Kisah Si Pedang Kilat Jilid 6

Jilid 6

Akan tetapi Kwa Bun Houw tidak memperdulikannya lagi. Cepat dia meloncat ke dalam guha di mana Hui Hong masih rebah terlentang dengan kaki tangan terbelenggu dan setengah telanjang! Dengan memalingkan mukanya, Bun Houw menggerakkan tangannya ke arah belenggu-belenggu dari tali kulit yang mengikat kaki tangan gadis itu. Putuslah semua tali itu dan Bun Houw menanggalkan jubahnya, menjatuhkannya di lantai, kemudian sekali meloncat diapun sudah keluar dari dalam gua, tanpa menengok sedikitpun ke arah gadis itu!

Hui Hong dapat melihat semua ini dan kedua matanya menjadi basah. Di dalam hatinya ia berterima kasih sekali kepada pemuda itu. Bun Houw bukan saja telah menyelamatkannya dari ancaman bahaya maut dan penghinaan, akan tetapi yang membuat ia merasa terharu sekali adalah sikap Bun Houw ketika membebaskannya dari belenggu tadi. Pemuda itu membuang muka, sedikitpun tidak pernah melirik, apalagi melihat kepadanya. Kalau hal itu dilakukan Bun Houw, betapa akan malunya dan agaknya selamanya ia tidak akan kuasa untuk dapat menentang pandang mata Bun Houw lagi. Kini ia cepat mengenakan kembali pakaiannya! Untung bahwa renggutan tangan Suma Hok tadi hanya membuat kancing-kancing bajunya tanggal saja, dan sedikit yang robek sehingga pakaian itu masih dapat menutupi tubuhnya, dan setelah ia menutupinya dengan jubah yang ditinggalkan Bun Houw, maka keadaannya menjadi sopan lagi.

Ia menyambar sepasang pedangnya yang tadi dibawa pula ke dalam guha itu oleh Suma Hok, dan dengan hati dipenuhi amarah ia meloncat keluar dari dalam guha. Akan tetapi, yang didapatkannya dua orang yang berkelahi di luar guha, yang tadi sudah didengarnya, bukanlah Bun Houw melawan Suma Hok, melainkan Bun Houw melawan seorang pemuda tinggi besar dan gagah yang menggunakan pedang dengan gerakan yang cepat bukan main. Hui Hong terkejut sekali karena hal ini sama sekali tidak pernah diduganya. Apalagi ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu yang bukan lain adalah kakaknya sendiri, yaitu Ouwyang, Toan!”

OUWYANG TOAN adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, anak tunggal yang lahir dari isterinya yang pertama, yang telah lama meninggal dunia. Karena itu, bagi Hui Hong. Ouwyang Toan adalah seorang kakak tiri, seayah berlainan ibu. Akan tetapi, pemuda berusia duapuluh lima tahun itu tahu benar bahwa sesungguhnya, gadis bernama Ouwyang Hui Hong itu sama sekali bukan adik tirinya karena Hui Hong adalah anak ibu tirinya bersama pria lain. Hanya ayahnya dan Ouwyang Toan yang tahu selain ibu tirinya tentu saja, bahwa ketika ibu tirinya menjadi isteri ayahnya. Ibu tirinya telah mengandung.

Ouwyang Toan disuruh ayahnya menyusul Hui Hong yang diberi tugas mencari Pek I Mo-ko dan merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir setelah terdengar berita bahwa benda mustika itu kini dijadikan rebutan. Ouwyang Toan juga mendengar bahwa Pek I Mo-ko dan rombongannya pergi ke Bukit Merpati Hitam, maka diapun bengegas menuju ke puncak bukit itu. diapun melihat pertempuran hebat antara belasan orang jagoan istana Kerajaan Wei melawan para Jagoan Istana Kerajaan Liu- sung. Akan tetapi dia tidak melihat Pek I Mo-ko, juga tidak melihat adiknya. Maka, dia meninggalkan tempat pertempuran itu dan mencari-cari di sekitar puncak. Tiba-tiba dia melihat seorang pemuda tampan sedang lari. Dihadangnya pemuda itu ketika mereka berhadapan, keduanya terkejut karena mereka saling mengenal.

"Hemm, kiranya Suma Hok! Agaknya engkau juga ingin ikut memperebutkan akar bunga milik ayah itu!” Ouwyang Toan bertanya dengan suara menegur dan mengejek.

"Ouwyang Toan, jangan sembarangan menuduh! Untuk apa akar itu bagiku? Aku sudah cukup kuat, tidak membutuhkan obat kuat! Kebetulan aku bertemu denganmu di sini. Baru saja aku melihat adikmu!”

"Hui Hong? Di mana ia?"

Suma Hok tersenyum mengejek. "Huh. sekarang membutuhkan bantuanku, bukan? Bah. cepat- cepatlah! Atau engkau akan terlambat. Adikmu terjatuh ke tangan seorang jai-hwa-cat yang akan memperkosanya di sebuah guha itu di sana, guha paling kiri yang di atasnya terdapat batu berhentuk tengkorak besar!" Setelah berkata demikian, Suma Hok lalu melanjutkan larinya meninggalkan tempat itu.

Tentu saja Ouwyang Toan terkejut bukan-main. Namun dia masih regu ragu. Dia mengenal siapa Suma Hok, seorang yang cabul dan licik, walaupun kepandaiannya tinggi. Akan tetapi, betapapun juga, keterangan itu membuat hatinya terbakar. Bagaimana kalau benar adiknya akan diperkosa orang? Diapun cepat lari menuju ke guha yang ditunjukkan Suma Hok itu dan pada saat dia tiba di depan guha itu, Bun Houw meloncat keluar dari dalam guha. Melihat pemuda yang tidak dikenalnya ini, yang tidak mengenakan jubah luar dalam udara dingin itu, hal yang tidak wajar karena setiap orang tentu mengenakan jubah luar, diapun yakin bahwa tentu ini si jai-hwa-cat (penjahat cabul) yang dimaksudkan Suma Hok.

"Di mana Hui Hong?" Diapun bertanya dengan hati yang panas.

Bun Houw tidak tahu siapa orang ini. Tentu saja timbul kecurigaannya ketika orang itu menyebut nama Hui Hong begitu saja. Yang Jelas, pemuda tinggi besar ini bukanlah pemuda yang tadi hendak memperkosa Hui Hong, karena yang tadi menggunakan senjata suling dan tubuhnya tidak setinggi yang ini. Mungkin pemuda pemerkosa tadi lari dan kini muncul temannya yang lebih lihai. "Ia di dalam." jawabnya singkat pula.

Mendengar jawaban ini, Ouwyang Toan tidak ragu lagi. Tentu ini jai-hwa-cat itu! Akan tetapi dia harus melihat dulu keadaan adiknya di dalam guna, maka tanpa banyak cakap legi, diapun melengketi hendak memasuki guha. Akan tetapi melihat ini, Bun Houw juga melangkah menghadangnya.

"Tidak boleh masuki," katanya singkat.

Marahlah Ouwyang Toan. Tidak perlu diragukan lagi, tentu ini jahanam itu, pikirnya. Tangan kanannya bergerak dan nampak sinar berkelebat dibarengi bunyi berdesing ketika dia sudah mencabut pedangnya dari pinggang dan langsung saja ujung pedang itu meluncur ke arah dada Bun Houw! Bun Houw kagum bukan main cepatnya gerakan orang ini dan diapun semakin yakin bahwa tentu pemuda ini merupakan teman si pemerkosa tadi. Diapun tidak berani main-main. Dia mengerahkan tenaganya pada tongkatnya dan menangkis.

"Trangggg ...!” Keduanya undur selangkah dan saling pandang. Ouwyang Toan terkejut dan tahulah dia mengapa Suma Hok tadi tidak mau mencampuri. Kiranya jai-hwa-cat ini lihai dan tongkatnya itu pasti menyembunyikan logam keras, sedangkan tenaga orang ini juga kuat sekali. Maka dia memutar pedangnya dan cepat menyerang bertubi-tubi. Ouwyang Toan adalah putera tunggal Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, datuk besar ahli pedang, dan pemuda tinggi besar itu sudah mewarisi ilmu pedang ayahnya, maka permainan pedangnya hebat dan cepat bukan main, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.

Namun Bun Houw menghadapinya dengan tenang. Dia sendiri adalah seorang ahli pedang, bahkan permainan pedangnya merupakan Ilmu pedang kilat yang amat cepat. Pedang yang tersembunyi di dalam tongkatnya pun adalah pedang yang disebut Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), maka ketika dia balas menyerang, Ouwyang Toan terdesak mundur dan pemuda tinggi besar itu terkejut bukan main. Ayahnya dikenal sebagai Pedang Tanpa Bayangan, membuktikan betapa ilmu pedang ayahnya memiliki gerakan yang amat cepat seolah-olah tidak nampak bayangannya. Namun lawannya ini memiliki gerakan tongkat yang tidak kalah cepatnya sehingga tadi, selama belasan jurus saja ujung tongkat hampir berhasil menotok dadanya! Dia memutar pedangnya dan pertandingan itu berlangsung semakin seru.

Tiba-tiba terdengar seruan suara wanita, "Toan-ko ...! Hong-ko! Tahan senjata, jangan berkelahi!”

Mendengar suara Hui Hong, Ouwyang Toan dan Bun Houw menghentikan gerakan senjata mereka dan keduanya melompat ke belakang, terbelalak memandang heran mengapa Hui Hong menyuruh mereka berhenti.

Melihat dua orang pemuda itu masih marah dan setiap saat dapat saling serang lagi, tahulah Hui Hong bahwa tentu telah timbul kesalahpahaman antara mereka, maka iapun menghampiri kakaknya dan cepat memperkenalkan.

"Houw-ko, ini adalah kakakku, Ouwyang Toan. Dan Toan-ko, dia adalah Kwa Bun Houw seorang sahabat yang tadi baru saja menyelamatkan aku dari bencana dan maut!”

Kedua orang muda itu terkejut bukan main mendengar ucapan Hui Hong itu, apalagi Ouwyang Toan! Dia adalah seorang pemuda yang memiliki watak angkuh, keras dan merasa diri tidak pernah salah. Dan baru saja dia hampir membunuh seorang yang bukan saja tidak mengganggu adiknya, bahkan menjadi penyelamat adiknya. Dia memandang adiknya, matanya yang tajam melihat betapa pakaian adiknya tidak beres, dan adiknya mengenakan jubah pria, sedangkan pemuda yang baru saja diserangnya itupun tidak mengenakan jubah. Alisnya berkerut dan pandang matanya kembali dibayangi keraguan dan kecurigaan.

"Adik Hong, apa artinya semua ini? Kalan ia menolongmu, kenapa ia lari keluar guha dan kenapa pula engkau memakai jubahnya?” Dia yakin bahwa jubah yang dipakai adiknya itu tentu milik pria ini.

Hui Hong tentu saja mengenal watak kakaknya. Kakaknya ini teramat sayang kepadanya, bahkan memanjakannya, dan kakaknya ini keras hati dan juga cerdik dan angkuh. Hui Hong tersenyum, menoleh kepada Bun Houw dan berkata sambil tersenyum. "Houw-koko, kaulihat. Kakakku ini cerdik sekali, bukan? Dia tahu saja bahwa jubah ini milikmu!” Ketika Hui Hong memandang kakaknya dan melihat Ouwyang Toan mengerutkan alis dan memandangnya dengan keras, senyumnya melebar.

"Tenanglah, toako, dan jangan berpikir yang bukan-bukan. Di tempat ini aku sudah beruntung dapat berhadapan dengan Pek I Mo-ko untuk merampas akar yang kuyakin tentu telah berada padanya. Kami bertanding mati-matian dan tadinya aku yakin sudah mulai dapat mendesaknya. Tiba-tiba muncul si keparat jahanam curang busuk itu! Dia membantu Pek I Mo-ko!" "Siapa dia?" Ouwyang Toan berseru, suaranya mengandung penuh ancaman.

Hmm, aku akan menjaga jangan sampai bermusuhan dengan kakak beradik ini, pikir Bun Houw. Mengerikan! Mereka itu kelihatan begitu galak dan sadis!

"Siapalagi? Tentu saja Si Suling Beracun Suma Hok itu." "Keparat dia!"

"Ketika kami berkelahi, Pek I Moko melarikan diri. Si jahanam Suma Hok tetap menyerangku dan akupun tidak akan kalah kalau saja dia tidak bertindak curang, mengebutkan kain yang mengandung debu pembius sehingga aku ditawannya. Ia membawaku ke guha ini dan nyaris aku bunuh diri menggigit putus lidahku sendiri dari pada diperkosa, ketika tiba-tiba muncul Houw-koko ini yang segera menyerangnya. Mereka bertanding dan Suma Hok yang licik dan curang pengecut itu melarikan diri. Houw-koko melepaskan ikatan kaki tanganku dan meninggalkan jubahnya untukku, lalu mengejar keluar. Ketika aku mengejarnya, ternyata dia malah berkelahi denganmu dan ... untung aku

... "

"Jahanam suma Hok!" Ouwyang Toan memotong keterangan adiknya dan diapun sudah meloncat pergi dan lari cepat meninggalkan tempat itu. Bun Houw memandang dengan bengong.

"Agaknya kakakmu akan mengejar dan mencari Suma Hok," katanya.

Hui Hong tertawa kecil. "Kakakku Ouw-yang Toan memang keras hati dan galak sekali. Mana mungkin dia dapat menangkap Suma Hok yang begitu licik? Tentu jahanam itu sudah lari jauh. Lebih baik mari kita kejar Pek I Mo-ko. Engkau mau membantuku, bukan? Aku harus merampas kembali akar itu dari tangannya."

"Tapi kakakmu ...? Apakah tidak lebih baik kita menunggu dia dulu? Atau membantunya menghadapi Suma Hok?"

"Tidak, koko."

Entah mengapa, hati Bun Houw berdebar girang mendengar sebutan koko (kakak atau kakanda) yang memasuki telinganya dengan merdu dan mesra itu.

"Kalau dia kembali, pasti dia melarang kita melakukan perjalanan bersama. Dia lebih galak dan keras dari pada ayah sendiri. Dan aku juga tidak mau terlambat. Kalau sampai akar itu didahului Suma Hok yang mendapatkannya celakalah aku!”

"Ehh? Kenapa begitu?" Bun Houw bertanya heran.

Hui Hong membanting kakinya tak sabar. "Aih, kalau kita banyak mengobrol saja, berarti membuang waktu dan kalau tidak kakakku keburu datang lagi, juga tentu aku kedahuluan Suma Hok! Marilah, Houw-koko, apakah engkau tidak suka lagi membantu aku?" Hui Hong cemberut, yang dalam pandangan Bun Houw menjadi semakin manis saja. "Kalau tidak mau, katakan saja terus terang dan aku akan pergi sendiri mengejar Pek I Mo-ko. Kalau engkau mau menunggu kakakku di sini, silakan!" Dan Hui Hong meloncat pergi, benar cepat sekali meninggalkan tempat itu.

"Nona Ouwyang Hui Hong ...!” Bun Houw memanggil sambil cepat mengejar. Akan tetapi gadis itu bahkan mempercepat larinya sehingga Bun Houw juga harus mengerahkan tenaga untuk berlari lebih cepat.

"Nona Ouwyang, tunggu aku ...!" Teriaknya dan teriakan ini dia ulangi sampai lima kali, akan tetapi Hui Hong berlari terus, dan panggilan yang terakhir dijawabnya tanpa menoleh.

"Tuan Kwa Bun Houw, tak usah engkau mengejarku!”

Jawaban ini membuat Bun Houw mengangkat kedua alisnya ke atas karena matanya dilebarkan saking herannya. Mengapa gadis itu tiba-tiba saja menyebut dia tuan? Padahal tadi telah menyebutnya koko dengan demikian mesranya! Dan diapun teringat. Dasar tolol kau! Dia mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan terbang dia mengejar, sekali ini dia berseru dengan mengerahkan khi-kang sehingga suaranya terdengar nyaring melengking.

"Hoog-moi ...! Adinda Hui Hong... kau tunggulah aku ...!”

Dan benar saja. Gadis itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh, wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum manis sekali. Bun Houw tiba di depannya. Mereka berdiri berhadapan, saling pandang dan keduanya berkeringat, keduanya agak terengah-engah karena tadi mereka telah mengerahkan seluruh tenaga untuk berlari cepat dan tahu-tahu kini mereka telah tiba di bawah bukit!”

"Hong-moi, kenapa kaupanggil aku tuan!”

'Hemm, cobalah bercermin! Kau sendiri memanggil aku nona!” Bun Houw tertawa. Hui Hong juga tertawa.

"Houw-koko, aku belum mengucapkan terima kasih atas pertolonganmu di guha tadi. Nah sekarang terimalah ucapan terima kasihku."

Gadis aneh! Berterima kasih sesudah kejar-kejaran dan marah-marahan.

"Sudahlah, Hong-moi. Di antara kita, mana ada yang disebut tolong-tolongan segala? Kita sudah menjadi sahabat baik, sudah seharusnya kita saling bantu, bukan!”

"Benarkah? Engkau selamanya mau membantuku? Selamanya sampai aku ... sampai rambut kepalaku ini menjadi putih semua?"

Wah, makin aneh saja gadis ini. Saling bantu antara sahabat memang sudah sewajarnya. Akan tetapi mana menuntut saling bantu sampai mereka menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek? Akan tetapi tiba-tiba wajah pemuda itu berseri dan kulit mukanya menjadi kemerahan. Dia mengangguk serius.

"Tentu! Akan kubantu engkau sampai selama hidupku."

Agaknya jawaban ini memuaskan hati Hui Hong. "Mari kita lanjutkan perjalanan mencari Pek I Mo-ko dan nanti kuceritakan mengapa aku tidak ingin akar itu didapatkan lebih dulu oleh Suma Hok." Setelah berkata demikian, tanpa sungkan tanpa ragu, seperti mereka masih kanak-kanak saja, Hui Hong menggunakan tangan kanan memegang tangan kiri Bun Houw dan menggandengnya sambil melangkah melanjutkan perjalanan.

Tangan kiri Bun Houw merasakan kulit tangan gadis itu yang halus dan hangat, dan jantungnya berdebar tidak karuan. Saking tegangnya dan karena tidak ingin disangka yang bukan-bukan, maka dia tidak berani menggerakkan jari tangan kirinya yang digandeng itu. bahkan bukan hanya jari tangan, seluruh lengan, kirinya dia biarkan tengantung dan terkulai mati!”

Tiba-tiba Hui Hong menahan langkahnya, melepaskan tangannya yang memegang tangan Bun Houw, mengangkat muka memandangnya dengan alis berkerut.

"Ihhhh ...!”

"Ehh? Kenapa?" Bun Houw kaget melihat sikap gadis itu seolah tangannya dipagut ular.

"Tanganmu itu ... seperti tangan mayat saja! Engkau kenapa sih, Houw-ko? Apakah engkau sakit? Tanganmu dingin dan gemetar dan seperti tidak hidup lagi!”

Tentu saja Bun Houw menjadi gugup karena pertanyaan itu seperti serangan yang langsung mengenai jantungnya. "Tidak ... eh, aku ... hanya ... hanya ... " Dia menggagap.

"Hanya apa? Engkau begini gugup!”

Bun Houw memang berwatak jujur, walaupun tidak dapat dikata bodoh. Dia merasa sukar kalau harus berbohong, maka dalam keadaan terhimpit itu, dia mengaku terus terang. "Ketika tanganmu menggandeng tanganku, aku ... ah, entahlah Hong-moi. Aku merasa takut akan kausangka yang bukan-bukan kalau aku menggerakkan tanganku."

"Apa itu yang bukan-bukan?”

"Misalnya engkau menganggap aku tidak sopan dan kurang ajar ... "

"Ihhh, engkau ini aneh sekali. Belum pernah aku bertemu laki-laki seaneh engkau."

"Dan engkau lebih aneh lagi, Hong-moi, biarpun aku belum pernah bergaul dengan banyak wanita seperti kita sekarang ini."

"Hemmm, bohongnya! Dan engkau bahkan sudah pernah bertunangan!”

Bun Houw mengerutkan alirnya. "Hong-moi, harap jangan sebut-sebut lagi hal itu Sudah kuceritakan bahwa Cia Ling Ay menjadi sahabatku sejak kami masih kanak-kanak. Ia seperti adik saja bagiku. Kemudian bubungan perjodohan yang diikat oleh orang tua kami itu dibikin putus setelah orang tuaku meninggal dunia, dan ia dinikahkan dengan orang lain. Tidak ada apa-apalagi antara kami, tidak ada apa-apalagi ... " Bun Houw merasa sedih sekali.

Bukan sedih karena putusnya hubungan jodoh itu, melainkan sedih teringat dan membayangkan nasib Ling Ay yang demikian buruk, dijodohkan dengan seorang suami seperti putera pembesar pemberontak itu. Bahkan tidak hanya sampai sekian nasib buruk yang menimpa diri bekas tunangannya yang juga merupakan sahabatnya terbaik di waktu mereka masih remaja itu. Ketika ia gagal memperoleh jejak Hui Hong, dia merasa tidak enak karena dia telah meninggalkan keluarga Cia Kun Ti dengan janji bahwa dia akan mengantar dan mengawal mereka untuk pindah ke tempat aman di dusun. Maka, sebelum melanjutkan pencariannya terhadap Hiu Hong, dia kembali dulu ke Nan-ping untuk memberitaku kepada keluarga Cia agar mereka itu berangkat lebih dulu dan dia akan melanjutkan pencariannya. Akan tetapi, ketika tiba di rumah keluarga Cia, dia terkejut setengah mari mendengar bahwa Cia Kun Ti dan isterinya tewas terbunuh, sedangkan Ling Ay sendiri lenyap diculik penjahat!

Dengan marah dan khawatir akan keselamatan Ling Ay, Bun Houw lalu berusaha mencari jejak penculik Ling Ay. Dia lalu menyelidiki dan menemukan jejaknya, terus melakukan pengejaran. Akhirnya dia tiba di kuil kosong di mana Ling Ay hampir diperkosa penculiknya. Akan tetapi, ketika Bun Houw tiba di situ, dia tidak menemukan Ling Ay dan penculiknya hanya menemukan sebuah tusuk sanggul perak di lantai. Dipungutnya tusuk sanggul itu. Dia tidak tahu apakah itu tusuk sanggul milik Ling Ay, akan tetapi dia menyimpannya dalam saku bajunya.

Bun Houw melakukan penyelidikan terus dan akhirnya dia mendapat keterangan dari penduduk dusun bahwa ada wanita muda yang menurut keterangan itu tentu Ling Ay adanya, melakukan perjalanan bersama seorang wanita lain yang cantik sekali. Mendengar bahwa Ling Ay nampak akrab dengan wanita itu, hatinya merasa lega. Ayah ibu Ling Ay telah tewas, akan tetapi Ling Ay masih dalam keadaan selamat. Dia lebih mengkhawatirkan Hui Hong yang mengejar Pek I Mo-ko, penjahat yang lihai itu. Maka diapun melanjutkan usahanya mencari jejak Hui Hong. Ketika dia mendapat jejak itu menuju ke utara, diapun cepat melakukan perjalanan ke utara. Kebetulan sekali dia melihat rombongan Pek I Mo-ko dan membayanginya. Demikianiah, ketika percakapannya dengan Hui Hong menyangkut nama Ling Ay, dia teringat lagi kepada bekas tunangannya itu merasa bersedih mengingat akan nasibnya yang amat buruk.

"Tapi engkau kelihatan seperti orang berduka. Houw-ko. Ada apakah?"

Bun Houw teringat babwa gadis ini pernah menggodanya dan mengatakan bahwa dia masih mencinta Ling Ay. Oleh karena itu, diapun tidak berani berterus terang.

"Aku tidak berduka, Hong-moi, hanya kecewa karena bukan saja engkau tidak berhasil merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, bahkan engkau nyaris celaka di tangan Suma Hok yang jahat itu."

Ucapan itu seperti menggugah Hui Hong dari tidurnya. Ia menyambar tangan Bun Houw dan menariknya, diajak lari cepat. "Celaka aku sampai lupa. Mari kita kejar Pek I Mo-ko sebelum jahanam itu lari jauh!”

Bun Houw mengikuti saja, bahkan dia menunjukkan ke arah mana larinya Suma Hok yang tadi dikejar pula oleh Ouwyang Toan. Hui Hong mengejar ke sana, karena ia tahu bahwa Suma Hok bekerja nama dengan Pek I Mo-ko, maka mencari Suma Hok tentu akan dapat bertemu pula dengan Pek I Mo-ko.

Dugaan Hui Hong memang benar. Ketika tadi Pek I Mo-ko melihat betapa Suma Hok telah bertanding melawan Hui Hong, dia lalu mempengunakan akal dan berhasil melarikan diri, membiarkan Suma Hok yang melewan gadis itu. Dia sendiri cepat lari ke arah di mana dia dan rombongannya meninggalkan kuda, dengan maksud untuk melepas panah api memberi isarat kepada kawan-kawannya dan melarikan diri dari tempat berbahaya itu.

Akan tetapi baru saja dia tiba di situ, dari balik semak belukar dan pohon-pohon, berlompatan keluar banyak orang dan Pek I Moko terbelalak memandang kepada mereka. Kiranya mereka adalah tujuh orang tokoh dunia persilatan yang rata-rata memiliki Ilmu kepandaian silat yang sudah tinggi tingkatnya! Biarpun dia tidak takut melawan mereka karena bagaimanapun juga, tingkat kepandaianaya masih lebih tinggi dari mereka, namun munculnya orang-orang ini jelas hendak memperebutkan Akar Bunga Gurun Pasir yang kini berada di saku jubahnya sebelah dalam. Ini berarti bahwa perjalanannya menyerahkan mustika itu kepada Kaisar Wei Ta Oag tidak akan lancar dan selalu akan terancam bahaya. Apalagi kalau muncul empat orang yang amat ditakutinya, yaitu Empat Datuk Besar! Di antara mereka adalah bekas majikan dan gurunya sendiri, pemilik aseli dari mustika yang dicurinya, yaitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek Si Pedang Tanpa Bayangan! Puteri datuk itu, Ouwyang Hui Hong telah muncul mengejar-ngejarnya. Juga putera dari datuk besar ke dua yang ditakuti telah muncul, yaitu Suma Hok. Untung bahwa ayah pemuda itu, datuk besar Kui-siauw Giam- ong Suma Koan (Raja Maut Suling Setan) tidak ikut muncul! Masih ada dua orang datuk besar lagi yang amat ditakutinya, keduanya wanita namun kelihaian mereka tidak kalah dibandingkan dua orang datuk besar yang pria itu. Kalau dia bertemu dengan seorang saja dari mereka, berarti celaka baginya dan akan sukarlah baginya mempertahankan mustika yang sudah berada di saku jubahnya, dan berarti lenyap pula harapannya untuk mendapatkan kedudukan tinggi dan kemuliaan di Kerajaan Wei di utara.

Dengan lagak angkuh dia menghadapi tujuh orang itu, mengangkat dada lalu bertanya dengan suara menantang, "Kalian menghadang perjalananku mempunyai maksud apakah? Aku Pek I Mo-ko tidak mempunyai banyak waktu untuk berurusan dengan kalian. Oleh karena itu, mengingat akan hubungan kita sebagai tokoh-tokoh kang-ouw, harap kalian mundur dan biarlah lain kali kalau ada waktu, aku Pek I Mo-ko Ciong Kui Le akan berkunjung kepada kalian sambil membawa oleh-oleh!"

"Ha-ha-ha, Moko. Tidak perlu lagi berpnra-pura bodoh dan bersih!" kata seorang pria hitam penuh beewok berusia limapuluhan tahun. Dia adalah Yang-ce Hek-kwi (Iblis Hitam Sungai Yang-ce), seorang kepala bajak sungai yang amat ditakuti karena selain berkepandaian tinggi, dia juga mempunyai banyak-anak buah dan wataknya kejam sekali.

"Kami-semua sudah tahu bahwa engkau telah mencuri mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Nah, mengingat bahwa kita adalah orang-orang kang-ouw yang setia kawan, maka kaukeluarkan mustika itu, kita bagi rata agar masing-masing dari kita dapat memperoleh manfaat dari mustika itu. Kami pasti tidak akan melupakan kebaikanmu ini!”

Enam orang yang lain mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan usul atau tuntutan Iblis Hitam itu. Akan tetapi Pek I Mo-ko mengerutkan alisnya.

"Kalian semua adalah orang-orang tolol yang rakus. Aku tidak mempunyai akar itu!” Tujuh orang itu saling pandang, akan tetapi seorang dari mereka yang tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat tertawa. Suara ketawanya seperti ringkik kuda dan mengandung getaran khi-kang kuat. "Hi-hi-hihhh e Kalau benar engkau tidak membawa mustika itu, biarkan kami menggeledah pakaianmu Moko. Baru kami percaya!”

"Pek-bio-go (Buaya Muka Putih), berani engkau menghinaku? Kalau engkau sekarang sudah begitu lihai, hendak kuilhat apakah engkau berani menggeledah tubuhku. Lakukanlah kalau engkau bosan hidup!” bentak Pek I Mo-ko marah.

"Hi-hi-hiehhh, Ingat, kami bertujuh, Moko. Bukan aku sendiri yang membutuhkan mustika itu. Kami hanya minta bagian yang adil darimu. Kalau engkau berkeras, terpaksa kami bertujuh akan menggeledahmu. Kami sudah bersepakat untuk merampas mustika itu. dan kami bagi menjadi tujuh!”

Kini marahlah Pek I Mo-ko. Kedua tangannya bergerak dan tangan kanannya sudah memegang pedang, tangan kirinya memegang kipas mautnya. "Bagus, kalian semua sudah bosan hidup!” bentaknya dan diapun indah menerjang ke depan dengan marah. Tujuh orang itu maklum akan kelihaiannya, maka mereka pun berloncatan ke belakang sambil mencabut senjata masing-masing dan mengeroyok Pek I Moko.

Tujuh orang kang-ouw ini memang sudah bersepakat untuk bekerja sama. Mereka maklum bahwa yang memperebutkan mustika itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi, tokoh-tokoh besar itu biasanya bertindak sendiri-sendiri, bahkan saling bertentangan. Maka, kalau mereka bertujuh dapat bersatu dengan janji kelak hasilnya akan dibagi rata, yaitu akar itu akan mereka bagi rata, tentu mereka tidak takut menghadapi lawan yang lebih lihai.

Pertempuran antara Pek I Mo-ko yang dikeroyok tujuh orang itu berlangsung seru dan mati-matian. Melihat betapa Pek I Mo-ko tidak mau digeledah, tujuh orang kang-ouw itu makin bersemangat. Mereka yakin bahwa benda mustika yang diperebutkan tentu ada pada diri kakek rambut putih dan pakaian pulih itu, maka mereka mengepung dan mendesak dengan ganas, Pek I Mo-ko yang marah juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, namun, karena dikeroyok oleh tujuh orang yang tingkat kepandaian masing-masing hanya sedikit di bawah tingkatnya, dan karena tnjuh orang itu menyerang penuh semangat, setelah lewat empatpuluh jurus, Pek I Mo-ko terdesak sekali.

Bahkan tiga kali bajunya robek terkena senjata pengeroyok. Robekan yang ke tiga tepat mengenai saku jubah di sebelah kanan di mana tersimpan benda mustika itu. Dia terkejut dan merasa tidak perlu menyembunyikan lagi. Karena khawatir Akar Bunga Gurun Pasir itu akan terjatuh dari saku bajunya, dia mengeluarkannya dan menggigit kantung sutera kuning terisi mustika itu sambil terus mengamuk dengan pedang dan sulingnya. Sementara itu, tujuh orang kang-ouw yang mengeroyok, begitu melihat Pek I Mo-ko mengeluarkan sebuah kantong sutera dan menggigitnya, semangat mereka bertambah besar. Kini mereka yakin bahwa kantung itu terisi akar yang mereka perebutkan!”

Pada saat itu, sepasang mata mengintai dari balik semak belukar yang tebal dan penuh duri. Sudah sejak tadi orang ini mengintai. Dia seorang laki-laki berusia tigapuluk tahun lebih, bertubuh kekar dan terbakar sinar matahari. Akan tetapi dia bukan seorang di antara para tokoh kang-ouw yang memperebutkan mustika. Sama sekali bukan! Dia hanya seorang pemburu binatang hutan dan biarpun dia bertenaga besar, namun tidak ada artinya, bila dibandingkan dengan para tokoh kang- ouw. Maka, ketika dia dalam tempat pengintaiannya menyaksikan perkelahian antara para tokoh kang-ouw, dia memandang ketakutan.

Orang ini bernama So Kian, pemburu yang tinggal di dusun tak jauh dari puncak Bukit Merpati Hitam bersama isterinya. Dia dan isterinya hidup sederhana dari penghasilannya sebagai pemburu dan juga bertani di kebun belakang rumah mereka.

Ketika pada pagi hari itu So Kian sedang mengintai kijang atau binatang apa saja yang dapat dijadikan uang untuk biaya hidupnya, dia melihat rombongan tujuh orang kang-ouw itu. Dia menjadi curiga, juga takut, lalu bersembunyi di dalam semak belukar itu. Dan dia kini menjadi saksi pertempuran hebat yang membuat tubuhnya gemetar. Dia tahu bahwa kalau dia memperlihatkan diri, nyawanya tentu takkan dapat tertolong lagi! Maka, diapun bersembunyi dan tidak berani berkutik. Dia juga tidak tahu mengapa orang-orang yang berilmu tinggi itu bertempur mati-matian.

Kini Pek I Mo-ko terdesak dan berada dalam bahaya! Dia bahkan tidak sempat melepas panah api untuk memberitahn kepada para jagoan Kerajaan Wei yang menjadi rombongannya dan yang ia tinggalkan ketika pasukan jagoan liu bertanding melawan para jagoan dari Kaisar Cang Bu Kerajaan Liu-sung di selatan.

Pada saat yang amat berbahaya baginya itu. nampak lagi beberapa orang bermunculan. Mereka adalah orang-orang dari partai-partai persilatan yang juga bertualang untuk memperebutkan benda mustika itu. Jumlah para pendatang ini tidak kurang dari limabelas orang, terdiri dari beberapa rombongan yang agaknya tertarik oleh perkelahian itu. Akan tetapi, di samping rasa kagetnya, Pek I Mo-ko juga girang ketika melihat Suma Hok berada di antara orang-orang yang datang itu dan pemuda tampan putera datuk besar majikan Bukit Kui-eng-san (Bukit Bayangan Iblis) itu sendirian saja, Pek I Mo-ko hanya melihat satu jalan untuk menyelamatkan diri dan menyelamatkan benda mustika Akar Bunga Gurun Pasir. Kalan akar itu tidak ada lagi padanya, tentu tidak akan ada orang yang menyerangnya lagi. Dan akar itu akan aman kalau berada di tangan Suma Hok. pemuda yang dikenalnya, dan yang juga dapat diharapkan bisa bekerja sama dengannya itu. Tidak ada pilihan lain.

"Suma Kongcu, simpanlah benda ini untuk-ku!" teriaknya dan diapun melemparkan kantung sutera ke atas, ke arah Suma Hok. Pemuda yang berjuluk Tok-siauw-kui (Iblis Suling Beracun) itu cerdik sekali. Dia segera mengerti apa benda yang dilontarkan itu, maka sekali dia mengenjot tubuh, dia melayang ke atas untuk menangkap benda yang terlempar di udara itu.

"Suma Hok, engkau layak mampus!” terdengar bentakan dan sesosok tubuh lain melayang ke atas. bukan untuk menangkap kantung sutera, melainkan untuk menangkap Suma Hok. Bayangan ini bukan lain adalah Ouwyang Toan. Seperti diketahui, putera Bu-eng-kiam Ouwyang Cek ini marah sekali ketika mendengar bahwa Suma Hok nyaris memperkosa adik tirinya. Kini begilu melihat pemuda tampan itu, Ouwyang Toan yang bertubuh tinggi besar dan berwatak keras sudah meloncat dan menyerang tubuh Suma Hok yang masih melayang di udara! Melihat serangan Ouwyang Toan ini, tentu saja Suma Hok terkejut dan terpaksa dia tidak dapat menyambar kantung sutera yang dilemparkan Pek I Mo-ko tadi, melainkan menggunakan kedua tangannya untuk menangkis serangan Ouwyang Toan.

"Desssss ...!" Hebat sekali pertemuan tenaga melalui dua pasang tangan putera-putera datuk besar itu sehingga keduanya terpental dan melayang ke bawah. Sedangkan kantung sutera itu melayang lenyap, tak dapat dilihat siapapun. Pek I Mo-ko tidak dapat melihatnya karena dia sedang dihimpit serangan tujuh orang lawannya. Suma Hok maupun Ouwyang Toan juga tidak melihatnya.

Begitu mereka turun ke atas tanah, Ouwyang Toan sudah menerjang lagi. Suma Hok maklum bahwa tentu Ouwyang Toan telah tahu akan perbuatannya tadi yang nyaris memperkosa Ouwyang Hui Hong, adik Ouwyang Toan. Maka diapun tidak banyak cakap, menangkis dan membalas seningga terjadilah perkelahian seru antara dua orang muda perkasa itu. Pada saat itu, sebelum belasan orang tokoh dunia persilatan yang tadi muncul tahu siapa yang memegang Akar Bunga Gurun Pasir dan siapa yang harus mereka serang, terdengar suara gaduh dan bermunculan rombongan jagoan Kerajaan Liu-sung dan rombongan jagoan Kerajaan Wei yang tadi saling serang. Para jagoan Liu-sung akhirnya tahu bahwa Pek I Mo-ko tidak berada di antara para jagoan Wei, maka merekapan dapat menduga bahwa Pek I Mo-ko tentu telah melarikan diri membawa mustika yang diperebutkan itu. Maka, dengan sendirinya mereka meninggalkan lawan dan melakukan pengejaran. Para Jagoan Wei juga Ikut mengejar. Di antara kedua rombongan sudah ada beberapa orang yang terluka dalam pertempuran tadi.

Setelah dua rombongan itu tiba, keadaan menjadi semakin kacau. Melihat betapa dia tidak akan mampu mengalahkan Ouwyang Toan dengan mudah, suma Hok mendapat akal dan diapun berteriak.

"Cuwi (saudara sekalian) harap hentikan perkelahian!" teriaknya sambil melompat ke belakang.

Ouwyang Toan yang keras hati itu mendelik. "Suma Hok, aku harus membunuh atas perbuatanmu terhadap adikku!”

"Ouwyang Toan, urusan pribadi yang tidak ada artinya perlukah diperpanjang di sini? Semua orang ribut mencari Akar Bunga Gurun Pasir, dan engkau ribut urusan tetek-bengek!"

Mendengar ini, Ouwyang Toan seperti diingatkan akan tugasnya. Dia di suruh ayahnya menyelidiki hasil tugas adiknya, Ouwyang Hui Hong yang ditugaskan mencari Pek I Mo-ko, merampas kembali Akar Bunga Gurun Pasir dan menghukum bekas pelayan dan murid yang murtad itu! Mendengar ucapan yang mengingatkan dia akan tugasnya itu, dia lalu menghadapi Pek I Mo-ko yang juga sudah tidak dikeroyok oleh tujuh orang kang-ouw karena mereka tadi melihat betapa Pek I Mo-ko yang tadinya menggigit kantung sutera, telah melemparkan kantung sutera itu.

"Pek I Mo-ko, cepat berlutut! Engkau harus mengembalikan Akar Bunga Gurun Pasir milik ayah dan menerima hukuman buntung lengan!”

Pek I Mo-ko memandang Ouwyang Toan dengan senynm mengejek. "Ouwyang Toan, orang menuduh seseorang mencuri haruslah disertai buktinya. Kalau ada buktinya bahwa Akar Bunga Gnrun Pasir berada di tanganku, barulah tuduhan itu berisi. Kalan tidak, bukan kah itu hanya fitnah saja? Aku tidak membawa mustika itu, Kalau tidak percaya, siapa saja boleh menggeledahku!”

"Kami melihat dia melemparkan benda mustika itu ketika kami desak tadi!” Tiba-tiba Yang-ce Hek kwi berseru.

"Dia melemparkannya kepada pemuda bersuling itu!” kala orang ke dua sambil menuding ke arah Suma Hok. Dia tidak mengenal Suma Hok, yang dikiranya hanya seorang di antara mereka yang memperebutkan benda mustika itu atau juga kawan Pek I Mo-ko. Mendengar ini semua orang mamandang kepada Suma Hok dengan sinar mata penuh selidik dan juga mengancam. Banyak di antara mereka yang mengenal Tok-siauw-kui Suma Hok dan tahu akan kelihaiannya, akan tetapi karena di situ berkumpul banyak tokoh kang-ouw yang memperebutkan, maka mereka yang mengenalnya juga tidak merasa takut. Siapa yang memegang mustika itu tentu akan dikeroyok banyak orang!”

Suma Hok juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Akan tetapi dia tersenyum, dan menggeleng kepalanya. "Aku memang meloncat untuk menangkap benda yang melayang tadi, akan tetapi Ouwyang Toan muncul dan menyerangku. Aku terpaksa melayaninya dan benda tadi entah melayang ke mana?”

"Kalau begitu benda itu tentu masih berada di sekitar sini! Mari kita cari!” kata Yang-ce Hek-kwi dan tujuh orang kang-ouw yang sudah bersekutu itu lalu mulai mencari. Melihat ini, tentu saja semua orang juga tidak mau ketinggalan dan ikut pula mencari, bahkan termasuk Pek I Mo-ko, Suma Hok, dan Ouwyang Toan! Semua semak belukar dibabat bersih dan semua orang bekerja keras sambil saling memperhatikan. Agar kalau ada yang menemukan dapat saling mengetahui. Dalam keadaan seperti itu, andaikata ada yang berhasil menemukan, tentu dia akan celaka, akan diserang oleh semua orang! Hal ini mereka sama mengetahui, maka tentu saja mereka mencari dengan hati tegang dan gelisah. Bahkan tujuh orang kang-ouw yang sudah bergabung itupun menjadi gelisah karena bagaimana mungkin mereka bertujuh dapat menghadapi lawan yang demikian banyak dan lihai?

Akan tetapi, sampai habis semak belukar di sekeliling tempat itu dibabat, kantung sutera itu tidak juga dapat ditemukan! Semua orang merasa heran, juga Pek I Mo-ko memandang dengan wajah pucat. Suma Hok juga terheran-heran, demikian pula tujuh orang yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko. Hanya mereka sembilan orang itulah yang tahu benar akan melayangnya kantung sutera tadi. "Kita ditipu!” teriak seorang jagoan Liu-sung. "Mustika itu tentu masih disimpan Pek I Mo-ko!”

Mendengar ucapan ini, semua orang memandang kepada Pek I Mo-ko dengan pandang mata mengancam. Bahkan para jagoan Wei sendiri juga mengerutkan alisnya memandang kepada Pek I Mo-ko. Si kembar raksasa Liauw Gu dan Liauw Bu saling pandang. Mereka telah menerima tugas rahasia dari Kaisar Wei Ta Ong, bahwa kalau Pek I Mo-ko menipu mereka dan hendak melarikan mustika itu, boleh dikeroyok dan dibunuh saja!”

"Kalau mustika itu dilemparkan lalu tidak diterima orang, mengapa tidak berada di sekitar tempat ini?" tanya Liauw Bu.

"Sungguh telah kulemparkan kepada Suma Hok ...!” kata Pek I Mo-ko bingung dan gelisah!

"Dia bohong! Pek I Mo-ko bohong! Tentu mustika itu disembunyikan!” orang-orang mulai berteriak- teriak.

"Hukum dia! Bunuh dia kalau tidak mau menyerahkan mustika itu!" terdengar teriakan orang-orang lain.

Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berat, mengandung getaran amat kuat. "Siapa-pun tidak berhak menghukum dan membnnuh Ciong Kui Le kecuali aku!"

Semua orang menengok ke arah orang yang bicara itu. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di situ telah muncul seorang pria yang gagah perkasa penuh wibawa. Usianya sekitar limapuluh tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti sebongkah batu karang, mukanya hitam seperti arang, akan tetapi muka itu tidak buruk, bahkan ganteng dan gagah. Pakaiannya dari sutera halus dan nampak bersih, dan di punggungnya tengantung sebatang pedang yang sarungnya dibuat dari emas murni berukir naga yang amat indah, dan gagang pedang itu dihias ronce merah kuning.

Mereka yang mengenal pria ini nampak gemetar dan gentar karena pria ini bukan lain adalah Bu-eng- kiam Ouwyang Sek, majikan Lembab Bukit Siluman, seorang di antara Empat Datuk Besar yang aneh dan ditakuti orang! Setelah melempar pandang matanya yang mencorong, menyapu semua orang yang berada di situ dengan sinar mata merendahkan, dia berkata lagi.

“Akar Bunga Gurun Pasir adalah benda mustika yang tidak boleh dimiliki orang lain! Pek I Mo-ko harus menyerahkannya kepadaku dan yang lain boleh pergi dari sini!”

Mendengar ucapan ini, tujuh orang kang-ouw yang tadi mengeroyok Pek I Mo-ko dan yang belum pernah bertemu dengan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, menjadi marah sekali. Mereka bertujuh mengandalkan diri sebagai sekelompok orang yang tangguh karena mereka bekerja sama. Dengan maju bertujuh, mereka tidak takut menghadapi siapapun juga. Dengan dipimpin Yang-ce Hek-kwi, mereka kini maju dan mengepung Ouwyang Sek, Si Iblis Hitam itu berdiri di depan Ouwyang Sek dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka datuk besar itu, "Dari mana datangnya manusia sombong ini? Akar Bunga Gurun Pasir dimiliki siapa saja yang menang dalam perebutan! Kami bertujuh yang akan membunuh Pek I Mo-ko kalau dia tidak mau menyerahkan mustika itu, dan kalau engkau ini manusia sombong hendak menghalangi, kau akan kami bunuh pula!”

Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tersenyum, akan tetapi matanya mengeluarkan sinar berkilat. “'Kalian bertujuh sudah bosan hidup agaknya,” katanya perlahan.

"Engkaulah yang bosan hidup dan sekarang juga akan kuantar engkau ke alam baka!” Yang-ce Hek- kwi yang sudah marah sekali dan pemberani karena mengandalkan gerombolannya, sudah menggerakkan goloknya membacok ke arah muka Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Melihat ini, semua orang kang-ouw yang sudah mengenal datuk besar itu memandang dengan hati tegang dan mereka semua maklum bahwa tujuh orang tokoh kang-ouw tingkat pertengahan itu sungguh mencari penyakit!

Melihat golok menyambar ke arah mukanya. Ouwyang Sek sana sekali tidak mengelak, bahkan tangan kirinya bergerak, dengan tangan terbuka dia menyambut golok itu! Golok itu menyambar dengan cepat dan kuat. namun tertahan dan tertangkap tangan itu bagaikan terjepit catut baja yang amat kuat.

Tentu saja Yang-ce Hek-kwi terkejut dan marah. Dia mengerahkan tenaga untuk membuat tangan itu terbuka, juga ingin menarik lepas goloknya sekuat tenaga. Akan tetapi, golok itu seperti melekat pada tangan itu dan pada saat Yang-ce Hek-kwi mengerahkan tenaga terakhir, tiba-tiba Ouwyang Sek mendorong golok itu sehingga membalik dan meluncur ke arah muka pemiliknya. Yang-ce Hek-kwi terbelalak, akan tetapi tidak sempat mengelak lagi ketika golok yang ditariknya itu meluncur ke arah mukanya. "Crakkk ...!” Golok itu tepat membacok di tengah-tengah mukanya sehingga kepala bagian depan itu terbelah karena golok itu masuk sampai ke tengah kepala. Tubuh Yang-ce Hek-kwi terjengkang dan dia tewas seketika dengan muka terbelah!

Seorang temannya menyerang Ouwyang Sek dari belakang dengan menusukkan pedang kanan ke arah punggung dan pedang kiri mengikuti dengan bacokan ke arah kepala datuk besar itu. Ouwyang Sek miringkan tubuh, mengangkat lengan kanan sehingga pedang itu terjepit di bawah ketiaknya, lalu tubuhnya membalik ke kiri, tangan kirinya membuat gerakan menampar kepala penyerangnya lalu merampas pedang kirinya.

Penyerang itu mengeluarkan pekik dan roboh terjengkang. Sepasang pedangnya tertinggal di jepitan ketiak kanan Ouwyang Sek dan di tangan kiri datuk itu. Kepala orang itu retak dan diapun tewas seketika!”

Lima orang kawanan kang-ouw itu terkejut dan marah. Mereka serentak menyerang dari lima penjuru. Akan tetapi, begitu Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menggerakkan sepasang pedang rampasan, tiga orang pengeroyok yang berada di depan, kanan dan kiri roboh mandi darah dan lewat dengan leher hampir putus. Melihat ini, dua orang yang tersisa menjadi gentar dan mereka melarikan diri. Akan tetapi, belum sepuluh langkah mereka melarikan diri, terdengar suara berciut nyaring dan dua batang pedang rampasan itu telah menembus tubuh mereka dari punggung sampai ke dada dan merekapun roboh menelungkup dan tewas seketika!”

Suasana menjadi sunyi melengang! Semua orang menahan napas, tegang dan kagum bukan main. Biarpun tujuh orang kang-ouw tadi hanya memiliki ilmu kepandaian pertengahan saja, namun mereka maju bertujuh dan sungguh membutuhkan ketangkasan luar biasa untuk membunuh mereka dalam beberapa gerakan saja. Pek I Mo-ko sudah seperti lumpuh saking takutnya. Tadipun dia tidak berani menggunakan kesempatan untuk melarikan diri, dan dia terpukau di tempatnya, memandang dengan muka pucat sekali.

"Ciong Kui Le, ke sini kau!” Tiba-tiba Bu-eng-kiam Oowyang Sek membentak. Suaranya penuh wibawa, terasa getaran kuat dalam suara itu oleh semua orang.

Pek I Mo-ko menghampiri bekas guru dan majikannya, lalu menjatuhkan diri berlutut.

"Hamba Ciong Kui Le menerima kesalahan hamba dan mohon pengampunan." katanya merendah. "Serahkan Akar Bunga Gurun Pasir kepadaku!”

Tubuh Pek I Mo-ko menggigil dan mukanya menjadi semakin pucat. "Mohon maaf, suhu ... "

"Lancang! Siapa sudi mempunyai murid macam engkau? Aku bukan gurumu!” bentak Bu eng-kiam Ouwyang Sek dan mukanya yang berkulit hitam itu nampak semakin hitam!

"Maaf, ... lo cian-pwe ... akan tetapi akar itu ... tadi hamba lemparkan kepada Suma Kongcu ...! Banyak yang melihatnya ... hamba tidak berani berbohong ... "

Ouwyang Sek mencari dengan pandang matanya rampai pandang mata itu berhenti pada wajah Suma Hok. Pemuda putera Kui-siauw Giam ong Suma Koan ini tersenyum, melangkah maju dan memberi hormat kepada Ouwyang Sek dengan kedua tangan di depan dada.

"Paman Ouwyang, selamat datang, paman."

Terhadap pemuda itu. Ouwyang Sek bersikap ramah, karena ayah pemuda itu merupakan seorang yang setingkat dengan kedudukannya. "Hemm, kiranya engkau pun barada di sini! Di mana ayahmu?"

"Ayah mengutus saya untuk mencoba merampas kembali mustika itu dari tangan Pek I Mo-ko, dan tentu akan kami serahkan kepada paman kalau saya berhasil mendapatkannya. Saya tidak tahu apakah ayah sendiri juga akan datang."

"Benarkah engkau menerima akar itu dari Pek I Mo-ko seperti diceritakannya tadi.?"

"Ketika Pek I Mo-ko dikeroyok tujuh orang tak tahu diri itu," dia menunjuk mayat tujuh orang yang tewas di tangan Ouwyang Sek, "dia terdesak dan dia melemparkan sebuah kantung sutera kepada saya. Ketika saya meloncat untuk menyambutnya, tiba-tiba saya diserang oleh saudara Ouwyang Toan! Terpaksa saya menangkis dan kantung sutera itu lenyap entah ke mana. Sudah kami cari sampai ke seluruh tempat di sekitar ini, namun tidak berhasil."

Ouwyang Sek memandang puteranya yang sudah mendekat. "Benarkah itu. Toan-ji (anak Toan)?" "Memang benar, ayah. Aku tidak tahu bahwa kantung sutera itu berisi akar yang kita cari. Setelah kami semua tahu, kami mencarinya namun tidak berhasil. Sudah pasti bahwa akar dalam kantung sutera itu dibawa pergi orang lain."

"Kenapa kau menyerang Suma Hok?"

"Dia telah berbuat kurang ajar terhadap adik Hui Hong, ayah."

"Paman, saya mencinta adik Hui Hong, bagaimana berani berbuat kurang ajar? Kelak saya dan ayah akan berkunjung dan melamar adik Hui Hong." kata Suma Hok cepat.

Ouwyang Sek mengerutkan alisnya. Urusan itu tidak penting baginya.

"Sudahlah, aku ingin mendapatkan kembali akar itu." Dia lalu memandang ke sekeliling. "Kalau di antera saudara ada yang menemukan akar itu dan mengembalikannya kepadaku, tentu akan kuberi hadiah besar. Sebaliknya, siapa saja yang menemukannya dan tidak mau mengembalikan, biar dia bersembunyi di manapun akan dapat kutemukan dan kubunuh! Nah, aku sudah bicara dan harap saudara sekalian pergi dari sini meninggalkan kami sendiri!”

Orang-orang kang-ouw itu merasa jerih, bahkan para pendekar dari partai persilatan yang hadir di situ, tidak ingin bermusuhan dengan datuk besar yang lihai itu. Akar yang diperebutkan sudah lenyap, apalagi pemilik aselinya sudah berada di situ. Tidak perlu lagi memperebutkan benda yang tidak tentu ke mana lenyapnya. Maka, pergilah mereka meninggalkan tempat itu.

Rombongan para jagoan dari Kerajaan Wei melangkah maju menghadapi Ouwyang Sek.

Pemimpin rombongan, yaitu Liauw Gu dan Liauw Bu, raksasa kembar itu, mewakili rombongannya. Liauw Gu. berkata, "Lo-cian-pwe, kami adalah utusan Kerajaan Wei. Kami tidak ingin bermusuhan dengan lo-cian-pwe. Akan tetapi hendaknya diketahui bahwa Pek I Mo-ko Ciong Kui Le ini sekarang telah menjadi seorang ponggawa Kerajaan Wei dan merupakan anggauta rombongan kami. Oleh karena itu, kami harap dapatlah kiranya lo-cian-pwe memandang kaisar kami dan membiarkan dia pergi bersama kami."

Berkerut sepasang alis yang tebal itu. "Hemm, urusan antara Ciong Kui Le dan aku adalah urusan peibadi kami berdua saja, dan terjadi sebelum dia menjadi orangnya kaisar Kerajaan Wei. Aku tidak mempunyai urusan dengan Kerajaan Wei. Kalian kembalilah ke utara dan sampaikan kepada Kaisar Wei Ta Ong bahwa setelah aku selesai membuat perhitungan dengan orang ini, baru kulepaskan dan untuk pergi menghadap beliau. Kalau sekarang ada yang melindungi dia dariku, siapapun juga, termasuk kalian, maka contohnya adalah tujuh orang itu!" Ouwyang Sek menunjuk ke arah mayat tujuh orang yang tadi dibunuhnya.

Para jagoan Kerajaan Wei tidak berani nekat menentangnya. Pula, sudah jelas bahwa mustika itu tidak ada lagi kepada Pek I Mo-ko sudah lenyap tanpa ada yang mengetahui ke mana lenyapnya. Untuk apa mempertaruhkan nyawa membela Pek I Mo-ko? Bahkan Sribaginda Kaisar sendiri tentu akan menjatuhkan hukuman berat kepada Pek I Mo-ko apa bila dia pulang tanpa membawa mustika itu, dan dianggap sebagai pembohong dan penipu yang berani mempermainkan kaisar. Mereka lalu saling memberi isarat dengan pandang mata dan pergilah mereka tanpa bicara apa-apalagi. Akhirnya, yang tinggal di situ hanyalah Ouwyang Sek. Ouwyang Toan, dan Pek I Mo-ko yang masih berlutut, di antara tujuh mayat yang berserakan.

"Toan-ji, kau geledah dia!” Ouwyang Sek berkata, Ouwyang Toan mengangguk dan begitu tubuhnya bergerak, terdengar suara kain robek dan pakaian luar yang membungkus tubuh Pek I Mo-ko sudah menjadi koyak-koyak, tinggal pakaian dalam saja. Akan tetapi, mereka tidak menemukan Akar Bunga Gurun Pasir yang mereka cari, Ouwyang Sek menjadi kecewa dan dia memandang ke sekeliling, seolah-olah hendak mencari mustika itu.

"Kami semua tadi sudah mencari dan aku memperhatikan kalau-kalau mustika itu di temukan orang, akan tetapi tidak berhasil, ayah. Benda itu hilang. Tentu sudah diambil orang lain yang tadinya bersembunyi."

"Kui Le," kata Ouwyang Sek kepada bekas murid dan pelayannya, "Katakan siapa yang kini menguasai mustika milikku itu! Baru akan kupertimbangkan nyawamu!”

Pek I Mo-ko yang kini hanya mengenakan celana dalam sebatas lutut dan tubuh atasnya tidak berpakaian, memberi hormat sambil berlutut, "Lo-cian-pwe, hamba tidak berbohong. Tadinya memang berada pada hamba. Hamba ditekan oleh Kaisar Wei Ta Ong untuk menyerahkan benda itu kepadanya. Ketika tadi hamba dikeroyok dan terdesak, dari pada benda itu dirampas penjahat, maka hamba lemparkan kepada Suma Hok karena hamba tahu bahwa dia hendak mengembalikan kepada lo-cian-pwe kalau nanti dia meminang Ouwyang Siocia. Akan tetapi Ouwyang Kongcu menyerangnya pada saat dia hendak menyambut benda itu sehingga benda itu melayang dan entah jatuh ke mana. Anehnya, ketika semua orang mencari, benda itu tidak dapat ditemukan. Hamba kira pengambilnya tentulah orang yang berkepandaian tinggi sehingga tak seorangpun di antara kami semua dapat melihatnya. Dan yang memiliki kepandaian tinggi itu, selain lo-cian-pwe, hanya ada tiga orang lain lagi."

"Hmm, kaumaksudkan, tiga orang datuk besar lainnya! Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Iblis), Bi Mo-li (Iblis Betina Cantik), atau Kwan Im Sian-li (Dewi Kwan Im)?"

"Siapalagi kalau bukan mereka yang memiliki ilmu kepandaian setinggi lo-cian-pwe?"

Ouwyang Sek mengangguk-angguk, kemudian dia memandang kepada bekas pelayan itu dan suaranya terdengar tegas. "Baik, kuampunkan nyawamu, akan tetapi karena perbuatanmu, mustika milikku itu lenyap. Hayo cepat kaubuntungi sendiri tangan kirimu!”

"Lo-cian-pwe, ampunkan hamba ... " Pek I Moko meratap.

"Jahanam busuk!" Ouwyang Toan membentak. "Apa kau ingin ayah atau aku yang membuntunginya? Kalau aku yang diperintahkan membuntungi, bukan hanya tanganmu, juga kedua kakimu!”

Ouwyang Sek tersenyum mendengar ucapan puteranya. Pek I Mo-ko maklum bahwa tidak mungkin ada pengampunan baginya dan ucapan Ouwyang Toan tadi memang ada benarnya. Perintah bekas majikannya hanya membuntungi tangan kiri. Hal itu masih ringan dari padat dibuntungi lengan kanannya, atau bahkan kedua lengannya dan kakinya! Cepat dia menyambar sebatang golok yang banyak berserakan di situ, senjata tujuh orang yang tewas, dan sekali tabas, buntunglah pengelangan tagan kirinya. Darah mengucur deras dan Pek I Mo-ko cepat menotok jalan darah di lengan kirinya untuk menghentikan keluarnya darah dari luka di pergelangan tangannya.

Ouwyang Sek mengangguk-anggnk. "Toan-ji, mari kita pergi! Kita cari Hui Hong!”

Ayah dan anak itu berkelebat lenyap meninggalkan Pek I Mo-ko di antara mayat-mayat itu. Pek I Mo- ko menggigit bibir menahan rasa nyeri, dan dengan tangan kanannya dia mengambil obat luka dari pakaiannya yang terkoyak-koyak tadi, mengobati luka dan membalut pergelangan tangan kiri yang buntung itu dengan robekan kain pakaiannya. Kemudian, tertatih-tatih dia meninggalkan tempat itu.

***

"Mari, Hong-moi, kita harus cepat dapat menangkap Pek I Mo-ko!” kata Bun Houw yang berlari cepat di samping Hui Hong.

"Houw-ko, tentu saja aku ingin cepat menangkapnya, agar benda mustika milik ayah itu tidak sampai dia serahkan kepada orang lain."

"Dan dia harus memberitahu siapa yang membunuh keluarga Cia dan menculik Ling Ay." kata pula Bun Houw yang masih penasaran karena dia teringat akan nasib Ling Ay.

Tiba-tiba Hui Hong menghentikan langkahnya.  Tentu saja Bun Houw merasa heran dan diapun berhenti, lalu menghampiri gadis itu. "Hong-moi, kenapa engkau berhenti?"

Hui Hong menatap wajah pemuda itu dengan alis berkerut. Sudah sejak pertemuannya dengan Bun Houw. hatinya merasa tidak senang melihat Bun Houw mencampuri urusan rumah tangga wanita yang pernah menjadi tunangannya itu.

"Kwa Bun Houw," katanya dengan suara dingin. "Sebagai seorang pendekar, engkau sungguh tidak pantas sekali mencampuri urusan pribadi dan rumah tangga seorang wanita yang bukan apa-apamu!”

"Eihhh?" Bun Houw membelalakkan matanya memandang, "Apa maksudmu, Hong-moi dan kenapa engkau tiba-tiba marah kepadaku?"

"Engkau masih pura-pura tidak mengerti? Aku muak melihat sikapmu itu, mengingat bahwa kita telah bersahabat. Engkau tidak berhak mencampuri urusan perempuan bernama Cia Ling Ay itu! Ingat, ia tetah menjadi isteri orang lain. Kenapa engkau masih memperhatikan dan mengurus dirinya? Tidak malukah engkau kalau diketahui orang bahwa engkau, seorang pendekar yang berkepandaian lumayan, memperhatikan isteri orang lain?" Bun Houw menjadi semakin heran, akan tetapi juga penasaran. Kenapa begitu dia menyebut nama Ling Ay, Hui Hong berubah sikap, menjadi marah dan galak? Tiba-tiba Bun Houw teringat akan sesuatu dan diapun tersenyum memandang wajah gadis itu.

"Kwa Bun Houw, mengapa engkau cengar-cengir seperti itu? Aku tidak main-main! Aku marah dan jengkel, engkau tahu?"

Bun Houw tertawa. "Ha ha, aku tahu, Hongmoi. Engkau ... cemburu kepada Ling Ay! Benarkah?"

Wajah Hui Hong menjadi merah sekali dan matanya melotot. "Aku? Cemburu? Kalau bukan engkau yang mengeluarkan ucapan itu, tentu akan kutampar mulutmu sampai hancur! Kenapa aku mesti cemburu? Huh, Bun Houw, engkau tidak patut menjadi sahabatku!” Dan iapun menggerakkan tubuhnya, lari meninggalkan Bun Houw.

Kini pemuda itu, terkejut. "Heiii..! Hong-moi, jangan begitu! Jangan marah dan meninggalkan aku. Maafkan ucapanku tadi!” teriak Bun Houw sambil mengerahkan tenaga mengejar.

Karena ilmu berlari cepat Bun Houw tidak berada di bawah tingkat Hui Hong, maka gadis itu tetap tidak mampu meninggalkannya. Hal ini membuat Hui Hong menjadi semakin marah. Gadis ini marah kepada diri sendiri karena ia merasakan benar bahwa ia memang cemburu! Ia merasa tidak senang karena Bun Houw begitu memperhatikan Ling Ay yang sudah menjadi isteri orang lain. Hal ini membuat ia merasa seolah ia sama sekali tidak menarik hati, kalah oleh seorang wanita lain yang sudah menjadi uteri orang. Akan tetapi, tentu saja ia tidak mau mengaku bahwa ia cemburu, bahkan perasaan ini membuat ia merasa malu dan bahkan menambah kemarahannya. Marah kepada diri sendiri yang semua ia tumpahkan kepada Bun Houw yang ia anggap sebagai biang keladinya!

Melihat ia tidak mampu meninggalkan Bun Houw, ia pun tiba-tiba berhenti, "Mau apa engkan mengejarku?"

"Hong-moi, Jangan begitu. Jangan engkau marah kepadaku. Aku ... aku minta maaf kalau ucapanku menyinggung hatimu."

"Tidak ada yang menyinggung, tidak ada yang perlu dimaafkan. Aku hanya ingin engkau jangan mendekati aku, jangan mengikuti aku!” kata Hui Hong ketus.

"Tapi, Hong-moi. Tadi kita begitu akrab, engkau bersikap demikian ramah dan baik kepadaku dan ... "

"Cukup. pergilah! pergi dan jangan ikut aku lagi!” kata Hui Hong dan iapun lari lagi. Tentu saja Bun Houw masih merasa penasaran dan diapun mengejar lagi. Terjadi lagi kejar-kejaran sampai Hui Hong berhenti lagi dan membalik.

"Kalau engkau masih mengejar, akan kuhajar kau!”

"Hong-moi, ...!" Bun Houw terkejnt karena tidak menyangka bahwa Hui Hong benar-benar marah sekali dan seperti membencinya.

"Cukup! Aku tidak mau lagi berkenalan denganmu, tidak mau lagi bicara denganmu!”

Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Hong-moi. apakah dia kurang ajar kepadamu?" Dan muncullah Ouwyang Toan dan Ouwyang Sek.

"Ayah ...!” Hui Hong lari menghampiri ayahnya.

"Hong-moi, apa yang dilakukan orang ini kepadamu?” Ouwyang Toan kembali bertanya sikapnya marah.

"Dia ... dia menjengkelkan, dia menuduh aku cemburu!" kata Hui Hong yang masih marah dan jengkel.

Ouwyang Toan menghampiri Bun Houw dengan sikap menantang. Pemuda tinggi besar ini memang berwatak keras, pencemburu, dan memandang rendah orang lain.

"Hemmm, siapapun yang mengganggu adikku, harus dihajar!”

Bun Houw mengerutkan alisnya. "Aku tidak ingin berkelahi dengan siapapun."

"Engkau pengecut! Hanya berani mengganggu perempuan, tidak berani bertanggung jawab dan takut menerima tantanganku?" Ouwyang Toan tersenyum mengejek.

Wajah Bun Houw berubah merah. "Sobat, harap jangan keterlaluan dan jangan mendesakku. Aku tidak mempunyai alasan untuk berkelahi denganmu." "Kalau aku mendesak, kau mau apa? Aku mempunyai alasan cukup kuat untuk menantangmu, kalau engkau berani. Kalau engkau takut. cepat berlutut dan minta ampun kepada kami!”

Sepasang mata Bun Houw berkilat, "Engkau terlalu sombong!”

"Kau berani? Nah, sambutlah ini!” Ouwyang Toan menyerang dengan dahsyat sekali.

Tangan kanannya yang dikepal menghantam ke arah kepala Bun Houw, diikuti tangan kiri yang menyusut dan mencengkeram ke arah dada.

Bun Houw mengelak dan ketika tangan kiri lawan mencengkeram, diapun menangkis dengan pengerahan tenaga. Tangan kirinya berputar di depan dada ketika menangkis sambil miringkan tubuhnya ke kanan.

"Dukkk!” Pertemuan kedua lengan kiri itu membuat keduanya terdorong ke belakang. Ouwyang Toan merasa penasaran dan diapun menyerang kalang kabut, gerakannya bengis dan ganas sekali.

Biarpun dia tidak ingin bermusuhan dengan kakak Hui Hong, namun karena dihina dan didesak, timbul kemarahan di hati Bun Houw dan diapun mulai membalas serangan lawan. Terjadilah perkelahian yang seru. Karena maklum bahwa lawan lihai dan memiliki tenaga yang kuat, Bun Houw segera menggunakan ilmu silatnya yang menggunakan jari-jari tangan untuk menotok.

"Ihhh ...!” Ouwyang Toan terhuyung ketika lengannya bertemu dengan totokan jari tangan lawan. Dia menjadi semakin marah karena terhuyungnya itu menunjukkan bahwa dia terdesak walaupun belum roboh. Diapun cepat mencabut pedangnya.

"Kalau engkau benar laki-laki, keluarkan senjatamu!" tantang Ouwyang Toan, pedangnya melintang di depan dada.

Karena tantangan itu juga merupakan penghinaan, Bun Houw mencabut tongkat bututnya dari pinggang. "Hemm. engkau terlalu mendesakku, Ouwyang Toan. Jangan salahkan aku kalau sampai engkau terluka." Dia memperingatkan, merasa tidak enak sekali ketika dia melihat ke arah Hui Hong gadis itu tetap memandangnya dengan marah.

"Lihat pedang!” Ouwyang Toan membentak, dan nampak sinar berkilat ketika pedangnya menyambar- nyambar. Bun Houw seperti tidak melihat datangnya bahaya, bersikap acuh dan tetap memandang ke arah Hui Hong, akan tetapi begitu pedang lawan menyambar, dia sudah mengelak dengan ringan. Memang bagi pemuda murid Tiauw Sun Ong ini, tidak perlu mempergunakan matanya ketika bertanding. Dia biasa berlatih tanpa menggunakan penglihatan matanya, berlatih di dalam kegelapan yang pekat, bahkan berlatih dengan mata terpejam, seperti gurunya yang buta. Karena latihan-latihan itu, seluruh bagian tubuhnya memiliki kepekaan seolah-olah di semua bagian tubuhnya terdapat mata. Gerakannya demikian otomatis tanpa melihat lagi.

Setiap kali pedang di tangan Ouwyang Toan bertemu tongkat, terdengar suara nyaring seolah-olah tongkat butut itu merupakan sebuah benda logam yang amat kuat. Mudah diduga bahwa tongkat butut itu menyembunyikan senjata yang terbuat dari pada baja. Permainan tongkat Bun Houw demikian aneh, cepat dan kuat sehingga setelah lewat belasan jurus, gulungan sinar pedang Ouwyang Toan makin menyempit dan mengecil, tanda bahwa dia terdesak.

"Toan-ji, mundur, biar aku bermain-main sebentar dengan bocah ini!” terdengar suara yang dalam dan berwibawa.

Mendengar suara ayahnya, Ouwyang Toan terkejut dan heran, akan tetapi dia meloncat keluar dari perkelahian itu, ke dekat ayah dan adiknya. Tentu saja dia merasa heran. Ayahnya adalah seorang datuk besar yang tidak mau sembarangan melayani orang-orang yang rendah tingkatnya, Apalagi seorang pemuda! Dan bagaimana mungkin pemuda ini akan mampu menandingi ayahnya? Tingkat kepandaiannya hanya setinggi tingkatnya, tidak banyak selisihnya!”

Sementara itu, ketika kakek berusia lima-puluhan tahun yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam itu menghampirinya, Bun Houw merasa jantungnya berdebar tegang. Dia tidak takut, akan tetapi merasa tidak enak sekali. pria ini adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang sudah banyak didengar namanya. Gurunya sendiri pernah menceritakan kepadanya tentang Empat Datuk Besar. Biarpun gurunya yang buta belum pernah melihat mereka, namun gurunya mendengar banyak tentang mereka. Hal ini masih belum banyak artinya bagi Bun Houw. Yang membuat dia tidak enak dan gelisah adalah karena Bu eng-kiam ini adalah ayah kandung Hui Hong! Tadipun dia sudah merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak gadis itu,  Apalagi sekarang dia berhadapan dengan ayahnya. Maka, cepat dia mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada orang tua itu.

"Lo-cian-pwe, harap maafkan saya. Sesungguhnya, saya tidak ingin bermusuhan atau berkelahi dengan siapapun apa lagi dengan lo-cian-pwe yang saya hormati. Tidak ada alasan bagi kita untuk bertanding dan saya tidak berani kurang ajar melawan lo-cian-pwe yang berkedudukan tinggi dalam dunia persilatan.”

“Orang muda, siapa namamu?”

“Nama saya Kwa Bun Houw, locianpwee.”

“Kwa Bun Houw, engkan sudah berani menentang kedua orang anakku, dan kulihat tadi ilmu pedangmu cukup baik sehingga Toan-ji tidak mampu mengalahkanmu. Sudah sepatutnya kalau aku mengukur sampai di mana kehebatan Ilmu pedangmu yang tersembunyi dalam tongkat. Biarlah aku melawan pedangmu itu dengan tangan kosong, agar jangan dikatakan aku yang tua menghina yang muda. Hayo maju dan seranglah aku."

"Saya tidak berani, lo-cian-pwe." Alis yang tebal itu berkerut.

"Berani atau tidak, tidak perduli! Engkau harus menyerangku, atau aku akan tutun tangan membunuhmu. Aku membenci seorang penakut!”

"Kalan begitu, biar lo-cian-pwe yang menghajar dan membunuh saya, dan saya akan mencoba untuk membela diri," kata Bun Houw yang tetap tidak mau mendahului menyerang.

Ouwyang Sek mendengus. "Huh, memang kau sudah bosan hidup. Kalau engkau menyerang dulu, paling banyak aku hanya akan menjatuhkanmu. Akan tetapi, kalau sekali aku menyerang, aku tidak akan berhenti sebelum orang yang kuserang mampus!”

"Terserah kepada lo-cian-pwe. Saya tidak akan berani menyerang lebih dulu." kata Bun Houw sambil memandang ke arah Hui Hong. Dia melihat betapa Hui Hong berdiri dengan alis berkerut dan muka berubah agak pucat. Jelas gadis itu nampak gelisah sekali dan diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Bun Houw. Gadis itu mengkhawatirkan keselamatannya! ini saja sudah cukup mengobati semua kegelisahannya! Hui Hong mengkhawatirkan dirinya. Hal ini hanya berarti bahwa gadis itu diam-diam suka kepadanya dan tidak membencinya seperti diperlihatkan dalam sikapnya tadi. Sungguh membuat dia semakin bingung karena dia tidak dapat mengetahui bagaimana sebenarnya isi hati gadis itu.

Bu-eng-kiam Ouwyang Sek tentu tidak akan dikenal sebagai seorang di antara Empat Datuk besar kalau wataknya tidak aneh, di samping ilmu silat tinggi yang dimilikinya. Dia aneh, wataknya keras dan kadang amat kejam, akan tetapi juga adil, bahkan kadang dapat lembut seperti seorang gagah atau seorang pendekar sejati. Sikapnya selalu tengantung dari keadaan perasaannya pada saat itu yang berubah-ubah seperti pasang surutnya air laut.

Saat itu hatinya sedang kesal dan marah karena mustika Akar Bunga Gurun Pasir miliknya yang dicuri dan dilarikan Pek I Mo-ko belum dapat kembali kepadanya. Dalam keadaan kecewa dan marah ini, dia bertemu Bun Houw yang dianggapnya berani memusuhi puterinya dan puteranya. Tentu saja timbul perasaan benci terhadap pemuda itu.

"Engkau benar-benar sudah bosan hidup! Baik, akan kuantar engkau ke neraka!” bentak datuk itu dan begitu tubuhnya bergerak, tangan kirinya sudah menyambar ke arah pelipis kanan Bun Houw. Gerakannya demikian cepat dan kuat sehingga sebelum pukulan tiba, angin pukulan dahsyat telah menyambar.

Bun Houw menjadi serba salah. Dia mengenal serangan maut yang berbahaya, maka cepat dia mengelak dengan loncatan ke belakang. Dia tidak berani menggunakan senjata, mengingat bahwa yang dihadapinya adalah ayah Hui Hong, gadis yang telah menarik hatinya itu. Maka, mengandalkan kelincahan tabuhnya, dia mengelak. Akan tetapi, begitu pukulannya luput, kaki datuk itu sudah menyusul dengan sambaran tendangan yang lebih berbahaya lagi.

Kembali Bun Houw berbasil menghindarkan diri dengan elakan.

Makin gagal, kakek itu menjadi semakin penasaran dan marah. Serangan susulannya semakin ganas sehingga dalam waktu sepuluh jurus saja, Bun Houw sudah merasa kewalahan, terdesak dan terhimpit oleh serangkaian serangan yang kalau mengenal sasaran berarti maut! Akan tetapi tetap saja dia tidak berani mempergunakan senjata untuk melindungi dirinya, karena mempergunakan senjata berarti balas menyerang. Walaupun dia tahu bahwa dalam sebuah perkelahian, sikap menghindar tanpa membalas merupakan suatu kelemahan yang membahayakan diri sendiri, Apalagi menghadapi lawan yang jauh lebih kuat.

"Hyaanattt ...!" Untuk kesekian kalinya Ouwyang Sek menyerang dan sekali ini, kedua tangannya itu bergerak secara beruntun, saling susul menyusul sehingga tidak sempat bagi Bun Houw untuk mengelak terus. Terpaksa dia lalu mengerahkan tenaga pada telunjuknya dan menyambut serangan talapak tangan kiri lawan itu dengan totokan. Hanya itu satu-satunya jalan untuk melindungi dirinya dari sambaran telapak tangan yang ampuh itu.

"Tukk ...!” Ouwyang Sek mengeluarkan seruan tertahan dan melangkah mundur tiga tindak, sedangkan Bun Houw meloncat ke samping dan merasa betapa tangannya tergetar hebat saking kuatnya telapak tangan lawan yang ditotoknya tadi.

"It-sin-ci (Satu Jari Sakti) ...!” Ouwyang Sek berseru dan pandang matanya menjadi semakin marah. "Bagus, memang engkau layak mati di tanganku!" Dan kini dia menyerang dengan semakin bebat, bagaikan gelombang dahsyat yang hendak menelan dirinya.

Biarpun Bun Houw sudah siap siaga dan menggunakan kedua tangannya ditambah kegesitan tubuhnya untuk menangkis dan mengelak, tetap saja dia tidak kuat menahan dan angin pukulan yang kuat sekali membuat dia terjengkang dan terguling-guling.

"Mampuslah!" Ouwyang Sek membentak dan menyusulkan serangan maut. Karena tubuh Bun Houw bengulingan, agaknya pukulan maut itu akan benar-benar mengantar nyawanya ke alam baka. Pukulan datang menyambar ke arah dada pemuda yang sedang terguling-guling itu.

“Dukk ...!” Ouwyang Sek berseru kaget dan terhuyung ke belakang. Tak disangkanya sama sekali bahwa pada detik pukulannya mendekati dada lawan, sebatang tongkat telah menangkis sedemikian kuatnya sehingga dia merasa lengannya yang tertangkis nyeri dan tubuhnya terhuyung ke belakang karena tongkat itu menotok pula lutut kirinya!

Kini mereka berhadapan dan Bun Houw sudah berdiri dengan tongkat di tangan. "Lo-cian-pwe, bagaimanapun juga, saya adalah seorang manusia yang berhak hidup dan mempertahankan hidupnya. Kalau lo-cian-pwe mendesak terpaksa saya bersikap tidak hormat dan menggunakan senjata saya."

Datuk besar itu memandang tajam penuh selidik, dan Bun Houw yang maklum bahwa dia berada di ambang maut karena lawan sungguh amat lihai, tidak mau bersikap sungkan lagi dan begitu tangan kanannya bergerak, nampak sinar berkilat menyilaukan mata dan Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) telah terlolos dari sarungnya yang merupakan sebatang tongkat butut itu. Kini tangan kanan memegang pedang dan tangan kirinya memegang tongkat.

Ouwyang Sek mengangguk-angguk ketika melihat pedang itu, "Orang muda, apa hubunganmu dengan Tiauw Sun Ong? tiba-tiba dia bertanya.

Bun Houw mengerutkan alisnya, dia sudah dipesan oleh gurunya agar tidak menyebut namanya karena tidak mau berurusan dengan dunia ramai.

"Lo-cian-pwe, urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan beliau, dan saya tidak mau menyebut- nyebut tentang beliau."

Tiba tiba datuk besar itu tertawa. "Ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong telah menjadi pengecut yang menyembunyikan diri dan nama. Kwa Bun Houw, sekarang tidak ada siapa-apalagi yang dapat menyelamatkan nyawamu! Hari ini engkau akan mati di tanganku dan nyawamu boleh memberitahu kepada Tiauw Sun Ong!” Setelah berkata demikian, tiba tiba datuk itu menyerang dengan tubrukan seperti seekor beruang.

Bun Houw mengelebatkan pedang dan tongkatnya dan sekarang dia melawan mati-matian. Untuk dapat terhindar dari malapetaka, satu-satunya jalan adalah balas menyerang. Dia tidak ragu-ragu lagi sekarang karena bagaimanapun juga, dia tidak mau mati konyol di tangan datuk ini, walaupun mengingat Hui Hong, dia tidak senang harus bermusuhan dengan orang tua ini.

Akan tetapi, tingkat kepandaian datuk betar itu memang jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bun Houw, maka biarpun pemuda itu menggunakan pedang dan tongkat, tetap saja dia terdesak hebat setelah lewat limabelas jurus. Sebuah tendangan mengenai pahanya, membuat dia terhuyung dan sebelum dia dapat sempat mengatur keseimbangan dirinya, tiba-tiba pergelangan tangan kanannya terpukul. Pedang itu terlepas dan pindah tangan, dan sebuah hantaman keras mengenai dadanya. Tubuh Bun Houw terjengkang, tongkatnya terlepas dari tangan kiri dan diapun muntah darah. Dadanya terasa sesak dan nyeri bukan main.

"Ha-ha-ha, bersiaplah engkau untuk mati melalui Pedang Kilat!” Ouwyang Sek berseru sambil tertawa-tawa, lalu mengelebatkan pedang rampasan tadi untuk memenggal leher Bun Houw yang sudah tidak berdaya, Pemuda itu hanya dapat bangkit duduk dan dia memejamkan mata, maklum bahwa dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari maut.

"Ayah, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Hui Hong meloncat dan tahu-tahu tubuhnya sudah menghadang di depan Bun Houw, menghadapi ayahnya.

"Hong-moi, jangan lancang kau!” Ouwyang Toan meloncat mendekati adiknya dan menyentuh pundaknya, hendak menarik adiknya itu agar jangan menghalangi ayah mereka membunuh Bun Houw.

Akan tetapi Hui Hong mengibaskan tangan kakaknya yang menyentuh pundak dan berkata ketus, "Toan-koko, ini urusanku pribadi dengan ayah, jangan kau mencampuri!” Kemudian dia menoleh kepada ayahnya dan suaranya terdengar tegas, "Ayah, aku minta agar ayah jangan membunuh Kwa Bun Houw!”

"Hui Hong, apakah engkau sudah gila? Engkau berani menghalangi ayahmu dan membela anak setan ini?" Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, memandang kepada puterinya dengan bengis.

“AYAH, maukah ayah menukar nyawa Kwa Bun Houw dengan nyawa puterimu?" "Ehh? Apa maksudmu?"

"Ayah, tanpa adanya pertolongan pemuda ini, saat ini anakmu tentu telah mati. Ketika aku nyaris diperkosa Suma Hok dan pada saat akan membunuh diri dengan menggigit lidah sendiri, Kwa Bun Houw muncul dan menyelamatkan aku. Aku berhutang nyawa kepadanya, ayah. Oleh kerena itu, aku minta ayah jangan membunuhuya."

"Hemm, sekali aku mengambil keputusan, tidak dapat diubah lagi. Aku akan membunuh dia, apalagi dengan adanya pedang ini!”

"Ada apa dengan pedang itu, ayah '!”

"Kau tak perlu tahu!” Tiba-tiba suara datuk besar itu terdengar kaku dan marah. "Minggirlah dan aku akan membunuhnya!”

"Hong-moi. minngirlah dan jangan membikin ayah marah!" tegur Ouwyang Toan kepada, adiknya.

Akan tetapi Hui Hong tetap berdiri tegak menghadang. "Ayah, kalau ayah memaksa hendak membunuhnya, biarlah aku yang mati lebih dulu. Aku akan malu hidup kalau berhutang nyawa tanpa mampu membalas. Ayah bebaskanlah dia, berarti ayah telah membayar hutangku kepadanya!”

Ouwyang Sek mengerutkan alisnya, lalu mendengus dan memandang kepada Kwa Bun Houw. Sekali pandang saja dia tahu bahwa pemuda itu telah menderita luka parah yang akhirnya akan membawanya ke lubang kubur juga. Pukulannya tadi hebat sekali, kalau bukan pemuda yang memiliki kekuatan tubuh yang hebat, tentu sudah mati seketika.

"Baiklah, biar dia pergi!” akhirnya dia berkata. "Biar pedang ini menjadi pengganti nyawanya, ha-ha- ha!”

"Terima kasih, ayah!" Hui Hong berkata dengan girang, lalu membalik dan menghadapi Bun Houw ... "Nah, engkau telah bebas, Kwa Bun Houw, pergilah cepat selagi ada kesempatan." Suara Hui Hong dingin, akan tetapi Bun Houw melihat betapa pandang mata gadis itu kepadanya membayangkan perasaan iba. Biarpun dadanya terasa amat nyeri, akan tetapi sikap Hui Hong tadi sudah mendatangkan perasaan senang yang membuat dia lupa akan kenyeriannya. Gadis itu membelanya! Bahkan mempertaruhkan nyawanya!”

"Sampai ... jumpa ... " Bun Houw berkata lirih, membalikkan tubuhnya dan terhuyung-huyung meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata Hui Hong.

"Ha ha ha-ha!” Tiba-tiba Ouwyang Sek tertawa bergelak setelah bayangan Bun Houw lenyap ditelan pohon-pohon. "Tiauw Sun Ong, bocah itu tentu ada hubungan dekat denganmu. Biar belum dapat menemukan dan membunuhmu, setidaknya aku telah dapat menghajar orang yang dekat denganmu. Hatiku puas, ha-ha ha!” "Ayah, siapakah Tiauw Sun Ong?" Hui Hong bertanya.

"Tak perlu kautahu!" Ouwyang Sek membentak dengan suara ketus dan diapun melangkah pergi dari situ, diikuti Ouwyang Toan dan Ouwyang Hui Hong.

***

Bun Houw menahan rasa nyeri dan terhuyung huyung keluar dari dalam hutan. Dadanya sesak dan ada rasa panas dan pedih menghentak-hentak. Rasa hatinya bahkan lebih sakit dibanding tubuhnya. Dia dihajar oleh ayah gadis yang dicintanya. Bahkan pedang pemberian garunya juga disita. Ayah Hui Hong membencinya. Juga kakak Hui Hong. Gadis itu sendiri? Hanya mengenal budi. Kalau gadis itu juga mencintanya, tentu takkan membiarkan dia dihajar seperti itu. Cintanya bertepuk tangan sebelah! Satu hal lagi yang membuat dia semakin sakit adalah kenyataan bahwa ayah Hui Hong telah mengenal gurunya dan agaknya amat membenci gurunya itu.

Suara orang dari belakang membuat Bun Houw cepat menyusup ke dalam semak-semak. Dia tidak ingin bertemu dengan siapapun dalam keadaan seperti itu. Begitu dia menyusup ke dalam semak- semak, Ouwyang Sek dan kedua orang anaknya lewat. Dia merasa beruntung sudah bersembunyi. Dia tidak sudi bertemu lagi dengan mereka, sekarang maupun kapan saja. Keluarga Ouwyang itu bukan keluarga orang baik-baik.

"Ayah, yang mengambil mustika itu tentu seorang di antara tiga datuk lainnya." terdengar suara Ouwyang Hui Hong suara yang membuat jantungnya berdebar. Hemm, gadis itupun tentu sekejam ayahnya, bantah hatinya sendiri untuk meredakan rasa rindunya.

"Akan kucari mereka! Kalau seorang di antara mereka berani menguasai benda milikku itu, akan kurampas dengan kekerasan!” suara Ouwyang Sek masih terdengar olehnya sebelum mereka lenyap sama sekali.

Setelah mereka pergi jauh, barulah Bun Houw keluar dari semak belukar dan melanjutkan perjalanan menuruni lembah. Dia harus mencari obat. Setidaknya dia harus mencari tempat yang aman untuk melakukan siu-lian (samadhi), untuk mencoba menyembuhkan atau mengurangi lukanya.

Beberapa jam kemudian, setelah dengan susah payah menuruni lereng, dari tempat itu dia melihat genteng-genteng rumah sebuah dusun kecil. Dia lalu mengerahkan sisa tenaganya menuju ke dusun itu karena matahari telah condong jauh ke barat. Dia harus mendapatkan tempat berlindung melewati malam, karena dalam keadaan terluka dalam separah itu, amat berbahaya kalau dia melewatkan malam di tempat terbuka. Apalagi kalau sampai diserang binatang buas atau orang jahat. Dia takkan mampu membela diri sama sekali. Sedikit saja dia mengerahkan tenaga, lukanya akan makin menghebat dan mungkin nyawanya akan melayang saat itu juga.

Tiba-tiba dia terkejut melihat dua sosok bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pria berusia limapuluh lima tahun yang bertubuh kecil kurus dan seorang pemuda tampan. Pemuda inilah yang mengejutkan hatinya karena dia mengenalnya sebagai pemuda yang lihai, yang nyaris memperkosa Hui Hong.

Suma Hok juga mengenal Bun Houw dan dengan muka merah dan mata melotot dia berkata kepada pria kecil kurus yang ternyata adalah ayahnya. "Ayah, orang ini pasti tahu siapa yang mengambil mustika itu! Mungkin dia sendiri yang mengambilnya!"

Pria kurus itu memang Suma Koan yang berjuluk Kui-siauw Kiam-ong (Raja Maut Suling Iblis), seorang di antara Empat Datuk Besar yang ditakuti dunia kang-ouw. Melihat orangnya, sungguh takkan ada yang mengira bahwa dia datuk besar yang ditakuti itu. Namanya sejajar dengan Ouwyang Sek dan para datuk lainnya. Akan tetapi tubuhnya yang kecil kurus, penampilannya yang tidak mengesankan, akan membuat siapapun memandang rendah kepadanya. Entah berapa banyaknya orang yang mati konyol hanya karena memandang rendah datuk itu!”

Suma Koan menyeringai mendengar ucapan puteranya itu. Sudah beberapa orang dibunuhnya tadi karena dia dan puteranya mengira orang itu yang mengambil Akar Bunga Gurun Pasir yang diperebutkan dan yang lenyap ketika diperebutkan.

"Begitukah? Kalau begitu, geledah seluruh badannya!" katanya.

Akan tetapi, Suma Hok kelihatan ragu-ragu. Dia sudah merasakan kelihaian Kwa Bun Houw, maka menggeledah badan merupakan pekerjaan yang berbahaya. Ayahnya melihat keraguan ini dan dia mengerutkan alisnya. "Kenapa ragu-ragu?"

"Ayah, orang ini lihai sekali, sebelum kurobohkan bagaimana dapat menggeledahnya?" "Hemm, ada aku di sini, takut apa?" bentak ayahnya marah karena sikap takut-takut dari puteranya itu merupakan tamparan bagi keangkuhannya.

Suma Hok menghampiri Bun Houw, tangannya mencengkeram ke arah baju, menduga bahwa Bun Houw tentu akan mengelak atau menangkis. Akan tetapi, ternyata dia dapat mencengkeram baju itu dengan mudah dan sekali tarik, terdengar suara memberebet dan baju itupun koyak-koyak! Nampaklah dada Bun Houw dan melihat kulit dada yang matang biru itu, Suma Hok tertawa. "Ha-ha- ha, kiranya engkau telah terluka parah!” Dan timbullah kesombongan Suma Hok. Dengan sikap gagah dia lalu merobek-robek pakaian Bun Houw sehingga tinggal cawat saja yang menutupi tubuh pemuda itu. Akan tetapi, Suma Hok tidak menemukan apa-apa kecuali sebuah kantung kecil berisi beberapa potong emas, yaitu emas pemberian gurunya yang masih bersisa. Melihat isi kantung itu sambil menyeringai Suma Hok memasukkannya ke dalam saku bajunya sendiri.

"Dia tidak membawa akar itu, ayah. Tentu dia sembunyikan entah ke mana. Orang ini licik sekali, ayah."

"Hemm, terhadap aku dia tidak dapat licik!” kata Suma Koan sambil menghampiri Bun Houw. Sepasang matanya yang tajam dan mengandung kekejaman itu menyelidiki wajah Bun Houw.

"Hayo katakan, di mana engkau simpan akar itu!" Dia bertanya, langsung saja menuduh seperti yang dilakukannya tadi terhadap banyak orang yang dibunuhnya satu demi satu karena mereka tidak mampu menunjukkan di mana adanya benda yang amat diinginkannya itu. 
Bun Houw sudah menderita luka parah. Dia tahu bahwa kalau tidak mendapatkan obat yang amat manjur, dia akan terancam maut. Kini, dia ditelanjangi dan dihina tanpa mampu membalas karena begitu dia mengerahkan tenaga sin-kang, dia akan mati seketika. Maka, tentu saja dia tidak mengenal lakut lagi. Dia tahu dengan siapa dia berhadapan. Sudah pernah didengarnya tentang Kui-siauw Giam-ong. Karena tadi dia telah mendengar bahwa pemuda yang nyaris memperkosa Hui Hong adalah Suma Hok putera Kui-siauw Giam-ong, siapa lagi kakek kecil kurus ini kalau bukan si datuk sesat itu? Dia merasa penasaran sekali dan biarpun terancam maut. Sebelum mati dia harus memperlihatkan keberaniannya dan menyatakan perasaan hatinya.

Dengan pandang mata berani dia menatap wajah Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, lalu tersenyum mengejek. "Orang tua, apakah engkau tidak malu dengan sikapmu ini?"

Sepasang mata Suma Koan terbelalak dan mukanya berubah merah sekali. Beraninya anak ini! "Hei, setan. Apakah engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan?" bentaknya, sedangkan puteranya. Suma Hok, juga marah sekali. Akan tetapi melihat kemarahan ayahnya, dia tilak berani lancang turun tangan membunuh Bun Houw dan membiarkau ayahnya yang akan menangani sendiri pemuda itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar