Pahlawan Harapan Jilid 10

Jilid 10

Tjen Tjen begitu melihat lawan itu ingin ke luar segera berkata: "Boleh ke luar, asal kau dapat membobolkan penjagaanku. Kita adalah lawan lama, tapi menyesal sekali, begitu jauh belum pernah bergebrak dengan sesungguhnya. Mari ke mari, cobalah ilmu silat ularku ini!" Ia bersiul memberikan tanda kepada garudanya, sedang tubuhnya segera bertanding dengan Gwat Hee.

Garuda itu begitu mendengar suara siulan segera terbang menyerang Tjiu Piau. Tinggal Ong Djie Hai seorang yang harus menghadapi Louw Eng. Ia sadar dan tahu, keadaan ini tidak menguntungkan pihaknya. Ia menyesal bahwa adiknya tidak mengerti akan maksudnya. Ia berpikir: "Biar bagaimana aku tidak dapat meloloskan diri lagi, aku ridlah menemui ajal, tapi harus kuberi tahu agar saudara saudaraku dapat kabur!" Ketetapan sudah matang, tubuhnya perlahan lahan melangkah mundur, dipancingnya musuh masuk ke dalam goa agar saudara-saudaranya mempunyai banyak waktu untuk menyelamatkan diri.

Louw Eng tahu akal lawan, dari itu ia tetap pada tempatnya sedikit juga tidak bergerak, diawasinya musuh sudah mojok di sudut terakhir dari goa keadaan di situ demikian sempitnya sehingga sukar untuk membentangkan kaki tangan guna bertarung. Ia berpikir: "Bukankah bocah ini mencari Jalan mati sendiri?" Ia melangkah besar sebanyak dua langkah, kakinya ditendangkan ke perut pemuda kita, sedangkan lengannya diangkat dua duanya dan sekaligus dipukul kan kebahu lawan. Pemuda ini tak dapat mundur lagi, kanan kiri tak terdapat tempat untuk mengegos, sedangkan jalan depan dan kiri kanan dijaga mati oleh lengan musuh, sehingga membuatnya tak berdaya.

Ong Djie Hai memeramkan mata menantikan segala perubahan, akan hatinya tak terhindar dari kedukaan yang sangat. Orang hidup tak luput dari mati tapi saat ini sudah terang perihal kematian ayah yang penasaran, kenapa harus mati dengan mudah sekali, bukankan terlalu tidak berharga. Waktu ia merasakan kesukaran ini terasa pukulan sudah mengenai bahunya.sedangkan perutnya merasakan kena tendangan. Mendadak ia merasakan bagian dalam dari tubuhnya bergerak-gerak bahu dan perut yang kena pukul dan tendang itu sedikit juga tidak menimbulkan rasa nyeri, sebaliknya penyerang sendiri yang berteriak "aduh" sekali, dan jatuh ke samping. Mendengar ini matanya terbuka dan di lihat tubuh lawan jatuh di sebelah kanan tapi kini sudah bangun, dan menatap dirinya dengan penuh Keheranan.

Iapun mengawasi dengan penuh keheranan, dilihatnya kalau kalau ada orang berilmu sudah menolongnya dari kematian. Tapi ia lak menampak orang lain. terkecuali dari Gwat Hee yang tengah tarung dengan Tjen Tjen dan Tjiu Piau yang melawan garuda.

Louw Eng memikir mikir dan mengangguk-anggukkan kepalanya, agaknya sudah mengerti sesuatu keanehan tadi beberapa bagian. Dengan tangan melindungi dada, ia berjalan perlahan lahan menghampiri, lengannya mengeluarkan dua jari, dan dijuluri untuk menotok jalanan darah lawan. Hal ini membuat Djie Hai berpikir: "Aku sudah tak mempunyai ilmu yang berarti lagi, tak ubahnya seperti orang biasa, andai kata dapat memukulnya juga tidak berarti untuk dia, tapi kalau ia datang mendekat, aku dapat menyergapnya dan dapat mengorek matanya!" Matanya menatap dengan awas kepada Louw Eng yang tengah menghampiri dirinya. Begitu berada dalam jarak dua langkah segera ia menerjang kedua lengannya seperti kilat dilonjorkan siap untuk mengorek mata musuh. Louw Eng sangat lihay. tiba tiba ilmunya diubah, salah satu dari lengannya memapas dari kanan ke kiri dengan maksud meminggirkan serangan, lengannya yang melindungi tubuhnya itu dengan cepat menotok tujuh delapan urat darah musuh dengan ganas. "Hee...he" ia tertawa pikirnya sudah berhasil

Siapa yang tahu, hal yang aneh kembali timbul, belum jurusnya selesai dilakukan nada tertawanya belum habis terbawa angin tubuhnya sudah tergoyang goyang ke kiri kanan sebanyak dua kali, hampir ia terjungkal jatuh. Tak alang kepalang rasa terkejutnya, ia kuatir Djie Hai membarengi menyerangnya, lekas lekas kedua lengannya melindungi bagian bagian yang berbahaya seraya mundur ke belakang, ia membentak: "Hei bocah yang baik. Dari mana kau dapat mencuri ilmu Im Yang Kang ini?"

Ong Djie Hai merasakan kena dikebas. dan ditotok beberapa kali tanpa menderita kerugian, menjadi heran sendiri dan tak habis mengerti. Mungkinkah ilmu musuh sudah demikian merosot sehingga kebasannya tidak ganas, totokannya tidak bertenaga tubuhnya merasakan seperti dipijit-pijit kena totokan dan pukulan ini. Dalam bingungnya ia mendengar suara bentakan kasar, sehiugga ia bimbang. Mungkinkah ia berhasil mempelajari Im Yang Kang ini?

Dengan setengah percaya dan setengah tidak ia bertanya kepada adiknya: "Moy tju, saat apakah ini? Sudah senjakah?" Ia bertanya begitu sebab keadaan goa siang dan malam tidak berapa beda, dengan sendirinya tidak bisa menentukan waktu. Sedangkan bocah yang disuruh menjaganya senang sekali mengganggu orang, waktu yang sudah ditetapkan sudah habis, dengan sengaja diperpanjang membuatnya kena dipermainkan, sedangKan bocah itu sendiri sudah pergi tanpa pamit dengan diam diam. Tjiu Piau dan Gwat Hee sedari malam diam di dalam goa dengan sendirinya tidak tahu waktu... Sebaliknya pertanyaan Djie Hai ini dijawab oleh Louw Eng dengan dingin: "Waktu senja sudah berganti lama. Kenapa Ada janjikah? Aku kuatir kawan-kawanmu itu berhalangan datang!" Mendengar waktu senja sudah berlalu, hatinya menjadi girang sekali, karena bukan saja ilmunya tidak hilang bahkan ilmu Im Yang Kang berhasil diyakinkan. Tjiu Piau dan Gwat Hee berpikir waktu senja sudah berganti, sedangkan mereka belum ke luar dari goa, bukankah pertemuan Tiong Tjiu sudah dilewatkan begitu saja?

Pertemuan yang dinantikan selama delapan belas tahun lamanya, mana boleh dhewatkan begitu saja?

Ong Djie Hi berdiri tanpa bergerak-gerak tapi kedua jalan napasnya diatur dengan baik dengan memuaskan sekali, dan baru mengerti kenapa beberapa kali Louw Eng tak dapat berbuat apa-apa kepadanya. Seketika juga ia menjadi girang: "Moy tju, Piau tee mari kita ke luar sekarang juga. Kasilah aku yang membuka jalan!"

Nada suaranya ini penuh dengan semangat yang berapi - api, sehingga menambah semangat saudara saudaranya.

Serentak mereka menjawab. "Baik!" mereka segera memperhebat serangannya. Sebenarnya ilmu Gwat Hee lebih lihay dari Tjen Tjen, tapi yang disebut belakangan ini lebih licin dan banyak akal bulusnya, sedangkan ilmu silatnya berubah ubah tak habis habisnya. Memang sejak kecil Tjen Tjen tidak mempelajari ilmu yang khusus secara tekun, sebaliknya kanan kiri dipelajarinya ilmu dari berbagai pintu perguruan serba lumayan. Sehingga pertarungan ini sukar dipastikan yang mana kuat yang mana lemah, Tjiu Piau yang berhadapan dengan garuda itu. keadaannya seimbang saja. tidak ada yang kalah tidak ada yang menang Garuda ingin menyerang dan menerkamnya yang segera dihajar dengan batu, sehingga terhalang kemajuannya itu. Tapi serangan batu batu yang terarah kepada kepala garuda itu selalu gagal dan kena dipukul jatuh oleh sayap garuda itu, tambahan keadaan di dalam goa sangat sempit sehingga sukar untuknya mengembanigkan ilmunya dengan baik. Kalau pertarungan ini berlangsung diluar, biar garuda itu dapat menyerangnya dengan hebat, Tjiu Piau dapat pula mengembangkan ilmu kakinya Tidak seperti sekarang ilmunya ini sama sekali tidak dapat digunakan . Mereka serentak berseru dan menpergiat serangannya. "Ber . - . ber" beberapa batu terlepas dari tangan Tjiu Piau dan menyerang dengan dahsyat, sehingga burung itu tidak berani datang mendekat, Gwat Hee mengeluarkan serangan beruntun angin dari pukulannya itu demikian lihai, sehingga mau tidak mau Tjen Tjen terdesak mundur. Sedangkan Djie H u mjlesat seperti anak panah dengan ilmu puncak aneh terbang mendatang" sebuah telapakan tangannya dengan keras mendesak Louw Eng.

"Bagus," puji Louw Eng, 'set' sekali, lengan kanannya sudah menghunus pedang yang tajam, disongsongkan dada lawan dengan tusukan maut: 'Aku ingin tahu, apakah kau mempunyai juga ilmu Tiat Po San? ( Ilmu mengebalkan tubuh)?" Demi dilinatnya sinar pedang Djie Hai secepat kilat mengegos pergi, sambil mencabut juga pedang yang di bawanya.

Ilmu Im Yang Kang dipergunakan menurut perubahan tenaga dan kelincahan gerakan, tak perlu menangkis serangan lawan, bahkan mempergunakan tenaga serangan lawan untuk menyerarg si penyerang sendiri. Tak heran ilmunya yang terpaut agak jauh dengan lawan sesudah mempelajari ilmu Im Yang Kang, dapat mencapai kekuatan yang seimbang. Pokoknya asal lawan tak berhati-hati, pasti dapat kena dikalahkan. Tapi ilmu ini bukan semacam ilmu 'Tiat Po San' ( ilmu baju berlapis baja. atau kebal ) dan Kini Tjong To ( ilmu kebal juga ) yang tak mempan dimakan senjata. Karena Louw Eng menghunus senjata tajam, tidak memberi ketika untuk Ong Djie Hai mendapat kesempatan yang baik.

Pedang itu tak ubahnya seperti seekor naqa sakti ke luar dari lautan turun naik dengan dahsyatnya menekan perasaan orang. Ong Djie Hai berpikir: "Asal aku dapat merapatkan tubuh denganmu, kupergunakan Im Yang kang untuk mengadu tenaga denganmu, dan kulihat kau bisa berbuat apa terhadapku?" Jurus "batu berserabutan menembus awan" dipergunakannya- menikam musuh bertubi tubi ketiga jurusan. Louw Eng segera menebas dengan pedangnya, sinar dingin dari pedang itu mendesak orang. Djie Hai sengaja mempergunakan pedang dengan tenaga penuh yakni untuk menyambut serangan. terkecuali itu ia hendak menyampingkan pedang lawan, seeera merapatkan diri ke samping tubuh Louw Eng. Siapa kira begitu pedang itu bentrok, trinngg ujung pedangnya terpapas putus sebanyak dua dim.. Adapun pedang yang dipergunakan itu adalah pedang naga atau dengan nama aslinya 'Keng Liong' (naga terkejut )

Keadaan berubah. Ong Djie Hai tidak dapat mendekati musuh dan mundur beberapa langkah. Louw Eng menyerang terus, pedangnya diputer demikian kerasnya, ia mendesak ke kiri kanan, ke atas dan ke bawah, kalau Ong Djie Hai tidak cepat cepat berkelit, beberapa bacokan pasti sudah mengenai tubuhnya. Mundur lagi beberapa tindak ke belakang, ia terdesak kembali ke sudut tikungan goa yang terakhir. Tempat itu demikian sempitnya kalau mundur terus sama juga mengantarkan jiwa. Gwat Hee mendengar suara Louw Eng menghunus pedang, hatinya menjadi gelisah, selanjutnya didengar suara bentroknya senjata yang ditutup dengan jatuhnya potongan pedang yang putus, sedangkan - kakaknya tengah didesak setindak demi setindak, diam diam ia berteriak: "celaka" dan tak berdaya untuk membuat rencana. Harus diketahui barang siapa mempelajari ilmu dalam, paling pantangan memecahkan pikiran, begitu pikirannva bercabang, tenaga pukulannya perlahan lahan menjadi kendur dan lemah, sehingga Louw Tjen Tjen berhasil membelit tangannya dengan erat sekali. Berapa kali Gwat Hee mempergunakan tenaganya untuk mengebaskan, tapi sebegitu jauh usahanya tetap nihil, lawan tetap membelitnya dengan keras

Bukan main rasa gelisahnya lengan kirinya yang tidak bersenjata "bret" nenyerang bahu kiri Tjen Tjen, dengan hasrat mendesak lawan untuk melepaskan tangan, siapa yang tahu bahwa Tjen Tjen seperti anak ular, tubuhnya lemas seperti kapuk dan menggeleot merosot, menghindarkan pukulan ini, Tjen Tjen tidak mau membalas memukul, apa yang dilakukan? Yakni lengan kirinya mengitiki ketiak sambil berkata: "Kau gelian tidak?" Arak perempuan kebanyakan takut sekali dikitiki orang, tuk heran Gwat Hee menjadi lemas dan tak bertenaga kena dikitiki ini. Dalam keadaan yang sangat genting ia tertawa kegelian lemas tak bertenaga. Tjen Tjen mengangkat kakinya, dibarengi dengan dilepasnya tubuh orang dari tangan kiri. kaki bekerja, saat ini Gwat Hee tengah lemas sekali, ia tak dapat bertahan tubuhnya bergelinjangan beberapa kali di atas tanah. Gwat Hee bukan orang serabarangan. begitu tubuhnya menempel bumi segera bergulingan terus, sekadar untuk bersiaga tangan jahat dari lawan, tegitu tubuhnya sampai di dekat liang goa. kakinya segera menolol tanah tubuhnya miring miring mencelat bangun, dengan niat mengubah kekalahan menjadi kemenangan. Tjen Tjen mempunyai sifat nakal sekali, begitu Gwat Hee kena disepaknya ia bersiul kepada garuda yang dengar kata itu, dengan tenaganya yang luar biasa garuda itu menyerang Gwat Hee dengan bengis. Kedudukan masih belum betul, kuku garuda itu sudah terlihat di depan mata. ia berteriak kaget sambil menutupi kedua matanya, ia hanya berpikir untuk melinlungi matanya saja.

Perbuatannya itu sebenarnya tidak berguna, karena kuku garuda itu merupakan seperti baja yang sudah ditempa pergi datang ratusan kali banyaknya. Tak heran kalau satu kali lengan itu kena dicengkeram akan menjadi hancur, bahkan seluruh kepalanya akan pecah berantakan, tapi nasib orang siapa yang tahu. Demikianlah bintang penolong untuk Gwat Hee datang pada waktunya. Siapa dia? Tak siapa lagi Tju Sie Hong yang pulang ke goa. Banyak tahun Sie Hong hidup dalam kegelapan, dari- itu dia masuk ke dalam goa ini, segera dilihatnya dengan nyata apa yang terjadi. Dengan satu gerakan ia lari dan menerbangkan tambangnya kepada garuda itu. Kaitan emas dari tambang ini tak meleset sedikit juga tepat mengait kuku garuda yang tajam tajam itu. Kuku garuda dan kaitan emas, berkutetan saling kait menjadi satu. Tju Sie Horg menarik, dengan sekuat tenaga, sebalikrya burung itu juga berusaha sekuat teraga menerbangkannya, sesudah saling tarik agak lama, satu sama lain tidak bisa menggerakkan lawannya. Gwat Hee lolos selamat dari bahaya maut ini. dari itu Tju Sie Hong berpikir tak ada gunanya lama lama berkutetan dengan binatang, tambangnya segera dikendurkan.

Selanjutnya ia menoleh ke belakang. dan dilihatnya keadaan Djie Hai yang menguatirkan, sehingga hatinya menjadi gelisah tidak keruan. Ong Djie Hai sudah terdesak sampai di batasnya, tubuhnya " sudah menempel di dinding goa. Louw Eng menusukkan pedang ke dada kirinya, ia mengegos ke sebelah kanan, ototnya juga berkerut ke sebelah kanan, sehingga bagian kiri menjadi cekung dan kosong, pedang naga terkejut yang mengenai cekungan ini dengan nihil. Pedang ditarik dan ditusukkan ke dada kanan orang yang sudah terdesak. Tju Sie Hong belum pernah bertemu muka dengan Louw Eng, ia berseru dengan keras: "Aku tak mengijinkan seseorang berbuat sewenang wenang di sini, siapa kau?

Jagalah kaitan emasku!" Tambang di lengannya berputar dan terlepas menyerang datang, mendengar angin serangan dengan hanya menundukkan sedikit kepalanya, Louw Eng dapat mengegoskan serangan ini. Sebuah lengannya tetap memegang pedang menodong Djie Hai. sebuah lengannya dipergunakan menjambret serangan tanpa membalik badan. Melihat orang yang tidak dikenal ini mempunyai kepandaian yang luar biasa, Tju Sie Hong kembali membentak:

"Siapa kau?" Louw Eng menjauhkan diri dulu dua tindak dari Ong Djie Hai baru berani membalik badan, matanya mendelik menyapu sekeliling goa, sambil menarik napas panjang. Kiranya dalam waktu sekejap saja keadaan di dalam goa sudah berubah banyak Tjen Tjen entah sedari kapan sudah kena ditotok dan diam di sudut goa tak berkutik. Sedangkan burung garuda sudah kabur tak meninggalkan bekas. Terkecuali seseorang yang memegang tambang, dan berupa seperti Tju Hong, masih ada pula sepasang muda-mudi sebagai tambahan, ia merasakan enam anak muda ini dengan keenam pasang matanya yang bersinar tajam menatap dengan jemu kepada tabuhnya, pandangan itu seperti anak panah tajamnya menyayat dan menembusi dadanya. Diam diam mengeluh di dalam hatinya: "Sekali ini habislah riwayatku, aku menyesal sekali kawanku tidak kuajak masuk ke dalam, inilah akibatnya dari memandang enteng."

Enam orang ini. yang empat adalah: Ong Djie Hai, Tjiu Piau. Tju Sie Hong dan Ong Gwat Hee, semuanya dikenal betul olehnya. Sedangkan yang dua lagi, adalah anak muda kembar yang diketemuinya di Ban Liu Tjung.

Semenjak ia melihat pasangan muda mudi ini di Ban Liu Tjung, hatinya selalu diliputi perasaan tidak aman. Muda mudi yang baru berusia tujuh delapan belas tahun ini berwajah demikian welas asih, agaknya sudah pernah Ia melihatnya, tapi tidak ingat di mana. Belakangan sesudah ia berpikir dengan tenang, baru ia ingat kedua muda-mudi ini berwajah seperti Wan Ti No suami isteri. Kalau dilihat lagak lagunya yang laki-laki tak ubahnya adalah penjelmaan Wan Ti No adanya. sedangkan yang perempuan seperti penjelmaan dari isterinya Wan Ti No.

Sesungguhnya suami isteri itu sudah binasa di tangannya, lagi pula tak pernah orang mengatakan bahwa Wan Ti No mempunyai anak? Tapi sepasang anak muda ini dari mana datangnya ? . . . inilah suatu pertanyaan yang selalu tak henti-hentinya berkecamuk dalam lubuk hatinya dan tak dapat dilupakan. Kini sepasang muda mudi yang aneh ini muncul secara tiba tiba, membuatnya berfirasat membayangi maut.. Sepasang anak muda yang masih muda belia ini. berdiri sambil bersandaran bahu di mulut goa dengan gagahnya, tak ubahnya seperti panglima besar dari satu pasukan besar. Mereka menyapu keadaan sekeliling dengan matanya yang tajam. kemudian mereka saling pandang dan mengangguk-angguk tapi tidak mengeluarkan sepatah katapun, walaupun demikian mereka agaknya sudah mengerti dan mengetahui benar apa yang sudah terjadi di dalam goa ini. Mereka melangkahkan kedua kakinya berbareng menghampiri lawan, sedangkan Louw Eng menggenggam pedangnya semakin erat dengan hati berpikir keras. "Jalan hidup satu-satunya kau harus menerjang dengan mati matian ke luar goa."

Dua anak muda itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi jago kawalan yang bersenjata pedang naga yang luar biasa itu, dengan tangan kosong mereka maju terus. Pemuda itu melirik pedang itu sambil berkata.

"Pedang itu bernama Keng Liong (naga terkejut) " "Tak salah, memang pedang Naga Terkejut adanya."

jawab si gadis.

"Dasar pedang wasiat, walaupun sepuluh tahun lebih dipegang oleh buaya darat ini, masih tetap berkilat dengan angkernya." kata pemuda itu.

"Lebih lebih kalau ganti tuan, pedang itu akan lebih. bersinar!" jawab si gadis. Mereka seperti juga tengah ngobrol di warung kopi. sama sekati tidak menunjukkan paras yang tegang. Sebaliknya dengan Louw Eng. demi didengarnya percakapan mereka Jalan darahnya semakin cepat sehingga menjadi tegang urat syarafnya. Wajah dari pemuda pemudi itu membuat kabur pandangannya. dalam matanya mereka bukan anak anak yang baru berusia tujuh delapan belas tahun, tapi adalah sepasang suami isteri rimba persilatan yang berilmu tinggi!

Mereka sudah mendekat sekali dengan tubuhnya kurang lebih tinggal sejauh panjangnya pedang yang panjang, yang laki-laki di sebelah kiri. sedangkan yang perempuan di sebelah kanan. Louw Eng adalah orang Kang ouw yang sudah kawakan sekali, dari itu ia tak mau menyerang terlebih dahulu. Ia tahu bagaimana harus menyerang dan melumpuh kau musuh, dan mengetahui pula bagaimana cara bergerak belakangan tapi menang. Lebih lebih sepasang muda mudi ini tidak diketahui dari cabang apa, sebaiknya ia bersabar saja menantikan serangan mendatang.

Dengan mendadak pemuda pemudi itu menghentikan kakinya, mereka mengejek: "Kenapa tak berani menyerang? Berdiam diri di bawah pohon kayu menjaga kelinci, apakah jurus ini terdapat di kitab ilmu pedang Naga Terkejut (Keng Liing Kiam Hoat) "

"Keng Liong Kiam Hoat?" tanya Louw Eng dengan heran.

Semenjak pedang wasiat ini berada di tangannya yang membuatnya menyesal tak habis habisnya ialah tak dapat mencarinya Ilmu Pedang ini. Terkecuali itu di dunia Kang ouw pun tidak ada yang mengetahui di mana jatuhnya ilmu pedang yang luarbiasa ini, tapi di luar dugaan kedua muda mudi itu dapat menyebutkannya, sehingga membuatnya turut bertanya juga, dan membentak:

"Siapa kau. kenapa mengetahui hubungan pedang ini dengan ilmu memainkannya?"

"Pertanyaanmu sungguh baik. Tunggu sebentar akan kututurkan hal ini dengan seterang terangnya dari awal sampai akhirnya. Sebelum itu ke luarkan dulu lenganmu untuk diborgol. dengan begitu aku baru dapat menuturkan kejadian ini dengan hati yarg lapang!"

Begitu selesai bicara, tampak ia mencelat ke muka secepat kilat, tubuhnya miring-miring menyusup di bawah lengan kiri Louw Eag, jurus Yi Hoo Tjan Ek (bangau liar membentangkan sayap), suatu ilmu bertangan kosong melawan senjata.caranya ini mendesak mendekat ke tubuh lawan. Tak ayal lagi Louw Eng menyabetkan pedangnya dengan maksud mendesak pemuda itu sejauh tiga Jangkah.

Siapa tahu pada saat itu juga si gadis itu mercelat dengan cepat ke sebelah bawah lengan kanannya sebuah lengannya menyerang dengan ikat pinggangya. Entah dari benda apa ikat pinggang itu dibuatnya, merapung ke udara tak ubahnya seperti jaring labah labah putus tertiup angin, sedangkan panjangnya tidak lebih diri dua tumbak, tengahnya membelit pinggang, kedua ujungnya berjuntai ke bawah, lebarnya tak lebih dari setengah elo, di atasnya bersulam lurik yang mengeluarkan sinar, senja yang merah, sungguh indah sekali. Begitu lengannya bergerak, ikat pinggang itu seperti badai yang dahsyat turun naik mengarah lengan kanan lawan.

Louw Eng mengebaskan pedangnya dengan maksud menyingkirkan. Tak kira ikat pinggang itu seperti naga bermain, berputar putar melilit ke tangannya dan pedangnya.. Pedang itu tak dapat dilukiskan akan tajamnya, tapi ikat pinggang itu tak dapat dikatakan akan halus dan lunaknya, Louw Eng menggerek ikat pinggang itu ke atas ke bawah, tapi sedikit juga tidak rusak dan masih tetap melibatnya dengan erat. Ketika ini pemuda itu sudah menyerang lagi ke sebelah kiri, ia hanya bisa menangkis dengan lengan kirinya. Lengan kanannya yang dilibet gadis itu membuatnya tidak wajar, tak dapat diputuskan, tak dapat dilepaskan. Biar bagaimana ulungnya ia di dalam dunia Kang ouw, belum pernah melihat atau mendengar ilmu yang kukuay semacam ini.

Sedangkan Ong Djie Hai dan saudara saudaranya turut menjadi heran menyaksiKan ilmu yang aneh dari gadis itu. Ong Gwat Hee menjadi girang menyaksikan ini, ia adalah anak gadis, tapi belum pernah memikirkan bahwa ikat pinggang dapat digunakan demikian mentakjubkan, sehingga membuat Louw Eng tak dapat berkutik dilihatnya. Empat orang ini memasang matanya dengan Penuh perhatian mereka ingin menyaksikan kelanjutannya dari pertarungannya ini.

Pemuda itu tidak henti hentinya melancarkan serangan dari sebelah kiri., serangannya ini tidak menyakitkan atau membuat lawan luka, agaknya serangan ini hanya bermaksud agar Louw Eng tidak dapat membuka ikat pinggang yang melibet pedangnya dalam waktu yang bersamaan, gadis itu mempermainkan ikat pinggangnya beberapa kali, ikat pinggang itu seperti mempunyai perasaan dan mendengar kata, melilit keKanan melibat ke kiri perlahan-lahan menjadikan suatu ikatan mati.Pada saat ini,kedua anak muda ini merangsak dengan berbareng. Dua jurus ini melakukan suatu kerja sama yang luar biasa manisnya. Sang gadis mengerahkan tenaga dalamnya menarik ikat pinggangnya, dengan tujuan membuat jatuh pedang lawan. Perhatian Louw Eng dicurahkan untuk menghadapi gadis ini, menyusul gadis itu sudah menyerang dengan Geng Hong Tui (tendangan angin puyuh) menyapu kaki kanannya. Ketika itu juga pemuda yang berada di sebelah kiri. memasuki jurus Pan Liong Kan Djiau (naga melilit mengeluarkan cakar) lengan kanannya berpindah mencengkeram batok kepala lawan. Louw Eng mengangkat lengan kirinya menangkis serangan itu, sedangkan pemuda itu melanjutkan serangannya dengan Tui In To Gwat (mendorong bulan meraih bulan) membuat lengan kirinya kena terdorong, berbireng kaki pemuda itu terangkat dengan jurus Gong Hong Tui yang serupa menyapu kaki kirinya.

Mereka melancarkan dan memasakkan serangan serangannya dengan gaya dan cara yang sama sehingga menunjukkan kerja sama yang erat sekali, tempo dan teknik terpelihara baik. Saat lengan sang gadis menarik ""ikat pinggang, sang jika tengah mendorong, ditambah dengan tendangan angin payuh yang datang berbareng. Dalam sekejap saja kedua lengan dan kedua kaki Louw Eng, langsung terancam bahaya, pikirannya kacau. serba salah. Tak ampun lagi kedua kakinya kena disapa, tubuhnya yang besar terjengkang ke belakang terguling guling. Ingatlah lengan kanannya yang mencekal pedang itu sudah diikat mati ikat pinggang si gadis. Begitu ia bergulingan beberapa kali gadis itu membarengi menarik ikat pinggangnya sekuat tenaga, Louw Eng yang melihat itu tak ubahnya seperti kelinci mati kena digantung! Tubuhnya bergantungan di tengah udara, tak berdaya sehingga cuma cuma menamakan diri sebagai Jago nomor satu!

Pemuda itu dengan cepat sudah berdiri dengan agak menjongkok, lengannya terbuka naik ke atas. Gadis itu menarik tubuh Louw Eng dan dijatuhkan dengan tepat di tangan yang sudah terbuka itu. ketika itu juga Louw Eng merasakan sekujur badannya kesemutan dan menjadi kaku. Karena separuh jalan darahnya sudah tertotok. Pemuda itu membanting tubuhnya, selanjutnya dengan tambang yang sudah disediakan dibelenggunya dan dililitnya tubuh orang semua-muanya dengan cepat sekali. Dengan mudah dan cepatnya pasangan muda mudi ini berhasil meringkus lawan, sehingga orang orang merasakan Louw Eng ini seperti gentong kosong yang bersuara nyaring.

Louw Eng sudah mempunyai firasat untuk kalah, tapi tak mengira bakal kalah secara mengecewakan sekali. Ong Djie Hai dan Saudara saudaranya merasa kagum sekali kepada kedua anak muda yang lebih muda dari mereka sendiri itu. Selanjutnya pemuda itu menggusur lawannya ke tengah tengah goa. Digeletakkan di atas tanah. Louw Tjen Tjen juga diseret, ayah dan anak itu duduk bersenderan tanpa berkata kata.

Kelua anak muda itu merangkapkan kedua tangannya memberi hormat kepada Ong Djie Hat sekalian.

"Kakak sekalian terimalah hormat adikmu ini," tubuhnya mundur sambil membungkukkan badan, tanpa komando keempat orang ini membalas hormat mereka.

Kedua pemudi ini kembali bicara:

"Pada malam Tiong Tjiu ini, kami menantikan lama sekali di bawah rembulan yang indah, kiraku saudara-Saudara tidak datang, siapa tahu tengah berkelahi dengan jahanam ini. Kalau bukan Sah ko yang menunjukkan jalan, tidak mudah untuk kami mencarinya."

Mengingat baris terakhir dari sajak yang berbunyi. 'Tamu menanti malam Tiong Tjiu bulan delapan', apakah yang di maksud dengan tamu itu adakah mereka? Padahal dalam hayalan Tjiu Piau, Gwat Hee dau Djie Hai tamu itu pasti adalah orang perempuan yang sudah tua Karena waktu itu ia mengantarkan sajak itu sudah delapan belas tabun lamanya, sedikitnya kini sudah berusia empat sampai lima puluh tahun. Siapa kira yang dihadapkannya sekarang ini adalah anak anak muda belia yang lebih muda dari mereka. Ketiga orang itu tanpa tanpa berkata-kata melirik kepada Tju Sie Hong, karena pemuda itu ialah yang membawanya.

Sedangkan empat mata pemuda pemuda itu. mengawasi juga kepada Tju Sie Hong menantikan penjelasannya.

Tju Sie Hong dari dalam sakunya mengeluarkan secarik kain persegi, diberikannya kepada Ong Djie Hai sambil berkata: "Toa ko, ini adalah benda kepercayaan dari saudara saudara ini " Sesudah Ong Djie Hai menyambut dan membuka kain itu, di atas kain ini tersulam Liong dan Hong yang mengitari dua puluh delapan huruf. Huruf huruf itu adalah sajak untuk pertemuan mereka.. Dilihat dari tulisannya, tak salah lagi serupa betul dengan yang mereka. Hanya tulisan ini semakin lama semakin tergesa-gesa dan tintanya tak senyata yang dimiliki mereka.

Mungkin tahun lalu ditulisnya kesusu sekali. Sedangkan kain yang digunakan persis sekali dengan mereka, demikian pula dengan pinggiran bekas guntingan pokoknya tak perlu diragukan lagi semua serupa. Selesai melihat diserahkannya kain itu kepada Tjiu Piau, kemudian Tjiu Piau menyerahkan ke pada Ong Gwal Hee. Selesai melihat mereka mengerti siapa yang berdiri di mukanya, yakni orang yang selama delapan belas tahun dinanti nantikan.

Walaupun hati mereka masih diliputi keraguan tapi kegirangan dan keharuan mereka sudah merangsang ke dalam sanubarinya sehingga hal-hal yang lain terdesak kesamping dan dilupakan,

Ong Djie Hai melangkahkan kakinya kemuka, sudut bibirnya tergetar dan mengeluarkan perkataan

"Heng tee(saudara)" dan segera tidak dapat melanjutkan lagi. Sebaliknya keduanya mengeluarkan tangan dan saling pegang dengan erat sekali tanpa berkata-kata juga. Di balik lain Oig Gwat Hee tengah berpeluk-pelukan dengan gadis itu dengan mesranya, sedangkan Tjiu Piau saling rangkul dengan Tju Sie Hong. Ong Djie Hai menekan perasaan girangnya, ia berkata sambil melepaskan lengannya. "Saudara-saudara marilah kita saling memperkenalkan diri, kemudian kuminta untuk saudara-saudara menuturkan apa yang sudah terjadi selama delapan belas tahun yang lalu di Oey San ini. Terkecuali itu siapakah yang mengantarkan sajak delapan belas tahun yang lalu itu.

Mungkinkah ia berhalangan datang hari ini? Hal ini perlu juga saudara terangkan agar kami selalu dapat mengenang budinya yang besar itu."

Sehabis bicara mulailah ia memperkenall an diri,

"aku Ong Djie Hai putera dari Ong Tie Gwan almarhum."

Kedua muda mudi itu merangkapkan kedua tangannya sambil berkata:

"Ong toa ko "

Selanjutnya ditunjuk Tjiu Piau dan di perkenalkannya. "Ini adalah Tju Piau Heng tee."

Kedua pemuda itu memandang Tjiu Piau sambil tersenyum, kemudian baru memberikan hormatnya:

"Tjiu Djie ko." Mereka masing-masing pernah bertemu muka di Ban Liu Tjung, tentu saja Tjiu Piau juga masih ingat apa yang terjadi di sana. Sehingga Ketiganya mesem mesem dengan lucunya!

Ong Djie Hai menunjuk Tju Sie Hong: "Ini adalah Tju Sie Hong Sah tee."

Serta memperkenalkan pula adiknya sendiri, sehingga upacara perkenalan ini selesai semua, sesudah itu pemuda ini memperkenalkan diri. "Aku bernama Wan Thian Hong. Saudara saudara mungkin tidak mengetahui bahwa kami ini adalah adik adik dari saudara tapi tak perlu heran karena kami berdua adalah anaknya saudara angkat dari ayah saudara saudara."

"Siapakah nama besar dari ayahmu?" tanya Djie Hai. "Ayahku bernama Wan Tie No!" jawab mereka serentak.

Jawaban ini di luar dugaan Djie Hai berempat, mereka belum pernah mendengar Wan Tie No mengangkat saudara dengan ayahnya, dan tak pernah mendengar beliau mempunyai anak. Mereka terdiam sambil pandang memandang. Keadaan seketika lamanya menjadi sunyi.

Tiba tiba terdengar suara Louw Eng yang penuh amarah meletus dari mulutnya: "Bohong! Bohong! Penipu!

Pendusta! Jangan dengari ocehannya! Jangan dengar cerita burung"

Pemuda itu menghampiri sambil membentak: "Louw Eng!

Hari ini kau kejepit tak dapat lari kemana-mana. dari itu hutang piutang selama delapan belas tahun dapat kita perhitungkan bersih sekarang juga!"

"Tutup mulutmu dan jangan berkata-kata Kalau tidak urat gagumu itu akan kutotok!" Bentak pemuda itu dengan garang. Kemudian ia menoleh kepada Djie Hai berempat, "untuk menuturkan peristiwa Oey San membutuhkan waktu yang lama, mungkin sampai fajar menyingsing, dari itu kuminta saudara saudara berduduk. Mendengar ini semuanya menganggukkan kepala, belum sempat pemuda itu membuka suara dari luar goa terdengrr menderunya badai pohon Siong yang hebat seperti gelombang pasang dimalam buta. Turun naik tak henti hentinya membuat perasaan seseorang seperti berada di tengah sebuah perahu kecil yang sedang diombang ambingkan taufan yang maha dahsyat. Suara gemuruh itu merupakan jaga suara peperangan yang sengit dan membuat jantung berdebar debar tak karuan.

Demi didengarnya suara yang aneh ini, muda mudi itu mengucurkan air mata mereka Sesaat kemudian pemuda itu berkata: "Moy moy marilah kita mulai dengan penuturan kita secara bergilir, nah, kau mulailah terlebih dahulu!*' Pemudi itu menganggukkan kepalanya .tanda setuju, mulutnya terbuka mengeluarkan suara yang garing dan merdu melebihi suara seruling kumala, sehingga membuat para pendengar tak bosan bosan.

"Kami merasa terharu mendengar suara gemuruh pohon Siong ini dan mengucapkan sukur alhamdulilah. Berkat suara inilah kami terhindar diri kematian! Saudara saudara harus mengetahui, delapan belas tahun berselang dimana Louw Eag tengah mengganas dengan akal kejinya yang luar biasa busuknya. terdapat anak kembar yang baru dilahirkan beberapa hari lamanya menangis tidak henti hentinya.

Untunglah suara anak yang tak mengetahui bahaya ini reda tertekan badai Siong yang maha hebat, sehingga tidak terdengar sang jahanam. Kalau tidak pasti kami tidak dapat hidup sampai hari ini.

Adapun ayahku bernama "Wan Tie No, seorang bawahan dari Lie Tja Seng, waktu turut Giam Ong menyerbu ke utara beliau menderita luka parah. Siat itu bangsa Boan sudah masuk ke wilayah Tiongkok, tentara Giam Ong kena dipukul hancur, untuk menyelamatkan diri ayahku yang luka membawa ibuku yang tengah mengandung menyingkir ke Oey San. Seiring dengan orang tuaku mengikuti pelayan kami yang setia, kami biasa memanggilnya Yan Ie. Pelayan ini memiliki juga ilmu silat yang lumayan, sepanjang jalan ibu dan ayahku mendapat perawatannya yang baik sehingga mereka bisa sampai di puncak Thian Tou Hong dalam keadaan sebat dan segar. Ayahku mengetahui adanya goa rahasia ini, dari sejak hari itulah mereka menetap di goa untuk melewatkan hari.

Sebulan kemudian luka ayahku sudah agak baikan, terkecuali itu kegirangannya bertambah tambah sebab kelahiran kami berdua. Waktu kembali berlalu, pada suatu hari ayah menitahkan Yan Ie mengirim kabar kepada sekalian patriot bangsa untuk berkumpul di Oey San guna merundingkan suatu pergerakan di bawah tanah untuk merobohkan pemerintah penjajah. Yan Ie sangat cekatan sekali dalam waktu singkat sudah selesai menjalankan tugasnya. Waktu kembali ke dalam goa dibawanya sepucuk surat dari orang orang percinta negara. Ayah sangat girang atas hasil Yan Ie yang baik itu, dibukanya surat yang dibawa itu. Nyatanya surat itu adalah balasan dari Ong Tie Gwan Pepe, dalam suratnya beliau mengatakan bersedia turut dalam rapat ini dengan hati terbuka Pada harian Tiong Tjiu Ong Pepe, Tjiu Siok siok, Tju Siok siok datang mendaki Oey San, terkecuali dari mereka mengikuti pula jahanam ini Ayahku tidak mengenal dan tidak mengetahui sifat dan tabiat dari Louw Eng, tapi beliau tidak merasa curiga sebab jahanam ini diperkenalkan oleh Ong Pepe sebagai saudara angkatnya. Dengan girang kedatangan mereka dijamu di atas Thian Tou Hong, sebelum ini ayah sudah memesan Yan Ie untuk menjaga kami, sehingga ia tidak bisa ke luar untuk menyaksikan apa yang tengah dirundingkan di atas puncak yang tinggi itu.. Rupanya percakapan mereka sangat cocok satu dengan lain, dari itu semakin lama semakin banyak kata kata mereka akhirnya diputuskan untuk mengangkat saudara di antara mereka. Untuk upacara ini ayahku kembali ke dalam goa, untuk meneambil arak, saat itu kami sudah tidur dengan nyenyak, begitu ayah ke luar Yan Ie mengikutinya dari belakang, dalam kegirangan yang meluap luap Yan Ie berhasil naik ke atas dan bersembunyi di sebuah pohon Siong tanpa diketahui mereka. Tidak tersangka kedatangannya ia ke situ seperti suruhan dari malaikat atau para dewa guna menyaksikan dan menjadi orang satu satunya yang mengetahui apa yang mengetahui apa yang terjadi di situ. Dilihatnya keenam orang menghadap ke langit sambil berlutut kepada yang maha kuasa untuk menyaksikan mereka mengangkat saudara. Sesudan upacara selesai mereka melanjutkan lagi percakapan. Dalam pembicaraan itu dapat diketahui bahwa Louw Eng dan ibuku adalah saudara misan Kini mereka menceriterakan dengan asyik masa perpisahan selama itu. sehingga pecakapan berjalan bertambah hangat, mereka meminum arak dan terus melangsungkan kegirangannya ini. Yan Ie menyaksikan mereka kegirangan sampai mabuk arak selanjutnya mereka memain pedang dan menyanyi.

Ayahku mengeluarkan dua bilah pedang mustika kepada saudara saudaranya. Dan mengatakan bahwa pedang itu dapat dirampasnya dari seorang jenderal Tjeng belum lama berselang. Pedang ini bukan main tajamnya, pedang naga dapat menabas logam seperti tanah lumpur, pedang Hong kalau dibunyikan akan mengeluarkan suara yang nyaring dan menarik. Sesudah mereka melihat pedang ayah ini, mereka memuji bahwa pedang itu bagus adanya Lebih lebih Louw Eng memegangnya lama sekali, seolah olah tidak mau melepaskan kembali.

Saat itu bulan semakin tinggi di awang awang. Mereka semakin mabuk, hanya seorang yang tidak mau minum dan tidak mabuk karena mengandung niat melakukan pekerjaan keji dan terkutuk. " Menurut sampai di sini Wan Thian Hong berpaling kepada kakaknya sambil berkata;

"Koko selanjutnya kau tuturkaulah kisah selanjutnya dari peristiwa Oey San ini."

"Baik, akan kulanjutkan," jawab Wan Djin Liong. "Ketika itu Louw Eng sangat girang sekali mulutnya itu

tidak henti hentinya memprogandakan bagaimana ia cinta negara, sedangkan tangannya tidak henti hentinya menuangkan arak kepada orang yang berada di kiri kanannya. Ong Pepe adalah ahli minum sehingga kena diloloh terbanyak olehnya.

Adapun tabiat dari Ong Pepe sangat pendiam dan tidak suka membanggakan dirinya, padahal beliau adalah seorang patriot yang sejati. Dari itu derai didengarnya arak yang diminum ini untuk kejayaan kaum pencinta negara diminumnya banyak dan banyak sekali, sehingga mabuk tak sadar diri dan merebahkan dirinya di sebuah batang Siong yang rindang untuk istirahat.

Louw Eng menipunya pula kepada Tju Siok-siok, dikatakannya bahwa gunung Oey San ini mempunyai alam yang indah dan tempatnya segala pohon-pohon yang jarang didapat di dunia lain. Tju Siok siok sangat girang mendengar ini, dan mengatakan ingin turun ke bawah jurang untuk mencarinya. Terkecuali itu dengan ocehannya yang tidak baik menipu Tju Siok-siok, ia mengatakan bahwa di Oey San ini terdapat semacam binatang hutan yang luar biasa lezat akan dagingnya, tapi binatang itu sukar sekali ditangkapnya, bahkan seorang ahli senjata rahasia juga belum tentu dapat memburunya. Hal ini membangkitkan kegirangan besar untuk Tju Siok-siok, tanpa banyak komentar lagi ia pergi untuk memburu binatang itu, guna dipanggang sebagai temannya arak.

Heran mulutnya Louw Eng ini pintar sekali mengeluarkan kata-kata dusta, ayahku kena diakalinya untuk mengeluarkan lagi Liong Hong Kiam untuk dinikmatinya. Ia mencekalnya pedang itu dengan erat dan tak dilepas lepas, sedangkan mulutnya tidak henti hentinya mengoceh terus. Mengatakan bahwa Giam Ong sudah tidak bertenaga lagi, sebaliknya tentara Tjeng semakin kuat, dari itu membujuk ayahku untuk mengabdi ke pada pemerintah Boan. Katanya ayahku sebagai orang kenamaan di dunia Kang ouw pasti akan mendapat kedudukan yang tinggi dan hidup mewah kalau mau kerja sama dengannya, waktu mengatakan ini Louw Eng tetap memegang dan memutar mutarkan pedang naga dan cendrawasih.

Tatkala itu Yan Ie yang berada di atas pohon dapat mendengar dengan tegas apa yang dikatakan Louw Eng, sedangkan matanya tidak lepas-lepas menatap ayahku yang menahan kegusaran untuk mendengarkan terus kata kata Louw Eng. Waktu mendengar sampai dikelimaksnya ayahku tidak kuat bersabar lagi, ia melompat sambil menamparkan lengannya ke muka Louw Eng. Waktu itu kepandaiannya kalau dibandingkan dengan sekarang terlebih bangpak lagi, sebaliknya kepandaian ayahku lebih tinggi entah berapa tingkat Gerakan ayahku yang seperti kilat itu, mana dapat dielakkannya! Mentah mentah pipi kirinya kena tamparan secara mutlak, sehingga tubuhnya bergoyang goyang dan terhuyung huyung. Untunglah tamparan ini tidak terlalu keras bilamana tidak. tamparan ini pasti sudah mengirimnya ke dunia baka. Sesudah menerima tamparan ini, Louw Eng masih dapat bersabar dan tidak gusar, demikian juga dengan pipinya sedikit juga tidak diusap, agaknya seperti tidak ada kejadian apa apa.

Ia memungut ranting kering dari tanah sambil berkata: "Wan Djie ko pikirlah terlebih masak,kuberi waktu untuk kau berpikir beberapa cegukan air teh lamanya, selewatnya itu segera kau jawab apa yang kumaksud.

Jika kau mengangguk tandanya setuju, kalau kau goyang kepala jangan sesalkan pedang naga dan Hong yang tidak bermata ini!"

Habis berkata ia menabas putus ranting ranting kering itu menjadi dua potong, gertakan ini memaksa agar ayahku menganggukkan kepalanya. Hal ini membuat mata ayahku mendelik, dengan tangan kosong diserangnya Louw Eng penghianat ini. kedua kakinya mengeluarkan tendangan berantai menyapunya. Inilah ilmu yang luar biasa dari ayahku, tidak kena tendangan pertama pasti tidak dapat mengelakkan tendangan yang kedua. Sungguh di luar dugaan tendangannya ini mengenai angin.

Tentu saja hal ini ada sebab-sebabnya, yakni luka di kakinya belum sembuh betul, sehingga tidak berapa bertenaga, terkecuali itu terlalu banyak meminum arak sehingga agak mabuk adanya.

Sesudah tendangannya tidak membawa hasil, tubuhnya menjadi bergoyang-goyang tidak tetap, ibuku dan Louw Eng mengerti apa yang menyebabkan terjadinya ini. Louw Eng menjadi girang, sebaliknya ibuku menjadi gelisah.

Dalam keadaan demikian ini Louw Eng tidak membuang- buang waktu, diserangnya ayahku bertubi-tubi dengan gertakan kosong, dengan tujuan melemaskan dan menghabiskan tenaga ayahku. Semakin menyerang semakin keras bekerjanya tenaga air kata kata itu di dalam otak ayahku. Tindak demi tindak semakin tidak teratur langkah kakinya, sedangkan lengannya mulai tak dengar kata pula. Melihat hal ini ibuku menjadi cemas, dengan kedua lengannya dirangkul dan dipayang ayahku dari belakang Ia menoleh kepada Louw Eng sambil berkata: "Piau ko, apakah kau sudah mabuk! lekas hentikan lenganmu!"

Ibuku adalah kaum terhormat yang menjunjung kebajikan, dengan sendirinya dalam pikiran dan perkiraannya bahwa Louw Eng sudah mabuk.

Siapa tahu hal ini menyadarkan sang penghianat, dengan tiba-tiba ia pura-pura mau muntah seperti orang yang sesungguhnya mabuk, sedangkan tubuhnya sempoyongan dibuat-buat dan berkata: "Aku tidak mabuk, aku tidak mabuk!"

Ibuku memegang ayah dari belakang tubuhnya semakin erat sedangkan ayahku membungkuK ingin muntah, ketika inilah Louw Eng menyerang dari belakang. Serangan gelapnya berhasil, pedang itu menembus dari tubuh ibuku langsung ke tubuh ayahku.

Andai kata tidak ada tubuh ibuku di belakangnya jangan harap ia dapat melukakan ayahku dengan kepandaiannya yang begitu buruk. Misalkan berdepan mungkin Louw Eng ini yang kena dan binasa terlebih dahulu di tangan besi ayahku.

Kemudian ia menyebarkan berita di dunia Kauw ouw bahwa ayahku itu kena dikalahkannya dan dibinasakan dengan ilmu pedangnya, karena ini namanya menjadi besar dan terkenal ke mana-mana.

Dalam girangnya ia menganggap dirinya yang paling lihay di dunia persilatan ini. Hal yang sesungguhnya Louw Eng ini tidak lebih dan tidak kurang seperti kodok buduk yang jorok dan kotor.

Kenapa kukatakan demikian dengarlah terus apa yang akan kuceritakan.

Sesudah membunuh ayah dan ibuku jahanam ini masih dapat berkata; "Piau moy cara ini terpaksa kulakukan, kalau tidak demikian tentu aku yang akan dibunuh kalian. Untuk menebus dosa ini akan kupanggili beberapa orang paderi untuk membacakan liam keng guna keberuntungan kalian di akhirat," kata katanya ini hampir membuat dada Yan Ie jadi meledak, kegusarannya tak tertahan lagi, tubuhnya segera akan turun untuk mengadu jiwa dengan Louw Eng.

Tiba tiba niatnya dibatalkan demi di dengarnya tangisan dari liang goa, sehingga ia sadar bebannya sangat berat adanya.

Orang tuaku sudah mati, orang satu-satunya yang dapat merawat kami hanya Yan le seorang.

Baiknya saudara saudara angkat dari orang tuaku tidak pernah masuk ke dalam goa ini, tambahan begitu bertemu muka segera sibuk membicarakan hal negara, dan melupakan tentang kelahiran kami, sehingga Louw Eng tidak mengetahui ada dua jiwa kecil yang akan menuntut dosanya dihari kemudian.

Dengan kesabaran yang luar biasa Yan Ie menahan gelora hatinya yang seperti ditakar. Terkecuali itu ia kuatir suara kami dapat didengar Louw Eng, untunglah sebelum jabanam itu mendengar, badai pohon Siong yang keras menderu deru terus sampai dua hari lamanya.

Pada saat badai ini mengamuk seolah-olah Oey San ini tengah diamuk angkara murka, sehingga membuat Ong Pepe tersadar dari mabuknya. Waktu itu Yan Ie tidak mengetahui tabiat dari Ong Pepe, kiranya sama saja dengan Louw Eng. tak kira dugaannya ini salah sekali.

Sesampainya Ong Pepe di tempat kejadian lantas menjadi kaget, sebaliknya Louw Eng menggerak gerakkan kaki dan tangan entah sedang menceritakan apa. Ong Pepe mematung melihat tubuh orang tuaku yang mati secara mengecewakan, kesedihannya teramat hebat, membuat dia tak bisa menangis membuka suara. Perlahan lahan ia mendekat ke tubuh orang tuaku dan ditubruknya orang tuaku itu, dia mendekam demikian lama dan tak bangun-bangun. Ah. Louw Eng adalah manusia keji tidak kepalang tanggung lagi kesempatan itu di pergunakan dengan sebaik baiknya. Kedua lengannya dirangkap menjadi satu. dengan ilmu pelajaran dari cabang Hek Liong Pang yang lihay.

Ong Pepe dihantam dari belakang. Lengan kanan itu menghajar terlebih dahulu, kemudian disusul dengan lengan kiri yang menggunakan seluruh tenaga di dalam, menghajar ke tangan kanan sehingga tangan itu menjadi satu, sedangkan tenaga serangan menembusinya dan langsung menyerang ke dalam tubuh Ong Pepe. Pukulan ini terang terang adalah ilmu Hek Liong Lo Kuay, entah apa hubungannya antara ia dan Hek Liong itu.

Tenaga pukulan ini menggunakan tenaga seluruh tubuh, tambahan Ong Pepe tak mempunyai persiapan dan tidak bersiaga, dengan sekali pukul ini tak ampun lagi segera mendekam di tubuh orang tuaku untuk selama-lamanya.

Louw Eng belum puas atas kejahatannya itu. dengan tenang dinantikannya Tjiu Siok siok kembali Saat ini Yan Ie sudah mengetahui maksudnya Louw Eng dan dapat membedakan bahwa jahanam ini bukan kawan Ong Pepe, Tjiu Siok siok, Tju Siok siok.

Ia berpikir, biar bagaimana juga harus memperingati Tjiu Siok siok agar ia tidak kena dibokong.

Lebih kurang beberapa jam lamanya Louw Eng menantikan di jalan gunung Tjiu Siok siok sudah kembali sambil menenteng dua anak rusa.

Tanpa mempedulikan sesuatu Yan Ie berteriak keras: "Hei pendatang awas serangan gelap!" sayang suaranya yang dilepaskan demikian kuat itu kandas dalam gelombang suara pohon Siong itu. Sehingga mereka tidak mendengarnya. Dalam waktu sekejap saja peristiwa yang mengerikan sudah terjadi.

Begitu Tjiu Siok siok memijakkan kakinya di atas puncak, segera disamber saudara angkatnya yang berhati binatang itu dengan puKulan Eng Hui Tjia Kiong (elang ganas menubruk datang) yang sangat ganas..

Sukur Tjiu Siok siok sangat gesit dan lincah, tiba tiba tubuhnya berbaring di bumi sambil mengeluarkan ilmu Wo Liong Tou Tju (naga rebah menyemburkan mustika), sebuah mutiara beracun yang dilepaskan tepat mengenai pangkal lengan lawan. Pada saat yang bersamaan Tjiu Siok siok pun tidak dapat mengelakkan tendangan lawan.

Mereka jatuh berbareng, dalam waktu yang singkat tidak bisa bangun lekas-lekas. Waktu itu Yan Ie tidak mengetahui kelihaiannya Tok Tju keluarga Tjiu karena ini ia ragu ragu untuk turun ke bawah. Dari tempat sembunyinya ia melihat Louw Eng dengan jeriji lengannya menulis dua buah garis kata kata di tanah, kemudian tidak dapat bergerak.

Tju Siok siok mencelat bangun sambil menghampiri dua baris kata kata itu, agaknya ia gugup sekali, matanya mendelong memandang Thian Tou Hong, sedangkan kakinya melangkah setindak demi setindak, kemudian dengan tergesa gesa ia balik kembali untuk mengeluarkan obat pemunah guna mengobati Louw Eng. Tak lama kemudian mereka menghampiri di mana terjadinya drama yang menyedihkan atas diri Wan Tie No suami isteri dan Ong Pepe.

Louw Eng tak henti hentinya menggerakkan tangannya menunjuk nunjuk ke atas kebawah entah kata kata gila macam apa yang tengah diucapkan tidak dapat terdengar. Tapi Tjiu Siok siok mendengarinya ceritera gilanya dengan mendelong, tiba tiba sang jahanam menunjuk ke dalam jurang yang berada di bawah kaki mereka, sewaktu Tjiu Siok siok memutar badan Louw Eng membarenginya menusukkan pedangnya dengan cepat, menyusul kakinya terangkat untuk mengirimkan tubuh saudara angkatnya ke dasar jurang. Tjiu Siok siok menderita luka besar dan tak dapat melawan pula kakinya tidak dapat bertahan lama lama, segera juga tubuhnya, itu berguling guling beradu dengan cadas cadas gunung sambil mengeluarkan jeritan tertahan, tubuhnya hilang di dalam jurang yang dalam itu.

Saat itu Yan Ie menjadi heran, apa yang ditulis Louw Eng di atas tanah itu, sehingga dengan mudahnya Tjiu Siok-siok mengeluarkan obat pemunah untuk menolong jiwanya. Hal ini diketahuinya kemudian sesudah peristiwa ini berlalu, kata kata itu berbunyi: bencana besar mendatang membuat Toa ko mati secara menyedihKan, Siau tee mengira Djie ko yang melakukannya, dari itu kuhantamnya dengan tak sadar. Aku mati tidak menjadi soal, tapi sayang apa yang terjadi tidak diketahui dengan terang.

Hanya dengan kata kata ini Tjiu Siok siok kena ditipu dan masuk ke dalam jurang. Ah, rupanya jahanam ini belum puas atas hasil busuknya, dengan menghunus pedang ia berdiri di tepian tebing menantikan datangnya Tju Siok siok.

Ya kalau dikatakan sungguh aneh juga, karena Tju Siok siok itu sesudah pergi lama belum juga kembali, entah ia pergi ke mana dan sudah menemukan benda apa saja agaknya sampai sudah lama sekali belum kelihatan kembali.

Waktu yang lama ini membuat Yan Ie kesal sekali dan tak sabaran.

Dalam kesalnya Yan Ie melihat berkelebatnya sinar emas dari kaitan Tju Siok siok, sehingga hatinya menjadi girang. Dengan perlahan lahan ia turun dari tempat persembunyiannya, pikirnya begitu Tju Siok-siok naik segera ia akan berteriak untuk membuka kedok kejahatannya jahanam itu. Andaikata untuk bertarung ia yakin dengan tenaga ia dan Tju Siok siok berdua dapat merobohkan jahanam ini. Alangkah kagetnya waktu dilihatnya apa yang dilakukan Louw Eng. yakni belum tubuh Tju Siok siok naik ke atas sudah dihajarnya dengan pedang naga, sehingga kaitannya menjadi putus.tapi Tju Siok siok tidak menjadi gugup, dengan kaitan yang satu lagi ia berusaha menolong diri, tapi sayang sekali usahanya itu sia-sia saji. karena jahanam ini tidak memberikan ketika sedikit juga pada orang yang belum siap sedia. Sekali lagi. pedang naga berkelebat membabat putus kaitan itu, sehingga pemiliknya tak berdaya lagi menguasai tubuhnya, terus tergelincir dengan keras sambil mengeluarkan jeritan keras yang menyedihkan dan mengerikan sekali....

Entah karena Yan Ie terlalu banyak menghayal entah bagaimana, katanya di dalam tidurnya atau mimpi sering mendengar jeritan yang luar biasa menyedihkan itu.

Dengan wajah kejam dan haus darah Louw Eng tetap memegang pedangnya menjaga di tepi jurang kalau kalau yang dicelakakan itu dapat naik kembali, menggunakan ketika ini Yan Ie kembali naik ke atas pohon dengan aman. lalu dilihatnya Louw Eng mendorong batu batu besar ke jurang di mana Tju Siok siok jatuh, takut kalau saudara angkatnya itu belum mati, sesudah dinantikan lagi seketika lamanya baru ia pergi berlalu. Untunglah sampai ia pergi Yan Ie tidak diketahuinya, sehingga hal ini dapat kita ketahui sampai sekarang. Hei, jahanam kau pikir sudah tidak ada manusia lain yang mengetahui perbuatan kejimu itu yang terkutuk, kau harus tahu, kalau perbuatan kamu tidak diketahui orang janganlah berbuat, pasti tidak diketahui orang."

Wan Djin Liong menutup ceriteranya sampai di sini. sementara itu para pendengarnya menjadi diam seketika tak berkata.

Sesaat kemudian Tjiu Piau membuka mulut: "Kemudian bagaimana? Orang yang memberikan sajak

kepada kami pasti Yan Ie adanya?"

"Memang," jawab Wan Tnian H^ng, kira Louw Eng perbuatannya tidak ada yang tahu dengan tenang ia meninggalkan Oey San. Sebaliknya Yan Ie segera turun dari atas pohon, dengan perasaan duka ia menangis tersedu sedu. Di tempat bekas Tjiu Siok siok dicelakakan ia menemukan mutiara beracun yang segera disimpannya dengan hati hati. Selanjutnya ia menjenguk kami yang sudah menangis dengan hebat sekali. Yan Ie ingat kata kata dari ayahku bahwa pedang naga dan cendrawasih itu akan diberikan kepada kami dari itu diberikanlah kami nama oleh Yan Ie dengan mengambil nama dari pedang itu.

Selanjutnya pada hari kedua sesudah terjadinya peristiwa itu Yan Ie dengan mengubur jenazah orang tuaku dengan tergesa gesa dan turun gunung untuk mewartakan dan memberikan sajak kepada saudara saudara untuk kembali berkumpul delapan belas tahun kemudian."

Dengan serentak Ong Djie Hai, Tjiu Piau, Tju Sie Hong, Ong Gwat Hee membuka mulut dengan berbareng:

"Kini Yan Ie berada dimana? Kami ingin menemuinya untuk menghaturkan terima kasih kepadanya."

Dengan perasaan sedin dan duka dua saudara Wan itu menundukkan kepalanya, sesaat kemudian Wan Thian Hong baru menjawab pertanyaan ini.

"Sayang Yan Ie sudah meninggal dunia, sebelum saudara saudara dapat menemuinya, ia..."

"Ha ..ha., ha," Louw Eng tertawa dengan keras memotong pembicaraan Wan Thian Hong. Suara tertawa ini membuat semua orang memandang kepadanya dengan sorot mata membenci, terkecuali Tjen Tjen seorang yang merasakan suara itu penuh diliputi kebaikan. Karena saat itu gadis ini tengah teraduk aduk otaknya, ia tidak habis pikir ayahnya adalah seorang penghianat bangsa yang memalukan sekali. Dalam jiwa kecilnya yang murni Tjen Tjen menjadi malu sekali mempunyai ayah semacam Louw Eng, sehingga kepalanya tunduk terus sambil mendengari ceritera yang dituturkan dua saudara Wan. Tiba-tiba mendengar suara tertawa dari ayahnya dengan segera ia bertanya dengan napsu sekali.

"Tia tia, kau, kau masih dapat tertawa dan apa yang ditertawakan?"

"Sesudah aku mendengari semalam suntuk sampai dini hari. kiranya tidak lebih tidak kurang hanya ceritera kampungan yang lucu sekali, ah, tidak kukira dua bocah ini dapat berkelakar demikian hebat sekali." kata-katanya ditutup dengan suara tertawanya yang keras sekali.

Dua saudara Wan agaknya enggan mengadu lidah dengan Louw Eng, dilihatnya Ong Djie Hai dan saudara saudaranya yang menatap wajah sang jahanam itu dengan tajam, agaknya mereka tidak tergeraK sedikit juga dengan suara tertawa yang memuakkan itu. Hanya Louw Tjen Tjen saja menjadi lebih bergirang dari pada tadi. ia berharap ceritera yang tadi itu adalah kosong alias bohong, agar dirinya terhindar dari sebutan puteri jahanam.

"Louw Eng. jangan harap kau dapat mengakali kami sebagai delapan belas tahun yang lalu! Akui saja segala perbuatan busukmu itu."

Louw Eng diam tidak menjawab, ia sadar hal ini tidak dapat dipungkir lagi. tapi biar bagaimana ia berharap untuk meloloskan diri dari goa celaka ini. Karena itu ia ingin memperlambat waktu agar kawan-kawannya yang sudah mengurung Oey San ini dapat tahu dan dapat sekaligus membekuk jago jago rimba-rimba persilatan yang menentang pemerintah Tjeng, kalau hal ini berhasil ia boleh merasa aman untuk melewatkan hari hari yang akan datang, sambil menikmati jasa-jasanya terhadap pemerintah Tjeng.

Louw Eng menatap wajah orang satu demi satu, tanpa gugup ia berkata;

"Karena lalai aku terjatuh di tangan kalian, maka itu disuruh mengaku kalah, aku mengaku kalah, misalkan kalian ingin dengan sekali tabasan pedang untuk mencelakakan aku. dengan sendirinya aku akan mati. Tapi untuk aku mengakui sebagai penghianat saudara saudaraku sendiri sekali-kali tidak berani."

"Katakan sekali lagi. mengaku atau tidak!" Bentak Wan Thian Hong dengan sergit.

"Sudah kukatakan aku mengakuinya, karena terpaksa."

Wan Thiau Hong dan Wan Djin Liong dalam waktu sekejap saja sudah mulai sengit dan naik darah. Darah mudanya sudah mulai bekerja sehingga pikirannya menjadi kalut dan dikuasai napsu, sehingga hilang pikiran jernihnya. Tidak dapat menimbang buruk baiknya sehingga sesuatu tindakan hanya menurut perasaan saja. Dua saudara Wan adalah anak kembar, segala jalan pikirannya satu sama lain serupa sekali sejak kecil. Kalau sang kakak berpikir begitu sang adikpun mempunyai pikiran begitu jadinya setiap ada soal berat dihadapi dan harus diselesaikan mereka dapat melakukannya dengan bersama dan tak perlu berdamai lagi. Kini menghadapi suasana gawat ini masing masing berpikir:

"Kau tidak mau mengakui dosamu, aku akan menantikan sampai kau mengakui dosamu baru kubunuh, agar kau mati dengan puas, kalau kau tidak mau mengakui kalah akan kulepas dan kuhajar lagi sampai kau menyerah dengan puas pula!"

Sehabis berpikir begitu dua saudara kembar ini saling menatap dengan puas. Wan Thian Hong menghadapi saudara saudara lainnya sambil berkata :

"Saudara saudara penghianat ini tidak mau mengakui dosanya, dari itu untuk membuktikah dosanya itu kita harus mencari orang guna saksi . . "

Belum habis ia. berkata Ong Djie Hai sudah memotong di tengah jalan:

"Saudara-saudara Wan sekali kali jangan berpikir begitu, masakan kami tidak percaya kepada kata katamu?"

"Atas kepercayaan dari saudara-saudara kami mengucapkan sukur, tapi jahanam ini tidak mau mengakuinya dengan kemudian baru menghukumnya agar ia mati secara puas."

Habis berkata demikian ia menatap kepada musuh, "Louw Eng, dengan sekali cungkil hatimu yang busuk itu dapat kulihat dengan nyata, kini kuberikan waktu beberapa saat untuk merenungkan dengan cara apa kau hendak mati dan mengakui dosa- dosa yang kau perbuat itu. Terkecuali itu kuberikan kelonggaran untuk mengajukan pembelaan pembelaan, kami tentu tidak akan melarangnya dengan cara ini kau akan kubuat mati secara memuaskan!" Wan Tnian Hong berani mengatakan kata-katanya itu karena ia berpikir hal itu memang terjadi sesungguhnya, pokoknya tidak dapat dipungkir lagi oleh terdakwa- Siapa tahu mendapat kesempatan berkata kata untuk membela diri, Louw Eng segera menggoyangkan lidahnya yang luar biasa lihaynya ini untuk menyelamatkan diri.

Dimulai dengan dehem kering Louw Eng mulai berkata, tapi kata-katanya ini tidak ditujukan kepada Ong Djie Hai berempat atau kepada dua saudara Wan melainkan kepada puterinya.

"Tjen djie, dua bocah ini mengaku menjadi anak siapa?" "'Anaknya Wan Tie No."

"Tak kukira di dunia Ini ada lelucon yang demikian besar dapat dipercaya orang, kalau begitu kau boleh mengaku menjadi puteri raja!"

Kepalanya menoleh kepada kedua saudara Wan. "kalian mengakui sebagai anak anaknya Wan Tie No

mana buktinya? Kenapa orang orang di dunia Kang ouw tidak mengetahuinya? Kalian mengatakan orang orang di sampingmu itu sebagai saudara saudaramu mana pula buktinya? Kalian mengatakan pula ada seorang perempuan mana Yan Ie yang merawat kalian menjadi besar, dan kini sudah meninggal, mana buktinya? Pedang naga dan cendrawasih terang terang adalah milikku yang kuperoleh dari luar tembok raksasa, sekarang kau kata milik ayahmu, mana buktinya? Orang mau percaya pada sesuatu tanpa bukti itu, tololnya lebih dari pada kerbau dungu!"

Selesai berkata ia menarik napas panjang sambil mengeluarkan suara "hemmm" dari hidungnya disertai senyum keringnya yang memuakkan.

Perkataannya ini memang masuk di akal, Ong Djie Hai berempat walaupun tidak mempercayainya, tapi mereka enggan pula dikatakan "lebih bodoh dari kerbau dungu." Bulak balik pikir bukti harus ada, agar segala tuduhan itu menjadi kuat. sehingga terdakwa tidak dapat memungkir pula dan menerima hukumannya secara puas.

"Saksi untuk membuktikan kejahatanmu itu memang sudah ada, dari itu kalau sampai saksi ini yang menguraikan kedosaanmu itu, apakah masih tetap akan menyangkal pula?" tanya Wan Thian Hong dengan tegas..

"He -he- he" Louw Eng tertawa, "kalau sampai ada saksi yang membuktikan aku melakukan sesuatu kejahatan yang terkutuk itu, dengan sendirinya aku harus dan ridlah menerima hukuman mati"

"Nah, kita dengar apa yang dikatakan itu!" kata Wan Thian Hong sambil balik badan memandang kepada Tju Sie Hong, "Tju Sah ko, barusan aku mendengar percakapan kalian bahwa Tju siok siok masih dalam keadaan sehat, betulkah?"

Mendengar ini Tju Sie Hong menjadi girang, sambil berlompat lompat ia berkata.

"Benar, benar, walaupun ayahku pada delapanbelas tahun yang silam jatuh ke jurang, untung tidak sampai meningga1. kini beliau masih tetap dalam keadaan baik baik saja ..." berkata sampai di sini ia tidak dapat meneruskan lagi kata katanya.

Karena dengan secara cepat ia ingat bahwa ayahnya itu walaupun sudah pulih kesehatannya badannya tapi akan kewarasan otaknya masih terganggu juga. Andaikata dapat ditolong naik dari dalam jurang dan dijadikan saksi belum tentu ia bisa menerangkan kejadian tahun tahun yang lalu ia dengan baik. Tapi hal ini tak mau dikatakan di depan Louw Eng.

Sebaliknya sang jahanam mendengar kata kata ini mukanya menjadi berubah, ia tak habis pikir Tju Hong masih dapat hidup selama itu, sehingga bisa membuktikan kejahatannya sekarang.

Otaknya kembali berputar dengan cepatnya untuk mengatasi soal yang gawat ini, agar dapat lolos dari bahaya maut ini. Sesudah terdiam sebentar Sie Hong melanjutkan lagi: "Tapi ayahku kini berada di dalam jurang dan tidak bertenaga untuk naik ke atas. Cara apakah yang terbaik untuk memadu kejahatannya jahanam ini di depan beliau?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar