Jilid 02
04. Persyaratan Murid Kepada Guru
SAMBIL menahan tawanya Bi Eng mengangguk, matanya berseri nakal. Dari belakang batu besar terdengar suara ketawa lain, suara ketawa cecowetan dari monyet kecil! Tadi ketika ada ular menyambar, monyet ini yang paling takut terhadap ular, sudah lari tunggang langgang bersembunyi di balik batu besar. Baru setelah mendengar Bi Eng tertawa, monyet ini berani muncul!
Ciu-ong Mo-kai makin penasaran. Dia, tokoh terbesar dari selatan yang dianggap raja oleh puluhan ribu pengemis, sekarang ditertawakan seenaknya oleh seorang gadis muda dan monyetnya.
“Apa-apaan kau tertawa?” bentaknya.
Sambil menahan geli hatinya, Bi Eng menjawab,
“Taisu yang baik, apakah aku mau kau hajar mengemis dan minum arak?”
Ciu-ong Mo-kai membelalakkan matanya lagi dan sudah siap-siap hendak memaki marah kepada bocah yang dianggapnya kurang ajar sekali itu. Akan tetapi melihat senyum yang wajar, sinar mata yang penuh kejujuran memandang kepadanya, tahulah ia bahwa gadis itu tidak berpura-pura, melainkan bicara sejujurnya. Sebaliknya dari marah, ia lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya lagi dari guci arak.
Tiba-tiba ia menoleh dan mulutnya menyemburkan arak dari mulutnya. Ular belang yang tadi naik ke pohon, dan pada saat itu merayap turun lagi terkena semburan arak itu dan jatuh dengan kepala hilang karena kepala itu telah hancur terkena semburan arak! Tentu saja Bi Eng menjadi heran dan kaget sampai mengeluarkan seruan kecil. Ciu-ong Mo-kai berpaling kepadanya. “Ha ha ha, Bi Eng anak baik, apa katamu sekarang?”
Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya yang cantik. “Taisu, aku tidak suka belajar membunuh ular. Apa sih artinya membunuh ular, apalagi kalau menggunakan arak? Melihat ularnya aku jijik, minum araknyapun tidak suka.”
Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kata-kata ini menunjukkan bahwa Bi Eng memang sama sekali tidak tahu akan ilmu silat. Bagi yang mengerti akan ilmu silat, tentu saja demonstrasi membunuh ular dengan semburan arak itu sudah cukup membuktikan bahwa pengemis tua ini memang lihai sekali.
“Ha ha, bocah bodoh. Kau kira kebisaanku hanya minum arak dan membunuh ular belaka? Lihat ini?” Ia melangkah maju dan sekali kakinya terayun, batu hitam di belakangnya yang sebesar gentong dan beratnya tidak kurang dari lima ratus kati telah ditendangnya sampai terlempar sejauh lima tombak lebih! “Apa kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini?”
Bi Eng membelalakkan matanya. “Untuk apa? Batu baik-baik ditempatnya kok ditendang pergi! Aku tidak mau melakukan hal itu, tiada gunanya, malah merusak taman yang indah.”
Untuk sejenak Ciu-ong Mo-kai tercengang. Tak disangkanya gadis yang lincah gembira ini demikian polosnya. Kembali ia mendemonstrasikan tenaganya. Dengan telapak tangan kiri, ditamparnya batu putih sampai hancur berkeping-keping.
“Ahaiii kau kuat sekali, taisu. Akan tetapi aku tidak mau menjadi tukang pukul batu.”
Ciu-ong Mo-kai sampai hampir menangis saking jengkelnya. Mukanya menjadi merah dan diminumnya araknya sampai ia tersedak-sedak. “Bocah gemblung, bocah goblok! Kau berbakat baik tapi buta. Seribu orang ngimpi-ngimpi ingin menjadi muridku, semua kutolak. Akan tetapi kau malah mentertawakan aku, setan!”
“Aku tidak mentertawakan kau, taisu. Jangan kau marah, ya? Cuma saja, untuk apa aku menjadi muridmu kalau hanya diberi pelajaran membunuh ular, menendang batu hitam dan memukul hancur batu putih?” Pertanyaan ini keluar dari hati yang polos dan begitu jujur sehingga saking bingungnya Ciu-ong Mo-kai menjatuhkan diri di atas tanah, bengong tak tahu harus berkata apa.
“Laginya, taisu,” kata pula Bi Eng sambil ikut-ikutan duduk di atas tanah depan pengemis itu. “Menurut kata Sin-ko, orang belajar ilmu silat hanya mendatangkan malapetaka, menimbulkan kerusuhan dan membuat orang jadi suka berkelahi saja. Tidak baik menurut kata Sin-ko dan Sin-ko memang benar.”
Ciu-ong Mo-kai melongo. “Mengapa benar?”
Gadis itu menggoyang pundak. “Sin-ko selalu memang benar.”
“Siapa itu Sin-ko?” tanya pula kakek itu penuh curiga. Jangan-jangan ada orang luar yang mempengaruhi anak ini, pikirnya. Kalau benar begitu, harus kuhajar!
“Sin-ko adalah kakakku, masa taisu sudah lupa lagi?
Ciu-ong Mo-kai makin terheran. “Kau maksudkan Cia Han Sin?” Melihat gadis itu mengangguk, ia bengong. Bagaimana putera Cia Sun, cucu pahlawan besar Cia Hui Gan, keturunan orang-orang gagah yang menggegerkan dunia kang-ouw, seorang pemuda pula, bisa bicara seperti itu? Apakah sudah lupa akan ayah bundanya yang terbunuh orang? Teringat akan ini, tiba-tiba ia mendapatkan jalan untuk menggerakkan hati gadis ini agar suka menjadi muridnya.
“Eh, Bi Eng. Tahukah kau kenapa ayah bundamu mati?”
Bi Eng memandang dengan matanya yang tajam dan diam-diam Ciu-ong Mo-kai kagum dan terkejut juga melihat sepasang mata yang luar biasa tajam dan liarnya ini.
“Kata uwak Lui, ayah dan ibu mati dibunuh orang,” jawabnya dan dalam suaranya terkandung kemarahan yang ditahan-tahan. “Hanya belum diketahui siapa-siapa penjahat –penjahat celaka itu.”
Mendengar suara ini, Ciu-ong Mo-kai melompat berdiri dan menari girang. Ternyata gadis ini mengandung dendam yang hebat akan kematian ayah bundanya! “Nah, ..... nah anak baik.
Apakah kau tidak ingin mencari pembunuh-pembunuh ayah bundamu dan membalas dendam?”
“Siapa mereka?” Tiba-tiba Bi Eng juga meloncat bangun dan lagi-lagi Ciu-ong Mo-kai terkejut melihat betapa gerakan gadis itu amat cepat dan ringan, terlalu cepat bagi seorang gadis yang tak pernah belajar silat. Tadipun ketika melihat gadis ini menari-nari dengan monyet kecil, ia sudah terheran karena mengenal dasar-dasar ilmu silat keluarga Cia. Tadi dialah yang menyambit dengan ular sambil memberi peringatan karena hendak menguji dan betul saja, gadis itu cukup lincah untuk mengelak.
“Siapa mereka bisa dicari. Akan tetapi tahukah bahwa siapapun juga mereka itu, mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan kau hanya akan mengantar nyawa kalau kau tidak memiliki kepandaian silat tinggi! Ayoh, sekarang jawab. Mau tidak kau menjadi muridku? Aku akan memberi pelajaran ilmu silat sehingga kelak kalau kau bisa mendapatkan musuh-musuh besar itu kau dapat membalas dendam atas kematian ayah bundamu!”
Bi Eng menundukkan mukanya. Benar juga ucapan kakek ini. Kalau orang sudah bisa membunuh ular begitu gampang, menendang dan memukul batu, tentu ia memiliki tenaga besar. Kalau dia bisa memiliki tenaga seperti itu, kelak kepala orang-orang yang membunuh ayah bundanya akan dapat ia hancurkan.
“Aku mau, taisu, akan tetapi !”
“Tapi apa lagi?” Ciu-ong Mo-kai tak sabar.
Bi Eng menoleh ke belakang. “Siauw-ong, ke sinilah kau!” serunya dan monyet kecil itu yang sejak tadi mengintai dari balik batu besar, mendengar panggilan Bi Eng barulah berani keluar dan berindap-indap menuju ke tempat itu.
“Taisu, aku mau jadi muridmu belajar silat asal Siauw-ong juga kau terima menjadi muridmu.”
Pengemis tua itu melengak, akan tetapi melihat monyet itu atas isyarat Bi Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan manggut-manggut di depannya, ia tersenyum. “Baiklah, dia boleh belajar mengawanimu, akan tetapi aku tidak mau menjadi gurunya.”
Bi Eng berseri wajahnya. “Asal dia boleh sama-sama belajar, cukuplah, Dan lagi ” “Masih ada lagi?” Ciu-ong Mo-kai membentak jengkel. “Ayoh katakan, syarat gila apalagi yang hendak kau ajukan? Benar-benar runyam, bukan gurunya yang mengajukan syarat, malah muridnya. Murid macam apa kau ini?”
“Taisu, kalau aku belajar ilmu silat, Sin-ko juga harus belajar. Apa lagi dia laki-laki, dia harus menjadi muridmu pula.”
Ciu-ong Mo-kai ragu-ragu. Memang sudah sepatutnya kalau ia memberi pelajaran pula kepada puteranya Cia Sun itu, akan tetapi sebetulnya dahulu ia mengharapkan Cia Han Sin akan menjadi ahliwaris ilmu silat keluarga Cia. Ia lebih suka kepada Bi Eng, merasa lebih berjodoh menjadi guru anak ini. Semenjak Bi Eng masih bayi perasaan ini sudah berada dihatinya.
“Hemm, terserah padanya. Boleh saja kalau dia suka. Sebetulnya kau lebih berjodoh menjadi muridku,” jawabnya lalu menegak araknya.
“Taisuhu, kau hendak mengajar ilmu silat kepada Bi Eng untuk apa?” tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Han Sin sambil membawa sebuah kitab tebal.
“Sin-ko kau di sini juga? Lihat, taisuhu hendak mengajar kita. Dia kuat sekali, Sin-ko. Ular dibunuhnya dengan semburan arak, batu-batu besar ditendang jauh dan dipukul hancur,” kata Bi Eng dengan wajah girang sambil menghampiri kakaknya dan menggandeng tangan kanan kakaknya dengan penuh kasih sayang.
Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya mendengar teguran tadi dan ia menengok. Dilihatnya bahwa Han Sin telah menjadi seorang pemuda tanggung yang bertubuh tinggi sedang, malah agak kurus, wajahnya tampan sekali dan mulutnya tersenyum tenang. Akan tetapi ketika pandang mata pengemis tua ini bertemu dengan pandang mata Han Sin, Ciu-ong Mo-kai terkejut sekali. Tadi ia sudah kagum melihat sinar mata Bi Eng yang amat tajam, akan tetapi sekarang bertemu pandang dengan pemuda ini, ia merasa seakan-akan matanya pedas dan terpaksa ia mengejap-ngejapkan mata karena tidak tahan lagi.
“Ayaaa ! serunya perlahan. Mata seperti itu hanya dimiliki orang yang sudah mencapai tingkat
tertinggi dalam ilmu lweekang! Ia teringat akan ini dan kembali ia menggunakan kekuatan matanya menatap wajah dan sinar mata pemuda itu. Ia melihat pemuda itu memandangnya tenang saja, akan tetapi mata itu! Mata itu mencorong dan mengandung daya kekuatan yang luar biasa sekali, membuat Ciu-ong Mo-kai sampai menitikkan dua airmata ketika ia bertahan untuk tidak berkejap! Akhirnya ia tundukkan mukanya dengan penuh keheranan dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, pengemis itu menenggak lagi araknya.
“Sin-ko, taisu hendak mengajar ilmu silat kepada kita agar kita memiliki kepandaian untuk kelak mencari pembunuh-pembunuh ayah-ibu dan membalas dendam!” terdengar lagi ucapan Bi Eng penuh gairah dan mata yang bening itu memandang wajah kakaknya dengan seri gembira.
Han Sin menarik napas panjang dan mengelus-elus pundak adiknya. “Eng-moi, hanya jurang kesengsaraanlah yang dituju oleh langkah kaki yang terikat oleh dendam dan benci. Pembunuh- pembunuh orang tua kita memang telah melakukan perbuatan yang jahat dan buruk. Akan tetapi bukan kita hakimnya. Biarlah hidup mereka kelak menjadi hakim bagi mereka sendiri.”
Ciu-ong Mo-kai melongo mendengar ucapan yang bagi Bi Eng sudah tidak asing lagi itu. Memang biasa Han Sin bicara penuh kesabaran, penuh filsafat-filsafat dari kitab-kitabnya. Ketika Ciu-ong Mo-kai melirik ke arah kitab di tangan pemuda itu, tahulah ia bahwa saking banyak membaca kitab tanpa ada yang memberi petunjuk, agaknya pemuda ini telah menjadi kutu buku dan jalan pikirannya terkurung seluas lembaran-lembaran bukunya saja.
“Omongan apa itu?” bentaknya. “Pembunuh adalah orang jahat dan kiranya bukan orang tua-tua kalian saja terbunuh, penjahat-penjahat harus dibasmi dan kalau tidak memiliki kepandaian, bagaimana bisa membasminya? Harimau tanpa gigi dan kuku, mana bisa menjaga kulitnya?
Manusia tanpa kepandaian, apa bedanya dengan monyet? Han Sin, kau selalu tinggal di sini, tidak tahu keadaan di dunia ramai. Ketahuilah bahwa di sana, siapa lemah dia terhina.”
Han Sin memandang kepada pengemis tua itu dengan tenang dan tersenyum. “Taisu, maaf kalau aku terpaksa membantah pandangan taisu. Menurut pendapatku yang bodoh, membasmi kejahatan tak dapat dilakukan dengan kekerasan, melainkan dengan kebenaran dan cinta kasih. Harimau menjaga kulit dengan gigi dan kuku, akan tetapi manusia menjaga namanya dengan pribudi baik, bukan dengan pukulan dan tendangan. Orang terhina atau tidak bukan karena kepandaiannya, melainkan karena sikapnya, karena wataknya.”
Untuk sejenak mata pengemis itu terbelalak, kemudian ia tertawa bergelak. Suara ketawanya yang penuh tenaga khikang itu sampai bergema di seluruh puncak. Siauw-ong sampai lari terbirit-birit ketakutan sambil menutupi telinganya. Akan tetapi melihat betapa Han Sin dan Bi Eng tidak lari, iapun merayap-rayap kembali lagi sambil memandang ke arah pengemis itu dengan takut-takut.
“Ha ha ha ha! Kalau tidak melihat sendiri, aku takkan percaya bahwa ucapan ini keluar dari mulut putera keluarga Cia, cucu pahlawan rakyat Cia Hui Gan yang gagah perkasa, putera Cia Sun pendekar budiman yang terkenal di seluruh dunia! Lebih pantas keluar dari mulut seorang hwesio yang alim. Ha ha ha!”
“Taisu, omongan Sin-ko adalah betul sekali. Kenapa kau mentertawainya?” Bi Eng membela kakaknya. Ia amat cinta kepada kakaknya ini, maka tidak senang ia melihat kakaknya ditertawai orang.
“Cia Han Sin, lihat baik-baik. Adikmu ini lebih wajar, lebih gagah menuruni sifat keluargamu. Melihat kakaknya diserang oleh tertawaan, ia sudah marah dan hendak membela. Andaikata kau diserang orang jahat dengan pukulan, bagaimana adikmu akan membelamu kalau dia tidak mempunyai kepandaian silat?”
“Adikku pemarah, harap taisu maafkan,” kata Han Sin merendah.
“Sayang kau anak baik terlalu tenggelam di antara kitab-kitabmu. Orang sabar dan mengalah
adalah baik sekali. Akan tetapi kalau berlebihan, ada bahayanya menjadi pengecut dan menjadi orang yang tidak tahu akan harga diri dan kehormatan. Han Sin, kalau semua orang baik seperti kau sikapnya, mana bisa muncul patriot-patriot, mana bisa muncul orang-orang gagah, dan mana bisa negara dan bangsa menjadi kuat? Mengelus dada menerima nasib mengandalkan kesabaran dan mengalah bukanlah laku yang budiman! Melihat orang jahat tanpa berusaha membasminya, sama saja dengan membantu orang jahat itu! Rakyat kita sengsara, apa lagi pada waktu ini sedang ditindas oleh pemerintah penjajah. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang membela mereka, siapa lagi? Para dewata takkan mampu mengangkut mereka dari lembah kesengsaraan.”
Han Sin mengerutkan kening. Inilah kata-kata baru yang belum pernah ia jumpai dalam kitab- kitabnya. Akan tetapi ia tidak membantah, hanya mendengarkan terus dan sepasang matanya yang luar biasa itu menatap wajah Ciu-ong Mo-kai yang tidak kuat lama-lama menentang pandang matanya. “Memang tidak seharusnya orang yang berkepandaian itu berlaku sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi, mengalah dan sabarpun ada batasnya dan harus lihat-lihat kepada siapa kita berhadapan. Kalau kau melihat rakyat dirampoki para penjahat yang mengandalkan ketajaman golok dan kekerasan tangan, apa yang hendak kau perbuat? Apakah kau akan mendatangi perampok-perampok itu dan menggunakan kata-kata indah berfilsafat yang kau petik dari kitab- kitabmu? Ah, kau akan ditertawai, malah mungkin akan dibacok mati. Menghadapi kejahatan seperti itu, jalan satu-satunya hanyalah membasmi mereka dan untuk dapat melakukan ini, kau harus memiliki kepandaian silat untuk melawan mereka, kau masih dapat membujuk mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Akan tetapi, tanpa mengalahkan dulu mereka, mana mereka sudi menurut nasehatmu?”
Han Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa. Memang selama belasan tahun ini ia mengeram diri dalam kamar bersama kitab-kitabnya, maka alam pikirannya seluruhnya dipengaruhi oleh filsafat- filsafat kuno. Akan tetapi setelah mendengar ucapan Ciu-ong Mo-kai sebentar saja ia sudah dapat menangkap isinya dan dapat membenarkannya.
“Baiklah, moi-moi. Kau boleh belajar ilmu silat dari taisu,” katanya sambil memegang lengan adiknya.
“Siauw-ong juga,” adiknya berkata manis.
“Siauw-ong? Han Sin tersenyum. “Tanpa belajar ia sudah pandai bersilat.” “Dan kau juga, koko,” kata Bi Eng manja sambil menarik tangan kakaknya. “Aku ?”
“Ya, kalau kau tidak mau, akupun tidak mau.”
Han Sin kewalahan. Ia sudah menyetujui adiknya belajar silat. Kalau dia menolak, berarti dia menarik kembali persetujuannya.
“Baiklah, baiklah, Aku akan mencatat semua pelajaran itu.”
Pada saat itu, Siauw-ong sibuk mencokel-cokel tanah di belakang batu hitam yang besar. Dia tadi melihat seekor jengkerik di belakang batu. Ketika hendak ditangkap, jengkerik itu masuk ke dalam lubang dan dicokel-cokelnya tanah untuk menangkap jengkerik. Batu besar itu berada di tanah yang miring dan tidak disangka sama sekali ketika bawahnya dicokel-cokel, tiba-tiba batu itu menggelinding turun dan akan menimpa monyet itu.
Siauw-ong memekik keras dan cepat meloncat lari. Celakanya, ia lari ke bagian bawah sehingga terus dikejar batu besar yang menggelinding cepat sekali.
Han Sin berada terdekat dari tempat itu. Pemuda ini, di luar sangkaan sama sekali dan amat mengejutkan hati Ciu-ong, melompat ke depan dan tangan kanannya mendorong batu besar yang sedang menggelinding cepat mengejar Siauw-ong.
“Han Sin, jangan!” Ciu-ong Mo-kai berseru keras mencegah karena ia maklum bahwa batu besar yang menggelinding itu mengandung tenaga ratusan kati dan Han Sin pemuda lemah itu tentu akan patah tulang lengannya kalau berani mendorong untuk mencoba menolong monyet itu. Sambil berseru mencegah iapun berkelebat ke arah batu itu. Bukan main herannya hati Ciu-ong Mo-kai ketika melihat betapa batu besar itu menggelimpang, terlempar oleh dorongan kedua tangan Han Sin dan karenanya menyelamatkan Siauw-ong. Makin heran dan terkejut lagi hati pengemis tua itu ketika ia memukul batu itu, batu menjadi hancur dan ternyata bahwa di bagian dalam batu besar itu sudah remuk sebelum ia memukulnya! Hebat sekali! Benarkah Han Sin tidak hanya mendorong batu itu terpental, malah dengan dorongannya itu biarpun batu masih utuh akan tetapi di sebelah dalamnya sudah remuk? Tak mungkin! Untuk memukul hancur batu itu, dia Ciu-ong Mo-kai masih sanggup lakukan, akan tetapi mendorong batu begitu saja dan membikin remuk bagian dalam batu itu, hemmm, kiranya hanya dapat dilakukan oleh orang yang tenaga lweekangnya sudah hampir sempurna!
Selagi Ciu-ong Mo-kai tertegun menatap batu yang sudah hancur itu, tiba-tiba Bi Eng menjerit dan menangis. Ia cepat menengok dan melihat Han Sin sudah menggeletak pingsan, wajahnya pucat sekali! Bi Eng menubruk kakaknya, mengangkat kepala Han Sin ke atas pangkuan dan sambil menangis panik memanggil-manggil, “Sin-ko ....! Sin-ko , kau kenapakah, Sinko? Bangunlah
.......!”
“Bi Eng, tenanglah. Dia tidak apa-apa, coba kau lepaskan dan biarkan dia berbaring hendak ku periksa!” kata Ciu-ong Mo-kai dengan suara keren. Bi Eng menurut, melepaskan kepala Han Sin dari atas pangkuannya dan ia berlutut di pinggir memandang dengan cemas.
Siauw-ong juga datang mendekat dan mengeluarkan bunyi lirih seperti orang menangis ketika melihat Han Sin tak bergerak, telentang pucat seperti mayat.
Ciu-ong Mo-kai menghampiri Han Sin dan melakukan pemeriksaan, menekan urat nadi dan meraba dada. Alangkah kagetnya ketika dari tubuh pemuda itu memancar hawa yang membuat ia tergetar dan terpaksa ia mengerahkan tenaga lweekangnya untuk menahan datangnya hawa yang merupakan tenaga dahsyat yang berbahaya itu. Ia lalu menekan pusar pemuda itu dan makin besar keheranannya. Ternyata pemuda ini memiliki kekuatan besar dalam tubuhnya. Hawa dalam tubuhnya panas dan kuat sekali. Jalan darahnya bersih dan tulang-tulangnya sempurna. Hebat! Dari mana pemuda ini bisa mendapatkan kekuatan seperti ini?
“Tenaga tian-tan di pusarnya telah terlatih kuat, malah ia sudah dapat memusatkan hawa dan jalan darahnya,” pikirnya terheran sambil meraba-raba. “Pantas saja tadi dorongannya dapat membikin remuk bagian dalam batu itu. Agaknya dia ini tanpa disengaja telah melatih diri dengan semacam lweekang yang mujizat dan ia menjadi seorang ahli lweekeh tanpa ia sadari sendiri. Karena dasarnya tidak terlatih dan ia tidak tahu cara mempergunakannya, maka tadi tenaga lweekang yang ia gunakan di luar kesadarannya dalam usahanya menolong monyet, membalik dan melukai dirinya sendiri.”
Sampai lama Ciu-ong Mo-kai termenung. Benar-benar telah terjadi sesuatu yang hebat. Putera keluarga Cia tanpa disadarinya sendiri telah memiliki modal ilmu kepandaian yang mujizat, dan anak ini sama sekali tidak suka akan ilmu silat. Aneh sekali. Dengan penuh ketelitian pengemis sakti itu lalu mengurut dada Han Sin, membuka jalan darah di sana sini untuk menormalkan kembali gunjangan hebat yang timbul dari tenaga dahsyat yang dikeluarkan oleh Han Sin tanpa disadarinya itu. Kemudian ia menghancurkan sebuah pil merah dengan arak dan menuangkan arak itu ke dalam mulut Han Sin.
Akhirnya pemuda itu siuman dan bangun sambil terbatuk-batuk. Begitu ingat lalu mencari monyetnya. Melihat Siauw-ong duduk di situ dengan muka sedih akan tetapi dalam keadaan selamat, Han Sin berkata perlahan. “Berbahaya sekali batu itu, Siauw-ong. Lain kali jangan nakal kau. Untung kau tidak tertimpa batu.”
Saiuw-ong nampak girang, melompat dan duduk di pangkuan pemuda itu. Bi Eng juga girang. Dengan air mata berlinang ia memegang tangan kakaknya.
“Sin-ko, kau tadi pingsan dan baiknya ada taisu yang menolongmu sampai kau bisa sembuh kembali.”
Han Sin memandang kepada Ciu-ong dengan bertanya. Memang ia tidak ingat akan apa-apa yang terjadi dengan dirinya dan tidak tahu pula sebabnya ia sampai pingsan.
“Han Sin, sekali lagi terbukti bahwa pandanganku tentang ilmu silat lebih cocok. Kau tadi melihat Siauw-ong terancam bahaya, lalu cepat berusaha menolong dan mendorong batu ”
“Bagaimana Siauw-ong bisa selamat?” Han Sin memotong, kini terheran setelah teringat semua akan peristiwa tadi.
“Kau mendorong batu malah roboh pingsan dan batu itu dipukul hancur oleh taisu,” kata Bi Eng.
“Nah, terbuktilah, Han Sin. Andaikata kau memiliki ilmu silat, tentu kau dapat menolong Siauw- ong atau siapa saja yang terancam bahaya, bukan? Juga, andaikata kau telah mempelajari ilmu silat, tentu kau takkan pingsan. Eh, apakah kau belum pernah belajar silat?” tanya Ciu-ong Mo-kai sambil menatap tajam dengan pandang mata mengukur dan menyelidik.
Han Sin menggeleng kepala. “Kesukaanku satu-satunya hanya belajar memahami kitab-kitab.” Kemudian ia bertanya, “Mengapa taisu bertanya begitu?”
“Karena kau memiliki keberanian dan kegagahan, tidak mengenal tenaga sendiri dengan nekat mendorong batu untuk menolong Siauw-ong,” jawab Ciu-ong menyimpang dan memancing.
“Aku ngeri dan kasihan melihat Siauw-ong akan tertimpa batu, maka tanpa ingat kelemahan sendiri aku berusaha menolongnya,” jawab Han Sin dan ucapan ini demikian sungguh-sungguh sehingga kini yakinlah Ciu-ong Mo-kai bahwa pemuda ini memang betul-betul tidak mengerti bahwa dia mempunyai tenaga lweekang dan hawa sakti (Sin-kang) di dalam tubuhnya yang mujizat.
Tiba-tiba Siauw-ong mengeluarkan seruan seperti ketakutan dan Ciu-ong Mo-kai yang sudah memiliki pendengaran tajam sekali menangkap suara beberapa orang mendaki puncak itu. Siauw- ong dapat mencium bau mereka dan Ciu-ong dapat menangkap tindakan kaki mereka. Han Sin dan Bi Eng tidak mendengar apa-apa maka mereka heran melihat Siauw-ong cecowetan seperti ketakutan.
“Ada orang datang, “ kata Ciu-ong dan mereka semua berdiri. Siauw-ong segera meloncat ke pundak Han Sin sambil menyembunyikan mukanya di belakang kepala pemuda itu.
Betul saja, tak lama kemudian muncullah tiga orang laki-laki dari balik batu-batu putih. Mereka ini adalah tiga orang yang bertubuh tinggi besar, bermuka gagah dan kepala mereka terbungkus kain panjang yang dilibat-libatkan. Di Punggung mereka tampak gagang pedang dengan ronce-ronce merah. Begitu tiba di situ, tiga orang itu memandang ke arah Cia Han Sin dan Cia Bi Eng dengan pandang mata tajam menyelidiki, lalu melirik tak acuh kepada pengemis tua, kemudian sekilas mereka memandang ke arah gedung besar keluarga Cia.
Han Sin sebagai tuan rumah, segera melangkah maju dan menuju kepada tiga orang laki-laki asing itu. “Sam-wi datang ke sini hendak mencari siapakah?” Suaranya tenang dan penuh hormat.
Tiga orang itu saling pandang, lalu bicara pendek dalam bahasa yang tidak mengerti oleh Bi Eng maupun Ciu-ong Mo-kai. Akan tetapi, alangkah kagetnya Ciu-ong Mo-kai ketika Han Sin menjawab orang-orang itu dengan bahasa asing yang sama! Ternyata bahwa orang-orang itu adalah bangsa Hui yang bicara dalam bahasa Hui.
Han Sin ketika “bertapa” di dalam kamarnya selama belasan tahun ini, tidak saja mempelajari filsafat dari kitab-kitab kuno, juga ia telah mempelajari bahasa-bahasa asing yang macam-macam, diantaranya bahasa Hui. Tentu saja Bi Eng tidak merasa heran karena ia sudah tahu dan percaya penuh akan kepintaran kakaknya yang dianggapnya bisa segala itu! Maka ia memandang dengan kagum dan bangga.
Tiga orang Hui nampak tercengang akan tetapi seorang di antara mereka yang berkumis pendek lalu berkata dalam bahasa Han yang kaku dan lambat, “Hemm, kiranya kau mengerti juga bahasa kami? Kalau begitu, tak usah kami memperkenalkan diri lagi. Kami memang bangsa Hui dan kedatangan kami ini hendak mencari anak-anak keturunan Cia Sun.”
Mendengar ini, Bi Eng melangkah maju dan berkata gembira, “Akulah anak Cia Sun, dia ini yang pintar adalah kakakku, namanya Cia Han Sin dan aku bernama Cia Bi Eng. Kakek ini adalah guru kami, namanya ...... namanya biasanya disebut taisu!” Bi Eng memang belum tahu nama
gurunya.
Wajah tiga orang berubah, kelihatan beringas. Yang berkumis pendek kini menoleh dan menghadapi Ciu-ong Mo-kai dengan sikap mengancam. Karena diperkenalkan sebagai guru dua orang anak itu, kini ia tidak memandang tak acuh lagi.
Kawan-kawan, tangkap dua anak kambing itu, biar aku mengusir anjing gembala ini!” katanya. Karena ia bicara dalam bahasa Hui, Ciu-ong Mo-kai tidak mengerti artinya, akan tetapi ia sudah siap siaga maka ketika si kumis itu menerjangnya dengan pedang dihunus, ia dapat mengelak dengan mudah. Dari sambaran pedang ia mendapat kenyataan bahwa orang Hui ini lihai juga, maka pengemis sakti itu khawatir sekali akan keselamatan dua orang muridnya.
Ia menggerakkan guci araknya menangkis pedang sambil menyemburkan arak ke arah muka si kumis. Terdengar suara keras dan pedang itu terlepas jauh. Akan tetapi si kumis dapat mengelak dari serangan semburan arak dan tiba-tiba tangan kirinya melayang, memukul ke arah dada dengan telapak tangan dimiringkan. Pukulannya keras sekali dan angin pukulannya menunjukkan kekuatan lweekang yang hebat.
Ciu-ong Mo-kai mengangkat tangan menangkis. Dua lengan yang kuat bertemu dan si Kumis terlempar ke belakang, terhuyung-huyung dan mengeluh kesakitan.
Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan ketika Ciu-ong Mo-kai memutar tubuh untuk menolong dua orang muridnya, ia melihat dua orang Hui yang hendak menangkap Han Sin dan Bi Eng, juga terlempar ke belakang, jatuh dan bangun lagi sambil memegangi tangan kanan mereka yang sudah patah-patah tulangnya. Si Kumis berseru dalam bahasa Hui mengajak kawan-kawannya lari dan tanpa menoleh lagi ketiganya lari sifat kuping, meloncat-loncat di atas batu putih. Ciu-ong Mo-kai hendak mengejar, akan tetapi Han Sin menahan, “Suhu, biarkanlah mereka pergi. Kelak mereka akan menyesal sendiri atas perbuatan-perbuatan mereka yang tidak selayaknya.”
Ciu-ong Mo-kai tertegun. Baru kali ini ia diperintah orang dan orang itu adalah muridnya
sendiri! Akan tetapi karena terlalu heran melihat dua orang tadi yang dari gerakan-gerakannya ia dapat menduga tidak kalah pandai dari pada si kumis, ternyata terpukul mundur sampai patah-patah tulangnya, ia segera menoleh dan menghampiri Han Sin.
“Yang dua orang tadi itu bagaimana mereka tidak jadi menangkap kalian?” tanyanya.
Han Sin kelihatan bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Bi Eng yang tertawa geli sambil berkata, “Suhu, dua orang itu adalah badut-badut yang lucu. Mereka tadinya hendak menangkap aku dan Sin-ko. Akan tetapi Sin-ko membentak mereka supaya jangan kurang ajar. Eh, dibentak begitu saja mereka lalu lari terbirit-birit. Entah ia takut akan bentakan Sin-ko ataukah takut melihat Siauw-ong dipundak Sin-ko meringis hendak menggigit mereka.”
“Han Sin, kau apakan mereka tadi?” tanya Ciu-ong kepada Han Sin, kini memandang tajam dan kembali timbul kecurigaannya kalau-kalau pemuda ini diam-diam menyimpan kepandaian yang dirahasiakan.
“Sesungguhnya tepat seperti yang diceritakan oleh Eng-moi, suhu. Teecu tidak berbuat apa-apa. Ketika melihat mereka menangkap moi-moi, teecu membentak mereka dan melarang mereka berbuat kurang ajar. Mereka malah seperti mencengkeram atau memukul ke arah lengan teecu yang melarang mereka. Entah mengapa, mereka lalu mundur dan lari.” Ketika bicara demikian, Han Sin melihat ke arah lengan kanannya yang tadi terpukul dan matanya terbelalak. Kiranya bajunya di bagian lengan sudah robek-robek dan hancur. “Eh, mereka malah merusak bajuku ”
Ciu-ong Mo-kai melihat lengan pemuda yang berkulit halus dan putih itu sama sekali tidak terluka dan ia menarik napas panjang, penuh kekaguman. Benar-benar pemuda ini memiliki kesaktian hebat yang tidak diketahuinya sendiri. Ia sekarang mengerti. Tadi diwaktu menahan dan mendorong batu, pemuda yang belum mempunyai dasar ini terkena hawa pukulannya sendiri maka ia roboh pingsan. Sekarang, karena ia tidak menggunakan tenaga dan ada dua orang menyerangnya atau setidaknya hendak mencengkeram dengan tenaga lweekang, maka otomatis dua orang Hui itu menjadi korban tenaga mujizat dari lengan pemuda ini sehingga sekali bertemu saja tangan mereka sampai patah- patah tulangnya! Dan pemuda ini sama sekali tidak mengerti!
Diam-diam Ciu-ong Mo-kai menjadi girang sekali. Dia adalah seorang pendekar gagah yang sejak dahulu amat kagum dan menjunjung tinggi kepahlawanan Cia Hui Gan dan Cia Sun. Sekarang keluarga Cia mempunyai keturunan yang demikian hebat, benar-benar merupakan anugerah besar.
Akan tetapi ia sangsi melihat sikap Han Sin, ia tidak berani membuka rahasia pemuda itu karena melihat betapa Han Sin benar-benar tidak suka akan ilmu silat. Pemuda itu benar-benar telah menjadi seorang yang penuh welas asih, halus dan tidak suka kekerasan.
Demikianlah dengan amat tekun dan menggunakan sistem kilat, Ciu-ong Mo-kai menurunkan ilmu kepandaiannya kepada Bi Eng, Han Sin dan Siauw-ong. Akan tetapi yang betul-betul ia pimpin hanyalah Bi Eng yang langsung berlatih dan belajar dibawah pimpinannya. Siauw-ong, monyet kecil itu hanya ikut-ikut saja kalau Bi Eng berlatih silat. Dan bagaimana dengan Han Sin? Lebih aneh dan lucu dari Siauw-ong. Pemuda ini kalau Bi Eng menerima pelajaran dan berlatih, dia sendiri tidak ikut berlatih melainkan duduk di bawah pohon membawa sebuah buku kosong dan alat tulis. Ia mencatat semua pelajaran teori, dan mencoret-coret menggambar Bi Eng bersilat dalam pelbagai gerakan.
Lukisannya amat tepat, malah pada suatu waktu ketika Ciu-ong Mo-kai melihat lukisan itu, ia menggelengkan kepalanya karena gerakan-gerakan orang bersilat dalam lukisan itu demikian sempurna sehingga dia sendiri kiranya tidak akan mungkin melakukan gerakan lebih baik lagi dari pada gerakan gambar orang bersilat itu. Diam-diam ia ngeri juga melihat Han Sin dan harus mengakui bahwa pemuda ini benar-benar seorang anak ajaib yang berwatak aneh dan berkepandaian aneh pula.
Ciu-ong Mo-kai adalah seorang tokoh kang-ouw yang semenjak mudanya tidak pernah menikah, juga tidak pernah menerima murid yang ia warisi semua kepandaiannya yang luar biasa. Memang benar banyak murid-muridnya, yaitu tokoh-tokoh pengemis kang-ouw yang kini menjadi jago-jago di daerah selatan bahkan tersebar luas di beberapa daerah. Akan tetapi ilmu silatnya yang tunggal, yaitu ilmu silat Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Kesaktian Mengejar Angin) tak pernah ia turunkan kepada siapapun juga.
Malah di antara tokoh-tokoh pengemis yang menjadi pangcu (ketua) perkumpulan-perkumpulan pengemis dan pernah menerima petunjuk-petunjuknya dan mengaku menjadi muridnya, hanya beberapa orang saja yang pernah melihat Ciu-ong Mo-kai mainkan Liap-hong-sin-hoat ini, baik bertangan kosong, menggunakan tongkat dan senjata lain. Memang ilmu silat Liap-hong-sin-hoat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja, karena pada hakekatnya ilmu silat bersenjata adalah cabang dari pada ilmu silat tangan kosong.
Akan tetapi kali ini, dengan sepenuh hati dan rela Ciu-ong Mo-kai menurunkan Liap-hong-sin-hoat kepada Bi Eng! Nona muda inipun amat cerdik dan memang bakatnya baik sekali sehingga dengan cepat ia dapat mewarisi ilmu silat tunggal yang ampuh itu. Sayangnya Bi Eng kurang memiliki dasar atau jelasnya ia melatih ilmu silat setelah berusia lima belas tahun. Masih untung baginya bahwa ia suka bermain-main “tari monyet” dengan Siauw-ong sehingga ia mempunyai kelincahan dan kelemasan tubuh yang cukup.
Mula-mula Ciu-ong Mo-kai kecewa melihat Han Sin tidak pernah mau ikut berlatih praktek tetapi hanya mencatat dan menggambar saja. Dengan menghafal semua gerakan dan tipu-tipu ilmu silat, mana bisa mempergunakan dalam praktek tetapi tanpa latihan? Demikian pikir pengemis sakti itu dengan gelisah. Biarpun tanpa disadari memiliki tenaga kesaktian dalam tubuh, namun tanpa ilmu silat bagaimana akan dapat melawan musuh yang tangguh?
Dengan amat penasaran, beberapa bulan kemudian guru ini mengintai ke dalam kamar Han Sin. Terlalu banyak pemuda itu menyembunyikan diri di dalam kamar, apa sih rahasianya?
Waktu itu sudah lewat tengah malam namun kamar Han Sin masih ada cahaya lampu redup-redup, Ciu-ong Mo-kai mengintai dari atas genteng dan ia melihat pemandangan yang aneh. Ternyata Han Sin berada di atas pembaringannya bertelanjang bulat sama sekali dan pemuda itu berada dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berjungkir balik dengan kepala di atas pembaringan dan kakinya di atas. Tubuhnya yang terbalik ini lurus sekali seperti sebatang tongkat kayu saja, kedua lengan bersedakap dan tubuhnya tidak ada penahannya sama sekali!
Selama hidupnya belum pernah Ciu-ong Mo-kai melihat kejadian seperti ini. Gilakah pemuda itu? Tak mungkin gila. Sehari-hari tabiatnya tidak membayangkan kemiringan otak. Laginya, tanpa latihan yang lama tak mungkin orang bisa “berdiri” di atas kepala seperti itu. Ketika ia mengawasi dengan teliti, makin berdebar hatinya. Pemuda itu tidak bernapas! Atau lebih tepat menahan napas. Ia menghitung perlahan sampai tiga ratus kali, baru kelihatan pemuda itu mengeluarkan napas, panjang dan lama sampai tiga ratus hitungan pula, menahan di dada dalam waktu yang sama.
Pendeknya, tiap kali menyedot, tiap kali menahan napas, dan tiap kali mengeluarkan pernapasan itu masing-masing selama tiga ratus kali hitungan.
Inilah latihan samadhi dan pernapasan yang amat aneh! Bagi Ciu-ong Mo-kai, seorang tokoh kang- ouw yang sudah kawakan, berlatih napas seperti itu sih bukan hal aneh. Akan tetapi ketika ia perhatikan betul-betul dan mendapatkan kenyataan bahwa pemuda itu menilik dari pernapasan yang tetap dan halus adalah dalam keadaan tidur. Bukan main!
Dalam keadaan tidak sadar atau tidur dapat mengatur pernapasan seperti itu, berjungkir balik lagi. Sudah tak dapat dibilang latihan lagi, melainkan hal yang sudah mendarah daging sudah menjadi kebiasaan bagi jasmaninya. Inilah tingkat yang tak sembarang orang mampu mencapainya.
Tingkat teratas bagi ahli-ahli siulian (samadhi) sehingga tidak ada bedanya antara sadar dan tidak, antara berlatih dan tidak. Pendeknya, bagi orang yang sudah mencapai tingkat itu, setiap detik baik ia tidur maupun sadar, makan maupun bicara, ia tak pernah lepas dari pada keadaan samadhi.
Napasnya secara otomatis teratur terus, panca inderanya selalu terkumpul pada setiap keluangan kalau ia tidak sedang berpikir lain!
Dalam menghadapi pemandangan yang membuat Ciu-ong Mo-kai melongo saking kagumnya itu, teringatlah ia akan penuturan mendiang gurunya dahulu bahwa di puncak Himalaya banyak terdapat pertapa-pertapa yang sanggup bertapa tanpa bergerak tanpa makan sampai setahun lebih. Itulah puncak kesempurnaan samadhi, kata gurunya. Akan tetapi, demikian gurunya menerangkan, samadhi seperti itu dilakukan tanpa kehendak sesuatu, karenanya tidak mendatangkan kekuatan jasmani, hanya membersihkan rohani. Kalau dilakukan dengan keliru, memang akibatnya bermacam-macam. Bisa menimbulkan hal-hal yang aneh.
Agaknya Han Sin telah mempelajari cara samadhi dari kitab-kitab kuno, dari ilmu-ilmu batin jaman dahulu, akan tetapi agaknya pemuda itu yang berlatih semenjak kecil tanpa petunjuk, telah “tersesat” dan akibatnya malah mendatangkan tenaga dalam yang mujizat! Inilah kurnia yang luar biasa dan baiknya pemuda itu memang pada dasarnya berwatak baik. Andaikata ia berwatak jahat, tentulah penyelewengan atau kesesatan latihan ini akan mendatangkan malapetaka atau ilmu hitam padanya!
Ciu-ong Mo-kai mengambil sepotong pecahan genteng dan disambitkannya ke bawah, mengarah bagian tubuh yang tidak berbahaya dari pemuda itu, yakni di bagian betis kaki. Akan tetapi, tepat seperti ia sudah menduga sebelumnya, pecahan genteng itu terpental dan jatuh sebelum mengenai betis Han Sin dan pemuda itu segera terjaga dari “tidurnya!”!
Cocok dengan dugaan Ciu-ong Mo-kai yang menjadi makin kagum bahwa di dalam tubuh Han Sin telah timbul dan dipelihara sin-kang (hawa sakti) tanpa di sengaja atau dimengerti oleh pemuda itu sendiri. Ia maklum bahwa untuk mengajar seorang pemuda seperti ini, ilmu silatnya masih terlalu rendah. Kalau Han Sin melatih diri dengan ilmu silatnya yang gerakan-gerakannya berdasarkan lweekang yang masih belum tinggi kalau dibandingkan dengan tingkatnya, maka ilmu silat itu takkan ada gunanya malah dapat merusak kekuatan luar biasa yang tersembunyi di dalam tubuh Han Sin itu.
Setelah membuktikan sendiri bahwa dugaan-dugaannya memang tepat, semenjak itu Ciu-ong Mo- kai tidak mau meributkan tentang sikap Han Sin yang tidak ikut berlatih, hanya mencatat dan melukis semua pelajaran silat yang ia turunkan kepada Bi Eng. Malah dengan tekun pengemis sakti ini lalu menggembleng Bi Eng, menurunkan bagian-bagian terpenting dari ilmu silatnya dan mengajar gadis itu dengan tipu-tipu dan gerakan-gerakan yang praktis tanpa membuang waktu dengan segala macam gerakan variasi yang hanya disebut ilmu silat kembang.
05. Siucai Lemah Pelatih Silat.
SETELAH mengajar tanpa mengenal lelah selama dua tahun, habislah sudah semua dasar ilmu silat tinggi dan ilmu silat Liap-hong-sin-hoat ia turunkan kepada Bi Eng. Han Sin tetap belum pernah kelihatan belajar ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh Ciu-ong Mo-kai, akan tetapi seringkali Ciu- ong Mo-kai menjadi bengong kalau melihat betapa Bi Eng yang sedang berlatih silat ditonton oleh Han Sin, sering kali mendapat teguran-teguran dari kakaknya itu!
Pernah ia mendengar Han Sin memberi nasehat kepada Bi Eng ketika gadis itu bersama kakaknya dan Siauw-ong berada di taman belakang. Pengemis tua ini diam-diam mengintai dan alangkah herannya ketika ia melihat Bi Eng mainkan Liap-hong Sin-hoat dengan cepat dan baiknya ditonton oleh Han Sin yang mencela sana-sini.
“Gerakanmu dalam jurus ke tiga belas ada kesalahan, moi-moi. Juga dalam jurus ke lima tadi kurang sempurna,” kata Han Sin setelah Bi Eng selesai berlatih.
Bi Eng menghampiri kakaknya, “Apa kesalahannya dan yang manakah kurang sempurna, Sin-ko? Harap kau memberi petunjuk.”
Diam-diam Ciu-ong Mo-kai menjadi geli hatinya, ia sendiri tadi melihat dengan penuh perhatian akan tetapi tidak melihat kesalahan-kesalahan. Apakah pemuda ini yang belum pernah melatih diri berani mencela adiknya yang selalu giat berlatih?
“Coba kau ulangi gerakan ke lima tadi, bukankah itu gerakan tipu Pek-in-kan-goat (Awan Putih Mengejar Bulan)?”
“Betul, koko. Kaulihat baik-baik dan katakan nanti mana yang kurang sempurna.” Gadis itu lalu membuat gerakan Pek-in-kan-goat, amat cepat, sigap dan kuat.
Ciu-ong Mo-kai memandang penuh perhatian dari tempat sembunyinya, akan tetapi ia tidak dapat menemukan kesalahan dalam gerakan itu, maka ia ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan Han Sin.
“Menurut catatan dan gambaranku tentang gerakan Pek-in-kan-goat ini ketika aku melihat suhu memberi contoh, pada saat kedua tangan melakukan pukulan bertubi-tubi empat kali ke depan, tiap kali melangkah, kaki yang depan berdiri di ujung jari-jari kaki. Akan tetapi kakimu tadi kulihat masih rata dengan tanah, kurang berjungkit. Coba kau lakukan lagi.”
Bi Eng kelihatan menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Han Sin dan kini ia bersilat lagi, memperbaiki kedudukan kaki yang dianggap keliru oleh Han Sin tadi. Anehnya, biarpun Han Sin tak pernah ikut berlatih silat, gadis itu tetap saja menganggap kakaknya jauh lebih pandai dan setiap pendapat kakaknya itu betul belaka! Secara membuta karena kepercayaannya sudah mendalam, ia menurut semua nasehat Han Sin.
Yang terheran-heran adalah Ciu-ong Mo-kai karena sekarang ia baru tahu dan harus mengakui bahwa memang murid perempuannya itu melakukan kesalahan, biarpun kesalahan yang amat kecil. Andaikata dia sendiri sendiri melihat hal itu, dia tidak akan menganggapnya satu kesalahan gerak tipu ini, hanya kalau diingat lagi, memang jauh lebih sempurna kalau kaki berdiri berjungkit sebagaimana mestinya dalam gerakan ini sehingga dalam melakukan serangan berikutnya yang disertai tendangan, kedudukan akan menjadi lebih baik karena dapat menendang lebih cepat!
“Bagus, sekarang baru sempurna, cocok sekali dengan ajaran suhu.” Han Sin memuji setelah adiknya mengulangi latihannya. “Sekarang coba kau ulangi jurus ketiga belas, jurus Po-in-gan-jit (Sapu awan melihat matahari).”
Dengan patuh Bi Eng melakukan gerak tipu ini dan mata Ciu-ong Mo-kai dibuka selebar-lebarnya untuk menemukan kesalahan dalam gerakan muridnya ini. Akan tetapi dalam gerakan inipun ia tidak melihat kesalahan apa-apa, malah ia berani pastikan bahwa gerakan muridnya kali ini sudah amat baik dan sempurna. Mau bilang apa lagi pemuda ajaib itu, pikirnya girang dan bangga.
Han Sin mengerutkan keningnya setelah adiknya selesai melakukan gerakan Po-in-gan-jit, lalu katanya perlahan. “Kau harus lebih memperhatikan kalau suhu memberi contoh padamu. Menurut catatan-catatanku ketika suhu melakukan gerakan ini, jalan napas dibagi tiga bagian. Menyedot napas ketika meloncat, menahan napas ketika tangan diputar menangkap tangan lawan lalu membuang napas ketika memukul ke arah pusar musuh. Akan tetapi jalan pernapasanmu tadi tidak sesuai. Coba kaulakukan lagi dengan baik dan ingat jalan pernapasanmu.”
Bi Eng lagi-lagi menurut dan mentaati nasehat kakaknya. Adapun Ciu-ong Mo-kai di tempat sembunyinya menjadi pucat. Kagetnya bukan alang kepalang. Tidak dinyana, tidak disangka bahwa biarpun pemuda itu hanya mencoret-coret dan menggambar semua pelajaran, ternyata demikian teliti sampai-sampai jalan pernapasan ketika bersilat dia catat! Dan diam-diam ia harus mengakui kebodohan sendiri.
Pernapasan dalam ilmu silat amat penting, bagaimana ia lalai untuk memperhatikan cara Bi Eng berlatih? Ah, kalau dilihat begini naga-naganya, ia harus akui bahwa Han Sin merupakan pelatih yang jauh lebih cermat dan baik dari pada dia sendiri. Dalam teori, kiranya dia sendiri takkan sehafal Han Sin.
“Bagus !” Tak terasa lagi ia meloncat keluar dari tempat sembunyinya. Kemuncullannya
menggirangkan Bi Eng akan tetapi membuat Han Sin berdiri dengan malu dan kepala tunduk. Di depan suhunya, belum pernah Han Sin berani memberi petunjuk kepada adiknya, hanya di waktu tidak ada gurunya saja Han Sin berani memberi petunjuk demi kemajuan ilmu silat Bi Eng.
“Suhu, maafkan kelancangan teecu tadi, berani mencela gerakan-gerakan Eng-moi,” kata Han Sin sambil menjura.
Lagi-lagi Ciu-ong Mo-kai tertegun. Bagi orang lain, melakukan kesalahan yang tidak terlihat orang tentu akan diam-diam saja. Akan tetapi Han Sin tanpa ditanya belum-belum sudah mengaku dan minta maaf. Sungguh sifat jujur dan merendah yang jarang terdapat.
“Tidak apa, Han Sin. Petunjuk-petunjukmu memang amat berfaedah bagi adikmu. Bi Eng, selanjutnya kau harus selalu patuh dan taat akan petunjuk dan nasehat kakakmu. Dua tahun sudah aku tinggal di sini, bersembunyi dari dunia ramai dan semua ilmu yang kupunyai sudah kuwariskan kepadamu. Kau hanya tinggal melatih diri saja. Karena itu, aku hendak turun gunung. Banyak tugas menantiku di dunia ramai. Kelak kalau kalian turun gunung, hati-hatilah berhadapan dengan orang- orang yang kusebut ini. Mereka inilah yang dahulu berada di puncak ini pada saat orang tua kalian terbunuh. Pertama-tama adalah Balita, puteri bangsa Hui yang tinggi sekali kepandaiannya. Apalagi sekarang setelah ia mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo Manusia). Ia kejam dan lihai sekali.” “Puteri Hui? Jangan-jangan ada hubungannya dengan orang-orang Hui yang dua tahun yang lalu menyerang ke sini, suhu,” kata Bi Eng.
“Mungkin ..... mungkin sayang sekali dahulu kita tidak bisa mendapat keterangan dari mereka.
Jin-cam-khoa Balita ini dahulu tergila-gila kepada ayah kalian yang tidak mau memperdulikannya sehingga ia menaruh kebencian kepada mendiang ibumu. Orang-orang yang termasuk golongan kedua yang harus kalian hadapi dengan hati-hati adalah Thian-san Sam-sian, tiga hwesio Thian-san yang bernama Gi Thai Hwesio, Gi Ho Hwesio dan Gi Hun Hwesio. Ayahmu pernah bentrok dengan mereka ini karena kong-kongmu membunuh seorang murid mereka yang jahat. Mereka ini juga lihai sekali, apa lagi kalau maju berbareng merupakan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) yang sukar dilawan. Juga mereka menaruh dendam kepada ayahmu dan selain dendam ini, mereka ingin sekali mendapatkan surat wasiat Lie Cu Seng yang dikabarkan orang berada di tangan ayahmu.”
“Surat wasiat Lie Cu Seng? Surat wasiat apakah itu, suhu?” kembali Bi Eng bertanya sedangkan Han Sin hanya menunduk kepala mendengarkan penuh perhatian.
“Nanti kuceritakan tentang itu. Sekarang orang ke tiga. Dia adalah Ang-jiu Toanio di I-kiang yang memusuhi ayahmu karena ayahmu dahulu membunuh suaminya, tuan tanah Phang Kim Tek yang kejam. Ang-jiu Toanio ini adalah seorang ahli Ang-see-chiu (Tangan pasir merah), tangannya mengandung hawa beracun dan lihai sekali.”
“Hemmm, nyonya tuan tanah di I-kiang ” kata Bi Eng mengingat-ingat.
“Ke empat adalah Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng ”
“Kok ada orang berjuluk raja Swipoa? Apa dia seorang pedagang?” tanya Bi Eng heran.
“Memang seorang pedagang, akan tetapi lihainya tidak kalah oleh orang-orang lain. Dia sih tidak mempunyai permusuhan dengan ayahmu, akan tetapi dia juga mengincar surat wasihat. Hati-hati terhadap manusia yang penuh akal bulus dan tipu muslihat licik ini.”
Apakah hanya empat orang-orang itu yang berada di sini ketika pembunuhan ayah ibu terjadi?” tanya pula Bi Eng.
“Ya, yang terang-terangan memperlihatkan diri hanya mereka. Akan tetapi ketika secara diam-diam aku berada di puncak, aku melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh. Pertama seorang gundul bangsa Mongol yang membawa-bawa harimau besar, berkeliaran di sekitar hutan di pegunungan Min-san ini.”
“Orang bawa macan?”
“Aku tidak mengenal siapa dia, akan tetapi gerak-geriknya cukup mencurigakan dan dari gerak- geriknya dapat diketahui bahwa diapun bukan orang sembarangan dan lihai sekali. Adapun orang terakhir, yang hanya kulihat bayangannya, adalah seorang raja iblis yang amat ganas dan yang memiliki kepandaian sukar ditaksir berapa tingginya. Dia ini sudah amat terkenal di dunia kang- ouw, tingkatnya lebih tinggi dari pada yang lain-lain tadi. Terhadap orang ini, baiknya kalian jangan mencari-cari perkara karena selain sakti, dia juga berhati kejam melebihi iblis.”
“Siapa dia, suhu?” Bi Eng bertanya biarpun merasa ngeri akan tetapi tidak takut. Belum pernah gadis ini merasa takut terhadap apapun juga. “Dia itu bernama Hoa Hoa Cinjin, ilmu pedangnya pernah menjagoi dunia dan pernah ia mengeluarkan tantangan mengadu pedang dengan siapa saja di dunia ini. Menurut kabar, belum pernah ada orang dapat mengalahkan ilmu pedangnya itu. Nah, terhadap orang-orang yang kusebutkan tadi, kalian harus berlaku hati-hati, murid-muridku.”
“Suhu, begitu banyak orangkah yang dahulu memusuhi ayah? Siapa di antara mereka yang telah membunuh ayah dan ibu!” tanya Bi Eng, tangannya terkepal dan ia sudah lupa lagi akan nasehat suhunya supaya berhati-hati menghadapi orang-orang itu.
“Itulah yang masih merupakan rahasia sampai sekarang. Dahulu di depan peti mati ayah bundamu, aku sudah berusaha menanti datangnya pembunuh, berusaha menyelidiki siapa-siapakah pembunuhnya. Akan tetapi sia-sia belaka. Kematian ayah bundamu memang dapat disebut suatu keanehan dan kalian berdualah yang bertugas dan berkewajiban untuk menyelidiki dan mencari pembunuhnya.” Kemudian pengemis sakti itu menuturkan dengan jelas semua peristiwa yang ia ketahui tentang Cia Sun, juga tentang surat wasiat Lie Cu Seng yang sampai sekarang tidak pernah ditemukan.
“Nah, cukup kiranya, murid-muridku. Selanjutnya terserah kepada kalian sendiri untuk menentukan langkah. Kalian sudah tahu siapa ayah kalian, seorang pendekar perkasa yang patut dijunjung tinggi namanya dengan perbuatan-perbuatanmu yang melanjutkan sepak terjangnya. Kelak apabila kalian berkesempatan turun gunung terjun di dunia ramai, di mana saja kalian berada, kalau kalian menyebut namaku sebagai guru, agaknya kalian tidak akan banyak mengalami keruwetan dan banyak pula orang membantumu.”
Ciu-ong Mo-kai lalu mendatangi uwak Lui yang sudah sangat tua dan tidak dapat keluar dari kamar untuk berpamit. Uwak Lui sudah amat tua, sudah tujuh puluh lebih usianya dan sakit-sakitan saja. Kemudian kakek pengemis itu turun gunung, diantar oleh dua orang murid berikut Siauw-ong sampai di daerah berbatu yang mengelilingi gedung di puncak itu.
****
Dua bulan setelah Ciu-ong Mo-kai pergi meninggalkan puncak Min-san, uwak Lui meninggal dunia karena sakit tua. Dapat dibayangkan betapa sedih hati dua orang anak yatim piatu itu ditinggal mati oleh uwak Lui yang mereka anggap sebagai nenek dan pengganti orang tua sendiri. Bi Eng menangis sampai jatuh pingsan, berbeda dengan Han Sin yang menanggung kesedihan itu dengan tenang-tenang saja dan tidak kelihatan dari luar bahwa dia merasa amat berduka. Tanpa banyak cakap pemuda ini, dibantu dua orang pelayan, mengurus jenazah uwak Lui dan mengubur dengan upacara sederhana. Jenazah uwak Lui dikubur tak jauh dari makam Cia Sun dan isterinya.
Ucapan terakhir yang dipesankan oleh uwak Lui dengan suara pelo dan tidak jelas, amat mengharukan dan berkesan dalam-dalam di hati Han Sin dan Bi Eng. Pesan itu masih saja bergema di dalam telinga mereka :
“ ....Anak-anakku ... ingatlah ..... jangan kalian berpisah satu dari yang lain .... selama-lamanya .....
Han Sin .... jaga baik-baik adikmu .... kalian .... ah, kalian .... cari gadis bertahi lalat di mata kaki
kiri .... awas terhadap gadis yang .... di dekat telinganya ada tanda merah .... kalian bukan bukan
..... ahhh ” Sampai di situ habis napas uwak Lui dan kedua orang muda itu menghadapi rahasia
atau teka-teki yang sama sekali tidak mereka mengerti maksudnya.
Setelah penguburan selesai dan dua orang kakak beradik itu meninggalkan kuburan di mana mereka berkabung, Siauw-ong masih juga belum mau meninggalkan kuburan. Malam itu malah Siauw-ong tidak pulang. Agaknya monyet kecil ini amat berduka atas kematian uwak Lui. Pada keesokan harinya, ketika Han Sin dan Bi Eng keluar dari ruangan dalam hendak mencari Siauw-ong, mereka melihat monyet kecil ini datang berloncat-loncatan sambil membawa sebuah gulungan kertas kuning. Binatang ini cecowetan sambil mengacung-acungkan gulungan kertas itu.
“Siauw-ong, benda apakah yang kaubawa itu?” tanya Han Sin sambil berjongkok dan menerima gulungan kertas dari tangan Siauw-ong. Bi Eng memandang dengan heran dan tertarik. Kakak beradik ini lalu duduk di bangku dan Han Sin membuka gulungan kertas kuning itu.
Kertas itu amat tebal dan kuat, kiranya bukan terbuat dari pada kertas biasa, mungkin dari kulit kayu atau kulit binatang yang amat kuat dan sudah tua sekali. Ketika dibuka gulungannya, di situ terdapat sebuah peta dengan tanda-tanda dan huruf-huruf di sana-sini. Dengan tertarik sekali Han Sin dan Bi Eng memeriksa. Alangkah terkejut hati mereka ketika membaca huruf-huruf kecil di ujung kiri peta itu yang berbunyi :
PENINGGALAN LIE UNTUK CIA
“Koko, tak salah lagi. Inilah surat wasiat Lie Cu Seng yang pernah disebut-sebut suhu,” kata Bi Eng, berdebar girang dan perasaannya menegang.
Namun Han Sin tetap tenang. Sambil mengamati penuh ketelitian, ia menjawab, ”Agaknya dugaanmu betul, Eng-moi. Inilah surat wasiat yang diperebutkan orang. Akan tetapi kita tidak ikut memperebutkan karena memang surat ini menjadi hak kita. Baca saja, bukankah di situ disebutkan bahwa surat wasiat pahlawan Lie Cu Seng ini memang diperuntukkan keluarga Cia? Agaknya betul dugaan suhu dulu bahwa pahalawan Lie sebelum gugur meninggalkan surat ini untuk kong-kong Cia Hui Gan yang kemudian menurunkannya kepada ayah kita.” Ia memandang lagi dengan teliti lalu berkata perlahan, “Hemmm, di pegunungan Lu-liang-san lembah sungai Huang-ho ”
Bi Eng memegang pundak kakaknya. “Koko, kau hendak apakan surat wasiat ini?”
Han Sin menggulung surat itu, memasukkannya ke dalam saku bajunya, lalu menoleh dan memegang kedua lengan adiknya. “Adikku yang baik, setelah di sini tidak ada siapa-siapa lagi yang menjadi tanggungan kita, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung, memasuki dunia ramai.”
Untuk sejenak gadis itu tidak dapat menjawab. Hanya sepasang matanya terbelalak memandang kakaknya, sinar bahagia dan seri gembira memancar dari muka yang manis itu. “Turun gunung ?”
Ucapan ini merupakan pelepasan rindu yang sudah bertahun-tahun dipendamnya yaitu rindu akan dunia ramai yang banyak ia dengar akan tetapi belum pernah dilihatnya itu. “Ahh ! Sin-ko,
turun gunung ke dunia ramai ?” Tak terasa lagi dua butir airmata yang bening mengalir di kedua
pipi merah itu.
Han Sin tersenyum. Melihat adiknya bergembira seperti ini, sudah cukup bahagia rasa hatinya. Ia mengusap pipi adiknya lalu membelai rambut yang terurai ke jidat yang halus itu. “Tentu saja turun gunung menemui manusia-manusia lain dunia ramai. Kita kan bukan dilahirkan untuk menjadi pertapa-pertapa di puncak ini sampai kita menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek?”
Mendengar ini, Bi Eng tertawa dan saking girangnya gadis ini meloncat, merangkul leher kakaknya, lalu melepaskannya lagi dan menari-nari kegirangan, tari monyet yang sering ia tarikan dulu.
Melihat ini, sambil mengeluarkan bunyi cecowetan girang, Siauw-ong juga mulai menari-nari di dekat nonanya! “Sin-ko, jangan kau sebut-sebut lagi tentang kakek-kakek dan nenek-nenek. Tak tahan aku mengenangkan bagaimana kau berubah menjadi seorang kakek-kakek, hi hi hi!”
Han Sin tersenyum. “Apa kau suruh aku menjadi ular yang tiap kali berganti kulit?” Kemudian ia teringat akan sesuatu dan tersenyum. Wanita di manapun juga memang pantang memikirkan usia tua. “Akan tetapi aku percaya, kau selamanya akan seperti sekarang, cantik jelita manis mungil, tak pernah bisa jadi tua.”
Bi Eng kembali merangkul pundak kakaknya dengan gaya manja. “Sin-ko, jangan memuji-muji. Adikmu ini bocah gunung mana bisa disebut cantik? Nanti akan kautemui banyak gadis cantik jelita seperti puteri-puteri dalam gambar itu di kota-kota besar dan kau akan melihat betapa buruknya rupa adikmu.”
Memang Bi Eng amat sayang kepada kakaknya. Tidak saja sayang, juga ia amat taat kepada kakaknya yang dalam anggapannya adalah satu-satunya orang yang paling mulia, paling pandai dan paling ... segala di dunia ini. Bahkan, setelah ia belajar ilmu silat tinggi dari Ciu-ong Mo-kai dan tahu bahwa kakaknya jauh lebih pandai masih saja memenuhi hatinya.
Mereka segera berkemas dengan gembira. Han Sin lalu panggil dua orang pelayan yang setia itu dan berkata, “Kedua paman yang baik, kami akan membawa Siauw-ong turun gunung. Kami hendak merantau, hendak mengenal dunia. Entah kapan kami kembali, malah kembali atau tidak masih belum dapat ditentukan sekarang. Oleh karena itu, dari pada barang-barang di sini rusak tidak karuan, kalau paman-paman membutuhkan, boleh paman ambil dan pakai. Kami tidak membutuhkan lagi.”
Dia orang pelayan itu mengucurkan air mata. Mereka amat sayang kepada Han Sin dan Bi Eng yang mereka kenal semenjak masih bayi.
“Kongcu ..... Siocia , hendak ke manakah? Dunia ini sedang kacau, di mana-mana terdapat
banyak penjahat. Bagaimana kalau jiwi (kalian berdua) sampai diganggu orang jahat?” kata seorang di antara mereka dengan penuh kekhawatiran.
Bi Eng menjawab, “Justru karena banyak terjadi kejahatan itulah aku dan koko hendak turun gunung, hendak membasmi orang-orang jahat dan menolong orang-orang yang perlu ditolong!”
Mendengar ini, Han Sin tersenyum saja. Di dalam hatinya ia tidak setuju akan kata-kata “basmi” ini, akan tetapi karena terlampau sayang kepada Bi Eng ia tidak mau mengecewakan hati adiknya yang sedang bergembira itu.
“Kami akan menjaga diri baik-baik, paman.”
Setelah bersembahyang di depan kuburan ayah bundanya dan kuburan uwak Lui, dua orang kakak beradik itu lalu turun gunung. Mereka berjalan perlahan saja, dan hati-hati. Bi Eng yang sudah memiliki ginkang yang tinggi berkat latihan Ciu-ong Mo-kai, tidak mau mempergunakan ilmu lari cepat karena takut kakaknya tertinggal. Malah ia selalu menggandeng tangan kakaknya ketika melalui daerah berbatu yang amat sukar dilewati, menjaga kalau-kalau kakaknya itu jatuh! Adapun Siauw-ong selalu “membonceng” di pundak Han Sin.
Melihat tingkah monyet ini, Bi Eng marah. “Siauw-ong! Kau pemalas. Ayoh turun, masa kau membikin lelah Sin-ko, enak-enakan duduk di pundak. Apa kau sudah tak punya kaki untuk jalan sendiri?” Siauw-ong yang agaknya mengerti, lalu melompat turun. “Biarlah,” kata Han Sin sabar. “Dia agaknya takut karena baru pertama kali ini turun gunung.”
Mendengar kata-kata ini, Bi Eng berdebar hatinya. Tentu saja Siauw-ong takut, bahkan dia sendiri yang tak pernah kenal takut, kini menjadi berdebar penuh ketegangan hati. Seperti apa macamnya dunia ramai? Seperti apa macamnya kota-kota besar dan penduduknya? Karena ini, ia tidak menegur lagi ketika mereka tiba di kaki gunung. Monyet kecil itu kembali melompat ke atas punggung Han Sin.
Dusun-dusun dan penduduknya yang dilalui ketika mereka menuruni puncak, tidak menarik perhatian Bi Eng, karena memang sudah sering kali ia melihat dusun-dusun itu. Penduduk dusun- dusun sebagian besar mengenal Han Sin dan Bi Eng yang mereka sebut Cia-kongcu (tuan muda Cia) dan Cia-Siocia (nona Cia) Mereka semua menyambut dua orang kakak beradik ini dengan ramah, mengingat bahwa dua orang muda ini adalah keturunan Cia-enghiong yang sudah banyak dan kerap kali menolong penduduk dusun sekitar Min-san.
Han Sin dan Bi Eng melanjutkan perjalanan menuju ke timur, karena menurut pengetahuan Han Sin dari kitab-kitabnya, Lu-liang-san terletak di sebelah timur.
“Kita harus menyelidiki tentang isi surat wasiat,” katanya kepada adiknya. “Karena ayah menerima surat wasiat ini, tentu menjadi kewajiban kita untuk menyelidiki, apakah gerangan yang tersimpan dalam tempat rahasia itu sampai-sampai orang sakti memperebutkan surat ini. Aku mendapat perasaan bahwa agaknya karena surat ini maka ayah ibu terbunuh orang.”
Ketika mereka sudah jauh dari kaki bukit Min-san, di sebuah jalan gunung yang sunyi dan kasar, dari depan mereka melihat seorang perempuan tua yang duduk di dalam kereta dorong dan kereta ini didorong oleh seorang pemuda sebaya Han Sin yang wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana.
Melihat sikap dan pakaian wanita dan pemuda itu berbeda dengan penduduk dusun, segera Han Sin dan Bi Eng tertarik.
“Kenapa perempuan itu tidak berjalan sendiri? Apa dia sakit?” kata Bi Eng. “Ssstt, membicarakan orang jangan keras-keras,” cegah Han Sin.
Wanita ini memang kelihatan seperti orang sakit. Kepalanya dilibat sehelai saputangan putih dan kelihatan lemah. Sebaliknya, pemuda yang tampan itu kelihatan gagah dan sehat, bersemangat dan biarpun peluhnya sudah membasahi muka dan leher, mulutnya tersenyum dan mukanya terang.
“Yan Bu, berhenti dulu!” terdengar perempuan itu berkata dan ternyata suaranya berbeda dengan keadaannya yang kelihatan lemah. Suaranya nyaring dan tajam.
Pemuda yang dipanggil Yan Bu itu berhenti dan menyusuti peluhnya. Adapun wanita tua itu tanpa turun dari kereta, menatap ke arah Han Sin dan Bi Eng dengan tajam sekali, pandangannya penuh selidik. Yang ia pandang terutama adalah gerakan kaki kedua orang muda itu.
“Aneh, wajahnya sama benar. Akan tetapi orang-orang lemah itu pasti sekali bukan mereka. Yan Bu, mari jalan lagi.”
Pemuda itu menurut, hanya melepas kerling sekilas ke arah Han Sin dan matanya penuh kekaguman ketika ia melirik ke arah Bi Eng, akan tetapi ia segera tundukkan muka dan mendorong kereta itu, tanpa menoleh lagi. Wanita di dalam kereta dorong mash terus melirik ke arah kakak beradik itu terutama sekali kepada Han Sin yang menggendong Siauw-ong di punggungnya.
Yang lucu adalah Siauw-ong. Agaknya monyet ini girang melihat orang di dalam kereta dorong, maka ia mengangkat tangan kanan lambai-lambaikan seperti orang memberi salam!
Han Sin dan Bi Eng masih terus memandang sampai menoleh. Terutama sekali kereta dorong itu menarik perhatian mereka karena belum pernah mereka menyaksikannya. Setelah berpisah jauh, perempuan tua dan pemuda pendorong kereta itu menjadi bahan pembicaraan, terutama sekali Bi Eng yang masih heran.
“Melihat cara pemuda itu mendorong kereta, tentu ia kuat sekali, koko. Kenapa wanita itu didorong dalam kereta? Apa dia lumpuh? Dan orang sakit-sakitan seperti dia itu, mau apa datang ke tempat ini?”
“Entahlah, moi-moi. Akan tetapi menurut cerita suhu, memang banyak terjadi hal-hal aneh di dunia ini dan banyak pula manusia-manusia yang aneh wataknya. Biarlah kita anggap mereka itu orang- orang aneh pertama yang kita jumpai.”
Ucapan Han Sin ini biarpun hanya merupakan hiburan bagi adiknya yang ingin mengetahui segala, ternyata memang tepat. Tentu saja mereka tidak pernah menduga bahwa memang orang di dalam kereta itu bukan manusia sembarangan. Dia itu bukan lain adalah Ang-jiu Toanio! Dan pemuda yang mendorong kereta itu adalah puteranya, putera sulungnya yang bernama Phang Yan Bu.
Pernah diceritakan betapa Ang-jiu Toanio kehilangan anak perempuannya, yaitu anak bungsunya yang dirampas oleh Kalisang. Orang mongol aneh yang membawa-bawa harimau Ang-jiu Toanio mengejar terus namun tidak berhasil mendapatkan kembali puterinya itu. Dengan hati hancur dan mengandung penasaran ia terpaksa pulang ke I-kiang dan memperdalam ilmu silatnya karena merasa bahwa kepandaiannya masih kurang tinggi sehingga menghadapi orang Mongol yang merampas anaknya ia tidak berdaya. Ia hidup bersama puteranya, yaitu Phang Yan Bu dan semenjak itu nyonya ini sering kali terserang penyakit jantung yang membuat kadang-kadang amat lemah.
Yan Bu adalah seorang anak yang amat berbakti. Iapun memiliki bakat baik sekali dalam ilmu silat. Dalam usia lima belas tahun saja ia sudah mewarisi kepandaian ibunya, kemudian oleh ibunya ia dikirim kepada Yok-ong Phoa Kok Tee yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Yok-ong (Si Raja Obat) ini adalah seorang tua yang mengasingkan diri di pegunungan, tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Pekerjaannya hanya mencari daun-daun dan akar-akar obat, kemudian ia merantau dari gunung ke gunung, dari kota ke kota dan selalu mengulurkan tangan mengobati orang-orang yang terserang penyakit.
Ketika Yan Bu berusia lima belas tahun, pada suatu hari Yok-ong Phoa Kok Tee singgah di I-kiang mengunjungi murid keponakannya. Ang-jiu Toanio adalah murid sutenya (adik seperguruannya), yaitu Koai-sin-jiu (Si Tangan Sakti Aneh) Bhok Kim yang tewas dalam pertempuran melawan Hoa Hoa Cinjin. Begitu bertemu dengan murid keponakannya yang sudah berpisah belasan tahun ini, Phoa Kok Tee terkejut.
“Kau menderita luka di jantungmu karena banyak berduka!” katanya kaget.
Ang-jiu Toanio menjatuhkan diri berlutut dan menangis. “Susiok, selama belasan tahun ini teecu telah menerima banyak penghinaan dan sakit hati.” Sambatnya, kemudian ia menuturkan tentang kematian suaminya oleh Cia Sun dan kehilangan puterinya yang dirampas oleh orang Mongol bernama Kalisang.
“Suami dibunuh orang tanpa bisa membalas karena pembunuhnya sudah keburu meninggal dunia, anak dirampas orang untuk dijadikan mangsa harimau. Ah, teecu sendiri begini lemah berpenyakit, bagaimana sakit hati dapat dibalas?”
Mendengar penuturan itu, Yok-ong Phoa Kok Tee menarik napas panjang. “Dari dulu sudah kukhawatirkan ketika aku melihat cara hidup suamimu yang hartawan dan berlebihan. Sebagai seorang tuan tanah, suamimu terlalu memeras rakyat kecil dan aku tidak bisa terlalu salahkan pendekar muda Cia Sun itu kalau sampai bentrok dengan suamimu. Memang kalah atau mati hidup dalam pertempuran seperti itu, sukar untuk berbicara tentang sakit hati. Kau yang mempunyai anak bayi, mengapa membawa-bawa anakmu yang kecil itu untuk mencari musuh? Kejadian tentang anakmu benar-benar amat menyesalkan hati dan orang Mongol itu patut dibasmi. Biar kucatat namanya dan kalau sampai bertemu dengan dia, aku akan berusaha melenyapkan manusia keji itu. Sekarang biarkan aku memeriksa penyakitmu.”
Sebagai seorang yang sudah mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat), dengan menekan urat nadi saja, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa tidak ada obat lagi bagi nyonya ini kecuali banyak beristirahat lahir batin. Akan tetapi ia memberi juga obat penguat jantung sambil berkata,
“Kau tidak boleh banyak berduka, tidak boleh mengandung pikiran benci dan mendendam. Tidak baik untuk penyakitmu.”
Mendengar ini, Yan Bu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan minta-minta kepada Yok- ong supaya mengobati ibunya. “Susiok-couw, tolonglah ibuku yang tercinta. Obatilah ibu sampai sembuh.”
Melihat kesungguhan hati anak itu, Phoa Kok Tee tertarik dan kagum. “Anak ini baik sekali, kau beruntung mempunyai anak seperti dia ini.”
Karena tertarik dan suka melihat bocah berbakti itu, Phoa Kok Tee berkenan mewariskan ilmu goloknya yang tinggi tingkatnya kepada Yan Bu. Selama dua tahun ia memberi pelajaran ilmu silat kepada Yan Bu yang dengan amat cepat menguasai semua itu dan mendapatkan kemajuan pesat.
“Yan Bu, jagalah baik-baik ibumu. Terus terang saja, ibumu itu mempunyai watak yang kurang baik, terlalu ganas dan keras hati. Ini adalah kesalahan suteku sendiri yang tidak dapat menuntunnya dengan baik, malah menurunkan watak yang keras dan mau menang sendiri. Kau seorang anak baik yang dapat membedakan mana keliru mana benar, jangan kau mengecewakan sebagai muridku,” pesan Raja Obat itu kepada muridnya sebelum ia pergi meninggalkan I-kiang.
Semenjak itu, Yan Bu menjadi seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi ia selalu bersikap sederhana. Malah iapun sudah mempelajari beberapa macam ilmu pengobatan dari gurunya. Makin dewasa, makin terbukalah matanya dan harus ia akui bahwa ibunya memang berwatak keras luar biasa dan ternyata ibunya tidak mau menurut nasehat Yok-ong. Diam-diam ibunya masih menaruh hati dendam kepada keluaraga Cia dan kepada Hoa Hoa Cinjin yang sudah membunuh guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim.
Ketika ia berusia dua puluh tahun, ibunya berkata, “Yan Bu, mari kau ikut aku pergi ke Min-san!” Yan Bu sudah tahu bahwa Min-san adalah tempat tinggal keluarga Cia. Ia mengerutkan kening dan bertanya, “Ibu, perlu apakah kita pergi ke sana? Bukankah musuh besar kita, Cia Sun, sudah tewas?”
“Masih ada anak-anaknya!” bentak ibunya.
Yan Bu adalah seorang anak yang amat berbakti dan tidak berani membantah kehendak ibunya yang amat dikasihani dan disayangnya. “Ibu masih belum sehat benar, melakukan perjalanan begitu jauh apakah tidak melelahkan?”
Ibunya maklum bahwa anaknya ini agak lemah hatinya, maka ia berkata ketus, “Yan Bu, apa kau sudah lupa bahwa ayahmu mati dibunuh orang? Selain mencari sisa keluarga Cia untuk menagih hutang, juga aku hendak mencarikan warisan untukmu. Ibu tidak lama lagi hidup di dunia dan aku ingin melihat kau kelak menjadi seorang yang makmur hidupmu. Di sana terdapat sebuah surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng. Kalau bisa kita dapatkan ”
Yan Bu tidak berani membantah lagi dan berangkatlah ibu dan anak ini menuju ke Min-san. Karena mengkhawatirkan keselamatan ibunya, Yan Bu membuat sebuah kereta dorong dan membujuk ibunya suka duduk di kereta itu yang selalu didorongnya tanpa mengenal bosan dan lelah. Jarang memang mencari seorang pemuda yang begitu berbakti seperti Yan Bu.
Demikianlah, sudah diceritakan betapa anak dan ibunya ini di jalan bertemu dengan Cia Han Sin dan Cia Bi Eng. Ang-jiu Toanio tercengang melihat persamaan wajah antara pemuda yang membawa monyet itu dengan Cia Sun. Akan tetapi setelah melihat cara berjalan pemuda itu menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda dusun yang tidak mengerti ilmu silat, kecurigaannya lenyap dan ia melanjutkan perjalanannya dengan puteranya, mendaki puncak Min- san.
Dapat mendorong kereta ibunya mendaki puncak Min-san ini saja sudah membuktikan bahwa ilmu kepandaian Yan Bu memang sudah mencapai tingkat tinggi. Ginkangnya amat mengagumkan sehingga dalam melalui batu dan jurang, ia dapat melompatinya sambil masih mendorong kereta! Dan hebatnya, semua ini ia lakukan dengan senyum dan wajah berseri, sedikitpun tidak pernah mengeluh.
Ang-jiu Toanio agaknya tidak perdulikan kelelahan puteranya, malah melengut dalam kereta. Ketika membuka mata dan melihat bahwa mereka sudah tiba di daerah berbatu di sekeliling puncak dan atap rumah gedung keluarga Cia sudah tampak, wanita ini membuka lebar-lebar matanya dan berseru, “Cepatlah, Yan Bu, cepat! Aku sudah ingin sekali bertemu dengan adikmu!”
Tentu saja Yan Bu terheran-heran mendengar ucapan ibunya ini. Pernah ibunya bercerita kepadanya bahwa adik perempuannya yang masih bayi dirampas oleh Kalisang dan hendak dijadikan makanan harimau.
“Ibu, apa Kalisang penjahat itu berada di rumah itu?” tanyanya penuh gairah. Ingin ia membalas dendam kepada orang Mongol jahat yang sudah merampas adiknya itu.
Ang-jiu Toanio agaknya sadar bahwa ia tadi telah bicara tanpa dipikir lagi. “Cepatlah dan jangan banyak bertanya.”
Tak lama kemudian mereka tiba di depan rumah gedung itu. Dua orang pelayan laki-laki tua yang sedang sibuk mengangkut-angkuti barang dari gedung itu, menyambut kedatangan mereka. Dua orang pelayan ini adalah pelayan keluarga Cia dan mereka memenuhi pesan Han Sin, mengangkuti barang-barang yang berada di gedung. Barang-barang itu tidak banyak karena sebagian besar sudah dijuali untuk biaya hidup keluarga itu selama uwak Lui memelihara kedua orang anak keluarga Cia. Karena tidak betah lagi tinggal di puncak tanpa kawan, dua orang pelayan itu hendak membawa semua sisa barang turun gunung dan hidup di dusun.
Melihat datangnya seorang wanita tua bersama seorang pemuda, dua orang pelayan itu segera menyambut dengan heran. Akan tetapi belum juga mereka membuka mulut, Ang-jiu Toanio sudah melompat ke depan mereka dan membentak,
“Di mana adanya anak-anak dari keluarga Cia?”
Dua orang pelayan itu tentu saja tidak senang melihat sikap tidak tahu aturan dari tamu ini, akan tetapi mereka sudah cukup lama ikut keluarga Cia dan sudah banyak melihat orang-orang kang-ouw yang aneh. Seorang di antara mereka yang tak dapat mengendalikan kemendongkolan hatinya menjawab.
“Mereka sudah tiga hari ini turun gunung. Toanio mencari mereka mau apakah?”
Tangan kiri Ang-jiu Toanio bergerak dan pelayan itu sudah dicengkeram bajunya di bagian dada. “Banyak cerewet! Hayo katakan mereka pergi ke mana?”
Pelayan itu makin penasaran. “Toanio mengapa begini tidak tahu aturan? Kongcu dan Siocia sudah pergi, mana aku tahu ke mana?”
“Keparat, kau berani bicara begini terhadap aku?” Tangan kanan Ang-jiu Toanio menampar. “Ibu !” Yan Bu mencegah namun terlambat. Terdengar suara “plak!” disusul jerit mengerikan
dan pelayan itu terlempar dan roboh tak bernyawa lagi. Di kepala bagian pelipisnya nampak tanda
tapak lima jari tangan merah.
Dua orang pelayan itu sudah berpuluh tahun ikut Cia Sun, setidaknya mereka telah kenal akan kegagahan dan menerima pula warisan sifat gagah dari majikan mereka. Pelayan yang seorang lagi melihat kawannya dibunuh, segera maju dan menudingkan telunjuknya.
“Menggunakan kepandaian untuk menindas pelayan-pelayan lemah, sungguh tak tahu malu!”
Melihat sikap pelayan ke dua ini, Ang-jiu Toanio makin marah dan ia sudah bergerak maju. Akan tetapi Yan Bu memegang lengan ibunya.
06. Kesombongan Tosu Cin-ling-pai
“IBU, sabarlah, ibu ingat, kemarahan tidak baik bagi kesehatanmu.”
Baru saja Yan Bu berkata demikian, Ang-jiu Toanio sudah terhuyung-huyung sambil menekan dada kirinya. Memang tadi dalam kemarahannya ia lupa akan pantangannya, maka tiba-tiba ia merasa dada kirinya sakit sekali. Cepat-cepat Yan Bu memondong ibunya dan mendudukkannya ke dalam kereta. Pemuda yang berbakti ini lalu mengurut-urut punggung ibunya sehingga keadaan Ang-jiu Toanio berangsur baik.
“Kau tanyai dia, ke mana perginya anak-anak keluarga Cia,” kata nyonya itu sambil terengah- engah. Yan Bu menghampiri pelayan ke dua yang memandang kejadian itu dengan heran. “Toapek, harap kau sudi memaafkan ibuku yang sedang marah. Kami perlu sekali mencari anak-anak keluarga Cia. Harap kau sudi memberi keterangan ke manakah gerangan perginya kongcu dan Siocia keluarga Cia.”
Pelayan itu tadinya sudah nekat dan bersedia dibunuh oleh nyonya galak itu menyusul kawannya, sekarang menghadapi pemuda yang demikian berbakti dan sopan, ia menarik napas panjang. “Kawanku ini memang berkata benar. Kami mana tahu ke mana perginya kongcu dan Siocia?
Mereka hanya bilang hendak turun gunung tidak kembali lagi, mereka baru tiga hari pergi bersama Siauw-ong.”
Yan Bu membelalakkan matanya. “Kau maksudkan Siauw-ong itu seekor monyet kecil?” “Betul, betul bagaimana kongcu bisa tahu?”
Akan tetapi Yan Bu sudah lari kepada ibunya. “Ah, ibu. Ternyata merekalah anak-anak keluarga Cia!” serunya.
“Mereka siapa?”
“Dua orang yang kemaren dulu kita jumpai di jalan, yang membawa monyet.” Mulut Ang-jiu Toanio celangap. “Apa .....? Mereka ??”
Ia teringat betapa wajah pemuda yang menggendong monyet itu sama benar dengan Cia Sun. Akan tetapi gadis itu .... dan cara mereka berjalan .....
“Yan Bu, ayoh kejar mereka!” katanya kemudian dan di lain saat, pemuda itu sudah mendorong kereta dan cepat berlari menghilang dari puncak, diikuti pandang mata terheran-heran oleh pelayan yang kemudian dengan sedih terpaksa merawat mayat kawannya yang terbunuh secara mengerikan. Sambil mencangkul tanah membuat kuburan, mulutnya tiada hentinya bicara seorang diri, “Keji !
Sungguh kejam orang-orang kang-ouw yang pandai silat. Semoga kongcu dan Siocia diselamatkan dari pada kekejaman mereka ”
****
Doa dari pelayan ini memang perlu sekali bagi Han Sin dan Bi Eng, karena memang dua orang muda ini turun gunung untuk menghadapi bahaya yang selalu mengancam keselamatan mereka. Mereka ini boleh diumpamakan dua ekor burung muda yang baru saja meninggalkan sarang, baru belajar terbang dan tidak tahu dari mana kemungkinan datangnya bahaya, belum mengenal apa-apa dan belum tahu bahwa dibalik segala keindahan yang mereka lihat bersembunyi bahaya-bahaya maut yang selalu mengintai.
Beberapa hari kemudian setelah menuruni puncak Min-san, dua orang kakak beradik ini terhalang perjalanan mereka oleh sebatang sungai yang jernih airnya. Inilah sungai Cia-leng yang mengalir ke selatan untuk kemudian menggabungkan airnya dengan sungai Yang-ce-kiang yang besar.
Karena tidak pandai berenang dan di situ amat sunyi tidak tampak sebuahpun perahu, terpaksa Han Sin dan Bi Eng lalu membuat alat penyeberang dengan batang-batang bambu yang mereka jajar- jajar dan ikat dengan akar-akar pohon. Dengan hati-hati mereka lalu menggunakan getek atau rakit istimewa ini untuk menyeberangi sungai yang tenang airnya dan jernih itu. Siauw-ong amat gembira melihat banyak ikan-ikan berenang di dekat perahu. Beberapa kali ia menyambar dengan tangannya, mengira ikan-ikan itu dekat, akan tetapi sebetulnya jauh di bawah sehingga selalu ia hanya menangkap air saja. Akhirnya Siauw-ong menjadi marah dan terjun ke air!
“Siauw-ong, hati-hati !” kata Bi Eng cemas.
“Jangan khawatir, dia pandai berenang. Lihat!”
Kata Han Sin. Betul saja. Monyet kecil itu ternyata pandai menyelam, malah ketika ia muncul kembali, di kedua tangannya sudah mencengkeram empat ekor ikan yang menggelepar-gelepar.
Bi Eng bersorak girang. “Bagus, Siauw-ong. Kau hebat sekali!” Cepat ia menerima ikan itu dan terus menggunakan sebatang pisau kecil yang dibawahnya untuk membelek perut ikan dan membersihkannya. Setelah mereka tiba di seberang, Bi Eng lalu memanggang empat ekor ikan itu tanpa bumbu apa-apa. Akan tetapi baunya amat sedap dan menimbulkan selera. Siauw-ong sudah tidak sabar dan beberapa kali hendak menyambar ikan di pemanggangan kalau saja tidak dibentak oleh Bi Eng. Setelah ikan-ikan itu matang, mereka bertiga makan ikan panggang dengan enaknya.
Perjalanan mereka tidak mudah, akan tetapi hati mereka selalu gembira. Tentang makanan, mereka tidak kuatir. Kalau ada orang menjual makanan, mereka cukup membawa bekal sekantung emas peninggalan uwak Lui, hasil dari penjualan sebagian barang perhiasan. Seandainya kehabisan bekal, Bi Eng masih menyimpan hiasan rambut dari batu kemala dan dua buah gelang emas bertabur intan peninggalan ibunya. Kalau tidak ada dusun, mereka sudah puas makan buah-buahan atau Bi Eng menangkap binatang-binatang kecil seperti kijang atau kelinci dengan menggunakan batu-batu yang ia sambitkan. Kepandaiannya dalam menyambit dengan batu cukup tinggi berkat kekuatan lweekangnya.
Empat pekan kemudian Han Sin dan Bi Eng tiba di kaki sebuah bukit yang kelihatannya menyeramkan. Kaki bukit itu, berbeda dengan gunung-gunung lainnya, amat sunyi tidak ada dusunnya. Di puncaknya kelihatan hutan-hutan besar yang menyeramkan, akan tetapi di antara pohon-pohon kelihatan atap rumah-rumah besar, bahkan tampak pula pagar tembok seperti benteng.
“Koko. Lihat. Ada orang-orang lain yang mempunyai rumah di puncak gunung seperti kita. Mari kita lihat ke sana!”
“Rumah di puncak gunung saja apa sih anehnya, moi-moi. Perjalanan kita masih jauh. Akan tetapi untuk menuju ke timur, terpaksa kita harus melalui bukit ini. Baiknya kita mencari jalan lain supaya tidak melalui rumah-rumah di atas itu.”
Bukit yang menghalang perjalanan mereka itu adalah bukit Cin-ling-san. Dan orang-orang yang tinggal di puncak Cin-ling-san bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka itu adalah tosu-tosu dari Cin-ling-pai, sebuah partai yang cukup besar, mempunyai banyak anggauta dan kuat kedudukannya. Memang, sebelum kerajaan Beng roboh, ketidak puasan rakyat dan orang-orang gagah menimbulkan banyak pemberontakan dan di sana sini tumbuh perkumpulan-perkumpulan rahasia yang dibentuk oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Yang terkenal di antaranya adalah Cin-ling-pai, Pek-lian-pai, Sin-tung Kai-pang dan masih banyak perkumpulan-perkumpulan lain.
Cin-ling-pai adalah perkumpulan rahasia yang terdiri dari tosu-tosu pemeluk aliran Im-yang-kauw. Cin-ling-pai ini diketuai oleh seorang tosu tua yang terkenal sebagai seorang ciang-bun-jin yang cakap mengatur perkumpulan sehingga semua anak buahnya amat berdisiplin dan taat, bernama Giok Thian Cin Cu, seorang kakek ahli kebatinan yang sudah berusia enam puluh tahun lebih namun masih nampak muda dan sehat. Giok Thian Cin Cu tidak pelit dalam kepandaian silatnya. Dia menurunkan ilmu silatnya kepada para anggauta Cin-ling-pai sehingga para tosu Cin-ling-pai terkenal amat lihai. Tentu saja kedudukan para tosu itu disesuaikan dengan tingkat kepandaian mereka yang juga merupakan tingkat kedudukan mereka sebagai murid Giok Thian Cin Cu. Ada murid kepala, murid dalam dan murid luar. Murid dalam adalah mereka yang secara langsung dilatih oleh Giok Thian Cin Cu sendiri sedangkan murid luar adalah para tosu yang dilatih oleh murid-murid kepala. Betapapun juga tidak ada seorang tosu anggauta Cin-ling-pai yang tidak berkepandaian tinggi!
Karena kedudukan yang amat kuat inilah maka setelah kerajaan bangsa Boan (Mancu) berdiri, yaitu kerajaan Ceng, kerajaan baru inipun tidak berani mengganggu Cin-ling-pai. Partai-partai atau perkumpulan-perkumpulan rahasia gurem (yang kecil-kecil) sudah dibasmi oleh bala tentara Mancu, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu Cin-ling-pai, malah dengan secara pandai sekali pembesar-pembesar Ceng mendekati dan membaiki Cin-ling-pai untuk sedapat mungkin menarik mereka ini menjadi pembantu atau setidaknya pendukung pemerintah baru.
Giok Thian Cin Cu cukup maklum kerajaan baru ini amat kuat dan tidak mungkin dilawan, maka ia memberi perintah kepada anak muridnya agar jangan membuat ribut dan memancing permusuhan dengan pemerintah. Akan tetapi bagaimanapun juga, tosu tua ini berpesan dengan keras agar anak muridnya, jangan sekali-kali membantu pemerintah baru dan biarlah perkumpulan hidup menyendiri, jangan sampai diperalat oleh pemerintah penjajah.
Sikap Giok Thian Cin Cu ini sama benar dengan sikap banyak partai besar yang tidak diganggu oleh pemerintah Ceng. Oleh karena ini, pemerintah Mancu lalu mencari akal, menggunakan siasat adu domba di antara partai besar ini agar kedudukan mereka menjadi lemah. Pelbagai cara dan tipu muslihat licin dijalankan untuk membakar api permusuhan di antara mereka agar siasat adu domba ini berhasil baik.
Pada waktu Han Sin dan Bi Eng tiba di kaki gunung Cin-ling-san, keadaan di antara partai-partai besar sudah mulai genting dan panas. Malah partai Cin-ling-pai sudah menaruh curiga terhadap partai-partai lain yang disangkanya berkhianat dan membantu pemerintah Ceng. Penjagaan markas mereka diperkuat dan mereka semua sudah siap siaga menghadapi pertempuran dengan siapapun juga yang dianggap mengganggu dan merupakan ancaman bagi pendirian Cin-ling-pai.
Tentu saja gerak-gerik Han Sin dan Bi Eng di kaki gunung sudah diketahui oleh tosu-tosu Cin-ling- pai dan menarik perhatian mereka. Kehati-hatian Han Sin yang mencari jalan lain untuk melewati gunung itu malah mendatangkan curiga kepada para tosu penjaga.
Kalau saja Han Sin menurut kehendak Bi Eng dan langsung naik ke gunung itu lalu menyatakan maksudnya hendak melewati gunung, kiranya para tosu malah tidak menaruh curiga dan tidak akan mengganggu. Akan tetapi ketika melihat betapa dua orang muda bersama seekor monyet kecil itu mencari jalan yang sunyi dan menjauhi bangunan rumah-rumah Cin-ling-pai, mereka menjadi bercuriga sekali dan mengira bahwa dua orang muda itu memata-matai dan menyelidiki keadaan Cin-ling-pai.
Betapa heran dan kagetnya hati Han Sin dan Bi Eng ketika mereka sedang mendaki bukit itu melalui jalan hutan yang kecil, tiba-tiba dari depan mendatangi tosu-tosu dalam barisan yang teratur rapi. Sikap para tosu itu keren sekali dan mereka menghadang perjalanan Han Sin dan Bi Eng. Di depan sendiri berdiri tiga orang tosu yang rambutnya digelung menjadi lima dan paling belakang berdiri belasan orang tosu, berjajar seperti pasukan. Mereka ini mempunyai gelung kecil-kecil dan banyak, ada yang tujuh ada yang delapan sehingga mereka kelihatan lucu. Bi Eng tertawa, tak tertahankan lagi geli hatinya melihat kepala tosu-tosu itu demikian aneh gelungnya. “Heran, kenapa gelung rambut mereka begitu banyak?” katanya di antara tawa.
“Bi Eng, jangan bicara sembarangan.” Han Sin mencegah adiknya, akan tetapi karena Bi Eng bicara dengan keras, semua tosu mendengarnya dan mendelik kepadanya. Bi Eng dan Han Sin tentu saja tidak tahu bahwa gelung-gelung itu merupakan tanda kedudukan para tosu Cin-ling-pai. Banyaknya gelung menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan. Tosu bergelung tujuh adalah murid-murid tingkat ke tujuh, yang bergelung lima adalah murid-murid tingkat ke lima dan begitu seterusnya.
Makin sedikit gelungnya makin tinggi tingkatnya dan tiga orang tosu paling depan adalah murid- murid tingkat empat, termasuk murid-murid “luar” yang paling tinggi tingkatnya. Hanya tosu gelung tiga, dua, dan satu adalah murid-murid “dalam” atau murid langsung dari Giok Thian Cin Cu.
“Eh, orang-orang muda, siapa kalian dan mengapa lancang mengambil jalan ini tanpa minta perkenan dari kami lebih dulu?” tanya seorang di antara tiga tosu gelung empat itu, yang mukanya burik (bopeng).
Pertanyaan ini diajukan dengan sikap memandang rendah dan tanpa sopan santu. Han Sin menerimanya dengan tenang-tenang saja akan tetapi tidak demikian dengan Bi Eng. Dengan mata bersinar marah gadis ini menjawab,
“Kalian ini berpakaian seperti pendeta tapi bersikap seperti perampok, mau apakah menghadang perjalanan kami? Orang lewat di gunung ini harus minta perkenan darimu, apakah kalian ini termasuk setan-setan penjaga gunung?”
“Eng-moi !” Han Sin menegur adiknya yang surut kembali ketika ditegur oleh kakaknya. Bi Eng
bersungut-sungut dan membela diri.
“Biarlah Sin-ko. Sikap mereka kurang ajar dan keterlaluan, dikiranya aku takut kepada mereka? Cih!”
Sementara itu, Siauw-ong yang melihat sikap Bi Eng memusuhi para tosu itu, tentu saja membela nonanya. Ia dari pundak Han Sin lalu membuat panas hati para tosu itu dengan ejekan-ejekan, menyengir-nyengir mencebi-cebi dan kedua tangannya dikepal dan diacung-acungkan seperti orang menantang berkelahi!
“Eng-moi, biar orang berlaku kasar kepada kita, jangan membalas dengan kekerasan. Biar orang menyerang kita, kita jangan menggunakan kekerasan,” Han Sin menegur adiknya yang tunduk terhadap peringatan kakaknya ini, biarpun hatinya mendongkol bukan main terhadap tosu-tosu itu.
Adapun para tosu itu yang biasanya amat ditakuti dan disegani orang, ketika melihat sikap Bi Eng dan monyet kecil, menjadi marah. Bala tentara kaisar asing masih menaruh hormat dan segan kepada mereka, masa bocah perempuan ini berani bersikap galak? Datang-datang mereka dimaki perampok dan setan penjaga gunung, tentu saja para tosu menjadi marah dan memandang dengan mata mendelik.
“Suheng, biar siauwte menangkap bocah-bocah gunung ini, tentu mereka ini mata-mata partai lain yang sengaja hendak menyelidik dan mencari perkara!” berkata dua orang tosu gelung lima yang melompat maju. Ketika tosu-tosu gelung empat mengangguk, dua orang tosu gelung lima yang bertubuh gemuk-gemuk ini melangkah lebar menghampiri Han Sin dan Bi Eng, lalu menudingkan telunjuk mereka yang besar. Seorang di antara mereka membentak, “Kalau orang baik-baik, lekas berlutut minta maaf atas kelancangan kalian, terangkan nama dan tujuan!” Bi Eng hampir tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Siauw-ong yang melihat sinar mata nonanya, maklum bahwa ia berhadapan dengan musuh-musuh, maka sambil mengeluarkan suara pekik dahsyat monyet kecil ini melompat maju. Cepat bukan main gerakannya sehingga di lain saat ia telah menangkap lengan yang diacungkan itu dan menggigit telunjuk yang menuding.
“Auuu .... aduuuuhh ...! Tosu gemuk yang digigit telunjuknya itu marah sekali dan tangan kirinya dikepal terus menghantam kepala monyet kecil itu. Akan tetapi Siauw-ong bukanlah sembarang monyet. Jelek-jelek iapun “murid” Ciu-ong Mo-kai maka begitu kepalan menyambar, ia telah berpindah ke pundak tosu yang kedua. Sebelum tosu ini tahu apa yang terjadi, rambutnya sudah dijambak-jambak dan gelungnya yang lima buah banyaknya itu terlepas dan awut-awutan! Lebih celaka lagi, kuku-kuku tangan Siauw-ong mencakar dan berdarahlah telinganya.
“Binatang jahat!” seru mereka berdua dan dengan pukulan-pukulan berat mereka menyerang monyet itu. Siauw-ong berlompatan ke sana ke mari sambil menyeringai dan mengejek. Ketika monyet itu meloncat turun ke atas tanah, payah juga kedua orang tosu itu mengejar dalam usaha mereka memukul dan menangkap, karena mereka harus membungkuk-bungkuk dan tubuh yang gemuk itu betul-betul membuat gerakan mereka kurang leluasa.
Siauw-ong memiliki gerakan yang amat cepat dan lincah. Monyet ini menari-nari dan mulai menggunakan pukulan-pukulan ilmu silat yang aneh karena ilmu silat yang ia tiru-tiru dari Bi Eng itu bercampur dengan gerakan asli monyet itu. Namun harus diakui kehebatannya karena berkali- kali ia telah dapat menampar, menendang, mencakar bahkan menggigit pakaian dua orang tosu itu sampai robek-robek.
Bi Eng tak dapat menahan kegembiraan hatinya. Gadis itu tertawa-tawa terkekeh sambil bertepuk- tepuk tangan. “Bagus, Siauw-ong, bagus! Cakar mukanya, pukul perutnya yang gendut-gendut itu. Hi hi hi!”
“Siauw-ong, mundur!” Bentakan Han Sin ini ternyata berpengaruh sekali karena sambil cecowetan takut Siauw-ong lalu meloncat ke atas pundak Han Sin.
Bi Eng kecewa. “Koko, mengapa tidak biarkan Siauw-ong menghajar mereka? Agaknya orang- orang macam inilah yang dikatakan orang-orang jahat oleh suhu.”
“Diamlah, adikku, biar aku yang menghadapi mereka,” kata Han Sin yang melangkah maju dan menjura kepada dua orang tosu yang masih mencak-mencak saking marahnya. Tubuh mereka sakit- sakit, kulit lecet-lecet karena cakaran Siauw-ong dan pakaian mereka robek-robek sedangkan rambut awut-awutan. Han Sin menjura dan berkata,
“Harap cuwi taisu memaafkan monyetku ini dan maklum bahwa monyet tentu saja tidak sesopan manusia.”
Kata-kata ini keluar dari hati jujur tanpa terkandung sesuatu, namun para tosu itu mengira Han Sin mengejek mereka dan memaki mereka menyatakan bahwa mereka sebagai manusia-manusia juga tidak sopan seperti monyet.
“Eh, bocah-bocah kurang ajar. Kalian berani main gila terhadap tosu-tosu Cin-ling-pai? Ayoh lekas berlutut minta ampun, baru kami masih pikir-pikir untuk meringankan hukumanmu,” kata tosu yang mukanya bopeng.
Biarpun Han Sin seorang pemuda aneh yang amat sabar dan rendah hati namun ia keturunan orang gagah dan dalam pelajaran-pelajaran di kitabnya terdapat pantangan untuk orang berlaku merendah dan menjilat. Bagaimana ia bisa berlutut minta ampun tanpa kesalahan? Hal serendah dan sehina ini tentu saja tak mungkin ia mau melakukan. Hanya orang bersalah yang wajib minta ampun terhadap siapapun juga. Selagi ia ragu-ragu, Bi Eng mendamprat tosu itu.
“Pendeta bopeng! Terhadap manusia macam kau, mana bisa kakakku berlutut minta ampun? Kami tidak bersalah apa-apa, kalian yang sengaja menghadang perjalanan kami. Ayoh, minggir dan biarkan kami meneruskan perjalanan kalau kalian memang tidak mempunyai niat busuk.”
“Bocah bermulut lancang! Kalau tidak mau minta ampun, terpaksa pinto menggunakan kekerasan menangkap kalian!” Si tosu bopeng lalu mengulur tangan hendak mencengkeram pundak Bi Eng. Akan tetapi sambil mengeluarkan suara tertawa mengejek, Bi Eng mengelak dan begitu kaki kirinya yang kecil bergerak, ujung sepatunya yang keras telah mencium tulang kering tosu itu, mengeluarkan bunyi “tak!” yang keras.
Tosu Bopeng itu megap-megap menahan sakit sambil berjingkrak dengan sebelah kaki. Tulang keringnya retak terkena tendangan tadi, sakitnya bukan alang kepalang, sampai menusuk ke jantung.
Kawannya, tosu bergelung lima yang kedua, marah sekali. “Berani kau merobohkan tosu Cin-ling- pai?” katanya sambil menubruk maju dengan sikap beringas.
Han Sin kuatir sekali melihat ini, takut kalau adiknya mengalami celaka. Mana adiknya bisa menang menghadapi tosu yang begini galak dan beringas? “Harap taisu jangan celakai adikku !”
katanya memohon sambil mengangkat tangan untuk menahan serangan tosu itu.
Tosu kedua yang botak kepalanya dan empat gelungnya amat kecil-kecil karena rambutnya hanya sedikit ini, maka ia robah cengkeramannya ke arah Bi Eng dan memukul lengan pemuda itu untuk merobohkannya.
“Plakk !” Aneh sekali. Tosu yang bergelung empat ini, begitu tangannya bertemu dengan lengan
Han Sin yang diangkat untuk mencegahnya menyerang Bi Eng, tiba-tiba menjerit, tubuhnya terpental dan ia roboh dengan tulang lengannya patah! Ia menyeringai kesakitan dan memandang kepada Han Sin dengan heran dan terkejut sekali. Bi Eng tidak tahu bahwa tosu itu roboh oleh tangkisan kakaknya. Ia terkejut sekali melihat Han Sin maju, takut kalau kakaknya terluka. Maka ia lalu menerjang maju dan berkata keras,
“Tosu-tosu bau! Jangan ganggu kakakku yang tidak bisa ilmu silat. Kalau mau berkelahi, lawanlah aku!” Siauw-ong yang melihat sikap nonanya ini lalu melompat turun dan berdiri di dekat Bi Eng sambil angkat dada, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk dadanya dengan sikap menantang sekali.
Semua tosu mengira bahwa robohnya tosu gelung empat tadi karena serangan gelap dari Bi Eng, malah si tosu sendiri mulai ragu-ragu apakah betul ia roboh dan patah lengannya oleh pemuda lemah itu. Apa lagi ketika semua tosu melihat betapa dalam usahanya mencegah Bi Eng, Han Sin maju tergesa-gesa sampai kakinya tersandung batu yang membuat ia jatuh terjungkal!
Bi Eng menjerit, menghampiri kakaknya. “Koko, kau jatuh? Sakitkah?”
Dengan muka merah Han Sin merayap bangun sambil menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa, moi- moi. Janganlah kau mencari perkara dengan para taisu ini ” Sementara itu, para tosu Cin-ling-pai sudah memuncak marahnya. Dua orang tosu gelung lima sudah dihina seekor monyet, dua orang tosu gelung empat sudah dikalahkan oleh seorang gadis cilik, kemana mereka harus menaruh muka kalau tidak bisa membalas kekalahan ini?
Tosu tingkat rendahan tidak berani lancang maju, hanya memperlihatkan sikap waspada dan mengurung, sedangkan tosu gelung lima yang masih ada tiga orang bersama seorang tosu gelung empat, maju bersama, sikapnya mengancam. Di pihak Bi Eng, nona inipun berdiri dengan sikap gagah, memasang kuda-kuda dan di sebelahnya, Siauw-ong juga memasang kuda-kuda sambil meringis-ringis memperlihatkan giginya yang runcing! Han Sin menarik napas panjang pendek, tidak berdaya mencegah pertempuran yang akan terjadi ini. Ia amat kuatir, apa lagi ketika melihat empat orang tosu itu tiba-tiba mencabut pedang dari punggung mereka.
“Cih, tak tahu malu!” Bi Eng memaki dengan suara menyindir. “Empat orang tosu tua bangka hendak mengeroyok, malah menggunakan senjata tajam. Gagah amat!” Memang sengaja ia menyindir karena diam-diam ia bingung juga melihat empat orang lawan hendak mengeroyoknya dengan pedang di tangan, biarpun di dalam hatinya sama sekali ia tidak takut.
Mendengar ini, empat orang tosu itu saling pandang dengan muka merah. Mereka jadi tidak berani maju, karena memang amat memalukan kalau empat orang tosu Cin-ling-pai yang sudah terkenal gagah perkasa harus maju mengeroyok seorang gadis cilik yang bertangan kosong.
“Suheng, biar siauwte menghajarnya!” kata tosu gelung lima sambil melangkah maju. Akan tetapi baru saja ia maju, Siauw-ong sudah menyerangnya dengan cakaran dan gigitan, bukan sembarangan melainkan dengan gerakan teratur, gerakan yang dipengaruhi gerakan-gerakan ilmu silat!
“Binatang ini harus dimampuskan dulu!” seru tosu gelung lima itu dan pedangnya kini berkelebatan menyambar, menghujankan serangan kepada tubuh monyet yang kecil itu.
Akan tetapi Siauw-ong gesit luar biasa. Setelah tosu Cin-ling-pai ini memegang pedang, memang ia hebat sekali. Kepandaian khas dari para tosu Cin-ling-pai memang dalam penggunaan pedang yang menjadi senjata khusus ketua mereka Giok Thian Cin Cu. Maka menghadapi sambaran pedang yang berputar-putar dan berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar itu, Siauw-ong menjadi kecil hatinya, tidak dapat menyerang kembali.
Akan tetapi, bagi tosu itupun merupakan hal yang luar biasa sukarnya untuk mengenai tubuh si monyet. Bukan main lincahnya, meloncat ke sana ke mari dan selalu bacokan-bacokan dan tusukan- tusukan hanya mengenai angin belaka! Ini masih belum seberapa kalau si monyet tidak mengeluarkan suara seperti orang mentertawakan dan mengejek. Tosu gelung lima itu menjadi makin marah, seperti bernyala api sinar matanya, berbusa mulutnya dalam nafsu besarnya untuk mencacah-cacah tubuh monyet nakal ini.
Si tosu sudah senen-kemis napasnya karena selalu ia membacok dan menusuk angin. Juga Siauw- ong nampak lelah biarpun gerakan-gerakannya tidak menjadi lambat. Hal ini amat mencemaskan hati Bi Eng. Biarpun ia harus mengakui bahwa ilmu pedang tosu itu lihai, namun setelah melihat tosu itu menyerang Siauw-ong, dalam hati kecilnya ia sanggup menghadapi tosu ini dengan kosong saja. Ia dapat mengelak selincah Siauw-ong untuk menghindarkan diri dari hujan senjata dan di samping ini, tidak seperti Siauw-ong, ia melihat kesempatan-kesempatan dan lowongan-lowongan untuk menyerang kembali.
“Siauw-ong, mundurlah!” serunya kepada monyet itu yang cepat melompat ke belakang, langsung naik ke pundak Han Sin sambil meleletkan lidah dan memanjangkan hidungnya kepada tosu tadi. Beberapa orang tosu di belakang menahan ketawa mereka. Betapapun gemas dan mendongkol hati mereka, didalam hati mereka geli juga melihat kenakalan monyet yang ternyata amat lihai itu. Masa suheng mereka yang bertingkat lima tidak mampu mmbacok leher monyet dalam puluhan jurus tadi? Benar-benar aneh sekali. Padahal, suheng mereka itu menghadapi seekor harimau ganas sekalipun, pedangnya tentu akan dapat membunuh harimau itu tidak lebih dari dua puluh jurus.
Tosu itu biarpun napasnya sudah senen-kemis, akan tetapi saking marahnya dipermainkan oleh monyet itu, begitu melihat Bi Eng, maju, ia lalu menyerang dengan tusukan yang ganas.
“Moi-moi, awas!” Han Sin berteriak ngeri.
Namun gerakan Bi Eng tidak kalah gesitnya oleh Siauw-ong. Ia dengan mudah mengelak. Tosu itu kini tidak mau gagal lagi, ia menggerakkan pedang cepat sekali dan mengirim serangan bertubi- tubi. Kini para tosu melihat hal yang aneh dan lucu. Gadis cantik jelita itu mulai berloncat-loncatan, persis seperti gerakan-gerakan monyet cilik tadi, begitu cepat, begitu lucu dan selalu dapat menghindarkan ancaman pedang!
Tidak seperti Siauw-ong tadi yang hanya bisa mengelak tanpa dapat membalas menyerang. Bi Eng sekarang mempergunakan setiap lowongan untuk balas menyerang lawannya sehingga tosu itu makin sibuk dan serangan-serangannya mengendur.
“Sute, lepaskan pedangmu. Mari kubantu kau menangkap gadis liar ini!” seru tosu gelung empat yang menjadi penasaran sekali melihat bahwa sutenya ini tak lama lagi tentu akan dirobohkan gadis cilik itu. Ia teringat bahwa andaikata sutenya dapat merobohkan gadis cilik itu yang bertangan kosong, hal ini tidak akan mengharumkan nama Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Maka lebih baik menangkap gadis ini dan kakaknya untuk diseret kepada suhu-suhu mereka dan menanti keputusan. Asal dapat menangkap mereka berdua dan monyet itu, sudah tertebuslah kekalahan-kekalahan tadi dan nama baik Cin-ling-pai takkan tercemar.
Tosu gelung lima itu girang sekali mendengar suhengnya hendak membantu. Ia lalu menyimpan pedangnya dan melompat ke belakang sambil terengah-engah.
“Biar kuganti kau, sute!” kata seorang kawannya, tosu gelung lima lain lagi yang maju mengawani si tosu gelang empat. Dua orang tosu ini tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan berusaha menangkap atau menotok jalan darah Bi Eng.
Bi Eng mengelak cepat dan serangan-serangan ini dan ia menjadi terdesak. Tingkat kepandaian tosu-tosu itu sebetulnya sudah amat tinggi dan Bi Eng baru belajar silat dua tahun saja, mana dia bisa melawan mereka? Hanya karena semenjak kecil ia belajar menari-nari dengan monyet yang gesit maka ia memiliki kegesitan luar biasa, ditambah lagi biarpun hanya belajar dua tahun namun ia belajar langsung dari tangan seorang sakti seperti Ciu-ong Mo-kai, maka tadi ia dapat menghadapi pedang tosu tingkat lima dan empat, gadis ini benar-benar hanya dapat mengelak dan berloncatan ke sana ke mari menggunakan kegesitannya dalam tari monyet, sama sekali tidak mampu membalas serangan lawan.
Tiba-tiba terdengar suara Han Sin yang membuat gadis itu girang sekali. “Eng-moi, Pek-in-koan-goat (Awan Putih Tutup Bulan) ke kiri!”
Setelah mendengar seruan ini, barulah terbuka mata Bi Eng dan secara membuta ia lalu melakukan gerakan yang disebutkan oleh kakaknya itu. Dua orang tosu itu terkejut sekali karena tiba-tiba gerakan Bi Eng berubah dan tahu-tahu telah menyerang mereka dengan dahsyat. Mereka terpaksa mengelak sambil melompat mundur, baru berani menyerang lagi dari kanan kiri. “Hui-in-ci-tiam (Awan Terbang Keluarkan Kilat)!” Lagi-lagi Han Sin berseru sambil memandang pertempuran itu dengan penuh perhatian.
“In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari)!”
Seruan-seruan ini adalah gerak tipu yang paling tepat untuk dimainkan dalam keadaan seperti Bi Eng. Han Sin memang tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat, akan tetapi ilmu silat Liap-hong Sin-hoat telah ia pelajari teorinya sampai hafal benar, sampai sempurna sehingga ia dapat melihat bagaimana gerak tipu itu harus dimainkan sungguhpun kalau dia sendiri disuruh main, tentu gerakan-gerakan kaki tangannya kaku dan tidak biasa.
Bi Eng percaya penuh kepada kakaknya yang memang ia anggap manusia paling pintar di dunia ini, maka secara membuta ia dengan girang mentaati seruan-seruan itu dan berturut-turut ia mainkan Hui-in-ci-tiam disusul Im-mo-sam-bu yang mempunyai tiga jurus gerakan. Makin girang hatinya ketika dalam jurus kedua dari gerak tipu ini, jari-jari tangannya telah mengenai sasaran dengan tepat, yaitu di iga kiri tosu gelung lima.
Akan tetapi selama hidupnya Bi Eng belum pernah menotok orang. Ketika ia berlatih dengan suhunya, yang menjadi korban percobaan ilmu totokannya adalah Siauw-ong dan karena ia kasihan kepada monyetnya, ia selalu hanya menotok urat ketawa monyet itu untuk tidak menyiksanya. Kini setelah jari-jari tangannya menyentuh kulit tosu itu, ia menjadi jijik dan geli maka otomatis jari tangannya lalu mencari urat ketawa dan di lain saat tosu gelung lima itu berjingkrakan ke belakang sambil memegangi perutnya dan tertawa terpingkal-pingkal.
“Hah hah hah hah heh heh heh heh !”
Melihat sutenya dipukul lawan, tosu gelung empat kaget dan cepat mendekati sutenya, akan tetapi sutenya itu ternyata tidak luka malah tertawa-tawa seperti orang kemasukan setan. Ia menepuk pundak sutenya dan membentak, “Sute, tidak melanjutkan serangan kok malah ketawa-tawa.
Bagaimana sih kau ini?”
“He he he .... pinto (aku) hah hah hah hah!” Tosu gelung lima itu terkekeh-kekeh dan bergelak-
gelak, tak dapat lagi menahan ketawanya sampai perutnya terasa kaku dan sakit.
Melihat keadaan ini, barulah tosu tingkat empat itu kaget dan maklum bahwa ketawa sutenya ini bukanlah sewajarnya. Ia mencoba untuk memulihkan jalan darah sutenya, akan tetapi tidak berhasil. Ilmu totok yang dipergunakan oleh Bi Eng berbeda dengan ilmu totok Cin-ling-pai, maka tosu yang baru bertingkat empat itu tidak sanggup mengobati sutenya.
Sementara itu, Bi Eng dan Siauw-ong berloncat-loncatan saking girangnya melihat hasil pertempuran itu. Bi Eng girang dan bangga dan Siauw-ong mentertawai tosu yang masih terbahak- bahak dan terkekeh-kekeh sampai keluar air matanya itu. Han Sin hanya menggeleng-geleng kepalanya dengan kening dikerutkan.
“Eng-moi, kau tidak boleh bertempur lagi,” katanya keren.
“Koko, ini merupakan latihan yang baik sekali, bukan?” kata Bi Eng girang.
Han Sin menggeleng kepalanya. “Ayoh kau bebaskan dia yang kau totok tadi!” perintahnya. “Totok ia punya in-tai-hiat dan tepuk urat di tengkuknya.” Bi Eng tersenyum mengangguk. “Aku juga belum lupa cara pembebasannya, koko, akan tetapi baik sekali kau ingatkan agar jangan keliru.” Dengan langkah lebar ia lalu menghampiri tosu gelung lima yang masih terpingkal-pingkal itu. Cepat ia menotok jalan darah in-tai-hiat lalu berkata kepada Siauw-ong. “Siauw-ong, kau tepuk tengkuknya tiga kali!”
Ia sendiri tidak sudi harus menepuk-nepuk tengkuk tosu itu. Siauw-ong yang mengikuti nonanya menurut, meloncat dan menepuk tosu itu tiga kali dengan telapak tangannya. Tosu itu gelayaran (terhuyung-huyung) hampir jatuh akan tetapi ketawanya berhenti. Tubuhnya terasa lemas dan ia jatuh duduk dengan napas terengah-engah.
Pada saat itu, dari atas puncak datang serombongan tosu lain dan semua tosu yang berada di situ bernapas lega. Kiranya yang datang ini adalah serombongan tosu yang terdiri dari tosu-tosu tingkat empat, tiga dan dipimpin oleh tiga orang tosu tingkat dua! Kali ini tiga ekor monyet cilik ini pasti akan tertawan, pikir mereka.
Tiga orang tosu tingkat dua itu adalah murid-murid langsung dari Giok Thian Cin Cu. Di Cin-ling- pai hanya terdapat dua orang tingkat satu, dan tiga orang tosu tingkat dua yang sekarang memimpin pasukan ini. Tosu tingkat tiga hanya ada lima orang, jadi tosu-tosu tingkat satu dua tiga yang langsung dipimpin oleh Giok Thian Cin Cu sendiri hanya ada sepuluh orang tosu. Ilmu kepandaian mereka ini tentu saja amat tinggi.
Apalagi Giok Thian Cin Cu sendiri yang selalu bertapa di puncak jarang keluar, bahkan dua orang muridnya, tosu tingkat pertama, juga jarang keluar, merupakan tosu-tosu tua terhormat yang untuk segala macam urusan dalam mewakili suhu mereka. Semua urusan luar diserahkan kepada tiga orang tosu tingkat dua ini yang memang tinggi kepandaiannya, dibantu oleh lima orang tosu tingkat tiga.
“Ada apakah ribut-ribut di sini?” terdengar suara keren dari tosu gelung dua yang mukanya merah. Sambil bertanya demikian, sepasang mata yang tajam itu menyapu ke arah Bi Eng, Han Sin dan Siauw-ong.
“Sam-wi suhu harap suka turun tangan membersihkan muka kita yang dihina orang!” kata tosu tingkat empat tadi. Kemudian ia menceritakan betapa dua orang muda dan monyetnya itu melanggar wilayah mereka kemudian mengeluarkan kata-kata kasar, malah sudah merobohkan beberapa orang tosu.
Tiga orang tosu tingkat dua itu mendengarkan penuturan ini dengan sabar. Akan tetapi mereka mengerutkan kening dan pandang mata mereka terheran ketika mendengar bahwa gadis cilik itu telah merobohkan beberapa orang tosu, di antaranya malah mengalahkan tosu tingkat empat!
Hampir mereka tak dapat percaya. Gadis itu paling banyak berusia tujuh belas tahun, dengan kepandaian macam apakah bisa mengalahkan tosu Cin-ling-pai tingkat empat?
Tiga orang tosu tingkat dua itu memiliki kedudukan yang tinggi di Cin-ling-pai, merupakan komandan-komandan semua pasukan Cin-ling-pai, tentu saja mereka tidak memandang mata dan tidak mau ribut mulut dengan orang-orang muda seperti Han Sin dan Bi Eng, apalagi dengan seekor monyet kecil! Tosu muka merah memberi isyarat kepada tiga orang tosu tingkat tiga. “Tawan mereka dan bawa ke puncak, biar nanti kami selidiki murid siapa mereka ini berani mengacau di Cin-ling-pai!”
Tiga orang tosu tingkat tiga itu menjadi merah mukanya. Mereka adalah murid-murid Giok Thian Cin Cu sendiri, biarpun hanya bertingkat tiga, namun mereka ini adalah tosu-tosu muda yang langsung dilatih oleh Giok Thian Cin Cu. Masa sekarang mereka bertiga disuruh menangkap dua orang muda dan seekor monyet? Menghadapi yang tiga ini, seorang di antara merekapun sudah cukup, masa harus maju bertiga? Benar-benar pekerjaan yang merendahkan kedudukan mereka. Akan tetapi karena yang memerintah adalah ji-suheng mereka, tentu saja tiga orang tosu ini tidak berani membangkang dan dengan muka merah mereka maju serempak.
Melihat majunya tiga orang tosu muda yang kelihatan kuat dan galak, Bi Eng tetap tersenyum mengejek dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Akan tetapi Han Sin khawatir sekali, takut kalau-kalau adiknya bertempur lagi, bukan takut adiknya kalah. Ini belum tentu, akan tetapi takut kalau-kalau adiknya akan mencelakai orang. Ia cepat melangkah lebar menghadang datangnya tiga orang tosu itu sambil berkata.
“Sam-wi totiang jangan terlalu mendesak kami. Biarlah kami melanjutkan perjalanan kami!”
Tiga orang tosu ini memang merasa segan kalau harus melawan gadis cilik dan monyet. Setidaknya kalau melawan pemuda ini, tidak terlalu memalukan. Mereka melihat Han Sin maju, lalu berebut untuk mendahului kawan menangkap pemuda ini. Tosu terdepan lalu mengerahkan lweekangnya mendorong Han Sin dari jarak dua meter, maksudnya merobohkan Han Sin tanpa menyentuh tubuhnya memamerkan lweekangnya, setelah pemuda itu roboh baru ditawan. Ia menggunakan pukulan jarak jauh dengan gerak tipu To-tiu-thai-san (Merobohkan gunung Thai-san). Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tenaga lweekangnya itu membalik dan menyerang dirinya sendiri, membuat ia roboh terguling-guling!
Melihat seorang tosu melakukan gerakan mendorong lalu roboh sendiri terjengkang dan terguling- guling. Bi Eng tertawa dan mengejek. “Apa-apaan ini, tosu badut main komidi!”
Tosu kedua kaget sekali dan iapun cepat melakukan pukulan jarak jauh yang lebih hebat. Ia menggunakan gerakan Pek-lui-pai-san (Geledek menolak gunung) juga sebuah gerak tipu dari ilmu silat Im-yang-kun warisan gurunya. Ia tidak mendorong melainkan memukul ke arah dada Han Sin. Seperti tadi, pemuda ini melakukan gerakan mengangkat lengan untuk menangkis karena takut dipukul dan akibatnya hebat. Tosu itu terlempar jauh dan untuk beberapa menit tak dapat bernapas karena hawa pukulannya sendiri yang membalik membuat napasnya sesak.
Tosu ke tiga menjadi bengong dan ragu-ragu, tidak berani dekat dan semua tosu memandang dengan mata terbelalak. Apa lagi tiga orang tosu kelas dua yang memimpin pasukan itu. Mereka hampir tak dapat percaya akan kejadian itu.