Pahlawan Harapan Jilid 06

Jilid 06

Bulak balik Gwat Hee berpikir, tapi tak terpikir daya untuk melarikan diri. Harapan semegah-megahnya, ialah gurunya datang menolong. Kemarin malam Garuda itu ditunggangi burung kakak tua Tjen Tjen. Moga moga sang guru bisa datang mengikuti Tjen Tjen. Saat ini cara yang terbaik mengulur-ulur dan mengulur waktu!

Sesudah menunggu begitu lama Tong Leng tak dapat bersabar lagi.

"Ganti yang lain saja dulu! Kau boleh berpikir sesuka hatimu di pinggir!"

“Mana boleh! Aku yang termuda dan terlemah, seharus- nya aku tampil paling dulu: Kalau kakakku yang meng- gantikan aku, dalam sejurus cukup untuk menawanmu mukamu akan ditaruh di mana?"

Tiba tiba Bok Tiat tampil ke muka, dengan dingin ia berkata; "Hai, bocah bocah jangan terlalu banyak kelakar! Tong Leng heng kau sudah kalah! Minggirlah lekas kasih aku yang melawannya!"

"Kapan! Mustahil! Aku toh belum bergerak!" kata Tong Leng dengan keras.

"Waktu sudah berjalan demikian lama, lebih kurang sudah dua puluh jurus, kau belum dapat membekuknya. Bukankah sama dengan kalah?"

Gwat Hee sadar bahwa Bok Tiat Diin sudah mengetahui maksudnya. Bok Tiat Djin lebih sukar dilawannya dari pada Tong Leng. Buru buru ia meloncat sambil berkata. "Hai Thai su yang baik kini baru terpikir ilmuku. Marilah kita mulai!" Habis berkata tangannya bergerak dengan ilmu Kie Hong Hui Lai (bukit aneh terbang mendatang) salah satu tipu Pukulan dari Hong Gwa Hong Lian Hoan Tjiang (bukit berantai.) Dengan ganas serangan itu datang dari atas turun menggencet kepala Tong Leng.

Jangan kira kepandaian Gwat Hee cetek, jurus ini diingininya cukup baik. Angin menderu dibuatnya ganas menyerang. Tong Leng tergesa gesa mengangkat tangannya ke atas, siap mematahkan lawan secara kasar Gwat Hee melihat tangan Tong Leng terangkat, sehingga bagian bawahnya memberikan lowongan. Tiba tiba ilmunya berubah, tubuhnya mendek dua jeriji ke luar dengan sempurna, langsung ditujukan kepala Tong Leng. Kedua tangan Tong Leng berada di atas, secepat mungkin tangannya itu dirapatkan dan diturunkan ke bawah merupakan pukulan Pai Gwat (menyembah rembulan).

Kalau jurus ini membacok datang Gwat Hee sukar menyelamatkan diri. Dalam kagetnya Tjiu Piau berseru ter tahan, baru mau turun tangan untuk membantu jalan pertempuran sudah berubah lagi.

Kiranya dalam keadaan terdesak, Gwat Hee berseru : "Ingat! tak boleh membunuh!” Memang jurus dari Tong Leng itu, bisa mematikan lawan atau melukakan berat. Kini mendapat peringatan lawan ia jadi bengong tidak keruan. Ketika ini tidak di lewatkan Gwat Hee jerijinya bersarang dengan tepat di jalan darah Tiong-teng dan Thian-tee. Di luar perkiraan Tong Leng hal ini bisa terjadi. Walaupun ilmunya lebih tinggi sepuluh kali lipat dari sekarang, sudah tak mungkin untuk menutup jalan darahnya. Sekujur badannya terasa kaku. Hanya matanya saja mendelik menatap Gwat Hee. Sesudah itu Gwat Hee menambahi beberapa totokan keras di berbagai tempat.

"Apa yang kau pelototi!? Aku toh tidak membunuhmu, tapi kau sudah kalah?"

Kegusaran Bok Tiat Djin tidak tertahan, bagai gila ia berseru: "mencelat dan berada di muka ketiga orang."

Kedatangannya sungguh luar biasa, batu-kecil terbawa terbang kena angin dari tubuhnya. Bentakannya seperti geledek di tengah hari bolong. Sepasang tangannya bergerak masing masing melepas Tiat Wan Tju, satu lagi menyerang Tjiu Piau, sedangkan tubuhnya menerjang Ong Djie Hai sekali hantam ini sudah cukup membuat ketiga orang kalang kabut. Gwat Hee lari ke samping, tubuh Tong Leng menjadi sial mentah mentah ia dijadikan tameng. Tjiu Piau menyerang senjata lawan dengan batunya, begitu dua senjata beradu batu Tjiu Piau menjadi hancur. Tiat Wan Tju tak terpukul jatuh masih tetap bergaya tapi tidak sekeras tadi. Dengan menggulingkan diri Tjiu Piau berhasil menghindarkan senjata kecil itu. Sebaliknya Djie Hai seperti diterkam macan tutul, tak berani terang-terangan menyambut serangan lawan, ia mengegos ke kanan dan kiri. Tenaganya digunakan sepenuhnya menangkis serangan serangan lawan dari samping, dengan cara ini tenaganya baru dapat mengimbangi tenaga lawan. Dalam sekejap saja Bok Tiat Djin sudah menyerang beberapa jurus, dengan susah payah Djie Hai baru dapat menghindarkan pukulan-pukulan ini. Dalam jurus jurus ini Bok Tiat Djin tidak lupa melepas Tiat Wan Tjunya menyerang Gwat Hee dan Tjiu Piau, sehingga kedua orang itu tak berkesempatan untuk membantu Djie Hai.

Oiig Djie Hai sambil mencurahkan semangatnya melawan musuh, tak urung otaknya berpikir juga secara diam diam. "Inilah, ilmu lihay yang sebenar benarnya dari Peng San Hek Pau." Iapun ingat penuturan orang yang mengatakan bahwa ilmu silat Peng San Pai. berpokok pada pelajaran Nui (dalam) digunakan sebagai Gwa (luar).

Menerjang, menyerobot dengan ganas. Kelihatannya seperti pelajaran ilmu luar. tapi di balik itu mengandung tenaga tersembunyi yang maha besar. Hal ini tidak dapat diketahui orang yang tidak bisa ilmu dalam. Dari itu ilmu pukulan dari partai ini lihainya bukan buatan. Kalau lawan yang lemah dalam waktu beberapa jurus saja. sudah tak tahan menerima desakan tenaga yang demikian besar akibatnya menderita kerugian besar.

Tapi pukulan pukulan dari Peng San Pai ini. entah bagaimana bukan menjadi lawan dari Im Yang Kang. Tak heran tahun dulu kena dipecundangi Pang Kim Hong yang baru berusia 19 tahun. Sebabnya pukulan-pukulan ganas dari Peng San Pai kena diterima dengan cara hawa hidup Im dan Yang. Sehingga keganasannya itu seperti anjing kena penggebuk! Sekali-kali tak berhasil merubah kedudukan menjadi di atas angin. Sehingga terjangannya dan serobotan-nya dan segala keganasannya berbalik mem- berabekan dan menyusahkan diri sendiri.

Ong Djie Hai sudah lama mendengar tentang ilmu dari Peng San Pai ini, tapi baru kali ini melihatnya dan menghadapinya dengan mata sendiri. Dalam kesibukannya Djie Hai pun merasa gugup. Sesudah menerima

beberapa jurus serangan, ia baru ingat kelemahan dari ilmu Peng San Pai. Hatinya berpikir, aku tak dapat maini ilmu Im Yang Kang. Tapi ilmu Kong Sim Tjiang aku dan adikku bukankah pematah dari ilmunya?

Peng San Pai sudah berhasil memecahkan ilmu Im Yang Kang Lu Kang, tapi belum mengenal ilmu Kong Sim Tjiang, mungkin ilmu ini lebih lihay dari Im Yang Kang. Dari itu Djie Hai mempertahankan serangan secara hidup dan mati.

Sekuat tenaga ia merangsek, agar berketika untuk memaini ilmunya ini. Sebaliknya Gwat Hee tidak bisa meninggalkan Tong Leng sebab terus menerus diserang Tiat Wan Tju.

Kasian Tong Leng yang ilmunya gagah sekali di jadikan tameng oleh seorang bocah.

Bok Tiat Djin mencelat ke timur, molos ke barat Dengan di luar dugaan diserangnya Gwat Hee, tangannya menyapu Tjiu Piau Walaupun ia berbuat demikian, Djie Hai dihadapinya, kedudukannya tetap mendesak dengan gencar. Satu lawan tiga, tapi masih berada di atas angin, diteruskan perkelahian cara ini, tiga orang itu pasti menderita kerugian besar,

Louw Eng tertawa kegirangan.

"Bok-heng, kau tidak mengecewakan nama baik dari Peng San Pai. Kuharap beberapa cucu kura kura ini ditangkap hidup hidup, kemudian sesudah kuperiksa baru kita genyei genyei (dipukul sampai mati).” "Oh. ini perkara gampang, kutangkap yang Ini dulu!" Tangannya menyamber dan membabat Tjiu Piau sambil lalu.

Tjiu Piau menggulingkan tubuhnya di tanah, tangannya sudah menerbangkan enam butir batunya, terbagi menyerang ke atas, bawah, kanan, kiri, tengah satu khusus ke mata enam bagian. Mulutnya mengiringi senjata itu. "Lihatlah Bwee Hoa Tok Tju keluarga Tjiu!" Enam batu ini tidak di pandang Bok Tiat Djin sebelah mata, tapi kata kata itu membuatnya kaget. Ia tak berani menangkap dengan tangannya senjata itu, sebaliknya mundur sejauh dua tumbak ke belakang dengan tergesa gesa. Tubuhnya nya bergeliat ke samping dengan jungkiran badan yang menakjubkan, ia berhasil melolosi diri dari serangan ini.

Tubuhnya kembali berdiri, dengan dongkel dipandang nya Tjiu Piau dengan mata berapi-api "Hai! Bocah, apakah Bwee Hoa Tok Tju belum sirna dari dunia Kang Ouw ini?"

"Sirna, atau hilang itu bukan urusanmu, kenapa kau usilan betul. Pokoknya Bwee Hoa Tok Tju takkan bersarang di tubuhmu asal saja kau tidak mengganggu orang baik."

Belum sempat Bok Tiat Djin berkata. Tiba-tiba Louw Eng berseru: "Bok heng sambut lah!" seiring dengan seruan ini ada benda kecil terbang mendatang, tangannya me- nyambuti, apa yang terlihat? Tidak lain dari butiran batu.

“Kau perhatikan apakah itu Bwee Hoa Tok Tju?" kata Louw Eng. Tidak tahunya ia sudah memungut batu itu dari tanah dan diberikan kepada sang kawan. Hal ini di ketahuinya sebab batu batu itu tidak berbinar seperti emas!

Bok Tiat Djin melihat itu bukan mutiara emas hatinya menjadi lapang.

"Hai bocah yang baik, kenapa kau begitu berani mencari kegemoiraan dengan memaini ayahmu sendiri!"

Tangannya kembali sudah mau menangkap Tjiu Piau. Tapi sebelumnva sudah dirintangi oleh Djie Hai dan Gwat Hee yang sudah mengamoil kedudukan di kanan kiri nya. Kedua orang ini tidak memberikan kesempatan untuknya turun tangan terlebih dahulu. Tangannya bergerak mendahuluinya, dengan sendirinya dirinya sudah kena dilihat bocah bocah itu. Mereka mengambil kedudukan yang baik, ilmu pukulannya adalah saling membantu dan bergabung. Sehingga ilmu pukulan Hong Gwa Hoag Lian Hoan Tjiang (di luar bukit terdapat bukit bukit barisan atau bukit berantai) dimaini cukup menderu deru. dengan lihainya. Bak Tiat Djin berada dalam keadaan pasip, segera merasakan sukar menghadapi lawan. Buru buru perhatiannya dicurahkan, walau pun ilmunya tinggi, tapi pukulan pukulan lawan sangat aneh. Tambahan dua orang mengapitnya, dalam waktu singkat ia belum dapat berbuat apa-apa.

Sepuluh jurus sudah berlalu, Bok Tiat Djin jadi gelisah. Ia sadar tanpa mengeluar kan sepenuh tenaga tak mudah mengambil kemenangan. Pukulannya berubah, pukulan nya satu demi satu semakin bertenaga dan semakin ganas, pukulan itu tak mungkin dapat ditangkis. Dua kakak beradik baru dapat menangkis serangan ini dengan menggabung kedua tangannya.

Serangan Bok Tiat Djin semakin gencar, dua saudara Ong semakin serang. Mereka tahu saat baik sudah tiba. Tiba-tiba dua orang saling sautan. "Kie Hong Hui Lai." "Hong Gwa U Hong" dengan bengis dan keras menggempur lawan. Bok Tiat Djin tak mau menunjukkan kelemahannya. Gwat Hee diserangnya dengan pukulan kosong, sedangkan tubuhnya berbalik dengan ceoat sambil mengirimkan serangan Piau Tja Thian Hian menghajar Djie Hai. Tjiu Piau melihat Djie Hai menangkis dengan kedua tangan berjeriji terbuka lalu Gwat Hee meningkah serangan kakaknya dengan tangan berjeriji rapat, pukulan ini adalah Hoo Yap Tjiang (pukulan daun teratai yang ganas.) Tjiu Piau tahu kedua orang ini memainkan ilmu Kong Sim Tjiang untuk menundukkan musuh. Mutiaranya segera di lepas di antara Djie Hai dan Bok Tiat Djin.

Kali ini Bok Tiat Djin masuk perangkap lawan. Pukulan Djie Hai di muka menjadikan angin yang berputar dan menyedot, sebaliknya pukulan Gwat Hee menolak dari sebelah lain. Tambahan Bok Tiat Djin menyerang dengan keras, sehingga keseimbangan tubuhnya tak dapat dipertahankan. Tubuhnya terhuyung ke muka beberapa tindak, serentak telinganya mendengar suara senjata rahasia. Sambil membetulkan tubuh nya, kedua jeriji tengah dan telunjuk ke luar menjepit senjata Tjiu Piau yang dikira nya batu.

Tangkapan dan kelihatannya indah bukan buatan.

Sehingga serangan dari tiga jurusan ini dapat dipunahkan dengan berhasil. Tapi waktu dilihat apa yang dijepit jerijinya. Sebuah benda berkilat menyilaukan mata, sepontan hatinya menjadi gentar. Digebesi mutiara emas itu cepat cepat tapi mutiara itu tidak mau jatuh, sebab durinya sudah melekat di antara kedua jarinya itu.

Peng San Hek Pau mengira Tjiu Piau tidak bersenjata Bwee Hoa Tok Tju. sehingga hatinya menjadi girang, akibat dari ini membuat kesalahan besar. Ia berdiri bengong tak berkata kata dalam gugupnya ditutupnya peredaran darahnya sekuat mungkin, menjaga agar racun itu tak masuk dalam peredaran darah. Daiam waktu seoentar saja di keningnya sudah penuh dengan peluh yang sebesar kacang tanah, sedang mukanya menjadi pucat pasi. Kedua jari itu sudah menjadi merah menor seperti darah segar.

Peng San Hek Pau merasakan jeriji-nya sebentar panas sebentar dingin. Waktu panas seolah olah badannya ditebus dalam kuali panas. Waktu dingin seperti dimasukkan ke dalam kulkas. Rasa yang demikian ini seumur hidupnya belum pernah dirasai nya. Untung ia berilmu tinggi dan dalam sehingga jalan darahnya dapat dihentikan. Cara ini dapat menahan untuk sementara waktu saja dari kematian. Tapi dalam waktu sebentar saja kepalanya sudah merasa pusing dan berkunang kunang, agaknya tak kuat untuk bertahan lagi. Asal saja ia mengendurkan jalan darahnya dan darah itu mengalir, racun itu segera memasuki jantung nya, jiwanya itu sudah boleh menghadap pada Giam Lo Oag (malaikat maut).

Peng San Hek Pau hanya menahan napas nya saja dan tak berkata kata, sedangkan akal lain tak terpikir olehnya. Lauw Eng sesudah melihat mutiara emas itu juga menjadi bengong sejenak. Tapi hanya sebentar saja pikirannya sudah bekerja. Seperti terbang ia menghampiri Bok Tiat Djin. Dengan pedang yang luar biasa mengkilapnya dua jerijt itu dikutungi, dikelek tubuh Bok Tiat Djin dibawa ke kaki bukit, dengan pedangnya yang tajam itu ditempelkan ke tempat luka. Terlibat darah mengalir di atas pedang itu dan menjadi air yang bening.

"Tak berbahaya sudah," kata Louw Eng dengan perasaan lega. Bok Tiat Djin terlampau banyak menggunakan tenaga. Dan sesudah mengetahui bahaya berlalu, jalan-darahnya dibuka kembali. Seluruh tubuhnya menjadi lemas, dengan memerami mata ia terlentang beristirahat. ,

Tjiu Piau melihat pedang yang bersinar itu, hatinya teringat kepada dua pemuda, yang diketemukannya di Ban Liu Tjung. Mereka mengatakan Liong Hong Kiam itu biar bagaimana harus dikembalikan kepada mereka. Entah mempunyai hubungan apa antara dua pedang itu dengan dua pemuda. Juga tidak mengetahui Louw Eng dengan cara apa mendapatkan dua pedang itu. Gwat Hee dan Djie Hai berseru “ihhh” waktu melihat dua pedang itu. Djie Hai lantas berkata; "Dua bilah pedang itu adalah. Liong Hong Po Kiam yang sangat diidam-idamkan orang Kang Ouw, tak nyana ada ditangan dia! Pedang itu bukan saja dapat memapas besi seperti tanah liat, bahkan dalam gelap bisa memberikan sinar penerangan. Terkecuali dari itu dapat pula untuk memunahkan berbagai racun yang jahat

Misalkan orang kena racun, tapi belum sampai ke dalam dapat menggunakan pedang ini untuk memotong tempat yang kena racun. Begitu racun ini kena pedang segera racun itu bergumpal menjadi hitam. Bila tidak, beracun Metesan darah begitu kena pedang ini segera berubah menjadi air bening. Pedang ini ada di tangan mereka kita harus hati hati menghadapinya."

"Pedang ini ada dua bilah satu Liong Kiam (pedang naga) satu HongKiaui (pedang cendrawasih, tidak tahu yang dipegang itu pedang apa?" tanya Gwat Hee.

"Waktu di Ban Liu Tjung sudah pernah kulihat ia menghunus kedua pedang itu." jawab Tjiu Piau. Dua saudara Ong menarik napas mendengar penjelasan itu: " mustika yang hebat ini kenapa bisa berada di tangan bangsat itu!" *

Waktu ini Tong Leng sudah dibebaskan dari totokan oleh Louw Eng, disuruhnya menjaga Bok Tiat Djin di kaki gunung

Louw Eng tetap menghunus pedangnya, matanya seperti binatang liar mengawasi dan mendekati perlahan-lahan kepada Djie Hai bertiga.

Louw Eng sudah bertekad untuk membereskan jiwa tiga orang ini. Dari itu sudah tak mengindahkan peraturan Kang Ouw yang tak memperkenalkan golongan tua menghunus pedang dulu sebelum golongan muda bersenjata. Lebih lebih pedang yang d hunus iiu ada pedang mustika. Kali ini ketiga orang ini tak berketika lagi untuk mencari kemenangan. Kesukaran dan bencana besar di depan mata. tapi hati mereka tetap tenang dan jernih. Tjiu Piau mengepel Tok Tju di tangannya, Djie Hai dan Gwat Hee menghunus senjata belati nya yang biasa dibawa bawa. Tak tahunya Tjiu Piau dalam hal bersenjata tak ada pegangan yang khusus. Dua saudara Ong karena sepanjang jalan menyamar sebagai anak sekolah, jadi tak pernah membawa pedangnya.

Louw Eng belum bergerak, dua orang di belakangnya sudah berdiri dan turut menghampiri Djie Hai bertiga. Bok Tiat Djin sudah tak merasakan sakit lagi, Toag Leng sudah merdeka. Kedua duanya menderita kerugian di tangan bocah bocah. Hitinya bukan buatan gusar dan sakit, dengan kebencian yang memuncak mereka menghampiri untuk menuntut balas.

Tjiu Piau belum pernah menghadapi situasi yang demikian menegangkan tak heran hatinya merasa goncang. Diliriknya dua saudara Ong, tampak mereka dalam keadaan tenang, sehingga membuat hatinya menjadi tenteram. Gwat Hee menatap Louw Eng yang menghampiri setindak demi setindak itu. Mulutnya berkata kepada dua kakaknya : "Kak. kita harus menarungkan dan menaruhkan jiwa kita mati dan hidup. Mereka maju serentak kita tak dapat melawannya satu lawan satu. Kita harus dapat menghindarkan yang dua dan menggabungkan tenaga kita bertiga untuk menghadapi yang satu. Kalau mau menghantam, kita hantam saja manusia dilatna Louw Eng. Kita menggabungkan tenaga kita mati matian untuk membelitnya, agar ia merasakan juga paitnya empedu!"

"Adikku yang baik, kata katamu tepat adanya!" Louw Eng menyerobot dan sudah di depan Djie Hai,

pedang berputar, sinarnya berkeredepan, kelihatannya lambat tapi cepat, sebentar saja pundak kiri Djie Hai sudah dalam bahaya. Ia memiringkan tubuhnya ke Kanan, tubuhnya dikatakan menghindarkan serangan ini. Tiba tiba kaki kirinya yang lurus ditekuk, kaki kanannya yarg ditekuk berubah meajidi lurus, tubuhnya lewat di bawah pedang.

Tubuhnya merapat ke badan lawan. Tak memberikan kesempatan pada musuh memainkan pedangnya yang panjang. Louw Eng melihat Djie Hai sudah berada di sebelah kirinya. Tapi ia tak balik badan. Pedangnya berubah permainan menjadi permainan tumbak yang disebut Hiat Tja Liu (menancapkan batang Liu secara miring) menuju kepada Djie Hai yang berada rendah di sebelah kirinya.

Dada Djie Hai hampir-hampir kena ditembusi pedang itu.

Djie Hai sepenuh hati mencari lowongan dan bergumul rapat dengan lawan.Ia tak gentar menghadapi bahaya, dinantikannya pedang itu sampai di dadanya. Baru kaki kanannya berjingkat, kaki kirinya sedikit menotol tanah. Tubuhnya berputar membuat satu putaran. Pedang itu tepat berlalu dalam waktu sekilat mungkin ke arah samping di mana tadi ia berputar. Kalau dalam keadaan biasa biar jago yang bagaimana gagah dan berani, pasti akan kaget dan mengeluarkan keringat dingin. Tapi lain dengan Djie Hai, ia sudah mengambil keputusan mati, dari itu sedikit juga tak merasa kaget atau gentar. Dengan lincah tubuhnya berputar lagi menimbulkan desiran angin dan cepat sekali sudah sampai di sebelah kanan tubuh musuh. Lengan kanannya sekalian ditikamkan ke perut Louw Eng. Tapi Louw Eng terlalu kawakan. kakinya terangkat, belati di tangan Djie Hai dibuatnya terbang sejauh sepuluh tumbak dan jatuh ke dalam danau. Serangan serangan ini dilakukan seperti kilat, membuat orarg luar tak sempat membantu.

Djie Hai sudah kehilangan senjatanya,

Louw Eng sedikitpun tak memberi hati, wajah mukanya yang adem itu menunjukkan senyum iblisnya, pedangnya menodong dada Djie Hai.

"Ong Djie Hai, kau kata ibumu sudah meninggal, katamu itu benar atau tidak?" Djie Hai tidak mau menjawab.

Sebaliknya Gwat Hee menjawab, dengan maksud memencarkan perhatian Louw Eng : "Benar tidaknya, memang kenapa?"

''Kalau masih hidup, aku akan mengutus orang untuk merawatnya!"

"Kau ingin menemuinya, itu mudah! Asal saja dadamu kulubangi pisau barang sebuah!" kata Gwat Hee.

Dengan tak berkisar sedikit juga, pedang itu tetap mengancam dada Djie Hai. Ia ber kata dengan dingin : "Kiranya ia sudah meninggal!" Tiba tiba ia membentak "Sebelum meninggal apa yang dikatakannya tentang aku kepada kamu! Ia meninggalkan pesan apa? Lekas katakan kalau tidak pedang ini akan membereskan nyawamu dulu!" Djie Hai tetap tak menjawab, sebaliknya kakinya bergerak mundur. Ia mundur setindak, Louw Eng mengikuti maju setindak Didesaknya Djie Hai ke tepi danau. Tjiu Piau ingin melepaskan mutiara beracunnya, diam diam Gwat Hee mengutik nya. "Tunggu dulu. mutiaramu tak boleh sembarang dilepas, lebih baik kita hadapinya asal saja." Dari itu ia berkata lagi ;

"Inginkah kau ketahui apa yang dikatakan ibuku kepada kami? Kata kata ini boleh kuberi tahu kepadamu, tapi tak boleh didengar telinga lain, Titahkanlah Si Macan Tutul dan Hweesio gemuk itu berlalu!" Louw Eng berkepandaian tinggi keberanian nya lebih dari cukup, lebih lebih menghadapi bocah bocah ini yang tidak di pandang sebelah matanya.

Pokoknya asal dapat mendengar apa yang dikatakan ibu Gwat Hee itu.

"Bok heng, Tong Leng heng, kuminta kalian menjauhkan diri agak jauh.''

"Harus pergi ke kaki bukit ..sana!" kata Gwat Hee. "Turutlah kata katanya." kata Louw Eng meminta pada

dua kawannya.

Waktu ini Djie Hai sudah terdesak sampai di pinggir danau sekali. Sedangkan pedang Louw Eng masih tetap berada di dadanya. Ia tahu Kiam Hoat dari Low Eng kelihatannya lambat, tapi sebenarnya cepat dan ganas. Kalau ia bergerak untuk menghindarkan pedang itu, pasti tubuhnya mendapat celaka. Dari itu dia diam dengan mencurahkan perhatian guna mencari ketika. Perkataan adiknya dengan Louw Eng sama sekali tidak masuk dalam telinganya. Waktu sudah berlalu sebentar. Bayangan Tjng Leng dan Bok Tiat Djin sudah tak ada. Louw Eng perlahan lahan menggerakkan ujung pedang dan berkata: "Lekas katakan! Ibumu meninggalkan kata kata apa?"

Djie Hat tetap nembungkem, perhatiannya dicurahkan memperhatikan gerak gerik Louw Eng.

"Ibu berkata, agar kami pergi ke Oey San urtuK mem bereskan sakit hati selama delapan belas tahun dari mendiang ayah kami." jawab Gwat Hee dari samping.

"Sakit hati apa! Bukankah aku sudah membalasnya, untuk kematian dari ayahmu itu." seru Louw Eng.

"Tapi ibuku tidak percaya kejadian ada demikian mudah. Kami dititahkan untuk mencari seseorang yang mengetahui peristiwa dan kejadian ini, guna mengetahuinya. Agar kejadian Oey San yang sebenarnya dapat kami dengar dengan sebenar-benar nya." Mendengar ini Louw Eng menjadi kaget, dalam hidupnya, ia paling takut ada orang mengetahui hal Oey San itu. Mungkinkah orang itu tahu sampai ke detail-detail nya?

"Orang itu siapa?"

"Untuk apa kau tahu?" jawab Gwat Hee Perlahan-lahan Louw Eng memutari pedangnya, matanya yang dingin menyapu wajah Djie Hai. "Kalau kau tak beritahu kakakmu ini segera kusembelih!"

Gwat Hee sambil bicara sambil berjalan perlahan lahan ke belakang tubuh Louw Eng. "Orang itu siapa, hanya kakakku yang tahu, bila kau celakakan dia tak mungkin ada yang dapat memberi tahu Jagi kepadamu."

Belum Louw Eng menjawab, Gwat Hee sudah mengedipi Tjiu Piau, minta bantuan, ia sendiri mengerahkan tenaga- nya, begitu loncat sudah sampai di belakang Louw Eng "Jaga pukulan!" seru Gwat Hee. "Awas Tok Tju!" kata Tjiu Piau membarengi kata-kata Gwat Hee. Dua butir mutiara terbang dengan pesat, satu mengarah kaki kanan, satu lagi dengan pada tangan lawan yang memegang pedang.

Dua mutiara ini merintangi jalan maju nya Louw Eng pada Djie Hai. Asal saja ia maju setengah langkah, atau mengulur kan tangannya setengah senti. Menta menta harus merasakan Bwee Hoa Tok Tju itu Inilah cara melepas senjata rahasia keluarga Tjiu yang antik. Tapi Louw Eng sudah cukup memakan garam di dunia KangOuw. Begitu mendengar suara senjata rahasia itu, sudah tahu ke mana tujuannya, sebenarnya akan dilukainya, dulu Djie Hai, tapi terpaksa ia harus menarik tangannya untuk menghindarkan diri dari bencana. 

Berbareng dengan ini Gwat Hee menyerang dengan salah satu jurus lihai dari bukit berantai yang dinamai Keng Tjiok Tjuan in (lereng gunung ambruk menembus mega). Pukulan datang seperti batu besar menindih menyergap batok kepala Louw Eng. Tanpa bergerak Louw Eng mengerahkan tenaganya untuk menahan. Siapa tahu Gwat Hee mengubah tangannya menjadi terbuka jerijinva, sehingga pukulan menjadi kosong. Suatu tenaga menyedot ke belakang memaksa Louw Eng mundur juga ke belakang setindak.

Menggunakan ketika ini Djie Hai sudah memiringkan tubuhnya, kedua kakinya menotol bumi, dan mencelat sejauh dua tumbak. Sehingga dirinya terlepas dari bahaya. Kedudukan tiga orang menjadi segi tiga berlainan sudut.

Ketika baik dilewati Louw Eng. Sedangkan ketiga orang serentak mengurung dan mengeroyoknya. Harapan mereka ialah jangan sampai Tong Leng dan Hek Pau datang sudah dapat melukai Louw Eng dan dapat naik perahu melarikan diri.

Dalam waktu yang sempit ini ketiga orang ini mempunyai jalan pikiran sendiri sendiri. Djie Hai berpikir : "Kami bertiga bersatu melawan Louw Eng, walaupun dalam waktu singkat tak bisa kalah. Tapi di sana masih ada dua lawan kuat yang belum datang lagi. Begitu mereka datang, kami akan menerima nasib buruk! Waktu tak banyak lagi, bagaimana caranya dapat dengan lekas mengalahkan Louw Eng? Pikir pikir hanya ada satu jalan, biar aku menentang maut membuat perlawanan yang menentukan. Asal saja Louw Eng kena ku lukai sedikit saja. aku Djie Hai matipun tidak mengapa, sebab adikku Tjiu Piau heng tee dapat meloloskan diri."

Sebaliknya Gwat Hee berpikir : "Dalam suasana demikian untuk meloloskan diri berbareng, agaknya tidak ada kemungkinan. Mengandalkan keentengan tubuhku aku dapat molos ke dekat musuh, sekuat tenaga kupeluk dia, aku tak kuatir menjadi mati, sebab dengan jalan ini kakakku dan kak Tjiu Piau dapat ketika untuk melukainya, dan dapat melarikan diri demikian juga Tjiu Piau mempunyai pikiran yang hampir serupa. Pikirnya: "Mengandalkan ilmu leluhur yang dapat melepas senjata rahasia yang dapat seratus kali lepas seratus kali kena sasaran, akan kukorbankan jiwaku asal saja Louw Eng kena mutiaraku. Dengan jalan ini dua kakak beradik 0.jg berkesempatan untuk melarikan diri." Beginilah buah pikiran ketiga orang ini, semua berhasrat mengorbankan dirinya demi keselamatan yang lain. Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan dulu mendahului mereka melakukan serangan maut, sehingga suasana pertempuran betul betul mengerikan dan bertambah dahsyat!

Louw Eng memutari pedangnya, sinar pedang berkeredepan menusuk mata. Tiga pemuda yang tak kenal mati mengasgsak dan mengurung dengan sengit serta berkelebat diantara sinar pedang. Akan tetapi tak seorangpun yang berhasil mendekati tubuh Louw Eng lima enam jurus sudah berlalu. Louw Eng berhasil mendesak ketiga orang ini ke tepi danau. Djie Hai mundur sampai di pinggir perahu, hatinya bergerak waktu melihat pendayung yang besar itu, diangkatnya dan dihajarkan ke Louw Eng dengan kegemasan yang memuncak.

Pembaca harus ingat, pedang yang di pegang Louw Eng dapat memotong besi seperti tahu. Begitu pengayuh datang, disambutnya dengan pedangnya tanpa berkelit lagi. Dengan sekali tabas pengayuh besi itu tinggal separu. Djie Hai bertubi tubi menyerang dengan kecepatan lebih dari angin. Louw Eng secepat kilat memapasi setiap serangan pengayuh itu dibuatnya tinggal beberapa dim saja dari pegangan. Dalam kesibukan melayani Djie Hai, tak di ketahui lagi Gwat Hee sudah berhasil mendekati di belakangnya.

Gwat Hee mencabut pisau belatinya, dengan setakar tenaganya belati itu di tikamkan ke punggung Louw Eng, serangan Gwat Hee ini dilakukan dalam keadaan mati dan hidup, sehingga tikaman ini hanya dapat disebut jurus antara mati dan hidup. Dalam bahaya yang besar ini Louw Eng menyodokkan pedangnya yang terangkat tinggi ke belakang, dengan satu papasan, senjata Gwat Hee sudah dibuat patah ujungnya. Tapi Gwat Hee tidak mundur, sebaliknya menubruk tubuhnya. Dengan kedua tangan dan kakinya Louw Eng dipeluknya. "Kak! Lekas serang!" seru Gwat Hee. Belum suaranya habis, menyusul terdengar teriakan yang mengeneskan darinya. Kaki tangannya menjadi kendur, tubuhnya merosot jatuh dari punggung Louw Eng, mukanya menjadi pucat pasi, dari mulutnya menyembur darah segar membanjir. ' Kiranya waktu ia berhasil menggemblok di punggung Louw Eng, hal ini di luar perkiraan lawan sendiri. Berbareng dengan ini Djie Hai menggunakan waktu orang tak berdaya dengan pukulannya. Dengan tangan kirinya Louw Eng menyambut serangan dengan keras, tangan kanannya menancapkan pedangnya ke tanah. Dengan tangan kosong dipukulnya dadanya sendiri dengan keras!!??? Jurus ini adalah jurus yang luar biasa gaibnya, memukul diri sendiri, tapi tak melukai diri sendiri, sebaliknya tenaga pukulannya itu menembusi punggungnya dan menggempur dada Gwat Hee, demikian lah Gwat Hee menjerit dan lantas pingsan tak sadar diri.

Begitu Gwat Hee jatuh Djie Hai pun kena ditendang.

Kiranya sebelum itu Djie Hai sudah memungut belati Gwat Hee yang putus ujungnya dan menancapkan ke tangan lawan. Louw Eng menghadapi dua orang ini hampir hampir menderita kerugian hatinya dikeras kan. bukan saja lengan kirinya tidak di tarik mundur bahkan disodokkannya ke depan, Djie Hai menusukkan belati kutung rcya ke pangkal lengan musuh dengan berhasil. Tapi jeriji lawan sudah mengenai jalan darah di dadanya, Djie Hai kaku dan mati kutu. Berikutnya kaki kirinya terangkat naik, tubuh Djie Hai dikirim ke tengah danau dan jatuh masuk ke air.

Dalam waktu sekejap mata, dua saudara Ong satu luka parah satu kecebur ke air.

Sedangkan Louw Eng hanya menderita sedikit luka.

Sedari tadi Tjiu Piau tidak dapat turun tangan untuk membantu, kini baru ia berseru: "Awas Bwee Hoa TokTju!"

Louw Eng buru buru menoleh, tapi tak menampak seseorang sesudah ditelitikan kiranya Tjiu Piau merebahkan diri. Tubuhnya bergelindingan mendatang. Inilah ilmu Bwee Hoa Tok Tju gelombang ketiga yang terdiri dari tujuh jurus melepas senjata sambil berbaring. Cara ini pernah dipergunakan Tjiu Piau di Ban Liu Tjung dengan berhasil baik. Ia tak tahu pada masa yang silam Louw Eng pernah dihajar ayahnya dengan jurus ini, sehingga Louw Eng agak segan dan jeri menghadapi ilmu ini. Kini ia melihat lagi ilmu ini, tak terasa lagi ia mundur dua tindak ke belakang. Tiba - tiba Tjiu Piau mencelat bangun setumbak lebih sambil berseru "awas," tujuh delapan butir batu mengapit sebutir mutiara yang berkilat serentak terhambur menghantam datang. Louw Eng sangat takut pada mutiara itu, dari itu hanya mutiara itu saja yang diperhatikan dan dikelit, sehingga batu kecil itu telak mengenainya.

Belum Louw Eng berdiri dengan tetap, kembali beberapa batu yang mengiringi sebuah mutiara emas menyambar datang. Kali ini serangan datang dari bawah, sebab Tjiu Piau begitu hinggap di bumi lantas bergulingan lagi dan melepis senjata, serangan ini demikian cermat dan teliti, kalau orang yang berkepandaian biasa jangan harap dapat meloloskan diri dari bahaya maut ini.

Tapi Louw Eng orang dari golongan apa, kalau saja ia tak takut pada Bwee Hoa Tok batu batu itu jangan harap dapat mengenai tubuhnya! Mutiara yang pertama dapat diegos lewat, kini yang kedua kembali datang. Hebat kepandaiannya, tubuhnya dikakukan seperti mayat dan dijatuhkan ke belakang dengan tegaknya, tak ubahnya seperti gedebong pisang runtuh! Sekali jatuh ini semua serangan lewat tak mengenainya. Hal yang lebih mengherankan tubuh itu kembali bangun lebih cepat dari pada jatuhnya, seolah-olah bola karet yang membal!

Kini Tjiu Piau hanya mempunyai satu lagi mutiara emas itu. Kalau yang sebutir ini melesat lagi...meleset --ya tinggal menunggu ajal saja. Ia berguling lagi di tanah, tak jauh dari tubuhnya tampak tubuh Gwat Hee yang mandi darah, mukanya pucat tak bergerak gerak. Pikirannya mengingat pula Djie Hai yang jatuh ke air. Entah bagaimana Jadinya, pikirnya kebanyakan Djie Hai celaka saja. Sebab inilah darahnya menjadi bergolak, dan bertekad bulat untuk mengadu jiwa. Memikir sampai di sini tubuhnya tidak bergulingan lagi. Sebaliknya lantas berdiri, tangannya dikepalkan dan diserangnya Louw Eng.

Bicara mengenai kepandaian silat Tjiu Piau hanya biasa saja. Saat ini dia berpikir: "Biar bagaimana Louw Eng harus merasakan mutiaraku. Caranya yang terbaik menjalankan dengan jurus nekad!" Diserangnya musuh dengan silat kampungan yang ia bisa. Melihat ini Louw Eng terbahak bahak tubuhnya sedikitpun tidak bergerak, hanya bergoyang sedikit. Semua serangan Tjiu Piau jatuh ke tempat kosong. Ia membentangkan kedua tangannya sambil mengejek: "Mana mutiaramu, habis yah?" tangannya itu dirapatkan untuk menjepit Tjiu Piau.

Tjiu Piau pun tidak mengegos bararg sedikit! Serangan datarg dibarengi dengan serudukannya seperti kambing gunung yang sudah gila. Tangannya membantu menyerang ke dua mata Louw Eng. Tjiu Piau sadar dengan nyeruduk akibatnya bisa mencelakakan dirinya sendiri, tapi tangannya sudah mengepel sebutir Bwee Hoa Tok Tju yang terakhir, dengan harapan bisa melukai lawan.

Baru tangannya sampai di depan mata lawan sejauh satu dim, suatu perasaan sakit dengan tiba tiba saja menyerang sampai di hati. Kiraiya Louw Eng mengubah tangannya satu ke bawah sstu ke atas, tiba - tiba dirapatkan. Tak ampun lagi tangan Tjiu Piau kena digencet. "Krekkk" suara yang mengilukan terdengar, sebab sekaligus kedua lengan Tjiu Piau sudah kena dipatahkan! Sakit ini membuat Tjiu Piau merasakan dunia terbalik, hampir-hampir pingsan dibuatnya. Tapi dalam beberapa saat. ia masih dapat bertahan, entah dari mana datangnya tenaga, sekuat mungkin ditahan sakitnya. Tenaga yang penghabisan itu digunakan untuk melepaskan senjata rahasianya. Untung kedua tangannya yang sudah menjadi kaku seperti kayu itu masih mendengar kata. Dicentilkannya mutiara yang semenggah-menggahnya itu. Begitu mutiara itu terlepas, ia sendiri segera jatuh pingsan.

Louw Eng tak mengira akan terjadi hal ini. tambahan jaraknya terlalu dekat, tak ampun lagi mutiara itu mengenai dadanya.

Kekagetan Louw Eng seperti dijilat setan, ketenangannya hilang seketika, tubuhnya mundur - mundur terus beberapa tindak mutiara itu dicabutnya dengan tangan kanannya. Baru saja tangan itu mau mengenai duri-duri mutiara itu, kesadarannya segera datang, bahwa benda itu tak boleh dipegang tangan. Buru buru ditariknya kembali tangan itu. Srettt---sebilah pedang terhunus, pikirnya akan diobati lukanya itu seperti waktu ia mengobati Peng San Hek Pau.

Baru saja pedang itu terhunus, kembali ia membengong diri. Sebab mutiara itu bersarang di dada! Peng San Hek Pau jerijinya dapat dipapas kutung. Tapi dada ini tak boleh diliangi atau dipotong sebagian. Bagaimana baiknya?

Kekalutan pikirannya melewati batas, sampai satu hal yang sedari siang siang di pikirnya tak masuk ke otaknya. Yakni mengambil obat pemunah dari tubuh musuh. Sesudah bengong setengah harian, otaknya baru mengingat ini.

Dihampirinya Tjiu Piau sambil dibentak: "Lekas keluarkan obat pemunah! lekassss!" Pedangnya berkelebatan di depan mata lawan. Tapi Tjiu Piau sedikitnya tidak bergerak-gerak atau berkata-kata. Louw Eng baru ingat bahwa pemuda ini sudah luka dan pingsan. Tak banyak ribut lagi ia nongkrong di depan tubuh Tjiu Piau sambil merogohi saku orang. Saat ini tubuh nya sudah merasakan pening yang sangat sedang- kan dadanya sudah merasakan sedikit kaku.

Ia mempunyai pengetahuan umum di dunia Kang Ouw ini dengan baik. Ia tahu obat pemunah ini berada pada pemilik senjata itu, dari itu digeledahnya Tjiu Piau Tapi sesudah kodok sana rogo sini tak diketemukan obat itu. Akhirnya dengan susah payah obat pemunah ini diketemukan juga di lapisan kulit rusa sarung tangan lawan. Sebuah bungkusan kecil berisi pel-pel kecil terdapat di sana, ia berjingkrak kegirangan, dengari cara yang tergesa gesa dibukanya obat itu. Sayang obat itu dibungkus berlapis lapis, baru membuka sampai lapis ketiga, pening nya sudah terlebih dahulu memingsankan otaknya. Tubuhnya menjolor kaku.

Kita tengok lagi Peng San Hek Pau dan Tong Leng Hweesio yang pergi ke kaki gunung, sesampai di sana melihat suatu pemandangan alam yang demikian indah-

Tak terasa lagi mereka menikmati dengan penuh kegembiraan. Lama kemudian mereka baru ingat kembali pada kawannya. Kaki nya melangkah perlahan dan ayal ayalan sambil bercakap cakap sepanjang jalan.

Mereka kaget waktu mendekati bekas tempat perkelahian. Seolah olah tidak terlihat bayangan orang hidup di tepi danau. Louw Ens, Tjiu Piau, Oag Gwat Hee malang melintang terhantar di sana merupakan mayat. Sedangkan bayangan Ong Djie Hai tak tampak ada di sana. Mereka merasa kuatir dan curiga, dihampirinya tergesa gesa terlihat di tangan Louw Eng memegang bungkusan obat, obat itu seolah olah mau dimasukkan ke dalam mulut, tapi keburu kaku dan pingsan.

Peng San Hek Pau memeriksa denyutan jantung kawan- nya itu. Nyatanya masih berdetak dengan lemah sekali, lekas-lekas di buka obat itu, ia tak tahu aturan obat itu, dicomotnya dengan tangan dan dimasukkan ke mulut Louw Eng dan diberinya minum air danau.

"Mari kita periksa bocah-bocah Ini mati atau belum.

Kalau belum sebaiknya kita sadarkan mereka." Kedua orang itu masing masing memeriksa Tjiu Piau dan Gwat Hee Peng San Hek Pau memberikan obat buatannya sendiri Thai Ie Ngo Houw San. Ke dua orang itu layap-layap sadar dari- pingsannya sesudah berobat itu. Peng San Hek Pau lekas lekas bertanya pada Tjiu Piau bagai mana caranya menggunakan obat pemunahnya. Tjiu Piau tertawa dingin seraya berkata : "Tak halangan untuk kuberitahu kepadamu Setiap yang terkena Bwee Toa Tok Tju pasti akan tiga kali pingsan dan tiga kali sadar, sesudah itu baru mati. Setiap ia sadar dari pingsannya berikanlah sembilan butir untuk ditelannya. Tapi untuk sekali ini jiwa Louw Eng tak dapat tertolong!"

"Kau jangan main gila. nanti kupatahkan kakimu!" bentak Tong Leng Hweesio. Tjiu Piau tidak menjawab. Sebaliknya mendengar Louw Eng bersuara dengan nada yang lemah sekali! : "Tanyakan apa sebab nya aku tak dapat baik." Kiranya ia sudah siuman.

Tjiu Piau melihat Louw Eng siuman, segera diejeknya. "Alasannya mudah saja. Mutiaraku sudah tambah semacam racun lagi! Sedangkan obat pemunah tak ada padaku!"

Mendengar ini tak tertahan kekagetan mereka, sehingga mukanya pada berubah macam. Louw Eng napasnya sudah sengal sengal, agaknya sudah akan pingsan kembali. Bok Tiat Djin lekas lekas memberikan obat "Apa gunanya dikasih obat itu!" tanya Tong Leng.

"Sebaiknya kita punahkan racun Bwee Hot Tok Tju keluarga Tjiu dahulu, yang lain lihat kemudian, jawab Bok Tiat Djin. "Mutiara itu mengandung racun apa pula? Lekas katakan!"

Tjiu Piau mengenakkan gigi menahan sakit yang bukan alang kepalang itu. Sebisa bisa ditahannya sakit itu, ia tak mau meratap atau merintih! Ia ingat apa yang dikatakan Tjen Tjen kepadanya, bahwa racun dari Tan djie yang dipelihara itu bukan main jahatnya. Racun itu akan

bekerja perlahan lahan menyiksa orang. Obat pemunahnya hanya dipunya Tjen Tjen sendiri, sampaipun ayahnya , gurunya tidak mengetahui adanya hal ini!

Inilah pembalasan alam agar Louw Eng ying biasa melakukan kejahatan merasakan ular berbisa ciptaan anaknya sendiri! Kini tak halangan hal ini diberi tahu mereka, sesudah diketahui mereka pasti tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-api, sebaliknya mereka akan bertambih gelisah. Memikir sampai di sini tak tahan untuk tersenyum.

"Racun ini bukan kepunyaan orang lain, ialah kepunyaan Louw Tjen Tjen Mintalah kepadanya!"

Dua orang bengong mendengar kata-kata ini. Bak Tiat Djin melihat Louw Eng. sebentar biru sebentar pucat kemudian merah membara, agaknya ribuan bisa dan racun tengah tergumul di dalam tubuhnya, pemandangan ini menipiskan untuk mengharapkan ia bisa hidup. Biar bagaimana Bok Tiat Djin mempunyai hubungan baik dengan Louw Eng sepuluh tahun lebih. Mereka sama sama membagi keuntungan, sama sama pula menikmati segala senang dan duka. Pokoknya mereka kerja sama bahu membahu dan saling tolong. Tapi kiri kawan yang baik ini dalam beberapa saat lagi akan meninggalkannya, kedukaan dan kesedihan hatinya menyesak di jiwa raganya. Lebih-lebih mengingat bagaimana kawan ini menolong jiwanya dari racun ini dengan mengutungkan jerijinya, sedangkan ia tak berdaya untuk balas menolong Louw Eng Kalau tidak pasti jiwanya siang-siang melayang, mengingat ini ini keringat dinginnya membasahi tubunnya dengan deras!

Sesudah menunggu beberapa lama. Louw Eug kembali siuman untuk kedua kali. Bok Tiat Djin memberi tahu, bahwa obat pemunah dari Tjian Tok Tjoa (ular seribu racun) berada pada Tjen Tjen. Mendengar ini matanya terbeliak putih, dengan sekuat tenaga memaksakan diri untuk bicara: "Menyesal aku tak pernah meminta barang sedikit untuk menjaga diri." Hatinya gelisah dan pingsan lagi. Bok Tiat Djin buru - buru memberikan obat lagi. Tak kira begitu obat ini termakan oleh Louw Eng. tubuhnya berubah menjadi dingin napasnya semakin payah. Kiranya obat ini tak boleh terlalu banyak dimakan, sebab bisa merusak Goan Kie (tenaga asli) sesudah kena racun sedikit banyak kehilangan juga ilmu tenaganya. Kesatu disebabkan racun itu terlalu lihai, kedua meminum obat terlalu banyak. Tak heran rupanya berubah seperti orang yang menderita sakit sudah lama.

Waktu ia siuman untuk ketiga kalinya wajahnya dihiasi senyuman yang spesifik dan misterius dari pribadinya. "Bok heng, Tong Leng heng, aku minta kau menjauhkan diri sebentar, aku mempunyai kata kata yang penting untuk dikatakan kepada dua bocah ini."

Bok Tiat Djin merasa heran, ia berkata sambil menasehati: "Louw heng. Kau harus istirahat untuk memulihkan napasmu, tak boleh banyak bicara." Louw Eig meraba denyutan jantungnya sendiri.

"Aku mempunyai kira - kira, harap jangan kuatir." mereka terpaksa melulusinya. Tapi kali ini mereka tidak pergi jauh jauh, mereka waspada untuk melihat sesuatu pergerakan.

Louw Eng berkata pada Tjiu Piau dan Gwat Hee: "Tit-djie, Tit-lie mungkin aku segera akan berpulang ke rahmatullah. Orang hidup harus mati, dari itu aku terima kematian ini dengan baik. Sekali-kali aku tak menyalahkan kalian. Tapi aku mengharapkan benar, sebelum aku mati dengarkanlah sepatah kataku ..." Napasnya sengal sengal dan istirahat sebentar.

Ong Gwat Hee dan Tjiu Piau mengedipkan matanja, masing masing berpikir : "Bangsat ini sudah mulai lagi." Kedua kaki Tjiu Piau tidak menderita luka, ia duduk bangun, Gwat Hee juga duduk sambil menguatkan tubuh. Kedua orang itu sambil menyandar kan punggung ke punggung masing masing duduk bersama sama. Karenanya mereka masing masing merasakan kehangatan tubuh kawannya.

Dalam suasana celaka demikian mereka terlebih lebih lagi akrabnya. Sayang dalam alam yang demikian romantis ini. terjadi perkelahian saling bunuh membunuh, sungguh tak mengena sekali. Kini kedua orang masing-masing men derita luka berat, juga berada dalam tangan musuh, mereka tak berdaya untuk berontak guna melawan. Begitupun baik, mereka agaknya akan bergirang sekali mengakhiri jiwa remajanya itu dalam suasana yang sangat manis ini. Kedua orang ini mempunyai pendapat yang begitu. Tak heran mereka menyandarkan tubuhnya masing - masing semakin erat. dari hal ini hatinya merasakan sesuatu hiburan yang tak ternilai harganya!

Louw Eng melihati kedua orang itu, sesudah menarik napas, kembali ia berkata: "Orang yang akan mati. perkataannya selalu lebih baik dari masa hidupnya. Kalian sudah tak percaya perkataanku, tapi dengarilah beberapa patah sebelum aku mati. Kalian dengar' dan dengar jangan gusar jangan panas, dengarlah! Sakit hati di Oey San selama delapan belas tahun itu tak dapat dibalasnya atau diberesinya. Sebab apa karena yang membunuh Tjiu

Tjian Kin adalah Ong Tie Gwan! Adapun keributan ini terjadi di sebabkan mereka kena diadu domba oleh Wan Tie No-- Kalian dua keluarga adalah bermusuhan, Wan Tie No-— juga musuh dari kalian. Kalau mau membalas sakit hati kuberikan petunjuk yang baik.Kapan waktu ada orang yang meminta pedang Liong dan Hong dariku, orang itu pasti mempunyai hubungan yang erat dengan Win Tie No---" napasnya kembali sesak, ia mengaso lagi.

Sebenarnya Tjiu Piau dan Gwat Hee sudah mengambil keputusan untuk tak mau percayai perkataan itu., Siapa kira perkataan Louw Eng yang sengal sengal Ini meng gerakkan kedua hati anak muda ini. Perkataan orang yang akan mati tentu baik ada nya. Mereka setengah percaya dan setengah curiga mendengarkan ceritera ini.

Louw Eng berkata pula : "Wan Tie No itu demikian kurang ajar, kami empat saudara kena diadu dombakan. Ia binasa di targanku. itu seharusnya. Tapi--- tapi ia masih mempunyai orang yang terdekat...untuk mencari balas kepada kalian. Kalian harus hati hati. Aku...aku agaknya tak

. . . tak dapat hidup lagi, kalian boleh percaya boleh tidak...atas kata kata ini. Pokoknya...aku...bicara, dan dengan...ini batiku...menjadi tenteram...kalian berdua..." kata katanya belum habis kembali ia pingsan. Mukanya yang pucat berubah menjadi abu-abu, tak ubahnya seperti wajah orang mati. Kelihatannya racun dari Bwee Hoa Tok Tju sudah dipunahkan, tapi bisa Tjian Tok Tjoa sudah masuk ke hati.

Tjiu Piau melihat musuh itu masih ingin bicara pada tarikan napas yang demikian lemah itu. Hatinya tergerak, tak terasa lagi beberapa bagian dari perkataan itu sudah dipercayai hatinya. Saat ini punggungnya merasakan tubuhnya tak bersandaran, agaknya Gwat Hee tak menyandar lagi padanya., ia berbalik untuk melihat empat mata-bentrok, dari sinarnya seolah olah menunjukkan kecurigaan masing masing.

Louw Eng melirik memandang suasana ini dengan girang pikirnya tak cuma cuma aku berkata. Saat ini Bok Tiat Djin menghampiri datang, ia membuka mulut untuk berkata- kata tapi napasnya terlalu lemah, akhirnya tak berkata kata. Lama kemudian, dengan tenaga yang semenggah - menggalinya terlontarlah kata katanya itu dengan keras, seperti orang membekasi "Kasihlah mereka berlalu!" Tubuhnya segera pingsan lagi Bok Tiat Djin buru buru memeriksa jalan pernapasannya, dengan wajah putus asa. digeleng gelengkan kepalanya. Napasnya sudah hilang, tubuhnya kaku dan jengkar. tapi wajahnya masih tersenyum. Tjiu Piau dan Gwat Hee merasakan senyum dari orang mati itu sangat menakutkan sekali, senyum itu demikian aneh dan berbisa, membuat orang jemu melihatnya, ditambah dengan wajahnya yang sudah menjadi matang biru. tak ubahnya seperti setan gaib menjelma di dunia. Kedua orang ingin memalingkan mukanya tidak melihat, tapi ingin melihatnya juga. Karena inilah hatinya tidak tenang.

Sebab apa Louw Eng sampai matinya masih tertawa? Ia biasa melakukan kejahatan dan meracuni kehidupan orang. Waktu ia sadar akan menghadap pada Giam Lo Ong, otaknya mau tak mau harus merenungkan hal ikhwal dari kehidupan yang dialaminya. Bahkan disebabkan ia kuatir akan diomongi orang nanti, atau memikiri nasib anaknya yang akan ditinggalkan itu. Otak itu mempunyai satu pikiran jahat: "Aku mengharap dengan kematianku, keluarga Tjiu, Ong, Tju saling bunuh membunuh juga, mengharapkan mereka bisa saling hantam dengan orang nya Wan Tie No."

Tak heran ia mengucapkan kata katanya tadi serius dan mengarang ceritera burung Kedua anak muda itu masih muda dan kurang Pengalaman Melihat ia akan mati tapi masih berdaya untuk mengeluarkan kata kata itu tak terasa lagi kewaspadaan mereka menjadi kendur sebagian, perkataan ini memakan di otaknya dan mengeruhkan pikiran mereka. Louw Eng melihatnya hal ini. hatinya berpikir. "Lihat! biar aku sudah meninggal, tapi kata kataku tidak mati. kalian masih dijiwai Louw Eng. Sehingga kalian akan bunuh membunuh tak karuan, berkat kebodohan kalian!"

Sebenarnya hati orang memang tidak serupa, ada orang merasakan melakukan kejahatan sangat menyesal dan memalukan, sehingga hatinya tidak tenang selama hidup nya. Tapi Louw Eng manusia yang berlainan dari segala orang.

Sudah tahu jiwanya akan melayang, pikirannya masih saja jahat. dengan provokasinya ingin memancing satu perkelahian diantara mereka, memikiri ini hatinya menjadi senang, dari itu ia mati sambil membawa senyum.

Bok Tiat Djin dan Tong Leng membentak Tjiu Piau: "Obatmu apakah benar atau palsu? Lekas katakan kalau tidak hati-hati dengan paha anjingmu!"

"Lihat saja wajah mukanya, kalau tidak meminum obatku, tidak mungkin wajahnya berwarna agak merah. Kini ia mati disebabkan racun dari anak kandungnya sendiri. Hal ini tak boleh menyalahkan aku.” jawab Tjiu Piau membela diri.

Bok Tiat Djin tak dapat berkata apa-apa, lebih lebih sebelum mati Louw Eng meminta melepaskan mereka. Dalam rencana keji dan busuk ia mengakui Louw Eng sangat pandai, dari itu ia berbuat demikian tentu mengandung maksud pula, dari itu ia berkata: "Tong Leng heng, mari kita cari tempat yang baik untuk tempat Louw toako ber istirahat selama lamanya. Bocah bocah ini biar mati atau hidup kita tinggalkan di sini." mendengar ini Gwat Hee dan Tjiu Piau merasa gembira di balik duka.

Tong Leng memanggul jenazah dari Louw Eng, Bok Tiat Djin mengiringi dari belakang, mereka jalan pergi, makin lama makin jauh.

Tjiu Piau merasakan sangat haus sekali, dengan sekuat tenaga ia menghampiri tepi danau, dengan kedua tangan nya yang sakit disendoknya air danau. Tapi tangan itu tak mendengar perintah lagi! Terpaksa ia berlutut sambil memonyongkan mulutnya untuk menghirup be berapa teguk air untuk menghilangkan rasa dahaganya.

Memang manusia merasakan air menjadi harum dan nyaman sewaktu dahaga, tapi waktu biasa air ini kurang harganya Tjiu Piau merasakan tubuhnya agak segar berkat beberapa tegukan air danau ini. Saat inilah telinganya mendengar suara "bluk" ia menoleh dan dilihatnya Gwat Hee tengah meronta dan melawan sakit ingin berdiri, tapi disebabkan lukanya yang keras, sekujur badannya tak bertenaga, tak heran begitu berdiri tubuhnya lantas jatuh lagi.

"Kau ingin minumkah?" Gwat Hee mengangguk. "Tunggu sebentar kusendokkan untukmu." Tangannya mencoba memungut kulit kerang yang terdapat di situ, tapi baru saja tangannya bergerak sedikit, sakitnya itu menyerang ulu hati, ia baru sadar tangan itu sudah patah, ia berdiri dengan menyedihkan.

"Tanganmu tak dapat digerakkan, kemarilah dan pondonglah aku." Tjiu Piau menghampiri gadis itu menguatkan diri untuk berdiri dan memegang leher sang jaka. Baru saja Tjiu Piau melangkah setindak, Gwat Hee sudah tak tahan lagi. la merosot jatuh. Dengan gusar ia berkata: "Louw Eng si gila itu sungguh jahat, tangan nya yang keji itu membuat nyawaku tinggal sebagian!"

Tjiu Piau, bulak balik pikir hanya ada satu daya. "Kau. naiklah di punggungku, nanti kugendong sampai kau dapat minum!" sang gadis merasakan syukur alhamdulillah. Ia melirik dengan puas atas ketulusan hati nya pemuda itu.

Dengan lembah lembut ia berkata; "Tjiu Piau ko kau sendiri menderita luka, mana dapat kau lakukan itu."

"Tak menjadi soal lukaku adalah luka luar, asal jangan dipegang lukaku saja. Lekaslah!" Ia membungkukkan tubuhnya. Gwat Hee berdaya sekuat tenaga menggemblok di punggungnya tangan itu hati-hati memegang dada sang pemuda itu. Sesudah itu Tjiu Piau baru berdiri, tapi kepalanya merasakan banyak sekali bintang-bintang kecil yang berhamburan, dengan pertahanan jiwanya yang kuat ia melangkah menuju ke tepi danau. Kira kira baru jalan beberapa langkah, merasakan di depan matanya, gelap, tak kuat lagi ia bertahan, kedua orang itu jatuh berbareng dengan napas memburu. Cukuplah, tiga tindak lagi aku sudah dapat ke tepi danau itu," kata Gwat Hee. Benar saja ia maju mengangsrot angsrot. dan berhasil meminum beberapa teguk air itu. Ia tersenyum girang sambil berkata: "Aku sudah baikkan, demi air ini."

Alam cerah, sinar surya memancarkan ribuan sinarnya seperti benang emas menerangi jagat. Danau itu dikelilingi rumput-rumput halus menghijau, dilengkapi dengan berjenis jenis bunga mekar, keadaan sangat sunyi dan tenang, apa yang terdengar hanya kicauan burung dan suara angin. Alam yang indah ini memabukkan setiap yang melihatnya. "Sayang sekali pemandangan alam yang demikian mentakjubkan ini, tidak dinikmati orang." kata Gwat Hee.

Kata kata ini diucapkan sekedar menghilangkan kedukaan dan penderitaan mereka.

"Gwat Hee Moy moy, kau tentu mendengar patah demi patah perkataan Louw Eng bukan?" "Semua kudengar semua sudah kupikir, kau sendiri bagaimana?"

"Aku tak mengetahui apa yang dikatakan itu benar atau tidak.-"

"Tiga kali ia sudah menceriterakan peristiwa Oey San, tapi satu sama lain sangat berlainan sekali."

"Orang sesudah mati tak mengetahui apa-apa lagi, segala urusan sudah tak ada hubungannya lagi dengan dia. Mungkin kali ini omongannya itu benar adanya."

"Louw Eng itu adalah binatang yang berwajah manusia.

Dari mulutnya itu hanya dapat mengeluarkan kata kata binatang pula!"

Kedua orang itu berdiam sejenak sambil berpikir.

"Hal ini bukan sengaja kukemukakan atau meyakinkan kau, ini hanya buah pikiranku saja. Aku sadar hal ini tidak dapat merusak hubungan kita. Seandainya hal ini benar benar terjadi juga tidak mengapa, yang lalu biarlah ia berlalu. Kita masih muda pikiran kita masih jernih dan tak mungkin disebabkan kesalahan orang tua kita, mengakibatkan permusuhan di antara kita. Sebaliknya kita harus menjadi terlebih baik pula untuk membenarkan kesalahan yang sudah diperbuat orang tua kita. Betul tidak? Coba kau pikir!"

Gwat Hee tak memikir sang jaka bisa me ngeiuarkan pendapat yang demikian. Hatinya merasa gembira mendengar perkataan itu. Tapi sengaja ia berkata: "Ya seharusnya musti demikian, tapi biar bagaimana orang tua kita tetap bermusuhan. Dari itu biar bagaimana kita mana dapat menjadi sahabat?"

"Kenapa tak bisa?" tanya Tjiu Piau.

"Kalau benar benar ayahku telah membunuh ayahmu bagaimana?"

"Kalau demikian inilah kesalahan mereka, untuk kita hanya berpikir pada kebenaran sekali tidak memikiri kesalahan. Dengan cara ini kita pasti akan menjadi baik dan rukun, betul tidak?"

Gwat Hee sangat girang mendengar ini, sampaipun rasa sakitnya kurang sebagian.

"Katakanlah sudahkah kita berpedoman pada kebenaran dan menjauhkan kesalahan?"

"Kini masih belum terang, hal ini baru dapat diketahui dengan jelas kalau kita sudah mendaki Oey San. Di situlah kita baru dapat memastikan benar tidaknya perkataan Louw Eng. Tapi biar bagaimana Juga pasti tidak salah, coba kau katakan benar atau tidak?"

Mendengar ini muka Gwat Hee yang pucat menyinarkan juga perasaan girangnya. "Aku pun sependapat denganmu," katanya sambil menunjukkan perasaan kuatir. "Kakakku mungkin tidak mengalami hal yang tidak diingin ya?

Mungkin hanya hanyut entah 'ke mana?"

Kekuatiran Tjiu Piau pun tidak terhingga. Tapi sebegitu lama tidak berani mengatakannya. Kini mendengar itu dengan sabar ia menghibur: "Allah maha adil. orang baik selalu dilindunginya, kuharap ia tak kurang suatu apa." Gwat Hee dengan sinar mata sayu mengawasi air danau.

"Kini aku merasakan heran sekali. Bukankah waktu kakakku kecebui segera tidak terdengar apa apa lagi. Kepalanya sedikitpun tidak muncul lagi, menteriakpun tidak heran?" Belum Tjiu Piau menjawab, ia sudah melanjutkan perkataannya. "Tjiu Piau ko kau lihat, benda apa yang terbang mendatang itu?" Tjiu Piau dongak mengawasi, dilihatnya sebuah titik hitam dengan kecepatan yang luar biasa terbang mendatang, semakin lama semakin besar, dalam sekejap saja seekor burung raksasa terbang lewat di atas kepala mereka. Di punggung burung itu menggemblok burung kakak tua. Tjiu Piau berkata dengan cemas: "Tjen Tjen pasti berada tidak berjauhan dengan kita!"

"Kita harus menyingkir!" kata Gwat Hee.

"Baik. lekaslah kau naik di punggungku lagi!" Gwat Hee menurut.

Dua orang ini tolong menolong untuk menyelamatkan jiwanya, baru saja mereka sampai di kaki bukit. Tiba tiba dilihatnya dua bayangan orang berlari mendatang dengan pesat, sambil lari mereka sambil berteriak teriak. Waktu ditegasi kedua orang itu bukan orang lain. ialah Tong Leng dan Bok Tiat Djin. Tjiu Piau dan Gwat Hee merasa tak mengerti, kenapa dua binatang ini kembali datang.Mereka melihat dan mengawasi dengan penuh perhatian ;

"Tjiu Piau ko, kau lihat, benda apa yang merayap di muka Bok Tiat Djin ! ! ? ? ?" Tjiu Piau pun sudah melihat, di tanah itu menggeleser sebuah benda yang menyerupai orang. Berkelok kelok dan bergeliat geliat jalan merayap dengan cepat, sampai Tong Leng dan Bok Tiat Djin yang berkepandaian tinggi tak mudah untuk mengejarnya.

“Itu adalah seekor ular ajaib!" kata Tjiu Piau. Gwat Hee tidak berkata-kata! Hati-hati dilihatnya benda itu, kemudian wajahnya menjadi kaget dan heran: "Mari, lekas lekas kita menyingkir, benda itu bukannya ular, tapi Louw Eng!"

Mendengar itu Tjiu Piau menjadi kaget sekali. Waktu dilihatnya benda itu sudah datang mendekat, dan dapat dilihat dengan tegas, benar saja benda itu adalah Louw Eng, yang menggeleser berjalan seperti ular. Tak terasa lagi bulu roma kedua orang ini pada berdiri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar