Pedang Kilat Membasmi Iblis Jilid 5

Jilid 5

Hui Hong bersungguh-sungguh membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga Thiauw Sun Ong mulai terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada pundak kirinya. Bajunya robek dan pundak itu berdarah. Maklum bahwa akhirnya dia akan roboh dan tewas di tangan bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan untuk melarikan diri melainkan mencari kesempatan untuk bicara.

"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku, akan tetapi sebelum aku mati, aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong anakku. Ia tidak bersalah apa- apa, jangan engkau mengganggunya dan bebaskan Hui Hong!

Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah meloncat ke depan dan memutar pedangnya menyerang dahsyat! Thiauw Sun Ong menangkis, akan tetapi tangan kiri wanita itu menyambar dan mengenai dadanya.

"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia bergulingan menjauh, dikejar oleh Kwan Im Sianli. Ketika wanita ini menggerakkan pedangnya untuk mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun Ong yang belum bangkit itu terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat menangkis dari samping.

"Tranggg ... ! "

"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku sendiri!" bentak Hui Hong dan kini ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.

Kwam Im Sianli menangkis dan melompat ke belakang, tertawa nyaring.

"Heh-heh-heh, aku memang amat membencinya. Aku ingin anaknya sendiri yang membunuhnya, hi-hik!" "Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan Im Sianli dan begitu pedang mereka bertemu Hui Hong terhuyung ke belakang. "Bwe Si Ni, kalau kau mengganggu anakku, demi Tuhan, kubunuh engkau!" Tiauw Sun Ong kini menerjang dengan tongkatnya!“ dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan mengerahkan tenaganya, Kwan Im Sianli terpental ke belakang! Namun, wanita ini sudah nekat dan ia menyerang lagi sehingga terjadi perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam. Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Perasaan girang karena ia bertemu ayahnya, juga rasa haru melihat ayahnya buta, dan bangga karena ternyata ayahnya seorang yang berilmu tinggi. Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im Sianli sudah repot dan terdesak, apalagi setelah Hui Hong mengeroyoknya.

Kwan Im Sianli sudah mencari kesempatan untuk melarikan diri ketika tiba-tiba terdengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak mengenal malu melakukan pengeroyokan! Dan engkau Hui Hong, anak durhaka yang tidak mengenal budi orang, engkau patut dibunuh. Sejak kecil aku merawatmu, mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo cepat berlutut!"

Akan tetapi sebelum Hui Hong menjawab. Tiauw Sun Ong yang menegur orang itu, ”Ouwyang Sek. engkau manusia busuk. Hui Hong adalah anakku, anak kandung, engkau tidak berhak atas dirinya!"

"Keparat buta, aku memang mencarimu untuk membalas atas kematian isteriku! Kwan Im Sianli, mari kita bunuh ayah dan anak keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya. Nampak pedang berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Memang datuk ini, lihai ilmu pedangnya sehingga dia memperoleh julukan Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan). Kwan Im Sianli juga menggerakkan pedangnya menyerang Tiauw Sun Ong sehingga bekas pangeran itu dikeroyok dua. Sejenak Hui Hong terbelalak dengan muka pucat, Ibunya telah mati! Tadi Ouwyang Sek mengatakan bahwa dia hendak membunuh, Tiauw Sun Ong untuk membalas atas kematian isterinya. Mungkin Tiauw Sun Ong yang membunuh ibunya?

“Tahan ... !!” Ia berseru nyaring dan menggunakan sepasang pedangnya untuk melerai perkelahian itu dengan menerjang ditengah antara mereka.

“Ayah ... “ Ia menghadapi Ouwyang Sek dan bertanya, “apa maksudmu dengan mengatakan kematian ibu?”

Ouwyang Sek memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah, lalu pedangnya ditudingkan ke arah si buta itu.

“Dia datang dan dia yang menyebabkan ibumu mati!”

Hui Hong memutar tubuh menghadapi Tiauw Sun Ong dan suaranya gemetar ketika ia bertanya, "Benarkah itu? Engkau ... engkau menyebabkan ibuku mati?"

Biarpun tidak dapat melihat, Tiauw Sun Ong naklum bahwa gadis itu menunjukkan pertanyaannya kepadanya. Dia menghela napas panjang, “Hui Hong, ibumu memang tewas, ia membunuh diri setelah bertemu denganku, karena kini ia tidak lagi perlu menyiksa batin menjadi isteri iblis ini. Dahulu ibumu terpaksa menjadi isterinya karena hendak menyelamatkan engkau."

“Tiauw Sun Ong, jahanam busuk engkau! Apapun alasanmu, engkau akan mampus di tanganku, dan kalau anak haram darimu ini, anak yang durhaka dan tidak mengenal budi, hendak membelamu. iapun akan kubunuh!"

Ouwyang Sek menerjang lagi, menyerang Tiauw Sun Ong dengan kemarahan meluap, dan Kwan Im Sianli juga menggerakkan pedang membantunya mengeroyok.

Terdengar suara Tiauw Sun Ong yang menggeledek setelah dia memutar tongkat menangkis dan membuat pedang kedua orang datuk itu terpental.

"Dengar, Ouwyang Sek dan Kwan Im Sianli! Kalau kalian mengganggu anakku, demi Tuhan, aku tidak akan pantang membunuh kalian!" Dua orang datuk itu kembali mengeroyoknya dan biarpun pundak kirinya sudah terluka, Tiauw Sun Ong mengamuk dan menandingi mereka berdua dengan gigih. Sejenak Hui Hong bimbang, akan tetapi entah mengapa, ia merasa kagum dan percaya kepada orang buta yang ia tahu adalah ayah kandungnya itu, maka tanpa banyak cakap lagi iapun memutar siang kiam di kedua tangannya dan membantu ayahnya!

Kekurangan tingkat kepandaian Hui Hong dibandingkan kedua orang lawannya ditutup oleh kelebihan tingkat Tiauw Sun Ong yang selalu melindungi dan membantu puterinya sehingga perkelahian itu terjadi amat serunya. Namun, tanpa diketahui orang lain karena dia tidak pernah mengendurkan semangatnya dan tidak pernah mengeluarkan keluhan, diam-diam Tiauw Sun Ong merasa khawatir karena luka di pundaknya mengeluarkan banyak darah dan hal ini akan mempengaruhi kekuatannya. Oleh karena itu, dia mengeluarkan suara melengking panjang ketika membentak dan tiba-tiba saja gerakannya amat dahsyat menerjang ke arah Ouwyang Sek. Datuk ini terkejut, mencoba untuk mengelak, namun tetap saja ujung tongkat Tiauw Sun Ong berhasil menotok dada kanannya dan datuk itupun terpelanting roboh dan mengerang kesakitan. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi terkulai kembali.

Kwan Im Sianli sedang mendesak Hui Hong, akan tetapi sambaran tongkat di tangan Tiauw Sun Ong membuat ia terhuyung ke belakang. Kini, ayah dan anak itu berdiri berdampingan dan menghadap ke arah Kwan Im Sianli yang tentu saja menjadi terkejut dan jerih melihat betapa kawannya, Ouwyang Sek, sudah menggeletak dan tidak mampu bangkit berdiri lagi.

"Bwe Si Ni, pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Di antara kita sudah tidak ada urusan apa- apalagi. Pergilah!"

Kwan Im Sianli Bwe Si Ni mengerutkan alisnya, matanya yang mulai basah air mata itu memandang penuh kebencian. "Tiauw Sun Ong, engkau boleh menganggap tidak ada urusan apa-apalagi, akan tetapi dendam ini akan kubawa sampai mati." Setelah berkata demikian, ia membantu Ouwyang Sek bangun berdiri, lalu menggandeng dan memapah datuk yang sudah dikenalnya dengan baik itu pergi dari situ, diikuti pandang mata ayah dan anak itu. Setelah mereka pergi jauh. barulah Tiauw Sun Ong menghela napas, kemudian dia duduk bersila dan mengatur pernapasan dan nampak terengah lemah.

"Kau ... terluka ... " Hui Hong berkata lirih, masih belum mantap dan merasa kikuk untuk menyebut ayah. Akan tetapi, tanpa ragu lagi ia menghampiri orang tua buta itu, merobek baju di dadanya dan memeriksa pundak yang terluka. Hanya luka daging, akan tetapi cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Hui Hong menekan beberapa bagian di seputar luka untuk menghentikan keluarnya darah, lalu mengeluarkan obat bubuk dan mengobati luka di pundak ayahnya itu. Kemudian ia mengeluarkan sehelai kain ikat pinggang dari buntalan pakaian dan membalut pundak ayahnya. Setelah itu, ia duduk bersila di dekat ayahnya. Semua itu dilakukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kini, duduk berdua di atas tanah, merekapun tidak mengeluarkan kata-kata.

"Hui Hong ... ," akhirnya Tiauw Sun Ong berkata, suaranya gemetar tanda bahwa hatinya terharu. "Engkau ... mau memaafkan aku?"

Hui Hong menatap wajah itu, dan ia merasa terharu. Pantas saja kalau ibunya mencinta orang ini. Wajahnya masih nampak gagah dan tampan, masih berwibawa walaupun kedua matanya buta. "Mengapa harus memaafkan?" Ia bertanya heran karena memang tidak mengerti. 

"Apakah ibumu, Pouw Cu Lan, tidak pernah menceritakan kepadamu tentang aku, tentang kami berdua?"

Hui Hong menggeleng kepala, akan tetapi ketika ingat bahwa orang yang diajak bicara itu buta, iapun berkata, "Ibu hanya bercerita kepadaku ketika ayah ... eh, Ouwyang Sek itu hendak membunuhku, bahwa aku bukan anak Ouwyang Sek, dan ibu hanya mengatakan bahwa ayah kandungku bernama Tiauw Sun Ong. Ibu tidak tahu di mana ayahku itu, maka ketika Kwan Im Sianli mengajakku untuk menunjukkan di mana Tiauw Sun Ong, aku ikut dengannya, dengan janji bahwa aku akan membantunya membunuh laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Aku sama sekali tidak tahu bahwa yang hendak dibunuh itu adalah ... Tiauw Sun Ong yang oleh ibu dikatakan ayah kandungku itu. Apakah engkau ini yang bernama Tiauw Sun Ong? Apakah engkau ini suami ibuku, dan engkau ini sebenarnya ayah kandungku?" Sebetulnya Hui Hong sudah mendengar cerita ibunya mengenai hubungan ibunya dengan Tiauw Sun Ong, akan tetapi ia ingin mendengar penuturan pria buta ini untuk meyakinkan hatinya bahwa orang ini benar ayah kandungnya.

“Aku Tiauw Sun Ong. dahulu pangeran kerajaan Liu-sung, dan ibumu Pouw Cu Lan, selir kakakku yang menjadi kaisar. Kami berdua saling jatuh cinta. Namun, hubungan antara kami diketahui, dan Kaisar memarahi kami. Aku merasa berdosa dan malu, maka di depan kakakku, aku membutakan kedua mataku, diampuni dan aku lolos dari istana, menuntut ilmu. Aku mendengar bahwa ibumu dihukum buang oleh Kaisar, sama sekali aku tidak tahu bahwa ia ditolong oleh Ouwyang Sek dan diperisteri. Ia mau menjadi isteri Ouwyang Sek karena ketika itu ia telah mengandung engkau, Hui Hong. Ia ingin menyelamatkanmu. Ah, betapa aku telah membuat Cu Lan menderita. Aku berdosa kepadanya, dan ketika aku datang kesana untuk meminangmu, setelah aku mendengar semua itu dari Bi Moli Kwan Hwe Li, aku bertemu dengan ibumu dan ia mengatakan bahwa engkau pergi bersama Kwan Im Sianli untuk mencari aku. Ibumu begitu bertemu dengan aku, merasa malu dan menyesal, dan ia membunuh diri."

Hening sejenak, dan Tiauw Sun Ong mendengar suara isak tangis anaknya. Dia tidak dapat menahan kesedihan hatinya dan iapun meraba-raba ke arah puterinya dan di lain saat mereka telah saling rangkul dan bertangisan.

"Ayah ... " Hui Hong terisak-isak. Ia merasa bersedih sekali. Ia adalah anak dari hubungan gelap antara pangeran Tiauw Sun Ong dan selir kaisar, dan hubungan itu mengakibatkan ayah kandungnya membutakan mata sendiri, dan kini mengakibalkan ibunya membunuh diri! "Ayah, kasihan sekali ibu ... “ ia meratap.

Tiauw Sun Ong mengelus rambut kepala puterinya. "Sudah takdir demikikian, anakku. Aku membutakan mata, ibumu membunuh diri, dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kami. Marilah, anakku, kita kembali ke Hoa-san dan kita bicara di sana." Ayah dan anak itu lalu meninggalkan tempat itu, mendaki Hoa-san. Hui Hong menuntun ayahnya dan setelah tiba di pondok ayahnya, iapun merawat luka ayahnya. Ia sudah mendengar semua tentang Kwa Bun Houw dari ayah kandungnya, dan ketika ayah kandungnya menyatakan bahwa dia setuju menjodohkan puterinya itu dengan Bun Houw, tentu saja Hui Hong yang mencinta Bun Houw dengan sepenuh hati menyatakan kesediaannya. Mereka kini hanya menanti kembalinya Bun Houw di puncak Hoa-san.

***

Bagaimana kereta kuda yang dikendalikan seorang kusir bijaksana dan pandai, bagaikan tanaman yang digulawentah seorang petani yang bijaksana dan pandai, sebuah negara akan menjadi aman tenteram dan subur makmur seperti jalannya kereta dan tumbuhnya tanaman apabila negara itu dipimpin oleh penguasa yang bijaksana dan pandai pula.

Demikian pula dengan keadaan kerajaan Chi (479-501). Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, dan lebih dari itu pula, dia mencintai negara dan bangsanya, mementingkan kebutuhan rakyat di atas kebutuhan pribadi. Dia, sejak kerajaan Chi berdiri dan dia diangkat menjadi kaisar, selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata, menggalakkan pembangunan dalam segala bidang, mengulurkan tangan kepada yang miskin dan papa, menuntun dan membimbing, memberi modal kepada yang miskin, memberi penyuluhan kepada yang bodoh, bertangan besi dan mendidik kepada yang jahat. Bagi kaisar ini, yang menjadi kebutuhan mutlak bagi rakyat jelata pada umumnya adalah kehidupan yang aman tenteram tanpa gangguan orang jahat, pengayoman dari alat negara, lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan setiap orang mencari nafkah, dan murah serta mudahnya mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan. Kaisar Siauw Bian Ong berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi semua ini dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin negara yang pandai merangkul orang-orang berilmu untuk diajak bekerja sama, pandai menghargai jasa orang, akan tetapi juga keras dan adil tak mengenal ampun kepada para koruptor yang menjegal kebijaksanaannya, menggerogoti harta negara dan rakyat, dan yang suka memeras dan menindas rakyat menyalahgunakan kekuasaannya.

TIDAK mengherankan kalau dalam waktu empat tahun saja sejak berdirinya, Kerajaan Chi telah mengubah keadaan kehidupan rakyat menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaannya ketika kerajaan Liu-sung masih berdiri. Rakyat, seperti juga kanak-kanak memandang orang tua mereka, membutuhkan contoh dari para pemimpin para pejabat pemerintah. Orang tua yang cerewet, hanya memberi teguran dan nasihat tanpa memberi contoh, tidak akan ditaati anak-anaknya. Yang dicontoh anak-anak adalah sikap dan perbuatan si orang tua. Demikian pula dengan rakyat yang tentu akan muak kalau hanya dijejali slogan- slogan dan nasihat; akan tetapi melihat betapa para pejabat yang pidato berapi-api memberi nasihat itu sendiri melanggar semua anjuran yang dipidatokan.

Kaisar Siauw Bian Ong memberi contoh, dengan mengubah cara hidup keluarga kerajaan Liu- sung yang telah dijatuhkan, dari kehidupan bermewah-mewahan menjadi kehidupan yang jauh lebih sederhana. Pengeluaran untuk kepentingan pribadi diperkecil, pajak rakyat diperingan, dan pembangunan dilakukan di segala bidang. Tentu saja rakyat menyambut keadaan yang tumbuh dari peraturan-peraturan baru yang amat menguntungkan ini dengan gembira dan tanpa dibujuk lagi, dengan sendirinya rakyat mendukung pemerintahan baru yang bijaksana itu. Dan pemerintahan di negara manapun di dunia ini akan menjadi kokoh kuat apa bila didukung oleh rakyatnya. Rakyat yang mencinta pemerintahnya pasti akan taat dan setia. Namun kecintaan terhadap pemerintah ini bukan datang begitu saja.

Melihat kebijaksanaan kaisar kerajaan Chi, yang mengampuni dan tidak mengejar-ngejar sisa keluarga kerajaan Liu-sung, bahkan membuka pintu lebar kalau mereka dan para bekas bangsawan Liu-sung mau bekerja membantu kerajaan baru untuk memakmurkan kehidupan rakyat, dan pandai menghargai orang-orang berilmu, maka mereka yang memiliki kepandaian merasa tertarik dan banyaklah kaum ahli yang berbondong-bondong menanggapi undangan Kaisar Siauw Bian Ong untuk membantu pemerintah.

Perkembangan yang amat baik dari kerataan Chi yang masih muda ini tentu saja tidak lepas dari pengamatan kerajaan Wei (386-532), yaitu kerajaan di sebelah utara yang didirikan oleh bangsa Toba atau Tartar yang menguasai wilayah utara dari lembah Sungai Kuning ke utara. Adapun kerajaan Chi mempunyai wilayah dari utara Sungai Yang-ce ke selatan. Daerah yang amat luas antara Sungai Yang-ce dan Sungai Kuning, yang luasnya tidak kurang dari tiga ratus kali delapan ratus mil, merupakan daerah tak bertuan, atau daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan Wei di antara dan kerajaan di Selatan, sejak kerajaan Liu-sung sampai sekarang kerajaan Chi. Daerah tak bertuan ini dengan sendirinya menjadi daerah penampungan para penjahat dan golongan sesat dunia kang-ouw. Pemerintah daerah di wilayah ini terdiri dari orang orang kuat dan hukumnya adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan berkuasa.

Kerajaan Wei yang waktu itu (sekitar tahun 483) dipimpin oleh Kaisar Thai Wu sebagai pengganti Kaisar Wei Ta Ong, tentu saja merasa cemas melihat perkembangan kerajaan baru Chi yang ternyata kelihatan makmur dan didukung rakyat sehingga akan meupakan saingan yang lebih kuat dan berbahaya dibandingkan kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Maka, Kaisar Thai Wu mengumpulkan para pembantunya mengadakan rapat dan akhirnya diambil keputusan untuk mengirim orang-orang pandai untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu menggagalkan usaha pemerintah kerajaan baru itu dengan menimbulkan pengacauan atau menyulut api pemberontakan di mana-mana.

Rapat penting itu diadakan oleh Kaisar Thai Wu di dalam ruangan rahasia dalam istananya. Kaisar Thai Wu sendiri, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah gagah, dengan mata yang lebar tajam dan suaranya yang tegas keras, memimpin rapat itu. Di sebelah kanannya duduk seorang kakek yang usianyan sekitar enam puluh lima tahun bertubuh tinggi kurus dan mukanya pucat, kelihatan lemah dan loyo, akan tetapi sesungguhnya, dialah yang merupakan Kok-su (Guru Negara), penasihat dan juga guru dari kaisar sendiri. Kakek ini disebut Thian-te Seng-jin, seorang tosu (pendeta agama To) yang terkenal sebagai seorang yang sakti, pandai ilmu silat dan ilmu sihir. Selain beberapa orang panglima besar yang hadir, terdapat pula tiga orang yang berpakaian preman. Mereka adalah murid-murid Thian-te Seng-jin, sehingga mereka itupun menjadi saudara-saudara seperguruan kaisar sendiri yang telah mendapatkan kepercayaan penuh membantu kaisar dalam pemerintahannya. Tiga orang tokoh yang demikian sombongnya sehingga berani menggunakan julukan Bu-tek Sam-kwi (Tiga Setan Tanpa Tanding)! Orang pertama berjuluk Pek-thian-kwi (Setan Dunia Utara) bertubuh gendut dan bundar, berusia lima puluh tahun. Yang ke dua berjuluk Huang-ho-kwi (Setan Sungai Kuning) bertubuh tinggi kurus dan matanya sipit, adapun orang ke tiga yang wajahnya tampan gagah dan pesolek berjuluk Toat-beng-kwi (Setan Pencabut Nyawa)!

Mereka sebagai suheng dan su-te dari kaisar, mendapat kepercayaan penuh dan dalam rapat ini, Kaisar memberi tugas kepada mereka bertiga untuk melawat ke selatan dan membawa anak buah pilihan mereka untuk mengguncang kerajaan Chi tanpa melalui perang, melainkan melalui pengrusakan dan pengacauan.

Bu-tek Sam-kwi segera memilih anak buah mereka yang terdiri dari orang-orang yang tangguh, mengumpulkan seratus orang dan membentuk kesatuan baru yang mereka namakan Thian-te- kwi pang (Perkumpulan Setan Bumi Langit), nama yang dipakai untuk menghormati guru mereka, yaitu Thian-te Seng-jin. Bagaikan segerombolan iblis yang menyeramkan, seratus orang ini bersama tiga orang pemimpin mereka, melakukan perjalanan, menyusup ke selatan secara berpencar.

Gerakan yang dilakukan kerajaan Wei itu amat dirahasiakan, bahkan penyusupan itupun dilakukan secara berpencar, maka tak seorang pun di kerajaan Chi mengetahui atau menduganya. Keadaan di kota raja Nan-king tenang-tenang dan tenteram saja, tidak ada yang menduga bahwa saat itu, sekawanan manusia iblis menyusup dan membawa tugas yang akan menghancurkan atau setidaknya mengacaukan ketenangan hidup mereka.

Pagi itu memang udara cerah. Musim semi telah lewat dua bulan dan tumbuh-tumbuhan sedang segar segarnya, sehingga waktu yang amat indah itu dipergunakan banyak orang untuk menghibur diri sambil menikmati keindahan bumi yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang segar. Di dalam sebuah hutan, di luar kota raja Nan-king, nampak dua orang wanita sedang berburu binatang dengan anak panah mereka. Keduanya menunggang kuda yang besar gagah, dan keduanya nampak cantik sekali. Dari pakaian mereka, dapat diduga bahwa mereka berdua adalah wanita-wanita bangsawan, akan tetapi bukan puteri-puteri yang lembut dan lemah karena pakaian mereka ringkas, seperti yang biasa dipakai oleh para pengawal wanita dari istana kaisar. Dan memang sebenarnyalah. Wanita berusia lima puluhan tahun yang masih cantik manis seperti berusia tiga puluh tahun saja itu adalah Bi Moli Kwan Hwe Li yang kini menjadi guru yang mengajarkan silat kepada para perwira pasukan kerajaan, sedangkan yang muda, berusia dua puluh tiga tahun dan cantik manis, adalah Cia Ling Ay, murid Bi Moli, yang kini bekerja di istana sebagai pengawal pribadi permaisuri dan juga mengajarkan silat kepada para puteri istana dan para pengawal wanita.

Hari itu mereka mendapat perkenan dari istana untuk berlibur dan memburu binatang. Guru dan murid ini, yang telah memperoleh kedudukan lumayan, merasa gembira bukan main. Bi Moli Kwan Hwe Li telah merobohkan seekor kijang dengan panahnya, sedangkan muridnya, Cia Ling Ay, telah merobohkan dua ekor kelinci. Mereka manggantungkan tiga hasil buruan mereka itu di sebatang pohon besar di tepi hutan, akan mereka ambil nanti kalau mereka sudah selesai berburu.

Akan tetapi, sudah setengah jam mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan dengan kuda mereka, mereka tidak lagi milihat binatang buruan. Ling Ay yang merasa perutnya lapar karena mereka tadi berangkat pagi sekali dan ia belum makan apa-apa, teringat akan dua ekor kelinci hasil buruannya dan seekor kijang hasil buruan gurunya.

"Subo, sebaiknya kita sudahi saja perburuan ini. Perut teecu (murid) lapar sekali dan sebaiknya daging kelinci dan kijang itu dipanggang selagi masih segar."

Bi Moli tersenyum. "Aihh, begitu kau bicara tentang panggang daging, perutku mendadak saja bernyanyi dan menagih!" katanya dan kedua orang wanita itu lalu membalikkan kuda mereka keluar dari dalam hutan, menuju ke pohon besar di mana tadi mereka menyimpan hasil buruan mereka agar tidak dimakan binatang hutan yang lain.

Ketika mereka tiba di tempat itu, mereka melihat ada tiga orang laki-laki sedang berdiri dan mengangkat muka, memandang ke arah dua ekor kelinci dan seekor kijang yang tergantung di antara ranting pohon, menuding-nuding dan membicarakannya. Mendengar kaki kuda tiga orang itu memandang dan mereka terbelalak heran melihat bahwa penunggang dua ekor kuda itu adalah dua orang wanita cantik. Di lain pihak, Bi Moli dan Ling Ay juga mengamati tiga orang itu dengan pandang mata penuh selidik. Mereka bertiga itu berpakaian ringkas seperti pemburu dan kehadiran mereka di hutan menunjukkan bahwa tentu mereka itu juga pemburu-pemburu yang hendak memburu binatang. Di punggung merekapun terdapat gendewa dan anak panah.

Setelah meloncat turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput, dua orang yarita itu menghampiri tiga orang, dan Bi Moli langsung bertanya. "Sobat-sobat, apa yang kalian tonton?"

Tiga orang itu bersikap sopan dan mereka memberi hormat kepada Bi Moli dan Ling Ay-"Maaf, toanio. Kami adalah tiga orang pemburu yang hendak mencoba peruntungan berburu di hutan ini. Kami biasanya berburu di sebelah selatan, akan tetapi di daerah selatan sudah terdpat terlalu banyak pemburu sehingga hasil buruan hutan amatlah kurangnya. Kami ingin mencoba peruntungan di hutan ini dan kami merasa heran melihat dua ekor kelinci dan seekor kijang di atas itu. Siapakah yang menyimpan buruan itu di sana," tanya di antara mereka yang mukanya brewokan, suaranya lantang namun sikapnya tegas dan sopan. Mereka memandang ke arah gendewa dan anak panah Bi Moli.

"Itu milik kami, hasil buruan kami." kata Bi Moli. "Kami akan mengambilnya sekarang dan akan memanggang dagingnya karena kami sudah merasa lapar sekali. Ling Ay, ambillah kelinci dan kijang itu!"

"Baik, subo." kata Ling Ay dan sekali mengenjotkan kakinya, tubuh gadis itu sudah melayang naik ke atas dan hinggap di cabang pohon, lalu mengambil bangkai kijang dan dua ekor kelinci itu, dan meloncat turun dengan gerakan yang ringan dan gesit.

Tiga orang itu saling pandang dan seorang di antara mereka yang mukanya licin halus seperti wajah perempuan, memuji, “Kepandaian nona sungguh hebat sekali. Kami kagum dan taluk.”

Orang ke tiga, yang pendek gemuk, tersenyum. "Pantas saja ji-wi sepagi ini telah merobohkan tiga ekor binatang buruan yang gemuk dan lezat dagingnya, sedangkan kami bertiga belum mendapatkan apa-apa sejak pagi, kiranya ji-wi adalah dua orang pemburu yang gagah perkasa dan berilmu tinggi!"

"Baru sekarang kami bertiga bertemu dengan dua orang wanita pemburu yang luar biasa!" kata pula si brewok. Melihat betapa tiga orang itu memuji-muji tiada hentinya, Ling Ay mengerutkan alisnya. Ia tidak senang mendengar rayuan pria, hal yang dianggapnya palsu, maka ia ingin menghentikan rayuan mereka dan berkata dengan suara yang agak ketus.

"Kami bukanlah wanita pemburu! Kami hanya iseng-iseng dan kami tidak ingin berkenalan dengan para pemburu."

Akan tetapi, ucapan yang agak ketus ini tidak membuat mereka mundur, bahkan si muka halus berseru heran, "Aih, bukan pemburu? Kalau begitu, lebih mengagumkan lagi! Ji-wi tentulah wanita-wanita kang-ouw yang bernama besar dan berilmu tinggi!"

Ling Ay semakin tak senang. Diberi tanda untuk menghentikan percakapan, malah menjadi-jadi! Untuk membuat mereka jerih dan mundur, ia lalu berkata, "Kami adalah perwira-perwira pengawal istana! Harap kalian tidak mengganggu kami lebih lama lagi, kami sibuk hendak memanggang daging!"

Bi Moli tersenyum saja melihat ulah muridnya yang tidak suka diganggu itu, dan iapun memilih batu yang bersih lalu duduk di atasnya. Tiga orang pria itu saling pandang, dan nampak mereka terkejut mendengar bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perwira wanita dari pasukan pengawal istana!

Kemudian, si brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun dan agaknya menjadi pimpinan dari tiga orang itu, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, diikuti dua orang kawannya. "Ah, mohon ji-wi sudi memberi maaf kepada kami yang lancang berani mengganggu ji-wi. Akan tetapi, karena jiwi bukanlah pemburu, tentu kurang pengalaman, dan kurang perlengkapan untuk memanggang daging binatang buruan. Kami membawa bekal bumbu yang lengkap dan kami sudah terbiasa membuat daging binatang hutan menjadi hidangan lezat. Kalau ji-wi suka kami akan membantu ji-wi, menguliti hasil buruan itu, memberi bumbu dan memanggang dagingnya, dan ji-wi tinggal menikmatinya saja." Bi Moli sekarang memandang kepada si brewok dan bibir yang selalu dihias senyum itu kini melebar, matanya mencorong. "Kalian bertiga adalah pemburu-pemburu yang sama sekali tidak kami kenal. Mengapa kalian bersikap baik dan manis kepada kami?"

Si brewok itu juga tersenyum. "Toanio tentu mencurigai kami dan ingin mengetahui pamrih dari kami? Memang ada pamrihnya. Pertama, kami juga sudah lapar, sejak malam tadi tidak makan apapun, dan kedua, tidak mungkin ji-wi dapat menghabiskan semua daging ini, maka selain mengharapkan dapat ikut makan, kamipun mengharapkan mendapat sisa daging untuk kami jadikan dendeng dan kami bawa pulang."

Kini Bi Moli dan Ling Ay saling pandang, lalu tertawa. Bagaimanapun juga, menguliti dan memanggang daging di tempat itu tanpa perlengkapan memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Daging itu tidak akan enak kalau hanya dipanggang dan diberi garam saja, satu- satunya bumbu yang mereka bawa sebagai bekal dari rumah tadi.

"Baiklah, kami memang tidak suka ditolong orang tanpa imbalan. Nah, kalian panggangkan daging-daging itu dan semua sisanya boleh kalian ambil." kata Ling Ay. Iapun mencari tempat yang bersih untuk duduk, tak jauh dari gurunya. Mereka hanya duduk dan melihat kesibukan tiga orang itu. Mereka itu menguliti kijang dan dua ekor kelinci, membuang isi perutnya, membuat api, mengeluarkan bumbu yang lengkap, dan ada yang mencari air dengan panci yang memang sudah mereka bawa sebagai perlengkapan. Mereka dapat bekerja cepat dan nampak jelas bahwa ke tiga orang itu memang sudah terbiasa menyiapkan makanan dalam hutan.

Sambil memanggang daging yang mengeluarkan aroma sedap karena diberi bumbu yang lengkap, tiga orang itu tiada hentinya menceritakan keadaan mereka sebagai pemburu- pemburu yang miskin dan tinggal jauh di dusun yang terletak di pegunungan sebelah barat Nan-king. Mereka juga memuji-muji pemerintahan dari kerajaan Chi, dan seperti sambil lalu mereka juga menanyakan kedudukan dua orang wanita itu di dalam istana kaisar. Karena sikap mereka yang biasa ramah dan tidak mencurigakan, Ling Ay menceritakan dengan sejujurnya bahwa baru beberapa bulan saja gurunya bekerja menjadi pelatih silat di istana, dan ia sendiri menjadi seorang perwira pengawal permaisuri.

Setelah panggang daging itu matang, tiga orang pemburu menghidangkan bagian-bagian yang paling lunak dan lezat kepada Ling Ay dan gurunya, dan merekapun mengeluarkan seguci besar anggur yang baunya harum sekali. Tentu saja guru dan murid itu menjadi gembira, dan mereka tidak menolak ketika disuguhi anggur di dalam cawan-cawan bersih yang memang sudah dipersiapkan tiga orang pemburu itu. Bi Moli sendiri tidak menaruh curiga karena tiga orang itu pun minum anggur dari guci yang sama. Kalau anggur itu diberi racun, tentu tiga orang itu akan roboh lebih dahulu karena mereka yang lebih dulu minum.

Tiga orang itu tidak membual. Panggang daging itu sungguh lezat sekali. Lunak dan ada rasa bumbu asing yang aneh, namun yang membuat daging itu sedap. Guru dan murid itu makan sampai kenyang dan mereka masing-masing menghabiskan tiga cawan anggur.

"Hemm, kalian memang pandai sekali memasak," kata Bi Moli dengan senang dan ia menyusut bibirnya dengan saputangan. "Semua sisa dagingnya boleh kalian ambil, kami tidak memerlukan lagi. Ling Ay, mari kita kembali, matahari sudah naik tinggi."

"Baik, subo," kata Ling Ay sambil bangkit berdiri dan menghampiri dua ekor kuda mereka yang masih makan rumput. Akan tetapi, tiba-tiba pandang matanya berkunang dan sekelilingnya seperti berputar. Ling Ay mengeluh dan menggunakan tangan untuk memegang kepalanya, namun ia terhuyung. Ia masih sampat melihat betapa subonya meloncat berdiri dan gurunya itu membuat gerakan untuk menyerang tiga orang pemburu tadi, akan tetapi gurunya mengeluh dan terguling roboh. Ling Ay tak dapat menahan kemarahannya karena ia dapat menduga bahwa ia dan gurunya telah keracunan.

"Kalian ...!" Ia melompat untuk menyerang, namun iapun terguling karena pening dan roboh di dekat gurunya. Ia masih sempat melihat munculnya belasan orang yang berpakaian serba hitam di tempat itu, lalu semua menjadi gelap dan ia tidak ingat apa-apalagi.

Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman luas. Kalau tadi ia sampai terkecoh dan minum anggur yang sudah dicampuri obat bius adalah karena ia menaruh kepercayaan melihat tiga orang pemburu itu juga minum anggur dari guci yang sama. Tentu saja ia tidak menduga bahwa tiga orang itu mempersiapkan segalanya, dan sebelum minum anggur, sudah lebih dahulu minum obat penawar racun atau pembius itu sehingga mereka tidak terpengaruh.

Begitu ia bangkit dan merasa pening, ia pun maklum bahwa ia dan muridnya keracunan, maka ia hendak menyerang tiga orang itu. Akan tetapi, ia segera teringat bahwa gerakan yang mengerahkan sin-kang akan membuat racun di dalam perutnya bekerja lebih cepat, maka iapun sengaja membuat dirinya terpelanting roboh. Diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti dalam perutnya, dan menggunakan telunjuknya untuk dimasukkan ke dalam mulut, menyentuh kerongkongannya. Seketika ia muntah-muntah, dan dengan penambahan dorongan tenaga sin- kang, maka tenaga muntahan itu menjadi senakin kuat dan semua yang berada di dalam pencernaannya tertuang keluar melalui mulutnya! Juga anggur yang mengandung obat pembius itu.

Yang tinggal di dalam perutnya hanya sedikit dan yang sedikit itu tidak lagi mempengaruhi tubuhnya yang sudah terlatih dan kuat.

Ia melihat betapa muncul belasan oraag yang berpakaian hitam-hitam maka iapun menanti sampai mereka bergerak mendekatinya. Tiba-tiba ia meloncat dan mengeluarkan suara melengking panjang, membuat belasan orang berpakaian hitam-hitam dan tiga orang pemburu tadi terkejut setengah mati karena di dalam lengkingan itu terkandung getaran yang membuat mereka semua tergetar seperti lumpuh!

Agaknya, belasan orang itu bukan orang-orang sembarangan. Terdengar seruan seorang di antara mereka, "Sumbat telinga dan tangkap ia! Ia menggunakan tenaga sihir!"

Belasan orang itu menggunakan alat kecil penyumbat telinga, agaknya mereka memang sudah mempersiapkan segala kemungkinan, dan kini mengepung Bi Moli Kwan Hwe Li dan dari gerakan dan sikap mereka, datuk wanita ini maklum bahwa mereka bukanlah orang-orang lemah. Melihat ia dikepung belasan orang laki-laki yang berpakaian serba hitam, Bi Moli Kwan Hwe Li segera menggerakkan pedangnya. Ia tidak merasa perlu untuk bicara lagi karena mereka semua telah menyumbat telinga mereka sehingga mereka tidak akan mendengar apa yang ia katakan. Dengan marah ia memutar pedangnya dan para pengepungnya terkejut sekali melihat gulungan sinar pedang yang menyelimuti tubuh wanita cantik itu. Mereka memperlebar kepungan dan mengeroyok dari sekelilingnya sehingga Bi Moli terpaksa harus melindungi tubuhnya dari gulungan sinar pedang, tanpa mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Ternyata bahwa belasan orang itu rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.

Ketika seorang di antara mereka memberi isarat dengan mengeluarkan sebuah benda seperti gulungan kain, yang lain juga segera mengeluarkan benda yang sama. Tiba-tiba, seorang yang berdiri di belakangnya menggerakkan benda itu ke atas dan benda itu ternyata sehelai jaring hitam yang menyambar dan menubruk ke arah Bi Moli. Wanita ini cepat mengelak ke samping dan biarpun ia dapat menghindarkan diri dari terkaman jaring itu, ia disambut sambaran jaring lain. Ia mengelak dan menggerakkan pedang untuk menangkis, akan tetapi akhirnya, sehelai jaring menerkamnya dari belakang atas. Bi Moli mengerahkan tenaga menggerakkan pedangnya. Ternyata jaring itu terbuat dari bahan yang kuat dan ulet, yang tidak menjadi putus oleh sabetan pedangnya. Ketika Bi Moli bagaikan seekor ikan terjaring, menggerakkan tenaga meronta-ronta dan tangan kirinya yang menangkap jaring itu berhasil merenggut putus beberapa helai tali jaring, jaring kedua sudah menerkam di atas jaring pertama!

Bi Moli terkejut, maklum bahwa kalau banyak jaring menimpanya, ia tidak akan mampu lolos lagi. Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara mengaung-ngaung dan dua orang pengeroyok terpelanting dan jaring-jaring itu ditarik kembali, hanya tinggal dua helai yang masih menyelimuti dirinya. Akan tetapi karena dua orang pemegang tali jaring itu diserang oleh seorang pemuda yang memegang sebatang pedang sehingga mereka terdesak mundur dan dengan mudah Bi Moli lalu meronta melepaskan diri dari dua helai jaring itu.

Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Dari pakaiannya yang ringkas saja dapat diduga bahwa dia seorang pemuda kang-ouw yang perkasa. Pedang di tangannya diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung. Melihat ini, Bi Moli menjadi gembira dan cepat iapun memutar pedangnya menerjang para pengeroyok.

Agaknya para pengepung maklum bahwa pemuda itu seorang yang lihai. Apalagi dua orang di antara mereka telah roboh oleh pedang di tangan pemuda itu. Mereka mengangkat dua orang kawan mereka yang terluka. dan melarikan diri menghilang ke dalam hutan.

Bi Moli tidak mengejar, dan pemuda itupun tidak melakukan pengejaran. Mereka berdiri saling berhadapan dan berpandangan dengan penuh selidik. Bi Moli tersenyum, memandang kagum karena pemuda itu memang gagah perkasa dan tampan.

"Aih, kalau aku tidak salah duga, bukankah engkau ini putera atau murid dari Bu-eng-kiam Ouwyang sek, majikan Lembah Bukit Siluman?"

Pemuda itu memberi hormat. Dia memang benar Ouwyang Toan, putera tunggal Bu-eng-kim (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek. Dia meninggalkan Lembah Bukit Siluman dalam perjalanannya mencari Tiauw Hui Hong, murid atau anak tiri ayahnya yang pergi meninggalkan lembah untuk mencari ayah kandungnya. Ouwyang Toan ini jatuh cinta kepada adik seperguruan atau adik tirinya sendiri dan dia bertekad untuk memperisteri Hui Hong. Dalam perjalanannya nenuju ke kota raja Nan-king dalam usaha mencari Hui Hong, dia melihat betapa Bi Moli dikeroyok oleh belasan orang, maka diapun segera memberi bantuan. Dia tidak mengenal wanita itu, akan tetapi melihat seorang wanita dikeroyok belasan orang pria dan keadaannya terancam, tentu dia tidak dapat membiarkannya begitu saja. Apalagi wanita itu demikian cantiknya, dan ada seorang nona cantik lain rebah pingsan di atas rumput.

"Toanio (nyonya) sungguh lihai dan bermata tajam, memang benar dugaan toanio, aku bernama Ouwyang Toan dan ayahku adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Ayahku pernah bercerita tentang seorang datuk wanita yang lihai dan selalu nampak cantik dan muda, juga ia seorang ahli sihir. Tadi toanio menggunakan kekuatan sihir, apakah toanio yang bernama Bi Moli Kwan Hwe Li?”

Bi Moli tertawa girang. "Aih, engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi putera Bu-eng-kiam! Engkau gagah perkasa, tampan dan cerdik."

"Bibi Kwan terlalu memuji," kata Ouwyang Toan merendah, kini tanpa ragu lagi menyebut bibi karena ayahnya mengatakan bahwa ayahnya mengenal baik wanita yang dianggap setingkat dan segolongan dengan ayahnya itu. "Akan tetapi, siapakah nona yang masih tak sadar itu, bibi?"

"Aih, aku sampai lupa! Ia adalah muridku dan tadi kami tertipu oleh tiga orang pemburu yang mencampurkan racun pembius dalam anggur yang mereka suguhkan.” Bi Moli menghampiri muridnya yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan, diikuti oleh Ouwyang Toan yang diam-diam memandang kagum kepada wanita muda yang cantik itu.

"Bibi, aku mempunyai obat penawar segala macam racun. Kalau boleh, biarkan aku yang menyadarkannya,” kata Ouwyang Toan. Bi Moli memandang wajah pemuda itu dan mengangguk sambil tersenyum! Sebagai seorang wanita berpengalaman, ia tahu bahwa pemuda putera datuk dari Lembah Bukit Siluman ini tertarik kepada muridnya. Mengapa tidak, pikirnya! Kalau muridnya dapat menjadi mantu Ouwyang Sek, berarti ia mempunyai sekutu yang amat kuat.

Setelah mendapatkan persetujuan Bi Moli Ouwyang Toan dengan girang lalu berlutut di dekat tubuh yang terlentang itu. Jantungnya berdebar keras karena dengan berlutut di dekat tubuh itu, dia dapat melihat dengan jelas bentuk tubuh yang ramping padat itu, wajah yang cantik manis. Dia bukan seorang yang ber watak mata keranjang, akan tetapi Ling Ay memang memiliki kecantikan yang mampu menarik hati pria yang pendiam sekalipun!

Ouwyang Toan mengambil dua butir pel merah dari sebuah bungkusan, lalu menghancurkan dua butir pel itu ke dalam secawan arak. Setelah itu, dia menotok jalan darah di kedua pundak dan tengkuk Ling Ay. Gadis itu belum siuman, akan tetapi sudah mengeluh dan dapat bergerak tanpa membuka mata karena masih dipengaruhi racun pembius. Karena ia sudah mampu bergerak, Ouwyang Toan merangkulnya dengan lengan kiri, membantunya bangkit duduk, lalu memaksanya minum obat penawar racun dari cawan. Biarpun tidak mudah, namun setelah Ouwyang Toan meniup ke hidung Ling Ay, wanita ini gelagapan dan terpaksa dapat menelan semua isi cawan. Ouwyang Toan merebahkannya kembali dan dengan jari-jari tangan penuh gairah, dia memijit-mijit pundak dan tengkuk Ling Ay, merasa betapa lembut kulit itu, betapa hangat dan berisi.

Tak lama kemudian, Ling Ay mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat ada seorang laki- laki berlutut di dekatnya dan laki-laki itu meraba-raba dan memijit-mijit tengkuk dan pundaknya, ia mengeluarkan seruan nyaring dan sambil meloncat berdiri, ia mengirim pukulan ke arah muka laki-laki itu, “Wuuuuttt ... plakkk!” Ouwyang Toan menangkis tamparan yang amat kuat itu dan diapun melompat berdiri.

Ling Ay sudah siap untuk melanjutkan serangannya, akan tetapi gurunya segera melangkah maju dan menangkap lengannya.

"Tenanglah, Ling Ay dan jangan salah mengerti. Pemuda ini tidak berniat buruk, bahkan dia yang telah mengobatimu dan menyadarkanmu dari pengaruh racun pembius.” kata Bi Moli kepada muridnya. Mendengar ini, Ling Ay terkejut dan mundur dua langkah, memandang kepada pemuda itu dan kedua pipinya berubah kemerahan.

"Ahhh ... maafkan aku ... " katanya gagap dan malu telah menyerang orang tanpa bertanya dulu sehingga hampir ia memukul penolongnya!

"Tidak mengapa, nona. "kata Ouwang Toan.

"Ling Ay, dia adalah Ouwyang Toan, putera dari Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Kalau dia tidak datang, tentu akupun tadi akan terancam bahaya dari tangan orang-orang berpakaian hitam itu. Ouwyang Toan, kenalkan, muridku ini bernama Cia Ling Ay.”

Ling Ay yang menyadari kesalahannya tadi, segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut dan ramah, "Terima kasih atas bantuan Ouwyang Tai-hiap."

Ouwyang Toan tersenyum. "Ahhh, harap nona jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)!"

Bi Moli tertawa. "Engkau sendiri menyebut Ling Ay nona. Ketahuilah, ia bukan nona, melainkan nyonya muda, ia sudah janda tanpa anak ... "

"Subo ... " kata Ling Ay dan mukanya berubah kemerahan. Ia menganggap memalukan untuk memperkenalkan dirinya sebagai seorang janda muda tanpa anak.

"Aihh, Ling Ay. Ouwyang Toan ini adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang kuanggap sebagai segolongan dan sahabat sendiri, maka diapun dapat kita anggap orang serdiri. Engkau tidak perlu sungkan dan sebut saja dia toako, dan engkau menyebut siauw-moi kepada Ling Ay, Ouwyang Toan.”

Kedua orang muda itu kembali saling pandang dan dengan sikap malu-malu karena mata pemuda itu menjelajahi seluruh tubuhnya, Ling Ay berkata, "Ouwyang toako!"

"Cia-moi, di antara kita memang tidak perlu sungkan seperti apa yang dikatakan bibi Kwan."

"Kulihat Bibi Kwan dan Adik Ling Ay berpakaian seperti perwira kerajaan. Benarkah dugaanku ini?"

"Tidak salah, Ouwyang Toan. Aku bekerja di istana sebagai guru silat yang melatih para perwira dan para puteri, sedangkan Ling Ay bekerja sebagai perwira pasukan pengawal permaisuri."

"Ah, kiranya bibi dan adik telah menjadi orang-orang penting di istana! Sungguh mengagumkan sekali!"

"Tidak perlu memuji, Ouwyang Toan. Kami hanya perwira-perwira kecil. Akan tetapi engkau sendiri, hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan ayahmu di Lembah Bukit Siluman?"

"Terima kasih, bibi. Ayah baik-baik saja. Dan aku sendiri sedang mencari ... adikku yang pergi dari rumah.” "Siapakah adikmu itu? Dan, kalau tidak salah, Bu-eng kiam mempunyai seorang anak perempuan. itukah yang kaumaksudkan? Siapalagi namanya, aku sudah lupa."

"Benar, bibi. Namanya Hui Hong ... eh, ada apakah, adik Ling Ay? Kenalkah engkau dengan adikku, atau apakah engkau melihat ia di kota raja !”

Ling Ay menggeleng kepala. "Aku ... rasanya aku pernah melihatnya dan mendengar namanya, yaitu kurang lebih empat tahun yang lalu ... "

"Sebelum engkau menjadi muridku?" tanya gurunya.

Ling Ay sudah dapat menenangkan hatinya. ia ingat bahwa gadis bernama Hui Hong itu adalah gadis yang membuat hatinya merasa tidak enak dan cemburu karena gadis itu datang bersama Bun Houw dan mereka nampak demikian akrab, ia merasa tidak perlu bicara tentang itu dan iapun berkata tenang, "Akan tetapi, sejak empat tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi melihatnya."

"Mari ikut bersama kami, Ouwyang Toan. Kami akan membantu mencari keterangan. Kalau memang benar adikmu berada di kota raja, kami tentu akan dapat menemukannya. Kami harus cepat kembali ke kota raja untuk melaporkan tentang adanya gerombolan berpakaian hitam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu. Mereka harus cepat dibasmi dan kami akan minta kepada panglima pasukan keamanan untuk menggerebek mereka di hutan ini."

Ouwyang Toan merasa girang, bukan saja karena akan mendapat bantuan menemukan Hui Hong, melainkan juga karena dia akan berdekatan dengan Ling Ay yang cantik manis, dan juga Bi Moli yang biarpun usianya sudah setengah abad, masih nampak jelita itu. Mereka lalu berangkat ke Nan-king. Bi Moli berboncengan satu kuda dengan muridnya dan kuda yang seekor lagi diberikan kepada Ouwyang Toan ...!”

Karena yang membawanya Bi Moli dan Ling Ay, tentu saja Ouwyang Toan tidak dilarang memasuki istana dan dia mendapatkan sebuah kamar dalam sebuah gedung di samping agak terpisah dari gedung induk, yaitu gedung yeng memang disediakan bagi para tamu istana. Bi Mo-li sendiri segera menghubungi panglima pasukan keamanan yang mengirim pasukan untuk menggerebek gerombolan berpakaian hitam yang tadi mengeroyok Bi Moli. Akan tetapi, pasukan itu tidak menemukan apa-apa. Pasukan itu tidak menemukan seorang pun anggauta gerombolan walaupun di tengah hutan didapatkan pondok-pondok darurat dan ada tanda-tanda bahwa baru saja banyak orang meninggalkan tempat itu.

Memenuhi janjinya, Bi Moli juga menyebar penyelidik untuk mencari seorang gadis bernama Ouwyang Hui Hong, namun sampai beberapa hari lamanya, pencarian mereka itu tidak berhasil menemukan gadis yang dicari. Sementara itu, Ouwyang Toan tinggal sebagai tamu terhormat di lingkungan istana, dan walaupun tempat itu dijaga para pengawal dan dia tidak dapat berkeliaran di dalam istana, namun di sekeliling gedung tamu itu terdapat taman yang luas dan indah sehingga membuat pemuda ini merasa betah tinggal di situ. Apalagi di waktu malam, seringkili Bi Moli dan Ling Ay datang berkunjung dan hubungan mereka telah akrab.

Karena sikap Ouwyang Toan memang baik terhadap dirinya, dan ia tahu bahwa pemuda itu seorang yang berkepandaian tinggi, maka ketika gurunya menyindirkan bahwa pemuda itu akan menjadi jodohnya yang baik, Ling Ay tersipu dan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.

"Ling Ay, pemuda itu seorang yang baik dan akan sukarlah mencari seorang calon suami yang melebihi dia. Dia lihai, tampan, gagah, putera seorang tokoh besar ... "

"Subo! Subo tahu bahwa aku seorang janda, dan aku ... aku hanya mencinta seorang ... “

"Bodoh! Jangan engkau meniru sikap hidupku yang membuat aku merana sampai setua ini! Apa artinya mencinta seorang pria mati-matian, padahal pria itu sendiri tidak mencintamu? Engkau akan menderita! Aku sudah bersikap bodoh ketika muda. Sebetulnya tidak seharusnya aku bersikap seperti itu, mengharapkan seorang pria menjadi jodohku sampai aku harus mengorbankan diri, bersetia sampai puluhan tahun, pada hal pria itu tidak mau menjadi jodohku! Seharusnya kita menempuh dua jalan, pertama, kita harus menggunakan segala daya upaya untuk mendapatkan pria yang kita cinta itu, baik secara halus maupun kasar. Kalau itu gagal, kita mencari pria lain dan melupakan yang pertama! Nah, untuk apa engkau mengharapkan kekasih pertamamu itu. padahal dia tidak mencintamu lagi, bahkan engkau pernah menikah dengan orang lain? Sekarang ada Ouwyang Toan, dan kurasa dia tidak kalah dibandingkan dengan pria manapun."

"Subo, dia serdiri belum tentu mau denganku. Aku hanya seorang janda, dan dia putera seorang datuk dan ... “

"Aku yakin dia pasti mau memperisteri dirimu." "Bagaimana mungkin subo tahu?"

Bi Moli tersenyum. "Aku dapat melihat bahwa dia tertarik padamu, Ling Ay, baik dari pandang matanya dan sikapnya kalau bicara denganmu."

"Aih, subo hanya menduga-duga saja."

Demikianlah, sejak percakapan itu, Ling Ay semakin memperhatikan Ouwyang Toan bahkan kalau kini berhadapan dengan pemuda itu, ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan ia merasa sungkan dan tersipu. Pada suatu sore, beberapa hari setelah Ouwyang Toan tinggal di lingkungan istana sebagai tamu, Ling Ay mencari gurunya. Ketika mendengar dari pelayan gurunya bahwa Bi Moli sejak tadi pergi, Ling Ay menduga bahwa tentu subonya pergi mengunjungi Ouwyang Toan, seperti yang dilakukannya setiap hari setiap kali ada kesempatan. Iapun pergi menyusul. Pada waktu itu, gedung tempat penginapan tamu itu kebetulan kosong dan hanya ada sedikit saja tamu yang menginap di situ. Kamar Ouwyang Toan berada di bagian belakang dan Ling Ay langsung saja menuju ke kamar pemuda itu. Para penjaga di depan gedung itu tentu saja mengenal Ling Ay, dan mereka memberi hormat ketika perwira pengawal wanita itu masuk.

Tentu saja Ling Ay tidak berani mengetuk kamar pemuda itu. Hal itu tidak sopan. Bahkan belum pernah ia datang berkunjung sendirian saja, selalu bersama subonya. Kinipun ia bukan bermaksud datang berkunjung, melainkan menyusul dan mencari subonya. Maka, iapun menghampiri kamar itu dengan langkah ringan dan tidak menimbulkan suara sedikitpun. Tiba tiba, ketika ia berada di luar jendela, ia menghentikan langkahnya. Ada suara percakapan berbisik-bisik keluar dari jendela itu dan ia mengenal suara subonya! Subonya berada di dalam kamar seorang diri saja bersama pemuda itu, dan mereka bicara berbisik-bisik, diselingi tawa lirih gurunya, tawa aneh karena terdengar genit! Iapun menahan napas dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya, menangkap percakapan bisik-bisik itu.

"Bibi, kita telah berjanji, kuharap kelak engkau tidak akan melanggar janjimu kepadaku," terdengar suara Ouwyang Toan berbisik.

"Ihh, anak bandel! Kaukira Bi Moli tukang bohong? Akan tetapi kau juga harus selalu ingat. Biarpun Ling Ay telah menjadi milikmu, engkau harus tidak pernah menyia-nyiakan diriku. Kalau kelak engkau melupakan aku, maka aku pasti akan membunuh engkau dan Ling Ay!"

Tentu saja Ling Ay yang mendengarkan dari luar, seketika menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. Ingin ia meloncat dan pergi, akan tetapi kedua kakinya seperti lumpuh dan ia ingin mendengarkan lagi, ingin tahu apa yang sebenarnya mereka rencanakan, "Aku melupakanmu? Ah, engkau begini cantik, begini pandai menyenangkan hatiku, sampai matipun aku tidak akan melupakanmu, bibi yang manis. Akan tetapi kalau engkau melanggar janji, tidak mengusahakan agar ia menjadi milikku, aku akan meninggalkanmu dan mengadu kepada ayah dan kami akan memusuhimu."

"Jangan khawatir, laki-laki ganteng. Aku tidak begitu pelit untuk membagi dirimu dengan muridku sendiri."

"Akan tetapi, ia kelihatan begitu pendiam dan angkuh. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk berhasil merayu dan memikatnya, bibi. Aku tidak pandai merayu."

"Apa sih sukarnya? Aku dapat mempergunakan kekuatan sihirku untuk menundukkannya."

"Dan aku mempunyai obat pembius dan racun perangsang untuk membantu kalau-kalau kekuatan sihirmu kurang berhasil." Lalu terdengar kedua orang itu cekikikan menahan tawa. Ling Ay bergidik. Ingin ia menjerit dan memaki, wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan ia lalu memaksa diri untuk berlari meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya, mengambil pakaian dan sore hari itu juga meninggalkan istana. Ketika ia berlari, karena ia marah sekali. ia kurang hati-hati dan kakinya menimbulkan suara yang tentu saja mengejutkan dua orang yang, sedang berbuat mesum di dalam kamar itu.

Ling Ay mendengar suaranya dipanggil, akan tetapi ia tidak perduli dan setelah berhasil membawa buntalan pakaian, iapun keluar dari dalam istana, terus menuju ke pintu gerbang kota raja untuk melarikan diri. Ia tidak akan sanggup melawan gurunya dan Ouwyang Toan, dan kalau ia tidak melarikan diri. tentu ia akan menjadi korban niat yang hina dan kotor dari kedua orang itu. Lebih baik ia mati dari pada menyerah kepada mereka!

Setelah keluar dari pintu gerbang bagian barat kota raja, Ling Ay terus melarikan diri secepatnya menuju ke barat, ke arah sungai Yang-ce-kiang karena ia bermaksud melarikan diri dengan menyewa perahu agar tidak mudah dapat dikejar dan ditangkap gurunya yang pasti akan melakukan pengejaran.

Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya ia tiba di tepi sungai Yang-ce. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak ada tukang perahu, bahkan tidak ada perahu di sungai yang dekat, semua yang nampak adalah perahu-perahu nelayan yang jauh dari tepi itu. Akan tetapi tiba-tiba meluncur sebuah perahu yang ditumpangi seorang laki-laki yang muka dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Perahu itu berhenti di sebuah belokan yang teduh dan laki-laki itu melempar kailnya.

Pada saat itu terdengar suara gurunya memanggilnya! Gurunya belum nampak, akan tetapi suaranya sudah sampai di situ, tanda bahwa gurunya berteriak dengan kekuatan khi kang. Wajah Ling Ay menjadi pucat. Kalau sampai ia terlihat gurunya, tidak akan ada harapan lagi!

"Paman tukang perahu ...!" teriaknya ke arah tukang perahu yang bercaping lebar dan sedang memancing ikan itu. "Tolonglah aku, tukang perahu! Tolong seberangkan aku ke sana ... cepat, tolonglah aku ...!!"

Akan tetapi, tukang perahu yang sedang memancing ikan itu agaknya tidak mendengarnya, atau memang tidak perduli atau mungkin juga dia bukan tukang perahu yang suka menyeberangkan orang melainkan seorang yang mempunyai kesenangan mengail.

"Tukang perahu ...!" Ling Ay berteriak lagi, akan tetapi terlambat. Tukang perahu itu tidak bergerak, dan tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan subonya Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah berdiri di depannya! Pemuda itu tersenyum mengejek, dan Bi Moli memandang dengan mata mencorong marah.

"Ling Ay, apa yang kaulakukan ini? Engkau minggat, pergi meninggalkan istana tanpa pamit? Apa yang kau kehendaki?" tanya Bi Moli dengan nada suara marah ... .

Ling Ay terkenang apa yang didengarnya dalam kamar tadi, maka ia bergidik. "Subo biarkan aku pergi, aku tidak akan mengganggu kalian, akan tetapi harap kalian juga jangan menggangguku." kata Ling Ay, suaranya gemetar.

"Ling Ay, gilakah engkau? Kenapa engkau hendak meninggalkan aku? Hayo kembali bersamaku!"

"Tidak, subo, aku tidak mau kembali. Harap subo jangan memaksaku untuk menjadi permainan Ouwyang Toan!"

"Kau    ?”

"Subo, aku sudah mendengar semua. Kalian hendak memaksaku, Ouwyang Toan hendak menggunakan racun pembius dan perangsang, subo sendiri hendak mempengaruhi aku dengan sihir. Tidak, lebih baik aku mati dari pada menuruti kemauan kalian yang kotor dan hina!" Kini Ling Ay marah, teringat betapa subonya, orang yang selama ini dihormati dan disayangnya, ternyata telah berubah menjadi iblis betina yang akan menjerumuskan murid sendiri, ia merasa heran mengapa subonya yang berdarah bangsawan dan biasanya angkuh itu, bahkan yang selama ini setia mempertahankan cintanya kepada Tiauw Sun Ong, telah berubah seperti itu! "Ling Ay, engkau berani mengintai dan mendengar percakapan kami? Sungguh engkau murid durhaka!" bentak Bi Moli, marah sekali karena merasa malu membayangkan betapa muridnya telah mengetahui semua rahasianya dengan Ouwyang Toan.

Melihat kemarahan Bi Moli, Ouwyanng Toan berkata, "Bibi, kiranya tidak perlu ribut-ribut di sini. Kita tangkap saja dan membawanya kembali ke istana. Biar kutangkap ia untukmu, bibi." Setelah berkata demikian, Ouwyang Toan sudah menerjang ke depan, kedua lengannya dikembangkan, bagaikan seekor biruang yang hendak menangkap kelinci.

Dengan marah Ling Ay mengelak dengan loncatan ke samping dan menggerakkan kakinya menendang ke arah pusar pemuda itu. Tendangan itu cukup berbahaya, maka terpaksa Ouwyang Toan menghindarkan diri dari tendangan itu dengan elakan ke belakang. Bi Moli marah melihat muridnya melawan, maka iapun menerjang dari samping dan tangannya menyambar. Ling Ay berusaha mengelak, akan tetapi pundaknya terkena sentuhan jari tangan gurunya dan iapun terpelanting! Akan tetapi, kiranya gurunya hanya hendak menakut-nakutinya saja dan tidak melukainya maka iapun bangkit lagi, mukanya pucat saking marahnya.

"Singg ...!!" Ling Ay mencabut pedangnya dan menghadapi kedua orang itu. "Subo, sudah kukatakan bahwa aku lebih baik mati dari pada harus kembali ke sana. Dan terpaksa aku akan melawan mati-matian mempertahankan kehormatanku!" Ia mengangkat pedangnya, melintang di depan dada!

"Tahan pedangnya, biar aku merobohkan dan menangkapnya!" kata Bi Moli kepada Ouwyang Toan.

"Bibi, jangan bunuh Ling Ay ... " kata Ouwyang Toan. "Aku terlalu sayang padanya!"

"Aku tidak akan membunuhnya, melukai pun tidak asal engkau dapat menahan pedangnya dan memberi kesempatan kepadaku untuk merobohkannya."

Ouwyang Toan mencabut pedangnya dan, diapun menyerang dengan putaran pedangnya cepat sekali. Terpaksa Ling Ay menggerakkan pedang pula untuk membela diri. Ia berusaha untuk lebih banyak mengelak sambil memutar pedang karena maklum bahwa sedikit saja ada lowongan karena ia harus menghadapi pedang Ouwyang Toan, maka gurunya akan dengan mudah merobohkannya dengan totokan.

"Trangg ...!” Kembali ia menangkis ketika pedang Ouwyang Toan membacok dari atas, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya melekat pada pedang pemuda itu, tidak dapat dilepaskan kembali. Tentu saja ia dalam keadaan terbuka dan gurunya tentu akan mudah merobohkannya.

Bi Moli mergeluarkan suara tawa mengejek dan sudah bergerak ke depan, akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan dan sebuah caping menyambar sambil berputar seperti gasing, menyambar ke arah Bi Moli. Tentu saja iblis betina yang cantik ini terkejut bukan main dan ia sudah mengurungkan totokannya kepada muridnya, melainkan membalik dan menghantam ke arah caping yang menyambarnya dari samping itu.

"Prakkk !" Caping itu hancur berkeping-keping, akan tetapi Bi Moli merasa betapa tangannya perih, tanda bahwa caping itu dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Kini di depannya telah berdiri seorang pemuda. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang saja, wajahnya tampan namun sederhana, tidak pesolek, bahkan pakaiannya juga bersahaja. Demikian pula sikapnya, nampak ramah namun wajar bahkan agak acuh. Ling Ay terkejut dan juga wajahnya berubah kemerahan. Kiranya ini adalah tukang perahu yang tidak menanggapi seruannya tadi, dan setelah tidak bercaping lagi, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah yang selama bertahun-tahun ini tidak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Kwa Bun Houw!

Memang pemuda itu adalah Kwa Bun Houw, pemuda yatim piatu yang menjadi murid Tiauw Sun Ong. Pemuda yang berbakat baik ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Tiauw Sun Ong. akan tetapi kini tingkat ilmu kepandaiannya bahkan melebihi gurunya karena secara kebetulan dia telah makan Akar Bunga Gurun Pasir, obat mujijat yang pernah diperebutkan semua tokoh dunia persilatan. Obat mujijat itu yang membuat tubuhnya menjadi kuat sekali. Baru pengaruh daya obat luar biasa itu saja sudah mendatangkan kemajuan hebat dalam diri Bun Houw, apalagi secara kebetulan pula dia berhasil mempelajari dan menguasai ilmu langka yang disebut Im-yang Bu-tek Cin-keng. maka dia memperoleh kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat. Kini Bun Houw sedang dalam perjalanan yang membawa dua macam tugas yang diberikan gurunya kepadanya. Pertama, dia mencari Tiauw Hui Hong, puteri gurunya yang tadinya menjadi anak yang diakui sebagai anak sendiri oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dia tidak tahu ke mana Hui Hong pergi, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang gadis tanpa diketahui ke mana perginya. Adapun tugas kedua dari gurunya adalah agar dia mengamati dan meneliti bagaimana perkembangan keadaan setelah kerajaan Lui- sung jatuh dan kaisarnya diganti kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi.

Dia sedang menuju ke Nan-king dengan perahu dan pada sore hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Ling Ay terancam oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan.

Tentu saja dia segera mengenal Ling Ay ketika wanita itu tadi memanggilnya sebagai tukang perahu. Dia mengenal suara Ling Ay, dan ketika dia mengerling dan mengintai dari bawah capingnya, dia mengenal benar wajah wanita yang pernah menjadi kekasih dan tunangannya itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak perduli. Pertama, dia tidak ingin Ling Ay tahu bahwa dialah tukang perahu itu, dan ke dua, dia merasa heran dan ingin melihat apa yang terjadi sehingga Ling Ay berada di tepi sungai itu dengan sikap yang ketakutan. Ketika dia melihat Ouwyang Toan, dia terkejut, apalagi melihat sikap Ouwyang Toan dan wanita cantik itu terhadap Ling Ay dan mendengar percakapan mereka. Dari percakapan itu dia tahu bahwa wanita cantik itu guru Ling Ay yang kini mendadak saja menjadi seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian silat. Bagaimana mungkin seorang guru hendak memaksa muridnya menjadi permainan Ouwyang Toan seperti dikatakan Ling Ay tadi? Bun Houw sudah siap siaga, akan tetapi dia masih ingin melihat perkembangannya dan mempertimbangkan apakah dia perlu melindungi dan membantu Ling Ay.

Baru setelah dia melihat Ling Ay terancam dan nyaris dirobohkan, dia melempar capingnya untuk menggagalkan serangan Bi Moli dan dia sendiri meloncat ke darat dan kini dia sudah berhadapan dengan Bi Moli.

"Kakak Bun Houw ... !” Ling Ay tak dapat menahan mulutnya menyebut nama bekas tunangannya itu.

"Adik Ling Ay, tenanglah, biar aku menghadapi mereka." kata Bun Houw.

"Kwa Bun Houw, engkau berani mencampuri urusan kami!" bentak Ouwyang Toan marah sekali. Andaikan dia seorang diri harus menghadapi Bun Houw, tentu dia merasa gentar karena dia tahu bahwa dia tidak akan mampu menandingi pemuda itu. Akan tetapi di situ terdapat Bi Moli Kwan Hwe Li yang lihai, maka tentu saja dia menjadi berani.

"Hemm, Ouwyang Toan, agaknya di mana-mana engkau hendak menyebar benih busuk dengan perbuatanmu!" Berkata demikian, Bun Houw melangkah maju dan otomatis Ling Ay cepat mundur dan berdiri di belakang bekas tunangan itu.

"Bibi, ini adalah Kwa Bun Houw, murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong!"

"Ahhh ...!" Bi Moli tertegun. Tak disangkanya dia bertemu dengan seorang pemuda yang pernah disebut-sebut muridnya sebagai bekas kekasih dan tunangan muridnya, juga yang menjadi murid Tiauw Sun Ong, bekas kekasihnya.

“Bibi, dia musuh besarku sejak dahulu, bahkan dia mengajak gurunya untuk memusuhi ayahku. Bantulah aku untuk membunuhnya, bibi. Baru kita dapat menangkap Ling Ay." kata pula Ouwyang Toan.

Mendengar bahwa pemuda itu murid bekas kekasihnya, hati Bi Moli merasa kurang enak. "Orang muda, sebaiknya engkau tidak mencampuri urusan kami. Ini merupakan urusan, guru dan murid. Ling Ay adalah muridku dan engkau sebagai orang luar tidak berhak mencampurinya. Ling Ay, hayo engkau ikut enganku!"

"Tidak, subo. Sampai mati aku tidak akan suka ikut subo kembali ke istana!" kata Ling Ay berkeras, "Subo telah bersekongkol dengan Ouwyang Toan untuk mempermainkan aku. Aku tidak sudi!” “Locianpwe, saya tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, sudah menjadi tugas saya untuk mencampuri urusan yang menyangkut kejahatan yang menindas siapa saja, sudah menjadi tugas saya untuk membela yang benar dan menentang yang salah. Adik Cia Ling Ay ini sudah jelas menyatakan bahwa ia tidak mau ikut lo-cianpwe karena hendak dipaksa menjadi permainan Ouwyang Toan. Kalau lo-cianpwe dan Ouwyang Toan hendak memaksanya, sudah tentu saya akan membelanya!” kata Bun Houw dengan tegas.

Bi Moli tersenyum mengejek, “Engkau hanya murid Tiauw Sun Ong, berani bersikap begini kepadaku? Berani engkau menentangku? Menentang aku sama saja dengan menentang gurumu sendiri!”

“Maaf, lo-cianpwe. Menurut pelajaran yang saya terima dari suhu, yang ditentang bukanlah orangnya, melainkan perbuatannya yang keliru. Bahkan guru sendiri atau orang tua sendiripun kalau melakukan perbuatan yang jahat, pernuatan itu harus ditentang, pelakunya harus disadarkan dari kesesatannya.”

“Bocah sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa perbuatanku sesat?" bentak Bi Moli marah.

"Kalau lo-cian-pwe hendak memaksa Ling Ay untuk dipermainkan Ouwyang Toan di luar kehendaknya, sudah jelas perbuatan itu sesat dan harus ditentang."

"Jahanam! Engkau tidak tahu siapa aku! Lihat baik-baik Kwa Bun Houw, aku adalah seorang yang harus kau muliakan dan kau sembah. Berlututlah engkau!" Suaranya terdengar menggetar penuh wibawa dan mata itu mencorong seperti menembus di dahi Bun Houw antara kedua alisnya.

Seketika Bun Houw merasa tubuhnya menggetar hebat dan ada tenaga yang amat kuat dalam suara itu yang memaksanya untuk menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bun Houw cepat mengerahkan tenaga sin-kangnya yang kini menjadi amat kuat setelah dia makan obat Akar Bunga Gurun Pasir, dan mengerahkan tenaga itu dari pusar ke atas sesuai dengan ilmu Im- yang Bu-tek Cin-keng yang dikuasainya. Hawa yang hangat menjalar di seluruh tubuhnya sampai ke ubun-ubun dan dorongan tenaga aneh yang memaksanya untuk berlutut tadi, lenyap bagaikan kabut ditimpa sinar matahari.

"Maaf kalau saya mengecewakan lo-cian-pwe, saya tidak akan pernah tunduk terhadap kejahatan. Sebaliknya lo-cianpwe dan Ouwyang Toan segera meninggalkan adik Ling Ay dan jangan mengganggunya lagi.”

Bi Moli Kwan Hwee Li menjadi semakin marah karena merasa penasaran dan malu bahwa kekuatan sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda iru. Ia mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya sudah ke depan dan ia mengirim pukulan dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada Bun Houw. Angin yang dahsyat menyambar ke arah Bun Houw yang maklum akan datangnya serangan dahsyat itu maka diapun dengan jurus Im-yang Bu-tek Cin- keng menekuk kedua lututnya, kedua tangan di rangkap depan dada seperti menyembah, lalu kedua tangan itu didorongkan ke depan dengan telapak tangan di muka untuk menyambut serangan lawan.

"Wuunuttt ... dessss ...!” Dua pasang telapak tangan itu belum saling sentuh, akan tetapi di antara mereka seperti ada angin kuat yang saling bertumbukan dan membuat keduanya terpental kebelakang. Akan tetapi kalau Bun Houw terpental hanya mundur dua langkah, sebaliknya Bi Moli Kwan Hwe Li terhuyung dan hampir roboh telentang kalau saja Ouwyang Toan tidak cepat menahannya dari belakang. Bi Moli merasa terkejut dan malu, membuatnya marah dan ia menepaskan tangan Ouwyang Toan yang menyangga punggung dan pinggulnya.

“Kwa Bun Houw, kalau aku menandingimu, sama dengan aku menghina gurumu. Baik akan kulaporkan kelakuanmu yang kurang ajar kepadaku ini kepada Tiauw Sun Ong!” Setelah berkata demikian, Bi Moli memberi isarat kepada Ouwyang Toan untuk meninggalkan tempat itu.

Ouwyang Toan tentu saja merasa terkejut dan heran. Dia memang tahu bahwa Bun Houw amat lihai. Bahkan ayahnya pernah kalah oleh pemuda itu. Akan tetapi tadi di tidak melihat Bi Moli sudah dikalahkan, hanya terhuyung ke belakang, kenapa wanita sakti yang menjadi datuk persilatan ini nampak jerih untuk melanjutkan perlawanannya terhadap Kwa Bun Houw? Baru dia tahu setelah mereka tiba diluar pintu gerbang kota raja dan melihat Bi Moli muntahkan sedikit darah, bahwa datuk itu ternyata telah menderita luka dalam akibat adu tenaga sin-kang jarak jauh tadi! Tentu saja dia terkejut, akan tetapi tidak berani bertanya-tanya.

Biarpun dalam hati ia marah dan membenci Ling Ay, akan tetapi pada lahirnya Bi Moli Kwan Hwe Li terpaksa menghadap Permaisuri dan mohon maaf bahwa muridnya Cia Ling Ay pergi meninggalkan istana tanpa pamit karena mendengar bahwa seorang pamannya meninggal dunia dan pengawal itu malam-malam harus pergi meninggalkan kota raja dan tidak sempat mohon diri dari Permaisuri. Karena yang mintakan maaf dan melaporkan adalah Bi Moli Kwan Hwe Li, guru silat istana dan juga guru diri Ling Ay, maka Permaisuri menerima permintaan maaf itu dan tidak terjadi keributan apapun di dalam istana. Bi Moli terpaksa menghadap permaisuri demi dirinya sendiri karena kalau Kaisar dan keluarganya memarahi Ling Ay, ia sebagai gurunya tentu akan terlibat juga.

Atas permintaan Ouwyang Toan, Bi Moli akhirnya berhasil memperkenalkan Ouwyang Toan sebagai murid keponakannya dan setelah melalui ujian ilmu silat, Ouwyang Toan diterima sebagai seorang perwira pengawal pasukan penjaga keamanan istana. Dengan kedudukan ini. mereka berdua dapat bekerjasama dan dapat selalu berhubungan, dan Ouwyang Toan mempergunakan kesempatan itu untuk menyebar anak buahnya untuk mencari Hui Hong!

***

Mereka berdua, Bun Houw dan Ling Ay duduk di perahu kecil yang dibiarkan hanyut terbawa arus sungai oleh Bun Houw yang menggunakan dayung untuk mengemudikan perahu yang meluncur perlahan-lahan sambil bercakap-cakap dengan Ling Ay.

"Houw-ko, kalau tidak ada engkau yang menolong, tentu sekarang aku sudah mati membunuh diri karena tidak mungkin aku mampu menandingi mereka dan aku tidak sudi dipaksa menjadi isteri Ouwyang Toan.” Ling Ay berkata dengan terharu sambil menatap wajah bekas tunangannya.

Bun Houw menghela napas panjang, "Orang yang benar dan baik akan selalu dilindungi Tuhan, Ay-moi. Betapa cepatnya waktu meluncur lewat. Rasanya baru kemarin dulu kita saling jumpa dalam peristiwa di Nan-king itu dan sekarang, tahu-tahu engkau telah menjadi seorang ahli silat tangguh, murid Bi Moli!”

“Aih, nasib telah mempermainkan diriku sedemikian rupa, Hou-ko, bahkan sampai saat ini akupun masih selalu dirundung nasib yang malang.”

“Adik Ling Ay, aku sudah mendengarkan malapetaka yang menimpa ayah ibumu. Ketika aku meninggalkan rumah kalian untuk mencari Hui Hong, aku tidak dapat menemukan jejaknya dan ketika aku kembali ke Nan-king, aku mendengar betapa ayah ibumu telah terbunuh oleh utusan pemberontak. Aku mendengar pula bahwa engkau diculik penjahat yang berjuluk Hek-coa, akan tetapi engkau ditolong oleh Bi Moli, semua keterangan itu kudapatkan dari Souw Ciangkun, panglima di Nan-king yang kemudian menangkapi para pemberontak."

Ling Ay menghela napas panjang, "Ya, siapa tahu akan nasib kita? Akupun sama sekali tidak pernah menduga bahwa guruku yang selamanya begitu baik kepadaku, menolongku dari penjahat yang menculikku, kernudian melihat aku telah kehilangan segalanya lalu mengajakku merantau dan mengambil aku sebagai murid, mengajarku ilmu dengan sungguh-sungguh, mendadak berubah sama sekali setelah ia bertemu dengah Ouwyang Toan." Ling Ay lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang percakapan antara Bi Moli dan Ouwyang Toan yang melakukan hubungan gelap dan yang merencanakan untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan sehingan ia melarikan diri dan dikejar sampai ke tepi-sungai.

"Hemm, akupun heran mengapa Ouwyang Toan ingin memperisterimu setelah dia menjadi kekasih Bi Moli. Padahal, Ouwyang Toan juga agaknya ingin memaksa Hui Hong yang tadinya menjadi adik tirinya, juga adik seperguruan, untuk menjadi isterinya. Mereka memang jahat sekali. Ouwyang Sek, ayahnya, dahulu menolong ibu Hui Hong dalam perjalanan pembuangan, akan tetapi hanya untuk dipaksa untuk menjadi isterinya. Untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya, wanita itu terpaksa mau menjadi isteri Ouwyang Sek. Ahh, para datuk itu agaknya terlalu mabok akan kekuatan sendiri sehingga mereka menjadi sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka. Sekarang, setelah engkau meninggalkan pekerjaanmu di istana, bahkan tidak berani kembali lagi ke kota raja, lalu engkau akan pergi ke mana, Ay-moi?"

Ditanya demikian, tiba-tiba saja Ling Ay menangis. Ia sendiri merasa heran dengan tangisnya. Sejak ia menjadi murid Bi Moli, ia tidak pernah menangis. Gurunya menganggap pantang untuk menangis, karena tangis hanya kebiasaan orang-orang lemah. Akan tetapi kini, di depan Bun Houw, ia merasa lemah sekali, lemah dan perasa sehingga begitu ditanya ke mana ia akan pergi, ia tidak dapat menahan dirinya lagi dan tersedu-sedu.

Bun Houw tertegun. Dia sudah mengarahkan perahunya ke seberang. Tidak akan mudah dikejar dan dicari orang, kalau-kalau Bi Moli mengerahkan pasukan mengejarnya, ia lalu minggirkan perahunya dan menghentikan perahu itu di pinggir dengan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon. Tempat itu sunyi. Mereka duduk di dalam perahu dan dia membiarkan Ling Ay menumpahkan semua perasaan dukanya keluar melalui air matanya.

Setelah melihat wanita itu mereda tangisnya, dengan hati-hati Bun Houw bertanya, "Ling Ay, kenapa engkau menangis? Apakah engkau tidak ingin kembali ke Nan-ping, ke kampung halamanmu?"

Wanita itu sudah berhenti menangis dan mendengar pertanyaan itu, ia mengangkat muka dan memandang wajah pemuda itu dengan kedua mata basah. "Houw-ko, apakah engkau juga akan pulang ke Nan-ping?" dalam ucapannya terkandung harapan yang memancar pula dari pandang matanya.

Bun Houw menggeleng kepala. "Aku masih harus melaksanakan tugas yang diberikan suhu kepadaku. Akan tetapi kalau engkau ingin pulang ke Nan-ping, biar aku akan mengantarmu sampai ke sana sebelum aku melanjutkan tugasku."

Kini sepasang mata itu seperti bergantung kepada mata Bun Houw, penuh harapan. "Kalau begitu, biar aku menemanimu melaksanakan tugasmu, Houw-ko. Aku akan membantumu sekuat tenagaku! Ijinkan aku ikut denganmu, Houw-ko!"

Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala. "Maaf, Ay-moi. Tugasku ini merupakan urusan pribadi, tidak dapat dibantu oleh siapapun. Aku tidak dapat membawamu bersamaku, adik Ling Ay."

Hening sejenak. Bun Houw sebetulnya merasa iba sekali kepada bekas tunanganya ini, akan tetapi dia tahu bahwa memang tidak mungkin dia mengajak Ling Ay, maka dia memutar tubuh membelakanginya agar tidak melihat wajah cantik yang nampak amat berduka   itu. "Bunga itu kekeringan dan hampir layu," terdengar Ling Ay berkata lirih, "ia merindukan datangnya embun yang akan membawa sedikit kesejukan, yang akan dapat menghidupkannya

... Houw-ko, aku ... aku selalu mengharapkan uluran tangan dan hatimu, apakah ... apakah engkau tidak kasihan kepadaku dan tidak teringat akan ... cinta kasih antara kita dahulu ...?" Ia sudah memberanikan diri sekuat hatinya, mengenyahkan semua perasaan rikuh, sungkan dan malu. Ia telah menjadi seorang wanita yang tidak tahu malu lagi, seperti membujuk agar pemuda itu mau menerimanya kembali sebagai kekasihnya!

"Adik Ling Ay, engkau masih muda, cantik, pandai, dan bahkan kini memiliki ilmu silat yang tinggi. Engkau memang berhak untuk membentuk rumah tangga kembali, menemukan seorang suami yang baik, akan tetapi ... bukan aku, Ay-moi. Sebaiknya aku berterus terang kepadamu. Aku telah dijodohkan oleh suhuku dengan puteri suhu sendiri yaitu adik Tiauw Hui Hong dan kami berdua sudah saling mencinta."

Bun Houw mengeluarkan ucapan lirih itu tanpa memutar tubuhnya, dan ia mendengar keluhan lirih dari wanita itu.

"Adik Ling Ay, maafkanlah aku, agaknya memang kita tidak berjodoh ... " Akan tetapi dia mendengar gadis itu meloncat pergi. Dia menoleh dan benar saja Ling Ay sudah lari meninggalkannya dengan cepat sekali dan masih tertinggal suara isakan yang dibawa pergi. Dia merasa iba sekali, akan tetapi hanya memandang dan menahan dirinya agar tidak memanggilnya. Memang beginilah yang terbaik, pikirnya. Harus dia akui bahwa perasaan kasihnya terhadap Ling Ay tidak pernah lenyap, akan tetapi tidak mungkin dia menuruti  perasaan itu karena dia sudah terikat lahir batin dengan Hui Hong. Ikatan batin yang timbul karena dia saling mencinta dengan gadis itu, dan ikatan lahirnya adalah karena dia sudah menerima keputusan gurunya agar dia berjodoh dengan gadis itu.

***

Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk golongan sesat yang menjadi majikan dari Bukit Bayangan Setan, dengan girang sekali menerima berita dari puteranya bahwa puteranya kini telah berhasil menghambakan diri kepada bekas kaisar Cang Bu, bahkan di jodohkan dengan adik perempuan kaisar atau bekas kaisar itu yang kini sedang menyusun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dijatuhkan oleh kerajaan baru Chi. Dia segera datang berkunjung ke perkampungan di lembah Yang-ce, tak jauh dari kota Kui-cu yang menjadi markas bekas kaisar itu menyusun kekuatan. Suma Koan diterima dengan penuh penghormatan dan mulai saat itu, Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, bukan saja menjadi pembantu-pembantu utama bekas kaisar itu, melainkan juga menjadi anggauta keluarga, karena Suma Hok segera menikah dengan Liu Kiok Lan, bekas puteri yang menganggap dirinya telah diperkosa oleh mendiang Pouw Cin! Tentu saja ia sama sekali tidak tahu bahwa yang memperkosanya adalah laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.

Suma Koan menyarankan kepada bekas kaisar Cang Bu yang kini menggunakan nama samaran Siauw Tek, agar suka bersekongkol dengan kerajaan Wei di utara yang sejak lama memusuhi kerajaan di selatan.

"Ah, bagaimana paman Suma Koan mengusulkan hal seperti itu? Sejak puluhan tahun sejak kerajaan Liu-sung berdiri, kerajaan Wei selalu menjadi musuh utama kami! Kerajaan Wei yang merupakan musuh besar, musuh bebuyutan sejak dahulu, bagaimana mungkin kini kita ajak bekerja sama? Ini merupakan suatu pengkhianatan cita-cita para pendahuluku!" Siauw Tek memrotes. Kalau mendiang Jenderal Pauw Cin masih hidup, tentu panglima tua itupun akan memrotes keras.

Suma Koan tersenyum. Kakek yang kecil kurus ini lalu berkata dengan tenang, "Harap kongcu pertimbangkan pendapatku ini," Dia menyebut kongcu sesuai dengan kehendak bekas kaisar itu yang sedang menyamar, dan memang sudah menjadi watak datuk sesat ini untuk tidak memperdulikan segala macam adat sopan santun maka diapun enak saja bersikap kasar kepada bekas kaisar itu. "Kita haruslah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Di waktu kita kuat, kita dapat mengandalkan kekuatan kita untuk menundukkan musuh. Akan tetapi kalau keadaan tidak mengijinkan, kalau kita kalah kuat, kita harus dapat mempergunakan daya lain, kita harus memakai kecerdikan untuk memperoleh kemenangan. Kongcu hendak melawan sebuah kerajaan yang memiliki balatentara besar dan kuat, kalau kita menggunakan pasukan, aku khawatir kita akan gagal. Karena itu, kita harus cerdik dan kalau kita dapat bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, besar kemungkinan usaha kongcu akan berhasil."

Bekas kaisar itu mengerutkan alisnya dan dia dapat melihat kebenaran ucapan itu. "Akan tetapi, kerajaan Wei selama aku menjadi kaisar, adalah musuhku, bagaima mungkin mereka itu kini mau bersekutu dengan kita?"

"Setiap kerajaan akan selalu mendasari gerakan mereka dengan perhitungan rugi untung. Kalau sekarang bersekutu dengan kongcu untuk menentang kerajaan baru Chi dianggap menguntungkan kerajaan Wei, kenapa mereka tidak akan mau? Kalau kita bersekutu dengan Wei, maka kedua pihak akan mendapat untung. Kongcu harus cerdik."

"Hemm ... memang usulmu baik sekali. Akan tetapi, kalau kelak pasukan kerajaan Wei bersama pasukanku berhasil menumbangkan kerajaan Chi, lalu mereka tidak mau kembali ke utara dan hendak menguasai pula kerajaanku, bagaimana?"

"Harus diadakan dulu perjanjian yang menguntungkan mereka, kongcu. Selama ini, daerah yang luas antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce merupakan daerah tak bertuan yang selalu menjadi perebutan dan medan pertempuran. Kalau kongcu menjanjikan bahwa kalau persekutuan ini berhasil menumbangkan kerajaan Chi, dan kerajaan Liu-sung dapat dibangun kembali, aku akan menyerahkan daerah itu kepada Wei, tentu mereka akan menerimanya dengan girang sekali." "Tapi, bagaimana kalau mereka menolak dan mencurigai kita? Bagaimana kita akan dapat mengadakan kontak dengan mereka? Belum apa-apa mereka tentu akan mencurigai kita."

"Harap kongcu jangan khawatir." kata Si Suling Setan. "Aku mengenal tokoh-tokoh kerajaan Wei dan kalau kongcu memberi surat dengan tanda cap kekuasaan kongcu, aku yang akan menghubungi mereka."

Bekas kaisar itu girang sekali dan ternyata Suma Koan tidak membual. Setelah membawa surat bekas kaisar itu, dia segera melakukan perjalanan ke utara, memasuki daerah tak bertuan yang berbahaya itu.

Di daerah antara Huang-ho dan Yang-ce, dua batang sungai terbesar dan terpanjang di Cina, terdapat kehidupan yang aneh. Daerah tak bertuan ini merupakan daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan utara dan selatan, bahkan menjadi daerah pertempuran dan daerah di mana para mata-mata ke dua pihak, para penjahat buruan, saling bersaing. Memang terdapat dusun-dusun di daerah ini, akan tetapi di dusun-dusun inipun berlaku hukum rimba. Tidak ada pejabat pemerintah manapun yang duduk sebagai pemimpin di dusun-dusun itu. Yang ada hanyalah para jagoan yang hidup sebagai raja kecil! Karena kekuasaan yang didapat ini merupakan kekuasaan dari kekuatan badan, maka sering kali terjadi perebutan kekuasaan, bentrokan dan perkelahian. Kepala dusun silih berganti, yang kalah tunduk atau mati, yang menang menjadi pemimpin baru. Namun, karena para jagoan yang menjadi pemimpin ini juga membutuhkan adanya penduduk, mereka tidak membunuhi para penduduk dusun. Apa artinya berkuasa di sebuah dusun yang tidak ada penduduknya? Karena itu, mereka yang berkuasa bahkan melindungi penduduk agar dia dapat memperoleh dukungan.

Dusun Tai-bun adalah sebuah di antara dusun-dusun yang berada di dalam wilayah tak bertuan itu. Tai-bun berada di sebelah selatan, lebih dekat di perbatasan wilayah kerajaan Chi, dan dusun ini cukup ramai karena Tai-bun merupakan satu di antara dusun-dusun yang penduduknya suka berkunjung ke wilayah Chi untuk berdagang. Akan tetapi pada suatu pagi, serombongan orang yang jumlahnya dua puluh orang lebih memasuki dusun itu. Yang menyolok pada dua puluh orang lebih ini adalah pakaian mereka yang kesemuanya serba hitam! Dan yang lebih menggemparkan lagi adalah perbuatan mereka, karena begitu memasuki dusun itu, mereka segera membunuh siapa saja yang mereka jumpai! Cara mereka membunuh menunjukkan bahwa mereka terdiri dari orang-orang lihai. Sekali mereka menggerakkan tangan, tentu seorang penduduk yang bertemu dengan mereka, roboh dan tewas seketika!

Gegerlah dusun yang penduduknya hanya sekitar dua ratus orang itu. Para jagoan yang memimpin dusun itu segera mengerahkan tenaga dan puluhan orang lalu mengeroyok para penyerbu pakaian hitam itu. Akan tetapi, mereka yang melakukan penyerbuan itu amat lihai dan sebentar saja, orang-orang yang mempertahankan dusun mereka bergelimpangan, banyak yang tewas, ada yang luka-luka dan tidak sampai dua jam kemudian, dusun itu telah kosong, ditinggal lari mengungsi mereka yang belum menjadi korban! Dan sejak hari itu, dusun Tai-bun telah dikuasai kelompok orang yang berpakaian serba hitam dan setelah mereka semua datang, jumlah mereka ada kurang lebih seratus orang.

Gerombolan berpakaian hitam yang menguasai dusun Tai-bun ini bukan lain adalah orang- orang Thian-te Kui-pang, perkumpulan baru yang didirikan oleh Bu-tek Sam-kwi dan yang bertugas menimbulkan kekacauan di kerajaan Chi yang baru. Mereka membutuhkan perkampungan yang dapat menjadi pusat gerakan mereka ke selatan dan setelah memilih- milih, dusun Tai-bun mereka rebut untuk di jadikan markas besar mereka. Dusun ini amat baik untuk di jadikan perkampungan mereka karena merupakan dusun terdekat dengan daerah musuh yang tidak berada dalam kekuasaan kerajaan Chi, melainkan wilayah daerah tak bertuan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar