Dendam Si Anak Haram Jilid 04

Jilid 04

Akhirya Kwan Bu berhasil juga menindas perasaanya yang tidak karuan itu, menjadi tenang dan mulailah ia mengalirkan sinkang melalui punggung Siang Hwi. Tubuh gadis itu tergetar, tanda bahwa hawa sakti telah memasuki tubuhnya. Siang Hwi terkejut sekali. Hawa panas sekali memasuki tubuhnya dari punggung, terutama dari belakang pusar. Hawa panas ini seperti badai memasuki tubuhnya. Hampir saja ia tidak kuat menahan, hendak melawan dan menolak dengan sinkangnya sendiri. Akan tetapi ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, dia atau Kwan Bu akan terserang bahaya besar, maka ia memaksa diri menerima hawa panas ini yang mengalir masuk, menyelinap ke seluruh bagian tubuh yang menjadi tergetar hebat. Dengan hati penuh kekaguman ia merasa betapa kuatnya hawa sakti ini,

Dan betapa hawa panas mendobrak dan mendorong, membuka jalan darah dan berputaran di sekitar pusar. Makin lama, hawa yang panas dan kuat itu menjadi hangat dan nyaman. Begitu nyaman rasanya sehingga ia tidak tahu lagi betapa lamanya Kwan Bu menyalurkan sinkang. Ia seperti terayun-ayun di antara gelombang tinggi, nikmat dan nyaman sekali seperti orang setengah tidur. Ia tidak tahu betapa Kwan Bu yang menyalurkan tenaga sinkang sampai sejam lebih, kini mulai pucat dan lelah, peluh memenuhi leher dan dahinya. Juga Siang Hwi tidak mengetahui bahwa kini Kwan Bu sudah menghentikan Hoan-khi khai-hiat ini, dan sudah melepaskan kedua tangan dari punggungnya. Bukan hanya tidak tahu, bahkan tiba-tiba tubuh Siang Hwi yang tadinya duduk bersila itu menjadi lemas dan terguling ke belakang perlahan-lahan,

Napasnya teratur dan kini ia rebah terlentang di atas pangkuan Kwan Bu karena gadis ini tertidur! Kwan Bu tersenyum, geli mellihat keadaan gadis ini. Ia merasa girang karena maklum bahwa bantuannya telah berhasil. Sayangnya bahwa gadis ini tidak dapat menahan diri, begitu terpengaruh rasa nikmat sehingga tertidur. Hal ini mengurangi keuntungan yang diterimanya, karena biarpun jalan darahnya telah terbuka dan ia kini akan dapat menyalurkan sinkang lebih leluasa dan kuat, namun ia tidak dapat menggunakan bantuan hawa sakti Kwan Bu untuk berlatih. Kalau ia tidak tidur, tentu tadi ia dapat mengimbangi gerakan hawa sakti itu untuk disatukan dengan hawa sakti di tubuhnya sendiri dan berlatih menggerakkan tenaga mujijat itu di sekeliling tubuhnya.

Akan tetapi Kwan Bu tidak berani bergerak, tidak tega mengganggu gadis yang tetidur begitu nyenyaknya. Bahkan ia tadi telah menjaga kepala gadis itu dengan lengannya sehingga kepala itu kini rebah di atas dadanya, Kwan Bu masih tersenyum dan ia menunduk, memandang wajah Siang Hwi yang berada di atas dada. Dan ia terpesona! Bulan telah bersinar sepenuhnya dan kini cahaya menimpa wajah Siang Hwi tanpa terhalang sesuatu. Wajah itu tampak cantik jelita dan bercahaya. Kulit muka yang putih kemerahan dan halus itu kini terselimut cahaya keemasan. Matanya tertutup. Bulu mata yang hitam lentik dan panjang menimbulkan bayang-bayang gelap di bawah mata. Tarikan napas halus keluar masuk hidung yang kecil mungil dan mancung. Dan mulut itu.    ! Kwan Bu tak dapat melepaskan pandang matanya dari mulut yang berada dekat

itu. Gadis itu tersenyum dalam tidurnya. Senyum dengan bibir seperti mentertawakan, mulut setengah terbuka sehingga tampak deretan ujung gigi yang putih seperti mutiara. Kwan Bu seperti mendadak menjadi gila! Bibir yang dekat itu dalam pandang matanya begitu penuh tantangan, penuh rangsangan. Seakan-akan mulut itu berubah menjadi buah apel merah dalam pandang mata seorang yang kelaparan dan kehausan. Kwan Bu seorang pemuda yang sudah cukup dewasa, dua puluh satu tahun usianya. Namun baru sekali ini selama hidupnya ia memangku seorang wanita, bahkan baru kali ini ia berdekatan, sempat memandang wajah wanita sampai sepuasnya tanpa terganggu.

Sucinya, Bi Hwa, juga cantik jelita dan menarik. Akan tetapi mereka itu tidak pernah berdekatan seperti ini paling dekat hanya di waktu sama-sama berlatih silat. Daya tarik alamiah antara pria dan wanita memang hebat sekali. Betapapun teguh dan kokoh kuat batin Kwan Bu, sekali ini daya tarik itu menyeretnya sedemikian rupa sehingga membuat ia roboh tidak berdaya, membuat ia lemah lunglai dan menyerah kepada getaran kasih asmara yang tak terlawankan itu. Dia seperti seorang yang sudah kehilangan kesadarannya, bagaikan terbuai dalam alam mimpi. Dia sendiri tidak sadar dan tidak tahu apa yang mendorongnya saat itu sehingga tiba-tiba namun perlahan sekali, ia menunduk, membungkuk dan mendekatkan mukanya dengan wajah yang menggairahkan dan merangsangnya itu.

Tanpa ia sadari mengapa ia mampu dan berani melakukan hal yang langka itu, tahu-tahu ia sudah mendekatkan bibir dan mencium mulut yang setengah terbuka itu. Mencium mesra dan lembut, sepenuh perasaan cinta kasih yang mendadak timbul di hatinya, penuh rasa sayang dan penuh nafsu. Bagaikan dalam mimpi Kwan Bu merasa betapa mulut yang dicium itu menyambutnya, betapa bibir itu bergerak, betapa napas itu terengah dan betapa kedua lengan Siang Hwi tiba-tiba saja bergerak merangkul lehernya! Akan tetapi hanya beberapa detik saja, karena tiba-tiba Siang Hwi meronta sehingga terlepas dari pelukan, mencelat mundur dan masih duduk di atas rumput, hanya semeter di depannya, membelalakan mata dan menudingkan telunjuk ke arah dadanya sambil berkata.

“Kenapa.....? Kenapa kau..... mencium aku. ?” Kwan Bu kini sadar, kesadaran yang datangnya seperti

sambaran petir,membuat matanya terbelalak, mukanya pucat dan kepalanya pening, jantungnya berdebar penuh kegelisahan dan kekagetan. Apa yang telah ia lakukan? Celaka! ia telah melakukan sesuatu yang amat hebat! Penghinaan yang tiada taranya! Ia tadi telah menjadi gila, telah berobah menjadi iblis? Pada saat itu, sesosok bayangan hitam menerjang dari belakang, langsung menghantam punggung Kwan Bu dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.

“Kau anak haram kurang ajar!” bentak bayangan itu. Kwan Bu mengenal suara Liu Kong dan tahu bahwa pemuda itu memukul punggungnya, akan tetapi ia masih terlampau kaget akan kenyataan bahwa ia telah mencium nona majikannya, maka ia seperti tidak perdulikan, hanya mengerahkan sedikit tenaga sinkang melindungi punggung.

“Bukkk!!” Tangan Liu Kong seperti memukul karet yang keras dan membalik, bahkan lengannya terasa sakit dan tubuhnya terhuyung tiga langkah ke belakang, sedangkan tubuh Kwan Bu sama sekali tidak bergeming.

“Liu kongcu (tuan muda Liu), aku tidak mau bermusuh denganmu...!” kata Kwan Bu sambil menengok ke belakang.

“Kau...... Kau.     !” Siang Hwi yang kini menjadi makin jengah dan malu melihat munculnya Liu Kong

yang ia duga tentu tadi melihat betapa ia dipangku Kwan Bu dan.   dicium mulutnya, apalagi kalau ia teringat betapa tadi merasa bahagia sekali dalam beberapa detik, betapa ia membalas ciuman bahkan merangkul. Tak dapat lagi ia menahan kemarahannya karena malu, meloncat ke depan, tangannya menampar.

“Plakl Plak!” Dua kali pipi Kwan Bu ditempiling. Pemuda ini tidak melawan, bahkan tidak mengerahkan tenaga sehingga pipinya yang kiri menjadi matang biru dan ujung mulutnya berdarah. Ia terhuyung mundur. Pada saat itu Liu Kong yang sudah mencabut pedang, menerjangnya.

“Trang...!” Pedang Liu Kong tertangkis dari samping dan ternyata Kwee Cin yang menangkis pedang ini.

“Twa-suheng! Jangan.... mengapa kau menyerang Kwan Bu? Engkau bukan lawannya, dan ada urusan dapat didamaikan, perlu apa memakai kekerasan?”

“Sute! Jangan turut campur! Aku harus bunuh anak haram biadab ini.”

“Ah, suheng. Dia telah menyelamatkan nyawamu, bahkan menyelamatkan kita semua.” “Siapa sudi dibantu anak haram? Lebih baik aku mati!”

“Suheng, jangan kira bahwa aku tidak tahu persoalannya. Engkau dibutakan perasaan cemburu. Kalau memang sumoi memilih Kwan Bu, hal itu sudah selayaknya. Dia sepuluh kali lebih berharga dari pada kita berdua. Mengapa kau menjadi iri hati?”

“Keparat, tutup mulutmu, sute! Kau kira aku sendiri tidak tahu bahwa engkau tergila-gila kepada sumoi dan merasa tidak akan menang bersaing denganku, kau lah yang menjadi iri hati kepadaku, dan kini berpihak kepada anak haram ini.”

“Suheng!!”

“Sute, kau mau apa? Sumoi calon milikku, karena itu aku tidak rela anak haram ini kurang ajar kepadanya. Kau mau membelanya?” Dua orang kakak adik seperguruan ini dengan pedang di tangan saling berhadapan, agaknya tak dapat dicegah lagi akan terjadi pertempuran antara saudara. Kwan Bu maklum akan tegangnya keadaan, maka ia melangkah maju melerai.

“Liu Kongcu dan Kwee Kongcu, sudahlah. Tidak ada hal yang perlu diributkan. Tidak terjadi apa-apa disini. Bu-siocia hanya......... akan ku tanyai tentang riwayatku... hanya salah paham. !”

“Keparat, kau anak haram!” Liu Kong menusukkan pedangnya dengan gerakan kilat. Namun Kwan Bu miringkan tubuh dan sekali tangannya bergerak menampar lengan yang memegang pedang, Liu Kong mengeluh, lengannya seperti lumpuh dan pedangnya terlepas dari pegangannya.

“Kwan Bu, berani kau memukul suheng!” Lihat pedang! Kwee Cin yang tadinya cekcok dengan suhengnya melihat kini suhengnya dikalahkan Kwan Bu, menjadi marah dan timbul kesetiaannya, lalu menyerang Kwan Bu dengan pedangnya. Kwan Bu kagum dan senang sekali melihat kesetiaan Kwee Cin. Ia mengelak dan sampai lima kali ia membiarkan Kwee Cin menyerangnya. Pada serangan keenam kalinya, ia mengelak sambil meloncat ke atas, kemudian sekali ia mencengkeram, ia telah berhasil merampas pedang dari tangan Kwee Cin lalu melayang turun dan berkata,

“Kwee kongcu, tahan. !” Pada saat itu, terdengar bentakan Bu Keng Liong. “Apa yang terjadi di sini?” Kwan Bu melepaskan pedang Kwee Cin lalu menghadapi majikannya, menjura dalam dan berkata.

“Mohon thai-ya sudi memaafkan hamba yang hanya membikin ribut dan membikin repot saja.” Bu Keng Liong menyapu keadaan di situ dengan pandang matanya. Ia melihat puterinya berdiri dengan muka pucat, bahkan ada dua titik air mata di pipi anaknya itu. Liu Kong membungkuk untuk mengambil pedangnya, demikian pula Kwee Cin. Jelas bahwa telah terjadi pertandingan dan mungkin tiga orang muridnya ini telah mengeroyok Kwan Bu dan tentu saja mereka telah menderita kekalahan. Teringat akan sikap Liu Kong di pesta siang tadi, ia menduga bahwa tentu Kwan Bu menerima penghinaan. Ia menjadi marah dan membentak,

“Liu Kong! Kwee Cin! Apa yang kalian lakukan di sini?”

“Suhu, teecu tadi melihat Kwan Bu berada di sini dengan sumoi dan.   !”

“Anak haram ini kurang ajar terhadap sumoi, suhu!” sambung Liu Kong dengan suara marah. Bu Keng Liong terkejut. Di dalam hatinya ia tidak percaya. Kwan Bu yang begini rendah hati berani kurang ajar? Tidak mungkin.

“Suhu, dia berani memangku sumoi!” kata pula Liu Kong. Makin kagetlah Bu Keng Liong. Ah, sampai begitu jauh? Ataukah puterinya itu telah menjatuhkan hatinya, telah jatuh cinta kepada Kwan Bu? Kalau memang demikian, tidak aneh. Kwan Bu lihai sekali dan tampan, gagah mengagumkan. Sayang anak haram, seperti yang dikatakan isterinya. Ia menoleh ke arah puterinya yang berdiri menundukkan muka dan memandang kepada Kwan Bu yang juga menundukkan muka, di dalam hatinya dia agak lega bahwa laporan Liu Kong hanya pada taraf mengaku dan memeluk. Agaknya Liu kong dan Kwee Cin tidak melihat ketika ia menciumnya tadi!

“Kwan Bu, aku percaya bahwa engkau adalah seorang laki-laki jantan yang tidak akan mengingkari perbuatan sendiri. Apakah yang terjadi antara engkau dan Siang Hwi?” Kaki gadis itu sudah menggigil. Ia amat dimanja ayahnya, terutama ibunya, akan tetapi ia juga amat takut kepada ayahnya yang amat keras. Kalau ayahnya tahu ia minta bantuan Kwan Bu dalam memperkuat sinkangnya, hal ini saja sudah akan membuat ayahnya marah. Apa lagi...... dia harus mengakui bahwa tadi ia tertidur di atas pangkuan Kwan Bu. kesalahan Kwan Bu hanya bahwa di dalam tidurnya, pemuda itu telah menciumnya!

“Mohon beribu maaf thai-ya. Tanpa sengaja hamba berjumpa dengan siocia di sini dan...... dan......

hamba membantunya memperkuat sinkangnya dengan cara Hoan-khi-khai-hiat kemudian.     ” Siang

Hwi yang amat khawatir kalau-kalau pemuda itu menceritakan semuanya sehingga ia tertidur di atas pangkuan Kwan Bu dan takut kalau ayahnya akan marah, ditambah rasa malu karena tadi terlihat oleh Kwee Cin dan Liu Kong, cepat-cepat memotong.

“Dia bohong, ayah!” Bu Keng Liong mengerutkan kening, memandang bergantian kepada Kwan Bu dan Siang Hwi, kemudian pandang matanya berhenti menatap wajah puterinya penuh selidik. Khawatir kalau-kalau didahului oleh Kwan Bu, Siang Hwi segera berkata, kini suaranya lantang karena ia sudah berhasil menekan perasaan hatinya yang terguncang.

“Dia sengaja mencari aku untuk bertanya tentang riwayat ibunya, ayah. Kemudian ia membujukku katanya ia dapat membantuku memperkuat sinkang dengan menyalurkan hawa sakti dari tubuhnya. Aku percaya dan aku lalu disuruh duduk bersila di sini, dia bersila di belakangku. Mula-mula memang ia menyalurkan hawa saktinya melalui punggung, dan memang harus diakui bahwa aku menerima bantuannya menerobos semua jalan darah yang masih tertutup. Akan tetapi......... tiba-tiba ia merangkul dan memelukku dari belakang pada saat itu muncul Liu-suheng!”

Mendengar ini, Kwee Cin sendiri yang biasanya merasa suka kepada Kwan Bu bahkan peristiwa siang tadi membuatnya merasa kagum sekali, kini mengerutkan kening dan memandang dengan mata marah dan menyesal. Marah karena Siang Hwi adalah sumoinya yang ia cintai sepenuh hati, dan menyesal mengapa seorang pemuda gagah seperti Kwan Bu itu setelah memiliki kepandaian tinggi menjadi berubah dan suka mengganggu wanita! Adapun Liu Kong yang memang benci kepada Kwan Bu, kini menjadi merah mukanya. Liu Kong memang membenci Kwan Bu karena munculnya Kwan Bu siang tadi benar-benar membuat ia kehilangan muka. Pemuda ini memiliki sifat yang berani dan tidak takut mati di samping merasa bahwa ia adalah murid pertama Bu Taihiap maka tentu saja merupakan seorang pendekar muda yang sudah tinggi sekali tingkatnya.

la tahu bahwa siang tadi Kwan Bu telah menolongnya dari bahaya maut, akan tetapi berbareng menyeretnya ke dalam lumpur, jelas tampak oleh banyak orang betapa Liu Kong tidak berdaya dan betapa hebat sepak terjang Kwan Bu, betapa kalau tidak ada anak haram itu dia sudah akan tertawan musuh! Semua ini sudah membuat hatinya tidak senang, apalagi sekarang ia melihat betapa Kwan Bu berani main gila dan hendak berbuat tidak sopan kepada Siang Hwi, sumoi yang dicintainya. Rasa iri hati dan cemburu menambah besar kebenciannya dan kalau di situ tidak ada suhunya, tentu ia sudah menerjang lagi mati-matian biarpun ia maklum bahwa ia bukanlah lawan Kwan Bu yang amat lihai itu. Keterangan Siang Hwi itu membuat Bu Keng Liong memutar tubuh memandang Kwan Bu dengan kening berkerut.

Sebaliknya, Kwan Bu tersenyum, senyum pahit. Ia maklum mengapa Siang Hwi membohong seperti itu. Namun ia tidak marah. Ia tahu bahwa bukan semata-mata Siang Hwi membohong untuk memfitnahnya. Tidak sama sekali. Ia tahu bahwa gadis itu takut dan ingin membersihkan dirinya dalam peristiwa adegan di atas rumput yang dipergoki oleh Liu Kong dan Kwee Cin tadi. Betapapun juga, Siang Hwi tidak menceritakan ayahnya tentang ciumannya tadi. Ia memang sudah merasa berdosa, karena itu ia bersedia menerima tanggung jawab dan akibatnya. Karena tadi telah mencuri ciuman, yang ia anggap suatu dosa yang besar, suatu penghinaan hebat, maka kini ia tidak merasa sakit hati mendengar tuduhan Siang Hwi yang sebenarnya merupakan fitnah ini.

“Kwan Bu, bagaimana keteranganmu tentang ini?” setelah keadaan hening sampai lama menyambut penuturan Siang Hwi tadi, akhirnya Bu Keng Liong bertanya, suaranya halus namun tegas dan dingin. Kwan Bu menundukkan mukanya menghela napas panjang lalu berkata,

“Semua yang dikatakan siocia, benar belaka, thai-ya. Memang hamba bersalah dan tidak perlu hamba sembunyikan lagi. Hamba siap menerima hukuman dari thai-ya dan siocia, dan terus terang saja hamba nyatakan di sini bahwa hamba jatuh cinta kepada siocia, agaknya sejak dahulu. Hamba tahu bahwa tidak selayaknya dan adalah sebuah dosa besar bagi seorang pelayan untuk mencintai nona majikannya. Hamba tadi membantu siocia dalam memperkuat sinkang dan. dan terjadilah

apa yang siocia ceritakan. Hamba siap menanti hukuman!” Setelah berkata demikian, Kwan Bu berlutut di depan Bu Keng Liong. Pendekar ini mengelus-elus jenggotnya. Ucapan Kwan Bu menusuk perasaan keadilannya. Berdosakah seorang pelayan mencinta nona majikannya? Tentu saja tidak, akan tetapi dosa Kwan Bu bukan terletak dalam hal mencinta Siang Hwi, melainkan berani berbuat kurang ajar, memeluk di luar kehendak gadis itu. Namun, mengingat akan jasa-jasa Kwan Bu, pula karena peristiwa memalukan itu tidak diketahui orang lain, tidak perlu dibicarakan pula.

“Bangunlah, Kwan Bu. Engkau tahu telah melakukan perbuatan yang tidak patut, dan kau sudah mengaku serta menyesali perbuatan sendiri. Hal itu cukuplah, tidak ada hukuman yang lebih tepat dan berhasil dari pada hukuman yang timbul akibat perbuatannya, merupakan penyesalan yang akan menjadi obat sehingga perbuatan buruk itu takkan terulang lagi. Betapapun juga, engkau tentu mengerti bahwa besok pagi kau harus membawa ibumu pergi dari sini.”

“Hamba tahu, dan tidak besok pagi, thai-ya, malam ini juga hamba harus pergi bersama-sama    “

“Kwan Bu...! Kwan Bu...!” Yang berteriak ini adalah Bhe Ciok Kim yang bangun dari tidurnya dan mencari puteranya.

“Selamat tinggal, thai-ya dan budi thai-ya terhadap ibu dan hamba, takkan hamba lupakan selamanya. Selamat tinggal, siocia dan......... harap siocia sudi memaafkan kelancanganku tadi !”

Tanpa menanti jawaban, Kwan Bu berkelebat lenyap, memasuki kamar ibunya. Ia mengumpulkan pakaian ibunya, melompat keluar dan berkelebat lenyap di tengah malam meninggalkan gedung keluarga Bu di mana sejak kecil ia tinggal di situ. Setelah Kwan Bu pergi meninggalkan taman bunga tadi, Bu Keng Liong masih berdiri dan berkali-kali menarik napas panjang.

“Sayang        !” Akhirnya ia berkata perlahan.

“Sayang Pat-jiu Lo-koai yang sakti itu hanya memperhatikan kulit, tidak memperdulikan isi.” Siang Hwi, Liu Kong, dan Kwee Cin masih berdiri di situ menghadap Bu Taihiap. Tiga orang muda ini dengan gejolak perasaan masing-masing mendengarkan.

“Kalian bertiga tidak boleh mendendam kepadanya, karena betapapun juga, Kwan Bu telah berjasa besar terhadap keluarga kita. Bahkan kalian harus melihatnya sebagai contoh betapa kepandaian hanyalah merupakan kulit atau pakaian belaka, hanya alat untuk mencapai tujuan. Adapun yang menentukan tujuan adalah batin manusia. Karena itulah yang terpenting dari segalanya adalah melatih batin sehingga tetap bersih, karena batin yang bersih tentu akan melahirkan perbuatan- perbuatan yang bersih pula. Sebaliknya, batin yang kotor tentu akan menimbulkan perbuatan- perbuatan kotor. Ilmu pengetahuan dan kepandaian yang hanya merupakan alat, akan menjadi bersih atau kotor, sesuai dengan keadaan batinnya. Kwan Bu telah menerima gemblengan ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi sayang, agaknya Pat-jiu Lo-koai yang terkenal sakti seperti dewa itu tidak memperdulikan pendidikan batin sehingga pemuda yang memiliki ilmu tinggi itu mudah terseret gelombang nafsunya. Mudah-mudahan saja pengalaman akan menjadi guru baginya dan akan merobahnya, sehingga dapat diharapkan dari kepandaiannya yang tinggi itu akan timbul perbuatan-perbuatan gagah perkasa dan adil.” Mendengarkan wejangan Bu Taihiap, hanya Kwee Cin saja yang menerimanya dengan wajar, sesuai yang diinginkan gurunya.

Hal ini adalah karena Kwee Cin tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Kwan Bu. Pemuda ini mengangguk-angguk dan membenarkan wejangan suhunya. Akan tetapi berbeda dengan penerimaan Liu Kong. Pemuda ini sudah mempunyai pendapat sendiri terhadap diri Kwan Bu. Sungguh pun mulutnya tidak berani membantah suhunya atau pamannya, namun di hati ia tidak setuju. Tak mungkin ia tidak mendendam kepada Kwan Bu yang telah menyeretnya ke dalam lumpur kehinaan siang tadi, yang telah mengecilkannya menjadi seorang yang tidak berarti. Kemudian, betapa Kwan Bu hendak merampas hati Siang Hwi. Wanita yang dicintainya sepenuh jiwaraga! Ia membenci Kwan Bu, dan selamanya tidak akan dapat menjadi sahabat. Apa lagi dengan adanya kenyataan bahwa Kwan Bu adalah seorang anak haram!

Betapapun mungkin dia, putera dari pahlawan kerajaan besar Liu Ti, yang menjadi orang kepercayaan kaisar sendiri, seorang bangsawan besar, dapat bersahabat dengan seorang bujang pelayan yang terlahir sebagai anak haram pula! Atau siokhunya (pamannya) terlampau berat untuk ditaati. Lain pula yang berkecamuk di hati Siang Hwi. Hati dara ini seperti dilanda badai. Ia masih tidak dapat mempergunakan pikirannya dengan baik karena hatinya masih bergelora. Ia tahu betul bahwa ia tertidur di atas pangkuang Kwan Bu tanpa ia sengaja, juga bukan kesalahan Kwan Bu. Adapun tentang ciuman itu...... masih berdebar jantungnya kalau ia kenangkan. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami hal seperti itu, bahkan dalam mimpi pun tak pernah! Ia tidak tahu apakah ia membenci Kwan Bu atau tidak dengan perbuatannya itu.

Yang jelas, ia bisa mati saking malu kalau diketahui orang lain bahwa ia telah dicium mulutnya begitu mesra oleh Kwan Bu dan terutama sekali bahwa ia seperti dalam mimpi membalas ciuman itu dan merangkul leher Kwan Bu, walaupun hanya beberapa detik lamanya. Memalukan! Ah, ia tadi telah menjatuhkan fitnah kepada Kwan Bu, akan tetapi... hanya itulah jalan satu-satunya untuk menghindarkan diri dari pada aib dan dari pada kemarahan ayahnya. Ia tidak tahu, tidak bisa berpikir lagi, hanya girang bahwa ia telah bebas dari pada ancaman keadaan yang memalukan. Dengan mengorbankan nama baik Kwan Bu. Biarlah, bukankah Kwan Bu memang sudah ditempel oleh aib dan noda? Anak haram, kalau hanya ditambah sedikit perbuatan kurang ajar terhadap seorang gadis, tidaklah menambah noda namanya.

“Kwan Bu..., ehh...Siauw Hiap (pendekar muda)... kau... kau tolonglah...!” Kwan Bu menghentikan langkahnya, memutar tubuh memandang orang yang memanggil-manggil dan kini berlari datang mengejarnya itu. Ia mengenal orang itu. Thio Sam, seorang pelayan tua di gedung Bu Taihiap, seorang tukang kebun. Tentu saja mengenalnya, karena Thio Sam ini adalah rekannya, sama-sama menjadi pelayan di gedung keluarga Bu.

“Eh, Thio lopek (paman tua Thio), ada apakah?” tanyanya heran. Ia mengingat-ingat dan merasa bahwa tidak ada urusan apa-apa lagi antara dia dengan keluarga Bu, apalagi dengan tukang kebunnya ini. Beberapa hari yang lalu, malam-malam ia meninggalkan gedung keluarga Bu dan mengajak ibunya ke kuil Kwan-im-bio, di luar kota Kwi-cun, di sana ia dahulu dilahirkan dan dibesarkan sampai ia dibawa oleh ibunya ke rumah keluarga Bu. Cheng In Nikouw, ketua kuil itu telah meninggal dunia, akan tetapi ketuanya yang baru adalah seorang nikouw dari kuil itu juga dan menerima kedatangannya dengan girang.

Ketika Kwan Bu menitipkan ibunya, para nikouw suka menerima dengan senang hati, apa lagi hanya untuk sementara waktu. Tentu saja Kwan Bu yang kini sudah menjadi laki-laki dewasa, tidak mungkin dapat tinggal di kuil itu dan memang bukan kehendak Kwan Bu untuk tinggal di situ. Ia harus pergi mencari musuh besar keluarga ibunya, dan ia datang ke kuil itu hanya untuk menitipkan ibunya. Setelah ia melihat ibunya agak terhibur dan tidak bingung lagi, perlahan-lahan ia menceritakan ibunya akan maksud hatinya mencari musuh besar. Ibunya girang dan suka ditinggalkan di kuil. Maka berangkatlah ia meninggalkan ibunya di kuil, sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Thio Sam yang mengejarnya dan yang datang-datang minta tolong kepadanya.

“Ah, kasihan sekali, kalau tidak kau tolong, siapa lagi yang akan dapat menyelamatkan mereka?” Kwan Bu terkejut. Ia hanya mengkhawatirkan keadaan Siang Hwi. Ada terjadi apakah?

“Lopek lekas ceritakan, apa yang terjadi?” Thio Sam, tukang kebun keluarga Bu itu lalu bercerita dan Kwan Bu mendengarkan dengan penuh perhatian. Apakah sesungguhnya yang terjadi pada keluarga Bu? Memang terjadi hal yang amat penting dan hebat setelah Kwan Bu pergi meninggalkan gedung itu bersama ibunya pada malam hari itu. Terjadinya tepat pada kesokan harinya setelah Kwan Bu pergi. Pagi hari itu, sepasukan tentara terdiri dari tiga puluh orang lebih dipimpin oleh seorang perwira yang tinggi kurus, datang mengunjungi gedung keluarga Bu, mengiringkan tiga orang yang sikapnya aneh akan tetapi pakaiannya mewah. Tiga orang ini sudah tua semua. Yang seorang bertubuh bongkok akan tetapi pakaiannya paling indah diantara mereka bertiga. Pakaian yang dihias benang emas, juga topinya dihias benang emas. Pendeknya pakaian seorang pembesar istana kaisar! Orang kedua juga berpakaian indah dengan topi hias bulu burung garuda, berwajah kurus seperti tikus kelaparan, dengan mulut meruncing ke depan dan kumis jarang. Orang ketiga adalah seorang hwesio, akan tetapi jubahnya amat indah, terbuat dari pada sutera halus berwarna kuning dengan pinggiran terhias benang emas, tongkat panjangnya, tongkat hwesio, pada kepalanya terukir kepala ular terbuat daripada emas murni! Usia mereka sudah lima puluh tahun lebih dan melihat sikap perwira dan anak buahnya terhadap mereka yang amat menghormat, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang penting di kota raja. Hal ini memang tidak keliru karena sesungguhnya tiga orang ini adalah tiga diantara jagoan-jagoan pengawal istana yang semua berjumlah tujuh orang.

“Di mana Bu Keng Liong? Suruh dia keluar menemui kami!” demikian kata perwira pasukan dengan lagak sombong kepada para pelayan yang ketakutan melihat datangnya pasukan ini memenuhi pekarangan depan yang bersih dan kotor bekas pesta kemarin. Thio Sam, pelayan yang tertua dan setia, lebih tabah hatinya. Ia maju memberi hormat dan berkata,

“Bu Thai-ya masih tidur, akan tetapi akan saya laporkan ke dalam. Cuwi (tuan sekalian) ini siapa dan dari manakah? Agar saya dapat laporkan kepada thai-ya dengan betul..?

“Hah, pelayan cerewet! Katakan saja kami dari kota raja, dari istana! Hayo cepat!” bentak perwira itu. Para pelayan menjadi makin ketakutan dan segera mereka lari masuk ke dalam gedung, didahului Thio Sam bahwa ada rombongan tamu dari istana datang,

Bu Keng Liong merasa heran dan cepat-cepat membereskan pakaian lalu melangkah keluar. Melihat keadaan pasukan itu, ia mengerti bahwa itulah pasukan pengawal kerajaan, dengan tanda sehelai bulu yang menghias topi mereka. Ada keperluan apakah sepasukan pengawal istana dengan pemimpin mereka seorang perwira datang ke sini? Dan tiga orang itu. Ia tidak mengenal mereka, namun dapat menduga bahwa mereka itu tentulah orang-orang yang berilmu tinggi dan jelas merupakan petugas-petugas istana pula, melihat dari keadaan pakaian mereka. Bu Keng Liong pernah mendegar akan adanya busu-busu (pengawal kaisar) yang berilmu tinggi dan tidak berpakaian seperti prajurit. Apakah tiga orang ini busu istana? Ia maju dan mengangkat kedua tangan ke depan dada dengan sikap hormat sambil berkata.

“Cuwi siapakah dan ada keperluan apa minta bertemu dengan saya?”

“Eh, engkau inikah yang bernama Bu Keng Liong?” Si perwira yang tinggi kurus melangkah maju dan bertanya sambil menudingkan telunjuknya ke arah dada Bu Taihiap. Pendekar ini mengerutkan keningnya, akan tetapi ia tetap bersikap tenang dan sabar. Sudah banyak ia mendengar tentang lagak para petugas kerajaan, dari yang besar sampai yang kecil, kesemuanya adalah tukang korup pencuri kekayaan Negara dan pemeras serta penindas rakyat jelata. Agaknya perwira kecil ini tidak terkecuali maka bersikap begini galak seolah-olah dialah yang menjadi kaisar!

“Benar, akulah orangnya yang bernama Bu Keng Liong,” jawab pendekar ini dengan sikap tidak begitu menghormat lagi karena betapapun juga hatinya merasa mendongkol oleh sikap yang tidak sopan dari si perwira.

“Bagus! Engkau menyerahlah, Bu Keng Liong, dari pada harus menggunakan kekerasan menangkapmu!” Berdiri alis Bu Keng Liong. Sesabar-sabarnya pendekar ini, dia adalah seorang gagah yang tidak mau dihina begitu saja. Ia mengangkat dada, memandang tajam dan suaranya tegas dan bengis ketika ia membentak. “Ciangkun! Engkau ini seorang perwira akan tetapi mengapa begini tidak tahu aturan? Biarpun engkau seorang perwira atau pembesar sekalipun, tidak berhak untuk menangkap orang begitu saja tanpa alasan! Aku Bu Keng Liong selamanya tidak pernah berurusan dengan kerajaan, tidak pernah melakukan pelanggaran ataupun kejahatan! Karena itu, bagaimana aku harus menyerah begitu saja untuk ditangkap? Apakah untuk menangkapku engkau punya perintah dari kaisar? Mana surat perintah itu?” Perwira itu kesima. Selama ia menjadi perwira siapa saja didatanginya untuk ditangkap, siang-siang sudah menggigil lututnya dan menyerah begitu saja tanpa membantah. Ia sudah terlalu biasa diturut kehendaknya oleh rakyat yang tidak ada seorang pun berani membantah dan melawanya. Biasanya, ia bilang hitam,bilang putih-putih! Akan tetapi sekarang, dia dibantah dengan ucapan yang berani dan memang benar! Karena itu ia kesima dan tidak dapat menjawab.

“Heh-heh-heh, untuk menangkap seorang komplotan pemberontak memang tidak perlu ada surat perintah langsung dari Sribaginda!” tiba-tiba tedengar kakek bongkok berkata sambil mengebut- ngebut tubuhnya dengan sebuah kipas. Kipas ini terbuat dari sutera putih yang diberi lukisan gunung dan sungai, serta dihias dengan tulisan indah. Gagangnya terbuat daripada perak murni, putih mengkilap dan diukir-ukir indah pula, dengan kedua ujung gagang meruncing. Bu Keng Liong mengerutkan kening dan kini menghadapi tiga orang kakek itu yang berdiri tenang dan tersenyum- senyum. Ia maklum bahwa mereka ini sengaja datang untuk mencari keributan. Namun ia tahu gelagat dan tidak bersikap sembrono. Ia menjura dengan hormat dan bertanya.

“Sebelum kita bicara tentang itu, bolehkah saya mengetahui siapa gerangan sam-wi (tuan bertiga) ini?” Kembali si bongkok tertawa sehingga matanya yang sipit menjadi makin sipit seperti dipejamkan.

“Ha-ha-ha. Bu Keng Liong. Engkau yang terkenal sebagai seorang tokoh kang-ouw yang sudah ulung. Masa tidak mengenal kami? kami adalah tiga orang busu dari kerajaan, dan keadaan kami saja sudah cukup menjadi bukti bahwa Sribaginda sudah menyetujui akan penangkapan atas dirimu. Kau pandang aku baik-baik dan kalau masih belum dapat kau mengenalku sudahlah, mungkin kau yang terlalu picik.” Bu Keng Liong memandang penuh perhatian. Tiba-tiba perhatiannya tertarik akan kipas itu. Kipas bergagang perak! Ah, tentu saja! Biarpun ia belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun nama besar busu kerajaan ini sudah pernah didengarnya. Namanya Lu Mo Kok, dengan julukan Gin-san-kwi (Iblis Kipas Perak), seorang diantara busu-busu kelas satu di kerajaan.

“Ah, kalau tidak salah, tuan ini adalah busu Lu Mo Kok yang berjuluk Gin-san-kwi!”

“Ha-ha-ha-ha, ternyata matamu masih belum buta, Bu Keng Liong! Karena engkau mengenalku, biarlah kuperkenalkan kedua orang temanku ini. Mereka berdua juga busu-busu kerajaan, saudaraku ini adalah, Sam-to-eng (Garuda Berkepala Tiga), Ma Chiang (Kakek Berbaju Emas) yang terkenal dengan julukannya Kim-coa-pang (Tongkat Ular Emas).” Diam-diam Bu Keng Liong terkejut bukan main. Dia pernah mendengar pula nama julukan dua orang ini yang tidak kalah terkenalnya daripada julukan si bongkok. Tiga orang ini adalah orang-orang berkepandaian tinggi sekali dan sudah terkenal kejam menurunkan tangan maut apabila berhadapan dengan para tokoh anti kaisar. Akan tetapi pendekar ini dapat bersikap tenang karena tadi ia bahwa ia dituduh komplotan pemberontak dan tentu saja hal ini sama sekali tidak benar, bahkan baru kemarin hampir saja keluarganya terbasmi oleh kaum anti kaisar! Ia tersenyum kata berkata.

“Ah kiranya sam-wi adalah busu-busu kerajaan yang terkenal di dunia kang-ouw. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa sepagi ini sam-wi sudah datang mengunjungi pondok kami yang butut. Hendaknya sam-wi suka menjelaskan, apakah sesungguhnya maksud kedatangan cuwi sekalian ini?” Tiba-tiba sikap Gin-san-kwi Lu Mo Kok berubah bengis matanya yang sipit melotot dan suaranya ketus. “Bu Keng Liong, tidak perlu banyak cakap lagi. Berlututlah dan menyerahlah!” Hilang kesabaran Bu Taihiap. Ia mengangkat dada, menentang pandang kakek bongkok itu dan menjawab.

“Lu-busu tadi aku dituduh komplotan pemberontak. Alangkah menggelikan dan itu hanyalah fiktif belaka. Harap kalian tidak begitu bodoh melakukan tindakan sembrono dan selidikilah dahulu perkaranya sebelum menjatuhkan fitnah keji.”

“Ha-ha-ha, Bu Keng Liong. Engkau hendak menyangkal? Sudah jelas sekali, bukankah kemarin engkau merayakan pesta shejitmu dan bukanlah di sini datang buronan kami? beranikah engkau menyangkal bahwa Sin-jiu Kim-wan Ya Thian Cu Ban-eng-kiam Yo Ciat dan Koai-Kiam-Tojin Ya Keng Cu datang ke sini?” Bu Keng Liong menjawab, suaranya masih marah,

“Tidak kusangkal! Mereka itu memang datang ke sini bersama dua orang sahabat mereka yang lain.”

“Hemm! Kalau mereka itu bukan komplotanmu, mau apa mereka datang. Tentu telah kau undang mereka,” kata pula Lu Mo Kok.

“Siapa mengundang mereka? Mereka datang dengan maksud hendak menangkap dan membunuh keponakanku, Liu Kong putera Liu Ti yang tentu kalian telah mengenalnya. Kami melawan dan hampir terjadi bentrokan senjata.”

“Ha-ha-ha! Bu Keng Liong, tidak perlu kau berusaha menipu kami. apa kau kira kami tidak mempunyai mata-mata? Keponakanmu itu tidak mereka tangkap, bahkan tidak terjadi pertandingan antara kalian dengan mereka, bukankah engkau sudah bersahabat dengan mereka dan permusuhan dihabiskan? Justru karena inilah kami datang untuk menangkapmu dan membujuk Liu Kong ke kota raja. Kami tidak menghendaki putera Liu Ti sahabat kami itu kau seret menjadi anggota pemberontak!” Pada saat itu, dari dalam muncul berlarian nyonya Bu bersama Siang Hwi, Kwee Cin dan Liu Kong. Ucapan terakhir Lu Mo Kok ini terdengar oleh mereka ini dan Liu Kong segera melompat ke depan, pedangnya sudah tercabut melintang di depan dada. Sikapnya gagah ketika ia menghadapi tiga orang kakek itu sambil berkata.

“Siapa menyebut nama mendiang ayahku? Akulah Liu Kong putera Liu Ti, kalau cuwi datang untuk berurusan dengan Liu Kong, harap tidak menyangkut orang lain, akulah orangnya!” Tiga orang kakek itu saling pandang dan tersenyum dengan muka berseri.

“Omitohud...!” Kim I Lohan berseru sambil menggerak-gerakan tongkatnya. Sungguh tidak kecewa Liu-sicu yang gagah perkasa?” Lu Mo Kok melangkah maju menghampiri Liu Kong lalu berkata,

“Orang muda, ketahuilah bahwa mendiang ayahmu adalah sahabat dan rekan kami, karena itu, kewajibanmulah sebagai puteranya meneruskan perjuangannya membela negara, membasmi para pemberontak dan pengkhianat. Marilah kau ikut bersama kami dan roh ayahmu tentu akan berbahagia menyaksikan putera tunggalnya dapat menjunjung tinggi nama orang tua, hidup sebagai seorang pahlawan di kota raja.” Mendengar ini, Liu Kong ragu-ragu dan menyarungkan pedangnya, kemudian mengangkat kedua tangan depan dada. “Ah, kiranya sam-wi adalah sahabat-sahabat dan rekan-rekan mendiang ayah? Kalau sam-wi datang tidak bermaksud buruk kepada saya, tentu saja saya tidak memusuhi sam-wi. Terimalah hormat saya seorang muda yang bodoh.”

“Kong-ji...!” Bu Keng Liong membentak, “Ingatlah kau bahwa kau adalah muridku dan kau sudah berjanji untuk tidak mengikatkan diri kepada permusuhan kerajaan.” Berubah wajah Liu Kong mendengar teguran pamannya ini dan ia melangkah mundur lagi. Wajahnya keruh dan pandang matanya ragu-ragu, agaknya ia tidak tahu bagaimana harus mengambil keputusan. Ia takut dan taat kepada pamannya yang juga menjadi gurunya. Sebaliknya ia tertarik kepada para busu dari kota raja ini. Bukankah mereka adalah rekan-rekan ayahnya? Dan tentu saja ingin menjadi seperti ayahnya!

“Ha-ha-ha, sekarang kelihatanlah belangnya Bu Keng Liong! Engkau melarang putera sahabat kami melanjutkan kegagahan ayahnya. Ini berarti engkau berpihak kepada para pemberontak, Bu Keng Liong, engkau menyerahlah dan ikut bersama-sama kami ke kota raja!”

“Aku tidak sudi menjadi kaki tangan siapapun juga!” Bu Taihiap membentak marah. Isterinya juga sudah meloncat di sampingnya, siap dengan senjata pedang di tangan. Kwee Cin juga telah mencabut senjata, demikian pula Siang Hwi. Hanya Liu Kong yang berdiri bingung.

“Bagus! Dasar berjiwa pemberontak. Kalian hendak melawan? Ha-ha-ha!” Lu Mo Kok sudah menerjang maju menggerakan kipasnya yang tadi ia pakai mengebut tubuhnya. Terdengar desir angin keras ketika gagang kipas itu menotok ke arah leher Bu Keng Liong. Pendekar ini sudah siap, cepat mengelak ke kiri. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ujung kipas itu bagaikan bermata, terus mengikuti dan mengancam lehernya. Ia terpaksa menggulungkan dirinya ke atas tanah, terus bergulingan sampai jauh baru melompat ke atas sambil mencabut pedang. Sementara itu, nyonya Bu yang tadi melihat suaminya terancam bahaya, sudah menerjang Lu Mo Kok dengan pedangnya. Akan tetapi hampir saja pedangnya terlepas dari pegangan ketika kipas di tangan Lu Mo Kok menangkisnya.

“Ha-ha-ha, benar-benar berani melawan?” Si Iblis Berkipas Perak itu tertawa mengejek, suami-isteri Bu cepat menerjangnya dan dalam sekejap mata saja ia sudah dikeroyok suami isteri ini. Siang Hwi dan Kwee Cin cepat menerjang maju untuk membantu guru mereka. Akan tetapi tiba-tiba pedang Kwee Cin terbentur dengan sebatang tongkat dan tangannya menjadi setengah lumpuh. Kiranya pedangnya ditangkis oleh tongkat di tangan hwesio berjubah emas. Terpaksa ia melayani hwesio ini sambil memutar pedangnya dengan cepat.

“Aduh-aduh......... cantik jelita! Tentu engkau ini puteri Bu Keng Liong yang tersohor. Bagus, nona manis, memang engkau cocok sekali untuk bermain-main dengan aku, ha-ha-ha!” Melihat bahwa Sam-tho-eng Ma Chiang menghadangnya, Siang Hwi marah sekali, apalagi mendengar ucapan yang tidak sopan itu. Pedangnya berkelebat menjadi sepasang naga bermain-main di angkasa.

“Bagus sekali! Wah engkau makin cantik seperti bidadari menari!” Siang Hwi marah. Siang-kiam di tangannya bergerak makin cepat, akan tetapi ternyata dengan mudah dapat di elakkan oleh Ma Chiang yang memiliki sinkang istimewa sehingga seolah-olah tubuhnya menjadi sehelai bulu yang ringan sekali.

la melayani Siang Hwi sambil tertawa-tawa mengejek dan kadang-kadang ia menggunakan tangannya yang nakal itu untuk menepuk pundak, mengelus dagu, dan mencoba untuk menyentuh dada Siang Hwi makin marah, mukanya menjadi merah sekali, matanya seperti mengeluarkan api dan pedangnya merupakan cengkeraman maut. Pertandingan berjalan dengan amat serunya, akan tetapi hanyalah Lu Mo Kok yang dikeroyok suami isteri Bu itu saja yang dapat bertanding dengan ramai dan berimbang keadaannya. Dua pertandingan yang lain hanya merupakan main-main belaka karena Kwee Cin dan Siang Hwi sama sekali bukanlah lawan dua orang busu yang berilmu tinggi itu. Liu Kong menjadi kebingungan.

“Tahan......! Tahan......! Harap sam-wi suka menghentikan pertempuran! Orang sendiri tidak perlu bertempur!” Berkali-kali pemuda itu berusaha melerai dan berteriak-teriak, akan tetapi pihak keluarga Bu makin ganas menerjang, bahkan Bu Keng Liong dengan suara marah memaki. “Liu Kong manusia tak tahu malu! Jangan banyak mulut! Kalau kau mau mengkhianati guru, kau majulah sekalian menjadi lawan kami!” Pada saat itu, terdengar suara keras pedang Kwee Cin terlempar jauh disusul robohnya pemuda ini yang kena pukul paha kirinya oleh tongkat Kim I Lohan. Setelah merobohkan Kwee Cin, Kim I Lohan membantu Lu Mo Kok, tongkatnya menyerampang kaki nyonya Bu yang cepat-cepat melompat tinggi.

Setelah kini melawan satu sama satu, Bu Keng Liong dan isterinya terdesak hebat. Pedang Bu Keng Liong memang ampuh dan hebat, akan tetapi menghadapi kipas di tangan Lu Mo Kok mendesak dan ketika kipasnya menotok lalu tiba-tiba terbuka dan mengibas ke arah muka Bu Keng Liong, pendekar itu cepat berusaha menangkis sambil membacok lengan lawan. Akan tetapi Lu Mo Kok tertawa dan tangan kirinya menyambar tepat menghantam lambung Bu Keng Liong yang berseru perlahan dan terguling roboh. Hampir berbareng tongkat Kim I Lohan juga sudah memukul pundak nyonya Bu Sehingga nyonya ini roboh pula dengan tulang pundak patah! Siang Hwi dipermainkan oleh Ma Chiang. Sampai pening-pening kepala Siang Hwi menyerang orang kurus bermuka tikus yang amat lihai itu.

“Nona, menyerahlah, aku tidak tega melukaimu seperti yang lain-lain.” Kata Ma Chiang, suaranya merayu.

“Jahanam, lebih baik mati daripada menyerah!” bentak Siang Hwi dan sepasang pedangnya kembali menyerang. Akan tetapi tiba-tiba kedua pedangnya itu terhenti gerakannya dan ketika ia memandang, ternyata kedua pedangnya telah kena dicengkeram oleh sepasang senjata cakar yang tahu-tahu telah berada di tangan Ma Chiang. Senjata cakar ini adalah sepasang sarung tangan yang ujungnya merupakan kuku-kuku runcing. Inilah senjata kuku garuda yang amat hebat, bukan hanya dapat menahan senjata tajam lawan, juga dapat digunakan untuk mencengkeram tubuh lawan dengan kuku-kuku baja itu! Siang Hwi berusaha menarik kembali dua pedangnya, namun tidak dapat terlepas dari tangan Siang Hwi! Gadis ini tidak mau menyerah. Melihat kedua orang tuanya dan Kwee Cin sudah roboh, ia marah dan nekat. Dengan tangan kosong ia maju menerjang.

“Ha-ha-ha-ha, kau cantik jelita, manis dan juga penuh semangat!” Ma Chiang berkata sambil tertawa bergelak, melepas kedua sarung tangannya dan menyambut dua tangan gadis itu yang tahu-tahu telah dapat pula ditangkapnya. Mereka berkagetan dan Ma Chiang mendekatkan mukanya, hendak mencium muka gadis itu. Muka mereka berdekatan dan Ma Chiang tertawa sambil mendengus- dengus,

“Wah, Wangi...! Wangi...!”

“Locianpwe, harap jangan mengganggu sumoi...!” tiba-tiba Liu Kong yang mencinta Siang Hwi tidak tahan menyaksikan keadaan ini. Ma Chiang tertawa menoleh kepadanya, tangannya melepaskan Siang Hwi, bergerak cepat dan tiba-tiba tubuh Siang Hwi menjadi lemas dan lumpuh terkena totokannya yang lihai. Gadis itu roboh pula dan tak dapat bergerak. Liu Kong yang melihat betapa gurunya, sute dan sumoinya sudah roboh semua dalam waktu yang singkat itu, menjadi kaget dan juga kagum. Rekan-rekan ayahnya ini benar-benar lihai bukan main, mungkin jauh sekali lebih lihai daripada Ya Keng Cu dan teman-temannya yang menyerbu kemarin. Ia cepat memberi hormat dan berkata.

“Saya suka ikut bersama sam-wi, akan tetapi harap jangan mengganggu keluarga suhu di sini. Saya berani tanggung bahwa suhu sekeluarga bukanlah kaum pemberontak, juga sama sekali tidak ada hubungan dengan orang-orang anti kaisar.” “Omitohud..., tidak bisa begini mudah! Orang she Bu ini sudah terang melawan kami, dan sikapnya seperti pemberontak. Dia harus dibawa ke kota raja menanti keputusan pengadilan di sana apakah dia termasuk pemberontak atau bukan. Kalau kelak dia mau merobah sikapnya yang keras kepala, mungkin sekali dia dibebaskan...!!” kata Kim I Lohan.

“Heh-heh, bener ucapan Kim I Lohan. Juga anak gadisnya yang galak ini harus dijadikan tanggungan. Kalau kelak dinyatakan bersih, tentu dapat menjadi sahabat-sahabat. Kalau sebaliknya, hemm biar

diserahkan kepadaku!” Ucapan Ma Chiang yang memandang tubuh Siang Hwi dengan mata penuh nafsu itu membuat Liu Kong diam-diam marah sekali. Akan tetapi ia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya membantah.

“Sudah ada saya yang menanggung mereka, apakah masih belum cukup?” Tiba-tiba Lu Mo Kok melangkah maju dan membentak,

“Orang muda she Liu! Baru saja menyatakan hendak melanjutkan perjuangan ayahmu, akan tetapi belum apa-apa sudah berani membantah kami! apa yang dikatakan kedua rekanku ini tepat sekali. Bu Keng Liong dan puterinya menjadi tawanan dan harus ikut bersama ke kota raja. Biarlah ditentukan oleh penguasa yang berhak memutuskan. Kalau memang dianggap tidak bersalah, besok pun akan dibebaskan karena atasan kami menanti tidak jauh dari sini.” Lu Mo Kok memberi isarat kepada perwira dan beberapa orang perajurit lalu membelenggu kedua tangan Bu Keng Liong ke belakang. Juga kedua tangan Siang Hwi dibelenggu, barulah dia dibebaskan daripada totokan. Sampai di sini Thio Sam, tukang kebun keluarga Bu itu bercerita. Dengan muka sedih ia lalu mengakhiri ceritanya.

“Demikianlah Kwan Bu..., eh Siauw Hiap   thai-ya dan siocia diborgol dan digiring pergi oleh mereka

itu. Liu kongcu juga pergi bersama mereka dengan menundukkan muka. Kami semua sibuk menolong hujin dan Kwee kongcu, yang terluka masuk ke dalam rumah. Bu-Hujin menangis terus dan kami semua bingung dan tak tahu harus berbuat apa. Akhirnya saya pergi menyusul Siauw Hiap di sini.”

“Siapa yang menyuruhmu lopek? Apakah Bu hujin?”

“Bukan. Baik Bu-hujin maupun Kwee kongcu tidak menyebut-nyebut namamu, akan tetapi aku teringat bahwa dahulu kau dan ibumu tinggal di kuil Kwan-im-bio. Maka aku lalu cepat menyusul dan untung dapat bertemu denganmu di sini.” Kwan Bu mengangguk-angguk.

“Tenangkan hatimu, lopek. Sekarang juga aku akan mengejar mereka dan berusaha menolong mereka” Thio Sam yang amat setia kepada majikannya itu girang sekali, cepat menghaturkan terima kasih sambil menjura. Akan tetapi ketika mengangkat mukanya, ternyata pemuda itu telah lenyap dari depannya!

Hati Liu Kong bingung sekali. Tadinya ia merasa girang bahwa kini tiba saat dan kesempatan baginya untuk meningkatkan nama dan mencari kedudukan sesuai dengan keadaan dirinya sebagai putera Liu Ti yang menjadi orang kepercayaan kaisar dalam usaha membasmi para pemberontak. Akan tetapi, kini melihat paman atau gurunya menjadi tawanan, terutama sekali Siang Hwi, hatinya gelisah dan bingung sekali. Lebih-lebih kalau melihat Siang Hwi, gadis yang di cintanya. Ia tahu bahwa Sam-tho-eng Ma Chiang si muka tikus tua Bangka itu tergila-gila dengan Siang Hwi dan kalau saja tidak ada dia di situ, tentu gadis itu akan diganggunya. Dan ia tidak dapat menjamin lagi bagaimana sikap kakek muka tikus itu kalau nanti ternyata bahwa gurunya dan sumoinya dianggap bersalah oleh pendekar yang memutuskannya. Tentu akan celakalah sumoinya di tangan Ma Chiang yang kelihatannya seperti seekor anjing  yang  kelaparan melihat segumpal daging segar. Dalam perjalanan menuju ke timur itu, Liu Kong yang tadinya bingung, mendapat akal, ia berjalan perlahan menjajari ayah dan anak yang terbelenggu dan berjalan sambil menundukkan muka.

“Siokhu (paman)   !” Bu Keng Liong yang merasa muak dan marah sekali terhadap keponakannya ini

menoleh pun tidak.

“Siokhu ,” kembali Liu Kong berkata. Bu Keng Liong tidak menjawab, akan tetapi Siang Hwi yang kini

menoleh, memandangnya dengan mata berapi dan menghardik.

“Engkau mau apalagi mengganggu ayah, orang pengecut dan khianat?” Kecut-kecut muka Liu Kong.

“Siokhu, dan sumoi, dengarlah baik-baik. Sungguh mati aku bukan seorang manusia penakut dan pengecut, apalagi hendak mengkhianati kalian. Siokhu tentu maklum bahwa aku tidak berdaya untuk menggunakan kekerasan, apa lagi mereka ini semua adalah rekan-rekan mendiang ayah. Siokhu, saya mempunyai jalan baik untuk menolong kalian..?” Bu Keng Liong tidak menoleh berkata,

“Aku tidak butuh pertolonganmu..?” Liu Kong merasa terpukul dan menggigil bibirnya. Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan berbisik lagi.

“Siokhu, tentu siokhu maklum akan perasaan hatiku terhadap sumoi. Saya lihat bahwa keadaan sumoi terancam bahaya mengerikan. Jalan satu-satunya, kalau siokhu ingin menolong puterimu, adalah menjodohkan sumoi dengan saya hanya dengan jalan inilah maka siokhu dan sumoi dapat

terlepas dari bahaya. Sebagai isteri saya dan ayah mertua saya, tentu akan mendapat keringanan.”

“Tidak sudi...! Tidak sudi...! Tidak sudi...!” Siang Hwi menangis, menundukkan mukanya. Bu Keng Liong menghela napas panjang.

“Kong-ji, aku tidak menyalahkan kau bahwa kau tidak dapat menolong kami dengan kekerasan karena memang kau bukan lawan mereka. Akan tetapi... ah, aku jauh lebih senang melihat kau menggeletak mati di sana tadi daripada melihatmu terbujuk dan kau mengikuti jejak ayahmu   !

Tentang perjodohan, dahulu mungkin sekali aku pertimbangkan, akan tetapi sekarang     tidak

mungkin lagi. Biarlah kami berdua mati kalau memang tidak ada jalan lain.” “Siokhu !”

“Sudah, aku tidak mau melayanimu lagi.” Liu Kong mencoba membujuk terus, namun sia-sia. Bahkan kini Sam-tho-eng Ma Chiang yang menaruh curiga telah mendekati mereka dan menegur sambil tertawa.

“Liu-sicu, kalau mereka ini membandel, jangan ingat lagi tentang hubungan guru murid atau paman keponakan. Tampar saja, habis perkara. Dia ini adalah tawanan! Tapi jangan kau sakiti si manis ini, heh-heh disayang dong. !”

Hati Liu Kong panas sekali, akan tetapi ia tidak berani menyatakan sesuatu dan dengan hati risau ia menjauhi ayah dan anak itu. Menjelang senja, rombongan ini tiba di kota Siang-he-koan dan langsung menuju ke kantor dan gedung pembesar setempat, di mana mereka disambut dengan hormat oleh para penjaga. Kiranya pembesar yang datang dari kota raja, yang menjadi atasan tiga orang busu itu, tingal di gedung tikoan ini. Pembesar itu adalah pengawal tinggi kehakiman dari kota raja yang mengepulai pemberantasan kaum anti kaisar. Dialah yang menjatuhkan hukuman- hukuman setempat, bahkan menjalankan pelaksanaan hukum tanpa minta pertimbangan ke kota raja lagi. Dan dengan kekuasaannya yang tinggi ini, Ciam-tai-jin (Pembesar Ciam) tentu saja mempunyai pengaruh yang amat besar,

Ditakuti semua pembesar setempat yang menyambutnya seperti menyambut kaisar sendiri. Ketika Ciam-Taijin mendengar atas penangkapan Bu Keng Liong dan puterinya, juga mendengar bahwa putera Liu Ti yang kini sudah dewasa ikut dan bersedia membantu perjuangan menumpas kaum anti kaisar, ia menjadi girang sekali. Segera pembesar yang pandai mengambil hati bawahannya ini mengadakan perjamuan untuk memberi selamat dan menyambut kedatangan Liu Kong. Ciam-Taijin menjamu tiga orang busu berikut Liu Kong di dalam taman rumah gedung tikoan, ditemani pula pembesar setempat itu yang amat menghormati tamu-tamunya. Tikoan ini seorang she Lai, gemuk pendek dan sikapnya terhadap atasan selalu merendah-rendah pandai menjilat, sebaliknya terhadap bawahan selalu menindas dan sewenang-wenang.

Memang selalu imbangan watak seorang penjilat, terhadap orang yang lebih kuat atau lebih berkuasa, ia menjilat-jilat dan orang yang bersikap seperti ini, tentu selalu menindas bawahannya. Biasanya Lai-tikoan ini hidupnya seperti seorang raja, menjadi orang yang paling berkuasa dan apa saja yang ia lakukan selalu mesti benar dan baik. Apa saja yang ia butuhkan selalu tercapai dan dilayani para hambanya yang banyak jumlahnya. Dari bangun tidur, mandi, bertukar pakaian, makan, sampai malam tidur kembali selalu dilayani, bukan hanya pelayan-pelayannya, juga selir-selirnya yang muda-muda dan cantik-cantik. Akan tetapi sekarang, dalam taman bunga itu, dia lah yang merendah diri menjadi pelayan. Untuk mengambil muka dan hati Ciam-Taijin, ia rela mengoper tugas seorang pelayan, melayani Ciam-Taijin menjamu tiga orang busu dan orang muda she Liu.

Semua itu dilakukannya dengan gembira, dan biar pun ia sebagai tuan rumah dan menemani tamu- tamu agungnya makan minum, namun setiap kali ialah yang menyuguhkan arak, menghidangkan makanan dan lain-lain. Taman bunga itu cukup terang, karena selain tersinar cahaya bulan, juga diterangi lampu-lampu teng beraneka warna. Ciam-Taijin, Lai-tikoan, tiga orang busu dan Liu Kong duduk mengitari sebuah meja bundar yang besar dan hidangan-hidangan lezat dan panas mengepul silih berganti dikeluarkan oleh pelayan-pelayan wanita yang disambut oleh Lai-tikoan sendiri kemudian diatur di atas meja. Mereka akan minum sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Hanya Liu Kong seorang diam saja, karena hatinya memang merasa gelisah kalau teringat akan nasib pamannya dan sumoinya.

“Heh-heh-heh, Liu-sicu mengapa kelihatan muram? Apakah tidak senang telah dapat menggantikan ayahmu menjadi sahabat baik kami?” Ma Chiang yang sudah agak mabok ini tiba-tiba menegur. Semua mata memandang Liu Kong dan pemuda ini menjadi gugup.

“Tidak... tidak sama sekali. Hanya saja merasa tidak enak kepada siokhu. Dia itu pamanku, juga guruku..?”

“Liu-sicu tidak usah khawatir.” Kata Ciam-Taijin menghibur. “Kalau Bu Keng Liong besok mau mendengar bujukanku agar bekerja sama dengan kita, tentu dia bukan hanya akan dibebaskan, bahkan akan kuusahakan akan menjadi busu.”

“Heh-heh-heh! Betul sekali apa yang dikatakan Ciam-Taijin. Dan puterinya itu, biarlah malam ini aku yang membujuknya. Ha-ha, mari minum untuk keselamatan Taijin yang bijaksana!” Si muka tikus Ma Chiang mengangkat cawan dan sambil tertawa-tawa mereka semua minum arak termasuk Liu Kong.

“Ha, ha, mari kita minum secawan lagi untuk merayakan kemenangan kita atas keluarga pengkhianat sehingga dapat menawan Bu Keng Liong!” kini Ciam-Taijin yang mengangkat cawan. Wajah Liu Kong menjadi berubah pucat dan semua mata ditujukan padanya. Pemuda ini maklum bahwa pembesar itu mencoba kesetiaan hatinya, maka dengan hati amat berat dan menekan perasaanya ia mengangkat cawannya pula, ditempelkan ke bibir dan araknya sudah membasahi bibir. Pada saat itu, menyambar sebuah sinar putih yang amat kecil dan,

“Cringgg...!” cawan yang menempel di bibir Liu Kong itu pecah araknya tumpah dan berhamburan. Liu Kong terkejut dan meloncat bangun, demikian pula tiga orang busu dan Ciam-Taijin. Tikoan yang gemuk pendek itu sudah gemetaran tubuhnya saking kaget dan takut.

“Liu Kong sungguh aku tidak mengira bahwa kau benar-benar seorang yang tidak ingat budi!” Suara ini disusul munculnya Kwan Bu yang berpakaian putih sederhana. Yang memecahkan cawan di tangan Liu Kong tadi adalah sebatang jarumnya.

Dengan mahir pemuda ini main senjata rahasia jarum yang dahulu dilatihnya setiap saat sampai berhasil sehingga sebatang jarum saja mampu membuat pecah cawan arak di tangan Liu Kong tanpa melukai jari tangan pemuda yang meminumnya! Semua mata kini menengok dan memandang pemuda yang memasuki taman dengan langkah yang tenang. Diam-diam para busu terheran-heran bagaimana pemuda itu dapat masuk begitu enak dan tenangnya, seolah-olah taman itu adalah tempat tinggalnya sendiri dan tidak terjaga oleh banyak pengawal di sebelah luar! Kwan Bu maklum akan ketegangan yang mencekam hati enam orang yang kini berdiri di belakang meja menghadapinya itu. Akan tetapi ia tidak perduli melihat tiga orang busu itu meraba gagang senjata, sebaliknya dengan sikap tenang ia menghadap Ciam-Taijin dan menjura dengan sikap hormat.

“Saya bernama Kwan Bu dan harap banyak maaf dari Taijin kalau kedatangan saya yang tidak diundang ini mengganggu.” Kalau tadinya wajah Ciam-Taijin membayangkan kemarahan, kini berangsur-angsur hilang terganti oleh pandang mata yang tajam menyelidik disertai kekaguman. Ada sesuatu dalam diri pemuda ini yang mengagumkannya. Masih muda, tampan dan gagah. Memasuki taman yang penuh busu dan perajurit secara begini tenang. Keberanian yang amat luar biasa, dan sebagai pembesar yang berusaha membasmi kaum pemberontak yang banyak mempunyai orang- orang pandai, ia tentu saja bermata tajam dan suka akan orang-orang yang sekiranya dapat ia andalkan untuk jadi pembantunya.

“Eh, orang muda yang gagah dan lancang. Bagaimana kau berani datang ke sini tanpa di perintah dan apa kehendakmu?”

“Taijin, kedatangan saya ini adalah karena saya menghormati Taijin sebagai seorang hakim dari kota raja yang tentu saja memegang tinggi kebenaran dan keadilan, maka saya sengaja datang menghadap untuk mohon pengadilan paduka?”

“Hemm, ada urusan apakah yang mengganggumu sehingga malam-malam kau berani mengganggu kami yang sedang makan minum di sini?”

“Bukan lain ada hubungannya tentang penangkapan atas diri keluarga Bu di Kiancu, Taijin. Bu Keng Liong semenjak dahulu terkenal sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa sehingga di dunia kang-ouw dikenal dengan sebutan Bu Taihiap (Pendekar Besar Bu). Dunia belum pernah mendengar bahwa Bu Taihiap suka mencampuri urusan poilitik, tidak pernah menentang kerajaan, juga tidak menentang mereka yang anti kaisar. Berpegang teguh kepada sifat seorang pendekar sejati. Kalau sekarang paduka menangkapnya dengan tuduhan ia memberontak, sungguh-sungguh hal ini akan membikin penasaran hati seluruh orang gagah di dunia kang-ouw.” Sampai di sini, Ciam Taijin mendegarkan dengan hati tertarik. Akan tetapi tiba-tiba Liu Kong membentak, “Engkau bujang rendah, engkau anak haram! Siapa suruh engkau mencampuri urusan ini? Di mana- mana engkau mencari muka. Sungguh menjemukan!” Melihat Liu Kong menuding-nuding pemuda gagah itu dan memakinya bujang dan anak haram, Ciam Taijin dan tiga orang busu menjadi terheran- heran. Lai-tikoan yang kini sudah timbul kembali keberaniannya, buru-buru menenggak arak untuk menindas debaran jantungnya. Kwan Bu tersenyum ketika memandang Liu Kong, akan tetapi pandang matanya berkilat.

“Liu Kong, aku memang bekas pelayan keluarga Bu, dan mungkin benar pula bahwa aku seorang anak yang tak berayah. Akan tetapi itu semua belum lah menjadi ukuran bahwa aku adalah seorang manusia rendah diri dan tidak kenal budi seperti engkau! Bu-taihiap adalah gurumu sendiri, juga pamanmu, namun engkau tega membiarkan dia dan puterinya tertangkap, malah engkau minum arak untuk merayakan kehancuran keluarga Bu. Tak kusangka bahwa untuk mengejar cita-cita, karena besarnya nafsumu mengejar kedudukan engkau menjadi buta dan kejam!” Liu Kong hendak melompat dan menerjang Kwan Bu, akan tetapi Ciam-Taijin mencegahnya dengan kata-kata halus namun penuh mengandung pengaruh dan wibawa,

“Liu-sicu, mundurlah. Dia datang untuk menghadap kepadaku, jangan engkau mengeruhkan suasana.” Liu Kong menghentikan gerakannya dan terpaksa melangkah mundur. Ia harus membiasakan diri untuk mentaati semua kehendak dan perintah atasan kalau ia ingin berhasil dalam cita-citanya. Melihat ini, Kwan Bu tersenyum mengejek.

“Eh, Bhe Kwan Bu, setelah ucapanmu yang membela Bu Keng Liong tadi, kini apakah kehendakmu datang ke sini?” Ciam Taijin menghadapi Kwan Bu dan bertanya, matanya memandang penuh perhatian. Sikap, kegagahan, dan keberanian pemuda ini amat menarik hatinya, ia sangsi apakah bocah ini memiliki kepandaian yang berarti, sungguh pun terbukti ia dapat masuk taman itu tanpa diketahui para penjaga.

“Taijin, hamba percaya akan keadilan paduka membebaskan Bu Keng Liong dan puterinya, Bu Siang Hwi. Dengan memberi kebebasan kepada ayah dan anak itu, maka seluruh dunia kang-ouw akan makin kagum pada paduka dan akan menganggap paduka sebagai pembesar yang benar-benar adil dan awas, tidak menghukum orang-orang yang tidak berdosa.” Sam-tho-eng Ma Chiang yang tergila- gila pada Siang Hwi, tentu saja menjadi khawatir kalau-kalau atasannya itu akan terbujuk dan benar- benar membebaskan gadis yang denok itu. Ia tahu akan watak Ciam Taijin yang suka akan orang- orang gagah, maka ia cepat-cepat menghardik.

“Eh, bocah yang masih ingusan! Engkau benar-benar sudah bosan hidup, ya? Kau anggap siapakah engkau ini, berani sekali menjual lagak di depan kami? siapa namamu tadi? Bhe Kwan Bu, bekas pelayan keluarga Bu dan... bocah haram pula? Apa kau tidak tahu siapa aku? Hayo lekas minggat dari sini. Sebelum dengan sekali pukul kepalamu akan kuhancurkan!” Kwan Bu tersenyum dengan tenang.

“Engkau seorang busu kerajaan, hal itu mudah saja dikenal. Kalau semua busu kerajaan seperti ini sikapnya, tidaklah aneh bahwa nama kerajaan menjadi makin suram. Busu termasuk seorang perajurit, betapa pun tinggi pangkatnya. Dan kewajiban seorang perajurit adalah membela Negara dan melindungi rakyat, terutama melindungi rakyat. Apa artinya kerajaan tanpa rakyat? Akan tetapi engkau malah memperlihatkan sikap galak dan sewenang-wenang bagaimana rakyat dapat menyukai perajurit macam ini?” Sam-tho-eng Ma Chiang marah dan tubuhnya sudah bergerak hendak menyerang, akan tetapi kembali terdengar suara Ciam Taijin.

“Ma-busu, jangan terburu nafsu. Mundurlah!” Dan seperti Liu Kong tadi, Ma Chiang menahan diri dan mundur, hanya matanya yang melotot ke arah Kwan Bu. Ciam Taijin tertarik sekali mendengarkan kata-kata pemuda itu. Sungguh merupakan ucapan yang sangat berani, akan tetapi tak dapat disangkal kebenarannya. Ia sendiri sudah merasakan dan mengerti apa yang menyebabkan pemberontakan-pemberontakan yaitu karena rakyat merasa tidak puas dengan tingkah laku para petugas negara, terutama sekali para perajuritnya yang selalu menonjolkan kekuasaan dan kekuatan, bukan untuk melindungi rakyat bahkan menindas dengan perbuatan sewenang-wenang.

“Orang muda she Bhe. Engkau terlalu berani. Agaknya engkau mempunyai andalan sehingga engkau seberani ini. Bu Keng Liong kami tangkap karena ia telah berani bersekutu dengan orang-orang anti kaisar, bahkan ia berani pula untuk melawan aturan kaisar ketika para busu datang ke rumahnya. Bagaimana engkau dapat yakin bahwa dia bukan mengandung hati memberontak terhadap kerajaan?”

“Hamba yakin, Taijin. Hamba yakin bahwa Bu Taihiap sama sekali bukan sekutu para tokoh anti kaisar, bahkan hamba sendiri menjadi saksi betapa ketika merayakan hari she-jitnya, Bu Taihiap sekeluarganya hampir bertanding mati-matian, mempertaruhkan nyawa untuk membela dan melindungi manusia tidak kenal budi Liu Kong ini. Memang harus hamba akui bahwa Bu Taihiap

orangnya keras hati dan tidak mengenal takut, karena itu mungkin saja kalau ia bentrok dengan utusan paduka, apalagi kalau busu yang galak dan sewenang-wenang!” Sampai di sini Kwan Bu, melirik ke arah sam-tho-eng Ma Chiang yang makin melotot marah,

“Sekali lagi hamba mohon paduka sukalah membebaskan Bu Taihiap dan puterinya. Bu Siang Hwi. Di samping kenyataan bahwa dia tidak berdosa dan bahwa hukuman atasnya berarti sewenang-wenang dan akan membikin kaget dan marah dunia kang-ouw, juga harap paduka ketahui bahwa Bu Taihiap adalah seorang tokoh Bu-tong-pai. Kalau saja Bu-tong-pai menjadi sakit hati dan mendendam karena ini, bukankah berarti merugikan kerajaan dan menambah musuh yang tak boleh dipandang ringan?” Tiba-tiba Kim I Lohan berkata,

“Omitohud...... kalau Bu-tong-pai berpihak kepada musuh, pinceng tidak takut menghadapinya!” Hwesio ini adalah seorang tokoh dari Siauw-lim-pai yang telah “menyeberang” dan menghambakan diri kepada kaisar, dan memang antara golongannya dan golongan Bu-tong-pai tak pernah ada kecocokan. Namun pandangan Ciam Taijin berbeda. Pembesar yang cerdik ini dapat mengerti kebenaran yang terkandung dalam ucapan Kwan Bu.

“Losuhu, dalam hal ini tidak ada hal takut atau tidak takut. Akan tetapi dalam ucapan pemuda ini ada benarnya.”

“He, Bhe Kwan Bu, ucapanmu menarik hatiku dan agaknya cukup patut untuk direnungkan. Akan tetapi ketahuilah Bu Keng Liong tertawan setelah terjadi pertandingan antara dia dan para busu, pembantuku. Karena ia ditawan dan dikalahkan dengan kepandaian, maka untuk membebaskannya, harus ditempuh jalan yang sama. Kalau kau memiliki andalan dan mengalahkan kepandaian para busu yang menawannya, barulah aku tidak akan kehilangan muka kalau menuruti permintaanmu. Beranikah engkau mencoba kepandaian para busu kami?” Kwan Bu menjura,

“Hamba datang dengan tekad untuk menolong bekas majikan hamba yang tidak berdosa. Kalau memang syarat yang paduka ajukan seperti itu, tentu saja hamba tidak akan menolak.”

“Bagus! Taijin, serahkan bocah sombong ini kepada hamba!” kata Sam-tho-eng Ma Chiang yang sejak tadi sudah marah dan benci kepada Kwan Bu sambil meloncat maju. Ciam Taijin tersenyum, lalu melangkah mundur ke bawah pohon dalam taman untuk menonton pertandingan dan memberi tempat yang luas, kemudian ia mengangguk. “Engkau boleh mengujinya, Ma-busu.” Lai-tikoan dengan jantung berdebar ikut mundur bersama Ciam Taijin, juga Liu Kong yang memandang dengan penuh kebencian kepada Kwan Bu, mundur pula.

Dua orang busu lain menonton dan penuh perhatian. Pemuda yang berani bersikap seperti itu tentulah memiliki kepandaian yang berarti, sungguh pun sebagai bekas bujang keluarga Bu, mereka memandang rendah dan menyangsikan apakah pemuda ini memiliki ilmu kepandaian yang melebihi kepandaian murid-murid Bu Taihiap. Dengan muka menyeringai dan hati girang Ma Chiang menghampiri Kwan Bu, sikapnya mengancam. Ia bertolak pinggang, mukanya yang seperti tikus itu nampak lebih runcing ke depan, dada yang tipis itu dibusungkan sehingga kelihatan seperti batang bambu bengkong, kumisnya yang jarang dan dapat dihitung jumlahnya itu bergerak-gerak seperti tikus makan tulang ketika ia mengejek.

“Heh, bocah ingusan yang sombong melewati takaran! Engkau ini hanyalah seorang bujang rendah, malah seorang anak haram yang hina, berani sekali kau berlagak di depanku. Tahukah siapa aku? Sam-tho-eng Ma Chiang kau tahu. Kalau tidak melihat sikapmu yang terlalu amat sangat kurang ajar, aku Sam-tho-eng Ma Chiang merasa malu sekali kalau harus melawan bocah ingusan macam engkau. Hayo katakan siapa gurumu yang begitu tidak becus mengajar adat kepadamu, heh?” Kwan Bu memandang sejenak, kemudian tersenyum.

“Ah, kiranya Sam-tho-eng Ma Chiang, busu yang amat terkenal dari kota raja. Tadinya kusangka bahwa seorang busu berkedudukan tinggi tentu seorang yang tahu akan peraturan dan sopan santun, siapa sangka engkau begini sombong memandang rendah orang lain. lni adalah salahnya julukanmu itulah dan ku usulkan agar engkau mengganti julukanmu itu. Ma-busu.”

“Hahh? Apa maksudmu, setan cilik?”

“Julukanmu itu Garuda Kepala Tiga. Nah, di mana di dunia ini ada garuda yang berkepala tiga, maka engkau menjadi puyeng terlalu banyak otak malah menjadi tidak genah, dan tiga buah kepala itu terlalu berat juga membuat kau sombong setengah mati. Lebih baik kau ganti julukanmu itu dengan Garuda Berkepala Angin!”

“Keparat kau bocah lancang mulut. Mampuslah!” Serangan Sam-tho-eng Ma Chiang hebat sekali. Ketika tangan menyambar ke arah kepala Kwan Bu, terdengar angin yang berdesir, tanda bahwa lweekangnya sudah kuat sekali. Dan pukulan tangan kiri itu sesungguhnya hanya pancingan karena yang benar-benar bekerja adalah jari-jari tangan kanannya yang mencengkeram ke arah perut Kwan Bu! Ternyata si muka tikus ini tidak mendapatkan julukannya dengan percuma karena memang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kwan Bu mundur dengan tenang untuk menghindarkan diri. Ia hanya melangkah mundur setindak sambil mendoyongkan tubuh ke belakang, lalu cepat kedua tangannya bergerak, yang kiri menyambut tangan kanan lawan dengan totokan dekat siku, yang kanan menyambut hantaman tangan lawan dengan pukulan tangan miring ke arah pergelangan!

“Heeiiittt!” Si muka tikus tentu saja tidak mau ditotok lengannya atau dipatahkan pergelangannya, dan diam-diam ia terkejut melihat cara pemuda itu menghadapi serangan balasan yang otomatis ini. Ma chiang melakukan gerakan melingkar dan dari samping kiri ia menubruk, kini sambil mengerahkan seluruh tenaga dan membentak keras,

Kedua tangannya membuat gerakan seperti cakar, mencengkeram ke arah pundak dan dada. Hebat bukan main serangan ini, gerakan tangannya melingkar dan amat kuat, seluruh jari tangan sudah berobah merah! Melihat ini, maklumlah Kwan Bu bahwa lawannya memiliki keistimewaan ilmu cengkeram cakar garuda dan bahwa jari-jari tangan itu sudah digembleng secara hebat sehingga amat kuat, sama dengan baja. Akan tetapi ia sudah tahu bagaiman caranya menghadapi lawan seperti ini, maka iapun dapat miringkan tubuh untuk mencari posisi, dan saat kedua tangan lawan menyambar dibarengi angin bersiut dan bau yang amis, ia cepat menggerakkan kedua tangan dari samping, dengan tangan miring ia menghantam ke arah kedua tangan lawan dengan pengerahan ginkang yang disalurkan pada ujung-ujung jarinya.

“Prattt......!” Dua puluh jari tangan saling bertemu dan hebatnya... si muka tikus itu meloncat mundur dan meringis kesakitan. Matanya yang kecil itu dipincingkan, mulutnya menyeringai, tertawa bukan menangis pun tidak, bibirnya bergerak-gerak dan kumis jarang itu bergerak-gerak pula. Terdengar tenggorokannya keluar suara,

“Aa-ad... ad... add...!” agaknya saking sakit rasa kedua tangannya sampai kiut miut rasanya menusuk jantung, ia ingin sekali berteriak-teriak dan mengaduh-aduh, akan tetapi karena malu, ia menahannya.

Pertemuan tangan tadi benar-benar terasa hebat baginya, seolah-olah bekas pukulan lawan pada tangannya itu merupakan jarum-jarum yang menusuk-nusuk menembus ulu hati! Rasa nyeri bercampur malu membuat Sam-tho-eng Ma Chiang marah sekali. Hidungnya yang kecil akan tetapi yang lubangnya besar-besar itu berkembang-kempis tampak bulu hidungnya tersembul keluar dan bergerak-gerak pula, matanya dipelototkan mengeluarkan sinar berapi, mulutnya mendengus- denguskan hawa panas. Kedua tangannya bergerak dan... kini sarung tangan Eng-Jiauw-Kang (Cakaran Garuda) telah ia pakai di kedua tangannya. Jarang sekali Ma Chiang memakai senjata ini kalau tidak menghadapi pekerjaan penting atau lawan tangguh. Senjatanya ini terbuat dari baja itu selain kuat dan runcing, juga telah di rendam racun segala macam ular dan kalajengking yang ampuh!

“Bocah setan, kau mencari mampus sendiri...!” dengusnya sambil membenarkan sarung tangannya karena ketika mengenakan sarung tangan, kedua tangannya masih terasa nyeri berdenyut-denyut agak gemetar. Lagak dan sikap Ma Chiang kelihatan lucu dalam pandangan Kwan Bu sehingga tanpa disengaja ia menjadi geli dan tersenyum lebar.

“Ah, kiranya inilah keampuhanmu sehingga engkau berjuluk Garuda Kepala Tiga? Ma-busu, belum lecet kulitmu, belum patah tulangmu, belum menetes setitik darahmu, kau sudah mengeluarkan senjatamu. Gagah benar..!”

“Cerewet     !” Ma Chiang tidak kuasa menahan kemarahannya karena dalam keadaan seperti itu.

Maka ia lalu menubruk maju, menggunakan kedua tangan bertubi-tubi melakukan serangan dengan cengkeraman mematikan.

Kwan Bu cepat mengelak. Biar pun ia maklum bahwa tingkat kepandaian si muka tikus ini sudah amat tinggi, namun ia tidak gentar, dan ia yakin dapat mengatasinya. Orang ini terlalu sombong, terlalu mengandalkan kepandaian sendiri, terutama sekali terlalu percaya akan sepasang sarung tangannya sehingga kesombongan dan ketinggian hati ini membuatnya sembrono. Kwan Bu menggunakan ginkang, tubuhnya berkelebat menjauhi serangan lawan yang bertubi-tubi. Karena pemuda ini sengaja menarik muka ketakutan, Ma Chiang makin besar hatinya, menganggap bahwa lawannya yang muda itu tentu gentar menghadapi sepasang senjatanya yang ampuh. Siapa orangnya tidak gentar, pikirnya dengan kepala membesar bangga, karena senjatanya ini jangankan sampai merobek daging mematahkan tulang, baru menggores kulit saja cukup untuk membunuh lawan! “Ha-ha-ha, bocah kemarin sore. Kau hendak lari kemana sekarang?” Ma Chiang mengejek dan mendesak terus. Semua orang melihat pertandingan ini tersenyum, termasuk Liu Kong.

“Nah, bocah haram, kau rasakan sekarang,” pikirnya. “Baru sekarang kau bertemu tanding dan kau takkan mampu bersombong lagi!”

Kwan Bu maklum bahwa lawannya makin congkak dan makin sembrono. Ia datang dengan maksud membebaskan Bu Keng Liong dan Bu Siang Hwi secara damai. Ia tidak mau menggunakan kekerasan merampas tawanan, karena selain hal ini amat sukar melawan ketatnya penjagaan, juga ia tidak ingin bermusuhan dengan petugas-petugas kerajaan. Maka, mengingat pula bahwa Ciam Taijin hanya ingin menguji kepandaiannya, tidak perduli akan nafsu si muka tikus yang hendak membunuhnya, Kwan Bu tidak ingin membunuh lawannya. Kini ia melihat kesempatan baik setelah lawannya makin sombong. Ia sengaja berlaku lambat sehingga hampir saja sebuah cengkeraman mengenai pundaknya. Ia mengelak dengan cara membanting tubuh ke kiri, akan tetapi sengaja ia membikin kakinya terpeleset dan tubuhnya terguling!

“Ha-ha, mampuslah...!” Si muka tikus girang sekali dan menubruk tanpa perhitungan lagi. Memang, kalau tubuh Kwan Bu benar-benar terpeleset roboh, tentu tubrukannya sambil mencengkeram ini takkan terelakkan. Akan tetapi ia tidak tahu bahwa roboh dan terpelesetnya Kwan Bu adalah buatan, sehingga tentu saja robohnya itu dalam posisi yang sudah diperhitungkan masak-masak. Begitu Ma Chiang menubruk, tiba-tiba Kwan Bu mengirim tendangan dengan tubuh masih rebah miring. Sebuah tendangan yang semestinya ditujukan ke bawah pusar dan sekaligus menewaskan lawan. Akan tetapi Kwan Bu hanya mengirim tendangannya ke arah kaki Sam-tho-eng Ma Chiang.

“Pletukkk...!!” Ma Chiang si Garuda Berkepala Tiga itu tiba-tiba mengangkat kaki kirinya yang tertendang menekuk lutut kaki itu dan memegang kaki dengan kedua tangan sedangkan kaki kanan berjingkrak-jingkrakan berputaran dan mulutya mendesis-desis seolah-olah seperti orang makan rujak yang terlalu banyak cabe rawitnya. Hanya mereka yang sudah pernah digajul (ditendang dengan ujung sepatu) tulang kaki keringlah yang akan dapat merasakan bagaimana nyeri, cekot- cekot, senat senut, dan kiut miut rasanya kaki kiri Sam-tho-eng Ma Chiang pada saat itu. Tulang keringnya tidak patah, akan tetapi justeru inilah yang membuat rasa nyeri setengah mati. Patah tidak, utuh pun tidak, rasanya seperti tulang kering itu digerogoti ribuan ekor semut api.

“Kau curang... addduududuuuhh...... kau curang...!” Si muka tikus yang makin berjingkrakan itu mengaduh-ngaduh dan memaki-maki.

“Omitohud... orang muda yang lihai!” tiba-tiba Kim I Lohan melangkah maju setelah mendapat isarat mata dari Ciam Taijin. Tangan hwesio ini memegang sebuah cawan terisi arak setengah penuh dan wajahnya berseri ketika ia menghampiri Kwan Bu yang masih berdiri tenang.

“Orang muda She Bhe yang gagah, pemuda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh jarang ditemukan. Dengan kepandaianmu, Ciam Taijin menganggap kau patut menjadi seorang tamu, maka telah menyuruh pinceng (aku) menyambut dengan penghormatan secawan arak. Silakan menerima arak dan meminumnya!” sambil berkata demikian, hwesio itu menyodorkan cawan arak itu dan......

ternyata arak dalam cawan itu kini mendidih dan bergerak-gerak sampai ke bibir cawan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar