Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 395

Buku 395

Tetapi mereka pun terdiam. Beberapa langkah di belakang mereka, ketiga orang itu pun melihat tiga orang lagi yang berjalan searah dengan ketiga orang sebelumnya.

“Yang itu juga,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Ya. Lima orang, dan bahkan ditambah dengan seorang lagi. Tentu orang itu seorang yang dipercaya untuk dapat mengalahkan kedua orang yang luput dari tangan kelima orang itu.”

“Yang mana?”

“Yang ciri-cirinya tidak disebut oleh Sungkana dan Sumbaga adalah orang yang bertubuh agak pendek, dan membiarkan rambutnya tergerai di bawah ikat kepalanya.”

“Orang itu tentu orang yang berilmu tinggi,” desis Rara Wulan.

“Ya, menilik sikapnya. Ia bersenjata golok yang besar, tetapi agak pendek.”

“Sepasang.”

“Ya. Ia membawa sepasang golok.”

“Kita hampir pasti bahwa orang-orang itulah yang mencari Sungkana dan Sumbaga.”

“Untunglah bahwa Sungkana dan Sumbaga tidak keluar rumah. Jika mereka berada di sini sekarang, orang-orang itu tentu berusaha untuk membantainya.”

Madyasta menarik nafas panjang. Ternyata orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu bukan seorang Pangeran yang sedang lelana seorang diri. Tetapi ia mempunyai gerombolan yang berbahaya di Panaraga.

“Jika orang-orang Panaraga pada suatu saat mengerti apa yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu, maka mereka akan dapat berprasangka buruk terhadap orang Mataram yang berada di Panaraga.”

“Tetapi kita belum menemukan kenyataan apapun yang dapat kita pergunakan untuk menuduh, bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu telah melakukan sesuatu yang melanggar tatanan dan paugeran. Bahkan kita belum tahu, dimana orang itu tinggal dan apa yang dilakukannya.”

“Ya.”

“Siapa tahu, yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeraan Ranapati itu justru memberikan arti kepada orang-orang yang tinggal di sekitarnya.”

“Ya.”

Ketiga orang itu pun terdiam sejenak. Mereka memperhatikan ketiga orang, dan kemudian tiga orang lagi yang berjalan di belakangnya, mengelilingi alun-alun itu. Tetapi agaknya mereka tidak menemukan orang yang mereka cari.

“Mereka tentu mencari dimana-mana.” desis Glagah Putih.

“Bahkan mungkin mereka akan masuk keluar lorong-lorong sempit di padukuhan-padukuhan.”

“Tetapi Sungkana dan Sumbaga menyadari bahaya yang mengancam mereka, sehingga agaknya mereka benar-benar tidak keluar dari rumahnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Namun beberapa saat kemudian, mereka bertiga pun segera bangkit dan meninggalkan alun-alun itu.

Orang-orang yang lewat di alun-alun itu merupakan gambaran kekuatan yang ada di belakang orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu.

Karena itu, Glagah Putih dan Rara Wulan harus mempertimbangkannya sebaik-baiknya.

Ketika malam turun, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Madyasta kembali membicarakan rencana Rara Wulan untuk memasuki lingkungan orang-orang yang telah berusaha menjebak Sungkana dan Sumbaga di dekat petilasan batu pipih itu.

“Sudahlah,” berkata Madyasta, “kita mencari kesempatan yang lain, yang bahayanya tidak sebesar rencana ini.”

“Mungkin kita tidak akan mendapat kesempatan lagi,” sahut Glagah Putih.

Madyasta menarik nafas panjang.

Ternyata bahwa Rara Wulan tidak melangkah surut dari gagasannya. Ia akan berjalan-jalan di alun-alun, atau di jalan-jalan utama yang lain di Panaraga, bersama Sungkana dan Sumbaga. Jika mereka bertemu dengan keenam orang yang lewat di alun-alun, maka Sungkana dan Sumbaga akan melawan. Tetapi mereka tidak mampu mengalahkan lawan-lawannya dan melarikan diri. Dengan demikian maka Rara Wulan akan mereka tangkap dan mereka bawa ke sarang mereka. Adalah tugas Glagah Putih dan Madyasta untuk mengikuti jejaknya. Sementara itu Rara Wulan akan berusaha untuk meninggalkan jejak di tempat-tempat tertentu untuk mempermudah pelacakan Glagah Putih dan Madyasta, selain mempergunakan Aji Pameling yang telah mereka kuasai.

Madyasta hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya. Demikian besarnya tekad pengabdian kedua orang petugas sandi yang dikirim langsung oleh Ki Patih Mandaraka itu.

“Seharusnya malam ini Sungkana dan Sumbaga datang kemari,” berkata Glagah Putih.

“Ya,” sahut Rara Wulan. “Kita akan mematangkan pembicaraan kita. Besok kita akan melaksanakannya.”

Sebenarnyalah, ketika malam menjadi semakin dalam, terdengar pintu rumah itu diketuk orang.

“Siapa?”

“Panjer Wengi,” sahut suara di luar.

Madyasta kemudian membuka pintu. Sungkana dan Sumbaga pun kemudian melangkah masuk dan duduk di amben yang besar itu bersama Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan.

Kepada kedua orang petugas sandi itu, Madyasta menyampaikan gagasan Rara Wulan untuk memasuki lingkungan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.

Seperti Madyasta, maka Sungkana dan Sumbaga pun masih berusaha untuk mencegah niat itu. Namun Rara Wulan pun berkata, “Jika kita sia-siakan kesempatan ini, maka belum tentu kita akan mendapatkan kesempatan berikutnya.”

“Bagaimana pendapat Ki Glagah Putih?” bertanya Sungkana.

“Apa boleh buat. Kita akan mencobanya. Tetapi tentu saja bahwa kita akan bersiap untuk melakukan apa saja dan dengan taruhan apa saja.”

“Baiklah, jika itu yang telah Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan putuskan.”

Mereka pun kemudian telah membicarakan kapan mereka akan melaksanakan rencana mereka.

“Besok pagi.” berkata Rara Wulan.

“Jangan besok,” sahut Sumbaga. “Sebaiknya kita mengatur jantung kita lebih dahulu.”

“Jadi?”

“Besok lusa. Besok sehari aku akan menenangkan perasaanku, yang tentu sangat tegang menghadapi rencana yang sangat mendebarkan ini.”

“Baiklah. Besok lusa kita akan melaksanakan rencana ini.”

Demikianlah, sampai tengah malam Sungkana dan Sumbaga masih berada di rumah Madyasta. Mereka masih mematangkan rencana mereka yang penuh dengan bahaya itu.

Baru kemudian, sedikit lewat tengah malam, Sungkana dan Sumbaga minta diri meninggalkan rumah Madyasta itu.

Di keesokan harinya, Rara Wulan tidak ikut dengan Madyasta dan Glagah Putih yang keluar untuk semakin menguasai medan. Apalagi jika Rara Wulan akan dibawa oleh para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.

Ternyata pada hari itu Glagah Putih dan Madyasta telah bertemu dengan keenam orang yang kemarin dilihatnya di alun-alun. Mereka berjalan di jalan utama sambil memandangi setiap orang lewat. Seperti kemarin, mereka berjalan bersama-sama tiga orang dalam satu kelompok, dengan jarak beberapa langkah saja.

“Mereka benar-benar mendendam kepada Sungkana dan Sumbaga,” berkata Madyasta.

“Ya. Tetapi kita tidak perlu mengikuti mereka. Sampai sekarang mereka sama sekali tidak memperhatikan kita. Tetapi jika kita mengikuti mereka, maka perhatian mereka akan mulai tertarik kepada kita.”

Madyasta mengangguk-angguk. Keduanya pun kemudian berjalan ke arah yang berbeda dengan keenam orang itu. Namun mereka tahu bahwa keenam orang itu masih saja berkeliaran untuk menemukan Sungkana dan Sumbaga.

“Kita memang tidak dapat menunda-nunda lagi. Jika dalam dua tiga hari ini mereka tidak menemukan Sungkana dan Sumbaga di sini, mungkin mereka akan mencarinya di tempat lain. Dengan demikian maka kesempatan bagi Rara Wulan untuk memasuki lingkungan mereka akan menjadi semakin kecil,” berkata Glagah Putih.

Madyasta mengangguk-angguk. Katanya, “Jika rencana itu sudah matang di hati Ki Glagah Putih, maka kami tinggal membantu pelaksanaannya saja.”

Rencana itu memang sudah matang bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Mereka benar-benar sudah siap untuk melaksanakannya. Rara Wulan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Di hari berikutnya, mereka memang tidak melakukan apa-apa. Hanya Madyasta saja yang keluar untuk melihat, apakah orang-orang yang berkeliaran mencari Sungkana dan Sumbaga itu masih menyusuri jalan-jalan di Panaraga.

Namun agaknya mereka sudah mulai jemu. Madyasta yang hanya berjalan sendirian itu melihat tiga di antara mereka justru duduk di bawah sebatang pohon gayam di pinggir jalan, membeli dawet cendol. Namun tiga orang yang lain justru duduk di tempat yang agak jauh.

“Glagah Putih dan Rara Wulan benar,” berkata Madyasta di dalam hatinya, “jika kami menunda-nunda lagi, orang-orang itu sudah menghentikan kegiatan mereka disini. Mungkin mereka akan berpindah tempat untuk menemukan Sungkana dan Sumbaga.”

Ketika hal itu disampaikan kepada Glagah Putih, maka Glagah Putih pun memutuskan bahwa besok mereka akan melakukan rencana mereka tanpa ditunda lagi.

Sebenarnyalah di hari berikutnya, Sungkana dan Sumbaga sudah siap untuk pergi keluar bersama dengan Rara Wulan.

“Namamu tentu bukan Rara Wulan, Nyi,” berkata Sungkana.

“Panggil aku Ranti.”

“Baik, Nyi Ranti.”

“Aku harap bahwa keenam orang itu masih berkeliaran di jalan-jalan utama di kota ini.”

Demikianlah, mereka bertiga pun telah meninggalkan rumah Madyasta. Sementara itu, beberapa puluh langkah di belakangnya, Glagah Putih dan Madyasta mengikuti mereka dengan sangat hati-hati.

Sungkana, Sumbaga dan Ranti itu pun berjalan bertiga menuju ke pasar. Mereka berharap bahwa orang-orang yang pernah menjebak mereka di petilasan itu mencari mereka di pasar pula.

Tetapi ternyata mereka tidak bertemu dengan keenam orang yang sudah beberapa hari berkeliaran itu. Perlahan-lahan Rara Wulan pun berdesis, “Jangan-jangan mereka sudah tidak mencari kalian di lingkungan ini.”

Keduanya tidak menjawab. Ada semacam pertentangan di hati mereka. Di satu sisi mereka mengharap agar mereka bertemu dengan keenam orang itu, namun di sisi lain mereka justru berharap agar orang-orang itu sudah meninggalkan Panaraga. Mereka tidak memikirkan diri mereka sendiri, tetapi mereka berpikir tentang Rara Wulan, yang berniat memasuki sarang ular-ular berbisa.

Tetapi Rara Wulan sendiri justru menjadi cemas bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan keenam orang itu.

Karena mereka tidak bertemu dengan keenam orang itu di pasar, maka Sungkana dan Sumbaga pun telah mengajak Rara Wulan untuk berjalan menyusuri jalan utama. Mereka pun kemudian berhenti tidak jauh dari penjual dawet cendol. Tiga di antara keenam orang itu kemarin telah berhenti dan membeli dawet cendol di tempat itu.

Jantung Sungkana serasa berdenyut semakin cepat ketika ia melihat tiga orang yang telah dikenalnya itu berjalan ke arahnya. Sedangkan tiga orang yang lain berjalan beberapa langkah di belakang mereka.

“Itulah mereka,” desis Sungkana.

Sumbaga menarik nafas panjang. Katanya, “Hati-hatilah, Nyi. Ini bukan satu permainan yang sederhana. Tetapi satu permainan yang sangat berbahaya.”

“Aku sadari, Ki Sumbaga. Tetapi aku sudah siap.”

Ketiga orang yang berada di depan itu semula tidak memperhatikan Sungkana dan Sumbaga yang duduk di pinggir jalan, tidak jauh dari. penjual dawet cendol itu. Tetapi Sungkana ternyata dengan sengaja bangkit berdiri untuk menarik perhatian.

Namun yang memperhatikannya lebih dahulu adalah justru tiga orang yang berjalan di belakang.

“Mereka benar-benar orang yang telah menjebak aku dan Sumbaga,” desis Sungkana.

Rara Wulan pun mengangguk kecil.

Tiba-tiba saja salah seorang diantara ketiga orang yang berjalan di belakang itu berteriak, “He, inilah orangnya!”

Ketiga orang yang berjalan di depan itu pun berhenti. Mereka pun segera berbalik.

Sungkana dan Sumbaga dengan serta merta menarik tangan Rara Wulan untuk dibawa lari. Tetapi mereka tidak sempat melakukannya. Keenam orang itu dengan cepat telah mengepung mereka, tanpa menghiraukan orang lain yang berada di jalan itu.

“Akhirnya kami menemukan kalian berdua,” berkata orang bertubuh kekar yang tidak berhasil menangkap kedua orang itu.

“Kalian mau apa? Kalian telah gagal menangkap kami berdua. Jika sekarang kalian akan mencoba lagi, maka kalian pun akan gagal pula.”

“Hitung. Kami sekarang tidak hanya berlima, tetapi berenam. Karena itu, kau tidak akan luput lagi dari tangan kami.”

“Apa bedanya kalian berlima dan berenam?”

“Sombongnya orang ini,” geram orang yang justru agak pendek. “Kau tentu belum pernah mengenal aku, karena aku tidak ikut bermain-main waktu itu.”

“Ya. Dari keenam orang ini, kau adalah orang baru. Orang yang tidak ikut menjebak kami di batu pipih itu.”

Orang yang bertubuh agak pendek itu melangkah semakin dekat sambil berkata, ”Rasa-rasanya untuk menangkap kalian berdua, aku tidak memerlukan kawan-kawanku yang lain. Aku sendiri akan menangkap kalian berdua. Biarlah kawan-kawanku menangkap perempuan itu. Mungkin junjunganku akan membutuhkannya.”

“Junjunganmu? Siapa?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Nampaknya kau adalah orang yang selalu ingin tahu. Tetapi sayang bahwa kau tidak akan pernah dapat mengetahuinya, karena junjunganku tentu tidak akan merendahkan dirinya menemuimu. Kau telah diserahkannya kepadaku. Dan akulah yang akan mengurusmu, sehingga kau akan menjawab semua pertanyaanku.”

Sumbaga pun tertawa pula. Katanya, “Kawan-kawanmu berlima tidak dapat menangkap aku. Mana mungkin kau sendiri akan menangkap kami? Kau kira kami sebangsa kecoak, yang tidak mampu melawan jika kau menginjakkan kakimu?”

“Bagus. Kau memang harus melawan. Aku akan merasa sangat kecewa jika dengan sangat mudah aku dapat menangkap kalian berdua.”

Sungkana dan Sumbaga pun segera bersiap. Mereka berdiri di sebelah-menyebelah Ranti untuk melindunginya.

Keenam orang yang akan menangkap Sungkana dan Sumbaga itu sama sekali tidak peduli terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya. Terhadap orang-orang yang kemudian merubungnya meskipun dari jarak yang agak jauh.

Tetapi tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu. Wajah keenam orang itu nampak terlalu seram.

Namun orang yang bertubuh agak pendek itu pun berkata kepada kelima orang kawannya, ”Tangkap saja perempuan itu. Jangan hiraukan kedua cecurut yang mungkin berusaha untuk melindunginya.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Namun orang bertubuh agak pendek itu pun segera menyerang Sumbaga yang berdiri di sebelah Ranti.

Sumbaga pun dengan tangkasnya mengelak. Tetapi dengan demikian ia telah bergeser dan membuat jarak dengan Ranti.

Pada saat itu, kawan-kawan orang bertubuh agak pendek itu pun berusaha menangkap Ranti.

Tetapi Sungkana tidak membiarkannya. Ia pun segera meloncat menyerang orang-orang yang berusaha menangkap Ranti itu.

Pertempuran pun segera terjadi dengan sengitnya. Sumbaga bertempur melawan orang yang bertubuh agak pendek itu, sementara Sungkana harus bertempur melawan kelima orang yang lain.

Ternyata orang yang bertubuh pendek itu tidak segera dapat mengalahkan Sumbaga. Bahkan Sumbaga justru mulai mendesak lawannya.

Namun Sungkana yang harus bertempur melawan lima orang itu pun telah terdesak.

Orang bertubuh pendek itu mengumpat di dalam hati. Ternyata ia tidak dapat mengalahkan lawannya. Jangankan menangkap kedua orang itu, melawan seorang di antara mereka pun ia mengalami kesulitan.

Sementara itu Ranti berusaha untuk menjauhi pertempuran itu. Bahkan ia telah bersiap-siap untuk melarikan diri. Namun dua orang di antara kelima orang yang bertempur melawan Sungkana itu pun segera menangkapnya dan menyeretnya, sehingga Ranti itu mereka kuasai pula.

Sungkana yang kehilangan dua orang lawannya, sebenarnya akan dapat mengalahkan ketiga orang yang bertempur melawannya itu. Demikian pula Sumbaga, akan mampu mengalahkan orang yang bertubuh agak pendek itu.

Tetapi menurut kesepakatan, mereka harus melarikan diri dan membiarkan Rara Wulan dibawa oleh keenam orang itu.

Karena itu maka sejenak kemudian, Sungkana pun telah memberikan isyarat kepada Sumbaga agar meninggalkan pertempuran itu.

Tetapi Sumbaga tidak ingin melarikan diri tanpa meninggalkan kesan apapun. Pada saat terakhir, ketiga jari-jarinya yang merapat sempat mengetuk dada orang bertubuh pendek itu, sehingga nafasnya menjadi sesak.

Pada saat itulah orang bertubuh agak pendek itu telah mencabut sepasang goloknya yang besar tetapi agak pendek itu.

Namun lawannya, Sumbaga, telah meloncat melarikan diri.

Pada saat yang bersamaan, Sungkana pun telah melarikan diri pula. Tetapi ia sempat menyakiti salah seorang lawannya, sehingga untuk beberapa saat orang itu berguling-guling di jalan.

Ternyata ibu jari Sungkana berhasil menyusup pertahanan orang itu dan tepat mengenai bagian bawah lehernya, sehingga orang itu terasa bagaikan tercekik untuk beberapa saat. Tetapi orang itu tidak mati. Lambat laun, ia berhasil mengatasi kesulitan pernafasannya.

Orang yang bertubuh agak pendek, yang menyatakan dirinya mampu menangkap kedua orang itu, memang berusaha mengejarnya. Demikian pula kedua orang kawannya. Tetapi Sungkana dan Sumbaga itu pun berlari terlalu cepat, sehingga keduanya berhasil menyusup di antara orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu dari jarak yang agak jauh.

“Iblis laknat!” geram orang bertubuh pendek itu. “Mereka ternyata pengecut.”

“Tetapi perempuan itu ada di tangan kita.”

Orang bertubuh agak pendek itu mengangguk-angguk sambil berdesis, ”Ya. Perempuan itu ada di tangan kita.”

Sementara itu, Ranti masih saja meronta-ronta dan berusaha untuk melepaskan diri.

Seorang dari kedua orang yang memeganginya itu pun membentak, “Jangan meronta-ronta! Jika kau masih saja meronta-ronta, maka aku akan mempermalukan kau disini. Di sini banyak orang yang sedang merubungi kita.”

“Tetapi jangan pegangi aku seperti kalian sedang menangkap seorang pencuri.”

“Kalau kau berjanji untuk tidak berbuat macam-macam, maka kami akan melepaskanmu.”

“Macam-macam apa yang kau maksud?”

“Misalnya melarikan diri.”

“Tidak. Aku tidak akan melarikan diri.”

Tetapi orang yang bertubuh agak pendek itu menyahut, “Biar saja jika ia akan mencoba melarikan diri. Tetapi jika ia tertangkap, maka seperti yang dikatakan kawanku itu, ia akan dipermalukan di sini.”

Perlahan-lahan kedua orang yang memegangi Ranti itu pun melepaskannya. Sementara itu, orang-orang yang lain pun mengawasinya dengan sungguh-sungguh.

Tetapi Ranti memang tidak akan melarikan diri. Seandainya ia mencoba, maka enam orang itu serentak akan menerkamnya. Agaknya mereka tidak sekedar mengancam bahwa mereka akan mempermalukannya, jika ia benar-benar berusaha melarikan diri.

“Kau harus ikut bersama kami,” berkata orang yang bertubuh agak pendek. “Kau akan kami bawa menghadap kepada junjungan kami. Mungkin ia membutuhkanmu. Tetapi jika junjungan kami itu tidak membutuhkanmu, maka akulah yang membutuhkanmu.”

Ranti terdiam. Tetapi bagaimanapun juga, terasa kulitnya meremang.

Namun orang yang tubuhnya agak pendek itu sama sekali tidak membuatnya gentar, ditilik dari sisi ilmu kanuragan. Tetapi sebagai seorang perempuan, rasa-rasanya Ranti pun menjadi ngeri pula mendengar kata-kata orang itu.

“Marilah, kita tinggalkan tempat ini,” berkata orang yang bertubuh pendek itu selanjutnya.

“Aku akan kalian bawa kemana?”

“Kau akan tahu nanti. Sekarang berjalanlah, agar kami tidak perlu menyeretmu.”

Ranti pun kemudian berjalan digiring oleh keenam orang itu.

Sementara itu, dari jarak yang agak jauh, Glagah Putih dan Madyasta berada di antara orang-orang yang menonton peristiwa itu. Demikian Ranti bergerak digiring oleh keenam orang itu, maka Glagah Putih dan Madyasta pun ikut bergerak pula.

Di perjalanan, salah seorang yang menggiring Ranti itu pun bertanya, “Kenapa kau berjalan bersama kedua orang itu? Apakah hubunganmu dengan mereka?”

“Aku adalah adik dari salah seorang di antara mereka. Aku adalah adik dari orang yang tinggi kekurus-kurusan itu.”

“Yang seorang lagi?”

“Kawan kakakku itu. Ia ingin mengambil aku menjadi istrinya. Tetapi aku masih akan memikirkannya.”

“Beruntunglah kau sekarang berada di tangan kami. Jika nasibmu baik, maka kau akan dapat menjadi istri seorang Pangeran. Setidak-tidaknya seorang selir.”

Ranti justru berhenti. Dengan wajah yang tegang ia pun bertanya, “Pangeran? Apakah kau sedang mengigau?”

Orang bertubuh agak pendek itu tertawa sambil mendekatinya, “Kami tidak sedang mengigau. Tetapi kami memang mengabdi kepada seorang Pangeran, yang aku sebut sebagai junjunganku itu. Tetapi jika Pangeran itu menolakmu, setidak-tidaknya kau akan menjadi istri seorang Tumenggung.”

“Tumenggung siapa?”

“Aku adalah calon Tumenggung. Junjunganku sudah berjanji untuk mengangkat aku sebagai seorang Tumenggung. Tumenggung Jantranagara.” Tiba-tiba saja orang itu tertawa berkepanjangan.

Ranti terdiam. Seorang yang lain mendorongnya sambil berkata, “Berjalanlah. Kau dapat berbicara sambil berjalan.”

Ranti tidak menjawab. Tetapi ia melangkahkan kakinya lagi.

Dalam pada itu, orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu pun merasa gelisah. Tetapi tidak ada di antara mereka yang berani berbuat sesuatu. Namun seorang anak muda yang merasa sangat iba melihat Ranti dibawa oleh keenam orang itu pun berkata, “Aku akan melaporkan kepada para prajurit.”

“Dimana?”

“Yang bertugas di regol Kadipaten.”

“Mereka bertugas di Kadipaten, mereka tidak dapat pergi kemana-mana.”

“Tetapi tentu ada petunjuk, kepada siapa aku harus memberikan laporan.”

“Tetapi perempuan itu sudah menjadi semakin jauh.”

“Mungkin sekelompok prajurit berkuda dapat memburu mereka.”

“Siapa tahu, kemana perempuan itu dibawa pergi?”

“Entahlah. Tetapi aku harus melaporkannya.”

Anak muda itu memang pergi ke pintu gerbang Kadipaten, memberitahukan peristiwa yang baru saja terjadi.

“Kami bertugas di sini, anak muda. Kami tidak dapat pergi.”

“Jadi aku harus lapor kemana?”

“Pergilah ke barak di belakang Kadipaten ini. Mungkin mereka dapat membantumu.”

Anak muda itu pun meninggalkan gerbang Kadipaten. Tetapi ia tidak pergi ke barak. Segala sesuatunya tentu sudah terlambat. Perempuan itu tentu sudah menjadi semakin jauh.

Anak muda itu pun berkata di dalam hatinya, “Biarlah keluarganya saja yang melaporkan kepada para prajurit. Nanti atau besok, sama saja. Perempuan itu tentu sudah disembunyikan oleh orang-orang yang membawanya.”

Namun ternyata Rara Wulan tidak dibiarkan saja dibawa oleh keenam orang yang memaksanya untuk ikut bersama mereka. Ada dua orang yang dengan diam-diam berusaha mengamati kemana perempuan itu dibawa pergi.

Rara Wulan pun setiap ada kesempatan telah memberikan pertanda di sepanjang jalan. Sekali-sekali tangannya menarik ranting-ranting gerumbul perdu. Di kesempatan lain, Rara Wulan telah menjatuhkan tusuk kondenya tanpa diketahui oleh orang-orang yang menggiringnya.

Ternyata perjalanan mereka cukup jauh, sehingga Glagah Putih dan Madyasta agak mengalami kesulitan untuk mengikuti mereka tanpa diketahui oleh keenam orang itu.

Namun Rara Wulan pun dengan sengaja berusaha selalu mengikat perhatian orang-orang yang membawanya. Bahkan kadang-kadang Rara Wulan bersikap seakan-akan hendak melarikan diri.

Dengan demikian maka keenam orang itu perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada Rara Wulan, yang mereka kenal dengan nama Ranti itu. Mereka sama sekali tidak sempat berpaling. Bahkan sekali-sekali terdengar salah seorang di antara mereka mengancam perempuan itu. Jika ia berusaha untuk melarikan diri, maka ia akan mengalami perlakuan yang sangat buruk.

Tetapi ternyata Rara Wulan tidak dibawa keluar dari pintu gerbang Kota. Mereka memang berjalan agak melingkar-lingkar, tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan yang untuk beberapa hari sengaja berusaha mengenali setiap jalan, setiap lorong, setiap jalan setapak di Panaraga, dengan cepat mengetahui Rara Wulan itu akan dibawa kemana.

Ternyata Rara Wulan telah dibawa ke sebuah rumah yang sederhana di sudut kota. Rumah yang agak terpisah dari tetangga-tetangganya. Rumah yang sederhana itu mempunyai halaman yang luas. Bahkan di belakangnya terdapat kebun yang masih nampak rimbun sekali. Pepohonan yang padat, gerumbul-gerumbul perdu dan tanaman liar yang lain, serta rumpun bambu yang masih terhitung lebat.

Dengan demikian, maka rumah sederhana itu rasa-rasanya memang agak terpisah dari rumah-rumah yang lain.

Glagah Putih dan Madyasta yang mengikuti Rara Wulan dari jarak yang agak jauh itu, masih sempat melihat keenam orang itu telah membawa Rara Wulan memasuki regol halaman rumah itu.

“Mereka ada di rumah itu, Ki Glagah Putih,” desis Madyasta.

“Ya.”

“Apa yang harus kita lakukan sekarang?”

“Madyasta,” berkata Glagah Putih kemudian, ”kita berada di satu lingkungan yang sangat berbahaya. Bukan maksudku mengecilkan arti kemampuanmu, tetapi agaknya yang melakukan pengintaian ke dalam dinding halaman itu seorang saja.”

“Tetapi jika kau memerlukan bantuan?”

“Rara Wulan akan dapat membantuku. Jika kita berdua, maka agaknya akan lebih mungkin menarik perhatian para pengikut Pangeran Ranapati itu.”

Madyasta menarik nafas panjang. Tetapi ia dapat mengukur diri sendiri. Kemampuannya tentu tidak setinggi kemampuan orang yang secara khusus telah dikirim oleh Ki Patih Mandaraka. Karena itu maka ia pun berkata,”Baiklah. Segala sesuatunya terserah kepadamu. Tetapi apakah kau mempunyai kemungkinan untuk berhubungan dengan Rara Wulan?”

“Kami telah mempelajari dan serba sedikit menguasai Aji Pameling. Kami dapat saling memberikan isyarat tanpa diketahui orang lain.”

“Jika demikian, apa yang harus aku lakukan?”

“Pulanglah. Sampaikan kepada Sungkana dan Sumbaga, bahwa sebaiknya mereka tidak berkeliaran kemana-mana. Bahkan mungkin untuk sementara mereka tinggal bersamamu.”

“Baik. Aku akan menyampaikannya.”

“Sekarang tinggalkan aku sendiri di sini, Madyasta. Aku pun belum akan berbuat apa-apa. Aku hanya ingin tahu, apakah benar bahwa di rumah itu tinggal orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati.”

Madyasta itu pun mengangguk-angguk kecil. Rasa-rasanya memang ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Glagah Putih sendiri. Tetapi ia sadar bahwa dirinya justru akan dapat mengganggu, atau bahkan Glagah Putih harus melindunginya jika terjadi sesuatu.

Karena itu maka Madyasta itu pun kemudian telah meninggalkan tempat itu.

Sepeninggal Madyasta, maka Glagah Putih pun bergeser semakin mendekati halaman dan kebun yang terhitung luas itu. Tetapi Glagah Putih masih belum berbuat sesuatu. Ia masih saja berdiri di bawah sebatang pohon yang besar yang tumbuh di pinggir jalan.

Jalan di depan rumah yang berhalaman luas itu memang termasuk jalan yang tidak begitu banyak dilalui orang. Setelah beberapa saat Glagah Putih berdiri di pinggir jalan itu, ternyata masih belum ada orang yang lewat. Sedangkan regol halaman di sebelah halaman yang luas itu pun nampak tertutup. Tetapi menilik regol halamannya, maka agaknya rumah di sebelah itu agak lebih baik dari rumah yang sederhana yang dikelilingi oleh halaman dan kebun yang luas itu.

Tetapi halaman di sebelah itu juga kelihatan sepi.

Sebagai seorang yang berkemampuan tinggi, maka Glagah Putih pun akhirnya berhasil menyusup ke halaman belakang rumah sederhana, yang dipergunakan untuk menyimpan Rara Wulan.

Dengan Aji Pameling, Glagah Putih mulai menyentuh telinga hati Rara Wulan, untuk memberikan isyarat bahwa ia sudah berada di halaman rumah itu.

Rara Wulan pun telah memberikan isyarat pula, bahwa masih belum ada sesuatu yang penting yang terjadi di rumah itu. Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu masih belum berada di situ.

Glagah Putih pun kemudian sempat beristirahat di bawah rumpun pisang yang lebat, sambil menunggu isyarat-isyarat dari Rara Wulan yang diberikan lewat Aji Pameling.

Sebenarnyalah bahwa orang yang bertubuh agak pendek itu berkata kepada Rara Wulan, “Junjunganku masih belum singgah kemari hari ini. Biasanya, meskipun hanya sebentar, junjunganku itu tentu menengok rumah ini. Kami selalu memberikan laporan tentang berbagai perkembangan yang terjadi di Panaraga. Termasuk perkembangan pemerintahan yang dilakukan oleh adik dari junjunganku itu, Pangeran Jayaraga.”

Ranti tidak menjawab. Ia tidak mengetahui apa pun tentang orang yang disebut junjungannya, serta pemerintahan Pangeran Jayaraga.

“Kau jangan menjadi gelisah,” berkata orang itu. ”Hari ini masih belum habis. Junjunganku tentu akan singgah di sini. Jika tidak hari ini karena satu sebab, besok junjunganku itu tentu akan datang. Kau akan menghadap junjunganku itu untuk menyerahkan dirimu. Kau tidak akan ingkar, perintah apa pun yang akan diberikan kepadamu.”

Jantung Ranti itu berdesir. Tiba-tiba perempuan itu menangis. Air matanya mengalir dari pelupuknya, menetes di pangkuannya. Dengan lengan bajunya perempuan itu mengusap matanya yang basah karena air matanya itu.

Orang bertubuh pendek yang melihat Ranti menangis itu berkata dengan suara yang lunak, “Jangan menangis. Pada saatnya nanti kau akan berterima kasih kepadaku, karena aku sudah mempertemukan kau dengan junjunganku itu.”

“Lepaskan aku, Ki Sanak,” tangis Ranti, “biarlah aku pulang kepada ibuku. Ibuku tentu sangat sedih karena aku tidak dapat pulang. Bahkan ibuku yang sudah tua itu akan dapat menjadi sakit dan akhirnya meninggal.”

“Apakah ibumu sudah tua?”

“Sudah, Ki Sanak, ibuku sudah tua.”

“Jika ibumu sudah tua, maka sudah semestinya ia akan meninggal.”

“Tetapi jangan aku yang menjadi sebabnya.”

“Apa pun sebabnya, sama saja. Yang akan mati, biarlah mati. Mereka adalah orang-orang dari masa yang telah lampau. Tetapi kau yang masih muda adalah penghuni bumi ini sekarang dan masa mendatang. Karena itu, jangan hiraukan yang akan mati. Tetapi tataplah hari depanmu sendiri.”

“Itu tidak mungkin. Sekarang adalah kelanjutan hari kemarin. Aku adalah anak ibuku. Ibuku itu adalah lantaran adaku.”

“Bukankah kelahiranmu itu bukan atas kehendakmu? Karena itu, jangan hiraukan lagi. Jangan pikirkan ibumu. Pikirkan tentang dirimu sendiri. Jika kau beruntung, maka kau akan diambil oleh junjunganku untuk menjadi istrinya. Pikirkan itu saja. Jangan pikirkan ibumu lagi.”

Ranti semakin menunduk. Tangannya semakin sibuk mengusap matanya yang masih saja basah karena tangisnya. Bahkan Ranti pun menjadi terisak.

Namun akhirnya Ranti itu ditinggalkan di dalam sebuah bilik yang ditutup dan diselarak dari luar. Nampaknya orang-orang yang berada di rumah itu masih menunggu kehadiran orang yang disebut junjungan mereka itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih masih saja berada di kebun belakang. Setiap kali ia masih menerima isyarat dari Rara Wulan, bahwa orang yang disebut junjungan mereka itu masih belum datang.

Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Bahkan kemudian senjapun mulai turun. Orang-orang yang berada di rumah itu mulai menyalakan lampu minyak. Bahkan ada di antaranya yang diletakkan di luar rumah. Agaknya lampu minyak itu dimaksudkan untuk menerangi jalan ke pakiwan.

Sementara itu, di regol halamanpun telah dipasang pula sebuah oncor, yang nyalanya lebih besar dari lampu minyak.

Ketika malam mulai turun, maka sebenarnyalah orang yang disebut junjungan mereka itu pun benar-benar telah singgah di rumah itu. Demikian Rara Wulan mendengar percakapan di luar biliknya, maka ia pun segera mengetahui bahwa yang dimaksud dengan junjunganku itu telah benar-benar ada di rumah itu.

Karena itu maka ia pun segera memberikan isyarat dengan Aji Pameling kepada Glagah Putih, yang masih berada di bawah rumpun pisang yang lebat di kebun belakang.

Glagah Putih itu menjadi berdebar-debar ketika ia mendapat isyarat dari Rara Wulan. Ia tidak dapat berlama-lama berada di bawah rumpun pisang itu. Kulitnya pun sudah menjadi gatal di mana-mana karena digigit nyamuk.

Dengan sangat berhati-hati Glagah Putih pun bergeser mendekati rumah itu. Apalagi hari sudah gelap, sehingga Glagah Putih itu akan lebih mudah untuk mendapatkan perlindungan.

Sementara itu Ranti pun menjadi berdebar-debar pula.

Ranti mendengar suara yang berat, tetapi menggantung datar. Suara yang sebelumnya belum pernah didengarnya di antara para penghuni rumah itu.

“Orang itu tentu orang yang disebut junjungannya itu,” berkata Ranti di dalam hatinya.

Sementara itu, orang yang bertubuh agak pendek itu pun berkata, “Ampun, Pangeran. Sehari ini kami sangat mengharapkan kedatangan Pangeran. Kami hampir kehabisan kesabaran, sehingga hamba sendiri hampir saja datang untuk menjemput Pangeran.”

“Ada apa?” suara itu terdengar bergetar.

“Kami telah menemukan orang-orang yang kami curigai di dekat petilasan itu. Bersama mereka berdua terdapat seorang perempuan cantik yang masih muda, adik dari salah seorang di antara kedua orang itu, yang akan diperistri oleh seorang yang lain.”

“Jadi mereka akan menjadi saudara ipar?”

“Ya.”

“Bawa kedua orang itu kemari.”

“Ampun, Pangeran. Kami telah bertempur melawan kedua orang itu. Tetapi keduanya sangat licik. Mereka tiba-tiba saja melarikan diri, menyusup di antara orang-orang yang berkerumun menyaksikan keributan yang terjadi itu.”

“Maksudmu, mereka terlepas dari tanganmu?”

“Ya.”

“Jahanam kalian!”

“Ampun, Pangeran. Kami mohon ampun. Mereka berdua melarikan diri tanpa menghiraukan saudara perempuan mereka. Yang kemudian kami bawa, justru perempuan muda yang cantik itu.”

Orang yang disebut Pangeran itu termenung. Namun kemudian katanya, “Bawa perempuan itu kemari.”

“Baik, Pangeran.”

Orang bertubuh pendek itu pun kemudian telah pergi ke bilik tempat ia menyimpan Ranti.

Ranti mendengar pembicaraan itu. Karena itu maka ia pun telah menyampaikan isyarat dengan Aji Pameling kepada Glagah Putih.

Glagah Putih yang menerima isyarat itu pun telah siap menghadapi kemungkinan apapun juga.

Tetapi agaknya rumah itu bukan akhir dari pencarian Glagah Putih. Pangeran yang disebut junjungan orang-orang yang tinggal di rumah itu, hanya sekedar singgah. Tetapi tentu ada tempat yang lain, yang merupakan sarangnya yang sebenarnya.

Karena itu, maka dengan isyarat Glagah Putih pun menyampaikan pesan kepada Rara Wulan, bahwa mereka masih akan memperhatikan perkembangan keadaan.

“Kita ingin melihat sarang Pangeran itu yang sebenarnya,” berkata Glagah Putih dalam pesannya.

Ternyata Rara Wulan pun tanggap akan pesan pendek Glagah Putih itu. Ia mengerti bahwa jika ia harus dibawa pergi oleh Pangeran yang datang itu, ia tidak boleh menolak.

Dalam pada itu, orang bertubuh agak pendek itu pun telah membuka selarak pintu bilik Ranti. Bagaimanapun juga, Ranti itu pun menjadi semakin berdebar-debar pula.

Demikian pintu itu terbuka, maka orang yang bertubuh pendek itu nampak berdiri di depan pintu sambil tersenyum.

“Pangeran memanggilmu,” berkata orang yang bertubuh pendek itu sambil tersenyum-senyum.

“Iblis kau,” geram Rara Wulan di dalam hatinya. Tetapi mulutnya tidak mengucapkan kata-kata apa pun.

“Marilah,” berkata orang yang bertubuh pendek itu, “jangan takut. Kau sedang melangkah ke puncak keberuntunganmu. Tetapi kau tidak boleh lupa kepadaku. Jika kau mendapatkan kamukten karena pertemuanmu dengan junjunganku, kau harus ingat kepadaku. Kau harus membelikan aku timang emas bermata intan.”

Ranti sama sekali tidak menjawab. Ia masih saja berdiri di dalam biliknya dengan wajah yang menunduk.

“Kenapa kau masih membeku di situ? Jangan takut. Junjunganku menunggumu.”

Selangkah-selangkah Ranti pun melangkah maju. Namun orang bertubuh pendek itu pun berkata, “Benahi pakaianmu! Sanggulmu, dan seharusnya kau tidak berwajah murung seperti itu.”

Ranti seakan-akan tidak mendengarnya. Ia sama sekali tidak membenahi pakaiannya. Tetapi Ranti itu pun melangkah ke pintu biliknya.

Orang bertubuh pendek itu tidak memaksanya untuk berbenah diri. Tetapi orang itu telah menggiring Ranti untuk pergi ke ruang depan rumah itu.

Demikian Ranti memasuki ruang depan rumah itu yang tidak terlalu luas, ia melihat seorang yang duduk di amben bambu yang agak besar. Tetapi Ranti tidak berani memandang wajah itu, meskipun dalam sekilas ia sempat juga melihatnya.

“Duduklah,” terdengar suara yang berat mengambang itu

Ranti termangu-mangu sejenak. Namun orang bertubuh agak pendek itu pun mengulangi kata-kata junjungannya, “Duduklah.”

Tetapi ketika Ranti akan duduk di bibir amben yang agak besar itu, orang yang disebut junjungannya itu pun berkata, “Tunggu.”

Ranti pun tidak jadi duduk di bibir pembaringan itu.

“Berputarlah. Aku ingin melihat punggungmu.”

Ranti tidak segera memutar. Ia masih saja berdiri termangu-mangu. Rasa-rasanya tubuh perempuan itu bagaikan telah menjadi beku.

Namun orang yang duduk di amben itu pun berkata lebih keras, “Berputarlah. Aku ingin melihat punggungmu, kau dengar?”

Tetapi Ranti tidak segera berputar. Ia justru berjongkok sambil menangis.

Namun Ranti itu masih juga terkejut ketika ia mendengar orang yang duduk di amben itu berkata lantang, “Ambil cambuk! Paksa orang itu berbalik. Kemudian paksa ia berjalan hilir mudik. Jika ia berkeberatan, cambuk perempuan itu sehingga ia mau melakukannya.”

“Orang ini agaknya memang agak terganggu jiwanya,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Tetapi sebagai Ranti maka ia pun menjadi sangat ketakutan.

Orang yang agak pendek itu pun kemudian mengambil cambuk di ruang dalam. Ketika cambuk itu dihentakkan sendal pancing, maka terdengar suara cambuk itu meledak.

Glagah Putih yang ada di luar terkejut. Tetapi sambil berjongkok serta menutup wajahnya, Rara Wulan sempat menyampaikan isyarat, bahwa ia baik-baik saja.

Tetapi Ranti tidak berani membantah. Ketika sekali lagi orang itu membentak agar berbalik dan berjalan hilir mudik, maka Ranti pun melakukannya. Meskipun dari pelupuknya mengalir air mata yang diusapnya dengan lengan bajunya, namun ia masih dapat berjalan dengan langkah yang agak dibuat-buat. Bukan saja untuk menarik perhatian, tetapi Ranti harus menyembunyikan langkahnya sebagai seorang perempuan yang berilmu tinggi. Orang yang disebut sebagai junjungan di tempat itu, tentulah seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga ia akan dapat melihat kemampuan seseorang hanya dari caranya berjalan.

Tetapi Ranti telah menjaga langkahnya dengan sangat berhati-hati.

Tetapi dengan demikian, ia justru sangat menarik perhatian orang yang duduk di amben itu. Dengan nada datar ia pun berkata, “Cukup. Sekarang duduklah.”

Ranti pun tidak dapat berbuat lain, kecuali duduk di bibir amben bambu itu.

“Namamu siapa, Nduk?” berkata orang yang disebut junjungan itu.

“Namaku Ranti, Paman.”

Tetapi orang bertubuh agak pendek itu membentaknya, “Sebut Pangeran, dungu! Kenapa kau panggil junjunganku dengan sebutan paman?”

Tetapi yang disebut Pangeran itu justru tertawa. Katanya, “Ia belum mengerti, dengan siapa ia berhadapan.”

Ranti hanya menundukkan wajahnya. Tetapi ia nampak menjadi sangat ketakutan.

Dalam pada itu, maka orang yang duduk di amben itu pun berkata, “Baiklah. Nanti jika aku pulang, perempuan itu akan aku bawa. Biarlah ia beristirahat dahulu. Beri ia makan yang baik secukupnya. Jangan ganggu perempuan itu jika ia sedang beristirahat.”

“Baik, Pangeran,” jawab orang bertubuh pendek itu.

“Tetapi sebelumnya, tanyakan di mana rumahnya. Kalian pergi dahulu ke rumahnya untuk mengambil kakaknya, dan kemudian kalian juga harus mengambil calon iparnya itu.”

“Jangan, Pangeran. Ampun. Jangan sakiti kakak dan laki-laki yang akan mengambil aku menjadi istrinya.”

“Mereka akan merupakan duri di dalam dagingku. Aku ingin tahu, kenapa mereka mengamati petilasan yang aku tinggalkan di luar lingkungan Kota Panaraga itu.”

“Mereka adalah orang baik-baik, Pangeran. Ampunkan mereka.”

“Aku ingin tahu, untuk apa mereka lakukan itu.”

“Tentu tidak dengan maksud buruk, Pangeran.”

“Bawa perempuan itu ke biliknya. Kalian pergi malam ini untuk mengambil keduanya. Nanti aku akan membawa perempuan itu pergi, setelah aku bertemu dengan kakaknya dan laki-laki yang seorang itu lagi.”

“Baik, Pangeran.”

Laki-laki bertubuh agak pendek itu pun segera membawa Ranti kembali ke biliknya. Namun ia masih bertanya kepada Ranti, di mana kakaknya itu tinggal.

“Aku tidak mau menjawab,” berkata Ranti.

“Jangan begitu, Ranti. Kau harus menjaga dirimu sendiri. Jika kau tidak mau mengatakan di mana rumahmu, maka junjunganku itu akan marah. Ia dapat berbuat apa saja atas dirimu jika ia marah. Meskipun semula ia tertarik kepadamu, jika ia marah, maka ia akan dapat berubah sikap.”

“Tetapi kasihani kakakku itu.”

“Tidak ada rasa belas kasihan pada junjunganku itu. Juga kepadamu.”

Ranti menangis lagi. Kedua telapuk tangannya telah menutup wajahnya yang basah.

“Tidak ada gunanya kau menangis, Ranti. Sebaiknya kau katakan saja dimana rumahmu, agar aku dapat segera melakukan tugasku. Jangan menunggu junjunganku itu marah.”

Ranti benar-benar menjadi bimbang. Tetapi menurut perhitungannya, meskipun rumah itu dapat diketemukan, kedua orang itu masih mempunyai kesempatan untuk melawan dan melarikan diri.

Sementara itu, orang bertubuh agak pendek itu pun telah menghentakkan cambuknya lagi sambil berkata perlahan, “Pangeran tentu mengira, bahwa aku telah mencambukmu karena kau tetap diam saja.”

Rara Wulan benar-benar dicengkam oleh kebimbangan. Tetapi ia berharap bahwa ia akan dapat menghubungi Glagah Putih, untuk memberitahukan bahwa orang yang menyebut dirinya Ranapati itu akan memerintahkan orang-orangnya untuk mengambil Sungkana dan Sumbaga. 

“Ranti,” berkata orang bertubuh pendek itu, “katakan. Aku tentu tidak akan sampai hati menyakitimu untuk memaksa agar kau mengatakan di mana rumahmu. Karena itu, sebelum aku memaksamu, katakan saja di mana rumahmu itu, karena akhirnya kau tentu akan mengatakannya juga. Kau tidak akan tahan dengan tekanan kewadagan, karena jika junjunganku itu merasa terlalu lama menunggu, maka ia sendirilah yang akan turun untuk memaksamu bicara. Kalau junjunganku itu sendiri yang akan memaksamu bicara, maka aku tidak dapat membayangkan, kau akan menjadi apa.”

Akhirnya Rara Wulan mengambil keputusan untuk mengatakan, di mana Sungkana dan Sumbaga itu tinggal. Bukan sekedar untuk menyelamatkan diri, tetapi tujuannya untuk menemukan sarang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu masih belum berhasil. Apalagi menurut perhitungan Rara Wulan, kedua orang itu tentu akan dapat melarikan diri, atau bahkan ia sempat menghubungi Glagah Putih.

Karena itulah, maka Ranti itu pun telah menyebutkan tempat tinggal Sungkana dan Sumbaga.

“Kakang dan laki-laki yang akan menjadikan aku istrinya itu tinggal di satu rumah. Sebenarnya mereka bukan orang Panaraga, tetapi mereka adalah orang-orang dari Mataram. Di Mataram hidup kami menjadi sangat kesrakat, karena kami tidak mempunyai tanah garapan yang memadai. Karena itu, demikian kami mendengar bahwa Pangeran Jayaraga mendapat tugas di Panaraga, maka kami pun mencoba untuk bertualang ke Panaraga. Ternyata hidup kami di sini menjadi agak lebih baik. Meskipun kami hanya menjual tenaga untuk kerja apa saja, dan bahkan Kakang bersedia diupah untuk mengantar barang-barang yang dikirim ke tempat yang agak jauh, tetapi upah yang didapatkan cukup memadai. Apalagi Kakang dan kawannya itu sanggup melindungi barang-barang kiriman yang harus dipertanggungjawabkan.”

“Tunjukkan ancar-ancarnya.”

Ranti pun menunjukkan ancar-ancar rumah tempat tinggal Sungkana dan Sumbaga.

“Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada junjunganku. Apa pun perintahnya, aku harus menjalankannya.”

Demikianlah, maka orang bertubuh agak pendek itu segera meninggalkan Ranti dan menghadap kepada junjungannya, untuk menyampaikan hasil usahanya untuk memeras keterangan Ranti tentang tempat tinggal kakaknya.

“Kau sakiti perempuan itu?”

“Tidak, Pangeran. Perempuan itu nampaknya sudah menjadi sangat ketakutan.”

“Aku dengar kau mencambuknya.”

“Tidak, Pangeran. Aku hanya meledakkan cambuk itu. Ia sudah menjadi gemetar dan hampir jatuh pingsan. Ia pun kemudian dengan lancar menceritakan tempat tinggalnya. Kedua orang laki-laki itu tinggal dalam satu rumah. Mereka bukan orang Panaraga, tetapi mereka datang dari Mataram.”

“Aku sudah menduga. Gaya bicara Ranti itu adalah gaya bicara orang Mataram. Tetapi kenapa mereka berada di sini?”

“Di Mataram mereka sulit untuk dapat mencari makan. Karena itu mereka pun pergi ke Panaraga, setelah mereka mendengar bahwa yang akan berkuasa di Panaraga adalah seorang Pangeran dari Mataram.”

“Adimas Pangeran Jayaraga yang dimaksudkan?”

“Agaknya demikian, Pangeran. Di Panaraga mereka dapat hidup lebih senang. Mereka mendapat penghasilan lebih dengan menjual tenaga. Dengan mengantar barang, atau mungkin maksudnya mengawal para pengantar barang.”

“Bagus. Pergilah ke rumah itu. Bawa kedua orang itu kepadaku. Jangan gagal. Aku ingin bertanya, untuk apa mereka berkeliaran di dekat petilasan itu.”

“Baik, Pangeran.”

“Bawa lima orang kawanmu. Biarlah aku menunggu di sini bersama dua orang pengawalku itu.”

“Baik, Pangeran.”

“Pergilah sekarang. Kau harus kembali sebelum fajar.”

“Mudah-mudahan mereka ada di rumah.”

“Mereka tentu ada di rumah. Kenapa? Apakah kau menduga, mungkin mereka pergi?”

“Adik perempuannya ada di sini, Pangeran. Mungkin mereka menjadi ketakutan, bahwa adik perempuannya itu akan menunjukkan rumahnya, sehingga kami akan datang menangkap mereka.”

Orang yang disebut junjungan itu pun merenung sejenak. Kemungkinan itu memang masuk akal. Tetapi orang itu pun berkata, “Tetapi kau harus mencobanya. Pergilah ke rumah itu. Kau harus masuk ke dalamnya dan melihat di setiap sudutnya.”

“Baik, Pangeran.”

Demikianlah, orang bertubuh pendek itu pun segera mengajak kelima orang kawannya untuk pergi mengambil kedua orang yang telah luput dari tangan mereka itu. Namun seperti pendapat orang yang bertubuh agak pendek itu, bahwa mungkin kedua orang yang mereka buru itu tidak berani pulang. Adik perempuannya akan dapat menunjukkan tempat tinggal mereka.

Sebelum pergi, orang bertubuh agak pendek itu masih sempat menyediakan makan bagi Ranti. Makan yang disediakan termasuk makan yang baik, dengan lauk yang pantas.

Ketika orang-orang itu sudah pergi, maka Rara Wulan pun berusaha untuk menghubungi Glagah Putih dengan Aji Pameling. Rara Wulan memberitahukan bahwa para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sedang pergi menuju ke rumah Sungkana dan Sumbaga.

“Mereka tentu berada di rumah Madyasta.” jawab Glagah Putih yang masih bersembunyi di belakang rumah.

Ketika Glagah Putih bertanya tentang keadaan Rara Wulan, maka Rara Wulan mengatakan bahwa ia berada dalam keadaan baik.

“Aku mendapat makan enak malam ini.” Rara Wulan sempat bergurau.

“Aku kelaparan di sini.” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan tersenyum. Namun tiba-tiba ia terkejut ketika ia akan mulai makan. Pintu biliknya yang diselarak dari luar itu pun terbuka.

“O,” orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berdiri di depan pintu, “kau baru akan makan?”

Rara Wulan tidak menjawab.

“Baiklah. Makanlah,” berkata orang yang menyebut dirinya Ranapati itu pula.

Rara Wulan hanya menundukkan wajahnya. Pintu itu pun segera tertutup kembali, dan Rara Wulan pun mendengar pintu itu diselarak dari luar.

Namun Rara Wulan masih mendengar Pangeran Ranapati itu bercakap-cakap, sehingga Rara Wulan tahu bahwa masih ada orang lain di rumah itu.

Malam itu, Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya. Tetapi ia adalah orang yang terlatih wadagnya dan jiwanya. Karena itu, ia dapat bertahan tanpa beringsut dari tempatnya. Bahkan ia sama sekali tidak merasakan lapar dan haus.

Menjelang tengah malam, maka orang-orang yang mendapat perintah untuk mengambil Sungkana dan Sumbaga itu telah kembali. Ranti mendengar dengan jelas laporan mereka, bahwa rumah itu kosong. Sungkana dan Sumbaga tidak ada di rumahnya.

“Jangan-jangan perempuan itu berbohong.”

“Aku telah membangunkan tetangganya, Pangeran. Aku bertanya apakah rumah itu dihuni dua orang laki-laki bernama Sungkana dan Sumbaga. Tetangga itu membenarkannya. Rumah itu memang dihuni oleh dua orang laki-laki yang bernama Sungkana dan Sumbaga. Ketika aku bertanya apakah di rumah itu juga tinggal seorang perempuan, tetangganya itu tidak begitu memperhatikan. Namun tetangganya itu memang pernah mendengar suara seorang perempuan di rumah itu.”

Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu menggeram. Katanya, “Aku masih saja penasaran. Aku ingin tahu, apa yang dilakukan oleh orang-orang itu di dekat batu pipih itu. Apakah mereka sekedar menjadi heran melihat batu pipih yang besar itu serta pagar yang mengelilinginya, atau mereka mempunyai maksud-maksud yang lain.”

Orang bertubuh agak pendek yang telah mendatangi rumah Sungkana dan Sumbaga tetapi kosong itu, tidak menjawab.

“Baiklah.” berkata orang yang mengaku dirinya sebagai Pangeran Ranapati itu, “kita akan pergi ke sanggar. Ikutlah aku. Biarlah Reksa dan Dama saja yang menunggu rumah ini. Petilasan itu harus diawasi dengan baik. Mungkin ada orang lain lagi yang datang untuk mengamati patilasan itu dengan maksud-maksud tertentu.”

“Marilah, Pangeran.”

“Bawa perempuan itu.”

“Apakah ia juga harus berjalan di malam yang sudah menjelang dini hari ini?”

“Ya.”

“Apakah tidak sebaiknya besok biarlah aku membawanya menyusul Pangeran?”

“Tidak. Aku mau perempuan itu pergi bersamaku sekarang.”

Tidak ada yang dapat mencegahnya lagi. Orang bertubuh agak pendek itu pun terpaksa mengetuk pintu bilik Ranti, yang agaknya sudah tidur nyenyak.

Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan memang sempat tidur sejenak. Tetapi telinganya yang tajam mendengar setiap bunyi di dalam bilik itu. Ia pun tentu dapat mendengar jika pintu biliknya itu dibuka, betapapun sangat berhati-hati. Tetapi derit pintu itu sudah cukup keras untuk dapat membangunkannya.

Orang bertubuh agak pendek itu pun kemudian mengetuk pintu bilik Ranti. Meskipun ia dapat begitu saja mengangkat selarak dan membuka pintu itu, tetapi orang bertubuh agak pendek itu tidak mau mengejutkannya. Karena itu maka ia pun telah mengetuknya perlahan-lahan.

Dari dalam bilik itu terdengar suara Ranti, “Siapa?”

“Aku, Ranti. Junjunganku memanggilmu. Kau akan diajak pergi ke sanggarnya.”

“Ke sanggarnya? Di mana letak sanggarnya?”

“Di dekat petilasannya itu.”

“Di dekat petilasannya? Malam-malam begini?”

“Tidak ada orang yang dapat membantahnya. Kau harus pergi. Benahi pakaianmu, dan jangan mencoba untuk membantah, jika kau tidak ingin menjadi lumat.”

Ranti tidak menjawab. Ia pun kemudian mendengar selarak pintu yang diangkat, serta pintu yang berderit terbuka.

“Marilah,” berkata orang bertubuh agak pendek itu.

Ranti berdiri termangu-mangu. Namun ia pun kemudian bertanya, “Di mana letak petilasannya itu? Jauh atau dekat?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Bagi orang bertubuh pendek itu serta kawan-kawannya, petilasan itu tentu dianggapnya hanya dekat saja. Tetapi tentu berbeda bagi perempuan itu. Apalagi di malam yang sudah menjadi larut, bahkan sudah merambah ke dini hari.

Tetapi orang bertubuh pendek itu tidak dapat berbuat lain kecuali membawa Ranti.

Karena itu, maka ia pun berkata, “Ranti. Jangan bertanya apakah petilasan itu dekat atau jauh. Yang penting, kau harus mengikuti junjunganku pergi. Kau tidak mempunyai pilihan lain.”

Ranti memang tidak akan dapat mengelak lagi. Ia pun kemudian membenahi rambutnya. Baru kemudian ia melangkah keluar bilik itu.

Di ruang depan, orang yang disebut Pangeran itu sudah menunggu. Demikian Ranti datang bersama orang bertubuh pendek itu, maka orang yang disebut Pangeran itu pun segera berkata, “Marilah. Jangan sampai kesiangan. Sebelum fajar kita harus sudah sampai.”

Demikianlah, maka orang yang disebut Pangeran itu pun segera meninggalkan rumah itu. Orang bertubuh agak pendek itu telah menggiring Ranti bersama beberapa orang yang lain.

Ternyata yang tinggal di rumah itu lebih banyak dari dugaan Ranti. Setelah mereka pergi mengikuti orang yang disebut Pangeran itu, maka di rumah itu masih ada beberapa orang yang tinggal menunggui tempat itu.

Di malam yang gelap, Ranti harus berjalan mengikuti orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Dengan tertatih-tatih Ranti berjalan, diikuti oleh orang yang bertubuh agak pendek itu. Nampaknya Ranti mengalami kesulitan berjalan di kegelapan. Sekali-sekali kakinya terperosok ke dalam lubang jalur roda pedati yang sering melewati jalan itu di siang hari.

Sebenarnyalah Rara Wulan sama sekali tidak mengalami kesulitan berjalan di jalan yang betapapun rumitnya. Pandangan matanya pun sangat tajam, apalagi jika ia mengetrapkan Aji Sapta Pandulu. Tetapi sebagai Ranti, maka ia mengalami banyak kesulitan, sehingga jalannya pun menjadi lambat.

“Seret perempuan itu, jika ia tidak dapat berjalan cepat,” berkata orang yang disebut Pangeran itu.

Orang bertubuh pendek itu tidak menjawab. Namun ia berkata kepada Ranti hampir berbisik, “Cepat sedikit Ranti, agar aku tidak harus menyeretmu.”

Ranti tidak menjawab. Tetapi ia berusaha berjalan lebih cepat sedikit, meskipun setiap kali terdengar ia berdesah.

Sebenarnya Rara Wulan sudah tahu di mana letak petilasan itu. Tetapi sebagai Ranti, maka ia menjadi bingung dalam gelap malam yang pekat. Apalagi jika mereka berjalan di padukuhan yang mempunyai rumpun bambu yang lebat.

Mereka memang harus memilih jalan-jalan sepi dan gelap untuk menghindari gardu-gardu perondan.

Seperti yang dikehendaki oleh orang yang disebut sebagai Pangeran itu, menjelang fajar mereka telah sampai di sebuah rumah yang agak terpencil dari sebuah padukuhan kecil, di sebelah padukuhan tempat Pangeran Ranapati memagari batu pipih yang disebutnya sebagai petilasan itu.

Ketika mereka akan memasuki padukuhan itu, maka mereka pun berhenti sejenak. Orang yang disebut Pangeran itu memerintahkan dua orang pengikutnya untuk mendahului memasuki padukuhan itu. Ketika kedua orang itu tidak memberikan isyarat apa-apa, maka barulah orang yang disebut Pangeran itu memasuki padukuhan itu pula, dan kemudian memasuki regol halaman sebuah rumah yang agak terpencil.

Demikian mereka hilang di balik regol halaman, maka seorang yang mengikuti mereka pun telah bergeser dan meloncat ke halaman rumah di sebelahnya. Namun sejenak kemudian orang itu pun telah meloncati dinding halaman, dan berada di halaman samping rumah yang dipergunakan sebagai sanggar oleh orang yang disebut Pangeran itu.

Sejenak Glagah Putih menunggu. Ia mendengar lamat-lamat orang yang disebut Pangeran itu memberikan beberapa perintah. Ketika ia mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, maka ia mendengar orang yang disebut Pangeran itu berkata, “Masukkan perempuan itu ke biliknya. Besok aku akan berbicara kepadanya.”

“Baik, Pangeran,” jawab orang yang bertubuh pendek itu.

Demikianlah, maka Ranti pun telah dibawa ke dalam sebuah bilik yang telah disediakan. Demikian Ranti duduk, maka ia telah mendengar pintu bilik itu diselarak dari luar.

Sejenak kemudian, dengan Aji Pameling Rara Wulan pun sempat berhubungan dengan Glagah Putih. Dengan isyarat Rara Wulan pun mengatakan, bahwa agaknya di sisa malam ini dan besok sehari ia akan berada dalam keadaan aman.

“Kakang dapat beristirahat, makan, dan baru besok jika malam turun, Kakang datang lagi ke mari.”

“Jika terjadi sesuatu besok, beri aku isyarat,” berkata Glagah Putih.

“Baik, Kakang.”

Demikianlah, sebelum fajar, Glagah Putih pun telah meninggalkan sarang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu lagi. Ia tidak tahu, apa saja yang akan dilakukan oleh Pangeran itu.

Tetapi sesuai dengan perhitungan Rara Wulan, maka setidak-tidaknya sampai besok malam, tidak akan terjadi apa-apa dengan Rara Wulan itu. Meskipun demikian, ia tidak boleh berada terlalu jauh dari padukuhan itu.

Namun satu hal yang penting, bahwa dengan demikian Glagah Putih dan Rara Wulan sudah mengetahui setidaknya dua tempat tinggal orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Satu di dalam lingkungan dinding Kota, sedang yang satu lagi berada di padukuhan di sebelah padukuhan yang dibangun sebuah petilasan dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.

Glagah Putih mempergunakan waktunya yang sehari untuk bertemu dan berbicara dengan Madyasta. Adalah kebetulan bahwa Sungkana dan Sumbaga juga berada di rumah itu.

“Berhati-hatilah,” berkata Glagah Putih.

“Sejak semalam kami berada di sini,” sahut Sungkana.

“Untunglah kalian berada di sini. Semalam orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati mengirim orang ke rumah kalian untuk menangkap kalian.”

“Dari mana ia tahu rumah kami?”

“Rara Wulan. Tetapi aku sudah mengatakan kepada Rara Wulan, bahwa kalian berdua tentu tidak berada di rumah. Kalian berdua tentu berada di sini.”

“Lalu, apa yang mereka lakukan?”

“Karena kalian tidak ada, maka mereka pun segera kembali. Tetapi mereka sudah mencoba untuk membuktikan bahwa rumah itu benar rumah kalian. Mereka telah bertanya pada tetangga kalian.”

“Untunglah aku tidak terlalu banyak berhubungan dengan tetangga, sehingga mereka tidak terlalu banyak mengetahui tentang diriku.”

“Sekarang, untuk sementara Sungkana dan Sumbaga jangan terlalu sering keluar. Kalian masih tetap diburu. Biarlah Madyasta yang tidak mereka kenal berusaha mencari keterangan, apakah orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah membuat hubungan dengan Pangeran Jayaraga.”

“Baik. Aku akan berusaha. Aku mengenal beberapa orang pejabat di Istana Pangeran Jayaraga. Meskipun mungkin agak lamban, tetapi agaknya aku akan mendapatkan keterangan itu.”

“Baiklah. Kita akan melakukan tugas kita masing-masing.”

“Apa yang harus kami lakukan?” bertanya Sungkana dan Sumbaga hampir berbareng.

“Pada saatnya kalian akan mendapatkan tugas yang mungkin tidak kalah beratnya. Untuk sementara kalian dapat beristirahat di rumah ini.”

“Kami akan merasa seperti di penjara.”

Glagah Putih tertawa sambil bertanya, “Apakah kau pernah dipenjara?”

Keduanya pun tertawa pula. Demikian pula Madyasta.

Setelah memberikan beberapa pesan, maka Glagah Putih pun segera bersiap-siap untuk kembali ke rumah yang agak terpencil, di padukuhan sebelah padukuhan tempat petilasan Pangeran Ranapati itu dibangun.

Dengan pengalamannya semalam, maka Glagah Putih pun kemudian telah membeli makanan yang dapat disimpan semalam suntuk.

Di hari itu, Ranti harus menghadap orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Pangeran itu berharap agar Ranti berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

“Kalau kau berhasil, maka kau akan mendapat anugrah yang tidak pernah kau impikan, Ranti. Kau, perempuan yang seakan-akan tersisih dari pergaulan hidup, akan dapat menjadi selir seorang Pangeran. Tetapi segala sesuaatunya tergantung kepada dirimu. Kepada kemampuanmu menyesuaikan diri.”

Ranti hanya dapat menundukkan kepalanya. Namun ia tidak menjawab.

“Hari ini kau masih akan berada di dalam bilikmu. Mungkin besok dan lusa juga. Tetapi pada suatu hari kau akan mendapat kesempatan untuk hidup bebas, sebagaimana orang lain di rumah ini. Nah, sejak saat itu kau akan mengalami pendadaran, apakah kau pantas menjadi selir seorang Pangeran atau tidak.”

Namun dalam pada itu, pada saat orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berbicara kepada Ranti, seorang perempuan yang nampaknya sedikit lebih tua dari Ranti memandanginya dengan sorot mata yang tajam. Ketika Ranti sempat memandang wajahnya sekilas, ia melihat pandangan mata perempuan itu seakan-akan menusuk sampai ke jantungnya.

“Kantil,” berkata orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu, “kau akan mempunyai seorang kawan. Perempuan ini akan tinggal di sini. Jika ia mampu menyesuaikan dirinya serta dapat menarik perhatianku, maka ia akan dapat aku angkat menjadi selir, untuk menemanimu.”

Perempuan itu tersenyum sambil berkata dengan lembut, “Ampun, Pangeran. Hamba akan menerimanya sebagaimana hamba menerima saudara hamba sendiri.”

“Ajari perempuan itu, apa yang harus dilakukannya, sehingga pada suatu saat ia akan dapat menjadi perempuan yang pantas untuk menjadi seorang selir dari seorang Pangeran.”

“Hamba, Pangeran. Hamba akan melakukannya. Hamba akan sangat bergembira mempunyai seorang saudara di sini. Selama ini hamba merasa bagaikan hidup sebatang kara.”

“Apakah kau tidak menganggap bahwa aku ada?”

“Maksud hamba, hamba tidak mempunyai saudara lagi.”

Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tersenyum. Katanya, “Sekarang, aku bawakan seorang saudara perempuan bagimu. Mudah-mudahan ia segera dapat menyesuaikan diri.”

“Hamba mengucapkan terima kasih, Pangeran.”

“Nah, bawa perempuan ini ke dalam biliknya. Untuk selanjutnya, kau akan mengurus perempuan itu. Ajari apa yang pantas dilakukan. Dalam waktu dua tiga hari ini, ia masih akan tetap berada di dalam biliknya, seperti yang telah aku katakan.”

“Hamba, Pangeran.”

“Ranti, ikutlah mbokayumu. Anggap bahwa ia adalah kakak perempuanmu sendiri.”

Ranti tidak menjawab. Ia hanya mengangguk saja. Di wajahnya masih membayang ketakutan yang mencekam.

Demikianlah, maka Kantil pun kemudian telah mengajak Ranti untuk pergi ke biliknya. Dengan kata-kata lembut serta wajah yang manis, Kantil itu pun berkata, “Marilah, adikku. Kau dapat beristirahat di dalam bilikmu. Jangan takut. Aku akan selalu melindungimu.”

Ketika Ranti berjalan ke biliknya, ia melihat beberapa orang laki-laki mengawasinya. Dengan lembut pula Kantil pun berkata, “Mereka tidak akan mengganggumu. Siapa yang berani mengganggumu, akan aku singkirkan untuk selama-lamanya.”

Ranti sama sekali tidak menjawab. Ia berjalan saja ke biliknya, diikuti oleh perempuan yang disebut bernama Kantil itu.

Namun demikian Ranti itu masuk, maka Kantil yang mengikutinya segera menutup pintu bilik itu. Tiba-tiba saja ia mendorong Ranti sehingga Ranti itu pun terjerembab ke pembaringannya.

Ranti terkejut sekali, Ketika ia mencoba berdiri dan berbalik, ia melihat mata Kantil itu menyala kembali. Sorot matanya yang tajam itu bagaikan langsung menusuk ke jantungnya.

“Perempuan jalang!” geram Kantil, “kenapa kau dapat sampai ke rumah ini? Kau tahu, aku adalah istri Pangeran Ranapati. Seharusnya aku adalah satu-satunya perempuan di rumah ini. Sekarang tiba-tiba saja kau hadir di sini.”

Wajah Ranti membayangkan ketakutan yang amat sangat. Ketika Kantil melangkah setapak demi setapak maju, Ranti justru surut ke belakang. Namun akhirnya ia telah berdiri melekat pembaringannya, sehingga Ranti itu tidak dapat bergeser mundur lagi.

“Apa yang kau lakukan, Mbokayu?”

“Perempuan laknat!” geram Kantil, “Kenapa tiba-tiba kau berada di rumah ini? Siapakah yang membawamu kemari, dan mengumpankanmu kepada Pangeran Ranapati?”

“Aku tidak tahu, Mbokayu. Yang aku tahu, beberapa orang pengikut Pangeran Ranapati itu berusaha menangkap kakakku, tetapi kakakku dapat melarikan diri. Tetapi justru akulah yang dibawanya kemari. Jadi keberadaanku di sini sama sekali bukan karena keinginanku sendiri.”

“Kau bohong! Kau berusaha memikat hati Pangeran Ranapati, agar kau diambilnya sebagai seorang selir. Kau lebih muda dan lebih cantik dari aku. Dengan demikian, kau mempunyai harapan untuk mendesak kedudukanku.”

“Tidak, Mbokayu, sungguh tidak! Bahkan aku akan sangat berterima kasih jika ada orang yang bersedia membawa aku keluar dari tempat ini.”

“Huh, ternyata kau juga pandai berpura-pura.”

“Sungguh, Mbokayu. Jika Mbokayu tidak percaya bahwa aku berada di sini bukan karena kemauanku sendiri, bertanyalah kepada beberapa orang yang telah berusaha menangkap kakakku dan calon suamiku itu.”

“Aku akan bertanya kepada mereka. Tetapi jika kau berbohong kepadaku, maka aku akan memotong bibirmu.”

“Aku tidak berbohong, Mbokayu.”

“Seandainya kau tidak berbohong, maka aku berpesan kepadamu, agar kau bersikap bodoh. Kau harus berusaha agar Pangeran Ranapati tidak tertarik sama sekali kepadamu. Mungkin kau nampak selalu kusut. Wajahmu selalu cemberut, atau tingkah lakumu yang tidak pantas dilakukan oleh seorang istri Pangeran, meskipun hanya seorang selir.”

“Ajari aku, Mbokayu. Jika aku tidak dikehendaki oleh Pangeran Ranapati dan aku dilepaskannya, aku tidak akan melupakan Mbokayu Kantil. Aku justru merasa sangat beruntung, karena aku akan dapat kembali kepada kakakku, kepada calon suamiku. Meskipun pada saat itu aku masih belum menyatakan kesediaanku menjadi istrinya, maka sekarang aku justru merasakan bahwa aku sangat memerlukannya.”

“Jangan kau bohongi aku. Meskipun aku seorang perempuan, tetapi jika kau bohongi aku, maka aku akan dapat melumatkan wajahmu yang cantik itu, sehingga kau akan menyerupai hantu. Aku akan dapat memotong lidahmu, sehingga kau tidak akan dapat berbicara sama sekali.”

“Aku tidak bohong, Mbokayu. Aku justru minta tolong, jika Mbokayu dapat melepaskan aku dari rumah ini, maka aku akan sangat berterima kasih.”

“Sampai saat ini aku mempercayaimu. Aku akan berusaha mencari jalan agar kau pergi dari rumah ini. Mungkin kau akan diusir, tetapi mungkin kau akan dihukum.”

“Jangan, Mbokayu. Jangan hukum aku. Bukankah aku tidak bersalah kepada siapa-siapa? Aku justru merasa terjerat di rumah ini, seperti terperosok ke dalam lubang yang gelap.”

Perempuan itu tidak berbicara lagi. Tetapi ia pun segera meninggalkan tempat itu.

Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun dengan demikian, maka Rara Wulan pun tahu bahwa untuk beberapa lama ia tidak akan mengalami kesulitan apa-apa di rumah itu. Ia hanya harus menerima perlakuan buruk dari Kantil, yang merasa dirinya istri Pangeran Ranapati.

Tetapi Pangeran Ranapati sendiri tidak akan mengusiknya sampai dua tiga hari mendatang. Bahkan mungkin lebih lama lagi.

Rara Wulan pun kemudian telah menghubungi Glagah Putih dengan Aji Pameling. Rara Wulan telah memberikan isyarat tentang keadaannya sampai pada saat itu.

“Baiklah,” berkata Glagah Putih, “jika demikian, aku akan mengamati keadaanmu dari jauh. Aku tidak usah mendekati rumah itu. Tetapi jika terjadi sesuatu, jangan sampai terlambat. Aku memerlukan waktu untuk sampai ke tempat itu.”

“Ya, Kakang. Tetapi kakang juga harus selalu bersiaga di setiap saat.”

Demikianlah, Rara Wulan pun menjalani hari-harinya di rumah yang dihuni oleh Pangeran Ranapati itu. Dengan demikian Rara Wulan pun tahu, bahwa setiap hari ada beberapa orang yang datang dan pergi. Mereka menghubungi Pangeran Ranapati dengan tugas-tugas yang masih belum dapat diketahui.

Seperti yang dikatakan oleh Pangeran Ranapati, maka dalam dua hari Ranti masih belum boleh meninggalkan biliknya. Hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja Ranti diperkenankan keluar. Itu pun harus diawasi oleh Kantil atau dua orang abdi yang ditugaskan oleh Kantil.

Ternyata sikap Kantil masih saja berwatak rangkap. Di hadapan Pangeran Ranapati, Kantil bersikap sangat baik kepada Ranti. Kata-katanya lembut dan menarik. Tetapi di belakang Pangeran Ranapati, wajah Kantil pun menjadi seperti wajah iblis betina. Matanya menjadi merah. Lidahnya bagaikan menyiratkan api yang panasnya melampaui bara.

“Kau tidak boleh tersenyum di hadapan Pangeran Ranapati!” bentak Kantil.

“Aku tidak tersenyum sama sekali, Mbokayu.”

“Jangan bohong! Kau kira aku tidak melihat kerling matamu serta senyum di bibirmu?”

“Tentu tidak, Mbokayu. Bahkan aku hampir menangis ketika Mbokayu membawa aku menghadap.”

“Besok kau mulai membawa hidangan untuk Pangaran Ranapati. Tetapi ingat, kau tidak boleh tersenyum, apalagi mengerling. Kau harus menunduk dengan wajah yang bersungut-sungut dan gelap. Kau dengar itu?”

“Aku dengar, Mbokayu.”

“Tidak hanya sekedar didengar, tetapi harus kau lakukan.”

“Baik, Mbokayu.”

Sebenarnyalah, di hari berikutnya Ranti sudah boleh keluar dari biliknya, meskipun masih tetap dalam pengawasan. Hari itu, Ranti sudah mendapat tugas untuk menghidangkan minuman pagi bagi Pangeran Ranapati.

Kantillah yang menata mangkuk-mangkuk minuman dan makanan. Ketika Ranti membetulkan letak makanan yang berserakan, Kantil pun membentaknya, “Akulah yang mengatur makanan itu! Jangan kau rubah!”

“Tetapi ini nampaknya seperti tidak tertata, Mbokayu.”

“Apakah kau tuli? Akulah yang mengaturnya!”

Ranti tidak membantah.

“Tunggu sebentar. Aku akan duduk di serambi depan. Baru kau hidangkan minuman dan makanan bagi Pangeran dan bagiku ini.”

“Baik, Mbokayu.”

Kantil pun mendahului pergi ke serambi. Ia mendapatkan Pangeran Ranapati duduk di atas sebuah lincak kayu yang panjang. Sementara seorang pengikutnya duduk di lantai, di dekat tangga serambi.

Ketika orang yang duduk di serambi itu melihat Kantil mendekati Pangeran Ranapati, maka orang itu pun meninggalkan Pangeran Ranapati sendiri.

“Silahkan Pangeran, jika Pangeran masih akan memberikan perintah kepadanya.”

“Tidak. Tidak ada yang penting yang aku bicarakan dengan orang itu. Duduklah.”

Kantil pun kemudian duduk di lincak panjang itu pula. Katanya, “Aku sudah mengajari Ranti untuk dapat menghidangkan minuman dan makanan pagi ini, Pangeran. Mudah-mudahan ia dapat melakukannya dengan baik.”

“Bagus.” sahut Pangeran Ranapati, “ajari perempuan itu untuk dapat bertingkah laku seperti seorang putri. Kau dahulu juga seorang perempuan yang diangkat dari atas pematang. Kakimu dahulu hitam penuh dengan lumpur. Akhirnya, kau telah diangkat derajatmu menjadi istri seorang Pangeran. Aku harap bahwa Ranti pun akan dapat menjadi seorang perempuan yang baik, yang pantas menjadi seorang selir dari seorang Pangeran.”

“Aku akan berusaha Pangeran. Tetapi perempuan itu memang agak terlambat berpikir.”

“Maksudmu?”

“Ia bukan seorang perempuan yang cerdas, yang cepat tanggap atas petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.”

“Kau harus sabar, Kantil. Akhirnya ia tentu akan dapat juga melakukannya.”

“Ya, Pangeran. Hamba memang harus sabar.”

“Bukankah tidak ada hal yang sulit untuk dipelajari?”

“Nampaknya memang tidak, Pangeran.”

Pembicaraan itu terhenti ketika Ranti datang untuk menghidangkan minuman pagi serta makanan. Demikian Ranti berjongkok di sebelah Kantil, maka Kantil pun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata dengan lembut, “Ranti, bukankah sudah aku katakan kepadamu berulang kali, bahwa kau harus tertib dan rajin. Bukankah tidak sepantasnya jika kau menghidangkan minuman dan makanan dengan cara ini? Bukankah kau dapat mengatur agar makanan yang kau hidangkan itu nampak lebih menarik, sehingga dapat menimbulkan selera makan Pangeran Ranapati? Kenapa kau biarkan makanan itu berserakan seperti itu?”

“Tetapi…” Ranti akan menjawab. Tetapi Kantil pun segera berkata, “Sudahlah, Ranti. Ingat-ingat sajalah untuk selanjutnya. Lain kali kau harus dapat menata makanan dan minuman yang akan kau hidangkan kepada Pangeran Ranapati.”

Ranti tidak menjawab. Tetapi ditundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Ampun, Pangeran,” berkata Kantil kemudian, “hamba berjanji untuk mengajarinya, agar pada kesempatan lain Ranti dapat menjadi lebih terampil menata hidangan.”

Pangeran Ranapati tertawa sambil berkata, “Anak ini memang agak dungu, Kantil. Ternyata tugasmu menjadi lebih berat untuk membentuk anak ini agar menjadi anak yang pantas tinggal bersama kita.”

“Tetapi hamba kira, lambat laun ia akan dapat juga melakukannya, Pangeran.”

“Ranti,” berkata Kantil kemudian, “sudahlah. Kembalilah ke belakang. Nanti kau akan membantu aku di dapur. Kau akan belajar bagaimana seharusnya kau menyiapkan makan bagi Pangeran. Jika kelak pada suatu saat aku berhalangan, maka kau harus dapat melakukannya.”

“Ya, Mbokayu,” desis Ranti perlahan sekali.

Ranti pun kemudian meninggalkan Pangeran Ranapati dan Kantil yang masih duduk di serambi. Sementara itu, Ranti pun telah masuk ke dalam biliknya. Ia mengusap matanya yang tiba-tiba menjadi basah. Tetapi Ranti tidak menangis karena sedih dan ketakutan. Ranti menangis karena ia justru harus menahan diri. Jika saja ia tidak sedang menjalankan tugas, maka ia tentu akan menampar wajah Kantil. Jika Kantil itu mencoba melawan, ia akan meremas mulutnya sampai berdarah.

“Perempuan gila. Sampai kapan aku tahan diperlakukan seperti ini?” geram Ranti.

Namun pada saat itu, Kantil pun telah muncul di pintu biliknya, sementara Ranti pun segera mengusap air matanya dengan lengan bajunya.

“Kau menangis, perempuan cengeng?” bentak Kantil.

Ranti pun cepat-cepat menggeleng sambil menjawab, “Tidak, Mbokayu. Aku tidak menangis.”

“Lalu apa namanya jika bukan menangis, he?”

“Ada binatang kecil masuk ke dalam mataku, Mbokayu.”

“Jangan bohong! Kau tentu menangis. Aku tahu bahwa kau berusaha untuk meruntuhkan perasaan belas kasihan Pangeran Ranapati. Dengan demikian maka kau akan dapat menarik perhatiannya. Kau tidak berusaha memikatnya dengan senyum dan kerlingan mata, tetapi karena kau tahu bahwa hati Pangeran Ranapati itu sangat lembut, kau mencoba untuk memikatnya dengan menjual belas kasihan dengan menangis, dan pada kesempatan lain mengeluh berkepanjangan. Kau akan menceritakan nasibmu yang buruk dan tersia-sia. Dengan demikian maka kau akan dapat meruntuhkan hati Pangeran Ranapati itu.”

“Tidak, Mbokayu. Tidak. Bahkan aku masih ingin dapat keluar dari tempat ini, kembali kepada kakakku dan kemudian kembali kepada ibuku.”

“Omong kosong! Perempuan manakah yang tidak merasa beruntung dan berharga, bahwa ia dapat dipilih untuk menjadi selir seorang Pangeran?”

“Tidak, Mbokayu. Sungguh. Aku ingin pulang.”

“Jangan berpura-pura! Jangan munafik! Ingat, jika kau bertingkah macam-macam, aku akan melemparkanmu kepada laki-laki yang banyak berkeliaran di sini. Aku akan mengatakan kepada Pangeran bahwa kau sudah berzina dengan laki-laki itu. Atau bahkan dengan beberapa orang laki-laki.”

“Jangan, Mbokayu, jangan!” Ranti itu pun kemudian telah berjongkok di hadapan Kantil sambil menangis.

“Cukup!” bentak Kantil, “Sekarang segera pergi ke dapur! Nyalakan perapian. Aku akan masak.”

“Baik, Mbokayu.”

Ranti itu pun segera bangkit berdiri. Ia pun kemudian melangkah pergi ke dapur. Sementara itu mulutnya berkumat-kamit. Tetapi tidak seorang pun yang mendengarnya ia berkata, “Awas, perempuan gila. Aku akan memilin lehermu sampai patah.”

Di dapur, Ranti pun segera menyalakan api. Ketika Kantil datang ke dapur, api sudah menyala. Ranti sudah meletakkan belanga berisi air di atas api.

“Ambil air di sumur! Kelentingnya terdapat di sebelah gentong itu,” perintah Kantil.

Ranti tidak menjawab. Ia pun segera bangkit berdiri mengambil kelenting dan membawanya ke sumur untuk mengambil air.

Beberapa pasang mata laki-laki terbelalak menyaksikannya. Tetapi seorang di antara mereka berkata, “Perempuan itu adalah simpanan Pangeran Ranapati. Siapa yang mengganggunya berarti bahwa ia sudah jemu hidup.”

Semua orang berpaling kepada orang yang berbicara itu. Bahkan di luar sadarnya, Ranti pun berpaling pula kepadanya. Ternyata orang itu adalah orang yang bertubuh pendek, yang telah membawa Ranti kepada Pangeran Ranapati.

Tetapi Ranti pun kemudian berpura-pura tidak mendengarnya. Ia pun berjalan terus ke sumur untuk mengambil air dengan kelenting, yang kemudian diusungnya di lambungnya.

Pagi itu Ranti ikut sibuk di dapur membantu Kantil menyiapkan makan bagi Pangeran Ranapati siang nanti. Pangeran Ranapati memang tidak terbiasa makan pagi, kecuali minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Sambil masak, Kantil tidak henti-hentinya bersungut. Sekali-sekali bahkan membentak. Ada saja yang dicelanya pada Ranti. Kata-katanya yang menurut Kantil terlalu kasar. Tingkah lakunya yang kurang mapan dan tidak mengenal unggah-ungguh. Pikirannya yang tumpul dan tidak mudah menangkap tuntunan dan bimbingan, dan masih banyak lagi cacatnya.

Ranti hanya menundukkan wajahnya. Namun sekali-sekali ia harus bangkit melakukan apa yang diperintahkan oleh Kantil.

Menjelang tengah hari, maka nasi pun masak. Kantil pun segera memerintahkan Ranti agar menyenduk nasi ke dalam ceting bambu.

Ranti yang selalu dianggap bersalah itu pun menyenduk nasi ke dalam ceting dengan sangat hati-hati. Tidak satu pun butir-butir nasi yang terjatuh di lantai dapur. Sebutir nasi akan dapat menjadi alasan bagi Kantil untuk mengumpatinya sehari penuh.

Sementara Kantil masih sibuk di dapur, maka seorang pengikut Pangeran Ranapati datang kepada Kantil untuk menyampaikan pesan Pangeran Ranapati, bahwa ada tiga orang tamu. Kantil diminta untuk menyiapkan suguhan bagi mereka..

“Siapa?” bertanya Kantil.

“Yang seorang adalah Mas Panji Wangsadrana.”

“Mas Panji Wangsadrana? Apalagi yang dimaui Mas Panji itu, sehingga ia terlalu sering datang kemari?”

“Entahlah. Tetapi bukankah Mas Panji itu salah seorang pejabat di Istana Kadipaten Panaraga? Ia salah seorang yang dibawa oleh Pangeran Jayaraga dari Mataram.”

“Aku tahu,” potong Kantil. “Lalu siapa yang lain?”

“Aku tidak tahu.”

Kantil nampak menjadi kurang senang. Dengan nada datar ia pun berkata, “Jika Mas Panji datang kemari, hampir pasti Pangeran Ranapati harus pergi. Aku ingin Pangeran tidak terlalu sering pergi.”

“Tentu ada keperluan, Nyi. Keberadaan Pangeran di sini tentu membawa beban tugas tersendiri.”

“Aku tidak berkeberatan jika Pangeran melakukan tugasnya di Panaraga. Tetapi lihat, sudah dua kali Pangeran pulang dengan membawa perempuan. Dan perempuan ini adalah perempuan yang ketiga. Untunglah bahwa perempuan-perempuan itu kemudian telah mengkhianati Pangeran Ranapati. Kalau tidak, maka tentu ada tiga orang perempuan yang berada di rumah ini selain aku.”

“Ya, Nyi,” orang itu mengangguk-angguk.

“Tetapi nampaknya perempuan ini pun pada suatu saat akan mengkhianati Pangeran Ranapati,” berkata Kantil lebih lanjut.

Namun pengikut Pangeran Ranapati itu berkata, “Tamu itu sudah agak lama duduk di serambi depan. Pangeran minta segera disuguhkan minuman dan makanan.”

“Baik, baik.”

Kantil itu pun segera menyiapkan minuman dan makanan untuk dihidangkan kepada tamu-tamu Pangeran, serta Pangeran Ranapati sendiri. Ketika pengikut Pangeran itu akan membawa hidangan itu ke serambi depan, Kantil pun berkata, “Biarlah aku sendiri yang membawanya.”

Kantil itu pun kemudian meninggalkan Ranti sendiri di dapur, untuk menghidangkan suguhan bagi tamu-tamu Pangeran Ranapati.

Demikian Kantil meninggalkan dapur, maka Ranti pun berbisik, “Apa yang dilakukan oleh kedua orang perempuan itu?”

“Mereka berkhianat.”

“Apa yang dilakukannya?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia pun kemudian berpaling ke pintu dapur. Baru kemudian ia menjawab, “Sebenarnya keduanya tidak bersalah. Tetapi Nyi Kantil itulah yang memasukkan laki-laki ke bilik perempuan-perempuan itu, sehingga Pangeran menjadi marah. Laki-laki dan perempuan itu telah dibunuhnya.”

“Dalam waktu yang bersamaan?”

“Tidak. Peristiwanya berselang sekitar sebulan.”

Ranti masih akan bertanya, tetapi laki-laki itu bergegas keluar sambil berdesis, “Keberadaanku di sini akan dapat menjerat leherku.”

Ranti yang memaklumi keadaannya, membiarkannya pergi tanpa bertanya lebih jauh. Ia pun kemudian sibuk melanjutkan kerja yang ditinggalkan oleh Kantil.

Namun agaknya Ranti dapat menebak bahwa Kantil memang memberikan kesempatan kepadanya untuk bertemu dan berbicara dengan para pengikut Pangeran Ranapati, untuk mendapat kesempatan pada suatu saat menjebaknya.

“Tetapi tentu tidak akan secepat ini,” berkata Ranti di dalam hatinya.

Tetapi dengan demikian, Ranti harus menjadi lebih berhati-hati. Ternyata Kantil adalah seorang perempuan yang berhati iblis.

Ketika kemudian Kantil kembali ke dapur, laki-laki yang dipesan Pangeran Ranapati untuk menyiapkan minuman bagi tamu-tamunya itu sudah tidak ada di dapur.

“Dimana orang itu?” bertanya Kantil.

“Maksud Mbokayu?”

“Laki-laki itu?”

“Yang menyampaikan pesan Pangeran kepada Mbokayu?”

“Ya.”

“Laki-laki itu pergi bersamaan dengan saat Mbokayu membawa minuman ke serambi depan.”

Kantil mengerutkan keningnya. Ia mengharapkan laki-laki itu berbincang-bincang dengan Ranti sepeninggalnya. Meskipun yang dibicarakan soal apa pun, tetapi ia sudah mendapat satu kesempatan untuk melontarkan tuduhan pertama. Tetapi ternyata laki-laki itu sudah pergi.

“Laki-laki pengecut,” katanya di dalam hati. “Matanya buta, sehingga ia tidak melihat perempuan cantik di depan hidungnya.”

Tetapi Kantil itu masih mempunyai banyak sekali kesempatan. Pada suatu saat, ia tentu dapat menuduh perempuan itu berkhianat, sebagaimana pernah dilakukannya. Tentu ada laki-laki dungu yang pada suatu saat mau masuk ke dalam biliknya, sebagaimana yang pernah terjadi.

Kantil pun kemudian melanjutkan kesibukannya di dapur, dibantu oleh Ranti. Namun Kantil masih juga sempat beberapa kali membentak Ranti karena kesalahan-kesalahan kecil, atau bahkan pada saat Ranti tidak melakukan kesalahan apa pun.

Tetapi Ranti berusaha untuk tetap sabar. Ia berusaha untuk tabah mendengarkan segala macam caci-maki dan bentakan-bentakan perempuan iblis itu. Tetapi setiap kali mereka berada di depan Pangeran Ranapati, maka sikap Kantil menjadi sangat lembut, melampaui lembutnya sikap seorang ibu kepada gadis kecilnya.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Pangeran Ranapati itu pun telah masuk ke dapur sambil berkata, “Kantil. Aku akan pergi sebentar bersama Ki Panji Wangsadrana.”

Dengan sikap yang dibuat-buat Kantil itu pun bertanya, “Pangeran akan pergi ke mana?”

“Ada sesuatu yang penting yang harus aku lakukan. Mungkin aku pulang jauh malam. Segala sesuatunya tergantung pada tugas yang aku lakukan.”

“Silakan, Pangeran. Hamba mohon Pangeran cepat pulang. Hamba tidak dapat terlalu lama Pangeran tinggalkan.”

“Baik, Kantil. Aku akan segera pulang, demikian aku selesai dengan pekerjaanku.”

“Hamba mohon Pangeran berhati-hati.”

“Tentu, Kantil. Tetapi tidak ada orang yang dapat menggangguku tanpa harus menebus dengan nyawanya.”

“Hamba percaya, Pangeran. Meskipun demikian mungkin, saja ada orang yang licik, yang dengki dan iri terhadap Pangeran, berbuat curang.”

Pangeran Ranapati tersenyum. Katanya, “Jangan cemas. Aku akan kembali.”

Kantil itu pun kemudian mengikut Pangeran Ranapati sampai turun ke halaman depan. Tamu-tamunya, terutama Ki Panji Wangsadrana mengangguk hormat kepadanya sambil mohon diri, “Kami mohon diri, Nyi Mas.”

“Silakan, Ki Panji.”

Demikian mereka keluar dari regol halaman, maka Kantil pun kembali ke dapur. Tetapi ia tidak segera menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan ia pun berkata kepada Ranti, “Selesaikan kerja ini. Pangeran Ranapati tidak akan makan di rumah siang nanti, bahkan sore nanti. Biar nanti sore saja aku menyiapkan makan malam, jika Pangeran Ranapati kembali nanti.”

Ranti hanya dapat mengangguk mengiyakan. Tetapi Ranti itu pun berkata dengan ragu, “Tetapi aku tidak dapat masak, Mbokayu. Mungkin masakanku akan terasa tidak enak. Apalagi bagi Pangeran Ranapati.”

“Kau tidak akan masak buat Pangeran Ranapati. Sudah aku katakan, aku nanti yang akan masak bagi Pangeran Ranapati. Kau masak buat kau makan sendiri. Mungkin aku, jika aku tidak menjadi mual makan masakanmu.”

Ranti tidak berbicara lagi. Sementara itu Kantil pun telah meninggalkan dapur. Sejenak kemudian, Kantil itu telah berbaring di biliknya. Ia lebih senang tidur daripada berbuat sesuatu, jika Pangeran Ranapati tidak ada di rumah.

Di dapur, Ranti menjadi sibuk sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Rara Wulan sudah terbiasa berada di dapur. Ia adalah seorang perempuan yang sebenarnya pandai masak. Tetapi di rumah itu, ia sengaja membuat masakannya tidak terlalu enak. Ia sengaja membuat makanannya terasa kurang garam, sedangkan santannya terlalu cair.

Ranti menyadari bahwa di belakang dapur itu berkeliaran beberapa orang laki-laki pengikut Pangeran Ranapati. Tetapi Ranti berusaha untuk tidak terjebak karenanya. Karena itu ia sama sekali tidak mempedulikannya. Sementara laki-laki yang ada di belakang itu pun tidak ada yang berani menyapanya. Mereka sadar bahwa sedikit saja mereka melakukan kesalahan karena keberadaan perempuan itu, maka mereka akan dapat disingkirkan untuk selama-lamanya, seperti yang pernah terjadi sebelumnya.

Karena itu maka Ranti pun dapat bekerja dengan tenang di dapur, sementara Kantil pun masih saja berada di biliknya. Bahkan ia berharap bahwa ada seorang laki-laki yang mendatangi Ranti di dapur.

Tetapi tidak seorang pun yang akan membiarkan kepalanya dipenggal, atau tubuhnya digantung di dahan pohon benda di sudut kebun di belakang. Karena itu, tidak seorang pun yang berani mengusik Ranti yang sedang bekerja di dapur seorang diri. Apalagi Ranti pun kemudian telah menutup pintu belakang dapur itu.

Ranti sudah terbiasa bekerja cepat. Karena itu maka ia pun dengan cepat pula menyelesaikan masakan yang sudah dimulai oleh Kantil. Namun Ranti itu sengaja membuat masakannya tidak terlalu enak. Bahkan terasa hambar karena kurang garam.

Setelah selesai dengan masakannya, Ranti masih duduk sendiri di dapur. Ia sempat melihat-lihat tatanan perabot di dapur. Nampaknya Kantil memang seorang yang rajin. Ia menata perabot dapur dengan teratur. Dipilih-pilihnya perabot yang mudah pecah dan yang tidak. Kemudian yang terbuat dari bambu dan kayu, yang lain gerabah dan sebangsanya. Di sudut paga bambu terdapat perabot yang terbuat dari tembaga.

Ranti itu pun kemudian bangkit berdiri. Diamatinya perabot itu satu-satu, seakan-akan ia ingin menghitung, apa saja yang berada di dapur itu.

Sementara itu peralatan dapur yang baru saja dipakai oleh Ranti, telah dicucinya pula sehingga bersih. Ia pun menempatkan alat-alat dapur itu di tempatnya, sesuai dengan yang telah diatur oleh Kantil.

Ketika matahari mulai turun, maka Kantil itu pun telah keluar dari biliknya. Ketika ia pergi ke dapur, ia melihat Ranti itu masih berada di dapur.

“Apa yang kau lakukan di sini, he?” bertanya Kantil.

“Menyelesaikan kerja Mbokayu. Kemudian mencuci alat-alat dapur yang aku pergunakan, dan menempatkannya di tempat yang barangkali sesuai dengan keinginan Mbokayu.”

Sekilas Kantil memang melihat segala sesuatunya telah diatur dengan rajin sebagaimana ia lakukan. Tetapi justru karena itu ia menjadi semakin tidak senang kepada Ranti. Dengan kasar Kantil itu pun membentak, “Kenapa kau tidak menyiapkan makan siang bagiku? Apa kau kira jika Pangeran Ranapati tidak ada di rumah, aku tidak perlu makan?”

“Mbokayu belum memerintahkannya. Aku takut.”

Kedengkian Kantil agak terhibur ketika ia melihat wajah Ranti yang membayangkan ketakutan. Wajah itu menunduk dalam-dalam dengan pandangan mata yang terhunjam di lantai.

“Sekarang aku perintahkan kepadamu, supaya kau menyiapkan makan siang buatku.”

“Ya, Mbokayu. Tetapi dimana aku harus menyiapkan makan siang itu? Di ruang dalam atau di dapur ini saja?”

“Kau memang seorang perempuan yang dungu. Aku bukan budak di sini. Aku adalah istri Pangeran Ranapati. Bukankah kau pernah melihat bahwa aku selalu berada di dekatnya? Pada saat Pangeran Ranapati minum-minuman hangat di pagi hari serta makan beberapa potong makanan, aku juga menyertainya. Seharusnya kau tahu, bahwa aku akan makan di tempat Pangeran Ranapati makan, meskipun Pangeran Ranapati itu tidak ada di rumah.”

“Baiklah, Mbokayu. Aku akan menyiapkan makan Mbokayu di ruang dalam.”

“Kaulah yang nanti makan di sini setelah aku selesai.”

Ranti tidak menjawab. Tetapi rasa-rasanya ia ingin meremas bibir Kantil yang memuntahkan kata-katanya yang sangat menyakiti hatinya itu. Atau bahkan memotong lidahnya.

Tetapi Ranti tidak dapat melakukannya dengan tergesa-gesa. Ia harus membiarkan dirinya direndahkan, karena hal itu merupakan bagian dari pengorbanannya untuk mendapatkan keterangan lebih jauh tentang Pangeran Ranapati.

Selama ia berada di rumah itu, ia baru mendapatkan satu keterangan yang dapat disampaikannya kepada Glagah Putih, bahwa ada pejabat Panaraga yang sering datang ke rumah Pangeran Ranapati. Pejabat itu juga datang dari Mataram bersama Pangeran Jayaraga.

Demikianlah, maka Ranti pun telah menyiapkan makan siang Kantil di ruang dalam. Ia mencoba mengatur makan yang disiapkan itu sebagaimana seharusnya. Tetapi ada juga yang dengan sengaja dibuatnya tidak terlalu rapi.

Sebenarnyalah ketika Kantil kemudian duduk menghadapi makan siangnya, maka ia pun segera berteriak memanggil Ranti. Sehingga dengan tergesa-gesa Ranti pun berlari-lari kecil datang ke ruang dalam.

“Apakah matamu tidak dapat melihat apa yang baik dan apa yang buruk?” bertanya kantil.

“Maksud Mbokayu?”

“Lihat! Pantaskah seorang perempuan mengatur kelengkapan makan siang seperti ini? Apakah aku harus meloncat-loncat untuk menyenduk nasi, kemudian memungut lauknya yang kau letakkan di seberang ceting nasi. Kemudian sayurnya dan sambalnya yang berserakan?” 

Ranti hanya menundukkan kepalanya. Tetapi Kantil tidak memberitahukan bagaimana sebaiknya ia mengatur nasi, lauk pauk dan sayurnya, sambalnya serta mangkuk-mangkuknya.

Ranti pun tahu, bahwa Kantil tentu berusaha agar Ranti tetap saja bodoh dan tidak dapat menyiapkan dan menata makan siang dengan pantas. Dengan demikian maka Pangeran Ranapati pun akan muak kepadanya.

Namun sejenak kemudian, Kantil itu pun membentaknya, “Sekarang, pergi! Kau baru akan makan setelah aku selesai makan. Atau barangkali kau sudah makan lebih dahulu, ketika kau berada di dapur sendirian?”

“Belum, Mbokayu. Aku belum makan.”

“Sekarang pergilah. Kenapa kau masih ada di situ?”

Ranti itu pun kemudian meninggalkan Kantil sendiri di ruang dalam. Tetapi Ranti pun menduga, jika Kantil sudah mencicipi sayurnya yang hambar, maka ia tentu akan berteriak-teriak lagi memanggilnya.

Sebenarnyalah bahwa demikian Ranti meletakkan tubuhnya, duduk di amben panjang di dapur, ia sudah mendengar lagi Kantil itu berteriak memanggilnya.

Ranti tersenyum. Namun ia pun berlari-lari kecil ke ruang dalam. Demikian ia memasuki ruang dalam, maka ia sudah tidak tersenyum lagi. Bahkan wajahnya menjadi ketakutan serta menunduk dalam-dalam.

“Kau ini perempuan atau bukan, Ranti?” bertanya Kantil.

“Kenapa Mbokayu?”

“Bagaimana aku dapat makan kalau begini caramu memasak sayur?”

“Aku tidak mengerti, Mbokayu.”

“Cicipi masakanmu! Cicipi!” bentak Kantil sambil menyodorkan mangkuknya.

Ranti masih saja nampak kebingungan. Namun kemudian Kantil pun melekatkan mangkuknya ke mulut Ranti sambil berkata, “Kau kira aku dapat makan sayur seperti ini?”

Ranti yang tidak mengira bahwa mangkuk itu akan dilekatkan ke mulutnya, tidak sempat mengelak. Namun sebenarnya Ranti sudah tahu bahwa sayur itu rasanya sangat hambar.

“Apakah sepanjang umurmu kau belum pernah masak?”

“Sudah, Mbokayu. Aku sering membantu ibu masak. Di Panaraga aku juga masak untuk kakakku.”

“Lidah mereka adalah lidah yang mati. Tetapi kau tidak dapat menghidangkan masakan seperti itu kepadaku.”

“Aku memang tidak pandai memasak, Mbokayu.”

“Bawa semuanya ini ke dapur. Kau sajalah yang makan masakanmu sendiri, karena hanya kau yang mau makan masakan yang rasanya seperti air limbah itu.”

Ranti tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi semakin menunduk. Sementara Kantil pun membentaknya pula, “Bawa semuanya pergi! Kau harus menghabiskan masakanmu itu. Kau sendiri yang masak, maka biarlah kau sendiri yang makan.”

Ranti tidak berani bertanya. Yang dilakukannya, adalah membawa nasi serta sayur dan lauknya itu ke dapur. Namun Ranti pun kemudian menjadi ragu-ragu, apakah ia dapat makan atau tidak, sementara Kantil sendiri belum makan.

Tetapi ternyata Kantil yang marah itu masuk ke dalam biliknya, sehingga Ranti pun kemudian mempunyai waktu untuk makan.

Ranti sendiri menaburkan garam di mangkuknya, sehingga dengan demikian maka masakannya menjadi tidak terlalu hambar, meskipun itu masih terhitung kurang enak.

Setelah makan, maka Ranti pun telah mencuci mangkuk-mangkuk yang kotor. Ia tahu bahwa sore nanti, Kantil akan masak untuk menyediakan makan malam Pangeran Ranapati.

Setelah segala sesuatunya selesai, maka Ranti pun masuk ke dalam biliknya. Setelah menutup pintunya rapat-rapat, maka Ranti pun berusaha mencari hubungan dengan Glagah Putih dengan Aji Pamelingnya.

Karena Glagah Putih berada di tempat yang agak jauh, maka isyarat yang saling mereka berikan menjadi tidak sejelas jika Glagah Putih berada di halaman rumah itu.

Kepada Glagah Putih, Ranti sempat menceritakan pengalamannya, sehingga Glagah Putih tertawa karenanya.

Tetapi Glagah Putih pun berpesan, “Kau harus bersabar, Rara Wulan. Kau harus berusaha mengetahui apa yang dilakukan Ki Panji Wangsadrana di rumah Pangeran Ranapati. Pada kesempatan lain jika orang itu datang lagi, beritahu aku. Aku akan mencoba mengikuti mereka.”

“Kau harus berhati-hati, Kakang. Nampaknya Ki Wangsadrana selalu dikawal oleh prajurit-prajuritnya. Tetapi betapapun sulitnya, aku akan berusaha mengetahui apa yang dilakukan oleh Ki Panji Wangsadrana.”

“Tetapi kau harus berhati-hati, Rara,” pesan Glagah Putih.

Dalam pada itu, Glagah Putih sendiri berusaha menghubungi para pejabat di Istana Kadipaten Panaraga.

Madyasta yang sudah lebih lama berada di Panaraga, ternyata mempunyai seorang kawan yang menjadi seorang lurah prajurit di Panaraga. Meskipun pengenalannya atas kadipaten itu sangat terbatas, tetapi ternyata bahwa dari lurah prajurit itu Madyasta mendapat beberapa keterangan awal, yang agaknya dapat dipergunakan untuk menelusuri keterangan-keterangan lebih banyak.

Sementara itu, Rara Wulan masih harus menunggu kesempatan untuk dapat mengetahui keperluan Ki Panji Wangsadrana lebih jauh.

Seperti yang direncanakan, di sore hari Kantil telah memanggil Ranti untuk membantunya bekerja di dapur. Tetapi sebagaimana Kantil tidak memberitahu caranya mengatur hidangan makan, maka Kantil pun tidak mengajarinya agar Ranti itu dapat masak masakan yang lebih enak dan tidak hambar.

Yang dilakukan Ranti kemudian hanyalah menyalakan api, mengambil air, mencuci sayuran dan kerja yang lain, yang tidak langsung berhubungan dengan memasak sayur dan membuat lauk.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Ranti tahu benar apa yang dilakukan Kantil. Ia pun dapat memasak sebagaimana Kantil itu, dan bahkan mungkin masakan Ranti justru lebih enak dari masakan Kantil.

Kantil masih saja sering membentak-bentak, menyindir, marah dan segala macam cela yang sangat menjengkelnya. Tetapi Ranti masih harus tetap bersabar dan menahan hatinya, yang sebenarnya sudah hampir meledak.

Menjelang senja, segala sesuatunya sudah siap. Karena di siang hari Kantil masih belum makan, maka Kantil pun tidak menunggu kedatangan Pangeran Ranapati. Meskipun sedikit, tetapi Kantil makan lebih dahulu, karena ia tidak dapat menahan lapar.

“Kau makan setelah Pangeran Ranapati makan malam nanti.”

“Ya, Mbokayu,” sahut Ranti. Tetapi di hatinya ia bertanya, “Kalau Pangeran Ranapati itu tidak pulang?”

Tetapi Ranti adalah orang yang terlatih. Ia memang dapat merasa haus dan lapar sebagaimana orang lain. Tetapi dalam keadaan memaksa, maka Ranti dapat saja menahan lapar, bahkan lebih dari satu hari satu malam. Pada saat ia harus menjalani laku sampai tiga hari tiga malam, dan kemudian pati geni sehari semalam, ia masih saja tetap tegar dan mampu melakukan kewajiban yang dibebankan kepadanya.

Ketika kemudian malam turun, maka seorang abdi Pangeran Ranapati itu telah menyalakan lampu di setiap ruangan dan di serambi. Bahkan di luar rumah dan di pintu regol telah dinyalakan oncor pula.

Tetapi biasanya Pangeran Ranapati pulang jauh malam atau bahkan menjelang dini hari. Bahkan jika banyak tugas yang harus dilakukan, Pangeran Ranapati sering tidak pulang sampai dua tiga hari.

Karena itu, malam itu Kantil pun tidak menunggu kedatangan Pangeran Ranapati. Demikian malam menjadi semakin dalam, maka Kantil pun telah pergi ke biliknya. Namun sebelumnya ia telah memerintahkan seorang abdi untuk menyelarak semua pintu. Bahkan pintu dapur sekalipun. Namun yang harus menyelarak pintu butulan adalah justru Ranti, setelah abdi itu keluar dari rumah.

“Pintu bilikmu sudah tidak diselarak dari luar lagi, Ranti. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau mempunyai kebebasan mutlak dan dapat meninggalkan rumah ini. Di luar ada orang yang bertugas berjaga-jaga. Jika kau berusaha untuk lari dari rumah ini, maka kau akan mengalami nasib yang sangat buruk. Oleh Pangeran Ranapati kau akan dilemparkan kepada laki-laki yang ada di rumah ini, apa pun yang kemudian akan terjadi atas dirimu.”

Ranti hanya menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Nah, sekarang pergilah kebilikmu. Jangan keluar lagi.”

“Apakah aku tidak boleh ke pakiwan di malam hari, Mbokayu? Jika aku tidak pergi ke pakiwan, maka perutku menjadi sakit.”

“Sekarang pergilah ke pakiwan. Cepat! Kau dapat keluar lewat pintu butulan yang kau selarak dari dalam.”

Ranti menjadi ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia pergi ke pakiwan. Sebenarnyalah bahwa Ranti ingin sekedar melihat suasana di luar rumah di malam hari. Apakah para pengikut Pangeran Ranapati itu benar-benar melakukan tugasnya dengan baik.

Ternyata para pengikut Pangeran Ranapati adalah pengikut-pengikut yang patuh. Meskipun Pangeran Ranapati tidak ada, tetapi mereka tetap saja menjalankan tugas mereka. Di belakang, nampak empat orang yang berjaga-jaga di serambi. Tentu di depan dan di samping juga ada pengikut Pangeran Ranapati yang bertugas mengawasi keadaan.

Para pengikut yang bertugas itu pun melihat Ranti itu keluar dari pintu butulan dan pergi ke pakiwan. Tetapi tidak seorang pun yang berani menyapanya, karena hal itu akan dapat membawa mereka ke dalam bencana.

Karena itu maka Ranti justru merasa aman karena orang-orang yang bertugas berjaga-jaga itu.

Namun Ranti pun sebenarnya tidak segera masuk ke dalam pakiwan. Di bawah bayang-bayang kegelapan, Ranti pun menyelinap. Ia ingin melihat sendiri kesiagaan di halaman samping rumah itu.

Sebenarnyalah bahwa para pengikut Pangeran Ranapati adalah pengikut yang setia.

Baru setelah mengamati keadaan di sekitar rumah itu, Ranti pun singgah sebentar di pakiwan.

Ketika ia kembali masuk lewat pintu butulan, Kantil itu membentaknya, “Apa yang kau lakukan, he? Begitu lama kau berada di pakiwan?”

“Maaf, Mbokayu. Perutku memang agak sakit.”

“Apakah kau sudah kelaparan?”

“Tidak, Mbokayu. Tidak.”

“Apa kau berhenti dan bercanda dengan laki-laki yang bertugas malam ini?”

“Tidak, Mbokayu. Sama sekali tidak. Aku tidak mengenal seorang pun di antara mereka.”

“Kalau kau sudah menyelarak pintu itu kembali, maka segera masuk ke bilikmu. Kau akan dibangunkan dan membantuku menyediakan makan Pangeran Ranapati, jika Pangeran pulang. Baru setelah itu kau boleh makan.”

“Ya, Mbokayu.”

“Kau harus mengucapkan terima kasih kepadaku, bahwa aku telah memberikan banyak kebebasan kepadamu.”

Ranti mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Ya, Mbokayu. Aku sangat berterima kasih kepada Mbokayu. Apapun yang harus aku lakukan, itu lebih baik daripada aku harus tetap berada di dalam bilik itu.”

“Sekarang masuk ke dalam bilikmu. Jangan keluar lagi, meskipun aku tidak akan menyelaraknya dari luar.”

“Ya, Mbokayu.”

Ranti pun kemudian masuk ke dalam biliknya. Tetapi Kantil masih duduk di ruang dalam, menunggu kedatangan Pangeran Ranapati dan mengawasi Ranti, seandainya Ranti keluar dari biliknya dengan diam-diam.

Tetapi Ranti memang tidak lagi keluar dari biliknya. Pada saat Kantil menduga bahwa Ranti sudah tidur nyenyak, namun sebenarnya Ranti tengah berhubungan dengan Glagah Putih dengan Aji Pamelingnya.

“Hati-hatilah,” berkata Glagah Putih, “jangan terjebak oleh permainan istri Pangeran Ranapati itu.”

“Aku akan sangat berhati-hati, Kakang.”

Di malam hari, Ranti pun menjadi sangat berhati-hati. Ia telah meletakkan sebuah sapu ijuk bertangkai bambu di depan pintu. Jika pintu itu dibuka, maka tangkai sapu ijuk itu akan roboh. Bagi Rara Wulan, bunyi tangkai sapu ijuk itu sudah cukup keras untuk membangunkannya.

Malam itu ternyata Pangeran Ranapati pulang sebelum jauh malam. Sebelum tengah malam, Pangeran Ranapati sudah mengetuk pintu rumahnya sambil memanggil nama Kantil.

Kantil pun dengan tergesa-gesa pergi ke ruang depan untuk membuka pintu pringgitan.

Ranti yang masih belum tidur itu juga mendengar bahwa Pangeran Ranapati telah pulang.

Namun agaknya Pangeran Ranapati itu tidak sendiri. Ia datang bersama beberapa orang. Seorang di antara mereka ternyata adalah Mas Panji Wangsadrana.

“Marilah, silakan duduk di ruang dalam saja,” Pangeran Ranapati mempersilakan.

“Baik, Pangeran,” sahut Mas Panji Wangsadrana.

Mereka pun kemudian duduk di ruang dalam. Dengan mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, Ranti sempat mendengar Kantil mempersilahkan mereka duduk.

“Buatkan kami minuman, Kantil,” berkata Pangeran Ranapati.

“Baik, Pangeran,” sahut Kantil.

Ranti pun menyadari bahwa Kantil tentu akan membangunkannya dan minta kepadanya untuk membantunya menyiapkan minuman di dapur.

Namun dengan Aji Sapta Pangrungu, Ranti masih mendengar Pangeran Ranapati berkata, “Aku sangat kecewa.”

“Tentu ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan,” berkata Ranti di dalam hatinya.

Namun ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Ia pun segera mendengar pintu biliknya diketuk oleh Kantil.

“Bangun, pemalas!” panggil Kantil.

Ranti pun segera bangkit. Untunglah Kantil tidak membuka pintunya dari luar, sehingga tangkai sapu ijuknya tidak roboh dan mungkin agak mengejutkannya.

Ranti pun kemudian telah berada di dapur bersama Kantil. Ranti pun harus segera menyalakan api dan menjerang air.

“Jangan terlalu banyak, bodoh! Seperlunya saja, agar lebih cepat mendidih.”

“Ya, Mbokayu,” jawab Ranti dengan nada rendah.

Ketika Ranti kemudian duduk di depan perapian, meskipun ia mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, namun ia tidak lagi dapat mendengar pembicaraan antara Pangeran Ranapati dengan tamu-tamunya. Tetapi satu hal telah diketahuinya, bahwa Pangeran Ranapati malam itu menjadi kecewa.

Demikian minuman itu siap, maka Ranti berharap bahwa Kantil akan memerintahkannya membawa ke ruang depan. Tetapi ternyata Kantil sendirilah yang membawa minuman itu kepada Pangeran Ranapati dan tamu-tamunya.

Namun ketika Kantil tidak ada di dapur, sementara Ranti duduk dengan memusatkan pendengarannya dengan Aji Sapta Pangrungu, ia masih dapat mendengar lamat-lamat, dan bahkan kadang-kadang hilang tetapi kadang-kadang timbul kembali, Pangeran Ranapati itu mendesak kepada Mas Panji Wangsadrana, “Jangan terlalu lama, Mas Panji. Aku ingin Mas Panji melakukannya lebih cepat lagi.”

“Aku akan berusaha, Pangeran,” jawab Mas Panji. Tetapi pembicaraan mereka pun terhenti. Yang terdengar kemudian adalah suara Kantil yang hilang-hilang timbul, mempersilakan tamu-tamunya minum.

Bahkan Kantil itu pun bertanya, “Apakah hamba harus mempersiapkan makan malam, Pangeran?”

“Ya. Siapkan makan malam bagi kami.”

“Baik, Pangeran.”

Ketika Kantil kembali ke dapur, maka ia pun menjadi sibuk memanasi sayur dan lauk yang akan dihidangkan. Katanya kepada Ranti, “Siapkan mangkuk-mangkuk. Cepat!”

Ranti pun kemudian dengan cepat telah menyiapkan mangkuk-mangkuk yang diperlukan, sementara Kantil pun menyiapkan segala sesuatunya. Kantil sendirilah yang kemudian mengatur dan menghidangkan makan malam itu.

Ternyata Ranti tidak dapat lagi menangkap pembicaraan mereka yang sedang makan di ruang depan.

Sementara itu, Kantil tidak segera kembali ke dapur. Agaknya Kantil menunggui Pangeran Ranapati dan tamu-tamunya yang sedang makan.

Di dapur, Ranti berusaha untuk dapat berhubungan dengan Glagah Putih. Agaknya Glagah Putih sudah tidur nyenyak. Namun akhirnya Glagah Putih itu terbangun dan berusaha menerima pesan-pesan Ranti.

Kepada Glagah Putih, Ranti menceritakan bahwa nampaknya Pangeran Ranapati itu menjadi sangat kecewa malam itu. Tetapi Ranti tidak dapat mengetahui kenapa Pangeran Ranapati itu menjadi kecewa.

“Usahakan mengikuti persoalannya, Rara,” pesan Glagah Putih. “Nampaknya Pangeran Ranapati sedang merencanakan sesuatu yang berhubungan dengan tugas Pangeran Jayaraga.”

“Apakah Pangeran Ranapati sudah berhubungan dengan Pangeran Jayaraga?” bertanya Rara Wulan.

“Pangeran Jayaraga sudah mendengar bahwa di Panaraga telah hadir pula seorang Pangeran. Seorang saudara tua Pangeran Jayaraga yang bernama Pangeran Ranapati, putra Panembahan Senapati, yang sejak masa kanak-kanaknya tidak berada di Istana.”

“Apa tanggapan Pangeran Jayaraga?”

“Pangeran Jayaraga ingin bertemu dengan Pangeran Ranapati, yang mengaku sebagai saudara tua Pangeran Jayaraga.”

“Apakah mereka sudah bertemu?”

“Belum.”

“Mungkin karena itu Pangeran Ranapati menjadi sangat kecewa. Tetapi mungkin ada persoalan yang lain.”

“Baiklah. Usahakan untuk mengetahui lebih banyak tentang Pangeran Ranapati.”

“Baik, Kakang.”

Hubungan itu terputus. Ternyata Pangeran Ranapati serta para tamunya telah selesai makan. Kantil telah membawa mangkuk-mangkuk yang kotor ke dapur. Ketika Ranti akan membantunya mengambil mangkuk-mangkuk kotor itu, Kantil membentaknya, “Kau harus mencucinya! Kau tidak perlu ikut-ikutan melakukan tugasku, jika aku tidak memberikan perintah kepadamu.”

“Ya, Mbokayu,” jawab Ranti. Namun sikap Kantil itu telah sangat membatasi tugas-tugas Ranti untuk mengetahui lebih banyak tentang Pangeran Ranapati. Tetapi jika ia berusaha untuk melampauinya, maka kemungkinan buruk akan dapat segera terjadi. Justru terlalu cepat, sebelum ia mengetahui lebih banyak tentang Pangeran Ranapati.

Karena itu, yang dilakukan oleh Ranti adalah merendahkan dirinya, tunduk kepada semua perintah perempuan yang merasa dirinya sebagai istri Pangeran Ranapati itu.

Beberapa saat kemudian, Mas Panji Wangsadrana dan kawan-kawannya itu pun minta diri. Ketika Kantil juga melepas mereka sampai ke tangga, dengan Aji Sapta Pangrungu, Ranti yang berada di dapur masih dapat mendengar Pangeran Ranapati itu sekali lagi menyatakan kekecewaannya.

“Aku harap Ki Panji tidak gagal lagi.”

“Aku akan berusaha, Pangeran,” jawab Ki Panji.

Yang kemudian terdengar adalah Ki Panji itu minta diri beserta kawan-kawannya. Juga kepada Kantil.

Demikian tamu-tamu itu meninggalkan rumah Pangeran Ranapati, maka dengan Aji Sapta Pangrungu, Ranti mencoba untuk mendengarkan pembicaraan Pangeran Ranapati dengan Kantil di ruang dalam. Di ruang itu lebih dekat dengan dapur.

“Apa sebenarnya yang terjadi Pangeran?” bertanya Kantil.

“Ternyata aku telah bekerja sama dengan orang-orang bodoh seperti Panji Wangsadrana.”

“Apa yang seharusnya dilakukan?”

“Kau tidak usah ikut memikirkannya. Itu adalah persoalanku, bukan persoalanmu.”

“Mungkin aku akan dapat ikut memikirkannya.”

“Apa yang dapat kau pikirkan, kecuali sambal terasi? Sudahlah. Kau tidak usah mencoba mencampuri urusanku.”

“Baik, Pangeran.”

“Sekarang aku akan pergi ke pakiwan. Aku sudah mengantuk. Aku akan tidur.”

Pangeran Ranapati itu pun segera pergi ke pakiwan. Sementara itu Kantil pergi ke dapur untuk melihat Ranti yang masih sibuk mencuci mangkuk.

“Kau selesaikan kerjamu,” berkata Kantil, “kau boleh makan. Aku akan tidur. Setelah selesai, kau pun harus segera masuk ke dalam bilikmu. Jangan mencoba untuk melarikan diri dari rumah ini. Setiap sudut mendapat pengawasan yang ketat.”

“Apakah aku boleh pergi ke pakiwan, Mbokayu?”

“Untuk apa?”

“Mencuci tangan dan kaki.”

“Nanti sesudah selesai kerjamu. Sesudah itu kau harus masuk ke dalam bilikmu.”

“Baik, Mbokayu.”

Ketika kemudian Kantil masuk, Ranti sekali lagi mencoba menghubungi Glagah Putih. Ketika Glagah Putih menyahut, maka Ranti pun bertanya, “Apakah kau mengenal orang yang bernama Panji Wangsadrana?”

“Mas Panji Wangsadrana?”

“Ya.”

“Aku pernah mendengar nama itu.”

Ranti pun kemudian berkata, “Lacak orang itu.”

“Baik. Aku akan berusaha,” jawab Glagah Putih.

Ranti pun kemudian menghentikan hubungannya dengan Glagah Putih lewat Aji Pameling. Ia pun kemudian lewat pintu butulan keluar, pergi ke pakiwan.

Ternyata para pengikut Pangeran Ranapati memang orang-orang yang setia. Mereka sama sekali tidak beranjak dari tugas mereka. Bahkan ada pula di antara mereka yang bertugas meronda berkeliling halaman rumah itu.

Tetapi sebenarnya para pengikut Pangeran Ranapati yang bertugas itu tidak akan merupakan penghambat yang tidak tertembus, seandainya Rara Wulan minta Glagah Putih datang menghubunginya secara langsung. Tetapi nampaknya Rara Wulan masih belum memerlukannya.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang masih menganggap bahwa Rara Wulan masih tetap aman, memusatkan perhatiannya kepada orang yang bernama Mas Panji Wangsadrana. Dari Madyasta, Glagah Putih pun kemudian mengetahui bahwa Mas Panji Wangsadrana adalah orang Mataram yang datang ke Panaraga bersama Pangeran Jayaraga.

“Ternyata Pangeran Ranapati telah berhasil membuat hubungan dengan Mas Panji Wangsadrana,” berkata Glagah Putih.

“Ya,” sahut Madyasta. “Agaknya berita tentang keberadaan seorang Pangeran di Panaraga yang didengar Pangeran Jayaraga itu juga dari Mas Panji Wangsadrana.”

“Ya. Tetapi apakah hubungan Mas Panji dengan Pangeran Jayaraga cukup dekat?”

“Ya. Mas Panji Wangsadrana merupakan salah seorang kepercayaan Pangeran Jayaraga.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia pun kemudian telah berpesan kepada Madyasta untuk mengikuti sikap dan tingkah laku Mas Panji Wangsadrana. Mungkin ada sesuatu yang dapat menarik perhatian.

Di hari berikutnya, Glagah Putih telah dihubungi kembali oleh Rara Wulan, yang memberitahukan bahwa agaknya usaha Mas Panji Wangsadrana sudah berhasil.

“Apa yang diusahakan, Rara?”

“Aku belum tahu, Kakang. Mungkin Kakang Madyasta dapat mencari jawabnya.”

Dalam pada itu, di hari berikutnya, Madyasta dengan agak tergesa-gesa menghubungi Glagah Putih. Baru saja ia mendengar bahwa Pangeran Jayaraga akan mengadakan adon-adon. Sebagai orang yang belum lama bertugas di Panaraga, Pangeran Jayaraga akan membuka semacam pendadaran untuk mendapatkan seorang yang terbaik, yang akan dapat menjadi pemimpin bagi prajurit Panaraga.

“Apakah hal ini sudah terbiasa dilakukan di sini?” bertanya Glagah Putih.

“Kita sama-sama berasal dari Mataram. Tetapi menurut orang Mataram, pendadaran semacam ini sering dilakukan, sejak masa Demak. Untuk mengangkat seorang Senapati, biasanya dilakukan dengan pendadaran. Bahkan di Mataram pernah diselenggarakan pertarungan untuk mendapatkan gelar Senapati terbaik di Mataram. Tentu saja bahwa pertarungan semacam itu dibatasi dengan berbagai aturan, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Ketika Mas Karebet, yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya di Pajang, marah kepada seorang yang memasuki pendadaran untuk menjadi Senapati karena kesombongannya, yang kemudian langsung dihadapinya sendiri, sehingga perasaan marahnya tidak terkendali dan membunuh peserta pendadaran itu, Mas Karebet telah mendapat hukuman berat. Mas Karebet diusir dari Demak. Ia tidak boleh menginjakkan kakinya lagi di Demak, sampai saatnya datang pengampunan.”

“Ya. Aku juga pernah mendengar cerita itu.”

“Jadi jika Pangeran Jayaraga ingin menyelenggarakan pendadaran untuk mendapatkan prajurit-prajurit baru yang tangguh, tentu wajar-wajar saja.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Sementara Madyasta pun berkata, “Bukankah saat kau memasuki dunia keprajuritan, kau juga mengikuti pendadaran?”

“Ya,” Glagah Putih masih mengangguk-angguk pula. “Jadi yang akan dilakukan itu sekadar pendadaran, bukan adon-adon? Sebab antara keduanya ada bedanya.”

“Ya. Antara keduanya memang ada bedanya. Inilah yang agak berbeda dari kebiasaan yang sering dilakukan di Mataram. Pangeran Jayaraga akan mengadakan semacam pertarungan bagi para peminat yang berilmu tinggi, untuk memperebutkan kedudukan Senapati. Menurut pendengaranku, maka pertarungan itu akan berlangsung sampai salah seorang di antara mereka yang bertarung itu tidak dapat melawan lagi.”

“Jadi ada kemungkinan bahwa orang itu akan mati?”

“Itulah yang mendebarkan jantung.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia menghubungkan keterangan Madyasta itu dengan pesan Rara Wulan, yang mengatakan bahwa usaha Mas Panji Wangsadrana itu sudah berhasil.

“Inikah yang dikehendaki oleh Pangeran Ranapati?” pertanyaan itu telah menggelitik jantung Glagah Putih. “Dengan demikian Pangeran Ranapati akan merintis jalan memasuki Istana Pangeran Jayaraga di Panaraga.”

Tetapi segala sesuatunya masih harus diyakinkannya lebih dahulu.

Namun demikian, Kantil itu pun menjadi agak cemas juga karena sikap Pangeran Ranapati, yang kemudian memang lebih sering berada di luar rumah bersama Mas Panji Wangsadrana. Yang ada di kepala Kantil adalah bahwa Pangeran Ranapati itu telah mempunyai simpanan perempuan yang lain, sehingga ia lebih banyak berada di rumah perempuan itu.

Kantil tidak pernah berpikir bahwa Pangeran Ranapati telah bekerja keras untuk ikut mengatur agar adon-adon yang akan diselenggarakan oleh Pangeran Jayaraga itu dapat terlaksana dengan baik dan secepatnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar