Tangan Geledek Jilid 12

Jilid 12

SETELAH membalik-balik lembaran kitab itu beberapa lama sampai halaman terakhir, Tiang Bu  melangkah  maju dan memberikan kitab itu kepada Toat-beng Kui-bo sambil berkata, 'Memang kitab ini lebih cocok untuk ciampwe, biarlah locianpwe pinjam sampai se puluh tahun'

Toat-beng Kui.bo tertawa cekikikan. "Sepuluh tahun lagi kau masih muda, belum patut membaca ini. Tunggu sampai kau tua, aku kembalikan kitab ini padamu, Tiang Bu.”

Tiang Bu yang tidak terlalu memperhatikan kitab seperti itu, menganggap kata-kata ini hanya main main saja. maka iapun tidak mau banyak membantah.

"Mudah mudahan  dengan kitab ini locianpwe akan mendapatkan jalan utama yang bersih, maafkan aku telah mengganggu  waktu locianpwe  yang  berharga." Setelah berkata demikian, Tiang Bu mengundurkan diri dan keluar dari  gua itu.  Ia   harus berlari  cepat   kalau tidak  mau kemalaman  di  daerah  berbahaya   ini.   Berkat  ginkangnya yang luar biasa, ia berhasil tiba di tempat ia bertemu dengan Sin Hong  tadi,  tepat pada saat malam tiba dan gelap menyelimuti bumi. Ketika ia tengah mencari-cari sambil menengok ke sana-sini tiba-tiba muncul Sin Hong.

"Kau   sudah kembali?   Cepat amat! Apa kau sudah bertemu dengan Toat-beng Kui-bo?" Tiang Bu mengangguk.

"Dan kau tidak apa-apa? Apakah kitab itu sudah kauminta?"

Tiang Bu menggeleng kepala. "Kitab itu ternyata kitab pelajaran menyucikan hati sungguh sebuah kitab yang tepat untuk Toat beng Kui-bo. Aku sudah meminjamkannya padanya agar ia baca untuk bekal menghadapi alam baka."

Sin Hong terkejut dan menghela napas berulang-ulang. "Mudah-mudahan benar begitu. Tiang Bu malam telah

tiba.  Mari  kau  bermalam  di  pondokku,  besok  kau  baru

melanjutkan perjalanan. Kita bisa bercakap-cakap."

Tiang Bu mengangguk, lalu mengikuti Sin Hong. Ternyata Sin Hong dan isterinya telah membangun sebuah pondok sederhana, di tepi sungai. Kedatangan Tiang  Bu  disambut oleh Li Hwa dengan gembira. Tadinya diam-diam Li Hwa merasa gelisah juga mendengar bahwa pemuda itu menghadap "Ibunya" dan merasa khawatir kalau-kalau sikap Tiang Bu yang polos dan berani itu akan memarahkan hati Toat-beng Kui-bo. Akan tetapi ternyata pemuda ini malah meminjamkan kitab Omei-san itu kepada Toat-beng Kui-bo dan bahkan sedikitpun pertempuran tidak terjadi di gua-gua menyeramkan itu.

Malam hari itu Tiang Bu bercakap-cakap dengan Wan Sin Hoag. Baru sekarang ia mengenal kepribadian Wan Sin Hong dan Tiang Bu menjadi kagum sekali. Kata-kata yang keluar dari mulut pendekar besar ini membuat Tiang Bu  merasa malu kepada diri sendiri dan ia me rasa manyesal sekali atas sikapnya yang sudah-sudah terhadap Sin Hong, sikap kasar dan kurang ajar. "Tiang Bu, kau harus tahu bahwa bukan sekali-kali aku sengaja  menyimpan rahasiamu karena maksud  buruk. Ketahuilah, bahwa aku telah berjanji bahwa hal ini akan kurahasiakan. Janji seorang laki-laki harus dipegang teguh dan diikat dengan nyawa. Janji baru bisa putus kalau nyawa juga putus. Di samping ini semua, aku tidak me lihat sesuatu kebaikan  dalam  pembukaan rahasia ini. Masa depanmu amat suram-muram apabila kau tetap hendak mengetahui rahasia itu. Kau harus tahu bahwa semenjak kecil, semenjak kau baru lahir, kau rudah dipelihara oleh ayah bundamu yang sekarang di Kim bun-to, dan kau tentu mengerti pula bahwa ayah bundamu itu  mencintaimu  seperti kepada putera sendiri. Oleh karena itu, apa perlunya kau berkukuh hendak mengetahui rahasia itu?”

"Wan siok-siok, memang betul apa yang kauucapkan itu. Ayah dan ibu di  Kim-bun-to penuh kasih sayang kepadaku dan hal ini ku akui. Selamanya akupun akan menganggap mereka sebagai ayah bunda sendiri. Akan tetapi          tentang

orang she Liok itu....., ingin mendengar ceritanya bagaimana dia mengaku sebagai ayahku, dan lebih  hebat lagi.....

mengapa pula Wan-siok-siok membenarkan pengakuannya itu. Aku penasaran dan hidupku selanjutnya akan tersiksa hebat apabila siok-siok tidak menjelaskan, siapakah sebenarnya ayah bundaku dan mengapa semenjak kecil aku ditinggalkan di Kim-bun-to."

Sin Hong menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. "Aku tidak dapat me mbuka rahasia  itu,  Tiang Bu."

"Tiang Hu," kata Li Hwa dengan suara hal us. "pamanmu adalah seorang laki-laki sejati.  Dalam rahasia  riwayatmu itu te rselip hal-hal yang amat  berbelit-belit,  dan  menceritakan satu harus menceritakan dua dan  sekali  membuka  rahasia itu maka akan terbuka semua rahasia yang amat amat

tidak menguntungkan kau sendiri. Kau tentu tahu bahwa sebagai seorang gagah yang menjunjung tinggi pribudi, pertama-tama janji harus dipegang teguh, kedua kalinya, pantang membuka rahasia yang akan mencemarkan nama orang-orang, apalagi orang-orang yang menjadi sahabat- sababat baik." Li Hwa menghela napas lalu menyambung kata-katanya. "Tadi ketika kau pergi, kami sudah mengambil keputusan bahwa rahasia ini tetap takkan kami buka pada siapapun juga, biarpun untuk itu kami akan menghadapi maut. Hanya masih ada jalan yang dapat kami tunjukkan kepadamu."

Menghadapi alasan-alasan yang dikemukakan oleh Sin Hong dan Li Hwa, akhirnya hati Tiang Bu menjadi lemas. Tentu saja mendengar ada jalan lain, ia menjadi gembira sekali.

"Bagus sekali! Jalan apakah itu? Harap se gera diberitahukan kepadaku."

"Kau pergilah ke kora raja Kerajaan  Kin  utara.  Di sana ada seorang sahabat bernama Pangeran Wanyen Ci Lun ”

kata Sin Hong yang mcnyambung kata-kata Li Hwa.

"Aku sudah kenal pangeran itu!" Tiang Bu memotong. Sin Hong terkejut sekali, juga Li Hwa melengak. "Kau ?

Sudah kenal dengan Pangeran Wanyen Ci Lun ?”

"Sudah, ketika aku merantau bersama Bu Hok Lokai  di kota raja. Bahkan aku ditolong oleh  Pangeran  Wanyen  Ci Lun, akan tetapi pertemuan itu hanya sebentar." Dengan singkat Tiang Bu menceritakan pengalaman dahulu ketika ia dirampas kembali Pat kek Sam-kui.

"Betul, dia itulah Pangeran Wanyen Ci Lun sahabat baikku atau ........... masih saudara misanku sendiri.”

Tiang Bu mengangguk. "Pantas saja siok-hu serupa benar dengan dia," kata pula Tiang Bu.

"Kau jumpai dia dan kau  bantulah.  Dia  itu  orang  baik dan kiranya pada masa datang ini dia memerl ukan bantuan seorang seperti   engkau. Setelah kau  membantunya mendapat kepercayaannya baru kau keluarkan isi hatimu, ceritakan  siapa sebenarnya  dan  bahwa kau mengabdi kepadanya  atas  permintaanku. Kemudian  kauserahkan suratku. Kiranya dia tentu akan suka membuka  semua rahasia ini. Hanya satu hal yang kau harus tahu. Dia itu orang baik, dia juga tersangkut dalam rahasla ini, juga isterinya. Kau harus membela mereka itu dengan seluruh kesetiaanmu.”

Biarpun tidak mengerti, namun Tiang Bu mengangguk- angguk dan hatinya agak lega betapapun juga, kini terbuka jalan baginya dan ia tidak membantah.

Setelah mendapat petunjuk dari Wan Sin Hong bahwa untuk membongkar rahasta riwayat hidupnya ia harus pergi ke kora raja Kin dan mengabdi kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Tiang Bu merasa lega. Biarpun dari Sin Hong sendiri ia tak dapat membuka rahasia itu, namun mendengar alasan Sin Hong yang tepat dan mengandung pelajaran tentang kegagahan, Tiang  Bu   merasa tunduk   dan tidak berani memaksa. Mereka bertiga, Tiang Bu, Wan Sin Hong dan Siok Li Hwa, bercakap sampai jauh malam.

Bahkan setelah Li Hwa mengundurkan diri ke dalam kamar untuk mengaso, Tiang Bu masih terus diajak bercakap-cakap oleh Sin Hong. Selain amat tertarik dan suka kepada pemuda luar biasa ini, juga Sin Hong "menjajaki" hatinya. Ia sengaja memancing-mancing dalam percakapan itu untuk menjenguk isi hati dan watak pemuda kalau-kalau ada sedikit persamaan dengan ayahnya, Liok Kong Ji manusia jahat seperti iblis  itu. Namun ia merasa lega karena didengar dari kata-katanya maupun dipandang dari sinar mata dan gerak geriknya. pe muda ini cukup "bersih".

Sebaliknya di lain fihak, Tiang Bu kagum dan makin tunduk terhadap Wan Sin Hong pendekar besar yang semenjak kecil sudah sering kali ia mendengar namanya dipuji-puji oleh ayah bundanya, yaitu Con Hong Kin dan Go Hui Lian. Sekarang ia tahu bahwa pendekar ini memang patut dipuji. Selain memiliki ilmu silat yang tinggi. juga ilmu pengobatan yang luar biasa. Di samping ini  ternyata pandangannya luas, pertimbangannya masak, wataknya mencerminkan watak  kesatria perkasa yang menjunjung tinggi kegagahan dan kebajikan.

Sampai malam berganti pagi dua orang ini masih duduk berhadapan bercakap-cakap. Orang-orang dengan lweekang setinggi yang mereka miliki. memang tidak terganggu  ole h lapar, haus dan kantuk. Mereka me miliki daya tahan yang tidak seperti manusia. Tidak minum atau tidak tidur sepekan saja, bagi mereka bukan apa-apa.

"Wan-siok-siok. masih ada satu hal lagi yang aku ingin mengetahui. yaitu tentang anak perempuan yang ikut dengan siok-siok ke Omei-san itu. Kalau aku tak salah ingat, wajahnya seperti adikku Lee Goat."

"Memang tak salah dugaanmu, dia itu Coa Lee Goat, adikmu.” Wajah Tiang Bu berseri, matanya bersinar-sinar. "Aduh, dia sudah besar. Ilmu silatnya lihai, dia cantik manis sekali........... Lee Goat adikku." Tiba-tiba saja seri mukanya lenyap terganti bayangan kecewa. "Akan tetapi mengapa

dia menyangkal namanya ketika kutanya ?"

"Dia tidak tahu bahwa kau kakaknya yang telah meninggalkan rumah semenjak dia masih berusia dua tahun, dan memang aku melarangnya memperkenalkan nama ketika ia kuajak ke Ome i-s an untuk menjaga perbuatan orang jahat."

"Dia sekarang di mana siok-siok ? Kenapa tidak ikut ke sini? Aku ingin sekali bicara dengan adikku ...... " kata Tiang Bu penuh rindu kepada adiknya yang amat ia sayang itu.

"Dia berada di Kim bun-to. Ketika aku mencari  bibimu yang ikut pergi dengan Toat-beng Kui-bo ke sini, lebih dulu aku mengantar pulang muridku itu. Dalam perjalanan menghadapi bahaya, tentu saja aku tidak  mau  membawa dia."

"Aku akan pulang, aku ingin bertemu ayah bunda dan adikku !" Suara  Tiang Bu  terdengar  penuh  keharuan ketika ia berkata demikian, seperti seorang anak anak yang sudah amat rindu akan rumahnya. Akan tetapi ia se gera dapat menguasai hatinya dan sikapnya tenang lagi ketika ia bertanya.

"Wan siok-siok, hari  ini  aku akan meninggalkan tempat ini. Masih ada lagi  permohonanku  kepadamu,  yaitu  angin aku tahu dimana tempat tinggal orang orang yang telah mencuri kitab-kitab Omei-san. Aku harus datangi mereka itu seorang demi seorang untuk merampas ke mbali kitab-kitab suhu."

"Mereka itu siapa?"

"Yang harus kucari adalah Ang-jiu Mo-li, Thai Gu Cinjin, Tee-tok Kwan Kok Sun, Pe k-thouw-tiauw-ong Lie Kong, dan

........ Liok Kong Ji ….. dan seorang tosu  kaki  buntung datang bersama Liok Kong Ji. Mereka semua menurut suhu telah mencuri masing-masing sebuah kitab, juga Toat-beng Kui bo yang sudah kube reskan."

Sin Hong nampak terkejut mendengar  nama-nama  ini, lalu menarik napas panjang.

“Hebat. ...... kau masih semuda ini sudah me mikul tugas seberat itu. Kau malah lebih berat dari  pada aku  dalam hal ini. Orang-orang yang kausebutkan namanya itu semua adalah tokoh-tokoh tingkat paling tinggi di dunia kang-ouw. Dan kau harus mencari dan melawan mereka? Setiap orang dari mereka sudah merupakan lawan yang amat lihai. Aah, Tiang Bu dengan pengalamanmu yang masih hijau, bagaimana kau  mampu   menghadapi   mereka?”   Sin  Hong be nar-benar merasa gelisah apalagi kalau ia teringat akan bahaya para musuh anak itu dalam hal penggunaan senjata- senjata berbisa. Mungkin dalam hal ilmu silat, bocah yang sudah mewarisi kepandaian dua orang sakti dari Omei-san ini akan kuat menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun. Akan tetapi kalau orang-orang itu mempergunakan kecurangan, mempergunakan senjata rahasia yang berbisa umpamanya, bagaimana Tiang Bu akan dapat menang?

“Tiang Bu, dalam hal ilmu silat kiranya tidak ada yang dapat kuajarkan kepadamu yang melebihi apa yang sudah kaupelajari, akan tetapi kalau kau suka, aku bisa ajarkan baberapa cara pengobatan untuk menghadapi serangan- serangan  lawan  yang  mempe rgunakan  se njata-senjata rahasia berbisa. Tinggallah beberapa hari di sini mempelajari dan aku akan merasa tenang dan tenteram  melihat  kau turun dari sini sudah membawa bekal kepandaian itu."

Memang inilah  yang diharap-harapkan Tiang Bu. Sebelum meninggal dunia, Tiong Jin Hwesio juga sudah memberi anjuran agar supata ia menjadi murid Wan Sin Hong  dalam  ilmu   pengobatan.  Akan tetapi  setelah perlakuannya yang kasar terhadap Sin Hong, Tiang Bu tidak berani membuka mulut minta diangkat murid. Sekarang, atas kehendaknya sendiri  Sin Hong hendak me mberi pelajaran tentang ilmu pengobatan, serta merta Tiang Bu menjatuhkan diri berlutut.

“Atas kemurahan hati Wan.siok-siok mengangkat murid kepada siauwtit yang bodoh siauwtit merasa berterima kasih sekali “

“Hush, bangunlah kau.” Sin Hong berkata tersenyum sambil mengangkat bangun pemuda itu. “Di antara paman dan keponakan, mana ada aturan sungkan-sungkan ? Kau tidak menjadi muridku, Tiang Bu, melainkan tetap sebagai keponakan. Asal kelak kau me njadi manusia utama dan pendekar berhati mulia, pamanmu ini sudah merasa girang dan bahagia sekali."

Demikianlah, dengan tekunnya Tiang Bu menerima petunjuk-petunjuk dari Sin Hong selama sepekan. Sin Hong menerangkan segala yang berhubungan dengan racun yang biasanya dipergunakan oleh orang kang-ouw, juga berbagai macam pukulan yang mcngandung hawa berbisa seperti Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam)  yang  dipergunakan oleh Tee tok Kwan kok Sun dam Liok Kong Ji atau tangan merah dari Ang.jiu Mo-li. Ke mudian ia  menjelaskan  satu demi satu tentang cara pengobatan kalau terkena pukulan- pukulan berbisa ini.

Tak lupa Sin Hong menerangkan tentang cara mengobati luka bekas gigitan binatang-binatang berbisa yang paling berbahaya. Karena otak Tiang Bu memang cerdas dan ingatannya kuat, maka dalam waktu sepekan ia telah dapat menghapal semua pelajaran itu. Namun Sin Hong masih belum puas, maka ketika Tiang Bu turun dari bukit batu karang itu, ia membe ri sebuah buku catatan  kepada  Tiang Bu, sehingga apabila perlu dan terlupa, pemuda itu dapat mencarinya di dalam buku itu.

"Jangan   kau   bilang   kepada   siapapun   juga   bahwa   aku dan isteriku berdiam di sini. Tiang Bu. Aku sendiripun sedang menghadapi sesuatu yang sulit, dan mudah- mudahan tidak lagi kami juga akan turun dari tempat ini, kembali ke dunia ramai," pesan Sin Hong dengan suara perlahan.

Tiang Bu tidak tahu apakah kesulitan yang dihadapi oleh Sin Hong itu, akan tetapi ia berjanji akan menanti pesan paman atau gurunya itu. Kemudian pemuda ini turun dari bukit batu karang, mulai dengan perantauannya yang akan membawa ia menghadapi berbagai macam pengalaman hebat.

Ia telah mendapat petunjuk dari Sin Hong tentang tempat kediaman orang-orang hendak dicarinya. Menurut keterangan Sin Hong. Ang jiu Mo-li tokoh  Utara  itu  kini sering kali muncul di  kota  raja Kerajaan  Kin,  Liok Kong Ji dan tosu kaki buntung itu sudah tentu berada di utara di antara orang-orang Mongol dan hal ini sudah diketahui oleh Tiang Bu sendiri. Thai Gu Cinjin adalah seorang tokoh pendeta Lama  jubah  merah,  sudah  tentu bertempat tinggal di daerah Tibet. Tentang Kwan Kok Sun, Sin  Hong sendiri tidak dapat menentukan di mana tempat tinggalnya, akan tetapi Tiang Bu pernah melihatnya di dekat kota raja Kerajaan Kin pula, bahkan gurunya, Bu  Hok  Lokai,  juga tewas ole h Tee-tok Kwan Kok Sun ini.

Adapun Pek-thouw-tiauw-ong  Lie  Kong  dan isterinya adalah tokoh-tokoh pantai timur dan tinggalnya di sekitar daerah Kiang-su, dimana surgai besar Yang ce -kiang memuntahkan airnya ke dalam laut.

Karena perjalanan Tiang Bu meninggalkan Ban-mo-tong yang berada di ujung selatan itu menuju ke utara, maka di antara orana-orang yang hendak dicarinya itu, Pek-thouw- tiau-ong Lie Kong, adalah orang yang paling dekat tempat tinggalnya,  maka    ke    Kiang-se    inilah    tujuan    pertama pe rjalanan Tiang Bu.

-oo(mch)oo-

Setelah melakukan perjalanan berbulan-bulan lamanya karena Tiang Bu tidak tergesa-gesa dan melakukan perjalanan sambil melihat-lihat, pada suatu hari ia tiba di sebuah hutan kecil di luar kota Wukeng di perbatasan Propinsi Anhui dan Kiang-su. Jalan raya kasar yang dilaluinya itu masih basah dan amat  becek,  tanda  bahwa baru saja turun hujan. biarpun jalannya becek, namun Tiang Bu berjalan limbat dengan hati senang. Hawa udara amat sejuknya dan amat nyaman seperti biasa hawa sehabis turun hujan. Apalagi di dalam hutan penuh pohon dan bunga, hawanya bersih sekali. Tiang Bu menyedot  hawa bersih itu sepuas hatinya, membikin dadanya mekar dan semangatnya segar.

Garis.garis panjang yang masih nampak baru  di  atas jalan itu memberitahukan bahwa belum lama sehabis hujan, di jalan itu lewat sebuah kendaraan yang ditarik kuda. Melihat dalamnya garis-garis itu. Tiang Bu dapat menduga bahwa kendaraannya tentu berat atau membawa muatan berat.

Siapa yang lewat berkendaraan di tempat seperti ini? Mungkin kereta piauw kiok (Perusahaan Expe disi/pengawal Kiriman Barang), pikir Tiang Bu. Atau pembesar. Bodoh, pikirnya hari sebagus ini berkendaraan. Takkan terasa hawa yang sejuk, tidak senikmat orang berjalan kaki! Memang hati dan pikiran Tiang Bu masih murni, masih bersih sehingga ia sslalu merasa puas dengan apa yang dirasai atau dipunyainya. Tak pernah timbul  iri di dalam hatinya, karena ia memang tidak mempunyai keinginan bersenang-senang atau meniru keadaan orang lain.

Tiba-tiba pendengarannya yang tajam menangkap suara derap kaki kuda dari belakang. Dua ekor kuda, pikirnya. Dilarikan kencang sekali. Benar saja, tak lama  kemudian terde ngar bentakan,

“Minggir !"

Tiang Bu melangkah ke pinggir jalan yang  cukup  lebar itu, bukan  takut   kete rjang kuda, me lainkan   takut pakaiannya  akan  kotor  terkena percikan tanah  becek berlumpur itu. Ia  berdiri  dan  memutar   tubuh hendak melihat siapa ge rangan penunggang-penunggang kuda itu. Ternyata mere ka adalah seorang gadis muda yang berwajah manis bertubuh ramping bersama seorang pemuda tampan dan gagah bermuka putih. Dua orang muda-muda ini duduk di atas kuda dengan tegak dan biarpun dua ekor kuda itu lari kencang, tubuh me reka sama sekali tidak terguncang. Kepandaian    me nunggang   kuda  seperti   ini   hanya dapat dilakukan oleh ahli silat-ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka seketika hati Tiang Bu tertari k. Pe muda itu melirik ke arah  Tiang   Bu  sambil tersenyum  memandang rendah. sedangkan  kerling   mata  dara  berwajah  manis  itu membayangkan penghinaan ketika ia melihat bahwa pemuda yang mereka lewati itu hanya seorang pemuda biasa belaka.

"Moi moi,  jejak  mere ka  masih  nampak  jelas.  Mereka belum jauh, mari kita susul cepat!" Kata-kata ini diucapkan oleh pemuda itu ketika mereka sudah lewat agak jauh. Tentu saja  me reka  tidak  mengira  bahwa  pendengaran  Tiang  Bu jauh lebih tajam dari pada pendengaran orang biasa maka Tiang Bu mendengar ucapan ini. Hatinya berdebar. Pertama karena kata-kata itu diucapkan dengan nada mesra sekali. Mereka begitu rukun dan cocok, pasangan yang sedap dipandang.

Otomatis   Tiang  Bu  teringat   akan  Lai Fei Lan  dan mukanya menjadi merah.  Celaka, pikirnya.  Satu  kali bertemu gadis cantik, begitu "kasar" dan menantang sampai- sampai ia    menjadi  ngeri dan jijik. Hal ke   dua  dan mendebarkan hatinya adalah isi kata-kata yang menyatakan bahwa mereka berdua agaknya berdaya-upaya keras untuk menyusuI   "mereka".  Tentu dimaksudkan  rombongan ke ndaraan  yang  roda-rodanya masih   meninggalkan jejak nyata itu, pikirnya. Tiang Bu makin tertarik dan cepat ia mengejar, mempergunakan ilmu lari cepatnya yang istimewa. Akan tetapi ia sengaja tinggal di sebelah belakang  mereka dan mengikuti dengan sembunyi.

Tak  lama kemudian   sepasang   muda-mudi  itu sudah dapat menyusul rombongan di depan yang terdiri dari sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda dan dikawal  oleh  lima orang laki-laki gagah berkuda dan be rgolok di pinggang. Dari pakaian mereka,  jelas  bahwa mereka   tentulah  segolongan  piauwsu  (pengawal barang kiriman) yang sedang mengawal kereta itu. Entah siapa berada di dalam kereta yang tertutup oleh sutera hijau, hanya  kusir kereta  itu   sajayang  kelihatandi  depan memegang cambuk. 

Di bagian depan dan belakang kereta itu terpasang dua bendera besar dengan lukisan dua ekor singa emas dan ditulis huruf emas besar. SING KIM SAI PIAUWKIOK. Ini berarti  bahwa kereta itu   beserta  sekalian  isinya adalah menjadi tanggung jawab atau berada di bawah perlindungan Siang-kim sai Piauwkiok (Kantor Expedisi Sepasang Singa Emas )!  Nama   Siang  kim-sai   atau   Sepasang  Singa  Emas sudah amat terkenal  di dunia lioklim  dan jarang ada penjahat berani mengganggu barang yang dilindungi oleh perusahaan ini. Ketuanya adalah dua orang kakak beradik, yang tua berjuluk Twa kim-sai (Singa Emas Besar) bernama Yo seng dan yang ke dua berjuluk Ji kim-sai (Singa Emas ke- Dua) bernama Yo Teng. Kidua orang saudara Yo ini adalah ahli-ahli silat di daerah Kiangsu dan kepandaian mereka tinggi sekali sehingga para pe njahat  tidak  ada  yang  berani be rmusuhan dengan me reka.

Apalagi Siang-kim-sai Piauwkiok telah membuat untung besar dengan usaha mereka dan kedua  orang she Yo selalu membuka tangan untuk memberi sumbangan kepada tokoh- tokoh  liok-lim  sehingga   dengan  para  anggota  Hek-to  (Jalan Hitam, Penjahat) mereka mempunyai hubungan baik. Jarang sekali kedua kakak beradik she Yo ini mengawal sendiri. Pekerjaan mengawal cukup mereka wakilkan kepada pembantu-pembantu dan murid-murid mereka saja. Baru kalau  terjadi  halangan  atau untuk urusan besar, mereka turun tangan se ndiri. Demikian pula, karena perjalanan yang dilakukan menuju ke daerah sendiri, kereta itu hanya dikawal oleh lima orang piauwsu, yang t iga orang pegawal sedangkan yang dua orang murid-murid Siang-kim-sai.

Ketika lima orang piauwsu ini mendengar suara  derap kaki kuda dari belakang, mereka dengan tenang menengok dan merasa lega ketika ia lihat bahwa yang datang hanyalah sepasang muda-mudi yang agaknya sedang berpesiar untuk bersenang-senang.

“Ha, agaknya pengantin baru .....” seorang piauwsu muda, hidungnya besar dan matanya sipit, gerak-geriknya ceriwis tanda ia mata keranjang, berkata tersenyum. Dia ini bernama Tin Kui, murid dari Siang-kim-sai yang termuda. Lagaknya sombong dan ia terkenal seorang yang mata keranjarg. Para piauwsu lain hanya tersenyum. Melihat cepatnya dua ekor kuda itu dilarikan, kusir kereta lalu memperlambat larinya kereta  dan  me narik  kendali  agar empat ekor  kudanya agak  ke  pinggir  untuk memberi  jalan ke pada dua orang muda-

mudi itu.

Sepasang muda-mudi itu hanya melirik saja dan terus membalapkan kuda melampaui     rombongan itu, tidak pe rduli betapa para   piauwsu    itu memandang   ke arah  si dara berwajah manis itu penuh gairah dan dengan tersenyum-senyum penuh arti.  Tiang     Bu   yang mengikuti   dari   jauh, melihat betapa dua orang penunggang     kuda   itu ternyata lewat begitu saja dan tidak  mengganggu, menjadi malu sendiri dan memaki  diri   sendiri

bodoh. Mereka orang baik-baik kusangka hendak merampok, pikirnya. Benar-benar aku masih hijau.

Akan tetapi, berbeda dengan pikiran Tiang Bu, para piauwsu yang sudah banyak pengalaman itu ketika dua ekor kuda lewat, tiba-tiba menjadi curiga sekali melihat cara dua orang muda itu menunggang kuda. Tadi hal ini tidak mereka perhatikan karena seluruh perhatian terbetot oleh kemanisan wajah dara itu. Baru  sekarang  setelah  mereka tak dapat melihat wajah itu, dari belakang mereka lihat betapa dua orang muda itu duduk tegak tak bergoyang sedikitpun juga seperti patung di atas kuda.

"Hemmm, mereka memperlihatkan ke pandaian menunggang kuda. Jangan-jangan me reka akan kembali

........... " kata seorang piauwsu tua, pembantu dari Siang-

kim-sai. Baru saja ucapan ini keluar dari mulutnya, tiba-tiba dua penunggang kuda yang sudah jauh itu tahu-tahu memutar kembali kuda mereka dan menjalankan kuda itu congklang me mapaki rombongan piauwsu! Tiang Bu yang berlari di belakang rombongan itu menjadi melongo.

Kini dua orang itu telah berhadapan dengan rombongan piauwsu. Pemuda itu mengangkat tangan kanan ke atas dan berseru, suaranya halus dan kata-katanya teratur seperti seorang terpelajar namun suara itu nyaring dan menusuk telinga, tanda diucapkan dengan pe ngerahan khikang yang tinggi.

"Berhenti dan buka peti berukirkan sepasang Kilin kami hendak mengambil isinya !”

Tan Kui, piauwsu muda bermata sipit itu menjadi marah.

Ia majukan kudanya dan me maki,

"Kutu-buku masih ingusan apakah kau berlagak mau menjadi begal besar? Lebih baik kau kembali ke bukumu, ambil pit dan bak sebagai hukuman menulis seribu kali kalimat AKU TAKKAN MENCURI. Kalau tidak jangan salahkan tuan besarmu menyeretmu turun dari kuda!” 

Pemuda bermuka putih itu tersenyum mengejek, giginya yang putih mengkilap nampak dan diam-diam Tiang Bu kagum sekali. Pemuda muka putih ini luar biasa tampannya, bahkan lebih manis dari pada kawannya itu.

"Kadal   busuk pemakan lalat, kau   benar-benar bisa menyeretku? Cobalah!”

Tan Kui marah bukan main. Dia adalah murid Siang- kim-sai dan nama Siauw-sai-cu (Mus tika Singa Ke cil) Tan Kui bukanlah nama sembarangan untuk daerah Kiangsu. Sekarang kutu buku ini berani memakinya kadal? Dengan suara menggere ng, me niru gaya dan suara suhu-suhunya kalau marah akan tetapi gerengannya ini sumbang, ia melompat turun dari kuda dan goloknya sudah terhunus di tangan.

"Cacing buku, kau turunlah kalau minta dihajar," bentaknya.

"Siapa sudi berurusan dengan segala telur busuk.  Pergi dan panggil ketua  rombongan,”  kata  pemuda  muka  putih itu.

"Setan, kau memang harus diseret!" Tan Kui marah sekali dan melompat maju. Piausu tua hendak mencegah namun terlambat, Tan Kui sudah di dekat pemuda muka putih itu dan tangan kirinya diulur hendak menangkap kaki pemuda itu untuk diseret turun. Akan tetapi, bukan pemuda muka putih yang terjungkal dari kuda, melainkan Tan Kui sendiri yang tiba-tiba terlempar  ke belakang   jatuh gedebukan! Masih untung bahwa tendangan kilat pemuda  muka  putih itu hanya membuat ia menderita benjol-benjol di kepala saja dan golok di tangannya tidak makan tuan. Namun Tan Kui benar-benar tak tahu diri. Ia meringis kesakitan lalu timbul marahnya.

Sambil memaki-maki   kotor  ia melompat  lagi,  kini goloknya diayun untuk menyerang pemuda muka putih yang tadi telah menendangnya.  Pemuda  itu   dengan seuyum mengejek tak meninggalkan bibir, dengan amat tenangnya menggerakan   kakinya memapaki golo k yang  datang menyambar dan ........... begitu golok bertemu dengan ujung sepatu, golok  terpental  membalik  dan menyambar leher pemegangnya! Tan Kui menjerit dan miringkan leher, namun ujung golok yang dipegangnya sendiri tetap saja menghajar pundaknya.   Sebagian  daging   pundak sapat   darah membanjir.  Tubuh Tan   Kui sempoyongan ketika  ia menjauhkan diri dari pemuda lihai itu, mendekati piauwsu- piauwsu lainnya dengan muka jerih.

“Hi hi hi, cici, kenapa tidak kau pencet mampus saja kadal itu ? Terlalu enak kepalanya yang dogol itu masih dibiarkan menempel di le hernya !"  kata gadis be rwajah manis   itu  kepada  "pemuda" muka putih.  Para  piauws u memandang heran. Kiranya pemuda muka putih itu adalah seorang gadis yang menyamar dalam pakaian pria. Juga Tiang Bu  dari tempat persembunyiannya diam-diam menampar ke palanya sendiri.

Tiga kali tolol, pikirnya. Mataku sungguh tidak ada gunanya, sampai gadis berpakaian pria saja tidak tahu. Pantas saja dia begitu manis, lebih dari kawannya. Kepandaiannya hebat juga, memapaki golok orang dengan ujung kaki menendang dan sekaligus menotok pergelangan tangan, benar benar bukan gerakan main-main yang mudah dilakukan. Diam-diam Tiang Bu kagum dan melanjutkaa pengintaiannya penuh perhatian.

Sementara itu, piauwsu tua yang menjadi kepala rombongan sudah melompat turun dari kudanya dan menghampiri dua orang gadis itu sambil menjura dengan sikap hormat.

“Jiwi-lihiap, harap maafkan apabila seorang kawan kami berlaku lancang. Dia sudah menerima pelajaran jiwi, selanjutnya sudah tidak ada urusan apa-ap, lagi. Sapanjang ingatanku kami dari Siang-kim sai Piauw-kiok tidak pernah ada urusan dengan  jiwi.  Lihiap, mengapa  hari ini  jiwi mengganggu  kami?  Harap  jiwi melihat bendera kami dan selanjutnya  tidak  mengganggu  kami  yang  sedang menjalankan tugas penting. Tentu kelak dua orang ketua kami akan berterima kasih sekali."

Terang bahwa piauwsu tua ini bersikap amat merendah, hal yang aneh dan luar biasa bagi sikap piauwsu dari Siang- kim-sai Piauw-kiok yang biasanya tidak gentar menghadapi penjahat yang besar manapun, ini me nandakan bahwa piauwsu tua itu memiliki pandangan yang awas  dan bahwa dia sudah banyak pengalaman. Memang betul demikian karena Lu Tiang Sek, piauwsu pembantu atau tangan kanan Siang-kim-sai itu adalah seorang piauw-su yang sudah puluhan tahun melakukan pe kerjaan piauwsu.

Tadi melihat cara gadis berpakaian pria itu menghalau serangan golok   Tan   Kui,  tahulah dia bahwa, gadis itu memiliki kepandaian tinggi. Pula ia tahu bahwa dua orang gadis itu   tentu   bukan bangsa perampok sembarangan, karena selain ia tak pernah melihatnya, juga sikap mereka bukan seperti penjahat-penjahat biasa. Inilah sebabnya ia sengaja merendah dan mempergunakan nama besar Siang- kim-sai Piauwkiok untuk mencegah terjadinya bentrokan.

Gadis berwajah manis itu tersenyum mendengar  kata- kata Lu Tiang Se k. Sambil mengincar ke arah kereta, tangan kirinya be rge rak se cara beruntun dua kali.

"Krak.! Krak!" Tiang bendera di depan dan belakang kereta itu patah terkena sambaran dua batang piauw yang dilepaskan olehnya.

"Segala bendera begituan siapakah yang memandang? Kami tidak berurusan dengan Siang-kim-Sai (Sepasang Singa Emas) maupun Siang-thu-kauw (Sepasang Monyet Lempung), pendeknya turunkan peti berukir sepasang Kilin dan keluarkan isinya untuk kami bawa. Habis perkara!' kata pula gadis manis itu, sedangkan gadis berpakatn pria hanya tersenyum manis meli hat lagak adiknya.

Baru timbul kemarahan Lu Tiang Sek. Kalau tadi ia sengaja merendah dan mengalah, bukan sekali-kali ia gentar menghadapi dua orang lawan ini, melainkan tidak menghendaki pertempuran dalam menuaikan  tugas  yang pe nting ini. Ia dan kawan-kawannya mengawal kere ta yang amat berharga, karena kereta dan isinya ini adalah barang- barang pe mbesar tinggi dari utara yang kini  pulang  ke selatan. Pembesar itu tadinya bekerja di Kerajaan Kin dan menduduki pangkat pembantu menteri, kini pulang ke tempat asalnya, yaitu di kota Wukeng. Barang barangnya banyak sekali, akan tetapi yang paling penting dan berharga adalah barang yang dikawal sekarang ini.  Kwee -taijin, pembesar itu, berkali-kali memesan agar supaya para piauwsu hati-hati dalam mengawal barang-barang berharga itu, terdiri dari empat buah pe ti  besar,  di  antaranya  sebuah peti yang tidak berapa besar, be rukir sepasang Kilin.

"Bocah-bocah perempuan lancang mulut lancang tangan! Kami sudah berlaku sabar dan mengalah, mengapa kalian kurang   ajar   bahkan  berani  mematahkan tiang bendera? Kalian   boleh  belajar merampok sesukanya akan  tetapi jangan kalian sekali-kali berani me ngganggu barang yang dilindungi oleh Siang-kim Piauw-kiok!" Sambil  be rkata de mikian, piauwsu tua ini mencabut golok dan berdiri tegak dengan sepasang kaki terpentang di atas tanah, menghadapi dua orang gadis itu. Tiga orang kawannya juga mencabut golok  dan  melompat turun  dari  kuda. Hanya Tan Kui seorang yang tidak dapat ikut bersiap karena sudah terluka. Dia hanya  mengurus kuda-kuda yang ditinggalkan penunggang masing-masing.

Gadis   berpakaian pria itu   menoleh  kepada adiknya sambil tersenyum dan berkata, "Moi-moi, empat ekor  kadal ini agaknya belum mau menyerah kalau belum dipotong ekornya. Kaujaga saja supaya kereta itu tidak kabur.”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan  lincah  dan gesit se kali gadis itu melompat turun dari kudanya. Ternyata sekarang tubuhnya tinggi langsing ketika ia berdiri di atas tanah, gerakannya le mah gemulai namun cepat sekali sehingga tak seorangpun di antara empat orang piauwsu itu melihat kapan dan bagaimana pedang yang berkilauan putih mengkilap telah terada di tangannya.

Lu  Tiang   Sek   maklum bahwa ia menghadapi lawan pandai, maka ia tidak malu-malu lagi dan berseru keras, 'Robohkan dia !" Memang bagi kawanan piauwsu dalam menjalankan tugas, j ika menghadapi gangguan penjahat tak perlu mereka sungkan-sungkan untuk mengeroyok, karena pertempuran se perti ini lain lagi halnya dengan misalnya pertempuran pibu (mengukur kepandaian masing-masing) di mana orang kang-ouw biasanya amat sportip, tidak mau mengeroyok dan tidak mau berlaku curang.

Akan tatapi, biarpun dikeroyok empat orang piauwsu yang rata-rata memiliki ilmu silat tinggi, gadis  berpakaian pria itu sama sekali tidak menjadi sibuk. Dengan pedangnya yang bersinar perak, ia bergerak dan tahu-tahu pedangnya menyambar ke kanan kiri diikuti bentaknya yang nyaring berpengaruh "Roboh !"

Hebat bukan main ilmu pedang nona  ini. Dalam segebrakan saja ia telah menyerang empat orang lawannya, masing-masing dengan tusukan atau sabetan yang amat berbahaya.  Segera  terdengar   pekik  kaget  dan kesakitan. Ternyata yang menangkis serangan ini merasa tangannya terge tar,  hanya  Lu-piauwsu  seorang yang  dapat mengimbangi tenaga nona itu. Yang dua orang tergetar dan mundur sedangkan yang termuda, suheng dari Tan Kui, terhuyung-huyung  sambil me megangi  lengannya   yang te rluka dan hampir putus ! 

"Hati-hati, bantu saja aku,” seru Lu-Tiang Sek sambil memutar goloknya  dengan   pengerahan tenaga dan kepandaian, karena maklum  bahwa lawan  ini biarpun seorang gadis muda namun memiliki kiamsut yang lihai sekali. Dua orang kawannya membantunya dari kanan  kiri dan berlaku hati-hati sekali, hanya membantu gerakan yang disesuaikan dengan penyerangan Lu Tiang Se k sehingga setiap serangan Lu-piauwsu menjadi makin hebat dan setiap serangan gadis itu dapat dihadapi atau ditangkis oleh tiga batang   golok. Dengan cara demikian  untuk  sementara mere ka dapat menahan gadis berpakaian pria itu. Kusir kereta yang melihat bahwa kawan-kawannya terancam, segera mengangkat cambuk dan memukul kudanya. Empat ekor kuda itu hendak dibalapkan untuk menyelamatkan kereta berisi barang-barang. Akan tetapi baru saja cambuknya terangkat ia menjerit dan terjungkal roboh  dari  atas  ke reta,  pundaknya  ditembusi   sebatang piauw yang dilepas oleh gadis berwajah manis sambil tertawa cekikikan.

Kembali seorang pengeroyok roboh  tercium ujung pedang, kena pahanya membuat ia tak dapat berdiri lagi. Lu Tiang Sek marah dan khawatir sekali. Ia memutar golok sehebatnya,  namun  sia-sia, dengan tusukan indah gerakannya, seorang lagi kawannya terjungkal dengan lutut terlepas sambungannya kare na tendangan nona itu.

“Tahan dulu!” seru Lu Tiang Sek yang merasa bahwa ia takkan menang. Sebelumnya dikalahkan ia harus tahu dulu siapa adanya dua orang lawannya itu dan mengapa hendak merampok. "Tahan senjata !”

"Piauwsu tua, apakah sekarang kau takluk?” tanya gadis berpakaian pria itu dengan senyum sindir, pedangnya dipalangkan di depan dada.

"Aku Lu Tiang Sek bukan orang yang biasanya menyerah sebelum kalah," bantah piauw-su itu dengan muka marah, "aku hanya ingin tahu siapakah kalian ini  dan  mengapa kalian me musuhi kami!'

"Lu-piauwsu, sebenarnya tidak ada perlunya kami memperkenalkan nama. Akan  tetapi oleh karena  aku tidak ingin kaubilang  kami takut kepada  Siang-kim-sai, kauketahui bahwa kami adalah anak dari Huang-ho Sian-jin dan kami me mbutuhkan isi peti berukir Kilin."

"Mangapa kalian ini anak-anak dari seorang tokoh besar seperti Huang-ho Sian-jin  hendak  menjadi  perampok?"  tanya Lu Tian Sek, kaget dan heran mendengar bahwa ia berhadapan dengan puteri-puteri Huang-ho Sian-jin (De wa Sungai Huangho) yang amat terkenal sebagai datuk bajak sungai.

Gadis berpakaian pria   itu tertawa,  manis sekali "Ketahuilah,   piauwsu   yang  hanya bekerja  untuk uang. Benda-benda ini adalah hasil korupsi dan hasil curian dari pembesar   jahanam  she   Kwee   itu.  Setelah berhenti  dari jabatannya, ia membawa barang-barang itu pulang  ke tempat asalnya. Oleh karena itu, sepatutnya kalau kami mengambil barang yang paling berharga agar dia jangan enak-enak saja merampoki harta kekayaan rakyat utara."

Lu Tiang Sek meringis. "Kami hanya piauw su yang melakukan tugas, Mena kami tahu asal usul barang orang ? Kalau kami tidak melindungi barang-barang yang kami kawal, itu baru berarti kami tidak patut  menjadi  piauwsu. Jiwi lihiap, kalau mau memandang persahabatan, harap jangan mengambil barang itu sekarang. Nanti kalau sudah kami antarkan ke rumah Kwee-taiijin. masa bodoh kalau jiwi mau ambil apa saja."

"Cih, aku disuruh memandang mukamu ? Piauwsu kampungan, jangan banyak cerewet.  Kauberikan  tidak peti itu ?"

"Lebih dulu Lu Tiang Sek harus dapat kau robohkan !" jawab piauwsu tua itu gagah.

"Bagus, kan rebahlah !” Gadis itu menyerang dengan hebatnya. Pedang di tangannya bergerak seperti ular dan ujungnya  sampai tergetar menjadi  empat lima buah, melakukan serangan-serangan yang sukar diduga ke mana arahnya dan gerakan pedang itu mengeluarkan  sinar ge merlapan menyilaukan mata. Lu Tiang Sek mengangkat golok menangkis sekuat tenaga.

"Tringg........... ! Tringg ........... !" Dua kali goloknya dapat menangkis, namun pedang itu selaIn berpindah-pindah, begitu ditangkis, begitu melejit untuk melakukan serangan selanjutnya dengan ujung pelang yang lain arahnya, membuat pauwsu  tua  itu   bingung   dan   tahu-tahu   ujung pe dang lawan menancap pundaknya. Lu Tiang Sek terjungkal dan pingsan.

"Moi -moi, lekas kita bongkar peti ...,” kata wanita gagah itu kepada adiknya, te tapi dia dan adiknya tiba-tiba menjadi kaget ketika melihat kereta itu bergerak maju dan di tempat duduk kusir tadi kini sudah ada orangnya. Ketika mereka memandang, ternyata bahwa "kusir" istimewa ini bukan lain adalah pemuda yang tadi mereka lewati di tengah jalan.

"Bocah gunung, kau menggelundunglah turun !"  seru gadis  berwajah manis sambil mengayun  tangannya, Sebatang piauw menyambar dan tepat mengenai dada kusir itu.  Si  dara manis sudah tersenyum-senyum menanti pe muda itu terjungkal  dari  atas  kereta,  dan  bersama  cicinya ia melompat-lompat menghampiri  kereta. Akan tetapi alangkah kagetnya  ketika melihat pemuda itu   tidak  jatuh te rjungkal, malah  kereta  itu  mulai  bergerak  cepat  ditarik oleh empat ekor kuda.

"Kurang ajar,     kau mesih belum menggelun- dung turun  ?"   gadis manis itu berseru marah dan heran.     Apakah sambitannya tadi luput? Mustahil,   jelas   ia   lihat piauw yang ia sambitkan tadi mengenai     dada pemuda  itu.   Mengapa tidak  terjungkal     ke bawah?  Apakah    ...........

tahu-tahu piauwnya

telah  mencabut  nyawa pe muda itu dan membuat ia mati di tempatnya? Demikian pikir gadis itu sambil lari mengejar. Setelah dekat, gadis itu mengayun tubuhnya loncat ke atas kereta, ke tempat duduk kusir. Adapun cicinya, gadis yang berpakaian pria tadi dengan gerakan yang amat gesit telah melompat ke dalam kereta melalui pintu sutera.

Ketika gadis yang muda melompat ke atas  kereta, tiba- tiba pemuda kusir yang bukan lain adalah Tiang Bu itu, mengayun cambuk di tangannya. 'Tarr..........!” dan betapapun gesitnya, gadis itu tidak dapat menghindarkan cambukan ini.

"Bret'..........!” pakaiannya di sekitar pinggang robek dan kulit pinggangnya lecet-lecet. Biarpun hanya cambuk, namun di tangan Tiang Bu merupakan senjata hebat sekali. Gadis itu saking kaget melihat kusir itu masih hidup dan sakit terkena cambukan, tak dapat menguasai dirinya dan terbanting ke bawah, justeru tepat sekali di atas Tiang Bu ! Kalau yang jatuh itu laki-laki, tentu akan disampok oleh Tiang Bu. Akan tetapi mengingat bahwa yang jatuh adalah seorang gadis masih muda, Tiang Bu tidak tega membiarkan gadis itu terbanting roboh. mungkin binasa terbanting dari tempat tinggi itu dalam keadaan setengah pingsan. Terpaksa ia menyambut dengan tangannya dan ........... karena gadis itu masih dapat memberontak, tanpa dapat dicegah lagi dan tanpa disengaja gadis itu rebah di atas pangkuannya!

"Kau ........... manusia keparat, kurang ajar, tak tahu aturan ......!” Gadis itu menjadi le mas dan pingsan! Dapat dibayangkan betapa  terguncang  perasaannya  ketika  gadis itu mendapatkan dirinya sudah berada di atas pangkuan pemuda itu dan……. sebagian pakaiannya robek-robek di bagian pinggang. Saking heran, marah, dan malu tercampar rasa sakit dan kaget. ia menjadi pingsan.

Karuan saja Tian Bu yang gelagapan. Kalau gadis itu tidak pingsan, biarpun ia sendiri merasa malu dan jengah tahu-tahu memangku se orang gadis namun ia dapat mendorong gadis itu di atas bangku kereta di sisinya atau dapat melemparkan gadis itu ke bawah. Akan tetapi dalam keadaan pingsan, tak mungkin ia melakukan hal itu karena gadis itu tentu akan terlempar jatuh dan berbahaya sekali keselamatannya. Terpaksa ia menarik kendali kudanya dan menyuruh binatang-binatang berhenti.

Setelah itu baru ia melompat turun dengan tubuh gadis yang pingsan itu dalam pondongannya. Baru saja ia menurunkan gadis itu di atas tanah dan mukanya menjadi merah sekali melihat betapa pakaian gadis itu tidak karuan letaknya karena bagian pinggangnya  sudah  putus,  tiba-tiba te rde ngar bentakan.

"Manusia hina, kauapakan adikku?"

Tiang Bu merasa ada sambaran angin. Dengan cepat ia mengelak   dan tangannya    me nyampok. Terdengar seruan kaget dan gadis berpakaian pria  yang menyerangnya meloncat ke belakang de ngan muka berubah. Sampokan tangan  Tiang  Bu   pada pedangnya membuat pedang  itu hampir  terlepas  dari  pegangan.  Hal ini belum pernah ia alami! Saking kaget dan herannya, gadis berpakaian pria ini berdiri melongo.

Tiang Bu tersenyum. "Kau tak usah  bingung.  Adikmu tidak apa-apa dan akupun tidak berbuat apa-apa. Tadi dia menyambit batang piauw kepada dadaku dan aku membalas hadiahnya itu dengan sekali cambukan  pada  pinggangnya. Eh, tahu-tahu dia pingsan di atas kereta, terpaksa kuturunkan."

Gadis itu cepat me mbungkuk dan memeriksa adiknya. Hatinya lega mendapatkan adiknya tidak terluka dan benar saja hanya lecet-lecet sedikit di bagian yang terlibat cambuk. Sekali ia mengurut leher adiknya nona itu siuman  kembali dan begitu siuman melihat Tiang Bu  berdiri  tak jauh  dari situ, ia melompat marah.

“Moi-moi …… hati-hati pakaianmu........ ! " seru cicinya dan  gadis   manis yang galak itu cepat-cepat memegangi pakaiannya yang hampir saja merosot  turun  karena  tidak ada ikat pinggangnya lagi ! Tiang Bu menahan ke tawanya menutupi mulutnya dan membelakangi gadis itu agar jangan kelihatan olehnya kalau-kalau pakaian itu betul-betul akan kedodoran.

"Cici, kaubalaskan aku. Monyet itu kurang ajar sekali.

Dia mencambuk pinggangku !”

“Moi-moi apa benar kau tadi menyerang dadanya dengan piauw ?"

"Betul, kukira sudah mampus, tidak tahunya belum. Cici lekas kauserang dia dengan pedangmu !”

"Tidak ada waktu, mot- moi. Mari kita pergi !"

"Bagus, memang lebih baik kalian pergi, jangan masih begitu muda-muda sudah menjadi rampok. Kalau kelihatan orang kan malu !" kata Tiang Bu sambil membalikkan tubuhnya lagi menghadap enci dan adik yang istimewa ini.

"Cici, hatiku sakit sekali olehnya. Aku akan mati penasaran kalau kau belum membalaskan sakit hatiku !” Lagi-lagi gadis manis itu me rajuk, kini dengan mulut hampir mewek,

"Biar   lain kali kita mencari  dia, moi-moi. Sahabat, siapakah namamu agar lain kali kami dapat mencarimu untuk membikin perhitungan !” tanya gadis cantik be rpakaian pria.

Tiang Bu menjura. "Namaku Tiang Bu kalian siapakah?” "Cih, tak tahu malu?” gadis berwajah manis itu

menyemprot. "Tanya-tanya nama gadis mau apakah? Laki-

laki ceriwis, Mari pergi, cici !" Dengan tangan kiri memegang pakaian di bagian pinggang supaya tidak me lorot dan tangan kanan menarik tangan cicinya, gadis ini pergi dengan bersungut-sungut. Encinya diam saja dan bahkan membawa adiknya ke tempat kuda mereka berada. "'Tidak memberi tahu juga baik.” Tiang Bu mengomel. "Selanjutnya aku akan menyebut kalian enci dan adik tukang rampok!"

Kani gadis ayu berpakaian pria itu berhenti dan me noleh. Senyum dan kerlingan manis sekali. "Saudara Tiang Bu, namaku Pek Lian dan adikku ini Ang Lian.” Setelah berkata demikian,  ia mengajak adiknya  melompat ke atas  kuda  dan di lain saat dua ekor kuda itu membedal cepat sekali  pergi dari situ. Tiang Bu melihat mereka membawa empat buah bungkus an kecil, akan tetapi ia tidak tahu dan juga tidak perduli. Ang Lian berarti Teratai Merah dan Pek Lian berarti Teratai  Putih. Nama-nama yang bagus, seperti  orangnya akan tetapi betul-betulkah itu nama me reka ? Mengapa tidak pakai she? Tiba-tiba Tiang Bu teringat akan  nama  sendiri yang di perkenalkan tanpa she  pula. Ia tersenyum.  Mudah saja diingat, dua orang gadis itu adalah puteri dari seorang tokoh besar berjuluk Huang-ho Sian-jin.

Ia lalu meruntun kuda-kuda yang menarik kereta itu, dibawa kembali ke tempat pertempuran tadi, Lu Tiang Sek dan kawan kawannya yang sudah siuman dan tadinya bingung sekali, menjadi girang bukan main melihat kereta mere ka dituntun kembali  ole h  seorang  pemuda  tanggung yang tidak mereka kenal.

"Nih, terima kembali keretamu,” kata Tiang Bu. "Baiknya aku kenal dua orang gadis itu dan aku berhasil membujuk mereka mengembalikan kereta dan isinya. Mereka itu tidak bermaksud jahat, hanya ingin main-main belaka." Ia tertawa.

Lu Tiang Sek terheran-heran, akan tetapi cepat menjura menghaturkan terima kasih menanyakan nama pemuda ini. Tiang Bu tidak mau me nyebutkan namanya. "Untuk apa namaku? Tidak perlu diketahui. Asal kalian menerima kembali kereta, cukup kan ?"

Lu Tiang Sek menyingkap tirai sutera dan ia mengeluarkan keruan kaget. "Celaka ! Peti sepasang Kilin titipan Pangeran Wanyen Ci Lun telah dibongkar dan isinya lenyap!”

Seruan ini membuat Tiang Bu kaget sete ngah mati. Bukan    kaget  karena   hilangnya    benda   itu,   akan   tetapi te rutama sekali kaget mende ngar disebutnya nama Pangeran Wanyen Ci Lun.

"Apa kau bilang ? Siapa punya yang hilang ?"

"Sahabat, kaulihat sendirilah,” kata Lu Tiang Sek sambil membuka tirai. Betul saja sebuah peti hitam yang indah, berukirkan se pasang Kilin di atas tutupnya,  telah  terbuka dan isinya lenyap, “Peti ini menurut keterangan Kwee-taijin adalah titipan Wanyen Ci Lun maka harus dijaga sangat hati-hati. Celakanya, sekarang lenyap !” Ia membanting- banting kaki.

"Tentu mereka yang ambil ..... “ kata Tiang Bu perlahan, masih bingung karena bagaimana Pangeran Wanye n Ci Lun bisa menitipkan sebuah peti berisi barang barang berharga pada pembesar she Kwee itu?

Sementara itu, Lu Tiang Sek dan kawan-kawannya memandang kepada Tiang Bu dengan mata penuh arti, juga mereka mulai mengurungnya.

"Sahabat muda, kau tadi bilang kenal baik dengan mereka ?”

'Ya, habis mengapa ?"

"Kalau kau kenal baik be rarti kan sudah bersekongkol dengan mere ka untuk mencuri isi peti itu. Ha, kau adalah pembantu mere ka!"

"Ngaco! Gila! Aku bukan apa-apanya dan aku tidak turut mengambil barang. Sungguh mati aku tidak pernah mengira bahwa mereka sudah mengambil barang dari dalam kereta. Kalau aku tahu........... hemm, tentu kuminta barang itu kembali.” "Siapa namamu? Kami harus menangkapmu sebagai saksi........... " kata Lu Tiang Sek. Akan tetapi, berkelebat pemuda itu telah melompat jauh  dari  tempat  itu,  hanya terde ngar suaranya meninggalkan pesan.

“Kalian cari sendiri,  aku  tidak  bersekongkol  dengan mereka !"

Tiang  Bu  cepat  sekali  mengejar  dua orang gadis yang telah lama  melarikan diri menunggang   kuda tadi.   Kini te ringatlah Tiang Bu   akan  bungkusan  bungkusan  yang dibawa oleh dua orang gadis  itu. Mengapa ia begitu bodoh? Ketika ia sedang menghadapi gadis yang menyerargnya di atas kereta, tentu gadis ke dua,  yang berpakaian pria dan lebih tinggi kepandaiannya, mempe rgunakan kesempatan itu untuk   memasuki   kereta   dan membuka   peti  mengambil isinya. Dan isi peti itu milik Pangeran Wanyen Ci Lun Ia harus  mendapatkannya  kembali. Inilah   pembuka jalan baginya untuk menghadap pangeran itu.

Hari telah malam ketika ia tiba di kota Wukeng. Dari penyelidikannya  ia tahu   bahwa, dua orang gadis yang dikejarnya itu bermalam di sebuah rumah penginapan di kota ini. Cepat ia  melakukan penyelidikan dan akhirnya ia melihat bahwa dua orang gadis itu bermalam di Hotel "Peng An Likoan". Hatinya menjadi lega dan dia sendiri bermalam di sebuah kelenteng yang mempunyai ruang depan lebar dan hwesio hwesionya ramah. Menjelang tengah malam, dengan kepandaiannya yang tinggi, Tiang Bu pergi dari kelenteng itu tanpa diketahui oleh siapapun. Ia melompat ke atas genteng dan berlari -lari tanpa mengeluarkan suara menuju ke Hotel Peng An.

Siang tadi ia telah menyelidiki dari pelayan Hotel Peng An bahwa dua orang gadis itu  bermalam  di  kamar  bagian belakang. Dengan tubuh  ringan  Tiang  Bu  menuju  ke  bagian ini.

Alangkah herannya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kamar dua orang gadis itu masih terang, lampu di dalamnya belum dipadamkan. Ketika ia mengintai, ternyata dua orang itu dengan pakaian masih seperti siang tadi, duduk bercakap-cakap di dalam kamar, agaknya memang  tidak akan tidur malam itu.

“Cici, aku ingin sekali melihat semua isi kantong-kantong ini .... " terdengar Ang Lian berkata perlahan.

"Hush, untut apa? Paling-paling isinya seperti yang kita lihat di kantong pertama tadi, emas dan batu permata. Ayah memang menduga tepat. Orang-orang macam pembesar Kwee itu, setelah mengundurkan diri dari jabatannya, pasti sudah mengumpullan banyak harta, hasil pemerasan dari rakyat jelata. Kita harus hati-hati, moi-moi. Siapa tahu kalau- kalau orang dari Siang-kim-sai Piauw-kiok akan datang mengejar dan merampas kembali kantong-kantong ini."

“Aaah, tikus-tikus macam itu mana berani. Andaikata beranipun, perlu apa dikhawatirkan. Mereka itu hanya gentong-gentong kosong. Paling-paling yang berani mengejar hanya si pemuda hidung pesek bibir tebal seperti monyet hitam itu ”

"Hush, moi-moi. Kau benar-benar lancang mulut. Kulihat pemuda itu bukan orang sembarargan, dia tentu murid orang sakti, aku mempunyai dugaan bahwa dia itu biarpun kelihatan sederhana tentu seorang pendekar besar ”

Mendengar ucapan Pek Lian ini, hati Tiang Bu berdebar, mukanya menjadi panas dan tentu berwarna merah sekali kalau saja kelihatan.

Ang Lian tertawa cekikikan. "Hi hi hi agaknya cici te rtarik hati kepadanya, ya? Awas, kuberi tahu pada ayah nanti "

"Kurang ajar, mulutmu benar jahat  !  Awas  kau,  sekali lagi bicara begitu, kucubit bibirmu!"

"Ampun, cici aku cuma main-main. Orang secantik engkau mana sudi dengan pe muda muka monyet itu ? Eh, cici, bunglutan yang satu ini agak lain, lebih  ringan  akan tetapi dari sini mengeluarkan bau harum yang aneh.  Aku ingin melihat isinya." Setelah berkata demikian, Ang Lian membuka ikatan mulut bungkusan itu.

Kini pe rhatian Tiang Bu dicurahkan ke bawah lubang kecil dari mana me ngintai. Bungkusan itu dibuka dan terdengar seruan heran dari dua orang gadis itu. Tiba-tiba terdengar suara “kok ! kok ! kok!” yang keras sekali.

“Cici, cepuk ini ada kodoknya !”

“Moi moi,  cepat  tutup kembali......!  Awas  jangan  sampai ia terlepas !"

"Gila betul, mengapa kodok saja disimpan? Dan dalam cepuk emas berukir begini indah?"

“Moi-moi, apa kau lupa akan cerita aneh  ?  Di  dalam istana kaisar terdapat banyak barang-barang pusaka. Kalau aku tidak salah ingat, katak macam ini tentulah seekor di antara banatang- binatang ajaib yang dapat dipergunakan sebagai obat mempunyai khasiat luar biasa lain, entah apa khasiatnya. Binatang seperti ini tentu jauh  lebih  berharga dari pada semua barang permata atau emas.”

"Dan ini, apakah ini........... ? Eh, eh, eh, me ngapa tanganku  terbetot  ...........  !"  Ang  Lian  memegang   sebuah be nda hitam di tangan kanan yang nampaknya berat biarpun besarnya hanya seperti kepalan tangan orang. Ia menarik-narik tangan kirinya yang terbetot ke tangan kanan, akhirnya terdengar suara "ting!" dan gelang di tangan kirinya te rbetot dan nempel pada benda hitam itu.

“Hebat, ini tentu besi sembrani seperti yang sering kali disebut-sebut oleh ayah! Moi-moi, dalam kantong ini terisi benda-benda ajaib yang jauh lebih berharga dari pada kantong kantong lain. Lekas kita tutup kembali. Aduh, ayah pasti akan girang se kali melihat serous popwee (jimat) ini!" Kemudian enci dan adik ini berjaga terus sambil bercakap-cakap lirih. Tiang Bu manjadi serba salah. Ingin turun tangan merampas kantong- kantong itu, tentu akan menimbulkan keributan. Maka iapun menanti saja. Menjelang pagi, dua  orang  gadis  itu  meninggalkan  kamar de ngan jalan melompati je ndela, terus menuju ke  kandang kuda. Tiang Bu maklum bahwa mereka tentu akan pergi pagi-pagi se belum orang-orang lain bangun.

Benar   saja,   tak   lama kemudian dua oran gadis  itu melarikan  kuda mereka  keluar   kota  menuju   ke utara. Masing-masing membuwa dua buah kantong yang dijadikan satu dengan sambungan  tali panjang  dan  tali ini digantungkan  di   pundak  sehingga  dua  buah kantong itu tergantung di depan dan belakang.

Dapat dibayangkan betapa kage tnya dua orang gadis ini ketika tiba-tiba sesosok bayangan hitam yang gesit sekali muncul di depan mereka. Sekali mengge rakkan  kedua tangannya dua ekor kuda tunggangan mereka meringkik dan ketakutan berdiri di atas kedua kaki belakang.  Tentu  saja dua orang gadis itu menjadi kaget dan cepat mene kan kuda mereka. Lapat-lapat mere ka melihat pemuda yang bernama Tiang Bu itu sudah bergerak ke arah mereka dan di lain saat bungkusan-bungkusan itu   telah dire nggut dari pundak mereka! Perbuatan ini dilakukan cepat sekali dan pada saat mereka sedang sibuk menguasai kembali kuda mereka maka tidak   sempat mencegah. Ketika mereka berseru  kaget, pemuda itu telah lari cepat ke utara!

"Maling bus uk bertenti kau !"  teri ak  Ang  Lian  marah sekali dan dua tangannya diayun. Serr........... ! Serr !”

Dua batang piauw menyambar ke arah punggung Tiang Bu.

"Plak-plak Dua batang piauw itu mengenai punggung lalu runtuh ke bawah seperti mengenai karet saja pemuda itu berlari terus seakan-akan tidak merasa bahwa punggungnya dihantam senjata gelap. Tentu saja Pek Lian dan Ang Lian tidak membiarkan pemuda itu lari menggondol kantong- kantong mereka,   cepat mereka mengeprak kuda   dan membalapkan kuda tung gangan mengejar. Namun, ginkang dan ilmu lari cepat Tiang Bu sudah demikian hebatnya sehingga kuda-kuda itupun tak mampu menyusulnya. I lmu lari cepat yang dipelajari oleh Tiang Bu adalah ilmu lari yang luar biasa, kesaktian yang diturunkan oleh Tat Mo Couwsu sendiri. Hanya  sayangnya  Tiang  Bu  belum  lama mempelajarinya sehingga yang sudah ia miliki hanya paling banyak enam bagian saja. Seandainya ia sudah memiliki sepuluh bagian atau se luruhnya, kiranya kecepatan kuda- kuda istimewa dari utara sekali pun belum dapat menyusulnya.

Sampai hari terang tanah, dua ekor kuda itu mnsih membalap mengejar te rus. Akan tapi Tiang Bu juga tak dapat meninggalkan kejaran itu. Memang ia setengah mempermainkan dan berlari seenaknya.

"Orang yang bernama Tiang Bu!" Tiba- tiba terdengar suara Pe k Lian. "Kalau kau me mang laki-laki sejati, jangan main lari. Mari kita mengadu kepandaian sampai seribu jurus!"

Mendengar ini, Tiang Bu tertawa ia menghentikan larinya, membalikkan tubuh me nanti datangnya dua  dara itu sambil tersenyum. Dua orang gadis itu me lompat turun dari kuda dan sambil berlompat-lompatan menghampirinya, Ang Lian menjadi merah mukanya seperti namanya, cicinya marah akan tetapi, hanya kelihatan dari sinar matanya saja.

"Tentu saja aku laki-laki sejati karena bukan seorang wanita  yang menyaru   laki-laki,” kata Tiang  Bu sambil memandang kepada Pek Lian. Entah mengapa. Tiang Bu merasa   senang   sekali menggoda  wanita,  perasaan suka menggoda ini datang dari dalam dirinya tanpa dapat ditahan atau dicegahpula. Ia mempunyai  perasaan  suka mempermainkan atau menggoda wanita, sungguhpun hati nuraninya membatasi dirinya dalam godaanini,  dan karenanya ia tidak sudi mempergunakan kata-kata yang tidak sopan. Ia menggoda hanya karena dorongan  hati bukan menggoda dengan maksud-maksud yang kotor.

Mendengar kata-kata Tiang Bu itu, Pek Lian  menjadi terte gun dan merah mukanya. Manis benar gadis ini ketika dengan malu-malu ia menunduk dan menyapu pakaian sendiri dengan lirikannya. Di lain fihak, Ang Lian sudah tak dapat me nahan marahnya. Sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung Tiang Bu, ia menyemprot.

“Monyet hitam, kau cengar-cengir menggoda cici benar- benar sudah bosan hidup! Hayo serahkan empat bungkusan itu berikut kepalamu !” Sambil terkata demikian, Ang Lian mengayun pedangnya melakukan serangan kilat.

"Hayaaa  ......  !"  Sambil  tertawa-tawa  Tiang  Bu  mengelak ke kiri sehingga pedang itu berkelebat di pinggir tubuhnya. “Galak amat ! Kau ini bocah perempuan berani main-main pedang tajam, apa tidak takut, nanti me ngenai baju sendiri sehingga robek ?” 

Ang Lian menjadi makin merah mukanya karena godaan ini mengingatkan ia akan pengalamannya di hari kemarin, betapa pakaiannya sampai kedodoran, bahkan ia sampai terjatuh ke dalam pangkuan pemuda ini.

"Tikus sawah, mampus kau !” makinya dan pedangnya berkelebat mengurung tubuh Tiang Bu. Harus diakui bahwa ilmu pedang gadis itu cukup lihai, cepat, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya. Akan tetapi ia menghadapi Tiang Bu, murid tunggal dua orang kakek sakti Omei-san, maka selalu sambaran pedangnya hanya mengenai angin saja. Tiba-tiba Tiang Bu menggerakkan tangan kiri dan jari telunjuknya menyentil ke arah pedang dari samping.

"Tringg. ....!” Tanpa dapat ditahan lagi oleh Ang Lian, pedangnya sendiri yang terkena sentilan kuat itu terpental membalik dan menyerang pundak sendiri.

"Brett!........... ! Ayaaaaa........!!” Ang Lian menjerit dan melompat ke belakang, mukanya menjadi pucat. Masih untung baginya bahwa dalam menyentil pedang  tadi  Tiang Bu masih ingat dan tidak bermaksud mence lakainya. Kalau sentilan itu dirubah arahnya  dan  pedang  bukan  membalik ke pundak melainkan ke dada atau pe rut, tentu lain lagi akibatnya.  Kini  yang  terobek  oleh  ujung   pedang hanya pakaian di atas dan yang kelihatan hanya sediki kulit leher dan pundak yang putih halus. Coba kalau yang robek itu bagian dada atau perut, bisa berabe! Tentu saja Ang Lian kaget setengah mati.

"Apa kataku tadi? Bocah perempuan kecil tidak baik bermain-main pe dang, seharusnya bermain pisau dapur membuat masakan yang lezat." Tiang Bu menggoda.

“Tiang  Bu  manusia   sombong, kau terlalu menghina orang!" Seru Pek Lian dan gadis ini menggerakkan pedang menyambar leher sedangkan tangan kiri menyusul dengan pukulan.    Gerakan tangan kiri itu   adalah gerakan yang disebut Hio te-boan-hwa (Di Bawah Daun Mencari Bunga), sedangkan  pedang  itu  melakukan serangan dengan gerak tipu Bi-li-tauw-su ( Gadis Cantik Menenun ). Sekaligus dapat mempergunakan dua macam gerak tipu, ilmu pedang dan ilmu tangan kosong, benar-benar  sudah membuktikan kelihaian gadis ini. Juga macam serangannya itu merupakan serangan berantai, jadi  memang  sudah terlatih menggunakan serangan be rganda, setiap serangan didahului oleh angin pukulan yang dahsyat dan disertai kecepatan mengagumkan.

"Pantas dia bisa membongkar  pe ti  tanpa  kuketahui, kiranya ia jauh lebih lihai dari adiknya .....” pikir Tiang Bu yang cepat-cepat melompat ke belakang sambil mendo- rongkan tangan kirinya menangkis pukulan gadis itu.

Pek Lian tidak mau kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan, cepat ia menarik pulang kepalan tangannya dan dua kali melangkah maju ia sudah mengirim serangan berganda lagi, pedangnya membuat gerak tipu Bi- li-hoan-mo (Gsdis Cantik Menukar Payung) sedangkan kepalan kirinya kembali meryerang dengan tangan terbuka mencengkeram ke arah dada lawan dengan gerak tipu Siu- ko-hian-hwa (Mengambil Buah Memberi Bunga). Gerakan- gerakannya cepat  namun   indah  sekali,. lemah gemulai seperti menari, akan tetapi jangan kira "tarian" ini tidak berbahaya karena salah-salah leher bisa terpenggal putus dan dada bisa dicengkeram sampai hancur tulang- tulangnya!

Tiang Bu hendak mencoba kepandaian gadis ini.Ia sengaja  menyambuti dua  serangan   itu dengan  kedua tangannya pula. Tangan  kirinya dibuka jarinya  dan melakukan  gerakan  menyampok  pinggiran pedang, sedangkan tangan kanan memapaki cangke raman gadis itu, menggantikan atau mewakili dada. Pedang itu tersampok ke pinggir hanya mencong dan menyeleweng  saja,  tidak membalik se perti Ang Lian tadi, sedangkan tangan Tiang Bu dekat pergelangan kena dicengkeram.

Pek Lian menjadi kaget setengah  mati. Jarang  ada orang be rani menghadapi pedangnya hanya dengan sampokan jari- jari tangan saja, namun toh pemuda ini sudah berhasil menyampok pedangnya sampai menyeleweng, dan cengkeramannya dengan gerak tipu Siu-ko hian-hwa tadi bukanlah sembarangan mencengkeram, melainkan sebuah gerakan dari  Ilmu Mencengkeram  Liong jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Naga). Akan tetapi me ngapa setelah mengenai tangan pemuda itu, menjadi musnah  tenaganya dan cengkeraman itu hanya berubah menjadisemacam cubitan tak berarti saja?

“Aih ...sih…., bertempur ya bertempur, tapi jangan main cubit, eh........... !" kata Tiang Bu sambil tersenyum dan menggosok-gosok tangannya yang kena "cubit" tadi.

Karuan saja Pek Lian menjadi malu dan marah, apalagi ketika Ang Lian te rtawa kecil ditahan-tahan  di  belakangnya, lalu berkata lirih, "Kok mencubit, bagaimana sih cici ini?” Saking marahnya Pek Lian menjadi pucat mukanya. Ia mengeluarkan suara bersuit keras dan pedangnya bergerak lagi, kini melakukan  serangan-serangan nekat  dan berbahaya  sekali.  Mendengar  suara sultan  ini. Ang Lian menutup menutup mulutnya karena tahu bahwa cicinya marah  sekali. Ia lalu menggerakkan pedangnya pula membantu saudaranya mengeroyok Tiang Bu.

Tiang Bu memang tidak berniat melukai  dua orang dara ini, hanya ingin merampas kembali barang-barang itu dan mengembalikannya kepada Pangeran Wanyen Ci Lun. Iapun kaget mendengar suitan ini yang ia tidak tahu apa maksudnya. Tiba-tiba diri arah utara terdengar suara suitan semacam itu, akan tetapi jauh lebih nyaring dan panjang, tanda bahwa yang bersuit itu memiliki khikang jauh lebih tinggi dari pada Pek Lian.

"Ceng moi datang ....... bagus..... !” seru Ang Lian ketika mendengar suitan tadi.

Tiang Bu merasa sudah cukup me nggoda maka iapun melompat mundur dengan cara terus lari  ke  utara.  Dua orang gadis itu mengejar, akan te tapi mana mereka dapat melawan Tiang Bu yang mengerahkan ginkangnya? Di atas kuda saja mereka tadi masih belum mampu mengejar Tiang Bu. Apalagi sekarang Tiang Bu mengerahkan ilmu lari cepatnya dan mereka hanya menge jar dengan berlari saja. Sebentar saja mereka tertinggal jauh.

Dari arah depan  terdengar derap kaki  kuda dan muncullah seekor kuda hitam yang tinggi besar dan kuat sekali yang berlari seperti terbang ce patnya di tengah tengah de bu yang mengebul tinggi. Di atas kuda hitam itu duduk seorang  gadis muda berusia antara lima belas tahun, tubuhnya   kecil  ramping  dan mukanya ayu dan  angker seperti muka orang yang biasa dipandang tinggi. Gadis itu tangan kirinya memegang kendali, tangan kanan memegang sebatang  ranting yang agaknya  dipergunakan sebagai cambuk. Melihat munculnya kuda hitam dengan penunggangnya gadis tanggung itu, Pek Lian berseru girang, "Ceng moi !

tolonglah ! Orang itu telah mencuri empat bungkusan kami

….. !"

Mendengar seruan ini diam-diam Tiang Bu mendongkol sekali. Gadis itu telah memutarbalikkan kenyataan, pikirnya. Mereka yang menjadi perampok, sekarang menuduh dia mencuri bungkusan-bungkusan itu. Sebaliknya, gadis ayu yang menunggang kuda itu, tiba-tiba menarik kendali kuda dan serentak kuda hitam itu be rhenti. Debu mengebul tinggi, Tiang Bu kagum bukan main. Menghentikan kuda berlari cepat secara  mendadak  seperti itu benar-benar bukan hal yang mudah, selain membutuhkan kemahiran menunggang kuda, juga harus memiliki ilmu lweekang yang disebut Jian- kin-kang (Tenaga Setibu Kati), yaitu ilmu memberatkan tubuh sehingga dapat menindih dan mengalahkan tenaga lari kuda itu demikian besar dan kuat sedangkan gadis itu demikian kecil, benar- benar sukar untuk dipercaya kalau tidak menyaksikan sendiri.

Pada saat Tiang Bu masih bengong saking  kagumnya, gadis itu sudah 'melayang’ dari atas kuda ke dekatnya. Memang gadis itu se olah-olah me layang, bukan melompat. Demikian ringan tubuhnya serta gerakannya tadi seakan- akan dia hanya sehelai bulu, terbawa angin saja. Kemudian sebelum Tiang Bu hilang kagetnya, gadis itu sudah menggerakkan rantingnya, cepat sekali rantingnya menusuk ke depan. "Cus! Cus! Ujung ranting itu menyolok sepasang mata Tiang Bu dengan gerakan cepat sekali.

Tentu saja Tiang Bu tidak membiarkan sepasang  mata yang hanya satu-satunya dicolok  buta,  cepat  ia  mengelak dan sebagai balasan tangan kirinya menotok ke arah  iga lawan untuk mencari sasarannya. yaitu Yan-goat-hiat. Jalan darah Yan-goat-hiat ini letaknya di de kat ketiak, kalau terke na orang akan menjadi kaku seperti patung. Akan tetapi hebat benar gerakan dara ini. Ia lincah dan gesit, juga kedua kakinya melakukan langkah  yang  aneh mirip langkah ilmu Silat Pat-kwa-kun-hwat. Tahu-tahu gadis itu sudah miringkan tubuh ke kanan, kaki kiri diangkat ke samping me nginjak belakang lutut kaki kanan Tiang Bu dari samping. dan he batnya rantingnya bekerja cepat sekali dan tahu-tahu  tali  yang  menyambung  dua  buah   kantong  dan te rgantung di pundak Tiang Bu telah putus! Tangan kiri gadis itu diulur, menyambar kantong ke dua. Dengan demikian, dalam gebrakan pertama saja gadis ini sudah berhasil merampas dua kantong dan yang tergantung di pundak Thing Bu kini tinggal dua kantong lagi.

"Jangan  takut,  jiwi  cici.  biar  siauw-moi  yang  merampas kembali barang-barangmu dari maling kecil ini !"

Melihat kelihaian gadis muda ini, Tiang Bu tertarik sekali dan merasa suka dan sayang. “Masih begini muda. lebih muda dari pada Ang Lian, ternyata sudah me miliki ilmu silat yang hebat dan aneh! Akan tetapi ia mendongkol juga karena gadis ini amat memandang rendah kepadanya bahkan memakinya maling kecil. He mm, baru berhasil menipuku begitu saja sudah membuka mulut besar, pikirnya gemas.

"Siapa maling kecil? Nona cilik, biarpun kaki tanganmu lincah dan pandai, ternyata otakmu bodoh. Mudah saja ditipu orang. Me reka berdua itu adalah perampok keji yang merampok barang-barang ini di tengah hutan, sekarang mereka menuduh aku yang mencuri barang-barang mereka, bukankah itu sama halnya dengan maling berteriak maling? Dan kau percaya saja. membantu  perampok.  Apakah  kau juga sebangsa perampok?"

"Eeh, kau kurang ajar sekali! Kau bilang kami perampok dan menghina kami. Andaikata kami betul perampok, habis kau sendiri apakah? Kau hanya maling kecil yang mencuri hasil rampokan kedua cici ini." Gadis muda itu menegur sambil tersenyum sindir dan ujung rantingnya sudah ditodongkan ke arah leher Tiang Bu tepat di atas jalan darah Tiong-eu-hiat.

"Aku Tiang Bu seorang laki-laki sejati, tidak sudi menjadi maling! Dua orang bocah itulah yang terang-terangan merampok barang yang dikawal oleh orang-orang Siang-kim sai Pioauw-kiok. Aku merampas empat buah kantong ini bukan dengan maksud menjadi maling, melainkan hendak kukirimkan kembali kepada pemiliknya,  Pangeran  Wanyen Ci Lun di kota raja."

Gadis yang baru datang ini mengangkat kedua alisnya yang hitam dan sepasang mata bintang itu bersinar bersinar penuh selidik kemudian ia tertawa geli. "Kau........... ? Kau mengira orang macam apa kau ini? Berlaku gagah-gagahan, memangnya kau pendekar sakti dari mana sih ? Ketahuilah, manusia sombong, kedua cici itu adalah anak-anak dari Huang-ho Sian-jin!"

"Kau yang sombong, bukan aku!" Tiang Bu menjawab marah. "Dan aku tidak kenal siapa itu Huang-ho Sian-jin, mengapa kausebut -sebut? Yang aku tahu Sungai Huang-ho adalah sungai yang jahat, suka mendatangkan banjir dan malapetaka kepada rakyat, mana bisa ada Sian-jin (Manusia Dewa) di sana? Paling-paling yang ada tentu Huang ho Yauw koai (Siluman Huang ho) apa kau kenal dengan dia?”

Gadis lincah itu tertawa geli, “Kau betul, kau betul !” Rantingnya diturunkan ia perlu mempergunakan tangan menekan perut menahan geli. “Krucuk atau cacing cauk macam kau ini  mana  mengenal  nama  Huang ho  Sianjin  ? Dia memang betul ada  itu  Huang-hu  Youw  koai.  Justeru kare na Youw koai itu pada saat ini sedang mengamuk, maka kedua cici ini datang dan merampas harta dari segala macam okpa (hartawan kejam) seperti bekas menteri dari Kerajaan Kin itu !'

Tiang Bu menjadi bengong dan tidak mengerti, ia merasa dipermainkan, akan tetapi biarpun nona cilik ini sikapnya jenaka dan lincah, akan tetapi kiranya kata-kata seperti itu bukan bermaksud mempermainkan. “Apa artinya kata katamu itu? Coba jelaskan, aku juga bukan orang yang mau menang sendiri."

'Adik Ceng Ceng terhadap maling ke cil ini me ngapa mesti banyak bicara ? Banting saja biar gepeng !"  kata Ang Lian yang  gemas  me lihat   Tiang   Bu   karena   beberapa   kali   ia dipe rmainkan dan dikalahkan.

“Hush, moi-moi, jangan ganggu Ceng-moi !” Pek Lian mence la adiknya.

Aneh, tiba-tiba gadis yang dipanggil  Cang itu mengerling ke arah Ang Lian dan bibir yang manis itu ce mberut.

"Enci Ang Lian, mengapa tidak dari tadi kaubanting sampai gepeng orang ini dan  membiarkan  dia  me rampas empat kantongmu?”

Merah wajah Ang Lian. "Aku ..... aku...” katanya gagap. (Bersambung jilid ke XIII )
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar