Kisah Si Pedang Kilat Jilid 4

Jilid 4

"Keluarga yang dipaksa! Bukankah engkau dahulu dipaksa untuk menikah dengan putera kepala daerah itu? Bukankah sejak kecil sebetulnya yang menjadi calon suamimu adalah Houw-toako ini? Tidak, enci, engkau tidak sepatutnya bertanggung jawab. Bahkan eugkau sepatutnya sakit hati kepada mereka. Biarlah, aku yang akan membalaskan sakit hatimu, enci."

"Tapi ... rapi ... biarpun aku berada di sini, tetap saja tersangkut dan pasti akan ditangkap, bahkan ayah dan Ibu juga. Bukankah ayah dan ibu besan mereka dan aku bahkan anak mantu?" kembali Ling Ay membantah dan ayahnya juga terkejut karena melihat kebenaran yang terkandung dalam ucapan puterinya itu.

"Jangan khawatir." kata Bun Houw cepat. "Aku yang akan minta kepada Souw Ciangkun agar keluarga Cia tidak diganggu, dan aku akan menjelaskan semuanya."

"Benar," kata Hui Hong. "Souw Ciangkun, pasti akan suka mendengarkan keterangan kami!"

"Kalau begitu, biar aku mencoba lagi membujuk isteriku agar keluar dari sana sebelum terlambat," kata pula Cia Kun Ti.

Bun Houw bangkit berdiri, juga Hui Hong. "Memang sebaiknya begitu, paman, karena kami berdua akan melapor kepada Souw Ciangkun sekarang juga."

"Ayah, kalau ibu tidak mau, katakan saja bahwa aku tiba-tiba jatuh sakit, atau apa saja, asal dapat memaksa ia pulang," kata Ling Ay dengan khawatir.

Mereka lalu pergi. Bun Houw pergi bersama Hui Hong, dan Cia Kun Ti berlari-lari menuju ke rumah kepala daerah. Ling Ay yang ditinggal seorang diri membanting diri di atas pembaringan di dalam kamar ibunya dan menangis, menutupi mulutnya dengan bantal agar tidak sampai terdengar tangisnya keluar kamar.

***

Tidak mudah bagi Cia Kun Ti untuk dapat membujuk isterinya meninggalkan gedung kepala daerah itu.

"Tidak! Aku tidak mau menemuinya. Suruh dia datang kalau bersama Nyonya Muda." katanya kepada pelayan yang melapor kepadanya akan kedatangan suaminya itu.

Akan tetapi, maklum babwa ini menyangkut urusan mati hidupnya atau setidaknya keselamatan isterinya, Cia Kun Ti tidak mau pergi kalau isterinya tidak mau ikut.

"Katakan kepadanya bahwa aku mau bicara urusan penting sekali, urusan yang menyangkut diri Nyonya Muda. Sebentar saja!”

Hari telah hampir sore, maka hati Cia Kuu Ti gelisah bukan main. Akhirnya, isterinya keluar dengan mulut cemberut runcing dan muka keruh seperti air lumpur.

"Ihhh, engkau ini sungguh menjengkelkan! Mau apa sih mengganggu aku terus? Bukan menasihati anaknya malah datang mengganggu aku!"

"Ssttt, dengar baik-baik, jangan sampai terdengar orang lain. Ketahuilah, anak kita mengalami kecelakaan ... "

"Ahhh? Cilaka ? Ling Ay ... kenapa, ia ... ? Kenapa ...?”

"Iya ... setelah tiba di rumah, kunasihati ia malah mencoba untuk membunuh diri ...”

"Bunuh diri?" Nyonya itu menjerit lalu mencengkeram lengan suaminya. "Ia mati ? Kau membunuhnya

...! Engkau yang membunuhnya !" "Tenanglah, tenang. Ia tidak mati, hanya luka. Untung masih dapat kucegah. Karena itu. mari cepat pulang ... cepat. Jangan sampai ia mencoba membunuh diri lagi ... “

"Ling Ay ... anakku ... ahhhh, ... !”

Kini tanpa banyak cingcong lagi Nyonya Cia Kun Ti berlari keluar, lupa benganti pakaian, lupa berpamit. Cia Kun Ti mengikuti dari belakang, diam-diam merasa girang sekali, meeeka berdua tidak memperdulikan pandang mata terheran-heran dari para pelayan yang melihat suami isteri itu berlari- lari keluar dari dalam gedung itu. Mereka tidak berani bertanya karena dua orang itu adalah besan majikan mereka, hanya saling pandang kemudian peristiwa itu menjadi bahan pergunjingan mereka. Bagaimanapun juga, telah terbocor bahwa tuan muda mereka marah kepada isterinya, karena nyonya muda dikabarkan mengadakan pertemuan dengan pemuda bekas kekasihnya. Tentu saja mereka mempengunjingkan sambil tertawa-tawa di balik lengan baju mereka. Sudah lajim bahwa kita suka sekali, membicarakan keburukan orang lain, suka sekali mempergunjingkan aib orang lain, bahkan suka mentertawakan penderitaan orang lain. Nafsu setan menguasai batin kita sehingga seolah kita selalu merasa iri kalau melihat orang lain serba lebih dari kita, dan merasa senang kalau melihat orang lain lebih sengsara dari pada kita. Nafsu daya rendah yang mencengkeram batin kita membuat kita diperbudak nafsu sehingga kita lupa segalanya. Jiwa murni yang datang dari Tuhan seperti tertutup oleh selubung nafsu daya rendah yang menguasai kita. Susah kalau sudah begitu, nafsu setanlah yang mengendalikan semua tingkah laku kita, bahkan mencengkeram hati dan akal pikiran kita, seluruh pancaindra kitapun dikuasainya sehingga apapun yang kita pikirkan, ucapan, lakukan, semua hanya mempunyai satu pamrih, yaitu menyenangkan si aku. dan si aku itu yalah nafsu setan itulah! Nafsu setan yang sudah mencengkeram segalanya, seluruh diri kita lahir batin. Kalau "aku" yang sesungguhnya adalah jiwa, setetes air dari samudera yang menjadi pusat, secercah sinar dari matahari yang menjadi pusat, sebagian kecil dari kekuasaan Tuhan, maka setelah bergelimang nafsu setanlah, yang mengaku-aku. Tidak ada kekuasaan yang akan mampu mengusir setan itu dari kita, karena sesungguhnya, hidup manusia ini tidak akan dapat bertahan tanpa adanya nafsu yang menjadi pelengkap bahkan menjadi pelayan dan alat penting bagi kita hidup di dunia ini. Karena daya-daya rendah itu merupakan berkah dan kasih sayang Tuhan kepada kita, melengkapi kita dengan alat-alat itu yang akan dapat membuat kita hidup berbahagia, maka kalau daya-daya rendah itu menjadi nafsu yang tidak terkendalikan lagi bahkan mengendalikan kita, maka hanya kekuasaan Tuhan pula yang akan mampu menolong kita. Hanya kekuasaan Tuhan yang akan mampu membebaskan kita dari daya pengaruh setan sehingga bukan kita manusia yang diperhamba, melainkan daya-daya rendah itu yang menjadi hamba, menjadi alat.

Ayah dan ibu itu berlari-larian menuju ke rumah mereka. Ketika mereka memasuki rumah. Nyonya Cia Kun Ti yang melihat puterinya duduk di tempat tidur dan kelihatan, habis menangis, segera menubruknya.

"Ling Ay anakku, apa yang telah kaulakukan, anakku?"

Ling Ay merasa lega melihat Ibunya, akan tetapi juga hatinya seperti ditusuk mengingat akan nasibnya. Biarpun ia menjadi isteri Cun Hok Seng secara terpaksa, namun ia telah menjadi isterinya, dan biarpun suami itu hanya menyanjung dan memanjakannya selama beberapa bulan saja ketika berbulan madu, namun ia tetap Isterinya dan kalau keluarga suaminya tertimpa malapetaka, berarti ia pun akan terkena aib. Maka iapun merangkul ibunya dan menangis, merasa kasihan pula kepada ibunya yang ia tahu amat menikmati keadaannya sebagai besan kepala daerah.

"Ibu, ah, ibu ..."

"Anakku, kata ayahmu, engkau hampir membunuh diri? Ling Ay, apakah engkau tega meninggalkan Ibumu? Kenapa engkau begitu putus asa? Suamimu hanya sedang marah, sebentar juga akan baik kembali dan ... "

"Ibu, kalau ibu tidak mau menemani aku selama beberapa hari ini di sini, aku benar-benar akan membunuh diri!” kata Ling Ay dengan suara yang tegas. Mendengar ini, ibunya terbelalak, akan tetapi tidak berani banyak bicara lagi.

"Aku akan di sini ... aku akan menemanimu ... “ katanya berulang-ulang.

***

Sementara itu, bersama dengan datangnya malam, dua sosok bayangan berkelebat cepat meloncati pagar tembok belakang bangunan yang menjadi perumahan kepala daerah. Mereka itu adalah Bun Houw dan Hui Hong yang sudah melapor kepada Souw Ciangkun. Mereka telah bekerja sama dan mengatur rencana bahwa dua orang pendekar itu akan lebih dahulu menyusup ke dalam, selain untuk membuat para penjahat di situ tidak menduga akan adanya penyerbuan pasukan, juga untuk menyelesaikan urusan pribadi Hui Hong yang hendak mencari Pek I Mo-ko yang telah mencuri akar bunga gurun pasir dari ayahnya.

Dengan Bun Houw sebagai penunjuk jalan, mereka tiba di luar ruang pertemuan dan mengintai ke dalam. Kiranya Pek I Mo-ko sedang marah-marah, memaki-maki para pembantunya yang dianggap tolol karena semua tidak dapat melaksanakan tugas mereka dengan baik. Siauw-bin Pek ti bersama tiga orang rekannya gagal membunuh Kwa Bun Houw, bahkan dihajar habis-habisan oleh pemuda itu. Bu-tek Kiam-mo yang sudah dibantu Ngo-kwi juga gagal membunuh Souw Ciangkun, bahkan dua orang di antara Ngo-kwi terluka oleh Bun Houw.

"Kalian semua tidak becus! Kalian sungguh memalukan sekali menjadi pembantu-pembantuku yang kupercaya! Bu-tek Kiam-mo, engkau adalah pembantuku yang utama, bagaimana sekali ini engkau gagal melaksanakan tugasmu? Padahal, Ngo-kwi sudah kusuruh membantumu!” 

"Kalau tidak ada Kwa Bun Houw itu dan seorang gadis yang lihai sekali, tentu tugas itu berhasil. Aku sendiri sudah dapat berhadapan muka dengan Souw Ciangkun dan menyerangnya, akan tetapi tiba- tiba muncul gadis itu."

"Hemm, dikalahkan oleh seorang perempuan muda? Sungguh tak tahu malu. Percuma saja julukanmu Bu-tek Kiam-mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) kalau engkau kalah oleh seorang perempuan, apalagi masih gadis. Siapakah gadis itu ?”

"Aku ... aku tidak tahu, Ciong Tai-hiap ... " Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

“Ciong Kui Le, akulah gadis itu!” Yang berkumpul di dalam ruangan itu kurang lebih duapuluh orang, yaitu Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang menjadi pemimpin. Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe, Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, Ngo-kwi, dan beberapa orang lagi yang kesemuanya merupakan jagoan-jagoan itu dan berkepandaian tinggi maka mereka ditarik oleh Pek I Mo-ko sebagai pembantu pembantunya. Mendengar bentakan itu. mereka semua terkejut dan memandang ke arah datangnya suara. Nampak dua bayangan orang berkelebat dan di ruangan itu telah berdiri Kwa Bun Houw dan seorang gadis yang cantik dan gagah, yang masih muda. paling banyak delapanbelas tahun usianya. Melihat gadis ini. Butek Kiam-ong terkejut karena gadis itulah yang telah menghalanginya membunuh Siauw Cingkun. Dia tidak khawatir akan dikenal orang karena ketika melaksanakan tugas itu, dia dan Ngokwi mengenakan topeng. Akan tetapi ketika dia menoleh kepada Pek I Mo-ko untuk memberi isyarat dia melihat betapa pemimpinnya itupun terbalalak dan mukanya membayangkan rasa kaget dan juga takut. Akan tetapi hanya sebentar saja, karena Pek I Mo-ko segera dapat menguasai dirinya lagi, mengandalkan banyaknya anak buah, lalu dia bahkan tertawa.

"Ha-ha-ha ha, kukira siapa gadis yang menentang kami itu, kiranya engkau, Ouwyang Hui Hong!"

Wajah gadis itu menjadi merah dan sinar matanya mencorong. Orang ini telah dikenalnya sejak ia kecil, dan dahulu ketika masih menjadi pembantu ayahnya, sikap Ciong Kui Le cukup baik dan sayang kepadanya, juga menghormatnya dengan menyebutnya Hong Siociay (Nona Hong). Akan tetapi sekarang, sikapnya demikian congkak dan menyebut namanya dengan nada mengejek!

"Ciong Kui Le manusia tak mengenal budi dan tak tahu malu! Selama belasan tahun, engkau hidup di bawah pemeliharaan ayahku, bahkan menerima ilmu silat dari ayah, dan engkau membalasnya dengan melarikan diri mencuri benda mustika simpanan ayah! Hayo cepat berlutut menerima hukuman dan kembalikan mustika itu!" Berkata demikian, gadis-itu menggerakkan kedua tangan dan tahu-tahu kedua tangan itu telah menghunus sepasang pedang yang gemerlapan.

Kembali Pek I Mo-ko tertawa. "Ha ha-haha, Hui Hong anak kemarin sore, berani engkau bicara besar di depanku? Lupakah engkau bahwa dulu seringkali aku yang membimbingmu dan memberi petunjuk kalau engkau berlatih silat? Ha ha-ha, orang lain boleh jadi takut kepadamu, akan tetapi aku tidak! Engkau tidak akan menang melawanku, Hui Hong. Mustika itu ada padaku dan takkan kukembalikan. dan sakarang engkau bahkan menyerahkan diri. Ouwyang Hui Hong, engkau tidak akan dapat keluar lari dari tempat ini!" Pek I Mo-ko lalu memberi aba-aba dan duapuluh orang lebih itu segera membuat gerakan mengepung. Bun Houw dan Hui Hong kini terkepung di ruangan yang cukup luas itu, dan di luar masih berdatangan lagi puluhan orang anak buah kepala daerah Cun yaitu pasukan penjaga keamanan!

"Pek I Mo-ko!” teriak Bun Houw dengan kata lantang. "Engkau dan kawan-kawanmu ini menjadi kaki tangan Cun Tai-jin, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang menentangnya. Kalian adalah kaki tangan pemberontak! Dan aku mengenal siapa Ngo-kwi yang membantumu ini! Mereka ini sejak enam tujuh tahun yang lalu telah menjadi kaki tangan Cun Tai-jin untuk membunuhi orang-orang yang menentangnya, termasuk ayahku! Pendekar Kwa telah mereka keroyok dan bunuh, juga ... ibuku!”

Bun Houw menekan perasaannya karena dia tidak mau dicengkeram oleh nafsu kebencian karena dendam. dia hanya bertindak melaksanakan tugasnya sebagai pendekar untuk menentang kejahatan, membasmi mereka yang jahat, bukan bertindak karena dendam dan benci seperti yang diajarkan mendiang ayahnya, juga yang dipesankan gurunya. Kalau sampai dalam pertempuran dia merobohkan dan membunuh penjahat, biarlah penjahat itu tewas sebagai akibat kejahatan mereka, bukan sebagai akibat balas dendamnya !

"Tangkap atau bunuh mereka !" Pek I Mo-ko memberi aba-aba dan semua anak buahnya maklum bahwa aba-aba itu berarti bahwa kalau mungkin mereka ditaruskan menangkap hidup-hidup dua orang muda itu, terutama sekali tentunya gadis cantik itu, akan tetapi kalau tidak mungkin, mereka diperbolehkan membunuh mereka berdua dan tidak membiarkan mereka lolos!

"Singgg ...!” Nampak sinar berkilat dan tangan kanan Bun Houw lelah memegang sebatang pedang yang sinarnya menyilaukan mata ketika cahaya lampu menimpa pedang itu, itulah Lui-kong-kiam, pedang pusaka yang disebut Pedang Kilat, yang selama ini disembunyikan saja di dalam sarungnya yang berupa sebatang tongkat butut yang kini berada di tangan kiri pemuda itu. Karena maklum bahwa pihak lawan jauh lebih banyak dan di antara mereka terdapat banyak orang yang lihai, maka sekali ini Bun Houw terpaksa mencabut Lui-kong-kiam. Dia tahu bahwa yang paling lihai di antara mereka tentulah Pek I Mo-ko, laki-laki yang berpakaian serba putih itu. Akan tetapi, Bu-tek Kiam-mo. Siauw-bin Pek-ti dan Ngo-kwi sudah mengepung dan mengeroyoknya, menyerang dari semua penjuru sehingga dia tidak sempat lagi menghadapi Pek I Mo-ko. Agaknya hal ini memang sudah diatur oleh pemimpin gerombolan itu, karena Pek I Mo-ko sendiri menghadapi Hui Hong gadis yang telah dikenalnya dengan baik dan diketahui tingkat kepandaiannya maka dia memandang ringan, "Biarkan aku menangkap gadis ini. Yang lain keroyok dan bunuh pemuda berbahaya itu!” teriaknya dan diapun mencabut sebatang pedang dengan tangan kanan, dan sebatang kipas bergagang baja dengan tangan kirinya.

"Pengkhianat rendah!" Hui Hong membentak dan iapun menyerang dengan sepasang pedangnya. Pek I Mo-ko Ciong Kui Le yang mengenal ilmu pedang pasangan gadis itu, sengaja menangkis, mengelak dan membalas dengan totokan gagang kipasnya. Hui Hong meloncat ke samping untuk menghindarkan diri dan sepasang pedangnya membuat gerakan menggunting dengan serangan yang amat dahsyat.

"Hemmm ...!” Pek I Mo-ko berseru, terpaksa melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik sambil mengelebatkan pedang dan kipasnya untuk membalas. Tahulah dia bahwa setelah dia pergi, gadis ini telah memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan seorang lawan yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Dari pertemuan pedang tadi saja dia maklum bahwa Hui Hong telah memiliki tenaga sin-kang yang cukup kuat dan hampir mengimbangi tenaganya sendiri. Agaknya dia hanya harus mengandalkan pengalamannya untuk dapat mengalahkan puteri bekas majikan dan juga gurunya itu.

Sementara itu, Bun Houw dikeroyok oleh banyak orang, akan tetapi bagaikan seekor jengkerik dikeroyok banyak semut, dalam gebrakan pertama saja, dua orang di antara Ngo-kwi dan dua orang pengeroyok lain telah roboh karena tubuh mereka disambar Lui-kong-kiam bersama dengan buntungnya senjata mereka ketika terbabat pedang pusaka itu! Dan makin hebat dan makin banyak para pengeroyok menyerangnya, makin hebat pula amukan Bun Houw dengan Pedang Kilat di tangan kanannya. Bahkan tongkat butut yang kini kosong di tangan kirinya itupun sempat merobohkan dua orang pengeroyok dengan totokannya. Mereka yang roboh ditarik keluar oleh pengeroyok lain dan tempatnya digantikan orang lain sehingga tempat yang luas itu penuh dengan mereka yang mengeroyok Bun Houw. Pemuda ini tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri melainkan khawatir melihat betapa Hui Hong menghadapi seorang lawan yang dia tahu amat berbahaya. Apalagi ketika dilihatnya beberapa kali gadis itu terdesak dan sempat terhuyung. Akan tetapi, yang mengeroyoknya terlalu banyak sehingga dia tidak mungkin dapat membantu atau melindungi gadis itu. Pula. dia mengenal watak gadis yang keras dan gagah itu, yang mungkin malah akan tersinggung kalau dia maju membantunya padahal ia belum kalah. Dia hanya mengharapkan Hui Hong akan mampu bertahan sampai datangnya bala bantuan yang dia tahu tidak lama lagi tiba karena tentu kini pasukan yang dipimpin sendiri oleh Souw Ciangkun telah melakukan pengepungan terhadap kompleks bangunan gedung tempat tinggal kepala daerah Cun. Perhitungan Bun Houw memang tepat dan, harapannya terkabul ketika tiba-tiba terdengar bunyi terompet dan tambur sebagai tanda penyerbuan pasukan tentara penjaga keamanan. Bukan saja seluruh penghuni perumahan kepala daerah Cun yang menjadi geger dan panik, bahkan seluruh kota Nan-ping menjadi gempar ketika terdengar berita bahwa gedung tempat tinggal kepala daerah Cun dikepung dan diserbu oleh pasukan tentara penjaga keamanan dari benteng.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya kepala daerah Cun dan keluarganya. Juga Pek I Mo-ko yang sedang bertanding mati-matian mendesak Hui Hong kaget sekali, ketika mendengar bunyi tambur dan terompet, dan tahulah dia bahwa dia telah gagal, bahwa majikannya, kepala daerah Cun telah gagal dan telah diketahui rahasianya oleh komandan pasukan keamanan. Habislah semua harapan dan tidak ada artinya lagi membela kepala daerah yang ambisius dan telah gagal itu. Juga para penbantunya yang tadinya masih bersemangat mengeroyok Bun Houw walaupun sudah banyak di antara mereka roboh oleh Si Pedang Kilat. Ngo kwi, kelima orang yang dahulu membunuh Kwa Tin dan isterinya, juga menjadi korban Si Pedang Kilat, tewas bersama Bu-tek Kiam-mo dan Siauw-bin Pek ti, walaupun yang dua orang ini melanjutkan perlawanan dengan gigih dan bagi Bun Houw tidak amat mudah merobohkan mereka. Karena dua orang ini dan Ngo kwi, maka tadi Bun Houw tidak berdaya membantu atau melindungi Hui Hong. Bahkan ketika Ngo-kwi sudah tewas, kedua orang itu dibantu kawan-kawan mereka masih mengepungnya ketat.

Baru setelah pasukan keamanan datang menyerbu sampai ke ruangan di mana terjadi pertempuran itu, Bun Houw barhasil merobohkan Bu-tek Kiam-mo dengan pedangnya, dan merobohkan Siauw bin Pek-ti dengan tongkatnya. Dia tidak memperdulikan lagi para pengeroyok lain yang sudah dikepung para perajurit, lalu meloncat ke arah sudut kanan di mana tadi dia melihat Hui Hong bertempur-mati- matian melawan Pek I Mo-ko. Akan tetapi, keduanya tidak nampak lagi di situ! Baik Hui Hong maupun Pek I Mo-ko tidak berada di sana lagi, telah pergi entah ke mana.

Bun Houw lari keluar dan bertemu dengan Souw Ciangkun di dekat pintu ruangan itu. Panglima yang mengenakan pakaian dinas itu tersenyum kepadanya.

"Terima kasih, tai-hiap, semua berhasil baik !" "Ciangkun, apakah ciangkun melihat nona Ouwyang ?"

Komandan pasukan itu mengacungkan jempolnya memuji. "Hebat sekali Ouwyang Li-hiap, ia tadi mengejar-ngejar lawannya yang lari ketakutan,"

"Lawannya Pek I Mo-ko yang berpakaian serba putih?" "Benar."

"Ke arah mana larinya ?"

Komandan itu hanya menuding keluar dan sebelum dia sempat menjawab, Bun Houw sudah meloncat ke luar perumahan itu melakukan pengejaran. Namun, karena keadaan di situ penuh dengan tentara, maka dia kehilangan jejak dan tak seorangpun dapat memberi keterangan ke arah mana Hui Hong mengejar musuhnya. Hatinya khawatir sekali, akan tetapi dia tidak mampu berbuat apa-apa. Dan diapun tidak ingin kembali menemui Souw Ciangkun karena dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai. Dia berputar-putar di dalam kota Nan-ping, bertanya-tanya kalau ada yang melihat Hui Hong, namun tak berhasil dan akhirnya diapun menuju ke rumah Cia Kun Ti.

Karena mencari-cari jejak Hui Hong semalam suntuk tanpa hasil, hari telah mulai terang ketika dia tiba di rumah Cia Kun Ti. Keadaan kota telah aman, tidak panik lagi dan di mana-mana orang membicarakan peristiwa yang menggemparkan itu, bahwa keluarga Cun semua ditangkap, banyak kaki tangan yang melakukan perlawanan tewas dan kini rumah kepala daerah itu ditutup dan dijaga oleh pasukan prajurit yang tidak membolehkan siapa-pun memasuki pekarangannya.

Cia Kun Ti dan Ling Ay menyambut kedatangan Bun Houw dengan perasaan haru. Dengan muka masih pucat karena semalam dia mendengar geger yang terjadi di rumah keluarga bekas besannya, Cia Kun Ti merangkul Bun Houw, bekas calon mantunya itu.

"Ah, Bun Houw. kalau tidak ada engkau bagaimana jadinya dengan kami ... ! Hanya Tuhan yang tahu betapa basar penyesalan hati kami atas perlakuan dan sikap kami dahulu terhadap dirimu dan betapa besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu ... "

Ling Ay tidak mampu bicara, hanya menangis terisak-isak. Gadis inipun pucat sekali, rambutnya kusut, pakaiannya juga kusut dan jelas bahwa semalam ia tidak tidur dan berada dalam keadaan gelisah dan berduka. "Sudahlah, paman. Kita harus bersyukur kepada Thian bahwa kita masih dilindungi, dan masih utung pula bagi rakyat bahwa usaha pemberontakan itu dapat dibasmi sehingga tidak jatuh korban lebih banyak lagi."

"Aihhh ... kalau Ingat bahwa engkau telah menjadi korban, Bun Houw. Ayahmu, ibumu, semua tewas oleh kaki tangan penjahat ]yang berkhianat itu ... "

"Bukan   hanya   keluarga   saya   yang   menjadi    korban.   Juga   keluarga   lain,   dan   adik   Ling Ay ... semua menjadi korban. Eh, di mana bibi? Kenapa ia tidak kelihatan?" Tiba-tiba Bun Houw bertanya dengan khawatir.

Sebelum ayah dan anak itu sempat menjawab, wanita yang ditanyakan Bun Houw itu berlari memasuki ruangan itu sambil menangis. Melihat Bun Houw, ia menangis semakin sedih dan menjatuhkan dirinya di atas lantai menangis seperti anak kecil.

"Aduh celaka ... aduh celaka ... habislah semuanya ... hu-hu-huuuu ... hancurlah semua, bagaimana kita dapat hidup miskin dan papa ... ?" Kemudian, tiba-tiba ia mengangkat muka, memandang kepada Bun Houw dan iapun bangkit berdiri, matanya masih bengkak dan merah-merah, kini memandang kepada pemuda itu dengan marah lalu menghampiri dan menudingkan tangannya kepada pemuda itu. "Engkaulah gara-garanya! Engkau penyebab malapetaka ini! Sejak engkau muncul di kuburan itu, malapetakapun menimpa kami! Tentu engkau yang melaporkan sehingga seluruh keluarga Cun ditangkap. "Engkau ... engkau tak tahu malu! Engkau sudah kami tolak, masih ada muka untuk muncul ... "

"Ibuuuu    !” Ling Ay menjerit dan menangis. "Ibu, bagaimana ibu dapat mengeluarkan ucapan sekeji

itu! Houw-koko telah menyelamatkan kita, ibu! Dan ibu bukan berterima kasih malah mengumpat dan menghinanya !”

"Berterima kasih ? Dia menolong kita ? Bohong! Kita hidup berbahagia, mulia dan terhormat, sebelam dia muncul. Lihat apa yang terjadi setelah dia muncul. Semua ini hanya tipu muslihatnya saja "

"Plakkkl!”

"Onhhh!” Tubuh nyonya itu terpelanting roboh oleh tamparan suaminya.

"Uhu hu huuuu   !” Ling Ay tersedu-sedu dan iapun lari menuju dinding dengan kepala dijulurkan ke

depan. Ayahnya sendiri tidak menduga, akan tetapi Bun Houw tetap waspada dan tahu apa yang akan dilakukan wanita itu. Cepat tubuhnya berkelebat mendahului dan ketika kepala Ling Ay membentur, bukan dinding keras yang dihantam kepalanya, melainkan dua buah tangan yang menerimanya dengan lunak.

"Adik Ling Ay, jangan sebodoh itu "

Bun Houw menegur sambil menangkap pundak Ling Ay agar tidak sampai terpelanting jatuh. Ling Ay terkejut dan heran mengapa kepalanya tidak pecah. Ia mengangkat mukanya dan melihat bahwa Bun Houw sudah berdiri di depannya, menghalangi kepalanya yang akan dibenturkan pada dinding.

"Houw-koko " ia menjerit dan roboh pingsan dalam rangkulan Bun Houw. Sementara itu. Nyonya

Cia Kun Ti meraung dan menangisi puterinya yang telah direbahkan oleh Bun Houw di atas pembaringan.

"Diam kau! Dan tutup mulutmu yang mengeluarkan kata-kata beracun itu. Engkau hendak membunuh anak kita dengan ucapanmu? Diam dan sekali lagi membuka mulut, akan kupukul kau! Mulai detik ini, engkau harus mentaati semua kata-kataku, sudah terlalu lama aku membiarkan engkau gila!” kata Cia Kun Ti dan isterinya tidak berani menangis lagi, takut melihat perubahan sikap suaminya yang tiba- tiba itu.

Bun Houw menchela napas panjang dan pada saat itu, Ling Ay siuman dari pingsannya dan ia merintih lirih. Bun Houw cepat maju menghampiri. Ia tahu bagaimana perasaan wanita itu dan kalau tidak dapat dihiburnya, tentu Ling Ay akan selalu berusaha untuk membunuh diri. Bagaimanapun juga, dia pernah mengaguni dan mengharapkan Ling Ay sebagai calon isterinya, dan pernah mencintainya. Ketika Ling Ay melihat Bun Houw, dari kedua matanya mengalir keluar air mata berderai menuruni samping atas kedua pipi dan menyusup ke rambut yang menutupi telinga. Akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangis lagi. Agaknya tangisnya sudah dihabiskannya semalam.

"Koko, kenapa engkau menghalangi aku? Untuk apa aku hidup lehih lama lagi?" "Adik Ling Ay, tenanglah dan ingatlah bahwa segala yang terjadi atas diri kita sudah dikehendaki oleh Thian. Kekuasaan Tuhan tak dapat diubah oleh siapapun juga. Keluarga Cun ditangkap pemerintah karena kesalahan mereka sendiri, disesali juga tidak ada gunanya, dan kurasa kalau di pengadilan terbukti bahwa suamimu tidak bersalah, yang bersalah hanya ayah mertuamu, maka suamimu tentu akan mendapatkan keringanan ... "

"Houw ko, bukan itu yang kusesalkan. Mereka memang sesat, dan kalau kini mereka memetik buah dari hasil pohon tanaman mereka sendiri hal itu tidak perlu disesalkan. Akan tetapi, yang kusesalkan

... bagaimana selanjutnya aku akan dapat menahan aib ini? Keluarga suamiku ditangkap, dan aku sendiri bebas ... aib, apa akan kata orang dan ... dan ... engkau telah menjadi sengsara karena aku ... “

"Hu-hhhh, adik Ling Ay. jangan berkata demikian. Keluarga Cia, termasuk engkau, tidak akan diganggu oleh Souw Ciangkun yang sudah berjanji kepadaku. dan tentang aib ... kalau engkau sendiri tidak melakukan, mengapa ada aib? Tentang pergunjingan orang lain ... "

"Ling Ay. kita akan pergi dari sini, meninggalkan Nan-ping, kembali ke dusunku. Di sana takkan ada yang mempergunjingkan kita." kata Cia Kun Ti.

"Kalau demikian lebih baik lagi sehingga engkau tidak usah mendengar omongan orang, adik Ling Ay. Tentang diriku, semua sudah dikehendaki Tuhan, aku dapat menerimanya dan tidak menyalahkan siapapun juga. Dan jangan khawatir, aku yang akan mengantar engkau dan orang tuamu pindah ke dusun agar tidak terjadi gangguan di jalan. Sekarang aku harus mencari dulu jejak nona Ouwyang. Semalam Ia mengejar Pek I Mo-ko dan aku kehilangan jejaknya, aku khawatir sekali karena Pek I Mo- ko amat lihai. Semalam aku tidak sempat membantunya karena aku sendiri dikeroyok banyak orang."

"Ah, kklau begitu sebalknya kalau kaucari Ouwyang Li-hiap lebih duln, Bun Houw," kata Cia Kun Ti yang juga mengkhawatirkan keselamatan pendekar wanita itu.

"Aku akan pergi sekarang juga, paman. Akan tetapi, adik Ling Ay, aku baru mau pergi kalau engkau lebih dulu berjanji kepadaku!” Bun Houw mendekati pembaringan bekas tunangannya.

Ling Ay bangkit duduk di tepi pembaringan. "Berjanji apa, koko?”

"Berjanjilah kepadaku bahwa engkau tidak akan mengulang kebodohan tadi, tidak akan mencoba untuk membunuh diri. Berjanjilah!”

Masih ada dua tetes air mata turun ketika muka itu menunduk, lalu diangkatnya lagi muka yang pucat dan masih basah air mata itu. "Bun Houw-koko, kenapa engkau ... begitu memperdulikan diriku ...?"

Nyonya Cia Kun Ti yang sejak tadi diam saja karena takut kepada suaminya, tiba-tiba berkata, "Tentu saja dia memperdulikan dan memperhatikan dirimu, anakku, karena dia adalah bekas tun ... "

"Hemm, mulai lagi?” bentak Cia Kun Ti dan isterinya terdiam.

Bun Houw tersenyum memandang wajah yang nampak cantik dan mendatangkan iba hati itu. "Moi- moi, tentu saja aku memperdulikanmu, karena bukankah sejak kecil kita sudah saling mengenal dan aku sayang kepadamu. Engkau seperti adikku sendiri. Nah, maukah engkau berjanji?"

Ling Ay memegang tangan Bun Houw, hatinya merasa terharu dan berterima kasih sekali. Kalau saja dahulu Ibunya tidak mata duitan, dan gila hormat, kalau saja ia menjadi isteri pemuda ini, alangkah akan bahagia sekarang hidupnya!”

"Terima kasih, koko. Aku berjanji." katanya dan Bun Houw tersenyum lega. Dengan lembut dia melepaskan tangan wanita itu, lalu berkata, "Aku harus cepat mencari Ouwyang Hui Hong. Setelah melihat ia selamat, baru aku kembali ke sini dan mengantar kalian pindah ke dusun."

Setelah berkata demikian, cepat dia keluar meninggalkan rumah itu. Dia mencari-cari lagi ke seluruh kota, kemudian mendengar bahwa ada orang melihat gadis itu berlari keluar malam hari tadi melalui pintu gerbang utara diapun cepat melakukan pengejaran menuju ke utara.

***

Di rumah Cia Kun Ti, suasananya sudah tenang. Isteri Cia Kun Ti tidak berani banyak bicara lagi. dan Ling Ay juga sudah tidak menangis. Mereka bertiga kini berkemas, mempersiapkan barang-barang yang akan mereka bawa pindah ke dusun. Cia Kun Ti memanggil A Liok, pembantunya dan memasrahkan rumah dan tokonya kepada pembantu itu untuk dicarikan pembeli, dan agar A Liok suka menjaga dulu rumah itu setelah keluarganya pergi, Cia Kun Ti akan kembali ke kota ini setelah mengantar keluarganya keluar dari kota, untuk mengurus penjualan rumah dan toko. A Liok terkejut mendengar ini. "Kenapa hendak pindah, Cia Toako ? Dan kenapa rumah dan toko hendak dijual ? Ke manakah toako hendak pindah?”

"Menyesal aku tidak dapat memberi penjelasan, A Liok. Engkau sudah membantu selama beberapa tahun dengan senang tentu aku tidak akan melupakan jasamu dan akan meninggalkan sedikit modal agar engkau dapat berdagang sendiri. Carikan saja pembeli dan kalau ada yang bertanya macam- macam, katakan saja kami ingin tinggal bertani di dusun."

"Baik, toako, dan terima kasih. Kapan toako akan pindah?"

"Sekarang pulanglah dulu. Entah besok entah lusa kami pindah, engkau akan kupanggil lagi kalau kami akan berangkat."

Demikianlah, sambil menanti kembalinya Bun Houw, Cia Kun Ti dan isterinya, juga Ling Ay, berkemas-kemas. Cia Kun Ti sudah pula memesan sebuah kereta yang siap berangkat sewaktu- waktu. Setelah melakukan persiapan, berkemas sehari penuh itu, malamnya mereka lelah dan tidur. Ling Ay tidur bersama ibunya dalam kamar yang dulu menjadi kamarnya ketika ia masih gadis, dan ayahnya tidur sendiri. Karena malam tadi mereka lama sekali tidak tidur, hati mereka penuh ketegangan, dan hari tadi mereka bekerja, berkemas sehari penuh sehingga tubuh mereka lelah, maka tidak terlalu malam mereka telah pulas.

Tak seorangpun di antara mereka tahu di mana Bun Houw dan sampai di mana hasil usahanya mengikuti jejak Ouwyang Hui Hong. Tadi mereka memang menunggu-nunggu, akan tetapi setelah hari menjadi malam dan mereka mengantuk, mereka menduga bahwa tentu Bun Houw tidak datang malam ini, mungkin besok. Maka merekapun tidur, sedikitpun tidak menduga bahwa menjelang tengah malam, nampak bayangan berkelebat naik ke atas genteng rumah itu.

Orang itu jelas bukan Bau Houw karena dia berpakaian serba hitam dan mukanya ditutupi kedok hitam yang hanya memperlihatkan dua buah mata yang bersinar tajam. Juga di punggung orang itu terselip sebatang golok yang gagangnya beronce merah. Seperti seekor kucing saja, orang itu yang bertubuh tinggi kurus, berloncatan di atas wuwungan rumah dan tak lama kemudian dia sudah berhasil memasuki rumah itu dengan membuka genteng bagian belakang.

PINTU kamar Cia Kun Ti dibuka dengan dorongan kedua tangan. Pintu itu jebol. Karena hal ini menimbulkan suara gaduh, Cia Kun Ti yang sedang tidur nyenyak itu terkejut dan terbangun. Akan tetapi dia hanya sempat bangkit duduk dan terbelalak memandang kepada sesosok tubuh berpakaian hitam yang meloncat masuk melalui pintu yang sudah terbuka. Penyinaran lampu dari luar kamar membuat orang itu hanya nampak bayangan hitam saja, akan tetapi golok di tangannya berkilau, Cia Kun Ti tidak sempat melawan, bahkan tidak sempat berteriak karena sama sekali tidak mengira apa yang akan terjadi, bahkan baru saja terbangun dengan kaget. Tahu-tahu golok itu telah menyambar ke arah lehernya. Leher itu hampir putus, tubuh Cia Kun Ti terjengkang dan tempat tidur itu banjir darah.

Bayangan hitam itu meloncat keluar, kini mendorong daun pintu kamar di mana Ling Ay tidur bersama ibunya. Tidak saperti kamar ayahnya, di kamar Ling Ay masih ada penerangan, yaitu lampu meja kecil yang membuat suasana di kamar itu remang-remang, namun cukup terang. Ibu dan anak itu sudah terbangun oleh suara gaduh ketika daun pintu kamar Cia Kun Ti tadi jebol. Mereka terkejut dan bangkit duduk, saling rangkul dengan kaget. Akan tetapi, dengan mata terbelalak dan hampir tak bernapas mereka mendengarkan dan tidak terdengar suara apa-apalagi. Selagi mereka berbisik-bisik karena Ling Ay mencegah ibunya yang hendak turun dan melihat ke kamar sebelah, tiba-tiba pintu kamar itu jebol. Nyonya Cia Kun Ti masih teringat akan kedudukannya sebagai besan kepala daerah, karena baru saja bangun tidur, dan iapun masih hendak mengandalkan kekuasaannya. Ia melompat dengan berani, turun dari tempat tidur dan menudingkan telunjuknya ke arah orang berkedok itu, "Siapa engkau! Berani sekali memasuki kamar kami, ya? Hayo cepat keluar atau akan kupanggilkan pengawal!"

Akan tetapi, terdengar suara terkekeh di balik kedok. Orang berkedok itu menerjang maju, goloknya menyambar dan Nyonya Cia Kun Ti roboh dengan mandi darah, lehernya nyaris putus oleh sabetan golok tadi. Ling Ay menjerit. Orang berkedok itu sekali renggut merobek kelambu yang tertutup dan dia menyeringai ketika melihat Ling Ay dalam pakaian tipis, pakaian tidur, "Heh-heh, engkau cantik sekali! Biar menjadi tambahan upah jerih payahku malam ini, 'Ha-ha-ha." Akan tetapi ketika penjahat berkedok hitam itu menyambar tubuh Ling Ay, wanita muda ini sudah lemas dan tak sadarkan dirinya.

Penjahat itu mendengus gembira karena keadaan wanita yang pingsan itu memudahkan niatnya menculik wanita itu. Tidak banyak membuat perlawanan, tidak akan meronta. Maka, dipanggulnya tubuh yang lemas, lembut dan hangat itu di pundak kirinya dan diapun melompat pergi meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan isterinya yang sudah menjadi mayat itu.

Siapakah penjahat berkedok itu ? Setelah dia melarikan Ling Ay yang masih pingsan karena ngeri melihat ibunya dibunuh penjahat itu dan keluar dari kota Nan-ping, penjahat itu menanggalkan kedok hitamnya. Ternyata dia seorang lakl-iaki berusia sekitar empatpuluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya kehitaman, penuh dengan bopeng bekas penyakit kulit yang membuat kulit mukanya menjadi tebal. Sepasang matanya sipit dan membayangkan hati yang kejam. Hidungnya pesek dan bibirnya tebal menghitam. Wajah yang buruk menyeramkan. Dia seorang pembunuh bayaran yang terkenal dengan Julukan Hek-coa (Ular Hitam) dan sekali inipun dia membunuh Cia Kun Ti dan isterinya bukan karena dendam pribadi, melainkan karena uang. Dia diupah untuk membasmi keluarga Cia oleh seorang pejabat di kota Nan-ping. Pejabat ini adalah sekutu Cun Taijin dan ketika Souw Ciangkun panglima di Nan-ping membasmi dan menangkap komplotan Cun Taijin, tentu saja pejabat ini menjadi ketakutan. Dia khawatir kalau-kalau rahasia persekutuannya dengan Cun Tai-jin terbongkar. Dia dapat menduga bahwa tentu rahasia Cun Taijin pecah oleh keluarga Cia yang menjadi besan Cun Tai-Jin, maka dia tentu saja takut kalau Cia Kun Ti membongkar pula rahasianya sebagai bekas sekutu Cun Taijin. Maka, di panggilnya Hek-coa dan dengan upah yang besar dia menyuruh penjahat itu untuk membasmi keluarga Cia, yaitu Cia Kun Ti, Isterinya dan anaknya, juga seluruh keluarga yang berada di rumah keluarga itu.

Kalau saja Hek-coa membunuh semua orang di rumah itu tanpa kecuali, dan dia berhasil melarikan diri, tentu akan sukar diketahui bahwa pembunuhan itu didalangi olah pejabat yang bernama Poa Kit Seng, pejabat pemungut pajak yang menjadi pembantu Cun Tai-jin itu. Akan tetapi, ketika melihat Ling Ay yang cantik molek, Hek-coa merasa sayang dan diculiknya wanita itu dan dianggap sebagai tambahan upah jerih payahnya.

Karena tidak ingin terhalang gangguan, seperti seekor anjing yang baru saja mencuri ayam dan tidak ingin ketahuan siapapun juga, maka setelah keluar dari kota Nan-ping, Hek-coa membawa Ling Ay yang dipanggulnya mendaki sebuah bukit di mana terdapat hutan. Dia tahu bahwa bukit itu tidak dihuni orang, dan di puncak bukit itu terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak terpakai lagi dan kosong. Seringkali kalau sedang lari dari pengejaran orang sehabis dia melakukan kejahatan, dia bersembunyi di kuil kosong itu. Kuil yang ditakuti penduduk di sekitar Nan-ping karena dikabarkan kuil itu berhantu. Menurut dongeng, dahulu ada seorang nikouw (pendeta wanita) di kuil itu yang berbuat mesum dan akhirnya karena malu ia mati menggantung diri. Karena aib ini, maka semua nikouw meninggalkan kuil itu yang dianggap telah menjadi tempat yang kotor dan sejak itu, puluhan tahun yang lalu, kuil itu tidak lagi dihuni orang. Didatangi orangpun jarang sekali karena orang-orang takut mendekat setelah dikabarkan bahwa kuil itu berhantu.

Biarpun di angkasa hanya ada bintang-bintang, namun karena Hek-coa sudah hafal akan jalan pendakian setapak itu, maka cepat dia dapat mendaki melalui hutan dan akhirnya, menjelang pagi, dia tiba di luar kuil yang nampak kotor tak terawat itu. Memang dilihat dari luar, kuil itu tua, kotor dan menyeramkan. Gentengnya sudah banyak yang pecah. temboknya penuh lumut dan daun pohon menjalar. Banyak kelelawar beterbangan keluar masuk melalui lubang-lubang atap cukup mengerikan. Akan tetapi Hek-coa tersenyum menyeringai, penuh kegembiraan. Dia tahu bahwa biarpun dari luar nampak kotor menyeramkan, namun di sebelah dalamnya bersih dan hangat. Dia telah menemukan sebuah ruangan yang tidak bocor di bagian belakang kuil itu dan dia telah membersihkan ruangan itu, dijadikan tempat tidur. DI sana terdapat sebuah pembaringan kayu yang bersih dan hangat, dan kini akan menjadi makin indah dengan adanya wanita cantik jelita dalam pondongannya ini.

Tiba-tiba Ling Ay mengeluh lirih dan tubuhnya bergerak. Hek-coa merasa betapa tubuh yang lembut hangat itu, yang sejak tadi sudah menimbulkan gairah yang terbakar, kini menjadi hidup dan bergerak, bahkan meronta. Dia lalu memondong tubuh itu seperti seorang anak kecil dan menyeringai sabar sambil mendekatkan mukanya pada muka Ling Ay.

"Engkau sudah bangun, manis. Heh-heh-heh!”

Biarpun cuaca masih remang-remang, namun Ling Ay dapat melihat muka yang amat dekat dan yang agaknya siap untuk melahapnya itu! Ia menahan jeritnya.

"lhhh ...! Siapa engkau ...? Lepaskan aku!” Teriaknya marah.

"Heh-he-heh, manis sayang, jangan kaget dan jangan takut. Aku ... aku ini ... eh, suamimu, ha-ha-ha" Dan kini Hek-coa menariknya, mendekap dan berusaha mencium. Bukan main kagetnya hati Ling Ay dan kini iapun teringat akan semua peristiwa yang terjadi di dalam kamar Ibunya. Ibunya dibunuh orang yang berpakaian hitam dan berkedok hitam. Dan kini ia berada dalam pelukan seorang laki-laki berpakaian hitam yang wajahnya menyeramkan sekali! Ketika orang itu menciumnya, Ling Ay sekuat tenaga meronta dan memalingkan mukanya sehingga hidung dan mulut Hek-coa mendarat di lehernya yang putih mulus. Mulut itu mengecup leher seperti gigitan seekor anjing serigala pada leher seekor kijang. Ling Ay menggelinjang dan seluruh bulu di tubuhnya meremang. Hampir saja ia pingsan kembali.

"Tidak.: ...! Jangan. ...! Kau lepaskan aku, keparat! Engkau Jahanam yang telah membunuh ibuku! Tolooonggg ... !"

Hek-coa tertawa bergelak, dan mempererat bekapannya. "Berteriaklah, manis. Menjeritlah, merontalah. Makin kuat engkau menjerit dan meronta akan makin menyenangkan hatiku. Akan tetapi tak seorangpun akan mendengar jeritanmu, jeritan pengantinku di malam pertama, ha-ha-ha!” Sambil tertawa dan tidak memperdulikan Ling Ay yang meronta-ronta dan menjerit-jerit, Hek-coa melangkah ke dalam kuil.

Dengan kakinya, Hek-coa mendorong pintu kamar yang dibuatnya itu dan membawa Ling-Ay ke pembaringan kayu yang baginya seperti sedang menanti dan menggapai-gapai. Dengan kasar dia melemparkan tubuh Ling Ay ke atas pembaringan.

Tentu saja Ling Ay merasa ngeri dan ia segera merangkak ke sudut paling jauh dari pembaringan itu, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan ia seperti seekor kelinci yang tersudut menghadapi moncong harimau yang siap untuk mencabik-cabik dagingnya.

"Bunuh saja aku ! Bunuh ... engkau sudah membunuh ayah ibuku, kaubunuh saja aku ...!” Ia menangis. Kini ia dapat menduga bahwa tentu ayahnya juga sudah tewas seperti ibunya.

"Ha-ha-ha-ha, membunuhmu? Aduh, sayang secantik manis engkau kalau dibunuh. Tidak, sayang. Engkau akan menjadi isteriku, mau atau tidak mau, dan engkau akan hidup puluhan tahun lagi untuk menemaniku dalam dunia yang biasanya sepi ini."

"Tidak! Aku tidak sudi! Engkau Jahanam, busuk, kaubunuh saja aku! Aku lebih suka mati dari pada menjadi isterimu!” Tiba-tiba Ling Ay menggerakkan tubuh atasnya, hendak, membenturkan kepalanya pada dinding di belakang pembaringan. Akan tetapi agaknya Hek-coa dapat menduga akan hal ini dan sekali dia meloncat, dia sudah menubruk dan mendekap tubuh Ling Ay yang terbanting ke atas pembaringan, menggagalkan niatnya untuk membenturkan kepalanya ke dinding. Ling Ay meronta- ronta dan memalingkan mukanya yang diciumi oleh Hek-coa sambil tertawa-tawa itu.

Tiba-tiba terjadi suatu keanehan yang membuat Ling Ay kaget, heran dan bingung sendiri. Laki-laki yang buruk rupa dan kasar itu tiba-tiba berteriak ketakutan dan melepaskannya, meloncat turun dari atas pembaringan dan dengan mata terbelalak memandang kepadanya dengan pandang mata jijik, bahkan sempat penjahat itu menggerak-gerakkan pundak seperti orang yang jijik dan ketakutan! Tentu saja Ling Ay tidak tahu mengapa begitu. Kalau saja ia tahu! Dalam pandangan Hek-coa, tiba- tiba taja tubuh yang tadinya mulus dan lembut hangat itu, ketika digelutinya, tiba-tiba terasa dingin dan licin, berbau amis dan ketika dia memandang, tubuh Ling Ay telah berubah menjadi seekor ular yang besarnya melebihi besar paha Hek-coa!”

"Hiiiihhh ...! ... ilnman ... !" Hek-coa tergagap dan meraba gagang golok di punggungnya. Akan tetapi pada saat dia menoleh, dia melihat Ling Ay sudah rebah terlentang di atas lantai, tersenyum manis dengan sikap tubuh dan pandang mata menantang dan merangsang! Seketika Hek-coa telah melupakan ular yang melingkar di atas pembaringan itu dan sambil menyeringai dan mendengus seperti seekor kuda, dia menubruk Ling Ay yang rebah di atas tanah menantinya.

Ling Ay terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Kalau tadi ia meronta-ronta dan menjerit-jerit, kini ia diam saja menahan napas, seolah takut kalau ia bernapas terlalu keras, samua penglihatan itu akan membuyar dan apa yang tadi terjadi atas dirinya akan terulang atau dilanjutkan. Betapa ia tidak akan terbelalak heran kalau melihat penjahat yang mengerikan itu tadi tiba-tiba melepaskannya, meloncat turun dari pembaringan dan memandang kepadanya dengan ketakutan, meraba gagang golok kemudian sekarang menubruk setumpukan jerami kotor yang diikat tali bambu, mendekap seikat jerami itu dan menciuminya, meraba-raba dan menggigitinya dengan gemas sambil mengeluarkan suara menggereng-gereng separti seekor binatang buas mengganyang mangsanya!”

Makin lama Hek-coa menjadi semakin buas dan tiba-tiba terdengar suara ketawa lirih namun karena suasana sudah amat mengerikan dan di situ sunyi sekali, yang terdengar hanya napas ngos-ngosan dari Hek-coa, maka suara ketawa itu terdengar jelas dan amat mengejutkan. Meremang bulu tengkuk Ling Ay karena tadi ia mendengar penjahat itu menyebut-nyebut siluman. Kini suara ketawa itu tentu saja ia hubungkan dengan siluman, apalagi ketika tiba-tiba saja, entah dari mana datangnya, di dalam cuaca yang mulai nampak terang itu, tepat di ambang pintu, telah berdiri seorang wanita cantik! Siapalagi kalau bukan siluman, pikir Ling Ay dan ia masih berlutut di atas pembaringan, mendekap dadanya karena sebagian bajunya robek direnggut penjahat itu tadi.

"Hi-hi-hi-hik, orang ini tiada bedanya seperti seekor babi saja," Wanita itu tertawa dan bicara dengan suara lembut, Ling Ay memandang penuh perhatian. Wanita itu umurnya sekitar empatpuluh tujuh tahun, masih cantik seperti gadis berusia duapuluh lima tahun saja. Rambutnya yang amat hitam dan subur itu melingkar di atas kepalanya dengan gelung model puteri bangsawan tinggi. Pakaiannya dari sutera berwarna merah dan kuning. Di punggungnya nampak tersembul gagang pedang yang Indah dengan ronce-ronce biru. Wajahnya yang berbentuk bulat telur itu manis sekali, dengan sepasang mata tajam berwibawa, hidungnya kecil mancung dan bibirnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek.

Agaknya Hek-coa juga mendengar suara tawa dan ucapan itu dan tiba-tiba saja dia terbelalak memandang seikat jerami kering kotor yang digeluti dan diciuminya.

"Ahhha ... ? Apa ... mengapa ... eh!” siluman ... " Dia tergagap dan bangkit berdiri.!”

Pakaiannya tidak karuan, rambut dan kumis, jenggotnya penuh jerami. Nampak lucu sekali. Hek-coa masih terbelalak bingung, tapi dia segera dapat melihat wanita setengah tua yang, catik itu berdiri di ambang pintu, diapun menoleh ke arah pembaringan dan kembali terkejut melihat Ling Ay masih berlutut di sana.

Dia menoleh lagi ka arah jerami dan menjadi semakin bingung, "Ehhh! Apa ... dan bagaimana ... ular

... ular besar itu ... "

Wanita cantik itu tersenyum lebar dan nampak deretan giginya yang putih dan rapi, masih lengkap. "Engkau ini manusia tapi berwatak binatang! Hayo cepat pergi dari sini, kalau tidak, akan habis kesabaranku dan engkau pasti kubunuh!”

Agaknya kini Hek-coa baru menyadari bahwa dia telah dipermainkan oleh wanita cantik itu. Entah dengan Ilmu apa.

"Engkau siluman! Kaukira aku Si Ular Hitam takut kepadamu? Ha-ha-ha, ditambah seorang lagi seperti engkau, sungguh menggembirakan sekali!”

Dasar seorang yang sudah dikuasai nafsu setan. Hek-coa sudah terbiasa memandang rendah orang lain dan terlalu percaya kepada kemampuan sendiri. Apalagi yang dihadapinya hanya seorang perempuan, cantik lagi walapun tidak semuda wanita yang berlutut di atas pembaringan.

Wanita itu memperlebar senyumnya. "Heh-leh, sikap dan ucapanmu itu menjadi keputusan hukuman mati bagimu!”

"Uwahh! Engkau ini perempuan cantik tapi sombong. Lihat saja nanti kalau aku sudah berhasil menundukkanmu, tentu akan lain bicaramu!” Tiba-tiba saja Hek-coa menubruk, dengan terkaman separti seekor harimau kelaparan sehingga bukan hanya kedua lengan yang dikembangkan itu yang menyerang, bahkan juga kedua kakinya seperti hendak mencengkeram! Ling Ay yang tahu akan kekejaman dan kelihaian penjahat itu, tentu saja merasa khawatir sekali. Akan tetapi, kekhawatiran itu segera berubah menjadi kelegaan hati yang amat menggembirakan ketika tiba-tiba saja, entah mengapa dan bagaimana, tubuh penjahat yang menubruk itu telah terpelanting dan terbanting ke atas tanah dengan kerasnya

"Ngekkk!” Penjahat itu mengeluarkan suara dari perut karena ketika dia terbanting, seluruh tulangnya seperti remuk rasanya. Sejenak dia hanya dapat bangkit duduk, tangan kiri memegangi kepala yang terasa puyeng, tangan kanan menggosok-gosok pantat yang tadi menghantam lantai dengan kerasnya. Akan tetapi dasar orang tak tahu diri. dia masih belum jera. Dia kini menjadi marah bukan main. Setelah kepeningannya hilang, diapun bangkit berdiri dan sekali tangan kanannya bergerak, golok itu sudah dicabutnya. Sinar matahari pagi yang mulai menerobos masuk menimpa golok yang nampak berkilauan mengerikan. Kembali Ling Ay merasa ngeri. itulah golok yang telah membunuh Ibunya, di depan matanya, dan mungkin juga ayahnya! Dan sekarang wanita itu terancam!”

"Jangan bunuh enci itu! Bunuh saja aku, jangan bunuh ia yang sama tidak berdosa. Akulah anggauta keluarga Cun dan Cia, bunuh saja aku!” teriak Ling Ay, Wanita itu menoleh ke arah Ling Ay dan senyumnya manis sekali. "Jangan sebut aku enci. Aku lebih pantas menjadi bibimu dan jangan khawatir. Dia ini bernama Ular Hitam maka bagaimana mungkin dia dapat memegang golok atau pedang? Yang dipegangnya hanyalah seekor ular berbisa!”

Tentu saja Ling Ay merasa heran dan tidak mengerti. Ia memandang kepada Hek-coa dan melihat bahwa yang dipegang penjahat itu adalah sebatang golok besar yang tajam mengkilap, bagaimana dikatakan bahwa penjahat itu memegang seekor ular.

"Ha-ha-ha, sayang sekali orang cantik manis ini otaknya miring!” Hek-coa mengejek untuk membesarkan hatinya sendiri yang sebetulnya mulai merasa gentar. Tadi, ketika dia menyerang dengan tubrukan mautnya, agaknya wanita itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, apalagi memukul. Hanya nampak ia mengangkat kedua tangannya dan dia merasa ada angin yang kuat sekali mendorongnya sehingga dia terpelanting dan terbanting dengan keras. Dia mulai curiga bahwa yang dihadapinya adalah seorang wanita sakti. Akan tetapi dia masih mengandalkan goloknya, maka dia berani mengejek untuk membesarkan hati dan kepercayaan kepada diri sendiri.

Wanita itu menudingkan telunjuknya. "Hek-coa, lihat baik-baik. Bukankah yang kaupegang itu seekor ular kobra? Lihat, ular itu akan melilit lehermu sendiri!”

Bagi Ling Ay, penjahat itu tetap saja memegang sebatang golok tajam, bahkan golok itu sudah diangkat dan diamangkannya dengan penuh ancaman. Akan tetapi ia melihat betapa Hek-coa tiba- tiba memandang golok yang berada di tangan kanannya dan mata yang sipit itu terbelalak, muka hitam itu berubah pucat dan mulutnya ternganga mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh tidak karuan seperti orang yang merasa ngeri dan ketakutan!”

Betapa tidak ? Hek-coa yang mendengar ucapan wanita itu. tentu saja memandang kepada golok di tangannya dan inilah awal kesalahannya. Begitu memandang goloknya, berarti dia sudah jatuh di bawah pengaruh wanita itu, mentaati perintahnya dan dia melihat goloknya bukan berbentuk golok lagi melainkan seekor ular kobra yang dia pegang ekornya. Kini ular itu mengangkat leher dan kepalanya, lehernya, mengembang dan lidahnya keluar masuk dari mulut yang mendesis-desis!”

"Ahhh ... uhhhh ... ular ... ularr. ...! Tidak ... ihhh!” Dia mencoba untuk membuang golok yang telah berubah menjadi ular kobra itu, akan tetapi celakanya, ekor ular yang dipegangnya itu seolah olah melekat di telapak tangannya. Ular itu kini mulai mendekati lehernya! Bahkan mulai melilit lehernya. Terasa dingin-dingin licin di kulit lehernya.

Hek-coa menjerit-jerit dan memandang ke kanan kiri ketakutan. Ling Ay menjadi bengong! Tadinya dia masih mengira bahwa si muka hitam itu hanya berpura-pura untuk mempermainkan wanita cantik ini. Akan tetapi kini ia melihat si muka hitam itu selain ketakutan, juga golok yang dipegangnya itu hendak digorokkan ke lehernya sendiri! Golok itu sudah menempel di leher dan mulai nampak darah ketika golok yang tajam itu mengiris kulit leher, Tahulah ia bahwa si muka hitam itu tentu akan mati menggorok leher sendiri, agaknya melihat golok itu telah berubah menjadi ular yang hendak melilit lehernya. Tiba-tiba Ling Ay turun dari atas pembaringan.

"Enci ... bibi...! Harap jangan bunuh dia dulu!”

Wanita itu menoleh dan tersenyum dan sekali ia menggerakkan tangannya ke arah Hek-coa, penjahat itu sadar dan mukanya pucat melihat betapa dia menempelkan goloknya di lehernya sendiri. Tangan kirinya meraba bagian leher yang perih dan temyata leher itu terluka dia menjadi semakin ketakutan. Wanita cantik itu tentulah siluman! Dia berteriak dan sambil melempar goloknya, diapun meloncat hendak melarikan diri. Akan tetapi kembali wanita itu menggerakkan tangan ke arahnya dan angin menyambar dahsyat dan tubuh Hek-coa terpelanting lagi, terbanting keras. Maklumlah Hek-coa bahwa tak mungkin dia lari dari wanita siluman ini, maka dengan tubuh menggigil kelakutan, dia lalu menjatuhkan diri berlutut ke arah wanita itu.

"Mohon ... ampun ... hamba ... hamba berdosa, ampunkan hamba ... !"

"Diam saja di situ dan jangan bergerak!" kata wanita itu dan Hek-coa tidak berani lagi bengerak atau membuka mulut, hanya berlutut dengan tubuh gemetar, "Nona, engkau tadi mengatakan bahwa ayah dan ibumu dibunuh oleh Ular Hitam ini, dan sekarang engkau minta kepadaku agar jangan membunuhnya dulu? Apakah engkau hendak membalas dendam dan hendak menyiksanya dulu sebelum membunuhnya ? Hi-hik, kalau begitu, aku dapat mengajarimu cara menyiksa yang paling hebat, yang akan membuat dia menderita siksaan yang membuat dia mati tidak hiduppun tidak!”

Ling Ay maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang wanita sakti, maka ia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki wanita itu. "Bibi, harap maafkan saya. Bukan maksud saya untuk membalas dendam dengan penyiksaan. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga saya mempunyai dosa besar terhadap pemerintah dan sudah sepatutnya kalau saya pun dihukum. Hanya saya ingin tahu dari orang ini, mengapa dia membunuh ayah dan ibu dan menculik saya. Seperti itukah pelaksanaan hukuman pemerintah? Saya ingin mendengar dari dia segala rahasia yang terdapat di balik perbuatannya yang terkutuk ini."

Wanita cantik itu nampak tertarik sekali dan sejenak ia mengamati wajah Ling Ay. "Anak yang baik, siapakah keluargamu? Siapa pula engkau dan dosa apa yang dilakukan keluargamu? Ceritakanlah segalanya sebelum kupaksa jahanam ini mengaku.”

Ling Ay sudah putus asa. Ayah ibunya telah tewas, keluarga suaminya juga telah terbasmi. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang dapat ia harapkan. Kwa Bun Houw? Ah, ia malas kalau harus mengganggu pemuda bekas tunangannya itu. Sudah terlampau banyak pemuda itu menderita karena dirinya! Maka, kemunculan wanita sakti ini menghidupkan kembali harapan yang hampir padam di hatinya dan pertanyaan itu membuat ia begitu terharu sehingga ia menangis di depan kaki wanita itu, terisak-isak.

Sejenak wanita itu membiarkan saja Ling Ay menangis. Iapun tahu bahwa biarpun lemah dan tidak memiliki kepandaian silat, namun wanita muda yang berlutut di depan kakinya ini bukanlah seorang wanita cengeng yang menuruti perasaan saja. Akan tetapi tak lama kemudian ia berkata dengan suara tegas. "Hentikan tangismu. Aku paling tidak suka kecengengan! Ceritakan keadaanmu dan aku akan membantumu. Kalau kau menangis terus aku akan meninggalkanmu!”

Mendengar itu, seketika Ling Ay berhenti menangis. Hai ini saja menunjukkan bahwa wanita ini memiliki kekerasan hati yang mampu mengatasi perasaannya. Setelah mengusap dan mengeringkan sisa air mata dari kedua pipinya. Ling Ay lalu menceriterakan semua riwayatnya secara singkat. Ia menceriterakan betapa ia dipaksa oleh orang tuanya untuk menjadi isteri Cun Hok Seng, putera kepala daerah Nan-ping walaupun ia sama sekali tidak mencinta pemuda itu. Betapa ia berusaha untuk menjadi seorang isteri yang baik, akan tetapi suaminya ternyata amat pencemburu dan suka kepadanya hanya karena nafsu yang haus kecantikan belaka.

"Kemudian terjadilah malapetaka itu," sambungnya. "Tanpa saya ketahui, ternyata ayah mertua saya. Cun Tai-jin, mempengunakan orang-orang jahat untuk memberontak! Hal ini ketahuan oleh panglima pasukan keamanan di Nan-ping dan rumahnya diserbu pasukan. Saya diajak pulang ayah karena ayah telah tahu hal itu. Keluarga Cun ditangkapi, akan tetapi saya terbebas karena jaminan ... seorang pendekar yang membantu Souw Ciangkun membasmi persekutuan pemberontak. Dan malam ini ... dia ini datang membunuh ayah dan Ibu, dan menculik saya. Karena itulah, bibi yang mulia, saya mohon agar orang ini jangan dibunuh sebelum dia mengaku siapa yang menyuruhnya dan mengapa pula ayah ibu saya dibunuh."

Wanita itu menoleh ke arah Hek-coa yang masih berlutut tak berani bengerak. "Nah, Ular Hitam, engkau sudah mendengar sendiri apa yang dikatakan oleh nyonya muda ... eh, siapa namamu tadi, Cia Ling Ay? Hayo ceritakan mengapa engkau membunuh ayah ibunya lalu menculiknya! Awas, sekali berbohong akan kupenggal sebuah telingamu!”

Hek-coa sudah mati kutu benar-benar. Dia tahu bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri dari tangan wanita sakti ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah minta ampun, atau kalau toh dia harus menjalani hukuman, dia tidak mau menanggungnya sendiri, Sifat umum yang amat buruk dari kita seperti sikap Hek-coa itu, yalah segala hal yang menyenangkan ingin diborong sendiri dan sebaliknya, segala hal yang menyusahkan ingin ditanggung beramai-ramai.

"Ampunkan saya, li-hiap (pendekar wanita)," katanya merendah. "Sesungguhnya, saya hanyalah seorang bawahan saja, seorang pelaksana. Saya diperintah seseorang untuk membunuh keluarga Cia. Ketika melihat nyonya muda ini, hati saya merasa tidak tega dan karena saya belum mempunyai isteri, maka maksud saya untuk memperisterinya karena saya merasa kasihan. Saya pribadi tidak mengenal keluarga Cia, bagaimana bisa bermusuhan ? Saya diperintah ... "

"Siapa yang menyuruhmu?" Kini Ling Ay yang bertanya karena ia merasa penarasan sekali.

Bahkan terhadap Ling Ay yang tadi hampir diperkosanya, Hek-coa bersikap takut dan hormat. Hal ini adalah karena dia mengharapkan pengampunan dari Ling Ay yang tidak begitu galak dibandingkan wanita sakti itu. Tadipun nyonya muda ini yang minta kepada si wanita sakti agar tidak membunuhnya.

"Yang memerintahkan saya untuk melakukan pembunuhan adalah Poa Tai-jin ... saya hanya melaksanakan perintah ..." "Poa Tai-Jin?” Ling Ay mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. "Poa Tai-jin yang menjadi pembantu Cun Tai-jin. pengumpulan pajak itu ?”

"Benar, toanio. Dia Poa Kit Seng, dia yang memerintahkan saya dan saya ... saya hanya melaksanakan "

"Kutu busuk!” Wanita sakti itu membentak, muak melihat sikap pengecut penjahat itu, "Engkau pembunuh bayaran, ya ?"

Hek-coa hanya mengangguk-angguk dan menyembah-nyembah. "Ampunkan saya   "

Kini Ling Ay bangkit berdiri, memandang kepada wanita sakti dan berkata, "Bibi, kumohon bibi sudi menemani saya untuk pergi kepada Souw Ciangkun bersama penjahat ini. Saya harus melaporkan tentang hal ini, karena agaknya masih banyak sisa sekutu pemberontak."

Wanita itu memandang heran. "Pergi kepada panglima pasukan di Nan-ping? Dan engkau adalah anggauta keluarga Cun, tentu engkau akan ditangkap pula."

"Sudah semestinya begitu, bibi. Saya tidak takut dan memang sudah sepatutnya saya bertanggung jawab sebagai anggauta keluarga Cun. Akan teiapi yang terpenting, semua sisa pemberonlak harus dibersihkan."

"Hemm, engkau memang aneh dan tabah sekali, Ling Ay." kata wanita itu yang kemudian membentak Hak-coa, "Hayo katakan kenapa pejabat she Poa itu membayarmu untuk membunuh keluarga Cia! Awas, ceritakan sesungguhnya kalau tidak ingin kusiksa!”

"Poa Kit Seng takut kalau sampai rahasianya dibocorkan oleh keluarga Cia, li-hiap. Dia     seperti

dugaan toa-nio ini tadi, dia memang sekutu dari Cun Taijin, Dia takut kalau ketahuan oleh pemerintah dan ikut ditangkap. Yang mengetahui rahasia itu agaknya hanya keluarga Cia, maka dia memerintahkan hamba membasmi keluarga itu."

"Hemm, ternyata apa yang kau duga memang tepat, Ling Ay. Sekarang, apa yang kau inginkan?”

"Saya ingin menyerahkan diri sebagai anggauta keluarga Cun, bibi, dan saya ingin agar Souw Ciangkun menangkap orang she Poa itu bersama semua sisa pemberontak."

"Tapi engkau dapat dihukum penjara, bahkan dihukum mati!”

"Saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, bibi. Ayah ibuku sudah tidak ada, juga keluarga suamiku tidak ada. Saya sebatang kara dan hidup ini hanya penuh kedukaan. Saya bersedia untuk dihukum mati sekalipun.”

"Hemm, hendak kulihat nanti. Mari kita pergi." kata wanita itu dan membentak Hek-coa, "Engkau sudah mendengar tadi ? Hayo antarkan kami kembali ke Nan-ping menghadap Souw Ciangkun!"

Tentu saja diam-diam Hek-coa merata takut sekali. Menghadap panglima yang membasmi pemberontakan itu seperti juga seekor tikus menghadap kucing! Akan tetapi terhadap wanita sakti ini dia tidak mampu berbuat apa-apa, maka diapun bangkit dan mereka bertiga keluar dari dalam kuil tua.

Ketika mereka tiba di hutan dalam perjalanan menuruni bukit itu, di bagian yang belukar dan masih agak gelap karena matahari pagi masih terlalu lemah unluk dapat menerobos daun-daun pohon yang rimbun, tiba-tiba Hek-coa meloncat ke kiri, hendak melarikan diri. Dia melihat kesempatan baik ketika berada di dalam hutan ini, satu-satunya kesempatan untuk dapat menyelamatkan diri dari tangan wanita sakti itu.

Tentu saja Ling Ay terkejut ketika tiba-tiba penjahat itu meloncat ke kiri dan lenyap di balik semak belukar. Akan tetapi wanita cantik itu tidak nampak terkejut, bahkan tersenyum manis dan iapun berseru dengan suara nyaring, lembut namun penuh wibawa.

"Hek-coa, berhenti kau!”

Wanita itu lalu menggandeng tangan Ling Ay dan diajak melangkah ke balik semak belukar dan ...

Hek-coa nampak berdiri seperti patung dan matanya terbelalak, mukanya yang hitam itu menjadi semakin gelap. Bagaimana dia tidak akan ketakutan kalau tadi, setelah dia berhasil meloncat ke balik semak belukar dan sudah siap untuk melarikan diri ke dalam hutan lebat, menuju kebebasan, tiba-tiba terdengar bentakan lembut itu dan anehnya, begitu mendengar dia disuruh berhenti, seketika kakinya tidak mau lagi diajak berlari!” Kini wanita itu sudah tiba di depannya, bersama Ling Ay yang juga memandang terheran-heran. Orang ini sudah berhasil meloncat ke balik semak belukar, kenapa kini berdiri seperti patung?

"Engkau hendak melarikan diri dariku ? Hemm, biar engkau bersayap sekalipun, jangan harap dapat melarikan diri. Engkau memang seorang yang jahat dan licik, pantas dihajar!" Cepat sekali tangan wanita itu bengerak, terdengar suara "pletak" dua kali dan kedua tulang pundak Hek-coa telah patah- patah! Tentu saja dia tidak mampu lagi menggerakkan kedua lengannya yang kini tengantung lemas karena kalau digerakkan, kedua pundaknya terasa nyeri bukan main.

“Hayo jalan!” bentak wanita itu dan dengan kedua lengan tengantung di kanan kiri, dengan muka menunduk, Hek-coa melanjutkan langkahnya, menahan rasa nyeri yang membuat seluruh tubuhnya basah oleh keringat dingin. Wanita itu berjalan di belakangnya, masih menggandeng tangan Ling Ay.

"Bibi, kalau boleh saya bertanya. Siapakah bibi?"

"Namaku Kwan Hwe Li dan orang di dunia persilatan menyebut aku Bi Moli (Iblis Wanita Cantik). Akan tetapi engkau boleh memanggil aku Bibi Hwe Li saja."

"Aih, sungguh keterlaluan orang-orang itu!” Ling Ay berseru penasaran. "Engkau lebih pantas disebut Sianli (Dewi) dari pada Moli (Iblis Betina), bibi!”

Sementara itu, mendengar disebutnya julukan Bi Moli, seluruh tubuh Hek-coa menggigil. Dia pernah mendengar akan nama besar Bi Moli, seorang wanita kang-ouw, bahkan seorang datuk sesat yang selain amat lihai ilmu silat dan ilmu sihirnya, juga amat ganas dan kejam terhadap lawannya!”

Bi Moli Kwan Hwe Li tersenyum mendengar ucapan Ling Ay. "Tidak, Ling Ay, aku memang seorang Iblis wanita terhadap musuh-musuhku yang jahat. Kautahu, kalau tidak karena engkau, orang ini sudah menggeletak di kuil yang tadi, menjadi bangkai yang kini diperebutkan oleh binatang hutan. Sudah kubunuh dia!”

Tentu saja Hek-coa menjadi semakin ketakutan. Perjalanan dilanjutkan dengan cepat menuju ke kota Nan-ping. Mereka tiba di kota itu setelah tengah hari dan mereka langsung menuju ke markas pasukan yang dipimpin Souw Ciangkun. Benteng itu berada di ujung selatan kota Nan-ping.

***

Ketika menerima laporan dari penjaga pintu gerbang bahwa ada dua orang wanita cantik membawa tawanan seorang pembunuh minta menghadap, Souw Ciangkun merasa heran akan tetapi cepat menyuruh pengawalnya mempersilakan dua orang wanita dengan tawanannya itu untuk datang menghadapnya dalam ruangan kantor. Tadinya dia mengira bahwa seorang di antara dua wanita cantik itu tentulah pendekar wanita Ouwyang Hui Hong yang sudah dikenalnya. Maka, dia merasa heran sekati ketika melihat bahwa tamunya itu bukan lain adalah Cia Ling Ay atau yang pernah dikenalnya sebagai Nyonya Cun Hok Seng, mantu dari Cun Tai jin Dia sudah berjanji kepada Kwa Bun Houw bahwa wanita ini tidak akan dituntut sebagai anggauta keluarga Cun. maka tentu saja dia merasa heran bagaimana wanita ini sekarang muncul menghadapnya. Dan diapun tidak mengenal wanita cantik setengah tua yang datang bersama Ling Ay. Akan tetapi, sebagai komandan pasukan di Nan-ping, dia segera mengenal Hek-coa yang kedua lengannya tengantung lumpuh itu.

Setelah memberi hormat dan mempersilakan dua orang tamunya duduk sedangkan Bi Moli membentak dengan suara halus agar Hek-coa berlutut di lantai, Souw Ciangkun lalu bertanya akan maksud kunjungan itu.

"Souw Ciangkun tentu masih mengenal saya. Saya adalah mantu Cun Tai-Jin dan selain saya datang untuk menyerahkan diri sebagai mantu seorang pemberontak, juga saya hendak melaporkan akan peristiwa yang menimpa keluarga ayah saya."

"Kami sudah menerima laporan pagi ini tentang peristiwa menyedihkan di rumah orang tuamu itu, Cun Hujin (Nyonya Cun). Ayah dan ibumu terbunuh dan engkau lenyap. Akan tetapi kami tidak tatu siapa yang melakukan pembunuhan itu dan ke mana engkau pergi." kata Souw Ciangkun, nada suaranya mengandung iba. Nyonya muda ini memang bernasib malang, pikirnya. Baru saja keluarga suaminya ditangkapi karena memberontak, disusul pembunuhan terhadap ayah dan ibu kandungnya.

Ling Ay menarik napas panjang. "Dia inilah pembunuh ayah Ibuku, Ciangkun, dan dia pula yang menculik saya. Untung saya ditolong oleh Bibi Kwan ini yang juga menanggapnya."

"Hek-coa, si keparat! Sekali ini engkau tidak akan lolos dari hukuman!” Souw Ciangkun membentak marah. "Saya menyerahkan kepada Ciangkun untuk menghukumnya, akan tetapi dia ini tidak begitu penting, Ciangkun. Ternyata yang meryuruh dia membasmi keluarga Cia adalah Poa Ku Seng, pejabat pemungut pajak itu dan dalihnya karena dia takut rahasianya terbongkar. Dia adalah sekutu dari ayah mertuaku. Karena itulah saya menghadap Ciangkun, agar semua sisa pemberontak dapat dibersihkan, juga untuk menyerahkan diri untuk ditangkap."

Souw Ciangkun memandang kagum, lalu bangkit berdiri dan begitu dia bertepuk tangan, beberapa orang pengawalnya datang menghadap. Souw Ciangkun bangkit berdiri dan berkata kepada mereka, "Cepat panggil Tan Ciangkun datang menghadap. Sekarang juga!”

Tan Ciangkun adalah wakilnya dan tinggal di dalam benteng itu juga, maka sebentar saja Tan Ciangkun, seorang perwira yang usianya sekitar empat puluh tahun. Tan Ciangkun masuk dan memandang dengan penuh pertanyaan kepada dua orang wanita dan seorang laki-laki yang berlutut itu.

"Tan Ciangkun, suruh seret Hek-coa ini dan jebloskan ke dalam tahanan, dijaga ketat jangan sampai lolos atau bunuh diri. Dia akan menjadi saksi penting. Dan kerahkan pasukan, tangkap seluruh keluarga pejabat Poa Kit Seng, jangan ada yang sampai melarikan diri. Sekarang juga! Dia adalah sekntu dari pemberontak Cun!"

Tan Ciangkun memberi hormat, lalu memerintahkan dua orang pengawal untuk menyeret Hek-coa pergi dan dia sendiri lalu keluar untuk melaksanakan perintah penangkapan terhadap keluarga pembesar Poa Kit Seng.

Setelah ruangan itu sunyi kembali dan hanya mereka bertiga yang berada di situ, Ling Ay lalu berkata kepada Bi Moli, "Bibi, untuk yang terakhir kalinya, saya menghaturkan banyak terima kasih kepada bibi, bukan saja karena bibi telah menyelamatkan saya, terutama sekali karena bibi telah dapat menangkap pembunuh orang tuaku dan membongkar sekutu pemberontakan." Setelah berkata demikian, Ling Ay memberi hormat kepada wanita cantik itu lalu menghadap Souw Ciangkun sambil berkata, "Ciangkun, saya sudah siap untuk ditangkap dan dituntut. Silakan.” Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di atas lantai sambil menundukkan mukanya.

Bi Moli sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan saja akan tetapi diam-diam ia merasa kagum dan suka kepada wanita muda yang tabah itu walaupun mengalami nasib yang buruk sekali. Ia ingin tahu apa yang akan dikatakan panglima itu, akan tetapi diam-diam ia mengambil keputusan dalam hatinya untuk mencegah kalau Ling Ay akan dihukum.

Souw Ciangkun melangkah maju mendekat dan membungkuk, lalu dengan sikap kebapakan dia memegang lengan Ling Ay dan ditariknya wanita itu agar bangkit berdiri, dengan sikap lembut.

"Tidak, engkau tidak akan dituntut. Kami telah mendengar semua tentang dirimu dari Kwa Tai-hiap (pendekar besar Kwa) dan kami sudah bersepakat dengan dia untuk tidak menuntutmu atau keluarga orang tuamu. Kami harus memegang janji terhadap pendekar yang berjasa banyak dalam pembongkaran rahasia pemberontakan Cun Tai-jin itu."

Mendengar ini, Ling Ay tertegun. "Ah, kembali Houw-toako yang telah menolongku ... aih, dia melimpahkan budi kebaikan kepadaku, sedangkan aku ... aku hanya menyakiti hatinya ... " katanya lirih dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah. "Sudanlah, Ling Ay. Hal yang lalu sudah lewat, tiada gunanya dipikirkan lagi," tiba-tiba Bi Moli berkata sambil memegang tangan Ling Ay. "Setelah selesai urusan kita dengan Souw Ciangkun, mari kita pergi dan sini." Wanita itu menggandeng tangan Ling Ay dan menariknya. 

"Pergi? Bibi, pergi ke manakah ? Aku tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku tidak mau pulang ke rumah orang tuaku. Aku hanya ingin melihat jenazah mereka, mengurus pemakaman mereka, kemudian ... aku tidak tahu harus pergi ke mana. Tinggal di rumah itu hanya akan mengingatkan aku akan segala hal yang mengerikan." Ia menahan tangisnya karena maklum betapa Bi Moli tidak suka melihat kecengengan.

"Baik, mari kuantar engkau mengurus jenazah orang tuamu. Setelah itu, engkau ikut denganku." "Ke mana?”

"Kaulihat saja nanti."

Dua orang wanita itu pergi dan Souw Ciangkun hanya mengantar dengan pandang mata yang penuh iba. Akan tetapi perwira gagah yang banyak pengalaman ini maklum bahwa di tangan seorang wanita sakti yang cantik itu, tentu keselamatan Cia Ling Ay terjamin. Ketika Ling Ay dan Bi Moli tiba di rumahnya, jenazah ayah Ibunya telah diurus oleh para tetangga dan telah dimasukkan peti. Ia hanya dapat menangisi ayah ibunya di depan kedua peti mati dan semua tetangga memandang dengan hati terharu. Akan tetapi begitu Bi Moli mendekatinya dan menyentuh pundaknya. Ling Ay menghentikan tangisnya.

"Bibi Kwan. maafkan kelemahanku." bisiknya kepada wanita cantik yang tersenyum akan tetapi yang memandang dengan mata tajam penuh teguran itu.

Dengan sederhana, jenazah Cia Kun Ti dan isterinya dimakamkan. Kemudian, Ling Ay menyerahkan rumah orang tuanya kepada seorang tetangga yang baik, membawa pakaian dan perhiasannya, dan pergilah ia mengikuti Bi Moli Kwan Hwe Li. Dan mulai saat itu, Cia Ling Ay, wanita muda yang tadinya lemah, tumbuh menjadi seorang wanita yang digembleng ilmu silat tinggi dan juga ilmu sihir!”

Ada satu hal yang menggelisahkan hati Ling Ay selama ia mengurus pemakaman kedua orang tuanya. Kenapa Kwa Bun Houw tidak pernah muncul ? Kalau pemuda itu tahu bahwa ayah ibunya dibunuh orang, ia merasa yakin pemuda itu pasti datang melayat. Ia teringat bahwa pemuda itu akan mencari Ouwyang Hui Hong yang katanya sedang melakukan pengejaran terhadap Pek I Mo-ko. Bahkan ia dan ayah ibunya malam itu sedang menanti kembalinya, karena Bun Houw sudah berjanji akan mengantar mereka pergi pindah ke dusun. Apakah yang terjadi dengan pemuda itu? Walaupun ia kini sudah ikut Bi Moli Kwan Hwe Li. namun setiap teringat kepada Bun Houw, masih saja ia merasa terharu dan khawatir.

***

Kekhawatiran Ling Ay memang beralasan. Kenapa perginya Kwa Bun Houw sehingga dia tidak sempat tahu akan kematian Cia Kun Ti dan isterinya, dan tidak datang melayat? Dia bukan seorang pemuda yang suka melanggar janji, Apalagi janjinya terhadap bekas tunangannya!

Seperti kita ketahui, pada waktu diadakan penyerbuan oleh pasukan terhadap keluarga Cun Tai-jin yang diakhiri dengan tewasnya para jagoan pemberontak itu dan ditangkapnya semua anggauta keluarga pemberontak, Pek I Mo-ko berhasil melarikan diri dan dikejar oleh Ouwyang Hui Hong. Bun Houw yang mendengar dari Souw Ciangkun bahwa gadis perkasa itu mengejar Pek I Mo-ko. segera mencari dan melakukan pengejaran. Namun, selama semalam suntuk dia mencari-cari dengan sia- sia. Dia tidak berhasil menemukan jejak Hui Hong ataupun Pek I Mo-ko. Ketika dia pergi ke rumah Cia Kun Ti. dia mengatakan bahwa dia akan mengantar keluarga Cia pindah ke dusun setelah dia berhasil menemnkan Hui Hong. Maka, pergilah dia meninggalkan rumah keluarga Cia untuk mencari Hui Hong.

Sampai seminggu lamanya Bun Houw mencari-cari tanpa hasil. Tentu saja dia menjadi gelisah bukan main. Di satu fihak, dia harus mencari Hui Hong sampai dapat karena gadis itu melakukan pengejaran terhadap seorang datuk sesatl yang lihai dan penuh tipu muslihat. Mungkin dalam hal ilmu silat, Hui Hong tidak kalah dan mampu menandingi kepandaian datuk sesat itu. Akan tetapi, gadis itu masih muda dan kurang pengalaman, maka mengejar seorang seperti Pek I Mo-ko yang amat curang, sungguh berbahaya sekali. di lain pihak, dia teringat akan janjinya kepada keluarga Cia di Nan-ping yang akan dia amankan pindah ke dusun. Akan tetapi, urusan mengantar keluarga Cia ke dusun tidaklah penting benar dibandingkan urusan mercari Hui Hong karena hal ini ada hubungannya dengan keselamatan Hui Hong. Maka, biarpun dengan berat hati karena dia harus melanggar janjinya kepada keluarga Cia, terpaksa Buo Houw yang sudah melakukan perjalanan jauh itu tidak dapat kembali ke Nan-ping.

Akhirnya dia menemukan jejak mereka pada hari ke delapan. Ketika dia tiba di sebuah dusun di sebelah utara kota Nan-ping, dia mendengar dari seorang penjual air teh atau semacam kedai minuman dan makanan kecil yang berdagang di tepi jalan perempatan dusun bahwa dua orang yang dicarinya itu kebetulan sekali singgah dan minum teh di situ.

"Empat hari yang lalu kakek berpakaian putih seperti yang sicu (tuan) gambarkan itu lewat di sini, bahkan singgah sebentar untuk minum teh dan makan bakpauw. Dia nampak tergesa-gesa, kemudian dia melanjutkan perjalanan ke utara. Dan dua hari kemudian, kemarin dulu, pagi-pagi seorang nona lewat dan singgah pula di sini. Orangnya cantik muda dan galak, pakaiannya sederhana dan di punggungnya memang nampak sepasang pedang. Ia galak sekali. Ketika seorang tuan muda yang menjadi tamu di sini menegurnya dengan ramah karena tertarik oleh kecantikannya, kongcu itu ditampar sampai giginya copot dua buah dan pipinya bengkak. Huh, Ia seperti harimau betina!”

Bukan main girang rasa hati Bun Houw. Tak salah lagi, mereka itu tentu Pek I Mo-ko dan Hui Hong. Kiranya Hui Hong masih tertinggal jauh oleh Pek I Mo-ko. "Engkau tahu ke mana perginya nona itu.?" tanyanya sambil mengeluarkan uang untuk memberi hadiah kepada pelayan yang suka mengobrol itu. Melihat uang ini, si pelayan menjadi girang, menerimanya dan menceritakan apa saja yang diketahuinya.

"Kami semua tidak tahu, sicu, Akan tetapi aya berani bertaruh bahwa ia tentu mencari kakek baju putih itu dan melakukan pengejaran ke utara."

"Eh ? Bagaimana engkau bisa tahu bahwa nona itu mengejar si kakek baju putih?”

"Tentu saja saya tahu!" kata si pelayan dengan sikap bangga. "Kebetulan sekali saya yang melayani nona itu dan ia banyak bertanya tentang seorang kakek berpakaian putih. Setelah mendeagar bahwa dua hari yang lalu kakek itu lewat di sini dan menuju ke utara, iapun segera membayar minuman dan tergesa-gesa menuju ke utara!"

Girang rasa hati Bun Houw, akan tetapi juga khawatir. Girang karena dia yakin bahwa memang Pek I Mo-ko dan Hui Hong lewat di dusun itu. Gelisah karena tak jauh lagi di utara merupakan daerah Kerajaan Wei yang menguasai seluruh daerah utara, sebuah kerajaan yang besar dan kuat, dipimpin oleh suku Bangsa Toba atau Tartar! dan agaknya Pek I Mo-ko melarikan diri ke daerah itu, dikejar oleh Hui Hong. Sungguh berbahaya. Diapun cepat membayar harga minuman dan melanjutkan perjalanannya ke utara.

Pada waktu itu, Cina terbagi menjadi dua kerajaan. Di bagian utara, daerah Sungai Huang-ho ke utara, dikuasai oleh Kerajaan Wei atau Dinasti Wei (386-532) dan pada waktu itu (sekitar 473) yang menjadi kaisar Kerajaan Wei adalah Kaisar Wei Ta Ong. Kota rajanya di Lok-yang. Dinasti Wei ini di pimpin oleh suku bangsa Toba atau yang lebih dikenal dengan Bangsa Tartar. Namun, sejak pemerintahan pertama, keluarga kerajaan itu yang ingin disebut maju dan tidak ketinggalan jaman, selalu menyesuaikan diri dengan bahasa, kebudayaan dan pakaian Bangsa Han, yaitu bangsa pribumi terbesar di Cina, Berkali-kali Kerajaan Wei ini mengadakan penyerangan ke selatan, namun kerajaan lain di bagian selaian selalu memberi perlawanan gigih sehingga gagallah usaha Kerajaan Wei untuk menguasai kerajaan di selatan.

Adapun di bagian selatan, yaitu daerah Yang-ce-kiang ke selatan, pada waktu itu dikuasai oleh kerajaan atau Dinasti Sung atau lengkapnya Kerajaan Liu Sung (420. 477) dan pada waktu cerita ini terjadi, baru saja Kaisar Cang Bu (473-477) atau kaisar terakhir Kerajaan Liu Sung menduduki tahta kerajaan.

Karena selalu terjadi permusuhan di antara kedua kerajaan ini, maka di daerah tapal batas antara keduanya, yaitu di antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-tse, selalu terjadi bentrokan senjata antara pasukan kedua kerajaan. Daerah yang cukap luas di antara mereka ini menjadi daerah tak bertuan, daerah liar yang tentu saja dimanfaatkan oleh para penjahat dan golongan sesat untuk di jadikan tempat persembunyian.

Kerajaan Wei yang barpusat di Lok-yang sebagai kota raja itu, kini diperintah oleh Kaisar Wei Ta Ong yang terkenal keras dalam melaksanakan pemerintahannya. Kerajaan Wei sudah berusia hampir satu abad dan kini orang luar sukar membedakan bahwa keluarga kerajaan itu adalah orang-orang Tartar. Selama seabad ini, keluarga mereka telah menyesuaikan diri dengan kebudayaan Han, bahkan banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Han sehingga anak keturunan mereka sukar dibedakan dari orang Han aseli. Kalaupun ada sedikit perbedaannya, hal itu mungkin hanya karena sikap orang-orang Tartar yang menjadi penguasa itu bersikap sebagai golongan yang lebih tinggi dari pada orang Han aseli, dan biarpun pakaian dan bahasa mereka sudah sama dengan Bangsa Han, namun kesukaan mereka mengenakan bulu burung antuk menghias rambut atau penutup kepala, merupakan ciri khas orang Tartar yang masih melekat kepada mereka.

Pada waktu Bangsa Tartar suku Toba ini menyerbu dari daerah Mongolia ke selatan, mereka masih merupakan suku yang liar dan buas, seperti biasa menjadi watak orang-orang Nomad yang hidupnya menentang banyak kesukaran, membuat mereka keras dan cerdik. juga pemberani. Namun sekarang, setelah menjajah dengan mendirikan Dinasti Wei selama seabad, keluarga kaisar telah berubah. Mereka kini terpelajar, bangsawan, walaupun sifat keras tak mengenal ampun, cerdik dan pemberani masih ada pada mereka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar