Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 393

Buku 393

Dengan wajah yang tidak nampak ceria, pelayan itu pun bertanya dengan kalimat-kalimat pendek, “Kalian mau pesan apa?”

Glagah Putihlah yang menjawab, “Wedang sere satu mangkuk dan nasi tumpang dua mangkuk, Ki Sanak.”

“Apa lagi?”

“Sudah.”

“Hanya itu? Kenapa wedang serenya hanya satu?”

“Cukup untuk dua orang, Ki Sanak.”

“Kalian telah tersesat memasuki kedai ini. Seharusnya kau beli saja nasi tumpang dan wedang sere di sebelah pintu gerbang pasar itu, sambil duduk lesehan di bawah pohon gayam. Kalian tidak perlu masuk ke dalam kedai ini untuk semangkuk wedang sere dan dua mangkuk nasi tumpang.”

“Tetapi bukankah di kedai ini ada nasi tumpang?”

Pelayan itu tidak menjawab. Sambil bersungut-sungut ia meninggalkan Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Pesan apa mereka?” bertanya pemilik kedai, yang nampaknya juga kurang senang atas keberadaan Glagah Putih dan Rara Wulan. Apalagi ketika ia mendengar pesanan kedua orang itu, pemilik kedai itu pun mengumpat kasar.

“Segera hidangkan pesanan itu kepada mereka, agar mereka segera pergi.”

Pemilik kedai itu pun dengan cepat menyiapkan pesan Glagah Putih dan Rara Wulan. Kemudian pelayannya pun segera menghidangkan pula, agar kedua orang itu segera meninggalkan kedai itu.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak makan cepat-cepat. Mereka makan perlahan-lahan, sementara Rara Wulan berkata sambil tertawa tertahan, “Kakang hanya memesan semangkuk minuman. Itu pun hanya wedang sere.”

Glagah Putih pun tertawa pula.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar tidak menghiraukan orang-orang yang sedang berada di kedai itu pula. Mereka sadar bahwa beberapa orang sedang memperhatikan mereka. Tetapi mereka tidak peduli. Mereka makan saja seenaknya, dan bergantian mereka meneguk wedang sere dengan gula kelapa itu.

Namun akhirnya nasi mereka pun habis juga. Demikian pula minuman mereka. Agaknya seorang pelayan sangat memperhatikan mereka, karena demikian mereka selesai makan, pelayan itu segera datang kepadanya untuk mengambil mangkuk-mangkuk yang kotor itu.

Namun pelayan itu terkejut ketika Rara Wulan kemudian mengambil sekeping uang perak dari kampilnya dan memberikannya kepada pelayan itu.

Sejenak pelayan itu termangu-mangu. Namun kemudian pelayan itu pun segera pergi ke pemilik kedai itu sambil menyerahkan keping uang perak itu.

“Siapa yang membayar dengan uang perak ini?” bertanya pemilik kedai itu.

“Kedua orang yang memesan semangkuk wedang sere itu, Paman.”

“Jadi mereka mempunyai uang perak?”

“Tidak hanya satu. Ketika ia mengambil uang ini dari kampilnya, aku melihat ada beberapa uang perak di dalamnya.”

“Mereka sengaja menyinggung perasaan kita.”

“Kenapa?”

“Mereka telah tersinggung karena sikap kita. Tetapi kedai ini kedai kita. Kita dapat berbuat apa saja di sini. Kita pun bebas melayani langganan-langganan kita. Bahkan seandainya kita akan mengusir orang itu, itu adalah hak kita.”

“Jadi, bagaimana dengan uang ini?” bertanya pelayan itu.

Pemilik kedai itu pun mengambil uang perak itu dari tangan pelayannya. Ia pun kemudian mendatangi Glagah Putih dan Rara Wulan. Sambil melemparkan uang perak itu di hadapan Glagah Putih, pemilik kedai itu pun berkata, “Kau hanya minum wedang sere semangkuk untuk dua orang. Kemudian nasi megana, yang harganya paling murah di kedai ini. Sekarang kalian membayar dengan uang perak.”

“Aku tidak mempunyai mata uang yang lebih kecil.”

“Ambil uang itu. Kalian tidak usah membayar minuman yang kalian minum serta nasi yang kau makan. Harganya tidak seberapa. Bagi kami minum dan makan yang kalian pesan itu tidak ada harganya.”

Rara Wulan terkejut ketika Glagah Putih itu bangkit berdiri. Setelah memungut uang perak itu, maka ia pun mengangguk hormat sambil berkata, “Jika demikian, aku mengucapkan terima kasih. Hal ini merupakan satu pengalaman yang menarik. Kami akan melakukan lagi nanti dan besok di kedai-kedai yang lain, sehingga uang kami akan tetap utuh.”

Jantung pemilik kedai itu terasa berdegup semakin keras. Demikian kemarahan bergejolak di dadanya, maka justru orang itu diam mematung. Hanya nafasnya sajalah yang terdengar tersengal-sengal.

Glagah Putih dan Rara Wulan dengan sikap yang wajar-wajar saja kemudian meninggalkan kedai itu sambil berkata, “Terima kasih atas kemurahan hati Ki Sanak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian benar-benar meninggalkan kedai itu tanpa membayar, sebagaimana dikatakan oleh pemilik kedai itu.

Orang-orang yang berada di kedai itu memperhatikan peristiwa itu dengan tanggapan yang bermacam-macam. Bahkan ada yang terpaksa menahan tertawanya memperhatikan sikap kedua orang itu.

“Mereka tidak bersalah,” desis seorang saudagar yang semula duduk di sebelah Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbisik.

Tetapi kawannya menjawab, “Tetapi mereka tidak membayar makan dan minuman yang mereka pesan, dan bahkan sudah mereka habiskan.”

“Siapa yang tidak membayar? Mereka mau membayarnya. Bahkan dengan sekeping uang perak. Tetapi pemilik kedai itu tersinggung dan menolak pembayaran itu. Nah, bukankah pemilik kedai ini sendiri yang mengatakan kepada mereka agar mereka tidak usah membayar?” 

Kawannya pun tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ya. Mereka memang tidak bersalah.”

Beberapa orang yang lain sependapat dengan saudagar itu. Bahkan ada pula yang menyesalkan sikap pemilik kedai serta para pelayan, yang meremehkan pembelinya hanya dengan melihat ujud lahiriahnya saja. Seperti kedua orang itu. Ternyata mereka bukan orang-orang yang tidak dapat membayar harga makanan dan minuman yang mahal sekalipun. Jika kemudian mereka hanya memesan wedang sere dan nasi tumpang, itu justru karena mereka merasa direndahkan oleh para pelayan yang segan melayani mereka. Ketika keduanya membayar dengan sekeping uang perak, pemilik kedai itulah yang tersinggung.

Ternyata persoalan itu masih belum selesai bagi pemilik kedai itu. Seorang pelayannya telah memanggil dua orang upahan pemilik kedai itu untuk melindunginya serta kedainya dari kemungkinan buruk yang dapat terjadi.

“Ada apa, Lurah-e?” bertanya seorang di antara mereka.

Dengan singkat pemilik kedai itu menceritakan apa yang telah terjadi di kedainya.

“Terserah kepada kalian. Aku hanya ingin membuat mereka jera. Jika kemudian uangnya berceceran dan kalian menemukan keping-keping perak itu, terserah saja kepada kalian.”

Kedua orang itu tertawa. Yang berambut ubanan berkata, “Jika itu terjadi, aku dapat membelikan gelang anakku perempuan.”

“Cepat, pergilah. Mumpung belum terlalu jauh.”

“Bukankah kedua orang yang masih kelihatan itu? Mereka tidak akan sempat pergi jauh.”

Demikianlah, kedua orang itu pun kemudian berjalan mengikuti Glagah Putih dan Rara Wulan, yang kemudian berbelok di tikungan. Keduanya tidak terlalu tergesa-gesa. Mereka akan membuat Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi jera jika mereka sudah sampai di bulak panjang. Mereka mempunyai alasan yang kuat untuk memberi sedikit pelajaran kepada kedua orang itu. Mereka makan dan minum di kedai tanpa membayar.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah keluar dari pintu gerbang padukuhan. Mereka mulai memasuki bulak yang terhitung panjang. Di sebelah-menyebelah jalan, tanaman padi nampak hijau segar di atas lumpur yang digenangi air melimpah. Parit di pinggir jalan itu pun terdengar gemericik mengalirkan air yang nampak jernih.

Namun dalam pada itu, Rara Wulan pun berbisik, “Kakang. Agaknya dua orang sedang mengikuti kita.”

“Ya. Agaknya pemilik kedai itu menjadi sangat marah kepada kita.”

“Lalu ia memerintahkan dua orangnya untuk mengikuti kita.”

“Tentu tidak sekadar mengikuti kita. Mereka tentu akan menghentikan kita jika kita sudah menjadi agak jauh dari padukuhan. Sementara jalan bulak ini nampaknya sudah menjadi sepi.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Rara Wulan itu berjalan saja di sebelah Glagah Putih, menyusuri bayang-bayang pohon perindang yang tumbuh di pinggir jalan.

Seperti yang mereka duga, ketika mereka menjadi semakin jauh dari padukuhan, kedua orang itu mempercepat langkah mereka menyusul Glagah Putih dan Rara Wulan.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja berpura-pura tidak mengetahuinya, sehingga akhirnya kedua orang itu sudah berada di samping mereka sambil berkata, “Berhenti, Ki Sanak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti. Mereka berdiri di pinggir jalan, di bawah bayangan sebatang pohon turi.

“Apakah kami yang Ki Sanak maksudkan?” bertanya Glagah Putih.

“Jangan berpura-pura,” berkata seorang di antara keduanya, “di sini tidak ada orang lain kecuali kalian berdua dan kami berdua. Seharusnya kalian tidak usah bertanya.”

“Baik. Biarlah kami tidak bertanya apa-apa lagi.”

“Akulah yang akan bertanya,” berkata orang itu. “Kenapa kalian lari setelah kalian makan dan minum di kedai kami tanpa membayar?”

“Pertanyaan itu lebih bodoh dari pertanyaanku,” sahut Glagah Putih. “Kau bukan saja berpura-pura, tetapi kau sudah sengaja menyesatkan persoalan yang sebenarnya.”

“Persetan,” geram orang itu. “Jika demikian, baik, kita tidak usah berbasa-basi. Aku datang untuk sedikit memberi pelajaran, karena kau sudah meremehkan dan menyinggung harga diri pemilik kedai itu.”

“Kalianlah yang telah menyinggung perasaan kami. Pelayan-pelayan di kedai itu sama sekali tidak menghiraukan kami ketika kami masuk ke dalam kedai itu.”

“Kalian berdua memang tidak pantas dihormati. Meskipun kalian mempunyai banyak uang, tetapi ujud kalian pantas direndahkan.”

Glagah Putih tersenyum katanya, “Bukankah aku tidak menuntut untuk dihormati? Bukankah aku diam saja? Aku sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ketika pemilik kedai itu minta aku pergi, maka akupun pergi.”

“Dengan tanpa membayar makanan dan minuman yang kalian pesan?”

“Kau memang dungu. Pemilik kedai itu yang menolak pembayaran yang aku berikan.”

“Cukup! Sekarang kalian harus kembali ke kedai itu.”

“Untuk apa?”

“Kalian harus minta maaf kepada Lurahku, pemilik kedai itu. Kau pun harus memenuhi kewajibanmu.”

“Semua itu omong kosong. Kau tentu hanya mencari perkara agar kau dapat melakukan kekerasan. Karena itu sebaiknya kau tidak usah berputar-putar. Kalau kau ingin berkelahi, mari kita berkelahi. Begitu saja.”

Kedua orang itu menjadi heran. Ternyata orang itu sama sekali tidak merasa cemas bahwa ia berhadapan dengan dua orang yang berwajah garang.

“Apakah wajahku sudah tidak garang?” bertanya orang yang rambutnya mulai ubanan itu kepada diri sendiri.

Bukan laki-kali itu sajalah yang tidak menjadi cemas. Tetapi perempuan itu pun nampak tenang-tenang saja. Bahkan sambil tersenyum Rara Wulan itu pun berkata, “Selain sekedar memenuhi keinginan Lurahmu untuk menyakiti kami, tubuh dan hati kami, kau tentu juga berpikir tentang keping-keping uang perak yang ada di kampilku. Ia tentu menceritakannya kepadamu.”

“Tutup mulutmu, iblis betina!”

“Ternyata kau memang seorang pemarah. Sudahlah, jangan berputar-putar lagi. Suamiku akan berkelahi melawan kalian berdua. Aku akan berteduh saja di bawah pohon turi ini.”

Kedua orang itu benar-benar menjadi sakit hati melihat sikap kedua orang itu. Mereka benar-benar telah meremehkan mereka berdua.

“Baik. Bersiaplah. Jika kami berkelahi berpasangan menghadapi kau seorang diri, sama sekali bukan salah kami. Seperti kau tidak mau membayar harga makanan dan minuman itu dengan alasan bahwa pemilik kedai itu yang menyuruhmu, maka sekarang kami berkelahi berdua karena perempuan itulah yang menyuruh kami.”

Glagah Putih pun kemudian melangkah ke tengah jalan menghadapi kedua orang yang marah itu. Namun sikap Glagah Putih masih tetap tenang-tenang saja.

Orang yang rambutnya mulai ubanan itu menjadi tidak sabar melihat sikap Glagah Putih. Ia merasa Glagah Putih itu memang meremehkannya, sebagaimana ia meremehkan pemilik kedai itu. Karena itu maka orang itu pun segera meloncat menyerang Glagah Putih, yang memang sudah siap menunggunya.

Glagah Putih pun dengan tangkasnya mengelak, sehingga serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Namun dalam pada itu, yang seorang lagi telah menyerangnya pula. Dengan kakinya yang terjulur, orang itu berusaha menggapai dadanya.

Tetapi Glagah Putih ternyata sangat tangkas. Kakinya berloncatan menghindari serangan-serangan itu. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah terdorong dengan derasnya. Tubuhnya terperosok ke dalam parit yang mengalir deras di pinggir jalan. Sementara itu, ketika yang lain siap meloncat menyerang, justru Glagah Putihlah yang telah melenting tinggi. Tubuhnya pun berputar, sementara kakinya terayun mendatar menyambar wajah orang itu.

Orang itu pun telah terlempar pula. Ia tidak saja tercebur ke dalam parit, tetapi tubuhnya justru terperosok ke dalam lumpur sawah yang digenangi air.

Tertatih-tatih keduanya bangkit berdiri. Yang seorang menjadi basah kuyup, yang seorang lagi penuh dengan lumpur yang mengotori tubuh dan pakaiannya.

Kedua orang itu pun mengumpat-umpat. Mata mereka bagaikan memancarkan api kemarahan yang menyala dari dadanya.

“Aku bunuh kau,” geram yang ubanan.

Tetapi Glagah Putih tersenyum sambil berkata, “Sudahlah. Jangan mencoba-coba lagi. Jika kalian masih ingin mencoba lagi, maka aku ingin membenamkan wajahmu ke dalam lumpur atau ke dalam air parit itu.”

“Kau terlalu sombong. Kau kira kau sendiri laki-laki di dunia ini?”

“Berapa kau diupah oleh pemilik kedai itu, sehingga kau berniat untuk membunuh orang? Apakah upah yang kau terima itu memadai atau bahkan melampaui harga leherku?”

“Bukan lagi soal upah yang aku terima. Tanpa diupah pun aku berniat untuk membunuhmu, karena kau sudah merendahkan harga diriku.”

“Bukan aku yang telah merendahkan harga diri kalian, tetapi kalian sendiri. Semakin banyak kalian bertingkah, maka harga diri kalian pun akan menjadi semakin terpuruk, sehingga akhirnya kau tidak lagi mempunyai harga diri sama sekali.”

“Persetan dengan igauanmu. Bersiaplah untuk mati!”

“Kau benar-benar akan membunuh?”

Orang yang rambutnya mulai ubanan itu menggeram, “Kau mulai menjadi ketakutan.”

“Aku memang mulai ketakutan, bahwa justru akulah yang akan membunuh.”

Kedua orang itu tidak dapat menahan diri lagi. Keduanya pun kemudian bergeser mendekati Glagah Putih dari arah yang berbeda. Namun dengan serta-merta keduanya pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Glagah Putih mampu bergerak lebih cepat dari serangan-serangan mereka. Karena itu maka serangan-serangan mereka tidak dapat menyentuhnya sama sekali. Bahkan Glagah Putihlah yang kemudian bagaikan meluncur menjulurkan kakinya menyerang seorang lawannya, tepat mengenai lambungnya.

Serangan itu telah melemparkan lawannya dengan kerasnya. Orang itu tidak tercebur ke dalam parit di pinggir jalan, karena tubuhnya membentur sebatang pohon turi.

Terdengar orang itu mengaduh kesakitan. Sementara itu lawannya yang lain, yang meloncat sambil menjulurkan tangannya mengarah ke dada, telah ditangkis dengan keras oleh Glagah Putih. Kemudian dengan tangannya yang lain, Glagah Putih telah memukul perut orang itu.

Orang itu pun tertunduk sambil mengaduh. Namun sisi telapak tangan Glagah Putih telah menghantam tengkuknya. Tidak terlalu keras, tetapi orang itu jatuh terjerembab.

Rara Wulan menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Glagah Putih mengangkat tangannya. Jika Glagah Putih benar-benar memukul tengkuk orang itu dengan sepenuh tenaga, maka leher orang itu pun akan patah.

Demikianlah, kedua orang itu pun sudah menjadi tidak berdaya.

Tetapi Glagah Putih masih menarik kedua orang itu bergantian dan menceburkan mereka ke dalam genangan air berlumpur.

Rara Wulan tidak tahu kenapa Glagah Putih harus menceburkan keduanya ke dalam lumpur. Namun kemudian ia pun mengerti juga, bahwa Glagah Putih ingin juga berbicara dengan pemilik kedai itu.

“Bangkit! Atau aku benamkan wajahmu ke dalam lumpur.”

Kedua orang itu tidak dapat berbuat lain kecuali bangkit dengan tertatih-tatih.

“Naik!” perintah Glagah Putih.

Keduanya pun kemudian berusaha naik. Mereka meloncati tanggul dan kemudian berdiri di pinggir jalan dengan tubuh dan pakaian penuh dengan lumpur.

“Kalian mempunyai beberapa kesempatan. Meneruskan perkelahian atau kembali ke kedaimu.”

“Baiklah, kami kembali ke kedai saja, Ki Sanak. Tetapi biarlah kami mandi dahulu.”

“Tidak. Aku tidak ingin kalian mandi. Aku ingin kalian kembali dalam keadaan seperti itu.”

“Tidak, Ki Sanak. Kami harus membersihkan diri dahulu.”

“Tidak! Kau dengar? Atau kita akan berkelahi lagi. Jika kalian tidak mau berkelahi, aku akan memukuli kalian sehingga mata kalian menjadi biru. Wajah kalian menjadi lebam, serta gigi kalian rontok semuanya. Kalau kalian ingin melawan, lawanlah.”

“Jangan berbuat seperti itu, Ki Sanak. Kami jangan dipermalukan di hadapan langganan-langganan di kedai itu.”

“Persetan. Aku akan menghitung sampai tiga. Jika kalian tidak bergerak, maka aku akan memukuli kalian.”

Glagah Putih pun menghitung sampai tiga hitungan. Ternyata keduanya masih tetap berdiri tegak di tempatnya.

Glagah Putih memang tidak main-main. Ia pun segera menampar wajah seorang di antara mereka, sampai tubuhnya berputar. Sedangkan dengan tangan kirinya, Glagah Putih memukul wajah orang itu, sehingga wajahnya benar-benar menjadi lebam.

“Aku tidak main-main, Ki sanak. Aku lakukan hal ini karena kalian telah berusaha membunuhku. Menurut kalian, bukan berapa kalian menerima upah, tetapi hal itu kalian lakukan karena harga diri kalian tersinggung. Aku sudah memperingatkan bahwa semakin banyak kalian bertingkah, maka harga diri kalian akan semakin terpuruk sehingga sampai ke dasar. Sekarang aku benar-benar ingin membuktikan bahwa kau sudah tidak mempunyai harga diri lagi.”

Keduanya tidak dapat berbuat lain. Mereka melihat mata Glagah Putih menjadi merah. Agaknya orang itu benar-benar menjadi marah, karena mereka berdua berniat untuk membunuhnya.

Dengan tubuh dan pakaian penuh dengan lumpur, mereka berdua berjalan kembali menuju ke kedai mereka.

Demikian mereka memasuki regol padukuhan, maka orang-orang yang berpapasan pun memandang mereka dengan heran. Sementara itu, seorang laki-laki dan seorang perempuan mengikuti mereka di belakangnya.

Tetapi tidak seorang pun yang berani menegur mereka. Bahkan mereka yang sempat menghindar, tentu akan menghindarinya. Mereka tahu bahwa dua orang yang tubuh dan pakaiannya penuh dengan lumpur yang mulai mengering itu adalah dua orang upahan pemilik kedai yang besar di dekat pasar itu.

Demikian keduanya sampai di depan kedai, maka pemilik kedai itu pun terkejut. Glagah Putih mendorong mereka dengan kuatnya, sehingga keduanya pun jatuh terjerembab di depan kedai yang masih banyak pengunjungnya itu.

“Terima kasih atas salam yang kau kirimkan lewat kedua orangmu itu,” berkata Glagah Putih.

Pemilik kedai itu menjadi tegang. Demikian pula para pelayannya. Kedua orang itu bagi mereka adalah pelindung dan penyelamat jika ada orang yang berniat buruk terhadap mereka.

Orang-orang yang berada di kedai itu pun menjadi berdebar-debar pula. Kedua orang upahan itu adalah orang yang berilmu tinggi. Namun mereka digiring seperti itik yang tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan tubuh dan pakaian mereka penuh dengan lumpur. Kesannya, mereka telah bertempur, namun mereka telah dikalahkan.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “sekarang apa yang Ki Sanak maui ? Jika Ki Sanak menuntut karena aku tidak membayar, maka itu adalah salah Ki Sanak sendiri. Aku sudah membayar, bahkan berlebih. Ki Sanak tidak memberikan uang kembali, tetapi uangku itu Ki Sanak kembalikan, sambil mengatakan bahwa kami berdua tidak usah membayar harga minuman dan makanan yang kami pesan, karena harganya tidak seberapa. Sekarang katakan, apa yang kau maui sebenarnya? Jika kau hanya sekedar ingin berselisih dan berkelahi, aku juga tidak berkeberatan.”

Wajah pemilik kedai itu menjadi pucat. Sementara orang-orang yang berada di kedai itu nampaknya tidak ingin mencampuri persoalan itu. Karena itu maka mereka pun hanya berdiam diri.

“Tidak. Tidak, Ki Sanak,” jawab pemilik kedai itu, “aku tidak berniat apa-apa. Sungguh, aku tidak berniat apa-apa.”

“Tetapi kau kirim kedua orangmu. Mereka menganggap kami bersalah karena kami tidak membayar harga makanan dan minuman. Tetapi lebih dari itu, mereka tentu akan merampas uangku, karena mereka tahu bahwa aku mempunyai tidak hanya sekeping uang perak di dalam kampilku.”

“Tidak. Sungguh, aku tidak minta mereka melakukannya. Jika mereka melakukannya, itu tentu atas kemauan mereka sendiri.”

“Jangan bohong, Ki Sanak. Aku dapat berbuat lebih banyak dari sekedar membuat kedua orangmu itu tidak berdaya.”

“Sungguh, Ki Sanak. Aku tidak bermaksud apa-apa.”

Pemilik kedai itu benar-benar menjadi ketakutan. Ia tidak mengira bahwa orang itu akan mampu mengalahkan kedua orang upahannya yang berilmu tinggi itu.

“Baik. Jika kau tidak memerintahkan kedua orang upahanmu itu menyusul aku, maka yang dilakukan itu benar-benar atas kemauan mereka. Kalau begitu, maka segala tanggung jawab terletak pada mereka berdua itu sendiri. Karena keduanya sudah berniat untuk membunuhku, maka mereka harus mempertanggungjawabkannya. Karena itu maka aku akan membunuh mereka berdua.”

Kedua orang upahan itu terkejut. Mereka pun kemudian berusaha untuk bangkit dan merangkak mendekati Glagah Putih sambil berkata, “Jangan bunuh kami. Kami tidak bersalah. Kami diperintahkan oleh pemilik kedai itu untuk minta uang untuk membayar minuman dan makanan yang kalian pesan.”

“Aku hanya minta uang itu. Tetapi tidak untuk membunuh.”

“Kau perintahkan kepada kami agar kami memberi pelajaran kepada mereka. Kalian perintahkan kepada kami untuk merampok uang mereka.”

“Tidak! Bohong!”

“Apa? Kau menuduh kami bohong?” bentak orang yang rambutnya ubanan. “Aku akan memotong lidahmu!”

“Jangan! Jangan!” pemilik kedai itu menjadi ketakutan.

“Lebih baik memotong lidahmu daripada aku harus dibunuh oleh orang ini.”

“Tetapi kau adalah orangku. Aku telah mengupahmu.”

“Berapa kau mengupah kami, sehingga kami harus mempertaruhkan nyawa kami, he? Bukankah lebih baik memotong lidahmu yang telah menfitnahku?”

“Jangan! Jangan! Aku akan memberikan upah lebih banyak kepada kalian.”

Glagah Putih menarik nafas. Katanya, “Nah, ternyata kalian dapat memetik manfaat dari peristiwa ini. Tetapi hati-hati. Jika kau masih saja menakut-nakuti pembeli, maka aku akan datang lagi. Aku akan berbuat lebih buruk dari apa yang aku lakukan sekarang.” 

Kedua orang yang tubuh dan pakaiannya penuh dengan lumpur itu berdiri termangu-mangu. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Baik. Anggap persoalan ini sudah selesai. Jangan membuat persoalan baru, terutama kepada para pengunjung di kedai kalian.”

“Baik, Ki Sanak,” jawab kedua orang itu hampir berbareng.

“Upah kalian akan naik. Kalian harus bersyukur. Tetapi kalian untuk selanjutnya jangan melakukan pemerasan, karena aku akan sering melintas di jalan ini. Aku akan mendengar dan melihat, apa yang telah terjadi di sini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian meninggalkan kedai itu. Dua orang yang berlumuran dengan lumpur itu pun segera pergi ke pakiwan. Namun seorang di antara mereka sempat berkata, “Kau sendiri berjanji untuk menaikkan upah kami. Tentu saja kenaikan itu harus memadai dengan runtuhnya harga diri kami saat ini.”

“Jangan memeras. Aku akan mengatakannya kepada kedua orang itu, jika mereka lewat.”

“Tetapi kenaikan itu pun harus pantas. Jika tidak, maka aku pun dapat mengatakan kepada orang itu jika ia lewat.”

Pemilik kedai itu tidak menjawab. Tetapi ia sudah terlanjur berjanji untuk menaikkan upah kedua orang itu.

Ada beberapa tanggapan dari orang-orang yang berada di kedai itu. Ada yang mentertawakannya. Ada yang menganggapnya sebagai lelucon. Tetapi ada yang menanggapinya dengan gejolak di dalam dada mereka.

“Sombongnya orang itu,” berkata seorang yang berkumis lebat, “ia sudah memamerkan kelebihannya di depan banyak orang, seakan-akan seluruh dunia ini harus tunduk kepadanya.”

“Kau ini kenapa?” bertanya kawannya. “Bukankah yang dilakukannya itu lebih baik daripada ia membunuh mereka berdua? Aku senang dengan caranya. Pemilik kedai inilah yang aku anggap sombong dan memang pantas untuk mendapat peringatan. Peringatan yang diterimanya kali ini berbau kelakar yang segar. Jika saja orang itu seorang pemarah dan mudah tersinggung harga dirinya, maka akibatnya akan lain.”

“Orang itu tidak pantas berbuat demikian. Apa pula maksudnya ia mengenakan pakaian sederhana seperti itu, kemudian memasuki kedai yang memang menjadi tempat singgah bagi orang-orang berada?”

“Mungkin ia tidak mempunyai maksud apa-apa. Ia masuk saja ke dalam sebuah kedai. Baru disadarinya setelah ia berada di dalam, dan bahkan dengan perlakuan yang menyakitkan dari para pelayan, bahwa kedai ini sudah terbiasa dikunjungi oleh orang-orang yang ujudnya saja, gebyar luarnya saja, sebagai orang-orang berada. Mungkin tamu yang duduk di sudut itu, yang mengenakan pakaian mahal dengan timang emas yang sengaja diperlihatkan, hiasan bajunya yang bermata berlian, justru mempunyai hutang lebih banyak dari harga barang miliknya.”

“Itu bukan urusan kita. Yang kita lihat di sini adalah ujud lahiriahnya.”

“Nah, jika demikian bukan orang itu yang sombong, tetapi kitalah yang telah menyombongkan diri, dengan selimut gebyar lahiriah.”

“He, jadi kau sudah kejangkitan penyakit seperti itu pula?”

“Mungkin. Tetapi aku senang melihatnya. Aku senang melihat pemilik kedai itu menjadi ketakutan kepada orang upahannya sendiri. Aku pun senang melihat kedua orang upahan yang berlumuran lumpur badan dan pakaiannya.”

Kawannya itu pun bergumam, “Tidak sepantasnya ia menghinakan orang seperti itu.”

“Ia pun tidak sepantasnya diperlakukan seperti itu oleh pemilik dan pelayan kedai ini.”

Kawannya terdiam. Tetapi wajahnya masih menunjukkan gejolak perasaannya.

Namun yang lain berkata, “Seandainya kita tidak setuju dengan sikapnya, apa yang dapat kita lakukan?”

“Aku punya beberapa orang gegedug yang akan dapat memilin lehernya.”

“Apakah kita akan mencari perkara? Aku juga punya pengawal yang terpercaya. Tetapi pengawalku tidak akan dapat berbuat apa-apa menghadapinya.”

Kawannya terdiam pula. Meskipun demikian, nampaknya ia masih saja tersinggung oleh sikap Glagah Putih.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sudah menjadi semakin jauh dari kedai itu. Mereka sudah kembali keluar dari pintu gerbang padukuhan dan berjalan di bulak panjang.

Sementara itu panas matahari terasa bagaikan membakar tubuh. Namun perlahan-lahan matahari itu pun mulai menuruni sisi langit di sebelah barat.

Terasa angin yang mengalir mengipasi tubuh-tubuh yang kepanasan itu. Tetapi jika Glagah Putih dan Rara Wulan berhenti di bawah bayangan daun turi yang tumbuh berjajar di pinggir jalan, maka angin yang mengusap wajahnya telah membuatnya malas untuk beranjak lagi.

Tetapi keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Karena itu maka mereka pun berjalan terus, meski jalan yang terbentang di hadapannya bagaikan dilapisi dengan uap air yang mendidih.

Namun matahari pun semakin lama menjadi semakin rendah. Jalan yang mereka tempuh justru membelakangi arah sinar matahari, sehingga punggung merekalah yang menjadi basah oleh keringat.

Semakin lama matahari pun menjadi semakin rendah. Sinarnya tidak lagi terasa menggigit. Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun sudah berjalan semakin jauh.

Di sebuah bulak pendek, Glagah Putih dan Rara Wulan melihat beberapa orang yang pulang dan sawah, setelah mencuci kaki dan tangannya di sebuah pancuran di sebuah lereng berbatu padas. Agaknya di bulak itu para petani sedang sibuk mencabuti rumput-rumput liar di antara tanaman padi di sawah.

Sementara itu matahari pun semakin rendah. Sinarnya menjadi merah kekuning-kuningan. Cahayanya yang tajam menusuk bibir mega yang mengalir ke utara. Sekelompok burung blekok putih terbang berjajar dalam tatanan yang rapi.

“Sebentar lagi senja akan turun,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Kita harus mencari tempat untuk bermalam. Jika mungkin di banjar padukuhan.”

“Jika tidak mungkin?” bertanya Rara Wulan.

“Ya di banjar kademangan.”

Rara Wulan mencibir. Katanya, “Kau pilih enaknya saja. Kalau tidak ada banjar apapun?”

Glagah Putih tertawa. Sambil bergeser mengambil jarak dari Rara Wulan ia pun berkata, “Kalau tidak ada banjar, kita akan bermalam di rumah Ki Bekel atau Ki Demang.”

“Kau justru akan ditangkap,” sahut Rara Wulan.

“Kenapa?”

“Kau pantas dicurigai.”

Glagah Putih masih saja tertawa, sambil menjawab, “Kalau ditangkap, bagaimana dengan kau? Kau tentu akan menjadi ketakutan. Seorang perempuan berjalan sendiri lewat bulak yang ditunggu oleh beberapa orang penyamun. Kau tentu akan merengek minta tolong kepada suamimu.”

“Aku akan berkata kepada Ki Bekel atau Ki Demang yang menangkapmu, bahwa kau memang pantas dicurigai. Kau harus ditangkap dan baru dilepas di keesokan harinya.”

“Lalu semalaman kau sendiri berada di mana?”

“Aku akan mendapat sebuah bilik yang hangat di gandok banjar padukuhan.”

Glagah Putih tertawa berkepanjangan. Ia akan mengatakan sesuatu, tetapi tidak jadi karena ia terlanjur tertawa.

“Apa yang akan kau katakan, Kakang? Apa, he?”

“Tidak. Aku tidak akan mengatakan apa-apa.”

“Kau tentu akan berkata sesuatu. Katakan. Ayo katakan.”

“Tidak. Aku tidak mengatakan apa-apa.”

Ketika Rara Wulan mendekatinya, Glagah Putih justru menjauhinya sambil berkata, “Benar, aku tidak akan mengatakan apa-apa.”

Keduanya pun terdiam ketika mereka melihat di depan mereka, keluar dari padukuhan di depan, sekelompok orang dalam satu iring-iringan berjalan perlahan-lahan.

“Siapakah mereka?”

“Matahari sudah menjadi kian rendah.”

“Iring-iringan pengantin,” berkata Rara Wulan.

“Ya. Iring-iringan pengantin.”

Ketika mereka berpapasan, maka Rara Wulan pun bertanya, “Tidak ada pengantin perempuannya?”

“Itu adalah iring-iringan pengantin laki-laki yang akan pergi ke rumah pengantin perempuan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Nampaknya iring-iringan itu tidak tergesa-gesa. Mungkin rumah pengantin perempuan hanya dekat saja. Mungkin di padukuhan sebelah bulak pendek itu.

Glagah Putih pun menengadahkan wajahnya. Sinar kuning di langit menjadi semakin tajam. Namun agaknya masih ada waktu bagi iring-iringan itu untuk sampai di rumah pengantin perempuan sebelum gelap.

Demikian iring-iringan pengantin itu lewat, maka Glagah Putih dan Rara Wulan yang berdiri menepi segera melanjutkan perjalanan. Tetapi mereka berdiri tertegun di pintu gerbang padukuhan itu. Mereka melihat dua buah tugu yang dibuat dari batu bata. Dua buah tugu yang mirip yang satu dengan yang lain.

Keduanya mencoba mengamati kedua tugu yang tidak begitu tinggi itu. Tidak lebih tinggi dari Glagah Putih.

“Mungkin hanya pertanda perbatasan,” berkata Glagah Putih, “mungkin kita telah memasuki sebuah kademangan yang lain dari kademangan yang baru saja kita lewati.”

“Ya. Mungkin batas kademangan. Tetapi mungkin batas padukuhan saja.”

“Biasanya padukuhan-padukuhan yang termasuk dalam satu kademangan tidak diberi batas yang jelas seperti ini. Apalagi di sini ada dua buah tugu, yang satu mirip dengan yang lain. Meski aku menduga bahwa keduanya tidak dibuat pada waktu yang bersamaan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Marilah, kita memasuki padukuhan ini. Kita akan minta ijin untuk bermalam di banjar. Mungkin ada cerita tentang kedua tugu, yang selain tidak dibuat pada waktu yang bersamaan, tugu ini bukan termasuk tugu yang sudah tua. Tetapi kedua tugu ini termasuk tugu yang baru, sehingga tentu banyak orang yang mengetahuinya.”

Keduanya pun kemudian memasuki padukuhan yang di depan pintu gerbangnya itu, di sisi sebelah kanan, terdapat dua buah tugu.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak lagi teringat kepada iring-iringan pengantin yang memang memasuki padukuhan sebelah, yang hanya dipisahkan oleh bulak pendek dengan padukuhan yang mempunyai dua tugu di pintu gerbangnya itu.

Rara Wulan sempat memperhatikan pintu gerbang padukuhan itu pula. Nampaknya padukuhan itu termasuk padukuhan yang terhitung besar serta tingkat kesejahteraan yang baik.

Namun ketika Glagah Putih sudah berjalan memasuki pintu gerbang itu, maka Rara Wulan pun segera mengikutnya pula.

Demikian mereka memasuki padukuhan itu, maka rasa-rasanya senja sudah mulai turun. Sinar matahari yang condong terhalang oleh pepohonan yang tumbuh di halaman dan kebun yang luas, dibatasi oleh dinding batu yang tidak terlalu tinggi.

Keduanya pun kemudian menelusuri jalan utama padukuhan itu. Mereka sudah menduga bahwa dengan mengikuti jalan utama itu, mereka akan sampai ke banjar padukuhan. Atau jika padukuhan itu padukuhan induk kademangan, maka mereka akan sampai di sebuah banjar kademangan.

Beberapa lama mereka berjalan di jalan utama padukuhan itu. Kadang-kadang mereka berpapasan dengan orang-orang padukuhan yang berjalan di jalan utama itu. Namun orang-orang itu tidak begitu memperhatikan mereka berdua. Agaknya jalan itu adalah jalan yang memang sering dilalui oleh orang-orang yang bepergian dari satu tempat ke tempat lain, sehingga orang yang lewat di jalan bagi penghuni padukuhan itu adalah hal yang wajar-wajar saja. Karena itu keduanya tidak terlalu menarik perhatian mereka.

Glagah Putih dan Rara Wulan melangkah terus menyusuri jalan utama itu. Semakin lama langit pun menjadi semakin buram. Beberapa orang justru sudah mulai menyalakan lampu minyak di serambi rumahnya, yang nampak dari sela-sela pintu regol halaman yang terbuka.

Seperti dugaan Glagah Putih dan Rara Wulan, padukuhan itu termasuk padukuhan yang kehidupan rakyatnya termasuk cukup baik. Memang tidak semuanya. Ada juga satu dua rumah yang kecil dan sederhana terletak di halaman yang tidak begitu luas. Tidak seluas halaman rumah di sebelah-menyebelah. Tetapi kehidupan rata-rata penghuni padukuhan itu tidak memprihatinkan.

Ternyata seperti yang diduga oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, akhirnya mereka berdiri di depan regol sebuah bangunan yang terhitung besar, di tengah-tengah halaman yang luas. Menurut pengamatan Glagah Putih dan Rara Wulan, bangunan itu tentu banjar padukuhan atau banjar kademangan. Bukan rumah yang dihuni oleh seseorang. Juga bukan rumah Ki Bekel atau Ki Demang.

“Kita akan singgah,” berkata Glagah Putih, “kita akan menemui petugas penunggu banjar ini. Jika kita diperkenankan bermalam di banjar mi, maka kita akan bertanya tentang kedua tugu di sebelah pintu gerbang itu.”

Rara Wulan pun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Kita akan mencoba.”

Keduanya pun kemudian memasuki regol banjar yang terhitung besar itu. Nampaknya bangunan itu baru saja diperbaiki atau diperluas. Ada bagian-bagian yang nampak baru. Gandoknya pun nampak baru saja diperluas. Pintu sekethengnya pun nampak baru saja diperbaharui pula.

“Nampaknya padukuhan ini baru saja membangun dirinya,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Gerbang padukuhan ini pun nampaknya juga baru saja diperbaiki.”

“Kau sempat memperhatikannya?”

“Ya. Sementara kau langsung saja memasuki padukuhan ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berhenti di halaman ketika seorang yang sudah separuh baya mendatanginya. Dengan hormat orang itu mengangguk. Kemudian bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Apakah Ki Sanak mempunyai keperluan yang barangkali dapat aku bantu?”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat pula. Dengan nada rendah Glagah Putih menyahut, “Maaf, Ki Sanak. Kami sedang dalam perjalanan. Kami ternyata kemalaman. Kami ingin menemui penunggu banjar ini untuk minta ijin bermalam semalam saja di banjar ini.”

“Akulah penunggu banjar ini, Ki Sanak.”

“Kebetulan sekali,” sahut Glagah Putih, “seperti yang aku katakan, jika diperkenankan kami berdua minta ijin untuk bermalam semalam ini di banjar ini. Kami dapat ditempatkan dimana saja yang tidak mengganggu kegiatan di banjar ini pada malam hari, jika ada.”

Penunggu banjar itu tersenyum. Katanya, “Ki Sanak ini agaknya akan bepergian jauh.”

“Kami berdua akan pergi ke Ngadireja.”

“Ke Ngadireja? Kalian tinggal di Ngadireja?”

“Tidak, Ki Sanak. Kami tinggal di Jati Anom. Kami berdua akan pergi ke Ngadireja, tetapi kami belum pernah pergi ke Ngadireja sebelumnya.”

“Untuk apa kalian pergi ke Ngadireja?”

“Ayah minta kami mengunjungi Paman yang sudah lama tidak datang menengok Ayah. Ayah menjadi agak cemas, kemudian minta kami menengoknya. Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa.”

“Ngadireja sudah tidak terlalu jauh lagi. Jika Ki Sanak berdua malam ini akan bermalam di sini dan berangkat esok pagi-pagi, maka esok sore atau mungkin menjelang senja Ki Sanak sudah akan sampai ke Ngadireja. Kemudian Ki Sanak masih harus mencari tempat tinggal paman Ki Sanak itu.”

“Ayah sudah memberikan ancar-ancarnya. Nampaknya tidak terlalu sulit untuk mencari rumah Paman.”

“Baiklah, Ki Sanak. Aku kira kami tidak berkeberatan Ki Sanak berdua bermalam di banjar, meskipun aku belum melapor kepada Ki Jagabaya. Biarlah aku mendahuluinya, karena Ki Jagabaya baru mengantar pengantin ke padukuhan sebelah. Nanti malam biarlah aku melaporkannya. Tetapi biasanya tidak ada masalah apa-apa jika ada seseorang yang bermalam di banjar ini. Marilah, ikut aku. Aku akan menunjukkan sebuah bilik di belakang, yang dapat kalian pakai berdua. Bukankah kalian berdua ini suami istri?”

“Ya. Kami berdua adalah suami istri.”

“Baik. Jika demikian, marilah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian mengikuti penunggu banjar itu ke bagian belakang banjar. Penunggu banjar itu pun mempersilahkan mereka masuk ke dalam sebuah bilik yang tidak begitu luas, tetapi mencukupi bagi mereka berdua.

“Nah, nanti malam kalian dapat tidur di bilik itu. Tetapi jika kalian ingin membersihkan diri atau mandi, di belakang ada pakiwan. Silahkan. Mungkin setelah mandi kalian akan menjadi segar kembali.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Kami akan pergi ke pakiwan.”

“Nah, silahkan. Aku akan keluar sebentar. Hanya ke rumah di seberang jalan. Jika memerlukan sesuatu, katakan kepada istriku. Aku akan memberitahukan kepadanya bahwa di sini ada dua orang yang akan menginap.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” ulang Glagah Putih dan Rara Wulan berbareng.

Demikianlah, keduanya pun pergi ke pakiwan. Ketika Rara Wulan mandi, maka Glagah Putih pun menimba air mengisi jambangan. Baru kemudian Glagah Putih pun mandi pula.

Seperti yang dikatakan oleh penunggu banjar itu, setelah mandi mereka pun menjadi segar kembali. Setelah berbenah diri di dalam bilik di bagian belakang banjar itu, maka mereka berdua pun duduk di amben bambu yang cukup besar bagi mereka berdua. Di atas gelar bambu wulung, terbentang tikar pandan yang putih bergaris-garis biru. Sementara itu lampu minyak yang menyala ditaruh di atas ajug-ajug di sudut ruangan.

Namun baru saja mereka mulai berbincang, seorang perempuan separuh baya telah mendatangi mereka. Dengan ramah perempuan itu mempersilahkan mereka pergi ke rumahnya yang kecil yang berada di belakang banjar itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat menolak. Mereka pun kemudian pergi ke rumah penunggu banjar itu. Ternyata penunggu banjar itu sudah ada di rumahnya.

“Silahkan, Ki Sanak berdua. Silahkan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk di sebuah amben yang agak besar, hampir memenuhi ruang depan rumah penunggu banjar itu.

Di tengah-tengah amben itu telah dihidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian duduk bersama penunggu banjar itu suami istri. Sambil minum minuman hangat mereka berbicara tentang berbagai hal. Tentang perjalanan Glagah Putih dan Rara Wulan, hingga tujuan yang akan didatanginya.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih dan Rara Wulan teringat akan dua buah tugu yang ada di sebelah pintu gerbang. Karena itu maka Glagah Putih pun bertanya, “Ki Sanak. Ketika aku memasuki padukuhan ini, aku melihat ada dua buah tugu yang ada di pinggir jalan di sebelah pintu gerbang. Apakah arti dari kedua tugu itu? Mungkin tugu untuk memperingati satu peristiwa penting yang pernah terjadi di padukuhan ini? Mungkin lambang dari satu pengharapan atau cita-cita yang sedang diperjuangkan oleh penghuni padukuhan ini, atau hal-hal lain yang semacam itu?”

“Kalau yang kalian maksud tugu yang dibuat dari batu bata serta tidak terlalu tinggi di sebelah pintu gerbang itu, memang tugu untuk memperingati satu peristiwa yang kami anggap penting, meskipun tidak merupakan satu peristiwa yang penting sekali.”

“Peristiwa apa, Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Tugu itu belum terlalu lama dibuat. Ketika itu, seorang Pangeran dari Mataram sedang dalam perjalanan ke Panaraga dengan keluarganya. Sebuah iring-iringan yang tidak terlalu panjang tetapi mengesankan. Di dalam iring-iringan itu terdapat pula beberapa orang putri. Sekelompok prajurit dengan setia mengawal Pangeran yang akan pergi ke Panaraga beserta keluarganya itu. Ternyata iring-iringan itu sampai di padukuhan ini malam hari. Mungkin semula mereka berniat untuk tidak berhenti. Tetapi iring-iringan itu nampak sangat letih, sehingga akhirnya menjelang tengah malam, iring-iringan itu berhenti di padukuhan ini.”

“Bagaimana para putri itu dapat berjalan sedemikian jauhnya?” bertanya Rara Wulan.

“Ada yang naik tandu. Tetapi ada yang naik pedati. Tentu saja pedati khusus.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka langsung mengetahui, bahwa iring-iringan itu tentu iring-iringan Pangeran Jayaraga yang akan pergi ke Panaraga.

“Ketika iring-iringan itu berhenti, maka kami, terutama para bebahu, telah menyambut kedatangan mereka dan dengan tergesa-gesa mempersiapkan tempat untuk bermalam. Terutama bagi para putri. Sedangkan bagi Pangeran itu sendiri serta para prajurit dan pengawalnya, dapat berada di mana saja. Bahkan nampaknya mereka telah berjaga-jaga dengan sangat berhati-hati.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Sementara penunggu banjar itu pun meneruskannya, “Ternyata bahwa menjelang dini hari, telah terjadi malapetaka. Segerombolan perampok telah menyerang mereka, serta berusaha untuk merebut harta-benda yang mereka bawa.”

“Segerombolan perampok? Bukankah Pangeran itu dikawal dengan kuat?”

“Ya. Tetapi gerombolan itu juga sebuah gerombolan yang besar.”

Sambil mengerutkan dahinya, Glagah Putih bertanya, “Apakah pemimpin gerombolan itu dapat diketahui?”

“Tidak. Gerombolan itu tidak dapat dikenali. Tetapi tentu tidak hanya terdiri dari satu gerombolan saja. Mungkin dua atau bahkan tiga gerombolan perampok yang bergabung, mencegat perjalanan Pangeran Jayaraga dan keluarganya.”

Penunggu banjar itu pun kemudian bercerita bahwa gerombolan itu memasuki padukuhan dari tiga arah. Yang memasuki jalan utama dari dua arah langsung bertemu dengan prajurit yang bertugas. Tetapi sekelompok yang lain, berhasil mendekati banjar. Bahkan mereka hampir saja mencapai regol halaman banjar itu. Untunglah bahwa dua orang prajurit yang meronda berhasil menjumpai mereka, sehingga dengan isyarat mereka pun telah membuat semua prajurit yang ada mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi gerombolan itu ternyata terlalu banyak, sehingga para prajurit mengalami kesulitan. Sementara itu Pangeran Jayaraga sendiri segera turun ke arena. Seperti seekor banteng terluka, Pangeran Jayaraga itu pun telah mengamuk. Siapa yang mendekat, orang itu akan dibabatnya dengan pedangnya, yang justru berwarna kehitaman dengan pamor yang berkeredipan.

Sementara itu para bebahu yang segera diberitahu oleh para peronda pun telah bangkit pula. Ki Jagabaya telah memukul kentongan di gardu perondan. Suara kentongan yang memecah sepinya malam itu pun segera bersambut dari gardu di ujung padukuhan. Kemudian terdengar suara kentongan yang lain lagi.

Bersama para bebahu yang dipimpin oleh Ki Bekel dan Ki Jagabaya, maka anak-anak muda padukuhan itu pun segera terjun ke medan. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa orang, karena mereka tidak akan mungkin menghadapi seorang dengan seorang.

Namun jumlah anak-anak muda serta laki-laki yang masih kuat untuk turun ke arena di padukuhan ini cukup banyak, sehingga kehadiran mereka telah membuat para perampok agak kebingungan.

Selain kehadiran anak-anak muda dan hampir semua laki-laki di padukuhan itu, agaknya suara kentongan yang bersahut-sahutan di segala sudut padukuhan, bahkan kemudian telah disahut pula oleh kentongan di padukuhan terdekat, membuat para perampok itu gelisah.

Salah seorang gegedug yang berkumis lebat, telah berusaha menghentakkan kemampuan gerombolannya untuk dengan cepat menyelesaikan pekerjaannya. Ia telah dengan garangnya menyerang Pangeran Jayaraga. Menurut pendapatnya, jika ia berhasil menyelesaikan Pangeran itu, maka yang lain tentu akan segera menyerah. Gerombolan-gerombolan perampok itu akan segera dapat mengambil harta benda yang dibawa oleh iring-iringan itu, termasuk perhiasan serta persediaan uang, dan bahkan jika dikehendaki, mereka akan dapat membawa putri-putri keraton itu pula.

Namun gegedug yang berkumis lebat itu telah salah menilai kemampuan para Senapati Mataram. Gegedug yang merasa dirinya sangat tidak terkalahkan itu ternyata telah membentur kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu maka bukan gegedug itulah yang dengan cepat menyelesaikan Pangeran Jayaraga, tetapi setelah bertempur dengan sengitnya, maka pedang Pangeran Jayaragalah yang telah mengoyak dada gegedug itu.

Gegedug itu berteriak nyaring. Ia masih mencoba menghindari Pangeran Jayaraga. Beberapa orang pengikutnya telah berusaha melindunginya. Tetapi mereka tidak berdaya menghadapi Pangeran Jayaraga serta pengawal terpilih yang selalu berada di dekat Pangeran Jayaraga.

Karena itu, gegedug itu sendiri tidak berhasil berlindung di balik kemampuan para pengikutnya. Bahkan pengikutnya itu pun seakan-akan telah menyibak ketika Pangeran Jayaraga meloncat sambil menjulurkan pedangnya, langsung menancap ke dada gegedug itu.

Dengan demikian maka gegedug dari para perampok itu pun kemudian jatuh terbaring di tanah. Darahnya mengalir dari luka-luka di tubuhnya.

Kematian gegedug dari para perampok itu telah sangat mempengaruhi pertempuran. Para perampok yang masih sempat, segera melarikan diri. Mereka menyelinap dalam kegelapan dan menghilang di bawah rumpun-rumpun bambu.

Para prajurit tidak segera memburu mereka. Para prajurit itu tidak meninggalkan banjar dan sekitarnya. Mungkin saja masih ada kekuatan lain yang datang untuk menyerang dan merebut harta benda yang dibawa dalam iring-iringan itu.

Sementara itu anak-anak muda pun merasa ragu untuk mengejar mereka. Bahkan seorang lurah prajurit telah berusaha mencegah agar anak-anak muda itu tidak mengejar mereka, agar mereka tidak justru terjebak karenanya.

“Dengan demikian maka para perampok itu pun telah terusir,” berkata penunggu banjar itu selanjutnya.

“Apakah tidak ada yang tertangkap sama sekali?”

“Ada. Tetapi mereka adalah perampok-perampok kecil yang tidak pernah berhubungan langsung dengan gegedug yang terbunuh itu. Sementara satu dua orang pemimpin perampok yang lain telah melarikan diri pula.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada datar Glagah Putih pun bertanya, “Di mana para perampok yang tertangkap itu kemudian?”

“Mereka telah dibawa oleh Pangeran Jayaraga ke Panaraga dengan ancaman, jika kawan-kawan mereka menyerang di perjalanan sebelum mereka sampai di Panaraga, untuk membebaskan mereka, maka mereka semua akan dibunuh.”

“Apakah sudah ada berita dari Panaraga bahwa mereka selamat sampai di tujuan?”

“Sudah. Pangeran Jayaraga sudah selamat sampai di Panaraga. Pangeran Jayaraga telah mengirimkan utusan kemari untuk menyampaikan berita itu. Bahkan Pangeran Jayaraga telah berkenan membuat satu pertanda untuk memperingati peristiwa yang pernah terjadi itu. Sebagai pernyataan terima kasih, Pangeran Jayaraga juga berpesan untuk membuat sebuah tugu kecil sebagai peringatan bahwa telah terjadi peristiwa yang menegangkan itu. Berkat bantuan rakyat di padukuhan ini, maka Pangeran Jayaraga dengan seluruh pengikutnya, para putri serta para prajurit, telah terlepas dari bencana. Jika saja para prajurit pengawal gagal, maka semua harta benda yang dibawa dari Mataram akan dijarah oleh para perampok. Yang lebih parah lagi, jika ada putri keraton yang dengan paksa dibawa oleh para perampok, maka nasibnya akan menjadi buruk sekali.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkannya dengan seksama. Mereka pun kemudian dapat membayangkan apa yang terjadi, sehingga akhirnya tugu kecil di sebelah pintu gerbang itu pun telah didirikan.

“Kami membuat dua tugu,” berkata penunggu banjar itu, “satu di pintu gerbang tara dan satu di pintu gerbang selatan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan. Kemudian dengan agak ragu Glagah Putih bertanya, “Tetapi ketika aku memasuki padukuhan ini, sudah ada dua buah tugu di sebelah pintu gerbang.”

“O,” penunggu banjar itu mengangguk-angguk, “yang satu lain lagi. Yang lebih kecil itu dibuat beberapa bulan kemudian.”

“Juga dalam hubungan dengan kehadiran Pangeran Jayaraga?”

“Bukan. Ada cerita lain lagi yang terjadi di padukuhan ini, sehingga telah dibuat tugu kedua itu.”

“Cerita apa lagi, Ki Sanak?”

“Beberapa lama setelah Pangeran Jayaraga lewat dan bermalam di padukuhan ini, maka telah lewat pula seorang Pangeran dari Mataram. Tidak dalam sebuah iring-iringan sebagaimana Pangeran Jayaraga yang akan pergi ke Panaraga, tetapi Pangeran ini hanya seorang diri.”

“Seorang diri?” Glagah Putih dan Rara Wulan mengulang hampir berbareng.

“Ya, seorang diri.”

“Siapakah nama Pangeran itu?”

“Ia menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Bahkan ia mengaku saudara tua dari Sinuhun Hanyakrawati. Ia putra Panembahan Senapati yang lebih senang mengasingkan diri dan bertapa di lereng Gunung Merapi di sisi timur. Menurut Pangeran Ranapati, ia merasa dapat hidup lebih tenang di pertapaannya daripada di Istana. Di Istana, Pangeran Ranapati melihat betapa kekuasaan yang ada di tangan Sinuhun Hanyakrawati tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya. Karena itu, daripada Pangeran Ranapati setiap kali harus mengelus dada karena melihat betapa kekuasaan tidak ditrapkan sebagaimana seharusnya, maka Pangeran Ranapati lebih baik menjauh. Ia tidak mempunyai wewenang untuk mencegah. Sekali Pangeran Ranapati mencoba untuk memperingatkan Ingkang Sinuhun serta para sentana serta narapraja yang menyalahgunakan kekuasaannya, hampir saja Pangeran Ranapati itu dihukum kisas di alun-alun. Untunglah bahwa Ki Patih Mandaraka, sesepuh Mataram yang masih dihormati, mencegahnya, sehingga apa yang dianggap oleh para pemimpin Mataram itu sebagai satu kesalahan, telah diampuni.”

Jantung Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi berdebar-debar. Cerita itu merupakan cerita yang dapat menyesatkan. Tentu saja cerita itu tidak benar. Glagah Putih mengenal para pemimpin di Mataram. Glagah Putih pun mengenal Ki Patih Mandaraka. Dari beberapa sumber, Glagah Putih pun mengetahui bahwa orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati, putra Panembahan Senapati itu, diragukan kebenarannya.

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menyahut. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja sebagaimana Rara Wulan.

“Pangeran Ranapati yang menempuh satu perjalanan ke Timur itu, telah bermalam di padukuhan ini pula. Ketika ia mengetahui, bahwa Pangeran Jayaraga telah membuat sebuah tugu kecil untuk kenang-kenangan bahwa ia pernah singgah dan merasa dirinya diselamatkan oleh rakyat padukuhan ini, maka Pangeran Ranapati pun ingin membuat sebuah kenang-kenangan pula. ‘Bahwa aku diperkenankan bermalam di sini ini merupakan satu kebaikan hati yang harus aku kenang,’ berkata Pangeran Ranapati, ‘karena itu, aku pun ingin membuat satu kenang-kenangan, meskipun kecil saja. Kenang-kenangan bahwa aku pernah, atas kebaikan hati penghuni padukuhan ini, diperkenankan bermalam di sini.'”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih tetap berdiam diri.

Sementara itu penunggu banjar itu pun berkata selanjutnya, “Untuk membuat tugu itu, Pangeran Ranapati berada di padukuhan ini beberapa hari.”

“Beberapa hari?” bertanya Rara Wulan dengan serta-merta.

“Ya. Pangeran Ranapati langsung menunggui beberapa orang yang mengerjakan tugu itu. Sekali-sekali Pangeran Ranapati merasa kurang puas, sehingga Pangeran Ranapati perlu memperbaikinya. Sehingga akhirnya jadilah tugu yang sekarang itu.”

“Ternyata Pangeran Ranapati memiliki selera keindahan yang tinggi. Tugu yang kecil itu memang nampak lebih menarik dari tugu yang lebih besar, yang nampaknya lebih sederhana,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Tugu yang besar itu kami buat sendiri. Pangeran Jayaraga tidak menungguinya. Hanya utusannya sajalah yang berada di padukuhan ini ketika tugu itu dibuat.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mengangguk-angguk.

“Namun ada masalah sampingan yang kemudian timbul pada saat Pangeran Ranapati berada di sini.”

“Masalah sampingan?”

“Ya.”

“Sudahlah, Pak-e. Jangan sebut-sebut lagi. Bukankah persoalannya sudah selesai?” berkata istri penunggu banjar itu.

Penunggu banjar itu memperhatikan pintu ruangan itu sejenak. Kemudian berkata hampir berbisik, “Bukankah kau bukan orang Mataram, dan bukan pula sanak kadang Pangeran Ranapati?”

“Mana mungkin aku termasuk sanak kadang seorang pangeran?” jawab Glagah Putih.

“Apa lagi yang akan kau ceritakan, Pak-e?”

“Diceritakan atau tidak, bukankah hampir semua orang sudah tahu?”

“Orang-orang di padukuhan ini. Tetapi bukan orang asing.”

“Orang asing pun akan dapat mendengar pula dari orang-orang padukuhan ini.”

Istrinya menarik nafas panjang. Sementara itu penunggu banjar itu pun berkata, “Aku akan menceritakan akibat samping yang terjadi itu, Ki Sanak. Tetapi jangan kau katakan kepada orang lain. Jika ada orang padukuhan ini yang bercerita kepada orang asing, biarlah itu menjadi tanggung jawab mereka sendiri.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Dengan nada datar Glagah Putih pun berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Kami tidak akan mengatakannya kepada siapapun juga.”

Penunggu banjar itu pun berpaling kepada istrinya sambil berkata, “Apa salahnya aku mengatakannya? Jika sekarang sudah ada puluhan orang yang tahu, malam ini hanya akan bertambah dua orang lagi. Mungkin kau cemas karena kedua orang ini adalah orang asing, sehingga berita ini akan tersebar sampai kemana-mana. Tetapi bukankah tidak dapat dijamin bahwa orang-orang padukuhan ini yang mengetahui persoalannya tidak akan berbicara dengan orang asing?”

Istrinya tidak menjawab. Ia hanya menarik nafas panjang saja.

Glagah Putih dan Rara Wulan memang menunggu, akibat sampingan apakah yang terjadi sementara orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu berada di padukuhan itu.

“Ki Sanak berdua,” berkata penunggu banjar itu, “ternyata selama Pangeran Ranapati beberapa hari berada di padukuhan, ia sudah berhubungan dengan seorang gadis. Gadis yang selama ini menjadi bahan rerasan anak-anak muda bukan saja se-padukuhan, tetapi se-kademangan. Namun agaknya Pangeran Ranapati tidak dapat membuat penyelesaian terbaik dengan gadis itu. Itulah sebabnya ia telah meninggalkan pesan kepada Ki Bekel, agar gadis itu dinikahkan saja dengan salah seorang anak muda di padukuhan ini. Untuk keperluan itu. Pangeran Ranapati telah meninggalkan uang dan sebilah keris yang akan menjadi lambang pernyataan dirinya, meskipun kemudian yang akan menjalaninya orang lain.”

Wajah Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi tegang. Hampir di luar sadarnya, Rara Wulan bertanya, “Jika gadis itu tidak mengandung?”

“Pernikahan itu pun dapat dilakukan Tetapi tentu tersedia waktu lebih banyak untuk memiikirkannya. Mungkin gadis itu masih mendapat kesempatan untuk memilih laki-laki yang akan bersedia menikahinya meskipun ia bukan perawan lagi. Tetapi bahwa ia pernah berhubungan dengan seorang pangeran, maka hal itu justru akan menjadi kebanggaannya.”

“Lalu apa yang terjadi dengan gadis itu?” bertanya Glagah Putih.

“Gadis itu mengandung,” jawab penunggu banjar itu.

“Jadi gadis itu akan menikah dengan anak muda, yang akan mengaku anak di dalam kandungannya itu sebagai anaknya?”

“Ya.”

Istri penunggu banjar itu pun menyambung, “Perkawinan itu sedang berlangsung sekarang. Ki Bekel sekarang sedang mengantar pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan.”

“Jadi gadis itu bukan gadis padukuhan ini?”

“Gadis padukuhan ini. Tetapi sejak ia sadar bahwa ia mengandung, ia tinggal bersama neneknya di padukuhan sebelah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan rasa-rasanya telah menahan nafasnya beberapa saat lamanya.

Sementara itu penunggu banjar itu pun berkata, “Meskipun gadis itu bukan anak seorang bebahu atau seorang yang mempunyai pengaruh yang besar di padukuhan ini, tetapi sekarang hampir semua bebahu ikut mengantarkan pengantin laki-laki ke rumah nenek pengantin perempuan itu. Bagaimanapun juga, para bebahu itu masih menaruh hormat kepada anak yang berada di dalam kandungan pengantin perempuan itu, karena bayi dalam kandungan itu adalah anak seorang pangeran.”

Dada Glagah Putih dan Rara Wulan terasa berdebaran semakin keras. Iring-iringan yang ditemuinya keluar dari pintu gerbang padukuhan itu tadi tentu yang dimaksudkan.

Sementara itu penunggu banjar itu pun berkata pula, “Dengan uang yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranapati, maka di rumah nenek pengantin perempuan malam ini telah dilangsungkan upacara pernikahan yang ramai. Segala sesuatunya telah dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Nanti malam akan diselenggarakan tari topeng semalam suntuk. Bagi para tamu yang tidak terbatas, disediakan hidangan yang sangat memadai. Siapa pun boleh hadir di dalam upacara pernikahan itu.”

“Ternyata Pangeran Ranapati sangat kaya.”

“Ya. Ia adalah seorang Pangeran. Ia mempunyai uang yang banyak sekali.”

Demikianlah, malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan duduk berbincang bersama penunggu banjar itu dan istrinya sampai larut malam. Penunggu banjar itu sempat menghidangkan makan malam, minuman yang hangat pula untuk menggantikan minuman yang sudah dingin.

“Nanti pada wayah sepi wong, para peronda akan berdatangan. Biasanya ada lima atau enam orang yang meronda. Tetapi kadang-kadang lebih dari itu. Mereka yang tidak segera dapat tidur di rumahnya, sering pergi ke banjar untuk berbincang-bincang dengan tetangga-tetangganya. Anak-anak muda sering bermain bas-basan atau macanan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk.

“Apakah kalian akan memperkenalkan diri kepada para peronda?” bertanya penunggu banjar, “Agaknya satu dua orang sudah ada yang datang.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Jika diperkenankan, aku ingin beristirahat. Besok kami akan melanjutkan perjalanan pagi-pagi sekali.”

“Silahkan. Silahkan, Ki Sanak. Ki Sanak tentu letih. Sekarang ada baiknya Ki Sanak pergi ke bilik itu. Sudah waktunya untuk tidur. Apalagi besok Ki Sanak masih akan menempuh perjalanan cukup panjang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergeser turun dari amben yang besar itu. Mereka sudah mendengar suara beberapa orang peronda di pendapa banjar. Sekali-sekali terdengar suara tertawa di antara mereka.

Namun tiba-tiba telah terdengar keributan di pendapa. Penunggu banjar itu pun kemudian berkata, “Masuklah ke dalam bilikmu. Aku akan melihat apa yang sudah terjadi di pendapa.”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun mereka tidak membantah. Mereka pun segera masuk ke dalam bilik yang diperuntukkan bagi mereka.

Meskipun kemudian mereka menutup pintu lereg pada bilik itu, tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan apa yang terjadi di halaman depan. Dengan mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, mereka mendengar semua pembicaraan dari beberapa orang yang mendatangi banjar itu dengan para peronda serta penunggu banjar.

“Jangan kau lindungi perempuan itu. Siapa yang mencoba melindunginya, maka ia akan mati.”

“Perempuan yang mana yang kau maksudkan?” bertanya penunggu banjar.

“Hari ini perempuan itu menikah dengan seorang laki-laki yang bukan ayah dari anak yang ada dalam kandungannya. Anak di perut perempuan itu adalah anak Pangeran Ranapati. Karena Pangeran Ranapati telah membunuh ayahku, maka sekarang aku datang untuk membalas dendam. Aku akan membunuh anak di dalam perut perempuan yang sedang menikah itu. Sebenarnya aku tidak ingin membunuh perempuan itu, karena ia tidak bersalah. Tetapi jika ia mati bersama bayi di dalam kandungannya, maka itu adalah nasibnya.”

“Kami tidak menyembunyikan siapa-siapa, Ki Sanak. Apalagi perempuan itu.”

“Perempuan itu menikah malam ini.”

Suasana menjadi tegang. Terdengar beberapa orang berkata hampir berbareng, “Jangan lindungi perempuan itu, atau aku bunuh kalian semuanya.”

Tidak ada yang menjawab.

“Di mana perempuan itu, he? Di mana ia menikah? Aku telah datang ke rumahnya, tetapi rumahnya nampak sepi-sepi saja.”

Karena tidak ada yang menjawab, maka orang-orang yang datang itu telah menarik seorang anak muda di antara para peronda sambil berkata, “Jika kalian tidak mau menunjukkan di mana perempuan itu berada, maka aku akan membunuhnya. Jika kalian masih tetap diam, maka aku akan membunuh orang kedua, ketiga dan selanjutnya, sampai kalian mau berbicara, dimana perempuan yang di dalam perutnya terdapat anak Pangeran Ranapati itu.”

Suasana pun benar-benar telah mencengkam.

Tetapi karena tidak ada yang segera menjawab, maka salah seorang yang datang itu pun berteriak, “Cepat, katakan! Aku tidak mempunyai waktu. Jika tidak ada yang menunjukkan dimana perempuan itu, maka anak muda ini akan aku bunuh.”

“Tunggu,” berkata penunggu banjar itu, “membunuh anak muda itu sungguh tidak adil. Apa salah anak muda itu? Ia sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Pangeran Ranapati.”

“Tutup mulutmu! Atau kaulah yang akan aku bunuh lebih dahulu. Aku datang tidak untuk berbicara tentang keadilan. Aku datang untuk menemukan perempuan itu. Ia menikah hari ini. Tetapi dimana?”

Tangan orang itu mulai mencengkeram leher anak muda itu, sehingga anak muda itu berteriak, “Tolong.”

Tetapi suaranya pun terputus karena tekanan di lehernya.

“Baik,” berkata orang yang mencekik anak muda itu, “anak ini akan mati dengan sia-sia. Setelah anak ini, akan ada orang lain yang mati. Mungkin kalian menunggu setelah ada tiga atau empat orang yang mati, baru kalian akan berbicara. Bukankah orang-orang yang mati itu akan sia-sia? Akhirnya kalian akan berbicara juga tentang perempuan itu.”

“Aku akan menunjukkan perempuan itu,” berkata penunggu banjar itu, “tetapi perempuan itu pun tidak bersalah. Jangan bunuh perempuan itu.”

“Aku akan membunuh anak yang berada dalam kandungannya. Aku akan menusuk dengan pedangku. Jika perempuan yang mengandungnya itu mati, itu adalah salahnya sendiri.”

“Itu tidak adil.”

“Cukup! Sejak tadi kau berbicara tentang keadilan. Sudah aku katakan, aku tidak peduli apakah yang aku lakukan itu adil atau tidak.”

Suasana menjadi semakin tegang. Namun akhirnya penunggu banjar atau salah seorang yang ada di banjar itu tidak mempunyai pilihan. Mereka harus mengatakan dimana perempuan itu berada. Dimana pernikahan itu dilangsungkan.

Penunggu banjar dan orang-orang yang ada di banjar itu memang harus memilih, siapakah yang akan dikorbankan. Orang-orang yang berada di banjar itu sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Pangeran Ranapati. Jika banjar itu serta beberapa bangunan padukuhan itu dibangun, itu karena padukuhan itu mendapat kiriman uang yang cukup banyak dari Pangeran Jayaraga, termasuk untuk membuat tugu kecil itu. Sedangkan Pangeran Ranapati hanya membuat tugu kecil itu serta meninggalkan uang, tetapi khusus untuk perempuan yang mengandung itu, jika ia akan menikah.

Karena itu maka seorang yang rambutnya sudah mulai ubanan akhirnya berkata, “Kami memang tidak mempunyai pilihan lain. Jangan bunuh anak muda itu. Jangan bunuh kami. Kami sama sekali tidak bersentuhan dengan Pangeran Ranapati. Jika kami menunjukkan perempuan itu, bukan karena kami merasa dengki atau iri akan keberuntungannya, tetapi berdasarkan pada pertimbangan bahwa perempuan itu memang pernah berhubungan dengan Pangeran Ranapati, ketika Pangeran Ranapati berada di padukuhan ini.”

“Akhirnya penalaran kalian dapat berjalan pula. Nah, sekarang katakan dimana perempuan itu.”

“Pernikahan itu berlangsung di padukuhan sebelah. Di rumah nenek perempuan itu. Demikian ia mengandung, maka ia pun telah tinggal bersama neneknya di padukuhan sebelah.”

“Bagus. Aku akan pergi ke padukuhan sebelah. Tetapi jika kau berbohong sehingga aku tidak menemukan perempuan itu di padukuhan sebelah, maka semua rumah di kedua padukuhan ini akan aku bakar. Orang yang mencoba mencegah akan aku bunuh.”

Orang-orang itu pun kemudian telah meninggalkan banjar itu untuk pergi ke padukuhan sebelah.

Orang-orang yang berada di banjar itu pun berdiri termangu-mangu. Jantung mereka masih berdebaran. Rasa-rasanya nyawa mereka sudah berada di ujung rambut.

“Bukan maksudku untuk mengumpankan perempuan itu,” desis orang yang rambutnya ubanan yang kemudian duduk di tangga banjar sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

“Aku tahu,” sahut seorang tetangganya.

Penunggu banjar itu pun mendekatinya pula sambil berkata, “Bukan salahmu. Siapa pun mempunyai pertimbangan yang sama dengan pertimbanganmu. Jika kau tidak mengatakannya, maka akulah yang akan mengatakannya.”

Orang itu menarik nafas panjang. Sementara itu, penunggu banjar itu pun teringat kepada Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di dalam bilik di bagian belakang banjar.

“Aku akan memberitahukan kepada mereka dan kepada istriku, apa yang telah terjadi,” berkata penunggu banjar itu.

“Mereka siapa?”

“Ada dua orang suami istri yang menginap di bilik belakang banjar ini.”

“O,” orang-orang yang berada di banjar itu tidak begitu menghiraukannya lagi. Memang sudah sering terjadi orang-orang yang kemalaman bermalam di banjar itu.

Namun penunggu banjar itu terkejut ketika ia berdiri di depan bilik. Bilik itu sedikit terbuka, sedangkan suami istri yang bermalam di banjar itu tidak ada di dalamnya.

Penunggu banjar itu pun segera masuk ke rumahnya untuk mencari istrinya dan bertanya kepadanya, “Dimana suami istri itu?”

Tetapi istrinya justru ganti bertanya, “Suami istri yang mana?”

“Yang bermalam di banjar ini.”

“Bukankah sudah ada di biliknya?”

“Mereka tidak ada di biliknya,” geram penunggu banjar itu. “Jadi mereka berdua adalah bagian dari para penjahat yang akan membunuh pengantin perempuan itu. Aku sudah terlanjur memberitahukan bahwa perempuan itu menikah hari ini. Tetapi mereka tidak dapat dipercaya. Agaknya mereka memang menyusup untuk mencari keterangan tentang hari pernikahan itu. Kemudian mereka memanggil kawannya, yang segera berdatangan dan berniat untuk membunuh perempuan itu.”

“Itu tidak mungkin.”

“Kenapa tidak mungkin?”

“Mereka baru saja tahu bahwa malam ini perempuan itu menikah. Kapan ia sempat memberitahukan kepada kawan-kawannya? Bukankah yang kau maksud dengan kawan-kawannya adalah orang-orang yang datang membuat kekisruhan di halaman banjar itu?”

“Kau melihatnya?”

“Aku melihatnya. Bukankah mereka akan membunuh orang-orang yang ada di banjar, jika tidak ada yang mau memberitahukan dimana perempuan itu menikah?”

“Ya. Tetapi kenapa suami istri itu lari?”

“Mungkin mereka tidak lari. Mereka hanya bersembunyi karena ketakutan.”

Penunggu banjar itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Aku harus pergi ke rumah pengantin perempuan itu. Mereka harus tahu bahwa ada orang yang sedang mencarinya.”

“Mereka sudah pergi lebih dahulu.”

“Aku akan mengambil jalan pintas, lewat pematang. Mudah-mudahan aku datang lebih dahulu.”

“Lalu apa yang dapat kau lakukan, Pak-e?”

“Entahlah. Tetapi aku harus pergi ke sana.”

Penunggu banjar itu tidak berbicara lagi. Ia pun segera berlari menuju ke padukuhan sebelah. Tetapi ia tidak mengikuti jalan pintas, apalagi jalan utama. Agar lebih cepat sampai, penunggu banjar itu berlari meniti pematang dan tanggul parit.

Ternyata penunggu banjar itu memang datang lagi lebih dahulu. Sementara itu upacara pernikahan memang sedang berlangsung dengan khidmat.

Namun tiba-tiba penunggu banjar itu pun langsung naik ke pendapa untuk menemui Ki Bekel dan Ki Jagabaya yang menghadiri upacara pernikahan itu. Pernikahan seorang perempuan yang pernah berhubungan dengan seorang Pangeran dari Mataram, yang kemudian setelah mengandung lalu diberikan sebagai triman kepada seorang anak muda yang mau menerimanya. Bukan hanya menerima perempuan itu saja, tetapi ia juga menerima banyak uang, yang sebagian dapat dijadikan bekal bagi hidupnya kemudian.

Kedatangan penunggu banjar dengan tergesa-gesa serta langsung naik ke pendapa itu telah mengejutkan banyak orang. Apalagi ketika kemudian dengan terengah-engah penunggu banjar itu bercerita dengan singkat, apa yang telah terjadi di banjar.

Orang-orang yang berada di pendapa rumah nenek pengantin perempuan itu menjadi gelisah. Ki Bekel dan Ki Jagabaya harus bertindak cepat. Ki Bekel berpikir untuk mencoba mengetrapkan perlawanan rakyatnya menghadapi para penjahat yang ingin merampok Pangeran Jayaraga.

Namun selagi Ki Bekel memandang berkeliling untuk mencari kentongan yang mungkin tergantung di sekitar pendapa itu, beberapa orang yang ingin membunuh bayi dalam kandungan pengantin perempuan itu telah berdatangan.

“Jangan mencoba melawan!” berkata pemimpin mereka, “kalian tidak akan dapat melakukannya. Bahkan seandainya kalian sempat mengerahkan rakyat seluruh kademangan, kalian tidak akan berhasil. Seandainya kalian berhasil menggagalkan niat kami membunuh bayi dalam perut perempuan itu, tetapi korban yang jatuh di antara kalian tentu tidak akan terhitung jumlahnya. Mungkin Ki Bekel, Ki Jagabaya dan para bebahu. Anak-anak muda dan laki-laki yang sekarang sedang menikah itu sendiri.”

Suasana pun menjadi sangat tegang.

“Ketahuilah, bahwa kami datang dengan membawa masalah pribadi. Antara aku dan Pangeran Ranapati. Pangeran Ranapati telah membunuh ayahku. Sekarang aku ingin membunuh anaknya. Jika aku menusuk bayi di dalam perut perempuan itu, kemudian perempuan itu ikut mati, maka itu adalah salahnya sendiri.”

“Kau tidak dapat berbuat demikian, Ki Sanak. Baik perempuan itu maupun anak di dalam kandungannya, meskipun anak itu adalah anak Pangeran Ranapati, tetapi mereka tidak bersalah. Jika dapat dianggap bersalah karena Pangeran Ranapati membunuh ayahmu, namun yang bersalah itu adalah Pangeran Ranapati itu sendiri. Apalagi jika pembunuhan itu dilakukan dalam perang tanding, sehingga kalian tidak dapat menganggap Pangeran Ranapati bersalah sehingga pantas menjadi sasaran balas dendam.”

“Cukup!” bentak pemimpin kelompok itu, “Aku tidak peduli apa pun. Aku akan membunuh anak itu. Bukan karena aku tidak berani berhadapan dengan Pangeran Ranapati, tetapi sekarang kami akan sangat kesulitan untuk menemukan Pangeran Ranapati.”

“Seharusnya kau balaskan dendammu dengan cara yang jantan,” tiba-tiba terdengar suara seseorang dari dalam kegelapan.

Semua orang pun berpaling ke arah suara itu. Mereka melihat dua orang laki-laki dan perempuan keluar dari kegelapan di halaman samping.

Orang-orang yang datang untuk membunuh itu pun berdiri termangu-mangu. Pemimpin mereka itu pun menggeram, “Kau siapa he? Dan apa maksudmu?”

“Ternyata kau bukan seorang laki-laki. Kau hanya mencari dalih agar kau dapat membalas dendam dengan mudah, tanpa harus bersikap sebagai seorang laki-laki. Kalau kau memang seorang laki-laki, betapapun sulitnya, kau tentu akan mencari Pangeran Ranapati. Tetapi kau tidak berani melakukannya, karena jika kau benar-benar berhadapan dengan Pangeran Ranapati, maka kau bukan tandingannya. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa, kecuali menyerahkan lehermu untuk dipilin sampai patah.”

“Cukup! Siapakah kau sebenarnya? Dan apa pula hubunganmu dengan Pangeran Ranapati.”

“Kau kira Pangeran Ranapati pergi begitu saja dengan meninggalkan anaknya tanpa perlindungan? Kami berdua adalah orang-orang yang ditugaskan oleh Pangeran Ranapati untuk melindungi anaknya yang masih berada dalam kandungan. Karena itu, jika kau akan membunuhnya, maka kau akan berhadapan dengan kami.”

Pemimpin dari sekelompok orang itu menggeram. Dengan lantang ia pun berkata, “Apa sebenarnya yang kau banggakan, sehingga kau berani berkata seperti itu kepadaku? Kau lihat bahwa aku tidak sendiri. Aku datang dalam satu kelompok. Jika ada orang yang mencoba menghalangiku, atau bahkan rakyat padukuhan ini, maka kami tidak akan segan-segan untuk membunuh. Jika itu terjadi, maka korban tidak akan terhitung lagi. Dan ini akan menjadi tanggung jawab Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Jika kau yang memicu perlawanan, maka kaulah yang bertanggungjawab.”

“Kami memang akan melawan, untuk melindungi putra Pangeran Ranapati. Tetapi kami tidak akan melibatkan seorang pun penghuni padukuhan ini. Kami bertanggung jawab penuh atas keselamatan putra Pangeran Ranapati, sehingga kami akan bertempur antara hidup dan mati.”

“Kau sudah gila. Kau seorang diri mencoba untuk menghalangi kami?”

“Kalau kau laki-laki, maka persoalannya adalah persoalan antara kau dan aku. Kau ingin membalas dendam kematian ayahmu, sementara aku bertugas melindungi anak dalam kandungan yang sama sekali tidak bersalah.”

“Bagus,” geram orang itu, “kau menantang berperang tanding. Jangan menyesali nasib burukmu. Kau akan mati, dan anak dalam kandungan itu juga akan mati. Aku memang tidak berniat membunuh ibunya. Tetapi seperti yang aku katakan jika ia mati, itu karena nasib buruknya.”

“Bersiaplah. Kau sudah menerima tantanganku berperang tanding. Apa pun yang akan terjadi di antara kita, maka tidak akan ada yang ikut campur. Kawan-kawanmu tidak, dan penghuni padukuhan ini pun tidak. Mereka akan menjadi saksi, siapakah yang akan keluar dengan selamat dari perang tanding ini.”

Demikianlah, maka keduanya pun saling berhadapan. Penunggu banjar itu berdiri kebingungan. Ternyata orang yang disangkanya kawan para pembunuh itu justru pelindung dari anak yang masih berada dalam kandungan itu.

Beberapa orang kawan dari orang yang datang untuk membalas dendam itu pun masih berdiri mengerumuni pemimpinnya yang akan berperang tanding. Perlahan sekali orang itu memberikan pesan-pesan kepada kawan-kawannya. Perlahan sekali, sehingga tidak dapat didengar oleh Glagah Putih. Pada saat ia mengetrapkan Aji Sapta Pangrungu, orang itu sudah selesai dengan pesan-pesannya.

Namun Rara Wulan-lah yang ternyata sempat mempergunakan Aji Sapta Pangrungu, sehingga ia tahu apa yang dipesankan oleh orang yang membalas dendam itu.

Orang itu berpesan agar para pengikutnya itu jangan lengah. Jika perlu, mereka tidak usah merasa terikat dengan perang tanding itu. Pengawal anak yang masih dalam kandungan itu pun harus dibunuh lebih dahulu. Sedangkan jika ada orang yang mencoba untuk membantunya, maka mereka pun akan dibunuhnya pula.

Karena itu maka Rara Wulan telah menangkap ada isyarat kecurangan pada orang-orang yang datang untuk membalas dendam itu. Karena itu maka ia pun menjadi lebih berhati-hati.

Sejenak kemudian, Glagah Putih dan pemimpin sekelompok orang yang akan membalas dendam itu sudah berhadapan di halaman rumah nenek pengantin perempuan yang sudah menjadi hampir pingsan itu. Ia tidak mengira bahwa pada hari pernikahannya itu telah datang malapetaka yang akan merenggut jiwanya.

Dalam pada itu, sejenak kemudian di halaman rumah itu pun telah terjadi perang tanding antara Glagah Putih, yang mengaku sebagai pengawal dan pelindung anak Pangeran Ranapati yang masih ada dalam kandungan itu, melawan orang yang ingin membunuhnya untuk membalas dendam, karena Pangeran Ranapati pernah membunuh ayahnya.

Glagah Putih yang belum mengetahui sama sekali tataran kemampuan lawannya itu pun menjadi sangat berhati-hati.

Demikianlah, beberapa saat kemudian pertempuran di antara mereka pun menjadi semakin sengit. Ternyata orang yang ingin membalas dendam itu juga seorang yang berilmu tinggi. Orang itu juga mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar, sehingga pada setiap benturan yang terjadi, Glagah Putih pun merasakan getaran menekan bagian dalam dadanya.

Tetapi dengan lambaran tenaga dalamnya, maka perlahan-lahan Glagah Putih berhasil mengatasi tenaga dan kekuatan orang itu.

Tetapi orang itu dengan serangan-serangan yang cepat berusaha untuk menembus pertahanan Glagah Putih. Tetapi ternyata sangat sulit untuk melakukannya. Pertahanan Glagah Putih menjadi sedemikian rapatnya, sehingga rasa-rasanya tidak seujung duri pun yang mampu menerobosnya.

Sedangkan pada setiap benturan, Glagah Putih yang sudah meningkatkan lambaran tenaga dalamnya tidak lagi dapat digetarkan, apalagi didesak surut.

Meskipun demikian, orang yang berniat membunuh anak yang masih dalam kandungan itu tidak segera menyadari kenyataan itu. Ia sendiri merasa sebagai seorang yang berilmu tinggi. Sementara itu orang yang mengaku pelindung dari anak yang masih berada dalam kandungan itu adalah orang yang masih terhitung muda, jauh lebih muda dari dirinya sendiri.

Namun orang yang masih lebih muda itu ternyata sulit untuk ditundukkan. Serangan-serangannya semakin lama datang semakin cepat. Jika orang yang berniat membunuh itu sangat sulit untuk menembus pertahanan Glagah Putih, maka justru Glagah Putih sekali dua kali telah berhasil menguak pertahanannya.

Ketika orang itu menyerang Glagah Putih dengan menjulurkan tangannya mengarah ke dada Glagah Putih, maka Glagah Putih berhasil menepisnya dengan lengannya. Dengan demikian maka justru dada orang itulah yang terbuka, sehingga dengan tangannya yang lain Glagah Putih memukulnya.

Tetapi ternyata orang itu pun tangkas pula. Dengan cepat ia bergeser menyamping. Ia pun segera menangkis serangan itu dengan tangannya yang sebelah.

Tetapi Glagah Putih menarik serangan tangannya. Yang kemudian terjulur adalah kakinya menyambar lambung.

Orang itu pun terpental beberapa langkah surut. Sementara itu, seperti lembing Glagah Putih meluncur dengan kakinya yang terjulur memburu orang itu. Demikian kaki Glagah Putih mengenai dadanya, maka orang itu pun terlempar semakin jauh. Meskipun ia berusaha mempertahankan keseimbangannya, namun akhirnya orang itu pun jatuh terlentang.

Glagah Putih tidak memburunya. Ia sengaja memberi kesempatan kepada orang itu untuk bangkit.

Orang yang jatuh terlentang itu memang segera melenting berdiri. Ia mencoba menyembunyikan rasa sakit di punggungnya dengan meningkatkan daya tahannya. Namun mulutnya masih juga nampak menyeringai menahan sakit.

Dengan demikian maka kemarahan pun semakin menyala di dadanya, sehingga jantungnya bagaikan membara.

Sambil menggeram orang itu pun melangkah mendekat, “Aku bunuh kau, dan akan aku lemparkan jantungmu kepada anjing-anjing liar.”

Glagah Putih dengan tenang justru berkata, “Sudahlah. Sebaiknya kau menyerah. Kalau kau pergi, aku anggap persoalan ini sudah selesai. Aku tidak akan menyelesaikan perang tanding ini sampai tuntas. Pangeran Ranapati pun tentu akan melupakan perbuatanmu hari ini, atau bahkan mengampuninya.”

“Persetan dengan Pangeran Ranapati. Jika aku menemukannya, maka aku tentu akan membunuhnya.”

“Bagaimana mungkin kau dapat membunuh Pangeran Ranapati? Sekarang, melawan aku pun kau tidak mampu berbuat apa-apa. Jangankan berhadapan dengan Pangeran Ranapati.”

“Jaga mulutmu, penjilat! Apa yang sudah kau terima dari Pangeran Ranapati, sehingga kau umpankan nyawamu bagi keselamatan anaknya yang masih dalam kandungan?”

“Bukan soal imbalan yang aku terima dari Pangeran Ranapati. Seandainya aku belum mengenal Pangeran Ranapati pun aku akan melakukannya, karena apa yang akan kau lakukan itu adalah perbuatan yang biadab.”

“Cukup! Aku tidak membutuhkan sesorahmu. Sekarang kau pergi dari halaman ini dan membiarkan aku menumpahkan dendamku. Aku akan membunuh anak itu. Kemudian aku akan pergi, dan untuk selanjutnya aku tidak akan mencarimu lagi.”

“Jika demikian, maka kita memang harus menyelesaikannya sekarang. Kita harus menuntaskan perang tanding ini, sehingga tidak akan ada persoalan di masa mendatang.”

Orang itu menggeram. Namun dengan garangnya ia pun segera meloncat menyerang. Tetapi Glagah Putih pun sudah siap menghadapinya, sehingga dengan demikian maka pertempuran yang sengit pun telah berlangsung kembali.

Sementara itu, Rara Wulan pun menjadi semakin berhati-hati. Ia tahu bahwa cepat atau lambat akan terjadi kecurangan, jika pemimpin kelompok itu akan dikalahkan oleh Glagah Putih.

Untuk beberapa saat perang tanding itu masih berlangsung. Tetapi orang yang berniat membunuh itu sudah menjadi semakin terdesak, sehingga para pengikutnya pun segera mempersiapkan diri. Mereka tahu bahwa mereka harus segera bertindak jika pemimpinnya yang semakin terdesak itu memberikan isyarat.

Namun Rara Wulan pun memperhatikan mereka dengan sungguh-sungguh.

Rara Wulan berhasil mendengarkan pesan pemimpin mereka yang sedang berperang tanding itu. Jika ia menjatuhkan perintah, maka para pengikutnya harus segera turun ke arena.

Sebenarnyalah bahwa orang yang berperang tanding dengan Glagah Putih itu sudah tidak berdaya untuk melawan. Ketika Glagah Putih meloncat sambil memutar tubuhnya serta mengayunkan kakinya mendatar, maka kakinya itu telah menyambar kening lawannya. Demikian kerasnya, sehingga lawannya itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terlentang.

Sulit baginya untuk segera bangkit. Punggungnya terasa sakit sekali, sehingga terdengar ia mengerang.

Glagah Putih ternyata tidak memburunya. Dibiarkannya orang itu menggeliat. Namun tiba-tiba Glagah Putih itu mendengar orang itu bersuit nyaring.

Glagah Putih tidak tahu maksud isyarat itu. Tetapi ia sudah menduga bahwa akan terjadi kecurangan dalam perang tanding itu. Karena itu, ia pun justru bergeser surut untuk mengambil jarak.

Namun sebelum segala sesuatunya terjadi, Rara Wulan telah melangkah ke tengah arena sambil berkata, “Nah, pemimpin kalian telah memberikan isyarat itu. Bukankah ia berpesan, jika terdengar isyarat agar kalian turun ke arena, dan tidak menghiraukan lagi ketentuan dan paugeran yang berlaku bagi perang tanding? Bahwa dengan demikian maka kalian tidak perlu lagi berpijak pada sifat seorang ksatria dan mengesampingkan harga diri?”

Tetapi orang yang kesakitan itu pun berteriak, “Jangan dengarkan! Bunuh orang itu! Bunuh anak Pangeran Ranapati,, dan bunuh perempuan itu pula.”

Para pengikutnya pun segera bersiap. Dua orang di antara mereka mendekati pemimpin mereka yang kesakitan, kemudian membantunya untuk bangkit berdiri.

Beberapa orang pun kemudian berusaha untuk mengepung Glagah Putih. Tetapi karena Rara Wulan sudah berdiri di arena, maka ia pun berada pula di dalam kepungan. Apalagi pemimpin mereka telah memerintahkan kepada para pengikutnya untuk membunuh laki-laki dan perempuan yang mengaku pelindung anak yang berada di dalam kandungan, dan yang akan dibunuhnya pula. Bahkan ibunya pun tentu akan ikut mati pula.

Namun orang-orang yang mengepung itu pun menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Rara Wulan menyingsingkan kain panjangnya, sehingga ia pun kemudian telah mengenakan pakaian khususnya.

“Marilah. Kita lupakan perang tanding yang masih belum tuntas. Tetapi yang akan mati di arena ini pun menjadi semakin banyak. Bukan hanya orang yang mendendam itu saja, tetapi juga para pengikutnya.”

Pemimpin sekelompok orang yang sudah bangkit berdiri itu pun kemudian bertanya dengan suara serak, “Kau juga akan ikut campur dalam pertempuran ini? Sebaiknya kau menepi. Kalau tidak, maka kau akan lebih dahulu mati. Sebelum anak yang masih di dalam kandungan itu serta orang yang mengaku pelindungnya itu, maka kaulah yang akan lebih dahulu mati.”

“Aku sudah siap untuk menghadapi kemungkinan apa pun. Namun aku masih memberi kalian kesempatan. Sebaiknya kalian tidak melanjutkan niat buruk itu, karena jika kalian akan melanjutkannya, maka kalianlah yang akan mengalami kesulitan.”

“Persetan. Bunuh mereka! Jangan ragu-ragu! Aku datang untuk membalas dendam. Niatku itu harus dapat aku lakukan.”

Para pengikutnya itu pun tidak menunggu lagi. Dalam jumlah yang jauh lebih banyak, mereka memperhitungkan bahwa mereka akan dengan cepat menyelesaikan tugas itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian saling mendekat. Mereka sudah terbiasa bertempur berpasangan. Karena itu mereka sudah tidak merasa canggung lagi berpasangan menghadapi orang-orang yang datang untuk membalas dendam itu.

Namun Glagah Putih dan Rara Wulan tetap saja berhati-hati. Pemimpin kelompok itu memiliki ilmu yang tinggi. Mungkin ada pula di antara pengikut-pengikutnya itu yang berilmu tinggi pula.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah bersiap sepenuhnya menghadapi lawan-lawannya. Satu dua orang di antara mereka mulai menyerang meskipun dengan ragu-ragu. Mereka sadar bahwa setidaknya seorang di antara kedua orang itu telah mengalahkan pemimpin mereka yang selama ini mereka banggakan. Sementara perempuan yang kemudian mendampinginya itu nampaknya demikian yakin pula dengan kemampuannya.

Sejenak kemudian pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Satu-satu para pengikut orang yang mendendam itu pun terjun ke medan pertempuran. Dengan garangnya mereka menyerang Glagah Putih dan Rara Wulan dari segala arah.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan adalah dua orang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, meskipun mereka menghadapi banyak orang sekaligus, namun mereka tidak segera mengalami kesulitan. Bahkan setiap kali lawan-lawannya itu pun telah terlempar dari arena. Meskipun mereka berusaha untuk segera bangkit dan kembali ke arena, namun mereka masih harus menahan sakit di tubuh mereka.

Orang yang mendendam yang berniat membunuh anak yang masih berada di dalam kandungan itu pun tidak mampu lagi berbuat banyak. Serangan-serangan Glagah Putih yang ditujukan kepadanya semakin sering mengenainya, sehingga tulang-tulangnya serasa berpatahan.

Di halaman rumah nenek pengantin perempuan itu telah terjadi ketegangan yang sangat mencekam. Mereka tidak mengenal siapakah kedua orang yang menyatakan dirinya sebagai pelindung anak Pangeran Ranapati yang masih berada dalam kandungan itu. Hanya penunggu banjar itulah yang pernah melihat kedua orang itu. Kedua orang itu telah datang ke banjar padukuhan untuk minta ijin menginap. Tetapi mereka sama sekali tidak menyebutkan bahwa dirinya mempunyai hubungan dengan Pangeran Ranapati. Bahkan penunggu banjar itulah yang bercerita kepada mereka tentang Pangeran Ranapati serta anak yang masih dalam kandungan itu.

Demikianlah, pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Para pengikut orang yang mengaku mendendam itu tidak berhasil melindungi pemimpinnya, yang sudah hampir tidak berdaya karena serangan-serangan Glagah Putih.

Bahkan ketika kemudian orang itu menarik senjatanya, demikian pula para pengikutnya, mereka tidak dapat berbuat banyak.

Orang yang mengaku melindungi anak yang masih berada dalam kandungan itu telah mempergunakan ikat pinggangnya sebagai senjata, sementara istrinya bersenjatakan selendangnya yang mampu mematuk seperti hentakan tongkat baja.

Demikianlah, maka orang yang menyatakan diri mendendam kepada anak yang masih berada di dalam kandungan itu pun telah berusaha menghentakkan kemampuannya yang tersisa, sambil berteriak lantang, “Cepat! Bunuh mereka! Bunuh anak itu!”

Tetapi mereka tidak sempat melakukannya.

Seorang yang berusaha meloncat naik tangga pendapa untuk menyerang perempuan yang sedang mengikuti upacara pernikahan yang kacau itu, telah terlempar dan terbaring pingsan demikian ia membentur salah satu tiang pendapa.

Namun akhirnya ternyata orang yang menyatakan diri mendendam karena ayahnya telah dibunuh oleh Pangeran Ranapati itulah yang berusaha naik ke pendapa. Tetapi Rara Wulan pun dengan cepat telah berdiri di sebelah perempuan yang sedang mengandung anak Pangeran Ranapati itu.

Namun ternyata orang itu tidak menyerang perempuan itu. Ia justru menyerang pengantin laki-laki yang menyaksikan pertempuran itu dengan sangat tegang.

Tiba-tiba, di luar dugaan, orang yang mendendam itu telah menjulurkan pedangnya menukik menghunjam di dada pengantin laki-laki itu.

“Kau telah menjerumuskan aku, he?” geram orang yang sudah tidak berdaya itu. Hentakan pedangnya adalah sisa tenaganya yang terakhir. Sementara tubuhnya sendiri telah terluka silang melintang oleh sentuhan ikat pinggang Glagah Putih, meskipun para pengikutnya berusaha untuk melindunginya.

Pengantin laki-laki itu tidak mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri. Namun ia pun masih bertanya dengan suara sendat, “Kenapa kau bunuh aku, he?”

Darah menyembur dari luka di dadanya. Namun sejenak kemudian ia pun jatuh berguling.

Sementara itu, orang yang mengaku mendendam dan akan membunuh anak dalam kandungan itu masih berdiri, meskipun tidak lagi dapat tegak. Ketika tubuhnya berguncang, maka ia pun berkata, “Laki-laki itulah yang telah mengupah aku untuk membunuh pengantin perempuan yang sudah mengandung itu. Sebenarnya ia tidak mau menerima seorang perempuan yang telah mengandung, tetapi ia menginginkan harta benda peninggalan Pangeran Ranapati. Karena itu maka ia pura-pura bersedia menikahinya. Tetapi ia telah minta pada malam pernikahannya aku datang untuk membunuh perempuan itu.”

“Jadi bukan karena kau mendendamnya?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Aku tidak mempunyai persoalan apa-apa dengan perempuan itu. Laki-laki itu mengupahku dan mengatakan bahwa tidak akan ada yang akan mencegahnya. Ternyata anak dalam kandungan itu mempunyai sepasang pelindung yang tidak mampu kami kalahkan, meskipun kami datang dengan sekelompok orang upahan.”

“Jadi kenapa kau pura-pura tidak tahu dimana perempuan itu berada, dan datang ke banjar itu lebih dahulu?”

“Pengantin laki-laki itu ingin menghilangkan jejak.”

Mendengar pembicaraan itu, pengantin perempuan itu pun menjerit. Namun kemudian ia pun jatuh pingsan.

Sementara itu, laki-laki yang gagal membunuh itu masih berdiri meskipun terhuyung-huyung. Tubuhnya pun sudah menjadi sangat lemah, darah telah mengalir dari goresan-goresan lukanya. Bahkan ada lukanya yang dalam menganga, sementara darah mengalir dengan derasnya.

Akhirnya laki-laki itu tidak dapat lagi bertahan. Tubuhnya pun kemudian rebah di lantai pendapa rumah nenek pengantin perempuan itu.

Ketegangan menjadi semakin mencengkam. Beberapa orang upahan pun terbaring di halaman. Mereka merasa sangat sulit untuk dapat bangkit berdiri, karena tulang-tulangnya yang terasa sangat nyeri, serta ada pula yang nafasnya bagaikan tersumbat di dadanya.

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri termangu-mangu. Beberapa orang perempuan berusaha menyadarkan pengantin perempuan yang pingsan.

Ki Bekel, Ki Jagabaya, para bebahu yang hadir serta mereka yang berada di halaman itu pun masih termangu-mangu sejenak.

Baru kemudian Glagah Putih itu pun bertanya kepada Ki Bekel, “Apakah aku berbicara dengan Ki Bekel?”

“Ya, ya, Ngger. Aku Bekel padukuhan ini. Ini adalah Ki Jagabaya, dan sebagian besar para bebahu ada di tempat ini pula.”

“Tolong, Ki Jagabaya. Perintahkan untuk mengumpulkan orang-orang yang datang bersama orang yang mengaku mendendam kepada Pangeran Ranapati, tetapi ternyata bahwa ia adalah orang yang diupah untuk membunuh pengantin perempuan itu, oleh calon suaminya sendiri. Lihat pula, apakah calon pengantin laki-laki itu telah terbunuh. Demikian pula orang yang datang diupah untuk membunuh calon pengantin perempuan itu.”

“Baik, Ngger,” berkata Ki Jagabaya yang kemudian menjadi sibuk.

Orang-orang upahan itu pun kemudian dikumpulkan di tangga pendapa. Yang tidak mampu berjalan, telah dipapah oleh orang-orang padukuhan yang sedianya menghadiri upacara pernikahan itu.

Namun ternyata bahwa pemimpin mereka telah tidak bernyawa lagi, sebagaimana pengantin laki-laki.

“Ki Bekel,” berkata Glagah Putih kemudian, “Ki Bekel dan Ki Jagabaya dan para bebahu sudah dapat mengetahui apa yang telah terjadi. Siapa sebenarnya yang telah merancang kekacauan ini. Pengantin laki-laki yang serakah itu menginginkan harta benda yang ditinggalkan oleh Pangeran Ranapati. Tetapi ia tidak ingin menikah dengan seorang perempuan yang telah mengandung. Persoalan ini tidak dapat Ki Bekel biarkan saja. Ki Bekel harus ikut membantu mencari penyelesaiannya. Ki Bekel dan para bebahu sebaiknya berusaha mempertemukan perempuan yang sudah mengandung itu dengan laki-laki yang bersedia menerimanya apa adanya. Bukankah perempuan itu sudah tidak merahasiakan lagi bahwa dirinya sudah mengandung?”

“Ya, ya, Ngger. Kami akan membantunya.”

“Ki Bekel dan para bebahu pun harus mengubur pengantin laki-laki yang telah berkhianat itu. Tetapi untunglah segala sesuatunya belum terlanjur. Jika saja pernikahan ini sudah berlangsung, kemudian pengantin laki-laki itu baru mengupah orang untuk membunuh istrinya, keadaan akan lebih sulit lagi diatasi. Namun ternyata yang terjadi tidak seperti itu.”

“Kalau keluarga pengantin laki-laki itu menghendaki melakukan upacara penguburan sendiri?”

“Serahkan saja kepada mereka.”

“Baik, Ngger.”

“Kami sendiri tidak dapat menunggui penyelesaian dari peristiwa ini. Kami harus segera pergi.”

“Pergi kemana, Ngger?”

“Aku harus segera melapor kepada Pangeran Ranapati, bahwa hal seperti ini telah terjadi di sini.”

“Apakah Pangeran Ranapati akan marah?”

“Itulah yang harus kami usahakan, agar Pangeran Ranapati tidak marah. Untunglah bahwa putranya yang masih berada dalam kandungan itu tidak mengalami cedera. Jika saja orang itu terlanjur membunuh perempuan yang akan menikah itu, maka kami tidak tahu apa yang akan dilakukannya.”

“Kami mengucapkan terima kasih atas tindakan yang cepat Ki Sanak lakukan.”

“Baiklah. Sekarang kami minta diri. Kami tidak boleh terlambat. Pangeran Ranapati harus mendengar peristiwa ini dari mulut kami sendiri.”

“Lalu, bagaimana dengan orang-orang ini? Orang-orang yang menjadi pengikut dari pemimpinnya yang telah mati itu?”

“Biarlah mereka pergi, setelah mereka membantu kalian menguburkan pemimpinnya itu. Tetapi biarlah mereka mendengar apa yang aku katakan. Jika terjadi sesuatu dengan perempuan dan anak yang ada di dalam kandungannya itu, maka mereka dan keluarga mereka akan kami tumpas habis. Tidak seorang pun yang dapat bersembunyi dari penglihatan Pangeran Ranapati, meskipun Pangeran Ranapati sekarang tidak tahu, siapakah mereka. Meskipun demikian, aku minta Ki Bekel dan Ki Jagabaya berusaha mengetahui tempat tinggal mereka.”

“Baik, Ki Sanak.”

“Sementara aku pergi, aku titipkan perempuan itu kepada Ki Bekel dan Ki Jagabaya. Usahakan agar ia mendapatkan seorang suami yang baik, yang benar-benar bersiap menerimanya apa adanya, seutuhnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian minta diri kepada orang-orang yang ada di pendapa dan di halaman rumah itu. Sementara pengantin perempuan itu masih baru saja sadar, sehingga ia tidak tahu apa yang telah dibicarakan oleh Glagah Putih dengan Ki Bekel dan para bebahu.

“Demikian aku bertemu dan melaporkan peristiwa ini, aku akan segera kembali,” berkata Glagah Putih.

Sebelum Glagah Putih meninggalkan tempat itu, ia masih sempat mengancam orang-orang yang ikut bersama pemimpinnya yang akan membunuh perempuan yang akan menikah itu.

Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan beranjak, maka penunggu banjar itu pun mendekatinya sambil berkata, “Aku minta maaf atas penerimaanku yang tidak memadai.”

“Akulah yang harus mengucapkan terima kasih,” sahut Glagah Putih sambil tersenyum, “kalian sudah berbuat sangat baik kepada kami. Sayang bahwa kami harus segera pergi. Tetapi pada kesempatan lain, kami akan singgah.”

Penunggu banjar itu masih mencoba mencegahnya, “Kenapa tidak besok pagi saja, Ki Sanak? Kalian berdua dapat melanjutkan bermalam di banjar itu.”

“Sudah aku katakan, bahwa aku harus secepatnya menemui Pangeran Ranapati. Sebelum Pangeran mendengar dari orang lain, maka sebaiknya Pangeran itu mendengar dari aku sendiri.”

Penunggu banjar itu tidak dapat mencegahnya. Ia hanya dapat memandang Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan keluar dari regol halaman.

Sementara itu, sudah terdengar ayam jantan berkokok di dini hari. Ki Bekel pun kemudian sibuk membenahi tempat upacara pernikahan yang menjadi kacau, bahkan telah terjadi pembunuhan pula.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan meninggalkan padukuhan itu. Di dinginnya malam, Rara Wulan itu berdesis, “Daripada berjalan malam hari yang dingin, sebenarnya lebih enak tidur di banjar. Bahkan besok pagi, kita tentu mendapat minuman hangat, dan bahkan mungkin makan pagi, sebelum berangkat meninggalkan banjar itu.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kita harus bermain dengan baik. Laki-laki itu memang harus mendapat hukuman yang berat. Ternyata orang upahannya sendirilah yang telah membunuhnya.”

“Peristiwa yang terjadi di padukuhan ini agaknya mempertegas watak Pangeran Ranapati. Laki-laki itu telah menodai seorang gadis padukuhan yang tentu lugu, jujur dan mungkin sedikit bodoh karena kurang pengalaman. Kemudian gadis itu ditinggalkannya begitu saja. Ia memang meninggalkan uang, tetapi sebenarnya itu tidak cukup. Untunglah kita melihat kecurangan yang sangat menyakitkan itu, sehingga kita dapat mencegahnya. Jika tidak, maka nasib perempuan yang mengandung itu akan menjadi sangat malang. Sebagian dari kesalahan yang menyebabkannya, harus ditimpakan kepada orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “kita semakin condong berpendapat bahwa orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati memang bukan orang yang baik, sehingga mungkin kepergiannya ke Timur memang berniat kurang baik.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Namun kemudian Rara Wulan itu pun berkata, “Apakah tidak sebaiknya kita berhenti untuk menghabiskan malam ini?”

“Jarak kita belum cukup jauh dari padukuhan itu.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Sementara itu keduanya pun melanjutkan perjalanan mereka di gelapnya malam menuju ke arah Timur.

Namun menjelang fajar keduanya sempat beristirahat sejenak. Mereka duduk di tanggul sebuah sungai kecil, bersandar sebatang pohon.

Ketika langit menjadi merah, maka mereka pun telah turun ke sungai untuk mencuci muka dan berbenah diri.

Sebelum matahari terbit, mereka sudah melanjutkan perjalanan mereka. Udara masih terasa dingin. Burung-burung liar bernyanyi dengan suaranya yang nyaring menyambut matahari yang bakal terbit.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan di sejuknya udara pagi hari, sambil memperhatikan langit bersih yang menjadi semakin semburat merah.

Semakin lama jalan yang dilaluinya pun menjadi semakin ramai. Beberapa orang yang turun ke jalan agaknya akan pergi ke pasar, selagi masih pagi. Sebagian dari mereka membawa hasil kebun mereka yang agaknya akan dijual di pasar. Pisang setandan. Daun pisang beberapa lipatan. Uwi panjang, empon-empon, dan ada pula yang membawa daun lembayung, daun kangkung, daun so beberapa ikat, serta kacang panjang dan melinjo.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun ikut pula bersama iring-iringan orang yang akan pergi ke pasar itu.

Sebelum matahari terbit, mereka telah mendekati pintu gerbang sebuah pasar yang cukup ramai. Meskipun hari masih pagi, tetapi pasar itu sudah menjadi cukup ramai. Orang-orang yang akan menjual hasil kebun mereka telah menggelar dagangannya mereka.

Sementara itu, beberapa orang pembelinya sudah berdatangan. Mereka yang dapat langsung membeli dari para petani dari kebun mereka sendiri harganya tentu sedikit lebih murah, daripada mereka membeli di tempat tengkulak yang mengumpulkan hasil bumi itu serta menjualnya lagi untuk mendapatkan untung.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berhenti sejenak di depan pintu gerbang pasar. Semakin lama pasar itu menjadi semakin ramai. Para pedagang yang lebih besar pun sudah berdatangan serta menggelar dagangan mereka, yang terdiri dari berbagai jenis barang. Di sudut, pande besi sudah mulai mengatur bengkelnya. Mereka pun kemudian menyalakan perapian mereka, karena mereka segera akan mulai dengan kerja mereka.

Para penjual kain pun telah menggelar berbagai macam kain lurik. Dari yang kasar sampai yang halus. Dari yang bergaris-garis besar sampai yang bergaris halus.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak singgah di pasar itu. Mereka hanya berhenti sebentar. Nasi megana yang masih mengepul memang menarik perhatian mereka, tetapi mereka masih belum ingin makan lagi.

Sejenak kemudian mereka pun meninggalkan pasar itu.

Mereka meneruskan perjalanan mereka ke arah Timur. Di jalan yang mereka lalui, mereka berpapasan dengan orang-orang yang akan pergi ke pasar, yang nampaknya untuk berbelanja.

Sementara itu, matahari pun telah mulai memanjat langit. Sinarnya yang ceria memancar ke puncak bukit-bukit kecil yang ada di hamparan ngarai yang luas. Bulak-bulak panjang yang membentang nampak hijau membentang. Sekali-sekali nampak padukuhan yang muncul dari tebaran tanaman yang hijau. Namun di sisi yang lain, bukit-bukit kecil muncul dari permukaan, bagaikan sebuah pulau yang mengapung di lautan.

Jalan-jalan pun nampak menjadi semakin ramai. Selain orang yang pergi dan pulang dari pasar, beberapa orang nampak pergi ke sawah. Di saat sedang musimnya orang yang membersihkan rerumputan liar di antara tanamannya, maka banyak para petani yang memerlukan pergi ke sawah mereka, agar tanaman mereka tidak terganggu oleh rumput-rumput liar yang tumbuh di antaranya.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun berjalan terus melintasi bulak dan padukuhan. Sementara matahari pun memanjat langit semakin tinggi.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan mulai menjadi haus dan lapar, maka mereka pun telah singgah di sebuah kedai, di antara beberapa kedai yang berdiri berjajar di depan sebuah pasar yang besar.

Kedai itu pun terhitung kedai yang cukup ramai. Namun sebelum memasuki kedai itu, Glagah Putih dan Rara Wulan sempat memperhatikan beberapa orang yang sudah ada di dalamnya.

“Agaknya kedai ini bukan kedainya orang-orang kaya,” desis Glagah Putih.

Dengan demikian maka keduanya pun kemudian memasuki kedai itu, dan seperti biasanya, jika masih ada, mereka memilih tempat di sudut.

Ternyata para pelayan kedai itu pun bersikap ramah kepada tamu-tamunya. Mungkin pemilik kedai itu sempat mengajari mereka agar mereka memelihara hubungan baik dengan para langganan, agar para langganan itu tidak lagi ke kedai yang lain. Dalam persaingan yang nampaknya cukup ketat, kedai-kedai itu pun harus menunjukkan beberapa kelebihannya. Mungkin masakannya, mungkin tempat duduknya, dan mungkin pelayanannya.

Glagah Putih pun kemudian telah memesan makan dan minuman hangat bagi dirinya dan Rara Wulan.

Dengan cepat para pelayan itu pun segera menghidangkan pesanan itu, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan tidak perlu menunggu terlalu lama. Demikian pula para tamu yang lain pun telah dilayani dengan cepat pula.

Sementara Glagah Putih dan Rara Wulan sedang minum dan makan, tiba-tiba saja seorang di antara para tamu itu bertanya kepada pemilik kedai, yang sedang sibuk menyiapkan pesanan tamu tamunya itu. “Kakang. Agaknya Kakang kurang beruntung, bahwa seorang Pangeran dari Mataram yang berkelana seorang diri tidak singgah di kedaimu ini, tetapi singgah di kedai sebelah.”

Pemilik kedai yang sedang sibuk itu sempat tertawa dan menjawab, “Ya. Agaknya kami kurang beruntung. Tetapi kami telah terpercik oleh keberuntungan yang dibawa Pangeran dari Mataram itu. Kedai di sebelah memang bertambah besar, karena cerita tentang Pangeran yang singgah itu segera tersebar. Banyak orang yang ingin tahu, apa yang menyebabkan seorang Pangeran yang berkelana seorang diri singgah di kedai itu. Namun karena kedai itu selalu penuh, maka orang-orang yang tidak mendapatkan tempat telah memilih singgah di kedai ini, atau di kedai di sebelah lain.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Peristiwa itu sudah terjadi beberapa waktu yang lalu. Tetapi gemanya sampai sekarang masih terdengar. Kemarin aku sempat singgah di kedai itu. Tetapi aku tidak menemukan kelebihan apa-apa di kedai itu. Aku masih tetap menganggap bahwa nasi langgi di kedai ini lebih enak dibanding dengan nasi langgi di kedai sebelah. Di sini nasi langginya diberi abon, telur dadar yang dipotong halus, serta yang tidak dapat ditandingi adalah sambal lombok gorengnya yang diberi ranti dan udang.”

Pemilik kedai itu tertawa. Katanya, “Terima kasih.”

Sementara itu, seorang yang lain lagi tiba-tiba saja menyahut, “Ya. Nasi langgi di kedai inilah yang membuat aku tidak mau beranjak. Tetapi sekali-sekali jika aku ingin makan nasi tumpang, maka aku akan singgah di kedai yang berada di ujung. Nasi tumpangnya tidak ada yang dapat menyamainya. Daging lidah lembunya telah membuat aku ketagihan.”

Orang-orang yang ada di kedai itu tertawa. Sementara itu Glagah Putih pun bertanya kepada Rara Wulan, “Apakah kau sudah kenyang?”

“Sudah. Kenapa?”

“Kita tidak memesan nasi langgi. Kita justru memesan nasi megana.”

“Kalau Kakang mau memesan nasi langgi, silahkan.”

“Tetapi perutku tentu tidak akan muat. Baiklah. Lain kali aku akan singgah di kedai ini untuk memesan nasi langgi, dengan sambal lombok goreng dengan ranti dan udangnya.”

Rara Wulan tertawa. Tetapi ia pun bertanya, “Kenapa harus menunggu? Jangan habiskan nasi megana itu. Kemudian Kakang memesan nasi langgi.”

“Tetapi sebenarnya aku ingin singgah di kedai sebelah. Bukankah kita ingin mendengar cerita tentang Pangeran Ranapati itu lebih banyak?”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika kita singgah di kedai sebelah sekarang, maka tentu akan menarik perhatian orang. Mereka yang melihat kita berada di sini, kemudian berpindah ke kedai sebelah, tentu bertanya-tanya. Justru setelah ada yang berbicara tentang seorang Pangeran yang berkelana seorang diri.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Sementara itu, seorang yang lain berkata kepada pemilik kedai itu, “Kakang. Menurut pendengaranku, Pangeran itu adalah seorang yang sangat baik. Ia membayar jauh lebih banyak dari pesanan minum dan makannya.”

“Mungkin saja, Adi. Tetapi bukankah tidak sewajarnya kita menjadi iri hati? Apalagi kepada tetangga sendiri. Rejeki itu memang memilih orang yang akan memiliki. Bukan sebaliknya. Betapapun kita memburunya, kalau belum saatnya rejeki itu menjadi milik kita, maka rejeki itu akan luput. Tetapi seharusnya kita mensyukuri apa yang kita terima.”

“Ya, ya,” orang itu mengangguk-angguk.

Sementara itu orang yang lain berkata, “Tetapi yang memugar pintu gerbang pasar serta memberikan pertanda di sebelah pintu gerbang itu bukan Pangeran yang berhenti di kedai sebelah.”

“Ya,” seseorang menyahut, “itu lain lagi. Yang memugar pintu gerbang pasar itu adalah Pangeran Jayaraga. Seorang Pangeran yang akan bertugas di Panaraga. Di pasar itu, Pangeran Jayaraga berkenan berhenti, karena keluarganya merasa lapar dan haus.”

“Kenapa di pasar? Kenapa tidak di kedai-kedai ini?”

“Mereka sudah terlalu sering singgah di kedai yang jauh lebih baik dari kedai-kedai ini. Karena itu mereka justru ingin berhenti di pasar. Minum dawet cendol serta membeli nasi tumpang atau nasi megana, yang jarang mereka jumpai.”

Orang-orang itu pun kemudian berhenti sejenak. Seorang di antara mereka bangkit berdiri. Membayar makan dan minumnya, kemudian minta diri.

Seorang kawannya pun telah bangkit pula sambil berkata, “Tunggu. Kita pulang bersama-sama.”

Orang itu pun segera membayar pula dan kemudian keluar menyusul kawannya.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah selesai makan dan minum. Mereka pun kemudian meninggalkan kedai itu pula setelah membayar harga makan dan minum mereka.

Namun, demikian mereka keluar dari kedai itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Kita lihat pintu gerbang pasar itu.”

Keduanya pun kemudian telah pergi ke pintu gerbang pasar itu, untuk melihat pintu gerbang yang memang nampak lebih baik dari pintu gerbang pasar pada umumnya.

“Nah, sekarang kita berhenti sambil membeli minuman hangat di sudut pasar itu. Kau lihat orang menjual wedang jahe atau wedang sere itu?”

Rara Wulan mengangguk. Ia tahu bahwa Glagah Putih ingin berbicara dengan penjual wedang jahe itu tentang pintu gerbang yang belum lama diperbarui itu.

Sejenak kemudian, keduanya sudah duduk di sebuah lincak bambu di depan seorang penjual wedang jahe. Di sebelah penjual wedang jahe itu terdapat sebuah kuali di atas perapian, yang menjaga agar wedang jahe itu tetap panas.

Sambil menghirup wedang jahe, maka Glagah Putih memang bertanya kepada penjual wedang jahe itu, “Bibi, nampaknya gerbang pasar itu baru saja diperbaiki?”

“Ya, Ngger,” jawab penjual wedang jahe itu, “ketika itu seorang Pangeran dari Mataram dengan pengiringnya lewat di depan pasar ini. Entah mimpi apa orang-orang sepasar ini, bahwa ternyata Sang Pangeran pun berhenti. Sang Pangeran segera meloncat turun dari kudanya dan diikuti oleh para pengiringnya. Tandu-tandu yang ada di dalam iring-iringan itu pun berhenti pula. Sekelompok prajurit segera bersiaga di depan, di belakang dan di sebelah-menyebelah iring-iringan itu.”

“Apa yang dilakukan oleh Sang Pangeran?”

“Beberapa orang putri dari dalam tandu ingin turun pula. Nampaknya mereka merasa letih duduk di dalam tandu. Apalagi para emban dan pelayan yang naik pedati. Mereka pun nampak kelelahan. Sementara itu, agaknya beberapa orang keluarga Pangeran dari Mataram yang lapar itu tiba-tiba ingin mencicipi minuman dan makanan yang ada di pasar ini.” Orang itu berhenti sejenak ketika ada seorang yang membeli wedang sere dengan pemanis gula kelapa. Namun kemudian ia bercerita terus, “Pasar ini menjadi geger, Ngger. Orang sepasar ingin melihat Pangeran, putra-putranya serta para putri keraton. Agaknya sambutan yang sangat meriah dari orang-orang yang berada di pasar itu sangat berkenan di hati Pangeran dari Mataram itu. Selain membayar harga minuman dan makanan dengan berlebihan, Pangeran itu pun telah memanggil Ki Bekel dan para bebahu padukuhan ini. Ternyata Pangeran itu telah memberikan uang kepada Ki Bekel untuk membangun pintu gerbang pasar ini sebagai satu petilasan, bahwa Pangeran itu pernah singgah di pasar ini bersama keluarganya ketika sedang dalam perjalanan ke Panaraga.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Perjalanan Pangeran Jayaraga memang mudah sekali di lacak. Apalagi Pangeran itu kini sudah berada di Istana Kadipaten Panaraga sebagaimana seharusnya.

Namun dugaannya tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu ternyata keliru. Glagah Putih dan Rara Wulan mengira bahwa mereka akan mengalami kesulitan melacak perjalanan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Namun ternyata orang itu pun meninggalkan jejak di sepanjang jalan yang dilewatinya, sehingga Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak mengalami kesulitan pula untuk melacaknya.

Tetapi di pasar itu dan di sekitarnya, orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu tidak meninggalkan tetenger apapun, kecuali bahwa ia telah singgah di sebuah kedai serta menyatakan diri bahwa ia adalah seorang Pangeran yang lelana tanpa kanti.

Namun ternyata penjual wedang jahe itu pun tahu juga, bahwa di samping Pangeran Jayaraga yang menempuh perjalanan bersama keluarganya menjelang tugasnya di Panaraga, maka seorang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati telah berkelana seorang diri.

“Kepada orang-orang di sekitar pasar ini, Pangeran Ranapati mengatakan bahwa tugas yang diembannya sangat berbeda. Jika Pangeran Jayaraga akan mengemban tugas sebagai penguasa di Panaraga berdasarkan atas tatanan pemerintahan, maka Pangeran Ranapati telah mengemban tugas untuk menyelamatkan tatanan kehidupan dalam hubungan serta kepentingan antar sesama. Tetapi terus terang aku tidak tahu apa yang dimaksud oleh Pangeran Ranapati itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Glagah Putih pun berkata, “Bibi, apalagi kami yang terhitung masih muda ini? Kami tentu tidak mengerti apa yang dimaksud Pangeran Ranapati itu.”

Penjual wedang jahe itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku juga tidak merenunginya terlalu lama. Bagi kami, pokoknya kedua orang Pangeran itu sedang mengemban tugas yang baik bagi seluruh rakyat.”

“Ya. Itulah yang penting,” sahut Rara Wulan. “Bagaimana bibi dapat merasakan meningkatnya kesejahteraan hidup, sehingga hasil penjualan wedang jahe dan wedang sere ini akan dapat berarti bagi keluarga Bibi.”

“Ya, ya, Ngger. Aku berharap bahwa hasilnya akan dapat menambah hasil sawah kami yang hanya selebar lidah cicak. Sementara di samping bertani, suamiku telah mencoba mencari keberuntungan menjadi blandong yang bekerja di sela-sela pekerjaannya di sawah.”

“Mudah-mudahan tugas yang diemban oleh kedua Pangeran itu memberikan arti bagi kesejahteraan hidup Bibi.”

Penjual wedang jahe itu menarik nafas panjang.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian membayar harga minuman mereka. Keduanya pun minta diri untuk melanjutkan perjalanan.

Namun ketika mereka sampai di pintu gerbang pasar yang baru itu, mereka tertarik melihat sekelompok orang sedang berkerumun. Nampaknya telah terjadi ketegangan antara beberapa orang yang ada di kerumunan orang banyak itu.

“Ki Bekel benar,” desis seseorang, “pintu gerbang itu dibangun di atas perintah Pangeran Jayaraga yang sekarang berkuasa di Panaraga. Bagaimana mungkin ia dapat dianggap bersalah, bahwa ia tidak melaporkan pembangunan pintu gerbang pasar ini.”

Sebenarnyalah seorang yang rambutnya sudah ubanan berusaha untuk menjelaskan bahwa pintu gerbang itu dibangun atas kehendak Pangeran Jayaraga. Pangeran Jayaraga itu pulalah yang membiayainya. Bahkan Pangeran Jayaraga itu pulalah yang telah mengirimkan beberapa orang yang terampil untuk memimpin pembuatan pintu gerbang yang bagus itu.

“Kau dapat saja membuat dongeng yang menarik, Ki Bekel. Tetapi seharusnya kau melaporkannya lebih dahulu kepada Ki Demang. Ki Demang kemudian melapor kepada Ki Panji Wirataruna di Ngadireja. Ki Panjilah yang selanjutnya akan membuat kesepakatan dengan Pangeran Jayaraga.”

“Itu tidak mungkin. Tidak ada waktu. Utusan Pangeran Jayaraga itu waktunya sangat sempit. Mereka datang dan langsung merencanakan pembuatan pintu gerbang itu. Kemudian dibantu oleh beberapa orang yang dianggap terampil di padukuhan ini, mereka pun membuat pintu gerbang itu.”

“Kau telah melampaui kuasa Ki Panji. Kau memang penjilat, Ki Bekel. Kau sekarang berusaha menjilat Pangeran Jayaraga yang berkuasa di Panaraga. Tetapi Panaraga masih jauh. Kuasanya tidak akan begitu terasa sampai di dini.”

“Kau tidak dapat berbuat begitu, Ki Lurah,” berkata orang yang sebaya dengan Ki Bekel. Tubuhnya pun masih nampak kokoh seperti Ki Bekel pula, meskipun ia juga sudah ubanan. “Aku tidak merasa dilampaui oleh Ki Bekel, meskipun aku Demang di daerah ini. Kalau Pangeran Jayaraga waktu itu berhadapan langsung dengan Ki Bekel, kemudian turun perintahnya, apakah mungkin Ki Bekel minta waktu untuk menghubungi aku dan kemudian menghadap Ki Panji lebih dahulu? Sementara orang-orang yang dikirim oleh Pangeran Jayaraga sudah mulai bekerja.”

“Katakan waktu itu kalian tidak sempat melakukannya. Apakah sesudah itu kalian memberikan laporan kepada Ki Panji?”

“Kami memang belum melaporkannya, Ki Lurah. Tetapi apakah itu perlu sekali? Justru gerbang pasar yang dianggap sebagai satu kenangan ini sudah berdiri.”

Tetapi lurah prajurit itu berkata dengan nada semakin tinggi, “Kalian jangan terlalu banyak alasan. Di mata kami, kalian telah melakukan satu kesalahan yang besar. Kalian telah meremehkan Ki Panji di Ngadireja.”

“Lalu, apa yang harus kami lakukan, Ki Lurah?” bertanya Ki Demang.

“Meskipun pembuatan pintu gerbang pasar ini tidak kalian laporkan, bukan berarti bahwa kalian tidak perlu membayar pajaknya. Selain pajak yang seharusnya kalian bayar, maka kalian pun harus membayar denda, karena aku harus menyisihkan waktu datang kepada kalian.”

“Kenapa Ki Panji tidak memungut pajak itu kepada Pangeran Jayaraga, karena Pangeran Jayaragalah yang membangun pintu gerbang itu?”

“Apakah kau sudah gila, bahwa aku harus memungut pajak itu pada Pangeran Jayaraga? Kalianlah yang menikmati hasil kerja yang ditinggalkan oleh Pangeran Jayaraga. Jadi kalianlah yang harus membayar. Pangeran Jayaraga sudah mengeluarkan uang untuk membangun pintu gerbang itu. Jadi tidak patut kalau Pangeran Jayaraga pula yang harus mengeluarkan uang untuk membayar pajaknya. Karena itu maka kalianlah yang harus membayar, Ki Bekel dan Ki Demang.”

“Berapa pajak itu harus kami bayar?” bertanya Ki Demang.

“Sebesar biaya pembuatan pintu gerbang ini.”

“He?” Ki Demang dan Ki Bekel terkejut, “Dari mana kami mendapat uang sebanyak itu?”

“Jangan memperbodoh kami. Jika kalian harus membuat sendiri gerbang pasar itu, maka kalian juga harus mengeluarkan uang sebanyak itu. Masih harus ditambah dengan pajaknya. Sekarang kalian cukup mengeluarkan uang sebanyak itu, tanpa harus ditambah-tambah lagi. Bukankah itu sudah merupakan satu penghematan yang cukup besar bagi kalian?”

“Tidak, Ki Lurah,” sahut Ki Demang, “kami tidak akan sanggup membayar.”

“Jangan membohongi kami terus-menerus. Aku mendapat wewenang dari Ki Panji untuk mengurus masalah ini. Jika terpaksa kalian tidak mau membayar, maka tanah kekayaan kademangan dan padukuhan akan kami ambil.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar