Antara Dendam dan Asmara

Pagi yang cerah. Matahari baru muncul di balik bukit, menyinarkan cahayanya di permukaan bumi mengusir kabut pagi dan menggugah semua mahkluk dari kelelapan selimutan malam. Embun pagi berkilauan di ujung-ujung daun dan rumput, burung-burung berlompatan dari dahan ke dahan sambil berbunyi saling sautan, siap untuk menunaikan tugas mereka sehari- hari, yaitu mencari makan. Kelinci-kelincipun bersama dengan tikus dan binatang lain, keluar dari sarang mereka dan memulai hari itu dengan mengendus-endus dan mencari-cari makanan, baik untuk perut sendiri maupun untuk perut si kecil di dalam sarang. Semua makhluk, dari binatang terkecil sampai kepada manusia, bersiap-siap melaksanakan satu tugas yang sama dalam kehidupan ini, yaitu mencari makan! Tugas utama bagi kelangsungan hidup di dunia ini. Bekerja! Hidup tanpa bekerja sama dengan mati, karena bekerja itu pada hakekatnya merupakan kebaktian dan penyembahan kepada Tuhan Maha Pencipta. Tuhan Maha Pencipta sendiri dengan kekuasaanNya, tidak pernah berhenti bekerja. Bahkan kehidupan inipun berisikan hasil dari tugas pekerjaan yang dilaksanakan dengan sempurna. Pertumbuhan setiap makhluk itu hasil pekerjaan, berdetiknya jantung setiap saat itu hasil pekerjaan, keluar masuknya pernapasan juga hasil pekerjaan. Segala sesuatu bekerja, dan itulah kehidupan! Masing-masing dari kita, bahkan masing-masing dari anggauta tubuh kita, semua memiliki tugas tertentu dan harus dilaksanakan dengan baik. Kalau kurang baik pelaksanaan sebagian saja dari tubuh kita, maka kita akan jatuh sakit.

Hutan itu sunyi dari manusia, walaupun ramai dengan binatang yang mulai sibuk. Dari semut yang paling rajin sampai dengan binatang besar yang lamban dan nampak bermalas-malasan. Akan tetapi, kesunyian itu tidak terasa oleh seorang pemuda yang juga sedang bekerja mencari kayu bakar. Kadang dia memunguti kayu kering yang sudah tanggal dari pohonnya, kadang dia melompat ke atas dan merenggut putus sebuah dahan pohon. Dari gerakannya melompat ke atas dan merenggut putus dahan-dahan itu, dapat terlihat betapa pemuda itu memiliki gerakan yang tangkas dan ringan sekali, juga renggutan tangannya amat kuat sehingga sekali renggut saja, dahan itu patah.

Musim kering belum tua benar, tidak banyak dahan kering yang sudah tanggal dari pohonnya, maka terpaksa dia mencari dahan basah untuk kemudian dijemur dan dijadikan kayu bakar. Setelah mengumpulkan sejumlah yang cukup banyak, pemuda itu berhenti bekerja, lalu dia mulai berlatih silat di bawah sebatang pohon besar.

Pemuda itu berusia sekitar dua puluh dua tahun, wajahnya sederhana seperti pakaiannnya, namun bentuk wajah itu tampan dan gagah. Sepasang alisnya berbentuk golok, dan sepasang matanya mencorong sepeti mata rajawali, hidungnya mancung dan mulutnya membayangkan semangat yang besar namun juga keramahan hati karena bibirnya selalu mengarah senyum. Dagunya agak berlekuk, menunjukkan kekerasan yang terkandung di hati, kekerasan kemauan yang tidak mudah ditundukkan. Pakaiannya dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari kulit hitam. Di punggungnya nampak sebatang pedang. Tubuhnya sedang saja namun tegap dan berisi.

Pemuda ini bernama Song Ki San, seorang pemuda yang tinggal bersama gurunya di tepi hutan yang sunyi. Guru dan murid ini tinggal menyendiri, jauh dari tetangga, dan agaknya memang sang guru sedang bertapa atau menyepi, tidak suka hidup dalam masyarakat. Segala kebutuhan hidup mereka dipenuhi oleh pekerjaan pemuda itu. Untuk membeli lain keperluan, pemuda itu kadang menjual hasil buruannya atau menjual rempah-rempah yang dicarinya ke dalam hutan kepada penghuni dusun-dusun di sekitar daerah itu.

Ki San terus berlatih silat. Gerakannya cepat dan mengandung tenaga. Dari setiap gerakan tangannya timbul angin pukulan yang menggoyang daun-daun pohon di sekitarnya. Setelah bersilat dengan gaya yang indah dan mantap, dia lalu meloncat dan mencabut pedangnya. Nampak sinar berkelebat ketika dia mencabut pedang, menunjukkan bahwa pedang itu terbuat dari baja yang baik sekali. Kemudian dia bersilat pedang. Sayang di situ tidak terdapat orang lain yang menonton ilmu silat pedangnya itu. Kalau ada orang menonton, orang itu tentu akan kagum dibuatnya. Mula-mula pedang itu bergerak dengan gerakan yang mantap dan ingah, menusuk ke sana, menangkis ke sini, membacok ke sana dan setiap gerakannya mendatangkan suara berdesing nyaring. Kemudian makin lama pedang itu digerakkan semakin cepat sehingga akhirnya pedang dan orang tidak nampak lagi. Yang nampak hanya gulungan sinar pedang yang membungkus tubuh pemuda itu sehingga yang nampak hanya kadang kedua kakinya saja berloncatan ke sana sini. Sinar pedangnya bergulung-gulung abgaikan seekor naga bermain di angkasa, di antara awan dan mega.

“Ki San...!” sayup-sayup terdengar suara memanggil namanya. Dia sedang asyik bermain pedang dan mencurahkan seluruh perhatiannya kepada setiap gerakan. Namun karena pendengarannya sudah terlatih baik sekali, dia dapat menangkap suara panggilan sayup-sayup itu dan diapun menghentikan permainan pedangnya, menyimpan di punggungnya dan menghampiri tumpukan kayu bakar yang tadi sudah diikatnya, memanggul di pundaknya dan diapun berlari-lari menuju ke arah suara yang tadi memanggilnya.

“Ki San...!” suara itu memanggil dari dalam pondok. Ki San melempar tumpukan kayu bakar ke atas tanah lalu berlari memasuki pondoknya. Suara gurunya demikian lemah. Memang sudah sejak sepekan ini gurunya yang akhir-akhir ini lemah berpenyakitan, hanya rebah di pembaringan tidak mampu turun karena menderita sakit.

“Suhu...!” Ki San memasuki kamar suhunya, dan duduk di tepi pembaringan, memandang suhunya yang terengah-engah, napasnya satu-satu. “Suhu, kau kenapakah?”

“Ki San..., penyakitku kambuh hebat... aku... aku tidak kuat lagi...” kata orang tua yang berusia sekitar enam puluh tahun itu.

“Suhu, apakah suhu sudah minum obat yang tadi kusediakan?” tanyanya dengan bingung.

“Sudah, tidak ada gunanya... luka lama kambuh kembali. Dengar Ki San, engkau belum tahu, aku dahulu adalah seorang panglima yang memimpin perang dan terluka parah dalam perang, nyaris tewas. Luka itu sembuh akan tetapi sering kali kumat. Dahulu sebatang tombak memasuki perutku, ahh...”

“Suhu, tenanglah. Tidak baik banyak bicara, suhu perlu beristirahat.”

“Tidak, kau harus mendengar segalanya selagi... selagi aku masih kuat bicara. Dengar, Ki San, aku mempunyai sebuah ganjalan hati... aku mempunyai seorang musuh besar. Maukah engkau mewakili aku dan membunuh musuhku itu?”

Ki San terkejut. “Akan tetapi, suhu. Berulang kali suhu melarang teecu (aku) membenci dan mendendam, apa lagi membunuh orang karena dendam!”

“Memang benar, akan tetapi dengarlah... orang itu... dia telah merampas satu-satunya orang yang kucinta, merenggut wanita yang menjadi isteriku itu dari tanganku. Aku... tidak akan dapat mati dengan mata terpejam sebelum dapat membunuhnya...! maukah engkau melakukan untuk aku...?”

Ki San mengerutkan alisnya. Perbuatan orang itu keterlaluan sekali. Merampas isteri suhunya? “Siapa orang itu, suhu?”

“Namanya Kwan Ciu Ek dan tinggal di Wi-keng di selatan Sungai Kuning. Dia... dia dahulu adalah sahabat baikku... akan tetapi berhati-hatilah, dia memiliki ilmu kepandaian yang lihai. Karena itulah maka aku menurunkan semua kepandaianku kepadamu, Ki San, dan aku yakin sekarang engkau akan mampu mengalahkannya...”

Melihat muridnya diam saja, orang tua itu lalu berusaha untuk bangkit, akan tetapi dia tidak kuat dan cepat Ki San menopangnya.

“Ki San, berjanjilah bahwa engkau akan mencarinya dan membalaskan sakit hatiku.” “Baiklah, suhu. Aku berjanji!”

Baru orang itu kelihatan lega dan dia tertidur kembali. Muridnya menjaganya dan berusaha memberinya obat, akan tetapi semua itu sia-sia belaka karena dua hari kemudian orang tua itu meninggal dunia dan pesannya yang terakhir adalah penekanan agar murid itu mau membalaskan dendamnya terhadap orang yang bernama Kwan Ciu Ek.

Ki San menangisi kematian gurunya. Dia adalah seorang anak yatim piatu, ayah ibunya juga meninggal dunia ketika terjadi perang. Dalam pengungsian, ayah ibunya bertemu gerombolan penjahat dan merekapun dirampok dan dibunuh. Dia sendiri sempat melarikan diri dan terlunta- lunta sampai dia ditemukan gurunya dan diajak pergi. Sejak itu, sejak berusia dua belas tahun, dia ikut gurunya dan dia menganggap gurunya sebagai pengganti kedua orang tuanya. Dia digembleng ilmu silat dan ilmu membaca menulis oleh gurunya yang amat menyayangnya. Maka, kini kematian gurunya membuatnya merasa kehilangan segala-galanya dan dia menangis sedih di dalam makam gurunya yang berada di belakang pondok dan dibuat secara sederhana sekali. Karena dia tidak bertetangga, maka dia menguburkan jenazah gurunya secara diam-diam seorang diri pula sambil menangis.

Kenapa kematian seseorang selalu ditangisi? Untuk apa dan untuk siapakah orang menangisi kematian seseorang? Untuk siapakah kedukaan karena kematian itu? Tanpa kita sadari, sebetulnya kesedihan itu adalah untuk diri sendiri. Bukan untuk si mati. Tidak mungkin kita menyedihkan si mati karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi dengan si mati. Kita bersedih melihat orang sakit atau orang terhukum karena iba melihat penderitaannya. Akan tetapi mati? Kita tidak tahu apakah yang mati itu akan menderita ataukah tidak, maka semua tangis itu sebetulnya terjadi karena iba diri, karena kita merasa kasihan kepada diri kita sendiri. Kita ditinggal orang yang kita kasihi, kita merasa kehilangan, kesepian, karena itulah kita menangis! Bukan karena yang mati.

Kalau Ki San teringat kepada yang mati, sepatutnya dia bersukur tidak menangis. Bersukur karena orang yang dicintanya itu setidaknya telah terbebas dari pada rasa sakit. Tidak, diapun tidak menangisi yang mati, melainkan menangis karena merasa ditinggalkan dan merasa betapa kini dia hidup sebatang kara di dunia ini.

Akan tetapi Ki San segera dapat menghentikan tangisnya. Dia memang memiliki kekerasan hati sehingga dia tidak membiarkan diri berlarut-larut dicekam duka. Gurunya sudah mati, sudah habis. Karena itu, dia harus melanjutkan seorang diri, dan dia bahkan ditinggali sebuah tugas oleh gurunya. Membalas dendam! Sejak kecil gurunya sudah mengajarkan agar hatinya jangan dikacau dendam kebencian, akan tetapi sekali ini lain lagi. Dia harus melaksanakan pembalasan dendam itu, setidaknya untuk membalas budi suhunya yang bertumpuk-tumpuk. Dia akan pergi mencari Kwan Ciu Ek dan akan dibunuhnya orang yang telah merampas isteri suhunya itu. Ki kota Wi-keng, di seberang selatang Huang-ho, itulah tempat tujuan perjalanannya.

Pada masa itu pemerintahan amatlah lemahnya. Kaisar agaknya kurang memperhatikan jalannya pemerintahan dan hanya berenang di dalam kesenangan dan foya-foya sehingga para pejabat berkiprah seenaknya tanpa ada yang mengawasi. Mereka melakukan korupsi besar- besaran dan tidak memperhatikan pemerintahan, hanya mementingkan diri pribadi belaka. Semua tugas yang harus mereka lakukan, mereka kerjakan dengan tujuan kepentingan pribadi, maka tentu saja terjadi penyelewengan-penyelewengan dan korupsi. Rakyatlah yang menderita, bukan hanya menderita dari para pejabat, akan tetapi juga menderita dengan tumbuhnya banyak gerombolan penjahat yang seolah tidak ada yang mengawasi atau menghalangi.

Perbuatan apapun di dunia ini selalu dikerjakan orang dengan pamrih, dengan tujuan. Pada hal, yang penting bukanlah tujuannya, melainkan caranya. Tujuan hanyalah khayal belaka, hanyalah keinginan tercapainya sesuatu. Akan tetapi cara adalah keadaan yang sebenarnya, cara adalah apa yang kita kerjakan. Kalau caranya baik, maka akhirnya juga tentu benar. Sebaliknya, betapapun mulia tujuannya, kalau cara melaksanakannya tidak baik dan tidak benar, maka tujuan akhir itu juga tidak benar. Banyak orang memakai cara yang salah untuk melakukan suatu tujuan dengan dalih tujuan yang mulia, yang benar. Akan tetapi hal itu tidak mungkin terjadi. Cara yang kotor tentu menghasilkan tujuan akhir yang kotor pula. Hidup ini adalah cara demi cara, saat demi saat, apa yang kita lakukan sekarang ini, bukan apa yang akan menjadi hasil perbuatan yang kita lakukan sekarang. Yang terpenting, kita melakukan segala sesuatu sebaik mungkin, tanpa pamrih demi kepentingan pribadi. Berhasil atau tidaknya, terserah karena kita tidak kuasa untuk menentukan hasil suatu pekerjaan. Demikianlah para pejabat itu. Kalau mereka itu melaksanakan tugas mereka tanpa pamrih kepentingan pribadi, tanpa tujuan untuk mencari keuntungan sebesarnya untuk diri sendiri, kalau tugas itu mereka laksanakan sebagai suatu kewajiban, demi pekerjaan itu sendiri, maka tentu mereka akan mendapatkan hasil yang baik bagi pemerintahan. Akan tetapi kalau semua pejabat melakukan korupsi, manipulasi, menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan, menindas yang lemah menjilat yang kuat, menginjak yang bawah menghormat yang atas, maka tentu saja akibatnya pemerintahan menjadi lemah dan buruk.

Ki San sedang melangkah seorang diri, membawa buntalan pakaian dan pedangnya, dan berjalan melamun. Sungai Kuning sudah dekat berada di depan, kurang lebih satu li lagi. Sawah ladang penduduk sudah mulai nampak subur di tepi sungai, akan tetapi suasananya sunyi pada siang hari itu. Padi belum berbuah, maka tidak perlu ditunggui.

Selagi dia melangkah perlahan, dia mendengar suara riuh rendah orang berteriak-teriak di dusun sebelah kiri. Di sana terdapat sebuah dusun petani yang hidupnya mengandalkan hasil pertanian dan mereka hidup sederhana. Maka, sungguh mengherankan di siang hari itu terdengar banyak orang berteriak-teriak. Pasti telah terjadi sesuatu yang luar biasa, pikir Ki San. Dia lalu membelokkan langkahnya menuju ke dusun itu dan perhatiaannya semakin tertarik ketika di antara suara gaduh itu dia mendengar teriakan orang menangis. Wanita menjerit dan tanda-tanda bahwa di sana sedang terjadi tindakan kekerasan. Ki San lalu berlompatan dan berlari cepat memasuki dusun itu dan apa yang dilihatnya membuat darahnya bergolak panas. Segerombolan orang sedang melakukan perampokan di dusun itu. Mereka membawa keluar ayam, kambing dan bahkan menuntun sapi, ada pula yang memanggul wanita-wanita muda yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, ada yang sedang memukuli para pria yang agaknya hendak melawan mempertahankan ternak, anak gadis atau isteri mereka.

Dengan beberapa kali loncatan, Ki San sudah tiba di tempat itu dan beberapa kali tangannya menampar dan kakinya menendang. Seorang yang memanggul wanita, melepaskan wanita itu dan dia terpental oleh tendangan kaki Ki San, jatuh berdebuk dan bergulingan. Seorang lagi penculik wanita, tiba-tiba ditampar kepalanya sehingga terpelanting jatuh dan tidak mampu bangkit kembali.

Dua orang yang sedang memukuli seorang penduduk ditangkap oleh Ki San pada rambut kepalanya, dijambak dan kedua kepala itu lalu diadu sehingga keduanya roboh dengan kepalanya terasa retak.

Para perampok yang melihat munculnya pemuda asing ini menjadi marah sekali. mereka mencabut golok dan belasan orang itu lalu mengeroyok Ki San dari segala jurusan. Golok mereka berkelebatan menyambar ke arah tubuh Ki San dengan kemarahan meluap karena mereka menganggap pemuda ini sebagai penghalang. Namun Ki San tidak menjadi gentar. Dia melihat bahwa para perampok itu hanyalah orang-orang kasar yang mengandalkan tenaga melakukan kekerasan, namun tidak ada di antara mereka yang memiliki ilmu silat yang berarti. Oleh karena itu, dia menghadapi belasan orng itu dengan tangan kosong saja, tidak mencabut pedangnya karena diapun tidak ingin membunuh orang.

Begitu orang-orang itu menyerbu, Ki San menggunakan keringanan tubuhnya, bergerak dengan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok). Terdengar teriakan- teriakan para perampok disusul golok mereka beterbangan dan merekapun terpelanting ke kanan kiri. Kemudian Ki San menggunakan ilmu tendangan Siauw-cu-twi (Tendangan Berantai) dan dalam waktu beberapa menit saja, semua perampok telah jatuh bangun. Mereka menjadi gentar sekali dan begitu dapat merangkak bangun, mereka lalu melarikan diri meninggalkan semua barang rampasannya, lari tunggang langgang tanpa menoleh lagi.

Melihat ini, penduduk dusun, dipimpin oleh kepala dusun, menjatuhkan diri berlutut menghadap Ki San untuk menghaturkan terima kasih. Akan tetapi Ki San hanya berkata, “Mulai sekarang, saudara sekalian haruslah bersatu padu, mempersiapkan senjata dan kalau ada datang gerombolan perampok, jangan takut akan tetapi keroyoklah. Bukankah jumlah saudara sekalian jauh lebih besar dari jumlah mereka? Kalau kalian bersatu dan melawan, tidak ada gerombolan perampok yang akan berani mengganggu.”

“Terima kasih, taihiap. Kami memang belum apa-apa sudah merasa ketakutan. Mulai hari ini, kami akan siap siaga melakukan perang terhadap semua perampok yang berani mengganggu dusun kami, dan kami akan mengadakan latihan ilmu berkelahi!”

“Bagus, modal utama untuk menjaga diri adalah keberanian dan semangat. Nah, selamat menjaga kampung sendiri!” Ki San lalu berkelebat lenyap dari depan orang-orang itu. Dan benar saja, sepeninggal Ki San, kepala dusun itu segera memanggil orang yang mengerti ilmu silat dari kota, menyuruh semua warganya mempelajari ilmu silat walaupun tidak terlalu banyak, dan melakukan penjagaan ketat sehingga tidak ada lagi perampok berani mencoba-coba untuk mengganggu dusun itu.

Akan tetapi urusan itu tidak habis di situ saja bagi Ki San. Kepala perampok yang dihajar babak belur itu merasa penasaran dan sakit hati sekalo. Dia lalu menghubungi rekannya yang menjadi bajak di sepanjang Sungai Huang-ho daerah itu, dan dengan berbohong dia melaporkan bahwa ada seorang pemuda yang membawa uang banyak, akan tetapi pemuda itu lihai sekali. Mereka lalu bersekongkol untuk menjebak dan membajak pemuda itu kalau nanti melakukan penyeberangan.

Menjelang sore hari, benar saja muncul Ki san di tepi sungai dan dia mencari-cari tukang perahu untuk membawanya ke seberang sungai. Selagi dia celingukan ke kanan kiri, datang sebuah perahu kecil yang ditumpangi seorang tukang perahu yang membawa jala. Seorang nelayan rupanya.

“Heii, paman tukang perahu, maukah engkau menyeberangkan aku ke seberang sana? Berapa biayanya akan kubayar.”

“Menyeberang? Tentu saja kalau bayarannya cukup memadai karena tadinya aku hendak menjala ikan, orang muda,” kata nelayan setengah tua itu.

“Jangan khawatir, aku akan membayarmu cukup seperti yang kauminta. Pinggirkan perahumu, paman.”

Tukang perahu mendayung perahunya ke tepi dan Ki San lalu melangkah ke dalam perahu. Perahu didayung ke tengah. “Mudah-mudahan kita akan sampai ke sana sebelum malam tiba, paman.”

“Tentu dapat, orang muda, jangan khawatir.”

Bagian dari sungai itu sunyi dan tidak nampak perahu lain. Akan tetapi ketika perahu tiba di tengah sungai, dari kanan kiri mendatangi belasan buah perahu dengan orang-orang berpakaian hitam dan nampak bengis, setiap perahu ditumpangi dua orang dan perahu-perahu itu sengaja mengepung dan menghadang perahu yang ditumpangi Ki San.

“Siapakah mereka, paman?” tanya Ki San sambil mengerutkan alisnya.

“Celaka, orang muda, mereka adalah bajak-bajak sungai,” kata nelayan setengah tua itu. “Jangan takut, aku akan melawan mereka!” kata Ki San.

Di atas sebuah di antara perahu-perahu itu, seorang laki-laki tinggi besar dan brewokan berdiri di kepala perahu dan orang itu menudingkan golok besarnya ke arah Ki San.

“Orang muda, kalau ingin selamat, tingglkan buntalan dan semua barang milikmu!”

“Kalian ini bajak-bajak yang ngawur saja,” kata Ki San dengan tenang. “Aku tidak mempunyai apa-apa, buntalan ini hanya berisi pakaian yang tidak berharga. Jangan menggangguku dan biarkan perahu ini lewat!”

“Orang muda sombong, berani engkau membantah perintahku! Rampas barang-barangnya!”

Empat orang bajak melompat ke ats perahu kecil yang ditumpangi Ki San. Namun Ki San menyambar mereka dengan tendangan dan tamparan yang membuat ke empatnya roboh terpelanting ke dalam air. Bajak-bajak dari perahu lain menggunakan tombak panjang untuk menyerang dari kanan kiri. Karena serangan itu berbahaya sekali baginya, Ki San lalu mencabut pedangnya dan setiap kali dia menangkis dengan pedangnya, ujung tombak atau dayung yang dipergunakan mereka untuk menyerangnya, patah-patah! Hal ini mengejutkan para bajak laut, dan baru mereka mendapatkan kenyataan betapa keterangan rekan perampok mereka itu benar adanya. Pemuda ini lihai sekali. Akan tetapi, tukang perahu yang tadinya nampak ketakutan, mendadak membungkuk dan mencabut kayu yang dipakai menyambat perahunya yang bocor berlubang, lalu diapun melompat ke dalam air. Kiranya tukang perahu atau nelayan itu hanyalah nelayan palsu, karena diapun sebenarnya anggauta bajak yang memang sengaja bertugas sebagai umpan. Perahunya adalah perahu yang sudah dilubangi dan disumbat dengan kayu. Maka ketika penyumbatnya dicabut oleh tukang perahu itu, air lalu dengan derasnya masuk ke dalam perahu. Ki San yang sedang menangkisi tomobak-tombak yang menyerangnya, tidak tahu akan perbuatan si tukang perahu. Setelah tukang peahu itu meloncat ke dalam air dan dia melihat perahu bocor, barulah dia tahu. Sekali ini Ki San tidak dapat bersikap tenang lagi. Dia tidak begitu pandai berenang dan perahunya bocor, terancam tenggelam.

Biarpun demikian, Ki San masih melawan terus dan perahu sudah tenggelam sampai di pahanya. Dia bertekad melawan terus sampai napas terakhir.

Akan tetapi, pada saat itu, datang meluncur sebuah perahu lain yang ditumpangi seorang gadis berpakaian merah muda. Begitu memasuki daerah pertempuran itu, gadis ini sudah menggunakan pedangnya mengamuk dan menyerang para bajak, lalu mendekati perahu Ki San. Gerakan pedangnya cukup hebat sehingga banyak perahu bajak yang terpaksa mundur.

“Cepat melompat ke perahuku ini!” kata gadis itu yang melihat betapa tubuh Ki San sudah hampir tenggelam. Ki San tidak dapat melompat, lalu meraihkant tangannya ke perahu itu, berhasil memegang tepi perahu dan sekali mengayun tubuhnya dia sudah berada di perahu si gadis.

Gadis itu mendayung perahunya menjauh, akan tetapi tiba-tiba perahunya terguncang. Tahulah dia bahwa para bajak lalu menggunakan kepandaian mereka di dalam air dan dengan menyelam dan berenang mereka hendak menggulingkan perahunya! Dia lalu bangkit berdiri dan dayungnya menghantam ke kanan kiri, mengenai tangan-tangan yang memegangi perahunya dari bawah.

“Plak-plak-desss...!” bajak-bajak itu menjadi kesakitan dan gadis itu berkata kepada Ki San. “Bantu aku, gunakan pedangmu dan serang tangan-tangan mereka!”

Akan tetapi Ki San tidak tega untuk membuntungi lengan orang. Dia melihat perahu dan dayungnya terapung menelungkup di atas air maka dia meraih dayungnya dan dengan dayung itu dia kini menjaga sambil berdiri di perahu. Setiap kali ada kepala atau tangan tersembul dekat perahu, segera dihantamnya dengan dayung. Gadis itu kini dapat mendayung perahunya menjauh dan tak lama kemudian perahu telah dapat sampai ke tepi sungai. Keduanya meloncat ke darat dan siap melawan dengan pedang mereka. Akan tetapi, para bajak laut itu agaknya menjadi jerih dan merekapun memutar perahu mereka dan meninggalkan tempat itu.

Setelah para bajak laut itu pergi, barulah Ki San menghadapi gadis itu. Dia melihat seorang gadis yang berusia sekitar dua puluh tahun, tubuhnya sedang dan ramping, pakaiannya serba merah muda dan ringkas, rambutnya digelung ke atas, badannya tidak mengenakan perhiasan namun tidak mengurangi kecantikannya. Rambut itu hitam dan panjang, sehitam alisnya yang kecil melengkung. Matanya lembut, namun kadang dapat mencorong seperti mata burung Hong, hidungnya kecil mancung dan mulutnya indah, dihias lesung pipit di sebelah kanan bibirnya dan sebuah tahi lalat hitam kecil di sebelah kiri bibirnya. Seorang gadis yang cantik jelita, dan gagah perkasa.

“Nona, sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dengan nona. Pertolongan nona telah menyelamatkan nyawaku. Tak tahu aku bagaimana harus berterima kasih kepadamu.”

“Jangan berterima kasih. Sudah semestinya kalau aku menentang pada bajak laut yang jahat itu dan menolong orang yang mereka bajak, siapapun dia orangnya.”

“Engkau bijaksana sekali, nona. Dalam sehari aku bertemu dengan banyak orang jahat, pertama segerombolan perampok yang dapat kupukul mundur, baru beberapa jam saja sudah bertemu lagi gerombolan bajak sungai yang kejam. Kukira tidak ada lagi manusia baik di dunia sampai aku bertemu denganmu!”

Gadis itu menghela napa panjang. “Memang sekarang banyak sekali gerombolan penjahat dan di daerah ini, yang menjadi pusatnya adalah gerombolan yang menamakan dirinya Hek-coa- pang (Perkumpulan Ular Hitam). Bahkan para bajak sungan dan perampok, semua tunduk kepada perkumpulan itu yang dipimpin oleh seorang datuk sesat yang lihai.”

“Hemm, apakah para pejabat daerah yang memiliki pasukan penjaga keamanan tidak ada yang turun tangan membasminya?”

“Huh, mana ada petugas keamanan yang membasminya? Bahkan aku mendengar Hek-coa- pang itu dilindungi karena setiap bulan mengirim upeti kepada pejabat-pejabat yang berwenang.”

“Celakalah rakyat kalau begitu!”

“Begitulah, dan hanya menjadi kewajiban orang-orang seperti kita ini untuk menentang dan membasminya.”

“Nona, aku kagum sekali kepadamu. Perkenalkan, namaku Song Ki San, seorang yang hidup sebatang kara dan yatim piatu, tidak mempunyai keluarga di dunia ini. Aku seorang perantau, nona dan kebetulan lewat di daerah ini.”

“Aku melihat bahwa engkaupun seorang gagah, saudara Song. Aku tadi melihat engkau tidak mau menyerah walaupun perahumu sudah hampir tenggelam. Aku bernama Yo Li Lian, aku tinggal di kota Wi-keng.”

Ki San terkejut mendengar disebutnya kota itu. “Wi-keng...?” “Kenapa, saudara Song?”

“Ah, tidak apa-apa,” Ki San menenteramkan hatinya. Dia merasa tidak perlu menyebut tentang musuh besarnya di kota Wi-keng. “Hanya rasanya aku pernah mendengar tentang kota Wi-keng itu? Bukankah letaknya di seberang sana, sebelah selatang Huang-ho?”

“Benar, dan keadaan di selatang Huang-ho yang lebih subur itu jauh bedanya dengan sebelah utara ini. Di selatan banyak terdapat pendekar yang menentang para penjahat, juga petugas masih melaksanakan tugasnya dengan baik. Maka di sana tidaklah begini rusuh seperti di sini, di mana kejahatan merajalela mengganggu kehidupan rakyat jelata.”

“Alangkah baiknya kalau para pendekar suka bergerak membasmi gerombolan-gerombolan itu. Aku tadi sudah memberi nasihat kepada penduduk dusun yang diserang perampok agar mereka itu bersatu, tidak menyerah kepada perampok. Jumlah penduduk amat besar, kalau mereka bersatu dan melawan, kuyakin para perampok itu tidak akan mampu merajalela.”

“Benar, memang rakyat harus digerakkan untuk bersatu dan melawan, demi keselamatan mereka sendiri. Kebanyakan rakyat belum apa-apa sudah ketakutan dan hanya menyerah dibuat sesuka hati para penjahat. Oya, saudara Song, kebetulan sekali bertemu denganmu. Bagaimana kalau engkau membantuku?”

“Membantu apakah, nona?”

“Aku sedang berusaha untuk membasmi gerombolan Ular Hitam itu. Kalau aku mendapatkan bantuanmu, tentu akan lebih mudah membasminya!”

Ki San memandang kagum. Seorang gadis berusia dua puluh tahun, seorang diri hendak menghadapi gerombolan yang buas! Sungguh merupakan kegagahan yang luar biasa. “Tentu saja aku suka membantumu, nona. Akan tetapi kauceritakan dulu keadaan gerombolan itu, agar aku lebih jelas mengenalnya.”

“Mari kita duduk di dalam perahu lagi, saudara Song. Lebih enak kita bicara di sana dan sebaiknya malam ini juga kita melanjutkan perjalanan melalui air, lebih mudah dan enak, apa lagi malam ini terang bulan.”

“Menuju ke tempat gerombolan Ular Hitam?”

“Ya, tempat atau sarangnya di sana itu, di Bukit Ular Hitam,” ia menuding ke arah barat di mana nampak sebuah bukit yang sudah nampak menghitam menjelang senja itu.

Keduanya lalu duduk di atas perahu dan masing-masing memegang sebatang dayung. Lalu gadis itu menarik napas panjang. “Gerombolan Ular Hitam itu sebetulnya tidak mempunyai banyak anak buah, paling banyak hanya dua puluj orang, akan tetapi karena ketuanya lihai sekali, maka banyak gerombolan penjahat takluk dan selalu mengirim sebagian hasil perampokan atau bajakannya.”

“Nona, siapakah ketua dari gerombolan itu?”

“Saudara Song Ki San, harap jangan sebut aku nona. Setelah kita bersahabat dan akan bekerja sama membasmi gerombolan, terdengar terlalu sungkan dan tidak akrab sebutan itu. Namaku Li Lian, Yo Li Lian.”

“Nama margamu Yo?” Ki San teringat akan nama marga gurunya, yang bernama Yo Kiat. “Lalu aku harus menyebut apa? Bagaimana kalau kusebut adik Lian?”

“Senang sekali, saudara Song.”

“Nah, kalau aku menyebut adik, sepantasnya engkau menyebut kakak kepadaku, Lian-moi.”

“Baiklah, San-ko (Kakak San). Nah, begini lebih enak, bukan? Apa pertanyaanmu tadi? Nama ketua gerombolan itu? Dia seorang datuk sesat dan nama julukannya ya Ular Hitam itulah. Namanya Bong Kit Siong, jadi nama lengkapnya Hek-coa Bong Kit Siong. Dia terkenal sekali dengan permainan siang-tonya (sepasang golok).”

“Dan engkau berani seorang diri hendak menyerbu ke sana?”

“Aku mempunyai seorang sahabat perempuan yang pada suatu hari, sepekan yang lalu melakukan perjalanan menyeberang Huang-ho ke utaran dan temanku itu bersama ayahnya diserang gerombolan Ular Hitam. Ayahnya tewas dan temanku itu diculik. Karena itulah aku sekarang memberanikan diri untuk melakukan penyelidikan, kalau mungkin aku akan menyelamatkan sahabatku itu dan menewaskan Hek-coa Bong Kit Siong agar agak amanlah keadaan di daerah ini.”

“Jahat sekali! engkau benar, Lian-moi. Memang penjahat seperti dia harus dibasmi. Aku senang sekali engkau mengajak aku.”

Perahu itu lewat di sebuah dusun di tepi sungai. “Kita berhenti dulu, aku akan mencari makanan di dusun itu untuk kita berdua makan malam.”

Ki San mengangguk dan dia merasa senang sekali. seorang gadis yang cantik, gagah perkasa dan bijaksana. Mereka mendayung perahu ke tepi dan Li Lian meloncat ke darat, lalu menghilang di antara rumah-rumah dusun. Tak lama kemudian ia sudah tiba kembali membawa roti kering dan dendeng, juga seguci air teh. Mereka lalu makan minum di perahu itu dan setelah selesai mereka melanjutkan perjalanan. Malam itu mereka mendayung bergantian. Kalau yang seorang mendayung, yang lain rebah dan mencoba untuk tidur.

Pada keesokan harinya, tibalah mereka di kaki bukit Ular Hitam itu. Agaknya, anak buah Ular Hitam memang tidak pernah melakukan penjagaan karena mereka yang menguasai seluruh daerah itu menganggap bahwa tidak akan ada orang berani datang memusuhi mereka. Para gerombolan berdatangan ke bukit itu hanya untuk membagi hasil rampokan mereka. Mereka hidup enak-enak di situ, menikmati hasil pembagian para gerombolan.

Karena itu, dengan mudah Ki San dan Li Lian menyusup sampai ke lereng yang menjadi sarang gerombolan itu. Sarang itu merupakan sebuah perkampungan kecil dengan dua puluh lebih buah rumah yang lumayan terbuat dari pada kayu dan di situ anak buah gerombolan tinggal bersama keluarga masing-masing. Di tengah terdapat sebuah rumah besar dan itulah tempat tinggal Hek-coa Bong Kit Siong.

Hari masih pagi dan para anggauta gerombolan yang biasa hidup bermalas-malasan itu belum ada yang bangun. Ki San dan Li Lian menyelinap ke atas. Ketika melihat seorang anggauta gerombolan berada di samping rumahnya, masih nampak malas-malasan, Ki San lalu meloncat dan sekali menggerakkan tangannya, dia telah menotok roboh orang itu dan diseretnya tubuh orang itu di balik semak-semak di mana telah menunggu Li Lian.

“Hayo katakan di mana gadis bernama Ciu Kwan Bi berada! Kalau engkau tidak mengaku, pedang ini akan menyembelih lehermu!” Li Lian berkata sambil menempelkan pedang di leher anak buah Hek-coa-pang itu. Orang itu menjadi pucat sekali wajahnya. “Semua tawanan berada di rumah tawanan, nona... aku... aku mohon ampun...”

“Hemm, berapa orang tawanan berada di sana? Dan mereka itu siapa saja?”

“Ada belasan orang, sepuluh wanita dan lima orang pria. Mereka ditawan menanti uang tebusan.”

“Dan nona Ciu Kwan Bi?”

“Ia... ia hendak diperisteri pangcu, tapi masih belum mau.. dan ia ditawan, pekan depan akan dipaksa menikah dengan pangcu.”

“Jahanam busuk!” Li Lian memaki dan pedangnya ditempelkan semakin kuat ke leher itu sehingga yang mempunyai leher meringis kesakitan.

“Hayo, antar kami ke rumah tahanan itu,” bentak Li Lian. “Baik, nona...”

Dengan berindap-indap kedua orang pendekar itu lalu menggiring anak buah gerombolan menuju ke sebuah rumah besar yang letaknya di belakang rumah tinggal Hek-coa Bong Kit Siong. “Itulah tempatnya, nona, aku... aku tidak berani maju lagi... di sana terjaga...”

“Biar aku yang menyelinap masuk,” kata Ki San dan Li Lian mengangguk menanti di luar rumah itu sambil menodongkan pedangnya kepada anak buah gerombolan yang menjadi tawanannya.

Dua orang penjaga rumah tahanan itu terkejut ketika tiba-tiba ada seorang pemuda muncul di depan mereka. Keduanya duduk menghadapi meja dan melihat seorang pemuda asing, mereka terkejut dan menegur sambil mencabut golok.

“Hei, siapa engkau...”

Akan tetapi jawaban yang mereka peroleh adalah tangan yang menyambar cepat mengenai pundak dan dada sehingga mereka roboh terkulai dalam keadaan tertotok. Tidak tahunya di sebelah damlam juga ada dua orang penjaga yang menjadi terkejut mendengar suara gaduh di luat. Ketika mereka melihat bahwa dua orang rekan mereka dirobohkan seorang pemuda asing, mereka lalu memukul kentungan dan segera menggunakan golok menyerang Ki San. Pemuda ini menangkap pergelangan mereka, dan begitu kakainya bergerak menendang, kedua orang itu terjengkang dan tidak mampu bangkit kembali. Ki San merampas sebatang golok lalu masuk ke dalam. Benar saja di sebelah dalam terdapat kamar-kamar tahanan yang terisi para tahanan, lima belas orang jumlahnya, sepuluh orang wanita dan lima orang pria. Ki San membikin putus rantai pintu kamar-kamar itu dan semua tahanan disuruhnya keluar. Ketika dia mengantar mereka keluar, ternyata keadaannya sudah ribut. Semua anak buah gerombolan telah terbangun oleh kentungan dan dia melihat Li Lian dikeroyok banyak orang anak buah gerombolan, bahkan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang menggunakan sepasang golok dengan lihainya. Dia menduga bahwa orang tinggi besar itu tentulah Hek-coa Bong Kit Siong, maka diapun menerjang dan merobohkan beberapa orang anak buah gerombolan yang menyambutnya dengan golok. Sekali ini dia menggunakan pedangnya dan hatinya khawatir sekali melihat betapa Li Lian bergerak dengan terhuyung-huyung. Gadis itu terluka!

Dugaannya memang benar. Tadi, ketika Li Lian menanti sambil menodongkan pedangnya pada leher tawanannya, tiba-tiba terdengar bunyi kentungan. Li Lian tahu bahwa tentu kawannya sudah ketahuan penjaga, maka pedangnya digerakkan dan tawanannya roboh terguling. Bermunculan banyak sekali anak buah gerombolan yang melihatnya. Li Lian mengamuk dengan pedangnya. Akan tetapi, dalam menghadapi pengeroyokan banyak orang itu, tiba-tiba ada paku menyambar. Paku itu dilepas oleh Hek-coa Bong Kit Siong. Li Lian tidak mampu menghindarkan diri. Paku itu menuju ke lehernya dan ia hanya dapat memiringkan lehernya namun paku masih menyambar dan menancap di pundak kirinya. Nyeri bukan main rasa pundaknya itu, akan tetapi Li Lian tidak menjadi gentar bahkan mengamuk semakin hebat. Kini Hek-coa Bong Kit Siong sendiri dengan sepasang goloknya menyambut amukannya, dibantu oleh banyak anak buahnya sehingga Li Lian yang sudah terluka tiu menjadi terhuyung dan tidak leluasa gerakan pedangnya.

Untung baginya pada saat itu Ki San keluar dan menerjang ke arah para pengeroyoknya yang menjadi kacau balau. Ki San cepat menggunakan pedangnya menyerang Hek-coa Bong Kit Siong sedangkan Li Lian hanya melayani pengeroyokan beberapa orang anak buah gerombolan karena sebagian besar dari anak buah gerombolan itu mengeroyok Ki San.

Pemuda itu mengamuk dan mengeluarkan semua ilmu pedangnya, juga mengerahkan seluruh tenaganya. Banyak golok beterbangan karena patah-patah bertemu dengan pedangnya dan dia terus mendesak ke arah Hek-coa Bong Kit Siong. Demikian pula Li Lian mengamuk dan ia merasa agak ringan karena yang mengeroyoknya hanya lima orang saja. Biarpun pundak kirinya tertancap paku dan terasa panas dan nyeri sekali, namun ia masih berhasil merobhkan lawannya satu demi satu.

Sementara itu, Ki San yang mengamuk juga sudah membuat semua anak buah Hek-coa-pang kocar-kacir dan kini tinggal Hek-coa Bong Kit Siong seorng saja yang melawannya. Datuk sesat ini memang cukup lihai. Sepasang goloknya ternyata merupakan senjata yang ampuh pula, tidak patah bertemu dengan pedang Ki San. Dan dia pandai bermain golok sambil bergulingan di atas tanah sehingga agak sulit bagi Ki San untuk merobohkannya.

Tiba-tiba Li Lian datang membantunya. Setelah lima orang pengeroyoknya roboh pula dan melihat betapa Ki San masih belum dapat mengalahkan Hek-coa Bong Kit Siong, Ku Lian lalu menerjang kepala gerombolan itu dengan pedangnya. Kini, si Ular Hitam itu dikeroyok dua. Tentu saja dia menjadi kewalahan sekali. tadipun melawan Ki San dia sudah tersesak hebat dan hanya mampu bertahan saja. Kini dengan masuknya Li Lian yang lihai, dia tidak kuat bertahan lama. Setelah lewat belasan jurus saja, pedang Li Lian telah berhasil menusuk lambungnya dan diikuti pedang Ki San yang menembus dadanya. Kepala gerombolan yang selama ini ditakuti semua orang di tepi Sungai Kuning sebelah utara itu tewas seketika.

Karena anak buah gerombolan yang belum tewas sudah melarikan diri, Ki San dan Li Lian lalu membakar sarang gerombolan itu dan menggiring para tawanan itu turun dari bukit untuk pulang ke rumah masing-masing. Ciu Kwan Bi, gadis berusia delapan belas tahun yang menjadi sahabat dan tetangga Li Lian, ikut pulang bersama para tahanan yang lain, karena ada beberapa orang pula yang sekampung dengannya. Mereka menggunakan perahu-perahu milik para penjahat itu dan mereka disuruh berangkat lebih dulu karena Li Lian perlu mengobati lukanya.

Mereka berdua duduk di bawah pohon, melihat api yang membakar sarang. “Bagaimana dengan lukamu, Lian-moi? Mari kuperiksa dan kuobati.”

Karena terpaksa, Li Lian membiarkan baju di bagian dadanya dibuka sedikit dan Ki San mengerutkan alisnya melihat paku masih menancap di situ dan di sekitar luka itu nampak kehitaman. “Ah, paku beracun! Akan tetapi hangan lhawatir, aku membawa obat luka keracunan pemberian mendiang suhuku,” kata Ki San.

“Jahanam itu melepas senjata rahasia selagi aku sibuk menghadapi pengeroyokan. Untung tidak masuk ke leherku,” kata Li Lian, ngeri memikirkan paku itu mengenai lehernya, tentu ia sudah tewas saat ini.

“Maaf, Lian-moi. Aku harus mencabut paku ini dan menghisap keluar racunnya.”

“Lakukanlah, San-ko dan jangan sungkan,” kata Li Lian, akan tetapi tetap saja mukanya berubah kemerahan dan jantungnya berdebar tidak karuan ketika bibir pemuda itu menyentuh pundaknya dan menghisap. Setelah darah yang keluar dihisap berwarna merah, barulah Ki San menghentikan penghisapannya dan menaruh bubuk obat merah kepada luka itu, lalu dibalutnya dengan sapu tangan milik Li Lian.

“Terima kasih, San-ko. Mungkin engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan pengobatan ini.”

“Sudahlah, di antara kita sudah sepatutnya saling bantu membantu, tidak ada terima kasih. Sekarang engkau hendak ke mana, Lian-moi?”

“Pulang.”

“Ke Wi-keng? Kebetulan akupun hendak ke sana. Kita dapat naik perahu bersama, aku yang mendayung karena pundakmu tentu masih sakit.” Mereka lalu menumpang perahu yang tadi dan Ki San mendayungnya ke seberang. Dalam pelayaran ini, terdapat sesuatu yang aneh dalam perasaan mereka kalau saling pandang. Terdapat kemesraan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Begitu bertemu mereka sudah saling cocok dan kerja sama membasmi gerombolan Ular Hitam itu membuat mereka merasa saling suka. Apa lagi setelah Ki San mengobati pundak Li Lian. Dari pandang mata mereka, keduanya sudah menyuarakan isi hati masing-masing.

Ayah ibu Li Lian menyambut puteri mereka dengan bangga. Mereka sudah mendengar dari para tawanan gerombolan yang pulang lebih dahulu betapa Li Lian bersama seorang pemuda telah berhasil membasmi gerombolan Ular Hitam dan membebaskan semua tawanan, membakar sarang gerombolan!

Li Lian memperkenalkan Ki San kepada ayah ibunya. “Ayah dan ibu, inilah saudara Song Ki San yang telah membantuku membasmi gerombolan Ular Hitam. Tanpa bantuannya, belum tentu aku berhasil bahkan aku terluka paku beracun, untung ada San-ko yang menyelamatkanku.”

Ayah ibunya menjadi girang menyambut Ki San. “Li Lian, engkau terlalu pemberani. Kenapa tidak bicara dulu dengan ayahmu? Kalau aku pergi bersamamu, tentu engkau tidak sampai terluka. Akan tetapi sudahlah, engkau memang petualang besar dan untung dibantu oleh orang muda yang gagah ini. Orang muda, siapakah gurumu?”

“Guruku bernama Yo Kiat, sekarang telah meninggal dunia.”

“Yo Kiat...?” ayah dan ibu Li Lian berteriak dan memandang kepada Ki San dengan mata terbelalak.

“Paman agaknya sudah mengenal mendiang suhuku?”

“Nanti dulu, coba gambarkan bagaimana bentuk tubuh dan wajah gurumu yang bernama Yo Kiat itu, karena banyak orang yang namanya sama.”

Dengan heran Ki San menggambarkan keadaan mendiang gurunya.

“Ada luka memanjang di leher kirinya?” teriak ibu Li Lian, “tidak salah lagi, dia memang Yo Kiat!” dan ibu ini tiba-tiba menangis sedih.

“Apa artinya semua ini, paman? Apakah paman dan bibi sudah mengenal Yo Kiat mendiang suhuku?”

Li Lian juga merasa heran dan merangkul ibunya yang menangis. “Ibu, ada apakah? Apakah ibu mengenal mendiang guru San-ko?”

“Ki San, tentu saja aku mengenal mendiang suhumu. Namaku adalah Kwan Ciu Ek dan...”

“Bagus!” tiba-tiba Ki San meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya, lalu menudingkan pedangnya ke arah muka tuan rumah itu. “Kwan Ciu Ek, aku datang memenuhi pesan suhu untuk membunuhmu!”

Kwan Ciu Ek menghela napas panjang. “Dia meninggalkan pesan begitu kepadamu? Untuk membunuhku?”

“Ya, dendamnya ditahan selama bertahun-tahun dan karena dia sendiri menderita luka parah maka dia menyuruh aku menggantikannya membalaskan dendamnya. Bangkitlah, Kwan Ciu Ek, dan mari kita selesaikan perhitungan antara mendiang guruku denganmu!”

“Tenanglah, Ki San dan mari kita bicarakan dulu masalahnya.”

“Tidak ada yang perlu dibicarakan. Aku sudah berjanji kepada mendiang suhu untuk memenuhi pesannya/”

“Kau tahu mengapa gurumu mendendam kepadaku?”

“Karena engkau telah merampas satu-satunya orang yang dicintanya, yaitu isterinya selagi dia pergi memimpin pasukan berperang.”

Kwan Ciu Ek mengangguk-angguk. “Ia inilah isteri gurumu, Ki San. Dengar, bukannya aku takut melawanmu, belum tentu engkau akan dapat mengalahkan aku, akan tetapi aku menyayangi dirimu kalau melakukan tindakan ceroboh, seperti yang telah dilakukan gurumu ketika memesan kepadamu untuk membalas dendam kepadaku. Duduklah dan dengarkan dulu keteranganku. Nanti setelah engkau mendengarkan kesemuanya, terserah kepadamu akan melanjutkan pembalasan dendam ini ataukah tidak.”

Melihat Ki San masih meragu, Li Lian melepaskan rangkulan dari leher ibunya dan meloncat berdiri menghadapi Ki San. “San-ko, kalau engkau menantang ayahku, aku akan melupakan persahabatan kita, dan akulah yang akan mewakili ayah menghadapi tantanganmu!”

Ki San menjadi serba salah dan dia menyarungkan kembali pedangnya, lalu duduk dan berkata, “Aku siap mendengarkan semua penjelasan paman.”

“Nah, ketahuilah keadaan yang sebenarnya, Ki San. Dua puluh tahun yang lalu, gurumu adalah seorang panglima besar. Aku adalah seorang sahabatnya, bahkan kami pernah belajar silat bersama. Demikianlah, aku juga mengenal isteri gurumu. Ketika pada suatu hari gurumu maju berperang untuk menindas pemberontakan di utara, dia memesan agar aku suka mengamat- amati isterinya dan menjaganya.”

Kwan Ciu Ek menghela napas dan agaknya dia merasa duka akan semua kenangan itu. “Kemudian tersiar berita bahwa pasukan gurumu itu kalah, dihancurkan oleh musuh. Kami menunggu-nunggu, akan tetapi gurumu tidak juga pulang dan menurut kabar angin dari para perajurit, gurumu telah gugur atau melarikan diri karena takut menghadapi pertanggungan jawab atas kekalahan yang dideritanya. Sayangnya, Kaisar percaya akan desas-desus terakhir itu, bahwa gurumu melarikan diri tidak berani bertanggung jawab. Ini merupakan dosa dan keluarganya harus ditangkap untuk mempertanggung jawabkan dosa itu, atau untuk memancing agar gurumu mau pulang. Melihat ancaman ini, aku lalu membawa isteri gurumu untuk pergi dari kota raja. Kami menanti-nanti sambil mencari sampai isteri gurumu melahirkan seorang anak. Ketahuilah bahwa isteri gurumu telah mengandung muda ketika suaminya berangkat berperang. Nah, isterinya melahirkan dan setelah bertahun menanti dan suaminya tidak juga muncul, kami berpendirian bahwa suaminya itu memang telah gugur di medan perang, bukan lari dari tanggung jawabnya. Demi nasib isteri gurumu dan karena memang kami saling setuju, makan aku lalu menikahi isteri gurumu dan anak yang terlahir itu kuanggap anakku sendiri.”

“Ayah...! ayah maksudkan anak itu adalah aku...?” teriak Li Lian sambil menubruk dan merangkul ibunya.

Ayahnya mengangguk dan ibunya berbisik dalam isaknya, “Benar, Li Lian, engkau adalah puteri Yo Kiat, akan tetapi ayahmu yang ini begitu baik kepadamu, kepada kita... dia sama sekali tidak mengkhianati ayah kandungmu, dia malah menolong kami dari aib. Bayangkan saja sebagai seorang janda yang mengandung, kalau sampai aku tertangkap oleh pasukan yang mencari dan dijadikan tawanan...”

“Ibum sudahlah, aku tidak menyalahkan ayah,” kata Li Lian dan iapun bangkit berdiri menghadapi Ki San yang masih duduk tertegun karena tidak mengira akan mendengarkan keterangan seperti itu.

“San-ko, engkau sudah mendengar semua. Bahkan aku sendiripun baru sekarang mendengar riwayat itu. Nah, terserah kepadamu. Akulah puteri gurumu Yo Kiat, dan aku tidak akan membalas dendam kepada siapapun juga. Ayah Kwan Ciu Ek bukan mengkhianati ayah kandungku bahkan telah menolongnya, menyelamatkan isteri dan anaknya. Dia seorang sahabat sejati. Bagaimana hendak didendam dan dibalas? Kalau engkau masih nekad hendak membalas dendam yang tidak pernah ada itu, mari kulayani. Biarlah aku yang mati untuk ayah Kwan Ciu Ek, dan sesudah mati aku akna mengadu kepada ayah kandungku Yo Kiat!”

Ki San menjadi bingung. Tentu saja kalau begitu keadaannya, tidak mungkin dia membalas dendam. Suhunya agaknya telah terluka parah dalam perang, dan tidak dapat menyelidiki dengan seksama, hanya mendengar bahwa isterinya dilarikan sahabatnya Kwan Ciu Ek, maka tumbuhlah dendam di hatinya. Karena dia sendiri merasa lemah oleh lukanya, dia lalu mendidiknya, menurunkan semua ilmunya agar dia yang mewakili membalaskan dendamnya kepada Kwan Ciu Ek yang dianggapnya seorang sahabat yang berkhianat. “Bagaimana, orang muda? Kalau engkau hendak berbakti kepada suhumu dan tetap hendak membalas dendam, aku Kwan Ciu Ek tidak akan melarikan diri. Aku akan menghadapimu, orang muda.”

“Ingat, San-ko. Kwan Ciu Ek adalah satu-satunya ayah yang kukenal dan kusayang. Kalau andaikata ayah Kwan Ciu Ek sampai kalah dan tewas di tanganmu, akulah yang akan membalaskan dendam kematiannya dan engkau akan kuanggap sebagai musuh besarku selamanya! Aku akan terus berusaha membalas dendam kematian ayah kepadamu!”

Tentu saja Ki San menjadi semakin bingung. Dia hendak membalaskan dendam gurunya, kalau berhasil, dia malah akan dijadikan musuh besar puteri kandung gurunya! Bagaimana ini!

“Aku... aku menjadi bingung...” akhirnya dia berkata.

Kini wanita setengah tua itu yang bicara. “Orang muda, aku mengenal mendiang suamiku yang pertama. Semua ini tentu hanya salah paham saja. Dia seorang yang gagah perkasa. Mungkin dia malu untuk pulang ke kota raja setelah kekalahannya dan dia tidak tahu betul apa yang terjadi dengan diriku. Dia hanya mendengar bahwa sahabatnya melarikan aku dan akhirnya mendengar bahwa aku telah menjadi isterinya dan tinggal di Wi-keng ini, maka menyuruh engkau yang membalaskan dendamnya, itupun setelah dia mati. Ketahuilah, betapapun baiknya suamiku yang sekarang, betapapun banyaknya budi yang telah dilimpahkannya, andaikata kami berdua mengetahui bahwa suamiku yang pertama masih hidup, kami tidak akan saling menikah.”

“Nah, San-ko, semua sudah jelas sekarang. Ayah telah bicara, ibu telah bicara dan aku akan bicara kepadamu. Engkau tentu mengakui bahwa aku telah menyelamatkan nyawamu ketika engkau dikeroyok bajak laut dan perahumu hendak ditenggelamkan. Namun engkau juga telah menyelamatkan aku ketika aku dikeroyok Hek-coa Bong Kit Siong dan teman-temannya. Kita sudah saling menolong, juga ketika engkau mengobatiku. Apakah kita sekarang harus saling berhadapan sebagai musuh yang hendak saling membunuh? Jawablah, San-ko, jawab!”

Ki San menjadi semakin bingung. Tak disangkanya bahwa pesan gurunya itu menempatkan dirinya dalam keadaan yang serba salah. Dia mencinta gadis ini, tak salah lagi. Dia merasa betapa di lubuk hatinya, dia amat kagum dan menyayang gadis ini dan gadis ini bahkan puteri kandung mendiang gurunya. Cocok sekali untuk menjadi jodohnya. Akan tetapi gadis ini juga anak tiri musuh besar. Diombang-ambingkan antara dendam dan asmara! Akan tetapi dendamnya ternyata hanya salah sangka saja.

“Aku tidak tahu... aku tidak dapat menjawab, terserah kepada kalian saja...” katanya bingung sehingga Kwan Ciu Ek tertawa. Dia merasa suka kepada pemuda ini yang dapat menerima alasan-alasan mereka.

“Ada satu cara untuk menghilangkan semua dendam yang tidak berketentuan ini, Ki San. Engkau adalah murid gurumu yang berbakti dan setia, dan kalau engkau kini menjadi mantu gurumu, maka sudah cocok sekali. bagaimana, Ki San, bersediakah engkau menjadi suami Li Lian?”

“Aih, ayah...!” Li Lian tidak dapat menahan rasa malunya dan ia lalu lari meninggalkan mereka masuk ke dalam kamarnya.

Ki San merasa terkejut sekali. “Ah, paman! Apakah... Lian-moi sudi?”

Ibu anak itu tersenyum. “Engkau sudah melihat sendiri, Ki San. Ia lari menyembunyikan diri, itu berarti ia setuju. Kalau ia tidak setuju tentu ia telah mencak-mencak dengan marahnya di sini. Tinggal engkau bagaimana?”

“Saya... saya sebatang kara, tidak mempunyai wali... saya... hanya menyerahkan saja kepada paman dan bibi berdua dan tentang suhu...”

“Biarlah aku yang akan bersembahyang kepada bekas suamiku itu dan aku percaya bahwa dia tentu akan menyetujuinya sekali,” kata ibu Li Lian.

Kwan Ciu Ek maju dan merangkul Ki San. “Jangan khawatir, Ki San. Kalau ada yang mengetahui urusan ini, tidak akan ada orang waras yang akan menyalahkanmu, bahkan akan memujimu karena engkau dapat mempertimbangkan dengan adil.” Demikian, akhir cerita ini penuh kebahagiaan bagi Ki San dan Li Lian. Dendam kebencian dihapus dengan pernikahan penuh kasih asmara…..

>>>>> T A M A T <<<<<
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar