Pahlawan Harapan Jilid 01

Jilid 01

Bunga mekar indah dan harum semerbak tersiram hujan rintik-rintik dimusim semi. Inilah musim semi di daerah Kang Lam (selatan).

Beberapa desa yang terbenam dalam kesunyian terletak dilereng-lereng gunung Thian Bok, kini dalam remang remang diliputi kabut putih dan hujan gerimis. Jalanan jalanan kecil di desa menjadi licin tak terhingga. Sedikit saja orang kurang hati hati berjalan akibatnya dapat jatuh jungkir balik.

Pada saat yang demikian inilah tampak seorang 'pemuda, dengan memikul keranjang tahu. Ke luar dari desa kecil ini. Ia berjalan dengan hati hati dan cermat, namun setelah semua rumah-rumah dilaluinya. Segera dibentangkan kemahirannya. Dengan kedua tangan bertulak pinggang dan pikulan bergelantungan di bahu kiri. Mulailah ia berlari bagaikan terbang! Dalam keranjang pikulannya terdapat banyak piring mangkok, anehnya sedikit suara bentrokan pun tak terdengar! Seolah olah ia berjalan di atas tanah datar yang rata. Pemuda tersebut agaknya bergirang.

Sewaktu waktu ia menindak dua langkah-dua langkah, di sela loncatan-loncatan sejauh tiga langkah dengan indahnya. Sebentar merendak perlahan-lahan kemudian cepat bagaikan kuda kabur. Kemudian kakinya diangkat sebelah berjingkai-jingkai meloncat - loncat menotol bumi. Cara berganti cara, ketenangan tetap terpelihara. Dengarlah sedikit gesekan piring dan mangkok tetap tak terdengar!

Pemuda itu berdiam di lereng sebuah bukit kecil yang jauh kurang lebih sepuluh lie dari desa tersebut. Setiap pagi ia datang ke desa itu untuk berjualan, dan pulang pada senja hari. Walaupun dalam keadaan mendung serta hujan gerimis. Sedikitpun tak dihiraukan, sebaliknya keadaan alam yang demikian itu sangat digemari dan menggembirakan.

Pemuda itu tibalah di kaki sebuah bukit, dan langsung ia menuju ke sebuah gubuk reyot, yang terpencil jauh dari mana mana. Dengan perlahan lahan didorong pintunya, serta diiringi suara memanggil "ibu". Asap lilin dan dupa mengepul dari meja sembahyang Sesajian berupa ayam. bebek dan ikan terletak di meja. pemuda itu menjadi tercengang menyaksikan itu semua.

Ia nampak ibunya dengan pakaian rapi dan wajah tenang. Membayangkan wajah usia limapuluh tahunan. Rambut putih menghias di kepala. Tetapi semangat dan jasmaninya tetap memancarkan kesehatan yang terpelihara baik. Hari ini kedua mata ibunya bercahaya bening, serta melukiskan perasaan sedih yang tak dapat disembunyikan. Agaknya ada satu peristiwa yang terjadi di luar dugaan. Ia hendak bertanya, untuk menghilangkan rasa herannya.

"Anakku ke sinilah! Bersujudlah di depan meja sembahyang dari arwah mendiang ayahmu. Berilah hormatmu!" ibunya mendahului berkata.

Pemuda itu berkata diliputi keheranan dan tidak mengerti. Ia maju ke depan sambil berlutut dengan sujudnya.

Sang ibu dengan senyum terhibur, memandang puteranya yang tahu peradatan dan kesopanan itu dengan puas.

"Anakku, berapa usiamu tahun ini?" "Duapuluh tahun bu."

"Anakku dengarlah aku akan menuturkan kisah sedih dan penasaran dari mendiang ayahmu. Hal ini sudah delapan belas tahun lamanya kusimpan di dalam dada. Hari ini adalah ulang tabun kedelapan belas dari kebinasaan ayahmu. Pada tahun-tahun yang lalu hal ini tidak diperingati. Kini waktunya sudah tiba. Dengarlah baik-baik, selak-seluk dari kisah dan kehidupan ayahmu. Penuturan ini adalah yang sebenar benarnya."

"Nah! Tutuplah pintu itu terlebih dahulu."

Dengan membalik badan pemuda itu segera merapatkan pintu itu. Pada detik itulah terdengar seruan 'Awas' menyusul desiran angin halus dari tiga senjata rahasia yang menyerang ke tiga jurusan! Gerakan lincah dan tangkas dibuatnya. Pemuda itu menotol kan kedua ujung kakinya.Badannya merapung ke udara setinggi beberapa tumbak, secepat kilat tubuh itu berputar di udara.

Sepasang mata ibunya cukup tajam. Tangannya bergerak lagi, enam butir batu berhamburan secepat kilat. Tiga menyerang bagian bawah tubuh. Tiga mengarah bagian tubuh sebelah atas. Yakni Bun-tong, Hoa-kay, Tiong- teng tiga urat nadi besar. Pemuda itu cukup tangguh!

Sebelum kakinya menempel bumi, pinggangnya bergeliat! Tubuhnya sejajar dengan bumi. Tiga butir batu yang menyerang bagian bawah dan dua butir yang menyerang bagian atas dengan begitu saja dapat dikelit, Batu yang menyerang ke pusarnya dipaku puku jatuh dengan batu lagi yang terlepas dari tangannya. Batu yang dilepas itu masih bertenaga besar sekali, terus melesat menuju pada ibunya. Ia gugup dan kuatir! Tapi---suatu kelitan sempurna dan wajah tersungging senyuman puas terlukis di sudut bibir ibunya.

Dalam gugupnya pemuda itu kesima dan mematung bengong. Ibunya dengan welas asih menatap sang anak, lama dan lama sekali.

"Bu tak terasa aku mengeluarkan tangan terlampau berat. Untung tidak melukai ibu. Atas ini aku minta ampun bu."

Ibunya tersenyum bangga, ia mengangguk perlahan.

"Anakku gerak gayamu barusan taki ubahnya seperti kepandaian yang dimiliki mendiang ayahmu. Keluarga Tjiu sungguh beruntung dengan tidak sirnanya kepandaian ampuh dari senjata rahasia Tjian Kin Bwee Hoa Tok Tju.

Coba ke sini ada semacam benda akan kuperlihatkan kep&damu."

Ia mengambil dan membuka cupu-cupu tempat perhiasan. Diambilnya sebuah bungkusan kecil. Perlahan - lahan dibuka pembungkusnya. Di dalam bungkusan terdapat pula bungkusan kain yang dijahit. Sesudah digunting ke luarlah sebuah kantong kecil pula vang terbuat dari kulit rusa. di dalamnya terdapat enam butir mutiara kuning bergemerlapan, sinarnya menusuk mata!

Ibunya mengambil sebutir dan diberikan kepada anaknya Sambil berkata:

"Nak perhstiKanlah dan amat-amatilah dengan teliti, apa yang terdapat pada mutiara ini."

Pemuda itu meneliti seperti yang dikatakan ibunya Tampak di permukaan mutiara, agak menonjol beberapa duri halus. Terkecuali dari itu terdapat tiga usiran huruf kecil Ciu Cian Kin. Ia tak mengetahui makna tersebut.

Hanya dengan hati-hati dikembalikan lagi pada ibunya. "Bu, sudah."

"Apa yang kau lihat anakku?"

"Di permukaan mutiara terukir tiga huruf Ciu Cian Kin."

Mendengar ini tiba-tiba di pelupuk mata sang ibu tergenang air mata. Hening seketika . . . dengan menahan sedih sang ibu berkata: "Itu adalah nama dari mendiang ayahmu!"

Dalam kagetnya pemuda itu bertarya: "Bukankah aku dari keluarga Nio dengan nama Piau."

“Nio adalah She dari ibumu. Hal ini terjadi delapan belas tahun lamanya. Semua dilakukan demi keselamatan kita. Dari itu tidak kuperkenankan memakai She Tjiu. Kini saatnya tiba kau memakai She Tjiu. Tjiu Piau,yah namamu Tjiu Piau. Enam butir mutiara ini adalah benda peninggalan mendiang ayahmu. Mulai sekarang kuserahkan kepadamu. Simpanlah untuk menjaga diri."

Tjiu Piau menyambuti pemberian itu dengan bengong. "Bu, aku sama sekali tidak pernah mengetahui hal ikhwal

ayah semasa hidupnya."

"Oh! anakku, kejadian delapan belas tahun yang silam.

Tidak dapat segera kututurkan habis dengan serentak. Duduklah dahulu, dengarilah penuturanku. Di butiran mutiara itu. bukankah terdapat duri halus? Sebenarnya duri itu sangat beracun. Bilamana mengenai seseorang. Ketikaa duri itu akan menggores kulit daging si terserang. Racun ini hanya dapat dipunahi dengan obat pemunah keluarga Tjiu saja. Pemunah ini demikian mujarab dapat menjaga-jaga keselamatan orang, dan menghindarkan diri dari racun kematian. Di tengah-tengah terdapat lima duri vang merupakan lima helai daun bunga Bwee 5rang indah.

Karenanya di Kang-ouw terkenal Bwee Hoi Tok Tju keluarga Tjiu.

Sewaktu menurun sampai pada ayahmu. Hal ini lebih terkenal. Ayahmu bertenaga besar. Gaya melepas senjata rahasia ini mengandung tenaga seribu kati, sebab inilah Bwee Hoa Tok Tju berubih nama menjadi Tjian Kin Bwee Hoa Tok Tju. Inilah senjata ampuh untuk menolong diri dari bahaya maut.

"Ayahmu mempunyai duabelas butir. Tapi biasanya hanya enam butir saja yang selalu dibawa- bawa,"

Penuturannya sementara terhenti sebentar. Sang ibu dengan suara dan nada yang halus, perlahan-lahan melanjutkan lagi penuturannya.

'Delapan belas tahun yang lalu. Ayahmu beserta tiga saudara angkatnya, bersama - sama mendaki gunung Oey San untuk mengadakan suatu pertemuan. Semenjak itu ia tak kembali lagi.

Hanya adik angkat yang termuda kembali seorang diri. Ia mengatakan bahwa ayahmu dan dua saudara lainnya.

Menemui ajalnya masing masing dalam pertemuan itu. Menurut perkataan saudara angkatnya itu, sakit hati itu sudah dibalasnya, dengan berhasilnya ia membunuh musuh dari saudara - saudara angkatnya itu.

Di balik itu ada pula satu hal yang mencurigai hati! Yakni di lengan kanan dari saudara angkat ayahmu itu. Tertera bagai tercerak tanda dari setangkai ( sekuntum ) bunga bwee merah ..." "Siapa gerangan pembunuh dari ayahku itu bu." tanya Tjie Piau memotong perkataan ibunya. "Di mana kini saudara angkat ayah itu? Apa artinya bunga Bwee merah dipangkal lengannya itu?" Tambahnya pula.

"Puteraku sepuluh tahun lamanya aku menyelidiki hal ini.

Hasilnya masih tetap samar samar. Tahun itu ayahmu mengangkat saudara. Yang tertua She Ohg. Ayahmu yang kedua, yang ketiga Sne Tju, yang termuda She Louw bernama Eng. yarg masih hidup kini. Adapun lawan dari empat saudara ini tidak lain dari pada, seorang pendekar kelas utama di dunia persilatan. Nama besar nya menggoncangkan dunia Kang Ouw, ia sangat dimalui orang. Namanya Wan Tie No. Semasa hidupnya ayahmu sangat menghormati pendekar ini. Pertemuan di Oey San bertepatan sekali dengan hari wafatnya Giam Ong ( Lie Tju Seng ) dan masuknya tentara Tjeng ke tanah air. Dalam pertemuan itu ayahmu akan bahu membahu guna berjuang menghadapi tentara Tjeng. Karenanya kalau ditinjau dari sudut ini. adalah hal yang tidak termakan otak untuk mempercayai ayahmu itu terbunuh Wan Tie No. Kecurigaan besar memenuhi dadaku. Lebih lebih bunga Bwee yang terdapat pada pangkal lengan Louw Eng itu, siapa lagi kalau bukan ayahmu yang memberikan tanda tersebut?

Hal inipun dengan secara kebetulan saja dapat kuketahui. Tahun itu Oey San. Ia bergilir ia menyambangi kami, pertama ke Ong pee bo, terus ke Tju- siok bo dan ketika untuk menyampaikan kabar, duka itu. Masa itu usiamu baru dua tabuh, seorang anak yang masih belun mengenal apa apa. Kau meronjak ronjak meminta makanan darinya. Ia menggendong mu sambil menjanjikan akan membelikan kue dan gula gula di pasar Seketika itu aku terbaru melihat kecintaannya kepadamu. Siapa kira kau tak kena dibujuk, tetap berontak rontak sambil mencakar cakar pangkal lengannya tidak keruan. Tak dinyana dalam usia sekecil itu, tenagamu sudah demikian besar. Lengan kecilmu berhasil merobek lengan bajunya-. Seketika Louw Eng berubah, segera kau diturunkan dari gendongannya.

Dalam waktu sekejap di tempat yang kena sobek kulihat tegas tegas tanda bunga bwee merah dengan lima helai mahkotanya. Tak lain diri ciri peninggalan mutiara emas itu. Hatiku terkesiap seketika aku sadar dan memastikan ada tabir rahasia dalam pembunuhan ini. Untuk menghindarkan kecemasanku terlibat oleh Louw Eng. Aku pura pura tidak melihat. Kutarik lenganmu sambil kumarahi. Louw Eng pun segera pamit berlalu. Malam mendatang secara hati hati sekali aku bertandang ke rumah Ong Pee bo untuk memperbincangkan bal itu. Tak Kukira Tju Siok-bu pun sudah ada di sana tengah membicarakan hal yang serupa dengan piKiranku. Karena merekapun mendapatkan tanda- tanda yang mencurigakan.

Kecurigaan kami semakin bertambah. Kami kuatir Louw Eng mendengus kecurigaan kami. Sesudah berunding kami berpencar ke tiga jurusan dalam cuaca gelap gulita. Dengan membawa kau aku melarikan diri kesini. Kini kejadian itu sudah delapan belas tahun berselang "

Ibu yang tua itu menutur sampai di sini, Kerongkongannya kering tak dapat bicara. Tjiu Piau bagai siuman dari pingsannya. Tak diketahuinya kisah keluarganya demikian ruwet penuh penasaran Ia terbenam diam. Sesaat kemudian terdengar pula penuturan dari sang ibu.

"Anakku belasan tahun yang lalu aku menyembunyikan- mu dengan menukar sebuah nama di desa yang sunyi ini. Sepenuh tenaga kucurahkan untuk mencari giro berilmu puna mendidikmu- Menyesal sekali sesudah negara kacau balau. Pendekar pendekar menghilang di tengah tengah rimba rimba dan pegunungan sunyi. Untuk mencarinya sukar sekali. Akhirnya dengan sekuat tenaga kudidik kau. Tapi kepandaianku ada terbatas, sehingga aku tak dapat mendidikmu secara lebih sempurna. Terkecuali itu segala kepandaianku sudah diturunkan habis kepadamu- Untunglah kau adalah seorang anak yang rajin dan giat serta bersemangat. Barusan sudah kuuji kebisaanmu.

Nyatanya dalam keadaan bagaimana juga kamu bisa menghadapi segala kemungkinan. "Ilmu warisan ini jika sepenuh hati diPelajari. Kiranya untuk menjelajah dunia Kang Ouw sudah cukup menjamin diri. Anakku tiga hari kemudian, kau harus menerjunkan diri ke dunia Kang Ouw. Perihal urusan ayahmu dan hal Louw Eng. Tidak perduli apakah dendam atau budi. Kubebankan kepadamu untuk mengurusnya menjadi terang!"

Semenjak kecil Tjiu Piau dirawat dan dilindungi ibunya.

Mengingat harus berpisah batinnya menjadi sedih. Tapi tugas berat sudah terletak di bahunya. Ia termenung sejenak. Kemudian dengan suara tegas ia berkata: "Bu, kendati aku harus melalui tebing curam dan melintasi lautan badai, tugas ini akan kujalani dengan -baik!" tambahnya pula, 'bu aku mohon penjelasan pula. Apakah Ong Pee-pee dan Tju Siok siok terbinasa pula dalam pertemuan di Oey Sian itu?"

"Hal ini memang niat kututurkan pula. Akan Ong Pee- peemu itu bernama Tie Gwan, seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Sayang ia gemar mengembara, dan enggan menerima murid atau mendirikan perguruan.

Semasa mudanya ia mengangkat saudara dengan ayahmu. Kemudian jarang sekali kami bertemu muka.

Tahun itu ke empat saudara angkat bersama - sama mendaki Oey San. Waktu kembali tertinggal Louw Eng seorang. Kebinasaan dari ayahmu serta Tju Siok-siokmu, sungguh menyedihkan sekali karena sekalian dari jenazahnya tak dapat diketemukan. Menurut Louw Eng, ayahmu dan Tju siok-siok terpukul jatuh ke dalam jurang dan hancur dimakan cadas gunung yang tajam tajam.

Hanya jenazah dari Ong Pee-pee seorang masih utuh dan dapat dimakamkan di kaki gunung Oey San dengan baik.

Pemakaman ini dilakukan oleh Louw Eng dan Ong Pee bo, setengah bulan kemudian sesudah terjadi peristiwa di Oey San. jenazah Ong Pee pee masih tetap segar, karena hawa di gunung sangat dingin. Sewaktu ditukarkan pakaian. Tampak satu telapak tangan yang sudah menjadi hitam ngejeplok di punggungnya. Pasti disebaDkan dari pukulan dansyat sang lawan. Pantasnya Ong Pee pee waktu kepukul mengerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan. Sang lawanpun tentu mengerah kan iwekangnya. Dari itu darah menjadi beku di situ dan menggambarkan telapak tangan dengan tegas.

Waktu itu Louw Eng terisak isak nangis sambil memukul- mukul dada ia berteriak; '"Wan Tie No! Wan Tie No!

Tangan besimu sangat ganas dan kejam sekali! Walaupun aku sudah dapat membinasakan kamu dengan menubleskan pedang ke tubuhmu, sehingga sakit hati dari saudara saudaraku sudah terbalas. Tapi bagaimana aku dapat menghilangkan kegusaranku demikian saja!" Sudah itu Louw Eng menjatuhkan diri menangisi layon jenazah Ong Pee- pee sambil sesambatan dan menyedihkan sekali.

Ong Pee - bo saat itu tengah berduka sekali. Mendengar kata kata Louw Eng itu, berkobar kegusaran dan kebencian pada Wan Tie No, kemendongkolannya itu hampir-hampir saja meledakkan dadanya!

Ong Pee-bo agak tenang sesudah upacara pemakaman selesai.

Malamnya di rumah, dalam kekeruhan dan penderitaan batin, la mengingat satu hal yang membangkitkan perasaan curiga. Wan Tie No terkenal di jagat raya berkat lengan besinya. Lebih - lebih tangan kirinya lebih ampuh lagi dari tangan kanannya. Setiap pukulan kematian selalu datang dari tangan kiri itu. Tetapi telapak tangan yang terdapat di punggung Ong Pee pee, adalah telapak tangan kanan!

Lebih-lebih kecurigaan ini menjadi lebih besar. Ketahuilah terlebih dahulu tangan kanan Wan Tie No mempunyai enam jari, yakni di ibu jarinya tumbuh pula sebuah jari kecil.

Misalkan ia menggunakan tangan kanan. Telapak itu harus melukiskan ke enam jari itu. Akan tetapi telapak di tubuh Ong Pee pee itu hanya menggambarkan lima jari. Dari segi ini dapat dipastikan, pukulan itu datang dan seorang lain!

Ong Pee bomu itu sedikit juga tidak dapat bersilat Tapi semen jak kecil hidupnya mengembara saja dengan ayahnya. Sesudah nikah dengan 0ng Pee pee, segala kejadian di rimba persilatan cukup diketanui dengan jelas. Ong Pee peemu mempunyai nuikang yang sangat tinggi, waktu itu orang yang dapat sekali pukul membinasakannya, terkecuali dari Wan Tie No tak ada orang ke dua yang dapat melakukannya. Ong Pee bo memeras otak semalaman penuh untuk mengingat ingat orang orang yang berilmu dalam golongan Liok lim. Tetapi hasilnya sia sia saja. Ia berpikir tiga hari tiga malam, lupa makan lupa tidur.

Akhirnya ia muntah darah! Ketika aku datang untuk menyambanginya, guna memperbincangkan bunga Bwee yang tertera di pangkal lengan Louw Eng, Kecurigaannya bertambah tambah.

Dengan badan dirundung sakit ia berpisah dengan kami.

Bertahun tahun berlalu tanpa kabar cerita. Entah bagaimana akan penyakitnya.

Berceritera tentang diri Tju Siok siokmu, lebih lebih mencurigai. Hui Tnian Wan Tju Hong (Kera terbmg dari langit Tju Hong), Namanya sangat terkenal di dunia kang ouw jauh dan dekat. Ilmu mengentengkan tubuhnya yang lihay, boleh dikatakan tak ada ke duanya. Di badannya tidak pernah tertinggal seutas tambang panjang berkaitan di kedua ujungnya. Dengan mengandalkan tambang ini, ia dapat lari bagai terbang dilereng lereng gunung curam bercadas cadas.

Wan Tie No berkepandaian lebih tinggi dan padanya. Tapi untuk menjatuhkan dan membinasakannya ke dalam jurang, bukan hal yang mudah!"

Saat ini malam mendatang, kegelapan memenuhi ke dalam gubuk kecil itu. Hanya lilin dart meja abu, berkelap kelip menerangi ruangan.

Tjiu Piau seolah olah dirinya sudah pergi ke tempat jauh.

Seperti sudah berada di puncak gunung Oey San dan menyaksikan kejadian peristiwa tahun tahun yang silam di kedua matanya. Sayang sekali .bayang bayang tersebut menjadi kabur dan hilang dari pandangan mata. Kejadian itu serupa dengan impian! Telinganya yang masih terbentang mendengar pula penuturan terlebih lanjut dari ibunya. Tambang dari Tju Hong panjangnya tiga depa. Bukan tambang sembarang tambang, sebab terbuat dari ribuan benang emas halus dan seutas tali besi yang sudah diolah demikian rupa. Dipilih menjadi satu. Segala benda tajam berupa golok dan pedang biasa, Jangan melamun dapat memutuskannya.

Tambang ini menjadi senjata pula untuk Tju Siok siokmu. Ia dapat turun naik ditebing tebing dan jurang jurang curam mengandalkan tambangnya itu. Caranya ialah menggaet pohon pohon di gunung dengan pengaitnya yang terdapat di kedua ujung tambang. Waktu ujung pengait yang satu menggaet pohon ujung yang lain berada di tangan, dari itu sekali kedet tubuhnya merapung ke depan. Silih berganti kaitaan itu dikerjakan dengan cepat. Puncak dan bukit yang tinggi dengan waktu sebentar saja dapat didaki!

Tempo hari, waktu Louw Eng pulang, hanva membawa sebagian tambang dan separo dari kaitannya yang sudan kutung. Menurut ceritanya Louw Eng. Sewtktu Wan Tie No berbasil memukul Tju Siong jatuh ke jurang. Tju Hong menggaetkan tambangnya ke batang pohon Siong tua. Wan Tie No cepat menabaskan pedangnya. Hai itu Tju Hong tengah menggenjot tubuhnya dan melayang di udara menuju ke atas. Ujung lain dari tambangnya menggaet ke batang pohon yang berada di dekat Wan Tie No. kesempatan ini tidak disia siakan Wan Tie No. Tambang itu ditabas dan mengenai kaitannya, kaitannya pun putus kena pedangnya itu. Tju Hong terkaturg katung di udara tanpa pegangan. Dengan satu Jeritan yang menyedihkan tubuhnya jatuh ke dalam jurang."

Tiu Siok-bo meneliti tambang dan kaitan yang tinggal separo itu dengan perasaan pedih. Bekas tabasan pedang itu sangat mengkilap. Pedang itu pasti pedang mustika.Malam itu Tju Siok-bo mempercakapkan hal itu pada Ong Pee-bo. Hal ini hanya menambah-nambah saja kecurigaan yang sudah demikian besar.

Wan Tie No seumur hidupnya menjagoi dan terkenal berkat tangan besinya. Tak pernah tertarik akan segala senjata. Misalkan ia membutuhkan juga paling banter ia membawa senjata biasa saja. Wan Tie No seorang yang jujur, tidak ada satu hal yang tidak dikatakan kepada temannya. Andai kata ia mempunyai pedang mustika, hal ini pasti diketahui orang-orang Kang ouw.

"Kemungkinan besar yang mencelakakan Tju Hong pdalah orang lain. Tidak tahu pedang mustika itu bernama apa?"

Ibunya berkata lagi: "Benar seperti katamu. Waktu itu kamipun berpendapat demikian. Louw Eng tidak menjelaskan sesuatu dengan jelas. Karenanya kamipun tidak mau memaksa minta bukti bukti yang nyata. Malam itu diam diam kami berunding untuk mendayakan dan mengetahui kejadian yang sesungguhnya. Berkali kali mencari jalan, alhasil nihil semua. Kau harus tahu, sewaktu ayahmu dan Louw Eng mengangkat saudara. Ia masih muda sakali. Kemudian ia pergi ke Kwan Tong mengembara. Tatkala kembali, wajahnya berubah demikian macam, wataknyapun agak berlainan, Kami kaum wanita enggan untuk mengatakannya perihal seseorang lelaki.

Malam itu kami terdiam tak berdaya untuk mengetahui sesuatu yang lebih lanjut. Tiba - tiba dari wuwungan rumah berkelebat sinar putih, menyusul benda jatuh menimpah meja. Kami terkejut, aku meloncat ke atas rumah. Tapi sepotong bayanganpun tak terlihat di mata. Benda itu ialah bungkusan kain putih berisi Bwee Hoa Tok Tju. Di kain itu terdapat beberapa tulisan."

"Apakah mutiara itu senjata ayah?" tanya Tjiu Piou.

Ibunya diam termenung. Dalam matanya seolah-olah menggambarknn kejadian dikala itu.

"Betul. Ketika itu kugenggam dan kuremas remas mutiara itu. Tak salah memang senjata yang biasa menyertai ayahmu, sebanyak enam butir," Sambungnya pula, "aku lupa segala galanya. Mutiara itu erat erat ku genggam Air mataku tak tahan tidak keluar.

Mendengar sampai di situ, Tjiu Piau berseru kaget: "Bukankah mutiara itu beracun bu!"

"Yah memang beracun. Waktu kena durinya aku baru merasa sakit. Segera kusadar atas racun dari mutiara itu! Tapi hatiku mengambil putusan pendek. Agaknya aku ingin dengan segera menyusul ayahmu ke tanah baka. Sengaja ku remas remas semakin keras! Biasanya barang siapa terkena racunnya yang demikian lihay , Pasti pingsan seketika. Tak terkira sedemikian lama kuremas-remas. sedikit reaksipun tidak terasa. Kubuka tanganku, hanya terdapat tetesan darah mengalir dari telapak tangan. Tak ada tanda tanda kena racun kiranya racunnya sudah sirna. Mungkin di sebabkan terlalu sering dipergunakan menyerang, entah berapa banyak orang. Racun racun itu sedikit demi sedikit hilang meresap di daging si korban.

Kalau dipikir kedatangan tamu malam pasti untuk mencari balas, tapi mengherankan, di kain pembungkus terdapat empat baris sajak yang berlainan dengan perkiraan kami. Sajak itu berbunyi:

Peristiwa Oey San membawa dendam bagai lautan., Delapan belas tahun hidup menanggung penasaran.. Putera puteri membawa pedang mendaki Oey San. Tamu menanti malam Tiong Tjiu , bulan delapan.

Sajak itu terang-terang mengatakan pertemuan di Oey San mengandung perkara penasaran. Maksudnya, delapan belas tahun kemudian, dikala malam Tiong Tjiu. Anak anak dari generasi kemudian pergi mendaki Oey San. Di sana ada seorang menantikan kedatangan mereka untuk menerangkan hal penasaran dan dendam itu. Kata kata ini meyakinkan dan menghilangkan keraguan, bahwa pendatang malam itu bukan musuh, tapi kawan."

"Jika demikian, pertemuan Oey San, pasti dihadiri pula orang banyak!"

"Menyesal tak diketahui siapa dia. Hingga kini masih sukar diketahui. Selanjutnya malam itu, kami tidak dapat seketika mendapat kepastian. Tapi kalau kami tetap berdiam di tempat lama. Tidak menguntungkan. Dari itu untuk sementara kami berpisah. Masing masing berpisah dan bersembunyi guna membesarkan anak anak. Delapan belas tanun kemudian berjanji saling bertemu dan berkumpul lagi. Serentak kami malam - malam berpisah meninggalkan kota Souw Tjiu dengan berlinang air mata. Perpisahan ini terhitung sudah delapan belas tahun lamanya, tapi rasanya baru kemarin saja terjadinya. Yang nyata kini aku sudah beruban dan kamu sudah dewasa." Menuturkan sampai di sini tak tertahan lagi, air mata ibunya mengalir dengan deras.

Sang ibu menyeka butiran - butiran air mata. Dari dalam kotak dikeluarkan lagi dua macam barang. Satu mutiara emas, satu lagi semacam carikan kain.

"Mutiara ini biar aku simpan, karenanya dengan setiap hari bertemu. Sama dengan bertemu ayahmu. Adapun carikan kain ini, ialah benda kepercayaan sewaktu berpisah. Kau tahu sajak itu terdiri dari empat baris. Ong Pee pee mempunyai seorang putera dan seorang puteri. Tju Siok- siok hanya mempunyai seorang putera, terhitung denganmu semua empat orang Masing - masing mendapat sebaris dari sajak itu dan berjanji pada tahun ini akan berkumpul pada malam Tiong Tju di puncak gunung Oey San. Sebagai tanda kenal dan bukti, yakni menggunakan carikan kain ini."

Tjiu Piau menerima dan membuka benda itu. Ia menerima baris kedua dari sajak itu.

"Delapan belas tahun hidup menanggung penasaran". Tulisan itu demikian indah, agaknya buah tangan seorang wanita.

Kata kata sajak itu meresap dalam ingatan Tjiu Piau.

Dimasukkannya ke dalam sakunya dengan hati hati. Kesal hatinya tidak dapat segera terbang dan melampiaskan dendam dan sakit hati. Tiba tiba sesuatu pertanyaan timbul dalam hati nya,

"Bu, tidak tahu anak anak keluarga Ong dan Tju mempunyai ciri ciri apa untuk dikenal. Kapan bertemu aku harus bagaimana membahasakan diri pada mereka?"

Ibunya menarik napas sebentar, lalu menjawab : "Kejadian sungguh kebenaran adanya. Kalian berempat

sebaya saja. Kala kejadian Oey San, putera sulung dari Ong Pee pee baru berusia tiga tahun. Tubuhnya sangat besar dan gemuk, dari itu kami biasa memanggil A Pang (si gemuk) ia terbenar diantara kalian. Jika bertemu dengannya panggillah toako (kakak) karenanya ia mendapat baris pertama dari sajak ituYang kedua ialah kamu sendiri dan mendapat baris kedua dari sajak itu. Yang ketiga adalah putera tunggal dari Tju Siok-siokmu, waktu itu ia baru berusia satu tahun,mendapat baris ketiga dari sajak itu. Baris keempat terjatuh pada puteri Ong Pee pee yang kala itu baru lahir beberapa bulan. Dua anak yang belakangan ini sampai nama kecilnya saja aku lupa. Sebab waktu berpisah terlalu tergesa gesa. Sampaipun hal penting ini kulupakau suiah. Lebih lebih bicara tentang parasnya, sekali kali tak dapat kuingat pula. Tahuu itu kalian hampir serupa saja wajahnya."

Pembicaraan ibu beranak itu melupakan Waktu. Ceritera semakin panjang, waktu terasa semakin singkat. Ibu itu teramat teliti dalam mengemukakan penuturannya tentang keempat dari saudara angkat itu.

Lain hal yang diketahuinya, juga tidak luput dalam penuturannya itu. Tjiu Piau baru sadar, bahwa pertemuan di Oey San Itu. Telah menggemparkan dunia Kang ouw dan rimba persilatan. Hal yang lebih lebih menggoncargkan kaum Kang ouw: matinya Wan Tie No dalam tangan Louw Eng. Sehingga kegagahan Louw Eng dalam waktu semalam saja sudah tersiar luas. Tapi tidak lama kemudian Louw EDg tidak dianggap sebagai pendekar Kang ouw lagi. Ia menyerahkan diri dan menjadi budak bangsa Boan. Entah apa jabatannya di istana tidak ada yang mengetahui. Yang diketahui pengaruhnya sangat besar dan berkuasa dikalangan istana.

Ayam jago berkeruyuk memperdengarkan suaranya. Pagi mendatang dari ufuk timur dengan sinar yang berkilau menerobos di celah-celah pohon di desa itu.

"Anakku, pertama kali kau ke luar pintu, kau belum kenal jalan.. Dari itu janganlah menyia - nyiakan waktu. Tiga hari kemudian segeralah kau pergi ke Oey San. Kini baik baklah pergunakan waktu tiga hari untuk melatih diri Bwce Hoa Tok Tju terdiri dari tiga kali tujuh, duapulub satu jurus. Aku hanya apal tujuh jurus saja. Kesemuanya sudah kuturunkan kepadamu. Sisanya masih ada empat belas jurus lagi. Ini dapat kau pelajari menurut buku, ada di sini, ambillah dan selidiki serta pelajari. Terkecuali itu racun dari mutiara emas kini sudah hilang. Tapi cara pembuatannya aku masih ingat dengar baik. Dalam waktu tiga hari, kita pergi ke gunung untuk mencari bahan bahan dari racun itu. Sekalian kau pelajari juga cara membuatnya. Kalau hal ini sudah selesai hatiku lega sekali untuk melepaskan kau dari pangkuanku."

"Aku setuju dengan usulmu bu. Tapi aku berkeberatan untuk menggunakan Bwee Hoa Tok Tju. Aku sudah biasa menggunakan batu batu kecil"

"Racun mutiara itu bagaimana dapat dipakai dalam batu!" tegur ibunya sambil cemberut.

"Aku tak ingin melakukan seseorang dengan, racun bu!"

Sang ibu mengerti kejujuran anaknya, AtaS ini seharusnya ia merasa syukur dan bangga. Tapi Tjiu Piau baru besar, dengan sebatang kara menceburkan diri ke dunia Kang ouw. Kalau tidak persenjatakan ilmu warisan ini, tak tenang akan hatinya. Dengan keras ia berkata: "Anakku, kau jawablah pertanyaanku. Misalkan kau berhadapan dengan pembunuh ayahmu, tidak juga kau mempergunakan mutiara emas ini untuk melukainya?"

Mendengar ini Tjiu Piau mengenakkan gigi sambil berkata: "Kalau dapat kucari manusia terkutuk itu. Detik itu juga kuhajar dengan senjata beracun ini!"

"Nah! demikian baru benar, racun ini harus baik baik dibuatnya. Biar penjahat penjahat di kolong langit dapat menikmati benda ini,"

Seiring dengan datangnya fajar hujan rintik rintikpun turun mendatang. Percakapan antara ibu dan anak semalam suntuk tanpa henti hentinya. Kini tanpa menghiraukan pada keadaan alam, tanpa tidur lagi.

Langsung mendaki gunung untuk memetik ramuan obat obatan untuk racun dan berlatih silat.

Gunung Thian Bok berdiri tegak dengan megahnya. Bukit bukitnya tinggi berantai,tebing tebingnya curam dan dalam, tersusun demikian rapi, menambah keindahannya. Kini diliputi dan diselimuti kabut putih. Jauh dan dekat hanya halimun tebal yang terlihat Di gunung tampak bermacam macam pohon dan bunga bunga indah.

Ibu dan anak itu tak tergerak hatinya guna menikmati pemandangan alam yang demikian indah itu. Hanya melanjutkan perjalanannya untuk mencari tempat sunyi.

Beberapa lama kemudian mereka tiba di suatu bagian gunung yang jarang dikunjungi dan dipijak manusia.

Tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di sini semua aneh dan jarang dilihat manusia. Kiranya Thian Bok terkenal sebagai tempat menghasilkan obat obatan. Segala pohon obat yang jarang dan tak ternilai harganya membayak memenuhi lereng dan jurang. Sambil berjalan sang ibu tidak henti hentinya memetik pohon pohon obat. Dua jam kemudian udara berubah menjadi cerah. Mereka sampai di tempat yang sunyi dan permai. Diapit dua tebing yang indah terletak sebidang tanah datar kecil.

"Bu, istirahatlah di sini. Berilah petunjuk petunjuk, aku ingin berlatih."

Sang ibu walaupun semasa mudanya mempelajari ilmu silat. Tapi tidak tinggi, tambahan sudah lanjut usianya. Tak heran sudah letih juga. Dikeluarkannya buku pusaka ilmu Warisan keluarga Tjiu dan diberikan kepada Tjiu Piau.

"Buku ini memuat cara cara melatih bagaimana harus melepaskan senjata rahasia Bwee Hoa Tok Tju yang ampuh itu. Semua terdiri dari tiga gelombang. Gelombang pertama terdiri dari tujuh jurus, dipergunakan waktu dalam keadaan terdesak dan genting. Dengan jurus Pek Ho Tiong Thian (Bangau putih mencelat ke udara) ditambah enam jurus lainnya. Segala serangan musuh dari empat penjuru dapat dihindarkan. Di samping itu masih berketika untuk membalas menyerang dengan mutiara emas ini. Gelombang pertama ini sudah dipelajari Tjiu Piau dengan sempurna.

Buktinya sudah dipertunjukkan di rumah. Kini- menurut petunjuk buku ia berlatih sekali lagi. Tanah di gunung berlumut dan licin, tambahan baru habis hujan. Tapi Tjiu Piau dapat melakukan setiap gerakan dari setiap jurusnya sekehendak hatinya. Melihat ini ibunya bukan buatan rasa senangnya.

Gelombang kedua lebih menakjubkan lagi.

Diperuntukkan menghadapi diri waktu dikurung dan diserang musuh. Ilmu ini dapat menyelamatkan diri dengan berhasil. Caranya ialah dengan satu kaki diangkat. Kaki yang menempel pada tanah tidak henti hentinya meloncat loncat menotol tanah dengan keras Tubuh dibuatnya berputar putar hebat bagai kiliran. Karenanya walaupun dikurung musuh dari empat penjuru. Mata masih dapat melihat setiap gerakan musuh dengan tegas. Di mana ada lowongan segera mempergunakan Sian Hong Kian Tjiok (angin puyuh menggulung batu) menyusul Sun Lui Thiao Tjiang (petir dahsyat dari langit) Serta ketujuh macam cara melepas mutiara iainnya. Musuh yang bagaimana tangguhpun sukar dapat meluputkan diri. Ketujuh jurus ini tidak mudah dapat segera diselami dan dipelajari Tjiu Piau menurut petunjuk petunjuk buku dan ibunya yang pernah malihat Tjiu Tjian Kin dulu melatih diri. Baiknya Tjiu Piau sangat cerdas, sesudah berlatih setengah hari, ia sudah faham. Di sebuah batu berlumut yang licin ia berdiri Tak jera jeranya mengulang ulang pelajaran ini. Semakin berputar semakin menyenangkan, badannya diputar menyerupai gulungan asap, mendadak beruntun Serangan batu dengan dahsyat dilepaskan ibunya. Tjiu Piau dengan tenang mengegos atau berkelit dan menghantam lagi dengan batu. Memunahkan semua serangan. Dalam kagetnya Tjiu Piau merasakan suara itu masih berkumandang dalam telinganya. Pasti suara seorang gadis. Lemah lembut cukup menarik, membuat hati si pendengar merasa nyaman. Suara itu datang kira kira tidak lebih sepuluh tindak dari Tjiu Piau Walaupun hujan rintik rintik membasahi bumi. Mata dapat melihat sejauh seratus tumbak. Tapi sejauh mata memandang, hanya tampak goyangan goyangan rumput dalam kesunyian saja yang kelihatan. Di mana dan mana ada bayangan orang?

Ibunya sesudah berdiam diri sejenak lantas berkata : "Anakku, turunlah. Agaknya tempat ini tidak sesuai untuk berlatih marilah kita cari tenpat lain."

Tjiu Piau masih mengawasi sekeliling dengan heran. Ia meloacat turun dari batu cadas, menurut kata ibunya.

Belum kedua ibu daa anak melangkah, mendadak datang suara gaib berkeresek. Membuat pendengar merasa waswas. Agaknya suara itu datang dari tebing, makin lama makin dekat!

Tjiu Piau dengan mata mudanya yang awas, segera menampak seekor ular berwarna merah mendarah.

Kepalanya besar, tapi badannya kecil. Panjang tubuhnya lebih kurang sepuluh depa. Tengah asyik merosot dari tebing. Dilaluinya pohon pohon dengan cepat dan menghampiri mereka. Tjiu Piau berteriak: "Bu awas ular!" Sambil menghadang tubuhnya di muka ibunya. 

Dikata lambat tapi cepat. Ular merah itu sudah berada di hadapan Tju Piau. Kepalanya berdiri. lidahnya yang hitam pekak mengelel panjang. Tubuhnya mempunyai titik garis garis hitam. Sungguh menakutkan. Ular itu mengkerat sedikit, sekonyong konyong mencelat bagai kilat menyerang lambung Tjiu Piau. Sekilat mungkin Tjiu Piau mengegos ke kanan, tangan kirinya menolak perlahan sang ibu sambil memperingati: "Bu lekas berlalu!"

Sungguh mengherankan ular itu hanya memperhatikan Tjiu Piau saja. Matanya menatap dengan buas. Sekali serangannya tak membawa hasil, dengan cepat cepat tubuhnya berputar ke kanan. Ekornya menempel tanah, ia berdiri tegak bergoyang goyang ke kanan dan ke kiri. Matanya yang buas membayangkan ingin segera mencaplok Tjiu Piau bulat bulat.

Tjiu Piau sebenarnya memegang beberapa butir batu batu kecil. Tapi kini tak ada garang sebutir, entah kapan disebarkan. Ia meloncat ke belakang, ular Itu menggeleser membayangi.

Ibunya tergesa gesa berkata: "Anakku, pergunakan mutiara!" Tjiu Piau tersadar, tangannya segera mengambil mutiara. Ular itu sesudah mengkeret sebentar, kembali menyerang pula. Tjiu Piau mencelat ke atas berbareng melepaskan mutiara mutiara itu. Semua menyerang jalan kematian, alhasil semuanya mengenai dan terbenam dalam tubuh ular di bahagian tengah. Ular itu tak mengira akan mendapat hajaran. Sesudah menggeliat sebentar, terus menerjang Tjiu Piau kembali dengan kegila gilaan. Tjiu Piau meloncat kaget, sejauh tujuh delapan depa tatkala ia menoleh, ular itu masih saja membayangi dengan erat.

Tubuhnya melayang di udara ekornya disabetkan bagai cambuk menyapu datang. Tjiu Piau kembali meloncat, ular itu kembali mengikuti. Tjiu Piau belum pernah berkelahi dengan ular, dalam gugupnya ia lari lagi. Sesudah ia lari dua lie baru ular itu tak kelihaian mata ekornya. Baru saja Tjiu Piau tenang sebentar, hatinya kembali cemas memikiri nasib ibunya.

Tiba tiba berbunyi lagi desisan ular itu, nyatanya ular itu sudah berada di hadapan mukanya, kelincahan ular itu tak ada taranya. Badannya menempel bumi dalam sekejap mata sudah sa mpai dekat kakinya. Tjiu Piau kaget, setengah mati. Cepat-cepat kakinya menotol bumi, ia meloncat. ular itu agaknya sudah mengetahui akan adanya gerakan ini. Bergemingpun tidak. Kepalanya menjulur ke atas menantikan Tjiu Piau turun. Dengan tubuh di udara Tjiu Piau merasa kaget. Mendadak ia ingat perkataan ibunya ular harus dipukul tujuh centimeter di belakang kepalanya. Dalam kegirangannya Tjiu Piau segera mengeluarkan jurus 'Siang Liong Tok Tjiu' (Sepasang naga nyemburkan mustika). Dua butu mutiara itu tepat menembus di belakang kepala ular itu sejauh tujuh centi meter Sekali jungkir tubuh Tjiu Piau hinggap sejauh satu tumbak dari tempat asal. Ular itu sudah tak berkutik. Secepat kilat Tjiu Piau mengirimkan dua butir lagi. Ia baru sadar ular itu, sudah jengkar menjadi mayat. Baru saja ia menarik napas lega. Lagi lagi berkumandang suara anak perempuan itu. Saat itu kabut mendadak turun di muka bumi dan memenuhi pegunungan. Dengan tangan menjinjing ular. Tegak ia berdiri dibawah tetesan hujan dan liputan kabut. Matanya mencelos memandang keempat penjuru. Hatinya berdebaran keras. Mendadak dan tiba tiba mendatang suara dari dekat sekali. Suara tertawa dan teguran masuk kedalam telinga Tjiu Piau dengan berbareng.

"Hai! Kenapa kau bunuh Tan-djieku?"

Suara itu datang dari samping tubuh Tjiu Piau, ia menoleh dencan kaget. Dalam cuaca remang-remang di dalam kabut dan hujan gerimis, tampak sesosok tubuh seorang gadis berpakaian putih. Berusia lebih kurang lima- enam belas tahun. Ia tersenyum jenaka. Raut mukanya bulat, mulutnya mungil. Matanya hitam jernih dan bergigi putih mengkilap bagai salju. Ketawa itu ketawa lircah dan nakal. Sukar untuk mengetahui makna senyumnya itu.

Entah apa yang tengah direnungkan dan dipikirkan olehnya?

Diam diam Tjiu Piau berkata di dalam hati: "Mungkinkah di dunia ini benar benar ada dewa dan dewi?"

Dalam lirikan matanya, sedikit juga tak terlihat noda noda kotor dalam baju putih si gadis itu. Tak ubahnya seperti bidadari turun dari kayangan. Tjiu Piau merasakan sesuatu yang ganjil. Ia kesima dan tidak dapat berbuat apa apa. Matanya tak tahan mengawasi gadis itu lama lama.

Bertepatan gadis itu juga tengah asyik menatap. Empat mata bentrok, gaya tenaga mata dari sang gadis membuat Tjiu Piau tunduk. Mata itu demikian berpengaruh, bagai benda suci yang tak dapat dijamah. Gadis itu kembali berkata "Hayoh bicara, kenapa kau membunun Tan djieku yang kucintai. Bila tidak bicara bisa tahu!" Tjiu Piau deredetan gugup, menjawab; "Siapa yang membunuh Tan djiemu?" Gadis itu mendadak tertawa bergelak- gelak

"Apa yang kau jinjing di tanganmu?" "Seekor ular " "Nah, itu bukan?" ia berkata, badannya tergoyang

sedikit, melewat di samping Tjiu Piau. Dua jeriji kirinya terjulur menuju mata sang jejaka. Tjiu Piau cepat - cepat mendek, ular sudah berganti tangan.

"Aduh kagetnya sedemikian macam, siapa sih yang benar benar akan mengkorek mata mu?" ia bicara tanpa memperdulikan Tjiu Piau. Ularnya diletakkan sambil diusap usap di tanah, dan menangis dengan sedih sekali!

Tjiu Piau merasakan gadis ini mengherankan dan membingungkan. Dalam hutan dan di dalam gunung dari mana datangnya orang ini? Saat ini Tjiu Piau mendengar panggilan ibunya. Hatinya berpikir lebih cepat berlalu lebih sempurna. Ia segera berlalu. Baru melangkah dua tindak, gadis itu berteriak memanggilnya. "Hei! Barangmu yang tertinggal tak mau diambil!" Tjiu Piau berdiri menanya. "Barang apa?"

"Mutiaramu, dibuang saja?"

Tjiu Piau berpikir sebentar. Keenam mutiara peninggalan dari mendiang ayahnya, semua sudah bersarang di tubuh ular itu. Biar bagaimana harus diambil. Tapi bagaimana membuka mulut untuk memintanya. Gadis itu berkata: "Ular ini sudah mati, sudah tidak resep aku main dengannya. Aku tak mau lagi sudah. Hitung hitung tidak menyusahkan kamu!"

Tangan kirinya mencekal ular, dengan pisau di tangan Kanan digores-gores mayat ulur itu, menyusul suara merontok dari butiran butiran mutiara berjatuhan di tanah. Gadis itu berbicara sendiri: "Sayang, sayang Tjian Tok Tjoa (ular seribu racun ) ini sudah diberikan kepadanya. Masih tak mau mengambil besi berkarat ini kah?" katanya lagi.

Tjiu Piau cepat-cepat meraup mutiaranya dan segera berlalu. Gadis itu sambil cengar-cengir kembali menghadang perjalanannya, seraya berkata: "Bagaimana? Kau sudah membunuh ularku dan sudah menghisap bersih seribu macam racunnya. Sedikit juga kau tidak menghaturkan terima kasih masa akan berlalu begitu saja?" Tjiu Piau berkata dengan gugup: "Siapa yang kesudian ular seribu racunmu itu." Gadis itu dengan gusar berkata. "Kau benar benar gila, apa pura pura berlagak pilon? Kalau dilihat usiamu pasti lebih besar dari aku. Aku mengerti masa kau tidak!"

Tengah mereka asyik berdebatan, di udara terdengar suara elang membunuh burung gereja Gadis itu mendongak ke atas, mulutnya berbunyi cek cek cek meniru suara burung. Sepontan dari atas melayang seekor elang hitam menuju bumi. Gadis itu melemparkan ular aneh yang dipegang itu ke udara. Elang hitam itu menyambut dengan kedua kukunya dengan tepat, sambil berbunyi keriangan elang itu terbang pergi. Tjiau Piau tak mengerti apa yang tengah dipertunjukkan, waktu ia dongak ke atas. Terlihat elang hitam itu tengah mematokkan paruhnya pada ular itu. Hanya tersentuh sedikit akan lidahnya pada ular itu. Kedua sayapnya segera teklok tak bertenaga. Sayapnya hanya mengelapak ngelapak dua kali, lantas jatuh menukik ke bawah. Gadis itu siang siang sudah menampani lengannya. Elang itu dikeset sayapnya, dan dilempari kepada Tjiu Piau sambil berkata: "Periksalah dengan benar! Elang itu sudah jengkar mati. Di tempat terkeset terlihat dagirgnya yarg telah hitam hangus, sungguh menakutkan sekali. Gadis itu berkata sambil tertawa: "Lihatlah, barang siapa kena racun ular seribu racun ini. jadinva begitu. Bicara lari sejujurnya racun ini baik atau tidak?" Tjiu Piau menggigil mendengarnya. Hatinya mengatakan lebih baik ?egera berlalu, ia berkata: "Racun itu demikian dahsyatnya, tapi diberipun aku enggan menerimanya. Untuk permainanmu saja yah!" ia segera berjalan pergi. Kata-kata ini membuat alis si gadis yang lentik mendjadi berdiri, bahna dongkolnya.. "tau membersihkan diri dari kesalahan demikian baiknya, tak mau tak dipaksa. Tinggalkan

mutiara-mutiara itu! Hm . . kau tahu dengan seribu macam ular berbisa ku pelihara ia menjadi besar. Sekujur badannya penuh dengan bisa bisa yang mematikan, dari itu dinamai ular seribu racun. Tak kira mutiaramu di permukaannya berduri dan dapat menghisap racunnya. Mutiara mutiara itu sudah terbenam dalam tubuh ularku, siang-siang sudah menyedot racun dari ular itu! Pokoknya aku tak mau mengerti dengan begitu saja!" Mendengar itu Tjiu Piau baru sadar. Hatinya heran, kenapa gadis itu mengetahui akan senjata rahasianya demikian terang. Kala ingin bertanya, segera diurungkan. Pikirnya untuk menghindarkan dari kerewelan, lebih baik kira menanya. Tapi untuk menyingkir sudah tak mungkin. Putusan untuk berlalu sudah tetap, dengan penuh hormat ia berkata. "Dengan menyesal Siauw tee (adik ) sudah membunuh ular kakak, dan mengambil bisanya. Harap jangan berkecil hati. dengan ini Siauw tee minta kakak memberi maaf." Gadis itu tertawa terpingkal pingkal seraya berkata. "Bicara tak keruan macam, sungguh tak mengenal berbahasa, usiamu lebih besar empat lima tabun dariku kau memanggil kakak kepadaku. Mengaco saja.!"

Tjiu Piau tak sabar pula menerima gangguan, ia mangkel. Tak banyak bicara pula melangkah pergi.

Gadis itu kembali tertawa dan berkata. "Kau boleh pergi, tapi harus bergebrak dulu denganku. Kalau bisa menang baru boleh pergi!"

"Tidak gentarkah akan mutiara beracunku." tanya Tjiu Piau.

"Sekali kali tidak, marilah kita coba-coba Hajarlah aku dengan sebutir mutiaramu, kemudian kau harus menggigit ularku sekali, Setuju? Jangan dilupakan ular seribu racun ini adalah peliharaanku. Di dunia ini hanya akulah yang dapat memunahkan racunnya."

Dalam kagetnya Tjiu Piau menyesali' kelalaian hatinya, dan mengagumi ketelitian si'gadis. Takut kalau kalau gadis itu masih mempunyai benda benda aneh lagi, dari itu ia berpikir baik tak berkelahi, la berkata: "Kiranya kau kasih aku berlalu atau tidak?"

"Kau harus tinggal meremani aku dahar." guraunya, mendadak suaranya berubah menjadi lembut: "Asal kau dapat melulusi permintaanku. Hal matinya ularku dan diambil racunnya tak kuperhitungkan lagi."

Hal apa yang diminta tanya Tjiu P-au. Gadis itu membuka mulutnya perlahan, satu syarat aneh dikeluarkan, katanya: "Kau harus tahu, tabiatku gemar pada tempat - tempat aneh yang baru. Menyesal tak ada kawan memain, sehingga tak pernah aku merasa gembira. Kini aku hanya mohon kau melulusi untuk menemani aku pergi bermain main di tiga tempat, ini saja, kalau mau, tentang ularku tak perlu kau ganti lagi. setuju yah? Kata katanya ini bagai suara anak kecil yang tengah merengek meminta sesuatu kepada ibunya. Kata katanya menimbulkan rasa kasihan.

Lebih lebih waktu mengatakan 'setuju yah' kedua matanya memandang Tjiu Piau dengan penuh harapan. Tjiu Piau kelabakan tak keruan, ia tak dapat berkata tidak. Kepalanya mengangguk angguk tanpa terasa. Dalam girangnya gadis itu berkata. "Memang kau baik, dari semula sudah ku duga kau pasti melulusi permintaaumu"

Baiklah kau tunggu sebentar aku segera mencari tempat bermain yang baik. Kemudian baru kita bersama sama bermain - main!" Waktu bercakap cakap,. Tjiu Fiau mendengar suara panggilan ibunya, Ii menjawab sekeras mungkin. "Bu, aku di sini!" Gadis itu berkata. "Ibumu datang, aku pergi dah"! Aku tak senang berjumpa dengar nenek nenek!" Kata-katanya belum habis, tubuhnya sudah bergerak. Bagai melayang-layang ia pergi menjauhi.

Pemandangan ini bagai dalam khayalan, tapi kenyataan, perlahan-lahan ia menghilang. Baju putihnya bercampur dengan halimun putih menjadi satu. Mana si gadis mana halimun. Sekali kali tak dapat dibedakan.

Baru saja Tjiu Piau berhenti mengawasi, dalam kabut tebal nampak bayangan ibunya. Ibunya segera bertanya: "Anakku, dengan siapa kau bicara?" Sebelum menjawab ia mempunyai perasaan aneh. gadis kecil lebih muda darinya, tapi berkepandaian lebih tirggi. Paling mengherankan gadis itu mengetahui dengan terang senjata tunggal dari keluarga Tjiu. Kata-kata ini disimpan dalam hatinya. Ia hanya berkata: "ibu lebih baik kita pulang saja." Waktu itu ibunya sudah memetik sekeranjang penuh obat obalan. ibu dan anak turun gunung. Setiba di rumah Tjiu Piau menuturkan hal pertemuannya dengan gadis berbaju putih pada ibunya. Sesaat kemudian ibunya baru berkata: "Anakku, hal ini sangat mencurigai sekali. Sebaiknya hari esok jangan melatih diri di sana. Adapun gelombang ketiga yang terdiri dari tujuh jurus ilmu Bwee Hoa Tok Tju ini. Dilatih sambil berbaring, ini dipergunakan waktu tubuh dalam keadaan luka. Esok hari tak perlu ke luar rumah. Kesemua ini dapat dipelajari di dalam rumah. Aku sendiri akan membuat racun untuk ke enam mutiara pusaka itu. "Mutiara itu sudah beracun bu." "Biar sudah berbisa dari ular itu. tapi tidak boleh tidak harus dibubuhi lagi racun dari keluarga Tjiu Racun ular itu kita tak dapat memunahinya. Kini ditambahi lagi dengan racun dari keluarga kita. Anak wanita itu pun tak dapat memunahkannya. Bila kau berjumpa lagi dengannya. Jangan sampai kamu berpeluk tangan lagi tak berdaya." Tjiu Piau mengangguk membenarkan kata-kata ibunya. Waktu berlalu dengan cepat, tiga hari sudah lewat. Selama itu Tjiu Piau mengeram diri sambil melatih diri. Hasil yang diperoleh cukup memuaskan. Ibunya sudah selesai mengolah racun Bwee Hoa Tok Tju. Untuk menjaga jangan sampai meracuni diri send'ri. Ibunya membuatkan Tjiu Piau sarung tangan dari kulit rusa. Sesudah itu tbunya menasehatkan lagi banyak kata pada sang anak.

Keesokan harinya dalam cuaca cerah Tjiu Piau mohon pamit dari ibunya. Ibunya meminta jangan dikuatirkan akan dirinya. Beliau dapat melewatkan hari dengan menjual obat obatan. Ia memberikan do'a restu agar anaknya dapat cepat cepat membereskan hal sakit bati dan lekas lekas kembali. Tjiu Piau mengingat baik baik pesan ibunya. Di baw^h antaran sorot welas asih dari mata ibunya. Hatinya penuh rasa hangat bercampur duka. Kakinya setindak demi setindak melangkah pergi.

Tiiu Piau pertama kali pergi merantau banyak hal sangat asing baginya. Hatinya tak terhindar dari rasa bingung.

Kejadian-kejadian beberapa hari belakangan ini bagai dalam impian saja. sepuluh tahun lamanya sang ibu merawat dan membesarkan dia dengan susah payah. Delapanbelas tahun berselang peristiwa Oey San sudah berlalu, kejadian yang sesungguhnya entah bagaimana? Ayah binasa di tangan siapa? Sebab apa binasa? Hingga kini masih menjadi teka - teki yang belum terpecahkan. Saudara-saudara dari keluarga Ong dan Tju kini entah di mana. Dapatkan berjumpa diOey San sebelum hari Tiong Tjiu. Mereka pasti sudah memiliki kepandaian silat yang tinggi, moga-moga saja kepandaian mereka semua melebihi kepandaiannya sendiri.

Wan Tie No sebenarnya orang dari kalangan apa? Louw Eng kiat entah menjadi manusia macam apa? Hal ini diharapkannya agar lekas-lekas menjadi terang.

Terkecuali dari hal hal di atas. Tjiu Piau mempunyai sesuatu perasaan yang aneh untuk dirinya. Hatinya selalu terkenang akan gadis bermain ular yang di jumpai di Thian Bok Sin. Ia tidak merindukannya. Karena gadis itu mengherankan dan sedikit menakutkan. Tapi ia tak jemu atau benci. Karena gadis itu mempunyai sesuatu gaya tarik, yang menyenangkan. Teringat waktu ia berjanji untuk menemani gadis cilik nakal itu. Ketiga tempat bermain-main yang indah. Lucu benar terjadinya. Walau pun ia sudah melulusi. Tapi satu sama lain belum memperkenalkan diri.

Entah di mana tempat tinggalnya? Kini ia pergi jauh dari rumah. Gadis itu bagaimana dapat mercarinya. Kesimpulan dalam lubuk hatinya, ia mengharap sesuatu yakni moga moga gadis kecil itu dapat mencarinya.

Pada suatu hari, tibalah ia di suatu kota kecil. Banyak keterangan didapat, yang mengatakan jarak ke Hang Tjiu tak berapa jauh lagi. Tjiu Piau selalu ingat pesan sang ibu. Karenanya ia selalu berlaku hati hati, jarang singgah dalam kota kota besar yang ramai. Tak pernah mau menerangkan diri ingin pergi ke mana, dan apa maksud dari kepergian- nya. Ia berhenti dan beristirahat di kota kecil itu. Ia bermalam dalam rumah penginapan buruk. Sekedar untuk melewatkan malam saja. Saat itu matahari sudah condong ke barat. Walaupun sebuah kota yang tidak seberapa terawat, tapi dasar di Kang Lam, tetap indah dan menarik. Tjiu Piau jalan jalan di kota dan mampir di warung kopi, untuk menangsel perut dengan beberapa bakpao dan semangkuk bakmi. Dari tempat ia duduk tampak di ujung ruangan banyak orang tengah berkerumun. Dasar anak muda senang dengan keanehan, dan ingin tahu segala sesuatu Hatinya tak tahan untuk tidak melihat. Dilihatnya dua orang laki laki setengah umur. Seorang dengan alis tebal dan mulut besar. Yang seorang lagi bermuka panjang dan bermata sipit. Kedua- duanya duduk di tengah-tengah ruangan. Laki laki beralis tebal tengah asyik bercerita tentang keganasan tentara Boan waktu menduduki kota Hang Tjiu. Laki-laki bermuka panjang asyik duduk meneguk arak. Kedua mata sipitnya, berputar-putar larak-lirik tak henti-hentinya melihat kesekeliling. Tatkala tentara Tjeng memasuki Tiongkok, di Hang Tjiu, Kiang In, Ka Teng dan beberapa tempat lain.

Melakukan pembunuhan besar besaran. Menurut catatan sejarah, satu kota Hang Tjiu saja rakyat Tiongkok terbunuh sebanyak delapanratus ribu orang lebih !

Semasa di rumah Tjiu Piau sering mendengar cerita dari mulut ke mulut tentang keganasan dan kekejaman tentarau Boan. Tapi belum pernah mendengar cerita itu langsung dari seorang yang pernah mengalami dengan mata kepala mendiri. Laki laki itu berceritera dengan semangat berapi api, Tju Piau bersemangat dibuatnya Inilah kebiasaan dan anak muda tak berpengalaman, girang dan duka dibayangkan dalam wajahnya. Demikianlah suatu sifat kebajikan dan cinta negara dari Tjiu Piau memenuhi wajahnya. Hal ini sedikit juga tak terlepas dari mata sipit laki laki bermuka panjang itu.

Mendengar sampai di tempat yang menyedihkan. Tjiu Piau merasakan gemas dan duka. air mata hangat hampir hampir tak terbendung ke luar dari kelopak matanya.

Sesaat itu nasehat dari ibunya teringat di otaknya bahwa ia harus berhati hati di jalan. Maka segera ia menahan duka sambil berlalu Baru saja ia melangkah dua tindak. Mendadak laki laki beralis tebal itu berkata sambil menggerak gerakkan tangan. Sehingga sebuah cawan melayang terlepas dari tangannya. Cawan itu tepat menuju Tjiu Piau. Cawan itu mengandung tenaga tersembunyi yang maha hebat. Harus diketahui dalam hal senjata rahasia Bwee Hoa Tok Tju keluarga Tjiu menduduki salah satu tempat tertinggi di dunia Kang ouw. Tjiu Piau walaupun belum dapat menguasi dengan sempurna, tapi sudah tak boleh dibuat gegabah. Tanpa siaga Tjiu Piau mendapat serangan cawan dengan mendadak. Waktu hamDir sampai di kepalanya, tanpa berpikir lagi. Tangan kanannya meraih ke belakang. Cawan itu segera melekat dalam tangannya waktu itu ia menoleh, terlihat wajah laki laki beralis tebal itu berubah mendadak. Laki laki bermata sipit pura pura bagai tak melihat sesuatu.

Tjiu Piau menyesal telah mempertunjukkan kepandaiannya itu, untuk baiknya ia berlaku tenang seperti tak terjadi sesuatu. Cawan itu dengan hormat dikembalikan pada laki laki itu. Dari tujuh delapan orang yang meriung mendengar cerita, antaranya ada lima enam pasang mata yang menatapnya dengan mata terbelalak. Dua tiga antaranya dengan tergesa gesa berdiri dan berlalu.

Hanya seorang tua berambut putih bagai salju, rupanya seperti anak sekolah lemah. Duduk di kursi yang berada di sudut lain, bibirnya mengeluarkan senyum dingin, Sebelum Tjiu Piau sampai memberikan cawan itu dan membuka mulut. Laki laki itu sudah bertanya: "Tidak tahu siapakah nama Tuan yang mulia.?" Jawab Tjiu Piau: "Yang rendah She Tjiu." kata kata baru dari tepi bibir, lagi lagi ia menyesal, Ia bertabiat jujur dan belum mengerti kehidupan didunia bebas. Ia masih hijau tak bisa berbuat bobong.

Cepat cepat diletakkan cawan itu di atas meja. Kedua orang itupun ia tak bertanya lagi. Tjiu Piau segera berlalu tanpa menoleh lagi.

Sekembalinya di rumah penginapan, hatinya diliputi perasaan kuatir, mengingat pesanan pesanan ibunya. Di dunia Kang Oaw hal yang paling dan harus dijaga jangan sembarangan menunjukkan diri. Dua laki-laki itu seenaknya saja memaki dan membusuki pemerintah Boan. Kalau diketahui pemerintah Boan, begitu saja cukup untuk mencari malapetaka hilang kepala. Kini ia sendiri bercampur baur dan mengobrol dengan mereka. Kalau nasib malang, pasti kerembet rembet,

Semalam berlalu tanpa terjadi sesuatu Pada hari kedua Tjiu Piau merasa lebih tenang. Merenungkan kejadian kemarin, merasa sangat gegabah, untungnya urusan tiada berekor. Kiranya tidak perlu gugup atau cemas lagi. Dengan tenang ia berjalan menuju ke. Hang Tjiu. Rencananya sesampai disana berganti mempergunakan jalan air.

Baru berjalan setengah hari. perutnya mulai gerujukan sekali. Ia hendak mencari rumah makan untuk menghilangkan lapar dan dahaga. Apa mau sampai warung nasipun tak dijumpai. Tidak seberapa jauh tampak sebuah perkampungan yang besar. Tapi Tjiu Piau segan mengganggu penghuni-penghuninya. Ia melaluinya sambil meuupdukkan kepala. Secara tiba-tiba dua orang laki laki ke luar dan bertubrukan dengannya. Bawaan orang itu yang berupa sekantong uang receh tembaga, berserakan di tanah.

Kedua laki laki itu berdiri sambil bertolak pinggang dengan wajah gusar. Bentaknya "Hei, bocah mencari kesenangan jangan pada tuan besarmu!"

Tjiu Piau merasa salah, dan takut membuat onar, ia minta maaf berulang kali Kedua laki laki ini dengan pongah, tak mau mengerti. Dalam hati Tjiu Piau berkata:

"Lagihan siapa yang akan bersetori dengan kalian." Cepat ia berkata: "Uang ini tanpa sengaja Siauw tee berantakan. Harap jangan gusar tuan-tuan, tunggu saya pungutinya dan membereskannya. Dipunguti uang itu satu- satu dan dimasukinya ke dalam kantung. Terdengar salah satu laki-laki itu berkata campur tertawa: "Saudara kecil.

Tak baik untuk menyusahkan kamu. Terkecuali itu dengan sendirian saja memunguti uang sangat membuang waktu. Sebaiknya peganglah kantung uang itu. Kami akan memanggil beberapa orang kampung untuk membantu membereskannya.

Dengan satu kali seruan. Cukup mengumpulkan tujuh delapan orang kampung.

Tjiu Piau mengawasi orang itu, entah gusar entah girang tidak ketentuan. Diam-diam hatinya mengeluh. Tak banyak komentar lagi ia berdiri tegak di tengah-tengah sambil memegangi kantung uang. Kesepuluh laki-laki itu memunguti uang itu, dan dilemparkannya ke dalam kantung. Lemparannya semua jitu. Lambat laun lemparannya mereka semakin ngawur.

Terang terang mereka kini membidikkan uang uang itu ke arah Tjiu Piau. Dari delapan penjuru uang uang itu beterbangan bagai hujan. Beberapa antaranya terdapat bidikan bidikan khusus ditujukan pada jalan darah Tjiu Piau, oleh orang orang berkepandaian tinggi.

Sekejap saja uang uang beterbangan bagai hujan. Tjiu Piau mau tak mau harus berkelit ke timur dan mengegos ke barat. Untuk menghindarkan diri dari serangan serangan yang berbahaya. Kemudian semakin banyak serangan serangan mendatang, sudah tak dapat dikelit atau diegos lagi. Sambil menahan amarah hatinya berkata "Kalau aku tak mengeluarkan kepandaianku, sukar kiranya melewati gangguan ini " Sesudah tetap pikirannya. Dibuka kantung itu dengan kedua tangan. Ia berdiri dengan satu kaki dan berputar. Ilmu warisan keluarga Tjiu gelombang ke dua yang terdiri tujuh jurus hebat dikeluarkan. Uang yang beterbangan dari segala penjuru tidak ada yang jatuh ke bumi, semua dikandangi ke mulut kantung

"Indah!" terdengar satu seruan menggeledeg. Serentak orang orang itu menghentikan tangan. Berputar membentuk lingkaran menyerupai bulan sabit mengurung Tjiu Piau. Di ambang pintu dari kampung itu berdiri tegak seorang laki- laki, orang itu tak Jain tak bukan dari si pencerita Si Beralis Tebal.

Ia tertawa terbahak-bahak sambil berkata:

"Selamat berjumpa, selamat berjumpa. Kiranya tuan. Marilah mampir dulu barang sejenak dan duduk duduk di kampung kami. Tjung Tju (majikan kampung) mengundang tuan"

Tjiu Piau mengawasi pintu kampung yang bertulisan tiga huruf besar 'Ban Liu Tjung'. Pintu dibuka, terlihat dedaunan hijau di dalam. Kala angin bertiup terdengar keresekan daun daun pohon liu bagai hujan gerimis
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar