhebat nafsunya untuk menggulingkan pemerintah Mancu dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar dari pemerintah baru yang ia idam-idamkan, yaitu pemerintah Mongol, berdirinya kembali kerajaan Goan yang telah gugur.

Oleh karena itu ia segera mengutus orang-orangnya untuk memanggil para tokoh kang-ouw yang dahulu sudah berkumpul di Lu-liang-san, dan makin giat mengumpulkan pembantu-pembantu baru terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi dengan jalan mengobral harta bendanya yang cukup banyak.

Pada hari itu, di gedungnya sudah berkumpul banyak sekali orang kang-ouw. Di antara mereka tentu saja hadir pula Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo, malah hadir pula Coa-tung Sin-kai, ketua dari Coa-tung Kai-pang dari utara. Dengan adanya mereka ini, para tokoh lain tidak berani lagi memperebutkan kedudukan orang terkuat, karena mereka tahu bahwa tingkat kepandaian Hoa Hoa Cinjin adalah amat tinggi dan di antara mereka yang boleh dibandingkan dengan dia hanyalah

Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai.

Di situ hadir pula Thio-ciangkun yang memberi laporan kepada Bhok-kongcu bahwa ketika pasukan yang ia kirim pergi ke dusun di mana dikabarkan orang-orang Cin-ling-pai mengadakan kerusuhan ternyata bahwa It Cin Cu dan Ji Cin Cu dan sepasukan pengiringnya telah tewas semua oleh orang-orang Cin-ling-pai. Tentu saja berita ini membuat Bhok-kongcu menjadi makin mendongkol sekali.

"Orang-orang Cin-ling-pai memberontak," katanya kepada semua kaki tangannya yang hadir di situ. "Mulai sekarang kita harus berusaha untuk membasmi mereka, kalau tidak mereka akan merupakan gangguan besar. Setelah siauwte mengadakan perjalanan, ternyata banyak orang-orang selatan masih mempunyai sikap memberontak. Oleh karena itu, siauwte hendak merencanakan gerakan pembersihan dan cu-wi (tuan-tuan sekalian) masing-masing akan mendapat tugas memimpin pasukan untuk membasmi mereka itu. Semua perkumpulan dilarang, kecuali kalau ketua-ketuanya sudah menyatakan hendak membantu pemerintah kita. Yang membantah boleh terus dibunuh dan mulai sekarang, rakyat tidak diperkenankan lagi membawa senjata tajam. Siauwte akan minta kepada kaisar untuk mengeluarkan maklumat ini sehingga apa yang kita kerjakan adalah menurut peraturan yang sah dari junjungan kita."

Karena Bhok-kongcu hanya menjamu mereka dan membagi-bagikan hadiah serta tugas, diam-diam Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai merasa kecewa. Mengapa tidak disebut-sebut tentang pemilihan jago nomor satu yang akan mendapat kedudukan istimewa?

Akhirnya karena tidak sabar, Ji Kong Sek berkata, "Bhok-kongcu, maafkan pertanyaanku ini. Aku hanya menagih janji, bukankah dahulu kongcu sendiri yang berjanji tentang pemilihan tokoh nomor satu untuk dipekerjakan di istana?"

Inilah yang dinanti-nanti oleh sebagian besar tamu di situ. Biarpun tidak mempunyai harapan untuk merebut kedudukan jago nomor satu, sedikitnya mereka itu ingin sekali melihat perebutan kedudukan itu dan menyaksikan pertandingan silat yang menarik.

Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Hal itu menyesal sekali harus dibatalkan, ayah tidak menyetujui."

Hoa Hoa Cinjin melirik tak puas. "Ah, jadi Bhok-ongya hendak bertugas kembali?" Pertanyaan ini sama dengan sangkaan bahwa raja muda yang ditakuti itu hendak merampas sendiri kedudukan koksu, dan memang kalau raja muda itu maju, siapa yang sanggup melawan Pak-thian-tok Bhok Hong? Mendengar ini, semua orang yang hadir bungkam, tidak berani lagi membuka suara dan semua mata memandang ke arah pintu yang menembus ke dalam, mencari-cari dan dengan pandang mata bertanya di mana gerangan Pak-thian-tok yang dikabarkan sakit itu.

Kini Bhok-kongcu tersenyum. "Harap cu-wi jangan salah kira. Ayah sudah tua, sejak lama tidak mau perduli lagi urusan dunia, mana beliau mau bercapek lelah dengan segala macam pekerjaan? Bahkan sudah lama ayah telah pergi lagi merantau, entah ke mana karena itulah yang menjadi kesukaannya. Akan tetapi, karena ayah sudah melarangku untuk mengadakan pemilihan jago nomor satu di sini, terpaksa aku harus mentaati perintahnya. Ayoh cu-wi sekalian minum araknya. Hai, pelayan, lekas ambil arak wangi dan isi semua cawan sampai penuh!"

Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang, "Bhok Kian Teng lekas kaubebaskan adikku, Cia Bi Eng!" Suara ini nyaring sekali menusuk semua telinga orang yang hadir, bahkan mengatasi semua suara gaduh dari puluhan orang itu sehingga serentak mereka menengok.

Keadaan menjadi sunyi sekali sehingga langkah Han Sin yang tenang itu seakan¬akan terdengar nyata. Memang Han Sin lah orangnya yang tadi berseru dari luar dan kini dengan tenang dan pandang mata tajam, pemuda ini memasuki ruangan ini, langsung menghampiri Bhok-kongcu.

Para tamu yang tak pernah bertemu dengan Han Sin bertanya-tanya heran. Siapakah pemuda ini dan apa maunya datang dengan sikap seperti itu? Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan tokoh-tokoh yang tadinya ikut membantu pembongkaran batu-batu di gua rahasia di Bukit lebih heran lagi kenapa pemuda itu begitu berani mengunjungi tempat ini?

Di samping keheranannya, juga mereka itu diam-diam girang sekali. Bhok-kongcu mencari-cari pemuda ini, bukankah dia telah mendapatkan warisan kitab rahasia? Dicari ke mana-mana tidak jumpa, eh sekarang tahu-tahu muncul atas kehendak sendiri!

Bhok-kongcu juga kaget sekali dan menjadi pucat. Akan tetapi pemuda ini tidak kehilangan akal dan cepat dapat menenteramkan hatinya. la berdiri dan tersenyum. "Eh, kiranya saudara yang gagah Cia Han Sin yang datang berkunjung. Silakan duduk dan minum arak dengan kami."

"Bhok Kian Teng, tak perlu lagi kau berputar lidah. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, lekas kaubebaskan Bi Eng!" kata Han Sin sambil melangkah terus maju dengan sikap mengancam.

Sementara itu, ketika mendengar bahwa pemuda ini yang bernama Cia Han Sin, pemuda yang telah membikin sutenya lumpuh, Coa-tung Sin-kai sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya.

Seperti diketahui, Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai dan dengan menggunakan paku-paku rahasianya sendiri, Han Sin telah merobohkan pengemis mata satu itu.

"Keparat kiranya kau anak pemberontak she Cia!" Coa-tung Sin-kai meloncat dan sudah menghadang di depan Han Sin.

"Awas, lo-enghiong, bocah ini lihai sekali, dia telah mewarisi kitab pelajaran Tat Mo Couwsu!" kata Bhok-kongcu sambil duduk lagi. Pemuda bangsawan ini ternyata telah membakar hati ketua pengemis itu dengan kata-kata ini.

"Ha, ha, ha, memang tidak baik saling gempur untuk menguji kepandaian. Biarlah bocah ini menjadi semacam juru penguji!" kata Ji Kong Sek yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kepandaian ketua Coa-tung Kai-pang yang tersohor ini. Sementara itu, tanpa memperdulikan ucapan-ucapan orang lain. Han Sin memandang kakek di depannya. Kakek ini usianya sudah enam puluhan, tubuhnya jangkung kurus tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kering yang lidahnya menjulur keluar dan amat runcing. Sikapnya lemah lembut dan agung, akan tetapi sepasang mata yang berminyak itu menandakan bahwa kakek ini masih belum terlepas dari pelukan nafsu duniawi.

"Tidak tahu siapa lo-enghiong dan kenapa mencampuri urusan pribadiku dengan Bhok Kian Teng?" tanya Han Sin, sabar. Menuruti keinginan hatinya, tidak mau ia bertengkar dengan segala macam orang tanpa ada sebab-sebabnya.

Ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Han Sin, diam-diam kakek ini kaget bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu pandang dengan orang yang memiliki sinar mata seperti ini. Diam-diam ia kagum dan melihat sikap halus Han Sin, ia merasa tidak enak kalau bersikap terlalu kasar, apa lagi mengingat kedudukannya yang tinggi dan usianya yang jauh lebih tua.

"Orang muda, setelah kau tahu namaku, seharusnya kau cepat-cepat berlutut mohon maaf kepada Bhok-kongcu atas sikapmu yang tidak semestinya ini. Kau berada di kota raja, di dalam rumah Bhok kongcu, masa sikapmu seperti ini? Apa yang kauandalkan? Ketahuilah, aku adalah Coa-tung Sin-kai dan kau bocah cilik sesungguhnya bukan lawanku ”

Han Sin pernah diceritai oleh Li Hoa tentang gurunya maka tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan guru Li Hoa dan Li Goat, juga ketua Coa-tung Kai-pang dan suheng dari Tok-gan Sin-kai. la tersenyum dan menjawab. "Lo-enghiong, kalau kau masih mempunyai sedikit sifat gagah, tentu kau tidak membenarkan Bhok Kian Teng menawan adik perempuanku yang tidak berdosa. Aku datang bukan untuk berlaku kurang ajar, melainkan hendak minta dibebaskan adikku. Salahkah ini?"

"Hemmmmm, kau sombong. Agaknya kau memang berkepandaian dan kau sudah pula menghina suteku. Tak dapat tidak, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, tongkatku akan memaksamu."

"Silakan!" tantang Han Sin tenang-tenang saja.

Coa-tung Sin-kai mulai marah, tapi ia masih ragu-ragu, malu untuk menyerang seorang muda yang tak bersenjata. "Keluarkan senjatamu," katanya.

"Aku bukan tukang pukul, bukan tukang bunuh orang, mengapa harus bersenjata? Untuk menjaga diri, Thian telah melengkapi anggauta tubuhku."

"Pemuda sombong, lihat serangan!" Coa-tung Sin-kai tak sabar lagi, tongkatnya menyambar cepat ke arah jalan darah di pundak kiri Han Sin. Pemuda ini maklum dari sambaran tongkat bahwa lawannya yang memiliki gerakan cepat dan tenaga dalam yang sempurna, maka ia tidak berani main-main, dengan sigap ia miringkan tubuhnya mengelak.

Benar saja, baru saja dielakkan serangan pertama, serangan ke dua, tiga dan selanjutnya susul- menyusul bagaikan hujan, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk balas menyerang. Namun Han Sin tetap tenang, dengan Liap-hong-sin-hoat ia menghadapi semua serangan kakek itu dan selalu dapat menghindarkan setiap desakan.

"He, pernah apa kau dengan Ciu-ong Mo-kai?" teriak Coa-tung Sin-kai dengan heran. Ketua perkumpulan pengemis dari utara ini pernah bertanding melawan Tang Pok yang juga menggunakan Liap-hong-sin-hoat maka ia segera mengenal ilmu silat yang tangguh ini, yang membuat ia bertanding dengan Ciu-ong Mo-kai sampai hampir sehari penuh tanpa dapat merebut kemenangan! "Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah suhuku," jawab Han Sin masih tenang. Mendengar jawaban ini Coa-tung Sin-kai lalu mendesak makin hebat. Masa aku tak dapat merobohkan murid Tang Pok, pikirnya penasaran sekali. Akan tetapi ia kecelik karena Liap-hong-sin-hoat yang dimainkan oleh pemuda ini benar-benar aneh dan luar biasa sekali.

Nampaknya pemuda itu hanya bergerak perlahan saja untuk menghadapi serangan-serangannya, namun setiap pukulannya yang akan mampir di tubuh pemuda itu seperti menyeleweng sendiri, seakan-akan kedua tangannya sudah tidak menuruti lagi kehendaknya! Hal ini sebetulnya bukan karena kehebatan Liap-hong-sin-hoat, melainkan kehebatan hawa sinkang di tubuh Han Sin yang sudah demikian kuatnya sehingga sanggup menolak hawa pukulan kakek itu dan membuat semua pukulan meleset.

Han Sin mengerti orang yang sudah menjadi kaki tangan Bhok-kongcu bukanlah orang baik-baik. Akan tetapi karena teringat bahwa lawannya ini adalah guru dari Li Hoa, ia merasa tidak enak juga untuk merobohkan atau melukainya.

Setelah berkali-kali mengelak dan menggunakan hawa pukulan untuk menangkis semua serangan lawan selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Han Sin mengeluarkan suara bentakan keras sekali sambil mengerahkan khikang. Coa-tung Sin-kai kaget dan terhuyung mundur. Han Sin mendesak, tangannya bergerak dan di lain saat, tongkat ular itu sudah berhasil ia rampas. Sekali tekuk tongkat itu mengeluarkan suara "pletakk!" dan patah menjadi tiga potong, lalu dilemparkannya ke atas tanah.

Bukan main kaget, heran, dan malunya Coa-tung Sin-kai. Dia yang menjadi ketua Coa-tung Kai- pang, yang datang-datang hendak ikut pula memperebutkan jago silat nomor satu, dalam pertandingan dua puluh jurus lebih, malah boleh dibilang baru diserang satu jurus saja oleh seorang pemuda hijau, telah kalah mutlak! Dengan muka merah seperti udang direbus ia lalu melangkah mundur, tidak ada muka lagi untuk mencoba menempur Han Sin.

Terdengar suara ketawa mengejek dan dua bayangan orang berkelebat cepat, tahu-tahu Tung-hai Siang-mo sudah berdiri di depan Han Sin. Pemuda ini mengenal sepasang iblis itu dan kemarahannya memuncak. Sebelum mereka bergerak, ia menegur lebih dulu, "Aku datang hanya untuk minta dibebaskannya adikku, aku hanya berurusan dengan orang she Bhok, kenapa segala macam orang tua ikut campur?"

Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba berkata dengan nada mengejek, "Dua orang tua bangka dari utara inipun belum tentu bisa menangkan dia."

Mendengar ini, Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw menjadi panas perutnya, Ji Kong Sek segera mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menubruk maju dengan kedua tangan dipentang dengan jari-jari terbuka seperti seekor garuda menubruk. Ji Kak Touw juga tidak mau tinggal diam, langsung menyerang bagian bawah tubuh Han Sin sambil menggereng seperti ringkik kuda.

Han Sin mendongkol sekali melihat sikap orang-orang tua ini. Ia menggeser kakinya mundur dan melihat bahwa serangan mereka itu malah lebih berbahaya dari pada serangan Coa-tung Sin-kai tadi, ia lalu menggunakan Ilmu Silat Im-yang-kun untuk menghadapi dua orang iblis yang sifat serangannya berlawanan ini. Hanya Im-yang-kun yang mengandung dua macam sifat dapat menghadapi daya serangan mereka. Terdengar suara "plak-plak!" keras sekali ketika sepasang lengan tangan Han Sin menangkisi pukulan-pukulan kedua orang lawannya. Tung-hai Siang¬mo setelah menyerang beberapa jurus dan dapat ditangkis, saling pandang dengan heran.

"Bukankah itu Im-yang-kun dari Cin-¬ling-pai. Bocah, Giok Thian Cin Cu itu apamu?" bentak Ji Kak Touw.

"Giok Thian Cin Cu itu adalah suhuku pula," jawab Han Sin tenang. Semua orang terkejut mendengar ini. Yang lebih kaget adalah Bhok Kian Teng karena ia tidak mengerti bagaimana bocah gunung itu ternyata adalah murid dari orang-orang pandai.

Pertempuran berjalan terus dan dengan hati gelisah Bhok-kongcu melihat bahwa juga Tung-hai Siang-mo tidak banyak berdaya. Seperti mempermainkan anak-anak kecil, Han Sin berdiri tegak dan hanya kedua tangannya bergerak-gerak ke depan, namun dua orang iblis itu sama sekali tidak mampu mendekatinya.

"Cinjin, bocah ini berbahaya. Harap kau suka maju dan membantu untuk menangkapnya hidup atau mati," kata Bhok-kongcu perlahan.

Namun ucapan yang perlahan ini masih dapat terdengar oleh Han Sin yang selalu memperhatikan agar kongcu itu tidak melarikan diri. Pemuda ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali berkelebat ia telah meninggalkan lawannya dan tahu-tahu ia telah berada di depan Bhok-kongcu.

"Orang she Bhok, aku datang untuk minta adikku, kenapa kau bermaksud membunuhku? Di mana Bi Eng?"

Bhok-kongcu menjawab dengan sebuah serangan kilat, menggunakan kipasnya. Kipas ini tidak saja ia pergunakan untuk menyerang jalan darah maut di leher Han Sin, malah sekaligus dari ujung kipas keluar jarum-jarum beracun yang menyambar ke dada pemuda dari Min-san itu.

"Keji!" Han Sin yang bermata jeli dapat melihat ini. Tangannya mengibas, jarum-jarum runtuh dan kipas itu dapat ia cengkeram. "Krak-krak!" Hancurlah kipas itu dilain saat kedua tangan Bhok- kongcu sudah dapat ia pegang dengan erat. "Lepaskan adikku!" Han Sin membentak lagi.

Akan tetapi tiba-tiba dari arah belakangnya menyambar hawa pukulan dahsyat berturut-turut. la terpaksa melepaskan tangan Bhok-kongcu dan memutar tubuh sambil menangkis.

"Dukk!" Tubuh Hoa Hoa Cinjin terpental, demikian pula Tung-hai Siang-mo yang tadi bersama- sama mengirim serangan dari belakang. Hebat sekali tangkisan Han Sin tadi, sekaligus membuat tiga orang kakek itu terpental.

"Kalian memang orang-orang jahat, perlu dihajar!" Timbul amarah dalam hati Han Sin dan pemuda ini lalu mainkan Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang dahsyat. Kedua ujung jari telunjuknya menjadi pengganti pedang namun dua buah jari tangan ini malah lebih berbahaya lagi karena da¬pat menotok jalan darah dari jarak jauh.

Sebentar saja Hoa Hoa Cinjin dan Tung¬hai Siang-mo menjadi sangat repot menghadapi hujan totokan ini. Coa-tung Sin-kai juga cepat melompat maju untuk membantu sehingga sesaat kemudian Han Sin sudah dikeroyok oleh empat orang tokoh besar yang amat disegani orang kang-ouw.

Memang amat mengherankan kalau dilihat. Seorang pemuda yang masih amat muda belia, kini dikeroyok oleh empat orang tokoh yang biasanya merupakan jago-jago yang berkedudukan tinggi, bahkan yang dianggap merupakan calon-calon jago silat yang terpilih di kota raja! Dan tetap saja mereka tak dapat berdaya banyak menghadapi Lo-hai Hui-kiam yang bukan dimainkan dengan pedang, melainkan dengan dua buah jari tangan!

Baru tiga puluh jurus saja, dua buah jari tangan yang bergerak-gerak cepat sehingga kelihatannya berubah menjadi puluhan banyaknya, serta yang amat berbahaya biarpun dipergunakan dari jauh, tak dapat ditahan oleh Tung-hai Siang-mo yang sudah roboh terguling karena totokan, sedangkan pada lain saat, Coa-tung Sin-kai juga terhuyung-huyung karena terserempet pundaknya oleh hawa totokan dari jari tangan kanan Han Sin!

Hanya Hoa Hoa Cinjin yang kosen itulah yang masih dapat melawan, biarpun kini hanya mempertahankan diri saja. Dari sini dapat diukur bahwa di antara empat orang tokoh itu, Hoa Hoa Cinjin ternyata lebih kuat.

Bhok-kongcu gelisah sekali, mukanya pucat dan keringatnya mengucur. Ia menyesal sekali mengapa ayahnya tidak berada di situ. Untuk menghadapi pemuda aneh itu kiranya hanya ayahnya yang boleh diandalkan. Diam-diam ia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya yang lari keluar dan tak lama kemudian, di luar istana itu terdengar derap kaki banyak orang. Kiranya pengawal tadi memanggil pasukan dan kini di luar telah menjaga ratusan orang serdadu Ceng untuk menangkap Han Sin!

"Cia Han Sin, kalau kau tidak menyerah, ratusan anak panah akan menghancurkan tubuhmu!" Tiba- tiba Bhok-kongcu berseru ketika pasukannya sudah berbaris masuk dengan anak panah terpasang pada busur setiap orang serdadu. Hoa Hoa Cinjin melompat mundur dan ketika Han Sin menoleh, ia sudah ditodong oleh ratusan orang serdadu yang memegang busur dan anak panah.

Pemuda ini tertawa aneh, mengangkat dada menghadapi para serdadu sambil berkata pada Bhok- kongcu, "Hidup bukan punyaku mati bukan milikku, aku takut apa? Hidup mati tidak penasaran, pokoknya aku berada di dalam kebenaran. Orang she Bhok, aku datang untuk minta kembali adikku. Kau tidak menuruti permintaanku yang pantas, malah hendak membunuhku. Bunuhlah, siapa takut?"

Bhok-kongcu memberi tanda dan para serdadu yang berada paling depan, segera melepas anak panah menyambar secepat kilat, mendatangkan suara mengaung mengerikan, ke arah tubuh Han Sin! Pemuda ini tenang-tenang saja, kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri sambil mengerahkan sinkang untuk mengebut dan menangkis. Runtuhlah semua anak panah itu, kecuali sebatang yang menancap di ujung pundaknya dan keluarlah darah membasahi baju!

Betapapun hebat kepandaian Han Sin menghadapi hujan anak panah itu tetap saja ia terluka biarpun luka itu amat ringan. Ia menjadi marah, diserbunya ke depan dan sekali tangan kakinya bergerak enam orang serdadu roboh! Keadaan menjadi kalut sekali dan Han Sin sudah bersiap mengamuk mati-matian dalam gedung Pangeran Mongol yang menyebut diri Bhok-kongcu itu.

Pada saat itu terdengar bentakan dari luar, bentakan halus berpengaruh, "Tahan semua senjata!"

Hebat sekali pengaruh bentakan ini. Tidak hanya para serdadu itu serentak minggir dan berdiri tegak memberi hormat, malah Bhok-kongcu sendiri berikut kaki tangannya, Hoa Hoa Cinjin dan yang lain-lain, cepat membungkuk-bungkuk memberi hormat, kepada orang yang membentak tadi. Han Sin menoleh dan kaget serta herannya bukan kepalang. "Yong-giheng !” serunya, memandang dengan mata terbelalak.

Orang itu memang Pangeran Yong Tee. Ia tersenyum kepada Han Sin, lalu tanpa menghiraukan yang lain ia menghadapi Bhok-kongcu dan berkata, "Saudara Cia ini adalah saudara angkatku,

kalau ada persoalan boleh diselesaikan secara damai, tidak boleh sekali-kali menggunakan kekerasan."

Han Sin melongo ketika melihat betapa Bhok-kongcu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut! "Mohon paduka sudi mengampunkan. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa ..... bahwa ...... saudara Cia "

"Bangunlah, cukup semua itu. Cuma saja lain kali, harap tidak melakukan pengeroyokan seperti yang baru terjadi tadi. Benar-benar amat memalukan. Hemmmm, kulihat tidak banyak gunanya orang-orangmu " Pangeran Yong Tee lalu menggandeng tangan Han Sin dan menariknya pergi

dari situ. "Adikku, mari kau ikut aku ke rumahku."

Sejak tadi Han Sin bengong terheran, sekarang ia ragu-ragu. Urusannya dengan Bhok-kongcu belum selesai, ia belum dapat menemukan Bi Eng.

"Tapi ...... adikku Bi Eng " bantahnya bingung.

"Serahkan urusan ini kepadaku, tentu beres. Marilah!" Yong Tee mengajak. Biarpun masih sangsi, Han Sin yang terpengaruh oleh kejadian aneh dan sikap kakak angkatnya yang nampaknya amat berpengaruh itu, tidak membantah dan mengikuti Yong Tee keluar dari gedung Bhok-kongcu.

Akan tetapi, ketika melihat ke mana saudara angkatnya yang aneh itu membawanya masuk yaitu ke sebuah gedung yang amat besar, seperti istana, jauh lebih mewah dan besar dari pada gedung tempat tinggal Bhok-kongcu, Han Sin menjadi pucat dan melepaskan pegangan Yong Tee sambil berkata,

"Gi-heng kau membawaku ke mana ini? Ke rumah siapa?"

Yong Tee tersenyum dan memegang lengan Han Sin lagi. "Ke rumah siapa lagi kalau bukan ke rumahku? Ini rumah ibuku.

"Mari masuk ke dalam " Sementara itu, beberapa orang pelayan yang berada di luar sudah cepat

menyambut kedatangan Yong Tee sambil memberi hormat secara khidmat sekali.

"Gi-heng ...... kau ........ kau siapakah ?” Han Sin bertanya gugup, sama sekali belum menyangka

bahwa saudara angkatnya adalah seorang pangeran! Akan tetapi Yong Tee tidak menjawab, melainkan memberi perintah kepada orang-orangnya dengan ucapan, "Lekas beritahu Cia siocia bahwa kakaknya, Cia-kongcu sudah datang!"

Tentu saja perintah yang cepat-cepat dilakukan oleh para pelayan ini membuat Han Sin kaget dan girang luar biasa sampai ia melupakan pertanyaannya tadi. Dengan erat-erat ia genggam tangan Yong Tee, matanya berseri dan hampir ia berteriak-teriak saking girangnya.

"Gi-heng, jadi jadi adikku Bi Eng sudah berada di sini??"

Yong Tee mengangguk-angguk dengan senyum manis. "Bukankah tadi aku sudah bilang bahwa urusan adikmu itu kauserahkan saja kepadaku tentu beres?" Digandengnya lengan Han Sin, diajak memasuki rumah gedung besar itu. Sampai terbelalak mata Han Sin memandangi dan mengagumi isi ruangan yang mereka masuki. Semuanya serba indah. Serba megah dan besar. "Sin-ko !” Bi Eng berlari-lari dari dalam dan langsung menubruk dan memeluk leher Han Sin

sambil menangis.

Han Sin kembali membuka matanya lebar-lebar melihat Bi Eng berpakaian amat indah. Rambut adiknya yang hitam panjang itu digelung semodel dengan gelung Li Hoa. Indah, cantik dan manis adiknya ini.

"Bi Eng. !” Iapun memeluk dan pada saat itu hatinya berdebar tidak karuan. Bi Eng ini bukan

adik kandungnya!

"Sin-ko, syukur kau selamat. Ah, betapa selama ini hatiku selalu gelisah dan berduka. Ternyata Thian masih belum melupakan kita, Sin-ko. Thian telah menurunkan seorang penolong, yaitu Pangeran Yong Tee yang bijaksana ini. Mari kita menghaturkan terima kasih kepadanya."

Begitu mendengar ucapan ini, Han Sin menjadi makin pucat dan ia melepaskan pelukan adiknya, membalikkan tubuh memandang Yong Tee sambil berkata,

"Bi Eng! Apa katamu tali? Pangeran ....... pangeran siapa ?”

Bi Eng tersenyum di antara air matanya, air mata kegirangan. la memegang tangan Han Sin dan dibimbingnya kakaknya untuk maju. Lalu Bi Eng menjatuhkan diri berlutut, mengajak Han Sin juga berlutut. Akan tetapi Han Sin tidak mau berlutut, hanya berdiri menatap wajah Yong Tee dengan pandang mata tajam.

"Cia-siocia, tak pernah aku mengijinkan orang berlutut kepadaku " tegur Yong Tee.

"Akan tetapi kali ini harap diberi kekecualian," jawab Bi Eng. "Hamba berdua kakak beradik harus menghaturkan terima kasih kepada paduka yang mulia. Kalau tidak ada paduka, bagaimana kami kakak beradik dapat saling bertemu ?"

"Nona Bi Eng, jangan banyak sungkan. Ketahuilah, kita adalah keluarga sendiri. Kakakmu Han Sin ini sekarang sudah menjadi adik angkatku, berarti kaupun adikku sendiri. Bangunlah."

Bi Eng berseru girang dan melompat bangun terus memeluk kakaknya. "Sin-ko, betulkah itu? Kau menjadi saudara angkat Pangeran?"

"Hush, adik Bi Eng, mulai sekarang tidak ada pangeran-pangeranan, kau boleh menyebutku Yong- ko saja," kata pangeran itu sambil tersenyum ramah.

Akan tetapi Han Sin kembali melepaskan pelukan Bi Eng, matanya sejak tadi tidak berkedip menatap wajah Yong Tee. Melihat sikap kakaknya seperti orang marah ini, Bi Eng melangkah mundur dengan heran.

"Gi ...... gi-heng jadi kau seorang pangeran Mancu? Kenapa kau tidak katakan hal ini

sebelumnya? Kau kau telah menipuku!" kata Han Sin wajahnya pucat.

Yong Tee menaikkan alis matanya dengan senyum membayang di bibir. "Gite, kenapa kau bilang begitu? Pangeran atau bukan, bukankah aku seorang manusia juga? Bukan kehendakku dilahirkan sebagai seorang Pangeran Mancu, juga bukan kehendakmu dilahirkan sebagai seorang Han. Bagiku tiada perbedaan." "Kau menipuku! Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah tanah airku? Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan musuh-musuhku?"

"Bukan musuhmu, adikku. Kami keturunan Aisin-gioro dari Mancu bukan musuh, juga bukan orang lain. Kami dan bangsa Han sebetulnya masih sebangsa, Bangsa Tiongkok yang besar. Kami bermaksud untuk membikin Tiongkok menjadi negara yang besar, megah dan makmur. Kami tidak memusuhi rakyat yang kami cinta. Adikku Cia Han Sin, semua orang menganggap kau sebagai putera pemberontak, sebaliknya aku pribadi amat kagum kepada kakek dan ayahmu yang sudah kudengar riwayatnya. Orang seperti kau inilah yang kami butuhkan untuk kami ajak bekerja sama guna kemakmuran bangsa. Bukan orang-orang berwatak penjilat berhati palsu seperti orang

she Bhok dan lain-lain itu. Mari, adikku, terimalah uluran tanganku ini."

Akan tetapi Han Sin melangkah mundur, tidak mau menjabat tangan kakak angkatnya. "Tidak! Ucapan seorang penjajah selalu manis, manis di mulut pahit di hati. Dengan ucapan manis menipu rakyat yang dijajahnya, menjanjikan kemakmuran bersama padahal maksudnya untuk kemakmuran rakyat dan golongan sendiri. Tidak!"

"Adik Han Sin, kau menyedihkan hatiku. Aku bermaksud baik akan tetapi kau menerima salah. Sekali lagi kujelaskan, kerajaan ayahku sama sekali tidak memusuhi rakyat, malah hendak membangun negara Tiongkok demi kemakmuran kehidupan rakyat."

"Bohong! Mataku telah buta! Aaahhh, mataku telah buta. Kau kau yang selama ini kukira

seorang yang patriotik, kiranya malah Pangeran Mancu yang hendak kubasmi!" Ia mengepal tinju dan memandang pangeran itu dengan mata penuh kebencian dan sikap mengancam.

Pangeran Yong Tee tersenyum masam. "Begitukah? Saudaraku yang baik, kalau memang sudah tak dapat kuyakinkan hatimu, dan kau tetap menganggap kakak angkatmu ini sebagai musuh dan penjahat besar, marilah, kau boleh bunuh aku."

"Memang sudah sepatutnya aku membunuh anak penjajah!" Han Sin sudah menggerakkan tangan hendak memukul, akan tetapi melihat wajah pangeran itu dengan senyum tenang memandangnya, sinar mata yang selama ini ia kagumi dan ia cinta sebagai saudara angkat, membuat tangannya menjadi lemas kembali. Pada saat itu, Bi Eng melompat dan memegang tangannya.

"Sin-ko, kau kenapakah? Jangan berlaku yang tidak-tidak. Kau harus tahu bahwa Pangeran eh,

Yong-ko ini berbeda dengan sembarang orang dan sama sekali tidak bisa dianggap musuh. Kalau bukan oleh pertolongannya yang mengambilku dari cengkeraman orang she Bhok itu, apa kaukira kita akan masih dapat bertemu? Sin-ko, jangan kau memusuhi dia ini, apa lagi setelah kau dan dia bersumpah mengangkat saudara. Sin-ko, aku tahu kau bukan membenci orangnya, melainkan membenci karena dia keluarga kaisar yang menjajah. Akan tetapi apakah karena itu kita harus lupa akan budi?"

Han Sin menoleh perlahan kepada adiknya dan Bi Eng terharu melihat betapa wajah kakaknya ini pucat sekali dan dari kedua matanya menitik dua butir air mata. Belum pernah ia melihat kakaknya menitikkan air mata dan kenyataan ini menandakan betapa pada saat itu batin Han Sin tersiksa hebat.

"Bi Eng ......," suara Han Sin lemah dan serak, "kau kau bergantilah pakaian, pakaianmu sendiri

dan lekas kau menyusulku. Kutunggu di luar." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda ini sudah melesat keluar dari ruangan istana itu. "Adik Han Sin !” Yong Tee berseru memanggil namun Han Sin tidak perduli, menengokpun

tidak.

Dengan isak tertahan Bi Eng lalu lari ke dalam kamarnya, menanggalkan pakaian indah pemberian Yong Tee, mengganti dengan pakaiannya sendiri, malah merobah bentuk gelungnya menjadi biasa kembali. Setelah itu ia lalu berlari keluar. Di ruang depan ia melihat Yong Tee masih berdiri seperti patung. Ia cepat menjura dengan hormat dan berkata perlahan,

"Pangeran .....eh, Yong-ko. Ampunkanlah kakakku Han Sin, dan ampunkan aku. Aku aku

selamanya takkan melupakan budimu."

Yong Tee hanya mengangguk-angguk dengan senyum pahit. Dengan isak tertahan Bi Eng lalu berlari keluar di mana Han Sin sudah menantinya. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu berlari- lari pergi meninggalkan kota raja.

Yong Tee cepat dapat menenangkan hatinya. Ia lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah beberapa orang pengawal istana. "Lekas kalian beritahu kepada para penjaga pintu gerbang supaya pemuda dan pemudi yang baru keluar dari sini, jangan diganggu kalau keluar dari pintu gerbang. Dan bawa dua ekor kuda terbagus dan kuat, bersama dua kantong uang emas ini berikan kepada Han Sin dan Bi Eng itu disertai salamku. Cepat!"

Setelah utusannya pergi, Yong Tee menjatuhkan diri di atas kursi dan duduk seperti patung sampai satu jam lebih lamanya. Berkali-kali ia menarik napas dan sinar matanya menjadi suram-muram.

Han Si dan Bi Eng menjadi heran ketika di pintu gerbang sebelah barat mereka dihadang oleh pengawal-pengawal yang membawa dua ekor kuda. Seorang komandan pengawal berkata dengan hormat,

"Kami diutus oleh Pangeran Yong Tee untuk memberikan dua ekor kuda dan dua kantong emas ini disertai salam beliau untuk kongcu dan siocia."

Bi Eng meramkan matanya untuk menahan keluarnya air mata, saking terharu menyaksikan kebaikan terakhir dari pangeran itu. Namun Han Sin mengeraskan hatinya, dengan dagu mengeras ia menolak pemberian itu sambil berkata kepada si komandan,

"Kembalikan kuda dan uang itu kepada Pangeran Yong Tee, katakan kami sudah cukup menerima kebaikannya dan tidak mau mengganggu lagi." Kemudian pemuda ini menarik tangan Bi Eng dan berlari cepat, keluar dari pintu gerbang kota raja.

Setelah berlari cepat sekali sambil menarik tangan Bi Eng sampai puluhan li jauhnya, akhirnya Han Sin berhenti karena adiknya menangis. la melepaskan tangan Bi Eng, lalu memandang adiknya itu dengan penuh kasih sayang.

"Kau kenapa, Bi Eng?"

Bi Eng makin tersedu-sedu, mengusapi air mata yang membanjir turun di kedua pipinya. "Sin-ko

....., aku girang sekali dapat bertemu kembali dan berkumpul kembali dengan kau. Tapi tapi

sikapmu terhadap Pangeran Yong Tee benar mengecewakan hatiku. Dia begitu baik, dia telah

menolongku, malah malah kudengar tadi kau sudah mengangkat sumpah bersaudara dengan dia

....." Han Sin mengerutkan keningnya. "Adik Bi Eng, kau tidak tahu betapa hatiku sendiri hancur menghadapi kenyataan ini. Aku suka kepada pribadi pangeran itu. Akan tetapi kau lihatlah kenyataan. Orang-orang seperti Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin dan para pengkhianat bangsa yang sudah kita jumpai, semua adalah anak buah pemerintah penjajah. Kau dan aku adalah keturunan patriot, kita harus melanjutkan jejak perjuangan nenek moyang, yang luhur dan jaya. Kita harus menggulung lengan baju bersama para pejuang rakyat lain menyelamatkan tanah air, menghancurkan penjajah dan antek-anteknya. Tentang Pangeran Yong Tee itu andaikata benar- benar dia itu berhati mulia, apakah kebaikan seorang saja akan melumpuhkan semangat perjuangan kita? Apakah kebaikan seorang Yong Tee dapat membersihkan kejahatan penjajah dan kaki tangannya yang menindas bangsa kita? Apakah karena kebaikan seorang Yong Tee, kau dan aku harus masuk pula menjadi sekutunya, menjadi pengkhianat bangsa?"

Bi Eng menjadi pucat ketika ia memandang kakaknya. Tanpa disadari lagi, kepalanya yang cantik itu menggeleng-geleng keras dan bibirnya yang pucat itu berkata, "Tidak! Sekali lagi tidak! Tentu saja aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Tapi ....,tapi , bagaimana aku akan tega memusuhi dia

yang begitu baik?" Dan gadis itu menangis lagi.

Han Sin menaruh tangannya di pundak Bi Eng. "Bukan hanya engkau, Eng-moi. Aku sendiripun kiranya takkan sampai hati untuk memusuhi Yong-giheng, seorang yang kuanggap amat baik dan malah sudah menjadi kakak angkatku. Eng-moi, marilah kita kembali dulu ke Min-san. Ketahuilah, selama ini aku sudah mempelajari ilmu silat. Setelah semua pengalaman pahit getir selama kita turun gunung, kita perlu beristirahat di Min-san, di sana kau boleh memperdalam ilmu silatmu, kemudian baru kita akan berusaha menghubungi dan menggabungkan diri dengan para patriot."

Bi Eng mengangkat mukanya memandang kakaknya. "Aku sudah menduga bahwa akhirnya kau akan menjadi seorang ahli silat, Sin-ko. Marilah kalau kau menghendaki kita pulang ke Min-san."

Sambil berjalan cepat di sepanjang perjalanan Han Sin menceritakan pengalaman-pengalamannya. Bi Eng merasa kagum sekali, akan tetapi juga amat berduka ketika mendengar tentang Siauw-ong, monyet peliharaan itu yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya. Ia sampai mencucurkan air mata kalau mengingat Siauw-ong.

"Jangan bersedih, Eng-moi. Kelak aku akan membawamu turun gunung lagi dan kita cari Siauw- ong di Lu-liang-san. Kukira dia berada di dalam hutan di gunung itu."

Terhiburlah hati Bi Eng dan kedua orang muda ini melanjutkan perjalanannya. Sikap Bi Eng terhadap Han Sin masih biasa, manja dan penuh cinta kasih seorang adik. Sebaliknya, biarpun di luarnya Han Sin masih bersikap biasa pula, namun di dalam hatinya timbul bermacam-macam perasaan. Gadis ini bukan adik kandungnya! Seorang gadis anak orang lain, yang sama sekali tidak dikenalnya! Sinar mata dalam pandangnya terhadap Bi Eng berubah, membuat jantungnya kadang- kadang berdetak aneh dan.cinta kasihnya terhadap Bi Eng juga mulai berubah. Biarlah pikirnya, kelak akan kubongkar rahasia gadis ini, akan kucari siapa sebetulnya orang tuanya. Dengan pikiran ini, Han Sin dapat menenteramkan hati dan bersikap biasa. Pemandangan di sepanjang perjalanan nampak terang dan indah setelah kakak beradik ini berkumpul kembali, hati penuh rasa bahagia dan tenteram.

****

27. Cinta Kasih Pangeran Yong-tee

"KELIRU, adik Eng     ! Kembali kau tidak curahkan perhatianmu ke dalam gerakan ini." Gadis cantik jelita itu berhenti bersilat, menarik napas panjang lalu duduk di atas bangku dalam taman bunga itu. Kembali ia menarik napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan sutera hijau menghapus peluh dari leher dan pipinya yang kemerah-merahan. Bibirnya menjadi merah sekali karena pergerakan-pergerakan tadi, merah membasah, segar seperti buah masak. Sayang mata yang jeli itu kini membayangkan rasa duka.

Si pemuda yang melatih ilmu silat, berdiri bengong. Bagaikan terkena hikmat luar biasa, ia berdiri terpesona menatap wajah si gadis yang tertimpa sinar matahari pagi, wajah yang pada saat itu demikian elok dan jelita seperti wajah bidadari.

Si gadis menengok, bertemu pandang. Cepat si pemuda menundukkan kepalanya.

"Eh, Sin-ko (kakak Sin)! Apa-apaan kau berdiri seperti patung di situ? Kau tentu kecewa, ya? Memang otakku bebal, gerakan Heng-pai Kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring) tadi bagiku amat sukar, Sin-ko."

Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Sin, sudah dapat menenteramkan hatinya. Ia mengangkat muka, memandang kepada Bi Eng tenang-tenang. Keningnya agak berkerut.

"Bi Eng, adikku. Sebetulnya tidak ada barang sukar di dunia ini. Tergantung seluruhnya dari pada besar kecilnya kemauan kita. Gerakan kaki dan tanganmu sudah tepat, pengaturan tenaga dan napas juga sudah cocok sebagaimana mestinya. Akan tetapi, sayang sekali perhatianmu kurang tercurah dalam gerakan itu. Ketahuilah, adikku. Seperti juga dalam mengerjakan sesuatu, di dalam ilmu silatpun harus dipergunakan pencurahan pikiran ditujukan bulat-bulat kepada gerakan yang dilakukan (konsentrasi). Karena hanya dengan konsentrasi ini, kita akan dapat melihat setiap perubahan gerakan lawan dan dapat mengatur perkembangan gerakan kita sendiri."

Bi Eng tertawa. Gadis ini memang riang gembira sifatnya. Biarpun tadi matanya membayangkan kedukaan, namun sekarang begitu giginya yang putih berderet rapi itu terlihat dalam ketawanya, lenyaplah segala awan mendung. Cahaya matahari seakan-akan menjadi lebih gemilang. Dengan lagak manja Bi Eng menyambar tangan Han Sin dan menariknya duduk di sampingnya, di atas bangku.

"Duduklah, Sin-ko, jadi enak kita mengobrol. Kau berdiri marah-marah seperti seorang guru yang galak terhadap muridnya yang tolol!"

Mau tidak mau Han Sin tertawa juga. Kegembiraan Bi Eng selalu menjadi sinar dalam pondok mereka, menjadi cahaya terang dalam kesunyian di puncak Gunung Min-san, menjadi cahaya yang selalu bersinar-sinar di dalam lubuk hatinya!

"Eh, Sin-ko. Kau ini sekarang seperti dewa saja. Bagaimana kau bisa menyelami pikiranku? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak mencurahkan seluruh perhatian dan pikiran ke dalam gerakan tadi padahal menurut kau sendiri, kaki tangan, tenaga dan napas yang kupergunakan sudah tepat!"

"Pandang matamu yang membuka rahasiamu, Eng-moi."

"Pandang mataku? Ada apanya sih yang aneh?" Gadis itu menengok menatap wajah kakaknya. Muka mereka berdekatan, hati Han Sin kembali berdebar-debar aneh. Cepat-cepat ia memalingkan muka. "Pandang matamu membayangkan sesuatu yang menyatakan bahwa di dalam pikiranmu kau mengkhawatirkan sesuatu, membuat kau gelisah dan tak dapat mencurahkan seluruh perhatian ke dalam pelajaran tadi. Ilmu Silat Thian-po Cin-keng yang terdiri dari tiga bagian kali tiga puluh enam jurus adalah ilmu silat yang gerakan-gerakannya selalu disesuaikan dengan batin. Karena itu tidak mudah dipelajari. Aku hanya ingin menurunkan tiga jurus saja kepadamu. Yang tiga ini, Heng-pai Kwan-im, Jip-hai-siu-to, dan Ci-po-thian-keng, biarpun hanya tiga macam, akan tetapi sekali kau dapat menguasainya dengan sempurna sukarlah kau dikalahkan orang. Akan tetapi ,

sudahlah soal itu, aku hanya ingin tahu kenapa kau agaknya mengkhawatirkan dan menyusahkan sesuatu, adikku?"

Sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bi Eng.

"Kau memang hebat, Sin-ko. Alangkah bangga hatiku mempunyai kakak seperti kau! Eh, dewa yang bijaksana, setelah kau ketahui keadaan pikiranku, tentu kau tahu pula akan isi hatiku!"

Han Sin menggeleng kepalanya. "Mana aku bisa tahu apa yang terkandung dalam hatimu?" Biarpun mulutnya berkata demikian, hati pemuda ini mengeluh. "Aduhai Bi Eng, kaupun mana bisa tahu akan isi hatiku? Mana kau tahu bahwa kita ini bukan saudara kandung bukan sanak bukan kadang, dan mana kau tahu bahwa aku aku cinta padamu?"

Bi Eng mengerut. Bibirnya diruncingkan matanya mengerling, pura-pura marah. "Kau tentu bisa menerka. Kalau kau tidak mau menerka, aku akan marah, Sin-ko!"

Han Sin tersenyum. Senang melihat kalau "adiknya" ini sudah mengambul dan bermanja seperti itu.

"Baiklah, akan kucoba. Eng-moi, bukankah selama kita berdiam lebih dari tiga bulan di atas gunung ini, hatimu selalu terkenang kepada tempat-tempat jauh di bawah sana? Bukankah hatimu selalu hendak mengajak aku turun gunung seperti dulu lagi? Itukah agaknya yang selalu mengganggumu dalam gerakan ilmu silat."

Aneh! Tiba-tiba Bi Eng menubruk Han Sin, menyandarkan kepala dengan rambut yang hitam halus harum itu di atas dada kakaknya, dan menangis!

Akan tetapi keanehan sikap Bi Eng ini masih tidak seaneh sikap Han Sin bagi Bi Eng. Gadis itu merasa betapa Han Sin mendekapnya, seakan-akan kakaknya itu hendak berusaha memasukkan kepalanya ke dalam dada kakaknya! Erat-erat dan menggigil kedua tangan kakaknya itu memeluknya dan Bi Eng merasa betapa muka kakaknya dengan panas disembunyikan ke dalam rambutnya. Tentu saja hal ini terasa aneh sekali bagi Bi Eng. Gadis ini menggerakkan kepalanya, menoleh ke arah muka Han Sin yang tadi dibenamkan ke dalam rambut yang gemuk itu.

Seperti baru sadar dari mimpi, Han Sin mengeluarkan keluhan aneh, melepaskan pelukannya, melangkah mundur membuang muka tak berani menentang pandang mata Bi Eng. Gadis itu melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali dan betapa dua titik air mata membasahi pelupuk mata Han Sin. Timbul kasihan di dalam hati Bi Eng, ia mengira bahwa kakaknya itu menangis dan bersikap seaneh itu karena tadi terharu melihatnya. Ia melangkah maju dan memegang tangan kakaknya yang terasa dingin dan gemetar.

"Sin-ko, maafkan aku aku hanya membuat kau susah saja. Tidak, Sin-ko. Aku takkan rewel lagi.

Aku takkan mengajak kau turun gunung selama kau belum menghendakinya. Aku akan belajar lebih rajin lagi. Sin-ko, jangan kau marah padaku, ya?" Sikap manja kekanak-kanakan ini membuyarkan semua ketegangan di hati Han Sin. la kini dapat menatap wajah adiknya lagi, dan mukanya menjadi merah sekali.

"Eng-moi, tentu akan tiba saatnya kita turun gunung. Karena akupun ingin mencari Siauw-ong, monyet kita yang hilang tak karuan di mana adanya itu. Kukira dia tentu masih berada di sekitar Lu- liang-san, di sebuah hutan yang banyak monyetnya. Akan tetapi, selain rindu kepada Siauw-ong, aku tidak ingin mencari siapapun juga "

Ia berhenti sebentar, kemudian dengan pandang mata penuh selidik dan tajam sekali sampai membuat Bi Eng berdenyut takut, ia bertanya, "Mungkin kau ingin turun karena sudah rindu sekali kepada ......kepada teman-temanmu ?"

"Sin-ko, kau ini aneh benar! Siapa sih temanku di dunia ini selain kau sendiri dan Siauw-ong?" Masih saja wajah Han Sin memperlihatkan sikap penuh selidik dan aneh. "Apa apa kau tidak

ingin bertemu dengan dengan Yong Tee? Bukankah dia sahabat baikmu?"

Bi Eng membelalakkan matanya. Ia heran sekali melihat sikap Han Sin yang tidak sewajarnya dan tidak seperti biasanya ini, dan dia sebetulnya masih terlalu bodoh untuk dapat menduga apa sebabnya maka Han Sin berhal demikian. Namun perasaan wanitanya yang halus seakan-akan mengerti bahwa Han Sin tak senang kalau dia bersahabat baik dengan pangeran itu, atau bahkan dengan orang-orang lain atau tepatnya dengan laki-laki lain!! Cemburu!! Tentu saja belum sampai pengertian Bi Eng untuk menyangka bahwa Han Sin cemburu seperti layaknya seorang pria mencemburukan wanita pilihannya!

"Sin-ko! Kau ini bagaimana sih? Yong Tee adalah kakak angkatmu, dengan sendirinya diapun menjadi kakak angkatku. Dan sikapku terhadapnya tak lebih tak kurang hanya seperti seorang adik, demikianpun dia memperlakukan aku sebagai seorang adiknya!"

Akan tetapi jawaban ini masih belum mengubah sikap Han Sin yang aneh.

"Bagaimana hubunganmu dengan Yan Bu? Bukankah dia amat baik padamu dan kau memuji-

mujinya?"

Bi Eng makin merasa heran. Kakaknya hari ini benar-benar aneh!

"Dia memang orang baik, seorang gagah perkasa dan pernah menolongku. Akan tetapi bagiku, hanya habis sampai di situ sajalah. Tentu saja kalau dapat bertemu dengan dia sebagai seorang teman kita yang baik, kita akan menjadi girang. Akan tetapi, aku tidak akan mencari-carinya dan

.... eh, Sin-ko, kau kenapakah? Hari ini sikapmu kok luar biasa. Tadi seperti guru galak, lalu baru saja ketika aku menangis kau seperti .... seperti ”

"Seperti apa ??

Gadis itu berpikir keras, namun tak dapat memecahkan persoalan itu, hanya menggeleng kepala, "Seperti entahlah, pendeknya aneh sekali! Dan sekarang, kau seperti hakim saja!"

Sikap aneh tadi lenyap dari muka Han Sin. Ia sudah dapat tersenyum lagi.

"Jangan marah, adikku yang baik. Aku tadi hanya main-main saja. Sssttt, dengar. Ada orang datang

......!" Pendengaran Bi Eng sudah amat tajam walaupun tidak setajam Han Sin. Setelah mencurahkan perhatian, barulah ia dapat mendengar langkah kaki orang yang mendaki puncak itu. Mereka terheran karena langkah kaki ini menunjukkan bahwa yang datang bukanlah seorang ahli silat, kalaupun ada kepandaiannya, namun kepandaian orang yang datang ini tidak berarti.

Han Sin dan Bi Eng sudah berlari keluar dari taman, kini berdiri menanti di depan rumah mereka, rumah peninggalan orang tua mereka. Siapakah yang datang di tempat sunyi ini? Langkah kaki yang kelelahan makin terdengar dekat. Batu terakhir yang banyak mengelilingi puncak itu dipanjat orang dan muncullah kepala seorang pemuda tampan berpakaian sederhana.

"Dia ??" Berubah wajah Han Sin ketika ia mengenal orang ini.

Wajah Bi Eng berseri, tapi hanya sebentar saja. Ketika ia mengerling kepada Han Sin, segera ia mengerutkan kening. Kakaknya nampak tak senang, bahkan kelihatan marah-marah. Dengan tindakan cepat Han Sin menghampiri pemuda yang baru datang itu. Bi Eng cepat menyusulnya.

"Mau apa kau datang ke sini? Muslihat busuk apakah yang akan kaulakukan? Pergi!" seru Han Sin marah.

Pemuda itu menarik napas panjang dan memandang dengan muka sedih. Sejak tadi Bi Eng melihat bahwa orang yang datang ini diliputi kedukaan besar. la merasa kasihan, lalu memegang lengan kakaknya dan berkata kepada orang itu,

"Yong-ko (kakak Yong), maafkan kalau kami tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya. Ada keperluan apakah Yong-ko mendatangi tempat kami yang sunyi?"

Kembali orang itu yang bukan lain adalah Yong Tee, pangeran dari Kerajaan Mancu, menarik napas panjang. "Terima kasih atas sikapmu yang baik, siauw-moi. Sayang sekali gi-te (adik angkat) nampaknya masih membenci aku, sehingga agaknya perjalananku yang amat jauh dan susah payah ini akan tersia-sia, harapanku akan musnah dalam hidupku akan hancur " Dan tiba-tiba pangeran

yang biasanya amat cerdik, amat tenang dan dapat menguasai segala hal itu menjatuhkan diri di atas tanah dan menangis!

Bukan main terharunya hati Bi Eng. Ingin ia menghiburnya, akan tetapi ia merasa tidak enak dan takut kepada Han Sin. Adapun Han Sin yang menyaksikan sikap pangeran ini, heran sekali. la sudah mengenal baik-baik watak Yong Tee, tahu bahwa kalau tidak ada hal yang amat hebat, tak mungkin pangeran itu akan memperlihatkan sikap seperti ini, demikian lemahnya.

Tergerak hatinya, tetapi, keangkuhannya mengekangnya. Bagaimana ia bisa bersikap manis terhadap seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah nusa bangsanya? Untuk menutupi keharuan hatinya melihat bekas saudara angkat yang dahulu amat dipandang tinggi dan dikasihinya, Han Sin membentak,

"Seorang laki-laki boleh mengeluarkan peluh dan darah, pantang mengeluarkan air mata! Kau datang mau apakah? Harap segera terangkan, atau tinggalkan kita!"

Diam-diam rasa cemburu timbul lagi dalam dada Han Sin. Harus ia akui bahwa pangeran ini amat tampan, halus tutur sapanya, baik budinya, dan mempunyai kepandaian yang amat luas. Benar- benar seorang pemuda yang menjadi harapan tiap orang gadis, tentu saja termasuk Bi Eng!

Agaknya perasaan cemburu inilah yang mempertebal rasa bencinya terhadap pangeran Bangsa Mancu ini. Mendengar ucapan Han Sin itu, pangeran Yong Tee memaksa tersenyum masam. "Kau betul sekali, Cia-gite. Kau adalah jauh lebih gagah dari pada aku. Aku lemah sekali kali ini terpaksa kuakui

betapa lemahnya aku Cia-te, aku datang untuk memohon pertolonganmu."

"Kau adalah seorang Pangeran Mancu, bagaimana bisa minta pertolonganku? Aku adalah musuh kerajaanmu, mengerti? Kedudukan kita menempatkan kita berhadapan sebagai musuh, tak mungkin menjajarkan kita sebagai teman atau saudara."

"Saudaraku, ucapanmu lagi-lagi tepat sekali. Akan tetapi kali ini, aku minta pertolonganmu karena urusan pribadi, sama sekali tidak menyangkut urusan politik dan negara ”

Melihat sikap Han Sin masih bersikeras, dan kasihan melihat sikap pangeran itu yang tak segan- segan merendahkan diri dan agaknya amat berduka, Bi Eng lalu berkata,

"Sin-ko selalu bersiap sedia menolong siapapun juga tanpa memilih bulu, asal saja pertolongan yang dibutuhkan tidak menyimpang dari pada kebenaran. Saudara Yong, katakanlah, apa gerangan yang menyusahkanmu?"

Yong Tee memandang kepada gadis itu dengan berterima kasih. Kemudian ia bercerita tentang keadaan di kota raja yang sudah banyak mengalami perubahan semenjak Han Sin dan Bi Eng meninggalkannya. Ringkasan cerita Pangeran Yong Tee adalah sebagai berikut.

Seperti telah diketahui, penyerbuan Bangsa Mancu ke daerah Tiongkok, mendapat bantuan pula dari bangsa-bangsa lain di utara, di antaranya yang paling berjasa adalah Bangsa Mongol. Karena itulah nama besar Raja Muda Bhok Hong atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan sebutan Pak-thian-tok (Racun Dunia Utara), yaitu seorang pangeran Bangsa Mongol, bersama puteranya yang bernama Bhok Kian Teng, lebih terkenal dengan sebutan Bhok-kongcu dan sebetulnya bernama Pangeran Galdan, amat terkenal dan merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Mancu.

Namun ternyata kemudian bahwa jalan politik Bangsa Mancu amat jauh bedanya dangan Bangsa Mongol. Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok, merupakan penjajah yang kejam dan mementingkan bangsanya sendiri. Sebaliknya, bangsa Mancu berusaha menyesuaikan diri, malah melakukan banyak kebaikan untuk rakyat jelata seperti membasmi korupsi, penyuapan, dan juga mereka ini malah menyesuaikan diri mengikuti perkembangan kebudayaan Han.

Hal ini amat mengecewakan Bangsa Mongol, di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok- kongcu yang dibantu banyak orang pandai, juga mengandalkan nama besar dan kepandaian ayahnya, Pak-thian-tok Bhok Hong! Apa lagi setelah pihak pemerintah Mancu muncul orang-orang seperti Pangeran Yong Tee yang selalu berusaha merintangi perbuatan sewenang-wenang dari orang-orang Mongol, pemberontakan orang Mongol tak dapat dicegah lagi!

Setelah berkali-kali mengalami perselisihan dengan pemerintahan Mancu, akhirnya Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan membawa semua anak buah dan pembantunya, melarikan diri ke utara dan di sana dia menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Kerajaan Mancu, untuk mengusir Bangsa Mancu dari daratan Tiongkok, bukan dengan maksud membebaskan rakyat dari pada penjajahan, malah sebaliknya, hendak melanjutkan penjajahan nenek moyangnya dahulu, yaitu Jenghis Khan yang maha besar!

"Banyak orang gagah dapat ia bujuk dan ikut pula memberontak, ikut lari ke utara," demikianlah Pangeran Yong Tee melanjutkan ceritanya. "Yang tidak mau ikut, banyak yang dibunuh, di antaranya Thio-ciangkun yang setia kepada kerajaan kami. Juga orang-orang yang ternama di kalangan kang-ouw banyak yang ikut terbujuk oleh Pangeran Galdan, malah di antaranya Hoa Hoa Cinjin ikut pula memberontak." Pangeran itu lagi-lagi menarik napas pagjang, nampaknya berduka sekali. "Yang lebih hebat lagi, puteri angkatnya, nona Hoa-ji ....., ikut pula ke utara "

Han Sin mengerutkan kening. "Perduli apa dengan Hoa Hoa Cinjin? Dia manusia busuk!" Akan tetapi Bi Eng yang lebih tajam pendengarannya dan lebih halus perasaannya, memotong,

"Sin-ko, yang disedihi Pangeran Yong bukanlah Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi nona Hoa-ji itulah!"

Pangeran Yong Tee menarik napas panjang. "Adik Bi Eng, memang tepat sekali ucapannya itu. Terus terang saja, aku ...... aku sejak lama jatuh cinta kepada nona Hoa-ji, biarpun belum

kulihat mukanya aku bodoh dan edan sekali, aku tergila-gila kepada seorang gadis yang selalu

bersembunyi di balik kedoknya "

Tadinya ia menunduk, sekarang ia mengangkat muka dan berkata, "Demikianlah, gi-te. Aku sudah membuka rahasia hatiku yang tidak diketahui siapapun juga, bahkan ibukupun belum tahu akan rahasia hatiku ini. Aku putus asa ...... aku sedih dan bingung sekali ”

Aneh dalam pandangan Bi Eng, tiba-tiba wajah Han Sin berseri, malah ia seperti melihat senyum kegembiraan membayang di balik bibir dan pandang mata kakaknya. la mengenal benar setiap tarikan muka, setiap sinar mata atau senyum kakaknya ini. Heran benar, mengapa kakaknya demikian gembira dan bahagia mendengar penuturan Pangeran Yong Tee?

Tentu saja nona ini tidak tahu apa yang terjadi di dalam hati Han Sin. Memang tepat dugaannya, Han Sin merasa gembira dan berbahagia karena setan cemburu sekaligus terbang lenyap dari lubuk hatinya ketika Pangeran Yong Tee secara terus terang mengakui cintanya terhadap nona Hoa-ji, gadis bertopeng itu. Kalau demikian, berarti pangeran yang tampan menarik ini tidak mencintai Bi Eng, hanya menyayangnya sebagai adik angkat belaka! Maka lembutlah kata-katanya ketika ia bicara kepada pangeran itu,

"Pangeran, setelah mendengar ceritamu dan mengingat akan kebaikanmu yang dulu-dulu kepada aku dan adikku, biarlah aku sanggupi untuk mencari kekasihmu itu di utara. Akan kususul nona Hoa-ji, kulindungi dia dari pada bahaya, dan kalau mungkin akan kubawa dia pulang ke kota rajamu. Akan tetapi dengan syarat bahwa aku tidak mau mencampuri urusan pertempuran dan peperangan antara Bangsa Mancu dan Bangsa Mongol, karena itu bukan urusanku."

Bukan main girang hati Yong Tee. Dia tadinyä sudah putus asa, karena setelah kekasihnya itu berdiri di pihak musuh, tiada harapan pula baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya. Nona itu tentu akan terancam bahaya. Untuk minta tolong orang lain, ia tentu saja harus membuka rahasia hatinya dan hal ini ia tidak inginkan. Satu-satunya harapan baginya hanyalah pertolongan Han Sin yang ia ketahui kegagahannya.

Ia menjura. "Gi-te, aku terharu, girang dan juga kecewa mendengar kesanggupanmu. Tentu saja aku terharu dan girang karena ternyata kau masih sudi menolongku dan terima kasih sebelumnya kuhaturkan. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata kau sudah tidak mau mengakuiku sebagai saudara angkatmu lagi ”

"Hal itu sudah lewat, pangeran Harap jangan diulang lagi. Apakah kau mau memperingatkan aku bahwa kau mengusulkan pengangkatan saudara karena hendak menarikku ke pihak Mancu, pihak penjajah tanah airku? Tidak! Sebagai manusia secara perorangan kita memang saudara, namun sebagai bangsa, kita berlawan karena bangsamu menjajah bangsaku. Nah, selamat berpisah, pangeran. Aku dan adikku baru akan turun gunung beberapa hari lagi setelah selesai latihan-latihan kami. Mudah-mudahan saja akan dapat berhasil usahaku mencari nona Hoa-ji dan mengantarkannya kepadamu."

Menyaksikan kekerasan hati Han Sin, pangeran itu terpaksa pergi meninggalkan puncak itu dengan muka muram. Setelah tamu itu pergi tidak kelihatan lagi, Bi Eng mengomel, "Sin-ko, kau benar- benar terlalu. Dahulu aku di istananya mendapat perlakuan baik sekali. Sekarang dia datang, secawan air teh saja kita tidak keluarkan untuknya."

"Bi Eng, rumah ini adalah peninggalan ayah " Ia ragu-ragu dan menelan kembali kata-kata "kita"

di belakang kata-kata "ayah". "Aku tidak ingin melihat arwah ayahku marah menyaksikan anaknya menjamu seorang pangeran penjajah."

Bi Eng tak berani membantah lagi. Gadis inipun memang mempunyai watak keras dan patriotik, maka biarpun ia merasa menyesal bahwa mereka terpaksa memperlakukan Pangeran Mancu itu seperti seorang musuh, namun iapun tak dapat menyalahkan sikap Han Sin. Selain ini, hatinya sudah penuh kegembiraan bahwa beberapa hari lagi Han Sin akan mengajak dia turun gunung! Pergi ke dunia ramai, bertemu orang-orang, mencari Siauw-ong!

"Sin-ko, kapan kita berangkat?" Dia sudah lupa akan hal-hal tadi, dan kini wajahnya berseri-seri.

Han Sin juga tersenyum melihat kegembiraan ini. "Kau harus berlatih dulu, setelah sempurna tiga jurus Thian-po Cin¬keng itu, baru kita turun gunung."

Otomatis Bi Eng segera berlatih lagi, tanpa mengenal lelah dan bosan, dan Han Sin membantu adiknya. Memang Han Sin ingin supaya sebelum turun gunung Bi Eng sudah memiliki tiga jurus pukulan ajaib ini sebagai bekal, karena hanya setelah tiga jurus ini dapat dimainkan dengan sempurna, Bi Eng akan dapat melindungi dirinya sendiri dengan baik.

Memang betul bahwa Bi Eng takkan mungkin terancam bahaya selama berada di sisinya, akan tetapi siapa tahu keadaan di dunia ramai? Banyak sekali manusia jahat dan besar kemungkinan sewaktu-waktu dia sendiri takkan sempat melindungi keselamatan Bi Eng sehingga gadis ini harus memiliki jurus-jurus lihai yang akan menyelamatkan dirinya sendiri.

****

Tiga hari kemudian. Malam terang bulan yang amat indah di puncak Min-san. Bi Eng masih berlatih silat di taman. Akhirnya Han Sin menyuruh ia berhenti.

"Hawa makin dingin, Eng-moi. Kau berhentilah, besok dilanjutkan lagi. Kau sudah maju banyak. Kalau begini terus, dua tiga hari lagi kita bisa turun gunung."

Bukan main girangnya hati Bi Eng. Ia mengaso duduk di atas bangku. Setelah berhenti bersilat, baru terasa olehnya betapa dinginnya. Ia lelah dan hawa dingin membuat ia mengantuk.

"Aku pergi tidur lebih dulu, Sin-ko. Besok bangun pagi-pagi dan berlatih lagi."

Han Sin mengangguk dan tersenyum. Sampai lama ia memandang ke arah adiknya yang berjalan memasuki pondok mereka, tubuh langsing dengan rambut mengkilap tertimpa cahaya bulan. Bukan main, pikirnya. Dan dia bukan adik kandungku, bukan apa-apaku eh, bukan apa-apa? Tidak,

malah segala-segalanya! Bi Eng milik satu-satunya di dunia ini. Tanpa Bi Eng hidupnya akan hampa. Han Sin termenung .... Bagaimana ia harus membuka semua rahasia itu? Apa yang akan dilakukan Bi Eng bila gadis itu tahu akan rahasia ini? Tak boleh, bantahnya. Tak boleh aku membuka rahasia ini sebelum tahu betul siapa sebenarnya adik kandungnya yang sejati, sebelum ia tahu betul apa yang telah terjadi di saat kedua orang tuanya terbunuh. Siapa pembunuh mereka dan penukaran-penukaran aneh apa yang terjadi atas diri bayi perempuan, adik kandungnya!

Tidak adanya Bi Eng di taman itu membuat ia serasa sunyi sekali. Aneh, pikirnya. Padahal Bi Eng berada di pondok itu, tidak jauh dari situ. Begitu saja ia sudah merasa kesepian. Apa lagi kalau Bi Eng pergi jauh meninggalkannya. Bagaimana rasanya? Tak berani ia membayangkannya.

Perlahan pemuda ini berdiri meninggalkan taman memasuki pondok, ke dalam kamarnya sendiri. Agak jauh dari kamar Bi Eng. Rumah itu cukup besar, banyak kamarnya dan ia sengaja memakai kamar yang berjauhan dengan kamar Bi Eng. Tergoda oleh asmara, Han Sin takut akan dirinya sendiri!

Han Sin tak dapat tidur. Sudah lama tiap malam sukar ia meramkan matanya. Pikirannya selalu melayang, tentu saja penuh bayangan Bi Eng yang kadang-kadang membuat ia berduka, kadang- kadang membuat ia tersenyum-senyum dalam tidurnya.

Lampu belum dipadamkannya. Tiba-tiba seluruh panca inderanya tegang. Ada suara dari jendelanya. Orang jahatkah? Ataukah Pangeran Yong Tee ? Hatinya berdebar. Bagaimanapun

juga, pangeran itu adalah Pangeran Mancu. Siapa tahu kalau-kalau kedatangannya tiga hari yang lalu hanya sebagai penyelidikan dan kini datang kaki tangannya yang hendak berlaku jahat? Diam- diam ia tersenyum mengejek. Dia tidak takut. Biarlah penjahat itu masuk!

28. Kerudung Puteri Hui

TANPA bangun dari ranjangnya, Han Sin melirik ke arah jendela. la kagum juga karena tanpa mengeluarkan suara berisik, jendela itu dibuka orang dari luar. Agaknya dengan tenaga dorongan yang disertai lweekang cukup tinggi. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya.

Sebuah lengan, terbungkus lengan baju sampai di bawah siku, kelihatan. Lengan tangan yang halus putih kulitnya, runcing mungil jari-jari tangannya, lengan tangan wanita! Tiba-tiba tangan itu lenyap dan daun jendela terbuka lebar, lalu disusul berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dalam kamarnya telah berdiri seorang wanita!

Wanita yang amat aneh, pakaiannya sederhana dengan potongan yang asing baginya. Pakaian itu membungkus tubuh dengan ketat, memperlihatkan bentuk tubuh yang amat indah. Tubuh seorang gadis muda, seperti Bi Eng. Akan tetapi muka dan kepala tertutup kain pembungkus yang terbuat dari pada sutera tebal, yang membungkus semua tubuh bagian atas, dari kepala, muka dan leher! Hanya di bagian matanya saja tidak tertutup kain kepala itu, memperlihatkan sepasang mata yang luar biasa, bening seperti mata burung hong. Kini sepasang mata itu menyambar ke arahnya.

Han Sin serentak bangkit dan duduk. la maklum bahwa wanita ini, siapapun juga dia, bukanlah orang sembarangan. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, di sebelah kiri tergantung sebuah kantong dan tampak gagang-gagang hui-to (golok terbang) tersembul dari kantong. Di punggungnya tergantung sebuah gendewa berikut beberapa batang anak panah! Lengkap benar persenjataannya, seperti panglima wanita hendak maju perang!

Dua pasang mata bertemu. Han Sin terheran-heran dan bingung karena tidak tahu harus berkata apa. Wanita ini memandang dengan tajam, seolah-olah pandang mata itu hendak menembus dada Han Sin. Kemudian terdengar suaranya, halus merdu tapi ketus. Kain penutup kepala dan muka di bagian bibirnya bergerak-gerak,

"Kau yang bernama Cia Han Sin putera Cia Sun?"

Han Sin tersenyum, lalu berdiri dan menjura. Lagi-lagi seorang pengenal mendiang ayahnya, pikirnya. Kalau bukan bekas kawan ayahnya tentulah musuh baru baginya.

"Betul, aku bernama Cia Han Sin dan mendiang ayahku Cia Sun. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang malam-malam? Bicaramu seperti seorang Bangsa Hui " Tiba-tiba Han Sin

teringat akan Balita, Puteri Hui yang katanya menjadi musuh ayahnya, "Ada hubungan apa kau dengan Balita?"

"Sraaattt!" Wanita itu mencabut pedangnya yang gemerlapan di bawah sinar lampu. Han Sin tetap tenang, malah kini ia duduk kembali ke atas pembaringannya.

"Cia Han Sin, sebelum kau mati di tanganku, ketahuilah lebih dahulu agar rohmu tidak penasaran. Aku bernama Tilana, aku puteri dari wanita yang kau sebut namanya tadi. Balita adalah ibuku dan kedatanganku ini bukan lain hendak membalaskan dendam ibuku, hendak mengambil nyawamu."

Han Sin tersenyum. "Kau dan aku tak pernah saling bertemu, tidak pernah ada permusuhan apa-apa, kenapa kau datang-datang hendak membunuhku? Urusan lama antara ibumu dan ayahku sudah habis karena ayah sudah meninggal dunia, kenapa kau dan aku harus pula ikut-ikut melanjutkan permusuhan?"

Kemudian Han Sin teringat akan pesanan uwak Lui tentang orang yang bernama Balita itu, maka ia sengaja memancing, "Pula, urusan hebat apa sih. yang membuat ibumu itu masih terus mendendam terhadap ayahku yang sudah meninggal?"

Melihat sikap tenang-tenang saja dari pemuda yang gagah dan tampan di depannya itu, gadis berkerudung menjadi tercengang juga. Mana ada orang mau dibunuh bersikap tenang-tenang dan enak-enakan seperti ini, malah mengajaknya mengobrol?

"Ayahmu telah menghina ibuku! Karena aku tidak dapat membalas kepada ayahmu, aku akan bunuh kau sebagai puteranya! Ayahnya tukang menghina wanita anaknyapun takkan banyak bedanya!" Suara wanita ini benar-benar halus merdu, biarpun ketus sekali, namun harus diakui oleh Han Sin bahwa suaranya amat merdu dan bicaranya dengan dialek Hui itu amat enak didengar, lucu pula.

"Aiihh ...... aiihh , kau menuduh sembarangan saja. Baik ayah maupun aku bukanlah sembarang

laki-laki yang suka menghina wanita. Kau ini seorang wanita yang begini cantik jelita, kenapa berhati kejam, hendak membunuh orang? Sayang ”

"Setan! Mulutmu saja sudah kurang ajar!" "Lhoh! Kenapa kurang ajar?"

"Kau bilang aku cantik segala        ”

"Eh, eh! Apakah memuji kecantikan berarti kurang ajar?" "Melihat mukakupun belum, bagaimana kau bisa bilang cantik segala? Apa lagi kalau bukan karena kau hendak kurang ajar?"

"Waduh, waduh galak amat kau! Mudah saja menduga bahwa kau cantik jelita. Seorang gadis

dengan bentuk tubuh seperti kau, dengan suara halus merdu, dengan sepasang mata seperti itu, bisa lain tentulah cantik jelita. Biarlah kita bertaruh. Kau buka kerudungmu itu, Kalau kau betul-betul cantik jelita, berarti kau kalah dan sudahlah, kau boleh pergi dari sini dengan damai, tak perlu kita bermusuhan. Sebaliknya, kalau dugaanku keliru, kalau kau bermuka buruk, biar aku menghaturkan maaf kepadamu dan boleh kaupukul mukaku tiga kali!"

"Keparat! Setan!!" Wanita itu memaki, sepasang matanya berkilat-kilat. "Siapa juga, terutama kalau dia laki-laki, yang berani membuka kerudungku, aku akan membunuhnya sampai tujuh kali!"

Mau tak mau Han Sin bergidik mendengar ini. Ucapan itu bukan main-main, apa lagi sepasang mata itu menyatakan betapa ucapan ini keluar dari hati, bukan gertak sambal belaka.

"Hemm, nona Tilana. Lebih baik kau pulang saja kepada ibumu dan katakan bahwa aku akan menghabisi permusuhan lama, asal saja bukan ibumu yang membunuh ayah bundaku. Aku masih harus menyelidiki akan hal ini."

"Manusia sombong, jangan banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"

"Bukan aku yang ingin berkelahi, kau yang ingin berkelahi yang selalu membawa-bawa senjata memasuki kamar orang, dan ”

"Setan!" Tilana, gadis berkerudung itu lalu menubruk sambil berseru, "Lihat pedang!"

Han Sin dengan mudah dan tenang mengelak. la melihat betapa gerakan gadis ini bukan main cepat dan kuatnya, bahkan setingkat lebih kuat dan lebih cepat dari pada Bi Eng sendiri! Diam-diam ia merasa kagum dan merasa sayang kalau gadis selihai ini sampai tersesat. Ia tidak tega melukainya. Ayahnya dulu pernah bentrok dengan Balita, puteri Bangsa Hui. Sekarang adalah kewajibannya untuk menghabiskan permusuhan itu dan sekali-kali ia tidak boleh melukai gadis puteri Balita ini.

Tilana menjadi penasaran sekali. Di daerahnya, selain ibunya sendiri yang sudah hampir setingkat dengannya, tak ada orang lain mampu menghadapi serangan-serangan pedangnya. Akan tetapi pemuda ini, pemuda yang terlalu lemah lembut, terlalu tampan, terlalu pandai bicara manis, yang tersenyum-senyum dan terlalu tenang ini, dengan tangan kosong menghadapi serangan-serangannya dan selalu dapat mengelak.

"Kau lihai ....... kau galak !” Han Sin sengaja menggoda. Pemuda ini pada hakekatnya memang

berwatak romantis, maka kini menghadapi gadis galak, otomatis timbullah watak nakalnya yang hendak menggodanya tanpa disertai maksud-maksud tidak sopan.

Ia sekarang malah duduk di atas bangku, membelakangi gadis itu dan tangannya merayap ke meja mencari kuweh kering yang lalu dimakannya. Sama sekali ia tidak memperdulikan gadis itu yang hendak menyerangnya dari belakang.

Tilana gemas sekali. "Mampus kau kali ini!" bentaknya sambil menusukkan pedangnya dari belakang. Agak gemetar tangannya ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak. Ujung pedangnya hampir menyentuh punggung dan eh, tahu-tahu pemuda itu sudah "melayang" ke

atas meja tanpa menggerakkan, kaki tangannya. Tahu-tahu seperti dipindahkan oleh tangan tak terlihat, tubuhnya sudah berpindah, sudah duduk di atas meja. Sebelah tangannya masih memegangi kuweh kering yang digigitnya.

Tilana menggigit bibir. Bagaikan kilat pedangnya menyerampang, membabat pinggang pemuda itu. Seperti tadi, tubuh pemuda itu hilang dan tahu-tahu sudah berada di atas pembaringan, kini rebah terlentang dengan mata dimeramkan!

Tilana menjadi pucat. Belum pernah ia menyaksikan hal seperti ini. Setankah pemuda ini? Dalam kemarahannya, gadis ini yang menganggap gendewanya menjadi perintang, melepaskan gendewa dan anak panah, melemparkannya di atas meja. Kemudian sambil mencekal gagang pedang erat- erat, ia menubruk maju dan menikam.

"Capppp !" Pedangnya menusuk kasur sampai tembus! Sebelum hilang kagetnya, gadis ini

merasa tubuhnya lemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia terguling ke atas pembaringan yang sudah kosong, jatuh terlentang. la melihat pemuda itu sambil tersenyum sudah berdiri di pinggir pembaringan dan tangan kanan pemuda itu bergerak ke arah mukanya. Tilana menjadi kaget setengah mati, tak terasa pula menjerit lirih penuh ketakutan,

"Jangan ..... jangan ohh...... jangan !”

Han Sin menjadi gemas sekali. Dia dikira orang macam apakah? Gadis ini benar-benar keterlaluan, menyangka yang bukan-bukan kepadanya. "Bodoh! Kau sangka aku orang macam apa? Aku hanya akan membuka kerudungmu, hendak kulihat macam apa muka orang yang galak dan suka salah sangka !” Tangannya bergerak dan sekali renggut saja terbukalah kerudung yang menutupi muka

gadis itu.

Han Sin ternganga, berdiri seperti patung. Bukan main cantiknya muka gadis ini, jauh melampui semua dugaannya. Mata yang tadi sudah nampak indah seperti mata burung hong itu kini nampak lebih hebat lagi. Hidung yang mancung, bibir yang ah, bukan main cantik dan manisnya.

Kulit muka yang sering kali tertutup itu halus sekali. Rambutnya panjang menutupi kedua telinga yang terhias anting-anting besar dari emas murni. Hanya sebentar ia melihat muka luar biasa cantiknya itu karena gadis itu segera bangun, duduk di atas pembaringan dan menutupi muka dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak sedih sekali !

Han Sin termangu-mangu. "Ah ....... kau maafkan aku, nona maafkan aku sebesar-besarnya.

Kalau perlu, kaugamparlah mukaku. Aku aku bukan bermaksud jahat, sungguh mati aku hanya

ingin melihat muka orang yang datang hendak membunuhku ”

Mata yang indah menarik itu kelihatan ketika kedua tangan diturunkan. Mata yang penuh air mata, tapi malah nampak makin indah seakan-akan terhias butiran-butiran mutiara, kini memandang kepadanya dengan sinarnya yang sukar ia gambarkan.

"Kau ....... kau betul-betul tidak ...... tidak bermaksud menghinaku .....? Kau kau tidak bermaksud

menghina ?" Tilana bertanya, suaranya gemetar, malah tanpa disadarinya ucapan ini dilakukan

setengahnya dalam Bahasa Hui. Baiknya Han Sin sudah, mempelajari bahasa ini, maka untuk menyenangkan hati gadis Hui itu, iapun menjawab ke dalam Bahasa Hui sambil tersenyum,

"Tentu saja tidak. Aku bukanlah laki-laki yang suka menghina kaum wanita. ”

Terbelalak mata indah itu yang masih berlinang air mata, bibir yang mungil itu terbuka sedikit. "Kau .... kau bisa berbahasa Hui ?” Han Sin mengangguk sambil tersenyum. "Pernah aku mempelajarinya ”

Aneh sekali, gadis itu kini memandangnya penuh selidik, dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi sampai berkali-kali, kemudian berhenti pada mata Han Sin. Dua pasang mata bertemu pandang. Han Sin terheran-heran karena melihat pandang mata itu kini menjadi aneh, penuh kemesraan yang membuat ia bergidik.

Tiba-tiba, ia benar-benar merasa bulu tengkuknya berdiri ketika gadis itu dengan sedu-sedan menubruknya, memeluknya. Ketika dengan bingung ia mencium bau semerbak harum yang amat aneh dari rambut gadis itu, barulah Han Sin tersadar dan cepat-cepat ia menolak pundak gadis itu perlahan-lahan. Tilana lalu menjatuhkan diri berlutut, memeluk kedua kaki Han Sin, bahkan lalu mencium ujung kaki pemuda itu!

"No ...... nona ......, nona Tilana " Sukar sekali Han Sin mengeluarkan suara seakan-akan lehernya

tercekik sesuatu. "Apa ....... apa artinya ini ?”

Tilana mengangkat mukanya dalam keadaan berlutut ia memandang ke atas dengan muka berseri dan mata penuh cinta kasih!

"Kanda ....... kanda Cia Han Sin ...... artinya artinya bahwa aku menyerahkan jiwa ragaku

kepadamu ..... aku isterimu yang bodoh, yang buruk tapi yang setia kepadamu !”

Kalau pada saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Han Sin akan menjadi begitu kaget seperti setelah mendengar kata-kata ini. la mencelat ke tengah kamarnya tanpa disadarinya.

Kemudian ia menekan batinnya yang berdebar-debar tidak karuan, memaksa diri berlaku tenang. Agaknya gadis cantik berotak miring yang memasuki kamarnya ini. Han Sin memasang muka keren, lalu bersedakap sambil berkata,

"Nona Tilana, jangan kau main-main di sini. Kuanggap kata-katamu tadi main-main belaka. Sudahlah, kuminta kau keluar dari sini dan jangan mengganggu aku lagi!"

Heran sekali. Tiba-tiba Tilana menjadi pucat bagaikan mayat. Gadis ini berdiri dengan tubuh limbung. Seperti orang bingung ia mencabut pedang dari kasur dan memasangnya lagi di pinggang dengan tangan menggigil. Kemudian, barulah ia berdiri menghadapi pemuda itu dengan muka masih pucat. Betapa kuat ia berusaha menenteramkan hatinya, tetap saja ia masih bergemetar dan mukanya masih pucat.

"Kanda Cia ...... kau tadi bilang apa ......? Aku ...... aku tidak begitu jelas ........ mendengar ”

Han Sin makin bingung. Mungkinkah gadis cantik jelita seperti bidadari aneh ini benar-benar gila? "Nona Tilana, aku bilang bahwa sudah cukup permainan ini. Harap kau suka tinggalkan aku.

Keluarlah dan jangan menggangguku lagi."

Beberapa kali mulut yang bergerak-gerak itu tak mengeluarkan kata-kata, akhirnya keluar juga setelah dipaksa, "Tapi .... tapi ... kanda .... aku isterimu “

"Gila !” Han Sin menendang bangku sampai benda itu terlempar membentur dinding dan

bergulingan. "Siapa bilang kau ..... kau ...... isteriku ?”

"Kanda Cia Han Sin, bukankah tadi kau kau tidak bermaksud menghinaku?" "Memang. Kuulangi lagi, aku tidak dan sama sekali takkan mau menghinamu?" jawab Han Sin.

"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau mengakui aku sebagai isterimu? Kau kau sudah

membuka kerudung mukaku! Dan aku sudah bersumpah bahwa kalau ada laki-laki membuka kerudung mukaku, hanya ada dua jalan bagiku. Hidup menjadi isterinya atau mati bersama dengan laki-laki itu! Tadi kau telah membuka kerudung mukaku. Kalau tadi kau menjawab bahwa kau sengaja menghinaku, tentu akan kubunuh kau lalu kubunuh diriku sendiri. Akan tetapi kau kau

tidak menghinaku dan aku " Mukanya menjadi merah sekali, "aku suka dan rela menjadi

isterimu "

Kagetlah Han Sin. Baru ia tahu sekarang dan diam-diam ia menyumpahi diri sendiri. "Celaka !”

Tak terasa pula ia berseru. "Tapi tapi, nona Tilana. Aku membuka kerudungmu hanya karena

ingin mengenal rupa orang yang hendak membunuhku tadi. Sama sekali bukan bukan karena

itu ...... eh, tentang suami isteri itu .... aku tidak dapat menerima. Maaf maafkan aku, tak

mungkin kita menjadi suami isteri."

Wajah yang merah tadi menjadi pucat lagi. Tiba-tiba Tilana menyambar gendewa dan anak panahnya, lalu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya. Dengan mata berkilat dan tangan tetap ia menodong dada Han Sin dengan anak-anak panah itu.

"Cia Han Sin! Kalau begitu berarti kau menghinaku. Bagiku tiada pilihan lagi. Kita menjadi suami isteri dan aku rela melayanimu dengan setia sampai aku mati atau kubunuh engkau kemudian

kubunuh diriku sendiri." Kemudian disambungnya cepat-cepat, "Atau karena kau jauh lebih

pandai dariku ..... kalau aku gagal membunuhmu, biarlah aku mati di tanganmu !”

Han Sin adalah seorang berjiwa satria, seorang laki-laki sejati. Biarpun dalam perbuatannya merenggutkan kain penutup muka Tilana tadi seujung rambutpun tidak ada maksud hatinya untuk berbuat sesuatu yang jahat, sama sekali tidak bermaksud menghina, akan tetapi setelah melihat bahwa akibatnya begini hebat, ia dengan secara jantan hendak menghadapi segala akibatnya.

Pernah ia membaca tentang kebiasaan aneh seperti ini, yaitu yang biasa dilakukan oleh kaum bangsawan atau keluarga kerajaan Bangsa Hui. Kebiasaan aneh pada kaum wanitanya. Kalau ia ingat bahwa Tilana adalah Puteri Balita, Puteri Hui yang amat aneh dan terkenal itu, tak perlu diherankan lagi sumpah gadis ini yang sudah diceritakannya tadi. Dengan tenang ia lalu memangku kedua lengan di depan dada, duduk bersandar pada meja dan berkata,

"Kalau begitu, Tilana, kau boleh bunuh aku! Aku takkan lari dari tanggung jawabku. Tanpa kusengaja aku sudah membuka kerudung mukamu, telah melanggar pantangan yang menjadi sumpahmu. Bagainanapun juga tak mungkin aku menjadi suamimu, dan kalau kau berkeras hendak membunuhku ....... nah, silakan kaubunuhlah !”

Kedua tangan yang tadinya tetap dan sudah menarik tali gendewa itu, kini menggigil. Mata yang tadinya berapi-api, kini mulai membasah dan tak lama kemudian air mata bercucuran keluar mengalir di sepanjang pipi.

Kedua tangan makin lemas dan berdetaklah gendewa itu terjatuh di atas lantai! Tak dapat ia membunuh pemuda ini. Pemuda gagah perkasa, tampan dan halus, sopan dan luhur pribudinya, sampai-sampai mau mengorbankan nyawa sendiri demi menjaga kehormatan seorang gadis!

Bagaimana dia bisa membunuh seorang satria seperti ini? Tilana makin menggigil tubuhnya, lalu dengan lemas ia jatuh berlutut, menangis sedih sekali. "Tidak ...... tidak ...... tak dapat aku membunuhmu ..... kanda Han Sin kau orang termulia bagiku

......, lebih baik aku saja yang mati " Cepat Tilana mencabut pedangnya dan benda tajam itu

diayunkannya ke leher sendiri.

"Plakk! Traaanggg !” Pedang terlepas dari pegangan Tilana dan jatuh berdering di atas lantai.

"Tilana, kau seorang gagah, masih muda. Mengapa mengambil keputusan pendek dan nekat hanya karena urusan kecil saja?" Han Sin yang menangkis pedang tadi menghibur. "Di dunia ini masih banyak sekali pria yang gagah perkasa dan yang tentu akan bersedia menjadi suamimu ”

Tilana menggeleng kepala. "Kaukira aku orang serendah itu, mudah sekali menukar hati bermain cinta? Laki-laki di dunia ini hanya kau seorang bagiku. Menjadi isterimu atau menjadi isteri maut, satu di antara dua!" Tilana memungut pedangnya lagi dan menusuk dadanya. Kembali Han Sin mencegah pembunuhan diri ini, dan mencoba untuk menghiburnya. Makin dihibur, Tilana menjadi makin sedih dan nekat.

Pada saat itu, tiba-tiba muncul Bi Eng! Gadis ini tadi sudah tertidur, akan tetapi kaget mendengar suara ribut-ribut di kamar Han Sin. Cepat ia membetulkan pakaiannya, membawa pedang lalu berloncatan cepat ke kamar kakaknya. Begitu ia membuka pintu kamar, ia berdiri termangu, terbelalak matanya dan mulutnya celangap!

"Sin-ko ....! Apa .... apa artinya ini ? Siapa dia?" Dengan kagum sekali Bi Eng memandang

kepada Tilana yang berdiri dengan muka pucat setelah untuk kedua kalinya pedangnya ditangkis oleh Han Sin, iapun memandang ke arah Bi Eng.

Han Sin mendapat kesempatan baik untuk mencegah Tilana bunuh diri, maka cepat-cepat ia memperkenalkan, "Nona Tilana, dia ini adalah adikku, Bi Eng. Eng-moi, nona Tilana ini puteri Jin- cam-khoa (Algojo Manusia) Balita, puteri Hui yang sudah kita kenal namanya itu. Dia datang hendak membunuhku atas perintah ibunya, tapi .... tapi "

Pada saat itu, Tilana mempergunakan kesempatan ini untuk melempar diri ke arah tembok, hendak membenturkan kepalanya kepada dinding yang keras supaya kepalanya pecah! Bi Eng melihat ini menjerit, lalu meloncat dan memeluk tubuh Tilana. Saking kuatnya gerakan Tilana, dua orang gadis itu roboh terguling!

"Eh, cici yang baik. Kenapa kau hendak berlaku nekat?" tanya Bi Eng yang masih memeluknya. Bau semerbak harum membuat Bi Eng makin kagum. Belum pernah selama hidupnya, biar di kota raja sekalipun, ia melihat seorang gadis secantik ini. Cantik jelita luar biasa sekali, dan keharuman yang semerbak itupun amat aneh dan menggairahkan.

Karena yang memeluknya juga seorang wanita yang agaknya menaruh kasihan kepadanya, baru Tilana dapat menumpahkan kesedihannya. Ia menangis terisak-isak dalam pelukan Bi Eng yang saking terharunya ikut pula menangis!

"Cici yang baik, kau kenapakah? Kenapa begini sedih? Ceritakanlah kepadaku, dan aku berjanji akan membantumu " kata Bi Eng menghibur, tidak melihat betapa Han Sin berdiri dengan

bingung di sudut kamar.

"Adik Bi Eng ..... lebih baik aku mati saja .... tak kuat aku menerima penghinaan sebegini besar "

kata Tilana terengah-engah di antara isaknya. Bi Eng membelalakkan matanya, lalu mengerling tajam ke arah kakaknya yang berdiri menundukkan muka di sudut kamar. "Siapakah yang menghinamu, enci Tilana?"

"Siapa lagi kalau bukan kakakmu itu kanda Han Sin telah menghinaku, menolak untuk menjadi

suamiku dan menolak pula untuk membunuhku, ada jalan lain apa lagi kecuali aku membunuh

diri untuk mencuci penghinaan ini?"

Bi Eng bingung, sebentar memandang kepada Tilana, sebentar kepada Han Sin. "Sin-ko, bagaimanakah ini? Apa sih yang telah terjadi di antara kalian ?”

Berdebar tidak karuan hati Han Sin. Memang ia menghadapi urusan yang ruwet sekali. Akhirnya ia bercerita dengan suara perlahan penuh penyesalan, "Dia datang hendak membunuhku atas perintah ibunya yang menaruh dendam kepada ayah. Tanpa kusengaja eh, yaitu maksudku tanpa maksud-

maksud jahat kurenggut kerudung yang menutupi mukanya karena aku hendak melihat muka orang yang datang hendak membunuhku. Nah, aku hanya berbuat begitu dan eh, dia itu menuntut

bahwa aku harus menjadi suaminya, kalau tidak mau, dia akan bunuh diri. Tentu saja aku keberatan!"

Bi Eng terheran. Lalu menoleh kepada Tilana. "Betulkah itu, cici?" Tilana mengangguk malu.

"Kenapa kau bersikap begitu aneh? Tentu ada sebab-sebabnya      " tanya Bi Eng.

Tilana menarik napas panjang dan berusaha keras menahan isaknya. Setelah reda tangisnya, ia menjawab, "Adik Bi Eng, coba saja kaupertimbangkan. Aku adalah seorang gadis suci, semenjak kecil belum pernah ada orang melihat mukaku kecuali ibuku sendiri. Aku selalu berkerudung dan di depan ibu aku sudah disumpah bahwa aku tak akan membiarkan orang, apa lagi pria, membuka kerudung mukaku. Kalau hal itu terjadi, yaitu kalau ada seorang laki-laki membuka kerudungku, hanya ada dua jalan bagiku, pertama menjadi isterinya, ke dua membunuh laki-laki itu kemudian membunuh diri sendiri untuk menebus dosa. Dia ..... kakakmu itu mengingkari sumpahku, tak

mau menjadi suamiku. Membunuhnya aku tak sanggup. Diapun tidak mau membunuhku. Tidak ada jalan lain bagiku. Kalau aku tidak bisa menjadi isterinya, biarlah aku menjadi isteri maut "

Kembali Tilana menangis sedih.

Bi Eng tertarik sekali dan terpukul hatinya. la merasa terharu. Diam-diam ia memuji gadis ini sebagai seorang gadis yang memegang teguh kesucian dan kehormatannya. Sekali lagi ia memandang Tilana. Tak ada cacadnya sama sekali. Potongan tubuh yang indah menarik, kulit yang putih mulus, wajah yang seperti bidadari, suaranya halus merdu, kepandaiannya hebat pula. Di dunia ini, mana ada wanita yang lebih patut menjadi jodoh kakaknya? Mana ada yang lebih patut menjadi kakak iparnya? Sekali melihat ia sudah suka kepada Tilana.

Inilah jodoh terbaik untuk kakaknya. Memang agaknya melihat gelagat, kakaknya itu harus lekas- lekas kawin! Sikapnya akhir-akhir ini terhadap dirinya, seperti tiga hari yang lalu. Kadang-kadang ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap kakaknya itu. Sikap yang terdorong oleh perasaan yang luar biasa sekali, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan Han Sin.

Aneh! Memalukan! Sering kali ia merasa takut terhadap diri sendiri, takut terhadap Han Sin, kakaknya! Kenapa tiga hari yang lalu dia mendekapku seperti itu? Kenapa hatinya sendiri berdebar tidak karuan kalau kakaknya menyentuhnya? Padahal dahulu tidak demikian? Memang, lebih baik Han Sin lekas menikah dan gadis ini cocok sekali menjadi jodohnya! Dalam beberapa detik saja Bi Eng sudah mengambil keputusan, kakaknya harus berjodoh dengan Tilana! "Sin-ko, biasanya biasanya kau suka menolong orang. Kenapa kau sekarang tidak mau

menolong cici Tilana yang patut dikasihani ini?"

Han Sin menjadi pucat dan ia memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak, seolah-olah pada saat itu Bi Eng sudah berubah menjadi setan yang menakutkan!

"Bi Eng .....! Kau ..... kau bilang apa ??" tanyanya gagap, tidak percaya kepada telinga sendiri.

"Sin-ko, kurasa sudah sepatutnya kau menolong cici Tilana. Sudah sepatutnya kau memenuhi isi sumpahnya ”

"Bi Eng! Kau gila?? Aku bersedia menolong siapa saja, akan tetapi menolong .... macam itu ...

kawin?? Tak mungkin!"

"Sin-ko! Apa salahnya kalau kau menikah dengan cici Tilana? Usiamu sudah dua puluh, bahkan lebih barangkali. Sudah sepatutnya kalau kawin. Pula, pernahkah kau melihat seorang gadis yang lebih baik dari pada Tilana, lebih baik dalam segala halnya? Dia seorang gadis cantik jelita, gagah perkasa, dan setia pula. Kau harus menerimanya ”

Bi Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Han Sin dengan muka pucat sudah melompat keluar dan lari dari rumahnya. Hatinya menjerit-jerit. "Bi Eng ...., Bi Eng , mana bisa dia atau

siapapun juga melebihi engkau sendiri ??"

Tilana mengeluh dan hendak mengambil pedangnya. Akan tetapi Bi Eng yang maklum akan kenekatannya malah berbisik.

"Cici, jangan kau putus asa. Siapa yang lemah harus cerdik. Percayalah, aku tidak setuju dengan pendirian kakakku, aku akan suka sekali kalau kau menjadi isterinya. Aku akan membantumu, cici Tilana, biar aku akan membujuknya."

Tilana menggeleng kepala dan wajahnya yang cantik itu nampak sedih sekali. "Kau baik sekali, Bi Eng. Akan tetapi akan sia-sia belaka. Dia tidak suka kepadaku dan aku hanya ada satu jalan

bagiku untuk mencuci penghinaan ini, yaitu dengan kematian ”

"Jangan, cici Tilana. Jangan putus asa. Kakakku itu, mana bisa dia tidak suka kepadamu? Mana ada laki-laki yang tidak akan suka kepadamu? Mungkin dia itu malu-malu. Ah, biarlah aku akan membujuknya perlahan-lahan. Kau bersabarlah dan kau tinggallah dulu di sini bersama kami."

29. Penderitaan Hati Karena Wanita

TIBA-TIBA awan gelap yang menyelimuti muka cantik itu lenyap dan kini sepasang matanya yang tajam memandang Bi Eng penuh pengharapan. "Apakah benar-benar kau suka mempunyai kakak ipar seperti aku? Benar-benarkah kau hendak membantuku sehingga ikatan jodoh antara aku dan kakakmu dapat terjadi?"

Bi Eng merangkulnya. "Tentu saja! Kau cocok sekali dengan Sin-ko. Kalian akan merupakan pasangan yang amat mengagumkan dan setimpal!"

Wajah Tilana menjadi merah. "Adikku yang baik, kalau benar-benar ucapanmu itu keluar dari hatimu, aku mempunyai jalan ....., tapi ....... aku takut kau akan keberatan ” "Jalan bagaimana? Katakanlah." Tilana mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari dalam bajunya. Mukanya menjadi makin merah ketika ia berbisik, "Ibuku seorang ahli dan banyak tahu tentang obat dan racun. Bungkusan ini, sedikit obat bubuk kalau sampai dapat terminum oleh kakakmu,

....... hemm ....... kurasa akan dapat membantu terlaksananya maksud kita "

Bi Eng menerima bungkusan itu, membukanya dan melihat sedikit obat bubuk warna putih yang berbau wangi aneh. la tidak mengerti, termenung sebentar lalu bertanya, "Membantu bagaimana cici Tilana? Dan apa khasiatnya obat ini? Apakah tidak berbahaya bagi Sin-ko?"

Ditanya demikian jujur oleh Bi Eng, Tilana menjadi makin malu.

"Kalau minum itu, dia ....... kakakmu itu ...... dia akan mabok dan suka kepadaku ”

Bi Eng melengak, tidak percaya. Masa ada obat seaneh itu khasiatnya? la mengerutkan keningnya. "Apakah ini bukan racun? Bagaimana kalau kakak nanti menjadi sakit setelah minum obat ini?"

Pertanyaan ini hanya merupakan pancingan belaka, karena Bi Eng sudah mendengar dari cerita Han Sin bahwa kakaknya itu pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa (Ular Sakti Darah Putih) dan racun ular itu sepenuhnya mengalir di dalam tubuh Han Sin sehingga tidak ada racun yang akan dapat mematikan kakaknya itu. Tentu saja ia tidak takut kalau-kalau kakaknya akan celaka minum racun.

”Jangan kau kuatir, adikku. Apa kau kira akupun suka melihat kanda Han Sin celaka? Aku aku

cinta kepadanya, Bi Eng, mungkin lebih besar daripada cinta kasihmu kepadanya."

Bi Eng tersenyum girang, lalu ia mengajak Tilana ke kamarnya untuk tidur. Pada keesokan harinya Han Sin melihat Tilana bersama Bi Eng di kamar adiknya ini, ia hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa Tilana tidak jadi membunuh diri. Dia amat merasa jengah kalau teringat akan peristiwa malam tadi, maka ia sama sekali tidak berani memandang gadis itu, malah bertanyapun tidak.

"Sin-ko, aku berhasil menghibur cici Tilana. Kau tentu tidak keberatan kalau dia tinggal di sini satu dua hari menemaniku, bukan?"

Tanpa melirik ke arah Tilana yang pagi itu kelihatan amat segar, Han Sin mengangguk. "Sesukamulah," lalu pemuda ini keluar lagi dari dalam rumah.

"Eh, Sin-ko. Kau mau ke mana?"

"Pergi mencari buah lengkeng. Kulihat banyak yang masak di dekat jurang itu."

"Jangan lupa tangkapkan seekor kelinci yang gemuk. Aku dan cici Tilana hendak masak daging kelinci!"

Han Sin mengangguk. "Baiklah." la merasa heran. Apa yang tersembunyi di balik kepala yang bagus dari Bi Eng itu? Daging kelinci adalah kesukaannya dan mengapa justru pada saat Tilana berada di situ Bi Eng hendak memasak kelinci?

Tak sampai hati ia mengecewakan Bi Eng. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa sekeranjang buah lengkeng dan seekor kelinci yang gemuk dan muda. Bi Eng menerima kelinci itu dengan senyum manis sekali. "Kakakku yang baik, kau benar-benar menyenangkan! Kau tunggulah, cici Tilana akan mengajarku memasak daging kelinci cara orang Hui. Kau tentu akan menikmatinya nanti!" Sambil memegang kelinci pada dua buah telinganya, gadis ini tertawa-tawa dan berlari-lari ke dapur. Han Sin memandang, menarik napas panjang lalu melemparkan keranjang lengkeng ke pojok ruangan, menjatuhkan diri di atas kursi dan termenung.

Di dalam hutan tadi, ketika mencari kelinci dan lengkeng, ia sudah melamun terus tentang .....

kawin! Gara-gara Tilanalah ini. Berkumandang di telinganya ucapan Bi Eng. " usiamu sudah

dua puluh, bahkan lebih barangkali sudah sepatutnya kalau kawin ”

"Bi Eng ..... Bi Eng " hatinya berbisik perih, "bagaimana kau bisa membujukku supaya kawin

dengan gadis lain? Jangankan baru seorang gadis cantik seperti Tilana, biar kauturunkan dewi dari kahyangan sekalipun, aku tetap akan memilih engkau seorang "

Tentu saja pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka betapa "adiknya" itu bersama Tilana telah merencanakan sesuatu yang amat berbahaya, sesuatu yang tak dimengerti oleh Bi Eng, yang hanya menginginkan kakaknya itu mendapatkan isteri yang cantik jelita seperti Tilana, dan terutama sekali karena "kakaknya" itu akhir-akhir ini bersikap aneh terhadapnya dan juga karena hatinya sendiri makin lama makin aneh!

Pesta itu dilakukan pada sore hari. Tersenyum girang juga Han Sin ketika ia dihadapkan hidangan yang berbau nikmat, mengebul di atas meja. Ternyata seekor kelinci tadi telah menjadi empat macam masakan yang melihatnya saja sudah membangkitkan seleranya. Apa lagi mencium baunya yang demikian gurih dan enak. Malah ada minuman yang seperti anggur pula.

"Eh, ini apa, Eng-moi?". Han Sin mencium minuman itu. "Dari mana kau memperoleh arak?"

Bi Eng tersenyum. "Bukan arak, Sin-ko, melainkan perasan buah, hasil pekerjaan cici Tilana. Semua inipun masakannya. Hebat, ya?"

Han Sin mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Tilana yang menundukkan mukanya yang merah sekali, tidak berani gadis itu memandang kepadanya. Diam-diam ia menaruh hati kasihan kepada gadis Hui itu, senang juga hatinya melihat Bi Eng ternyata dapat menarik gadis itu sebagai sahabat.

Mereka lalu makan minum dan Bi Eng melayani kakaknya, bahkan secara halus tidak kentara gadis ini seakan-akan sengaja membujuk kakaknya supaya banyak makan dan minum dan selalu memuji- muji Tilana tentang kecantikannya, tentang kepandaiannya. Tentu saja, dengan lihai sekali Bi Eng telah menaruh obat bubuk ke dalam cawan minuman Han Sin. Berdebar juga ia ketika melihat Han Sin minum anggurnya, akan tetapi hatinya lega karena kakaknya tidak apa-apa, malah memuji perasan buah itu,

"Enak sekali !” Kemudian Han Sin memandang kepada pembuat minuman itu. Kebetulan Tilana

juga mengangkat muka memandangnya. Dua pasang mata bertemu untuk kesekian kalinya. Muka Tilana berseri-seri dalam pandangan mata Han Sin, muka itu luar biasa indah jelitanya. Mata yang bening itu setengah berkatup, bersembunyi dan mengintai dari balik bulu mata yang lentik panjang, seperti pandang mata orang mengantuk, hidung yang kecil mancung itu agak kembang-kempis seperti orang mau tertawa atau menangis, bibir yang mungil tersenyum-senyum malu.

"Cantik sekali !" Kata-kata ini keluar dari mulutnya Han Sin seperti bukan atas kehendaknya

sendiri, begitu saja terloncat. Telinganya sendiri yang mendengar ini membuatnya amat kaget, namun melihat Tilana tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang seperti mutiara, senang juga hati Han Sin.

Pemuda ini sudah terpengaruh obat yang benar-benar amat mukjijat, membuat ia merasa dirinya ringan dan enak, senang sekali. Pengaruh obat membuat pikirannya tertutup uap kemabokan dan menonjolkan perasaan panca inderanya. Mulutnya menikmati masakan dan minuman buatan Tilana, matanya menikmati kecantikan Tilana dan sekaligus timbul kasih sayang kepada gadis Hui itu.

Bi Eng yang juga mendengar pujian Han Sin "cantik sekali!" tadi, tersenyum penuh arti kepada Tilana, lalu berdiri dan mengundurkan diri dari situ sambil berkata, "Aku akan mencuci mangkok piring dulu."

Han Sin sudah mabok betul-betul, tidak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Tilana, di lain fihak, yang sudah jatuh hati kepada Han Sin, yang sudah melanggar sumpah sendiri bahwa dia harus menjadi isteri Han Sin atau mati, mempergunakan kesempatan ini untuk mencuri hati pria pilihannya itu.

Ketika bangun berdiri, Han Sin terhuyung-huyung dan kiranya ia akan jatuh kalau saja tidak cepat- cepat digandeng lengannya oleh Tilana. la tertawa-tawa kecil, memandang muka gadis di sebelahnya itu dengan kepala bergoyang goyang. "Kau cantik he-he, Tilana, kau cantik dan baik

.......”

Tilana hanya tersenyum. "Kanda Han Sin, kau mengasolah ", Dan digandengnya pemuda itu

memasuki kamarnya.

****

Semalam suntuk Bi Eng tak dapat tidur di dalam kamarnya. Hatinya tidak karuan rasanya. la sendiri tidak tahu apakah malam itu ia merasa marah, sedih kecewa ataukah merasa girang, bahagia dan puas! Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya begini risau dan tak karuan.

Ia menghendaki agar kakaknya memilih Tilana sebagai isteri. Malah tidak segan-segan ia membantu Tilana mempergunakan obat bubuk yang mukjizat sekali, sampai-sampai kakaknya itu menjadi mabok dan lupa diri. Ia merasa amat suka dan kasihan kepada Tilana dan ia merasa bahwa memang gadis itu cocok sekali kalau menjadi isteri kakaknya. Akan tetapi entah bagaimana, ia

sekarang merasa hatinya kosong !

Tiba-tiba ia kaget mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar kakaknya. Hari telah menjelang pagi. Cepat Bi Eng meloncat keluar dari kamarnya, berlari menuju kamar kakaknya. Dan alangkah kagetnya ia mendengar kakaknya memaki maki! Hal yang belum pernah dilakukan kakaknya seumur hidupnya.

"Perempuan rendah, perempuan hina! Jahanam tak tahu malu, kenapa kau berada di kamarku? Kenapa kau ah, setan, kubunuh engkau!"

Terdengar gedebag-gedebug dan badan terjatuh. Agaknya Tilana sudah dipukuli Han Sin! Bi Eng menjadi pucat sekali dan ia makin mendekati kamar. Terdengar Tilana menangis.

"Kanda Han Sin ..... bunuhlah ..... aku akan bahagia sekali kalau mati di tangan ..... suamiku "

"Suami ? siluman betina! Kau mempergunakan akal busuk, kau siluman jahat. Kemarin kau

hendak membunuh diri, nah lekaslah kau bunuh diri. Aku tak sudi mengotori tangan membunuh seekor siluman " terdengar Han Sin memaki-maki lagi dan suara pemuda itu terdengar keras dan

marah sekali.

Bukan main marahnya hatinya Bi Eng mendengar ini. Keterlaluan sekali kakaknya menghina orang. Sekali melompat ia sudah mendorong pintu kamar dan memasuki kamar itu. Ia melihat Tilana menangis sambil berlutut di atas lantai, rambutnya kusut terurai, keadaannya amat mengenaskan.

Pipinya bengkak dan bibirnya yang indah itu berdarah, agaknya ia telah ditampari Han Sin. Pemuda itu kelihatan berdiri di depan Tilana dengan mata berapi dan muka merah.

"Sin-ko, kau kejam!" bentak Bi Eng. "Kau tidak menghargai cinta kasih orang, kau malah menghina dan memukul! Laki laki macam apa bersikap demikian?" Gadis ini marah sekali, dadanya membusung, kepala dikedikkan dan matanya berapi api menatap wajah Han Sin, kakak yang biasanya amat ia takuti dan taati itu.

"Bi Eng " Bagaikan diloloskan semua urat dari tubuh Han Sin ketika ia melihat gadis ini muncul.

"Dia .... dia itu ....., perempuan tak bermalu "

"Kaulah laki-laki tak bermalu! Berani berbuat tak berani bertanggung jawab!" Bi Eng memotong.

Tilana yang amat merasa terhina, dengan hati hancur melihat dan mendengar ini semua. Kemudian terdengar ia menjerit lirih, tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat lalu lari meninggalkan rumah itu, meninggalkan puncak Min-san, lenyap di dalam kabut kegelapan pagi.

"Sin-ko! Kau telah merusak hatinya, kau telah menghancurkan perasaannya. Kenapa kau begitu kejam?"

"Tidak ...., tidak, Eng-moi. Dialah yang mencelakai aku, dia dialah yang merusak dan

menghancurkan hati dan perasaanku "

"Kenapa? Dia cinta kepadamu, dia menganggap dirinya sebagai isterimu. Sin-ko, kau harus mengawini dia!"

"Tidak mungkin! Tak mungkin aku bisa mengawininya, Eng-moi "

"Sin-ko, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kau seorang laki-laki, harus berani bertanggung jawab. Kau dan dia sudah sekamar bagaimana kau bisa mengingkari hal ini?"

"Eng-moi ” wajah Han Sin pucat sekali, tanda bahwa ia amat menderita batinnya, "kau tidak

tahu ....... dia menggunakan akal siluman! Aku tidak sadar apa yang telah kulakukan aku

seperti mabok, mungkin aku telah gila "

"Apapun juga alasannya, kau harus mengawini dia, Sin-ko. Apa kau mau disebut pengrusak kehormatan? Apakah kau mau dianggap penjahat keji pengganggu wanita? Tilana seorang gadis terhormat, cantik dan pandai. Setelah ia sudi merendahkan diri sedemikian rupa, demi cinta kasihnya kepadamu, Sin-ko apakah kau begitu tega?"

"Eng-moi ......, kau tidak tahu Bi Eng membanting kakinya dengan gemas. Gadis ini marah dan

mendongkol bahwa rencananya telah gagal, usaha pertolongannya kepada Tilana dan usahanya untuk menjodohkan kakaknya gagal sama sekali. "Aku tahu! Aku tahu segala-galanya! Tilana telah menceritakan kesemuanya kepadaku! Cocok dengan cerita uwak Lui dahulu. Puteri Hui, Balita, telah jatuh cinta kepada mendiang ayah, dan ayah menyia-nyiakannya pula. Balita sakit hati, sampai tua tidak dapat melupakan dendamnya. Sekarang menyuruh puterinya datang membalas dendam kepadamu, kepada keturunan ayah "

"Keji!" Han Sin mencela.

"Siapa bilang keji?" Bi Eng dalam marahnya tanpa disadari membela Balita.

"Aku lebih tahu watak wanita. Memang sakit hati sekali kalau cinta ditolak. Sekarang, usaha Tilana membalaskan dendam ibunya gagal, malah kau membuka kerudung mukanya yang menjadi sumpahnya. Dia harus kawin dengan laki-laki yang membuka kerudungnya, atau mati. Kau

tidak mau membunuhnya, Tilana mengira kaupun sayang kepadanya. Sekarang, setelah apa yang terjadi malam tadi ..... kau kau menghina, mengeluarkan makian kotor, memukulnya pula. Sin-

ko .... kalau kau tidak mau mencari dia, lalu mengawini dia, aku aku tak mau mengaku kau

sebagai kakakku lagi!” Bi Eng lalu menangis.

Pucat wajah Han Sin mendengar ini. Aduh, Bi Eng ..... Bi Eng keluh hatinya. Kau tidak tahu

..... kau tidak mengerti segalanya. Kau tidak tahu bahwa cinta kasihku hanya untukmu seorang. Dan sekarang kau malah mendorong-dorongku, membujuk-bujukku mengawini orang lain. Tanpa disadari dua titik air mata meloncat keluar di atas kedua pipinya. Cepat Han Sin mengusapnya dan berkata,

"Bi Eng, sudahlah. Jangan kau berduka dan marah. Agaknya sudah tiba saatnya kita turun gunung. Mari kita tinggalkan tempat ini, aku harus memenuhi permintaan yang telah kusanggupi dari Pangeran Yong Tee "

Bi Eng mengangkat mukanya. Tentu pernyataan ini akan amat menggirangkan hatinya kalau saja ia tidak begitu marah dan kecewa. "Dan kita juga mencari cici Tilana?" desaknya.

Sambil menarik napas panjang Han Sin mengangguk. "Baiklah, kita akan mencari dia karena .....

karena dia harus mengakui segala yang telah terjadi malam tadi. Harus memberi penjelasan kepadamu."

Watak Bi Eng memang aneh sekali. Seperti watak udara di musim hujan. Sebentar mendung, sebentar hujan, sebentar terang benderang. Hanya beberapa jam kemudian ia sudah bisa tertawa- tawa ketika bersama kakaknya ia menuruni Gunung Min-san, menuju ke dunia ramai.

Hanya Han Sin yang terus-menerus murung. Hatinya pepat, serasa ada batu besar berat sekali menindih jantungnya. Bagaimana bisa terjadi hal hebat sedemkian antara dia dan Tilana? Dan hal itu tidak saja disetujui oleh Bi Eng, malah agaknya gadis ini mendorong-dorongnya. Celaka dua belas! Dan dia amat mencinta Bi Eng!

Ia mencoba membayangkan lagi apa yang telah terjadi antara dia dan Tilana. Wajahnya menjadi merah sekali kalau ia membayangkannya. Kenapa dia sudah seperti gila? Kenapa dia dapat membelai-belai, mencumbu rayu Tilana gadis asing itu? Ia membayangkan lagi sikap Tilana yang amat mesra dan manis, dan kemudian, tiba-tiba Han Sin mencekal lengan tangan Bi Eng erat sekali.

"Aduhhh!" Bi Eng berteriak. "Aduh sakit lenganku, Sin-ko. Kau ini apa-apaan sih? Aneh benar kelakuanmu. Ada apakah?"

Han Sin tersadar dan melepaskan pegangannya. "Eng-moi, aku teringat sekarang tanda merah

di dekat telinganya ......, ya ......., tanda merah, jelas sekali kulihat di dekat telinga " "Apa artinya ini? Sin-ko, kau seperti orang ngelindur!" tanya Bi Eng yang terheran-heran melihat kakaknya memandangi langit sambil merenung dan mencubit-cubit hidung sendiri.

Tiba-tiba Han Sin menatap wajah Bi Eng matanya bersinar-sinar ganjil. Untuk ke sekian kalinya Bi Eng harus menghindar dari pandang mata kakaknya. Pandang mata kakaknya luar biasa sekali, tajam seperti pisau, seakan-akan dapat menembus jantung.

"Eng-moi, tak salah lagi. Gadis itu ..... yang bernama Tilana itu ....... dia itulah anak Ang-jiu

Toanio yang dulu lenyap! Pernah kuceritakan kepadamu, bukan? Sebelum meninggal dunia, Ang- jiu Toanio menceritakan kepadaku " la menahan ceritanya, kaget karena sekarang baru ia

teringat bahwa ia belum menceritakan hal itu kepada Bi Eng. Menceritakan hal itu berarti membuka rahasia bahwa Bi Eng bukanlah adik kandungnya!

Melihat sikap kakaknya yang ragu ragu, Bi Eng bertanya, "Cerita apa? Kau belum pernah bercerita kepadaku tentang pesan Ang-jiu Toanio."

"Eh ...... eh     , kalau begitu aku yang lupa. Begini, Eng-moi. Ketika aku bertemu dengan Ang-jiu

Toanio, sebelum dia meninggal dia pernah minta tolong kepadaku agar supaya aku mencarikan anaknya yang hilang ketika masih bayi. Anak perempuannya itu, adik Phang Yan Bu, ada tanda merah di dekat telinganya. Dan pada ..... diri Tilana kulihat tanda merah itu  yang tadinya

tertutup rambutnya      "

Merah muka Bi Eng dan ia masih sempat menggoda, "Eh, eh, bagaimana kau bisa melihatnya kalau tanda itu tertutup rambutnya, Sin-ko?"

Bingung dan gugup Han Sin menerima pertanyaan ini. "Aku ... eh ..... aku hanya kebetulan saja

aku melihatnya " Mukanya menjadi merah sekali. Cepat-cepat disambungnya, "Baru sekarang

aku teringat. Tak salah lagi, dialah anak Ang-jiu Toanio yang hilang. Rupanya dahulu dicuri oleh Balita dan "

Kembali ia berhenti dan mukanya tiba tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Bi Eng. Tentu saja gadis ini menjadi makin heran, malah agak takut. Jangan-jangan otak kakaknya ini menjadi tak beres.

"Kau kenapa, Sin-ko? Kenapa memandang padaku seperti itu?"

Han Sin kembali dapat menindas perasaannya. Siapa orangnya yang takkan gelisah dan kaget seperti dia ketika mendapat dugaan sekarang. Dugaan yang hampir tak salah lagi. Kalau Balita menukarkan anak Ang-jiu Toanio di rumah mendiang ayahnya di Min-san, kalau begitu tak

salah lagi, Bi Eng yang berdiri di hadapannya sekarang ini tentu anak Balita! Pusing ia

menghadapi kenyataan ini. Bi Eng anak Balita! Bagaimana mungkin ini? Dan di mana adanya adik kandungnya sendiri? Betulkah sudah dimakan harimau, dijadikan umpan harimau oleh pemelihara harimau?

"Bi Eng ....." suaranya gemetar, "apakah     betulkah bahwa kau tidak mempunyai tahi lalat hitam

di mata kaki sebelah kiri     ?"

Bi Eng melengak, kembali mukanya merah. "Sudah belasan kali sejak kita naik kembali ke Min-san kautanyakan hal yang gila itu. Aku sudah bilang tidak ada, apa kau penasaran dan hendak melihatnya?" Bi Eng membungkuk hendak membuka sepatu dan kaos kakinya. Cepat Han Sin mencegah, dadanya berdebar. "Tak usah, Bi Eng, tak usah. Hanya barangkali saja kau teringat bahwa di waktu kecil dahulu,

ada tanda itu di kakimu ”

Bi Eng berdiri lagi, cemberut. "Kau ini apa-apaan lagi, koko? Masa tiada hujan tiada angin mengurus soal tahi lalat! Menurut seingatku, tak pernah ada tahi lalat pada kakiku. Laginya,

siapa sih yang suka mengingat-ingat tentang tahi lalat?"

Han Sin terdiam, terpukau dan merenung. Bingung memikirkan. Tak salah lagi, Tilana yang sekarang menjadi puteri Balita, dia itulah anak Ang-jiu Toanio yang dulu meninggalkan dan menukarkan anaknya itu dengan anak ibunya, adik kandungnya. Kemudian adik kandungnya yang dicuri dan ditukar oleh Ang-jiu Toanio itu terampas oleh seorang Mongol pemelihara harimau.

Entah bagaimana nasibnya.

Dan Ang-jiu Toanio sendiri bilang bahwa anaknya itu telah ditukar lagi oleh lain orang, dan mempunyai tanda merah pada dekat telinganya. Tentulah Balita yang menukarnya, mengira bahwa anak Ang-jiu Toanio itu anak mendiang ibunya. Tentu dengan maksud yang sama dengan Ang-jiu Toanio, maksud keji karena dendam!

Dengan demikian Bi Eng ini tentu anak Balita, anak musuh besar ayahnya, yang sampai sekarang masih mendendam, buktinya mengirim Tilana untuk membunuhnya. Celakanya, ia terlibat dalam urusan asmara yang serba membingungkan dan memalukan dengan Tilana itu! Hebat !

Dengan hati tidak karuan, wajah selalu murung dan hanya menjawab ocehan-ocehan Bi Eng dengan singkat saja. Han Sin bersama adiknya itu melanjutkan perjalanannya, menuju ke timur, ke Lu- liang-san, karena hendak mencari Siauw-ong yang mereka rasa pasti berada di daerah pegunungan itu.

****

Perjalanan menuju ke Lu-liang-san dilakukan cepat oleh Han Sin dan Bi Eng. Di sepanjang perjalanan, dua orang muda ini mendengar hal-hal yang amat aneh. Sepanjang jalan mereka mendengar bahwa orang-orang gagah di dunia kang-ouw, sebagian besar telah bergabung dengan bala tentara Mancu untuk membantu kerajaan ini menggempur para pemberontak di utara, membantu melawan orang-orang Mongol! Alangkah janggalnya ini. Membantu penjajah? Benar- benar mengherankan sekali dan berita ini mendatangkan kemarahan dan kemendongkolan di hati mereka, terutama di hati Han Sin!

"Tak tahu malu menyebut diri patriot! Membela penjajah!" gerutu Han Sin. Bi Eng diam saja, biarpun ia merasa juga betapa janggalnya hal ini.

Ketika mereka tiba di lereng Gunung Lu-liang-san, tiba-tiba dari sebuah hutan terdengar pekik seekor monyet. Han Sin dan Bi Eng keduanya terkejut dan girang.

"Suara Siauw-ong " Bi Eng segera mengenal suara itu. la sudah hendak memanggil, akan tetapi

Han Sin cepat mencegahnya dengan isyarat tangan.

"Ssttt, jangan memanggilnya. Apa kau tidak mendengar tadi? Suaranya adalah suara keluhan dan kemarahan. Tentu dia terancam bahaya. Hayo kita cepat pergi mencarinya, suaranya dari hutan itu

........"

Cepat keduanya berlari-lari memasuki hutan kecil dan tibalah mereka di daerah yang berbatu. Gunung-gunungan batu berderet di tempat itu dan pemandangan indah di pegunungan ini, pemandangan indah dan aneh. Sekarang suara Siauw-ong terdengar jelas dan monyet itu merintih- rintih. Han Sin dan Bi Eng menghampiri tempat itu sambil berindap-indap. Tiba-tiba mereka mendengar suara seorang wanita,

"Diamlah kau, monyet yang baik. Lukamu memang parah, racun sudah menjalar jauh, aku sudah berusaha sedapatku. Ah, sayang sekali ..... kalau dia berada di sini ah, di manakah sekarang

Han Sin berada?"

"Li Hoa !" Han Sin dan Bi Eng berseru hampir berbareng dan mereka segera meloncat ke atas

batu. Dari tempat ini terlihatlah oleh mereka di mana adanya Siauw-ong. Memang betul monyet itu berada di situ bersama Thio Li Hoa, gadis cantik manis bergelung tinggi, puteri Thio-ciangkun, gadis yang gagah perkasa dan yang jatuh cinta kepada Han Sin!

Li Hoa terkejut dan bukan main kaget dan girangnya ketika ia melihat orang yang dikenang- kenangnya, orang yang selama ini ia rindukan, ternyata telah berada di situ bersama Bi Eng.

"Kau ..... kalian ....... di sini ?" la bertanya gagap, merah sekali mukanya karena baru saja ia

menyebut-nyebut nama Han Sin.

Akan tetapi Han Sin segera meloncat turun dan mengangkat tubuh Siauw ong. "Dia kenapa ?"

tanyanya gelisah. Ternyata monyet kecil itu kedua kakinya dibalut, nampak pucat dan biru kehitaman kakinya. Monyet itu meringis-ringis ketika melihat Bi Eng dan Han Sin, lalu dari

kedua matanya keluar air mata. Monyet itu bisa menangis!

"Siauw-ong ......, Siauw-ong kau kenapa?" Bi Eng mengusap-usap kepala monyetnya, penuh

kasih sayang, sedangkan Han Sin cepat memeriksa luka di kedua kaki. Luka itu kecil saja, seperti tusukan jarum, akan tetapi membuat kedua kaki hitam agak mengembung. Tanda luka karena racun.

Diam-diam Han Sin terheran. Siauw-ong pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa, kenapa terpengaruh oleh racun? Tentu racun luar biasa sekali, kalau tidak begitu, tentu racun itu akan tertolak oleh racun Pek-hiat-sin-coa.

"Nona Li Hoa, bagaimana kau bisa berada di sini bersama Siauw-ong?" Akhirnya Han Sin bertanya setelah memeriksa luka di kaki monyet itu.

Li Hoa sejak tadi mernandang kepadanya, dan makin lama memandang, makin mendalam cinta kasihnya. Setelah banyak mengalami penderitaan karena berpisah dari ayahnya, perpisahan badan dan pendapat, setelah banyak menemui orang-orang gagah, makin yakin hati gadis ini bahwa pilihan hatinya, yaitu Han Sin pemuda gunung yang luar biasa itu, adalah tepat. Sukar mencari seorang Han Sin ke dua di dunia ini.

Sementara itu, Han Sin dan Bi Eng juga melihat banyak perubahan pada diri Li Hoa. Gadis ini masih cantik manis seperti dulu, akan tetapi lebih sederhana, tidak pesolek seperti dulu. Kalau dulu ia merupakan seorang gadis bangsawan yang angkuh, sekarang ia lebih merupakan seorang gadis kang-ouw, seorang yang gagah dan sederhana.

"Secara kebetulan saja aku mendapatkan dia," Li Hoa bercerita setelah menarik napas panjang. "Kebetulan aku lewat di hutan ini dan aku melihat monyetmu ini bergulingan di tanah terkena lemparan jarum rahasia seorang kakek cebol yang aneh. Aku segera mengenal monyet ini dan aku menegur orang itu. Dia marah marah dan kami bertempur. Akhirnya ia melarikan diri dan aku menolong monyet ini." "Keparat! Siapakah iblis cebol itu? Di mana dia sekarang? Biar kucekik lehernya!" Bi Eng berseru marah. Li Hoa tersenyum mendengar ini. Masih galak, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Bi Eng sekarang berbeda dengan Bi Eng dahulu. Mana dia bisa melawan kakek cebol itu?

"Aku sendiri tidak mengenalnya dan tidak tahu di mana rumahnya. Akan tetapi dia lihai sekali, apa lagi jarum-jarum beracunnya," katanya.

Kemudian atas pertanyaan Han Sin tentang orang-orang gagah yang ikut membantu Kerajaan Mancu melawan orang-orang Mongol, Li Hoa bercerita. Apa yang didengar oleh Bi Eng dan Han Sin memang betul adanya. Para tokoh kang-ouw sebagian besar membantu pergerakan pemerintah Mancu memerangi orang-orang Mongol yang dipimpin oleh Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu di utara itu.

Bahkan Ciu-ong Mo-kai, guru pertama Han Sin dan Bi Eng, Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio, orang-orang gagah Cin-ling-pai dan orang-orang gagah lain juga sudah bergabung menjadi satu membantu pemerintah Ceng! Mendengar ini Han Sin dan Bi Eng kaget bukan main.

Li Hoa melihat keheranan mereka, lalu berkata, "Tadinya aku sendiripun merasa heran. Mungkin kalian belum tahu bahwa aku sendiri sudah bentrok dengan ayah. Ayah membantu Pangeran Yong Tee atau tegasnya membantu pemerintah Ceng, akan tetapi aku tidak suka melihat penjajah. Akan tetapi, setelah melihat pemerintah Ceng, apa lagi berkat pengaruh Pangeran Yong Tee yang amat baik, dan mengingat betapa kejamnya orang-orang Mongol kalau sampai mereka berhasil menjajah tanah air kita, maka akupun membenarkan tindakan mereka, orang-orang gagah itu. Lebih baik sekarang kita membantu pemerintah untuk mengalahkan bala tentara Mongol yang amat kuat.

Kemudian, soal menghalau penjajah dari manapun juga keluar dari tanah air, adalah soal ke dua. Kalau sekarang kita menghadapi dua musuh, orang-orang Mancu dan orang-orang Mongol, kiranya usaha perjuangan para patriot takkan berhasil."

Dengan panjang lebar Li Hoa menjelaskan kepada Han Sin yang mulai dapat mengerti mengapa orang-orang gagah itu sekarang "tampaknya" membantu pemerintah Mancu, padahal hanya membantu pemerintah yang berkuasa sekarang untuk mengusir bahaya yang lebih besar, yaitu orang-orang Mongol. Setelah orang-orang Mongol berhasil dihancurkan, barulah kelak berusaha menggulingkan pemerintah penjajah, tentu akan lebih ringan! Han Sin mulai belajar mengerti tentang perkembangan politik.

"Akan tetapi tidak mudah," kata Li Hoa. "Selain ada pertentangan-pertentangan sendiri di dalam, banyak pula orang-orang pandai yang membantu Bhok-kongcu. Kekuatan mereka sungguh tak dapat dipandang ringan. Maka sekarang bertemu dengan kau, aku banyak mengharapkan bantuanmu agar kita cepat-cepat menghancurkan bahaya yang datang dari utara itu." Ia mengerling kepada Han Sin penuh harapan.

"Tentu saja kita harus membantu mereka. Apa lagi kalau suhu sudah berada di sana pula!" kata Bi Eng tegas. Akan tetapi, Han Sin menghela napas, ia masih ragu-ragu. Tidak ada nafsu untuk membantu pemerintah penjajah. Betapapun juga, ia masih tidak rela kalau harus berjuang untuk membantu penjajah, sungguhpun pada hakekatnya itupun merupakan perjuangan menyelamatkan bangsa dari pada ancaman penjajah baru yang lebih buas dan jahat.

"Bagaimana nanti sajalah, paling perlu sekarang aku harus mencarikan pengobatan untuk Siauw- ong. Kulihat keadaannya parah sekali "

Tiba-tiba Han Sin menghentikan kata-katanya dan berpaling ke belakang. "Ada orang "

bisiknya. Li Hoa dan Bi Eng yang tidak mendengar sesuatu cepat menengok dan benar saja, di atas sebuah batu yang tinggi, entah dari mana dan kapan datangnya, di sana telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gendut, berpakaian sebagai seorang saudagar dan sedang tersenyum menyeringai. Matanya yang tajam bergerak-gerak lihai dan cerdik. Li Hoa segera mengenalnya.

"Lie Ko Sianseng ”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar