Kesatria Berandalan Bab 2

Bab 2

Di tengah brandalan muncul pendekar hebat

Dengan bijaksana mengatasi kejahatan Kota Yang-ciu

Di atas loteng Te-it-lou (rumah makan no 1) di meja persegi depan yang menghadap jalan, bersandar duduk di atas bangku seorang pemuda yang mengenakan baju hitam. Pemuda berbaju hitam ini berumur kira-kira 24-25 tahun, beralis panjang, mata hitam besar, hidung mancung, mulut pantas, rambut diikat, dia sedang menumpahkan arak ke mulutnya secawan demi secawan.

Melihat dia minum, sebenarnya bukan seperti minum tapi seperti menumpahkan, seperti ditelan, di atas meja, sudah malang melintang puluhan guci arak kosong, dan muka pemuda berbaju hitam itu sudah terlihat ada sedikit rnabuk.

Ketika mengangkat sebuah guci arak, mau menumpahkan arak ke dalam cawan, pemuda berbaju hitam baru merasa guci arak itu sudah kosong, dengan enteng dia menaruh kembali guci arak itu, lalu dengan suara sedang memanggil:

"Pelayan..."

Pelayan yang berdiri di mulut tangga mendengar panggilan itu, memandang pada pemuda berbaju hitam seakan-akan mengetahui maksudnya, cepat-cepat dia mengantarkan seguci arak lagi, sambil menuangkan arak sambil berkata dengan hormat:

"Kie Toako, hari ini minumnya sudah terlalu banyak."

Pemuda berbaju hitam itu tertawa, terlihat sebaris gigi yang rapih dan putih, pada pelayan tertawa sambil berkata:

"Siau Ke-cu, setelah seguci arak ini habis, aku segera pergi."

Selesai bicara, dengan sebelah tangan dia memegang cawan arak yang sudah diisi penuh, langsung ditumpahkan ke dalam mulut!

Dengan amat kuatir, siau Ke-cu mengerutkan alis sambil berbisik: "Kie Toako, kenapa kau minum banyak begini?"

Pemuda berbaju hitam itu tertawa getir: "Aku amat kesepian!"

"Kie Toako, kau kan banyak teman? Kenapa lusa kesepian? Orang seperti aku, Siau Ke-cu baru bisa di katakan kesepian!"

Pemuda berbaju hitam itu berturut-turut minum lagi 2 cawan, lalu berkata dengan suara rendah:

"Kalau kau kesepian juga, mari minum 2 cawan untuk mengusir kesepianmu!"

Agak ketakutan Siau Ke-cu berkata:

"Aku juga ingin minum, tapi aku tidak bisa minum."

Pemuda berbaju hitam itu minum lagi 2 cawan, rupanya sudah agak mabuk:

"Siau Ke-cu, kalau tidak bisa harus belajar, segala urusan kalau tidak berani mencoba kapan akan bisa, cobalah secawan dulu!"

Dia lalu menuangkan secawan penuh arak, menyodorkan sampai di sisi bibir Siau Ke-cu.

Muka dan alis Siau Ke-cu mengkerut karena tercium bau pedas yang tajam dari arak tersebut, dia agak ragu-ragu, tetapi ketika matanya bertemu sorotan mata pemuda berbaju hitam yang penuh membujuk, dia memberanikan diri, menerima cawan yang disodorkan itu, arak itu langsung diteguknya habis.

Rasa arak yang senggak dan pedas itu membuat dia batuk hingga terbungkuk-bungkuk, tenggorokannya tidak nyaman seperti terbakar, mukanya menjadi merah semua. Pemuda berbaju hitam itu segera menuangkan secangkir teh untuk Siau Ke-cu, dan dia segera meminumnya hingga merasa enakan, tetapi kepalanya terasa agak pusing.

"Siau Ke-cu, begini baru seperti lelaki sejati!" pemuda berbaju hitam menepuk-nepuk bahu Siau Ke-cu, tertawa sambil memuji.

Senyumannya amat bersahaja, memberi pandangan pada orang bahwa dia tidak angkuh dan mudah bergaul.

"Aku Siau Ke-cu akhirnya berani minum juga!" karena kegirangan muka Siau Ke-cu bertambah merah, memegang sebelah tangan pemuda berbaju hitam yang putih bersih dan panjang, dia berguman sendiri, "aku mau jadi laki-laki sejati!"

Pemuda berbaju hitam itu mengangkat guci arak, sekali jadi menegaknya sampai kering, sambil mengelap bibir dengan tangannya berkata:

"Siau Ke-cu, sekarang aku mau pulang, coba hitung jadi berapa semuanya?"

Siau Ke-cu melepaskan tangannya yang memegang, tergesa-gesa berkata:

"Kie Toako, kali ini bagaimana juga Siau Ke-cu yang mentraktirmu, kau pulang saja!" sorotan matanya penuh memohon.

Pemuda berbaju hitam itu memandang Siau Ke-cu lalu mengangguk:

"Baiklah! Siau Ke-cu, terima kasih banyak!"

Selanjutnya dia berdiri, menyodorkan tangan menyelipkan sebuah uang perak, kira-kira seberat 5 tail ke tangan Siau Ke-cu, dengan tertawa jenaka sambil berkata:

"Ini tips buatmu!" Belum sempat Siau Ke-cu bicara, dia sudah menyelinap melewati Siau Ke-cu, cepat-cepat menuju ke tangga.

Siau Ke-cu terkesiap, membalikan tubuh cepat-cepat memanggil:

"Kie Toako..."

Tapi pemuda berbaju hitam itu sudah turun ke bawah Siau Ke-cu hanya bisa geleng-geleng kepala, menyimpan

uang itu ke bawah saku dalam pelukannya, mulutnya bergumam

"Ngomongnya saja aku yang traktir, sebenarnya dia yang membayar."

ooo0dw0ooo

Pemuda berbaju hitam dengan langkah gontai meninggalkan gerbang Te-it-lou, berdiri di pinggir jalan, mata yang bening setengah meram melihat kekiri dan kanan, baru saja akan melangkah ke arah kanan, tiba-tiba dia melihat seseorang dari arah kiri dengan cepat berjalan menuju dia, maka dia tetap saja berdiri di tempat menunggu orang itu.

Orang yang tergopoh-gopoh menuju dia itu seorang laki- laki yang brewokan, berumur kira-kira 30 tahun, tubuhnya tinggi besar, mengenakan satu stel baju celana hijau. Setelah sampai di depan pemuda berbaju hitam, cepat-cepat berhenti dan menarik pemuda berbaju hitam tergesa-gesa berkata:

"Kie Toako, bahaya..."

Melihat laki-laki brewokan ini umurnya lebih tua dari pemuda berbaju hitam tetapi menyapa pemuda berbaju hitam sebagai Toako, orang yang tidak tahu seluk beluknya pasti akan tertawa, tetapi dalam pandangan kelompok mereka, itu berupa penghormatan.

Pemuda berbaju hitam menyela perkataan laki-laki brewokan itu:

"Lu Pau, tenang dulu. Ceritakan apa yang terjadi?"

Lu Pau, laki-laki brewokan itu menelan ludah dengan napas panjang pendek berkata:

"Si brengsek bermarga Kian itu berlagak lagi di warung Oh Ta-siok, dia sesumbar akan membawa putri Oh Ta-siok yang bernama Siau-ih sebagai pembayar hutang. Kie Toako, aku melihat si brengsek itu mata keranjang, berniat busuk mau mengganggu Oh Ta-siok!"

Begitu mendengar kabar itu, rasa mabuk dan rasa mengantuk pemuda berbaju hitam itu dalam sekejap jadi hilang semua, katanya:

"Lu Pau, hayo kita ke sana!"

Lu Pau tidak berkata-kata, segera memutar tubuhnya ikut pergi.

ooo0dw0ooo

Pemuda berbaju hitam dan Lu Pau secepat ingin tiba di sebuah warung kelontongan, dari kejauhan sudah terlihat di depan warung berkerumun banyak orang.

Setiba di warung, mereka menjauhkan orang-orang yang masuk ke dalam.

Begitu orang-orang yang berkerumun di depan warung kelontongan melihat pemuda berbaju hitam, mereka segera dengan sendirinya membuka jalan, mereka beramai-ramai berkata: "Kie Ke-ci (bujangan Kie) sudah datang, kami mau tahu, apa orang yang bermarga Kian itu berani galak lagi!" banyak orang dengan hangat menyapa pemuda berbaju hitam.

Pemuda berbaju hitam mengangguk sambil membalas salam, melangkah masuk ke dalam warung Kelontongan itu.

Akhirnya Lu Pau membawa pemuda berbaju hitam masuk ke dalam warung kelontongan itu.

Dalam warung ini tampak berantakan, kecap, cuka, minyak, garam, berserakan di lantai, botol pecah, guci hancur, beberapa orang berbaju ketat yang beringas sedang menghancurkan barang-barang di dalam warung, seorang tua berambut ubanan berumur kira-kira 60 tahun-an sedang memohon dan menarik lengan seorang Kongcu.

Setelah pemuda berbaju hitam melihat, dalam matanya melintas sekilas kegeraman tapi segera reda, dengan suara rendah membentak: "Berhenti!"

Bentakan ini suaranya tidak begitu keras, tetapi beberapa orang berbaju ketat tersentak sehingga semua gerakannya berhenti, semua memandang pemuda berbaju hitam itu.

Orang tua pemilik warung melihat pemuda berbaju hitam seperti melihat dewa penolong, sekilat dia merangkul pemuda berbaju hitam ke depannya, dan memegang kencang-kencang lengan pemuda berbaju hitam, air matanya bercucuran, dengan suara gemetaran berkata:

"Kie Ke-ji, mereka mau membawa Siau-ih sebagai pembayar hutang, mereka menindas orang, tolonglah bapak."

Dua tangan pemuda berbaju hitam memapah orang tua itu, dengan suara kalem berkata: "Oh Ta-siok tenang saja. Ada aku disini, Siau-ih tidak bakalan bisa dibawa mereka, anda kesana dulu duduk dan istirahat. Lu Pau tolong bantu Oh Ta-siok."

Lu Pau segera memapah Oh Ta-siok duduk di depan meja tempat duit.

Pemuda berbaju hitam dengan sinis memandang beberapa orang berbaju ketat yang sudah berhenti membanting-banting barang dagangan di warung. Dengan amat dingin berbicara pada salah seorang yang seperti Kongcu itu:

"Kian Ta, kenapa kau belum kapok juga? Apa gebukan kemarin dulu tidak cukup sakit? Masih berani membuat keributan lagi?"

Kongcu yang dipanggil Kian Ta matanya menyorot sinar kejam, dengan malu dan marah berkata:

"Kie Yam-ke, brandalan brengsek, hari ini Kongcu mu sudah tidak takut lagi padamu, kalau si tua bangka Oh ini tidak bisa melunasi hutang-hurangnya, hari ini Kongcu mu akan menghancurkan warungnya, dan membawa putrinya sebagai pembayar hutang!"

Pemuda berbaju hitam itu ternyata adalah hrandalan Kie Yam-ke yang sudah dikenal luas oleh orang-orang di kota Yang-ciu!

Kie Yam-ke berasal dari keluarga miskin. Sejak kecil sudah bergaul dengan berandalan-berandalan. Tapi nenek moyangnya adalah orang terpelajar dan keluarga mampu. Sampai keturunan ayahnya keluarga ini sudah betul-betul jatuh, sejak orang tuanya meninggal semua, ia pun menjadi gembel, ketika dia berumur 13 tahun tiba tiba dia menghilang, anak-anak berandalan lainnya yang biasa bergaul dengan dia jadi kebingungan semua. Setelah menghilang tepat 10 tahun kemudian dia muncul kembali di kota Yang-ciu, dia juga bertemu kembali teman- teman lamanya, yang sekarang telah menjadi pemuda, tentu saja semua menjadi senang, dan bertanya kemana dia pergi selama 10 tahun. Tetapi dia tidak mau menceritakan kemana dia menghilang, hanya dengan asal saja mengatakan dia diajak seorang pengusaha dibawa ke ibukota untuk belajar berdagang, setelah dia merasa belajar berdagang sangat melelahkan, maka dia balik kembali.

Setelah kembali dia tetap bergaul dengan berandalan- berandalan itu, tetapi dia sudah banyak berubah, sekali- sekali mereka juga membuat onar, minum minum membikin keributan, tetapi mereka suka menolong, membantu teman, tetangga, membereskan masalah yang timbul, menentang kejahatan. Dia juga sering memberi nasihat-nasihat pada berandalan lainnya kalau berbuat sesuatu yang keterlaluan, membawa mereka kembali ke jalan benar, tidak merepotkan orang tua dan tetangga. Berhubung dia paham ilmu silat, dia suka mengajari anak- anak berandalan itu belajar ilmu silat, sehingga dia dihormati anak-anak brandalan dan dipanggil Toako, mengangkat dia sebagai kepala dan menuruti perintah dia.

Karena serangkaian tingkah lakunya yang positif, membuat pengurus dan orang tua di kampung itu berubah pandangan kepadanya, mereka melihat dengan pandangan yang lain pada dia dan teman-teman sekelompoknya, pandangannya bertambah hari bertambah baik, sehingga dianggap sebagai orang-orang yang bisa diandalkan, tidak membenci dan meremehkan mereka.

Tentang kehebatan ilmu silatnya, teman yang satu kelompok dengannya, apakah mengelu-elukan dia itupun tidak jelas, sebab dia sendiripun tidak pernah menyombongkan diri, maka sejak awal sampai sekarang bagaimana kepandaiannya tetap menjadi teka-teki.

Tetapi teman-teman berandalan yang satu kelompok dengannya tetap menganggap ilmu silatnya sangat hebat, kenapa mereka bisa beranggapan begitu? Hanya yang diatas yang tahu.

ooo0dw0ooo

Kie Yam-ke dengan sinis bertanya: "Kian Ta, sampai sekarang Oh Ta-siok punya hutang berapa padamu?"

Kali ini Kian Ta merasa bisa beraksi, mulutnya membuka dengan suara tajam dan keras:

"Tidak lebih pun tidak kurang, pokok berikut bunga menjadi 296 tail!"

Kerumunan orang-orang begitu mendengar angka ini tidak terasa menjulurkan lidah dan menggelengkan kepala, ada yang sampai bersuara ramai dan ada yang berbisik- bisik.

Oh Ta-siok yang duduk di depan meja duit, begitu mendengar seperti tertusuk jarum, dia meloncat bangun, dengan kesal dan marah menunjuk Kian Ta, ia berkata dengan suara bergetar:

"Kau...kau sama dengan menelan orang berikut tulangnya! Waktu itu aku hanya pinjam dua...dua..." dahaknya menggumpal naik ke tenggorokan, sepasang mala berkedip-kedip tidak kuasa berkata-kata.

Saat ini dari dalam ada sebuah suara berkata:

"Ayah..." lalu berlari keluar seorang gadis yang bertubuh langsing dan manis rupawan dengan cepat merangkul Oh Ta-siok yang tenggorokannya berbunyi "kruk, kruk, kruk". Begitu melihat seorang gadis cantik, sepasang mata Kian Ta menjadi berbinar-binar, seperti serigala kelaparan terus memandang gadis itu.

"Ayah, jangan membuat putrimu takut. Kalau terjadi apa-apa dengan engkau, putrimu-pun tidak mau hidup lagi sendirian." Gadis itu memeluk ayahnya, sambil memapahnya duduk, lalu mengelus-elus dadanya. Akhirnya orang tua itu meludah keluar segumpal dahak kental, terengah-engah sebentar dengan amat sayang mengusap rambut hitam putrinya, berkata dengan suara parau:

"Siau-ih, sudah jangan kuatir lagi, aku tidak apa-apa." Saat itu Kie Yam-ke maju ke depan bertanya:

"Ta-siok, apa perlu diperiksa oleh tabib?"

Bapak tua menggeleng kepala menggoyangkan tangan berkata:

"Kie Ke-ji, Ta-siok mu orang miskin, nyawapun bandel, sekarang sudah tidak apa-apa, ini hanya penyakit tua, diperiksa atau tidak sama saja."

Saat keduanya sedang berbicara, sepasang mata gadis yang sayu dengan penuh rasa kasih memandang Kie Yam- ke.

Kie Yam-ke menarik napas panjang dengan suara enteng berkata:

"Siau-ih, cepat papah ayahmu duduk."

Pandangan sayu gadis tepat beradu dengan mata Kie Yam-ke yang bening, tanpa terasa mukanya jadi panas, pipi pun menjadi merah, cepat-cepat dia menunduk, dengan enteng mengiyakan dan memapah ayahnya duduk kembali.

Kie Yam-ke berbalik pada Kian Ta yang sepasang mata terus terpaku pada si gadis. Dengan amat hina berkata: "Kian Ta, aku ingat sekali, Oh Ta-siok pernah berkata padaku, setahun yang lalu dia pernah meminjam 20 tail perak padamu, berturut-turut sudah bayar padamu 12 tail, kenapa bisa menjadi 296 tail?"

Sepasang mata Kian Ta tidak pernah terlepas dari tubuh si gadis, mendengar perkataan ini dia tertawa dingin dengan suara tajam berkata:

"Dia berangsur-angsur membayar 12 tail, uang itu untuk bungapun tidak cukup, setahun lebih hutang ini bunga berbunga tidak saja hutang padaku 296 tail, sebenarnya bisa lebih lagi, karena dia bakal tidak mampu bayar, maka aku menguranginya!"

Dalam kerumunan orang-orang itu ada yang memekik keras:

"Hati busuk! Meminjam padamu 20 tail perak, memaksa orang untuk bayar 200 tail lebih, masih bilang mengurangi! Tidak malu mengatakannya!"

Kie Yam-ke memutar tubuhnya keluar pintu dengan suara keras berkata pada orang sekampung dan para tetangga:

"Saudara-saudara, coba kalian pikir, pinjam 20 tail, bayar mesti menjadi 296 tail, adil tidak?" orang-orang sekampung dan para tetangga sudah amat membenci kelakuan Kian Ta yang semena-mena memeras orang baik, semua sama-sama mencemooh:

"Tidak adil! Tidak adil! Sepeserpun jangan bayar padanya!"

Emosi semua orang meluap-luap, mereka berteriak ramai sekali. Melihat keadaan ini, Kian Ta pun mulai gugup, mukanya hijau membesi, tanganpun bergetar.

Tiba-tiba Kie Yam-ke membalikan tubuh dan memutar tangannya, dalam telapaknya terlihat sekeping uang perak yang berkilau kira-kira seberat 10 tail, dengan muka berat dia berkata:

"Kian Ta, kau sudah mendengar sendiri orang-orang sekampung tidak senang padamu! Sekarang aku punya 10 tail perak, anggap saja membayar kau 8 tail. sisanya 2 tail anggap saja bunganya. Bagaimana?" sambil berkata sepasang matanya yang bening dan tajam itu seperti pisau menyorot pada Kian Ta.

Di bawah sorotan tajam dari Kie Yam-ke diam-diam Kian Ta memandang orang-orang yang berdiri di luar pintu. Dalam keadaan sedang emosi itu, hatinya merasa kecut dan gugup, tetapi dia tidak rela menerima begitu saja, dengan agak takut dia berpikir, mata berputar-putar tiba-tiba dia merasa hatinya terbuka, memaki dirinya "goblok!" dia menebalkan keberaniannya, mengangkat kepala, berkata:

"Tua bangka Oh tidak bayar hutangpun boleh, tapi aku punya satu syarat!"

Agak tertegun Kie Yam-ke bertanya:

"Kian Ta, siasat apalagi yang mau kau keluarkan?" Dengan angkuh sekali Kian Ta berkata:

"Bukan siasat! Kie Yam-ke, kalau kau sanggup bertarung dengan suhuku, menang atau kalah, aku akan dengan senang hati mengembalikan tanda bukti pengakuan hutang si tua bangka Oh itu padamu, hingga segala utang piutang itu dianggap lunas!" Bola mata Kie Yam-ke berputar-putar, dengan agak tercengang bertanya:

"Kian Ta, sejak kapan kau mendapatkan lagi suhu yang mengajar kau selalu digebuk orang lagi?"

Kian Ta terpancing oleh perkataan Kie Yam-ke, dia teringat suatu kali dia di jalan mengganggu seorang gadis, kebetulan terlihat oleh Kie Yam-ke, dia lalu di hajar babak belur, hingga dia menjadi marah karena malu.

"Kie Yam-ke, kau jangan bertingkah dulu, nanti kau rasakan kehebatannya!"

Dengan asal tertawa Kie Yam-ke berucap: "Dimana suhumu?"

Dengan bangga Kian Ta berkata:

"Itulah suhuku!" sambil menunjuk dengan tangan, jarinya menunjuk orang yang berdiri di samping belakang dia. Yang mengenakan jubah indah, sorotan matanya seram, mata seperti mata elang, hidung bengkok berkait, seorang tua setengah baya yang piara jenggot seperti kambing.

Orang tua setengah baya itu segera maju dengan langkah gagah, berdiri berendengan dengan Kian Ta, dengan sompral memandang Kie Yam-ke.

Tadi karena sorot mata semua orang tertuju pada tubuh Kian Ta dan Kie Yam-ke, orang yang dibawa Kian Ta jadi terlupakan, mereka hanya mengangap itu hanya tukang pukul atau jongosnya saja.

Saat melihat orang tua itu muncul dari belakang kian Ta, baru sadar Kian Ta melakukan semua ini dengan persiapan yang matang, dia juga bersiap mengatasi Kie Yam-ke. Kie Yam-ke jadi memperhatikan, setelah orang tua itu maju ke depan, dia berpikir keras, sekarang dia sadar anjuran Kian Ta ini adalah untuk membalas dendam, karena dia di dipermalukan di tengah jalan itu.

Bagi Kian Ta, tidak saja dia akan membalas penghinaan terhadap dirinya. Juga punya satu maksud lagi, yaitu kalau si tua dapat mengalahkan Kie Yam-ke, dia tentu akan langsung membantainya, mencabut duri dalam matanya. Saat itu, dia bisa semena-mena mengerjakan apapun juga, dia tetap akan memaksa si tua bangka Oh untuk membayar hutang. Kalau tidak bisa membayar, dia bisa terang- terangan menggusur Siau-ih untuk dijadikan istri mudanya, inilah rencana Kian Ta! sebelum berangkat dia sudah menjelaskan pada orang tua itu bagaimana pun harus bisa membunuh Kie Yam-ke!

Orang tua ini bukan tokoh sembarangan, dia dikenal di kalangan orang-orang sungai telaga dengan nama Mo Poh- co dengan julukan Toh-beng-sam-hoan (Tiga gelang pencabut nyawa)! Kian Ta membayar mahal padanya untuk membunuh Kie Yam-ke.

Memang Kie Yam-ke terkenal di kalangan berandalan, tapi itupun sebatas orang-orang di kota Yang-ciu yang mengenalnya, dia agak kurang mengetahui masalah- masalah orang dan apa-apa yang terjadi di dunia persilatan, sehingga dia tidak tahu siapa orang tua ini.

Setelah mengamati orang tua itu sebentar, dia tenang saja mengenggam tangannya berkata:

"Boleh tahu siapa nama Tuan?"

Sinar mata seram orang tua itu seperti listrik menyapu muka Kie Yam-ke dengan suara dingin berkata:

"Aku Mo Poh-co!" Dari sinar mata orang tua ini Kie Yam-ke merasa pasti kungfunya hebat, seorang tokoh yang sulit untuk diatasi, diam-diam dia mempertinggi kewaspadaannya, dengan tertawa asal dia berkata:

"Selamat berjumpa, ternyata Mo Cianpwee, maafkan segala kekurangan pengetahuanku."

Kian Ta melihat Kie Yam-ke amat sungkan pada Mo Poh-co, mengira Kie Yam-ke segan pada suhunya, dia bertambah percaya diri dengan tertawa keras berkata:

"Kie Yam-ke, kau belum menjawab apa sudah mau tidak bertarung dengan suhuku?"

Kie Yam-ke berpikir sejenak, akhirnya dengan yakin mengangguk:

"Baik! Aku sanggup! Tetapi bagaimana caranya bertarungnya?"

Kian Ta melihat Kie Yam-ke berpikir dulu baru menyanggupi bertarung, dia mengira ketakutan, hatinya berlambah besar lagi, dengan suara tajam dan tinggi berseru:

"Tentu saja mencari sebuah tempat yang luas, Kau bersama suhuku bertarung satu lawan satu!"

Kie Yam-ke mengangguk:

"Baik. Aku ikuti keputusan ini."

Oh Ta-siok berdiri dengan gontai, berjalan ke depan Kie Yam-ke, menjulurkan tangan yang gemetaran berkata sambil menarik lengan baju Kie Yam-ke:

"Kie Ke-ji, aku tidak tega melihat kau bekerja demi aku dan Siau-ih, sendirian menempuh bahaya..." Kie Yam-ke tersenyum membesarkan hati orang tua Oh berkata:

"Ta-siok, tenang saja, aku tidak apa-apa, kau istirahat saja."

Siau-ih memapah ayahnya, sepasang matanya yang sayu terus memandang muka Kie Yam-ke, sorotan matanya penuh perhatian, bibir mungilnya bergerak-gerak seperti ada yang mau diucapkan tapi dia tetap bungkam.

Ketika sorotan mata Kie Yam-ke beradu dengan sorotan mata Oh Siau-ih, dia sengaja menghindarinya, sambil menundukkan muka berseru:

"Siau-ih, cepat bawa ayahmu masuk ke dalam istirahat dan tiduran!"

Siau-ih tidak membuka suara tapi mengangguk, pelan- pelan memapah ayahnya masuk ke dalam. Tiba-tiba menoleh ke belakang berujar:

"Kie Toako, bagaimana pun kau harus hati-hati!" sinar matanya dipenuhi oleh kekhwatiran dan perhatian.

Kie Yam-ke melambai-lambaikan tangan: "Jangan kuatir, bawalah ayahmu masuk."

Kian Ta merasa panas melihat itu, giginya sampai gemeretakan, api cemburunya bergolak, dengan kesal dia membentak:

"Kie Yam-ke, kau cerewet amat! Ayo jalan!" Kie Yam-ke sama sekali tidak marah, berkata: "Kalau begitu kita jalan bersama-sama saja!"

Kian Ta menggertakan kaki, berangkat bersama suhunya dan kedua tukang pukulnya, dengan cepat meninggalkan warung kelontongan itu. Orang-orang kampung dan tetangga yang menonton di luar pintu memang sudah memberi jalan untuk mereka lewat, tetapi diantara mereka ada yang bersiul mencemooh dan ada yang mengejek, membuat Kian Ta seperti tikus yang melintas jalan, kikuk dan malu setengah mati, dalam hati dia bertambah benci pada Kie Yam-ke!

Kie Yam-ke pun mengikuti keluar dari warung itu, berjalan sambil menyapa dengan orang yang dikenalnya. Orang-orang amat perhatian, memesan dia agar berhati- hati, mengelu-elukan dia sambil berjalan sambil bersorak- sorai.

Sebaliknya Kian Ta yang berjalan di depan hanya sekelompok saja, amat sepi dan menyedihkan.

Lu Pau berjalan di sisi Kie Yam-ke dengan amat khawatir dia berujar:

"Kie Toako, aku melihat orang tua brengsek itu matanya sering bersinar aneh, rasanya dia bukan orang baik-baik, Toako harus hati-hati berhadapan dengan dia. Jangan sampai masuk perangkapnya. Kie Toako, apa perlu aku pergi mengumpulkan teman-teman untuk memberi semangat?"

Kie Yam-ke menjulurkan tangan menepuk-nepuk pundak Lu Pau dengan tertawa berkata:

"Lu Pau, kau benar-benar teman dan saudaraku yang baik, jangan merepotkan teman-teman, biar aku sendiri saja sudah cukup, nanti saat saat aku melawan si orang tua itu, kau tolong mengawasi Kian Ta, jangan sampai dia menggunakan kesempatan ini untuk kabur."

Tadinya Lu Pau mengkhawatirkan, setelah mendengar dia berkata begitu yakin mampu mengatasi Mo Poh-co, hatinya pun lega, dia menepuk-nepuk dadanya berkata dengan suara lantang:

"Jangan kuatir Kie Toako, aku jamin si brengsek itu tidak bakalan bisa kabur!"

Muka Kie Yam-ke berseri-seri dia merangkul pundak Lu Pau, di bawah arak-arakan orang ramai, mereka berjalan menuju tempat pertarungan.

Ternyata tempatnya sudah dipilih oleh Kian Ta, sebuah tanah lapang di belakang kelenteng.

Melihat semua ini, Kian Ta sudah merencanakan jauh- jauh untuk mengajak bertarung Kie Yam-ke.

Kie Yam-ke sudah tahu, tapi dia tetap tidak takut.

Orang-orang dengan cepat membuat satu lingkaran besar di tanah lapang itu, tetapi sinar mata semua orang tertuju pada Kie Yam-ke yang berdiri di tengah lapang, dari mimik mereka tersirat kekhawatiran dan berharap Kie Yam-ke bisa menang.

Dengan amat berterima kasih, Kie Yam-ke memandang kesekeliling orang-orang kampung dan tetangga, lalu berkata pada Mo Poh-co yang berdiri di hadapannya:

"Mo Cianpwee, boleh tahu bagaimana aturan bertarungnya?"

Mo Poh-co berdiri beberapa kaki jauhnya dari Kie Yam- ke dagu yang berjanggut seperti kambing itu mengangkat, dengan dingin menyahut:

"Terserah maumu!" melihat tingkahnya yang sombong itu, tampak dia sama sekali tidak menganggap Kie Yam-ke.

Memang dia menganggap enteng Kie Yam-ke, dengan nama besarnya di sungai telaga, bagaimana dia mau menganggap seorang pemuda berandalan kampungan? Dia hanya menduga mungkin Kie Yam-ke paham satu dua jurus ilmu silat kelas bawah saja. Tapi dia yang berjuluk Toh-beng-sam-hoan (Tiga gelang pencabut nyawa) adalah jagoan kelas wahid di dunia persilatan, begitu dia bertindak, tantu Kie Yam-ke akan bersujud minta ampun.

Kie Yam-ke sama sekali tidak peduli dengan kesombongan Mo Poh-co yang meremehkan dia, dengan mengangkat alis dia berkata:

"Mo Cianpwee, kita tidak bermusuhan pun tidak ada dendam, bagaimana kalau kita menetapkan keunggulan dengan tangan kosong saja?"

Sebelumnya Mo Poh-co sudah mendapat pesan dari Kian Ta, bagaimanapun juga harus mencabut nyawa Kie Yam-ke, dia beranggapan walaupun dengan tangan kosong, dengan mengandalkan jurus "Kin-say-lie-houw" (Menangkap singa membantai macan) saja sudah cukup untuk membantai Kie Yam-ke, segera dia mengangguk: "Baik!"

Keduanya segera memasang kuda-kuda siap bertarung.

Orang-orang yang berkerumunan menonton segera menjadi tegang, menahan napas, mata tidak berkedip-kedip memandang Kie Yam-ke dan Mo Poh-co yang siap-siap berlaga.

Karena gengsi dengan statusnya, Mo Poh-co tidak mau bertindak lebih dulu. Kie Yam-ke paham keadaan begini, maka dia melemaskan tubuh maju selangkah sambil berkata:

"Maafkan,” sebelah kepalannya dengan lurus menghantam dada Mo Poh-co.

Mo Poh-co menggunakan langkah Cu-ku-poh, sepasang tangan seperti mencengkram juga seperti mencakar, diangkat dari sisi pinggang. Melihat pukulan Kie Yam-ke tenaganya tidak berapa keras, hatinya tambah meremehkan, tangan kanannya segera menjulur kedepan 5 jari tangannya seperti kaitan, mencakar dan menotok nadi tangan kanan Kie Yam-ke.

Cakaran Mo Poh-co diam-diam telah mengerahkan tenaga sepenuhnya, sangat cepat bagaikan kilat, keinginannya sekali cakar langsung melumpuhkan Yam Kie Yam-ke, lalu membantainya!

Dia menganggap Kie Yam-ke sampai manapun tidak mungkin bisa menghindar cengkramannya. Sebab banyak jago-jago dunia persilatan juga tidak sanggup menghindarinya!

Tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan pikirannya, saat 5 jari tangan kanannya akan menyentuh nadi pergelangan tangan Kie Yam-ke, tangan kanan Kie Yam-ke bagaikan main sulap saja, sekali memutar dan menurun, dengan gerakan tidak diduga, lolos dari cengkraman 5 jari tangannya, sedang kepalannya tetap tidak berhenti menghantam dadanya.

Melihat ini, Mo Poh-co terkejut luar biasa, terburu-buru dia memutar tubuhnya, baru dapat menghindar kepalan Kie Yam-ke yang biasa-biasa itu, dia terkejut hingga keringat dingin tidak terasa mengucur.

Lu Pau yang menonton dalam kerumunan orang, pertama-tama melihat Mo Poh-co akan mencakar dan mencengkram pergelangan tangan Kie Yam-ke, dia terkejut hingga hampir menjerit, hatinya berdebar-debar. Setelah melihat Kie Yam-ke dengan ajaib bisa lolos dari cengkraman Mo Poh-co dan mendesak Mo Poh-co memutar tubuh untuk menghindar, tidak tertahan dia lalu bersorak-sorak, mengundang banyak orang yang berkerumun menonton mengikuti dia berteriak.

Keadaan ini membuat Mo Poh-co jadi sulit, karena malu dia menjadi naik pitam, dengan suara rendah dia membentak, tangan kirinya memukul, tangan kanan mencakar, dia mengeluarkan jurus yang telah membuat namanya tersohor "Kim say-lie-houw" Tampak jurus cengkeraman dan kekuatan pukulannya bergerak seperti bayangan, dalam waktu singkat Kie Yam-ke sudah berada dalam kurungannya!

Di dalam bayangan cengkraman dan kekuatan hantaman Kie Yam-ke seperti sudah tidak mampu membalas dan terlihat kelabakan, dia terus-terusan menghindar ke kanan dan ke kiri, keadaannya tampak sangat gawat.

Orang yang menonton termasuk Lu Pau, melihat Kie Yam-ke sedang dalam keadaan yang amat berbahaya, satu persatu terlihat gelisah dan tegang, mereka mengusap-usap kepalan, mata tidak berkedip, mulutpun pada terbuka, jantung seolah-olah naik sampai ke tenggorokan, gemas pada diri sendiri sebab tidak bisa ilmu silat, kalau tidak, apapun yang akan terjadi, mereka pasti akan maju untuk membantu Kie Yam-ke, matipun tidak akan menyesal!

Lu Pau sudah beberapa kali tidak tahan akan menyerbu, tetapi entah kenapa selalu tertahan tidak berani sembarangan bergerak.

Saat ini, hanya terlihat bayangan cakar dan kekuatan kepalan Mo Poh-co, bayangan dan tubuh Kie Yam-ke pun sudah tidak tampak, tergulung oleh serangan lawannya, hanya terlihat bayangan cakar yang cepat bagaikan kelambu, juga kekuatan tinju yang menderu-deru, debu terangkat, bergulung-gulung, kondisinya amat mengerikan. Orang yang berkerumun sudah tidak tahan dan menutup matanya, mereka tidak tega melihat keadaan Kie Yam-ke yang akan dikalahkan dan dibunuh.

Kian Ta melihat dari pinggir dengan senang luar biasa, tangan dan kakinya mencak-mencak ingin melihat Mo Poh- co secepatnya dapat menghabisi nyawa Kie Yam-ke, agar bisa memenuhi hasratnya merebut Siau ih.

Padahal keadaan pertarungan tidak sama seperti yang ditonton, dalam pertempuran sengit itu Mo Poh Co malah merasa kewalahan, bertambah lama keadaannya bertambah gawat, sebab hanya dia seorang yang paling mengerti. Memang bayangan cakar dan kekuatan kepalannya seperti mengurung Kie Yam-ke, kapan saja bisa membunuhnya, tapi kenyataannya bukan begitu, di bawah gempurannya yang dahsyat Kie Yam-ke bukan tidak sanggup membalas, tapi sengaja tidak mau membalas, hanya dengan jurusnya yang aneh, dia melayang, menghindar, berkeliling di antara gempurannya, gerakannya tampak santai sekali!

Mo Poh-co pun mengerti, kenapa Kie Yam-ke terus- terusan tidak mau membalas, Kie Yam-ke tidak mau dia menanggung malu, berharap dia mengerti dan mundur teratur, tetapi mana bisa dia mundur? Dia tidak sanggup menanggung malu, kabar ini kalau tersiar ke dunia persilatan bahwa dia kalah oleh seorang pemuda berandalan kampungan, akan ditaruh dimana mukanya di kemudian hari? Sebab itulah, dia terus mengeraskan hati untuk bertahan.

Lama-kelamaan Kie Yam-ke jadi tidak tahan lagi, dia menahan diri tidak membalas, maksudnya agar Mo Poh-co mengerti dan mundur teratur, dia tidak mau melukai siapapun juga tidak berharap Mo Poh-co mendapat malu, siapa sangka Mo Poh-co sama sekali tidak tahu diri! Mo Poh-co bukan tidak maklum, tetapi tidak mungkin! Kie Yam-ke terpaksa mengambil tindakan!

Terlihat Mo Poh-co yang tadinya mengurung Kie Yam-

ke dalam bayangan cengkramannya, tiba-tiba mengeluarkan suara pekikan yang tertahan, tubuhnya berputar berkali- kali, berputar bermeter-meter jauhnya, baru dapat menghentikan tubuh yang berputar menjauh itu, kurungan yang melingkari tubuh Kie Yam-ke langsung buyar mengikuti berputarnya tubuh Mo Poh-co. Muncullah Kie Yam-ke yang tenang, santai, sama sekali tidak kurang segala sesuatu dan sehat walafiat itu!

Penonton yang berkerumun awalnya tegang sehingga jantung merasa naik sampai ketenggorokan, melihat Kie Yam-ke dalam keadaan selamat dan sehat walafiat, mereka beramai-ramai berseru kegirangan, teriakan yang datang dari hati yang paling dalam, tepuk tangan berloncatan senang yang tidak terkendali!

Kian Ta juga melihat perubahan yang terjadi. Mo Poh-co yang selalu di atas angin dalam sekejap saja jatuh kalah, dia merasa sekujur tubuhnya seakan-akan jatuh ke dalam lubang es, mukanya pucat bagaikan kapur tembok, kaki tangan pun gemetaran, dengan suara serak bertanya:

"Suhu, kenapa bisa kalah? Cepatlah bunuh sijahanam itu! Cepat lakukan! Aku sudah menghabiskan banyak uang padamu!"

Saat ini muka sombong Mo Poh-co sudah tidak tampak sedikit pun, perasaannya sudah berganti dengan malu, kemarahan, dan bingung, air mukanya sesaat hijau, sesaat lagi menjadi pucat, menyiratkan keguncangan dalam hatinya, matanya penuh kebencian, baju bagian pundaknya sobek, tapi dia tidak cedera. Ternyata Kie Yam-ke masih berbaik hati, meski sudah tidak tahan tapi dia tetap tidak mau melukai Mo Poh co, hanya mendorong dan menyobek sekerat kain baju dipundaknya!

Tetapi Mo Poh-co tidak bisa menerima kebaikan Kie- Yam-ke, inilah yang dikatakan 'Golok yang kalah malu untuk dimasukan ke dalam sarungnya' hancurlah namanya seumur hidup, apalagi Kian Ta mencak-mencak dan ribut di luar arena, membuat dia bertambah stress dan timbul niatnya mengadu jiwa.

Jenggot kambingnya di bawah dagunya bergetar. Mo Poh-co menghela napas panjang, berkata dengan tertawa keji:

"Jahanam, siapa sebenarnya dirimu?"

Kie Yam-ke menjadi bengong ditanya begitu, dengan bingung menjawab:

"Aku adalah aku, Kie Yam-ke!"

Nafas Mo Poh-co seperti hampir putus dengan jawaban Kie Yam-ke ini, matanya berputar-putar beberapa kali setelah menarik napas dalam-dalam, dengan marah sekali berkata:

"Brengsek! Aku bertanya dari aliran apa dan siapa gurumu?"

Kie Yam-ke baru mengerti, dia tertawa-tawa dengan sulit dia berkata:

"Maaf Cayhe tidak boleh melanggar peraturan perguruan, tidak boleh membocorkan. Harap Cianpwee maklum!"

"Kau... kau..." Mo Poh-co tidak tahan lagi menanggung malu, kalah di tangan seorang pemuda berandalan yang tidak bisa mengatakan pintu perguruannya. Apa yang bisa dikatakan, terpaksa dia melawan sampai darah penghabisan! Menyerupai macan gila dia menyerbu Kie Yam-ke, bersamaan waktu itu mengangkat tangan melancarkan Toh-beng-sam-hoan yang telah menggetarkan sungai telaga.

Kie Yam-ke tercengang saat melihat Mo Poh-co seperti harimau gila menyerbu dirinya, saat dia tertegun, 3 gelang bersinar emas, satu besar 2 kecil, terbang dengan arah segi tiga dan berbunyi "wuwuwuwu" secepat kilat sambil berputar datang menghantamnya.

Kie Yam-ke pun menjadi murka, tidak disangka Mo Poh-co yang diberi muka tidak mau menerima, malah nekad mau mengambil nyawanya. Sambil mulutnya mendehem, lengannya membalik, sebuah Liang-thian-ci (senjata seperti mistar) yang berkilauan berwarna hitam seluruhnya sudah berada dalam gengamannya!

Liang-thian-ci panjangnya kira-kira 2 kaki. Ujung mistar ini diletakkan diantara 2 alis, 2 matanya tidak berkedip menatap 3 buah gelang emas yang berputar terbang melesat datang, sudut matanya melirik Mo Poh-co yang datang menerjang seperti harimau gila.

Sekejap saja, orang yang berkerumun yang sedang merasa senang, kembali tegang dan terdiam, semua membelalakan mata, memandang 3 buah gelang emas yang berbunyi aneh, berputar melesat dan menghantam Kie Yam-ke, diam-diam dalam hati berdoa untuk keselamatan Kie Yam-ke.

Kian Ta melihat Mo Poh-co memainkan Toh-beng Sam- hoan yang merupakan kepandaian tunggalnya serta menyerbu ingin mengadu nyawanya. Sejak tadi dia diam seribu bahasa, hanya matanya menyorot sinar garang, sepasang tangan memegang kencang-kencang lengan bajunya, dalam hatinya hanya ada satu keinginan, Kie Yam-ke segera mati!

Mistar Kie Yam-ke menempel di antara 2 alisnya, mimik wajahnya sangat serius, sekujur tubuhnya sedikit pun tidak tampak hawa pembunuhan, tapi bagi yang memandangnya akan timbul rasa segan dan takut, Lu Pau biasa bergaul dengan Kie Yam-ke pun

(hal 72-73 Hilang)

Jurusnya yang mengurung dari atas dan bawah adalah jurus andalan Toh-beng-sam-hoan Mo Poh-co! Sebab jurus ini menutup semua jalan mundur Kie Yam-ke!

Melompat ke atas tidak bisa sebab gelang emas sudah menunggu di atas, tubuhnya bergelinding menghindar pun tidak mungkin sebab gelang emas yang besar bergerak horizontal menyapu dua kakinya, memutar tubuh keluar pun tidak mungkin sebab sudah tidak keburu, kali ini Kie Yam-ke benar-benar sudah menemui jalan buntu!

Yang lebih ajaib lagi, siapa pun tidak akan menduga bila gelang emas kecil itu saling beradu, pasti akan meminjam kekuatan itu bergerak ke kiri dan kanan terbang berputar membuat satu lengkungan, sekali lagi berputar kembali. Tapi tidak di sangka, kedua gelang emas kecil itu secara bersamaan malah menurun menyongsong kepala Kie Yam- ke yang merendahkan diri dan akan berdiri lagi. gelang kecil itu bisa berputar memotong vertikal dari atas terus ke bawah, semua ini tidak terduga, juga tidak mungkin di duga! Toh-beng-sam-hoan memang seperti mengejar nyawa, benar-benar mematikan!

Dalam keadaan buntu begini, kali ini harapan hidup Kie Yam-ke tipis sekali.

Kian Ta senang hingga lupa diri berteriak keras: "Kali ini kau pasti mampus Kie Yam-ke!"

Melihat keadaan itu, hati Lu Pau hancur berkeping- keping, dia berteriak sekerasnya, seperti macan tutul saja, menerjang masuk ke tempat pertarungan, ingin menolong Kie Yam-ke.

Tapi pada saat semua orang mengira Kie Yam-ke pasti tidak akan tertolong lagi. Tiba-tiba kaki Kie Yam-ke menyusut kebelakang, punggungnya membungkuk dan kepalanya menunduk, seluruh tubuh menggulung menyerupai udang rebus, tepat saat itu dia sudah menghindari serangan lingkaran emas besar yang menyapu kedua kakinya. 2 gelang emas kecil yang di atas kepala karena dia menunduk dan membungkukkan punggung tadi, berubah menjadi menghantam dan membabat leher belakang Kie Yam-ke.

Tapi gerakan Kie Yam-ke cepat bagaikan kilat, dengan sekali gerakan cepat, tubuh yang menggulung mendadak dihentakkan sehingga menjadi lurus menanjang di udara. Sekali membalikan tangan mistarnya sudah dijulurkan keluar, belakang lehernya seperti bermata, denan tepat sekali merangkai menjadi satu, gelang emas kecil yang sedang berputar dan memapas ke bawah.

Serangkaian gerakan ini diselesaikan dalam waktu sekejap saja, sehingga orang-orang di arena itu tidak ada seorangpun yang dapat melihat dengan jelas, Kie Yam-ke yang pasti mati itu ternyata masih sehat-sehat saja berdiri disitu. Mistar yang berada di tangan kanannya telah menangkap 2 buah gelang emas yang berkilau-kilau.

Karena Mo Poh-co terlalu banyak mengeluarkan tenaga, ketika gelang emas itu melesat mengenai sasarannya, dia pun tidak kuasa menahan diri, tergeser selangkah ke pinggir, saat dia sudah bisa menahan langkahnya, Kie Yam- ke telah dengan tertawa manis memandang dia sambil memegang 2 gelang emas kecil yang telah dirangkap menjadi satu.

Keadaan ini membuat Mo Poh-co seperti ayam jago yang kalah sabung, dia menundukkan kepala, tidak berani memandang Kie Yam-ke.

Sekali ini, dia bisa menerima kekalahannya dengan lapang dada, tidak ada lagi keinginan untuk mengadu jiwa, dia maklum kalau dilanjutkan pun nyawanya akan melayang dengan percuma.

Sejak dia terjun ke dunia persilatan, tidak ada seorang pun yang dapat meloloskan diri dari jurus "Siang-hoan- koan-teng" (Dua gelang mendekap kepala) nya, apalagi bisa mengurai dengan sempurna dan lolos tidak kurang sesuatu apa. Dia percaya tidak ada yang sanggup, kalau pun ada yang mampu dan menantang terus tentu orang itu mencari mati!

Tapi sekarang dia sudah tidak ingin mati. Lu Pau melompat ke dalam arena, dia mengira Kie Yam-ke pasti bakal mati, tetapi begitu dilihat Kie Yam-ke baik-baik saja, dia cepat-cepat melompat ke dalam arena sehingga tidak sempat melihat Kie Yam-ke membobol jurus "Siang-hoan- koan-teng" Mo Poh-co. Dia masih mengira matanya kesilauan salah melihat. Tubuhnya berhenti sejenak, bengong sebentar, ternyata Kie Yam-ke masih hidup dan tanpa kekurangan sesuatu apapun! Dia tidak tahan berseru kegirangan, menyerbu ke depan, mencekal erat-erat Kie Yam-ke sambil melompat-lompat dan bersorak-sorak.

Tetapi Kie Yam-ke tidak berani sembrono, diam-diam dia melirik Mo Poh-co yang seolah-olah bertambah tua sepuluh tahun, khawatir dia mengambil kesempatan ini, menyerang kembali!

Tapi Mo Poh-co bagaikan terbuat dari tanah dan ukiran kayu, gelang emas besarnya menggantung kebawah, bergerak pun tidak, persis seperti boneka kayu yang tidak bernyawa.

Sekali lagi Kian Ta yang sedang berada diatas kesenangannya terasa jatuh ke dalam jurang es yang penuh kekecewaan, orangnya menjadi kaku dan bodoh,

Dalam waktu sekejap ini dia tidak yakin ini adalah kenyataan, kenyataan yang sudah terpampang di depan mata, yang dia harus menerima. Tetapi dia juga terkejut dan takut, dia betul-betul sudah ketakutan! Lama sekali, dia tidak bicara juga tidak berusik, mendadak dia seperti kesurupan, melompat-lompat dan memekik:

"Suhu, jahanam itu belum mampus, kau telah menerima uangku, kenapa tidak cepat-cepat membunuhnya?" wajahnya persis orang gila, juga menyerupai seorang badut. Orang-orang disana yang melihatnya juga ramai memandang hina.

Mo Poh-co yang berdiri bagaikan patung kayu, terkejut oleh suara pekikan Kian Ta yang menyerupai suara hantu itu, sekujur tubuhnya seperti dialiri listrik. Mendadak dia mendongakkan kepala, membentak dengan keras pada Kian Ta yang sedang mencak-mencak dan berteriak:

"Kian Ta, untuk apa ribut! Jangan kira kau , memiliki banyak uang, lalu bisa seenaknya menunjuk-nunjuk! Kau salah besar, memang Lohu menerima uang-mu, tapi Lohu juga sudah berusaha sekuat tenaga, mengadu jiwa demi kau, tenaga yang Lohu keluarkan sudah cukup untuk membayar kau! Kian Ta, Lohu tidak sudi punya murid macam kau, mulai sekarang hubungan kita putus, kau adalah kau, Lohu adalah lohu, kalau kau terus-terusan membuat ribut, jangan salahkan Lohu kalau hilang kesabaran!"

Bentakan Mo Poh-co ini membuat Kian Ta segera terdiam bagaikan jangkrik terinjak.

Mo Poh-co melihat Kian Ta sudah terdiam, baru berpaling muka pada Kie Yam-ke dengan tersenyum hormat berkata:

"Kie Yam-ke, Lohu telah salah menilaimu, menganggap sebagai berandalan brengsek biasa, tidak disangka kemampuanmu sehebat ini kau menyembunyikan diri dalam berandalan-berandalan kampung. Hari ini Lohu dikalahkan olehmu, mau dibunuh, mau dicincang silahkan lakukan saja!"

Kie Yam-ke cepat-cepat merangkapkan tangan pada Mo Poh-co seraya berkata:

"Mo Cianpwee, marga Kie tidak ada dendam dengan Cianpwee, beruntung Cianpwee banyak mengalah, membiarkan aku bisa lebih unggul sedikit, pertarungan kita cukup sampai disini saja!"

Memang Mo Poh-co biasa sehari-harinya agak kejam, tapi dia adalah seorang tokoh terbuka, mendengar Kie Yam-ke berkata begitu dia mengerti Kie Yam-ke memberi muka, membuat dia amat berterima kasih. Maka dia merangkapkan tangan memandang Kie Yam-ke seraya berucap: "Adik Kie, Lohu tidak akan melupakanmu. Permisi!" begitu perkataannya selesai dia pun memutar tubuhnya, sama sekali tidak memandang Kian Ta. Pergi dengan cepat.

"Mo Cianpwee hati-hati di jalan, aku kembalikan gelang emasnya!" Kie Yam-ke hampir saja lupa bahwa di tangannya masih memegang 2 buah gelang emas milik Mo Poh-co. Liang-thian-ci nya digetarkan, dan 2 berkas sinar emas dengan mulus terbang berputar melejit dengan cepat menuju Mo Poh-co yang berhenti ditepi jalan karena mendengar panggilan dari Kie Yam-ke.

Mo Poh-co baru sadar, cepat-cepat berhenti dan mengangkat lengan dengan tepat dan cantik, 2 buah gelang emasnya sudah melingkar ke lengannya, gayanya yang ringkas dan menawan segera mendapat pujian dan sorakan dari para penonton yang mengelilingi arena.

"Sampai bertemu lagi!" Mo Poh-co yang sudah menerima kembali 2 gelang emas dan selepas ucapannya orangnya sudah pergi jauh entah kemana.

Begitu Mo Poh-co pergi, Kian Ta seperti baru merasa kehilangan tempat untuk bersandar, terpikir apabila sekarang dia tidak cepat-cepat angkat kaki, kemungkinan besar selamanya pun tidak bisa pergi lagi, Berfikir akibat yang mengerikan ini, dia seperti seekor tikus, menundukkan kepala membungkukkan tubuh, ingin kabur secepatnya.

Saat ini orang sekampung dan para tetangga melihat Kie Yam-ke memenangkan pertarungan ini, semua dengan suka cita mengerumuni dia, mengajak bicara, memegang- megang tubuhnya, mereka seperti sudah lupa akan Kian Ta ini, seolah-olah memberi dia peluang baik, maka Kian Ta menggunakan kesempatan ini berusaha kabur.

Tapi hari ini nasib sial Kian Ta masih belum habis, baru saja bergerak bersama 2 orang tukang pukulnya, didepannya tiba-tiba dihadang oleh seseorang, bagaikan pagoda baja, untung dia cepat berhenti kalau tidak, mungkin sudah menabrak orang itu.

Setelah berhenti cepat-cepat dia mengangkat kepala melihat:

"Ampun!" dia memekik.

Siapakah orang yang menghadang jalan ini? Dialah Lu Pau!

Lu Pau yang tinggi besar, berdiri disana sambil membusungkan dada dan menekuk tangan di pinggangnya, bagaikan dewa langit menghalangi jalan kabur si Kian Ta!

Kian Ta berusaha bagaikan seekor anjing gila, meloncat kesana gabruk kesini tetap tidak bisa lepas. Lu Pau selalu menghalangi dia.

"Kian Ta, bagaimanapun kau akan tidak bisa kabur!" Lu Pau memandang Kian Ta yang terpojok ini.

Akhirnya Kian Ta bagai seekor anjing buduk yang kehabisan tenaga, lumpuh begitu saja di tanah!

Sehari-hari dia sangat galak seperti dewa jahat, dua tukang pukulnya selalu mengganggu orang lemah, hari ini bertemu Lu Pau persis hantu kecil bertemu raja neraka, ketakutan hingga kaki tangannya lemas semua, "blukkk!" mereka bersimpuh di tanah!

Lu Pau paling benci pada orang yang berani pada yang kecil tapi takut sekali pada yang kuat, dia memandang hina mereka bertiga dan dia meludahi mereka. Dengan suara tinggi berseru pada Kie Yam-ke:

"Kie Toako, jangan lupa masalah yang pernah disanggupi oleh si brengsek Kian Ta ini padamu!" Kie Yam-ke dan orang-orang disana baru sadar setelah mendengar seruan Lu Pau, mereka bersama-sama melihat ke arah Lu Pau, tampak Kian Ta terduduk di tanah tidak berdaya, maka beramai-ramai mereka sambil berteriak berlarian menuju kesana.

Mereka yang pernah ditindas oleh Kian Ta, melihat dia tidak berdaya, semua menjadi senang, bersorak-sorak mencemoohkan dia.

Kali ini Kian Ta mengalami hal yang paling memalukan sejak dia dilahirkan ke dunia, andaikata di tanah lapang ini ada lubang, dia tidak akan ragu-ragu lagi pasti menerobos masuk untuk membenamkan diri.

Kie Yam-ke berdiri di depan Kian Ta, dia senyum memandang Kian Ta yang gemetaran, dia berkata:

"Kian Ta, bangunlah, ada yang perlu aku katakan padamu."

Kian Ta berusaha bangun, meronta beberapa kali dengan susah payah memaksakan diri untuk berdiri, sepasang kaki tidak henti-hentinya gemetaran, dengan suara bergetar berkata:

"Kie.... Tayhiap...mohon...lepaskan aku, apa yang kau mau, aku.. .aku akan menurut saja."

Kie Yam-ke menjulurkan tangan berkata: "Kalau begitu, mari...!"

Sejenak Kian Ta tidak mengerti barang apa yang Kie Yam-ke minta, sepasang mata yang ketakutan melongo memandang Kie Yam-ke.

Melihat kelakuannya, dengan tertawa hambar Kie Yam ke berkata: "Kian Ta, pasti kau sangat terkejut sampai lupa, Kau tadi bilang kalau aku sanggup mengalahkan suhumu, kau akan mengembalikan bukti pengakuan hutang Oh Ta-siok padaku bukan?"

kian Ta baru ingat setelah mendengar perkataan Kie Yam-ke, saat ini asal dia tidak mati permintaan apapun tidak menjadi masalah, secepatnya dia merogoh saku mengeluarkan tanda bukti itu, menyerahkan pada Kie Yam- ke dengan kedua belah tangan.

Setelah Kie Yam-ke menerima, lalu diperiksa dengan teliti, dilipat dengan baik dan dia menyimpan di dalam sakunya, amat dingin dia berkata:

"Kian Ta, Oh Ta-siok pinjam 20 tail padamu, telah bayar 12 tail, demi kejelasan dan keadilan, aku mewakili Oh Ta- siok membayar hutangnya yang 8 tail lagi, mulai sekarang hutang dia sudah lunas, kalau kau masih berani mengganggu Oh Ta-siok lagi, jangan salahkan aku tidak memberi kau ampun lagi!" tangan sekali membalik sebuah uang perak seberat 10 tail sudah disodorkan ke depan Kian Ta.

"Ini uang untuk membayar hutangnya, sisanya anggaplah bunganya!"

Kian Ta hanya berharap Kie Yam-ke mau melepaskan dia, mana berani dia menerima uang itu, dia terus-terusan menggoyangkan kedua tangannya berkata:

"Ini... ini... sudahlah, Kie Toako, ambil...ambil kembali." Dengan muka tegas Kie Yam-ke berkata:

"Hutang uang bayar uang, itu wajar, kau harus terima!" lalu Kie Yam-ke menaruh uang itu ke dalam tangan Kian Ta, Kian Ta terpaksa menerimanya, dengan tertawa kecut memandang Kie Yam-ke. "Hayo, cepat pergi!" Kie Yam-ke membentak keras, Kian Ta dan kedua tukang pukulnya tergetar dan terkejut, cepat- cepat angkat kaki mau pergi.

"Tunggu!" Kie Yam-ke menyetop.

Kian Ta dan kedua tukang pukulnya tersentak, lalu menurut dan berhenti, dengan gugup memandang Kie Yam-ke:

"Kie Toako, masih ada pesan?"

Dengan serius Kie Yam-ke berkata: "Dengar, memang kau banyak uang, tapi bukan berarti kau boleh berbuat seenaknya, kalau kau tidak mau insyaf, tetap mengganggu orang-orang lemah, rasakan akibatnya nanti!"

Kian Ta mengiyakan, kelakuannya yang patuh persis seperti seekor anjing, kesombongannya yang menonjol sehari-hari entah dibuang kemana.

Orang-orang disana melihat keadaan begini, dengan lega tertawa keras.

Kie Yam-ke sudah menuntut balas demi mereka. "Pergilah!" Kie Yam-ke mengayunkan tangan. Kian Ta

dan   2 orang   tukang   pukulnya   di bawah   ejekan   dan

tertawaan orang-orang, cepat-cepat pergi bagaikan tikus dikejar-kejar kucing.

Tidak sampai setengah jam berita Kie Yam-ke menghajar Kian Ta sudah terdengar. Dari satu ke sepuluh, dari sepuluh ke seratus, sebentar saja telah menyebar ke seluruh kota Yang-ciu.

Kie Yam-ke mengembalikan tanda bukti pinjaman uang pada Oh Ta-siok lalu pulang ke rumahnya yang butut, teman dan saudaranya sesama gembel sudah mendapat berita dari Lu Pau, mereka mengumpulkan uang membeli arak dan makanan, mengadakan pesta kecil di rumahnya.

Rumah Kie Yam-ke memang butut, tapi masih ada satu dua ruangan yang masih dapat dipakai untuk dia juga menatanya bersih dan rapi, biasa dipakai sebagai tempat mereka berkumpul.

Baru saja sebelah kakinya menginjak ke dalam rumah, dia sudah mencium wangi arak dan makanan, lalu terlihat puluhan saudaranya menyambut kedatangannya.

"Kie Toako sudah pulang, hari ini kita harus minum sepuas-puasnya!" Lu Pau dengan gembira berseru keras- keras.

"Kie Toako, kabarnya Kian Ta dihajar olehmu, kami semua sangat gembira!" kata seorang pemuda berumur 20 tahun-an maju memegang tangan Kie Yam-ke, menarik dia ke depan sebuah meja kayu.

Di atas meja kayu yang bulat penuh dengan piring-piring besar berisi daging ayam goreng, daging bebek masak kecap, arak pun bercawan-cawan, bermangkuk-mangkuk.

"Saudara-saudaraku, sudah lama sekali kita tidak kumpul-kumpul, hari ini kita harus makan dan minum sepuasnya, kalau perlu sampai mabuk juga tidak masalah!" Kata Kie Yam-ke tertawa senang.

Semua berseru gembira "kuluk-kuluk" arak ditumpahkan ke mulut, puas sekali! Lega sekali! Tiap orang minum sampai pantat mangkuk menghadap ke langit.

Ada orang sibuk lagi mengisi arak.

"Kie Toako, ayo minum, lagi, mari aku Lu Pau bersulang untukmu!" hari ini mata Lu Pau benar-benar terbuka, dia juga betul-betul sudah melihat kehebatan ilmu silat Kie Yam-ke yang hebat, tumbuh rasa hormatnya yang amat besar, membuat dia berebut bersulang untuk Kie Yam- ke.

Kie Yam-ke mengangkat mangkok araknya berseru: "Saudaraku, sekarang aku bersulang untuk kalian

semua!"

Semua orang berseru ramai-ramai: "Semangkuk arak ini untuk menghormati Kie toako!"

Dalam suara seruan yang ribut dan suara-suara seperti sapi minum air, ikan hiu menelan, mereka ramai-ramai mulai saling bersulang lagi.

Tidak menggunakan sumpit, tangan langsung memegang paha ayam, sayap bebek, makan sepuasnya, minum sepuasnya, kelakuan yang kasar dan kebrutalan, semua terlihat jelas.

Kie Yam-ke memang paling suka kelakuan yang bebas dan tidak ada ikatan, biarpun dia seorang berpendidikan.

Orang ramai sibuk makan juga sibuk ngobrol, yang paling banyak diperbincangkan adalah masalah hari ini Kie Yam-ke yang menghajar Kian Ta, semua menyanjung dan memuji Kie Yam-ke. Kie Yam-ke sambil makan minum, sambil memandang segenap saudaranya yang kegirangan itu, muncul rasa senang pada mereka dari lubuk hatinya yang paling dalam.

"Kie Toako, darimana kau belajar ilmu silat hebat dan sakti ini? Coba ceritakanlah sedikit pada kami."

Mulut penuh minyak, sekerat daging masih menyumbat dalam mulut, Lu Pau bicara berlepotan.

Tapi teman-temannya semua mengerti maksudnya sehari-hari mereka berkumpul jadi satu, asal di singgung sedikit saja sudah bisa menangkap maksudnya. cepat-cepat mereka berhenti makan minum. menunggu Kie Yam-ke menuturkannya.

Kie Yam-ke mengerjakan apapun tidak mau mengelabui saudara-saudaranya, hanya masalah inilah yang ada sedikit ganjalan, sehingga membuat dia sampai sekarang belum pernah menceritakan pada saudara-saudaranya, mendengar permintaan begini, dia agak tercekat sambil tertawa berkata:

"Sebenarnya kepandaianku ini biasa-biasa saja, aku belajar pada seorang tukang obat di ibukota."

Yang dia ceritakan sudah pasti bukan perkataan sebenarnya.

"Kie Toako, kabarnya orang tua yang melawanmu tadi adalah tokoh yang punya nama besar dalam sungai telaga dengan julukan "Toh-beng-sam-hoan" orang yang punya nama besar saja keok olehmu, kau sangat hebat!" sambil mengangkat ibu jarinya, ini adalah pemuda luwes dan cekatan tadi, "mulai sekarang kita tidak usah takut siapa pun lagi!"

Kie Yam-ke berkata sambil tertawa: "Siau Li-cu, kau juga tidak boleh mengganggu orang lain!"

Anak muda yang dipanggil Siau Li-cu menjulurkan lidah, lalu berkata:

"Kie Toako, Siau Li-cu belum pernah mengganggu orang lain."

Seorang anak muda kurus dan hitam tiba-tiba mendesak maju mendekati Kie Yam-ke sambil tertawa menyeringai berkata:

"Kie Toako, dia berbohong, sebenarnya dia paling suka mengganggu aku." Di luar dugaan, Siau Hek-cu malah menjelekan dia, sambil mendelikan mata, memaki sambil tertawa:

"Siau Hek-cu, kita saudara sendiri, mana boleh disebut mengganggu?" sambil berkata sambil mau memukul Siau Hek-cu.

Tapi Siau Hek-cu amat licin, tubuh mengecil masuk ke kolong meja menyusup muncul di sisi Kie Yam-ke, dengan ribut sekali berkata:

"Kie Toako, kau lihat sendiri, tidak bohong bukan, dia sekarang sedang mengganggu aku lagi!"

Semua orang melihat mereka berdua bergurau, tidak tahan semua tertawa.

Sekali tarik Kie Yam-ke memeluk Siau Hek-cu yang lincah dan nakal itu, tertawa keras berujar:

"Siau Hek-cu, kalau ada orang yang bisa sampai mengganggumu, itu baru aneh!"

Siau Hek-cu melihat Kie Yam-ke tertawa gembira, dia pun ikut tertawa.

Dalam rumah penuh suara tertawa terdengar sampai luar rumah.

Dalam kebisingan suara tertawa, tiba-tiba Kie Yam ke seperti merasakan sesuatu, dia menghentikan ketawanya berkata:

"Siapa?" dia menghadap ke luar menghardik. Semua mendengar Kie Yam-ke membentak jelas, baru sadar ada orang di luar rumah, tapi mereka sedikit-pun tidak merasakan, semua dengan amat serius memandang keluar.

Dalam hati mereka tambah kagum pada Kie Yam ke, menganggap dia sebagai orang ajaib dan sakti. Mengikuti suara hardikan, dari luar pintu terdengar ada orang menyahut:

"Kie Yam-ke?"

Kie Yam-ke terkesiap, lalu dia menyahut dengan gembira:

"Kao Ceng!" dia berjalan cepat ke pintu.

Diluar pintu tiba-tiba muncul seseorang mengenakan baju hijau, berumur 30 tahunan lebih, dialah Kao Ceng yang pertama kali membuat Liu Yam-yo tidak berhasil membunuhnya.

Mereka berdua berpegangan tangan di luar pintu, saling berpandangan, berdua saling tertawa, tapi tertawanya Kao Ceng terasa sedikit tidak lepas, hal ini terlihat oleh Kie Yam-ke, dengan agak sangsi dia bertanya:

"Kao Ceng, kau punya masalah? Bagaimana bisa mencari aku kemari?"

Kao Ceng segera menarik tertawanya berkata sambil mengangguk:

"Ya, betul, ada masalah yang parah, yang rumit, kalau tidak bagaimana aku bisa mencarimu kemari, kau hanya melihat sudah tahu, Kie Yam-ke, kau tahu, di kota orang dimana-mana sedang membicarakan kejadian kau mengasih ajar Kian Ta, dan mengalahkan "Toh-beng-sam-hoan". Mereka semua senang menunjuk jalan padaku untuk mencarimu, kelihatannya biarpun kau berkumpul dengan berandalan, tapi mereka amat salut padamu."

Lu Pau tidak tahan, sebelum Kie Yam-ke menjawab, dia menepuk-nepuk dadanya berkata:

"Kao Toako, tadi kau mengatakan sendiri sebagai teman Kie Toako, masalahmu sekarang sebagai masalah kami juga, sebesar apapun masalahmu, sudah menjadi tanggung jawab kami, sekarang minumlah 2 mangkok arak dulu!"

Kao Ceng baru melihat dalam rumah banyak anak muda berandalan yang lagi minum-minum dengan gembira, memandang Kie Yam-ke dengan amat kagum dan iri hati. Dia berkata:

"Tidak disangka kau masih punya kelompok saudara- saudara ini!"

"Betul, mereka semua itu saudara-saudaraku. Ayolah, masalah sebesar apa pun tidak ada yang lebih penting daripada minum arak. Minumlah 2 mangkok arak, baru kita bicarakan lebih lanjut!" Kie yam-ke menarik Kao Ceng ke depan meja bundar, dikenalkan pada semua orang.

Asalkan teman Kie Yam-ke mereka senang menerimanya, terutama Siau Li-cu orang pertama yang mengambilkan arak untuk Kao Ceng.

Hati Kao Ceng sebenarnya amat kesal, tapi dia pun terbawa oleh kegembiraan mereka, sehingga sementara masalahnya terpaksa di kesampingkan dulu, dia mengangkat mangkoknya arak berkata:

"Menghormati Budha dengan bunga pinjaman, Aku Kao Ceng juga meminjam arak ini bersulang untuk kalian."

Semua orang berseru, mengangkat mangkok saling menyentuh, lalu diminum sampai kering!

Selanjutnya kau menyulang aku, aku balik menyulang kau, main tebakan, main panco, ramai dan senang.

Dalam kamar, Kie Yam-ke dan Kao Ceng duduk di depan jendela, keduanya sama-sama telah minum banyak, tetapi sedikitpun tidak mabuk, di ruangan sebelah, tidak henti-hentinya terdengar Lu Pau dan kawan-kawannya bersenda gurau.

"Kao Toako, sebenarnya masalah apa yang membuat kau risau begini?" Kie Yam-ke memandang Kao Ceng yang kesal, "semenjak berkenalan denganmu, belum pernah melihat kau takut sesuatu, kalau aku bisa membantu pasti aku tidak akan menolak!"

Kao Ceng sempat ragu-ragu sebentar, menghela napas panjang, akhirnya membuka mulut juga:

"Kie Yam-ke, apa kau pernah mendengar seorang anak muda yang berjuluk 'Yo-kun'?"

Kie Yam-ke berpikir sebentar berkata:

"Yo-kun Liu Yam-yo? Pernah mendengar sedikit, menurut salah satu saudaraku, kepandaian orang ini agak aneh. 2 tahun belakangan ini namanya mulai naik daun, kabarnya baru-baru ini dia telah membantai ketua sanggar Ta-hong, Tuan Lok Cin-pek dan pemilik pesanggrahan Kian-tan Yam Ciu-san. 2 masalah ini saja sudah menggemparkan seluruh sungai telaga dan menarik perhatian orang-orang dunia persilatan, tiba-tiba kau menyinggung nama orang ini, apa mungkin ada sangkut pautnya dengan urusan ini?"

Dengan berat Kao Ceng mengangguk:

"Memang ada sangkut pautnya! Kie Yam-ke, kau juga pernah mendengar nama Tong Kwee-seng bukan?"

Kie Yam-ke merenung sebentar, menggeleng-gelengkan kepala:

"Tidak pernah, apa Tong Kwee-seng juga ada sangkut pautnya?" Kao Ceng menghela napas berkata: "Betul, Malah dia tokoh kuncinya."

Kie Yam-ke dengan aneh bertanya: "Kao Toako, kenapa kau bisa terlibat juga?"

Kao Ceng menjawab sambil mengerutkan alis: "Sebab aku kenal Tong Kwee-seng," selanjutnya menyambung lagi, "menurut Liu Yam-yo, dia ingin membunuh aku karena Tong Kwee-seng mengetahui salah satu rahasianya dan telah mengatakannya padaku, dia tahu Tong Kwee-seng pernah membocorkan rahasianya pada orang lain, tapi tidak tahu pada siapa dia membocorkannya. Saat dia mendesak Tong Kwee-seng supaya mengatakan pada siapa saja dia menceritakannya, saat itulah Tong Kwee-seng terbunuh, sehingga terputuslah jalur untuk mengetahui siapa yang pernah mendengar rahasia itu. Akhirnya terpikir olehnya satu cara yang paling bodoh dan paling ganas, satu pesatu teman-teman Tong Kwee-seng di dunia persilatan ditanya apa pernah mendengar rahasianya dari Tong Kwee-seng, tapi jawaban pernah atau tidak pernah tetap dibantainya, aku orang ketiga yang ia ditanyai dia, juga orang pertama yang gagal dia bantai." selanjutnya ia menceritakan bagaimana Liu Yam-yo dengan akal membujuk dia ke hutan salju.

Kie Yam-ke mendengar dengan sepenuh hati hingga kao Ceng selesai berkata, dia bertanya:

"Sebenarnya Tong kwee-seng pernah mengatakan soal rahasia Liu Yam-yo padamu tidak?"

Dengan mimik susah, dia membeberkan kedua belah tangannya berkata:

"Memang aku teman Tong Kwee-seng, juga ketika aku mendengar asal usul Liu Yam-yo, tapi tidak pernah mendengar rahasia dia itu!" Kie Yam-ke mengedip-ngedipkan matanya, katanya :

"Demi rahasianya tidak bocor keluar, Liu Yam-yo tidak segan-segan membunuh orang. Hmmm... ini pasti rahasia besar atau rahasia yang tidak boleh diketahui orang. Kao Toako, menurutmu, bagaimana kepandaian Liu Yam-yo?"

Kao Ceng berpikir sebentar:

"Kalau melihat kepandaiannya, bisa dimasukan sebagai tokoh wahid kelas satu, tapi yang paling aneh darinya saat melawan, dia akan mengirim pihak lawan rasa panas yang amat sangat. Seluruh tubuhnya seperti gumpalan api yang membakar, hawa pedang atau angin pukulan, pasti akan menimbulkan aliran api yang panas, membuat orang serasa berada di dalam pembakaran, tempat yang dilewati angin pukulan, pohon atau rumput pun menjadi abu, persis dibakar oleh api besar, amat mengerikan. Bertempur di hutan salju itu kalau bukan karena aku hafal situasi dan berniat kabur, kemungkinan besar aku tidak akan bisa mundur dengan sempurna!"

Kie Yam-ke berkata dengan wajah yang berobah: "Menurut penuturanmu, orang ini bergelar "Yo-kun"

(Manusia matahari). Dia pasti belajar ilmu silat yang amat

keras dan panas, mungkin tingkatannya sudah sangat tinggi. Pantas saja pemilik sanggar Ta-hong, Lok Cin-pek dan pemilik pesanggrahan Kian-tan Yam Ciu-san yang hebat itu sampai dapat dibinasakan olehnya!"

Menggosok-gosokan tangan Kao Ceng berujar: "Sebab itulah, aku khusus datang kemari ingin meminta bantuanmu melawannya!"

Dengan terkejut Kie Yam-ke bertanya: "Kau bermaksud membunuh dia?"

Dengan getir dan tergesa-gesa Kao Ceng menyahut: "Bukan aku yang ingin membunuh dia, tapi dia ini tidak ingin melepaskan aku."

Kie Yam-ke mengangguk dan berujar:

"Ini yang tidak terpikir olehku, begini saja Kao toako kalau kau tidak merasa tempatku ini terlalu buruk tinggallah beberapa hari disini, lihat-lihat keadaan dulu, baru kita mengambil keputusan, aku akan mengutus saudara- saudaraku kemana-mana mencari informasi tentang orang itu, apakah dia masih mau melakukan tindakan yang akan merugikan kau. bagaimana menurutmu?"

Dengan amat berterima kasih Kao Ceng berkata

"Kie Yam-ke, tidak percuma aku kenal denganmu, kau memang seorang teman yang bisa diandalkan."

Kie Yam-ke menepuk-nepuk bahu Kao Ceng dengan tersenyum berkata:

"Kao Toako, kau menghargaiku kemari mencariku, aku tidak boleh tidak harus membantumu sekuat tenaga!"

Lalu tiba-tiba dia bertanya, "menurut dugaanmu mungkinkah Liu Yam-yo mengejar sampai kemari?"

Kao Ceng menarik napas dalam-dalam berkata: "Demi membunuh aku, dia pasti akan mengejar kemari, tapi dalam 1-2 hari ini tidak mungkin!"

"Berdasarkan apa kau yakin begitu?" tiba-tiba Kie Yam- ke memandang keluar jendela, seperti merasakan sesuatu.

"Paling sedikit dia harus menghabiskan waktu 10 harian untuk mencari jejakku, sebab dalam perjalanan ke tempatmu, aku membuat banyak jebakan-jebakan yang membingungkan dia." Tiba-tiba Kie Yam-ke yang memandang jendela tidak menunggu Kao Ceng selesai bicara, menghardik dengan keras ke luar jendela:

"Siapa itu yang berani sekali menerobos tempat tinggal orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Cepat unjukkan dirimu!" tangan menekan meja di sisinya, langsung menerobos keluar jendela, berdiri di halaman yang berantakan itu.

Kao Ceng juga amat cerdik dan cekatan, dia mengikuti di belakang Kie Yam-ke menerobos jendela menapak ke dalam halaman.

Lu Pau dan teman-teman yang sedang minum dan mabuk-mabukan di sebelah rumah mendengar suara hardikan Kie Yam-ke, beberapa orang yang tidak mabuk tergolek di tanah pun berebutan lari keluar, melihat Kie Yam-ke, mereka berebut bertanya:

"Kie Toako, si kurang ajar mana yang berani menerobos masuk ke dalam?"

Kie Yam-ke tidak menjawab, diam-diam berdiri disana, sepasang matanya berbinar-binar memandang gunung- gunungan yang terbengkalai di kejauhan, dengan suara amat dingin berseru:

"Sobat, keluarlah!"

Suaranya berlalu orang pun muncul, seberkas sinar merah muncul dari belakang gunung-gunungan, melayang keluar seperti segumpal kobaran merah.

Begitu melihat, Kao Ceng balik menghisap seteguk udara, teriakannya muncul keluar begitu saja:

"Liu Yam-yo!" Kobaran merah menapak ke tanah, mengikuti suara pekikan Kao Ceng, muncul seorang manusia yang bersinar merah semua, ikat kepala yang merah, muka yang merah, jubah sekujur tubuh juga merah, sepintas benar-benar seperti segumpal api.

"Betul, aku yang bermarga Liu!"

Orang yang menyerupai kobaran api itu dengan tertawa berkata:

"Kao Ceng, tentu di luar dugaanmu bukan? Aku hanya menghabiskan waktu setengah hari saja sudah bisa menemukan jejakmu!"

Kie Yam-ke sudah tahu orang yang di depan mata ini Liu Yam-yo tapi dia sengaja bertanya:

"Kau Liu Yam-yo?"

Sepasang mata Liu Yam-yo yang berkobar jatuh ke muka Kie Yam-ke. Dia bertanya: "Siapa kau?"

Kie Yam-ke dengan tertawa lepas berkata:

"Sudah bisa mengejar sampai kemari, tapi belum tahu siapa aku, kalau begitu, kau tidak hebat-hebat amat!"

Sorot mata Liu Yam-yo yang membara menatap pada diri Kie Yam-ke, ragu sejenak dia berkata:

"Rupanya kau adalah Kie Yam-ke yang baru terkenal sedikit di kota Yang-ciu ini!"

Lu Pau melihat orang ini begitu bicara langsung meremehkankan Kie Yam-ke, tidak tahan kemarahannya, dia meraung dengan tinju yang dikepalkan berkata:

"Kau jahanam yang menyerupai iblis! Jangan kurang ajar! Akan aku hajar kau sampai babak belur!" dia mau turun tangan menerjang ke depan. "Lu Pau, nanti dulu, aku masih mau bicara padanya." Kie Yam-ke tahu Lu Pau bukan lawannya, menyerang dia sama dengan mencari mati, maka Lu Pau dicegahnya.

Lu Pau bertubuh tinggi besar, tetapi dia amat menurut pada Kie Yam-ke, dia berhenti tidak berani maju menyerbu, tapi dia tetap dengan amat marah mengacung-acungkan kepalannya pada Liu Yam-yo.

Setelah Kie Yam-ke mencegah kecerobohan Lu Pau, lalu berputar pada Liu Yam-yo yang menyerupai api membara dan samar-samar menyebarkan panas yang mendesak:

"Mau apa kau menerobos ke tempatku?"

Liu Yam-yo menatap keras Kao Ceng yang berada di sisi Kie Yam-ke. Dengan nada tinggi berkata:

"Membunuh dia!"

Memang hanya 2 kata yang pendek tetapi dapat membuat semua orang yang berada di tempat itu merasakan hawa pembunuhan yang tebal.

Kie Yam-ke juga merasakan hawa itu. Kao Ceng mau bicara sesuatu tetapi Kie Yam-ke menggerakan tangan menahan dia, dengan nada rendah tapi yakin berkata:

"Ini tempatku. Siapapun tidak boleh membunuh orang disini! Kao Toako ini teman juga tamuku. Kau jangan berharap bisa membunuh dia disini!"

Liu Yam-yo mengangkat alis, sinar matanya menyorot tajam, dengan suara berat berkata:

"Orang yang mau kubunuh pasti harus mati. Kapan, dimana, siapapun tidak bisa menghalanginya!"

"Sombong sekali!" Kie Yam-ke sengaja ikut berlaga sombong, katanya lagi, "hanya dengan aku Kie Yam-ke sendiri sudah cukup untuk menghalangi kau membunuh Kao Toako!"

Dengan tertawa keras Liu Yam-yo berkata:

"Seorang anak berandalan yang punya nama sedikit, apa berani menyebut dapat menghalangiku membunuh?"

Kie Yam-ke bertambah angkuh:

"Betul. Ngomong saja percuma, kita coba saja!"

Tiba-tiba Liu Yam-yo tidak bersuara, dia menatap tajam pada Kie Yam-ke, agak lama dia berujar:

"Kalau memang mau cari mati, aku terpaksa menambah satu orang!" perkataan belum selesai, sebelah telapaknya sudah menghantam pada Kie Yam-ke!

Mulut Kie Yam-ke berkata seperti mamandang ringan, tapi di dalam hatinya waspada. Orang hebat seperti Kao Ceng saja tidak bisa melawan, tentu musuhnya ini luar biasa, karena belum jelas kehebatan pihak lawan, dia tidak berani ceroboh menghadapi secara langsung. Tubuhnya menepi, menghindari hantaman telapak Liu Yam-yo.

Tetapi ujung lengan bajunya tetap tersapu angin telapak yang dilancarkan Liu Yam-yo. Sebetulnya ini biasa-biasa saja, tetapi di luar dugaan, tiba-tiba Kie Yam-ke merasa bagian lengan bajunya seperti tergores oleh besi panas, "cesss" lengan baju yang tersapu itu menyala. Kie Yam-ke terkejut cepat-cepat mengibas untuk memadamkan api, sayang lengan bajunya sudah terbakar sedikit.

Ternyata sejak muncul pertama kali Liu Yam-yo melihat Kie Yam-ke, samar-samar sudah merasa Kie Yam-ke adalah musuh tangguh yang langka, saat melihat Kao Ceng berdiri di samping Kie Yam-ke dengan mimik tenang, sedikitpun tidak gugup, dia jadi bertambah hati-hati terhadap Kie Yam-ke, belakangan dari percakapannya terlihat Kie Yam-ke tidak ambil pusing padanya, membuat dia tambah tidak berani memandang remeh pada Kie Yam- ke.

Perkataan dia yang hanya ingin membuat Kie Yam-ke marah, malah dibalikan oleh Kie Yam-ke hingga membuat dia yang marah, sedikit pun Kie Yam-ke tidak terpengaruh. Maka dia tambah gusar, pukulan tadi seperti biasa-biasa saja sebenarnya dia telah mengerahkan 70% "Lie-yang-sin- kang" nya (Ilmu sakti terik matahari), Biasanya dia hanya menggunakan 30-40% saja, dia ingin lawannya lengah hingga dapat segera membantai Kie Yam-ke!

Sayang, ternyata Kie Yam-ke cukup cermat, dia tidak segera menjulurkan tangan untuk menyambut pukulannya, kalau tidak sekujur tubuhnya pasti akan menyerupai lengan bajunya terbakar menjadi arang.

Melihat sepintas lengan bajunya yang terbakar dia menarik seteguk napas, diam-diam berkata sendiri:

"Hampir saja, benar saja orang ini memiliki kepandaian yang aneh."

Kie Yam-ke bertambah waspada, dia memutuskan menghindari angin telapak dan kekuatan kepalannya, tidak bersentuhan dengannya agar mengurangi bahaya.

Sudah mengambil kesimpulan, diapun berkata dengan tertawa hambar:

"Ternyata ilmu silatmu sangat aneh dan hebat!" tubuhnya segera berkelit ke kanan, bergoyang ke kiri sambil menyerang dengan kepalannya dan mengayunkan tendangan.

Kepalannya menghantam bahu kanan, sedang kakinya menendang tengkukan kaki kiri. Alis Liu Yam-yo meninggi, dia melihat jurusnya tidak dapat melukai Kie Yam-ke, hanya membakar sedikit lengan bajunya, sehingga dia marah dan bersuara seperti angin menggulung api, sekujur tubuhnya bagaikan bara api tertiup angin. Tiba-tiba menyerbu berputar ke belakang Kie Yam- ke, diam-diam tanpa bersuara sebuah pukulan dihantamkan ke punggung Kie Yam-ke.

Tentu saja pukulan dan tendangan Kie Yam-ke telak mengenai sasaran, sebab orang di depan matanya tiba tiba menghilang, dalam hatinya dia sudah tahu pasti lawannya berputar ke belakang, maka dengan tidak ragu ragu lagi tubuhnya direbahkan ke tanah, 2 tangannya menahan, dengan amat bahaya terhindar dari telapak yang dilancarkan Liu Yam-yo. Saat merebahkan diri itulah sebuah sepakan secara kilat menerjang ke bagian perut Liu Yam-yo!

Sekali lagi pukulan Liu Yam-yo meleset. Dia memekik dalam hati, "celaka!" mendadak merasa ada angin keras menyerang perutnya, secepatnya dia berputar dan melangkah, tapi tetap saja terlambat sedikit, perutnya terhindar tapi bagian belakang diatas betis tidak dapat menghindar, secara keras tertendang oleh kaki Kie Yam-ke.

Liu Yam-yo berteriak keras karena sakit, paha belakang dan pantatnya sakit bagaikan patah tulang, orangnya terdorong 2 langkah ke depan baru bisa berhenti.

Semenjak keluar dari perguruan, ini kali pertama dirinya menderita kesakitan! Sehingga api kemarahannya meningkat, muka asalnya yang merah-merah ini sekarang menjadi merah kehitaman bagaikan dibakar api, mendadak dia berbalik sambil memekik keras sekali, seperti bara api dalam pembakaran menyerbu Kie Yam-ke yang baru berdiri tegap. Setelah mengalami kebakaran lengan bajunya, Kie Yam- ke tidak mau berhadapan langsung dengan dia, tumit kakinya berputar, bergeser sejauh 1 tombak.

Liu Yam-yo jadi gagal menyerbu, bagaikan ular raksasa berputar, dia membalikan tubuh mengejar dan menyerbu Kie Yam-ke, telapak dan kepalannya sama-sama digerakan menyerang Kie Yam-ke.

Kie Yam-ke sekali lagi berputar menghindar kepalan dan telapak Liu Yam-yo.

Dua orang ini satu menyerang satu menghindar, hanya terlihat 2 lembar bayangan merah dan hitam berjumpalitan, berbalik, berkelit, berloncatan dalam taman, angin pukulan dan angin hantaman kepalan, kadang-kadang mengenai tubuh Lu Pau dan kawan-kawan, mereka jadi menjerit-jerit karena kepanasan seperti sakit terbakar, beramai-ramai mundur dan mundur lagi. Kao Ceng pun sudah tidak tahan berdiri di tempat asalnya. Dia mundur sampai di bawah atap rumah.

Kie Yam-ke menggunakan, tehnik jurus menghindar yang cepat dan lincah, setiap kali dengan susah payah menghindar dari udara panas yang ditimbulkan oleh telapak dan kepalan Liu Yam-yo. Tapi bunga dan rerumputan di dalam taman yang terkena sasaran seperti terbakar api, tidak ada yang layu, semuanya kering gosong menjadi abu.

Liu Yam-yo menyerang secara membabi buta,lama sekali, tapi ujung baju lawannya sedikit pun tidak pernah dapat terjangkau, dengan sendirinya dia bertambah gusar sekali, "Lie-yang-sin-kang" nya memang lihay tapi paling memboroskan tenaga dalam, jika digunakan dalam jangka lama, tenaga dalamnya akan terkuras dengan cepat, kalau dia tidak dapat menyelesaikan secara cepat, sesudah tenaga dalamnya terkuras habis, dialah yang akan menderita kekalahan! Maka sekarang dia tidak lagi memusatkan "Lie- yang-sin kang" tapi ganti menggunakan pedang pendek.

Terlihat seberkas sinar merah berkilau, akhirnya Liu Yam-yo mengeluarkan pedang apinya, dalam kilaauan sinar merah yang beterbangan.

"Tang tang tang" berbunyi terus menerus, serangkaian serangan tidak kurang dari 20 tusukan pedang telah ditujukan pada Kie Yam-ke.

Tubuh Kie Yam-ke terus-terusan meloncat, menghindar, menerjang ke atas ke bawah semua di luar dugaan lawannya, sekarang sinar merah terus berkilauan yang menyerang, Liu Yam-yo tidak lagi menyerang dia dengan kepalan dan telapaknya, tapi menggantinya dengan pedang pendek, tentu saja menggunakan pedang pendek berbeda dengan menggunakan kepalan dan telapak, sekarang jaraknya menjadi lebih dekat, kalau menggunakan telapak dan pukulannya bisa menyentuh ujung lengan baju, kalau menggunakan pedang pendek bisa memapas lengan menusuk tubuh. Perubahan ini benar-benar tidak terduga, membual Kie Yam-ke tidak ada persiapan, hampir-hampir terjebak!

Untungnya suara yang memekakkan dari bibir pedang yang menyabet udara membuat Kie Yam-ke tiba-tiba sadar, tubuhnya menghindar dan menghindar lagi, berturut-turut menghindar 17-18 kali. Baju di tubuh juga bertambah 4-5 lubang.

"Cring cring" dua kali, dia juga tidak mau kalah, dia mengeluarkan mistarnya, menahan 2 sabetan terakhir serangan pertama Liu Yam-yo.

Setelah menahan 2 sabetan, Kie Yam-ke segera membalas. Liang-thian-ci nya menyemburkan ribuan titik sinar hitam, mengelilingi dan menyerang syaraf-syaraf aliran darah di depan tubuh Liu Yam-yo.

Kaki kanan Liu Yam-yo mundur selangkah, tubuh agak menengadah, kristal-kristal merah tiba-tiba muncul menyongsong sinar hitam yang mendekat!

Kristal merah dan sinar hitam segera saling bercampur saling menghantam menjadi satu, suara besi beradu menimbulkan serentetan bunyi. Tubuh 2 orang ini saling menghindar dan mengejar, sinar hitam dan merah saling hantam saling mengejar, beradu menjadi satu.

Lu Pau dan teman-teman belum pernah melihat pertarungan sedahsyat, sehebat, secepat, dan seber-bahaya begini, mereka menonton hingga matanya mendelik, melongo menahan napas.

Saat ini Kao Ceng juga sudah berjalan keluar dari bawah atap rumah, berdiri di sebuah tempat yang aman, menonton dengan amat cermat, bersiap-siap setiap saat keluar membantu Kie Yam-ke

Pertarungan yang sengit berjalan kira-kira seperminum teh. Tiba-tiba Liu Yam-yo dan Kie Yam-ke sama-sama membentak, berikutnya terdengar "cringgg!" suara yang nyaring.

Sinar hitam dan kristal merah yang memenuhi langit itu mendadak hilang, bayangan orang yang menghindar dan mengejar juga sama-sama berhenti, kepala mistar bertemu ujung "pedang api".

Kie Yam-ke dan Liu Yam-yo sama-sama setengah berjongkok, saling mendorong dengan sekuat tenaga!

Dan pertarungan sengit menjadi berhenti, sekarang dua orang itu mulai beradu tenaga dalam. Kao Ceng pernah merasakan kehebatan Lie-yang-sin- kang Liu Yam-yo, dia juga yakin kungfu Kie Yam-ke amat sempurna, tapi dia juga cemas Kie Yam-ke tidak tahan panasnya Lie-yang-sin-kang.

Lu Pau, Siau Li-cu dan kawan-kawan tidak pernah melihat pertarungan seperti ini, tetapi melihat keseriusan Kie Yam-ke dan Liu Yam-yo mereka jadi mengerti kondisi ini amatlah gawat, mulut pun ditutup rapat-rapat tidak berani bersuara, tegang sehingga napaspun tidak berani keras-keras.

Saat ini, Kie Yam-ke dan Liu Yam-yo yang beradu tenaga dalam sudah ada perubahan, muka Liu Yam-yo yang merah berubah menjadi merah keunguan, dari atas kepalanya terus-terusan mengeluarkan suara "seh... sehhh" dan mengepul udara panas, batang pedang pendek yang merah seperti baru keluar dari pembakaran peleburan, transparan seluruhnya dan merah mengkilat, selapis api biru yang menyala membungkus seluruh tubuh pedang, berputar dan berkilauan terus.

Rupanya Liu Yam-yo menggunakan lagi jurus mengalahkan Yam Ciu-san dengan Lie-yang-sin-kang-nya lebih ditingkatkan lagi.

Kie Yam-ke tidak tampak sedikit perubahan pun, hanya paras mukanya bagaikan kumala mengkilat, tangan kanan yang memegang mistar juga seperti kumala putih, mistarnya tidak seperti ramalan Liu Yam-yo, setelah mendapat aliran panas Lie-yang-sin-kang yang disalurkan dari pedang pendek, menjadi merah dan lunak bagaikan besi baru keluar dari peleburan, tapi malah menebarkan selapis tipis sinar hitam!

Pemandangan aneh ini membuat Lu Pau dan kawan- kawannya bengong, seolah-olah mimpi tapi nyata, kalau tidak melihat dengan mata kepala sendiri biar pisau ditempelkan di leherpun tidak akan percaya!

Semula Kao Ceng melihat Liu Yam-yo meningkatkan Lie-yang-sin-kang-nya hatinya berdegup kencang. Cambuk lentur berbenang sutra emas telah dipegangnya, bersiap-siap membantu kalau melihat keadaan tidak menguntungkan bagi Kie Yam-ke, dia tidak peduli apa yang akan terjadi, dia akan menerjang ke depan untuk menolong Kie Yam-ke, melihat mistar Kie Yam-ke sedikitpun tidak terpengaruh oleh Lie-yang-sin-kang yang dialirkan dari pedang pendek Liu Yam-yo, mistar itu tetap hitam mengkilap dan menebar selapis sinar hitam, dia baru merasa lega sama sekali, dia tahu tenaga dalam Kie Yam-ke mampu mengatasi Lie- yang-sin-kang Liu Yam-yo.

Ternyata benar, belum sampai habis seper-minuman teh, pedang pendek Liu Yam-yo yang merah menyala seperti permainan sulap saja, mulai dari ujung pedang sedikit-demi sedikit mulai padam api birunya, bagaikan sebatang besi yang dibakar merah dicelupkan ke dalam air, senti persenti warna merah menyala menjadi merah tanah, kilapannya mulai memudar, sedikit-sedikit beralih menuju pegangan pedang.

"Sehhh sehhh" hawa panas yang mengepul dari atas kepala Liu Yam-yo tambah kental dan pekat, bagaikan asap dan embun, wajahnya berubah menjadi merah gelap, tubuhnya pun mulai bergoyang.

Akhirnya, seluruh batang pedang lenyap kilapannya, api biru yang berputar mengelilingi batang pedang juga lenyap, tubuh Liu Yam-yo bergoncang keras, sekujur tubuhnya bagaikan kena benturan keras,

"Deng deng deng" dia terus mundur 8-9 langkah, bergoyang-goyahg dan memaksakan bisa berdiri, sepasang mata yang biasanya menyorot tajam sekarang meredup, dadanya naik turun dengan kencang, mulut yang menutup lalu membuka "wuaa" dia muntah darah segar.

Kie Yam-ke yang telah mengalahkan Liu Yam-yo tampak dia tidak apa-apa, dia mulai berdiri, menarik napas dalam-dalam, warna mengkilap bagaikan kumala putuh itu berangsur-angsur menghilang, mistar yang di pegang menunjuk ke bawah, matanya yang tajam memandang Liu Yam-yo.

Liu Yam-yo mengangkat lengan bajunya menyeka darah di sudut mulut, bibirnya bergoyang-goyang, eolah-olah ingin berbicara tetapi tidak ada yang diucapkan, dia lalu memutar tubuh dengan langkah yang gontai dia berlalu secepatnya.

Kao Ceng ingin mengejar tapi dicegah Kie Yam-ke Sebentar saja Liu Yam-yo sudah tidak terlihat lagi batang

hidungnya.

Sekarang Kie Yam-ke baru bisa menghembuskan napas panjang, tubuhnya tiba-tiba bergoyang, mukanya pun tiba- tiba menjadi pucat!

Kao Ceng yang melihat terkejut tidak kepalang, dia segera memapah Kie Yam-ke seraya bertanya:

"Kie Yam-ke, apa kau baik-baik saja?"

Wajah Kie Yam-ke terlihat sangat lelah, dia menggeleng- geleng kepala berkata:

"Aku tidak apa-apa, hanya kehabisan tenaga, perlu istirahat sebentar saja, tenaga dalam orang itu aneh dan hebat sekali!" Lu Pau dan kawan-kawannya juga berseru, lari membantu memapah Kie Yam-ke, rasa senang dan khawatir terasa oleh mereka, dengan risau bertanya:

"Kie Toako, kuat tidak? ayo istirahat di dalam."

Mereka segera memapah Kie Yam-ke masuk ke dalam kamarnya, didudukan di atas sebuah kursi.

Sekarang Kao Ceng baru mengerti mengapa Kie Yam-ke tidak mengizinkan dia mengejar Liu Yam-yo, maksudnya agar dia tidak menyerempet bahaya, memang Liu Yam-yo mendapat luka dalam yang tidak ringan, tetapi dia masih sanggup bertarung, Kie Yam-ke belum tentu dapat membantu dirinya.

Kao Ceng memandang Kie Yam-ke yang duduk istirahat sambil menutup mata, dia tidak bersuara, dia berjalan keluar rumah untuk menjaga keamanan Kie Yam-ke.

0oo0dw0oo0
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar