Tangan Geledek Jilid 13

Jilid 13

“CENG-MOI, kau teruskanlah. Kami berdua sebetulnya tadi sudah menyerangnya dan kami kalah." kata Pe k Lian. Suaranya lemah-lembut penuh kejujuran dan diam-diam Tiang Bu memuji nona berpakaian pria itu, juga merasa kasihan.

“Bukan kalah, memang belum bertempur sungguh- sungguh dan aku yang mendahului lari cepat-cepat. Kalau bertempur sungguh-sungguh, nona yang berpakaian pria itu lihai bukan main, aku tidak berani memastikan akan menang.”

Ceng Ceng menyentak Tiang Bu. "Kau kasihan kepada enci Pek Lian, ya? Kau......... kau……. tergila-gila kepadanya agaknya, ya? Jangan kau kurang ajar, manusia tak tahu diri

!”

Thing Bu kaget bukan main. Perangai nona cilik ini, benar-benar aneh. Baru saja ramah-tamab sekali, tahu-tahu seperti minyak dijilat api, tiba-tiba marah-marah seperti orang mabok. Saking herannya Tiang Bu memandang bengong. "Jiwi  cici,  jangan  salah sangka.  Aku sengaja  memberi penjelasan kepada bocah ingusan ini……”

"Aku bukan bocah ingusan, kau ......... bocah sombong!” Tiang Bu be rte riak marah karena beberapa kali ia dihina.

Ceng Ceng tersenyum mengejek dan tidak memperdulikannya, "Bocah rewel dan manja ini harus diberi penjelasan agar nanti kalau mampus olehku dia tidak penasaran lagi. Jangan sampai arwahnya menghadap Giam- kun (Raja Maut) dan melaporkan bahwa kita ini perampok- perampak jahat, kan cialat (celaka) untuk kita!"

Terpaksa Ang Lian dan Pek Lian tersenyum lagi dan kembali sikap Ceng Ceng seperti tadi, manis jenaka. "Bocah, kau mau tahu segalanya, bukan? Nah, kau dengar baik- baik. Pada dewasa ini, Huang-ho Yauw-koai iblis di Sungai Huang-ho yang agaknya kalau bukan ayahmu tentu mertuamu itu…..”

"Setan kau ..... !" Tiang Bu me maki.

"Iblis sungai itu sedang mengamuk." Ceng Ceng melanjutkan, tidak perduli akan makin Tiang Bu, "membuat air sungai membanjir dan banyak rakyat kehilangan semua benda bahkan banyak yang kehilangan nyawa. Akibatnya kelaparan merajalela. Nah, ayah mengajak aku mengunjungi Huang-ho Sian-jin yang seperti biasa  tiap tahun  kalau terjadi banjir, sibuk menolong rakyat.

Kali ini benar benar dibutuhkan banyak uang untuk mencegah orang-orang mati kelaparan, maka sengaja Huang-ho Sian-jin mengutus dua orang anaknya untuk merampas harta yang tidak halal dari  pembesar tukang catut itu. Aku diperintah oleh ayah untuk mengamat-amati, takut kalau-kalau ada bocah-bocah ingusan nakal macam engkau ini mengganggu jiwi cici di tengah jalan."

"Bagaimana kau tahu kalau barang-barang berharga yang dirampok ini barang barang tidak halal?" “"Ho-ho kau tidak saja masih ingusan, bahkan kepalamu masih berbau bawang (sindiran untuk orang yang masih hijau). Masa gitu saja tidak tahu? Biarpun masih pelonco, kalau sudah terjun di dunia kangouw harus tahu membedakan ini. Bangsat she Kwee itu adalah seorang pengkhianat yang mengekor Kerajaan Kin. Tadinya ia miskin akan tetapi setelah bekerja di sana, memperoleh kekayaan berlimpah-limpah dan sekarang karena takut akan serbuan balatentara Mongol, ia membawa hartanya lari ke selatan.

Dari mana lagi ia mendapat harta begitu banyak kalau bukan dari memeras rakyat dan mencatut Kerajaan Kin? Dia bukan pedagang yang bisa menarik banyak keuntungan.

Apakah orang macam itu harus didiamkan saja, dia memang banyak harta rakyat sampai berlebih-lebihan, tidak habis biarpun dimakan oleh anak cucunya sampai tujuh turunan, sedangkan rakyat di sepanjang lembah Huangho menderita kelaparan?"

"Hemmm, kalau betul kata-katamu ini, memang usaha kalian hebat sekali, patut dipuji. Akan tetapi,  aku mendengar dari orang-orang Siang kim-sai Piauwkiok, benda-benda di dalam peti ukiran Kilin itu adalah milik Pangeran Wanyen Ci Lun yang dititipkau. Kilian tidak boleh mengganggu miliknya. Aku mendengar bahwa Pangeran Wanyen Ci Lun adalah seorang gagah yang berbudi." kata Tiang Bu.

"Kau mendengar. kau mendengar..... agaknya kau terlalu mengandalkan daun  telingamu  yang lebar  seperti telinga gajah itu. Tidak perduli Wanyen Ci Lun seorang baik seperti dewa, namun ia tetap seorang pangeran yang takkan mampus kelaparan kalau hartanya yang sebegini  saja diambil orang. Sebaliknya, harta ini bisa menolong nyawa ribuan,  bahkan puluhan ribu orang  di  sepanjang sungai yang pada saat ini sudah hampir mati kelaparan !" Tiang Bu melongo. Baru kali ini ia mendengar pidato yang begitu panjang akan tetapi mengenai betul pada hatinya. Tepat dan hebat.

"Kau betul...." akhirnya ia berkata. "Akan tetapi aku masih belum percaya. Aku harus menyaksikan sendiri. Dan lagi, kau ini siapakah begini pandai bicara seperti tukang jual obat?”

“Ha, jadi kau sudah percaya? Kalau begitu lebih baik lagi. Tak usah aku menambah dosa mengantar nyawamu ke alam baka. Serahkan yang dua bungkus itu dan pergilah kau cepat-cepat."

"Eh, eh, nanti dulu, nona cilik."

"Aku tidak cilik lagi. Usiaku sudah lima belas tahun, tahu ?!"

"Benarkah?” Tiang Bu sekarang mendapat kesempatan membalas godaan-godaan dan hinaan tadi. ia tersenyum dan matanya berseri-seri. "Kau tidak patut kalau berusia lima belas tahun pantasnya kau......... sembilan tahun atau dua puluh tahun."

“Kau edan !" Ceng Ceng menjerit. "Masa kalau tidak sembilan tahun dua puluh tahun. Te rkaan macam apa ini?"

“Dibilang sudah tua, kau suka menggoda dan menghina orang seperti anak kecil saja, maka kau patut berusia sembilan tahun. Dibilang kecil, kau pandai bicara seperti orang tua  saja,  maka  kau tentu lebih  dari  dua  puluh tahun “

"Eh. kacoa ! Kau sudah bosan hidup, ya ? Kau

mau mampus, ya ? Hemm, sekali tusuk lenyap nyawamu.

.....” Sambil berkata demikian, gadis itu melangkah maju dan ujung rantingnya mengancam jalan darah kematian. Ketika Tiang Bu mundur-mundur dia maju-maju terus mengancam, marahnya bukan main. "Sudahlah, apa kau ini tukang bunuh orang? Masa denok-denok kok keji, tidak patut, dong ! Pantasnya orang cantik itu ramah-tamah dan halus…….”

Tangan yang memegang ranting menjadi lemas dan ranting itu diturunkan ke bawah.

"Awas, adik Ceng Ceng. Jangan kena tipu muslihatnya. Biarpun mukanya seperti monyet hitam, namun ia pandai memikat hati. Cici Pe k Lian sendiri hampir-hampir terpikat olehnya ”

"Plak !" Pipi Ang Lian kena ditampar ole h Pek Lian yang menjadi merah sekali mukanya. "Ang Lian, sekali lagi kau bicara begitu akan kulaporkan kepada ibu supaya kau dirangket.”

Sementara itu, sepasang mata Ceng Ceng berapi-api mendengar ini. Ranting di tangannya tergetar. "Betul begitukah ? Kalau begitu harus mampus "

"Hayaaa, kalian ini memang orang orang aneh sukar sekali diajak urusan," kata Tiang Bu. "Aku tidak ingin bertempur. Tentang harta ini, biarlah aku ikut kalian, aku hendak menyaksikan sendiri apakah betul ada usaha orang tua kalian menolong rakyat jelata yang kelaparan. Kalau memang betul, tidak hanya empat kantong benda ini kuserahkan dengan rela, bahkan aku sendiri bersedia disuruh membantu apa saja untuk meringankan beban rakyat di sana."

"Tapi kauserahkan dulu yang dua kantong itu !" kata Ccng Ceng.

"Bodoh, mana boleh begitu ? Aku akan diejek orang di jalan kalau membiarkan kalian orang-orang wanita membawa barang berat sedangkan aku enak-enak saja. Bahkan kalau kalian percaya, yang dua itu boleh kubawakan." "As taga ! Jadi dia akan melakukan perjalanan bersama kita ? Aku tidak sudi !" kata Ang Lian.

"Jangan kuatir, enci  Ang Lian.  Aku tidak akan  pergi bersama-sama. Kalian boleh jalan dulu, aku menyusul belakangan karena aku masih ada sedikit urusan di sini."

Memang Tiang Bu tentu saja tidak mau pergi begitu saja sebelum urusannya yang penting di selesaikan, yaitu mencari Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong di lembah Sungai Yangce yang berada tak jauh dari kota Wu-keng. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya dan urusan minta kembali kitab beres, baru ia hendak menyusul ke lembah Sungai Huang-ho.

Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng tidak setuju. Selagi ia hendak membantah, tiba-tiba terdengar derap banyak kaki kuda dan tak lama kemudian muncullah delapan orang penunggang kuda yang terdiri dari orang-orang bertubuh gagah perkasa dan di tengah-tengah mereka terdapat orang yang memegang sebuah bendera besar.

“Nah, nah, agaknya pentolan-pentolan Siang-kim sai Piauw-kiok telah menyusul kita ...... !” kata Ang Lian dengan nada menyesal mengapa Ceng Ceng dan Tiang Bu membuang-buang waktu dengan mengobrol tidak karuan.

Memang dugaan Ang Lian ini betul. Yang datang adalah Siang-kim-sai (Sepasang Singa Emas) sendiri, yaitu Twa kim- sai Yo Sang dan Ji-kim-Sai Yo Teng, diantar oleh enam orang murid-muridnya yang pandai. Siang-kim-sai memang pantas berjuluk Singa Emas, karena  kedua saudara  kakak-beradik ini memiliki wajah yang berbentuk se gi empat seperti muka singa,  bermata lebar dan galak,  bertubuh tegap kuat.  Yo Seng muka kuning sedangkan adiknya, Yo Teng bermuka merah. Begitu mendengar laporan Lu Tiang Sek bahwa peti berukir sepasang Kilin dirampas oleh dua orang puteri Huang-ho Sian-jin. dua orang piauwsu ini segera membawa murid-murid mereka melakukan pengejaran. Kini melihat di tempat itu selain dua orang gadis yang merampas barang berharga masih terdapat seorang gadis muda dan seorang pemuda yang keduanya membawa buntalan-buntalan itu, mereka menjadi heran akan tetapi girang. Melihat empat kantong itu masih berada bersama para perampok, berarti ada harapan mcrampasnya kembali. Apalagi empat orang perampok itu hanya tiga gadis ayu dan seorang pemuda tanggung.

"Anak-anak Huang-ho Sian-jin, kalian sungguh lancang sekali berani mengganggu kumis singa !" datang-datang Ji- kim-sai Yo Teng yang berusia empat puluh tahun dan wataknya agak mata keranjang tak boleh melihat jidat halus ini, berkata dengan sombong ..... "Hayo maju menghadap, hanya kalau kalian mengembalikan barang rampasan dan minta maaf sambil berlutut baru kami dapat mengampuni kalian!”

"Enci Pek, kaulihat dia ini. Mengakunya singa akan tetapi kalau kulihat baik-baik kok mukanya kaya kucing pemakan bangkai ?”

"Mai moi, jangan bergurau, mari kita siap menghadapi Siang kim-sai," jawab Pek Lian sambil melangkah maju dan mencabut pedangnya. Kemudian ia berkata kepada Yo Seng dan  Yo  Teng,  "Jiwi  piauwsu mau apakah  ? Memang betul kami telah mengambil barang yang didapatkan secara tidak halal oleh pembasar Kin pengkhianat bangsa itu."

Yo Seng sudah mendengar bahwa gadis pertama yang berpakaian pria me miliki  kepandaian tinggi,  maka  kepada Pe k Lian ia berkat a. "Nona, melihat muka ayahmu. Huang- ho Sian-jin, biarlah kita habiskan urusan ini asal saja kau suka mengembilikan barang-barang itu. Biar lain kali kami

datang mencari ayahmu untuk me nghaturkan terima kasih." Kalau seorang piauwsu hendak mengadakan kunjungan kepada seorang tokoh Liok-lim dan menghaturkan terima kasih, itu artinya sang piauwsu merendahkan diri dan mengalah, tentu akan datang untuk memberi "apa-apa" sekedar tanda penghormatan.

"Tidak bisa, barang yang sudah kami rampas. tak dapat kami kembalikan begitu saja. Kalau jiwi piauwsu ada kemampuan, boleh coba rampas kembali," kata Pek Lian tenang.

Mendengar ini, Yo Teng marah. "Koko, mengapa mendengarkan ocehan bocah? Kau tangkap yang banci itu, biar aku tangkap yang galak ini" Sambil berkata demikian, Yo Teng menubruk maju hendak me nangkap Ang Lian.

"Kucing pemakan bangkai, mana kumismu?” Ang Lian mengejek dan pedangnya ditusukkan ke depan menyambut tubrukan Yo Teng. Piauwsu ini kaget sekali, dan menyesal telah berlaku sembrono. Tak disingkanya bahwa gadis itu memiliki gerakan yang amat cepat. Namun piauwsu ini

be rkepandaian tinggi, dan cepat ia dapat menggulingkan diri ke kiri dan bergulingan di atas tanah menghindari kejaran lawan.

"Hi hi hi, belum apa-apa kucing busuk sudah gulung koming!" Ang Lian mengejek. Yo Teng marah dan kini ia sudah mencabut goloknya, senjata yang amat ia andalkan. Ejekan gadis itu mele nyapkan rasa sayangnya ke pada gadis berwajah manis ini. Sambil mengeluarkan geraman seperti singa mengaum, ia menerjang lagi, mempergunakan goloknya. Ang Lian cepat menangkis dengan pedangnya.

Tidak berani berlaku sembrono karena dari gerakan golok lawan, ia maklum bahwa piauwsu ini kepandaiannya lihai.

Sementara itu, melihat adiknya sudah mulai bertempur, Yo Seng juga mencabut golok dan berkata kepada Pek Lian.

"Menyesal sekali kau keras kepala. Terpaksa aku harus melayani tantanganmu!” Setelah berkata demikian iapun berseru keras dan goloknya be rkelebat dahsyat. Namun Pek Lian yang sikapnya tenang itu sudah siap pula dengan pedangnya. Dengan tangkas dan berani gadis berpakaian pria ini mengangkat pedang menangkis golok, bahkan cepat lakukan serangan balasan yang tak kalah dahsyatnya.

He batnya perte mpuran antara Ang Lian melawan Yo Teng

dan Pek Lian melawan Yo Seng ini. Kepandaian mereka berimbang hanya Ang Lian masih kalah kuat oleh Yo Teng yang memiliki kepandaian sama dengan kakaknya.

Sementara itu, Tiang Bu dan Ceng Ceng hanya menonton saja. Melihat jalannya pertandingan, Tiang Bu mengerutkan alisnya dan merasa khawatir akan keselamatan dua orang gadis muda itu. Keadaan Pek Lian masih tidak begitu buruk, karena ilmu pedang dari gadis ini berar-be nar  lihai sehingga tak usah kalah atau terdesak oleh lawannya, keadaan dia dan lawannya benar-benar seimbang dan masih sukar untuk menentukaa siapa yang akan kalah. Yo Seng lebih kuat dan senjatanya amat berat sehingga dalam setiap bentrokan senjata, piauwsu ini dapat melakukan tekanan-tekanan.

Akan tetapi, Pek Lian lebih lincah dan cepat maka gadis ini dapat menutup kerugiannya kalah tenaga dengan kecepatannya se hingga pedangnya seakan-akan me ngurung lawan. Yang amat menggelisahkan hati Tiang Bu adalah keadaan Ang Lian. Gadis ini biarpun lihai namun ilmu pedangnya belum sematang ilmu pedang cicinya, dan pula gerakan-gerakanya masih ceroboh, karena Ang Lian memounyai nafsu besar dan selalu menuruti nafsunya hendak cepat-cepat merobohkan lawannya, akan tetapi ternyata ia kalah setingkat oleh Yo Teng sehingga dialah yang akhirnya terdesak oleh golok lawan.

Tiang Bu melirik ke arah Ceng Ceng yang berdiri di sebelahnya. Ia melihat gadis  ayu ini berdiri  sambil menonton, agaknya tertarik dan gembira sekali, tandanya sepasang mata bintang itu tidak berkejap sejak tadi dan sinarnya berseri-seri. Benar benar denok anak ini pikir Tiang Bu dan ia kaget sekali. Lagi-lagi ada dorongan aneh dari dalam dadanya, dorongan yang hampir sama dengan dorongan selera orang kelaparan melihat makanan lezat. Dalam perantauannya, bukan jarang Tiang Bu merasa kelaparan karena berhari-hari tidak bertemu nasi, maka ia sudah sering kali merasai bagaimana nafsu se leranya timbul apabila dalam keadaan demikian itu ia mencium bau capcai goreng atau melihat ayam panggang digantung dalam

restoran. Sekarang ia kaget sekali karena semenjak bertemu dengan Ang Lian dan Pek Lian, nafsu selera yang hampir sama, bahkan lebih me rangsang, selalu timbul di dalam dadanya tiap kali ia melihat gadis cantik. Apalagi melihat wajah Ce ng Ceng dari samping ini tanpa diketahui oleh gadis itu, benar-benar membuat ia terpesona dan dia diam-diam Tiang Bu merjadi takut. Ia takut kalau dorongan yang merangsang itu akan mengalahkannya, dorongan yang mendatangkan keinginan yang maha kuat untuk menubruk dan memeluk Ceng Ceng !

"Setan bodoh!" dengan muka panas Tiang Bu menampar pipinya sendiri dan benar saja dorongan nafsu itu segera terbang pergi dan pi pinya terasa pedas panas. Akan  tetapi Tiang Bu masih terus menampari pipinya sampai e mpat lima kali.

Mendengar suara plak plak plo k di sebelahnya, Ce ng Ceng me nengok dan mata serta mulutnya tadinya terbuka lebar saking herannya, kemudian tertawa geli.

"Lho ......! Kau ini sudah kumat gendengmu ataukah memang sebangsa o.t.m. (otak miring)? Kok pipi sendiri ditampari, kalau sudah gatal ingin ditampar kenapa tidak maju saja ke medan pertempuran?"

Tiang Bu bersungut-sungut. Bocah pere mpuan ini selalu mempergunakan satiap kesempatan untuk mengejek dan menghinanya. Ia melirik dan matanya yang bundar besar itu mendelik. “Kau bisa mengejek orang, kau sendiri ini orang macam apa? Benar-benar seorang sahabat yang bagus! Dua orang kawanmu terancam bahaya dan kau enak-enak saja menjadi penonton tanpa bayar, bahkan seperti kelihatan senang melihat kawan-kawan terancam bahaya. Hah, tak tahu malu !"

"Aaahh, kau anak kecil tahu apa? Mereka itu dua lawan dua, masa aku harus turun tangan mengeroyok ? Laginya, membantu enci Pek Lian atau enci Ang Lien sebelum mereka mundur dan mengaku kalah, berarti menghina mereka. Ahh, kau ini benar -benar belum tahu apa-apa. Kasihan!"

Untuk kesekian kalinya Tiang Bu menjadi merah telinganya. Biarpun ia mendongkol, terpaksa ia mengakui kebenaran ucapan nona ini yang agaknya sudah memiliki pengalaman luas dalam dunia kang-ouw. ia me lirik ke arah muka Ceng Ceng yang berdiri di sebelah kirinya, menjadi geli melihat wajah  yang masih  kekanak-kanakan  itu berlagak tua.

"Kau berkali-kali menyebutku anak kecil" kata Tiang Bu, suaranya menyatakan kemendongkolan hati. "Padahal kau sendiri baru berusia dua belas tahun, sedikitnya aku lebih tua beberapa bulan atau setahun! Sepatutnya kau menyebutku koko (kakak) kepadaku……”

Bibir gadis itu berjebi. “Cihh, siapa sudi “

Pada  saat  itu  terdengar  suara  keras  dan  pe dang di tangan Ang Lian terlempar ole h sampokan  keras  golok Yo Teng. Ang Lian menge luarkan seruan  kaget  dan  melompat jauh sambil berseru, "Ceng moi, tolong gantikan aku !"

Entah kapan ia melompat, tahu-tahu tubuh Ceng Ceng sudah mencelat dan ujung rantingnya ditodongkan ke depan hidung Yo Teng yang hendak mengejar Ang Lian.

"Biarkan aku menawan perampok wanita itu!” Yo Teng berseru sambil mendelik kepada Ceng Ceng.

"Jangan maju hidungmu akan  rusak  !”  bentak Ceng Ceng yang tetap menodongkan rantingnya di depan hidung Ji-kim- sai Yo Teng. Marahlah Yo Teng dan ketika ia memperhatikan te rnyata gadis ini malah lebih cantik manis dari pada Ang Lian dan lebih hebat lagi. Gadis ini di pundaknya membawa dua kantong rampasan itu.

"Bagus, kau kutawan lebih dulu,” serunya menubruk maju. "Rusak hidungmu!” bentak Ceng Ceng.

"Aduhhh....!” Ji-kim-sai Yo Teng menjerit dan terhuyung- huyung ke belakang sambil me megangi  hidungnya  yang sudah berlepotan darah. Ujung hidungnya yang besar telah pecah-pecah terkena tus ukan ranting Ceng Ceng, dan biarpun ia tadi  sudah mengelak sambil  menangkis, tetap saja hidungnya rusak.

Di samping suara ketawanya dan gelak tawa Ang Lian yang merasa puas dan senang sekali melihat musuhnya dibalas, terdengar suara Ceng Ceng.

“Enci Pek Lian. t inggalkan singa kertas itu, biar aku menghadapi mereka berdua, biar lebih enak bagiku !”

Pek Lian me mang sudah merasa bingung sekali karena semenjak tadi belum juga ia dapat mendesak lawannya yang ternyata benar-benar tangguh.  Kini  melihat Ceng Ceng sudah turun tangan dan mendengar permintaannya, dengan senang hati ia melompat mundur.

Yo Teng marah bukan main. Biarpun ia tidak terluka parah yang membahayakan nyawa, namun hidung adalah benda lunak dan mudah berdarah, laginya merupakan alat penting di samping perhiasan muka yang mutlak. Kini hidungnya dirusak, tentu saja Singa Emas ke Dua ini marah bukan main. Sambil menggereng ia me mutar goloknya, te rus menerjang maju, sama sekali tidak perduli bahwa lawannya hanya seorang dara belasan tahun yang bertenjatakan sebatang ranting kecil. Akan tetapi sekali menggerakkan kakinya melakukan langkah yang aneh Ceng Ceng terhindar dari serangan Yo Teng dan ketika ranting diayun ke bawah

...... "tukk......... !!" disusul pekik Yo Teng lagi, kini dibarengi peringisan dan kaki kirinya diangkat ke atas, ke dua tangan memegang tulang kering kaki itu dan kaki kanan berloncatan.

"Aduh......... kurang ajar......... aduh !!" Orang dapat

membayangkan betapa sakitnya tulang kering dipukul sampai hitam, tidak sampai remuk atau patah akan tetapi mendatangkan rasa sakit yang membuat Yo Teng lupa akan malu lagi berjingkrak-jingkrak seperti anak kecil.

"Hi hi-hi-hi ......!" Ang Lian tertawa girang dan anak perempuan ini juga meniru-niru Yo Teng berjingkrak- jingkrak.

Melihat adiknya dipermainkan orang. Yo Seng cepat melompat maju dan baiknya ia cukup cepat sehingga ia dapat menangkis ranting yang kini sudah menyambar cepat dengan totokan ke arah dada Yo Teng.

“Tranggg……..!” Yo Seng merasa telapak tangan yang memegang gagang golok tergetar dan kesemutan. Ia kaget bukan kepalang. Bagaimana benturan golok dengan hanya sebatang ranting kecil mendatangkan rasa seperti itu? Ia lebih lebih heran me lihat betapa gadis muda  itu masih remaja puteri, tak pantas memiliki lweekang setinggi itu.

“Tahan dulu l" bentaknya sambil menyeret tangan adiknya ke belakang. Yo Seng berlaku cerdik. Karena menduga ia berhadapan dengan orang pandai, ia sengaja be rhenti hendak tahu siapakah lawannya berbareng memberi kesempatan kepada adiknya untuk memulihkan kakinya.

"Tahan tahan apa lagi! Kalian dua ekor singa kertas menjemukan sekali. Lekas pergi dari sini kalau masih sayang jiwa." kata Ceng Ceng dengan sikap angker.

"Kami sudah mengenal dua orang puteri Huang-ho Sianjin. Sekarang muncul kau ini siapakah, nona? Siapa ayahmu dan mengapa pula kau mencampuri urusan ini? Apakah kau juga ingin merampas barang barang itu?" tanya Yo Seng.

"Jangan  banyak cerewet.  Aku siapa  tak perlu kalian tahu.

Yang penting, dua orang cici ini merampas barang untuk menoIong rakyat, cukup. Dan aku yang akan menghajar kalian kalau tidak lekas lekas pergi."

“Koko, hantam saja bocah kurang ajar ini!” tiba-tiba Yo Teng berseru. Kakinya sudah tak sakit lagi dan sekarang dengan marah ia menyerbu. Yo Seng juga menggerakkan goloknya dan di lain saat Ceng Ceng sudah dikeroyok oleh kakak beradik yang di daerah Kiangse sudah amat terkenal ini.

Tiang Bu menonton dan memperhatikan ge rakan-gerakan Ceng Ceng. Ia kagum sekali karena gerak kaki dan tangan gadis ini  benar-benar luar biasa, bahkan  pada  dasarnya tidak berbeda banyak dengan ilmu-ilmu silat yang pernah di pelajari dari kake k-kakek sakti Omei-san. Siapakah gurunya dan siapa ayahnya ? Diam diam Tiang Bu ingin sekali tahu akan hal ini.

Sementara itu, kedua saudara Yo yang merasa takkan dapat me nangkan gadis luar biasa ini, se gera memberi tanda kepada murid-muridnya. Enam orang murid itu serentak mencabut golok-goloknya. Akan tetapi baru saja golok dicabut keluar dari sarungnya, tiba tiba berkelebat sesosok bayangan dan terde ngar "bayangan" itu berkata. "Tak boleh main keroyok!” Ketika bayangan itu berkelebat dari orang pertama, ke dua, dan selanjutnya, eh ….. tahu-tahu semua golok telah terbang dari tangan enam orang murid Siang- kim-sai dan telah pindah ke dalam tangan Tiang Bu yang sudah berdiri kembali di tempat semula. Kemudian dengan masih tersenyum-senyum Tiang Bu menonton pertempuran lagi.

Ceng Ceng lihai sekali. Biarpun ia sedang bertempur

dike royok dua orag yang tak sekali-kali boleh disebut lemah, matanya yang tajam itu masih dapat melihat bahwa Tiang Bu telah turun tangan membantunya melucuti enam orang lawan yang hendak mengeroyok, ia menjadi gemas dan tidak mau kalah muka. Tiba-tiba rantingnya berge rak makin ce pat lagi dan dalam enam jurus berikutnya, Yo Te ng te rlempar dalam keadaan le mas tertotok sedangkan Yo Se ng te rpaksa melompat karena goloknya terlepas dari pegangan.

Perge langan tangannya telah kena "dicium" ujung ranting yang runcing dan kalau dia tidak cepat-cepat melompat mundur, tentu ia sudah terguling.

"Hebat.” ia menjura, “kami mengaku kalah, nona. Akan tetapi kuharap nona yang memiliki kepandaian tinggi cukup bersikap gagah dan jujur, mau memperkenalkan diri kepada kami agar kami tahu siapakah yang bertanggung jawab atas perampasan barang-barang ini." 

Ceng Ceng tersenyum mengejek. "Diberi tahu namaku sekalipun kau mana kenal ? Barangkali kau sudah mendengar nama ayah. Ayahku bernama Pek-thouw-tiauw- ong Lie Kong."

"Hayaaaa .....” Teriakan ini keluar dari mulut Tiang Bu yang memandang kepada Ceng ceng dengan mulut celangap.

“Eh, kau kenapa?” tanya Ang Lien yang berdiri dekat Tiang Bu. Gadis ini tadi melihat sepak terjang Tiang Bu melucuti orang meras a kagum dan mendekat jejaka itu.

Ditegur dengan tiba-tiba oleh Ang Lian yang menggaplok punggungnya, Tiang Bu kaget dan sadar. “Tidak apa-apa,” jawabnya tenang namun hatinya berdebar tidak karuan.

Jadi Ceng Cang itu puteri Lie Kong malahan.

Juga Twa-kim-sai Yo Seng terkejut bukan main.  Tentu saja dia mengenal nama Pek-thouw-tiauw-ong Lie Kong yang boleh dibilang merajai dunia persilatan di bagian timur menjadi locianpwe atau datuk yang disegani, Ia menjadi makin gelisah karena kalau datuk itu yang merampas barang-barang kawalannya, hebat! I a cepat menjura sampai dalam dan rendah di depan Ceng Ceng yang sebenarnya bernama Lie Ceng, akan tetapi sejak kecil biasa disebut Ceng Ceng.

“Ah, tidak tahunya kami be rhadapan dengan Lie-lihiap puteri taihiap Pek-thouw tiauw-ong! Maafkan kalau kami bermata tak dapat melihat. Kalau kami mengetahui, biar matipun kami takkan berani melawan. Akan tetapi lihiap......... hendaknya diketahui bahwa barang-barang itu bukan milik sembarangan orang. Kalau milik kami sendiri tanpa dimintapun kami rela memberi sebagai tanda penghormatan kepada lihiap. Akan tetapi benda-benda itu menurut Kwee taijin adalah milik Pangeran Wanyen Ci Lun di kola raja Kerajaan Kin, dan harganya tak dapat terbeli…… Bagaimana pertanggungan jawab kami terhadap Pangeran Wanyen Ci Lun kelak........!”  Suara  piauws u tua itu betul- betul terdengar sedih dan putus asa, maka diam-diam Ceng Ceng merasa kasihan juga. Biarpun harta benda itu barang tidak halal, juga dirampasnya untuk menolong rakyat, akan tetapi orang she Yo, yang tidak berdosa ini,  kasihan juga kalau harus me nanggung akibatnya yang berat.

"Aku tidak tahu dan tidak perduli. Kami hanya melakukan perintah orang-orang tua kami. Kalau Yo piauw- su merasa pe nasaran boleh kau kelak menyusul ayah yang sekarang berada di kediaman Huang ho Sian-jin di lembah Sungai Kuning. Atau boleh juga kelak kau menemui ayah di rumah kami kalau ayah sudah pulang dari sana. Sekarang pergilah, jangan ganggu kami lebih lama legi!"

Sikap Ceng Ceng angker dan tak dapat dibantah lagi. Yo Seng tahu diri dan jalan yang ditunjuk oleh gadis muda itu memang tepat dan merupakan jalan satu-satunya baginya. Maka ia lalu mengumpulkan muri d-muridnya untuk diajak pulang dengan sikap lesu. Tak lama kemudian derap kaki kuda rombongan piauwsu ini meninggalkan tempat itu.

"Wah. adik Ceng Ceng memang hebat. Mudah saja mengundurkan mereka yang galak." Memuji Pek Lian sambil menjura. "Aku benar-benar merasa takluk, kepandaianmu makin hebat saja, adik Ceng Ceng."

"Tiang Bu ini juga hebat, kiranya tidak kalah oleh Ceng- moi„" tiba tiba Ang Lian berkata. "Enam orang piauwsu sekaligus dilucuti secara aneh."

Mendengar ini, Ceng Ceng mengerling kearah Tiang Bu dan mulutnya mengejek. “Apa sih anehnya merampas senjara dari tangan gentong-gentong nasi kosong? Lebih mudah merampas senjata dari tangan bangkai! Kesinikan dua bungkusan itu, harus aku sendiri yang membawanya!" bentaknya kemudian sambil menghampiri Tiang Bu.

Tiang Bu yang sekarang sudah tahu bahwa ayah nona ini adalah Pek-thouw tiauw-on Lie Kong yang ia cari dan bahwa orang itu kini juga berada di lembah Huang-ho, mengalah. la tersenyum dan memberikan dua buah kantong itu kepada Ceng Ceng, lalu berkata, "Aku kagum dan takluk juga menyaksikan kelihaianmu. Nah, bawalah kalau kaukehendaki.”

Setelah menerima dua bungkusan itu, Ceng Ceng lalu melompat ke atas kuda hitamnya dan berkata, “Mari kita pergi!"

Pek Lian dan Ang Lian juga melompat ke atas kuda. Melihat Ce ng Ceng melarikan kuda tanpa menoleh lagi kepada Tiang Bu, Pek Lian agak ragu-ragu. Tak terasa lagi gadis berpakaian pria itu menoleh sekilas pandang ke arah Tiang Bu, kemudian iapun mengeprak kudanya menyusul Ceng Ceng sambil berseru, “Mari, moi-moi."

Ang Lian tersenyum kepada Tiang Bu dan mengejek, "Kau mau ikut? Kenapa tidak membonceng di belakang enciku? Hi-hi, kau larilah, selamat berlari-larian." Sambil tertawa-tawa gadis itupun membedal kudanya me nyusul Ceng Ceng dan Pek Lian.

Tiang Bu tersenyum. Tak lama kemudian iapun berlari cepat dan Ang Lian sama sekali tidak heran ketika melihat bayangan Tiang lu menyusulnya dan melewatinya. Juga Pek Lian yang sudah maklum akan kepandaian pemuda ini tidak merasa heran. Akan tetapi ketika Ceng Ceng melihat bayangan pemuda ini menjajari kuda hitamnya, ia menjadi marah dan menyumpah-nyumpah, lalu kudanya dibalapkan makin cepat lagi!

Demikianlah, dengan ilmu larinya yang tinggi, Tiang Bu menyertai perjalanan tiga orang dara jelita itu menuju ke Sungai Huang-ho di utara.

-oo(mch)oo-

Mari kita tinggalkan dulu orang-orang muda itu dan menengok kejadian penting yang terjadi di atas sebuah perahu besar yang bergoyang-goyang di tepi laut selatan. Di atas perahu besar ini, dua orang sedang bercakap-cakap menghadapi meja dengan sikap bersungguh-sungguh, sedangkan dua orang muda, seorang gadis dan seorang pemuda berdiri mendengarkan percakapan mereka itu tanpa borgerak. Yang duduk bcrcakap-cakap adalah seorang setengah tua yang barpakaian seperti panglima perang dan kepalanya gundul, mukanya keren dan bersifat kejam. Yang duduk di depannya bercakap-cakap dengan dia adalah seorang nenek yang mengerikan seperti iblis, bahkan tiga ekor kelelawar yang selalu beterbangan di atas kepalanya dan kadang-kadang hinggap di pundaknya, menambah keseramannya.

Nenek ini adalah Toat-beng Kui bo, nenek aneh dari pantai selatan. Adapun panglima gundul itu bukan lain adalah Tee tok Kwa Kok Sun ! Dan pemuda- pe mudi  itu ? Yang laki-laki adalah Wan Sun dan yang wanita Wan Bi Li, putera dan pateri Wanyen Ci Lun atau wurid-murid Ang-jiu Mo-li yang sakti. Wan-Sun telah menjadi seorang pemuda tampan sekali, sedangkan Bi Li juga telah me rupakan seorang dara yang luar biasa cantiknya, demikian luar biasanya sehingga ia terkenal di kota raja sebagai seorang dara yang cantik jelita gagah perkasa. Bahkan orang-orang menganggapnya sebagai "bunga kota raja".

Benar-benar mengherankan sekali, bagaimana Wan Kok Sun manusia berbisa itu kini menjadi seorang panglima besar Kerajaan Kin dan berada di satu perahu dengan putera-puteri Pangeran Wanyen Ci Lun ? Untuk mengetahui hal ini mari kita sapintas lalu meninjau keadaan Kwan Kok Sun yang ia alami baru baru ini.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Tee tok Kwan Kok Sun Si Racun Bumi ini bersama Thai Gu Cinjin menyerbu Omei-san. Adalah siasat Thai Gu Cinjin untuk membakar pondok kakek 0mei-san itu di bagian perpustakaannya sehingga keadaan menjadi kacau balau dan Thai Gu Cinjin mendapat kesempatan untuk mencuri sebuah kitab. Kwan Kok Sun sendiri yang mendapat tugas melakukan pembakaran di sana-sini, tidak sempat pula untuk ikut-ikut mencuri kitab. Ia diberi janji oleh Thai Gu Cinjin bahwa pendela Lama Jubah Merah ini akan mengambilkan sebuah untuknya atau kalau hanya mendapat sebuah, Kwan Kok Sun juga berhak sebagian tegasnya ia boleh juga kelak mempelajari isi kitab itu.

Demikianlah setelah berhasil  mendapatkan kitab,  Thai Gu Cinjin melarikan diri bersama Tee-tok Kwan Kok Sun, berlari turun dari puncak Omei-san dan terus melarikan diri ke arah utara dengan cepat. Setelah turun gunung dan lari jauh selama setengah hari tanpa berhenti, Kwan Kok Sun dengan napas terangah-engah bertanya,

"Losuhu, bagaimana hasilnya Apakah losuhu tidak lupa untuk membawakan sebuah untukku ?"

"Tidak ada kesempatan......... tidak ada kesempatan

......... Tiong Jin Hwesio keburu datang dan siapa sanggup menandingi kakek sakti itu? Kalau pinceng tidak cepat-cepat lari tentu tidak se mpat lagi turun gunung...." Ia menarik napas panjang dan matanya melirik ke arah Kwan Kok Sun. Tee tok Kwan Kok Sun curiga sekali dan tidak percaya, akan tetapi  karena  maklum akan  kelihaian  Thai  Gu Cinjin, ia diam saja dan pada mukanya tidak terlihat tanda sesuatu. Akan tetapi dalam hatinya ia mendongkol bukan main. Ia dapat menduga bahwa hwesio Lama dari Tibet ini tentu menipunya dan tentu di dalam saku jubah yang lebar itu tersimpan entah beberapa buah kitab.

“Jadi petpustakaan itu dibakar untuk percuma saja dan semua kitab di tempat itu habis terbakar? Aduh, sayang sekali !" seru Kwan Kok Sun sewajarnya. Diam-diam ia mengatur siasat untuk mendapatkan kitab di dalam saku baju hwesio Lama itu. Biarpun belum melihat buktinya, namun Kwan Kok Sun bukanlah anak kecil dan pengalamannya dalam hal tipu-tipu muslihat orang kang- ouw, sudah cukup banyak.

Akan tetapi di lain fihak,  Thai Gu Cinjin juga  bukan orang biasa, malah kalau dibandingkan dengan Kwan Kok Sun, ia menang banyak dalam hal tipu muslihat. Thai Gu Cinjin adalah seorang tokoh yang sudah amat terkenal kecerdikannya dan ke licikannya, dan inipun Kwan Kok Sun sudah tahu. Ia mau kerja sama dengan Thai Gu Cinjin

hanya karena mengingat akan pe rsamaan daerah, juga Kwan Kok Sun berasal dari daerah barat, lebih barat dari Tibet malah.

Ayahnya, See-thian Tok-ong Si Raja Racun dari Baral adalah seorang peranakan India. Untuk turun tangan sendiri di Omei-san mencuri kitab, bagi Kwan Kok Sun merupakan pekerjaan yang tidak mungkin, te rlampau berat. Oleh karena itu ia bersedia bekerja sama dengan Thai Gu Cinjin dengan harapan, mendapatkan bagian. Akan tetapi, se perti yang sudah ia sangsikan setelah berhasil, Thai Gu Cinjin hendak menipunya.

Diam-diam Thai Cu Cinjin juga mengatur siasat untuk menyingkirkan Kwan Kok Sun. Memang kalau tidak amat terpaksa, ia tidak hendak membunuh Tee-tok Kwan Kok Sun mengingat bahwa dahulu Thai Gu Cinjin pernah menerima pelajaran dari See-thim Tok-ong ayah Kwan Kok Sun sehingga biarpun amat jauh, di antara mereka ada perhubungan persahabatan yang sudah lama. Kalau Kwan Kok Sun tidak membuat banyak ribut dan tidak mengganggunya dengan kitab yang berhasil dicurinya, cukuplah.

"Losuhu, setelah aku membantumu dalam penyerbuan Omei-s an, biarpun sayang sekali tidak menghasilkan

ses uatu, maka sekarang gil iranku untuk mohon bantuanmu seperti pernah kunyatakan sebelum kita berangkat ke Omei- san," kata Kwan Kok Sun.

"Baleh, boleh sekali. Memang bantuanmu di Omei-san harus pinceng balas. Pinceng bukan orang yang tak kenal budi. Ceritakan sahabatku, urusan apa itu di kota raja?”

"Losuhu, sesungguhnya aku mempunyai rahasia besar di kota raja Kerajaan Kin. Aku mempunyai seorang anak perempuan yang kini berada di rumah seorang pangeran besar.

Thai Gu Cinjin membelalakkan matanya dan tertawa lebar. “Ha-ha ha, Tee-tok Kwan-Kok-Sun. Dulu pernah pinceng mendengar bahwa kau mempunyai isteri akan tetapi kau juga punya anak? Ha-ha-ha, benar-benar aneh kedengarannya orang seperti kau ini bisa punya isteri dan anak. Teruskan, teruskan!"

"Isteriku meninggal dunia, meninggalkan seorang anak kecil. Karena amat sukar mengurus arak pula karena ingin sekali melihat anakku itu berada dalam perawatan baik- baik, maka aku lalu meninggalkan anakku itu di rumah seorang pangeran yang bernama Wanyen Ci Lun, di kota raja. Sampai sekarang hal itu telah terjadi tiga belas tahun lebih dan anak itu sekarang tentu berusia e mpat belas tahun. Aku ingin sekali mengambilnya kembali, akan tetapi karena rumah Pangeran besar itu terjaga kuat, aku tidak berani. Sekarang aku mohon pertolongan losuhu untuk membantu aku mengambil kembali anak itu."

“Ha-ha-ha-ha, hal semudah itu apa sih sukarnya ? Tentu saja pinceng sanggup membantumu. Jangan khawatir, sahabat. Pinceng pasti akan dapat mengambil puterimu itu.”

Demikianlah, dengan amat cerdik Kwan Kok Sun mengatur siasatnya untuk menjebak Thai  Gu Cinjin,  Apa yang diceritakan oleh Kwan Kok Sun itu memang tidak bohong dan anak yang ia maksudkan  itu bukan  lain  adalah Bi Li yang ia tinggalkan di dalam taman keluarga Wanyen Ci Lun ketika Bi Li baru berusia setengah tahun. Akan tetapi ia membohong kalau bilang bahwa ia ingin mengambil anak itu kembali. Ia tahu bahwa anak i tu kini telah menjadi  murid Ang jiu Mo-li yang lihai.

Oleh karena inilah ia hendak memancing Thai Gu Cinjin agar menculik Bi Li sehingga akan berhadapan dengan Ang Jiu Mo-li se mentara ia akan muncul sebagai penolong Bi Li agar bisa mendapat kepercayaan Pangeran Wanyen Ci Lun dan bisa berkumpul dengan anak itu.

Setelah Thai Gu Cinjin melihat bahwa Kwan Kok Sun tidak menyinggung-nyinggung soal kitab Omei-san, ia menjadi lega dan de ngan sungguh-sungguh ia ingin membantu Kwan Kok Sun menculik kembali anaknya dari gedung pangeran itu. Dengan cepat mereka melakukan perjalanan dan setelah tiba di kota raja, mere ka menanti sampai malam tiba. Sementara itu Kwan Kok Sun sudah pergi menyelidiki dan mendengar bahwa Ang-jiu Mo Li kebetulan berada di rumah Wanyen Ci Lun, ia menjadi lega. Tadinya ia khawatir kalau wanita sakti itu tidak ada. Kalau demikian halnya, tentu ia akan merubah rencananya.

Biarpun jalan masuk ke lingkungan bangunan istana terjaga kuat sekali, namun bagi orang selihai Thai Gu Cinjin dan Tee-tok Kwan Kok Sun, menyelinap masuk ke lingkungan itu bukanlah hal yang sukar. Juga penjaga- penjaga di sekeliling dinding tembok pekarangan gedung Pangeran Wanyen Ci Lun bukan apa-apa bagi mereka. Dengan ginkang me reka yang tinggi, bagaikan dua sosok bayangan iblis mereka melewati dinding tembok tanpa terlihat oleh seorangpun penjaga yang umumnya hanya memiliki kepandaian silat biasa saja. Di lain saat Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun telah berada di atas genteng rumah gedung Pangeran Wanyen Ci Lun.

Keadaan sunyi sekali karena waktu telah menjelang tengah malam dan agaknya seisi rumah telah tidur pula. Akan te tapi se orang sakti seperti Ang jiu Mo Li sudah tentu saja memiliki pendengaran yang amat tajam. Kalau orang lain masih enak pulas karena jejak kaki Thai Gu Cinjin dan Kwan Kok Sun memang tidak menerbitkan suara, adalah Ang Jiu Mo-li telah mendengar suara yang mencurigakan di atas genteng. Pendengaran wanita sakti ini sudah de mikian terlatih tajam sehingga ada seekor kucing saja berjalan di atas genteng, kiranya ia akan mendengarnya juga.

Karena itu dapat dibayangkan betapa kaget hati Thai Gu Cinjin ketika tiba tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di bawah sinar bulan ia melihat Ang-jiu Mo-li telah berdi ri di depannya!

"Ang-jiu Mo-li ...... kau di sini?" tak terasa lagi saking kagetnya Thai Gu Cinjin berseru, hatinya gelisah.

"Hemm, kiranya Thai Gu Cinjin si gundul penipu ulung yang datang malam-malam seperti seorang maling kecil. Kau mau apa?”

Thai Gu Cinjin yang memang sudah kaget dan gelisah. dibentak demikian oleh wanita sakti yang ditakutinya itu menjadi lebih gugup, "Ang-jiu Mo-li, pinceng pinceng

kesasar ........ tak tahu kau di sini “

"Penjahat berjubah pendeta. Setelah kau melakukan pembakaran yang mengacaukan puncak Omei-san, kau sekarang muncul di kota raja ini mau apa? Dan mengapa justeru tempat ini yang kaukunjungi?" Disebutnya peristiwa di 0mei-san menimbulkan akal dalam kepala Thai Gu Cinjin yang penuh tipu muslihat itu. Wajahnya segera berubah terang dan ia berkata.

"Terhadap kau mana bisa orang membohong. Ang jiu Mo- li? Sesungguhnya pince ng datang ke kota raja ini sengaja hendak menemuimu. Bukankah kau dahulu telah berhasil menggondol pergi sebuah kitab dari Omei-san?"

Ang.jiu Mo-li mengerutkan keningnya dan mata yang tajam itu memandang penuh curiga. Memang ia tidak takut sama sekali menghadapi Thai Gu Cinjin oleh karena sudah beberapa kali ia ukur kepandaian pendeta Lama ini  dan selalu menang. Akan tetapi, dise butnya perkara pencurian kitab di Omei-san itu membikin ia merasa tidak enak hati, sungguhpun dua orang kakek sakti di Omei-san telah tewas. Pengaruh nama besar dua orang kakek sakti dan luar biasa itu rupa-rupanya masih cukup hebat untuk membikin jerih hati seorang lihai seperti Aug jiu Mo -li.

"Kau membuka mulut seperti membuka peti sampah saja! Andaikata betul aku mendapatkan kitab, habis kau mau apakah? Mau merampasnya?”

“Ha ha ha, Ang- jiu Mo-li, kau selalu menganggap jahat pada pinceng. Kau harus ingat bahwa kalau pinceng tidak membakar perpustakaan di puncak Omei san, begaimana kau dapat merampas kitab dari tangan dua orang kakek sakti itu ? Sedikit banyak kau mendapatkan kitab adalah karena jasaku ! Oleh karena itulah aku datang ini untuk minta balasan kebaikanmu, mengingat akan jasa pinceng yaitu untuk meminjam kitab Omei-san itu barang satu dua bulan. Bukankah permintaan ini adil namanya ?”

Memang Thai Cinjin orangnya cerdik Begitu ketemu batunya, ia dapat mencari jalan yang lain, untuk menghindarkan diri. I a tahu bahwa takkan menang melawan Ang-jiu Mo-li dan merasa khawatir kalau kalau maksud sesungguhnya dari kedatangannya bersama Kwa Kok Sun malam itu akan diketahui oleh Ang jiu Mo-li ! Maka ia memutarbalikkan persoalan dan sengaja mercari alasan untuk menutupi maksudnya menculik anak Kwan Kok Sun yang katanya dititipkan di rumah Pangeran Wanyen Ci Lun. Diam diam Kwan Kok Sun kaget dan kagum sekali akan kecerdikan pendeta Lama ini. Ia sudah mulai khawatir kalau kalau siasatnya takkan berhasil.

Akan tetapi Ang-jiu Moli juga bukan seorang bodoh. Biarpun kemarahannya memang agak berkurang ketika mendengar kata-kata Thai Gu Cinjin yang memang masuk di akal itu, namun ia masih selalu bercuriga.

"Thai Gu Cinjin, kau pandai bicara. Kalau mau bicara tentang pencurian atau perampokan di puncak Omei-san, maka kaulah maling dan rampoknya! Kau yang membakar rumah orang, kau yang sengaja datang untuk mencuri kitab. Sudah tentu kau telah mendapatkan beberapa buah kitab.

Seperti aku andaikata mendapatkan kitab, itupun bukan pencurian atau perampasan, paling paling dapat disebut menyelamatkan kitab dari pada jadi makanan api. Kau mau pinjam kitab ? Boleh, boleh, akan tetapi kaupun harus mengeluarkan kitab Omei-san yang kaucuri untuk

kupinjam. Kita sama-sama meminjam untuk satu dua bulan, bukankah ini namanya saling menguntungkan ?"

Thai Gu Cinjin menjadi  pucat,  dan  untungnya  sinar bulan memang sudah membuat muka erang kelihatan pucat maka kepucatan mukanya, tidak kentara. Diam diam ia mengeluh di dalam hatinya. Bagaimana mungkin bertukar kitab? Ang-jiu Mo-li tentu sudah mempelajari atau sudah menghafal isi kitab yang dimilikinya, maka andaikata kitab itu hilang sekalipun tidak akan rugi.  Sebaliknya  untung kalau dapat meminjam kitab yang dikantongi Thai Gu Cinjin karena berarti mendapatkan ilmu silat tinggi yang baru. Di lain fihak, dia sendiri belum mempelajari kitab rampasannya itu, bagaimana dia bisa me mbe rikan kepada orang lain?

Juga untuk mengaku terhadap seorang seperti Ang-jiu Mo li adalah berbahaya se kali. Kwan Kok Sun yang mendengar kata-kata Ang-jiu Mo-li menjadi senang hatinya. Akan tetapi ia pura-pura ketakutan dan ke turunan See -thian Tok-ong Si Raja Racun dari barat ini cepat melompat sambil berkata dengan nada takut, "Lo suhu, mari kita pergi saja.” 

Bagi Thai Gu Cinjin, perbuatan Kwan Kok Sun ini dianggap karena takutnya kepada Ang jiu Mo li, akan tetapi bagi Ang-jiu Mo-li makin bertambah tebal dugaannya bahwa tentu Thai Gu Cinjin benar-benar telah berhasil mengambil banyak kitab Omei-san ! Memang inilah yang dikehendaki oleh Kwan Kok Sun supaya Ang-jiu Mo li terpancing dan tidak mau melepaskan Thai Gu Cinjin.

"Baik, kita pergi saja kalau Ang-jiu Mo-li tidak ingat budi dan tidak mau me minjamkan kitabnya," kata Thai Gu Cinjin yang menjadi makin gelisah karena sikap takut-takut Kwan Kok Sun tidak menguntungkan dia. Dengan cepat ia mengipatkan ujung lengan bajunya tubuhnya yang tinggi besar itu me lesat seperti terbang cepatnya menyusul Kwan Kok Sun.

“Thai Gu......... jangan pergi sebelum meninggalkan kitab- kitabmu !” Ang- jiu Mo-li berseru dan bagaikan burung walet cepatnja wanita yang lihai inipun melesat dan mengejar.

Thai Gu Cinjin memutar tongkatnya ke belakang.

Gerakan serentak ini ia lakukan untuk menyerang pengejarnya secara tiba-tiba dan dia setengah yakin bahwa biarpun Ang.jiu Mo-li lihai sekali, kiranya serangannya yang dilakukan dengan tiba tiba dan  disertai  pengerahan  te naga ini akan mengenai sasaran. Akan tetapi benar-benar hebat, dengan tangan kiri dimiringkan di depan dada dan tangan kanan dikibaskan, sikapnya agung sekali,  Ang-jiu Mo li sudah dapat menghindarkan diri dari serangan itu. Thai Gu Cinjin kaget. Belum pernah ia melihat gerakan seperti itu.

Ang-jiu Mo-li memang orangnya cantik, akan tetapi ketika melakukan gerakan tadi kelihatan agung sekali seperti seorang pandeta wanita, atau lebih tepat lagi seperti seorang de wi. Tentu saja Thai Gu Cinjin menjadi makin jerih dan ia tidak tahu bahwa yang baru saja digunakan oleh Ang-jiu Mo- li untuk mengehadapi serangannya yang dahsyat tadi adalah jurus dari ilmu Silat Kwan Im-cam-mo (Dewi Kwan lm Menaklukkan lblis) yaitu ilmu silat  yang terdapat  dalam kitab Omei-san yang diselamatkan dari  api  oleh  Ang-jiu Mo li.

Selagi Thai Gu Cinjin kebingungan, dari se belah kanan melesat bayangan  lain  dan  tahu-tahu sinar pedang yang aneh gerakannya me layang ke arah tenggorokannya. Pendeta Lama ini berkepandaian tinggi, biarpun keadaannya sangat berbahaya, namun ia  masih  dapat  menggerakkan tongkatnya dan menangkis. Pedang itu terpental dan hatinya lega. Ternyata yang me nyerangnya adalah seorang gadis tanggung yang memegang sebatang pedang. Serangan gadis ini cukup gesit dan cepat,  namun tenaganya  masih jauh kalau dibandingkan  dengan  Thai  Gu Cinjin.  Munculnya gadis ini bahkan menolong Thai Gu Cinjin oleh karena serangan pembalasan dari Ang jiu Mo-li jadi tertunda atau terhalang.

"Bi Li, mundur! Biar aku menangkap pendeta gundul ini!” Ang-jiu Mo-li berseru. Dara itu mengendurkan kejarannya dan Ang j Mo-li, gurunya melesat di sebelahnya. Akan tetapi kesempatan itu diperpunakan oleh Thai Gu Cinjin untuk melarikan diri dalam ge lap.

"Ssst, losuhu, sini ......... !" tiba-tiba dari tempat gelap terdengar suara Kwan Kok Sun. Thai Gu Cinjin yang sudah hasil meninggalkan Ang-jiu Mo-li karena terlindung dalam gelap pada saat awan menutupi bulan, cepat melompat ke arah suara itu. Tempak Kwan Kok Sun telah berse mbunyi di bawah sebuah jembatan di lingkungan istana. Kwan Kok

Sun menyambar tongkat Thai Gu Cinjin dan menarik kawan ini.

"Kau pengecut ......... meninggalkan pinceng ......... !" Thai Cu Cinjin me negurnya. "Sstt, jangan keras-keras, losuhu. Siapa tahu kalau di sini ada siluman wanita itu ?”

"Hampir celaka ......... " kata Thai Gu Cinjin berbisik.

“Kita harus dapat melarikan diri malam ini juga. Kalau lewat malam ini, besok pagi tak mungkin kita dapat keluar dari dinding yang melingkungi istana. Dan agaknya Ang-jiu Mo-li terus mengejar losuhu. Celakanya dia tahu bahwa

losuhu membawa kitab-kitab     ”

Dalam kebingungan dan kegelisahannya, Thai Gu Cinjin kurang hati-hati dan lupa bahwa ia telah menyangkal kepada Kwan Kok Sun tentang kitab Omei-san.

"Gila betul, dia hendak memaksa pinceng me ngeluarkan kitab ........” tiba-tiba ia berhenti dan memandang ke arah Kwan Kok Sun. Tangannya bergerak dan di lain saat pergelangn tangan Kwan Kok Sun sudah dipegangnya erat- erat. Akan tetapi di dalam gelap itu, biarpun kepandaiannya kalah tinggi, Kwan Kok Sun dapat melakukan ancaman balasan. Jari-jari tangannya yang penuh hawa-hawa Hek-tok (Racun Hitam) sudah menempel di lambung pendeta Lama.

`"Losuhu, jangan main main, kalau aku mati, kaupun takkan keluar dari sini dalam keadaan bernyawa. Apa maksudmu?" kata Kwan Kok Sun dengan suara lirih.

"Lepaskan tangan hitammu!” Thai Gu Cinjin membentak, suaranya mengandung ancaman hebat.

"Thai Gu Cinjin, jangan kau main curang. Aku tadinya percaya penuh kepadamu, me ngapa kau berkali-kali menipu? Bukankah selama ini aku selalu  membantumu? Kau mendapatkan kitab-kitab 0mei -san, mengapa kau membohong? Sekarang dalam menghadapi ancaman, kau masih tidak percaya kepadaku padahal aku selalu se tia dan kaulah yang curang."

Thai Gu Cinjin melepaskan cengkeramannya dan menarik napas panjang. "Kau benar, menghadapi Ang-Jiu Mo-li kita harus bersatu. Sekarang bagaimana baiknya, Tee tok ?"

“Tidak ada lain jalan, serahkan kitab-kitab itu padaku !"

"Kau gila .....!” kembali Thai Gu Cinjin menggerakkan tangannya, akan te tapi biarpun gelap, Kwan Kok Sun dapat mendengar gerakan ini dan cepat ia menyingkir sambil berkata.

"Sabaarr.......! Kalau Losuhu memberikan kitab-kitab itu kepadaku, losuhu akan selamat. Bukankah yang dicari oleh Ang-jiu Mo-li itu kitab-kitab Omei-san? Kalau losuhu menyerah kemudian dia mendapat kenyataan bahwa benar- benar losuhu tidak membawa kitab bukankah losuhu dapat keluar dari tempat itu ? Scdangkan  aku dengan  mudah dapat keluar karena memang Ang-jiu Mo li tidak ada urusan apa apa dengan aku. Lain orang aku tidak takut."

"Akan tetapi kitab itu ........ kuberikan kepadamu ?

Enak saja kau !”

"Losuhu masih tidak percaya kepadaku? bukan diberikan melainkan dititipkan. Kitab-kitab itu “

"Hanya sebuah!”

“Hemm, hanya sebuahkah ? Nah, baiklah. Sebuah kitab itu adalah hak milik kita berdua. Biarlah kubawa dulu kemudian kalau losuhu sudah dapat melepaskan diri dari Ang-jiu Mo-li, kelak kita pelaj ari bersama. Aku menanti losuhu di sebelah selatan pintu gerbang kota raja.”

“Dan kau nanti lari minggat dengan kitab itu?” kata Thai Go Cinjin me ngejek.

"Losuhu, berapakah lebarnya langkahku? Tentu akhirnya dapat  kaususul.  Sudahlah, sekarang tidak ada  waktu lagi, kau tinggal pilih saja. Kautitipkan kitab itu kepadaku dan aku me nantimu di selatan pintu gerbang kota raja, atau aku pergi meninggalkan kau dan kau boleh berebutan kitab dengan Ang-jiu Mo-li !” Setelah berkata demikian, Kwan Kok Sun hendak melangkah pergi.

Thai Gu Cinjin yang biasanya banyak tipu muslihatnya, kini tak terdaya. Memang jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri dan kitabnya hanya menuruti usul Kwan kok Sun. Kecuali itu tidak ada pemecahan lain. Kalau ia muncul dari bawah jembatan tentu akan terdapat oleh Ang-jiu Mo-li dan kalau wanita iblis itu mendapatkan kitab Omei- san dalam kantungnya, pasti ia celaka. Sebaliknya, kalau Kwan Kok Sun dapat nenyelamatkan kitab, kelak mudah saja ia mencari dan merampasnya kembali.

Pokoknya asal ia bisa lolos malam ini dari ancaman Ang jiu Mo-li.

“Nih, kaubawalah ! Lekas kau pergi dan tunggu di luar tembok kota,” katanya menyodorkan scbuah kitab yang diambilnya dari saku jubah sebelah dalam.

Kwan Kok Sun menerima kitab itu, memasukkannya ke dalam saku, lalu pergi sambil berkata. "Terima kasih atas kepercayaanmu.”

Setelah bayangan Kwan Kok Sun menghilang ke dalam gelap, Thai Gu Cinjin juga keluar dari tempat

pe rsembunyiannya dengan hati-hati. Biarpun kini ia tidak membawa kitab yang dicari-cari oleh Ang-jiu Moli, bahaya bagi dirinya tidak begitu besar lagi, namun lebih selamat dan baik kalau tidak bertemu sama sekali dengan Ang-jiu Mo-li.

Akan te tapi belum ia berlari dengan hati-hati menuju ke pintu gerbang sebelah selatan tiba-tiba seorang pemuda tampan membentaknya dengan pedang ditodongkan.

"Berhenti! Bukankah kau ini Thai Gu Cinjin yang dicari oleh guruku ?”

Sebelum pendeta lama itu menjawab, terdengar bentakan lain, merdu, akan te tapi nyaring.

“Betul dia. koko. Serang saja!” Bentakan ini dtsusul dengan berkelebatnya pedang dan dara tanggung yang tadi membantu Ang-jiu Mo-li menyerang Thai Gu Cinjin, sekarang sudah muncul lagi dan datang- datang menyerang pendeta Lama itu dengan pedangnya yang ganas! Pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Sun putera Pangeran Wanyen Ci Lun, melihat adiknya menyerang lawan lalu membantu dengan pedangnya sehingga Thai Gu Cinjin harus cepat-cepat memutar tongkatnya untuk menangkis serangan dua pedang yang cukup lihai itu.

"Sabar dulu orang-orang muda. Panggil gurumu Ang-jiu Mo-li, pinceng mau bicara dengan dia !" Dia sengaja tidak balas menyerang karena kalau sampai ia melukai orang- orang muda ini tentu Ang jiu Mo-li tidak mau mengampuninya.

Akan tetapi gadis muda itu, Wan Bi Li, yang sudah mendengar dari gurunya bahwa pendeta Lama ini jahat dan gurunya hendak mcrampas kitab-kitab Omei-san dari pendeta ini, terus menyerang sambil membentak.

“Tak usah banyak rewel. Menyerah dan serahkan kitab- kitab !"

"Pinceng tidak membawa kitab." Thai Cinjin mengelak sambil coba memberi keterangan. Hatinya mendongkol bahwa ia harus me ngalah terhadap seorang gadis seperti ini. Tentu saja ia melakukan ini mengingat bahwa Ang-jiu Moli berada di sekitar tempat ini. Kalau tidak demikian halnya, mana dia suka mengalah terhadap dua orang muda yang masih hijau seperti ini?

"Bohong ! Koko, mari kita robohkan dia, ini kehendak Nio-nio !” seru Bi Li yang menyereng terus. Wan Sun menyerang juga mendengar ucapan adiknya ini.

"Celaka, gadis setan ini berwatak seperti gurunya ”

Thai Gu Cinjin menge luh dan kembali  ia menangkis sehingga terdengar suara nyaring dan bunga api berpijar ketika dua pedang bertemu dengan tongkatnya. Kali ini Thai Gu Cinjin mempergunakan tenaga sepenuhnya untuk membikin senjata dua orang muda itu terlepas dari pegangan. Namun pedang itu tetap berada di tengan Bi Li dan Wan Sun, biarpun keduanya me rasa telapak tangannya sakil-s akit dan pedang masing-masing tadi terpental keras. Melihat ini, Thai Gu Cinjin kagum dan ia lalu me mutar tubuh, terus lari. Tak perlu ia melayani dua orang muda keras kepala ini, pikirnya. Lebih baik berusaha melarikan diri dan nanti kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li, baru bicara.

Akan tetapi ia memandang dua orang muda itu terlampau rendah kalau ia kira bisa mele paskan diri begitu mudah dari kejaran mereka. Begitu ia me larikan diri, Wan Bi  Li membentak, "Kepala gundul jangan lari !" Dan menyusul bentakan ini, menyambar beberapa peluru pat-kwa-ci dengan cepatnya ke tubuh Thai Gu Cinjin.

Pendeta Lama ini kaget sekali dan cepat ia membalikkan tubuh, mengibaskan lengan bajunya memukul  runtuh semua peluru beebentuk bundar segi delapan itu. Akan tetapi gerakannya ini tentu saja menghambat usahanya melarikan diri dan dua orang muda itu sudah berada di depannya lagi, langsung dua batang pedang yang cepat

ge rakannya menyerangnya.

"Kurang ajar!” Thai Gu Cinjin membentak. Pende ta Lama ini tidak biasa bersikap sabar, maka kali inipun ia tak dapat menahan lagi untuk tidak me mbalas serangan lawan yang mendesaknya. Demikianlah, sebelum lari lagi, ia balas menyerang dengan maksud memukul runtuh pedang dua orang lawannya.

"Thai Gu Cinjin, kau berani menyerang dia …..?” Berbareng dengan bentakan suara  ini, seekor ular hitam yang panjang menyambar ke  arah  leher Thai  Gu Cinjin untuk menggigit ! Bukan main kagetnya hati Thai Gu Cinjin, kaget, heran dan marah. "Kwan Kok Sun ......... iblis jahanam ….!” Tongkatnya diputar ke arah Tee-tok Kwa Kok Sun dan tangan kirinya menyambar ke arah kepala ular hitam untuk dicengkeram.

"Ular bagus.......... !” Wan Bi Li berseru kagum melihat "senjata” yang dipergunakan oleh Kwan Kok Sun yang tak dikenalnya itu. Karena Thai Gu Cinjin hendak mencengkeram kepala ular itu, Bi Li lalu menyerang pende ta Lama ini dengan tutukan ke arah lambung kirinya yang terbuka. Terpaksa Thai Gu Cinjin mengurungkan niatnya mencengkeram kepala ular dan tangan kirinya ditarik lagi, siku dibengkokkan dan ujung lengan baju digerakkan ke arah pedang Bi Li, terus dilibat dan dibetot. Di lain saat pedang gadis itu telah kena dirampas. Wan Sun sudah menyerang dari samping, membabat pundak lawannya, namun hanya dengan merendahkan pundaknya Thai Gui Cinjin dapat meluputkan diri. Sementara itu tongkatnya kembali sudah menyambar ke arah Kwan Kok Sun. Angin menderu keras dan sambaran tongkat ini karena dalam marahnya Thai Gu Cinjin sudah mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk merobohkan bekas kawan yang kini mengkhianatinya itu.

Tentu saja Kwan Kok Sun menjadi sibuk se kali, melompat ke sana ke mari untuk menghindarkan diri. Namun Thai Gu Cinjin mendesak terus.

Wan Bi Li yang kini bertangan kosong, mulai menyerang lawan dengan pukulan tangan dan ayunan amgi (senjata pelap) Pat-kwa-ci, sedangkan Wan Sun terus mendesak- desak dengan pedang. Namun Thai Gu Cinjin yang sudah mengambil keputusan membunuh Kwan Kok Sun, tidak melayani dua orang muda ini. Semua serangan hanya dielakkan atau ditangkis, sebaliknya semua serangan ia kerahkan untuk merobohkan Kwan Kok Sun.

“Kwan Kok Sun pengkhianat keji, kau harus mampus!" katanya berulang-ulang di antara dengusan nafas tertahan. Tongkatnya kini dipegang di bagian tengah dan dua ujungnya bergerak-gerak menyambar bergantian, mengeluarkan suara dan angin. Biarpun Kwan Kok Sun juga bukan orang lemah dan dua orang muda itu me mbantunya, tetap saja ia terdesak hebat. Dalam des akan bertubi-tubi, terpaksa Kwan Kok Sun  tak dapat  menyelamatkan  diri hanya dengan jalan mengelak,  karena tongkat  itu  yang kedua ujungnya bekerja, amat cepat datangnya.

Dalam kegugupannya ia hendak mengadu nyawa dan melihat tongkat menyambar cepat, ia melepaskan ularnya ke arah perut lawan. Ular hitam itu bukan main berbahayanya, karena sekali gigit biarpun orang berilmu tinggi seperti Thai Gu Cinjin te ntu akan mati juga. Thai  Gu Cinjin  cukup maklum akan hal itu. Ia tidak sudi mengadu nyawa dan tongkat ditarik kembali lalu sekali kemplang kepala ular hitam itu pecah berantakan! Benar-benar Thai Gu Cinjin lihai sekali dan ilmu tongkatnya bukan main kuatnya.

Dike royok oleh tiga orang lawan yang sudah termasuk

orang-orang berilmu silat tinggi, ia tidak terdesak se dikitpun juga malah mendapatkan keuntungan.

"Thai Gu Cinjin jangan kau banyak lagak!”

Bentakan ini membuat Thai Gu Cinjin merasa bulu tengkuknya berdiri karena ia me ngenal suara Ang-jiu Mo-li.

"Ang-jiu Mo-li, murid-muridmu mendesakku dan terus terang saja, pinceng tidak bawa kitab, biarkan pirccng pergi dari sini,” sambil memutar tongkatnya, Thai Gu Cinjin melompat hendak lari.

"Ang-jiu Toanio, dia itu bohong. Dia penipu besar !

Memang dia mencuri kitab- kitab Omei-san dan disembunyikan!" teriak Kwa-Kok Sun sambil melakukan pukulan dari tempat ia berdiri ke arah Thai Gu Cinjin dengan tangan. Inilah Hek tok-ciang yang lihai. Thai Gu Cinjin maklum akan bahayanya pukul an ini, maka iapun mengerahkan lweekangnya dan memutar tongkatnya di depan tubuhnya untuk menolak kembali angin pukulan beracun itu. Ang-jiu Mo li menjadi  heran, tidak tahu  me ngapa  Kwan Kok Sun tiba-tiba memihak dia dan  memusuhi Thai  Gu Cinjin. Akan tetapi ia tidak perduli dan mendengar kata-kata itu, makin besar nafsunya untuk merampas kitab-kitab itu dari tangan Thai Gu Cinjin. 

"Gundul busuk, serahkan kitab-kitab itu kepadaku kalau tidak ingin mampus!" teriaknya.

Sementara itu, Thai Gu Cinjin marah luar biasa kepada Kwan Kok Sun. Mendengar ucapan Ang-jiu Mo-li ini, ia tak dapat me njawab, bahkan sambil mengeluarkan suara gerengan ia maju menubruk Kwan Kok Sun sambil mengerjakan tongkatnya.

Betapapun tinggi kepandaian Kwan Kok Sun, namun tingkatnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Thai Gu Cinjin. Ia me ncoba untuk mengelak, namun angin pukulan pendeta Lama bermuka ungu itu membuat dia tak dapat me mpertahankan diri dan jatuh terguling. Thai Gu Cinjin memburu de ngan tongkat diangkat tinggi, siap dipukulkun ke arah kepala Kwan Kok Sun.

"Traaanggg......!" Untuk kedua kalinya pedang di tangan Wan Bi Li terlempar. Tadi. pedangnya telah terampas akan tetapi di pertempuran berikutnya, Thai Gu Cinjin lemparkan pedang itu yang dipungut kembali oleh Bi Li. Baru saja melihat betapa Kwan Kok Sun, berada dalam bahaya maut sedangkan Bi Li ingin sekali bicara tentang senjata ular dengan orang gundul ini, gadis itu tanpa  pikir panjang segera melompat dan menangkis tongkat yang hendak menghancurkan kepala Kwan Kok Sun, akibatnya

pcdangnya terlepas dari pegangan.

"Thai Gu Cinjin, kau masih tidak mau me nyerah?” Tiba- tiba sinar merah berkelebat dan Thai Gu Cinjin menjerit kesakitan. Pundaknya terkena tusukan jari -jari tangan merah. Tembuslah kulit daging dan tulang oleh jari -jari  ini dan hawa beracun dari tangan merah itu membuat Thai Cu Cinjin merasakan akan tubuhnya dibakar api neraka. Akan tetapi dasar manusia cerdik pe nuh akal. Biarpun dalam keadaan terluka hebat, Thai Gu Cinjin masih dapat melihat jalan terakhir untuk lolos dari bahaya maut.

Tubuhnya me nggelinding, tongkatnya melayang ke arah  Ang- jiu Mo-li bagaikan see kor naga menyambar.  Ketika  Ang jiu Mo-li menyampok tongkat itu dan menoleh, ternyata Bi Li telah kena dipegang lengannya oleh Thai Gu Cinjin.

“Ang-jiu Mo-li, kita tukar nyawaku dengan nyawa muridmu ini !” katanya dengan sikap tenang. Bi Li telah kena ditotok dan dalam cengkeraman Lama itu gadis muda ini suma sekali tak berdaya.

“Boleh nyawamu ditukar dengan nyawa muridku dan kitab kitabmu!” Ang-jiu Mo-li menawar.

Thai Gu Cinjin tersenyum getir. "Tidak ada kitab padaku

......”. melirik ke arah Kwan Kok Sun, penuh ancaman. Dia juga tidak berani membuka rahasia tentang kitab yang dititipkan kepada Kwan Kok Sun karena kwatir akan terampas oleh Ang-jiu Mo-li. Kelak mudah ia mengambil kitab itu berikut nyawa Tee tok Kwan Kok Sun.

"Sun ji (anak Sun), kauperiksa saku-s aku jubahnya." Ang-jiu Mo-li memerintah muridnya. la tahu bahwa kalau ia menggeledah Thai Gu Cinjin tentu takkan mau terima. Wan

Sun melangkah maju dan benar saja, digeledah oleh pemuda

ini Thai Gu Cinjin hanya tersenyum mengejek.  Wan Sun tidak mendapatkan apa-apa dari semua saku jubah pendeta Lama itu.

“Tidak ada kitab, Nio-nio," kata pemuda itu kepada gurunya. Ang-jiu Mo-li mengerutkan keningnya, tanda bahwa hatinya kecewa sekali.

"Pergilah, Thai Gu Cinjin dan lepaskan muridku," katanya. Thai Gu Cinjin tahu bahwa ucapan Ang-jiu Mo-li dapat dipercaya penuh, maka ia membebaskan totokannya atas diri Bi Li dan melepaskan gadis itu sambil tersenyum puas. Lalu ia menoleh kepada Kwan Kok Sun. “Mari keluar membikin perhitungan !"

Akan tetapi Kwan Kok Sun tidak memperdulikannya. "Keluarlah sendiri, aku tidak ada urusan dengan kau !"

"Jahanam........!”  Thai GI  Cinjin me nggerakkan tongkatnya. Biarpun pundak kirinya terluka hebat namun dengan tangan kanan memegang tongkat, ia masih

be rbahaya sekali.

"Thai Gu Cinjin, kau tidak lekas-lekas pergi dari sini?

Jangan tunggu aku berubah pikiran!” Ang-jiu Mo-li membentak. Wanita sakti ini memang ingin membantu Kwan Kok Sun karena ia mempunyai harapan mendengar dari Racun Bumi ini  tentang kitab-kitab Omei-san  yang dicuri oleh Thai Gu Cinjin.

Sambil menahan marah dan sakit Thai Gu Cinjin tak berani membantah lalu pergi dari situ dengan cepatnya. Setelah pendeta Lama pergi, Kwan Kok Sun mendekati Bi Li, di bawah sinar bulan ia menatap wajah gadis ini dengan penuh kasih sayang.

“Sama benar dengan ibunya......... serupa lihat mulut dan mata itu ......” tiba-tiba Kwan Kok Sun menangis terisak- isak.

“Iiihhh, kau kenapakah ?" kata Bi Li terheran-he ran.

Juga Ang-jiu Mo-li melangkah melangkah maju mendekati melihat sikap aneh dari orang gundul ini. Sebagai seorang tokoh kang-ouw, Ang-jiu Mo-li selalu menaruh curiga terhadap orang-orang seperti Tee tok Kwan Kok Sun ini.

Pada saat itu banyak orang datang berlari. Mereka ini adalah para pengawal istana dipimpin sendiri oleh Pangeran Wanyen Ci Lun isterinya yang gagah, Gak Soan Li. Biarpun guru dan dua orang muridnya itu melakukan pengejaran terhadap Thai Gu Cinjin secara diam-diam tanpa minta bantuan para pengawal yang banyak terdapat di istana, namun suara ribut-ribut tadi akhirnya terdengar juga oleh para pengawal. Juga Wanyen Ci Lun dan isterinya mendengar lalu mereka ikut me ncari ketika melihat bahwa kamar kedua orang anaknya kosong.

“Ada terjadi apakah?” tanya Gak Soan Li sudah menyiapkan sebatang pedang di tangan, wajahnya menjadi tenang dan lega melihat putera-puterinya selamat.

"Eh kau di sini? Bukankah kau putera See-thian Tok-ong

...... !" Pangeran Wanyen Ci Lun bertanya ketika melihat Kwan Kok Sun yang dulu sudah sering kali ia jumpai (baca Pe dang Penakluk Iblis).

Kwan Kok Sun yang menghe ntikan tangis melihat kedatangan banyak orang, lalu menjura kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dengan hormat dan berkata.

"Hamba sengaja datang hendak berlemu dengan Taijin membicarakan hal yang sangat penting." Sambil berkata demikian, Kwan Kok Sun melirik ke arah Wan Bi Li.

Wanyen Ci Lun menoleh kepada Ang-jiu Mo-li, dengan sinar matanya minta nasihat wanita sakti itu.

"Tidak ada apa-apa, semua sudah beres Saudara-saudara pengawal dan penjaga harap bubaran, tidak ada bahaya apa- apa di sini. Di harap Taijin pulang bersama Bi Li dan Sun-ji, kalau Kwan Kok Sun ini hendak bicara dengan Taijin, bole h saja biarkan dia ikut. Aku akan menjaganya."

Maka berakhirlah ribut-ribut tadi, sedangkan Thai Gu Cinjin biarpun sudah terluka mudah saja ia lari keluar dari tembok istana melalui para penjaga yang hanya melihat bayangan besar berkelebat dan lenyap. Adapun Pange ran Wanyen Ci Lun dan anak isterinya segera kembali ke gedung mereka diikuti oleh Kwan Kok Sun yang senantiasa diawasi gerak-geriknya oleh Ang-jiu Mo-li.

Setiba mereka di gedung, Bi Li dan Wan Sun disuruh tidur oleh ayah mereka. Kemudian Wanyen Ci Lun dan is terinya mengajak Kwan Kok Sun dan Ang-jiu Mo-li ke kamar tamu. “Nah, ceritakan apa kehendakmu. Kwan-sicu" tanya Wanyen Ci Lun tak sabar.

“Tadinya aku hendak menyimpan rahasia ini, akan terapi apa dayaku.  Thai  Cu Cinjin yang jahat  itu telah memaksa aku membuka rahasia. Tadinya Thai Gu Cinjin mempunyai niat jahat, hendak membasmi keluarga Wanyen Taijin ”

"Mengapa ?” tanya Ang-jiu Mo-li tajam, tidak gampang percaya begitu saja.

"Dia diam-diam telah diperalat oleh Temu Cin raja bes ar orang Mongol," jawab Kwan Kok Sun cepat tanpa ragu-ragu karena memang sudah ia atur lebih dulu.  "Karena tahu bahwa kedudukan Wanyen Taijin di sini amat berpengaruh dan besar, maka Temu Cin menyuruh Thai Gu Cinjin untuk membasmi keluarga Wanyen seluruhnya untuk melemahkan kedudukan Kerajaan Kin yang akan diserbunya.”

"Dan kau ikut dengan dia untuk membantunya?" suara Ang-jiu Mo li me ngandung ancaman.

“Ah, tidak ......... tidak.......! Memang kepada Thai Gu Cinjin aku bcrjanji hendak membantunya, Akan tetapi sebenarnya aku untuk mencegah dia turun tangan, atau setidaknya mencegah dia membunuh puteri keluarga Wanyen."

"Apa sebabnya, Kwan sicu?” Wanyen Ci Lun bertanya cepat-cepat dan Gak Soan Li memandang penuh perhatian.

Kwan Kok Sun menarik napas panjang "Apa boleh buat, terpaksa aku membuka rahasia. Perkara sudah terlanjur begini. Wanyen Taijin, sesungguhnya pateri paduka, nona Bi Li itu, adalah anakku."

Terbelalak besar mata Wanyen Ci Lun dan isterinya.

Mereka terkejut, seakan-akan baru sekarang mereka tahu bahwa sesungguhn Bi Li bukanlah anak mereka sendiri!

Sudah lupa pula mereka akan kenyataan itu, karena bagi mereka lahir batin Bi Li sudah menjadi anak sendiri. Hanya Ang-jiu Mo-li yang bersikap tenang. Wanita sakti ini sudah pernah mendengar ce rita tentang keadaan Bi Li yang aneh dan diapun diberi tahu bahwa Bi Li sesungguhnya bukan puteri kandung suami isteri ini. Akan tetapi Ang-jiu Mo-li tidak begitu mudah percaya akan pengakuan orang seperti Kwan Kok Sun. Searanya tegas dan menakutkan ketika ia bertanya.

“Mudah saja kau mengaku-aku anak orang. Kalau kau bisa bilang bahwa Bi Li muridku itu anakmu, hayo katakan apa buktinya?”

Mendengar ini, Wanyen Ci Lun dan isterinya sadar.

Pangeran itupun segera berkata, “Betul, Kwan-sicu. Apa buktinya bahwa dia anakmu?” Ia mengharapkan orang

gundul itu takkan bisa menj awabnya. Ia me ngharap jangan ada orang lain di dunia ini akan mengakui Bi Li sebagai anak!

Akan tetapi Kok Sun tidak menjadi gugup menghadapi serangan pertanyaan ini. Ia me narik napas panjang dan berkata, “Memang sudah kuduga bahwa aku akan menghadapi hal yang sulit apabila tiba masanya akan mengakuinya sebagai anak. Oleh karena itu aku sengaja memberi tanda. Anak itu di punggungnya, di kanan kiri tulang punggung agak bawah, terdapat dua tanda bintik merah. Dulu sebesar biji teratai, sekarang mungkin lebih besar mengikuti pertumhuhan badannya. Dari dua bintik merah ini keluar bau harum yang aneh. Tidak betulkah ini?”

Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li mengeluarkan seruan tertahan. Ang-jiu Moli yang tidak tahu akan hal itu bertanya kepada Gak Soan Li, "Betulkah itu?”

Gak Soan Li hanya bisa mengangguk penuh keharuan sedangkan Wanyen Ci Lun menjawab kepada Kwan Kok Sun. "Tepat sekali keterangan itu! Akan tetapi aku masih belum dapat percaya betul. Kalau betul kau ayahnya,  kau tentu dapat menceritakan apa yang menyebabkan bintik-bintik merah itu dan siapa ibunya kemudian mengapa pula anak itu bisa berada di sini bersama kami.”

Ang-jiu Mo-li mengangguk-angguk sctuju. Memang sebelum mempercayai keterangan orang seperti Kwan Kok Sun ini harus lebih dulu, mendapatkan penjelasan dan bukti-bukti yang kuat. Bi Li yang cantik jelita seperti bidadari itu anak setan gundul ini? Sungguh sukar dipercaya, kata hati Ang-jiu Mo-li.

"Betul, kau harus dapat menceritakan semua itu semua dengan jelas !” katanya memperkuat permintaan Wanyen Ci Lun. Dan tiba-tiba Kwan Kok Sun menangis! Semua orang menjadi terheran-heran.

“Apa-apaan ini ? Apa kau sudah gila?” bentak Ang-jiu Mo-li hilang sabar.

Tangis Kwan Kok Sun tidak dibuat-buat melainkan mengguguk seperti anak kecil mengharukan hati Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li. Apalagi Wanyen Ci Lun yang sudah mcngenal watak Kwan Kok Sun. Orang seperti ini, yang menjadi putera raja racun yang amat jahat, sampai dapat menangis begitu sedih, batinnya benar-benar berduka.

"Ah....... aku teringat kepada dia ......... ibu anak itu ”

Ia berusaha keras untuk mengatasi keharuan hatinya dengan menggigit bibirnya sampai berdarah. Setelah mengusap darah di bibirnya dan air mata di pipi, orang gundul ini bercerita singkat.

"Anak itu lahir ibunya meninggal dunia. Dengan susah payah aku memeliharanya. akan tetapi aku seorang kasar bagaimana bisa memelihara seorang bayi? Pertolongan ibu- ibu muda di kampung-kampung memang bisa menyambung nyawa anak itu sampai be berapa bulan. Akan tetapi aku

be rpikir bahwa kalau anak itu terus me nerus ikut aku, dia akan menjadi apakah? Aku seorang perantau, miskin tiada sanak kadang tiada pondok. Maka aku lalu teringat kepada Wanyen Taijin, seorang bangsawan yang sudah kukenal betul keadaan hatinya. Nah, timbul dalam kepalaku untuk menitipkan anakku kepada Wanyen Taijin tetapi aku tidak be rani berterang oleh karena aku takut kalau-kalau ditolak permintaanku. Lalu kutinggalkan begitu saja anakku itu di dalam taman bunga di belakang rumah gedung ini.

Aku yakin bahwa dengan cara demikian mau tidak mau Wanyen Taijin tentu akan memeliharanya. Dan ternyata dugaanku betul. Anak itu terpelihara baik-baik, menjadi terpelajar, pandai dan. ...... dan cantik jelita seperti ibunya.......” Kembali ia menangis terisak-isak.

“Ninti dulu,” kata Ang-jiu Mo-li. “Kau belum menceritakan bagaimana tentang dua bintik merah di punggungnya itu."

(Bersambung jilid ke XIV.)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar