Pahlawan Harapan Jilid 13

Jilid 13

Keadaan dalam goa gelap gulita, tapi mereka sudah agak biasa dengan keadaan ini. sesudah melalui beberapa tikungan mereka melihat sesosok tubuh kurus berduduk dalam kegelapan.

"Siapa itu? Sah-ko atau Siok-siok?".

"Sah komu," jawab Sie Hong, "Sie moy tepat sekali kau datang ke sini kami tengah berkuter dengan suatu hal."

"Hal apa?"

"Dalam dua hari ini aku mengetahui sesuatu yakni setiap ayahku masuk ke goa ini selalu berdiam diri seperti memikiri sesuatu yang aneh. Sewaktu waktu ia berdiri dengan girang dan meraba raba dinding goa seperti tengah mencari sesuatu barang. Pikirku tentu ada sebab sebabnya."

"Sebabnya apa, apa kau tahu?" "Justru aku tidak mengerti dan minta bantuan darimu." "Di mana Siok-siok sekarang?" Masih tetap meraba raba dinding didalam, aku tidak mau mengganggunya dan berdiam di sini untuk menjaga.

Gwat Hee menarik lengan Tjiu Piau sambil berkata: "Mari kita lihat dengan diam diam."

Mereka melihat Siok sioknya tengah meraba raba dinding tembok dengan hati hati dan cermat, seolah olah sesenti demi sesenti tidak mau dilewatkan. Kelakuannya ini mengherankan sekali dan tidak mengandung sesuatu tujuan. Sebegitu lamanya mereka mengawasi masih tetap tidak mengetahui dan menyadari apa yang tengah dilakukan Siok siok itu. Kembali mereka menemukan Tjiu Sie Hong.

"Pernahkah kau bertanya apa yang tengah dicarinya?" tanya Gwat Hee.

"Ah, sukar sekali kutanya segera membengong.

Kemudian ia balik bertanya kepadaku apa yang kau cari? Sedangkan pikirannya kembali lupa ingat dan segera menghentikan pekerjian rabanya itu. Sesudah ia istirahat dan ingatannya kembali, lagi lasi dinding itu diraba rabanya tanpa jemu jemu. Kau pikir heran tidak?"

"Agaknya Siok siok mengenal sekali tempat ini. mungkin juga di dinding ini terdapat sesuatu barang yang pernah dilihatnya pada masa yang lalu."

"Mungkin di dinding ini terdapat huruf timbul?" sela Tjiu Piau.

"Djie ko Sie moy, marilah kita membantunya untuk meraba dinding ini, bagaimana?"

"Memang aku mengandurg maksud ini!" jawab mereka serentak.

Msreka segera menyingsingkan Jengan mulai meniru Tju Hong meraba dengan cermat dinding goa yang gelap. Tapi usaha mereka ini sekian lamanya tidak membawa hasil yang diharapkan. Pernah Gwat Hee meraba yang berlekuk lekuk dan tidak rata, tapi begitu dilihat dengan sinar api tidak terdapat suatu apa apa, sekali Tjiu Piau terkejut waktu meraba benda yang licin dan basah, tapi waktu ditegasi nyatanya hanya lumut yang tumbuh di situ. bahkan di sela sela goa masih terdapat rumput hutan yang jarang terlihat.

Tiba tiba Tja Sie Hong berkata: "Djie ko, Sie onoy, dengan cara ini paling paling kita dapat mereka tempat setinggi tangan kita, sedangkan bagian atas dan tubuh kita tidak kena diperiksa!" "Betul, marilah kita usahakan untuk merabanya seluruh dinding goa ini dari bawah sampai ke atas dengan cermat." jawab Gwat Hee.

"Sah tee lekaslah kau naik ke atas pundak ku. untuk memulai memeriksa bagian atas dari dinding ini," kata Tjiu Piau.

"Baik siapkah."

Gwat Hee seorang bertugas memeriksa bagian bawab. Tju Sie Hong bagian atas, Tjiu Piau bagian tengah. Kasihan sekali mereka ini, sekian lamanya berusaha tapi tidak mendapat hasil, sesudah satu tikungan goa kena di raba habis tanpa yang diharap semangat mereka mulai kendur. Sementara itu orang orang yang berada di puncak Thiau Tou sudah kembali ke dalam goa, Tjiu Piau bertiga segera istirahat menghentikan usaha mereka.

Kie Sau dan sekalian sekian lamanya merundingkan dan mencari siasat untuk memecahkan kesulitan tanpa berhasil, mereka kembali ke goa untuk istirahat.. Terkecuali itu ia mengatur pula penjagaan malam agar Louw Eng tidak bisa naik ke atas dan membuat serangan gelap Giliran pertama yang mendapat tugas ini adalah dua saudara Wan.

Sedangkan yang lain dititahkan untuk beristirahat sepenuhnya guna memelihara semangat, dengan cara ini sesuatu diaturnya dengan baik. Sedangkan ia sendiri berdiam di salah sebuah sudut sambil memusatkan pikirannya.

Betapapun dimeramkan matanya, Sie Hong tetap tak dapat tidur, pikirannya selalu mengingat ayahnya yang tengah meraba raba dinding. Tengah malam ia ke luar untuk melihat keadaan ayahnya, hatinya menjadi girang melihat ayahnya tertidur dengan nyenyak. Dalam nganggurnya ia berjalan jalan mundar mandir di tikungan goa yang ke delapan belas berbalik balik. Tiba tiba dilihatnya sinar yang halus mencelos masuk kedalam goa. Keheranannya menjadi-jadi, tubuhnya berdiri dengan tegak mengawasi dengan cermat, tetapi tiada yang dilihatnya terkecuali dinding yang gelap. Dalam tenangnya ini hidungnya merasakan suatu wewangian yang menyegarkan tubuh! Tanpa lerasa ia menghirup udara segar dengan panjang, sehingga wewangian ini terasa harumnya yang demikian halus dan tak terkatakan dengan kata kata. Hawa harum ini membuatnya seperti bukan berada di dunia lagi. ia mabuk dalam keheranan, biar bagaimana sumber harum ini tidak dapat diketahui, tapi membangkitkan hasrat orang untuk mencarinya. Dengan tenang ia mengendus mencari sekeliling. Ditatapnya sinar halus yang tipis dan bersemu merah yang seperti ada seperti tidak itu. Wewangian yang semerbak harumnya ini seolah olah datangnya dari situ.

Tanpa banyak pikir lagi ia mencelat ke atas dan menjambret ke arah sinar itu. lengannya berhasil memegang rumput, tapi malang baginya rumput itu tercabut sehingga tubuhnya jatuh ke bawah sambil mengeluarkan bunyi "blukk." suara ini membanguni seluruh orang yang berada di dalam goa. Yauw Tjian Su, Kie Sau dan lain-lain segera menghampirinya, dilihatnya Sie Hong yang tengah duduk di tanah tidak bergerak-gerak.

"Sah-tee, kenapa kau berada di sini, lukakah?" tanya Tjiu Piau.

Dengan wajah yang mengherankan bercampur kegirangan Sie Hong menunjuk ke atas dinding sambil berkata. "Kalian lihat, apakah yang terdapat di situ!"

Sekalian orang memalingkan pandangan nya kepada arah yang ditunjuk. Ah. benar saja di atas dinding itu terdapat liang kecil. Di dalam liang yang kecil itu terdapat benda yang berwarna merah dan berbentuk aneh.

Berkepala seperti jamur, sedangkan batangnya bengkok- bengkok dan panjang, tak ubahnya seperti rantai kumala. Seluruh bagian dari benda itu bening seperti kaca dan mengeluarkan sinar merah yang halus, sehingga dapat terlihat dengan tegas dimalam gelap.

Sekalian orang terpaku dengan mulut terbuka. tidak terkecuali Yauw Tjian Su atau Hoa San Kie Sau. Sesudah sunyi seketika lamanya baru terdengar suara dan Yauw Tjian Su. "Ah. dalam seumur hidupku baru pernah melihat dua kali benda yang jarang iri, kalian harus tahu benda ini adalah Leng tjah atau rumput obat yang sakti. Pertama kali kulihat enam puluh tahun yang lalu, tapi tidak sebesar yang ini, benda ini mnungkin sudah berumur ribuan tahun! Anak yang baik bagaimana caranya kau dapat mencarinya?" Tju Sie Hong menuturkan apa yang dialami barusan, kemudian ia menambah: "Barusan aku merayap dan mencabut rumput ini, terkecuali dari ini terdapat pula batu yang jatuh, yang membuat kuheran benda ini seolah olah sengaja ditaruh orang, sedangkan batu ini untuk, menutupnya" Orang orang melihat lagi pada Leng tjah yang terdapat di sela sela itu, benar saja memang taruhan orang karena tidak mungkin Leng tjah bisa hidup di sini.

Hal ini membuat teka teki yang gawat untuk sekalian orang, sehingga suasana menjadi sunyi kembali, masing masing diam memutar otak untuk mencari jawaban. Kie sau berkata dengan tiba tiba: "Sie Hong lekas kau ambil Leng tjah itu, tak perduli benda ini simpanan siapa pokoknya lekas kau ambil untuk menolong ayahmu! '

"Betul, paling perlu menolong orang sakit," sambung Yauw Tjin Su.

"Untuk diberikan kepada ayahku?" tanya Sie Hong bingung.

"Betul, kau harus tahu Leng tjah ini adalah benda sakti yang jarang terdapat dikolong langit, menurut kata orang- orang dahulu barang siapa bisa makan Leng tjah segera akan menjadi dewa. ini hanya kata-kata yang mengatakan bahwa Leng tjah ini adalah obat yang sangat mujarab sekali. Sesudah berobat dengan ini ayahmu pasti akan lekas sembuh. Dengan baiknya ayahmu bukan saja dirinya tidak menjadi beban dari kita, sebaliknya akan menjadi pembantu yang sangat berharga, sehingga untuk turun dari Oey San ini lebih mudah adanya." Kata kata penjelasan dari Kie Sau ini membuat yang lain bertambah semangat. Dengan cepat Sie Hong merayap seperti cecak mengambil Leng tjah. begitu ia turun seluruh goa terasa semerbak diliputi harumnya Leng tjah ini, sehingga setiap orang yang menghirup udara di goa ini menjadi segar dan bersemangat sekali. Yauw Tjian Su menitahkan Tju Sie Hong untuk mengambil air embun, dan meminumkan obat itu kepada Tju Hong.

Tiga hari sudah berlalu, segala makanan sudah habis termakan. Mau tidak mau Kie Sau dan lain lain harus turun gunung sambil mengatur segala daya dan persiapan.

Keputusan terakhir ialah harus menerjang musuh dengan paksa. Diaturnya Kie Sau barisan, ke satu harus saling bantu dan tidak boleh berpencar kedua menyerang dan memukul musuh yang diketemukan. Ketiga, kalau ketemu Louw Eag seorang diri harus menggabungkan seluruh tenaga untuk menawannya. Andaikata tidak dapat menangkap Hek Liong Lo Kuay, tapi Lo Kuay lebih susah kena ditangkap, pokoknya harus menangkap yang menjadi otak musuh untuk dijadikan jamiran turun gunung. Buru rencana ini sampai di sini tiba tiba dari dalam goa terdengar teriakan Tju Sie.Hong: "Tia tia sudah baik! Tia-tia sudah baik!" Kie Sau dan lain lain segera menghampiri.

Sesudah memakan Leng-tjah kesehatan dan daya ingatnya Tju Hong sudah pulih seperti sediakala. Waktu ia terbangun segera diLputi keheranan. dilihatnya Su hengnya Ong Tie Gwan yakni Nio Tjay sudah menjadi tua belasan tahun, dilihatnya anak anak muda yang mengelilinginva, kemudian dilihat dirinya sendiri dan senjatanya yang tinggal separuh Ia menarik napas kebingungan. Saat inilah Kie Sau maju ke muka sambil memperkenalkan sekalian orang yang berada di situ. Kemudian menceritakan apa yang sudah terjadi selama delapan belas tahun berselang dan keadaan sebarang yang sangat gawat. Tju Hong mendengari penuturan ini dengan penuh perhatian, sehingga ia tersadar betul betul dari impiannya selama delapan belas tahun.

Perlahan lahan ia berkata: "Menurut hematku cuma cuma saja kalau menerjang dengan kekerasan!"

"Kenapa?" tanya Kie Sau.

"Aku ingat, ada jalanan yang langsung ke bawah gunung! Kalau kita mengambil jalan ini pasti tidak diketahui musuh!"

"Di mana letaknya jalanan itu? Kenapa kau tahu?" tanya Kie Sau.

"Untuk menuturkan ini memerlukan waktu yang panjang tapi keadaan kita tengah terdesak dari itu singkatnya saji kuceritakan, tahun yang lalu itu aku turun ke bawah jurang untuk mencari pohon obat mustika. Dengan girang aku berhasil mendapatkan Leng tjah yang sangat besar.aku segera naik ke atas untuk mempersembahkan benda ini guna dinikmati beramai ramai. Siapa tahu di tengah perjalanan pulang aku mendengar suara menangisnya anak kecil. Dengan perasaan ingin tahu aku mencari suara itu, akhirnya aku dapat menemukan goa rahasia ini. Di dalam goa aku menemukan dua bayi kembar yang tengah menangis...", sampai di sini Tju Hong memandang dulu kepada dua saudara Wan,

"tidak kira anak bayi yang kecil itu dalam sekejap saja sudah demikian besar. Saat itu aku berpikir kenapa hal kegirangan ini tidak diberitahukan kepada kami! Akhirnya aku ingat Wan Djie ko sibuk mengurus negara dan lupa memberi tahu hal ini. Tapi biar bagaimana aku harus mengucapkan selamat lahir dan memberikan bingkisan.

Tanpa banyak ribut lagi Leng tjah yang sudah kupetik itu kuletakkan di samping tubuh anak kembar itu. Sedangkan akan segera keluar. tapi baru jalan beberapa tindak aku kembali lagi dan mengambil Leng tjah dan kusimpan di atas liang goa sambil kututup dengan sebilah batu, maksudku berbuat begitu yakni untuk membuat surprise kepada yang lain. Tak kukira Leng tjah yang sudah delapan belas tahun kusimpan di situ tidak menjadi rusak, bahkan dapat menolong jiwa tuaku ini." Tju Hong tertawa, yang lain pun turut tertawa. Kemudian ia berkata lagi: "Mengenai jalan iuran dari sini itu ada di luar, marilah kita lihat!"

Orang orang mengikutinya ke luar dari goa dengan tiba tiba Tju Hong berdiri di batang pohon Siong yang berada di luar goa. lengannya menunjuk ke bawah : "Kalian lihat, bukankah itu sebuah jalanan yang sudah tersedia!" Semua mata menuju ke tempat yang ditunjuk, tampaklah tempat itu demikian curam, sedangkan batu batu cadas yang tajam berserakan seperti rebung muda ditambah batu gunung berlumut dan licin sekali kali tidak bisa dipakai berjalan, apa yang dimaksud dengan jalan itu?

"Sie Hong kalau kau ingin ke sana dapat memutar lereng gunung, apa kau sanggup?" tanya Tju Hong.

"Sanggup." kata Sie Hong sesudah mengamat amati keadaan.

"Kalau kau sanggup, yang lain pun sanggup!"

Orang banyak yang berada di samping nya jadi bingung melihat keadaan ini mata saling berpandangan tak berkata kata. Mereka mengetahui bahwa ilmu dari dua beranak itu sangat lihay dan dapat pergi ke sana, tapi untuk yang lain belum pernah mempelajari ilmu semacam yang dimiliki mereka, karenanya mana bisa mengikuti mereka. Lebih lebih Kie Sau menganggap Tju Hong baru baik dari sakitnya dan belum putih betul, sehingga ngaco tidak keruan,ia ingin mengajukan usul, tapi tidak keburu sebab Tju Hong sudah menunjuk kesebatang pohon Siong: "Di antara dua batang pohon Siong itu terdapat sebuah rantai besi yang tergantung seperti jembatan kelihatan tidak?" Sesudah sekalian orang memusatkan pandangan matanya ke arah yang ditunjuk, terlihat sebuah benda hitam yang bergantung.

"Nah itulah yang kumaksud dengan rantai besi yang merupakan jembatan! Ya kalau dikatakan memang mengherankan, entah siapa yang menggantungkannya. di situ! Kalau dipikir tidak tahu berapa banyak orang orang gagah dari jaman dahulu hingga sekarang yang mundar mandir di gunung ini, kita harus mengucapkan terima kasih kepada mereka yang meninggalkan jalan yang luar biasa ini!"

Kemudian Tju Hong mengawasi senjatanya yang tinggal separuh, dengan sedih ia berkaca: "Saat ini diriku tidak ubahnya seperti seekor burung yang kehilangan sayap, sehingga harus mengandalkan rantai besi untuk menyeberang ke sana. Tapi tidak demikian pada delapan belas tahun yang lalu, di bawah sinar bulan yang terang cemerlang aku naik ke sebatang pohon Siong yang tua, dengan secara kebetulan sekali aku menemuKan rantai besi yang panjang itu. Dengan girang aku mendekatinya dan berlarian di atasnya berbalik-balik, tidak kira rantai ini akan menolong kita. Sie Hong pergilah kau ambil rantai itu bawa ke sini. Sedangkan pohon Siong yang banyak itu merupakan batu loncatan yang dibuat alam, kita dapat melaluinya halte demi halte, dengan cara ini kita bisa meninggalkan gunung ini tanpa ada yang mengetahui!"

"Aku pergi," kata Sie Hong "Sabar dahulu!" seru Kie Sau.

Tju Hong mengawasi Kie Sau tidak mengerti.

"Coba lihat apa yang tengah datang?" tanya Kie Stu. Semua mata memandang ke arah yang ditunjuk, tanpa terasa mereka berseru secara berbareng. "Lautan awan!" Kiranya benar saja lautan awan yang demikian tebal itu kembali datang seperti air bah.

"Sekali ini Thian membantu kita, nantikan sesudah kabut meliputi puncak dan gunung baru kita bergerak, dengan ini bukan saja kita dapat melarikan diri tanpa diketahui orang, bahkan setanpun tidak mengetahui! Louw Eng dan pengikutnya boleh menantikan kita seumur hidup di Oey San ini! Sie Hong kau sabar, nantikan sebentar baru kau ambil rantai besi itu. Kalau tidak begini bisa bisa kita diketahui orang orang yang berada di gunung, akibatnya jalan turun kita bisa dijaga mereka, bukankah kalau sampai gagal kesempatan yang baik ini cuma cuma Saja kita dapati!" Semua orang muda sangat kagum atas Kie Sau yang dapat memikir demikian baiknya, sehingga hatinya merasa senang dan lapang ....

Seketika berlalu, seluruh puncak indah masuk dalam pelukan kabut putih yang demikian banyaknya. "Tia tia segera aku berangkat!"

'Hay-tju (anak kabut) demikian tebalnya, dapatkah kau menunaikan tugasmu?"

"Tia, legakan hatimu, bertahun tahun aku berdiam di jurang, kabut ini sekali kali tidak dapat mempersukar aku!"Selesai bicara lengannya bergerak melontarkan tambangnya, dalam sekejap tubuhnya hilang dalam kabut yang tebal, berikutnya suara geraknya semakin jauh dan hilang tidak terdengar..

Kira kira sepemakan nasi .sie Hong sudah kembali dengan rantai besi yang dibawanya. Di kedua ujung ramai itu berkaitan yang cukup besar. Orang banyak kegirangan dengan cepat khitan rantai jtu dicantelkan kepada batang pohon Siong, sedangkan Sie Hong membawa ujung satunya lagi untuk dikaitkan kepada pohon Siong lain dengan kokohnya. Dalam tempo sebentar sebuah jembatan sudah terbentang di depan mata.

"Nah sekarang kita dapat mulai meninggalkan tempat celaka ini, Sie liong menjadi pembuka jalan, yang kedua harus Yauw Lo yang untuk melindunginya, kalau ketemu musuh . . " baru ia sampai di sini tiba-tiba ia menoleh ke kiri kanan: "Ihh, Yauw Lo ke mana?"

Betul saja di situ tidak terdapat Yauw Tjian Su, entah ia pergi ke mana? Orang orang tengah sibak dao tidak memperhatikannya, sehingga la menghilang tanpa diketahui!

"Moy tju mari kita cari!" kata Wan Djin Liong Baru kedua orang ini akan mengangkat kaki, tiba tiba Gwat Hee berseru: "Sabar! Coba dengar suara apa itu?"

Semua orang diam memasang telinganya. Dari atas puncak mendatang suara yang halus bening dan merdu dan suara burung berkicau. Kie Sau dan Tjiu Piau serentak berkata. "Ah, suara walet sakti!" Memang suara ini adalah suara burung kecil berwarna ungu yang sudah pernah dilihat Tjiu Piau dan Kie Siu, tak perlu diragukan lagi orang tua yang cinta pada burung itu pasti berada di atas puncak. "Kasilah aku menemuinya orang tua ini!" kata Gwat Hee sambil lari menuju ke puncak tak lama kemudian Gwat Hee menjumpainya orang tua ini yang tengah kegirangan bermain dengan burung yang mungil dan manis itu sambil menari nari. Burung itu hinggap di atas pundaknya, kepalanya dan tangannya. Mulutnya tidak henti hentinya meniru suara burung "cat- - cat cit--- cit," memikat burung kecil itu. Kiranya tak perlu diherankan kalau orang tua ini bisa memikat burung burung karena kehidupan sehari harinya memain dengan burung, sehingga bisa mengeluarkan suara burung.

"Lo tjian-pwee!" seru Gwat Hee, "marilah kita turun ke bawah untuk menjalankan siasat dari guruku, agar Louw Eng menjadi kaget dan menjaga angin di gunung yang sunyi ini."

"An, untuk apa tergesa gesa. lebih lebih kalau sudah mempunyi siasat lambat sebentar tidak menjadi soal. pokoknya asal dapat menang!" Sambil bicara mereka sudah tiba di te npat orang banyak.

Kie Sau menjelaskan lagi siasatnya, Tju Sie Hong membuka jalan diikuti Yauw Tjian Su menyusul Tju Hong kemudian sekalian pemuda yang lain dan ia sendiri yang paling belakang. Sesudah didengar tidak ada pergerakan barang sedikit dari pinak musuh mereka mulai berjalan meninggalkan Thian Tou Hong. Sebelum pergi Kie Sau tertawa geli; "Louw Eng Louw Eng maksudmu ingin membuat kami mati kelaparan di atas gunung, sayang maksudmu itu tidak akan tercapai!"

Sedangkan Tjiu Piau menendang batu dengan geram : "Louw Eug kini kau dapat terlepas, nanti kau pasti akan

merasakan seperti batu ini di kakiku!''

"Bagus," seru yang lain. Dengan cepat mereka sudah melintasi dengan selamat langkah yang pertama.

Sie Hong kembali mengambil kaitan besi dan membawanya kembali untuk dikaitkan lagi ke pohon yang berada di muka, dengan cara ini mereda berbasil melewatkan beberapa Pohon Siong dan kini berada di tebing yang paling curam sekali. Sekali ini rantai besi ini dikaitkan diantara dua pohon Siong yang tidak seberapa jauh jaraknya, sehingga rantai ini tidak tertarik kencang melainkan kendur saja. Sehingga sukar untuk berjalan di atasnya. Untuk Yauw Tjian Su yang berkepandaian tinggi tidak menjadi soal demikian juga untuk Tju Hong dengan mudah mereka dapat melewatkan jalan yang kendur itu dengan baik. Selanjutnya siapa yang akan jalan?.

'Aku', kata Tjiu Piau, dengan ilmu kakinya yang baik mulailah ia berjalan di atas rantai besi itu dengan gesitnya. Tiba tiba langkah kakinva berhenti di tengah jalan, karena dari kabut putih yang sangat tebal terdengar bunyi kelapakan sayap burung Hal ini membuatnya terkejut sekali, karena burung itu adalah garuda kepunyaan Tian Tjen. Orang banyak mengeluh "celaka* di dalam hatinva. Dalam keadaan begini burung ini sukar sekali untuk dilawan. Gwat Hee sangat gugup, dengan cepat ia memberi peringatan: "Tjiu Suko.. lekaslah kau jalan!" Belum suaranya habis burung itu sudah berputar putar di atas kepala mangsanya. Tjiu Piau menjadi gugup, langkahnya diperbesar, tapi malang baginya rantai besi tergerak dengan keras dan bergoyang-goyang karena burung itu sudah mulai menyerang dan menerkam korbannya. Gwat Hee menutup matanya tidak berani melihat. Yauw Tjian Su melihat garuda itu menyerang orang segera mencegah dengan beberapa helai daun Siong. Hal ini dilakukan dalam waktu sekejap saja sehingga tidak terlihat oleh yang lain. Burung itu segera mengapungkan dirinya ke atas sambil bercowet dengan keras, mungkin tubuhnya kena daun pohon Siong yang dilepaskan si orang tua. Lekas lekas orang melihat ke atas rantai besi. 'Celaka' di atas rantai besi terdapat orang! Ke mana? Hilangkan? Ah tidak! Sebab Tjiu Piau dapat terlihat berada di bawah rantai besi dan menahan tubuhnya dengan kedua lengannya. Untunglah ia mendapat pertolongan dan orang tua kalau tidak jiwanya pasti sudah melayang di bawah kuku garuda yang tajam itu. Di antara orang yang demikian banyak Gwat Heelah yang paling cemas, dengan cepat ia maju untuk menolong. Tapi Yauw Tjian Su sudah memperingatinya terlebih dahulu:

"Jangan bergerak, siapapun tidak boleh bergerak!" Gwat Hee lekas lekas menghentikan kakinya, sedangkan Tjiu Piau yang tengah berontak-berontakpun diam tidak bergerak menurut perintah si orang tua. Dalam saat ini garuda itu sudah mulai berputar putar dan menubruk mangsanya, tapi mengherankan sekali, paruhnya yang tajam itu tidak dipatukkan kepada tubuh mangsanya hanya berbunyi sekali dan kembali menggelepak terbang Sedangkan yang laini sudah siap dengan senjata rahasia, kalau di lihatnya garuda itu membuka mulutnya pasti berhamburanlah senjata senjata itu untuk menamatkan riwayatnya.. Kini walaupun Tjiu Piau tidak menderita apa apa, tapi orang orang dibuatnya berkeringat dingin juga. Setiap burung buas mempunyai penglihatan yang tajam sekali, tidak perduli berjarak jauh pandangannya tetap awas, lebih lebih Kalau sasarannya bergerak gerak semakin nyata pula dilihatnya. Tapi waktu ia menubruk Tjiu Piau yang tidak bergerak- gerak dikiranya benda mati, sehingga tidak berapa diperhatikan lagi. Yauw Tjian Su adalah ahli burung jadi mengetahui tabiat dari binatang buas ini, karenanya memerintahkan agar kawan kawannya jangan bergerak dengan tujuan seperti di atas Burung buas mi tidak henti hentinya berputar di atas, sifat buasnya semakin nyata, lebih lebih sesudah kehilangan sasarannya, bukan hilang hanya tidak bergerak. Semua orang berdiam seperti mati, sampai jalan napasnyapun seolah olah tidak bergerak!

Daiam kesunyian yang demikian menyeramkan, semakin nyata dan tegas suara bergedebaran dan sayap garuda buas itu, dalam keadaan begini burung ini tak ubahnya seperti raja udara saja. Tju Sie Hong memandang Tjiu Piau yang sudah kepayahan, diam diam dikeluarkan tambangnya, begitu dilihat garuda sudah terbang lewat di tubuh saudaranya, tangannya segera bergerak menerbangkan senjatanya. Dengan tepat kaitannya menyantel di ikat pinggang saudaranya. Sedangkan garuda yang sedang kesal tidak melihat korban, berbunyi keras dan menerkam kepada tambang yang bergoyang goyang, kukunya yang tajam itu mencengkeram dengan keras Kepada tambang dan diterbangkan ke atas! Tjiu Piau sekuat tenaga mempertahankan dirinya berpegang kepada rantai besi dengan erat. demikian pula dengan Sie Hong tidak mau melepaskan senjatanya. Sang garuda mempunyai kekuatan yang luar biasa besarnya, dua orang ini dibuatnya dalam keadaan cemas sekali. Saat ini secara tiba tiba terlihat walet sakti yang kecil dan mungil terbang menjurus kepada sang garuda.

Walet sakti itu sambil terbang tak henti-hentinya mengeluarkan bunyi, sehingga kawan kawannya beterbangan menuju garuda besar. Orang orang menjadi bingung melihat keadaan ini, mereka mengira walet sakti terkejut dan melarikan diri kala melihat burung yang demikian ganas. Tapi kalau ditilik dari sikapnya yang gagah burung kecil mi seolah olah hendak menyerang sang garuda. Sebaliknya apa yang dapat dibuat oleh burung kecil yang sebesar bulu burung garuda itu terhadap burung raksasa yang demikian kuat?

Sekelompok walet sakti segera terbang dihadapan garuda, dengan cepat sudah menarik perhatiannya. Kukunya yang mencengkeram tambang segera dilepas, beralih menangkap walet sakti. Dengan kegesitan dan kecerdasannya burung burung kecil dapat mengegos dan menghindarkan diri dari paruh garuda. Malang bagi mereka, seekor kawannya yang kurang hati hati kena tertangkap kuku garuda, tapi dengan kecepan kilat burung kecil mencelos dari sela sela kuku yang sangat besar itu dan berkumpul lagi dengan kawan kawannya.

Sang garuda menjadi gusar, sayapnya dikebutkan ke kiri kanan, sedangkan Kuku dan paruhnya mematuk dan mencengkeram dengan tenaga yang maha dahsyat. Tapi burung burung kecil itu tidak menjadi takut, terus saja beterbangan mengelilinginya. Perkelahian yang luar biasa ini membuat penonton mendelong sambil mengangakan mulut. Adapuia yang mengherankan orang banyak ini, semakin lama burung burung kecil semakin sedikit jumlahnya, dari belasan hanya tinggal tujuh . . enam . . empat . . . dua . . . dan hilang semuanya. Pada hal burung- burung kecil itu tidak ada yang kena patuk atau kena cengkeraman, tapi ke mana gerangan burung burung kecil yang mungil dan bagus itu?

Dalam saat yang membingungkan ini, burung garuda itu tiba tiba berkelapakan di tengah udara dengan hebatnya, sayapnya yang besar dikebaskan ke kiri kanan dengan kuat, agaknya ingin melepaskan sesuatu yang menempel di tubuhnya. Sesaat garuda itu seperti kesakitan sayapnya berkelapakan semakin dahsyat sambil mengeluarkan bunyi menyayat hati, menyusul tubuhnya berjungkiran. Entah apa sebabnya tidak di setahu orang, mereka melihat sehelai dari bulu garuda copot dan terbang melayang layang ke bawah, kemudian, bulu garuda yang rontok ini semakin banyak, tak ubahnya seperti dam kering tertiup angin Dengan cepat di sayapnya berwarna hitam kelihatan sebuah liang. Saat inilah orang banyak baru sadar, bahwa walet sakti mempunyai cara berkelahi yang luar biasa, mereka masuk dan menyelusup di ketiak musuh, dan tidak kelihatan.

Selanjutnya mereka mematuki bulu lawan sampai copot sehelai demi sehelai. Dalam waktu sekejap saja burung garuda itu sudah kehilangan bulunya, sehingga tidak dapat mempertahankan dirinya untuk tetap berada di udara, secara perlahan lahan tubuhnya menukik jatuh ke jurang. Sedangkan burung kecil yang cantik itu segera menyanyikan lagu kemenangan dengan merdunya mereka berputar dan hinggap di bahu Yauw Tjian Su. Sang garuda yang sudah kehilangan bulunya berusaha terbang kembali, tapi usahanya selalu kandas, ia berontak sekuat tenaga hasilnya tetap kosong, akhirnya dengan suaranya yang berputus asa tubuhnya terus jauh ke bawah dan tidak kelihatan lagi Perkelahian yang menarik ini, membuat semua orang merasa kagum kepada burung keci! yang dapat mengalahkan seekor burung raksasa yang demikian kuat dan ganas Waktu jaman jayanya sang garuda dapat menerjang ke atas awan dan terbang ratusan lie, tapi sesudah kena dikalahkan sedikitpun tidak berdaya menahan tubuhnya berada di udara. Saat ini tubuhnya yang kepayahan itu pasti menukik dengan cepat ke bawah dan menemui ajalnya. Dari hal ini orang banyak dapat menarik sesuatu pelajaran, semakin musuh kuat diri sendiri semakin lemah, tapi biar bagaimana masih berkesempatan mengalahkan musuh.

Bahaya sudah lewat. Tjiu Piau dengan selamat sudah melintasi rantai besi demikian juga dengan yang lain, Mereka beristirahat sejenak di pohon Siong memperhatikan keadaan sekelilingnya, karena pertarungan antara garuda dan walet sakti tadi takut menarik perhatian musuh, tapi sesudah mereka berdiam agak lama.. pihak musuh tidak menunjukkan sesuatu gerakan, demikian mereka melanjutkan perjalanannya dengan cara yang sama.

Akhirnya mereka sampai di pohon Siong yang penghabisan, dengan cepat Tju Hong berkata. "Kini saatnya sudah tiba untuk memijak tanah!" Tubuhnya segera berputar memijak akar pohon dan loncat ke bawah. Kiranya di bawah akar Siong ini terdapat sebuah jalanan gunung yang kecil, orang banyak sesudah turun merasa girang sekali, tapi belum habis senangnya kesusahan sudah berada pula di depan matanya. karena jalanan ini belum pernah dijelajah Tju Hong, ia hanya tahu saja. Terkecuali itu kabutpun demikian tebalnya jurusan mana yang harus ditempuh tiada yaDg tahu. Dengan cepat Kie Stu meraba tanah gunung, kemudian menentukan jurus mana yang harus diambil. "Kita jalan kesebelah kiri!" Sekalian anak muda dengan heran memandangnya tidak mengerti. Kie Sau tertawa.

"Perhatikan, jalanan iai kelihatannya rata. sebetulnya tidak. Libatlah tanda tanda bekas air mengalir, semuanya menuju ke sebelah kiri, kita tengah mencari jalan turun, dari itu harus menuju kesebelah kiri!" mendengar ini semua orang baru tahu.

Saat ini mereka bergirang sekali, karena segera akan meninggalkan gunung yang terterkurung, Yauw Tjian Su masih tetap dengan burungnya, burung kecil yang lucu itu tidak henti hentinya disuruh menyanyi, sehingga yang lain tidak merasa sepi. Begitu mereka girang sang perut terasa lapar dan haus. Tapi segala makanan sudah habis, airpun tiada, untuk menangsal perutnya mereka menggunakan kepandaiannya menangkap burung dan binatang liar yang terdapat di situ. Dengan perasaan menyesal Tju Sie Hong berkata: "Kalau tahu begini garuda besar itu pasti kukait, dagingnya pasti enak dan cukup dimakan beramai!"

"Aha, saat itu mana kau ingat masih memPunyai perut!" kata Wan Thian Hong dengan Jenaka, sehingga membuat orang tertawa besar "Kalian jangan membuat gaduh, kini belum saatnya kita bergirang. Kalian harus ingat seluruh dari Oey San masih dikuasai anjingnya bangsa Boan. dari itu hati hatilah!" Wan Thian Hong mengelelkan lidahnya tidak berani bersuara, demikian juga dengan yang lain tidak tertawa lagi.

Begitu suara tertawa berhenti keadaan menjadi sunyi kembali. Langkah demi langkah maju terus. Tiba tiba Yauw Tjian Su tertawa: "Siapa yang haus boleh minum, di depan Terdapat sumber air!" Orang tua ini walaupun sudah lanjut usianya, tapi pendengarannya adalah yang paling tajam, Ia sudah mendengar aii sedangkan yang lain masih belum.

Hanya Kie Sau dapat mendengar sesudah menenangkan perhatian: "Benar, marilah kita ke sana."

Dengan cepat mereka berlarian menuju ke sumber air, Yauw Tjian Su berkata: "Nio-heng agaknya bukan sumber air yang merupakan solokan. Coba kau dengar sebenarnya apa?" Sesudah Kie Sau mendengari sebentar segera menjawab:

"Suaranya menderu deru, tidak ubahnya seperti air terjun yang sangat besar!" Saat ini mereka masih berjarak jauh ke tempat yang dituju, sedangkan sekalian anak muda ini baru mendengar secara samar samar saja. Langkah dan kaki dipercepat, SeSudah berjalan agak lama suara air terjun sudah dapat didengar merela dengan nyata sekali.

Dua saudara Wan paling muda dan paling kekanak kanakan, dengan girang mereka lari paling dahulu, tak lama kemudian mereka balik kembali sambil berkata: "Heran, tidak terlihat air terjun, sedangkan jalanan menjadi buntu!" Ramai-ramai orang menuju ke tempat yang disebut, benar saja sesudah mereka melewati satu tikungan, jalan gunung menjadi buntu, di depan mereka hanya terlihat sebuah lubang yang kecil yang menghadang perjalanan mereka. Sedangkan suara gemuruh dari air terjun datangnya dari liang itu.

Kie Sau memungut sebuah batu, dengan keras dilontarkan ke bawah untuk mendengar kembali suara balikannya. tapi begitu lama didengar batu itu tidak bersuara lagi seolan olah masuk ke dalam liang yang tidak mempunyai dasar. Dengan penuh keheranan Kie Sau memandang pada Yauw Tjian Su sambil berkata: "Yauw Lo lobang ini agaknya dalam sekali!"

Gwat Hee ingat dengan ilmunya yang pernah dipelajari dan ingin mencobanya: "Kasihlah aku turun untuk memeriksanya!" langkahnya cepat seperti anak panah ke dalam liang. Kie Sau hanya bisa berkata 'Gwat djie hati hati!" sedangkan sang murid sudah menghilang di dalam lobang.

Liang ini lebarnya kira kira satu depa, keadaannya tidak berapa gelap, Gwat Hee sudah biasa dengan kegelapan di goa rahasia dengan sendirinya dapat melihat dengan tegas keadaan yang terdapat di situ. Sesudah ia turun tak lama sampai di suatu tempat yang dapat dipijak kaki, dari sini kembali terdapat suatu liang yang tembus ke bawah merupakan sumur.. Kalau memandang ke bawah dapat melihat sinar sinar putih yang terang dan bunyi air terjun yang semakin keras, hal yang paling mengherankan sumur ini tidak mempunyai air. hanya ada benda berwarna kuning kuning entah apa tidak diketahui.

Sumur yang terdapat di bawah liang ini lebarnya beberapa depa dalamnya beberapa tumbak. Gwat Hee mempunyai kesanggupan untuk turun ke bawah dari itu ia turun secara miring dengan ilmunya yang didapat dari Yauw Tjian Su, dalam sekejap saja ia sudah tiba di dasar sumur. Sesudah ditegasi nyata benda yang kuning itu bukan lain dari pasir. begitu ia sampai kakinya sedikit pun tidak mengeluarkan suara. Tak heran batu yang dilepas Kie Su tidak menimbulkan suara, paSti jatuh di atas pasir yang halus itu. Gemuruh suara air terjun semakin keras dan membisingkan telinga, sehingga telinganya gadis ini tuli dibuatnya. Dengan cepat kedua lengannya, matanya menatap ke suara itu. "Ah" terdengar ia mengeluarkan suara kaget karena di depan matanya terbentang suatu pemandangan yang luar biasa mentakjubkan sukma!

Di samping dasar sumur ini terdapat pula goa yang agak panjang dan lebarnya lebih besar dari pada sumur yang didiami Gwat Hee, yang mengherankan mulut goa itu tertutup lapisan air terjun yang sangat tebal, sehingga matahari yang menembus di air ini tipis sekali. Saat ini mungkin sudah senja, karena sinar layung merah dan matahari merah bulat membara tepat sekali membayang dan menjadikan pelangi yarg berwarna warna. Keindahan ini membuat sang gadis] tertegun dan heran sesaat kemudian baru ingat dengan tugasnya dan kembali ke atas untuk melaporkan penyelidikannya kepada sang guru.

Sesampainya diatas Gwat Hee menceritakan keadaan di bawah,sehingga saudara saudaranya ingin turun menyaksikan. Hanya Kie Sau seorang dengan kalem berkata: "Jalanan ada dua ujungnya depan dan belakang kalau yang ini buntu yang satu pasti hidup dari itu kita berbalik lagi!"

Semua orang sudah merasa haus dan lapar, dua saudara Wan dengan kepandaiannya menangkap beberapa burung yang sedang pulang ke sarangnya, kemudian burung burung itu dimatangi untuk dimakan ramai ramai, sedangkan air untuk menghilangkan dahaga diambil dari bawah goa. Sesudah mereka selesai dengan urusan perut segera balik kembali menurut pendapat Kie Sau.Di atas gunung yang tinggi senja terasa panjang, tapi begitu gelap terasa sangat cepat sekali, sampai yang tambak hanya bayangan dari mereka sendiri. Untunglah untuk mereka karena sudah biasa berjalan dimalam hari, sehingga bisa berjalan dengan baik di jalan gunung yang sempit. Waktu sudah berlalu lagi. malam menjadi larut, tiba tiba dilihat mereka sesuatu benda menghadang perjalanan. Sesudah dekat mereka melihat sebuah batu yang tingginya tujuh delapan tumbak mengakhiri jalan gunung yang kecil dan merupakan jalan buntu pula.

"Di atas batu terasa tidak rata, entah terukir huruf apa."seru Djie Hay secara tiba-tiba Saat ini walaupun bulan sangat terang tapi untuk melihat apa yang terukir di batu sukar sekali, karena batu itu lama ke hujan anginan sehingga warnanya menjadi belang dan berlumut.

"Anak anak coba kalian raba. surat apa itu!" perintah Kie Sau. Dangau cepat muda mudi sudah menjalankan titahnya, dalam sekejap saja mereka sudah mengetahui bunyi huruf huruf yang terdapat di batu itu yakni terdiri dan empat huruf yang berarti jalan terakhir untuk manusia'.

"Tidak terdapat huruf huruf lainkah di kiri kanannya?* tanya Kie Sau.

"Tidak." jawab mereka.

"Pepatah mengatakan tidak ada jalan buntu atau terakhir bagi manusia kenapa huruf itu bertentangan sekali dengan pepatah itu!"kata Kie Sau. Tja Hong terdiam mendengar ini, hatinya menjadi kesal karena semua orang bisa datang ke sini berkat atas ajakannya. Tapi ia biasa berdiam di atas gunung dan lereng sekali kali tidak percaya dengan perkataan di batu itu

"Sie Hong, ke luarkan tambangmu untuk, kupakai sebentar!" Sesudah ia menerima tambang dari anaknya, kaitan dan senjata itu seolah olah dengan sembarangan sekali digaetkan kepada sela sela batu, tubuhnya menyusul terangkat naik. Dalam waktu sekejap saja batu yang tinggi ini sudah kena dipanjat. Hui Thian Wan ( kera terbang dari langit) kembali muncul di hadapan orang banyak, sehingga mereka merasa kagum sekali. Sesudah Tju Hjng ke atas diselidikinya ke kiri kanan, kemudian dengan goyang- goyang kepala ia turun ke bawah. Melihat ini semua orang sudah maklum, dan tidak bertanya lagi. Dengan keluhan napas panjang Tju Hong berkata pada Kie Sau: "Kalau di lihat dan keadaan ini mungkin benar berair merupakan jalan terakhir untuk manusia. Andaikata Thian sengaja mengadakan jalan ini uniuk menyusahkan kita, kenapa kita tidak mencoba kekuatan kita untuk mengalahkan Thian!

Coba pikir masa tidak terdapat sama sekali jalan ke luar dari jalanan yang demikian panjang ini? Marilah kita berpencar untuk mencarinya!"

Kie Sau pun berpikir serupa dengannya, ia periah menjelajah gunung besar dan kecil tapi belum pernah menemui jalan buntu seperti sekarang. "Anak anak lekas kita cari jalan ke luar secara berpencaran agar kita bisa meninggalkan tempat celaka ini secepat mungkin!"

Sesudah diatur sebentar, anak anak muda,dua orang dijadikan satu regu, sedangkan tanda untuk minta bala bantuan kepada kawan sendiri harus membunyikan siulan panjang. Selesai diatur barisan ini segera berpencar ke empat pen juru. Tjiu Piau seregu dengan Gwat Heet sambil mencari jalan.mereka sambil bercakap cakap dengan asyiknya. Saat ini bulan agaknya semakin terang untuk mereka berdua, keadaanpun semakin indah tampaknya, sehingga mereka lupa masih dalam keadaan bahaya!

Sesaat kemudian Tjiu Piau mengeluh sambil menarik napas panjang, hal ini membuat kawannya menjadi heran dan ingin bertanya. Tapi kata katai ya batal bertanya melainkan mengeluarkan kata: "Tjiu Suko kau lihat benda apa itu?" Mereka mengawasi dengan tajam pada benda yang berada di hadapannya. Dilihatnya dari bentuknya seperti manusia, tapi tubuhnya berukuran tujuh delapan tumbuk agaknya, terlalu tinggi sekali bagi ukuran manusia. Mungkinkah makhluk raksasa? Ya hanya kata kata raksasa saja yang tepat untuk menamakan benda yang berbentuk orang itu. Mereka berindap indap mendekati tanpa mengeluarkan suara. Sesudah dekat sekali Gwat Hee dapat membedakan bahwa benda, itu bukannya orang melainkan seperti batu. la berbisik pada sang jaka : "Coba timpuk dengan batu!" Tjiu Piau menggeserkan kakinya dan menendangkan batu secara tiba tiba, ' baru itu dengan tepat mengenai sasaran sambil mengeluarkan bunyi "pung". Dari: suaranya mi dapat dipastikan bukan batu melainkan tunggul dan pohon Siong yang sudah tua sekali. Mereka  saling pandang dengan tertawa atas bal menakutkan diri sendiri tadi.

"Mari kita duduk di sana dan memandang ke bawah, siapa tahu kita dapat menemukan jalan selamat untuk meninggalkan tempat ini!" kata Gwat Hee. Tanpa banyak pikir, lagi Tjiu Piau menganggukkan kepalanya, kemudian mereka segera menuju ke tempat tunggul. Sesudah duduk Gwat Hee berkata: "Tjiu Suko kenapa kau menarik napas tadi?" Begitu kena tanya hatinya sang jaka segera ingat lagi dengan soal soal yang menyesak dadanya. Dengan suara helahan ia menjawab; "Sejak kecil aku belum pernah berpisah dengan ibu barang setindak, kini sudah setengah tahun lamanya aku berpisah, hari ini entah bagaimana hatiku terangsang mengingat terus akan ibuku, sehingga membuatku menarik napas dan ingin menemuinya,"

"Kenapa kau tidak melanjutkan kata katamu?" "Aku. seperti mendengar suara orang berkata kata"

"Ah, aku sendiri tidak mendengarnya!" Sesudah Tjiu Piau mendengari sebentar, benar saja tidak terdengar suara lagi, ia baru melanjutkan katanya: "Kurasa saat ini ibukupun tengah memikirkan aku dan ingin mengetahui kabar tsutang anaknya. Sayang disini tidak terdapat burung pos yang dapat mengirim surat!" habis berkata kembali ia mengeluh sambil memukulkan lengannya kepada tunggul kayu Siong tua. sekadar melampiaskan kesedihan hatinya.

Gwat Hee melompat kaget dan memandang kepada tunpgul Siong dengan penuh perhatian. Tjiu Piau bertanya dengan penuh keheranan: "Kau kenapa?" Sang kawan memberikan tanda agar ia tidak bersuara. Hal ini menambah keheranannya, dengan perlahan Gwat Hee berbisik. 'Tepakanmu pada tunggul ini menerbitkan suara yang aneh.. apa kau tidak memperhatikan?"

"Apa yang aneh?"

"Suaranya pung seperti kayu kosorg!"

"Kayu yang sudah ratusan tahun tentu saja dalamnya sudah dimakan rayap, perlu,apa diherankan?"

"Ini terkecuali dan mengherankan.. Bukankah kau tadi mendengar suara orang? Mungkin orang itu bersembunyi di dalam kayu ini!"

"Coba kita periksa," kata Tjiu Piau perlahan.

Dengan penuh hati hati mereka mulai memeriksa tunggul ini dari atas ke bawah dari bawah ke atas sambil diketok ketok, alhasil sedikit tanda-tanda yang mencurigakan tidak didapat. Tjiu Piau tidak sabaran lagi kakinya terangkat menendang. "Kreeeekkkkkk"

berbunyi sekali, tunggul itu seolah olah bergerak sedikit.

Mereka menjadi kaget, dengan cepat Tjiu Piau mengerahkan tenaganya mencabut tunggul ini, sayang sedikit juga tidak bergerak, keheranan mereka menjadi jadi. sesudah menyiapkan tenaga sepenuhnya segera dicabutnya bersama-sama. Sekali ini usaha mereka berhasil baik, tunggul ini kena tercabut, bahkan di bawah tunggul tertarik pula seorang nona besar yang memegangi tunggul palsu ini sepenuh tenaga, sehingga tak mengherankan tunggul ini menjadi berat. Siapakah orang ini? Tak dari lain Tjen-Tjen si nakal!

Dengan kaget Gwat Hee mercelat ke samping sambil bersiap atas serangan lawan. Sebaliknya dengan lawan begitu berada diatas segera membentak: "Kalian kenapa bercintaan di sin ! Kalau maupun harus ditempat yang agar tidak diketahui orang dan terhindar dari segala gangguan?" Nada katanya ini menunjukkan kegusaran yang terpendam alias cemburu!

"Tak tahu malu! Bersembunyi sembunyi mengintip orang masih berani memaki orang! Lekas maju dan panggil semua orang orangmu naik untuk kuhajar satu satu. jangan bersembunyi seperti pengecut besar." sengaja suaranya dibesarkan agar kawan-kawannya mendapat tahu. Tak lama kemudian yang datang ke tempat mereka mengadu mulut.

"Untuk apa banyak bicara, lekaslah kau pergi jauhan untuk melanjutkan kasih mesramu itu. Pepatah mengatakan air sungai tidak mengganggu air sumur, aku tidak mau mengganggumu, kaupun jangan menggangguku. Lekas!" Dari suaranya ini menunjukkan kecemasan yang luar biasa, seolah olah ingin mengusir orang dalam detik itu juga. "Pasti ada sebabnya, aku harus mengetahuinya," pikir Gwat Hee. Dengan tersenyum ia menghampiri dan menjulurkan lengan:"Haruskah kita berjabatan tangan untuk mencuatkan apa yang kau katakan tadi?" Tjen Tjen mengetahui kedatangan lawan tidak bermaksud baik, dengan cemas ia mundur selangkah. Tiba tiba lengannya ke luar mengeluarkan jurus ularnya menangkap lengan kanan Gwat Hee.

Pada hari belakangan ilmu silat Gwat Hee mendapat kemajuan banyak sudah lama hatinya ingin mencobanya, kebenaran sekali berjumpa dengan lawan lamanya hatinya menjadi girang sekali. Tanpa mundur tapi lengannya mengeluarkan jurus 'bukit aneh terbang mendatang* membarengi serangan lawan. Dengan kecepatan kilat Tjen Tjen menarik lengannya dan mengegos dengan lincah menghindarkan serangan.

Tjen Tjen enggan mengadu kekuatan, hatinya mempunyai rencana untuk mengalahkan lawan dengan akal. Ia berpikir: "Lawan berada di tempat yang licin dan tidak rata. Kalau ia menggunakan tenaga menarik diriku, segera kulepas secara mendadak, tubuhnya pasti terguling ke belakang." Belum habis ia berpikir musuh sudah mengeluarkan tangan untuk menariknya. Hal ini membuatnya tertawa girang, tangannya itu sengaja dikeraskan sedikit agar lawan mengeluarkan tenaga penuh baru melepasnya. Tapi rencananya gagal semua, karena sang lawan juga bukan anak kemarin dulu. Sebab begitu berhasil memegang lengannya kakinya menotol bumi dan tubuhnya mencelat ke atas meminjam tenaga tarikan lawan.. Begitu turun tangannya segera mengeluarkan jurus Kapak langit membelah gunung menghajar batok kepalanya.

Tjen Tjen merasakan angin keras datang di atas kepala, ia sadar kelebihannya atas lawan hanya kelincahannya saja. sedangkan mengenai tenaga ia mengakui tidak sekuat lawan. Untuk menyelamatkan kepalanya lengan yang membelit dilepaskan baru buru mencelat mundur ingin kabur, tapi harinya menjadi kaget karena sekeliling sudah terjaga rapat oleh musuh musuhnya. Tjen Tjen adalah seorang anak yang pintar dan tidak mau menderita kerugian di depan mata, dengan cepat ia menjatuhkan diii di tanah sambil berkata: "Aku mengaku kalah! Kalian mau membuat apa terhadapku? Terserah!" Dua saudara Wan maju memegang tangannya kiri kanan, tidak memberikan ia berbuat nakal. Sedangkan Djie Hay segera bertanya: "kenapa kau bisa bersembunyi di sini, lekas katakan!"

"Sebaliknya kalian kenapa bisa berada di sini?"

'Di mana ayahmu yang berhati binatang itu berada. lekas katakan!"

"Kalian ingin mencarinya, itu hal yang mudah sekali, aku boleh membawa kalian kesatu tempat untuk menemuinya," Baru saja percakapan mereka berjalan sampai di sini tiba tiha didengarnya suara tangis Tjia Piau dari dalam lobang bekas tunggul palsu.

"Piau Koko. Piau Koko!" seru Gwat Hee kalang Kabut "Begitu saja sudah gelisah!" ejek Tjen Tjen. Djie Hay

memegang bahunya dengan keras dan bertanya : "Siapa

berada di dalam lobang?"

"Ada seseorang yang sangat dcintainya. Dari itu tidak perlu heran kalau ia menangis, sebab berjumpa dengan jantung hatinya yang bukan alang kepalang dirindukan dan dicintainya!" Gwat Hee tak sabar lagi mendengar ejekannya segera lari melihat ke dalam liang.

Kiranya di bawah tunggul palsu terdapat lobang yang dalamnya satu tumbak lebih dan lebar empat kaki, bisa dipakai untuk dua orang berduduk. Gwat Hee dari atas dapat melihat dengan tegas Tjiu Piau tengah nangis di hadapan seorang nenek tua yang berwajah' welas asih. Didengarnya Tjiu Piau berkata : "Bu, akulah yang menyebabkan kau menderita susah!" Nenek itu dengan kasihnya mengusap usap rambut anaknya sambil tersenyum :

"Kita bisa bertemu lagi sudah cukup dari bagus, kenapa harus menangis!" Sekali ini membuat Gwat Hee terpaku, biar bagaimana juga ia tidak memikir dapat berjumpa dengan ibu Tjiu Piau di tempat semacam ini telah lalu di depan banyak orang, dan disuruhnya Tjen Tjen.. menjaga. Sedangkan ia sendiri setiap hari datang untuk menjenguknya sekali. Ibu Tjiu Piau sangat girang sekali melihat Tju Hong, dengan cepat hatinya ingat kepada Tjiu Tjian Kin. sehingga menjadi sedih dan mencucurkan air mata. Orang banyak: membujuk sambil menuturkan kejadian baru baru ini yang dialaminya. Akhirnya mereka terdiam, begitu sampai dengan kata - kata jalan teraknir untuk manusia .

"Ini bukan jalan terakhir untuk manusia, sekali kali bukan" kata ibu Tjiu Piau.

"Bu, apa kau tahu jaian untuK turun gunung."

"Kau pikir kalau jalan ini buntu kenapa kau bisa berada di sini, kenapa Louw Eng bisa datang ke sini setiap hari'!"

"Benar." kata Kie Sau, "apa Djie so tahu jalan masuk ke sini dari mana.?'*

"Waktu aku dibawa seluruh tubuhku sudah ditotok, sehingga tidak mengetahuinya, tapi masih dapat kita mengusutnya bukan?"

"Panggil Tjen Tjen!" seru Kie Sau.

"Anak perempuan itu sangat pandai berkata kata. hati hatilah dengan kata kata bohongnya. Sedangkan aku mengetahui setiap kali Louw Eng datang di tubuhnya terdapat tetesan air. Kupikir tentu ia datang ke mari mengambil jalan sungai atau mata air---"

"Atau air terjun," sambung Gwat Hee dengan cepat.

Mendengar ini yang lainpun menjadi ingat pada air terjun yang terdapat di dalam goa dan memastikan dari air terjun itu mempunyai jalan yang berhubungan dengan dunia luar. "Berilah aku menyelidikinya!" seru Djie Hay dengan bersemangat.

"Sabar." kata Kie Sau. "untuk apa tergesa gesa." Kata kata mi membuat seluruh mata memandang kepadanya. Kie Sau melanjutkan lagi katanya. "Bukan saja harus bersabar, bahkan ia harus menyelesaikan dahulu penghianat penghianat bangsa itu, kemudian baru kita tinggalkan terapat ini dengan cepat." Wan Thian Hong adalah anak yang pandai, sekejap saja sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan kata kata itu. Ia berkata: "Haruskah kita menyiapkan Thian Lo Tee Bong (jaring langit dan bumi) di sini untuk meringkus dan menantikan Louw Eng masuk jaring sendiri?"

"Benar! Bukankah Louw Eng setiap hari datang ke sini seorang diri? Mungkin tidak lama lagi ia bisa datang lagi. sebaiknya kita tunggu sampai hari esok untuk menyelesaikan hal ini baru berangkat!"

Mendengar tentang membalas sakit hati, sekalian muda mudi menggosok gosok lengan dengan geram, demikian juga dengan Tju Hong yang sudah berusia lanjut tidak mau ketinggalan- Ibu Tjiu Piau mengharapkan agar hal ini lekas lekas berhasil, agar ia bisa menyembayangkan arwah suaminya serta sekalian saudara angkatnya dengan jiwa sang jahanam. Sekalipun orang tidak mau turun dan meninggalkan Oey San untuk membalas dendam dan menyapu bersih sekalian kaum penghianat.

Pada hari kedua Kie Sau mulai mengatur lagi siasatnya: "Biar bagaimana Louw Eng pasti datang, kita harus memasang perangkap di sekitar ini, sekali kali jangan diberi lolos Terkecuali dari ini satu hal perlu pula diperhatikan, kita menngurung sang jahanam, taDi jangan sampai kitapun dikurung lagi kaki tangannya."

"Maksudmu bagaimana?" tanya Yauw Tjian Su. "Menurut hematku yang bodoh. harus ada orang yang

menjaga jalan masuknya, begitu dia masuk,segera menjaga

jalan itu dan jangan kasih masuk yang lain. Dengan cara ini kita bisa membuatnya tidak bisa balik belakang dan tidak bisa memberi masuk kawan kawannya. Andaikata ada juga pengikutnya mau menerjang masuk dengan paksa kita boleh membuat rencana dahulu untuk menghadapinya."

"Cara ini sungguh bagus, tapi di mana kita harus menjaganya?" tanya Tju Hong.

"Kalau dilihat keadaan sekarang jalan masuk ke sini hanya dari belakang batu besar dan dari balik air terjun dua tempat di situlah harus kita menjaganya."

"Kau sungguh pandai mengatur rencana dan siasat," kata Yauw Tjian Su, "dasar tukang main catur yang ahli, otaknyapun pandai sekali karenanya aku setuju dengan apa yang kau atur."

Siapakah yang harus menjaga pintu, hal ini agak menyulitkan, karena sekalian anak muda langsung adalah musuh mereka, semua ingin berdiam di sini untuk membereskan musuhnya dengan lengan sendiri, sehingga tiada yang mau pergi menjaga di kedua pintu itu.

"Yauw Lo, kau dan aku tidak bermusuhan langsung seperti mereka terhadap Louw Eng, kalau d lihat begini harus kita berdua menjaga kedua jalan itu, bagaimana pendapatmu?"

“Bagus! mari kita kerjakan"

"Ya, kau menjasa di air terjun, aku dibalik batu besar.

Tempat itu sangat baik walaupun kita menjaga seorang diri musuh sukar untuk masuk."

"Baiklah aku ke sana untuk bermain main!", ia berlalu sambil memanggil burung-burung kecil secara perlahan- lahan.

Sebelum berlalu Kie Sau memesan kepada Tju Hong dan ibu Tjiu Piau. "Mengenai urusan di sini sebaiknya kalian berdua yang mengatur. Sesudah berhasil menangkap Louw Eng terserah kepada kalian mau diapakan pun boleh. Tapi harus,ingat kepada satu hal, yakni cari dan selidikinya ditubuhnya sesuatu yang terdapat, barangkali saja kita dapat mencari sesuatu jalan turun dari gunung ini."

"Kami pasti mengingatnya. Ya urusan selanjutnya kuserahkan kepada Djie so saja yang memimpin." Kata Tju Hong saling mengalah. Sementara itu Kie Sau sudah berlalu untuk menjaga di balik batu.

Muda mudi sudah siap memboikot (menjaga secara tersembunyi) sedangkan Tjen Tjen dijaga keras dua saudara Wan.

Yauw Tjian Su sudah sampai di tempat tujuannya, ia berdiam sambil berduduk di balik air terjun dengan tenang. Belum lama ia berduduk telinganya yang tajam segera menangkap pembicaraan dua orang.

Yang satu berkata: "Lauw tee sekali ini kau harus menggusur nenek nenek itu untuk dibawa ke atas puncak, kita pukul sekali dan berkata sekali, dengan cara ini pasti anaknya itu kena terpancing datang.."

"Siauw tee tengah berpikir untuk menjalankan siasat itu, dari itu kuminta Su siok menantikan di sini, aku segera membawa nenek nenek itu untuk dijadikan umpan.

Dengan nenek nenek ini kita pancing Tjiu Piau dengan bocah itu kita pancing yang lain. Waktu itu kita dapat menangkap satu demi satu!" Kata kata ini ditutup dengan tertawa besar dari kedua orang..

Terdengar suaranya tapi tidak terlihat orangnya, Yauw Tjian Sa cukup mengenal suara orang. Yang pertama mengeluarkan suara adalah Heng Liong Lo Kuay sedangkan yang kedua adalah Louw Eng. Percakapan ini datang dari balik air terjun, biar tidak melihat orang tua ini sudah dapat memastikan di mana kedudukan lawan, yakni di balik air terjun sejauh dua tiga tombak. Dengan cepat tubuhnya bersembunyi menantikan kedatangan sang jahanam.

Keadaan di dalam goa lekak lekuk tidak rata, tubuhnya ditempatkan pada suatu sudut yang tidak mudah terlibat orang sedangkan ia bisa melihat ke mana saja dengan tegas.. Tiba tiba dari air terjun berkelebat sesosok bayangan hitam masuk ke dalam. Gerakannya Sangat cepat dan lincah, menunjukkan dirinya cukup lihay. Tubuhnya tidak basah, hanya pundaknya saja terkena sedikit tetesan air. orang ini adalah Louw Eng. Begitu ia masuk segera menepuk-nepuk pundaknya dan menggoyangkan kepalanya untuk menghilangkan tetesan air, Kakinya melangkah dengan cepat menuju ke jalan terakhir untuk manusia.

Diam-diam Yauw Tjian Su tertawa didalam hatinya: "Kau begitu senang akan menangkap Ensomu sendiri, sehingga tidak mengetahui bahaya sudah berada di atas kepalamu sendiri!" Ia berpikir terus, hampir hampir suara tertawanya ke luar dari mulutnya, tapi dengan cepat ia bisa berbalik pikir.

"Biar bagaimana aku tidak boleh mengeluarkan suara, sebab di luar air terjun terdapat Hek Liong, kalau sampai ia masuk urusan akan menjadi kalut. Sedangkan anak anak sudah lama sekali ingin membalas sakit hatinya, biar bagaimana aku harus membantunya agar soal ini bisa berjalan dengan lancar." Orang tua ini memegang megang kepalanya sambil menasehatkan diri sendiri. "Orang tua kau harus menjaga dengan baik di sini ."

Siapa kira pada saat ini dari balik air terjun kembali berkelebat sesosok tubuh orang, orang tua ini terbuka lebar matanya, memandang orang itu, tampak olehnya tubuh kurus menggelinding turun secara diam diam dari sudut, air terjun" Agaknya dari sudut itu tidak terdapat tempat untuk menaruh kaki, sehingga tidak bisa meloncat masuk dengan baik, sehingga harus berguling gulingan. Dalam waktu sekejap orang itu tidak bisa berdiri dengan baik, kepalanya kena tertimpa air terjun secara deras, membuat dirinya terbawa arus air terus jatuh ke bawah. Orang itu dengan cepat menusukkan lengannya ke dinding dengan keras,hebat luar biasa lengannya itu bisa menembus dinding tebing sehingga tubuhnya diselamatkan. Yang mengherankan orang tua ini lengan orang ini tidak berjeriji sama sekali. Sedangkan tubuhnya yang kurus tak ubahnya seperti rangka tulang terbungkus kulit. Sedangkan matanya berkilat-kilat bersinar. Dengan caranya menancapkan lengannya ia naik ke atas dan membuntuti Louw Eng. Yauw Tjian Su semakin heran, karena tidak mengetahui orang ini siapa, di dunia Kang ouw belum pernah ia menemui orang semacam ini. Sedangkan lengannya yang tidak berjeriji tapi bisa menembus didinding yang keras menunjukkan akan ilmunya yang tinggi dan menempatkan dirinya bukan kalangan biasa. Semakin berpikir orang tua ini semakin pusing kepalanya, ia mengeluh dengan perlahan mengatakan. "Kalau Louw Eng mendapat bantuan orang semacam ini sukar untuk dihadapi seorang diri. aku harus mengawasinya terlebih hati hati." Sesudah mengambil keputusan dengan cepat ia mengikuti dengan cepat tanpa menimbulkan suara.

Orang itu maju ke muka dengan cepat, tanpa menghiraukan di belakang ada tidaknya orang mengikuti. Dilihat dari gerak-geriknya yang sembunyi sembunyi agaknya ia hanya takut orang dari depan saja. Orang tua ini semakin bingung dan tidak mengerti pada orng yang tidak dikenal ini. Sesudah berjalan sebentar segera terlihat Louw Eng di depan, sedangkan orang yang membuntuti di belakang tidak mempunyai tempat untuk menyembunyikan diri karena jalanan di dalam goa sangat kecil dan hanya cukup untuk menempatkan tubuh seorang saja. Orang itu tanpa gugup mempercepat jalannya menuju pada orang yang berada di depannya. Sebaliknya dengan si orang tua tidak terus maju hanya memberhentikan kakinya sambil mengawasi mereka. Louw Eng balik badan begitu mendengar suara kaki di belakang, begitu ia melihat orang yang datang ini, wajah sepera membayangkan perasaan takut, ia bengong tidak berderak eperti kesima. Orang itu berdiri sejauh tiga tindak dari hadapannya tanpa bergerak gerak, matanya mendelik tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun juga. Dari sinar matanya menunjukkan suatu perasaan dendam dan benci, sedangkan mukanya dari putih berubah menjadi merah, dari merah menjadi hijau muda, menunjukkan perasaan hatinya yang tertusuk hebat dan sampai di puncak Kegusaran. Dalam waktu sebentar Louw Eng seperti tengah menghadapi seorang iblis yang bengis, sampai ketenangan yang terpelihara hilang sebagian, sebagian dari kaki tangannya menyusul tidak dapat diperintah dengan baik, semakin orang itu tidaK bertata kata ketakutannya semakin menjadi jadi. Akhirnya ia memberanikan diri untuk membuka mulut: "Siapakah kau, orang atau setan. Kalau setan lekas kau pergi jangan mengganggu aku. nanti aku membuat sajian untuK menyembayangkan arwahmu! —"

Orang itu tidak menjawab hanya mengeluarkan suara "he--- he" dua kali dari dalam kerongkongannya, sedang ke dua lengannya yang tidak berjeriji diangkat dan dirapatkan satu sama lain sambil digoyang goyangkan ke depan mata Louw Eng. Saat ini Yauw Tjian Su baru dapat melihat tegas akan tangannya itu. yang kering seperti terjemur dan menakutkan. Sesudah digoyang goyangkan lengan itu ditancapkan kepada dinding goa, sekali ini pukulannya lebih hebat dari tadi lengan itu ambles ke dalam dinding sedalam satu kaki. Kemudian dicabut kembali tanpa menderita luka. Louw Eng terkejut dan mundur setumbak lebih.

Saat ini orang itu baru mengeluarkan suaranya. "Louw Eng! Tiga bulan lamanya kunantikan kau di Oey

San ini. Tidak berani menunjukKan muka selama itu karena kau mempunyai banyak pengikut, kini kesabaran ku membawa hasil untuk berjumpa dengan kau seorang diri.

Keluarkanlah kedua lengan mu untuk menentu an siapa yaag lebih unggul diantara kita berdua!"

Mendengar orang ini mengeluarkan suara ketenangan Louw Eng maju banyak, mukanya yang licik segera mengeluarkan senyumnya yang terkenal menakutkan, sedangkan kedua matanya tidak henti-hentinya menatap kepada orang itu, akhirnya ia berkata" Pek Hoo Heng, lama sudah kau kukenang, beruntung sekali kita berjumpa di sini.

. .."

Minang orang ini tidak lain dari Pet Hoo! Demi didengarnya "Pek Hoo" dua huruf orang tua she Yauw lantas ingat pada penuturan Djie Hay di pulau Bu Beng. yang mengatakan Pek Hoo dihancurkan jari tangannya dan tenggelam di danau Bu Beng. Tidak kira sampai sekarang ia masih hidup dan muncul di Oey San secara sembunyi sembunyi.

Suara Louw Eng tadi belum habis tapi sudah kena dipotong oleh Pek Hoo di tengah jalan. Dengan dingin ia bersata: "Louw Eng kau jangan banyak bicara lagi. seluruh ini hatimu sudah kukenal. Kalau kau benar-benar mengenang akan diriku kuhaturkan terima kasihku di sini.. Tapi sayang sekali HeK Hoo kakakku sudah menjadi tulang tak berdaging atas dirinya mungkin kau masih mengenang juga barangkali?"

Sambil bicara matanya mengeluarkan sinar yang merah berapi. Kita sudah tahu bahwa Pek Hoo adalah seorang yang bukan main licinnya dan tak Kalah disebelah bawah Louw Eng. tempo hari terhindar dari kematian segera mengetahui maksud yang dikandung sang toa ko hanya menjadikan mereka menjadi anjingnya saja, lain tidak Dari itu dendamnya semaKin besar, kini Louw Eng ingin menggoyangkan lidah untuk menipunya lagi, mana bisa? la sadar Jidahnya yang tidak bertulang ini sudah Kurang Kemujarabannya, perbuatannya tadi hanya untuk membuat lawannya tidak bersiaga agar ia bisa mengeluarkan tangan untuk mematikannya.

Siau Bu siang kembali tertawa secara licik: "Pek Hoo tak perlu lagi aku banyaK bicara, katakan lekas apa yang kau kehendaki?"

"Hanya dua macam yang aku mau!" "Katakan lekas!"

"Ke satu, Hancurkan sepuluh jarimu, untuk menggantikan kerugian jariku! "

"Boleh! Aku sanggup! Yang kedua?"

"Kedua, bayarlah hutang durah dari kakakku dengan jiwamu!" baru suaranya habis tubuhnya sudah maju menerjang menyerong alis mata musuh dengan Kedua lengannya yang tak berjari. Angin pukulannya ini membuat Louw Eug mundur lagi ke belakang, ia tahu kelihayan lawan dan tak berani menangkis dengan kekerasan.

Pek Hoo tidak mau melepaskan lawan begitu saja, tekadnya untuk membalas sakit hati sudah lama disimpan di dalam hatinya, sejak ia selamat dari Bu Bene To terus melatih dirinya guna menghadapi hari ini.. Tanpa banyak komentar lagi, Louw Eng menghunus pedang mustikanya, mengandalkan ketajaman dari pedangnya ini dihadapi lawan tanpa gentar lagi, pedangnya diangkat tinggi dan ditapaskan kepada lawan Pek Hoo tertawa besar sedikitpun tidak merasa getar, lengan kanannya terangkat naik menepak pedang, digunakan seperti toya tanpa takut kena tertabas. Padang itu kena disampok miring, menyusul lengan kirinya ke luar menghantam tenggorokan lawan.

Sebaliknya Louw Eng merasakan pedangnya itu seperti mengenai benda yang lunak tidak lunak juga tidak keras, tidak melukakan juga tidak membuat lawan berdarah' bukan saja ia menjadi kaget, sedangkan Yauw Tjian Su pun turut menjadi heran.

Pertarungan kenbali berjalan dengan sengit, segala jurus dan serangan dari Pek Hoo disertai tekad mengadu jiwa, kedua lengannya di pergunakan demikian ganas, andai kata Louw Eng tidak bersenjata sepasang pedang mustika mungkin sudah tak sanggup menahan serangan nekad yang membabi buta ini. Beberapa jurus sudah berlalu Louw Eng sadar lengan musuh sudah terlatih menjadi alot dan kedot sehingga pedangnya tidak bisa berbuat apa-apa. Dari itu ia mengubah siasat lain, pedangnya tidak menyerang lengan lawan melainkan diarahkan kepada bahu lawan, dengan maksud memutuskannya. Kini sepasang pedangnya dan sepasang lengan bergumul menjadi satu, sedangkan di bagian tubuh masing-masing mengeluarkan banyak lowongan lowongan yang dapat di serang, sayang sekali hal ini tidak diketahui masing masing sehingga banyak kesempatan dilalui begitu saja.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar