Pahlawan Harapan Jilid 04

Jilid 04

Tjen Tjen merasakan angin dingin berkesiur di belakang tubuhnya. Ia sadar ada yang membokong, badannya segera berbalik, tangannya menjambret tangan lawannya.

Lengannya itu seperti ular, ketemu apa, apa dilihat. Tangan penyerang dengan segera kena dililitnya. Kelincahannya ini tak ada taranya, tapi tenaganya tidak melawan tenaga lawan yang demikian kuat. Ia merasakan jalan darahnya menjadi beku kena totokan lawan. Lengannya menjadi kaku tak berkutik, sebab inilah tangannya terus melilit lengan sang lawan tak lepas-lepas. Dua dua berlibat menjadi satu tak dapat melepaskan diri.

Tiba-tiba sebuah bayangan hitam berkelebat di belakang mereka. Ong Siau Sie seng merasakan punggungnya kaku, kena totokan orang. Nyatanya orang ini adalah Louw Eng, yang secara kebetulan sekali tengah menantikan di samping batu besar ini. Louw Eng buru-buru membebaskan jalan darah sang puteri. Dititahkannya Tjen Tjen mengawasi perempuan penyamar laki laki itu. Ia sendiri keluar untuk menghadapi Ong Toa Sie seng.

Mengingat kena ditotok gadis ini. Tjen Tjen menjadi dongkol sekali. Tanpa banyak pikir lagi jari-jarinya menotok berkali kali ke tubuh orang secara keliwatan! Sesudah itu diikatnya tubuh orang seperti lepat. Ia sendiri menonton bapaknya bertarung! Tjen Tjen Ke luar dari batu-batu waktu mendengar panggilan sang ayah.

Louw Eng mendengar ia mengikat gadis itu demikian macam. Pura pura bergusar sambil membentak: "Begitukah caranya memperlakukan tamu? Lekas kau persilahkan ia datang!"

Tjen Tjen menbalik badan sambil melelet leletkan lidahnya. Ong Toa Sie seng melihat dia ke luar lagi menenteng tubuh adiknya. Tubuh adiknya yang sudah tak berdaya itu digabruki ke tanah. Sing adik tidak berdaya, matanya mendelik menunjukkan kegusarannya yang memuncak.

Kiranya waktu Tjen Tjen melepaskan Ong Siau Sie seng ke tanah. Tangannya memegang ujung tali pengikat. Begitu ujung tali ditarik tali itu lepas semuanya. Bahkan tubuh Ong Siau Sie seng tidak jatuh ke tauah, sebaliknya berdiri tegak sambil berputar putar seperti gangsing! Tjen Tjen berwatak senang bergurau. Demikianlah tubuh orang diikat dan dipermainkan seperti panggal.

Ong Toa Sie seng begitu melihat adiknya segera menubruk seperti terbang Tjen Tjen dengan seenaknya melempari ujung tali dari tangannya ke arah Ong Toa Sie seng. Tali itu demikian halus dan tak bertenaga. Sedikit pun tik diperdulikan dan dipandang oleh Ong Toa Sie seng.

Siapa nyana tali itu seperti seekor ular, melipat tangan- nya dengan erat sekali. Begitu Tjen Tjen menggerakkan tenaganya Ong Toa Sie-seng tak dapat bergerak lagi!

Ong Toa Sie seng merasa kaget, "Bocah ini mempunyai tenaga yang demikian besar sekali? Aneh betul!" pikir hatinya. Waktu ia menoleh untuk mengawasi, entah kapan ujung tali pengikat ini sudah berada di tangan Louw Eng. Ia tak heran lagi tenaga ini demikian besar.

Louw Eng menteriaki orang orangnya untuk membawa Ong Siau Sie seng ke dalam Ban Liu Tjung untuk beristirahat. Saat itu juga beberapa orang ke luar dari tumpukan batu. Yang mempelopori adalah Hek Pek Djie Hoo

Ong Toa Sie seng melihat adiknya di bawa orang, diam- diam hatinya merasa susah. Matanya melirik ke sekeliling, tampak Louw Eng masih memegangi tali seperti tadi, sedikitpun tidak menunjukkan habis berkelahi.

Tjen Tjen tertawa tawa kegirangan melihat keramaian ini. Tjiu Piau berdiri di lampingnya dengan pikiran melayang-layang tak bertujuan Ong Toa Sie seng berpikir: "Baiklah aku pergi ke Ban Liung Tjung, sebab adik ku ditawan orang. Saudara Tjiu pun belum kuketahui bagaimana pikirannya. Aku harus mencari ketika untuk bicara dengannya."

"Anak yang baik. Mungkin kau belum puas dengan pertarungan tadi. Silahkan kau pertunjukan lagi kepandaianmu!" kata Louw Eng menyindir.

Ong Toa Sie seng diam tidak menjawab. Hanya tampak ujung tali yang mengikat lengan kirinya tiba tiba menjadi tegak rata sebagai toya. Louw Eng sedikit kaget, sadarlah ia bahwa tenaga dalam bocah ini adalah dari golongan kelas utama. Ia telah bergerak, tahu tahu ujung tali yang berada di tangannya turut berdiri. Tenaga dalam dari dua orang ini mengalir melalui tali ini dan bertemu di tengah tengah. Masing-m?sing mengempos tenaganya. Tiba tiba "tas!" tali itu putus menjadi dua. Ong Toa Sie seng diam diam merasakan dahinya berkeringat. Tangannya dikebaskan sambil tertawa dingin Tali yang sudah putus itu jatuh di tanah.

"Atas kebaikan tuan tuan demikian besar,yang rendah terpaksa tak menampik bertandang dan ganggu Bin Liu Tjung yang mulia."

Ramai ramai orang banyak mengangkat kaki menuju Ban Lui Tjung. Louw Eng merasa gembira dan puas. Delapan belas tahun yang lalu, janda-janda dan anak anak dari tiga saudara angkatnya, tiba tiba hilang dalam semalaman dan tidak diketahui di mana rimbanya. Hal ini menyebabkan hatinya tak tenang. Penderitaan batin di derita selama kurang lebih 30 tahun lamanya. Dalam waktu demikian lamanya ini, tak pernah wajah mukanya menunjukkan kekuatiran naiinya itu. Apa yang tampak pada wajahnya hanya perasaan menanti dan rindu pada keponakan keponakan dari mendiang saudara saudara angkatnya itu.

Tambahan hal ini sering dikata katakan pada kawan kawannya selama delapan belas tahun sehingga orang percaya bahwa ia mempunyai hati yang baik itu.

Bahkan orang orang kepercayaannya seperti Mau San Djie Hoo, Hoo Pun juga tidak mengetahui hal yang sebenarnya. Kira mereka Toako sudah mendapatkan keponakannya. Antara mereka terjadi salah faham, sehingga terjadi pertarungan.

Louw Eng tergirang mendapatkan tiga diantara empat anak yatim itu. Tambahan sudah mengetahui di mana ibu Tjiu Piau bsrdiam. Tinggal dua janda dan seorang anak yang belum diketahui.

"Pada suatu hari pasti dapat kucari mereka. Kalau sudah lengkap sekaligus kubersihkan mereka dari permukaan bumi. Dengan jalan ini perbuatanku yang kurang baik itu tak dapat diketahui lain orang," pikir Louw Eng dengan asyik. Pikiran ini semata mata untuk menutupi perbuatan kejinya yang memalukan, di balik itu untuk menjamin keselamatan jiwanya pula. Memang terkecuali dan ia sendiri, kiranya hanya beberapa orang ini saja yang mengetahui sedikit akan perbuatannya yang buruk itu. Sesudah berpikir demikian Louw Eng merasa gembira, senyum manis menghias mulutnya! Inilah senyum wajar yang benar-benar ke luar dari sanubarinya.

Oiang orang tengah bergembira, sambil jalan sambil bercakap cakap serta tertawa-tawa. Waktu mereka sampai di bawah kaki gunung, tiba tiba dari atas mendatang seorang tua berambut putih dengan kecepatan seperti terbang!

"Suhu!" panggil Ong Toa Sie seng. tapi orang tua itu tak menolongnya, sebaliknya menerjang bagai air bah pada pagar manusia itu. Tanpa diketahui bagaimana caranya, tahu tahu lengannya sudan mengempit seseorang. Sesudah itu kembali berlalu bagai bayangan!

Orang orang banyak tak ubahnya seperti kesima. Mereka hanya dapat mengeluarkan sekali, tapi tidak keburu untuK menggerakkan tangannya.

Louw Eng otaknya tetap tenang, ia berseru. "Saudara- saudara harap sabar! sekalikah jangan mengejar! yang penting kita harus melayani tamu-tamu ini!" Dirinya sendiri tetap berdiri dekat kedua saudara Ong. Setengah tindakpun ia tak berkisar.

Malam hari Hoa San Kie Sau tidak melihat dua saudara Ong berada di penginapan. Pikirannya memastikan mereka pergi menyelidiki lagi Ban Liu Tjung. Lekas-lekas ia menyusul, sebab hatinya tak merasa tenang. Sayang kedatangannya terlambat. Dua saudara Ong sudah jatuh ke tangan Louw Eng. Musuh terdiri dari jago - jago rimba persilatan, sebaliknya ia hanya seorang diri. Pemain catur ini berpikir : "Lebih banyak celakanya dari untungnya kalau Menteri berani sembarangan masuk wilayah musuh tanpa pengawal. Lebih baik diam dulu tak bergerak untuk menantikan ketika." Terlihat rombongan Louw Eng dengan kegirangan berlimpah limpah kembali pulang. Tjen Tjen gemar bermain main, lari sana lari sini jauh dari rombongan. Pemain catur ini mendapat ketika baik, rubuhnya seperti terbang menyergap Tjen Tjen, Satu langkah yang terlalu berani di jalankan dengan berhasil!

Dengan cara dan perhitungan caturnya ia mengharapkan orang orang terpencar untuk menolong Tjan Tjen. Ia sendiri akan berbalik arah untuk menolong dua muridnya. Harus diingat kepandaian saudara Ong sudah termasuk lihay Asal saji Louw Eng dan kawan kawannya berlalu setindak saja, mereka pasti dapat melolosi diri. Tambahan dapat sambutan dan gurunya, cara ini pasti berhasil baik.

Bilamana tipu ini gagal, Tjen Tjen sudah di tangan, keselamatan dua saudara Ong sudah terjamin. Pokoknya sudah menang satu atap.

Loaw Eng sebagai jago Kang Ouw yang sudah kawakan, tenang tenang saja waktu melihat Hoa San Kie Sau menampakkan diri. Tapi ia tak mengira Hoa San Kie Sau berani mengambil langkah berbahaya ini. Sehingga puterinya kena ditawan. Hatinya berpikir: "Kie Siu tidak mungkin mau mecelakakan Tjen Tjen semasa saudara saudara Ong berada di tanganku. Yang perlu kedua bocah ini tak boleh terlepas, sekali terlepas sukar didapatnya kembali."

Ia menyuruh kawan-kawannya melanjutkan perjalanan menuju pulang. Wajahnya sedikitpun tak menunjukkan perubahan, Sementara itu Hoa San Kie Sau sudah hilang dari pandangan mata.

Ong Kee Sie seng mengerti maksud gurunya- Hatinya menjadi lapang. Ia dongak ke langit sambil bersiul-siul kecil!

Louw Eng tidak berkata kata, menurut perhitungannya Hoa San Kie Sau cepat atau lambat pasti akan datang menyatroni mereKa. Tiba tiba dipanggilnya Mau San Djie He dan dibisikinya beberapa patah. Djie Hoo mengangguk anggukkan kepalanya dan berlalu dengan cepat. Sebenarnya Louw Eng berpikir akan berbelok jalan, tak kembali ke Ban Liu Tjung. Sesudah bulak balik pikir, akhirnya diambil keputusan untuk kembali ke Ban Liu Tjung dulu terlebih baik. Saat ini pasti Kie San membuntutinya,sesudah kembali ke kampung baru berbalik jalan. Cara ini di lakukan diam diam tak diduga duga, pasti dipat melepaskan diri dan Kie Sau. Dari itu disuruhnya Djie Hoo melakukan tugas ini.

Malam hari dua saudara Ong dan Tjiu Piau menghadiri perjamuan yang diadakan Tjung Tju. Louw Eng bicara ke barat ke timur menceritakan keadaan dunia Kang Ouw. Sedikitpun tidak menyinggung -nyinggung urusan lama atau bertanya keadaan mereka sekarang. Yang ditanyai ialah nama kedua saudara Ong. Yang besar bernama Ong Djie Hai yang kecil bernama Ong Gwat Hee. Dua nama ini masing masing di ambil dari sajak yang dipunyai mereka sendiri. Louw Eng sudah mengetahui dua baris kata-kata dari sajak itu bertalian besar dengan urusan Oey San. Diam diamnya sajak itu diingatnya di dalam hati.

Ong Djie Hai menggunakan ketika memberi tanda pada adiknya. Agar tenang dan menunggu ketika baik untuk bergerak. Mereka minum air kata-kata dengan tenang agar tidak dicurigai orang orang Ban Lui Tjung. Siapa tahu perjamuan belum selesai ketiga orang ini sudah mabuk tak sadar diri. Apa yang diminum mereka kiranya adalah arak. bercampur obat pulas khas buatan Ban Liu Tjung. Obat ini sedikitpun tidak mengeluarkan bau, buatannya sangat teliti. Barang siapa terkena, akan mabuk selama dua belas jam.

Waktu sadar kembali tak ubahnya merasakan diri seperti mabuk arak biasa. Sehingga takkan mempunyai sangkaan dikerjakan orang.

Ketiga orang ini tengah mabuk. Tiba tiba terdengar suara berisik dari para pelayan dan pegawai Ban Liu Tjung, Mereka berserabutan sambil berteriak: "Api . . api . kebakarannnnnnnnn! ! !" Kebakaran ini terjadi secara mendadak. Louw Eng tenang tenang saja melihat kesibukan orang. Sebab hal ini terjadi atas titahannya pada Mau San Djie Hoo. Louw Eng menjadi orang selalu berhati penuh curiga, tindakannya selalu hati hati. Ia merasa Ban Liu Tjung sudah kena diselidiki orang. Sengaja membakarnya, menggunakan orang sibuk dan kalut, ia berlalu bersama Djie Hoo. Tong Leng Ho Siang, Peng San Hek Pau serta tiga anak itu melalui jalan tanah. Di mulut goa Hoo Pun sudah menantikan, mereka naik kuda dan hilang dalam kepulan debu.

Sebelum berlalu Louw Eng meninggalkan surat pada Hoo Pun untuk disampaikan pada Ouw Yu Thian. Dalam suratnya itu Louw Eng memesan untuk melakukan sesuatu menurut rencana.

Hari kedua dikala senja, Ong Gwat Hee pertama tama yang layap layap sadar dari mabuknya. Ia merasakan tubuh seperti di ayun ayun dan tidur dalam gumpalan awan.

Matanya terbuka, ia kaget dan neran mendapatkan dirinya di sebuah perahu kecil yang terumbang ambing di sungai. Lekas-lekas ia bangun, diamat amati keadaan seKelilirg.

Suatu pemandangan dan hutan belantara yang terawat manusia terbentang di kiri kanan dengan indahnya.

Perahunya berjalan di sebuah sungai yang berliku liku dengan cepatnya.

Gwat Hee menjadi merah pipinya. waktu mendapatkan Tjiu Piau masih tidur nyenyak di sisi tubuhnya. Diperiksa paVaiannya tak ada perubahan tetap masih seperti sediakala. Gwat Hee semenjak kecil selalu memakai pakaian laki-laki. Tambahan sudah lama mengikuti gurunya mengembara di dunia Kang Ouw Sehingga tidak pemaluan lagi seperti gadis gadis lain. Kini mendapatkan seorang pemuda yang sebaya dengannya tidur bersama sama. hal ini membuat ia merasa mslu. Terkecuali dari juru mudi, hanya dialah berdua. Kagetnya tak terkira.

"Kakakku? Ke mana dia? Ini tempat apa? Benarkah aku sudah terlepas dari tangan Louw Eng dan komplotannya?" Pikir hatinya renuh pertanyaan. Serentak ia berdiri memandang ke tempat jauh.

Pengemudi perahu itu tertawa tawa melihat kelakuan Gwan Hee "SiauwKo sudah bangun, nyenyak benar tidurmu!" ngomong ngomong tandannya tetap mengayuh air. Pendayungnya itu demikian besar dan terbuat dari logam. Paling sedikit dua ratus kg beratnya.

Pengemudi itu mengayuh seperti tidak mengeluarkan tenaga tiap kali kayuh perahu itu seperti terbang dibuatnya. Perahu maju ke hulu melawan air, air kena diterjang perahu yang pesat sehingga beterbangan muncrat setinggi dua tumbak. Membuat satu pemandangan yang langkah dan indah sekali! Gwat Hee melihat kejadian ini semua. Ia tahu bahwa pengemudi itu bukan orang sembarangan. Dengan hormat ia bertanya.

"Toako, numpang tanya sudah berapa lama kami di perahu ini? Tempat ini apa namanya?"

"Kalian demikian nyenyak sehingga tak sadar diri.

Setahuku waktu air pasang, kalian naik perahu, kini air sudah pasang Jagi."

Gwat Hee menghitung sehari dua kali air pasang, kini sudah senia. Dan itu paling kurang semalam suntuk aku mabuk.

Pengemudi itu berkata pula. "Tak lama lagi kita akan sampai di Bu Beng Hop (sungai tak bernama).

Pemandangan di situ baru indah!" 'Di mana letak Bu Beng Hoo?"

"Bu Beng Hoo adalah sungai yang mengalirkan air Bu Beng Ouw (Janau tak bernama)."

"Dari Bu Beng Ouw ada lagikah terusan lain?"

"Di tengah danau terdapat Bu Beng To (pulau tak bernama), bukankah kalian bertujuan ke sana?"

"Berapa perahukah yang seiring dengan kita?" "Dua di depan satu di belakang."

Gwat Hee melihat ke depan dan ke belakang, tapi tak mendapatkan perahu itu. "Kenapa tak tampak?"

"Dua perahu di depan masing masing di kayuh adikku.

Mereka lebih kuat dari pada ku, dari itu aku tak dapat menyusulnya"

"Masa yang jadi kakak kalah oleh yang jadi adik?"

Pengemudi itu tertawa: "Mereka terkecuali bertenaga besar, pengayuhnyapun lebih besar dari yang aku!" Mendengar ini Gwat Hee se makin kaget. Orang ini sudah begini kuatnya. Tapi masih ada yang melebihinya.

'Bukan main! ' serunya. "Siapakah yang naik perahu di depan?"

"Sebuah dinaiki seorang Hwee-sio gemuk dan dua orang bermuka lancit seperti rase.

Sebuah lagi dinaiki seorang tua dan seorang muda yang tidur nyenyak seperti kalian." Gwat Hee agak terhibur mendengar kakaknya berada di depan.

"Siapa pula yang naik perahu di belakang?"

"Oh, tuan rumah dan tamu tengah asyik ngobrol di perahu itu."

Gwat Hee menduga tamu itu Louw Eng adanya, tapi siapa gerangan tuan rumah itu. Diamat amati pengemudi itu. Kira kira berusia empat puluhan, mukanya persegi, mulutnya besar, kulitnya hitam manis. Wajahnya cukup gagah dan simpatik.

"Dapatkah aku mengetahui nama Toako yang besar?" "Perahu berlalu tanpa meninggalkan bekas di muka air.

Orang hiduppun tak ubahnya demikian. Untuk apakah

meninggalkan nama?"

Gwat Hee kaget mendengar jawaban berfilsafat dari pengemudi itu. Waktu mau bicara lagi, Gwat Hee merasakan perahu menjadi miring. Tak tahunya Tjiu Piau sudah sadar. Ia berbalik berdiri sewaktu merasakan tidur di tempat yang aneh. Sebab ini perahu hampir diterbalikkan Terlihat pengemudi itu menotolkan pengayuh ke muka air dengan perlahan, perahu ini menjadi tenang kembali.

Terlihat mulut Tjiu Piau akan bergerak, tetapi sebelum suannya ke luar terlebih dahulu datang suara ribut terbawa angin mendatang dari depan.

"Di depan ada orang kecebur." kata pengemudi itu.

Sudah bicara pengayuh besinya dikerjakan terlebih cepat, sehingga perahu kecil ini lajunya terlebih pesat.

Mendengar ini mau lak mau Ong Gwat Hee merasa cemas. ia taKut Ong Djie Hai sudah membuat onar dengan orang orang di depan. Perahu laju seperti terbang tapi dua orang penumpang itu masih merasa jambat sekali. Baiknya begitu ke luar dari tikungan, perahu di depan sudah di depan mata. Herannya tak ada orang di atasnya. Mendadak dari dalam air muncul sebuah kepala orang. Orang ini Ong Djie Hai adanya. Huppp—-hup ia menarik napas dan kelelap lagi.

Gwat Hee berteriak tertolong tolong

ia tahu kakaknya yang besar di pegunungan melulu mempelajari silat. Sama sekali tak dapat berenang seperti dirinya. Ia minta Tolong pada pengemudi, iapun bertanya pada Tjiu Piau:

'Tjiu koko kau bisa berenang tidak? Bisa tidak?"Tjiu Piau hanya melongo saja karena tidak becus berenang.

Pengemudi itu mendekati perahunya sambil tertawa tawa. Sementara itu tampak beberapa kali tubuh Ong Djie Hai timbul tenggelam sambil ngengap ngengapan menyedot hawa.

"Lau Sam, jangan mengganggu orang, lekas ke luar!" teriak pengemudi itu ke dilam air. Sekali ini Ong Djie Hai muncul ke permukaan air sebatas badan. Tubuhnya kelepekan mendekati perahu yang terkatung-katung itu. Dengan susah payah berhasil juga ia menjambret dan naik ke perahu itu. Sesampai di perahu tubuhnya sudah lemas, ia terlentang ngengap ngengapan. Saat ini dari dalam air muncul seseorang, dengan muka persegi usianya masih muda kira kira dua puluhan. Ia tertawa dan berpaling pada pengemudi perahu Gwat Hee sambil tertawa: "Toako, bukan aku yang mengganggu dia, melainkan ia yang mencoba aku!" Habis, berkata kembali ia menyelam. dalam waktu sekejap kembali ia muncul dengan sebuah pengayuh besinya yang besar. Pengayuh itu sudah somplak sebesar pangkal lengan anak kecil.

Kiranya begitu Djie Hai sadar, tampak di sampingnya berduduk Peng San Hek Pau, di belakangnya berduduk pengemudi perahu dengan pengayuh besinya yang besar. Djie Hai tak dapat berenang, tapi jarak perahu ke darat tak seberapa jauh. pikirnya asal perahu sedikit ke pinggir, ia dapat melompat ke darat. Sesudah mengambil keputusan. Di ajaknya tukang perahu ngobrol. Ditanyainya bagaimana caranya mengemudikan perahu. Sementara tangannya memegang - megang pengayuh orang, dicobanya sekuat tenaga mengayuh perahu agak ke pinggir. Begitu tenaganya dikerahkan, tiba tiba ia merasakan tenaga balikan yang demikian besar dari pengemudi itu. Djie Hai memang mengandung pikiran untuk menguji tukang perahu itu. Semangatnya diempos tenaganya kian bertambah.

Pengemudi itu dengan erat memegang pengayuhnya dengan dua tangan, sedangkan tubuhnya sedikitpun tidak bergeming. Sebaliknya pengayuh itu yang tidak tahan menerima tenaga dua orang itu. Bagian yang dipegang Djie Hai menjadi cekung, sebaliknya yang dipegang pengemudi itu menjadi cembung!

Djie Hai mengubah keputusannya secara tiba tiba.

Hatinya berpikir; "Pengemudi itu bertenaga besar sekali, lebih baik kupinjam tenaganya untuk loncat ke darat" Habis berpikir tubuhnya mencelat, tangannya menekan pengayuh, dengan tenaga balikan yang diterima tubuhnya melayang seperti terbang. Pengemudi ini tidak bersiaga atas tindakan Djie Hai ini, begitu Djie Hai berialu, ia kehilangan imbangan badan. Perahunya miring ke sebelah kanan. Buru buru ia pindah ke sebelah kiri dengan maksud menenangkan perahu. Siapa tahu Peng San Hek Pau mendadak tubuhnya melayang dengan totolan kakinya! Hampir-hampir menterbaliKkan perahu. Tukang perahu tergoyang goyang di atas perahunya. Tubuhnya belum dapat ditetapkan mendadak Djie Hii jatuh dari atas dan menjambretnya. Tak ampun lagi dua dua kecebur ke dalam sungai!

Sedari semula Peng San Hek Pau sudah memperhatikan gerak-gerik Djie Hai. Begitu ia melihat Djie Hai lompat, tubuhnyapun melayang mengikuti. Ditariknya Djie Hai dari udara sampai jatuh ke air. Hek Pau sendiri meminjam tenaga tarikan, sehingga tubuhnya membal beberapa tumbuk! Perlahan-lahan dan tak bersuara tiba di bumi. Ong Djie Hai tidak bisa berenang, beberapa teguk air kena diminum. Semakin ia berontak semakin gelebeKan. Dalam keadaan setengah mati ia merasakan tubuhnya didorong orang dari dalam air. Membuat ia dapat mengeluarkan kepala dari permukaan air. Udara dihirupnya secepat mungkin. Sesudah mati-matian akhirnya ia berbasil sampai di perahu.

Beberapa saat kemudian pikirannya tenang kembali. Telinganya mendengar suara ribut ribut. Waktu matanya melek tampak beberapa perahu, dinaiki Louw Eng dan komplotannya. Di samping Louw Eng duduk seorang muda dengan tubuh kurus seperti bambu. Adiknya dan Tjiu Piau terdapat pula di situ. Ia hanya dapat menarik napas, Matanya dimerami lagi dan tak berkata-kata.

Begitu Louw Eng mengetahui ketiga orang ini tak bisa berenang, hatinya bertambah lega. Sesampainya di Bu Beng To boleh berbesar hati untuk meninggalkan mereka. Kalau sudah beres pertemuan di Oey San baru kembali lagi untuk membereskan mereka. Pikir Louw Eng.

Pengemudi dianjurkan meneruskan perjalannya sambil diburu buru Peng San Hek Pau perlahan lahan melompat ke perahu. Gwat Hee mengajak kakaknya pindah ke perahunya. Dua saudara itu tidak berkata-kata. Hatinya pasti tengah meraba raba pikiran lawan. Merekapun tidak mengetahui pikiran Tjiu Piau. Ingin mereka bicara, sayang bukan tempatnya. Sebaliknya Tjiu Piau pun ingin bicara dengan mereka untuk menjelaskan tentang dirinya seterang mungkin. Sayang tak ada waktu dan ketika. Sesudah ribut mereda, malampun mendatang, keadaan sangat gelap sebab gelap bulan. Sesudah perahu jalan tak seberapa lama. Tiba tiba tampak di muka seolah olah tidak ada jalan lagi. Waktu didekati kiranya di muka penuh ditumbuh gelagah yang sangat lebat sekali.

Perahu berputar ke arah timur sebanyak dua kali, dalam sekejap saja, jalanan menjadi terbuka, di muka terbentang sebuah danau dengan tenangnya, angin dingin bertiup perlahan-lahan mengusap air, bintang-bintang kec 1 kelap kelip berbayang di air, pemandangan menjadi indah tampaknya.

Di tengah-tengah danau tampak sebuah teng dengan sinar lampunya yang bergoyang goyang tertiup angin. Di sekeliling teng terlihat bayang bayang gelap yang besar, tak salah lagi pasti inilah yang disebut Bu Beng To.

Gwat Hee terlentang di atas perahu memandang langit.

Ia melihat bintang tujuh yang terang bergemerlapan. Perahu membuat suatu garis lurus dengan bintang ini. Karenanya hatinya menjadi tergerak, jalan ke luar dari Bu Beng To ialah di sebelah selatan dari Bu Beng To, hal ini diingatnya betul betul. Waktu ia melihat kakaknya dan Tjiu Piau, mereKa tengah asyik mendengari pembicaraan Louw Eng. Tapi sayang sekali yang di bicarakan Louw Eng adalah lagu lama dari kejadian kejadian di Kang Ouw melulu.

Sehingga kedua orang merasa bosan untuk mendengari terlebih lanjut.

Perahu sudah sampai di tengah-tengah Bu Beng di depan mata. Pulau ini tidak lebih tidak kurang sebesar bukit kecil. Keadaan tanahnya datar. Hanya di tengah-tengahnya agak menonjol, dan di situlah terdapat beberapa batang pohon, dari tengah-tengah pohon memancarkan sedikit sinar terang, mungkin di situ terdapat beberapa rumah. Tempat ini sangat sepi dan sunyi sekali, tak ubahnya seperti hutan belantara!.

Gwat Hee berpikir: "Siapa gerangan yang mendiami pulau ini? Tempat yang demikian Kecilnya tidak terurus! "Sementara itu perahu sudah mendarat, orang-orang sudah merapat, di bawah pimpinan anak muda yang kurus seperti bambu itu. Mereka berjalan di atas jalan yang terbuat dari batu-batu yang merupakan tanggul tanggul. Lekak-lekuk.

Sesudah lama kemudian baru sampai di tempat yang tinggi yakni di mana terdapat rumah-rumah. Kiranya rumah ini terbuat dari tumpukan batu batu, buatannya sangat kodi sekali. Ketiga mengemudi sudah memasak nasi, lauk pauknya terdiri dari ikan dan udang melulu, tapi segar dan manis serta nyaman akan rasanya.

Tjiu Piau bertiga siang siang sudah merasa lapar sekali, tak banyak ribut lagi segala hidangan itu disikatnya sepuas mungkin. Selesai bersantap Louw Eng berkata pada Ong Djie Hai. "Dalam cuaca malam yang demikian indah sayang

-kalau dilewatkan begitu saja. mati kita berjalan-jalan mencari angin."

Ong Djie Hai sudah bertekad melihat segala tindak tanduk Louw Eng. Dengan tak banyak pikir lagi ia menjawab mau. Pikirnya. "Lagaknya segera akan ke luar." Sebelum berlalu ia mengedipkan dahulu adiknya memberi isyarat.

Louw Eng dan Djie Hai segera naik perahu tanpa pengemudi, sebab Louw Eng dapat berperahu. Demikianlah perahu kecil itu sudah mulai jalan perlahan-lahan dikayuh Louw Eng.

Beberapa hari ini 'perlakuan Louw Eng ternadap Tjiu Piau dan dua saudara sangat aneh sekali. Seolah-olah ia sangat memperhatikan dan telaten sekali, di balik itu juga sangat keras menjaganya. Pengikutnya yang terairi dari jago-jago ulung tidak henti-hentinya mengawasi sepak teijang ketiga orang ini.

Djie Hai gagal usahanya untuk melarikan diri sewaktu di Bu Beng Hoo. Mereka juga tidak mengusik ngusik hal ini, seolah olah tidak terjadi sesuatu. Mungkin mereka mempunyai cara lain yang akan dikeluarkan. Tapi Djie Hai selalu siap sedia untuk menyelamatkan dirinya.

Di dalam perahu Djie Hai membawa lagak seperti tengah menikmati pemandangan di danau itu, tapi sebenarnya tengah mengawasi gerak gerik Louw Eng.

Sampaiditengah tengah, keadaan sekeliling sangat sunyi sekali, hanya tiupan angin halus yang terdengar samar samar datang dan berlalu. Tiba tiba Louw Eng berkata: "Djie Hai Tit djie (keponakan) kau tahukah, kenapa aku ingin dengan kau berjalan jalan ke sini? Aku mempunyai sesuatu rahasia yang maha penting, yang sudah terbenam dalam dadaku selama delapan belas tahun lamanya.

Terkecuali dari diriku, hanya seorang saja yang mengeiahuinya. Sayang orang itu sudah meninggal. Hari ini rahasia itu akan kuberitahukan kepadamu!"

"Apakah rahasia ini sangat erat hubungannya dengan- ku?"

"Bukan saja berhubungan dengan kau seorang, tapi berhubungan pula dengan rakyat seluruh negeri!

Bersumpahlah dahulu untuk mengatakan rahasia ini kepada orang kedua. Sesudah itu baru aku mau memberi tahu kepadamu!"

"Aku bukan ahli untuk bersumpah, sumpah apa yang kau kehendaki dariku?" Kata Djie Hai dengan suara dingin. Louw Eng melirik, tiba tiba pengayuh di angkat dari air, dengan tangan kanannya mentah mentah dilepas, sret--- plung! pengayuh itu menjadi somplak, petelannya jatuh, di temDat jauh, pengayuh yang sudah rusak itupun dilemparnya ke tengah danau. Tenaga tangannya memang cukup mengejutkan orang sesudah itu ia berpaling pada Djie Hai seraya berkata.

"Bersumpahlah semacam ini! Bilamana kau menceritakan rahasia ini kepada orang lain, kau mendapat nasib serupa pengayuh ini."

Tanpa ragu ragu sedikitpun Djie Hai mulai bersumpah. "Baik! Demi kepentingan rakyat jelata. Bilamana aku Ong Djie Hai menceritakan sesuatu yang seharusnya tidak kuceritakan. Kehidupanku semoga seperti pengayuh itu!"

Louw Eng tertegun tak berkata kata, agaknya banyak banyak kata kata yang ingin dibicarakan, tapi untuk seketika semua kandas di tepi bibirnya. Kini perahu itu terbawa angin merapung rapung di atas danau, sebab sudah tidak dikemudikan lagi.

Dengan keren dan mantap Louw Eng memperdengarkan suaranya: "Ketahuilah Sri Baginda Tjeng jiwanya sudah di atas tanganku!"

Dengan kata katanya ini Louw Eng melihat tubuh Djie Hai bergoyang goyang dan berhenti lagi. Tahulah ia bahwa kata katanya ini mengenai hatinya Djie Hai benar benar. Dari itu sambungnya pula: "Kini tercapailah cita citaku selama delapanbelas tahun untuk mendapat kepeicayaan dari raja Tjeng, sembarang waktu aku dapat mendampinginya. Cita citaku selama delapan belas tahun ini hanya diketahui oleh ayahmu seorang Menyesal sekali ia sudah mendahului aKu pergi ke tanah baka!"

Tak terasa lagi Djie Hai bertanya: "Apa artinya akan kata kata ini?"

"Diam dulu. jawablah pertanyaanku duhulu. Tahukah kau akan kematian ayahmu sejelas jelasnya?" Perlahan lahan Djie Hai menggeleng gelengkan kepala, wajahnya sangat tenang.

"Inipun ada rahasia pula. Delapan belas tahun yang lalu.

Nama Wan Tie No bukan main terkenal dan dimalui orang. Tak seorang tidak mengetahui, bahwa ia adalah pengikut dari Giam Ong Lie Tju Seng. Tidak sedikit jasa jasa didirikan. Sewaktu tentara Tjeng masuk di wilayah Tiongkok ia menyembunyikan diri di gunung sunyi. Diam diam ia mengumpulkan orang gagah untuk mengobarkan pemberontakan pada pemerintah. Siapa kira dan siapa menyangka, tidak tahunya terlebih dahulu ia sudah sekongkol dengan penghianat bangsa nomor satu Ang Sin Tiu!'

Bicara sampai di sini Louw Eng berdiam sambil meng- awasi dengan tajam. Sekeliling terbenam di dalam kesunyian seperti mati, perahu terkatung katung tanpa arah tujuan Tanpa diketahui lagi perahu sampai di tepi yang berumput tebal.

Ong Djie Hai hampir hampir nyeletuk :Benarkah terjadi hal ini ? Tapi kata kata ini tertelan lagi ke dalam mulutnya. ia berusaha untuk menguasai perasaannya menjadi tenang. Agar dapat mengetahui betul dan palsunya perkataan orang, ia tahu yang terbaik, wajahnya tidak boleh berubah, harus pura pura percaya.

Perlahan lahan Lauw Eng berkata pula "Walaupan ayahmu mempunyai hubungan yang erat dengan Wan Tie No, tapi tidak mengetahui hatinya yang sesungguhnya.

Delapan belas tahun yang lalu, ayahmu mendengar perkataannya, dan mengajak kami empat saudara untuk menghadiri pertemuan di Oey San, katanya untuk rencana besar guna menggulingkan pemerintah Tjeng Diluar perkiraan, ayahmu secara kebetulan sekali mengetahui perbuatannya dan rahasianya, hal ini akibatnya besar. Dari kawan baik menjadi musuh besar. Sepontan di situ juga terjadi gelanggang laga yang besar. Akibat dari pertarungan itu tertinggallah aku yang tidak berguna ini.

Kejadian delapan belas tahun yang lalu tak ubahnya seperti dalam impian saja." Louw Eng berkata lagi dengan nada sedih sesudah diam seketika: 'Yang lebih celaka ialah salah satu dari persaudaraan kami ini sebenarnya menjadi pengkhianat pula. Waktu terjadi perkelahian bukan saja ia tidak membantu kami, bahkan membantu musuh. Hian Tit, jika kau ingin mengetahui siapa orang itu, lihatlah apa yang tertera di paugkal lenganku ini!" Digulungnya lengan baju. di bawah sinar bintang samar-samar terlihat bunga bwee merah. Ong Djie Hai sudah mengetahui di pangkal lengan Loaw Eng terdapat bwee merah itu. Kini dilihatnya bunga itu. sekedar ingin melihat lihat saja.

"Tjiu Tjian Kin Siok-siokkah yang kau maksudkan orang itu?"

"Benar dia adanya. Mutiara beracun itu dilepas tanpa kukira. Tak ampun lagi aku kena tipu busuknya ini. Untung dalam bahaya yang demikian hebat itu. ayahmu dapat menghajarnya luka. dan mengambil pemunah dari mutiara itu . . . Perkelahian yang hebat ini untuk sementara waktu tak dapat kututurkan dengan jelas. Apa yang akan kukatakan ialah perkelahian ini berakhir sangat menyedihkan. Wan Tie No mati di tanganku, Tjiu Tjian Kin dengan lukanya masuk ke jurang sebab malu. Tju Hong jatuh ke dalam jurang yang terjal. Ayahmu mati kena tangan besi Wan Tie No sehingga luka parah dan tak sadarkan diri beberapa jam lamanya, dalam pada itu aku terus menjaga dan mendampinginya. Akhirnya ia siuman dan sadar kembali. Ia berkata sepatah kata kepadaku, sesudah itu ia lantas meninggal. Kata-katanya ini memesan agar aku memeriksa dan membersihkan sisa sisa dari gerombolan Wan Tie No. Aku berpikir cara yang terbaik untuk melakukan hal ini ialah pura pura mengabdi pada pemerintah Tjeng di samping itu aku menjadi musuh di dalam selimutnya." Bicara sampai di sini tiba tiba terdengar suara orang berkata kata.

Di mana gelagah yang rimbun, bergoyang bayangan hitam.

"Siapa!" bentak Louw Eng.

Di mana bayangan hitam bergerak, sebuah perahu kecil perlahan lahan maju mendatang Dua orang penaik perahu, berbadan serupa, tubuhnya kurus daa wajah mukanya Seperti rase Satu berbaju putih satu berbaju hitam. "Oh, kiranya Louw Toako berada pula di sini?' Dua orang ini tidak lain dan Mau San Pek Hoo dan Hek Hoo.

Louw Eng diam sejenak, tiba tiba dalam kegelapan malam, di bawah renang remang sinar bintang kecil, tampak sebuah senyuman dari bibirnya.

"Kiranya Djie wie (dua tuan) marilah sama sama kita nikmati pemandangan yang indah ini bersama sama.

Pengayuh kami jatuh tanpa sengaja sehingga perahu ini terkatung katung dan berjalan tanpa pengemudi.Kini kalian datang sungguh kebetulan sekali. Perahu ini agak besar, bawalah pengayuh itu sama sama kita seperahu, bagaimana?" Pek Hoo setuju saja, perahu mereka di kayuh perlahan lahan menghampiri.

Kira kira tinggal beberapa meter pula, Hek Hoo meloncat terlebih dahulu ke perahu Louw Eng.

Louw Eng mengulurkan tangan menyambut. "Hati hati saudaraku!" Begitu tubuh Hek Hoo Vena kepegang Louw Eng, itu detik juga tidak berkutik lagi, dan tidak dapat bersuara lagi. "Rebahanlah istirahat!" Hek Hoo tidak dapat apa-apa mentah mentah dikerjakan orang.

Di sana Pek Hoo berdiri di perahunya, perlahan-lahan pengayuhnya dilemparinya pada Lauw Eng, pengayuh ini terbuat dari kayu biasa, Louw Eng menerimanya. Sebuah gulungan putih perlahan lahan datang tak siapa lagi ialah Pek Hoo loncat mendatang

"Indah sekali!" Suaranya belum habis pengayuh itu sudah mendahului menyabet ke arah kaki dari Pek Hoo. Pek Hoo terkejut, ditarik tubuhnya membuat salto di udara, dan jatuh tepat di pinggir perahu, tangan yang baru berhasil dan memegang kayu perahu itu, digeprak Louw Eng sehingga hancur. Pek Hoo menjerit secara mengenaskan, belum jeritannya habis, tubuhnya sudah masuk ke dalam air. Di atas papan terlihat darah daging merah hancur menggambarkan sepuluh jeriji tangan. Sungguh ngeri!

Louw Eng msrnbersihkan pengayuh itu pakai air danau.

Seperti tidak kejadian apa apa ia berkata : "Dalam dua sudah beres satu, tinggal satu ini diapakan Hian tit?"

Ong Djie Hai bertanya : "Apa artinya ini?"

Louw Eng terkekeh tertawa ; "Kau sungguh terlalu muda!

Bukankah mereka sudah mencuri dengar akan rahasia jiwaku bukan? Kalau dibiarkan mereka hidup, pasti aku tak dapat hidup. Aku tak dapat hidup tak menjadi soal. Yang penting yakni rencana untuk menggulingkan pemerintah Tjeng menjadi berantakan dan hancur! Mereka adalah pengikut pemerintah Tjeng yang sangat setia Sedari dulu sudah niat kubereskan mereka. Nah. Djie Hai kau bereskan satunya lagi itu!" Tangannya di ulur untuk menjambak Hek Hoo, niatnya Hek Hoo akan dilempar ke depan Djie Hei. Begitu tangannya memegang baju Hek Hoo secara dibetotnya, dalam sekejap inilah lengan kanan dari Hek Hoo secara tiba tiba menuju iga Louw Eng, dilengannya memegang sebilah pisau yang mengkilap, pedang pendek ini entah kapan berada ditangannva. Kali ini semua di luar perkiraan Louw Eng, untuk berkelit sudah tak mungkin.

Tapi Louw Eng adalah orang Kang Ouw kelas satu, sudah biasa menghadapi segala bahaya yang hebat hebat. Waktu itu juga lengan kanannya yang memegang baju Pek Hoo. mengeluarkan tenaga, secara tiba-tiba Ke depan, seperti angin besar meniup rumput, Pek Hoo kena didorong mundur sebanyak dua langkah, la sendiri buru buru mengkeratkan dadanya ke dalam. Tak ubahnya seperti tubuh udang. Dengan cara inilah ia berhasil menghindarkan dari serangan Pek Hoo itu. Tapi tak urung baju luarnya kena tergores pecah- Sehingga bulu dadanya yang lebat tampak ke luar,

"Hai rase! Sungguh licin kamu yah?" bentak Louw Eng dengan gusar.

Semua orang mengenal kelicikan dan kelicinan Mao San Djie Hoo ini. Karena inilah mereka terkenal di kalangan Kang Ouw. Bukankah barusan Hek Hoo sudah kena ditotok Louw Eng sehingga tak berkutik.

Tapi kenapa dengan secara tiba-tiba ia dapat bangun menghadapi lawan ? Ini semua adalah kelicinannya. Waktu Loaw Eng mengulur tangan menyambutnya, ia merasakan jalan darah di ketiaknya menjadi kaku, sadarlah ia urusan tak beres, buru-buru badannya dimengkeratkan, sehingga jalan darah agak tergeser. Terkecuali itu otot dan daging di tubuhnya dikakukan, pura-pura jatuh berlaga sudah jengkar kena ditotok. Louw Eng mengetahui, bahwa Djie Hoo tidak mempelajari ilmu dalam, kiranya dengan tenaganya yang penuh itu sudah berhasil melumpuhkan Hek Hoo. Dari itu dibiarkannya ia tanpa curiga, sebaliknya sepenuh perhatian dihadapinya Pek Hoo.

Siapa kira totokan pada Hek Hoo itu tidak telak kenanya, sehingga lengan kirinya masih dapat bergerak bebas, menantikan Louw Eng tidak bersiaga, dibukanya jalan darah itu sendiri. Waktu inilah ia melihat saudaranya menerima nasib yang mengharukan di bawah tangan Louw Eng yang ganas. Tak tertahan rasa kaget dan dendam menjadi satu, tekadnya bulat untuk mengadu jiwa.

Tusukan belatinya tidak mengenai sasaran, buru-buru ia mundur ke belakang berdiri di hulu perahu, kedua orang itu berdiri bernadakan satu di hulu perahu satu di buritan perahu. Saling menatap dengan rasa jemu dan benci. Ong Djie Hai duduk di tengah-tengah perahu, pikirannya terbenam dalam keraguan. Haruskah aku turun tangan?

Siapakah yang harus kubantu? Pikir hatinya.

Tak perlu menunggu lama, Louw Eng sudah menyerang dengan ganas. Dilangkahinya kepala Ong Djie Hai dengan jurus Hie Jauw Liong Bun' ( ikan mercelat ke pintu naga) tubuhnya langsung menjurus ke hulu perahu. Tangannya sekalian dikerjakan. Sebenarnya Hek Hoo sangat jeri pada Louw Eng. tapi menghadapi antara mati dan hidup ini, hatinya menjadi berani, tambahan ia bersenjata pisau belati. Sedangkan Louw Eng tidak bersenjata sama sekali.

Waktu serangan Louw Eng tiba. tak ayal lagi diputar lengannya menjaga dengan rapat. Tiba-tiba Louw Eng menekuk kakinya seperti gendewa. lengan kirinya mendorong lengan kanannya membuat sebuah lingkaran besar sambil memapas, tiba tiba kaki kirinya terangkat naik menendang Hek Hoo. Dalam sejurus ini mengandung tiga serangan yang hebat dan berlainan arahnya.

Hek Hoo adalah seorang yang licin, ilmu pisaunya diubah menjadi ilmu pukulan tangan sehingga dalam ilmu ini tangannya seolah olah tambah panjang. Melihat ini Louw Eng tak berani terlalu mendesak, sehingga pukulan dari kedua tangannya ditarik setengah jalan. Tapi tendangan kaki nya hampir bersarang di perut HeK Hoo. Jurus ini berbahaya untuk Hek Hoo. tapi tangannya tidak tinggal diam langsung menjurus menikam Louw Eng. Sayang Louw Eng terlalu tangguh untuk Hek Hoo, hanya dengan keliatannya yang seperti kilat, serangan Hek Hoo menjadi kandas. Sedangkan kakinya tinggal menjungkirkan Hek Hoo ke danau.

Tiba tiba Ong Djie Hai berseru: "Tinggal belas kesian di bawah kaki, segala hal dapat didamaikan!" Mendengar ini Lou Eng menarik serangannya secepat kilat. Hek Hoo tubuhnya bergoyang goyang tapi tidak sampai jatuh kecebur.

Adapun maksud Dje Hai berbuat demikian ialah untuk memadu kedua orang ini, guna mengetahui pembicaraan Louw Eng itu dapat dipercaya atau tidak.

Sesudah menarik serangannya Louw Eng kembali berpikir. Aku seperti tengah naik harimau, baik aku bereskan Si Rase Hitam ini. Tangannya cepat seperti angin menyerang Hek Hoo kembali dengan ilmu Leng Miau Pou Su (Kucing sakti menerkam tikus) tangannya terbentang tubuhnya menjorok ke muka, dengan ganas ia menerkam Pek Hoo. Saat ini Pek Hoo Sudah mempunyai persiapan Mengandaikan kegesitan tubuhnya berkali kali ia berputar, cara ini bukan saja dapat memunahkan serangan lawan, bahkan tubuhnya dapat lolos ketengah perahu. Hek Hoo jongkok di lantai perahu, pisaunya ditancapkan di papan perahu.

"Hai Louw Eng, terlalu kau! Bila tanganmu bergerak pula, kita harus menghadap malaikat maut bersama sama!" Louw Eng dan Djie Hai mengerti maksud Hek Hoo ialah ingin membocorkan perahu, dengan cara ini ketiga orang akan mati konyol, karena ketiganya tak dapat berenang.

Walaupun berteriak belum' tentu suara ini terdengar orang, lambat laun toh akhirnya mati juga.

Louw Eng kaget juga mendengar gerakan ini, tapi wajahnya tenang saja. Sedangkan hatinya Tengah mencari daya. Menggunakan ketika ini Hek Hoo bicara pula dengan langgam suara bernada sedih: "Louw Toako, sebenarnya kami salah apa? berilah petunjuk padaku. Aku bukan bangsa takut mati, tapi sebelum mati aku harus mengetahui aku salah apa. sehingga andai kata jadi setan tidak menjadi setan penasaran. Lagi pula kami telah mengikuti Toako sudah lama enam belas tabun lamanya, sedikit banyak kami sudah membuat sesuatu untukmu. Kini andai kata kami salah, seharusnya wajib kau beri maaf. Kebencian Ong Shie heng ada di sini dan mengerti dan melihat kejadian dari mula-mula sampai sekarang. Kapan hari boleh diceritakan di dunia Kang Ouw. siapa salah siapa benar. Louw Toako katakanlah di mana letak kesalahan kami, Kini kakakku Pek Hoo sudah meninggal, kematian diriku hanya menunggu kata-katamu." sambil berkata-kata tangannya tidak bergeser dari papan perahu. Asal saja Louw Eng bergerak, pasti perahu itu dibocorinya.

Katanya ini sungguh lemah tapi bersifat keras. Ong Djie Hai pun terbawa bawa.

Kata katanya itu memperingati Louw Eng. Djie Hai adalah saksi dari peristiwa ini. Juga memperingat Djie Hai bahwa Louw Eng tidak bisa berbuat baik terhadapnya.

Misalkan sampai terjadi pula pertarungan ia mengharap bantuan dari Djie Hai. Memang dalam hal menghitung sesuatu Hek Hoo mempunyai kepandaian tersendiri. Hal ini mau tidak mau harus diakui.

Tapi Louw Eng pun tak mudah kena dimainkan. Dalam sekejap mata ia sudah mengambil ketetapan.

"Hek Hoo! Apa maksudmu bersembunyi di sana guna mencuri dengan pembicaraan kami?"

"Bintang tujuh menjadi saksi, asal aku Hek Hoo mencuri dengar setengah patah dari kata katamu aku ridlah. "

Louw Eng membentak memutuskan perkataan orang. "Kau belum mendengar, dengarlah sekali lagi. Aku Louw

Eng bekerja di pemerintah Tjeng tapi hatiku tetap bekerja untuk bangsa Han. Kini waktunya aku mengambil jiwa anjingmu. Hai anjing Tjeng terimalah kebinasaanmu!"

Hek Hoo mengawasi Louw Eng dengan mata harus dikasihani. Ia melihat Louw Eng tertawa. Ia tahu asal Siau Bu Siang (Si jarang ketawa) tertawa, tidak harapan untuk hidup pula. Kini menantikan asal Louw Eng bergerak, perahu itupasti menjadi bocor. Dengan ini pasti ketiga orang itu akan mati bersama dalam seperahu.

Sebaliknya Louw Eng tak menghiraukan segala gertakannya. Kakinya perlahan lahan menindak selangkah— dua langkah, hampir dekat sudah.

"Louw Toako!" teriak Hek Hoo putus asa. Louw Ejg tidak menjawab, langkah ketiga sudah menyusul.

Dalam keadaan mati hidup sekejap mata ini, Hek Hoo memutar otaknya seratus kali lebih cepat dari biasa. Ia heran kenapa Louw Eng dalam waktu singkat memusuhinya dan memaui jiwanya. Keadaan terlalu mendesak pikiran untuk melolosi sama sekali tidak dipikir. Ia ingin mendapat sesuatu dari Djie Hai. Tapi ia tak mengetahui hubungan apa sebenarnya antara Louw Eng dan Djie Hai. Waktu berlalu lagi, Louw Eng kembali melangkah setindak.

Sekali lagi Hek Hoo berteriak: 'Louw Toako!"

Louw Eng kembali melangkah pula sambil tersenyum.

Hek Hoo menjadi gemas, biarlah mati bersama sama pikirnya. Tangannya bergerak secepat kilat, perahu berlubang kecil, tangannya bergerak pula. Pada detik inilah Louw Eng terbang menyergapnya seperti gunung rubuh.

Sebuah lengannya menghajar kepala Hek Hoo, sebuah lagi memegang lengan Hek Hoo, dengan sekuat tenaga ditekan. Hanya terdengar jeritan yang menyayatkan telinga keluar dari mulut Hek Hoo Suara ini sampai habis sudah berhenti. Waktu dilihat lagi Hek Hoo sudah tak bernyawa. Pada wajah nya membayang sesuatu yang tersimpul di dalam hatinya. Kiranya waktu akan mati Hek Hoo baru dapat mengetahui, bahwa Louw Eng mengorbankan jiwa mereka semata mata untuk mendapat kepercayaan Djie Hai. Sayang belum dapat ia memancahkan tabir ini, napasnya sudah mendahului pergi ke alam baQa. Kematiannya sungguh menyedihkan.

Kiranya sebuah lengannya sudah melesak masuk ke lubang kecil buatannya sendiri. Sehingga lubang itu bagai disumpal dan tak bocor lagi. Kasian nasib Hek Hoo, belasan tahun menjadi kaki tangan Lou Eng secara setia akhirnya mendapatkan nasib yang demikian di tangan Louw Eng. Ong Djie Hai melihat peristiwa ini dengan heran. Tapi beberapa waktu kemudian ia sudah dapat meraba raba delapan bagian kemana tujuan Louw Eng Adapun tabiat dari Ong Djie Hai sangat benci terhadap kekejaman. Kira Louw Eng dengan mengorbankan dua orang kepercayannya sudah dapat kepercayaan dari Ong Djie Hai. Sesudah itu ia niat dari Djie Hai mendapat keterangan di mana mengerannya kaum pendekar tencinta negara Dengan ini ia ingin sekaligus membasmi kaum patriot itu. Tapi siapa kira pendapatnya itu salah sama sekali. Karena dengan kekejaman yang dipertunjukkan kepada Djie Hai, membuat Djie Hai melawan di dalam hati dan benci kepadanya. Pikir Djie Hai kelakuan demikian bukan kelakuan kaum patriot.

"Louw Siok-siok, kalau cita citamu berhasil seperti yang kau sebut tadi, rakyat dan pendekar dari seluruh negeri akan memuliakan kau bukan alang kepalang."

"Ha ha ha!" Lauw Eng tertawa besar, hatinya bungah betul. "Tapi aku mempunyai dua pertanyaan yang tidak dapat kujawab dapatlah kau tolong menjawabnya?" sambung Djie Hai.

"Katakanlah lekas!"

Dengan hati hati Dj'e Hai berkata: "Tjiu Tjian Kin secara diam diam berhubungan dengan Wan Tie No penghianat itu. Kalau demikian Tjiu Piau adalah penghianat. Tidak tahu kami dua saudara harus bagaimana memperlakukan dia?"

Mendengar ini Louw Eng merasa kaget juga. tak kira bocah ini dapat memikir sampai ke situ. Sambil mengelah napas ia berkata: "Yang lalu biarlah ia berlalu. Jelek baik Tjiu Tjian Kin adalah saudara angkatku dari banyak tahun Tjiu Piau masih muda, urusan yang lalu tak ada sangkut pautnya dengan dia. Kini asal dia berlaku benar aku sudah cukup merasa puas. Demikian juga dengan kalian jangan disebabkan urusan yang lalu sehingga mengasingkan atau dendam kepadanya." Kata-kata ini memang cukup beralasan. Ong Djie Hai menganggukkan kepalanya sambil berkata: "Sebenarnya harus demikian, tapi mengenai urusan yang lalu harus kubicarakan dengan dia secara hati terbuka.

Apakah dendam atau budi Mau diteruskan atau diputuskan. Supaya persoalannya menjadi beres dan tidak menjadi ganjalan selamanya. Dengan kata-kata ini Djie Hai bermaksud menyampingkan urusan di depan matanya dan ingin mencari ketika untuk berkumpul dengan Tjiu Piau dan adiknya,guna membicarakan sesuatu dengan teliti."

Kata kata Djie Hai cocok dengan permintaan Louw Eng. Memang ia bermaksud merenggangkan kedua keluarga ini.

"Kau bicara benar. Aku pasti membantumu dari samping."

"Adapun hal yang kedua, ialah mengenai danau ini. Kau tahu sendiri kami bermalam di Ban Liu Tjung, kenapa begitu mendusin berada di sini? Pulau ini sebenarnya tempat apa? Pengemudi pengemudi itu manusia dari golongan mana?

Orang yang kau perkenalkan Kepada kami waktu dahar itu, yakni yang bernama Ong Sui Sen itu, sebenarnya manusia macam apa?

Dapatkah mereka itu dipercaya? Orang-orang yang mengiringi kau itu, apakah diam-diam memusuhi pemerintah Tjeng juga? Atau sebangsa dengan Mau San Djie Hoo? Mengenai ini aku yang menjadi tamu. seharusnya tidak boleh banyak bertanya, tapi kalau tidak demikian urusan tidak ada beresnya. Atas ini harap kau tidak menyalahkan kepadaku. Sukalah menjawab pertanyaanku bila rasanya harus dijawab."

Pertanyaan Djie Hai yang mengandung kecurigaan ini.

Siang siang sudah dalam dugaan Louw Eng.

Perahu perlahan lahan dikayuh menuju perahu yang bekas dinaiki Mau San Djie Hoo.

"Mari kita berganti perahu dulu." Sesudah dua orang berganti perahu, Louw Eng dengan satu kali pukulan menghancurkan perahu yang bekas dinaikinya. Perahu itu dikaramkan sekalian dengan mayat Hek Hoo. Sesudah berbuat ini Louw Eng berdiam diri beberapa lama, kemudian baru berkata: "Djie Hai aku tahu pasti kau akan menanyakan hal ini. yah, pasti kau bertanya. Sebenarnya aku ingin mencari tempat yang sepi guna melanjutkan pembicaraanku Ada pun mengenai kau berada di sini, disebabkan waktu kau dalam keadaan mabuk, Ban Liu Tjung diamuk api. Kami tergesa gesa meninggalkan kampung, pikir pikir tempat ini baik untuk didiami, dari itu kami ke kini berikut kalian." Adapun pengikut pengikut aku itu, terkecuali dari Mau San Djie Hoo yang lain semua dapat dipercaya. Misalkan ada sesuatu urusan yang menyukarkan kalian dapat kau katakan kepadaku atau kepada mereka.

Tapi dengan penghuni Bu Beng To ini sebaiknya jangan terlalu banyak bicara. Adapun Ong Sui Sen ini ialah anaknya Hu Lui Ong Hie Ong (raja sungai buaya,) Ong Hie Ong adalah kawan karibku, ini tak perlu kusembunyikan. Tapi mengenai Ong Sui Sen ini ia masih muda dan belum dapat di percaya betul. Dari itu di depannya jangan suka membicarakan sesuatu yang penting."

Ong Djie Hai mendengar Ong Sui Sen adalah putera dari Ong Hee Ong hatinya menjadi kaget.

"Oo, kiranya adalah Ong Sui Sen yang pernah menggemparkan Thai Ouw sepulug tahun yang lalu."

'Benar benar. Memang dialah orangnya. Kini ia tinggal di sini dengan tiga orang kepercayaannya. Yakni tiga saudara Lu Yang bernama Lu Tie, Lu Kang dan Lu Hoo."

Harus diketahui, walaupun Djie Hai masih muda tapi pendengarannya banyak sekali. Hal ikhwal dan peristiwa Kang Ouw banyak diketahuinya. Demikian juga Ong Hie Ong Si Raja sungai sudah lama ia tahu. Bahkan ia tahu pula bahwa Ong Hie Ong adalah Ok Pa yana sangat kejam dan bengis sekali. Ong Siu Sen adalah putera raja sungai, dengan sendirinya semenjak kecil sudah pandai bermain di air. Sehingga dalam kepandaian ini sukar mencari lawannya. Semasa ia berusia delapan belas tahun.

Berkenalan dengan pendekar wanita yang sangat cantik. Belakangan pendekar ini dimaui jago istana yang bernama Gui To Tjeng. Bahkan dengan cara paksa pendekar itu di tangkap dengan kekerasan, semata - mata untuk dijadikan gundiknya. Hal ini dapat diketahui Ong Sui Sen tak ayal lagi begitu Gui To Tjeng dan orang tawanannya lewat di Thai Ouw dihantamnya! Sedangkan Gui To Tjeng adalah kawan baik dari ayahnya.

Sesudah ayahnya turun tangan baru ia mengalah. Tapi pendekar wanita itu putus asa dan menerjunkan diri ke dalam telaga dan binasa. Sesudah terjadi peristiwa itu, Ong Sui Sen hatinya menjadi tawar dalam penghidupan diam diam ia meninggalkan Thai Ouw, sehingga namanya tak terdengar lagi dalam dunia Kang Ouw. Siapa tahu ia berada di sini. Dari itu begitu Djie Hai mengetahui bahwa orang itu ada Ong Sui Sen hatinya sudah tergerak. Diam - diam ingin ia berkenalan dengan Ong Sui Sen ini.

Louw Eng melihat Djie Hai mulai percaya kepadanya, hatinya menjadi gilang. Ia menantikan waktu untuk menanyakan kediaman ibu Djie Hai. Sebab antara tiga janda dari mendiang saudara angkatnya. Isterinya Ong Tie Gwanlah yang paling dimalui Louw Eng. Sebab ia itu pengetahuannya tentang dunia Kang Ouw sangat luas. Asal saja ia dapat membereskan janda itu, hatinya baru merasa lega dan lapang.

Tiba - tiba dari pulau terdengar suara isyarat, tidak tahu telah terjadi apa di sana.Buru buru dikayuhnya perahu itu dengan cepat menuju pulau. Tak lama kemudian dari depan mendatang sebuah perahu dengan pesat menuju ke arah mereka. Orang yang mengemudikan ialah Lu Tie. Begitu ia melihat Louw Eug segera berkata sambil tertawa: "Tuan mudaku menghendaki Tuan datang ke pulau."

"Apa apakah yang terjadi?" tanya Louw Eng. "Sebenarnya bukan apa apa, hanya adikku yang nakal itu

meminum arak sehingga mabuk dan melihat orang untuk bertanding. Harap Tuan membereskan hal ini." 'Tamu mana yang diajak tarung?"

"Yakni Thay su yang gemuk itu." Louw Eng dengan tergesa gesa mendaratkan perahunya.

Belum sampai begitu melihat Tong Leng Hwe.sio sudah merah mukanya, agaknya lebih mabuk dari pada Lu Hoo Kedua orang itu tengah duduK berhadapan di dekat pantai, sambil minum tak henti-hentinya tertawa, sama sekali tidak menunjukkan tengah mengadu kekuatan atau bertarung.

Yang lain menonton di pinggir. Tjiu Piau dan Gwat Hee pun terdapat di situ Gwat Hee begitu melihat kakaknya kembali tarpa kurang suatu apa, dengan sendirirya merasa girang.

Sesudah diawasi Djie Hai baru tahu kedua orang ini tengah bertanding ilmu Tjee Tee Sen Ken (duduk berakar) salah satu ilmu dalam yang hebat. Kalau orang yang biasa saja pasti tak mengenal ilmu yang lihay ini. Dengan duduk berdiam, perlahan lahan dikerahkan tenaga, tempat yang diduduki perlahan lahan menjadi legok. Kalau yang ilmunya sudah tinggi, dengan cara berduduk selama dua belas jam, seluruh tubuhnya bisa ambles ke dalam tanah. Ong Djie Hai pernah mendengar adanya ilmu ini, tapi untuk menyaksikan baru pertama kali ini saja.

Inilah yang disebut pucuk dicinta, ulam tiba. Atau awak rindu kekasih datang, pikir Djie Hai. Dengan ini ia dapat melihat pertunjukan yang jarang terdapat. Terkecuali itu kesempatan pula untuk mengamat amati keadaan orang orang guna melarikan diri.

Tong Leng tubuhnya sudah melesak sebanyak satu dim Tjawannya diisi penuh penuh sambil diciumnya tak henti hentinya mengucapkan harum. Arak itu bergelukgukan melalui tenggorokannya langsung keperut. Tabuhnya dimelari, semangatnya dikumpuli, tubuh itu tanpa dirasa sudah melesak lagi beberapa cm. Riuh rendah tampak sorak para penonton! Tong Leng bukan main bangganya berulang kali cawannya diisi dan dikeringkan lagi!

Sebaliknya Lu Hoo dengan tenang duduk bersila.

Tubuhnya seperti merapung di atas pasir, sedikit juga tak ada tanda tanda melesek! Melihat dari cara duduknya saja sudah dapat dipastikan, bahwa ia itu bukan dari ahli tenaga dalam. Budak ini cengar-cengir, sekali kali tak menghiraukan orang. Sambil mengunyah sepotong daging ikan, ia pun turut berkata: "Bagus! Kepandaian saudara sungguh bagus!"

"Kalau begitu kau sudah mengaku kalah!"

"Masih terlalu pagi untuk mengatakan itu! Buktikan saja siapa yang akan minum air danau itu!" Kiranya dua orang ini bertaruh. Siapa yang menang minum arak, yang kalah minum air danau. Yang menang minum seteguk arak, yang kelih harus minum secawan air danau.

Louw Eng sadar, mereka berbuat demikian sebab dipengaruhi air kata-kata. Terhadap Lu Hoo ia merasa tidak puas. Pikirnya kenapa budak itu tak mengenal adat. Masa tamu diajak bertanding! Tapi. lapun ingin menyaksikan ilmu memberatkan tubuh dari Tong Leng. Tanpa kata-kata lapun berdiri di samping turut menyaksikan. Tong Leng sudah enam puluh persen mabuk. Sambil tertawa kaya orarg gila ia berteriak teriak: "Budak ini rupanya sudah mabuk.

Kenapa tidak lekas menyerah, agar kuringankan agar kau tidak terlalu banyak meneguk air danau. Bilamana tidak aku minum sampai pagi hari, dan kau minum air danau itu sampai kering!" Habis berkata ia tertawa lagi sambil mengusap usap lengannya yang besar. Tangannya itu sekalian ditepakkan ketanah, sehingga di tanah tercetak lengannya sedalam beberapa dim. Tanda cetakan itu demikian rata, sampai sebutir pasir pun tidak ada yang melorok jatuh !

Ong Djie Hai diam diam merasa kagum, ia tahu inilah ilmu dalam yang sejati. Sadarlah ia bahwa Tong Leng adalah musuh yang tangguh.

Lu Hoo masih saja acuh tak acuh, dengan gila gilaan ia berkata: "Hai, Hweesio gemuk. Kau Tahukah bagaimana rasanya air danau ini? Kuberi tahu tidak manis, tidak asin, tidak masam dan tidak sepat. Kami tiga saudara siang malam membuang air kecil di situ coba terka bagaimana rasanya air itu?" Habis berkata, tangannya mencomot ikan besar, gres- gres dengan cepat ikan itu tinggal tulangnya. "Hai Hweesio gemuk, kita bertaruh lagi. Siapa yang kalah harus makan tulang ikan!' Tangannya bergerak, tulang ikan dilempar pada Tong Leng.

Tong Leng menyambuti tulang ikan itu dengan gusar. "Ya, kau yang makan tulang ini!" sambil melemparkan kembali tulang itu, dengan tenaga keras.

"Celaka banget!" teriak Lu Hoo. Kepalanya ditundukkan. tubuhnya menekan tanah. Tanah itu bersua, air ke luar dari dalamnya. Tubuhnya menyusul ambles sedalam dua dim!

Louw Eng dan lain-lain tak terkira kagetnya, tak terasa lagi pada datang mendekat. Ilmu semacam itu benar-benar sudah sampai di batas maunya, didunia ini tak mungkin ada lawannya lagi!

Louw Eng diam diam merasa terkejut,. Di merami matanya, seluruh kekuatannya di Pusatkan. Tubuhnya diberatkan seperti ribuan kati palu besi. Sesudah ngeden ngeden mati matian tubuhnya melesak lagi sedikit.

Kepandaian memberatkan tubuh adalah kebiasaan Tong Leng yang dibuat bangga,, Tapi dengan ngeden ngeden ngepiah begitu memakan tenaga terlebih banyak. Kira kira tubuhnya melesak sedalam satu setengah dim napasnya engos engosan. Keringatnya sebesar besar kelereng membasahi keningnya. Mabuknyapun kurang beberapa bagian! Buru buru ia mengatur tenaganya, urat uratnya dilemaskan, ia menarik napas Senen Kemis. Matanya terbuka, melihat Lu Hoo. Kagetnya seperti dicekek setan! Kiranya tubuh Lu Hoo sudah terbenam dua pertiganya.

Tinggal dada dan kepalanya saja yang kelihatan. Louw Eng dan para tamu lainnya, matanya terbuka lebar lebar, mulutnya nganga melongo.Hanya Lu Shi neng-tee dan Ong Sui Sen diam diam tenang seperti tak kejadian apa apa!

Adapun ilmu memberatkan tubuh ini memusatkan seluruh tenaga, dan dapat mengerahkan tenaga ini ke mana yang dikehendaki. Kelihatannya tubuh tidak bergeming sedikit juga, tapi di dalam tubuh pergerakan ini demikian hebat. Kalau bisa mempelajari ilmu ini dengan baik. Cukup dengan satu jeriji menyerang lawan, sebab tenaga seluruh tubuh dapat disaluri dengan jeriji itu, lihatnya bukan buatan! itu waktu di Ban Liu Tjunsr, kedua lengan Tong Leng sudah dililit Tjen Tjen dengan ilmu ularnya yang aneh, tapi dengan perlahan saja tenaganya dikerahkan Tjen Tjen segera terlempar pergi. Tong Leng mengira ilmunya ini paling hebat di kolong langit, tapi siapa tahu menghadapi jago jago kelas berat, hatinya agak gentar sedikit.

Mendadak ia berdiri sambil berkata: "Sudah sudah kita tidak perlu bertanding lagi."

Pengemudi yang tertua Lu Tiepun maju dua langkah, ditarik adiknya dari benaman tanah sambil dimaki: "Membuat onar saja! Lekas kau minta maaf kepada Lau Tjian pwee ini!"

Semua orang melihat bekas tubuhnya Lu Hoo yang sudah merupakan liang besar. Demikianlah rata dan rapi seperti sudah dibuatnya terlebih dahulu. Melihat ini Louw Eng merasa tak senang, ia merasa Lu Sai Heng-tee ini terlalu kurang ajar! Masa tamu dipermaini demikian macam!

Pada hari hari biasa. Lu Hoo membuat liang-liang di tanah. Inilah caranya dia untuk menangkap ikan dan udang. Setiap air pasang liang-liang itu terendam air. begitu air surut banyak ikan dan udang tertinggal di dalamnya.

Sungguh baik bukan cara ia menangkap ikan itu? Siapa kira sesudah meminum arak. Tong Leng mengajaknya bertanding ilmu memberatkan badan. Sebenarnya tentang ilmu ini mendengarpun ia belum pernah! Tapi sesudah dijelaskan begini begitu, ia teringat pada liang liang penangkap ikan. Buru buru ia ke luar, diuruknya liang-liang itu. Satu ditinggalkan dan ditutupi dengan sebilah papan dan ditutup kembali dengan pasir sehingga tidak ketahuan. Kemudian ia kembali ke dalam dan mengajak Tong Leng bertanding di situ. Papan yang didudukinya harya sekali tekan lantas pecah, tubuhnya lantas masuk ke dalam.

Adapun tabiat Lu Hoo sangat gemar bergurau dan main main. Tambahan ia terlalu dimanjakan saudara saudaranya dan Ong Sui Sen, sehingga tabiatnya keras dan tak mengenal takut

"Maaf apa? Dia sudah menyerah! Lihat saja berapa besar perutnya dapat dimasuki air danau ini!" Habis berkata ia menuang arak. Pada waktu inilah sebuah bayangan hitam datang menubruk desiran angin demikian besar dan bertenaga sekali, sebuah kepalan lurus menuju ke dadanya. Lu Hoo melengkungkan tubuhnya seperti gendewa berbareng kakinya terangkat naik menghajar selangkangan orang. Tak kira main main ini mengakibatkan mengadu jiwa!!!!??

Kiranya Tong Leng dari malu menjadi gusar, tambahan masih dalam keadaan mabuk arak. Pikiran buteknya ingin segera mengambil jiwa Lu Hoo. Lu Hoo dikurniakan alam bertenaga gajah. Dari itu ia senang mempelajari Gwa kang (ilmu luar) Kakaknya sering menasehatkan untik belajar Nui-Kang (ilmu dalam) tapi ia tak mempunyai kesabaran untuk mempelajari ilmu itu.

Walaupun ia kena didahului Tong Leng, tapi reaksinya sangat cepat dan tepat. Dengan jurusannya itu berbalik menguntungkan dia. Ia membentak dengan gusar: "Hai Hweesio kau jangan ingkar pada janji! Tukang jeblug ( hutang tak membayar)." Kaki kirinya melangkah miring, lengan kirinya membabat miring, lengan kanannya menggoco ke bawah, dimajukan kaki kirinya sambil menendangkan kaki kanannya. Satu jurus dilengkapi tiga macam serangan beruntun. Dengan tekad menaruhkan jiwa dengan Tong Leng Hwee sio.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar