Kasih Di Antara Remaja Jilid 05

Jilid 05

14. Tipu Muslihat Dara Pendekar

BIARPUN nona itu sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah menggetar hendak menyerang, mendengar ucapan ini ia toh menjadi tertarik dan ingin tahu maksudnya. “Kau bilang apa?” Mata yang jeli memandang tajam dan diam-diam Han Sin merasa sayang sekali mengapa tangan kiri itu selalu menutupi bagian tengah muka yang berkulit putih itu. Ia ingin gadis itu melepas tangannya, ingin melihat kecantikan orang. Han Sin memang seorang pemuda yang suka akan apa yang indah, tentu saja ia suka melihat kecantikan seorang gadis, bukan karena nafsu-nafsu yang tidak sehat, melainkan suka seperti orang menyukai dan menikmati kecantikan sekuntum bunga.

Mendengar pertanyaan orang, Han Sin tersenyum. “Kau tadi bilang mau membunuhku, kurasa hanya Giam-lo-ong saja yang suka mencabut nyawa. Apakah kau bukan Giam-lo-ong?”

“Siapa bercanda denganmu? Lihat pedang!” Gadis itu lalu menusukkan pedangnya ke arah dada Han Sin. Pemuda ini secara otomatis lalu mengelak dengan langkah kaki dalam jurus ilmu silat Liap-hong Sin-hoat sambil berseru, “Eh, eh, tiada hujan tiada angin kenapa mau membunuh orang?”

Gadis itu tidak perduli dan hendak menyerang lagi. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu- tahu Siauw-ong dengan cecowetan dan menepuk-nepuk dada menantang berkelahi telah berdiri di depan gadis itu! Binatang ini memang amat setia, setiap kali melihat Han Sin terancam bahaya atau diserang orang, tentu ia akan turun tangan membelanya.

Melihat sikap monyet ini, gadis itu makin marah dan kini pedangnya menyambar ke arah Siauw- ong. Namun dengan amat lincahnya monyet itu mengelak sambil meringis, bibirnya yang tebal dijebi-jebikan dan mulutnya mengeluarkan suara cecowetan seperti orang memaki-maki. Makin gencar serangan gadis itu, makin cepat pula ia mengelak sambil berusaha membalas dengan pukulan, cakaran, dan hendak merampas pedang. Han Sin yang sudah menyaksikan gerakan- gerakan gadis itu dan kelincahan Siauw-ong, hanya berdiri memandang sambil tersenyum. Ia tahu bahwa gadis itu takkan dapat melukai Siauw-ong.

Makin penasaran dan marah gadis itu. Gerakannya memang agak kaku karena tangan kirinya tak pernah terlepas dari mukanya. Akhirnya, dengan jurus yang mirip dengan jurus Po-in-gan-jit, jurus ketiga belas dari Liap-hong Sin-hoat. Siauw-ong memekik dan tangan kirinya berhasil mencakar pundak gadis itu dan lain saat tangan kanannya sudah berhasil merampas pedang!

“Siauw-ong, bodoh kau!” Han Sin mengomel. “Gerakanmu tadi kurang tepat. Kalau dia tadi memutar pedang ke kiri, bukankah tangan kananmu akan menjadi buntung?”

Siauw-ong hanya menyeringai dan membawa pedang itu menjauhi si gadis, lalu membacokkan pedang itu pada sebatang pohon yang sebesar paha orang. Hebatnya, sekali bacok saja pohon itu tumbang. Dari sini saja dapat dibuktikan bahwa tenaga monyet kecil ini sudah melebihi tenaga seorang manusia kuat!” Melihat dirinya kalah oleh seekor monyet kecil, gadis itu menjadi putus harapan lalu menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis sedih. Kini bukan hanya tangan kiri yang menutupi muka, juga tangan kanannya menyusuti air mata.

Watak Han Sin memang penuh kesabaran dan welas asih. Melihat keadaan gadis itu, ia melangkah maju dan berkata halus. “Nona, kau dan aku tidak kenal satu kepada yang lain, kenapa kau datang- datang hendak membunuhku? Siauw-ong monyetku telah berlaku kurang ajar. Harap nona suka memaafkan. Eh, Siauw-ong, kembalikan pedang nona ini!”

Sebetulnya Siauw-ong tidak suka mentaati perintah ini, akan tetapi karena ia tidak berani membantah, maka dengan suara cecowetan seperti mengancam, ia membawa pedang itu dan menggeletakkannya di depan nona baju merah itu. Nona itu lalu menyambar pedangnya dan Han Sin sudah bersiap-siap, mengira nona itu akan menyerangnya lagi. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba nona itu membacokkan pedangnya ke arah leher sendiri.

Baiknya Han Sin berlaku cepat. Melihat gerakan orang, ia sudah dapat menduga dan ketika tangan kirinya disabetkan ke bawah, telapak tangannya dengan tenaga lweekang sudah membabat pedang itu dan “krak!” pedang itu terlempar dan patah menjadi dua potong! Sekarang nona itu tidak

menutupi mukanya lagi, memandang kepada Han Sin dengan air mata bercucuran dan berkata lemah, “Kau bunuhlah aku .... bunuh aku ”

Han Sin berdebar jantungnya. Gadis itu mempunyai wajah yang manis sekali, matanya jeli, mulutnya mungil, akan tetapi gadis itu tidak punya hidung. Hidungnya telah buntung!

“Nona .....” katanya dengan perasaan terharu. “Kau kenapa kau menderita sampai begini hebat

.....?”

Makin deras air mata nona itu mengucur. “Adikmu siluman betina Bi Eng itulah yang membuat

aku menjadi begini     !

Han Sin menjadi pucat dan secepat kilat ia memegang kedua pundak nona itu dan mengguncang- guncangnya keras. “Kau bohong! Tak mungkin Bi Eng adikku berbuat begini. Tak mungkin dia sekejam ini, memotong hidungmu. Tak mungkin!”

Gadis itu tak berdaya biarpun mencoba meronta melepaskan pegangan pemuda ini sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Ia mengangkat tangan kanan dan “plak! Plak!” pipi Han Sin ditamparnya. “Lepaskan tanganmu dari pundakku!” teriak gadis itu.

Han Sin sadar. Cepat ia melepaskan kedua tangannya dengan muka merah lalu berkata perlahan, “Kau sih yang membohong. Adikku Bi Eng seorang baik, mana dia berlaku kejam kepadamu?”

Gadis itu yang bukan lain orang adalah Ang-hwa bekas kekasih Bhok-kongcu, menundukkan kepalanya. “Memang dia tidak melakukan dengan tangan sendiri. Akan tetapi dia yang menjadi gara-gara, apa bedanya?”

Girang mendengar tentang adiknya, Han Sin lupa akan penderitaan orang dan mendesak. “Nona, bagaimana kau bertemu dengan Bi Eng? Dan di mana dia sekarang?” Kekhawatirannya terdengar jelas dalam suaranya.

Tiba-tiba nona itu tertawa mengejek. Ketawanya manis sekali dan Han Sin mengakui bahwa nona ini tentu cantik sekali kalau saja hidungnya tidak buntung. Wajah yang cantik manis sekarang menjadi menjijikan. Benar-benar keterlaluan orang yang telah membuntungi hidung nona ini. Dan ia yakin yang melakukannya pasti bukan Bi Eng.

“Kau mencari adikmu, Bi Eng itu? Hi hi, dia telah menjadi korban Bhok-kongcu dan hendak kulihat apakah dia dapat mempertahankan kedudukannya, hendak kulihat apakah kelak diapun tidak mengalami nasib dibuntungi hidungnya oleh Bhok-kongcu?”

Terkejut dan gelisah hati Han Sin mendengar ini. “Menjadi korban bagaimana? Siapa itu Bhok- kongcu?”

Ang-hwa kecewa juga mendengar pemuda ini belum mengenal nama Bhok-kongcu. Tadinya ia mengharap pemuda ini gelisah setengah mati mendengar adiknya menjadi korban Bhok-kongcu, karena siapakah orangnya belum pernah mendengar nama Bhok-kongcu? Ternyata pemuda ini begini hijau!

“Bhok-kongcu adalah Bhok Kian Teng, putera raja muda Bhok Hong yang berjuluk Pak-thian-tok, kau tidak tahu?” Ia menegaskan. Kaget juga Han Sin mendengar julukan Pak-thian-tok (Racun dari Utara) itu.

“Aku tidak kenal segala orang she Bhok atau racun yang manapun juga. Bagaimana dengan adikku, dan di mana dia?”

Ang Hwa putus asa. Tidak ada gunannya menakut-nakuti pemuda yang tidak tahu apa-apa ini. Sambil menarik napas panjang ia lalu bercerita.

“Setelah bertemu dengan Bi Eng, Bhok-kongcu membenciku. Dapat yang baru lupa yang lama, ah, itulah watak laki-laki. Malah dia menyiksaku begini macam aku, yang dulu dia cinta, dia siksa

sampai begini     ” Wanita itu menangis lagi. Han Sin tidak sabar. Ia tidak ingin mendengar tentang

wanita ini, tentang hidung yang dipotong, ia ingin mengetahui di mana adanya Bi Eng. “Apakah Bi Eng dia bawa? Dia tawan? Ke mana dibawanya pergi?” tanyanya bernafsu.

“Ke mana lagi? Tentu ke kota raja. Hik hik hik,” ia tertawa lagi. “Mula-mula dijadikan kekasih baru, lama-lama menjadi bujang, dan akan dilupakan kalau mendapat yang baru.”

Setelah berkata demikian, Ang-hwa meloncat dan lari pergi. Dari jauh terdengar suaranya memekik nyaring, setengah tertawa setengah menangis.

Han Sin menggeleng-geleng kepalanya, merasa seram. Lagi-lagi ia bertemu orang-orang jahat. Perempuan ini biarpun patut dikasihani, ternyata bukan orang baik, pikirnya. Apalagi orang yang disebut Bhok-kongcu. Teringat kepada Bhok-kongcu yang menawan adiknya, tiba-tiba timbul kemarahan hati Han Sin.

Dia tidak pernah marah dan selalu dapat bersabar dan memaafkan orang kalau dia sendiri yang diganggu. Akan tetapi sekarang orang mengganggu adiknya dan hal ini tak dapat ia biarkan begitu saja. Tak dapat ia maafkan. Apalagi kalau ia ingat betapa orang she Bhok itu dengan amat kejinya telah membuntungi hidung seorang gadis cantik, bekas kekasihnya pula. Ia bergidik kalau teringat akan hal ini. “Awas kau Bhok-kongcu, kalau sampai adikku kau ganggu hemmm, awas kau,

akan .... akan ku ”

Dia akan berbuat apa? Tak dapat ia memikirkan ini, akan tetapi ia marah sekali. Han Sin saking marahnya mengeluarkan seruan keras, meloncat ke depan dan sekali pukul ia merobohkan sebatang pohon, lalu melompat lagi, memukul lagi dan setelah merobohkan belasan batang pohon barulah panas pada dadanya mereda. Ia berdiri bengong, malu kepada diri sendiri mengapa seperti gila ia menghajar pohon-pohon sampai roboh malang-melintang.

Bahkan Siauw-ong sampai ketakutan dan bersembunyi di belakang sebatang pohon agak jauh. Han Sin menarik napas panjang, lalu memanggil Siauw-ong dan berlarilah ia dengan monyet itu di pundaknya, mengubah tujuan perjalanannya, tidak menuju ke Lu-liang-san, melainkan ke kota raja untuk menyusul Bi Eng. Di dunia ini hanya Bi Eng seoranglah yang ia cinta, adiknya yang ia sayang lebih dari pada jiwanya sendiri.

“Bi Eng ........ semoga kau selamat ”

Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan ia lakukan kalau adiknya itu sampai tertimpa malapetaka. Terlalu ngeri ia memikirkan hal ini.

****

Beberapa pekan kemudian ketika Han Sin sedang berjalan dengan cepat di atas jalan besar menuju ke Tai-goan, dari depan ia melihat seorang gadis cantik menunggang kuda dengan cepat. Gadis itu berpakaian mewah dan kudanya pun kuda besar yang dapat berlari cepat. Di punggung gadis ini terdapat sepasang pedang dan dari gerak-geriknya mudah diduga bahwa gadis cantik ini pandai ilmu silat. Usianya mendekati tiga puluh tahun akan tetapi harus diakui bahwa dia cantik manis, seperti gadis remaja. Ketika bersimpang jalan, gadis itu mengerling tajam dan tiba-tiba mukanya berubah. Adapun Han Sin yang sedang sibuk memikirkan keselamatan adiknya, mana ada waktu untuk melihat-lihat gadis cantik?

Baru ketika ia mendengar suara kaki kuda besar itu datang lagi dari jurusan belakang dan melewatinya, ia mengangkat mukanya memandang dan lebih heran hatinya ketika ia melihat gadis itu menghentikan kudanya, memutar kuda dan menghadang di depannya. Karena ia tidak merasa kenal gadis ini, ia tidak memperdulikan dan tidak berani memandang lama-lama, malah hendak menyimpang.

“Tunggu dulu, bukankah kau she Cia bernama Han Sin?” tiba-tiba gadis itu menegur dengan suaranya yang merdu.

Berdebar hati Han Sin. Benar-benar dunia ini aneh, pikirnya. Sudah terlalu sering ia bertemu orang yang sama sekali tidak dikenalnya akan tetapi yang sudah mengenal namanya! Ingin ia membohong dan tidak mengaku agar tidak menimbulkan banyak kesukaran dan halangan dalam perjalanannya menyusul adiknya. Akan tetapi justeru pemuda ini tidak biasa membohong sehingga ia “tidak sampai hati” untuk membohong. Maka dengan mendongkol ditahan-tahan, ia menjawab juga.

“Benar, aku Cia Han Sin. Tidak tahu siapakah cici (kakak) ini dan ada apa menahan perjalananku?”

Dari sinar matanya, gadis itu kelihatan girang dan lega, akan tetapi wajahnya yang keren dan nampak galak itu tidak berubah. “Bukankah kau mencari adikmu yang bernama Cia Bi Eng?”

Kini lenyap sama sekali kemendongkolan hati Han Sin. “Betul!” jawabnya setengah bersorak. “Cici yang baik, apakah kau tahu di mana adanya adikku itu?”

“Tak baik bicara di tengah jalan. Kalau kau ingin tahu tentang adikmu, mari ikut aku!” Girang sekali hati Han Sin. “Terima kasih, cici. Baik, aku akan ikut kau.” “Naiklah!”

Han Sin bingung. Naik kemana? Kuda hanya seekor. Karena betul-betul tidak mengerti, ia bertanya, “Kau maksudkan naik ke mana, cici?”

Gadis itu kelihatan geli, akan tetapi tidak memperlihatkan senyumnya. “Tentu saja ke sini, di belakangku. Naiklah!”

“Ah, mana aku berani ....? Aku lebih baik aku jalan kaki saja, cici naikilah sendiri kuda itu.”

“Hemm, rumahku tidak dekat, sedikitnya ada dua puluh li dari sini. Kudaku pun larinya cepat. Apa kau kira kau mampu lari sejauh itu membarengi larinya kuda?” gadis itu bertanya, nada suaranya tak sabar dan ketus.

Tentu saja aku bisa, jawab pikiran Han Sin. Selama ini dia sudah dapat menguasai tenaga dalamnya, malah ia sudah tahu bagaimana caranya berlari cepat, cepat sekali melebihi larinya kuda. Dan dia selama berpekan-pekan ini sudah berlari cepat, kadang-kadang dalam satu hari sampai ratusan li tanpa merasa lelah. Apa artinya tiga puluh atau bahkan dua puluh li? Akan tetapi ia harus menyembunyikan kepandaiannya.

“Tentu saja aku tidak bisa, cici.”

“Kalau begitu jangan banyak rewel. Naiklah di belakangku!”

“Akan tetapi, cici ” Han Sin masih ragu-ragu. Masa ia harus duduk di belakang orang ,

bersentuhan tubuh di atas kuda? Benar-benar hal itu kurang ajar sekali dan ia mana berani melakukannya?

“Rewel, pendeknya kau mau mendengar tentang adikmu atau tidak?” Gadis itu menjadi tak sabar dan bertanya marah. Orang lain, apa lagi laki-laki muda, bahkan akan mengharapkan dapat duduk berdua di atas kuda dengan dia. Eh, bocah ini begini ... begini hijau!

Diingatkan tentang adiknya, Han Sin menjadi nekat dan ia lalu naik ke atas kuda. Bukan melompat, hanya naik sambil berpegang pada lengan gadis itu yang membantunya, naik kuda seperti seorang yang lemah agar tidak menimbulkan kecurigaan yang bukan-bukan. Siauw-ong melompat ke atas pundaknya dan baru saja ia duduk. Kuda itu sudah melompat ke depan dengan cepatnya. Dengan lweekangnya, tentu saja Han Sin dapat duduk dengan tegak, akan tetapi ia sedang bersandiwara, maka ia cepat-cepat memegang pundak orang di depannya sambil berseru ketakutan, “Cici yang baik, jangan cepat-cepat !”

Gadis itu mengeluarkan suara ketawa kecil mengejek, akan tetapi benar saja, ia menahan kudanya agar berlari biasa. Di sepanjang jalan gadis itu tidak bicara apa-apa dan yang paling merasa tidak enak adalah Han Sin. Ia tidak enak duduk dan berusaha sedapat mungkin menggeser ke belakang agar jangan terlalu mepet dengan tubuh gadis itu.

Celakanya, dia duduk di bagian belakang maka kalau ia terlalu menggeser ke belakang, ia menduduki punggung belakang yang menonjol ke atas sehingga sukar baginya untuk duduk dengan enak. Sebaliknya, gadis itu tidak perduli sama sekali dan Siauw-ong bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya. Naik kuda merupakan pengalaman baru bagi monyet ini.

Seperti telah kita ketahui, Bhok-kongcu ketika bertemu Bi Eng di sungai Wei-ho, menyuruh seorang selir atau pembantunya yang lihai, Yo Leng Nio, untuk menyusul Han Sin di Cin-ling-san dan mengajak pemuda itu datang ke Wei-ho. Akan tetapi ketika sampai di bukit itu, yang dilihat oleh Yo Leng Nio hanyalah kehancuran di Cin-ling-san dan banyak mayat para tosu Cin-ling-pai dan beberapa mayat pengemis-pengemis anggauta Coa-tung Kai-pang. Dia tidak melihat Han Sin. Maka cepat-cepat ia kembali ke perahu dan melaporkan hal ini kepada Bhok-kongcu.

Tentu saja Bi Eng gelisah sekali mendengar ini, akan tetapi Bhok Kian Teng dengan pandai menghiburnya dan mengatakan bahwa tentu pemuda dengan monyetnya itu telah dapat melarikan diri dan melanjutkan perjalanannya. Dengan pancingannya ia berhasil membuat Bi Eng mengaku bahwa kakaknya hendak ke Lu-liang-san, maka Bhok-kongcu lalu mengusulkan untuk menyusul ke Lu-liang-san. Bi Eng yang masih hijau pengalamannya itu menurut saja dan berangkatlah dia bersama Bhok-kongcu ke Lu-liang-san, sedangkan Yo Leng Nio oleh Bhok-kongcu diberi perintah untuk terus mencari Han Sin, kalau-kalau pemuda itu pergi ke jurusan lain.

Demikianlah, sekarang gadis yang bertemu di dekat kota Tai-goan dengan Han Sin, bukan lain adalah Yo Leng Nio, tangan kanan Bhok-kongcu. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Leng Nio. Ia ingin berjasa kepada kongcunya, maka cepat ia mengajak pemuda itu pergi ke Tai-goan di mana terdapat sebuah rumah bagus kepunyaan Bhok-kongcu.

Tahu akan maksud Bhok-kongcu, yaitu hendak merampas surat wasiat Lie Cu Seng yang dibawa pemuda ini, Leng Nio hendak menggunakan siasat, merampas surat dan membunuh pemuda ini agar tidak menimbulkan banyak urusan. Dengan surat wasiat itu ia dapat menyenangkan hati Bhok- kongcu yang dicintainya sepenuh hati. Kalau tidak hendak menjalankan siasat, mana ia sudi memboncengkan pemuda itu di atas kudanya?

Ketika kuda yang mereka tunggangi itu akan memasuki kota Tai-goan, tiba-tiba dari pintu kota keluar sebuah kereta yang ditarik oleh seekor kuda putih. Kereta itu bergerak cepat dan ketika bersimpangan dengan kuda Leng Nio, tirai jendela kereta itu tersingkap dari dalam dan kelihatanlah wajah seorang gadis cantik yang gelung rambutnya amat indah. Yo Leng Nio segera menahan kudanya dan menjura dengan hormat ke arah kereta. Han Sin juga memandang. Segera ia mengenal wajah ini dan tak terasa ia berseru,

“Nona Thio Li Hoa !”

Memang nona itu bukan lain adalah Thio Li Hoa yang pernah dijumpainya di Cin-ling-san ketika ia di “hukum” dalam jurang Can-tee-gak. Nona dalam kereta itu melirik sebentar, sepasang matanya bersinar marah sekali, lalu ia melengos dan menutup kembali tirai jendela keretanya.

“Kau kenal dia?” tanya Leng Nio sambil menjalankan kembali kudanya, perlahan-lahan. “Kenal? Tidak, hanya pernah bertemu dengan dia di Cin-ling-san.”

“Hemm, tentu datang bersama para pengemis, bukan?” “Bagaimana kau bisa tahu?” Han Sin bertanya heran.

Leng Nio tidak menjawab, malah berkata ketus, “Turunlah, kita sudah sampai di kota. Masa kau masih mau nongkrong terus membikin kita menjadi buah tertawaan orang?”

Merah muka Han Sin dan ia merosot turun dari atas punggung kuda. Mereka memasuki kota Tai- goan yang besar dan ramai. Akan tetapi waktu itu agak sepi karena hari telah menjadi senja. Leng Nio membawanya ke sebuah gedung kecil mungil dan indah sekali yang letaknya agak di pinggir kota. Benar-benar sebuah bangunan yang menyenangkan dan enak sekali kalau dipergunakan untuk mengaso.

Letaknya di tempat yang tidak begitu ramai, juga gedungnya kecil saja akan tetapi taman bunganya besar penuh tetanaman yang indah-indah. Tentu rumah orang kaya, pikir Han Sin yang memandang kagum ketika ia memasuki halaman rumah itu. Akan tetapi segera semua ini tidak diperhatikan lagi karena hatinya berdebar memikirkan adiknya. Apakah ia akan bertemu dengan Bi Eng di sini?

“Apakah adikku berada di rumah ini?” tanyanya.

Leng Nio menggeleng kepala. “Nanti sambil makan kita bicara tentang dia.” Pada saat itu dua orang pelayan laki-laki datang. Leng Nio memberikan kudanya kepada seorang di antara mereka lalu berkata kepada orang kedua.

“Saudara ini tamu Bhok-kongcu, kau antarkan dia ke sebuah kamar tamu.” Pelayan itu mengangguk lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Han Sin untuk mengikutinya. Han Sin terpaksa menurut saja karena ia membutuhkan keterangan tentang adiknya. Baiklah aku bersabar sampai mendengar keterangannya, kalau tidak memuaskan aku bisa pergi dari sini, pikirnya.

Ketika pelayan itu mengantarnya ke sebuah kamar yang mewah dan indah, ia mencoba untuk menyelidiki dari mulut pelayan itu. “Eh, sobat, sebetulnya rumah ini milik siapakah? Apakah milik Bhok-kongcu? Dan di mana tuan rumahnya?”

Akan tetapi pelayan yang sedang menyapu lantai kamar itu sama sekali tidak menjawab, menengokpun tidak seakan-akan tidak mendengar pertanyaannya. Han Sin mendongkol sekali. Masa pelayan saja sampai berani menghadapinya dengan sikap memandang rendah? “Eh, sobat!” katanya tak sabar sambil menowel lengan pelayan itu. Pelayan itu menengok dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan.

“Di mana Bhok-kongcu? Apakah ada seorang nona she Cia di sini?” tanya Han Sin pula.

Pelayan itu mengangkat pundak, lalu menyapu lagi. “Eh, kurang ajar kau, apa kau gagu?” pelayan itu kembali memandang kepadanya, lalu menuding ke arah kedua telinganya dan membuka mulut. Ternyata pelayan ini tidak berlidah dan kedua telinganya tuli. Lidahnya dipotong dan telinganya dilubangi orang!

Han Sin melengak, namun diam-diam ia bercuriga. Aneh sekali orang-orang di sini. Kalau dia benar tak dapat mendengar, bagaimana tadi dia bisa mengerti perintah nona itu? Ia tentu saja tidak tahu bahwa pelayan ini memang tuli dan bisu seperti semua pelayan dari Bhok-kongcu, dan tadi dapat dimengerti ucapan Leng Nio karena memandang gerak bibir gadis itu.

Karena merasa lelah dan tubuh serta pakaiannya memang kotor terkena debu, Han Sin segera mandi ketika pelayan itu menyiapkan air, dan dengan gembira dan penuh harapan ia lalu pergi ke ruang makan ketika pelayan mengajaknya. Di situ sudah menunggu nona galak tadi yang kini sudah mengenakan pakaian baru, mukanya dibedak dan digincu sehingga kelihatan makin cantik. Namun sayang, demikian pikir Han Sin, nona ini wajahnya membayangkan sifak galak, pendiam dan sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada sinar terangnya. Alangkah banyak bedanya dengan wajah Bi Eng, pikirnya. Malah lebih galak dari pada wajah nona Thio Li Hoa.

Di atas meja sudah tersedia masakan-masakan yang masih panas dan arak wangi. Melihat kedatangan Han Sin bersama Siauw-ong, ia mengerutkan kening dan berkata, “Harap monyet kotor itu jangan dibawa ke sini. Suruh dia bermain-main di luar.” Han Sin tersenyum, tanpa menjawab ia lalu mengambil beberapa butir buah dari atas meja, memberikannya kepada Siauw-ong sambil berkata, “Siauw-ong, kau bermain-main di luar sana, jangan ganggu kami. Jangan datang sebelum kupanggil!” Monyet itu mengerti, menerima buah dan melompat ke luar setelah berjebi kepada Leng Nio.

Han Sin tertawa lalu duduk menghadapi meja. “Cia-kongcu silahkan makan dulu, baru nanti kita bicara,” kata nona itu tanpa sungkan-sungkan lagi karena perutnya memang sudah lapar, Han Sin makan dengan lahapnya. Leng Nio yang juga menemaninya makan, memandang cara pemuda makan ini dengan senyum mengejek, lalu ia berkata.

“Kongcu agaknya jarang melakukan perjalanan jauh dan tidak pernah bertemu dengan orang-orang jahat.”

“Kenapa kau berkata begitu?”

“Kalau aku berniat jahat dan memberi racun dalam makanan ini, bukankah kau akan celaka? Kau sama sekali tidak berhati-hati, terus saja makan tanpa memeriksa lagi.”

Merah wajah Han Sin. Bukan karena ia ceroboh, dan bukan karena ia tidak tahu akan bahaya- bahaya seperti ini. Dahulu sering kali Ciu-ong Mo-kai memberi nasehat kepadanya, atau lebih tepat kepada Bi Eng, agar hati-hati menghadapi orang-orang kang-ouw yang seringkali menggunakan racun untuk menjatuhkan musuhnya. Akan tetapi soalnya bukan ia ceroboh, melainkan karena ia terlalu percaya kepada orang. Ia juga percaya sekali kepada nona ini, mana bisa hatinya menaruh curiga dan takut diracuni? Masa ada seorang gadis cantik seperti ini mau main racun?

“Nona, aku percaya kepadamu, percaya dengan membuta karena kau sudah begitu baik hendak bicara tentang adikku. Masa aku takut diracun?” jawabnya sambil tersenyum.

Setelah selesai makan dan meja itu sudah dibersihkan, Leng Nio berkata, “Nah, sekarang marilah kita bicara.” Memang saat ini yang dinanti-nanti oleh Han Sin, maka ia lalu berkata.

“Nona sudah begini baik terhadap aku, mengajak aku ke sini, malah sudah menjamu dengan hidangan enak. Kalau nona sekarang bicara tentang adikku, itulah menunjukkan bahwa kau memang seorang yang mulia dan aku Cia Han Sin akan berterima kasih sekali.”

“Huh, siapa yang mulia? Aku hanya melakukan kewajibanku. Ketahuilah, aku adalah pelayan Bhok-kongcu bernama Yo Leng Nio.” Hati Han Sin berdebar. Lagi-lagi seorang pelayan Bhok- kongcu setelah pertemuannya dengan nona baju merah yang hidungnya buntung. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan mendengarkan terus.

“Aku tidak mau bicara panjang lebar. Pendeknya, adikmu itu kini telah ditawan oleh Bhok-kongcu dan disembunyikan di suatu tempat. Hanya dengan satu syarat yang kau penuhi, adikmu itu akan dibebaskan dan kau akan dapat bertemu kembali dengan dia.”

Bukan main kaget dan herannya hati Han Sin. Orang sudah berlaku begini baik, akan tetapi mengapa di belakang kebaikan ini terkandung sesuatu yang demikian jahat?

“Kenapa adikku di tawan? Apa salahnya? Ayoh, kaulepaskan, kalau tidak akan kulaporkan kepada pembesar setempat!” katanya marah. Leng Nio tertawa mengejek. “Jangan kau ngaco belo! Bhok-kongcu adalah putera raja muda, mana segala macam pembesar bisa mengganggunya? Pendeknya, kau penuhi syarat itu atau kau

takkan dapat berjumpa kembali dengan adikmu, malah jiwamu juga akan terancam.” “Tidak perduli dengan jiwaku! Asal adikku selamat. Di mana dia?”

“Kau terima syaratnya atau tidak?”

“Apa syaratnya, lekas kau beritahukan. Asalkan patut dan dapat kulakukan, tentu saja aku suka bertukar dengan keselamatan adikku.”

Yo Leng Nio berdiri dan dengan suara agak gemetar saking tegangnya, ia berkata. “Kau serahkan surat wasiat Lie Cu Seng, dan kau akan segera kuantar ke tempat adikmu.” Sambil berkata demikian, sepasang matanya menatap tajam.

Han Sin melengak. Eh, kiranya ke situlah tujuannya? Heran dia, kenapa semua orang kang-ouw ini tergila-gila kepada surat wasiat Lie Cu Seng dan agaknya berlumba-lumba untuk mendapatkannya? Mau tak mau ia tertawa getir mendengar permintaan ini.

“Kenapa kau tertawa? Apakah kau lebih sayang surat itu dari pada keselamatan adikmu?” bentak Yo Leng Nio penuh ancaman.

“Bukan begitu, aku hanya merasa geli kenapa semua orang begitu gila hendak mendapatkan surat itu.”

“Berikan padaku demi keselamatan Bi Eng,” kata Leng Nio penuh gairah karena ia mengharapkan siasatnya ini berhasil.

Han Sin menggeleng kepalanya. “Tak mungkin, surat itu memang tadinya berada di tanganku, akan tetapi sekarang telah hancur, sudah hilang.”

“Bohong!”

“Kau tidak percaya, ya sudah. Memang tidak ada lagi padaku, sudah rusak dan hancur di dalam jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san.”

Akan tetapi mana Leng Nio mau percaya? Surat wasiat yang dirindukan oleh semua tokoh kang- ouw, mana bisa dirusak begitu saja? Ia mengerutkan keningnya yang berkulit halus, lalu berkata. “Sudahlah, kau boleh istirahat. Kuberi waktu semalam ini. Besok kau harus dapat memberi keputusan, lebih sayang surat atau lebih sayang adik.”

Setelah berkata demikian ia tinggalkan pemuda itu seorang diri. Han Sin bingung sekali dan akhirnya karena memang lelah, iapun pergi ke kamarnya dan memanggil Siauw-ong. Akan tetapi monyet itu tidak muncul, agaknya pergi main-main terlalu jauh. Ia tahu bahwa Siauw-ong tentu akan kembali sendiri, maka ia lalu membaringkan tubuh di atas tempat tidur yang empuk dalam kamar itu. Ia putar-putar otak mencari jalan keluar terbaik menghadapi persoalan ini, namun sia-sia.

Memang surat wasiat itu sudah dia hancurkan sebagian dan yang sebagian pula dirobek-robek oleh Thio Li Hoa, bagaimana dia bisa menyerahkan surat itu? Apakah ia harus membuat gambar baru dari peta itu dan menyerahkannya kepada Leng Nio? Kalau hal ini ia lakukan, kemudian ternyata Bi Eng tak dapat ia jumpai, siapa tahu orang-orang kang-ouw ini banyak sekali akal curangnya, bukankah itu merupakan kerugian besar? Pula, ia seperti mendurhaka kepada mendiang ayahnya. Surat wasiat itu memang haknya dan hak Bi Eng, bagaimana bisa diserahkan begitu saja kepada orang lain?

Lewat sedikit tengah malam, ketika keadaan di seluruh gedung itu sunyi, sesosok bayangan yang amat gesit membuka jendela kamar Han Sin dan memasuki kamar itu. Keadaan di dalam kamar amat gelap akan tetapi agaknya bayangan itu sudah mengenal baik kamar itu, buktinya ia dapat menyimpangi meja yang terpasang di dekat jendela. Orang lain tentu akan menabrak meja dalam kegelapan itu. Bayangan itu mengeluarkan sebuah lilin kecil dan menyalakannya setelah mendengarkan sebentar dan dari pernapasan yang lambat panjang tahu bahwa pemuda yang berada di pembaringan sudah pulas betul.

Ia melihat baju luar Han Sin yang ditaruh di atas bangku. Cepat tangannya menggerayangi baju itu dan memeriksa. Ketika mendapat kenyataan, ia lalu menaruh kembali baju itu dan menyingkap kelambu melihat ke atas pembaringan. Tiba-tiba ia nampak terkejut sekali dan sekali tiup lilinnya padam. Bayangan ini dengan tergesa-gesa dan kelihatan ketakutan melompat lagi ke jendela untuk lari.

Ternyata dia melihat cara tidur Han Sin yang amat aneh, yaitu dengan kepala di bawa kaki di atas, berjungkir balik! Tentu saja melihat orang dalam keadaan seperti itu, ia terkejut bukan main dan siapakah orangnya yang mau percaya bahwa pemuda itu berada dalam keadaan tidur pulas?

Memang sesungguhnya Han Sin tidur pulas. Tadi karena pikirannya agak bingung dan khawatir memikirkan keadaan adiknya, pemuda ini lalu berlatih samadhi seperti biasa dengan berjungkir balik sampai ia tertidur dalam keadaan demikian. Dalam keadaan seperti itu, pendengaran pemuda ini tajam sekali, maka ia segera terbangun ketika mendengar suara perlahan di jendela, suara kaki bayangan itu menyentuh daun jendela.

Tiba-tiba terdengar suara Siauw-ong cecowetan dan disusul suara bentakan perlahan. “Monyet sial, minggat kau!” Itulah suara Leng Nio!

Han Sin turun dari pembaringan dan menyalakan lilin dan pada saat itu Siauw-ong melompat ke dalam kamar itu, di kedua tangannya membawa sebuah sisir, sebuah cermin kecil, dan sebuah saput atau alat penyapu muka kalau sedang dibedaki. Entah dari mana dia mendapatkan alat berhias wanita ini. Melihat itu Han Sin menjadi geli dan membentak.

“Siauw-ong, dari mana kau dapatkan barang-barang ini? Ayoh, kembalikan kepada pemiliknya!”

Siauw-ong menjebikan bibirnya yang tebal, membuat gerakan seperti orang menyisir rambut kepalanya lalu berbedak sambil bercermin. Benar-benar seperti seorang wanita sedang berhias! Mau tak mau Han Sin tertawa geli dan menggebah monyet itu keluar dari kamarnya. Lalu tidur kembali, diam-diam mendongkol kepada Leng Nio yang sudah terang tadi mencoba untuk menggeledahnya, agaknya mencari surat wasiat Lie Cu Seng!

Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah mendengar suara ribut-ribut. Suara ini adalah suara cecowetan Siauw-ong dan makian Yo Leng Nio. Ketika mendengar suara Siauw-ong, seperti kalau sedang menantang berkelahi, Han Sin cepat memakai bajunya dan keluar dari kamarnya terus menuju ke taman bunga dari mana suara ribut-ribut itu terdengar.

Betul saja, Siauw-ong sedang “cekcok” dengan Yo Leng Nio. Nona ini memaki-maki,”Monyet sialan, kembalikan barang-barangku!” Akan tetapi dengan suara “ngak-nguk, ngak-nguk!” Siauw-ong agaknya malah menantang dan mempermainkan gadis itu.

“Setan, kau minta mampus!” Dan gadis itu dengan amat cepatnya lalu menyerang, memukul kepala monyet itu. Namun mana bisa Siauw-ong dipukul begitu saja. Sambil menjebikan bibirnya yang tebal, ia meloncat dengan elakan yang indah, lebih cepat dari pada serangan Leng Nio. Gadis itu penasaran, lalu menyerang lagi, tapi luput lagi. Akhirnya saking marah dan penasaran, Leng Nio menyerang sungguh-sungguh dengan gerakan ilmu silat, malah menggunakan jari tangannya untuk menotok dan menusuk mata monyet itu.

Siauw-ong benar-benar hebat, sambil menyengir ia terus mengelak ke sana ke mari sehingga tubuhnya berkelebatan di antara ke dua tangan Leng Nio yang melakukan pukulan bertubi-tubi. Dan kini monyet itu bukan hanya sembarangan mengelak mendasarkan kegesitan yang wajar seekor monyet. Kalau dia hanya mengandalkan kegesitan monyet biasa, tentu dia akan kena pukul oleh gadis yang lihai itu. Akan tetapi Siauw-ong mengelak dengan jurus-jurus ilmu silat pula, ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang tinggi. Langkah-langkah dan gerak tubuhnya teratur sehingga selalu Leng Nio menghantam tempat kosong.

Han Sin merasa puas melihat Siauw-ong mempermainkan nona itu. Agaknya monyet ini tahu pula akan usaha nona itu menggeledah kamarnya, pikir Han Sin. Maka sebagai pembalasan, Siauw-ong juga memasuki kamar nona itu dan mencuri alat-alat berhias. Akan tetapi melihat Leng Nio makin lama makin marah, ia merasa tidak enak juga. Betapapun juga, ia masih mengharapkan penjelasan nona ini tentang adiknya.

“Siauw-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan barang-barang nona Yo!” Akhirnya ia membentak. Mendengar seruan ini, Siauw-ong melemparkan tiga buah benda itu sekali gus ke arah Leng Nio sambil melompat ke pundak Han Sin. Leng Nio menggerakkan tangan menangkap benda-benda itu, akan tetapi hanya berhasil menangkap cermin dan alat berbedak, sedangkan sisir itu telah melayang ke arah rambutnya dan menancap di situ! Mukanya menjadi merah dan dengan mata melotot ia memandang monyet yang kini cengar-cengir di atas pundak Han Sin.

“Orang she Cia! Monyetmu sungguh kurang ajar. Suruh dia turun, biar kuhancurkan kepalanya!” Nona itu membentak marah sekali.

Han Sin tersenyum. “Maafkanlah dia, nona Yo. Agaknya semalam ia melihat gerak-gerik orang memasuki kamar orang lain. Agaknya dia telah melihat seorang pencuri maka dia meniru-niru memasuki kamarmu dan mengambil barang-barangmu itu. Monyet memang suka sekali meniru- niru manusia.”

Berubah wajah Yo Leng Nio mendengar ini. Ia merasa disindir dan ia tak dapat menjawab.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disusul ucapan halus. “Betul sekali ucapan itu. Memang memalukan kalau seorang perempuan memasuki kamar seorang pemuda di waktu tengah malam buta!” Dan dari balik tembok meloncat masuk seorang gadis cantik yang berpakaian indah dan mewah. Gelungnya yang tinggi amat indah dan mengeluarkan bau harum. Han Sin segera mengenal nona ini, Yo Leng Nio berubah pucat mukanya dan ia cepat-cepat membungkukkan tubuh memberi hormat. “Kiranya Thio-siocia (nona Thio) datang berkunjung. Tidak kebetulan sekali Bhok-kongcu tidak ada di sini, nona.”

Thio Li Hoa tersenyum mengejek dan suaranya ketus ketika menjawab, “Aku tahu ke mana perginya kongcumu itu bersama seorang gadis she Cia. Aku datang bukan untuk bertemu dengan kongcumu, melainkan untuk membawa pergi bocah she Cia.” Ia menudingkan telunjuknya ke arah Han Sin.

“Thio-siocia, akan tetapi ..... dia .... dia ini hendak mencari adiknya ” kata Yo Leng Nio gagap.

Mata Li Hoa yang tajam sekali itu tiba-tiba memancarkan sinar berapi. “Dia mencari adiknya, kenapa kau bawa ke sini? Pula, malam-malam waktunya orang tidur kau menggerayangi tempat tidur orang hemmmm, hendak kudengar apa yang akan dikatakan Bhok-kongcu kalau

kuceritakan kepadanya tentang hal itu!”

Wajah Yo Leng Nio makin pucat. Ia tahu bahwa ia takkan tertolong lagi kalau sampai di dalam hati Bhok-kongcu di bangkitkan perasan cemburu. Bergidik ia kalau mengingat akan hal ini, dan ia tahu pula bahwa terhadap nona Thio ini, tentu saja Bhok-kongcu percaya penuh.

“Tidak. Thio-siocia ...... jangan       harap kau tidak bercerita yang bukan-bukan terhadap Bhok-

kongcu       ”

“Plakk!” Cepat sekali bagaikan ular menyambar, tahu-tahu tangan kanan Li Hoa sudah menampar pipi Leng Nio. Han Sin yang melihat itu, tersenyum dan teringat akan pipinya sendiri yang juga pernah ditampar oleh nona Thio yang galak ini.

“Apa kau bilang? Aku bicara bukan-bukan? Kau berhadapan dengan siapakah?” bentak puteri perwira tinggi itu.

15. Wanita Pelindung Buronan

YO LENG NIO mendapat akal. Ia menjura dan berkata lemah. “Aku berhadapan dengan nona Thio Li Hoa yang cantik dan gagah perkasa dan yang boleh dipercaya serta tidak pernah memburukkan nama orang lain. Tentu saja aku tidak berani membantah perintah nona, hanya mengingat bahwa kongcu mencari orang ini dan untuk mempertanggung jawabkan ”

Li Hoa mengeluarkan sehelai surat. “Lihat ini! Surat kuasa untuk menangkap bocah she Cia ini. Dia telah membunuh utusan pemerintah dan harus ditangkap. Apa kau berani menentang surat perintah penangkapan?”

Yo Leng Nio melirik dan mendapat kenyataan bahwa memang betul nona Thio ini datang membawa surat perintah menangkap Cia Han Sin. Ia menjura lagi dan berkata, “Aku tidak berani membantah. Silahkan nona tangkap bocah ini, hanya kuharap tidak lupa bahwa pelayan Bhok- kongcu juga berjasa dalam bantuannya menemukan bocah yang dicari ini.”

“Hemmmm,” Li Hoa melirik ke arah Han Sin dan berkata, “Ayoh, ikut aku!”

Han Sin pernah mengenal kepalsuan gadis she Thio ini yang dulupun hendak menolong dia keluar dari jurang, akan tetapi yang sesungguhnya hendak mencari surat wasiat Lie Cu Seng, kemudian malah bersama para pengemis tua hendak menangkapnya. Sekarang melihat gadis ini datang lagi, ia bersikap waspada. Akan tetapi tadi dia mendengar percakapan dua orang gadis itu dan mengingat gadis ini agaknya tahu pula ke mana Bi Eng dibawa pergi oleh Bhok-kongcu, ia tidak hendak membantah, malah lalu menjura di depan Yo Leng Nio dan berkata.

“Nona Yo Leng Nio, aku dan Siauw-ong merasa berterima kasih sekali telah mendapatkan tempat menginap dan makan minum dengan gratis darimu.” Leng Nio hanya memandang dengan mata melotot ketika Han Sin pergi mengikuti Li Hoa. Sinar mata pemuda ini berseri, mulutnya tersenyum ketika ia memandang kepada Li Hoa dan sikapnya seolah-olah menantang dengan kata-kata tak terucapkan. “Kau mau apa? Peta sudah hancur!”

Setelah pergi jauh meninggalkan kota Tai-goan, tanpa berkata-kata, akhirnya gadis itu memecah kesunyian, “Hemm, berbahaya sekali …..! Untung aku segera datang membawa kau pergi!”

Han Sin hanya melirik, tanpa menjawab.

“Eh, bocah! Kenapa diam saja? Kau seharusnya berterima kasih kepadaku telah melepaskan kau dari perempuan rendah itu!”

“Kau dan dia apa bedanya? Selalu menyebut aku bocah. Eh nona, kaukira kau ini sudah nenek- nenek dan lebih tua dari padaku?” jawab Han Sin mendongkol.

Gadis itu tertawa, manis sekali kalau dia tertawa. Sayangnya jarang tertawa dan mukanya selalu keras. “Hemm, kau tidak tahu bahwa kau baru saja terlepas dari bahaya maut. Kalau ada Bhok Kian Teng di sana, kiraku kau takkan mampu pringas-pringis (menyeringai) seperti sekarang ini. Kau dan monyetmu tentu telah mampus. Berbahaya sekali!” gadis itu benar-benar nampak gentar.

Akan tetapi Han Sin tidak perduli. “Apa bedanya di tangan mereka atau di tanganmu? Entah mana yang lebih berbahaya. Luka di pundakku karena paku berkarat yang dihadiahkan oleh kawanmu pengemis tua itu masih terasa sampai sekarang.” Han Sin sengaja meringis kesakitan dan meraba pundaknya.

Merah muka Li Hoa. “Apakah masih terasa sakit? Aku membawa obat pemunah racun ……” Dengan sikap sungguh-sungguh ia mendekati Han Sin dan pemuda ini merasa heran mengapa gadis ini bisa bersikap begini lembut dan ramah.

“Tak usah, biarkan saja. Aku tidak menyalahkan kau, karena bukan kau yang melukai pundakku.” Setelah berkata demikian Han Sin lalu duduk mengaso di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Matahari mulai muncul dan enak sekali duduk di bawah pohon itu. “Nona Thio, sudahlah kau tinggalkan aku sendiri, aku tidak mau mengganggu kau lebih lama lagi.”

Li Hoa menghampiri pemuda ini. “Orang she Cia, aku baik-baik membebaskan kau dari tangan kuntilanak itu dan betul-betul hendak membantumu mencari kembali adikmu, kau malah mengusirku. Benar tak kenal budi.”

Han Sin tersenyum pahit. “Mau mencarikan adikku ataukah mau mencari rahasia surat wasiat?”

Wajah nona ini menjadi merah lagi. “Soal itu …… kita bicarakan belakangan saja kalau aku sudah berhasil mendapatkan kembali adikmu yang dibawa pergi Bhok Kian Teng.”

“Terima kasih, aku bisa cari sendiri,” kata Han Sin dingin.

Li Hoa melompat. “Eh, sombong! Ke mana mau mencarinya?”

“Ke mana lagi? Tentu ke rumah orang she Bhok itu, di kota raja, bukan? Putera raja muda Bhok Hong yang berjuluk Pak-thian-tok, tidak betulkah dugaanku?” Han Sin tersenyum bangga.

Gadis itu tertawa geli. “Ah, tololnya! Kalau diajak ke kota raja, selain adikmu tidak sudi, juga tentu aku sudah mengetahuinya siang-siang karena akupun tinggal di kota raja. Di kota raja kau takkan dapat mencari adikmu, malah bayangannya pun tidak ada.” Han Sin terdiam, bingung. Kemudian ia terpaksa bertanya juga, biarpun dengan lidah berat. “Apa kau tahu ke mana adikku dibawah oleh orang itu?”

“Tentu saja aku tahu, kalau tidak mana aku berani bilang hendak mencarikan adikmu?” Kini giliran Li Hoa yang “jual mahal”.

“Ke mana? Di mana?”

Bibir yang merah tipis itu tersenyum mengejek, tapi malah manis. “Kalau aku beritahu, mau kau berjanji?”

“Berjanji apa?”

“Berjanji bahwa kau akan ikut dengan aku tanpa banyak cerewet, ikut dan menurut kehendakku, tidak meninggalkan aku dan kita berdua mencari adikmu.”

Han Sin tertegun. Dan pemuda yang jujur ini tak dapat menahan lagi menyatakan keheranan hatinya melalui mulut. “Nona Thio Li Hoa, begitu sukakah kau melakukan perjalanan bersama aku?

Kenapa begitu?”

Wajah nona itu menjadi merah sekali dan tiba-tiba sinar matanya berapi-api. Ia melompat maju dan tangannya sudah siap hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi melihat pemuda itu memandangnya dengan wajah jujur dan mata yang mengeluarkan cahaya menakjubkan, ia menahan tangannya, diturunkannya kembali dan katanya terengah-engah, “Kau …. kau bocah she Cia benar- benar kurang ajar! Kau kira aku orang apa maka tergila-gila hendak berdekatan dengan engkau?”

“Hush, bukan begitu maksudku, nona. Aku ….. hemmm, sekarang aku malah tahu mengapa kau ingin aku selalu berada di dekatmu, hemmmm, benar sekarang ingatlah aku.”

Mata yang indah itu mengerling tajam, penuh ancaman. “Apa maksudmu? Kau tahu apa?”

“Tentu saja aku tahu. Kau tidak ingin berpisah dari aku karena …..karena surat wasiat itu. Ha ha! Semua orang menghendaki surat wasiat, dan semua orang hendak menangkap aku, tentu karena surat itu. Dan kau sendiri, ha ha ha, kau takut kalau-kalau surat itu terjatuh ke tangan orang lain!”

Tepat sekali kata-kata ini dan Li Hoa menundukkan mukanya. “Memang sebagian benar, tapi hanya sebagian saja ……” katanya perlahan.

“Yang sebagian lagi, apakah?” Han Sin mendesak.

Muka Li Hoa makin merah. “Sudahlah. Mau tidak kau berjanji? Kalau kau mau, aku segera memberitahukan di mana adanya adikmu dan kita bersama pergi mencarinya.”

“Ya, ya, aku mau. Siapa tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang nona yang …. yang

…….”

“Yang apa? Jangan main-main kau!”

Tadinya Han Sin hendak menggoda dengan mengatakan “yang galak” akan tetapi takut benar-benar ditampar, ia lalu menyambung. ”Yang cantik dan gagah. Kau gagah, apa yang kutakuti kalau berjalan di sampingmu? Orang jahat tidak berani mengganggu aku dan Siauw-ong. Dan kau cantik jelita, aku memang paling suka melihat apa-apa yang indah, suka membaca syair-syair yang bagus, melihat tamasya alam yang indah permai. Melihat dan mencium kembang yang cantik dan wangi

………”

“Mata keranjang! Jangan main gila kau ….. kutampar nanti mulutmu …”

“Lho, aku bilang kembang yang cantik dan wangi, masa aku berani …. berani …. anu …. kau!”

”Cukup, mari kita berangkat,” Li Hoa yang tadinya juga duduk di atas akar pohon, sekarang berdiri. ”Eh, nanti dulu. Aku sudah mau berjanji, tapi kau belum katakan di mana adikku.”

”Tentu saja di Lu-liang-san. Ayoh, kita menyusul ke sana.” ”Di Lu-liang-san?”

”Bodoh, banyak mendongeng di sini sedangkan adikmu terancam bahaya. Lekas berangkat, nanti di jalan kuceritakan.”

Mendengar ucapan ini, Han Sin segera berdiri dan memegang tangan Siauw-ong. “Siauw-ong, ayoh, kita susul nonamu.”

Sambil berjalan, Li Hoa berkata, “Bhok-kongcu orangnya licik sekali. Setelah menawan adikmu, tentu dia bisa memaksa adikmu itu mengaku arah tujuan perjalananmu dan tahu bahwa kalian hendak ke Lu-liang-san. Karena usaha selirnya yang goblok, Yo Leng Nio itu ”

“Bukan selir, dia bilang pelayannya,” Han Sin memotong.

“Apa bedanya? Selirnya yang goblok itu berhasil mengambilmu di Cin-ling-san, maka Bhok- kongcu tentu pikir lebih baik menanti di Lu-liang-san sedangkan ia menyuruh Leng Nio pergi mencarimu. Tentu saja tanpa petunjukmu dia takkan berhasil menemukan tempat rahasia, dan selama dia belum mendapatkan tempat itu, keselamatan adikmu terjamin.”

Han Sin mengangguk-angguk. “Betul betul sekali. Semua orang menghendaki harta warisan

orang lain, semua orang ingin kaya. Benar-benar tolol seperti kerbau. Memperebutkan harta benda mempertaruhkan nyawa. Aahhh ”

Setelah berkata demikian, untuk menghibur hati dan untuk mencela orang-orang yang hanya memikirkan duit belaka, pemuda ini lalu bernyanyi, mengambil sajak dalam Tok-tik-khing:

“Warna-warna indah dapat membutakan mata (hati) Suara-suara merdu dapat menulikan telinga (hati) Rasa-rasa nikmat dapat merusak perasaan (hati) Memburu (nafsu) dapat membuat orang menjadi buas.

Barang yang sukar diperoleh (harta benda) dapat membuat orang menjadi curang Karena itu, seorang kuncu (budiman) mengutamakan kebutuhan Sang Perut,

tak pernah memperdulikan penglihatan Sang Mata. Dan dia memilih yang benar membuang yang sesat.”

Thio Li Hoa adalah seorang puteri pembesar, seorang bangsawan bangsa Han yang semenjak dulu mengutamakan pelajaran sastra dan silat. Biarpun ayah Thio Li Hoa, yaitu Thio-ciangkun, telah terpikat dan terbujuk oleh penjajah Mancu sehingga sudi menghamba kepada pemerintah penjajah ini, namun dia tidak melupakan pendidikan untuk dua orang puterinya. Karena ini, Li Hoa juga termasuk seorang gadis yang pandai dalam hal sastra. Tentu saja ia pernah membaca sajak yang dinyanyikan oleh Han Sin tadi. Diam-diam ia merasa dirinya tersindir dan tidak bijaksana maka ia mendongkol sekali. Betapapun juga ia harus memuji pandainya pemuda ini bernyanyi, dengan suara yang nyaring dan empuk serta dapat menjadikan sajak keramat dari agama To itu menjadi nyanyian yang enak didengar.

”Orang she Cia, kau tahu apa? Menyindir-nyindir orang dengan Tok-tik-khing ayat kedua belas. Kau kira aku tergila-gila oleh harta peninggalan dalam surat wasiat Lie Cu Seng? Huh, bodoh. Orang tuaku sendiri kaya raya, apakah orang yang sudah berenang di air masih kehausan dan minta hujan?”

Han Sin mendongkol. ”Kau ini benar tidak memandang mata padaku, nona. Selalu menyebutku orang she Cia, bocah she Cia, benar-benar tidak enak didengarnya. Melakukan perjalanan bersama apa sih enaknya?”

Mau tidak mau Li Hoa tersenyum juga mendengar omelan ini, akan tetapi ia tetap ketus ketika berkata, ”Habis, apakah aku harus menyebut kau tuan muda? Ataukah kakanda? Atau tuan besar?”

Sambil tunduk melihat jalan yang dilalui kakinya dan meraba-raba dagunya dengan tangan kiri, Han Sin berkata, ”Hemmm, sebutan tuan muda atau tuan besar, terlalu menghormat. Sebutan kakanda ....

terlalu mesra.” Ia berpikir sebentar, lalu berkata, ”Nona Thio, setelah kita melakukan perjalanan bersama, sudah sepatutnya kalau kita ini mengaku sebagai saudara. Kalau bukan saudara, bagaimana bisa melakukan perjalanan bersama? Kalau orang lain mendengar bahwa kau menyebutku kakak dan aku menyebutmu adik, tentu tidak akan ada yang mencelanya.”

”Perduli apa dengan orang lain? Aku tidak suka menjadi adikmu. Bukankah kau sudah mempunyai adik, yaitu Bi Eng?”

Wajah Han Sin berseri. ”Kalau begitu, biarlah kau jadi enci (kakak) dan aku menjadi adik.”

”Cih, tak tahu malu. Kau kira kau ini masih kanak-kanak? Kau lebih tua dari aku, mana bisa jadi adikku?”

Han Sin merasa bohwat (habis daya). Dia seorang pemuda terpelajar dan menurut kitab-kitabnya, amat tidak sopan seorang pemuda dan seorang gadis yang tidak ada hubungan apa-apa melakukan perjalanan bersama.

”Habis bagaimana?” akhirnya ia bertanya.

“Kau tidak mau disebut orang atau bocah she Cia, biarlah sekarang kusebut namamu saja kalau memanggil, dan kau pun boleh menyebut namaku. Dengan demikian orang akan menganggap kita sahabat-sahabat baik.”

“Sahabat-sahabat baik? Kok begitu? Masa sahabat baik seorang laki-laki dan seorang wanita    ”

“Rewel kau! Apa kau tidak mau dianggap sebagai sahabat baikku?” “Ehm, tentu saja tentu saja.”

”Nah sudah, jangan banyak rewel. Kalau kau mau, aku menyebut kau Han Sin begitu saja dan kau menyebut aku Li Hoa. Kalau tidak mau, aku boleh menyebutmu bocah she Cia, monyet she Cia atau apa yang kusuka, kau mau apa?” Han Sin tidak dapat membantah lagi dan terpaksa menerima keputusan ini. Ia mendongkol melihat sikap yang galak, ketus dan mau menang sendiri dari gadis ini. Sebetulnya ia suka kepada Li Hoa dan kalau gadis ini mau bersikap lunak dan manis sedikit saja tentu ia akan merasa senang melakukan perjalanan ini. Maka ia tidak mau perdulikan lagi kepada gadis itu dan di sepanjang jalan ia bernyanyi-nyanyi sajak atau bercakap-cakap dengan Siauw-ong.

Karena didiamkan saja, kadang-kadang disindir dalam nyanyian, Li Hoa mendongkol juga.

”Kulihat Siauw-ong monyetmu itu lebih pintar dari pada tuannya. Benar-benar aneh, benar-benar mengherankan.”

Tentu saja Han Sin mendengar ini, namun dia diam saja, pura-pura tidak mendengar.

”Seekor monyet sudah dapat menghadapi serangan-serangan perempuan hina dari Bhok Kian Teng, benar tidak mengecewakan menjadi binatang peliharaan keluarga Cia di Min-san yang terkenal sebagai keturunan gagah perkasa. Akan tetapi tuan mudanya hemmm, seorang kutu buku yang

bisa bernyanyi membaca sajak, lemah dan tidak becus apa-apa!”

Kembali Han Sin diam-diam, malah membaca sajak untuk menjawab cela-celaan ini. Kembali ayat- ayat Tok-tik-khing:

”Langit dan bumi itu abadi

Karena hidup bukan untuk diri sendiri Seorang kuncu menaruh diri paling belakang karenanya menjadi paling depan

Karena ia menyampingkan diri sendiri maka ia selamat terpelihara

Karena tidak mementingkan diri pribadi maka ia dapat menyempurnakan pribadinya.”

Tiba-tiba Li Hoa tertawa. Ia anggap pemuda ini lucu, juga menjengkelkan. ”Hi hi, kau anggap dirimu sendiri sebagai kuncu (budiman)?”

Terpaksa Han Sin menjawab, ”Tidak ada yang mengaku diri sebagai kuncu, hanya setuju akan sikap seorang kuncu dan karenanya berusaha meniru jejak langkahnya.”

”Ha, kau memang seorang kuncu. Ah, hebatnya! Biar sekarang kau memakai nama julukan Bu-lim Kun-cu ( Sang Budiman dari Rimba Persilatan). Bagus, bagus!”

Han Sin diam saja, keduanya melanjutkan perjalanan dengan membisu. Keadaan yang sunyi ini tidak menyenangkan hati Han Sin, akan tetapi pemuda ini sudah mahir menguasai perasaannya maka pada wajahnya yang tampan tidak nampak tanda sesuatu. Sebaliknya, Li Hoa tidak kuat menahan. Memang melakukan perjalanan berkawan akan tetapi berdiam-diam saja amat melelahkan dan menjemukan. Akhirnya setelah beberapa lama diam saja, gadis ini mulai bicara pula.

”Tadinya melihat kau duduk sekuda dengan Leng Nio, kemudian menginap di rumah Bhok-kongcu, ku anggap kau ”

”Ya?” Han Sin mendesak karena ucapan yang tidak diselesaikan itu menggatalkan hatinya. ”Kuanggap kau mata keranjang, kusangka seorang pemuda hidung belang yang menjemukan. Hatiku panas bukan main.”

”Lho kenapa panas? Apa sangkut-pautnya dengan kau mengenai perbuatanku?” Han Sin memotong cepat.

Merah wajah Li Hoa. ”Karena aku benci melihat laki-laki mata keranjang.”

”Hemmmm ”

”Apa kau tidak anggap Leng Nio itu cantik, genit dan menarik?”

”Memang dia cantik. Tapi apa hubungannya dengan aku? Cantiknya sendiri, tidak sangkut-pautnya dengan aku.”

”Biasanya laki-laki tergila-gila oleh kecantikan wanita ”

”Hemmm ”

”Tapi aku salah duga. Kau bukan laki-laki model Bhok-kongcu.” ”Terima kasih ”

”Ya, kau bukan pemuda sembarangan. Kau     kau Bu-lim Kun-cu!” Li Hoa tertawa mengejek.

Kini mau tidak mau Han Sin merengut, namun tetap tidak berkata apa-apa. Makin geli hati Li Hoa. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, setelah dekat dengan pemuda ini, timbul kejenakaannya dan ia ingin selalu menggoda pemuda yang tak pernah marah ini.

Jalan mulai ramai orang karena mereka mendekati sebuah kota. Ketika itu dari arah depan mendatangi tiga orang berpakaian pengemis, ketiganya membawa sebuah mangkok butut dan memegang sebatang tongkat. Melihat tiga orang pengemis itu, tiba-tiba Li Hoa berjalan dekat sekali dengan Han Sin dan pemuda itu merasa betapa tangannya dipegang oleh sebuah tangan yang hangat dan halus. Ketika ia melirik, bukan main herannya melihat bahwa yang memegang tangannya itu adalah Li Hoa. Hatinya berdebar, ingin ia menarik tangannya akan tetapi takut menyinggung perasaan gadis itu, maka dibiarkan saja. Lebih heran lagi dia ketika mereka bersimpangan dengan tiga orang pengemis itu, Li Hoa berkata dengan suara keras, manis dan manja.

”Koko, nanti di kota kau harus belikan sepasang sepatu baru untukku!”

Tentu saja Han Sin heran bukan main. Tak mungkin gadis itu bicara kepada orang lain, tentu kepadanya. Akan tetapi mengapa bicaranya begitu? Ia hendak bertanya, akan tetapi tiba-tiba tangan yang memegangi tangannya itu menggencet keras-keras. Baiknya ia kuat sekali sehingga tidak berteriak kesakitan. Kau main gila atau membadut, pikirnya. Baiklah, aku layani.

”Tentu saja, adikku yang manis. Sedikitnya dua pasang kubelikan nanti!” jawabnya dan ia menggandeng nona itu makin dekat!

Tiga orang pengemis itu sudah jauh tak kelihatan lagi dan tiba-tiba Li Hoa merenggut tangannya terlepas. Mukanya merah sekali dan mulutnya merengut. ”Gila, kenapa kau gandeng-gandeng aku dan siapa minta dibelikan sepatu?” omelnya dengan suara marah. Han Sin mendongkol. Ia mendorong Siauw-ong turun dari pundaknya dan membentak. ”Jalan sendiri kau! Aku lelah!” Jarang pemuda itu marah dan sekarang dia benar-benar kesal hatinya, merasa dipermainkan oleh Li Hoa. Siauw-ong sampai kaget. Tadinya monyet ini melengut ngantuk di pundak tuannya.

”Sebetulnya yang gila kau ataukah aku? Yang mulai menggandeng tangan dan bicara tentang sepatu itu kau atau aku?” bantahnya dengan suara marah pula.

Eh, gadis itu tersenyum! Makin mendongkol hati Han Sin.

”Li Hoa, kalau kau selalu mempermainkan aku, lebih baik kita berjalan saling berjauhan atau mengambil jalan masing-masing.”

”Han Sin, kau tidak bisa membedakan orang bersandiwara atau bersungguh-sungguh. Kau tidak melihat tiga orang pengemis tadi? Aku tadi sengaja berbuat begitu supaya mereka tidak mengenal kau dan aku.”

Baru sekarang Han Sin mengerti. ”Hemm, begitukah? Siapa sih mereka itu? Kenapa kau kelihatan takut-takut? Kau begini lihai ”

”Sssttt, sudahlah. Belum waktunya kau ketahui hal itu. Mari kita lekas memasuki kota dan mencari warung nasi. Perutku lapar sekali.”

Kota yang mereka masuki itu berada di tepi sungai Fen-ho, sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Kota itu sudah termasuk kaki pegunungan Lu-liang-san.

Li Hoa segera memilih sebuah rumah makan yang teratur dan bersih tempatnya. Agaknya pelayan- pelayan rumah makan sudah mengenal nona ini, buktinya sikap mereka amat hormat dan ramah tamah. Diam-diam Han Sin mengagumi nona ini yang menghadapi pelayanan penuh hormat itu bersikap tenang dan agung sebagai mana layaknya seorang puteri bangsawan. Dengan suara halus tapi berpengaruh nona ini memesan masakan-masakan yang aneh-aneh bagi pendengaran Han Sin.

Cepat pula pelayanan mereka. Sebentar saja hampir sepuluh macam masakan yang masih panas dan berbau harum lezat tersedia di depan dua orang muda itu, membuat Han Sin timbul seleranya dan perutnya yang sudah lapar menjadi makin lapar. Segera keduanya makan tanpa banyak cakap lagi.

”Hemm, kalau Eng-moi berada di sini dan makan bersamaku, alangkah akan senangnya.” Begitu memikirkan adiknya, tiba-tiba leher Han Sin terasa seret dan nafsu makannya berkurang banyak. Li Hoa yang bermata tajam tentu saja dapat melihat ini.

”Eh, ayoh makan. Sudah dipesan, untuk apa kalau tidak dimakan? Ayoh sikat saja, mana kegembiraanmu?”

Han Sin menggunakan sumpitnya mengambil sepotong daging ikan yang gemuk, makan daging itu dan menarik napas panjang. ”Enak sekali makanan ini, sayang adikku tidak turut menikmatinya.”

”Hemm, kembali kau teringat kepada adikmu? Agaknya bukan main besarnya cinta kasihmu terhadap adikmu Bi Eng itu.”

”Dialah satu-satunya orang yang paling kucinta di dunia ini,” kata Han Sin sambil menyodorkan sepotong bakso kepada Siauw-ong yang ikut pula makan sambil duduk di atas bangku di sebelah kiri pemuda itu. ”Senang betul menjadi dia ” kata Li Hoa perlahan.

”Eh, kenapa ”

”Ada yang menyayangnya ”

”Li Hoa, apakah apakah tidak ada orang yang menyayangmu?”

Ketika gadis itu menggeleng kepala, Han Sin membantah. ”Aku tidak percaya. Masa seorang seperti engkau ini tidak ada yang menyayang? Tak mungkin .... tak mungkin ”

Li Hoa memandang tajam. ”Kenapa tidak mungkin? Aku seorang yang kasar, galak dan tidak mau mengalah. Orang-orang benci kepadaku, bahkan ayah selalu cekcok dengan aku dan ibu ” Tiba-

tiba gadis itu menghentikan kata-katanya, agaknya teringat bahwa tidak semestinya ia bicara tentang keluarganya kepada pemuda yang baru saja dikenalnya ini.

Pada saat itu terdengar suara nyaring dari pintu luar. ”Kami manusia-manusia kurang makan pakai mohon dikasihani ”

Wajah Li Hoa berubah, tapi ia tidak menengok, melanjutkan makan. Han Sin menengok dan melihat tiga orang pengemis yang bertemu di jalan tadi ternyata telah berdiri di depan pintu! Mata tiga orang pengemis itu semua ditujukan ke arah dia dan Li Hoa.

Seorang pelayan cepat datang menghampiri dan membentak, ”Ada tamu sedang makan, jangan ganggu. Kalian tunggu di luar saja kalau hendak minta sedekah!”

Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak memperdulikannya, malah kini ketiganya melangkah maju tiga tindak mendekati meja Han Sin.

”Tuan dan nona muda harap menaruh kasihan kepada kami bertiga, mohon derma untuk menyembayangi roh lima orang kawan kami yang mati kelaparan di Cin-an ” kata pula seorang

di antara mereka, seorang kakek yang berjenggot seperti kambing bandot.

Kembali wajah Li Hoa menegang, akan tetapi nona ini masih siam saja dan Han Sin melihat dengan jelas betapa nona itu kelihatan gelisah dan takut-takut. Timbul rasa jengkelnya terhadap para pengemis. Memang sudah selayaknya mereka minta bantuan dari orang-orang mampu, akan tetapi cara mereka benar-benar melanggar aturan. Mana ada orang minta bantuan begini mendesak dan tidak menanti sampai orang habis makan?

Lebih-lebih jengkelnya ketika pengemis kedua, yang hidungnya pesek, tiba-tiba meludah ke lantai dengan suara keras. Ia juga kaget sekali melihat betapa air ludah itu ketika mengenai lantai, membuat lantai itu berlubang! Ah, kiranya mereka ini orang-orang berilmu yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, pikirnya. Ia teringat akan suhunya, Ciu-ong Mo-kai yang juga selalu berpakaian pengemis dan juga memiliki kepandaian menyemburkan arak sebagai senjata ampuh.

”Nona, kami tiga orang kakek jembel sudah sabar menanti,” kata pula si jenggot kambing. Li Hoa minum araknya, lalu ia memutar tubuhnya di atas bangku.

”Aku ada urusan penting, tidak ada waktu melayani kalian. Kalau ada urusan, datang saja di rumah. Urusan di Cin-an ada ayah yang membereskan, kalian kesanalah.” Heran sekali, suara nona ini terdengar sabar dan mengalah, Han Sin senang dan menganggap alasan ini tepat biarpun ia tidak tahu akan urusannya. Akan tetapi kakek jembel yang meludah tadi berkata, suaranya parau seperti suara burung gagak.

”Sudah berjumpa dengan nona di sini, itu berarti rejeki kami. Kalau kami lewatkan, bukankah itu berarti kami tidak menerima datangnya rejeki? Nona yang baik, marilah kau bawa kami ke rumahmu agar ayahmu mau berbaik hati memberi sumbangan.”

Han Sin makin mendongkol. Biarpun dia belum luas pengetahuannya tentang keadaan di dunia kang-ouw, ia merasa tiga orang kakek ini sengaja hendak memaksa, mungkin hendak menawan Li Hoa. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata.

“Kalian bertiga ini apa-apaan? Minta sedekah kok memaksa? Nonamu tidak ada waktu, perlu mencari sepatu. Pergilah kalian dari sini dan jangan ganggu kami.” Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang perak, ”Nih, sedekahku!”

Kakek berjenggot kambing menerima uang itu lalu melemparkan uang perak itu keluar! Han Sin

terkejut dan mulai marah. Benar-benar cara pengemis yang aneh dan terlalu sekali, pikirnya.

”Aha, kalian tidak mau uang? Agaknya sudah lapar sekali? Nah, terimalah sisa masakan-masakan ini.” Ia memberikan beberapa mangkok makanan dari atas meja. Tiga orang pengemis menerima masing-masing semangkok lalu melempar lagi isi mangkok keluar. Tanpa menoleh mereka

melempar isi mangkok yang terbang keluar pintu sampai mangkok-mangkoknya menjadi kosong, lalu berbareng mereka melemparkan mangkok kosong ke atas meja. Aneh mangkok-mangkok itu berputaran di udara dan turun ke atas meja tanpa mengeluarkan suara!

”Terima kasih atas kemurahan hati tuan muda.” Biarpun perbuatan mereka itu menunjukkan kepandaian yang lihai, namun Han Sin menjadi semakin gemas.

”Hemm, kalian tidak suka daging, mungkin yang kalian cari adalah tulang-tulang dan sisa kuah. Terimalah!” Secara sembarangan ia menyapu tulang-tulang di atas meja dengan tangan, kemudian dengan kaku dan seperti orang marah-marah ia menuang kuah-kuah panas dari mangkok ke arah tiga orang pengemis itu.

Li Hoa kaget sekali menyaksikan kesembronoan Han Sin. ”Jangan !” cegahnya. Akan tetapi

kuah-kuah panas telah disiramkan dan tiga orang kakek itu tentu saja hendak mengelak. Celaka bagi mereka, secara aneh sekali tulang-tulang dan duri-duri ikan menyambar dan dengan tepat mengenai jalan darah di kedua pundak mereka, membuat mereka tak mampu bergerak dan mandah saja kepala mereka disiram kuah panas sampai kuah itu membasahi muka! Hal ini benar-benar mengejutkan hati Li Hoa yang tidak menyangka sama sekali bahwa tadi diam-diam Han Sin mengerahkan tenaga dan menggunakan tulang dan duri ikan untuk menyerang dengan gerak tipu dari ilmu sakti Lo-hai- hui-kiam!

Tiga orang kakek itupun terkejut bukan main. Mereka tadi mencoba untuk mengerahkan lweekang, namun serangan tulang-tulang kecil itu terlampau kuat sehingga sebelum mereka sempat mencegah, jalan darah mereka sudah tertotok, membuat mereka tak mampu bergerak dan terpaksa menerima siraman kuah-kuah panas!

Han Sin pura-pura kaget dan menyesal, ”Ah, tadi kalian memperlihatkan kepandaian, kenapa sekarang benar-benar menerima siraman kuah? Celaka, aku membuat pakaian kalian kotor saja. Harap kalian maafkan dan suka pergi jangan mengganggu kami.” Sambil berkata demikian, dengan muka sungguh-sungguh ia menghampiri mereka dan menepuk-nepuk pakaian mereka di punggung dan pundak yang basah oleh kuah. Kelihatannya saja ia membersihkan pakaian para pengemis, sebetulnya ia mengerahkan tenaga dan membebaskan totokannya. Tiga orang kakek itu memandang tajam kepada Li Hoa, lalu mendelik ke arah Han Sin dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka mengeloyor pergi, keluar dari rumah makan itu.

Li Hoa bengong. ”Aneh sekali ” katanya dengan muka pucat. ”Han Sin, kau tidak tahu betapa

berbahayanya mereka itu. Entah mengapa mereka tiba-tiba mengundurkan diri. Benar-benar Thian masih melindungi kita.”

”Li Hoa, mereka itu siapakah dan mengapa agaknya memusuhimu?”

Akan tetapi, Li Hoa cepat membayar uang makanan dan mengajaknya keluar dari rumah makan itu. ”Nanti kuceritakan,” katanya pendek. Han Sin menggandeng tangan Siauw-ong dan ia mengikuti nona itu keluar dari rumah makan, diam-diam bersyukur bahwa mudah saja dia tadi mengusir pengemis-pengemis yang hendak membikin kacau. Bersyukur bahwa tidak terjadi peristiwa pertempuran hebat.

”Berbahaya sekali ” kata Li Hoa setelah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke sungai Fen-

ho. ”Mereka itu adalah para pengemis tingkat empat dari Sin-yang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis dari Sin-yang). Mereka selalu menimbulkan kerusuhan dan baru-baru ini ayahku telah menghukum mati lima orang pengemis-pengemis dari perkumpulan itu di Cin-an. Entah bagaimana agaknya mereka hendak membalas dendam kepadaku, takut kalau menghadapi ayah.” Agaknya nona ini bicara terbatas dan singkat sekali.

”Curang,” kata Han Sin. ”Ayahmu yang menghukum mereka, kenapa kau yang diganggu.”

Nona itu menarik napas panjang, ”Han Sin, kau berkelana seorang diri atau berdua dengan adikmu, kau tidak mengerti ilmu silat dan kau sama sekali tidak tahu menahu tentang keadaan kang-ouw.

Benar-benar berbahaya sekali.”

Mereka menyeberangi sungai dengan perahu sewaan dan setiba mereka di seberang, Li Hoa mengajak kawannya buru-buru melanjutkan perjalanan. ”Lu-liang-san sudah kelihatan dari sini, kita harus melakukan perjalanan cepat-cepat. Siapa tahu adikmu sudah menanti di sana bersama Bhok Kian Teng.”

Mendengar ini Han Sin kelihatan girang sekali akan tetapi sebaliknya Li Hoa selalu mengerutkan keningnya. Nona ini maklum betul bahwa biarpun perjalanan sudah dekat, bahayanya makin besar dan ia diam-diam khawatir sekali. Dia sendiri memiliki kepandaian dan kiranya tak usah takut tertimpa malapetaka. Kepandaiannya cukup dan biarpun tadi diganggu tiga orang pengemis, andaikata terjadi pertempuran kiranya ia masih akan menang.

Akan tetapi bagaimana kalau orang-orang kang-ouw mengenal Cia Han Sin dan menangkapnya untuk mendapatkan surat wasiat? Inilah yang menggelisahkan hatinya. Dia tadi memang sengaja berlaku lemah dan mengalah terhadap orang-orang Sin-yang Kai-pang, bukan karena takut, melainkan semata-mata karena khawatir kalau-kalau Han Sin dikenal orang!

Kekuatiran hati Li Hoa ternyata terbukti. Baru beberapa li mereka meninggalkan pantai sungai Fen- ho, tiba-tiba mereka mendengar seruan dari belakang. ”Orang-orang muda di depan, berhentilah!” Seruan itu terdengar perlahan seperti diteriakan orang dari jauh, akan tetapi terdengar jelas sekali.

Li Hoa mengerti bahwa orang yang berseru mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.

Ketika ia menoleh, betul saja ia melihat empat orang kakek yang datang dengan cepat sekali mengejar mereka. Tak perlu lagi melarikan diri, pikirnya. Ia bersikap tenang padahal hatinya gelisah, memikirkan bagaimana ia harus melindungi Han Sin. Menyuruh pemuda itu pergi bersembunyi, tak mungkin lagi karena mereka tiba di tempat terbuka, di kaki gunung yang gundul dan hanya terdapat sawah-sawah kering di kanan kiri jalan.

Tiga orang pengemis menjemukan itu, mengejar dan yang di depan itu bukan orang sembarangan,” katanya kepada Han Sin.

Pemuda ini mendongkol. ”Mereka benar-benar tak kenal aturan,” katanya. Mendengar nada suara Han Sin, Siauw-ong melompat turun dan mengeluarkan suara menantang sambil memandang ke arah empat orang yang datang seperti terbang cepatnya.

Betul dugaan Li Hoa. Yang datang adalah tiga orang pengemis yang mereka jumpai di rumah makan tadi, bersama seorang kakek pengemis yang yang memegang tongkat pendek sekali, hanya satu kaki pendeknya dan di tangan kirinya memegang sebuah mangkok dari emas! Benar-benar amat aneh, seorang pengemis berpakaian butut memegang mangkok emas yang mahal.

Hati Li Hoa terkejut melihat tongkat yang pendek itu dan mangkok emas. Celaka, pikirnya. Kiranya yang datang adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang sendiri! Heran dia mengapa ketua yang biasanya berada di Sin-yang ini tahu-tahu muncul di sini. Ia tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedangnya dan menanti dengan waspada.

Tiga orang pengemis itu ketika berhadapan dengan Li Hoa dan Han Sin memandang dengan mata mendelik, terutama kepada Han Sin. Sebaliknya pengemis tua yang memegang tongkat pendek dan bertubuh tinggi kurus itu menjura sambil tertawa. ”Hebat, murid-muridku yang bodoh telah mendapat pengajaran ji-wi yang muda. Benar-benar mengagumkan sekali bagaimana jaman sekarang yang muda-muda mengalahkan yang tua. Sayang seribu sayang, bakat-bakat yang baik tersesat dan menerima menjadi kaki tangan penjajah!” Kakek itu menarik napas panjang dan kelihatan benar-benar menyesal. Diam-diam Han Sin merasa suka kepada kakek ini dan dari ucapannya dapat diduga memiliki jiwa patriotik.

Dengan pedang melintang di depan dada dan sikapnya gagah, Li Hoa berkata kepada kakek ini. ”Kalau aku tidak salah, lo-enghiong adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang. Aku yang muda tidak ada urusan dengan lo-enghiong maupun dengan Sin-yang Kai-pang. Kalau lo-enghiong mau bicara tentang negara, bukan urusanku, kalau mau bicara tentang lima orang anggautamu di Cin-an bicaralah dengan ayahku. Kenapa orang-orangmu mendesak aku yang muda?”

Kakek pengemis itu tertawa bergelak. ”Ha ha ha, Thio-siocia benar-benar pandai bicara dan bermata awas. Memang benar aku Kui Kong yang memimpin Sin-yang Kai-pang! Ayahmu seorang perwira yang pandai, sayang menghambakan diri kepada pemerintah penjajah. Kau sebagai puterinya, setelah bertemu dengan para pembantuku seharusnya dengan baik-baik ikut untuk mengemukakan pembelaan dirimu di depanku, akan tetapi kau malah menghina mereka. Hemm, sebagai murid Coa-tung Sin-kai kau tentu memiliki ilmu silat yang baik. Dan pemuda ini siapakah? Aku belum mendengar Thio-ciangkun mempunyai seorang mantu.”

Merah wajah Li Hoa, apalagi kalau ia teringat akan ucapannya sendiri kepada Han Sin untuk membelikan sepatu dan ucapan ini didengar oleh tiga orang pengemis itu. Ia menjadi marah dan menjadi ketus, ”Dia ini sahabatku dan lebih-lebih tidak ada urusan dengan kaum Sin-yang Kai- pang. Harap lo-enghiong jangan mengganggu kami dan biarkan kami pergi.”

”Ha ha, nona merendahkan diri. Setelah berani menghina kawan-kawanku, tentu berani menghadapi lohu. Gerakan pedangmu, hendak kulihat sampai di mana lihainya ilmu silat murid Coa-tung Sin- kai!” Kakek itu lalu menggerakkan tongkatnya yang pendek dan terdengar suara angin menderu, tanda bahwa tenaganya amat besar. 16. Dedengkot Iblis Hoa Hoa Cinjin

“KECUALI kalau nona mau mengaku salah dan minta maaf, tentu lohu tidak ada hati mengganggu orang muda.”

Li Hoa adalah seorang gadis yang keras hati dan berani. Biarpun ia maklum akan lihainya orang ini, mana dia mau minta maaf? Iapun memasang kuda-kuda dan menjawab, ”Orang she Kui jangan kira aku Thio Li Hoa takut akan gertakanmu!”

”Bagus! Kausambutlah seranganku!” Kakek ini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan tongkat di tangan kanan dan mangkok di tangan kiri, melakukan serangan yang amat hebat, didahului sambaran angin yang keras.

Li Hoa kaget sekali. Benar-benar ia menghadapi serangan yang luar biasa sehingga ia hanya melihat bayangan mangkok yang berkilauan saling susul dengan bayangan tongkat pendek yang amat cepat gerakannya. Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis mangkok sehingga menimbulkan suara nyaring, akan tetapi tongkat telah menyusul ke arah mukanya sehingga tidak ada lain jalan bagi Li Hoa kecuali melempar tubuh ke belakang sampai ia terhuyung-huyung dengan muka pucat. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan jurus yang demikian hebatnya.

Terdengar seruan kaget dan Han Sin sudah melompat maju. Pemuda ini kaget sekali karena mengenal jurus tadi. Itulah jurus Pak-hong-hui-lam (Angin Utara Terbang ke Selatan) sebuah jurus pertama dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dari gurunya, Ciu-ong Mo-kai!

”Seorang tua menggunakan Pak-hong-hui-lam menyerang yang muda, benar-benar keterlaluan!” serunya marah. Kalau pengemis ini sudah bisa mainkan jurus pertama dari Liap-hong Sin-hoat, tidak boleh tidak tentu ada hubungannya dengan Ciu-ong Mo-kai, tapi kenapa begini tidak tahu malu menyerang seorang nona yang sudah mengalah?

Di lain pihak, ketua Sin-yang Kai-pang itu terkejut setengah mati mendengar seruan Han Sin. Jurus ini baru sekarang ia keluarkan karena menganggap bahwa nona Thio tidak boleh dipandang ringan. Padahal jurus itu adalah kepandaian simpanannya dan ilmu silat Liap-hong Sin-hoat, baru beberapa jurus saja ia pelajari karena memang Ciu-ong Mo-kai hanya mewariskan seluruhnya kepada Bi Eng dan Han Sin.

Akan tetapi Kui Kong masih ragu-ragu. Ia telah mendengar dari tiga orang kawannya bahwa pemuda ini memang seperti tolol akan tetapi sebetulnya lihai. Biarpun begitu, dari mana bisa mengenal jurusnya tadi? Ia mencoba lagi, kini mainkan jurus kedua, tidak menyerang Li Hoa, melainkan ia maju menyerang Han Sin, lebih hebat serangannya ini sampai dua senjatanya itu terputar dan mendatangkan hawa pukulan seperti angin lesus!

Sekali lihat saja Han Sin sudah tahu bahwa orang ini kembali menggunakan Liap-hong Sin-hoat jurus kedua. Tentu saja ia yang sudah hafal akan ilmu ini, tahu betul bagaimana harus menghindarkan diri. Dalam hal ilmu sakti Liap-hong Sin-hoat, kakek itu masih boleh berguru kepadanya. Tahu bahwa tangan kiri lawan tentu akan menyerang pundak kirinya dan tangan kanan lawan akan menghantam kaki kanan, ia melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh menyembunyikan pundak kiri. Gerakannya ini otomatis dan kelihatannya seenaknya bukan seperti orang bersilat, lebih menyerupai orang takut dan mundur-mundur. Akan tetapi serangan hebat itu benar-benar mengenai angin!

”Kui lo-enghiong, Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun) tadi kurang sempurna, kalau orang tua she Tang melihatnya, kau pasti disemprot!” kata Han Sin. Tiba-tiba Kui Kong berdiri tegak, matanya memandang penuh arti. Mulutnya berkemak-kemik dan matanya berkedip-kedip seperti lagi ”main mata” dengan Han Sin. Pemuda ini membelalakkan matanya, mengangkat pundak karena heran dan tidak mengerti. Sebetulnya kakek itu yang kaget mendengar ucapan Han Sin tadi. Segera menganggap pemuda ini segolongan, apa lagi sudah menyebut-nyebut orang tua she Tang. Maka ia memberi tanda rahasia dengan bibir dan matanya.

Akan tetapi tentu saja Han Sin tidak mengerti.

”Laote, kau ber she apakah?” kakek itu lalu bertanya, suaranya kini penuh hormat.

”Siauwte she Cia. Harap lo-enghiong sudi mengalah dan jangan terlalu mendesak nona Thio. Kalau dilihat orang lain apakah tidak memalukan kalau seorang tua berkedudukan tinggi seperti kau mendesak seorang gadis muda?”

”Lohu salah ..... terima salah ” kata kakek itu merendah sambil membungkuk-bungkuk.

Kemudian kembali ia memandang dengan mata berkedip-kedip dan melihat tidak ada ”reaksi” apa- apa dari pemuda itu, ia lalu berkata.

”Bagaimana mungkin seekor domba berkawan seekor srigala?”

Tentu saja Han Sin makin heran dan makin tidak mengerti. Ia anggap orang telah bicara kacau- balau tidak karuan. Akan tetapi agar jangan memperlihatkan bahwa ia tidak mengerti, ia menjawab saja seenaknya.

”Tentu saja mungkin karena ada kakek-kakek tua menghina orang-orang muda.”

Jawaban ini kembali membuat ketua Sin-yang Kai-pang itu melengak. Ia mencoba untuk menatap wajah pemuda aneh itu dengan tajam, akan tetapi segera ia menundukkan mukanya ketika matanya terbentur sinar mata yang luar biasa kuat dan tajam berpengaruh dari mata pemuda itu. Akhirnya ia berkata, ”Lohu bersalah ... terima salah ” Lalu ia mengeloyor pergi mengajak tiga orang

kawannya yang saling pandang dengan penuh keheranan. Sebentar saja empat orang itu sudah lenyap dari tempat itu.

Semenjak tadi Li Hoa memandang semua ini dengan heran dan penuh kekuatiran. Ia takut kalau- kalau pemuda itu celaka di tangan ketua Sin-yang Kai-pang yang lihai itu, maka biarpun ia tahu bahwa tidak mudah melawan Kui Kong, namun gadis ini menggenggam pedangnya erat-erat di tangan kanan dan menyiapkan tiga batang piauw di tangan kiri untuk melindungi Han Sin.

”Eh, apa-apaan kau tadi? Kenapa mereka mengeloyor pergi?” tanya gadis ini sambil menghampiri Han Sin yang masih berdiri mematung.

Han Sin angkat pundaknya. ”Aku sendiripun tidak tahu. Kakek itupun seperti yang lain-lain hanya seorang badut yang tidak lucu,” jawabnya. Sebetulnya Han Sin sudah dapat menduga bahwa karena melihat dia paham Liap-hong Sin-hoat, tentu pengemis tua itu menganggap dia seorang tokoh kai- pang pula di selatan atau setidaknya mempunyai hubungan baik dengan Ciu-ong Mo-kai, maka kakek itu mengalah dan pergi. Hanya ia masih tidak mengerti apa artinya ”domba berkawan srigala” tadi?”

Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi, suara lengkingan ketawa yang aneh dan menggetarkan kalbu. Han Sin terkejut bukan main karena ia merasa jantungnya berguncang. Cepat ia menenangkan pikiran dan mengirim hawa panas dari pusarnya ke dada untuk melindungi isi dadanya. Ia melihat Li Hoa pucat dan menggigil, lalu gadis ini meramkan mata menahan napas, terang sekali sedang mengerahkan lweekang untuk menahan pengaruh pekik yang dahsyat itu. Setelah pekik melengking itu lenyap dan tinggal gemanya yang panjang, gadis itu membuka matanya dan dengan muka pucat ia menyambar lengan Han Sin diajak lari. Siauw-ong sejak tadi sudah ketakutan dan meloncat ke pundak pemuda itu.

”Eh eh, ada apa lari-lari seperti dikejar setan?” tanya Han Sin.

”Memang dikejar setan!” jawab Li Hoa, heran sekali suara gadis ini gemetar ketakutan. ”Kalau dia bisa menyusul kita, celaka !” dan ia lari makin keras menyeret tangan Han Sin. Saking takutnya,

gadis itu tidak menghiraukan lagi ke mana mereka lari dan karenanya ia memilih jalan yang paling enak, membelok ke kiri memasuki sebuah dusun kecil.

Han Sin tak sempat bertanya lagi, dan memang dia tidak tahu keadaan dunia kang-ouw maka ia menurut secara membuta saja. Kalau gadis ini begitu ketakutan, tentu ada bahaya yang luar biasa besarnya. Diam-diam ia mengeluh. Lebih enak berdiam di Min-san tidak memasuki dunia ramai, pikirnya. Ternyata dunia begini penuh manusia-manusia buas yang jahat sehingga dari tiap sudut dan pada setiap detik ada bahaya mengancam!

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang amat nyaring, suara yang serak seperti suara burung gagak atau ular besar. ”Mana orang she Cia? Kalau ada lekas berhenti!”

”Aduh, siapa setan itu ?” Han Sin bertanya sambil lari tersaruk-saruk karena tadi kakinya

tersandung batu ketika Li Hoa menyeretnya makin kencang.

”Dia Hoa Hoa Cinjin dan .... aduh !” Gadis itu menjerit dan terhuyung, tapi masih terus lari

sambil menyeret tangan Han Sin. Pemuda ini melihat pundak gadis itu mengeluarkan darah, membasahi bajunya. Ternyata entah dari mana datangnya, sebuah jarum berwarna hijau telah menancap pada pundak gadis itu. Orang dapat menyerang dari jarak jauh sebelum kelihatan bayangannya, benar-benar menandakan betapa hebat dan tingginya kepandaian orang itu.

”Lekas, kita cari tempat sembunyi ” Suara gadis itu lemah dan mukanya pucat, sama sekali tidak

perdulikan luka dipundaknya.

Li Hoa memasuki sebuah rumah gubuk seorang petani. Penghuni rumah itu, seorang laki-laki dan seorang wanita yang sedang menggendong seorang anak laki-laki berusia tiga tahunan, kaget setengah mati ketika pintu rumah mereka tiba-tiba terbuka dan masuk dua orang muda yang membawa seekor monyet. Secepat kilat Li Hoa merampas bocah cilik itu, menotok jalan darah di leher yaitu urat gagu sehingga bocah itu tidak bisa menangis, lalu berkata penuh ancaman sambil mencabut pedang.

”Kalau ada orang datang mencari kami, bilang tidak ada. Kalau kalian mengaku, anak kalian akan kubunuh lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Li Hoa menyeret tangan Han Sin memasuki kamar tidur suami isteri itu. Karuan saja sepasang suami isteri tani itu melongo dengan muka pucat sekali, akan tetapi melihat anak mereka sudah berada dalam gendongan nona yang cantik itu, terpaksa mereka mengangguk-angguk dengan tubuh gemetar.

Han Sin tidak setuju sekali melihat sepak terjang Li Hoa yang dianggapnya keterlaluan dan kejam. Masa minta tolong orang untuk bersembunyi menggunakan ancaman malah merampas anak orang? Akan tetapi ia telah diseret masuk dan ”bluss”! Gadis itu menariknya masuk ke kolong pembaringan dan mereka meringkuk di bawah pembaringan seperti tikus-tikus bersembunyi!

”Li Hoa, kenapa ” ”Sssttt ” Gadis itu menggunakan tangan menutupi mulutnya dan Han Sin terpaksa diam diri.

Siauw-ong sudah turun dan hendak keluar dari pembaringan, akan tetapi melihat sikap Li Hoa, Han Sin lalu menariknya kembali. Akhirnya monyet itu dengan mulut dimonyongkan karena tak senang terpaksa duduk meringkuk di tempat yang tidak enak itu. Bocah yang dirampas tidak dapat menangis dan kini didekap oleh Li Hoa yang memepetkan tubuhnya pada Han Sin.

Han Sin mendengarkan. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang menegangkan dan meremas jantung. Seakan-akan terdengar jantung mereka berdebar-debar dan napas mereka terengah-engah.

Tiba-tiba terdengar suara keras di luar. ”Braakkk!” Terang sekali suara daun pintu dipukul pecah, disusul jerit ketakutan suami isteri petani. Lalu terdengar suara yang parau kasar menusuk telinga. ”Ayoh kalian bilang, apakah tadi melihat seorang pemuda membawa seekor monyet lalu di sini?”

Han Sin merasa betapa tubuhnya didekap tubuh lain yang hangat dan halus, tubuh itu gemetar seperti seekor kelinci tertangkap. Hidungnya mencium bau yang amat harum dan lehernya agak keri (geli) karena sesuatu yang halus tebal menyentuh-nyentuh lehernya. Keadaan di kolong itu gelap sehingga ia tidak dapat melihat nyata. Akan tetapi ia tahu bahwa Li Hoa dan yang menyentuh lehernya adalah rambut gadis itu. Dalam takut dan gelisahnya agaknya gadis itu lupa segala.

Berdebar jantung Han Sin. Dia merasai ketakutan dan kegelisahan seperti gadis itu, pikirannya masih terang maka keadaan begini tentu saja menimbulkan perasaan yang tidak karuan dalam hatinya. Memang pada dasarnya Han Sin adalah seorang pemuda romantis, mungkin darah ayahnya menurun kepadanya, maka ketika merasa betapa gadis itu mendekapnya, ia jadi ”melek meram” dan berusaha menahan guncangan-guncangan jantungnya yang menjadi gedebak-gedebuk tidak puguh (tidak karuan).

”Tidak ..... tidak ada pemuda yang loya cari itu     ” terdengar pak tani menjawab takut.

”Jangan bohong kau!”

”Loya, mohon ampun ........ kami benar-benar tidak tahu, tidak melihatnya ” isterinya membantu.

”Awas kalau kugeledah dan ada      kalian akan kuhancurkan kepalamu!”

Mendengar begini, timbul jiwa kesatria di hati Han Sin. Tidak boleh setan itu membunuh orang karena dia. Ia lalu merayap keluar dari kolong dan berdiri dalam kamar, siap berlari keluar. Akan tetapi Li Hoa juga melompat dan tahu-tahu gadis ini sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan, sikapnya melindunginya! Gadis itu berdiri menghadapi pintu kamar yang tertutup dan Han Sin berdiri di belakangnya. Melihat sikap gadis ini, Han Sin terharu. Terang bahwa gadis ini hendak melindunginya.

“Loya, mana kami berani membohongimu? Kami bersumpah    ”

“Sudah tidak perlu cerewet. Kalau pemuda itu hilang di dusun ini, semua orang dusun ini akan ku basmi!” Keadaan menjadi sunyi kembali dan dapat diduga bahwa setan itu sudah pergi meninggalkan rumah gubuk dan mencari ke lain tempat.

Li Hoa mengeluarkan napas panjang, lalu tubuhnya lemas dan tahu-tahu ia sudah pingsan dan tentu terguling kalau Han Sin tidak cepat-cepat memeluknya. Pemuda itu melihat muka gadis itu pucat sekali, akan tetapi dalam pingsannya masih memondong bocah itu. Han Sin lalu mengangkat Li Hoa, dibaringkan di atas tempat tidur, lalu ia melepaskan bocah dari pelukan Li Hoa. Ketika melihat pundak gadis itu, ia menjadi gelisah sekali. Jarum itu masih menancap dan di sekitar luka terdapat bengkak yang hitam menghijau, tanda keracunan!

Han Sin teringat ketika ia terluka oleh paku yang dilepas oleh pengemis kawan gadis ini. Maka tanpa ragu-ragu ia lalu mencabut jarum dari pundak gadis itu dan keluarlah darah hitam semu hijau. Ia bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus mengobati luka itu. Pada saat itu suami isteri petani memasuki kamar dengan muka pucat. Melihat anaknya menggeletak di tempat tidur di samping nona yang pingsan, ibu itu lalu menyambar anaknya.

”Nanti dulu, biar kupulihkan dia,” kata Han Sin sambil membebaskan totokan di leher bocah itu. Bocah itu lalu menangis, akan tetapi ibunya cepat mendekap mulutnya, lalu bersama suaminya mereka lari dari pintu belakang.

Han Sin tidak perdulikan mereka, sibuk mengurus Li Hoa yang masih pingsan. ”Siauw-ong, kau jaga di pintu kamar, kalau ada orang jahat, kau serang dia,” kata Han Sin. Kemudian ia merobek pakaian gadis itu di bagian pundak yang terluka. Dalam keadaan seperti itu ia tidak memperhatikan betapa kulit pundak gadis itu putih halus dan di lain saat pasti akan membuat dia merasa malu dan jengah.

Karena ia dapat menduga bahwa luka itu beracun, ia lalu membungkuk dan menggunakan mulutnya menyedot keluar darah dari luka itu. Ia merasa mulutnya getir dan pedas, akan tetapi ia tidak perduli dan menyedot terus. Aneh sekali, begitu ia menyedot, darah dari luka itu menyembur keluar memenuhi mulutnya. Cepat ia meludahkan darah yang agak kehijauan, lalu menyedot lagi. Baru menyedot dua kali saja, ia merasai darah yang asin-asin manis dan ketika ia mengangkat mulutnya yang penuh darah, luka itu sudah menjadi merah dan darah yang keluar dari luka itu juga sudah merah.

Hatinya lega sekali ketika ia meludahkan darah untuk kedua kalinya. Biarpun ia tidak mengerti pengobatan, tapi melihat luka itu sudah merah darahnya, ia dapat menduga bahwa racun itu tentu sudah terhisap keluar. Namun ia masih penasaran dan membungkuk untuk menyedot sekali lagi.

Selagi ia menyedot, tubuh gadis itu bergerak, merintih perlahan dan tiba-tiba berontak dan .....

”plak! plak! plak!” tiga kali pipi Han Sin digaplok keras sekali oleh Li Hoa.

”Kau .... kau mau apa? Kurang ajar !” Muka yang tadinya pucat itu kini menjadi merah sekali,

mata yang indah itu berapi-api.

Han Sin melongo dan memandang bodoh. ”Aku hanya menghisap keluar racun di lukamu. Kalau kau menganggap itu kurang ajar, terserah. Niatku hanya menolong, lain tidak ”

”Kau .... kau telah merobek pakaianku ..... kau telah me .... melihat pundakku malah

menciumnya ... kau .... kau aku bisa membunuhmu!” Gadis itu meloncat turun dan menyambar

pedangnya.

Han Sin tersenyum pahit. ”Lukamu memang di pundak, kalau tidak merobek baju di pundak, bagaimana bisa memeriksanya? Menghisap darah memang dengan mulut, kalau tidak ....

menempelkan bibir pada pundak, bagaimana bisa menghisapnya?” ”Kau ..... kau ” Li Hoa lalu menangis.

”Aneh bin ajaib ” Han Sin mengomel panjang pendek. Pada saat itu terdengar jerit-jerit

mengerikan di luar rumah. Mendengar ini, Han Sin teringat akan ”setan” yang oleh Li Hoa disebut bernama Hoa Hoa Cinjin. Nama ini sudah dikenalnya karena pernah Ciu-ong Mo-kai menyebutnya sebagai nama yang harus dihadapi dengan hati-hati karena mungkin orang inilah yang dulu membunuh orang tuanya. Kini mendengar jerit-jerit mengerikan itu ia menduga tentu setan itu menganiaya orang-orang dusun, maka ia segera melompat keluar disusul oleh Siauw-ong.

Akan tetapi sebelum ia keluar dari pintu depan, tangannya ditarik orang dan Li Hoa sudah berada disampingnya dengan pedang di tangan. ”Jangan keluar, bahaya maut mengancam di luar ”

Han Sin mengangkat pundak. ”Apa salahnya? Matipun sudah patut bagi seorang laki-laki kurang ajar.”

Mata Li Hoa yang tadinya terbelalak takut itu menjadi basah. ”Han Sin .... kau maafkan aku tadi ...

aku ... aku jangan kau keluar. Biar aku menjagamu di sini.”

Han Sin tidak tega memaksa. Mereka lalu mengintai dari balik dinding bilik rumah gubuk itu dan melihat kejadian yang hebat di dalam dusun. Ternyata ”setan” itu yang sebetulnya seorang kakek yang menakutkan, kakek berpakaian tosu yang wajahnya menyeramkan dan galak, tinggi besar dengan pedang di punggung, mengamuk di dusun dan membunuhi keluarga dusun yang tidak berapa banyak itu. Dusun kecil itu hanya mempunyai enam buah rumah gubuk dan semuanya kini dibasmi oleh Hoa Hoa Cinjin yang marah-marah karena tidak menemukan Han Sin! Benar-benar seorang yang berhati buas dan kejam sekali di samping kepandaiannya yang luar biasa.

Ketika itu, dari luar dusun terdengar suara roda dan tahu-tahu sebuah kereta dorong telah memasuki dusun dengan kecepatan luar biasa. Seorang nenek duduk di dalam kereta dorong itu dan seorang pemuda tampan mendorongnya dari belakang. Pada saat itu, Hoa Hoa Cinjin yang sedang mengamuk sedang menghampiri rumah gubuk di mana Han Sin dan Li Hoa bersembunyi, bermaksud hendak membasmi seisi rumah. Akan tetapi melihat datangnya nenek dalam kereta dorong, ia tidak jadi masuk rumah, malah segera menghadang di jalan.

Nenek dan pemuda itupun terkejut sekali melihat tosu itu.

”Hoa Hoa Cinjin si keparat! Kebetulan sekali kau berada di sini, tidak susah-susah lagi aku mencarimu!” terdengar nenek itu berteriak dengan suara melengking tinggi.

Hoa Hoa Cinjin melengak, bibirnya menyeringai di balik kumisnya.

”Kau siapa?” tanyanya ragu-ragu karena memang tidak mengenal wanita setengah tua yang duduk di kereta.

”Bangsat tua, lupakah kau kepada guruku Koai-sianjin Bhok Kim?”

Tiba-tiba tosu tua itu tertawa bergelak, suara ketawanya melengking nyaring dan kembali Li Hoa dan Han Sin harus mengerahkan lweekang untuk menolak pengaruh suara menyeramkan ini. ”Ha ha ha, kiranya murid Koai-sianjin? Jadi kau yang dijuluki orang Ang-jiu Toanio? Ha ha, sudah lama pinto mendengar kau hendak mencariku untuk membalas dendam? Nah, sekarang pinto sudah di sini, kau boleh menyusul nyawa gurumu!” Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju dan secepat kilat memukulkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah kereta dorong.

”Krakkkk !!” Suara keras ini disusul dengan hancurnya kereta dorong seolah-olah kereta dorong

itu diledakkan dan menjadi hancur berkeping-keping. Adapun Ang-jiu Toanio dan pemuda itu yang bukan lain adalah Yan Bu puteranya, cepat mempergunakan ginkang mereka, melayang ke atas menghindarkan diri dari pukulan maut ini. Indah gerakan mereka, apalagi Ang-jiu Toanio yang tadinya duduk ternyata sekarang sudah melompat ke atas dengan kedudukan telentang, tapi sekali ia membalik, tubuhnya menukik ke bawah dan mencengkeram kepala tosu itu dengan kedua tangan yang sudah berubah merah.

Kenapa Yan Bu bersama ibunya bisa muncul di tempat itu? Untuk mengetahui ini, baik kita mundur sebentar untuk mengikuti pengalaman Yan Bu, pemuda yang simpatik ini.

Seperti telah kita ketahui, ketika Han Sin diserang oleh Balita di gunung Cin-ling-san, Yan Bu muncul dan menolongnya. Yan Bu memenuhi permintaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang membetot semangatnya, untuk mencari dan menolong Han Sin dari Cin-ling-pai. Akan tetapi ternyata ia mendapatkan Cin-ling-pai sedang geger dan kacau karena diserang oleh kaki tangan pemerintah. Yan Bu tidak mau mencampuri urusan ini dan mencari Han Sin yang akhirnya ia jumpai sedang diancam oleh Balita.

Biarpun Yan Bu telah mewarisi ilmu kepandaian yang tinggi, terutama ginkang dan ilmu golok dari suhunya, Yok-ong Phoa Kok Tee, namun menghadapi Balita ia masih kalah segala-galanya. Puteri Hui yang lihai ini bukan lawannya dan terpaksa ia memancing Balita meninggalkan Han Sin untuk menolong nyawa kakak dari gadis yang dikasihinya itu. Ia melawan sambil berlari, melawan lagi kalau tersusul, dan lari lagi kalau ada kesempatan. Dengan cara demikian, ia dapat membikin Balita menjadi marah, penasaran dan terus mengejarnya. Mereka berkejaran sampai turun gunung dan akhirnya saking lelah, Yan Bu tak dapat lari lagi dan terpaksa ia melakukan perlawanan mati- matian.

Dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba muncul Ang-jiu Toanio! Ternyata nyonya ini ketika ditinggal oleh puteranya, dalam hati merasa tidak tega dan diam-diam lalu menyusul. Baiknya ia datang pada saat yang amat tepat. Melihat puteranya terdesak hebat dan hampir tidak kuat lagi menghadapi tongkat tulang ular di tangan Balita, ia lalu menyerbu sambil memaki-maki.

Melihat munculnya Ang-jiu Toanio, Balita tahu bahwa menghadapi keroyokan ibu dan anak itu terlalu berbahaya baginya. Kalau hanya menghadapi Ang-jiu Toanio seorang saja, ia tidak gentar dan sanggup mengalahkannya. Akan tetapi putera Ang-jiu Toanio ini memiliki ilmu golok luar biasa dan kalau dia dikeroyok, dia bisa celaka. Apalagi dia memang tidak mempunyai permusuhan dengan ibu dan anak ini, maka sambil tertawa mengejek ia lalu melarikan diri, kembali ke tempat di mana tadi ia meninggalkan Han Sin. Akan tetapi ternyata pemuda itu telah lenyap.

Yan Bu dengan singkat menuturkan kepada ibunya tentang pengalamannya dan tentu saja dia tidak bicara terus terang bahwa dia jatuh hati kepada Bi Eng. Hanya ia ceritakan bahwa ia telah berhasil mencari Han Sin putera Cia Sun, akan tetapi di sana ada Balita sehingga ia tidak sempat menanyakan tentang surat wasiat, juga tidak sempat bicara dengan pemuda she Cia itu.

Ang-jiu Toanio membanting-banting kakinya. ”Sayang sekali! Ayoh kita kembali ke sana dan cari dia!”

Seperti juga Balita, Ang-jiu Toanio dan puteranya itu tidak bisa mencari Han Sin. Akhirnya Yan Bu mengajak ibunya kembali ke sungai Wei-ho untuk menemui Bi Eng. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk melindungi gadis itu apabila ibunya hendak berlaku keras. Akan tetapi, juga di tepi sungai Wei-ho dia tidak melihat Bi Eng. Lalu bersama ibunya ia mencari terus sehingga ia sudah sampai di pegunungan Lu-liang-san dan kebetulan bertemu dengan Hoa Hoa Cinjin yang sedang mengamuk dan membasmi semua penduduk sebuah dusun kecil. Seperti dulu, Yan Bu yang berbakti tidak tega melihat ibunya berjalan lalu membuatkan sebuah kereta dorong yang kini dengan sekali pukul dihancurkan oleh tosu sakti musuh besar ibunya itu. Kembali ke dusun itu. Biarpun kelihatan lemah, Ang-jiu Toanio masih merupakan orang yang berilmu tinggi. Pukulan-pukulannya yang disertai tenaga Ang-see-jiu merupakan pukulan beracun yang dapat merenggut nyawa lawan. Juga ginkangnya amat hebat sehingga tidak mudah bagi Hoa Hoa Cinjin untuk mengalahkan nyonya ini dalam waktu singkat. Apalagi di situ ada Yan Bu yang tentu saja tidak membiarkan ibunya menghadapi musuh besar ini seorang diri. Pemuda ini sudah mencabut goloknya dan menyerbu dengan tikaman dan bacokan maut.

Pertempuran hebat terjadi dan sepak terjang Hoa Hoa Cinjin benar-benar dahsyat sekali. Tosu sakti ini tidak mencabut pedangnya, akan tetapi pukulan-pukulan tangan dan lengan bajunya mendatangkan angin bersiutan dan debu mengebul tinggi, tanda bahwa kakek ini sudah memiliki tenaga lweekang yang sukar diukur tingginya. Matanya yang bersinar-sinar seperti mata iblis itu makin mengerikan dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan suara ketawa mengejek.

”Ha ha ha, murid Koai-sianjin Bhok Kim ternyata hanya seorang wanita berpenyakitan dan lemah,” katanya sambil mendesak hebat. Memang benar, Ang-jiu Toanio tidak dapat berbuat banyak menghadapi tosu ini. Pukulan Ang-see-jiu, yang biasanya amat ampuh dan dengan sekali pukul dari jarak jauh saja sudah dapat merobohkan seorang lawan, kini menghadapi Hoa Hoa Cinjin seperti tidak ada artinya lagi. Hawa pukulan Ang-see-jiu mental kembali begitu terbentur oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan tosu sakti itu. Sebaliknya, desakan-desakan Hoa Hoa Cinjin membuat Ang-jiu Toanio repot sekali dan beberapa kali sambaran hawa pukulan tosu ini membuat dia terhuyung-huyung.

Melihat betapa ibunya didesak, dengan nekat Yan Bu mainkan goloknya dan Hoa Hoa Cinjin sampai berseru kagum. ”Hebat ilmu golok dari Yok-ong. Tapi, bocah, jangan kaukira pinto jerih menghadapinya. Ha ha ha!” Secepat kilat, dengan ilmu silat Kong-jiu-coan-to (Tangan Kosong Terjang Golok) ia memapaki serangan pemuda itu. Akan tetapi tosu ini berseru kaget ketika golok pemuda itu tiba-tiba menyambar dan hampir saja lengan kanannya terbabat kalau ia tidak lekas- lekas menarik kembali. Keringat dingin membasahi jidatnya dan diam-diam ia harus akui bahwa ilmu golok dari Yok-ong ini benar-benar lihai dan tidak terduga gerakannya.

Ia berseru keras sekali, ujung lengan bajunya menyambar dengan tangan tersembunyi di dalamnya. Ujung lengan bajunya yang lemas ini begitu membentur golok terus melibat dan tangan yang tersembunyi di dalamnya secara tiba-tiba menangkap keluar dan di lain saat golok pemuda itu telah dapat ia rampas!

Pada saat itu Ang-jiu Toanio menyergap dari samping dengan pukulan Ang-see-jiu. Sambil tertawa Hoa Hoa Cinjin menggunakan golok rampasannya untuk menangkis pukulan sambil membabat tangan.

”Krakk!” Golok itu terlempar dan gagangnya yang terbuat dari pada kayu telah remuk di tangan Hoa Hoa Cinjin. Kalau bukan golok mustika, tentu akan patah-patah terpukul Ang-see-jiu. Biarpun golok terlempar oleh pukulan, namun saking kuatnya pegangan Hoa Hoa Cinjin, gagangnya tidak ikut terlepas malah hancur di tangannya, sedangkan tangan Ang-jiu Toanio yang tertekan golok luka berdarah. Hoa Hoa Cinjin mendesak maju dan totokan dengan ujung lengan bajunya membuat tubuh Ang-jiu Toanio terguling.

”Jangan ganggu ibu!” bentak Yan Bu sambil menubruk maju, namun sekali dupak pemuda itu terpental.

Sambil tertawa-tawa Hoa Hoa Cinjin melangkah maju, mengangkat tangan hendak memukul kepala nyonya yang sudah tak berdaya itu. Tangan diangkat, pukulan akan dijatuhkan, akan tetapi tiba-tiba ia membatalkan maksudnya. ”Hemmm, melihat muka dia, aku ampunkan nyawamu,” katanya perlahan. Tak seorangpun tahu siapakah yang dimaksud oleh tosu ini dengan sebutan ”dia” tadi. Pukulan ke arah kepala dibatalkan, sebaliknya ia lalu menghantam ke arah pundak kiri nyonya itu.

”Plakk!” Ang-jiu Toanio menjerit dan pingsan.

”Kau berani celakai ibu?” Yan Bu yang sudah bangun, menerjang lagi dengan marah, penuh kekuatiran melihat ibunya dipukul oleh tosu kejam itu.

Sambil mengelak, Hoa Hoa Cinjin membentak.

”Kalau kau tidak memiliki ilmu golok Yok-ong Phoa Kok Tee, apakah pinto sudi mengampunimu? Ayoh, kau lekas bawa ibumu mencari Yok-ong biar Raja Obat itu mencoba kepandaiannya. Dalam sepuluh hari kalau kau tidak bertemu dengan Yok-ong, ibumu akan mampus.”

Mendengar ini, Yan Bu tidak jadi menyerang lalu menubruk ibunya. Ia melihat wajah ibunya pucat sekali. Sebagai seorang murid Raja Obat, tentu saja Yan Bu mengerti ilmu pengobatan, maka ia cepat memeriksa pundak kiri ibunya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat ada tapak jari hitam menghijau di pundak itu, tanda bahwa ibunya telah terkena pukulan beracun yang lebih berat dari pada Ang-see-jiu! Dan ia maklum pukulan apakah ini.

”Manusia keji! Kau menggunakan Ceng-tok-ciang memukul ibu!” seru Yan Bu marah, gelisah dan sakit hati.

Hoa Hoa Cinjin membelalakkan matanya lalu tertawa. ”Ha ha, kau tidak percuma menjadi murid Yok-ong. Dalam sepuluh hari kau boleh mencarinya, akan tetapi kalau sudah bertemu, belum tentu gurumu itu becus mengobatinya. Ha ha ha!”

Yan Bu memondong tubuh ibunya. ”Hoa Hoa Cinjin, kau dulu membunuh guru ibuku, bagiku hal itu takkan kutarik panjang. Akan tetapi perbuatanmu terhadap ibu hari ini, kelak aku Phang Yan Bu pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!” Lalu pemuda itu berlari cepat sambil memondong tubuh ibunya.

Semenjak tadi hati Han Sin sudah panas dan marah sekali menyaksikan sepak-terjang Hoa Hoa Cinjin yang ganas. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang pemeluk agama To-kauw, ia makin pemasaran. Hanya karena ditahan oleh Li Hoa maka dia menyabarkan diri. Akan tetapi ketika ia melihat betapa kakek itu melukai Ang-jiu Toanio yang biarpun oleh Ciu- ong Mo-kai dianggap musuh ayahnya akan tetapi dalam pandangannya tidak lain hanya seorang wanita setengah tua yang berpenyakitan, dan melihat pula betapa kakek itu menghina Yan Bu, pemuda yang dianggapnya amat baik kepadanya dan pernah pula menolongnya ketika ia diserang Jin Cam Khoa Balita, Han Sin tak dapat menahan kesabarannya pula. Sebelum Li Hoa tahu dan sempat mencegah, Han Sin sudah melompat keluar, diikuti oleh Siauw-ong. Bukan main gelisahnya hati Li Hoa melihat ini dan terpaksa iapun melangkah keluar.

Hoa Hoa Cinjin yang sama sekali tidak menyangka, ketika melihat seorang pemuda tampan dengan tenangnya bersama seekor monyet keluar dari rumah gubuk itu, berdiri tercengang. Bukankah yang dia cari adalah seorang pemuda yang membawa-bawa seekor monyet? Dia belum pernah melihat Han Sin, hanya mendengar saja tentang pemuda ini. Dicari setengah mati, malah karena mencarinya ia tadi telah membunuh banyak penduduk dusun tanpa hasil. Eh, tahu-tahu orang yang dicarinya muncul dan menghampirinya. Keherannya ini ditambah lagi ketika ia melihat sikap dan mendengar kata-kata pemuda itu yang datang-datang menudingkan telunjuk kepadanya dan berkata marah. ”Eh, orang tua yang bernama Hoa Hoa Cinjin, kau benar-benar telah menyeleweng secara luar biasa sekali! Dandananmu adalah seorang tosu, kenapa sebagai seorang pendeta To-kauw begitu keji dan tidak mengenal prikemanusiaan? Apa kau sudah lupa bunyi permulaan ayat ke tiga puluh satu dari kitab Tok-tik-khing bahwa senjata merupakan alat kejahatan yang dijauhi oleh penganut To?

Apakah lupa bahwa guru besar Khong Hu Cu mengutamakan Jin-gi-lee-ti-sin yang menuntun jalan hidup manusia ke arah prikemanusiaan? Bagaimana pula ajaran guru besar Mo Ti yang menyuruh manusia cinta kepada sesama manusia tanpa perbedaan? Juga semua aliran, seperti aliran Im-yang, Hoat, malah Beng-kauw sendiripun tidak ada satu yang akan membenarkan perbuatan tadi. Untuk mencari aku seorang, kau membunuh-bunuhi rakyat tidak berdosa, kau malah melukai seorang perempuan setengah tua yang lemah dan berpenyakitan, hemm, coba jawab Hoa Hoa Cinjin, sebagai seorang tosu apakah perbuatanmu itu tidak menyeleweng?”

Han Sin bicara penuh nafsu, sepasang matanya bersinar-sinar sedemikian tajamnya sehingga diam- diam Hoa Hoa Cinjin kaget sekali karena dia sendiri yang memiliki sepasang mata yang tajam dan kuat, terpaksa harus tunduk menghadapi pengaruh dari sepasang mata bocah ini. Dan ia sampai melongo saking terheran-heran melihat pemuda yang dicarinya itu kini datang-datang memberi kuliah tentang filsafat-filsafat kuno dari pelbagai aliran demikian lancarnya! Keadaan ini biarpun membuat dia terheran-heran, namun begitu lucu baginya sehingga lupa ia akan marahnya, lupa bahwa dia telah dikuliahi seperti seorang murid oleh seorang bocah!

”Ha ha ha, kau lucu .....! Lucu !”

”Apanya yang lucu? Kau ini tosu tua jangan anggap perbuatan-perbuatanmu tadi sebagai hal remeh saja. Dosamu besar sekali. Akan tetapi tidak ada dosa yang tak dapat diampuni oleh Thian, asal saja yang berdosa itu memenuhi satu syarat, yaitu merasa bertobat dan menebus dosa-dosanya dengan pemupukan perbuatan baik dan menyenangkan serta menolong orang lain. Kalau kau bisa sadar dan berubah menjadi tosu yang baik, Hoa Hoa Cinjin, kelak aku Cia Han Sin akan menganggapmu betul-betul sebagai seorang yang bijaksana.”

Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin sudah menjadi marah kembali. Apa lagi ketika pemuda ini sudah memperkenalkan diri. Tadinya ia ragu-ragu apakah betul pemuda ini putera Cia Sun yang kabarnya sudah membunuh sutenya, Ban Kim Cinjin karena melihat pemuda ini seperti orang muda yang otaknya miring dalam pandangannya.

”Bocah, kau membunuh suteku saja sudah patut mampus. Sekarang kau berani membuka mulut besar menegur dan memberi nasehat kepadaku, benar-benar kau pantas mampus sepuluh kali!” Tosu ini dengan marah melangkah maju dan siap memukul.

”Hidup atau mati adalah urusan Thian, bagaimana kau tosu berdosa besar masih berani bicara tentang mati sepuluh kali?” Han Sin membentak, marah melihat orang yang dianggapnya terlalu jahat.

”Keparat, tutup mulutmu untuk selamanya!” Hoa Hoa Cinjin mengangkat tangannya. ”Totiang, tahan!” dan Li Hoa meloncat ke depan menghadapi tosu itu.

Hoa Hoa Cinjin memandang. ”Eh, kiranya Thio-siocia ” katanya terheran-heran dan mukanya

berubah. Memang ia tahu bahwa pemuda ini tidak hanya bersama seekor kera, juga kabarnya mempunyai seorang adik perempuan dan tadinya ia mengira pemuda ini bersama adiknya itu. Tidak tahunya sekarang muncul puteri Thio-ciangkun! ”Totiang, orang she Cia ini adalah tawananku, harap totiang jangan mengganggunya,” kata gadis itu dengan pandangan mata tajam.

Hoa Hoa Cinjin kelihatan bingung. ”Jadi selama ini kaukah yang bersama dia, siocia? Dan

ketika aku memukul seorang gadis disampingnya dari jauh ”

”Akulah orang itu. Kau telah melukai pundakku.”

Muka tosu itu menjadi merah. ”Ehh ....... celaka. Pinto salah lihat siapa sangka nona yang

bersama dia? Maaf, bocah ini yang menimbulkan malapetaka ini. Harap nona jangan salahkan pinto.”

Li Hoa tersenyum pahit. ”Tidak apalah. Sekarang harap totiang tinggalkan kami dan urusan orang ini berada di tanganku.”

”Tapi, nona ..... dia ini, dia anak Cia ”

”Aku sudah tahu. Totiang laporkan saja sudah berada di tanganku.” ”Dia ..... dia sudah membunuh Ban Kim Cinjin ”

“Itupun aku sudah tahu. Sudahlah, tinggalkan kami.” “Tapi, Thio-siocia ”

“Hoa Hoa Cinjin! Apakah setelah melukai pundakku, kaupun ada keberanian untuk memberontak?”

“Bukan ....... tapi dia yang menyuruhku Thio-siocia. Bocah ini berbahaya. Kalau sampai

terlepas lagi, tentu kita mendapat marah.”

“Siapa berani marah kepadaku? Tidak, totiang. Serahkan urusan ini kepadaku.”

Hoa Hoa Cinjin ragu-ragu. Han Sin terheran-heran melihat sikap Li Hoa. Ternyata gadis ini mempunyai pengaruh yang besar dan kelihatan sama sekali tidak takut menghadapi Hoa Hoa Cinjin. Akan tetapi kenapa tadi nona itu kelihatan ketakutan setengah mati ketika dikejar Hoa Hoa Cinjin? Rahasia apakah berada di balik semua kejadian ini?

Akhirnya Hoa Hoa Cinjin berkata, “Bagaimanapun juga, resikonya terlalu besar membiarkan bocah setan ini berkeliaran dan kau berada di dekatnya, nona Thio. Dia harus dibuat tak berdaya.” Setelah berkata demikian, secepat kilat tangannya bergerak ke arah Han Sin. Pemuda itu sama sekali tidak menyangka dirinya bakal diserang. Ia mengeluh dan roboh terguling.

17. Gadis Berkedok Putih.

“HOA HOA CINJIN ..... kalau kau bunuh dia !” Li Hoa melompat. Nona ini lalu menekuk lutut

dan memeriksa Han Sin yang sudah setengah pingsan, dadanya terasa sakit sekali. Akan tetapi ia masih dapat melihat dan mendengar dua orang itu bicara.

“Dia tidak mati. Akan tetapi dalam sepuluh hari dia akan mampus dalam keadaan menderita sekali. Pinto memberi waktu sepuluh hari, karena bukankah sebelum waktu itu kau bisa membawanya ke puncak? Di sana pinto akan menanti bersama dia yang akan memberi keputusan. Pinto lakukan ini demi keselamatanmu sendiri, nona. Nah, sampai ketemu!” Tosu itu hendak pergi tapi tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang tinggi kecil. Lengking ini menyerupai lengking yang suka dikeluarkan oleh Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi lebih tinggi dan menusuk telinga. Biarpun Han Sin sudah roboh hampir pingsan, jantungnya masih berdebar dan berguncang mendengar bunyi ini dan Li Hoa kelihatan terkejut sekali. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tertawa dan membalas dengan suara lengkingnya yang keras.

Tak lama kemudian berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ berdiri seorang gadis yang bertubuh ramping sekali berkulit putih halus, di punggungnya kelihatan gagang pedang. Akan tetapi kepala gadis ini ditutup kedok sutera putih yang tidak hanya menyembunyikan mukanya, malah seluruh kepalanya tersembunyi di dalam kedok yang bentuknya seperti sebuah kantong itu. Hanya di bagian mata diberi lubang sedikit dan dari balik kedok sutera itu bersinar sepasang mata yang bercahaya bening, mata seorang wanita cantik.

“Gi-hu, berhasilkah kau menangkap bocah she Cia?” terdengar suara gadis berkedok itu, suaranya juga merdu halus, tidak kalah oleh suara Li Hoa. Diam-diam Han Sin terheran-heran dan meremang bulu tengkuknya. Tidak nyana seorang gadis yang memiliki suara demikian empuk, memiliki potongan tubuh demikian ramping dan kulit demikian putih halus, kiranya adalah anak angkat seorang kejam dan jahat seperti Hoa Hoa Cinjin. Kalau ayah angkatnya sudah demikian keji, tentu perempuan inipun bukan orang baik-baik. Kedoknya saja sudah begitu menyeramkan, pikirnya.

“Ha ha, Hoa-ji, kau menyusulku? Bagus, memang aku mengharapkan kau dapat menyaksikan keramaian di puncak, hitung-hitung menambah pengalaman. Kau tanya tentang bocah she Cia? Itu dia, sudah kuhadiahi Tong-sim-ciang. Ha ha ha!”

Nona berkedok yang dipanggil Hoa-ji (anak Hoa) itu juga tertawa, suara ketawanya merdu sekali seperti orang bernyanyi. “Gi-hu (ayah angkat), kenapa tidak dimampuskan saja dan dirampas surat wasiatnya?”

Sambil berkata demikian, nona berkedok itu sekali menggerakkan tubuhnya yang langsing, tubuh itu melayang amat ringannya ke tempat Han Sin menggeletak. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar menatap ke wajah pemuda itu. Melihat ini Li Hoa serentak berdiri dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan kanan. Gadis ini dengan wajah keren tanpa kenal takut membentak.

“Siapa kau? Jangan sembarangan bergerak!” Sikapnya mengancam sekali. Tadi Li Hoa mendengar gadis berkedok ini menyebut “gi-hu” kepada Hoa Hoa Cinjin. Ia tidak pernah mendengar bahwa tosu kosen itu mempunyai anak angkat ataupun murid, akan tetapi ia dapat menduga bahwa gadis berkedok ini setelah menjadi anak angkat tosu itu, tentu juga kejam dan lihai sekali. Ia hanya dapat melihat sepasang mata yang berkilat-kilat ditujukan kepada Han Sin, tidak tahu bagaimanakah wajah gadis ini dan tidak dapat menduga pula pikiran apa yang terkandung di balik sepasang mata indah itu.

“Hoa-ji, jangan bunuh dia. Dia menjadi tawanan nona Thio yang tentu akan membawanya ke puncak Lu-liang-san. Nona Thio puteri Thio-ciangkun itu orang sendiri, bukan lawan,” terdengar Hoa Hoa Cinjin berkata.

Nona berkedok itu mengeluarkan suara mendengus, agaknya memandang rendah. Matanya mengerling sekilat ke arah Li Hoa, akan tetapi segera dialihkan kembali menatap wajah Han Sin. Pada saat itu, Han Sin sudah sadar betul dan pemuda ini kebetulan juga memandang kepadanya sehingga dua pasang mata itu bertemu. Nona berkedok meramkan matanya yang terasa pedas ketika bertemu dengan sinar mata pemuda itu yang luar biasa tajam berpengaruh. “Iiihh, Dia bermata iblis ” terdengar nona ini berseru, lalu mundur tiga tindak. Baru sekarang ia

menoleh dan menghadapi Li Hoa, kini pandang matanya menyelidik. Dipandangnya gadis she Thio itu dari kaki sampai ke rambutnya yang disanggul secara istimewa. Ia mengeluarkan suara ketawa kecil, akan tetapi suaranya penuh pujian ketika ia berkata, “Inikah nona puteri Thio-ciangkun yang membantu orang-orang Mancu, gi-hu? Cantik manis !”

Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. “Ha ha ha, Hoa-ji. Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi engkau ?” Tosu itu lalu berkelebat pergi dan nona berkedok itupun melesat cepat mengikuti gi-

hunya, dan dari jauh masih terdengar lengking ketawa mereka, satu keras parau dan yang satu lagi tinggi kecil dan nyaring.

“Hebat ” terdengar Li Hoa berkata seorang diri. “Agaknya tidak lebih tua dariku, akan tetapi

sudah memiliki khikang demikian tinggi. Sungguh hebat dan berbahaya ”

“Aduuhhh ...... hemm .... dingin !”

Li Hoa cepat membalikkan tubuh dan berlutut lagi di dekat Han Sin. Pemuda itu kelihatan menggigil kedinginan dan menekan-nekan perutnya.

“Bagaimana ? Sakitkah?” Li Hoa bertanya gelisah.

“Dingin sekali ....... seperti beku isi dada dan perutku ” kata Han Sin meringis menahan sakit.

Pemuda ini tadi terpukul oleh Hoa Hoa Cinjin yang menggunakan pukulan Tong-sim-ciang yang mengandung lweekang tinggi. Kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya, tentu jantungnya sudah tergetar dan rusak mendatangkan maut. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin sengaja menahan tenaganya, memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk hidup sepuluh hari lagi. Hanya Hoa Hoa Cinjin yang akan dapat mengobati pemuda ini, itupun akan memakan waktu lama sekali.

Pukulan Tong-sim-ciang ini mengandung tenaga “Yang” yaitu tenaga yang amat panas sehingga orang yang terkena pukulan ini akan merasa dirinya terbakar hidup-hidup dan jantung akan menjadi rusak karena darah berjalan terlalu cepat akibat hawa panas yang merasuk ke dalam jalan darah.

Akan tetapi, mengapa pemuda ini malah merasa dingin dan menggigil? Tentu saja kalau Hoa Hoa Cinjin masih berada di situ dan melihat keadaan Han Sin, tosu itu akan menjadi terheran-heran dan tidak mengerti.

Memang keadaan Han Sin tidak sama dengan orang-orang biasa. Dia telah minum darah ular Pek- hiat-sin-coa dan di dalam jalan darah di tubuhnya sudah mengalir sebagian dari pada darah ular itu. Maka begitu ia terkena pukulan yang tak disangka-sangkanya itu, racun pukulan yang bertemu dengan racun Pek-hiat-sin-coa, bertanding di dalam jalan darahnya dan racun Tong-sim-ciang itu segera berubah sifatnya, sebaliknya malah mendatangkan hawa dingin karena berubah menjadi hawa “Im” yang amat dingin. Akan tetapi hal ini tidak membahayakan Han Sin, malah melenyapkan bahaya yang mengancamnya, jantungnya tidak terganggu dan ia hanya menderita perasaan dingin yang luar biasa saja di dalam perut dan dadanya.

Li Hoa yang tidak tahu akan keadaan sebenarnya dalam tubuh Han Sin, melihat pemuda itu menggigil dengan muka pucat, makin gelisah sampai-sampai ia tidak merasa betapa dua butir air mata membasahi di pipinya!

“Han Sin ...... jahat sekali tosu itu awas dia, kalau sampai kau tidak tertolong, aku akan

mengadu nyawa dengannya ! Ah, bagaimana baiknya ini?” Ia merangkul belakang leher Han

Sin, mencoba untuk mendudukkan pemuda itu. Akan tetapi Han Sin yang baru saja terserang hawa dingin, hanya menggigil keras dan tidak bisa bangun, malah ia tidak sadar betapa gadis itu memeluknya dan menangis.

“Dingin ...... dingin .....!” Gigi pemuda itu sampai bersuara karena menggetar. “Minta minum

panas-panas !”

Li Hoa menurunkannya lagi telentang di atas tanah. “Aku akan mencarikan minum panas untukmu.” Cepat ia memasuki rumah-rumah gubuk di dusun itu. Akan tetapi rumah-rumah itu sudah kosong, penghuninya sudah pada mati bergeletakan di depan atau di dalam rumah sampai hati nona yang biasanya tabah ini menjadi ngeri melihatnya.

“Ganas sekali Hoa Hoa Cinjin,” pikirnya dengan mengkirik. Banyak sudah ia melihat orang dibunuh akan tetapi pembunuhan itu adalah hukuman bagi orang-orang yang dianggap jahat oleh ayahnya. Sekarang ia melihat orang-orang dusun yang tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh Hoa Hoa Cinjin, hatinya memberontak. “Kenapa ayah bekerja sama dengan manusia macam Hoa Hoa Cinjin? Kenapa orang-orang jahat belaka yang bekerja dengan ayah ?” Pikiran ini menimbulkan

keraguan dan kesangsian di dalam hatinya akan tepatnya pekerjaan yang dipegang oleh ayahnya.

Karena memikirkan keadaan Han Sin, ia lalu memasuki sebuah dapur di rumah gubuk terdekat, yaitu rumah petani yang sudah menyembunyikan mereka. Cepat-cepat ia membuat api dan memasak air. Lalu ia kembali kepada Han Sin sambil membawa secawan air panas.

“Ini air panas, Han Sin. Kau minumlah ” Ia lalu membantu pemuda itu bangun duduk. Han Sin

agaknya sudah sadar lagi karena ia dapat duduk biarpun masih payah. Baru sekarang ia menyadari keadaannya, betapa gadis itu menahan belakang lehernya dan memberinya minum. Diam-diam ia terharu dan teringatlah ia adegan tadi betapa gadis ini melindungi dan membelanya. Diam-diam ia merasa heran sekali. Ke dalam golongan orang bagaimana ia harus masukkan gadis ini? Golongan jahat atau golongan baikkah? Akan tetapi ia tidak sempat berpikir lagi dan segera minum air panas dari cawan yang disodorkan ke bibirnya oleh Li Hoa.

Aneh sekali, begitu perutnya kemasukan air panas, rasa dingin melenyap dan tenaganya pulih kembali. Memang rasa dingin di perutnya itu bukan gejala penyerangan atau keracunan, melainkan akibat dari pada kemenangan racun Pek-hiat-sin-coa yang mengalahkan racun pukulan Tong-sim- ciang sehingga hawa panas pukulan ini berubah menjadi dingin.

Melihat wajah pemuda itu menjadi segar kembali dan kelihatan sembuh, bukan main girangnya hati Li Hoa, sungguhpun masih ada kekhawatirannya karena mendengar dari Hoa Hoa Cinjin bahwa pemuda ini hanya akan dapat hidup sepuluh hari saja. Mana ia tahu bahwa racun pukulan tadi itu sudah musnah dan tidak ada bahayanya lagi?

“Han Sin, jangan khawatir. Betapun kejinya, Hoa Hoa Cinjin takkan berani membantah permintaan ayah. Aku akan minta kepada ayah supaya Hoa Hoa Cinjin memberi obat pemunah racun pukulannya. Mari kita pergi ke puncak Lu-liang-san ini.

Han Sin kelihatan bengong. Kemudian ia menggeleng kepala. “Tosu itu tersesat. Aku tidak apa-apa Li Hoa, tidak merasa dingin atau sakit lagi. Kau tidak usah kuatir. Li Hoa, kau baik sekali. Kenapa kau sebaik ini padaku? Eh, kenapa kau selalu melindungiku? Apakah hanya karena kau ingin aku membawamu ke tempat penyimpanan warisan rahasia dari Lie Cu Seng?”

Muka gadis itu menjadi merah sekali ketika mendengar pertanyaan ini. Tadinya ia hendak menentang pandangan mata Han Sin, akan tetapi ketika matanya bertemu dengan sinar mata pemuda itu yang memandangnya penuh selidik, ia lalu tundukkan mukanya. “Bagaimana Li Hoa. Jawablah agar aku tidak menyangka yang bukan-bukan.”

Li Hoa tidak menjawab, hanya mengangguk. Han Sin menghela napas, kecewa bukan main. Ia tadinya mengharap bahwa gadis ini melindungi dan membelanya karena keluar dari hati yang baik sehingga ia tanpa ragu akan memasukkan gadis ini ke dalam golongan orang-orang baik.

Mendengar bahwa “kebaikan” gadis ini hanya untuk tujuan mendapatkan harta simpanan, ia sudah bukan menganggap hal-hal itu semacam kebaikan lagi. Kembali ia menarik napas panjang, nampaknya kecewa dan berduka sekali. Benar-benar sedih hatinya kalau ia harus memasukkan gadis ini ke dalam golongan orang jahat.

“Salah salah, Li Hoa. Kau telah tersesat dan menyeleweng dari pada kebenaran.”

“Apa maksudmu ?”

“Kalau tidak hendak menolong, janganlah menolong. Melakukan kebaikan disertai pamrih, disertai harapan untuk menerima balasan, bukanlah kebaikan lagi namanya, melainkan penipuan, malah pemerasan! Melakukan perbuatan yang bersifat kebajikan haruslah berdasarkan perasaan hati yang bersih, berdasarkan prikemanusiaan yang mewajibkan setiap manusia berlaku baik. Haruslah digerakkan oleh perasaan kasihan yang sewajarnya, kasih sayang antara manusia. Dengan demikian barulah perbuatan baik itu benar-benar baik dan bersih. Janganlah mengharapkan balasan keuntungan duniawi, bahkan dengan mengharapkan syukur dan terima kasih saja dari yang ditolong, sudah lenyaplah sifat murni dari kebaikan itu, sudah minta DIBELI dengan terima kasih! Kau keliru Li Hoa, kau tersesat dan aku menyesal sekali ”

Terpukul hati Li Hoa mendengar filsafat pemuda yang aneh ini. Tadi ia tidak berterus terang, sekarang melihat pemuda ini dan mengingat bahwa mungkin sekali dalam sepuluh hari ini tidak akan melihat pemuda ini masih hidup, ia mengesampingkan rasa jengah dan malu, lalu berkata,

“Han Sin, memang sejak sebelum berjumpa dengan kau, di dalam hatiku sudah ada keinginan mendapatkan surat wasiat Lie Cu Seng. Maka bukan semata karena surat itulah aku membelamu, biarpun tanpa adanya surat wasiat, aku aku tetap akan membelamu.”

“Hemm, hanya terhadap aku seorangkah perasaanmu itu?” “Habis, masa terhadap setiap orang aku harus begitu?” “Seharusnya demikian, harusnya. Bukan hanya terhadap aku.”

“Tak mungkin aku harus mempertaruhkan nyawa untuk membela setiap orang.”

Sunyi sebentar. “Eh, Li Hoa, kenapa justru terhadap aku kau mempunyai perasaan begitu yakin ......

hendak membela mati-matian?”

Li Hoa menundukkan mukanya. Bodoh amat pemuda ini, pikirnya. Mana bisa seorang gadis seperti dia harus mengaku terang-terangan bahwa dia menyinta pemuda itu? ”Entahlah, Han Sin. Hanya aku harus, sekali lagi aku harus membelamu, karena mungkin sekali karena aku tidak suka

melihat kau kena celaka.”

Han Sin menghela nafas, tidak puas. “Sudahlah, kau memang baik. Sayang kau tidak mempelajari filsafat-filsafat para bijaksawan jaman dahulu. Mari kita lanjutkan perjalanan. Puncak Lu-liang-san sudah nampak, aku ingin bertemu secepatnya dengan Bi Eng. Entah ada apa di sana itu, agaknya orang-orang ... tersesat, seperti Hoa Hoa Cinjin berkumpul di sana. Aku kuatir sekali akan diri adikku ”

Maka berangkatlah dua orang muda itu. Han Sin dengan penuh kepercayaan bahwa dia tentu akan dapat bertemu dengan Bi Eng dan menolong adiknya itu. Sebaliknya, Li Hoa penuh kegelisahan, takut kalau-kalau pemuda ini takkan dapat tertolong dari lukanya di sebelah dalam akibat pukulan Hoa Hoa Cinjin.

****

Mari kita tengok keadaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang memiliki keberanian luar biasa itu. Tanpa menduga sedikitpun juga bahwa ia telah terjatuh ke dalam tangan seorang luar biasa, seorang yang pada nona ini mengikuti Bhok-kongcu menuju ke Lu-liang-san. Memang sukarlah menyangka pemuda ini sebagai seorang jahat. Sikap lemah lembut, bicaranya manis budi, gerak-geriknya seperti seorang sastrawan muda, seorang kongcu (tuan muda) yang betul-betul memiliki kepandaian sastra dan silat (bun-bu-coa-jai).

Lebih percaya lagi Bi Eng kepada pemuda itu ketika mendapat kenyataan betapa di sepanjang perjalanan mereka berdua menuju ke Lu-liang-san, pemuda itu memperlihatkan sikap yang menghormat sekali, sama sekali tak pernah memperlihatkan kekurangajaran. Bermalam di rumah penginapan, selalu Bhok-kongcu memilihkan kamar terbaik bagi Bi Eng dan dia sendiri memilih kamar sederhana. Malah pernah terjadi ketika hanya mendapatkan sebuah kamar karena semua kamar penuh, pemuda ini tidur di depan pintu kamar, di atas bangku sebagai seorang jaga malam!

Selain itu, setelah melakukan perjalanan berdua, Bi Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar pandai sekali dalam ilmu kesusasteraan, pandai melukis, pandai menabuh Khim dan meniup suling, jago dalam main catur dan mengubah sajak!

Sebentar saja gadis yang masih hijau ini menjadi tertarik dan menganggap bahwa pemuda itu malah lebih hebat dari pada kakaknya, Cia Han Sin! Makin tebal keyakinannya bahwa pemuda yang tampan dan aneh ini memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar ketika di manapun juga orang-orang selalu menerimanya dengan penuh penghormatan dan takut-takut. Hanya setelah mereka berada dekat Lu-liang-san dan melalui dusun-dusun, penduduk dusun tidak ada yang mengenalnya dan hal ini agaknya menyenangkan hati Bhok-kongcu.

“Menyenangkan sekali ” Ia memuji ketika melihat penyambutan sederhana dari pemilik warung

di sebuah dusun. “Sewajarnya dan sederhana mereka, orang-orang dusun itu. Tidak dibuat-buat dalam sikap, tidak menjilat-jilat, sewajarnya sesuai dengan alam. Alangkah bedanya dengan sikap orang-orang kota, jemu aku dibuai penghormatan mereka.”

“Memang kehidupan yang tenteram di dusun membuat sikap orang menjadi sederhana dan wajar,” sambung Bi Eng yang teringat akan kata-kata kakaknya. “Biasanya, bodoh mendatangkan jujur dan sederhana, sebaliknya pintar mendatangkan curang dan mewah. Betulkan ini, Bhok-kongcu?”

Ucapan ini tanpa disengaja menyindir keadaan kongcu itu yang mewah dan pesolek, dan baru setelah mengucapkan kata-kata yang dikutipnya dari omongan-omongan yang pernah ia dengar dari Han Sin, gadis ini tersadar bahwa tanpa disengaja ia menyindir. Dasar ia jenaka dan lincah, ia malah menambahkan, “Ah, tidak tahunya kata-kata itu seperti menyindir kau yang suka akan berpakaian indah dan mewah. Jangan kau marah, Bhok-kongcu!”

Bhok-kongcu tertawa terbahak, pada wajahnya yang tampan dan putih itu tidak nampak perubahan apa-apa. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata. “Tidak bisa begitu. Kebodohan dan kepintaran tidak bisa disatu padukan dengan kejujuran dan kecurangan. Tidak kurang banyaknya orang pintar yang jujur dan orang bodoh yang curang.”

Bi Eng semenjak kecil hidup di samping kakaknya yang sudah menjadi seorang ahli pikir dan ahli filsafat. Biarpun dia sendiri tidak mempelajari atau tidak suka membaca kitab-kitab kuno, namun dari “dongeng-dongeng” kakaknya, sedikit banyak ia tahu akan filsafat hidup. Setelah merenung sebentar, ia membantah.

“Aku kurang setuju, Bhok-kongcu. Orang pintar yang jujur memang mungkin ada, tapi bagaimana orang bodoh bisa curang? Untuk bisa berlaku curang, kurasa membutuhkan kecerdasan yang dimiliki orang pintar. Bukan begitu?”

“Ha ha ha, kau pintar, nona. Memang masuk diakal omonganmu ini. Mudah-mudahan saja kau tidak menganggap aku orang pintar yang curang, juga tidak menganggap aku orang jujur tapi bodoh. Kedua-duanya aku tidak suka. Ha ha ha!” Gadis itupun ikut tertawa.

Memang, pandai sekali Bhok-kongcu bergaul sehingga Bi Eng merasa suka bercakap-cakap dengan kongcu ini. Perjalanan ke Lu-liang-san dirasakan tidak terlalu melelahkan dengan adanya pemuda yang pandai bicara, pandai berkelakar dan halus sikapnya ini. Karena ini iapun dapat agak terhibur biarpun selalu ia masih merasa gelisah kalau memikirkan kakaknya. Setiap kali ia teringat kepada Han Sin, ia minta kepada Bhok-kongcu untuk mempercepat perjalanan.

“Nona, tak usah kau kuatir. Percayalah, di manapun adanya kakakmu, asal dia masih hidup, aku Bhok Kian Teng menanggung padamu bahwa aku pasti akan dapat mencarinya.”

“Kalau dia masih .... masih hidup ?” Bi Eng memandang dengan mata terbelalak. Mata itu amat

jeli dan bagus dalam penglihatan Bhok-kongcu sehingga untuk sejenak ia tak dapat menyembunyikan rasa kagum dalam pandangannya. Kemudian ia tertawa.

“Nona Cia, tentu saja kakakmu masih hidup. Akan tetapi, hidup atau mati bukanlah kekuasaan manusia, bukan? Andaikata ada apa-apa yang tidak kita hendaki terjadi atas diri kakakmu, hemmm, percayalah, aku pasti takkan membiarkan orang yang menganiaya kakakmu hidup lebih lama lagi!”

Bi Eng memandang dengan penuh terima kasih. “Bhok-kongcu, kau baik sekali. Nanti akan kuceritakan kepada kakakku bagaimana baiknya kau terhadapku.”

Bhok-kongcu mermbungkuk. “Terhadap seorang seperti kau, nona Bi Eng, mengorbankan nyawapun masih belum ada artinya ”

Bi Eng yang masih hijau, tidak mengerti apa maksud pemuda itu, namun perasaan kewanitaannya membuat mukanya menjadi merah mendengar ucapan ini dan iapun terharu, merasa berterima kasih sekali.

Ketika mereka tiba di puncak Lu-liang-san yang amat indah pemandangan alamnya, Bhok-kongcu membawa Bi Eng ke sebuah bangunan kecil mungil di bawah puncak. Tempat itu sunyi sekali, maka benar-benar aneh adanya bangunan di situ, dan ternyata ketika pemuda ini datang, ia disambut oleh lima orang pelayan yang bertubuh tegap dan nampaknya bukan pelayan-pelayan biasa.

Memang mereka ini sebenarnya adalah perwira-perwira bangsa Mongol yang menyamar dan menjadi pelayan di situ, dan sebenarnya mereka ini bertugas melindungi Bhok-kongcu, putera pangeran Mongol itu. Bi Eng tidak heran mendengar bahwa gedung mungil ini juga milik pemuda ini. Sudah terlalu sering ia melihat kenyataan bahwa kawannya ini mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar, juga di mana-mana ia melihat pemuda ini mempunyai rumah dan orang-orang yang amat menghormatinya. Ia tahu bahwa selain berpengaruh, pemuda inipun kaya raya. Ia dapat menduga pula bahwa di dalam pemerintahan yang baru, pemuda ini agaknya memiliki kedudukan yang bukan kecil. Yang belum diketahui gadis ini hanyalah bahwa sebetulnya Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda keturunan Mongol.

Memang sebetulnya Bhok Kian Teng mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai putera pangeran Bhok Hong yang sudah berjasa besar pada pemerintah Mancu yang kini berkuasa di Tiongkok.

Oleh Kaisar Mancu, yaitu Kaisar Kang Shi, memberi kedudukan raja muda kepada pangeran Bhok Hong dan karena raja muda Bhok Hong ini lebih suka berkelana sebagai seorang tokoh kang-ouw dengan julukan Pak-thian-tok (Racun dari Utara), maka kekuasaannya banyak dipegang oleh puteranya, Bhok Kian Teng yang ternyata amat pandai melakukan tugas-tugas ayahnya.

Malah boleh dibilang dalam ilmu ketata negaraan, pemuda ini jauh lebih pandai dari pada ayahnya yang berwatak aneh. Maka tugas penting yang diserahkan oleh Kaisar kepada pangeran Bhok Hong, yaitu tugas menumpas perkumpulan-perkumpulan rahasia dari bangsa Han yang masih mempunyai maksud melawan pemerintah baru, oleh Pak-thian-tok Bhok Hong diserahkan kepada puteranya itu!

Secara diam-diam, tanpa diketahui umum, pemuda ganteng yang kelihatan lemah lembut ini mengatur jaring-jaringnya, mengerahkan pembantu-pembantu yang pandai untuk mulai dengan tugasnya, yaitu menumpas perkumpulan-perkumpulan rahasia ataupun perkumpulan-perkumpulan besar yang tidak mau tunduk kepada pemerintah Mancu! Karena kekuasaannya yang besar akibat kedudukan ayahnya sebagai raja muda, maka pembesar-pembesar semua mengenalnya, bahkan Thio-ciangkun yang juga mempunyai kedudukan tinggi, boleh dibilang termasuk seorang di antara bawahan-bawahannya, atau boleh dikatakan juga sebagai pembantunya.

Sudah dituturkan di bagian depan, juga dapat dilihat dari catatan dalam kitab sejarah, bahwa bangsa Mancu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan Tiongkok. Mereka ini yang datang menjajah negara Tiongkok, ternyata malah meleburkan diri dalam kebudayaan bangsa Tiongkok sendiri dan cara hidup orang-orang Mancu ini, dari Kaisar sampai pegawai-pegawai rendahan, meniru-niru cara hidup orang orang Han, berpakaian sebagai orang Han, bicara dalam bahasa Han pula. Karena ini pula maka banyak orang-orang gagah bangsa Han mudah terpikat dan membantu pemerintah baru ini karena melihat sikap para penjajah ini, mereka tidak melihat adanya bangsa asing, seperti bangsa sendiri saja.

Memang dalam hal ini harus dipuji pandangan jauh dari Kaisar Kang Shi yang harus disebut seorang kaisar yang besar. Dia maklum bahwa rakyat sendiri, yaitu bangsa Mancu, berjumlah jauh lebih kecil dan memiliki wilayah yang selain sempit juga tidak subur. Kalau mereka sekarang sudah berhasil menduduki Tiongkok yang luas dan banyak jumlah rakyatnya, dan kalau mereka hendak mempertahankan kedudukannya dan menjadi bangsa yang besar, jalan satu-satunya ialah menyatukan diri dengan rakyat, hidup sebagai rakyat Tiongkok pula sehingga bangsa Tiongkok yang terjajah itu tidak akan merasa terjajah oleh bangsa asing.

Akan tetapi tidaklah demikian pikiran orang-orang Mongol yang membantu bangsa Mancu dalam penyerbuannya ke Tiongkok. Bangsa Mongol masih merasa dirinya lebih tinggi dari pada suku bangsa lain dan hal inipun bukan aneh. Bangsa Mongol dalam jamannya Jenghis Khan memang pernah menjadi bangsa kelas tertinggi, menaklukkan seluruh daratan Tiongkok, bahkan sampai meluas jauh ke barat. Tentu saja, biarpun sekarang kekuasaan mereka sudah musnah, mereka ini masih merasa lebih tinggi dari pada suku bangsa lain. Perasaan ini masih mengeram dalam hati Bhok Kian Teng. Biarpun, untuk dapat melakukan tugas rahasianya menindas kaum kang-ouw yang melawan pemerintah, ia terpaksa berpakaian seperti seorang pemuda terpelajar bangsa Han dan segala gerak-geriknya disesuaikan dengan orang Han, namun di dalam hatinya ia masih seratus persen orang Mongol.

Ini pula yang membuat ayahnya, si Racun dari Utara itu merasa enggan untuk memegang jabatannya sebagai raja muda. Pangeran Bhok Hong tidak suka, biarpun secara diam-diam, akan cara hidup pembesar-pembesar Mancu yang meniru-niru orang Han. Ia merasa jemu dan rendah, maka ia lalu meninggalkan kursi jabatannya dan menyerahkan pekerjaan-pekerjaannya kepada putera tunggalnya, sedangkan dia sendiri lalu menghilang, berkelana di dunia kang-ouw sebagai seorang yang bebas.

Bhok Kian Teng ternyata memang seorang ahli siasat yang amat pandai. Orang muda ini tahu bahwa apabila orang-orang kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan rahasia yang tidak senang terhadap pemerintah baru ini sampai dapat bersatu, maka kekuatan mereka itu dapat menimbulkan bahaya besar. Oleh karena itulah, secara diam-diam, Bhok-kongcu menyebar kaki tangannya, menyeludup ke dalam perkumpulan-perkumpulan itu, menyebar racun untuk menjalankan siasat pecah belah.

Usahanya ini berhasil baik karena dalam beberapa tahun saja timbullah rasa saling tidak percaya di antara para partai dan perkumpulan rahasia. Adalah siasat Bhok-kongcu pula untuk membasmi Cin- ling-pai yang dianggapnya berbahaya dengan sikap mereka yang tidak menentu itu. Untuk tugas ini ia serahkan kepada pembantunya dan seperti telah diketahui, usaha mereka itu berhasil baik.

Cin-ling-pai dapat dibasmi, markasnya dihancurkan dan para tosu Cin-ling-pai banyak yang tewas dan sebagian besar melarikan diri. Malah ketuanya, Giok Thian Cin Cu, telah meninggal dunia pula. Bukan itu saja, malah orang-orang Thio-ciangkun yang dipimpin oleh para pengemis Coa-tung Kai- pang dan puterinya sendiri, yaitu Li Hoa, berhasil pula memikat hati dan membujuk sehingga dua orang tosu tokoh terpenting dari Cin-ling-pai, It Cin Cu dan Ji Cin Cu, menyatakan hendak memenuhi panggilan Thio-ciangkun!

Kepergian Bhok Kian Teng kali ini ke puncak Lu-liang-san, bukan semata-mata untuk mencari Cia Han Sin seperti yang dikatakan kepada Bi Eng. Dia mempunyai rencana yang lebih besar lagi.

Selain hendak menyenangkan dan mengambil hati Bi Eng, gadis yang secara aneh sekali telah memikat hatinya itu, dan ingin menangkap Han Sin untuk merampas surat wasiat Lie Cu Seng yang dirindukan oleh seluruh orang kang-ouw, juga kali ini Bhok-kongcu menyuruh kaki tangannya mengundang orang-orang gagah di seluruh pelosok yang pro-Mancu untuk berkumpul di Lu-liang- san dan menerima tugas dalam perlawanan terhadap orang-orang yang anti Mancu.

Demikianlah sedikit catatan untuk mengetahui latar belakang yang penuh rahasia dan yang meliputi diri Bhok Kian Teng yang lebih terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Bhok-kongcu. Memang dia seorang pemuda yang hebat, pandai, disegani semua orang kang-ouw. Sayang sekali dia ini terlalu gila nafsu, dan hatinya lemah menghadapi wajah cantik. Kiranya tidak ada seorang laki-laki mata keranjang melebihi Bhok-kongcu pada waktu itu!

Setelah disambut oleh lima orang pelayannya dan disuguhi minuman sambil duduk di ruangan depan. Bi Eng berkata. “Bhok-kongcu, kita sudah sampai di puncak Lu-liang-san. Ke mana kita harus mencari kakakku? Harap kau memberi petunjuk, hatiku tidak enak sekali kalau belum bisa melihat dia.”

“Orang yang begini menyinta kakaknya seperti kau benar sukar dicari keduanya, nona Cia. Kita sudah lelah mendaki puncak, kau mengasolah dalam kamar yang sudah kusediakan. Biar aku akan menyuruh orang-orangku untuk mencari di sekitar puncak, kalau-kalau terlihat kakakmu itu. Jangan kau terlalu kuatir. Sudah dicari di Cin-ling-san, kakakmu tidak berada di sana. Kalau memang dia hendak menuju ke puncak Lu-liang-san, kalau sekarang belum ada, tentu esok atau lusa dia akan muncul juga. Tenangkanlah hatimu.”

Karena ucapan ini beralasan, Bi Eng menahan kesabarannya dan ia lalu pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Kamar itu kecil saja akan tetapi sekali lagi ia mendapatkan kemewahan yang hebat. Tidak kalah oleh kamar seorang puteri kaisar mewahnya! Bi Eng sampai merasa sungkan untuk berbaring di atas pembaringan yang ditilami sutera putih berkembang itu dan mengganti dulu pakaiannya dengan pakaian yang bersih, baru ia berani duduk di situ. Saking lelahnya, begitu ia mencoba untuk merebahkan diri, sebentar saja ia sudah pulas.

Senja telah lewat ketika Bi Eng membuka matanya dengan kaget. Ia hampir berteriak karena telah mimpi yang bukan-bukan. Dalam mimpinya ia melihat kakaknya dikeroyok ular yang amat banyak. Pemandangan mengerikan dalam mimpinya itu membuat ia terbangun dengan keringat membasahi leher biarpun hawa udara amat dingin. Bi Eng lalu turun dari pembaringannya, membuka jendela kamar memandang keluar. Biarpun malam telah tiba, keadaan di luar tidak gelap karena bulan telah muncul. Timbul keinginan hatinya untuk keluar sendiri, pergi mencari Han Sin. Mimpi tadi mendatangkan kegelisahan dalam hatinya, seakan-akan ia mendapatkan bisikan bahwa kakaknya itu terancam bahaya. Ia hendak minta diri kepada Bhok-kongcu.

Setelah membetulkan pakaian dan menggantungkan pedang, gadis ini lalu membuka pintu. Keadaan di ruangan tengah dan belakang gedung itu sunyi saja, akan tetapi di ruang depan nampak sinar terang dan terdengar suara banyak orang bercakap-cakap.

“Heran, Bhok-kongcu kedatangan begitu banyak tamu,” pikir Bi Eng. “Tak perlu aku memberi tahu, lebih baik aku menggunakan kesempatan ini untuk pergi mencari Sin-ko,” Ia lalu ke belakang, membuka pintu belakang. Karena belum mengenal jalan, ia lalu mengayun tubuh ke atas genteng dan dari tempat tinggi itu ia melihat ke sekeliling.

Sunyi senyap di sekeliling gedung, hanya di ruang depan itu nampak sinar penerangan dan terdengar ramai orang bicara. Samar-samar di bawah sinar bulan ia melihat puncak Lu-liang-san menjulang tinggi. “Aku harus ke sana,” pikirnya lagi. “Bukankah dulu Sin-ko bilang bahwa surat wasiat itu mengharuskan dia pergi ke puncak? Siapa tahu dia sudah berada di sana dan diam-diam aku dan dia bisa melanjutkan perjalanan tanpa terganggu orang lain.”

Dengan hati penuh harapan ia lalu berlari di atas genteng sampai tiba di bagian paling belakang dari gedung itu. Dengan ringan sekali ia melompat turun ke dalam taman. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan lirih.

“Siapa berani mati mencuri masuk di sini?”

Bi Eng terkejut dan segera mengenal orang itu yang bukan lain adalah Yo Leng Nio, gadis galak yang menjadi tangan kanan Bhok-kongcu. Terpaksa ia tersenyum dan menjawab.

“Enci Yo Leng Nio, kiranya kau yang muncul. Sampai kaget aku, kusangka tadinya siluman yang mencegatku di tempat ini.”

“Kaulah silumannya! Kau siluman betina tak kenal malu, kau gadis sombong. Kau merasa telah dapat merampas hati Bhok-kongcu? Hemmm, jangan harap! Paling-paling kau menjadi kekasih dan permainannya untuk beberapa bulan. Hemmm, kelak kalau dia sudah bosan, akan kulihat kau dijadikan apa. Sebaliknya aku, biarpun tidak menjadi kekasih istimewa seperti kau yang menjual kecantikanmu, sudah delapan tahun aku tetap menjadi pembantunya yang dipercaya, Huh, manusia macam kau ini bisa apa sih?”

Bukan main marah dan mendongkolnya hati Bi Eng mendengar makian dan ucapan yang kasar ini. Mukanya menjadi merah sekali, malu dan jengah mendengar omongan yang rendah, omongan wanita yang tak dapat digolongkan wanita sopan dan baik-baik. Saking marahnya Bi Eng mencabut pedangnya dan menudingkan ujung pedang ke muka Leng Nio.

“Eh, eh, tahan tuh mulutmu yang kotor!” Bi Eng membentak. “Kau menjadi kaki tangan atau kekasih Bhok-kongcu, apa sih hubungannya dengan aku? Jangan kau samakan aku dengan orang macam kau. Kau dan orang seperti Ang-hwa dan kawan-kawanmu memang bukan perempuan baik- baik, siapa sih yang hendak merebut laki-laki dari kalian? Cih, tak tahu malu!” Panas hati Bi Eng

karena berkali-kali ia dituduh hendak merebut hati Bhok-kongcu. Jangankan dia tidak mempunyai hati sedemikian, andaikata adapun yakni andaikata dia suka kepada Bhok-kongcu, juga ia tentu tidak sudi menerima penghinaan dan makian dari Yo Leng Nio.

“Perempuan sial, sudah terang-terangan berhari-hari melakukan perjalanan dengan Bhok-kongcu, masih pura-pura menyangkal. Tak tahu malu!” Yo Leng Nio memaki lagi. Memang siapa bisa percaya bahwa gadis ini tidak menjadi kekasih Bhok-kongcu setelah melakukan perjalanan berdua? Gadis mana yang takkan senang hatinya diberi kesempatan seperti itu?

Bi Eng tak dapat menahan marahnya lagi mendengar ini. Pedangnya bergerak dan ia menyerang Leng Nio dengan penuh amarah. Leng Nio mengeluarkan dengus mengejek, lalu iapun mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang selalu terpasang di punggung.

Segera dua orang gadis itu bertempur dengan hebat seperti dua ekor singa betina. Akan tetapi, biarpun Bi Eng sudah menerima warisan ilmu yang tinggi dari Ciu-ong Mo-kai, ia bukanlah tandingan Yo Leng Nio. Ia kalah latihan dan kalah pengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu silat yang ia warisi itu adalah ilmu yang tinggi, yang pada jurus-jurus pertama membuat Leng Nio terkesiap dan terdesak hebat. Namun gadis ini kurang latihan, kurang matang ia mainkan pedangnya dan tenaganya pun kalah kuat.

Yo Leng Nio sudah mendapat petunjuk-petunjuk dari Bhok-kongcu, maka kepandaiannya cukup tinggi. Kalau tidak demikian mana dia bisa menjadi orang kepercayaan Bhok-kongcu? Setelah lewat tiga puluh jurus, ia dapat mengubah gerakan-gerakannya dan kini ia membingungkan Bi Eng dengan ilmu pedang pasangan yang lebih banyak menggertak dan memancing. Bi Eng merasa seperti dikeroyok dua orang dan kalutlah permainannya, membuat ia terdesak.

“Huh, kalau tidak ingat kau kekasih baru Bhok-kongcu, ingin aku menggurat-guratkan pedang pada mukamu, ingin aku memotong hidungmu!”

Yo Leng Nio mengejek dan memperhebat desakannya. Pedang kanannya melakukan serangan kilat ke arah hidung Bi Eng. Gadis ini tentu saja terkejut sekali. Kata-kata Leng Nio tadi mengingatkan ia akan nasib Ang-hwa yang dibuntungi hidungnya, membuat ia merasa ngeri bukan main. Maka begitu melihat pedang kanan lawannya menyambar hidung, ia mengeluarkan seruan tertahan dan cepat-cepat ia menangkis dengan pedangnya.

Kekagetannya ini mengurangi kewaspadaannya sehingga ia tidak tahu bahwa pedang kanan itu hanyalah gertak sambal belaka atau pancingan sehingga ketika menangkis, tahu-tahu pedang kiri Leng Nio berkelebat dari kiri menghantam pedangnya dekat gagang. Pedang ini menyambar dekat jari tangannya yang memegang pedang. Bi Eng terkejut sekali dan terpaksa melepaskan gagang pedangnya kalau ia tidak mau jari-jari tangannya terbabat putus. Dengan suara keras pedangnya terpukul dan terlempar ke udara!

“Bunuhlah kalau kau mau bunuh!” Bi Eng menantang sambil melindungi mukanya. Ngeri dia, takut kalau mukanya dirusak. Gadis berani mati ini tidak gentar menghadapi maut, akan tetapi kalau mukanya dirusak, takut ia bukan main.

Leng Nio melihat ketakutan ini, ia tersenyum mengejek. “Biar kugurat sedikit pipimu, hendak kulihat dia masih menyintamu atau tidak!” Pedangnya ditodongkan ke muka orang penuh ancaman. Bi Eng mundur-mundur dengan pucat.

“Jangan .... bunuh saja aku ” katanya.

Leng Nio mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, pedangnya digerak-gerakkan seperti hendak menggurat muka Bi Eng yang berusaha melindungi mukanya dengan kedua tangan. Sebetulnya, memang tidak akan ada kesenangan lebih besar bagi Leng Nio di saat itu dari pada merusak muka gadis ini, gadis yang amat dibencinya karena dianggap merebut hati Bhok-kongcu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar