Dendam Si Anak Haram Jilid 10

Jilid 10

“Aku Bhe Ciok Kim, setelah berhasil membalas dendam, bersedia untuk mati! Hidup pun tidak ada gunanya lagi bagiku. ” Kwan Bu terkejut dan menengok, namun terlambat. Ibunya telah memungut

golok milik Phoa Heng Gu yang tadi dibawa Kwan Bu dan diletakkan dekat ibunya dan ketika pemuda ini tadi berlutut dekat ibunya dan ketika terkejut mendengar pengakuan ibunya, ia meloncat mundur, lupa membawa goloknya. kini ibunya memungut golok itu dan menancapkan golok di perutnya sendiri. Golok yang tajam itu amblas ke perut sampai ke ujungnya menembus punggung!

“Ibu. ! Kwan Bu meloncat dan menubruk ibunya, namun, melihat betapa luka ibunya tak mungkin

dapat ditolong lagi, ia hanya dapat memeluk sambil menjatuhkan air mata, terisak-isak dan menyebut-nyebut nama ibunya. Terdengar suara ketawa serak.

“Ha-ha-ha, Bhe Ciok Kim..! Hutangku kepadamu didunia telah terbayar lunas! Akan tetapi masih ada hutangku di akhirat, terhadap keluargamu dan terhadap banyak orang lain, Marilah. marilah kita

bersama menghadap pengadilan di akhirat... agar segera selesai pengadilannya dan dapat ditentukan hukuman bagiku... ha-ha-ha!” Agaknya karena jarum itu melukai otak, maka kakek ini menjadi seperti orang gila. Tiba-tiba ia berkelojotan dan menghembuskan napas terakhir, hampir berbareng dengan Bhe Ciok Kim yang juga tewas dalam pelukan puteranya.

Sementara itu, Siang Hwi yang tadinya marah sekali dan hendak menentang musuh-musuhya sampai mati, kini berdiri terlongong dengan muka pucat. Peristiwa yang didengar dan dilihatnya terlampau hebat dan diam-diam ia memandang kepada Kwan Bu dengan hati penuh rasa iba. Alangkah hebat penderitaan batin pemuda itu. Kini ia pun tahu akan segala persoalannya, Dibandingkan dengan penderitaan batin Kwan Bu, yang dendamnya setinggi gunung sedalam lautan, dendam yang tanpa disadarinya telah ditujukan kepada ayah kandungnya sendiri, dan kini berhasil pula membunuh musuh besarnya, membunuh ayah kandungnya, dibandingkan dengan itu semua dendamnya sendiri atas kematian ayahnya tidak ada artinya sama sekali! Ayahnya telah berpihak kepada pejuang, dan dua orang murid Pat-jiu Lo-koai itu berpihak kepada kaisar, Kematian ayahnya adalah kematian wajar seorang pejuang, tewas dalam pertempuran, bukan karena urusan pribadi, tepat seperti yang dikatakan Kwan Bu. Berpikir demikian, rasa dendamnya menipis, kedukaannya lenyap melihat kedukaan hebat yang menimpa diri Kwan Bu, Alangkah hebat penderitaan batin Kwan Bu di saat itu, dapat ia maklumi. Melihat mayat ayah kandung yang dibunuhnya sendiri, melihat ibunya menggeletak tak bernyawa karena bunuh diri di depan matanya, benar-benar merupakan pengalaman hebat yang tiada taranya didunia ini. Perlahan-lahan Kwan Bu bangkit berdiri, dan demikian pula Siok Lun, Dua orang muda ini berdiri dan saling memandang, wajah mereka pucat dan lengan serta dada mereka penuh darah ayah dan ibu masing-masing. Kalau pandang mata Kwan Bu lesu dan suram seperti kehilangan semangat, adalah pandang mata Siok Lun penuh hawa amarah yang seolah-olah membuat dadanya hampir meledak.

“Kwan Bu engkau membunuh ayahku...” akhirnya keluar suara dari mulut Siok Lun agak mendesis. Kwan Bu mengangguk. Dadanya seperti ditindih gunung sehingga sukar baginya untuk bicara. Ia memaksa diri untuk berbicara dan terdengar suaranya lemah dan lesu, suara seorang yang sudah kehilangan, gairah hidup.

“Benar, aku telah membunuh dan kalau suheng tidak terima dan hendak menuntut balas, silakan. Mari kita keluar.” Suaranya sama sekali tidak mengandung tantangan, melainkan lebih mengandung penyerahan dari seorang yang sudah putus asa, putus harapan karena tidak melihat lagi kegairahan hidup. Dia benar-benar seorang anak haram yang hina dan tercela! Kehilangan hatinya kepada Siang Hwi yang menghinanya, kemudian muncul Giok Lan yang merupakan pelita yang akan dapat menerangi hatinya yang gelap, akan tetapi ternyata bahwa Giok Lan adalah saudaranya sendiri, adik tirinya, satu ayah lain ibu! Dan yang lebih hebat daripada semuanya, ia telah membunuh ayah kandungnya sendiri.

Apalagi yang diharapkan dalam hidup ini? Dengan langkah tenang akan tetapi tubuh dan semangat lemas ia keluar tanpa menengok lagi, Kemudian, sebaliknya di pekarangan luar, ia berdiri menanti Siok Lun dengan pandang mata sayu dan muka muram. Siok Lun mengejar keluar diikuti oleh Giok Lan yang menangis terisak-isak dan oleh Bi Hwa yang mengerutkan keningnya. Gadis ini ikut menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus ia lakukan dalam menghadapi peristiwa mengerikan dan menyedihkan ini. Juga timbul ketidakpuasaan di dalam hatinya mendengar bahwa ayah suhengnya yang akan menjadi suaminya itu adalah seorang bekas perampok yang telah melakukan perbuatan- perbuatan sedemikian kejinya terhadap ibu Kwan Bu. Memang tadinya ia pun sudah kecewa setelah mengenal watak calon suaminya yang mata keranjang dan pelahap wanita.

Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia telah terperosok, terjebak oleh nafsunya sendiri, telah menyerahkan diri kepada Siok Lun. Dia tidak dapat mundur lagi dan terpaksa harus menerima pemuda yang telah memiliki tubuhnya itu sebagai suami, sungguhpun rasa kasih sayangnya telah menipis, bahkan menghilang oleh kenyataan betapa watak calon suaminya ini amatlah kotornya. Kini dltambah kenyataan tentang ayah Siok Lun, benar-benar hati Bi Hwa menjadi berduka, kecewa dan juga bingung. Adapun Siang Hwi yang menyaksikan itu semua, bagaikan sebuah bayangan ikut pula lari keluar dan kini berdiri di pinggiran dengan pedang tetap di tangan, memandang kepada Kwan Bu. Kini pandang matanya terhadap Kwan Bu sudah banyak berubah, lenyap sinar kebencian dan kecurigaan karena ia sudah tahu akan segala keadaan pemuda itu, kini terganti oleh sinar mata yang mengandung rasa kasihan.

“Kau ..... kau bedebahl Kau harus mengganti nyawa ayah!” berseru keras lalu maju menubruk, memukul ke arah dada Kwan Bu, Kwan Bu hanya memandang tanpa berkedip, tidak menangkis. juga tidak mengelak, menerima hantaman itu dengan mata terbuka. “Desss     !” Tubuh Kwan Bu terjengkang ke belakang, dadanya serasa pecah, napasnya sesak dan ia

bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali. Dia telah mengerahkan sinkang untuk menerima pukulan itu, namun pukulan suhengnya amatlah hebatnya sehingga biarpun ia tidak terluka hebat di sebelah dalam dadanya, tetap saja ia merasa nyeri yang menusuk-nusuk rongga dada.

“Kau..., kau tidak membalas? Bagus    kalau begitu mampuslah!“ Siok Lun mencabut pedangnya.

“Koko, jangan.   “ Giok Lan maju dan memeluk lengan kakaknya sambil menangis.

“Moi-moi, mengapa kau menghalangiku? Dia musuh besar kita! Dia membunuh ayah kita! Pergilah!” Akan tetapi Giok Lan tidak melepaskan pelukannya dan kini berkata dengan suara gemetar.

“Koko, ingatlah. Dia adalah saudara kita sendiri! Dia adalah kakakku, dia adikmu! Dia adalah putera ayah juga! Lupakah engkau akan pengakuan ayah tadi? Biarpun dia ayah kita sendiri, akan tetapi kita harus tidak menutup mata terhadap perbuatannya yang keji, Ayah telah membunuh semua keluarga ibunya, telah memperkosanya dan membutakan mata ibunya. Kita sudah tahu betapa dia selalu mencari musuh besarnya, tidak disadari bahwa musuhnya adalah ayahnya sendiri, Ketika mendengar suara ibunya dan mendengar bahwa ayah kita adalah musuh besarnya, dia menyerangnya dengan jarum, tepat seperti dahulu ayah menyerang dan membutakan mata ibunya! Ayah kita yang bersalah!” Siok Lun mulai meragu dan mulutnya yang cemberut, hanya mengeluarkan suara.

“Hemm.    hemm!”

“Kalau kau memaksa hendak membunuhnya, apa lagi dia sama sekali tidak melawan, berarti engkau menambah dosa ayah dan aku…., aku akan terpaksa melawanmu, koko, Biar aku mati sekalian ditanganmu. ,!” Giok Lan menangis tersedu-sedu. Siok Lun menghela napas, memandang kepada

Kwan Bu yang menundukkan muka, kemudian Siok Lun berkata,

“Kwan Bu adalah suteku, dan ternyata adikku sendiri, Kau benar, Lan-moi, dia membunuh ayah karena tidak tahu. Dan ayah.... ah, salah siapakah ini? salah siapa?” Ia menghela napas dan menyarungkan pedangnya kembali. “Sute, aku tidak membunuhmu, Kau adikku sendiri, Akan tetapi, salah siapakah ini?”

“Salah ayah kita!” jawab Kwan Bu, suaranya tegas,

“Ya, salah ayah kita. Ah    tidak! Salah dia semua ini!” Tiba-tiba ia menuding ke arah Siang Hwi yang

berdiri di pinggiran,

“Salah wanita keparat ini! kalau dia tidak datang mengacau, tentu ayah kita tidak mati, tentu tidak terjadi semua ini. Gadis ini yang salah, dan aku harus meghukum dia! Dia anak pemberontak, dia yang menyebabkan kematian ayah dan kematian ibumu!” Tiba-tiba saja Siok Lun berkelebat maju ke arah Siang Hwi.

“Suheng   !” teriak Kwan Bu.

“Koko, jangan…..!” teriak Giok Lan. Siang Hwi menusukan pedangnya, akan tetapi dengan sebuah tangkisan pedang itu terpental dan di lain detik Siok Lun telah memondong tubuh Siang Hwi yang menjadi lemas karena telah ditotoknya secepat kilat,

“Aku harus menghukum dia     , ha-ha-ha, harus menghukum kuda liar ini!” Seperti orang gila Siok

Lun menciumi muka Siang Hwi dan membawanya lari memasuki rumahnya. Kejadian ini amat tidak terduga-duga dan terjadi cepat sekali sehingga yang lain-lain sejenak melongo, akan tetapi kemudian Kwan Bu mengeluarkan suara gerangan aneh dan tubuhnya berkelebat memasuki rumah lagi, melakukan pengejaran, Giok Lan menjerit dan mengejar pula. Bi Hwa menjadi pucat mukanya, menggigit bibirnya sampai berdarah kemudian ia pun lari mengejar mereka. Pintu kamar itu tertutup dari dalam, Biarpun Kwan Bu menggedor-gedornya, tetapi tidak dibuka karena sudah dipalang dari dalam,

“Suheng! Bukalah! Suheng, aku tidak akan membiarkan kau melakukan perbuatan terkutuk!” bentak Kwan Bu sambil menggedor pintu kamar, Ia mengharapkan suhengnya atau juga kakak tirinya sadar dan membuka pintu, Namun Siok Lun tidak membuka pintu.

“Braakkkkl” Daun pintu itu pecah berantakan ketika diterjang oleh Bi Hwa, Gadis ini tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pandang matanya beringas, berkilat-kilat dan mukanya pucat sekali sehingga darah yang keluar dari luka di bibir bawahnya yang ia gigit sendiri tampak nyata. Siok Lun membalikkan tubuhnya sambil menyeringai memandang Kwan Bu dan Bi Hwa yang berada di ambang pintu. Tubuh Siang Hwi yang lemas menggeletak di atas pembaringan, matanya terbelalak. Siok Lun yang tadinya menelungkup memeluk gadis itu kini membalikkan tubuh, napasnya terengah- engah, pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing yang sedang makan tulang lalu diganggu. Beringas dan penuh ancaman.

“Tak boleh seorang pun mencampuri urusanku ini! aku hendak menghukumnya, aku hendak membalas kematian ayah! Yang menghalangi akan kubunuh?”

“Suheng, kalau begitu, aku bersedia kau bunuh karena aku akan menghalangi perbuatanmu yang terkutuk ini!” jawab Kwan Bu. Kini suaranya sudah berubah tidak seperti tadi, melainkan penuh tantangan. Kini ada sesuatu yang mendatangkan kembali gairah hidupnya, yaitu melindungi Siang Hwi daripada bahaya mengerikan. Kini ia harus hidup untuk menolong dan melindungi gadis yang dicintainya itu,

“Kau? Kau suteku dan adikku sendiri? Ha, benar-benar kau sudah bosan hidup! Mari kita selesaikan urusan ini kalau memang kau ingin sekali mati di tanganku!” berkata demikian, Siok Lun mencabut pedangnya.

“Aku menanti di Iuar!” kata Kwan Bu sambil berlari keluar. Siok Lun mengejar keluar dan Bi Hwa Juga keluar tanpa mengeluarkan kata-kala, Giok Lan yang menjadi bingung itu segera menghampiri Siang Hwi dan berusaha membebaskan totokan kakaknya yang hampir membuat gadis itu lumpuh.

“Cabut pedangmu l” Siok Lun menantang, Kwan Bu tersenyum dingin, Kakak tirinya atau bukan, suhengnya atau bukan, sudah menjadi kewajibannya untuk menentang orang ini. Kalau tidak, tentu ia malu menjadi murid gurunya. Ia lalu melepaskan pedang yang dikaitkan sebagai ikat pinggangnya, tampak sinar merah dan suara Kwan Bu terdengar berwibawa,

“Phoa Siak Lun, berlututlah! Aku mewakili suhu untuk menangkap kau sebagai seorang murid durhaka dan menyerahkan kepada suhu!” Siok Lun dan Bi Hwa memandang pedang itu, terkejut bukan main.

“Toat-beng-kiam....!” Hampir berbareng Siok Lun dan Bi Hwa berseru ketika mereka mengenal pedang itu. “Kau.      kau dari mana mendapatkan pedang itu? Kau curi dari tangan suhu?” Tanya Siok Lun. Akan

tetapi Bi Hwa sudah menjatuhkan diri berlutut sebagai tanda penghormatan kepada pedang itu yang mewakili kehadiran suhunya.

“Phoa Siok Lun, kau sungguh murtad. Setelah melihat pedang pusaka ini, kau masih belum bertutut? Aku menjadi wakil suhu, berhak menghukum setiap orang murid yang menyeleweng, Akan tetapi aku tidak mau membunuhmu, hanya hendak membawamu kepada suhu. Menyerahlah dan lepaskan pedangmu,”

“Ha-ha-ha-ha! Kau mimpi! Kwan Bu, kau. bocah haram! Meskipun kau anak ayah tetapi kau terlahir

dari hubungan gelap, Siapa takut padamu? Biarpun suhu sendiri yang menghalangi urusanku dengan anak pemberontak itu, dia tidak berhak, Apa lagi kau!”

“Phoa Siak Lun! Sekali lagi, apakah kau tidak mau menyerah?” Kwan Bu berkata dengan suara nyaring.

“Suheng, jangan melawan! Engkau sudah menyeleweng, mengaku dan menyerahlah, tentu suhu akan mengampuni dosamu!” tiba-tiba Bi Hwa yang semenjak tadi dia saja berkata sambil berlutut.

“Apa? Siapa menyeleweng? Aku suka kepada nona Bu puteri pemberontak itu, siapa perduli? Aku hendak menghukumnya menurut caraku, siapa akan menghalangiku? Bi Hwa, engkau menyebut suheng lagi kepadaku, apakah engkau tidak mau mengakui aku sebagai calon suamimu? Jangan kau membela bocah kurang ajar ini! ingat, kalau aku tidak mau mengambilmu sebagai isteri, siapa lagi yang sudi? Kau bukan perawan lagi! Dan kau tidak boleh cemburu, kalau menjadi isteriku, apapun yang akan kulakukan, kau harus patuh, Mengerti??” Muka Bi Hwa menjadi pucat sekali dan ia seperti habis ditampar mukanya, Kwan Bu makin marah,

“Phoa Siok Lun, engkau sungguh seorang murid yang sesat. seorang manusia yang berhati busuk..!” “Cerewet!” Siok Lun membentak dan menerjang maju, menyerang Kwan Bu dengan pedangnya,

Kwan Bu sudah siap sedia, cepat ia menggunakan pedang Toat-beng-kiam sehingga tampak sinar merah darah yang menyilaukan mata. Namun Siok Lun adalah seorang sombong dan percaya kepada kelihaiannya sendiri. Dia tidak gentar dan cepat menarik kembali pedangnya yang hendak ditangkis, kemudian merobah gerakan yang tadi membacok leher itu dengan sebuah tusukan kilat ke arah perut Kwan Bu disusul sebuah sodokan dengan jari tangan terbuka yang menyambar dari kiri menuju pelipis lawan. Hebat bukan main gerakan Siok Lun, selain cepat sekali juga mengandung hawa pukulan yang kuat. Kwan Bu bersikap tenang. Tentu saja ia mengenal jurus yang dipergunakan suhengnya untuk menangkis. kemudian memutar tubuhnya dan pedang yang terpental karena benturan itu kini membabat ke atas “memotong” jalan penyerangan tangan kiri Siok Lun.

Siok Lun berseru marah. Ia tadi cepat-cepat menarik lagi pedangnya karena ia masih ragu-ragu dan jerih untuk mengadu pedang keras-keras, maklum bahwa pedang suhunya itu adalah pedang pusaka yang amat ampuh. Dengan kemarahan meluap ia kini menyeruduk maju seperti seekor harimau kelaparan, menyerang dengan ketebalan pedangnya, amat cepat gerakannya untuk menghimpit dan mendesak Kwan Bu sehingga sutenya itu tidak akan mendapat kesempatan untuk balas menyerangnya, Kwan Bu sudah mengenal suhengnya ini, bahwa gerakan suhengnya amat cepat, bahwa ginkang suhengnya amat tinggi, Ketika belajar di bawah pimpinan Pat-jiu Lo-koai dahulu, dalam latihan-latihan mereka, ia hanya dapat mengimbangi ginkang dari suhengnya ini, namun dalam hal kecepatan, ia masih kalah seusap. Selain ini, juga suhengnya itu pandai sekali menciptakan gerakan-gerakan memancing, gerakan- gerakan palsu yang membingungkan lawan. Jurus-jurus yang mereka pelajari, namun dalam penggunaannya Siok Lun pandai menambah gerakan variasi yang mengkombinasikan sebuah jurus dengan jurus berikutnya. Namun, Pat-jiu Lo-koai dapat mengenal murid-muridnya dan kakek ini lebih condong untuk mengangkat Kwan Bu menjadi wakilnya, bukan hanya karena ia lebih percaya akan batin muridnya ini, melainkan juga karena ia tahu bahwa Kwan Bu memiliki ketenangan yang luar biasa, Dan ketenangan inilah yang mengatasi segala kelebihan Siok Lun, Dalam keadaan tenang dan waspada, Kwan Bu tidak dapat diperdaya oleh segala gerak tipu, dan kini ditambah lagi dengan keunggulan pedang pusaka Toat-beng-kiam, Siok Lun sama sekali tidak mampu mendesak sutenya.

Andaikata mereka bertanding dengan dasar pamrih yang sama, yaitu untuk saling membunuh, kiranya Siok Lun takkan dapat bertahan jika Kwan Bu mendesaknya dengan balasan serangan maut, Akan tetapi, Kwan Bu tidak bermaksud membunuh suhengnya. sungguhpun ia berhak melakukan hal ini sebagai wakil suhunya, dan sungguhpun ia amat membenci perbuatan-perbuatan Siok Lun yang tidak patut terhadap Siang Hwi, Ia tidak tega untuk membunuh Siok Lun, selain karena mereka merupakan saudara seperguruan yang semenjak kecil berkumpul di gunung, juga di tambah lagi kenyataan bahwa mereka masih seayah, masih saudara seketurunan! Karena inilah, maka agak sukar bagi Kwan Bu untuk menundukkan suhengnya ini tanpa membunuhnya. Tingkat ilmu silat mereka tinggi, dan kelebihan ketenangan dan pedang pusaka di tangan Kwan Bu diimbangi oleh kelebihan Siok Lun dalam hal ginkang dan gerak tipu,

Untuk menundukkan lawan yang seimbang tanpa mengeluarkan jurus-jurus maut untuk menyerangnya, sungguh merupakan hal yang tidak mudah, Bi Hwa sudah bangkit berdiri, wajahnya pucat sekali, matanya mengeluarkan sinar aneh. wajahnya yang cantik itu mengerikan, seperti wajah mayat hidup dan sesungguhnya dia sudah “mati” di bagian dalam dadanya hatinya sudah hancur lebur dilumatkan ucapan Siok Lun tadi. Dia berdiri bagaikan patung hidup, menonton pertandingan itu dengan penuh perhatian. Ketika dua orang pemuda perkasa itu tengah bertanding ramai- ramainya, muncul pula Siang Hwi dan Giok Lan. Dengan susah payah tadi Giok Lan membebaskan totokan di tubuh Siang Hwi dan setelah berhasil, ia cepat mengambil pakaiannya untuk dipakai gadis yang pakaiannya sudah dirobek oleh tangan nakal Siok Lun, Siang Hwi terisak dan berbisik,

“Terima kasih, engkau baik sekali..?”

“Dalam kejadian seperti ini, tak perlu berterima kasih..? jawab Giok Lan yang matanya merah karena banyak menangis.

“Aku khawatir sekali…., mari kita lihat bagaimana jadinya dengan mereka berdua ...!” Siang Hwi mengangguk dan mereka keluar memandang penuh kekhawatiran kepada dua orang muda yang sedang bertanding hebat dan mati-matian itu, Siang Hwi merasa betapa kedua kalinya menggigil, Ia mengkhawatirkan keselamatan Kwan Bu. Ia tahu bahwa kembali Kwan Bu telah menolongnya dan membelanya, bahkan kini pemuda itu membelanya dengan pengorbanan hebat, yaitu dengan menantang suheng dan juga kakak sendiri! Ia tahu betapa besar rasa cinta kasih Kwan Bu kepadanya, dan sekali ini, setelah untuk kesekian kalinya ia menghina pemuda itu, Kwan Bu masih tetap membelanya dengan taruhan nyawa! Kwan Bu yang tadi ia lihat seperti sudah kehilangan gairah hidup, yang sudah putus asa karena tekanan batin hebat.

Kini kembali menjadi penuh semangat hanya untuk membela dirinya! Ia menjadi terharu dan malu kepada diri sendiri. Berhargakah dia ini, yang sudah membikin malu kepada Kwan Bu sampai berkali- kali, untuk dibela seperti itu oleh Kwan Bu? Tidak, ia tidak berharga dan harus malu kepada diri sendiri, Di sudut hatinya, belum pernah ia mencinta seorang pria seperti perasaannya sekarang terhadap Kwan Bu. Hanya Kwan Bu sajalah satu-satunya pria yang pernah dicintanya, yang selalu dirindukannya. Namun, keangkuhannya selalu menolak dan menentang perasaan cinta kasihnya ini! keangkuhannya yang merasa bahwa ia adalah bekas nona majikan pemuda itu, bahwa Kwan Bu hanyalah seorang pelayan, seorang kacung, bahkan seorang anak haram! Semua ini yang membuat ia selalu melawan perasaannya sendiri.

Ketika dua kali ia terbuai dalam pelukan Kwan Bu, merasa nikmat dan penuh bahagia dicium dan membalas ciuman Kwan Bu. pikiran itu pula yang membuat ia memaki dan menjatuhkan fitnah untuk menyembunyikan rasa malunya! Dia benar-benar tidak berharga untuk Kwan Bu dan diam- diam hatinya menangis! Adapun Giok Lan ketika tiba di luar dan melihat pertandingan hebat yang sedang terjadi atara kedua orang kakaknya itu, hanya berdiri terbelalak dan mulutnya terengah- engah penuh kegelisahan. Siok Lun adalah kakak tirinya, seayah lain ibu, juga Kwan Bu adalah kakak tirinya. hal yang amat mendukakan hatinya karena sesungguhnya ia amat mencinta pemuda itu, Kini tak mungkin ia memandang Kwan Bu sebagai seorang kekasih. Namun, melihat kedua orang kakak tirinya itu bertanding, hatinya condong berpihak Kwan Bu.

Bukan karena memang ada perasaan cinta kasihnya. melainkan juga karena ia melihat jelas betapa jahatnya Siok Lun. Ingin ia melerai, ingin ia mencegah mereka saling bunuh, akan tetapi ia tak berdaya karena ilmu pedang mereka itu amat tinggi, gerakan mereka amat cepat sehingga mengikuti gerakan pedang mereka saja ia tidak mampu, yang tampak olehnya hanyalah dua gulungan sinar pedang putih dan merah, yang berkelebatan dan berlingkaran. Pertandingan kini berlangsung dengan hebatnya, mencapai puncak bahaya maut karena masing-masing kini telah mengeluarkan jurus-Jurus simpanan yang paling hebat. Kwan Bu yang masih segan untuk membunuh suhengnya, menjadi terkejut menyaksikan betapa lawannya ini sekarang seratus persen mencurahkan segala daya silatnya untuk menyerang dengan serbuan maut,

Tanpa memperdulikan segi pertahanan dan ini membuktikan kecerdikan Siok Lun. Agaknya Siok Lun maklum akan isi hati sutenya yang ingin merobohkannya tanpa membunuh, dan hal yang merupakan kelemahan besar bagi Kwan Bu ia pergunakan baik-baik, yaitu dengan jalan memperkuat penyerangannya tanpa memperdulikan pertahanan, karena tahu sutenya itu tidak akan membunuhnya! Kwan Bu cepat melindungi tubuhnya dengan sinar pedang sambil memutar otak. Diapun bukan seorang bodoh dan dalam detik-detik berbahaya itu ia mendapat akal yang amat baik. Ketika ujung pedang suhengnya mengancam ulu hati dengan tusukan maut yang amat kuat dan cepat, ia miringkan tubuh, sengaja berlaku lambat sehingga ujung pedang lawan menusuk pangkal lengan kirinya,

Akan tetapi begitu ujung pedang itu amblas menusuk dagingnya, Toat-beng-kiam berkelebat cepat dan terdengar suara keras ketika pedang itu membabat langsung dari samping dengan cepat sekali sehingga pedang di tangan Siok Lun patah menjadi dua! Dalam detik berikutnya selagi Siok Lun terbelalak dan kaget, Kwan Bu menendang lutut suhengnya sehingga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Siok Lun roboh terguling. Tiba-tiba terdengar pekik melengking dan Bi Hwa sudah melompat maju, menubruk ke arah Siok Lun dengan pedang di tangan, Sebelum Kwan Bu sempat mencegah, tahu- tahu pedang itu telah amblas ke dada Siok Lun sampai kegagangnya, dan ujung pedang yang menembus punggungnya! Siok Lun terbelalak memandang wajah Bi Hwa yang berada dekat karena tubuh gadis itu terdorong ke depan setelah pedangnya menembus dada.

“Kau......, ahh......., kau......?” Siok Lun menggerakkan kedua tangannya ke depan, memukul dan terdengar suara “krekkk!” ketika dua tangan yang terbuka jari-jarinya itu menghantam kepala Bi Hwa dengan pukulan yang keras yang mengandung tenaga ginkang terakhir, Kepala gadis itu pecah dan tubuhnya tertelungkup, menindih tubuh Siok Lun. Kedua orang itu dalam keadaan berpelukan karena berkelojotan dalam sekarat, kemudian tak bergerak lagi, keduanya mati dalam berpelukan! “Suheng.... Suci...” Kwan Bu melempar pedangnya dan menubruk maju, berlutut dan menangis, tak memperdulikan bahu kirinya yang mengucurkan darah.

“Koko…!” Giok Lan juga berlutut dan memeluk tubuh kakaknya yang sudah menjadi mayat. Sementara itu, dengan hati penuh keharuan dan penyesalan terhadap diri sendiri, Siang Hwi meninggalkan tempat itu secara diam-diam, mengambil kesempatan selagi Kwan Bu dan Giok Lan terbenam dalam kesedihan dan para pelayan datang berlari-lari menghampiri pekarangan yang banjir darah itu. Ketika jenasah-jenazah itu oleh para pelayan diangkut ke dalam dan mereka sibuk mempersiapkan peti mati dan alat keperluan sembahyang, Giok Lan dan Kwan Bu saling memandang dengan sinar mata sayu. Melihat sinar mata gadis itu yang penuh kedukaan, penuh penderitaan dan kegelisahan, Kwan Bu menelan ludah dan akhirnya dapat mengeluarkan suara,

“Aku....... aku yang menyebabkan kesengsaraanmu” Giok Lan mendekap mukanya dan menangis lagi. Kalau tadi ia menahan, hanya dengan air mata mengalir tanpa suara, kini ia merintih-rintih dan mengguguk. Dicobanya untuk mengeluarkan suara, akan tetapi tidak mampu dan ia hanya menggeleng kepalanya. Kwan Bu teringat-ingat akan Siang Hwi, menengok ke kanan-kiri mencari- cari, maklumlah ia bahwa gadis itupun diam-diam sudah pergi. Hatinya menjadi makin kosong dan ia berkata lagi,

“Aku….. lebih baik membawa pergi jenasah ibuku dari sini.....” Dengan langkah lemas ia pergi meninggalkan Giok Lan yang masih menangis dengan niat hendak membawa jenazah ibunya dan menguburnya di suatu tempat jauh dari situ. Giok Lan menurunkan tangannya yang menutupi muka. memandang terbelalak kemudian menjerit dan menubruk, merangkul kaki Kwan Bu sambil menangis dan berkata tersedu-sedu.

“Kau….. kau kejam....., kau kejam sekali, Eh, koko mengapa engkau sekejam ini kepadaku…..?” Kwan Bu merasa jantungnya seperti ditusuk, Ia pun berlutut dan memegang kedua pundak gadis itu. Melihat wajah yang penuh penderitaan itu, melihat sepasang mata itu bercucuran air mata, dada itu tersedak-sedak, Kwan Bu tak dapat menahan keharuan hatinya. Gadis ini adalah adiknya, adik tiri seayah, Gadis ini tidak berdosa, akan tetapi harus mengalami penderitaan ini semua, Ia merangkul dengan air mata menitik.

“Giok Lan, adikku.   l”

“Koko..! Kasihaniah aku..., aku kehilangan ayah dan kakak... aku ditinggal sendirian. apakah engkau

juga hendak meninggalkan aku. ?” Kwan Bu mempererat rangkulannya,

“Tidak moi-moi, tidak..?” Mereka berangkulan dan bertangisan sehingga para pelayan yang menyaksikan adegan ini ikut bercucuran air mata.

Dengan penuh kedukaan, kedua orang kakak beradik yang sudah kehilangan segaIa-galanya ini hanya mempunyai sedikit hiburan, yang merupakan seutas tali harapan kecil di mana mereka bergantung, yaitu kenyataan bahwa mereka masih memiliki pertalian satu kepada yang lain dalam keadaan sebatang kara itu, mengurus empat jenasah itu menyembahyanginya dan kemudian menguburnya sebagaimana mestinya, Karena Phoa-wangwe adalah seorang hartawan yang terkenal dermawan di kata kam-sin-hu, tentu saja semua itu mengejutkan semua orang dan pemakaman jenasah-jenasah itu dilayat oleh semua penduduk Kam-sin-hu, Setelah pemakaman selesai, kedua kakak beradik ini duduk di ruangan depan, melamun. Keadaan malam hari itu sunyi, para pelayan yang kelelahan telah sore-sore memasuki kamar masing-masing untuk beristirahat. apa lagi karena nona majikan mereka menyatakan tidak mau diganggu lagi, “Lan-moi, sekarang aku terpaksa harus berpamit darimu. Aku akan pergi merantau, mungkin kita takkan bertemu lagi, moi-moi. Kau maafkanlah segala kesalahanku kepadamu. Engkau seorang gadis yang amat baik dan selama hidupku aku akan tetap mengakibatkan engkau menderita dan hidup kesepian dan sengsara.” Wajah yang pucat itu makin melayu, mata yang sudah kehabisan air mata itu memandang sayu sehinga Kwan Bu tidak dapat menahan hatinya dan menunduk. Kemudian terdengar suara Giok Lan yang serak.

“Bu-ko, engkau hendak ke manakah?”

“Entahlah, mungkin merantau... mungkin kembali kepada suhu melaporkan kematian suheng dan suci “

“Kalau begitu, aku akan ikut denganmu, koko!” Ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang mencerminkan ketegasan yang takkan dapat dibantah lagi. Kwan Bu terkejut dan cepat berkata,

“Tidak mungkin, moi-moi. Aku akan ikut suhu dan tidak turun gunung lagi, aku akan menjadi pertapa, menjadi seorang hwesio untuk setiap hari bersembahyang kepada Tuhan dan mohon pengampunan atas segala dosa-dosaku,” Giok Lan membelalakan matanya memandang kakak tirinya ini, yang tadinya merupakan satu-satunya pria yang dicintainya.

“Apa? Engkau menjadi hwesio? Tidak bisa! Tidak boleh! Engkau tidak berdosa, dan.   dan engkau

harus ingat kepada Siang Hwi! Apakah kau hendak menghancurkan pula hatinya. merusak hidupnya dan membasmi pengharapannya?”

“Apa   apa maksudmu?”

“Dia mencintaimu, koko, Mencintaimu dengan setulus hatinya. Ketika aku menolongnya dari keadaan tertotok, ia menangis dan berbisik bahwa dia telah berdosa kepadamu, benar-benar amat mencintaimu, koko, Tidak tahukah engkau akan hal itu?” Kwan Bu menggeleng-geleng kepalanya, tidak percaya dan hatinya menjadi kesal karena terbayanglah pengalaman-pengalamannya dengan Siang Hwi.

“Tak mungkin. Dia memandang rendah kepadaku. dan sudah sepatutnya. aku seorang bodoh, miskin dan. aku seorang anak haram yang hina dina!”

“Koko!” Suara Giok Lan terdengar marah. Agaknya karena penasaran dan mengingat keadaan Kwan Bu. bangkit pula semangat gadis ini. sepasang matanya bersinar-sinar penuh penasaran,

“Jangan sekali-kali kau sebut-sebut tentang anak haram lagi! Engkau bukan anak haram, karena bukankah ayahku, ayah kita, sudah mengakui perbuatannya dan sudah jelas bahwa kau puteranya? Andaikata benar engkau seorang anak haram, seorang anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah, patutkah kalau kau dipandang hina dan rendah? seorang anak yang dilahirkan tidak sah, mengapa dipandang hina? Salahkah anak itu? Salah pulakah Tuhan yang menghendaki anak itu terlahir? Apa dosanya? Apa dosamu sehingga engkau dilahirkan oleh ibumu yang diperkosa ayahmu? yang bersalah adalah ayah, bukan ibumu dan bukan pula engkau. Kalau ada orang-orang yang memandang hina kepada seorang anak haram, maka yang hina adalah orang-orang itu sendiri, munafik yang merasa bersih dan suci, yang merasa lebih pandai daripada Tuhan sendiri! yang terang bersalah adalah ayah, dan untuk kesalahannya itu ayah telah menanggung akibatnya, mengapa orang-orang menghina engkau yang tidak berdosa?” Kwan Bu menarik napas panjang. Ia dapat merasakan tepatnya ucapan adik tirinya ini dan diam-diam dia menjadi kagum. Adiknya ini sama sekali tidak mewarisi watak buruk dan rendah dari ayahnya, agakanya mewarisi watak ibunya. Dan memang harus diakui akan kepicikan pandangan manusia yang sudah menjadi “umum”, padahal pendapat yang timbul dari pandangan sesat itu sesungguhnya menyeleweng dari pada kebenaran.

“Mungkin engkau benar, Lan-moi, Akan tetapi tidak boleh engkau ikut pergi bersamaku. Engkau seorang gadis terhormat, kaya raya dan hidupmu sudah senang sekali di tempat ini. kalau engkau pergi, siapa yang akan mengurus semua harta bendamu? Mengapa mencari kesukaran mengikuti aku yang tidak bercita-cita ini?”

“Kalau engkau merasa aku hidup senang di sini, mengapa engkau mau pergi? Kita adalah kakak beradik. Harta benda yang berada di sini adalah peninggalan ayah, ayah kita! Engkau berhak pula mempergunakan dan menikmatinya, jangan pergi, koko, mari kita hidup berdua di sini sebagai kakak adik,” Kwan Bu menggeleng kepala.

“Terima kasih, moi-moi. Engkau seorang adik yang baik sekali, akan tetapi aku... aku lebih suka merantau” Giok Lan mulai mengangguk.

“Memang, aku pun tahu. Dan karena engkau tidak mau tinggal bersamaku di sini, maka aku memutuskan untuk ikut denganmu. Aku tidak mau berpisah darimu, koko? Giok Lan mulai terisak. Aku...., aku hanya mempunyai engkau seorang. Engkau kakakku, pengganti orang tuaku. , bawalah

aku pergi. kita pergi merantau, dan mencari Siang Hwi ”

“Tidak! Perlu apa mencarinya? Dia sudah tidak sudi kepadaku!” Giok Lan diam saja karena maklum bahwa diam-diam hati kakaknya ini menjadi sakit sekali karena sikap gadis itu yang sudah menyakiti hatinya. Diam-diam ia berjanji hatinya untuk mempertemukan lagi dua hati yang amat saling mencinta itu.

“Baiklah, terserah kemana kau bawa aku pergi merantau, koko, Ah kita pergi ke tempat-tempat ternama dan indah. Kita punya banyak uang, untuk apa kalau tidak menikmati hidup? Kita naik dua ekor kuda yang hebat. kuda pilihan, membawa bekal emas dan perak. kita bersenang-senang, koko dan tidak mencampuri lain urusan yang memusingkan kepala.”

Tak mungkin Kwan Bu dapat menolak lagi dan tiga hari kemudian, berangkatlah dua orang kakak beradik ini menunggang kuda setelah Giok Lan menyerahkan perawatan rumah gedungnya kepada para pelayan yang setia. Seperti biasa. sekali ini pun Giok Lan berpakaian seperti seorang pemuda tampan, dan di sampingnya. Kwan Bu juga berpakaian indah sebagai seorang pemuda pelajar. Giok Lan memaksa kakaknya untuk bertukar pakaian yang indah-indah dan untuk menyenangkan hati adiknya dan yang amat menyayanginya itu terpaksa Kwan Bu menurut saja. Benar seperti yang dikatakan Giok Lan setelah melakukan perjalanan merantau dan berpesiar ke tempat-tempat yang terkenal dan indah, hati mereka agak terhibur.

Kasih sayang antara mereka sebagai kakak beradik makin mendalam, terutama sekali bagi Kwan Bu yang selama ini tidak pernah merasakan kasih sayang seorang saudara. Bahkan baru sekali ini, selain ibunya sendiri, Kwan Bu menerima kasih sayang dari orang lain. Kadang-kadang ia merasa kasihan kepada adiknya ini yang seperti juga dia secara “tidak kebetulan” terlahir sebagai anak dari seorang yang tak dapat diakatakan baik seperti Phoa Heng Gu, kepala rampok yang kejam itu. Padahal Giok Lan adalah seorang gadis yang amat baik budi, ramah-tamah, dan tidak pernah mempunyai pikiran yang kotor atau jahat. diam-diam Kwan Bu menduga-duga apakah ibu gadis ini dahulunya menjadi isteri Phoa Heng Gu secara sukarela, ataukah paksaan, seperti yang telah diderita ibunya! Ia tidak meragukan lagi bahwa ibu dari Giok Lan tentu seorang wanita yang cantik dan berbudi,

“Aku tidak ingat lagi riwayat ibuku.” jawab Giok Lan ketika Kwan Bu mengajukan pertanyaan. “Aku hanya ingat bahwa ibuku seorang wanita cantik yang pendiam. Dia meninggal dunia ketika aku masih kecil, Ah, kalau dibandingkan, engkau lebih beruntung daripada aku, koko, Setidaknya, engkau kenyang akan kasih sayang ibu ketika masih kecil.

Kwan Bu hanya menghela napas panjang. Segala pengalaman hidupnya sendiri dan keadaan hidup orang lain yang telah dihadapinya, menjadi pelajaran yang amat baik, keadaan-keadaan yang dapat dilihat dan didengar. sesungguhnya mengandung kebenaran-kebenaran dan pembukaan- pembukaan rahasia akan kehidupan. Giok Lan semenjak kecil hidup berenang dalam laut kemewahan, namun gadis ini mengeluh dan merasa sengsara karena tidak mengenal kasih sayang ibu kandung. Dia sendiri, semenjak kecil kenyang akan kasih sayang ibunya, akan tetapi seperti halnya Giok Lan tak dapat menikmati segala kecukupannya,

Ia pun tidak dapat menikmati kenyataan ini dan selalu merasa sengsara karena hidup sebagai orang miskin dan merasa nelangsa karena dicap sebagai anak haram yang hina! Di manakah rahasianya kebahagiaan dalam limpahan harta benda. Dalam cinta, Juga bukan, buktinya Bi Hwa tersiksa hatinya oleh cinta, dan dia sendiri pun telah merasai pahitnya cinta, Segala sesuatu yang terjadi dan yang menimpa diri, apa bila merugikan diterima dengan kecewa dan berduka, sebaliknya apa bila menguntungkan diterima dengan puas dan gembira, Padahal, setiap manusia pasti akan mengalami hal-hal yang bertentangan ini, kadang-kadang merugikan dan kadang-kadang menguntungkan. Tak mungkin selalu menguntungkan lahir ataupun batin, Jadi, di manakah letaknya bahagia? Selama manusia masih terseret ke lingkaran yang tiada putusnya ini,

Masih menarik garis perbedaan antara rugi dan untung. tidak akan ada bahagia sejati baginya! Bahagia yang abadi dan sejati hanya akan dinikmati oleh mereka yang telah dapat menghapus garis pemisah antara untung dan rugi, antara susah dan senang, antara puas dan kecewa, Betapa hal ini dapat dilaksanakan? Dapat, dan syaratnya adalah penyerahan! Penyerahan mutlak dan bulat dengan penuh kesukaran bahwasannya segala sesuatu, baik maupun buruk, yang dianggap menguntungkan atau merugikan, yang menimpa kepada manusia, adalah hal yang wajar dan sudah semestinya demikian! Kesadaran yang mendatangkan keyakinan ini akan menciptakan kebulatan penyerahan kepada kekuasaan Tuhan, dan barang siapa sudah berhasil menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan,dialah orang-orang yang benar bahagia!

“Lan-moi, sesungguhnya kalau aku merenungkan kembali segala pengalamanku, aku lebih condong untuk mencontoh guruku, Pat-jiu Lo-koai, menjauhkan diri dari pada keramaian dunia yang diakibatkan sepak terjang manusia, betapa bersama suhu di puncak Pek-hong-san. Akan tetapi mengingat adanya engkau di dunia ini yang sebatang kara, hatiku tidak tega, moi-moi, Biarlah kalau kelak engkau menemukan jodohmu, ada seorang pria yang menjadi sandaran hidupmu, aku akan pergi menyusul suhu.” Giok Lan adalah seorang gadis yang tidak saja pandai ilmu silat, namun pandai pula tentang sastera dan filsafat. Biarpun Phoa Heng Gu seorang bekas kepala rampok. akan tetapi setelah menjadi hartawan yang terhormat, ia menyuruh anak-anaknya mempelajari bun (sastera) dan bu (silat). Mendengar ucapan Kwan Bu, Giok Lan menjadi merah mukanya dan tersenyum,

“Bu-ko. engkau tahu akan isi hatiku, mana mungkin bicara tentang jodohku? Kalau di dunia ini ada seorang pemuda yang seperti engkau, atau setidaknya hampir menyamaimu, mungkin aku akan berpikir tentang jodoh! Sekarang lebih baik tentang keinginanmu menjadi seorang pertapa, Koko, apakah kau menganggap baik dan tepat kalau orang mengasingkan diri dari dunia yang ramai dan menjadi pertapa?” “Tentu saja baik!”

“Bagaimana baiknya? Apakah kebaikannya?”

“Banyak sekali! Di antaranya, menjauhkan diri dari dunia ramai, tidak mencampuri urusan dunia berarti menjauhkan diri daripada perbuatan yang merugikan orang lain,”

“Ah, pendapat itu tersesat, koko. Perbuatan tetap perbuatan, baik dan buruknya tergantung si pembuat. Kalau perbuatan dihentikan sama sekali, apa gunanya bagi manusia dan dunia? Seperti sebuah pisau, kalau dipergunakan untuk kebaikan tentu bermanfaat, kalau dipergunakan untuk keburukan menimbulkan kejahatan, terserah kepada dia yang menggunakan atau si pembuat, Akan tetapi kalau dibuang begitu saja sampai hancur berkarat. apa gunanya? Apakah gunanya dibikin pisau itu? Apa gunanya manusia dilahirkan kalau hanya untuk diasingkan tanpa ada manfaatnya sama sekali? Apa gunanya orang mengasingkan diri sendiri maupun untuk orang lain?”

“Wah, kalau pendapatmu seperti itu, berarti kau menyerang kaum pertapa yang suci, moi-moi! Setidaknya, mengasingkan diri sambil bertapa seperti itu dapat menjauhkan segala godaan nafsu..?

“Picik lagi pendapat ini. Nafsu tak dapat terpisah dari badan yang kita bawa ke manapun juga badan kita pergi. Perbuatan dan sifat pengecut kalau kita melarikan diri dari pada hal-hal yang dianggap godaan nafsu. hal di luar itu sudah wajar, menggoda atau tidak tergantung kita sendiri. Biarpun menjauhkan segala macam benda di dunia ini, kalau kita masih menjadi hamba nafsu. ke manapun kita pergi kita tidak akan terbebas daripada godaannya, dari pada cengkeramannyai. Sebaliknya, biarpun kita dikelilingi oleh segala macam maksiat, kalau kita sudah dapat menguasai nafsu kita sendiri, kita akan tetap aman dan tak mungkin dapat tergoda. Sesungguhnya bukanlah perbuatan maksiat yang tampak itu yang menjatuhkan seseorang, melainkan nafsunya sendiri, Dan orang tak mungkin dapat melarikan diri dari nafsu, melainkan harus menundukkannya dan mengendalikannya, seperti orang menundukkan dan mengendalikan seekor kuda liar, sehingga kuda yang tadinya binal dan berbahaya itu berubah menjadi kuda yang jinak dan berguna bagi kemajuan duniawi,” Kwan Bu terbelalak.

“Waduh, engkau hebat, moi-moi. Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutmu, seolah-olah aku mendengar wejangan seorang ahli tapa dan seseorang bijaksana saja,” Gadis itu tersenyum manis.

“Aku hanya meniru-niru, koko, Meniru dari kitab-kitab yang pernah kubaca, hanya aku lupa lagi apa namanya kitab yang mengandung filsafat ini.”

“Akan tetapi itu baik sekali, moi-moi. Filsafat merupakan pelajaran yang amat berguna bagi siapa saja, karena pengertian itu seolah-olah menjadi tongkat bagi kita agar jangan mudah tersesat dan tergelincir di jalan kehidupan yang amat rumit dan licin.”

“Kita belum selesai, koko, Coba kemukakan lagi kebaikan daripada bertapa mengasingkan diri dari dunia ramai.”

“Tentang menjauhkan godaan nafsu sudah kau bantah. Sekarang kebaikan lainnya. Dengan menjauhkan diri dari pergaulan ramai, orang terhindar daripada bahaya penularan maksiat. Pergaulan dapat menyeret manusia ke dalam lembah kesesatan sehingga kalau menyendiri di tempat sunyi, bahaya itu tidak ada dan si pertapa akan tetap bersih. Bagaimana pendapatmu?” “Tidak begitu! Memang harus diakui bahwa pergaulan mempunyai pengaruh yang besar, akan tetapi pengaruh ini hanya dapat menyeret orang yang memang hatinya lemah! Yang penting adalah dasar pribadinya sendiri. kotoran tetap kotor biar dicampurkan dengan segudang mutiara, tetap merupakan kotoran. Sebaliknya, mutiara tetap mutiara, biar dicampurkan dengan segudang kotoran. tetap merupakan mutiara! Dasar pribadi yang kuat menjadi landasan, ditambah dengan kebijaksanaan sebagai manusia sadar yang tentu saja tidak akan menggauli golongan yang kotor! Biarpun tinggal di dunia ramai, di antara banyak orang jahat, namun dia yang batinnya bersih tetap waspada akan setiap perbuatannya. Sebaliknya, biar tinggal seorang diri di puncak gunung, kalau hatinya kotor tetap saja akan bergelimang dengan pikiran dan perbuatan kotor!”

“Wah, kau terlalu keras terhadap orang-orang yang biasa bertapa moi-moi!”

“Keliru, koko, bukan terhadap orang pertapa, melainkan terhadap orang yang munafik, yang ingin dianggap bersih namun sesungguhnya, batinnya sekotor isi perutnya!” Kwan Bu tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa semenjak mereka meninggalkan kata Kam-sin-hu, Mereka melanjutkan perjalanan! Mengeprak kuda tunggangan mereka yang membalap keluar dari hutan yang teduh itu, dan jalan itu mulai menanjak memasuki daerah perbukitan.

“Kita harus cepat-cepat agar jangan kemalaman di jalan, moi-moi. Kurasa di depan tentu ada sebuah dusun di mana kita akan dapat rnenginap,”

“Baiklah, koko. Menginap di dusun, dalam sebuah rumah tentu lebih hangat, biarpun bagi orang- orang seperti kita ini apa sih halangannya menginap di tepi jalan dan di bawah pohon-pohon, bertilam rumput, beratap langit sambil menikmati kehangatan api unggun dan menikmati pula nyanyian burung malam, kerik jangkerik dan desir angin lalu diantara daun pohon?”

“Ha-ha-ha, engkau tidak sadar bahwa kenikmatan seperti itulah yang menarik para pertapa yang mengasingkan diri!” Gibk Lan hanya tersenyum akan tetapi Bhe Kwan Bu berkata,

“Ah, di depan adavorang…..!” Giok Lan juga menghentikan kudanya dan keduanya lalu minggirkan kuda karena tampak ada serombongan orang berjalan kaki dari depan. Dari jauh kelihatan betapa serombongan orang itu telah tiba dekat, Kwan Bu mengeluarkan seruan tertahan dan melompat dari kuda, diikuti oleh Giok Lan. Mereka melihat bahwa ada seorang pemuda diantara mereka, pemuda ini bukan lain adalah Kwee Cin! Yang mengagetkan hati mereka adalah ketika mereka melihat bahwa leher Kwee Cin dikalungi belenggu, sedangkan rantai panjang dari belenggu itu dipegang ujungnya oleh seorag kakek yang mereka kenal karena kakek ini bukan lain adalah Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong, suheng dari Bu Taihiap, tokoh Bu-tong-pai dan tentu dianggap sebagai seorang murid yang murtad ketika Kwee Cin menggunakan akal menyelamatkan Kwan Bu dan Giok Lan tempo hari! Kwan Bu segera menghadang di tengah jalan, sedangkan Giok Lan cepat mengikat dua ekor kuda mereka pada sebatang pohon, kemudian bersiap-siap pula. jantungnya berdebar tegang dan ia maklum bahwa mereka berdua harus menolong Kwee Cin yang pernah menolong mereka. Bahkan, malapetaka yang saat ini menimpa diri Kwee Cin adalah akibat daripada pertolongan prmuda itu kepada mereka tempo hari.

“Berhenti! Harap cuwi suka membebaskan saudara Kwee Cin atau terpaksa aku berlaku kurang ajar dan menggunakan kekerasan!” kata Kwan Buvdengan suara tegas, Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong dan rombongannya berhenti, kemudian dengan dengan tenang Lauw Tik Hiong menoleh kekanan dan berkata dengan suara penuh hormat,

“Susiok (paman guru) inilah dia Bhe Kwan Bu, pemuda hina itu, Dan gadis itu adalah adik dari Phoa Siok Lun si anjing penjilat!” Kwan Bu dengan terkejut dan cepat menoleh ke kanan. Orang yang menjadi paman guru Hek I Kim Hiap itu adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun, berpakaian sebagai seorang tosu, tubuhnya tinggi kurus dan tangannya memegang sebatang tongkat bambu yang butut. Pakaiannya juga butut dan rambutnya putih digelung ke atas itu ditutupi sebuah caping yang lebar, sikapnya tenang dan pandang matanya tajam,

Kwan Bu maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh besar Bu-tong-pai. seorang yang menjadi paman guru Lauw Tik Hiong, juga paman guru Bu Taihiap, tentu memiliki tingkat ilmu kepandaian yang tinggi. Namun, dalam tekadnya untuk menolong Kwee Cin, ia tidak menjadi gentar menghadapi kakek tosu itu dengan sikap waspada. Memang tepat dugaan Kwan Bu bahwa kakek itu bukanlah orang sembarangan. Dia ini merupakan tokoh Bu-tong-pai yang terkenal, karena dia itu adalah Loan Khi Tosu, orang kedua di Bu-tong-pai setelah ketua Bu-tong-pai yang telah terkenal diseluruh dunia kang-ouw bahwa Bu-tong-pai merupakan sebuah partai persilatan yang berdisiplin, keras dan memegang teguh peraturan, disamping terkenal pula sebgai golongan yang menamai dirinya pejuang, yaitu mereka yang anti kaisar.

Karena kedisiplinan inilah mengapa kini seorang tokoh tua dan penting seperti Loan Khi Tosu sampai turun tangan sendiri dalam penangkapan atas diri Kwee Cin yang dianggap sebagai seorang penghianat dan murid murtad dari Bu-tong-pai. Kakek ini sudah mendengar penuturan Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong tentang keadaan perjuangan pada masa itu, mendengar pula atas kekejaman murid Pat-jiu Lo-koai bernama Phoa Siak Lun yang telah menjadi pembantu kaisar. betapa pemuda ini selain telah merobohkan banyak pejuang juga memperlakukan pejuang-pejuang wanita secara keji dan hina, memperkosa wanita memperkosa mereka lalu memberikan tawanan-tawanan wanita itu kepada anak buah pengawal untuk diperkosa dan dipermainkan banyak orang sampai mati!

Karena inilah, kakek ini turun tangan sendiri, apa lagi ketika mendengar bahwa murid keponakannya ini tadinya telah berhasil menawan Phoa Giok Lan adik perempuan pemuda jahat itu juga menawan Bhe Kwan Bu, seorang pemuda lain yang menjadi sute Phoa Siok Lun, kemudian betapa mereka telah dibebaskan oleh Kwee Cin yang mengkhianati dan murtad terhadap perguruan, Kini, mendengar bahwa pemuda yang bermata tajam dan bersikap tenang yang kini menghadang rombongannya itu adalah Bhe Kwan Bu, sedangkan gadis berpakaian pria itu adalah adik kandung Phoa Siok Lun, kakek itu mengangguk-angguk. Sebetulnya kemarahan bergejolak di dalam rongga dadanya, akan tetapi sebagai seorang yang memiliki batin yang kuat, kakek ini sama sekali tidak kelihatan marah, bahkan tersenyum dan matanya memandang tenang.

“Siancai... di dunia bermunculan orang-orang muda yang berilmu tinggi! orang muda, apakah engkau murid Pat-jiu Lo-koai juga?” Bhe Kwan Bu merasa tidak enak sekali bahwa sekarang agaknya ia terpaksa harus menentang orang-orang Bu-tong-pai yang terkenal sebagai perkumpulan silat besar dan menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Ia cepat mengangkat kedua tangan di depan dadanya terhadap tosu tua itu dan berkata,

“Tidak keliru pertanyaan totiang. Saya memang bernama Bhe Kwan Bu dan murid termuda suhu Pat- jiu Lo-koai.”

“Heh-heh, sungguh bagus sekali Pat-jiu Lo-koai! Beginikah dia mendidik murid-muridnya? Menjadi penjilat golongan penindas. perusak tata susila, lancang mencampuri urusan dalam perkumpulan lain?”

“Harap totiang suka maafkan. Suhu tidak ikut-ikut dalam hal yang dilakukan murid-muridnya. Karena itu harap jangan membawa-bawa nama suhu karena hal itu amat tidak adil. Setiap perbuatan yang dilakukan seseorang adalah tanggung jawab si orang itu sendiri, tidak semestinya menyalahkan guru, atau orang tua, maupun langit dan bumi!” Loan Khi Tosu memandang tajam lalu menggeleng- gelengkan kepala dan berkata perlahan.

“Orang muda yang menjadi keras karena banyak menderita! Bhe Kwan Bu apakah dengan pendapatmu itu kau mau mengatakan bahwa perbuatanmu sekarang ini pun atas tanggung jawabmu sendiri?”

“Tentu saja. totiang. Segala yang saya lakukan akan saya pertanggungjawabkan sendiri.” jawab Kwan Bu dengan tenang.

“Bagus, pinto (aku) bertanya demikian hanya untuk menjaga agar kelak Pat-jiu Lo-koai tidak akan menganggap pinto seorang tua tak tahu diri menindas yang muda. Nah, Bhe Kwan Bu. sekarang katakanlah apa kehendakmu menghadang rombongan Bu-tong-pai sekarang ini?”

“Maaf, totiang.” Sesungguhnya diantara Bu-tong-pai dan saya tidak ada permusuhan sesuatu, juga saya tidak sekali-kali berani mencari permusuhan dengan Bu-tong-pai. Akan tetapi, karena melihat bahwa saudara Kwee Cin menjadi tawanan totang. maka terpaksa saya memberanikan diri untuk mohon kebebasan bagi saudara Kwee Cin itu.”

“Susiok, harap jangan terlalu merendahkan diri melayani seorang bodoh sombong macam ini!” Tiba- tiba Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong berkata, kemudian menoleh kepada Kwan Bu membentak.

“Heh bocah sombong! Bicaramu halus akan tetapi mengandung kepalsuan. Kwee Cin ini adalah seorang anak murid Bu-tong-pai, Karena pergaulannya dengan orang seperti engkau maka dia sampai berani menyeleweng mengkhianati perguruannya sendiri dan menjadi murid murtad. Kami dari Bu-tong-pai kini turun tangan terhadap anak murid sendiri, ada sangkut pautnya apakah dengan engkau? Engkau terang-terangan menghadang dan hendak merampas anak murid Bu-tong-pai, masih berkata dengan halus tidak ingin bermusuhan, Masih bocah sudah suka bicara plintat-plintut macam ini. Tidak akan malukah yang menjadi gurunya?” Wajah Kwan Bu menjadi merah sekali. Tentu saja dia sendiripun tahu bahwa dalam hal ini. mengenai Kwee Cin, dia berada di pihak yang salah. Memang tidak patut sekali kalau ia mencampuri urusan dalam partai besar seperti Bu-tong- pai.

“Kwan Bu, dan juga engkau, nona, kuminta dengan sangat sukalah mundur saja dan jangan mencoba mencampuri urusan Bu-tong-pai. Aku ditangkap oleh susiok-kong karena memang bersalah dan aku bersedia mengakui kesalahanku di depan pengadilan Bu-tong-pai. Harap jiwi (kalian berdua) jangan melibatkan diri. Terutama engkau, nona Giok Lan..?”

Biarpun mulutnya berkata demikian namun baik Kwan Bu maupun Giok Lan maklum bahwa di dalam hatinya Kwee Cin sengaja mengeluarkan kata-kata demikian hanya untuk melindungi mereka berdua karena agaknya Kwee Cin khawatir bahwa bentrokan antara mereka dengan pihak Bu-tong-pai yang diperkuat oleh tosu itu amat membahayakan keselamatan Kwan Bu dan Giok Lan. Kalau Kwan Bu menjadi merah mukanya karena merasa salah, sebaliknya Giok Lan menjadi marah sekali mendengar ucapan Lauw Tik Hiong yang kasar, Ia melangkah maju, menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek Bu-tong-pai itu sambil berkata.

“Eh, kau orang tua kalau bicara seenak perutmu sendiri saja! Aku mendengar julukanmu adalah Hek I Kim Hiap. Pendekar Pedang Baju Hitam, ternyata yang hitam bukan hanya bajumu, melainkan juga pikiran dan hatimu. Sedangkan julukan pendekar hanya menjadi hiasan belaka untuk menjual tampang. Aku mendengar pula bahwa Bu-tong-pai adalah perkumpulan orang-orang gagah yang menyebut diri pendekar-pendekar, Sekarang aku hendak bertanya, apa sih artinya pendekar kalau sikapnya seperti kalian ini? bukankah pendekar itu orang-orang gagah yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan yang selalu turun tangan membela orang-orang lemah yang tak berdosa tertindas oleh mereka yang kuat dan sewenang-wenang? Bukankah pendekar itu orang yang tidak mengingat akan jasanya, melainkan selalu ingat akan budi orang lain, Kalian hendak mencelakai dan menghina seorang wanita seperti aku, hanya karena kebetulan aku ini adik kandung mendiang kakakku Phoa Siok Lun, Kalian juga memusuhi kakak Kwan Bu hanya karena menuduh dia bersekongkol dengan orang-orangnya kerajaan tanpa penyelidikan lebih dahulu!”

“Perempuan rendah bermulut lancang!” Hek I Kim Hiap membentak dan begitu tangannya bergerak sebatang pedang telah berada di tangan itu dan sinar terang dari pedang yang berkelebat menyambar menyilaukan mata. Sinar pedang itu berkelebat ke arah Giok Lan,

“Trannggg..!!” Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong terkejut sekali dan cepat menarik kembali pedangnya.

“Trakkkk!”.Juga Kwan Bu menarik pedangnya yang tadi menangkis pedang Hek I Kim Hiap akan tetapi pada detik berikutnya telah membalik oleh benturan tongkat bambu tosu tua yang entah kapan tahu-tahu telah menggerakkan bambunya itu dengan kekuatan dahsyat sehingga membuat tangan pemuda ini tergetar hebat.

“Siancai... kulihat pedangmu bersinar merah..?” Lian Khi Tosu mengangguk-angguk dan memandang ke arah gagang pedang Kwan Bu yang kini telah menyimpan kembali pedangnya. Biarpun tangkisan bambu itu tadi mengejutkannya, namun gerakan Kwan Bu mencabut pedang, menangkis dan menyimpannya kembali amatlah cepatnya sehingga yang tampak tadi hanyalah sinar merah seperti darah, Kalau tosu tua itu dapat mengenal pedang itu, hal ini membuktikan betapa tajam pandang mata kakek tokoh Bu-tong-pai ini, hingga Kwan Bu juga diam-diam menjadi kagum,

“Orang muda, bukanlah pedangmu itu pedang suhumu, pedang penuh dosa bergelimang darah manusia milik Pat-jiu Lo-koai yang disebut Toat-beng-kiam?” Panas juga hati Kwan Bu mendengar betapa pedangnya, pedang pemberian suhunya yang dianggapnya pedang keramat, dianggap oleh tosu ini pedang penuh dosa dan bergelimang darah manusia, Maka dengan suara tenang dan sikap dingin ia menjawab.

“Tidak salah. totiang. Pokiam (Pedang Pusaka) Toat-beng-kiam pemberian suhu ini adalah pedang yang bergelimang dengan darah manusia-manusia berdosa!”

“Hemm..!” Tosu itu mengelus jenggotnya.

“Kalau Pat-jiu Lo-koai sudah memberikan pedangnya padamu, tentu kepandaianmu sudah boleh juga,” ia menoleh pada Lauw Tik Hiong dan berkata dengan suara menegur. “Tidak perlu mempergunakan kekerasan sebelum pinto bicara,”

“Hik-hik, tampak belangnya sekarang. Masih ada pendekar gagah demikian kejam, darah dingin begitu saja hendak memenggal kepala seorang gadis tanpa memberi gadis itu kesempatan untuk bicara? Eh. pendekar pedang berpakaian dan berhati hitam! Apakah kau takut kalau rahasia busukmu kubongkar di depan paman gurumu?”

“Nona muda, mulutmu lebih tajam dari pada pedang pemberian suhu ini,” kata Loan Khi Tosu sambil memandang Giok Lan, “Tidak ada rahasia busuk pada anak murid Bu-tong-pai yang terdiri dari pada patriot-patriot sejati. Hayo katakan apakah maksudmu tadi menyatakan bahwa anak murid Bu-tong- pai hendak menghina seorang wanita muda seperti engkau?” “Totiang yang baik. Totiang adalah seorang tua yang pantas menjadi kakekku, amatlah baik kalau aku tidak bicara dan totiang tidak percaya. Karena itu, harap kau orang tua suka bertanya kepada murid keponakanmu ini, si pendekar pedang berjantung hitam. apakah yang ia lakukan terhadap aku ketika dia berhasil menawan aku dan menawan pula ibu kakak Kwan Bu, Mari kita dengarkan bersama dan harap totiang yang bijaksana dapat mempertimbangkan, apakah patut dia memakai julukan pendekar dan menganggap kami ini orang-orang jahat dan rendah.”

“Nona Phoa.... kuminta, harap nona meninggalkan tempat ini, demi keselamatanmu sendiri...!” Kwee Cin kembali berkata dan tosu tua itu menjadi marah lalu membentak,

“Tutup mulutmu, murid-murtad! Kiranya engkau tergila-gila lagi kepada gadis bermulut tajam ini!” Kwee Cin menundukkan mukanya yang menjadi merah, akan tetapi tiba-tiba ia mengangkat mukanya memandang wajah kakek guru itu dengan penuh keberanian dan terdengarlah suaranya lantang,

“Benar, susiak-kong. Saya mencinta nona ini. Adakah hal melanggar peraturan Bu-tong-pai?” Sunyi senyap setelah pemuda itu mengeluarkan isi hatinya dengan ucapan singkat ini. bahkan Giok Lan sendiri yang biasanya lincah jenaka dan pandai berkelakar, penuh keberanian, kini memandang pemuda tawanan itu dengan muka sebentar pucat sebentar merah.

Para murid Bu-tong-pai memandang gelisah antara pemuda tawanan itu dan Giok Lan, sedangkan Loan Khi Tosu mengelus jenggotnya dengan pandang mata melamun. Teringat ia akan peristiwa yang menimpa dirinya di masa mudanya, Dahulu, Bu-tong-pai merupakan perkumpulan yang dipimpin oleh para tosu dan ketika ia masih muda, terdapat peraturan bahwa para anak murid Bu-tong-pai tidak boleh jatuh cinta kepada wanita, apalagi menikah. Dan dia telah bertemu dengan seorang gadis, jatuh cinta kepada gadis itu, akan tetapi ditentang oleh pimpinan Bu-tong-pai sehingga hubungan cinta kasih mereka terputus. Inilah sebabnya, setelah menduduki tempat sebagai wakil ketua, ia bersama suhengnya, Thian Khi Tosu kini menjadi ketua Bu-tong-pai, telah menghapuskan peraturan itu dan anak murid Bu-tong-pai, boleh menikah, dan tentu saja boleh jatuh cintai.

“Tidak, dalam hal itu engkau tidak melanggar peraturan.” katanya perlahan seolah-olah berkata kepada dirinya sendiri. Kemudian ia menoleh ke arah Hek I Kim Hiap Lauw Tik Hiong dan berkata.

“Lauw Tik Hiong, coba ceritakan, apalagi yang kalian lakukan terhadap nona ini ketika dia kalian tawan?”

“Susiok, teecu (murid) sama sekali tidak melakukan hal-hal yang rendah, melakukan sesuai dengan tugas teecu sekalian sebagai pejuang dan sebagai anak murid Bu-tong-pai yang menjunjung kegagahan, Karena Kwan Bu telah menyebabkan banyak pejuang tewas maka untuk membekuknya dengan mudah, terpaksa teecu menawan ibunya yang sama sekali tidak teecu ganggu dan memaksanya menyerahkan diri. Adapun mengenai diri gadis ini, karena dia adalah adik kandung Phoa Siok Lun, teecu tawan pula dan setelah Kwan Bu menyerahkan diri, juga akan teecu bebaskan. Tentu saja tidak membebaskannya begitu saja sebelum memberi hukuman yang layak mengingat akan kejahatan kakaknya, Akan tetapi teecu sama sekali tidak melukainya.” Loan Khi Tosu memandang Giok Lan sambil berkata,

“Nona, biarpun mulutmu tajam melancarkan fitnah, akan tetapi pinto tidak melihat sesuatu kesalahan dalam perlakuan murid-murid Bu-tong-pai terhadap dirimu.”

“Apa? Wah, kalau cara totiang mengadili perkara seperti ini, hanya mendengarkan keterangan palsu sebelah pihak, dunia ini akan penuh dengan perkara-perkara penasaran! Eh. Hek-sim Kiam-hiap (Pendekar Pedang Berhati Hitam), mengapa engkau tidak menceritakan betapa ketika aku tertawan dan dibelenggu engkau menggunakan pedangmu yang lihai itu untuk merobek bajuku, dengan matamu beringas dan liar penuh kecabulan? Mengapa tidak kau ceritakan betapa ujung pedangmu sudah siap merobek pula celanaku untuk menelanjangi bulat-bulat diriku? Kalau tidak muncul saudara Kwee Cin yang merasa muak menyaksikan perbuatan tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang hina dan kemudian dengan siasat membebaskan aku dan kakak Kwan Bu siapa yang akan menanggung bahwa engkau akan melakukan hal yang lebih menjijikan lagi? Hayo jawab!” Wajah Lauw Tik Hiong menjadi pucat dan para murid Bu-tong-pai menundukkan muka mereka yang menjadi merah sekali. Loan Khi Tosu mengerling ke arah murid-murid itu dan tosu ini menggerak-gerakan alisnya, matanya mengeluarkan sinar merah,

“Lauw Tik Hiong, benarkah apa yang dikatakan nona ini?” Pertanyaan tosu itu terdengar halus dan tenang, namun mengandung suara dingin yang mengerikan sehingga pendekar pedang berbaju hitam itu menjadi makin pucat. Kakek ini, yang usianya sudah enam puluh tahun dan yang sesungguhnya melakukan hal atas diri Giok Lan semata-mata berdasarkan kemarahan dan sakit hatinya terhadap Siok Lun, merasa tersudut oleh cara gadis itu bicara.

“Susiok, teecu tidak akan menyangkal akan terjadinya hal itu. Akan tetapi teecu percaya bahwa susiok akan dapat menyelami perasaan teecu mengingat akan kejahatan kakak kandungnya terhadap wanita tawanan, Dalam kemarahan hati, teecu melakukan hal itu semata-mata untuk membalas penghinaan yang dilakukan kakaknya terhadap banyak wanita. Teecu hanya ingin membikin malu dia...”

“Wah, lidah tak bertulang! orang she Lauw, mengapa engkau tidak mengatakan bahwa memang engkau yang sudah tua ini masih berhati muda dan kotor, bahwa memang ingin melihat aku bertelanjang di depan matamu?” Kemarahan Lauw Tik Hiong tidak dapat ia tahan-tahan lagi. Matanya terbelalak dan sambil memaki,

“Perempuan hina!”la sudah menerjang maju dengan pedangnya, cepat sekali seperti serangan pertama tadi.

“Murid celaka!” Loan Khi Tosu berseru, tongkat bambunya bergerak ke depan dan terdengar bunyi “krek! krek!” disusul dengan robohnya tubuh Lauw Tik Hiong yang pedangnya terlempar dan lengan kanannya patah bagian tulangnya di dua tempat! Kakek ini memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya, wajahnya pucat ketika memandang kepada susioknya,

“Angkat dia ke pinggir!” seru Loan Khi Tosu kepada murid-murid yang lain, Para murid Bu-tong-pai segera menggotong tubuh Lauw Tik Hiong ke pinggir dan berusaha mengobati tangan yang patah- patah itu. Kini dengan sikap angkuh Loan Khi Tosu menghadapi Kwan Bu dan Giok Lan yang masih terkejut menyaksikan bahwa tokoh Bu-tong-pai ini memberi hukuman secara tegas sekali kepada muridnya, Suara kakek ini dingin ketika berkata.

“Kalian telah melihat sendiri betapa Bu-tong-pai mengunakan disiplin yang keras terhadap murid- muridnya yang bersalah, melawan dan berkhianat kepada Bu-tong-pai, dia harus dihukum yang akan dijatuhkan sendiri oleh ketua kami, nah, pinto menganggap urusan ini selesai. kalian boleh pergi dari sini, asal kelak tidak menghalangi perjuangan, pinto akan melupakan nama kalian,”

“Saudara Kwee Cin harus dibebaskan!” Seru Giok Lan dan wajah gadis ini berubah pucat ketika ia memandang ke arah Kwee Cin. Pemuda itu secara terang-terangan menyatakan cinta kepadanya, dan harus ia akui bahwa pemuda itu telah pula menolongnya. Sekarang pemuda itu menghadapi bencana, bagaimana mungkin ia mendiamkan saja? Ketika melihat betapa mata pemuda itu memandangnya dengan penuh rasa terima kasih dan amat mesra, wajah gadis ini menjadi merah sekali dan ia menundukkan mukanya. Kwan Bu menggerakkan kakinya maju selangkah menghadapi kakek Bu-tong-pai itu. Sikapnya tetap menghormat dan tenang, sungguhpun dia tahu bahwa sekali ini dia harus berani menentang segala bahaya untuk menyelamatkan Kwee Cin. Ia tahu bahwa yang ia hadapi bukan orang sembarangan, dan bahwa dalam urusan ini seolah-olah dia menjadi pelanggar peraturan partai besar, juga dia mencampuri urusan dalam Bu-tong-pai. Akan tetapi, mengingat akan kebaikan-kebaikan Kwee Cin, dia siap untuk mengorbankan apa saja untuk menolong sahabatnya itu.

“Maaf, totiang. Saya mengerti bahwa urusan saudara Kwee Cin dengan totiang adalah urusan antara guru dan murid dalam lingkungan Bu-tong-pai dan bahwa tidak ada orang lain boleh mencampurinya. Saya pun tidak akan berani mencampuri urusan dalan dari Bu-tong-pai Akan tetapi, hendaknya totiang juga memahami keadaan saya sebagai seorang yang tahu akan budi, tahu pula bahwa budi harus dibalas, karena inilah pendirian seorang yang menjunjung tinggi kegagahan,”

“Susiok. harap jangan sampai terkena bujuk bocah itu!” Tiba-tiba Lauw Tik Hiong berseru keras. Pendekar Pedang Baju Hitam ini sudah bangkit berdiri, lengan kanannya sudah dibalut dan diobati dengan obat penyambung tulang. Wajahnya masih pucat akan tetapi pandang matanya bersinar- sinar penuh kemarahan terhadap Kwan Bu dan Giok Lan.

“Teecu mengenal betul dia ini, banyak mendengar tentang dia. Dia dahulu adalah kacung sute Bu Keng Liong dan menurut berita yang teecu dengar. dia ini adalah seorang anak haram! seorang anak haram mana ada harga untuk berunding dan berdebat dengan susiok? dia seorang anak haram yang durhaka, tidak mengenal budi. Setelah sejak bayi bersama ibunya sampai besar setiap hari makan nasi Bu-sute. Akhirnya setelah dewasa dia yang menyebabkan kematian Bu-sute dan banyak pejuang gagah lainnya. Siapa yang menyebabkan kematian Koai Kiam Tojin Ya Keng Cu? dia! Siapa yang menyebabkan kematian Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu, Ban-eng-kiam Yo Ciat, dan banyak lagi pejuang- pejuang gagah perkasa? Dia inilah! Dia yang bersama suhengnya dan sucinya, si keparat Phoa Siok Lun dan Liem Bi Hwa, bersekongkol dengan para panglima pengawal istana, menyergap tempat berkumpulnya para pejuang. Susiok dia anak karam yang hina dina, pembunuh para pejuang dengan pengkhianatnya, terutama pembunuh sute Bu Keng Liong yang telah melepas budi kepada dia dan ibunya! Biarkan teecu membunuhnya. Dengan tangan kiri, teecu masih sanggup untuk menghadapinya demi menjaga nama baik Bu-tong-pai!”

Loan Khi Tosu tertegun melihat sikap murid keponakannya ini dan diam-diam ia merasa bangga. Memang, anak murid Bu-tong-pai amat gagah perkasa dan tidak takut mati. juga mengenal dan taat akan peraturan sehingga murid yang sudah tua ini pun sama sekali tidak mengeluh ketika tulang tangannya dipatahkan sebagai hukumannya.

“Bohong! Tidak benar....!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan berkelebat bayangan manusia meloncat ke tempat itu. Kwan Bu menahan napas ketika mengenal bayangan ini, yang bukan lain adalah Bu Siang Hwi! Gadis ini amat menyedihkan keadaanya. Pakaiannya dan rambutnya kusut. wajahnya pucat dan masih ada tanda-tanda air mata di pipinya , bahkan kini ia memandang Kwan Bu dengan sepasang mata merah dan basah.

“Bu-siocia (nona Bu)... harap jangan mencampuri   ?”

“Kwan Bu, kesalahanku terhadap dirimu sudah bertumpuk-tumpuk. biarlah kubuka hari ini     ” Siang

Hwi terisak. kemudian ia menghadapi para anak murid Bu-tong-pai. sambil berkata. “Locianpwe sekalian adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai sedangkan saya sendiri puteri mendiang ayah Bu Keng Liong secara tidak langsung juga murid Bu-tong-pai. Biarpun saya tidak mengerti betul peraturan Bu-tong-pai, akan tetapi saya tidak berani berbohong kepada perguruan ayah saya sendiri.” Loan Khi Tesu mengelus jenggotnya.

“Siancai... siancai... anak baik, jadi engkau ini puteri mendiang Bu Keng Liong? Coba Ceritakan jangan ragu-ragu apa yang hendak kau lakukan dengan kedatanganmu ini.”

“Saya tadi telah mendengar apa yang dituduhkan supek Lauw Tik Hiong kepada Kwan Bu. Saya tahu bahwa supek juga hanya mendengar dari lain orang akan tetapi sesungguhnya semua yang dikatakan ini adalah fitnah yang dijatuhkan oleh orang-orang ini atas diri Kwan Bu dan sayalah orangnya yang mengetahuinya sendiri, yang akan dapat menjelaskan bahwa semua itu fitnah belaka.” Loan Khi Tosu mengerutkan keningnya,

“Apa jaminannya bahwa yang hendak kau ceritakan ini adalah hal yang sebenarnya bukan sebuah kebohongan lain yang semata kau keluarkan untuk menolongnya?”

“Jaminannya adalah nyawa saya. Locianpwe. Kalau saya mengeluarkan kata-kata bohong, biarlah saya menyerahkan nyawa saya dan rela untuk dibunuh!” Kwan Bu memandang dengan mata terbelalak, wajahnya berubah dan pandang matanya sayu, jantungnya berdebar. Benar-benarkah ini Bu Siang Hwi, gadis yang dahulu sering kali mendatangkan rasa perih di hatinya yang seringkali memandang rendah dan menghinanya. Inikah Bu Siang Hwi, yang memandangnya sebagai seorang anak haram, sebagai seorang bujang, atau kacung? Sekarang hendak membelanya dengan taruhannya nyawa! Hampir ia tidak dapat mempercayai mata dan telinganya sendiri.

Sementara itu, Lauw Tik Hiong dan para anak murid Bu-tong-pai yang lain tidak berani mengeluarkan kata-kata karena yang bicara sekali ini adalah puteri Bu Keng Liong sendiri, bukan pihak musuh mereka. semua tahu bahwa Bu Keng Liong tewas sebagai seorang pejuang, dan bahwa gadis ini pun seorang pejuang pula. Semua mata memperhatikan Siang Hwi, semua telinga ditujukan untuk mendengar kata-katanya. kecuali Kwee Cin dan Giok Lan yang saling bertukar pandang. Kwee Cin dengan pandang mata mesra. sedangkan Giok Lan dengan pandang mata bingung dan jantungnya berdebar tidak karuan! Hening keadaan di situ, kemudian terdengar lagi suara Siang Hwi yang telah ditunggu-tunggu banyak telinga,

“Makian yang dilontarkan kepada Kwan Bu bahwa dia seorang anak haram yang hina hanya akan dikeluarkan oleh mulut orang yang lebih hina lagi! Saya sendiri telah mengucapkan makian itu Locianpwe, Bahkan sebagai anak haram, dan saya menyesal sekali, kini terbuka mata saya bahwa manusia boleh menyebutnya anak haram, namun tidak haram di mata Tuhan! Dia anak yang tidak berdosa, yang tidak tahu apa-apa. Ibunya pun seorang wanita yang bersih, yang melahirkan dia karena kekejian seorang pria yang memperkosanya. Dapatkah kita menyalahkan ibunya atau si anak sendiri yang terlahir karena kehendak Thian pula, melalui perbuatan keji orang lain? Tidak Locianpwe, kalau Lauw-supek menganggap dia sebagai seorang anak haram yang terlalu rendah untuk berunding dengan Locianpwe, maka supek keliru dan pandangannya dangkal sekali!”

Debar pada jantung Kwan Bu makin cepat dan diam-dia ia merasa terharu, juga girang sekali- Sungguh tidak pernah disangkanya bahwa ucapan seperti ini akan keluar dari mulut gadis yang biasanya sombong dan angkuh ini, yang lain-lain juga diam saja, diam mempertimbangkan ucapan gadis itu dan karena mereka semua terdiri dari orang-orang gagah yang memiliki sifat adil, maka diam-diam mereka pun dapat membenarkan pendapat itu. Loan Khi Tosu mengangguk-angguk. “Hemm, omonganmu bukan semata membela pemuda itu, akan tetapi mengandung kebenaran, lanjutkanlah.”

“Hal itu tadi saya kemukakan kepada locianpwe hanya untuk menebus kesalahan saya yang dahulu mempelopori makian anak haram kepada diri Kwan Bu, agar didengar oleh semua orang kalau saya menarik kembali segala makian itu dengan penyesalan yang mendalam dan bahwa saya sebagai pemakinya malah jauh lebih rendah dari pada orang yang saya maki..”

“Bu-siocia   ” Kwan Bu berseru perlahan, keluhan hatinya yang amat terharu. Akan tetapi Siang Hwi

seolah-olah tidak mendengarnya, padahal sebenarnya gadis ini tidak berani memandang kepada pemuda itu, khawatir kalau-kalau keharuan akan mengurangi kekerasan hatinya yang sudah bulat untuk membela Kwan Bu di depan para tokoh Bu-tong-pai ini.

“Locianpwe, tadi Lauw-supek mengatakan bahwa Kwan Bu adalah orang yang telah mengakibatkan tewasnya banyak pejuang, termasuk ayah saya. Anggapan seperti ini pernah pula saya miliki, karena itu saya tidak menyalahkan Lauw-supek yang mempunyai anggapan seperti itu karena tidak tahu akan duduknya hal yang sebenarnya. Kwan Bu sama sekali bukan seorang kaki tangan pengawal kaisar, bukan pula pembantu pejuang. Dia seorang yang bebas tidak terlibat dan tidak mau melibatkan diri dengan permusuhan antara mereka yang pro dan kontra kaisar. Pendiriannya merupakan ketaatan terhadap mendiang ayah. Dahulu ayah sayapun seorang yang tidak sudi melibatkan diri dengan pertempuran antara bangsa sendiri, tidak membantu mereka yang anti maupun yang pro kaisar. Sayang muncul peristiwa terbunuhnya orang tua Liu Kong sehingga ayah terseret dan terlibat sehingga mengalami kematian dalam pertempuran, Kwan Bu sama sekali tidak pernah membantu pengawal dan kalau beberapa kali dia secara kebetulan datang dengan waktu yang sama dengan pengawal-pengawal istana, hal itu di luar kehendaknya dan di luar pengetahuannya. Dan karena kebebasannya itulah Kwan Bu dimusuhi dua pihak, baik para pengawal maupun para pejuang menganggapnya musuh.”

Dengan panjang lebar Siang Hwi menuturkan tentang diri Kwan Bu. semenjak masih kanak-kanak tinggal di rumah keluarga Bu sebagai kacung atau anak seorang pelayan, sampai menjadi dewasa menjadi murid Pat-jiu Lo-koai. Diceritakan betapa Kwan Bu membela keluarga Bu yang diserang oleh para pejuang. Diberitakan pula pembelaannya ketika keluarga Bu yang diserang oleh para panglima pengawal, kemudian betapa dalam usahanya mencari musuh besar ibunya, Kwan Bu menyerbu ke Hek-kwi-san karena mengira bahwa Sin-to Hek-kwi adalah musuh besarnya sehingga ketika secara kebetulan para pengawal istana juga menyerbu Hek-kwi-san dibantu oleh dua orang murid lain dari Pat-jiu Lo-koai, Kwan Bu dengan sendirinya disangka membantu para pengawal membasmi para pejuang.

“Demikianlah, locianpwe. Sudah jelas bahwa Kwan Bu bukanlah seorang hina, bukan pula seorang jahat, melainkan seorang yang bernasib malang sejak dilahirkan. Dia benar sute dari Phoa Siok Lun yang jahat, akan tetapi tahukah locianpwe di mana Siok Lun itu sekarang? Telah mati, dan siapa pembunuhnya? Bukan lain Kwan Bu sendiri yang terpaksa membunuhnya karena suhengnya amat jahat. Masihkah locianpwe dan para tokoh Bu-tong-pai yang gagah perkasa dan adil menganggap dia seorang pemuda jahat?” Selagi semua orang yang mendengar penuturan panjang lebar dari Siang Hwi itu termangu dan Kwan Bu sendiri menjadi terharu tiba-tiba terdengar suara yang parau dan keras menyakitkan anak telinga.

“Ha-ha-ha-ha, apa saja yang tidak dilakukan wanita yang sedang dimabok Cinta. Bocah ini telah membunuh suhengnya sendiri, membunuh ayahnya sendiri, masih tidak dikatakan jahat! Ha-ha-ha!” Semua orang menengok dan terkejut karena ternyata tempat itu telah terkurung oleh sedikitnya lima puluh barisan pengawal yang agaknya tadi mengurung secara diam-diam dan baru sekarang muncul setelah terdengar suara itu. Yang tertawa adalah seorang kakek tua sekali, rambutnya panjang terurai berwarna hijau, tubuhnya yang kecil kurus tampaknya lemah sekali, pakaiannya adalah pakaian pengawal bersulam benang emas yang indah, Di kanan kiri kakek ini muncul pula Gin- san-kwi Lu Mo Kok, pengawal nomor satu dari istana kaisar, sedangkan yang seorang lagi adalah Kim I Lohan, hwesio yang menjadi pengawal, seorang tokoh yang meninggalkan Siauw-lim-si. Para anak buah Bu-tong-pai yang jumlahnya sepuluh orang itu bersiap-siap, meraba gagang senjata masing- masing,

Akan tetapi Loan Khi Tosu mengangkat tangan memberi isarat agar anak buahnya bersabar, Adapun Kwan Bu yang melihat Gin-san-kwi Lu Mo Kok dan Kim I Lohan, dua orang musuh lama, maklum bahwa keadaan para anak murid Bu-tong-pai dan dia sendiri terancam bahaya, melihat dari banyaknya tentara pengawal yang mengurung, Dia tidak mengenal panglima baru yang amat tua itu. Yang ia khawatirkan adalah keselamatan Siang Hwi! Baru ia memikirkan pula keselamatan Giok Lan dan Kwee Cin, dia bersikap tenang dan hanya memandang penuh kewaspadaan. Loan Khi Tosu, wakil ketua Bu-tong-pai yang bersikap tenang itu, kini menjadi terkejut dan mukanya berubah merah ketika ia mengenal kakek berpakaian panglima pengawal yang berambut panjang putih, Sinar mata wakil ketua Bu-tong-pai ini mengeluarkan pancaran kemarahan,
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar