Bab 18

Di dalam hati Cui Lian-gwat tidak ada rasa senang, juga tidak ada cemburu.

Jika dia teliti memperhatikan dirinya sekarang, pasti diapun akan merasa keheranan.

Sebab jika kakak yang sudah beberapa tahun tidak bertemu sekarang tiba-tiba muncul di depan matanya, dan dia pun bersama-sama teman laki-lakinya, kenapa perasaan dia sedikit pun tidak ada reaksi?

Anggap saja cemburu! Itu jauh lebih baik dari pada sampai perasaan ini pun tidak ada.

Kenapa dia jadi seperti kayu atau batu, hanya terus mengawasi gerak-gerik mereka, tapi tidak meng-hampiri kakaknya untuk bertemu?

Hoyan Tiang-souw dan Cui Lian-hoa berjalan menyusuri pantai See-ouw. Melihat arahnya jelas mereka ingin mencari sebuah perahu kecil, untuk pergi ke gedung Lo-say-lou yang berada di tengah danau, minum dan makan sambil melihat pemandangan di sana.

Cui Lian-gwat berdiri diam, sampai bayangan sepasang kekasih itu menghilang, dia baru tersenyum dingin, membalikan tubuh diam-diam pergi.

O   O   O

Hoyan Tiang-souw merasa selama sepuluh hari ini, dia seperti hidup di sorga bukan di dunia.

Sekarang, dia baru menyadari pemandangan di sekelilingnya selain indah, malah masih ada sebuah tenaga yang membuat hatinya bergetar!

Dia tahu walaupun telah melewati beberapa tahun, walaupun sampai tua, berambut putih, jika dari kejauhan melihat seorang gadis cantik berdiri di bawah pohon bunga Tho yang sedang mekar, dia pasti akan ingat hari-hari ini, pasti darahnya bergolak, juga pasti terharu dan mengenangnya!

Dia sudah bisa minum sedikit arak, dan disaat sedikit mabuk, dia merasa kecantikan dan penampilan Cui Lian- hoa malah terlihat lebih cantik lagi.

Dia sudah bisa berkata yang lucu-lucu, mem-buat keadaannya jadi lebih akrab lebih mesra.

Jika arak hanya ada kegunaan ini, tidak ada kejelekan lainnya, mungkin danau dan bak penampungan air di seluruh dunia akan di isi oleh arak, juga tidak akan cukup untuk kebutuhan manusia. Satu keburukan dari arak adalah bisa mem-busukan malah menghancurkan jiwa.

Dan ketika sedang kesal, maka arak bisa menambah kekuatan kekesalannya.

Maka ketika seseorang sedang mabuk, berjalan sempoyongan dan menabrak dia, maka dia akan memutuskan sepanjang hidupnya tidak boleh berbuat seperti orang yang begini menyebalkan.

Tapi pikirannya dengan cepat beralih ke tempat lain.

Dia melihat Cui Lian-hoa dengan pandangan yang sangat dalam, lalu bangkit dan pergi ke tembok penghalang, menjulurkan kepala melihat ke bawah pohon bunga Tho.

Sebenarnya mata dia melihat ke atas kertas kusut yang ada ditangannya, di atas kertas tertulis:

"Jam tiga hari ini, bertarung di lereng selatan Giok-koan, jangan membawa wanita. Kie Ting-hoan."

Walaupun hurufnya ditulis sangat kecil, tapi sangat bertenaga dan mantap.

Kie Ting-hoan adalah pesilat tinggi nomor satu dari keluarga Kie di Hong-lai Soa-tang, juga yang paling berkuasa dalam keluarga Kie.

Dia datang sendiri ke Hang-ciu, secara diam-diam mengundang tarung, membuat orang kebingung-an tidak bisa mengerti.

Satu-satunya penjelasan adalah kalimat 'jangan membawa wanita'.

Tombak baja Mo-tang dari keluarga Kie sangat ternama di dunia persilatan, dan Kie Ting-hoan adalah pesilat tinggi nomor satu di keluarga Kie, tentu saja ilmu silatnya sangat hebat. Tapi benar atau tidak dari kejauhan dia pernah melihatkecantikan Cui Lian-hoa yang sangat cantik itu?

Melihat tingkahnya yang sedang senang sekali, dia tidak tega mengganggunya?

Dia tidak ingin menyaksikan keadaan lapangan pertarungan yang berlumuran darah?

Hoyan Tiang-souw sangat setuju dengan cara pertarungan seperti ini, tapi mempertimbangkan keadaan Cui Lian-hoa yang sudah tidak bisa bersilat itu, maka dia jadi bimbang dan sulit menentukan.

Hari sudah melewati tengah hari, sudah lewat jam satu siang.

Saat ini matahari bersinar terang. Jika naik perahu di danau, tentu sangat menyenangkan sekali.

Dia kembali ke tempat duduknya, mengangkat gelas dan sekali teguk menghabiskan araknya.

Di dalam mata Cui Lian-hoa tampak sinar gelisah. Dia dengan lembut berkata:

"Tiba-tiba kau punya pikiran, darimana datangnya pikiran ini? Apakah pemandangan indah disini, masih tetap membuat kau merindukan utara?"

Hoyan Tiang-souw kembali menghabiskan segelas penuh araknya.

Cui Lian-hoa berkata:

"Aah! Maksudku tadinya bukan menduga begitu. Kau jangan terlalu banyak minum arak, banyak minum arak bisa mempengaruhi refleksi jarak dan kecepatan (kecelakaan lalu lintas masa kini mabuk mengendarai mobil, sama alasannya). Aku tahu kau sebentar lagi sangat memerlukan refleksi ini." Keluhan Hoyan Tiang-souw seperti orang biasa berteriak.

Setelah mengeluh baru dia berkata:

"Ucapanmu betul sekali, tapi aku tidak ingin menjelaskan padamu."

Cui Lian-hoa berkata pelan:

"Kau hanya perlu menentukan mau pergi atau tidak!

Mengenai akibatnya, aku pasti akan tahu."

"Aku harus pergi, karena dia bukan orang hina, dia sama sekali tidak mau mengganggumu!"

"Pergilah! Jika aku yang kau beratkan, maka aku sekarang juga bisa memberitahu, aku masih bisa mengurus diriku sendiri.

Paling sedikit aku ada cara selamanya melepaskan diri dari kesedihan dan kesulitan, aku beritahu, aku pasti masih duduk di tempat duduk ini, menanti kau muncul dari kejauhan di luar pagar!"

Apa saja yang dia tahu? Tentu saja dia tidak tahu.

Tapi jika Hoyan Tiang-souw menganggap orang itu bukan orang yang hina, maka bahayanya jadi berkurang banyak.

Jika demikian, jika tidak membiarkan dia pergi, mungkin sepanjang hidup ini, dia akan resah karena-nya, selamanya tidak bisa tenang, dan dia sendiri pun tentu juga tidak bisa tenang.

Bahaya dan kesulitan di dunia ini, selalu harus dihadapi dengan tegar, itu baru cara yang tepat.

Tapi kali ini entah betul atau tidak? 00=dw=00

Pohon tua di sekeliling sangat rimbun, suasana sangat tenang.

Lapangan rumput yang sangat luas seperti gelombang lautan, hijau lembut, membuat orang jadi bernafsu ingin berguling-guling diatasnya, atau tidur diatasnya, membiarkan matahari menjemurnya.

Kie-samya menenteng tombak baja sebesar telur bebek, berdiri di tengah lapangan rumput yang luas dan datar.

Perawakan dia pendek tegar dan mantap, usia-nya kurang lebih lima puluh tahunan.

Wajahnya berbentuk pesegi memberi kesan adil dan jujur pada orang.

Yang dipandang oleh mata walaupun sebatang pohon tua sejenis cemara, tapi di dalam hati dia malah melihat pohon Tho yang indah, bunga-bunga Tho yang indah, malah masih kalah oleh sinar kecantikan Cui Lian-hoa.

Tidak mengherankan keponakannya Kie Hong-in rela tewas demi dia.

Aku sendiri pun... berpikir sampai disini dia tertawa pahit sejenak... setelah melihatnya, sepertinya tidak bisa tidak dia merasa harus merebut dia kembali adalah satu hal yang paling penting dalam hidupnya.

Tapi dia jika begitu akrab dengan Hoyan Tiang-souw, kenapa diam-diam bisa muncul di hadapanku, memohon padaku supaya aku mengusulkan pertarung-an yang adil?

Jika tidak bertarung berarti tidak usah mengalirkan darah, bukankah itu lebih bagus? Kie Ting-hoan merasa yakin pandangannya luar biasa, setelah melihat orang sekali saja, dia pasti tidak pernah lupa.

Tapi, tentu saja dia tidak tahu wanita cantik yang diam- diam muncul di hadapannya ini adalah Cui Lian-gwat bukan Cui Lian-hoa.

Apakah tombak baja Mo-tang Kie Ting-hoan bisa mengalahkan Mo-to?

Pertanyaan ini sangat menarik sekali, banyak orang pun tentu ingin mengetahuinya.

Mengenai dua orang yang bersangkutan... Kie Ting-hoan dan Hoyan Tiang-souw... tentu saja mereka juga sangat ingin tahu.

Hanya saja ketika jawabannya diumumkan, salah satunya selalu menemukan jawabannya itu tidak ada arti lagi baginya.

Sejauh seratus langkah lebih muncul bayangan tubuh Hoyan Tiang-souw yang gagah perkasa.

Dia mengapit Mo-to, datang dengan langkah besar. Langkah dia tidak tergesa-gesa, juga tidak dibuat-buat.

Namun kekuatan terlihat seperti pasukan tentara, seperti

tenaga aneh yang bisa mempengaruhi lawan.

Dengan hawa kekuatan pasukannya, dia 'menerjang' (sebenarnya hanya berjalan saja) sepuluh langkah di depan lawannya, baru berhenti.

Walaupun sudah berhenti, tapi keadaan laksana ada sepuluh ribu pasukan yang mengepung, sangat menakutkan.

Kie Ting-hoan berdiri tegak tidak bergerak sedikit pun, laksana batu karang yang kokoh. Matanya pun tidak berkedip.

Sorot matanya damai, sedikit pun tidak ada perasaan senang marah terkejut dan lain-lainnya.

Walaupun mereka berdua belum bertarung, juga belum berbicara sepatah kata pun. Tapi hati mereka sama-sama tahu satu hal.

Yaitu lawan pasti pesilat tinggi yang ternama.

Tentu saja mereka akhirnya akan berbicara dulu', baru bertarung.

Jika yang satu adalah pejabat kerajaan, yang satu adalah buronan, maka itu tidak perlu berbicara apa-apa lagi, pejabat menangkap buronan, buronan menolak ditangkap.

Suara Kie Ting-hoan sangat kuat bertenaga dan berkata: "Aku Kie Ting-hoan dari Hong-lai di Soa-tang."

Hoyan Tiang-souw mengikuti cara dia memperkenalkan dirinya.

"Benarkah kau telah membunuh keponakanku KieHong- in?"

"Benar," kata Hoyan Tiang-souw.

"Ku'dengar kau hanya mengeluarkan satu jurus saja, sudah berhasil melepaskan tombak baja di tangannya, apakah betul?"

"Tidak salah!"

"Di antara kita ada dua masalah yang harus dibicarakan," kelihatannya Kie Ting-hoan semakin mantap semakin percaya diri, "satu masalah orang, satu lagi masalah tombak baja." "Aku tidak mengerti, sebenarnya apa yang ingin kau katakan?"

"Silahkan dengar," nada bicara dia sopan, karena ahli golok yang berusia muda ini, adalah lawan yang pantas dihormati, "mengenai soal orang, kelaku-an Kie Hong-in memang tidak betul, maka dibunuh orang pun tidak keterlaluan, walaupun aku merasa sedih atas kematian dia dan merasa malu, tapi niat untuk membalasnya tidak terlalu kuat."

Hoyan Tiang-souw mengangkat angkat bahu, tidak bicara.

Karena ini hanyalah pikiran dan perasaan Kie Ting- hoan, tidak ada hubungannya dengan dia. Kie Ting-hoan kembali berkata:

"Mengenai hal kedua yaitu tombak baja, inilah penyebab aku terpaksa datang ke Kang-lam mencari-mu."

Dia mengangkat tombak baja di tangannya, di bawah sinar matahari baja murni itu berkilau-kilau menyilaukan mata.

"Tombak baja Kie Hong-in serupa dengan yang aku punya, yang dia pelajari juga jurus tombak turun temurun dari keluargaku. Maka jika tombak baja dia dipukul jatuh olehmu, maka tombak bajaku juga akan terjadi hal yang sama. Aku datang kemari justru ingin minta pelajaran darimu, membuktikan kenyataannya!"

Hoyan Tiang-souw malas membicarakannya, sebab akhirnya tetap tidak terhindar harus mencabut golok, bertarung.

Apa gunanya membicarakan omong kosong ini? Kie Ting-hoan tidak percuma menjadi seorang angkatan tua di dunia persilatan, begitu melihatnya dia sudah tahu apa yang menjadi pikiran lawannya. Saat itu sambil tersenyum dia berkata:

"Mungkin kau merasa aku terlalu cerewet, merasa aku mencari alasan untuk bertarung. Tapi setiap orang di dunia ini, dalam kehidupannya selalu ada pandangan sendiri, dia harus membujuk dirinya sendiri, merasa perbuatannya masuk akal sekali, baru hatinya bisa tenang."

Kata Hoyan Tiang-souw:

"Pokoknya, tetap saja akhirnya tombakmu dan golokku harus bertarung, bertarung sampai mati! Ada alasan atau tidak ada alasannya, sama sekali tidak ada urusannya denganku!"

Kie Ting-hoan menggelengkan kepala tanda tidak setuju, berkata:

"Tidak, sama-sama membunuh, tapi mem-bunuh orang yang sudah diadili, algojonya tidak bersalah. Sedangkan membunuh orang karena gengsi, pamer kekuatan atau sengaja dengan siasat mem-bunuhnya, maka masalahnya jadi berbeda! Kau lihat, akibatnya sama-sama membunuh orang, tapi alasan-nya sangat berbeda."

Kata-kata dia seperti tidak bisa dibantah.

Hoyan Tiang-souw tidak pandai bicara, maka seharusnya dia diam membisu baru benar.

Walaupun kenyataannya Hoyan Tiang-souw tidak pandai bicara, tapi itu bukan berarti otaknya ada masalah, maka dia mengatakan perasaan di dalam hatinya. Dia berkata: "Aku hanya tahu sejak dulu aku sudah memasukan kalian di dalam satu kelompok, makanya teori apa pun darimu, buatku sama dengan tidak ada. Karena kau pasti ingin bertarung menggunakan tombakmu, pasti akhirnya semacam ini!"

Kesimpulan dia memang tidak salah.

Kecuali Kie Ting-hoan sekarang langsung membalikan tubuh dan pergi, jika tidak walaupun ada seribu alasan, di dalam hatinya Hoyan Tiang-souw, tetap saja jenis orang yang sama!

Tentu saja Kie Ting-hoan tidak membalikan tubuh dan pergi, senyumnya juga sudah menghilang.

Suara dia menjadi tidak enak di dengar: "Sebenarnya aku jenis orang yang mana?"

"Sejenis dengan orang yang pasti mau mencari kesalahanku, yang pasti ingin bertarung denganku!"

Kie Ting-hoan merasa lega, tadinya dia mengira Hoyan Tiang-souw memasukan dia ke dalam jenis orang yang tanpa alasan yang tepat, hanya mengandal-kan kekuasaan menghina orang. Jika bukan, maka itu tidak apa-apalah!

"Hoyan Tiang-souw, sebenarnya kata-katamu itupun benar, jika aku sudah memutuskan datang ke Kang-Iam, berarti aku harus bertarung, makanya aku sejenis orang dalam pandanganmu!"

Dengan jujur dia mengakui, hingga membuat Hoyan Tiang-souw diam-diam timbul rasa simpati, dia merasa orangini walaupun termasuk golongan jenis orang yang mau tidak mau harus bertarung, namun dia sepertinya tidak sama dengan orang semacam itu! Mo-to di bawah ketek kiri, yang tadinya dikepit dengan kuat sekali, mendadak meluncur ke bawah ke telapak tangan kirinya.

Sekarang selain goloknya belum keluar dari sarungnya, segalanya sudah siap!

Kie Ting-hoan berturut-turut mundur tiga langkah, bukan mundur karena kalah atau mau melarikan diri.

Sebaliknya, dia mundur dengan cara angkuh, laksana naga meluncur macan melangkah, membuat orang tidak berani memandang rendah dirinya.

Tombak baja dia yang berkilau-kilau, sudah j diangkat sejajar dengan pinggangnya, ujung tombak ditujukan pada lawan.

Dari mimik wajahnya yang serius dan pemusat-an pikiran penuh, sekali melihat sudah tahu dia sedikit pun tidak memandang remeh lawannya, dia sedang mengerahkan seluruh kemampuannya.

Inilah sikap seorang ternama, menangkap kelinci menggunakan seluruh kemampuannya, menang kap singa pun menggunakan seluruh kemampuannya.

Seluruh tubuh Hoyan Tiang-souw dari atas ke bawah sedikit pun tidak bergerak.

Maksudnya tidak bergerak untuk beberapa saat lamanya.

Kie Ting-hoan pun diam hanya menatap tajam, tombak bajanya masih belum menyerang.

Setelah lewat cukup lama. Hoyan Tiang-souw seperti kelelahan berdiri, titik berat tubuhnya dipindahkan ke kaki belakang. Tapi gerakan yang sangat kecil ini malah menimbulkan tekanan dan serangan yang dahsyat seperti gunung runtuh, gelombang laut menerpa.

Terlihat tombak baja sepanjang tujuh kaki itu berkilau- kilau menyilaukan mata, dalam sekejap mata sudah menusuk sebanyak tujuh kali.

Jika menganalisa tujuh tusukan tombak ini, kehebatannya sulit diutarakan.

Pokoknya setiap serangan tombak Kie Ting-hoan laksana ada puluhan ribu tentara menyerang dan ingin membunuh, kedahsyatannya sulit digambarkan. Sehingga tidak perlu ditanyakan orang yang berani menghadapinya pasti berbahaya sekali.

Setiap serangan tombaknya menyerang titik penting di atas tengah danbawah, ketiga bagian tubuh.

Ujung tombaknya hanya berjarak kurang dari satu inci lagi akan mengenai kulitnya.

Maka jika tombak baju itu bisa seperti sulap memanjang dua tiga inci saja, maka paling sedikit di atas wajah dan tubuh Hoyan Tiang-souw akan ber tambah tujuh lubang!

Sesudah Kie Ting-hoan mengeluarkan tujuh jurus tombaknya, dia sudah mendesak mundur Hoyan Tiang- souw tujuh langkah ke belakang, selangkah pun tidak lebih dan selangkah pun tidak kurang, lalu dia kembali melanjutkan serangan tombaknya.

Arah, cara dan kecepatan setiap serangannya persis sama dengan serangan pertamanya.

Hoyan Tiang-souw kembali di desak mundur tujuh langkah ke belakang, dia tidak bisa mencabut Mo-to nya untuk balas menyerang. Tombak baja Mo-tang keluarga Kie di Hong-lai Soa-tang memang bukan nama kosong, apa lagi diperagakan oleh Kie Ting-hoan, seorang pesilat tinggi kelas satu.

Walaupun jurus tombaknya sama, tapi di dalamnya samar-samar mengandung perubahan lain, dan juga kedahsyatannya tidak berkurang.

Teriakannya menggetarkan gunung dan bumi, sinar tombak baja berkilau-kilau menyilaukan mata, setelah gelombang pertama serangannya diteruskan dengan gelombang kedua, berturut-turut menyerang sebanyak tujuh jurus.

Setelah Hoyan Tiang-souw berturut-turut mundur tujuh kali tujuh empat puluh sembilan langkah ke\ belakang, punggungnya mendadak membentur pohon besar yang kokoh.

Saat ini Kie Ting-hoan tidak terlihat kelelahan. Dia malah berteriak keras, laksana guntur di siang hari bolong, tombaknya diangkat, sinar kilat laksana ular menari, kembali menyerang gencar.

Dalam waktu yang singkat ini, dia malah juga bisa melihat di ujung alisnya Hoyan Tiang-souw memperlihatkan dua hawa amarah.

Belum lagi dia keburu memikirkan kenapa di ujung alis manusia bisa memperlihatkan hawa amarah yang seperti bisa dilihat dan berbentuk itu? Di saat itulah dia melihat sinar golok menutupi langit, dan dua tetes besar air mata berkilau-kilau di udara!

Dua tetes besar air mata itu bisa muncul pada saat seperti ini, sungguh di luar dugaan dan membuat orang berpikir tidak mengerti. Sayang di dunia ini sedikit sekali orang yang tahu, setiap kali sinar Mo-to (Golok setan) muncul dua tetes air mata, itu artinya pertarungan berakhir, juga berarti pasti ada darah mengalir sampai kematian.

Golok Hoyan Tiang-souw menyerang di saat dia sudah keluar amarahnya, sekali menyabet, paling sedikit ada delapan belas sinar golok terlihat di udara.

Di antara delapan belas sinar golok itu, ada tujuh belas yang membelit tombak baja.

Hanya satu sinar golok yang paling kecil dan paling terang, menembus lapisan-lapisan sinar.

Dalam sekejap mata, sinar golok ini bisa mengitari bumi beberapa putaran.

Dengan kata lain, serangan golok ini seperti kilat dan sangat dahsyat, bukan muncul di sekeliling tombak baja saja, tapi melewati tubuh Kie Ting-hoan.

Bayang-bayang dua tetes besar air mata itu pun jadi semakin jelas, juga tidak buyar, setelah lewat sejenak, kecuali Kie Ting-hoan, siapa pun tidak melihat tetes air mata itu.

Wajah Kie Ting-hoan mendadak jadi pucat pasi, tapi dia masih tetap tersenyum!

"Jurus golok hebat." Dia berkata, tapi suaranya sudah tidak seperti semula, kuat bertenaga, "walaupun aku sudah luka, tapi masih mampu bertarung."

Hoyan Tiang-souw memasukan golok ke dalam sarung golok dan berkata:

"Aku tahu." "Kau bukan tidak mau membunuhku, hanya tidak bisa membunuh aku! juga tidak bisa memukul jatuh tombak baja di tanganku."

"Sebenarnya hawa golokmu sudah mampu membunuh sepuluh orang, tapi di dalam bajuku masih ada baju lapis dalam, bisa menahan senjata apa pun. Baju dalamku ini disebut Ceng-liong-lim (Sisik naga hijau), pusaka warisan dari nenek moyang keluarga Kie. Selama aku berkelana di dunia persilatan, entah sudah bertarung berapa banyak, tapi tidak pernah menggunakan pusaka pelindung tubuh ini."

"............" Hoyan Tiang-souw bukan sengaja diam tidak bicara, tidak mempedulikan lawan, tapi karena tidak pernah mendengar kabar ini, dan sungguh tidak tahu apa masud dia menceritakan ini?

"Kali ini ketika aku akan keluar rumah, dua kakakku memaksa aku memakai Ceng-liong-lim, hati-ku ^ selalu merasa terganjal, mengira mereka terlalu berhati-hati sampai sedikit memandang rendah diriku.

Tapi sekarang, pandangan mereka itu ternyata benar, juga membuktikan di dalam keluarga Kie kami, Kie Ting- hoan bukanlah orang yang paling hebat. "

Di dalam lubuk hati Hoyan Tiang-souw samar-samar merasa kata-kata dia tidak ada gunanya.

Kenapa manusia harus yang paling hebat, paling kuat, baru dianggap boleh?

Apakah tidak boleh jadi orang yang biasa-biasa saja? Atau jadi pesilat tinggi kelas dua saja?

Di wajah kotaknya Kie Ting-hoan, tampak sebuah tekad, berkata: "Aku sudah bilang aku masih mampu ber-tarung hidup atau mati, maksudku adalah aku masih ingin bertarung."

Hoyan Tiang-souw dengan tegas berkata: "Baik, aku tunggu!"

"Jika tidak beruntung kau kalah, maka tidak perlu dibicarakan lagi. Tapi jika aku mati dalam bertarung, mohon lepaskan Ceng-liong-lim di tubuhku, aku rela memberikan pusaka ini pada orang yang dengan sportif membunuhku! Orang ini adalah kau!"

Hoyan Tiang-souw tidak menyanggupinya, juga tidak menolaknya.

Orang-orang ini selalu suka melakukan hal yang tidak ada gunanya, dia pikir,

'Jika baju Ceng-liong-lim inipun tidak bisa melindungi nyawamu, apa gunanya aku memilikinya?

Maka aku tidak akan berterima kasih padamu, dan juga tidak perlu menolaknya. Tunggu setelah kau mati, apakah aku mengambil Ceng-liong-lim ini atau tidak mengambilnya, kau selamanya tidak tahu, maka buat apa aku banyak bicara!

Kie Ting-hoan mengambil ancan-ancang, tombak bajanya di julurkan, hawa bunuh segera memenuhi lapangan.

Walaupun tombak ini belum menyerang, tapi jika seorang penakut berdiri di depan ujung tombak, pasti akan ketakutan sampai mati.

Nama jurus tombaknya pun sangat menggetarkan, Bu- hwie-su (Tidak kembali) berarti sekali jurus ini di keluarkan nyawa lawan pun akan melayang, tidak akan kembali lagi. Hoyan Tiang-souw mundur dua langkah ke belakang, punggungnya kembali menempel di pohon besar itu. Saat ini dua alis tebalnya mengangkat miring ke atas, ujung alisnya kembali seperti mengeluarkan hawa amarah yang bisa dilihat, bisa diraba.

Tenaga dalam Kie Ting-hoan sangat hebat, jurus tombaknya juga sangat mahir, pada saat begini dia masih bisa bicara. Dia bertanya:

"Mengapa kau marah sekali? Aku ingat tadi pun kau juga sangat marah, apa sebabnya?"

Jawab Hoyan Tiang-souw:

"Jika aku masih punya jalan mundur, aku tidak akan marah, tapi ketika aku tidak bisa mundur lagi, dan nyawaku terancam, maka timbullah amarahku! Bagaimana denganmu? Saat itu apakah kau akan marah pada orang yang mau membunuh kau?"

Kie Ting-hoan menganggukan kepala: "Tentu saja aku pun akan begitu. Tapi marah bukanlah hal yang baik, apa lagi buat orang yang berilmu tinggi. Kau pun tentu tahu, setiap orang bisa marah, perasaan ini tidak perlu menjadi heran. Tapi

tidak marah, tidak emosi, tetap tenang di dalam hati, adalah tingkat orang yang sudah hebat."

Hoyan Tiang-souw marah dan berkata:

"Kenapa banyak omong kosong yang tidak ada gunanya? Jika kau ingin bertarung maka cepatlah bergerak, jika tidak ingin bertarung cepa t pergi!"

Sepasang mata Kie Ting-hoan berkilat-kilat, menatap tajam lawannya. Dia tidak bicara lagi, seperti sedang mengumpulkan seluruh tenaganya untuk melakukan serangan terakhir.

Tapi rasa permusuhan di matanya jelas semakin memudar.

Pertama tiba-tiba dia teringat beberapa orang yang sangat dekat dan sangat sayang padanya, teringat hari-hari yang senang, dan juga rumah dan sawah yang dia rindukan.

Kedua yang lebih penting lagi tiba-tiba dia menemukan akal sehat yang maknanya lebih dalam lagi, yaitu ternyata 'terlihat marah' tidak seperti di permukaannya begitu mudah!

Ternyata amarah juga persis seperti 'tenang hati tidak gundah', bisa terbentuk dengan insting sejak lahir dan latihan di kemudian hari.

Jika hanya amarah sejak lahir, amarah ini seperti daun mengapung di atas permukaan air, sama sekali tidak ada basisnya, tapi jika ditambah latihan di kemudian hari, maka amarah ini jadi jauh berbeda, ada ilmunya!

Dari sini bisa diketahui walaupun Hoyan Tiang-souw seperti orang biasa marah, mencabut goloknya membunuh orang, sebenarnya di dalamnya sangat ruwet berliku-liku, misalnya 'marah' nya datang dari mana?

Siapa yang membuat dia jadi 'marah' dan lain lainnya......

Itulah sebabnya Kie Ting-hoan menghela nafas dalam- dalam, permusuhan dalam matanya memudar sampai akhirnya menghilang.

Tiba-tiba dia berturut-turut mundur kebalakang tiga langkah, tombaknya di taruh ke tanah menahan dirinya, dengan keras berkata: "Hoyan Tiang-souw, aku mengaku kalah!"

Tadi dia telah banyak bicara, tapi tidak niat bertarungnya, makanya Hoyan Tiang-souw menganggapnya omong kosong.

Tapi sekarang dia menahan tubuhnya dengan tombak, dan mengaku kalah.

Semua ini ternyata bukan omong kosong.

Hawa amarah yang keluar dari dua alis tebal-nya, laksana dihisap oleh alisnya, mendadak meng-hilang. Dia berkata:

"Kie-samya, kau berani mengaku kalah, kau baru benar- benar seorang Enghiong!"

"Kata-katamu tidak salah, perkataan mengaku kalah ini ratusan kali jauh lebih sulit di keluarkan dari pada mati dalam pertarungan."

Dia berhenti sejenak, lalu berkata lagi:

"Tapi aku tetap bukan seorang Enghiong, aku mungkin golongan orang tua yang licik, makanya aku sudah menyusun sebuah jebakan lain untuk menghadapimu."

Di dalam hati Hoyan Tiang-souw terlintas bayangan cantik Cui Lian-hoa, dia segera jadi terkejut.

Mala petaka apa pun, pembunuh bayaran utusan musuh mana pun, dia tidak takut.

Tapi Cui Lian-hoa tidak bisa tidak membuat dia khawatir!

Ujung alis dia keluar lagi hawa amarah yang bisa dilihat, suaranya laksana geledek, berkata: "Jebakan apa?"

Kie Ting-hoan memandang keheranan dan pelan-pelan berkata: "Jangan berteriak-teriak, aku bukan takut padamu."

Hati Hoyan Tiang-souw laksana dibakar, membuat suaranya laksana geledek memekakan telinga katanya:

"Aku tidak peduli kau takut padaku, aku hanya ingin tahu jebakan apa itu?"

Otak Kie Ting-hoan berputar, dia sudah ter-nama puluhan tahun, pengalamannya sudah tidak terhitung banyaknya, dalam sekejap dia sudah bisa menduga siapa yang benar-benar diperhatikan oleh lawannya, dengan kata lain inilah titik kelemahan dia sebenarnya.

Dia tersenyum dan berkata:

"Jebakanku hanya untukmu sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan orang lain."

Bagaimana pun dia adalah seorang yang ter-nama di masanya, dia berhati lapang dan terang-terangan, maka bisa mengatakannya. Jika tidak dia bisa saja memperalat kelemahan lawan ini, melakukan serangan dahsyat malah mematikan.

Benar saja terlihat Hoyan Tiang-souw menghela nafas lega, hawa amarahnya menghilang.

Kie Ting-hoan tersenyum lagi dan berkata: "Paling bagus kau baik-baik belajar bagaimana menyembunyikan isi hatimu, apa lagi perasaan yang bisa membuat kau kalah atau tewas. Semakin kau perhatian pada seseorang, semakin tidak boleh ketahu-an oleh lawan."

Hoyan Tiang-souw sudah tahu lawan sudah mengetahui rahasia di dalam hatinya, saatitu berkata:

"Terima kasih atas petunjuk tuan."

"Begitu kau meninggalkan tempat ini, di dalam waktu satu jam, pasti akan menghadapi serangan diam-diam yang sangat menakutkan. Aku telah mencari dua orang, aku yakin mereka adalah pesilat tinggi yang pasti bisa membalaskan dendamku.

Aku sudah membuat perjanjian dengan mereka, jika kau bisa hidup dan pergi melewati jembatan batu yang menuju kota itu, itu artinya aku sudah kalah atau sudah mati!"

Perkataannya sedikitpun tidak ditaruh di hati Hoyan Tiang-souw, dia hanya berkata: "Aku pergi dulu."

"Kau tidak ingin tahu siapa dua orang itu?"

"Tahu tidak apa, tidak tahu juga tidak apa, buatku sama saja. Sebab pertama aku sudah menduga kau mungkin tidak akan memberitahukan padaku siapa mereka, jika tidak kau akan menjadi orang yang tidak bis^ dipercaya dan tidak setia.

Kedua, terhadap berbagai aliran dan perguruan di dunia persilatan, dan terhadap berapa banyak orang aneh, hebat dan lain-lainnya, sedikit sekali yang aku tahu, walaupun kau memberitahukan padaku, aku tetap saja tidak tahu."

Kie Ting-hoan berpikir sejenak dan berkata: "Baik, kau pergilah!"

Hoyan Tiang-souw tidak menjawab lagi, sambil mengepit golok dia berjalan menjauh, tapi baru saja melangkah delapan langkah dia menghentikan langkah nya.

Dia memalingkan wajahnya dan bertanya: "Hubunganmu   denganku   sekarang   ini   sebenarnya

hubungan yang bagaimana? Kita ini bukan musuh, tapi juga

bukan teman. Apakah kehidupan ini seperti ini, berubah- rubah sulit diduga?"

Walaupun Kie Ting-hoan tidak menjawab, tapi ekspresi di wajahnya jelas tampak kebingungan dan mengeluh sedih, pertanyaan anak muda ini mengena ke dalam lubuk hatinya.

Menunggu sampai dia sendiripun mengalami kehidupan penuh ini, dan merasakannya.

Apakah dia bisa lebih banyak mengerti arti kehidupan ini?

00OoodwoOO00

Jembatan batu yang kuno melintang di atas sungai dua tombak lebih.

Kedua sisi sungai rimbun dengan pohon Liu, dan pohon Seng yang bunganya sedang mekar. Di bawah pohon dimana-mana bisa terlihat rumput yang rimbum, bergoyang-goyang ditiup angin musim semi.

Di saat musim burung Eng terbang rumput tumbuh di Kang-lam, pemandangannya sangat indah sekali, membuat orang jadi melamun.

Tapi Hoyan Tiang-souw membuat dirinya sendiri jadi tenang sedingin es balok.

Langkah dia semantap langkah gajah, dan mata nya setajam elang atau macan.

Dia selangkah demi selangkah melewati jembatan batu, sampai di seberang baru merasakan adanya bahaya.

Kie-samya tidak membohongi dia, juga tidak membesar- besarkan.

Orang yang dia undang memang pesilat tinggi kelas satu, sampai orang seperti Kie-samya yang begitu ternama, mungkin juga masih kalah. Bahayanya datang dari dua arah, yang satu dari kiri di dalam rerumputan rimbun di pinggir sungai.

Yang satu lagi dari dalam bayangan rimbun pohon besar yang berjarak tiga tombak lebih.

Dia hanya merasakannya saja!

Seperti hewan liar di dalam hutan yang kadang bisa merasakan bahaya yang tersembunyi.

Di dalam rerumputan mendadak terdengar suara "Ssst ssst!", satu orang muncul keluar.

Saat ini Hoyan Tiang-souw baru saja selesai melangkah keluar dari jembatan batu, melangkah di atas jalan yang datar, di sana ada satu lapangan datar seluas tujuh delapan tombak. Dia menghentikan langkah dan mengawasinya, tampangnya gagah sekali.

Orang yang muncul dari rerumputan telah terlihat, semua, ternyata dia adalah seorang wanita yang kotor.

Tidak kelihatan berapa usianya, karena wajah-nya setengah tertutup oleh rambutnya, dan bagian yang tampak, juga tertutup oleh debu!

Tapi usianya pasti tidak terlalu tua, sebab dari baju atasnya yang robek, tampak sebagian besar buah dadanya.

Dan buah dadanya yang terlihat itu tampak berisi, tidak seperti buah dada wanita tua yang sudah kendur ke bawah.

Tampangnya sangat aneh saat keluar dari rerumputan, sepertinya tubuh atasnya terkurung oleh borgol besi, sangat kaku dan tidak normal.

Dia pernah berusaha membalikan kepalanya melihat ke arah rerumputan, gerakan kepalanya juga sangat kaku. Di dalam rerumputan masih ada gerakan. Di lihat oleh mata Hoyan Tiang-souw, tahu di dalam rerumputan masih ada orang yang bersembunyi.

Sehingga wanita yang kotor yang baju atasnya robek ini, jelas-jelas adalah seorang korban, sengaja di dorong keluar oleh orang yang ada di dalam rerumput-an, supaya menarik perhatian saja.

Hoyan Tiang-souw menunggu wanita kotor yang gerakannya kaku itu berjalan ke tengah lapangan kosong, jaraknya kurang dari dua tombak, tapi tetap tidak bersuara menanyakan dia, juga tidak pergi.

Wanita itu malah berhenti sendiri, mengguna-kan satu mata yang tampak di luar menatap dia.

OOoodwooOO

Traktiran: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan) ataupun bisa melalui via Trakteer yang ada dibawah

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar