Pahlawan Harapan Jilid 07

Jilid 07

Tjiu Piau pernah mendengar perkataan Tjen Tjen siapa yang kena bisa Tjian Tok Tjoa akan disiksa pergi datang, baru akan mati Tapi ia tak mengetahui bagaimana siksaan itu berjalan, baru sekarang dilihatnya. Perut Louw Eng mundur maju manggeleser seperti ular. Tapi kulit orang mana dapat dibanding dengan kulit ular! Pergesekan antara kulit dan tanah ini, membuat darah mengalir! Kelihatannya sangat menderita sekali, bagian perutnya sudah besot dan berdarah, lidahnya terjulur ke luar sambil mendongakkan kepalanya. Di dalam tubuhnya seperti bekerja sesuatu racun yang mengakibatkan tubuhnya berjalan dengan melata.

Pembaca tentu bertanya bukankah Louw Eng sudah mati Ya memang sudah mati. tapi mati mati ular. sebab kena bisa ular. Kenyataannya bukan mati benar benar ! !

"Mari kita bersembunyi di sana!"

Seru Tjiu Piau. Gwat Hee melihat sekeliling hanya terdiri dari air danau dan kaki bukit yang rendah. Walaupun terdapat beberapa pohon, tapi bukan tempat yang baik untuk menghindarkan diri dari ular itu. Ia terbenam diam, tak berdaya. Louw Eng sudah tidak berjauhan lagi dengan mereka, kira-kira sejauh seratus tindak lagi. Bok Tiat Djin dan Tong Leng memburunya sambil berteriak-teriak "Louw heng, Louw heng, istirahatlah kau sangat lelah."

Habis berkata tubuhnya membungkuk untuk menangkap teman itu. Siapa tahu tubuh Louw Eng seperti ular mulutnya terbuka lebar dengan tiba tiba memagut. Bok Tiat Djin sangat terkejut, buru buru ia mencelat mundur meng- hindarkan bahaya. Serangan tak berhenti sampai di situ. kembali ia menggeleser seperti ular. dengan kecepatan kilat kembali menerjang kedua orang itu. Sekali ini mengagetkan kedua orang itu sampai kabur. Mereka berlari lari sampai jauh juga.

"Sekarang aku mempunyai akal, bukanlah perahu yang kita naiki masih berada di sana? Sekarang hanya perlu kita lekas lekas saja ke sana." Tjiu Piau membenarkan pendapat Gwat Hee, langkahnya diperbesar menuju ke tepi danau.

Pengayuh perahu itu sudah rusak dan tak berguna lagi. Andai kata ada pengayuh juga tak ala gunanya, sebab tangan Tjiu Piau sudah luka. Kedua orang itu sudah naik ke perahu, mereka kembali duduk termenung, sama sekali tidak' mempunyai akal lagi. Gwat Hee mengayuh-ngayuh- kan tangannya, perahu hanya berderak sedikit. Ia tertawa lemas "Andai kata Tjian Tok Tjoa bisa berenang kita pasti berbahaya." Tjiu Piau tidak mengerti, Gwat Hee menjelaskan, "Kalau Tjian Tok Tjoa berasal ular air, bukankah sama dengan bisa berenang, kalau Louw Eng mengejar kita, pasti dia juga dapat berenang seperti ular air!"

"Lihatlah! benda apa di sana!" seru Tjiu Piau. Gwat Hee menoleh tampak di tempat jauh, mendatang sebuah perahu dengan pesatnya. Di atas perahu beterbangan berkeliling burung raksasa itu. Gwat Hee berkata: "Wah Louw Tjen Tjen pasti datang, bukan?" Tjiu Piau menjawab dengan lemas: "Bocah itu berkepandaian tinggi, sebaliknya kita tengah menderita luka, pasti tak dapat menandingi!"

Perahu mendekat, seorang gadis duduk di situ tak bergerak gerak. Dilihat dari rupanya dapat dipastikan itulah Tjen Tjen. "Adik Gwat Hee lebih baik kita mendarat, atau duduk di sini?" tanya Tjiu Piau.

"Kau dengar di kaki bukit terdengar suara berderak sepatu, pasti ada orang datang!" Dalam waktu sekejap tampak Tong Leng, Bok Tiat Djin Kembali mengejar Louw Eng yang sudah merupakan ular.

Perahu kecil itu sudah tinggal beberapa meter saja dari darat. Sedangkan orang-orang yang di darat itu sudab sampai di tepi danau. Ong dan Tjiu diam tidak bergerak menantikan perubahan. Saat ini kedua mata Louw Eng merah membara, menatap wajah anaknya, yang mengherankan Tjen Tjen sedikit juga tidak bergerak masih tetap duduk di sana, seperti tidak meladeni.

Bok Tiat Djin tiba, begitu melihat murid muridnya, lantas membuka mulut dengan penuh kegirangan: "Tjen Tjen, Tjen Tjen, tepat sekali kau datang, menolong ayahmu, bukan?" Ia tidak menjawab, melihat ini sang guru merasa aneh, tubuhnya mencelat ke perahu yang didudukinya.

Tjen Tjen masih tetap tidak bergerak, hanya matanya saja menatap ayahnya dengan perasaan sedih, air matanya mengalir seperti rantai mutiara. Di balik sana Gwat Hee mengerti Tjen Tjen pasti kena ditotok orang berilmu.

Begitu sampai di perahu. Bok Tiat Djin segera menarik tangan Tjen Tjen. Pada saat inilah dari belakang tubuh Tjen Tjen berkelebat sesosok tubuh orang. Kiranya di belakang tubuhnya ada orang yang bersembunyi. Orang ini berambut putih, tidak lain tidak bukan dari Hoa San Kie Sau.

Gwat Hee kegirangan bukan buatan, pikir saja orang dalam keadaan terjepit, dan tak berdaya mendapat satu harapan yang demikian memastikan. Sehingga lupa pada sakitnya, ia berteriak-teriak kegirangan: "Suhu! Suhu!" Baru saja teriakannya dua kali, hampir-hampir tak dapat bernapas lagi. Pikirnya gurunya sudah datang, segala Tong Leng dan Hek Pau Tju sudah tak perlu ditakuti lagi.

Hoa San Kie Sau sambil membaringkan dirinya melihat keadaan ini. Dengan senyumannya yang welas asih ia berkata: "Masih beruntung aku dapat menemukan kalian." Sambil berkata, tangannya dipakai menangkap tangan Bok Tiat Djin. Hal ini di luar perkiraan lawan, tangannya buru buru ditarik kembali, hampir saja kena dipegang. Ia mundur ke belakang, tapi di belakang mana ada tempat pula? Tak ampun lagi tubuhnya kecebur ke danau !

Tidak kira kejatuhannya ke dalam air ini, menguntungkannya. Ia dapat berenang, begitu sampai di air, segera ia menyelam, begitu muncul kepalanya sudah berada di dekat perahu yang dinaiki Gwat Hee dan Tjiu Piau. Ia bukan anak kemarin dulu, akalnya banyak. Dalam waktu sebentar saja akalnya ' kembali bekerja. Didekatinya pinggir perahu, tubuhnya diangkat naik ke udara, belum kakinya menempel papan perahu, tangan kanannya sudah mendahului menotok kepala anak-anak muda itu. Tjiu Piau dan Gwat Hee menderita luka, dengan sendirinya tidak dapat melawan.

Bok Tiat Djin tertawa dengan girang: "Orang she Nio Serangan dari biji caturmu memang berbahaya sekali, tapi sekarang kau tidak akan mendapat untung. Kita adalah orang yang mengerti urusan, hal ini tidak perlu banyak diceriterakan. Sekarang aku menanyamu, set ini bagaimana? Mau diteruskan atau mau remis (seri) kau boleh pilih!"

Bok Tiat Djin begitu melihat ke luarnya Hoa San Kie Sau, sudah mengerti apa yang dikehendakinya. Yakni menggunakan Tjen Tjen sebagai jaminan untuk meminta orang. Karenanya dengan segera ia pun pergi mendekati perahu Tjiu Piau- Menggunakan dua jiwa ini untuk menjamin keselamatan muridnya. Misalkan Hoa San Kie Sau berani bergerak mencelakakan jiwa Tjen Tjen. Tjiu dan Ongpun akan di bereskan, dengan ini dua pion tukar satu, tetap untung.

Hoa San Kie Sau diam sebentar, kemudian dibukanya jalan darah bicara dari Tjen Tjen. "Ayahmu kenapa?

Katakanlah!” Kiranya ia sudah melihat Louw Eng yang memandang puterinya dengan penuh harapan. Dan melihat wajah Tjen Tjen yang gelisah melibat ayahnya, Saat itu tak sempat untuknya menjawab pertanyaan Kie Sau. Ia menangis sambil berkata. "Ayah, kenapa kau bisa terkena bisa Tjian Tok Tjoa? Yah, katakanlah!" Louw Eng tak dapat bicara, hanya mengelel-elelkan lidahnya saja. Bok Tiat Djiu memelintir tangan Tjiu Piau sambil berkata. "Karena tidak hati-hati kena dilukai anak celaka ini!" Tjiu Piau merasakan sakit bukan main, tapi tetap dunn tak mengeluarkan rintihan atau suara.

Hoa San Kie Sau mengerti sudah, apa yang dikehendaki lawan. Baru mulutnya ingin berkata. Kembali Bok Tiat Djin sudah mendahului berkata : "Hoa San Kie Sau, sudah kau pikir masak-masakkah? Biji catur ku ada di tanganmu sebaliknya anak catur mu berada dalam kekuasaanku.

Pikirlah mau melawan terus atau seri? Terkecuali ini jiwa beberapa orang ini berada dalam keputusanmu, lekaslah kau tetapkan pilihanmu." Ia mengetahui watak yang welas asih dari Hoa San Kie Sau, sengaja meletakkan mati hidupnya jiwa orang orang ini atas pundak Kie Sau. Hal meminta obat pemunah pada Tjen Tjen tidak dikemukakan dulu. Sebab kalau hal ini dikatakan berarti jiwa Louw Eng turut pula berada di tangan Kie Sau. Sama dengan menjadi biji kemenangan pula untuk Kie Sau!

Hoa San Kie Sau tak mengira, bahwa Tjiu Piau dan Gwat Hee akan menderita luka demikian macam. Dengan sebentar saja ia kena ditindih Bok Tiat Djin. melihat keadaan demikian, benar benar tak berketika untuk mengembangkan permainannya. Tengok kiri kanan tak terlihat Ong Djie Hai. Kakakmu ke mana?" tanyanya kepada Ong Gwat Hee. Dengan sedih dan gusar Gwat Hee menjawab: "Kecebur ditendang Louw Eng." Mendengar ini perasaan sang guru menjadi gusar, kedua matanya mengeluarkan sinar yang berapi api, dipelototinya Louw Eng sambil dibentak: "Bagus! Kiranya kau sudah membuka hutang baru."

Bok Tiat Djin kembali berkata. "Kie Sau! Percaturan ini bagaimana akan diselesaikannya? Aku tak kebanyakan waktu untuk menantikan kau terlalu lama! Kau lihat matahari itu, bilamana sudah bergeser agak ke barat, kau masih belum menentukan mau seri atau diteruskan Selewatnya waktu itu, jangan sesalkan aku tak berperikemanusiaan." Habis berkata, lengannya bekerja menggelepak tubuhnya Gwat Hee, gadis ini menahan sakitnya, sedikitpun tidak bersuara. Hoa San Kie Sau tertawa dingin. "Hek Pau Tjuyang baik, lepaskanlah orang orang itu!" lalu Tangannya sendiri bergerak membebaskan Tjen-Tjen dari totokan, tangan satunya lagi tetapi memeganginya, tak memberi kesempatan untuknya melarikan diri! Saat ini Ong Gwat Hee baru berseru. "Suhu ia mempunyai obat pemunah, jangan lepaskan dia!" Mendengar ini Bok Tiat Djin lekas lekas mencekal Tjiu Piau dan Gwat Hee dengan erat. "Kau menahan obatnya, aku tak melepaskan orang-orang ini!"

Hoa San Kie Sau tertawa mendengar ini.

"Hek Piau Tju, kau jangan kuaur, kalau kata Lohu lepas pasti lepas! Walaupun kini Louw Eng dapat tertolong dengan obat pemunah ini. tapi pada suatu hari pasti jiwanya tak terlepas lagi dari hukuman alam. Baiklah sekarang kau dan aku masing-masing mencelat dua tumbak ke beiakang untuk saling menukar orang!"

Bok Tiat Djin ingin lekas menolong sang kawan dari itu tidak memikir untuk berbuat licik. Tjiu Piau dan Gwat Hee dibebaskan dari totokan sesudah itu tubuhnya sendiri mundur ke belakang. Tjen Tjen pun dibebaskan. Begitu bebas ia mencelat seperti seekor burung kecil menuju pada tubuh ayahnya dengan keras leher Louw Eng dipukulnya.

Sesuai dengan cara mematikan ular harus tujuh senti meter di belakang kepalanya.

Sekujur badan Louw Eng segera menjadi lemas, seperti tak bertulang ia bertiarap di muka bumi. Tjen Tjen segera mengobatinya. Gwat Hee melihat Louw Eng tertolong, hatinya panas seperti dibakar. Sambil mengenakkan giginya ia berkata: "Menyesal aku tak dapat mengadu jiwaku dengannya, kalau tidak aku tak mengijinkan bangsat ini dapat hidup terus!" Hoa San Kie Sau mencelat ke perahu mereka. Ia berkata sambil menghibur:

"Gwat Hee kau jangan gelisah, rawatlah dirimu dulu baru kita berusaha lagi. Kulihat wajahmu demikian pucat, apakah kau menderita luka?" Gwat Hee menuturkan kejadian tadi pada Kie Sau. Tjiu Piau pun diperkenalkan kepada orang berilmu ini. Hoa San Kie Sau memeriksa keadaan luka dua orang ini. "Oh. tidak apa apa. semua dapat diobati, tapi tidak dengan lekas lekas. Sesudah sembuh dapat tidaknya kepandaian kalian seperti sediakala, semua tergantung kepada kerajinan berlatih." Ketika orang melihat Louw Eng sudah minum obat, tubuhnya tertidur dengan nyenyak, wajah mukanyapun kembali seperti biasa. Tong Leng menggendongnya.

Beberapa orang ini berlalu. Burung garuda itu pun mengikuti Tjen Tjen dengan terbang perlahan lahan.

Kie Sau berkata: "Anak perempuan itu sungguh mengherankan. Melihat binatang apapun segera suka, binatang binatang itu pun sangat mendengar katanya. Garuda itu didapatinya di tengah perjalanan, dengan mudahnya dijinakkan. Aku dapat mencari kalian berkat petunjuk dari Garuda itu" Tjiu Piau mendengar ini menjadi heran, pertama kali berjumpa dengannya, dia memelihara ular. kedua kali berjumpa, melihat ia memelihara kakak tua, kali ini bertemu lagi ia sudah mempunyai burung Garuda.

Louw Eng dan kawan kawan sudah pergi jauh.

Kie Sau berkata: "Kitapun harus mencari tempat yang sunyi dan sepi untuk merawat luka yang kamu derita."

"Sekeliling danau ini adalah tempat yang sunyi dan nyaman, sebaiknya kita kayuh perahu perlahan lahan untuk mencarinya." jawab Gwat Hee. Perahu dikayuh jalan dengan pengayuh yang dibawa Kie Sau. Jalan punya jalan, akhirnya mereka melihat sedikit benda terapung di permukaan air.

Melihat itu hatinya Gwat Hee sepontan bercekat. Ia berseru: "Suhu kayuhlah perahu kita ke sana!"

Waktu perahu sampai di tempat benda itu, kiranya adalah carikan dan sobekan dari kain kasar. Sekali lagi Gwat Hee berseru dengan kaget. "Suhu, Tjiu Piau ko, kau lihat, bukan kah ini sobekan baju dari kakakku?"

Hoa San Kie Sau mengambil kain itu dengan pengayuhnya. ditelitinya dengan hati hati tengah ia ragu ragu. Gwat Hee sudah berkata lagi. "Suhu kau lihat, di sana ada lagi sobekan baju itu!"

Ketiga orang buru buru ke sana. di dapatinya lagi sobekan kain yang serupa. Memang ini tak dapat diragukan lagi. bahwa kain itu adalah baju Djie Hai yang kena sobek. Waktu dilihat ke tempat yang lebih jauh kembali dapat dilihat dari sobekan baju itu yang mengapung di permukaan air. Mereka terus mengangkati potongan potongan kain itu, sedangkan Gwat Hee menempel nempelkan menjadi satu, kain kain itu sudah merupakan baju atas dari Djie Hai. Gwat Hee tak tahan lagi ia menangis. "Kakak, kakak apa yang terjadi pada kau?"

Hoa Sm Kie Sau berpikir sebentar, hatinya sudah mempunyai tekanan. Pasti ada orang yang menunjukkan jalan untuk mereka mencari Djie Hai. Kalau demikian Djie Hai belum meninggal, tapi tidak di ketahui jatuh di tangan siapa. Perahu di kayuh bertambah pesat, apa baik apa tidak, tidak dihiraukan. Mereka dengan gagah dan berani mengikuti kain kain itu terus maju ke depan.

Kala ini tak ada alunan riak memecah, air. Air bening jernih laksana kaca, dari itu racikan kain tak terpencar, berbaris sangat rata seperti diatur menuju ke sebuah pulau terpencil jauh di muka.

Kie Sau dengan hati hati mendekati, perahunya menuju pulau itu, kira kira tinggal beberapa tumbak lagi segera akan sampai, tapi tiba tiba perahu itu dihentikan dan berputar mengelilingi pulau tersebut itu tak menunjuKkan suatu gerakan yang mencurigai, demikian juga tak terlihat manusia barang serotongpun. Kecurigaan timbul di hati mereka, tak berani mereka datang mendekat atau mendarat. Suatu kebiasaan untuk orang Kangouw tidak berani sembarangan memasuki daerah yang belum dikenalnya. Lebih lebih tempat yang tidak ke lihatan ada apa apanya, sangat pantang untuk sembarangan dimasuki. Sebabnya sering-sering terjadi tempat yang demikian itu tak ubahnya merupakan perangkap perangkap yang berbahaya, sedikit saja tidak hati-hati bisa jatuh dalam tangan musuh.

Hoa San Kie Sau berpikir, kalau ia sendiri yang masuk masih tidak menjadi soal, andai kata menemui sesuatu yang tidak baik, masih sanggup mengatasinya dengan kepandaian ilmunya. Tapi di sampingnya terdapat dua orang yang menderita luka, bukan saja tidak dapat membantunya bahkan sebaliknya merupakan beban saja. Untuk meninggalkan Tjiu Piau dan Gwat Hee di perahu, hatinya tidak mengijinkan.

Tengah dalam bimbang tak berkeputusan, tiba tiba di permukaan air tampak satu riak gelombang kecil yang bulat, menyusul sebuah kepala orang timbul dari dalam air.

Hoa San Kie Sou tak mengenal orang itu, baru saja mau memberi hormat, Gwat Hee sudah mendahului dengan seruan kagetnya. Tak tahunya orang itu adalah Lu Shi Heng Tee yang tertua yakni Lu Tie. Ia tertawa dengan gembira, sekali kali tak merunjukkan sikap bermusuhan.

"Saudara saudara apakah kalian tengah mencari saudara Djie Hai?" tanyanya dengan ramah tamah.

"Benar," jawab Gwat Hee.

"Lu Toa ko, apakah kau menemuinyakah?" Lu Tie berdiri di air sambil tertawa.

"Lihat, aku melihatnya dengan baik diair maupun di api!" kata Lu Tie. Gwat Hee adalah orang yang pintar mendengar kata-kata ini otaknya segera mengingat kejadian bagaimana matinya api yang mengurung mereka itu dalam gelagah. Hatinya memastikan bahwa penolong ini pasti adalah orang-orang dari Bu Beng To.

"Pagi ini kami dapat menyelamatkan diri dan api pasti disebabkan pertolongan dari tuan tuan. Betul tidak? Ong To Tju kini berada di mana? Dapatkah kami menemuinya untuk menghaturkan terima kasih kami? Mengenai kakakku dapatkah tuan menunjukkan jalan untuk menemuinya?" kata Gwat Hee dengan tergesa gesa.

"Terus terang kukatakan bahwa yang menolong kalian di dalam api adaiah Ong To Tju. Ia menarik gelagah dari dalam air, sehingga kalian mendapat jalan ke luar. Aku tidak membantu apa apa. hanya bantu mendorong perahu saja dari bawah. Tapi kalian harus tahu. Ong To Tju tidak seperti dulu lagi, ia tidak mau lagi campur tangan untuk mengurus sesuatu hal yang tidak bersangkutan. Kalian ditolong, sekedar tidak tega saja melihat kalian mati secara cuma-cuma. Kemudian kalian bertempur di atas pulau dengan Louw Eng, pada itu Djie Hai kena ditendang ke dalam danau, sekali lagi Ong To Tju menolongnya. Dari itu kakakmu tidak kurang suatu apa. harap jangan kuatir."

Gwat Hee baru tahu bahwa racikan kain itu sengaja disobek kakaknya, untuk menunjukkan jalan. Dapat dikatakan caranya ini tidak sia-sia dilakukan. Dengan penuh kegirangan ia berkata.

"Lu Toa ko, tolonglah kami untuk menemui kakakku--- Ah, aku lupa tidak memperkenalkan kalian. Ini adalah guruku yang bernama Hoa San Kie Sau." Lu Tie menganggukkan kepalanya memberi hormat, sesudah itu ia berkata pula sambil tersenyum.

"Kini aku tidak mengetahui di mana kakakmu berada." "Kenapa?"tanya Gwat Hee tersesa gesa.

"Sesudah kakakmu kena ditendang Louw Eng. pahanya menderita sedikit luka. Benar jaka itu tidak berbahaya, tapi agak susah juga untuknya berjalan. Sesudah ia beristirahat sebentar, segera mendesak kami untuk melulusinya menemui kalian."

Gwat Hee dan Tjiu Piau merasa terharu mendengar kebaikan dan kecintaan Djie Hai terhadap mereka. Lu Tie melanjutkan lagi kata katanya: "'Kami menasehatkannya untuk tidak pergi. Tapi biar bagaimana juga ia hendak melihat kalian, kalau tidak melihat katanya hatinya tidak tenang dan penasaran. Hal ini menyukarkan OJg To Tju, kalian harus tahu To Tju tidak mau campur tangan dalam urusan Ini. Akhirnya sesudah mengambil keputusan. diantarnya kakakmu mendarat lagi di pulau, dan dibiarkannya kakakmu berdaya sendiri untuk mencari kalian. Kini ia pergi ke mana aku sekali-kali tidak mengetahuinya. Kalau kalian ingin mencarinya pergilah ke tempat sana." Habis berkata tanganrya menunjukkan arah kepada Gwat Hee dan Tjiu Piau. Sedangkan tubuhnya segera silam ke dalam air. Lu Tie mempunyai kepandaian di air yang luar biasa. Sedikit riakpun tidak tampak, entah ke mana ia berenang. Atas kepandaiannya di air ini membuat Hoa San Kie Sau menggeleng-gelengkan kepalanya sambil memuji di dalam hati.

Menurut arah yang diberikan ketiga orang merapatkan perahunya di pantai. Di atas pasir tegas kelihatan tapak - tapak kaki, tapak ini ada dua. satu meninggalkan bekas yang berat, satu ringan, terang ini pasti menggunakan tongkat untuk membantunya jalan. Ketiga orang ini mengikuti jejak kaki itu. Dalam pada ini Gwat Hee menderita luka. demikian juga Tjiu Piau.

Benar dia dipayang oleh Hoa San Kie Sau tapi mereka tidak dapat berjalan dengan cepat. Sesudah mengikuti agak lama juga atas jejak jejak kaki itu. sampailah mereka di sebuah batu besar. Mereka memeriksa batu besar itu dengan hati hati. Ong Gwat Hee menjumpai sebuah huruf Ong di atas batu. Mungkin Djie Hai yang menulisnya dengan menggunakan ilmu dalamnya, sehingga huruf itu seperti terukir di atas batu itu. Hal ini membuat Gwat Hee girang.

Ia mengambil kesimpulan bahwa kakaknya masih tetap tidak kehilangan ilmunya. Dicarinya lagi jejak kaki itu, sekali ini terkecuali dari satu tapak yang dalam, dan satu yang ringan terdapat tambahan uang kecil yang bulat. Gwat Hee tidak mengetahui tanda dari apa bulatan itu. Hoa San Kie Sau menotolkan tongkatnya ke tanah, tanda bulat segera terlihat seperti tanda yang mereka lihat.

"Kakakmu disebabkan luka, sehingga menggunakan cabang pohon sebagai tongkat." kata Hoa San Kie Sau. Mereka berjalan lagi, keadaan tempat semakin sunyi dan sepi, sebaliknya pohon-pohon semakin banyak. Tanpa dirasa lagi mereka sudah tiba di tempal yang banyak belukar lebat, sehingga jejak kaki menjadi kacau dan tak dapat diikuti lagi. Kie Sau menotolkan kakinya, ke bumi, tubuhnya mencelat ke atas pohon. Di pandangnya ke empat penjuru, tapi tidak tampak seerangpun dan tidak terlibat gerakan gerakan yang mencurigai. Sesudah lama barulah ia melihat lagi bekas kaki orang di tempat yang agak jauh.

Ketiga orang ini buru buru menghampiri tempat tempat itu. Terlihatlah di rumput itu tiga sampai empat telapak kaki orang. Hal ini pasti bukan telapak kaki dari satu orang. Hal ini nyata dan tegas kelihatannya. Pasti adalah jejak kaki kaki dari Louw Eng dan kawan kawannya yang lewat di sini, Djie Hai melihat ini segera bersembunyi. Selanjutnya bagaimana, tak dapat dikira kira lagi, ketiga orang ini mengikuti jejak kaki berjalan, tapi tapak kaki Djie Hai sekali kali tidak teriihat. Sesudah mereka melewati beberapa sungai kecil. Perjalanan mereka terhalang oleh sebuah sungai yang besar. Sesudah sungai ini diseberangi mereka, jejak jejak kaki itu hilang tidak berbekas.

Melihat keadaan ini Kie Sau sadar usaha untuk menemui Djie Hai kandas sama sekali Sementara itu ia membujuk kerisauan Gwat Hee dan mengajaknya pergi ke sebuah kota kecil untuk mengatur rencana jangka panjang dengan tenang.

Luka Gwat Hee tidak ringan, Kie Sau menolongnya sambil membetulkan dan mengatur perjalanan darahnya, selain itu ia memberikan juga obat untuk dimakan, sehingga lukanya Gwat Hee agak baikan. Gwat Hee diberinya pula petunjuk untuk bersemedi guna mengobati lukanya, di samping; itu untuk memperdalam ilmunya.

Tjiu Piau menderita di luar, tapi untuk sementara waktu tidak dapat dengan segera diobati. Lukanya itu berat juga, karena kedua tangannya menderita patah tulang, tulang tulang itu sudah salah sambung, tambahan di tempat patahan itu tulang-tulang sudah menjadi hancur.

Kemungkinan untuk disambung sudah tak ada lagi. Hoa San Kie Sau berikhtiar mencari tabib di sekitar tempat itu. Tapi tak seorangpun berani mengobati, mereka mengatakan kenapa tidak siang siang datang berobat. Sekarang lukanya sudah demikian macam, sudah tak tertolong lagi. Hal ini membuat Tjiu Piau gelisah, ditambah penderitaan sakitnya berturut turut beberapa hari, sehingga tubuhnya kian hari kian menjadi kurus.

Pada suatu hari Tjiu Piau merasa kesal, untuk menghilangkan kekesalan hatinya ia pergi berjalan jalan ke luar kota kecil itu. Saat itu masih pagi, sinar surya menerangi keadaan pohon pohon yang menghijau di sekitar pandangan mata. Tjiu Piau beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Pikirannya terbang jauh melayang memikiri kejadian kejadian yang dialaminya semenjak meninggalkan rumahnya. Kini tangannya sudah menjadi patah, sejak ini ia merasa kepandaian tunggal Bwee Hoa Tok Tju sudah tak dapat dipakai lagi. Apakah ilmu ini akan sirna dengan begini saja, pikirnya. Mengingat ini hatinya merasakan kedukaan yang hebat.

Tiba tiba seekor kelinci berlari-lari mendekati Tjiu Piau yang tengah memikiri nasibnya. Kelinci itu membuka matanya menatap dia. Kemudian kelinci itu lari secepat cepatnya waktu melihat Tj u Piau bergerak. Dalam waktu sekejap saja sudah tidak kelihatan lagi mata ekornya.

Kelinci itu membangkitkan perasaan iri Tjiu Piau, hatinya berpikir. Andai kata aku tak menderita luka. segala Kelinci yang bagaimana lircah pun pasti tidak dapat menandingi kegesitanku. Asal hatiku ingin menangkapnya cukup dengan menggoyangkan tangan untuk melepaskan beberapa butir batu, matanya dapat kubutakan, kakinya dapat kupincangkan, dalam keadaan demikian aku dapat menangkapnya dengan mudah sekali. Memikir sampai di sini kerisauannya bertambah - tambah, dengan gusar kakinya diangkat untuk menendang segala batu - batu yang berada di situ. Sungguh kebetulan sekali salah satu batu yang disepak itu melayang ke udara dengan kerasnya. Dan mengenai seekor burung gereja yang sedang terbang.

Burung itu tanpa mengeluarkan bunyi lagi segera jatuh ke bawah !

Melihat kejadian yang serba kebenaran ini membuat hati Tjiu Piau menjadi senang. Ia berjalan mendekati burung itu, sambil membungkukkan badan, digigitnya burung itu dengan mulutnya, diletakkan di dengkulnya untuk diperiksa. Benar saja burung itu mati karena batu yang disepaknya tadi. Hatinya sepontan mempunyai pendapat yang baik, sehingga hatinya yang gelisah dan risau itu hilang tersapu bersih. Mukanya bercahaya dan berseri-seri, sedangkan kakinya loncat loncatan kegirangan, sehingga rasa nyeri di tangannya menjadi hilang, Ia meloncat ke barat dan mencelat ke timur sambil menendangi batu batu yang berserakan di situ. Dalam waktu sekejap kolar-kolar kecil itu beterbangan di udara dengan serabutan!

"Tanganku sudah patah, tapi kakiku masih baik. Orang lain menggunakan tangan untuk melepaskan senjata rahasia,kenapa aku tidak memakai kakiku untuk melepaskan senjata rahasia?" Pikir Tjiu Piau di dalam hati.

Tjiu Piau kembali menendangi batu dengan serampangan. Kian lama kian beraturan larinya batu batu yang kena ditendang itu. Dalam girangnya Tjiu Piau bertekad untuk melepas senjata rahasia dengan Kedua kakinya. Beruntun beberapa hari Tjiu Piau mempelajari seorang diri ilmu ini. Alhasil batu betul itu dapat dilepaskan oleh kakinya sekehendak hatinya. Tambahan kegesitan yang sudah dimilikinya memang baik. Tak heran dalam waktu setengah bulan pelajaran itu dipelajarinya dengan memuaskan. Kini Tjiu Piau mempelajari cara lain pula. Kaki kirinya terangkat menendang batu perlahan-lahan, kaki kanannya menyusul terangkat menyepakkan lagi batu itu yang belum turun ke tanah. Batu itu kena ditendang merapung ke udara dengan cepatnya dan keras melebihi lontaran tangan, sehingga sekali tendang ini membuat hal yang di luar dugaan!

Tjiu Piau melibat batu itu dapat,ditendangnya demikian tinggi membuat hatinya girang betul, dicobanya berkali kali sampai puas. Batu-batu itu dapat ditendangnya tinggi atau rendah, cepat atau lambat, sekehendak hatinya, sehingga pelajaran ini agak dapat dikuasai dengan matang. Kala itu senja mendatang, burung beratus-ratus pulang kesarangnya. Tjiu Piau mengawasi seekor gagak hitam yang terbang mendatang.

Katakan lambat tapi cepat, gagak itu bercoet sekali dan jatuh dan udara ke muka bumi. Tjiu Piau kegirangan, beruntun kakinya terangkat untuk melepaskan batu-batu guna menghantam dua gagak yang tengah hinggap di atas sebatang pohon yang tidak berjauhan dari tubuhnya.

Seekor kena dihajar sayap kanannya sampai tak dapat terbang, gagak itu bergelapakan dan jatuh perlahan-lahan. Gagak yang sudah terbang dan hinggap di sebatang pohon yang sangat rimbun daunnya. Tiba tiba batu Tjiu Piau menghajar dengan kerasnya. Tiba tiba "waaa" mendatang suara aneh, agaknya batu itu mengenai sesuatu, dari pohon itu mendadak jatuh turun sebuah benda yang hitam.

Sesudah ditegasi baru tahu benda itu adalah orang.

Tjiu Piau kaget melihat hal ini, pikirnya ia sudah membuat onar. Lekas lekas ia lari untuk menyanggapi tubuh orang, sayang hal ini tidak dapat dilakukan, karena tangannya yang patah itu tidak bertenaga dan tidak dapat digerakkan. Tengah ia bingung dan gelisah, orang itu beruntun berjungkiran dari atas pohon yang tingginya lima enam depa itu dengan tak gugup sedikit juga. perlahan lahan kakinya tiba di muka bumi tanpa menerbitkan suara. Orang ini dengan baik berdiri mengawasi Tjiu Piau, mukanya sedikit juga tidak marah, napasnya juga tidak memburu, sambil menepak nepak pantatnya ia berkata. "Siau ko, aku sedikit juga tidak melakukan hal yang menyakiti hatimu, kenapa tidak hujan tidak angin kau menyerang aku?"

Orang ini memakai baju yang banyak tambalan, tapi tercuci demikian bersih seperti pengemis tapi bukan. Di pinggangnya terdapat sehelai kain yang panjang dililit lilit entah apa yang disimpan di dalamnya. Sedangkan pengawakannya sangat kate, mukanya merah bersinar, kepalanya sudah agak rontok rambutnya, di janggutnya terdapat jenggot yang sudah putih. Usianya lebih kurang enam puluhan, tapi wajahnya seperti anak anak saja.

Tjiu Piau mendengar kata kata orang, seolah olah tidak mengandung maksud jahat, dari itu ia maju ke depan sambil menghaturkan maaf. "Lo Tia tia (orang tua yang terhormat) harap jangan gusar, barusan aku tidak mengetahui kau berada di atas pohon, apakah batuku membuat kau luka?" Orang tua itu tertawa dengan terbahak bahak sambil berkata ; "Melukakan aku? Kau ingin melukakan aku? Ha--- ha — , ha Jika kau bisa melukakan aku, di dalam dunia yang lebar ini kau dapat malang melintang sesuka hati!" Kata katanya ini sangat terkebur, ia tertawa lagi dengan tiba tiba berhenti lagi. Diawasinya Tjiu Piau dengan tajam kembali ia berkata :

"Hei! Tanganmu itu kenapa? Patahkah?"

Dengan hormat sekali Tjiu Piau berkata: "Lo Tia tia sekali lihat sudah mengetahui, tanganku memang kena dipatahkan orang."

Orang tua itu melangkahkan kakinya menghampiri Tjiu Piau, tangan Tjin Piau diperiksanya dengan teliti, dengan perlahan ia berkata:

"Patah sampai demikian macam! Kalau tidak kuobati siapa pula yang dapat mengobatinya?"

Tiba tiba suaranya berubah menjadi keras.

"Mari! Ikut padaku!" ia berlalu tanpa menoleh lagi.

Tjiu Piau menjadi sangsi, hatinya berpikir turut atau jangan.

Sebaliknya orang tua itu terus saja jalan tanpa menoleh- noleh lagi. Tjiu Piau menjadi ragu ragu pergi atau tidaknya tergantung kepada dirinya sendiri. Tjiu Piau tidak bisa dengan segera mengambil keputusan. Akibat dari pengalamannya semenjak ia meninggalkan rumah dan terjun ke dalam masyarakat bebas, mengakibatkan hatinya tidak gampang percaya kepada mulut orang Tapi orang tua ini menunjukkan gerak geriK yang tidak mercurigakan, bahkan dari lagunya saja sudah membuat orang merasa sayang dan percaya, tanpa terasa lagi iapun melangkahkan kakinya menyusul orang tua itu.

Sesudah berjalan dua tiga lie, di depan mata tampak sebuah desa yang terdiri dari tujuh delapan perumahan gubuk yang terpencil-pencil. Penghuni rumah itu agaknya tengah pergi ke ladang mereka, di rumah tertinggal kanak kanak yang tengah bermain main. Orang tua itu tiba tiba menangkap dua ekor ayam jago dengan berhasil, sesudah itu kembali melangkahkan kakinya dengan cepat. Tjiu Piau mengikuti terus.

Orang tua itu berkata kepala Tjiu Piau tanpa menoleh : 'Kau jangan ikut dulu ! Kau harus menggunakan ilmu menyepak batu dulu guna menghajar kira kira dua puluh burung yang besar untuk ditinggalkan di sini hitung hitung sebagai gantinya dari dua ekor ayam jago ini . . . sesudah beres, segera kau pergi ke puncak gunung yang terletak di sebelah tenggara, di mana ada pohon pohon liu itu di situ aku berada."

Sambil bicara orang tua itu terus saja berjalan. Begitu kata katanya habis tubuhnya sudah berada-kira-kira dua tiga puluh tumbak dari tempat ia bicara Tapi suaranya itu masih tetap tegas terdengar. seolah olah orangnya tidak bergerak ke mana-mana.

Tjiu Piau menjalankan pesanan dari orang tua itu.Kakinya terangkat bekerja dalam sekejap saja beberapa ekor burung yang terbang lewat di atas kepalanya telah menjadi korban batu batunya yang terlepas dari kakinya. Ia berdiam kira kira setengah jam lamanya, burung burungpun sudah didapat dua puluh ekor tepat.

Tanpa membilang apa apa burung burung itu diletakkan di depan rumah pak tani di situ, sedangkan ia sendiri buru buru berlalu ke arah tenggara menyusul orang tua aneh tadi.

Belum berapa lama Tjiu Piau berjalan Sampailah ia di sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Walaupun demikian bukit ini penuh ditumbuhi pohon pohon yang lebat. Tjiu Piau menyedot napas segar, kemudian membentangkan ilmu mengentengkan badannya untuk sampai di puncaknya bukit itu. Dari tempat atas ini ia dapat melihat kesebelah bawah dengan tegas, benar saja di sebelah bawah terdapat pohon liu yang gemelai ditiup angin. Sesampainya Tjiu Piau di bawah pohon, matanya segera menampak dua ekor ayam jago itu diikat orang tua itu di atas dahan pohon liu, sedangkan orang tuanya sendiri terdapat di bawah ponon liu tengah tidur menggeros dengan nyenyaknya. Tjiu Piau duduk di samping tubuh si orang tua tanpa berani mengganggu untuk membangunkannya.

Orang tua itu tidur kurang lebih satu jam penuh.

Sedangkan mataharipun sudah turun ke arah barat dan terbenam di balik gunung, pada saat inilah orang tua itu baru bangun dari tidurnya.

Ia tertawa sambil berkata pada Tjiu Piau: "Kau bisa menyayur tidak? '

"Aku hanya bisa menyalahkan api untuk menanak nasi." 'Sudahlah sudah. Yang pasti aku harus masak untuk kau

makan, betul tidak? Pikir saja lenganmu mana bisa

bergerak untuk menyalakan api? Mari, mari. Hari ini aku harus mengobati lenganmu itu dulu sesudah itu baru mengundangmu makan," kata orang tua itu dengan jenaka.

"Dengan cara apa Lo Tiat tiat ingin mengobati aku?" tanya Tjiu Piau dengan heran.

Orang tua itu tidak menjawab, sebaliknya ia bertanya kembali pada Tjiu Piau.

"Kau dapat menahan sakitkah?" "Aku dapat!"

"Kalau bisa baik sekali, tapi aku juga tidak berniat membuat kau merasa saKit."

Habis bicara tangannya memijit - mijit tubuh Tjiu Piau, entah di sebelah mana ia menotok jalan darah Tjiu Piau. membuat Tjiu Piau merasakan seKujur badannya menjadi kaku dan hilang perasaan sakitnya. Orang tua itu mengeluarkan sebilah pisau kecil, daging Tjiu Piau segera dibeleknya. tulangnya dikerik sedang tulang tulang kecil sebagai hancuran dari luka itu dibuangnya.

Kemudian dengan cepat dan sebet sekali dilekatkannya cabang pohon liu yang sudah diraut bersih dibanjuri darah jengger ayam jago. Di tempat bekas dipotong dibubuhi obat bubuk yang terakhir dilekatkannya kayu dari sebelah luar. Tidak sampai setengah jam lamanya kedua tangan Tjiu Piau itu sudah selesai dioperasi. Pembaca yang budiman, ketahuilah inilah cara pengobatan cara Tionghoa yang luar biasa untuk menyambung tulang yang patah.

Sesudah selesai orang tua itu mengobati Tjiu Piau, diambilnya ayam jago yang sudah selesai dipakai itu, tubuh ayam itu di bungkus dengan tanah liat. sesudah itu segera dibumbui (dibakar alam abu yang panas). Masakan ini dinamai ayam tambus. Berkat kepandaian makan mereka, dalam sekejap saja ayam itu sudah tinggal tulangnya.

Dengan suara bengis ditegurnya Tjiu Piau ; "Lekas kau ceriterakan siapa yang membuat lenganmu menjadi patah! Jika harus patah, aku akan mematahkan lagi lenganmu itu!"

Gentakan dari orang tua itu membuat hati Tjiu Piau merasa gentar dan takut. Ia tak dapat menjawab dengan segera, hatinya risau tidak keruan sedangkan mulutnya kemak kemik tak bersuara. Hal ini rupanya sudah diketahui orang tua itu, dengan tersenyum lucu ia berkata pada Tjiu Piau:

"Kau tentu tengah berpikir untuk bagaimana meng- atakannya kepadaku. Tapi awas, kau mendusta sedikit saja aku dapat tahu. Dalam jaman ini yang dapat membuat luka semacam ini hanya beberapa orang saja, kau tidak mengatakan juga aku dapat mengira - ngiranya beberapa bagian. Lekas katakan!"

"Lo Tia-tia,, aku...aku dilukai oleh seorang jahat. Orang jahat itu bernama..." jawab Tjiu Piau dengan gugup.

"Orang jahat macam apa?" potong orang tua itu.

Pertanyaan orang tua itu membuat Tjiu Piau terdiam sejenak, sesudah ia berpikir sebentar baru dapat menjawab: "Orang jahat ini adalah budaknya bangsa Tjeng."

"Pikiranku tidak salah, tentu si Jarang Ketawa yang melakukan betul tidak?" tanya orang tua itu sambil tertawa. Selanjutnya orang tua ini kemak kemiK melanjutkan kata katanya, kata kata ini seperti diucapkan untuk diri sendiri., agaknya untuk Tjiu Piau juga. "Lukamu ini menghancurkan tulang sampai hebat. Di tempat lukanya hanya tertinggal sedikit tanda cacat yang ringan. Ini menandakan penyerangan dari golongan kelas dua. Misalkan ilmu kelas satu. pasti tidak mematahkan dan menghancurkan tulang di sebelah bawah daging yang dipukul, sebaliknya tenaganya dikirim melalui sumsum terus menyerang persendian sehingga sendi sendi pada putus. Dengan cara ini orang itu sukar tertolong lagi. Masa sekarang yang bisa melukakan kamu semacam ini orangnya dapat dihitung dengan jeriji.

Diantaranya orang yang dapat dihitung ini, Louw Eng termasuk yang sewenang wenang menggunakan ilmunya. Di dunia Kang Ouw ia membuat entah berapa banyak onar.

. ." Orang tua ini tidak melanjutkan kata katanya tiba tiba berkata keras sesudah berhenti sejenak.

"Louw Eng adalah manusia yang jahatnya luar biasa, nyatanya ia sudah melukakan kamu kenapa kau dapat meloloskan diri, lekas kau tuturkan!"

Sesudah Tjiu Piau mendengar kata kata orang tua itu. Timbul rasa percaya dan hormat kepada orang tua itu. Ia sadar bahwa orarg tua ini adalah golongan tinggi dalam dunia persilatan, ketika ini juga ia sudah mengambil ketetapan untuk tidak berdusta. Ia berkata dengan hormat sekali.

"Kata-kata Lo Tia. tia benar sekali. Misalkan Siauw pwee tidak mempunyai mutiara beracun, saat ini pasti tubuhku ini sudah tinggal tulang belulang yang putih."

Mendengar ini orang tua itu agaknya girang sekan, alisnya terangkat sedikit Ia berkata sambil memperhatikan Tjtu Piau. "Ah. kiranya kau adalah puteranya Tjiu Tjian Kin? Yang dipanggil dipanggil Tjiu--!

'Siau pwee dipanggil Tjiu Piau." sambung Tjiu Piau. "Ha--- ha---- ha betul betul, daya ingatku sungguh

tak kuat sebentar saja lupa semuannya.Tjiu Piau mau tidak

mau merasa heran di dalam hatinya. Entah bagaimana orang tua ini mengetahuinya seorang dari golongan tidak ternama. Bahkan seperti mengenal namanya juga.

Kemudian orang tua ini jadi ramah tamah seolah-olah seorang ayah terhadap anaknya.

"Coba ke sini untuk kuperiksa sekali lagi lukamu." Tjiu Piau mengasongkan lengannya. Orang tua itu dengan hati hati sekali memeriksa lengan itu.

"Baik, lenganmu sudah baik, asal saja kau dapat merawatnya dengan baik, dalam waktu empat puluh sembilan hari cabang liu ini akan menjadi seperti tulang, sehingga lengan ini tak ubahnya seperti lengan yang diberikan orang tuamu. Kini kau boleh pulang, dan kembali lagi esok hari pada waktu yang sama untuk menemui aku."

Habis berkata segera membentangkan langkahnya, dalam sekejap saja tubuhnya sudah berada dalam jarak sepuluh tumbak lebih. Tjiu Piau mengawasi punggung orang tua itu sambil bengong terlongong longong. Ia seperti merasakan mimpi.

Agak malam Tjiu Piau baru sampai di penginapannya.

Hoa San Kie Sau dan Gwat Hee sudah merasa cemas menantikannya. Takut kalau-kalau Tjiu Piau mengalami sesuatu yang di luar dugaan. Hati mereka baru lapang sesudah melihat Tjiu Piau kembali dengan tidak kurang sesuatu apa.

Hoa San Kie Sau melihat wajah Tjiu Piau yang penuh dugaan senyuman. Dilihat juga lengannya yang sudah diobati. Mau tak mau merasa heran.

"Lukamu bagaimana? Siapa yang mengobati! Jangan- jangan kau kena diperdayakan orang!" kata Hoa San Kie Sau penuh curiga.

Tjiu Piau dengan jujur menceritakan apa yang dialami barusan. Kie Sau begitu mendengar orang tua dan pohon, kegirangannya sudah tak dapat ditahan. Begitu Tjiu Piau habis menuturkan ia segera bertanya:

"Apakah kau tidak melihat ia membawa burung-burung yang indah?"

"Tidak," jawab Tjiu Piau singkat.

"Tapi biar bagaimana juga dan tak dapat diragukan lagi orang mi pasti Yauw Tjian pwee adanya. Orang tua ini kalau mau memberi sedikit petunjuk-petunjuk kepadamu bukan main baiknya." Sesudah ia beipikir sejenak segera berkata pada Gwat Hee : "Lekas kau pergi turun ke kota, selidikilah apakah di daerah sini mengeluarkan burung-burung yang indah? Pilihlah burung yang tercantik, berapa yang diminta pedagang itu bayar saja, belilah barang seekor dua.

Lekaslah!" Gwat Hee tidak mengetahui maksud Kie Sau. Sebelumnya ia tak pernah melihat gurunya menyuruh melakukan hal yang otak-otakan ini. Pasti ada sesuatu yang menjadi sebab.

Tak banyak pikir lagi segera membawa uang untuk membeli burung.

Seperginya Gwat Hee, Kie Sau kembali berkata kepada Tjiu Piau: "Kali ini sungguh mujur sekali. Orang tua itu adalah salah seorang dari tiga orang berilmu yang paling tinggi pada jaman ini. Kau berjumpa dengannya, kau terhindar dari cacat. Lebih-lebih kalau ia mau memberikan sedikit petunjuk kepadamu, ilmunya itu dapat kau pergunakan seumur hidup tanpa habis habis. Esok kau pasti berjumpa lagi dengannya, ingatlah kata-kataku jangan buang ketika secara percuma." Tjiu Piau mendengar petunjuk-petunjuk dari Kie Sau. Di samping itu ia tidak membuang ketika begitu saja, ditanyainya tiga orang berilmu untuk masa ini. Orang tua-tua itupun mengatakan golongan dari orang berilmu kelas dua dapat dihitung dengan jeriji. Hoa San Kie Sau mengetahui benar soal dunia Kang Ouw ini seperti menghitung jarinya sendiri. Ketika itu juga ia menerangkan kepada Tjiu Piau: "Orang tua itu she Yauw usianya sudah mendekati delapan puluh tabun tapi adalah yang termuda dari tiga besar sekarang ini. Akan ilmunya sama terkenalnya dengan yang dua orang lagi.

Adapun kepandaiannya yang khusus yakni dapat mengobati segala luka luar dalam. Pokoknya dalam hal ini sukar mencari orang keduanya. Seorang lagi adalah Hek Liong Lo Kuay, kini usianya delapan puluh tahun, orang ini berada di Kwan Tong di sungai Amur (Hek Liong Tjiang) ilmunya sangat gaib dari itu ia mendapat julukan Hek Liong Lo Kuay (Naga hitam yang gaib). Yang ketiga adalah seorang pendekar wanita yang sangat terkenal, yakni Pang Kim Hong yang berhasil mengalahkan Peng San Pai. Kini usianya sudah lebih dari delapan puluh tahun. Sepuluh tahun belakangan ini namanya jarang terdengar lagi. Adapun kepandaiannya yang khusus ialah dapat membedakan segala obat-obatan, dan dapat tahu kasiat dan cara menggunakaunya. Dari itu orang-orang Kang Ouw percaya, ia masih dalam keadaan sehat."

Sesudah diam seketika Kie Sau melanjutkan lagi penerangannya kepada Tjiu Piau: "Mengenai orang dari tingkatan kelas dua sukar untuk dikatakan. Sebab setiap saat banyak golongan muda merendengkan namanya dengan golongan tua. Tentu saja sesudah pertemuan Oey San di sana bisa diketahui." Tengah mereka asyik bicara, Ong Gwat Hee sudah kembali dari pasar burung.

"Soe-hoe, Soe hoe aku sudah dapat membeli seekor burung yang mungil dan cantik. Coba tebak berapa duit kubeli. Lima puluh tail perak!" Tangannya terangkat naik menjinjing sangkar burung yang baru dibelinya itu. Burung itu kira Kira sebesar burung gelatik besarnya.

Burung itu demikian mungilnya, warnanya ungu mulus, kelihatannya seperti permaisuri yang agung saja. la mengelapak-gelapak di dalam dengan sangat lincah dan lucu, membangkitkan rasa sayang dau cinta. Tiba-tiba paruhnya terbuka memperdengarkan nada mengalun halus dan bening. Suaranya tidak seperti burung kecil saja.

"Soe hoe coba katakan bagus tidak burung ini? Mahal tidak?"

"Mengenai burung atau kembang aku tidak mengetahui sebab bukan ahlinya. Dari itu jelek baiknya aku sama sekali tidak tahu. Pokoknya asal bagus dilihat, dan harganya termahal pasti bagus." "Aku memutari kota ini untuk mencari burung. sungguh aneh burung burung di daerah sini banyak sekali, bagus bagus dan mungil-mungil. Pasarnyapun besar. Sesudah kupilih pilih, kudapati ini yang paling bagus dari yang lain harganyapun paling mahal." tambah Gwat Hee dengan bangga.

"Ini baik," jawao Kie Sau. Gwat Hee girang dapat pujian dari gurunya. Tapi masih tidak tahu gurunya mengandung maksud apa dengan burung ini. Dari itu tak tahan lagi untuk tidak bertanya.

Hoa- San Kie San menjawab: "Kalian tidak tahu, bahwa Yauw Lo Tjian pwee dalam hidupnya ini mempunyai hobby yang unik. Yakni suka mengumpuli segala macam burung yang aneh dan bagus. Kini ia menampakkan diri di kota ini, mungkin daerah ini menarik perhatiannya, disebabkan menghasilkan banyak burung yang indah dan jarang terdapat di tempat lain. Kalau tidak demikian apa yang dilakukannya diam di atas pohon."

Gwat Hee sangat cerdik dengan keterangan ini sudah bisa menerka beberapa bagian dari maksud gurunya.

"Aku sudah tahu maksud Soe hoe yakni menyuruhku untuk membeli burung yang indah ini untuk diberikan kepada Youw Lo Tjian pwee bukan?"

Hoa San Kie Sau terbahak bahak tertawa sambil berkata: "Bocah, kau sungguh pandai, tapi kau hanya mengetahui

sebagian kecil saja akan maksudku. Kau harus tahu, kalau di daerah .ini menghasilkan burung yang demikian banyak dan bagus, sudah pasti penduduk adalah ahli ahli burung. Yoaw Lo Tjian pwee, mempunyai kepandaian yang jarang dimiliki orang. Tapi untuk mendapatkan burung yang indah, ia harus datang ke sini. Dalam waktu singkat pasti tidak bisa mendapatkan burung burung itu. Kalau ia ingin juga mendapatkan burung yang baik mau tak mau harus datang kepada tukang burung yang ahli. Karenanya aku menyuruh kau untuk membeli burung yang luar biasa ini, untuk diperlihatkan kepadanya Sesudah ia melihat pasti hatinya akan tertarik dan tidak terburu buru meninggalkan tempat ini. Mengenai ini aku mempunyai daya yang cukup baik.

Bilamana tidak, sekali ia jalan, dicari ke mana juga sukar untuk mendapatkan dirinya kembali."

"Soe hoe akalmu memang cukup baik, tapi kau harus pikir apakah Yauw Lo Tjian pwee tidak dapat pergi ke pasar untuk membelinya?" tanya Gwat Hee.

"Hal ini kau tidak perlu kuatir, sebab orang tua ini mem- punyai adat yang anti membeli burung yang sudah ada di sangkar!"

Habis bicara Kie Sau menitahkan Gwat Hee harus begini begitu. Gwat Hee manggut manggut sambil tersenyum geli. Kie Saupun memesan wanti - wanti kepada Tjiu Piau agar tidak melewatkan waktu yang baik, untuk minta pengajaran dari orang tua itu. Selanjutnya pada keesokan harinya, Tjiu Piau menepati janji untuk datang ketempat di mana kemarin ia berpisah dengan orang tua itu. Saat ini baru ia memperhatikan bahwa tempat ini penuh dengan pohon pohon yang lebat, di samping itu terdengar pula banyak suara burung berkicau memenuhi telinga dengan merdunya. Burung burung itu beterbangan dengan bebasnya.

Disebabkan terlalu banyak sukar untuk membedakan jenisnya. Sesaat kemudian sudah berlalu. Tjiu Piau masih belum menampak orang tua itu, ia duduk duduk di bawah pohon untuk menantikannya. Tak lama kemudian terdengar suara tertawa secara tiba tiba dari atas pohon, suara itu menunjukkan kegirangan yang luar biasa. Waktu Tjiu Piau dongak tampak orang tua itu sudah ada di atas pohon entah sejak kapan ia berada di situ. Tubuhnya itu seperti daun tua yang gugur melayang turun perlahan lahan, sedangkan tangannya me-megang seekor burung berwarna yang indah sekali. Burung itu tidak henti

hentinya diawasi dengan penuh kegirangan yang melimpah- limpah. Tjiu Piau buru buru maju ke muka dengan penuh hormat.

"Eh, apakah kau yang kusuruh datang ke sini?. Eh ya

betul betul. Coba kau lihat itu apa?" Tjiu Piau melihat ke sekeliling itu dengan penuh perhatian tapi tidak menampak sesuatu.

"Kau lihat tidak, lihat tidak?" Mulutnya berkata, matanya tetap mengawasi burung yang baru ditangkapnya itu.

Sesungguhnya Tjiu Piau tidak melihat sesuatu yang dimaksud itu. Dengan gugup ia bertanya: "Mohon petunjuk dari Tjian pwee, bahwa aku sesungguhnya tidak melihat apa yang aneh."

Orang tua itu tetap mengawasi burungnya, mulutnya terbuka:

"Masih belum melihatkah? Yang kumaksud adalah tumpukan batu di tanah itu!"

Memang sebenarnya di tanah itu entah kapan sudah terdapat batu batu yang bertumpukan.

"Maksudku menitahkan kau datang kesini, tidak lain dari pada ingin menitahkan kau memindahkan batu batu itu dari sana ke sini!"

Tjiu Piau agak merasa susah, hatinya berpikir, "Lenganku baru baik, mana bisa digunakan untuk

mengangkat' yang berat berat. Sedangkan orang tua inipun sudah mengatakan harus hati hati melawatnya selama empat puluh sembilan hari. Kenapa kini aku disuruhnya memindahkan batu batu ini? Mungkinkah Yauw Lo Tjian pwee ini sedang bergurau saja? Dengan lambat-lambatan Tjiu Piau menindak ke tumpukan batu batu itu dengan harapan orang tua itu membatalkan akan titahnya.

Sesampainya Tjiu Piau di depan batu, dengan terpaksa badannya dibungkukkan sedangkan lengannya sudah ke luar untuk mengangkat batu batu itu. Pada saat inilah terdengar suara orang tua itu dengan keras: "Tidak boleh mempergunakan tangan!" Tjiu Piau buru buru berdiri dengan tegak tanpa mengetahui maksud dari Yauw Lo Tjian jiwee itu. Orang tua ini melihat Tjiu Piau tidak bergerak gerak baru ia mengangkat sedikit kepalanya sedangkan matanya mengedip ngedip. "Budak tolol ke mana kepandaian kau kemarin, lekas gunakan kakimu tendangi batu batu itu!"

Tjiu Piau baru sadar bahwa kepandaiannya menendang batu batu itu sudah diketahui orang tua ini. Hal ini membuatnya merasa malu, tapi dengan cepat hatinya ingat kata kata dari Kie Sau, dari itu kesempatan ini tidak disia siakan begitu, maka ditendanginya batu batu itu menurut petunjuk orang tua itu.

Sesudah Tjiu Piau membidik dengan tepat, mulailah kakinya beruntun runtun terangkat naik. Satu, dua, tiga semua batu-batu beterbangan dan jatuh pada suatu tempat yang tidak berjauhan satu sama lain. Orang tua itu tetap tidak mengangkat Kepalanya, ia tetap asyik mengusap usap burungnya itu. Tapi mulutnya berKata :

"Lambat sekali, terlalu lambat. Agak cepatlah kau angkat kakimu itu."

Tjiu Piau menurut sekali demi sekali kakinya diangkat terlebih cepat dari semula. Sebab ini batu batu itu tidak berapa tepat lagi jatuh di suatu tempat. Ada yang kejauhan, ada yang tak sampai, ada yang ke samping kanan ada yang ke samping kiri. Sebaliknya orang tua itu tidak memperdulikan hal ini, mulutnya mengoceh memburu buru orang, semngga Tjiu Piau tidak sempat untuk menarik napas. Dengan susah payah batu batu itu akhirnya dapat juga di tendang habis. Makanya sudah merah napasnya empas empis. Batu batu itu hanya sedikit saja yang jadi tumpukan, selebihnya berserakan ke mana mana.

Sesudah Tjiu Piau selesai melakukan titahnya orang tua itu baru berdiri mengawasi sambil berkata:

"Indah betul! Ilmu menendang mu ini sungguh luar biasa dan menyenangkan. Aku sudah hidup puluhan tahun tapi belum pernah mendengar adanya ilmu semacam yang kau miliki ini. Eh anak tolol, baik-baiklah kau pelajari ilmu ini.

Tiap hari kau harus datang ke sini untuk menendang batu batu ini pulang pergi. Dalam waktu setengah tahun atau setahun ilmu ini besar manfaatnya bagimu." Tanpa menoleh lagi ia pergi meninggalkan Tjiu Piau seorang diri. Sesudah mendengar keterangan orang tua itu, hati Tjiu Piau menjadi lapang. Ia tahu ilmunya ini sebelumnya belum pernah dipelajari orang. Baru saja hatinya ingin minta pengajaran terlebih lanjut orang tua itu sudah berlalu tanpa pamitan. Terkecuali dari itu orang tua ini tidak meninggalkan pesan untuk ia datang kembali. Tjiu Piau ingin mengejar orang tua itu, tapi tahu hal ini akan sia sia belaka.

Tiba tiba terdengar suara kicauan burung yang luar biasa merdu. Orang tua yang pergi itu menghentikan kakinya.

Suara burung ini demikian menarik sekali, membuat si pendengar menjadi senang dan menghilangkan segala kerisauan di dalam hati. Tjiu Piau kenal suara burung ini. yakni suara burung yang dapat dibeli Gwat Hee di pasar.

Tiba tioa entah dari mana Gwat Hee lari ke luar sambil membawa burungnya. Dengan girang ia berkata pada burungnya: "Nyanyi lagi! Burung yang manis ayo nyanyi lagi untuk kami dengar!" Burung itu membuka lagi paruh untuk memperdengarkan suaranya yang luar biasa merdunya itu. Kali ini suaranya sangat panjang, semakin menyanyi semakin tinggi alunan suaranya itu demikian lembut dan bening. Suara itu bergema dan terus naik ke atas untuk hilang dibawa gelombang udara ke atas awan. Tiba tiba ada suara seseorang berkata: "Burung yang indah dan bagus, benar benar seekor burung yang jarang didapat!"

Kiranya orang tua itu mendengar bunyi burung itu, sudah datang kembali. Entah kapan ia sudah berdiri di hadapan Gwat Hee dengan perhatian penuh terhadap suara burung itu.

Orang tua itu segera bertanya pada Gwat Hee: "Hei, Siau ko dari mana kau dapat burung ini? Mau tidak tukar dengan burungku? Kau lihat burungku ini warnanya demikian menarik, kucing, merah, hijau, dan putih serta hitam.

Pokoknya segala warna yang tndah dimiliki semua." Gwat Hee sengaja mengerutkan keningnya.

"Siapa yang kepengenan burungmu itu? Burung yang semacam kau ini dalam seharian dapat kutangkap dua belas ekor! tapi dalam dua belas ekor itu tidak mungkin dapat diketemukan sehelai bulunya yang berwarna ungu semacam burungku ini. Coba kau perhatikan burungku ini demikian mulus warnanya sedikit juga tidak tercampur warna lain, Sudah pernahkah kau melihat burung semacam ini?"

"Aku sudah melihat banyak dan banyak sekali burung, tapi terus terang aku kata kan bahwa burung seperti ini belum pernah kulihat. Aku senang pada burung ini! Kalau kau tidak mau menukarnya tidak menjadi apa. asal saja kau mau mengajak aku untuk pergi menangkapnya, bukankan baik?"

Gwat Hee berlaga kaget.

"Hemm, kau sudah tua mana bisa turut denganku untuk pergi menangkap burung? Ini bukan main main hal ini baru dapat dilakukan kalau mempunyai kepandaian. Kau pasti tidak bisa sebab sudah tua "

"Siau ko kau jangan menganggapku tua lantas memastikan tidak bisa Terus terang kukatakan aku masih sanggup mengikuti kau ke mana saja. biar jauh tidak menjadi soal, lekaslah ajak aku pergi. Terkecuali itu aku dapat meluluskan apa yang kau kehendaki " Mendengar ini bukan main girangnya Gwat Hee.

"Apakah kata katamu itu dipercaya?" tanya Gwat Hee pura pura.

"Tentu saja," jawab orang tua itu tergesa-gesa. 'Sebaiknya kita bicara sekali lagi agar lebih terang

bukan? Begini, kalau aku dapat menangkap seekor burung semacam ini untukmu, kau harus memberikan sesuatu barang kepadaku. Akupun tidak bermaksud untuk meminta sesuatu barang yang aneh atau yang sukar pokoknya asal yang terdapat di tubuhmu, baik tidak?"

Orang tua itu mengedip ngedipkan matanya mulutnya tidak henti hentinya mengucapkan : "Baik, baik dengan ini kita tetapkan janji kita ini."

Tiba tiba Gwat Hee malas malasan.

"Tapi sekarang hari sudah hampir malam," katanya. "Malam malampun tidak menjadi soal, apa yang kau

takuti!" tanya orang tua itu dengan gelisah.

"Biar bagaimana juga tidak bisa, aku takut. Aku bisa dipukuli orang tuaku" Habis berkata wajahnya mendadak menunjukkan rasa girang.

"Begini baik tidak? Yakni esok hari kau datang lagi ke sini sebelum senja.. Kini aku mau pulang." Seiring dengan habisnya kata kata, tubuhnya segera berbalik berlalu.

Burungnya disuruhnya menyanyi lagi dengan sengaja, sehingga orang tua itu semakin tertarik hatinya.

Kiranya Gwat Hee melakukan hal ini tidak lain dari pada menurut akalannya Hoa San Kie Siu. Dengan cara ini mau tak mau orang tua itu dapat ditahannya untuk beberapa hari oleh mereka tanpa merasa Orang tua mengejar pada Gwat Hee sambil berteriak- "Aku menurut katamu, hari esok aku datang menunggumu di sini sebelum senja." Orang iua itu mengawasi burung yang baru ditangkapnya itu. Ia merasa burungnya itu sudah tidak beberapa menarik lagi, dari itu tangannya segera berserak, burung itu dapat kembali kemerdekaannya.

Malam ini Gwat Hee dan Tjiu Piau pulang ke pondokannya dengan hati girang. Sesuatu pengalamannya diberi tahu pada Hoa San Kie Sau. Mendengar ini bukan main girang hati Hoa San Kie Sau. Ia tersenyum sambil berkata:

"Kalian sangat beruntung sekali, dengan mudahnya dapat ketika untuk berkenalan dengan Yauw Lo Tjian pwee itu. A Piau mendapat petunjuk dari Yauw Lo Tjian pwee untuk melatih kakinya menendang batu. Ilmu kaki ini harus kau pelajari baik-baik, jangan menyia nyiakan petunjuk petunjuk yang berharga dari Tjian pwee ini. belajaran ini dihari kemudian sangat baik dikembangkan. Sebaliknya burung Gwat Hee menyebabkan orang tua itu tertambat hatinya, hal ini sungguh baik sekali. Asal saja kau dapat bergaul dengan orang tua Itu beberapa hari, tidak kuatir orang tua iiu tidak memberikan petunjuk-petunjuk yang berharga untukmu."

"Aku sudah berjanji untuk memberikan burung kepadanya ia akan memberikan sesuatu yang kupinta. Dengan sendirinya aku akan minta sedikit ilmunya itu untuk di turunkan kepadaku," kata Gwat Hee dengan girang.

"Gwat djie, hal ini mungkin menyukarkar orang tua itu, kau harus tahu ia menpunyai tabiat yang aneh yakni enggan menurunkan pelajarannya kepada orang lain, juga tidak mau mendirikan suatu cabang perguruan, dari itu tentu ia tidak mau menerima murid. Dari dulu hingga sekarang belum pernah kudengar oang tua ini mempunyai seorang muridpun," kata Kie Sau menjelaskan

"Aku hanya mendapatkan sejurus dua dari ilmunya, sama sekali tidak menginginkan untuk minta banyak banyak."

"Meski setengah juruspun, pendeknya asal ia memberikan pelajaran artinya menjadi muridnya."

Gwat Hee menjadi kesal "Kalau begini jadinya, walaupun aku memberikan burung ini, tentu ia tidak mau memberikan pelajaran kepadaku tapi kenapa ia mau memberikan pelajaran menendang batu kepada Piau Koko "

"Orang tua ini anehnya justru di sini. Ia enggan untuk memberikan pelajarannya kepada orang lain, tapi kalau ia melihat sesuatu ilmu yang baru didapat orang, ia akan terlebih giat untuk menganjurkan orang berlatih. Dengan jalan ini ia tidak menurunkan kepandaiannya kepada orang lain tapi hanya membantu orang lain menjadi pandai Semakin rajin orang belajar semakin giat dia memberi petunjuk, sehingga orang itu akan dididiknya lebih dari seorang Soe tjou (kakek guru) terhadap muridnya. Sebab itu dengan cara ini ia selalu dapat menghindarkan diri dari sebutan Soe hoe. PokoKnva perbatikanlah segala kata katanya. Asal kalian ingin mempelajari sedikit sesuatu darinya, perhatikanlah akan tabiatnya ini."

Gwat Hee dan Tjiu Piau sesudah mendengar ini hatinya mulai berpikir untuk bagaimana menghadapi orang tua itu agar mau memberikan petunjuk-petunjuk pada mereka.

Gwat Hee adalah anak yang pandai dalam waktu sebentar saja sesuatu sudah Terpikir dalam hatinya. Tapi hal ini tidak perlu diterangkan di sini, lihat saja apa yang akan dilakukan anak anak muda ini di depan Yauw Lo Tjian pwee.

Tjiu Piau mengingat benar pesan dari Hoa San Kie Sau, karenanya tekadnya semakin bulat untuk mendapatkan petunjuk dari orang tua itu, Tjiu Piau bertabiat jujur dan rajin belajar, karenanya ia dapat melatih diri dengan tekun dan ulet. Tambahan pelajarannya itu memberikan kegembiraan besar, sehingga tak bosannya ia mengulang dan memperdalam terus akan ilmunya yang baru didapat itu.

Batu batu bertumpukan itu ditendanginya pergi datang tanpa jera jeranya. Tendangannya semakin lama semakin cepat, terkejut dari itu bidikannya juga kian tepat dari sasaran. Tak heran batu batu yang di tendang itu bisa berkumpul menjadi satu tumpukan baru yang teratur, tak ubahnya seperti dipindahkan menggunakan tangan saja.

Hasil ini membuat Tjiu Piau bersemangat. maka dicobanya batu batu itu untuk ditendang terlebih jauh pula. Kedua kakinya silih berganti menendangi batu batu ia dengan cepat dan lincah. Batu batu beterbangan seperti walang sangit mendekati sinar api. Tendang dan terus tendang ini melupakan Tjiu Piau pada waktu Matahari sudah naik tinggi sekali. Tjiu Piau beristirahat sebentar, kemudian melanjutkan lagi latihannya sampai surya agak condong ke barat belum berhenti. Tjiu Piau lupa pada waktu orang tua itu pulang.

Tiba-tiba sebuah bayangan abu abu entah dan mana terbang mendatang, tepat sekali merintangi jalannya batu batu yang di tendang. Tjiu Piau terkejut, takut kalau kalau batunya melukakan orang. Buru buru Kakinya berhenti menendang, tapi beberapa buah batu sudah terbang pergi dan mengenai tubuh orang itu dengan telak sekali. Orang itu jatuh ke muka bumi dengan malu ia merayap bangun, kepaianya digeleng gelengkan engkau, mulutnya berkata: "Masih payah belum cukup!" Kala ditegasi orang ini bukan siapa siapa terkecuali orang tua itu.

Tjiu Piau segera memberi hormat: "Lo Tia-tia harap jangan gusar, sebenarnya Siau pwee sudah melihat kau turun. Tapi menyesal sekali kakiku tidak dapat ditahan, sehingga beberapa butir batu mengenai tubuh Lo Tia tia."

Mendengar ini orang tua itu tertawa besar:

"Ini menyatakan kepandaianmu masih payah sekali."

Orang tua itu perlahan lahan mendekat datang, mulutnya tetap mengoceh. "Masih payah, masih payah!"

"Aku mengatakan ilmu kau itu masih payah. Kau lihat dan kan harus tahu, dengan batu-batu ini kau harus menghajar mata orang, ulu hati atau urat urat nadi yang berbahaya, misalkan kena paling banter hanya melecetkan kulit saja. Ini namanya kurang dahsyat! Katamu sudah melihat akan tubuhku, tapi tidak keburu menarik kakimu ini namanya tidak gesit. Memberhentikan kaki tidak cepat, dengan sendirinya mengangkat kaki lebih lambat pula.

Tidak tepat, tidak dahsyat, tidak cepat apa gunanya kepandaian semacam ini."

"Payah! Bangpak!" Orang tua ini sambil bicara tercampur ketawa. Tapi dengan tiba-tiba suaranya menjadi keren; "Siau ko kau harus ingat, pelajarilah membidik secara tepat dulu baru menggempur secara dahsyat, kemudian melatih kecepatan. Sekali-kali jangan belajar secara serampangan. Kau harus dapat membidik seekor lalat dengan tepat seperti membidik seekor kerbau yang besar. Untuk memperdahsyat gaya serangan, kau harus dapat memutuskan sehelai rumput dari jarak seratus tindak. Kecepatan harus melebihi gaya pendengaran orang, sampai orang itu belum mendengar suara batumu tapi sudah merasakan terlebih dahulu batu itu!" Selesai bicara langkahnya laju ke muka.

Hanya terdengar suara perlahan keluar dari mulutnya: "Sungguh satu ide yang baik sekali.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar