Kisah Si Pedang Kilat Jilid 2

Jilid 2

Tanah kuburan yang biasanya sunyi itu kini penuh orang. Sejak pagi banyak orang datang berkunjung karena hari itu adalah hari Ceng-beng, yaitu hari yang merupakan hari besar bagi para keluarga untuk mengunjungi tanah kuburan nenek moyang mereka. Para keluarga ini melakukan sembahyang di depan makam orang tua atau kakek nenek mereka, membersihkan makam-makam keluarga itu.

Makam-makam yang sunyi itu nampak biasa saja. Sukar dibayangkan bagaimana perataan para penghuni makam itu andaikata masih memiliki perasaan seperti ketika masih hidup. Mereka yang telah mati itu hanyi setahun sekali menerima kunjungan sanak saudara, anak cucu. Setahun sekali, dalam waktu sejam dua jam saja, para keluarga itu datang berkunjung dan bersembahyang. Setelah itu, anak cucu itu segera pergi lagi, dan makam kembali menjadi sunyi. Penghuni makam dibiarkan sunyi sendiri, menanti sampai kunjungan berikutnya yang akan mereka terima setahun kemudian! Selama "menunggu" itu, tak seorangpun di antara para anak cucu yang ingat akan makam itu, dan makam dibiarkan terlantar, hanya menjadi tempat mainan para penggembala kambing.

Akan tetapi pada hari Ceng-beng itu, para anak cucu datang dengan pakaian yang baru, membawa hidangan untuk sembahyang dan ramailah keadaan di tanah kuburan yang biasanya amat sunyi itu. Serombongan keluarga yang memasuki tanah kuburan itu tentu merupakan keluarga yang penting dan terpandang. Buktinya, hampir semua pengunjung tanah kuburan yang berpapasan dengan keluarga ini, segera memberi hormat, dan yang berada agak jauh, segera saling bisik membicarakan keluarga itu. Keluarga itu terdiri dari sepasang suami Isteri yang masih muda. Juga sepasang suami isteri setengah tua dan diiringkan oleh enam orang pelayan dan lima orang pengawal yang berpakaian seragam. Keluarga pembesar!

Memang demikianlah. Suami-isteri muda itu adalah Cun Hok Seng dan isterinya, yaitu Cia Ling Ay! Sudah setahun mereka menikah dan kini Cun Hok Seng berusia duapuluh enam tahun, sedangkan Cia Ling Ay berusia duapuluh tahun. Mereka menikah setelah setahun bertunangan. Adapun suami Isteri setengah tua itu adalah Cia Kun Ti dan isierinya. Jelaslah bahwa yang menerima penghormatan semua orang itu adalah Cun Hok Seng, putera kepala daerah itu. Akan tetapi, yang merasa amat bangga sekali adalah nyonya Cia Kun Ti, Ibu Ling Ay. Padahal ia hanya membonceng saja, membonceng kehormatan dan kemuliaan mantunya, akan tetapi karena semua orang itu menghormat ke arah rombongan mantunya, maka iapun merasa terhormat dan seolah-olah ialah yang dihormati mereka!”

Semua orang mengejar kehormatan ini! Semua orang bertingkah dan berharap agar mereka mendapat penghormatan dari orang lain.

Semakin dihormat, semakin banggalah rasa hati ini, semakin merasa betapa dirinya ini ‘besar’. Pengejaran kehormatan ini sesungguhnya bukan lain hanyalah ketinggian hati, keinginan nafsu yang hendak mengangkat diri sendiri setinggi mungkin, yang menilai diri sendiri yang paling besar dan paling tinggi, paling hebat. Karena itu setiap, kali rasa diri besar ini terlanggar, akan marahlah si-aku. Sama juga dengan pengejaran harta benda yang dianggap akan merdatangkan kebahagiaan, demikian pula pengejaran terhadap kehormatan di dasari anggapan bahwa kehormatan akan mendatangkan kebahagiaan melalui kebanggaan. Padahal, kebahagiaan tidak mungkin dicapai melalui kesenangan berharta besar atau melalui kebanggaan berkedudukan tinggi. Segala macam bentuk kesenangan bukanlah makanan jiwa. melainkan sekedar permainan nafsu belaka dan biasanya, nafsu selalu mengejar yang lebih sehingga kesenangan yang dinikmati itu dalam waktu singkat saja sudah terasa hambar karena keinginan mengejar yang lebih. Dan akibatnya maka muncullah kekecewaan dan penyesalan kalau yang dikejar itu tidak tercapai, atau kebosanan kalaupun tercapai karena kenyataan tidaklah sesenang yang dibayangkan selagi dalam pengejaran. Kesenangan jelas bukan kebahagiaan. Dan semua orang mengejar kebahagitan. Apakah sesungguhnya kebahagiaan? Demikian timbul pertanyaan abadi sejak dahulu. Semua orang mengejar kebahagiaan! Dan makin dikejar semakin tak nampak! Maka penting sekali mempelajari apa sesungguhnya kebahagiaan yang dikejar oleh setiap orang manusia ini. Apakah hanya sebuah kata? Kata kosong belaka ?

Kebahagiaan jelas bukan kedukaan karena justeru di dalam penderitaan dukalah manusia merindukan kebahagiaan kebahagian bukan pula kesenangan karena semua orang yang merasakan kesenangan akhirnya mengakui bahwa kesenangan hanyalah sekelumit dan sementara saja sifatnya. Kalau kedukaan bukan kebahagiaan, dan kesenangan juga bukan kebahagiaan, lalu apa? Apakah kebahagiaan yang didambakan seluruh manusia di dunia ini? Tidak mungkinkah dirasakan orang selagi dia masih hidup? Apakah kebahagiaan hanya bagian orang yang sudah mati dan hanya terdapat di akhirat? Semua pertanyaan ini timbul dan tak seorangpun yang mampu menggambarkan bagaimana sesungguhnya kebahagiaan itu. Bagaimana rasanya dan bagaimana keadaan seseorang yang benar-benar berbahagia! Agaknya pertanyaan yang sudah diajukan manusia sejak ribuan tahun yang lalu ini takkan pernah dapat dijawab. Bagaimana mungkin menjawabnya kalau bahagia merupakan suatu keadaan yang tak tengambarkan? Suatu keadaan tabir batin yang hanya dapat dirasakan oleh yang bersingkutan ? Sekali dibicarakan atau diceritakan, maka cerita atau penggambaran itu tidak mungkin sama dengan yang digambarkan!

Bahagia bukan duka bukan suka. Kalau ada duka, tidak ada bahagia, kalau ada suka tidak ada bahagia. Jelas bahwa bahagia berada di atas suka duka. Merupakan anugerah Tuhan, dan hanya Tuban yang akan dapat menjadikan seseorang berbahagia. Tak mungkin dicapai melalui usaha akal pikiran karena kebagiaan berada di atas akal pikiran yang menjadi sumber suka dan duka. Dan karena itu merupakan ciptaan Tuhan, pekerjaan Tuhan, maka manusia tak mungkin dapat mencampuri. Seperti halnya kelahiran dan kematian. Kita hanya dapat PASRAH, menyerah kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Bijaksana, yang akan mengatur segalanya ! Hanya pasrah, penuh keiklasan dan ketawakalan. Betapapun juga, manusia hanyalah ciptaan, dan kekuasaan berada di tangan Sang Pencipta! Sebelum Cun Hok Seng dan isterinya, ayah dan ibu mertuanya, tiba di tanah kuburan itu, lebih dulu serombongan orang yang menjadi pembantu mereka telah datang dan mempersiapkan segala keperluan sembahyang untuk putra kepala daerah Nan-ping dan keluarganya itu. Dan tentu saja persiapan sembahyang itu yang termewah di antara peralatan sembahyang semua pengunjung tanah atau taman kuburan itu.

Mereka berkunjung ke taman kuburan itu untuk menyembahyangi kakek dan nenek, juga nenek moyang mereka. Nenek moyang kedua pihak, keluarga Cun dan keluarga Cia. Tentu saja yang didahulukan adalah kuburan keluarga Cun, dan peralatan sembahyangan telah diatur lengkap oleh para pembantu di tanah kuburan keluarga Cun. Makam makam keluarga ini paling besar dan megah, bukan hanya liong-pai (batu nisan) yang besar dengan ukiran ukiran indah, bahkan dibangun seperti kuil dengan atap bergenting tebal dan dihias ukiran-ukiran naga.

Sebagian besar orang berani mengorbankan harta benda mereka untuk pembuatan bong-pai dan bangunan makam yang seindahnya. Indah dan mewah. Tentu saja dengan dalih bahwa mereka menghormati dan mencinta nenek moyang dan orang tua yang sudah meninggal dunia. Bahkan keroyalan mereka membuang uang untuk membuat makam yang megah ini jauh melebihi kerelaan mereka memberikan harta benda kepada orang tua mereka ketika orang tua itu masih hidup!

Sungguh sayang sekali, di balik perbuatan menghamburkan harta benda untuk membuat makam yang amat indah dan mewah ini tersembunyi pamrih rendah. Pertama, pamrih agar mereka dipuji orang lain dan dianggap sebagai anak-anak yang u-houw (berbakti) kepada orang tua dan nenek moyang, di samping pamrih menyombongkan dan memamerkan harta kekayaan mereka. Ke dua, pamrih agar mereka itu, dengan cara "berkorban" seperti itu, akan memperoleh doa restu dari arwah orang tua dan nenek moyang sehingga rejeki yang mereka terima akan berlimpahan, jauh melampaui segala biaya yang mereka keluarkan untuk pembuatan makam yang megah itu. Dan pamrih kedua ini mereka percaya benar. Bahkan mereka itu dalam ketahyulan mereka, mengirim bongkahan bongkahan emas, kereta, rumah gedung, yang mereka lakukan dengan cara membuat semua itu dari kertas dan bambu, kemudian membakar semua benda palsu ini dengan kepercayaan bahwa semua benda itu di akhirat akan benar benar menjadi benda-benda aseli dan dapat dipengunakan untuk kesejahteraan arwah nenek moyang. Hal ini tentu saja akan membuat arwah nenek moyang merasa senang dan melimpahkan berkah kepada anak cucu atau buyut yang u-houw (berbakti) itu. Sungguh merupakan suatu ketahyulan yang bodoh sekali, karena yang jelas sekali, perbuatan itu hanya mendatangkan keuntungan besar kepada orang orang yang pekerjaannya membuat benda benda palsu dan kertas itu dan yang mengatur persembahyangan karena mereka akan menerima upah yang amat besar.

Padahal, houw atau kebaktian memang merupakan suatu kebajikan, suatu kewajiban dan keharusan bagi setiap orang manusia beradab. Bakti kepada orang tua merupakan kasih sayang yang besar, terdorong oleh budi yang telah kita terima dari orang tua, semenjak kita dilahirkan, dibesarkan oleh orang tua. Kasih sayang ini tentu saja hanya dapat dibuktikan dengan sikap dan perbuatan kita terhadap orang tua selagi mereka masih hidup dan sesudah mereka meninggal dunia, kebaktian itu masih dapat dilanjutkan dengan menjaga semua perbuatan kita agar jangan sampai kita mengotori atau menodai nama baik orang tua kita dengan perbuatan yang jahat. Inilah houw atau kebaktian dalam arti yang sedalam-dalamnya. Houw atau kebaktian sesungguhnya hanyalah pelaksanaan dari perasaan cinta atau kasih sayang terhadap orang tua!”

Setelah persembahyangan terhadap makam-makam nenek moyang keluarga Cun selesai dilakukan, barulah rombongan Cun Hok Seng, isterinya dan kedua mertuanya itu melakukan sembahyang di depan kuburan nenek moyang keluarga Cia.

Cia Ling Ay atau Nyonya Cun Hok Seng yang sudah selesai bersembahyang di depan makam nenek moyang keluarga orang tuanya, tiba-tiba teringat akan kuburan Kwa Tin dan nyonya Kwa Tin, yaitu ayah dan Ibu Kwa Bun Houw. Ia merasa kasihan sekali kepada Bun Houw dan walaupun ia telah menjadi isteri orang lain, sering kali ia termenung membayangkan wajah bekas tunangan itu. Kini, setelah selesai melakukan sembahyang kepada nenek moyang keluarganya, ia teringat kepada makam ayah dan ibu Kwa Bun Houw. Ia melihat suaminya sedang bercakap. cakap dengan beberapa orang pria yang agaknya juga orang-orang berpangkat yang datang ke tanah kuburan dengan maksud yang sama, dan ayah ibunya juga sedang sibuk dengan peralatan sembahyangan, iapun merasa iseng dan melangkahlah nyonya muda ini menuju ke makam ayah dan ibu bekas tunangannya itu yang letaknya tidak berapa jauh dari kuburan nenek moyang keluarga orang tuanya, ia membawa segenggam hio swa (dupa biting) yang sudah disulutnya dan dengan hati terharu ia melihat sepasang kuburan sederhana yang batu nisannya berlumut dan kotor, depan batu nisan ditumbuhi rumput tebal. Makam yang sama sekali tidak terawat.

Ling Ay segera menghampiri kedua makam yang berdampingan itu, lalu ia bersembahyang di depan keduanya, ia sama sekali tidak tahu batwa sejak tadi sepasang mata memandangnya, sepasang mata yang mula-mula terbelalak lebar dan memandangnya dengan heran, akan tetepi kini sepasang mata itu berlinang air mata. Setelah bersembahyang sejenak, di dalam hatinya ia mohon ampun kepada bekas calon ayah dan ibu mertuanya itu karena kegagalan perjodohannya dengan putera mereka, Ling Ay menancapkan hio-swa di depan kedua makam. Akan tetapi, ia masih berdiri termenung di depan dua buah makam itu ketika pemilik mata yang sejak tadi mengikuti gerak-geriknya itu menghampirinya dari belakang.

"Maaf ... " suara itu agak gemetar, ‘kenapa engkau bersembahyang di depan makam ayah ibuku ... ?"

Ling Ay mendengar ucapan itu, terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya. Kedua matanya terbelalak memandan g kepada pria muda yang berdiri di depannya. Keduanya saling berpandangan, Ling Ay terkejut akan tetapi juga ada perasaan gembira menyelinap di dalam hatinya, bercampur keharuan melihat betapa kedua mata pemuda itu basah.

"Houw-koko ...!” Ling Ay berbisik, merasa seperti dalam mimpi setelah kini ia berdri berhadapan dengan orang yang selama ini seringkali muncul dalam mimpinya.

"Ay-moi , eh, maaf Nyonya ... Cia Ling Ay,” Bun Houw pemuda itu tengagap. “Maaf, aku belum mengetahui nama suamimu ... "

Ling Ay mengerutkan alisnya. Harus diakuinya bahwa biarpun ia selalu merasa rendah diri dalam keluarga suaminya, juga suaminya jelas bersikap agak tinggi hati dan memandang rendah kepadanya, namun suaminya kelihatan sayang kepadanya, iapun selama setahun ini sudah berusaha untuk bersikap manis kepada suaminya, melayaninya dengan usaha untuk menyenangkan hati suaminya. Namun, harus diakuinya bahwa di lubuk hatinya, ia tidak mempunyai perasaan cinta kepada suaminya! Dan sekarang, berhadapan kembali dengan Bun Houw, setelah perpisahan selama enam tahun, setelah ia menjadi seorang wanita dewasa dan Bun Houw juga menjadi seorang pria dewasa, baru ia merasa bahwa sesungguhnya ia mencinta bekas tunangannya ini! Dan kenyataan ini mendatangkan perasaan nyeri dalam hatinya, seolah-olah jantungnya tertusuk-tusuk dari dalam.

"Houw-ko ... kau ... kau sudah tahu ... ?" pertanyaan ini masih dilakukan dalam bisik-bisik sehingga ia khawatir pemuda itu tidak dapat mendengarnya. Ia tidak tahu bahwa kini pendengaran pemuda itu luar biasa ketajamannya. Bahkan suara-suara halus yang tidak mungkin dapat ditangkap oleh pendengaran orang biasa, dia mampu mendengarnya, maka tentu saja bisikan Ling Ay itu sudah cukup jelas baginya.

Bun Houw mengangguk dan dia meletakkan butalan kain yang dibawanya ke atas tanah berumput, di depan makam ayah ibunya. "Sejak tadi aku sudah melihat engkau, ayah ibumu, dan ... suamimu. Ah, benar, aku belum menghaturkan selamat kepadamu." Pemuda itu lalu bangkit lagi dan mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat sambil berkata, "Kiong hi (selamat), engkau telah mendapatkan seorang suami yang tampan, berwibawa dan kaya raya. Agaknya dia seorang pembesar tinggi, bukan?”

Ada perasaan bangga menyelinap di hati Ling Ay, perasaan bangga yang diikuti perasaan nyeri dan juga iba kepada pemuda di depannya itu. Ia mengangguk dan berkata lirih, "Dia putera kepala daerah Cun di Nan-ping."

"Ah! Kiranya engkau menjadi mantu kepala daerah? Sungguh, aku harus menghaturkan selamat untuk kedua kalinya. Bun Houw mengeraskan hatinya yang tadi menjadi lemah dan terharu ketika bertemu dengan Ling Ay, dan dia berusaha untuk bersikap bijaksana. "Toanio, sungguh aku merasa ikut berbahagia melihat keadaanmu dan ... terus terang saja, walaupun pertemuan ini menggembirakan hati, namun sebaiknya kalau toanio kembali ke sana, tidak baik dilihat orang kita bicara berdua saja di sini ... "

"Tapi ... tapi kita adalah sahabat lama ...!” Ling Ay membantah dan pada saat itu terdengar seruan suara seorang wanita.

"Ling Ay ... ! Mau apa engkau berada di sini ... “ Muncullah seorang wanita yang menurut penglihatan Bun Houw berpakaian terlalu menyolok, terlalu mewah sehingga hampir dia tidak mengenal lagi ibu Ling Ay atau Nyonya Cia Kun Ti! Akan tetapi ketika nyonya setengah tua itu menoleh kepadanya, dia segera mengenalnya dan cepat Bun Houw bersoja (dirangkap kedua tangan depan dada) sambil membungkuk.

"Bibi Cia, selamat berjumpa ...!” katanya sopan.

Wanita itu memandang kepadanya dengan penuh perhatian. Memang terjadi perubahan besar pada diri Bun Houw. Dia bukan lagi seorang pemuda remaja seperti enam tahun yang lalu. Kini dia telah menjadi seorang pemuda dewasa berusia duapuluh satu tahun yang bertubuh tegap, pakaiannya sederhana sekali. Akhirnya, wanita itu mengenalnya, hal yang mudah saja karena ia tadi melihat pemuda itu berada di depan makam keluarga Kwi, dan puterinya bicara dengan pemuda itu. SiApalagi kalau bukan Kwa Bun Houw.

"Huh, engkaukah ... ?” katanya dengan sikap angkuh karena memang hati nyonya ini merasa tidak enak dan marah melihat puterinya bicara dengan bekas tunangannya itu. Ia lalu memegang lengan Ling Ay dan menariknya pergi diri situ.

"Ling Ay, hayo kita kembali. Suamimu mencarimu!” Ia sengaja menekankan kata "suamimu" seolah olah hendak memperdengarkannya kepada Bun Houw. Ling Ay tidak membantah dan membiarkan dirinya ditarik ibunya pergi dari situ. Akan tetapi ia masih menoleh satu kali dan memandang kepada Bun Houw yang cepat berkata sambil tersenyum.

"Terima kasih bahwa engkan sudi bersembahyang di depan makam ini!”

Cia Kun Ti yang muncul di belakang isterinya, kini berdiri berhadapan dengan Bun Houw. Melihat ayah Ling Ay. Bun Houw segera memberi hormat.

"Paman Cia. selamat berjumpa."

"Aih, Bun Houw, kiranya engkau ? Engkau telah menjadi seorang pemuda dewasa. Kemana saja engkau selama bertahun-tahun ini ?” seru Cia Kun Ti dengan kegembiraan yang wajar dan tidak dibuat-buat.

Melihat ini, senang rasa hati Bun Houw. Sikap ayah kandung Ling Ay ini sungguh berbeda jauh dengan sikap ibunya.

"Ah, hanya merantau saja kesana sini meluaskan pengetahuan, paman. Kebetulan hari Ceng Beng ini saya kembali ke Nan-ping, untuk bersembahyang di sini."

Sejenak Cia Kun Ti melihat pemuda itu mengatur peralatan sembahyang di depan kedua makam itu. Pemuda itu hanya membawa beberapa macam buah dan kembang sebagai korban.

"Dan selanjutnya, apakah engkau akan kembali tinggal di Nan-ping? Kalau engkau hendak mulai lagi berdagang seperti mendiang ayahmu, aku suka menbantumu. Bun Houw. Aku dapat menanggung sehingga engkau akan memperoleh dagangan dengan pembayaran cicilan, aku suka membantumu karena aku adalah sahabat baik mendiang ayahmu.”

Bun Houw tersenyum dan memandang dengan hati terharu. dia memberi hormat lagi. "Terima kasih banyak atas kebaikanmu, paman Cia. Di Nan-ping saya sudah tidak mempunyai apa-Apalagi, bagaimana dapat berdagang ? Pula, saya tidak suka berdagang, saya lebih suka merantau."

Cia Kun Ti menghela napas panjang. Bagaimanapun juga, kegagalannya berbesan dengan sahabat baiknya, mendiang Kwa Tin, sampai sekarang kadang-kadang membuat dia merasa menyesal bukan main dia mengenal benar sababat baiknya itu. dan tahu bahwa Kwa Tin seorang yang gagah perkasa dan berhati mulia, dan diapun suka sekali kepada Bun Houw ini. Hanya karena pengaruh isterinya, terpaksa dia membiarkan anaknya tidak menjadi isteri Bun Houw, dan menjadi isteri putera kepala daerah. dia mencoba-coba untuk menghibur hatinya, dan mengatakan kepada diri sendiri betapa bahagia hidupnya karena kini dia menjadi ayah mertua seorang mantu bangsawan yang membuat dia seorang terhormat. Namun, usahanya ini selalu gagal. Dia melihat kenyataan betapa kehormatan yang diperolehnya sebagai besan kepala daerah adalah kehormatan semu, atau kehormatan yang diperlihatkan orang-orang secara palsu dan pura-pura belaka. Bahkan dia merasa yakin babwa banyak penduduk Nan-ping yang diam-diam mentertawakan dia dan isterinya, Apalagi kalau isterinya berlagak seperti nyonya bangsawan! Dan yang lebih menyakitkan hatinya lagi adalah sikap keluarga besannya. Bukan hanya kedua orang besannya, juga mantunya sendiri seringkali bahkan memandang rendah kepada mereka. Sebagai contohnya, kalau mantunya membutuhkan sesuatu untuk dibicarakan, mantunya itu bukan datang ke rumah mertuanya, melainkan mengutus seorang petugas untuk memanggil mertuanya. Cia Kun Ti merasa seolah olah menjadi semacam bawahan saja dari mantunya. "Heii, mau apa engkau di situ terus? Kita mau pulang sekarang! Terdengar teguran dan ternyata Nyonya Cia Kun Ti yang menegur suaminya itu dari tempat agak jauh. Baru teriakannya itu saja sudah sama sekali tidak mencerminkan sikap seorang nyonya bangsawan yang halus budi pekertinya Cia Kun Ti menarik napas panjang, kembali merasa betapa dia kini sebagai seorang pelayan saja. Dia dan isterinya. Pelayan dari mantunya, putera bangsawan! Dia dan Isterinya, bahkan puteri mereka, seolah hanya menjadi pelengkap hidup Cun Hok Seng putera kepala daerah.

“'Bun Houw, aku pergi dulu. Kuharap engkau suka singgah di rumahku. Jangan sungkan, Ling Ay kini telah tinggal di rumah suaminya. Aku kadang merasa kesepian. Engkau singgahlah, Bun Houw. Biarpun engkau tidak menjadi mantuku, engkau tetap putera seorang sahabatku terbaik.”

Bun Houw merasa terharu dan cepat memberi hormat. "Entahlah, paman, akan tetapi sikap dan ucapan paman ini akan selalu teringat olehku dan kuanggap paman seorang sahabat ayahku yang amat baik. Terima kasih, paman.” Cia Kun Ti lalu pergi meninggalkan Bun Houw, bergabung dengan isteri dan anaknya dan kembali dia merasa sebagai pelengkap ketika mengikuti rombongan itu melangkah keluar dari tanah kuburan. Dia merasa muak kalau menoleh dan memandang kepada isierinya yang melangkah perlahan seperti seorang permaisuri saja, mengangguk ke kanan kiri kepada orang orang yang memberi hormat kepada rombongan mereka. Dia tahu bahwa bukan isterinya yang menerima penghormatan itu, melainkan putera kepala daerah yang menjadi mantunya. Akan tetapi yang repot menyambut penghormatan itu malah isterinya, mengangguk ke kanan kiri sambil mengatur senyum "bangsawan"!

Satelah Cia Kun Ti pergi, Bun Houw lalu melanjutkan niatnya untuk bersembahyang kepada mendiang ayah dan ibu kandungnya. Selain bersembahyang sebagai tanda penghormatan terhadap ayah ibunya melalui kenangan, juga diam-diam dia memintakan ampun kepada ayah Ibunya atas perbatalan ikatan perjodohannya dengan Ling Ay. Dia minta agar ayah dan ibunya suka mengampuni Ling Ay, dan orang tuanya, terutama ayahnya, dan dalam sembahyang itu dia menjalakan bahwa dia telah rela melihat Ling Ay digandeng pria lain sebagai isttri pria itu.

Setelah tanah kuburan itu menjadi sunyi karena para pengunjungnya sudah pulang semua. Bun Houw tinggal seorang diri. Dia masih duduk di atas tanah berumput tebal di depan makam ayah ibunya, termenung. Pertemuannya dengan Ling Ay menggugah kenangan lama. Pada hal ketika dia berkunjung ke Nan-ping, satu satunya niat di hatinya hanyalah bersembahyang di kuburan ayah ibunya. Sedikit pun dia tidak berniat untuk bertemu dengan Ling Ay dan keluarganya. Dia menganggap bahwa bubungannya dengan keluarga Cia sudah putus dan sudah tidak ada sangkut paut apapun juga antara dia dan wanita itu.

Bun Houw menarik napas panjang, lalu bangkit dan mulai membersihkan tumput dan semak-semak yang mengotori makam kedua orang tuanya. Dia tidak perlu mengenangkan Ling Ay lagi. Ia sudah menjadi iateri orang, Isteri putera kepala daerah pula! Dia tersenyum. Ling Ay menjadi mantu kepala daerah! Sungguh tidak pernah disangkanya. Sukurlah, katanya dalam hati. Sukur bahwa kini Ling Ay menjadi isteri seorang bangsawan yang kaya, dan suaminya itupun seorang laki-laki muda yang tampan. Tentu Ling Ay hidup berbahagia. Diapun sudah rela, dia ikut berbahagia kalau melihat bekas tunangannya itu hidup berbahagia. Akan tetapi, benarkah ini?

Benarlah dia rela? Bun Houw tiba-tiba menghentikan pekerjaannya dan kembali duduk termenung. Kenapa bayangan wajah Ling Ay yang semakin cantik jelita itu selalu nampak olehnya? Kenapa bukan perasaan senang yang terasa di hatinya, walaupun hatinya memaksa agar dia mengaku senang, melainkan rasa perih kalau dia membayangkan Ling Ay digandeng pria lain ? Kenapa ada perasaan iri dan cemburu?

”Kau gilai" Dia memaki diri sendiri dan seperti orang marah dia mengamuk terhadap rumput dan semak-semak, dicabutinya dengan kasar seolah-olah rumput dan semak itu yang membuat dia sengsara.

Karena dia mempengunakan kekuatan tubuhnya, maka dia dapat bekerja dengan cepat dan dalam waktu sebentar saja, semua rumput dan semak yang mengotori makam itu telah dibersihkannya, sehingga dua gundukan tanah itu kini kelihatan seperti baru saja. Hanya batu nisan sederhana yang masih nampak kotor, dengan ukiran kasar dari nama kedua ayah Ibunya. Bun Houw lalu menggosok- gosokkan kedua telapak tangannya dan batu-batu nisan itu menjadi bersih mengkilap.

Pada saat itu, tiba-tiba dia menghentikan pekerjaannya, lalu mengambil buntalan pakaiannya dan mengikatnya di punggung, dan mengambil pula tongkatnya, menyelipkan tongkat butut itu di ikat pinggangnya. Dia melihat dan mendergar datangnya tiga orang meng¬hampiri tempat itu, akan tetapi mengira bah¬wa mereka tentu juga pengunjung taman ku¬buran itu untuk bersembahyang. Akan tetapi, langkah tiga orang itu berhenti di dekatnya dan terdengar seorang di antara mereka bertanya, "Hemm, inikah orangnya ?”

Dijawab suara lain, "Benar, inilah anjing tak tahu diri itu!”

Suara orang ke tiga menyusul. "Bocah gelandangan ini berani menghina nyonya muda kita? Dia patut dihajar sampai mampus!”

Karena kini merasa yakin bahwa di tempat itu tidak ada orang lain kecuali dia dan tiga orang pendatang itu, maka Bun Houw baru tahu bahwa dialah orangnya yang mereka bicarakan dan mereka maki sebagai anjing dan bocah gelandangan. diapun membalikkan tubuhnya memandang kepada mereka dengan alis berkerut.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang melihat pakaiannya saja jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan, atau yang biasa dipakai oleh para tukang pukul. Pakaian ringkas dan di pinggang mereka terselip golok. Mereka itu berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, sikap mereka bengis dan ketiganya menyeringai dengan senyum mengejek dan memandang rendah kepada Bun Houw. Tubuh mereka yang kokoh itu menunjukkan bahwa mereka memiliki tenaga badan yang kuat dan terlatih dan senyum mereka mengandung kesadisan, membayangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang dapat merasakan kesenangan dari penyiksaan terhadap orang lain.

Bun Houw mendahului mereka bertanya, suaranya halus dan sikapnya tenang, "Sam-wi (kalian bertiga) bicara tentang seseorang, siapakah yang sam-wi bicarakan itu?"

Orang yang dahinya codet bekas luka memanjang dan yang agaknya memimpin mereka, menjawab, "Anjing geladak, siApalagi kalau bukan kamu yang kami bicarakan!”

Bun Houw mesih menahan kesabarannya. Tidak perlu bersitegang urat leher dengan orang-orang macam ini, pikirnya. "Aku tak pernah mengenal kalian bertiga, kenapa kalian datang-datang memaki dan menghina aku ? Apakah kekalahanku terhadap kalian?”

Orang ke dua yang mukanya hitam tertawa bergelak dan memandang kepada kedua temannya, "Ha ha ha, lihat, anjing ini masih berani menggonggong! Sungguh tak tahu diri!”

Kini orang ke tiga yang kumisnya berjuntai ke bawah dan jarang seperti kumis tikus, melangkah maju dan bertolak pinggang dengan tangan kiri, sedangkan telunjuk kanannya ditudingkan ke arah hidung Bun Houw.

"Keparat, engkau sungguh tak tahu diri. Perbuatanmu sudah cukup bagi kami untuk menyiksamu dan bahkan membunuhmu. Akan tetapi agar jangan engkau mampus penasaran, buka telingamu baik baik. Engkau telah lancang sekali dan berani menghina nyonya muda kami. Engkau berani mengajaknya bicara di depan umum! Perbuatan tak pantas Liu Sungguh merupakan dosa besar!"

Bun Houw mengerutkan alisnya. Hatinya merasa penasaran sekali. Dia tahu bahwa yang dimaksudkan tentulah Ling Ay! Tentu Ling Ay nyonya muda itu, akan tetapi walaupun dia tadi sudah mengkhawatirkan bahwa percakapan antara mereka berdua saja di tempat umum akan dapat merugikan kehormatan Ling Ay, dia tidak mengira bahwa akan begini berat akibatnya terhadap dirinya. Karena merasa penasaran, dia pura-pura tidak mengerti.

"Nanti dulu, sobat. Harap jangan menuduh membuta tuli! Nyonya muda siapakah yang kau maksudkan? Dan penghinaan bagaimana yang kulakukan kepadanya? Aku sungguh tidak mengerti."

Kini si condet melangkah maju. "Engkau masih bertanya lagi? Jahanam busuk memang! Nyonya muda kami adalah isteri putera kepala daerah kami, dan engkau ini, engkau jembel gelandangan busuk, tadi di tempat ini berani menegur dan mengajak beliau bercakap cakap, itu merupakan penghinaan besar bagi keluarga kepala daerah kami! Karena itu, engkau akan kami hajar!”

"Ah, itukah yang kalian maksudkan? Dan siapa yang mengutus kalian untuk menghajar aku? Apakah kepala daerah? Atau puteranya? Atau nyonya muda itu sendiri?"

"Kami adalah pengawal mereka yang tadi mengawal dan mengawasi tempat ini untuk menjaga keamanan mereka. Kami melihat sendiri dan tidak usah majikan kami memerintah, kami berkewajiban untuk turun tangan sendiri. Nih, bersiaplah engkau untuk mampus, atau kau akan kami ampuni asalkan kau mampu menebus nyawamu."

Bun Houw memandang dengan sikap masih tenang, akan tetapi senyumnya dibarengi kerut di antara alisaya makin mendalam, Dia cukup maklum apa yang mereka maksudkan, Juga dia tahu bahwa tiga orang ini sungguh merupakan tiga orang yang biasa mempengunakan kekerasan untuk melakukan penekanan dan pemerasan. Entah sudah berapa banyak orang yang tidak berdosa menjadi korban kekerasan dan pemerasan mereka.

"Hemm, menebus nyawa bagaimana maksud kalian?" Dia bertanya, suaranya kini tidak sehalus tadi, diam-diam memperhitungkan apa yang akan dilakukannya terhadap tiga orang jahat ini, Mereka ini sudah sepatutnya dihajar, pikirnya, agar mereka jera dan tidak berani lagi mengganggu orang lain.

Si codet menyeringai lebar dan mendekati Bun Houw. "Engkau bukan kanak-kanak lagi, masih bertanya? Kau keluarkan semua milikmu. ingin kami melihatnya apakah sudah cukup untuk menebus nyawamu. Makin besar tebusannya, makin ringanlah hukumanmu. Kalau kamu sanggup cukup, kau kami bebaskan dan boleh cepat-cepat melarikan diri keluar kota. Kalau hanya kami anggap setengah harga, kau akan kami siksa sampai setengah mati, akan tetapi tidak sampai mati. Lihat saja berapa engkau mampu bayar."

Bun Houw mengeluarkan kantung kecil dari buntatannya dan membuka kantung itu, memperlihatkan emas yang dia dapat dari gurunya, "Apakah sebegini sudah cukup!”

Melihat emas berkilatan dalam buntalan kantung kecil itu, mata tiga orang itu terbelalak lebar seperti seekor srigala melihat darah. Seperti di komando saja, tiga buah tangan menyambar untuk merampas kantung di tangan Bun Houw itu. Akan tetapi mereka bertiga terkejut karena tiba-tiba saja kantung itu lenyap dan ternyata pemuda itu telah mengelak dan menyimpan kembali kantung kecil itu dalam buntalan pakaiannya ...

"Hei, serahkan kantung itu kepada kami!” bentak si codet.

Bun Houw tersenyum. "Bagaimana? Sudah cukupkah itu untuk menebus nyawaku ?"

"Cukup, cukup ... kauberikan seluruh buntalan di punggungmu itu, dan kau boleh pergi dari sini, cepat keluar kota dan tidak akan kami sakiti lagi."

"Kalau tidak kuberikan?" tantang Bun Houw sambil memegang tongkatnya

Tiga orang itu melongo, akan tetapi akhirnya mereka saling pandang dan tertawa bergelak. "Tidak kau berikan? Akan kuhajar engkau sampai mampus, dan semua milikmu itu tetap menjadi milik kami."

"Kalau begitu, kalian yang mengaku petugas kepala daerah ini, tiada lain hanyalah pemeras pemeras dan perampok-perampok busuk!"

Tentu saja tiga orang jagoan itu menjadi terkejut karena tidak pernah mereka sangka bahwa pemuda sederhana itu berani marah-marah dan memaki mereka!

"Jahanam busuk, engkau memang pantas dihajar sampai mampus!” bentak si kumis tikus dan dia sudah menyerang dengan tonjokan kepalan kanan ke arah muka Bun Houw. Akan tetapi, dengan sedikit menarik kepala ke belakang, tonjokan itu hanya lewat saja, mengenai angin kosong. Akan tetapi dua orang yang lain juga sudah menyerang, si codet mencengkeram ke arah leher, sedangkan si muka hitam menampar ke arah kepala Bun Houw dengan kuat sekali. Bahkan si kumis tikus yang tonjokannya luput juga sudah menyambung dengan tonjokan kepalan kiri ke arah perut.

"Hemm!" Bun Houw hanya mendengus dan begitu kedua tangannya bergerak dikembangkan, tiga orang itu terpelanting dan terjengkang, bahkan terbanting keras!

Mereka bertiga menjadi terkejut, akan tetapi juga marah sekali. Tak mereka sangka bahwa pemuda itu berani melawan, bahkan tadi mereka merasakan dorongan kedua tangan yang dikembangkan itu mengandung tenaga yang amat kuat sehingga mereka terjengkang. Mereka berloncatan bangun berdiri lagi dan tanpa dikomando lagi, mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing.

"Anjing busuk kucincang kau ...!” bentak si codet yang kemarahannya meluap-luap karena ketika terbanting ke belakang tadi, kepalanya bertemu dengan batu sehingga mengucurkan darah.

"Siuuuut ...!” Goloknya menyambar ganas dari depan, mengarah kepala Bun Houw yang agaknya akan dibelah menjadi dua. Namun, tubuh Bun Houw mendorong ke kiri dan sambaran golok itu luput. Bun Houw menarik kaki kanannya sambil memutar tubuh dan pada saat itu, kembali ada golok menyambar dari sebelah depan dan belakang. Dia mengelak lagi dan menyelinap di antara sinar kedua batang golok yang menyambar itu. Tiga orang lawannya menjadi semakin panas hati mereka dan semakin marah. Sambil menyumpah-nyumpah, mereka menggerakkan golok mereka, menyerang seperti berlomba saja untuk lebih dulu membacok roboh pemuda bandel itu. Akan tetapi, sampai tiga empat kali serangan, Bun Houw selalu mengelak. Dia hendak memberi kesempatan kepada tiga orang itu untuk membuka mata dan melihat bahwa sebenarnya mereka itu bukanlah lawannya yang seimbang. Namun, orang orang yang biasa mengandalkan kekerasan untuk menindas orang lain itu mana mau menyadari kelemahan sendiri. Makin banyak gagal, makin penasaran rasa hati mereka dan serangan mereka menjadi semakin gencar.

"Kalian memang manusia tak tahu diri!” tiba-tiba di antara sambaran tiga batang golok itu, Bun Houw mengeluarkan suara bentakan dan begitu dia menggerakkan tongkat bututnya menangkis, disambung dengan tamparan-tamparan tangan kanan karena tongkat itu dipegangnya dengan tangan kiri, maka tiga batang golok itu terpental dan disusul oleh tubuh mereka bertiga yang juga terpelanting roboh.

Akan tetapi dasar orang orang tak tahu diri yang bagaikan katak dalam tempurung mereka selalu merasa diri sendiri yang paling kuat dan hebat, tiga orang itu belum menyadari dan mengakui kekalahan mereka. Biarpun sekali ini mereka terbanting keras sehingga kepala terasa pening, namun mereka bangkit lagi, mengambil golok masing-masing dan menyerang semakin nekat bagaikan tiga ekor srigala yang pantang menyerah.

Bun Houw mengerutkan alisnya. Melihat datangnya tiga golok yang menyambar ganas, dengan tujuan membunuh, dia lalu menggerakkan tongkatnya dengan tangan kiri, mengerahkan tenaganya dan tongkat itu bukan menyambut golok, melainkan menyambar pergelangan lengan yang memegang golok.

Terdengar teriakan susul menyusul, dan tiga golok beterbangan, disusul tiga orang yang kini memhungkuk-bungkuk, tangan kiri memegangi lengan kanan karena lengan itu tadi bertemu tongkat dengan kerasnya, terdengar suara berkeretek dan tulang tiga buah lengan kanan itu telah patah!”

Melihat mereka kini tidak mampu melawan lagi, Bun Houw tidak tagi memperdulikan mereka. dia lalu menyelipkan tongkat di ikat pinggang, lalu bersoa ke arah kedua makam orang tuanya dan meninggalkan taman kuburan itu tanpa menengok satu kalipun kepada tiga orang itu. Mereka itu masih mengaduh-aduh sambil memegangi lengan kanan dengan tangan kiri, hampir menangis saking nyerinya dan baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian tinggi! Namun, tetap saja mereka tidak menyadari bahwa pemuda itu masih mengampuni mereka dan tidak membunuh bahkan tidak melukai secara berat, hanya menangkis dan membuat lengan kanan mereka patah tulang saja. Setelah pemuda itu tidak nampak lagi, baru mereka meninggalkan tempat itu, mengambil golok mereka dan kini mereka kehilangan segala kegirangan mereka, menekuk lengan kanan dan menahan lengan itu dengan tangan kiri, kemudian merekapun kembali ke kota untuk melapor kepada atasan mereka, gelisah karena mereka tentu akan mendapat kemarahan dari atasan mereka.

***

"Sungguh engkau seorang perempuan yang tidak tahu malu!" Mungkin sudah lima kali Cun Hok Seng meneriakkan kata-kata itu kepada Cia Ling Ay, isterinya yang hanya duduk di atas kursi dengan muka menunduk, muka yang kemerahan namun pandang mata yang ditundukkan itu penuh dengan perasaan marah dan penasaran. Suaminya telah menuduhnya secara keji! Begitu tiba di rumah, sepulang mereka dari taman kuburan, suaminya memanggilnya, juga memanggil ibunya dan mereka berdua kini berada di dalam kamar itu, menjadi bulan bulanan kemarahan putera kepala daerah itu.

"Sudah kukatakan bahwa aku tidak melakukan sesuatu yang hina!” Akhirnya ia membantah sambil membalikkan tubuh, menghadapi suaminya dan memandang dengan sinar mata penasaran. Suaminya tadinya mondar mandir di dalam kamar itu, memarahi isterinya dan ibu mertuanya bengantian.

Cun Hok Seng menahan langkahnya dan berdiri di depan isterinya. mukanya merah sekali, matanya bersinar penuh kemarahan. "Apa kau bilang? Engkau mengadakan pertemuan dan bercakap cakap berdua saja dengan seorang laki-laki asing, dan kau masih berani bilang tidak melakukan sesuatu yang hina? Perbuatan itu sudah cukup hina, merendahkan martabatku, menodai kehormatanku. Apakah engkau maksudkan bahwa baru disebut hina kalau engkau sudah tidur bersama dia di satu ranjang ?"

"Kau tidak berhak menuduh sekeji itu!” Kini Ling Ay bangkit berdiri dan memandang suaminya dengan kemarahan meluap. "Sudah kuceritakan bahwa dia itu bukan orang asing, namanya Kwa Bun Houw dan dahulu orang tuanya adalah sahabat baik orang tuaku."

"Bagus! Kalau begitu memang engkau sudah kenal baik dengan dia, maka berjanji mengadakan pertemuan di taman kuburan, ya ?” "Itu tidak benar! Ketika selesai bersembahyang di makam keluarga Cun dan keluarga Cia, dan melihat engkau bercakap-cakap dengan para temanmu, aku keisengan dan ingin bersembahyang di depan kuburan mendiang paman Kwa Tin dan isterinya. Dan selagi bersembahyang itulah dia muncul! Kami tidak pernah saling jumpa sejak enam tahun yang lalu, maka kemunculannya itu suatu hal yang kebetulan saja dan karena berjumpa setelah berpisah bertahun-tahun, anehkah kalau kami bercakap- cakap sedikit dan hanya sebentar?”

"Bohong! Aku tidak percaya! Kalian tentu mempunyai hubungan kotor! Ibu, bayo kau akui saja, bukankah antara Ling Ay dan pemuda itu ada hubungan yang amat akrab?"

Sejak tadi, nyonya Cia Kun Ti hanya mendengarkan saja dengan hati kecut dan muka pucat. Ia merasa menyesal sekali mengapa puterinya masih mau bercakap-cakap dengan Bun Houw sehingga hal itu dilihat para pengawal mantunya dan dilaporkan. Kini mantunya marah-marah, ia pikir bahwa urusan dahulu dengan Bun Houw tidak perlu disembunyikan, karena kalau kelak mantunya mengetahui dari orang lain, hal itu bahkan akan membuat putera kepala daerah itu semakin marah, mengira bahwa ia memang sengaja menyembunyikan kenyataan itu.

"Sesungguhnya begini, mantuku yang baik. Benar seperti yang diceritakan Ling Ay, pemuda itu bukan orang asing. Bahkan dahulu, ketika masih sama-sama kecil, oleh ayah kedua pihak diadakan perjanjian ikatan perjodohan antara Ling Ay dan Bun Houw ..."

"Ahhh, begitukah?" Cun Hok Seng berseru sambil tersenyum mengejek.

Ling Ay mengerutkan alisnya, diam-diam ia mencela ibunya yang menceritakan hal-hal lampau yang sebenarnya tidak perlu disebut-sebut.

"Akan tetapi, sejak kematian keluarga Kwa suami isteri, sejak Bun Houw menjadi yatim piatu, ikatan perjodohan itu dibikin putus. Hal itu sudah terjadi enam tahun yang lalu."

"Hemm, bagus sekali! Tentu pertemuan di taman kubuian itu untuk melepas rindu antara dua orang yang dulu saling bertunangan! Memalukan!"

"Sama sekali tidak! Semua itu fitnah, hanya dugaan, tidak benar!" Ling Ay membantah marah.

"Ibu, bawa ia ke kamar dan tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Orang itu, siapa namanya tadi? Kwa Bun Houw? Ya. dia harus dibunuh."

"Ihhh ...!” Mendengar ini, Ling Ay mengeluarkan jeritan kaget.

"Benar, memang dia harus dibunuh, anak kurang ajar dan tidak tahu sopan itu!” Nyonya Cia Kun Ti berkata karena memang ia menyesal sekali bahwa Bun Houw berani menemui Ling Ay di taman kuburan sehingga kini akibatnya, ia dan puterinya mendapat kemarahan besar dari mantunya.

Mendengar jerit Ling Ay dan melihat betapa wajah isterinya itu menjadi pucat mendengar dia akan membunuh Bun Houw, hati Cun Hok Seng menjadi semakin panas.

"Kalian saling mencintai. Keparat. Panggil Ibu, bawa ia pergi ke kamarnya!"

Nyonya Cia Kun Ti cepat menggandeng tangan puterinya dan menariknya pergi meninggalkan kamar Cun Hok Seng yang sedang marah-marah itu. Setelah tiba di dalam kamar. ia menutupkan daun pintu dan memarahi anaknya yang segera melempar tubuh ke atas pembaringan sambil menangis.

"Kau memang anak yang bodoh! Tadipun aku sudah marah dan merasa khawatir melihat engkau bicara dengan jahanam itu di taman kuburan!" Nyonya itu mengomel panjang pendek.

Ling Ay tidak memperdulikan, hanya menangis sambil menutupi mukanya dengan bantal. Ia masih merasa ngeri mendengar ancaman suaminya hendak membunuh Bun Houw. Teringat akan itu, ia membuka bantalnya dan berkata kepada ibunya yang masih mengomel itu.

"Ibu, kenapa dia hendak membunuh Houw-ko? Dia sama sekali tidak bersalah! Dia sama sekali tidak berdosa!”

"Huh, engkau malah memikirkan keselamatan jahanam itu? Pikirkan keselamatan kita sendiri! Dia memang harus dibunuh, biar kita cepat menjadi bersih dan tidak lagi mendapat marah."

"Tapi, dia sama sekali tidak bersalah, ibu. Dia datang untuk menyembahyangi makam ayah ibunya. Dia tidak tahu bahwa aku berada di sana. Kami saling jumpa hanya karena kebetulan saja, tidak kami sengaja. Dan karena sudah berjumpa di depan makam orang tuanya, kami hanya saling sapa dan saling tegur. Bukankah itu wajar dan jamak? Dia sopan, bahkan memberi selamat kepadaku atas pernikahan ku dengan pria lain. Dan sekarang, dia akan dibunuh ...! Aih, ibu, apa yang harus kulakukan ... ? Pembunuhan itu harus dicegah! Houw-ko tidak bersalah apa-apa ...!”

Akan tetapi, lbjnya marah-marah. "Kau anak tolol! Biar seribu orang Bun Houw dibunuh, asal kita selamat, tidak mengapa. Kenapa engkau ribut-ribut? Sudahlah, kalau suamimu mendengar omonganmu ini, dia akan menjadi semakin marah!"

Ling Ay hanya dapit menangis semakin sedih dengan hati gelisah memikirkan Bun Houw yang akan dibunuh tanpa kesalahan apapun.

***

"Kalian ini gentong gentong nasi yang tiada guna! Menghajar seorang pemuda gelandangan saja tidak mampu! Huh, malah patah tulang lengan. Sungguh memalukan sekali dan kami ikut merasa malu!" bentak kakek berusia enam-puluhan tahun itu.

Dia seorang kakek yang biarpun usianya sudah enampuluh tahun, namun wajahnya masih nampak segar dan tubuhnya juga masih nampak kokoh kekar walaupun tidak terlalu tinggi besar melainkan sedang sedang saja. Sepasang matanya mencorong tajam dan rambutnya yang sudah bercampur banyak uban itu disisir rapi dan diikat dengan pita sutera biru. Akan tetapi pakaiannya serba putih, dari sutera mahal dan di pinggangnya tengantung sebatang pedang. Dia ini bukan orang sembarangan dan di dunia kang-ouw namanya sudah amat terkenal sebagal Pek-i Mo-ko (Iblis Baju Putih). Akan tetapi, di kota Nan-ping dia lebih dikenal sebagai Ciong Tai-hiap (Pendekar Besar Ciong)! Sungguh seorang yang memiliki pribadi aneh. Di dunia kang-ouw dikenal sebagai Iblis, akan tetapi masyarakat menyebutnya pendekar! Sebutan pendekar ini setelah dia menjadi pembantu utama dari kepala daerah Nan-ping, dan biarpun tidak resmi menjadi komandan pasukan pengawal, namun sesungguhnya Ciong Kui Le inilah yang menjadi kepala pengawal dan kepala semua tukang pukul dan jagoan yang menghambakan diri kepada kepala daerah! Karena dia dikenal sebagai kepala penjaga keamanan seburuh keluarga kepala daerah Cun, tidak aneh kalau dia disebut Tai-hiap (Pendekar Besar), Apalagi karena memang semua orang tahu betapa lihai Ilmu silat dan ilmu pedang orang she Ciong ini.

Dia duduk dalam sebuah ruangan dari bangunan yang berada di sebelah gedung tempat tinggal kepala daerah Cun. Bangunan ini cukup besar dan memiliki banyak kamar. Di tempat inilah berkumpul semua jagoan yang bekerja untuk kepala daerah. Merekalah yang bertugas mengamankan kota Nan-ping dari rongrongan orang jahat. Karena mereka adalah tokoh-tokoh dunia kang-ouw, bahkan Pek-I Mo-ko amat ditakuti dan menjadi datuk sesat, maka setelah dia dan anak buahnya yang menjamin keamanan kota Nan-ping, maka tidak ada penjahat berani berkutik. Kota Nan-ping menjadi aman dari kejahatan karena dilindungi oleh penjahat-penjahat besar! Akan tetapi, kalau pemerasan dari penjahat tidak pernah terjadi, maka pemerasan satu-satunya datang dari kepala daerah melalui peraturan-peraturan yang mencekik leher rakyat dan penduduk Nan-ping pada umumnya! Sudah bukan rahasia lagi betapa para hartawan mengalirkan sebagaian besar kekayaan dan penghasilannya ke dalam rumah gedung kepala daerah Cun! Semua ini mereka lakukan demi keamanan diri dan usaha dagang mereka. Kalau tidak, maka banyak sudah terjadi pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan secara sembunyi, tentu saja oleh para jagoan yang dipimpin oleh Ciong Tai-hiap! Dan kalau ada penjahat dari luar daerah yang belum tahu berani mengacau, tampillah sang pendekar berpakaian putih ini untuk menghajarnya, bahkan ada pula yang dibunuhnya dan digantungnya di depan umum sehingga pada umumnya, penduduk mengagumi kakek baju putih yang di tempat umum tidak pernah melakukan kekerasan itu! Kekerasan yang dilakukan di depan umum hanya terhadap para penjahat dan sikapnya terhadap rakyat melindungi! Hanya mereka yang pernah menentang kehendak kepala daerah saja yang tahu betapa sadisnya "pendekar" ini menyiksa orang untuk mematahkan semangat perlawanan mereka terhadap kepala daerah Cun.

Ciong Tai-hiap ini pula yang menyuruh tiga orang anak buahnya untuk menghajar Bun Houw, setelah dia mendapat perintah dari Cun Hok Seng yang mendengar laporan dari seorang pengawalnya bahwa isterinya tadi bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing.

"Hajar pemuda itu sampai cacat dan usir dia pergi dari Nan-ping," demikian perintah Cun Hok Seng pada Ciong Tai-hiap yang melanjutkan perintah itu kepada tiga orang pembantunya yang terkenal dengan ketajaman golok dan kekerasan tangan mereka. Akan tetapi apa yang terjadi? Tiga orang jagoan yang disuruhnya menghajar Bun Houw itu pulang dengan lengan kanan mereka patah tulang! Maka, tidak mengherankan kalau dia marah-marah. Biarpun yang dikalahkan orang lain itu bukan dia, hanya anak buahnya, itu pun bukan anak buah yang pilihan, namun hal itu sama saja dengan menampar pipinya, merendahkan dan menghinanya. Yang hadir dalam ruangan itu ada belasan orang. Seorang di antara mereka, melihat pemimpinnya marah dan mendengar bahwa tiga otang rekannya itu patah tulang lengan kanan mereka oleh lawan, segera berkata, "Ciong toako (kakak tua Ciong), agaknya orang itu berisi, maka biarlah aku yang akan mewakili mu untuk menghajarnya."

Semua orang memandang kepada pembicara itu dan mereka semua merasa yakin bahwa kalau yang turun tangan orang ini, maka segalanya tentu akan beres. Dia seorang pria berusia empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus sekali sehingga kedua pipinya sampai peyot dan cekung seperti orang berpenyakitan. Akan tetapi, semua orang tahu belaka siapa adanya tokoh yang dijuluki Bu-tek Kiam- mo (Setan Pedang Tanpa Tanding) ini! Bahkan kakek pakaian putih itu sendiri mengangguk-angguk, akan tetapi dia berkata.

"Bukan engkau, Kiam-mo. Engkau sudah memiliki tugas sendiri yang lebih penting sebentar malam, bukan Engkau barus membantu Ngo-kwi (Lima Iblis) yang menerima tugas dari Loya (Tuan Tua, yaitu Kepala Daerah), dan tugas itu harus kalian berenam selesaikan dengan baik karena amat penting sekali. Menghajar seorang bocah kurang ajar bukan hal yang terlalu penting. Yang lain saja!”

"Ha-ha-ha. benar sekali!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, laki-laki yang tubuhnya bulat seperti bola, usianya empatpuluhan, tertawa bengelak. Orang ini memang aneh. Pakaiannya kedodoran dan bajunya tidak mempunyai kancing lagi bagian depan sehingga perutnya yang buncit nampak bagian atas, dadanya juga telanjang, nampak kulit dada putih, dan sepasang bukit dada yang besar seperti kepunyaan wanita. Saking gendutnya, dia nampak, seperti bola memiliki kaki dan tangan. Anehnya, kepalanya kecil, seperti kepala kanak-kanak, matanya sipit dan mulutnya lebar separuh kepala yang selalu tertawa dan selalu dijejali makanan dan minuman.

"Untuk menyembelih, seekor kelenci. perlu apa menggunakan golok besar? Kalau hanya menghadapi seorang bocah ingusan, serahkan saja kepadaku, toa-ko. Katakan siapa namanya, di mana aku dapat menangkapnya, lalu aku harus apakan dia. Dihajar setengah mati, diseret ke sini, atau dibunuh sekaligus. Katakan dan perintahkan saja. Cukup aku, tidak perlu merepotkan Bu-tek toako Bu-tek Kiam-mo! Ha-ha-ha!”

Sehabis bicara dan tertawa lebar, si gendut ini menyambar guci arak di atas meja, lalu menuangkan isi guci ke dalam mulutnya yang lebar sehingga terdengar suara menggelogok masuknya arak ke dalam perutnya yang seperti gentong besar itu.

Sekali ini, Pek-I Mo-ko mengangguk-angguk dan tersenyum lega. "Memang tepat sekali kalau engkau yang maju, Gu-siauwte (adik Gu). karena kalau yang maju kurang dapat diandalkan, kukhawatir akan gagal lagi. Dan kalian bertiga, cepat obati luka di lengan, kalian, kemudian temani Gu-siauwte ini dan ajak dia mencari bocah itu sampai dapat! Gu-siauwte, sebaiknya kalau bertemu dengan dia, habisi saja dan usahakan agar mayatnya tidak dilihat orang."

"Ha-ha-ha, itu perkara mudah, toako. Tanggung sebelum hari gelap, bocah itu sudah tidak ada lagi, baik nyawanya maupun badannya, ha-ha-ha!” Dia lalu bangkit dan memberi isarat kepada tiga orang jagoan yang tadi dikalahkan Bun Houw, lagaknya seperti memberi isarat kepada tiga ekor anjingnya saja. Memang dalam hal tingkatan, si gendut ini jauh lebih tinggi dari pada tiga jagoan yang patah tulang lengannya itu. Dia bernama Gu Mouw, berjuluk Siauw-bin Pek-ti (Babi Putih Muka Senyum) sesuai dengan kulitnya yang putih mulus dan mukanya yang selalu tersenyum, dan dalam urutan kedudukannya di dalam kelompok jagoan yang dipelihara Kepala Oaerah Cun di kota Nan-ping, dia menduduki tingkat ke tiga! Orang partama tentu saja Pek-i Mo-ko Ciong Kui Le, orang ke dua adalah si kurus kering Bu-tek Kiam-mo Bouw Swe dan orang ke tiga adulan si gendut ini. Masih ada orang ke empat yang merupakan sekelompok dari lima orang bersaudara yang dikenal dengan sebutan Ngo- kwi (Lima Iblis) yang tadi disebnt-sebut oleb Pek-I Mo-ko. Tiga orang jagoan yang patah tulang lengan kanannya itu dengan girang lalu meninggalkan ruangan mengikuti Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka merasa lega tidak menerima hukuman, dan merekapun merasa yakin bahwa kalau sampai orang ke tiga ini maju, tentu pemuda itu akan dapat dikalahkan. Mereka masih memiliki lengan kiri yang sehat, dan kalau pemuda sudah roboh, mereka akan dapat dengan sepuas hati membalas dendam sakit hati mereka, mereka akan mematah-matahkan seluruh tulang di tubuh pemuda itu! Bagi orang yang sudah terbiasa menjadi hamba nafsu dendam, perasaan dendam memang manis dan mendatangkan semangat! Karena nafsu dendam ini, mereka segera mengobati lengan yang patah tulangnya, membalut kuat dan menggantungnya, kemudian mereka bertiga tidak ketinggalan membawa golok mereka, mengikuti si gendut Gu Mouw yang masih terus tertawa-tawa gembira dan nampaknya dia tenang saja, seolah-olah tugasnya itu merupakan pekerjaan sepele yang akan dapat dirampungkan dengan amat mudahnya. Nan-ping bukan sebuah kota yang terlalu luas, Apalagi bagi para jagoan yang sudah mengenal seluruh seluk beluk kota itu, dan di mana-mana mereka disambut orang dengan ketakutan dan patuh sehingga untuk mencari Bun Houw bukan pekerjaan sukar bagi mereka. Sebelum lewat lengah hari, mereka sudah mendapat keterangan bahwa pemuda yang mereka cari itu baru saja keluar dari kota Nan-ping. melalui pintu gerbang barat. Mereka segera melakukan pengejaran dengan menunggang kuda dan benar saja, kurang lebih dua li di luar kota Nan-ping, mereka dapat menyusul pemuda yang sedang berlenggang seenaknya itu.

Pemuda itu memang Bun Houw. Dia meninggalkan kota Nan-ping, tanah tumpah darahnya, kampung halamannya, kota di mana dia dilahirkan dan dibesarkan selama lima belas tahun, kota di mana terdapat segala macam kenangan dari yang paling manis sampai yang paling pahit. Terpaksa dia meninggalkan kota itu. Untuk apa berlama-lama kalau hanya akan mendatangkan perasaan pahit dan juga ancaman-ancaman kedamaian hidupnya? Di sana ada Ling Ay yang sudah menjadi mantu kepala daerah! Dan suaminya agaknya memusuhinya, mungkin karena cemburu melihat dia bercakap-cakap sebentar dengan Ling Ay di depan makam ayah ibunya. Dia harus pergi, secepatnya. Bukan karena dia takut menghadapi ancaman itu. Sama sekali bukan, melainkan dia harus cepat pergi demi ketenteraman rumah tangga Ling Ay!

Ketika mendengar derap kaki beberapa akor kuda dari arah belakang, dia masih belum menyangka buruk, hanya mengira bahwa tentu ada rombongan orang berkuda meninggalkan kota Nan-ping pula. Akan tetapi tiba-tiba setelah empat ekor kuda datang dekat di belakangnya dia mendengar bentakan orang.

"Orang muda yang sombong, berhenti dulu!"

Bun Houw menahan langkahnya, memutar tubuhnya dan dia melihat tiga orang penjahat yang dia patahkan tulang lengannya tadi, berada di atas punggung kuda masing-masing dengan sikap angkuh dan marah, dengan lengan kanan dibalut dan digantung di depan dada. Orang ke empat adalah seorang yang tubuhnya gendut bukan main, dan agaknya amat berat sehingga kuda yang ditungganginya berpeluh dan terengah-engah, tidak seperti tiga ekor kuda lainnya. Akan tetapi si gendut itu tidak kelihatan jahat, bahkan mukanya yang kecil kekanak-kanakan itu dipenuhi senyum mulutnya yang lebar.

"Hemm, kiranya kalian bertiga yang datang mengejarku. Ada Apalagi?" Bun Houw bertanya dengan sikap tenang.

"Ha-ha-ha-ha!” Laki-laki gendut itu tertawa bergelak, ketika dia tertawa itu, perutnya yang bagian atasnya nampak karena bajunya tidak ada kancingnya, bergelombang dan kuda yang ditungganginya gemetar keempat kakinya. Melihat ini, diam-diam Bun Houw mengerti bahwa si gendut ini bukan orang sembarangan dan memiliki tenaga yang dahsyat.

"Bagus, bagus! Jadi engkau inikah pemuda yang telah mematahkan tulang tiga orang jagoan kalahan ini? Heh-heh-heh!"

Diapun merosot turun dari atas punggung kuda. melalui belakang kuda! Bun Houw merasa geli dan dia tersenyum, akan tetapi tiga orang tukang pukul itu cemberut karena diejek sebagai jagoan kalahan! Namun, tentu saja mereka tidak berani berkutik atau mengeluarkan bantahan terhadap si gendut yang merupakan seorang atasan bagi mereka.

Karena Bun Houw belum tahu siapa si gendut itu yang sikapnya terhadap dirinya tidak memusuhi, maka diapun bersikap ramah, mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai penghormatan lalu menjawab, "Sesungguhnya aku tidak pernah mempunyai pikiran hendak mematahkan tulang lengan mereka. Aka tetapi mereka itu keliru mempergunakan tangan, tidak untuk bekerja dengan baik melainkan hendak membunuhku, sehingga mereka kesalahan tangan dan akibatnya tulang mereka patah. Sungguh, mereka sendiri yang mencari penyakit dan mereka yang bersalah sedangkan aku tidak pernah mengganggu mereka, mengenal merekapun tidak.”

Bun Houw mengira bahwa si gendut yang kelihatan ramah itu tentu akan dapat menerima, alasannya dan mempertimbangkan keadaannya dengan bijaksana. Oleh karena itu, alangkah terkejutnya mendengar si gendut itu. sambil mulutnya masih tersenyum lebar, berkata dengan lantang.

"Orang muda, aku datang untuk membunuhmu! Terserah kepadamu apakah engkau akan mengambil nyawamu sendiri atau harus kupaksa nyawamu meninggalkan tubuhmu, ha-ha-ha !”

Berkerut sepasang alis Bun Houw dan kini matanya berkilat ketika dia memandang wajah si gendut yang seperti anak kecil itu. Kiranya si gendut ini hanya nampaknya saja baik hati namun sesungguhnya memiliki kekejaman yang tidak kalah dibandingkan tiga orang jagoan yang patah tulang lenpan mereka itu.

"Ah, kiranya begitu? Sobat yang gendut, coba katakan, mengapa engkau datang hendak mengambil nyawaku?" tanyanya, sikapnya masih tenang sekali dan hal ini saja sudah membuat Siauw bin Pek-ti Gu Mouw penasaran. Orang mau diambil nyawanya kok masih enak-enak saja. sungguh tak tahu diri benar pemuda ini!

"Bocah sombong," katanya dan karena mulutnya masih menyeringai tersenyum, tahulah Bun Houw bahwa senyum itu bukan senyum ramah atau buatan, memang mulutnya terlalu lebar sehingga selalu nampak tersenyum dan terbuka.

"Engkau berhadapan dengan tuan besarmu Gu Mouw yang hendak mengambil nyawamu! Apakah engkau tidak cepat berlutut minta ampun?"

"Sobat gendut she Gu, engkau bukan malaikat maut pencabut nyawa, dan akupun bukan orang yang mudah saja menyerahkan nyawa! berhati-hatilah, jangan sampai kesalahan tangan seperti tiga orang temanmu itu dan engkau sendiri yang akan menderita." Dalam ucapan itu, walaupun halus. Bun Houw telah memperingatkan dan mengejek calon lawannya.

"Ha-ha-ha, bagus! Aku lebih senang kalau engkau melawan, menggembirakan sekali! Nah, coba kau ia sambut ini, orang muda!" Tiba-tiba saja si gendut sudah menerjang ke depan dan kedua tangannya dengan cepat sekali telah mengirim pukulan dari kanan kiri, yang kanan menghantam ke arah pelipis kiri Bun Houw yang kiri menyambar dahsyat untuk menghantam lambung.

Namun, Bun Houw, yang sudah bersiap siaga itu dengan mudah melangkah mundur dua langkah dan dua pukulan itupun. hanya mengenai angin saja. Namun, si gendut yang bundar itu memang hebat. Biarpun tubuhnya bulat dan berat, dia mampu bengerak cepat dan begitu kedua pukulannya tidak mengenai sasaran, tubuhnya sudah menggelundung dengan cepat. Nampaknya saja menggelinding saking besarnya perut itu namun sesungguhnya, dia melangkah cepat ke depan dan kembali dia sudah memukul dengan kedua tangannya didorong ke depan, telapak tangannya terbuka.

ANGIN pukulan yang kuat menyambar. Bun Houw yang ingin mengetahui sampai di mana kekuatan orang gendut itu, sengaja menggerakkan kedua tangannya menyambut kedua tangan lawan yang dikembangkan.

"Dessss!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan saling melekat! Dan dalam adu tenaga ini, si gendut terkejut bukan main karena dia merasa betapa seluruh tubuhnya tengetar bebat, tanda bahwa tenaga sakti dari lawannya yang masih muda itu sudah amat kuatnya! Akan tetapi, dengan gerakan yang sama sekali tidak tersangka-sangka, si gendut itu menggerakkan kepalanya yang kecil ke depan dan menghantamkan kepalanya ke arah muka Bun Houw!

Pemuda itu terkejut bukan main, karena tidak menyangka sama sekali, dia hanya mampu miringkan kepalanya saja.

"Pukkkk!” Pipinya dihantam dengan kerasnya oleh kepala yang kecil namun keraseperti baja!

Bun Houw melepaskan kedua tangannya yang menempel pada tangan lawan, dan dia agak terhuyung ke belakang, kepalanya terasa pening. Dia menggoyang-goyang kepala dan terasa betapa pipinya panas dan nyeri. Dia mengusap pipinya, memandang ke depan dan si gendut masih tertawa. Kiranya si gendut ini memiliki ilmu menyerang dengan kepalanya yang kecil! Karena terkejut, Bun Houw kurang cepat dan tahu-tahu Gu Mouw sudah menyerang lagi, kini kaki kanannya menendang dengan kekuatan dahsyat, disusul kaki kiri. Bun Houw terpaksa kembali melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Akan tetapi ternyata tendangan si gendut itu merupakan Ilmu tendangan semacam Soan-kong-twi (Tendangan Angin Puyuh) yaitu tendangan berantai yang sambung- menyambung. Kadang-kadang tubuh yang bundar itu seperti menggelinding dan dari bola menggelinding itu mencuat kedua kaki yang bergantian melakukan tendangan bertubi-tubi.

Karena repot juga menghadapi tendangan-tendangan berantai yang amat cepat, kuat dan berbahaya itu, terpaksa Bun Houw mencabut tongkat butut dari pinggangnya dan menangkis tendangan itu dengan tongkatnya. Dia tidak mungkin harus mengelak terus.

"Tak! Tak! Tak!” Berulang kali kedua kaki si gendut itu bertemu tongkat dan dia marasa betapa bagian kaki yang tertangkis tongkat itu nyeri, maka terpaksa dia menghentikan tendangan-tendangannya. Kini barulah senyum lebar di mukanya itu mulai menyempit. Baru dia tahu bahwa pemuda ini memang sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Sejak tadi, belum pernah dia mampu mengenai tubuh pemuda itu dengan pukulan atau tendangan, dan hasil benturan kepalanya tadipun tidak ada artinya. Bahan kini kedua kakinya terasa nyeri, Apalagi kalau yang tertangkis itu tulang kering kakinya. Marahlah Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Akan-tetapi, dasar mulutnya sudah terlanjur lebar, biarpun dalam keadaan marah, tetap saja dia kelihatan seperti tersenyum!

"Rrrtttt ...!” Nampak sinar terang ketika tangannya melolos sebatang rantai yang panjangnya ada satu setengah meter, terbuat dari pada besi dan berwarna putih seperti perak. itulah senjata yang ampuh dari Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw, yaitu sehelai rantai yang berat. Tanpa banyak cakap lagi, si gendut sudah memutar rantai itu dan melakukan penyerangan. Rantai besi itu menyambar-nyambar dahsyat, mengeluarkan suara bersuitan.

Bun Houw kembali mempengunakan kelincahan tubuhnya, mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, gulungan sinar putih itu terus mengejarnya. Pada suatu saat, nampak seolah-olah Bun Houw seperti seorang kanak-kanak sedang bermain loncat tali! Dia berloncatan menghindar dan rantai itu menyambar-nyambar lewat bawah kakinya dan atas kepalanya !

"Trang-trang ... !" Kini Bun Houw mulai menangkis dengan tongkatnya.

Kembali si gendut terkejut. Tangkisan tongkat itu mengeluarkan bunyi seolah-olah rantai di tangannya bertemu dengan benda logam yang keras! Jelas bahwa tongkat yang nampaknya butut itu menyembunyikan senjata logam kerasnya. Juga pertemuan dengan tongkat itu membuat rantai di tangannya terpental dan telapak tangannya terasa panas sekali. Diapun menjadi semakin penasaran dan dia memutar rantainya lebih gencar lagi. Akan tetapi, kini Bun Hou tidak hanya mengelak dan menangkis, melainkan mulai membalas dengan tamparan tangan dan tendangan kaki, dan juga totokan-totokan yang dilakukan dengan tongkatnya. Dari suhunya, Bun Houw menerima banyak macam ilmu silat, akan tetapi yang paling hebat merupakan keistimewaan gurunya, yaitu ilmu menotok jalan darah, lalu ilmu tongkat dan yang terakhir ilmu pedang. Melihat tingkat kepandaian lawan, Bun Houw masih belum mau menghunus pedang dari dalam tongkat bututnya. Gurunya tidak menghendaki dia sembarangan menghunus pedang, karena ilmu Pedang Kilat amat berbahaya. Sekali pedang itu tercabut sukar dicegah robohnya lawan dalam keadaan terluka parah atau tewas! Karena itulah, Bun Houw masih tidak mau mencabut pedangnya. Dia tidak mengenal si gendut ini, tidak mempunyai permusuhan pribadi. Si gendut hanyalah seorang utusan, seorang anak buah, maka tidak semestinya kalau dia melukainya dengan berat, Apalagi membunuhnya!”

Ilmu tongkat yang dimainkan Bun Houw memang merupakan ilmu tongkat yang amat hebat. Gerakannya cepat dan sukar diduga. Kalaupun tongkat itu hanya merupakan sebatang tongkat butut, namun sambarannya mendatangkan angin pukulan yang dahsyat, dan si gendut Gu Mouw maklum bahwa tongkat di tangan lawan itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Buktinya ketika tongkat itu menangkis rantainya, dia merasa betapa rantainya terpental dan telapak tangan yang memegang ujung rantai menjadi panas, itu saja sudah membuktikan bahwa selain pemuda itu memiliki tenaga kuat, juga tongkat itu bukan benda lunak dan lemah !

Melihat betapa sejak tadi si gendut tidak mampu merobohkan Bun Houw, sebaliknya kini malah terdesak hebat dan terus main mundur, tiga orang jagoan bawahannya menjadi penasaran, khawatir dan tidak sabar lagi. Diawali aba-aba si codet yang menjadi pemimpin, mereka lalu menerjang maju untuk mengeroyok Bun Houw, mempengunakan golok mereka yang dipegang di tangan kiri. Tentu saja mereka bertiga tidak akan gila berani maju lagi kalau di situ tidak ada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. Mereka mengharap bahwa dengan adanya Gu Mouw, mereka bertiga akan mampu membuat Bun Houw roboh!”

Melihat majunya tiga orang yang sudah patah tulang lengan kanan mereka itu, Bun Houw sama sekali tidak menjadi gentar, bahkan dia menjadi marah. Tiga orang Liu Sungguh tidak tahu diri! Maka, dia lalu menambah tenaganya dan pada saat rantai besi di tangan Gu Mouw menyambar ke arah kepalanya, dia menangkis dengan tongkat dan sengaja memutar tongkat itu dengan menggetarkan ujungnya sehingga ujung rantai melibat tongkatnya Dengan tenaga sentakan atau kejutan, dia menarik. Tubuh gendut itu tertarik mendekat dan Bun Houw menyambung tarikannya itu dengan tendangan kilat ke arah tangan kanan di ujung rantai.

"Dukk!” Tendangan dengan ujung kaki itu tepat mengenai tangan yang memegang gagang rantai, keras dan tepat. Gu Mouw mengeluh dan tak dapat dipertahankannya lagi, rantai itu dan terlepas dari tangannya!

Bun Houw mengayun tongkatnya dan rantai itupun terputar-putar, membentuk lingkaran sinar putih menyambut tiga orang jagoan yang mengepungnya dengan serangan golok. Demikian kuat dan cepatnya rantai terputar. Begitu tiga batang golok menyambut dan menangkis, tiga batang golok itu terlepas dan terlempar jauh dan rantai masih terus berputar menghantam ke arah tiga orang itu. Mereka berteriak kesakitan dan roboh terjungkal dengan kepala berdarah! Mereka bertiga tidak tewas, juga luka mereka tidak membahayakan nyawa, namun kulit muka mereka pecah terkena hantaman rantai dan mengeluarkan banyak darah.

Melihat kehebatan pemuda itu, Gu Mouw maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkannya, maka diapun menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akan tetapi, Bun Houw berseru, "Sobat she Gu, terimalah kembali senjatamu ini! Dan tongkatnya diputar, rantai itu ikut terputar kencang, lalu ketika tongkat dipantulkan kuat, rantai yang masih berputar itu terbang ke arah Gu Mouw yang melarikan diri!

Mendengar teriakan lawannya, Gu Mouw menahan langkahnya, lalu. membalik dan menggunakan kedua tangan untuk menerima rantainya yang berputar-putar itu. Rantai itu dapat ditangkapnya, akan tetapi saking kerasnya rantai berputar, kedua ujungnya menghantam perut dan pundaknya. Dia mengaduh-aduh seperti seekor babi disembelih, bergantian dia mendekap perut dan pundak yang luka berdarah. Kemudian, terhuyung-huyung dia melarikan diri dengan rantai masih melibat tubuhnya, diikuti tiga orang temannya.

Dengan susah payah mereka meloncat ke atas punggung kuda mereka yang tadi dibiarkan lepas tak jauh dari situ, Bun Houw tidak mengejar dan baru setelah empat orang itu melarikan diri, dia merasa tertarik sekali untuk melakukan penyelidikan. Mengapa mereka itu demikian bernafsu untuk membunuhnya? Pertama mengirimkan tiga orang jagoan itu, kemudian mengirim si gendut yang memang jauh lebih lihai dibandingkan mereka. Melihat betapa mereka itu bersungguh-sungguh dalam usaha mereka untuk membunuhnya, bukan tidak mungkin kalau mereka akan mengirim lagi orang- orang yang lebih lihai atau lebih banyak untuk mengejarnya. Dia harus mengetahui mengapa mereka demikian membencinya. Benarkah hanya karena dia bercakap-cakap dengan Ling Ay di taman kuburan? Rasanya tidak mungkin. Dan benarkah suami Ling Ay yang berada di belakang semua usaha untuk membunuhnya itu ?

Karena terlarik, maka diapun menggerakkan tubuhnya, berlari cepat membayangi empat ekor kuda yang sudah berlari jauh ke arah kota Nan-ping itu.

***

Cia Kun Ti meninggalkan gedung besar tempat tinggal puterinya dengan wajah muram. Baru saja dia berkunjung untuk menyusul isterinya yang belum juga pulang. Sehabis bersembahyang di taman kuburan, dia segera pulang, ke rumahnya sendiri, akan tetapi isterinya ikut dengan puteri mereka. Sampai hari menjadi sore, isterinya belum juga pulang, maka dia lalu menyusul ke rumah mantunya. Dan di rumah itu, dia mendengar dari isterinya betapa mantu mereka, Cun Hok Seng, marah-marah kepada Ling Ay dan ibunya. Mantunya itu marah karena menuduh Ling Ay mengadakan pertemuan dengan bekas tunangannya atau bekas kekasihnya! Dan mantunya mengharuskan Ling Ay tinggal saja di dalam kamar, tidak boleh keluar sebelum ada perintah darinya. Dan isterinya harus menunggui puteri mereka itu!”

Tentu saja hati Cia Kun Ti merasa tidak enak sekali dan diam-diam dia menyesali ke tamakan isterinya yang memaksanya dahulu untuk menerima pinangan Cun Hok Seng. Apa yang dikhawatirkanpun kini terjadi. Mantunya itu bukan orang baik-baik. Bahkan keluarga mantunya, yang kepala daerah, juga bukan orang baik-baik. Hal ini sudah diduganya semula, melihat adanya banyak peristiwa aneh terjadi di kota Nan-ping. Namun, semua telah terlambat, puterinya, anak tunggalnya, telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan dia tahu betapa isterinya merasa berbahagia karena memperoleh percikan kehormatan dan kemuliaan yang sesungguhnya semu saja. Bagi dia sendiri, diam-diam dia merasa malu, bukan hanya melihat ketamakan isterinya akan kehormatan dan kemuliaan, melainkan malu karena sebagai seorang suami dia tidak berdaya mempergunakan kekuasaannya mengatur isteri dan anak sendiri! Dan kini, terjadilah hal itu! Sungguh menjengkelkan. Dia tahu benar bahwa puterinya sama sekali tidak melakukan kesalahan! Pertemuannya dengan Bun Houw hanya kebetulan saja, dan di antara mereka tidak terdapat hal-hal yang kotor atau melanggar tata susila. Akan tetapi, akibat pertemuan itu telah makin menonjolkan watak dari mantunya !

Ketika Cia Kun Ti dengan wajah muram memasuki pekarangan rumahnya, tiba-tiba ada suara orang memanggilnya, "Paman Cia ...!”

Cia Kun Ti terkejut, cepat membalikkan tubuhnya dan kiranya Bun Houw sudah berada di situ, di dalam pekarangan rumahnya. "Aih, engkau ini, Bun Houw? Mari, silakan masuk!" Bun Houw menghaturkan terima kasih dan merekapun memasuki rumah itu, Rumah yang sudah amat dikenal oleh Bun Houw. Dahulu, beberapa tahun yang lalu, dia masih sering kali datang berkunjung ke rumah ini, rumah tunangannya, calon isterinya, rumah calon ayah dan ibu mertuanya! Rumah itu masih sama, hanya catnya yang baru dan ketika dia masuk, ternyata perabot rumah juga diganti dengan perabot baru yang lebih mahal. Tentu keluarga itu hendak menyesuaikan diri, pikirnya, sebagai mertua putera kepala daerah, tentu rumahnya harus lebih mewah.

Cia Kun Ti mengajak Bun Houw duduk di ruangan dalam dan setelah pelayan menghidangkan minuman dan makanan sekadarnya, Cia Kun Ti lalu menutupkan daun pintu ruangan itu dan sikapnya berubah sungguh-sunguh.

"Bun Houw, engkau masih berada di Nan-ping? Ah, aku girang sekali tidak terjadi sesuatu atas dirimu

... "

Bun Houw memang sengaja datang ke rumah bekas calon mertua ini. Tadi dia membayangi empat penunggang kuda dan mereka itu masuk ke dalam sebuah rumah besar yang bersambung dengan rumah kepala daerah. Dia ingin mencari keterangan, dan satu-satunya orang yang akan dapat memberi penjelasan kepadanya hanyalah Cia Kun Ti, bekas calon mertuanya ini. Dia tahu bahwa Cia Kun Ti adalah sahabat yang sangat baik dan akrab-dengan mendiang ayahnya, dan tadi, di taman kuburan, Cia Kun Ti juga memperlihatkan sikap, yang amat baik kepadanya. Sebetulnya dia meragu untuk datang berkunjung, mengingat akan sikap Nyonya Cia yang agaknya tidak suka kepadanya. Maka, giranglah hatinya bahwa dia dapat berbicara empat mata dengan Cia Kun Ti. Kini, begitu tiba tuan rumah mengkhawatirkan keadaan dirinya!

"Ada apakah, paman ? Mengapa paman menduga bahwa akan terjadi sesuatu atas diriku,” dia memancing.

Cia Kun Ti menarik napas panjang. Tadi dia mendengar dari isterinya yang menyumpah Bun Houw. Isterinya berkata bahwa kini Bun Houw dicari oleh orang-orangnya Cun Hok Seng dan akan dibunuh. Isterinya memujikan agar pemuda itu cepat dapat tertangkap dan dibunuh!

"Aku mendengar bahwa engkau dicari oleh para jagoan dari Cun-taijin, aku ... aku khawatir sekali."

Bun Houw mengangguk-angguk, girang bahwa dia mencari keterangan ke sini. "Memang benar, paman. Empat orang mencari aku, dan bahkan mengejar aku yang sudah meninggalkan kota ini. Mereka hendak membunuhku, dengan-tuduhan bahwa aku menghina keluarga Cun karena aku berani bercakap-cakap dengan Ay... ah, dengan mantu kepala daerah, yaitu-puteri paman. Aku dapat mengalahkan mereka. Aku merasa penasaran dan aku berkunjung ini untuk mendapatkan penjelasan paman, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa pertemuan dan percakapan bersih antara aku dan puterimu. di taman kuburan itu saja membuat suaminya marah-marah dan hendak membunuhku. Siapakah mereka itu yang demikian kejam, paman ?"

Cia Kun Ti menarik napas panjang. "Ah, ya sudah untungku ... sungguh kasihan nasib anakku. Ini semua kesalahan isteriku, bibimu yang tamak dan gila hormat itu! Sejak dulu aku sudah mendengar hal-hal yang tidak baik tentang keluarga kepala daerah. Akan tetapi bibimu memaksaku sehingga kami menerima pinangannya. Dan sekarang ... "

"Paman, apa yang sebenarnya terjadi?"

“Semua telah menimbulkan kecurigaanku, juga kecurigaan mendiang ayahmu. Sejak Cun-taijin menjadi kepala daerah di Nan-ping, kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, nampak gejala gejala tidak benar. Cun taijin mempengunakan orang-orang kang-ouw yang menurut penilaian ayahmu adalah penjahat-penjahat besar."

"Benarkah itu, paman ? Apakah paman maksudkan bahwa kepala daerah itu mempengunakan penjahat-penjahat untuk melakukan, kejahatan?”

Yang ditanya menggeleng kepala. "Sama sekali tidak. Bahkan semenjak dia menjadi kepala daerah di sini, kota Nan-ping menjadi tenteram, tidak pernah terjadi kejahatan di kota ini. Tidak ada penjahat yang berani melakukan kejahatan, karena para tokoh sesat yang mereka takuti berada di sini menjadi kaki tangan kepala daerah!"

Bun Houw merata heran bukan main. Bagaimana mungkin seorang kepala daerah, seorang pejabat pemerintah mempengunakan tokoh-tokoh sesat untuk menjadi kaki tangannya ?

"Lalu, untuk apa dia memelihara para tokoh sesat itu, paman ?" Cia Kun Ti mengangkat pundak. "Hal itu tidak ada yang tahu. Akan tetapi sejak dia menjadi kepala daerah, terjadi banyak hal aneh, seperti kematian ayahmu ... “

"Maksud paman ...?”

"Aku tidak menduga yang bukan-bukan. Ayahmu memang seorang pendekar penentang kejahatan, karena itu lima orang berkedok yang kauceritakan telah membunuh ayahmu itu tentu saja para penjahat yang membalas dendam. Akan tetapi, banyak terjadi pembunuhan yang penuh rahasia. Banyak tokoh dan pejabat tewas tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Dan selain itu, sebagai seorang pedagang aku tahu bahwa kami para pedagang diperas oleh kepala daerah, dengan pungutan pajak-pajak tambahan yang tidak wajar. Dan tidak ada orang berani membantahnya. Bayangkan saja, sekarang Ling Ay menjadi anggauta keluarga Cun yang penuh rahasia itu! Dan ternyata sikap Cun Hok Seng juga aneh dan keterlaluan. Masa karena isterinya yang menjadi sahabat baikmu, kebetulan bertemu denganmu di taman kuburan lalu bicara di depan umum, bicara sopan, membuat dia marah seperti gila dan hendak membunuhmu? Aih, sungguh penuh rahasia ... dan aku, nasib yang buruk ini, makin tua aku semakin menderita, dan aku kasihan kepada puteriku ... "

Bun Houw mengangguk-angguk. "Memang kedengarannya aneh, paman. Empat orang itu hendak membunuhku, dan ketika mereka melarikan diri, mereka menuju ke rumah kepala daerah. Ada sebuah bangunan besar yang bersambung dengan gedung kepala daerah, dan mereka memasuki pekarangan rumah besar itu. Justeru kepadamu aku ingin mendengar keterangan tentang rumah besar itu, paman."

"Di sanalah mereka berkumpul. Penduduk tahu belaka bahwa mereka adalah kaki tangan kepala daerah, akan tetapi karena mereka tidak pernah mengganggu rakyat di depan umum, maka tidak ada yang perduli. Dahulu, di situ menjadi markas pasukan pengawal. Akan tetapi, kepala daerah agaknya lebih suka dikawal oleh kaki tangannya, dari pada oleh pasukan. Dan menurut kabar angin, kaki tangan kepala daerah itu merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian amat tinggi."

"Akan tetapi, paman. Apakah keadaan yang aneh itu tidak diselidiki oleh para pembesar dan pejabat lainnya? Bukankah kota Nan-ping ini mempunyai pula pejabat lain?"

Semua pejabat sipil adalah bawahan kepala daerah, dan satu-satunya pejabat militer adalah komandan pasukan keamanan yang markasnya berada di ujung kota sebelah selatan. Dengan Kim- ciangkun yang tua, Cun Taijin mempunyai hubungan yang amat baik. Entah dengan komandan yang sekarang ini, yang baru beberapa bulan menggantikan Kim-ciangkun. Komandan yang sekarang ini kabarnya dari kota raja, disebut Souw-ciangkun, entah bagaimana hubungannya dengan Cun Taijin, aku tidak tahu. Akan tetapi, ketika Kim-ciangkun masih menjadi komandan, beberapa orang perwira bawahannya juga kabarnya ada yang mati mendadak, ada pula yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, dan kabarnya mereka yang mati atau lenyap itu adalah para perwira yang memperlihatkan sikap tidak senang kepada Cun Taijin."

Bun Houw mengangguk-angguk. "Ah, semakin menarik saja, paman. Kalau aku tidak hendak dibunuhnya, tentu aku sudah pergi dari Nan-ping dan tidak tahu akan hal itu. Sekarang, hatiku tertarik sekali dan aku mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan.”

Cia Kun Ti mengerutkan alisnya, "Berhati-hatilah engkau, Bun Houw. Engkau sudah menjadi buruan mereka, bagaimana engkau malah hendak melakukan penyelidikan dan seolah-olah memasuki gua harimau? Mereka itu banyak dan kuat sekali, dan Cun Taijin amat berkuasa di sini, menjadi orang nomor satu di sini!”

"Harap paman Jangan khawatir. Aku hanya melanjutkan perjuangan ayah. Aku yakin bahwa kalau ayah masih hidup, tentu ayah akan melakukan penyelidikan terhadap keluarga Cun yang penuh rahasia itu!"

"Ayahmu dahulu pernah mengatakan kecurigaan hatinya, akan tetapi setahuku belum pernah melakukan penyelidikan. Akan tetapi Bun Houw, apakah tidak lebih baik engkau mulai berdagang lagi saja? Aku suka membantumu dan ... "

"Terima kasih, paman. Aku tidak berani menyusahkan paman. Bahkan sekarangpun aku harus pergi. Tidak baik kalau ada orang melihat aku berkunjung ke sini, tentu hanya akan mendatangkan kesusahan bagimu saja. Nah, selamat tinggal, paman. Sampaikan terima kasihku kepada ... adik Ling Ay bahwa ia mau bersembahyang di depan batu nisan ayah ibuku, dan aku selalu memujikan agar ia hidup berbahagia." Setelah berkata demikian Bun Houw keluar dari rumah itu, berindap-indap dan menyelinap keluar tanpa diketahui orang lain. Dia kini tahu betapa besar bahayanya bagi Cia Kun Ti kalau sampai ada kaki-tangan kepala daerah melihat dia baru saja berkunjung ke rumah itu.

***

Bun Houw meninggalkan rumah Cia Kun Ti dan dia maklum bahwa dia tidak boleh memperlihatkan diri di tempat umum karena dia pada saat itu adalah seorang buruan. Kalau kaki tangan kepala daerah melihatnya, tentu akan terjadi keributan dan dia akan diserang. Bukan dia takut, melainkan karena dia harus menyelidiki apa yang berada di balik segala rahasia keluarga kepala daerah Cun. Dia harus menyelidikinya, dan kalau perlu menentangnya, demi kehidupan rakyat penghuni kota Nan- ping, demi keluarga Cia Kun Ti, demi ... Ling Ay. Bukankah menurut keterangan Cia Kun Ti tadi, ayahnya dahulupun pernah menyatakan kecurigaannya terhadap kepala daerah Cun? Namun, ayahnya tidak sempat melakukan penyelidikan, maka biarlah kini dia yang melanjutkan kecurigaan ayahnya itu.

Sejak hari mulai gelap, dia sudah melakukan pengintaian terhadap rumah besar di dekat gedung kepala daerah. Gedung itu nampak sunyi, tidak ada yang keluar masuk. Akan tetapi, dia sudah mendengar dari Cia Kun Ti bahwa gedung atau rumah berar itu merupakan markas dari para kaki tangan Cun Taijin. Maka, setelah hari menjadi gelap benar, dia-pun mempengunakan kepandaiannya untuk menyelinap ke dekat rumah itu. kemudian meloncat ke atas genteng dan mendekam di wuwungan rumah.

Dengan hati-hatl Bun Houw merangkak di atas wuwungan rumah dan akhirnya dia menemukan apa yang dicarinya dan mendekam di atas sebuah ruangan besar di mana berkumpul banyak orang yang duduk mengelilingi sebuah meja besar. Mereka terdiri dari delapan orang. Di ujung meja duduk seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun, namun wajah dan tubuhnya masih seperti orang muda, rambutnya sudah ubanan dan orang ini mengenakan pakaian serba putih yang bersih, terbuat dari sutera balus. Hanya tali atau pita rambutnya saja yang berwarna biru. Sikapnya berwibawa dan mudah diduga bahwa dia tentu merupakan pimpinan dari kelompok itu. Bun Houw melihat pula pria gendut yang tadi dikalahkannya, duduk di antara tujuh orang lain. Tiba-tiba dia mengerutkan alisnya dan merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Tidak kelirukah penglihatannya?

Yang menarik perhatiannya dan membuat jantungnya berdebar adalah seorang yang duduk pula di situ. Dia tidak pernah melihat orang itu dan setelah dia pandang dengan teliti, dia merasa yakin bahwa orang itu adalah seorang di antara lima orang penjahat bertopeng yang dulu membunuh ayahnya! Yang membuat dia merasa yakin adalah tangan kanan orang itu. Lengan itu buntung sebatas pergelangan tangan! Tangan kanan itu sudah hilang, diganti dengan sebuah cakar baja yang mengerikan! Memang dia tidak mengenal wajah orang itu, akan tetapi tangan itu! Dan bentuk tubuhnya. Betapapun juga dia merasa ragu pula.

Kalau benar orang itu adalah seorang di antara lima penjahat yang membunuh ayahnya, mengapa dia berada di sini? Apakah yang empat orang juga berada di situ?

"Sungguh menyebalkan sekali." terdengar orang yang bertubuh tinggi kurus berkata sambil memandang kepada Siauw-bin Pek-ti Gu Mouw. "Menghadapi seorang bocah ingusan saja sampai gagal, pada hal sudah dibantu tiga orang monyet tolol itu !”

Yang menegur itu adalah Bu-tek Kiam-mo, orang ke dua dari kelompok kaki tangan Cun Tai-jin. Mendengar ini, si gendut Gu Mouw mengerutkan alisnya dan memandang kepada rekannya itu dengan alis berkerut.

"Hemm, andaikata engkau sendiri yang maju, belum tentu engkau akan mampu mengalahkannya !"

Bu-tek Kiam-mo bangkit berdiri dari kursinya dan membentak, "Aku tidak seperti engkau! Kalau pedangku tidak mampu membunuhnya, aku tidak akan kembali ke sini dan tentu sudah menjadi mayat. Tidak sudi aku membawa pulang kekalahan!”

Melihat suasana menjadi panas, Pek I Mo-ko segera bangkit berdiri dan bertepuk tangan, memberi isarat kepada dua orang yang bersitegang itu untuk menjadi tenang. "Sudahlah, tidak perlu diributkan lagi. Kalau pemuda itu berani muncul lagi. kita usahakan agar dia itu dilenyapkan! Sebaliknya kalau dia sudah pergi sudahlah. Urusan dengan dia hanya kecil saja dan perintah atasan banya untuk menghajar dia, bukan membunuhnya. Kita menghadapi urusan yang lebih besar, tidak perlu meributkan urusan kecil!" Mendengar ucapan itu. Bu-tek Kiam-mo dan Gu Mouw tidak banyak cakap lagi. Pek I Mo-ko lalu berkata lagi, "Malam ini, sesuai dengan perintah atasan kita, kita harus dapat membunuh perwira tinggi itu. Ngo-kwi, kalian yang bertugas membantu Bu-tek Kiam-mo, dan kalian telah melakukan penyelidikan dan memilih saat yang baik. Bagaimana hasilnya penyelidikan terakhir?"

Mendengar disebutnya Ngo-kwi ini, jantung Bun Houw berdebar semakin kencang. Lima Iblis? Kebetulan pembunuh ayahnya juga lima orang banyaknya, dan seorang di antaran menurut keyakinannya, adalah orang yang lengannya buntung dan tangan kanannya diganti cakar besi itu! Seorang di antara mereka yang bertubuh pendek besar segera menjawab dengan suara lantang.

"Sudah siap semua! Menurut penyelidikan kami, memang malam ini saat paling baik. Perwira tinggi itu tidak berada di markas, dan sedang berlibur dengan keluarganya di gedung musim panas mereka, dekat telaga di luar kota. Kesempatan yang teramat baik bagi kita."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar