Kasih Di Antara Remaja Jilid 07

Jilid 07

22. Pembicaraan Rahasia Pangeran Galdan

KUI LOK tersenyum pahit. ”Dahulu akupun seorang pemuda yang menyeleweng, Cia-kongcu. Kau seribu kali lebih baik dari pada aku. Akan tetapi, karena pergaulanku dengan pahlawan-pahlawan bangsa seperti Lie Cu Seng, kakekmu Cia Hui Gan, dan yang lain-lain, terbukalah hatiku.

Bahagialah orang yang dalam hidupnya dapat menempatkan diri sebagai orang yang dibutuhkan oleh negara, oleh bangsa atau setidaknya oleh masyarakat, dan paling tidak dibutuhkan oleh orang- orang lain di sekitarnya. Orang yang sudah tidak dibutuhkan apa-apanya oleh orang lain, kecuali oleh nafsu diri sendiri, orang demikian itu tidak ada gunanya lagi hidup ..... seperti seperti aku

ini ” ”Kui-locianpwe, jangan kau bilang begitu,” Han Sin menghibur. ”Aku orangnya yang masih amat membutuhkan bimbinganmu.”

”Hemmm, hatimu yang terlampau baik itu mendorongmu untuk menghiburku. Apa yang kau butuhkan lagi dari diriku? Nasehat-nasehat seperti yang sudah kuucapkan tadi? Ah, aku bukan seorang ahli filsafat ”

”Tidak, Kui-locianpwe. Aku membutuhkan pelajaran ilmu silat! Sekarang terbukalah mataku. Semua nasehat tadi memang tepat. Teecu ingin meniru jejak langkah kakek dan ayah, teecu ingin berbakti kepada nusa dan bangsa. Teecu akan turun tangan menghadapi orang-orang yang tersesat, orang-orang yang membikin celaka sesama manusia. Untuk semua itu, sekarang teecu tahu betul- betul, teecu harus memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat. Dan kiranya hanya Kui-locianpwe yang akan dapat memberi bimbingan kepada teecu.”

Tiba-tiba Kui Lok meloncat bangun, wajahnya yang kurus kering itu berseri. ”Bagus! Begini baru pantas kau menjadi seorang she Cia! Ha ha ha, Cia Hui Gan, Cia Sun, lihatlah keturunanmu ini.

Sudah sepatutnya kalau dia menjadi ahli waris Thian-po-cin-keng. Ha ha ha!” Ia lalu berlari ke sebuah kamar lain di dalam terowongan di bawah tanah itu, dan tak lama kemudian ia datang lagi membawa sebuah kitab.

”Kau terimalah ini, inilah Thian-po-cin-keng (Kitab Mustika Langit). Inilah yang sebetulnya diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw, bukan harta benda di dalam tempat ini. Terimalah dan bersujudlah karena semenjak saat ini, kau langsung menjadi murid Tat Mo Couwsu!”

Han Sin menjatuhkan diri berlutut dan menerima kitab yang kelihatannya kuno sekali itu. Memang dia seorang kutu buku, tentu saja melihat sebuah kitab, ia merasa seperti seorang kelaparan melihat roti yang enak! Seperti seorang kelaparan yang terus saja makan dengan lahapnya roti yang diberikan kepadanya. Han Sin juga sama halnya, begitu menerima kitab itu, lalu membalik-balik lembarannya dan membaca.

Ia tidak tahu betapa Kui Lok memandang dengan terheran-heran melihat pemuda itu membaca kitab dengan mudah seperti orang membaca cerita yang mengasyikkan saja. Padahal dia sendiri, dia harus memeras otak setengah mati untuk dapat menangkap arti dari pada huruf-huruf kuno yang amat sukar dibaca, sukar dimengerti, malah selama puluhan tahun ia hanya dapat memahami sebagian kecil saja.

Melihat pemuda itu begitu tekun membaca kitab Thian-po-cin-keng, saking girangnya Kui Lok tidak mau mengeluarkan suara berisik, tidak mau mengganggunya malah menjauhkan diri dengan diam-diam untuk merawat lukanya. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa lukanya di dalam dada amat parah sedangkan racun hawa pukulan tangan Bhok Hong sudah meresap ke dalam jalan darah dan jantungnya! Karena tahu bahwa ia takkan tertolong lagi, Kui Lok kembali ke ruangan itu dan melihat Han Sin masih terus ”tenggelam” ke dalam lautan huruf kitab kuno itu.

Berkali-kali Kui Lok menggeleng kepala dan di dalam hati terheran-heran melihat betapa Han Sin terus membaca kitab sampai hari menjadi malam dan pemuda ini seperti tidak merasa betapa sinar matahari telah diganti oleh sinar obor yang dibuat Kui Lok. Terus saja membaca dengan amat tekun dan kelihatan tertarik sekali.

Mengapa Han Sin begitu tertarik? Hal ini bukan hanya disebabkan oleh karena dia memang seorang kutu buku, akan tetapi terutama sekali karena isi pada kitab itu adalah tulisan huruf Tiongkok kuno dan mengandung filsafat-filsafat yang lebih tinggi dari pada kitab-kitab yang pernah dibacanya! Di samping ini, di antara filsafat-filsafat itu diselipkan pelajaran tentang pengerahan dan penggunaan hawa sakti dalam tubuh, malah dengan lengkap diselipkan pelajaran-pelajaran mukjizat berdasarkan tenaga lweekang seperti Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), Im- kang-hoan-hiat (Dengan Tenaga Lemas Pindahkan Jalan Darah) dan paling akhir, di antara sajak- sajak kuno terkandung pelajaran ilmu silat Thian-po-cin-keng sendiri.

Dan semua ini, semua pelajaran yang tinggi dan aneh ini ditulis di antara filsafat-filsafat tinggi dan sajak-sajak indah. Kalau bukan seorang ahli tak mungkin dapat menangkap dan memisahkan sari pelajaran dari filsafat dan sajak itu! Han Sin sekali baca saja sudah dapat membedakan mana pelajaran silat mana filsafat atau sajak indah. Inilah yang membuat ia amat tertarik sampai lupa waktu dan lupa diri. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa semua filsafat yang terkandung di situ adalah sejalan dengan filsafat yang pernah ia baca, malah peraturan-peraturan tentang cara bersamadhi juga sejalan dengan cara-cara yang pernah ia latih.

Berbeda dengan Han Sin, Kui Lok bukanlah seorang ahli sastra. Huruf-huruf kuno itu baginya amat sukar dimengerti, apalagi berisi filsafat dan sajak. Oleh karena itu, maka selama puluhan tahun itu ia hanya berhasil menangkap sari ilmu silat Thian-po-cin-keng sebanyak dua belas jurus saja! Juga karena sukarnya inilah maka semenjak kitab itu berada di tangan Lie Cu Seng, belum pernah ada orang yang dapat menangkap seluruh inti sari pelajaran itu dengan lengkap, seperti hal Kui Lok.

Padahal, ketika Han Sin membaca habis, pemuda ini mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Thian- po-cin-keng, biarpun hanya terdiri dari tiga bagian saja, namun setiap bagian mempunyai tiga puluh enam gerakan sehingga seluruhnya terdapat tiga kali tiga puluh enam menjadi seratus delapan jurus!

Karena semalam suntuk Han Sin terus membaca, Kui Lok yang terluka hebat itu tidak kuat mengawani terus dan tahu-tahu kakek ini sudah tertidur bersandar dinding di ruangan itu. Menjelang pagi, kakek ini kaget dan tersadar karena mendengar angin bersiutan yang amat aneh. Ia membuka mata dan merasa betapa dadanya amat sakit, akan tetapi segera ia melupakan rasa sakit ini ketika melihat apa yang dilakukan oleh Han Sin.

Pemuda ini ternyata sedang menggerak-gerakkan kaki, digeser ke sana ke mari sambil memukulkan kedua tangan secara lambat sekali dan mulutnya menyebut jurus-jurus Thian-po-cin-keng.

Hebatnya, biarpun pukulan-pukulan itu lambat saja, namun angin pukulannya bersiutan seperti pedang menyambar!

Ketika melihat pemuda itu melakukan gerakan Jip-hai-siu-to (Masuk Laut Sambut Mustika), sebuah di antara jurus-jurus dari Thian-po-cin-keng yang telah ia pelajari, Kui Lok melompat. ”Eh, tahan

....., jangan !”

Akan tetapi terlambat. Han Sin sudah melakukan gerakan itu, yaitu tangan kiri dipukulkan ke depan lurus-lurus kemudian tangan kanan menyambar dari kanan dan ditarik ke arah dada sendiri secara keras dan mendadak. Kui Lok mengeluh dan membelalakkan mata, akan tetapi ia tidak melihat

pemuda itu roboh. Dengan penuh keheranan ia lalu melompat maju, melihat Han Sin sudah berhenti bersilat dan sedang memandangnya dengan senyum.

Kui Lok dengan muka pucat meraba lengan dan dada Han Sin. “Kau …. Kau tidak terluka ?

Gerakan tadi itu , dulu aku hampir mati karena hawa pukulanku membalik menyerang jantung

…..”

Han Sin menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, locianpwe. Ilmu ini hebat sekali, teecu merasa semua hawa di dalam tubuh bergerak-gerak tegang. Hebat, hebat ….!” Dan pemuda ini lalu bersilat lagi. Kui Lok mengeluarkan teriakan perlahan dan ….. roboh terguling. Han Sin kaget dan cepat menubruk, akan tetapi ternyata kakek itu telah menghembuskan napas terakhir dalam keadaan tersenyum. Dari mulutnya mengalir darah yang mulai menghitam. Ternyata bahwa setelah menderita luka hebat dari pukulan Bhok Hong yang beracun, dalam keadaan berbahaya ini Kui Lok sekarang menerima getaran jantungnya saking heran dan girang melihat Han Sin dengan mudah dapat mempelajari Thian-po-cin-keng, maka jantungnya menjadi pecah dan mengakibatkan kematiannya.

“Kui-locianpwe ……!” Han Sin memanggil dan mengguncang-guncang tubuh kurus itu beberapa kali. “Ah, dia sudah mati ……” Pemuda itu tenang-tenang saja. Ia merasa kasihan kepada kakek ini, akan tetapi tentang mati hidup, bagi pemuda itu bukan apa-apa. Dengan sepenuh hatinya ia yakin bahwa mati atau hidup bagi manusia adalah hal yang sudah semestinya dan wajar.

Manusia mana yang takkan mati kalau saatnya sudah tiba? Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak tahu akan jalan keluar dari terowongan itu. Ia teringat pula di dalam kitab kuno bahwa ada jalan darah tertentu di belakang otak yang kalau dihidupkan, akan dapat membuat syaraf bagian kepala bekerja sehingga untuk sejenak tubuh yang sudah mati dapat bekerja kembali, sehingga otomatis mata, telinga, hidung dan mulut berikut pikiran dapat bekerja.

Ia lalu mengerahkan seluruh semangat dan hawa saktinya, miringkan kepala Kui Lok dan menotok jalan darah ini, memutar sedikit ke kiri untuk membuka jalan darah dan memberi tenaga pendorong dengan hawa saktinya untuk menghidupkan atau menjalankan darah yang sudah hampir tak bergerak. Karena dorongan hawa sakti dari lweekang yang tinggi, seketika darah di bagian itu menjadi panas dan dapat didorong menggerakkan syaraf-syaraf di bagian kepala. Benar saja, Kui Lok mengeluh perlahan dan bulu matanya bergerak-gerak.

“Locianpwe, mohon petunjuk terakhir. Bagaimana teecu bisa keluar dari sini?” Han Sin membisikkan kata-kata ini di telinga Kui Lok lalu ia menempelkan telinganya sendiri ke mulut Kui Lok untuk mendengarkan jawaban. Kebetulan sekali bagi Han Sin, memang hal inilah yang jadi pikiran Kui Lok pada saat ia menghembuskan napas terakhir tadi, maka begitu syarafnya bekerja ia berkata lemah.

“Di ruang belakang ada Tiat-lo-han …. Dorong ke kiri .... tiga ” hanya sampai di situ Kui Lok

sanggup mengeluarkan kata-kata, darah keburu membeku karena tidak mendapat dorongan dari jantung yang sudah tidak bekerja lagi. Han Sin menarik napas panjang, hatinya lega, juga ada keraguan. Terang bahwa ucapan itu masih belum habis, akan tetapi kata-kata ”tiga” itu sudah menjadi pegangan yang kuat baginya. Setelah merebahkan mayat Kui Lok, ia lalu cepat menambah kayu kering pada api obor yang hampir padam dan membuat api unggun.

Hatinya makin tenang karena melihat kayu-kayu kering yang terkumpul di situ, ia merasa yakin bahwa tentu ada jalan keluar, selain jalan keluar dari depan yang sudah teruruk oleh batu-batu besar itu. Mengingat jalan keluar ini, hatinya berdebar. Bhok-kongcu adalah seorang yang mempunyai kekuasaan besar. Apakah tidak mungkin dia mengerahkan ribuan orang untuk menyingkirkan batu- batu itu? Ah, tentu mereka akan menyerbu ke dalam, pikirnya.

Setelah tampak sinar matahari, Han Sin lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam pemberian Giok Thian Cin Cu yang selalu dipakai sebagai ikat pinggang, untuk membuat lubang kuburan. Digalinya tanah di dalam ruangan itu dan berkat ketajaman Im-yang-kiam serta tenaga lweekangnya yang besar, tak lama kemudian ia sudah dapat menggali lubang dan mengubur jenazah Kui Lok secara sederhana. Setelah penguburan selesai, pemuda ini lalu memasuki lorong sampai ia tiba di ruang paling belakang dan alangkah girangnya ketika ia melihat sebuah patung besi berdiri di pojok ruangan. Patung itu kecil saja, paling tinggi dua kaki. Tentu inilah patung Tiat-lo-han, pikirnya. Ia melihat patung itu menempel pada dinding karang. Cepat ia menghampiri dan berbisik, ”Tiat-lo-han, harap kau suka menunjukkan jalan keluar untukku.”

Lalu dengan kuat ia mendorong ke kiri. Patung itu bergerak miring, akan tetapi memantul kembali dan tidak terjadi sesuatu. Ia teringat akan kata-kata ”tiga”, maka lalu mendorong lagi untuk kedua kalinya. Alangkah herannya ketika patung itu kini sama sekali tidak bergeming! Ia mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak dapat mendorong patung itu miring.

Han Sin menjadi gelisah. Ia meneliti patung itu dan meraba-raba. Akhirnya jari-jari tangannya menyentuh ukiran-ukiran pada punggung patung. Cepat ia memeriksa dan ternyata di situ terdapat ukiran beberapa buah huruf kecil yang berbunyi,

”Untuk mendorong ke dua dan ke tiga, pergunakan Heng-pai-koan-im (Puja Kwan Im Dengan Tangan Miring) dan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar) dengan tenaga sempurna.”

Han Sin girang sekali. Kiranya demikian. Dia sudah membaca Thian-po-cin-keng dan sekali membaca saja dia sudah hafal sebagian besar dari seratus delapan jurus itu. Di antara yang ia ingat adalah dua jurus yang disebut tadi. Segera ia melakukan jurus Heng-pai-koan-im untuk mendorong patung, dilakukan dengan tangan miring. Akan tetapi, tetap saja patung tidak bergerak, hanya bergoyang sedikit saja. Han Sin kecewa dan ia menduga bahwa tulisan ”dengan tenaga sempurna” itu tentu ada artinya. Bisa jadi karena karena belum berlatih betul-betul, jurus Heng-pai-koan-im yang ia lakukan tadi tidak menggunakan takaran tenaga sebagaimana mestinya.

”Aku harus berlatih dulu sampai sempurna, baru berusaha mencari jalan keluar,” pikirnya dan ia mulai melakukan pemeriksaan di dalam terowongan itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat banyak persediaan makanan di situ, buah-buahan dan di situ bahkan ada daging binatang yang sudah dikeringkan. Juga banyak kayu-kayu kering bahan bakar.

”Ah, Kui-locianpwe tentu telah mengambilnya dari jalan depan. Dengan persediaan ini aku dapat berlatih dengan tenang.”

Tidak saja bahan makan, malah airpun banyak di situ, karena dari batu karang di atas menetes banyak sekali air jernih. Dengan menggunakan mangkok butut yang tersedia di situ sebentar saja dapat menadahi air semangkok. Dengan hati amat tenang, Han Sin mulai melatih diri dengan ilmu Thian-po-cin-keng, dari jurus pertama sampai terakhir.

Malah peraturan-peraturan melatih lweekang ia pelajari pula sehingga pengetahuannya tentang ilmu ini sekarang menjadi sempurna, tidak lagi ia melatih lweekang secara ”tidak sengaja” seperti dulu. Di samping melatih Thian-po-cin-keng, pemuda ini juga melatih Liap-hong Sin-hoat dan Lo-hai Hui-kiam. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap, karena memang bahan-bahan ginkang dan lweekang pada dirinya sudah cukup. Makin matang latihannya, makin girang hatinya. Tidak disangkanya sama sekali bahwa latihan-latihan ilmu silat itu membuat ia merasa enak sekali tubuhnya, membuat semangatnya bangun dan timbul sifat gembiranya. Entah mengapa, ia merasa gembira dan tidak lagi ada sifat pendiam tenang dan agak pemurung seperti yang sudah-sudah.

Ia teringat akan adiknya dan tahulah kini ia mengapa adiknya itu selalu berseri dan bergembira jenaka. Agaknya karena latihan-latihan ilmu silat itulah. Tentu saja hal ini hanya dugaan Han Sin. Sebetulnya hal itu tergantung dari pada watak pembawaan masing-masing, hanya harus diakui bahwa latihan ilmu silat memang betul mendatangkan rasa nyaman dan sehat pada tubuh, juga membangun semangat dan mempertebal rasa kepercayaan kepada diri sendiri, mempertinggi harga diri.

Sebulan lebih Han Sin setiap saat melatih diri. Pemuda ini memang termasuk golongan sedikit orang yang memiliki ketekunan luar biasa. Tiada bosannya ia melatih diri dan belum merasa puas kalau belum sempurna gerakan-gerakannya. Setelah berlatih, baru ia mendapatkan kenyataan bahwa biarpun Thian-po-cin-keng termasuk ilmu silat yang paling tinggi tingkatnya, namun dalam ilmu silat Liap-hong Sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, Im-yang-kun dan Lo-hai Hui-kiam ajaran Giok Thian Cin Cu, masing-masing mengandung keindahan dan keampuhan tersendiri.

Harus ia akui bahwa di antara semua ilmu silat yang sudah ia pelajari, Lo-hai Hui-kiam mengandung sifat yang paling ganas mengerikan, maka diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri takkan mempergunakan ilmu ini kalau tidak sangat terpaksa.

Pada suatu pagi ketika ia sedang membakar daging kering untuk dijadikan santapan pagi, ia mendengar suara ”duk duk duk” yang terus menerus dan makin lama makin keras suaranya. Suara itu datang dari luar, dari timbunan batu-batu yang menutup jalan keluar. Namun ia tidak memperdulikan dan berlatih terus. Sampai tiga hari ia mendengar suara ini dan pada hari keempat, ia mendengar suara itu sudah keras sekali. Tiap kali terdengar suara ”duk”, lantai terowongan itu tergetar. Menjelang tengah hari, ia malah mulai mendengar suara-suara orang!

”Ah, Bhok-kongcu tentu mengerahkan tenaga membongkar tempat ini. Hampir empat puluh hari aku berada di sini dan baru ia akan dapat menembus timbunan batu. Hebat memang alat rahasia guha ini, akan tetapi lebih hebat semangat tak kenal mundur dari Bhok-kongcu.”

Tentu saja Han Sin tidak ingin diserbu oleh Bhok-kongcu dan kawan-kawannya, maka pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat untuk pengabisan kali di depan kuburan Kui Lok, kemudian ia menuju ke ruang belakang, tempat Tiat-lo-han berada.

Ia menjura kepada patung kakek tua itu. ”Tiat-lo-han, harap kali ini kau tidak pelit dan mau menunjukkan jalan keluar.” Ia, seperti dulu, mendorong ke kiri. Patung itu bergerak dan memantul kembali. Kemudian, Han Sin menggunakan Heng-pai-koan-im dan mendorong sambil mengatur tenaganya dengan tepat. Terdengar bunyi ”krekk” dan patung itu bergeser selangkah. Pemuda itu girang sekali.

”Terima kasih ......, terima kasih ” katanya sambil tersenyum dan terbayanglah wajah Bi Eng.

Memang ia sudah amat rindu kepada adiknya itu dan setelah jalan keluar sudah dekat, ia ingin cepat-cepat keluar untuk mencari adiknya yang tercinta itu.

Pada saat itu, sebelum ia melakukan dorongan ke tiga, terdengar suara keras sekali di depan dan ternyata tumpukan batu-batu sudah dapat diruntuhkan. Lalu disusul suara-suara yang ramai-ramai menyerbu ke dalam, di antaranya ia mendengar suara lengking ketawa yang menyeramkan dari Hoa Hoa Cinjin!

Aneh sekali, pada saat itu mendadak timbul semacam pikiran dalam kepala Han Sin untuk menggoda dan mempermainkan orang-orang itu. Dia sendiri merasa heran. Pikiran untuk mempermainkan orang biasanya hanya terdapat dalam kepala kecil Bi Eng! Kenapa sekarang ia seperti ketularan dan bernafsu hendak mempermainkan orang?

Ia tertawa sendiri, kemudian ia melangkah mundur, membalikkan tubuh dan mengeluarkan pekik menyeramkan. Han Sin sudah mempelajari Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), maka ketika ia keluarkan ilmu ini dan memekik, suara itu menerjang keluar dan menimbulkan getaran serta gema yang amat hebat sampai lantai terowongan itu tergetar karenanya! Sekali gus suara lengking ketawa yang disertai khikang dari Hoa Hoa Cinjin itu tenggelam dan tidak terdengar lagi.

Han Sin mendengar orang-orang menjerit. Dia tidak tahu bahwa suara pekik yang ia keluarkan itu telah merobohkan belasan orang terdepan yang kurang kuat tenaga lweekangnya!

Suara orang-orang yang riuh rendah tadi sirap, untuk sesaat kemudian terdengar kegaduhan seperti orang-orang melarikan diri disertai jerit ketakutan, ”Ada setan ....! Ada siluman !!” Disusul suara

orang lari tunggang-langgang.

Han Sin tertawa geli sampai perutnya kaku. ”Ah, kiranya begini menyenangkan menggoda orang. Pantas saja Bi Eng suka sekali menggodaku dan suka main-main.”

Pemuda ini merasa cukup menakut-nakuti orang yang pada menyerbu ke dalam guha. Ia mendengar gerengan marah dari Hoa Hoa Cinjin, maka ia pikir tidak baik kalau ia berdiam terus di situ. Ia siap melakukan dorongan ketiga pada patung Tiat-lo-han. Segera ia melakukan jurus Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar).

Jurus ini dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang, mendorong ke depan sambil membanting kaki kanan dengan keras. Patung itu terdorong ke kiri dan tiba-tiba dinding batu karang sebelah kanan berlubang sebesar tubuh orang.

Selagi Han Sin kegirangan, tiba-tiba lantai yang diinjaknya nyeplos ke bawah dan tubuhnya ikut terbawa turun! Han Sin kaget sekali namun ia masih dapat menguasai diri, dapat dengan tenang mengerahkan ginkangnya. Ia merasa tubuhnya terus melayang ke bawah sampai beberapa lama, baru lantai itu berhenti dan tubuhnya tentu akan terbanting hancur kalau saja ia tidak menggunakan ginkang.

Dengan ilmu ini, kedua kakinya yang menginjak lantai seperti dipasangi per sehingga ketika lantai berhenti, tubuhnya terpental kembali ke atas setinggi tiga kaki, lalu ia melompat turun dengan tenang. Lantai yang nyeplos itu lebarnya dua meter persegi dan ia mulai meraba-raba di tempat gelap. Di empat penjuru semua dinding batu karang yang kasar. Hal ini menggirangkan hatinya, karena ia merasa sanggup untuk merayap naik.

Setelah mengumpulkan semangat dan mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, pemuda ini lalu mulai merayap melalui dinding kasar, seperti seekor cecak saja! Tiba-tiba ia berhenti di tengah- tengah karena mendengar suara orang-orang bicara di atas. Untuk mendapatkan tempat yang enak ia lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam, menggores dan membuat lubang pada dinding itu untuk tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Kemudian ia lalu memasang telinga mendengarkan.

Mula-mula ia mendengarkan suara Bhok-kongcu.

“Hemm, dia telah lolos dari sini. Yang ditinggalkan hanya harta pusaka. Tidak ada kitab. Cinjin, bagaimana pikiranmu?”

“Bhok-kongcu, pinto sendiri masih sangsi apakah betul ada kitab yang didesas-desuskan orang itu di sini. Kalaupun ada dan terjatuh ke dalam tangan bocah she Cia itu, apa susahnya kelak kita merampasnya?”

“Hoa Hoa Cinjin, kau terlalu memandang rendah kitab itu. Ayah telah terluka hebat, sampai sekarang masih beristirahat dan sakit, itu saja sudah membuktikan betapa hebatnya orang yang tadinya berada di sini dan telah mempelajari isi kitab. Kalau kita bisa mendapatkan itu, terutama sekali ilmu perang, bukankah itu akan menambah kekuatan untuk melakukan rencana kita, sesuai yang dicita-citakan oleh bangsaku? Ah, betapa inginku dapat lekas-lekas menindas dan mengusir bangsa Mancu yang tiada bedanya dengan anjing penjilat itu dari Tiongkok!”

Han Sin terkejut mendengar ini. Setahunya Bhok-kongcu adalah seorang penting dari pemerintah Mancu, bagaimana sekarang bersama Hoa Hoa Cinjin bicara tentang mengusir bangsa Mancu dari Tiongkok?

“Ssttt, harap kongcu berhati-hati. Kalau ada mata-mata Mancu mendengar, bisa celaka ”

terdengar suara Hoa Hoa Cinjin.

“Mereka semua di luar, orang-orang pengecut itu. Siapa berani masuk selain kau dan aku? Bangsa Mancu pengecut, setelah menjajah Tiongkok malah menjilat-jilat orang Han. Mengangkat orang- orang Han sebagai pembesar dan pembantu, malah kaisar tolol itu berusaha melebur bangsanya menjadi orang Han. Coba kau lihat, alangkah lucunya mereka itu bersikap seperti orang Han, berbahasa Han, berpakaian Han. Ah, muak aku melihat mereka itu, kaisar dan orang-orangnya seperti monyet-monyet meniru manusia!”

“Memang menjemukan,” kata Hoa Hoa Cinjin. “Pinto sendiri yang mempunyai darah campuran, darah Mongol dan darah Han, tetap merasa lebih tinggi dari pada orang-orang Han. Memang, kongcu. Tiongkok harus diperintah lagi oleh bangsa kita, baru beres.”

“Tak usah kau sangsi lagi, saat bangunnya kerajaan Mongol pasti akan tiba! Roh nenek moyang kita, roh Yang Mulia Jenghis Khan pasti akan membantu usaha yang kurencanakan. Pangeran Galdan takkan gagal. Kegagalannya hanya dapat dibeli oleh nyawaku!”

“Ssttt ....., pangeran , eh, kongcu. Harap berhati-hati. Ayahmu sendiri tak pernah berani

membuka rahasia pribadi.”

“Kau betul, Cinjin. Biarlah mulai sekarang takkan kulupakan lagi bahwa sebelum kerajaan Goan (Mongol) bangun kembali, aku adalah Bhok Kian Teng. Biarlah pangeran Galdan bersabar dan baru muncul kalau kerajaan kita sudah bangun.”

“Mari kita keluar, kongcu. Jangan sampai harta pusaka itu tercecer. Tentang bocah she Cia, tak usah khawatir. Pinto akan mengejar dan menangkapnya. Lagi pula ” Makin lama suara Hoa Hoa

Cinjin makin perlahan karena mereka berdua sudah mulai pergi meninggalkan ruang itu. Akan tetapi setelah mengerahkan tenaga pendengarannya, Han Sin masih dapat menangkap sedikit lanjutannya “... adiknya berada di tanganmu ”

Han Sin menjadi gelisah. Celaka, kalau begitu Bi Eng masih berada dalam tangan Bhok-kongcu atau sebetulnya adalah pangeran Galdan itu. Hemm, dan kongcu seorang pangeran Mongol yang pada luarnya saja membantu pemerintah baru, akan tetapi sebetulnya hendak mengakangi daratan Tiongkok sendiri, hendak membangun kembali kerajaan Goan-tiauw yang sudah hancur, hendak menegakkan kembali kekuasaan Mongol sebagai penjajah di Tiongkok.

“Aduhai tanah airku ........, bangsaku , alangkah buruk nasib kita. Seorang musuh, penjajah

Mancu masih belum dapat kita usir, sekarang sudah ada ancaman penjajah baru, orang-orang Mongol yang hendak kembali menindas kita ”

Jiwa patriot yang sudah mulai bersemi di dalam hati Han Sin memberontak. Segera ia melanjutkan usahanya, merayap naik keluar dari “sumur” itu. Diam-diam ia merasa puas bahwa jatuhnya ke situ malah menguntungkan, karena memberi kesempatan kepadanya untuk mendengarkan percakapan yang maha penting. Apakah untuk keperluan macam inikah maka jebakan sumur itu dibuat oleh pencipta gua itu?

Sementara itu, di luar guha juga terjadi hal-hal yang menarik. Untuk mengetahui ini, baiklah kita menengok apa yang terjadi selama Han Sin terkurung di dalam guha terowongan dan mempelajari isi kitab Thian-po-cin-keng. Telah kita ketahui bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong, juga terkurung di sebelah luar terowongan karena pingsan dan terluka oleh tenaga gabungan dari Han Sin dan Kui Lok.

Adapun Bhok-kongcu, ketika melihat mulut guha itu tertimbun batu-batu besar, menjadi amat khawatir akan keselamatan ayahnya. Juga nafsunya untuk mendapatkan harta pusaka rahasia dari Lie Cu Seng makin membesar. Cepat ia memberi perintah kepada Tung-hai Siang-mo untuk pergi memanggil bala bantuan. Tak lama kemudian sebuah pasukan terdiri dari ratusan orang datang ke puncak gunung itu dan pembongkaran batu-batu itu mulai dilakukan. Pekerjaan ini memakan waktu lama sekali karena batu-batu besar itu amat berat.

Setelah sepuluh hari, barulah tubuh Bhok Hong dapat ditemukan dalam keadaan terluka dan payah karena selama sepuluh hari tidak makan dan minum. Hanya seorang dengan kekuatan tubuh luar biasa seperti Bhok Hong dapat menahan derita hebat ini dan tidak menjadi mati karenanya. Namun kakek kosen ini harus beristirahat dan berobat untuk memulihkan tenaganya. Oleh puteranya ia segera dikirim ke kota raja untuk beristirahat di gedungnya.

Kemudian Bhok-kongcu memimpin orang-orang untuk melakukan pembongkaran terus. Pekerjaan ini tidak mudah karena ternyata bahwa batu-batu yang menutup guha sebelah dalam ini malah lebih banyak dan lebih sukar disingkirkan dari pada batu-batu yang menutupi sebelah luar.

Bhok-kongcu yang amat bernafsu untuk segera melihat isi guha dan kalau mungkin mendapatkan kitab rahasia yang ia idam-idamkan, memimpin sendiri pekerjaan ini, malah ia menyuruh orang- orangnya membuatkan sebuah pondok kecil di tempat itu untuk dia bermalam! Iapun mengerahkan tenaga orang-orang kang-ouw. Selain Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, juga kongcu ini mendatangkan Thian-san Sam-sian dan beberapa orang kosen lagi untuk membantu pekerjaan membongkar batu-batu itu.

Pada suatu pagi ketika Bhok-kongcu sedang membongkar batu-batu yang seperti tiada habisnya itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan nyaring, “Bhok-kongcu, di mana kakakku?”

Bhok-kongcu berdebar hatinya dan cepat ia menoleh. Ternyata Bi Eng, gadis pujaan hatinya itu, dengan segala kecantikannya telah berdiri di situ, wajahnya agak pucat namun kecantikannya malah makin menonjol.

Selama ini tak pernah Bhok-kongcu dapat melupakan Bi Eng, akan tetapi karena ia menghadapi pekerjaan yang lebih penting, untuk mendapatkan kitab rahasia yang amat ia rindukan maka terpaksa ia menahan hatinya dan tidak pergi mencari Bi Eng yang sudah dibawa pergi oleh suhunya, Ciu-ong Mo-kai. Sekarang, melihat kedatangan gadis ini tentu saja ia merasa kejatuhan bintang.

Cepat ia melangkah maju dengan wajah berseri dihias senyum, lalu menjura dengan sikap amat hormat.

“Ah, Cia-siocia ! Alangkah girang hatiku melihat kau dalam keadaan selamat. Betapa gelisahku

selama ini karena tidak tahu kau berada di mana dan bagaimana keadaanmu. Cia-siocia, kebetulan sekali kedatanganmu ini ” “Mana Sin-ko? Kau apakan dia ??” Bi Eng bertanya pula, matanya membayangkan kegelisahan

besar.

“Nona Bi Eng, bagaimana kau bisa menyangka yang bukan-bukan? Aku tidak bermusuhan dengan kakakmu, bagaimana aku bisa mencelakakan dia? Andaikata ada apa-apa antara aku dan dia, melihat kau tentu aku takkan tega mengganggu kakakmu itu.”

“Bhok-kongcu, tak usah putar-putar omongan! Di mana dia?” Bi Eng tidak sabar dan membanting kakinya.

“Sabar    , sabarlah, nona manis. Dengan baik-baik kakakmu membawaku ke guha ini. Siapa

sangka, sesampainya di sini, ketika kakakmu sudah memasuki guha, tiba-tiba saja batu-batu besar dari atas berjatuhan ke bawah dan menutup guha. Sekarang aku sedang memimpin orang-orangku untuk membongkar batu-batu ini dan menolong kakakmu.”

Saking pandainya Bhok-kongcu bersandiwara, Bi Eng yang masih hijau itu tentu saja dengan mudah dapat ditipunya. Gadis ini percaya akan semua cerita Bhok-kongcu, karenanya ia merasa sangat berterima kasih dan ikut membantu membongkari batu-batu dengan hati gelisah.

Ia merasa khawatir kalau-kalau kakaknya takkan dapat ditolong lagi. Dengan susah payah dia telah dapat memberi penjelasan kepada Ciu-ong Mo-kai bahwa dia sama sekali bukannya menjadi sahabat baik Bhok-kongcu seperti yang tadinya dikira oleh kakek pengemis ini, sebaliknya Bhok- kongcu malah hendak membantunya bertemu kembali dengan kakaknya di Lu-liang-san. Ciu-ong Mo-kai menggeleng-geleng kepala ketika mendengar penuturan muridnya.

23. Upaya Sepasang Puteri Thio-ciangkun.

“SEMUA orang kang-ouw hendak menangkap kakakmu karena ingin merampas surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng,” kata Ciu-ong Mo-kai Tang Pok kepada muridnya ini. “Dan di antara semua orang kang-ouw itu, yang paling berbahaya hanyalah Bhok-kongcu itulah! Bahkan sebagian besar orang kang-ouw itu bekerja untuk dia. Ah, Bi Eng! Kau tidak tahu orang macam apa adanya Bhok-kongcu yang bernama Bhok Kian Teng itu. Dia putera Pak-thian-tok Bhok Hong.

Kepandaiannya tinggi sekali dan dia jahat sekali. Kalau melihat wanita hemmm, aku tadinya

benar-benar gelisah melihat kau bersama orang macam dia itu.”

Wajah Bi Eng memerah ketika mendengar omongan suhunya ini. Cepat-cepat dia berkata, “Suhu, teecu bukan tidak tahu dia seorang pemuda yang kurang baik. Akan tetapi, terhadap teecu dia sopan sekali dan teecu teecu bukan macam wanita-wanita yang menjadi pelayan-pelayannya!”

Sepasang mata gadis ini bersinar-sinar marah ketika ia berkata demikian.

Gurunya tersenyum, mengangguk-angguk, “Aku percaya kepadamu, muridku. Akan tetapi, pendirianmu itu takkan dapat menyelamatkan kau dari pada bahaya besar yang mengancammu kalau kau berdekatan dengan manusia macam dia. Lain kali, melihat bayangannya saja kau harus cepat-cepat pergi jauh-jauh dari padanya.”

Bi Eng mengerutkan alisnya yang bagus. “Sebaliknya, suhu. Sekarang teecu ingin sekali kembali ke sana, ke Lu-liang-san.”

Ciu-ong Mo-kai kaget. “Apa katamu? Mau apa kau ke sana?”

“Suhu, Sin-ko berada di sana, tidak tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana teecu bisa meninggalkan dia? Teecu maklum bahwa suhu hendak menyelamatkan teecu. Akan tetapi sebaliknya, teecu takkan bisa hidup kalau Sin-ko tidak berada di dekatku. Suhu, teecu harus kembali ke sana.” Sepasang mata itu sekarang menjadi basah dan suaranya penuh permohonan.

“Bi Eng, apa kau gila? Di sana ada Hoa Hoa Cinjin, ada Tung-hai Siang-mo, ada Bhok-kongcu dan kaki tangannya yang banyak serta lihai. Ke sana sama artinya dengan memasuki guha harimau yang ganas.”

“Teecu tidak takut! Untuk menolong Sin-ko, teecu rela mengorbankan selembar nyawa. Kalau ... kalau suhu tidak berani, biar teecu pergi sendiri!” Kata-katanya penuh semangat dan kakek pengemis itu tertawa masam.

“Bi Eng bocah bodoh. Kau masih terlalu hijau, tidak bisa membedakan antara takut dan

bersiasat. Menghadapi lawan banyak yang lebih kuat dari pada kita, kita harus menggunakan siasat. Bukannya nekat saja mengandalkan keberanian, lalu roboh dan gagal. Kalau kita nekat dan roboh, apa kau kira kakakmu masih akan dapat ditolong?”

Bi Eng kaget dan sadar. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan memohon, “Suhu, kau harus tolong Sin-ko. Teecu mohon petunjuk bagaimana kita harus menolongnya.”

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok tertawa. “Tanpa kau mintapun, apa kau kira aku akan membiarkan saja dia dicelakai anjing-anjing penjilat penjajah itu? Bi Eng, setelah mendengarkan penuturan tadi, aku mendapat siasat yang baik sekali. Tak dapat disangkal pula, agaknya iblis muda Bhok Kian Teng itu jatuh hati kepadamu.”

“Suhu   !” Wajah Bi Eng menjadi merah sekali.

Tang Pok tertawa. “Apa anehnya! Setiap pria muda melihat kau tentu akan berhal demikian. Hanya memang ajaib sekali kalau iblis muda itu betul-betul jatuh cinta kepadamu dengan wajar, dengan murni. Tadinya kukira orang macam dia sudah mati perasaannya. Tidak bisa mengenal cinta murni lagi, hanya menjadi budak dari nafsu buruknya. Ini kebetulan sekali. Melihat sikapnya terhadapmu yang sudah-sudah, sekarang kau boleh kembali ke Lu-liang-san untuk melihat keadaan. Mungkin dengan adanya kau di sana, keselamatan Han Sin lebih terjamin. Sementara itu, secara diam-diam aku akan melindungimu dan mencari kesempatan baik untuk membawa kau dan kakakmu pergi dari sana.”

Demikianlah, karena tahu bahwa diam-diam suhunya mengikuti perjalanannya dan melindunginya, dengan berani dan tenang Bi Eng lalu muncul di depan Bhok-kongcu mencari kakaknya. Tentu saja ia kaget sekali dan cepat membantu membongkar batu-batu ketika diberi tahu bahwa Han Sin tertutup di dalam guha. Ketika Bi Eng tiba di situ, pembongkaran batu-batu sebelah luar guha sudah selesai dan tubuh Pak-thian-tok Bhok-Hong sudah ditemukan dalam keadaan terluka hebat dan sudah dikirim ke kota raja untuk berobat dan beristirahat, maka gadis ini tidak tahu akan hal itu sama sekali.

Pada malam kedua, ketika dengan hati gelisah Bi Eng termangu-mangu di depan pondok memandang ke arah guha yang masih tertutup batu-batu, tiba-tiba dari samping melayang sebuah benda kecil yang ringan ke arah dirinya. Gadis ini mengira ada senjata rahasia, maka cepat ia miringkan tubuh dan mengulur tangan menyambar. Dengan gerakan indah ini ia dapat menangkap benda itu yang ternyata adalah segumpal kertas kecil saja.

Cepat ia membawa kertas itu ke bawah lampu yang tergantung di pinggir pondok setelah ia celingukan ke sana ke mari. Akan tetapi tidak melihat bayangan orang. Ia mengira bahwa tentu surat itu datang dari suhunya. Ia membuka surat dan membaca, terheran ketika melihat tulisan tangan wanita yang halus:

Mendekati Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut. Harus cepat-cepat menjauhkan diri. Tunggu sampai pagi, aku berusaha mendapatkan kuda dan menjemputmu pergi dari sini. Urusan kakakmu, aku tentu berusaha menolongnya. Bersiaplah!

Thio Li Hoa

Bi Eng terkejut dan terheran. Pernah ia melihat gadis yang bernama Thio Li Hoa ini, malah ketika Han Sin muncul di Lu-liang-san, dia datang bersama Li Hoa sebagai seorang gadis yang amat baik kepadanya. Sekarang gadis ini yang tadinya telah dirobohkan oleh Bhok-kongcu, tiba-tiba muncul hendak mengajak dia pergi dan berjanji hendak menolong Han Sin. Diam-diam Bi Eng dapat menduga bahwa gadis yang cantik jelita itu tentulah jatuh cinta kepada kakaknya.

“Hemmm, karena cinta kepada Sin-ko, maka kau berusaha menolong aku dan kakakku. Akan tetapi dengan kepandaianmu, menghadapi Bhok-kongcu saja kau tidak berdaya, apalagi di sini banyak sekali kaki tangan Bhok-kongcu seperti Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan lain-lain? Li Hoa, kau mimpi!”

Demikian kata hatinya sambil meremas hancur surat itu. Betapapun juga, ia harus mendengarkan dulu apa yang hendak direncanakan oleh gadis she Thio itu dalam usahanya. Aku akan menanti sampai pagi, siapa tahu dia betul akan dapat menolong Sin-ko, pikirnya. Gurunya sendiri mengatakan bahwa Bhok-kongcu adalah seorang pemuda jahat sekali. Sekarang Li Hoa bilang bahwa Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut.

Akan tetapi mengapa terhadap dia pemuda itu begitu baik dan halus? Betulkah pemuda seramah dan sehalus itu akan mengganggunya? Mukanya menjadi merah dengan sendirinya kalau ia teringat betapa suhunya dengan terus terang bilang bahwa Bhok-kongcu cinta kepadanya! Apa itu cinta?

Dia tak pernah merasa, kecuali cinta kasihnya terhadap Han Sin. Dia selalu terkenang kepada Han Sin dan selalu ingin berdekatan, merasa sunyi dan hampa kalau berjauhan. Dan dia rela berkorban apapun juga, bahkan nyawanya, untuk kakaknya itu.

Bi Eng lalu teringat kepada Yan Bu. Juga pemuda itu amat baik, amat ramah dan halus. Dan pandang mata pemuda itu eh, kok ada persamaannya dengan pandang mata Bhok-kongcu jika

memandang kepadanya. Bersinar-sinar, berseri-seri namun mengandung suatu kelembutan dalam sinar mata itu, sesuatu yang mengharap, memohon dan seperti mata orang minta dikasihani.

“Aku tidak tahu tentang cinta,” pikirnya kemudian, bingung dan tidak perduli lagi. “Apakah Yan Bu dan Bhok-kongcu mencintaiku, masa bodoh. Aku suka kepada Yan Bu, akupun tidak bisa

membenci Bhok-kongcu, akan tetapi cinta? Entahlah. Akan kutanyakan kepada Sin-ko tentang cinta ini kelak ”

Setelah malam berganti pagi, Bhok-kongcu dan orang-orangnya mulai lagi dengan pekerjaan membongkari batu-batu. Seperti biasa pada setiap pagi, pemuda ini menemui Bi Eng untuk diajak sama-sama ke tempat pekerjaan. Akan tetapi gadis ini masih belum keluar dari kamarnya. Ketika ia mengetuk dan memanggil-manggil, Bi Eng menjawab dari dalam.

“Bhok-kongcu, harap kau berangkat lebih dulu. Nanti aku akan menyusul!”

“Kau kenapakah, nona? Apakah tidak enak badanmu? Ataukah kau terlalu lelah? Biar aku panggilkan Hoa Hoa Cinjin, agar kau diperiksa dan diberi obat ” Bi Eng menarik napas panjang di dalam kamarnya. Suara pemuda itu begitu halus, lemah lembut dan penuh perhatian, terdengar amat khawatir dan mencinta. Betulkah dugaan Ciu-ong Mo-kai bahwa Bhok Kian Teng ini mencintainya? Buru-buru ia menjawab.

“Tidak usah, Bhok-kongcu. Aku tidak apa-apa, hanya lelah sedikit dan malas bangun. Nanti kalau sudah enakan, tentu aku akan menyusul. Kau pergilah!”

Dari dalam kamar terdengar betapa pemuda itu masih belum mau pergi, agaknya ragu-ragu. Kemudian terdengar suaranya, “Aku aku amat khawatir, jangan-jangan kau sakit. Aku ingin

sekali melihatmu, nona Bi Eng. Kalau perlu akupun tidak pergi ke tempat pekerjaan. Ataukah aku panggil seorang pelayan untuk menemanimu dan melayanimu?”

“Tak usah tak usah, aku betul-betul tidak apa-apa.” Untuk melenyapkan kecurigaan orang Bi

Eng lalu membuka pintu kamarnya. Ia melihat pemuda itu seperti biasa, sudah berpakaian rapi dan bersih, wajahnya yang putih tampan itu nampak gelisah dengan sepasang mata penuh perhatian memandangnya. “Aku tidak apa-apa, hanya ingin mengaso lebih lama. Kau berangkatlah dulu, nanti aku menyusul.”

Bhok Kian Teng dengan penuh kasih sayang dalam pandang matanya menatap wajah gadis itu. Rambut Bi Eng masih kusut, juga pakaiannya kusut karena memang belum berganti pakaian dan belum menyisir rambut. Akan tetapi dalam pandang mata pemuda yang sudah jatuh hatinya itu, ia nampak makin jelita. Melihat betapa sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan segar, kekuatiran Kian Teng lenyap dan berserilah wajahnya.

“Ah, syukur kau tidak apa-apa, nona. Kalau kau merasa lelah tidurlah lagi. Tak usah kau membantu. Kalau sudah merasa enakan, dan kau ingin melihat, kau datang melihat-lihat saja orang bekerja, tak perlu kau mengeluarkan tenaga membantu mereka. Nah, aku pergi dulu.” Ia menjura dan mengundurkan diri.

Bi Eng bernapas lega. Semua orang sudah pergi, leluasa baginya untuk menanti datangnya Li Hoa di situ. Gadis ini sama sekali tidak mengira bahwa Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang cerdik luar biasa. Ketika melihat gadis yang dikasihinya itu muncul dalam keadaan sehat dan segar dengan pipi kemerahan, malah timbul kecurigaan di dalam hatinya.

Gadis ini amat rindu kepada kakaknya dan saking besar keinginan hatinya melihat sikap kakaknya tertolong dari dalam guha, setiap hari sampai ikut-ikut mendorong batu-batu dengan kedua tangan sendiri. Kecuali kalau jatuh sakit, tak mungkin gadis itu mau menghentikan bantuannya.

Sekarang melihat keadaannya demikian segar dan sehat, kenapa berdiam saja di kamar dan mengajukan alasan tidak enak badan? Akan tetapi di depan Bi Eng ia tidak menyatakan apa-apa, malah segera pergi dan meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam pondok.

Belum lama Bi Eng berada seorang diri di dalam pondok yang telah menjadi sunyi itu, ia mendengar suara kaki kuda di depan pondok, disusul suara perlahan seorang wanita, “Adik Bi Eng, lekas keluar!”

Ketika Bi Eng berlari keluar dari pondok kecil itu, ia melihat dua orang gadis cantik yang menunggang dua ekor kuda, seekor putih, seekor hitam. Gadis yang seorang bukan lain adalah si cantik Li Hoa yang sudah pernah dilihatnya. Akan tetapi gadis kedua belum pernah ia melihatnya. Gadis kedua ini lebih muda dari pada Li Hoa, juga cantik dan matanya bersinar gagah. “Bi Eng, dia ini adalah adikku, Thio Li Goat.” Gadis bernama Li Goat itu tersenyum manis kepada Bi Eng, lalu ia melompat turun dari kuda hitamnya dan berkata.

“Enci Bi Eng, kau pakailah kudaku. Biar aku membonceng enci Li Hoa.”

Bi Eng ragu-ragu. Hatinya tertarik melihat keramahan dua orang gadis cantik itu, akan tetapi karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tidak merasa yakin apakah dia harus ikut mereka. Li Hoa maklum akan isi hati Bi Eng, maka dengan suara perlahan dia berkata cepat,

“Bi Eng, tak usah kau ragu-ragu. Kau berada dalam bahaya besar. Bhok-kongcu sengaja menahanmu untuk memaksa kakakmu menyerahkan kitab rahasia yang berada di dalam guha. Marilah kau ikut dengan kami dan nanti kita berunding bagaimana baiknya untuk menolong kakakmu.”

Biarpun masih agak ragu-ragu, akan tetapi Bi Eng dapat merasa dalam hatinya bahwa dua orang ini tak mungkin termasuk orang-orang jahat. Maka sudah dengan sendirinya, ia lalu meloncat naik ke atas punggung kuda hitam yang tangkas itu, sedangkan Li Goat juga meloncat ke atas punggung kuda Li Hoa, dengan sigap tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia sudah membonceng di belakang encinya. Melihat gerakan Li Goat yang ringan dan tangkas, diam-diam Bi Eng kagum dan maklum bahwa dua orang enci adik itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.

“Mari kita pergi dari sini sebelum mereka mengetahui,” ajak Li Hoa. “Kalau kita sudah berhasil lari, mereka takkan mampu mengejar kuda-kuda pilihan kita ini!”

Bi Eng menarik kendali kudanya dan kuda itu melesat ke depan mengejar kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dibarengi bentakan,

“Nona Cia Bi Eng, jangan kau percaya bujukan mereka!”

Kuda hitam itu berjingkrak, mengangkat kedua kaki depan ke atas ketika Bi Eng yang terkejut menahan tali kendalinya. Juga dua orang gadis itu kaget sekali. Tadi secara diam-diam mereka telah mengintai dan melihat Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya sudah pergi ke guha, kenapa pemuda ini tahu-tahu muncul di situ?

Memang Bhok-kongcu orangnya cerdik. Dia memang pergi ke guha, akan tetapi cepat kembali, secara diam-diam dan bersembunyi di dekat pondok mengintai hingga ia melihat segala yang terjadi di depan pondok.

“Orang she Bhok! Biarkan dia pergi! Dia apamukah maka kau berani menahan seorang gadis? Apa kau tidak malu?” bentak Li Hoa dengan marah.

“Dia tawananku dan kalian ini bocah-bocah nakal tak usah mencampuri urusanku!” jawab Bhok Kian Teng.

“Tawanan ?” Bi Eng berseru kaget. “Aku bukan tawanan! Bagaimana kau berani bilang

demikian?”

“Nona yang baik, jangan kau mendengarkan bujukan mereka. Mereka itu dua orang gadis yang jahat, suka mengacau ” “Kurang ajar kau! Kau kira kami boleh kau hina sembarangan? Awas senjata!” bentak Li Goat yang menggerakkan tangan kanannya dan dua buah benda yang berkilauan dengan cepat sekali menyambar ke arah tubuh Bhok-kongcu, mengarah dua jalan darah yang berbahaya. Itulah senjata rahasia Lian-hoa-piauw (Piauw Bunga Teratai), yang selain indah bentuknya, menyerupai bunga dengan dironce merah, juga amat cepat sambarannya dan amat berbahaya.

Namun Bhok-kongcu adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, dengan mudah saja ia miringkan tubuh dan dua buah senjata rahasia itu menyambar lewat di atas punggungnya.

Sebelum Bi Eng sempat melarikan kudanya lagi, tiba-tiba Bhok-kongcu yang berada di depan kudanya itu menggerakkan tangan menarik kendali kuda. Kuda hitam kesakitan dan merontah- rontah sehingga tak dapat ditahan lagi tubuh Bi Eng terlempar dari punggungnya.

Alangkah kaget dan marah hati Bi Eng ketika tahu-tahu ia telah diterima oleh kedua lengan tangan Bhok-kongcu, dipondong sehingga tidak terbanting jatuh. Ia merontah-rontah dalam pelukan pemuda itu dan berteriak-teriak, “Lepaskan aku! Lepaskan!”

Akan tetapi mana Bhok-kongcu mau melepaskannya? Malah pemuda ini lalu menotok jalan darah gadis itu sehingga membuat Bi Eng lemas tak berdaya lagi. “Bi Eng, kau harus percaya kepadaku, harus! Jangan dengarkan obrolan orang lain.”

Kemudian ia berseru kepada orang-orangnya dengan suara tinggi. “Ji-wi lo-enghiong Tung-hai Siang-mo! Tolong tangkap dua orang gadis itu!”

Pada saat itu, mendadak terdengar suara keras, “Bocah she Bhok, jangan kau kurang ajar terhadap muridku!" Muncullah tubuh Ciu-ong Mo-kai dan dari mulutnya tersembur arak ke arah muka Bhok- kongcu.

Pemuda ini maklum akan kelihaian pengemis tua ini. Maka ia lalu melempar tubuh Bi Eng ke bawah pohon sambil mengelak dari serangan semburan arak, ta¬ngannya mencabut keluar kipasnya. la ma¬sih tersenyum mengejek melihat pengemis itu. "Aha, kiranya Ciu-ong Mo-kai si pe¬ngemis kelaparan yang datang. Setelah menerima hajaran, kau masih belum kapok dan berani muncul lagi?"

Ciu-ong Mo-kai mengeluarkan seruan keras dan dengan marah menyerang de¬ngan guci araknya, dihantamkan ke arah kepala Bhok-kongcu. Pemuda ini cepat mengelak dan membalas dengan totokan maut yang dimainkan dengan kipasnya. Sebentar saja dua orang jago tua dan mu¬da ini saling gempur dengan hebatnya.

Bhok-kongcu boleh jadi seorang pemuda yang pada jaman itu jarang dicari tandingnya. Sebagai putera tunggal dari Pak-¬thian-tok, tentu saja ia memiliki kepan¬daian yang tinggi juga, berkat kecerdikan otaknya ia telah banyak mempela¬jari ilmu-ilmu silat yang luar biasa. Sa¬yangnya dia adalah seorang pemuda mata keranjang yang terlalu suka menuruti naf¬su hatinya sehingga dalam hal lweekang, tenaganya belum dapat dikatakan sempur¬na.

Sekarang ia menghadapi seorang tokoh besar seperti Ciu-ong Mo-kai, tentu saja biarpun dengan ilmu silatnya ia dapat melakukan perlawanan dan bahkan dapat membalas dengan serangan- serangan maut, namun perlahan-lahan ia terdesak oleh ha¬wa pukulan-hawa pukulan yang amat kuat dari pengemis sakti itu. la mencoba hen¬dak mempergunakan senjata rahasianya yang beracun, akan tetapi Ciu-ong Mo-¬kai Tang Pok tidak memberi kesempatan kepadanya. Sementara itu dua orang iblis laut timur, Tung-hai Siang-mo, setelah men¬dapat perintah Bhok- kongcu tanpa ragu¬-ragu lagi lalu melompat maju dan kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat kaget dan berdiri di atas kedua kaki belakang ketika sepasang iblis itu menghadang di depannya.

Sambil mempertahankan diri agar jangan jatuh dari atas kuda, Li Hoa mem¬bentak, "Tung-hai Siang-lo-enghiong, apa¬kah kalian berani kurang ajar kepada ka¬mi? Ayah akan menghukum kalian!"

Tentu saja Tung-hai Siang-mo sudah mendengar tentang kekuasaan Thio-taijin, ayah kedua orang gadis ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa kedudukan Bhok-¬kongcu lebih tinggi dari pada ayah mereka. Maka mendengar ancaman Li Hoa ini, Ji Kong Sek tersenyum. "Heh-heh, nona ber¬dua yang manis, mana kami berani kurang ajar terhadap puteri-puteri Thio-taijin? Kami hanya menerima tugas dan perintah Bhok-kongcu supaya kalian jangan lari pergi. Kalau ayah kalian marah, biarlah marah kepada kongcu. Heh-heh-heh!"

Li Hoa mengeluarkan seruan marah. la tahu bahwa percuma saja menggunakan nama ayahnya untuk menggertak, dan ia¬pun tahu pula bahwa kalau ayahnya tahu akan sepak-terjangnya di sini terhadap Bhok-kongcu dan orang-orangnya, ayahnya malah akan marah kepadanya! Maka tanpa banyak cakap lagi gadis yang berani ini lalu memberi isyarat kepada adiknya. "Li Goat serang!"

Seperti dua ekor singa betina, enci dan adik ini lalu melompat turun dan me¬nerjang Tung-hai Siang-mo dengan pedang mereka. Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw tertawa mengejek. Dengan girang mereka lalu melayani dua orang nona muda yang cantik-cantik ini, menghadapi permainan pedang mereka dengan tangan kosong saja. Memang tingkat kepandaian sepasang iblis ini tentu saja jauh lebih tinggi, maka de¬ngan enak dan mudah mereka dapat mempermainkan Li Hwa dan adiknya.

Di lain pihak, Bhok-kongcu yang li¬hai itu ternyata tidak kuat menghadapi amukan Ciu-ong Mo- kai yang hendak menolong muridnya. Jago tua ini mengeluar¬kan ilmu silatnya Liap-hong-sin-hoat dan setelah dengan mati-matian mempertahan¬kan diri, akhirnya Bhok-kongcu mulai ter¬desak dan permainan kipasnya kalang-ka¬but. Pada jurus ketiga puluh, dengan se¬ruan keras sekali Ciu-ong Mo-kai menga¬yun guci araknya ke arah Bhok-kongcu sambil membentak, "Pangeran keji, mampuslah!"

Bhok-kongcu terkejut sekali melihat sambaran guci yang amat tidak tersangka¬-sangka dan cepat sekali ini. la mengangkat kipas menangkis sambil menusukkan jari-jari tangan kirinya ke arah mata lawannya. Akan tetapi mendadak dari mu¬lut guci itu melesat keluar segumpal arak yang menyambar ke arah muka Bhok-kong¬cu!

Pemuda ini berusaha miringkan kepala, namun masih ada sebagian arak yang me¬ngenai pipi dan matanya, sehingga terpak¬sa ia meramkan mata. la merasa pipinya pedas sekali dan serangan jari- jari tangan kirinya tidak mengenai sasaran. Adapun kipas di tangan kanannya bertemu dengan guci, mengeluarkan suara keras dan senjata istimewa di tangannya itu patah-¬patah! Otomatis Bhok-

kongcu melompat mundur ke belakang dan gerakannya ini amat indah dan baik karena kalau tidak demikian, tentu ia telah tertimpa bencana oleh serangan susulan yang dilakukan oleh Tang Pok.

Pada saat itu, muncul Hoa Hoa Cin¬jin yang mengeluarkan suara marah, "Tang Pok pengemis kelaparan! Pinto lawanmu, bukan orang-orang muda!"

Angin menyambar dahsyat ketika Hoa Hoa Cinjin menyerang. Tosu ini tidak berlaku sungkan lagi. Tangan kanannya menggerakkan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan tangan kiri dikepal dan menyerang pula dengan pukulan-pukulan jarak jauh. "Tosu keparat! Siapa takut padamu?" Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang maklum akan kelihaian Hoa Hoa Cinjin, segera me¬layani tosu ini dengan sungguh-sungguh. Pedang hijau di tangan tosu itu sudah lihai, akan tetapi pukulan-pukulan tangan kirinya lebih berbahaya lagi. Namun, de¬ngan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat, Tang Pok masih dapat membuat Hoa Hoa Cinjin yang lihai itu menghadapi tembok baja dan sukarlah baginya untuk mengalahkan pengemis sakti ini.

Menyaksikan bahwa kekuatan kedua fihak berimbang Bhok-kongcu menjadi pe¬nasaran dan tidak sabar lagi. Li Hoa dan Li Goat kini sudah roboh tertawan oleh Tung-hai Siang-mo, akan tetapi dua orang kakek ini tentu saja tidak sudi membantu Hoa Hoa Cinjin, karena merekapun orang-¬orang berkedudukan tinggi sehingga mema¬lukan mengeroyok lawan. Maka setelah merobohkan Li Goat, dua orang tua inipun hanya berdiri sambil tertawa-tawa menon¬ton. Bhok-kongcu lalu minta bantuan mereka untuk mengantar Li Hoa, Li Goat, dan Bi Eng ke kota raja.

"Serahkan dua orang gadis Thio itu kepada ayah mereka dan ceritakan semua sepak-terjang mereka yang tidak semesti¬nya, dan nona Cia ini harap ji-wi (kalian) bawa ke rumahku, biar mengaso di sana," pesannya. Tung-hai Siang-mo menjadi gi¬rang dengan tugas yang ringan ini, maka mereka segera membawa tiga orang nona muda itu pergi turun gunung.

Setelah membereskan tiga orang no¬na itu, Bhok-kongcu lalu maju membantu Hoa Hoa Cinjin. Kipasnya sudah rusak, maka kini ia membantu dengan serangan¬-serangan senjata rahasia ke arah Ciu-ong Mo-kai. Tentu saja serangan-serangan yang cukup dahsyat ini membuat Tang Pok menjadi kewalahan.

Kakek pengemis ini sudah merasa bingung melihat Bi Eng di¬bawa pergi Tung-hai Siang-mo, dan meng¬hadapi desakan Hoa Hoa Cinjin saja sudah amat berat. Sekarang ditambah lagi de¬ngan serangan-serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus beracun dari Bhok-kongcu, ia kaget dan cepat menyem¬burkan arak untuk melindungi dirinya. la tahu bahwa senjata rahasia pemuda ini tak boleh dipandang ringan. Sebagai pute¬ra tunggal Pak-thian-tok (Racun Utara), tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun yang amat jahat.

Adapun Hoa Hoa Cinjin yang melihat keadaan lawannya terdesak, cepat mem¬perhebat serangannya, malah iapun kini menggunakan jarum-jarum hijau diseling dengan pukulan-pukulan Cheng-tok-ciang!

"Curang .... curang !" Berkali-kali Ciu-ong Mo-kai Tang Pok berseru sambil membuang diri ke

kanan kiri, namun percu¬ma saja karena hujan serangan itu akhirnya membuat pundak kirinya terkena jarum hijau yang dilepas dari jarak dekat oleh Hoa Hoa Cinjin.

Tang Pok menggigit bi¬birnya menahan sakit. Seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh oleh racun jarum itu. Cepat ia menotok jalan darah di leher ki¬ri dan mengerahkan tenaga untuk menahan menjalarnya racun, ia memutar guci arak¬nya dengan pukulan Ciu-san-cam-liong (Dewa Arak Membunuh Naga), jurus ter¬akhir yang paling dahsyat dari Liap-hong¬ Sin-hoat.

Guci arak itu berputar cepat se¬kali mengarah kepala Hoa Hoa Cinjin dan terus menyerang Bhok- kongcu yang berada agak jauh. Dua orang ini kaget dan cepat meloncat mundur melihat dahsyatnya se¬rangan guci arak ini dan diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat kakek pengemis yang sudah terluka oleh jarum hijaunya itu ternyata tidak roboh malah dapat melakukan serangan balasan demiki¬an hebatnya.

"Mo-kai, kau hebat !” Tak terasa lagi ia memuji sambil melompat mundur. Tang Pok hanya tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat jauh, lari dari situ. Bhok-kongcu dengan gemasnya menghujan¬kan senjata rahasia ke arah pengemis itu. Akan tetapi jaraknya sudah terlalu jauh dan dengan sekali mengibaskan ujung le¬ngan baju kanannya, semua jarum itu da¬pat diruntuhkan.

"Jangan-jangan dia nanti mengejar Tung-hai Siang-mo dan merampas murid¬nya,” kata Hoa Hoa Cinjin.

Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Selain dia tidak berdaya menghadapi dua orang tua itu, juga mereka diantar oleh sepasukan pengawal bersenjata yang sudah dipilih. Tak usah khawatir, paling baik kita segera mengeluarkan pemuda she Cia itu."

Demikianlah, dengan bekerja siang malam, Bhok-kongcu akhirnya berhasil membongkar semua batu-batu yang menu¬tup terowongan dan seperti telah dicerita¬kan di bagian depan, Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin menyerbu ke dalam, akan tetapi mereka berdua tidak mendapatkan apa-apa, bahkan tidak melihat adanya Cia Han Sin yang sudah bersembunyi di dalam sumur!

Kita kembali kepada Han Sin. Seper¬ti telah kita ikuti bersama, pemuda ini telah menggembleng diri dalam terowongan, mempelajari ilmu silat tinggi Thian-¬po-cin-keng. Tanpa ia sadari sendiri, ia telah mewarisi ilmu yang hebat dan ber¬kat latihan-latihannya, kini hawa sinkang di dalam tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya.

Setelah ia mendengar percakapan antara Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin, dan mengerti bahwa Bhok-kongcu sebenar¬nya adalah Pangeran Mongol yang bercita-¬cita merampas kembali negara Tiongkok, jiwa patriotnya bergolak. Ia melihat an¬caman hebat mengancam tanah air dan bangsanya, yang tidak saja kini dicaplok oleh penjajah Mancu, malah terancam pula oleh orang- orang Mongol yang ingin men¬jajah kembali.

Akan tetapi saat itu, perha¬tiannya tertumpah pada nasib adiknya yang ia dengar telah terjatuh ke dalam tangan pangeran Mongol, Bhok-kongcu itu. Maka dengan kemarahan ditahan-tahan, pemuda ini lalu berjalan keluar dari tero¬wongan, tidak jadi melarikan diri!

"Awas kalian kalau adikku diganggu !” gerutunya. Kesabaran manusia ada batasnya dan pemuda

ini yang biasanya amat sabar, saking seringnya diganggu dan setelah mendapat gemblengan di dalam te¬rowongan, dibangunkan semangatnya oleh Thai-lek-kwi Kui Lok, kini benar-benar menjadi marah.

Pada saat itu Bhok-kongcu dengan kecewa karena pekerjaan berat yang sudah dilakukan itu ternyata tidak mendatangkan hasil yang amat diharapkan, yaitu kitab rahasia yang ia rindukan, sedang mengatur orang-orangnya untuk mengangkuti harta pusaka yang banyak terdapat di dalam guha. Pekerjaan ini dibantu oleh Thian-san Sam-¬sian, Tok-gan Sin-kai, dan lain-lain jago¬annya. Tung-hai Siang-mo sudah pergi mengantar tiga orang nona ke kota raja, sedang Hoa Hoa Cinjin sudah pergi melakukan pengejaran terhadap Cia Han Sin yang mereka sangka sudah kabur dari dalam guha.

24. Rahasia Adik Kandung Perempuan

DAPAT dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika tiba-tiba mereka melihat Han Sin berjalan keluar dari dalam guha. Wajah pemuda ini merah sekali, sepasang matanya yang luar biasa sinarnya itu menyapu semua orang, amat menyeramkan. Pakaiannya kumal dan compang camping, rambutnya kusut tidak terpelihara. Akan tetapi sekali melihatnya, Bhok-kongcu segera mengenalnya. Pangeran muda ini amat terkejut dan heran, akan tetapi ia segera dapat menekan perasaannya dan dengan wajah tersenyum ia melangkah maju dan menyambut Han Sin dengan suara ramah,

"Ah, kiranya saudara Cia masih selamat. Syukur ...., syukur     ! Kami telah bersusah payah

berusaha menolongmu, membongkar semua batu untuk sebulan lebih lamanya." Akan tetapi Bhok- kongcu menghentikan langkahnya ketika melihat muka pemuda itu yang kelihatan mengancam dan marah.

"Di mana Bi Eng? Di mana adikku itu?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Han Sin dengan nada penuh ancaman dan sinar matanya berapi-api.

Dengan muka masih tersenyum ramah Bhok-kongcu menjawab, "Adikmu itu selamat dan berada di kota raja menanti kedatanganmu. Saudara Cia, apakah kau sudah mendapatkan kitab rahasia itu?"

Diam-diam Han Sin terkejut. Bagaimana pemuda pangeran ini bisa tahu tentang kitab? la menggeleng kepala. "Takkan kukatakan kepadamu, atau kepada siapapun juga. Kau bohong tentang adikku. Kau telah menawannya. Ayoh lepaskan dia!"

Bhok-kongcu mendongkol sekali, akan tetapi masih dapat menahan kemarahannya. la tahu bahwa Han Sin memiliki keberanian dan kekerasan hati luar biasa, maka harus dihadapi dengan lemah- lembut. "Saudaraku yang baik, seorang kuncu tak akan menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkannya. Kau sudah berjanji padaku "

"Berjanji apa? Berjanji hendak membawamu ke tempat penyimpanan harta peninggalan pahlawan Lie Cu Seng. Bukankah aku sudah membawamu ke sini? Ayoh, jangan banyak cakap, lekas lepaskan adikku!"

Bhok-kongcu seorang cerdik. Melihat pemuda itu tidak mau bicara tentang kitab wasiat, ia menaruh curiga bahwa kitab itu tentu telah ditemukan Han Sin. Maka ia lalu berkata manis,

"Saudara Cia, adikmu selamat di kota raja. Mudah saja melepaskan dia supaya berkumpul lagi denganmu, akan tetapi kitab itu kau harus berikan dulu kepadaku sebagai penukaran diri

adikmu. Bukankah ini adil?"

Kemarahan Han Sin meluap. Sepasang matanya seperti kilat menyambar ke arah wajah Bhok- kongcu, membuat kongcu itu surut dua langkah saking kagetnya. "Aku tidak mau lagi masuk perangkapmu yang keji!'" seru Han Sin. "Aku tidak sudi berjanji apa-apa, tidak sudi menukar apa- apa. Adikku tidak bersalah, mengapa kau tawan? Ayoh keluarkan!" Dengan penuh kemarahan pemuda ini melangkah maju menghampiri Bhok-kongcu.

Tentu saja Bhok-kongcu tidak takut menghadapi Han Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang hanya berani dan aneh, akan tetapi lemah. Pada saat itu terdengar suara tertawa mengejek dan majulah tiga orang hwesio, menghadang Han Sin. Mereka ini adalah Thian-san Sam-sian, yaitu Gi Ho Hosiang, Gi Hun Hosiang dan Gi Thai Hosiang. Yang tertawa adalah Gi Hun Hosiang, yang sudah mencabut pedang dan tasbehnya.

"Ha-ha-ha, bocah she Cia. Apakah kau masih belum kapok dan minta disiksa lagi seperti dulu? Ingin pinceng mencokel keluar kedua matamu yang seperti mata iblis itu!"

Melihat tiga orang hwesio yang menaruh dendam kepada keluarga Cia itu sudah maju, Bhok- kongcu berkata, "Jangan bunuh dia, tangkap saja!" Adapun Han Sin ketika melihat tiga orang hwesio yang pernah menyiksanya ini, bangkit kemarahannya. "Kalian ini setan-setan berwajah manusia berselimut pakaian pendeta. Kalian mencemarkan agama dan mengotorkan dunia!" serunya marah sambil maju terus, sama sekali tidak memperdulikan tiga orang itu.

Serentak tiga orang hwesio itu maju dan sesuai dengan perintah Bhok-kongcu, mereka tidak menggunakan senjata, melainkan menggunakan tangan kosong untuk mencengkeram Han Sin. Yang maju lebih adalah Gi Hun Hosiang yang menggunakan tangan kiri menampar kepala dan tangan kanan mengcengkeram pundak.

Han Sin tidak perdulikan serangan itu, hanya menggerakkan tangan kiri mengibas ke depan dan

....... tubuh Gi Hun Hosiang terlempar sampai empat meter lebih, bergulingan dan mengaduh-aduh! Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang kaget dan marah sekali. Serentak mereka maju mengirim serangan dahsyat.

Namun, dengan hanya satu kali menggerakkan kedua tangannya, kembali Han Sin membuat dua orang kepala gundul itu terpelanting dan tak dapat bangun lagi. Ternyata Thian-san Sam-sian telah roboh dengan tulang-tulang pundak patah-patah dan menderita luka dalam yang sekaligus melenyapkan sebagian besar dari pada tenaga dan kepandaian mereka. Biarpun Han Sin tidak membunuh mereka, namun selanjutnya tiga orang hwesio ini tidak dapat berbuat sewenang-wenang lagi karena mereka telah menjadi penderita-penderita cacat di sebelah dalam dadanya!

Semua orang melongo melihat kejadian ini. Akan tetapi Tok-gan Sin-kai yang tidak kenal gelagat, masih tidak percaya dan menganggap hal itu bisa terjadi karena kesembronoan dan kebodohan Thian-san Sam-sian. Tanpa menanti perintah lagi ia meloncat maju dan menyerang dengan tongkatnya. Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai, ilmu tongkatnya berbahaya dan lihai sekali.

Tentu saja Han Sin mengenal pengemis mata satu ini. Pernah dulu ia diberi hadiah Coa-kut-teng (Paku Tulang Ular) oleh pengemis ini sampai ia menderita luka di pundaknya dan terkena racun. Ia tahu bahwa di ujung tongkat pengemis mata satu itu terdapat alat senjata rahasia paku itu.

"Tua bangka keji, apa kau hendak menggunakan lagi paku-paku busukmu?" katanya sambil tersenyum mengejek. Watak Han Sin benar-benar banyak berubah setelah ia "bertapa" selama empat puluh hari di dalam guha. la kini menjadi jenaka, tidak pendiam lagi seperti dulu. Welas asih terhadap sesama manusia memang sudah menjadi dasar wataknya, hanya sekarang ia tidak menurutkan perasaan ini secara membuta. la bukan seorang yang bersemangat tahu lagi, ia bukan seorang pemuda yang berjiwa lemah. Ia harus membasmi kejahatan!

Tok-gan Sin-kai yang memandang rendah pemuda ini, sudah melakukan gerakan pertama, tongkatnya menyambar dan menusuk ke arah ulu hati Han Sin. Pemuda itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali, malah menanti sampai ujung tongkat mengenai kulitnya. Alangkah kagetnya hati Tok-gan Sin-kai ketika ia merasa ujung tongkatnya meleset ketika mengenai kulit dada pemuda itu, seakan-akan baja yang keras dan licin. Sebelum ia menarik kembali tongkatnya, Han Sin sudah menyambar tongkat itu dan seperti mematahkan sebatang biting, ia patah-patahkan tongkat itu lalu menjumput tujuh buah paku yang tersembunyi di pucuk tongkat.

"Makanlah paku-pakumu!" katanya sambil melemparkan paku-paku itu ke arah pemiliknya. Tok- gan Sin-kai kaget dan mencoba untuk mengelak, namun terlambat. Ia merasa sakit pada kedua pundak, kedua siku, kedua lutut dan roboh terguling seketika itu juga. Ternyata di antara tujuh batang paku, yang enam telah menancap di kedua pundak, kedua lengan dan kedua kaki membuat urat-uratnya di tempat itu putus dan selanjutnya, seperti halnya Thian-san Sam-sian, pengemis mata satu ini juga menjadi seorang tak berguna lagi, cacat selama hidupnya!

Gegerlah semua orang yang menyaksikan kejadian ini. Bhok-kongcu hampir tak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sekilat pikiran melintas dalam benaknya. Tentu pemuda Min-san itu sudah menemukan kitab wasiat! Akan tetapi mungkinkah hanya dalam puluhan hari saja sudah dapat mewarisi isi kitab dan memiliki kepandaian sehebat itu? Wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat Han Sin dengan langkah tegap menghampirinya dan mulut pemuda itu terus mendesak,

"Di mana Bi Eng? Lepaskan dia!"

Bhok-kongcu bukanlah pemuda yang nekat mengandalkan kepandaian sendiri. Dia lebih mengandalkan kecerdikannya. Melihat keadaan Han Sin, dia tidak mau berlaku sembrono, cepat ia memberi perintah,

"Tangkap dia!".

Puluhan orang kaki tangannya yang tadinya bungkam dan tak bergerak saking herannya melihat pemuda aneh itu merobohkan tiga orang tokoh besar secara demikian mudah, kini mendengar perintah majikannya, serentak maju menyerang Han Sin. Pemuda ini makin mendongkol.

"Kalian semua bukan orang baik-baik!" tegurnya dan ketika kedua lengannya bergerak, orang-orang yang mengeroyok roboh bergelimpangan. Betapapun marah hati Han Sin, pemuda ini masih tidak tega untuk membunuh orang, maka ia membatasi tenaganya dan hanya merobohkan para pengeroyoknya itu dengan mematahkan tulang-tulang mereka.

Keadaan menjadi ribut dan makin lama makin banyak orang roboh tumpang-tindih, membuat yang lain menjadi jerih dan ragu-ragu untuk maju. Ketika akhirnya Han Sin terbebas dari pengeroyokan dan tak seorangpun berani maju, ia mendapatkan bahwa Bhok-kongcu sudah tidak berada di tempat itu lagi, kongcu yang cerdik itu ternyata telah kabur! Han Sin tidak mau perdulikan, Bhok-kongcu, sebaliknya ia menyambar lengan seorang pengeroyok dan membentak,

"Ayoh katakan, di mana adanya nona Cia Bi Eng, adikku!" Pandang matanya yang tajam luar biasa itu membuat, orang yang dipegangnya ketakutan setengah mati.

"Ampun, taihiap ........ nona itu dibawa oleh Tung-hai Siang-mo ke kota raja ”

"Siapa yang menyuruh dan dibawa ke rumah siapa?"

"Bhok-kongcu yang memerintah dan ....... tentu saja dibawa ke rumah Bbok kongcu ”

Han Sin melepaskan lengan orang, lalu pergi turun gunung tanpa banyak cakap lagi. Tujuannya hanya satu, menolong adiknya di kota raja kemudian baru bersama adiknya melakukan perjuangan bersama para patriot bangsa lainnya, mengusir kaum penjajah yang hendak mencengkeram tanah air!

****

Dengan melakukan perjalanan cepat tak kenal lelah Han Sin turun dari puncak Lu-liang-san sebelah timur dan terus menuju ke timur, ke kota raja. Ia merasa tubuhnya amat ringan dan kuat, jauh sekali bedanya dengan sebulan yang lalu. Bukan main girangnya karena ia maklum bahwa kesemuanya ini adalah berkat ketekunannya mempelajari ilmu dari kitab Thian-po-cin-keng yang sudah ia bakar ketika ia hendak keluar dari dalam guha. Kitab itu sudah dibakarnya karena ia maklum bahwa banyak sekali tokoh kang-ouw menghendaki kitab itu, maka untuk mencegah keributan lebih lanjut, ia membakar kitab itu sampai habis menjadi abu.

Ketika pemuda ini sedang melakukan perjalanan yang sukar melalui Pegunungan Tai-hang-san, di lereng gunung yang amat sunyi dan indah pemandangannya, tiba-tiba ia mendengar suara orang dari jauh. Hatinya tertarik, apa lagi ketika mendengar suara-suara itu seperti dua orang tengah berselisih.

Segera ia mengerahkan ginkang dan berlari ke arah suara itu. Makin dekat ia menjadi makin tertarik karena mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah Hoa Hoa Cinjin! Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di belakang batu besar ketika sudah tiba dekat dan melihat benar-benar Hoa Hoa Cinjin sedang bercekcok dengan seorang kakek bertopi lebar yang bertubuh jangkung kurus.

Kakek ini membawa sebuah pikulan yang ditaruhnya di tanah, pakaiannya sederhana, wajahnya keren dan sepasang matanya bersinar-sinar. Namun mulutnya selalu tersenyum dan dari mulutnya inilah nampak kesabaran dan kebaikan hatinya.

"Hoa Hoa Cinjin," terdengar kakek bertopi itu berkata, suaranya mengandung kehalusan dan kesabaran, "dahulu kau menewaskan suteku Koai-sin-jiu Bhok Kim, aku diam saja karena itu adalah urusan pribadi antara dia dan kau. Juga kau menyerang dan memukul murid keponakanku, Ang-jiu Toanio, inipun masih kusabarkan karena mungkin sekali dia yang menyerangmu lebih dulu. Dalam pertempuran, kalah menang bukan soal aneh dan sudah semestinya. Akan tetapi kau orang tua sampai menghina yang muda, menghina muridku Phang Yan Bu, malah mengucapkan kata-kata menantangku. Hemmm, tosu sombong, hal ini tidak bisa kudiamkan saja!"

Hoa Hoa Cinjin tertawa seram, melengking nyaring seperti suara setan. Kemudian ia berkata mengejek, "Heh heh, tukang obat. Percuma saja kau berjuluk Yok-ong (Raja Obat). Ternyata kau tidak mampu mengobati perempuan galak itu dan sekarang karena penasaran kau mencariku. Ha ha ha! Kepandaianmu mengobati sudah kulihat, hanya kepandaianmu silat yang belum. Hendak pinto lihat apakah sama rendahnya dengan kepandaianmu tentang pengobatan!"

Setelah berkata demikian, Hoa Hoa Cinjin bersiap untuk melakukan penyerangan. Kakek bertopi itu yang bukan lain adalah Yok-ong Phoa Kok Tee, guru Yan Bu dan merupakan seorang tokoh yang aneh dan jarang keluar di dunia kang¬ouw, bersikap tetap sabar.

"Hoa Hoa Cin¬jin, memang aku sengaja hendak mencoba kepandaianmu. Orang keji macam kau ini kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, hanya akan menimbulkan bencana saja bagi orang baik- baik."

"Tukang obat sombong, kaulah yang akan mampus!" Hoa Hoa Cinjin mengakhiri seruannya dengan sebuah serangan kilat. Pukulannya mengeluarkan hawa menyambar dahsyat dan melihat warna lengannya itu yang bersemu hijau, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa lawannya itu telah mempergunakan Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) yang amat berbahaya.

Namun ia tidak menjadi gentar karenanya. Untuk menghadapi Cheng-tok-ciang lawan, ia lalu menggunakan ilmu totoknya yang paling lihai, yaitu yang disebut It-yang-ci. Raja Obat ini sudah melatih diri dengan ilmu ini puluhan tahun lamanya. Tidak saja totokan satu jari ini dapat dipergunakan untuk mengobati orang-orang terluka dalam, akan tetapi juga dapat dipergunakan dalam pertempuran sebagai ilmu yang dahsyat. Hawa totokannya saja cukup untuk merobohkan orang, sehingga ilmu ini memang tepat untuk menghadapi Cheng-tok-ciang yang berbahaya. Pertempuran berlangsung dengan hebat, keduanya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian. Diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat lawannya. Baru kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, dan Ilmu Totok It-yang-ci yang sudah lama ia dengar itu, baru sekarang ia buktikan kelihaiannya.

Di lain pihak, Phoa Kok Tee juga amat kagum. Pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh Hoa Hoa Cinjin mengandung tenaga mukjizat yang sukar ia lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, baru ia dapat mengimbangi saikong itu.

Sementara itu, di tempat sembunyinya Han Sin menonton pertempuran. Ingin ia muncul dan membantu kakek bertopi. Ia maklum bahwa Hoa Hoa Cinjin jahat, akan tetapi ia tidak mengenal kakek bertopi, bagaimana ia bisa membantu? Siapa tahu kakek bertopi itupun bukan manusia baik- baik?

Pada saat itu, pertempuran sudah mencapai puncaknya dan keduanya sudah mengeluarkan pukulan- pukulan maut yang kalau mengenai lawan tentu akan mendatangkan bencana hebat. Melihat ini, Han Sin menjadi tidak tega juga. la tidak dapat mendiamkan saja dua orang berkepandaian tinggi hendak saling bunuh. Dari sambaran-sambaran angin pukulan kedua fihak, sebagai seorang ahli dia sudah tahu akan bahayanya pertempuran itu. Maka ia lalu melangkah keluar dari tempat sembunyinya, langsung menghampiri tempat pertempuran dan membentang kedua lengan di

tengah-tengah antara mereka.

"Hoa Hoa Cinjin, di mana-mana kau hendak membunuh orang? Bagus!"

Hoa Hoa Cinjin dan Phoa Kok Tee kaget setengah mati ketika tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terpental mundur, tertolak oleh tenaga dahsyat sekali namun tidak merupakan dorongan yang berbahaya, hanya bertenaga kuat. Melihat bahwa yang datang adalah Han Sin, hampir Hoa Hoa Cinjin melompat dan menangkapnya. Namun ia cerdik.

Menghadapi Phoa Kok Tee saja sukar baginya mencari kemenangan, apa lagi sekarang ada pemuda aneh. Siapa tahu kalau-kalau pemuda aneh ini benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi? Tiba- tiba ia mendapat akal baik. Sebagai tokoh kang-ouw tentu si tukang obat juga ingin mendengar tentang kitab rahasia Tat Mo Couwsu atau hendak mendapatkannya. Maka ia lalu menegur.

“Kiranya Cia Han Sin! Kau telah menipu kami, setelah memasuki guha kau membawa lari kitab pusaka peninggalan Lie Cu Seng. Ayoh, kembalikan kitab itu!”

Han Sin tertawa. “Kitab memang ada, akan tetapi bukan untuk manusia jahat. Sekarang sudah kubakar, kukirim kembali kepada mendiang Tat Mo Couwsu. Kau mau apa?”

Melihat sikap pemuda ini menantang, Hoa Hoa Cinjin tertegun juga. Ia melirik Phoa Kok Tee, menaksir-naksir apakah si Raja Obat itu akan membantu Han Sin kalau ia menyerang pemuda ini dan menawannya.

“Yok-ong, pemuda ini merampas kitab pusaka, mari kita tangkap dia. Kita bagi bersama kitab itu,” ia memancing.

Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum mengejek. “Tosu jahat, kau kira semua orang sejahat dan seserakah engkau? Tak sudi aku orang tua menghina orang muda.” Bukan main mendongkolnya hati Hoa Hoa Cinjin. Ia cemberut dan mengebutkan ujung lengan bajunya. “Sudahlah, dasar kau tua bangka tak tahu diri. Biar lain kali kita lanjutkan pertempuran kita.” Ia lalu berkelebat dan pergi dari tempat itu.

Sementara itu, Phoa Kok Tee sudah amat tertarik ketika melihat munculnya pemuda ini. Ia hanya menduga-duga karena iapun tidak bisa percaya begitu saja kalau pemuda ini tadi telah mengeluarkan ilmunya untuk memisah. Masa sekali membentang lengan bisa membuat dia terhuyung ke belakang?

“Jadi kau bernama Cia Han Sin? Kau putera mendiang Cia Sun?”

Han Sin bersikap waspada. Lagi-lagi orang mengenalnya, apakah juga hendak merampas kitab yang sudah dibakarnya? Ia menjura. “Betul, locianpwe, aku bernama Cia Han Sin putera Cia Sun. Aku mendengar tadi kau orang tua menyebut bahwa Phang Yan Bu adalah muridmu. Dia seorang yang amat baik, sayang ibunya galak sekali ”

Yok-ong tertawa. "Akupun mendengar namamu dari mereka."

Han Sin teringat akan peristiwa ketika anak dan ibu itu diserang Hoa Hoa Cinjin, maka ia segera bertanya, "Bagaimana dengan keadaan nyonya tua itu? Apakah lukanya akibat pukulan Hoa Hoa Cinjin sudah sembuh?"

Yok-ong menggeleng kepala. "Marilah kau ikut denganku. Ang-jiu Toanio tak tertolong lagi dan ia berpesan kalau aku bertemu denganmu, supaya membawamu kepadanya."

"Memanggil aku? Ada apakah?"

"Entah, urusan penting katanya. Mengenai adikmu. Ayoh lekas, atau kau tidak mau memenuhi permintaan orang yang sudah hampir mati?"

"Tentu saja aku mau!" Cepat Han Sin menjawab, apa lagi karena urusan itu mengenai diri adiknya. Ada urusan apakah? Jangan-jangan Bi Eng tidak berada di kota raja, siapa tahu sudah berada bersama Yan Bu!

Phoa Kok Tee cepat meloncat dan lari setelah menyambar pikulannya. Mula-mula ia berlari agak lambat karena takut pemuda itu tertinggal. Akan tetapi, ia melihat Han Sin dengan mudah dapat mengimbangi kecepatannya, maka ia lalu menambah kecepatan.

Ketika menoleh dan melihat Han Sin masih berada di dekatnya, kakek ini mulai terheran-heran dan mengerahkan semua tenaga dan ginkangnya untuk berlari secepat terbang melalui jurang-jurang dan bukit. Akan tetapi, ketika ia melirik, ia melihat pemuda itu dengan enaknya masih berada dekat di belakangnya. Kagetlah Yok-ong dan mulai ia mengerti bahwa keturunan orang-orang gagah di Min- san ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi!

Dua orang itu berlari cepat sekali menuruni Bukit Tai-hang-san di sebelah timur dan beberapa jam kemudian Phoa Kok Tee membawa Han Sin masuk ke dalam sebuah hutan kecil yang penuh bunga. Di tengah hutan terdapat sebuah pondok bambu dan keadaan di situ amat indah. Tanaman daun- daun obat dan bunga-bunga memenuhi tempat itu, burung-burung berkicau di udara dan keadaan yang sunyi dan menyenangkan ini benar-benar amat mengamankan hati. Ketika mereka memasuki pintu pondok, Han Sin melihat Yan Bu duduk bertopang dagu, nampaknya sedih benar. Pemuda ini mengangkat muka dan girang rnelihat gurunya datang bersama Han Sin. Juga Han Sin girang dan segera menegurnya,

"Saudara yang baik, kau telah berlaku baik sekali kepadaku dan kepada adikku. Baru sekarang aku sempat bertemu dan bercakap denganmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu dahulu."

Yan Bu terpaksa mengusir kemuraman wajahnya dan menjawab sederhana, "Jangan berlaku sungkan, saudara Cia. Ibu ingin sekali bertemu dan bicara denganmu. Kau sudah mau datang ini saja menandakan kebaikan hatimu."

Phoa Kok Tee dan Yan Bu mengajak Han Sin memasuki sebuah kamar bersih di sebelah kiri dan di atas sebuah pembaringan kelihatan Ang-jiu Toanio berbaring. Keadaannya payah dan lemah sekali, wajahnya kurus dan pucat. Nyonya tua ini kehilangan kegarangannya dan sekarang dengan lemah ia menoleh, memandang kepada Han Sin yang datang bersama Yan Bu dan Phoa Kok Tee. Untuk sesaat sepasang matanya bersinar seperti orang mau marah, akan tetapi hanya sedetik dan lenyap kembali sinar itu.

“Kau ...... kau putera Cia Sun ” katanya perlahan.

Han Sin memberi hormat dan tidak tahu harus bicara apa. Maka ia hanya berkata perlahan, “Menyesal sekali toanio dilukai orang jahat tanpa dapat menolong, kuharap saja toanio segera sembuh kembali.”

“Orang muda, sebelum aku mati aku hendak bertanya padamu. Siapakah gadis yang selalu kau

sebut sebagai adikmu itu? Yang bernama Cia Bi Eng itu?”

Han Sin tertegun, bingung oleh pertanyaan itu. “Apa maksudmu, toanio? Bi Eng adalah adik kandungku.”

Ang-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya, nampak tidak sabar. “Bukan, sama sekali bukan. Dia bukan adikmu, juga bukan anakku ...... Ahhhhh, apa yang terjadi dengan anakku ?” Dan

nyonya itu menangis!

Han Sin merasa jantungnya berdebar. Ia mengerti bahwa diwaktu mudanya, nyonya ini mempunyai urusan dengan orang tuanya, buktinya dahulu uwak Lui disaat kematiannya memperingatkan kepadanya supaya berhati-hati terhadap orang yang bernama Ang-jiu Toanio!

“Toanio, apa maksudmu? Bi Eng itu adikku ” jawabnya bingung.

“Katakan, apakah di dekat telinga adikmu itu ada tanda tahi lalat merah?”

Makin berdebar hati Han Sin. Juga dulu uwak Lui menyebut-nyebut tentang gadis bertahi lalat merah dekat telinga dan gadis bertahi lalat di mata kaki kiri! Ia masih ingat akan pesan semua itu baik-baik. “Tidak toanio, tidak ada tanda itu pada diri Bi Eng.”

Ang-jiu Toanio menarik napas panjang. “Apa kataku, dia bukan anakku ”

“Tentu saja bukan, toanio. Dia adikku, anak ayah dan ibuku ” “Bodoh! Kau tahu apa? Kau dengar baik-baik! Karena dulu tidak berhasil membalas dendam terhadap ayahmu, aku lalu menukarkan anakku dengan anak ayah ibumu. Celakanya, anakku itu kiranya sudah ditukar orang pula .... ah, celaka. Apa yang terjadi dengan anak perempuanku ?”

Han Sin menjadi pucat. Jadi Bi Eng yang selama ini dianggap adiknya, orang satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, sebenarnya bukan adik kandungnya?

“Kalau begitu, di mana adikku yang telah kauculik itu?” tanyanya agak ketus karena ia merasa akan perbuatan Ang-jiu Toanio yang dianggapnya keji itu.

“Dia telah dirampas seorang Mongol gundul yang memelihara harimau katanya hendak

dijadikan mangsa harimau !”

“Kau keji !”

Ang-jiu Toanio tersenyum lemah. “Pembalasan terhadap ayahmu. Perbuatan yang keliru. Susiok telah menginsyafkanku. Banyak penderitaan kurasakan setelah itu, aku aku rindu kepadamu

anakku. Ah, kenapa kulakukan hal gila itu? Kemana sekarang anakku ?”

Han Sin merasa kasihan sekali, akan tetapi juga hatinya sendiri tak karuan rasanya. Bi Eng bukan adiknya! Bagaimana mungkin ini?

“Anak Cia Sun, adikmu itu, ada tahi lalat di kaki kirinya, dan anakku ..... anakku yang mungil .....

ada tanda merah di dekat telinga. Ah, anakku .... anakku !” Ang-jiu Toanio lalu menangis sedih

dan tak dapat bicara lagi.

Tiba-tiba wajah Han Sin menjadi merah dan sepasang matanya yang bersinar tajam itu mengeluarkan cahaya kilat. Ia melangkah maju dan berkata, “Kalau begitu, kaulah orangnya yang membunuh ayah bundaku, kemudian menukarkan anakmu dengan adikku!”

Mendengar ucapan ini, wajah Yan Bu menjadi pucat, akan tetapi Ang-jiu Toanio yang menangis, sekarang mengangkat mukanya dan mendadak tertawa. “Hi hi hi, sayang sekali bukan aku! Ketika malam itu aku datang ke kamarnya, dia dan isterinya sudah mati. Aku lalu menukarkan anak untuk memberikan pembalasan terakhir, tapi .... tapi ..... ah, anakku !” Kembali nyonya ini menangis

dan kini mukanya membayangkan warna kehijauan.

Yok-ong Phoa Kok Tee melangkah maju melihat ini, lalu ia memegang nadi tangan Ang-jiu Toanio yang kelihatan lemas, kemudian menggeleng kepalanya. “Saudara Cia, harap kau suka keluar. Dia sudah terlalu lelah dan racun hijau makin menjalar, kasihanilah dia ”

Yan Bu menahan isak dan menubruk kaki ibunya. Sebetulnya Han Sin masih ingin bertanya kepada nyonya itu siapa pembunuh ayah bundanya, akan tetapi melihat keadaan Ang-jiu Toanio, ia tidak tega mendesak lagi, lalu ia keluar dari kamar.

Ternyata Ang-jiu Toanio tidak dapat lama lagi bertahan. Beberapa jam kemudian nyonya ini menarik napas terakhir dalam pelukan puteranya, Phang Yan Bu. Ketika Yok-ong dan Yan Bu keluar dari kamar itu, ternyata Han Sin sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Pemuda ini sudah lama pergi dari situ, sebelum Ang-jiu Toanio meninggal.

**** Thio-ciangkun, perwira she Thio yang mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan Mancu, marah-marah kepada dua orang puterinya. Pembesar ini merasa malu sekali ketika menerima dua orang puterinya, Li Hoa dan Li Goat, yang diantar oleh Tung-hai Siang-mo sebagai utusan Bhok- kongcu. Setelah Tung-hai Siang-mo pergi membawa Bi Eng untuk menahan gadis ini di gedung Bhok-kongcu, Thio-ciangkun lalu marah-marah kepada dua orang puterinya.

“Kalian ini benar-benar membikin malu orang tua!” bentak pembesar itu setelah puas memaki- maki. “Ayahmu dikenal sebagai seorang petugas yang setia, sekarang kau rusak namaku dengan perbuatan-perbuatan yang tak tahu malu. Dengan menentang Bhok-kongcu dan membantu musuh, bukankah berarti kalian ini menjadi pembantu para pemberontak? Hemm, anak-anak macam apa kalian ini?”

Li Hoa dan Li Goat berdiri tegak di depan ayah mereka, sama sekali tidak takut. Memang dua orang gadis ini semenjak kecil dimanja, maka mereka tidak takut biarpun ayah mereka marah besar.

Selain ini, memang mereka mempunyai pendirian sendiri dan kini dengan penuh semangat Li Hoa menjawab,

“Ayah, yang anak berdua tentang adalah orang-orang Mongol yang mengabdi kepada pemerintah penjajah. Yang anak berdua bela adalah orang-orang Han yang tertindas!”

Merah wajah pembesar itu dan ia membanting kakinya. “Keparat, dengan lain kata kau hendak memaki ayahmu yang membantu pemerintah baru? Setan, memang aku membantu pemerintah baru, karena kuanggap pemerintah Mancu bijaksana. Kau tahu apa tentang pemerintahan? Ketika negara berada di tangan bangsa Han sendiri, keadaan kacau balau, pertahanan lemah dan rakyat sengsara.

Lihat sekarang, perubahan terjadi dan kaisar yang bijaksana telah membangun pemerintahan yang kuat dan sanggup membikin makmur rakyat. Beras siapa yang kau makan setiap hari dan pakaian dari mana yang kalian pakai? Semua dari hasilku mengabdi kepada pemerintah baru. Dan sekarang kau mencela ayahmu?”

Li Hoa menjadi pucat mukanya, matanya berkilat ketika ia menghadapi ayahnya dan berkata keras. “Ayah! Bagaimana seorang Han bisa bicara seperti ayah? Bagi aku, lebih baik miskin dari pada menjadi penjilat penjajah!”

“Enci Li Hoa berkata benar, ayah. Betapapun juga bangsa yang terjajah merupakan bangsa yang rendah dan terhina. Di samping enci Hoa, akupun rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dari cengkeraman penjajah!” kata Li Goat, penuh semangat pula.

Kalau orang luar mendengarkan ucapan dua orang gadis ini, tentu mereka akan menjadi heran dan tak percaya. Siapa bisa percaya ucapan-ucapan seperti itu keluar dari mulut dua orang puteri dari Thio-ciangkun yang terkenal sebagai pembasmi kaum pemberontak, sebagai pembesar setia dari pemerintah Mancu!

“Anak-anak setan !” Thio-ciangkun membanting cawan araknya sampai hancur di atas lantai.

Kemarahannya memuncak dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menampar kedua orang anaknya yang ia sayang itu. Pada saat itu, tiba-tiba dari pintu dalam terdengar suara wanita bersajak halus merdu suaranya.

“Biarpun sangkar diselaput emas Sangkar tetap mengurung!

Biarpun belenggu dihias mutiara Belenggu tetap mengikat Patahkan belenggu!

Hancurkan sangkar!

Biar darah rakyat bagai api membakar! Biarpun belenggu mutiara

Biarpun sangkarnya emas Enyahkan segera!

Kami ingin bebas!”

“Ibu !” Li Hoa dan Li Goat menoleh memandang seorang nyonya setengah tua keluar dari pintu

itu. Nyonya ini adalah nyonya Thio yang cantik dan lemah lembut, berwajah agak pucat namun sepasang matanya memancarkan semangat berapi-api.

Thio-ciangkun yang tadinya marah-marah, menjadi reda. Ia cemberut dan menjatuhkan dirinya duduk lagi di atas kursinya, lalu menarik napas panjang dan berkata perlahan. “Hemm, selalu kau yang terlalu memanjakan mereka, yang menjadikan pikiran yang bukan-bukan dalam kepala mereka yang kecil dan tak berotak. Sekarang, sajak apalagi yang kau ucapkan tadi?”

Nyonya itu tersenyum dan dari senyum ini dapat dengan jelas dilihat betapa cantik manisnya ketika ia masih muda. Ia mengambil tempat duduk di samping suaminya, memandang penuh kasih kepada kedua puterinya, lalu berkata kepada suaminya.

25. Pembersihan Pengkhianat Cin-ling-pai

”SUAMIKU, ucapan anak-anak kita tadi memang benar belaka. Coba kautanyakan kepada burung- burung dalam sangkar. Biarpun kau mengurungnya dalam sangkar emas yang indah dan mahal, biarpun setiap hari kau memberinya makan minum secukupnya, biarpun setiap saat kau memuji- mujinya dengan muka manis seperti yang dilakukan setiap penjajah kepada rakyat jajahannya, tetap saja burung-burung di dalam sangkar itu ingin bebas merdeka. Demikian pula rakyat. Kemakmuran duniawi yang bagaimana hebatpun yang bisa didatangkan oleh kaum penjajah kepada bangsa terjajah, tetap saja tak dapat melenyapkan hasrat untuk merdeka. Apa sih enaknya dilolohi makanan lezat, diselimuti pakaian mahal, oleh bangsa lain yang menginjak-injak tanah air dan bangsa? Anak- anakmu lebih benar ” Nyonya itu lalu bernapas panjang, nampaknya sedih sekali.

"Habis kau mau suruh aku bagaimana? Suruh aku menyerahkan kepalaku untuk dipenggal sebagai pemberontak? Apa kalian ibu dan anak sudah begitu ingin melihat aku mampus?“ akhirnya Thio- ciangkun berkata penuh kejengkelan. Ia merasa diperlakukan tidak adil oleh isteri dan anak- anaknya. la sudah bekerja keras, merebut pangkat, semua ini untuk menyenangkan anak-isterinya.

la tahu bahwa isterinya dahulu adalah puteri seorang patriot pengikut Lie Cu Seng dan tahu bahwa isterinya adalah seorang gadis pejuang. Akan tetapi karena cinta, ia mengawininya juga dan ternyata sekarang isterinya itu menurunkan semangat kepatriotan itu kepada dua orang anaknya!

"Tidak, ayah. Kami hanya ingin melihat ayah insyaf dan meninggalkan kedudukan ini, meninggalkan pemerintah penjajah," kata Li Hoa dengan berani.

"Huh, bicara sih gampang. Ayoh masuk ke sana."

"Ayah ada satu hal lagi," kata Li Hoa. "Bhok-kongcu telah menawan seorang gadis bernama Cia Bi Eng dan sekarang dia dibawa oleh dua orang iblis tadi ke gedung Bhok-kongcu. Dia itu kawan baik kami, ayah. Penangkapan itupun bermaksud keji. Harap sudi menolongnya." "Dia itu gadis pemberontak?" tanya Thio-ciangkun.

"Pemberontak atau bukan, melihat seorang gadis baik-baik dalam cengkeraman si keji Bhok, kau harus berusaha menolongnya," kata nyonya Thio-ciangkun dengan suara tetap.

"Sudahlah, sudahlah akan kudayakan."

Percakapan ini ternyata telah menolong Bi Eng. Karena terdesak oleh isterinya yang amat dicintainya dan yang selalu membela anak-anaknya, Thio-ciangkun lalu menemui seorang yang amat dihormatnya, seorang pangeran yang selalu menjadi tempat ia bermohon, seorang yang dianggapnya arif bijaksana dan karenanya membuat Thio-ciangkun rela menjadi abdi pemerintah Mancu.

Pangeran ini adalah putera kaisar dari seorang selir Bangsa Han. Namanya juga nama Han dan berjuluk Pangeran Yong Tee. Pangeran ini paling pandai menyesuaikan diri dengan Bangsa Han, malah tak sedikitpun ada tanda bahwa dia berdarah Mancu. Wajahnya tampan, seorang ahli sastera dan nasehat-nasehatnya dalam pemerintahan banyak mendatangkan kemajuan dalam pekerjaan ayahnya, Kaisar dari Mancu.

Kesukaan Pangeran Yong Tee adalah berdandan sebagai seorang rakyat kecil dan melakukan perjalanan seorang diri, keluar masuk kampung dan mempelajari perikehidupan rakyat jelata. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperlihatkan oleh Pangeran Yong Tee inilah yang menarik hati Thio-ciangkun, membuat perwira ini berkesan baik terhadap pemerintah Ceng yang dipimpin oleh orang-orang Mancu itu.

Ketika Pangeran Yong Tee mendengar permohonan Thio-ciangkun untuk menolong seorang gadis sahabat anak-anaknya yang ditawan oleh Bhok-kongcu, segera pangeran ini memenuhi permintaannya. Dengan sepucuk surat pendek saja, para petugas di rumah gedung Bhok-kongcu tak berani membantah dan segera mengirim Bi Eng ke istana Pangeran Yong Tee!

"Kalau Bhok-kongcu pulang, tentu terjadi hal-hal tidak enak antara dia dan aku," kata kemudian Thio-ciangkun kepada dua orang puterinya. "Semua ini gara-gara kalian berdua. Maka lebih baik kalian pergi kepada suhu kalian, jangan berada kota raja untuk sementara waktu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak baik."

"Aku tidak mau pergi kepada suhu, ayah. Suhu juga hanya seorang kaki tangan Bhok-kongcu, tentu suhu akan marah kepada kami. Kami akan pergi dari kota raja dan akan membantu para patriot yang berusaha mengusir penjajah."

"Setan! Kau akan menjadi lawan ayahmu sendiri?"

"Bukan ayah yang kami lawan, melainkan penjajah!" Dengan kata-kata ini, Li Hoa dan adiknya, Li Goat, lalu berpamit kepada ibu mereka dan pergi meninggalkan kota raja lagi. Memang dua orang gadis ini jarang berada di kota raja. Kembalinya mereka ke situ hanya karena terpaksa dan tak berdaya menghadapi Tung-hai Siang-mo yang mengawal mereka sebagai tahanan-tahanan. Juga kalau dahulu dua orang gadis ini membantu ayah mereka, itu hanyalah ketika mereka masih muda dan semangat yang sejak kecil ditanam dalam hati mereka oleh Nyonya Thio, belum berkobar seperti sekarang setelah mereka banyak berhubungan dengan para patriot.

**** Kita kembali kepada Han Sin yang meninggalkan tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee. Hatinya tidak karuan ketika mendengarkan pengakuan Ang-jiu Toanio. Bi Eng bukan adiknya! Hebat kenyataan ini, membuat hatinya berdebar dan perasaannya penuh diliputi kedukaan. Adiknya sendiri mempunyai tahi lalat di mata kaki, sedangkan puteri Ang-jiu Toanio mempunyai tahi lalat di dekat telinga, tahi lalat merah.

Ah, di mana adanya adiknya yang sesungguhnya? Di mana pula puteri Ang-jiu Toanio dan persoalan terbesar yang dihadapinya sekarang ialah siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng? Anak siapa? Mengapa bisa berada bersama dia? Siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng, adiknya yang cantik manis, mungil lucu dan yang ia cinta dengan sepenuh hatinya itu? Semua pertanyaan ini berputaran dalam otaknya ketika pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke kota raja.

Betapapun juga, yang terpenting sekarang ialah bahwa dia harus menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu. la harus tolong Bi Eng, tak perduli gadis itu adik kandungnya sendiri atau bukan! Dia sayang Bi Eng, dia cinta gadis itu, orang satu-satunya di dunia yang dikasihinya. Adik sendiri atau bukan, ia tetap mencinta Bi Eng. Tiba-tiba jantungnya berdebar aneh. Bagaimana kalau dia kelak mengetahui bahwa mereka bukan saudara kandung? Bahwa mereka sebetulnya tidak ada sangkutan kekeluargaan apa-apa?

"Tak perlu kuberi tahu kepadanya, tak perlu," demikian ia mengambil keputusan, khawatir kalau- kalau berita itu akan membuat Bi Eng berubah sikap kepadanya.

Karena ingin segera mencari Bi Eng di kota raja, dengan melakukan perjalanan cepat, Han Sin turun gunung dan terus menuju ke timur. Beberapa hari kemudian ia telah tiba di sebelah barat tembok kota, di sebuah dusun kecil yang ramai. Dari jauh ia mendengar suara ribut-ribut, tanda bahwa di dalam dusun itu terjadi pertempuran.

la mempercepat langkahnya dan segera ia melihat seorang tosu setengah tua yang bertubuh tinggi besar memimpin empat kawannya menghadapi dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu Mancu. Segera Han Sin mengenal bahwa lima orang tosu itu adalah tosu-tosu Cin-ling-pai, yang memimpin adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng, sedangkan empat orang kawannya adalah tosu-tosu Cin-ling-pai gelung tiga.

Adapun dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu penjajah itu bukan lain adalah dua orang pentolan Cin-ling-pai sendiri, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu! Tak jauh dari situ menggeletak dua mayat manusia yang ternyata adalah Hap Tojin dan Tee Tojin, dua orang di antara Cin-ling Sam-eng.

"Hee-sute apakah kau tidak mau menyerah? Apakah kau tetap hendak membangkang terhadap perintah suheng-suheng yang menjadi pengganti gurumu?"

Hee Tojin menjadi merah sekali mukanya, matanya melotot merah dan suaranya menggeledek ketika ia membantah, setelah menoleh ke arah dua orang mayat yang membujur di situ. "Dua orang suhengku yang sudah gugur ini jauh lebih mulia dari pada kalian, dua orang pengkhianat tak tahu malu. Siapa sudi mengaku kalian sebagai pengganti suhu? Cih, mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus?"

It Cin Cu biasanya paling suka kepada Hee Tojin, maka dengan suara sabar ia mencoba membujuk, "Hee-sute, apa kau lupa akan hubungan kita sebagai saudara seperguruan? Insyaflah bahwa aku dan Ji-suhengmu ini telah mengambil keputusan setelah memikirkannya masak-masak. Pemerintah baru adalah bijaksana, dan demi keselamatan Cin-ling-pai, kau harus mengajak semua sute dan murid untuk membangun kembali Cin-ling-pai dan menaluk kepada pemerintah. Hee-sute, jangan membuat kami menjadi serba susah dan terpaksa turun tangan terhadapmu."

Hee Tojin mengangkat dada dan tongkat di tangannya tergetar. "Apakah kalian lupa akan ajaran suhu? Seorang gagah, lebih baik mati berdiri dengan senjata di tangan dari pada hidup bertekuk lutut di depan penjajah! Lebih baik kalian yang cepat-cepat insyaf bahwa amat memalukan bagi seorang gagah untuk mengkhianati tanah air dan bangsa sendiri, amat rendah untuk membantu penjajah. It Cin Cu dan Ji Cin Cu, di mana jiwa satria kalian? Sudi menjadi anjing-anjing penjilat?"

It Cin Cu marah sekali. "Setan bermulut busuk! Kaulah yang lupa akan ajaran-ajaran mendiang suhu! Bukankah setiap murid sudah bersumpah untuk menjunjung semua perintah ketua Cin-ling- pai? Setelah suhu meninggal, pinto yang menjadi penggantinya. Pinto yang menjadi ketua Cin-ling- pai. Apakah kau masih hendak membangkang?" Berkata demikian, It Cin Cu mencabut pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Hee Tojin memandang ragu. Dia memang seorang yang amat jujur dan setia, maka ucapan ini benar-benar meragukan hatinya. Memang, menurut peraturan Cin-ling-pai, seorang murid harus pertama-tama mentaati perintah ketua, biarpun harus berkorban nyawa untuk perintah itu.

Setelah Giok Thian Cin Cu meninggal dunia, memang tak dapat disangkal pula bahwa It Cin Cu sebagai murid tertua yang menjadi penggantinya. Apa yang harus ia perbuat? Tiba-tiba dua orang di antara tosu-tosu gelung tiga itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan It Cin Cu dan berkata,

"Teecu berdua tidak berani membantah perintah ketua."

Menyaksikan semua ini, bukan main mendongkolnya hati Han Sin. Pemuda ini teringat akan pesan terakhir dari Giok Thian Cin Cu. Pesan itu selain menugaskan dia memimpin Cin-ling-pai, juga mewariskan ilmu pedang dan terutama sekali pesan agar supaya dia bisa menjaga jangan sampai Cin-ling-pai diselewengkan dan menjadi partai pengkhianat nusa bangsa!

Sekarang tiba saatnya. Sudah terang-terangan It Cin Cu dan Ji Cin Cu menjadi anjing penjilat penjajah dan malah mencoba untuk membujuk sute-sutenya dan murid-murid Cin-ling-pai supaya menaluk kepada pemerintah Mancu. Han Sin melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berkata nyaring,

"It Cin Cu, kau benar-benar murid Cin-ling-pai yang murtad dan seorang rakyat yang berkhianat!" Semua orang menengok dan tercengang ketika mengenal siapa yang bicara ini. Han Sin sebaliknya lalu menjura ke arah Hee Tojin dan berkata,

"Totiang patut dicontoh dan diberi hormat. Totiang benar-benar seorang gagah dan patriot yang sejati."

Ji Cin Cu dengan mulut tetap melengeh seperti dulu, menjadi marah sekali melihat Han Sin bersikap dan berkata demikian. la melangkah maju dan membentak, "Eh, kau ini pengacau cilik, mau apa?"

Han Sin kini menghadapi dua orang tosu tua itu dan tersenyum mengejek. "Mendiang Giok Thian Cin Cu memang berpemandangan tajam, agaknya beliau sudah menduga bahwa sepeninggal beliau, akan ada murid-murid murtad seperti kalian. Karena itu beliau mengangkat aku sebagai penggantinya untuk menyelamatkan Cin-ling-pai. Eh, para tosu Cin-ling-pai, aku Cia Han Sin menjadi pelindung Cin-ling-pai dan ahli waris Giok Thian Cin Cu. Inilah buktinya!" Cepat tangannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang tajam berkilau telah berada di tangannya. “Im-yang-kiam. !" seru Hee To¬jin dan bersama empat orang sutenya ia lalu berlutut. "Menanti

petunjuk pangcu (ketua). ”

"Kau telah mencuri Im-yang-kiam! Jangan bodoh, dia bohong. Dia mencuri pedang pusaka partai kita!" kata It Cin Cu marah. Ucapan ini kembali membuat Hee Tojin dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.

"Pedang memang bisa dicuri, akan tetapi ilmu silat tidak. Lihat, bukankah ini ilmu silat Cin-ling- pai? Aku telah mewarisinya dari suhu Giok Thian Cin Cu." Han Sin lalu menggerakkan pedangnya, dengan cepat berturut-turut ia mainkan ilmu Silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun. Hee Tojin tentu saja mengenal ilmu silat ini dan ia memandang kagum, keraguannya melenyap.

Juga It Cin Cu dan Ji Cin Cu kaget setengah mati. Bagaimana suhu mereka dapat menurunkan ilmu silat dan pedang pada pemuda itu? Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda ini hendak merusak tugas mereka, It Cin Cu lalu berseru, "Kalau betul kau mewarisi ilmu dari suhu, coba kaukalahkan pinto!" Berkata demikian, ia lalu menyerbu dengan pedang dan tongkatnya. Juga Ji Cin Cu yang melihat betapa gangguan pemuda ini membahayakan kedudukannya, lalu menyerang pula.

"Curang. !” Hee Tojin berseru. "Masa dua orang tua bangka mengeroyok seorang bocah?" Tentu

saja Hee Tojin yang tidak tahu bahwa Han Sin sudah memiliki ilmu tinggi, merasa kuatir akan keselamatannya.

Akan tetapi Han Sin berseru, "It Cin Cu dan Ji Cin Cu, kalian benar-benar sudah buta. Kalau masih tidak percaya, lihat dengan gerakan-gerakan apa aku sekarang menghadapi kalian.” Setelah berkata demikian, tanpa bergerak dari tempatnya berdiri dia menggerakkan pedang Im-yang-kiam secara aneh dan tahu-tahu sinar pedang telah gemerlapan membentur dan menangkis serangan dua orang tosu itu. Inilah ilmu pedang hebat yang ia warisi dari Giok Thian Cin Cu, yaitu Lo-hai Hui-kiam.

"Lo-hai Hui-kiam !" It Cin Cu dan Ji Cin Cu berseru kaget. Mereka hanya sedikit sekali tahu

tentang ilmu pedang aneh ini, akan tetapi melihat gerakan dan sinar pedang itu, tahulah mereka dan hal ini benar-benar membuat keringat dingin mengucur dari jidat mereka.

Adapun Hee Tojin yang melihat gerakan ini dan mendengar bahwa pemuda itu malah mahir bermain, pedang Lo-hai Hui-kiam yang menjadi ilmu ciptaan mendiang Giok Thian Cin Cu, makin kagum dan yakin akan kebenaran pengakuan pemuda itu. Melihat betapa para kaki tangan dua tosu itu, serdadu-serdadu Mancu maju hendak mengeroyok Han Sin, Hee Tojin lalu berseru nyaring dan bersama sute-sutenya lalu menyerbu maju menyerang para serdadu musuh!

Pertempuran antara Han Sin menghadapi dua orang tosu tua itu berjalan sebentar saja. Dengan Lo- hai Hui-kiam, dua orang tosu itu tidak berdaya. Sebelum mereka tahu bagaimana harus menghadapi ilmu pedang yang bersinar seperti halilintar menyambar-nyambar itu, keduanya sudah roboh dengan pundak terluka dan tak mampu bangun kembali.

Sementara itu, para serdadu Mancu itu mana kuat menghadapi Hee Tojin dan sute-sutenya, murid- murid tingkat dua dan tiga dari Cin-ling-pai? Hampir berbareng dengan robohnya It Cin Cu, para serdadu itupun roboh seorang demi seorang dan akhirnya tak seorangpun tertinggal hidup. Han Sin mengeraskan hati dan berdiri di pinggiran melihat bagaimana Hee Tojin dengan pedangnya sendiri membunuh It Cin Cu dan Ji Cin Cu.

Pemuda ini diam-diam menaruh kasihan dan tidak tega melihat pembunuhan, namun setelah hatinya berkeras dan semangat kepatriotannya bangkit, ia dapat membenarkan pembunuhan itu. Memang, orang-orang berjiwa pengkhianat seperti dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu, sudah sepatutnya dibunuh, bahkan perlu sekali dilenyapkan dari muka bumi karena amat berbahaya bagi keselamatan nusa bangsa.

Hee Tojin bersama empat orang sutenya lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Sin. Hee Tojin berkata, "Kami berlima mengucapkan syukur bahwa mendiang suhu telah mengangkat taihiap sebagai ahli waris. Mulai saat ini, kami semua murid Cin-ling-pai taat kepada petunjuk taihiap."

Han Sin cepat melangkah maju dan mengangkat bangun lima orang tosu itu. Hebatnya bagi para tosu itu, begitu pemuda ini menyentuh pundak mereka, otomatis mereka berdiri karena ada tenaga luar biasa yang memaksa mereka bangun kembali!

"Cu-wi totiang jangan berlaku sungkan terhadap orang sendiri. Biarpun aku telah menjadi ahli waris suhu Giok Thian Cin Cu, tidak seharusnya cu-wi mengangkatku setinggi itu. Tugas kita adalah sama, yakni mempertahankan nusa bangsa dan menolongnya dari cengkeraman penjajah. Marilah kita berjuang bersama. Karena sebetulnya aku hanya kebetulan menjadi murid suhu, tidak berhak aku untuk mengaku menjadi orang Cin-ling-pai. Maka biarlah sekarang kuberikan pedang pusaka ini kepada Hee Tojin dan selanjutnya kuharap Hee Tojin suka menggantikan mendiang suhu untuk memimpin Cin-ling-pai. Aku hanya berdiri di luar sebagai pengawas dan pembantu belaka.

Kembali tentang perjuangan, kuharap Hee Tojin su¬ka mengumpulkan semua murid Cin-ling-pai dan memimpinnya untuk menentang pemerintahan Mancu. Sebaliknya totiang jangan menentang secara terang-terangan karena fihak musuh amat kuat. Berjuanglah dengan sembunyi-sembunyi, menyerang bagian-bagian yang terjaga lemah. Lebih baik lagi kalau totiang dan kawan-kawan menggabungkan diri dengan para pejuang lain, di antaranya dapat kuperkenalkan Sin-yang Kai- pang yang dipimpin oleh pangcunya bernama Kui Kong yang amat patriotik. Kurasa semua anak murid yang berada di bawah bimbingan Ciu-ong Mo-kai, pasti termasuk pejuang patriotik, dan boleh dijadikan kawan seperjuangan.”

Hee Tojin menerima pedang dengan ucapan terima kasih. Setelah memberi penjelasan itu, Han Sin lalu minta supaya para tosu itu mengubur jenasah It Cin Cu dan Ji Cin Cu secara baik-baik, juga kalau masih ada waktu mengubur pula jenasah para serdadu Mancu. Kemudian ia sendiri lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke kota raja.

Belum lama ia berjalan melalui jalan yang sunyi, di sebuah persimpangan tiga, dari sebelah kanan datang seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana. Dari pakaiannya dapat diketahui bahwa pemuda itu adalah seorang sasterawan miskin. Yang amat menarik perhatian Han Sin adalah mata yang bersinar lembut serta senyum yang amat ramah dan manis pada bibir pemuda itu.

Pemuda itupun memandang kepadanya dengan tertarik, dan pada saat mereka bersua, pemuda itu cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata ramah,

"Maafkan kelancanganku menegur saudara. Apakah saudara hendak pergi ke kota raja?"

Han Sin tersenyum dan balas memberi hormat. "Sudah jamak kalau bertemu di jalan saling menegur. Memang tepat dugaanmu, aku hendak pergi ke kota raja. Tidak tahu loheng (saudara) hendak ke manakah?"

Pemuda itu tertawa dan makin sukalah hati Han Sin terhadapnya. Dari suara ketawanya yang wajar dan tarikan wajah yang tampan dan terang itu dapat ia menduga bahwa pemuda ini seorang yang berwatak halus dan jujur. "Ucapan kuno menyatakan betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama, akan tetapi kiranya tidak kalah senangnya bertemu dengan seorang sahabat baru yang cocok! Saudara yang baik, kebetulan sekali aku sendiripun akan ke kota raja. Apakah kau keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama?" Sebetulnya Han Sin ingin melakukan perjalanan secepatnya. Jika bersama pemuda ini, tentu saja tak mungkin ia menggunakan ilmu lari cepat. Akan tetapi, untuk menolakpun ia tidak dapat, melihat orang demikian ramah dan baik kepadanya. la tersenyum dan menjawab, "Tentu saja tidak keberatan, malah senang sekali bertemu dengan loheng."

"Bagus ini namanya sekali bertemu sudah cocok!" Pemuda itu memegang tangan Han Sin yang merasa betapa telapak tangan pemuda ini halus. "Saudara yang baik, aku she Yong bernama Tee, dua puluh empat tahun usiaku dan masih membujang." Kata-katanya amat terbuka dan jujur, menyenangkan hati Han Sin.

"Siauwte bernama Han Sin she Cia, dalam hal usia, lebih muda tiga empat tahun dari padamu."

Yong Tee tertawa lagi dengan girangnya sehingga sinar mata yang ganjil ketika ia mendengar nama Han Sin menjadi tertutup dan tidak terlihat oleh Han Sin.

"Cia-lote, kau benar-benar menyenangkan. Melihat gerak-gerikmu, tentu kau pandai dalam hal kesusasteraan, dan dalam perjalanan ini aku banyak mengharapkan petunjuk darimu."

"Ah, Yong-loheng terlalu merendah. Aku hanya seorang gunung, mana ada kepandaian? Sedikit tulisan ceker ayam aku dapat, mana bisa dibandingan dengan kau orang kota? Akulah yang perlu banyak mendapat petunjukmu, Yong-loheng."

Gembiralah dua orang pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanan perlahan-lahan. Tiba-tiba tampak debu mengepul dari depan dan sepasukan serdadu berkuda terdiri dari tiga puluh orang lebih mendatangi cepat dari depan. "Minggir! Minggir kalau tidak mau diinjak mampus!" teriak serdadu terdepan sambil mengayun cambuknya.

Han Sin sudah melompat ke pinggir, akan tetapi alangkah heran hatinya ketika ia melihat Yong Tee tidak minggir malahan berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang dan kedua matanya melotot.

"Yong-loheng, kau nanti celaka !” kata Han Sin, siap hendak menolong jika sahabat barunya ini

benar-benar akan diseruduk kuda.

Akan tetapi, tiba-tiba para penunggang kuda itu serentak menahan kendali kuda, membuat binatang- binatang tunggangan itu berdiri di kaki belakang dan meringkik-ringkik. "Hai. ! Siapa berdiri di

tengah jalan menghalang dan mengacaukan barisan?" bentak suara para serdadu di sebelah belakang.

Serdadu-serdadu di depan tentu saja mengenal siapa adanya yang bukan lain adalah pangeran Yong Tee yang suka melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Tentu saja mereka tidak berani menerjang putera junjungan mereka itu. Yong Tee marah sekali dan membentak, sikapnya masih seperti seorang biasa,

"Begitukah sikapnya pasukan yang seharusnya menjaga keamanan? Seperti perampok-perampok ganas? Hemmm, ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Thio-ciangkun tentang anak buahnya ini!"

Seorang serdadu, agaknya pemimpin pasukan itu, buru-buru meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat kepada Yong Tee. la maklum akan watak pangeran ini dan ia tidak berani membuka rahasia pangeran ini di depan Han Sin, maka katanya, "Kongcu yang mulia, harap sudi maafkan kami. Karena kami tergesa-gesa hendak menuju ke dusun di depan, menjalankan perintah Thio-ciangkun untuk menangkap tosu-tosu Cin-ling-pai yang memberontak, maka tadi kawan- kawan minta kongcu minggir. Harap maafkan dan tidak menyampaikan hal ini kepada ciangkun."

Yong Tee dengan senyum mengejek mengibaskan lengan bajunya yang lebar. "Menjadi tentara harus ramah-ramah terhadap rakyat, jangan mengagulkan diri dan memperlakukan rakyat dengan kasar. Makin buruk sikap tentara terhadap rakyat, akan menjadi makin besarlah pemberontakan- pemberontakan. Segala kekuatan ada pada rakyat, dan negara baru boleh dikata kuat kalau rakyat seluruhnya mendukungnya dan mencintainya. Dan kalian sebagai alat negara harus menjadi pelopor agar rakyat menaruh cinta kepada negara. Awas, terhadap orang-orang yang kalian katakan memberontak tadipun jangan berlaku sewenang-wenang. Kalau memang betul mereka memberontak, harus ada buktinya dan setelah demikianpun jangan gampang-gampang membunuh orang. Tawan saja agar diperiksa oleh Thio-ciangkun sendiri."

Pemimpin pasukan itu memberi hormat. Yong Tee lalu berjalan pergi menghampiri Han Sin dan mengajak pemuda ini melanjutkan perjalanan. Setelah mereka lewat, barulah rombongan serdadu itu menaiki kuda masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Han Sin memandang kawan barunya dengan amat kagum.

"Yong-loheng! Tak kusangka kau sedemikian berpengaruh sampai puluhan orang serdadu tunduk kepadamu."

"Bukan, bukan aku yang berpengaruh, melainkan Thio-ciangkun. Aku kenal Thio-ciangkun yang amat adil dan berdisiplin. Tentu saja mereka takut kalau-kalau aku mengadukan mereka kepada Thio-ciangkun, maka mereka menjadi takut kepadaku. Ha ha, saudara Cia yang baik. Orang-orang macam mereka itu yang kasar-kasar sewaktu-waktu memang perlu mendapat petunjuk dan teguran keras."

Han Sin mengangguk. "Kiranya selain pandai, kaupun mempunyai jiwa yang gagah, Yong-loheng." "Ah, sudahlah Cia-lote. Kau membikin aku malu saja."

Dua orang itu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Makin lama makin akrab hubungan mereka dan makin tertarik hati Han Sin. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang secocok ini dengan isi hatinya. Baik dalam persoalan filsafat, maupun kesusasteraan, bahkan dalam hal pendirian orang-orang gagah, Yong Tee ternyata mempunyai pandangan yang amat cocok dengan dia sendiri. Tidak heran apabila mereka sudah melakukan perjalanan sehari lamanya, hati Han Sin demikian tunduk dan tertarik sehingga ia girang bukan main ketika Yong Tee mengusulkan untuk bersumpah mengangkat saudara!

"Yong-loheng! Apakah dengan setulusnya hati kau mengusulkan pengangkatan saudara dengan aku? Kau tidak tahu siapa aku. Aku adalah seorang pemuda miskin, yatim piatu, seorang dari gunung yang bodoh. Jangan-jangan nanti kau ditertawai oleh orang-orang di kota kalau bersaudara dengan aku!" Han Sin berkata karena dia memang benar-benar merasa kaget dan heran di samping kegembiraan hatinya.

Yong Tee memegang pundaknya. "Kau terlalu merendah. Kau seorang jantan, seorang budiman. Kau seorang kuncu! Kalau orang seperti kau tidak bisa disebut kuncu, tidak tahu lagi aku orang macam apa yang layak disebut kuncu. Justeru karena kau yatim piatu, maka lebih keras lagi keinginanku untuk menjadi saudaramu. Tentu saja kalau kalau kau sudi."

"Tentu saja aku suka! Mempunyai seorang giheng (kakak angkat) seperti kau ah, benar-benar

anugerah langit!" Demikianlah, dalam sebuah kelenteng tua, dua orang pemuda ini lalu mengangkat sumpah, menjadi saudara angkat yang saling setia. Yong Tee menjadi saudara tua dan Han Sin menjadi saudara muda.

Han Sin yang masih kurang pengalaman dan amat mudah tertarik oleh sikap yang baik, sama sekali tak pernah mimpi bahwa orang yang ia jadikan saudara angkat ini adalah seorang pangeran, seorang Putera Kaisar Mancu yang sekarang bertahta! Sama sekali tidak pernah menduga bahwa pangeran ini telah menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu dan bahwa pangeran ini telah tahu banyak sekali tentang dia dan sengaja mengangkat saudara untuk menariknya berdiri di pihak pemerintah Mancu!

"Adikku, setelah kita menjadi saudara, tentu kau tidak keberatan untuk mengatakan kepadaku apa keperluanmu datang ke kota raja dari tempat begitu jauh," pangeran itu bertanya ketika mereka melanjutkan perjalanan.

"Aku akan mencari adikku Cia Bi Eng yang kabarnya tertawan oleh Bhok Kian Teng di kota raja," kata Han Sin terus terang dengan wajah muram karena ia menjadi gelisah kembali setelah teringat akan Bi Eng.

"Bhok Kian Teng? Kau mau ke sana? Dia itu orang berbahaya, banyak sekali kawannya yang berilmu tinggi. Apa yang bisa kaulakukan terhadap Bhok Kian Teng?" tanya Yong Tee sambil memandang tajam.

Han Sin mengepal tinju dengan gemas. "Aku tidak takut. Kalau benar Bi Eng ia tawan dan ia tak mau membebaskan adikku, biarpun dia mempunyai banyak kaki tangan, aku tidak takut dan pasti aku akan dapat menangkap dia!"

"Ah, kiranya kau memiliki kepandaian silat tinggi pula, adikku. Bagus, aku makin kagum kepadamu. Akan tetapi, kau harus berhati-hati benar menghadapi mereka."

Melihat sikap Yong Tee yang agak takut-takut itu, Han Sin lalu berkata,

"Loheng, biarlah urusan ini aku sendiri yang membereskan. Katakan saja di mana kau tinggal di kota raja, setelah urusan selesai tentu aku akan pergi mencarimu."

"Jangan kau memandang aku begitu lemah, adikku. Biarpun aku tidak dapat menggunakan kepandaian silat untuk menghadapi mereka, namun aku bukan seorang pengecut. Kau boleh hadapi mereka dan aku akan menantimu di luar."

Karena tenggelam dalam pikiran masing-masing, kedua orang pemuda ini melanjutkan perjalanan memasuki kota tanpa banyak bercakap lagi. Diam-diam Yong Tee menjadi geli seorang diri. Bi Eng sudah aman berada di dalam gedungnya dan selama ini, hubungannya dengan nona memang sudah seperti kakak beradik saja. Sekarang tiba saatnya untuk menguji pemuda she Cia ini yang menurut penyelidik-penyelidiknya adalah seorang pemuda aneh yang kelihatan lemah namun memiliki kepandaian tinggi. Kalau betul demikian, tidak percuma dia mengangkat saudara dengan Han Sin!

****
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar