Kasih Di Antara Remaja Jilid 03

Jilid 03

07. Kematian Utusan Kaisar Boan

PADA saat itu terdengar suara aneh menyeramkan, suara melengking tinggi seperti burung rajawali, makin lama makin keras sampai membikin sakit telinga. Bi Eng yang sudah belajar ilmu silat tinggi, cepat menahan napas dan mengerahkan lweekang. Akan tetapi tetap saja ia merasa kepalanya pening dan harus cepat-cepat menutupi kedua telinga dengan telunjuknya. Siauw-ong termangu-mangu saja, agaknya alat pendengarannya berbeda dengan manusia sehingga ia tidak terpengaruh suara yang penuh mengandung tenaga lweekang dan khikang ini. Di antara para tosu, mereka yang masih rendah kepandaiannya, yaitu gelung enam dan tujuh, banyak yang jatuh bergelimpangan! Han Sin terheran-heran melihat ini karena dia sendiri tidak merasakan sesuatu, hanya mendengar suara yang aneh dan melengking tinggi rendah tidak karuan.

Tiga orang tosu kelas dua dari Cin-ling-san berubah air mukanya dan mereka segera menjura ke arah datangnya suara dan si muka merah berseru, “Kami para tosu Cin-ling-pai telah menanti kedatangan Cinjin!” Suara lengking itu lenyap, disusul suara ketawa terbahak-bahak, “Ha ha ha ha ha! Para tosu Cin- ling-pai tahu diri. Aku datang!”

Angin bertiup dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, bertubuh tinggi besar dengan muka penuh berewok hitam, matanya besar-besar dan menakutkan. Pakaiannya seperti seorang pembesar saja biarpun tidak ada tanda pangkatnya, sepasang lengannya yang besar dan penuh urat-urat itu bertolak pinggang, kakinya dipentang dan sikapnya jumawa sekali. Ia menoleh ke kanan kiri memandang dengan mulut tersenyum mengejek dan memandang rendah, kemudian ketika melihat Bi Eng, senyumnya melebar dan matanya berseri. Ia menatap terus wajah Bi Eng sambil tangan kanannya mengelus-elus jenggotnya lalu mengangguk-angguk.

“Cantik ....... cantik manis ...... sungguh menggiurkan !” katanya.

Bi Eng mendongkol bukan main. Gadis ini membuang muka dan cemberut. Akan tetapi Han Sin berkedip kepadanya, memberi tanda supaya adiknya itu jangan mencari perkara. Biarpun bukan ahli silat, pemuda ini sekali pandang saja maklum bahwa yang baru datang ini adalah seorang jagoan kelas berat yang lihai sekali. Buktinya para tosu Cin-ling-pai kelihatan takut-takut.

Tosu muka merah lalu melangkah maju setindak sambil menjura. “Kami telah mendapat kehormatan besar dari kunjungan Cinjin. Tidak tahu ada perintah apakah dari Cinjin yang perlu kami sampaikan kepada twa-suheng?” Ucapan ini terdengar amat menghormat, akan tetapi mengandung sindiran bahwa tamu terhormat itu cukup bicara dengan mereka saja dan semua pesan akan disampaikan kepada twa-suheng, yaitu murid-murid tingkat pertama. Jadi sama saja dengan mengatakan bahwa kedudukan twa-suheng Cin-ling-pai masih lebih tinggi dari pada tamu ini.

Kakek tinggi besar itu mengeluarkan suara jengekan dari hidungnya. Dia ini bukan lain adalah Ban Kim Cinjin, seorang kakek berilmu tinggi yang menjadi kaki tangan kerajaan Ceng. Dia masih terhitung sute (adik seperguruan) Hoa Hoa Cinjin, maka kepandaiannya luar biasa sekali. Di dunia kang-ouw tidak ada orang yang belum mengenal namanya, nama yang ditakuti karena kakek ini terkenal jahat dan cabul. Tentu saja ia dapat menangkap sindiran dalam kata-kata si tosu muka merah, maka ia berkata, suaranya keras nyaring.

“Tosu-tosu Cin-ling-pai terkenal sombong, tidak kukira sesombong ini! Kalau suhu kalian si Giok Thian Cin Cu terlalu angkuh menemuiku, masih tidak apa karena dia seorang ciang-bun-jin. Akan tetapi hanya tosu-tosu bau tingkat dua yang menemui aku, sungguh-sungguh tidak pandang mata. Aku mewakili kerajaan untuk berunding dengan Cin-ling-pai, karena mengingat persahabatan kami hendak minta bantuan Cin-ling-pai mencari surat wasiat peninggalan pemberontak Lie Cu Seng.

Masa hanya disambut oleh tosu-tosu pemakan nasi yang tiada gunanya?”

Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan para tosu Cin-ling-pai mendengar maki-makian ini. Siapapun adanya kakek ini, betapa lihaipun Ban Kim Cinjin, tidak semestinya menghina Cin-ling- pai sampai demikian hebatnya. Tiga orang tosu tingkat dua dari Cin-ling-pai adalah tiga orang gagah yang dijuluki Cin-ling Sam-eng (Tiga Orang Gagah dari Cin-ling-san). Mereka juga murid- murid terpilih dan tersayang dari Giok Thian Cin Cu, sudah mewarisi ilmu-ilmu silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun.

Yang tertua dan bermuka merah bernama Hap Tojin, seorang ahli ilmu pedang Cin-ling Kiam-hoat yang jarang bandingannya, yang kedua, tosu bermuka hijau adalah Hee Tojin yang terkenal sebagai seorang ahli lweekang yang amat kuat di samping ilmu silatnya yang juga lihai sekali, dan orang ketiga yang bermuka hitam adalah Tee Tojin yang keistimewaannya adalah ilmu ginkang yang luar biasa. Digabung menjadi satu, tiga orang ini sudah merupakan wakil Cin-ling-pai yang tidak mengecewakan dan karenanya dipercaya oleh Giok Thian Cin Cu untuk membereskan segala macam urusan yang menyangkut kepentingan perkumpulan mereka.

Sambil menahan kemarahan, Hap Tojin si muka merah lalu melangkah maju dan menjura lagi. “Harap Cinjin jangan mengeluarkan ucapan seperti itu. Kami sesaudara yang berada di sini sudah mendapat perintah dari suhu untuk membereskan semua urusan. Jangankan hanya seorang diri seperti Cinjin, biarpun andaikata Kaisar Ceng mengirim utusan sebarisan, kiranya cukup dirundingkan dengan kami semua yang berada di sini. Kalau Cinjin ada urusan untuk disampaikan, harap katakan saja dan kami dapat memutuskan.”

Merah muka Ban Kim Cinjin, matanya bersinar-sinar marah. “Sombong! Kalau aku tetap hendak naik ke puncak berunding sendiri dengan Giok Thian Cin Cu, kalian mau apa?”

“Tidak bisa, Cinjin. Kalau kami diamkan saja, kami akan mendapat teguran keras dari suheng. Kecuali kalau Cinjin bisa melewati pasukan Cin-ling-pai, baru kiranya dapat sampai di puncak,” kata Hap Tojin. Begitu mendengar ucapan ini, para tosu bergerak merupakan bentuk-bentuk tin (barisan) yang teratur rapi. Semua tosu menghunus pedang dan terbentuklah barisan sebanyak tujuh lapis. Inilah barisan Cin-ling-tin yang amat kokoh kuat, terdiri dari tosu-tosu gelung tujuh di depan, lalu di belakangnya tosu-tosu gelung enam dan makin ke belakang makin kuat kedudukannya karena anggauta-anggauta barisannya lebih lihai dari pada yang di depan.

Ban Kim Cinjin mengangkat kepala dan tertawa bergelak. “Ha ha ha! Cin-ling-pai berkali-kali unjuk gigi. Baiklah, kali ini hendak kucoba betapa kuat barisannya!”

Tubuh kakek ini berkelebat ke depan dan kembali terdengar bunyi melengking rajawali yang dahsyat, dibarengi serbuannya ke depan, menyergap barisan terdepan. Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tosu gelung tujuh yang memegang pedang. Begitu kakek itu mengeluarkan bunyi lengking, barisan ini sudah kacau karena mereka menjadi lumpuh semangat dan tergetar jantungnya. Akan tetapi dengan gagah para tosu Cin-ling-pai maju juga dan menyerbu Ban Kim Cinjin. Kakek ini tidak memegang senjata, akan tetapi begitu ia menggerakkan kedua tangannya, ternyata kedua tangan ini lebih ampuh dari pada senjata tajam.

Beberapa gebrakan saja kakek ini menerjang seperti seekor burung rajawali menyambar korban, robohlah berturut-turut lima orang anggauta pasukan tosu itu dengan kepala remuk atau dada pecah! Darah berhamburan dan jerit terdengar mengerikan. Tosu-tosu lain dalam barisan itu tidak kenal takut dan pantang mundur, mereka terus menyerbu menggantikan kawan-kawan yang tewas. Akan tetapi mereka ini seperti nyamuk-nyamuk melawan nyala api, begitu maju mereka bertemu dengan pukulan-pukulan tangan sakti yang membuat mereka rebah tak bernyawa lagi. Sebentar saja, dari tiga belas orang tosu gelung tujuh ini, hanya tinggal tiga orang lagi yang belum tewas.

Bi Eng memandang kagum dan heran melihat kehebatan ilmu silat kakek itu. Siauw-ong bersembunyi di belakang nonanya, ngeri melihat begitu banyak darah muncrat keluar. Sedangkan Han Sin berdiri dengan muka pucat. Tak tahan ia melihat pembunuhan besar-besaran seperti ini. Tanpa dapat dicegah oleh Bi Eng lagi, pemuda ini lalu lari ke depan menuju ke medan pertempuran.

“Koko ..... jangan !” Bi Eng juga mengejar ke depan untuk menahan atau melindungi kakaknya.

Ia cukup mengerti bahwa kakaknya itu biarpun amat pintar, namun adalah seorang pemuda lemah yang tidak pernah melatih diri dalam ilmu silat. Mendatangi tempat yang demikian berbahaya, benar-benar seperti mengantar nyawa.

Han Sin tidak perdulikan cegahan adiknya. Hatinya tidak kuat menahan melihat pembunuhan besar- besaran itu, apa lagi kalau ia lihat betapa kakek ganas itu maju terus hendak melabrak barisan- barisan berikutnya dan para tosu Cin-ling-pai agaknya juga tidak mau mengalah. Ia angkat kedua tangannya sambil berteriak-teriak keras.

“Cuwi totiang, hentikan pertempuran! Lo-enghiong yang gagah, harap hentikan pembunuhan- pembunuhan ini!” Ia terus berlari menghampiri Ban Kim Cinjin, dan terus mengangkat kedua tangan untuk memegang tangan kakek itu dalam usahanya mencegah kakek itu melancarkan pembunuhan dengan kedua tangan mautnya.

Melihat pemuda ini datang sambil mengangkat tangan, berlari-lari kaku, Ban Kim Cinjin menjadi marah dan mengira pemuda itu hendak membela para tosu Cin-ling-pai. “Bocah lancang, pergilah!” serunya sambil menggaplok pundak Han Sin dengan perlahan untuk merobohkan pemuda itu.

“Plak!” Tubuh Han Sin terlempar, akan tetapi kakek itu sendiri terjengkang ke belakang. Mukanya pucat dan napasnya terengah-engah. Ia merasakan tenaganya tadi seperti bertemu dengan baja yang keras.

“Jangan pukul kakakku! Bangsat, berani kau pukul kakakku!” Bi Eng dengan marah menyambar sebatang pedang dari tosu Cin-ling-pai yang terjatuh ke atas tanah, kemudian ia menyerang Ban Kim Cinjin dengan sebuah tusukan.

“Moi-moi, jangan    !” Han Sin mencegah adiknya sambil merayap bangun. Ia tidak terluka dan

tidak merasa sakit sama sekali.

Namun terlambat. Pedang di tangan Bi Eng sudah menusuk dan kakek itu menggerakkan tangan menangkis. Bi Eng menjerit, pedangnya terpukul patah oleh tangan kakek sakti itu dan gadis itu terhuyung lalu roboh.

Ban Kim Cinjin merasa lega mendapatkan bahwa tangannya masih tidak kehilangan keampuhannya. Ia tadinya sangsi apakah tenaganya tiba-tiba lenyap maka ketika mendorong pemuda lemah itu dia sampai terjengkang. Kini ia marah dan menggunakan separuh tenaganya untuk memukul Han Sin yang sudah datang lagi. Han Sin sedang sibuk hendak menolong Bi Eng, maka ia tidak bisa menjaga datangnya pukulan yang tepat mengenai dadanya.

“Blekk   !” Kembali Han Sin terpelanting dan terguling-guling sampai tiga tombak lebih, akan

tetapi ia dapat bangun lagi karena tidak merasa sakit.

Hebatnya, kakek itu mengeluarkan seruan kesakitan dan terguling roboh, dari mulutnya muntahkan darah segar! Saking herannya, sampai ia lupa akan sakitnya dan dengan beringas ia meloncat bangun, kemudian menubruk Han Sin, mengerahkan seluruh tenaganya menghantam kepala Han Sin.

Pemuda itu mendengar angin pukulan dahsyat mengancam kepalanya, segera mengangkat tangan kiri untuk menangkis.

“Dukkk   !” Kini Han Sin hanya jatuh lagi terduduk, akan tetapi kakek itu seperti daun kering

tertiup angin, mencelat sampai empat meter dan jatuh di atas tanah dengan mata mendelik dan nyawa putus!

Bukan main kagetnya Han Sin. Ia berlari menghampiri kakek itu dan melihat kakek itu sudah mati, tiba-tiba pemuda itu menangis!

“Apa yang kulakukan .... ah, Thian Yang Maha Kuasa .... apa yang telah kulakukan    ??” Bagaimana seorang tokoh besar kang-ouw seperti Ban Kim Cinjin yang sudah amat tinggi tingkat kepandaiannya itu bisa tewas ketika memukul dan tertangkis oleh Han Sin? Sedangkan yang lain- lain, para tosu gelung tiga yang kepandaiannya jauh lebih rendah kalau dibandingkan dengan Ban Kim Cinjin, ketika memukul Han Sin mereka hanya terpental dan roboh saja akan tetapi tidak sampai mati? Hal ini memang ada sebabnya.

Dengan latihan samadhi yang istimewa, yang dipetiknya dari kitab-kitab kuno dan dilatihnya tanpa petunjuk seorang ahli-ahli, secara keliru Han Sin telah melatih siulian semenjak ia kecil sampai belasan tahun lamanya. Latihan ini ia lakukan tanpa mengenal bosan dan lelah, bahkan dilakukan siang malam tak kenal waktu. Kekeliruannya ini tentu akan mencelakakan, dapat membuat orang menjadi gila atau kemasukan pengaruh iblis lalu mempelajari ilmu hitam kalau saja Han Sin tidak memiliki dasar watak yang memang bersih dan baik.

Sebaliknya dari pada mencelakakan, kekeliruan ini malah mendatangkan hawa sinkang yang mujizat di dalam tubuh pemuda ini. Sinkang ini demikian kuat sehingga sukar untuk diukur lagi kehebatannya, tanpa disadari oleh si pemilik.

Karena Han Sin tidak tahu mempergunakan hawa sinkang ini, maka hawa sinkang itu bekerja dan bergerak menurut jalan pikirannya. Kalau ia mengangkat tangan dan pikirannya ditujukan hendak menangkis pukulan atau mencegah serangan orang, secara otomatis, hawa sinkang itu menjalar ke seluruh tangannya yang menangkis dan di situ bersembunyi hawa pukulan yang mujizat.

Akan tetapi karena tidak dipergunakan untuk menyerang, hawa sinkang itu hanya bersifat menahan belaka. Maka tergantung dari kekuatan lawan yang ditangkis. Kalau lawan itu mempunyai tenaga pukulan tiga ratus kati, maka ketika tertangkis tenaga pukulan seberat itu akan membalik dan memukul penyerangnya sendiri.

Tosu-tosu tingkat tiga dari Cin-ling-pai ketika memukul Han Sin tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya, paling banyak tenaga dorongnya hanya tiga ratus kati, itupun dilakukan dengan pukulan jarak jauh karena mereka memang tidak berniat membunuh Han Sin. Maka akibatnya pun tidak sangat hebat bagi mereka, hanya terjengkang dan terlempar oleh hawa pukulannya sendiri yang membalik ketika membentur hawa sinkang yang keluar dari lengan Han Sin.

Sebaliknya, Ban Kim Cinjin yang sudah marah sekali, menggunakan pukulan sepenuh tenaganya, sedikitnya ada seribu kati lebih. Maka begitu terbentur lengan Han Sin dan pukulan itu membalik, mana kakek itu kuat menerimanya? Isi dadanya remuk dan nyawanya melayang!

Han Sin sampai saat matinya Ban Kim Cinjin, masih belum sadar akan kekuatannya sendiri. Masih belum mengerti bahwa di dalam tubuhnya bersembunyi kekuatan mujizat. Ia hanya tahu bahwa kakek itu mati setelah memukul dan ditangkisnya, maka ia menjadi kaget bukan main. Hatinya yang sudah merasa ngeri melihat banyak terjadi pembunuhan, yang mendatangkan rasa kasihan di dalam hatinya yang mulia dan welas asih, tentu saja menjadi hancur ketika melihat ada orang sampai mati karena beradu lengan dengannya. Ia merasa menjadi pembunuh dan karena perasaan inilah ia menangis sedih.

Para tosu Cin-ling-pai ketika melihat Ban Kim Cinjin tewas, menjadi terkejut sekali. Bagaimana pun juga, Ban Kim Cinjin adalah seorang utusan kerajaan Ceng. Kalau yang membunuh kakek ini tosu-tosu Cin-ling-pai, hal itu masih tidak hebat karena para tosu Cin-ling-pai yang gagah tentu saja akan mempertanggung jawabkan perbuatan mereka. Akan tetapi sekarang yang membunuh kakek itu adalah dua orang muda yang tidak terkenal, maka karena matinya di Cin-ling-san, tentu saja para tosu Cin-ling-pai yang akan didakwa membunuh Ban Kim Cinjin. Inilah hebat! Bukan saja Ban Kim Cinjin utusan kaisar Ceng, malah ia itu sute dari Hoa Hoa Cinjin! Dalam pikiran para tosu, mereka mengira bahwa Ban Kim Cinjin mati oleh Han Sin dan dibantu secara menggelap oleh Bi Eng, sama sekali mereka belum bisa menerima kalau ada dugaan pemuda itu dapat membunuh Ban Kim Cinjin hanya dengan jalan menangkis pukulannya.

“Tangkap pembunuh-pembunuh ini!” seru Cin-ling Sam-eng, tiga orang tosu Cin-ling-pai kelas dua itu. Mereka sendiri menubruk maju untuk menangkap Han Sin dan Bi Eng.

Han Sin melompat maju, mengangkat dadanya dengan sikap gagah, dan suaranya luar biasa sekali, nyaring dan berpengaruh sehingga sekian banyaknya tosu yang menerjang maju tiba-tiba berhenti dan terpaksa mendengarkan. Bahkan Bi Eng sendiri sampai bengong memandang kakaknya yang tiba-tiba mempunyai suara demikian hebat pengaruhnya.

“Nanti dulu! Cuwi totiang adalah orang-orang beribadat, orang-orang yang menjalani kesucian dan mengutamakan tata susila dan kebajikan. Apakah patut menghina seorang perempuan?”

Hap Tojin ketawa dingin untuk melenyapkan rasa jengahnya mendengar teguran ini. “Hemm, kalian sudah membunuh seorang utusan kaisar di sini, kalau tidak mau tangkap, bukankah kesalahannya akan ditimpakan kepada kami?”

“Cinjin ini tewas karena menyerangku, kalau mau bilang tentang pembunuhan, adalah aku yang membunuh. Adik perempuanku ini apa sangkut pautnya dengan kematiannya? Akulah yang bertanggung jawab dan kalau mau tangkap, boleh tangkap aku, jangan ganggu adikku.”

Semua tosu ragu-ragu mendengar ini. Cin-ling Sam-eng juga merasai kebenaran ucapan pemuda ini biarpun mereka masih tidak percaya kalau kematian Ban Kim Cinjin adalah karena perbuatan pemuda yang kelihatan lemah ini. “Kalau kau yang bertanggung jawab semua, biarlah kami lepaskan adikmu. Kamipun bukan orang-orang yang suka mengganggu perempuan. Nah, ayoh ikut kami ke puncak.”

Bi Eng menjadi pucat dan meloncat maju. “Tidak boleh! Tidak boleh kakakku ditangkap!” serunya marah dan gadis ini kembali menyambar sebatang pedang di atas tanah, siap untuk melakukan pertempuran besar-besaran melindungi kakaknya. Juga Siauw-ong kembali meringis-ringis menantang perang.

“Eng-moi, mundur! Kali ini kau harus menurut kata-kataku dan jangan menurutkan kekerasan hati. Kau pergilah dulu dengan Siauw-ong, lanjutkan perjalananmu dan tunggu aku di pantai sungai Wei- ho. Aku akan menyusulmu setelah urusan ini selesai. Aku percaya ketua Cin-ling-pai akan dapat mempertimbangkan urusan ini dengan adil.”

Pandang mata Han Sin berpengaruh dan luar biasa sekali, dari sepasang matanya mencorong keluar sinar yang biarpun Bi Eng adiknya sendiri merasa bergidik dan takut. Ia maklum bahwa kakaknya bersungguh-sungguh dalam hal ini dan akan menjadi marah kalau dia tidak mau menurut. Dengan muka pucat dan isak tertahan ia menggandeng tangan Siauw-ong, lalu membalikkan tubuh pergi dari situ sambil berkata, “Sin-ko, aku menanti-nantimu di pinggir sungai Wei-ho!”

Sebentar saja Bi Eng dan Siauw-ong lenyap dari situ. Han Sin menjadi lega hatinya. Dengan perginya Bi Eng yang ia tahu amat keras hatinya dan berani, ia merasa dadanya ringan dan urusan yang ia hadapi itu terasa lebih mudah dibereskan. Ia tersenyum kepada Cin-ling Sam-eng.

“Cuwi totiang, mau tangkap aku sebagai pembunuh, tangkaplah!” Cin-ling Sam-eng maju bersama, takut kalau pemuda ini yang amat aneh dan mencurigakan diam- diam mempunyai kepandaian tinggi dan turun tangan lagi. Sebelum Han Sin bergerak, mereka sudah menubruknya dan dilain saat tubuh Han Sin sudah mereka belenggu dengan sebuah rantai besi yang besar. Rantai itu diikatkan kedua tangannya yang ditekuk ke belakang, terus dilibatkan ke leher dan dada, membuat Han Sin tak dapat berdaya sedikitpun. Pemuda ini sama sekali tidak melakukan perlawanan, tersenyum saja. Baju pada lengan kiri dan celananya sedikit robek ketika ia tadi terjatuh menerima serangan-serangan Ban Kim Cinjin.

Para tosu mengiringkan Cin-ling Sam-eng yang membawa Han Sin ke atas dan beramai-ramai mereka membawa kawan-kawan yang terluka dan tewas tidak lupa membawa pula jenazah Ban Kim Cinjin ke atas. Tempat yang tadi menjadi medan pertempuran itu kini sunyi kembali. Hanya darah yang membasahi rumput di sana-sini menjadi bukti bahwa di situ tadi telah dilayangkan beberapa nyawa manusia.

Hati Han Sin sudah tenang kembali, tidak seperti tadi ketika pada mula-mula ia melihat Ban Kim Cinjin tewas karena tangkisan tangannya. Diam-diam ia memutar otak dan merasa heran sendiri. Bagaimana seorang yang demikian menyeramkan dan lihai seperti Ban Kim Cinjin, yang demikian mudah membunuh beberapa orang tosu Cin-ling-pai, bisa tewas hanya karena ia tangkis pukulannya. Bagaimana hal ini mungkin terjadi? Dia tidak pernah belajar silat, hanya hafal teori ilmu pukulan Liap-hong Sin-hoat. Selain itu tidak belajar apa-apa lagi kecuali membaca isi kitab- kitab kuno dan melatih siulan untuk membersihkan pikiran dan menjernihkan hati.

Biarpun latihan-latihannya membuat pemuda ini mempunyai watak yang penuh welas asih dan sabar, namun tidak menghilangkan jiwa patriotnya yang diturunkan oleh leluhurnya. Apalagi kitab- kitab kuno, para pujangga dan bijaksanawan semenjak jaman dahulu selalu mengutamakan cinta negara dan bangsa. Oleh karena itu, di dalam hati kecil Han Sin juga terpendam rasa tidak suka kepada bangsa Mancu yang telah menjajah negara dan tanah airnya. Kalau ia teringat akan hal ini, teringat pula bahwa Ban Kim Cinjin adalah utusan kaisar Ceng karena itu berarti kaki tangan pemerintah penjajah, kecemasan bahwa ia telah menjadi sebab kematian orang itupun berkurang.

Pemuda ini yakin sepenuh hatinya bahwa dia tidak akan menghadapi malapetaka di puncak bukit itu, di depan para ketua Cin-ling-pai. Orang tak bersalah takkan kalah, demikian pelajaran di dalam kitab-kitabnya. Ah, Han Sin masih terlalu hijau, belum terbuka matanya bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang yang menyeleweng dari pada kebenaran, orang yang tidak mengenal atau sengaja tidak mau mengenal keadilan, yang tidak perduli akan kebajikan, hanya menurunkan nafsu hati berdasarkan keuntungan untuk diri sendiri!

Dengan dada lapang dan pikiran ringan pemuda ini menurut saja digiring ke puncak dalam keadaan terbelenggu seperti seorang penjahat besar. Dia toh tidak salah, pikirnya. Dia dan adiknya melewati gunung itu dan dihadang serta diganggu oleh para tosu, kemudian diapun bermaksud baik ketika mencegah Ban Kim Cinjin agar kakek itu tidak melakukan pembunuhan besar-besaran. Betul kakek itu telah binasa karena tangkisannya, namun ia tidak sengaja bermaksud hendak membunuh orang. Demikian sambil berjalan Han Sin berpikir dan hatinya tenteram.

Pada masa itu, ketua Cin-ling-pai yaitu Giok Thian Cin Cu, merupakan seorang di antara tokoh- tokoh terbesar di dunia persilatan. Kakek ini jarang memperlihatkan diri, apalagi kepada dunia ramai, bahkan para anggauta Cin-ling-pai sendiri jarang ada yang melihatnya karena kakek ini selalu menyembunyikan diri di dalam kamar pertapaannya. Selain bertapa dan memperdalam keahliannya dalam ilmu silatnya yang terkenal, yaitu Im-yang-kun dan Cin-ling-kun yang menjadi ilmu silat wasiat dari para tosu Cin-ling-pai, kakek inipun dengan diam-diam sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat baru yang amat hebat. Tiga tahun yang lalu di dalam perantauannya Giok Thian Cin Cu bertemu dengan paman gurunya yang paling muda dan yang masih hidup di antara gurunya dan paman-paman gurunya, yaitu seorang pendeta aneh yang sudah disebut setengah dewa berjuluk Hui-kiam Koai-sian (Dewa Aneh Berpedang Terbang)! Hui-kiam Koai-sian ini dari nama julukannya saja sudah dapat diketahui bahwa dia adalah seorang manusia aneh ahli pedang. Lebih dari dua puluh lima tahun yang lalu dia masih menjagoi kalangan kang-ouw, akan tetapi tiba-tiba ia melenyapkan diri dan semenjak itu namanya tak pernah disebut orang. Oleh karena hal itu telah puluhan tahun, maka lambat laun namanya lenyap dan jarang ada orang kang-ouw mengenal namanya, kecuali tokoh yang tua-tua.

Dapat dibayangkan betapa girang hati Giok Thian Cin Cu ketika pada suatu hari, dalam perantauannya, di daerah Telaga Barat yang amat sunyi, ia bertemu dengan Susioknya ini. Hui-kiam Koai-sian yang melihat sinar mata murid keponakannya itu mengeluarkan cahaya dan wajahnya mengandung kebijaksanaan, menjadi girang karena maklum bahwa murid keponakan ini telah memperoleh kemajuan pesat, baik di bidang ilmu silat maupun di bidang kerohanian.

Apalagi ketika mendengar bahwa murid keponakan ini telah menjadi ketua Cin-ling-pai yang ia dengar tidak sudi tunduk kepada pemerintah Mancu, ia makin bangga. Dalam kegirangannya, ia berkenan menurunkan ilmu pedangnya, yaitu Lo-hai-hui-kiam (Pedang Terbang Pengacau Lautan). Tentu saja dalam waktu pertemuan yang amat singkat, Hui-kiam Koai-sian hanya menurunkan teori-teorinya saja dengan pesan agar ilmu ini jangan dipergunakan sebelum dilatih sampai sempurna.

Sepulangnya ke puncak Cin-ling-san, Giok Thian Cin Cu lalu menyembunyikan diri di dalam kamarnya dan diam-diam secara rahasia ia melatih ilmu pedang baru itu. Melatih sampai tiga tahun belum sempurna betul, padahal dilakukan oleh seorang ahli silat selihai Giok Thian Cin Cu, betul- betul dapat dibayangkan. Agar perhatiannya untuk mempelajari ilmu baru ini tidak terganggu, Giok Thian Cin Cu lalu menyerahkan semua urusan kepada kedua orang muridnya yang menjadi murid kepala, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan urusan di luar Cin-ling-pai, diserahkan kepada Cin-ling Sam-eng, murid-muridnya yang bertingkat dua.

Adapun dua orang murid kepala itu, It Cin Cu dan Ji Cin Cu, adalah dua orang tosu berusia empat puluh tahunan yang pendiam. Kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi. It Cin Cu lebih banyak mewarisi ilmu pedang suhunya sedangkan Ji Cin Cu lebih banyak mewarisi ilmu lweekang. Biarpun ada perbedaan ini, namun pada umumnya ilmu silat mereka setingkat dan di masa itu kiranya hanya sedikit orang yang akan mampu mengatasi mereka.

It Cin Cu tinggi kurus bertahi lalat di pipi kanannya, sedangkan Ji Cin Cu orangnya gemuk pendek seperti arca Buddha maka ia mendapat julukan Siauw-bin-hud (Arca Buddha Tertawa) karena memang air mukanya ramah sekali dan selau tersenyum. Sebaliknya It Cin Cu bermuka muram dan angker maka ia mendapat julukan Thio-te-kong (Malaikat Bumi).

Biasanya, Cin-ling Sam-eng selalu dapat membereskan semua urusan luar tanpa mengganggu kedua orang suhengnya ini. Maka berkerutlah jidat It Cin Cu ketika tiga orang sute ini menghadap mereka dan minta mereka memutuskan sebuah urusan luar. Apa lagi ketika mendengar bahwa tiga orang sutenya ini minta keputusan akan diri seorang pemuda mata-mata yang mengacau Cin-ling-san.

“Sute, urusan mata-mata saja kenapa kalian bertiga tidak bisa membereskan sendiri?” tegurnya dengan keren.

“Suheng, urusan ini bukan hanya mengenai diri pemuda yang mencurigakan itu, akan tetapi menyangkut pula diri Ban Kim Cinjin yang datang sebagai utusan kerajaan Ceng,” kata Hap Tojin yang kelihatan takut menghadapi suheng yang memang amat keren dan galak itu. Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tersenyum lebar, lebih lebar dari biasanya karena memang ia selalu tersenyum. Ia menggerakkan tangan kanannya tak sabar. “Urusan dengan kerajaan bangsa Mancu itupun tidak penting, masa kalian tidak bisa membereskan setelah kalian tahu pendirian kita yang tidak mau tahu menahu tentang urusan negara dengan pemerintah Mancu?”

“Bukan demikian soalnya, ji-suheng.” Kata pula Hap Tojin. Terhadap Ji Cin Cu yang ramah dan jarang marah, ia lebih berani. “Soalnya ialah pemuda itu dengan adik perempuannya telah membunuh mati Ban Kim Cinjin di daerah kita.”

Dua orang murid kepala Cin-ling-san melengak dan memandang heran. Adanya mata-mata di daerah Cin-ling-san bukan hal aneh karena pada masa itu memang banyak sekali persaingan dan permusuhan dengan partai-partai lain yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Juga datangnya utusan dari pemerintah Ceng bukan hal yang mengherankan.

Akan tetapi Ban Kim Cinjin terbunuh oleh orang-orang muda? Ini amat menarik. Biarpun kepandaian Ban Kim Cinjin tidak bisa disamakan dengan kelihaian suhengnya, Hoa Hoa Cinjin, namu kakek itu adalah seorang tokoh besar yang berkepandaian tinggi. Sekarang terbunuh orang lain di daerah mereka, dan kalau sampai Hoa Hoa Cinjin tidak mau terima dan meluruk ke situ, hal ini akan menjadi cukup penting dan berbahaya!

“Dua orang muda kakak beradik membunuh Ban Kim Cinjin katamu?” tanya It Cin Cu memandang tajam.

“Soalnya tidak jelas,” Hap Tojin menerangkan dengan muka merah karena memang ia masih ragu- ragu. “Ban Kim Cinjin memaksa hendak naik menemui suhu. Tentu saja kami melarang dan terjadi pertempuran. Beberapa orang sute rendahan kami telah roboh oleh kakek itu. Tiba-tiba pemuda itu maju mencegah dan ia dipukul oleh Ban Kim Cinjin. Kesudahannya, malah Ban Kim Cinjin yang tewas secara aneh, tanpa dipukul oleh pemuda itu. Siauwte sendiri dan saudara-saudara semua tidak tahu siapakah yang membunuhnya, apakah pemuda yang kelihatan lemah dan telah kami tawan, apakah adiknya yang sudah pergi ataukah ada orang lain yang bersembunyi dan membantu mereka dengan diam-diam.”

Dengan jelas Hap Tojin lalu menceritakan semua kejadian itu dan kedua orang suhengnya mulai tertarik. Apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu seperti orang yang tidak mengerti ilmu silat dan betapa pemuda itu menanggung jawab semua kesalahan dan menyuruh adik perempuannya pergi. Ini benar-benar aneh dan menarik.

“Bawa dia ke sini!” kata It Cin Cu tidak sabar lagi.

Hap Tojin keluar dan tak lama kemudian ia kembali ke dalam ruangan itu sambil mengiringkan Han Sin yang masih dibelenggu. Dua orang murid kepala Cin-ling-pai itu memandang ke depan dan melihat seorang pemuda taruna yang tampan dan halus gerak-geriknya, sedikitpun langkahnya tidak membayangkan keahlian silat, pakaiannya robek dan tubuh bagian atas terbelenggu. Namun pemuda itu wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu, malah tersenyum tenang dan mengangkat dada. Ketenangan yang wajar tidak dibuat-buat sehingga dua pasang mata murid kepala Cin-ling- pai yang amat tajam itu diam-diam memandang kagum.

Han Sin melangkah maju ke depan dua orang tosu itu dan menjura dengan hormat tapi kaku karena tubuhnya diikat. It Cin Cu menunjuk ke sebuah bangku dan Han Sin lalu menduduki bangku itu.

Sebagai seorang pendeta, It Cin Cu tetap memakai sopan-santun, biarpun ia hanya menunjuk karena tentu saja ia tidak memandang kepada seorang pemuda seperti ini. “Congsu, siapakah nama, murid siapa dan apa perlunya congsu berdua adik datang menimbulkan keributan di Cin-ling-san?” tanyanya singkat dan bernada keras.

Han Sin kecewa. Di dalam kitab-kitabnya yang mengandung pelajaran kebatinan, orang diajar bersopan-santun, lemah lembut dan ramah terhadap sesama manusia. Apalagi yang sudah menjadi pendeta, tentu lebih-lebih bersikap halus, tidak sekasar tosu tinggi kurus yang bertahi lalat di pipi kanannya itu. Namun Han Sin tetap bersikap tenang dan sabar, ingat akan pelajaran di dalam kitab- kitabnya bahwa “yang baik harus ditiru dan yang keliru dinasehati”.

“Totiang, aku yang bodoh she Cia bernama Han Sin datang dari Min-san di sebelah barat. Guruku adalah seorang siucai miskin bernama Thio-sianseng. Adapun aku dan adikku sebetulnya sama sekali tidak bermaksud menimbulkan keributan di Cin-ling-san. Kami hanya lewat saja akan tetapi dicegat dan diserang oleh para tosu di Cin-ling-san.”

Han Sin memang tidak mau menyebut nama Ciu-ong Mo-kai sebagai gurunya, karena selain ia merasa tidak patut menyebut murid kakek sakti itu, juga bukankah Ciu-ong Mo-kai berpesan bahwa kalau menghadapi kesukaran ia harus menyebut namanya untuk mencari keselamatan? Dia tidak merasa menghadapi kesukaran karena yakin bahwa dia tidak bersalah. Perlu apa mesti menggunakan nama besar Ciu-ong Mo-kai untuk menakut-nakuti orang dan untuk mencari selamat? Ia anggap hal ini tidak patut dan malah merendahkan nama besar pengemis sakti itu.

Tentu saja para tosu tidak pernah mendengar nama Thio-sianseng. Dan makin rendah pandangan mereka terhadap pemuda tampan ini. Akan tetapi tidak demikian dengan dua orang murid kepala Cin-ling-san. Sikap Han Sin yang penuh kehalusan dan sopan-santun itu membuat mereka diam- diam makin curiga. Bocah seperti ini sudah pasti bukan bocah sembarangan yang berandalan dan lancang.

“Kenapa kau membunuh Ban Kim Cinjin?” tanya It Cin Cu pula.

Han Sin menggerakkan pundaknya. “Aku sendiripun tidak tahu bagaimana aku bisa membunuhnya,” jawab pemuda ini dengan jujur. “Agaknya dia mempunyai penyakit jantung yang berat. Begitu dia menyerangku, eh, tahu-tahu dia terjungkal dan mati. Di dalam hatiku, jangankan membunuh manusia, membunuh seekor ayampun kalau bisa jangan sampai kulakukan itu.”

It Cin Cu dan Ji Cin Cu saling pandang. “Sute,” kata It Cin Cu kepada Ji Cin Cu. “Coba kau periksa tubuh Ban Kim Cinjin!”

Siauw-bin-hud Ji Cin Cu melengeh dan biarpun tubuhnya gemuk pendek, begitu tubuh itu digerakkan tahu-tahu ia telah berada di luar pintu. Han Sin sampai terbelalak memandang keanehan ini. Apakah tosu gendut itu bisa terbang? Tak lama Ji Cin Cu masuk lagi, juga cepat seperti tadi.

Memang si gendut ini hendak memperlihatkan kepandaiannya kepada Han Sin untuk melihat reaksi pemuda itu. Melihat pemuda itu dengan muka wajar terheran-heran, diam-diam ia makin tidak mengerti.

“Suheng, isi dadanya remuk terkena hawa pukulan lweekang yang hebat. Tenaga pukulan yang merusak isi dada itu kiranya tidak lebih rendah dari pada tenaga kita berdua disatukan. Hebat sekali! Bocah ini tentulah bukan pembunuhnya,” kata Ji Cin Cu.

Kembali It Cin Cu mengerutkan kening. “Bocah she Cia, apakah selain adikmu, masih ada orang lain yang datang bersamamu di bukit ini?”

Han Sin mengangguk. “Memang ada!” Semua orang kaget. It Cin Cu dan Ji Cin Cu mengepal tangan, siap mendengar siapakah yang datang bersama anak muda ini, tentulah seorang sakti, yang sudah terkenal. Dengan muka sejujurnya Han Sin meneruskan jawabannya.

“Selain aku dan adikku masih ada Siauw-ong.”

Di antara semua tosu yang hadir, kiranya yang lebih banyak pengalamannya di dunia luar dan mengenal semua orang-orang gagah, hanyalah Cin-ling Sam-eng.

“Hap-sute, kenalkah kau seorang locianpwe berjuluk Siauw-ong?” tanya It Cin Cu kepada Hap Tojin, orang tertua dari Cin-ling Sam-eng.

Hap Tojin menggeleng kepala. “Ada Kim-i Tok-ong (Raja Racun Baju Sulam) ada Ban-jiu Touw- ong (Raja Copet Tangan Selaksa) ada Hui-thian Mo-ong (Raja Setan Terbang) dan banyak tai-ong tai-ong (sebutan kepala perampok) yang siauwte kenal, akan tetapi Siauw-ong (Raja Muda) tidaklah pernah dipergunakan orang kang-ouw sebagai nama julukan. Siauwte tidak mengenal nama ini,” jawab Hap Tojin.

It Cin Cu menoleh kepada Han Sin.

“Siauw-ong yang kau sebut itu adalah cianpwe dari golongan dan partai manakah?”

Han Sin maklum bahwa jawabannya tadi telah mendatangkan salah paham, diam-diam ia menjadi geli. Akan tetapi kesopanan melarang dia mentertawakan mereka itu. Dengan muka masih tenang dan sikap tidak berubah ia menerangkan, “Siauw-ong dari golongan monyet atau munyuk, bukan golongan lutung hitam, tidak berpartai. Dia adalah monyet kecil yang kami pelihara semenjak kecil.”

Mendengar keterangan ini, terdengar suara ketawa kecil di antara para tosu yang dibikin kecele. Mereka tadi sudah tegang hendak mendengar siapa adanya “locianpwe” itu, tidak tahunya seekor kera! It Cin Cu memutar matanya penuh teguran dan suara ketawa itu berhenti seketika. Akan tetapi suara ketawa yang paling keras datang dari mulut Ji Cin Cu, dan It Cin Cu tidak mau menegur sutenya ini di depan orang banyak. Ia berlaku tenang serius.

“Selain kera itu, siapa lagi yang ikut datang?” “Tidak ada lagi, totiang,” jawab Han Sin.

It Cin Cu mengerutkan kening. Inilah aneh, pikirnya. Apakah ada orang luar biasa yang tidak dikenal pemuda ini yang diam-diam membantunya dan membunuh Ban Kim Cinjin? Hal itu bukan urusan Cin-ling-pai, akan tetapi karena pembunuhan dilakukan di Cin-ling-san dan Ban Kim Cinjin adalah utusan kerajaan Ceng, itulah amat berbahaya. Tiba-tiba ia mengulurkan tangan kanan menepuk pundak Han Sin. Sebelum tangannya menyentuh pundak, Han Sin merasa datangnya angin pukulan yang hebat.

Pemuda ini terikat kedua tangannya, tak dapat ia menangkis. Akan tetapi begitu tangan itu menyentuh pundaknya, It Cin Cu berseru perlahan dan menarik kembali tangannya. Ia merasai pundak yang empuk seperti kapas akan tetapi yang dibawahnya mengandung tenaga menyedot luar biasa kuatnya sehingga tenaga pukulannya amblas! Inilah lweekang yang amat tinggi tingkatnya. Ia membelalakkan matanya dan membentak.

“Anak muda, jangan kau main-main! Siapa gurumu?” Han Sin memang tidak tahu akan peristiwa yang terjadi tadi. Tanpa ia sadari, sinkang di tubuhnya secara otomatis mengalir ke pundak membangkitkan tenaga penolakan yang luar biasa. Inilah karena kematangan latihan samadhinya, yang membuat ia seperti dalam keadaan samadhi di setiap detik. Bahkan ketika ia tidur, pernapasannya masih tetap saja lambat dan halus seperti dalam keadaan siulian. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi ketika tosu tadi menepuk pundaknya.

“Sudah kuterangkan tadi, totiang, guruku Thio-sianseng yang mengajarku membaca, menulis, dan menggambar,” jawabnya, suaranya tetap dan pandang matanya memancarkan kejujuran. Ketika menentang pandang mata pemuda itu, lagi-lagi It Cin Cu dan Ji Cin Cu terkejut karena melihat sinar mata yang membuat mereka tidak tahan lama-lama memandang.

“Kau telah membunuh utusan kerajaan di daerah kami. Terpaksa kami harus menyerahkan kau kepada pemerintah Ceng untuk mencuci bersih tangan kami. Masukkan dia di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka)!” perintahnya kepada para sutenya.

Cin-ling Sam-eng lalu menggusur tubuh Han Sin, dibawa ke sebelah belakang bangunan, lalu menurunkan pemuda itu dengan sehelai tambang ke dalam sebuah jurang. Yang disebut Can-tee- gak itu adalah sebuah jurang yang amat terjal dan sekali orang dimasukkan ke situ, jangan harap akan dapat keluar lagi tanpa pertolongan. Jangankan dalam keadaan terikat badannya, biarpun bebas kaki tangannya, teramat sukarlah untuk dapat keluar dari situ. Tempat ini memang disediakan untuk menghukum para anak murid yang melanggar peraturan. Memang Cin-ling-pai amat keras dan berdisiplin, maka para anak muridnya juga tidak ada yang pernah menyeleweng.

08. Kecerdikan Puteri Thio-ciangkun

KETIKA diturunkan di dalam jurang itu, Han Sin masih tenang saja. Ia mendapatkan dirinya di dalam ruangan yang merupakan dasar jurang. Baiknya tanah di situ kering dan lebarnya ada empat lima meter. Di belakang dan depan dinding batu yang amat tinggi, di kiri kanan jurang yang lebih dalam lagi. Sukar bagi seorang manusia untuk melarikan diri dari tempat ini, kecuali kalau dia bisa terbang. Han Sin menarik napas panjang, duduk menyandarkan punggung di dinding batu. Dia memang tidak mempunyai pikiran untuk lari. Mengapa lari? Tentu aku ditahan hanya untuk sementara waktu selagi para tosu ini mengadakan perundingan untuk memutuskan urusan ini, pikirnya. Hawa di situ enak, angin gunung menghembus melalui kanan kiri dinding batu, segar dan sejuk membuat dia mengantuk. Tak lama kemudian pemuda ini tertidur sambil bersandar batu.

****

Tepat dugaan Han Sin. Di puncak Cin-ling-san, dua orang tosu murid kepala bersama sutenya mengadakan perundingan mengenai peristiwa yang cukup penting bagi Cin-ling-pai itu.

“Gadis itu ilmu silatnya lihai juga, dan aneh gerakan-gerakannya. Akan tetapi tenaganya belum seberapa dan ilmu silatnya itupun belum matang benar,” demikian Hap Tojin menerangkan kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. “Monyet kecil itupun hanya gesit saja, apa sih anehnya pada diri seekor monyet kecil? Pemuda itu biarpun sikapnya amat aneh, namun terang dia tidak mengerti ilmu silat. Ini dapat dilihat dari gerak-geriknya, malah ia terguling roboh ketika berlari dan kakinya tersandung batu. Masa seorang ahli silat bisa roboh begini? Akan tetapi, suheng, sekali tangkis dia bisa menewaskan Ban Kim Cinjin! Bukankah hal ini aneh di atas aneh!”

“Ajaib sekali!” seru Ji Cin Cu yang tersenyum-senyum terus.

It Cin Cu mengerutkan kening. “Tidak bisa lain, tentu ada orang pandai yang diam-diam menggunakan kesempatan itu membunuh Ban Kim Cinjin. Tak mungkin kalau hanya untuk menolong pemuda itu ia harus membunuh Ban Kim Cinjin, tentu dia sengaja membunuh di daerah ini agar kita bentrok dengan pemerintah Ceng. Inilah hebat.”

“Kenapa susah-susah, twa-suheng?” kata Ji Cin Cu. “Pemuda itu sudah kita tangkap, tinggal serahkan saja dia kepada pemerintah Ceng sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin. Bukankah itu beres dan tangan kita tercuci bersih?”

Ucapan ini agaknya memuaskan Cin-ling Sam-eng, mereka mengangguk-angguk membenarkan. Akan tetapi It Cin Cu menggeleng kepala perlahan. “Gampang diomongkan, susah dilaksanakan.”

“Kenapa begitu, suheng?” tanya Hap Tojin.

“Apa sih susahnya membawa pemuda she Cia itu ke kota raja?”

“Apa kalian kira pemerintah Ceng begitu bodoh seperti anak kecil? Mereka mempunyai banyak orang-orang lihai. Kalau kita menyerahkan pemuda itu kepada mereka sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin dan mereka mendapat kenyataan bahwa pemuda itu tolol tidak mengerti ilmu silat, apakah mereka mau percaya bahwa pemuda itu membunuh Ban Kim Cinjin? Jangan-jangan malah kita makin dicurigai!”

Semua tosu melengak mendengar ini dan baru terbuka mata mereka bahwa memang hal ini amat sukar dilaksanakan. Siapapun orangnya, mereka sendiri juga, tak mungkin bisa percaya seorang pemuda yang kesandung batu saja roboh bisa membunuh seorang tokoh besar seperti Ban Kim Cinjin. Ji Cin Cu mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata,

“Heh heh, kau betul, twa-suheng. Kau betul, heh heh heh. Habis, apakah kita harus melaporkan hal ini kepada suhu dan minta keputusan suhu?”

It Cin Cu menarik napas panjang. “Suhu sedang sibuk meyakinkan ilmu pedang yang baru. Sudah dua bulan suhu tidak keluar kamar, dan beliau melarang kita mengganggu. Apa kau tidak ingat? Masa untuk urusan kecil ini kita harus mengganggunya?

“Tidak, itu aku tidak berani.”

“Habis, bagaimana kita harus menyelesaikan urusan ini?” Hap Tojin kuatir.

“Tidak ada lain jalan. Kau kubur dengan diam-diam jenazah Ban Kim Cinjin dan pura-pura tidak tahu bahwa kakek itu pernah menginjakkan kaki di bukit Cin-ling-san. Toh tidak ada orang lain tahu akan pembunuhan itu.”

Semua orang menganggap keputusan ini baik sekali. “Dan bagaimana dengan orang she Cia itu?” tanya Ji Cin Cu.

“Biar untuk sementara kita tahan dulu di sini, perlahan-lahan kita mencari keputusan yang baik,” jawab suhengnya.

Segera para tosu Cin-ling-pai bekerja. Jenazah Ban Kim Cinjin dimasukkan ke dalam peti mati yang tebal dan kuat. Karena mereka semua adalah orang-orang beribadat, maka tentu saja tidak melanggar peraturan. Jenazah itu sebelum dikebumikan, mereka sembahyangi lebih dulu. It Cin Cu bersembahyang sambil berkata keras,

“Ban Kim Cinjin, kau tahu sendiri bahwa kematianmu bukan disebabkan oleh Cin-ling-pai, oleh karena itu untuk menyingkirkan salah mengerti antara kami dengan kawan-kawanmu, terpaksa kami mengubur kau dengan diam-diam. Harap rohmu mendapat tempat yang baik.” Hio yang mengebul asap putih ditancap dan semua tosu ikut bersembahyang lalu membaca doa.

Pada saat itu secara tiba-tiba muncul empat orang. Mereka ini adalah tiga orang pengemis tua dan seorang gadis yang cantik jelita. Tadinya para tosu kaget mengira bahwa yang datang adalah Bi Eng yang membawa teman-teman untuk menolong Han Sin, akan tetapi setelah mereka datang dekat, ternyata gadis itu bukan Bi Eng.

Dia seorang gadis yang berpakaian indah dan mewah, mukanya bulat telur, berkulit putih halus, rambutnya yang hitam panjang itu di gelung ke atas secara istimewa dan indah seperti gelung para puteri keraton. Cantik manis bukan kepalang gadis ini, hanya sepasang matanya memancarkan sinar galak dan bibir yang manis itu membayangkan kekerasan hatinya. Seorang gadis muda yang angkuh, ini mudah sekali dilihat.

Tiga orang pengemis itu usianya lima puluhan tahun lebih. Pakaian mereka tambal-tambalan, anehnya biarpun tambal-tambalan dan butut, mereka itu pakaiannya sama, seragam! Tidak hanya potongan dan warnanya, bahkan tambal-tambalannya pun sama, sekain sewarna. Di tangan mereka terlihat tongkat yang aneh pula karena bentuknya seperti ular kering, terbuat dari logam hitam yang kelihatannya berat. Lucunya, tiga orang pengemis tua itu, kaki kirinya bersepatu butut akan tetapi kaki kanan telanjang!

Tadinya para tosu tidak memandang mata kepada empat orang yang baru muncul ini, akan tetapi ketika It Cin Cu, Ji Cin Cu dan Cin-ling Sam-eng melihat tongkat mereka yang berbentuk ular, mereka ini menjadi terkejut dan menduga-duga.

Cin-ling Sam-eng memang bertugas di luar, maka tanpa minta perkenan dari kedua orang suhengnya, mereka bertiga segera berdiri dan menyambut empat orang tamu itu. Hap Tojin menjura dan berkata.

“Sam-wi Lo-enghiong ada keperluan apakah menaiki puncak? Mohon maaf kami para tosu Cin- ling-pai tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya karena kami sedang berkabung.” Ia menuding ke arah peti mati.

Tiga orang kakek pengemis itu memandang ke arah peti dan seorang di antara mereka yang matanya buta sebelah kiri, melangkah setindak dan bertanya, “Siapakah yang mati itu, harap saja bukan Giok Thian Cin Cu si orang tua.”

Tak senang hati para tosu Cin-ling-pai mendengar pengemis mata satu ini menyebut julukan ketua mereka begitu saja, agaknya memandang rendah saja. Hap Tojin yang sudah banyak mengenal orang kang-ouw, memandang penuh perhatian kepada si mata satu, lalu menjura dan menjawab. “Bukan ketua kami yang kembali ke alam asal. Lo-enghiong ini apakah bukan Tok-gan Sin-kai, yang terkenal di antara para orang gagah dari Coa-tung Kai-pang (Perkumpulan pengemis tongkat ular) dari utara?”

Pengemis mata satu itu tertawa, “Awas sekali mata tosu-tosu Cin-ling-pai. Kalian bertiga ini tentulah Cin-ling Sam-eng.”

“Kami bertiga yang bodoh, murid-murid Cin-ling-pai yang rendah tingkatnya mana berani menggunakan julukan Sam-eng? Tok-gan Sin-kai, seingat kami, antara Cin-ling-pai dan Coa-tung Kai-pang tidak pernah ada urusan apa-apa, sekarang kau datang ke sini ada keperluan apakah?”

“Kami datang mencari Ban Kim Cinjin!” Pernyataan ini membuat wajah para tosu menjadi pucat. Dan dalam pikiran It Cin Cu dan Ji Cin Cu timbul dugaan yang membuat muka mereka merah. Apakah tidak boleh jadi kalau pengemis mata satu ini yang diam-diam membunuh Ban Kim Cinjin kemudian pura-pura datang untuk menelanjangi mereka?

“Di mana Ban Kim Cinjin? Dia naik ke sini, bertempur dengan kalian lalu lenyap,” desak pula Tok- gan Sin-kai dengan suara garang. “Ketahuilah, kami bertiga mengantar nona Thio ini yang mewakili ayahnya, Thio-ciangkun, bersama Ban Kim Cinjin menjadi utusan kaisar. Ban Kim Cinjin berjalan lebih dulu karena tidak ingin mengagetkan kalian tosu-tosu Cin-ling-pai dengan kunjungan banyak orang. Di mana dia?”

Kecurigaan It Cin Cu dan Ji Cin Cu lenyap, dan kini mereka malah kaget sekali. Celaka, pikir mereka sebelum mayat Ban Kim Cinjin dikubur, datang utusan-utusan kaisar ini. Kalau sampai rahasia terbuka, tak dapat tiada pasti akan timbul keributan.

Cin-ling Sam-eng juga mempunyai pikiran seperti itu. Hap Tojin lalu berkata sambil tersenyum. “Coa-tung Kai-pang telah bersekutu dengan pemerintah baru, itu bukan urusan kami orang-orang Cin-ling-pai. Kenapa kami harus mencelakakan utusan kaisar?”

Tiba-tiba gadis yang pendiam dan kelihatan galak itu menggerakkan kakinya. Ringan bagaikan burung walet tubuhnya melayang ke dekat peti mati dan sebelum ada orang menduga apa yang hendak dilakukannya dan sebelum mereka sempat mencegah, gadis itu telah mengayunkan tangan kirinya ke arah peti mati.

“Brakk!” Tutup peti mati itu pecah terbuka dan kelihatanlah mayat Ban Kim Cinjin membujur kaku di dalam peti mati. Nona itu mengeluarkan seruan tertahan dan meloncat mundur dekat tiga orang pengemis tadi, wajahnya yang cantik berobah bengis. Sungguh mengherankan orang kalau melihat kejadian itu. Tangan nona manis itu berkulit halus dan putih, agaknya tak pernah bekerja kasar, bagaimana sekali gempur saja tutup peti mati yang demikian tebalnya sampai pecah? Benar-benar ia menunjukkan bahwa lweekang nona itu sudah tinggi tingkatnya dan kepandaiannya pun hebat.

Semua orang tosu menahan napas saking tegang hatinya. Dipukulnya peti mati itu bukan merupakan hinaan bagi mereka karena di dalam peti mati adalah mayat Ban Kim Cinjin. Akan tetapi, terbukanya peti mati itu sekali gus membuka rahasia mereka yang hendak menyembunyikan tentang kematian Ban Kim Cinjin.

Tiga orang pengemis itu bersinar-sinar matanya karena marah. “Hemm, tidak kusangka tosu-tosu Cin-ling-pai pandai membohong dan curang!” seru pengemis mata satu. Matanya yang sebelah kanan berkilat menyapu ke arah Cin-ling Sam-eng, penuh ancaman.

Hap Tojin mengeluarkan suara ketawa nyaring untuk menindas hatinya yang tadi terguncang. “Tok- gan Sin-kai, jangan sembarangan saja kau membuka mulut memaki orang! Sejak kapan kami orang- orang Cin-ling-pai membohong?”

“Tosu tua bau!” Tok-gan Sin-kai marah sekalidan melangkah maju. “Tadi mulutmu sendiri yang menyangkal membunuh Ban Kim Cinjin. Di dalam peti mati itu mayat siapa lagi kalau bukan mayat Cinjin? Apa mulutmu yang bau masih hendak bilang mayat itu tidak mati?” Sambil berkata demikian, Tok-gan Sin-kai menggerakkan tongkat ularnya yang dengan gerakan berputaran menghantam kepala Hap Tojin.

“Sratt!” Sebatang pedang telah berada di tangan Hap Tojin dan sekali pedangnya berkelebat, tongkat ular sudah ditangkisnya. “Traanggg!” Bunga api berpijar dan ternyata kini bahwa tongkat itu terbuat dari logam yang amat kuat. Hap Tojin terkejut sekali di dalam hatinya ketika merasa telapak tangannya panas dan sakit-sakit akibat benturan senjata itu.

“Pengemis tua, jangan kau memaki sembarangan!” Hap Tojin juga sudah marah karena pengemis itu mulai mendamprat. “Memang di dalam peti mati itu mayat Ban Kim Cinjin, siapa yang pernah menyangkal itu? Akan tetapi matinya bukan karena kami orang-orang Cin-ling-pai. Kalau kami bermusuh kepadanya dan membunuhnya, masa kami sudi bersusah payah mengurus penguburannya dan menyembayanginya?”

Ucapan ini masuk akal dan agak menyabarkan hati Tok-gan Sin-kai. Ia lalu melangkah maju menghampiri mayat di dalam peti itu. Biarpun Ban Kim Cinjin adalah seorang tokoh besar yang memiliki kedudukan tinggi juga di antara para pembantu pemerintah Ceng, namun karena bukan seorang tokoh partainya, pengemis mata satu ini juga tidak banyak menaruh hormat. Dengan sembarangan saja ia memeriksa tubuh Ban Kim Cinjin, membuka bajunya dan melihat di bagian dada itu biru-biru menghitam, tanda bahwa matinya terkena pukulan hebat.

“Cin-ling Sam-eng, apa kau mau bilang bahwa orang ini mati sendiri tanpa sebab?” ia mengejek sambil mundur lagi dua langkah.

“Tok-gan Sin-kai, dia mati dipukul orang. Cuma saja, siapa orangnya, itu kami masih sedang menyelidiki.”

“Hemm, omongan bayi! Dia adalah utusan pemerintah dan datang ke sini untuk memenuhi tugas. Tahu-tahu dia mati di sini, di antara para tosu Cin-ling-pai dan kau mau bilang bahwa kau tidak tahu siapa yang memukulnya sampai mati?” Dua orang pengemis yang lain mengeluarkan suara ejekan, dan gadis manis itu, yang tadi disebut Thio-Siocia (nona Thio) puteri Thio-ciangkun, berkata dengan nyaring dan keren.

“Tosu-tosu Cin-ling-pai kalau sudah membunuh, berlakulah sebagai orang gagah! Sudah berani membunuh mengapa takut mengaku dan menjelaskan sebab-sebabnya? Kami melihat sendiri tadi Cinjin bertempur dikeroyok beberapa orang tosu.”

“Cin-ling-pai tidak mempunyai anggauta pengecut tukang bohong. Kami selalu menjaga diri dengan pedang, tak pernah menggunakan pukulan curang. Andaikata Ban Kim Cinjin mati ditangan kami, tentulah matinya tertusuk pedang, Kami tahu Ban Kim Cinjin dibunuh orang akan tetapi belum tahu siapa pembunuhnya. Kalau kalian pecaya kepada kami, boleh kalian membawa pergi mayat Ban Kim Cinjin dan pergi dari sini dengan baik-baik. Kalau tidak percaya, terserah hendak berbuat apa. Aku Hap Tojin mewakili Cin-ling-pai sudah habis bicara!” Ia lalu berdiri dengan pedang melintang di dada akan tetapi menjura dengan hormat, ini tandanya ia menghormati para tamu akan tetapi tidak mau mengalah atau tunduk begitu saja.

“Bagus! Memang sudah lama aku mendengar nama besar Cin-ling Sam-eng yang tersohor gagah dan angkuh. Hendak kulihat sampai di mana kehebatannya!” Sambil berkata demikian, Tok-gan Sin-kai lompat menyerang Hap Tojin.

“Pengemis buta jangan main gila di Cin-ling-san!” seru Hap Tojin sambil memutar pedangnya menangkis. Di saat itu, berkelebat dua bayangan yang cepat mengurung pengemis mata satu itu, ternyata Hee Tojin dan Tee Tojin sudah maju membantu saudaranya itu.

“Tahan dulu, harap jangan menurutkan nafsu marah. Urusan ini baik dirundingkan secara damai!” Yang bicara adalah It Cin Cu yang bersama Ji Cin Cu semenjak tadi hanya duduk diam mendengarkan saja. Mendengar seruan suheng mereka, Cin-ling Sam-eng melompat mundur menahan senjata dan berdiri memandang kepada Tok-gan Sin-kai dengan mata melotot. Adapun Tok-gan Sin-kai ketika mendengar suara yang berpengaruh inipun tidak berani sembarangan turun tangan, lalu berdiri menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang sudah melangkah maju dengan tenang.

It Cin Cu menjura kepada pengemis mata satu itu, lalu berkata, suaranya tenang. “Tok-gan Sin-kai lo-sicu harap maafkan sute-sute kami yang berdarah panas. Biasanya, urusan mengenai Cin-ling-pai memang sudah kami serahkan kepada ketiga orang sute kami ini, akan tetapi mengingat bahwa urusan kali ini bukan kecil dan amat pentingnya, terpaksa pinto berdua ikut-ikut.”

Tok-gan Sin-kai balas menjura. Kalau dua orang ini adalah suheng-suheng (kakak-kakak seperguruan) Cin-ling Sam-eng, maka mereka ini bukanlah orang sembarangan. “Ucapan totiang lebih menarik hati, memang bukan maksud kami datang ke Cin-ling-san untuk berkelahi. Tidak tahu siapakah totiang dan ada petunjuk apakah?”

“Sam-wi losicu dan nona jauh-jauh datang dan kami tidak dapat menyambut secara sewajarnya, harap banyak maaf. Seperti cu-wi (tuan sekalian) melihatnya, kami sedang menjalankan upacara sembahyang dan memang pada kematian Ban Kim Cinjin ini terselip hal-hal yang amat aneh.

Bukan bohong ketika para sute tadi mengatakan bahwa kami sendiri merasa berhadapan dengan teka-teki sulit dan masih meraba-raba dan menduga-duga siapa sebenarnya pembunuh Ban Kim Cinjin.” Kemudian dengan suara tenang dan sabar It Cin Cu menceritakan peristiwa yang telah terjadi di Cin-ling-san. Sebagai penutup ceritanya ia berkata,

“Untuk penyelidikan, kami sengaja menahan bocah she Cia itu dan mengurungnya di Can-tee-gak.”

Mendengar ini, nona cantik yang tadi diperkenalkan sebagai Thio-Siocia puteri dari Thio-ciangkun (perwira Thio) melompat dan sekali tangannya menyambar, ia telah menangkap seorang tosu terdekat. Tosu itu mencoba untuk menangkis, akan tetapi sekali totok tubuhnya lumpuh dan leher bajunya sudah dicengkeram oleh nona yang gagah ini!

“Ayoh, antar aku ke Can-tee-gak!”

It Cin Cu tersenyum kecil dan Ji Cin Cu tertawa lebar. “Hayaa, sute, kau benar-benar sial!” katanya kepada tosu yang ditangkap oleh nona Thio yang sebenarnya bernama Thio Li Hoa. Nona ini adalah murid terkasih dari ketua Coa-tung Kai-pang (perkumpulan pengemis tongkat ular) dan selain mewarisi ilmu silat ketua Coa-tung Kai-pang, iapun sudah mewarisi kepandaian tunggal ayahnya, Thio-ciangkun. Maka biarpun tiga orang pengemis tongkat ular adalah terhitung suheng-suhengnya, namun dalam ilmu silat, kiranya dia tidak akan kalah oleh mereka.

It Cin Cu memandang kepada Thio Li Hoa dengan mata tajam. “Nona Thio, kau sungguh tidak memandang kami. Setelah kami berterus terang, mengapa menggunakan kekerasan? Tanpa mengeluarkan kepandaianmu, kami tentu bersedia mengantarmu membuktikan kebenaran ceritaku tadi.”

Mendengar ini, Li Hoa menjadi merah mukanya, akan tetapi dasar ia keras hati, ia hanya mendengus dan melepaskan cekalannya. Tosu itu ketika dilepaskan, lalu roboh terkulai dengan lemas. Ji Cin Cu mendekati dan sekali menepuk, tosu itu sudah sembuh kembali. Melihat ini, diam- diam Li Hoa memuji. Tak disangkanya, tosu gemuk pendek yang selalu tertawa itu demikian lihainya.

“Nona Thio, ketahuilah. Can-tee-gak berada di sebelah belakang puncak ini. Kau jalan dari sini ke belakang sampai dua li, membelok ke kiri setengah li dan tibalah kau di jurang Can-tee-gak. Dengan kepandaianmu, kau tentu akan dapat menuruni jurang itu dan memeriksa bocah she Cia yang menjadi tangkapan kami itu. Nah, tanpa diantarpun tentu nona tidak takut pergi seorang diri, bukan?” Ucapan Ji Cin Cu yang disertai suara ketawa ini memang dia sengaja. Tadi tosu itu diam- diam merasa mendongkol melihat kekasaran nona ini yang menghina seorang sutenya, maka ia sekarang sengaja memanaskan hati untuk membalas biar nona itu pergi sendiri mencari Cia Han Sin di tempat tahanannya. Ia tahu bahwa tidak mudah menuruni Can-tee-gak, maka sengaja ia berkata bahwa tentu nona itu tidak takut.

Memang Li Hoa berwatak keras. Mana dia kenal takut? Apalagi setelah orang berkata demikian tentu saja ia malu kalau tidak berani pergi sendiri. Ia tersenyum mengejek, tubuhnya berkelebat dan terdengar suaranya. “Kau lihat saja apakah aku tidak dapat menyeretnya ke sini!”

“Sumoi, biar aku menemanimu,” kata seorang pengemis sambil menggerakkan kaki hendak mengejar. Namun bayangan gadis itu yang sudah tidak kelihatan lagi menjawab dari jauh. “Tidak usah, suheng, jangan bikin aku ditertawai orang!” Pengemis itu menggeleng kepala, menarik napas panjang lalu memandang kepada Ji Cin Cu dengan mata melotot.

“Ha ha ha ha!” Ji Cin Cu yang dipelototi tertawa bergelak. “Nona itu jauh lebih berani dari suheng- suhengnya. Kagum, kagum !”

It Cin Cu lalu mempersilakan tamu-tamunya mengambil tempat duduk dan dia lalu melanjutkan upacara sembahyang yang tadi tertunda. Peti mati ditutup lagi dan upacara dilanjutkan dengan penuh khidmat sehingga tiga orang pengemis tua itu merasa tidak enak untuk mengganggu. Namun diam-diam mereka tidak bisa duduk diam dan hati mereka kebat-kebit kalau mengingat sumoi mereka yang pergi seorang diri hendak mengambil tawanan yang akan mereka paksa untuk mengaku siapa adanya pembunuh Ban Kim Cinjin.

Setelah upacara sembahyang selesai, It Cin Cu lalu minta kepada Tok-gan Sin-kai untuk menceritakan apakah sebetulnya tugas mereka dan usul apa gerangan yang diajukan oleh pemerintah Ceng kepada Cin-ling-pai. Dengan suara tinggi dan memperlihatkan sikap bangga sebagai utusan pemerintah Ceng, Tok-gan Sin-kaiyang kini setelah Ban Kim Cinjin tewas boleh dibilang menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin rombongan, lalu berkata,

“Karena ternyata bahwa pemerintah baru telah diperkenankan oleh Thian (Tuhan) memimpin rakyat, sudah sepatutnya kalau para orang gagah membantu pemerintah baru ini mengenyahkan segala kekacauan dan membantu penertiban di kalangan rakyat. Ada beberapa gelintir manusia tak tahu diri coba memberontak dan membangkang, aahh, tak lama lagi tentu mereka ini akan digilas hancur. Cin-ling-pai selama ini tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan pemerintah baru, hal ini amat menggirangkan hati Thio-ciangkun yang bertugas menertibkan para perkumpulan orang gagah di dunia kang-ouw. Akan tetapi, totiang, sikap diam tidak bermusuhan saja masih belum sempurna. Untuk mempererat hubungan dan kerja sama demi kepentingan rakyat jelata, sudah sepatutnya kalau Cin-ling-pai menggunakan kekuasaan dan nama besarnya untuk membantu usaha pemerintah. Dan adalah harapan besar dari Thio-ciangkun agar Cin-ling-pai suka mencari surat wasiat Lie Cu Seng yang lenyap di tangan mendiang Cia Sun si pemberontak di Min-san.”

Tok-gan Sin-kai berhenti bicara dan matanya yang tinggal satu itu memandang wajah It Cin Cu dan Ji Cin Cu bergantian dengan sinar mata penuh selidik dan tajam. Namun wajah It Cin Cu yang keren itu tidak memperlihatkan bayangan isi hatinya, tetap keren dan tenang, sedangkan wajah Siauw-bin-hud Ji Cin Cu tetap tersenyum-senyum seperti orang kegirangan, tidak ada perubahan apa-apa. Padahal dibalik “kedok” muka ini, di dalam dada dua orang tosu Cin-ling-pai ini timbul gelombang hebat mendengar ucapan Tok-gan Sin-kai. Mereka tahu bahwa dengan cara licin memutar, pemerintah Ceng telah minta bukti dari Cin-ling-pai bahwa perkumpulan ini tidak menentang pemerintah Ceng dan suka melakukan perintahnya. Kalau memang pemerintah baru ini menghendaki surat wasiat itu, mengapa harus minta bantuan Cin-ling- pai dan tidak mengerahkan kaki tangannya sendiri yang banyak dan lihai-lihai? Akan tetapi It Cin Cu yang berwatak jujur, tidak sanggup menjawab dan diam saja. Sebaliknya, Ji Cin Cu yang selalu tertawa itu ternyata memiliki otak yang lebih cerdik. Sambil tertawa-tawa ia mengutarakan isi hatinya ini dengan cara memutar pula.

“Lo-sicu, kami dari Cin-ling-pai memang tidak mempunyai maksud bermusuh dengan siapapun juga, apa lagi dengan pemerintah yang berkuasa. Juga orang-orang bodoh seperti kami, yang setiap hari hanya menyucikan diri dan sedapat mungkin menjauhi urusan dunia, mana ada kesanggupan dan kemampuan untuk mencari surat wasiat yang demikian pentingnya? Kalau lo-sicu sudah tahu bahwa surat wasiat itu berada di tangan Cia-enghiong di Min-san, bukankah kau orang tua tinggal datang ke sana dan mengambilnya saja?”

Nama besar Cia Sun sebagai keturunan pahlawan dan juga sebagai seorang pendekar besar, biarpun kepandaiannya belum begitu hebat, sudah terkenal di seluruh dunia dan mendapat penghormatan besar dari pada para ciang-bun-jin (ketua) partai dan orang-orang gagah. Maka Ji Cin Cu juga menyebutnya Cia-enghiong (pendekar Cia), tidak seperti Tok-gan Sin-kai yang menyebut si pemberontak tadi.

Tok-gan Sin-kai tersenyum pahit dan menjawab, “Tidak semudah itu, Ji Cin Cu totiang! Memang kami sudah menyelidik ke Min-san, akan tetapi puncak itu kosong dan kabarnya dua orang anak keturunan Cia Sun sudah turun gunung. Tentu surat wasiat itu mereka bawa pergi.”

Tiba-tiba hati It Cin Cu dan Ji Cin Cu berdebar, akan tetapi dua orang tosu yang sudah tinggi kepandaiannya ini dapat menekan perasaan mereka dan wajah mereka tidak berubah sama sekali. Akan tetapi dari pandang mereka masing-masing tahu apa yang terkandung di hati mereka.

Bocah yang aneh itu she Cia dan datang bersama seorang adik perempuannya, apakah tidak mungkin mereka itu anak-anak dari pendekar Cia Sun? Kalau benar demikian halnya, mereka sebagai orang-orang gagah yang amat mengagumi Cia Hui Gan dan Cia Sun, tentu saja tidak akan membiarkan pemuda itu terjatuh ke dalam tangan kaki tangan pemerintah Ceng! Karena pikiran ini, mereka lalu bersikap tenang dan diam, namun berjanji dalam hati untuk melindungi pemuda itu kalau benar dia keturunan Cia Hui Gan dan Cia Sun.

****

Dengan amat nyaman Han Sin yang di”hukum” di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka) bukannya mengeluh dan berkuatir, malah tidur nyenyak sekali. Tempat itu yang diapit batu karang tinggi merupakan terowongan untuk angin gunung maka tubuhnya serasa dikipasi dan sejuk sekali.

Setelah kenyang tidur, tiba-tiba ia bangun ketika telinganya mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara cecowetan.

“Siauw-ong, kau di mana?” tegurnya. Tak salah lagi, itulah suara monyetnya. Akan tetapi ia tidak melihat monyet itu dan suara monyetnya terdengar dari atas. Tahulah ia bahwa tentu Siauw-ong berada di atas jurang. Tiba-tiba ia menjadi gelisah. Kalau Siauw-ong muncul, tentu muncul pula Bi Eng. Bukankah monyet itu tadi pergi mengikuti adiknya? Dan kalau Bi Eng kembali, tentu adiknya yang berwatak keras dan berani itu akan bentrok dengan para tosu Cin-ling-pai.

“Siauw-ong! Eng-moi! Kalian pergilah dari sini, biar nanti aku menyusul!” serunya ke atas. Akan tetapi tidak terdengar jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Malah suara Siauw-ong tidak terdengar lagi. Ia menarik napas lega. Mudah-mudahan mereka mau menuruti permintaanku dan melarikan diri, pikirnya.

Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika ia tadi tertidur, seorang gadis yang cantik telah menuruni jurang itu melalui seutas tambang. Dengan gerakan lincah melebihi seekor kera gadis itu, Thio Li Hoa, telah menuruni Can-tee-gak untuk melihat sendiri kebenaran cerita tosu-tosu Cin-ling- pai tentang seorang pemuda she Cia yang sudah membunuh Ban Kim Cinjin. Gadis ini memang cerdik sekali, melebihi para suhengnya, maka begitu mendengar seorang pemuda bershe Cia, timbul kecurigaannya.

Tidak semata-mata ia hendak menyelidiki kebenaran cerita para tosu itu, melainkan ia menaruh dugaan bahwa mungkin sekali pemuda dan adik perempuannya itu adalah keturunan Cia Sun yang sudah turun gunung. Cia Sun seorang pendekar besar, tidak aneh apabila mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi. Kalau ia dapat menemui pemuda itu dan mendahului orang lain merampas surat wasiat Lie Cu Seng, bukankah ini baik sekali? Seluruh orang pandai di dunia kang- ouw mengilar untuk mendapatkan surat wasiat itu, apa lagi dia! Terpincuk oleh harta terpendam?

Cih, siapa memikirkan harta terpendam?

Sesungguhnya, bukan harta terpendam, melainkan kitab rahasia yang hebat, kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa dan tiada keduanya di dunia ini. Itulah kitab pelajaran peninggalan Tat Mo Couwsu yang paling dirahasiakan, yang kabarnya terjatuh ke dalam tangan Lie Cu Seng namun belum ada seorangpun manusia sempat mempelajari isinya.

Kitab yang tiada bandingannya di dunia lebih berharga dari pada harta dunia yang paling mahal, yang dibuat rindu oleh semua tokoh kang-ouw! Inilah yang membuat gadis cerdik ini tergesa-gesa mencari Cia Han Sin karena ia menduga bahwa pemuda ini tentulah putera Cia Sun dan membawa surat wasiat.

Ketika Li Hoa berhasil menuruni dasar jurang Can-tee-gak, ia melihat seorang pemuda sedang tidur pulas dengan duduk bersandar pada batu karang. Hatinya terkesiap dan jantungnya berdebar ketika ia melihat Han Sin. Tak disangkanya ia akan menjumpai seorang pemuda setampan ini dan segagah ini. Dalam tidur, biarpun dalam keadaan terbelenggu dan berada di dasar jurang dalam, bibirnya masih tersenyum dan pada wajah yang amat tampan itu seujung rambutpun tidak kelihatan tanda gelisah atau ketakutan.

Melihat wajah pemuda ini, diam-diam Li Hoa merasa denyut jantungnya menjadi cepat sekali dan kedua pipinya menjadi panas. Aneh, mengapa aku menjadi begini? Demikian pikir gadis itu dengan heran. Ketika itu, Han Sin menggerakkan sebelah kakinya dan cepat ringan bagaikan seekor burung walet, gadis itu sudah melompat dan menyelinap bersembunyi ke balik sebuah batu disebelah kanan pemuda itu. Ia mengintai dari tempat sembunyinya dan diapun mendengar suara cecowetan seekor monyet dari atas jurang.

Ketika pemuda itu memanggil-manggil nama monyet itu dan nama adik perempuannya, hati Li Hoa girang bukan main. Ketika ayahnya menyuruh orang menyelidik ke Min-san, diapun mendengarkan laporan penyelidik-penyelidik itu bahwa Min-san sudah ditinggal pergi oleh putera dan puteri Cia Sun yang turun gunung membawa seekor monyet. Tak salah lagi, inilah putera Cia Sun dan tentu dia inilah yang membawa pergi surat wasiat itu! Aku harus cepat turun tangan, jangan sampai didahului oleh para tosu Cin-ling-pai, pikirnya, Maka keluarlah ia dari tempat persembunyiannya.

Akan tetapi pada saat itu, Han Sin berseru girang dan dari atas meluncur turun bayangan hitam kecil yang merosot dengan amat cepatnya. Li Hoa kaget sekali. Dia sendiri tidak akan dapat meluncur turun melalui tambang secepat itu. Kalau lawan yang datang ini, tentu hebat kepandaiannya. Akan tetapi setelah dekat, ternyata yang meluncur itu adalah seekor monyet yang kecil yang kini sudah tergantung-gantung di atas kepala Han Sin.

“Siauw-ong, kau turun juga? Mana nonamu?” tegur Han Sin yang masih belum melihat bahwa kini Li Hoa sudah berdiri di belakang batu.

Siauw-ong lebih awas. Monyet ini mengeluarkan bunyi nyaring dan cepat meloncat turun, lalu membalikkan tubuh menghadapi Li Hoa dengan mulut meringis memperlihatkan taring-taringnya. Baru sekarang Han Sin menengok dan ia kaget bukan main. Matanya melongo memandang wajah gadis yang cantik bukan main ini. Bagaimana di tempat ini ada seorang gadis sedemikian cantik manisnya? Tentu seorang dewi dari kahyangan, pikirnya. Kalau manusia biasa, mana bisa seorang gadis selemah itu menuruni tempat ini?

“Siauw-ong, mundur kau! Jangan kurang ajar!” bentaknya keras melihat sikap Siauw-ong hendak menyerang nona itu. Siauw-ong tidak berani membantah perintah tuannya, lalu melompat mundur dan duduk di atas pundak Han Sin, mengeluarkan bunyi sedih melihat tubuh pemuda itu dibalut rantai-rantai besi yang amat besar dan kuat.

Li Hoa melangkah maju dan Han Sin segera mencium bau harum yang keluar dari pakaian gadis itu yang indah dan mewah. Melihat dandanan dan sanggul yang indah luar biasa itu, Han Sin tidak sangsi lagi bahwa ini tentulah seorang dewi. Ia seringkali membaca dongeng-dongeng tentang dewi dan dewa, maka cepat ia berlutut, dan mengangguk-anggukan kepalanya sambil berkata.

“Hamba Cia Han Sin yang penuh dosa mohon ampun bahwa hamba tidak dapat menyambut kedatangan dewi yang bijaksana!”

Ia mengira akan mendengar jawaban yang merdu dan berpengaruh seperti layaknya suara seorang dewi, akan tetapi alangkah herannya ketika ia sebaliknya mendengar suara ketawa kecil cekikikan karena geli hati. Celaka, pikirnya, teringat akan dongeng-dongeng dalam buku-bukunya, kalau dewi tidak pernah tertawa seperti ini, kecuali siluman! Dia siluman !

Ia memberanikan hati dan mengangkat muka, akan tetapi tidak melihat gadis itu tertawa lagi, melainkan melihat wajah yang keren, cantik sekali, dan agung. Memang watak Li Hoa tidak periang dan gadis ini keras hati serta angkuh. Tapi melihat sikap Han Sin tadi, ia tidak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawa. Baiknya ia cepat dapat menguasai hatinya lagi sehingga ketika pemuda itu mengangkat muka, ia sudah dapat menggigit bibirnya dan memandang tajam dengan muka merah.

“Tak usah main gila, aku bukan dewi segala macam!” bentaknya ketus.

“... kau bukan .... bukan ” kata Han Sin gagap karena masih bingung oleh jalan pikirannya

sendiri tadi.

“Bukan apa?” bentak Li Hoa lebih ketus lagi.

Han Sin tak dapat menjawab. Tak mungkin ia melanjutkan kata-katanya yang kurang kata-kata “siluman betina” tadi. Ia hanya menjawab, “Aku tidak menyangka di tempat ini dapat bertemu dengan nona, maka aku menjadi kaget dan bingung. Harap nona suka memaafkan sikapku tadi,” katanya dan mukanya menjadi merah saking jengah mengingat sikapnya tadi. Gadis itu mendengus kecil lalu duduk di atas sebuah batu di depan Han Sin. Mata yang jeli itu memandang penuh selidik, dan ia berhasil menyembunyikan kekagumannya melihat potongan tubuh dan wajah pemuda itu.

“Aku turun ke sini untuk memeriksamu. Siapa namamu?”

Sampai lama Han Sin tidak dapat menjawab. Ia terheran-heran. Yang menangkapnya adalah tosu- tosu Cin-ling-pai dan tadi ia hanya melihat banyak sekali tosu-tosu tua muda, tidak seorangpun ada wanitanya. Bagaimana sekarang tahu-tahu muncul seorang gadis secantik bidadari datang untuk memeriksa perkaranya? Saking tercengang dan heran, ia sampai tidak mendengar pertanyaan tadi.

“Hei! Siapa namamu?” Li Hoa mengulang.

Han Sin sampai menjumbul (tersentak), tapi dengan senyum tenang ia menatap wajah penanyanya. “Ah, sampai kaget aku. Kenapa sih nona yang belum mengenal aku sudah membentak-bentak seperti orang marah? Apakah ada sesuatu yang menjengkelkan hatimu, nona?” Han Sin memang berhati mulia dan halus. Melihat orang marah-marah itu ia salah duga dan mengira nona ini sedang mengandung kejengkelan, maka ia berusaha menghibur malah.

“Jangan banyak cerewet. Jawab, siapa namamu?” Li Hoa membentak, makin keras karena marah dan mengira Han Sin mempermainkannya.

Han Sin menarik napas panjang. “Kasihan, semuda ini sudah banyak mengalami kejengkelan hati. Bisa lekas tua ”

“Plak! Plak!” Dua tamparan tangan Li Hoa jatuh di pipi kanan kirinya. Di pipi yang putih itu tampak membekas merah lima jari tangan Li Hoa. Tentu pedas dan sakit rasanya, akan tetapi Han Sin hanya tersenyum saja. Dia seorang pemuda yang berani, tenang dan kuat menderita.

“Terima kasih, nona,” katanya dengan senyum dikulum.

Tak kuat Li Hoa menghadapi senyum itu, apalagi pancaran sinar mata yang tajam luar biasa dari pemuda aneh ini, jantungnya berdenyut dan pipinya menjadi merah, lebih merah dari pipi Han Sin yang sudah mulai menghilang tapak jarinya.

“Habis kau .... kau kurang ajar sih ” katanya perlahan seperti pernyataan menyesal bahwa ia

sudah memukul orang yang begini halus.

Han Sin mengangkat alisnya. “Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Baiklah, kujawab pertanyaanmu tadi. Namaku Cia Han Sin, dan kau siapa, nona?”

“Kau putera Cia Sun?” tanya lagi Li Hoa tanpa menjawab pertanyaan orang.

“Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apa kau kenal orang tuaku? Sayang ayah sudah meninggal, kalau belum aku dapat menanyakan namamu kepadanya.”

Li Hoa tidak memperdulikan ucapan orang, hatinya terlampau girang mendapat kenyataan bahwa dugaannya tadi benar. Nafsunya untuk mendapatkan surat wasiat tak dapat ditahannya lagi. “Orang she Cia, kau tentu membawa surat wasiat Lie Cu Seng, betul tidak?” Suaranya sampai menggetar saking tegang hatinya. Han Sin bukannya tidak tahu bahwa orang-orang kang-ouw menghendaki surat wasiat itu dan iapun mengerti bahwa dia harus merahasiakannya. Akan tetapi melihat seorang gadis cantik dan muda seperti gadis ini juga ikut memperebutkannya, ia menjadi penasaran. Ia tertawa masam dan menjawab, “Eh nona! Kenapa kau tahu segala? Tahu ayahku, tahu tentang surat wasiat segala.

Benar-benar kau hebat, siapa sih kau?”

“Namaku Li Hoa, she Thio. Cia Han Sin, tahukah kau bahwa jiwamu terancam karena kau membawa-bawa surat wasiat itu? Semua orang jahat di dunia menghendakinya. Kaupun dikurung di sini karena kau menyimpan surat itu. Kau berikanlah kepadaku dan aku akan bantu kau melarikan diri dari tempat ini.” Tiba-tiba sikap Li Hoa menjadi manis sekali, ramah dan kerling matanya memikat.

Kini Han Sin tertawa sungguh-sungguh. Ha ha ha, begini baru manis kau, Li Hoa. Orang secantik engkau memang seharusnya ramah tamah, baru patut. Akan tetapi kau tadi bilang bahwa orang- orang jahat di dunia menghendaki surat itu, kurasa kau keliru. Bukan hanya orang-orang jahat, malah orang-orang baik dan cantik seperti engkau sekalipun menghendakinya!”

09. Kemusnahan Surat Wasihat Lie Cu Seng

WAJAH Li Hoa menjadi merah akan tetapi ia tersenyum. Dia dipuji-puji orang, tentu saja hatinya senang, biarpun dia seorang gadis yang keras hati. “Aku tidak menghendaki harta benda, aku hanya ingin menolongmu supaya kau terhindar dari gangguan orang jahat.”

“Eh, kenapa kau begini baik hati? Kita baru saja bertemu,” kata Han Sin sambil tertawa, pandang matanya tidak percaya dan curiga.

“Sudahlah, kau dibaiki orang tidak mengerti. Kelak kuceritakan semua. Sekarang lebih baik kuambil dulu surat itu darimu.” Setelah berkata demikian, tangan Li Hoa digerakkan dan menggeledahi pakaian di tubuh Han Sin. Sepuluh buah jari tangan yang runcing halus dan kecil- kecil itu seperti sepuluh ekor ular menggelitik tubuh Han Sin. Pemuda ini tidak tahan lagi dan tertawa terkekeh-kekeh. “Ha ha hi hi, ah gelinya. Aduhh aduh geli, jangan kau kitik-kitik aku,

nona !”

Li Hoa makin jengah dan segera menghentikan geledahnya. Ternyata dia tidak mendapatkan surat itu biarpun kedua tangannya sudah menggeledah ke sana-sini hingga menyentuh tubuh pemuda itu. Memikirkan perbuatannya tadi, diam-diam ia merasa lucu dan malu, juga jantungnya berdebar makin keras. Selama hidupnya belum pernah jari-jari tangannya menyentuh kulit tubuh seorang pemuda seperti ini.

“Kau tidak mau memberikan, sih. Awas, akan kukitik-kitik lagi kau sampai tidak kuat dan mati kaku kalau kau tidak memberitahu kepadaku di mana kau simpan surat wasiat itu.”

Han Sin menahan tawanya dan menggeleng-geleng kepalanya. “Nona eh, Li Hoa, kau anak baik,

kalau adikku melihatmu tentu dia senang. Sayang kita berkenalan dalam keadaan seperti ini. Dengarlah, surat yang kau maksudkan itu tidak mungkin kuberikan kepada lain orang, karena memang menjadi hak milikku sebagai warisan ayah. Selain itu, kuberitahukan juga kepadamu, tak mungkin kau bisa mengambilnya.”

“Masa? Coba kau beritahukan di mana. Aku pasti dapat mengambilnya. Kau kira aku begitu bodoh dan lemah?” tantang Li Hoa, hatinya girang sekali. Kiranya pemuda ini seorang yang tolol, pikirnya. Tampan dan kelihatan cerdik pandai, akan tetapi sesungguhnya tolol dan lemah. Maka ia memperlihatkan sikap seramah itu, sungguh berlawanan dengan tabiatnya yang biasanya keras dan kaku. Menghadapi seorang pemuda tolol harus menggunakan siasat halus, pikirnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Han Sin sama sekali tidak tolol, melainkan seorang yang amat jujur dan terlalu percaya kepada orang karena bagi dia yang selalu hidup dalam kitab-kitab sucinya, manusia di dunia ini kesemuanya baik-baik belaka, malah ia belum begitu percaya ada orang bisa berhati jahat!

Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak. “Tidak .... tidak kau takkan berani mengambilnya, Ha ha

ha!”

“Aku tidak berani? Asal tidak di neraka, aku akan menempuh api menyeberang laut, aku akan berani mengambilnya,” jawab Li Hoa agak mendongkol. Dia gadis paling berani di dunia ini menurut pendapatnya, masa pemuda ini bilang dia takkan berani?

“Aku tidak bisa memberitahukan, aku .... aku ah, memalukan!”

Gadis itu melengak. Apakah pemuda ini sudah miring otaknya. Ia mendongkol dan merasa dipermainkan, akan tetapi ia masih ragu-ragu dan memaksa diri berlaku manis. “Han Sin yang baik, kau beritahukanlah, aku pasti akan berani mengambilnya. Ini demi kebaikanmu sendiri, tahu? Kalau harta benda itu terjatuh ke dalam tanganku, aku Thio Li Hoa bersumpah akan menyerahkan semua harta itu ke tanganmu. Aku sudah cukup kaya, aku tidak butuh lagi harta dunia.”

Han Sin memandangnya. “Li Hoa, aku tahu kau anak baik. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi sudah kukatakan, surat itu warisan ayah, tak boleh diberikan kepada orang lain. Selain itu, juga ....

juga takkan dapat kau mengambilnya, karena kusimpan .... kusimpan ”

“Di mana ??” Li Hoa berteriak tak sabar lagi.

“Di dalam ... di dalam celana kuikatkan dibalik celanaku. Nah, kau memaksa aku mengaku sih,

bukannya aku tak tahu malu. Apa kau berani mengambilnya? Kurasa tidak mungkin kau gadis baik- baik dan sopan.”

Tadinya mata gadis itu membelalak lebar, kemudian ia menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, di lain saat Li Hoa sudah tertawa bergelak, akan tetapi hanya sebentar saja. Sementara itu, melihat gadis itu tidak mengganggu Han Sin, monyet Siauw-ong sejak tadi memandang gerak- gerik mereka dan ikut tertawa dan melonjak-lonjak girang tiap kali melihat dua orang itu tertawa.

Sekarangpun ia tertawa sambil berloncat-loncatan.

“Han Sin, kau benar. Aku tidak berani mengambilnya. Akan tetapi akupun tidak percaya kepadamu, kau tentu bohong.”

“Selama hidupku, aku Cia Han Sin tidak pernah bohong dan tidak akan mau membohong!” bentak Han Sin marah.

“Kalau betul tidak bohong, tunjukkan buktinya. Seorang laki-laki harus berani membuktikan kebenaran omongannya!”

“Mana bisa? Kedua tanganku dirantai.”

“Tunggulah, akan kubebaskan kau!” kata Li Hoa dan “srett!” pedangnya telah ia cabut. Melihat pedang ini, Siauw-ong mengeluarkan pekik kaget dan tiba-tiba ia menyerbu, meloncat tinggi dengan tangan kiri berusaha merampas pedang dan tangan kanan mencengkeram ke arah leher Li Hoa. Kaget sekali gadis ini menyaksikan gerakan yang begitu cepat dan lincah, juga tidak secara ngawur, melainkan gerakan seorang ahli silat! Biarpun ia sudah mengelak ke kiri, namun ujung lengan bajunya kena disambar dan robek! Boleh jadi gadis ini seorang ahli silat tinggi, murid kesayangan ketua Coa-tung Kai-pang, akan tetapi monyet inipun bukan monyet sembarangan. Dia seorang “murid” tak langsung dari Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang ilmunya tidak kalah oleh Coa-tung Sin- kai ketua dari Coa-tung Kai-pang!

“Siauw-ong, jangan kurang ajar. Mundur kau! Nona itu bukan hendak membunuhku, melainkan hendak menolongku. Mundur!” Benar saja, Siauw-ong mentaati perintah ini dan dia melompat mundur, akan tetapi sepasang matanya yang kecil masih memandang tajam penuh curiga ke arah Li Hoa.

Gadis ini kagum sekali. “Eh, Han Sin. Monyetmu ini ternyata lebih setia dari pada manusia biasa. Kepandaiannya pun lumayan. Coba kau berdiri membelakangiku, biar kuputuskan rantai ini.”

Dengan tenang dan penuh kepercayaan, pemuda itu berdiri lalu membelakangi Li Hoa. Gadis itu makin terharu. Benar-benar seorang pemuda yang hebat, penuh keberanian, jujur dan amat baik hati, terlalu baik hati. Kalau dia mau, bukankah sekali tabas saja ia akan dapat menewaskan pemuda itu. Pedangnya diangkat, sinar berkelebat disambung bunyi nyaring dan ternyata rantai itu telah putus oleh sabetan pedang di tangan Li Hoa!

Siauw-ong memekik dan meloncat-loncat kegirangan sedangkan Han Sin lalu meloloskan rantai yang sudah putus itu dari tubuhnya. Ia menarik napas dan memandang kagum kepada Li Hoa.

“Li Hoa, melihat adikku yang bisa belajar silat aku heran. Sekarang ternyata kaupun seorang gadis muda sudah memiliki kepandaian silat dan begini kuat, benar-benar aku menjadi makin heran.

Untuk apa sih gadis-gadis cantik jelita belajar silat dan menjadi kuat dan kasar seperti laki-laki. Bukankah lebih baik kalau gadis cantik halus lembut dan lemah gemulai?”

“Jangan ngaco! Lekas kau ambil surat itu kalau memang kau tidak membohongiku!” kata Li Hoa tidak sabar lagi.

“Akan tetapi hanya untuk bukti bahwa aku tidak bohong, sama sekali bukan hendak kuberikan kepadamu atau kepada siapapun juga,” kata Han Sin sambil membalikkan tubuh membelakangi Li Hoa lalu merogoh ke dalam celananya. Dalam sebuah saku yang dipasang pada balik celananya, di situlah selama ini ia menyimpan peta kuno itu. Ketika ia membalikkan tubuh lagi menghadapi Li Hoa, ia sudah memegang peta itu dengan wajah berseri.

“Aku Cia Han Sin tak pernah membohong. Inilah wasiat itu!”

Tiba-tiba tangan kiri Li Hoa menyambar dan peta itu sudah direbutnya. Terdengar suara kertas robek dan ternyata peta itu sudah robek menjadi dua potong, sepotong di tangan Li Hoa dan yang sebelah lagi di tangan Han Sin. “Eh, kau ... kenapa kau merampasnya?” teriak Han Sin marah.

Li Hoa tersenyum, pedangnya bergerak menodong di depan dada Han Sin.

“Tolol, memangnya kau kira nonamu suka bercanda denganmu? Berikan yang sebelah lagi, kalau tidak ujung pedangku akan menembusi dadamu!”

Melihat ini, Siauw-ong marah dan menyerang akan tetapi Han Sin mencegahnya. “Jangan Siauw- ong! Nona ini hanya main-main!” Siauw-ong mundur lagi. Binatang ini memang paling taat dan takut kepada Han Sin. “Li Hoa, jangan kau begini. Apa kau tidak malu?” “Tutup mulut, berikan potongan yang di tanganmu itu!”

Han Sin tertawa getir. Ia kecewa. Baru sekarang terbuka matanya bahwa gadis ini memang benar- benar menghendaki surat wasiat, bahwa sikap yang ramah tadipun hanyalah pura-pura sebagai siasat merampas surat wasiat. Kembali ia dikecewakan orang. Ia tertawa-tawa keras. “Ha ha ha, Li Hoa, tidak ada gunanya potongan peta ditanganmu itu. Itu hanya corat-coret tidak ada artinya.

Penjelasannya berada di tanganku ini. Dan kau takkan bisa mendapatkannya, biarpun kau akan menusuk mampus dadaku.”

Setelah berkata demikian, dengan hati gemas Han Sin meremas peta di tangannya itu. Ia tidak sengaja hendak merusak peta itu karena tidak tahu bahwa ia akan dapat melakukannya. Akan tetapi begitu ia mengerahkan tenaga karena marah dan kecewanya, mengalirlah tenaga ke dalam jari-jari tangan yang memegang peta, terdengar suara aneh dan tahu-tahu potongan peta di tangannya

itu menjadi hancur berkeping-keping tak mungkin bisa dibaca atau disambung lagi. Ia menyebar kepingan kertas itu ke atas dan sambil tertawa ia melihat kepingan itu diterbangkan oleh angin, sebagian jatuh di atas rambut kepala Li Hoa dan menambah kecantikannya.

“ Ha ha ha, kau lihat tidak, Li Hoa? Potongan di tanganmu itu tidak ada artinya sama sekali!”

Li Hoa buru-buru melihat potongan peta itu dan benar saja, di situ hanya terdapat gambar sebagian gunung dan lembah, tidak ada huruf-hurufnya sama sekali. Bagaimana orang dapat mengenal gambar sebelah gunung tanpa tanda-tanda yang jelas. Diapun kaget melihat pemuda itu sekali remas dapat menghancurkan kertas yang tipis dan lunak. Tanpa memiliki lweekang yang tinggi, mana bisa melakukan hal itu? Meremas hancur sepotong batu yang keras masih lebih mudah dilakukan dari pada meremas hancur sepotong kertas yang lunak dan ulet.

Akhirnya ia menyimpan potongan itu ke dalam saku bajunya lalu berkata, “Han Sin, kau benar- benar tolol. Kau tidak mau memberikan peta itu kepadaku, sebaliknya malah merusaknya. Setelah rusak di tanganmu, bagaimana kau akan dapat memenuhi kehendak ayahmu supaya kau mencari rahasia peta itu?”

Han Sin memang jujur. Biarpun gadis cantik ini sudah menipunya, dia tidak merasa sakit hati, tidak menaruh dendam. “Bukan aku yang tolol, Li Hoa, mungkin kau sendiri. Apa aku mau merusaknya sebelum semua isi peta itu pindah ke dalam ingatanku? Bagiku sama saja, ada peta atau tidak.”

Li Hoa memandang tidak percaya. Han Sin menjadi penasaran. Dia sejak kecil hanya hidup berdua dengan adiknya dan tiga orang pelayan. Belum pernah mempunyai teman lain dan sekarang bertemu dengan Li Hoa, dia merasa senang. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja pemuda ini masih mempunyai sifat ingin dipuji kepandaiannya. Maka cepat ia berjongkok di atas tanah. “Kau lihat, bukankah bagian yang ada padamu itu seperti ini?”

Jari telunjuknya mencorat-coret di atas tanah dan mata Li Hoa membelalak kaget. Memang, persis sekali gambar itu dengan gambar pada peta yang ia rampas! Diam-diam ia menjadi girang sekali. Kalau begitu, asal dia bisa menawan pemuda ini, perlahan-lahan ia dapat membujuknya untuk menggambar kembali peta yang tadi sudah diremasnya sampai hancur. Memang Li Hoa menghendaki peta kertas, akan tetapi kalau peta kertas sudah rusak, peta di dalam otak pemuda inipun boleh juga. Ia tersenyum manis sekali ketika berkata,

“Han Sin, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tadi hanyalah ingin mencoba kepandaianmu saja. Untuk apa bagiku peta ini? Kau lihatlah baik-baik!” Ia lalu mengeluarkan peta sepotong tadi dan dirobek-robeknya sampai hancur. Tidak dapat ia meremasnya seperti yang dilakukan Han Sin tadi. Pemuda itu menjadi girang sekali.

“Ah, kiranya aku tadi salah sangka. Memang aku tahu kau baik sekali, Li Hoa.”

“Sekarang kau ikutlah aku keluar dari neraka ini. Biar aku yang membujuk para tosu supaya kau dibebaskan.”

Han Sin mengangguk-angguk. “Memang akupun tidak percaya para tosu itu akan mengurungku selama hidup di tempat ini.” Ia memandang ke atas, lalu menggeleng-geleng kepala. “Tempat begini tinggi, bagaimana aku bisa keluar dari sini?”

“Bukankah sudah kupasangi tambang? Monyetmu tadipun bisa turun melalui tambang.” “Monyetku tentu bisa, akan tetapi aku bukan monyet.”

“Eeh, kau jadinya mau menyamakan aku dengan monyet?” Li Hoa cemberut dan hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi ia teringat bahwa tadipun ia sudah menampar dua kali, maka sebagai gantinya, jari tangannya mencubit pundak orang.

“Aduh, cubitanmu sama sakitnya dengan tamparanmu.” Han Sin tertawa dan memandang wajah gadis yang kemerahan itu. “Aku tidak hendak memakimu, hanya terus terang saja, kau dan Siauw- ong tentu bisa memanjat naik, akan tetapi aku ... ah, aku tidak bisa.”

Entah mengapa, setelah bercakap-cakap dengan pemuda itu beberapa lamanya di dasar Can-tee-gak, timbul perasaan mesra dalam hati Li Hoa. Tanpa ia sadari, rupanya ia telah jatuh cinta kepada pemuda ini, biarpun suara hatinya sendiri itu ia bantah keras-keras terdorong oleh wataknya yang keras. Ia berusaha bersikap kasar dan memperlihatkan kekejaman terhadap Han Sin, namun beberapa kali ia jatuh.

“Tak usah banyak cakap, ayoh ku bantu!” Dengan cepat Li Hoa lalu menyambar lengan orang dan tak lama kemudian dengan bantuan gadis itu, Han Sin memanjat tambang itu ke atas. Li Hoa berada di bawahnya dan gadis inilah yang menahan tubuhnya sampai akhirnya mereka berdua tiba di atas jurang. Siauw-ong yang mengikuti dari belakang juga melompat dengan girangnya, lalu ia meloncat ke atas pundak Han Sin, telunjuknya menuding-nuding ke bawah gunung, agaknya hendak mengajak pemuda itu pergi selekasnya.

“Nonamu di mana, Siauw-ong?” tanya Han Sin yang tak pernah melupakan Bi Eng. Siauw-ong mengeluarkan suara cecowetan sambil menunjuk ke bawah puncak.

Pada saat itu, tiga orang pengemis tua nampak berlari mendatangi dengan wajah gelisah. Mereka itu setelah menanti beberapa lamanya belum melihat kembalinya Li Hoa, menjadi gelisah dan menyatakan perasaannya kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. Ji Cin Cu tertawa dan berkata, “Jangan- jangan Thio-siocia celaka pula di tangan bocah aneh itu. Lebih baik sam-wi losicu menengoknya di Can-tee-gak.”

Maka pergilah tiga orang tokoh Coa-tung Kai-pang itu ke jurang Can-tee-gak dan kebetulan sekali pada saat mereka tiba di situ, Li Hoa dan Han Sin serta Siauw-ong juga sudah sampai di tepi jurang dengan selamat. Tentu saja Tok-gan Sin-kai dan kawan-kawannya menjadi lega dan girang.

Sebelum mereka sampai bicara, Li Hoa sudah mengedipkan matanya lalu berkata, “Sam-wi suheng, saudara ini memang tidak mengerti ilmu silat dan tidak mungkin dia yang membunuh Ban Kim Cinjin. Akan tetapi karena dia tersangkut dalam pembunuhan itu, biar, kita melindungi dia turun gunung dan kita pancing orang yang melakukan pembunuhan.”

Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk. Tentu saja mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dalam urusan dengan pemuda ini sumoi mereka telah menyimpan rahasia, yaitu rahasia surat wasihat Lie Cu Seng. Mereka menganggap kata-kata sumoi mereka itu memang cocok dengan keadaan, maka mereka lalu menyetujuinya bulat-bulat. Hanya Han Sin yang melongo dan tidak tahu mengapa tiba-tiba nona itu bicara tentang kematian Ban Kim Cinjin dan sama sekali tidak menyinggung soal peta. Pula dia tidak kenal siapa adanya tiga orang pengemis itu.

“Nona Li Hoa, setelah kau menolongku keluar dari jurang, biarlah aku tidak mengganggu kau lebih lama. Aku hendak menyusul adikku. Aku tidak kenal dengan tiga orang lo-enghiong ini. Adapun tentang Ban Kim Cinjin, dia seorang jahat yang banyak membunuhi tosu Cin-ling-pai. Kematiannya entah sebab apa, mungkin ..... aku yang membunuhnya, tapi itupun amat aneh ah, biarlah aku

pergi.”

“Cia-twako, kalau kau pergi seorang diri, apa kau kira para tosu di sini akan membiarkan kau pergi begitu saja? Kau harus ikut dengan kami.”

Pada saat itu, terdengar suara orang dan muncullah It Cin Cu, Ji Cin Cu dan ketiga Cin-ling Sam- eng. Melihat pemuda she Cia sudah naik dan bercakap-cakap dengan empat orang tamunya, mereka segera menghampiri.

“Nona Thio, bukankah keterangan kami tadi benar? Mengapa bocah ini kau bawa naik?” tegur It Cin Cu. Diam-diam para tosu tadi seperginya tiga orang pengemis yang menyusul Li Hoa, berunding dan mereka mengambil keputusan untuk melindungi Cia Han Sin. Setelah mempunyai dugaan bahwa pemuda itu keturunan Cia Sun, mereka tidak bisa memeluk tangan begitu saja, menyerahkan pemuda keturunan pahlawan yang mereka kagumi itu terjatuh ke dalam kaki tangan pemerintah Ceng.

“Kami hendak membawanya sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin,” kata Tok-gan Sin-kai dengan suara geram.

Ji Cin Cu tertawa. “Ha ha, nanti dulu, sobat. Pembunuhan atas diri Ban Kim Cinjin terjadi di tempat kami. Kalau kami tidak bisa membereskan sendiri perkara ini, apa akan dikatakan oleh orang-orang kang-ouw? Apakah kami orang-orang Cin-ling-pai sudah tidak becus mengurus persoalan ini?

Tidak, bocah ini tidak boleh kalian bawa turun gunung.”

Serentak tiga orang pengemis tua itu mengangkat tongkat ular mereka melintang ke depan dada, dan Tok-gan Sin-kai berseru keras, “Tosu-tosu Cin-ling-pai, apakah kalian berani memberontak?”

“Omongan busuk! Siapa memberontak? Adalah kalian ini pengemis-pengemis kelaparan hendak mengacau Cin-ling-pai!” bentak Hap Tojin yang bermuka merah. Memang tosu tertua dari Cin-ling Sam-eng ini sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Ikut campurnya dua orang suhengnya sudah menimbulkan rasa tidak puas di hatinya karena biasanya semua urusan Cin-ling-pai cukup dibereskan oleh dia bertiga yang sudah terkenal dengan julukan Cin-ling Sam-eng. Sekarang ditambah oleh sikap para tamunya itu membuat darahnya menjadi panas.

Li Hoa menjadi khawatir sekali. Ia makin curiga dan menduga bahwa para tosu ini tentulah sudah tahu bahwa Han Sin adalah putera Cia Sun dan karenanya hendak menahan pemuda itu dengan maksud menyelidiki rahasia surat wasiat Lie Cu Seng. Maka ia mengejek dan berkata untuk memanaskan hati suheng-suhengnya. “Kami utusan pemerintah dan kalian menghalangi maksud kami membawa tawanan, bukankah itu sama halnya dengan memberontak?”

It Cin Cu cepat berpikir. Bahayanya bentrok dengan pemerintah Ceng memang besar, akan tetapi bahaya itu hanyalah bahaya lahir yang dapat mereka lawan dan dapat mereka usahakan penolakannya. Kalau sampai mereka mendiamkan saja putera Cia Sun ditangkap kaki tangan pemerintah penjajah, dalam hal ini terdengar oleh para orang gagah, bahayanya lebih hebat lagi, yaitu nama Cin-ling-pai akan diseret ke dalam lumpur. Tentu suhunya takkan mendiamkan saja hal ini. Maka It Cin Cu lalu berkata singkat.

“Terhadap anjing-anjing penjilat kaki tangan pemerintah Ceng kami tak pernah ada urusan, juga tidak mau kami disuruh merangkak di depan mereka. Pendeknya, bocah she Cia ini adalah tawanan kami dan tak seorangpun boleh merampasnya!”

Sejak tadi Han Sin hanya mendengarkan dengan mulut melongo. Setelah sekarang ia tahu akan duduknya perkara, mukanya menjadi pucat dan memandang kepada Li Hoa dengan mata terbelalak.

“Kau ..... kau kaki tangan pemerintah Ceng .... Ah celaka, aku tertipu! Siapa sudi kau tolong?

Lebih baik kembali ke jurang!” Han Sin lalu melarikan diri dan karena jalan turun ke bawah dihadang oleh para pengemis, ia lalu turun dari lain jurusan menuju ke belakang gunung.

Li Hoa tak dapat menjawab atas seruan ini, akan tetapi Tok-gan Sin-kai menudingkan tongkatnya, menggerakkannya sedikit dan berseru,

“Bocah she Cia, berhenti kau!” dan dari ujung tongkatnya itu menyambar sinar kuning ke arah Cia Han Sin. Pemuda itu berteriak kesakitan dan roboh terguling ke dalam sebuah jurang di sebelah kirinya. Ternyata pundaknya telah terkena paku Coa-ting (Paku Tulang Ular) yang merupakan senjata rahasia ampuh dan berbisa dari kaum Coa-tung Kai-pang. Bersama dia, Siauw-ong juga turut terguling masuk jurang.

“Pengemis busuk!” Hap Tojin berseru marah dan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Tok- gan Sin-kai yang cepat ditangkis oleh tongkat pengemis mata satu ini. Di lain saat terjadilah pertempuran hebat di atas puncak itu. Tok-gan Sin-kai dan seorang sutenya yang berhidung merah menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan seorang pengemis lagi bersama Li Hoa menghadapi keroyokan Cin-ling Sam-eng. Tak seorangpun di antara mereka dapat mengurus keadaan Han Sin lagi karena pihak lawan merupakan lawan-lawan berat dan seorang saja di antara kedua belah pihak itu meninggalkan gelanggang, berarti pihaknya akan terancam kekalahan.

****

Ke mana perginya Bi Eng? Kenapa Siauw-ong kembali sendiri ke Cin-ling-san mencari Han Sin? Seperti telah diketahui, Bi Eng terpaksa dengan hati berat meninggalkan kakaknya di puncak Cin- ling-san, pergi bersama Siauw-ong setelah Han Sin memerintahkannya pergi lebih dulu dan menanti di tepi sungai Wei-ho. Tidak karuan rasa hati gadis ini ketika ia menuruni bukit Cin-ling-san

Tak terasa lagi Bi Eng mengucurkan air mata. Ingin sekali ia melompat dan lari mendaki gunung itu kembali untuk melihat kakaknya dan kalau perlu membelanya mati-matian. Namun suara perintah kakaknya masih bergema di telinganya dan ia tidak berani membantah lagi. Pandang mata kakaknya demikian pasti, tak boleh dibantah lagi. Betapapun juga, ketika ia tiba di kaki gunung hatinya tidak kuat dan tiba-tiba ia berhenti berjalan, lalu menyandarkan diri di pohon dan menangis. “Sin-ko ..... bagaimana dengan keadaanmu ?”

bisiknya sambil terisak-isak.

Siauw-ong mendekati nonanya dan ikut menangis cecowetan, sambil menarik-narik lengan gadis itu diajak kembali ke atas gunung. Telunjuk tangan monyet itu menuding-nuding ke atas, kadang- kadang ia mencak-mencak dengan kaki dibanting-banting ke atas tanah menyatakan kemarahannya dan tantangannya kepada para tosu di atas.

“Tidak bisa, Siauw-ong. Kalau aku kembali tentu koko akan marah. Dia begitu baik, tidak boleh marah kepadaku ” kata Bi Eng. Kemudian ia mendapat pikiran baik. Kalau dia sendiri yang

kembali, tentu kakaknya akan marah. Akan tetapi kalau Siauw-ong yang kembali, biarpun marah, kakaknya itu takkan marah kepadanya. Dan kakaknya perlu kawan, perlu pembantu.

“Siauw-ong, kau kembalilah kesana. Kau cari Sin-ko sampai dapat dan kau ajak dia turun gunung. Aku akan pergi lebih dulu.” Mendengar ini, Siauw-ong nampak girang, melompat-lompat dan di lain saat ia telah berloncatan ke atas gunung kembali ke puncak. Bi Eng melihat sampai bayangan monyet itu lenyap, kemudian ia sendiripun melanjutkan perjalanannya, menuju ke sungai Wei-ho di sebelah utara pegunungan Cin-ling-san.

Seorang diri ia melakukan perjalanan itu, cepat-cepat agar lekas sampai di tempat itu di mana ia akan menanti kedatangan kakaknya dan Siauw-ong. Ia, seperti biasa sejak kecil, percaya penuh akan kepandaian kakaknya dan merasa pasti bahwa ia akan ketemu lagi dengan Han Sin.

“Kakakku hebat,” pikirnya, “Tidak bisa ilmu silat akan tetapi sekarang menghadapi bahaya dengan demikian tabah dan tenang. Dia gagah luar biasa.” Hatinya bangga bukan main dan dipercepatnya perjalanan menuju ke sungai Wei-ho. Gadis ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada seorang pemuda yang diam-diam mengikuti perjalanannya, seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali, yang dapat berjalan cepat dan tidak pernah ketinggalan biarpun gadis ini menggunakan ilmu lari cepat.

Berhari-hari Bi Eng melakukan perjalanan, hanya beristirahat untuk bermalam dan makan. Jalan yang dilaluinya adalah jalan liar yang melalui banyak hutan dan bukit kecil. Ia merasa kesepian sekali dan saat inilah, dalam beberapa hari ini, merupakan saat-saat yang paling menyedihkan baginya. Merupakan pengalaman tidak menyenangkan hati yang pertama kalinya. Namun ia seorang gadis yang tabah dan sama sekali tidak mengenal takut biarpun harus bermalam di dalam hutan liar tak berkawan.

Akhirnya sampai juga ia ke sungai Wei-ho. Sungai Wei-ho ini adalah anak sungai besar Huang-ho atau sungai kuning. Biarpun hanya anak sungai, namun cukup besar dan lebar, pula dalam dan airnya mengalir deras. Saking lelahnya, ketika tiba di pinggir sungai ia lalu menjatuhkan diri duduk di atas rumput dan bersandar pohon. Dia lelah dan lapar, tengah hari itu amat panas sehingga ia malas untuk pergi mencari makanan. Sejuk juga duduk di bawah pohon di pinggir sungai itu. Tak lama kemudian Bi Eng jatuh pulas.

Pemuda yang semenjak dari kaki gunung Cin-ling-san membayanginya, sekarang muncul dan duduk di atas sebuah batu di depan Bi Eng, paling jauh lima meter. Pemuda itu duduk dan memandang gadis itu dengan mata penuh kekaguman dan cinta kasih. Makin dipandang, gadis yang tidur itu makin jelita menarik. Memang, di dunia ini orang-orang muda mengenal apa yang disebut “cinta kasih pada pertemuan pertama”. Sudah jamak kalau seorang pemuda tertarik melihat seorang pemudi cantik jelita atau sebaliknya seorang pemudi tertarik melihat seorang pemuda gagah dan tampan. Akan tetapi tertarik tidaklah sama dengan cinta kasih. Dalam cinta kasih terkumpul semua perasaan yang bermacam sifatnya. Menyayang, tertarik, terharu, kasihan, malu, menghormati dan lain-lain tergantung dari sifat masing-masing. Biasanya seorang pria tertarik oleh wanita karena cantik moleknya, karena tutur bahasanya, atau karena gerak-geriknya. Akan tetapi dalam cinta kasih, ada sesuatu yang mengatasi semua ini, sesuatu yang mendorong orang untuk mencinta, sesuatu yang sudah mencakup semua perasaan di atas, sedemikian rupa pengaruh perasan sesuatu ini sehingga kadang-kadang membutakan orang karena dalam pandang matanya, si “dia” itu selalu tampak baiknya saja sehingga banyak orang tertipu dan terjerumus.

Pemuda tampan itu adalah Phang Yan Bu, putera Ang-jiu Toanio! Juga pemuda ini begitu melihat Bi Eng, terjadilah sesuatu yang ganjil di dalam dadanya. Yan Bu semenjak kecil seorang pemuda pendiam, sama sekali tidak pernah perduli akan gadis-gadis cantik. Bukan karena ia tidak pernah melihat gadis cantik. Yan Bu sudah lama melakukan perantauan dengan ibunya dan di dunia kang- ouw sudah banyak ia melihat gadis-gadis yang cantik jelita, bahkan banyak sudah gadis-gadis cantik jatuh hati kepadanya.

Akan tetapi dia sendiri belum pernah merasakan perasaan seperti yang sekarang ia rasakan begitu ia melihat Bi Eng di kaki gunung itu. Pertemuan ini memang sudah untuk kedua kalinya. Dahulu di kaki gunung Min-san dia sudah melihat Bi Eng, namun sebagai seorang pemuda sopan, ia hanya melirik saja dan tidak begitu memperhatikan. Sekarang, begitu melihat kontan hatinya terikat.

Seperti kita ketahui, Phang Yan Bu bersama ibunya yang duduk dalam kereta dorong, setelah mencari keluarga Cia di puncak Min-san, mendengar dari pelayan bahwa Cia-kongcu dan Cia- siocia bersama seekor kera sudah turun gunung. Ang-jiu Toanio marah-marah, membunuh seorang di antara dua pelayan itu, lalu mengajak puteranya mengejar ke bawah gunung. Akan tetapi mereka kehilangan jejak dua orang muda itu dan karena marah-marah penyakit Ang-jiu Toanio kambuh lagi. Nenek ini muntah-muntah darah dan menyumpah-nyumpah. Yan Bu amat berbakti kepada ibunya, cepat ia menghentikan kereta dorong dan mengurut-urut punggung ibunya.

“Ibu, harap kau suka bersabar dan tenang ” katanya kasihan.

“Sabar ..... sabar , belasan tahun aku bersabar dan kau masih hendak memberi kuliah supaya aku

bersabar lagi?” bentak ibunya melotot. Yan Bu terkejut karena belum pernah ibunya ini, biarpun amat galak, marah-marah kepadanya seperti ini.

Ia sudah pernah mendengar dari ibunya bahwa ayahnya, Phang Kim Tek, telah tewas di tangan seorang musuh, yaitu Cia Sun di Min-san, sedangkan guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim telah tewas di tangan Hoa Hoa Cinjin. Ibumya selalu mendendam kepada dua orang ini.

Membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin bukanlah hal mudah, bahkan biarpun dia sudah mendapat gemblengan dari susiok-couwnya, Phoa Kok Tee si Raja Obat, tetap saja ibunya melarang dia mencari Hoa Hoa Cinjin karena takut puteranya belum kuat menandingi kakek yang sakti itu. Adapun Cia Sun pembunuh ayahnya, telah meninggal dunia.

“Ibu, ayah telah meninggal dunia, akan tetapi musuh besarnya, Cia Sun, juga sudah meninggal dunia. Mengapa ibu masih selalu jengkel? Paling perlu anak pergi mencari Hoa Hoa Cinjin untuk membalaskan kematian su-kong (kakek guru). Tentang anak-anak Cia Sun, kurasa mereka itu tidak tahu menahu tentang permusuhan antara ayah dan Cia Sun ” “Tutup mulut!” Ibunya membentak makin marah dan “Uwaaahh!” Sekali lagi Ang-jiu Toanio menyemburkan darah hidup. Yan Bu cepat-cepat menolong ibunya dan anak yang berbakti ini menarik napas panjang.

“Ibu sih dulu terlalu terburu nafsu mempelajari Ang-see-chiu, inilah akibatnya.” Memang, untuk mempelajari ilmu pukulan Ang-see-chiu yang amat beracun ini, sebelumnya orang harus memiliki dasar lweekang yang kuat. Ang-jiu Toanio memang semenjak mudanya berwatak keras dan galak, tidak kenal takut maka tanpa memperdulikan bahaya itu siang-siang sudah mempelajari ilmu pukulan dahsyat itu. Memang akhirnya ilmu ini dapat mengangkat namanya tinggi-tinggi, namun kesehatannya menjadi korban pula, dalam usia tua ia menjadi sakit-sakitan saja.

“Tidak begitu hebat kalau tidak ditambah oleh kelakuanmu!” damprat ibunya. “Yan Bu, pendeknya kau mau menurut permintaan ibumu atau tidak? Kalau tidak, lebih baik kau pergilah, biarkan aku sendiri mencari musuh besar, tak perlu kau bantu!”

“Ibu, bagaimana ibu berkata demikian? Aku adalah anakmu, anak tunggal, tentu saja akan menurut segala permintaan ibu.”

“Nah, kalau begitu, pergilah kau kejar dua bocah she Cia itu. Kejar sampai dapat. Bunuh bocah she Cia yang laki-laki dan tawan yang perempuan bawa kepadaku. Selain itu, yang lebih penting lagi rampas sebuah surat wasiat Lie Cu Seng yang ada pada mereka. Kau tahu, surat wasiat itulah yang kelak akan membantu kita dapat membalas dendam suhuku kepada Hoa Hoa Cinjin.”

Yan Bu mengangguk-angguk, biarpun di dalam hatinya ia tidak dapat menyetujui kehendak ibunya. Anak-anak Cia Sun tidak salah apa-apa, mengapa harus dibunuh? Akan tetapi mulutnya tidak berani membantah, dia hanya bertanya karena memang heran mendengar ucapan terakhir. “Bagaimana surat wasiat itu bisa membantu kita, ibu?”

“Kau kira aku tergila-gila akan harta dunia yang tersimpan dalam rahasia surat wasiat itu? Bodoh. Semua orang gagah di dunia kang-ouw mengejar-ngejar surat wasiat itu, berlomba untuk mendapatkannya. Apakah orang-orang gagah menghendaki harta? Sudah lebih dari cukup aku hidup kaya raya dahulu. Yan Bu, dengarlah. Surat wasiat itu menunjukkan di mana adanya harta simpanan Lie Cu Seng dan di antara harta benda itu, terdapat sebuah kitab rahasia ilmu silat ciptaan Tat Mo Couwsu. Siapa mendapatkan dan mempelajari isi kitab, pasti akan menjadi jago silat nomor satu di dunia ini. Nah, setelah mendapatkan pelajaran dari kitab itu, apa sih sukarnya bagi kita untuk membalas dendam kepada Hoa Hoa Cinjin? Karena itu, lekas kau lakukan tugas ini. Bunuh bocah laki-laki she Cia, rampas surat wasiat dan tawan bocah perempuannya, bawa padaku. Mengerti?”

“Akan kulakukan semua perintahmu, ibu.”

“Berangkatlah sekarang, aku menantimu di I-kiang, aku harus beristirahat. Akan tetapi obat satu- satunya untuk menyambung usiaku adalah bocah perempuan she Cia dan surat wasiat. Ingatlah ini!”

Demikianlah, dengan hati berat Phang Yan Bu berangkat mengejar Han Sin dan Bi Eng. Jejak dua orang muda dan monyetnya itu tidak sukar ia cari. Memang dua orang muda yang membawa-bawa monyet itu adalah rombongan yang mudah diingat, maka setelah mendapat keterangan dari orang di jalan ke mana arah perjalanan musuh-musuhnya, ia lalu mengejar dan sampai di kaki gunung Cin- ling-san.

Kebetulan sekali pada waktu itu ia melihat Bi Eng berlari seorang diri turun gunung, maka diam- diam ia mengikuti gadis ini yang sekali gus telah membetot semangatnya, membuat ia ragu-ragu bagaimana harus bertindak terhadap gadis ini. Menangkapnya seperti yang diperintahkan ibunya? Ah, bagaimana dia bisa berbuat demikian? Laginya yang laki-laki tidak berada di situ. Aku harus bersabar menanti sampai keduanya berkumpul, pikirnya.

Hari telah menjadi senja ketika Bi Eng mengulet dan membuka matanya. Ia menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, baru terheran hatinya ketika melihat bahwa yang menutupi tubuhnya adalah sehelai jubah luar yang lebar dan tebal. Pemandangan pertama ini sudah mengherankannya, akan tetapi penglihatan ke dua amat mengejutkannya. Di depannya, hanya dalam jarak dua meter, menggeletak seekor bangkai harimau besar yang masih mengucurkan darah dari lehernya yang terluka lebar bekas bacokan. Seketika gadis ini melompat bangun dan ia berhadapan dengan

seorang pemuda tampan yang berdiri memandangnya dengan kagum.

“Apa ..... apa .... kenapa , siapa kau?” serunya kaget sambil melompat ke depan dan memandang

pemuda itu dengan mata terbelalak.

Untuk sejenak Yan Bu tak dapat menjawab, terlalu terpesona oleh sepasang mata yang amat indah seperti bintang pagi dalam pandangan matanya itu. Akhirnya, dengan gagap ia menjawab juga, “Aku aku Phang Yan Bu.”

Merah wajah Bi Eng. Dia seorang gadis yang lincah, jujur, dan terbuka hatinya. Akan tetapi dengan sikapnya barusan, seolah-olah sebagai seorang gadis ia lebih dulu menanyakan nama orang, benar- benar memalukan.

“Siapa tanya namamu?” katanya cemberut.

Makin kagum Yan Bu. Gadis ini dalam segala gerak-geriknya terlalu manis menarik, ketika tidur, kaget dan cemberut, selalu makin manis! Ditegur oleh gadis itu, ia makin bingung. “Aku aku

hanya menjawab, bukankah nona tadi menanyakan?” katanya sambil tersenyum.

“Jangan pringas-pringis (menyeringai)! Aku tidak tanya nama, kumaksudkan kenapa kau di sini,

dan ... dan selimut ini, bangkai harimau itu? Siapa menyelimuti aku?”

“Aku ”

“Kenapa??”

“Nona tidur kelihatan kedinginan, angin amat .... besar ”

“Siapa bunuh harimau ini?” “Aku ”

“Kenapa?”

“Dia hendak menubruk nona yang sedang tidur, aku menggunakan golokku membunuhnya.” “Hemmmm ”

“Ya ......., begitulah ”

Keduanya terdiam, sukar untuk mulai bicara. Entah mengapa, Bi Eng yang biasanya lincah itu, sekarang kehilangan keterampilan lidahnya. Pandang mata pemuda itu terlalu tajam, seakan-akan hendak menjenguk isi hatinya, membuat dia bingung. “Kalau begitu, terima kasih,” akhirnya ia berkata perlahan. “Mengapa berterima kasih?”

“Untuk .... untuk selimut dan harimau ” Bi Eng menarik napas lega, dia sudah berterima kasih

jadi tidak hutang budi lagi dan ini membuat ia lebih bebas rasanya. Ia lalu duduk lagi di atas akar pohon. Juga Yan Bu yang tadinya berdiri, kini duduk lagi di atas batu, entah bagaimana, dia merasa girang bukan main. Belum pernah selama hidupnya, ia merasai kesenangan hati yang hanya bisa dirasa oleh dia sendiri.

Bi Eng tak sengaja menyentuh jubah yang tadi menyelimuti dirinya. Wajahnya menjadi merah dan ia mengambil jubah itu, digulungnya lalu berkata, “Nih jubahmu, kukembalikan!”

Ia melemparkan gulungan jubah itu sambil mengerahkan tenaga ke arah pemiliknya. Ia hendak menguji dan tidak mempunyai maksud buruk karena ia tahu bahwa orang yang telah membunuh seekor harimau tentulah berkepandaian. Benar saja, sambil tersenyum Yan Bu menyambut timpukan itu dan tidak merasa berat ketika menerimanya. Bi Eng menatap wajah yang tampan itu dan keningnya berkerut. Tiba-tiba ia melompat.

“Heee! Kau ?” Ia menuding dengan telunjuknya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar