Tangan Geledek Jilid 04

Jilid 04

Mari kita ikuti perjalanan Tiang Bu, anak yang nasibnya amat luar biasa itu sehingga semenjak kecil sudah mengalami hal-hal yang hebat dan dia sendiri berganti-ganti jatuh ke dalam tangan orang-orang aneh berkepandaian tinggi.

Telah diceritakan di bagian depan betapa nasib telah melemparkannya ke dalam tangan Bu Hok Lokai, seorang jembel tua perantau yang berilmu tinggi dan jalannya terpincang-pincang. Sampai setahun ia ikut merantau dengan Bu Hok Lokai ini, naik turun gunung, keluar masuk kota dan dusun dan telah menyeberangi entah berapa banyak sungai. Pekerjaan Bu Hok Lokai tak lain hanya mengemis dan kadang-kadang kalau bertemu dengan orang-orang pandai bermain catur, ia sampai lupa diri.

Kakek pengemis pincang ini kuat ber-main catur sampai tiga hari tiga malam tanpa beristirahat sejenak pun, berganti- ganti lawan. Kegemarannya bermain catur luar biasa sekali dan kalau di suatu kota terdapat banyak ahli catur, ia kadang-kadang lupa untuk melanjutkan perjalanannya. Oleh karena gurunya setiap hari hanya mengemis, sebagai muridnya Tiang Bu tak berdaya dan tidak bisa berbuat lain kecuali mengemis. Sebetulnya anak ini tidak sudi mengemis dan sebagai seorang yang pernah hidup bersama dengan Pak-kek Sam-kui, ia pernah melakukan pencurian makanan untuk dia sendiri dan terutama untuk menyenangkan hati

Bu Hok Lokai gurunya.

Akan tetapi tak disangka-sangkanya Bu Hok Lokai menjadi marah sekali, memaki makinya dan mengancam hendak meninggalkannya, bahkan hendak turun tangan membunuhnya!

"Tidaksudi  aku  mempunyai murid maling! Jangan menjadi muridku, dekat saja aku tidak sudi dengan segala maling dan pencuri. Lebih baik tidak makan dan kelaparan daripada mencuri," kata kakek ini marah-marah. "Selama kau berada di sampingku, sekali lagi kau melakukan pencurian aku takkan segan-segan turun tangan membunuhmu!"

Semenjak itu, Tiang Bu merasa jera dan tidak berani lagi untuk melakukan pencurian. Ia rela menderita, bahkan kadang-kadang beberapa hari tidak makan! Ia sama sekali tidak tahu karena masih terlalu kecil, bahwa gurunya ini kadang-kadang sengaja membawa muridnya  menderita, sengaja membiarkan muridnya kelaparan dan sengsara untuk menambah benih-benih ksatria, agar muridnya  ini tahu dan merasa betapa sengsaranya orang yang miskin dan kelak suka mempergunakan kepandaian untuk menolong orang yang sengsara.

Di samping hidup yang serba kurang dan sengsara ini, dengan amat tekunnya Tiang Bu berlatih silat dibawah pimpinan Bu Hok Lokai. Atas nasihat Bu Hok Lokai, Tiang Bu menghafal isi kitab dari Omei-san itu di luar kepala, kemudian kitab itu dibakar! Tiang Bu memang memiliki kecerdikan luar biasa maka tidak sukar baginya untuk menghafal. Dalam waktu setengah tahun, semua dasar dan teori Ilmu Silat Pat-hong-hong-i yang termuat dalam kitab itu telah hafal olehnya.

Setahunsetengah telah lewat semenjak ia ikut dengan Bu Hok Lokai dan pada suatu hari ia dan gurunya tiba di kota raja. Girang sekali hati Tiang Bu ketika ia melihat dinding tinggi yang mengelilingi kota raja. Sudah lama sekali ia mendengar orang bicara tentang kota raja yang besar, indah dan ramai. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa di tempat ini ia dan gurunya akan mengalami penstiwa hebat.

"Tiang Bu, kita berhenti di sini saja. Hari sudah hampir gelap dan tidak enak memasuki kota raja di waktu pintu- pintu gerbang sudah mau ditutup, akan dicurigai. Besok pagi-pagi saja kita masuk ke kota. Lagi  pula,  apanya sih yang bagus dilihat di waktu malam? Kita mengaso di bawah jembatan sana itu. Dulu aku pernah meneduh di sana."

Tiang Bu merasa kecewa karena ia ingin sekali cepat- cepat memasuki kota kaisar. Akan tetapi ia tidak berani membantah kehendak gurunya. Sambil menggandeng tangan gurunya, ia menuruni jalan kecil menurun di tepi jalan raya. Jalan ini menuju ke kolong jembatan besar yang berada di situ. Ketika mereka tiba di kolong jembatan, baru Tiang Bu melihat bahwa tempat itu amat luas dan memang enak dipakai mengaso. Panas tidak kepanasan, hujan tidak kehujanan lagi pula, hawanya hangat di situ.

Di sudut seberang terdapat seorang laki-laki yang duduk dengan muka tersembunyi di antara lututnya yang diangkat. Orang ini pakaiannya compang-camping dan kotor seperti seorang jembel yang sudah melarat betul-betul. Akan tetapi kepala yang mukanya disembunyikan itu gundul peslontos.

Sukar menaksir berapa usia orang ini. Ia tidak bergerak, akan tetapi terdengar ia menggumam dengan kata-kata tak jelas.

“Dia cantik ....... aduh dia cantik mungil seperti

Ibunya ....... anakku ....... cantik seperti Siu Lan ....... ah Siu

Lan.... kalau saja kau bisa melihatnya ....... cantik " lalu orang itu mengeluarkan suara ham-hem-ham-hem tidak karuan.

Selagi Tiang Bu memandang kepada orang gundul itu dengan penuh perhatian, tiba-tiba ia mendengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang dan berkata.

"Perempuan ....... di mana-mana terdapat korbanmu .......

" Tiang Bu memandang suhunya dengan mata bertanya. ”Apa Suhu mengenal dia?" tanyanya.

Gurunya menghempaskan diri di atas rumput yang tumbuh di situ, lalu menarik napas panjang dan menggeleng kepala. "Aku tidak mengenalnya, akan tetapi aku dapat menduga bahwa dia tentu menjadi korban wanita pula, seperti aku."

Mendengar ini, seketika perhatian Tiang Bu kepada orang itu lenyap, dan pindah kepada gurunya. Ia pun duduk di dekat suhunya dan bertanya.

"Kau, Suhu? Korban wanita?"

Bu Hok Lokai mengangguk-angguk dan matanya menatap air di bawah jembatan. Ia termenung dan terbayanglah peristiwa lama yang kadang-kadang membikin perih hatinya, perih hati yang selalu ditahan-tahan. Sekarang, mendapat kawan seorang murid yang disayangnya, ia mendapat kesempatan membuka isi hatinya, melempar ke luar semua penasaran yang meluap di dalam lubuk hati.

"Tiang Bu, sebetulnya kau masih kecil untuk mendengar penuturanku ini. Akan tetapi apa boleh buat, harus kuceritakan kepadamu karena aku tidak tahan lagi. Pula, baik sekali bagimu agar menjadi peringatan bahwa kau harus selalu berhatihati dan waspada kalau kelak berhadapan dengan wanita, apabila wanita cantik yang menarik hatimu nanti. Aku sudah tua dan siapa tahu aku akan mati sebelum menceritakan hal ini kepadamu, maka biarlah sekarang saja kuceritakan kepadamu. Kau lihat keadaanku. Seorang tua bangka sudah mau mampus, tidak berada di rumah anak cucunya melainkan merantau sebatang kara, menjadi pengemis dengan kaki terpincang- pincang. Ini semua gara-gara wanita cantik."

Tiang Bu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya gurunya akan bicara begini. Akan tetapi karena ia diam- diam ingin sekali mengetahui riwayat suhunya, ia diam saja, memandang penuh perhatian dan membuka telinga baik- baik. Secara singkat, diselingi oleh tarikan napas dalam berkali-kali, Bu Hok Lokai menceritakan riwayatnya seperti berikut.

Dahulu Bu Hok Lokai  bukan  seorang pengemis. Dia adalah seorang keturunan bangsawan yang pandai ilmu silat dan ahli sastra sehingga ia terkenal sebagai seorang bun-bu- cwan-jai. Hanya sedikit sayang bahwa Lai  Cin,  demikian nama aselinya, mempunyai wajah yang tak dapat dibilang menarik atau tampan di waktu mudanya. Sebagai seorang bangsawan muda yang pandai dan  beruang ia  selalu menolak kehendak orang tuanya apabila hendak dijodohkan dengan alasan bahwa calon isteri itu kurang menarik, tidak memenuhi idam-idaman hatinya. Akhirnya ia menikah juga dengan seorang gadis tercantik di kotanya, dan pernikahan itu dirayakan dengan ramai dan meriah. Ia mencinta isterinya itu dengan sepenuh hati bahkan  boleh dlbilang bahwa  Lai Cin jatuh berlutut di bawah pengaruh isterinya yang cantik jelita itu sehingga banyak orang mentertawakannya diam- diam dan mengabarkan bahwa Lai Cin mempergunakan sepatu isterinya untuk tempat ia makan dan minum!

Ini semua kiranya takkan mengurangi kebahagiaan

hidup Lai Cin kalau saja isterinya itu mempuriyai kesetiaan. Lai Cin sejak kecil mempunyai seorang sahabat baik yang kemudian menjadi suhengnya (kakak seperguruannya).

Suheng-nya ini bernama Lauw Tek In, seorang pemuda gagah dan ganteng, terkenal sebagai seorang pemuda perantau dan pemogoran. Seringkali Lauw Tek In datang berkunjung ke rumah Lai Cin dan bermalam sampai beberapa pekan di rumah sutenya yang besar dan bagus itu. Semua takkan mengganggu kebahagiaan rumah tangga Lai Cin kalau saja isterinya bukan seorang yang lemah iman dan sahabatnya bukan orang yang berhati anjing. Pada suatu hari Lai Cin mendapatkan isterinya itu bermain gila dengan suhengnya!

Tidak ada peristiwa hebat di dunia ini yang akan dapat menghancurkan hati Lai Cin seperti keadaan hati dan perasaannya ketika ia menyaksikan perbuatan isterinya yang tercinta dan sahabatnya yang boleh dikata menjadi juga saudara tuanya yang ia sayang dan hormati itu. Ia menjadi mata gelap dan menyerang suheng-nya itu mati-matian.

Sebagai suhengnya, tentu saja kepandaian Lauw Tek In lebih tinggi daripada kepandaian Lai Cin. Akan tetapi, pada waktu itu Lai Cin adalah seorang patah hati yang nekad dan menyerang seperti orang gila, sebaliknya Lauw Tek In yang merasa berdosa, telah menjadi gentar dan gugup sehingga akhir pertempuran di dalam kamar itu, Lauw Tek In tewas dan sebaliknya Lai Cin terkena pukulan lihai dari suhengnya sehingga tulang kakinya rusak dan tak dapat diperbaiki lagi membuat ia terpincang-pincang selama hidup. Lai Cin yang sudah hampir gila saking marah dan terpukul batinnya itu lalu mencekik sampai mati isterinya sendiri.

Dalam keadaan terluka dan tak dapat berjalan, ia terpaksa menyerah ketika ditangkap oleh yang berwajib. Akan tetapi dalam pemeriksaan, ia sama sekali tidak mau menceritakan keadaan sebenarnya, hanya menceritakan bahwa ia bertengkar mulut dengan isterinya, kemudian datang suhengnya yang bermalam di situ untuk melerai. Dalam kemarahannya ia malah mengeluarkan kata-kata menghina kepada suhengnya, terjadi pertempuran sampai suhengnya tewas. Kemudian, menyesal karena suhengnya mati dan menganggap isterinya yang menjadi gara-gara, ia membunuh isterinya itu.

Alasan ini sebetulnya tak dapat diterima dan orang-orang sudah dapat mendugaduga sendiri akan peristiwa di kamar itu. Akan tetapi siapakah berani banyak membuka mulut. Juga para  pembesar tidak berani  berlaku keras, karena orang tua Lai Cin mempergunakan semua harta mereka untuk menolong putera tunggal ini, Lai Cin tidak dihukum mati, melainkan dihukum buang. Di dalam penjara, lambat laun kakinya menjadi sembuh biarpun pincang, setelah sehat benar ia lalu melarikan diri dari penjara dan hidup di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar pincang yang berwatak aneh.

Kemudian, melihat betapa bebas hidup para pengemis, ia pun menjadi jembel . sampai di hari tuanya. Hatinya sudah menjadi dingin terhadap kemewahan dunia, perasaannya sudah mati terhadap kecantikan wanita. Kegembiraan hidupnya lenyap terbawa oleh isterinya yang sebenarnya amat dikasihinya itu.

"Demikianlah, muridku. Hidupku selama ini hampa dan kaulah satu-satunya orang yang kuharapkan akan dapat hidup sempurna, kuharapkan dapat menjadi seorang gagah dan budiman. Dan aku merasa khawatir kalau aku teringat akan nasibku, jangan-jangan kau pun akan menjadi korban. Banyak sekali orang gagah yang akhirnya rusak binasa

hanya oleh senyum manis dan kerling memikat. Banyak sekali contohnya, termasuk orang gundul  itu.  Maka kau kelak harus berhati-hati, Tiang Bu. Jangan kauukur hati wanita dari senyum dan kerlingnya. Jangan seperti aku .......

sampai sekarang aku tidak dapat melupakan dia .......

biarpun dia telah menipuku, telah menghinaku "

Tiang Bu merasa kasihan melihat kakek tua pincang ini, yang menunduk dan kelihatan seperti orang mau menangis. Tentu saja Tiang Bu yang baru berusia tujuh tahun lebih itu merasa asing mendengar kata-kata gurunya seperti itu. Akan tetapi ia cukup cerdik untuk menangkap isinya, dan ia merasa kasihan kepada gurunya yang bernasib malang itu.

"Kata-kata, bohong dan berbisa, jahat sekali." Tiba-tiha orang gundul yang tadi duduk sambil menyembunyikan muka di antara lututnya,  berteriak marah  sambil mengangkat muka memandang. "Kakek sial, tidak semua wanita seperti binimu yang berjalan serong. Tidak semua wanita suka berzina dan menipu suaminya. Tidak semua wanita cantik berhati  palsu seperti  binimu. Isteriku yang manis, isteriku yang cantik jelita melebihi binimu,  isteriku Sui Lan cantik lahir batin. Dia pun mati muda, dia pun tidak cinta kepadaku seperti binimu yang tidak mencintamu. Akan tetapi dia tidak berjalan serong seperti binimu. Untuk mengakhiri ketidak-cintanya kepadaku, dia bukan berzina dengan orang lain, melainkan berzina dengan maut sampai maut merenggut nyawanya, meninggalkan seorang bayi!

Jangan bilang wanita cantik berhati palsu kakek sialan. Isteriku Sui Lan seorang bidadari, seorang dewi berhati mulia!" Setelah melontarkan kata-kata penuh kemarahan ini, orang gundul ini lalu menyembunyikan lagi mukanya di

antara kedua lututnya dan melihat betapa tubuh dan pundaknya bergerak-gerak dapat diduga bahwa dia tentu sedang menangis.

Tiang Bu melongo  ketika melihat orang itu. Muka orang itu seperti muka kanakkanak, tentu saja tidak bisa dikata tampan karena orangnya sudah dewasa, tiga puluh lima atau empat puluh tahun usianya akan tetapi berwajah kekanak- kanakan, kepalanya gundul dan matanya liar.

Terdengar Bu Hok Lokai menarik napas panjang.

"Dia lebih menderita daripada aku. Kesedihanku karena kehilangan dia dapat kuhibur dengan anggapan bahwa dia seorang palsu dan jahat, akan tetapi orang itu, kasihan sekali

....... dia selalu akan terkenang kepada isterinya yang berhati mulia. Ah, sudahlah. Tak perlu membangkit-bangkitkan urusan lama yang menyebalkan hati,. Hayo, Tiang Bu. Kau berlatih, Pat-hong-hong-i dapat kau sempurnakan  kelak kalau lweekangmu sudah baik. Sekarang kau harus melatih Sam-hoan Sam-bu sampai baik betul, untuk bekal penjagaan diri sebelum kau dapat menguasai Pat-hong-hong-i." Tiang Bu segera melakukan perintah suhunya dengan senang hati. Ia selalu merasa girang kalau berlatih, karena setiap kali berlatih, di bawah pengawasan suhunya, ia tentu mendapat kemajuan setingkat. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ilmu Silat Pat-hong-hong-i (Delapan Penjuru Angin) adalah ilmu silat yang terdapat dalam kitab yang secara kebetulan terjatuh ke dalam tangan Tiang Bu dan oleh karena ilmu silat tinggi ini tidak mudah dipelajari Tiang Bu, atas nasihat gurunya, menghafal isi kitab di luar kepala sebelum melatih prakteknya. Adapun Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu adalah ilmu silat istimewa, ilmu penjagaan diri yang didapatkan oleh Bu Hok Lokai dari seorang sakti dari Omei- san, yakni orang sakti ke dua di Omei-san yang bernama Tiong Jin Hwesio sebagai hadiah ketika ia diajak bermain catur oleh dua orang sakti di Omei-san.

Dengan penuh semangat Tiang Bu berlatih Ilmu Silat Sam-hoan Sam-bu, tubuhnya berputaran seperti orang menari, nampak gesit sekali dan kedua kaki kecil yang bergerak-gerak di atas tanah itu seakan-akan tidak menyentuh tanah saking cepat dan ringan gerakannya.

Dalam bersilat ini, berbunyi perut Tiang Bu. Telah sehari semalam ia tidak makan apa-apa, perutnya kosong dan cacing perutnya menggeliat-geliat. Cepat anak yang sudah mengikuti banyak orang pandai dan sudah melatih diri dengan dasar-dasar ilmu silat dan lweekang tinggi ini menggunakan tenaga perut untuk menekan bunyi di perutnya sehingga tidak terdengar terlalu keras.

"Anak kecil kelaparan disuruh berlatih silat. Benar-benar keterlaluan jembel tua sialan ini." Kata-kata ini membuat Tiang Bu tertegun dan otomatis ia menghentikan latihannya. Kalau gurunya yang mendengar suara yang keluar dari perutnya tadi, masih tidak mengherankan karena selain gurunya duduk tak jauh dari  tempat  ia berlatih, juga ia sudah tahu akan kelihaian kakek pincang ini. Akan tetapi yang bicara itu adalah orang gundul yang duduknya jauh di sudut sebelah sana jembatan!

Ketika Tiang Bu menengok ke arah orang gundul itu tiba- tiba ia merasa bulu tengkuknya berdiri. Orang gundul itu masih duduk seperti tadi, akan tetapi tidak lagi menyembunyikan muka dan menangis, melainkan sedang makan ular! Ular yang masih hidup nampak menggeliat- geliat, ekor ular dipegang oleh tangan kiri sedang kepala ular sudah masuk ke dalam mulut dan dikunyah-kunyah!

Ketika Tiang Bu melirik kepada suhunya, ia melihat kakek ini pun memandang ke arah orang gundul itu dengan pandang mata aneh dan mukanya merah. Tiang Bu mengira bahwa suhunya merasa dibikin malu oleh kata-kata Si Gundul itu, maka ia hendak membela gurunya dan berkata lantang.

"Gundul Pemakan Ular! Jangan menghina guruku, siapa bilang aku lapar?"

Orang gundul itu memandang kepadanya dengan mulut tersenyum sehingga kelihatan lidahnya yang merah karena darah ular. Ia menggigit putus tubuh ular itu tinggal ekornya saja, lalu berkata, "Bocah bernyali beruang, kau lapar dan perlu makan. Terimalah hadiahku ini!" Tangannya bergerak dan ekor ular itu melayang cepat ke arah muka Tiang Bu.

Tidak percuma Tiang Bu berlatih Sam-hoan Sam-bu selama setahun lebih. Setiap datang serangan, tubuhnya otomatis bergerak mengelak. Demikian pula, biarpun sambitan itu cepat sekali datangnya, ia menuruti gerak otomatis ini, kakinya bergeser, tubuhnya miring dan ekor ular itu lewat tepat di pinggir telinganya.

"Jangan menolak hadiah,  Tiang Bul”  kata  Bu Hok Lokai yang cepat mengulurkan tangan menangkap ekor ular itu. Caranya menangkap luar biasa sekali karena begitu ia mengulur tangan, seakan-akan ekor ular itu terbang ke arah tangannya. Kakek itu memandang ekor ular di tangannya, lalu memberikan benda menjijikkan itu kepada muridnya sambil berkata, "Sahabat itu betul. Perutmu memang lapar dan hadiah ini berharga sekali, hayo lekas makan ini dan menyatakan terima kasih!"

Tiang Bu menerima buntut  ular itu dengan  muka berubah pucat. Apakah gurunya sudah menjadi gila, menyuruh ia makan buntut ular, dan bahkan menghaturkan terima kasih? Akan tetapi, melihat wajah gurunya begitu sungguh-sungguh dan dia memang seorang anak yang taat, Tiang Bu tidak membantah. Cepat ia menjura ke arah orang gundul yang masih memandang padanya sambil mulutnya bergerak-gerak mengunyah daging di mulutnya.

"Sahabat aneh, terima kasih atas pemberianmu," katanya lalu dengan mata dipejamkan ia memasukkan ekor ular ke mulutnya, dikunyah beberapa kali lidah dan mulutnya merasa betapa ekor ular itu seakan-akan bergerak dan rtienggeliat- geliat kesakitan ketika ia menggigitnya. Dapat dibayangkan betapa jijik dan muak rasa tenggorokan dan

perutnya, namun Tiang Bu tidak ingin membikin malu suhunya di depan orang lain. I a mengerahkan tenaga

dalam menolak rasa hendak muntah dan menelan bulat- bulat ekor ular itu ke dalam perutnya. Aneh, begitu buntut ular itu memasuki perut, ia mendengar perutnya berbunyi berkeruyukan tak dapat dicegah lagi. Ia berusaha mengerahkan tenaga dalam perutnya, namun luar biasa sekali, semua tenaga di dalam perutnya telah lenyap, tubuhnya terasa ringan dan hangat enak dan nyaman!

Orang gundul  itu makin  kagum memandang kepada Tiang Bu. Bocah yang dapat berlatih silat demikian tahan uji, sehingga dalam keadaan kelaparan masih demikian tekun berlatih mentaati kehendak guru, kemudian berani membela nama baik gurunya di depan orang lain yang dianggap menghina gurunya, yang dapat niengelak dari sambitan

dengan amat cekatan, lalu mentaati perintah guru rela

berkorban perasaan dan rela makan buntut ular mentah, kemudian kalau gurunya menyuruh dia makan lalu menghaturkan terima kasih bocah itu malah menghaturkan terima kasih dulu baru makan".

Benar-benar bocah yang sukar dicari bandingannya dan patut menjadi murid!

“Jembel tua sialan, kautinggalkan bocah itu untuk menjadi muridku kau tidak becus mengatur murid, memberi makan saja tidak mampu, apalagi mengajar silat yang baik. Mulai saat ini dia menjadi muridku!"

Bu Hok Lokai tersenyum dan matanya berkedip-kedip memandang orang gundul itu.

"Sahabat Gundul Pemakan Ular, kau ini siapakah yang begini lihai dapat menangkap dan makan ular hijau dari daerah barat?.

"Kau mengenal ular hijau tadi? Bagus matamu awas betul.

Aku siapa kau tak perlu tahu, segala macam jembel tua sialan, mana harga mengenal aku? Lebih baik kau pergi dan tinggalkan bocah ini habis perkara. Daripada timbul marahku dan kau mampus di bawah jembatan ini."

Bukan main mendongkolnya hati Tiang Bu mendengar kata-kata orang gundul aneh yang ternyata berwatak sombong dan jahat ini. Juga Bu Hok Lokai, seorang tua yang sudah banyak makan garam dunia dan biasanya amat penyabar, sekarang menjadi merah mukanya.

"Sahabat Gundul Pemakan Ular, biar-pun hanya seorang jembel tua sialan, aku Bu Hok Lokai tidak biasa lari seperti anjing dipukul menghadapi siapapun juga. Apa kaukira setelah kau memberi hadiah ular yang benar-benar berharga dan menjadi obat istimewa untuk muridku, kau lalu boleh berbuat sekehendak hatimu terhadap kami?"

Tiang Bu merasa puas sekali melihat sikap gurunya dan mendengar dampratan ini, maka ia pun memandang kepada orang gundul itu dengan muka mengejek. Orang gundul itu mengeluarkan suara di hidungnya, memandang kepada Bu Hok Lokai dan berkata menggeleng-geleng kepala, "Sayang, membunuh orang sialan seperti engkau memang tidak ada harganya, akan tetapi kau mencari mampus sendiri."

Kata-katanya dikeluarkan dengan lambat-lambat dan muka yang kekanak-kanakan itu tidak memperlihatkan perubahan apa-apa, namun hebat sekali gerakan kedua tangannya. Dua tangan itu bertubi-tubi melakukan gerakan memukul ke depan dan saking cepatnya gerakan ini sampai dua buah lengan itu seakan-akan berubah menjadi delapan. Gerakan ini mendatangkan hawa pukulan hebat yang menyerang Bu Hok Lokai, disusul oleh gerakan tubuhnya yang tiba-tiba melayang ke arah kakek pincang dengan kedua tangan terus melakukan gerakan memukul.

"Hebat ....... ” Bu Hok Lokai berseru kaget dan cepat bagaikan belut kakek ini menggerak-gerakkan tubuhnya melenggang-lenggok. Dalam saat yang amat berbahaya itu ia sudah berhasil mainkan Sam-hoan Sam-bu yang paling sukar akan tetapi ia berhasil membebaskan diri dari serentetan serangan hawa pukulan yang amat luar biasa.

Bu Hok Lokai tidak mau membiarkan lawan terus mendesaknya. Tahu bahwa lawannya yang kelihatan masih sepe rti kanak-kanak mukanya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa dan jahat karena pukulan tadi saja sudah mengandung hawa maut, ia pun lalu cepat maju membalas dengan serangan-serangan kilat. Bu Hok Lokai mempergunakan tongkat bututnya dengan cara istimewa.

Sayang kakinya sudah pincang, kalau saja ia belum bercacat seperti dulu, kiranya orang gundul itu akan dapat  ia kalahkan.

Di lain fihak Si Gundul itu benar-benar lihai sekali dan memiliki ilmu silat yang mengerikan. Ketika pertempuran sudah berlangsung puluhan jurus, kedua lengan orang gundul itu perlahan-lahan berubah menghitam seperti dibakar dan pukulanpukulan yang ia  lancarkan  juga semakin hebat, kini mengandung hawa pukulan yang keluar dari sepasang lengan hitamnya.

Bu Hok Lokai bukan main kagetnya. I a pernah mendengar cerita orang tentang ilmu silat jahat yang disebut  Hek-tok- ciang (Tangan Racun Hitam) yang kabarnya diciptakan oleh seorang manusia iblis dari barat berjuluk See-thian Tok-ong (Raja Racun dari Barat). Inilah gerangan ilmu silat keji itu?

Namun ia tidak sempat menduga-duga dan menghadapi lawan yang begini berbahayanya, Bu Hok Lokai mengubah gerakan-gerakannya. Kedua kakinya tetap mainkan langkah- langkah Sam-hoan Sam-bu untuk melindungi tubuh dari serangan lawan, karena dengan langkah-langkah ini ia demikian gesit sehingga sukar diserang lawan, akan tetapi kedua tangannya melakukan serangan-serangan  balasan yang dahsyat. Ilmu Samhoan Sam-bu sifatnya tidak menyerang, melainkan menghindarkan diri dari serangan lawan, maka pemegang peran utama hanya kedua kaki. Bu Hok Lokai yang sudah menguasai ilmu ini dengan sempurna, kini mencampurnya dengan ilmu serangan dari ilmu silatnya sendiri.

Tangan kanan yang menyerang dengan tongkat, tangan kiri menyusul dengan totokan atau tonjokan, juga kadang- kadang dengan gerakan yang amat cepat, tongkat itu telah berada di tangan kiri, menyerang diikuti tonjokan tangan kanan. Tanpa dapat diduga-duga oleh lawan, tongkat ini berpindah-pindah sehingga lawan gundul itu benar-benar menjadi pening dibuatnya dan telah dua kali tongkat Bu Hok Lokai mengenai sasaran, sekali di pundak dan kedua kali di dada. Akan tetapi, lawan itu ternyata lihai sekali. Totokan di pundak hanya merobek baju dan merusak kulit sedikit, sedangkan gebukan di dada hanya membuat ia terhuyung- huyung dan batuk-batuk beberapa kali, akan tetapi belum cukup kuat untuk merobohkannya.

Tiang Bu girang sekali melihat suhunya dapat melukai lawan dan ia merasa pasti bahwa suhunya akan menang. Akan tetapi sebaliknya, Bu Hok Lokai  merasa khawatir sekali. Lain orang pasti akan roboh binasa atau sedikitnya terluka berat terkena dua kali serangannya tadi. Akan tetapi orang ini biarpun terluka oleh tongkatnya, luka itu agaknya tidak terlampau berat sehingga ia masih dapat terus melakukan serangan.

Akan tetapi sebetulnya, gebukan tong-kat Bu Hok Lokai pada dada tadi sudah mendatangkan luka hebat di dalam dada Si Gundul. Hanya karena orang ini memang memiliki kekuatan yang jauh melebihi orang lain, dan pula karena dia seorang nekad, maka dia masih belum roboh. Begitu terkena gebukan tongkat, Si Gundul ini lalu mengeluarkan seruan ganas dan di lain saat tangan kanan dan kiri merogoh saku mengeluarkan dua ekor ular merah, seekor di tangan kanan dan seekor di tangan kiri!

Tiang Bu mengeluarkan seruan tertahan melihat dua ekor ular ini dan merasa ngeri. Juga Bu Hok Lokai nampak terkejut sehingga kakek ini melompat mundur dua tombak.

"Masih ada hubungan apa kau dengan See-thian Tok- ong?" tanyanya.

Si Gundul aneh itu tertawa  terbahak-bahak melihat kakek jembel pincang itu melompat mundur ketakutan. Tanpa menjawab ia melangkah maju dan menyerang dengan ular merah di tangan kiri. Ular itu kecil saja dan panjangnya tiga kaki, berada di tangan Si Gundul ini merupakan senjata istimewa, pedang hidup yang gigitannya melebihi sepuluh kali tikaman pedang lihainya. Ang-coa (Ular merah) macam ini memiliki bisa yang tidak ada obat penawarnya di dunia, artinya siapa pun juga yang terkena gigitannya pasti akan menghadap Giam-lo-ong (Raja Maut).

Bu Hok Lokai terkejut bukan main melihat permainan ilmu silat yang mempergunakan ular demikian hebatnya. Ia maklum bahwa pertandingan ini adalah pertandingan mati hidup, maka ia pun tidak mau mengalah lagi. Cepat ia mengeluarkan suara seperti harimau mengaum dan kakek pincang ini berubah menjadi seorang yang amat tangkas dan ganas, Tongkatnya berputaran menyambar mengeluarkan angin, penuh dengan tenaga lweekang. Ia sengaja mengarah kepada dua ekor ular yang meluncur pergi datang bagaikan beterbangan itu dan akhirnya ia berhasil menangkis seekor ular di tangan kiri lawannya.

Si Gundul memekik marah ketika darah dan otak muncrat dari kepala ular merahnya yang remuk kepalanya. Cepat bagaikan kilat ia melemparkan tubuh ular ke arah lawannya. Bu Hok Lokai mengelak ke kiri dan tongkatnya menyambar kini mengarah lambung lawannya dengan dorongan keras.

Si Gundul yang nampaknya marah sekali, seakan-akan tidak melihat dorongan tongkat, bahkan ia membarengi gerakan lawan dengan melemparkan ular merah di tangan kanannya ke arah kakek itu!

Akibat dari adu tenaga ini  hebat sekali. Tongkat  di tangan Bu Hok Lokai berhasil "memasuki" lambung dan mendorong sedemikian kerasnya sehingga tubuh Si Gundul itu terlempar dibarengi pekik kesakitan, terjerumus  ke dalam air di bawah jembatan dan hebatnya, bagaikan seekor ikan orang gundul itu berenang ke seberang, mendarat dan

lari terhuyung-huyung menghilang dari situ. Bu Hok Lokai

tidak mengeluarkan suara apa-apa, akan tetapi tarikan mukanya seperti orang menghadapi Raja Maut di depannya. Memang, sesungguhnya kakek ini menghadapi maut karena ular merah di tangan orang gundul tadi kini telah menyantel di pundaknya. Gigi ular yang kecil runcing berbisa itu telah menancap ke dalam daging pundaknya dan seketika itu juga Bu Hok Lokai merasa betapa hawa racun ular telah terbawa oleh aliran darah ke seluruh anggauta tubuhnya!

"Suhu ....... !" Tiang  Bu  berseru  kaget  dan  melangkah maju. Dengan berani anak ini hendak membetot ular yang meng-gigit pundak gurunya.  Akan  tetapi  dengan  tangannya Bu Hok Lokai memberi tanda supaya  Tiang Bu  jangan bergerak. Kemudian tangan kanannya menangkap ekor ular yang menggeliat-geliat dan  memasukkan  ekor  ular  yang masih menggigit pundaknya itu ke dalam mulut, terus menggigit dan menyedot darahnya! Hebat sekali  tenaga sedotan dari kakek ini karena sebentar saja ular itu menjadi lemas,  gigitannya terlepas  dari  pundak  dan  tubuhnya terlepas jatuh di atas tanah lalu mati tanpa dapat menggeliat lagi  karena  darahnya  sudah  terhisap habis oleh  Bu Hok Lokai! Akan tetapi  bersama  dengan  matinya  ular,  tubuh kakek itu pun roboh pingsan.

Tiang Bu menubruk dan memeluk gurunya, diguncang- guncangnya sambil memanggil-manggil.

"Suhu ....... !  Suhu "' ;

Tak lama kemudian Bu Hok Lokai siuman kembali. Nyata ia telah mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk membantu "obat" yang disedotnya dari tubuh ular tadi.

Mukanya sebentar pucat. Racun yang amat kuat dan bertentangan berperang tanding di dalam tubuhnya, saling memperebutkan kedudukan dan kemenangan untuk menguasai nyawa kakek itu"

"Tiang Bu, aku takkan tertolong lagi. Tanpa darah ular tadi, sekarang tentu aku sudah mampus. Racun ang-coa memang tidak ada obatnya. Paling lama sehari semalam

....... " dan Kakek itu roboh pingsan tak dapat siuman kembali selama satu malam di bawah jembatan itu. Tiang Bu menjadi bingung, tak dapat berbuat sesuatu memeluki tubuh gurunya. Se-malam itu Tiang Bu tidak tidur, terus menjaga gurunya. Ia mencetak wajah orang gundul itu di dalam ingatannya dan bersumpah di dalam hati bahwa kelak ia pasti akan dapat membalaskan sakit hati gurunya ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Hok Lokai siuman, membikin girang hati Tiang Bu. Kini kakek itu nampak lebih sehat daripada tadi malam sehingga anak itu mempunyai harapan besar bahwa gurunya kiranya akan dapat sembuh.

"Tiang Bu, mari kita ke kota raja. Aku harus membawa kau ke sana dan memperlihatkan keadaan kota raja yang sudah ingin sekali kaulihat. Marilah, selagi masih ada kesempatan terakhir bagiku." Kakek itu bangun berdiri bersandarkan tongkatnya.

"Suhu, kau masih belum sehat benar. Biarlah tidak melihat kota raja juga tidak apa asal Suhu sembuh kembali. Lebih baik Suhu beristirahat di sini, biar teecu mencari makanan untuk Suhu-"

"Hush, dalam saat seperti sekarang aku tidak boleh dibantah. Hayo ikut aku ke kota raja, di sana banyak makanan, perutmu juga sudah lapar!" kata Bu Hok Lokai dengan suara gembira seakan-akan nyawanya tidak terancam maut.

Dengan terpincang-pincang, dibantu oleh muridnya, Bu Hok Lokai mengajak Tiang Bu memasuki pintu gerbang istana yang terjaga oleh tentara bertombak. banyak sekali orang keluar masuk melalui pintu gerbang ini. Bu Hok Lokai dan muridnya sama sekali tidak menarik perhatian orang karena mereka ini tidak lebih hanya seorang jembel tua bersama seorang pengemis muda yang pakaiannya sudah compang-camping dan penuh tambalan. Yang tua terpincang-pincang dan yang muda menggandeng tangannya dengan muka memperlihatkan kekhawatiran besar. Dengan muka yang gembira Bu Hok Lokai membawa muridnya mengelilingi kota raja, memperlihatkan bagian- bagian yang menarik, bahkan menunjukkan gedunggedung besar tempat tinggal para orang berpangkat. Tiang Bu sama sekali tidak memperlihatkan muka gembira juga tidak tertarik melihat rumah-rumah besar itu bahkan merasa benci melihat betapa di luar pekarangan gedung-gedung itu banyak sekali terdapat jembel-jembel setengah kelaparan berkeliaran ke sana ke mari. Perbedaan keadaan yang amat menyolok.

Keadaan Bu Hok Lokai sebetulnya sudah payah sekali. Makin lama makin payahlah kakek ini dan tadi pun hanya karena pengerahan tenaga yang luar biasa saja maka masih berjalan-jalan. Dengan pengerahan tenaga dalamnya, maka racun ular yang bekerja di tubuhnya makin ganas.

Menjelang senja ia tak dapat menahan lagi, jalannya terhuyung-huyung dan napasnya terengah-engah.

"Suhu !" Tiang Bu yang merasa betapa tangan

suhunya panas seperti terbakar itu cepat -cepat membawa kakek itu ke pinggir jalan. Bu Hok Lokai sudah kehabisan tenaga dan kakek ini menjatuhkan diri di atas rumput.

"Tiang Bu, saatnya sudah hampir tiba. Kau kau

terpaksa harus hidup seorang diri ....... kasihan yang

baik-baik menjaga diri sendiri, muridku ....... " Wajah kakek itu membayangkan keharuan ketika ia memandang kepada Tiang Bu.

"Suhu ......” Tiang Bu hanya dapat memegangi tangan suhunya, matanya yang lebar itu nampak sedih sekali akan tetapi ia tidak menangis. Melihat suhunya terengah-engah dan bibirnya kering sekali, ia lalu berdiri dan berkata.

"Suhu, teecu hendak mencarikan Suhu . minum."

"Ya ....... minum ....... arak, enak sekali " Kakek itu

menjulurkan lidah untuk membasahi bibirnya nampaknya ingin sekali minum. Tiang Bu menjadi ngeri hatinya melihat lidah gurunya sudah menjadi hitam sekali. Cepat ia melompat pergi dan berlari-lari menuju ke rumah makan yang tadi ia lewati bersama gurunya. Ia tahu bahwa mengemis arak adalah hal yang langka dan tak mungkin ia akan bisa mendapatkan arak dengan jalan mengemis.

Mencuri? Ia ter-ingat akan laranganlarangan suhunya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tak perlu banyak ragu. Ia mempergunakan kepandaian dan kecepatannya, selagi orang-orang di dalam rumah makan sibuk dengan makan minum atau memesan masakan, ia  menyelinap dan  dari meja seorang tamu yang sudah setengah mabuk ia berhasil menyambar secawan arak penuh. Tiang Bu berlari-lari ke tempat gurunya dan hatinya perih melihat gurunya sudah melenggut seperti orang mengantuk, mukanya merah sekali, tanda bahwa racun  ular ang-coa  sudah  me-nguasai keadaan.

"Suhu, minumlah ....... " katanya sambili berjongkok dan memberikan cawan arak itu kepada gurunya. Melihat tangan kakek itu menggigil dan matanya sudah setengah tertutup, Tiang Bu lalu membawa cawan itu ke mulut gurunya. Bu Hok Lokai minum arak itu dengan lahap, nampaknya enak dan segar sekali.

"Arak enak ....... kau anak baik ....... hati-hati " Dan

lemaslah seluruh tubuh Bu Hok Lokai, tubuhnya terkulai dan nyawanya melayang!

"Suhu ....... !" Tiang Bu melempar cawan yang masih di tangannya, kemudian ia lalu menubruk dan me meluk mayat suhu-nya sambil menangis. Anak ini memang hanya dapat menangis untuk orang lain, anehnya betapapun hebat penderitaan yang ia alami, ia takkan mau menangis.

Tangisnya menarik perhatian orang dan tak lama kemudian jalan raya itu penuh orang yang merubung untuk melihat apa yang telah terjadi di situ. Sudah lajim bahwa orang-orang lebih banyak tertarik dan ingin tahu daripada ingin menolong. Di antara sekian banyaknya orang, tak seorang pun mau turun tangan menolong.

Paling banyak mereka itu hanya menggeleng-gelengkan kepala menyatakan kasihan. Ini masih mending bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang begitu melihat seorang jembel mati di pinggir jalan, lalu meludah dan berkata menyesal.

"Dasar tak tahu diri! Ketika hidup menyusahkan orang, mengganggu orang makan dan mengotorkan pemandangan. Sesudah mati masih membuat susah orang membikin jijik. Mengapa kalau mau mampus saja memilih tempat di jalan raya dan tidak pergi saja ke kuburan dan menggali tanah sebelumnya?"

Pada saat itu, terdengar teriakan-teriakan. "Minggir! Pangerah Wanyen sekeluarga dalam keretanya lewat!"

Betul saja, dari tikungan jalan muncul sebuah kendaraan yang ditarik oleh empat ekor kuda. Kendaraan ini  cukup besar maka para penjaga berteriak-teriak me nyuruh orang untuk minggir. Ketika kendaraan itu lewat di tempat itu, dari dalam kendaraan terdengar perintah, "Berhenti!"

Tak lama kemudian, beberapa orang pengawal mengusir orang-orang yang merubung jenazah Bu Hok Lokai yang di- tangisi oleh Tiang Bu.

"Minggir, minggir ....... ! Ongya hendak memeriksa kejadian ini!"

Orang-orang yang berada di situ segera mengundurkan diri dan menonton dari jarak jauh.

"Untungsekali, pengemis itu." Terdengar orang berkata. Memang, semua orang di kota raja sudah mendengar akan kebaikan hati keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun yang jauh berbeda dengan bangsawan-bangsawan lain. Bangsawan dan hartawan atau orang berpangkat lainnya mana sudi berdekatan dengan bangsa pengemis. Jangan kata dengan kaum jembel, dengan rakyat kecil saja mereka tidak mau mempedulikan dan tidak sudi berhubungan. Akan tetapi sebaliknya Pangeran Wanyen Ci Lun dan keluarganya terkenal sebagai keluarga bangsawan yang berbudi mulia, yang tak pernah menolak permintaan tolong rakyat sengsara, yang tidak sombong bahkan mendekati rakyat jelata. Inilah sebabnya maka para penonton menganggap bahwa pengemis yang kematian kakeknya itu beruntung karena bertemu dengan kendaraan keluarga Pangeran Wanyen Ci Lun pada saat kesengsaraan.

Pintu kendaraan terbuka dan turunlah seorang laki-laki bangsawan yang berwajah tampan peramah, berusia tiga puluh tahun lebih dan sikapnya agung. Inilah Pangeran Wanyeh Ci Lun, seorang pangeran yang tidak saja amat terkenal di kalangan rakyat, namun juga amat berpengaruh di dalam istana oleh karena ia terkenal cerdik dan merupakan penasehat kaisar dalam banyak persoalan.

"Ah, kasihan sekali ....... " suara ini terdengar dari dalam kereta, suara halus seorang wanita dan tak lama kernudian dari atas kereta turun pula seorang wanita cantik jelita dan bersikap gagah, di belakang Pangeran Wanyen Ci Lun. Dia ini adalah isteri terkasih dari pangeran itu, bukan lain adalah Gak Soan Li, pendekar wanita yang perkasa itu. Di belakang ibunya ini turun pula Wan Sun yang berusia enam tahun lebih dan Wan Bi Li yang berusia empat-lima tahun digandeng oleh kakaknya.

Kalau orang tua-tua lain tentu akan melarang anak-anak mereka turur dari kendaraan melihat jenazah seorang Kakek jembel, akan tetapi Wanyen Ci Lun dan Gak Soan Li tidak melarang dua orang anaknya itu turun, bahkan tidak melarang ketika Wan Bi Li mendekati jenazah Bu Hok Lokai dan bocah berumur lima tahun itu berseru.

"Dia mati digigit ular!"

Wanyen Ci Lun mendekati Tiang Bu dan bertanya dengan suara ramah menghibur. "Anak sengsara, dia apamukah?" "Dia adalah ....... guruku "

Wan Sun tertarik sekali. Anak ini wataknya agak keras dan tidak mau kalah, mendengar disebutnya guru, ia segera bertanya kepada Tiang Bu yang sudah mengeringkan air matanya karena malu melihat banyak orang, "Guru apa ?

Guru silatkah, atau menulis?"

Tiang Bu tidak mau membuka  rahasianya,  karena urusan persilatan mendatangkan bencana saja. Buktinya, gurunya juga tewas karena ada orang hendak mengambilnya sebagai murid. Ia menggeleng-gelengkan kepala tanpa menjawab. Akan tetapi Wan Sun tidak puas.

"Kalau bukan guru silat atau surat, habis ia guru apa, dan kau belajar apa?"

"Guru ....... mengemis!" jawab Tiang Bu dan Wan Sun tersentak ke belakang oleh jawaban ini. Wajahnya yang tampan seketika itu juga memperlihatkan perasaan kasihan.

"Di mana rumahmu?" tanya Pangeran Wanyen Ci Lun kepada Tiang Bu.

"Aku tidak punya rumah, kata guruku, tanah ini lantaiku dan langit atapku," jawab Tiang Bu, jawabannya yang kasar itu tidak membikin marah Wanyen Ci Lun, sebaliknya ia menarik napas panjang karena merasa kasihan. Anak jembel tidak terpelajar, sampai-sampai membawa diri bersopan santun saja tidak bisa.

"Anak, jangan kau  bersedih. Jenazah gurumu ini serahkan saja kepada kami untuk mengurus penguburannya dengan baik-baik. Tentang kau sendiri, kalau kau suka, kau boleh ikut dengan kami menjadi pelayan dan bekerja di rumah kami."

Biarpun hatinya sedang berduka dan Tiang Bu berjiwa sederhana, namun ia masih tahu akan terima kasih, dan diam-diam merasa heran dan kagum mengapa di dunia yang didiami penuh orang-orang jahat ini terdapat seorang bangsawan tinggi seperti ini. Serta-merta ia menjatuhkan diri berlutut di depan Wanyen Ci Lun sambil berkata dan mendongakkan kepalanya menatap wajah pangeran itu.

"Tai-ya sungguh mulia dan hamba selamanya akan ingat kepada Tai-ya sebagai seorang muliawan. Hamba berjanji akan berusaha membalas kebaikan Tai-ya, dan andaikata hamba tak dapat memenuhi janji ini, biarlah Thian yang akan membalas budi Tai-ya. Mohon tanya siapakah nama Tai-ya agar selama hidup hamba takkan lupa?"

Kalau Pangeran Wanyen Ci Lun bukan seorang pangeran yang sudah banyak melakukan perantauan di dunia kang- ouw dan menyaksikan keanehan-keanehan, tentu ia akan menganggap bocah itu lancang dan kurang ajar. Akan tetapi ia tahu bahwa bocah ini bukanlah bocah biasa, maka sambil tersenyum ramah ia menjawab.

"Aku bernama Wanyen Ci Lun dan kau tak perlu mengingat tentang budi. Asal kau mau bekerja kepada kami, sudah cukup baik dan "

Kata-kata Wanyen Ci Lun terhenti karena pada saat itu terdengar suara ketawa aneh sekali, suara ketawa

bermacam-macam ada yang seperti ringkik kuda, ada seperti burung hantu dan ada yang seperti auman harimau.

Kemudian tiba-tiba berkelebat bayangan orang orang dan tahu-tahu tiga orang kakek yang mengerikan telah berdiri di tengah-tengah tempat yang dikelilingi orang itu! Tiang Bu terkejut sekali ketika mengenal mereka, karena mereka itu bukan lain adalah Pak-kek Sam-kui. Tiga Iblis Kutub Utara!

"Bocah gila, kiranya kau minggat sampai di sini!" seru Giam-lo-ong Ci Kui Si Jangkung Gundul dan sepasang mata- nya berputaran mengerikan.

"Dia menipu kita!" Seru Liok-te Mo-ko Ang Bouw Si Muka Burung dengan mata dipejam-pejamkan, alisnya berkerut- kerut. Terdengar auman keras menggetarkan dan Sin-saikong Ang Louw Si Muka Singa melompat maju. "Bocah jahanam harus mampus saja!" Ia mengangkat tangan hendak memukul kepala Tiang Bu, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Siluman-siluman tak tahu sopan. Mundurlah!" Bentakan ini dibarengi dengan sinar pedang yang dengan amat cepatnya menyabet ke depan tubuh Ang Louw sehingga kalau Si Muka Singa itu melanjutkan pukulannya kepada Tiang Bu, tentu lengannya akan terbabat pedang. Cepat sekali Ang Louw menarik tangannya dan menggerakkan jari tangannya menyentil pedang itu.

"Cringgg ....... !" Pedang terpental akan tetapi tidak terlepas dari tangan Gak Soan Li. Namun nyonya ini kaget setengah mati karena sentilan pada pedangnya itu membuat tangannya hampir lumpuh.

"Bagus, Toanio lihai juga..." Ang Louw memuji. Memang ia merasa kagum melihat seorang wanita bangsawan yang cantik dan masih muda ternyata memiliki kepandaian tinggi sehingga pedang yang  dipegangnya tidak terlepas  oleh sentilan jarinya. "Kami berurusan dengan murid sendiri, apakah Toanio mau mencampuri?"

Pangeran Wanyen Ci Lun membentak para pengawalnya yang sudah mencabut senjata dan mengurung tiga orang aneh itu. Dari sentilan tadi dan melihat wajah isterinya, pangeran ini maklum bahwa tiga orang kakek aneh yang muncul secara tiba-tiba itu tentulah bukan orang-orang biasa. Ia cepat menjura kepada mereka dan berkata.

"Sam-wi Lo-enghiong harap suka memaafkan kami dan kiranya urusan ini perlu dibuat terang agar jangan terjadi hal yang tidak diinginkan. Tentu saja isteriku tidak akan mencampuri urusan orang lain, hanya tadi isteriku melihat seorang bocah mau dipukul mati, tentu saja merasa kasihan dan bermaksud menolong. Tidak tahu siapakah Sam-wi Lo- cianpwe dan ada hubungan apa dengan bocah yang kematian gurunya ini."

"Kematian gurunya? Hah, kami gurunya. Siapa yang mati, dan siapakah kau ini, bangsawan muda?" tanya Giam-lo-ong Ci Kui.

"Kami tadi mendapatkan anak ini menangisi jenazah seorang kakek tua di tempat ini dan menurut pengakuannya, kakek itu adalah gurunya."

"Guru mengemis!" Wan Sun cepat menyambung kata-kata ayahnya. Bocah ini pun cerdik. Dari sikap dan kata-kata tiga orangkakek aneh itu, Wan Sun menduga bahwa Tiang Bu tentulah telah lari dan bertukar guru, maka ia cepat-cepat menyambung kata-kata ayahnya untuk menolong Tiang Bu.

Tiga orang kakek itu saling pandang dengan heran, lalu Ang Bouw bertanya kepada Tiang Bu yang masih berlutut.

"He, setan cilik.

Benarkah kau menjadi murid orang lain untuk belajar mengemis?"

"Betul, Sam-suhu."

Tiga orang kakek itu tertawa bergelak dan banyak penonton menjadi ketakutan, bahkan ada yang menggigil kaki mereka mendengar suara ketawa ini. Kemudian mereka memandang kepada Pangeran Wanyen Ci Lun dan bertanyalah Giam-lo-ong Ci Kui dengan nada terharu.

"Bagaimana seorang bangsawan besar seperti kau ini mau mengurus perkara para jembel? Siapakah kau?"

Wanyen Ci Lun tersenyum mendengar ini, "Aku adalah Wanyen Ci Lun "

"Pangeran Wanyen Ci Lun?" Tiga orang kakek itu menegaskan dengan suara hampir berbareng.

"Betul, apakah Sam-wi Locianpwe sudah mendengar namaku yang tidak berharga?" Kembali tiga orang kakek aneh itu tertawa bergelak-gelak. .

"Mungkin namamu tidak berharga, akan tetapi, kepala Pangeran Wanyen Ci Lun berharga sekali'." kata-kata ini dikeluarkan oleh Ci Kui dan serentak mereka maju menyerang pangeran itu!

Namun Gak Soan Li sudah waspada. Sejak tadi ia sudah siap sedia dan curiga terhadap tiga orang kakek ini maka diam-diam ia sudah memberi isarat kepada para pengawal. Begitu tiga orang kakek itu bergerak, Soan Li sudah memutar pedangnya menerjang Giam-lo-ong Ci Kui sedangkan sepuluh orang pengawal yang berkepandaian lumayan telah menyerang pula sambil memutar senjata melindungi Pangeran Wanyen Ci Lun.

Pertempuran hebat segera terjadi di jalan raya itu. Para penonton bubar dan lari ke sana ke mari panik. Para pengawal itu ternyata sama sekali bukan tandingan Pakkek Sam-kui yang bertempur sambil tertawa-tawa. Sebentar saja empat orang pengawal roboh binasa dengan kepala pecah, terkena pukulan-pukulan Liok-te Moko Ang Bouw dan Sin- saikong Ang Louw. Yang lain-lain menjadi gentar juga menghadapi dua orang kakek yang lihai sekali ini.

Sementara itu, biarpun Giam-lo-ong Ci Kui paling lihai di antara tiga orang kakek ini, namun ia menemui tandingan yang tidak begitu empuk seperti dua orang adiknya.  Gak Soan Li adalah pendekar wanita yang ilmu pedangnya kuat dan ganas. Sungguhpun tingkat kepandaiannya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan Giam-lo-ong Ci Kui, namun kakek gundul ini tidak dapat cepat-cepat mengalahkan nyonya pangeran ini. Gak Soan Li terkurung dan terdesak hebat oleh Giam-lo-ong Ci Kui yang mempergunakan kain selendangnya sebagai senjata. Nyonya ini menjadi nekad dan pedangnya menyambar-nyambar seperti naga mengamuk.

Pangeran Wanyen Ci Lun maklum bahwa isterinya berada dalam bahaya. Ia menjadi gelisah sekali. Untuk membantu isterinya, ia tahu bahwa hal itu hanya akan mengacaukan pertahanan Soan Li, karena kepandaiannya sendiri masih belum ada artinya kalau dipergunakan untuk menghadapi seorang selihai kakek gundul ini. Ia lalu mengeluarkan alat memanggil dan melengkinglah suitan berkali-kali dari mulut pangeran ini, sebagai tanda kepada seluruh pengawal di istana bahwa ada bahaya mengancam. Tanda bahaya seperti ini akan mendatangkan seribu orang pengawal bersama puluhan orang panglima yang berkepandaian tinggi yang tersebar di seluruh kota raja, terutama sekali di lingkungan istana! Hanya orang-orang besar seperti Pangeran Wanyen Ci Lun yang memiliki hak membunyikan tanda bahaya ini.

Akan tetapi terlambat. Pada saat ia meniup alat itu Giam- lo-ong Ci Kui telah berhasil melibat pedang di tangan Soan Li dengan kain selendangnya dan sekali betot saja pedang itu telah berpindah tangan. Kemudian sambil tertawa-tawa mengejek Ci Kui menggunakan pedang rampasannya untuk membabat batang leher Wanyen Ci Lun sambil berseru.

"Wanyen Ci Lun, ke sinikan kepalamu untuk kubawa!" Akan tetapi Gak Soan Li sudah kena dirampas pedangnya,

melihat bahaya besar mengancam jiwa suaminya, cepat

meloncat bagaikan seekor kucing, menubruk kakek itu sambil membentak.

"Jangan bunuh  suamiku!" Giam-lo-ong Ci Kui terkejut sekali. Gerakan nyonya ini demikian cepat dan nekad sehingga tak dapat disangsikan lagi bahwa pedang di tangannya tentu akan membabat putus lengan kanan nyonya yang berusaha menyelamatkan suaminya itu juga Wanyen Ci Lun menjadi pucat sekali, lalu meramkan matanya agar jangan menyaksikan betapa isterinya terbabat oleh pedang sendiri.

"Traaangngng..;. .Pedang di tangan Giam-lo-ong Ci Kui terbentur oleh sebuah sinar terang dan aneh sekali, kakek yang tinggi kepandaiannya ini sampai terhuyunghuyung ke belakang dan pedang itu patah menjadi dua! Melihat bahwa yang membentur pedang di tangannya itu adalah sebutir pat-kwa-ci (biji segi delapan), berubah muka Ci Kui dan ia berseru kepada adik-adiknya.

"Melihat muka Ang-jiu Mo-li, kita ampunkan Wanyen Ci Lun dan mari kita pergi'"

Ang Bouw dan Ang Louw juga terkejut sekali apalagi mendengar seruan suheng mereka itu, cepat mereka melompat pergi melalui kepala banyak orang. Akan tetapi Ci Kui tidak mau pergi begitu saja, tangan kirinya menyambar dan di lain saat tubuh Tiang Bu telah dikempitnya dan dibawa lari pergi bersama dua orang sutenya.

Tak seorang pun berani mengejar mereka  yang cepat lenyap dari pandangan mata. Wanyen Ci Lun memeluk isterinya dengan hati penuh rasa sukur bahwa isterinya terbebas dari kematian. Juga Soan Li mengucurkan air mata melihat suaminya selamat. Wan Sun dan Wan Bi  Li mendekap baju ibu mereka karena dua orang anak ini masih merasa ketakutan.

"Sungguh beruntung ada seorangsakti menolong." bisik Soan Li kepada suaminya. Ia lalu menjura ke empat penjuru dan berkata dengan suara nyaring, mengerahkan khikangnya agar suaranya terdengar dari tempat jauh. "Locianpwe yang telah menolong nyawa keluarga Wanyen dari bahaya maut, harap sudi memperlihatkan diri agar kami dapat menghaturkan terima kasih!"

Semua orang yang mendengar kata-kata  nyonya pangeran ini menjadi terheran-heran akan tetapi mereka melongo ketika tiba-tiba terdengar suara perlahan akan tetapi jelas sekali sehingga seperti orang berbisik di dekat telinga.

“Kalian pulanglah, pinni (aku) menanti kalian di rumah." Pangeran Wanyen Ci Lun terheran dan tidak mengerti,

akan tetapi istennya lalu menarik tangannya dan mengajak

dua orang anaknya cepat meninggalkan tempat itu dan kembali ke istana mereka. Kereta dijalankan lagi, jenazah empat orang pengawal diurus oleh kawan-kawannya dan ramailah orang berbicara tentang peristiwa aneh tadi.

Banyak yang memuji akan kegagahan nyonya pangeran.

Di dalam kendaraannya, Wanyen Ci Lun berkata kepada isterinya. "Apakah yang terjadi dengan bocah yang kematian gurunya itu, dan mengapa tiga orang iblis itu membawanya?"

Soan Li mengerutkan alisnya yang bagus bentuknya. "Entahlah, akan tetapi jangan kita pedulikan anak itu. Semenjak melihatnya aku sudah merasa tidak suka kepadanya."

"Eh, mengapakah kau ada perasaan demikian? Kita baru melihat dia untuk pertama kali dan apa salahnya?"

"Aku tidak tahu. Begitu melihatnya, aku mendapat perasaan seakan-akan bocah itu hanya mendatangkan malapetaka belaka. Dan tepat sekali perasaan itu, baru saja ia kita ajak bicara, muncul malapetaka berupa tiga orang lihai. Apalagi kalau diingat bahwa tiga orang iblis itu mengakuinya sebagai murid. Ah, anak itu tentu bukan manusia baik, dan entah siapa pula kakek jembel yang sudah menjadi mayat itu." Wanyen Ci Lun menarik napas panjang. "Memang dunia kang-ouw banyak sekali manusia aneh, dan makin lama makin banyak kita melihat orang-orang pandai luar biasa.

Aku kira bahwa kakek jembel yang sudah mati itu pun orang luar biasa." Pangeran ini teringat akan ucapan puterinya ketika mereka baru turun dari kendaraan. "Bi Li, kau tadi bilang dia mati digigit ular. Betulkah itu?"

"Betul Ayah," jawab Bi Li dengan kepala. tunduk dan anak ini rupanya masih kaget karena peristiwa hebat tadi.

"Siapapun juga adanya kakek jembel itu, aku sudah menyuruh pengawal merawat jenazahnya baik-baik. Yang kuherankan adalah tiga orang iblis tadi. Mereka itu belum pernah kukenal, akan tetapi mengapa begitu mendengar namaku mereka lalu berusaha membunuhku?"

Gak Soan Li nampak bergidik ngeri. "Mereka itu lihai sekali. Seorang saja di antara mereka memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada kepandaianku. Kiranya kepandaian mereka sudah setingkat dengan kepandaian mendiang Suhu Hwa l Enghiong Go Ciang Le! Aku pun tidak dapat menduga siapa adanya mereka itu. Mereka memang lihai luar biasa. Akan tetapi kalau aku mengingat akan penolong kita yang dengan satu lemparan pat-kwa-ci telah berhasil menolong nyawa kita dan mengusir tiga orang iblis itu, sukar membayangkan betapa tingginya ilmu kepandaian penolong kita itu."

Diam-diam Wanyen Ci Lun menduga bahwa orang yang menolong mereka itu bukan lain tentulah Wan Sin Hong adanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau menyebut- nyebut nama orang ini di depan isterinya dan pula ia juga masih meragukan kebenaran dugaannya. Andaikata benar Wan Sin Hong yang menolong tadi, mengapa pendekar itu tidak mau terang-terangan, bahkan mengapa pula menyuruh mereka pulang dan suaranya berbeda dengan suara Wan Sin Hong. Begitu kereta berhenti di depan pekarangan istananya Soan Li melompat turun dan bertanya kepada para penjaga di depan apakah tadi ada tamu datang. Para penjaga menjawab tak melihat seorang pun tamu datang di situ.

Wanyen Ci Lun tahu bahwa isterinya tentu mengira penolong

itu mendahului datang di situ. I a merasa kasihan melihat isterinya! nampak kecewa mendengar jawaban para penjaga. Diam-diam makin tebal dugaan Wanyen Ci Lun bahwa penolong mereka tentulah Wan Sin Hong yang tidak mau menemui secara berterang dan agaknya malam nanti baru akan muncul di kamarnya sendiri.

Akan tetapi, alangkah kaget dan heran hatinya ketika mereka semua tiba di ruangan dalam, di situ mereka melihat seorang wanita berpakaian seperti seorang pertapa,

berwarna putih semua. Mukanya cantik sekali dan kemerah- merahan, rambutnya hitam panjang terurai di punggung dan pundak sehingga biarpun rambut itu mendatangkan keindahan namun agak menyeramkan. Sebuah pedang menempel di pundak dan wanita ini berdiri dengan mata bersinar-sinar, memandang ke arah Wan Sun dan Wan Bi Li.

Gak Soan Li menjadi kaget dan kagum sekali. Tidak saja wanita ini dapat  mendahului mereka, bahkan dapat memasuki istana tanpa terlihat oleh seorang pun penjaga dan pengawal! Ini saja sudah membuktikan betapa tinggi kepandaian wanita ini. Soan Li merasa pasti bahwa inilah orangnya yang telah menolongnya tadi, biarpun ia kaget sekali karena tidak mengira bahwa penolongnya seorang wanita demikian cantiknya.

Baginya mudah saja menentukan bahwa inilah orangnya, karena tadi ia mendengar iblis jangkung gundul menyebut nama Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah) sedangkan wanita cantik di depannya ini mempunyai dua buah tangan yang merah seperti diwarnai gin-cu! Karena sudah yakin bahwa inilah penolongnya, Soan Li tanpa ragu- ragu lagi lalu menggandeng tangan dua orang anaknya menjatuhkan diri berlutut.

"Teecu sekeluarga menghaturkan terima kasih atas pertolongan Locianpwe sehingga nyawa kami sekeluarga terpelihara," kata Soan Li dengan sikap merendahsekali. Adapun Wanyen Ci Lun yang menjadi tertegun karena sama sekali tak disangkanya bahwa wanita cantik ini yang tadi menolongnya, hanya menjura. Sebagai seorang pangeran tentu saja ia tidak bisa berlutut di depan siapapun juga. Ia memberi hormat dengan menjura dan berkata.

"Siankouw, selamat datang di rumah kami dan maafkan kalau kami terlalu lama di jalan membuat Siankouw terlalu lama menanti."

Wanita itu menggerak-gerakkan tangan kirinya dan terdengar ia berkata, suaranya halus akan tetapi tajam rnenusuk telinga. "Tidak apa, tidak apa! Kalian ini keluarga bangsawan agung, mengapa memberi hormat kepada orang rendah seperti aku? Hujin, bangunlah!" Sekali ia mengibaskan tangan, Soan Li merasa seperti tubuhnya diangkat oleh tangan yang kuat sekali sehingga ia bangkit berdiri dengan tiba-tiba. Anehnya, dua orang anaknya tidak ikut berdiri, jelas bahwa wanita aneh ini tidak menyuruh dua orang bocah itu berdiri.

"Locianpwe, silakan duduk ....... " kata pula Soan Li. "Tak usah, aku tidak lama di sini. Hanya ada sedikit

urusan hendak disampaikan kepada kalian suami isteri."

Wanyen Ci Lun dan Soan Li merasa tidak enak sekali. Kalau seorang aneh dan sakti seperti wanita ini bilang ada urusan, betapapun kecilnya urusan itu pasti amat pentingnya.

"Bolehkan kami mengetahui lebih dulu siapakah sebetulnya Siankouw ini? Sungguh tidak enak bagi kami kalau belum mengetahui nama besar penolong kami." kata Wanyen Ci Lun karena pangeran ini tidak berani berlaku sembrono dan lancang sebelum mengenal siapa wanita ini. Kalau kawan tidak apa, akan tetapi kalau lawan ia dapat bersiap-siap mendatangkan bala bantuan.

"Lihatsaja kedua tanganku yang merah dan kalian akan tahu siapa aku ini," jawab wanita itu dengan suara dingin seakan-akan mengejek.

"Kalau teecu tidak salah duga, Locianpwe ini tentulah Ang-jiu Nio-nio (Dewi Bertangan Merah), bukan?" kata Soan Li cepat, khawatir kalau-kalau suaminya salah bicara.

Wanita itu tertawa, wajahnya manis sekali kalau tertawa akan tetapi suara ketawanya menyeramkan, hanya patut terdengar di tengah malam di dalam kuburan yang sunyi.

Suara ketawa siluman!

"Hujin terlalu sungkan. Di dunia ini, tidak ada orang yang menyebut aku  dengan sebutan Nio-nio. Panggil  saja sebutanku yang sesungguhnya, yaitu Ang-jiu Mo-li (Iblis Wanita Bertangan Merah)."

"Mana berani teecu berlaku kurang ajar? Seorang sakti seperti Locianpwe patutnya menjadi seorang dewi. Hanya orang kurang ajar dan buta saja yang berani menyebut iblis wanita," kata Soan Li penasaran. Ia merasa amat kagum terhadap penolongnya ini, maka tentu saja hatinya tidak mengijinkan orang menyebutkan iblis wanita.

"Sudahlah, kau boleh menyebutku apa saja." Ang-jiu Mo- li berkata dengan wajah ramah dan senyum manis. Biarpun dia ganas dan liar seperti iblis, tetap saja dia seorang wanita yang memiliki sifat-sifat kewanitaan pula, yakni paling suka akan  pujian!  "Sekarang baik kuberi-tahukan  tentang maksud kunjunganku. Aku melihat dua orang anakmu ini bertulang baik sekali dan kebetulan sekali memang aku hendak mencari murid. Pendeknya aku datang untuk membawa mereka bersama-sama dan menjadi murid- muridku." Dapat dibayangkan betapa terkejut hati Wanyen Ci Lun mendengar ini. Ia cepat memandang kepada isterinya untuk melihat reaksi isterinya akan maksud wanita aneh itu, dan untuk mempersiapkan segala kemungkinan kalau saja isterinya sependapat dengan dia yaitu tidak setuju anak mereka dibawa pergi. Akan tetapi kekagetannya menjadi kekhawatiran juga keheranan ketika isterinya dengan wajah berseri lalu berkata kepada dua orang anaknya.

"Sun-ji dan Bi Li, hayo kalian lekas memberi hormat kepada Nio-nio!" Dua orang anak itu mentaati perintah ibunya dan mereka cepat memberi hormat sampai jidat mereka membentur lantai. Ada-pun Soan Li sendiri tanpa menanti suaminya menyatakan sesuatu yang tidak sesuai dengan rencananya, cepat berkata menjawab Ang-jiu Mo-li.

"Terima kasih hanyak atas perhatian Nio-nio terhadap dua orang anakku yang bodoh. Sungguh mereka mendapat anugerah besar sekali dari Thian bahwa Nio-nio telah sudi mengambil mereka sebagai murid. Aku akan segera menyuruh pelayan menyediakan sebuah kamar bersih dan tenang untuk Nio-nio dan menyediakan tiga orang pelayan untuk melayani segala keperluan Nio-nio di sini."

Baru lega hati Wanyen Ci Lun mendengar kata-kata isterinya ini dan ia mengharap wanita aneh itu akan menerima usul ini. Bagi Wanyen Ci Lun, dua orang anaknya mendapat guru pandai tentu saja merupakan hal yang menggembirakan karena pangeran ini dapat merasai pentingnya ilmu silat. Yang membuat ia menjadi merasa khawatir hanya kalau kedua anaknya dibawa pergi oleh wanita itu. Hal ini ia merasa berat sekali, apalagi dalam suasana seperti sekarang di waktu kerajaan menghadapi ancaman musuh-musuhnya dan ia mempunyai rencana untuk menyuruh anak isterinya mengungsi. Kalau dua

orang anaknya dibawa pergi, habis Soan Li bagaimana, dan dia sendiri akan selalu mengkhawatirkan keadaan anak isterinya. Beda soalnya kalau anak isterinya mengungsi ke Kim-bun-to di rumah Coa Hong Kin dan Go Hui Lian, ia merasa yakin bahwa anak isterinya berada di tempat yang aman dan di tangan kawan-kawan sendiri yang boleh dipercaya.

Ang-jiu Mo-li tersenyum dan diam-diam ia kagum atas kecerdikan nyonya pangeran itu, yang telah mendahuluinya dengan usul supaya ia tinggal di situ dalam mengajar dua bocah itu.

"Mereka takkan maju kalau belajar di sini saja. Mereka harus melakukan perantauan, harus mengalami betapa sulitnya hidup di luar istana yang serba ada. Pinni bermaksud mengajak mereka merantau di dunia kang-ouw dan pinni bermaksud menjadikan mereka dua orang yang kelak akan menjagoi kolong langit!"

Wanyen Ci Lun menjadi pucat, akan tetapi Soan Li dengan wajah tenang tidak berubah menjawab.

"Nio-nio, biarpun aku tidak mempunyai kepandaian yang berartl, namun dahulu aku adalah murid Hwa l Enghiong, maka aku pun maklum akan kebenaran kata-kata  Nio-nio tadi. Memang tentu saja kami tidak akan berkeberatan kalau sewaktuwaktu Nio-nio mengajak mereka merantau. Akan tetapi tentu saja jangan sekarang di waktu mereka masih kanak-kanak, selain membutuhkan kasih sayang ayah ibu, juga  mereka  perlu  mempelajari  ilmu surat.  Tentu saja  Nio- nio tidak akan suka kalau kelak ada orang-orang kang-ouw bilangbahwa kedua orang murid Nio-nio hanyalah orang- orang kasar yang tidak mengenal mata surat bukan? Oleh karena itulah, Nio-nio, kami mengharap dengan sangat, memohon kepadamu sudikah membagi anak-anak ini di antara kita. Maksudku, di waktu kecil Nio-nio mengajar mereka di sini dan kami berjanji takkan mengganggu Nio-nio, dan kelak kalau sudah besar, kadang-kadang boleh saja Nio- nio ajak mereka merantau. Bukankah jalan ini paling baik dan adil dan Nio-nio  tidak mengecewakan  menjadi  pujaan kami keluarga Wanyen?" Ang-jiu Mo-li menatap wajah Gak Soan Li. Tadinya ia hendak marah mendengar orang berani membantah kehendaknya, akan tetapi Ang-jiu Mo-li bukan seorang bodoh. Ia sudah tahu betapa besar kekuasaan Pangeran Wanyen Ci Lun dan bahwa kota raja bukanlah tempat di mana ia boleh sembarangan bergerak. Sekali ia melakukan pelanggaran dan keluarga ini nekat melakukan perlawanan, ia tentu akan menghadapi pengawal-pengawal istana yang pandai-pandai dan terutama sekali yang amat banyak jumlahnya. I a amat suka melihat dua orang anak itu, terutama sekali Bi Li. Sinar mata anak ini mendatangkan rasa sayang dalam hatinya karena ia maklum bahwa kalau

anak ini terdidik baik, kelak akan lebih lihai daripada dirinya sendiri! Pula tempat ini amat indah, dan menyenangkan, apa salahnya kalau dia tinggal di situ untuk beberapa lamanya.

Kalau sudah bosan, mudah saja baginya untuk pergi. Kalau perlu, ia dapat juga membawa kedua muridnya minggat.

"Hujin, kau benar-benar seorang ibu yang penuh kasih sayang kepada anak-anaknya dan seorang wanita yang berani dan cerdik. Baiklah, pinni menerima usulmu itu dan biarlah untuk sementara ini pinni tinggal di sini mengajar kedua anakmu.

Dapat dibayangkan betapa girangiiya hati suami isteri itu. Sibuk mereka menyediakan kamar yang indah dan bersih untuk Ang-jiu Mo-li, bahkan malamhya Pangeran Wanyen Ci Lun menjamu makan minum kepada guru anak- anaknya. Dalam perjamuan ini mereka bertiga bicara dengan ramah dan berceritalah Ang-jiu Mo-li siapa adanya tiga orang kakek itu.

"Mereka bertiga adalah kaki tangan Raja Mongol yang bernama Temu Cin. Tentu saja mereka hendak membunuh Wanyen Ongya, karena kalau hal itu berhasil mereka tentu akan mendapat hadiah dari raja mereka. Adapun jembel tua yang mampus di pinggir jalan itu, kalau tidak salah  adalah Bu Hok Lokai, seorang kangouw yang tidak berdosa dan tak pernah bermusuhan dengan orang. Entah siapa yang membunuhnya. Bocah itu memang murid Pak-kek Sam-kui karena pinni pernah melihat dia bersama tiga orang Mongol itu. Pinni juga tidak tahu bagaimana ia bisa bersama Bu Hok Lokai."

Di dalam percakapan itu, setelah banyak minum arak wangi, Ang-jiu Mo-li dengan bangga menceritakan bahwa dia adalah murid dari seorang pertapa setengah dewa di Gunung Himalaya, dan dalam kesombongannya ia menyatakan bahwa jangankan menghadapi Pak-kek Sam-kui, biarpun orang- orang seperti See-thian Tok-ong, Ba Mau Hoatsu, atau Giok Seng Cu, kalau mereka  itu masih hidup,  mudah  ia  akan dapat mengalahkan mereka. Biarpun Gak Soan Li dan suami-nya masih kurang percaya, namun suami-isteri ini sudah merasa girang dan beruntung sekali bahwa  kedua anak mereka tidak terpisahkan dari mereka, juga di situ sekarang tinggal  seorang sakti yang selain dapat menurunkan kepandaian kepada Wan Sun dan  Wan Bi  Li juga merupakan pembantu dan penjaga keamanan yang boleh diandalkan.

Tanpa melihat bukti juga mereka sudah percaya, karena orang yang dapat menundukkan dengan amat mudahnya orang-orang berkepandaian tinggi seperti Pak-kek Sam-kui, tak dapat disangsikan lagi tentu memiliki kesaktian istimewa. Dan kepercayaan mereka ini memang betul-betul tidak sia- sia. Memang sesungguhnya Ang-jiu Mo-li adalah seorang sakti, dan kiranya pada masa itu jarang ada orang memiliki ilmu kepandaian setinggi ilmu yang dimiliki Ang-jiu Mo-li!

Diam-diam Pangeran Wanyen Ci Lun teringat akan sahabat baik dan saudaranya Wan Sin Hong. Manakah yang lebih pandai, pikirnya, antara guru anak-anaknya ini dengan Wan-bengcu?

Malam harinya ketika Wanyen Ci Lun berada di dalam kamar tidur bersama isterinya ia berkata, "Aku makin mengkhawatirkan nasib bocah yang dibawa pergi oleh Pak- kek Sam-kui. Kalau mereka itu orang-orang Mongol yang kejam dan jahat, kasihan sekali bocah itu. Entah mengapa, sebaliknya dari perasaanmu, aku merasa suka dan kasihan kepada anak itu."

"Aah,  mengapa mesti  memikirkan  bocah  buruk seperti dia? Melihat mukanya saja aku sudah tidak suka dan  muka itu membayangkan watak yang jahat. Murid Pakkek Sam-kui mana bisa baik? Lebih baik kita  pikirkan  keadaan  anak- anak kita dan mudah-mudahan saja Ang-jiu Nio-nio tidak hendak membawa mereka merantau sebelum mereka dewasa. Suamiku harap kau jangan salah sangka. Aku tadi begitu saja menerima Ang-jiu Nio-nio sebagai guru anak- anak kita, karena selain dia  memang berilmu tinggi, kalau kita menolak dan dia memaksa, siapakah yang dapat menahan dia membawa pergi anak-anak kita?"

Wanyen Ci Lun mengangguk-angguk dan merangkul pundak isterinya yang terkasih.

"Soan Li, kau memang seorang yang pandai sekali. Aku kagum kepadamu. Tanpa kau di sampingku tadi, entah apa yang telah terjadi atas diriku. Hanya saja sayang bocah

bermuka buruk tadi "

"Ah, ada-ada saja. Mari kita tidur dan lupakan bocah buruk rupa itu!" jawab Soan Li.

Kalau saja Soan Li tahu bahwa "bocah buruk" itu bukan lain adalah anaknya sendiri! Anaknya sendiri keturunan dari Liok Kong Ji si manusia jahanam! Seandainya ia tahu, apa yang akan diperbuatnya? Menerima bocah itu seperti anak sendiri ataukah menghunus pedang dan membunuhnya?

Entahlah, hati wanita sukar diduga isinya, apalagi isi hati seorang wanita seperti Gak Soan Li!

-oo0mch0oo- Sekarang kita ikuti perjalanan Tiang Bu. Bocah ini sama sekali tidak berdaya ketika Giam-lo-ong Ci Kui mengempitnya dan membawanya lari dengan cepat sekali karena Ci Kui dan dua orang sutenya takut setengah mati kalau sampai bertemu dengan Ang-jiu Mo-li! Pak-kek Sam- kui adalah orang-orang utara, tentu saja mereka sudah tahu

siapa adanya Ang-jiu Mo-li. Bukan tahu saja, bahkan dahulu ketika Temu Cin mencoba membujuk Ang-jiu Mo-li supaya membantu barisan Mongol dan wanita itu rnenolak sehingga terjadi pertempuran, Pak-kek Sam-kui pernah merasai kelihaian tangan wanita itu. Mereka tentu akan tewas dalam tangan wanita sakti itu kalau saja Temu Cin tidak mengerahkan panglima-panglimanya. Setelah para panglima Mongol, dipimpin oleh Thian-te Bu-tek Taihiap Liok Kong Ji dan Butek Sin-ciang Bouw Gun, yaitu dua orang panglima- panglima tertinggi dari Temu Cln di waktu itu, baru Ang-jiu Mo-li melarikan diri, tidak kuat imenghadapi keroyokan sekian banyaknya orang pandai. Maka tidak mengherankan apabila tiga kakek seperti iblis ini lari tunggang-langgang ketika melihat pat-kwa-ci, senjata rahasia Ang-jiu Mo-li yang amat lihai.

Ilmu lari cepat dari Pak-kek Sam-kui memang luar biasa.

Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan tidak pernah berhenti, tak lama kemudian mereka telah memasuki hutan besar, puluhan !i jauhnya di sebelah utara kota raja. Giam-lo- ong Ci Kui melemparkan Tiang Bu ke atas tanah dan tiga orang kakek itu berdiri memandang kepada Tiang Bu.

Menarik sekali kalau mempelajari tarikan suara mereka bertiga. Ada bayangan orang marah, curiga dan lain perasaan yang sukar dilukiskan!

"Tiang Bu, mengapa kau lari dari kami. Apa yang terjadi padamu ketika kita berada di lereng Taihang-san?"

Tiang Bu sudah mengenal watak tiga orang gurunya yang aneh dan kejam, maka ia maklum pula bahwa ia tidak boleh berterus terang apalagi tentang belajar ilmu silat dari lain guru. Hal itu tentu akan dianggap sebagai sesuatu yang amat menghina oleh Pak-kek Sam-kui.

(Bersambung Jilid ke  V)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar