Tangan Geledek Jilid 14

Jilid 14

SETELAH menyusuti air matanya. Kwan Kok Sun melanjutkan penuturannya. “Karena aku sudah menduga bahwa tanpa sesuatu tanda kelak sukar untuk mengakui anakku, aku sengaja me mberi tanda itu.”

“Bagaimana caranya? Jelaskan !” kata pula Ang-jiu Mo-li. "Semenjak kecil aku selalu bermain-main dengan ular-

ular berbisa itu, cara menangkap, memeliharanya, menolak

racunnya dan apa saja yang ada hubungannya dengan ular. Pendeknya aku tidak berlebihan kalau mengaku bahwa aku adalah seorang ahli ular be acun. Kebetulan sekali ketika itu aku mempunyai seekor ular kecil merah yang namanya siang hwa ang coa (Ular merah Bunga Harum) yang

kudapatkan di perbatasan Tibet. Ular kecil merah itu di sana terkenal sebagai rajanya ular, baunya harum sekali seperti selaksa kembang dan ular-ular lainnya, besar ke cil beracun atau tidak terutama sekali yang beracun. baru me ncium baunya saja sudah jadi jinak. tunduk dan takut. Nah, ular kubelek tubuhnya, kuambil sari  racun yang wangi, kucampuri dengan obat penawar racunnya sehingga racun itu tidak be rbahaya lagi, akan tetapi sari keharumannya masih kerja pe nuh. Sari ini lalu kumasuksan dalam urat- urat di kanan kiri punggung anak sehingga menjadi satu dengan peredaran darahnya, membuat tubuhnya menjadi harum baunya seperti Siang-bwe-ang-coa dan se tiap ular tentu takkan berani mengganggu,

Memang hukan tidak ada bahayanya memasukkan racun itu ke dalam urat-urat dekat pungung, salah-salah bisa mematikan anaknya. Akan  tetapi  kukatakan  tadi,  aku adalah seorang ahli dalam hal itu. Racun itu tidak mendatangkan bahaya bagi anakku,  hanya  meninggalkan dua bintik merah kecil di punggungnya dan sebaliknya dapat membuat tubuhnya menjadi harum dan anti gigitan ular berbisa."

Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan Soan Li tidak ragu- ragu akan tetapi Ang jiu Mo-li masih berkata kepada Soan Li. "Harap hujin suka mengujinya sekali lagi. Tanyakan tentang pakaian dan keadaan anak itu ketika ditemukan."

Dengan suara gemetar Soan Li bertanya dan jawaban Kwan Kok Sun tentang pakalan dan keadaan anak itu memang tepat sekali, cocok se perti keadaan anak itu ketika didapatkan di dalam taman.

“Tak salah lagi, kau adalah ayah  Bi  Li ….  kata Gak Soan Li, suaranya gemetar terharu, kedua matanya basah oleh air mata. Ibu ini merasa bingung dan gelisah sekali, takut

kalau-kalau ayah sejati ini mcnuntut anaknya.

“Agaknya kau memang betul ayahnya, orang she Kwan.

Akan tetapi, sekarang anakmu sudah remaja puteri dan semenjak bayi dipelihara oleh Wanyen Taijin dan isterinya. Kau sekarang mau apa?" Suaranya dingin, dan sudah pasti Ang-jiu Mo-li akan membantu suami- isteri ini mempertahankan puteri mereka.

"Aku tidak mau apa-apa, hanya ingin diberi ijin tinggal di sini, hidup di dekat anakku. Biar aku bekerja membantu Wanyen Taijin, biarpun bodoh dan lemah, kiranya aku ada sedikit tenaga untuk membantu kelak bila orang-orang Mongol datang menyerbu. Di samping itu, aku ingin menurunkan semua kepandaianku kepada puteriku. ingin pula memberi oleh-oleh berupa sebuah kitab yang istimewa kepadanya."

"Dari Omei-san. ..........?” Ang-jiu Mo-Li me motong cepat.

Kini Kwan Kok Sun yang me mandang kepada wanita sakti itu penuh curiga.

“Kalau betul, apakah kau hendak merampasnya, Ang-jiu Mo-li? Kitab ini kudapatkan secara mati-matian dari tangan Thai Gu Cinjin dan hendak kuhadiahkan kepada puteriku. Biarpun aku akan mampus di tanganmu, aku tidak akan membiarkan kau mengambilnya untukmu sendiri!"

Tiba-tiba Ang-jiu Moli tertawa. Ane h, lenyap keangkeran wajahnya, lenyap sifat sifatnya  yang ganas kalau Ang jiu Mo li tertawa. Sebaliknya nampak manis dan cantik sekali.

"Setan gundul, kau bicara ngaco! Aku sendiri yang mendapatkan sebuah kitab Omei-san kuajarkan kepada murid-muridku. Masa aku akan me rampas kitab yang kauberikan kepada muridku? Aku hanya ingin tahu apakah betul-betul Thai Gu Cinjin mendapatkan banyak kitab dari Omei-s an seperti kaukatakan tadi?”

"Tidak. Tadi aku sengaja berkata demikian agar supaya kau jangan melepaskannya. Bahkan kitab inipun tadinya dia yang punya, satu-satunya kitab yang dapat ia ambil dari puncak Omei-san.” Lalu Kwan  Kok Sun  bercerita  terus terang betapa ia mengatur siasat untuk menjebak Thai Gu Cinjin di  istana dan  untuk merampas  kitab meminjam tangan Ang-jiu Mo-li. Mendengar ini, kembali Ang jiu Mo-li tertawa.

"0rang-orang macam kau dan Thai Gu Cinjin selalu mempergunakan tipu muslihat dan curang."

"Hidupku yang lampau sudah penuh kekejian, Ang-jiu Mo-li. Sekarang melihat keadaan anakku yang mulia hidupnya, aku betul hendak mencuci tangan, hendak menebus dosa dengan memperlihatkan kepada anakku bahwa bapaknya juga dapat menjadi manusia bersih. Asal saja Wanyen Taijin sudi menerima aku bekerja di sini, hidup di dekat anakku, biar disuruh berkorban nyawa aku siap sedia!"

Wanyen Ci Lun menjadi terharu. Tentu saja ia tidak mau menolak, bahkan andaikata orang ini hendak membawa pergi Bi Li, ia punt tidak bisa apa-apa.

"Baiklah, Kwan-sicu. Kau kuterima bekerja dan menjadi perwira, sesuai dengan kepandaianmu.  Akan tetapi tentang Bi Li....... apakah kami harus….. bicara terus terang padanya

?”

"Ohhh, jangan ...... kasihan, dia…… tentu akan kecewa sekaIi mendapatkan bahwa ayahnya hanya “

"Harus diberitahu !" kata Wanyen Ci Lun yang berwatak agung dan jujur. "Betapapun akan pahit getirnya kenyataan harus dihadapinya dengan tabah.” Setelah berkata demikian, ketika itu juga ia menyuruh isterinya memanggil Bi Li.

Ketika itu telah menjelang pagi dan Bi Li yang baru saja pulas, bangun dengan mata masih mengantuk dan rambut yang awut-awutan. Namun hal ini bahkan menonjolkan kecantikannya yang aseli, membuat Kwan Kok Sun diam- diam kagum bukan main.

"Ayah panggil aku ada apakah?" tanya Bi Li kepada Wanyen Ci Lun karena ibunya hanya bilang bahwa dia dipanggil ayahnva untuk kepetluan penting sekali. Ketika Bi Li melirik dan melihat Kwan Kok Sun masih duduk di situ ia tersenyum dan wajahnya berseri -seri, katanya. “Kau masih di sini, orang tua gagah? Kebetulan sekali karena aku ingin sekali bertanya tentang ular hitam yang dapat kaupakai sebagai  senjata itu. Sayang ular sebagus  itu mati oleh tongkat Thai Gu Cinjin." Dengan suara terharu Kwan Kok Sun  menjawab "Jangan khawatir, kalau kau suka aku bisa mendapatkan seekor ular seperti itu untukmu. Kita masih mempunyai banyak waktu untuk bercakap-cakap tentang segala  macam  ular,  anak yang baik."

"Betulkah?,  Aahh,  aku  ingin  sekali  mempunyai  kawan baik  yang  bisa  membantu  dalam  pertempuran  seperti  ular itu !" Wajah Bi Li berseri-seri dan dara remaja ini sudah lupa lagi bahwa ia keluar karena dipanggil ayahnya.

Sementara itu, menyaksikan ayah dan anak bercakap- cakap itu saja sudah merupakan hal yang mengharukan dan mendebarkan hati sehingga Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li memandang dengan melongo, bahkan Ang-jiu Mo-li juga diam saja tak bergerak. Kesunyian ini agaknya terasa oleh Bi Li, maka ketika ia menoleh dan melihat sikap ayah- bundanya. ia menjadi terheran dan berbareng ingat akan panggilan ayahnya.

"Ayah memanggil aku ada kepentingan apakah ayah?" tanyanya lagi sambil melangkah maju dan merangkul pundak ibunya dengan sikap manja.

"Bi Li, Kwan-sicu ini....... dia inilah ayahmu sendiri.

Adapun aku dan ibumu itu hanya ayah dan ibu pungut saja."

Bi Li memandang bingung, mengira ayahnya bergurau lalu mendekati ayahnya, memegang tangannya. "Ayah kau bilang apa? Aku tidak mengerti."

Suara Wanyen Ci  Lun agak gemetar ketika  ia menguatkan hatinya dan bicara dengan jelas sementara Gak Soan Li menutupi muka untuk menyembunyikan matanya yang sudah basah.

"Bi Li, ketahuilah. Ketika kau berusia setengah tahun, oleh ayahmu ini kau dititipkan kepada kami karena......

karena ibumu sendiri meninggal dunia ketika kau terlahir ” Ucapan ini saja sudah mcnunjukkan betapa luhur budi Pangeran Wanyen Ci Lun, tahu bahwa kalau ia me mberi tahu bahwa Bi Li dahulu ditinggalkan ayahnya di dalam taman seakan-akan dibuang, tentu perasaan gadis itu akan tersinggung, maka ia menolong Kwan Kok Sun dengan mengatakan bahwa Bi Li sengaja dititipkan ! Akan tetapi, ucapan yang lemah lembut itu tetap saja merupaka pisau berkarat yang menancap di ulu hati Bi Li.

Dara ini meloncat mundur seakan-akan ditampar, mukanya pucat sekali seperti muka mayat. Soan Li menjerit dan me nubruk gadis itu, terus dirangkul dan didekapnya kepala anaknya itu ke dadanya.

“Bi Li, jangan........ jangan kau memandang aku seperti itu ....... " tangis Soan Li, "Aku tetap ibumu kau anakku,

jangan anggap aku bukan ibumu lagi “

Namun Bi Li meronta dari pelukan ibu berdiri tegak dan sampai lama ia hanya me natap wajah Kwan Kok Sun, Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li berganti-ganti.

"Mengapa scmua ini dirahasiakan tadinya. Mengapa......

??" Bi Li tidak menangis, setitik air matapun tidak keluar, pandang matanya menyambar.

“Bi Li, anakku, kami memang tidak menganggap engkau seperti orang lain. Kau adalah anak kami dan....... dan.......

kalau tidak ada kejadian malam ini, sampai sekarangpun rahasia itu akan kami simpan, kami bawa mati……”

Tiba-tiba Kwan Kok Sun tertawa keras dan berdiri dari bangkunya. “Ha ha ha, mengapa ribut-ribut untuk urusan ini? Tentu saja anak Bi Li masih menjadi anak Pangeran Wan-taijin dan hujin. Mana bisa lain? Bahkan nama Bi  Li juga pemberian dari ayah bundamu ini. Mana bisa kau menjadi anakku? Tidak pantas, tidak pantas. Biarlah mulai sekarang, kau tetap anak terkasih dari Pangeran Wanyen Ci Lun ada pun aku. Tee-tok Kwan Kok Sun. menjadi  gihu (ayah angkat) saja. Bagaimana? Maukah muridku ?" Tiba- tiba Kwan Kok Sun menghadapi Ang-jiu Mo-li dan menjura. "Maaf, Toanio, bukan maksudku mendesak menjadi guru anak ini. Tentu saja kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada kebisaanku yang tidak ada artinya, akan tetapi seperti kataku tadi, biarpun sedikit, kiranya aku dapat mewariskan kepandaianku , te rutama isi kitab itu "

Diam-diam Ang jiu Mo-li memuji Kwan Kok Sun. Biarpun Kwan Kok Sun terkenal sebagai seorang yang disebut seorang jahat, seorang yang disebut Racun Bumi, namun dalam hal ini dia rupanya ingat akan budi Pangeran Wanyen Ci Lun sehingga ia dapat mengatasi keadaan tegang itu dengan merendahkan diri terima menjadi ayah angkat saja padahal dialah ayah sejati yang berhak mengaku Bi Li sebagai anaknya. Maka wanita sakti ini tersenyum dan berkata, "Kebetulan sekali, me mang sudah terlalu lama aku menjadi guru mereka, baik sekali kau datang mengganti kedudukanku."

"Bi Li, mulai sekarang kau boleh melanj utkan

pe lajaranmu di bawah petunjuk Kwa Kok Sun ini. Yang terpenting kau harus melatih Kwan Im-cam-mo dengan sempurna, dalam hal ini kiranya Sun -ji akan dapat dapat memberi petunjuk. Latihannya sudah lebih matang dari padamu. Nah, jaga baik-baik diri aku pergi. Wanyen Taijin dan hujin, terima kasih atas segala kebaikan kalian terhadap aku selama aku menjadi guru anak anak. Selamat tinggal!”

"Nio.nio....... !” Bi Li memanggil terbata, akan tetapi watak Ang-jiu Mo-li keras sekali. Satu kali bilang putih, putih.

Bilang hitam, hitam. Bayangannya melesat dan sekejap mata

saja ia sudah lenyap dari situ.

Wanyen Ci Lun juga girang sekali mendengar keputusan Kwan Kok Sun yang rela menjadi gihu (ayah angkat) saja dari Bi Li. Tadinya ia sudah khawatir kalau-kalau si gundul itu mempergunakan haknya dan membawa pergi gadis yang menjadi buah hati suami isteri itu. "Bi Li, kau dengar tadi? Kau tetap puteriku yang terkasih.

Hayo beri hormat kepada gihumu”!

Kebingungan Bi Li juga terobat oleh sikap Kok Sun tadi maka serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Kwan Kok Sun menyebut, "Gihu !”

Kwan Kok Sun mengelus-elus ke pala dara itu sambil mulutnya berbisik. "Anak  baik..... anak  baik......"  tak  dapat ia me lanjutkan kata-katanya dan matanya kembali menjadi basah.

"Aahhh......” semua orang kaget  mendengar suara  ini, Kok Sun cepat melompat ke arah pintu dan membuka pintu itu, akan tetapi tidak terlihat ada orang.

"Heran, siapakah yang bersuara tadi?" katanya perlahan.

Hanya Bi Li yang dapat menduga suara siapa itu. Itulah suara Wan Sun kakaknya yang sekarang ternyata bukan kakaknya lagi melainkan orang lain itu, lain ayah lain ibu !

Demikianlah, semenjak hari itu Kwan Kok Sun menjadi perwira Kerajaan Kin, diangkat oleh kaisar atas usul Pangeran Wanyen Ci Lun. Kali ini Kwan Kok Sun benar- benar jujur dalam pekerjaannya, sedikitnya, demikianlah keyakinan Pange ran Wanyen Ci Lun. Oleh karena itu, Kwan Kok Sun mendapat kepercayaan intuk mengurus perkara- perkara besar, di samping penghidupannya yang mulia terhormat di kota raja dan ketekunannya melatih ilmu silat kepada Bi Li. Karena Bi Li memang mempunyai sifat suka akan ular ular berbisa, sifat pembawaannya sejak kecil ditambah pe ngaruh Racun Ular Merah yang mengeram di tubuhnya, maka gadis inipun suka mempelajari ilmu-ilmu tentang ular dari gihunya. Di samping ini juga Bi Li menerima latihan ilmu silat dari kitab Omei-san hasil rampasan Thai Gu Cinjin yang terjatuh ke dalam tangan Kwan Kok Sun, yaitu kitab I lmu Pedang Cap-pek Sin-liong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Belas Naga Sakti). Hubungan Bi Li dengan Wan Sun masih seperti biasa dan pemuda itu nampakuya tidak merobah sikap, menganggap

Bi Li seperti adik sendiri , seakan-akan pemuda itu belum

tahu akan rahasia itu.

Pada suatu hari Kwan Kok Sun menerima tugas dari Pangeran Wanyen Ci Lun untuk berangkat ke selatan.

"Tentara Mongol  sudah mulai bergerak ke arah selatan.

Kita harus bersiap sedia dan di samping ini kita harus mengumpulkan bala bantuan sebanyak mungkin. Kwan sicu harap berusaha mencari Wan Sin Hong dan memberikan suratku kepadanya.  Kemudian  cobalah  untuk minta bantuan tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw dan kalau perlu beli tenaga me reka dengan hadiah-hadiah besar."

Berangkatlah Kwan Kok Sun yang diikuti oleh Wan Sun dan Wan Bi Li serta beberapa orang perwira yang berkepandaian tinggi, membawa perbekalan yang banyak, Kwan Kok Sun me nemui orang-orang kang-ouw dan banyak juga yang dapat terbujuk oleh Kwan Kok Sun dengan hadiah hadiah yang royal. Mereka yang kena bujuk berangkat ke kota raja Kerajaan Kin untuk menerima pangkat di sana sedangkan Kwan Kok Sun bersama  dua  orang anak pangeran itu melanjutkan perjalanan ke selatan.

Mendengar bahwa Wan Sin Hong berada di pantai laut selatan, Kwan Kok Sun membeli sebuah perahu indah  dan be rlayar ke laut Selatan. Selain ia sendiri hendak mencari kawan-kawan di daerah selatan juga Bi Li amat mendesaknya untuk mencari Wan Sin Hong sampai dapat. Gadis ini, juga Wan Sun, yang sudah sering kali mendengar nama Wan Sin Hong dipuji-puji ayahnya, ingin sekali bertemu dengan pendekar sakti itu. Bukan hanya karena saktinya, akan tetapi juga karena pendekar itu masih terhitung paman mereka dan mereka bahkan oleh Wanyen Ci Lun diberi she (nama keturunan) Wan, seperti Wan Sin Hong. Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika perahu bes ar Kwan Kok Sun be rada di dekat pesisir selatan. ia menerima tamu istimewa yang datang menggunakan sebuah perahu pula. Tamu ini bukan lain adalah Toat- beng Kui-bo. Semua orang kang-ouw sudah mendengar tentang Kwan Kok Sun yang membagi-bagi harta benda untuk mencari bantuan orang-orang pandai guna menahan serbuan bangsa Mongol, juga Toat-beng Kui -bo mendengar akan hal ini.

Semenjak Toat beng Kui-bo membaca kitab DELAPAN JALAN UTAMA yang ia curi dari Ome i san kemudian  oleh Tiang Bu "dipinjamkan" kepadanya, benar-benar  isi  hatinya be rubah sama sekali. Entah bagaimana mendengar  akan sepak terjang Tee-tok Kwa Kok Sun yang kini menjadi panglima Kerajaan Kin dan sedang  berusaha  melawan serbuan bangsa Mongol. hati Toat-beng Kui-bo tergerak.

Bukan sekali-kali oleh janji dan hadiah besar, melainkan tergerak untuk merebus dosa yang sudah-sudah dengan jalan membela tanah air dari serangan bangsa asing.

Biarpun kini  yang menjadi  kaisar adalah suku bangsa Kin, namun daerah utara itu termasuk ke wilayah Tiongkok juga dan kini hendak diserbu oleh orang orang Mongol yang biadab. Timbul jiwa patriot dalam dada nenek-nene k tua ini, maka ia segera menemui Kwan Kok Sun di perahunya untuk mendaftarkan diri menjadi sukarelawati! Bukan main

girangnya hati Kwan Kok Sun, karena ia tahu akan kelihaian nenek ini yang tidak kalah lihai oleh Ang-jiu Mo-li sendiri!

Cepat ia mengeluarkan hadiah berupa barang-barang emas dan permata, diberikan kepada Toat be ng Kui-bo se bagai “voorchot" dan "uang jasa”, akan tetapi ia melongo ketika Toat-bang Kui bo mengambil berang-barang itu lalu ......

melemparkannya ke dalam laut !

Tee-tok Kwan Kok Sun cepat -cepat bangkit berdiri dan menjura sampai dalam. "Maaf, maaf aku tidak sengaja hendak menghina

locianpwe “

"Sudahlah, katakan kepada Pangeran Wanyen Ci Lun bahwa orang-orang Mongol akan menjadi musuhku kalau mereka berani menginjakkan kaki di bumi Tiongkok!" Setelah berkata de mikian. nenek ini bersuit dan kele lawar- kelelawar yang be terbangan berkumpul dan hinggap di atas pundaknya, Kwan Kok Sun memberi perintah kepada urang- orangnya untuk mendayung perahu ke pantai, akan tetapi Toat beng Kui-bo sudah mendahuluinya melompat keluar menuju ke sebuah perahu yang berdekatan, terus berlompatan sekali lompat ada lima enam tombak dari perahu lain sampai lenyap dari pandangan mata.

Tentu saja pertemuan ini amat mengharukan hati Bi  Li dan Wan Sun, yang baru sekarang menyaksikan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai. Perjalanan ini benar- benar menggembirakan hati mereka dan membuka mata mereka lebar-lebar bahwa di dunia ini banyak sekali terdapat orang- orang pandai, yang sutu lebih pandai agaknya dari pada

yang lain.

-oo(mch)oo-

Mari kita kembali kepada Tiang Bu yang sudah agak lama kita tinggalkan. Seperti telah kita ketahui, Tiang Bu berlari-lari mengikuti tiga orang dara jelita yang membalapkan kuda tunggangan mereka. Sampai setengah hari lebih Ceng Ceng tidak mau menghentikan kuda hitamnya dan terpaksa Pek Lian dan Ang Lian juga melarikan terus kuda mereka. Yang paling sial adalah Tiang Bu, biarpun kepandaiannya tinggi, akan tetapi napas manusia mana bisa menyamai napas kuda  dalam hal berlari? Memang ilmu lari cepat dari Tiang Bu sudah tinggi sekali dan andaikata diadu cepat dengan kuda ia takkan kalah. Akan tetapi diadu kekuatan  napas,  tentu saja  ia kalah. Kuda tetap kuda dan binatang ini memang telah ditakdirkan menjadi tukang lari, akan tetapi manusia bukan kuda.

"Ahhh. adik Ceng Ceng benar-benar kejam. Membiarkan orang berlari-lari setengah hari!” Pek Lian mengomel sambil melarikan kudanya di se belah kuda Ang Lian. Adiknya melirik te rus berkata.

"Ah, mengapa sih, cici? Biarkan pemuaa muka monyet itu berlari-lari !"

"Moi-moi, di mana perikemanusiaanmu? Kau suka melihat orang tergoda dan te rsiksa seperti itu?”

"Biar kapok! Siapa suruh dia menghina kita, merampas barang-barang itu dari tangan kita. Dia sudah dua kali menghina aku, se karang dia berani main gila kepada adik Ceng Ceng. Biar dia tahu rasa!"

"Tidak bisa kau bilang demikian, adikku. Bagaimanapun juga, kita harus akui bahwa pemuda itu bukan orang jahat. Dia merampas barang-barang itu untuk dia kembalikan kepada pemiliknya yang menurut dia bernama Pangcran Wanyen Ci Lun dan agaknya dia ada hubungan dengan pangeran itu. Kemudian setelah dia mendengar bahwa kita merampas barang-barang untuk menolong rakyat jelata yang ke laparan dan menjadi korban banjir dia  mengalah  hanya ingin ikut untuk membuktikan dan menyaksikan sendiri.

Dia tentu orang gagah yang seharusnya kita hargai, mengapa adik Ceng Ce ng menghinanya begitu macam?”

Tiba-tiba Ang Lian me megang lengan cici nya dan menatap wajah cicinya dengan tajam penuh selidik. “Cici....... ! Kau....... kau agaknya sudah jatuh hati kepadanya! Alangkah lucunya pilihanmu! Puluhan pemuda tanpan dan gagah kautampik, ehh tahu-tahu sekarang

jatuh terhadap seorang pemuda yang bermuka buruk ! "

Pek Lian mengipatkan pegangan adiknya dan mukanya menjadi merah sekali. “Gila ! Segala apa kauukur dengan cinta. Dasar gila cinta!

Aku hanya bicara sesungguhnya. Pemuda itu pasti bukan orang sembarangan, setidaknya dia te ntu murid orang sakti juga dia tidak melakukan kejahatan. Mengapa begitu saja kau terus menuduh aku jatuh hati?" Setelah berkata

demikian Pek Lian membalapkan kudanya me nyusul Ceng Ceng sementara itu Tiang Bu nampak bayangannya di belakang sekali, berlari - lari dalam usahanya jangan sampai tertinggal oleh tiga orang nona itu. Ang Lian menole h dan tersenyum mengejek, melambai lambaikan pecutnya.

"Cepat ! Cepat ! Mengapa larimu seperti keong buruk lambatnya?”

Tiang Bu hanya tersenyum saja dan lari seperti biasa. Diam-diam hati Tiang Bu berdebar aneh, setengah girang setengah bangga ketika mendengar pe rcakapan tadi.

Memang, biar pun ia berada jauh di belakang, ia selalu memasang pendengarannya yang luar biasa tajamnya sehingga ia dapat mendengar percakapan antara enci dan adik tadi. Mendengar kata-kata Pek Lian, hati Tiang Bu

te rgerak dan ia merasa suka kepada gadis berpakaian pria itu. Ia mempercepat larinya dan sebentar ia sudah melampaui kuda tunggangan Ang Lian.

“He, nona kecil galak ! Kau ini menunggang kuda atau menunggang kura-kura begitu lambat?" ia balas mengejek. Ang Lian menyumpah-nyumpah akan tetapi tidak berani memaksa kudanya berlari lebih ce pat karena kalau kudanya terlalu lelah dan mogok di jalan bisa berabe.

Sementara itu, Pek Li an yang me mbalap kudanya sudah berhasil menyusul Ceng Ceng dan merendengkan kudanya dengan kuda hitam itu.

"Kau menyusul aku ada apakah, Pek Lian?" tanya Ceng Ceng tersenyum. Ia memang sedang merasa kesepian maka senang me lihat Pek Lian, ada kawannya mengobrol. "Adik Ceng Ceng, aku mau bicara tentang orang muda itu. Apakah kita tidak akan berhenti dulu me mbiarkan dia beristirahat? sudah berlari setengah hari lamanya."

Ceng Ceng memandang dengan mata yang seperti bintang, wajahnya tak senang. Matanya berkata penuh ejekan, "Kau perduli apa akan dia?" Akan tetapi mulutnya menggerutu, "Kalau dia lelah biar dia berhenti sendiri. Aku tidak perduli apakah dia lelah atau akan mampus! Laki-laki kurang ajar dia!"

Pek Lian menarik napas panjang. Dia tahu bahwa bicara dengan nona ini sukar sekali kare na Ceng Ceng jauh lebi h cerewet dari pada Ang Lian juga lebih galak. Akan tetapi ia berkata terus.

“Ceng-moi, kurasa orang itu bukan orang sembarangan. Lihat saja ilmu lari cerpatnya demikian lihai tentu dia murid seorang sakti. Kalau kita membiarkan dia yang hendak menjadi tamu orang tua kita berlari-larian seperti itu,

apakah kelak tidak akan menerima teguran orang kang-ouw dan orang tua kita se ndiri?”

"Aku tidak perduli! Siapa sudi mengurusi manusia macam dia? Oh, aku tak sudi!" Setelah berkata demikian ia melempar pandangan mengejek ke arah Pek Lian lalu membalapkan kuda hitamnya cepat sekali. Pek Lian tidak mengejar, karera selain kudanya kalah baik, juga ia sudah tidak ada nafsu untuk membujuk pula. Pada saat itu, bayangan Tiang Bu berkelebat melampaui kudanya dan ia mendengar pemuda itu berkata lirih,

"Pek Lian cici, terima kasih atas budimu yang mulia”

Pek Lian menjadi merah sekali mukanya. Bagaimana pemuda itu bisa tahu bahwa ia telah berusaha menolongnya. Saking jengah dan malunya ia lalu mengendurkan larinya kuda, menanti adiknya.

Tiang Bu mengerahkan kepandaiannya berlari cepat sehingga ia dapat menjajari kuda hitam yang ditunggangi oleh Ceng Ceng. Dara muda ini demi mel ihat pemuda itu kembali sudah menyusulnya, menjadi marah, menggigit bibir dan mencambuki kudanya yang sudah pe nuh keringat itu untuk berlari lebih cepat lagi.

"Kuda tolol, kau tak bisa lari cepat lagi?" bentak Ceng Ceng marah.

"Waduh lagaknya. Tentu saja enak-enak di punggung kuda mudah saja mencela dan memukul.  Coba  turun  dan lari tentu seperti cacing merayap!" Tiang Bu menggoda. Ceng Ceng masih muda dan panas  darahnya.  Mendengar ejekan ini ia marah bukan main. "Kau kira hanya kau saja yang punya dua kaki dan bisa berlari?”

"Memangnya kau punya kaki?" ejek Tiang Bu. "He mm. kuberani bertaruh kedua kakimu takkan lebih cepat larinya dari pada cacing merayap."

"Manusia sombong buka lebar-le bar matamu." Ceng Ceng menjerit dan melompat dari atas  kudanya, terus  berlari cepat sekali me ngerahkan ginkang dan lari cepatnya. Dara muda ini adalah puteri dari sepasang suami isteri yang sakti dan terkenal sebagai jago atau tokoh besar dari pantai timur. Tentu saja ilmu lari cepatnya juga luar biasa.

"Ha-ha, bagus sekali! Mari kita berlomba yang kalah boleh naik kuda!” kata Tiang Bu.

Tanpa menjawab Ceng Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya dan tubuhnya bagai seekor burung walet berge rak maju cepat se kali, seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak bumi atau terbang saja. Tentu saja ia malu kalau sampai kalah dan menunggang kuda lagi! Dalam kemarahannya ke pada Tiang Bu ia sampai tidak memperhatikan kata-kata pemuda itu. Sebaliknya, melihat dara itu lari sekuatnya, Tiang Bu tersenyum. Biarpun ia sudah mulai lelah, namun kalau ia mau dengan pengerahan te naga sekuatnya, dapat kiranya ia menyusul Ceng Ceng.

Akan tetapi ia memang hendak menggoda gadis galak itu. Melihat Ce ng Ceng berlari cepat sekali, ia lalu melompat ke atas kuda hitam dan....... menjalankan kuda itu perlahn- lahan sampai Pek-Lian dan Ang Lian datang menyusulnya.

Dua orang gadis ini hampir tak percaya apa yang mereka saks ikan. "Lho, itu kuda Ce ng-moi, kok kau tunggangi?

Mana dia Ceng-moi?” tegur Ang Lian.

Tiang Bu tertawa dan berkata keras, sengaja agar terdengar oleh Ceng Ceng yang lari di depan. "Ah, adik Ceng Ceng sudah demikian baik hati untuk merasa kasihan kepadaku dan meminjamkan kudanya. Dia rela jalan kaki. Bukankah dia baik hati sekali?"

Mendengar ucapan ini, seketi ka Ceng Ceng hentikan larinya dan ia berdiri tegak menanti datangnya kuda hitam itu. "Turun kau dari kudaku!" bentaknya marah.

Akan totapi Tiang Bu enak-enak saja duduk di atas kuda itu. "Nona cilik, bukankah tadi kita sudah janji siapa yang kalah boleh naik kuda? Nah, aku yang berhak naik kuda!”

Biarpun watak Ceng Ceng keras sekali, namun sesuai dengan watak dan ajaran ayah bundanya yang terkenal

sebagai pendekar-pende kar besar, ia berjiwa gagah dan tidak sudi mengingkari janji. Memang betul dia tidak berjanji apa- apa, akan tetapi ketika Tiang Bu mengucapkan taruhan tadi, ia tidak membantah dan berarti ia se tuju!

"Kau menipuku, aku bodoh tidak melihat orarg macam apa kau ini. Pcnipu! Baik! Kau kalah cepat dalam berlari dan kau sudak lelah, kedua kakimu sudah pccah-pccah dan hampir lumpuh. Kau menang menipu, naik di atas

punggung kudaku. Akan tetapi berikan bungkusan- bungkusan itu!"

Tiang Bu mengambil empat bungkusan dan memberikannya kepada Ceng-Ceng yang menggendongnya, lalu gadis ini tempa berkata apa-apa lagi ccpat belari mendahului mereka. Tiang Bu tertawa berge lak, akan tetapi dalam hatinya ia memuji gadis itu. Karenu tadi hanya ingin menggoda, maka ia lalu mengeprak kuda hitam menyusul Ceng Ceng. Dengan gerakan indah ia melompat ke de pan gadis itu dan ikut berlari di se belahnya.

"Kasihan nona cilik berlari-lari. Kakinya nanti bengkak- bengkak. Kautunggangi kudamu, biar aku yang berlari.

Kalau percaya boleh kubawakan bungkusan-bungkusan itu.

Mana Ceng Ceng sudi ? Dara ini membuang muka dan mempercepat larinya. Juga Tiang Bu berlari terus di sebelah dara itu. Sekarang biarpun Ceng Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya, tetap saja pemuda berada di sampingnya, tak pernah tertinggal satu langkahpun. Baru gadis ini tahu dengan hati kecut dan kaget bahwa ilmu lari cepat pemuda ini sekali-kali tidak kalah olehnya bahkan melebihinya!

Sementara itu, Pe k Lian dan Ang Lian yang berada di belakang melihat dua orang muda lari berdampingan sedangkan kuda hitamnya lari sendiri di belakang mereka tanpa ada yang menunggangi, menjadi terheran-heran.

"Hayaa. .... dunia sudah tua....” Ang Lian mengeluh. "Enci Pek Lian, tidak salah duga apa yang aku lihat itu ? Mereka jalan berdampingan ....... saling mengalah begitu

mesra……. aduh! Mungkinkah Ceng-moi juga sudah  jatuh hati kepada pemuda dogol yang begitu pesek hidungnya dan begitu tebal bibirnya ?"

Pek Lian ce pat membentak adiknya. “Hush, jangan usil mulut! Apanya yang tidak mungkin? Sudah kukatakan, pemuda itu bukan orang sembarangan dan ....... dan.......

kurasa …….. ia cukup berharga untuk orarg seperti Ceng- moi sekalipun." Biarpun mulutnya berkata de mikian sungguh aneh dan dia sendiri tidak mengerti mengapa isi dadanya menjadi panas dan tidak enak, seakan-akan mendadak terserang masuk angin.

Dengan melakukan perjalanan yang amat cepat akhirnya empat orang muda itu tiba di lembah Sungai Huang-ho yang terserang banjir. Keadaan di daerah ini memang amat mengenaskan. Sawah ladang yang tadinya ditumbuhi tanaman-tanaman subur kini menjadi telaga. Dusun-dusun terbenam dan semua harta benda musnah diamuk air bah. Penduduk berbondong-bondong mengungsi dan sekarang tujuan mereka adalah dusun Tungkan di sana terdapat makan dan hiburan. Di dusun inilah pusat pertolongan bagi mereka karena di sana Huang-ho Sian-jin dan orang-orang lainnya menggulung le ngan baju dan bekerja keras mati- matian untuk mendapatkan batuan makanan dan pertolongan bagi para korban Sungai Kuning yang mendahsyat itu.

Kedatangan Ce ng Ceng, Pek Lian dan Ang-Lian yang membawa empat kantung barang-barang berharga dari kota raja mendapat sambutan meriah dan gembira sekali akan tetapi mereka segera memandang dengan mata penuh curiga dan me mandang kepada Tiang Bu.

"Ayah, orang ini agaknya menjadi pelindung Pangeran Wanyen Ci Lun. Dia sengaja datang hendak menyaksikan apakah betul-betul kita he ndak menggunakan harta ini untuk menolong korban banjir," begitu tiba di situ Ceng Ceng melapor kepada ayahnya.

Tiang Bu memandang dan  melihat suami isteri  yang gagah perkasa, seorang pendekar tenar Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya, Souw Cui Eng, sikap mereka angker dan mengingatkan Tiang Bu akan pasangan suami isieri

Wan Sin Hong dan Hui-eng-niocu Siok Li Hwa. Dua ekor burung rajawali kepala putih yang berdiri tak jauh dari sepasang suami isteri ini meningatkan Tiang Bu akan dua ekor burung yang dulu menyerangnya di puncak Ome i-san.

Juga di  dekat  sepasang  suami  isteri  pendekar  ini,  Tiang Bu melihat seorang kakek tinggi besar yang be rwajah angker seperti Kwan Kong. Melihat Pek Lian dan  Ang Lian menghampiri kakek ini,  Tiang  Bu  dapat  menduga  bahwa tentu kakek  gagah  ini  Huang-ho  Sian-jin  adanya.  Diam-diam ia merasa kagum melihat orang-orang gagah yang bekerja untuk menolong para korban banjir ini. Setelah mereka, masih ada beberapa orang lagi yang yang rata-rata menunjukkan sikap gagah.

Tiang Bu mengangkat tangan ke de pan dada memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata, “Harap cuwi maafkan aku datang mengganggu. Memang tidak salah bahwa aku yang datang untuk melihat-lihat setelah aku mendengar akan usaha cuwi yang mulia. Dan kiranya memang betul bahwa cuwi adalah orang-orang gagah yang patut dikagumi. Aku bukan pelindung Pangeran Wanyen Ci Lun, hanya pernah mendengar bahwa pangeran itu adalah seorang yang berbudi mulia, maka melihat barang- barangnya ada yang merampas, tentu saja tadinya aku bermaksud mengembalikan barang-barang itu.

Akan tetapi, melihat bahwa barang-barang itu ternyata dipergunakan untuk menolong orang-orang tentu Pangeran Wanyen Ci Lun sendiri apabila mengetahui takkan me naruh keberat an. Cuma, kuharap supaya benda-benda yang tidak dapat dipergunakan menolong para korban, dikembalikan kepada pemiliknya.” Kalimat terakhir ini diucapkan Tiang Bu mengingat adanya benda-benda ajaib seperti katak yang didengar suaranya di kamar hotel dua orang gadis itu.

Semua orang yang tadinya melihat seorang pemuda tanggung mengikuti tiga orang gadis itu datang dengan maksud menyaksikan apakah betul  barang-barang rampasan dipergunakan untuk menolong korban banjir, sudah menjadi gemas dan mendongkol. Kini mendengar ucapan Tiang Bu, mereka  makin marah menganggap pemuda ini lancang dan basar mulut sekali. Namun Pek- thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya hanya mengerutkan kening dan tak senang, sedangkan Huang-ho Sian jin yang sudah me ndapat bisikan dari Pek Lian bahwa pemuda ini seorang pandai, memandang penuh perhatian.

Seorang diantara yang hadir, seorang laki-laki tinggi tegap berkepala botak bermata lebar, melompat maju. Orang ini bukan orang sembarangan, ia bernama Tan Boan It berjuluk Huang-ho Kim-go (Buaya Emas dari Huang-ho) dan menjadi jagoan terkenal di sepanjang Sungai Kuning.

Selamanya Tan Boan It ini tidak pernah mengancingkan bajunya yang terbuka terus memperlihatkan dada bidang penuh bulu hitam.

Dia seorang kasar dan jujur, akan tetapi tak pernah ketinggalan untuk turun tangan, apabila orang-orang membutuhkan pertolongannya. Melihat lagak dan kata-kata Tiang Bu, Buaya Emas ini tak dapat menahan lagi perutnya yang menjadi panas hendak meledak. Kepalan tangannya yang sebesar kepala orang menyambar ke arah hidung Tiang Bu, dibarengi bentakannya, "Bocah lancang dan sombong, menggelindinglah pergi !"

Akan tetapi kenyataannya benar-benar berlawanan dengan bentakannya, karena bukan Tiang Bu yang menggelinding, melainkan dia se ndiri, betul-betul "menggelinding," seperti roda. Ketika tadi pukulan keras dari kepalan besar itu mendekati  hidungnya,  dengan tenang Tiang Bu menangkap pergelangan tangan itu mengerahkan te naga dan Si Buaya Emas merasa seakan-akan tubuhnya dimasuki api. Tak tertahan lagi ia membungkuk dan sekali Tiang Bu mengerakkan kaki mendorong sambil me mutar tangan orang disentakkan ke pinggir tubuh si tinggi tegap itu terguling dan terus  bergulingan sampai  jauh karena tak dapat ditahan lagi!

Huang-ho Sian-jin maklum bahwa si  Tan  Boan It memang “mencari penyakit” sendiri. Akan tetapi betapapun juga, Buaya Emas ini adalah pembantunya dan seorang tamunya tidak seharusnya dihina orang di dalam rumahnya. Ia melangkah maju dan menghadapi Tiang Bu.

“Orang muda, kau datang-datang memamerkan kepandaian. Aku adalah tuan rumah di sini, kalau kau mau mencoba kepandaian jangan mencari orang lain, mari kita be rmain main. Kau datang di sini, akulah tuan rumahnya yang harus  menyambut."  Sebetulnya  ucapan  ini hanya untuk alasan saja, sebenarnya Huang-ho Sian-jin ketika mendengar dari Pek Lian bahwa kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, sudah gatal-gat al tangan hendak mencoba.

Akan tetapi, Tiang Bu tidak mau melayani kakek ini.

Memang ia datang bukan hendak mencari perkara, pertama- tama untuk menyaksikan apakah betul-betul harta benda Pangeran Wanyen Ci Lun dipergunakan untuk maksud baik dan terutama sekali hendak bertemu dengan Pek-thouw- tiauw-ong Lie Kong. Maka ia menjura kepada Huang ho

Sian-jin sambil berkata,

"Harap lo-e nghiong maafkan aku, karena tidak ingin bertempur. Twako yang kasar ini kurang hati-hati hingga ia mewakili aku menggelinding, harap jangan salahkan aku.

Maaf, lo-enghiong, kalau disuruh bertanding dengan kau, aku terima kalah."

Merah wajah Huang-ho Sian-jin. Biarpun pemuda itu menolak dan menyatakan takut, namun cara mengatakannya jelas memperoloknya dan tidak memperlihatkan rasa takut sama sekali. Dengan menahan marah ia lalu mengambii sebuah cawan dari atas meja.

“Be tapapun juga kau sudah datang ke sini berarti kau tamuku. Nah, aku tuan rumah menghormatimu dengan secawan arak penuh. Terimalah!” Sambil berkata demikian Huang-ho Sian jin menuangkan arak dari guci ke dalam cawan itu sampai penuh sekali, hampir meluber akan tetapi anehnya arak yang tingginya melampaui mulut cawan itu tidak mau meluber ! Dengan cawan penuh sekali ini ia menghampiri Tiang Bu dan menyodorkan cawan itu.

Tiang Bu kaget sekali, ia kurang pengalaman dan belum pernah melihat pert unjukan macam ini. Main sulapkah kakek ani? Juga tidak biasa minum arak.  Akan  tetapi  ia tahu bahwa penghormatan orang kalau ia tolak, berarti penghinaan dan agaknya kakek ini sengaja mencari cari jalan supaya bisa mengadu kepandaian dengannya. Terpaksa ia mengangkat tangan menerima cawan itu. akan tetapi lebih dulu mengerahkan lweekangnya dengan penggunaan tenaga "menyedot".

Karena kurang pengalaman, ia terlalu banyak mempergunakan tenaganya. tidak ingat akan kehe batan tenaga sinkangnya. Begitu cawan tersentuh olehnya. cawan itu bagaikan tertarik lalu terbetot dari genggaman Huang-ho Sian-jin. membuat kakek itu berubah air mukanya. Kini cawan berada di dalam genggaman Tiang Bu dan dengan hati girang pemuda melihat bahwa tenaga "menyedot" dari lwee-kangnya benar-benar dapat menahan arak tumpah.

Bahkan dengan tenaganya yang besar ia dapat “main-main" dengan arak itu, dapat ia membuat kelebihan arak di atas

mulut " doyong" ke kanan atau ke kini. Semua orang melihat dengan kagum dan heran. Pemuda bisa memegang cawan dan araknya  tidak tumpah  atau luber,  ini sudah menandakan betapa hebat tenaga Iweekang pemuda cilik itu.

Adapun Tiang Bu sendiri yang tidak tahu bahwa dirinya dikagumi orang, lalu tersenyum dan me mbungkuk ke pada Huang-ho Sian-jin.

“Lo-enghiong, kau orang tua baik sekali. Tentu aku tidak berani menolak, cuma masalahnya. selamanya aku belum pernah minum arak keras. Biarlah aku mencobanya!" Ia lalu mengangkat cawan itu ke atas dan menggulingkannya ke arah mulutnya yang sudah dibuka lebar-lebar.

Dan sekarang semua orang ce langap! Bahkan Huang ho Kim-go Tan Boan It yang sudah merayap bangun, melongo dan mendekati Tiang Bu untuk menonton permainan “sulap" ini dari dekat. Ternyata bahwa biarpun cawan itu sudah dituangkan terbalik, arak di dalamnya  tetap tidak mau keluar, hanya "nontot” keluar seperti benda keras atau air yang sudah membeku! Setelah menjungkirkan cawan ini agak lama bahkan mengayun-ayunnya supaya  araknya keluar namun sia-sia, Tiang Bu menghela napas dan membalikkan cawan kembali. "Apa kataku, lo-enghiong? Bukan saja aku tidak biasa minum arak, bahkan araknya sendiri agaknya segan diminum orang seperti aku. Biarlah aku mewakilkannya kepada sahabat ini.” Ia menggerakkan cawannya dan kini di dalam cawan itu muncrat keluar semua arak secara tepat sekali memasuki mulut Tan Boan It yang masih melongo.

Orang tinggi besar ini gelagapan dan tanpa dapat dice gah lagi arak ditelannya!  Biarpun tadinya semua orang tercengang menyaksikan kelihaian pemuda itu, melihat adegan terakhir tak tertahan lagi  mereka tertawa, bahkan Ang Lian dan Ceng Ceng cekikikan. Yang paling terkejut adalah Huang-ho Sian-jin se ndiri.Tadi ketika tangan pemuda itu menyentuh cawan dalam menerima tawarannya, ia rasakan tangannya panas dan menggigil. Tadinya ia masih sangsi, akan tetapi melihat betapa selanjutnya pemuda itu mendemonstrasikan tenaga lweekang yang jauh melebihinya,

ia jadi kesima dan baru percaya akan keterangan Pek Lian bahwa pemuda ini memang sakti.

Akan tetapi Pek thouw tiauw-ong Lie-Kong tidak puas.

Dia adalah seorang yang menganggap paling tinggi di antara semua orang yang berada di situ, dianggap yang paling pandai dan menduduki tempat paling terhormat. Sekarang bocah ini mendemonstrasikan ke pandaian, sedikit banyak membuat pamornya nyuram. Ia melangkah maju, wajahnya yang tampan gagah itu berkerut tak senang dan suaranya ketus.

"Bocah lancang, kau siapakah dan apa maksudmu bertingkah di sini !”

Tiang Bu cepal menjura kepadanya dan berkata, "Sudah kukatakan tadi bahwa aku pertama-tama ingin menyaksikan apakah betul-betul barang barang rampasan itu dipergunakan untuk menolong rakyat yang sengsara. Kedua kalinya aku sengaja datang untuk mencari Pek-thauw.tiauw- ong Lie Kong untuk urusan penting!” Jawaban ini benar-be nar tak disangka, bukan saja Lie Kong, isterinya dan puterinya yang tercengang

mendengarnya, bahkan se mua orang menjadi tertarik. Sikap

pemuda yang lihai ini amat menarik perhatian dan aneh. Biarpun sikapnya sederhana dan seperti orang bodoh, namun di dalam kesederhanaannya terbayang kegagahan dan keberanian yang tiada taranya.

"Akulah Lie Kong, kau mau apa?"

Tiang Su tidak kaget karena memang ia sudah tahu.

Suaranya tetap ramah ketika ia menjawab. "Lie lo-enghiong, namaku Tiang Bu, aku datang diri Omei-san dan memenuhi pesan suhuku aku harus minta kembali kitab yang kau ......

pinjam dari Omei-san." Karena di situ terdapat banyak orang, maka Tiang Bu sengaja mengganti ucapan "curi" jadi "pinjam" karena ia tidak berniat membikin malu orang

tua Ceng Ceng! Sesungguhnya, pertemuannya dengan Ceng Ceng banyak mempengaruhi sikapnya ini, kalau ia  tidak berte mu dengan Ceng Ceng, kiranya sikapnya terhadap para pencuri kilab Omni-san akon sangat keras.

Baru sekarang Lie Kong terkejut dalam hatinya. Tidak tahunya bocah ini adulah murid dua orang kakek sakti Omei-san, pantas saja kepandaiannya demikian hebat. Dan kedatangannya hendak minta kembali kitab yang telah dicurinja !I Tentu saja Lie Kong tahu akan sikap Tiang Bu yang hendak menolong mukanya. Ia ingin turun tangan sendiri mempertahankan kitabnya sekalian mencoba sampai mana kepandaian mrrid Omei-san ini, akan tetapi sebagai

seorang tokoh besar, ia merasa malu untuk bertanding melawan bocah di depan begitu banyak sahabat.

Sedangkan Huang ho Sian-jin sendiri yang tadi merasa "berbahaya" kalau bertanding me lawan bocah ini lalu mundur, apalagi dia. Pula., diam-diam Lie Kong kagum melihat Tiang Bu, yang biarpun tak dapat dibilang seorang pemuda tampan, namun sudah jelas me miliki kepandaian tinggi dan juga pribadi yang halus tidak suka menyinggung orang. Satu-satunya orang yang dipermainkannya tadi hanyalah Huang-ho Kim-go Tan Boan It, inipun karena kesalahan Buaya Emas itu sendiri yang mulai lebih dulu.

“Jadi kau murid 0mei-san? Me mang benar ada sebuah kitab 0me i san pada kami, akan tetapi kitab itu sudah kuserahkan kepada anaku untuk dipelajari Terserah

kcpadanya apakah mau mengembal ikannya sekarang kepadamu atau tidak," kata Lie Kong sambil melirik ke arah Ceng Ceng.

Kaget sekali Ceng Ceng mendengar ucapan ayahnya ini dan seketika mukanya menjadi merah. Ia masih belum mengerti mengapa ayahnya begitu “pengecut" untuk menjatuhkan tanggung jawab ke pundaknya biarpun memang betul kitab itu ayahnya tetah diserahkan

ke padanya. Mengapa ayahnya tidak menghadapi sendiri pcmuda itu ? Saking bingungnya dan tidak mau ribut mulut dengan Tiang Bu yang pandai bicara itu di depan orang banyak, ia lalu lari sambil berkata, “Aku tidak mau mengembalikan!”

Melihat Ceng Ceng lari, Tiang Bu tak banyak cakap lagi lalu mengejar. "Harus dikembalikan kepadaku!” katanya. Demikianlah, baru saja sampai dua orang muda ini kembali sudah berkejar-kejaran!

Lie Kong hanya tersenyum, lalu dengan tenang ia

be rsama isterinya mengajak Huang-ho Sian-jin memeriksa isi empat kantong itu.

Semua orang kagum dan gembira melihat demikian banyaknya barang berharga yang kalau dijual akan

menghasilkan cukup bahan makanan bagi para pengungsi untuk be berpa  bulan  lamanya.  Lie  Kong membagi-bagi empat permata itu kepada para pembantu dengan tugas supayat benda-benda itu ditukarkan bahan makanan, selebihnya diserahkan kepada Huang-ho Sian j in untuk disimpan sebagai cadangan. Semua benda itu adalah benda berharga terdiri dari emas permata hanya sebuah cepuk atau kotak kecil yang ternyata berisi seekor katak hijau disimpan oleh Lie Kong ke dalam sakunya.

"Benda macam int tidak dapat  ditukar makanan,- katanya perlahan. Biarpun ia seorang tokoh kang-ouw yang ulung, namun binatang macam ini merupakan teka-tcki baginya. tidak tahu binatang apa itu dan apa  pula khasiatnya, hanya yakin bahwa binatang itu tentu mempunyai khasiat yang luar biasa maka ia simpan dalam saku. Setelah beres membagi-bagi tugas, Lie Kong mengajak isterinya untuk menyusul Ceng Ceng, Karena merasa khawatir juga.

Lie Kong berlari cepat, berendeng dengan isterinya. Ketika tanpa disengaja tangannya menyentuh tangan isterinya, tiba-tiba ia berhenti berlari, meme gang lengan isterinya dan ….. dipeluknya isterinya itu penuh kasih sayang.

Souw Cui Eng mangipatkan tangan suaminya yang memeluknya e rat dan mendorong muka suaminya itu yang mendekat mukanya. “Eh, apa kau tiba-tiba kemasukan setan? Maka di tengah jalan bersikap seperti ini ? Cih, memalukan sekali !"

Akan tetapi suaminya memandangnya dengan mata aneh. "Cui Eng....... sekarang aku mengerti khasiat kodok hijau ini .......! Coba kau yang membawanya." Dengan terheran-heran Souw Cut Eng menerima ce puk itu dan memasukkannya ke dalam saku bujunya. Tidak ada akibat apa-apa.

"Mungkin belum, harus agak lama." kata suaminya. "Mari kita berlari terus dan lihat akibatnya nanti."

Akan tetapi sampai  lama mereka berlari, tidak ada reaksi apa-apa pada diri Souw Cui  Eng.  "Hemm, sekarang aku dapat menduga. Katak macam ini  pernah aku mendengarnya, namanya katak pembangkit asmara. Ada sepasang. yang jantan kalau berdekatan dengan seorang wanita dapat membangkitkan nafsu asmara, sebaliknya yang betina merangsang seorang laki laki. Tentu ini yang betina maka padamu tidak berakibat apa-apa." Selanjutnya dalam mengejar Ceng Ceng, katak itu terus  disimpan  oleh  Souw Cut Eng biarpun nyonya ini kadang-kadang me rasa  jijik harus mengantongi seekor katak.

Kita kembali kepada Ceng Ceng dan Tiang Bu. Gadis itu berlari cepat sekali di sepanjang lembah Huang-ho. Tiang Bu mengejar terus di  belakangnya, tidak segera menyusul karena ia memang sengaja hendak melihat sampai ke mana nona itu akan lari dan berapa lama kekuatan gadis itu.

Ternyata Ceng Ceng memiliki daya tahan yang besar dan gadis ini biarpun baru saja datang dan sudah lama berlari- lari dengan Tiang Bu, ternyata sekarang masih kuat berlari- lari sampai setengah hari. Me njelang senja mereka sudah melalui jarak ratusan li jauhnya dan belum juga Ceng Ceng berhenti. Tiba-tiba gadis itu mempercepat larinya, Tiang Bu juga mengerahkan tenaga.

Mereka tiba di lembah sungai yang indah, Di bagian ini sungai itu lebar sehingga air tidak begitu hebat meluapnya. Di luar sebuah hutan cemara kelihatan sebuah  kelenteng tua dan Ceng Ceng berlari memasuki pekarangan kelenteng ini.

*He. jangan injak ularku !" tiba-tiba terdengar bentakan dan tahu- tahu tangan Ceng Ceng sudah dipegang dan dibetot orang. Ceng Ceng kaget bukan main karena betotan ini kuat sekali. Apalagi ketika ia menoleh ternyata bahwa yang menariknya juga seorang dara cantik jelita sekali.

Usianya sebaya dengan dia sendiri. Gadis muda ini tadinya duduk di balik semak-semak dan kini tangan kirinya memegang seekor ular hitam yang kecil dan liar ! Ceng Ceng sampai berdiri bulu tengkuknya saking merasa jijik dan ngeri.

"Kenapa kau berlari dan seperti dikejar setan?" tanya gadis cantik jelita itu. suaranya merdu dan senyumnya manis. Dalam kaget dan herannya karena di tempat sunyi ini muncul wanita cantik, apalagi pakaiannya serba indah, Ceng Ceng mengira bahwa ia tentu berhadapan dengan siluman atau bidadari. Buktinya ketika membetot tangannya tadi tenaganya besar bukan main dan memegang ular berbisa pula.

"Memang aku dikejar ...... dikejar orang jahat "

jawabnya gagap.

"Kau sembunyi di sana. biar aku menghajarnya!” jawab gadis cantik itu. Ceng Ceng melompat dan lenyap di dalam kelenteng.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya buat Tiang Bu ketika tiba di pekarangan kelenteng, ia tidak melihat Ceng Ceng, sebaliknya melihat seorang gadis lain yang sebaya dengan Ceng Ceng akan tetapi yang memiliki ke cantikan luar biasa. Lebih cantik malah dari pada Ceng Ceng, atau kalau tidak lebih cantik,  memiliki sifat kecantikan berbeda namun tidak kalah menarik dan menggairahkan. Bagi Tiang Bu, gadis ini benar-benar hebat dan sampai berdiri bengong bagaikan patung. Pe muda ini berdiri tegak tak bergerak, hanya sepasang matanya saja yang bergerak-gerak memandangi mahluk indah di depannya.

Akan tetapi ketika ia melihat ular hitam kecil yang melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat di tangan kiri gadis itu, ia jadi kaget setengah mati. Gadis  itu menggerak- gerakka bibirnya mengarah senyum dan sepasang matanya yang lebih indah dari pada mata burun Hong itu mengikuti pandangan mata kaget dari Tiang Bu yang mengarah tangan kirinya. De ngan halus ia lalu melepaskan ular kecil itu ke dalam semak-semak. kemudian ia bertanya, suaranya tetap merdu namun mengandung kekerasan.

“Kau ini orang apakah. mengejar-ngejar seorang gadis di tempat sunyi. Kalau saja yang dikejar dan yang mengejar itu orang orang biasa, tentu gadis ini akan menjatuhkann tangan besi tanpa bertanya lagi. Akan tetapi ketika membetot tangan Ceng Ceng tadi, dapat merasai tenaga lweekang yang tinggi dari gadis itu. Bagaimana scoring gadis kosen seperti itu lari ketakutan menghadapi seorang pemuda petani atau nelayan yang sederhana ini?

"Jangan salah sangka,"  Tiang Bu cepat-cepat  menjawab karena ia takut kalau-kalau si jelita ini menyangka ia akan berbuat jahat terhadap Ceng Ce ng, "gadis tadi mencuri kitabku dan aku mengejarnya untuk minta kembali kitab itu.”

Mendengar ini, sikap gadis cantik itu berubah, keningnya yang halus putih berkerut dan alis yang hitam lentik itu berdiri. "Begitukah, mari kita cari dan tanya dia. Aku tidak sudi menolong seorang maling!" Setelah berkata demikian, gadis itu berjalan memasuki kelenteng. Gerakan kaki yang ringan bertenaga dan gerakannya maju yang amat cepat itu kembali membuat Tiang Bu maklum bahwa gadis jelita itu memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, mungkin tidak kalah oleh Ceng Ceng!

Begitu memasuki kelenteng, Tiang Bu menahan napas saking kagum dan heran. Kelenteng itu sudah tua dan di luarnya buruk sekali. Akan  tetapi  ketika  ia masuk ke ruangan dalam, ternyata di situ amat indah penuh dengan hiasan tembok yang serba mabal dan indah. Lukisan-lukisan yang bagus dan hidup, pot-pot bunga telukir naga di atas meja-meja yang indah pula. Benar-benar mengagumkan.

Akan tetapi ia tidak sempat untuk niemikirkan semua ini kerena gadis itu telah membawanya ke ruang belakang di mana terdapat se orang muda gagah. Melihat pemuda ini, Tiang Bu tiba-tiba merasa sungkan karena mengingat akan keadaan sendiri. Pemuda itu berpakaian indah, wajahnya yang berkulit putih itu tanpan dan gagah sekali, dengan rambut hitam panjang digelung ke atas dan diikat dengan sutera kuning. Tubuhnya tegap dan matanya tajam, potongan seorang "pendekar muda” kalangan bangsawan! Dibanding dengan pemuda itu, Tiang Bu harus mengaku bahwa ia kalah dalam segala-galanya ! Tidak nempil, seperti gagak dengan garuda ! Apalagi ketika mereka berdua memasuki ruangan belakang itu, pemuda tampan gagah ini sedang berdiri meme gang batang pedang dengan sarungnya yang indah pula.

“Moi-moi, kukira kau sudah mengusir pergi pemuda kurang ajar itu. Kenapa dia juga masuk ?"

"Koko, mana gadis tadi? Dia membohongi aku. Dia itu seorang maling yang dikejar saudara ini."

“Maling?” Pemuda tampan itu mengerutkan alisnya yang tebal. "Moi- moi, jangan menuduh sembarangan. Dia itu adalah puteri dari Pek thouw tiauw-ong Lie Kong seorang pendekar besar dari pentai timur, Mana bisa seorang maling

? Orang ini yang jahat .maksudnya, jangan kita kena tipunya

...... ." Sambil berkata demikian, pemuda itu melompat dan tangan kirinya mencengke ram pundak Tiang Bu.

“Kau siapakah dan apa niatmu mengejar seorang gadis baik-baik ?”

Tiang Bu tidak mengelak, akan tetapi ketika pundaknya kena dicengkeram, ia terkejut merasakan tenaga dahsyat pemuda itu yang tentu saja akan membuat tulang pundaknya hancur. Cepat ia mengerahkan tenaga lweekangnya dan kini pemuda itu yang berteriak kaget sambil melompat ke belakang dan menarik tangannya yang terasa papas din lumpuh ! Tiang Bu mempergunakan kosempatan itu melompat sambil berkata. "Maaf, urusanku bukan urusan kalian, lain kali aku datang belajar kenal !”

Dan di lain saat tububnya sudah be rkelebat keluar mengejar

Ceng Ceng yang ternyata sudah lari kembali.

Pemuda dan pemudi mewah itu mengejar, namun ketika tiba di depan kelenteng mereka tidak melihat Tiang Bu.

"Hebat ...... pemuda dusun itu lihai sekali…….” terdengar pemuda itu menggerutu. “Koko, kau harus ingat akan nasihat nio-nio. Mengukur ke pandaian orang jangan didasarkan keadaan muka atau pakaiannya. Begitu bertemu aku sudah menduga dia itu bukan sembarangan."

Sementara itu, Tiang Bu terus mengejar Ceng Ceng yang kini berlari ke arah tempat semula. Akan tetapi karena hari sudah mulai malam dan kesabaran Tiang Bu sudah menipis, pemuda ini mengerahkan ginkangnya akhirnya ia dapat menyusul Ceng Ceng.

“Bocah kepala batu, kau berhentilah,” Tiang Bu membentak, tangan kanannya digearakkan untuk menangkap lengan Ceng Ceng.  Tiba-tiba  Ceng Ceng memutar tubuhnya dan secepat kilat menyambar ke arab dada Tiang Bu. Tanpa peringatan lebih dulu tahu-tahu Ceng Ceng sudah menyerang Tiang Bu dengan pedang.

"Bagus. kini kita dapat mengadu kepandaian!" kata Tiang Bu yang cepat mengelak dan menggunakan dua jari tangan untuk mengetuk pergelangan tengan gadis itu. Namun Ceng Ceng juga lihai sekali dan dapat bergerak cepat, ringan kaki tangannya serta lincah ge rakannya. Lebih hebat pula, ilmu pedang dia ini luar biasa sekali. Seperti pernah dilihat oleh Tiang Bu, gerak langkah kaki  gadis  itu menyerupai  Ilmu Silat Pat kwa-kun-hoat yang pernah ia pelajari, akan tetapi pecahan-pecahannya lain lagi.

Sungguhpun berdasarkan langkah segi delapan, namun daya serangannya bermacam-macam, ada yang lembek ada yang keras dan sukar sekali diduga perubahan- perubahannya. Dalam beberapa belas jurus saja, tubuh Tiang Bu sudah terkurung oleh pedang yang sinarnya bercabang delapan, menyambar nyambar laksana kilat di musim hujan!

“Kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!” Tiang Bu memuji dan pe muda ini harus mempergunakan semua kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman sinar pedang. Baiknya ia telah mewarisi sinkang dari dua orang kakek sakti di Omei-san se hingga kadang-kadang ia dapat mempergunakan kuku jarinya untuk menyentil pedang lawan. Di lain fihak, Ceng Ce ng merasa kagum dan heran bukan main. Memang ia sudah menduga bahwa pemuda ini lihai sekali.

Hal ini sudah ia buktikan ketika  mereka beradu kekuatan lari. Akan tetapi melawannya dengan tangan kosong dan menghadapi pedang dengan sentilan kuku jari? Inilah hampir tak dapat dipercaya! Ia telah memainkan Ilmi Silat Pat-sian-jut-bun dari kitab yang dibawa oleh ayahnya dari Omei-san dan ayahnya sendiri ketika melihat ia mainkan ilmu pedang ini sudah mengaku bahwa ilmu pedang ini hebat sekali. Ayahnya sendiri tidak mungkin dapat menghadapinya hanya dengan sentilan kuku jari seperti yang dilakukan oleh pemuda dusun ini !

Akan tetapi, betapapun tinggi kepandaian Tiang Bu dan betapapun mudah baginya  menyelamatkan diri  dari ancaman pedang gadis itu, namun harus  ia  akui  bahwa untuk mengalahkan Ceng Ceng tanpa melukai bukanlah hal yang mudah. Gadis itu nekat sekali dan sama sekali tak mau menyerah biar pun beberapa kali tangannya tergetar ketika pedang disentil oleh jari tangan Tiang Bu. Akan te tapi makin lama Ce ng Ceng menjadi makin lemas dan ia sudah lelah sekali. Malam mulai menyelimuti bumi dan keadaan menjadi remang-remang. Baiknya sore-sore bulan sudah keluar dan melihat langit yang cerah, dapat dibayangkan datangnya malam yang terang dan indah, Ceng Ceng mulai marah dan memaki-maki.

“Pemuda sombong, tak tahu malu ! Meminta kitab? Boleh bunuh dulu aku !”

"Gadis kepala batu ! Mengapa mau mengukuhi kitab orang?” Tiang Bu membentak dan  pada  saat  pedang gadis itu menusuk ulu hatinya, ia cepat miringkan tubuh se hingga pedang itu meleset di dekat dada, di bawah ketiak. Secepat kilat Tiang Bu menurunkan lengan. Sedangkan tangan kirinya ditotokkan ke arah pundak kanan Ceng Ceng. Totokan itu mengarah Kian-keng-kiat dan kalau mengenai sasaran tentu gadis itu akan roboh lemas. Ceng Ceng tidak sudi memberikan pundaknya ditotok, terpaksa ia melompat mundur dan melepaskan pedangnya,

Di lain saat Tiang Bu sudah mengejar dengan pedang rampasan di tangan. Pedang itu ditodonglan ke arah tenggorokan Ceng Ceng dan ia berkata keren.

“Hayo kaukembalikan kitab itu kepadaku !”

Akan tetapi Ceng Ceng malah bertolak pinggang dan mengedikkan mukanya, mambusungkan dadanya menantang. "Tusuklah ...... ! Tusuklah……! Apa kaukira aku takut mati?”“

“Ce ng Ceng, siapa mau membunuhrpu? Aku hanya ingin minta kembali kitab dari Omei-san itu. Kalau kau sudah mempelajarinya, me ngapa kau masih mengukuhi kitabnya? Untuk apa bagimu?” kata Tiang Bu sambil merunkan pedangnya.

"Habis bagimu sendiri  untuk apakah? Kau sudah memiliki kepandaian kau sendiri sudah mempelajari banyak ilmu dari Ome i-san. Mengapa aku mempe lajari sebuah saja kau sudah iri hati ? Apa kau mau kangkangi semua kepandaian di dunia ini?"

"Tidak demikian, jangan salah mengerti. aku minta kembali semua kitab yang diambil orang dari Omei-san, ini untuk mematuhi perintah suhuku. Bahayanya, kalau kitab terjatuh ke tangan orang jahat, bukankah kepandaian dari ilmu itu akan dipakai untuk kejahatan dan kareranya suhu- suhuku ikut berdosa?"

Gadis itu tersenyum mengejek, maksudnya menyakitkan hati Tiang Bu, tidak tahu bahwa senyumnya itu dalam pandangan Tiang Bu manis sekali dan sama sekali tidak menyakiti hati bahkan me nyenangkan! "Bodoh! Kitab sudah kupelajari, kauambil kembali ada gunanya apakah? Biarpun kitabnya tidak ada, tetap saja aku dapat mempergunakan ilmunya.”

"Akan tetapi aku percaya kau bukan orang jahat," kata Tiang Bu.

"Kalau benar kau percaya begitu, mengapa kau tetap hendak minta kembali kitab itu. Mengapa tidak kaupercayakan ke tanganku. Kau memang sombong dan murka !" Sambil berkata demikian, Ceng Ceng tiba-tiba menyerang dengan pukulan keras. Tian Bu mengangkat

tangan dan menangkap pergelangan tangan gadis itu, sekali mengerahkan tenaga "menyedot" gadis itu tidak dapat meronta pula! Ia berusaha untuk memberontak melepaskan tangannya namun sia-sia. Dengan marah gadis itu menggerakkan tangannya menampar muka Tiang Bu, akan tetapi bagaikan seorang dewasa menghadapi seorang anak kecil  yang rewel,  Tiang Bu ke mhali  dapat  menangkap sebelah lengan ini ke dalam tangan yang sudah memegang tangan kanan jadi kini dua lengan gadis itu menjadi satu dipegang oleh Tiang Bu. 

“Kau masih belum kapok ? Hayo katakan di mana kitab itu ?” kata Tiang Bu.

"Di dalam saku baju dalamku ! Kalau kau berani ambil. kau laki-laki ceriwis, kurang ajar dan cabul !" Ce ng Ceng menantang. Pada saat itu berkele bat dua bayangan datang. Mereka ini adalah Lie Kong dan isterinya. Melihat kedatangan mereka, Tiang Bu cepat melepaskan tangan Ceng Ceng dan mukanya menjadi merah sekali. Ceng Ceng berlari menubruk ibunya sambil menangis.

"Maaf," kata Tiang Bu menjura, "aku tidak bermaksud menghina puterimu, Lie loenghiong. Akan tetapi dia bandel…..”

Lie Kong tersenyum. Tadi ia sudah menyaksikan sambil bersembunyi dan melihat betapa hebat kepandaian Tiang Bu ketika menghadapi ilmu pedang anaknya. Tanpa ragu lagi pe ndekar ini maklum bahwa dia sendiri masih belum te ntu dapat menangkan Tiang Bu. Saking kagumnya, timbul maksudnya mengambil mantu pemuda ini!

“Tiang Bu, apakah kau murid tunggal Omei-san?" "Betul, lo enghiong."

"Kau bernama keturunan apakah?"

Tiang Bu bingung. Kalau ditanya tentang shenya, ia paling sukar menjawab dan hatinya tertusuk, teringat ia akan keadaannya masih belum pasti siapa ayah bundanya. Mengaku she Coa, ia tidak suka membohong mengaku she Liok, ia malu berayah Liok Kong Ji.

"Aku ....... aku sendiri belum tahu, lo-enghiong. Namaku cukup dengan Tiang Bu saja.

Lie Kong tersenyum. Jawaban begini saja tidak mengherankan hatinya. Memang orang-orang yang berkepandaian selalu berwatak aneh, maka tidak mengherankan kalau pemuda ini juga berwatak aneh, agaknya tidak mau mengaku siapa orang tuanya.

“Tiang Bu, tentang kitab itu, kiranya apa yang diucapkan oleb Ceng Ceng tadi tidak terlalu salah. Kitab itu aman ada padanya, dialah yang bertanggung jawab bahwa ilmu itu takkan dipergunakan untuk kejahatan. Pula kalau kau

setuju, kami akan merasa girang sekali kalau kau suka memberikan kitab itu kepadanya sebagai sebagai

tanda mata!”

"Apa maksudmu, lo-enghiong?" tanya Tiang Bu heran.

Lie Kong memang biasa berkata te rus terang, Sambil tersenyum akan tetapi matanya memandang sungguh- sungguh ia berkata, "Aku tadi sudah bersepakat dengan isteriku bahwa kalau kau tidak keberatan, kami bermaksud

menjodohkan anak tunggal kami yang bodoh itu dengan kau, Tiang Bu. Bagaimana jawabmu ?” Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, kiranya Tiang Bu takkan be gitu terkejut seperti ketika mendengar "pinangan” ini. Seujung rambut dibagi tujuh ia tak pernah mengharapkan hal langka ini terjadi. Bagaimana sampai begitu "berharga tinggi” dipinang oleh seorang pendekar besar seperti Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong untuk dijodohkan dengan seorang dara jelita seperti Ceng Ceng? Bagaimana ia harus menjawab? Ceng Ceng cantik seperti bidadari, wataknya menggatalkan hati, gerak geriknya menggairahkan dan terus terang saja, hati Tiang Bu tertarik dan suka sekali. Kalau ia menolak be rarti ia sudah berotak miring! Akan tetapi sebelum ia dapat menjawab, Ceng Ceng mendahuluinya dengan teriakan marah. “Tidak....... !” Aku tidak sudi dijodohkan dengan pemuda berwajah monyet itu ! Hidungnya pesek, bibirnya tebal, aku tidak suka !”

Kalau saja Tiang Bu lebih tua usianya dan sudah mendalam pengertiannya tentang hubungan laki-laki dan wanita, tentu ia akan merasa terhina sekali mendengar akan ponolakan Ceng Ceng. Akan tetapi, kini mendengar bahwa Ceng Ceng menolaknya karena hiduungnya pesek dan bibirnya tebal, ia makin tertawa!

"Terima kasih, lo-enghiong. Aku tidak mau kawin, apalagi dengan seorang bocah kepala batu dan galak seperti dia itu. Aku hanya minta kembali kitab suhu. Aku yakin lo-enghiong yang ternama tidak akan sudi mengangkangi  kitab orang lain." Saking jengkelnya Tiang Bu mengeluarkan sindiran ini. Merah wajah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong mendengar ini, wajahnya yang tampano menjadi berkerut dan ia membentak puterinya.

"Ceng Ceng, bocah lancang! Hayo kau kembalikan kitab itu kepada murid 0mei- san ini !”

Ceng Ceng yang masib memeluk ibunya itu kini berkata dengan suara sedih dan takut. "Tak mungkin, ayah. Kitab itu....... telah dirampas orang setengah bulan yang lalu…..” Kagetlah Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong dan isterinya. akan tetapi dengan gemas Tiang Bu mencela, "Bohong! Tadi kaubilang berada di dalam saku baju dalammu !" Ia

menghentikan kata-katanya dan mukanya menjadi merah.

Ceng Ceog melerok. "Siapa bicara denganmu ? Aku bicara dengan ayahku, dan kau tidak boleh turut campur !"

“Ceng Ceng, jangan kau main-main ! Dimana kitab itu?" Ayahnya mendesak.

Dengan suara mengandung kekece waan, kedukaan, dan takut kepada ayahnya, dara itu lalu bercerita,

"Ketika itu aku sedang berlatih bagian terakhir dari Pat.sian-jut-bun  yang  paling  sukar.  Karena ingin supaya ge rakanku dalam bagian terakhir ini sempurna, aku keluarkan kitab itu dan membentangkannya di atas tanah. Setelah mempelajari aku lalu berlatih. Kitab itu masih terhentang di atas tanah. Kupikir keadaan di sana aman

karena di tengah hutan yang sunyi. Sama sekali tak terduga, tiba- tiba muncul dua orang gedis yang cantik genit. Tadinya kukira dua orang gadis yang datang itu enci  Pek Lian dan enci Ang Lian maka aku tidak begitu khawatir. Siapa kira begitu datang dan begitu aku melihat bahwa mereka itu sama sekali asing bagiku, belum aku sempat mengambil

kitab Pat- siant-bun, seorang di antaranya telah menyambar

dan merampas kitab.” Demikian Ceng Ceng memulai dengan penuturannya, didengarkan dengan penuh perhatian dan dengan kening berkerut oleh ayah bundanya dan Tiang Bu.

Gadis ini melanjutkan ceritanya. Melihat kitabnya dirampas orang, tentu saja ia menjadi marah bukan main, akan tetapi juga heran dan ingin tahu siapa adanya mereka itu.

"Eb, maling-maling cilik, kau berani mengambil kitabku?

Hayo kembalikan!” bentaknya untuk sejenak tidak menyerang segera karena terlalu heran ada orang berani merampas kitabnya. Sebaliknya, dua orang gadis itu agaknya juga tidak memandang sebelah mata kepada Ceng Ceng, bahkan kurang memperhatikan, buktinya mereka berdua bicara sendiri tanpa memperdulikan makian Ceng Ceng.

"Adik Kim, tak salah lagi, inilah kitab Omei-san itu yang dicuri oleh keluarga dari timur." kata gadis pertama yang manis dan di dagunya terdapat tahi lalat kecil yang menambah manisnya.

"Benar, cici, dan budak parempuan ini agaknya anaknya." jawab gadis ke dua yang miliki sepasang mata yang indah dan sepenuhnya membayangkan watak genit

baik dipandang dari alisnya yang panjang kecil dengan ujung menjungat ke atas, bulu matanya yang bitam panjang melengkung mendatangkan bayang-bayang pada pelupuk matanya dan kerling mata yang meruncing ke sudut.

Sementara itu Ceng Ceng sudah kehabisan kesabarannya. Cepat pedangnya bergerak me nerjang gadis pertama yang tadi mengambil kitab sambil be rseru.

“Maling kecil, kau mencari mampus !" Akan tetapi, sinar pedang yang kemerahan menangkis pedangnya itu dan ternyata gadis ke dua yang bermata genit itu telah menangkis dengan sebatang pedang pendek yang merah.

Melihat cara lawan ini menangkis, diam-diam Ceng Ceng terkejut dan maklum babwa ia menghadapi lawan yang tidak rendah kepandaiannya. Ia mengeluarkan seruan keras dan kini ia menyerarg makin hebat, mendesak gadis berpedang merah sambil mainkan Ilmu silat yang baru ia pelajari dari kitab Omei-san itu. Gadis  berpedang merah itu ternyata hebat pula ilmu pedangnya, cepat dan kuat gerakan pedang dan tenaganyapun tidak kalah oleh Ceng Ceng. Namun menghadapi de sakan pureri Pek-thouw tiauw-ong ini yang marah sekali, ia terpaksa main mundur.

“Enci Lin. budak ini kepandaiannya boleh juga. Bantu aku !" teriak gadis berpedang me rah. Tak lama kemudian sinar putih menyambar cepat dan Ceng Ceng terpaksa melompat mundur sambil menangkis datangnya serangan sinar putih yang ternyata lebih cepat dan kuat dari pada sinar pedang marah. Ternyata bahwa ilmu pedang gadis bertahi lalat di dagunya itu malah lebih tinggi dari pada !

Namun dalam menangkis serangan ini, Ce ng Ceng merasa yakin bahwa ia masih dapat me ngimbangi kepandaian gadis berpedang putih ini, kalau saja ia tidak dikeroyok. Kini mereka maju bersama dan sepasang sinar marah dan putih itu menyambar-nyambar seperti kilat, membuat ia sibuk juga dan akhirnya terpaksa main mundur !

Dua orang gadis kakak beradik itu lalu tertawa dan si tahi lalat di dagu berkata, "A Kim, budak ini manis sekali, jangan bunuh dia. Biarkan dia hidup dan kelak datang menyusul kita agar ada ke gembiraan." Setelah berkata demikian. gadis itu bersama adiknya melompat dan berlari cepat.

"Demikianlah, ayah. Kitab itu mereka bawa pergi. Aku tidak berani memberitahukan ayah atau ibu, selain takut mendapat marah juga ….. malu. Tadinya anak pikir akan diam-diam me nyusul mereka dan menumpas kembali, akan tetapi ayah mengajakku ke sini untuk me mbantu Huang-ho Sian-jin, terpaksa maksud itu tertunda."

Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong membanting-banting kakinya. "Bocah bodoh ! Selain kena dikalahkan orang, kau masih berkepala batu tidak segera memberi tahu kepadaku. Mereka itu benar-benar berani menghina kita. Apa kau tidak ada ingatan untuk bertanya siapa mereka itu pada waktu mereka pergi?"

"Ada kutanya nama mereka, ayah. Mereka mengaku bernama Liok Cui Lin dan adiknya Liok Cui Kim, bahkan sebelum pergi mereka menyatakan bahwa mereka tinggal di dalam Hutan Ui tiok-lim (Hutan Bambo Kuning) di lembah Sungai Luan-ho di luar tembok besar dekat Kota Raja Kin.”

"Ui-tio-lim....... ?" Pek thouw- tiauw-ong Lie Kong terkejut mendengar disebutnya tempat ini dan ia saling pandang dengan isterinya. Tempat itu sudah mereka kenal, sebuah tempat yang amat berbahaya, yang ratusan tahun yang lalu dibangun oleh seorang tokoh jahat dari utara. Tempat ini penuh rahasia dan tangan-tangan maut menjangkau dari tempat-tempat tersembunyi sehingga sudah sejak lama sekali tak seorangpun berani mendatangi tempat yang dianggap sebagai sarang iblis itu. Dan sekarang ditinggali oleh dua orang gadis yang sanggup merampas kitab dari tangan Ce ng Ceng !

"Eh, mana dia....... ?" Tiba-tiba Lie Kong bertanya kaget ketika menengok tidak melihat Tiang Bu di situ.

“Entah. dia tadi melangkah ke sini dan agaknya ada bayangan berkelebat di dekatku." kata Souw Cui Eng, isterinya, kemudian nyonya itu menjadi pucat. “Katak itu lelah hilang berikut tempatnya"

Lie Kong makin kagum. "Hebat sekali !” Bocah itu, tentu dia yang mengambilnya, Ceng Ceng, apa kau tadi malihat Tiang Bu pergi?”

Gadis itu memang sejak tadi mempe rhatikan Tiang Bu, akan tetapi iapun hanya melihat pemuda itu berkelebat dan lenyap, maka ia menggeleng kepala.

Lie Kong nenarik napas  panjang.  “ “Ceng Ceng,  aku masih tetap ingin sekali menjodohkan kau dengan dia. Di dunia ini kiranya tidak mudah bagimu mencari jodoh seperti orang muda tadi. Sekarang kita bersiap-siap setelah selesai urusan di sini kita mengejar dua orang gadis Liok itu ke utara.”

-oo(mch)oo-

Tiang Bu memang telah mencuri katak dalam peti yarg disimpan oleh Souw Cui Eng. Tadinya Tiang Bu merasa curiga karena nyonya ini beberapa kali meraba saku baju seakan-akan takut kalau ada barang penting lenyap dari saku itu. Ia tadinya me ngira bahwa mungkin sekali kitab itu diam-diam disimpan nyonya ini. Maka mendengar penuturan Ceng Ceng bahwa kitab dari Omei san itu telah dirampas oleh dua orang anak perempuan Liok, ia menjadi kaget sekali. Karena tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan kitab dari keluarga ini,. Tiang Bu lalu cepat pergi setelah lebih dulu ia menggunakan kepandaian dan kecepatannya untuk menyambar isi saku nyonya itu yang ternyat a adalah peti ke cil dengan katak ajaib yang pernah dilihatnya.

Kebetulan, pikirnya. Harta benda itu memang sudah sepatutnya kalau dipergunakan  untuk menolong  para korban banjir. Akan tetapi katak wasiat ini siapa tahu kalau- kalau menjadi benda simpanan Pangeran Wanyen Ci  Lun, biar kuambil dan kuke mbalikan kepadanya.

Setelah pergi dari lembah Sungai Huang-ho itu, Tiang Bu teringat akan pemuda dan dia gadis yang lihai dan yang tinggal di  dalam kelenteng itu. Ia  ingin tahu mereka  itu siapa, terutama gadis itu benar-be nar amat menarik hatinya.

Dengan mempergunakan ilmu lari cepatnya, Tiang Bu menyusul ke kuil yang pernah dilihatnya ketika ia mengejar Ceng Ceng. Ia ingin cepat bertemu dengan pemuda dan gadis yang aneh itu, ingin berkenalan, terutama sekali dengan gadisnya. Wajah gadis itu serasa tidak asing baginya, serasa pernah dilihatnya, entah di mana dan  bilamana  ia  sudah lupa lagi.

Ketika ia tiba di dekat kelenteng tua, ia melihat banyak orang se dang hilir mudik mengangkuti barang-barang dari dalam kelenteng. Terayata yang diangkuti itu adalah barang- barang perabot rumah tangga yang indah yang tadinya menghias isi kelenteng! Apakah mereka hendak pindah? - Tiang Bu benar-benar menjadi terheran-he ran ketika mendapat kenyataan bahwa yang mengangkut adalah orang- orang be rpakaian seperti tentara seragam.  Dan  mereka bekerja nampak tergesa-gesa sekali. Selagi Tiang Bu bingung tak tahu harus  berbuat apa,  ia  mendengar suara  senjata be radu di tempat jauh, arah dekat sungai. Terdengar suara lain lagi yang mendesak supaya para se rdadu itu  bekerja lebih cepat.

(Bersambung jilid ke XV.)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar