Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 391

Buku 391

Ternyata Prastawa yang masih terhitung muda itu tidak sabar lagi. Ia pun telah menarik pedangnya sambil berkata, “Jika ada di antara kalian yang terbunuh, itu bukan salahku.”

“Persetan dengan kalian,” geram pemimpin pengawal itu. Yang dilihatnya hanya seorang saja di antara empat orang yang datang dari Tanah Perdikan itu yang bersenjata.

Namun ketika para pengawal itu mengacu-acukan senjata mereka, Ki Jayaraga pun telah memungut cangkulnya sambil berkata, “Senjataku ini jauh lebih baik dan senjata-senjata kalian.”

Tetapi para pengawal itu tidak menghiraukannya. Mereka pun dengan serta-merta telah menyerang orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Tetapi pada benturan pertama, orang-orang yang menyerang Ki Jayaraga telah kehilangan senjata mereka. Cangkul Ki Jayaraga itu berputar dengan cepat, menyambar senjata-senjata yang teracu kepadanya. Karena kemampuan Ki Jayaraga yang tinggi serta tenaga dalamnya yang besar, maka beberapa pucuk senjata telah terlepas dan terpelanting jatuh.

Sedangkan Prastawa yang memiliki ilmu pedang yang tinggi itu pun telah membingungkan lawannya. Serangan yang datang dari beberapa arah mampu dihindari dan ditangkisnya dengan pedangnya. Bahkan benturan yang terjadi telah membuat lawannya menjadi semakin gelisah.

Namun tiba-tiba saja pertempuran itu terhenti. Beberapa orang pengawal pesanggrahan itu terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar ledakan cambuk Ki Rangga Agung Sedayu yang bagaikan ledakan petir di langit.

Orang-orang upahan yang mengawal pesanggrahan itu pun di luar sadar mereka telah berloncatan mundur

“Aku dapat membunuh dua tiga orang sekaligus,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu, “demikian pula saudara-saudaraku yang lain. Karena itu, jangan salah langkah, karena akibatnya akan menjadi sangat buruk bagi kalian.”

Orang-orang itu pun masih saja berdiri termangu-mangu.

“Dengar. Aku akan mengulangi pesanku. Pergilah. Sampaikan kepada Ki Tumenggung bahwa aku ingin bertemu. Sebenarnya aku akan datang menemuinya besok pagi. Tetapi kalian telah menyumbat lagi parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya. Sekarang kami akan membuka parit kami, agar airnya dapat mengairi sawah kami yang sudah mulai haus. Tanaman-tanaman di sawah sedang membutuhkan air.”

Ternyata Ki Jayaraga tidak menunggu Ki Rangga Agung Sedayu selesai berbicara. Ia pun segera mengayunkan cangkulnya, membuka parit yang tersumbat itu.

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia dapat mengerti, bahwa hubungan Ki Jayaraga dengan air menjadi sangat erat, karena hampir setiap saat Ki Jayaraga berada di antara tanaman di sawah.

“Sekarang pergilah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu, “katakan kepada Ki Tumenggung bahwa aku, Agung Sedayu, ingin bertemu dan berbicara tentang air yang naik dari bendungan Pucung. Air itu tidak terlalu banyak, karena sungainya pun bukan sungai yang besar pula. Karena itu kami harus mengatur pembagian air sebaik-baiknya. Semua yang membutuhkan dapat terpenuhi dan tidak saling merugikan.”

Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ketika Ki Rangga Agung Sedayu menghentakkan cambuknya sekali lagi, maka orang-orang itu pun telah beringsut surut beberapa langkah.

“Cepat, sampaikan kepada Ki Tumenggung,” berkata Agung Sedayu lantang.

“Baik, baik,” sahut pemimpin pengawal pesanggrahan itu, “aku akan menyampaikannya kepada Ki Tumenggung. Kau akan menyesali kesombonganmu nanti. Adalah kebetulan bahwa Ki Tumenggung sekarang ada di pesanggrahan ini bersama beberapa orang prajurit pengawalnya. Para prajurit itu akan datang kemari dan menangkap kalian seperti menangkap pencuri jemuran.”

Orang-orang itu pun kemudian telah meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa. Sementara itu beberapa buah cangkul telah mereka tinggalkan.

Tanpa ada yang memerintah, maka Glagah Putih dan Prastawa pun segera mengambil cangkul dan membantu Ki Jayaraga membuka sumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya.

Dalam pada itu, beberapa orang upahan yang mengawal pesanggrahan Ki Tumenggung itu pun telah sampai di pesanggrahan. Pemimpin mereka dan seorang di antara mereka pun segera berusaha menghadap Ki Tumenggung.

Tetapi seorang pelayan dalam telah memberitahukan bahwa Ki Tumenggung sudah tidur.

“Ini penting sekali,” berkata pemimpin pengawal itu, “jika aku tidak dapat menemui Ki Tumenggung sekarang, maka besok sendang buatan itu belum terisi air sama sekali. Sedangkan jika air parit itu mengalir penuh, belum tentu sendang itu akan terisi separuhnya. Meskipun demikian sendang itu tentu sudah nampak berair, meskipun masih keruh.”

Pelayan dalam itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun menggeleng sambil berkata, “Aku tidak berani membangunkan Ki Tumenggung yang belum lama tidur.”

Namun ternyata pembicaraan itu terdengar oleh Ki Tumenggung yang terbangun. Bahkan Ki Tumenggung itu pun telah bangkit dan membuka pintu biliknya, “Ada apa?”

“Ampun, Ki Tumenggung,” sahut pelayan dalam itu, “pemimpin pengawal akan menghadap Ki Tumenggung. Tetapi aku tidak berani membangunkan Ki Tumenggung.”

“Ada apa?” bertanya Ki Tumenggung kepada pemimpin pengawal itu.

“Ampun, Ki Tumenggung. Ada orang yang telah mengacaukan usaha menyempurnakan keasrian pesanggrahan ini.”

“Apa yang mereka lakukan? Apakah kalian tidak dapat mengatasinya?”

“Ampun, Ki Tumenggung. Mereka adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Tumenggung Wirataruna mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Orang Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya. Seorang mengaku membawa wewenang dari Ki Gede Menoreh. Pemimpin Tanah Perdikan Menoreh.”

“Sombongnya Ki Gede Menoreh. Panggil Ki Gede Menoreh itu kemari.”

“Sekarang, Ki Tumenggung?”

“Sekarang.”

“Ki Gede Menoreh, atau orang yang mendapat wewenang dari Ki Gede itu?”

“Ki Gede Menoreh itu sendiri. Pergilah ke Tanah Perdikan dan sampaikan perintahku kepadanya, bahwa malam ini juga ia harus menghadap aku di sini.”

“Tetapi mereka akan menghadang kami, Ki Tumenggung. Ternyata kami tidak dapat mengalahkan mereka.”

“Kalian hanya dapat sesumbar. Tetapi ternyata kalian tidak dapat mengatasi persoalan kecil yang ditimbulkan oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Buat apa aku mengupah kalian, he? Jika kalian tidak dapat berbuat apa-apa, uangku adalah uang yang sia-sia.”

Pemimpin pengawal itu menundukkan wajahnya. Ia merasa bersalah bahwa ia tidak dapat mengatasi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berani menentang perintah Ki Tumenggung itu.

Namun Ki Tumenggung itu pun kemudian berkata, “Kalian memang pengecut. Biarlah lima orang prajurit pengawalku menyertai kalian. Mereka akan mengenakan ciri-ciri keprajuritan, sehingga siapa yang melawan mereka, sengaja atau tidak sengaja, telah melawan Mataram.”

“Baik, Ki Tumenggung. Seorang yang mengaku bernama Agung Sedayu dengan sombongnya menyatakan untuk menghadap Ki Tumenggung. Ia berniat untuk berbicara dengan Ki Tumenggung, seakan-akan ia mempunyai hak untuk melakukannya. Orang yang tidak tahu diri itu merasa bahwa ia memiliki derajad yang sama dengan Ki Tumenggung sendiri…”

“Diamlah! tiba-tiba Ki Tumenggung membentak, “Sebut nama orang itu.”

“Agung Sedayu,” orang itu mengucapkannya dengan agak ragu.

“Agung Sedayu? Ki Rangga Agung Sedayu, maksudmu?”

“Ia hanya menyebut namanya Agung Sedayu. Biarlah para prajurit itu menangkapnya, kemudian menyeretnya menghadap Ki Tumenggung.”

“Kau bertempur melawan Agung Sedayu itu?”

“Ya, Ki Tumenggung. Ia bersenjata cambuk yang suaranya menggetarkan udara, seperti suara tujuh guruh yang meledak bersama-sama di langit.

“Agung Sedayu yang bersenjata cambuk?”

“Ya, Ki Tumenggung.”

“Gila. Jadi kau bertemu dengan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu?”

“Ya, Ki Tumenggung,” pemimpin pengawal itu menjadi heran mendengar nada suara Ki Tumenggung.

“Dimana Agung Sedayu itu sekarang?”

“Orang-orang Tanah Perdikan itu telah membuka parit yang telah kami sumbat dan airnya kami alirkan ke sendang ini.”

“Beruntunglah kau, bahwa kepalamu sekarang masih melekat di lehermu. Ki Rangga Agung Sedayu adalah seorang Senapati besar dari Mataram.”

“Jadi ia seorang Rangga?”

“Ya.”

“Tetapi….”

“Aku akan menemuinya. Aku sendiri akan berbicara dengan Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Kenapa Ki Tumenggung tidak memanggilnya saja untuk menghadap? Meskipun ia seorang senapati, tetapi ia adalah seorang Rangga. Sedangkan Ki Tumenggung adalah seorang Tumenggung. Sehingga Ki Tumenggung berhak untuk memanggilnya, atau memerintahkannya untuk menghadap.”

“Gila kau. Meskipun ia seorang Rangga, tetapi ia adalah Agung Sedayu. Tadi aku agak melupakan bahwa di Tanah Perdikan Menoreh terdapat barak Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu. Seorang Senapati besar Mataram, yang namanya lebih besar dari para Tumenggung. Jangankan Ki Rangga Agung Sedayu, istrinya, Nyi Rangga yang bernama Sekar Mirah itu, telah membunuh orang yang mengaku pemimpin besar Perguruan Kedung Jati.”

“Jadi?”

“Aku akan pergi menemui Ki Rangga Agung Sedayu. Tetapi jika orang itu bukan pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, maka aku akan menangkapnya.”

Demikianlah, Ki Tumenggung sendiri akan pergi ke dekat bendungan Pucung untuk bertemu dengan Ki Rangga Agung Sedayu.

Lima orang prajurit telah diperintahkannya untuk menyertainya, sementara beberapa orang pengawal membawa oncor biji jarak yang dirangkai agak panjang, sehingga dapat bertahan cukup lama.

Ketika para pengawal pesanggrahan itu diperintahkan untuk ikut bersama Ki Tumenggung, maka mereka pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak tahu apa yang bakal terjadi di dekat bendungan Pucung itu.

Sejenak kemudian sebuah iring-iringan yang diantaranya adalah Ki Tumenggung Wirataruna sendiri telah pergi ke dekat bendungan Pucung. Ke tempat parit-parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya ditutup.

Keempat orang yang membuka sumbat parit yang mengalirkan air ke padukuhan induk itu sudah selesai. Air sudah mengalir lagi dengan lancar seperti sediakala. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang lain memang tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka sudah menduga bahwa persoalannya tidak akan selesai sampai sekian saja.

Ketika keempat orang yang telah selesai membuka sumbat parit itu melihat sebuah iring-iringan, bahkan di antara mereka nampak beberapa orang yang mengenakan pakaian serta ciri-ciri keprajuritan, maka mereka pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan Bahkan kemungkinan yang paling buruk sekalipun. Mereka sudah terlanjur bertindak langsung sebelum bertemu dan berbicara dengan Ki Tumenggung Wirataruna.

Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu telah menjadi semakin dekat. Namun keempat orang yang masih berada di tanggul parit itu tidak melihat pertanda bahwa orang-orang dalam iring-iringan itu akan melakukan kekerasan.

Meskipun demikian, mereka masih harus tetap berhati-hati. Mungkin mereka akan menghadapi tindakan yang tiba-tiba.

Ketika iring-iringan itu kemudian berhenti, seorang di antara mereka masih melangkah mendekat. Sinar oncor jarak yang menyala di sebelah-menyebelah sempat menerangi wajah orang yang masih melangkah beberapa langkah maju itu.

“Ki Tumenggung Wirataruna,” sapa Ki Rangga Agung Sedayu yang juga melangkah maju.

“Ki Rangga Agung Sedayu,” sahut Ki Tumenggung Wirataruna. “Aku sungguh tidak mengira bahwa Ki Rangga telah berkenan datang sendiri ke dekat bendungan ini.”

“Ki Tumenggung,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu, “sebenarnya aku ingin bertemu dengan Ki Tumenggung besok pagi, setelah hari menjadi terang. Tetapi malam ini parit kami telah tersumbat lagi, sehingga para petani terutama di padukuhan induk dan sekitarnya telah mengeluh. Tanaman padi, di antaranya yang sudah menjelang waktunya bunting, sangat membutuhkan air.”

“Baik. Baik, Ki Rangga. Marilah, aku ingin mempersilahkan Ki Rangga dan saudara-saudara dari Tanah Perdikan Menoreh untuk singgah di rumahku. Sudah lama aku memang ingin mempunyai sebuah rumah kecil di tempat yang jauh dan benar-benar terpisah dari keramaian kota, karena keluarga kami memang berasal dari padesan. Tanah yang di atasnya aku dirikan rumah itu juga hanyalah tanah warisan dari kakek lewat ibuku.”

Ki Rangga Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Rangga Agung Sedayu itu pun berkata kepada Prastawa, “Daripada besok kita menemui Ki Tumenggung Wirataruna, sebaiknya sekarang saja kita berbicara tentang air ini.”

“Terserah saja kepada, Ki Rangga,” sahut Prastawa, “sekarang pun tidak ada salahnya. Paman telah menyerahkan persoalan ini kepadaku.”

“Baiklah, Ki Tumenggung,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu kemudian, “aku memang ingin membicarakan persoalan air ini.”

“Marilah. Silahkan singgah, Ki Rangga. Demikian pula Ki Sanak yang lain.”

“Marilah, Ki Jayaraga. Kita singgah di pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna.”

“Jangan sebut pesanggrahan, Ki Rangga. Hanya sebuah rumah kecil yang aku bangun di atas tanah warisan.”

“Bukankah kita tidak perlu kemana-mana, Ki Rangga?” berkata Ki Jayaraga. “Ki Rangga dan Angger Prastawa telah bertemu dengan Ki Tumenggung di sini. Bukankah segala sesuatunya dapat dibicarakan di sini?”

“Tetapi akan lebih tenang jika kita berbicara di rumahku, Ki Sanak,” berkata Ki Tumenggung.

“Sebaiknya kita singgah sebentar, Ki Jayaraga. Mungkin kita dapat duduk di tempat yang lebih hangat daripada di dekat bendungan ini. Bukankah letaknya juga tidak terlalu jauh?”

“Biarlah aku menunggui air itu di sini,” berkata Ki Jayaraga. “Jika kita semua pergi, maka parit ini tentu akan disumbat lagi.”

“Tidak. Tidak akan,” sahut Ki Tumenggung Wirataruna, “tidak akan. Aku tidak akan membiarkan orang-orangku menyumbat parit itu lagi.”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk sambil menjawab, “Baiklah.”

Iring-iringan itu pun kemudian bergerak kembali ke pesanggrahan Ki Tumenggung Wirataruna. Pesanggrahan yang terhitung besar di tanah yang luas.

Beberapa saat kemudian, mereka pun memasuki regol halaman pesanggrahan itu. Demikian mereka memasuki halaman, maka mereka pun telah mengedarkan tatapan mata mereka berkeliling. Lampu-lampu minyak tergantung di berbagai tempat. Sedangkan halamannya yang agaknya sedang ditata nampak asri, meskipun ada tanaman-tanaman baru yang masih belum nampak hijau subur.

Orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu menarik nafas panjang. Mereka bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin seorang Tumenggung dapat membangun pesanggrahan sebesar itu.

Sambil berjalan ke tangga pendapa, Ki Jayaraga sempat berbisik di telinga Ki Rangga Agung Sedayu, “Kalau Ki Rangga kapan-kapan sempat menjadi Tumenggung, maka Ki Rangga Agung Sedayu juga akan dapat membangun pesanggrahan seperti ini.”

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis, “Ki Jayaraga tahu, ada Tumenggung yang harus menjual sawahnya ketika ia berniat membuat rumah di dekat tempat tugasnya?”

“Ya. Jadi bagaimana mungkin Ki Tumenggung ini dapat membangun sebuah pesanggrahan seperti ini?”

“Mungkin orang tuanya atau kakeknya seorang yang kaya. Bukankah tanah ini tanah warisan? Mungkin masih ada warisan yang lain yang membuat Ki Tumenggung menjadi kaya.”

Ki Jayaraga tertawa. Namun ia pun segera menutup mulutnya dengan telapak tangannya.

Orang-orang yang berjalan di depan, termasuk Ki Tumenggung Wirataruna itu pun berpaling. Namun Ki Jayaraga sudah tidak tertawa lagi.

Demikianlah, Ki Tumenggung itu pun mempersilakan Ki Rangga Agung Sedayu dan ketiga orang yang datang bersamanya dari Tanah Perdikan Menoreh itu untuk naik ke pendapa, yang kemudian duduk di pringgitan.

Sementara itu, para pengawal dan para prajurit telah kembali ke tempat mereka masing-masing.

Ki Tumenggung pun kemudian masuk ke ruang dalam. Nyi Tumenggung yang gelisah itu pun segera menyongsongnya, “Apa yang terjadi, Kakang Tumenggung?”

Ki Tumenggung tersenyum sambil menjawab, “Tidak ada apa-apa. Sediakan minuman hangat dan makanan. Yang datang adalah Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Seorang Rangga? Malam-malam begini? Kenapa kakang tidak memerintahkannya besok saja datang kemari?”

“Tidak. Aku memang ingin segera bertemu dengan Ki Rangga.”

“Apakah Kakang memang memerintahkannya menghadap malam ini karena persoalan yang akan Kakang bicarakan tidak dapat ditunda sampai esok?”

“Kau pernah mendengar nama Agung Sedayu? Mungkin sekali-sekali aku pernah bercerita tentang seorang lurah prajurit yang bernama Agung Sedayu. Lurah prajurit yang namanya bahkan lebih besar dari seorang Tumenggung. Apalagi sekarang Ki Lurah itu telah menerima anugrah kenaikan pangkat menjadi Rangga.”

Nyi Tumenggung itu mengerutkan dahinya. Ia memang pernah mendengar nama Agung Sedayu. Tetapi ia tidak dapat segera mengingatnya.

“Sudahlah,” berkata Ki Tumenggung, “nanti aku akan bercerita panjang. Sekarang, biarlah para pembantu itu menyiapkan hidangan.”

“Mereka tentu sedang tidur nyenyak.”

“Bangunkan mereka.”

Nyi Tumenggung pun kemudian pergi ke belakang, membangunkan pembantunya untuk menyiapkan hidangan bagi tamu-tamu Ki Tumenggung yang ada di pringgitan.

Sejenak kemudian Ki Tumenggung telah duduk menemui Ki Rangga Agung Sedayu, Prastawa yang datang atas nama Ki Gede Menoreh, Ki Jayaraga dan Glagah Putih, yang mewakili para petani yang memerlukan air setiap saat, karena dialirkan bergantian ke kotak-kotak sawah di padukuhan induk dan sekitarnya.

“Ki Tumenggung,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu, “Ki Tumenggung tentu sudah tahu maksud kedatangan kami. Bahkan kami telah bertindak lebih dahulu sebelum kami berbicara dengan Ki Tumenggung.”

“Tidak apa-apa, Ki Rangga. Tidak apa-apa. Aku kira Ki Rangga serta Ki Gede Menoreh memang lebih baik berterus terang, sehingga aku dapat mengerti persoalan yang sebenarnya.”

“Kami berniat untuk membicarakan, seberapa banyak sebenamya Ki Tumenggung itu memerlukan air. Tentunya tidak seluruh arus air yang naik dari bendungan Pucung, yang seharusnya untuk mengairi sawah di padukuhan induk dan sekitarnya itu, dialirkan ke sendang buatan Ki Tumenggung.”

“Tidak. Memang tidak. Aku juga tidak berniat begitu. Tetapi ternyata orang-orangku telah melakukan kesalahan dalam pelaksanaannya. Apakah mereka sengaja melampaui batas-batas pesanku atau mereka memang tidak memahaminya.”

“Karena itu, aku minta kesalahan itu dapat diluruskan, Ki Tumenggung.”

“Ya, ya. Aku berjanji untuk meluruskan kesalahan itu. Untuk selanjutnya aku memang tidak akan mengambil air dari parit yang mengairi sawah di padukuhan induk Tanah Perdikan dan sekitarnya itu.”

“Lalu, Ki Tumenggung akan mengambil air dari mana?”

“Sebenarnya kami sudah siap mengambil air dari air terjun kecil di bukit sebelah. Tetapi saluran dan pipa-pipa bambu yang kami buat masih belum selesai. Sementara itu kami ingin segera melihat sendang buatan itu bermuatan air yang cukup. Tetapi itu hanya kesalahan pelaksanaan saja. Kesalahan yang segera dapat dibetulkan.”

“Jadi, Ki Tumenggung tidak akan mengambil air dari parit itu lagi?” bertanya Ki Jayaraga.

“Tidak, Tidak lagi.”

Ki Jayaraga pun menyahut dengan nada dalam, “Terima kasih, Ki Tumenggung. Dengan demikian kami tidak harus membuat tatanan ulang tentang pembagian air yang mengalir dari bendungan Pucung ini. Jika aliran air itu berkurang, maka para petani di padukuhan induk dan sekitarnya harus mengadakan pembagian waktu yang baru agar sawah mereka tidak menjadi kering. Tetapi dengan pernyataan Ki Tumenggung Wirataruna bahwa Ki Tumenggung akan mengambil air dari air terjun kecil di bukit sebelah, maka kami tidak harus merubah apa-apa lagi. Pembagian air yang sudah berlaku beberapa lama tanpa ada masalah itu akan dapat dilanjutkan. Dengan demikian tidak akan timbul kesan apapun pada para petani di padukuhan induk dan sekitarnya. Yang terjadi hari ini hanyalah sekedar gangguan kecil.”

Ki Tumenggung Wirataruna itu mengangguk-angguk. Katanya, “Betapapun kecilnya, tetapi aku merasa perlu untuk minta maaf kepada para petani di Tanah Perdikan Menoreh, khususnya di padukuhan induk dan sekitarnya.”

“Tidak apa-apa, Ki Tumenggung, “rakyat Tanah Perdikan Menoreh akan dapat mengerti bahwa airnya diperlukan dalam keadaan khusus. Jika aliran air itu sudah pulih kembali, maka mereka akan melupakannya,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu.

Pembicaraan mereka pun terputus ketika seorang pelayan menghidangkan minuman hangat.

“Silahkan, Ki Rangga. Silahkan, Ki Sanak yang lain. Mumpung masih hangat,” berkata Ki Tumenggung.

Ki Rangga Agung Sedayu serta ketiga orang yang datang bersamanya itu pun kemudian telah menghirup minuman hangat itu. Di malam yang dingin, serta setelah mereka berendam di air untuk membuka sumbat parit yang mengalir ke padukuhan induk Tanah Perdikan itu, maka minuman hangat itu pun terasa sangat menyegarkan tubuh mereka

Karena itu maka minuman yang hangat itu pun menjadi cepat sekali menyusut, sehingga Ki Tumenggung Wirataruna merasa perlu untuk minta agar pelayannya menghidangkan lagi minuman hangat itu.

Namun ketika Ki Tumenggung itu masuk ke ruang dalam, maka Nyi Tumenggung yang duduk di ruang dalam itu pun tiba-tiba saja bertanya, “Kenapa Kakang Tumenggung rasa-rasanya terlalu menghormati orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu? Sebesar-besarnya nama seorang Rangga, tetap kedudukannya berada di bawah kedudukan Kakang Tumenggung. Apalagi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu. Maaf, Kakang, bahwa aku tertarik akan pembicaraan Kakang dengan mereka, sehingga aku mendengarkan dari belakang gebyok kayu itu. Agaknya Kakang melangkah mundur dan menghentikan aliran air untuk mengisi sendang kita itu. Kenapa Kakang begitu mudah menuruti kemauan orang-orang padesan itu? Seharusnya Kakang Tumenggung bertindak tegas. Juga kepada Rangga yang agaknya menjadi sandaran orang-orang padesan itu. Mereka menganggap bahwa seorang Rangga adalah seorang yang pangkatnya tertinggi di seluruh Mataram.”

“Bukan begitu, Nyi. Nanti aku beritahu. Mungkin aku memang belum pernah bercerita tentang Ki Rangga Agung Sedayu.”

“Cerita apapun yang akan Kakang katakan, namun menurut pendapatku Kakang yang pangkat dan tentu juga kedudukannya lebih tinggi, akan dapat mengendalikannya, sehingga air yang mengalir ke sendang kita itu tidak terhambat. Seberapa tinggi kuasa Kepala Tanah Perdikan dan seorang Rangga, sehingga mereka dapat menghentikan rencana seorang Tumenggung?”

“Ada banyak pertimbangan yang harus kita cermati, Nyi. Bukan sekedar pangkat Tumenggung.”

“Apa? Pertimbangan apa lagi, Kakang?” sahut Nyi Tumenggung. “Bagiku yang penting besok sendang buatan itu penuh. Aku akan mencoba perahu kecil itu. Tentu sangat menyenangkan.”

“Apa salahnya jika kita menunda dua atau tiga hari? Besok orang-orang kita akan menyelesaikan pipa-pipa bambu yang akan mengalirkan air dari air terjun kecil di lereng bukit sebelah. Dengan beberapa batang pipa bambu petung, air yang mengalir dari air terjun kecil itu tentu cukup deras, sementara itu kita tidak merugikan siapa-siapa. Tidak ada petani yang sawahnya menjadi kekeringan.”

“Bukankah kita hanya memerlukan air dalam tiga empat hari saja? Sementara itu pipa-pipa bambu kita sudah selesai. Seandainya belum selesai, maka apa salahnya kita perpanjang sampai sepekan, atau bahkan sepuluh hari, agar sendang kita benar-benar penuh sampai ke lekuk-lekuk kecil di bawah rumpun-rumpun bambu itu? Dengan demikian taman kita akan menjadi asri.”

“Tetapi dalam sepekan atau lebih, tanaman padi, apalagi menjelang masa padi itu bunting, sangat memerlukan air, Jika terlambat, maka padinya akan banyak yang tidak berisi.”

“Itu kata mereka. Kakang mempercayai saja kata mereka? Mereka tentu berbohong. Apapun alasannya, tetapi Kakang mempunyai kuasa untuk mengambil sikap terhadap mereka. Juga terhadap Rangga yang Kakang katakan mempunyai nama yang besar itu. Jika kebesarannya melampaui para Tumenggung, tentu ia sudah diangkat menjadi Tumenggung.”

“Sudahlah, Nyi. Kita jangan berbantah sekarang. Perintahkan saja pembantu kita untuk menyediakan lagi minuman hangat.”

Ki Tumenggung tidak menunggu lagi. Ia pun segera kembali ke pringgitan.

Sambil bersungut-sungut Nyi Tumenggung Wirataruna pun pergi ke dapur. Diperintahkannya pembantunya untuk membawa minuman hangat lagi ke pringgitan.

“Ki Tumenggung telah memanjakan tamu-tamunya dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka mengajak seorang prajurit yang dapat menjadi sandaran. Maksudnya tentu menakut-nakuti Ki Tumenggung. Tetapi orang Tanah Perdikan itu tidak tahu bahwa prajurit yang dibawanya itu tidak lebih dari seorang Rangga, yang kedudukannya berada di bawah seorang Tumenggung. Mungkin Ki Tumenggung hanya segan saja untuk berkata kepada orang-orang Tanah Perdikan bahwa sandarannya, prajurit yang mereka harapkan dapat menjadi pelindungnya itu, pangkatnya terlalu rendah.”

Pembantunya mengangguk-angguk. Dengan sikap yang dibuat-buat pembantunya itu pun berkata, “Jika demikian apakah sebaiknya aku tidak usah membawa minuman lagi ke pringgitan?”

“Jangan begitu, Nanti Ki Tumenggung yang marah kepadamu dan kepadaku.”

Pembantu itu pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Aku akan membawa minuman lagi ke pringgitan. Tetapi gulanya sedikit saja, biar tidak begitu manis.”

“Ah, kamu. Nanti kalau Ki Tumenggung ikut minum?”

“Tidak, Nyi, Ki Tumenggung kalau minum hanya sedikit saja. Sedangkan minumannya yang tadi, masih cukup banyak.”

Nyi Tumenggung pun tidak mencegahnya. Pembantu itu pun kemudian pergi ke pringgitan untuk menghidangkan minuman yang tidak begitu manis.

Tetapi ternyata selera orang-orang Tanah Perdikan itu agak berbeda. Minuman yang pertama itu agak terlalu manis. Karena itu, minuman yang kemudian dihidangkan lagi itu ternyata terasa manisnya cukup bagi mereka.

Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu masih berbincang beberapa lama dengan Ki Tumenggung, sambil menghirup minuman hangat yang menyegarkan tubuh mereka di dinginnya malam itu.

Baru beberapa saat kemudian, Ki Rangga Agung Sedayu serta yang lain pun telah minta diri.

“Terima kasih atas pengertian Ki Tumenggung terhadap kepentingan para petani di Tanah Perdikan,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu.

“Aku juga berterima kasih kepada Ki Rangga dan yang lain-lain. Kalian telah memperingatkan aku, bahwa dalam kedudukanku sebagai seorang Tumenggung seharusnya aku berbuat sebaliknya dari yang telah aku lakukan. Sekali lagi aku minta maaf. Kesalahan itu tidak akan terulang kembali. Besok aku akan memasang pipa-pipa bambu petung, yang sebenarnya telah tersedia. Tetapi orang-orangku ingin melakukan yang termudah.”

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Prastawa telah meninggalkan pasanggrahan Ki Tumenggung yang terhitung mewah itu. Ki Jayaraga masih saja merasa heran bahwa seorang Tumenggung mampu membangun pesanggrahan yang sedemikian besar dan baik. Tiang-tiangnya serta gebyognya yang berukir dan bersungging lembut.

Sekali Ki Rangga Agung Sedayu berkata, “Mungkin orang tua Ki Tumenggung pada dasarnya adalah orang yang kaya. Ia mempunyai tanah dan sawah yang luas. Setiap panen, orang tua Ki Tumenggung dapat menjual hasil sawahnya yang berlumbung-lumbung, sementara penghasilan Ki Tumenggung Wirataruna sendiri sudah cukup besar.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk.

Sementara itu Prastawa pun berkata, “Mudah-mudahan besok pagi sikap Ki Tumenggung tidak berbalik. Jika ia sempat mempersiapkan diri dengan memanfaatkan kedudukannya, kemudian berniat menentang Paman Argapati, maka keadaannya akan menjadi gawat. Paman tentu tidak akan mau tunduk kepada Ki Tumenggung. Sedangkan Ki Tumenggung dapat saja memaksakan kemauannya dengan kekuatannya.”

“Tidak. Itu tidak akan terjadi,” sahut Ki Rangga Agung Sedayu. “Bagaimanapun juga nampak kesungguhan Ki Tumenggung Wirataruna dalam pembicaraan tadi.”

Prastawa pun mengangguk-angguk.

Sementara itu, mereka pun telah melewati tanggul parit yang telah disumbat oleh para pengawal Ki Tumenggung. Namun seperti yang dikatakan oleh Ki Tumenggung, pengawal-pengawalnya tidak melakukannya lagi. Air di parit itu masih tetap mengalir lancar menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya.

Dalam pada itu di pesanggrahannya, Ki Tumenggung masih saja berbincang dengan Nyi Tumenggung yang tidak mengerti akan sikap Ki Tumenggung terhadap seorang Rangga dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu.

“Mereka akan menjadi besar kepala, Kakang. Mereka akan merasa menang, sehingga mereka akan memberikan tuntutan-tuntutan lain yang bermacam-macam.”

“Tidak akan. Mereka tidak akan menuntut apa-apa. Aku harus mengakui bahwa aku-lah yang salah. Aku telah membelokkan air yang seharusnya mengalir ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kakang seorang Tumenggung. Kakang dapat mempergunakan pengaruh kedudukan Kakang. Apa yang dapat dilakukan seorang Rangga terhadap seorang Tumenggung?”

“Sudah aku katakan, Rangga itu adalah Agung Sedayu. Bahkan seandainya bukan Agung Sedayu pun, aku tidak boleh berbuat semau-mauku sendiri.”

Nyi Tumenggung masih juga menyahut, “Kenapa tiba-tiba sikap Kakang berubah? Apakah karena Rangga yang Kakang sebut bernama Agung Sedayu itu? Kenapa dengan Ki Rangga Agung Sedayu, sehingga ia dapat mempengaruhi sikap Kakang Tumenggung yang memiliki pangkat dan kedudukan yang lebih tinggi?”

“Bukan karena pengaruh pangkat dan kedudukan. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu dapat meyakinkan aku bahwa aku memang bersalah.”

“Salah atau tidak salah, Kakang Tumenggung dapat melangsungkan rencana Kakang, mengisi sendang itu sampai penuh.”

“Nyi,” berkata Ki Tumenggung, “jika aku memaksakan kehendak, Ki Rangga Agung Sedayu akan dapat mengambil langkah-langkah yang sangat merugikan kedudukanku. Ki Rangga adalah Senapati yang membawahi Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku menyalahgunakan kedudukan dan kekuasaanku, Ki Rangga pun akan dapat melakukannya pula. Jalan lain yang dapat ditempuh oleh Ki Rangga, melaporkan sikapku yang keliru itu kepada Ki Patih Mandaraka. Kau harus tahu bahwa Ki Rangga Agung Sedayu itu seolah-olah mempunyai hubungan yang khusus dengan Ki Patih Mandaraka.”

“Jika Ki Rangga itu mempunyai hubungan yang khusus dengan Ki Patih, sedangkan ia mempunyai kelebihan. kenapa ia masih saja berpangkat Rangga? Kenapa Ki Patih tidak segera mengangkatnya menjadi Tumenggung?”

“Justru karena hubungannya dengan Ki Patih sangat dekat, maka Ki Rangga menjadi agak lambat merambat ke jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Baik Ki Rangga maupun Ki Patih tidak ingin disebut menyalahgunakan hubungan pribadi yang baik itu untuk mempercepat kenaikan pangkat Ki Rangga. Baru kemudian ketika para Senapati besar di Mataram menyaksikan sendiri kelebihan Ki Lurah dalam perang di Demak, mereka baru ingat bahwa sebaiknya Ki Lurah Agung Sedayu mendapat anugrah pangkat. Tetapi sebenarnyalah bahwa kelebihan dari Ki Rangga Agung Sedayu itu telah melampaui kelebihan beberapa orang Tumenggung. Terus terang, aku harus mengakui bahwa Ki Rangga memiliki banyak kelebihan dari aku sendiri.”

“Kakang Tumenggung terlalu merendahkan diri. Tetapi justru karena itu aku ingin mengenal keluarga Ki Rangga itu lebih dekat. Siapa yang berada di belakang Ki Rangga, sehingga ia berani datang menantang Kakang Tumenggung.”

“Ia tidak menantang. Ia tidak mengatakan lebih dari satu kebenaran bahwa para petani memerlukan air. Apalagi tanaman padi sudah menjadi semakin besar sehingga hampir datang waktunya padi itu bunting. Karena itu maka airnya tidak boleh terlambat.”

“Kakang,” berkata Nyi Tumenggung kemudian, “ada baiknya Kakang mengunjungi Ki Rangga di rumahnya. Aku ingin berkenalan dengan Nyi Rangga, yang barangkali banyak memberikan dorongan kepada suaminya sehingga Ki Rangga Agung Sedayu mendapat anugrah pangkat setelah perang di Demak berakhir.”

“Nyi. Sebelum kau mengunjungi Nyi Rangga, aku ingin memberitahukan kepadamu bahwa Nyi Rangga memang seorang yang mampu ikut serta mengangkat derajad suaminya, sehingga Ki Lurah Agung Sedayu mendapat anugrah kenaikan pangkat. Mungkin kau perlu mengetahui sebelum kau mengenalnya secara pribadi, bahwa Nyi Rangga Agung Sedayu-lah yang telah membunuh orang yang mengaku menjadi pemimpin besar Perguruan Kedung Jati, yang menjadi buruan untuk waktu yang lama. Seorang yang dianggap tidak terkalahkan itu ternyata tidak mampu menandingi ilmu Nyi Rangga Agung Sedayu, yang lebih dikenal dengan nama Sekar Mirah.”

Nyi Tumenggung memang terkejut. Dengan serta merta ia pun bertanya, “Maksud Kakang Nyi Rangga itulah yang telah membunuhnya? Atau Ki Rangga?”

“Nyi Rangga. Perguruan Kedung Jati mempunyai sepasang pertanda kepemimpinan. Satu berada di tangan Ki Saba Lintang, satunya berada di tangan Nyi Rangga Agung Sedayu. Namun dalam perang tanding yang terjadi, Ki Saba Lintang telah terbunuh oleh Nyi Rangga Agung Sedayu.”

“Kakang berkata sebenarnya?”

“Ya.”

“Jadi yang mempunyai ilmu yang sangat tinggi itu sebenarnya Nyi Rangga Agung Sedayu?”

“Nyi Rangga Agung Sedayu mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Terbukti bahwa ia mampu mengalahkan Ki Saba Lintang. Tetapi Ki Rangga Agung Sedayu mempunyai ilmu yang lebih tinggi lagi. Ilmu Ki Rangga Agung Sedayu itu dapat disejajarkan ilmu para Pangeran di Mataram, atau setidak-tidaknya mampu membayanginya.”

Nyi Tumenggung itu pun terdiam. Kepalanya menunduk, sementara ia pun mulai membayangkan betapa tinggi ilmu Nyi Rangga Agung Sedayu yang telah mampu mengalahkan Ki Saba Lintang. Sementara itu Ki Rangga Agung Sedayu memiliki ilmu dan kemampuan yang lebih tinggi lagi.

Karena Nyi Tumenggung tidak segera menyahut, maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Baiklah. Sekarang tidurlah. Besok kita pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu, jika kau ingin berkenalan dengan istrinya.”

Tetapi Nyi Tumenggung itu pun menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak ingin pergi ke rumah Ki Rangga Agung Sedayu.”

Ki Tumenggung itu menarik nafas panjang. Kemudian ia pun mengulangi, “Tidurlah. Masih ada sedikit waktu menjelang fajar.”

Nyi Tumenggung itu pun kemudian segera bangkit dan pergi ke pembaringan. Namun ia tidak segera dapat tidur. Ternyata suami istri Ki Rangga Agung Sedayu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga meskipun ia hanya seorang Rangga, tetapi Ki Tumenggung harus berpikir dua tiga kali untuk menghadapinya. Bahkan akhirnya Ki Tumenggung itu harus mengalah.

Di hari berikutnya, sendang buatan di pesanggrahan Ki Tumenggung itu masih belum terisi penuh. Ki Tumenggung masih harus menyelesaikan pembuatan pipa-pipa bambu yang akan mengalirkan air dari grojogan di bukit kecil sebelah. Dengan beberapa batang pipa bambu petung, maka arus airnya tentu cukup deras.

Nyi Tumenggung memang menjadi kecewa. la ingin segera mencoba turun ke sendang buatannya dengan perahu kecil yang sudah disiapkan. Tetapi Nyi Tumenggung harus menerima keadaannya itu jika ia tidak ingin Ki Tumenggung mendapat kesulitan. Apalagi jika Ki Rangga itu menyimpulkan pengaduan kepada Ki Patih Mandaraka, bahwa Ki Tumenggung telah menyalahgunakan kekuasaannya untuk menyakiti hati rakyat kecil. Ki Patih Mandaraka, sebagaimana Kanjeng Panembahan Senapati pada mulanya, adalah rakyat kecil, yang karena perjuangan mereka maka mereka dapat memanjat sampai ke tataran yang tinggi.

Dengan demikian maka rakyat Tanah Perdikan Menoreh tidak akan terganggu lagi. Khususnya para petani di padukuhan induk dan sekitarnya. Parit mereka pun selalu mengalir sebagaimana seharusnya.

Sebenarnyalah Ki Gede Menoreh sudah siap untuk menerima kedatangan Ki Tumenggung, seandainya Ki Tumenggung merasa dirugikan dan menuntut Ki Gede Menoreh untuk memberikan air kepadanya. Tetapi ternyata bahwa Ki Tumenggung itu tidak pergi ke Tanah Perdikan Menoreh untuk menemui Ki Gede.

Sementara itu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih sempat mempergunakan hari-hari istirahatnya yang pendek. Glagah Putih dan Rara Wulan sempat mengunjungi Ki Gede untuk mohon doa restu, agar dalam tugas-tugasnya mendatang Yang Maha Agung selalu melindunginya.

“Kami di Tanah Perdikan ini selalu berdoa, Ngger,” berkata Ki Gede, “tetapi kami pun mempunyai doa yang lain.”

“Maksud Ki Gede?”

“Bukankah kau tidak akan menjadi pengembara sepanjang umurmu? Kakangmu, Ki Rangga Agung Sedayu, ternyata tidak mempunyai keturunan. Menilik umurnya, maka agaknya Ki Rangga sudah tidak akan mempunyai anak. Meskipun anak itu sangat tergantung kepada kurnia, tetapi bukankah kalian akan memohonnya?”

“Ya, Ki Gede. Kami akan mohon agar kami dikaruniai keturunan. Kami merasakan betapa sepinya hidup Kakang Agung Sedayu serta Mbokayu Sekar Mirah. Untunglah bahwa keduanya menerima kenyataan itu dengan hati terbuka, dengan satu keyakinan bahwa apa yang direncanakan Yang Maha Agung atas diri mereka, tentulah yang terbaik bagi mereka.”

“Ya, ya. Satu sikap pasrah yang utuh setelah dilakukan segala usaha.”

“Ya. Bahkan Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah sebagai murid Kiai Gringsing yang memiliki pengetahuan tentang berbagai macam obat-obatan, sudah berusaha sejauh dapat mereka lakukan.”

Demikianlah, selain berkunjung kepada Ki Gede, Glagah Putih dan Rara Wulan juga menemui para Demang dan Bekel di Tanah Perdikan Menoreh yang dikenalnya dengan baik. Kemudian para pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Kepada Prastawa, Glagah Putih sempat memberikan berbagai macam pesan yang ditujukan kepada para pengawal.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. la sudah sering pergi mengemban tugas untuk waktu yang lama. Namun rasa-rasanya kepergiannya saat itu mempunyai arti yang agak berbeda. la tidak pergi sebagai dua orang penghuni Tanah Perdikan, tetapi mereka pergi sebagai dua orang prajurit Mataram yang akan menjalankan tugasnya. Mungkin tugas itu pun akan disusul dengan tugas-tugas yang lain, sehingga mereka tidak akan segera dapat melihat Tanah Perdikan itu kembali.

Bahkan mungkin mereka tidak akan sempat bertugas di dalam kesatuan yang dipimpin oleh Ki Rangga Agung Sedayu yang akan menjadi semakin besar.

Ketika saatnya telah menjadi semakin dekat, Ki Rangga Agung Sedayu masih sempat memberikan beberapa petunjuk kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Ki Rangga merasa bahwa sudah saatnya bagi Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menjalani laku, agar ilmu keduanya menjadi semakin mapan. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah melandasi ilmunya dengan kitab Kiai Namaskara, namun Glagah Putih dan Rara Wulan masih ketinggalan dibandingkan dengan Ki Rangga Agung Sedayu.

“Bukan karena tingkat ilmumu lebih rendah,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu, “tetapi karena kau dan Rara Wulan masih terlalu muda. Karena itu maka dengan menjalani laku sebagaimana aku tunjukkan kepadamu, semoga kau akan menjadi semakin matang. Kau berdua akan berada dalam laku untuk menguasai ilmu kekebalan tubuh. Tetapi kau berdua masih harus tetap berada pada jalur langkahmu yang menganut jalan kebenaran. Bukan kebenaran menurut ukuranmu sendiri, tetapi kebenaran di jalan Yang Maha Agung.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menundukkan kepalanya. Mereka sadar bahwa laku yang akan mereka jalani sesuai dengan petunjuk Ki Rangga Agung Sedayu itu mengarah pada pembinaan ilmu kebal sebagaimana dimiliki oleh Agung Sedayu. Namun laku yang akan dijalani oleh Glagah Putih dan Rara Wulan memerlukan waktu, karena laku itu berbeda dengan yang pernah dijalani oleh Agung Sedayu. Tetapi laku yang ditunjukkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu kepada Glagah Putih dan Rara Wulan itu adalah laku yang sesuai bagi keduanya yang akan mengemban tugas keprajuritan.

Meskipun demikian, pada akhirnya mereka harus menyisihkan waktu khusus di ujung laku yang mereka jalani.

Di hari terakhir, Glagah Putih dan Rara Wulan akhirnya mempercayakan kitab yang mereka yakini sengaja diberikan oleh Kiai Namaskara, yang masih saja diselubungi oleh rahasia yang mungkin tidak akan terpecahkan, kepada Ki Rangga Agung Sedayu. Mereka tidak akan dapat membawa kitab itu dalam tugas-tugas keprajuritan mereka, yang memungkinkan kitab itu jatuh ke tangan orang lain yang tidak seharusnya.

“Baiklah. Aku akan menyimpannya. Kitab Kiai Gringsing yang kebetulan saat ini ada padaku, juga aku simpan baik-baik. Aku dapat menyimpan kitabmu itu bersama kitab yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing.”

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan mulai merasa tenang. Namun Glagah Putih pun kemudian berkata, “Kitab itu sebenamya tersimpan dalam sebuah peti kayu yang bagus sekali buatannya. Tetapi peti kayu itu aku sembunyikan di sebuah goa. Tetapi kami masih ingat sekali tempat persembunyian itu.”

“Mungkin peti kayu itu sudah rusak sekarang,” sahut Sekar Mirah, “Bukankah peti itu tidak terlalu penting dibandingkan dengan kitab ini sendiri?”

“Ya, Mbokayu,” Glagah Putih pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, di malam keberangkatan mereka, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Namun Glagah Putih memerlukan berbicara khusus dengan Sukra.

“Kau sudah bukan anak-anak lagi, Sukra,” berkata Glagah Putih, “karena itu maka kau sudah harus dapat menempatkan dirimu dengan sebaik-baiknya. Jika kau jumpai masalah, bahkan masalah pribadimu yang kau anggap rumit, jangan segan-segan minta petunjuk Kakang Agung Sedayu atau Mbokayu Sekar Mirah. Bahkan agaknya kau pun dekat dengan Ki Jayaraga. Kau dapat berbicara dengan Ki Jayaraga jika kau kebetulan ikut bersamanya pergi ke sawah.”

“Ya, Kakang.”

“Usahakan agar ilmumu lebih cepat meningkat dari sekedar ikut dalam latihan-latihan para pengawal. Bukan berarti bahwa latihan-latihan itu tidak penting, karena dengan latihan- latihan dalam kesatuan kau akan menguasai ilmu perang gelar serta kerja sama yang mapan antara sesama anggota kesatuan. Tetapi peningkatan ilmumu secara peribadi akan dapat mengisi kelemahan-kelemahan dalam kesatuanmu.”

“Ya, Kakang.”

“Seterusnya kau harus selalu berhati-hati menempatkan diri dalam hubungan sesamamu.”

Sukra mengangguk-angguk. Agaknya ia mencoba dengan sungguh-sungguh untuk menyerap semua pesan-pesan Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih telah memberikan pesan-pesan sebagaimana pernah dikatakan oleh Ki Rangga Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan orang-orang tua yang lain yang pernah ditemuinya dalam pengembaraannya. Yang sebagian besar hanya tinggal berada di dalam ingatannya saja, karena kesempatan untuk bertemu lagi dengan mereka sudah menjadi semakin sempit.

Meskipun demikian, berbagai ilmu yang telah diwarisinya tetap saja memperkaya tingkat kemampuannya.

Demikianlah, malam itu Ki Jayaraga telah mengingatkannya agar Glagah Putih dan Kara Wulan segera beristirahat.

“Besok kalian akan bangun pagi-pagi sekali, kemudian menempuh perjalanan ke Mataram Meskipun perjalanan itu tidak sangat panjang, tetapi sebaiknya kalian sampai di Kepatihan sebelum tengah hari.”

Menjelang tengah malam, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berada di biliknya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, sebaiknya mereka segera beristirahat karena besok mereka akan berangkat pagi-pagi sekali

Namun justru karena itu maka keduanya tidak segera dapat tidur. Mereka masih berbicara beberapa lama. Baru kemudian ketika angin malam terdengar gemerisik di dinding dan atap rumah, mereka pun terdiam. Terasa dinginnya malam menyusup di sela-sela raguman menyentuh tubuh mereka, maka keduanya pun menjadi lelap.

Menjelang fajar keduanya telah terbangun. Bergantian mereka mandi dan kemudian berbenah diri. Namun sementara itu, Sekar Mirah pun telah berada di dapur pula menyiapkan minuman dan makan pagi bagi Glagah Putih dan Rara Wulan yang akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sementara Ki Rangga Agung Sedayu telah duduk di ruang dalam pula.

Di halaman samping terdengar pula suara sapu lidi dengan irama tersendiri. Ki Jayaraga ternyata telah sibuk membersihkan halaman sebagaimana setiap hari dilakukannya. Sedangkan Sukra sibuk mengisi gentong di dapur.

Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan selesai berbenah diri, maka Sekar Mirah pun telah mempersilahkan mereka untuk makan pagi.

Ki Jayaraga dan Agung Sedayu tidak makan bersama keduanya. Mereka hanya duduk menunggu sambil minum minuman hangat.

“Masih terlalu pagi untuk makan pagi,” berkata Ki Jayaraga.

Setelah makan pagi, Glagah Putih dan Rara Wulan masih beristirahat beberapa saat, sementara Ki Rangga Agung Sedayu masih memberikan pesan-pesan terakhirnya.

Namun sebelum matahari terbit, Glagah Putih dan Rara Wulan telah minta diri untuk berangkat ke Mataram.

Ki Rangga Agung Sedayu, Sekar Mirah, Ki Jayaraga dan Sukra melepas mereka sampai ke regol halaman. Meskipun Glagah Putih dan Rara Wulan sudah terbiasa pergi meninggalkan rumah itu, namun rasa-rasanya saat itu Glagah Putih dan Rara Wulan akan menempuh perjalanan yang lama. Mereka tidak sekedar mengembara sebagaimana pernah mereka lakukan, tetapi mereka akan melakukan tugas mereka sebagai prajurit.

Dari para pelatih pada saat mereka berada dalam penempaan diri sebagai seorang prajurit, serta dari Ki Rangga Agung Sedayu, keduanya sudah tahu benar akan kewajiban mereka sebagai seorang prajurit. Keduanya pun bertekad untuk dapat melakukannya dengan sebaik-baiknya. Kewajiban seorang prajurit sama sekali tidak bertentangan dengan pesan-pesan orang tua, agar Glagah Putih dan Rara Wulan menganut jalan kebenaran. Bukan sekedar kebenaran menurut ukuran mereka sendiri, tetapi kebenaran di jalan Yang Maha Agung.

“Itulah yang sering kita lupakan,” berkata Ki Rangga Agung Sedayu dalam pesan-pesannya, “pada saat kita mengambil keputusan untuk bersikap, kadang-kadang kita melupakan bahwa sikap kita itu juga harus kita pertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Agung pada jaman yang tidak berkesudahan. Kadang-kadang kita mengambil keputusan untuk bersikap sekedar mencari kepuasan hati kita sendiri. Itulah sebabnya sering terjadi pembunuhan, pembantaian dan bahkan tindakan-tindakan yang lebih keji lagi. Tanpa mengingat bahwa pada suatu saat kita akan dihadapkan kepada pengadilan yang tidak dapat dikendalikan oleh siapapun, tidak akan pernah dapat terjadi tawar-menawar, tidak pula dapat direkayasa oleh siapapun dan dengan cara apapun. Mungkin seseorang pernah menyadari akan hal itu. Tetapi ketika ia dihadapkan kepada kepuasan duniawi maka ia telah melupakannya. Pada saat mereka sadar akan kekhilafan mereka, segala sesuatunya sudah terjadi dan harus mereka pertanggung-jawabkan kepada Yang Maha Pencipta. Tetapi memang ada juga orang yang memang tidak percaya kepada pengadilan akhir itu. Orang-orang itu adalah orang yang mengingkari Penciptanya, sehingga orang-orang yang demikian itu adalah orang-orang yang sangat berbahaya, karena mereka tidak akan pernah bertobat. Tetapi orang-orang yang demikianlah yang pada saatnya akan menyesal di sepanjang jaman, karena mereka akan dilemparkan ke dalam kegelapan abadi.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun berjalan semakin cepat. Sinar matahari pagi yang muncul dari balik cakrawala terasa menghangatkan tubuh. Embun yang bergayutan di dedaunan pun mulai terhapus perlahan-lahan. Sementara itu kabut tipis yang menutupi lembah-lembah perbukitan pun mulai terkuak.

Di padukuhan-padukuhan yang mereka lewati, anak-anak muda yang berpapasan dengan keduanya selalu bertanya, kemana mereka akan pergi di pagi-pagi sekali.

“Ke Mataram,” jawab Glagah Putih dan Rara Wulan bergantian.

Bukan hanya di padukuhan-padukuhan, tetapi orang-orang yang akan pergi ke sawah dan berpapasan di bulak pun selalu bertanya pula.

Baru kemudian ketika Glagah Putih dan Rara Wulan berjalan semakin jauh, semakin sedikit pula orang yang bertemu di jalan. Tetapi keduanya pun harus menghindari sebuah pasar di padukuhan yang terhitung besar, agar mereka tidak terlalu banyak berpapasan dengan orang-orang yang sudah mengenal mereka dan memberikan bermacam-macam pertanyaan.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, mereka pun telah menuruni jalan yang menuju ke tempat penyeberangan. Sebagaimana biasanya, keduanya memilih menyeberang di penyeberangan sebelah selatan.

Hari itu penyeberangan itu ternyata tidak terlalu ramai. Hanya ada dua tiga orang saja yang menunggu di sisi barat, sementara itu sebuah rakit sedang meluncur dari arah timur. Rakit itu juga tidak membawa terlalu banyak orang dari tepian sebelah timur, sehingga rakit itu dapat melaju lebih cepat.

Beberapa saat kemudian rakit itu pun telah merapat ke sisi barat. Demikian para penumpangnya turun, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera naik bersama beberapa orang yang telah menunggu.

Tetapi sebelum rakit itu menyeberang, seorang berkuda memacu kudanya sambil berteriak, “Tunggu! Tunggu!”

Rakit yang sudah siap untuk menyeberang itu berhenti.

Penunggang kuda itu pun kemudian meloncat turun sambil berkata, “Tunggu. Kami akan menyeberang bersama sepasang pengantin. Sebentar lagi mereka akan tiba.”

Tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya para penumpang yang telah berada di atas rakitnya, minta pertimbangan.

Karena beberapa orang yang sudah ada di atas rakit itu tidak menjawab, maka Glagah Putih-lah yang menjawab, “Baiklah. Kita menunggu sebentar. Apakah ada di antara Ki sanak yang sangat tergesa-gesa?”

Orang-orang yang sudah ada di atas rakit itu pun menggeleng.

“Nah, Kakang,” berkata Glagah Putih kepada tukang satang, “kita menunggu. Bukankah masih banyak tempat di rakit Kakang?”

Rakit itu pun urung untuk bergerak ke timur. Sementara itu rakit yang ada di seberang juga masih belum bergerak. Masih ada dua orang yang akan naik bersama kuda mereka.

Beberapa saat kemudian datanglah iring-iringan pengantin yang akan menyeberang itu. Ternyata pengiringnya cukup banyak. Empat orang di antara mereka berkuda. Termasuk orang yang berkuda mendahului iring-iringan itu.

Demikian mereka mendekati rakit itu, maka orang berkuda yang mendahului iring-iringan itu pun berkata kepada tukang satang, “Ki Sanak. Kami akan menyeberang bersama-sama, karena kami sedang mengiringi sepasang pengantin yang akan diboyong ke rumah pengantin laki-laki di sebelah timur Kali Praga.”

“Tetapi tentu tidak dapat sekaligus,” jawab tukang satang itu, “beberapa orang akan tinggal. Sementara itu rakit dari seberang itu sudah mulai bergerak. Sebentar lagi rakit itu akan sampai di sini. Kemudian sebagian yang tertinggal akan dapat segera menyusul. Apalagi ada di antara kalian yang membawa kuda.”

“Tidak baik kalau rombongan kami harus dibagi.”

“Tetapi kalau dipaksakan naik ke rakit, aku mengkhawatirkan bahwa beban akan menjadi terlalu berat.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Biarlah orang-orang yang sudah ada di atas rakit itu turun. Biarlah kami memakai rakit itu seutuhnya tanpa orang lain. Bukankah mereka dapat menunggu dan tidak harus pergi bersama-sama?”

Beberapa orang yang sudah ada di atas rakit itu saling berpandangan sejenak. Ada di antara mereka yang nampaknya agak berkeberatan jika mereka harus turun lebih dahulu.

Tetapi orang itu berkata, “Kami tidak mempunyai pilihan lain. Kami terpaksa minta kalian untuk turun.”

Suasana terasa menjadi agak tegang. Namun Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Aku dan istriku akan turun. Tetapi aku tidak tahu, apakah yang lain juga bersedia untuk turun.”

Ternyata sikap Glagah Putih itu telah mempengaruhi sikap beberapa orang yang lain, sehingga seorang di antara mereka berkata, “Biarlah mereka mendapat kesempatan untuk dapat menyeberang bersama-sama.”

Orang-orang yang sudah berada di atas rakit itu ternyata semuanya bersedia untuk turun dan memberi tempat kepada sepasang pengantin dan para pengiringnya, agar mereka dapat bersama-sama menyeberang.

Tetapi ketika mereka kemudian berebut naik, maka tukang satang itu pun berkata, “Terlalu banyak, Ki Sanak. Apakah sebagian kecil dari kalian dapat turun dan menyeberang dengan rakit berikutnya? Rakit itu sudah bergerak kemari. Tentu tidak akan lama lagi rakit itu merapat di tepian.”

Namun ternyata tidak ada di antara para pengiring itu yang bersedia turun dan ikut menumpang rakit yang sedang bergerak ke barat,

Karena tidak ada yang bersedia, maka tukang satang itu pun bertanya sekali lagi, “Apakah ada di antara kalian yang bersedia turun dan menumpang rakit berikutnya?”

Ternyata masih belum ada yang bersedia turun. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Jika penumpang rakitmu kelebihan, Ki Sanak, bukankah hanya kelebihan sedikit? Aku kira kelebihan sedikit itu tidak akan membahayakan. Aku sudah terbiasa menyeberang. Bahkan aku pernah naik rakit, dan bahkan mungkin juga rakit ini, bersama dengan beberapa ekor kuda yang membawa keranjang berisi gula kelapa.”

“Tetapi tentu tidak memuat orang sebanyak ini.”

“Sudahlah. Jika kau ragu-ragu, akibatnya tentu kurang baik. Menyeberanglah.”

Dua tukang satang di rakit itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun kemudian mulai mendorong rakitnya bergerak menyeberang ke timur. Namun mereka lebih dahulu menyisir tepian justru ke arah hulu. Baru kemudian mereka bergerak ke tengah dan selanjutnya sedikit mengikuti arah arus Kali Praga yang terhitung deras itu.

Sementara itu, rakit yang satu lagi sudah sampai di tepian barat pula. Setelah penumpangnya turun, maka beberapa orang pun segera naik. Tidak terlalu banyak, sehingga terasa rakit itu cukup longgar.

Dalam waktu singkat, rakit yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun segera bergerak pula.

Namun tiba-tiba saja mereka melihat rakit yang terdahulu itu mulai goncang. Didorong oleh arus Kali Praga, dengan penumpang yang terlalu banyak, maka rasa-rasanya rakit itu tidak kuat lagi mengusung bebannya.

“Kakang,” berkata Glagah Putih kepada tukang satang yang ada di rakitnya, “rakit itu nampak berguncang.”

Kedua tukang satang yang melayani rakit yang membawa Glagah Putih dan Rara Wulan itu memperhatikan rakit yang berguncang. Seorang di antara mereka itu pun bergumam, “Kang Naya terlalu serakah. Orang sekian banyak dibawanya semua. Itu sangat membahayakan penumpangnya.”

“Kang Naya tukang satang rakit itu yang kau maksud?” bertanya Glagah Putih.

“Ya.”

“Bukan salahnya, Kang. Kang Naya sebenamya sudah menolak, tetapi orang-orang berkuda itu memaksa. Sehingga akhirnya Kang Naya terpaksa membawa mereka semua.”

Percakapan itu terhenti. Mereka mendengar beberapa orang perempuan yang naik rakit yang terdahulu itu menjerit.

Kedua tukang satang rakit yang ditumpangi Glagah Putih itu pun kemudian sepakat untuk mencoba membantunya. Karena itu maka mereka telah mempercepat rakit yang disatanginya, menyusul rakit yang berguncang itu.

“Jangan bingung! Duduk sajalah! Jangan bergeser-geser! Nanti rakit ini akan berguncang semakin keras,” teriak tukang satang pada rakit yang berguncang itu.

Tetapi orang-orang yang ketakutan itu justru saling tarik menarik, saling berdekapan sambil berteriak-teriak tidak keruan. Kedua tukang satangnya mencoba untuk mengatasi kesulitan itu. Kang Naya masih saja berteriak-teriak menenangkan penumpang-penumpangnya. Tetapi mereka masih saja kebingungan dan ketakutan. Dengan demikian guncangan-guncangan itu pun menjadi semakin keras. Apalagi ketika kuda-kuda di atas rakit itu mulai menjadi gelisah pula.

Pada saat yang gawat, rakit yang ditumpangi Glagah Putih itu pun menjadi semakin dekat. Seorang tukang satangnya pun kemudian melemparkan tali kepada Kang Naya yang berada di rakit yang terguncang itu.

“Tenanglah, tenanglah. Semuanya duduk diam.”

Suaranya tenggelam di antara jerit dan teriakan para penumpang rakit yang terguncang-guncang itu.

Air Kali Praga pun mulai membasahi alas rakit bambu yang terhitung besar itu. Rakit bambu yang ditopang di atas dua perahu kecil di kedua sisinya.

Sejenak kemudian maka kedua rakit itu pun menjadi semakin dekat. Yang terdengar kemudian adalah suara Glagah Putih, “Marilah! Aku minta beberapa orang laki-laki meloncat ke rakit ini. Rakit ini masih cukup untuk menampung banyak orang. Dengan demikian rakit kalian tidak akan kelebihan penumpang.”

Tetapi nampaknya tidak ada seorangpun yang berani melakukannya. Beberapa orang laki-laki pengiring pengantin itu nampak pucat dan ketakutan sebagaimana perempuan-perempuan.

“Cepat!” teriak Glagah Putih, yang berusaha membantu menarik tali yang telah dilemparkan oleh tukang satang dari rakit yang ditumpanginya dan yang telah dipegang oleh Kang Naya.

Kedua rakit itu menjadi semakin dekat. Tetapi ketika keduanya bersinggungan, maka rakit-rakit itu telah terguncang. Terutama rakit yang penuh penumpang itu.

“Jangan menjadi kehilangan akal!” teriak Glagah Putih. Tukang satan gpun telah berteriak pula, “Loncat kemari! Cepat, sebelum rakit itu tenggelam!”

Orang-orang di rakit itu menjadi bertambah ketakutan. Sementara Glagah Putih mengulurkan tangannya sambil berteriak, “Tangkap tanganku!”

Orang-orang di rakit yang penuh itu masih saja nampak bimbang dalam ketakutan. Namun seorang anak muda di antara mereka agaknya telah memberanikan dan menggapai tangan Glagah Putih. Glagah Putih pun kemudian berteriak pula, “Loncat!”

Anak muda itu meloncat sementara Glagah Putih menariknya, sehingga anak muda itu pun akhirnya terjatuh dl rakit yang ditumpangi oleh Glagah Putih itu.

Ketika Rara Wulan menolong anak muda itu, maka Glagah Putih pun telah menjulurkan tangannya pula, “Marilah! Siapa yang lain? Berusahalah! Jangan menyerah dan tenggelam bersama rakit itu.”

Keberhasilan anak muda itu telah menumbuhkan keberanian pada beberapa orang laki-laki. Mereka pun menjulurkan tangan mereka bergantian, sehingga beberapa orang akhirnya telah berpindah dari satu rakit ke rakit yang lain.

Dengan demikian maka rakit yang terguncang itu menjadi agak mereda, setelah beberapa orang berada di rakit yang ditumpangi oleh Glagah Putih.

Namun tiba-tiba saja seorang perempuan yang menggendong bakul dan berada di rakit yang ditumpangi Glagah Putih berteriak sambil menyerahkan sepasang telur ayam, “Berikan telur ini kepada pengantinnya. Biarlah mereka yang melemparkan telur ini ke Kali Praga. Aku belum melihat mereka melempar sepasang telur sejak mereka naik di tepian sebelah barat.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi Rara Wulan-lah yang kemudian menerima telur itu. la melangkah ke tepi dan menjulurkan telur itu kepada orang yang berada di rakit yang terguncang itu, “Berikan kepada pengantinnya! Biarlah mereka yang melemparkannya ke Kali Praga.”

Kang Naya-lah yang menerima sepasang telur itu dan memberikannya kepada sepasang pengantin itu. Mereka pun kemudian melemparkan sepasang telur itu ke arus Kali Praga.

Sejenak kemudian kedua tukang satang dari rakit yang terguncang itu pun berhasil menguasai rakitnya. Rakit yang ditumpangi Glagah Putih dan Rara Wulan pun mulai mengambil jarak, agar kedua rakit itu tidak bersinggungan.

“Nah,” berkata perempuan yang memberikan dua butir telur itu, “pengantin baru yang belum genap selapan hari, jika menyeberangi sungai apalagi sebesar Kali Praga ini, harus melemparkan sepasang telur ke dalam arus sungai itu. Nampaknya sepasang pengantin itu tidak melakukannya. Mungkin bagi mereka melemparkan telur itu hanya takhayul saja, sehingga tidak perlu dilakukan. Tetapi hampir saja mereka ditelan arus Kali Praga yang deras ini. Untung aku membawa lima butir telur yang diberikan oleh menantuku. Tetapi sebenarnya telur-telur itu adalah telur ayam bangkok yang akan aku tetaskan di rumah.”

“Tetapi korban yang Bibi berikan tidak sia-sia,” sahut salah seorang pengiring pengantin yang telah berada di dekat perempuan itu setelah berhasil melompat, “kami sangat berterima kasih.”

“Lain kali sebaiknya kalian bertanya-tanya kepada orang tua, syarat-syarat yang harus dipenuhi jika kalian akan membawa sepasang pengantin menempuh perjalanan. Jauh atau dekat, syarat-syarat itu harus dipenuhi.”

“Ya, Bibi. Sekali lagi, atas nama sepupuku yang menjadi pengantin itu, aku mengucapkan terima kasih.”

Tetapi seorang yang duduk di sampingnya berbisik, “Apakah sebaiknya kita ganti harga telur itu? Telur itu ternyata telur ayam bangkok yang akan ditetaskan.”

Orang yang mengucapkan terima kasih itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk, “Aku akan bertanya kepadanya. Mudah-mudahan ia tidak justru tersinggung.”

“Bibi,” berkata orang itu, “menurut Bibi, telur itu adalah telur ayam bangkok. Menurut pendapatku, telur ayam bangkok itu harganya lebih mahal dari telur ayam biasa. Apakah sebaiknya aku mengganti uang harga telur itu? Maaf, Bibi, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin agar Bibi tidak dirugikan.”

“Apa?” perempuan itu memandang orang yang akan mengganti harga telurnya dengan tajamnya. “Berapapun kau mau mengganti, tidak akan ada artinya apa-apa dibandingkan dengan peristiwa yang baru saja terjadi. Kau mau mencoba membayar harga nyawa sepasang pengantin itu?”

“Tidak. Tidak, Bibi. Aku minta maaf.”

Keduanya pun terdiam. Sementara itu di tempat yang agak terpisah Rara Wulan berdesis, “Apakah benar sepasang telur itu yang menyelamatkan rakit yang terguncang itu?”

“Meskipun pengantin itu melemparkan sekeranjang telur, jika penumpang rakit itu tidak dikurangi, rakit itu akan tetap berguncang. Sedangkan keselamatan jiwa penumpangnya itu berada sepenuhnya di tangan Yang Maha Agung. Meskipun demikian, bukankah kita wajib berusaha?”

“Orang-orang tua percaya tentang sepasang telur itu. Di Tanah Perdikan Menoreh orang-orang tua juga selalu berpesan, jika sepasang pengantin yang belum genap selapan akan menyeberangi sungai, apalagi Kali Praga, harus melemparkan sepasang telur ayam.”

“Kita hormati saja kepercayaan mereka. Sambil melemparkan telur, tentu mereka akan berdoa mohon perlindungan kepada Yang Maha Agung. Nah, doa itulah yang lebih berarti daripada sepasang telur itu.”

“Tetapi sepasang pengantin yang naik rakit yang terguncang itu tidak sempat berdoa?”

“Tetapi tentu berdoa di dalam hati. Setidak-tidaknya mereka tentu menyebut nama Yang Maha Agung. Sementara itu para penumpang rakit itu juga telah berusaha, dan usaha itu ternyata dibenarkan-Nya. Ternyata rakit itu selamat.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak sempat bertanya lagi. Kedua rakit itu pun telah merapat di tepian sebelah timur Kali Praga.

Demikianlah, para penumpang kedua rakit itu pun segera turun. Ketika perempuan yang mempunyai sepasang telur itu akan membayar upah penyeberangannya, maka salah seorang pengiring pengantin yang sempat meloncat ke rakit yang satu lagi itu berkata, “Sudahlah, Bibi. Biarlah kami yang membayar upah penyeberangan ini.”

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi jangan dihubungkan dengan sepasang telur itu. Aku memberikan telur itu kepada sepasang pengantin itu untuk menyelamatkan nyawa mereka. Aku tidak menjual telur itu.”

“Ya, ya. Aku mengerti, Bibi.”

Pengiring pengantin itulah yang kemudian membayar ongkos penyeberangan kedua rakit itu. Lebih banyak dari yang seharusnya mereka bayar. Orang berkuda yang memaksa para penumpang di rakit yang terguncang itu turun ketika mereka akan naik, berkali-kali menyatakan permintaan maafnya.

Kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, serta kepada perempuan yang telah memberikan sepasang telur itu, orang berkuda itu mengangguk hormat dalam sekali sambil berkata, “Ki Sanak telah menyelamatkan nyawa bukan hanya sepasang pengantin itu, tetapi bersama kami para pengiringnya. Kami yang sempat berbuat kasar, mohon maaf sedalam-dalamnya.”

“Sudahlah,” sahut Glagah Putih, “kalian harus mengucapkan syukur kepada Yang Maha Agung.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tidak perlu membayar upah penyeberangan pula. Sementara tukang satang dari kedua rakit itu pun berterima kasih pula, karena mereka mendapat upah lebih meskipun mereka harus bekerja lebih keras pula. Bahkan rakit yang berguncang-guncang telah membuat tukang satangnya menjadi tegang sekali, sementara penumpangnya yang ketakutan tidak dapat dikendalikan.

“Jika terjadi sesuatu dengan rakit kita, maka kita-lah yang akan dituduh menjadi serakah. Kita telah membawa penumpang jauh melampaui batas yang seharusnya.”

“Untunglah bahwa rakit kita tidak terguling dan terbenam di arus sungai yang terhitung deras itu.”

“Ya. Seperti orang Tanah Perdikan yang sering menyeberang di penyeberangan ini berkata, bahwa kita harus mengucap syukur kepada Yang Maha Agung.”

Kawannya mengangguk-angguk.

Sementara itu Glagah Putih dan Rara Wulan telah melanjutkan perjalanan ke Mataram. Untuk beberapa lama mereka berjalan bersama sepasang pengantin dan beberapa orang pengiringnya termasuk orang-orang berkuda itu.

“Kami akan ke Mangir,” berkata salah seorang pengiringnya, “orang tua pengantin laki-laki ini tinggal di Mangir. la ingin memperkenalkan menantunya kepada sanak kadang dan tetangga-tetangganya. Tetapi hampir saja justru telah terjadi bencana.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara itu pengantin perempuan masih nampak pucat. Jantungnya masih berdebaran, sedangkan tangannya masih gemetar.

Seorang perempuan separuh baya membimbingnya sambil berkata, “Yang Maha Agung masih melindungi kita, Ngger. Segala sesuatunya sudah lewat. Sekarang kita dalam perjalanan ke Mangir. Setelah beristirahat sejenak, kau harus dirias, meskipun tidak seberat upacara nikah beberapa hari yang lalu. Karena itu besarkan hatimu. Kau harus tersenyum. Bukan justru gemetar dan ketakutan. Jika nanti di rumah suamimu sudah ada beberapa orang sanak kadang yang datang, mereka akan menjadi heran.”

Pengantin perempuan itu mengangguk.

“Ya, Bibi.”

Tetapi suami perempuan separuh baya itu berkata, “Bukankah kita dapat bercerita apa adanya? Tentu akan sangat menarik bagi para tamu. Perjalanan pengantin yang mendebarkan.”

“Ah, Kakang,” potong istrinya.

Namun kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memisahkan diri ketika iring-iringan pengantin itu kemudian berbelok, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan harus berjalan terus ke Mataram.

Para pengiring dan bahkan sepasang pengantin itu telah minta kepada Glagah Putih dan Rara Wulan untuk singgah. Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak ingin terlalu banyak kehilangan waktu, sehingga karena itu maka Glagah Putih pun menjawab, “Maaf, Ki Sanak. Mungkin pada kesempatan lain kami akan singgah. Sekarang waktu kami sangat terbatas. Kami harus segera sampai di Mataram. Jika mungkin sebelum tengah hari.”

“Jadi Ki Sanak tergesa-gesa?”

“Tidak terlalu tergesa-gesa.”

“Maaf, Ki Sanak. Kami sudah menghambat perjalanan Ki Sanak. Penundaan rakit itu sudah menyita waktu Ki Sanak, bahkan kemudian Ki Sanak masih harus menolong kami, sehingga semakin banyak waktu yang terbuang bagi Ki Sanak.”

“Tidak. Masih ada waktu sampai tengah hari nanti.”

Tetapi pengiring pengantin itu mengangkat wajah untuk memandang matahari. Ternyata matahari sudah semakin mendekati puncaknya.

Demikian Glagah Putih dan Rara Wulan terpisah dari iring-iringan pengantin itu, maka mereka pun berjalan semakin cepat.

Mereka masih mencoba untuk sampai di Mataram saat tengah hari, meskipun agaknya mereka akan melampaui batas itu meskipun tidak terlalu jauh.

“Bukankah kita akan menghadap Ki Patih di rumahnya?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Kita akan menghadap Ki Patih di rumahnya.”

“Bukankah kita tidak terlalu terikat pada waktu? Jika kita sampai di rumah Ki Patih sebelum tengah hari, justru mungkin Ki Patih masih berada di Istana.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mungkin kita masih harus menunggu.”

Dengan demikian maka mereka pun menjadi tidak terlalu tergesa-gesa lagi. Meskipun demikian, mereka masih saja berjalan dengan cepat agar segera sampai di Mataram.

Menjelang tengah hari mereka bertemu dengan orang-orang yang pulang dari pasar. Di antara mereka adalah orang-orang yang menggendong bakul yang telah kosong. Atau sekedar berisi garam dan bumbu masak. Ketika berangkat ke pasar, mereka membawa hasil kebun mereka. Ubi, pisang atau bahkan daun pisang. Setelah jualan mereka laku, maka mereka pun pulang sambil membawa kebutuhan dapur yang mereka beli dengan hasil penjualan dagangan mereka.

Tetapi ketika matahari benar-benar sampai ke puncak, ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum memasuki pintu gerbang Mataram, meskipun jaraknya sudah menjadi semakin dekat.

Tetapi karena keduanya akan menghadap Ki Patih di rumahnya, maka mereka menjadi tidak terlalu tergesa-gesa. Meskipun mereka tidak dapat sampai di Dalem Kepatihan sebelum matahari sampai di puncak, namun mereka akan sampai sebelum matahari turun.

Beberapa saat kemudian mereka berdua pun telah memasuki pintu gerbang. Agaknya kawan-kawan mereka yang pernah bersama-sama mengikuti latihan khusus sebelum mereka ditetapkan menjadi prajurit, telah memasuki tugas mereka pula. Hari itu atau esok pagi. Tetapi mereka berada di tempat yang terpisah-pisah.

Beberapa saat kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun telah sampai ke gerbang Dalem Kepatihan. Kebetulan prajurit yang bertugas di gerbang telah mengenal mereka dengan baik.

“Apakah Ki Patih ada?” bertanya Glagah Putih.

“Ki Patih pergi ke Istana,” jawab prajurit itu, “tetapi sebentar lagi Ki Patih akan pulang. Marilah, silahkan pergi ke gardu penjagaan untuk menunggu. Biasanya sebentar lagi Ki Patih pulang.”

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian pergi ke gardu prajurit di halaman depan. Lurah prajurit yang memimpin para prajurit yang bertugas itu pun mempersilahkannya untuk duduk.

“Tunggu sebentar,” berkata Ki Lurah yang juga sudah mengenal Glagah Putih dan Rara Wulan dengan baik.

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih.

Berdua mereka pun kemudian duduk di antara para prajurit yang hari itu bertugas di Dalem Kepatihan.

“Apakah kalian sudah akan memasuki tugas kalian?” bertanya Ki Lurah.

“Hari ini aku diperintahkan untuk menghadap Ki Patih. Mungkin Ki Patih akan memberikan tugas-tugas tertentu kepada kami berdua.”

Ki Lurah itu pun mengangguk-angguk. Sejak sebelum Glagah Putih dan Rara Wulan ditetapkan menjadi prajurit dengan Surat Kekancingan, keduanya memang sudah sering mendapat tugas-tugas khusus dari Ki Patih Mandaraka. Seperti Ki Rangga Agung Sedayu, Glagah Putih dan kemudian bersama istrinya telah mendapat kepercayaan yang tinggi dari Ki Patih Mandaraka.

Glagah Putih dan Rara Wulan ternyata tidak harus menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, Ki Patih pun telah datang dari Istana disertai dua orang pengawalnya.

“Ki Patih sudah menjadi semakin tua,” berkata lurah prajurit itu, “meskipun ia tetap seorang yang mumpuni, tetapi pengaruh umurnya atas kewadagannya tidak dapat dihentikan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Sebenarnyalah Ki Patih Mandaraka memang sudah menjadi semakin tua. Ketika Ki Patih turun dari kudanya, maka kedua pengiringnya berada di sebelah-menyebelah kudanya. Seorang dari mereka memegangi kuda Ki Patih, sedangkan ketika Ki Patih turun dari kudanya, ia berpegangan kepada prajurit yang seorang lagi.

Sebelum Ki Patih naik ke pendapa Kepatihan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah melangkah mendekat.

“Ah, kalian berdua sudah berada di sini,” sapa Ki Patih.

“Ya, Ki Patih. Ki Patih memerintahkan kami menghadap hari ini. Tetapi agaknya kami datang terlalu lambat.”

“Tidak. Bukankah kau datang lebih dahulu dari aku?” sahut Ki Patih sambil tersenyum.

“Seharusnya kami datang pagi-pagi sekali.”

Ki Patih tertawa. Katanya kemudian, “Pergilah ke serambi kanan. Aku akan menerima kalian di serambi kanan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan yang sudah sering menghadap di Dalem Kepatihan sudah tahu benar kemana mereka harus pergi. Keduanya pun kemudian masuk lewat pintu seketheng sebelah kanan dan kemudian lewat longkangan masuk ke serambi kanan.

Nampaknya Ki Patih Mandaraka masih berada di dalam. Karena itu mereka pun harus menunggu beberapa saat.

“Ki Patih sudah kelihatan terlalu tua,” bisik Rara Wulan.

“Ki Patih memang sudah tua. Mungkin meskipun tidak terpaut banyak, Ki Patih sudah lebih tua dari Ki Gede Menoreh, yang juga sudah kelihatan tua sekali. Dan yang juga sudah kelihatan sangat tua adalah ki Demang Sangkal Putung.”

“Yang Maha Agung mengurniai umur panjang kepada mereka. Ki Gede Pemanahan, bahkan putranya Kanjeng Panembahan Senapati sudah, lebih dahulu di panggil Yang Maha Agung.”

Pembicaraan mereka pun segera terputus ketika Ki Patih Mandaraka memasuki serambi itu.

“Sudah lama kalian menunggu?” bertanya Ki Patih.

“Belum, Ki Patih. Kami memasuki gerbang Kota ketika matahari sampai ke puncak.”

Ki Patih pun mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bertanya, “Kalian tentu berangkat pagi-pagi sekali dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Kami memang berangkat pagi-pagi. Tetapi kami kehilangan waktu di penyeberangan Kali Praga.”

Ki Patihpun mengangguk-angguk ketika Glagah Putih menceritakan apa yang ditemuinya di Kali Praga.

“Baiklah,” berkata Ki Patih kemudian, “kalian beristirahat di sini dan malam nanti bermalam di sini pula. Nanti malam aku akan menyampaikan perintah kepada kalian, apa yang harus kalian lakukan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk hormat. Dengan nada dalam Glagah Putih pun menjawab, “Sendika, Ki Patih.”

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak baru sekali itu bermalam di Kepatihan. Karena itu maka rasa-rasanya mereka sudah terbiasa. Ketika Ki Patih memanggil seorang abdi agar menunjukkan bilik bagi Glagah Putih dan Rara Wulan, maka keduanya pun segera mengundurkan diri dari serambi.

“Beristirahatlah. Aku juga akan beristirahat. Aku sudah terlalu tua, sehingga aku harus banyak beristirahat. Tubuhku ternyata tidak dapat aku kendalikan sesuka hatiku,” berkata Ki Patih sambil tersenyum.

Di luar sadarnya Glagah Putih mengangkat wajahnya menatap Ki Patih yang memang sudah nampak semakin tua. Meskipun demikian sinar mata Ki Patih masih tetap bercahaya.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan telah berada di dalam sebuah bilik yang berada di bagian belakang gandok sebelah kanan, menghadap ke longkangan. Dari bilik itu Glagah Putih dan Rara Wulan dapat melihat longkangan yang diatur dengan manis. Beberapa batang pohon bunga tumbuh bergerombol menurut jenisnya. Ada bunga berwarna merah, putih, ungu dan berwarna-warni. Ada beberapa batang pohon anggrek yang menempel pada batang pohon yang sudah terpotong. Bunganya berwarna kuning berbintik-bintik.

“Aku kerasan tinggal di sini,” desis Rara Wulan.

“Jika kelak aku menjadi Patih di Mataram, kita juga akan membangun taman seperti ini.”

“Ah, Kakang. Kenapa harus menunggu setelah menjadi Patih? Apakah rakyat kebanyakan tidak berhak membangun sebuah taman? Kakang memang tidak pernah tertarik pada keindahan. Jika kelak kita mempunyai rumah sendiri dan tidak lagi tinggal bersama Kakang Agung Sedayu, kita dapat membuat taman. Tetapi agaknya Kakang lebih suka tidur di waktu luang daripada mengatur taman.”

Glagah Putih tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, hari itu Glagah Putih dan Rara Wulan berada di Kepatihan. Mereka berada di antara para abdi yang sibuk melakukan tugas mereka masing-masing di halaman belakang.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat makan bersama para abdi, karena bagi mereka telah disiapkan makan di tempat tersendiri.

Ketika kemudian malam turun, setelah Glagah Putih dan Rara Wulan mandi dan berbenah diri, maka Ki Patih Mandaraka telah memanggil mereka untuk menghadap di serambi.

Glagah Putih dan Rara Wulan sadar bahwa mereka akan menerima perintah langsung dari Ki Patih Mandaraka, tanpa melampaui salah seorang Senapati.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki serambi, Ki Patih sedang duduk menghadapi hidangan makan malam. Dengan ramah Ki Patih itu pun kemudian berkata, “Marilah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Kita akan makan bersama.”

Keduanya sebenarnya merasa sangat segan untuk makan bersama Ki Patih Mandaraka. Karena itu maka Rara Wulan pun berkata, “Terima kasih, Ki Patih. Biarlah kami makan malam di belakang saja.”

Ki Patih tertawa pendek. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa kalian tentu akan segan makan malam bersamaku. Tetapi aku sengaja melakukannya, karena sambil makan aku akan menceritakan sebuah dongeng kepada kalian. Orang-orang tua memang berpesan jangan bicara selagi makan, karena jika terjadi gangguan di tenggorokan, seseorang akan dapat tersedak dan bahkan terbatuk-batuk. Tetapi makan sambil berbicara justru akan dapat menambah selera, sehingga makan pun akan menjadi bertambah banyak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun tertawa pula. Bahkan dengan demikian mereka pun tidak dapat menolak lagi untuk makan bersama Ki Patih Mandaraka.

Demikianlah, selagi makan malam, Ki Patih pun menyelingi dengan sebuah cerita tentang seorang yang berilmu sangat tinggi, yang pada saat terakhir telah meninggalkan pertapaannya di kaki Gunung Merapi.

“Pertapa itu telah pergi ke Timur,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan cerita itu dengan saksama. Mereka sudah mengira bahwa tugas yang akan dibebankan kepada mereka tentu berhubungan dengan orang yang diceritakan itu.

“Orang itu mengaku dirinya sebagai lembu peteng dari Panembahan Senapati. Orang itu mengaku sakit hati karena Panembahan Senapati tidak pernah lagi menghubungi ibunya, apalagi dirinya. Karena itu maka orang itu pun telah bertapa di lereng Gunung Merapi di sisi sebelah timur. Tetapi ternyata ia tidak sekedar bertapa, tetapi ia sudah menghimpun banyak orang untuk dijadikan muridnya. Kepada mereka, orang itu mengaku bahwa ia adalah putra Kanjeng Panembahan Senapati. Tetapi karena ia tidak sependapat dengan Kanjeng Panembahan Senapati tentang cara memerintah Mataram, maka ia merasa lebih baik menyingkir.”

Ki Patih Mandaraka itu pun berhenti sejenak. Ia pun minum seteguk. Agaknya sambal lombok goreng dengan udang laut itu agak terlalu pedas baginya.

“Marilah, makanlah. Jangan hanya mendengarkan ceritaku saja.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menjawab hampir bersamaan, “Ya, ya, Ki Patih.”

Sebenarnyalah bahwa nasi sayur dan lauk-pauknya yang dihidangkan sangat menarik. Ikan, daging, telur, sayur kangkung dan sambal lombok goreng dengan udang laut yang terhitung besar-besar.

Namun Glagah Putih sempat juga bertanya, “Tetapi apakah benar orang itu lembu peteng dari Panembahan Senapati?”

“Tentu bukan,” Ki Patih Mandaraka menggeleng, “Panembahan Senapati tidak pernah menerlantarkan putra-putranya. Aku adalah pemomongnya sejak Panembahan Senapati masih remaja. Aku mengenalnya dengan baik. Aku mengenal istri-istrinya dan anak-anaknya. Orang yang mengaku putra Panembahan Senapati itu justru bukan putranya. Orang itu pun tidak dapat menunjukkan siapakah ibunya. Katanya ibunya meninggal ketika ia masih remaja.”

Glagah Putih mengangguk-angguk sambil bergumam, “Orang itu telah membuat cerita palsu.”

“Ya. Tetapi menurut laporan yang aku terima, orang itu memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Apalagi setelah ia menjalani laku di lereng timur Gunung Merapi itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mendengarkan setiap kata Ki Patih Mandaraka itu dengan seksama, sehingga mereka memang sedikit sekali menyuapi mulut mereka.

“Adapun tugas kalian, Glagah Putih dan Rara Wulan, menemukan orang itu. Satu kemungkinan, orang itu akan melanjutkan laku yang dijalaninya di daerah Timur.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Dengan nada dalam Glagah Putih pun bertanya, “Apakah ada sedikit petunjuk yang dapat kami pakai sebagai landasan pencarian kami, Ki Patih?”

Ki Patih tersenyum. Katanya, “Nanti aku akan melanjutkan ceritaku. Sekarang kita selesaikan makan malam kita.”

Glagah Putih dan Rara Wulan berpandangan sejenak. Namun kemudian mereka melanjutkan makan mereka. Demikian pula Ki Patih Mandaraka yang ternyata masih kepedasan.

Namun akhirnya mereka pun selesai. Dua orang abdi telah menyingkirkan mangkuk yang kotor serta membersihkan tempat itu.

Baru kemudian Ki Patih serta Glagah Putih dan Rara Wulan melanjutkan pembicaraan mereka

“Glagah Putih dan Rara Wulan. Sebenarnya kami tidak mempunyai petunjuk yang dapat memberikan arah pencarian kalian. Tetapi ada satu peristiwa yang mungkin mempunyai hubungan dengan kepergian orang itu ke Timur.”

“Peristiwa apa Ki Patih?”

“Seperti kita mencemaskan keselamatan Kanjeng Pangeran Puger saat berangkat ke Demak pada saat Ki Saba Lintang masih berkeliaran di berbagai tempat, karena itu kita memberikan pengawalan sebaik-baiknya. Meskipun akhirnya Ki Saba Lintang berhasil menyusup dan mempengaruhi beberapa orang Senapati Demak sehingga timbul ketegangan antara Demak dan Mataram.”

Glagah Putih dan Rara Wulan masih saja mendengarkan dengan sungguh-sungguh.

“Sekarang, Sinuhun Mataram telah menetapkan Pangeran Jayaraga untuk memangku jabatan kepemimpinan di Panaraga.”

“Apakah orang yang pergi ke Timur itu mungkin akan mengganggu perjalanan Pangeran Jayaraga?”

“Tidak. Pangeran Jayaraga sudah berada di Panaraga. Demikian Pangeran Jayaraga ditetapkan memegang pimpinan pemerintahan di Panaraga, maka orang yang mengaku putra Panembahan Senapati itu menghilang, dan menurut beberapa keterangan telah pergi ke Timur.”

“Apakah ada hubungan antara orang itu dengan Pangeran Jayaraga?”

“Jika orang itu mengaku putra Panembahan Senapati, maka ia adalah saudara laki-laki Pangeran Jayaraga. Mungkin orang itu tidak akan mengganggu Pangeran Jayaraga. Tetapi orang itu dapat membuat cerita-cerita aneh yang sengaja untuk mempengaruhi sikap Pangeran Jayaraga.”

“Tetapi bukankah Pangeran Jayaraga seorang yang sudah matang berpikir dan bertindak, sehingga ia tidak akan mudah terpengaruh oleh siapapun juga?”

“Ya. Memang tidak mudah untuk mempengaruhi Pangeran Jayaraga. Tetapi mungkin dengan pengakuannya itu ia akan dapat mempengaruhi orang lain di sekitar Pangeran Jayaraga itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk, sementara Ki Patih itu berkata selanjutnya, “Tetapi ini pun baru dugaan. Mungkin orang itu sama sekali tidak menyentuh Pangeran Jayaraga. Atau bahkan orang itu tidak pergi ke Timur sebagaimana keterangan yang sempat aku dengar.”

“Ki Patih,” bertanya Glagah Putih kemudian, “siapakah nama orang yang mengaku putra Panembahan Senapati itu?”

“Ia menyebut namanya Pangeran Ranapati. Tetapi sebagai pertapa ia menamakan diri Ki Singa Wana.”

“Bahkan mungkin ia mempunyai sebutan yang lain lagi,” desis Rara Wulan.

“Ya, mungkin sekali. Tetapi ciri orang itu tubuhnya tinggi besar, berkulit sawo matang, tetapi nampak bersih, sehingga ia pantas menyebut dirinya seorang bangsawan.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk pula. Sedangkan Ki Patih berkata selanjutnya, “Glagah Putih dan Rara Wulan. Sebenarnyalah bahwa aku sendiri belum pernah bertemu dengan orang itu. Tetapi aku bertemu dengan orang yang melakukan pengamatan khusus atas orang itu. Selain orang itu bertubuh tinggi besar dan berkulit sawo matang, sinar matanya nampak tajam, bagaikan langsung menusuk sasarannya. Sikap dan gaya bicaranya sareh dan tenang. Bahkan kadang-kadang terasa lembut. Ketika ia berada di lereng timur Gunung Merapi, wajahnya pun nampak bersih. Tidak ada selembar kumis dan jenggotnya. Tetapi kumis dan jenggot itu dapat tumbuh dalam waktu singkat, sehingga wajah itu akan dapat segera terlindung oleh lebatnya kumis, cambang dan jenggot.”

“Ciri-ciri yang Ki Patih sebutkan, bagi kami lebih penting dari nama orang itu. Mudah-mudahan kami dapat menemukannya. Mula-mula kami akan berada di sekitar keberadaan Pangeran Jayaraga. Mudah-mudahan orang itu juga berusaha untuk dapat menyentuh Pangeran Jayaraga.”

“Baiklah, Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku tahu bahwa tugas ini adalah tugas yang berat bagi kalian. Meskipun orang itu tidak memiliki banyak pengikut sebagaimana Ki Saba Lintang, tetapi aku kira orang ini tidak kalah berbahayanya dengan Ki Saba Lintang itu. Pengakuannya bahwa Panembahan Senapati telah menterlantarkan ibunya dan dirinya sendiri, telah membayangkan sikap permusuhannya. Tentu bukan dendam karena ibu dan dirinya sendiri diterlantarkan. Tentu ada alasan yang lebih selain dendam itu sendiri.”

“Ya, Ki Patih. Orang itu tentu tidak dapat mendendam Panembahan Senapati, karena alasan bahwa ibu dan dirinya sendiri diterlantarkan adalah alasan yang dibuat-buat.”

“Kecuali jika ada seorang perempuan yang membohonginya. Seorang perempuan yang mengaku dirinya telah diterlantarkan oleh Panembahan Senapati, sehingga dendam itu bagi orang yang mengaku Pangeran Ranapati itu adalah satu kebenaran. Dengan demikian maka perempuan itulah yang telah membuat kesaksian dusta yang harus dikutuk.”

“Ya, Ki Patih.”

“Dan perempuan itu adalah ibu orang yang mengaku sebagai Pangeran Ranapati itu.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Mereka harus terjun ke tepian sungai untuk mencari sebutir pasir di atasnya, di antara tebaran pasir yang tidak terhitung jumlahnya.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan akan dapat menghubungkan kepergian Pangeran Ranapati ke Timur itu bersamaan atau dalam waktu yang terhitung dekat dengan penugasan Pangeran Jayaraga d Panaraga.

Namun jika dusta itu datang dari ibu Pangeran Ranapati, maka perempuan itu sudah tidak ada lagi, karena menurut orang yang mengaku bernama Pangeran Ranapati itu mengatakan bahwa ibunya sudah meninggal.

Demikianlah, malam itu Ki Patih Mandaraka telah memberikan keterangan sejauh diketahuinya tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Bahkan Ki Patih dapat memberikan sedikit gambaran tentang ilmunya yang tinggi. Bahwa Pangeran Ranapati memiliki berbagai macam ilmu yang kini sudah jarang dikenal lagi.

“Glagah Putih dan Rara Wulan. Aku belum bermaksud memerintahkan kalian berangkat besok pagi. Aku ingin kau melengkapi bekalmu sebelum kau melawat ke Timur. Aku harus yakin bahwa kau dan Rara Wulan memiliki ilmu yang mantap untuk melaksanakan tugasmu itu.” 

“Apa yang harus kami lakukan, Ki Patih?”

“Aku tahu bahwa ilmumu sudah menjadi semakin meningkat. Tetapi aku masih ingin mengamati langsung ilmu kalian berdua di sanggar.”

Glagah Putih dan Rara Wulan menarik nafas panjang. Namun mereka merasakan satu kebanggaan, bahwa Ki Patih langsung sangat memperhatikan bekal mereka untuk menjalankan tugas mereka.

“Glagah Putih dan Rara Wulan,” berkata Ki Patih kemudian, “jika tugas ini aku bebankan kepadamu, bukan maksudku untuk menjerumuskan kalian ke dalam tugas yang sangat berat. Tetapi justru karena aku tidak percaya kepada orang lain, bahkan kepada para prajurit yang berpangkat lebih tinggi dari pangkatmu. Apalagi prajurit-prajurit yang mendapat wisuda bersama kalian. Jika aku menugaskan kalian, maka aku berpengharapan bahwa kalian akan dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik.”

“Ki Patih,” bertanya Glagah Putih, “jika kami sudah menemukan orang itu, apa yang harus kami lakukan? Apakah kami harus menangkapnya dan membawa pulang ke Mataram? Apa pula yang harus kami lakukan, jika kami temui orang itu pada saat orang itu tidak membuat kesalahan apapun, bahkan orang itu melakukan kebaikan bagi sesamanya?”

“Bawa orang itu kembali ke Mataram. Jika ia berbuat kebaikan dan tidak pantas dihukum, maka orang itu harus kau ajak dengan cara yang baik. Aku yakin bahwa ia tidak akan menolak. Tetapi jika sebaliknya, maka terserah caramu agar kau dapat membawanya pulang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun menarik nafas panjang. Tetapi Glagah Putih masih juga bertanya, “Ampun Ki Patih, bahwa kami tidak dengan cepat tanggap akan tugas kami. Kami masih ingin bertanya, apa yang harus kami lakukan jika Pangeran Ranapati yang mungkin melakukan tindak kejahatan itu menolak untuk pergi bersama kami kembali ke Mataram.”

“Pertanyaan-pertanyaan itulah yang membuat aku selalu saja memilih kalian berdua untuk menjalankan tugas-tugas khusus. Kalian akan melakukan tugas kalian dengan teliti. Kalian akan melihat sasaran kalian dari segala kemungkinan. Hal seperti itu jarang dilakukan oleh orang lain. Yang aku tahu, selain kau, kakak sepupumu yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itulah yang juga berbuat demikian. Mungkin cara pandang kalian terhadap lingkungan di sekitar kalian saling mempengaruhi. Tetapi karena kakak sepupumu itu lebih tua, maka sikapnyalah yang lebih banyak mempengaruhi sikapmu.”

Glagah Putih tidak menyahut. Justru kepalanya menunduk dalam-dalam. la memang tidak dapat ingkar bahwa sifat dan sikap Ki Rangga Agung Sedayu banyak mempengaruhi sikapnya. Bahkan pandangan kehidupannya terasa sangat berpengaruh padanya pula. Untunglah bahwa pengaruh itu bukan pengaruh yang buram.

“Glagah Putih,” berkata Ki Patih kemudian, “pada dasarnya aku ingin membersihkan nama Panembahan Senapati yang telah dipergunakan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu. Tentu saja pengakuan Pangeran Ranapati itu tidak sah. Jika ia berbuat sesuatu yang tidak terpuji dengan menyangkutkan nama Panembahan Senapati, maka pengaruh perbuatannya itu akan memercik pula pada nama Panembahan Senapati, pada keturunannya dan bahkan akan mengotori semua gelar yang dilakukan oleh Mataram. Sementara itu, salah seorang putra Panembahan Senapati akan berada dan memangku pemerintahan di Panaraga. Karena itu, kau akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan setelah kau mengamati langsung apa yang telah dilakukannya.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia sadar bahwa banyak kemungkinan akan dihadapinya. Orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati itu dapat saja langsung mengganggu kedudukan Pangeran Jayaraga. Tetapi ia juga dapat berlaku sebaliknya, mendukung dan membantunya, tetapi dengan pamrih tertentu. Atau melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela dengan mengaku sebagai saudara tua Adipati Panaraga, sehingga tidak ada yang berani mencegah perbuatannya itu.

Namun ketika malam menjadi semakin dalam, Ki Patih Mandaraka pun berkata, “Glagah Putih dan Rara Wulan, malam sudah larut. Beristirahatlah. Mungkin kalian merasa letih. Tetapi yang jelas merasa letih adalah aku sendiri. Wadagku sudah menjadi semakin rapuh.”

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun mohon diri untuk pergi ke biliknya.

“Selamat tidur kalian berdua.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

Namun keduanya tidak segera dapat tidur di biliknya. Glagah Putih dan Rara Wulan masih berbicara tentang berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati, yang mengaku putra lembu peteng dari Panembahan Senapati. Putra yang seakan-akan disingkirkan dari lingkungan istana dan tidak mendapat kedudukan sebagaimana putra Panembahan Senapati yang lain. Bahkan tidak diakuinya sebagai putranya.

“Dengan demikian, banyak pula kemungkinan yang harus kita lakukan, Kakang,” desis Rara Wulan.

“Ya. Kita dapat menentukan apa yang harus kita lakukan setelah kita melihat apa pula yang telah dilakukan oleh Pangeran Ranapati.”

“Sungguh satu tugas yang tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu.”

“Meskipun demikian, tentu ada landasan berpikir Ki Patih Mandaraka bahwa kita harus melacak Pangeran Ranapati. Bahwa ia mengaku putra Panembahan Senapati yang diasingkan itu sudah satu kesalahan. Sikap dan perbuatannya pada saat Pangeran Ranapati itu bertapa di lereng timur Gunung Merapi tentu sudah mengandung cela, sehingga karena itu maka perjalanannya ke Timur pun harus dilacak.”

“Ya. Justru pada saat Pangeran Jayaraga mendapat tugas di Panaraga.”

Namun tiba-tiba saja Rara Wulan itu pun berkata, “Untunglah bahwa kita tidak pergi bersama Ki Jayaraga. Namanya akan dapat menyaingi nama Pangeran Jayaraga yang mendapat tugas di Panaraga itu.”

“Ki Jayaraga tentu lebih senang berada di sawah daripada harus menjadi seorang pemimpin pemerintahan. Hidupnya sudah menyatu dengan lumpur serta diwarnai oleh hijaunya tanaman di sawah. Jika Ki Jayaraga itu dipisahkan dengan bulak-bulak persawahan, maka ia akan berduka sepanjang umurnya.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Ya. Hidupnya sudah lekat dengan sawah, ladang dan pategalan.”

“Sudahlah. Kita akan beristirahat. Jika aku tidak salah dengar, kita harus berada di sanggar besok. Karena itu kita sebaiknya segera tidur.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian keduanya pun telah membaringkan dirinya. Glagah Putih-lah yang telah tertidur lebih dahulu. Terdengar nafasnya mengalir dengan teratur. Sementara wajahnya nampak tenang seakan-akan tidak ada lagi beban yang dipikulnya.

“Kakang berhasil meletakkan semua bebannya dan tidur dalam kedamaian,” berkata Rara Wulan di dalam hatinya. Ia pun kemudian memejamkan matanya pula. Sesaat kemudian Rara Wulan pun telah tertidur dengan nyenyaknya pula.

Pagi-pagi sekali keduanya telah terbangun. Semalam mereka dapat tidur nyenyak tanpa terbangun sama sekali, sehingga dengan demikian tubuh mereka pun terasa menjadi segar.

Namun ternyata keduanya tidak selalu dapat tidur nyenyak seperti malam itu. Kadang-kadang mereka tidak segera dapat melepaskan beban perasaan yang mereka usung, sehingga mereka menjadi gelisah di pembaringan.

Di Dalem Kepatihan, Glagah Putih dan Rara Wulan tidak dapat melakukan kerja apa-apa di pagi hari. Semua pekerjaan sudah dilakukan oleh para abdi. Oleh orang-orang yang melakukan pekerjaan itu sehari-hari. Jika Glagah Putih dan Rara Wulan melakukan sesuatu, maka seorang abdi akan menjadi kebingungan karena ia kemudian tidak mengerjakan apa-apa. Karena itu Glagah Putih tidak dapat menimba air untuk mengisi pakiwan, karena abdi yang bertugas sudah melakukannya. Rara Wulan juga tidak dapat membantu menyapu halaman. Seorang abdi justru melarangnya agar ia tidak melakukannya.

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian bergantian mandi lalu berbenah diri.

Ketika mereka turun ke longkangan, mereka justru melihat Ki Patih Mandaraka memasuki pintu longkangan dari halaman depan.

Sambil mengangguk hormat Glagah Putih pun bertanya, “Ki Patih Mandaraka sudah bangun pula sepagi ini.”

“Setiap hari aku bangun pagi-pagi sekali. Menjelang fajar aku sudah berjalan-jalan di halaman depan, kadang-kadang aku berjalan mengelilingi Kepatihan beberapa kali. Di dini hari terasa udara yang segar telah menyegarkan tubuh kita pula.”

“Ya, Ki Patih.”

“Agaknya kalian berdua juga bangun pagi-pagi sekali. Nampaknya kalian sudah mandi dan berbenah diri.”

“Ya, Ki Patih. Kami memang sudah mandi.”

“Suatu kebiasaan yang baik. Nah, sekarang kalian-lah yang akan berjalan-jalan di sekeliling Kepatihan ini. Aku-lah yang akan mandi.

“Silahkan, Ki Patih.”

Ki Patih Mandaraka itu pun kemudian masuk ke serambi samping, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan keluar dari pintu longkangan dan turun ke halaman.

Beberapa buah lampu minyak masih menyala. Seorang prajurit di gardu para prajurit yang bertugas sedang memadamkan lampu minyak di sudut gardu. Sementara yang lain pun sedang berbenah diri. Pada saat matahari terbit akan berlangsung pergantian tugas dari para prajurit itu.

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian sempat berjalan-jalan di sekeliling Dalem Kepatihan. Mereka melihat-lihat pertamanan yang asri. Beberapa jenis pohon bunga yang langka. Demikian pula beberapa jenis pohon buah-buahan.

Ketika mereka sampai di seketheng, mereka melihat di tangga serambi, batu hitam yang merupakan bagian dari tangga itu berlubang-lubang sebesar jari.

“Kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Raden Rangga.”

“Kenapa dengan Raden Rangga?”

“Raden Rangga yang duduk di tangga ini menunggu kesempatan bertemu dengan Ki Patih, mempergunakan waktunya yang terasa menjemukan itu dengan melubangi batu hitam itu.”

“Dengan apa Raden Rangga melubangi batu itu?”

“Dengan jari-jarinya.”

“Dengan jari-jarinya?”

“Ya. Dengan jari-jarinya. Tindakannya itu dianggap salah oleh Ki Patih Mandaraka, karena Raden Rangga telah menunjukkan kelebihannya untuk menyombongkan dirinya. Karena itu maka Ki Patih pun berkata kepada Raden Rangga, ‘Bukankah batu-batu itu keras, Wayah?'” Ternyata setelah itu batu itu menjadi lebih keras, sehingga Raden Rangga tidak dapat lagi melakukannya. Karena itulah maka satu-satunya orang yang dianggap memiliki ilmu lebih tinggi dari Raden Rangga adalah Ki Patih Mandaraka.”

“Bagaimana dengan Panembahan Senapati sendiri?”

“Kanjeng Panembahan Senapati juga seorang yang tidak ada tandingnya. Tetapi sulit untuk mengatakan siapakah yang lebih tinggi ilmunya, Panembahan Senapati atau Raden Rangga. Tetapi sebagai seorang putra, Raden Rangga sangat menghormati dan bahkan sangat takut kepada ayahandanya.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun terasa bulu-bulunya meremang ketika ia memperhatikan batu hitam yang menjadi seperti sarang Iebah dengan lubang-lubang sebesar jari.

Keduanya pun kemudian beranjak meninggalkan tempat itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara Ki Patih Mandaraka, “Wayah Rangga yang melakukan permainan yang mendebarkan itu. Ilmunya memang sangat tinggi dan bahkan rumit. Sulit untuk dapat mengenalinya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera berbalik. Sambil mengangguk hormat Glagah Putih pun menyahut, “Kami sedang mengaguminya Ki Patih.”

“Glagah Putih,” berkata Ki Patih kemudian, “kau adalah kawan bermain Wayah Rangga pada masa itu. Karena itu maka setelah kau sendiri mencapai satu tataran ilmu yang tinggi, kau tentu dapat menggali kembali pengenalanmu atas ilmunya dengan penglihatan yang berbeda, karena landasan ilmumu sendiri sudah cukup tinggi.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Selama ini ia memang tidak berusaha untuk menilai kembali pengenalannya atas ilmu Raden Rangga yang rumit itu, yang kadang-kadang tidak dapat dimengertinya. Namun kadang-kadang terasa sangat mengejutkan dan sulit untuk ditelusuri caranya berpikir sehingga dapat tumbuh gagasan-gagasan yang terasa aneh di dalam unsur-unsur gerak ilmunya, sehingga orang lain sulit untuk menanggapinya.

“Baiklah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “bukankah kau sedang melihat-lihat lingkungan Kepatihan?”

“Ya, Ki Patih.”

Ki Patih itu pun kemudian menghilang di serambi, sementara Glagah Putih dan Rara Wulan masih berdiri termangu-mangu. Tanpa sengaja keduanya memperhatikan sekali lagi batu hitam di tangga pintu serambi samping itu. Berlubang-lubang seperti sarang lebah. Ternyata jika dikehendaki pada waktunya, jari-jari Raden Rangga dapat menjadi kokoh melampaui besi baja.

Namun sejenak kemudian, keduanya pun meninggalkan batu yang berlubang-lubang seperti sarang lebah itu. Keduanya pun keluar dan longkangan dan berjalan di halaman samping yang terhitung luas. Beberapa batang pohon sawo kecik membuat halaman itu menjadi sangat teduh di siang hari. Sedangkan halaman itu sendiri nampak bersih. Yang nampak hanyalah jalur-jalur sapu lidi dan satu dua tapak kaki.

Menjelang matahari terbit, seorang abdi menemui Glagah Putih dan Rara Wulan yang berada di halaman belakang, di bawah sebatang pohon belimbing lingir yang sedang berbuah. Buahnya yang kekuning-kuningan menempel pada batang pohon belimbing itu. Di siang hari terik, belimbing lingir itu tentu terasa segar sekali.

Abdi yang menemui Glagah Putih dan Rara Wulan itu diperintahkan oleh Ki Patih untuk memanggil Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menghadap di serambi samping.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah menghadap. Kembali mereka merasa sangat segan, karena Ki Patih mengajak mereka untuk makan pagi.

“Kami tidak terbiasa makan pagi, Ki Patih,” berkata Glagah Putih.

“Aku juga tidak terbiasa,” jawab Ki Patih sambil tersenyum, “tetapi nanti kita akan berada di sanggar. Mungkin sampai sore hari, sehingga kita sekarang makan pagi sekaligus makan siang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun hanya dapat tersenyum pula.

Setelah makan pagi, Ki Patih pun telah bercerita banyak tentang Raden Rangga hingga saat meninggalnya.

“Selama dalam perjalanan, kau akan sempat mengenang Raden Rangga, Glagah Putih. Kau pun dapat bercerita kepada istrimu pengalamanmu selama kau kesana-kemari bersama Raden Rangga. Pengembaraan kalian yang kadang-kadang kalian lakukan dengan alasan yang tidak sebagaimana para pengembara yang lain, tentu dapat menjadi cerita yang menarik.”

Baru kemudian setelah mereka cukup beristirahat setelah makan, maka Ki Patih pun berkata, “Glagah Putih dan Rara Wulan. Agaknya matahari sudah memanjat naik. Marilah kita pergi ke sanggar. Aku ingin melihat kalian berdua sekarang berada di tataran yang mana.”

Mereka bertiga pun kemudian bangkit berdiri. Ki Patih pun kemudian membawa Glagah Putih dan Rara Wulan ke sanggar tertutup di halaman belakang Kepatihan.

Sanggar Ki Patih Mandaraka jauh berbeda dengan sanggar-sanggar yang pernah dikenalnya. Agaknya sanggar Ki Patih Mandaraka itu pun belum lama diperbaharui, dilengkapi dengan kelengkapan-kelengkapan yang lebih banyak dan lebih beraneka. Berbagai jenis senjata berada di sudut sanggar serta disangkutkan di dinding, sekaligus merupakan hiasan yang memberikan sentuhan kebanggaan tersendiri.

“Kenali sanggar ini lebih dahulu,” berkata Ki Patih. “Nanti kita akan segera mulai, mumpung masih pagi.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian melihat-lihat isi sanggar itu. Mereka mengamati beberapa jenis senjata. Kemudian berbagai macam peralatan yang ada. Dari palang-palang bambu, tonggak-tonggak dari yang besar sampai yang kecil dengan ketinggian yang tidak sama, sampai ke ayunan yang terdiri dari tambang sabut dan ijuk. Pasir, kerikil dan berbagai jenis bebatuan.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi heran. Ki Patih Mandaraka sudah menjadi semakin tua. Tetapi sanggarnya justru menjadi semakin lengkap. Sementara putra-putra dan menantunya semuanya sudah tinggal di rumah mereka masing-masing. Mereka jarang sekali dan hampir tidak pernah datang ke Dalem Kepatihan untuk mengasah ilmu mereka. Bahkan tidak ada satupun di antara mereka yang pernah akrab dengan Raden Rangga.

Di luar sadarnya, Ki Patih Mandaraka memang pernah berdesah, justru karena putra-putranya tidak ada yang dapat mewarisi ilmu sebagaimana yang dimilikinya. Meskipun mereka berilmu tinggi, tetapi mereka tidak memiliki kelebihan dari para Senapati yang lain di Mataram. Menurut Ki Patih Mandaraka, mereka tidak dapat diperbandingkan dengan Glagah Putih. Bahkan dengan istrinya, Rara Wulan.

Karena itu, untuk tugas-tugas yang sangat penting Ki Patih Mandaraka, justru lebih percaya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, meskipun mereka tidak lebih dari prajurit baru, daripada kepada putra-putranya.

Glagah Putih dan Rara Wulan memang tidak mendapatkan jawabnya tentang sanggar yang menjadi semakin lengkap itu.

“Glagah Putih dan Rara Wulan,” berkata Ki Patih Mandaraka kemudian, “setelah kalian cukup beristirahat setelah makan, maka marilah kita akan mulai perlahan-lahan. Aku akan menjadi penonton yang baik, karena aku sudah terlalu tua untuk ikut bermain. Meskipun jantungku tetap saja bergejolak, tetapi wadagku tidak dapat aku paksa lagi.”

“Baik, Ki Patih,” sahut Glagah Putih dan Rara Wulan hampir berbareng.

“Sekarang bersiaplah.”

Glagah Putih pun segera membenahi pakaiannya. Disingsingkannya lengan bajunya serta kain panjangnya. Demikian pula Rara Wulan, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya.

“Aku ingin melihat kalian bermain seorang-seorang lebih dahulu. Tidak dengan senjata. Baru kemudian aku akan melihat kalian berdua bermain bersama.”

“Baik, Ki Patih,” jawab keduanya.

“Ikat pinggangmu itu masih ada padamu?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Masih, Ki Patih. Ikat pinggang itu akan selalu ada padaku. Kapan saja.”

“Bagus. Kau masih bersenjata selendangmu, Rara Wulan?” berkata Ki Patih pula.

“Ya. Ki Patih.”

“Nah, sekarang aku minta Glagah Putih bermain lebih dahulu. Baru kemudian Rara Wulan. Setelah itu kalian akan bermain bersama-sama.”

Glagah Putih pun kemudian segera mempersiapkan diri di tengah-tengah sanggar yang luas itu. Perlahan-lahan ia mulai bergerak. Tangannya terangkat ke depan, sementara kedua kakinya sedikit merendah pada lututnya.

Demikianlah, Glagah Putih pun mulai menggerakkan tangan dan kakinya. Mula-mula perlahan-lahan, namun semakin lama semakin cepat dan bertenaga. Ayunan tangan dan kaki Glagah Putih mulai menimbulkan arus udara ke sekitarnya.

Ki Patih Mandaraka memperhatikannya dengan seksama. Bahkan kemudian setiap unsur gerak pun tidak luput dari penilaiannya.

Demikianlah, beberapa saat kemudian maka permainan Glagah Putih pun telah meningkat semakin tinggi. Semakin lama Glagah Putih pun semakin menunjukkan, betapa ia benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi.

Meskipun tidak setingkat dengan ilmu Raden Rangga yang sulit diamati, namun ilmu Glagah Putih pun merupakan ilmu yang sangat tinggi. Sementara itu Ki Patih Mandaraka pun meyakini bahwa di samping ilmu yang diungkapkannya pada waktu itu, Glagah Putih tentu masih memiliki ilmu pamungkasnya.

Ki Patih Mandaraka adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, meskipun Glagah Putih masih belum melontarkan ilmu pamungkasnya, namun Ki Patih Mandaraka telah dapat membayangkan seberapa tinggi tingkat ilmu pamungkas Glagah Putih itu.

Tetapi lebih dari itu, ada di antara unsur gerak Glagah Putih yang sangat rumit. Namun unsur itu dapat dikenalnya. Unsur gerak itu adalah unsur gerak aliran sebuah perguruan yang sudah lama tidak terdengar namanya. Namun unsur gerak itu memang merupakan unsur gerak dalam tataran yang sangat tinggi dalam olah kanuragan

Beberapa saat kemudian Glagah Putih telah melepaskan ilmunya sampai tuntas, selain ilmu pamungkasnya. Demikian cepatnya Glagah Putih bergerak, sehingga sulit diikuti dengan mata kewadagan. Kakinya yang berloncatan itu seakan-akan tidak menyentuh tanah, sehingga Glagah Putih itu bagaikan terbang berkeliling. Ternyata kemampuannya yang saling mendukung itu membuatnya seakan-akan dapat terbang.

Tenaga yang timbul dari lontaran serangannya yang dilambari ilmunya menjadi sangat kuat, sehingga udara yang bergetar pun rasa-rasanya menjadi panas.

“Luar biasa,” desis Ki Patih Mandaraka.

Namun Ki Patih pun kemudian memberikan isyarat agar Glagah Putih mulai menyusut ilmunya, sehingga akhirnya berhenti sama sekali. Sambil menarik dan melepaskan nafas panjang, Glagah Putih pun kemudian mengangguk hormat kepada Ki Patih Mandaraka.

“Luar biasa. Aku tidak memujimu hanya karena kau ada di hadapanku, tetapi ternyata ilmumu sudah menjadi semakin mantap.”

“Terima kasih, Ki Patih.”

“Aku belum akan memberikan penilaianku lebih dahulu. Aku sekarang minta Rara Wulan juga menunjukkan kemampuannya.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Tetapi ia pun sudah siap untuk memenuhi permintaan Ki Patih Mandaraka sebagaimana baru saja dilakukan oleh Glagah Putih.

Ternyata Rara Wulan pun telah membuat Ki Patih Mandaraka berbangga. Perempuan yang telah menjadi istri Glagah Putih itu pun memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Meskipun masih juga ada jarak antara kemampuannya dengan kemampuan Glagah Putih, tetapi kemampuan Rara Wulan yang ditunjukkan kepada Ki Patih itu sulit untuk ditandingi.

Beberapa unsur gerak yang nampak pada ilmu Glagah Putih nampak pula pada ilmu Rara Wulan yang nyaris sama, meskipun dibangun di atas alas yang berbeda

Ki Patih Mandaraka menggelengkan kepalanya ketika ia pun melihat betapa Rara Wulan dapat bergerak sangat cepat pula. Seperti Glagah Putih, kaki Rara Wulan seakan-akan tidak lagi menyentuh tanah. Sambaran angin pada setiap gerak tubuhnya pun terasa memancarkan tenaga yang kuat dan memanasi udara di sekitarnya.

“Keduanya telah menekuni ilmu yang sudah jarang terdapat di bumi Mataram,” berkata Ki Patih Mandaraka di dalam hatinya.

Tetapi ilmu yang sudah jarang dikenal itu justru akan dapat menjadi senjata yang sangat berbahaya. Unsur-unsur geraknya akan dapat mengejutkan lawan-lawan mereka, jika mereka terpaksa harus mempergunakannya.

“Wayah Rangga juga sering mengejutkan lawan-lawannya karena unsur-unsur geraknya yang tidak dikenal sama sekali oleh lawannya, atau bahkan tidak diduga sama sekali. Bahkan kadang-kadang ada yang berkesan seenaknya saja, namun menimbulkan akibat yang sangat menyulitkan lawannya. Sementara itu unsur-unsur gerak Glagah Putih yang sudah jarang dikenal itu juga dapat menimbulkan kejutan bagi lawan-lawannya, karena mereka tidak memperhitungkan dan bahkan tidak menduga sebelumnya,” berkata Ki Patih di dalam hatinya.

Demikianlah, Rara Wulan telah menunjukkan kepada Ki Patih Mandaraka kemampuannya yang sangat tinggi. Sebagai seorang perempuan yang masih terhitung muda, maka Rara Wulan agaknya telah mendahului orang-orang terbaik.

Beberapa saat kemudian, setelah Ki Patih Mandaraka sempat memperhatikan ilmu Rara Wulan dari berbagai sisi, maka Ki Patih telah mengisyaratkan agar Rara Wulan perlahan-lahan menghentikan permainannya yang sangat menarik itu.

Demikianlah, setelah mereka beristirahat sejenak, Ki Patih Mandaraka pun mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan berdiri di tengah-tengah sanggar itu.

“Aku ingin melihat kalian berdua berlatih bersama. Aku ingin melihat kalian memanfaatkan peralatan sanggar yang ada, sehingga aku dapat melihat kecepatan gerak serta ketrampilan kalian sepenuhnya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk. Mereka sadar bahwa Ki Patih Mandaraka benar-benar ingin meyakinkan dirinya, bahwa orang yang dipilihnya untuk menyelesaikan tugas khusus yang berat itu tidak salah.

Karena itu maka Glagah Putih dan Rara Wulan sadar pula bahwa mereka harus bersikap jujur, agar Ki Patih Mandaraka mendapat penilaian yang benar atas diri mereka.

Jika mereka kemudian menumpahkan kemampuan dan ilmu mereka, sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyombongkan diri, tetapi mereka berniat untuk membuka diri apa adanya. Apakah mereka memang pantas untuk mengemban tugas itu atau kurang memenuhi syarat.

“Nah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “lakukan. Aku ingin melihat seutuhnya. Tentu saja bukan ilmu pamungkas kalian berdua, karena tanpa menyaksikan pun aku sudah dapat memperhitungkannya, atas dasar pengamatanku atas ilmu kalian yang sempat kalian perlihatkan kepadaku.”

Demikianlah, keduanya pun segera mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Meskipun pakaian mereka telah menjadi basah oleh keringat, tetapi keduanya masih nampak segar. Tenaga mereka rasa-rasanya masih tetap utuh sebagaimana mereka baru mulai.

Sejenak kemudian Glagah Putih dan Rare Wulan itu pun mulai berloncatan. Mula-mula mereka bergerak perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin cepat. Selapis demi selapis mereka pun meningkatkan ilmu mereka.

Beberapa saat kemudian keduanya telah terlibat dalam permainan yang mendebarkan. Rasa-rasanya mereka tidak sedang berlatih bersama. Tetapi rasa-rasanya keduanya benar-benar telah terlibat dalam pertarungan yang sangat seru.

Bahkan keduanya pun telah berloncatan dan saling menyerang di atas patok-patok yang tidak sama besar dan tingginya. Bahkan sekali-sekali mereka pun telah berayun saling memburu. Sambil berputar di udara, mereka pun berloncatan dari tali ayunan dan jatuh di tanah dengan lunak, seperti seekor kucing yang meloncat dari atas atap rumah

Sementara itu benturan-benturan telah terjadi. Tenaga mereka pun menjadi berlipat dengan lambaran tenaga dalam. Rasa-rasanya sanggar yang luas itu telah terguncang oleh getar serta hentakan-hentakan mereka.

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. la merasa puas dengan tingkat ilmu kedua orang suami istri yang akan mendapat kepercayaan melawat ke Timur, untuk menemukan orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.

Untuk beberapa saat lamanya Glagah Putih dan Rara Wulan menunjukkan kemampuan mereka. Mereka pun telah menggelar unsur-unsur gerak yang paling rumit setelah mereka tuntas menjalani laku yang mereka pelajari dari kitab yang mereka dapatkan dari Kiai Namaskara.

Beberapa saat kemudian, Ki Patih pun memberikan isyarat agar mereka menghentikan permainan mereka.

Sementara keduanya menenangkan pernafasan mereka, Ki Patih pun kemudian duduk di atas sebuah amben bambu di dalam barak itu. Baru sejenak kemudian setelah pernafasan mereka menjadi tenang kembali, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah duduk pula di amben bambu itu.

“Luar biasa,” desis Ki Patih.

“Kami merasa tersanjung karena pujian Ki Patih.”

“Aku tidak sekadar memuji kalian berdua. Aku merasa kagum bahwa kalian memiliki ilmu dari aliran yang sudah lama tidak muncul ke permukaan.”

“Maksud Ki Patih?”

“Aku tidak tahu dari siapa kalian mempelajari ilmu itu. Tetapi dahulu, pada masa-masa yang sudah lama lampau, ada seorang berilmu sangat tinggi. la merasa sangat kecewa bahwa tidak ada orang yang pantas untuk mewarisi ilmunya. Setiap orang yang dipanggilnya untuk menjadi muridnya ternyata sangat mengecewakan orang tua itu, sehingga akhirnya orang tua itu hilang dari pergaulan. Hilang bersama ilmunya yang sangat tinggi. Pada waktu aku masih remaja, aku mengenal serba sedikit tentang ilmu itu, karena seorang kawanku dengan sombong selalu memamerkan bahwa unsur ilmu yang dimiliki itu adalah unsur ilmu dari seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun ilmu yang dikuasainya ternyata baru permukaannya saja. Ketika aku melihat kalian berdua dengan unsur gerak yang bersumber dari aliran ilmu yang sama, maka baru aku menyadari bahwa sebenarnyalah ilmu itu adalah ilmu yang sangat tinggi.”

“Kami berdua belajar dari beberapa orang guru, Ki Patih. Unsur yang manakah yang Ki Patih maksudkan dengan aliran ilmu yang sangat tinggi?”

“Aliran itu aku kenal dengan nama Namaskara. Sumber ilmu yang sangat tinggi itu adalah seseorang yang bernama Namaskara. Tetapi ia tidak pernah mempunyai seorang murid pun yang pernah berguru sampai tuntas kepadanya. Karena itu, ketika aku melihat kalian menunjukkan unsur-unsur gerak dari aliran ilmu Namaskara, aku menjadi heran. Bagaimana mungkin kau dapat mempelajari ilmu itu sampai tuntas?”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Orang yang masih saja diliputi rahasia itu pernah berpesan kepadanya bahwa ia sebaiknya tidak mengatakan kepada siapapun tentang ilmu serta kitabnya.

Tetapi seperti Ki Rangga Agung Sedayu, Ki Patih Mandaraka adalah perkecualian.

Karena itu maka ketika Ki Patih bertanya sekali lagi tentang ilmu Namaskara itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan kemudian menceritakannya dari awal sampai akhir. Mereka pun telah bercerita tentang berbagai macam laku yang harus dijalaninya. Bahkan Tapa Ngidang yang mereka lakukan di tengah-tengah hutan.

Ki Patih Mandaraka mendengarkan cerita Glagah Putih dan Rara Wulan dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali dahinya berkerut, namun kemudian ia pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Cerita Glagah Putih dan Rara Wulan sedemikian jelas dan terperinci, sehingga seakan-akan Ki Patih Mandaraka itu melihat dua dunia di rumah Kiai Namaskara yang jauh berbeda, bahkan berlawanan. Ki Patih seakan-akan juga melihat Glagah Putih dan Rara Wulan menjalani laku sehingga mereka benar-benar dapat menguasai ilmu dari aliran Namaskara, meskipun sesungguhnya mereka tidak pernah menjadi muridnya dalam dunia nyata.

Glagah Putih dan Rara Wulan menjadi murid Kiai Namaskara berdasarkan pada kitab yang ada pada mereka, yang mereka ketemukan di reruntuhan rumah Kiai Namaskara. Tetapi karena kesungguhan mereka, maka mereka telah mampu menyerap ilmu Kiai Namaskara itu sampai tuntas. Bahkan sampai pada ilmu pamungkasnya, yang mereka beri lama Aji Namaskara.

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar orang yang memenuhi syarat untuk mengemban tugas melawat ke Timur, untuk mencari orang yang menamakan dirinya Pangeran Ranapati. Seorang yang tiba-tiba saja hilang dari padepokannya, demikian nama Pangeran Jayaraga disebut-sebut akan memangku jabatan penguasa di Panaraga.

Karena itu maka Ki Putih Mandaraka itu pun kemudian tanpa ragu-ragu lagi berkata, “Kalian akan berangkat besok pagi. Tidak ada orang yang lebih baik dari kalian yang akan dapat melakukan tugas ini.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya menundukkan kepalanya. Kepercayaan itu adalah satu kehormatan bagi mereka berdua. MELAWAT KE ARAH MATAHARI TERBIT Langit nampak bersih ketika malam mulai turun. Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di atas amben kayu panjang di longkangan yang telah ditata menjadi taman yang asri meskipun tidak terlalu luas.

Mereka masih memperbincangkan tugas yang dibebankan kepada mereka. Besok pagi mereka akan berangkat untuk menunaikan tugas itu.

“Perjalanan yang panjang. Kita belum tahu, kita akan berjalan sampai kemana,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Tetapi tentu akan menarik.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kita akan bertamasya ke arah matahari terbit. Tetapi jangan bermimpi bahwa kita akan dapat menjenguk cakrawala dan melihat di mana matahari itu beristirahat di malam hari.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Jika tidak ada gawar di cakrawala, kita akan dapat terdorong terjun ke dalam ketiadaan yang sunyi.”

Namun sejenak kemudian, seorang abdi telah mempersilahkan keduanya untuk pergi ke longkangan. Keduanya pun kemudian bangkit berdiri dan pergi ke serambi.

“Sudan waktunya makan malam,” desis Glagah Putih.

“Ya. Agaknya Ki Patih minta agar kita makan malam bersamanya lagi.”

“Lebih enak makan di belakang. Kita tidak perlu segan-segan lagi. Kita dapat makan sampai kita benar-benar kenyang.”

“Kalau nasi yang disediakan hanya sedikit? Tentu aku yang tidak kebagian.”

Keduanya pun tertawa tertahan karena mereka sudah berada di pintu serambi samping.

Sebenarnyalah bahwa Ki Patih Mandaraka mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan untuk makan bersama. Namun agaknya Ki Patih tidak hanya ingin sekedar makan bersama. Mungkin Ki Patih masih mempunyai beberapa pesan sebelum besok pagi Glagah Putih dan Rara Wulan itu berangkat.

Sebenarnyalah setelah mereka makan, serta mangkuk-mangkuk yang kotor sudah disingkirkan, Ki Patih Mandaraka masih memberikan banyak pesan. Ki Patih masih menyebut beberapa ciri orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati.

“Mungkin orang itu menyamar. Jika sebelumnya ia tidak memelihara kumis, cambang dan jenggot, mungkin di Timur ia mulai memeliharanya. Mungkin dengan ciri dan pertanda yang tidak ada sebelumnya atau menghapus yang pernah ada.”

Glagah Putih dan Kara Wulan pun mengangguk-angguk.

Namun Ki Patih Mandaraka tidak hanya memberikan pesan tentang orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati, yang juga sering menyebut dirinya Ki Singa Wana. Tetapi Ki Patih Mandaraka juga memberikan beberapa petunjuk bagi Glagah Putih dan Rara Wulan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Ki Patih telah memberitahukan beberapa kelemahan yang masih terselip dalam ilmu Ki Namaskara.

Di samping itu, ketika Glagah Putih dan Rara Wulan menceritakan bahwa mereka juga sedang menjalani laku sebagaimana diajarkan oleh Ki Rangga Agung Sedayu, untuk meningkat daya tahan tubuh sehingga dapat meningkat sebagaimana ilmu kekebalan tubuh, Ki Patih Mandaraka justru telah memberikan beberapa petunjuk untuk mempercepat laku yang dijalaninya, serta tingkat ilmu kekebalan tubuh yang lebih tinggi

“Ki Rangga benar,” berkata Ki Patih Mandaraka, “kalian adalah orang-orang yang sudah memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi, sehingga kalian akan lebih mudah menjalani laku dan menguasai ilmu kekebalan tubuh. Karena itu, aku yakin bahwa pada saat kalian sampai ke daerah di sekitar Panaraga, maka kalian benar-benar sudah menguasai ilmu kekebalan tubuh itu. Apalagi karena kalian sudah beberapa kali menjalani laku Pati Geni, maka kali ini kalian akan dapat menjalaninya tanpa mengalami kesulitan apa-apa.”

“Ya, Ki Patih. Kami akan melakukannya,” desis Glagah Putih.

Malam itu Ki Patih Mandaraka telah memberikan pesan-pesan terakhirnya. Agar Glagah Putih dan Rara Wulan dapat lebih banyak mengenali Pangeran Ranapati, maka Ki Patih Mandaraka menganjurkan agar Glagah Putih dan Rara Wulan singgah di lereng timur Gunung Merapi.

“Bukankah Jati Anom juga berada di lereng sebelah timur Gunung Merapi? Kalian dapat singgah dan menemui Ki Tumenggung Untara. Mungkin Ki Tumenggung Untara juga mempunyai bahan yang dapat mendukung tugas-tugasmu.”

“Ya, Ki Patih. Agaknya kami akan singgah di Jati Anom. Selain di barak Kakang Untara, aku pun dapat singgah di padepokan kecil Ayah Widura. Jika saja Kakang Untara dan Ayah mempunyai keterangan yang dapat membantu tugas kami.”

“Mungkin juga Swandaru.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi agaknya Swandaru tidak terlalu banyak memperhatikan lingkungan di luar dirinya dan lingkungannya. Meskipun demikian, jika justru orang itulah yang memasuki lingkungan Swandaru, mungkin Swandaru akan dapat memberikan keterangan serba sedikit tentang orang yang mengaku Pangeran Ranapati, putra Panembahan Senapati.

Demikianlah, ketika malam menjadi semakin dalam, Ki Patih Mandaraka pun kemudian telah mempersilahkan Glagah Putih dan Rara Wulan beristirahat. Besok pagi-pagi mereka akan berangkat menjalankan tugas mereka. Mereka akan pergi ke Timur untuk melacak seorang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati, namun yang juga bernama Ki Singa Wana, yang sebelumnya berada di sebuah perguruan di lereng sebelah timur Gunung Merapi.

Malam itu Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar memanfaatkan waktunya untuk beristirahat. Mereka memang merasa letih, sehingga karena itu maka mereka pun berusaha untuk segera dapat tidur. Besok pagi-pagi mereka akan berangkat meninggalkan Kepatihan.

Seperti biasanya Glagah Putih dan Rara Wulan bangun pagi-pagi sekali. Mereka langsung bergantian pergi ke pakiwan dan kemudian berbenah diri.

Ketika langit menjadi semakin terang, mereka berdua telah dipanggil oleh Ki Patih untuk menghadap ke serambi.

Ternyata di serambi telah disediakan makan pagi bagi keduanya. Nasi, sayur, dan lauknya agaknya masih hangat.

“Makanlah.”

Mereka tidak rnenolak, karena mereka sadar bahwa tidak ada gunanya untuk menolaknya.

“Ki Patih sendiri?” bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak akan kemana-mana. Karena itu aku dapat makan pagi nanti setelah matahari naik.”

Glagah Putih menarik nafas panjang.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian sibuk menyuapi mulut mereka. Setelah beberapa kali mereka makan bersama Ki Patih, maka rasa-rasanya mereka tidak lagi terlalu segan. Bahkan Glagah Putih dan Rara Wulan makan cukup banyak, karena mereka akan menempuh perjalanan cukup jauh. Mereka akan pergi ke sisi timur Gunung Merapi.

Namun agaknya Glagah Putih dan Rara Wulan akan pergi menemui Untara lebih dahulu sebelum mereka mulai dengan pencariannya atas orang yang menyebut dirinya Pangeran Ranapati. Apalagi orang yang menyebut Pangeran Ranapati itu sendiri sudah tidak ada di perguruannya itu.

Pada saat Glagah Putih dan Rara Wulan makan, Ki Patih Mandaraka pun telah memberikan pertanda khusus bagi mereka berdua, di samping timang keprajuritan mereka. Timang yang sudah dibuat khusus bagi para prajurit sandi. Namun dalam tugas khususnya, Glagah Putih dan Rara Wulan telah mendapat pertanda yang khusus pula, yang dapat dipergunakan untuk minta bantuan pasukan yang manapun juga dan di bawah kepemimpinan siapapun juga.

“Jika ada prajurit Mataram yang menolaknya, maka laporkan kepadaku, siapakah mereka itu.”

“Baik, Ki Patih,” sahut Glagah Putih.

Setelah makan pagi, serta setelah Ki Patih merasa cukup memberikan pesan-pesan dan petunjuk-petunjuknya, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah minta diri meninggalkan Kepatihan.

“Kami mohon doa restu Ki Patih. Semoga kami dapat menyelesaikan tugas kami dengan baik, sehingga kami dapat membawa orang yang Ki Patih maksudkan ke Mataram.”

Demikianlah Glagah Putih dan Rara Wulan pun mulai dengan pengembaraannya. Ketika Ki Patih memberikan bekal uang, Glagah Putih mengatakan bahwa bekalnya yang terdahulu masih sisa cukup banyak.

“Kalian adalah pasangan yang masih muda dan belum mempunyai anak, sehingga kalian belum mengusung beban kebutuhan. Sebaliknya mereka yang sudah mempunyai beban bagi keluarganya, justru cenderung untuk mengatakan bahwa bekal yang dibawanya masih kurang.”

Glagah Putih dan Rara Wulan hanya tertawa saja. Namun Ki Patih pun agak memaksa agar mereka menerima bekal yang diberikannya.

“Kalian akan mengembara untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Sebaiknya kalian bawa bekal kalian masing-masing. Mungkin kalian akan melakukan tugas kalian terpisah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan telah membawa bekal yang diberikan kepada mereka. Glagah Putih dan Rara Wulan telah membawa bekal mereka masing-masing. Jika mereka terpisah yang satu dengan yang lain karena tugas mereka, maka mereka telah membawa bekal mereka sendiri-sendiri.

Keduanya meninggalkan Kepatihan pada saat matahari terbit. Di hari pertama itu jarak perjalanan mereka tidak terlalu jauh. Jarak ke Jati Anom lewat jalan pintas hampir sama jauhnya dengan jarak perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka keluar dari pintu gerbang Kota, Iangit pun nampak cerah. Masih terdengar kicau burung liar di pepohonan. Sementara jalan pun sudah menjadi ramai. Ada yang sedang berjalan ke pasar, namun ada yang sudah pulang. Yang lain pergi ke sawah sambil memanggul cangkul. Beberapa kali keduanya berpapasan dengan beberapa pedati yang agaknya membawa berbagai macam dagangan ke pasar.

Karena hari masih pagi, maka Glagah Putih dan Rara Wulan tidak merasa perlu tergesa-gesa. Mereka berjalan mengikuti jalan yang banyak dilalui orang. Tetapi semakin jauh mereka dari pintu gerbang, maka terasa jalan pun menjadi semakin lengang. Namun di sawah, para petani pun sibuk melakukan kerja mereka masing-masing.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memasuki jalan pintas di kaki Gunung Merapi. Glagah Putih berjalan di kaki Gunung Merapi dari sisi selatan berputar ke sisi timur. Meskipun jalannya turun naik, tetapi jaraknya lebih dekat daripada mereka menempuh jalan yang lebih ramai lewat Prambanan, menyeberang Kali Opak, kemudian setelah melewati Taji dan beberapa padukuhan serta bulak panjang, sebelum sampai ke Sangkal Putung, berbelok ke kiri ke arah kaki Gunung Merapi dari arah timur.

Terasa angin yang sejuk mengusap tubuh mereka di panasnya sinar matahari. Namun udara di kaki Gunung Merapi terasa segar.

Glagah Putih dan Rara Wulan sekali-sekali berjalan di pinggir hutan pegunungan yang lebat. Namun kemudian mereka pun melewati daerah pertanian yang subur. Sawah yang terbentang luas tidak pernah mengalami kekeringan di segala musim. Padukuhan-padukuhan yang mereka lewati pun nampaknya merupakan padukuhan-padukuhan yang kehidupan rakyatnya nampak agak baik. Tanah mereka yang subur telah mendukung kesejahteraan mereka, sehingga mereka dapat hidup pantas meskipun tidak berlebihan.

Glagah Putih dan Rara Wulan berharap bahwa di tengah hari mereka sudah mendekati Jati Anom.

“Apakah kita akan pergi ke tempat Kakang Untara lebih dahulu, atau ke padepokan Ayah?” bertanya Rara Wulan.

“Kita akan berbicara tentang seorang pertapa,” sahut Glagah Putih.

“Jika demikian, lebih baik kita bertemu Ayah saja lebih dahulu. Mungkin Ayah lebih memperhatikan keberadaan Pangeran Ranapati atau juga yang disebut Ki Singa Wana daripada Kakang Untara, yang perhatiannya tentu lebih banyak ditujukan kepada persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keprajuritan.”

“Baiklah. Kita pergi ke padepokan saja lebih dahulu. Baru nanti malam atau besok kita menemui Kakang Untara. Mungkin ada baiknya kita singgah di Sangkal Putung. Sudah agak lama kita tidak bertemu dengan Kakang Swandaru dan Mbokayu Pandan Wangi, sejak kita pulang dari Demak.”

Demikianlah, keduanya pun langsung menuju ke padepokan kecil di Jati Anom, yang dihuni oleh Ki Widura serta beberapa orang cantrik yang jumlahnya tidak banyak. Namun agaknya Ki Widura memilih cantrik-cantriknya memiliki kemampuan lebih daripada sekedar jumlahnya banyak. Apalagi tanah pendukung padepokan kecil itu juga tidak terlalu luas, meskipun Ki Demang di Jati Anom sudah memberikan isyarat bahwa Ki Widura dapat memperluas tanah dukungan bagi padepokannya, dengan membuka hutan di sebelah utara Jati Anom, tidak terlalu jauh dari Lemah Cengkar yang menurut kata orang dihuni oleh harimau putih.

Namun agaknya Ki Widura masih menganggap belum waktunya untuk memperluas padepokannya.

Demikianlah, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah memilih jalan yang langsung menuju ke padepokan. Mereka sengaja menghindari barak pasukan Untara, karena mereka baru akan singgah kemudian. Jika ada prajurit Untara yang mengenalnya, maka ia harus memberikan berbagai macam alasan untuk disampaikan kepada Untara, bahwa mereka masih belum dapat singgah hari itu.

Pada saat matahari turun, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah sampai di depan gerbang padepokannya, Sebelum ia memasuki gerbang, dua orang cantrik yang sedang membersihkan dinding padepokan telah melihatnya dan dengan tergesa-gesa mendatanginya.

“Selamat datang, Glagah Putih dan Rara Wulan,” berkata kedua cantrik itu hampir berbareng.

Glagah Putih dan Rara Wulan tertawa. Dengan nada tinggi Glagah Putih bertanya, “Bagaimana keadaan kalian dan seisi padepokan ini?”

“Semuanya baik-baik saja,” jawab seorang di antara mereka.

“Apakah Ayah ada?”

“Ada, ada. Baru saja Ki Widura melihat-lihat tanaman di halaman padepokan kami. Ada beberapa tanaman pohon bunga yang baru kami tanam dua hari yang lalu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar