Pahlawan Harapan Jilid 16

Jilid 16

"Ah, tak kukira peta rahasia dari bukit kuning (Oey San) ini sedikitpun tidak salah. Benar saja di sini terdapat selokan air, menurut peta rahasia terjunkanlah diri dari atas ke selokan ini, segera bisa mengikuti arus air dan hanyut sampai di kaki gunung. Hal inipun pasti benar adanya.

Ehem, ehem. hari ini di langit tidak ada jalan, tapi di bumi ada pintu." Tubuhnya berbalik dan memberi hormat pada sekalian anak muda, kemudian ia bicara dengan kata kata dingin; "Tju Wie marilah! sampai berjumpa kembali!"

"Tia tia! Tia-tia!" Tjen Tjen ber teriak teriak dengan tiba- tiba. Sebenarnya gadis ini disembunyikan Djie Hay, tapi kala Louw Tiau menuturkan kejadian yang lalu, Gwat Hee membebaskannya, agar ia bisa mendengari cerita dari yang menjadi bapak. Semakin mendengar Tjen Tjen semakin bingung, ia tak habis pikir bahwa ayahnya bisa melakukan perbuatan Keji yang tidak berperikemanusiaan sama sekali Walaupun dirinya dibesarkan di dalam rumah yang jahat, biar bagaimana Tjen Tjen adalah seorang anak perempuan yang jujur dan baik, untuk menjadikan dirinya seperti sang ayah sedikit juga tidak berani, paling paling hanya mengganggu orang! Hatinya menjadi sedih dan duka mendengar kisah ayahnya.

Ia berpikir. "Kalau begini aku anak siapa? Apakah anak kandung dari Louw Tiau atau dari Louw Eng" Sekali ia berpikir begini, segera membuat pikirannya menjadi kacau dan diam tidak membuka mulut. Saat inilah ia melihat Louw Tiau akan menerjunkan diri ke dalam jurang, tanpa terasa lagi mulutnya terbuka untuk memanggil Tapi apa yang dikatakan tidak lain dan "tia-tia, tia-tia" sedangkan kata kata lain tidak di ingat untuk diucapkan.

Mendengar teriakan dari sang anak ini Lou Tiau menoleh dengan mendadak, sambil memesan. "Tjen Djie rawatlah dirimu baik baik, aku tidak berdaya untuk membawamu!" Sedangkan tubuhnya segera melesat seperti burung walet menuju selokan air gunung

Orang banyak baru sadar dari impiannya, bahwa Louw Tiau bukan mencari mati melainkan melarikan diri. Serentak semuanya mengeluarkan seman tertahan. Tjiu Piau menggenggam mutiaranya dan menghajarkan kepada sang jahanam. "Bangsat jangan kau memikir dapat selamat!" Mutiara mutiara itu tak ubahnya seperti kuntuman bunga emas turun dari kahyangan mengejar pada Louw Tiau yang sudah nerhasil menggelincir sejauh tiga empat tumbak. Ia menjrdi terkejut demi melihat mutiara mutiara emas yang mengurung dirinya sepasang kakinya tidak berani berpisah pada tujuan, begitu berpisah pasti menerjang cadas cadas dan menemui ajal.

Dengan terpaksa dan mangkel ia mengegos ke samping, menyusul terdengar suafa "brek" dari bajunya yang sobek tersangkut pohon dan sebagian besar tersangkut di atas ranting pohon. Dengan sobeknya baju ini sebagian dari bahu kirinya terlihat tegas, pada saat inilah salah sebutir dari mutiara beracun tepat bersarang di pangkal lengannya yang tidak berbaju.

"Bangsat! Akhirnya kau tidak terhindar dari kematian!" seru Tjiu Piau dengan girang melihat hasil baik dari mutiaranya. Walau pun sudah kena mutiara Louw Tiau masih tetap tidak menjadi gugup, dengan cepat ia mencabut pisau belati dari pinggangnya dan menabaskan kepada pangkal lengannya, sebingga lengan itu putus dan jatuh entah ke mana. Dengan menahan sakit tubuhnya terjun ke dalam air dan hilang di balik cadas yang berada di gunung itu.

Perubahan yang berjalan secara mendadak dan cepat ini membuat sekalian orang menjadi termenung menung tidak keruan.

'Bangsat itu dapat turun ke bawah, masakan kita tidak!'* kata Ong Djie Hay sambil maju melangkah ke depan.

Sebelum kehendaknya tercapai Kie Sau sudah merintanginya sambil tnenasehatkan. "Anak anak! Sekali kali jangan sembarangan turun, lebih banyak celakanya dan selamat!"

"Dapatkah kita melihati saja sang jahanam merat dari hadapan kita?" tanya Djie Hay.

"Sepandai pandai tupai melompat akhirnya terjerat pula." kata Kie Sau. Larangannya Kie Sau dipatuhi sekalian anak anak muda. sehingga tidak ada yang berani mencoba coba untuk mengejar sang bangsat.

"Sie Hong." panggil Kie Sau.

"Ya, Su pee aku menantikan perintahmu!'

"Kau lihat," kata Kie Siu sambil menunjuk pada sobekan baju Liuw Tiau. "Ambillah bawa ke mari sobekan baju itu."

"Baik Su pee!" Kata Sie Hong sambil memperhatikan, pikirnya kalau masih mempunyai senjata dengan mudah sobekan baju itu dapat diambil tapi senjatanya kini sudah tidak ada, hal ini agak menyukarkannya juga. Sesudah berpikir pulang pergi, akhirnya ia berkata.

"Bisa, tapi kuminta bantuan dari saudara-saudara. Aku akan belajar dengan caranya Sie moy tadi pasti dapat turun dan dapat naik."

Permintaan Sie Hong dengan serentak diterima dengan baik. Djte Hay dan Gwat Hee berdiri di atas dengan teguh, lengannya memegang Wan Djin Liong sedang Djin Liong memegang pula Thian Hong, Sie Hong baru memegang lengan Thian Hong dan turun ke bawah, dengan cepat sobekan baju itu kena dijangkau dan dibawa ke atas.

Sesudah sobekan itu diperiksa, membuat orarg-orang menjadi heran, karena sobekan baju itu terbuat dari dua lapis kain, lapis luar adalah baju lapis dalam adalah dari peta yang teramat indah dilukisnya. Sesudah diperhatikan. orang banyak mengerti bahwa peta itu adalah peta Oey San. sayang hanya sebagian saja.

Tju Hong mematung dengan heran melibat peta itu, agaknya ia teringat pada sesuatu hal. Tiba tiba ia menuju ke depan. mulutnya berkata kata."Biarlah aku periksa peta itu!" Lengannya memegang peta itu dan memeriksa dengan teliti, sedangkan kepalanya manggut manggut seperti mengerti "Aku tahu bahwa peta ini adalah buah tangan dari Sie tee Louw Eng!" Kemudian peta itu diperlihatkan lagi pada Kie Sau. "Su ko. coba kau perhatikan tinta di atas peta ini. ada yang sudah lama ada pula yang baru ditulis. Dua sajak ini agaknya baru ditulis, heran ya?"

"Memang tulisan ini masih baru" kata Kie Sau, "paling lama baru setahun.

dengan ini kita dapat memastikan bahwa Louw Eng pada tahun ini masih berada di dalam dunia!"

"Akupun berpikir demikian," jawab Tju Hong sambil mengangguk-anggukkan kepala. "Tapi mungkinkah ia masih hidup sekarang?" Kie Sau berpikir, bahwa peta ini pasti mempunyai rahasia yang besar sekali, dan harus diperiksa dengan teliti. Sedangkan hal yang utama mereka harus turun gunung dengan segera. Ia ingat bagaimana Louw Tiau turun gunung mungkin di dalam peta itu ada tertulis caranya. Akhirnya ia menemukan juga perkataan, 'Jalan terakhir untuk manusia di atas peta, dan melihat suatu jalan rahasia yang sangat kecil, yakni yang di mana mereka berada. Terkecuali itu di sisi jalan tertera tulisan dari huruf- huruf yang kecil sekali.

Mulai tabir air terjun, langsung ke utara memutar menurut gunung. Tampaklah sebuah batu bertulis 'jalan terakhir untuk manusia' menghadang perjalanan. Di sini terdapat tebing gunung yang menonjol, setiap hujan dapat melihat selokan air di sebelah kanannya, Di samping air terlihat batu cadas yang putih dan licin. Terunlah ke arah ini. Kalau tidak hujan sekali-kali jangan mencoba sebab bisa binasa badan.

Kie Sau mengangguk kepalanya sambil berkata : "Kiranya Louw Tiau menurut petunjuk dari peta ini dan turun ke bawah, jahanam itu sekali kali tidak akan mengira bahwa sebagian dari petanya bisa terjatuh di tangan kita. Kita harus lekas - lekas turun gunung, tapi Yauw Lo belum tampak datang, siapa yang mau memanggilnya datang?"

"Aku!" jawab sekalian anak-anak muda dengan serempak.

"Djie Hay, Djin Liong. Thian Hong saja yang pergi, cepatlah!" Tiga orang dengan cepat melangkahkan kakinya menurut perintah untuk mencari Yauw Tjun Sa.

Ketiga anak muda dengan keras melarikan kakinya, mereka kuatir sesudah hujan reda air selokan akan menjadi surut. Mereka hampir sampai di tabir air terjun, jauh jauh dilihatnya sesosok tubuh yang tengkurap di tanah tidak bergerak. Ketiga orang merasa heran, pikir mereka, jangan jangan orang tua itu sudah letih dan tidur di sana? Sesudah dekat menjadi heran karena orang itu adalah Lo Kuay yang sudah menjadi kaku. Sedangkan bayang bayang dari Yauw Tjian Su tidak tampak berada disitu mereka berteriak memanggil, terkecuali mendengar suara mereka yang menggema di lembah, tak terdengar suatu jawaban.

Kita tahu di mana Lo Kuay dan Yauw Tjian Su bertarung hanya diketahui Louw Tiau seorang, sedangkan yang lain tidak mengetahuinya. Dengan sendirinya tiga anak muda ini tidak mengetahui apa yang sudah terjadi di dalam goa ini. Dua saudara Wan berpikir "Pasti ShuLu yang membuatnya mati pada Lo Kuay ini. Tapi ke mana gerangan perginya Shuhu? Mungkinkah ia tengah girang dan mengamuk ke sarang lawan? Atau atau. ah, mungkinkah Shuhu

bisa jatuh ke jurang dan binasa? Ah biar bagimana hal ini tidak bisa terjadi!"

Acak acakan pikiran ketiga orang menduga duga kejadian di dalam goa tanpa mendapat hasil, Djie Hay tidak berputus asa, dengan teliti dicari bekas bekas dan jejak dari orang tua itu. Tiba tiba kepalanya dongak dan berseru heran. "Ah, guruku pernah datang ke sini!" Dua saudara Wan memandangkan matanya ke mana Djie Hay melihat, kiranya di atas dinding goa terlihat tulisan dengan huruf besar.

Hek Liong Lo Kuay menemui ajal di sini, Yauw Tjian Su menderita luka parah disini, Pang Kim Hong menolong orang di sini. Huruf huruf itu nyata adalah goresan tangan dan masih baru. Dalam jaman ini terkecuali dari Hek Lioug Lo Kuay, Yauw Tjian Su hauya Pang Kim Hung yang mempunyai daya kekuatan seperti itu, karenanya tak perlu diragukan lagi kebenaran dari kata kata itu.

"Entah bagaimana dengan luka Suhu? Kini ia berada di mana?" tanya Wan Djin Liong pada Djie Hay

"Lekaslah kau laporkan kepada guruku dan katakan bahwa kau akan pergi mencari Pang Kim Hong. Terkecuali itu kalian harus lekas lekas turun gunung, jangan sampai air selokan menjadi kering!"

Dalam kata katanya Djie Hay menyebutkan beberapa kali kata Shuhu, sehingga membuat dua saudara Wjn menjadi bingung, karena mereka tidak mengetahui bahwa Toa ko ini sudah menjadi murid dari Pang Kim Hong.. Tapi mereka tidak sempat untuk menanyakan hal itu .mereka berbareng memegang iengan dari Djie Hay.

"Toa ko di luar banyak sekali musuh-musuh, kau seorang diri ingin Ke luar. kiraku sangat berbahaya! Sebaliknya kita kembali dahulu dan minta pendapat dari Su pee!"

Djie Hay berpikir. "KaJau dapat menemukan Pang Kim Hong segala sesuatu tidak perlu ditakuti, tapi kalau tidak, bahaya memang banyak, karenanya lebih baik menurut kata kata dari saudara saudara Wan."

Tiga orang menjadi gelisah, tanpa menghiraukan lagi mayat dari Lo Kuay mereka meninggalkan tempat itu. untuk pulang kembali ke tempat semula dengan berlarian.

Hari sudah menjadi terang, hujan masih tetap turun dengan rintik rintik, sedangkan air selokan agaknya hampir surut. Kie Sau menjadi kaget mendengar kabar tentang hilangnya Yauw Tjian Su, dengan cepat ia menghibur sekalian orang: "iMengenai diri Yauw Tjian Su pasti tidak kurang suatu apa, kalau benar mendapat pertolongan dari Pang Kim Hong Kini yang penting kita harus turun gunung sebelum air menjadi kering!"

Tju Sie Hong membuka jalan menerjunkan girinya dengan cepat, tak lama kemudian dirinya segera hilang terbawa arus air. Dalam sekalian orang banyak hanya ibu Tjiu Piau yang berkepandaian paling rendah, dari itu harus digendong oleh sang anak, demikian seorang demi seorang menerjunkan diri dengan cepat.

Jalan rahasia ini sungguh luar biasa dan mengherankan, pokoknya begitu kami memijak bumi dari udara dan berdiri dengan kokoh, dengan sendirinya bisa menggelesar dengan cepat mengikuti arus air. Selokan ini berlekuk-lekuk seperti huruf Z dan sangat licin sekali. Pada hari biasa jalanan air ini tidak berair dan penuh ditumbuhi lumut sehingga menjadi bertambah licin, kini di aliri air hujan yang banyak dengan sendirinya orang orang yang berkepandaian silat seperti Hoa San Kie Sau dan lain lain di tambah dengan keberanian hatinya, dengan tenang dapat turun dari atas gunung seperti malaikat malaikat turun ke dunia.

Mereka beriring iring seperti main sky di atas salju menggelesar dengan cepatnya! Turun dari gunung yang berbahaya dan menyeramkan, Kie Sau memandang dengan penuh perhatian dan berkata: "Orang dahulu berkata, kembali dari Oey San tak melihat bukit! Kalau dunia aman dan makmur, pasti kulewatkan hari tua ku di gunung yang indah dan menarik ini!" Sehabis berkata ia menarik napas dengan perlahan.

Tidak lama kemudian, jalanan rahasia ini sudah agak rata, sedangkan air selokan sudah semakin surut. Andaikata mereka ter lambat setengah jam saja. pasti tak dapat turun gunung. Begitu air selokan surut licinnya pun berkurang. seningga sukar untuk mengimbangi tubuh. Kie Sau menampak di hadapannya terbentang tanah datar yang luas dengan pohon pohon Siong yang tinggi tinggi, ia menoleh pada Tju Hong

"sebaiknya kita beristirahat di sini!"

Tju Sie Hong mendahului yang lain melompat dan disusul yang lain, mereka ramai ramai berlarian dengan cepat memasuki pohon-pchon Song untuk istirahat. Semuanya mereka girang dan mereka habis bangun dari impian yang aneh, kala membalik kepala menoleh pada Oey San tampaklah Thian Tou Hong yang terkatung katung di atas awan dengan megahnya. Sedangkan jalan turun yang mereka gunakan semuanya terhalang batu batu gunung sehingga tidak kelihatan sama sekali!

Kie Sau berseru, agar anak anak muda berduduk dengan baik, guna merundingkan lagi siasat yang digunakan untuk membekuk Louw Tiau yang sudah berhasil melarikan diri.

Dengan tenang Kie Sau mengatakan bahwa mereka harus lekas lekas meninggalkan Oey San, karena musuh masih tetap mengurungnya dengan rapat, kini menggunakan musuh belum mengetahui, dapat dengan aman meninggalkannya, sehingga membuat musuh menjaga angin.

Tju Hong tidak berapa memperhatikan perkataan Kie Sau pikirannya dan matanya dicurahkan pada peta yang sedari tadi berada di lengannya. Ia tahu bahwa Louw Eng adalah seorang yang berbakat tentang ilmu bumi ia pernah melihat dengan matanya sendiri sang adik melukis peta peta dari gunung gunung karenanya ia tahu benar bahwa peta yang dipegangnya ini adalah kepunyaan sang adik. Tapi tulisan yang baru itu membuatnya menjadi heran dan ragu ragu, pikirnya mungkinkah Louw Eng sudah seperti kakaknya mengabdi pada pemerintah Tjeng?

Kalau tidak kenapa peta yang dilukisnya ini diberikan pada Louw Tiau sehingga dapat digunakan oleh musuh untuk menumpas bangsa sendiri?. Jalan satu satunya

untuk memberikan jawaban soal yang menyesak dadanya mi, harus mencari dan menemui Louw Eng. Saat itu juga ia membuka mulut. "Kita harus mencari Louw Eng Sie tee, jalan pengusut satu satunya terletak pada peta Oey San yang tinggal separuh ini. Sayang sudah sobek sehingga sajaknyapun tidak lengkap!"

"Sajak apa?" tanya Kie Sau.

Tju Hong yang meneliti sedari tadi pada peta itu memperlihatkan dua baris sajak yang tidak lengkap :

Hilang hubungan dengan dunia luar. Tak ada musim semi dan musim rontok. Kie Sau berkata:

"Kalimat pertama sudah terang mengatakan bahwa ia tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar, tentu dirinya berada dalam penjara."

"Ya, memang kalimat pertama mudah di mengerti tapi bagaimana dengan kalimat yang kedua? Mungkinkah berarti bahwa dirinya Sie-tee terkurung di dalam suatu tempat yang gelap sehingga ia tidak dapat membedakan waktu? Ia mengatakan tidak mengenal musim semi dan musim rontok, tempat apa yang didiami, menurut hematku biar ia tinggal di tempat gelap tetap dapat membedakan keadaan udara yang panas dan dingin dalam pergantian musim dalam setahun yang sebanyak empat kali !"

"Betul!" seru Kie Sau, "marilah kita pergi ke tempat yang tidak mempunyai musim semi dan musim rontok untuk menyelidikinya!" Kata katanya ini memang benar dan masuk di akal, tapi di mana akan dicari tempat yang tidak mempunyai musim semi dan musim rontok, hal ini membuat orang bungkam tak berkata kata.

Kie Sau berpikir sejenak, dan mengambil keputusan. untuk sementara waktu mengajak sekalian orang menetap dahulu selama beberapa bulan di Hoa San untuk mengatur siasat yang lebih sempurna. Dengan berdiam di Hoa San beberapa bulan, banyak sekali faedahnya, kesatu sekalian anak muda dapat memperdalam ilmunya. Kedua kalau memaksakan untuk bekerja sekarang, tenaga musuh masih terlalu besar dan sukar di hadapinya dengan kekerasan.

Dengan berlalunya waktu tenaga musuh pasti sudah terpencar dan menjadi tipis hingga mudah untuk melawannya.. Ke tiga merencanakan untuk menyelidiki di mana beradanya louw Eng dengan jalan terpencar.

Sedikitnya harus menyelidiki lagi Ban Liu Tjung, mengacau di Thay Quw mendaki Go Bie San. pergi ke Kwan Tong. masuk ke kota raja dan membayangi Ouw Yu Thian. Ong Hie Ong. Lauw Tjiok Sim. Bu Beng Nie,Louw Tiau.. Bok Tiat Djin.

Kim Dju Kie dan lain lain. Hal ini tidak mudah dilaksanakan dengan serampangan, semua harus teratur rapi dan mempunyai banyak persiapan serta bantuan dari orang orang berilmu.

Mengingat hal yang harus dilakukan terlalu banyak dan berat, lebih lebih merasa kekurangan tenaga diri sendiri, sehingga orang orang yang sudah banyak masih terlalu kurang untuk digunakan.

Kie Sau sudah berpikir tetap dan segera akan mengemukakan pendapatnya. Tiba tiba dilihatnya Louw Tjen yang masih muda dibawa bawa, ia bingung untuk menempatkan gadis itu. Dipanggilnya Tjen Tjen.

"Hay Djie. kau masih muda dan tidak mengetahui hal di dunia yang rumit ini. kini ku tetaskan engkau secara hati terbuka!"

Tjen Tjen masih tetap tidak bergerak dari tempat duduknya.

"Kau sudah merdeka, lekaslah kau cari ayahmu itu!" kata Kie Sau.

"Aku tidak mempunyai ayah!" kata Tjen Tjen dengan murang maring Sedang air matanya mengalir ke luar dengan sedihnya. Sedangkan hatinya tengah curiga dan geram, hal yang mencuriga ialah ia tidak mengetahui bahwa ayahnya yang sejati itu Louw Eng atau Louw Tiauw, kalau Louw Tiau sebagai ayahnya ia benci dengan kelakuan jahatnya dan tidak mempunyai perasaan sayang atas dirinya.

"Hay djie." kata ibu Tjiau Piau maju mendekatinya, "kau tidak ingin turut pada ayahmu, tetapkanlah

pikiranmu untuk turut dengan kami, kau pikir bagaimana?"

"Aku tidak mau turut dengan kamu!" jawab Tjen Tjen sambil melotot dan mengangkat dada. Anak gadis yang kecil ini berpikir, bahwa mereka adalah musuh, bahkan baru bertanding dengannya belum lama berselang kini dirinya disuruh mengikut, bukankah berarti harus tunduk dan menyerah? Hal ini biar bagaimanapun tidak boleh terjadi! Ia berpikir. "Aku tidak mau turut dengan siapapun dan tidak mau mencari siapa juga. aku akan menjelajah dunia Kang ouw seorang diri. ke mana ku suka ke mana kupergi!-" berpikir sampai di sini tiba-tiba, hatinya merasa bahwa dirinya sangat sepi dan sebatang kara, betapa ia merindukan ibunya, tapi sang ibu sudah lama meninggalkannya kealam baQa. Pikirnya ibupun pasti sangat kesepian berada di tempat jauh! Mengingat ini. tak kuasa pula ia menggoak nangis secara memilukan sekali.

Tanpa berkata dan menoleh lagi ia berjalan lurus. "Kau hendak ke mana?" tanya ibu Tjiu Piau.

Dengan suara parau ia menjawab: ''Kalian sudah membebaskan aku, untuk apa mengetahui ke mana kumau pergi!" Agaknya kesedihannya belum hilang, dengan mendadak ia menangis lagi. sedangkan mulutnya kemak kemik: "Tidak ada orang yang mencinta aku dan tidak ada yang kucintai lagi. aku akan pergi jauh-jduh mendaki gunung melintasi lautan!" Habis berkata kakinya dipercepat maju ke muka seperti terbang. Kie Sau memberi tanda kepada sekalian orang, sambil berkata perlahan: "Antaplah sesuka hatinya!"

Semua pandangan dari sekalian orang banyak menatap menghantar kepergian gadis yang nakal. Hari ini ia mengenakan baju yang berwarna kuning, dalam cuaca senja dan surya yang menyorotkan sinar emas membuatnya ia hilang dalam ribuan benang halus dari surya yang kuning. Tanpa mupakatan lagi semua orang menarik napas perlahan untuk kepergiannya. Sesuatu perasaan simpatik terhadap Tjen Tjen menenuhi dada setiap orang, tapi apa mau dikata, ia sudah pergi membawa caranya, mudah mudahan saja kapan waktu akan bertemu pula!

Tak lama kemudian sekalian patriot bangsa, turun tergesa gesa meninggalkan Bukit Kuning (Oey San) untuk pergi ke Hoa San. Dalam perjalanan, mereka menyamar sebagai pelancong dan berpencaran seperti tidak mengenal satu sama lain, tapi diam diam mereka tetap berhubungan. Untunglah sesuatu dapat berjalan lancar, sehingga dapat mencapai Hoa San dengan cepat dan selamat, Hoa San adalah salah sebuah dan lima gunung yang kenamaan di Tiongkok, sedangkan keangkarannya melebihi yang lain.

Gunung ini kebanyakan adalah tempat bersembunyinya kaum pencinta negara yang berilmu tinggi, sehingga segala penghianat bangsa atau mata mata dari pemerintah Boan jarang yang berani datang menyelidiki ke sini. Karenanya Kie Sau sekalian dapat dengan aman melatih diri dan membuat sesuatu senjata baru yang hilang atau habis terpakai.

Sedangkan orang orang Louw Tiau dan pengawal pengawal bangsa Tjeng tetap diam di Oey San selama dua hari, selanjutnya mereka tidak menampak lagi pada Louw Tiau dan Hek Liong Lo Kuay, Kira mereka dua orang itu tengah melakukan sesuatu yang tidak boleh diketahui mereka. Akhirnya Bok Tiat Djin merasa ada sesuatu hal yang kurang beres, karenanya ia berdamai dengan 0w Yu Thian mencari sekeliling, tapi hasilnya nihil! Sedangkan orang yang dikurung mereka di atas Thian Tou Hong tidak menampakkan gerak gerik barang sedikit, tanpa sabar lagi mereka menerjang naik ke atas, lapi sepotong dari bayangan orang tidak diketemukan. Mereka diliputi rasa bingung dan tidak mengerti, akhirnya terpaksa mereka bubar sendiri, karena kesal. Thay Ouw adalah sebuah telaga yang sangat masyhur di Tiongkok, letaknya di lereng gunung yang permai, sekelilingnya adalah tanah pertanian yang subur, sehingga merupakan daerah yang makmur sejak dulu sampai sekarang.

Saat ini adalah permulaan dari musim panas, keadaan di Thay Ouw makin indah dan permai Nelayan nelayan yang tingga1 menetap di pesisirnya, beriring iring dengan perahunya yang beraneka macam menuju ke tengah tengah. Penghidupan nelayan adalah berat sekali, setiap hari membanting tulang menangkap ikan, hasil yang diperoleh dibawa ke kota untuk d dagangkan, akan untungnya sekedar cukup menangsal perut tidak kelaparan. Saat ini belasan perahu sudah tiba di tengah tengah telaga, dari jauh mereka memandang sebuah pulau kecil yang jauh di mata sambil menghentikan perahu perahunya.

Nelayan nelayan tua yang berada di atas perahu dengan cepat menebarkan jalanya, semuanya mengharapkan akan mendapat ikan yang besar besar tapi hasilnya hanya beberapa ikan kecil kecil saja. Padahal mereka cukup berpengalaman, sedikit banyak mengherankan sekali atas hasilnya yang mengecewakan.

Salah sebuah dari perahu nelayan itu bermuatan seorang tua dan dua anak muda. Seorang anak muda yang berpakaian nelayan itu, agaknya bukan anak bungsu dari orang tua itu, melainkan anak Sulungnya. Sedangkan yang seorang lagi. berpakaian rapi dan menunjukkan wajah yang gagah. usianya lebih kurang biru dua puluhan. Rupanya anak orang hartawan yang tengah menyewa perahu untuk pesiar di danau yang terkenal ini sambil menyaksikan caranya menangkap ikan serta menik nay pemandangan.

Sesudah lama orang tua di perahu kecil ini menjala hanya memperoleh beberapa ekor yang kecil kecil, sedangkan yang paling besar tidak melebihi sebesar lengan. Orang tua itu menarik napas panjang sambil menggerutu: "Ah, hari ini sungguh malang sekali, kalau begini terus hari demi hari dilewatkan semakin susah!" Nelayan muda itu tidak menjawab dan tidak berkata kata, tubuhnya berdiri, mendayung perahunya melewati batas air yang sudah ditandai langsung menuju pada pulau yang jauh di muka.

"Berhenti, stop! Siau Sim. apa kau gila!" seru si orang tua. Pemuda itu seperti menahan hawa amarahnya, tetapi tidak berkata kata. malahan ia mengayuh semakin cepat. Perahu perahu nelayan lain mengejar sejauh beberapa tumbak untuk merintangi, tapi tidak berhasil mereka berteriak teriak dengan keras. '"Siau Sam tju.. Siau Sam tju, kalian ayah beranak akan ke mana?"

Orang tua itu melangkahkan kakinya memegang ke dua lengan anaknya sambil memaki: "Binatang! Apa kau sudah bosan hidup!" Sedangkan lengannya mengirimkan sebuah tamparan pada sang anak. Pendayung direbutnya dari lengan sang anak sambil membentak. "Lekas balikkan perahu! Ingatlah perbuatanmu ini bisa merembet rembet dan menyukarkan nelayan nelayan lain! Kalau sampai hal ini terjadi, apa ktu bisa menanggung beban ini?"

Siau Sam mengenakkan giginya, matanya mendelik sambil berkata dengan terpaksa. "Danau yang begini luas dan banyak ikan, udangnya, habis dikangkangi! Sungguh keterlaluan" Agaknya ia mendorgkol sekali,nyata dari parasnya yang merah padam. Tampak lengannya bergerak perlahan lahan, mengayun dan memutarkan perahu ke tempat semula. Sesudah mengomel pergi datang . orang tua itu baru ingat menarik jalanya, yang sudah lama sekali ditebarkan, begitu jala ditarik membuatnya menjadi kaget sekali!

Kiranya jala itu di penuhi dengan ikan yang benar benar, sisik ikan yang berkilauan kena sinar matahari membuat orang menjadi senang. Orang tua itu tertegun sebentar, entah girang entah bingung. Alisnya berkerut menjadi satu, sudut bibirnya terbuka sedikit mengeluarkan senyuman juga. Tiba tiba orang tua itu mengambil kepastian sesudah diam sejenak, lengannya ditarik, jalanya sudah hampir diangkat. Nelayan muda itu menutup mulutnya tidak bicara, menatap pada ayahnya, sesudah lama baru membuka mulutnya: "Tia tia. kau lihat, kalau tidak pergi ke sana mana bisa memperoleh hasil yang baik ini! Kau lihat ikan yang besar itu sedikitnya berharga . . Kalau nelayan muda itu tidak membuka mulut mungkin tidak mengapa, tapi begitu ia bicara seolah-olah menyadarkan si orang tua. tampak orang tua itu menoleh dan membentak: "Binatang, tutup mulutmu! Ikan ini tidak seharusnya kita peroleh!" Sambil menge1uh panjang lengannya dikendurkan dan dibukanya jaring yang berisi ikan. sehingga ikan sudah masuk dalam jala terlepas semua. Pemuda gagah yang berada di perahu melihat kejadian ini dengan heran diam diam merasa sayang, tapi ia merasa belum waktunya membuka mulut.

"Tia tia, apa kau lepas semua!" "Semua!" bentaknya.

"Bukankah kita sudah menyanggupi Siau ya ini untuk menangkap ikan yang besar besar dan segar?" "tanya nelayan muda sambil menatap bulak balik pada ayahnya dan anak muda.

"Sebaiknya kita tidak melakukan hal yang berbahaya !" "Di sana mana ada ikannya?" Baru suaranya ke luar.

terdengarlah suara teriakan teriakan dari para nelayan lain, sedangkan perahu perahu kecil itu berpencaran dengan cepatnya menuju pada tempat mereka semula, Orang tua dan anak muda yang berada di perahu kecil segera berpaling, tampaklah oleh mereka mendatang sebuah perahu kecil panjang dengan cepatnya dari balik pulau.

Ayah dan anak menjadi pucat mukanya, serentak mereka berkata: "Celaka! Kita dipergoki anjing jahanam itu!"

Belum suaranya habis, terdengar berdesirnya suara anak panah tepat menancap di perahu kecil sang nelayan Dengan wajah pucat, orang tua itu memaki anaknya.

"Binatang! Atas kelakuanmu membuat kita sukar terlolos dari bencana ini!" Kemudian ia berpaling kepada anak muda: "Siau-ya apa kau bisa berenang? Anakku ini sudah membuat bencana besar, kalau bisa lekaslah kau berenang ke pinggir agar jangan tersangkut dengan perkara ini!"

'"Lo-tiang, kau tidak bersalah, tak mungkin mendatangkan bencana untuk dirimu?" Kata anak muda yang gagah itu.

"Siau ya, Kau harus tahu kami tidak boleh menjala melewati batas itu. Kini sudah kami langgar, sebaiknya pergilah leKas lekas!"

"Siapakah yang membuat batas itu?" tanya anak muda itu dengan tenang.

"Okpa (orang jahat) yang sangat bengis!"

"Lo tiang, aku tidak bisa berenang, Kupikir bagaimana baiknya?"

Mendengar ini orang tua itu bertambah gelisah.

Sedangkan anak muda itu tetap menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Tengah mereka bicara anak nelayan itu sudah menghentikan perahunya, karena sudah mengetahui tak berguna untuk melarikan diri. Sedangkan perahu nelayan lain saat ini sudah kabur jauh sekali. Perahu pengejar sudah semakin dekat, di atas perahu ada dua orang, seorang berusia kira kira empat puluh tahun, matanya menunjukkan kebengisan dan kekejamannya.

Sedangkan yang seorang lagi baru berusia lebih kurang tujuh delapan belas tahun, ia berdiri di haluan perahu dengan garang, dadanva tidak berbaju sehingga jelas terlihat otot ototnya yang kekar dan besar. Belum perahu mereka merapat yang muda itu sudah membentak bentak: "Bangsat gila dari mana berani menjala ikan keluarga Ong!"

Dengan cara Kim Kee Tok Lip (ayam jantan berdiri dengan kaki tunggal) ia berdiri dengan tegak dan menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang yang mengerti ilmu silat dan menakut nakutkan. Tapi dalam pandangan seorang ahli segera mengetahui bahwa anak muda yang temberang laganya ini tidak lebih tidak kurang adalah seorang yang baru mengerti ilmu silat kampungan saja.

Walaupun tampaknya ia berdiri dengan kokoh, sebenarnya seluruh ototnya digunakan terlalu berat, sehingga kaku kelihatannya, kalau kena serangan jeriji orarg berilmu pasti membuatnya jungkir balik. Sungguh kodok dalam tempurung yang tidak mengenal tingginya langit, dan tebalnya bumi !

"Hui Tay djin." kata nelayan tua dengan hormat. "Yang rendah sedikit juga tidak berani mencuri ikan

keluarga Ong."

Kodok dalam tempurung itu membentak dengar gusar : "Sungguh berani mati! Apa kau berani membantah apa yang kukatakan? Kami melihatnya dengan tegas apa yang kau lakukan!"

"Tay djin jangan menjadi gusar, anakku salah memasuki perairan Tay djin, benar kami memperoleh banyak ikan, tapi semuanya sudah dilepas kembali! Periksalah apa yang ada dalam perahu kami." Sambil berkata orang tua ini memperlihatkan tempat ikannya pada 'kodok dalam tempurung ' Sesudah bocah itu melirik, segera berkata "Untung kau mengenal gelagat, dan kubebaskan diri tuamu!" Sedangkan matanya melirik lagi pada nelayan muda.

Orang tua itu buru buru berkata. "Hui Tay djin, maafkanlah anakku yang tidak kenal urusan ini, ia mengayuh perahunya dengan terburu-buru sehingga melewati batas perairan tanpa disengaja. Aku sudah memakinya dan akan menghajarnya lagi sesampai di rumah."

"Boleh kubebaskan, tapi jempolnya yang kuat mengayuh itu harus dipotong!" serunya sambil melemparkan pisau itu ke atas perahu.

"Potong lenganku saja yang sudah besar ini," pinta orang tua itu sambil meratap "anakku masih kecil, jempolnya masih kecil,kasihanilah anakku ini, bagaimana kelak ia mencari penghidupan dan menjala kalau tidak mempunyai jari jempol?"

"Jangan banyak bacot lagi!" bentak orang muda itu, "Kalau kau tidak memutuskan jempolnya, akan kucungkil hatinya!" Orang tua itu tidak berani berkata kata lagi, dengan mata mengembeng dipandang anaknya yang masih kecil itu dengan perasaan sedih, dengan gemetar pisau belati dipungutnya. "Siau Sam. ke lu. , . ar, . . kan . . jejempolmu. . . popotong. . .lah!" Dari ke dua matanya dapat di bayang kan,ia menyesalkan perbuatan anaknya

“Binatang aku lihat bencana sudah datang. untung jiwamu tidak diminta!" Ia mengharap anaknya lekas lekas melakukan apa yang disuruh agar bencana yang lebih besar tidak menimpa dirinya. Siau Sam yang berdarah muda dan barangasan, saat ini tidak kurang kagetnya dari sang ayah, mukanya pucat lesi. la menyambut belati yang di berikan ayahnya, matanya dirapatkan, di diberanikan hatinya dan ditabaslah jempol kanannya sendiri. Tiba tiba terdangar 'tang' belati tergetar dan terlepas dari lengannya. Sebilah belati itu segera menjadi dua sesudah terbang ke udara ke dua duanya sama sama mengkilap dan mengeluarkan sinar putih. Yang sebilah dengan cepat masuk ke dalam air. sedangkan yang sebilah lagi bisa bergerak gerak di udara dan menbalik badan, kemudian baru turun kedalam air dan segera berenang. Sesudah di awasi, orang baru tahu bahwa yang sebilah itu adalah seekor ikan kecil. Entah bagaimana ikan itu mementalkan belati tiada orang yang mengetahui.Hanya pemuda itu saja yang masih tetap tenang, sedangkan orang setengah umur yang datang dengan perahu pesat mengeluarkan bunyi 'hemm..hemm' dua kali dan hidungnya, karena ia seoranglah yang melihat bagaimana ikan itu terbang, yakni diterbangkan oleh anak muda yang berpakaian pelajar.

Sedangkan anak muda konyol yang pandai menakut nakuti orang, benar benar seperti kodok di dalam sumur. Kakinya terangkat dan naik di perahu orang sambil memaki seenaknya: "Bagus ya belatiku yang indah itu, berani kau buang kini kau harus merasakan sesuatu dan perbuatanmu itu!" Lengan Kanannya diangkat tinggi tinggi dan menggamparkan Kepada nelayan muda itu. Plak terdengar suara gamparan, menyusul terlihat pemuda konyol itu berbalik kena dibikin mundur dan hampir terguling ke dalam air. Kiranya pada saat itu kembali terdapat ikan terbang merintangi lengannya, begitu kena tamparan ikan itu segera menggoyang ekornya menggebes. seperti melawan dan berhasil memundurkan lawan. Sedangkan anak nelayan tetap diam dengan baik tanpa menderita kerugian apa-apa.

Pemuda yang berada di perahu tetap tenang sambil menggosok gosok lengannya yang basah. Sebaliknya pemuda konyol tidak mengenal gelagat, sesudah serangannya tidak menbawa hasil jadi geregetan sekali, matanya mengawasi ke sekeliling untuk mengetahui dari mana datangnya ikan, matanya hanya menampak pada anak muda pelajar itu. Si konyol berpikir "Anak sekolah paling enak dibakal main!" Ia tidak memikir bahwa kaum pelajar banyak yang berilmu tinggi sehingga disegani orang, yang lucu otaknya tidak menduga sama sekali bahwa dua ikan yang sudah mengganggu dirinya adalah perbuatan pelajar itu. Sebaliknya dari hati hati, si konyol justru ingin mengganggu orang.

Dilihatnya ikan besar yang menggebesnya masih terdapat di atas papan perahu dengan cepat diambil dan dilempar pada pemuda pelajar itu. Pikirnya dengan sekali gebot ini, pelajar itu pasti akan muntah darah! Siapa tahu pelajar itu tanpa bergerak, mengeluarkan sehelai sapu tangan dan melilit ikan itu dengan secara mudah sekali.

Kemudian jerijinya bergerak ikan itu kembali ke tempatnya. Sedangkan pelajar itu seperti tidak melakukan apa apa. matanya tetap memandang ke tenpat jauh seperti tengah menikmati pemandangan alam dengan asyiknya.

Pemuda konyol itu semakin penasaran, bukannya ia sadar sebaliknya langkah gilanya tidak dihentikan, dengan setakar tenaga diangkatnya ikan besar sambil ngeden- ngeden dan dilemparkan lagi pada dada orang. Pelajar itu tidak gugup, dengan cepat dari sakunya mengeluarkan sepucuk surat sambil dibacanya.

Sesudah surat itu dikeluarkan, seperti sengaja dan tidak sengaja ikan itu ditangkisnya dengan perlahan memakai kertas yang tipis itu. ikan yang besar dan ditambah dengan tenaga besar hilang gayanya dan kena ditangkis mundur!

Pelajar itu seperti tidak mengetahui sudah terjadi sesuatu, dengan tetap memejang surat ia bertanya kepada nelayan tua: "Lo tiang aku ingin bertanya, di Thay Ouw ini bukankah terdapat seorang she Ong bernama Hie Ong yang cukup terkenal?"

Nelayan tua itu sedari tadi mukanya sudah berubah pucat, ia duduk termenung memikirkan nasib anaknya, sama sebali tidak memperhatikan perkataan pemuda pelajar itu, ia hanya menjawab: "Eh. eh."

"Lo tiang, kalau ingin menemui Ong Hie Org harus mengambil jalan mana?"

Suara anak muda yang lantang dan terang ini. kedua kalinya didengar dengan tegas oleh orang orang keluarga Ong. Dengan cepat orang yang, setengah umur itu mengawasi kepada pemuda pelajar, sedangkan si konyol itu melirik dengan tidak memandang sebelah mata. seolah olah tengah bicara: 'Dengan jiwamu yang demikian, mau menemui majikan kami!" Sedangkan anaK muda nelayan demi mendengar 'nama Ong Hie Ong' wajarnya menunjukkan suatu perasaan mendongkol yang bermusuhan sekali. Orang tua itu mendengar mi, mengambil kesimpulan bahwa penumpang perahunya itu kiranya adalah kawan dari si Raja Sungai, hatinya berpikir. "Habislah sudah, mereka sekomplotan!" Tanpa berayal lagi ia membuka mulut secara hormat. "Hui Tay djin ini adalah orang dari Ong Tay djin. Apakah tuan famili dan Ong Toi ya.'"

"Bukan, aku hanya ingin mengantarkan sepucuk surat!" "Kalau begitu kasihkan saja pada Djie-wie Tay djin ini,"

Saat ini pemuda pelajar baru memandang pada pemuda konyol sambil bicara: "Adik kecil. apa kau bisa mengantar aku?" suaranya diucapkan secara mengejek, seolah olah pemuda konyol itu tidak dihargai sama sekali.

Si konyol meajadi tak senang hati. dengan kasar lengannya dikeluarkan. "Marikan surat itu!" Pelajar itu tidak menghiraukan sana sekali, mulutnya tersenyum dan berkata pada orang setengah umur: "Bolehkah aku menyusahkan pada Toa ko unruk mengantar aku? Karena surat ini adalah dari keluarga Louw di kota raja yang harus kuantarkan sendiri."

Orang yang setengah umur sedari tadi diam saja menatap dengan dingin, kini mendengar disebutnya

.keluarga Louw dari kota raja lekas lekas bangun dan berkata.

"Oh. kiranya tuan dari kota raja! Marilah pindah ke perahu kami." Pelajar itu dengan mudah melangkahkan kakinya pindah perahu, dengan dingin ia berkata, "Bagaimana dengan perahu nelayan itu?" Belum orang setengah umur membuka mulut, 'kodok dalam sumur' sudah mendahului. "Mereka harus ikut dengan kami!" nyata ia masih penasaran dan niat untuk menyiksanya nelayan itu. Dengan segera pemuda itu berubah wajahnya, ia membentak: "Kiranya kau adalah kurcaci yang sewenang- wenang dan membuat rusak nama baik dari Ong Toa ya." Lengahnya dijulurkan menangkap bahu kanan si pemuda konyol.

Si konyol biasa berbuat sewenang wenang, mana mau menerima penghinaan ini, dengan cepat ia berpikir pula untuk menunjuk gigi di hadapan orang baru ini. Tampak ia menguatkan kuda kudanya sambil mengembungkan dadanya menahan supaya tidak bergoyang kena betotan orang. Siapa tahu lengan pelajar itu bukan main kuatnya, begitu berhasil memegang segera menggunakan tenaganya dan menggencetnya, kasihan si konyol, tak kuasa lagi untuk tidak menjerit aduh aduhan' beberapa kali sambil meminta ampun. Sedangkan kuda kudanya siang-siang sudah menjadi gempur dan menunjukkan bahwa dirinya adalah benar benar Kodok dalam Sumur yang baru ke luar!

"Begini tidak berguna, masih berani menghina orang!

Kau harus berlutut dan kou tou pada ya ya mu (tuan besar)!" Lengan kanannya segera dikendurkan, dengan dua jeriji ditariknya tubuh orang, hanya terdengar "bluk" sekali, tubuh si konyol segera menyeruduk dan ambruk ke depan membertur papan perahu, sampai perahu dibuatnya agak tertekan ke dalam air. Waktu ia bangun lagi mukanya sudah berlumuran darah. Sedangkan pemuda pelajar mengusapkan lengannya memberi tanda agar nelayan itu boleh berlalu, sedangkan dirinya sendiri duduk dengan seenaknya dan memerintahkan orang setengah umur itu: "Silahkan Toa ko mengantar aku!"

Orang setengah umur itu, cukup berpengalaman dan mengerti bahwa pelajar ini bukan orang sembarangan, ditambah mau mengantar surat pada majikannya, ia berpikir.. "Aku tidak mau menerima kerugian di depan mata. sebaiknya kuajak dahulu menemui Tay djin baru mengambil tindakan." Karenanya dengan laku hormat ia membuka mulut. "Baik. silahkan tuan duduk dengan tenang." Sedangkan matanya melirik memberi tanda pada si konyol agar yang tersebut belakangan jangan membuat onar lagi. sementara itu perahu sudah pesat maju ke depan.

Pelajar itu menarik napas panjang panjang matanya dirapatkan, diam tidak bergerak entah memikir apa - - Jalan pikirannya ini hanya diketahui seorang saja, orang itu tidak ada di sampingnya melainkan jauh di tempat lain.

Siapa gerangan dari pemuda pelajar ini? Kiranya tak lain dan tak bukan adalah Wan Djin Liong adanya! Segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya ini dengan segera terasa pada adiknya yang berada di tempat jauh.

Saat ini Wan Thian Hong tengah, duduk di atas loteng penjual arak yang letaknya di tepi danau Sesudah ia termenung menung dengan lama, tiba tiba merasa sesuatu perasaan yang mendebarkan hati, ia diam memahami pergerakan jantungnya. Sesudah lama, baru ia merasa lega berkata pada pemuda yang berada di sampingnya.

"Toa-ko, saat ini kakakku belum mendapat kesukaran, agaknya ia belum sampai di sarang musuh!" Pemuda itu adalah Ong Djie Hai. Mereka bertiga dijadikan seregu untuk menyelidiki sarang Ong Hie Ong guna mengetahui jejak dari Louw Tuu dan sekalian mercari Louw Eng.

Baiklah kita kembali lagi pada Wan Djin Liong yang berada di tengah tengah danau. Dengan cepat perahu membawa mereka ke perairan Thay Ouw yang terdalam. Mereka merasa seperti berada di samudera yang besar, bedanya samudera bergelombang di danau tidak. Sewaktu waktu dari permukaan air mencelat ikan Le Hie yang besar. Wan Djin Liong melihat ini menjadi kagum, hatinya berpikir: "Kiranya ikan yang berada di sini demikian banyak dan besar besar. tapi sudah dikangkangi oleh Ong Hie Ong. sehingga membuat penghidupan para nelayan terjepit, tak heran kalau Siau Sam ingin menerjang batas air dengan secara nekad."

Perahu itu berjalan dengan pesatnya sebentar belok ke timur, kemudian ke barat berputar dan berbelok beberapa kali. Wan Djin Liong kehilangan arah tujuan, ia tak tahu lagi dari mana tadi ia datang dan kini sudah sampai di mana.

Perjalanan mi terus berlangsung, hari pun sudah menjadi senja, saat inilah baru terlihat di depan mukanya sebuah perahu yang sangat besar tengah berlabuh di sana. Orang setengah umur segara melepas anak panah 'siuuuuut* memberi tanda. Dengan cepat terlihat tanda balasan dari perahu besar yang mengirimkan mereka. Sedangkan perahu yang dipakai Djin Liong menambah kecepatannya maju ke muka Kebesaran dari Thau Ouw ini membuat perasaan orang melayang layang sewaktu waktu terlihat gumpalan awan berkisar, jauh jauh tertampak gunung gunung menghijau Panorama yang menyegarkan ini membuat perasaan tegang Wan Djin Liong berkurang banyak.

Tiba tiba dari perahu besar memancar sinar api tengloleng yang besar besar, tanpa berkata kata orang setengah umur mengayuhkan perahunya secepat mungkin tanpa berkata kata. Perlahan lahan jarak mereka menjadi dekat, kini dapat terlihat dengan tegas bahwa perahu itu demikian besar dan indah sinar terang yang terdapat di perahu membuat suasana malam seperti siang saja. Di atas perahu terlihat sebilah papan dengan huruf 'Tiau In' yang berarti menyepi.

Orang setengah umur kembali melepaskan tiga batang anak panah yang nyaring. Begitu suara panah hilang semua teng teng yang terang benderang menjadi padam.

Perubahan ini demikian cepat membuat suatu istana dewi yang gilang gemilang mendadak hilang dari pandangan mata dan menjeLma menjadi benda gelap, dalam keadaan malam benda itu tak ubahnya seperti segugusan pulau kecil Diam diam Djin Liong mengeluarkan pujian tertahan: "Tak heran orang orang Kang ouw menamakan Si raja Thay Ouw tidak ketentuan tempat tinggalnya, sehingga sukar untuk menemuinya. Kiranya sarangnya adalah sebuah perahu yang bisa berpindah ke mana mana.

Tiba tiba dari atas perahu besar terdengar suara anak perempuan. "Tamu dari mana?"

"Dari keluarga Louw di Pak Kia. ia membawa surat untuk Oig Toa ya." jawab laki-laki setengah umur.

Anak perempuan itu segera mewartakan kedalam, tak lama kemudian di atas perahu menyala empat teng yang besar sekali, teng itu sebelah bercat hitam, sehingga yang terang hanya sebagian saja. Bagian yang terang menyorot ke luar, membuat orang yang datang terlihat jepas sedangkan bagian yang hitam membelakangi si pemegang, sehingga tak terlihat wajahnya.

Pada saat ini Wan Djin Liong menenangkan debaran jantungnya, dari dalam sakunya di keluarkan sepucuk surat, dengan gagah ia berdiri di atas perahu dan berkata:

"Aku menerima tugas dari Louw Toa ya, guna menyampaikan dengan lengan sendiri surat ini pada Ong Toa ya."

"Silahkan!" kata seseorang dari perahu besar, menyusul terlihat sebilah papan turun membuat suatu jembatan pada perahu kecil, dua pelayan wanita yang masih muda muda turun membawa teng. "Tju djin mempersilahkan tuan masuk!" Djin Liong perlahan lahan menyalurkan tenaga dalam pada kedua kakinya, kemudian meloncat pada sebuah papan jembatan.

Pelayan membuka jalan sambil berkata: "Silahkan jalan di sebelah sini!" Wan Djin Liong ceiingukan ke empat penjuru ia merasa kagum pada perahu besar yang merupakan istana duyung ini. Tapi yang mengherankan bahwa perahu yang demikian besar tidak ada orangnya, hanya dua pelayan ini saja yang tengah berjalan maju ke muka. Sesudah bulak belok beberapa tikungan, sampailah ia di ruangan tengah dari perahu. Pelayan wanita segera menghentikan kakinya dan mengetuk pintu perlahan-lahan. "Tamu sudah tiba." Pintu terbuka, keadaan sangat gelap, terdengar jawaban dari dalam.

"Silahkan masuk!" Dari pintu besar terlihat sedikit sinar terang, sedangkan pelayan yang mengiringi segera memadamkan lampu mereka! Dalam sekejap waktu sekeliling menjadi suram, pemegang sinar lampu kecil mengajak Wan Djin Liong kehadapan sebuah kursi terukir, "silahkan duduk." katanya, sedangkan lampu itu ditaruh di samping, kemudian ia berlalu.

Tiba-tiba dari dalam kegelapan berkelebat sesosok tubuh, yang berpakaian sangat indah sekali. sedangkan mukanya menunjukkan penuh wibawa, seorang yang benar- benar berkedudukan tinggi. Ia maju ke muka sambil berkata. "Majikan kami tengah berada di kamar tidur, surat itu berikan saja kepadaku." Djin Liong mengepal Keras suratnya perasaannya sedikit gugup, karena surat adalah palsu. kalau diserahkan pasti dapat diketahui lawan.

Dengan cepat diberanikan dirinya, surat itu diserahkan. Orang itu menyambut surat dan mencelat mundur, gerak geriknya sangat lincah dan mengagumkan, sedangkan tubuhnya hilang dalam kegelapan.

Sesaat kemudian dari depan terdengar suara parau dari orang tua yang didahului dengan dehemannya.

"Siapa nama tuan yang mulia?" Wan Djin Liong memandang kepada arah suara, dalam kegelapan ia tak berhasil melihat wajah orang dengan tegas. Hatinya berpikir. "Mungkinkah orang ini Ong Hie Ong adanya?" dengan cepat ia menjawab. "Yang rendah adalah Pang Kia, menjalankan tugas dari Louw Toa ya untuk menyampaikan salam hangat pada Ong Toa-ya."

"Dalam suratnya majikanmu mengatakan bahwa kau akan menetap beberapa hari di sini, sekedar untuk menyelidiki hasil hasil kenamaan dari daerah Kiang Tjek, kemudian baru kembali ke kota raja pada bulan tujuh dengan benda yang berharga itu dan menyerahkannya pada hari ulang tahun dari sri baginda."

"Atas ini kuminta bantuan yang berharga dari Toa ya " Jawab Djin Liong.

"Apakah majikanmu tidak mengirimkan kabar lisan?"

Sebelumnya Wan Djin Liong sudah mempunyai persiapan, dengan cepat ia menjawab: "Majikanku berkata, sesudah menghadiri ulang tahun dari sri baginda segera akan bertandang menemui Ong Toa ya guna merundingkan sesuatu hal yang maha penting." Tanya jawab ini, memang sudah disiapkan oleh Kie Sau sewaktu masih berada di Hoa San. Kita tahu seturunnya Kie Sau dan kawan kawan dari Oey San segera menyembunyikan diri selama enam bulan di Hoa San. Dalam waktu setengah tahun, dihubungi nya Ho Kiat ( para satrya ) dari empat penjuru, untuk mencari jejak dari Louw Eng. karena pengetahuan dan pandangan yang luas serta banyak kawannya Kie Sau segera mendapat kabar bahwa "Louw Tiau berada di kota raja, tetap menggunakan nama Louw Eng untuk menjalankan aksinya, sedangkan kabar tentang Louw Eng sampai saat ini masih belum terdengar, Kie Sau mengetahui bahwa Louw Tiau pada suatu hari pasti akan datang mencari mereka untuk membalas dendam, sedangkan hal bagaimana ia kehilangan sebelah lengannya dan bagaimana Hek Liong Lo Kuay meninggal pasti ia dapat mengarang sebuah ceritera burung untuk mengelabui kawan-kawannya sendiri. Louw Tiau mempunyai penjagaan keras di kota raja dan sukar untuK orang orang Kie Sau membekuknya, karenanya tukang catur ini menyebarkan orang orangnya ke segala penjuru untuk mengendus di mana rimbanya Louw Eng.

Di dunia Kang ouw tersiar luas tentang Tjui Tjing Kong (istana air) dari Ong Hie Ong yang luar biasa, katanya waktu turun Salju tetap hangat waktu musim panas tetap sejuk. Akan tetapi istana ini sangat gaib sekali dan sukar diketemukan orang, sedangkan orang yang pernah melihatnya jumlahnya terlalu sedikit, walaupun sudah melihat mereka tidak tahu istana ini letaknya di mana, Hoa San Kie Sau berpikir. "Mungkinkah perkataan tiada musim rontok dan musim panas.' Yang terdapat di peta rahasia Louw Eng menunjuk Thay Ouw." karena berpikir begitu ia memutuskan untuk menyelidik! Thay Ouw

Ong Hie Ong berdiam di dalam telaga yang luas dan tidak tetap tempat tinggalnya, karenanya harus bagaimana menyelidikinya? Orang banyak segera berunding, dan memutuskan Djin Liong menyamar menjadi suruhan Louw Tiau menghantarkan surat pada Oig Hie Ong. Sedangkan Kie Sau mengetahui Louw Tiau tengah sibuk dengan hari lahir dari srt baginda dan ingin mengumpuikan barang barang berharga untuk bingkisan. sebab itu bunyi suratpun disesuaikan dengan keadaan dan ditulis oleh ahli sehingga serupa betul dengan tulisan sang jahanam. Sedangkan tanya jawab pun sudah disiapkan kalau berjumpa dengan si raja sungai. Karenanya Wan Djin Liong dapat melakukan tanya jawab tanpa menimbulkan kecurigaan lawan.

Suara parau dari orang itu berhenti sejenak, kemudian tertawa sekali. Wan Djin Liong merasakan suara tawa ini demikian berat dan membuatnya merasa tidak tenang orang itu kembali bertanya : "Majikanmu mungkin terlalu sibuk dengan hari ulang tahun sri baginda dan menetap di kota raja."

"Ya." jawab Djin Liong.

Orang itu berdeham dua kali, kemudian terdengar suara gembreng yang keras seperti geledek membelah bumi menyambut dehemannya itu. Tiba-tiba di empat penjuru terlihat sinar api menyala, membuat keadaan malam menjadi terang benderang dan tak ubahnya seperti siang hari. Wan Djin Liong menjadi terkejut sekali, matanya celingukan ke empat penjuru, tampak olehnya ruangan yang tiga tumbak persegi. Ia sendiri duduk di tengah- tengah ruangan sedangkan di hadapannya berdiri seseorang yang kate dan hitam tapi tegap dan gagah, usianya kira kira lima-puluh tahun. Sedangkan di tiap sudut berdiri seorang menyandar dengan angkarnya. Sekeliling dinding penuh dihiasi segala alat senjata tajam yang beraneka ragamnya. ada yang terbuat dari tulang ikan. ada yang dari buntut ikan. semuanya mengeluarkan sinar yang berkelat kelit.

Orang yang berdiri di hadapannya mengeluarkan jerijinya menunjuk nunjuk pada Djin Liong dengan suara bentakan menggeledek. "Kau terlalu bernyali besar!"

Djin Liong tahu bahwa dirinya bukan berhadapan dengan Ong Hie Ong, hatinya berkata 'celaka* dan tidak tahu ia berada di tempat siapa.

Orang itu dengan dingin berkata: "Kau sudah datang di sini. biar bagaimana tinggi kepandaianmu jangan harap dapat ke luar pula, sebaiknya berterus terang saja, apa maksudmu datang ke sini, kau dari mana? Lekas katakan!"

"Yang rendah Pang Kia dari kota raja, menerima titah dari Louw Toa-ya. untuk mengirimkan surat dan salam hangat pada Ong Toa ya, kini aku tidak tahi apakah Ong Toa ya berada di sini atau tidak."

"Hai, badak yang tidak takut mati, kalau tidak kubuka kedokmu mungkin kau masih penasaran. dengarlah! Bahwa majikan kami saat ini tengah minum - minum arak dengan Louw Toa-ya! adalah utusannya masa tidak mengetahui hal ini? Hee he!" Wan Djin Liong bukan main kagetnya, sama sekali tidak menduga usahanya bisa kebentur soal yang di luar dugaan sekali Otaknya berputar. akalnya segera timbul. tubuhnya segera bangkit dan jalan ke luar:

"Kalau benar majikanku berada di sini kau harus mengantarkan aku untuk menemuinya..!" Orang kate itu agak bingung sebentar, dalam waktu sekejap tidak bisa ia menahan langkah kaki dari tamunya. Djin Liong sudah berada di ambang pintu masuk.

'Berhenti?!" bentak si kate, Seiring dengan suara bentakan dari dalam ke luar seorang yang berkepala besar dsn berdagu lancip, lagaknya serupa benar dengan seekor kera. Ia tertawa "Kawan, kau adalah tamu dari keluarga Ong. kini sudah berada di sini untuk apa tergesa gesa berlalu." Dengan cepat Djin Liong mengangkat lengan kirinya ke atas bahu kanan dan memukulnya pada dada penghadang. Dengan cepat orang itu menarik dadanya, sedangkan lengan kanannya melakukan serangan balasan. Djin Liong membalik lengannya dan merangkap lengan lawan sambil menekan jalan darahnya. lengan kanannya berbareng dengan cepat menghunus pedang Naga.

"Kalau ingin selamat lekas kau minggir!" Pedang itu diputarnya ke depan menggertak, membuat penghadang di muka lari meninggalkan ruangan. Djin Liong mengangkat kakinya untuk merat tapi sial baginya baru sang kaki terangkat sedikit, pintu sudah tertutup dengan menimbulkan suara keras, sedangkan di belakang kepalanya berkesiur angin diri senjata lawan. Berbareng dengan ini dari kiri kanan mendatang beberapa orang.

Djin Liong mendorong orang yang berwajah kera membendung orang dari Sebelah kirinya, menggunakan kesempatan orang repot kakinya, maju melangkah dan balik badan menangkis serangan di belakang kepalanya dengan bertenaga. "Trang." bunyinya sekali, kedai orang masing-masing merasakan tergetar lengannya, mereka sadar bahwa kekuatan masing-masing tidak berjauhan satu sama lain. Djin Liong sebenarnya berniat memutarkan pedangnya membuat suatu lingkaran perlindungan, siapa tahu pedangnya tidak dapat digerakkan dengan bebas, seolah olah seperti terjepit semacam benda.

Wan Djin Liong melirik melihat, kiranya Senjata si kate aneh sekali, panjangnya seperti pedang biasa, di kiri kanannya berduri. tak ubahnya seperti ikan yang tinggal tulangnya. Pedang pemuda kita Justeru terjepit di antara duri dari itu Si kate mengerahkan pedang tulang ikannya menjepit dengan keras, sehingga membuat pedang Djin Liong menjadi miring, walaupun pedang mustika dalam keadaan begini tidak terlalu banyak bisa berbuat.

Djin Liong mengerahkan tenaga dalamnya sekuat mungkin dan berdaya untuk membebaskan pedangnya dari pedang tulang ikan yang aneh itu. Pedang tulang ikan sudah aneh, jurus ilmunya pun aneh pula. Djin Liong berdaya untuk membebaskan dan menarik pedangnya, apa mau pedang tulang ikanpun dikerahkan pemiliknya menekan dari atas ke bawah dengan cepat. Dari gerakan yang hebat ini, membuat pedang lawan terkunci dan berbau pula hawa serangan maut menjurus pada kepala lawan.

Andaikata serangannya berhasil, kepala orang itu entah bagaimana jadinya!

Menampak gerakan lengan lawan yang demikian cepat, Djin Liong menjadi terkejut, ia tak berani memandang enteng lagi, pedang yang sebenarnya akan ditarik diubahnya secara tiba- tiba menjurus keatas. Gerak sekali tarik sekali lepas ini dilakukan cukup cepat sekali, membuat orang luar tidak dapat melihat dengan tegas dari perubanan jurusnya. Kemudian Wan Djin Liong mengendurkan sedikit pegangannya pura-pura tergetar, tiba tiba d cekalnya pedangrya lagi dengan keras. Si kate mengetahui bahwa lawannya berilmu lihay dan cepat gerak tipunya serta dilengkapi tenaga lunak dan keras secara ia berbareng di setiap jurusnya. Sebenarnya akan menggunakan keahliannya uniuk menjepit terus pedang lawannya, tapi segala pikirannya itu menjadi buyar kena tipu silat lawan yang nanti kendur dan nanti keras, tanpa diketahui lagi terdengar bunyi "trak... trik. trik nyatanya duri duri ikan

pedangnya sudah putus dibabat pedang dari mustika lawan.

Tak ayal lagi si kate mencelat ke belakang,sedangkan orang-orang yang berada di ruangan itu segera mancabut senjatanya secara serempak. Djin Liong memutarkan matanya menyapu ke sekeliling, tampak olehnya aneKa senjata aneh yang belum pernab dilihatnya memenuhi ruang matanya. Orang yang berdiri di pojok selatan bsrsenjata toya yang di kedua ujungnya memakai buntut ikan, orang yang berada di sudut barat ke dua lengannya bersenjata panjang dan lengkung seperti tulang ikan, orang yang menduduki sudut utara bersenjata ikan ikanan yang terbuat dari besi. ikan ikanan ini membuka mulutnya mengeluarkan giginya yang runcing, orang yang diam di nojok timur menggenggam tumbak, tapi ujung tumbak bukan dari besi vang tajam melainkan dari sisik ikan besar yang tajam.

Diam diam Djin Liong menjadi gentar hatinya ia kuatir senjata senjata aneh dari lawan itu mempunyai tipu jurusnya yang aneh pula, sehingga membuat orang mudah terpedaya Dengan cepat dan cekatan ia mundur ke tengah tengah ruangan, dengan pikiran menggunakan kursi tempat duduknya tadi sebagai sandaran, agar tidak kena dihajar diri empat penjuru. Ia mundur, lima orang lawannya maju mengurung. Asal saja ia ada kesempatan untuk mereka menurunkan lengan, pasti Djin Liong akan dijadikan mangsa dari mereka yang sudah merupakan serigala lapar.

DjinLiong mundur secara perlahan lahan, tangannya memegang kursi itu kemudian tubuhnya mencelat naik, membuat dirinya berada di tempat tinggi, pedangnya mengeluarkan cahaya putih yang angker merantikan setiap serangan dari musuh orang orang itu aneh pula. mereka tidak maju menyerang melainkan membuat suatu lingkaran mengurung, kurungan ini dibuatnya semakin lama semakin kecil. Djin Liong memusatkan perhatiannya menantikan segala kemungkinan, ia tidak berani sembarangan bergerak terlebih dahulu takut menderita rugi.

Mereka saling pandang dengan penuh perhatian. asal saja ada yang berani bergerak senjata, pertarungan hebat pasti terjadi. Perhatian semua orang tengah terbenam kedalam lawannya masing masing, satu sama lain tidak mau menyerang terlebih dahulu. Dalam kesunyian yang mendadak ini membuat suasana perkelahian bertambah seram.Tiba tiba terdengar bunyi ' Aaaak . . Oooo . . .

Aaaaa" yang mengejutkan mereka, agaknya ada orang menarik sesuatu benda besar, secara berbareng dengan berseru "Aaaa Oooo Aaaa". ( di Jakarta umum menggunakan perkataan Rambati rata hayo ). Seiring dengan seruan ini Djin Liong merasakan kursi tempat berdirinya agak bergoyang, tak lama kemudian disusul dengan berputarnya kursi membuatnya merasakan dunia terbalik. Tak sempat untuknya berpikir dan mengetahui apa yang sudah terjadi, tubuhnya sudah mendahului terjungkal masuk ke dalam liang yang hitam dan gelap. Baru kaki Djin Liong memijak bumi, segera ia dongak ke atas, tampak olehnya liang di atas kepalanya sudah ditutup orang dengan semacam benda yang menimbulkan suara 'Brukk'. Membuat pemuda kita yang gagah terkurung di dalamnya.

Kisah beralih ke warung arak yang berada di tepi Thay Ouw. Djie Hai yang tengah meneguk arak menjadi kaget mendengar seruan dari Thian Hong yang menyebutkan celaka.

"Kenapa" tanya Djie Hai dengan cepat, sambil meletakkan cawan araknya. Pada saat yang bersamaan tamu tamu lain yang berada di ruangan itu menunjukkan paras berubah, semua mata ditujukan kepada gadis kita dengan penuh perhatian. Beberapa orang ini kiranya tidak lain dari Tju Sie Hong dan Tjiu Piau serta Gwat Hee, sedangkan Kie Sau dan Tju Hong pun berada di situ pula. Sebenarnya mereka menyamar sebagai orang yang tidak mengenal satu sama lain dan duduk terpisah, sekadar menghindarkan kecurigaan orang. Tapi waktu mendengar seruan celaka dari Thian Hong, mau tak mau para muda- mudi menunjukkan perasaan kekuatirannya, hanya Kie Siu vang sudah ulung dalam dunia Kang ouw tetap tidak menunjukkan perubahan wajahnya, matanya tetap memandang ke tempat lain seperti tengah menikmati keindahan alam diri telaga yang terkenal itu. Tapi diam diam semuanya mengawasi gerak gerik dari seorang Lo Yi (sebutan untuk wanita tua), wanita ini walaupun berpakaian tua yang sudah pecah pecah dan seperti nelayan umumnya tapi sinar matanya demikian tajam, dan bukan orang sembarangan. Lo Yi itu mengerlingkan matanya menyapu sekalian wajah dari anak anak muda kita. Kie Sau tahu bahwa Lo Yi itu tengah memperhatikan anak buahnya, saat, saat itu juga ia berlaku terlebih hati hati.

Tanpa sadar Wan Thinn Hong membuka mulut : "Toa ko, kiranya ada hal tidak benar atas diri kakakku, mungkin dirinya itu sudah menemui ..."Djie Hai mengetahui bahwa rumah makan ini bukan tempat yang baik untuk berunding. dengan cepat ia mengangkat cawannya sambil berkata: "Moy tju, marilah kita keringkan cawan ini dan pulang untuk istirahat!" Thian Hong dengan cepat sudah mengerti maksud saudaranya, dengan cepat kata katanya ditelan lagi. Dengan cepat mereka membayar lekening sesudah itu segera turun dari loteng. Tak lama kemudian Tju Sie Hong, Tjiu Piau dan Gwat Hee pun turun ke bawah. Kesemua ini diawasi di dalam mata Lo Yi itu. Kie Sau mengetahui bahwa urusan menjadi tidak benar, tapi dalam saat ini biar bagaimana ia harus berada dalam keadaan tenang, untuk menghindarkan kecurigaan orang ia menuang arak penuh penuh dan meneguknya menjadi kering ; "Arak yang baik!" pujinva, kemudiaii ia berpaling pada pelayan: "Bawakanlah satu kati lagi!" Tju Hong pun adalah orang Kang ouw yang sudah berpengalaman sekali, ia tahu maksud Kie Sau, karenanya iapun menuang arak menemani Kie Sau minum minum seenaknya seperti tidak kejadian sesuatu apa.

Baru mereka minum kering dua cawan tampak oleh mereka Lo Yi itu berdiri diri tempat duduknya, kemudian berlalu sesudah melemparkan perak hancur kepada pelayan, Sekali lihat saja Tju Hong sudah mengetahui bahwa langkah wanita tua itu demikian ringan dan berilmu tinggi. Dengan cepat mereka pun turun dari loteng membuntuti Lo Yi tersebut.

Saat ini keadaan gelap sekali, walaupun demikian wanita tua itu dapat berjalan dengan langkah pesat. Ia bsrjilan terus sedang Ke Sau dan Tju Hong membayanginya dari belakang. Kie Sau merasa heran sekali, karena Lo Yi itu berjalan menuju ke tempat di mana para anak anak muda berkumpul. Sebenarnya Wan Thian Hong dan saudara saudaranya sudah berjalan jauh, tapi mengherankan sekali bahwa Lo Yi itu dapat membuntutinya dengan tak salah. Sambil membayangi Kie Sau tetap merasa heran, ia berpikir : "'Djie Hay sudah berlalu demikian jauh dan tidak meninggatkan jejak sama sekali, tapi kenapa Lo Yi ini dapat mengikuti mereka terus?" Sesudah mereka melewati beberapa belokan. Tju Hong yang matanya awas sudah mulai melihat sesuatu yang mencurigakan, kiranya di setiap sudut terdapat seseorang dengan kepala digubet kain putih. Kalau orang itu berdiri di sebelah kiri, Lo Yi itupun berjalan sebelah kiri. kalau orang itu ada di sebelah kanan, Lo Yi pun menepi ke kanan
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar