Tangan Geledek Jilid 21

Jilid 21

MENDENGAR ini, Pak-kek Sam-kui pertama menggereng marah dan mereka mulai menyerang. Ci Kui pertama menyerang kakaknya, demikian pula Ang Bouw dan Ang Louw. Pertempuran hebat terjadi, pertempuran aneh antara orang-orang kembar yang aneh !

Memang membingungkan sekali melihat pertempuran antara orang-orang ganjil itu. Sabenarnya, tiga orang yang biasa disebut Pak-kek sam-kui yaitu yang sekarang menjadi Pak-kek Sam-kui pertama, adalah adik-adik kembar dari Pak kek Sam kui ke dua.  Mereka  adalah tiga  pasang orang kembar dari daerah Mongol yang semenjak ke cil menjadi sahabat.

Kemudian setelah mereka dewasa, mereka te rpisah, merupakan dua kolompok. Yang tua melanjutkan ilmu mereka, menyembunyikan diri di gunung sedangkan yang muda. yaitu Pak-kek Sam-kui yang sudah banyak dikenal, membantu perjuangan Temu Cin atau Jengis Khan. Seperti telah dituturkan di bagian depan, Pak-kek Sam-kui ini terpikat oleh Li Kong Ji dan menjadi kaki tangannya. Ketika saudara saudara tua mereka mendengar akan penyelewengan adik-adiknya ini mereka turun gunung, membantu Jengis Khan kemudian mereka menuju ke selatan untuk mencari adik-adik mereka yang mengikuti Li Kong Ji. Tidak mengherankan apabila kepandaian mereka lebih tinggi dari pada Pak kek Sam-kui yang sudah dikenal Lie Kong.

Sekarang dapat menduga pula akan hal itu setelah mendengar percakapan tadi. Yang menggirangkan hatinya adalah  berita tentang tempat tinggal  Liok Kong Ji, akan tetapi berbareng juga membuatnya tidak mengerti. Ia sedang berusaha mencari Ui tiok lim tempat tinggal Liok Kong Ji untuk mencari kembali kitab Ome i-san yang  dirampas  oleh dua orang gadis Ui-tiok-lim dari tangan Ceng Ceng. Mengapa sekarang Liok Kong Ji sudah ke Pek-houw-to?

Ketika ia memandang ke arah pertempuran, mudah saja ia menduga bahwa tak lama lagi Pak kek Sam-kui  yang muda akan kalah. Pertempuran itu memang hebat, dilakukan dengan tangan kosong saja akan tetapi angin pukulan mereka membuat batang pohon bergoyang-goyang dan daun-daun rontok semua seperti ada enam ekor gajah mengamuk.

Betul saja dugaannya, hampir berbareng tiga orang Pak- kek Sam-kui yang muda terpukul roboh dan pingsan.

Masing-masing mengangkat adik sendiri, memanggulnya dan tanpa menole h lalu lari pergi dari situ.

“Sam-bengcu, tunggu!" teriak Lie Kong sambil melompat mengejar. "Hendak kutanya sedikit, bukankah Liok Kong Ji berada di Ui tiok-lim ? Mengapa sam-wi tadi mengatakan dia sudah pindah ke Pek-houw to ?”

Si jangkung gundul yang memanggul tubuh Ci Kui menengok dan berkata, “Kami juga tadinya menyusul ke Ui- tiok-lim, ternyata di sana sudah rusak, dihancurkan oleh seorang pemuda perkasa bernama Tiang Bu. Sekarang Liok Kong Ji dan Cun Gi Tosu berada di Pek-houw-to, kedudukan mereka lebih kuat lagi !" Setelah berkata de mikian, bersama kawan-kawannya ia lari cepat sekali, sebentar saja sudah lenyap dari situ.

Lie Kong menarik napas panjang dan berkata kepada isterinya, "Benar benar banyak sekali orang pandai di dunia ini. Baiknya tiga orang saudara tua Pak-kek Sam kui itu tergolong orang orang baik, kalau mereka jahat seperti adik- adiknya, entag siapa yang dapat menghadapi mereka.

Sekarang kita sudah tahu bahwa Liok Kong Ji berada di Pek houw to, tentu kitab Pat-sian-jut -bun juga ia bawa ke sana. Kita menanti kembalinya Ceng Ceng, kemudian kita harus mengejar ke Pek-houw to."

Suami isteri ini lalu kembali ke perahu mere ka di Telaga Po-yang. Alangkah kaget dan girang hati  mereka  me lihat Ceng Ceng sudah tiba di situ, kudanya ditambatkan di pinggir telaga dan gadis itu sendiri duduk melamun di atas dek perahu.

"Ceng Ceng....... !” ibunya berseru girang.

“Ayah ....... ! Ibu !" seru gadis itu, sadar dari

lamunannya.

Setelah bertemu dengan ayah bundanya, Ceng Ceng mendapatkan kembali kelincahannya dan sebentar saja ia sudah sibuk manceritakan pengalaman  perjalanannya kepada ayah bundanya. Diceritakannya  keindahan  alam yang dilihatnya di  Tapie-san, tentang para petani  dan tentang bagaimana ia me mbantu anak pe tani menangkap burung. Akhirnya ia berkata tentang Cui Kong setelah bicara tentang hal yang sepele-sepele, "Ayah, Aku bertemu dengan seorang pemuda dan aku aku kalah bertanding ilmu

silat olehnya."

"Mengapa kau bertempur dengan orang ?” kontan ayahnya menegur.

“Dia mengalahkanmu! Waah, tentu dia lihai sekali”. Siapa pemuda itu ? Agaknya kau kagum padanya," komentar Ibunya. Memang wanita lebih tajam perasaannya dalam hal ini.

Ceng Ceng sekaligus me njawab pertanyaan ayah dan ibunya, “Aku salah kira, tadinya ia kusangka pencuri kudaku, tidak tahunya dia malah yang merampas kembali kudaku dari tangan pe ncuri. Dengan singkat dia

menceritakan pengalamannya tentang kuda yang dicuri orang pada malam hari, lalu tentang pertemuannya dengan Cui Kong.

"Kami bertempur, mula-mula dengan senjata lalu bertangan kosong. Akan tetapi dua kali aku kalah. Dia she Kwee seorang yatim piatu ”

“Eh. eh. alangkah tak patutnya kau sampai berkenalan dengan orang asing !” tegur Lie Kong.

“Habis dia memperkenalkan diri, masa aku harus menutupi kedua telingaku," bantah Ceng Ceng manja. "Dia

...... dia bilang mau datang ke sini...... mau berjumpa dengan

ayah ibu.....” Sampai di sini muka gadis itu menjadi merah sekali dan ia berlari memasuki kamarnya sambil berkata, “Ayah, aku lelah sekali hendak me ngaso."

Lie Kong saling pandang dengan isterinya, lalu keduanya mengangguk-angguk maklum. "Bagaimanapun juga, kita harus berlaku hati-hali dalam me milih calon jodohnya," kata Lie Kong dan untuk ini isterinya setuju.

Pada keesokan harinya, Cui  Kong sudah tiba di  tepi Telaga Po-yang karena ia telah me lakukan perjalanan cepat sekali. Banyak terdapat perahu-perahu besar di telaga yang luas itu. Akan tetapi tidak sukar untuk mencari perahu yang dimaksudkan oleh Ceng Ceng. Dari tepi pantai ia sudah melihat dua ekor burung, yang seekor hinggap di  atap perahu, yang seekor lagi beterbangan di atap perahu, berputaran. Burung-burung yang indah dan besar.

Berdebar hati Cui Kong. Ia sudah mendengar nama besar Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong, yang berilmu tinggi, juga kabarnya Lie adalah seorang pendekar wanita yang lihai. Ia tahu pula bahwa ayahnya tidak cocok dengan suami isteri pendekar ini dan bahwa dahulu ketika beramai-ramai menyerbu ke Omei-san suami isteri inipun mendapatkan sebuah kitab yang akhirnya terjatuh ke tangan ayah

angkatnya. Ia harus berlaku hati-hati dan pandai beraksi.

Disewanya sebuah perahu kecil dan didayungnya perahu itu ke tengah telaga, mehampiri perahu cat putih yang kelihatannya tidak ada penghuninya. Akan tetapi setelah perahu kecilnya mendekati perahu besar cat putih itu, tiba- tiba terdengar suara bersuit dan burung pek thouw tiauw yang yadinya enak enak melengut di atas atap perahu mengulur kepala dan memandang ke arah perahu kecil kemudian ia terbang menyambar menyerang Cui Kong dengan ganasnya!

Cui Kong adalah seorang ce rdik. ia dapat menduga bahwa perbuatan burung ini tentu ada yang mengaturnya. Kalau burung itu memang liar dan menyerang semua orang asing, sudah tentu telaga itu takkan aman. Setiap orang tentu akan diserang burung ini dan sebentar saja telaga itu akan kosong ditinggal pergi para pengunjung. Jadi jelas bahwa burung ini tentu ada yang meme rintah maka menyerangnya. Dan justeru dia yang diserang! Pasti orang yang menyuruhnya itu hendak nenguji sepandaiannya. Dia tadi sudah mendengar suitan nyaring sebagai tanda, Ce ng Cengkah gerangan yang menyuruh burung itu menyerangnya ? Tak mungkin.

Gadis itu "ada hati" kepadanya, tak mungkin hendak mencelakainya dan untuk coba-coba, gedis itu sudah cukup tahu akan kepandaiannya. Tak bisa salah  lagi,  pikirnya, tentu pemilik burung itu, Pek-thouw-tiauw-ong sendiri atau isterinya yang menyuruh burung rajawali ini menyerangnya. Dan ini-pun tidak mungkin kalau tidak ada sebabnya. Pek- thouw.tiauw-ong dan isterinya belum mengenalnya, mengapa turun tangen ? Jawaban satu satunya, cukup mudah, tentu Ceng Ceng sudah menceritakan hal dirinya kepada ayah bundanya dan sekarang be gitu tiba ia diuji oleh ayah gadis itu yang ingin melihat sendiri sampai di mana

ke lihaian pemuda yang dibicarakan oleh anaknya !

Cui Kong memikirkan ini semua sambil mengelak. Sedikit saja miringkan tubuh patukan dan cakaran burung itu mengenai tempat kosong. Lewatnya tubuh burung besar itu membawa angin yang cukup santer,  membuat  ikat kepala Cui Kong berkibar-kibar.

Memang dugaan Cui Kong tepat sekali. Da balik dinding balik perahu, Lie Kong,  isterinya dan Ceng Ceng mengintai ke luar dan tad Lie Kong yang memberi aba-aba kepada burung rajawalinya untuk "mencoba” kepandaia pemuda yang ditunjuk oleh puterinya. Melihat betapa mudahnya Cui Kong menghindarkan sambaran burungnya, kembali Lie Kong bersuit lebih keras. Sekarang tidak saja burung betina yang tadi menyerang pula, bahkan burung jantan yang beterbangan di atas ikut pula menyambar dan mengepung Cui Kong.

Cui Kong terkejut. Ia maklum bahwa burung itu kuat bukan main dan sekali kena disamhar, buarpun ia depat mengebalkan diri dan tidak terluka, akan tetapi ada bahayanya, ia akan terlempar dari perahu dan jatuh ke dalam air telagu ! Tentu saja dengan  pukulan  tin-san-kang ia dapat memukul mampus dua burung itu, akan tetapi inipun tidak baik. Kalau ia membikin mati burung-burung kesayangan orang tua Ceng Ceng. bukankah berarti ia akan mengecewakan dan membikin marah Pek.thouw tiauw ong Lie Kong? Kalau terjadi demikian, mana ada  harapan baginya untuk meminang gadis itu ?

Pada saat yang kritis ini, Cui Kong mendapt pikiran baik.

Perahu itu adalah perahu nelayan dan di pojok perahu terdapat sebuah jala ikao. Cepat ia menyambar jala itu dan begitu dua ekor burung menyambar dekat, ia menggetakkan jala ikan ke atas memapaki. Jala itu milik seorang nelayan miskin, sudah robes-robek dan butut. Alan tetapi di dalam tangan Cui Kong yang memiliki lweekang tinggi, jala itu rupakan senjata hebat. Sekali lempar saja ia telah berhasil menangkap dua ekor burung itu ia dalam jala. Cepat ia memutar-mutar jala itu sehingga tubuh dan kaki dua pek- thouw-tiauw itu tergubat sama sekali. Dua ekor burung itu meronta kuat, namun Cui Kong lebih kuat  lagi.  Dengan tenang Cui Kong lalu mengge njot tubuhnya dan melompat ke atas dek, jala terbuka dan dua ekor burung tadi terbang tinggi sambil berteriak-

teriak ketakutan !

Lie Kong dan isterinya kagum  sekali.  Kini mereka percaya bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada Ceng Ceng. Cara yang dipergunakan untuk menghadapi dua e kor burung pek thouw-tiauw tadi saja sekaligus telah membuktikan adanya kecerdikan, kegesitan dan tenaga lweekang yang mengagumkan.

Muncullah Lie Kong den Souw Cui Eng dari dalam bilik perahu, diikuti oleh Ceng Ceng

yang menundukkan muka kemalu-maluan dan mengerling dengan ekor matanya ke arah Cui Kong.

Pemuda itu cepat-cepat menjatuhkan berlutut di depan Pek thouw-tiauw ong Lie Kong dan isterinya sambil berkata, "Mohon locianpwe yang budiman sudi memaafkan boanpwe yang berlaku lancang. Tanpa diundang boanpwe Kwee Cui Kong berani lancang naik ke perabu locianpwe, tidak lain oleh karena di tengah jalan boanpwe mendapat kehormatan bertemu dengan puteri locianpwe yang terhormat. Boanpwe sudah berjanji hendak datang ke sini menghadap locianpwe berdua."

Sow Cui Eng berseri  girang melihat  sikap yang amat sopan santun dan merendah dari pemuda ini. Benar-benar seorang pemuda yang pandai membawa diri, tepat sekali menjadi mantuku, pikirnya. Akan telapi Lie Kong mengerutkan alisnya. Hatinya tak senang melihat sikap berlebih-lebihan dan agak menjilat dari pemuda ini. Bukan sikap seorang gagah, pikirnya. Akan tetapi oleh karena orang sudah berlutut, tidak baik kalau tidak disambut. Ia lalu membungkuk dan berkata. "Orang muda, jangan terlalu sungkan, bangunlah." Dipegangnya kedua pundak Cui Kong untuk ditarik baneun tambil dikerahkan sedikit tenaganya.

Merasa betapa dua tangan itu mengenai pundaknya seperti bukit karang menindihnya, Cui Kong cepat-cepat mengerahkan lweekangnya menahan sehingga Lie Kong memegang pundak yang lunak seperti tidak bertulang. Pek- thouw- tiauw-ong mengangpuk-angguk. Diam-diam ia agak terkejut karena dari sentuhan ini ia dapat menaksir babwa tenaga lweekang pemuda ini sudah hampir mengimbanginya.

"Bangunlah, aku sudab tahu akan kepandaianma yang tinggi.”

Setelah Cui Kong bangkit berdiri, kembali Lie Kong mengerutkan keningnya. Sepasang mata pemuda ini benar- benar tidak me nyenagkan perasaan batinya. Mata yang tajam liar, mengsndung sesuatu yang mangerikan seperti bukan mata manusia. Mata Ibl is! Sabaliknya, Souw Cui Eng memandang kagum kepada pemuda ini. Dia juga  tahu betapa suaminya telah mencoba tenaga pemuda yang

agaknya menjadi pilihan hati puterinya. "Sekarang katakan apa kehendakmu mengunjungi kami," tanya Lie Kong, suaranya dingin dan tenang. Hati Cui Kong berdebar. Suara ini nadanya tidak memberi banyak harapan, akan tetapi ia dapat menenteramkan hatinya, menarik napas panjang lalu berkata,

"Maafkan, boanseng yang berani mati menghadap locianpwe mengandung maksud hati. Bososeng sudah bertemu dengan puteri locianpwe, tak disengaja mencoba kepandaian dan boanseng menganggap di  dunia ini  tidak ada gadis yang lebih sampurna dari pada puteri loeianpwe. Oleh karena itu, melupakan kerendahan diri sendiri, bounseng datang untuk mohon tangan puteri locianpwe.......


"Hemm, orang muda berani mati! Mana ada aturan orang meminang sendiri?” bentak Lie Kong.

“Boanpwe seorang yatim piatu, hidup sebatangkara di atas.dunia tiada sanak kadang. siapa yang sudi menjadi wali boanpwe?”

“Menilik gerakanmu tadi, kau seorang ahli waris kepandaian dari utara, siapa -gurumu dan mengapa gurumu tidak mewakilimu mengajukan pinangan?"

Cui Kong terkejut. Alangkah tajam pe mandangan pendekar ini. Ketika ia mainkan  dua ekor  pek thouw  tiauw tadi, ternyata pe ndekar ini sudah dapat melihatnya bahwa ia mewarisi ilmu silat utara.

“Memang sesungguhnya boanpwe adalah murid seorang tosu perantau di perbatasan utara dan sekarang suhu telah meninggal dunia. Oleh karena tidak mempunyai wali lain, terpnaksa boanpwe memberanikan diri menghadap locianpwe,” jawabnya sedih sekali. Ia  dapat  mengatur suaranya demikian berduka sehingga Ceng Ceng dan ibunya merasa terharu.

Akan tetapi Lie Kong memandang tajam penuh selidik ke arah pemuda di depannya itu, kemudian ia berkata, suaranya tetap tenang akan tetapi dingin dan berpengaruh, “Orang muda, tidak gampang mendapatkan tangan puteri tunggal kami secara begitu saja. Kepandaianmu memang memenuhi syarat, cukup  tinggi. Akan tetapi  kepandaian tidak akan ada artinya kalau orang tidak dapat mempergunakannya  untuk maksud baik.  Sekarang dangarlah syarat kami. Kami telah kehilangan sebuah kitab pelajaran ilmu Silat Pat-s iat-jut  bun.  Kitab itu dicuri  oleh dua orang perempuan jahat dari Ui-tiok-lim, sarang pe njahat iblis Liok Kong Ji. Kalau kau bisa  merampas  kembali  kitab itu dan membe rikannya kepada kami, nah, permintaanmu akan dapat kami pertimbangkan."

Mendengar ini, berseri wajah Cui Kong. Kalau hanya itu syaratnya, apa sih sukarnya? Kitab pe lajaran Pat sian-jut- bun telah berada di tangan ayahnya, dan bukan hal yang sukar baginya untuk mencurinya,

“Baiklah, locianpwe. Boanpwe sanggup dan paling lama dalam waktu satu bulan kitab itu pasti akan boanpwe haturkan di depan locianpwe. Selamat tinggal, boanpwe

be rmohon diri.”  Setelah  berkata  demikian,  Cui  Kong memberi hormat kepada Lie Kong suami isteri, mengerling diiringi se nyum manis kepada Ceng Ceng, kemudian dengan sigapnya ia meloncat ke atas perahu kecilnya yang masih tarapung-apung tak jauh dari situ. Ini saja sudah membuktikan kelihaiannya. Perahu kecilnya terpisah empat tombak lebih dan meloncat ke atas perahu kecil ringan yang bergoyang-goyang. Itu merupakan kepandaian ginkang yang tinggi.

Karena terlampau girang mendengar syarat yang amat mudah baginya itu, Cui Kong berlaku kurang hati-hati. Ia tidak tahu betapa Lie Kong makin  me naruh  curiga kepadanya. Permintaan Lie Kong ini sebetulnya sama sekali tak boleb dibilang ringan. Bagi orang lain, merampas kembali kitab dari tangan Lie Kong Ji di Ui-tiok-lim, bukan hal semudah itu. Akan tetapi pemuda ini bahkan dengan muka berseri berani memastikan akan berhasil dalam satu bulan.

Hal ini sudah merupakan jawaban yang amat mencurigakan Pertama, kalau pemuda itu tidak pasti akan berhasil, tak mungkin dia begitu bergembira. Ke dua.  Ulan dia berani memastikan dapat berhasil dalam satu bulan, itu berarti bahwa pemuda ini sudah tahu akan kepindahan Liok Kong Ji ke laut selatan. Karena, andaikata mencari kitab itu ke Ui-tiok-lim, perjalanan  pulang  pergi saja  ke  Ui tiok-lim akan mamakan waktu berbulan-bulan !

“Pemuda itu mencurigakan sekali,” kata pendekar yang cerdik dan waspada ini, "s iapa tahu kalau-kalau dia itu mempunyai  hubungan  dengan  penjahat  iblis  Liok Kong Ji."

"Akan tetapi sikapnya demikian sopan santun juga kepandaiannya demikian tinggi,” bantah isterinya.

“Kau tabu apa?” kata Lie Kong mencela. "Dahulu di waktu mudanya Liok Kong Ji si Iblis juga seorang pemuda sopan dan berkepandaian tinggi.”

"Ayah menurut pendapatku. dia bukan orang jahat Buktinya dia telah merampaskan kembali kudaku dari tangan pencuri se la Ceng Ceng berani.

“Hem hem, apa kau melihat sendiri ? Betul dia berkata demikian, akan tetapi kau tidak melihat sendiri ia bettempur melawan pencuri kuda.”

“Kau memang terlalu curiga,” mencela Souw Cui Eng kepada suaminya.

"Kita lihat saja. Mudah-mudahan kecurigaanku keliru."

-oo(mch)oo-

Apa yang didengar oleh Pek-thouw- tiauw-ong Lie Kong dari percakapan Pek-kek Sam-kwi tentang Liok Kong Ji memang betul. Orang yang licin sekali itu setelah terlepas dari tangan Tiang Bu dapat menyelamatkan diri dan pindah ke selatan. I a merasa tidak aman. Tadinya hanya Wan Sin Hong seorang yang ia takuti. Malah belakangan ini ia tidak begitu jerih lagi terhadap Sin Hong setelah ia tinggal di Ui tiok-lim dan selain kepandaiannya sendiri sudah banyak maju, juga ia dilindungi oleh lima orang saudara angkatnya. Akan tetapi, sungguh tidak nyana sekali lima orang pembantunya itu tewas semua oleh Tiang Bu puteranya sendiri, putera keturunannya yang hanya satu-satunya.

Malah ia sendiri hanya dengan kecerdikannya saja dapat meloloskan diri. Sekarang merasa makin tidak aman lagi, tahu bahwa Tiang Bu takkan mau berhenti mencarinya untuk membalas dendam, untuk membunuhnya. Kalau Kong Ji teringat betapa putera keturunannya sendiri hendak membunuhnya, mau tak man hatinya  menjadi  perih sekali. Ia takut melawan Tiang Bu, maklum bahwa kesaktian pemuda itu sekarang bahkan jauh melebihi kepandaian Sin Hong atau kepandaian tokoh yang manapun juga yang pernah ia ketahui.

Kemudian ia teringat kepada Lo-thian tung Cun Gi Tosu, kakek buntung yang amat lihai. Hanya kakek buntung ini yang akan dapat membantunya. Dan kebetulan sekali, kakek itu sekarang sudah pindah ke selatan, tempat yang amat terpencil, di sebuah pulau kosong yang disebut Pek houw-to (Pulau Macan putih), Andaikata kakek itu masih berada di utara masih ada bahaya lain. Di utara adalah tempat pasukan-pasukan Mongol, ia tahu bahwa diam-diam Jengis Khan tidak suka kepadanya. Raja besar itu memberi hadiah kepadanya karena memang tadinya ia membantu, akan

tetapi setelah ia me ngundurkan diri tidak mau membantu penyerbuan orang Mongol ke barat, Jengis Khan menjadi curiga dan tentu akan mencelakainya.

Demikian, Liok Kong Ji lalu pergi menyusul Cun Gi Tosu ke Pulau Pek-houw to. I a diterima baik oleh  kawannya  ini yang maklum bahwa kedatangan Kong Ji berarti memperkut kedudukannya. Kong Ji diam-diam lalu mendatangkan selir- selirnya yang ia sayang, lima orang jumlahnya dan sebentar saja pulau kosong itu berubah menjadi ramai dan indah,

be rkat pembiayaan Kong Ji yang masih mempunyai harta simpanan. Hanya Cui Kong yang tidak betah tinggat lama- lama di pulau itu dan pemuda ini se ring kali pergi merantau ke luar pulau.

Di atas pulau ini, Liok King Ji me mperdalam ilmu silatnya. Dengan tekun ia mempelari kitab-kitab dari Omei- san yang terjatuh ke dalam tangannya. Dia sendiri mendapatkan kitab Swat lian-kiam-coan-si yang sudah dilatih dengan baik, kemudian kitab silay Pat-sian-jut-bun yang didapatkan oteh Cui Lin din Cui Kim juga telah dipelajari sampai hafal benar. Akhirnya ia membuka-buka kitab Delapan Jalan Utama yang ia ambil dari mayat  Toat- be ng Kui bo. Tadinya Cun Gi Tosu  yang  mempelajari  kitab ini, akan tetapi tosu ini terlalu bodoh sehingga mengira bahwa kitab ini hanya kitab pelajaran Buddha biasa saja.

Akan tetapi begitu Kong Ji melihatnya dengan girang ia dapat memecahkan rahasia kitab itu. Sama sekali bukan hanya sekedar pelajaran kebatinan dari Agama Buddha, melainkan pelajaran ilmu silat yang amat hebat. Akan tetapi di samping kehebatannya, juga sukarnya bukan main sehingga payah Kong Ji mempelajarinya. Isi kitab ini mengandung delapan sari pelajaran lweekang dan penyatur hawa dalam tubuh, setiap pelajaran mempunyai pecahan - pecahan yang amat banyak.

Setiap huruf mengandung pelajaran tinggi dan Kong Ji bukanlah seorang ahli dalam ilmu sastera, maka dapat dibayangkan betapa ia memeras otaknya dan dalam waktu setengah tahun ia baru dapat memetik buahnya dua saja di antara delapan mata pelajaran itu. Sungguhpun begitu, yang dua ini sudah mendatangkan kepandaian yang mujijat,

te naga lweekangnyat meningkat tinggi dan sinkang (bawa sakti) di dalam tubuh dapat ia salurkan sampai ke ujung pedang. Semua ini ia latih se cara diam-diam. Cun Gi Tosu sendiri sampai tidak mengetahuinya.

Demikianlah, sekali lagi Kong Ji mengalami hidup tenteram dan aman. Ia pikir, tak mungkin Sin Hong atau Tiang Bu dapat mencarinya. Andaikata mere ka dapat mencarinya, ia juga tidak takut. Selain di sampingnya ada Cui Kong dan Cui Gi Tosu yang lihai, juga dia sendiri sanggup menghadapi mereka. Ia malah ingin se kali mencoba kepandaian barunya dengan Sin Hong atau Tiang Bu.

Sementara itu, Wan Leng. puteri Sin Hong yang diculik oleh Cun Gi Tosu juga hidup di Pulau Pe k Houw-to, ia dirawat oleh para selir Liok Kong Ji yang rata-rata sayang kepada bocah mungil ini. Juga Cun Gi Tosu kelihatan sayang kepada calon muridnya.

Kita ikuti perjalanan Pendekar Sakti Wan Sin Hong yang mencari jejak Can Gi Tosu, penculik puterinya. Seperti telah dituturkan di bagian depan, setelah me ngurus pernikahan antara Wan Sun dan Coa Lee Goat. Wan Sin Hong lalu meninggalkan Kim bun-to untuk pergi mencari puterinya yang diculik oleh Lethian-tung Cun Gi Tosu. Ia sudah mendengar bahwa bala tentara Mongol kini menghentikan serangannya ke selatan dan mengalihkan perahatiannya ke barat.

Dan ia tahu bahwa musuh besarnya itu ialah pembantu orang Mongol, di samping Liok Kong Ji. Oleh karena itu, walaupun perjalanan ke utara amat berbahaya dan tidak sembarang orang berani ke sana, Sin Hong me lupakan bahaya, merantau ke utara lewat perbatasan Tiongkok utara untuk mencari jejak musuh besar yang melarikan puterinya itu.

Tepat sekali keputusan yang diambil Sin Hong untuk melakukan perantauan seorang diri tampa membawa isterinya, karena perjalanan yang ditempuhnya ini memang amat berbahaya. Sungguhpun isterinya juga gagah perkasa dan jarang ada orang yang mampu me nandinginya, namun memasuki wilayah Mongol yang rakyatnya sedang bergolak itu, apa lagi menghadapi Cun Gi Tosu dan Liok Kong Ji, benar-benar merupakan hal yang amat berbahaya. Baru saja memasuki wilayah Mongol, selagi enak berjalan di dalam hutan belukar, tiba-tiba dari kanan kiri menyambar belasan batang anak panah yang cepat sekali datangnya!

Baiknya Sin Hong bukan pendekar basa saja, melainkan seorang yang telah memiliki kepandaian tinggi dan kewaspadaan yang mengagumkan. Begitu mendengar bersiutnya anak panah dan melihat sinar berkelebat dari kanan kiri, cepat ia telah menggerakkan kedua tangannya ke kanan kiri dan ujung lengan bajunya dengan tepat mengibas runtuh belasan anak panah itu.

Melihat bentuknya anak panah  yang bergerak lalu, tahulah Sin Hong bahwa dia dikepung orang Mongol. Memang anak panah Mongol amat terkenal dan di dalam perang di selatan yang lalu, tentara Tiong-goan kewalahan menghadapi serangan anak panah ya amat kuat dan laju ini. Benar saja dugaannya tempat yang tadinya sunyi  itu tiba- tiba menjadi ramai dengan munculnya dua puluh orang Mongol dan terdengar suara kuda meringkik. Heran hati Sin Hong bagaimana kuda dapat dilatih sampai berdiam diri tanpa mengeluarkan suara apa-apa dalam pemasangan bai hok (barisan pendam) itu.

Sambil berteriak-teriak menyeramkan, dua puluh orang Mongol seorang di antaranya berpakaian sebagai perwira, menerjang dan mengeroyoknya tanpa bertanya lagi. Ini tidak aneh karena dalam masa seperti itu, kedatangan seorang berpakaian seperti orang Han tentu dianggap musuh atau mata-mata. Senjata senjata bermacam macam, ada pedang, golok dan tombak. Bagaikan hujan sekalian sanjata itu menyambar ke arah tubuh Wan Sin Hong dan kalau semuanya mengenai tubuh, tentu tubuh itu akan menjadi hancur. Sin Hong tidak sudi hanyak bersoal jawab. Walaupun dia tidak perdulikan urusan negara dan perang, akan tetapi orang-orang Mongol sudah banyak merampok, membunuh dan me mbakari rumah rakyat, dengan demikian mereka menjadi juga musuhnya. Tampak sinar menyilaukan mata berkelebatan ke sana kemari, disusul jerit dan keluh kesakitan. Sebentar saja sembilan be las orang serdadu Mongol telah bergeletakan mandi darah di atas tanah dan perwira tadipun sudah kehilangan pedangnya dan sekali totok perwira itu menjadi lemas.

Sin Hong sengaja tidak mau membunuh perwira itu. "Katakan di mana adanya thian-tung Cun Gi Tosu dan Liok Kong Ji.” Sin Hong mengancam dengan ujung pedangnya.

Semua perwira Mongol mempunyai ke gagajan yang luar biasa. Mereka itu rata-rata tidak takut mati dan melakukan perjuangan sampai titik darah penghabisan. Inilah sebuah di antara rahasia kekuatan balatentara Mongol, setia dan berdisiplin. Demikian pula perwira yang sudah terjatuh ke dalam tangan Wan Sin Hong ini. Dia sudah tertotok dan tubuhnya tak dapat bergerak pula. Akan tetapi  ia masih dapat bicara dan mendengar pertanyaan serta ancaman musuhnya ini, ia tertawa besar.

"Aku seorang perajurit sejati, sudah terjatuh ke dalam tangan musuh, mau bunuh mau siksa, silahkan. Kaukira aku takut mati?” jawabnya gagah.

Diam-diam Sin Hong kagum sekali. Tadi pun ketika ia mengamuk, tak se orangpun antara para perajurit Mongol itu ke lakutan atau melarikan diri, sungguhpun kawan-kawan mereka roboh seorang demi seorang oleh pedang pendekar sakti itu. Kalau saja bala tentara Kin demikian setia  dan gagah berani tidak nanti Kerajaan Kin demikian mudah dibikin kocar kacir oleh Jangis Khan, pikir Sin Hong.

"Kau benar-benar seorang tai-tiang-bu (seorang gagah setia) tulen. Aku suka benar akan orang yang berhati jujur dan setia. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku datang ke utara ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan perang, melainkan untuk urusan pribadi. Salahmu sendiri kau datang-datang menyerangku dengan anak buahmu sehingga terpaksa aku harus membela diri.  Juga sedikitnya merupakan hukuman akan perbuatan  terkutuk anak buahmu ketika menyerbu ke se latan. Aku menanyakan dua orang itu, terutama Lo-thian-tung Cun Gi  Tosu, adalah karena urusan pribadi.

Kau sdalnh pecundangku dan sudah menjadi hak yang menang untuk mengambil nyawa yang kalah. Akan tetapi melihat kesetiaan dan kegagahanmu, aku mau menukar nyawamu dengan keterangan di mana adanya dua orang itu, atau terutama sekali Lo-thian-tung Cun Gi Tosu. Agar kau tidak ragu-ragu, baik kau ketahui bahwa aku sedang mencarinya untuk merampas  kembali puteriku yang ia culik.” Sin Hong yang sudah banyak pengalaman dan amat cerdik itu tahu bahwa berhadapan dengan orang yang jujur dan setia seperti ini, lebih baik ia berterus terang.

"Mata-mata selatan memang pandai menipu dan membohong," jawab Perwira Mongol itu berkeras.

"Aku bukan mata-mata. Kalau aku mata-mata masa aku memasuki wilayah Mongol secara berterang begini?” Wan Sin Hong menjawab sabar.

"Bagaimana aku bisa yakin sebelum tahu betul siapa kau

? Siapa namamu ?"

Wan Sin Hong mulai jengkel. Dia menang dia yang menawan, akan tetapi sebaliknya dia malah "diperiksa" oleh tawanannya ini. Akan tetapi karena membutuhkaa keterangan di mana adanya musuh besarnya, ia menahan sabar dan menjawab,

"Namaku Wan Sin Hong”

Perwira itu membelalakkan matanya. "Kau ....... Wan Sin Hong yang disebut Wan-bengcu ? Raja besar kami sering kali menyebut-nye but namamu sebagai seorang pendekar besar yang sakti, bukan pembela kerajaan selatan akan tetapi sayang tidak mau membantu pergerakan kami yang suci. Pantas saja aku dan sembilan be las orangku kalah ! Ah, jadi kau Wan-bangcu ?"

“Apa kau sekarang mau menolongku ?”

"Tentu saja! Manusia-manusia macam Cun Gi Tosu dan Liok Kong Ji itu mana ada harga kulindungi namanya !”

Sin Hong cepat membuka totokannya, membebaskan kembali orang itu.

"Nah, ceritakanlah di mana me reka."

"Mereka tidak membantu kami lagi. Malah mereka itu diancam oleh raja besar kami karena  mereka  me ngingkari janji, tidak mau membantu pe nyerbuan ke barat. Kalau kami mendapat kese mpatan menyerbu ke wilayah selatan lagi, manusia-manusia macam itu pasti akan kami binasakan !

Menurut kete rangan para penyelidik kami, Liok Kong Ji sekarang bersembunyi di Ui-tiok-lim di lembah Sungai Luan- ho di luar tembok Kota Raja Kin, sedangkan Cun Gi Tosu katanya melarikan diri ke selatan dan kabarnya tinggal di sebuah pulau kosong di laut se latan,  namanya Pulau Harimau Putih.

Wan Sin Hong percaya penuh. Keterangan seorang setia seperti ini tak mungkin bohong. Ia mengangguk-angguk lalu berkata, "Terima kasih aku harus kembali ke selatan.”

Perwira itu memandang kepadanya dengan mulut celangap, “Kau ..... kau membebaskan aku ? Tidak membunuhku ?”

"Mengapa harus kubunub ? Kita t idak bermusuhan."

"Akan tetapi ..... kalau aku menjadi engkau, setiap orang musuhku tentu akan kubunuh. Negara kita kan sedang

saling berperang.” Saking jujurnya perwira itu malah menyatakan keheranannya mengapa ia tidak dibunuh ! Sin Hong tersenyum. Ia memang kagum sekali kepada orang ini, maka ia suka membuang waktu untuk memberi sedikit kuliah,  "Perang  adalah  perjuangan bunuh membunuh di antara  sesama  manusia  yang sama sekali tidak punya urusan pribadi, bahkan saling tidak mengenal! Memang seorang perajurit harus  membunuh musuhnya selagi negara dalam perang bukan sekali-kali membunuh karena rasa benci perseorangan, melainkan membunuh agar jangan dibunuh dan membunuh untuk meme nuhi kewajiban sebagai perajurit  terhadap negara. Memang perjuangan dalam perang untuk  membela  nusa  bangsa adalah  tugas suci setiap orang gagah."

"Akan tetapi sekali saja kau membunuh tentara lawan dengan hati mengandung kebencian pribadi, maka sifat membunuh itu menjadi keji dan hina !  Kau boleh membunuh seribu orang tentara lawan tanpa memperdulikan siapa lawan itu, tanpa rasa benci kepada orangnya, dengan pegangan bahwa dia itu musuh negara dan harus dibunuh. Akan tetapi, sekali-kali kau tidak boleh membunuh dengan rasa benci perseorangan.

Kalau aku me mbunuhmu, apa alasanku? Aku tidak ada parmusuhan dengan kau, juga aku bukan tentara lawanmu. Kalau tadi aku membunuh anak buahmu adalah karena aku dikeroyok dan aku diserang lebih dulu sehingga aku harus membela diri. Dengan kau lain lagi, kau seorang gagah dan setia, kau telah memberi keterangan penting kepadaku, Nah, selamat tinggal.”

Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Sin Hong sudah lenyap dari depan mata perwira itu yang mula-mula melongo, kemudian ia berjingkrak se perti orang kemasukan setan.

“Ha ha. Aku sudah bertemu dengan Wan Sin Hong ! Aku mengalami hal luar biasa yang dapat kudongengkan kepada anak cucuku ! Baru kali ini aku mengalami kekalahan terhormat dari orang besar seperti Wan-bengcu!” Orang itu tertawa-tawa kemudian lari ke utara untuk mencari kawan- kawan guna merawat para korban pedang Wan Sin Hong.

Wan Sin Hong memutar perjalanannya sembilan puluh derajat. Ia kini memutar ke selatan. Ada keinginan hatinya untuk mencari Liok Kong Ji di Ui-tiok-lim. untuk membuat perhitungan terakhir dengan musuh lama ini. Akan tetapi ia mene kan keinginan ini karena perhatiannya tercurah kepada puterinya.

la harus mencari dan menolong dulu puterinya, baru kelak membereskan perhitungan dangan  Kong Ji. Oleh karena itu ia tidak mencari ke Ui-tiok-lim, melainkan terus melakukan  perjalanan ke  selatan  yang luar biasa  jauhnya. Di dalam perjalanan ini, Wan Sin Hong teringat akan perjalanannya, ketika ia mencari Tiang Bu yang terculik oleh Hui-eng Niocu yang sekarang sudah menjadi isterinya.

Kalau saja ia lebih dulu pergi ke Ui-tiok- lim, ada kemunngkinan ia akan menjadi saksi betapa Tiang Bu mengobrak-abrik tempat persembunyian Liok Kong Ji ini. Dalam melaksanakan perjalanan ke selatan, Wan Sin Hong menuju ke barat lebih dulu sampai ia bertemu dengan Sungai Huang-ho, kemudian ia nyambung perjalanannya dengan sebuah perahu setelah lebih dulu ia singgah di Luliang san untuk mengunjungi makam suhunya.

Pe rjalanan dengan perahu amat cepat karena selain perahu dibawa aliran sungai, juga Sin Hong menambah dengan dayungnya yang digerakkan dengan tenaga.

Terjadi pertemuan dan peristiwa yang menarik hati ketika ia tiba di dekat kota Lok yang, di mana air Sungai Huang-ho dari utara itu membelok ke timur. Memang Sin Hong hendak mendarat dan melanjutkan perjalanan darat lagi terus ke selatan. Akan tetapi sebelum ia mendarat, ketika perahunya tiba di daerah berhutan yang liar, tiba-tiba di depannya menghadang lima buah perahu kecil yang diatur berjajar, sengaja menghalangi perahunya. Dari pengalamannya. Wan Sin Hong tahu bahwa penghadangnya tentulah golongan bajak. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar. Empat buah perahu masing-masing hanya ditumpangi dua orang berpakaian hitam yang memegang golok, sedangkan perahu ke lima diduduki tiga orang, yaitu seorang kakek, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik. Tiga orang ini lebih menarik perhatian Sin Hong karena mereka memperlihatkan sifat-sifat gagah. Selagi Sin Hong hendak menegur mengapa ia dihadang, tiba tiba ia mendengar suara khim (alat musik) ditabuh oleh pemuda itu dan si gadis cantik bernyanyi, sedangkan kakek itu mengambil irama dengan ketokan dayungnya pada air, Sin Hong memasang telinga memperhatikan isi nyanyian.

"Serigala utara pergi menghilang Datang banjir dan belalang Tinggalkan uang dan barang Baru perahu takkan terhalang !

Hati siapa takkan risau? Siapa pula akan hirau?

Membuka yangan membantu petani, Kalau bukan bangsa sendiri.

Suara gadis itu hal us dan merdu, akan tetapi mengandung kekuatan dapat menembus angin  dan mencapai telinga Sin Hong, demikian pula permainan khi m. Ini semua selain merupakan pernyataan “minta barang dan uang", juga merupakan demonstrast lweekang yang tinggi dari pemuda dan gadis itu. Akan tetapi, sudah tentu saja demonstrasi pemuda dan gadis itu merupakan permainan biasa bagi Sin Hong. Yang amat menarik perhatian Sin Hong adalah kakek yans memukul-mukulkan dayungnya ke air untuk menerbitkan suara berirama.

Dayung itu dipukul-pukulkan biasa saja akan tetapi perahu sedikitpun tidak bergoyang dan air sedikitpun tidak memercik ke atas. Nainun, setiap kali dayung mengenai air terde ngar bunyi “plak" yang keras dan air tertekan ke dalam sedangkan  di  se kitarnya  menaik ke  atas  ! demonstrasi tenaga lwrekang yang benar-benar tak boleh dipandang ringan. Melihat betapa tiga orang itu mendemonstrasikan kepandaian, timbul sifat gembira dalam hati Wan Sin Hong. Iapun berdiri di kepala perahunya, dayungnya digerak- gerakkan perlahan menahan majunya perahu dan ia bersajak.

"Serigala suara pergi menghilang Datang banjir dan belalang.

Memang merisaukan hati kawan !

Sudah barang tentu bangsa sendiri membantu, Akan tetapi membajak, apakah itu perlu?

Apa lagi yang dihadapi adalah seorang dungu, Yang t idak mempunyaI sepeser di dalam saku !”

Terdengar kakek itu tertawa, lalu ia berdiri se hingga kelihatan tubuhnya yang jangkung. Sajak Sin Hong tadi biasa saja, akan tetapi cara Sin Hong menahan majunya parahu dengan menggerak gerakkan dayung perlahan di atas air sungguh bukan perbuatan biasa.

"Tamu yang lewat bilang tidak punya sepeser, mana bisa melakukan perjalanan? Pedang bagus disimpan di dalam baju, siapa tahu kalau tidak digunakan menambah sengsara rakyat? Jaman ini banyak sekali anjing busuk, Aah, Harus diselidiki betul-betul.”

Wan Sin Hong te rcengang mendengar kata-kata kakek pemimpin bajak sungai itu. Alanglah tajam pandang mata kakek itu yang dari jarak jauh dapat melihat pedang Pak- kek.sin-kiam yang ia sembunyikan di balik baju. Juga kata- kata kake k itu menunjukkan bahwa kakek ini bukanlah bajak sungai biasa saja. Hatinya timbul ingin mencoba

ke pandaian kakek itu dan belajar kenal. Dengan tenang Sin Hong lalu menggerakkan perahu ke pinggir sambil be rkata, “Aku bukan termasuk golongan buaya bicara di atas air sungguh tidak leluasa, Kalau sahabat tua ingin bicara, mari ke darat !” Dongan sekali melompat Sin Hong telah tiba di darat dan berdiri menanti sambil terse nyum tenang.

Memang Sin Hong seorang pendekar yang hati-hati sekali. Biarpun ia tidak gentar menghadapi bajak sungai itu, akan tetapi kalau sampai terjadi perkelahian di atas perahu, ia bisa menderita rugi. Sekali saja perahunya digulingkan, ia akan berada di fihak lemah. Oleh karena itu ia mendahului menantang sambil mendarat.

Kakek itu melihat cara Sin Hong melompat, berseru gembira. "Aha. kiranya memiliki sedikit kepandaian. Aku akan manyelidiki di atas darat. Kalau kawan boleh terus kalau lawan baru me ninggalkan barang!” Sambil berkata demikian, iapun melompat dari perahunya ke atas darat

de ngan gerakan yang ringan sekali. Berturut-turut pemuda dan pemudi yang duduk seperahu dengan kakek itupun melompat dengan gerakan yang menunjukkan ilmu ginkang yang sudah tinggi.

"Bagus!" kata  Sin Hong sambil tersenyum.  "Sudah kuduga bahwa kalian tentu bukan bajak-bajak sungai biasa. Sekarang dengan cara bagaimana kalian hendak memeriksa dan me nyelidik apakah aku seorang baik atau busuk

menurut ukuranmu?"

Kakek itu mengurut urut jenggotnya yang panjang dan matanya memandang penuh selidik, “Hemm. sikapmu mengingatkan aku akan seorang yang sudah sering kali kudengar namanya disebut-sebut orang. Akan tetapi tak mungkin kau orang itu. Mau tahu bagaimana cara kami menyelidik ? Bersiaplah dengan pedang yang kausembunyikan itu. Kalau kau bisa mempertahankan pedang itu dari rampasan kami, kami mengaku kalah dan kau boleh melanjutkan perjalanan diiringi hormatku." Sin Hong tersenyum. "Hemm, begitukah cara seorang bajak bertindak ? Benar-benar sombong! Siapa di antara kalian yang hendak maju?”

"Thia-thia (ayah), biarlah aku memberi hajaran kepada orang yang banyak lagak ini," kata gadis cantik yang tadi bernyanyi sambil mecabut pedangnya. Sikapnya galak dan pipinya kemerahan menambah ke cantikannya. Kakek itu hendak mencegah akan tetapi gadis yang lincah dan galak itu telah menikam dada Sin Hong dengan pedangnya.

Wan Sin Hong adalah seorang pendekar besar dan sudah berusia setengah tua. kesabarannya tebal bukan main. Mana ia mau me layani seorang dagis remaja yang bertingkah?

Dengan te nang ia mengulur tangan dan di lain saat ia telah mencengkeram pedang itu. dibetot dan pedang telah terampas olehnya!

"Ang Lian, mundur kau!" seru si pe muda sambil menyerang dengan pedangnya tanpa minta perkenan kakek itu.

Sin Hong nienggerakkan pedana rampasan yang dipegang pada bagian tajamnya, dengan sekali ia memapaki ujung

pe dang pemuda menggoyangkan gagang pedang yang dia pegang dan.....  benang ronce  hiasan  gagang pedang rampasan itu melibat pedang pemuda itu tak dapat ditarik pula. Sekali Sin Hong me mbetot, pedang pemuda itu terlepas dari pe gangan dan sudah be rpindah ke  tangan  pendekar besar ini !

"Pek Lian, kau telah sombrono!” mence la kakek itu sambil tertawa.

Sin Hong memandang kepada Ang Lian dan “pemuda” yang ternyata seorang gadis berpakaian pria bernama Pek Lian itu. tersenyum dan menyerahkan pedang-pedang rampasannya kembali. Ang Lian dan Pek Lian bermerah muka, malu untuk menerima kembali pedang yang sudah terampas. "Pek Lian, Ang Lian, terima kembali pedang kalian dan haturkan terima kasih!" kata kake k itu yang bukan lain adatah Huang-ho Sian-jin, “datuk" bajak sungai di sepanjang sungai Huang-ho. Dua orang gadis itu melangkah maju menerima pedang masing-mas ing dan bibir mereka berbisik menyatakan terima kasih. Mereka merasa heran dan kagum bukan main. Dahulu mereka dibikin  kagum dan  tidak berdeya terhadap seorang pemuda bernama Tiang Bu, sekarang kembali mereka be rtemu "guru” yang lihai bukan main. Mas a dalam segebrakan saja pedang mereka sudah terampas secara aneh!

Sementara itu, Huang-ho Sian-jin menghadapi Wan Sin Hong dengan mata bersinar-sinar. Ia merasa gembira sekali dapat bertemu dengan orang selihai ini. Ia sudah dapat menduga siapa orang ini, Akan tetapi dia bukan ayah Ang Lian yang keras kepala kalau dia sendiri tidak kepala batu!

“Orang gagah, aku tidak memparkenalkan nama dan tidak akan menanyakan namamu sebelum kita mengukur kepandaian. Kepandaianmu hebat sekali, ingin aku mencobanya. Cabut pedangmu itu dan mari kita main-main sebentar”!” Setelah berkata demikian, ia menyambar dayung perahunya. Dayung itu terbuat dari pada baja panjaog dan berat berwarna hitam. Wan Sin Hong adalah seorang

pe ndekar sakti. Tidak saja ilmu silaynya tinggi sekali, juga ia memiliki kecerdikan melebihi orang banyak. Orang kebanyakan menilai kepandaian murid dari kepandaian gurunya, akan tetapi Sin Hong dapat menilai  kepandaian guru terlihat dari kepandaian muridnya. Ia tahu bahwa dua orang gadis itu adalah puteri kakek ini, tentu mendapat warisan ilmu silat sebanyaknya. Dan ia sudah dapat menilai bakat dua orang gadis tadi. Dari perhitungan ini ia sudah dapat menduga sampai di mana tingkat ilmu kepandaian kakek itu dan ia tahu bahwa ia akan dapat

mengalabkannya. "Pedangku sudah kusembunyikan di balik  baju, biarlah ia tinggal bersembunyi di sana karena aku tidak bisa mempergunakan kalau bukan berhadapan dengan musuh jahat. Sahabat tua he ndak main-main, biarlah aku minta bantuan anakmu meminjam pedang.”  Baru ucapannya habis. Pek Lian yang berdiri dekat, kurang lebih tujuh langkah dari Sin Hong, tiba-tiba merasa ada angin menyambar dan di lain saat pedangnya sudah terambil lagi, terpegang oleh orang sakti itu.

"Maaf anak yang baik. Aku pinjam sebentar pedangmu," kata Sin Hong, suaranya halus dan ramah sehingga Pek Lian tidak bisa marah. Sin Hong tahu bahwa kalau ia mencabut pedangnya, selain mungkin se kali, kakek itu akan mengenal Pak-kek-sin kiam. juga ke menangannya takkan ada artinya. Pe dang pusakanya amat tajam dan kalau se kali tangkis dayung lawannya putus, berarti ia akan menang mengandalkan ketajaman pedang pusaka maka ia sengaja meminjam pedang biasa kepunyaan Pek Lian.

Perbuatan dan sikap Sin Hong ini memang boleh dipandang sebagai suatu kesombongan atau sikap memandang rendah lawan, biarpun Huang-ho Sian-jin seorang kakek yang banyak pengalaman dan memiliki kesabaran besar, ia menjadi mendongkol juga. Tanpa sungkan-sungan sebagai imbalan atau imbangan sikap Sin Hong itu, ia menggerakkan dayungnya, diputar di atas kepala lalu berseru.

"Awas, lihat senjata !"

Bagaikan seekor ikan besar menyambar mangsanya, dayung itu bergerak miring dan sekaligus melancarkan serangan yang mempunyai pecahan lima macam banyaknya. Lima macam pukulan susul-menyusul dan bertubi-tubi dilakukan dengan kedua ujung dayung,  dalam cara  dan gerak yang berbeda sifatnya, bergantian me ngandung tenaga ke ras dan lemas! Inilah serangan  hebat  sekali  yang amat sukar dihindari. Dayung itu panjang dan berat, digerakkan oleh seorang yang memiliki lweekang tinggi, datangnya cepat, tidak terduga dan kuat sekali.

Akan tetapi, datuk bajak itu menghadapi Wan Sin Hong, seorang pendekar sakti yang tinggi ilmu silatnya bahkan yang pernah di pilih menjadi be ng-cu dari para orang gagah. Biarpun harus ia mengakui bahwa serangan kakek itu benar luar biasa dahsyatnya dan berbahaya, namun ia bersikap tenang sekali. Dari sambaran angin pukulan ia dapat membeda-bedakan tenaga yang dipergunakan kakek itu.

Harus diketahui  bahwa selama "bertapa” di  Luliang-san. Wan Sin Hong telah dengan amat tekun melatih diri dan mempelajari serta memperkuat tenaga lweekang sehingga ia boleh dibilang seorang ahli Yang-kang dan Im-kang. Maka dari itu, sekali lihat saja ia tahu bagaimana harus melayani lawannya. Pedang pinjaman di tangannya digerakkan parlahan namun mengandung dua macam tenaga yang tepat menghadapi tenaga dayung lawan. Lima kali  dayung itu dapat disambut pedang, di waktu mempergunakan tenaga Yang-kang, terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar di  waktu bertemu tenaga Im-kang,  tidak ada suaranya seperti dua barang lunak akan tetapi setiap kali membuat Huang-ho Sin.jin menderita pukulan he bat. Pertemuan tenaga Yang-kang membuat ia me rasa panas seluruh tubuhnya dan tergetar mundur, sedangkan pertemuan tenaga Im-kang mombuti kakek itu mengstigil  kedinginan dan ke dua kakinya lemas. Ini menandakan bahwa dalam hal tenaga, Sin Hong yang lebih muda itu masih jauh mengatasinya.

Sin Hong yang selalu inenghormati orang lebih tua, membiarkan kakek itu menyerangnya sampai tiga puluh jurus, ia hanya mempergunakan kelincahannya mengelak dan kadang-kadang menangkis tanpa balas menyerang.

Setelah tiga putuh jurus lewat, ia meras a bahwa sudah cukup ia mengalah, lalu katanya, “Sahabat, maafkan pe dangku !" Tiba tiba pedang itu berubah menjadi segulung sinar menyilaukan mata dan Huang-ho Sian.jin sampai be rseru kaget. Baru sekarang ia menyaksikan ilmu pedang yang luar biasa sekali, Ilmu Padang Pak-kek Kiam sut yang tiada taranya di dunia ini. Lebih dari tujuh belas pucuk sinar pedang seperti api bernyala menjilat-jilatnya, sukar ditentukan dari mana arah penyerangannya, kelihatan kacau balau Namun teratur sekali demikian baik teraturnya hingga tiap serangan menuju ke arah jalan darah yang

pe nting !

Sebentar saja Huang-ho Sian jin sudah tak berdaya lagi.

Ia menjadi pening, dayungnya hanya diputar-putar tidak karuan dalam usahanya melindungi tubuhnya, lalu ia berte riak-teriak.

"Hebat...... cukup ....... cukup. Kalau ini bukan Wan taihiap, bengcu yang tersohor, aku si bodoh tidak tahu lagi kau siapa !"

Wan Sin Hong menahan pedangnya, me ngembalikannya kepada Pek Lian sambil mengucapkan terima kasih kemudian berkata pada Huang-ho Sian-jin.

"Nama besar Huang-ho Sian-jin bukan kosong belaka, aku Wan Sin Hong merasa girang dapat berkenalan." Ia lalu mengangkat tangan memberi hormat.

Huang-ho Sian-jin tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Kalau tidak bertempur mana bisa saling mengenal? Sekarang aku tahu mengapa Wan taihiap tidak menge luarkan pedangnya Pak-kek-sin-kiam yang tersohor. Kare na, hendak menyembunyikan keadaan diri sendiri. Ha-ha-ha......!” Kakek itu lalu menoleh kepada dua orang anaknya, Ang Lian dan Pek Lian gadis berpakaian pria sambil berkata, "Hayo kalian memberi hormat kepada Wan Sin Hong taihiap yang dulu terke nal dengan sebuta Wan-bengcu.”

Dua orang anak dara itu me mang ce rdik. Sudah lama mereka mendengar nama besar Wan Sin Hong disebut ayah mereka, kini setelah be rhadapan mereka segera menjatuhkan diri berlutut dan Pek Lian berkata, "Kami kakak beradik mohon petunjuk dari taihiap.”

Sin Hong tersanyum dan juga tercengang karena baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa "pemuda" yang ia pinjam pedangnya itu ternyata se orang gadis pula.

“Kalian sudah memiIiki kiam-hoat bagus, belajar apa lagi

?”

Terdengar Huang-ho Sian-jin berkata sambil menarik

napas panjang dan berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Kiam hoat apakah yang bagus? Kalau bukan Wan –taihiap yang menaruh kasihan dan bermurah hati memberi

pe tunjuk, habis siapa lagi ? Harap saja Wan taihiap tidak terlalu pelit." Ia mengangkat kedua tangan menjura dungan hormat,

Menghadapi permintaan yang sungguh-sugguh dari ayah dan anak ini, Wan Sin Hong merasa tidak enak kalau tidak menuruti. Tangan kanannya bergerak, sinar terang menyilaukan mata ketika Pak-kek-s in-kiam berada di tangan.

“Kim-hoat dimiliki karena jodoh. Entah nona-nona berjodoh  atau  tidak,  silakan  melihat  baik-baik  !"  sete lah be rkata demikian, Sin Hong menggerakkan pedangnya dan dengan perlahan ia mainkan Soan-houg-kiam-hoat (Ilmu Pedang Anglo Puyuh) yang dulu ia pelajari dari Luliang

Ciangkun. Tentu saja ia tak mau menurunkan Ilmu Pedang Pak kek kiam-sut karena selain ilmu pedang ini tidak boleh diturunkan pada sembarang orang, juga untuk mempelajari ilmu pedang ini membutuhkan dasar-dasar yang amat kuat dan amat sukar dipelajari!

Sampai tiga kali Sin Hong mengulang permainannya di depan dua orang gadis Huang-ho Sian jin yang tahu aturan kang-ouw. memerintahkan anak buah bajak untuk berdiri membelakangi tempat latihan itu, bahkan dia sendiri juga tidak mau melihat.

Setelah mainkan pedangnya tiga kali ditonton penuh perhatian oleh Pe k Lian dan Ang Lian, Sin Hong berhenti bermain berkata,

"Cukup sekian dan selanjutnva tergantung dari jodoh dan bakat."

Dua orang gadis itu berlutut menghaturkan terima kasih lalu pergi dari situ mencari tempat sunyi untuk mengingat dan mempelajari ilmu pedang yang terdiri dari tujuh belas jurus itu.  Sedangkan Huang-ho  Sian-jin dengan  wajah girang berseri mempersilakan Sin Hong untuk singgah di tempat kediamannya, yaitu di sebuah perabu besar untuk menerima penghormatan dan jamuan. Akan tetapi Sin Hong menolak dan menyatakan bahwa ia masih mempunyai banyak urusan. Kemudian ia teringat akan kedudukan Huang-ho Sian-jin se bagai bajak sungai yang malang melintang se panjang Sungai Huang-ho dan tentunya juga ia pernah keluar berlayar di lautan dan mengenal keadaan pulau-pulau di sebelah selatan.

“Siauw-te ada sebuah urusan dan mengharapkan bantuan lo enghiong," katanya.

Wajah Huang-ho Sian jin be rseri. "Tentu saja lo-hu suka sekali membantumu. Wan-taihiap. Entah urusan apakah gerangan dan bantuan apa yang dapat kuberikan?"

"Hanya sebuah keterangan dari lo-enghiong. Aku se dang mencari sebuah pulau di laut selatan, pulau yang bernama Pek-houw to (Pulau Hariman Patih), entah lo enghiong mengenal atau tidak?”

Wajah yang berseri dari kakek itu segera berubah, keningnya berkerut dan untuk sejenak ia memandang kepada Sin Hong dengan mata tajam. "Kiranya taihiap juga mengalami gangguan me reka? Iblis- iblis itu belum lama tinggal di Pe houw to, akan tetapi sudah membikin kacau banyak orang. Terutama sekali penduduk

di sekitar pantai selatan. Aku sendiri se dang bersiap-siap untuk nekat menyerbu ke sana, biarpun aku tahu bahwa mereka terdiri dari orang-orang berhati iblis yang amat ke ji dan berkepandaian tinggi sekali.

"Aku tidak tahu siapa yang kaumaksudkan dengan mereka itu, lo e nghiong. Akan tetapi terus terang saja, aku mercari seorang tosu kaki buntung bernama Lo-thian-tung Cun Gi Tosu ”

“Celaka......!”  Huang-ho  Sian-jin berseru  kaget mendenpar nama ini. “Jadi diakah gerangan  orangnya? Sudah kudengar bahwa pemimpin iblis itu adalah seorang kakek buntung kaki kanannya akan tetapi siapa kira adalah Lo-thian-tung Cun Gi  Tosu.  Pantas  saja  banyak anak buahku tewas !”

Huang-ho Sian jin lalu bercerita bahwa memang di pulau itu tinggal banyak orang di dipimpin oleh seorang kakek buntung. Kakek itu sendiri jarang sekali  kelihatan keluar dari Pulau Pek-houw-to, akan tetapi banyak anak buahnya melakukan gangguan gang guan kepada rakyat dan nelayan di sekitar daerah itu terutama di pantai daratan Tiongkok.

“Beberapa kali anak buahku mencoba untuk menegur mereka,” Huang-ho Sianjin melanjutkan pe nuturannya. "Kami biarpun tergolong kaum bajak, namun kami melakukan parampasan  bukan  semata menggendutkan perut sendiri.  Di samping untuk makan  anak buah  kami yang hanyak jumlahnya, semua sisa hasil pembajakan selalu kupergunakan untuk  me nolong  rakyat  yang  sedang menderita kekurangan. Maka sepak terjang pebghuni Pek houw-to itu memarahkan hati anak buah dan mere ka

mene gur. Celakanya, mereka tidak suka ditegur sehingga terjadi pertempuran dan selalu pihak anak buahku yang menderita kekalahan. Selama ini aku bersabar saja sampai akhirnya kumendengar mereka itu banyak melakukan

pe nculikan anak-anak gadis di pantai. Ini melewati batas dan aku sudah merencana persiapan untuk menyerbu ke sana dan merobohkan pemimpinnya. Tidak tahunya, pemimpinnya adalah Lo thian-tung Cun Gi Tosu! Aku bisa apakah terhadap dia ?”

"Lo-enghiong jangan khawatir. Biarkan aku menghadapi kakek buntung yang telah menculik dan aku hanya minta bantuan lo enghiong untuk mengantarku ke sana se bagai petunjuk jalan," kata Sin Hong.

"Mana bisa begitu? Aku akan mengawani taihiap dan mari kuantar taihiap mendarat di sana. Akupun tidak takut menghadapi Lo-thian-tung Cun Gi Tosu, sungguhpun dia terkenal sakti !”

Cepat Huang-ho Sian-jin memberi perintah kepada anak buahnya untuk menyediakan sebuwh pe rahu terbaik dan menyuruh pergi. Kemudian ia bersama Sin Hong mulai melakukan pelayaran, keluar dari Sungai Huang ho memasuki perairan laut dan terus berlayar ke selatan. Tidak mengecewakan Huang-ho Sian jin  dianggap datuk para bajak, kepandaiannya mengemudi perahu dan berlajar memang hebat sekali. Perahu berlayar cepat dan dalam tiga hari mereka sudah tiba di tempat tujuan.

Pek-houw-to terletak tak jauh dari pantai di antara sekumpulan pulau-pulau lain. Pulau ini tidak kelihatan istimewa, hanya kalau dilihat dari jauh memang agak keputihan bentuknya seperti binatang harimau mendekam. Oleh karena bentuk dan warna inilah maka disebut Pek houw to atau Pulau Harimau Putih.

Hari telah menjadi senja ketika perahu dua orang pendekar itu tiba di kepulauan Itu. Keadaan di situ benar- benar sunyi, tidak kelihatan sebuahpun perahu nelayan. Padahal dae rah ini terkenal banyak ikannya. "Kaulihat sendiri, taihiap. Tak seorangpun nelayan berani mencari ikan di sini, pada dahulu di sini amat ramai. lni tandanya betapa ganas orang-orang jahat itu mengganggu ketenteraman para nelayan"

Sin Hong hanya mengangguk dan minta kepada kakek

itu untuk melanjutkan palayaran ke pulau itu. Perahu terus didayung mendekati pulau dan setelah dekat nampak bahwa di antara pulau-pulau itu, hanya Pek houw-to yang kelihatan ada rumah-rutnahnya. Wuwungan rumah nampak menjulang tinggi di antara batu-batu karang dan pohon- pohon.

Perahu didaratkan dan mereka melompat ke darat dengan hati-hati. Setelah perahu ditambatkan pada batang pohon, Sin Hong berkata, “Harap lo-enghiong suka menanti di saja. Aku akan naik dan menyelidiki ke tengah pulau.”

Maklum bahwa kepandaiannya memang tdak dapat mengimbangi Sin Hong. Huang- ho Sin-jin mengangguk dan mene rima pesan ini tanpa  membantah.  Akan  tetapi  setelah ia me lihat bayangan Sin Hong berkelebat lenyap menuju ke jurusan kiri, iapun lalu menyusup di antara tetumbunan menuju ke kanan, untuk melakukan penyelidikan sendiri.

Tentu saja seorang gagah perkasa seperti kakek ini yang disegani di antara para bajak, merasa tidak enak sekali kalau hanya dijadikan tukang turggu atau tukang perahu. Biarpun ke pandaiannya tidak setinggi Wan Sin Hong, namun ia tidak takut menghadapi kakek buntung dan kawan-kawannya !

Belum lama Huang ho Sian-jin berjalan mengendap di antara pohon-pohon, berindap-indap ia mengintai dengan hati- hati, ia mendengar makian orang dan angin pukulan, tanda bahwa ada dua orang pandai bertempur. Ce pat ia manyelinap di balik pohon dan menghampiri tempat itu, mengintai. Dilihatnya dua orang pemuda tengah bertempur seru. Mereka ini adalah se orang pemuda yang berenjata sepasang ranting kayu dan pemuda ke dua se njatanya mengerikan yaitu sebuah tulang Iengan kering di tangan kiri dan seekor ular kecil putih di tangan kanan ! Pemuda bersenjata ranting itu terus terdesak mundur oleh Iawannya yang ternyata lebih lihai. Namun ia melawan dengan nekat sekali, ia tidak memperdulikan ejekan dan sikap lawan yang tertawa-tawa.

“Ha ha-ba, Wan Sun bocah tolol. Apakah kau masih tidak mau menyerah? Isterimu sudah tertawan dan kau sendiri sudah tak berdaya. Dengan pedangmu saja kau tidak mampu melawanku. Apa lagi dengan ranting? Ha ha jangan kau bersikap goblok. Ayah masih berlaku murah dan melarang kau dibunuh. Kalau tidak begitu, apa kaukira sekarang kau tidak akan menjadi setan tak berkepala dan isterimu sudah menjadi milikku ?”

"Keparat jahanam Liok Cui Kong! Kau sudah membunuh ayah dan ibu mertuaku, secara keji menyebar maut di Kim- bun to, kau kira  aku sudi  mendengar omonganmu ? Mari kita mengadu nyawa, aku tidak takut !” Setelah berkata demikian, Wan Sun menyerang makin hebat. Dia adalah murid Ang jiu Mo Ii, tentu saja kepandaiannya tidak rendah. Biarpun pe dangnya sudah terampas oleh Cui Kong dan sekarang ia hanya mempergunakab dua ranting kayu, namun ini masih merupaken senjata yang berbaya bagi lawan.

Bagaimana Wan Sun bisa berada di pulau itu dan bertempur melawan Cui Kong? Seperti pernah diceritakan, setelah melangsungkan pernikahannya dengan  Coa  Lee Goat, Wan Sun mengajak isterinya untuk pergi ke utara dan mencari adiknya, Wan Bi Li.  Setelah menikah,  tentu saja cinta kasih Wan Sun terhadap Bi Li berubah menjadi cinta kasih kakak terhadap adiknya. karena memang dia tidak beradik dan Bi Li selain tidak bersauaara, juga telah menjadi anak yatim piatu seperti juga  dia  sendiri.  Kalau teringat akan keadaan Bi Li, sedihlah hati Wan Sun. Ia ingin bertemu dengan adik angkatnya itu, ingin menarik Bi Li tinggal bersama dia dan kelak mencarikan pasangan yang setimpal untuk adiknya itu. Lee Goat maklum akan perasaan sayang adik dari suaminya ini, maka ia setuju untuk pergi mencari Bi Li. sekalian berbulan madu sebagai pengantin baru.

Akan tetapi, setelah berbulan-bulan merantau di utara dan mencati-cari, usaha Wan Sun sia-sia belaka. Tak seorangpun manusia tahu ke mana perginya Bi Li. Gadis itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Wan Sun menjadi berduka sekali. Lee Goat yang melihat kedukaan suaminya, lalu menghiburnya dan mengajaknya pulang saja ke Kim-bun to.

“Biar nanti ayah membantumu. Jika ia memberi surat kepada para ketua partai besar minta bantuan mereka, mustahil adik Bi li tidak dapat ditemukan? Ayah mempunyai hubungan dengan semua orang kangouw di empat penjuru dan kalau semua orang kang-ouw membantu mengamat- amati tentu segera akan ada berita di mana adanya adik Bi Li," kata Lee Goat dengan suara menghibur. Wan Sun menganggap kata-kata isterinya ini tepat juga, maka dia pun menurut.

Akan tetapi, sipa kira, sesampainya si Kim-bun-no, bukannya menerima hiburan bahkan mendengar berita yang hebat menghancurkan hati mereka. Yang menyambut kedatangan mereka hanya Hwa Thian Hwesio. Melihat sepasang suami isteri ini datang, Hwa Thian Hwesio menyambutnya dengan air mata bercucuran. Tentu saja Lee Goat dan Wan Sun terkejut sekali.

"Lo.suhu.  ..... mengapa  lo -suhu menangis. Mana  ayah dan ibu, mana bibi Li Hwa dimana semua orang? Mengapa begini sunyi……?” Lee Goat menole h ke sana ke mari dan merasa berdebar hatinya, tidak melihat siapa-siapa di situ. Juga Wan Sun mendapat firasat tak enak, wajahnya sudah menjadi pucat ketika ia melihat hwesio itu menangis terisak- isak seperti anak kecil.

“Hwa Thian lo-suhu, harap suka berce rita trus terang.

Apakah yang telah terjadi ?” Hwesio itu akhirnya dapat menenangkan diri. Ia menyusuti air mata dengan ujung lengan bajunya yang lebar, lalu memandang kepada Lee Goat sambil berkata kepada Wan Sun.

“Kongcu, jagalah isterimu baik-baik sementara mendengar ceritaku."

Wan Sun segera menggandeng lengan isterinya, hatinya berdebar karena ia maklum bahwa tentu telah terjadi malapetaka hebat di Kim-bun to. Adapun Lee Goat seketika menjadi pucat sekali dan suaranya serak ketika ia bertanya, “Lo-suhu, ceritakanlah, ada apa…?”

“Beberapa bulan yang lalu, pinceng kebetul an sekali datang berkunjung ke sini bersama sahabatku Ouw Beng Sin, tiba-tiba datang Liok Cui Kong putera Liok Kong Ji. Pemuda jahat itu mengamuk dan dia lihai bukan main.

Biarpun dia dikeroyok, tetap tetap saja menyebar maut. Selain Ouw Beng din dan seorang pelayan tewas, pinceng dan Hui-eng Niocu Siok Li Hwa terluka hebat, juga Coe-sicu dan isterinya tewas “

Lee Goat menjerit. Wan Sun cepat memeluknya dan nyonya muda ini pingsan dalam pelukan suaminya. Air mata bercucuran dari sepasang mata Wan Sun, giginya berkerot- kerot, akan  tetapi  tak sedikitpun suara  keluar dari mulutnya. Dengan menekan goncangan dalam dada sendiri, ia memondong isterinya dan membawanya ke dalam kamar, di mana Lee Goat dibaringkan dan dirawat.

Menjelang tengah malam baru Lee Goat siuman dari pingsannya, menjerit-jerit nyaring "Liok Cui Kong bajingan besar! Aku harus bunuh kau! Aku akan  mencabut jantungmu dipakai sembahyang !" berkali-kali ia menjerit menangis sedih. Baiknya Wan Sun pandai sekali menghiburnya, dan menjanjikan untuk segera mencari musuh besar itu dan membalas dendam. Akhirnya Lee Goat terhibur juga. Segera setelah melakukan sembahyang di depan makam ayah bundanya sambil menangis menggerung-gerung, Lee Goat mengajak suaminya pergi lagi mencari jejak Cui Kong!

Akhirnya mereka mendenger bahwa orang yang dicari itu be rada di selatan, di Pulau Pek-houw-to.  Tanpa  mengenaI lelah dan bahaya, kedua suami isteri ini menyusul ke sana menyeberang dan dengan nekat lalu menyerbu.

Penyerbuan dua orang muda ini mendatangkan rasa geli dalam hati Cui Kong, kagum dalam hati Cun Gi Tosu, dan girang dalam hati Liok Kong Ji. Cui Kong merasa geli karena melihat dua orang muda yang kepadaiannya belum berapa tinggi berani main-main di  depan mulut  gua  harimau, Cun Gi Tosu kagum menyaksikan keberanian suami isteri muda ini dan Liok Kong Ji merasa girang oleh karena munculnya dua orang muda ini me mberi kesempatan baginya untuk menghadapi  musuh-musuh besarnya yang ia  takuti  yaitu Sin Hong dan Tiang Bu. Kalau saja ia dapat menawan dua orang ini, tentu ia dapat menebus keselamatannya dengan jiwa mereka ! De mikianlah, tanpa banyak cakap lagi Kong Ji memberi perintah kepada Cui Kong untuk me nangkap dua orang muda itu hidup-hidup.

Lee Goat sendiri biarpun kepandaiannya tinggi dan kiam- hoatnya lihai karena ia murid Wan Sin Hong, namun tentu saja berhadapan dengan  Liok Kong Ji ia  marupakan makanan lunak. Belum sampai tiga puluh  jurus,  nyonya muda ini sudah terkena totokan yang lihai, jatuh lemas dan menjadi tawanan.

Wan Sun didesak mundur terus oleb Cui Kong. Biarpun ke pandalan Wan Sun tadinya sudah hampir setingkat dengan Cui Kong, akan tetapi akhir-akhir ini Cui Kong mendapat kemajuan hebat dan kini Wan Sun masih kalah sedikitnya dua tingkat ! Dengan senjatanya yang aneh, Cui Kong mendes ak Wan Sun yang masih melakukan perlawanan mati-matian.

Ketika Wan Sun mengge rakkan pedangnya dengan hebat untuk mamatahkan lengan ke ring yang mengerikan itu, Cui Kong berkata sambil tertawa, “Awas, hati-hati sedikit. Kalau tidak, pedangmu akan mematahkan lengan tangan adikmu sendiri. Lihat baik-baik, ini  lengan tangan Wan Bi  Li, apa kau tidak mengenal lagi ?"

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Wan Sun mendengar ini dan tanpa terasa gerakannya menjadi lambat dan tahu- tahu ia kehilangan pedangnya yang kena dirampas oleh Cui Kong. Namun Wan Sun bukan orang penakut. Ia melawan terus dengan sepasang ranting pohon yang ia pungut dari bawah pohon, lalu melawan mati-matian.

Pada saat itulah Huang-ho Sian-jin muncul  dan mengintai. Mendengar ucapan Cui Kong yang ditujukan kepada Wan Sun tadi, tahulah kakek ini siapa yang harus ia tolong. Tadinya ia ragu-ragu karena ia tidak mengenaI dua orang muda yang sedang bertempur itu. Akan tetapi, ucapan Cui Kong cukup meyakinkan bahwa dia harus membantu pemuda bersenjata sepasang ranting itu.

“Orang muda, jangan takut, lo-hu datang membantumu!” seru kakek itu dan dayungnya sudah datang menyambar kepala Cui Kong dengan kemplangan yang mematikan.

Cui Kong terkejut sekali dan cepat me lompat ke belakang menghindarkan diri dari sambaran dayung yang bukan main kuatnya itu.

“Eh... eh, kau ini orang tua gila dari mana datang-datang menyeraog orang ? Kau siapa dan ada permusuhan apa dengan aku?” teriak Cui Kong, mendongkol dan kaget.

Huang-ho Sian-jin penasaran sekali. Kepandaiannya tinggi, serangannya tadi adalah serangan maut yang sukar dihindarkan, namun pemuda yang membawa lengan kering dan ular itu sekali melompat telah dapat menyelamatkan diri.

"Pemuda jahat, tentu kau yang selama ini menyebar kejahatan! Aku Huang-ho Sian-jin datang untuk membalas kematian beberapa orang anak buahku." Setelah berkata demikian, kembali kakek ini menyerang dengan dayungnya. Melihat datangnya bala bantuan, Wan Sun timbul kembali semangatnya dan ikut mendesak.

Sibuklah sekarang Cui Kong menghadapi gelombang serangan dua orang lawannya yang tak boleh dipandang ringan ini. Ia sama sekali tak boleh berlaku gegabah.

Terutama se kali me nghadapi dayung Huang-ho Sian-jin, Cui Kong tak dapat menangkis, hanya mengelak jauh ke sana ke mari menghindarkan diri dari jangkauan dayung yang panjang dan be rat itu. Kalau ia berusaha bertempur merapat datok bajak itu Wan Sun manyambutnya, kalau manjauh, kakek itu menggempurnya.

Cui Kong tahu bahaya. Ia cepat bersuit keras melepas suara isyarat bahaya kepada kawan-kawannya. Untung baginya, pada saat itu Kong Ji berada di tempat yang tidak berapa jauh. Beberapa menit kemudian muncullah Liok Kong Ji di gelaoggang pertempuran.

"Anak bodoh, kalau masih belum mampu membekuk Wan Sun?” Kong Ji mengomel.

“Kake k bajak Huang-ho ini datang mengacau, ayah," Cui Kong membela diri.

Kong Ji melompat ke tengah dengan tangan kosong. Tiga kali tangannya bergerak dan dilain saat Wan Sun sudah roboh tertotok dan ditawan oleh Liok Kong Ji yang sekarang memiliki kepandaian amat lihai itu.

"Jadi kau ini  orang tua  yang disebut Huan-ho  Sian  jin  ?” tanya Kong Ji penuh perhatian.

Huang- ho Sian j in sudah mendengar dari Sin Hong tentang Liok Kong Ji dan Cui Kong. Tentang Liok Kong Ji, memang sudah lama ia mendengar nama busuknya. Ia menunda dayungnya, memandang tajam lalu membentak."Hemm kau tentu Liok Kong Ji si Manusia Iblis! Pantas saja daerah ini menjadi kacau dan tidak aman tidak tahunya di samping manusia manusia jahat ada kau iblis, yang bersembunyi!"

Liok Kong Ji tersenyum. Kakek ini ilmu dayungnya boleh juga, pikirnya. Tidak ada salahnya untuk menguji Cui Kong.

"Cui Kong, gempur dia!"

Cui Kong memang sudah merasa gemas sekali. Kalau tidak datang kakek itu tentu ia tak mendapat tegoran ayahnya dan sekarang setelah Wan Sun tertawan, ia dapat melayani kakek itu dengan leluasa. Ia mengeluarkan suara keras dan tubuhnya melayang, ular dan tangan  itu bergantian berge rak menyerang. Dua macam senjata ini ada keistimewaan masing-masing. Ular itu amat berbahaya karena sekali saja manggigit akan merobobkan lawan dengan bisanya yang lihat. Tangan kering yang tadinya menjadi lengan Bi Li itupun tidak kalah hebatnya. Selain dipergunakan untuk mengemplang dan menotok, juga terutama sekali lengan kering ini mendatangkan hawa yang menyeramkan pada lawan yang kurang kuat batinnya.

Namun Huang-ho Sian-jin seorang tokoh kang.onw yang sudah banyak makan asam garam dunia dan sudah banyak sekali menghadapi banyak pertempuran besar, tidak menjadi gentar. Dayungnya menyambar-nyambar bagai naga hitam mengamuk, sedtkitpun tidak mau memberi kesempatan kepada  lawannya  untuk mendekatinya.  Sebaliknya,  Cui Kong mempergunakan kelibcahannya untuk bertempur dari jarak dekat, karena hanya dengan pertempuran jarak dekat saja ia akan peroleh kemenangan dan kakek yang kepandaiannya sudah menginibangi tingkatnya sendiri itu.

Pertempuran berjalan seru, seorang menjaga supaya perte mpuran  terjadi  dengan  jauh,  yang  seorang  lagi berusaha merobah kedudukan menjadi pertempuran jarak dekat. Kalau kadang-kadang Cui Kong berhasil, Huang- ho Sian-jin merobah permainan dayungnya, dipegang di tengah- tengab sehingga  rupakan  toya  atau sepasang senjata pendek, akan tetapi ia segera mendesak lagi supaya dapat menggunakan dayungnya sebagai senjata panjang yang dipakai menyerang dari jauh. Mereka mempe rebutkan kedudukan dan pertempuran berjalan seru, ramai dan lama. Puluhan jurus berlalu tak terasa.

Kong Ji mendongkol sekali. Semenjak melihat keli haian Tiang Bu puteranya yang sejak itu ia menjadi tidak sabar melihat Cui Kong dianggapnya amat bodoh. Tentu saja kalau menghendaki pute ra angkatnya ini se bagai Tiang Bu, ia mengimpi jauh. Untuk melampiaskan kekece waannya melihat Tiang Bu yang saat itu menolak untuk menjadi puteranya, ia menumpahkan kemendongkolan hatinya kepada Cui Kong. Sering kali pemuda ini dimaki-maki goblok dan bodoh, akan tetapi terus ia menurunkan kepandaiannya kepada Cui Kong. Sekarang melihat Cui Kong tak dapat merobohkan Huang-ho Sian-jin, kembali Kong Ji memaki- maki sambil memberi petunjuk.

“Totol, jangan bilarkan ujung dayungnya menggertakmu.

Pergunakan Soat lian dan barengi Hok- te-twi !"

Cui Kong cepat bergerak menurut petunjuk ayahnya.

Gerakan Soat-lian adalah dari Soat-te kiam hoat (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang didapat dari kitab Omei-san, gerakannya lembut namun merupakan inti ilmu ginkang sehingga tubuh menjadi ringan dan cepat, adapun Hok to- twi berarti tendangan mendekam. Dengan dua ilmu ini Cui Kong menghindarkan diri dari kurungan ujung dayung dan mengirim tendangan-tendangan tak tersangka ke arah dayung dan tangan  lawan- Me mang  hebat  rantai serangan ini. Huang-ho Sian-jin sampai mundur-mundur terdesak untuk menyelamatkan dayungnya, sementara itu dua macam senjata di tangan Cui Kong menggantikan kedudukan pedang dalam gerakan Soat-sian tadi, hebatnya bukan main.

Bagaimanapnn juga, tidak mudah merobohkan seorang tokoh besar se perti Huang-ho Sian-jin, kalau yang merobohkan itu hanya seorang dengan tingkat yang dimiliki Cui Kong.

Pertemputan hebat itn berjalan terus sampai seratus jurus dan masih belum dapat dibilang Cui Kong menang di atas angin walaupun selalu diberi petunjuk oleh Kong Ji.

Tiba tiba dari jurusan tengah pulau terdengar suitan lain seperti Cui Kong tadi.

"Gurumu menghadapi musuh lain !" Kong Ji kaget karena tidak menyangka bahwa masih ada musuh lain yang malah sudah masuk ke dalam pulau. Ia segera menurunkan tubuh Wan Sun yang tadi dikempitnya dan dengan beberapa kali lompatan ia sudah memasuki gelanggang pertempuran.

Kedua tangannya bergerak memukul dengan tenaga Tin-san- kang secara hebat.

(Bersambung jilid ke XXII)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar