Pahlawan Harapan Jilid 19

Jilid 19

Andaikata musuh datang dengan jumlah besar, sehingga tidak dapat dilawan harus berlaku bagaimana, karenanya ia minta pendapat dari Kie Sau. Dengan cepat yang tersebut belakangan ini membuat dua surat bila mana keadaan memaksa boleh dikirimkan! Dua orang kawannya yang tidak berjauhan bisa datang membantu. Selanjutnya mereka membicarakan kejadian saban hari yang tidak perlu dituturkan di sini..

Sesudah keributan berlalu, danau Thay Ouw yang termashur kembali menjadi tenang seperti sediakala. Sekalian anak muda yang gemar bermain masing - masing berebutan naik ke perahu nelayan dan bertolak menuju ke tengah-tengah danau. Saat ini adalah senja, matahari sore yang kemerah merahan berbayang di dalam air, melukis- kan keagungannya dari abad ke abadi. Para muda mudi tidak henti - hentinya saling, panggil satu sama lain, suara tawa yang ringan memecahkan keadaan danau yang luas tenang. Ikan ikan berlompatan dari permukaan air, menunjukkan kesuburan dan kemakmurannya danau yang agung ini.

Dalam keadaan yang riang ini, mereka agaknya lupa daratan, sehingga tidak mengetahui dan tidak memperhatikan kedatangannya sebuah perahu yang agak besar dan cepat lajunya. Perahu itu sesudah datang agak dekat, tidak langsung menemui sekalian anak muda melainkan berputar sebentar, perahu itu bermuatan empat orang, tiga diantaranya agaknya adalah tukang perahu, nyata dari masing masing lengannya memegang pendayung yang sangat besar, sedangkan seorang lagi wajahnya pucat dan agak kurus duduk diam dengan wajah mengedip ngedip.

Thian Hong yang seperahu dengan kakaknya berada paling dekat dengan orang orang itu. Ia agak curiga melihat orang yang aneh itu, pikir hatinya jangan jangan orang ini adalah kambratnya Ong Hie Ong yang datang untuk menuntut balas Matanya yang tajam menatap dengan bulat, sedangkan orang yang berada di atas perahu itupun memandangkan matanya tak lepas lepas. Akhirnya salah ssorang dari tukang perahu itu membuka mulut dengan seenaknya:

"Hii,nona cantik, pandangan matamu itu terlalu galak!"

Thian Hong menjadi gusar mendengar perkataan yang berbau menghina itu, dengan meludah ia berkata.

"Cis. tidik tahu malu, sembarang berkata saja. nanti kupotong lidahmu itu!"

Orang itu agaknya tidak puas mendapat jawaban kasar, mulutnya kembali sudah ingin dibuka, tapi sebelum kata katanya terhambur ke luar terlebih dahulu salah seorang dari tukang perahu lain sudah membekapnya, sambari memaki.

"Siau Sam, kau jangan membuat onar! Urusan kita sendiri belum beres, lekaslah kita kayuh perahu kita ke jurusan lain saja." Baru perahu mereka akan bergerak, terdengarlah teriakan yang girang dari Gwat Hee, dan Tjiu Piau:

"Ong Tocu, Lu Toako! Tunggu dulu!"

Orang itu mengawasi perahu Tjiu Piau yang baru dalang dari salah satu jurusan lain.

"Oh kiranya adalah kenalan lama." kata Lu Tie dengan girang..

Peranu perahu dari seKalian amk muda sudah kumpul semua, Tjiu Piau memperkenalkan mereka kepada Thian Hong, Djin Liong dan Sie Hong. Terkecuali itu Tjiu Piau dan dua saudara Ong tidak hentinya menghaturkan banyak terima kasih kepada Ong Sui Seng yang sudah menolong jiwanya tempo hari di Bu Beng Ouw. Sedangkan Ong Sui Seng dan Lu Sie hengte tetap merendah seperti dulu, daa mengalihkan pembicaraan ke soal lain. Kiranya kedatangan Ong Sui Seng ke Thai Ouw semata mata untuk mengajak ayahnya menyepi ke Bu Beng Ouw dan menyuruhnya sang ayah untuk meninggalkan gelanggang kotor yang dipegangnya sekarang, yakni menjadi komplotan Louw Tiau mengabdi pada pemeiinta Tjeng.Siu Seng mengambil ketetapan ini sesudah mengenal Louw Tiau itu sebetulnya n manusia dari macam apa,ia tahu bagaimana setianya Hek Hoo, tak urung dibunuhnya demi untuk keuntungan dirinya. Karena hal hal inilah, sengaja ia meninggalkan Bu Beng Ouw untuk memberikan nasesat kepada ayahnya. Malang baginya ia mendapat kabar bahwa sarang ayahnya sudah diubrak abrik kaum Pek Tau Peng.

Sedangkan ke mana pergi ayahnya tidak diketahui. Kini ia berputar putar di tengah danau dengan harapan hampa untuk kembali lagi ke tempat kediamannya. Kebetulan sekali ia berjumpa dengan rombongan Tjiu Piau seperti yang sudah dituturkan di atas.

"Kawan kawan sekalian," kata Ong Sui Seng,

"kami mengetahui sarang ayahku sudah menjadi hancur berkat tenaga saudara saudara, atas itu saudara saudara tak perlu kuatir akan pembalasan dariku. Memang sudah menjadi adatnya orang salah itu harus mendapat hukuman. Karena itu yang sudah biarlah ia berlalu, sedangkan kini tak berarti lagi bagiku untuk membela Seorang ayah yang berdosa! Baiklah pembicaraan kita stop sampai di sini, marilah, sampai ketemu lagi!"

Sekalian pemuda kita merasa kagum atas pendirian Ong Sui Seng yang demikian tegas dan cemerlang, dengan perasaan yang likat sekalian pemuda kita melambaikan lengannya, menghaturkan selamat jalan.

"Selamat jalan untuk Ong To tju dan sekalian Lu Koko." kata Gwat Hee.

"Terima kasih," kata Lu Tie sekalian mewakili yang lain. "Kapan waktu saudara-saudara mempunyai waktu tertuang, kuharap datang ke Bu Beng To. kami selalu menantikan kedatangan saudara saudara dengan hati terbuka!" Sambil bicara tangannya sambil bekerja, sebentar kemudian perahu mereka sudah jauh.

Sekalian anak anak muda memutarkan perahunya mendarat, hanya Djie Hai yang masih berputar putar di tepian, ia berperahu seorang diri saja. Saat ini Kie Sau kebetulan sedang berjalan - jalan menikmati pemandangan. Begitu ia melihat muridnya yang seperti kebingungan kakinya segera datang menghampiri. Dengan berbatuk kecil terlebih dahulu, Kie Sau memanggil muridnya: "Djie Hai!"

"Suhu."

"Kau tunggu sebentar!" kata Kie Sau sambil mencelat terbang dari tepian danau ke atas perahu muridnya, perahu bergerak sedikit menyatakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi dari orang tua ini.

"Suhu-- " kata Djie Hai.

"Djie Hai!" potong sang guru. "Dalam hari hari belakangan ini sering sering ku lihat kau termenung menung seorang diri, bahkan waktu yang lain sedang merundingkan hal pergi ke Peng San. agaknya kau tidak gembira sekali, katakanlah hal apa yang mengganjel di dalam kalbumu?"

Pertanyaan Kie Sau yang mengenai benar hati Djie Hai. membuat sang murid merasa likat sekali, tapi dengan menguasai perasaannya dan wajah tak berubah, ia berkata sambil menarik napas kecil : "Suhu. aku mempunyai suatu hal yang tak dapat di pecahkan, sehingga membuat dadaku terasa sesak."

"Apakah soal pribadi?"

"Benar, tapi termasuk hal besar pula."

"Bocah ini mungkin jatuh cinta." pikir Kie Sau. sedangkan mulutnya berkata lain. "Tak perlu kau sembunyikan, terus teranglah kau katakan kepada Suhu dengan jujur!"

Djie Hai memandang dengan kerling matanya pada sang guru yang welas asih sambil .berkata dengan penuh ketetapan.

"Suhu,marilah kita pergi ke tengah tengah danau, akan kututurkan di sana."

Kayuh bergerak perahu mulai laju ke tengah.

Sesampainya di tengah - tengah danau, suasana menjadi sepi sekali, seorangpun tidak tampak bayang bayangnya. Djie Hai memandang „kepada sang guru. saat ini sang gurupun tengah memandangrya dengan sorot mata menyayang, menantikan kisah penutur an dari padanya.

"Suhu." kata Djie Hai agak gemetar,

"aku ingin meninggalkan kau orang tua dan sekalian adik-adik untuk selama-lamanya, bahkan aku akan melupakan dan membuang semua perasaan permusuhan dan dendam pada musuh musuh besarku...!"

Kie Sau tidak mengira, bahwa muridnya akan mengeluarkan pernyataan yang tidak keruan, dengan keras ia memutus perkataan sang murid:

"Djie Hai, apa katamu? Sebab apa yang menjadikan kau berkata begitu?"

"Karena untuk membantu menolong sekalian adik-adik untuk menuntut balas, membersihkan kaum penghianat. Aku harus mencari seseorang untuk membantu."

Kie Sau memandang secara mendelong terhadap muridnya yang sari-sarinya sangat jujur dan baik, hatinya tak habis mengerti kenapa Kini murid yang dibanggakan ini bisa mengeluarkan perkataan yang sangat aneh, dengan sinar matanya yang berapi-api orang tua ini memandang tajam kepadamuridnya, ia berkata.

"Djie Hai siapakah yang kau ingin cari? Kenapa harus meninggalkan aku dan sekalian adik-adikmu?"

"Suhu, soal Peng San di ambang pintu, biar bagaimana kita harus menerjang barisan Kiu Sie Tin yang ampuh dari pihak musuh, kalau Yauw Tjian Su berada di samping kita untuk memberi petunjuk, bukankah terlebih baik lagi?"

"Eh-" kata Kie Siu sekali, sedangkan kata lain tidak diucapkan, telinganya terpasang lebar menantikan kelanjutan perkataan sang murid.

"Yauw Lo tjian pwee, menderita luka berat di Oey San, dan ditolong oleh Pang Kim Hong. Suhu ..." "Apa? . . . Suhu?" potong Kie Sau dengan heran.

"Benar Suhu. Tetju merangkap menjadi murid dari Pang Kim Hong pula." kata Djie Hai sambil menuturkan pertemuannya dengan Pang Kim Hong di Oey San.

Kemudian membicarakan mereka berbalik pada soal yang dihadapi sekarang.

"Yauw Lo tjian pwee menderita luka dan ditolong oleh Pang Kim Hong, aku mengetahui di mana tempat tinggalnya dari Pang Suhu, karenanya aku berniat untuk datang menyambangi sekalian memanggil Yauw Lo tjian pwee untuk membantu Tapi kalau sekail aku bertemu dengan Pang Suhu, selamanya Tetju harus mengikutinya dan meninggalkan kehidupan bebas di dunia ini. Suhu. haruskah Tetju pergi? Tetju menantikan petunjuk - petunjuk yang berharga dari Suhu." Sesudah kata - Katanya terhambur ke luar dari sanubarinya. Djie Hai merasakan hatinya demikian lapang.

Kie Sau terbenam sejenak, pikirannva bekerja keras, ia tahu bahwa Pang Kim Hong mempunyai adat yang aneh dan mempunyai aturan perguruan yang aneh pula. Setiap muridnya hanya diberikan ilmu pokok dari perguruannya, kemudian ia menjauhkan diri tidak mau diketemukan. kalau murid itu mendengar katanya dan mau turut dengannya untuk menuntut ilmu terlebih tinggi, harus selamanya meninggalkan penghidupan dunia bebas. Menyingkir ke dalam gunung dan mencuci tangan dari pergaulan, saat itulah sang murid boleh menemukannya.Ya, kalau dipikir aturan perguruan yang demikian ini sangat tak berperasaan sekali, tak heran sepuluh tahun lebih ia masih belum mempunyai ahli waris yang sesungguhnya dari ilmunya.

"Dengan diketahuinya di mana beradanya Yauw Tjian Su, aku harus meluluskannya ia pergi menengoki. Terkecuali tu memang benar kata Djie Hai, kalau Kiu Sie Tin tidak dipecahkan oleh orang tua itu agaknya sukar diluncurkan oleh yang lain Untuk menemui Pang Kim Hong, terkecuali Djie Hai seorang yang lain pasti tidak bisa menemuinya, biarlah aku harus iklas membiarkan muridku yang kusayang ini mengasingkan diri, dan tak ketemu lagi. " pikir Kie Sau

secara ragu ragu. "Wanita tua itu adatnya lain dari orang biasa, dapatkah hatinya tergerak, tapi usaha ini harus dilakukan, andaikata berhasil itulah yang kuharap!" Sesudah berpikir bulak balik, Kie Sau masih tetap belum dapat keputusan yang positif, pertanyaan dan permintaan sang murid masih belum dijawab juga.

Guru bermurid terdiam tanpa kata-kata, waktu berlalu agak lama akhirnya Djie Hai tidak sabar menanti jawaban, dengan suara yang demikian tenang berkata:

"Suhu. Tetyupun berpikir, yakni satu hal yang belum kubuat selesai adalah hal menuntut balas atas kematian ayahku yang sudah dua puluh tahun di bukit Oey San. Tapi aku yakin hal sakit hati keluargaku itu pasti dapat dibereskan secara memuaskan oleh saudara saudaraku.

Karena itu segalanya sudah Tetju pikir dan tidak ada yang diberatkan lagi? Esok Tetju permisi pamit dengan Suhu serta sekalian saudara saudara untuk menemukan Pang Sunu."

Dengan mata tajam Kie Sau memandang muridnya sambil menggoyang goyangkan kepalanya: "Anak muda yang tidak punya semangat sama sekali. Baiklah kululusi kau berangkat meninggalkan kami, tapi biar bagaimana aku tidak mengijinkan kau menjadi seorang pertapa yang mengasingkan diri dan tidak mau tahu urusan dunia Kang ouw lagi. Lihatlah akan diriku, walaupun senang akan pegunungan yang sunyi dan hidup tenang, tapi kalau dunia Kang-ouw lerjadi keributan dan ketidak adilan. aku pasti turun tangan' untuk mencampurinya! Sebaliknya kau adalah seorang anak muda yang berbakat, kenapa harus menjadi seorang pertapa yang demikian?"

"Tetju melakukan hal ini secara terpaksa, dikarenakan tatatertib dari Pang Suhu yang sudah ditetapkan."

"Ha ... ha ha." Kie Sau tertawa besar sambil berkata,

"Sesuatu hal di atas dunia ini setenarnya tidak ada yang pasti. Kau pilihlah tiga jalan petunjuk untuk kepergian kau ini. yakni bawah tengah dan atas!" kuminta Suhu menjelaskkan dulu." "Jalan bawah kau boleh pergi dan terus menjadi seorang pertapa yang tidak mengenal dunia lagi!" Mendengar ini Djie Hai mengangguk anggukan kepalanya.

"Jalan tengah kau boleh turut dengan Pang Kim Hong mempelajari seluruh ilmu kepandaiannya, kemudian nantikanlah sesudah ia meninggal untuk mewariskan ilmu Kepandaiannya pada orang orang yang berbakat, agar jangan sampai ilmu yang demikian hebat itu hilang dan musnah dari permukaan bumi secara mengecewakan."

Dengan kaget Djie Hai segera menjawab "Suhu, dengan cara demikian bukankah sama dengan melanggar peraturan perguruan?"

"Di dalam dunia ini hanya semacam yang tidak boleh dilanggar, yakni soal keadilan. Camkanlah, misalnya aku berbuat jahat, apakah kaupun akan turut jahat?" Perkataan Kie Sau ini seperti juga. genta bergetar di telinga Djin Hai, sebelumiiya tak pernah ia berpikir secara demikian.

Sehingga membuatnya diam mematung dan tidak bisa berkata kata untuk seketika. Kie Sau melanjutkan lagi perkataannya; "Jalan atas ialah, begitu kau bersua muka dengan Pang Kim Hong. segera kau nasehati. Asal saja dia bisa meneriman sehatmu untuk turun gunung guna membantu kita menghadapi penghianat-penghianat bangsa, segala hal akan lekas menjadi beres!"

"Ku kurasa tidak mudah untuk menasenatinya."

"Segala hal menjadi sukar kalau dipikir sukar, jadi mudah kalau dipikir mudah, kau harus tahu, semasa mudanya Pang Kim Hong pun seorang pendekar wanita yang cinta keadilan, kemudian entah bagaimana ia bisa

berubah menjadi demikian. Kau selidikilah secara mendalam sebab sebabnya ia menjadi begitu, kalau berhasil hai yang kau anggap sukar itu akan menjadi mudah." Mendengar penjelasan ini Djie Hai seperti siuman dari pingsannya, atau seperti baru sadar dari impian, ia baru berpikir kepergiannya sekali ini bukan saja cuma - cuma sebaliknya mengandung harapan dan kebaikan besar, segala keraguannya yang menyesak dada pada detik itu pulalah menjadi buyar, ia pun menjawab segera:

"Segalanya Tetju sudah mengerti."

"Segala soal jangan ditunda tunda, hari esok kau boleh berangkat!"

Malam harinya Djie H ii masuk tidur terlebih pagi dari biasa, sambil berbaring hatinya tidak terlepas dari hal keberangkatannya pada esok hari, ia merasakan bahwa kewajiban yang berada dipundaknya tidak enteng, terkecuali itu perasaan akan berpisah dengan sekalian saudaranya pun sangat menyesak dadanya, tapi sesudah berpikir pulang pergi ia merasa girang bisa menyampaikan kandungan hatinya yang sudah berbulan bulan mengeram di dalam sanubarinya. Sehingga ia dapat tidur dengan nyenyak untuk melewatkan malam.

Kie Sau sudah menceriterakan hal Djie Hai pada sekalian anak anak muda, sehingga pada hari kedua mereka merasakan kesedihan dan perasaan enggan berpisah. Tapi semuanya tidak bisa berbuat apa apa

apa melainkan berlinang air mata saja.Kie Sau mengiringi sekalian anak buahnya untuk mohon pamit pada Thio Sam Nio guna meninggalkan Thai Ouw.

Ong Djie Hai yang akan pergi menemui pang Kim Hong, tentu saja harus mematuhi aturan aturan dari orang gagah itu, untuk tidak merceriterakan kepada sekalian orang karenanya sesampai di tengah jalan ia berpisah dengan induk rombongan untuk melanjutkan perjalanan seorang diri Tentu saja sebelum berpisah mereka sudah menjanjikan suatu tempat untuk bertemu. Kie Sau memesan kalau bertemu dengan Yauw Tjian Su, harus menyuruh orang tua itu pergi ke tempat mereka untuk bertemu dengan sekalian semua ini sudah diatur dengan baik. Kie Sau dengan rombongannya meneruskan perjalanan dengan sekalian anak anak muda menuju Peng San.

Sementara ini Djie Hai yang sudah meninggalkan sekalian saudara dan gurunya berjalan seorang diri dengan perasaan tidak keruan macam. Kala berpisah, sekalian wajah dan paras serta gerak gerik dari saudaranya yang demikian mencintainya membuat sanubarinya sukar melupakannya. Lebih-lebih Ong Gwat Hee yang memegangi terus lengannya. diam berlinang air mata, sesudah lama baru mengeluarkan perkataan: "Koko perpisahan sekali ini mungkin untuk selamanya, atau baru bisa bertemu muka lagi delapan belas tahun kemudian." Perkataan adiknya ini selalu mendengung dengung di tepian telinganya, membuai hatinya merasa kecut dan tawar.

Walaupun bagaimana Oag Djie Hai adalah jantan sejati, dengan tegas ia berkata terhadap dirinya sendiri.

."Janganlah memikirkan lagi hal itu!" Ia dongak ke atas memandang gumpalan awan putih dan menoleh ke kiri dan kanan memandang pemandangan yang indah. sedangkan kakinya melanjutkan lagi langkahnya menuju ke muka.

Ke manakah ia harus pergi dengan sendirinya ia tahu.

Pang Kim Hong pernah menitahkannya kalau mau bertemu dengannya boleh pergi ke Kiu Liong Po di Oey San, duduk tiga hari tiga malam di sana, pasti dapat menjumpainya.

Dengan langkah mantap kakinya menuju Oey San dengan penuh perasaan yang lain dengan dahulu. Kejadian setengah tahun yang lalu di bukit Oey San masih berbayang dengan tegas di kedua kelopak matanya. Satu demi satu sesuatu kejadian yang pernah dialaminya kembali bergambar di depan matanya dengan jelas, ia menarik napas dengan dalam kala mengingat pada Yauw Tjian Su Hatinya berkata seorang diri:

'"Menderita luka apakah orang tua itu? Kini ia berada di mana?"

Ia tahu sebelum bertemu muka dengan orang tua itu, sukar untuknya menduga-duga kejadian yang sebenarnya. Tapi ia insaf perkataan Kie Sau bahwa Pang Kim Hong pasti dapat menyembuhkan orang tua she Yauw itu. mengingat sampai di sini hatinya menjadi agak tenang dan gembira. Dengan cepat waktu berlalu. Ong Djie Hai sudah hampir mencapai Oey San. Pemandangan dimusim panas bukan main indahnya pohon pohon hijau menglebat bunga harum semerbak memenuhi Bukit Kuning dan menarik orang yang lalu.

Menghadapi tempat yang sudah dikenal ini membuat Djie Hai tidak merasa kikuk lagi, dengan cepat kakinya sudah mendaki Thian Tau Hong. mengikuti jejak jejak kakinya dahulu ia memutari puncak itu dengan asyiknya, sedangkan pohon demi pohon Siong yang pernah dilaluinya kini dilaluinya sekali lagi, kelakuannya tak ubahnya seperti berjumpa dengan kawan lama yang baru ketemu muka lagi.

Mengingat dahulu ia ramai ramai dengan saudara saudaranya berada di sini hatinya kembali menjadi tawar terhadap penghidupan, sehingga ia berdiam mematung dan merasakan hidup terpencil dan terasing dan pergaulan.

Sementara ini angin bertiup dengan sejuknya, membawa gumpalan gumpalan awan putih, yang dalam waktu sebentar saja sudah meliputi dan menyelimuti sekalian bukit, sehingga apa yang tampak hanya warna putih. Pada saat inilah dengan secara mendadak, terasa olehnya semacam benda menyerang pada dirinya, sehingga membuat pemuda kita merasa terkejut sekali.

Djie Hai mengetahui ada benda yang datang menuju kepada dirinya, benda itu demikian cepat dan bukan main lihaynya, dan meaunjukkan semacam senjata rahasia yang keras tak berbanding. Diam diam hatinya merasa bergidik, ia tak tahu ada orang bersembunyi yang membokong dirinya secara gelap, terkecuali itu bidikan dari pembokong demikian hebat dan tepat.. Tanpa banyak pikir lagi dirinya berguling menghindarkan serangan, sedangkan telinganya terus dipasang mendengari dari arah mana datangnya senjata gelap itu. Pada umumnya senjata rahasia yang tidak berhasil mengenai sasarannya pasti akan membentur pohon atau cadas dengan menimbulkan suaranya yang sangat keras, tapi dugaannya ini semuanya meleset, karena benda yang dikiranya keras itu sama sekali tidak menimbulkan suara sama sekali, seningga membuatnya bertanya pada diri sendiri. "Benda apa itu,? Kalau Tjiu Piau ada di sini mungkin ia tahu dan akan tertarik pada benda yang luar biasa ini?"

Senjata rahasia tidak menimbulkan suara sedangkan di kiri kananpun tidak menimbulkan suara. Djie Hai pun tidak berani sembarangan bergerak, ia takut begitu menimbulkan suara, segera diserang lagi oleh pembokong itu. Sesaat kemudian suasana tetap dalam keadaan sunyi sepi, sedikitpun tidak menimbulkan sesuatu gerakan yang mencurigai. Dengan perlahan lahan dan tidak menimbulkan suaTa Djie Hai bangkit dengan hati hati tampak olehnya kabut putih sudah mulai memencar, dengan tenang ia berdiam diri di tempatnya sendiri dengan memasang. pendengarannya sekalian menantikan buyarnya kabut putih untuk melihat keadaan.

Kabut putih sudah hilang sama sekali dari pandangan mata. keindahan yang tertutup kembali terlihat dengan tegas terbentang di depan matanya, tapi sekeliling tak terlihat ada orang? Matanya melirik kiri dan kanan, tapi tiada suatu bendapun yang menimbulkan syak hatinya. Ia berpikir

"Mungkinkah Louw Tiau mengutus beberapa orang untuk mencelakakan diriku secara menggelap?" Urusan sudah demikian mendesak, biar bagaimana aku tidak boleh menghambat perjalananku untuk mengurus dan menghadapi musuh. Djie Hai tertawa secara mengejek, kemudian kakinya dipercepat menuju ke Kiu Liong Po.

Kiu Liong Po atau Air Terjun Sembilan Naga masih tetap tidak berubah seperti dahulu, hanya diakibatkan musim semi dan panas yang sering turun hujan, air terjunnya lebih indah dan banyak seperti tempo hari Sehingga suara menderu-deru, menggema dan terdengar ke pojok-pojok gunung dan bukit. Djie Hai berdiam sejenak di depan air terjun, kemudian ia memilih sebuah tempat yakni batu yang rata dan licin untuk duduk bersantap dan selanjutnya menantikan kedatangan Pang Kim Hong. Mula mulanya ia menggunakan pelajaran ilmu dalam yang sejak kecil dipelajarinya, kemudian ia menggunakan Im Yang Kang untuk mengatur dan menenangkan jalan pernapasannya. Lambat - lambat ingatannya sudah terpaku dan melupakan keadaan dirinya, ketenangan hatinya seperti air yang tidak beriak, tak ubahnya dirinya itu sudah merupakan suatu bagian dari Oey San yang mana batu dan yang mana orang sudah sukar dibedakan Hari berjalan terus, keadaan sudah menjadi gelap, semua ini untuk Djie Hai tidak terasa sama sekali. Demikianlah ia duduk bersemadi menenangkan diri sampai pada hari kedua pagi, matanya baru dibuka, ia merasakan sekujur badannya demikian nyaman dan bersemangat sekali. Tapi waktu matanya memandang kedepan air terjun bayangan dari gurunya masih belum tampak juga. Dengan tekun ia menutup lagi matanya untuk melanjutkan lagi semadinya, tetapi tidak urung hatinya berkata pada dirinya, mungkinkah aku dapat menemui guruku?

Akan kepandaian Pang Kira Hong sudah di batas maunya, ia dapat pergi dan datang seperti angin. Ia sangat mencintai alam indah sekitar tempat kediamannya dan sering pergi memutar dan mengelilingi bukit menikmati alam. Tapi tempat tinggalnya yang tetap adalah Kiu Liong Po. Karenanya walaupun ia sering pergi menjelajah Oey San tetap tiga hari sekali pasti pulang ke tempat kediamannya.

Karenanya

untuk mencari dirinya cukup berdiam diri selama tiga hari tiga malam di depan Kiu Liong Po pasti dapat menemuinya.

Tapi sekali ini agak luar biasa dan menyimpang dari keadaan yang lalu lalu. Sudah tiga malam kurang satu jam Djie Hai menantikan di depan Kiu Liong Po gurunya masih belum tampak datang. Pada jam yang terakhir ini keadaan cuaca menjadi berubah, awan mulai menyelimuti lagi angkasa, sedangkan hujan rintik-rintik turun dengan banyak mengusap permukaan bumi. Dalam waktu sekejap saja pandangan mata menjadi terbatas, apa yang terlihat tak lain tak bukan melulu warna putih yang guram. Detik Ini Djie Hai tengah tenggelam di dalam semadinya yang mengasyikkan, sehingga keadaan sekeliling tidak dihiraukan. Saat inilah dengan mendadak telinganya mendengar suara orang berkata: "Djie Hai akhirnya kau datang juga!"

Suara ini terdengar tidak lebih tidak kurang sejauh beberapa meter dari tubuhnya, tapi sekali kali ia tidak mengetahui kedatangan orang itu. Djie Hai menjadi kaget bercampur girang sedangkan debaran hatinya menjadi jadi ia tahu dengan pasti yang datang tidak lain dan tidak bukan dari gurunya sendiri. Hanya suatu hal yang mengherankan bahwa suara itu tidak dingin seperti dahulu, melainkan demikian halus dan penuh rasa sayang dan perhatian.

Dengan cepat ia membuka matanya sambil berkata: "Suhu Tetju..." baru kata-katanya ke luar sedemikian segera menjadi putus dan tidak dilanjutkan. Karena matanya yang dibuka hanya melihat sinar putih saja, sedangkan orang yang bicara tidak tampak sama sekali, di mana berdirinya Pang Kim Hong tidak diketahuinya...

Kembali terdengar suara Pang Kini Hong:

"Djie Hai kenapa tidak kau lanjutkan kata katamu. Aku sudah mengira bahwa kau tentu akan datang ke tempatku. Nah tuturkanlah maksud kedatanganmu." Suaranya tegas terdengar dan penuh dengan nada menyayang, sama sekali lain dari pada waktu pertama kali ditemui Djie Hai. agaknya segala hal dapat dirundingkannya. la tahu pertemuan kali ini sama dengan ia harus mengikuti terus gurunya menjadi seorang pertapa yang tidak boleh turun di dunia bebas lagi, tapi kalau mendengar irama kata katanya kini seolah olah masih ada ketika untuk menuturkan lagi maksud hati yang lain.

Tiba tiba hatinya menjadi terang, seolah olah mendapat sesuatu ilham yang luar biasa indahnya, ia mengerti, bukankah dengan cira ini gurunya memberikan ketika untuknya tidak terikat dengan perjanjian dahulu?

Karenanya sengaja menemuinya dalam keadaan penuh kabut, kini walaupun ia berhadapan tapi sama sekali tidak melihat, karena tidak dapat dikatakan 'bertemu muka'. Hatinya menjadi girang, dengan cepat ia berkata yang berlainan dengan maksud kedatangannya: "Tetju ke Oey San, pertama untuk menengoki Suhu, kedua untuk melihat keadaan dari Yauw Lo tjian pwee. entah bagaimana keadaan lukanya kini. apa sudah sembuh atau belum?"

"Kau sungguh murid yang baik sekali." kata Pang Kim Hong. "Akupun tahu bahwa kau pasti akan datang ke sini untuk menengok orang tua itu.'* tambahnya Sedangkan kemudian tidak terdengar lagi kata katanya.

Sesaat kemudian baru terdengar lagi suara Pang Kim Hong:

"Tjeng djie sesudah awan buyar kau bawa Sukomu untuk menemui Yauw Tjian Su."

rB*-ik suhu." terdengar suara anak kecil. Inilah suara Tjeng djie yang pernah menungguinya di dalam goa. pikir Djie Hai.

"Djie Hai. kedatanganmu semata mata untuk hal ini. karenanya aku tidak kuasa untuk menahanmu berdiam untuk selama lamanya di tempat kediamanku. Aku menantikan sesudah pendirianmu teguh, baru datang lagi."

"Banyak terima kasih atas kemurahan Suhu!" Selanjutnya keadaan menjadi sepi. suara Pang Kim Hong tidak terdengar lagi. Dengan harapan agar kabut lekas buyar Djie Hai menantikan dengan tidak sabar. Apa mau seolah olah seperti disengaja saja kabut itu berjalan lambat lambat. Ia tak sabar lagi untuk menunggu terlebih lama lagi dengan cepat ia membuka mulut : "Tjeng tee". Sebaliknya dari pada dapat Jawaban, beberapa senjata rahasia segera menyambar datang pada dirinya. Senjata rahasia ini tak ubahnya seperti yang menyerang dirinya tiga hari yang lalu. Dengan cepat ia mengegos menghindarkan diri. Tak kira ia tidak diberi hati sama sekali, beruntun dari senjata-ssnjata itu berdesir terus di samping tubuhnya. Sehingga membuatnya tidak sempat lagi untuk mengegos, dengan cepat lengan bajunya diputar putar dengan tenaga yang keras dengan harapan bisa memukul jatuh semua senjata rahasia yang menyerang dirinya.

Seiring dengan lengan bajunya yang berputar-putar tubuhnya pun Jorcat sana loncat sini, sehingga tanpa terasa lagi dirinya sudah meninggalkan tempat semula sejauh satu tumbak lebih. Untunglah dirinya terhindar dari semua serangan senjata rahasia, hatinya merasa syukur sekali.

Tapi di samping girang iapun merasa heran, yakni setiap senjata rahasia yang kena kesampok tidak menerbitkan suara, tak ubahnya seperti angin berlalu dan tidak berbekas.

Djie Hai tidak bisa menduga sama sekali senjata macam apa yang menyerang dirinya, ia berkata sendiri:

"Biarlah orang mempermainkan aku dengan senjata yang aneh. tapi aku merasa cukup kuat menghadapinya, tambahan senjata itu tidak melukai aku. tentu ia tidak bermaksud jahat kepadaku, terkecuali itu daerah ini adalah daerah Pang Suhu biar bagaimana tidak mungkin kemasukan orang jahat. Karena itu dengan suara lantang ia berkaok keras: 'Entah kawan dari mana yang mengajak aku bercanda, dapatkah memperkenalkan dirinya?"

Tidak terdengar suara apapun juga sebagai jawaban, sesaat kemudian baru terdengar suara "heu...heu" agaknya seperti suara tertawa yang tertahan dan terpaksa ke luarnya. Ong Djte Hai berpikir: "Kenapa orang ini lagaknya seperti bocah yang nakal?"

Baru ia mau bicara lagi, terasa angin berlalu dengan keras membawa gumpalan kabut. Dengan suatu persiapan yang baik Djie Hai berjingkai - jingkai menuju ke arah datangnya suara tertawa. Dalam, kabut tipis, samar samar terlihat sesosok tubuh orang, tak lain tak bukan dari tubuh seorang anak kecil yang berjingkai jingkai seperti darinya datang menghampiri. Djie Hai baru tahu bahwa orang yang mengganggunya tidak lain dari Tjeng Djie adanya. Dilihat dari lagak lagunya Tjeng Djie sedang mencari dirinya Djie Hai tidak mau main petak dengannya, karena itu dengan suara keras dikagetinya Tjeng Djie: "Hai, Tjeng te!" Suara ini membuatnya bocah nakal tersebut loncat ke samping dengan kaget, sedangkan lengannya dikerahkan ke muka sambil melepaskan senjata rahasiainya. Kali ini Djie Hai tidak merasa takut barang sedikit, dengan cepat lengannya dijulurkan ke luar untuk menangkap. Siapa kira lengannya itu menangkap angin belaka... sebenarnya ia berhasil menangkap yakni air yang rasanya dingin.

"Tjeng te. beginikah caranya kau menyambut tamu!"

/'Ya. betul, inilah suatu kehomatan besar untuk tamuku!" kata Tjeng Djie sambil tertawa lebar, sedangkan tubuhnya datang mendekat, mulutnya dimonyongkan membisikkan kata kata: "Kau tidak tahu. ilmu ini kudapat curi lihat dari Suhu, dalam beberapa hari ini entah bagaimana Suhu melatih diri dengan air sebagai senjata rahasia."

"Apa gunanya melatih serjata rahasia deagan air?" tanya Djie Hai dengan kaget.

"Akupun tidak tahu. aku hanya senang memainkannya. Ia pernah mengatakan menghajar orang dengan air sama sekali tidak dapat diketahui orang Sedangkan aku tidak seperti Suhu, karena itu baru beberapa kali menyerangmu, sudah diketahui, . . . baiklah soal ini tidak kulanjutkan panjang panjang, aku menerima titah dari Suhu 'untuk mengantar kau menemui Yauw Lo Thu!"

Orjg Djie Hai menganggap ilmu itu dipelajari tentu mengandung maksud yang tertentu, tapi kini ia tidak mau menanyakan kepada Tjeng Djie secara melit, melainkan minta dengan lekas diantar untuk menemui Yauw Tjian Su.

Tjeng Djie yang masih kecil dengan cepat melangkahkan kakinya maju ke depan dengan cepat, sedangkan mulutnya berkata: "Ikutlah denganku!"

Sambil berlari Djie Hai sambil bertanya:

"Bagaimana dengan keadaan orang tua itu apakah kini sudah sembuh dari lukanya?"

"KLau lihat saja nanti!" jawab Tjeng Djie dengan nada yang kurang senang. "ADakah Yauw Lo tjian-pwee tidak mengijinkan kau untuk mengatakannya?" tanya Djie Hai dengan heran. Mendengar ini Tjeng Djie menghentikan kakinya, agaknya ada sesuatu perkataan yang akan diucapkan tapi dalam waktu sekejap semua itu sudah: dibatalkan, mulutnya tetap tertutup, sedangkan orangnya berdiam diri. Akan akhirnya mulutnya terbuka juga sambil menarik napas, ia berkata. "Orang tua itu . . . orang tua itu sudah meninggal dunia.

Kau terus jalan, nah di sanalah makam dan beliau."

Perkataan itu tak ubahnya seperti geledek di lengah hari bolong untuk kedua telinga Djie Hai. karena hal ini terjadi di luar, perkiraannya sama sekali, ia selalu berpikir bahwa penyakit dari orang tua yang lihay. ini pasti sudah sembuh di bawah pengobatan dari Pang Kim Hong. Tak terpikir olehnya bahwa Yauw Tjian Su sudah tua dan'

menderita luka yang berat sekali, karena itu walaupun Pang Kim Hong mempunyai obat yang luar biasa tak dapat menolong lagi, sehingga orang tua she Yauw yang sangat disayangi itu harus menutupkan kedua matanya untuk selama lamanya.

Tanpa banyak ceritera lagi Djie Hai melarikan dirinya ke jalanan yang ditunjuk Tjeng Djie. Tampak dari jauh sebuah bukit kecil yang ditutupi tigapuiuh pohon cemara yang rindang, dalam kerimbunan dari daun pohon yang besar besar itu seolah olah bukit kecil itu kena diselimuti. Di atas bukit kecil itu terdapat sebuah tanah yang muncul dan berbatu nisan. Pada batu nisan tertera beberapa huruf kecil yang berbunyi, 'Tempat Yauw Tjian Su menutup mata untuk selamanya.' Dengan hormat Djie Hai membungkukkan badannya sebanyak tiga kali, sedangkan mulutnya kemak kemik berkata; "Yauw Lotjian pwee Tetju Ong Djie Hai terlambat Setindak, sehingga tidak dapat menemui kau lagi." Sesudah melakukan penghormatan secara singkat, Djie Hai masih tetap diam berdiri dengan perasaan enggan berpisah Dengan kebetulan kepalanya dongak memandang ke atas pohon, saat ini memang sudah agak senja, karenanya banyak burung yang kembali pulang ke sarangnya, burung-burung itu membunyikan macam- macam lagu yang indah dan merdu, membuat seseorang terpaku mendengarnya. Djie Hai mengangguk-anggukkan kepalanya, ii mengerti dan tahu semasa hidupnya Yauw Tjian Su gemar pada burung burung, karenanya tempat yang indah ini tentu menjadi pilihannya untuk tempat tinggal selama lamanya. Dengan suara burung yang demikian merdu dan ramai, pasti Yauw Tjian Su tidak merasa sepi. karena inilah bayangan dari almarhum seolah- olah timbul dan tersenyum terhadapnya, tanpa terasa lagi Djie Hai mengucurkan air matanya secara deras.

Sesaat kemudian Tjeng Djie sudah sampai di situ. Djie Hai membalik badan dan berkata. "Tjeng tee sebetulnya kedatanganku kemari ialah untuk mengajak Yauw Lo tjian pwee untuk turun gunung, untuk menyelesaikan sesuatu hal yang maha penting untuk dirundingkan dengannya Sedangkan kedua murid darinya masih tetap menantikan dirinya. Tapi kini aku harus kembali pulang dengan kedua tangan kosong. Walaupun demikian aku mohon kau terangkan bagaimana saat - saat terahir dari beliau. Adakah orang tua ini meninggalkan sesuatu untuk diwariskan kepada muridnya untuk menjadi tanda mata untuk selama lamanya. Dengan didahului mengangguk anggukkan kepala Tjeng Djie membuka mulutnya 'Suhu memesan kepadaku untuk menuturkan hal ini kepadamu. Kau harus tahu orang tua itu sedikit pun tidak menpunyai sesuatu barang yang berharga di dirinya, tapi sesudah ia meninggal, masih berhasil meninggalkan semacam benda untuk kau bawa pulang!"

"Benda apakah itu, lekaslah kau serahkan kepadaku!" seru Djie Hai dengan tergesa-gesa.

"Memang aku sudah menyediakan benda itu, tutuplah matamu, tak boleh melihat! Kalau aku menyuruh kau membuKa kembali matamu benda itu segera berada di depan matamu!" Ong Djie Hai sebenarnya enggan untuk bergurau dengan bocah kecil ini, tapi biar bagaimana harus mengalah juga pada bocah nakal yang senang bergurau ini, karena itu matanya ditttup juga. Tjeng Djie menurunkan semacam bungkusan kain dari atas pundaknya. Kemudian benda itu disangkutkan ke atas ranting pohon siong: "Sudah, bukalah matamu!" Dengan cepat Djie Hai membuka matanya, dalam waktu sekejap ia menjadi kaget karena di depan matanya seolah olah berdiri Yauw Tjian Su. Kala ditegasi ia baru melihat dengan tegas, kiranya baju yang penuh tambalan dan Yauw -Tjian Su digantung di atas ranting pohon tertiup angin dan bergoyang goyang, karena waktu baru melek matanya masih kabur, tak heran baju itu disangka Yauw Tjian Su!

Melihat baju yang biasa dikenakan oleh almarhum Djie Hai menjadi sedih kembali, kembali air matanya memenuhi kedua kelopak matanya, dengan tersedu sedu ia berkata: "Inikah peninggalan dari beliau?"

"Kalau bukan ini apa lagi yang dimilikinya. Kau harus tahu benda ini sesudah hampir mati ditanggalkan dari tubuhnya untuk di serahkan kepada Suhu. Saat itu Suhu berkata bahwa baju ini adalah benda yang sangat berharga sekali tak ubahnya seperti benda keramat saja Karena itu aku tidak sanggup untuk melindungi ajimat ini, kini kuserahkan kepadamu, mulai kini menjadi tanggunganmu!"

Dalam keadaan sedihnya Djie Hai tak urung menjadi tertawa meringis juga melihat kelakuan anak kecil yang demikian wajar dan lucu, ia berkata: "Ya, kuterima benda ini, kuharap kau tidak perlu memikirkannya lagi." Dengan penuh hormat ia maju ke muka untuk menurunkan baju itu, untuk disimpan. "Kau harus menceriterakan akhir kisah dari beliau," tambah Djie Hai.

Tjeng Djie mengangguk anggukkan kepalanya, dengan wajdh yang sungguh sungguh mulai ia menuturkan. Kiranya sesudah Yauw Tjian Su menderita luka di Oey San. dibawa oleh Pang Kim Hong ke Kiu Liong Po. kemudian dengan obatnya yang bermacam macam dan terkenal akan kemustajabannya diobatinya Yauw Tjian Su dari luka parahnya. Sesudah dirawat dengan telaten selama tujuh hari tujuh maiam. Yauw Lo Tau baru tersadar dari pingsannya. Walaupun ia sudah sadar, akan jalan napasnya masih demikian lemah, sedangkan membuka mulut untuk berkata kata masih belum mampu. Sedangkan Pang Kim Hong tiap hari tiap malam tidak putus-putusnya mencari obat untuk merawatnya. Orang she Pang ini bukan main sibuknya untuk menolong Yauw Tjian Su padahal pada beberapa tahun berakhir ia sudah tidak memperdulikan lagi keadaan dunia Kang ouw, karenanya hal ini agak mengherankan juga. Demikianlah terus menerus ia melakukan pengobatan tak jemu jemunya, kembali empat puluh sembilan hari berlalu, Yauw Tjian Su kini sudah dapat turun dari pembaringan dan dapat berjalan dengan perantaraan tongkat, tapi biar begitu orang tua she Yauw tidak menunjukkan semangat yang baik.

Tiga bulan yang lalu. Yauw Tjian Su menemukan Pang Kim Hong sedang Tjeng Djiepun tidak boleh mendengarkan percakapan mereka, entah apa yang diceriterakan kedua orang itu. Pada permulaan mereka dengan ramah tamah dan asyiknya ngobrol. kemudian percakapan menjadi tidak keruan macam, mereka tidak mengobrol lagi melainkan sedang ribut mulut. Pertengkaran mulut ini berlangsung tiga hari tiga malam, kemudian mereka terdiam seperti tidak pernah terjadi sesuatu di antara mereka. Kembali di suatu pagi Yauw Tjian Su berkata pada Pang Kim Hong: "Waktu yang ditentukan segera tiba." Ia duduk tidak bergerak gerak, sedangkan napasnya sudah hilang. Pang Kim Hong memeriksa nadinya di pergelangan tangan, ia menggoyangkan kepala tanda tak berdaya, demikianlah berakhirnya riwayat jago rimba persilatan yang tidak ada tandingannya.

"Tjengtee, coba kau pikir sebentar, adakah Yauw Lo tjian pwee meninggalkan pesan sebelum meninggal? Pernahkah Pang Suhu membicarakan hal ini?"

"Orang tua itu sampai detik terakhir masih tertawa saja. seolah olah tidak ada yang diberatkan, ia menghembuskan napas yang terakhir dengan tenang. Sedangkan aku mergira ia sedang tidur terus Ah, • aKU ingat, ia pernah

berkata, bahwa perkataan biasa sudah habis untuk dikatakan sedangkan perkataan yang belum dikatakan terdapat di dalam bajunya ini. Dengan wanti wanti ia memesan agar bajunya yang semangga mangganya ini disampaikan kepada kalian."

Ong Djie H^i mengangguk anggukkan kepalanya tanda dari mengerti, bahwa baju yang penuh tambalannya ini mengandung suatu rahasia yang luar biasa, la berniat menyelidikinya kelak sudah berkumpul lagi dengan sekalian saudaranya.

"Ong Suko," kata Tjeng Djie, "sesudah Yauw Lotjian pwee meninggal dunia, Suhu menjadi uring uringan sepanjang hari, segala oDat obatannya yang demikian banyak dan bernarga dibuang semuanya. Katanya sampah ini sudah tidak berguna lagi. Dengan kelakuan yang aneh, mulutnya kemak kemik sendiri, katanya beban ini haruskah kutanggung atau tidak? Beban ini haruskah menjadi tanggunganku? Kemudian ia tidak diam di atas gunung, entah ke mana perginya aku tak tahu. Beberapa bulan kemudian baru kelihatan ia pulang, sejak itu setiap hari ia terus melatih diri dengan mengepret air menjadikan air sebagai senjata rahasia. Untuk aku memain air adalah hal yang sangat menyenangkan, tapi aku tidak tahu apa gunanya Suhu melatih diri memain air?"

Mengenai hal ihwal Pang Kim Hong. Djie Haipun tidak mengetahui banyak, ia hanya mengetahui bahwa adat dan gerak gerik dari Suhunya itu sangat aneh, sehingga sukar diduga, lain dari itu gelap baginya. Sedangkan hatinya tak bersemangat untuk menduga duga. karera sedari tadi sudah pergi jauh ke tempat di mana beradanya dari saudara saudaranya. Dari sebab inilah pertanyaan dari Tjeng Djie tidak dijawab. Ia hanya berkata : "Tjeng Djie, mengenai tabiat dari Suhu kau lebih banyak mengerti dari pada diriku, kenapa kau bertanya kepada aku?"

"Aku hanya mohon kau bisa merawat Suhu secara baik baik. kelak sesudah selesai darma baktiku pada negara aku akan kembali pula untuk menghaturkan teruna kasihku kepada Suhu juga pada kau sendiri. Kini aku akan berangkat, mari, sampai berjumpa pula!" Sehabis berkata Djie tiai lari seperti terbang, membuat Tjeng Djie terpaku bengong, bocah ini menjadi berpikir: "Heran, heran, kenapa dalam bulan bulan ini aku menemui orang orang yang gila gilaan." Biarlah kita tinggalkan bocah yang penuh keheranan seorang diri, untuk mengikuti perjalanan dari Ong Djie Hai. Sesudah pemuda kita turun dari Oey San,hanpun sudah menjadi malam, tak sempat untuknya masuk ke kota. dengan terpaksa ia menggunakan goa pegunungan untuk melewatkan malam. Sambil membaringkan diri, otaknya berpikir terus, sehingga tidak mudah untuknya masuk ke dalam buaian ibu malam yang penuh kasih.

Sesudah gulak gulik beberapa kali. tubuhnya bangkit bangun, saat ini sinar bulan terang sekali tiba tiba otaknya memikirkan baju peninggalan Yauw Tjian Su, dengan hati hati baju itu dilepaskan dari tubuhnya untuk diperiksa.

Yang tampak hanya tambalan yang beraneka warna memenuhi baju yang sudah tidak dapat dilihat lagi aslinya dari kain apa. dan warna apa! Walaupun demikian baju itu sangat bersih sekali. Djie Hai membalik balik baju itu tanpa berhasil mendapatkan sesuatu yang aneh. ia berpikir, Pang Suhu mengatakan baju ini sebagai wasiat yang sukar didapat, kata-katanya ini pasti bukan perkataan yang sembarangan diucapkan, sayang aku tidak mempunyai otak yang tajam sehingga tidak dapat menyelami makna dari kata-katanya. Saudara-saudaraku kebanyakan lebih pintar dari aku, baiklah suruh mereka saja yang menyelesaikan hal baju ini."

Sesudah berpikir begitu, Djie Hai melepat lagi dengan baik baju itu. Pada saat inilah, otaknya tiba-tiba bergerak, ia memikir sesuatu yang aneh dari baju tambalan itu. Ia tahu kalau baju yang pecah kebanyakan ditambal dari depan atau dari belakang, tapi yang membuat hatinya heran bahwa baju dari Yau Tjian Su ditambal dari depan dan belakang. Tambalan yang di luar seolah olah menambal yang sobek dari baju asal, sedangkan tambalan yang di sebelah dalam tidak seperti kain untuk menambal baju rusak, bentuknya empat persegi, mungkin di sini letak rahasianya? Seindah berpikir demikian dengan cepat baju itu dibuka lagi, dengan hati-hati diamat - amati secara seksama, betul saja tambalan yang di dalam sangat mengherankan sekali. semuanya empat persegi, ada yang baru ada yang lama, demikian rata dan teratur.

Tanpa banyak pikir lagi Djie Hai mengeluarkan pisau belatinya. dicarinya tambalan yang paling baru kemudian di bukanya dengan hati-hati, benar Saja kain itu bukan menambal bagian baju yang rusak, melainkan untuk menutup huruf huruf yang tertulis di atasnya, Djie Hai mengangkat carikan kain kecil yang penuh dengan huruf huruf yang seperti cakar bebek itu, tulisannya tak ubah seperti buah pena anak kecil saja Sesudah agak lama dibaca baru ia mengerti apa yang ditulis di situ, huruf huruf itu berbunyi :

semasaku hidup, aku mempelajari ilmu silat tidak beraturan, melainkan berpikir secara gila-gilaan, apa yang kulihat ku pelajari dan kutulis, tahun demi tahun tulisan tulisan sudah demikian banyak dan sudah merupakan buku, buku itu semuanya ada di sini. sedangkan aku tak lama lagi akan meninggalkan dunia yang indah. Pada hari kemudian siapa yang mendapatkan buku ini. entah ia beruntung entah ia malang sukar untuk kuramalkan. Tjian Su.' Diakhir tulisan itu tertera beberapa baris kata-kata sebagai tambahan yang mengatakan bahwa bukunya itu mungkin tidak berapa baik atau mengertikan bahwa ilmunya itu tidak berapa tinggi, ini hanya kata kata merendah dari orang tua ini saja.

Ong Djie Hal menjadi girang sekali sesudah menemui rahasia itu hampir ia berjingkrakan bahna senangnya, la tahu bahwa Yauw Tjian Su bertabiat senang berkelana, sedangkan kepandaiannya yang dipelajarinya, tidak mungkin dapat dituliskannya menjadi buku, karena orang tua itu tidak mempunyai cukup kesabaran dalam hal tulis menulis. Tapi ia tak pernah berpikir untuk membawa ilmunya ke dalam liang kubur, karena itu setiap apa yang dipelajari dan didapat ditulis di secarik kain dengan tinta yang tidak dapat luntur, kemudian dilambalkan pada bajunya. Demikianlah hari ketemu hari tahun berganti tahun kepandaiannya tambah sehingga tambalan bajunyapun bertambah banyak. Inilah yang dimaksud dengan bukunya. Tak heran kalau Pang Kim Horg mengatakan baju ini adalah wasiat yang tidak ternilai harganya. Djie Hai girang sekali memikiri hal ini, dan berpikir untuk segera menjumpai saudara- saudaranya untuk sama-sama membuka satu satu demisatu tambalan baju, alangkah senangnya hal ini kami lakukan!

Perlahan lahan hari sudah menjadi siang, tapi Djie Hai bukan bangun melainkan mulai menguap, perlahan lahan menjadi pulas: Ong Djie Hai adalah pemuda jujur, tak heran baju yang dianggap keramat itu tidak mau dimilikinya sendiri, bahkan sedikitpun ia tak memikir untuk mengangkanginya. Andaikata ia mempunyai hati serakah baju dapat disimpannya sendiri dan dipelajari sendiri, pasti dirinya bisa menjadi satu jago yang bukan main lihaynya.

Sesudah ia bangun dari tidurnya hari sudah menjadi siang betul, dengan tergopoh gopoh ia melanjutkan perjalanannya. Beruntun berapa hari ia melakukan perjalanan, siang dan malam. Akhirnya dengan singkat dapat dikatakan ia bertemu dengan rombongan Kie Sau. Sesud* h mereka bertemu muka, tentu saja menjadi girang, lebih lebih Gwat Hee waktu melihat saudaranya terhibur sekali akan kerinduannya selama berpisah beberapa hari. Tanpa membuang waktu Djie ,Hai menuturkan hal perjalanannya dengan ringkas, paling akhir baru menceriterakan tentang baju Yauw Tjian Su, sedangkan lengannya segera mengeluarkan baju itu untuk diperlihatkan pada sekalian yang hadir di situ. setiap orang yang melihat baju itu merasa seperti bertemu muka lagi dengan orangnya, keruan saja masing masing pada diam sedih merenungkan nasib malang yang membawa mati pada orang yang sangat dicintai mereka. Apa lagi dua saudara Wan, mempunyai hubungan lebih akrab dengan gurunya, tak heran bathinnya terpukul dan sedih, air matanya mengalir tanpa terasa. Keadaan menjadi hening dalam suasana duka. Sesaat kemudian baru terdengar suara Kie Sau berkata memecahkan kesunyian: "Baju ini adalah peninggalan semangga mangganya dari Yauw Tjitn Su karena itu harus disimpan baik baik. Tapi kalau surat surat yang terdapat di tiap tambalan tidak dibuka sama dengan tidak dapat dibaca dan tidak berguna, karena itu aku minta Gwat Hee dan Thian Hong untuk membukanya, kemudian huruf nuruf kalian salin di kertas lain. kemudian tambalan itu dijahit lagi seperti sediakala, dengan cara ini baju ini dapat disimpan untuk selama lamanya tanpa merusaknya."

Gwat Hee dan Tnian Hong dengan girang menerima tugas itu. saat itu juga mereka bekerja, dalam waktu satu malaman pekerjaan mereka sudah selesai. Dari baju itu didapati seratus lebih tambalan yang bertulisan huruf huruf, tapi semuanya adalah tulisan tulisan singkat. Karenanya untuk menuliskannya lagi tidak perlu memakan waktu, tapi untuk mengetahui maknanya yang sejati adalah pekerjaan yang bukan mudah.

Kie Sau membaca buku yang baru itu, ia merasa buku ini aneh sekali, dengan cepat di kulit muka buku itu diberi judul 'Pek Na Kun Keng' (Kitab silat seratus tambalan).

Kitab silat dari seratus tambalan ini dapat dikatakan adalah ilmu silat yang langka: biasanya kalau buku silat lain satu gerakan dari setiap jurusnya diterangkan dengan tegas. Tapi di buku ini semua kebiasaan itu tidak terdapat, apa yang tertera melainkan teori-teori dari ilmu silat belaka, sekali kali tidak terdapat perkataan yang mengharuskan bagaimana caranya menggunakan ilmu yang dimaksud.

Terkecuali itu di dalam buku inipun terdapat ilmu silat Tjit Po Tjie Gie Kun yang bukan main lihaynya. kalau menurut perkiraan ilmu ini pasti tidak habis dituturkan dengan ribuan kata, baru dapat membuat orang mengerti. Tapi perkiraan kita akan meleset sama sekali, karena Yauw Tjian Su hanya menulis tiga baris kalimat untuk ilmunya yang ampuh ini. Apa yang ditulis hanya bagaimana caranya dengan tujuh langkah serta kebajikan bisa mengalahkan orang, mungkin juga tulisan ini tertulis sewaktu Yauw Tjian Su baru menemuinya, kemudian diolah lagi, akan cara untuk menggunakan ilmu pukulan ini sedikitpun tidak tertulis, ya melulu hanya itu saja. Mungkin Yauw Tjian Su mengertikan bahwa ilmunya itu adalah buatannya dan pendapatnya sendiri, sedangkan orang lainpun boleh berpokok dari yang berbunyi ; "Untuk menang hanya ada satu jalan.. Cara untuk menang banyak sekali boleh satu langkah, boleh dua langkah, bahkan boleh seratus langkah, siapa yang bisa memikir, dialah yang bisa menggunakan cara ini untuk menciptakan ilmunya sendiri.

Tersebab ini buku ini seperti tidak berguna, tapi seperti berguna besar. Andaikata tidak dapat menggunakannya, buku ini tidak berharga, dan merupakan kertas sampahan saja, kalau bisa memahaminya dan terus menyelidikinya hasil capai lelah selama tujuhpuluh delapan tahun dari Yauw Tjian Su, dapat menjadi miliknya, sehingga buku ini tidak ubahnya seperti wasiat yang dikatakan Pang Kim Hong.

Saat itu juga sekalian anak muda bergiliran membaca sepintas lalu apa yang tertulis di buku itu. Dua saudara Wan otaknya paling cerdas dalam beberapa kali baca saja sudah dapai menghafal di luar kepala. Walaupun demikian makna yang terkandung di dalam buku itu masih banyak yang belum diketahuinya. Hal untuk mengerti memerlukan waktu yang lama untuk perlahan-lahan mempelajarinya.

Sedangkan Kie Sau yang sudah mempunyai pengalaman cukup dalam, untuk seketika belum dapat menyelami apa yang terkandung makna dari tulisan tulisan Yauw Tjian Su itu.

Kie Sau menasehatkan sekalian anak muda, untuk tidak tergesa-gesa melainkan harus sabar dan perlahan lahan menyelaminya. Sekalian anak muda menurut pendapat Kie Sau, memilih beberapa kalimat yang agak cocok untuk mempelajarinya. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke utara, sambil berjalan mereka tidak hentinya membicarakan sesuatu tentang Kun Keng sehingga waktu terasanya menjadi cepat.

Tiga bulan dengan cepat sudah berlalu, mereka sudah melewati gunung-gunung yang indah, melintasi sungai sungai yang besar, hal ini tidak sedikit membuka mata sekalian anak muda kita. Sedangkan ilmu pukulan Yauw Tjian Su tidak sedikit yang sudah dimengerti. Sampai pun Hoa San Kie Siu pun mendapat kemajuan yang tidak sedikit, sehingga hari ke hari ilmunya bertambah hebat. Saat ini mereka sudah sampai pada tempat yang tidak berjauhan dari sarang Bok Tiat Djin Peng san.

Ada pun sarang dari Bok Tiat Djin adalah sebuah gunung yang setiap tahunnya diliputi salju yang putih sedangkan keadaan dari gunung salju ini demikian hebat, jurang- jurang yang terjal dan cadas cadas yang tajam memenuhi setiap lembah dan celah celah gunung. Gunung salju ini adalah satu bukit dari pegunungan Thian San yang berliku liku ribuan meter panjangnya, bagian ini dinamai Peng San, sangat sunyi dan sepi, karena diam di sinilah Bok Tiat Djin mendapat julukan Peng San Hek Pau.

Kie Siu dan lain lain hatinya bertambah besar untuk menghadapi Kiu Sie Tin lawan sesudah mendapat buku warisan dari Yauw Tjian Su. Sesudah memilih hari yang baik mereka berbondong bondong mendaki Peng San untuk menghancurkan Kiu Sie Tin musuh.

Salju dan es penuh merutupi tanah, bersinar sinar putih menyilaukan mata. Setiap orang yang sampai di sini pasti mengernyutkan dahinya, memelekkan matanya sekecil mungkin.

Di bawah kaki, adalah salju yang berupa potongan potongan es berbentuk aneh, jauh mata memandang adalah sinar begerlapan dari salju juga. Dunia putih yang indah dan membuat orang merasa beku. Demikian sunyi tak terdengar suara orang, tidak nampak asap dari dapur. Hanya angin, salju dan dingin yang meresap ke tulang, tak ubahnya dengan dunia tersendiri yang mati penuh Kesepian. Di bukit yang demikian sepi, berkumpul banyak sekali orang orang Kang ouw yang luar biasa lihay. mereka adalah orang- orang kenamaan dari rimba persilatan. Diantara mereka tidak- satu yang tidak ternama, mereka semuanya adalah pentolan pentolan dari cabang cabang persilatan yang pada hari hari biasa selalu memandang rendah sekalian orang. Kini mereka berkumpul menjadi satu. dengan harapan dapat menghindarkan bahaya dari musuh musuhnya. Bahkan mereka akan bersatu padu dengan tekad bulat untuk mengatur barisan sembilan puluh persen mati untuk mengadu untung dengan lawannya yang mereka takuti. Sebenarnya musuh mereka itu siapa? Agaknya sangat kuat dan ganas barangkali? Kalau tidik kenapa ditakuti mereka. Saat ini di bawah gunungpun berkumpul sekelompok orang, di antara mereka terdapat orang tua yang. berambut dan berkumis jenggot yang putih, seorang kurus hitam, sedangkan yang lain adalah anak anak muda yang terdiri dari perempuan dan lelaki. Mereka adalah kaum pencinta bangsa pada jamannya, mereka mendaki gunung selangkah demi selangkah dengan tekad bulat untuk melenyapkan sekalian penghinat penghianat bangsa.

Mereka mengetahui mendaki gunung yang penuh bahaya ini tidak mudah, tapi mereka sedikitpun tidak gentar dan maju terus, untuk membaktikan tenaga dan jiwa mereka untuk negara dan rakyatnya. Tiba tiba langkah mereka berhenti, demi dilihatnya enam bilah pedang yang ditancapkan ke dalam salju, seolah olah menghalang halangi langkah dari kaki rrereka. Artinya dari pedang ini memperingati mereka bahwa musuh sudah berada di depan mata harus hati hati sedikit. Dengan hati hati Hoa San Kie Sau memeriksa setiap pedang itu. Kiranya di setiap pedang terukir nama dari pemiliknya. Menurut rangkaiannya, yang pertama dan selanjutnya adalah Lauw Tjiok Sim, Ong H>e Ong, Bu Beng Nie. Kim Ie Kong Tju. Louw Tiau dan Bok Tiat Djin.

Di dalam rimba persilatan sudah menjadi suatu kebiasaan, yakni mengukir nama diatas pedang, kemudian merintangi perjalanan musuh. tanpa orang yang menjaga, artinya ialah minta berunding dengan musuh. Kalau orang yang datang mengambil keenam pedang yang sudah terukir nama itu artinya memberi muka dan mengampuni pada orang yang sudah menyerah secara hormat, tapi kalau tidak mau berdamai, pedang itu boleh dipatahkan, dan boleh melanjutkan perjalanan untuk bertempur. Sesudah melihat pedang itu Kie Sau menarik napas, kemudian menceriterakan maksud dan artinya dari pedang itu, kemudian ia menambahkan. "Sebenarnya ke enam orang ini adalah algojo yang kejam sekali, kini menundukkan kepala untuk menyerah, benar-benar suatu hal yang mengherankan sekali. Entah jago dari mana yang membuat mereka demikian takut, sehingga belum-belum sudah menyerah!"

Wan Djin Liong dan Wan Thian Hong serentak mencabut pedangnya sambil berkata: "Kini kita sudah sampai di sini. hanya ada maju tiada mundur, pedang ini harus kita patah- patahkan!" Perkataan ini tentu saja disetujui yang lain, karenanya tanpa banyak komentar lagi dua saudara Wan mengerjakan pedangnya, seiring dengan bunyi trmg trang tring trang enam bilah pedang itu sudah menjadi berkeping- keping berantakan dan berhamburan di atas salju yang putih.

Sekalian orang maju melangkah, tentu saja dengan terlebih hati-hsti lagi. Setiap orang memandangkan matanya ke empat penjuru memperhatikan kalau-kalau ada sesuatu gerakan. Tiba tiba mata Gwat Hee yang tajam melihat sebuah benda yang dipancungkan di tempat agak jauh. Sekalian orang maju melompat memburu menghampiri, tampak oleh mereka benda itu adalah semacam papan yang bertulisan beberapa huruf dan berbunyi 'Sembilan puluh persen mati. barisan peninggalan Hek Liong."

Melihat ini Kie Sau mengangguk anggukkan kepalanya: "Kiranya mereka mendapat Kiu Se Tin ini dari Hek Liong Lo Kuay, karenanya kita harus lebih berhati htti, kalau kalau Lo Kuay mengubahnya bertambah aneh. Papan ini dipasang di sini. tentu Kiu Sie Tin berada tidak jauh dari sini. anak anak majulan selangkah" demi selangkah terlebih hati hati lagi!" Sekalian orang mengerti keadaan sudah semakin mendesak, sekaliannya semangatnya terbangun, mati. telinga dipasang dengan baik. menantikan datangnya setiap gerakan dalam keadaan siap sedia.

Sesudah berjalan lagi agak lama. masin belum menemui tanda tanda adanya manusia. Melainkan mereka menemui sebatang anak panah yang bersurat di ujung belakangnya, sedangkan di samping panah menggeletak sebuah tengkorak. Pemandangan ini membuat sesuatu perasaan semakin , tegang saja.

Kie Sau maju melihat, tampak olehnya di sampul surat berbunyi 'Dihaturkan dengan hormat kepada Pang Kim Hong Tjian pwee', hal ini di luar dugaannya, ia menoleh menghadap pada sekalian anak buahnya sambil berkata : "Djie Hai! Sini! Apakah Pang Kim Hong akan datang ke sini?" Begitu Djie Hai maju ke depan, sekalian dari saudaranya membanjir mengikuti untuk melihat apa yang terjadi di situ.

Belum sempat untuk Djie Hai menjawab pertanyaan gurunya, sekalian saudaranya sudah membuka mulutnya masing masing ada yang mengatakan kenapa Pang Kim Hong Lo tjian pwee mau datang ke sini. Ada yang mengatakan, bukankah orang tua itu sudah tidak mengurus lagi hal dunia Kang ouw?

Ada pula komentar, yang mengatakan apakah kedatangannya itu untuk menghancurkan barisan maut itu atau untuk membantu mempertahankan barisan itu. Ada pula yang berkata, tidak mungkin karena panah itu bersurat, di bawahnya diletakkan tengkorak agaknya mereka ingin berdamai dengan Pang Lo tjian pwte di samping menakut nakutkan juga dengan tengkorak itu.

Barangkali mereka menggunakan akal yang keras bercampur lunak, sambung yang lain lagi. Aknirnya ada yang bertanya, bolehkah surat ini dibuka untuk di lihat. demikianlah mereka berebut mengeluarkan

pendapat seKalimat demi sekalimat, sehingga artian dari surat yang di atas anak panah itu hampir kena diduganya. Yakni surat itu bermakna meminta kepada Pang Kim Hong untuk mundur saja terlebih dahulu sebelum menyerang barisan Tin mereka, misalkan mau berkeras untuk menyerang juga mau tidak mau harus melawan setiap lawan yang berada di dalam barisan.

Kalau takut boleh berdamai dengan setiap orang yang berada di barisan, untuk berjanji tidak akan bermusuhan lagi pada hari kemudian.

Kie Sau mendengar sekalian pendapa anak muda yang kebanyakan tidak seberapa jauh selisihnya dengan pendapatnya, yakni menganggap surat itu sebagai gertakan belaka. Sampul itu bertulisan nama Pang Kim Hong dengan sendirinyi ia tidak berani membukanya. Sekali lagi ia memandang pada Djie Hai. Sang murid baru mendapat kesempatan untuk menjawab pertanyaan gurunya tadi, dan mengatakan bahwa ia tidak tahu akan datang atau tidaknya tentang Pang Kim Hong..

Kie Sau mengangguk anggukkan kepalanya kemudian baru berkata kepada yang lain: "Anak anak agaknya'Pang Kim Hong akan datang ke sini, kalau hal ini benar benar terjadi tentu bukan main baiknya. Sedangkan surat ini alamatnya bukan untuk kita, karenanya tidak boleh dibuka, kini marilah kita lanjutkan lagi perjalanan kita!" Seruan ini tentu saja disambut dengan baik, serentak kaki demi kaki maju melangkah sedangkan semangat mereka bukan main hebatnya, terkecuali itu masing masing mempunyai kepercayaan pada diri sendiri dengan mantap.

Mereka baru saja memecahkan sebuah teka teki yang sulit, kini kembali menemui lagi sebuah teka teki lain di depan mata.. Adapun teka teki yang baru dipecahkan adalah orang yang akan menyerang Kiu Sie Tin ito adalah Pang Kim Hong hal ini tentu saja dimengeiti sekalian anak muda kenapa Louw Tiau dan sekalian kawan kawannya menjadi takut, karena mereka tiada satu yang menjadi lawan dari orang berilmu itu. Tapi teka teki yang baru yakni kenapa Pang Kim Hong bisa turun gunung untuk menghancurkan Kiu Sie Tin musuh. Sesudah berjalan lagi beberapa langkah, di tanah terletak lagi sebuah tengkorak. Beberapa langKah kemudian, lagi lagi terlihat sebuah tengkorak yang menggeletak di atas tanah. Kie Sau mengetahui bahwa mereka sudah memasuki barisan Kiu Sie Tin, sedangkan tengkorak tengkorak itu sengaja diatur sedemikian macam, semata mata untuk menimbulkan perasaan takut dari setiap orang yang mau ke barisan yang diatur
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar