Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 394

Buku 394

“Jangan. Lalu dari mana kami mendapatkan dana bagi kepentingan kademangan dan padukuhan kami?”

“Itu adalah urusan kalian. Jika kalian tidak ingin terjadi, maka kalian harus menepati kewajiban kalian tentang pajak yang harus kalian bayar.”

“Ki Lurah,” berkata Ki Demang, “kami tidak dapat memutuskan sekarang. Kami akan berbicara dahulu dengan para bebahu kademangan dan padukuhan ini.”

“Apa yang akan kalian bicarakan? Cara untuk mendapatkan uang yang akan kalian pergunakan membayar pajak, atau cara untuk apa?”

“Masalah pajak itu sendiri.”

“Apa yang harus dibicarakan tentang pajak itu? Kalian harus membayarnya! Tidak ada jawaban lain. Itu pun harus kalian lakukan segera. Hari ini atau besok. Kami tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengurusi pajak kalian. Pekerjaan kami terlalu banyak. Apakah kalian kira tugas kami hanya mengurusi kalian?”

“Bukan begitu, Ki Lurah. Tetapi kami memerlukan waktu.”

“Ki Demang dan Ki Bekel, aku tidak mau tahu persoalan di antara kalian. Besok aku akan datang lagi. Jika besok kalian belum membayar pajak itu, maka orang-orangku ini akan menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Panji di Ngadireja.”

“Ki Lurah. Kami juga tidak tahu berapa banyak biaya yang dikeluarkan sebenarnya oleh Pangeran Jayaraga. Pangeran Jayaraga memang meninggalkan sejumlah uang. Tetapi selain yang kami keluarkan untuk membeli bahan-bahan bangunan, batu, batu bata, kayu dan yang lain-lain, orang-orang yang dikirim oleh Pangeran Jayaraga itu juga mengeluarkan uang bagi keperluan itu.”

“Besok aku akan menaksir berapa biaya pintu gerbang itu. Dengan demikian maka kami akan menentukan besar biaya yang harus kalian bayar.”

Ki Demang dan Ki Bekel nampak menjadi bingung. Beberapa orang yang mengerumuninya pun tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Yang memberikan perintah itu seorang lurah prajurit dan datang bersama beberapa orang prajuritnya.

Tetapi menurut pendapat orang-orang yang berkerumun itu, perintah lurah prajurit itu benar-benar tidak masuk akal. Namun lurah prajurit itu membawa wewenang dan kuasa dari Ki Panji di Ngadireja.

Tetapi tiba-tiba orang-orang yang berkerumun itu terkejut, ketika tiba-tiba saja dua orang, laki-laki dan perempuan, telah menyibak orang-orang yang berkerumun itu. Demikian ia berdiri di depan Ki Lurah, laki-laki itu pun berkata, “Aku setuju Ki Bekel dan Ki Demang menghadap Ki Panji di Ngadireja. Aku bersedia menyertai mereka.”

“Kau siapa, he?”

“Aku penghuni padukuhan ini. Rumahku di belakang pasar ini. Bahkan tanpa Ki Bekel dan Ki Demang, kami berdua akan pergi ke Ngadireja untuk menghadap Ki Panji. Persoalan tentang pajak atas bangunan yang dibuat oleh Pangeran Jayaraga ini memang memerlukan penjelasan.”

Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Kau kira kau ini siapa, he? Apa hakmu menghadap Ki Panji di Ngadireja?”

“Setiap orang dapat menghadap Ki Panji. Kami adalah rakyatnya. Karena itu kami berhak menyampaikan gejolak perasaan kami kepada Ki Panji, karena Ki Panji adalah pemimpin kami. Orang tua kami, yang wajib mengasuh, melindungi dan merawat kami.”

“Bicaramu seperti orang gila. Untuk menghadap Ki Panji ada tatanannya. Ada aturannya. Tidak setiap orang begitu saja dapat menghadap.”

“Ki Lurah. Kami ingin memberikan penjelasan tentang pintu gerbang pasar ini sejelas-jelasnya, agar Ki Panji mengerti bahwa tidak seharusnya Ki Panji minta Ki Bekel dan Ki Demang membayar pajak.”

“Cukup!” bentak Ki Lurah, “Aku dapat membungkam mulutmu.”

“Mungkin. Tetapi mulut tetanggaku, mulut para bebahu padukuhan ini dan bebahu kademangan? Mulut orang-orang pasar ini? Apakah Ki Lurah akan membungkam semuanya? Kalau membungkam itu Ki Lurah artikan membungkam untuk selama-lamanya, apakah Ki Lurah akan melakukan terhadap kami semuanya?”

Ki Lurah itu menggeretakkan giginya. Sementara Ki Bekel dan Ki Demang serta orang-orang padukuhan itu yang mengerumuninya menjadi bingung. Mereka belum pernah mengenal kedua orang laki-laki dan perempuan itu. Namun kedua orang itu mengaku bahwa mereka tinggal di belakang pasar ini.

Panggraita Ki Bekel dan Ki Demang yang tajam mampu meraba bahwa kedua orang itu tentu bukan orang yang tinggal di belakang pasar, tetapi kedua orang itu tidak dapat membiarkan Ki Lurah itu berbuat semena-mena. Tetapi perbuatan mereka itu akan dapat mengakibatkan malapetaka yang gawat bagi mereka berdua. Sementara itu Ki Bekel dan Ki Demang mengetahui bahwa para pemungut pajak adalah sekelompok orang yang tidak berjantung. Mereka dapat berbuat apa saja untuk memaksa orang-orang yang tinggal di daerah kuasanya untuk membayar pajak. Dibekali dengan sekelompok prajurit, maka pemungut pajak itu benar-benar mampu berbuat sebuas anak iblis yang bangkit dari neraka.

“Sudahlah.” berkata Ki Demang, “biarlah kami selesaikan masalah pajak ini. Sebaiknya kalian berdua tidak usah mencoba untuk menghadap Ki Panji di Ngadireja.”

“Harus ada yang menyampaikannya, Ki Demang,” sahut Glagah Putih. “Jika tidak ada yang berani menyampaikan kepada Ki Panji, maka persoalan seperti ini akan berlarut-larut. Bukankah tidak wajar sama sekali bahwa Ki Bekel dan Ki Demang harus membayar pajak atas pembuatan pintu gerbang pasar yang tidak pernah Ki Bekel dan Ki Demang buat? Kalau Ki Panji ingin memungut dengan paksa pajak atas pembuatan pintu gerbang pasar ini, seharusnya Ki Panji memaksa Pangeran Jayaraga, penguasa di Panaraga, untuk membayarnya.”

Kemarahan Ki Lurah hampir tidak terkendali. Tetapi seorang prajuritnya pun kemudian berkata, “Ki Lurah, baiklah kita mengalah. Marilah kedua orang ini kita bawa menghadap Ki Panji di Ngadireja. Biarlah mereka mengatakan apa yang ingin mereka katakan kepada Ki Panji. Tetapi mereka harus menanggung segala akibat dari perbuatan mereka itu. Jika Ki Panji marah dan kemudian berbuat di luar dugaan, sama sekali bukan tanggung jawab kita.”

Ki Lurah itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil menjawab, “Baiklah. Tetapi akibat yang dapat timbul karena kemarahan Ki Panji biarlah mereka tanggung sendiri.”

“Tidak, Ki Lurah.” sahut Ki Demang dengan serta-merta, “mereka tidak akan pergi menghadap Ki Panji. Biarlah aku dan Ki Bekel menyelesaikan pembayaran pajak ini dengan baik.”

“Nah, terserah kepada kalian, jalan yang manakah yang akan kalian tempuh.”

Namun Glagah Putih nampaknya tetap pada pendiriannya. Katanya, “Sudahlah, Ki Bekel dan Ki Demang. Biarlah kami berdua menghadap. Kami tahu bahwa Ki Bekel dan Ki Demang ingin menghindarkan kami dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Tetapi akibat apa pun yang dapat timbul, biarlah kami tanggung, tanpa menyentuh Ki Bekel dan Ki Demang.”

Ki Bekel dan Ki Demang benar-benar menjadi heran. Tetapi mereka tidak dapat mencegah lagi ketika Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian ikut bersama Ki Lurah pergi ke Ngadireja. Ki Lurah berjalan di paling depan. Kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu sekelompok prajurit berjalan di belakang mereka.

Demikian mereka pergi, maka Ki Bekel dan Ki Demang pun menjadi gelisah. Dengan nada berat Ki Demang pun bertanya, “Apakah mereka itu orang-orangmu, Ki Bekel?”

“Bukan, Ki Demang. Aku tidak mengenal mereka. Namun agaknya mereka tidak dapat menerima kesewenang-wenangan ini. Sehingga mereka telah melakukan satu perbuatan yang aneh.”

“Kau percaya bahwa Ki Lurah akan membawa mereka kepada Ki Panji di Ngadireja?”

“Tidak. Aku justru takut bahwa laki-laki dan perempuan itu akan mengalami bencana di jalan sebelum mereka sampai di Ngadireja.”

Ki Bekel dan Ki Demang pun menjadi tegang. Sementara itu beberapa orang yang berkerumun itu tidak dapat memberikan pendapat mereka.

Namun akhirnya Ki Demang pun berkata, “Kita ikuti mereka.”

“Lalu apa yang dapat kita lakukan? Jika Ki Lurah dan para prajuritnya memperlakukan kedua orang laki-laki dan perempuan itu dengan buruk, bukankah kita tidak dapat berbuat apa-apa?”

“Kita akan menyatakan kesediaan kita untuk membayar. Tetapi jika keduanya benar-benar dibawa menghadap ke Ngadireja, kita tidak akan mengganggu mereka. Kita justru akan menunggu hasil pembicaraan mereka dengan Ki Panji.”

“Kalau Ki Panji yang memperlakukan mereka dengan buruk?”

“Kita harus mengambil alih persoalannya. Kita tidak dapat membiarkan kedua orang itu mengorbankan diri mereka bagi kita.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Akhirnya keduanya pun menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan. Kepada beberapa orang yang mengerumuninya, Ki Demang pun berkata, “Jika kami tidak pulang, kalian tahu kemana kami pergi dan kenapa kami telah hilang.”

Tidak ada orang yang dapat mencegah mereka. Karena itu maka orang-orang yang berkerumun itu hanya dapat memandang dengan jantung yang berdebaran, Ki Bekel dan Ki Demang yang berjalan dengan cepat menyusul Ki Lurah, yang katanya akan membawa kedua orang laki-laki dan perempuan itu menghadap Ki Panji di Ngadireja, untuk membicarakan pajak yang harus dibayar oleh Ki Bekel dan Ki Demang karena pemugaran pintu gerbang pasar itu.

Dalam pada itu, Ki Lurah pun berjalan dengan cepat melintasi bulak dan padukuhan. Namun ketika mereka berada di sebuah bulak panjang, maka Ki Lurah itu pun telah berbelok di sebuah simpang tiga dan menuruni tebing yang landai. Ternyata mereka pun sampai di tepian sungai yang menikung. Di tikungan terdapat sebuah kedung yang nampaknya cukup dalam, dengan airnya yang berputar.

“Apakah ini jalan ke Ngadireja?” bertanya Glagah Putih.

Ki Lurah pun kemudian berdiri sambil bertolak pinggang. Sambil tersenyum ia pun menjawab, “Kita sekarang berada di Kedung Tangkis. Kedung ini memang bukan kedung yang besar, tetapi kedung ini adalah kedung yang keramat. Beberapa pohon raksasa yang tumbuh di pinggir kedung ini dihuni oleh dua jenis mahluk. Sepasang jin di batang dan dahannya. Sedangkan di bawah akar-akarnya itu merupakan sarang beberapa ekor buaya yang buas.”

“Untuk apa kita singgah kemari?” bertanya Glagah Putih.

“Segala penyesalan sudah terlambat. Aku tahu bahwa kau tidak tinggal di belakang pasar itu. Dugaan kami itu kalian perkuat dengan sikap kalian, bahwa kalian tidak mengenal Kedung Tangkis yang terkenal ini. Kau tentu orang asing yang berlagak sebagai pahlawan.”

Glagah Putih pun menjawab, “Aku memang tidak tinggal di belakang pasar itu. Tetapi aku sama sekali tidak ingin menjadi pahlawan. Aku hanya merasakan ketidakadilan. Karena itu maka aku berniat menjelaskan persoalannya kepada Ki Panji di Ngadireja.”

“Tidak ada gunanya, karena kau tidak akan pernah sampai di Ngadireja.”

“Kenapa?”

“Kau akan mandi di kedung itu. Jika kemudian kau akan disambar buaya, itu adalah nasibmu yang buruk. Tetapi tentu saja bahwa perempuan ini tidak akan melakukannya. Mungkin ia akan merasa malu untuk mandi di kedung ini.”

Namun bahwa Rara Wulan menyahut, sangat mengejutkan mereka. “Aku tidak malu. Jika Kakang akan mandi, aku juga akan ikut mandi di kedung itu.”

Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Katanya, “Di kedung itu ada buayanya.”

“Kalau benar begitu, Kakang tentu tidak akan mandi di kedung itu pula.”

“Cukup! Kami tidak mempunyai waktu banyak.” Ki Lurah itu pun kemudian berpaling kepada prajurit-prajuritnya. “Lemparkan laki-laki itu ke dalam kedung. Tetapi bawa perempuan itu ke Ngadireja. Aku memerlukannya.”

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

Para prajuritnya berdiri termangu-mangu. Namun sementara itu Ki Demang pun berkata, “Jangan, Ki Lurah. Jangan sakiti orang itu. Jangan pula dilemparkan ke dalam kedung. Kami akan membayar pajak yang harus kami bayar. Seberapa pun banyaknya, tentu tidak akan semahal harga nyawa orang.”

“Kalian ternyata adalah orang-orang gila pula. Bahwa kalian datang kemari, merupakan bencana yang sangat pahit bagi kalian. Aku tidak ingin ada saksi yang menyaksikan bahwa para prajurit telah melemparkan laki-laki gila itu ke dalam kedung. Karena itu jangan menyesal, bahwa setelah itu aku akan menghapus semua kesaksian. Termasuk kesaksian kalian berdua.”

“Tidak akan ada kesaksian mengenai pembunuhan itu. Karena Ki Lurah tidak akan melemparkan laki-laki itu ke dalam kedung.”

“Ia adalah orang yang sangat berbahaya bagiku. Orang itu telah berbicara tentang ketidakadilan karena aku menentukan pajak yang dianggapnya tidak masuk akal.”

“Bukankah Ki Panji di Ngadireja yang akan memutuskan?”

“Ia tidak akan pernah bertemu dengan Ki Panji Ngadireja.”

“Maksud Ki Lurah?”

“Jangan terlalu banyak bertanya!”

“Apakah yang menentukan pajak itu bukan Ki Panji di Ngadireja? Tetapi Ki Lurah sendiri?”

Mata Ki Lurah itu menjadi merah. Namun kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Ya. Akulah yang menentukan besar kecilnya pajak. Aku yang menentukan siapakah yang terkena pajak. Ki Panji tidak tahu apa-apa tentang pajak. Berapa pun aku serahkan uang pajak kepadanya, maka Ki Panji di Ngadireja hanya mengangguk-angguk saja.”

“Dan ternyata uang pajak yang kau pungut tidak seluruhnya kau serahkan,” sahut Glagah Putih. “Uang pajak yang kau serahkan kepada Ki Panji di Ngadireja jauh lebih kecil dari uang pajak yang kau terima, sehingga sebagian terbesar dari pajak yang kau peras itu masuk ke dalam kantongmu sendiri.”

“Ya, Bukankah itu sangat menyenangkan? Karena itu aku menjadi kaya. Prajurit-prajurit yang setia kepadaku pun menjadi kaya pula. Mereka mendapat bagian yang cukup dari pajak yang aku peras dari rakyat dengan meminjam kuasa Ki Panji di Ngadireja.”

“Kau adalah iblis yang paling laknat,” geram Glagah Putih. “Sudah sampai saatnya tingkah lakumu itu dihentikan. Marilah kita menghadap Ki Panji di Ngadireja. Aku akan melaporkan kepada Ki Panji, apa yang telah kau lakukan itu.”

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Kau kira Ki Panji akan marah kepadaku? Ki Panji tentu hanya akan memperingatkan aku dengan kata-kata lunak, karena Ki Panji memang tidak pernah marah. Ki Panji adalah seorang pemimpin yang lemah, yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa dukungan kami para prajurit. Karena itu maka Ki Panji tidak akan dapat berbuat apa-apa, apapun yang kami lakukan. Karena itu, tidak ada gunanya seandainya kalian dapat menangkapku dan membawaku untuk menghadap Ki Panji.”

“Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Panji, aku ingin membawamu menghadap.”

Ki Lurah itu tertawa berkepanjangan. Kepada para prajuritnya ia pun berkata, “Lemparkan ketiga orang gila itu ke dalam kedung. Laki-laki itu, Ki Bekel dan Ki Demang. Seperti kataku tadi, bawa perempuan ini pulang. Aku memerlukannya.”

Ki Bekel dan Ki Demang adalah orang yang diunggulkan di kademangan mereka. Karena itu maka mereka pun tidak begitu saja menyerahkan diri untuk dilemparkan menjadi makanan buaya di kedung yang dalam itu. Seandainya mereka harus dicabik-cabik oleh buaya-buaya yang bersembunyi di bawah akar-akar pohon raksasa yang tumbuh di pinggir kedung itu, biarlah buaya itu mencabik-cabik mayatnya saja.

“Ki Bekel,” berkata Ki Demang, “ternyata kita benar-benar tidak akan pulang.”

“Rakyat kita tahu apa yang terjadi atas diri kita, meskipun mereka tidak menyaksikan sendiri.”

“Jangan merajuk.” berkata Ki Lurah lantang, “kalian sudah terlanjur masuk ke sarang srigala lapar. Tidak ada jalan kembali. Kematianlah yang akan mencengkam kalian sesaat lagi.”

Ki Bekel dan Ki Demung itu pun segera meloncat ke tepian. Mereka pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia senang melihat sikap Ki Bekel dan Ki Demang yang bertanggung jawab atas tugas mereka. Bahkan mereka bersedia mempertaruhkan nyawa mereka untuk berusaha membela rakyatnya.

Tetapi kemampuan seseorang memang terbatas. Demikian pula kemampuan Ki Bekel dan Ki Demang. Mereka berdua merasa bahwa hari-hari terakhir mereka telah tiba. Mereka tidak akan mampu melawan sekian banyak prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah yang bengis itu.

Tetapi Ki Bekel dan Ki Demang tidak memperhitungkan kemampuan Glagah Putih dan perempuan yang berjalan bersamanya itu.

Sejenak kemudian, para prajurit itu pun telah menghambur menyerang Ki Bekel dan Ki Demang. Yang lain menyerang Glagah Putih, serta dua orang di antara mereka berusaha menangkap Rara Wulan.

Tetapi yang terjadi sangat mengejutkan mereka. Dua orang prajurit yang berusaha menangkap Rara Wulan itu telah terlempar beberapa langkah surut. Hampir saja mereka terguling masuk ke dalam air. Sementara itu para prajurit yang berniat menangkap dan melemparkan Glagah Putih ke dalam kedung, telah kehilangan kesempatan mereka. Mereka pun berjatuhan sambil mengaduh kesakitan. Ketika Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya dengan kaki terayun mendatar, maka kakinya itu telah menyambar beberapa orang prajurit sekaligus, sehingga mereka pun terpelanting jatuh.

Sementara itu, Rara Wulan telah menyingsingkan kain panjangnya, serta melenting bergabung dengan Ki Bekel dan Ki Demang yang segera mengalami kesulitan.

Sejenak kemudian pertempuran pun menjadi sengit. Glagah Putih dan Rara Wulan berloncatan menyambar-nyambar. Tangan dan kaki mereka bergerak dengan cepat mengenai tubuh para prajurit sehingga mereka pun berjatuhan.

Ki Lurah yang menyaksikan pertempuran yang berat sebelah itu mengumpat sejadi-jadinya. Kemarahannya tidak mampu dibendungnya lagi. Karena itu maka ia pun segera terjun memasuki arena pertempuran.

Yang menghadapinya bukannya Glagah Putih, tetapi justru Rara Wulan.

“Iblis betina!” geram Ki Lurah, “Aku akan mencekikmu dan melemparkanmu ke kedung itu. Aku ingin melinat tubuhmu dikoyak-koyak oleh buaya yang tinggal di dalamnya.”

Tetapi Rara Wulan justru bertanya, “Apakah kau tidak jadi membawa aku ke Ngadireja? Bukankah kau mengatakan bahwa kau memerlukan aku?”

“Persetan kau, perempuan binal!” teriak Ki Lurah.

Rara Wulan tertawa. Sementara itu Ki Lurah yang marah pun segera meloncat menyerangnya.

Tetapi Rara Wulan telah bersiap menghadapinya. Sehingga dengan cepat pula Rara Wulan itu bergeser menghindar.

Bahwa serangannya sama sekali tidak menyentuh lawannya, Ki Lurah pun menjadi semakin marah. Sebagai seorang lurah prajurit ia merasa, bahkan para prajuritnya meyakini, bahwa Ki Lurah adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, berhadapan dengan seorang perempuan, Ki Lurah tidak boleh mengecewakan keyakinan para prajuritnya. Ia harus dapat menangkap perempuan itu dan dengan tangannya sendiri melemparkannya ke dalam kedung yang dihuni oleh beberapa ekor buaya itu.

Jika semula Ki Lurah itu memang tertarik melihat perempuan itu, namun kemudian wajah perempuan itu baginya telah berubah menjadi wajah iblis, yang menyeringai dengan taring-taringnya yang tajam serta suara tertawanya yang melengking tinggi.

Ki Lurah pun kemudian telah meningkatkan ilmunya. Serangan-serangannya datang bagaikan banjir bandang. Tetapi bagi Rara Wulan, yang dilakukan oleh Ki Lurah itu adalah sia-sia. Justru beberapa kali serangan Rara Wulanlah yang telah menembus pertahanan Ki Lurah. Betapapun Ki Lurah itu mengerahkan kemampuannya serta tenaga dalamnya, namun tataran kemampuannya masih belum mampu menjangkau tataran kemampuan Rara Wulan.

Karena itulah maka justru berkali-kali Ki Lurah itu tergetar surut. Bahkan ketika kaki Rara Wulan itu menyambar lambung Ki Lurah, maka Ki Lurah itu telah terlempar beberapa langkah. Hampir saja Ki Lurah itu terpelanting masuk ke dalam kedung yang dihuni oleh beberapa ekor buaya yang buas itu.

Dengan tergesa-gesa Ki Lurah itu pun bangkit berdiri. Dengan tergesa-gesa pula Ki Lurah itu pun bergeser menjauhi air kedung yang nampak berputar perlahan-lahan.

Sementara itu, Glagah Putihlah yang kemudian bertempur bersama Ki Bekel dan Ki Demang. Ki Bekel dan Ki Demang sendiri telah mengalami kesulitan menghadapi prajurit-prajurit yang menyerang mereka. Tetapi setiap kali prajurit-prajurit itu telah terlempar jatuh di pasir tepian. Glagah Putihlah yang berloncatan menyambar-nyambar seperti sikatan memburu belalang. Dengan demikian maka para prajurit itu tidak sempat berbuat apa-apa terhadap Ki Bekel dan Ki Demang, yang serba sedikit mampu pula melindungi dirinya. 

Dengan demikian maka Ki Lurah dan para prajuritnya itu pun akhirnya sama sekali tidak berdaya. Jangankan melemparkan orang-orang yang dianggapnya menghalanginya itu ke kedung, sedangkan untuk melindungi diri mereka sendiri, mereka sudah tidak mampu lagi. Ki Lurah yang beberapa kali jatuh terbanting itu memang masih berusaha bangun. Untunglah bahwa pasir yang lunak menebar di tepian, sehingga pada saat ia terbanting jatuh, tubuhnya tidak menjadi luka oleh goresan-goresan batu padas. Meskipun demikian, serangan Rara Wulan telah membuat wajahnya menjadi lebam. Sebelah matanya menjadi merah kebiru-biruan. Dadanya menjadi sangat nyeri, seakan-akan tulang-tulang iganya berpatahan. Lambungnya pun terasa mual dan nafasnya menjadi sesak.

Ketika Ki Lurah itu tertatih-tatih berdiri, Rara Wulan sudah siap untuk meloncat sambil menjulurkan kakinya menyamping. Maka Ki Lurah itu pun akan terlempar ke dalam kedung.

Tetapi Rara Wulan tidak melakukannya. Ia justru melangkah perlahan-lahan mendekati Ki Lurah sambil berkata, “Ki Lurah. Tubuh dan pakaian Ki Lurah nampak kotor sekali oleh pasir di tepian. Tubuh Ki Lurah pun nampak terlalu letih. Karena itu maka sebaiknya Ki Lurah mandi. Aku ingin mempersilahkan Ki Lurah mandi di kedung itu. Ki Lurah tidak perlu malu meskipun aku berdiri di sini, karena Ki Lurah dapat mandi dengan tetap mengenakan pakaian Ki Lurah.”

Wajah lurah prajurit itu menjadi pucat. Apapun yang dilakukannya, tidak akan berarti apa-apa. Perempuan itu dapat saja melemparkannya ke dalam kedung itu.

Namun ketika selangkah Rara Wulan maju, maka Ki Lurah itu pun segera berlutut sambil berkata, “Jangan. Jangan lemparkan aku ke dalam kedung itu.”

“Kita akan menghadap Ki Panji di Ngadireja, Ki Lurah. Karena itu, sebaiknya Ki Lurah mandi dahulu. Kemudian satu-satu prajuritmu juga akan terjun ke dalam kedung untuk mandi. Jika kalian nampak bersih dan segar, Ki Panji di Ngadireja tentu akan merasa senang menerima kalian.”

“Jangan. Aku minta ampun.”

Rara Wulan pun kemudian berpaling kepada Glagah Putih yang berdiri di sebelah Ki Bekel dan Ki Demang. Di tepian itu beberapa orang prajurit terbaring pingsan. Satu dua masih tetap sadar akan diri mereka. Tetapi tubuh mereka terasa sangat lemah, sehingga mereka tidak dapat segera bangkit.

“Sebenarnya aku ingin tahu, apakah di Kedung Tangkis ini memang ada buayanya,” berkata Glagah Putih. “Karena itu, aku ingin melemparkan seorang di antara kalian ke dalamnya.”

“Kau dapat memilih, Ki Sanak.” berkata Ki Lurah, “siapakah di antara para prajurit yang pingsan itu.”

Tetapi Glagah Putih menjawab, “Itu tidak menarik. Jika kita lemparkan seorang yang sedang pingsan, maka ia tidak akan meronta jika seekor buaya menyeretnya ke bawah akar pohon-pohon raksasa yang tumbuh di pinggir kedung itu, atau bahkan seandainya ada dua ekor atau lebih yang memperebutkannya. Aku ingin seorang yang tidak pingsan. Seorang yang masih sadar penuh, dan mampu meronta-ronta ketika mulut-mulut buaya itu menyentuhnya. Seorang yang pingsan atau sudah tidak berdaya, sama sekali tidak akan dapat memberikan satu pertunjukan yang menarik.”

“Maksud Ki Sanak?”

“Yang tidak pingsan dan yang masih mempunyai kesadaran utuh, serta mampu berusaha menyelamatkan diri meskipun tidak akan berhasil, adalah Ki Lurah.”

“Jangan! Jangan, Ki Sanak!” Ki Lurah itu pun kemudian membungkuk sampai dahinya menyentuh pasir sambil merengek, “Ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun. Jangan lemparkan aku ke dalam kedung.”

“Baiklah. Jika demikian, bersiaplah. Siapkan prajurit-prajuritmu. Kita akan menghadap Ki Panji di Ngadireja.”

Ketegangan telah mencengkam jantung Ki Lurah. Wajahnya nampak bahwa ia mengalami ketakutan yang sangat. Agaknya tidak seperti yang dikatakannya bahwa Ki Panji adalah seorang yang lembut, yang tidak pernah marah, dan segala sesuatunya hanya menurut saja kepada Ki Lurah, karena ia menyandarkan kuasanya kepada kekuatan para prajurit.

Tetapi agaknya Ki Lurah merasa lebih takut lagi jika ia dilemparkan ke dalam kedung, dan kemudian jatuh ke mulut seekor buaya yang akan menyeretnya ke bawah pepohonan raksasa di antara akar-akarnya yang kusut. Atau bahkan akan menjadi rebutan dua atau tiga ekor buaya, sehingga tubuhnya akan terkoyak-koyak.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun kemudian membentaknya, “Cepat! Bersiaplah! Kita akan menghadap Ki Panji di Ngadireja.”

“Baik. Baik, Ki Sanak,” berkata Ki Lurah.

Ki Lurah itu pun kemudian telah memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk bersiap-siap. Yang sudah dapat bangkit segera berusaha membangunkan kawan-kawannya yang masih pingsan. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Sabar sajalah, Ki Bekel dan Ki Demang. Kita akan membawa mereka ke Ngadireja.”

“Terima kasih atas pertolongan Ki Sanak. Kami tidak menyangka bahwa Ki Sanak ternyata mampu mengatasi Ki Lurah dan sekelompok prajurit-prajuritnya yang garang itu. Bahkan dengan demikian, Ki Sanak berdua telah menyelamatkan nyawa kami pula. Hampir saja kami menjadi makanan buaya-buaya di Kedung Tangkis itu, jika saja Ki Sanak tidak tampil.”

“Tetapi kami pula yang memaksa Ki Sanak datang ke tempat ini. Jika kami tidak berusaha untuk membawa Ki Lurah ke Ngadireja, maka aku kira Ki Bekel dan Ki Demang tidak akan datang ke tempat ini.”

Ki Bekel dan Ki Demang mengangguk-angguk kecil. Sementara Glagah Putih pun berkata selanjutnya, “Ki Bekel dan Ki Demang, marilah. Kita akan pergi ke Ngadireja, bertemu dengan Ki Panji. Apakah Ki Bekel dan Ki Demang pernah bertemu dan berbicara dengan Ki Panji?”

“Belum, Ki Sanak.”

“Jadi Ki Bekel dan Ki Demang masih belum pernah mengenal Ki Panji?”

Ki Demang menggeleng. Katanya, “Kami memang belum pernah mengenal Ki Panji di Ngadireja. Selama ini yang kami kenal adalah Ki Lurah, yang bertindak atas nama Ki Panji.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Lurah pun tengah mempersiapkan orang-orangnya. Ia mencoba membangunkan mereka yang pingsan dengan memercikkan air ke wajah mereka.

Satu-satu para prajurit itu pun menjadi sadar. Mereka pun kemudian duduk sambil memegangi bagian tubuhnya yang masih terasa kesakitan. Sementara itu, Ki Lurah pun telah memerintahkan mereka bersiap untuk pergi ke Ngadireja, menghadap Ki Panji.

Beberapa saat kemudian, meskipun sambil menyeringai kesakitan, para prajurit itu pun telah bersiap untuk meneruskan perjalanan mereka ke Ngadireja. Mereka yang menolak untuk meneruskan perjalanan, akan dilemparkan ke dalam kedung yang dihuni oleh beberapa ekor buaya itu.

“Marilah. Jangan menunda-nunda lagi. Kami sudah merasa tidak sabar lagi,” berkata Glagah Putih.

Ki Lurah pun kemudian memerintahkan prajuritnya untuk bangkit dan berjalan meninggalkan tepian. Mereka naik ke tebing yang landai. Beberapa orang berjalan tertatih-tatih sambil menyeringai kesakitan. Bahkan ada di antara mereka yang setelah berjalan beberapa langkah, masih harus berpegangan dan dipapah oleh kawan-kawannya yang keadaannya lebih baik.

Dengan demikian maka perjalanan mereka menjadi sangat lamban.

Tetapi Glagah Putih tidak dapat memaksa mereka berjalan lebih cepat. Jika ada di antara mereka yang bergayut kepada kawannya, maka iring-iringan itu pun harus berhenti beberapa saat lamanya.

Ketika mereka naik ke jalan, maka orang-orang yang berpapasan pun memperhatikan mereka sambil bertanya-tanya di dalam hati. Apa yang telah terjadi dengan para prajurit itu, sehingga nampaknya mereka seperti sepasukan yang baru saja dikalahkan di medan perang.

Namun Ngadireja memang sudah tidak terlalu jauh. Karena itu maka beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai di Ngadireja, sebuah kademangan yang terhitung besar.

“Untuk sementara Ki Panji tinggal di banjar.” berkata Ki Lurah.

“Jadi kita akan pergi ke banjar sekarang,” sahut Glagah Putih.

Ki Lurah terdiam. Ia tidak dapat berbuat apa-apa. Satu-satunya harapan baginya adalah sikap Ki Panji yang mudah tersinggung. Meskipun kemudian Ki Panji itu dapat menghukumnya dengan hukuman yang sangat berat, tetapi Ki Panji itu tidak mudah menerima sikap orang di luar kesatuannya yang mencampuri persoalannya. Bahkan mungkin Ki Panji akan menolak mendengarkan laporan orang-orang yang membawanya menghadap bersama Ki Bekel dan Ki Demang. Meskipun setelah mereka pergi, ia akan mengalami perlakukan yang sangat menyakitkan.

Tetapi sikap Ki Panji itu memang tidak dapat ditebak sebelumnya. Jika Ki Panji itu mau mendengarkan laporan kedua orang yang menangkapnya, maka keadaannya akan dapat menjadi sangat gawat.

Demikian mereka memasuki pintu gerbang banjar, maka Ki Lurah itu pun berkata kepada dua orang prajurit yang bertugas di banjar itu. “Silahkan mereka duduk di pringgitan. Aku akan menghadap Ki Panji.”

Kedua orang prajurit itu memperhatikan kawan-kawannya dengan kerut di dahi. Tetapi keduanya tidak berbuat apa-apa, karena Ki Lurah tidak memberikan perintah apa-apa. Sedangkan Ki Lurah sendiri merasa tidak perlu memberikan perintah apa-apa kepada kedua orang prajurit yang bertugas di banjar itu, karena mereka memang tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kedua orang yang datang menggiringnya bersama para prajurit itu adalah dua orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

“Aku tidak tahu apakah ilmu mereka setingkat dengan ilmu Ki Panji.”

Yang kemudian dilakukan oleh kedua orang prajurit itu kemudian adalah mempersilahkan kedua orang laki-laki dan perempuan serta Ki Bekel dan Ki Demang itu duduk di pringgitan.

Sementara itu, Ki Lurah telah memerintahkan prajurit-prajuritnya yang kesakitan duduk di serambi gandok, sementara Ki Lurah itu pun segera masuk ke ruang dalam untuk menghadap Ki Panji, yang sedang berada di longkangan menunggui orangnya yang sedang memandikan seekor ayam jantan. Ayam aduan kebanggaan Ki Panji, yang selalu menang dalam arena aduan ayam.

“Ki Panji,” desis Ki Lurah yang kemudian duduk di belakangnya.

Ki Panji itu berpaling. Namun ia pun menjadi terkejut ketika ia melihat wajah Ki Lurah yang lebam, serta sebelah matanya yang masih nampak merah kebiru-biruan.

“Kau kenapa?” bertanya Ki Panji.

“Telah terjadi perlawanan terhadap para prajurit.”

“Perlawanan? He? Kau bilang perlawanan?”

“Ya, Ki Panji.”

“Siapa yang berani melawan para prajurit? Apakah kau tangkap orang itu dan kau bawa kemari?”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Panji yang disebutnya tidak pernah marah dan yang hanya akan menasehatinya dengan lembut itu membentak. “Apakah kau tuli? Apakah orang itu kau tangkap dan kau bawa kemari?”

“Bukan kami yang membawanya kemari, Ki Panji. Tetapi orang itu sendiri yang datang kemari, ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Panji.”

“Apa? Orang itu datang kemari setelah ia melawan prajuritku? Apakah ia orang gila? Apa yang sebenarnya terjadi?” geram Ki Panji. “Kenapa orang itu tidak kau tangkap dan kau bawa kemari, sehingga orang itu sendiri yang berniat menemui aku di sini? Seharusnya apapun keperluannya, jika ia sudah memberikan perlawanan kepada para prajurit, maka ia harus ditangkap.”

“Kami sudah berusaha, Ki Panji. Tetapi kami tidak berhasil menangkapnya.”

“Apa yang kau katakan? Kau dan prajuritmu sudah mencoba menangkapnya tetapi tidak berhasil?”

“Ya, Ki Panji.”

“Berapa orang semuanya yang telah melawan para prajurit itu?”

“Dua orang, laki-laki dan perempuan, serta Ki Bekel dan Ki Demang yang kami datangi untuk dipungut pajaknya.”

“Empat orang? Yang seorang perempuan?”

“Ya, Ki Panji.”

“Anak iblis!” tiba-tiba saja kaki Ki Panji telah menekan bahu Ki Lurah sehingga Ki Lurah itu jatuh terlentang. Sementara Ki Panji itu dengan cepat melangkah ke pendapa.

Demikian Ki Panji itu keluar dari pintu pringgitan, maka ia pun melihat empat orang duduk di pringgitan. Sementara beberapa orang prajuritnya duduk di serambi gandok. Sebagian dari mereka masih nampak kesakitan.

“Jahanam kalian! Jadi kalian telah berani melawan kuasa seorang Panji di Ngadireja?”

“Apakah aku berbicara dengan Ki Panji di Ngadireja?” sahut Glagah Putih.

“Ya. Aku Panji di Ngadireja,” jawabnya masih sambil berdiri.

Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri pula. Ia sama sekali tidak menunduk ketika Ki Panji di Ngadireja itu memandanginya dengan mata menyala.

“Ki Panji,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku datang mengantarkan prajurit-prajuritmu yang telah menyalahgunakan wewenangnya.”

“Siapa yang mengatakan bahwa prajurit-prajuritku telah menyalahgunakan wewenangnya?”

“Kami. Maksudku kami berdua, Ki Bekel dan Ki Demang. Ki Lurahmu itu mencoba memeras Ki Bekel dan Ki Demang untuk membayar pajak yang seharusnya tidak perlu dibayar.”

“Kau tidak mempunyai wewenang untuk menilai prajurit-prajuritku. Akulah yang dapat mengatakan, apakah prajurit-prajuritku menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya atau tidak. Bukan kau. Bukan Ki Bekel dan bukan Ki Demang.”

“Kami melihat langsung apa yang akan dilakukan, sedang Ki Bekel dan Ki Demang telah mengalaminya. Kami datang untuk minta agar Ki Panji mengadili para prajurit Ki Panji itu.”

“Itu urusanku. Itu urusan para prajurit. Kalian tidak dapat ikut campur. Apalagi kalian telah berani menentang para prajuritku yang sedang menjalankan tugasnya.”

“Prajurit-prajurit Ki Panji tidak sedang menjalankan tugas, tetapi mereka sedang memeras.”

“Kalian harus melakukan apa yang diperintahkan oleh prajurit-prajuritku itu lebih dahulu. Tidak seorang pun yang boleh mencoba menentangnya. Baru kemudian, jika tindakan para prajuritku itu dirasa kurang adil, barulah kalian datang kepadaku. Melaporkan apa yang kalian anggap tidak adil itu. Tetapi kalian tidak dapat langsung menentang keputusan-keputusan yang telah mereka buat.”

“Tetapi keputusan-keputusan mereka jelas tidak pada tempatnya. Mereka memungut pajak seenaknya sendiri, tanpa mengingat sasaran pajak yang akan mereka ambil.”

“Cukup! Aku tidak mau mendengar sesorahmu. Pergi dari banjar ini. Biarlah aku mengurusi prajurit-prajuritku dengan caraku. Aku tidak mau kalian mengajari kami.”

“Aku tidak mengajari, Ki Panji. Kami datang untuk melaporkan tindakan-tindakan para prajurit yang tidak pada tempatnya. Aku melaporkan bahwa mereka telah menyalahgunakan kekuasaan yang Ki Panji berikan kepadanya.”

“Cukup! Kau dengar? Sekarang pergi! Biar aku mengurusi prajurit-prajuritku sendiri.”

“Tetapi kami adalah saksi. Ki Panji belum bertanya kepadaku, kesalahan apa yang sudah dilakukan oleh para prajurit itu. Ki Panji belum mendengarkan kesaksian kami tentang penyalahgunaan kekuasaan yang telah mereka lakukan.”

“Diam! Diam!” Ki Panji berteriak, “Aku dapat mengusirmu dengan kekerasan. Masih ada beberapa orang prajuritku yang dapat melemparkan kalian keluar regol halaman.”

“Jika itu yang Ki Panji lakukan, aku akan melawan mereka. Aku akan memaksakan kehendakku sampai Ki Panji mau mendengarkan kesaksian kami tentang prajurit-prajurit Ki Panji. Sebagian prajurit yang telah diperbantukan kepada Ki Panji di sini sudah tidak berdaya, termasuk Ki Lurah. Sisanya tidak akan mampu mengusir kami dari banjar ini.”

“Kau memang orang gila. Kau tidak menghitung aku sendiri.”

“Aku justru menghitung Ki Panji. Tetapi aku tetap saja tidak mau pergi.”

Wajah Ki Panji menjadi merah. Ia merasa orang yang datang itu telah merendahkannya. Karena itu maka ia pun menggeram, “Mari kita lihat. Kau atau aku yang harus menundukkan kepalanya.”

“Bagus. Aku tunggu Ki Panji di halaman.”

Glagah Putih tidak menunggu lagi. Ia pun segera turun ke halaman, diikuti oleh Rara Wulan, Ki Bekel dan Ki Demang. Nampaknya persoalannya bukan persoalan yang sederhana.

Demikian Glagah Putih turun ke halaman, maka Ki Panji pun telah meloncat ke halaman itu pula. Beberapa orang prajurit yang masih segar berdiri di depan tangga pendapa. Nampaknya mereka telah siap menjalankan perintah apapun, demikian diberikan oleh Ki Panji.

“Ki Sanak” berkata Ki Panji, “kau akan menyesal bahwa kau telah berani menentang dan menghalangi tugas para prajurit.”

“Bukan aku yang akan menyesal, tetapi Ki Panji. Ki Panji terbiasa menilai para prajurit Ki Panji menurut penglihatan Ki Panji sendiri. Ki Panji terbiasa tidak mau mendengar pendapat orang lain. Dengan demikian maka penilaian Ki Panji atas prajurit Ki Panji tidak didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya terjadi. Ki Panji hanya menduga-duga apa yang telah dilakukan oleh para prajurit Ki Panji. Ki Panji mungkin memanggilnya, bertanya kepada mereka. Sedangkan mereka selalu berbohong kepada Ki Panji. Sementara itu Ki Panji sudah menjadi puas mendengarkan kebohongan mereka itu.”

“Anak iblis. Jangan berkata sepatah kata pun lagi. Jika kau menggerakkan mulutmu, maka aku akan mengoyakkan bibirmu.”

“Aku akan berbicara terus, Ki Panji.”

Sebenarnyalah Ki Panji menjadi sangat marah. Tangannya pun segera terayun untuk menampar mulut Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan mulutnya tersentuh. Karena itu maka Glagah Putih telah menarik kepalanya dan sedikit berpaling.

Gerak yang sederhana itu ternyata telah membebaskan Glagah Putih dari sentuhan tangan Ki Panji di Ngadireja. Namun demikian, Ki Panji di Ngadireja menjadi semakin marah. Ia merasa telah dipermainkan oleh orang yang masih terhitung muda itu. Jauh lebih muda dari umurnya sendiri.

Karena itu, Ki Panji tidak mengekang kemarahannya lagi. Dengan tangkasnya Ki Panji meloncat sambil menjulurkan kakinya menyambar ke arah dada Glagah Putih. Tetapi sekali lagi Glagah Putih mengelak, sehingga kaki Ki Panji tidak dapat mengenai dadanya.

Ki Panji yang menjadi marah sekali itu pun menggeram, “Kau menantangku, orang muda?”

“Tidak.” sahut Glagah Putih, “aku datang untuk menyampaikan laporan serta kesaksian tentang prajuritmu yang telah menyalahgunakan kekuasaan. Jika kau melindunginya, maka itu berarti bahwa kau pun telah terlibat pula ke dalamnya. Bahkan kau pun telah melakukan pemerasan, dengan meminjam tangan prajurit-prajuritmu itu.”

“Anak iblis. Kau jangan asal membuka mulutmu. Sadari bahwa aku dapat menjatuhkan hukuman yang sangat berat kepadamu.”

“Kau akan menghukum orang yang tidak bersalah?”

“Siapa yang tidak bersalah? Kau telah berani melawan prajurit-prajuritku yang sedang menjalankan tugas.”

“Prajurit-prajuritmu tidak sedang menjalankan tugas. Tetapi mereka sedang memeras.”

Ki Panji tidak mau mendengarkan lagi. Ia pun segera menyerang Glagah Putih. Bahkan serangan yang dilambari kemarahan itu pun kemudian datang bagaikan banjir bandang.

Tetapi Glagah Putih telah benar-benar bersiap. Dengan tangkasnya ia pun berloncatan menghindari serangan-serangan Ki Panji. Bahkan Glagah Putih pun kemudian telah berganti menyerangnya pula.

Demikianlah, pertempuran pun kemudian segera berlangsung dengan sengitnya. Keduanya saling menyerang dan menghindar.

Ternyata Ki Panji pun seorang yang berilmu tinggi. Tetapi yang dihadapi waktu itu adalah Glagah Putih. Seorang yang seakan-akan telah menjadi mumpuni sehingga sulit dicari tandingnya.

Dengan demikian, pertempuran pun menjadi semakin lama semakin sengit. Ki Panji pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ia tidak mengira bahwa orang yang masih terhitung muda itu telah memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya.

Dengan segenap kekuatan, ditopang oleh tenaga dalamnya, Ki Panji berusaha untuk dapat menembus pertahanan Glagah Putih. Tetapi usahanya itu tidak segera dapat berhasil. Pertahanan Glagah Putih benar-benar rapat sekali. Serangan-serangan Ki Panji selalu dapat dihindari, dan bahkan sekali-sekali serangan itu telah sengaja ditangkisnya, sehingga kekuatan mereka pun berbenturan.

Ki Panji pun tidak dapat mengingkari kenyataan yang dihadapinya. Ternyata orang yang masih terlalu muda itu tidak dapat diabaikannya. Bukan saja dengan tangkas ia dapat menghindar, tetapi dengan kekuatan yang besar dengan sengaja telah membentur serangan-serangannya.

Ki Panji yang marah itu pun kemudian telah menumpahkan segenap kemampuannya. Bahkan ia pun sudah tidak memikirkan lagi, apa yang bakal terjadi dengan orang yang masih terhitung muda itu.

Tetapi ternyata bahwa Ki Panji itu tidak mampu menguasainya. Orang yang terhitung masih muda itu justru perlahan-lahan mulai mendesaknya, sehingga Ki Panji itu menjadi semakin sulit menghadapinya. Serangan-serangan Glagah Putih yang semakin cepat telah mulai menerobos pertahanannya. Tangan Glagah Putih yang terjulur lurus rasa-rasanya telah meretakkan tulang-tulang iganya, sehingga ki Panji itu pun terdorong surut.

“Gila orang ini,” geram Ki Panji.

Namun betapapun Ki Panji mengerahkan kemampuannya, namun sulit baginya untuk dapat menerobos pertahanan Glagah Putih yang sangat rapat. Jika sekali-sekali serangannya menembus pertahanan lawannya, terasa bahwa sentuhan itu tidak menyakitinya.

Kemarahan Ki Panji benar-benar tidak dapat dikekangnya lagi. Karena itu maka Ki Panji pun segera telah menarik pedangnya sambil menggeram, “Aku masih memberimu kesempatan, orang muda. Pergilah, dan jangan kembali lagi.”

“Bagaimana dengan Ki bekel dan Ki Demang?” bertanya Glagah Putih.

“Bawa orang itu pergi.”

“Lalu Ki Panji membiarkan pemerasan itu terjadi?”

“Diam! Sudah aku katakan bahwa itu bukan urusanmu. Akulah yang akan mengurusnya.”

“Tidak. Kau tidak melihat kejadiannya. Kamilah yang melihatnya. Karena itu Ki Panji harus mendengarkan kesaksian kami.”

“Persetan!” geram Ki Panji, “Jika kau mati di sini, sama sekali bukan tanggung jawabku. Kau telah berani melawan aku, penguasa di Ngadireja ini. Tidak ada orang yang mengimbangi kekuasaanku di sini. Karena itu, apa yang aku lakukan, tidak ada yang dapat menghalanginya.”

Namun Glagah Putih pun menjawab, “Kalau kuasamu kau landaskan pada kekuatan prajuritmu serta kemampuanmu, maka akulah yang akan mematahkannya. Akulah yang akan menghalangimu.”

Ki Panji tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun segera meloncat sambil menjulurkan pedangnya. Tetapi Glagah Putih dengan cepat menghindarinya.

Ki Panji yang menjadi sangat marah itu tidak lagi mengekang diri. Serangan-serangannya pun kemudian datang dengan garangnya. Pedangnya terayun-ayun mengerikan, kemudian terjulur lurus menggapai ke arah dada atau menebas langsung ke arah lehernya.

Tetapi Glagah Putih dengan kecepatan yang sangat tinggi mampu selalu menghindarinya. Bahkan ketika Ki Panji mengayunkan pedangnya ke arah lehernya, Glagah Putih dengan cepat merendahkan dirinya. Demikian pedang itu terayun di atas kepalanya, dengan cepat Glagah Putih pun melenting. Kakinya terjulur lurus mengenai dada Ki Panji dengan derasnya.

Ki Panji itu terlempar beberapa langkah surut. Bahkan Ki Panji itu pun kemudian jatuh terguling. Namun pedangnya masih saja berada di dalam genggaman tangannya.

Tetapi Glagah Putih tidak membiarkannya. Demikian ia meloncat bangkit, Glagah Putih pun meloncat sambil memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar langsung mengenai kening Ki Panji, sehingga sekali lagi Ki Panji pun terlempar jatuh. Namun Ki Panji pun segera berguling untuk mengambil jarak. Baru kemudian Ki Panji itu berusaha untuk berdiri.

Tetapi demikian ia bangkit, kaki Glagah Putih telah menyambar pergelangan tangan Ki Panji, sehingga pedangnya telah terlempar jatuh.

Wajah Ki Panji menjadi merah. Tetapi ia tidak segera menyerah. Bahkan Ki Panji pun kemudian berteriak kepada prajurit-prajuritnya, terutama prajuritnya yang masih segar, “Tangkap orang ini, hidup atau mati!”

Para prajurit pun serentak bergerak. Mereka telah mencabut pedang mereka, atau para prajurit yang membawa tombak pendek telah merundukkan tombak mereka. Bahkan Ki Lurah yang wajahnya sudah menjadi lebam serta sebelah matanya menjadi merah biru, maish juga berniat untuk ikut serta menangkap Glagah Putih.

Glagah Putih bergeser surut. Sementara itu Ki Panji sempat memungut pedangnya yang terjatuh.

Namun ketika para prajurit itu mulai bergerak. Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya sambil berkata, “Aku hanya sekedar membela diri. Jika karena itu ada di antara kalian yang mengalami nasib buruk, itu bukan tanggung jawabku.”

“Persetan dengan igauanmu itu!” geram Ki Panji. Dengan garang sekali lagi Ki Panji pun meneriakkan perintah, “Tangkap orang-orang itu, hidup atau mati!”

Dalam pada itu, melihat lawan yang menjadi banyak. Rara Wulan tidak tinggal diam. Para prajurit yang masih segar, dan bahkan Ki Lurah yang sudah mengalami kesakitan, bersama Ki Panji akan bertempur melawan mereka.

Sementara itu Rara Wulan pun telah mengurai selendangnya pula, sehingga ia pun sudah benar-benar bersiap sebagaimana Glagah Putih.

“Apa yang akan kalian lakukan dengan ikat pinggang dan selendangmu itu?” bertanya Ki Panji.

“Jangan remehkan senjata kami,” jawab Glagah Putih. “Kalian akan menyesal karena kecongkakan kalian. Kalian mengira bahwa kalian akan dapat memaksa kami dengan mengandalkan kekuatan dan kemampuan kalian.”

Sekali lagi Ki Panji itu pun memberikan perintah, “Cepat! Tangkap orang-orang itu, hidup atau mati.”

Dengan demikian, pertempuran pun telah berkobar kembali. Bahkan menjadi lebih sengit. Glagah Putih dan Rara Wulan harus berhadapan dengan Ki Panji, Ki Lurah yang bangkit lagi, serta sekelompok prajurit yang masih segar.

Namun ternyata bahwa kedua orang itu sangat mengejutkan Ki Panji, Ki Lurah dan para prajurit. Dengan senjata yang menurut penilaian mereka sangat sederhana itu, mereka ternyata mampu mengimbangi kemarahan Ki Panji dan para prajuritnya. Pedang dan tombak yang berputaran itu ternyata sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh kedua orang itu. Bahkan setiap kali ada saja prajurit yang kehilangan senjatanya, sehingga beberapa orang kawannya harus membantunya untuk memungutnya kembali.

Tetapi mereka lebih terkejut lagi ketika seorang prajurit mulai tersentuh ikat pinggang Glagah Putih di lengannya. Lengannya pun telah terkoyak sebagaimana terkoyak oleh tajamnya pedang. Tetapi ketika ujung ikat pinggang itu mematuk perutnya, rasa-rasanya perutnya telah dihentak oleh landean tombak yang bersalut kuningan.

Apalagi ketika para prajurit itu dikenai oleh ujung selendang Rara Wulan. Selendang itu dapat menghentak dada seperti himpitan segumpal batu padas, namun selendang itu dapat membelit dan mencekik leher mereka sehingga mereka hampir mati karena tidak dapat bernafas.

Dengan demikian Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera memporak-porandakan para prajurit yang bertempur bersama Ki Panji. Bahkan dari bahu Ki Lurah, darah pun telah mengalir karena sentuhan ikat pinggang Glagah Putih. Dengan demikian bukan saja wajahnya yang menjadi lebam dan sebelah matanya menjadi merah biru, tetapi tubuhnya mulai digores oleh luka-luka. Darah pun telah mengalir pula dari luka-luka itu, menitik membasahi halaman.

Dengan demikian maka para prajurit itu pun semakin lama menjadi semakin menyusut. Beberapa orang telah terbaring kesakitan karena luka-lukanya. Bahkan akhirnya Ki Lurah itu pun tidak dapat lagi bangkit, karena tulang-tulang di punggungnya serasa patah ketika kaki Glagah Putih menyambarnya.

Akhirnya Ki Panji sendiri menjadi semakin terdesak. Bahkan tubuhnya sudah mulai terluka pula.

“Ki Panji,” berkata Glagah Putih, “apakah kau masih akan melawan?”

“Kau akan menyesali perbuatanmu. Kau telah melawan penguasa di Ngadireja.”

“Yang diperlukan oleh rakyat Ngadireja bukan seorang penguasa, tetapi seorang pemimpin. Selama ini kau sama sekali tidak bersikap sebagai seorang pemimpin. Tetapi kau benar-benar hanya seorang penguasa, yang mengandalkan kuasamu pada kekuatan serta tajam ujung senjata prajurit-prajuritmu.”

“Lalu kau kira aku dapat melandaskan kuasaku pada sikap ramah tamah dan belas kasihan?”

“Bagus. Jika menurut pendapatmu kuasa itu dapat hanya dilandasi pada kekuatan dan ketajaman senjata, marilah kita lanjutkan pertarungan ini. Jika aku berhasil mengalahkan kalian, maka akulah penguasa di sini. Aku akan memerintah dengan landasan kekuatan dan ketajaman senjataku. Kau mau apa? Jika kau mau melawan, katakan bahwa kau akan melawan sampai titik darahmu yang penghabisan. Dengan demikian maka tuntaslah usahaku merebut kuasa dari tanganmu. Aku pun kemudian akan berkuasa sampai ada orang lain dapat mengalahkan aku dan pengikut-pengikutku yang akan aku bangun kemudian.”

“Itu pikiran gila. Kau akan dilumatkan oleh kekuasaan yang kebih tinggi. Kekuasaan di Panaraga.”

“Kau akui kekuasaan di Panaraga?”

“Tentu.”

“Kekuasaan di Panaraga itukah yang memberimu wewenang untuk mempergunakan kekuatan dan tajamnya senjata selama kau berkuasa di Ngadireja, sampai datangnya kekuatan baru yang dapat mengalahkanmu?”

Ki Panji menjadi bingung. Karena itu ia tidak segera dapat menjawab.

“Ki Panji” berkata Glagah Putih kemudian, “ketahuilah, aku adalah seorang prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas. Demikian pula perempuan itu. Ia adalah istriku. Kami berdua telah mendapat perintah untuk pergi ke Panaraga. Kami adalah penghubung antara pemerintah Mataram dan pemerintahan yang ada di Panaraga.”

Wajah Ki Panji menjadi tegang. Detak jantungnya serasa bergetar lebih cepat. Dengan gagap ia pun berkata, “Jadi… jadi Ki sanak ini seorang petugas dari Mataram?”

“Ya. Kami akan pergi ke Panaraga. Adalah kebetulan bahwa aku melihat prajurit-prajuritmu sedang memeras Ki Bekel dan Ki Demang. Mereka minta Ki Bekel dan Ki Demang membayar pajak karena pintu gerbang pasar di padukuhan mereka telah dipugar, sehingga menjadi pintu gerbang yang terhitung sangat baik bagi lingkungan ini.”

“Tetapi itu bukan karena perintahku.”

“Kau tidak tahu apa-apa. Kau hanya dapat membentak-bentak dan meneriakkan perintah-perintah. Tetapi kau tidak mau tahu bahwa orang-orangmu telah melakukan perbuatan yang sangat tidak terpuji. Sementara itu kau hanya tahu menghitung berapa banyak prajurit-prajuritmu itu memberikan upeti kepadamu.”

“Tidak. Bukan maksudku.”

“Sementara itu Ki Bekel dan Ki Demang sudah mengatakan, bahwa yang memugar pintu gerbang pasar itu adalah justru Pangeran Jayaraga, yang sekarang diserahi pemerintahan di Panaraga.”

“Tetapi… tetapi itu bukan salahku.”

“Aku akan menghadap Pangeran Jayaraga di Panaraga. Aku akan mengatakan bahwa Ki Panji di Ngadireja telah memaksa Ki Bekel dan Ki Demang untuk membayar pajak, justru karena Pangeran Jayaraga memugar pintu gerbang pasar sebagai satu tanda dan kenangan, bahwa Pangeran Jayaraga pernah berhenti dan makan bersama keluarganya yang sedang dalam perjalanan, di pasar itu.”

“Tidak, jangan. Jangan katakan itu kepada Pangeran Jayaraga di Panaraga.”

“Kenapa tidak? Biarlah kau diadilinya dan kemudian mendapat hukuman yang setimpal.”

“Jangan adili aku. Aku tidak memerintahkannya. Biarlah nanti aku bunuh Lurah yang telah melakukan pemerasan itu.”

“Jika kau bunuh Ki Lurah, maka hukumanmu akan berlipat. Kau berusaha melenyapkan saksi yang dapat memberikan kesaksian atas kesalahan yang telah kau lakukan.”

“Baik, baik. Aku tidak akan membunuh. Tetapi tolong, jangan adili aku. Selama ini aku menjalankan tugasku dengan jujur.”

“Jangan berbohong. Para prajuritmu dapat berbicara tentang dirimu.”

Wajah Ki Panji menjadi tegang. Seperti seorang pencuri yang tertangkap basah, ia tidak akan dapat mengelak lagi. Karena itu ia hanya dapat memohon pengampunan atas kesalahan yang pernah dilakukannya.

“Baiklah, Ki Sanak.” berkata Ki Panji, “aku akan mengakui segala kesalahan kepadamu. Tetapi aku mohon jangan sampaikan kepada Pangeran Jayaraga di Panaraga.”

“Tetapi kau harus benar-benar jujur, Ki Panji. Ki Bekel, Ki Demang dan para prajuritmu menjadi saksi. Jika para prajuritmu itu masih akan tetap melindungimu, apakah karena mereka merasa takut kepadamu atau karena mereka sudah berhutang budi kepadamu, atau karena kau telah membiarkan mereka melakukan banyak kesalahan dan bahkan pemerasan terhadap rakyatmu sendiri, maka mereka sendirilah yang akan dijerat oleh tatanan. Mereka dapat dihukum berat melampaui hukuman yang dapat kau jatuhkan kepada mereka, apalagi karena Ki Panji sendiri sudah tidak berdaya.”

“Baik, baik, Ki sanak. Aku akan jujur.”

“Kau dan semua prajuritmu dan siapa pun yang bekerja sama dengan Ki Panji, harus mengakui kesalahan itu. Ki Panjilah yang bertanggungjawab.”

“Baik, baik.”

“Mengakui kesalahan mengandung pengertian bahwa kesalahan yang serupa tidak akan dilakukan lagi.”

“Ya, ya, Ki Sanak.”

“Kalau kemudian kesalahan Ki Panji itu tidak akan aku sampaikan kepada Pangeran Jayaraga, bukan berarti bahwa Ki Panji tidak pernah berbuat salah. Ki Panji tidak dapat berlaku seakan-akan tidak pernah bersalah terhadap rakyat Ngadireja dan sekitarnya, karena sebenarnyalah bahwa Ki Panji memang bersalah.”

“Ya, ya, Ki Sanak. Aku memang bersalah.”

“Pengakuan itu harus Ki Panji buktikan.”

“Aku akan membuktikannya. Aku akan berkata dengan terbuka kepada rakyat Ngadireja bahwa aku bersalah. Aku minta maaf dan aku tidak akan mengulanginya lagi.”

“Itu belum cukup.”

“Jadi?”

“Kalau Ki Panji memang mengaku bersalah sampai ke dasar jantung, maka sebaiknya Ki Panji mengembalikan kekayaan yang Ki Panji dapatkan dengan cara yang tidak wajar itu kepada pemiliknya. Kepada rakyat di Ngadireja dan sekitarnya.”

Wajah Ki Panji menjadi merah. Tetapi ia masih juga berkata, “Aku tentu tidak akan ingat lagi, uang siapa saja yang sekarang ada di rumahku.”

“Ki Panji tidak perlu mengembalikannya kepada orang-orang tertentu. Tetapi pergunakan uang itu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat Ki Panji. Itu sudah cukup memadai. Namun masih harus diingat, bahwa Ki Panji pernah melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap rakyat Ki Panji sendiri.”

“Ya, ya, Ki Sanak. Aku mengerti. Aku memang harus menebus kesalahan itu. Aku kira memang tidak ada gunanya aku mempertahankan kelimpahan kekayaan itu, justru pada saat aku menyadari betapa dalam kesalahan yang pernah aku lakukan itu.”

“Baik. Aku berjanji untuk tidak menyampaikan persoalan Ki Panji kepada Pangeran Jayaraga. Tetapi jika syarat yang Ki Panji katakan itu tidak Ki Panji penuhi, maka aku tidak akan menyampaikan persoalan ini kepada siapa-siapa. Tetapi aku sendiri yang akan menyelesaikannya dengan caraku, berdasarkan atas wewenang yang aku miliki dari Ki Patih Mandaraka di Mataram. Bukan hanya dari Pangeran Jayaraga di Panaraga.”

“Baik, baik, Ki Sanak. Aku mengerti.”

“Nah, sekarang selesaikan persoalanmu dengan prajurit-prajuritmu dan rakyatmu sendiri. Aku akan meneruskan perjalanan.” Kemudian kepada Ki Bekel dan Ki Demang, Glagah Putih pun berkata, “Ki Bekel dan Ki Demang dapat pulang. Jangan takut terjadi apa-apa lagi atas Ki Bekel dan Ki Demang. Ki Bekel dan Ki Demang tinggal menunggu janji Ki Panji, bahwa ia akan mengembalikan milik rakyat yang ada padanya dan ada pada prajurit-prajuritnya. Jika yang dijanjikan itu tidak dilakukannya, maka kami akan berbuat apa saja sesuka hati kami atas Ki Panji dan prajurit-prajuritnya. Selain berdasarkan atas wewenang yang ada padaku, maka kalau landasannya adalah ketajaman ujung senjata, maka aku telah memenangkan pertarungan melawan mereka.”

“Baik, Ki Sanak,” sahut keduanya hampir berbareng.

“Kami berdua akan pergi. Tetapi dalam waktu dekat, kami akan memantau kesanggupan Ki Panji. Diketahui atau tidak diketahui.”

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun meninggalkan tempat itu. Demikian bingungnya Ki Panji, sehingga ia tidak ingat lagi untuk mempersilahkan kedua orang laki-laki dan perempuan itu untuk duduk. Demikian pula Ki Bekel dan Ki Demang yang segera minta diri.

Di perjalanan pulang, Ki Bekel sempat bergumam, “Jadi Ki Panji itu telah dimaafkan, Ki Demang.”

“Ya. Kesalahannya tidak akan dilaporkan kepada Pangeran Jayaraga. Tetapi itu bukan berarti bahwa Ki Panji tidak bersalah. Ia harus menebus kesalahannya dengan beberapa langkah yang nyata yang memberikan manfaat bagi rakyat.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Yang ia mengerti, Ki Panji itu bersalah. Apakah kesalahan itu akan diungkap sampai ke telinga Pangeran Jayaraga atau tidak, tetapi kesalahan itu sudah dilakukan.

Sebenarnyalah bahwa apa yang terjadi pada Ki Panji itu memang tidak dapat dirahasiakan lagi. Rakyat Ngadireja dan sekitarnya pun telah mendengar apa yang terjadi. Dua orang prajurit penghubung antara Mataram dan Panaraga yang menangkap basah bahwa Ki Panji di Ngadireja telah menyalahgunakan wewenangnya, tidak akan mengangkat persoalan itu ke Panaraga. Prajurit penghubung dari Mataram itu seakan-akan telah memaafkan, meskipun mereka tetap menganggap bahwa Ki Panji bersalah dan harus menebus kesalahannya.

Dalam pada itu, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan telah meninggalkan Ngadireja, maka Ki Panji itu pun sempat merenungi dirinya sendiri. Ia sempat merenungi rakyatnya di Ngadireja. Ia mulai membayangkan, apa saja yang pernah dihisapnya dari rakyatnya itu. 

Seperti asap yang mengepul dari hutan yang terbakar, Ki Panji melihat betapa gelapnya sisi kehidupannya. Sebagai seorang pemimpin yang memegang wewenang, ia dapat membanggakan dirinya karena rakyatnya menjadi sangat patuh kepadanya. Setiap wajah orang yang ditemuinya selalu membayangkan ketakutan, sehingga tidak ada yang berani mengangkat wajahnya di hadapannya dalam keadaan apa pun.

Ki Panji itu pun menarik nafas panjang. Pada saat-saat yang demikian, pada saat-saat ia tersudut, rasa-rasanya secercah cahaya telah menerangi hatinya, menembus asap yang tebal hitam yang bergulung-gulung menyelimutinya.

“Aku memang telah bersalah,” terdengar suara yang meskipun perlahan sekali, tetapi telinga hatinya dapat mendengarnya dengan jelas.

Pengakuannya itu telah mendorongnya untuk mengambil langkah-langkah sebagaimana dikatakan oleh dua orang suami istri dari Mataram itu.

Sebenarnyalah langkah itulah yang diambil oleh Ki Panji. Diperintahkannya semua prajuritnya melakukan hal yang sama sebagaimana dilakukannya.

Ki Panji dan para prajuritnya telah mempergunakan semua kekayaan mereka bagi kesejahteraan rakyat Ngadireja dan sekitarnya. Tidak lagi karena terpaksa, tetapi gejolak yang dahsyat yang terjadi di dalam lubuk hatinyalah yang telah mendorongnya untuk berbuat demikian.

Sebenarnyalah di hari-hari mendatang, rakyatnya yang semula menjadi sangat kecewa karena Ki Panji itu tidak dilaporkan kepada Pangeran Jayaraga di Panaraga, akhirnya dapat menerima sikap Ki Panji yang telah menyerahkan segala yang ia punya bagi kesejahteraan rakyat Ngadireja. Karena sebenarnyalah Ki Panji merasa bahwa apa yang ia punya itu telah dihisapnya dari darah rakyatnya itu pula.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak segera dapat memantau apa yang telah terjadi di Ngadireja. Tetapi mereka pun menelusuri jalan menuju ke Panaraga.

Mereka tidak mengalami kesulitan apa-apa di perjalanan. Tidak pula ada kesulitan menelusuri jalan ke Panaraga. Sementara itu mereka pun masih juga menemukan jejak perjalanan Pangeran Ranapati, yang seakan-akan dengan sengaja mengikuti jejak perjalanan Pangeran Jayaraga.

Glagah Putih dan Rara Wulan di perjalanan masih bermalam semalam lagi di sebuah banjar padukuhan. Tetapi Panaraga sudah berada di depan hidung mereka.

Di hari berikutnya, sebelum tengah hari, Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di alun-alun Panaraga. Sebelum mereka mengambil keputusan untuk melakukan langkah-langkah yang terbaik dalam tugas mereka, maka keduanya pun duduk di pinggir alun-alun, di bawah sebatang pohon rimbun.

“Apa yang akan kita lakukan kemudian, Kakang?”

“Kita akan memikirkannya. Kita masih mempunyai banyak waktu sebelum kita mengambil sikap yang terbaik. Kita harus menemukan, di mana orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berada. Mungkin di sebuah penginapan. Mungkin di rumah seseorang yang dikenalnya, atau saudaranya menurut garis perguruan, atau orang-orang lain. Baru kemudian kita akan mengamati, apa yang dilakukannya selama ia berada di Panaraga. Apakah ia mencoba membuat hubungan dengan Pangeran Jayaraga atau tidak.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun untuk beberapa saat keduanya terdiam,. Keduanya mengamati orang-orang yang lalu-lalang di alun-alun. Tetapi panas yang terik nampaknya membuat alun-alun itu menjadi agak sepi.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Seorang laki-laki yang sudah separuh baya tiba-tiba saja berdiri di hadapan mereka.

Orang itu pun langsung menyingkapkan bajunya, sehingga timang pada ikat pinggangnya dapat dilihat oleh Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Kau siapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kau kenal pertanda pada ikat pinggangku?” bertanya orang separuh baya yang kemudian telah menakupkan kembali bajunya untuk menutupi timang pada ikat pinggangnya.

Glagah Putih memperhatikan orang itu sejenak. Tetapi ia masih tetap duduk. Dengan nada datar ia bertanya, “Kenapa kau tunjukkan timangmu itu kepadaku?”

“Aku membawa tugas dari Ki Patih Mandaraka. Aku harus menemuimu di sini. Sejak tiga hari aku berada di sini. Baru sekarang kau berdua datang.”

“Kau yakin, bahwa kamilah yang kau tunggu?”

“Ya.”

“Kenapa?”

“Aku pernah bertemu dengan kalian di Kepatihan. Maksudku, aku pernah melihat kalian menghadap Ki Patih. Tetapi mungkin kalian belum mengenal aku.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “Awan itu ditiup angin dari mana?”

“Dari barat.” sahut orang itu.

“Bintang di pagi hari?”

“Lintang rinonce.”

“Kau sendiri?”

“Panjer Esuk.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Keduanya pun segera bangkit berdiri.

“Ikutlah aku.” berkata orang itu.

Dalam pesan terakhir, Ki Patih memang mengatakan bahwa ia akan mendapat bantuan dari orang-orang yang sudah berada di Panaraga. Ki Patih pun telah memberikan pesan kata-kata sandi yang harus disampaikan kepada orang-orang yang menemuinya di Panaraga, sebagaimana ditanyakan kepada orang itu. Menurut Ki Patih, di Panaraga tidak hanya ada seorang yang akan membantunya melaksanakan tugasnya, tetapi ada tiga, yang disebut dengan kata sandi Panjer Esuk, Panjer Wengi dan Panjer Sore. Yang menemuinya di alun-alun itu adalah petugas yang disebut dengan kata sandi Panjer Esuk.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian mengikuti orang itu. Sambil berjalan Glagah Putih bertanya, “Siapa namamu?”

“Madyasta. Aku seorang lurah prajurit yang pernah menjadi Narpacundaka di Kepatihan.”

“O, jadi aku berbicara dengan Ki Lurah Madyasta.”

“Lupakan bahwa aku seorang lurah prajurit. Mungkin kau masih belum berpangkat lurah. Tetapi lupakan pangkat itu. Dalam tugas ini aku harus membantumu. Kau berdualah yang memegang perintah atas kami.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Terima kasih atas kepercayaan Ki Lurah.”

“Panggil namaku. Jangan panggil Ki Lurah.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Keduanya pun kemudian berjalan menyusuri jalan-jalan yang terhitung ramai di Panaraga. Ki Lurah Madyasta kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan membelok ke jalan yang lebih kecil, memasuki sebuah padukuhan di pinggir Kota Panaraga.

Mereka pun kemudian masuk ke sebuah regol halaman yang berada di pinggir jalan kecil itu. Halaman yang tidak terlalu luas. Di sebelah-menyebelahnya juga terdapat rumah dengan halaman yang rata-rata hampir sama luasnya. Demikian pula sederet halaman di seberang jalan kecil itu. Rumah-rumah yang berdiri di halaman itu pun rata-rata adalah rumah yang sederhana pula, meskipun bukan rumah yang jelek.

Rata-rata rumah yang ada di sebelah-menyebelah jalan itu adalah rumah yang terbuat dari bambu. Dindingnya juga terbuat dari anyaman bambu. Demikian pula pintu lereg di depan dan di samping.

Pada umumnya di kebun belakang dari setiap halaman terdapat rumpun dari berbagai jenis bambu. Bambu apus, bambu wulung dan bahkan bambu petung. Ada pula yang mempunyai serumpun bambu tutul dengan ujudnya yang menarik, meskipun tidak sekokoh bambu wulung.

Madyasta pun kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan masuk ke rumah yang ada di tengah-tengah halaman itu. Rumah yang juga terbuat dari bambu serta dindingnya juga anyaman bambu apus. Bambu yang tidak begitu besar, tetapi cukup liat.

Seperti rumah-rumah yang lain, pintu rumah itu pun terbuat dari anyaman bambu. Jika membuka pintu itu, maka pintu itu pun didorong ke samping.

Glagah Putih dan Rara Wulan sudah terbiasa dengan pintu lereg semacam itu. Di Tanah Perdikan Menoreh, banyak rumah yang masih mempergunakan pintu lereg dari anyaman bambu seperti pintu rumah itu, meskipun banyak pula yang rumahnya sudah memasang pintu kayu.

Demikian pintu terbuka, mereka telah memasuki satu ruangan yang agak luas dengan sebuah amben yang besar terletak di sisi sebelah kanan.

“Silahkan masuk. Aku tinggal di rumah ini sendiri.”

“Dimana kedua orang kawan Ki Lurah yang lain?”

“Panggil aku Madyasta. Nama itu pun bukan namaku sendiri. Namaku sebagai lurah prajurit adalah Ki Lurah Wirasana.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Silahkan duduk. Kedua orang kawanku tinggal di rumah yang lain. Kami sengaja tinggal di rumah yang berbeda.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

“Kalian berdua akan tinggal di sini untuk sementara.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun kemudian dipersilahkan duduk di amben bambu yang besar itu.

Orang itu pun kemudian duduk pula bersama mereka. Katanya kemudian, “Aku akan membawa kalian berdua melihat-lihat keadaan di lingkungan ini sebelum kalian bertugas. Kalian pun akan aku perkenalkan dengan kedua orang kawanku itu pula. Tetapi tentu tidak sekarang. Sebaiknya sekarang kalian beristirahat saja dahulu. Pakiwan ada di sebelah kiri. Mungkin kalian ingin mandi lebih dahulu. Aku akan pergi ke dapur untuk merebus air dan menanak nasi. Mungkin kalian haus dan lapar. Sementara nasiku tinggal sedikit.”

“Biarlah aku yang merebus air dan menanak nasi. Kau duduk di sini bersama Kakang Glagah Putih.” berkata Rara Wulan.

“Kalian adalah tamu-tamuku. Akulah yang punya rumah, sehingga akulah yang harus menyediakan suguhan bagi kalian.”

“Tetapi aku perempuan.”

“Tetapi kau adalah tamuku. Kau tentu tidak tahu di mana aku simpan beras. Di mana aku simpan gula kelapa, dan di mana aku simpan garam.”

Rara Wulan tersenyum.

“Nah, silahkan duduk. Atau barangkali kalian akan pergi ke pakiwan.”

“Terima kasih.” sahut Glagah Putih.

Ketika kemudian orang yang minta dipanggil Madyasta itu pergi ke dapur, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun pergi ke pakiwan.

Karena rumah itu hanya dihuni oleh seorang laki-laki, maka nampaknya memang agak kurang bersih. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan pun dapat memakluminya.

Glagah Putih pun kemudian telah mencuci kaki, tangan dan mencuci mukanya bergantian dengan Rara Wulan, sehingga tubuh mereka pun menjadi semakin segar.

Demikian mereka selesai mencuci muka, mereka tidak segera masuk ke rumah depan. Mereka masih mengamati halaman dan kebun belakang. Di halaman belakang nampak ketela pohon yang subur. Kemudian di bawah rumpun bambu di kebun, terdapat berbagai macam tanaman empon-empon. Glagah Putih yang serba sedikit mengenal berbagai jenis dedaunan dan akar-akaran yang dapat dipergunakan sebagai obat, mengira bahwa Madyasta memang telah menanam berbagai jenis empon-empon itu.

Di dekat dinding kebun di belakang, terdapat batang ubi yang merambat. Tetapi batang-batang serta daunnya sudah mulai mengering. Pertanda bahwa sebentar lagi uwi itu dapat digali.

Di sudut yang lain, nampak serumpun pisang yang subur. Daunnya berwarna hijau segar. Sementara itu dua batang pisang yang berbuah harus disangga dengan sepotong bambu agar tidak roboh, karena buahnya yang besar dan tandannya panjang.

Ketika keduanya berjalan melintas di halaman belakang, maka keduanya berhenti depan sebuah kandang kuda. Dua ekor kuda yang besar dan tegar berada dalam kandang itu.

Sedangkan di sekitar kandang itu berkeliaran kelompok-kelompok ayam jantan dan betina. Ada pula yang sedang menggiring anak-anaknya.

Dari kandang kuda mereka pun bergeser pula. Mereka berhenti di sebuah pintu butulan yang terbuka. Ternyata pintu itu adalah pintu dapur.

Mereka melihat Madyasta yang sedang sibuk membuat minuman setelah air yang direbusnya mendidih.

Glagah Putih dan Rara Wulan segera masuk ke dapur itu pula. Dengan cekatan Rara Wulan pun membantu Madyasta menempatkan mangkuk-mangkuk ke dalam nampan dan kemudian dibawanya ke ruang depan.

“Duduk sajalah.” berkata Madyasta.

Tetapi Glagah Putih justru duduk di depan perapian. Dengan sepotong bumbung bambu Glagah Putih menghembus api yang nyalanya menjadi redup, sehingga nyalanya menjadi besar kembali.

“Nanti pakaianmu menjadi kotor.” berkata Madyasta.

“Pakaianku memang sudah kotor.”

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak segera meninggalkan dapur. Mereka bahkan ikut membantu menyediakan makan pagi mereka bertiga.

Mereka telah mengambil beberapa butir telur di petarangan yang akan dapat dijadikan lauk. Kemudian Rara Wulan pun telah membuat sambal dengan bawang putih.

“Aku tidak mempunyai apa-apa lagi.” berkata Madyasta.

“Ini sudah cukup. Telur ceplok dengan sambal bawang. Sementara nasinya masih mengepul.”

Sebenarnyalah, sejenak kemudian mereka telah duduk di ruang depan di amben yang besar, menghadapi nasi hangat, telur ceplok dan sambal bawang.

“Nanti kita dapat membeli sayur di sudut simpang empat buat makan malam.”

“Tidak usah,” berkata Rara Wulan. “Aku melihat ada beberapa batang kacang panjang yang berbuah di kebun. Kita dapat memetik kacang panjang itu serta daun lembayungnya. Nanti biarlah Kakang memetik kelapa yang belum terlalu tua.”

Sambil makan, Madyasta telah bercerita tentang berbagai hal yang ada hubungannya dengan tugasnya. Madyasta pun mengatakan bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu bagaikan siluman. Madyasta dan kedua kawannya dapat menelusuri jejaknya sehingga orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sampai di Panaraga. Tetapi setelah itu mereka pun kehilangan jejaknya. Sampai kedatangan Glagah Putih dan Rara Wulan, mereka belum menemukan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.

“Kita akan mencarinya bersama-sama,” berkata Glagah Putih kemudian. “Mungkin orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati itu justru sudah berada di Istana Kadipaten Panaraga, serta mengelabuhi Pangeran Jayaraga dengan mengaku sebagai putra lembu peteng Panembahan Senapati.”

Madyasta mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita akan menelusurinya.”

Demikianlah, setelah mereka selesai makan serta sempat beristirahat sejenak, Madyasta pun mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan untuk melihat-lihat keadaan. Mereka pergi ke alun-alun lagi. Kemudian menyusuri jalan-jalan utama. Baru kemudian mereka pun telah turun ke jalan-jalan yang lebih kecil.

“Kalian harus mengenal tempat ini sebaik-baiknya,” berkata Madyasta, “sehingga jika terjadi sesuatu, maka kalian telah mengenali medannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun mengangguk-angguk. Ketika malam mulai turun, maka mereka bertiga sampai di sebuah regol halaman rumah yang juga termasuk sederhana. Halamannya pun tidak lebih luas dari halaman rumah yang dipergunakan oleh Madyasta. Sementara bangunannya juga terdiri dari bambu, termasuk dindingnya. Atapnya terbuat dari ijuk, sehingga kesannya di malam hari rumah itu nampak gelap. Apalagi lampu minyak yang berada di ruang depan rumah itu sinarnya tidak memancar keluar. Hanya nampak secercah cahaya di sela-sela pintu lereg dan uger-ugernya, yang semua terbuat dari bambu.

Di rumah itu tinggal dua orang petugas yang disebut dengan nama sandi Panjer Wengi dan Panjer Sore, yang bersama-sama dengan Panjer Esuk bertugas mendahului Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ketika Madyasta mengetuk pintu rumah itu, terdengar suara di dalam, “Siapa?”

“Panjer Esuk.”

Langkah yang cepat terdengar menuju ke pintu. Demikian pintu lereg itu terbuka, maka seorang yang berdiri di belakang pintu itu pun mempersilahkan mereka masuk.

Demikian cahaya lampu minyak di ruang depan itu menyentuh Glagah Putih dan Rara Wulan, maka orang itu pun berdesis, “Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan.”

“Dari mana kau tahu?” bertanya Glagah Putih.

“Seperti Kakang Madyasta, aku juga pernah bertugas di Kepatihan, sehingga aku mengenal Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan tanpa harus mengucapkan sebutan sandi kalian berdua.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tersenyum.

“Marilah, silahkan masuk.”

Glagah Putih, Rara Wulan dan Madyasta pun kemudian memasuki ruangan depan rumah itu. Mirip seperti ruang depan rumah yang dihuni oleh Madyasta, maka di ruang itu terdapat sebuah amben yang terhitung besar.

“Kalian dapat bermalam di sini,” berkata orang itu.

Tetapi Madyasta menyahut, “Mereka bermalam di rumahku.”

“Bukankah sama saja?” sahut Glagah Putih.

“Ya. Sama saja,” sahut orang itu.

Sejenak kemudian mereka pun telah duduk di amben yang besar itu. Madyasta pun kemudian memperkenalkan penghuni rumah itu, “Namanya yang sebenarnya adalah Ki Lurah Cakrajaya. Tetapi namanya telah berubah menjadi Sungkana. Dan seorang lagi, Panjer Sore, yang belum kelihatan, nama sebenarnya adalah Ki Lurah Mertadrana. Sebutannya adalah Sumbaga.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi di sini ada Madyasta, Sungkana dan Sumbaga?”

“Ya.”

“Ketiganya adalah lurah prajurit.”

“Lupakan,” sahut Sungkana.

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Sementara itu Madyasta pun bertanya, “Di mana Sumbaga?”

“Ia baru pergi ke sungai sebentar. Ia lebih senang mandi di sungai daripada mandi di pakiwan. Sebenarnya ia malas menimba air untuk mengisi jambangan. Ia lebih senang pergi ke sungai, yang hanya berjalan beberapa patok saja di belakang.”

Madyasta tersenyum. Katanya, “Sumbaga memang seorang yang malas sekali. Tetapi kerjanya cukup baik.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk kecil.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, seseorang telah mendorong pintu lereg yang sudah ditutup kembali. Tetapi karena pintu itu belum diselarak, maka pintu itu pun dengan mudah telah terbuka.

Seorang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan berdiri di depan pintu.

“Apakah Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan sudah lama?” bertanya orang itu.

“Apakah Ki Sanak juga pernah bertugas di Kepatihan?”

“Ya. Aku pernah bertugas di Kepatihan. Karena itu aku mengenal Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan.”

Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu pun kemudian telah duduk pula bersama yang lain di amben besar itu.

“Segarnya mandi di sungai.” berkata orang yang disebut Sumbaga itu.

“Yang penting bagimu, bahwa kau tidak usah menimba air,” sahut Sungkana.

Sumbaga tertawa. Yang lain pun tertawa pula.

Namun sejenak kemudian Madyasta menjadi bersungguh-sungguh, “Aku sudah mengatakan kepada Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan, bahwa kita telah kehilangan jejak dari orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.”

“Kami memang agak meremehkan,” berkata Sungkana, “dengan mudah kami dapat mengikuti jejak orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sampai ke Panaraga. Dengan demikian, kami mengira bahwa untuk selanjutnya pun kami tidak akan mengalami kesulitan. Tetapi ternyata kami telah kehilangan jejaknya.”

“Kita harus mulai dari permulaan,” sahut Sumbaga.

“Tidak,” berkata Glagah Putih, “setidak-tidaknya kita sudah tahu bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu berada di Panaraga.”

“Bukankah sejak semula ia memang pergi ke Panaraga?”

“Diduga demikian. Pangeran Ranapati itu meninggalkan padepokannya begitu Pangeran Jayaraga berada di Panaraga. Tetapi bukankah waktu itu kita tidak tahu bahwa Pangeran Ranapati itu benar-benar pergi ke Panaraga? Namun sekarang kita tahu pasti, bahwa Pangeran Ranapati itu benar-benar telah pergi ke Panaraga.”

“Jejaknya sudah jelas, bahwa Pangeran Ranapati berada di Panaraga.”

“Tetapi itu belum berarti bahwa Pangeran Ranapati sekarang berada di Panaraga.”

“Maksud Ki Glagah Putih?”

“Pangeran Ranapati itu masih mampu bergerak dengan cepat. Mungkin saja ia justru telah meninggalkan Panaraga.”

“Jika demikian, apa maksudnya pergi ke Panaraga, jika ia kemudian harus pergi?”

“Itulah yang harus kita ketahui,” sahut Glagah Putih. “Tetapi mungkin pula ia masih berada di Panaraga. Bahkan mungkin Pangeran Ranapati sudah membuat hubungan dengan Pangeran Jayaraga, dengan mengaku sebagai putra Panembahan Senapati yang mengasingkan diri di sebuah padepokan, sehingga saudara-saudaranya tidak mengenalnya.”

“Ya. Ada banyak kemungkinan,” sahut Sumbaga.

“Besok aku masih akan memperkenalkan Ki Glagah Putih dan Nyi Rara Wulan dengan lingkungan ini, agar jika terjadi sesuatu, mereka telah menguasai medan. Tugas yang harus kita lakukan adalah tugas yang mengandung banyak sekali kemungkinan.”

“Baiklah. Jika Kakang Madyasta masih akan melihat-lihat lingkungan ini, maka aku dan Kakang Sungkana akan melanjutkan usaha kami untuk menelusuri jejak orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Mungkin kami akan mengulangi penelusuran kami. Kami akan melihat kembali batu lempeng, yang menurut cerita orang dipergunakan oleh Pangeran Ranapati untuk bermalam sebelum memasuki Panaraga. Pangeran Ranapati sendiri telah memerintahkan orang-orang di sekitarnya membuat pagar kayu di sekeliling batu itu. Mungkin kami menemukan petunjuk, kemana Pangeran Ranapati itu setelah meninggalkan tempatnya bermalam di batu lempeng itu.”

“Hati-hatilah. Mungkin Pangeran Ranapati mempunyai maksud tertentu dengan membuat petilasan-petilasan seperti itu.”

“Baik, Kakang. Kami akan berhati-hati.”

Menjelang tengah malam, maka Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun meninggalkan rumah yang dihuni oleh Sungkana dan Sumbaga. Mereka menyusuri jalan-jalan kecil. Namun agaknya Madyasta telah menguasai lingkungan itu, sehingga ia dapat mengajak Glagah Putih dan Rara Wulan menghindari gardu-gardu perondan, agar mereka tidak harus terlalu banyak menjawab pertanyaan anak-anak muda yang sedang meronda.

Demikian mereka sampai di rumah Madyasta, maka Madyasta pun segera mempersilahkan keduanya untuk beristirahat.

Di dalam biliknya yang cukup luas, dengan sebuah amben yang cukup luas pula bagi mereka berdua, Glagah Putih dan Rara Wulan tetap saja berhati-hati.

“Tidurlah dahulu.” berkata Glagah Putih, “nanti jika aku sudah mengantuk sekali, kita akan bergantian.”

“Ini sudah tengah malam, Kakang. Nanti Kakang tidak sempat tidur.”

“Tentu ada kesempatan. Nanti aku akan membangunkanmu.”

Rara Wulan mengangguk. Ia pun menyadari bahwa Glagah Putih ingin berhati-hati. Mereka berada di tempat yang sebelumnya tidak mereka kenal. Orang yang bernama Madyasta itu pun hanya mereka kenal karena sebutan sandinya serta pertanda pada ikat pinggangnya. 

Ketika Rara Wulan kemudian membaringkan dirinya di atas tikar pandan yang putih dan bergaris-garis biru, maka Glagah Putih pun duduk bersandar dinding.

Ternyata sejenak kemudian Rara Wulan pun telah tertidur. Ia memang selalu yakin akan perlindungan Glagah Putih. Sehingga karena itu maka Rara Wulan tidak mempunyai kecemasan sedikit pun juga. Dengan demikian, maka Rara Wulan pun segera dapat tidur nyenyak.

Sementara itu, malam pun menjadi semakin sepi. Di bilik yang lain, terdengar Madyasta tidur mendengkur.

Ketika terdengar ayam jantan berkokok di dini hari, maka sebelum Glagah Putih membangunkannya, ternyata Rara Wulan telah bangun. Ia pun kemudian duduk di bibir pembaringan sambil membenahi rambutnya.

“Beristirahatlah, Kakang. Aku sudah terlalu lama tidur.”

“Belum, kau belum lama tidur. Kau dengar ayam jantan berkokok itu? Bukankah waktunya masih dini hari?”

“Sebentar lagi fajar akan menyingsing.”

Glagah Putih mengangguk. Glagah Putih pun sangat mempercayai Rara Wulan. Glagah Putih sadar bahwa Rara Wulan memiliki kemampuan hampir sama seperti dirinya sendiri.

Karena itu maka Glagah Putih pun kemudian membaringkan dirinya. Rara Wulanlah yang kemudian duduk bersandar dinding.

Ternyata dalam waktu singkat, Glagah Putih pun telah tertidur pula.

Namun Glagah Putih hanya sempat tidur beberapa saat. Ketika bayangan fajar mulai nampak di langit, ia pun telah terbangun. Keduanya pun segera pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih menimba mengisi jambangan. Derit senggot timba terdengar memecah sepinya dini hari menjelang fajar.

Beberapa saat kemudian, Madyasta pun mulai terbangun pula. Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan selesai mandi, maka Madyasta pun telah pergi ke pakiwan pula.

Sejenak kemudian, terdengar derit sapu lidi di rumah sebelah. Ayam-ayam sudah turun dari kandangnya. Burung-burung liar yang hinggap di pepohonan, bernyanyi menyambut fajar pagi.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah mencari sapu lidi pula. Ada satu sapu lidi yang bertangkai, dan ada lagi yang tidak bertangkai. Karena itu maka Glagah Putih dapat menyapu halaman bersama-sama. Glagah Putih dengan sapu lidi yang bertangkai, sementara Rara Wulan mempergunakan sapu lidi yang tidak bertangkai.

Madyasta sendiri justru segera pergi ke dapur untuk merebus air.

Tetangga sebelah menjadi agak heran mendengar suara sapu lidi di halaman rumah Madyasta, sementara asap mengepul di dapur. Jarang sekali Madyasta menyapu halaman, sehingga halamannya kadang-kadang nampak agak kurang bersih. Tetapi hari itu, dua orang telah menyapu halaman depan.

Beberapa saat kemudian, setelah minuman selesai dituang, maka mereka bertiga pun duduk di ruang depan. Madyasta pun telah memberitahukan kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, bahwa mereka akan pergi berjalan-jalan meneruskan pengenalan mereka terhadap lingkungan di Panaraga.

Ketika matahari mulai naik, Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu regol halaman rumahnya, turun ke jalan. Mereka akan mulai berjalan untuk melihat-lihat keadaan dan lingkungan.

Seorang perempuan separuh baya yang kebetulan berdiri di regol halaman rumahnya ketika melihat Madyasta, lewat telah bertanya, “Masih pagi. Mau kemana, Ngger?”

“Ke pasar, Bibi.” sahut Madyasta.

“Siapakah kedua orang ini? Aku belum pernah melihat sebelumnya.”

“Sepupuku, Bi. Mereka datang kemarin sore. Sudah lama kami tidak saling berkunjung.”

“Apakah mereka suami istri?”

“Ya, Bibi.”

“Menyenangkan melihat sepasang suami istri yang nampak serasi. Kapan-kapan singgah di rumahku ini, Ngger.”

“Baik, Bibi,” Rara Wulanlah yang menyahut, “pada kesempatan lain kami akan singgah.”

“Apakah kalian akan lama tinggal di sini?”

“Mungkin, Bibi. Tetapi tentu tidak lama sekali.”

Demikianlah, ketiganya pun segera melanjutkan perjalanan mereka untuk melihat-lihat lingkungan.

Sementara Madyasta telah meninggalkan rumahnya, Sumbaga masih duduk sambil memeluk lututnya menghadapi minuman hangat yang telah disiapkan oleh Sungkana.

“Cepat mandi,” berkata Sungkana, “bukankah kita akan pergi ke batu lempeng yang sekarang dipagari itu?”

“Nanti dulu, Kakang. Aku sedang menikmati minumanmu ini.”

“Lihat, matahari sudah mulai naik.”

“Bukankah kita tidak berurusan dengan matahari?”

“Mumpung masih pagi. Kalau kau tidak segera mandi, aku akan pergi sendiri.”

Sumbaga menggeliat. Ia masih minum beberapa teguk lagi. Baru kemudian ia bangkit berdiri. Tetapi Sumbaga tidak pergi ke pakiwan. Seperti biasanya ia lebih senang pergi ke sungai. Di sungai ia tidak perlu menimba air. Ia dapat mandi dengan air sebanyak apapun.

Baru kemudian setelah matahari sepenggalah, Sumbaga itu siap untuk berangkat.

Keduanya pun berjalan dengan cepat menuju ke pintu gerbang Kota. Mereka pun kemudian mengikuti jalan utama keluar dari Kota. Mereka menuju ke sebuah petilasan yang dibuat oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Ia sendirilah yang membuat tempat itu menjadi tempat yang dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Dengan membuat pagar di sekitarnya, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu telah menjadikan tempat itu mendapat perhatian lebih dari tempat-tempat di sekitarnya.

Jejak terakhir yang dapat diketahui oleh Sungkana dan Sumbaga dari orang yang menyebut Pangeran Ranapati itu adalah batu lempeng itu. Batu yang pipih, tetapi cukup lebar dan cukup panjang untuk tidur. Di atas batu itu, di bawah sebatang pohon preh tua yang besar, orang yang menyebut Pangeran Ranapati itu tidur di malam terakhir perjalanannya, sebelum ia memasuki pintu gerbang Panaraga.

Namun setelah itu, Sungkana dan Sumbaga telah kehilangan jejak.

Sebelum tengah hari, Sungkana dan Sumbaga telah berada di dekat batu lempeng itu. Mereka duduk di atas akar preh raksasa yang tumbuh di dekat batu lempeng itu, sehingga daunnya yang rimbun menaungi batu yang pipih itu. Tetapi pohon itu sendiri berada di luar pagar yang mengelilingi watu lempeng itu.

Ketika mereka melihat seorang tua yang sedang mencari kayu bakar di sekitar tempat itu, maka Sungkana pun telah memanggilnya.

“Duduklah sebentar, Kang,” berkata Sungkana.

“Ada apa, Ki Sanak?”

“Aku ingin tahu, kenapa batu ini dipagari.”

Orang tua yang sedang mencari kayu bakar itu termangu-mangu sejenak. Namun Sungkana pun berkata, “Kau tidak usah mencari kayu bakar hari ini, Kang . Kau dapat membeli saja kayu bakar yang sudah siap disurukkan ke dalam perapian.”

“Aku tidak mempunyai uang, Ki Sanak.”

“Aku punya. Aku akan memberimu uang untuk membeli kayu bakar itu.”

Orang itu pun kemudian duduk pula di atas akar pohon preh yang besar itu.

“Kakang, kami ingin tahu, kenapa batu ini dipagari. Bahkan pagar kayu yang baik dan kokoh.”

“Batu ini merupakan satu petilasan, Ki Sanak.”

“Siapakah yang telah wafat di sini?”

“Bukan petilasan dalam arti makam seseorang yang telah wafat, Ki Sanak.”

“Jadi?”

“Tempat ini pernah dipergunakan oleh seorang Pangeran yang sedang lelana seorang diri untuk beristirahat. Bahkan bermalam dan tidur di batu yang pipih itu. Karena itu, maka Pangeran itu telah menghubungi Ki Bekel dan memerintahkan membuat pagar yang baik dan kokoh di sekitar batu itu. Pangeran itu telah memberikan uang cukup kepada Ki Bekel untuk pembuatan pagar kayu ini.”

“Siapakah nama Pangeran itu?”

“Pangeran Ranapati. Ia adalah putra Panembahan Senapati di Mataram.”

“Lalu sekarang, kemanakah Pangeran itu pergi?”

“Pangeran itu akan pergi ke Panaraga. Di Panaraga telah diangkat adiknya untuk menjadi penguasa.”

“Apakah Pangeran Ranapati itu akan menyusul adiknya yang menjadi penguasa di Panaraga?”

Orang tua itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu.”

“Ketika pagar ini dibuat, apakah Pangeran Ranapati itu menungguinya?”

“Tidak. Ia hanya meninggalkan uang dan pesan kepada Ki Bekel. Kemudian begitu saja Pangeran itu pergi.”

“Kakang tinggal di padukuhan ini?”

“Ya. Aku tinggal di sudut padukuhan itu.”

“Setiap hari Kakang mencari kayu?”

“Hampir setiap hari. Istriku juga sudah tua. Kasihan jika tidak tersedia kayu bakar di rumah.”

“Kakang tidak punya anak?”

“Ada, Ki Sanak. Tetapi sudah tinggal di rumah mereka masing-masing. Aku mempunyai tiga orang anak. Semuanya sudah menikah dan tinggal di rumah mereka masing-masing. Aku tinggal berdua saja dengan istriku yang juga sudah tua.”

Sungkana dan Sumbaga itu pun saling berpandangan sejenak. Namun Sungkana pun kemudian berkata, “Baiklah, Kakang, terima kasih. Anak-anakku pun sudah meninggalkan aku dan istriku pula, sehingga aku juga tinggal berdua saja di rumah.”

“Berapa anakmu, Ki Sanak?”

“Tujuh.”

“Tujuh? Berapa sekarang umurmu? Kau tentu lebih muda dari aku.”

“Ya. Tetapi hampir setiap tahun anak-anakku mempunyai adik.”

“Ah,” orang itu menggeleng, “aku tidak percaya. Aku percaya bahwa anakmu tujuh. Tetapi tentu belum semuanya menikah.”

Sungkanalah yang tertawa. Ia pun kemudian memberikan beberapa keping uang sambil berkata, “Beli sajalah, Kang. Kau tidak usah mencari kayu bakar hari ini.”

Orang tua itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang tua itu menerima keping-keping uang itu sambil berkata, “Terima kasih.”

“Pulanglah. Beristirahatlah hari ini, karena kau tidak usah mencari kayu bakar.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah yang sebenarnya ingin kalian ketahui?”

“Petilasan ini dan orang yang telah membuatnya.”

“Apakah Ki Sanak berkepentingan dengan Pangeran Ranapati?”

“Tidak. Aku hanya ingin mengerti.”

Orang tua itu pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Terima kasih atas pemberian Ki Sanak. Aku akan pulang dan tidur. Sekali-sekali aku ingin tidur di siang hari. Nanti biarlah istriku membeli kayu bakar di rumah tetangganya yang sering menjual kayu bakar ke pasar. Daripada besok pagi orang itu pergi ke pasar pagi-pagi sekali, tentu lebih baik kalau kayu bakar itu dibeli oleh istriku.”

Laki-laki tua itu pun kemudian meninggalkan Sungkana dan Sumbaga yang masih saja duduk di akar pohon preh raksasa itu.

Namun mereka tidak melihat jalur yang dapat menunjukkan jalan untuk mengikuti jejak Pangeran Ranapati.

“Apakah sebaiknya kita pergi menemui Ki Bekel?” bertanya Sumbaga.

“Aku kita tidak akan banyak gunanya. Ki Bekel tentu juga tidak dapat menunjukkan jalur jejak Pangeran Ranapati. Apalagi jika Pangeran Ranapati itu sudah berniat untuk menghilangkan jejaknya dengan tujuan tertentu.”

Sumbaga mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya pula, “Lalu, apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kita kembali ke Panaraga. Kita amati jalan dari tempat ini sampai memasuki pintu gerbang. Apakah ada pertanda atau petunjuk apapun tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”

Keduanya pun segera bangkit berdiri. Perlahan-lahan mereka melangkah meninggalkan batu pipih yang disebut batu lempeng serta dipagari kayu itu.

Namun sebelum mereka melangkah beberapa puluh langkah, mereka pun terhenti. Lima orang tiba-tiba saja telah berloncatan dan berdiri di tengah jalan. Seorang di antara mereka adalah orang tua yang tadi diberi uang untuk membeli kayu bakar.

Seorang yang bertubuh kekar dan berdada bidang berdiri di paling depan. Dengan suara yang bergetar ia pun bertanya, “Apakah yang kalian cari, Ki Sanak?”

Kedua orang yang baru saja mengamati batu lempeng itu saling berpandangan sejenak. Ternyata orang tua itu bukan sedang mencari kayu. Tetapi orang itu justru sedang mengawasi mereka berdua.

Yang kemudian menjawab adalah Sungkana, “Kami tidak sedang mencari apa-apa, Ki Sanak. Kami hanya tertarik pada petilasan itu, sehingga kami ingin tahu apakah yang sebenarnya berada di dalam pagar itu. Dari orang tua itu kami mendapat keterangan bahwa petilasaan itu telah dibuat oleh Pangeran Ranapati. Bukan makamnya, tetapi Pangeran Ranapati pernah beristirahat di tempat itu. Bahkan bermalam dan tidur di atas batu itu.”

“Kau tentu tidak hanya sekedar ingin tahu. Kau telah memberi aku uang beberapa keping. Terlalu mahal bagi orang yang sekedar ingin tahu. Kau tentu mempunyai satu maksud tertentu. Bahkan mungkin maksud yang buruk,” berkata orang tua itu.

“Aku tidak mempunyai maksud apa-apa.”

“Bohong!” orang tua yang mengaku mencari kayu itu dengan cepat menyahut.

“Lalu apa kepentinganku dengan sebongkah batu pipih itu?”

“Itulah yang ingin kami ketahui,” geram orang yang bertubuh kekar itu.

“Aku sudah memberikan penjelasan, Ki Sanak. Kami tidak bermaksud apa-apa. Kami hanya tertarik oleh pagar kayu yang bagus dan kokoh ini. Kemudian selembar batu yang besar dan pipih, seperti memang sengaja dibuat.”

“Ki Sanak. Untuk mengusut perkaramu, kami terpaksa membawa Ki Sanak berdua.”

“Menghadap siapa?”

“Lurah-e. Maksudku, pemimpin kami.”

“Maaf, kami tidak merasa melakukan kesalahan apa-apa. Karena itu, kami merasa berkeberatan untuk ikut bersama Ki Sanak menemui orang yang belum aku kenal.”

“Jangan membantah, Ki Sanak. Jika ternyata Ki Sanak tidak bersalah, maka Ki Sanak akan kami biarkan pergi. Tetapi jika Ki Sanak memang kami anggap merugikan kelompok kami, maka kami akan mengambil tindakan.”

“Jangan begitu, Ki Sanak. Jangan berbuat semena-mena. Bukankah kami berdua tidak berbuat apa-apa? Apalagi merugikan Ki Sanak dan kelompok Ki Sanak. Coba katakan, kenapa aku merugikan Ki Sanak dan kelompok Ki Sanak.”

“Bukan aku yang menentukan apakah kalian bersalah atau tidak. Tetapi pemimpinku.”

“Maaf, aku merasa sangat keberatan untuk mengikuti Ki Sanak seperti yang Ki Sanak maksudkan.”

“Kalian berdua tidak dapat memilih. Kalian tinggal mengikuti perintahku. Ikutlah kami untuk menghadap kepada pemimpinku yang akan memeriksa Ki Sanak berdua.”

Tetapi Sungkana itu pun menggeleng sambil berkata, “Kenapa aku tidak dapat memilih? Tidak. Aku tidak akan ikut bersama Ki Sanak. Ki Sanak tidak berhak memaksa aku mengikuti perintah Ki Sanak, karena Ki Sanak bukan pemimpinku.”

“Pemimpin atau bukan pemimpin, kau harus tunduk kepada kami. Jika kalian berkeberatan, maka kami akan memaksa Ki Sanak dengan kekerasan.”

“Jangan mencoba memaksakan kehendak terhadap orang lain. Karena orang lain itu dapat juga berbuat seperti Ki Sanak.”

“Cukup!” bentak orang bertubuh kekar itu. “Aku tidak mau lagi mendengar kalian membantah perintah kami. Ikut kami, atau kami akan mempergunakan kekerasan.”

“Kami menolak perintah Ki Sanak. Jika Ki Sanak akan mempergunakan kekerasan, maka kami pun akan dapat mempergunakan pula, untuk mempertahankan kebebasan sikap kami.”

Orang bertubuh kekar itu pun tiba-tiba mengangkat tangannya, sehingga kawan-kawannya pun segera bergeser. Tiga orang langsung menghadapi Sungkana, sedangkan yang dua orang melangkah mendekati Sumbaga. Kelima orang itu pun sadar, bahwa kedua orang itu tentu orang yang memiliki bekal ilmu, sehingga mereka berani menolak perintah mereka yang terdiri dari lima orang.

“Kesempatan Ki Sanak adalah kesempatan terakhir. Ikut kami, atau kalian akan menyesal.”

“Kalau kami ikut dengan Ki Sanak, justru kami akan menyesal. Karena itu, jangan ganggu kami.”

Orang bertubuh kekar itu pun segera memberikan isyarat. Kelima orang itu pun serentak bergeser dan bersiap untuk bertempur.

Sungkana dan Sumbaga pun segera mengambil jarak. Ketika kelima orang itu hampir serentak menyerang mereka, maka Sungkana dan Sumbaga pun telah berloncatan pula. Orang yang pertama kali mendekati Sungkana, tiba-tiba telah terdorong surut. Sungkana bergerak dengan cepat sekali. Kakinya tiba-tiba sudah menghantam seorang dari ketiga lawannya.

Pertempuran segera meningkat. Orang-orang yang akan menangkap Sungkana dan Sumbaga itu pun segera meningkatkan ilmu mereka. Mereka tidak mau bertempur berkepanjangan. Mereka ingin dengan cepat menyelesaikannya. Membawa kedua orang itu menghadap pemimpin mereka, atau jika mereka mengalami kesulitan, maka mereka tidak akan dianggap bersalah jika mereka membunuh saja kedua orang itu.

Tetapi Sungkana dan Sumbaga itu sangat cekatan. Keduanya berloncatan dengan kecepatan yang tinggi, sehingga lawan-lawannya harus segera meningkatkan ilmu mereka pula.

Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Meskipun Sungkana dan Sumbaga harus menghadapi lima orang sekaligus, tetapi keduanya tidak segera dapat dikuasai oleh lawan-lawannya. Jika lawan-lawannya mencoba untuk mengepungnya, maka tiba-tiba Sungkana dan Sumbaga sudah berada di luar kepungan. Sementara itu jika Sumbaga harus bertempur melawan dua orang lawan, maka kedua orang lawannya itu harus mengerahkan kemampuan mereka untuk bertahan dari serangan-serangan Sumbaga yang cepat. Sedangkan Sungkana mampu berloncatan seperti burung sikatan memburu belalang. Bahkan kadang-kadang ketiga orang lawannya itu menjadi bingung, karena seakan-akan Sungkana itu tiba-tiba saja bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Ketiga orang lawan Sungkana itu ternyata menjadi sangat kesulitan untuk menembus pertahanan Sungkana. Meskipun mereka menyerang dari arah yang berbeda-beda, tetapi Sungkana tetap saja sulit untuk disentuh. Selain pertahanannya yang kokoh dan rapat, maka dengan tangkasnya ia dapat menghindari serangan-serangan lawannya. Bahkan serangan-serangan Sungkana sendiri kemudian datang bagaikan prahara yang menerjang ketiga orang lawannya itu.

Sedangkan kedua orang yang melawan Sumbaga pun mulai mengalami kesulitan pula. Bergantian mereka terlempar dari arena. Bahkan ketika seorang yang terpelanting mulai bangkit berdiri, maka kawannya yang seorang lagi justru telah terlempar dan menimpanya, sehingga kedua-duanya pun kemudian telah jatuh terlentang saling menindih.

Dengan cepat keduanya berusaha untuk bangkit berdiri, sementara Sumbaga tidak memburu mereka. Bahkan seakan-akan Sumbaga sengaja memberi waktu kepada mereka berdua untuk membenahi diri.

Demikian keduanya berdiri, maka keduanya pun menggeram. Keduanya menjadi semakin marah. Mereka beranggapan bahwa lawannya telah dengan sengaja mempermainkan mereka.

“Marilah,” berkata Sumbaga, “kalian atau kami yang akan dapat memaksakan kehendak dengan kekerasan.”

“Gila!” geram salah seorang lawannya, “Aku akan membantaimu dan membiarkan tubuhmu dikoyak-koyak oleh anjing liar.”

“Kau tidak usah mengancam. Kita sudah terlibat dalam pertempuran. Tetapi jika kau menyerah, maka aku pun tidak akan memaksakan pertempuran ini berlangsung lebih lama lagi.”

“Kami tidak akan menyerah. Tetapi kami akan membunuhmu.”

“Bagus,” geram Sumbaga, “kau telah menggelitik perasaanku. Jangan menyesal jika akulah yang akan membantai kalian berdua.”

Namun Sumbaga tidak sempat meneruskan kata-katanya. Seorang dari kedua lawannya telah meloncat menyerangnya. Kakinya terjurus lurus mengarah ke dadanya.

Tetapi Sumbaga pun sangat tangkas. Dengan cepat ia mengelak. Bahkan tangannya pun terayun dengan cepatnya, sehingga dengan jari-jarinya yang merapat, Sumbaga telah menyerang ulu hati lawannya itu.

Lawannya mengaduh tertahan sambil meloncat surut. Tetapi Sumbaga tidak dapat memburunya, karena lawannya yang seorang lagi telah menyerangnya pula.

Pertempuran pun segera berlangsung pula dengan sengitnya. Tetapi kedua orang lawan Sumbaga itu seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk melawan. Serangan-serangan Sumbaga menjadi semakin sering mengenai keduanya berganti-ganti.

Dalam pada itu, lawan Sungkana pun telah menjadi semakin terdesak pula. Seorang di antaranya menjadi sangat kesakitan ketika kaki Sungkana mengenai dadanya, sehingga tubuhnya terdorong dan membentur sebatang pohon. Sedangkan kedua orang kawannya yang lain pun rasa-rasanya sangat sulit untuk dapat mengatasi keadaan.

Karena itu maka tiba-tiba saja telah terdengar isyarat dari orang yang bertubuh kekar, yang agaknya menjadi pemimpin mereka.

Isyarat itu tidak perlu diulangi. Dengan cepat orang-orang itu pun segera berlari meninggalkan arena pertempuran. Mereka berlari berpencaran dengan arah yang berbeda-beda.

Sungkana dan Sumbaga tidak mengejar mereka. Setelah sedikit membenahi pakaian mereka, keduanya pun segera meninggalkan tempat itu.

“Ternyata tempat ini selalu diawasi, Kakang,” berkata Sumbaga.

“Ya. Hampir saja kita terjebak. Untunglah bahwa mereka bukan orang-orang yang mrantasi, sehingga kita masih dapat melepaskan diri dari tangan mereka. Jika kita jatuh ke tangan pemimpin mereka, maka kita akan mengalami kesulitan. Kita akan diperas sampai darah kita kering. Jika kita tidak mampu mengatasi tekanan mereka dan sedikit saja berbicara tentang tugas kita, maka Glagah Putih, Rara Wulan dan Kakang Madyasta akan dapat menjadi endog pangamun-amun. Mereka tentu akan berusaha untuk mengambil mereka bertiga. Bahkan tidak mustahil bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu akan menangani mereka langsung. Sedangkan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu adalah orang yang ilmunya sangat tinggi.”

“Tetapi menurut pendengaran kita, Glagah Putih dan Rara Wulan adalah orang-orang yang ilmunya sangat tinggi.”

“Bekal mereka memang banyak, tetapi mereka masih terlalu muda. Kemudaan mereka tentu juga berpengaruh terhadap pengalaman mereka. Meskipun demikian, jika Ki Patih telah menunjuk mereka, maka Ki Patih pun tentu mempercayai mereka. Kita tahu bahwa penilaian Ki Patih terhadap seseorang tidak pernah keliru.”

“Itulah sebabnya maka Ki Patih menunjuk aku untuk ikut pula dalam tugas ini.”

“Ah, macammu,” Sumbaga tertawa.

Demikianlah, untuk beberapa saat kemudian mereka pun saling berdiam diri. Mereka berjalan cepat menjauhi batu pipih yang nampaknya selalu mendapat pengawasan itu.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah sampai di pintu gerbang Kota. Setelah mereka yakin bahwa tidak ada orang yang mengikuti mereka, maka mereka berdua pun langsung pergi ke rumah Madyasta.

“Mudah-mudahan Kakang Madyasta sudah ada di rumah,” berkata Sungkana.

“Ya. Mudah-mudahan.”

Dengan cepat keduanya menyelinap jalan kecil menuju ke rumah Madyasta.

Sebenarnyalah bahwa Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan memang baru saja pulang. Mereka baru saja mengelilingi Panaraga dan sekitarnya.

“Silakan duduk,” Madyasta pun mempersilahkan kedua orang yang baru saja datang itu.

“Kakang,” berkata Sungkana, “hampir saja kami justru terjebak ketika kami melihat petilasan itu.”

“Kau baru saja mendatangi petilasan itu?”

“Ya, Kakang. Seperti yang sudah kami katakan, kami akan mencoba menelusuri kembali jalan dari petilasan itu sampai memasuki pintu gerbang Kota. Jika saja kami menemukan sesuatu yang dapat kami pergunakan untuk mendapatkan jejak Pangeran Ranapati yang hilang itu.”

“Siapakah yang telah menjebak kalian?”

Sungkana dan Sumbaga pun kemudian menceritakan apa yang mereka jumpai dan apa yang mereka alami di sekitar batu yang pipih, yang kemudian oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu dipagari.

Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Cerita itu memang sangat menarik.

Baru kemudian Glagah Putih itu pun bergumam, “Dengan demikian maka orang-orang yang mengawasi petilasan itu sudah mengenali Kakang Sungkana dan Kakang Sumbaga.”

“Ya. Mereka telah mengenali kami.”

“Agaknya petilasan itu memang dibuat oleh orang yang mendirikan petilasan itu untuk menjebak.”

Dengan kerut di dahi Sumbaga itu pun bertanya, “Menjebak siapa? Apakah mungkin orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sengaja membidik seseorang atau sekelompok orang?”

“Mungkin orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu merasa bahwa dirinya akan diikuti oleh seseorang atau sekelompok orang. Karena itu maka ia sengaja membuat satu jebakan. Orang-orang yang mengikutinya itu akan kehilangan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Menurut perhitungannya, orang itu tentu akan berusaha menelusurinya kembali, dimulai dari petilasannya yang terakhir menjelang pintu gerbang Kota Panaraga.”

Sumbaga, Sungkana dan bahkan Madyasta itu pun mengangguk-angguk. Namun Madyasta itu pun kemudian berkata, “Jika benar demikian, maka orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak sendiri di Panaraga. Ia sudah mempunyai kelompok yang dapat digerakkannya setiap saat, sebagaimana orang-orang yang menunggui petilasan itu.”

“Ya. Karena itu maka sebaiknya kita pun membatasi hubungan kita. Maksudku, kami bertiga tidak akan terlalu sering berhubungan dengan Ki Sungkana dan Ki Sumbaga, sehingga para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak menghubungkan kami dengan Ki Sungkana dan Ki Sumbaga. Jika mereka yang mengenali Ki Sungkana dan Ki Sumbaga itu mengetahui bahwa kita saling berhubungan, maka mereka pun akan menjadi sangat berhati-hati menghadapi kami bertiga, sementara kami bertiga masih belum mengenali mereka.”

“Ya,” Sungkana mengangguk-angguk. “kita harus berusaha membatasi hubungan di antara kita.”

“Selebihnya, Ki Sungkana dan Ki Sumbaga harus menjadi lebih berhati-hati. Mungkin mereka berusaha untuk menguasai Ki Sungkana dan Ki Sumbaga, untuk memeras keterangan Ki Sungkana dan Ki Sumbaga untuk siapa Ki Sungkana dan Ki Sumbaga berdua bekerja.”

“Ya. Kami memang harus berhati-hati. Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tentu akan berusaha mencari kami berdua.”

“Karena itu, jika Ki Sungkana dan Ki Sumbaga akan melakukan tindakan-tindakan penting, beritahu kami. Sebaiknya kalian datang kemari pada saat-saat yang memungkinkan. Dengan demikian maka kami akan dapat mengawasi Ki Sungkana dan Ki Sumbaga. Dalam keadaan yang memaksa, maka kami akan dapat membantu Ki Sungkana dan Ki Sumbaga, meskipun akibatnya kami juga akan mereka kenali.”

Sungkana dan Sumbaga mengangguk-angguk.

“Baiklah,” berkata Sungkana, “kami akan sangat berhati-hati.”

“Yang penting, kita sadari bahwa kita berhadapan dengan sekelompok orang yang dipimpin oleh orang yang berilmu sangat tinggi. Bukan hanya berhadapan dengan seorang saja.”

“Ya. Kita berhadapan dengan sekelompok orang. Kita belum tahu, apakah sekelompok orang itu merupakan kelompok yang kuat, atau sekedar kumpulan orang-orang yang siap dikorbankan.”

“Tetapi orang-orang yang berusaha menangkap Ki Sungkana dan Ki Sumbaga, agaknya masih tidak terlalu sulit untuk diatasi. Tetapi kita tidak tahu siapa saja yang berada di belakang mereka. Tetapi setidaknya seorang di antara mereka kita ketahui, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”

Sejenak mereka terdiam. Nampaknya mereka sedang hanyut oleh gejolak perasaan mereka masing-masing.

Namun tiba-tiba Glagah Putih berkata, “Orang-orang yang menunggui petilasan itu akan dapat menjadi jalur untuk menelusuri di mana orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu bersembunyi. Tetapi jalan menuju ke persembunyian orang itu tentu akan merupakan jalan yang sangat rumit.”

“Ya,” Madyasta mengangguk-angguk, “rumit dan sangat berbahaya. Mungkin kita berhasil memasuki sarang orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati itu. Tetapi setelah itu kita tidak dapat keluar lagi.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Rara Wulanlah yang kemudian menyela, “Apakah mungkin aku dapat memasuki sarang mereka, Kakang?”

“Kita belum tahu, Rara Wulan. Kita masih harus mengamati keadaan. Mungkin kita membutuhkan waktu yang panjang. Kita tidak boleh tergesa-gesa. Yang kita hadapi adalah orang yang berilmu sangat tinggi.”

“Tetapi kita harus mencari jalan. Sementara itu, kita juga belum tahu apakah kita dapat berhubungan dengan Pangeran Jayaraga atau tidak.”

“Ya. Apalagi jika orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu sudah lebih dahulu berhasil berhubungan dengan Pangeran Jayaraga.”

Kembali mereka terdiam. Glagah Putih dan Rara Wulan yang merasa tidak menemui kesulitan untuk melacak jejak orang yang menyebut diri Pangeran Ranapati itu, karena orang itu sengaja meninggalkan jejak di sepanjang perjalanannya, akhirnya mereka sadari bahwa itu hanyalah sekedar permainan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Jika saja orang itu mengetahui betapa Glagah Putih dan Rara Wulan itu kebingungan setelah mereka dengan lancar mengikuti jejaknya, ia tentu akan mentertawakannya.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan bukan orang yang mudah kecewa dan putus asa. Mereka berdua akan mengerahkan segenap kemampuan mereka, dan bahkan mempertaruhkan nyawanya, untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan ke pundak mereka.

Karena itu maka Glagah Putih pun mulai memikirkan gagasan Rara Wulan. Apakah Rara Wulan akan dapat mencari jalan untuk memasuki lingkungan para pengikut orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.

Tetapi Glagah Putih pun menyadari bahwa langkah itu tentu sangat berbahaya. Jika langkah mereka tergelincir sedikit saja, maka akibatnya tidak dapat mereka bayangkan.

Meskipun demikian, gagasan itu telah tersangkut di angan-angan Glagah Putih.

Ketika kemudian malam turun, maka Sungkana dan Sumbaga pun meninggalkan rumah Madyasta. Mereka sepakat bahwa besok malam keduanya akan datang lagi ke rumah itu.

“Besok sehari penuh, jangan kemana-mana,” pesan Madyasta kepada Sungkana dan Sumbaga. “Orang-orang yang tadi kau kalahkan, mungkin sekali besok akan mencarimu.”

“Ya. Mungkin mereka akan mencari kami dengan kekuatan yang berlipat.”

Demikianlah, keduanya pun dengan hati-hati keluar dari regol halaman. Baru ketika mereka yakin tidak ada orang di jalan, mereka pun berjalan dengan cepat menjauhi regol rumah Madyasta itu.

Baru sepeninggal Sungkana dan Sumbaga, Glagah Putih bertanya kepada Madyasta, “Bagaimana pendapat Ki Lurah, jika kita coba mengetrapkan gagasan Rara Wulan?”

“Kau masih saja memanggil Ki Lurah. Kau akan dapat lupa, di tempat lain, di hadapan orang banyak, kau juga memanggil Ki Lurah. Panggilan itu akan dapat mengundang perhatian.”

“Maaf,” Glagah Putih tersenyum, “jika tidak ada orang lain, rasa-rasanya sepantasnya aku memanggil Ki Lurah.”

“Jangan. Biasakan memanggil namaku, Madyasta.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan mengingat-ingat.” Namun kemudian ia pun berkata, “Bagaimana pendapatmu tentang gagasan Rara Wulan?”

“Apakah kita akan sampai hati untuk melepaskannya?”

“Rara Wulan pernah melakukannya. Ia pernah mengumpankan dirinya untuk mengungkap satu kejahatan.”

“Dan Rara Wulan berhasil?”

“Ya. Waktu itu ia berhasil.” Glagah Putih pun berpaling kepada Rara Wulan, “Tetapi harus kita sadari bahwa yang kita hadapi sekarang berbeda dengan yang kita hadapi pada waktu itu.”

“Ya, Kakang,” sahut Rara Wulan. “Dengan demikian maka persiapan kit apun harus lebih baik. Tentu saja aku tidak mau menjadi korban sia-sia. Jika aku harus menjadi tumbal dari tugas ini, maka seharusnya bahwa pengorbanan itu memberikan arti.”

“Tentu kami tidak akan mengorbankan kau, Rara Wulan,” sahut Glagah Putih, “kita akan bersama-sama menanggungnya.”

“Tentu setidak-tidaknya salah seorang dari kita harus tetap dapat melanjutkan perjuangan ini sampai tuntas.”

“Sebaiknya kita mencari jalan lain,” berkata Madyasta.

Tetapi Rara Wulan menyahut, “Sebaiknya kita mencobanya. Aku akan berada di tempat terbuka bersama Sungkana dan Sumbaga. Jika benar ada orang yang memburu Sungkana dan Sumbaga, maka mereka pun akan menemukan aku. Biarlah Sungkana dan Sumbaga berusaha melepaskan diri mereka, sementara itu orang-orang yang lain akan berusaha menangkap aku dan membawaku ke sarang mereka. Namun Kakang Glagah Putih dan Madyasta yang belum dikenal itu akan dapat mengikuti aku sampai ke sarang mereka.”

“Mengerikan,” desis Madyasta.

“Jika terpaksa kalian tidak dapat mengikuti aku, maka biarlah aku yang berusaha melepaskan diri dengan caraku. Bukankah aku juga mempunyai kemampuan untuk melindungi diriku sendiri? Jika rencana satu dan rencana dua ini gagal, kita akan melakukan berdasarkan keadaan yang kita hadapi saat itu. Jika itu pun gagal, apa boleh buat.”

“Aku tidak dapat membayangkan bencana yang dapat melibatmu, Nyi.”

“Setiap perjuangan memerlukan keberanian untuk mengambil sikap. Aku dan Kakang Glagah Putih telah melatih pendengaran kami dengan mendengarkan Aji Pameling. Meskipun masih belum begitu jernih, tetapi kami sudah mulai dapat menguasai Aji Pameling itu, sehingga kami akan dapat selalu berhubungan meskipun kami berada di jarak yang mungkin agak jauh.”

“Bukankah Aji Pameling hanya dapat dipergunakan untuk memanggil, serta pesan-pesan khusus, sehingga Aji Pameling tidak dapat dipergunakan untuk berbincang-bincang seperti kita sekarang ini?”

“Ya. Tetapi setidak-tidaknya kami saling dapat memberikan isyarat di mana kami berada.”

Madyasta menarik nafas panjang. Kedua orang suami istri yang masih sangat muda itu ternyata memiliki sebangsal ilmu yang sulit untuk dipelajari. Tetapi ternyata mereka sudah dapat menguasainya.

Karena itu maka akhirnya Madyasta menyerahkan segala sesuatunya kepada suami istri itu sendiri.

“Kami akan patuh kepada segala perintah kalian berdua,” berkata Madyasta kemudian.

Glagah Putih pun menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Baiklah, kami masih akan mempertimbangkan dalam satu dua hari ini. Baru kami akan mengambil keputusan. Kami sadari bahwa kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi.”

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah siap untuk menghadapi kemungkinan yang sangat buruk itu jika harus terjadi.

Di hari berikutnya, Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berjalan-jalan berkeliling Panaraga dan sekitarnya. Mereka berusaha benar-benar memahami lingkungan tugas mereka. Lorong-lorong kecil pun telah mereka lihat dan mereka ingat baik-baik.

Seperti yang sudah dipesankan, maka di hari berikutnya Sungkana dan Sumbaga sama sekali tidak keluar dari rumah. Mereka berusaha menghindari pengamatan orang-orang yang berusaha menjebaknya di dekat petilasan itu namun tidak berhasil. Bahkan Sungkana dan Sumbaga dapat memberikan ancar-ancar ujud orang-orang itu kepada Madyasta, Glagah Putih dan Rara Wulan.

Ketika mereka bertiga berada di alun-alun, maka mereka pun duduk di bawah sebatang pohon besar yang rimbun. Ketika tiga orang lewat tidak jauh dari tempat mereka duduk, maka Glagah Putih telah menggamit Rara Wulan dan Madyasta sambil berdesis, “Kalian lihat orang-orang itu?”

Rara Wulan mengangguk-angguk kecil sambil menyahut, “Maksud Kakang, orang-orang itu adalah orang-orang yang berusaha menangkap Sungkana dan Sumbaga?”

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Yang mana?” bertanya Madyasta.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ketika Madyasta mengikuti arah pandang Glagah Putih, maka ia pun segera mengetahui orang-orang yang dimaksud.

“Ya. Agaknya mereka adalah tiga orang di antara kelima orang itu,” desis Madyasta.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar