Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 396

Buku 396

Sebenarnyalah bahwa berita tentang adon-adon itu bukan sekadar berita burung. Di hari berikutnya telah tersiar pengumuman dari Istana Kadipaten Panaraga, bahwa Pangeran Jayaraga, penguasa baru di Panaraga, akan memanggil seorang Senapati yang mumpuni untuk melengkapi kedudukan Senapati di Panaraga. Orang-orang yang berilmu tinggi dipanggil untuk mengikuti perebutan kedudukan itu dengan melewati pertarungan. Siapa yang memenangkan pada pertarungan akhir, akan ditetapkan menjadi Senapati di Panaraga, melengkapi kedudukan Senapati yang telah ada. Bahkan mungkin akan mendapat kedudukan terbaik dalam jajaran keprajuritan di Panaraga.

Berita itu telah mendebarkan jantung Glagah Putih. Kepada Madyasta, Glagah Putih minta agar ia mengikuti perkembangan dari pengumuman itu untuk selanjutnya.

“Apakah kawanmu yang bekerja di Kadipaten Panaraga itu dapat dipercaya?”

“Ya. Kawanku itu dapat dipercaya.”

Pengumuman dari Pangeran Jayaraga tentang perebutan kedudukan Senapati itu menyebutkan bahwa pelaksanaannya akan berlangsung tiga pekan lagi. Karena itu maka siapa yang berminat, supaya segera menghubungi para pejabat yang bertugas.

“Begitu cepatnya,” desis Glagah Putih. “Hanya ada waktu tiga pekan. Apakah pengumuman itu sudah merata?”

“Sudah. Semua orang, semua prajurit dan semua bebahu kademangan telah diperintahkan untuk menyebarkan pengumuman itu.”

“Kita akan melihat, apa yang akan terjadi di arena pertarungan itu,” berkata Glagah Putih hampir kepada dirinya sendiri.

Di rumah Pangeran Ranapati, Rara Wulan pun melihat beberapa perubahan sikap dari Pangeran Ranapati itu. Ketika Mas Panji Wangsadrana datang kepadanya, maka Pangeran Ranapati itu sempat memujinya.

“Ternyata Mas Panji benar-benar seorang yang cekatan. Cekatan berpikir dan cekatan bertindak. Aku berharap bahwa segala sesuatunya dapat berlangsung dengan rancak.”

“Mudah-mudahan, Pangeran,” berkata Mas Panji.

Namun dari hari ke hari, sikapnya kepada Kantil pun mulai berubah. Pangeran Ranapati lebih memperhatikan keadaan di luar rumahnya. Yang dikatakannya kepada Kantil, bahwa ia sedang mengemban tugas yang sangat berat, sehingga mungkin ia akan lebih banyak berada di luar rumah.

“Jika itu akan menempatkan Pangeran dalam jenjang kedudukan yang terbaik, silahkan, Pangeran,” berkata Kantil.

“Ya. Jika aku berhasil, maka kau pun akan ikut merasakan mukti wibawa sebagai istri seorang Pangeran, dalam kedudukannya sebagai seorang Pangeran yang sesungguhnya.”

“Baik, Pangeran.”

Sementara itu, ada keuntungan lain yang diperoleh Rara Wulan. Dalam kesibukannya, Pangeran Ranapati tidak sempat memperhatikan keberadaan Rara Wulan di rumah itu. Apalagi Kantil selalu berusaha untuk memberikan kesan buruk kepada Rara Wulan. Bahkan Pangeran Ranapati itu seakan-akan telah lupa, bahwa di rumah itu ada perempuan lain yang bernama Ranti. Sikap Pangeran Ranapati itu memang sangat menyenangkan bagi Kantil. Tetapi juga sangat menguntungkan bagi Rara Wulan, sehingga ia akan mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengamati.

Waktu yang tiga pekan itu ternyata sangat cepat dilewati. Sehari sebelum pertarungan itu dilaksanakan, maka di alun-alun telah dibuat gawar lawe yang digayutkan pada tunggul yang dipasang mengelilingi sebuah arena.

Pertarungan itu akan berlangsung tiga hari penuh.

“Ternyata banyak pula peminatnya,” berkata Glagah Putih.

“Ya,” sahut Madyasta, “tiga hari itu hanya ancar-ancar. Mungkin masih belum selesai. Mungkin pertarungan antara dua orang yang berilmu tinggi dapat berlangsung setengah hari, atau bahkan lebih.”

“Jadi?”

“Pertarungan itu dapat saja berlangsung sampai sepekan. Menurut Pangeran Jayaraga, pertarungan itu akan dilaksanakan sampai selesai, tuntas, sehingga hanya ada seorang pemenang saja.”

“Bagaimana cara yang dipergunakan untuk memilih yang seorang itu?”

“Setiap pasang akan bertarung sampai salah seorang dianggap kalah oleh pengawas pertandingan. Yang menang akan bertarung dengan pemenang dari pasangan lain. Demikian seterusnya, sehingga yang terakhir nanti tinggal ada dua orang peserta.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Dalam pada itu, Madyasta pun telah mengajak Glagah Putih untuk menemui seorang yang sudah berumur separuh baya. Seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas.

“Kita akan menghadap Ki Darma Tanda.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar ia pun bertanya, “Siapakah Ki Darma Tanda itu?”

“Seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Aku ingin tahu, apakah ia mengikuti adon-adon untuk mendapatkan kedudukan yang diinginkan oleh banyak orang berilmu tinggi itu.”

“Orang itu tahu, siapa kau?”

“Tidak. Aku mengenalnya karena orang itu menolongku. Aku ikut berjudi di sebuah pertemuan, sekedar untuk mengenal lebih banyak orang. Ketika aku menang, ada orang yang menuduhku curang. Aku sengaja tidak memberikan perlawanan, untuk tetap menyembunyikan jati diriku. Ki Darma Tanda telah menolongku. Ia bertarung melawan sekelompok orang berilmu tinggi, tetapi nampaknya mereka bukan orang baik-baik.”

“Kenapa Ki Darma Tanda itu menolongmu?”

“Aku juga bertanya kepadanya, kenapa ia bersusah-payah menolongku, bahkan dengan mempertaruhkan keselamatan dirinya.”

“Apa katanya?”

“Ki Darma Tanda menganggapku orang baik. Aku berjudi dengan jujur, sehingga aku menang dengan wajar. Karena itu tidak patut jika orang-orang itu menganggapku curang.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia pun bersedia pergi bersama Madyasta.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Darma Tanda, matahari sudah jauh melewati puncaknya

Ki Darma Tanda yang kebetulan ada di rumahnya itu pun menerima Madyasta dengan ramah. Sejak ia menolong Madyasta, Madyasta memang sering datang kepadanya untuk sekedar berbincang-bincang.

Madyasta memperkenalkan Glagah Putih sebagai adik sepupunya.

“Siang-siang Ki Madyasta datang ke pondokku, apakah ada semacam keperluan, atau sekedar menengok keselamatan keluargaku di sini?” bertanya Ki Darma Tanda.

“Sudah lama aku tidak datang kemari, Ki Darma Tanda. Entahlah, tiba-tiba saja ingin sekali bertemu dengan Ki Darma Tanda.”

“Sukurlah jika Ki Madyasta tidak mempunyai keperluan apa-apa. Bukankah Ki Madyasta tidak lagi berada di bawah ancaman orang-orang yang pernah memusuhi Ki Madyasta di tempat perjudian itu?”

“Tidak, Ki Darma Tanda. Aku pun sudah menjadi jera. Malam itu aku hanya sekedar ingin tahu. Tetapi ternyata aku terlibat dalam perjudian yang sungguh-sungguh.”

Ki Darma Tanda itu pun tertawa.

“Ki Darma Tanda,” berkata Madyasta kemudian, “sebenarnyalah aku telah didorong oleh sifat ingin tahuku. Bukankah mulai besok akan ada adon-adon di alun-alun? Semacam pendadaran untuk mendapatkan seorang yang mempunyai kemampuan terbaik, yang akan diangkat menjadi seorang Senapati di Panaraga, melengkapi Senapati yang telah ada. Pangeran Jayaraga masih ingin melengkapi jajaran keprajuritannya dengan orang-orang yang dapat diandalkan.”

“Ya. Aku juga mendengarnya.”

“Menurut penglihatanku, pada saat Ki Darma Tanda menolongku, Ki Darma Tanda adalah seorang yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Yang ingin aku ketahui, apakah Ki Darma Tanda juga mengikuti pendadaran untuk menjadi Senapati itu?”

Ki Darma Tanda tertawa pendek. Katanya, “Pangeran Jayaraga itu aneh menurut pendapatku, Ki Madyasta. Seorang Senapati tidak dapat hanya mengandalkan kemampuannya dalam olah kanuragan. Untuk menjadi seorang Senapati yang baik, seseorang harus dinilai pula kecerdasannya serta kemampuan berpikir. Kejujuran serta kesetiaan kepada tugasnya. Jika seorang Senapati hanya didasarkan pada kemampuan olah kanuragan, maka mungkin sekali seorang gegedug dan pemimpin segerombolan perampok yang berilmu tinggi, akan memenangkan adon-adon di alun-alun itu. Nah, jika demikian, apakah orang itu harus diangkat menjadi Senapati?”

Ki Madyasta mengangguk-angguk. Namun ia pun menjawab, “Itulah yang aku cemaskan, Ki Darma Tanda. Jika orang-orang yang berpihak kepada kejujuran, keadilan dan kebenaran tidak mau turun dalam pendadaran itu, maka yang dicemaskan oleh Ki Darma Tanda itu akan benar-benar dapat terjadi.”

“Tetapi aku tidak ingin melibatkan diri dalam pertarungan seperti itu, Ki Madyasta. Biarlah aku tinggal di gubugku ini bersama keluargaku. Biarlah setiap hari aku berjemur di sawah dan berendam di lumpur. Tetapi aku merasa bahwa hidupku tenang. Tidak ada persoalan-persoalan yang membuat aku menjadi gelisah dan cemas. Di malam hari aku dapat tidur nyenyak. Sedangkan di siang hari aku dapat makan dengan enak, meskipun hanya berlauk garam.”

Ki Madyasta menarik nafas panjang. Dengan nada datar ia pun berkata, “Jika Ki Darma Tanda ikut memasuki pendadaran itu, maka Ki Darma Tanda telah ikut menyelamatkan Panaraga dari kemungkinan buruk seperti yang Ki Darma Tanda katakan itu.”

“Aku juga tidak dapat menjamin bahwa seandainya aku berhasil menjadi seorang Senapati, aku kemudian tidak berubah sifat dan perangaiku. Jika Ki Madyasta menganggap sekarang aku orang yang baik, maka mungkin sekali setelah aku menjadi Senapati, aku akan berubah menjadi orang yang adigang, adigung, adiguna. Sapa sira, sapa ingsun. Karena sebenarnyalah bahwa keadaan kehidupan seseorang akan dapat merubah tingkah laku dan sifat seseorang.”

Ki Madyasta mengangguk-angguk. Demikian pula Glagah Putih. Yang dikatakan oleh Ki Darma Tanda itu memang benar. Kedudukan seseorang memang dapat merubah sifat dan tabiatnya.

Namun yang jelas bahwa Ki Darma Tanda itu tidak berniat untuk ikut serta dalam pertarungan untuk memperebutkan kedudukan Senapati.

“Tetapi esok aku akan melihat apa yang terjadi di arena itu,” berkata Ki Darma Tanda. “Apakah Ki Madyasta juga akan melihat?”

“Ya,” sahut Madyasta, “aku akan melihat.”

Demikianlah, setelah Madyasta dan Glagah Putih meneguk minuman yang dihidangkan bagi mereka, maka mereka pun kemudian minta diri. Sekali lagi Madyasta menyatakan penyesalannya, bahwa Ki Darma Tanda tidak bersedia untuk ikut dalam pertarungan itu.

Ketika Madyasta masih saja mendesaknya, maka Ki Darma Tanda itu pun berkata, “Segala sesuatunya sudah terlambat.”

Demikian mereka berdua pulang, maka Madyasta pun berkata kepada Glagah Putih, “Kemungkinan sebagaimana dikatakan oleh Ki Darma Tanda itu dapat terjadi.”

“Kita sudah memperhitungkan. Tetapi jika benar keterangan yang kau peroleh bahwa gagasan ini datangnya dari Mas Panji Wangsadrana, maka segala sesuatunya sebenarnya sudah jelas bagi kita. Gagasan itu tentu datang dari Pangeran Ranapati. Pangeran Ranapati yakin bahwa tidak ada orang yang dapat mengalahkannya, sehingga akhirnya ia akan memasuki Istana Kadipaten Panaraga. Ia akan mengejutkan Pangeran Jayaraga dengan pengakuannya bahwa ia adalah Pangeran Ranapati.”

Madyasta mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Menurut kawanku seorang pejabat di Istana Kadipaten Panaraga itu, di dalam daftar para peserta memang tidak tercantum nama Pangeran Ranapati.”

“Ya. Segala sesuatunya sudah jelas bagi kita. Besok kita akan melihat, apakah orang yang gambarannya kita kenal sebagai Pangeran Ranapati itu turun ke arena.”

“Besok, selagi perhatian orang tertuju ke alun-alun, aku akan minta Kakang Sungkana dan Sumbaga pergi ke Mataram untuk melaporkan perkembangan terakhir di Panaraga.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah besok keduanya pergi ke Mataram. Di sini mereka sudah dikenali oleh para pengikut Pangeran Ranapati.”

Malam itu, Sungkana dan Sumbaga pun segera berkemas. Mereka memang merasa lebih aman bertugas ke Mataram, daripada tugas-tugas lain yang harus dilakukannya di Panaraga, karena para pengikut Pangeran Ranapati masih saja memburunya.

Demikianlah, di hari berikutnya, sebelum matahari terbit, Sungkana dan Sumbaga telah meninggalkan Panaraga menuju ke Mataram, untuk memberikan laporan tentang perkembangan Panaraga di saat-saat terakhir.

Sedangkan Madyasta dan Glagah Putih telah bersiap-siap pergi ke alun-alun, untuk melihat pertarungan di antara mereka yang ingin menjadi salah seorang Senapati terbaik di Panaraga.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun selalu berhubungan dengan Rara Wulan yang masih berada di rumah Pangeran Ranapati. Menurut Rara Wulan, Pangeran Ranapati memang lebih banyak berada di luar rumah.

“Pangeran Ranapati sedang mengendalikan Mas Panji Wangsadrana,” berkata Glagah Putih. “Agaknya Mas Panjilah yang ditugaskan oleh Pangeran Jayaraga untuk menyelenggarakan adon-adon itu. Sebagai seorang yang mempunyai gagasan itu, maka Mas Panji tentu merupakan orang yang paling siap untuk melakukan tugas itu.”

Di rumah, Kantil yang semakin sering ditinggalkan oleh Pangeran Ranapati menjadi semakin sering marah. Apa pun dapat menjadi sebab kemarahannya. Namun ia tidak berani menunjukkan perasaannya itu kepada Pangeran Ranapati, sehingga Rantilah yang lebih sering menjadi sasaran kemarahannya. Bahkan pernah terjadi, air sebelanga telah disiramkan ke tubuh Ranti. Untung air itu adalah air dingin, bukan air panas.

Hampir saja Ranti kehabisan kesabaran. Tetapi dengan susah payah ia menahan diri untuk tidak menjadi garang.

Pada malam hari menjelang pertarungan dimulai di alun-alun, Pangeran Ranapati berada di rumah. Kepada Kantil ia pun berkata, “Besok aku memasuki satu tugas yang berat. Karena itu, aku minta bantuanmu.”

“Apa yang dapat hamba lakukan, Pangeran?”

“Doakan aku,” jawab Pangeran Ranapati, “hanya itu yang dapat kau lakukan.”

“Tetapi tugas apakah yang akan Pangeran lakukan?”

“Aku tidak dapat mengatakan kepadamu sekarang.”

Kantil tidak dapat memaksa Pangeran Ranapati untuk mengatakan. Sementara itu Ranti justru sudah tahu bahwa sejak besok pagi di alun-alun akan diselenggarakan pertarungan di antara orang-orang yang berilmu tinggi, untuk merebut kedudukan terhormat di Panaraga.

Dalam pada itu, menjelang fajar di hari berikutnya, Pangeran Ranapati itu telah meninggalkan rumahnya. Hari itu Mas Panji Wangsadrana justru tidak datang ke rumah Pangeran Ranapati itu.

Ketika matahari terbit, telah banyak orang yang pergi ke alun-alun untuk melihat adon-adon. Ternyata di alun-alun terdapat sebuah panggungan, yang akan dipergunakan oleh Pangeran Jayaraga untuk menyaksikan pertarungan itu. Meskipun resminya Pangeran Jayaraga hanya akan menyaksikan pertarungan yang terakhir, tetapi mungkin sekali-sekali Pangeran Jayaraga juga ingin menyaksikan pertarungan sebelumnya.

Beberapa lama para prajurit telah melakukan upacara. Pangeran Jayaraga ternyata hadir pula untuk membuka upacara adon-adon itu. Beberapa orang Senapati mendampinginya di panggungan.

Sekelompok prajurit bertombak pada upacara pembukaan itu berdiri memagari arena. Beberapa saat kemudian, sekelompok prajurit yang lain telah mendorong sebuah kerangkeng memasuki arena itu, yang ternyata di dalamnya terdapat seekor harimau yang garang, buas dan sengaja dibuat lapar.

Sejenak kemudian, sebagai pertanda bahwa adon-adon itu telah dibuka dengan resmi, maka Pangeran Jayaraga telah membunyikan sebuah bende beberapa kali. Sedangkan pada saat yang bersamaan, para prajurit telah membuka pintu kerangkeng yang didorong ke tengah-tengah arena itu.

Sejenak kemudian seekor harimau yang besar, buas dan lapar meloncat keluar sambil mengaum keras sekali. Sementara itu, tombak para prajurit pun segera merunduk.

Rampogan itu akan mengawali acara adon-adon yang akan dilangsungkan di arena itu pula.

Demikianlah, harimau lapar itu pun kemudian harus bertarung menghadapi beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak.

Namun malang bagi harimau itu. Setelah beberapa lama harimau itu mencoba menembus ujung tombak yang memagarinya, maka akhirnya justru harimau itulah yang terbunuh. Bangkainya terkapar di arena, yang segera diangkat dan dimasukkan kembali ke dalam kerangkeng. Sejenak kemudian, maka kerangkeng itu pun segera dibawa keluar dari arena.

Demikianlah, di atas darah harimau yang sudah mengalir membasahi arena itulah, pertarungan untuk memperebutkan kedudukan Senapati akan berlangsung.

Pangeran Jayaraga ternyata tidak segera meninggalkan panggung demikian rampogan itu selesai. Tetapi Pangeran Jayaraga masih ingin menyaksikan pertarungan yang pertama dari mereka yang ingin memperebutkan kedudukan senapati itu.

Tetapi ternyata pertarungan yang pertama itu tidak menarik. Meskipun keduanya berilmu tinggi, tetapi nampaknya pertarungan itu menjadi berat sebelah. Pertarungan itu sendiri tidak berlangsung lama, karena seorang di antara mereka telah melakukan kesalahan yang berakibat sangat buruk baginya.

Karena itu, ketika orang itu bangkit dengan susah payah setelah terbanting jatuh, maka ia pun segera dinyatakan telah kalah.

“Aku belum kalah,” katanya.

“Jika kau berkelahi lebih lama lagi, maka kau akan dapat mati di arena ini,” berkata Senapati yang menjadi pelerai dalam pertarungan itu.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu pun keluar dari arena.

Terdengar para penonton pun bersorak. Orang yang keluar dari arena itu menjadi sangat malu. Tetapi ia masih sayang akan nyawanya, sehingga ia tidak melanjutkan pertarungan.

Pangeran Jayaraga tidak merasa tertarik lagi akan pertarungan-pertarungan yang bakal dilakukan. Nampaknya pada pertarungan di tahap awal itu masih belum menunjukkan pertarungan yang mendebarkan. Meskipun sebelum adon-adon itu dimulai telah dilakukan rampogan untuk memanasi darah para peserta, namun masih banyak pertarungan yang tidak seimbang tampil di hari pertama itu.

Dengan demikian maka pertarungan itu pun dihentikan sejenak pada saat Pangeran Jayaraga meninggalkan panggungan. Baru kemudian pertarungan itu pun dimulai lagi.

Adalah kebetulan bahwa Madyasta dan Glagah Putih dapat bertemu dengan Ki Darma Tanda di pinggir arena, sehingga mereka pun dapat menonton pertarungan itu bersama-sama.

Meskipun pertarungan pada putaran pertama itu masih belum menarik, tetapi ada juga di antara dua orang yang berilmu tinggi kebetulan bertemu, sesuai dengan hasil undian di antara mereka. Pertarungan yang demikian, kadang-kadang dapat berlangsung lama.

Di hari pertama itu, Glagah Putih dan Madyasta terkejut ketika mereka melihat seseorang yang menurut ciri-cirinya adalah orang yang mengaku Pangeran Ranapati. Tetapi di arena itu ia telah mempergunakan nama lain. Meskipun demikian Madyasta dan Glagah Putih yakin bahwa orang itu adalah Pangeran Ranapati.

Pertarungan di antara orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati dan lawannya itu berlangsung dalam waktu yang pendek saja. Lawannya pun tiba-tiba telah terbanting jatuh, sehingga mengalami kesulitan untuk bangkit.

Senapati yang melerai pertarungan itu pun segera memberi isyarat bahwa pertarungan itu sudah selesai. Yang terjatuh dan tidak segera dapat bangkit kembali itu pun dinyatakan telah kalah, sehingga akan segera tampil pasangan berikutnya.

Demikianlah, pasangan demi pasangan pun telah bertarung. Namun orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu telah menundukkan kepalanya, ketika ada di antara mereka yang terkapar dengan darah yang segar meleleh dari antara bibirnya. Bukan karena bibirnya pecah atau giginya patah, tetapi darah itu mengalir dari rongga dadanya.

Tetapi orang yang merasa menang itu sama sekali tidak menyesali apa yang telah terjadi. Seorang yang bertubuh agak gemuk justru telah menepuk dadanya sambil menggeram, seperti seekor orang hutan yang baru saja berhasil membunuh lawannya.

Dua orang senapati telah mendatanginya untuk memberikan peringatan kepadanya, bahwa untuk selanjutnya ia harus menjaga agar ia tidak membunuh lawannya.

“Salahnya sendiri,” berkata orang yang diperingatkan itu, “ia terlalu lemah untuk ikut dalam pendadaran yang keras seperti ini.”

“Tetapi kau dapat mencegah kematian. Jika orang yang sudah tidak berdaya ini tidak kau angkat dan kemudian kau jatuhkan punggungnya di atas lututmu, maka ia tidak akan mati.”

“Jadi apa yang harus aku lakukan di arena ini? Kalau lawanku mati, tentu bukan salahku.”

“Tetapi setidak-tidaknya kami tidak melihat bahwa kau memang berniat untuk membunuhnya.”

“Persetan dengan ketentuan-ketentuan yang cengeng ini,” geramnya.

“Dengar. Kau tinggal memilih. Melakukan sebagaimana aku katakan, atau kau tidak akan ikut untuk selanjutnya.”

“Itu tidak adil.”

“Itu adalah ketentuan yang paling adil.”

“Tidak. Aku akan ikut pendadaran ini untuk seterusnya. Bahkan sekarang aku minta lawan yang lain. Aku tidak mau pergi dari arena ini. Aku akan melawan siapa saja yang memaksaku turun dari arena sekarang ini, meskipun para Senapati sekalipun.”

“Kau tidak dapat berbuat lain. Kau harus turun. Bahkan untuk seterusnya.”

“Tidak.”

“Kau lihat harimau yang garang itu tadi?”

Orang yang agak gemuk itu termangu-mangu. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak telah berdiri di pinggir arena, sebagaimana saat harimau yang garang itu dilepas dari kerangkeng.

Namun tiba-tiba seseorang telah muncul pula di arena. Seorang yang sebelumnya telah memenangkan pertarungan di arena itu, tetapi ia tidak membunuh lawannya.

Hampir bersamaan, Glagah Putih dan Madyasta berdesis, “Pangeran Ranapati.”

“Kau mau apa?” bertanya Senapati yang sedang berusaha memaksa orang yang telah membunuh lawannya itu turun.

“Ki Sanak,” berkata orang yang baru masuk ke arena itu, “jika Ki Sanak mengijinkan, biarlah aku mengusirnya dari arena. Atau Ki Sanak dapat menganggap bahwa aku yang memenangkan pertarungan di putaran pertama, akan memasuki putaran kedua, karena orang yang telah membunuh itu pun telah memenangkan pertarungan dalam putaran pertama.”

Dua orang Senapati yang berada di arena itu termangu-mangu sejenak. Mereka tidak menduga bahwa dalam adon-adon itu akan ada persoalan yang sebelumnya belum pernah dibicarakan.

Namun yang kemudian memasuki arena adalah Mas Panji Wangsadrana, sambil berkata, “Kita akan membiarkan orang ini memasuki pertarungan pada putaran kedua, meskipun belum waktunya, karena mereka yang bertarung di putaran pertama saja belum selesai. Tetapi kita menghadapi persoalan yang tiba-tiba saja muncul.”

“Bagaimana menurut pendapat Mas Panji?” bertanya salah seorang Senapati itu.

“Bukankah kita tidak berekebaratan? Pemenangnya nanti akan langsung memasuki putaran ketiga.”

“Tentu tidak nanti.”

“Ya, kapan saja. Besok atau lusa.”

Akhirnya para Senapati, termasuk Senapati yang bertugas melerai pertarungan itu, tidak berkeberatan. Dua orang yang telah mengalahkan lawan-lawannya akan memasuki pertarungan pada putaran kedua.

Beberapa orang peserta ada yang mengajukan keberatan, tetapi keputusan para senapati itu pun akhirnya dilaksanakan juga.

“Bagus,” berkata orang yang tubuhnya agak gemuk, yang menepuk dadanya sambil menggeram setelah ia membunuh lawannya. “Aku akan membunuh dua orang hari ini. Mungkin besok aku akan membunuh lebih banyak lagi.”

Glagah Putih, Madyasta dan Ki Darma Tanda termangu-mangu menyaksikan mereka yang bakal bertarung di arena. Ketegangan telah menyentuh jantung mereka. Mereka sudah mengira bahwa seorang di antara keduanya akan mati di arena itu pula.

“Permainan di hari pertama ini sudah diwarnai dengan darah,” desis Ki Darma Tanda, “bukankah sama sekali tidak menyenangkan untuk ikut dalam pendadaran itu?”

Madyasta mengangguk sambil menjawab, “Ya, Ki Darma Tanda. Untunglah bahwa Ki Darma Tanda tidak ikut dalam adon-adon itu.”

“Bayangkan, apa jadinya jika orang yang bertubuh agak gemuk dan yang dengan bangga membunuh lawannya itu kelak memenangkan pertandingan. Apakah pantas orang itu menjadi Senapati di Panaraga?”

Madyasta mengangguk sambil menjawab, “Ya. Jajaran keprajuritan di Panaraga akan dirusaknya.”

“Kesalahan ini terletak pada Pangeran Jayaraga yang kurang bijaksana.”

“Tetapi kebijaksanaan ini sudah tidak mungkin dicegah lagi.”

“Kecuali bahwa pada saat terakhir, jika orang itu memenangkan perebutan kedudukan ini, ada yang mengajukan tantangan untuk berperang tanding. Tidak dalam rangka perebutan kedudukan itu sendiri.”

Glagah Putih dengan ragu-ragu bertanya, “Apakah Ki Darma Tanda akan melakukannya? Maksudku, jika orang itu kelak memenangkan pertarungan ini, Ki Darma Tanda akan menantangnya berperang tanding?”

Ki Darma Tanda tidak menjawabnya. Tetapi perhatiannya sudah tertuju lagi ke arena. Dua orang yang sudah memenangkan pertarungan di putaran pertama.

Sejenak kemudian, keduanya sudah bersiap. Senapati yang akan menjadi pelerai dalam pertarungan itu terdiri dari dua orang, serta Mas Panji Wangsadrana sendiri. Nampaknya Mas Panji sangat menaruh perhatian terhadap pertarungan itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertarungan pun segera dimulai. Orang yang bertubuh agak gemuk itu memang seorang yang kasar. Sayangnya ia berilmu sangat tinggi, sehingga ia benar-benar menjadi orang yang sangat berbahaya.

Namun dalam putaran kedua itu, ia langsung berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati, tetapi yang sedang menyamarkan dirinya dengan nama lain. Pada saatnya ia memang berniat mengejutkan Pangeran Jayaraga. Jika ia berhasil memenangkan adon-adon itu, maka baru ia akan mengatakan siapa dirinya kepada Pangeran Jayaraga.

Sejenak kemudian, pertarungan di antara keduanya pun menjadi semakin cepat. Orang yang bertubuh agak gemuk itu menjadi semakin garang pula. Serangannya datang seperti angin prahara menerjang batu karang.

Tetapi Pangeran Ranapati adalah seorang yang mumpuni pula. Bahkan ia sudah meyakini bahwa dirinya akan memenangkan adon-adon itu dan segera diangkat menjadi Senapati di Panaraga. Dengan demikian maka ia akan dapat menjadi bagian dari penguasa di Panaraga. Bahkan jika ia berhasil mengembangkan pengaruhnya, maka ia akan dapat menentukan langkah-langkah yang akan diambil oleh Pangeran Jayaraga.

Dengan demikian, maka pertarungan antara keduanya pun semakin lama menjadi semakin sengit. Para peserta yang lain, yang masih belum mendapat kesempatan sekali pun memasuki arena, memandangi pertarungan itu dengan jantung yang berdebaran. Ketika orang yang bertubuh gemuk itu membunuh lawannya, jantung para peserta itu pun sudah bergejolak. Mereka yang merasa berilmu tinggi telah mendendam orang itu. Mereka mengharap bahwa mereka akan memenangkan pertarungan di putaran pertama, dan di putaran kedua dapat langsung berhadapan dengan orang yang sombong, kasar dan tidak berperasaan itu.

Namun ternyata seorang yang lain, yang tiba-tiba saja menerobos ke putaran kedua, telah berhadapan dengan orang itu.

Tanpa disadari, maka para peserta yang lain yang bukan kawan-kawan orang bertubuh agak gemuk itu, menjadi bingung. Mereka tidak tahu, siapakah di antara keduanya itu yang diharapkan menang. Mereka memang berharap agar merekalah yang mendapat kesempatan untuk mengalahkan orang itu. Dengan demikian maka seharusnya orang yang bertubuh gemuk itu dapat memenangkan pertarungan di putaran kedua itu, sehingga ia masih akan kembali ke arena. Tetapi jika demikian, maka lawannya itu pun tentu akan dibunuhnya pula. Apalagi ia merasa ditantang secara khusus oleh lawannya itu.

Dalam kebimbangan, akhirnya para peserta adon-adon itu tidak lagi berharap siapa yang sebaiknya menang. Siapa pun, akhirnya harus mereka hadapi pula.

Demikianlah, maka pertarungan itu semakin lama menjadi semakin seru. Orang yang memasuki arena untuk menantang orang yang bertubuh agak gemuk itu nampaknya bukan orang yang lemah, sehingga sulit bagi orang yang bertubuh gemuk itu untuk mengalahkannya.

Jika dalam putaran pertama ia tidak terlalu lama bertarung, sehingga akhirnya ia berhasil mengangkat tubuh lawannya dan kemudian membanting orang itu pada punggungnya di lututnya, sehingga tulang punggung itu patah dan lawannya itu langsung mati, lawannya yang kedua ini ternyata tubuhnya sangat liat. Ia masih dapat menghindari serangan dalam keadaan yang paling sulit. Bahkan dengan cepat ia pun dapat membalas menyerangnya. Sementara itu serangan-serangan orang yang bertubuh agak gemuk itu justru semakin lama menjadi semakin sulit untuk menembus pertahanan lawannya, sedangkan pertahanannya sendiri seakan-akan menjadi semakin terbuka. Serangan-serangan lawannya itu menjadi semakin sering mengenai tubuhnya. Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi, maka orang yang bertubuh agak gemuk itulah yang tergetar surut.

“Gila orang ini,” geram orang yang agak gemuk itu, “jika saja aku dapat menangkap tubuhnya. Aku akan mengangkatnya dan kemudian mematahkan punggungnya, dengan membenturkan punggungnya itu pada lututku.”

Tetapi jangankan menangkap dan mengangkat tubuhnya, jika orang itu berusaha mendekat maka ia pun akan segera terlempar menjauh. Kaki atau tangan lawannya akan menghentaknya sehingga ia tergetar surut.

Orang bertubuh agak gemuk itu mulai menjadi gelisah. Ia tidak mengira bahwa di antara mereka yang ikut adon-adon itu ada orang yang ilmunya dapat mengimbanginya, sehingga sangat sulit baginya untuk dapat mengalahkannya.

Orang itu pun kemudian telah menghentakkan tenaga dan kemampuannya. Ia tidak ingin dicemoohkan oleh banyak orang jika ia dapat dikalahkan. Bahkan karena ia telah membunuh lawannya, jika ia kemudian kalah, maka ia pun akan dibunuh pula oleh lawannya itu.

Dalam waktu yang pendek, hentakan ilmunya berhasil mendesak lawannya. Tetapi hanya sebentar. Sekejap kemudian, lawannya itu pun telah menghentakkan ilmunya pula.

Glagah Putih, Madyasta dan Ki Darma Tanda pun telah dapat menebak, bahwa akhirnya orang yang bertubuh agak gemuk itu tentu akan dikalahkan. Namun apa yang kemudian akan terjadi, mereka masih harus menunggu.

Sebenarnyalah bahwa serangan-serangan Pangeran Ranapati itu pun sudah tidak terbendung lagi. Perlawanan orang bertubuh pendek itu semakin lama menjadi semakin menyusut. Apa pun yang dilakukan, namun ia tidak lagi mampu mengatasi lawannya, Pangeran Ranapati.

Betapapun orang bertubuh pendek itu berusaha, namun serangan Pangeran Ranapati telah melandanya seperti banjir bandang.

Beberapa kali orang itu terbanting jatuh. Dengan sisa-sisa tenaganya ia selalu berusaha untuk bangkit berdiri. Tetapi semakin lama, tenaganya pun menjadi semakin menurun.

Akhirnya ketika kaki Pangeran Ranapati yang terjulur menyamping mengenai dadanya, maka orang bertubuh agak gemuk itu pun telah terbanting jatuh. Demikian kerasnya, sehingga sulit baginya untuk bangkit berdiri.

Pangeran Ranapati memandanginya dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun berpaling kepada orang-orang yang berada di seputar arena itu sambil mengangkat tangannya. Ternyata Pangeran Ranapati tidak berniat membunuhnya. Ia hanya mengalahkannya, dan setelah orang itu terkapar jatuh, maka Pangeran Ranapati pun hanya membiarkannya.

Namun dengan demikian Pangeran Ranapati itu menjadi lengah. Ia mengira bahwa orang bertubuh pendek itu benar-benar sudah tidak mampu bangkit berdiri, sehingga karena itu perhatian Pangeran Ranapati tidak tertuju kepadanya.

Tetapi orang bertubuh agak gemuk itu sangat licik. Ia tidak benar-benar terkapar tanpa dapat bangkit kembali. Ketika perhatian Pangeran Ranapati tidak tertuju kepadanya, tetapi tertuju kepada orang-orang yang menonton pertarungan itu sambil bersorak-sorak, maka orang itu pun tiba-tiba telah bangkit. Dengan serta-merta ia telah menyergap Pangeran Ranapati dari belakang. Kemudian, apa yang diinginkannya itu dapat dilakukannya. Ia mengangkat tubuh Pangeran Ranapati yang terlentang, kemudian orang itu telah siap membantingnya dengan membenturkan tulang punggungnya ke atas lututnya yang telah diangkat.

Tetapi yang tidak terduga itu telah terjadi. Tubuh yang sudah terangkat tinggi-tinggi itu pun menggeliat.

Pada saat orang-orang yang berada di sekeliling arena itu menjadi sangat tegang, maka tubuh yang menggeliat itu justru telah melenting seperti seekor ulat kilan. Sekejap kemudian tubuh itu pun meluncur dengan cepatnya.

Yang tertangkap lebih dahulu oleh tangan orang yang melenting dan meluncur dengan cepat itu adalah kepala orang yang agak gemuk itu. Terdengar tulang lehernya yang patah.

Demikian lawannya itu berdiri di atas kedua kakinya dan melepaskannya, maka orang yang agak gemuk itu pun segera berguling seperti sebatang pohon pisang.

Orang itu tidak sempat mengaduh. Demikian lehernya patah, maka ia pun langsung kehilangan nyawanya.

Lawannya itu pun melangkah surut. Ia pun kemudian mengangguk hormat kepada para Senapati yang menjadi pelerai pada pertarungan itu. Pangeran Ranapati itu pun kemudian berkata, “Maafkan aku. Aku tidak berniat membunuhnya. Yang terjadi adalah dengan tiba-tiba saja, di luar kendali.”

“Kau tidak bersalah,” Mas Panji Wangsadranalah yang menjawab, “orang itu berniat berbuat curang.”

Pangeran Ranapati tidak menjawab. Sementara Mas Panji pun berkata, “Kembalilah ke tempatmu.”

Pangeran Ranapati pun kemudian meninggalkan arena dengan kepala tunduk.

Namun sorak yang gemuruh masih saja terdengar. Orang-orang menjadi sangat kagum kepada Pangeran Ranapati. Ia sama sekali tidak berniat membunuh lawannya. Tetapi justru lawannya itulah yang telah memaksanya untuk melakukannya.

Dalam pada itu, karena matahari sudah menjadi semakin rendah, maka pertarungan untuk hari itu pun telah diakhiri. Besok pertarungan akan dilanjutkan. Para peserta akan kembali memasuki putaran pertama.

“Untunglah bahwa Pangeran Jayaraga tidak menyaksikan dua orang yang sudah terbunuh di arena,” berkata seorang Senapati.

“Bukankah laporan dari peristiwa itu akan sampai juga kepada Pangeran Jayaraga?”

“Tetapi kesannya tentu lain. Pangeran Jayaraga sekedar membaca laporan, atau menyaksikan langsung peristiwa itu.”

Yang lain mengangguk-angguk kecil.

Demikianlah, sejenak kemudian maka arena itu pun sudah menjadi sepi. Para peserta telah kembali ke barak yang menjadi tempat menampung mereka. Demikian pula para penonton pun telah pulang ke rumah masing-masing.

Para peserta adon-adon itu tidak banyak lagi yang saling berbincang. Mereka masing-masing merenungi apa yang sudah mereka lihat.

Tetapi mereka rata-rata adalah orang yang berilmu tinggi pula, sehingga mereka tidak menjadi gentar melihat dua orang di antara mereka yang telah menunjukkan tataran ilmu kanuragan mereka.

Sementara itu, Ki Darma Tanda yang berjalan perlahan-lahan bersama Glagah Putih dan Madyasta, masih sempat berbicara tentang kedua orang yang bertarung terakhir, yang dihitung sebagai pertarungan di putaran kedua.

“Keduanya memang berilmu tinggi,” berkata Ki Darma Tanda.

“Ya, Ki Darma Tanda,” sahut Madyasta, “nampaknya orang yang memenangkan pertarungan di pasangan terakhir itu dapat menggertak calon lawan-lawannya besok.”

“Ya. Tetapi para peserta yang lain agaknya tidak menjadi ketakutan. Mereka masih saja nampak tenang-tenang saja. Agaknya mereka juga merasa sebagai orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Sukurlah bahwa pembunuh itu telah dapat dihentikan,” sahut Glagah Putih kemudian, “sehingga ia tidak lagi menjadi hantu yang mungkin akan dapat merebut gelar Senapati itu.”

“Ya,” Ki Darma Tanda pun mengangguk-angguk.

Namun akhirnya mereka pun berpisah. Madyasta dan Glagah Putih langsung pulang. Demikian pula Ki Darma Tanda.

Di perjalanan pulang, Glagah Putih pun berkata, “Ternyata banyak juga orang yang berilmu tinggi yang tertarik untuk mengikuti pendadaran itu. Setiap pasang telah menyisakan seorang di putaran pertama, sehingga mereka akan memasuki putaran kedua.”

“Besok kita akan melihat lagi.”

Sebenarnyalah, di keesokan harinya keduanya kembali telah berada di alun-alun pada saat matahari naik.

Tetapi mereka tidak segera menemukan Ki Darma Tanda, meskipun mereka berada di tempat mereka menyaksikan pertarungan itu kemarin.

“Mungkin hari ini Ki Darma Tanda tidak pergi ke alun-alun,” desis Madyasta, “agaknya Ki Darma Tanda hanya ingin melihat akhir dari pendadaran ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Beberapa saat kemudian, ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka pendadaran dengan cara adon-adon itu pun segera dimulai lagi. Pertarungan demi pertarungan. Glagah Putih dan Madyasta melihat bahwa beberapa orang benar-benar menunjukkan ilmunya yang tinggi. Mereka pada umumnya bertarung dengan baik, sehingga di hari kedua itu tidak ada korban yang terbunuh di arena, meskipun ada di antara mereka yang terluka parah di bagian dalam tubuhnya. Tetapi itu terjadi dengan wajar, bukan karena keganasan para peserta yang bengis.

Tetapi pada hari ketiga, ketika pertarungan benar-benar sudah memasuki putaran kedua, maka pertarungan di arena itu pun menjadi semakin panas. Apalagi pada hari keempat. Jika semula pertarungan itu hanya direncanakan berlangsung tiga hari, tetapi sampai pada hari keempat, pertarungan itu masih belum sampai kepada pertarungan puncak antara dua orang pemenang.

Baru pada hari kelima, pertarungan itu memasuki putaran yang menentukan. Pertarungan di hari kelima itu akan berlangsung hanya dua pasangan saja. Dari keduanya akan terpilih dua orang terbaik yang akan memasuki putaran terakhir. Namun untuk putaran terakhir, pertarungan akan ditunda, untuk memberikan waktu beristirahat serta mempersiapkan diri bagi kedua orang yang akan menentukan, siapakah yang akan merebut kedudukan Senapati itu.

Namun agaknya pada hari kelima, pada saat pertarungan itu berlangsung bagi dua pasangan dari empat orang terbaik, Pangeran Jayaraga sendiri berkenan untuk menyaksikannya.

Demikian matahari naik pada hari kelima, maka pertarungan pun telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Dua orang Senapati akan menjadi pelerai, didampingi oleh Mas Panji Wangsadrana sendiri.

Seperti hari-hari sebelumnya, Glagah Putih dan Madyasta pun telah berada di alun-alun pula. Ternyata pada hari itu mereka bertemu lagi dengan Ki Darma Tanda.

“Baru kali ini aku melihat lagi pertarungan ini,” berkata Ki Darma Tanda.

“Kami datang setiap hari, Ki Darma Tanda,” sahut Madyasta.

“Ternyata kau tertarik juga kepada olah kanuragan, sehingga kau perlukan datang setiap hari.”

“Aku memang tertarik untuk menyaksikannya, asal aku sendiri tidak harus ikut terjun ke dalamnya.”

Ki Darma Tanda pun tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut lagi.

“Hari ini Pangeran Jayaraga akan turun ke panggungan itu pula,” berkata Madyasta.

“Ya. Aku juga mendengar pengumumannya,” sahut Ki Darma Tanda.

Beberapa saat kemudian, terdengar isyarat bahwa Pangeran Jayaraga telah datang ke arena pertarungan di hari kelima itu.

Yang lebih dahulu memasuki lingkungan di sekitar panggungan adalah para prajurit pengawal, dengan tombak yang siap menghentak di tangan mereka. Kemudian para pengawal yang bersenjata pedang dan perisai. Baru kemudian dua orang Narpacundaka memasuki lingkungan panggungan. Di belakangnya adalah Pangeran Jayaraga, diikuti oleh para Senapati dan para pemimpin Panaraga yang lain.

Pada saat yang sudah ditentukan, maka pertarungan antara dua pasang peserta adon-adon itu akan segera dimulai. Beberapa orang peserta yang telah dikalahkan di arena, mendapat kesempatan untuk menyaksikan pertarungan itu. Tetapi sebagian ternyata harus berbaring di bawah perawatan para tabib karena luka-luka. Bukan saja luka-luka yang terbuka, tetapi juga luka-luka di bagian dalam dadanya, pada saat mereka turun ke arena.

Yang harus turun pertama di arena pendadaran itu adalah dua orang yang berilmu sangat tinggi. Seorang yang sudah separuh baya, serta ujung-ujung rambutnya yang mencuat dari ikat kepalanya sudah nampak bercampur dengan uban. Namun ia adalah seorang yang berpakaian rapi. Bajunya nampak bagaikan melekat pada kulitnya. Kainnya disingsingkan sampai ke atas lututnya. Celananya yang hitam nampak bergaris kuning melingkar di bawah lututnya.

Orang yang sudah separuh baya itu berperawakan sedang. Matanya agak cekung. Pandangannya tajam, seolah-olah langsung menusuk ke dada lawannya.

Sedangkan lawannya adalah seorang yang berperawakan agak tinggi kekurus-kurusan. Namun tubuhnya nampak lentur sekali. Seakan-akan tulang-tulangnya mampu menggeliat sebagaimana dikehendakinya. Wajahnya nampak cerah, sedangkan kakinya yang panjang nampak ringan sekali.

Keduanya pun kemudian berhadapan di arena. Dua orang Senapati yang menjadi pelerai dari pertarungan itu sudah berada di arena pula. Bahkan bersama dengan Mas Panji Wangsadrana.

Mas Panji itu pun kemudian berdiri menghadap Pangeran Jayaraga yang duduk di panggungan. Ia pun mengangguk hormat. Kemudian katanya, “Pangeran, segala sesuatunya sudah siap untuk memulai dengan pertarungan menjelang putaran yang terakhir. Pemenang dari putaran ini serta putaran berikutnya, akan bertarung besok lusa, untuk mencari pemenang sejati dari pendadaran yang diselenggarakan selama ini, yang waktunya sudah lewat dari waktu yang ditentukan.”

Pangeran Jayaraga pun kemudian mengangguk sambil berkata, “Mulailah.”

Mas Panji pun segera memberi isyarat kepada kedua Senapati yang menjadi pelerai dari pertarungan itu. Keduanya pun kemudian memberikan pertanda pula kepada kedua orang yang sudah siap untuk bertarung.

Pertarungan itu sejak awal sudah terasa menjadi panas. Agak berbeda dengan putaran-putaran sebelumnya, maka kedua orang itu nampak bersungguh-sungguh dan sangat berhati-hati. Namun beberapa saat kemudian pertarungan itu pun menjadi semakin seru, sehingga di arena itu bagaikan sedang bertiup angin pusaran.

Kedua orang yang berada di arena pendadaran itu benar-benar dua orang yang berilmu sangat tinggi. Tubuh mereka nampak sangat ringan, sehingga kaki mereka bagaikan tidak menyentuh tanah. Tetapi sambaran kaki dan tangan mereka nampak sangat berat, bagaikan ayunan segumpal timah.

Keduanya pun saling berloncatan menghindari serangan-serangan lawan. Namun sekali-sekali telah terjadi benturan yang sangat keras.

Ki Darma Tanda menyaksikan pertarungan itu dengan dahi yang berkerut. Ia tidak melihat pertarungan-pertarungan sebelumnya, sehingga karena itu maka Ki Darma Tanda itu pun langsung menyaksikan pertarungan antara dua orang yang berilmu lebih tinggi dari beberapa peserta yang lain, yang telah tersisih di putaran-putaran sebelumnya.

Mereka yang telah tersisih, yang berkesempatan menyaksikan pertarungan itu, menarik nafas panjang. Mereka harus mengakui bahwa kedua orang itu memang pantas untuk memasuki putaran menjelang putaran yang terakhir. Pemenang dari pertarungan itu besok lusa akan bertanding di pertarungan pada babak akhir, melawan pemenang dari pertarungan pasangan yang satu lagi.

“Mereka memang berilmu sangat tinggi,” berkata Ki Darma Tanda.

“Ya,” sahut Madyasta, “tetapi apakah mereka dapat menyamai tataran kemampuan Ki Darma Tanda?”

“Tentu,” jawab Ki Darma Tanda, “aku tidak yakin bahwa aku mampu mengalahkan salah seorang di antara mereka berdua. Apalagi pada pertarungan di putaran akhir.”

“Tentu dapat. Aku sudah menyaksikan bagaimana Ki Darma Tanda bertempur, bahkan tidak di arena seperti ini, melawan tidak hanya satu orang yang berilmu tinggi.”

“Aku masih belum yakin.”

Madyasta tidak menjawab lagi. Sementara itu Glagah Putih memperhatikan pertarungan itu dengan seksama. Ia pun mengakui bahwa kedua orang itu berilmu sangat tinggi. Tetapi sebagai seorang yang berbekal ilmu cukup, maka Glagah Putih masih belum menjadi silau melihat pertarungan itu.

Pangeran Jayaragapun memperhatikan pertarungan itu dengan dahi yang berkerut. Pangeran Jayaraga adalah seorang yang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun kemampuan kedua orang yang bertarung itu memberikan harapan kepada Pangeran Jayaraga, bahwa ia akan mempunyai seorang lagi Senapati yang berilmu sangat tinggi.

“Bahkan aku akan dapat mengangkat kedua-duanya,” berkata Pangeran Jayaraga di dalam hatinya, sambil membayangkan pertarungan di putaran terakhir esok lusa.

Menurut gambaran angan-angan Pangeran Jayaraga, maka kedua orang yang akan memasuki arena pertandingan di putaran terakhir, tentu dua orang yang berilmu sangat tinggi. Jika kedua-duanya diangkatnya menjadi Senapati, maka jajaran keprajuritan Panaraga tentu akan menjadi kokoh.

Demikianlah, kedua orang yang bertarung di arena itu telah meningkatkan ilmu mereka pula, sehingga dengan demikian maka pertarungan itu pun menjadi semakin sengit.

Keduanya berloncatan berputaran dengan kecepatan yang tinggi. Benturan-benturan pun menjadi semakin keras, sehingga bergantian mereka tergetar surut.

Serangan yang seorang datang seperti prahara, sedangkan yang lain bagaikan angin taufan yang menggempur bukit-bukit karang.

Namun pertarungan itu pun harus berakhir. Ketika pada saat-saat terakhir benturan-benturan menjadi semakin sering terjadi, maka pertahanan orang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan itu mulai menjadi goyah.

Lawannya yang sudah separuh baya itu tidak mau kehilangan kesempatan. Pada saat orang bertubuh tinggi itu tergetar oleh serangannya yang berhasil menyusup pertahanannya, maka lawannya pun telah memanfaatkan keadaan itu. Ia pun dengan kecepatan yang tinggi telah memburu lawannya dengan serangan-serangan yang bagaikan amuk gelombang setinggi bukit, yang datang susul-menyusul menghantam tebing.

Satu serangan yang sangat keras lewat sebuah tendangan kaki yang terjulur lurus menyamping, berhasil menyusup pertahanan orang yang tinggi kekurus-kurusan itu, langsung mengenai dadanya. Sehingga dengan demikian, maka orang itu pun telah tergetar beberapa langkah surut. Dengan sigapnya orang yang sudah separuh baya itu meloncat untuk mengulangi serangannya. Tetapi dua orang Senapati yang menjadi pelerai dalam pertarungan itu telah menahannya.

Pada saat itulah, orang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan yang tubuhnya liat itu pun jatuh terbaring di tanah.

Orang itu masih berusaha bangkit. Tetapi mulutnya menyeringai menahan sakit. Bahkan ia memerlukan waktu beberapa lama untuk dapat berdiri. Namun keseimbangannya sudah menjadi goyah.

Karena itu, maka kedua orang Senapati yang menjadi pelerai dalam pertarungan itu, serta Mas Panji Wangsadrana sendiri, telah mengambil keputusan, bahwa orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu dinyatakan kalah.

Ternyata orang itu dengan lapang dada mengakui kekalahannya. Ia pun kemudian mengangguk hormat kepada Mas Panji Wangsadrana, kepada kedua Senapati yang menjadi pelerai dalam pertarungan itu, dan kemudian ia pun mengangguk dalam-dalam menghadap kepada Pangeran Jayaraga yang berada di panggungan.

Penonton pun kemudian telah bersorak gemuruh. Meskipun orang bertubuh tinggi itu kalah, tetapi ia kalah dengan terhormat. Ia sudah memberikan perlawanan yang hampir seimbang. Namun agaknya orang bertubuh tinggi itu tidak memperhitungkan tenaga serta ketahanan tubuhnya, sehingga tenaga dan kekuatannya menjadi lebih dahulu menyusut.

Tetapi setiap orang yang menyaksikan pertarungan itu mengakui, bahwa keduanya hampir seimbang.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun kemudian telah keluar dari arena. Orang yang bertubuh tinggi, yang berjalan tertatih-tatih itu pun telah dipapah oleh seorang prajurit, yang kemudian membawanya duduk di tempat yang memang disediakan bagi para peserta yang telah kehilangan kesempatan untuk ikut dalam putaran berikutnya. Namun demikian ia duduk, maka beberapa orang yang ada di sebelah-menyebelahnya telah berbisik, “Ilmu Ki Sanak ternyata tinggi sekali.”

“Tetapi aku sudah dikalahkannya.”

“Nampaknya keberuntungan saja yang masih belum hinggap pada Ki Sanak.”

Orang itu tersenyum. Namun dadanya masih terasa sakit sekali. Bahkan nafasnya pun masih terasa sesak.

Setelah beristirahat sejenak, maka pasangan terakhir pun memasuki arena pertarungan. Seorang di antara mereka adalah orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu. Namun ketika ia menyatakan diri mengikuti adon-adon untuk memperebutkan kedudukan Senapati di Panaraga itu, ia mempergunakan nama lain.

Demikianlah, dua orang sudah siap di arena. Lawan Pangeran Ranapati itu adalah seorang yang wajahnya nampak cerah. Sekali-sekali nampak tersenyum. Giginya yang putih itu pun nampak berkilat. Namun di sorot matanya, orang-orang yang sedikit mempunyai kedalaman pengenalan tentang sifat dan watak seseorang, melihat bahwa orang itu adalah orang yang licik. Orang itu dapat berbuat sesuatu di luar dugaan.

Bahkan Pangeran Jayaraga yang berada di panggungan dalam jarak yang tidak terlalu dekat, mengerutkan dahinya melihat orang yang licik itu. Namun Pangeran Jayaraga melihat lawannya adalah seorang yang sikapnya nampak mantap. Seorang yang sudah matang mengambil sikap, sehingga orang itu tentu juga mengetahui, bahwa lawannya adalah orang yang licik.

Beberapa saat keduanya berdiri berhadapan. Dua orang Senapati yang menjadi pelerai bersama Mas Panji Wangsadrana itu segera dapat mengenali kedua orang yang berada di arena. Seorang yang terpaksa membunuh lawannya yang curang. Dan yang seorang memerlukan perhatian lebih banyak, karena sikapnya yang kadang-kadang menyimpang dari aturan pertarungan.

Sebelum pertarungan pasangan terakhir itu dimulai, Mas Panji Wangsadrana telah memberikan beberapa peringatan, terutama ditujukan kepada lawan Pangeran Ranapati. Jika terjadi kecurangan, maka pertarungan akan dihentikan. Yang berbuat curang langsung dinyatakan kalah.

Orang itu hanya tersenyum saja. Tidak ada kesan apa pun di wajahnya, seakan-akan ia tidak pernah melakukan kecurangan itu.

“Saat ini Pangeran Jayaraga hadir menyaksikan pertarungan ini. Karena itu, maka pertarungan ini harus bersih. Tidak boleh ada kecurangan sedikit pun juga, karena Pangeran Jayaraga tentu akan melihatnya, karena Pangeran Jayaraga adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Demikianlah, maka para Senapati yang akan menjadi pelerai dalam pertarungan itu pun segera memberikan isyarat agar kedua-duanya mempersiapkan diri. Pertarungan akan segera dimulai.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian kedua orang yang berdiri berhadapan di arena itu pun mulai dengan pertarungan dalam putaran terakhir. Siapa yang menang, akan sampai pada pertarungan yang menentukan, besok lusa. Yang menang dalam pertarungan besok lusa akan segera diangkat menjadi Senapati, melengkapi jumlah Senapati yang ada di Panaraga.

Sekali lagi Pangeran Jayaraga itu berpikir, “Kenapa hanya seorang? Kedua pemenang dalam pertarungan ini akan dapat aku ambil bersama-sama. Tetapi untuk menentukan yang terbaik dari keduanya, yang tentu akan mendapat pangkat yang lebih tinggi, maka pertarungan besok lusa akan terus dilangsungkan.”

Pangeran Jayaraga masih belum berniat menyampaikan gagasannya itu kepada orang lain.

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun sudah saling berloncatan. Keduanya pun mulai saling menyerang dengan sengitnya. Tangan dan kaki mereka terayun-ayun berputaran, menebas, terjulur lurus dengan jari-jari yang berkembang, atau dengan jari-jari yang justru merapat.

Ki Darma Tanda yang tidak menyaksikan pertarungan sebelumnya, mengamati pertarungan itu dengan tegang. Orang yang sorot matanya membayangkan kecerdikannya sekaligus kelicikannya itu pun berloncatan dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Namun pertahanan kedua orang itu ternyata sangat rapat. Sehingga yang sering terjadi adalah benturan-benturan yang keras. Serangan yang bagaikan taufan yang dahsyat telah membentur pertahanan yang kokoh seperti batu karang.

Para Senapati yang menjadi pelerai dalam pertandingan itu menjadi sangat berhati-hati. Mereka seakan-akan tidak berani berkedip, karena sekejap demi sekejap pertarungan itu pun berkembang dengan cepatnya.

Pertarungan antara kedua orang itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya memang berilmu sangat tinggi.

Tanpa berbuat curang pun, orang yang berwajah cerah itu mampu bertempur mengimbangi Pangeran Ranapati. Keduanya saling mendesak. Saling menyerang, menghindar dan bahkan saling berbenturan.

Dengan demikian maka di arena itu pun telah terjadi pertarungan yang dahsyat, bagaikan angin pusaran yang saling melilit dan sulit untuk diurai.

Namun sekali-sekali orang yang berwajah cerah, dengan sorot mata yang memancarkan kelicikannya itu, terlempar dan terpelanting jatuh. Tetapi kemudian Pangeran Ranapati itulah yang terbanting dan terguling di tanah.

Orang yang dianggap licik itu memang tidak mempunyai kesempatan untuk berbuat curang. Ia tidak mau diusir dari arena karena kecurangannya, sementara selangkah lagi, jika ia memenangkan pertarungan itu, akan maju ke putaran terakhir. Dengan demikian maka ia berusaha untuk bertempur sebaik-baiknya.

Pangeran Jayaraga yang berada di panggungan pun menjadi tegang. Kedua orang yang bertempur di arena itu ternyata memiliki ilmu yang seakan-akan seimbang, sehingga sulit untuk menebak, yang manakah yang akan menang.

Namun Pangeran Ranapati telah menempa diri di pertapaannya untuk waktu yang lama. Ia pun mempunyai pengalaman yang sangat luas, sehingga dengan demikian maka ia merupakan seorang yang sangat tangguh dan tanggon.

Di luar arena, Ki Darma Tanda menyaksikan pertarungan itu dengan tegang pula. Rasa-rasanya empat orang yang bertanding hari itu memiliki tataran ilmu yang hampir seimbang. Agaknya hanya kesempatan dan keberuntungan sajalah yang membuat seorang dari setiap pasangan itu memenangkan pertarungan.

Namun bagi Glagah Putih, pertarungan itu merupakan satu kesempatan baginya untuk mengetahui tataran kemampuan Pangeran Ranapati. Agaknya untuk mengatasi lawannya, Pangeran Ranapati telah mengerahkan segenap kemampuannya.

“Masih ada satu kesempatan lagi,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “jika Pangeran Ranapati memenangkan pertarungan ini, maka aku akan melihat kemampuan tertinggi dari Pangeran Ranapati.”

Glagah Putih harus mengakui bahwa Pangeran Ranapati memang berilmu sangat tinggi. Sedangkan Glagah Putih mengemban tugas untuk membawa Pangeran Ranapati itu ke Mataram. Untuk itu maka ia harus dapat mengatasi kemampuan Pangeran Ranapati itu.

Tetapi agaknya tugas yang dibebankan kepadanya itu adalah tugas yang akan menjadi sangat rumit. Kalau Pangeran Ranapati itu sudah terlanjur menjadi Senapati di Panaraga, maka segalanya tentu harus melalui Pangeran Jayaraga. Apalagi jika Pangeran Ranapati kemudian dianggap sebagai seorang Senapati yang mempunyai kedudukan yang dekat dengan Pangeran Jayaraga.

Tetapi jika ia melakukannya sebelumnya, maka yang turun ke arena itu bukan Pangeran Ranapati. Ia seorang yang lain, yang tidak akan dapat dituduh seorang yang mengaku-aku sebagai seorang Pangeran, karena nama yang dipergunakan adalah nama yang lain sama sekali. Nama yang tidak dapat disangkutpautkan dengan pemalsuannya tentang kedudukannya sebagai Pangeran. Ia akan dapat mengingkarinya jika dituduhkan kepadanya, bahwa ia bersalah karena mengaku sebagai putra Panembahan Senapati.

“Tetapi kelak aku tentu akan menemukan jalan,” berkata Glagah Putih. Ia pun merasa bahwa ia tidak sendiri. Untuk menghadapi Pangeran Ranapati yang berilmu sangat tinggi, apabila ia mengalami kesulitan, maka Rara Wulan yang juga berilmu sangat tinggi akan dapat membantunya.

Sementara itu pertarungan di arena itu pun menjadi semakin sengit. Keduanya ternyata telah membangun pertahanannya yang sangat rapat, sehingga sulit bagi lawan-lawannya untuk menembusnya sehingga mampu menyentuh sasarannya.

Namun seperti pertarungan yang pertama, apa pun yang terjadi, pertarungan itu pun harus berakhir.

Ternyata lawan Pangeran Ranapati itu pun tidak mampu mengimbangi daya tahan tubuh Pangeran Ranapati. Meskipun ia memiliki ilmu yang seimbang, tetapi tenaganyalah yang lebih dahulu mulai menyusut.

Dengan demikian, maka akhirnya para Senapati yang menjadi pelerai dari pertarungan itu sepakat, bahkan Mas Panji Wangsadrana pun memutuskan untuk menghentikan pertarungan.

Ternyata lawan Pangeran Ranapati yang sebelumnya dianggap licik, sehingga pada pertarungan dalam putaran menjelang putaran terakhir itu perlu diperingatkan, telah menjunjung tinggi keputusan para Senapati yang menjadi pelerai dalam pertarungan itu. Ia sama sekali tidak menunjukkan kelicikannya. Bahkan wajahnya nampak ikhlas ketika ia mengangguk hormat kepada para Senapati, kepada Mas Panji Wangsadrana, dan kepada Pangeran Jayaraga yang berada di panggungan.

Dengan demikian maka dua pertarungan di hari itu sudah selesai. Pangeran Jayaraga pun segera kembali ke Istana. Sementara para penonton di alun-alun sudah menjadi semakin sepi.

Ki Darma Tanda yang pulang bersama Glagah Putih dan Madyasta pun bertanya, “Kalian tahu, bahwa ada unsur-unsur gerak yang bersamaan dari salah seorang yang bertarung pertama dan salah seorang yang bertarung kemudian.”

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih juga melihat persamaan itu. Tetapi ia tidak menjawab. Sementara Madyastalah yang menyahut, “Yang mana, Ki Darma Tanda?”

“Yang memenangkan pertarungan pertama, dan yang dikalahkan pada pertarungan kedua.”

Madyasta dan Glagah Putih mengangguk-angguk.

Bahkan Glagah Putih sudah mengambil kesimpulan bahwa keduanya adalah saudara seperguruan. Namun menurut penglihatan Glagah Putih, orang yang sudah separuh baya yang bertarung pertama, memang memiliki kelebihan dari saudara seperguruan yang bertarung terakhir.

Demikianlah, maka Ki Darma Tanda yang langsung akan pulang itu pun berpisah pula dengan Glagah Putih dan Madyasta yang juga akan pulang.

Di sepanjang jalan, Glagah Putih dan Madyasta telah membicarakan kesulitan yang bakal mereka jumpai untuk membawa Pangeran Ranapati ke Mataram. Selain Pangeran Ranapati berilmu sangat tinggi, maka kemungkinan terbesar ia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di Panaraga.

“Bagaimana kalau kita melakukannya sebelum pertarungan di putaran terakhir?” bertanya Madyasta.

“Orang itu tidak mengaku bernama Pangeran Ranapati. Tidak ada saksi yang dapat menyudutkannya, bahwa ia adalah orang yang telah mengaku bernama Pangeran Ranapati. Bukankah orang itu tidak dapat dipersalahkan mengaku seorang Pangeran, putra Panembahan Senapati?”

“Tetapi saat ia mengaku putra Panembahan Senapati, ia sudah menjadi seorang Senapati di Panaraga, serta mendapat perlindungan dari Pangeran Jayaraga.”

“Itulah yang membingungkan.”

“Lalu, apakah yang akan kau lakukan?”

“Untuk sementara aku masih harus memikirkan, jalan manakah yang dapat aku tempuh kemudian.”

Madyasta mengangguk-angguk.

Demikian mereka sampai di rumah, maka Madyasta pun langsung pergi ke dapur. Ia masih mempunyai nasi dan sayur meskipun sudah dingin. Tetapi bagi mereka, nasi dingin dan sayur yang dingin tidak ada salahnya jika perut lapar.

Sementara itu, Rara Wulan masih saja selalu menghubungi Glagah Putih. Kantil semakin lama menjadi semakin garang, karena Pangeran Ranapati tidak pernah pulang.

“Pangeran itu baru menempuh pendadaran,” sahut Glagah Putih.

“Tetapi Nyi Kantil tidak tahu. Ia mengira bahwa Pangeran Ranapati mempunyai simpanan baru, sehingga telah melupakannya. Namun akulah yang menjadi sasaran kejengkelannya itu, sehingga aku hampir menjadi gila.”

Glagah Putih justru tertawa. Tetapi Rara Wulan segera memotongnya, “Kau mentertawakan aku?”

“Tidak. Bukan maksudku. Aku mentertawakan perempuan yang kau ceritakan. Kasihan orang itu. Tetapi kau harus menahan diri agar rencana kita dapat berhasil.”

“Aku akan berusaha. Tetapi jika kelak setelah aku keluar dari rumah ini aku menjadi gila, aku jangan kau tinggal pergi.”

Ketika Glagah Putih tertawa, Rara Wulan pun memotongnya pula, “Kau mentertawakan aku lagi?”

“Tidak. Aku tidak akan mentertawakan kau.”

Pembicaraan dengan Aji Pameling itu memang tidak selancar pembicaraan jika mereka saling berhadapan. Tetapi kedua-duanya telah menguasainya, sehingga keduanya dapat berhubungan dengan lancar.

Di hari berikutnya tidak ada pertarungan di alun-alun. Karena itu, ketika Glagah Putih dan Madyasta pergi ke alun-alun, maka alun-alun itu nampak lengang.

Hari itu mereka yang akan bertarung di putaran terakhir mendapat kesempatan untuk beristirahat. Mereka harus mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan yang tentu akan sangat berat. Dua orang yang berilmu sangat tinggi akan turun di arena untuk memperebutkan gelar Senapati, melengkapi kedudukan Senapati yang sudah ada di Panaraga.

Dalam pada itu, mereka yang akan turun ke arena di keesokan harinya masih juga berada di barak mereka. Bahkan dengan bebas para peserta yang terdahulu dapat menemui mereka untuk menyatakan dukungan mereka.

Kedua orang yang akan bertanding di keesokan harinya itu agaknya akan mendapat dukungan yang seimbang. Sementara itu, orang yang disebut memiliki ciri-ciri yang sama, tetapi yang dikalahkan pada pertandingan kemarin, telah menemui orang yang turun ke arena pertarungan besok.

“Orang itu memang luar biasa, Kakang,” berkata orang yang dikalahkan oleh Pangeran Ranapati itu.

“Kau sudah berusaha sebaik-baiknya. Tetapi orang itu memang berilmu tinggi. Tetapi aku akan mencoba mengalahkannya esok.”

“Kalau Kakang tidak berhasil?”

“Aku akan mempergunakan ilmu pamungkasku. Apa boleh buat. Aku sudah merintis jalan dari bawah sekali. Jika aku harus gagal, biarlah tidak ada orang yang akan dapat berhasil. Orang itu pun harus gagal pula. Mungkin kami akan mati bersama-sama. Tetapi itu lebih baik daripada kedudukan itu jatuh ke tangan orang lain.”

“Orang itu tentu juga menyimpan ilmu pamungkas.”

“Ilmu pamungkasku adalah ilmu linuwih. Jarang ada yang dapat mengimbanginya.”

“Mudah-mudahan Kakang berhasil tanpa harus mempergunakan ilmu pamungkas. Kami semuanya yang bertarung juga tidak mempergunakan ilmu-ilmu puncak kami, karena telah disebutkan bahwa tidak dibenarkan mempergunakan ilmu puncak, yang dapat menyebabkan kematian dengan serangan berjarak.”

“Hanya kalau sudah tidak ada kemungkinan lain. Sudah aku katakan, lebih baik kami nanti mati bersama-sama daripada harus menyerahkan kedudukan itu kepada lawan. Jika ilmu kami seimbang, kekalahan dalam pertarungan seperti ini adalah sangat menyakitkan, sehingga tidak ada pilihan lain daripada kami binasa bersama-sama di arena.”

Adik seperguruannya menarik nafas panjang. Namun segala sesuatunya terserah kepada kakak seperguruannya.

Tetapi orang itu justru mempunyai harapan. Jika kakak seperguruannya dan lawannya itu mati bersama-sama di arena, atau karena penggunaan ilmu puncak mereka dianggap menyalahi peraturan, maka akan ada kesempatan baginya untuk tampil dalam pertarungan akhir melawan orang yang telah dikalahkan oleh kakak seperguruannya itu.

Demikianlah, maka hari yang mendebarkan itu akhirnya tiba pula. Pagi-pagi sekali Glagah Putih mencoba membuat hubungan dengan Rara Wulan. Namun agaknya Rara Wulan baru sibuk, sehingga ia tidak mempunyai kesempatan untuk berhubungan dengan Glagah Putih.

Namun beberapa saat kemudian, pada saat Rara Wulan mempunyai kesempatan, barulah ia menghubungi Glagah Putih.

“Hari ini adalah hari terakhir,” berkata Glagah Putih, “kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita pun tidak tahu, jika Pangeran Ranapati menang, apakah ia akan segera pulang untuk mendapat perawatan perempuan yang bernama Kantil itu atau tidak. Tetapi sebaiknya kau berhati-hati.”

“Ya, Kakang. Jika Pangeran Ranapati pulang, aku akan segera memberikan isyarat kepada Kakang.”

“Kalau aku mengetahuinya lebih dahulu, aku akan memberitahukan kepadamu.”

“Sudahlah, Kakang. Kantil itu datang kemari.”

Hubungan itu pun telah terputus. Sementara Kantil dengan kasar membentak, “Apa yang kau lakukan? Apa kau kira pantas bagimu untuk melamun pagi-pagi begini? Apakah kau juga mengharap Pangeran Ranapati segera pulang?”

“Tidak, Mbokayu, tidak.”

“Kau tidak berhak mengharap Pangeran itu segera pulang. Kau tidak punya hak itu.”

“Tidak, Mbokayu. Aku lebih senang mengabdi kepada Mbokayu daripada kepada Pangeran Ranapati.”

Kantil memandang Ranti dengan sorot mata yang tajam, seakan-akan langsung menusuk sampai ke jantung.

“Jadi kau lebih senang bahwa Pangeran Ranapati tidak pulang ke rumah ini?”

“Ya, Mbokayu.”

“Jadi kau senang kalau aku mati kekeringan seperti sebatang pohon yang tidak pernah disiram? Begitu, he?”

“Bukan. Bukan begitu maksudku. Pangeran Ranapati memang sebaiknya pulang bagi Mbokayu Kantil. Tidak bagiku.”

Nafas Kantil itu pun menjadi terengah-engah. Tetapi ia pun kemudian duduk di amben panjang di dapur.

Ranti segera mengambil minuman dan memberikannya kepada Kantil, sambil berkata, “Minumlah, Mbokayu. Mbokayu tidak usah menjadi begitu cemas. Bukankah Pangeran Ranapati sedang menjalankan tugas yang sangat berat?”

“Darimana kau tahu?”

“Bukankah ketika akan berangkat, Pangeran mengatakannya kepada Mbokayu?”

Kantil itu pun minum seteguk. Namun yang seteguk itu memang membuat dadanya menjadi tenang.

“Kalau dalam dua tiga hari ini Pangeran tidak pulang, aku akan mencarinya.”

“Kemana Mbokayu akan mencarinya? Sebaiknya Mbokayu menunggu saja di rumah. Jika saatnya pulang, maka Pangeran tentu akan pulang.”

“Tentu Mas Panji itu yang telah membawa Pangeran Ranapati kepada perempuan yang lain. Perempuan yang lebih muda dan lebih cantik daripadaku, sehingga Pangeran menjadi tergila-gila kepadanya. Karena itu maka Pangeran tidak lagi pernah pulang.”

“Belum tentu, Mbokayu. Belum tentu.”

Kantil pun terdiam. Namun Kantil itu pun kemudian bangkit berdiri dan masuk ke dalam biliknya.

Sementara itu di alun-alun Panaraga,, pertarungan pada putaran terakhir pun sudah siap dilakukan, Pangeran Jayaraga telah berada di alun-alun dan duduk di panggungan.

Dengan jantung yang berdebar-debar Pangeran Jayaraga menunggu pertarungan itu berakhir. Jika kedua-duanya adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi, maka Pangeran Jayaraga akan dapat mengambil kedua-duanya untuk mengisi kedudukan Senapati di Panaraga. Menurut Pangeran Jayaraga, jajaran keprajuritan Panaraga memang masih harus diperkuat dengan orang-orang berilmu tinggi.

Pada saatnya, maka dua orang yang mengikuti pertarungan pada putaran terakhir itu pun sudah siap di arena. Seorang adalah orang yang sudah separuh baya, yang bergerak dengan mantap di arena. Matanya yang agak cekung tajam memandang lawannya, hampir tanpa berkedip.

Sedangkan yang seorang adalah Pangeran Ranapati. Namun Pangeran Jayaraga tidak mengetahui bahwa orang itulah yang pernah disebut-sebut oleh Mas Panji Wangsadrana mengaku bernama Pangeran Ranapati.

Sejenak kemudian para Senapati yang akan menjadi pelerai sudah berada di arena pula. Dua orang Senapati dengan Mas Panji Wangsadrana itu sendiri, sehingga menjadi tiga orang.

Setelah mereka memberikan hormat kepada Pangeran Jayaraga yang berada di panggungan, maka para Senapati yang menjadi pelerai itu pun telah memberikan isyarat kepada kedua orang yang akan bertarung di arena, bahwa pertarungan sudah dapat dimulai.

Sudah dapat diduga, keduanya adalah orang-orang yang sudah matang, sehingga mereka tidak nampak tergesa-gesa. Mereka dengan tenang menghadapi lawan yang mereka ketahui berilmu sangat tinggi.

Berapa saat mereka bergeser berputaran di arena. Namun tiba-tiba saja mereka pun mulai berloncatan menyerang.

Meskipun serangan-serangan mereka masih merupakan sekedar penjajagan, tetapi setiap ayunan telah menimbulkan desir angin yang tajam menerpa kulit lawannya.

Di pinggir arena, di antara para penonton yang menjadi semakin banyak, Madyasta, Glagah Putih dan Ki Darma Tanda berdiri dengan tegang pula. Mereka mengikuti setiap gerak dengan jantung yang berdebaran.

Dengan sangat teliti Glagah Putih mencoba mengurai setiap langkah, loncatan, ayunan tangan dan kaki Pangeran Ranapati. Ia mencoba untuk mengetahui sifat dan watak setiap unsur geraknya. Ia harus mempelajarinya baik-baik, sebelum ia sendiri akan membenturkan ilmunya melawan orang yang mengaku seorang pangeran dari Mataram itu.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin meningkat. Kedua-duanya memang tidak nampak tergesa-gesa, sehingga mereka tidak terlalu cepat meningkatkan ilmu mereka. Pada setiap tataran keduanya mencoba untuk benar-benar membenturkan kemampuan mereka.

Pangeran Jayaraga yang duduk di panggungan itu memang menjadi tegang. Tetapi baginya kedua-duanya pantas untuk menjadi Senapati pilihan di Panaraga. Tetapi salah seorang harus mendapat hak yang lebih dari yang lain.

Karena itu maka pertarungan itu harus diselesaikan dengan tuntas.

Kedua orang di arena itu pun semakin mengerahkan tenaga dalam mereka. Loncatan-loncatan mereka menjadi semakin cepat dan mantap. Jika terjadi benturan, maka bukan saja arena itu yang bergetar, tetapi rasa-rasanya seluruh alun-alun itu pun telah bergetar pula.

Orang-orang yang menonton pertarungan itu pun menjadi semakin tegang pula. Rasa-rasanya mereka ikut terancam oleh orang-orang yang berada di arena itu. Serangan-serangan mereka menjadi semakin deras dan berbahaya, mengarah ke sasaran yang paling lemah di tubuh lawan.

Sekali-sekali Pangeran Ranapati terlempar dan terpelanting jatuh. Namun sesaat kemudian lawannyalah yang terbanting di tanah, sehingga mulutnya menyeringai menahan sakit betapapun daya tahannya sangat tinggi.

Ternyata bahwa kedua orang itu memiliki ilmu yang hampir seimbang. Pangeran Ranapati merasa sangat sulit untuk mengalahkan lawannya. Tetapi lawannya pun merasa bahwa ia tidak akan dapat menundukkan lawannya itu.

Sementara itu, serangan demi serangan yang berhasil menyusup pertahanan lawan telah membuat tubuh lawannya sakit dan nyeri dimana-mana.

Lengan orang yang sudah separuh baya dan bermata cekung itu terasa bagaikan retak. Dadanya kesakitan dan nafasnya menjadi sesak. Sedangkan Pangeran Ranapati pun merasa tulang-tulang iganya yang seakan-akan telah retak. Sendi-sendinya bagaikan terlepas yang satu dengan yang lain.

Namun nafas Pangeran Ranapati rasa-rasanya masih lebih panjang dari nafas lawannya yang terasa semakin terengah-engah.

Ketika pertarungan itu berlangsung semakin lama, maka mulai nampak betapa keseimbangan antara keduanya mulai terguncang. Orang yang sudah separuh baya yang bermata cekung itu tidak dapat mempertahankan tenaga dan kekuatannya. Betapapun kemampuannya masih tetap mapan, tetapi unsur kewadagannya mulai menjadi penghambat.

Orang-orang yang berilmu tinggi, termasuk Pangeran Jayaraga, Ki Darma Tanda, Glagah Putih dan Madyasta serta beberapa orang Senapati, mulai dapat menebak, siapakah di antara keduanya yang akan mampu bertahan.

Meskipun demikian, yang tidak terduga masih akan dapat terjadi. Jika orang yang mulai mengatasi lawannya itu melakukan kesalahan, maka keadaan justru akan dapat berbalik.

Namun orang yang sudah separuh baya itu sendiri akhirnya meyakini bahwa ia benar-benar tidak akan dapat memenangkan pertarungan itu. Ia sadar bahwa tenaganya mulai menyusut. Agak lebih cepat dari lawannya.

Karena itu maka orang itu tidak mempunyai pilihan lain. Ia sudah bertekad, jika ia tidak dapat menguasai kedudukan itu, maka lawannya tidak pula. Baginya lebih baik mati bersama di arena itu daripada ia harus melepaskan kesempatan itu kepada lawannya, yang ilmunya tidak jauh berbeda dengan tataran ilmunya sendiri.

Sementara itu, Pangeran Jayaraga sendiri menjadi lebih tertarik pada pertarungan itu. Ia sudah berniat untuk mengangkat kedua orang itu menjadi Senapati di Panaraga, meskipun salah seorang dari mereka harus menang, agar Pangeran Jayaraga itu menjadi lebih mudah untuk menempatkan mereka pada tataran dalam keprajuritan Panaraga.

Pangeran Jayaraga sudah hampir pasti bahwa Pangeran Ranapati yang masih belum dikenalnya itu akan memenangkan pertarungan di putaran terakhir itu.

Tetapi Pangeran Jayaraga itu pun sangat terkejut. Bukan hanya Pangeran Jayaraga, tetapi para Senapati yang menjadi pelerai di arena, termasuk Mas Panji Wangsadrana, Ki Darma Tanda yang berada di luar arena, Madyasta dan Glagah Putih, serta beberapa orang Senapati yang lain, ketika mereka melihat bahwa orang yang sudah separuh baya itu tiba-tiba saja meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak.

“Kita akan mati bersama-sama, Ki Sanak. Itu lebih baik daripada aku harus melepaskan kedudukan ini kepadamu.”

Pangeran Ranapati yang juga terkejut telah bergeser pula. Secepat lawannya, maka Pangeran Ranapati pun telah memusatkan nalar budinya.

“Betapapun tinggi ilmumu, tetapi ilmu puncakmu itu tidak akan dapat menandingi ilmu puncakku,” geram orang yang sudah separuh baya itu.

Para prajurit yang berada di sekeliling arena menjadi gelisah, terutama mereka yang kebetulan berada di belakang Pangeran Ranapati.

Mereka pun segera berloncatan sambil memberi isyarat kepada para penonton untuk bergeser.

Tetapi ketika para prajurit yang berada di belakang orang yang sudah separuh baya itu melihat bahwa Pangeran Ranapati juga mempersiapkan serangan dengan ilmu pamungkasnya, maka para prajurit itu pun segera bergeser pula sambil memberi isyarat pula kepada para penonton.

Demikian para penonton itu menyibak, maka orang yang sudah separuh baya itu pun segera melepaskan ilmu puncaknya.

“Tunggu! Jangan!” teriak Mas Panji Wangsadrana.

Tetapi terlambat. Ilmu pamungkas itu telah meluncur dari telapak tangan orang yang sudah separuh baya itu. Namun dalam pada itu, dari tangan Pangeran Ranapati pun telah meluncur pula selerat sinar yang menyongsong serangan orang yang sudah separuh baya itu.

Benturan pun telah terjadi dengan dahsyatnya. Dua ilmu pamungkas pun telah berbenturan. Alun-alun Panaraga itu pun bagaikan telah terguncang. Pepohonan pun bergetar, sehingga dedaunan serta ranting-ranting berpatahan, runtuh jatuh ke tanah.

Panggungan tempat Pangeran Jayaraga duduk menyaksikan pertarungan itu pun telah goyah bagaikan diterpa gempa, sehingga Pangeran Jayaraga pun telah bangkit berdiri.

Yang terjadi di arena telah menggetarkan jantung orang-orang yang menyaksikannya. Pangeran Ranapati telah terlempar beberapa langkah surut. Tubuhnya terguling beberapa kali. Namun Pangeran Ranapati itu masih mampu untuk berdiri meskipun tubuhnya menjadi gemetar. Darah segera meleleh dari sela-sela bibirnya karena luka di dalam dadanya.

Di sisi lain, orang yang sudah separuh baya yang terlalu yakin akan kemampuan ilmunya itu justru terbanting jatuh. Sekali ia menggeliat sambil mengerang kesakitan.

Saudara seperguruannya, yang telah dikalahkan oleh Pangeran Ranapati di putaran sebelumnya, yang berkesempatan menyaksikan pertarungan itu, segera meloncat berlari mendekatinya. Beberapa orang yang di dalam hatinya berpihak kepadanya pun telah mengerubunginya pula.

Dua orang prajurit yang bertugas bersama seorang tabib telah berlari pula mendekat dan berjongkok di sebelahnya.

Orang itu masih mengerang kesakitan. Kepada saudara seperguruannya ia pun berdesis perlahan, “Ternyata ilmu orang itu sangat tinggi.”

“Kakang,” desis saudara seperguruannya itu.

Tetapi orang itu sudah tidak dapat menjawab. Dadanya bagaikan terbakar, sehingga orang itu tidak mempunyai kesempatan lagi untuk bertahan.

Tabib yang datang kepadanya itu pun kemudian menggeleng sambil berdesis, “Sayang, nafasnya telah terputus.”

Satu kematian lagi telah terjadi di arena itu. Pangeran Ranapati yang terluka di dadanya, namun karena daya tahannya yang sangat tinggi masih mampu berdiri tegak, mengangguk dalam-dalam ke arah Pangeran Jayaraga yang berdiri di panggungan.

Mas Panji Wangsadrana pun kemudian berdiri di sebelahnya. Ketika seorang Senapati datang kepadanya kemudian membisikkan kematian orang yang sudah separuh baya itu, maka Mas Panji itu pun mengangguk dalam-dalam menghadap kepada Pangeran Jayaraga.

“Ampun, Pangeran. Seorang di antara peserta pendadaran pada putaran terakhir ini telah terbunuh.”

Sedangkan Pangeran Ranapati pun menyambungnya, “Ampun, Pangeran. Sungguh hamba tidak berniat membunuh. Tetapi hamba terkejut, bahwa tiba-tiba saja orang itu menyerang dengan ilmu puncaknya.”

Pangeran Jayaraga pun memandang Pangeran Ranapati dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Ya. Aku melihatnya. Kau memang tidak bersalah.”

“Terima kasih, Pangeran. Hamba junjung tinggi kemurahan hati Pangeran.”

“Benahi segala sesuatunya. Aku akan kembali ke Istana. Kau yang memenangkan pertarungan pada putaran terakhir ini nanti aku minta menghadap.”

“Hamba, Pangeran. Perkenankan hamba membenahi diri lebih dahulu. Mungkin hamba juga memerlukan minum seteguk reramuan, untuk mengatasi perasaan nyeri di dada hamba.”

“Baik. Kau dapat melakukannya. Biarlah nanti Mas Panji Wangsadrana yang mengaturnya.”

Demikianlah, maka orang-orang yang berada di alun-alun untuk menyaksikan pertarungan di putaran terakhir itu pun mengalir meninggalkan alun-alun melalui tiga pintu gerbang. Sedangkan beberapa orang prajurit sibuk dengan korban yang terbunuh di arena pertarungan itu. Untunglah bahwa Pangeran Jayaraga sendiri menyaksikannya, sehingga Pangeran Jayaraga itu langsung dapat menentukan bahwa orang yang memenangkan pertarungan dan bahkan telah menyebabkan kematian lawannya itu tidak bersalah.

Sementara itu, Ki Darma Tanda meninggalkan alun-alun bersama Madyasta dan Glagah Putih. Sambil berjalan di antara banyak orang, Ki Darma Tanda pun berkata, “Untunglah bahwa yang memenangkan pertarungan ini adalah orang yang nampaknya baik dan cerdas. Yang pantas untuk menjadi salah seorang Senapati di Panaraga.”

Madyasta dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun Glagah Putih itu pun bertanya, “Kenapa Ki Darma Tanda tidak tertarik untuk menjadi Senapati di Panaraga?”

Ki Darma Tanda tersenyum. Katanya, “Belum tentu aku dapat melampaui orang-orang berilmu tinggi itu, Ngger. Tetapi sejak semula aku memang tidak tertarik. Sudah aku katakan, bahwa bagiku hidup sebagaimana aku jalani sekarang ini merupakan jalan kehidupan yang paling tepat bagiku dan keluargaku.”

Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk.

Akhirnya mereka bertiga pun telah berpisah. Ki Darma Tanda yang langsung pulang ke rumahnya itu pun berpesan, “Sering-seringlah datang ke rumahku, Ngger. Kita dapat berbincang-bincang tentang banyak hal. Juga tentang Senapati yang baru itu.”

“Terima kasih, Ki Darma Tanda,” Madyastalah yang menjawab, “dalam satu kesempatan, kami akan mengunjungi Ki Darma Tanda. Bukankah rumah kami tidak terlalu jauh?”

Ki Darma Tanda tersenyum. Katanya, “Terima kasih, Ngger. Kadang-kadang aku memang menginginkan orang yang dapat aku ajak berbicara tentang berbagai macam hal, seperti Angger berdua ini.”

Setelah mereka berpisah, Glagah Putih dan Madyasta pun langsung pulang ke rumah yang mereka huni selama ini.

Demikian mereka tiba di rumah, maka Glagah Putih pun segera menghubungi Rara Wulan yang kebetulan duduk sendiri di dapur, untuk memberitahukan bahwa Pangeran Ranapati telah memenangkan pendadaran untuk memperoleh kedudukan Senapati, yang akan melengkapi jajaran Senapati di Panaraga.

“Namun bagi Pangeran Ranapati, langkah ini hanyalah sekedar langkah pertama dari rencana perjalanannya yang panjang di Panaraga,” berkata Glagah Putih.

“Lalu langkah apa yang akan Kakang ambil?”

“Aku belum memutuskan.”

Demikianlah, maka kemenangan Pangeran Ranapati itu merupakan isyarat bagi Rara Wulan untuk menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak tahu langkah apa yang kemudian akan dilakukan oleh Pangeran Ranapati itu. Apakah ia akan kembali kepada Kantil dan benar-benar menempatkannya sebagai seorang istri Pangeran, atau Pangeran Ranapati akan berbuat lain. Keberadaannya di rumah itu juga harus diperhitungkan dengan cermat. Namun agaknya Pangeran Ranapati sampai saat-saat terakhir di rumah itu hampir tidak pernah menghiraukannya.

Dalam pada itu di Istana Kadipaten Panaraga, setelah berbenah diri, Pangeran Ranapati pun telah menghadap Pangeran Jayaraga, yang telah diangkat menjadi Adipati di Panaraga. Pangeran Ranapati menghadap Pangeran Jayaraga diantar oleh Mas Panji Wangsadrana, yang merupakan salah seorang yang terhitung dekat dengan Pangeran Jayaraga.

“Aku terkesan oleh kemampuanmu,” berkata Pangeran Jayaraga.

“Hamba, Pangeran. Sebenarnyalah hamba tidak ingin menunjukkan kelebihan-kelebihan hamba. Tetapi hamba terpancing oleh kemampuan lawan hamba yang sangat tinggi, sehingga hamba terpaksa meningkatkan kemampuan hamba. Bahkan akhirnya hamba sangat terkejut ketika hamba melihat lawan hamba itu berniat mempergunakan puncak ilmu, dengan serangan berjarak yang menurut ketentuan tidak boleh dipergunakan.”

“Ya, aku melihatnya.”

“Hamba mohon ampun, bahwa hamba telah menyebabkan kematiannya, karena hal itu terjadi di luar niat hamba.”

“Sudah aku katakan, aku melihatnya. Itu bukan salahmu. Sebenarnya aku ingin mengangkat kalian berdua menjadi Senapati di Panaraga, karena ilmu kalian berdua nampaknya memenuhi syarat. Tetapi karena salahnya sendiri, maka seorang di antara kalian yang bertarung pada putaran terakhir itu telah terbunuh.”

“Hamba, Pangeran.”

“Sekarang, hanya kau sendiri sajalah yang akan aku tetapkan menjadi Senapati, melengkapi jajaran keprajuritan di Panaraga. Tetapi sebelumnya aku tentu ingin tahu, siapa kau dan berasal dari mana. Asal kelahiranmu dan perguruanmu.”

“Ampun, Pangeran, sebenarnya hamba segan untuk menyebut asal-usul hamba, karena mungkin Pangeran tidak mempercayainya. Tetapi bukankah hal itu tidak penting, sehingga hamba tidak perlu menguraikannya?”

“Tentu penting bagiku. Karena itu, kau harus menyebutnya dengan jujur.”

“Baiklah, Pangeran. Tetapi biarlah Mas Panji Wangsadrana sajalah yang mengatakannya, karena hamba sudah berterus-terang kepadanya.”

“Benar begitu, Mas Panji?”

“Hamba, Pangeran.”

“Baiklah. Jika demikian, katakan serba sedikit tentang orang yang telah memenangkan pendadaran untuk merebut kedudukan Senapati ini.”

“Ampun, Pangeran. Hamba mohon seribu ampun. Sebenarnyalah orang yang telah mengikuti pendadaran ini adalah putra dari Mataram yang tersia-sia. Putra Panembahan Senapati yang sejak kecilnya telah tersisih dari Istana, sehingga kemudian tinggal di sebuah padukuhan terpencil di kaki Gunung Merapi. Namun justru karena itu, maka penderitaannya itu merupakan laku prihatin, sehingga akhirnya putra Panembahan Senapati ini memiliki ilmu yang sangat tinggi, sebagaimana sudah Pangeran saksikan sendiri di arena pendadaran.”

“Putra Panembahan Senapati? Seorang Pangeran maksudmu?”

“Ya. Pangeran Ranapati. Tetapi keberadaannya tidak diakui oleh ayahanda Pangeran Ranapati, Kanjeng Panembahan Senapati.”

“Jadi orang ini putra Panembahan Senapati?”

“Ya. Ia termasuk putra yang terhitung tua. Memang lebih muda dari Pangeran Rangga, tetapi Pangeran Ranapati sendiri tidak tahu ia berada di urutan yang ke-berapa, karena sejak bayi ibundanya sudah tidak berada lagi di Istana.”

“Tetapi bagaimana mungkin hal seperti itu terjadi?”

“Bukankah Pangeran juga tahu, bahwa sifat dan sikap Kanjeng Panembahan Senapati itu tidak dapat terduga? Apakah Pangeran belum pernah mendengar bahwa salah seorang istri Panembahan Senapati telah dihukum mati tanpa melakukan kesalahan apa-apa?”

“Bohong.”

“Pangeran pernah mendengar cerita tentang Pangeran Umbaran, yang harus menyarungkan kerisnya pada sepotong kayu cendana pelet putih?”

“Ya, cerita itu memang hanya cerita. Tentu tidak terjadi sebenarnya.”

“Mungkin, Pangeran. Tetapi Pangeran Ranapati itu benar-benar sudah terusir dari Istana Mataram sejak masih terlalu kecil.”

Pangeran Jayaraga termangu-mangu sejenak. Seakan-akan kepada diri sendiri ia pun berkata, “Apakah aku harus mempercayainya?”

“Pangeran. Selain cerita tentang kayu cendana pelet putih itu, tentu Pangeran juga pernah mendengar cerita tentang kakanda Pangeran sendiri. Kanjeng Pangeran Rangga yang meninggal dililit ular raksasa di lehernya.”

“Ya, kenapa?”

“Pangeran percaya bahwa Kanjeng Pangeran Rangga benar-benar dililit ular di lehernya?”

“Ya. Ya, aku percaya. Kenapa?”

“Kalangan Istana mempunyai cerita lain tentang kematian Pangeran Rangga.”

“Kalangan Istana itu siapa? Aku juga orang Istana. Aku adalah Pangeran ke-sembilan. Sedangkan Adimas Prabu di Mataram adalah Pangeran ke-sepuluh. Seisi Istana Mataram mengetahuinya.”

“Baiklah, Pangeran. Setiap orang di kalangan Istana memang mengatakan bahwa Pangeran Rangga yang nakal itu telah mengganggu seekor ular raksasa yang sedang bertapa. Namun akhirnya Pangeran Rangga harus menebus dengan nyawanya. Meskipun ular itu berhasil dibunuhnya, namun Pangeran Rangga sendiri meninggal karena dililit lehernya. Tetapi menurut nalar, ular manakah yang akan dapat membunuh Pangeran Rangga, yang mempunyai kesaktian jauh di atas kesaktian para Pangeran di Mataram? Bahkan Pangeran Rangga telah mempermalukan tamu dari Tuban, yang dipimpin oleh Kanjeng Adipati Tuban sendiri.”

“Cukup,” bentak Pangeran Jayaraga, “Apa maksudmu sebenarnya dengan mengatakan dongeng-dongeng itu semuanya?”

“Ampun, Pangeran. Hamba hanya ingin mengatakan bahwa kemungkinan buruk itu dapat juga terjadi pada ibunda Pangeran Ranapati, yang harus meninggalkan Istana pada saat Pangeran Ranapati masih kanak-kanak. Tetapi seandainya Pangeran Jayaraga tidak menghendaki hal itu sebagai satu kenyataan, aku kira juga bukan apa-apa. Pangeran Ranapati dengan tulus ingin mengabdi kepada Pangeran Jayaraga. Karena Pangeran Ranapati merasa ragu bahwa kenyataan dirinya akan dapat diterima, maka ia telah menempuh cara yang berlaku bagi setiap orang, tanpa terpengaruh oleh darah keturunannya.”

Tiba-tiba saja hati Pangeran Jayaraga itu tersentuh. Bahkan kemudian suaranya pun merendah, “Baiklah. Aku akan mencoba mempercayainya, bahwa yang berhasil memenangkan pendadaran di Panaraga adalah saudaraku sendiri. Kakangmas Pangeran Ranapati, putra Kanjeng Panembahan Senapati.”

“Ampun, Pangeran,” Pangeran Ranapati itu menyesal, “seandainya hamba diterima sebagaimana orang kebanyakan, hamba sudah merasa bahagia sekali. Bagi hamba, apakah hamba dikenal sebagai seorang Pangeran atau tidak, itu tidak ada bedanya. Yang penting hamba dapat mengabdikan diri hamba di Panaraga. Di Mataram, hamba adalah anak yang terbuang. Seperti singgat belatung, hamba dicungkil dan dilemparkan ke dalam api yang menyala. Bahkan abunya pun dilemparkan ke sungai yang mengalir deras. Di sini, jika hamba boleh mengabdi, maka hamba akan melakukannya dengan sepenuh hati.”

“Sudahlah, Kakangmas,” sahut Pangeran Jayaraga, “aku mohon maaf atas penerimaan yang kurang akrab. Tetapi siapa pun Kakangmas, biarlah aku menganggapnya sebagai saudara sendiri. Kakangmas adalah seorang yang berilmu tinggi, yang akan dapat ikut membina Panaraga untuk menjadi besar.”

“Hamba, Pangeran.”

“Panggil aku sesuai dengan hubungan di antara kita.”

“Apakah hamba pantas melakukannya?”

“Kenapa tidak?”

“Baiklah, Adimas Pangeran Jayaraga. Aku akan berusaha menempatkan diri sebagaimana Adimas kehendaki.”

“Jadi selama ini dimana Kakangmas tinggal?”

Pangeran Ranapati pun segera menceritakan bahwa ia tinggal di sebuah pondok di sebuah padukuhan. Ia tinggal di sebuah rumah sederhana, di antara rumah-rumah sederhana yang lain.

“Baiklah, Kakangmas. Sejak saat ini, Kakangmas dapat tinggal di Istana. Di sebelah kanan ada gandok yang terhitung luas. Kakangmas dapat tinggal di gandok, sementara rumah yang pantas akan dibangun kemudian.”

“Terima kasih, Adimas. Terima kasih.”

“Dengan siapa Kakangmas tinggal di padukuhan itu?”

“Sendiri, Adimas.”

“Sendiri? Selama ini Kakangmas sendiri saja?”

“Ya. Aku adalah pengembara yang tidak menetap. Karena itu, selama ini aku hanya sendiri.”

“Kalau Kakangmas tinggal di Istana ini, Kakangmas juga sendiri?”

“Ya, Adimas. Aku akan sendiri saja.”

“Baiklah. Malam nanti Kakangmas dapat tinggal di gandok. Kakangmas tidak usah kembali ke tempat tinggal Kakangmas itu.”

“Ampun, Dimas. Jika aku nanti pulang, aku sekedar akan membenahi segala sesuatunya. Aku akan minta diri kepada beberapa orang tetangga, dan selanjutnya aku akan langsung datang kemari, meskipun mungkin agak malam.”

“Baiklah. Terserah kepada Kakangmas. Para petugas di Istana ini akan mendapat perintah untuk membuka pintu gerbang, kapan pun Kakangmas datang.”

“Terima kasih, Adimas. Aku merasa mendapat kehormatan yang sangat tinggi dalam hidupku.”

Pangeran Jayaraga tertawa. Katanya, “Bukan penghargaan yang sangat tinggi. Kakangmas mendapat penghargaan yang seharusnya. Kakangmas akan menjadi Senapati linuwih yang akan mengendalikan prajurit Panaraga, sehingga kita akan dapat mencapai satu tataran yang menempatkan Panaraga sebagai satu kadipaten yang terbaik.”

Demikianlah, maka Pangeran Ranapati pun segera minta diri. Ia ingin kembali ke rumahnya lebih dahulu, sebelum untuk selanjutnya ia akan tinggal di Kadipaten.

Ketika Pangeran Ranapati keluar dari pintu gerbang Kadipaten, dua pasang mata memperhatikannya saksama. Namun demikian Pangeran Ranapati pergi menjauh, maka seorang di antaranya berkata, “Kakang Madyasta, sebaiknya Kakang Madyasta pulang.”

“Kau?”

“Aku akan mengawasi Pangeran Ranapati.”

“Aku ikut bersamamu.”

“Jangan, Kakang. Pangeran Ranapati adalah seorang yang ilmunya sangat tinggi. Jika kita tidak pandai membawa diri, maka keberadaan kita akan dapat dirasakannya. Bukan maksudku meremehkan kemampuanmu, tetapi orang ini adalah orang yang sangat berbahaya.”

Madyasta harus menyadari seberapa tinggi kemampuannya. Jika ia memaksa untuk ikut bersama Glagah Putih, maka ia justru akan dapat mengganggunya

Karena itu maka ia pun berkata, “Baiklah. Aku akan pulang. Tetapi jika kau perlukan aku, jangan segan untuk mengatakannya.”

“Aku mengerti, Kakang. Bukankah kita sedang mengemban tugas bersama?”

Madyasta pun kemudian dengan hati-hati meninggalkan tempat persembunyiannya dan pulang ke rumahnya, sementara Glagah Putih pun segera menghubungi Rara Wulan.

“Mudah-mudahan Rara Wulan tidak sedang sibuk,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sebenarnyalah Rara Wulan dapat menerima pesan Glagah Putih. Menurut Glagah Putih, agaknya malam ini Pangeran Ranapati akan pulang.

“Kau pasti, Kakang?” bertanya Rara Wulan.

“Mungkin. Tetapi kemungkinan itu sangat besar. Karena itu berhati-hatilah.”

“Ya, Kakang.”

“Sekarang kau sedang apa?”

“Aku berada di bilik tidur. Kantil baru saja marah-marah. Aku telah ditamparnya. Hampir saja aku kehilangan kesabaran. Jika itu terjadi, maka perempuan itu tentu sudah terkapar mati.”

“Sabarlah. Mungkin tugas kita akan segera memasuki putaran yang lebih rumit. Karena itu, simpan tenagamu. Anggap saja perempuan itu perempuan gila.”

“Tetapi bukankah Kakang tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Pangeran Ranapati nanti di rumah ini?”

“Ya, aku tidak tahu. Tetapi aku akan berada dekat dengan rumah itu. Jika terjadi sesuatu, aku akan melibatkan diri. Tetapi jika kau mampu mengatasi sendiri, maka biarlah kau yang mengatasinya.”

“Baik, Kakang.”

Rara Wulan pun telah memutuskan hubungannya dengan Glagah Putih lewat Aji Pameling. Ia masih membaringkan dirinya di pembaringan. Menjelang gelap Kantil telah menamparnya, karena Rara Wulan telah menumpahkan minuman hangat hampir mengenai kakinya.

“Apakah kau sudah gila?” geram Kantil setelah menampar pipi Rara Wulan, sehingga pipi itu menjadi merah.

“Ampun, Mbokayu.”

“Jika sekali lagi kau tumpahkan minuman panas di kakiku, aku bunuh kau.”

“Aku sama sekali tidak sengaja. Nampannya itu miring, sehingga mangkuk yang ada di dalamnya bergeser, sehingga isinya tumpah.”

“Letakkan mangkuk-mangkuk itu di dalam.”

Rara Wulan pun telah meletakkan mangkuk-mangkuk minuman itu di ruang dalam. Satu mangkuk buat Kantil, satu disediakan jika Pangeran Ranapati pulang. Meskipun untuk beberapa lama Pangeran Ranapati tidak pulang, tetapi mangkuk itu tetap saja disediakan baginya.

Ketika malam kemudian menjadi semakin gelap, serta lampu-lampu minyak sudah menyala dimana-mana, Pangeran Ranapati telah mendekati regol rumahnya. Beberapa saat kemudian, Pangeran itu telah melangkah memasuki halaman.

Pangeran Ranapati menarik nafas dalam-dalam. Ia akan meninggalkan rumah itu dan tinggal di Istana kadipaten Panaraga bersama Pangeran Jayaraga. Meskipun Pangeran Ranapati tahu bahwa Pangeran Jayaraga belum mempercayainya sepenuhnya, tetapi kesempatan telah terbuka baginya. Jika ia dapat menunjukkan jasanya bagi Panaraga, maka Pangeran Jayaraga tidak akan menghiraukan lagi siapakah ia sebenarnya.

Pangeran Ranapati pun menyadari bahwa Pangeran Jayaraga sendiri adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi Pangeran Jayaraga tentu tidak akan terlalu sering turun langsung untuk memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Panaraga.

Sejenak Pangeran Ranapati itu berdiri tegak di halaman. Namun kemudian ia pun segera melangkah mendekati pintu rumahnya.

Perlahan-lahan Pangeran Ranapati itu mengetuk pintu rumahnya. Sementara itu ternyata Kantil masih belum tertidur.

“Siapa?” bertanya Kantil.

“Aku, Kantil. Bukankah kau kenal suaraku?”

“Pangeran? Bukankah paduka Pangeran Ranapati?”

“Ya. Aku Pangeran Ranapati.”

Kantil pun segera berlari sehingga bahunya menyentuh pintu biliknya. Suaranya berderak mengejutkan.

Tetapi Ranti, yang sudah mendengar jawaban Pangeran Ranapati, tidak keluar dari biliknya. Jika ia ikut menyongsong Pangeran Ranapati, maka Kantil tentu akan menjadi marah, dan menuduhnya ikut-ikutan mengambil hati Pangeran Ranapati yang sudah beberapa lama pergi.

Demikian pintu dibuka, maka Pangeran Ranapati pun segera melangkah masuk, sedangkan Kantil pun berlutut di hadapannya sambil menyembah, “Sembah bakti hamba bagi Pangeran.”

“Terima kasih, Kantil. Tetapi bangkitlah. Duduklah.”

Kantil itu pun segera bangkit dan duduk di ruang depan. Demikian pula Pangeran Ranapati.

Namun Kantil itu pun kemudian berkata, “Ampun, Pangeran. Biarlah dipersiapkan minuman hangat bagi Pangeran. Pangeran tentu haus.”

“Terima kasih, Kantil. Siapakah yang akan menyiapkan minuman itu bagiku?”

Kantil menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Ranti, Pangeran.”

“O. Jadi perempuan itu masih ada di sini?”

“Ya, Pangeran. Ia masih ada di sini.”

“Baiklah. Biarlah perempuan itu menyiapkan minuman hangat. Aku memang haus.”

Kantil pun segera pergi ke belakang. Ketika ia melihat pintu bilik Ranti masih tertutup, ia pun segera mendorong pintu itu sambil membentak, “He! Bangun, pemalas! Pangeran sudah datang. Kau harus merebus air dan menyiapkan minuman. Nanti biar aku sendiri yang menghidangkannya.”

“Ya, Mbokayu,” jawab Ranti sambil tergagap bangun.

Sejenak kemudian Ranti sudah berada di dapur. Setelah ia menyalakan api dan meletakkan belanga di atas perapian, maka ia pun mulai menghubungi Glagah Putih.

“Benar, Kakang. Pangeran telah pulang.”

“Aku melihatnya. Aku berada di sudut halaman depan.”

“Kenapa Kakang tidak menghubungi aku?”

“Aku tidak tahu, kau baru apa.”

“Aku sekarang sedang merebus air untuk membuat minuman bagi Pangeran Ranapati.”

“Bagiku juga.”

“Bagaimana aku akan menyerahkan kepadamu?”

“Tinggalkan saja di dapur. Jika ada kesempatan, biarlah aku ambil sendiri.”

“Kau ini ada-ada saja, Kakang. Kau tentu melihat bahwa para pengikut Pangeran Ranapati sangat setia menjalankan tugas mereka. Mereka berkeliaran dimana-mana.”

“Tentu aku akan berhati-hati. Tetapi seperti yang aku katakan, jika mungkin, atasi sendiri persoalan di rumah ini. Hanya jika perlu aku akan melibatkan diri. Aku masih merasa berkepentingan untuk menyembunyikan wajahku dari penglihatan Pangeran Ranapati.” 

“Aku mengerti, Kakang.”

Dalam pada itu, maka Ranapati telah banyak bercerita kepada Kantil tentang apa yang diperbuatnya selama berhari-hari. Bagaimana ia harus bertarung di arena sampai beberapa rambahan, sehingga akhirnya ia dapat memenangkan pertarungan di putaran terakhir.

“Jadi Pangeran memenangkan pendadaran itu?”

“Ya. Aku pun telah berterus terang kepada Adimas Pangeran Jayaraga, bahwa aku adalah Pangeran Ranapati, putra Kanjeng Panembahan Senapati, sebagaimana Pangeran Jayaraga sendiri.”

“Berbahagialah kita, Pangeran. Lalu anugrah apa yang Pangeran terima dengan kemenangan Pangeran itu, selain kedudukan Senapati?”

“Aku haus, Nyi.”

“Baik, baik, Pangeran. Aku akan mengambil minuman.”

Kantil itu pun kemudian dengan tergesa-gesa telah pergi ke dapur. Pada saat yang tepat, Ranti telah selesai menuang dua mangkuk minuman hangat, sementara minuman yang disediakan di ruang dalam sudah menjadi dingin.

Sambil meneguk minuman hangat itu, Pangeran Ranapati pun berkata, “Nyi. Panggil semua orang yang ada di rumah ini. Para petugas dan para pekerja.”

“Untuk apa, Pangeran?”

“Biarlah mereka mendengar kemenangan yang telah aku dapatkan dalam pendadaran beberapa hari ini.”

“Tetapi kenapa semua petugas dan bahkan para pekerja?”

“Sudahlah. Panggil mereka. Biarlah mereka juga mendengar berita baik ini.”

“Hamba, Pangeran,” sahut Kantil kemudian sambil bangkit berdiri.

Dari pintu dapur, Kantil pun telah memerintahkan para petugas untuk berkumpul di ruang depan. Para petugas dan para pekerja.

“Pangeran membawa berita baik bagi kalian.”

Orang yang bertubuh agak pendek itu pun bertanya, “Siapa saja yang harus menghadap, Nyi?”

“Kalian semuanya.”

“Semuanya? Lalu siapakah yang bertugas?”

“Hanya sebentar. Sekedar mendengarkan berita baik.”

Perintah itu pun segera disampaikan kepada setiap orang yang ada di rumah itu. Yang bertugas ataupun yang sedang tidur mendengkur di belakang.

Sejenak kemudian orang-orang itu pun telah duduk di ruang depan. Mereka duduk di lantai menghadap Pangeran Ranapati, yang duduk di amben yang agak besar bersama Kantil.

Sementara itu, Rara Wulan terkejut ketika tiba-tiba seseorang menjenguk pintu dapur yang tidak diselarak

“Kau mengejutkan aku, Kakang,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih tertawa tertahan. Katanya perlahan, “Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan mengambil minumanku sendiri. Dinginnya di luar. Minuman hangat akan menyegarkan tubuhku.”

“Itu, minum dari mangkukku. Cepat. Mereka tidak akan lama.”

Namun dalam pada itu, Pangeran Ranapati yang duduk dihadap oleh para pengikutnya itu tiba-tiba saja bertanya kepada Kantil, “Masih ada yang kurang, Nyi.”

“Sudah semuanya, Pangeran.”

“Biarlah Ranti ikut mendengar juga.”

“Ranti? Apakah anak itu perlu dipanggil.”

“Ya, panggilah.”

Sebenarnya Kantil tidak ingin memanggil Ranti untuk ikut mendengarkan berita baik yang akan disampaikan oleh Pangeran Ranapati. Tetapi karena Pangeran Ranapati menghendaki, maka Kantil tidak dapat menolak.

Dengan sikap yang agak kasar Kantil pun melangkah pergi ke dapur. Sementara itu Glagah Putih sedang menikmati minuman bersama Rara Wulan.

Namun telinga mereka cukup tajam. Demikian mereka mendengar langkah ke dapur, Glagah Putih pun dengan cepat menghilang di balik pintu.

“Hampir saja,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya.

“He, pemalas! Kau juga diperkenankan mendengarkan berita baik yang akan disampaikan oleh Pangeran Ranapati di ruang depan. Cepat. Pergilah ke ruang depan!”

Kantil tidak menunggu Ranti menyahut. Ia pun segera mendahului pergi ke ruang depan dan duduk di amben bersama Pangeran Ranapati. Sedangkan Ranti baru sejenak kemudian memasuki ruang depan itu pula.

Demikian ia masuk, maka Kantil itu pun membentaknya, “Cepat! Duduk di sini!”

Ranti itu pun kemudian duduk di lantai di dekat kaki Kantil, yang duduk di amben bersama Pangeran Ranapati.

Baru sejenak kemudian, setelah suasana menjadi tenang, Pangeran Ranapati itu pun berkata, “Ketahuilah bahwa aku sudah ditetapkan, meskipun belum diwisuda, menjadi salah seorang Senapati di Panaraga. Bahkan jika nasibku baik, aku akan dapat menjadi panglima prajurit Paranaga.”

“Jadi Pangeran memenangkan adon-adon itu?”

“Ya. Aku pun sudah berterus-terang bahwa aku adalah seorang Pangeran.”

“Jadi?”

“Aku berhak mendapat sebuah rumah yang pantas bagi seorang Pangeran. Namun sebelum rumah itu siap, aku akan tinggal di Istana.”

“Jadi kami juga akan tinggal di Istana?”

“Tentu curut-curut buruk seperti kalian tidak pantas ikut tinggal di Istana.”

“Maksud Pangeran?”

“Kalian akan tetap tinggal di sini. Kalian akan tetap menjadi pengikutku yang setia, yang akan melakukan tugas-tugas khusus yang aku perintahkan di luar jajaran keprajuritan. Karena itu aku masih memerlukan kalian. Jika untuk satu keperluan aku tidak dapat mempergunakan kekuatan prajurit Panaraga, maka kalianlah yang akan bergerak. Mungkin pada suatu ketika akan terjadi benturan antara kalian dan para prajurit Paranaga. Tetapi karena kedua-duanya berada di bawah kendali satu orang, maka jangan cemas bahwa akan timbul malapetaka.”

Para pengikut Pangeran Ranapati itu pun mengangguk-angguk.

“Aku tidak akan melupakan jasa-jasa kalian. Jika pada suatu ketika kelompok kalian itu sudah tidak diperlukan lagi, maka satu demi satu kalian akan aku tarik menjadi prajurit di Panaraga.”

“Terima kasih, Pangeran. Terima kasih.”

“Lalu bagaimana dengan hamba, Pangeran?” bertanya Kantil, “Bukankah hamba dapat ikut Pangeran tinggal di Istana?”

“Tidak, Nyi. Sesuai dengan pengakuanku, aku hanya seorang diri. Jadi, kau dan Ranti akan aku tinggalkan di rumah ini bersama para pengikutku.”

“Tetapi apakah Pangeran akan selalu datang kemari?”

“Tidak. Aku tidak akan datang lagi kemari.”

“Lalu bagaimana dengan hamba? Lalu hamba akan ikut siapa, jika Pangeran tidak akan pernah datang kemari?”

“Jangan takut, Nyi. Bukankah di sini banyak laki-laki? Mereka akan menemani kau sebagaimana aku sendiri.”

“Pangeran?” Kantil itu hampir menjerit.

Tetapi Pangeran Ranapati itu pun tertawa berkepanjangan. Sambil bangkit berdiri ia pun berkata, “Sudah waktunya aku pergi.”

Tetapi Kantil masih berteriak, “Pangeran! Jangan tinggalkan aku pergi.”

“Jadi maksudmu agar aku menunggui kau sampai tua? Kapan aku dapat menggapai satu kesempatan yang lebih baik, jika aku hanya menungguimu saja?”

“Pangeran. Waktu itu Pangeran singgah di rumah orang tuaku. Pangeran kehujanan sehingga basah kuyup. Malam itu Pangeran bermalam di rumahku. Di hari berikutnya Pangeran minta kepada orang tuaku untuk membawa aku ke Panaraga.”

“Bukankah aku sudah membawamu ke Panaraga?”

“Pangeran berjanji untuk menjadikan aku sebagai istri Pangeran, yang tidak akan Pangeran tinggal dalam keadaan apa pun juga.”

“Aku berjanji?”

“Ya. Pangeran berjanji. Karena itu, janji itu harus ditepati. Pangeran tidak dapat begitu saja mengingkarinya.”

“Siapa yang mengatakan bahwa janji itu harus ditepati? Apa pula akibatnya jika aku ingkar janji?”

“Pangeran adalah seorang ksatria. Apa yang terucapkan tidak akan dijilat kembali.”

“Aku adalah seorang yang tidak terikat oleh tatanan apa pun juga. Aku juga tidak perlu menyebut diri ksatria. Pokoknya, aku memang berniat ingkar janji, pergi dan meninggalkan kau dan Ranti di sini. Bukankah aku sudah berbaik hati untuk memberikan banyak laki-laki kepada kalian berdua?”

“Tidak, Pangeran, tidak. Aku telah Pangeran ambil dari orang tuaku. Sekarang Pangeran harus mengembalikan aku kepada orang tuaku pula.”

“Kenapa kau selalu berkata dengan harus, harus? Apa yang harus? Siapa yang berani memaksa aku dengan keharusan itu?”

“Pangeran! Pangeran! Tolong aku.”

Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa itu pula.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Pangeran Ranapati itu pun melangkah ke pintu. Ketika Pangeran Ranapati itu akan keluar, maka Kantil pun telah menerkam kakinya sambil menangis. Katanya, “Jangan pergi, Pangeran! Jangan pergi!”

Tetapi Pangeran Ranapati itu berjalan terus, sehingga Kantil itu pun terseret beberapa langkah. Di halaman, Pangeran Ranapati mengibaskan kakinya, sehingga Kantil itu pun jatuh terlentang.

“Jangan sentuh aku lagi. Jika kau berani mengotori kulitku, kulit Pangeran Ranapati, maka aku akan mencekikmu sampai mati.”

“Tetapi antar aku pulang, Pangeran.”

“Biarlah salah seorang laki-laki itu mengantarmu pulang, jika mereka menjadi jemu.”

“Pangeran yang mengambil aku. Pangeranlah yang harus mengantar aku pula.”

“Harus, harus. Sekali lagi kau mengatakannya, aku koyak mulutmu, dan aku potong lidahmu dengan kerisku ini,” geram Pangeran Ranapati. “Kau kira siapa orang tuamu itu? Ia tidak lebih dari seorang perabot di padukuhan kecil. Sedangkan aku adalah seorang Pangeran. Bagiku perabot kecil itu tidak akan ada artinya apa-apa. Juga anaknya. Kalau kau mau pulang, pulanglah sendiri, kalau laki-laki yang mengerubungimu itu tidak berkeberatan.”

“Pangeran! Pangeran!”

Tetapi Pangeran Ranapati itu tidak mendengarkannya lagi. Ia pun segera keluar dari regol halaman rumahnya dan menutup pintu regol itu.

Kantil pun berniat untuk berlari ke regol halaman itu. Tetapi seorang yang rambutnya sudah mulai ubanan telah berdiri di pintu yang sudah tertutup itu.

Orang itu pun tertawa. Suara tertawanya telah membuat seluruh rambut Kantil berdiri.

“Jangan menyesali nasib, Nyi. Selama ini kami harus sangat menghormatimu. Tetapi sekarang tidak lagi. Kau justru harus tunduk di hadapanku, menghormatiku seperti menghormati Pangeran Ranapati.”

“Kakang,” berkata seorang yang masih lebih muda, “sebaiknya biarlah kedua orang perempuan itu memilih. Siapakah yang akan dipilihnya lebih dahulu.”

Orang yang sudah ubanan itu tertawa. Katanya, “Kau mulai dengan cara yang licik. Mereka tentu memilih orang-orang muda lebih dahulu. Tetapi sebaiknya kitalah yang membuat urutan itu. Dari yang paling tua, hingga yang paling muda.”

Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja Ranti berlari kecil mendekati Kantil. Ditariknya pergelangan tangan Kantil sambil berkata, “Marilah, Mbokayu. Menepilah.”

Kantil tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Ranti. Ia pun mengikuti saja ketika Ranti itu menariknya ke sudut halaman. Ranti yakin bahwa Glagah Putih ada di sekitar tempat itu.

Tetapi sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih, jika Rara Wulan dapat mengatasi persoalan itu sendiri, maka biarlah Rara Wulan mengatasinya. Karena untuk kepentingan yang lebih besar, Glagah Putih masih akan menyembunyikan wajahnya dari Pangeran Ranapati atau pengikut-pengikutnya.

Beberapa orang laki-laki di halaman itu terkejut melihat sikap Ranti. Seorang di antara mereka bertanya, “Kau mau apa, anak manis? Nampaknya kau memang lebih menarik dari Nyi Kantil yang lebih tua itu.”

Namun beberapa orang laki-laki yang ada di halaman itu semakin terkejut ketika mereka melihat Ranti justru menyingsingkan kain panjangnya. Namun mereka pun segera melihat Ranti dalam pakaian khususnya.

Orang yang rambutnya sudah ubanan itu pun dengan nada tinggi bertanya, “Siapakah kau sebenarnya, dan apa maksudmu?”

“Ki Sanak,” geram Rara Wulan, “manusia adalah mahluk ciptaan Yang Maha Agung yang derajadnya tertinggi di muka bumi. Manusia diberi-Nya akal budi, untuk dengan perlahan-lahan mengangkat peradaban manusia itu sendiri. Itulah bedanya manusia dengan binatang yang dikuasai oleh nalurinya. Jika kalian tidak dikendalikan oleh akal budi dan hanya menuruti hasrat naluriah, maka apa bedanya kalian dengan binatang?”

“Anak iblis. Kau berani menyebut kami binatang?”

“Lalu apa sebutan kalian, yang dengan mata merah menyaksikan kami, dua orang perempuan, hanya dari sisi kewadagan? Kalian telah dibakar oleh nafsu untuk mendapatkan kenikmatan sesaat, tanpa memikirkan akibatnya yang akan berkepanjangan.”

“Akibat apa yang kau maksudkan?”

“Kau telah melanggar nilai-nilai yang diturunkan oleh Yang Maha Agung, yang telah menciptakan langit dan bumi. Kau akan mempertanggungjawabkan di hadapan-Nya.”

Tetapi orang yang rambutnya ubanan itu pun tertawa. Katanya, “Kau tidak dapat menakut-nakuti aku dengan apa yang tidak aku percaya. Aku telah membunuh, telah merampas kemerdekaan orang lain, melanggar kebebasan dan bahkan memperkosa. Apa artinya jika aku melakukannya sekali lagi? Dua kali atau berulang-ulang lagi?”

“Ketidakpercayaanmu tidak akan dapat menghapuskan hukuman abadi yang harus kau jalani. Percaya atau tidak percaya, maka kau akan memasuki satu masa penyiksaan abadi, karena kau akan terpisah dengan Penciptamu untuk selama-lamanya.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menggeretakkan giginya, “Persetan dengan sesorahmu. Menyerahlah! Apa pun yang akan terjadi atasku, bukan tanggung jawabmu. Aku bukan pemimpi yang sempat membayangkan satu kehidupan yang tidak pernah ada.”

“Lihat dirimu. Siapakah yang telah menghembuskan nafasmu di lubang hidungmu?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba beberapa orang yang berdiri di belakangnya berkata, “Kakang, aku tidak akan ikut melibatkan diri. Aku akan pergi ke belakang. Aku akan tidur saja.”

“Pengecut!” orang yang ubanan itu menggeram. “Yang tidak berani menantang ketiadaan, pergilah! Sedangkan yang tetap berjiwa tegar sebagaimana seorang laki-laki jantan, lakukan sebagaimana aku akan melakukannya.”

Beberapa orang pun telah meninggalkan halaman depan. Sedangkan masih ada empat orang yang tetap berdiri di halaman itu.

Tetapi seorang di antara empat orang itu masih berteriak, “Apakah yang kau harapkan dengan sikapmu itu? Kau ingin masuk ke dalam surga? Selama ini kau usung dosamu itu tanpa merasa terbebani. Tiba-tiba ketika kau ingin menambah dosamu sekuku ireng, kau merasa berkeberatan. Itu adalah pertanda bahwa jiwamu mulai rapuh. Dan kau akan dikutuk oleh kerapuhan jiwamu sendiri. Kau akan menyesal untuk waktu yang lama!”

Orang-orang yang meninggalkan halaman depan itu memang berhenti. Berpaling. Tetapi mereka pun melanjutkan langkah mereka pergi ke belakang. Mereka sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba mereka menjadi muak atas tingkah laku kawan-kawannya itu. Padahal sebelumnya mereka pun telah menjalaninya.

Namun kata-kata perempuan yang menyingsingkan kain panjangnya dan mengenakan pakaian khusus itu rasa-rasanya memang sangat menyentuh hati. Apalagi ketika perempuan itu kemudian bertanya, “Jika kelak kau mati karena sebab apa pun juga, seseorang bertanya tentang dirimu, apakah kira-kira jawabnya? Mungkin kau sendiri tidak mendengar pertanyaan itu karena kau sudah mati. Tetapi kau tidak akan dapat menutup telinga hati, jika pertanyaan itu datang dari tempat yang selama ini tidak kau kenal. Dari tempat yang jauh dan tinggi tanpa ukuran. Di dalam dunia abadi, pertanyaan itu pun akan kau dengar dengan abadi pula. Memburu dengan seribu macam pertanyaan yang lain.”

“Tutup mulutmu, perempuan gila!” geram orang yang rambutnya ubanan.

Sementara itu, orang-orang yang pergi ke belakang itu pun berjalan terus. Bahkan mereka mulai merenungi kata-kata perempuan yang mengenakan pakaian khusus itu.

“Sekarang tidak ada waktu bagimu untuk berbicara panjang lebar,” berkata orang yang berambut ubanan. “Kalian akan menjadi tawanan kami. Jangan bicara tentang akal budi. Jangan berbicara peradaban manusia karena manusia bukan binatang. Itu semuanya terserah kepada kami. Apakah kami mau menjadi binatang atau mau menjadi manusia.”

“Baik,” jawab Rara Wulan, “aku akan menyesuaikan diri. Jika kalian berlaku seperti binatang, maka aku akan memperlakukan kalian seperti binatang. Tetapi jika kalian bertingkah laku seperti manusia, maka aku akan memperlakukan kalian seperti manusia.”

“Persetan kau, iblis betina!” teriak seorang di antara mereka. “Kau kira kau ini siapa, he? Kau telah menyurukkan dirimu sendiri ke dalam malapetaka yang tidak akan dapat kau tangguhkan.”

“Bersiaplah. Jangan menyesali nasibmu yang buruk,” geram Rara Wulan. Katanya kepada Kantil, “Minggirlah, Mbokayu.”

Keempat orang itu bergerak hampir berbareng. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Jangan berbuat apa-apa. Biarlah aku menangkapnya. Kita rentangkan tangan dan kakinya dan kita ikat kepada kedua batang pohon itu. Biar ia tahu, siapakah kita. Kita lebih biadab dari binatang, dan bahkan dari iblis sekalipun.”

Ketiga orang kawannya memang berhenti. Seorang yang bertubuh tinggi besar melangkah maju mendekati Ranti sambil menggeram. Tetapi Ranti sama sekali tidak beranjak dari tempatnya berdiri.

“Ranti,” yang terdengar justru suara Kantil, “jangan kau korbankan dirimu. Jika aku harus ikut menanggungnya, biarlah aku akan mengalaminya.”

Tetapi Ranti tidak berpaling. Ia bahkan bergeser menyongsong orang yang bertubuh tinggi besar itu.

Sesaat kemudian, orang yang bertubuh tinggi besar itu pun telah menjulurkan tangannya mengarah ke leher Ranti. Ia ingin mencekik Ranti, dan kemudian seperti yang dikatakan, kawan-kawannya akan dimintanya mengikat tangan dan kaki Ranti, direntang pada dua batang pohon di halaman itu.

Ranti memang tidak segera berbuat sesuatu. Ia sengaja menunggu orang yang bertubuh tinggi besar itu menjadi semakin dekat.

Tiba-tiba saja orang bertubuh tinggi besar itu pun terkejut. Tiba-tiba saja Ranti telah melenting seperti uler kilan. Demikian cepat dan kerasnya kakinya meluncur, langsung menyambar dada orang itu.

Orang itu sama sekali tidak menduga bahwa perempuan yang sehari-hari kelihatan seperti seorang penakut di bawah tekanan Kantil itu dapat menjadi garang, seperti seekor harimau jantan.

Dengan demikian, maka orang itu sama sekali tidak bersiap menghindar atau menangkis serangan itu. Yang dapat dilakukan adalah melindungi dadanya dengan tangannya yang bersilang. Tetapi tekanan serangan Ranti itu sangat keras, sehingga orang itu tidak saja terdorong surut, tetapi ia benar-benar terlempar beberapa langkah dan terbanting jatuh.

“Perempuan binal!” orang itu berteriak, tetapi kemudian mulutnya menyeringai menahan sakit pada saat ia berusaha untuk bangkit.

Sejak orang-orang itu melihat pakaian khusus yang dikenakan oleh perempuan itu, maka mereka memang sudah mengira bahwa serba sedikit perempuan itu memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi mereka tidak mengira bahwa perempuan itu dapat melakukan serangan demikian kerasnya.

Ketika laki-laki yang bertubuh tinggi besar itu tertatih-tatih berdiri, maka ketiga kawannya tidak membiarkannya. Mereka pun tidak mau melakukan kesalahan lagi sehingga serangan perempuan itu meretakkan tulang dada.

Sejenak kemudian, maka pertempuran pun segera membakar halaman rumah Pangeran Ranapati itu. Orang bertubuh tinggi besar itu masih mencoba untuk bergabung dengan ketiga orang kawannya untuk melawan Rara Wulan.

Demikianlah, pertempuran itu pun berlangsung dengan sengitnya. Keempat orang itu benar-benar tidak mengira bahwa mereka akan berhadapan dengan seorang perempuan yang berilmu tinggi. Seorang perempuan yang selama berada di rumah itu diperlakukan sebagai seorang budak yang tidak berharga. Namun ketika ia bangkit, maka ternyata ia memiliki bekal yang nggegirisi.

Empat orang itu adalah empat orang terbaik dari para pengikut Pangeran Ranapati. Karena itu maka mereka harus menjaga harga diri mereka, agar mereka tidak dipermalukan oleh perempuan. Apalagi hanya seorang saja.

Pertempuran itu pun terdengar dari halaman belakang. Orang-orang yang menyingkir ke belakang itu tidak mendengar teriakan-teriakan sebagaimana yang mereka bayangkan akan mereka dengar. Tetapi yang mereka dengar justru pertempuran, yang semakin lama menjadi semakin sengit. Teriakan-teriakan dan hentakan-hentakan dari kedua belah pihak. Empat orang laki-laki dan seorang perempuan.

“Aku akan melihat, apa yang telah terjadi,” berkata salah seorang dari mereka.

“Aku ikut,” sahut yang lain.

Ternyata beberapa orang telah mengikutinya. Mereka ingin melihat apa yang telah terjadi di halaman depan.

Orang-orang itu pun terkejut. Mereka melihat keempat orang terbaik dari para pengikut Pangeran Ranapati itu tengah bertempur dengan garangnya. Mereka berloncatan menyerang berturut-turut seperti arus banjir bandang yang datang dari segala arah.

Tetapi pertahanan Rara Wulan benar-benar sangat kokoh. Serangan keempat lawannya itu tidak segera mampu menembus pertahanannya. Namun sebaliknya, justru serangan-serangan Rara Wulanlah yang mulai menyentuh sasarannya. Kakinya sekali-sekali terayun mendatar menampar kening. Namun kemudian kedua kakinya itu terjulur menghentak dada.

Satu per satu keempat orang itu mengalami kesakitan, sehingga mulut mereka pun setiap kali menyeringai menahan sakit.

Sejenak orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi termangu-mangu. Namun setiap kali mereka menyaksikan kawan-kawan mereka terlempar dan terbanting jatuh. Sekali-sekali terdengar keluhan panjang. Tetapi sekali-sekali yang terdengar adalah umpatan kasar.

“Luar biasa,” desis seorang di antara mereka yang menyaksikan pertempuran itu.

TAMAT (Cerita tidak selesai. Penulis, S.H. Mintardja, meninggal tahun 1999)
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

2 komentar

  1. Percuma buang banyak waktu... namun ternyata gak tamat ceritanya... jalan ceritanya bagus sehingga membuat saya penasaran sampai terkadang curi curi kesempatan membaca dan belai belain begadang tuk baca cerita ini namun pada akhirnya 👎👎 tidak sampai tamat... ternyata bener pendapat pendapat teman teman yang senang baca cerita silat... lebih baik membaca cerita silat silat mandarin daripada membaca cerita silat silat indonesia kebanyakan tudap pernah selesai sampai akhir....👎👎
    1. untuk serial api di bukit menoreh sendiri hanya sampai di eps 396 gan, cerita ini gak tamat karena Alm. S.H Mintardja berpulang kesisi Tuhan Yang Mahakuasa sebelum menuntaslan cersil ini.