Api Di Bukit Menoreh Seri 4 Buku 387

Buku 387

Ternyata keinginan orang yang menemui Rara Wulan dan menyatakan keinginannya untuk dapat berhadapan dalam pendadaran itu memang terjadi. Ketika para peserta itu kemudian memasuki arena pertarungan, maka orang itu pun sambil tersenyum-senyum berkata, “Kita benar-benar dapat bertemu di arena pendadaran ini, Nduk.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku sudah bersuami. Sebutan yang kau ucapkan itu hanyalah bagi anak-anak gadis remaja. Bahkan yang meningkat dewasa pun mempunyai sebutan yang berbeda.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku tahu bahwa kau sudah bersuami. Aku pun tahu siapa suamimu. Bukankah suamimu laki-laki yang duduk bersamamu di tangga serambi itu?”

“Ya. Kenapa kau tidak ingin bertemu dengan suamiku saja?”

“Buat apa aku bertemu dengan suamimu? Jika aku bertemu dengan suamimu, maka suamimu tidak akan mendapat kesempatan untuk meneruskan pendadaran ini, karena aku akan membuatnya tidak berdaya sama sekali. Ia akan menjadi seperti seorang yang dungu dan tidak berilmu sama sekali.”

“Tetapi pada pendadaran hari pertama, para perwira di Mataram yang menyelenggarakan pendadaran ini sudah melihat bahwa suamiku mempunyai kemampuan yang tinggi.”

“Tetapi pendadaran hari ini pun akan ikut menentukan. Tetapi beruntunglah bahwa suamimu tidak bertemu dengan aku dalam pendadaran ini.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi jantungnya terasa bagaikan bergejolak. Orang ini jauh berbeda dengan orang yang kemarin dihadapinya dalam pendadaran itu.

Sementara itu, sejenak kemudian telah terdengar isyarat bahwa pendadaran itu pun segera akan dimulai. Para perwira yang bertugas pun telah berdiri di tempat mereka masing-masing, mengawasi setiap pasangan yang akan bertarung dalam pendadaran itu. Ki Tumenggung Purbasena masih memperingatkan, bahwa yang sedang berlangsung adalah satu pendadaran untuk menunjukkan kemampuan para peserta serta kemungkinan-kemungkinan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Bukan arena untuk membalas dendam.

Ketika pertanda bahwa pendadaran itu dapat dimulai, maka setiap pasangan dari pertarungan dalam pendadaran itu pun mulai bergeser. Di antara mereka pun mulai terjadi pertarungan. Serangan demi serangan. Tetapi mereka sadar, bahwa yang dinilai bukanlah menang atau kalah, tetapi landasan ilmu mereka. Karena itu maka mereka pun telah berusaha untuk menumpahkan segala kemampuan mereka. Keanekaragaman unsur-unsur gerak, serta kecepatan gerak mereka.

Sementara itu, lawan Rara Wulan itu pun mulai bergeser pula. Sambil tersenyum ia pun berkata kepada Rara Wulan, “Mulailah, Nduk. Seranglah aku dengan segenap kemampuanmu.”

Rara Wulan masih berdiri tegak. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Sementara orang itu masih tersenyum-senyum sambil berkata, “Ayo, jangan ragu-ragu. Tumpahkan segala kemampuanmu agar kau mendapat nilai yang baik dalam pendadaran ini. Dengan demikian maka besok kau masih akan mendapat kesempatan untuk bertarung melawan seorang Senapati Mataram.”

Rara Wulan masih saja berdiri tegak. Ia masih belum berbuat apa-apa. Dalam pada itu, perwira yang mengawasinya sempat memperingatkan keduanya, “Kenapa kalian tidak mulai? Kawan-kawan kalian sudah bertarung. Jangan banyak membuang waktu, mumpung hari masih pagi. Mumpung matahari belum terasa panasnya. Jika panas matahari menjadi terik, maka kalian akan cepat menjadi lelah. Aku pun malas untuk berjemur di sini sampai lewat tengah hari.”

“Baik, Ki Rangga,” lawan Rara Wulan itulah yang menjawab. Kepada Rara Wulan ia pun kemudian berkata, “Ayo, Nduk, jangan ragu-ragu. Mulailah, serang aku dengan segenap kemampuanmu. Jangan cemaskan aku. Aku tidak akan apa-apa.”

Perwira yang mengawasi pertarungan antara keduanya itu sudah mengenal Rara Wulan, istri Glagah Putih. Ia memang agak heran melihat sikap lawan Rara Wulan itu. Namun perwira itu pun kemudian mengerti, bahwa orang itu tentu belum mengenal Rara Wulan, yang sudah sering bekerja sama dengan para prajurit Mataram. Karena itu maka perwira itu pun berkata pula kepada Rara Wulan, “Nyi. Kau dengar tantangan lawanmu?”

Rara Wulan memandang Senapati itu. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil berkata, “Baiklah, Ki Rangga. Aku akan mencoba.”

“Mencoba apa?” lawan Rara Wulan itu justru bertanya.

“Bersiaplah,” berkata Rara Wulan kemudian.

Orang itu tertawa pendek. Katanya, “Aku sudah bersiap sejak tadi, Nduk. Sekarang lakukan. Serang aku habis-habisan. Aku akan memberi kesempatan kepadamu, agar Ki Rangga yakin bahwa besok kau masih mempunyai kesempatan.”

Ki Rangga yang mengawasi pendadaran itu pun menjadi jengkel pula. Karena itu maka ia pun berkata kepada Rara Wulan, “Jangan buang waktu, Nyi. Mumpung masih belum terlalu panas.”

“Ya,” lawan Rara Wulan itulah yang menyahut, “mulailah, Nduk. Mumpung masih pagi.”

Namun yang tidak terduga pun telah terjadi. Demikian orang itu terdiam, maka tiba-tiba saja Rara Wulan telah melibatnya dengan serangan ganda. Ia pun segera meloncat sambil menjulurkan tangannya menghantam perut orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu berdesah kesakitan. Demikian orang itu terbungkuk sambil memegangi perutnya, maka Rara Wulan pun menekan tengkuknya dengan keras sambil mengangkat lututnya, sehingga dahi orang itu pun telah membentur lututnya itu. Orang itu pun berdesah mengaduh tertahan.

Sementara itu Rara Wulan pun mendorong orang itu beberapa langkah surut. Demikian orang itu berusaha berdiri tegak, Rara Wulan telah meloncat menyerangnya. Sekali ia berputar sambil mengayunkan kakinya mendatar menyambar kening orang itu. Orang itu pun terpelanting dan jatuh terbanting di tanah.

Perwira yang mengawasinya justru menjadi tegang. Jika Rara Wulan menjadi benar-benar marah, ia akan dapat memotong kesempatan lawannya untuk memasuki pendadaran pada tahap berikutnya.

Tetapi ternyata Rara Wulan tidak memburunya. Dibiarkannya lawannya itu berusaha untuk bangkit. Beberapa saat kemudian, lawannya itu pun sudah berdiri tegak. Tetapi mulutnya masih menyeringai menahan sakit di punggung dan keningnya. Sementara itu kepalanya menjadi agak pening, karena dahinya yang membentur lutut Rara Wulan.

“Perempuan iblis,” ia menggeram, “kau mencari kesempatan pada saat aku belum benar-benar bersiap.”

Perwira yang mengawasinya itu pun mendekatinya sambil berkata, “Seharusnya aku tidak boleh membantumu, tetapi aku ingin kau masih mendapat kesempatan besok pagi. Jika kau membuat perempuan itu marah, maka kesempatan itu benar-benar akan habis hari ini.”

Orang itu memandang Ki Rangga dengan kerut di dahi. Ia pun kemudian berkata, “Ki Rangga mencoba menakut-nakuti aku?”

“Tidak. Aku justru membantumu. Aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa kau rangkap tiga tidak akan dapat mengalahkannya. Aku pernah berada di medan perang bersamanya. Terakhir di Demak.”

Wajahnya benar-benar menjadi tegang. Saudaranya yang menjadi prajurit dan bahkan dapat mengatur pertemuannya dalam pendadaran dengan perempuan itu, tidak mengatakan apa-apa kepadanya tentang perempuan itu.

Sementara itu perwira itu pun berkata, “Jika kau tidak percaya, cobalah. Tetapi jika kau pingsan di sini, maka besok kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu perwira itu pun berkata, “Sebaiknya tunjukkan saja kemampuanmu yang tertinggi. Kau tidak usah sombong. Jangan ragu-ragu. Seranganmu dalam tataran ilmumu tertinggi, tidak akan membahayakan perempuan itu. Bukan sebaliknya.”

Lawan Rara Wulan itu pun termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Rara Wulan yang berdiri sambil memandanginya dengan tajamnya. Karena keduanya masih saja berdiam diri, maka perwira itu pun kemudian berkata, “Cepat lakukan. Atau aku akan menyatakan bahwa kau tidak pantas untuk memasuki pendadaran besok.”

Orang itu pun baru sadar. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, perempuan itu memang berilmu tinggi. Tetapi ia tidak segera mau menerima kenyataan itu. Ia ingin melakukan sebagaimana dikatakan oleh Senapati yang mengawasinya itu. Ia akan mengerahkan kemampuannya melawan perempuan itu. Apakah benar ia akan dapat mengatasinya.

Demikianlah, sejenak kemudian orang itu pun mulai menyerang. Mula-mula ia memang agak ragu. Namun kemudian ia pun segera mengerahkan kemampuannya. Kakinya berloncatan, sementara tangannya terayun-ayun dengan cepatnya. Kemudian kaki atau tangannya mematuk dengan derasnya.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Senapati yang mengawasinya, serangan-serangannya dengan mengerahkan segenap kemampuannya itu seolah-olah tidak berarti apa-apa bagi Rara Wulan.

Orang itu menggeram. Ia menjadi sangat kecewa kepada salah seorang yang masih berhubungan keluarga dengannya, yang telah berhasil mengatur pertarungan di antara para peserta pendadaran itu dengan mempertemukannya dengan Rara Wulan. Orang itu tidak mengatakan kepadanya bahwa perempuan yang bernama Rara Wulan itu adalah seorang yang berilmu tinggi.

Tetapi ternyata bahwa Rara Wulan pun tidak ingin mematahkan kesempatan orang itu besok memasuki pendadaran pada tahap akhir. Ketika Rara Wulan melihat ketahanan tubuh serta tenaga lawannya mulai menyusut, maka Rara Wulan pun mulai mengendorkan serangan-serangannya.

Senapati yang mengamati pertarungan itu sempat berdesis di telinga lawan Rara Wulan itu, “Nah, kau percaya sekarang?”

“Ya. Aku percaya.”

“Untunglah bahwa perempuan itu tidak dengan kejam memotong kesempatanmu. Jika kau ditekannya sampai menjadi pingsan, maka kau akan kehilangan kesempatanmu. Para peserta dinyatakan gagal kalau ia tidak menunjukkan kemungkinan bahwa ilmunya akan dapat berkembang, memiliki landasan yang kokoh serta mampu bertahan dalam pendadaran sampai batas waktu yang ditentukan, serta tidak menjadi pingsan.”

“Ya, ya. Aku harus mengaku,” jawab orang itu.

Dengan demikian, maka untuk selanjutnya lawan Rara Wulan itu tidak lagi mengerahkan tenaga dan kemampuannya. Ia mengerti bahwa hal itu tidak akan berpengaruh apa-apa. Yang kemudian ditunjukkan oleh lawan Rara Wulan itu adalah landasan kemampuannya serta kemungkinannya untuk berkembang lagi.

Senapati yang mengamatinya itu pun kemudian berkata, “Nah, begitu akan lebih baik. Kau tidak akan dapat mengingkari kenyataan ini.”

Demikianlah, hari pun menjadi semakin siang. Bahkan matahari sudah sampai ke puncak langit. Namun pendadaran itu masih saja berlangsung. Masih belum ada pertanda, bahwa pendadaran di hari itu akan diakhiri.

Namun kemudian, ketika matahari mulai turun, maka terdengar isyarat bahwa pendadaran pun telah berakhir.

Ketika kemudian para Senapati yang mengamati pertarungan antara mereka yang mengikuti pendadaran itu berkumpul, maka mereka pun berkesimpulan bahwa semua yang mengikuti pendadaran dapat memasuki tahap ke-tiga. Besok mereka yang mengikuti pendadaran itu akan langsung berhadapan dengan para Senapati itu sendiri. Namun mereka tidak tahu, Senapati yang manakah yang akan mereka hadapi seorang demi seorang.

Ki Tumenggung Purbasena pun kemudian menyatakan kepada para peserta pendadaran, bahwa besok mereka semuanya akan dapat ikut dalam pendadaran di tahap ke tiga. “Tetapi jika ada yang kemudian terpaksa tertinggal, jangan kecewa. Kalian dapat menempa diri, untuk kemudian mengikuti pendadaran pada kesempatan berikutnya. Mungkin satu tahun lagi. Karena itu, beristirahatlah dengan baik, agar besok kalian benar-benar dapat menunjukkan puncak dari kemampuan kalian di hadapan para Senapati, yang akan terjun langsung dalam pendadaran yang akan diselenggarakan besok.”

Demikianlah, para peserta pendadaran itu pun segera kembali ke barak masing-masing. Mereka segera mandi dan berbenah diri sebelum mereka pergi ke ruang makan. Baru kemudian mereka pun segera memanfaatkan kesempatan yang ada untuk beristirahat.

Sebagian dari mereka mulai mereka-reka, apakah yang besok akan terjadi. Dua puluh orang Senapati itu tentu mempunyai watak yang berbeda-beda. Tentu ada yang baik, sehingga memberikan banyak kesempatan kepada orang yang sedang menempuh pendadaran. Tetapi tentu ada yang sombong dan keras hati, yang merasa dirinya dapat menentukan hitam putihnya orang yang sedang mengikuti pendadaran itu, sehingga Senapati itu dapat berlaku semena-mena. Atau bahkan ada Senapati yang ingin melepaskan dendamnya, sehingga peserta pendadaran itu akan dapat menjadi sasaran.

Namun pendadaran pada tahap ke-tiga itu harus dilakukan. Baru jika mereka dapat melalui pendadaran pada tahap ke-tiga itu, maka mereka akan dapat ditetapkan menjadi seorang prajurit dalam tugas sandi di Mataram. Para peserta pendadaran itu pun menyadari, bahwa besok mereka harus menunjukkan penampilan yang terbaik.

Sementara itu, pengalaman dari dua orang peserta pendadaran yang telah berhadapan dengan Rara Wulan ternyata telah menyebarkan cerita tentang kelebihan perempuan itu. Mereka harus mengakui kenyataan bahwa perempuan itu mempunyai kelebihan dari mereka.

“Untunglah bahwa perwira yang menunggui pertarunganku dengan perempuan itu sempat memberi peringatan kepadaku,” berkata peserta pendadaran yang harus berhadapan dengan Rara Wulan di hari ke-dua, “jika tidak, mungkin aku benar-benar akan tenggelam di hari ke-dua ini.”

“Peringatan apa?”

“Perwira itu memberitahukan kepadaku bahwa perempuan itu tidak akan dapat aku kalahkan, meskipun aku rangkap tiga. Ternyata yang dikatakan benar, sehingga aku dapat mengendalikan diriku dalam pendadaran itu. Jika aku masih saja menghadapinya dengan sombong, mungkin aku akan dibuatnya pingsan.”

Kawannya tertawa. Katanya, “Karena itu, lain kali jangan meremehkan orang lain. Dengan perempuan itu saja kau sudah kalah. Apalagi dengan suaminya.”

“Beberapa orang mengatakan bahwa ilmu suami istri itu seakan-akan tidak ada batasnya.”

“Ah, tentu ada. Tetapi ungkapan itu sekedar ingin mengatakan bahwa ilmu keduanya sangat tinggi.”

“Benar juga kata orang, bahwa sebenarnya keduanya tidak perlu ikut dalam pendadaran. Keduanya akan dapat berpengaruh terhadap pandangan para Senapati yang bertugas, seakan-akan yang lain tidak berdaya sama sekali.”

“Tidak. Para Senapati itu cukup baik. Ternyata bahwa kita semuanya diperkenankan mengikuti pendadaran sampai pada tahap ke-tiga. Nah, mungkin dalam tahap ini nanti, ada satu dua di antara kita yang harus tinggal.”

Orang itu mengangguk-angguk.

Pada saat itu, Ki Purbasena sedang berbicara dengan dua puluh orang Senapati yang akan bertugas besok. Seperti yang dikatakan oleh Ki Purbasena, maka Senapati yang akan ikut dalam pendadaran itu serendah-rendahnya adalah seorang Rangga. Bahkan lebih separuh dari para Senapati yang akan melakukan pendadaran adalah seorang Rangga. Sedangkan selebihnya adalah para Tumenggung dari berbagai macam kesatuan dalam lingkungan keprajuritan Mataram. Pendadaran bagi para prajurit dalam tugas sandi memang agak berbeda dengan pendadaran bagi para prajurit dari kesatuan-kesatuan yang lain, yang mempunyai kekhususannya masing-masing.

Kepada para Senapati yang akan melakukan pendadaran, Ki Tumenggung Purbasena pun telah memberikan beberapa pesan. “Mereka adalah peserta pendadaran. Karena itu, tanggapan Ki Tumenggung dan Ki Rangga atas kemampuan mereka juga harus berbeda dengan bila Ki Tumenggung dan Ki Rangga sedang bertarung yang sebenarnya. Mereka adalah pemula-pemula yang masih akan dikembangkan lebih lanjut bagi kepentingan tugas-tugas mereka. Karena itu, jika tidak terlalu jauh dari batasan kemampuan seorang prajurit, biarlah mereka mendapat kesempatan.”

Para perwira itu mengerti maksud Ki Tumenggung Purbasena. Mereka pun mengangguk-angguk mengiyakan. Tetapi ada juga seorang Rangga yang bertanya, “Bagaimana jika salah seorang di antara kita menghadapi seorang peserta yang tidak tahu diri? Yang mungkin karena ingin menyombongkan dirinya, memamerkan kelebihannya sehingga melampaui batasan-batasan yang wajar dalam pendadaran?”

“Bukankah kita tidak akan kekurangan cara untuk meredakannya?” sahut Ki Tumenggung Purbasena, “Kita yang telah diangkat menjadi seorang Rangga atau seorang Tumenggung, tentu memiliki sesuatu yang menyebabkan kita pantas menduduki jabatan seorang Senapati. Menghadapi orang yang demikian, maka kita akan melunakkannya, kemudian menguasainya, sambil memperhatikan apakah ilmunya tidak dibayangi oleh ilmu hitam, serta masih akan mampu dikembangkan.”

Ki Rangga itu pun mengangguk-angguk. Sementara Ki Purbasena itu pun berkata pula, “Mungkin aku mengerti, siapakah yang kau maksudkan. Mungkin Ki Rangga mendengar dari mulut beberapa orang bahwa ada peserta pendadaran yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Jelasnya, Glagah Putih. Biarlah aku sendiri yang akan mendadarnya, apakah ia memiliki landasan yang cukup mapan untuk menjadi seorang prajurit. Jika ada orang yang mengatakan bahwa bagi Glagah Putih dan istrinya tidak lagi diperlukan pendadaran, itu adalah kekaguman yang berlebihan, karena orang itu tidak melihat keadaannya sepenuhnya. Namun diperlukan seorang Senapati yang siap untuk menghadapi istrinya. Maksudku, siap untuk berlaku adil dan menilainya dengan wajar. Tidak terpengaruh oleh berbagai cerita tentang dirinya. Tidak seorangpun yang bersedia menyatakan dirinya.”

Tidak seorangpun di antara mereka yang ingin bertarung melawan seorang perempuan. Karena itu maka Ki Tumenggung Purbasena pun berkata, “Jika demikian, maka biarlah aku saja yang menunjuk.”

Para Senapati itu pun saling berdiam diri. Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berkata, “Tentu tidak ada di antara kita yang memilih untuk menghadapi perempuan itu. Baik di antara kita yang sudah mengenalnya, maupun yang belum. Baik kita yang pernah bersamanya di medan pertempuran atau dalam pertempuran dimana saja, maupun yang belum, dengan alasannya masing-masing. Karena itu, sebaiknya diundi saja. Siapa yang dapat undi, maka ia lah yang harus melakukan pendadaran atas perempuan itu.”

Ki Tumenggung Purbasena termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Bagaimana pendapat para Tumenggung dan Rangga, yang besok akan melakukan tugas ini?”

Ternyata sebagian besar dari mereka setuju untuk diundi.

Ki Purbasena pun kemudian telah melakukan undian. Tetapi Ki Tumenggung Purbasena sendiri tidak ikut dalam undian itu, karena ia telah memutuskan bahwa ia lah yang akan melakukan pendadaran terhadap Glagah Putih, yang oleh beberapa orang dianggap tidak perlu dilakukan pendadaran atas dirinya dan atas istrinya.

Ternyata seorang Rangga yang sudah mengenal Rara Wulan-lah yang telah mendapat undi. Ki Rangga Darmasupa-lah yang harus turun melakukan pendadaran atas Rara Wulan.

Sambil menarik nafas panjang, Ki Rangga Darmasupa itu pun berkata, “Kenapa harus aku? Nah, siapa yang mau membeli hasil undian ini?”

Kawan-kawannya tertawa. Seorang Tumenggung berkata, “Nasib Ki Rangga memang buruk. Tetapi Ki Rangga tidak dapat mengelak. Ki Rangga harus menerima nasib buruk itu dengan mengucap syukur.”

Ki Rangga tersenyum. Ia tahu bahwa Tumenggung yang berbicara itu belum mengenal Kara Wulan dengan baik. Karena itu ia menganggap bahwa berhadapan dengan seorang perempuan justru satu keberuntungan, meskipun akan tersentuh harga dirinya.

Demikianlah, segala sesuatunya pun sudah selesai dibicarakan. Segala pesan-pesan telah disampaikan, sehingga besok tinggal melaksanakannya saja.

Malam itu, para peserta pendadaran pada umumnya menjadi berdebar-debar. Mereka berharap bahwa mereka akan bertemu dengan seorang perwira yang baik, setidak-tidaknya melakukan pendadaran dengan wajar. Sedangkan jika mereka kurang beruntung, maka mereka akan bertemu dengan seorang perwira yang garang, yang tidak ingin melihat keberuntungan orang lain.

Di pagi hari berikutnya, pagi-pagi sekali, para peserta pendadaran itu pun sudah siap. Seperti hari-hari sebelumnya, mereka tetap saja tidak mendapat makan pagi. Mereka hanya mendapat semangkuk minuman hangat sebelum mereka berangkat ke alun-alun Pungkuran.

Ternyata alun-alun Pungkuran menjadi lebih ramai dari biasanya. Orang-orang yang tinggal di sekitar alun-alun Pungkuran, atau bahkan dari tempat yang lebih jauh, mengetahui bahwa akan diselenggarakan pendadaran tahap akhir bagi beberapa orang yang akan memasuki jagad keprajuritan. Bagi orang-orang yang akan menonton pendadaran itu tidak akan dapat membedakan, apakah mereka akan memasuki tugas prajurit sandi atau tugas-tugas lain. Yang mereka ketahui bahwa akan ada pendadaran bagi beberapa orang yang memasuki tugas keprajuritan.

Pendadaran pada tahap akhir bagi penerimaan prajurit di gelombang penerimaan yang terakhir itu ternyata banyak menarik perhatian.

Dalam pada itu, Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka pun telah hadir pula. Seperti hari-hari sebelumnya, Ki Lurah Agung Sedayu pun telah ikut pula bersama Ki Patih, serta duduk di panggungan. Selain mereka, masih ada beberapa orang Senapati yang lain, yang akan ikut menyaksikan pendadaran tahap akhir pada gelombang penerimaan yang pertama itu. Beberapa orang prajurit berkuda pun telah siaga untuk menjaga agar orang-orang yang menonton pendadaran itu tidak berdesakan mendekati arena pendadaran sehingga dapat mengganggu.

Demikianlah, maka pada saatnya, Ki Purbasena pun telah mengumpulkan para peserta pendadaran serta para Senapati yang akan melakukan pendadaran itu. Ki Tumenggung Purbasena masih memberikan beberapa pesan terakhir. Baru kemudian ia menghadap Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka untuk melaporkan bahwa pendadaran tahap akhir pada gelombang penerimaan yang pertama itu akan segera dimulai. “Aku sendiri akan ikut melakukan pendadaran, Ki Patih. Karena itu maka aku serahkan keseluruhan pelaksanaannya dalam pengawasan Ki Patih serta Pangeran Singasari, agar pendadaran ini dapat berlangsung dengan baik, wajar dan jernih.”

“Baik,” jawab Ki Patih, “aku akan turun ke arena bersama Pangeran Singasari. Aku akan mengamati jalannya pendadaran ini. Mudah-mudahan dapat berlangsung jujur, adil, wajar dan jernih.”

Demikianlah, ketika waktunya sudah tiba, maka Ki Patih-lah yang memberikan isyarat bahwa pendadaran dapat dimulai.

Ketika Glagah Putih mengetahui bahwa yang akan melakukan pendadaran atas dirinya adalah Ki Tumenggung Purbasena sendiri, maka Glagah Putih pun menarik nafas panjang. Meskipun tidak terucapkan, rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat jarak antara Glagah Putih dan Ki Tumenggung.

“Aku harus berhati-hati,” berkata Glagah Putih di hatinya.

Demikianlah, maka pendadaran di alun-alun Pungkuran itu pun telah dimulai.

Tidak seperti hari-hari sebelumnya, pada hari itu orang-orang yang tinggal di sekitar alun-alun Pungkuran, bahkan dari tempat yang lebih jauh, yang menonton pendadaran itu, telah bergerak lebih dekat, sehingga para prajurit berkuda yang bertugas menjadi agak sibuk menahan mereka. Kuda-kuda mereka bergerak hilir mudik di luar gawar yang dipasang untuk membatasi agar penonton tidak mendesak lebih dekat lagi.

Dalam pada itu, seorang Rangga yang harus melakukan pendadaran terhadap Rara Wulan pun justru merasa bahwa tugasnya menjadi sangat ringan. Kepada Rara Wulan ia pun berkata, “Masih adakah gunanya jika aku melakukan pendadaran pagi ini?”

“Kenapa, Ki Rangga?” bertanya Rara Wulan.

“Aku sudah mengetahui seberapa tinggi ilmumu. Sebaiknya kau saja-lah yang melakukan pendadaran atasku, apakah aku pantas untuk menjadi seorang Rangga.”

“Ah, Ki Rangga masih sempat bergurau.”

“Bukankah aku berkata sebenarnya?”

“Tetapi Ki Rangga harus menjalankan tugas.”

Ki Rangga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi jangan retakkan tulang-tulang igaku.”

Demikianlah, keduanya memang terlibat dalam pertarungan yang semakin lama menjadi semakin sengit. Tetapi kedua-duanya tahu menempatkan dirinya, sehingga yang nampak adalah kelebihan-kelebihan justru dari kedua belah pihak. Bukan hanya Rara Wulan yang telah memunculkan unsur-unsur geraknya yang rumit, tetapi untuk menanggapinya, Ki Rangga pun nampak benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Meskipun Ki Rangga sendiri tahu bahwa Rara Wulan tidak bergerak dengan kecepatan penuh. Sekali-sekali keduanya juga harus menembus pertahanan lawan. Sekali-sekali kaki Ki Rangga yang terjulur sempat mengenai tubuh Rara Wulan. Namun serangan-serangan Rara Wulan juga sempat mendesak Ki Rangga berloncatan surut.

Orang-orang yang menyaksikan pendadaran itu berdecak kagum. Meskipun ia satu-satunya perempuan dalam pendadaran itu, namun ia mampu menunjukkan bahwa ia memang pantas menjadi seorang prajurit.

“Untunglah bahwa Senapati yang mendadarnya juga seorang yang berilmu tinggi. Jika tidak, maka justru akan terjadi sebaliknya,” berkata seorang yang dapat menilai serba sedikit kemampuan olah kanuragan mereka yang mengikuti pendadaran.

Seorang laki-laki yang masih muda berdesis, “Kenapa perempuan itu menyatakan dirinya untuk memasuki dunia keprajuritan? Apakah ia menjadi putus asa bahwa tidak ada seorang laki-lakipun yang melamarnya?”

“Mungkin. Tetapi mungkin ia telah dicerai oleh suaminya. Dengan kemampuannya itu, maka suaminya tentu sering dipukulinya sampai pingsan.”

Orang-orang itu terdiam ketika pertarungan antara Rara Wulan dan Senapati yang bertugas melakukan pendadaran atas perempuan itu menjadi semakin sengit.

Di sisi lain, Ki Tumenggung Purbasena sendiri telah berhadapan dengan Glagah Putih. Dengan nada berat Ki Tumenggung itu pun berkata, “Aku ingin membuktikan kata orang, bahwa kau memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa seharusnya kalian tidak perlu ikut dalam pendadaran ini. Mereka melihat apa yang pernah kau lakukan di Demak akhir-akhir ini. Aku juga pergi ke Demak. Aku juga tahu bahwa kau ada di sana. Tetapi sayang bahwa kita tidak berada di medan yang sama, sehingga aku tidak dapat menilai kemampuanmu waktu itu.”

“Aku berada di antara para Wiratani dari Tanah Perdikan Menoreh, Ki Tumenggung. Tidak ada kelebihan apa-apa. Kami para pengawal Tanah Perdikan berusaha untuk bertempur sebaik-baiknya bersama para prajurit Mataram.”

“Kakakmu itu aku dengar akan mendapat anugrah kenaikan pangkatnya, meskipun jabatannya masih tetap Senapati pada Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Aku juga tidak mengerti, kenapa Ki Lurah Agung Sedayu dianggap memiliki jasa yang besar pada pertempuran yang baru-baru ini terjadi di Demak, sehingga ia mendapat anugrah kenaikan pangkat.”

“Bukankah Ki Tumenggung juga mendapat anugrah kenaikan pangkat?”

“Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka tentu melihat sendiri apa yang telah aku lakukan. Setidak-tidaknya atas dasar laporan dari Pangeran Demang Tanpa Nangkil.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya Ki Tumenggung Purbasena ketika berada di Demak memperkuat pasukan pendamping dalam gelar tersendiri, di bawah kepemimpinan Pangeran Demang Tanpa Nangkil. Berdasarkan laporan Pangeran Demang Tanpa Nangkil, maka Ki Tumenggung Purbasena mendapat anugrah kenaikan pangkat menjadi seorang Tumenggung.

Glagah Putih menarik nafas panjang. Namun Glagah Putih menjadi heran akan sikap Ki Tumenggung Purbasena. Ia sendiri mendapat anugrah pangkat, kenapa ia seakan-akan menjadi dengki mengetahui bahwa KI Lurah Agung Sedayu akan mendapat anugrah pangkat menjadi seorang Rangga.

“Entahlah,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “aku tidak tahu. Yang penting, aku akan melakukan yang terbaik agar aku dapat lolos untuk diangkat menjadi seorang prajurit.”

Karena itu maka Glagah Putih pun tidak lagi menjawab. Ia telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapi pendadaran yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbasena sendiri. Namun demikian, terasa bahwa ada sesuatu yang membayangi pendadaran itu. Mungkin karena pendapat bahwa Glagah Putih tidak perlu mengikuti pendadaran, karena tingkat ilmunya sudah diketahui. Tetapi mungkin karena Glagah Putih adalah saudara sepupu Ki Lurah Agung Sedayu.

Ki Tumenggung pun tidak berkata apa-apa lagi. Beberapa langkah ia bergeser, sementara Glagah Putih pun telah bergeser pula. Menurut pesan Ki Tumenggung sendiri, bahwa yang akan terjadi di alun-alun Pungkuran itu adalah pendadaran, sehingga para Senapati harus menyesuaikan serta mengendalikan diri. Mereka tidak sedang bertempur untuk membalas dendam dan sakit hati. Tetapi sorot mata Ki Tumenggung Purbasena itu sendiri nampaknya akan berbeda dengan pesan-pesan yang telah diucapkan. Sehingga agaknya pada Ki Tumenggung Purbasena itu tidak terdapat satunya kata dan perbuatan. Sorot mata Ki Tumenggung itu bagaikan memancarkan kemarahan yang telah terendam bertahun-tahun, dan baru saat itu menemukan tempat untuk menumpahkannya. Bahkan rasa-rasanya Ki Tumenggung itu telah siap untuk menerkam dan meremas Glagah Putih sehingga menjadi debu.

Tetapi Glagah Putih berkata di dalam hatinya, “Aku tidak boleh kehilangan kendali.”

Demikianlah, Ki Tumenggung Purbasena pun kemudian mulai meloncat menyerang Glagah Putih. Namun Glagah Putih yang sudah bersiap itu pun dengan tangkas pula mengelak. Sambil meloncat, Glagah Putih pun telah merendahkan dirinya. Namun agaknya Ki Tumenggung sudah memperhitungkannya dengan cermat. Ia memang menghendaki Glagah Putih bergeser sambil merendahkan dirinya. Dengan demikian maka dengan cepat Ki Tumenggung itu memutar tubuhnya. Kakinya terayun mendatar dengan deras sekali. Jika ia berhasil, maka Glagah Putih tentu akan terpelanting jatuh. Demikian Glagah Putih berusaha untuk bangkit, maka kakinya akan meluncur menyamping menghantam dadanya. “Jika ia masih sempat bangkit lagi setelah kakiku menghentak dadanya, maka aku harus mengakui bahwa anak ini memang memiliki kelebihan dari yang lain.”

Tetapi ternyata bahwa Ki Tumenggung itu salah hitung. Ketika tubuhnya berputar serta kakinya terayun mendatar, Glagah Putih pun telah tanggap akan perhitungan Ki Tumenggung Purbasena. Karena itu maka Glagah Putih itu pun telah siap melayani permainan Ki Tumenggung itu. Ketika kaki Ki Tumenggung terayun mendatar, Glagah Putih memang tidak sempat menghindar lagi. Tetapi dengan kedua lengannya Glagah Putih telah menangkis ayunan kaki Ki Tumenggung itu. Bahkan dilambari dengan tenaga dalamnya, sehingga kekuatan Glagah Putih pun menjadi semakin besar.

Benturan yang keras telah terjadi. Kaki Ki Tumenggung Purbasena yang terayun mendatar itu telah membentur kedua lengan Glagah Putih.

Ternyata Ki Tumenggung Purbasena terkejut sekali mengalami benturan itu. Yang kemudian menjadi goyah adalah justru Ki Tumenggung sendiri, sehingga Ki Tumenggung Purbasena-lah yang berusaha mempertahankan keseimbangannya.

Sambil meloncat surut, Ki Tumenggung Purbasena itu pun menggeram, “Anak iblis. Ternyata kau memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga kau mampu menangkis seranganku.”

Glagah Putih yang masih berusaha menahan diri itu pun menjawab, “Kita baru mulai, Ki Tumenggung. Aku masih belum ingin terkapar di tanah. Bukankah aku datang karena aku ingin menjadi seorang prajurit?”

“Setan kau, Glagah Putih. Kau harus menyadari bahwa hitam putihmu ada di tanganku. Apapun yang kau lakukan, jika aku mengatakan bahwa kau tidak dapat diterima menjadi seorang prajurit, maka kau akan gagal.”

“Ki Tumenggung,” berkata Glagah Putih, “jika aku ingin memasuki dunia keprajuritan, itu karena aku ingin mempertegas pengabdianku. Menurut pendapatku, jika aku tidak diterima menjadi seorang prajurit, maka lapangan pengabdian masih terbuka luas. Dimana-mana aku dapat mengabdi. Karena itu, Ki Tumenggung, lakukan apa yang terbaik menurut Ki Tumenggung. Jika aku tidak dapat bertahan dan menjadi pingsan sebelum waktu tertentu, sesuai dengan ketetapan maka aku tidak akan dapat diterima. Tetapi jika itu yang terjadi, tidak apa-apa.”

“Persetan kau, Glagah Putih,” geram Ki Tumenggung, “sebenarnya aku masih ingin memberimu kesempatan. Tetapi kau terlalu sombong, hingga kau telah menutup pintumu sendiri.”

“Tidak apa-apa, Ki Tumenggung. Tetapi ada yang ingin aku ketahui. Kenapa Ki Tumenggung seperti orang yang mendendam kepadaku? Setiap kali Ki Tumenggung berpesan bahwa yang terjadi di alun-alun ini adalah pendadaran. Bukan pembalasan dendam dan sakit hati. Tetapi Ki Tumenggung sendiri berlaku seperti orang yang mendendam.”

“Aku tidak mendendam siapa-siapa,” sahut Ki Tumenggung, “yang aku lakukan adalah niatku untuk memperingatkan keluarga Ki Lurah Agung Sedayu, yang merasa dirinya lebih baik dari para prajurit yang lain. Apalagi Ki Lurah akan mendapat anugrah kenaikan pangkatnya.”

Meskipun Glagah Putih masih mencoba mengendalikan perasaannya, namun terloncat juga dari bibirnya, “Ki Tumenggung. Kenapa Ki Tumenggung merasa perlu untuk memperingatkan Ki Lurah Agung Sedayu? Aku sama sekali tidak melihat tanda-tandanya, bahwa Ki Lurah Agung Sedayu merasa dirinya lebih baik dari para prajurit yang lain. Jika ia akan mendapat anugrah kenaikan pangkat, bukankah itu wajar-wajar saja? Ki Lurah Agung Sedayu sudah terlalu lama bertahan pada pangkatnya yang sekarang, seorang lurah prajurit. Sementara itu sudah ada Senapati yang seangkatan dengan Ki Lurah Agung Sedayu memiliki pangkat yang lebih tinggi.”

“Ki Lurah Agung Sedayu pernah membuat hatiku sakit ketika itu. Seharusnya aku-lah yang akan memegang jabatan sebagai pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Waktu itu aku juga masih seorang lurah prajurit. Tetapi tiba-tiba telah ditetapkan orang yang bernama Agung Sedayu.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Itulah agaknya ganjalan di hati Ki Tumenggung Purbasena. Dengan nada rendah Glagah Putih pun kemudian berkata, “Ki Tumenggung. Kakang Agung Sedayu meskipun bukan orang yang lahir di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi seakan-akan ia adalah anak Tanah Perdikan itu. Selain itu, bukankah satu keuntungan bagi Ki Tumenggung? Jika saja Ki Tumenggung saat itu menjadi pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh, pangkat Ki Tumenggung sampai sekarang masih saja lurah prajurit, seperti Ki Lurah Agung Sedayu.”

“Tidak. Aku tentu dapat menunjukkan kelebihanku. Kesempatan itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan kedudukanku sendiri saat itu. Jika Ki Lurah Agung Sedayu tidak sempat naik pangkat sebelumnya, itu tentu ada sebabnya.”

“Ya. Demikian pula jika sekarang Ki Lurah Agung Sedayu mendapat anugrah kenaikan pangkat.”

“Cukup, Glagah Putih. Sekarang aku ingin menunjukkan kepadamu bahwa Ki Lurah Agung Sedayu itu bukan apa-apa bagiku. Apalagi kau. Karena itu kau harus berlutut di hadapanku, mohon agar aku memberi keputusan terbaik agar kau dapat diterima menjadi seorang prajurit. Kemudian kau pun harus mengatakannya kepada Ki Lurah Agung Sedayu tentang apa yang harus kau lakukan itu. Jika Ki Lurah Agung Sedayu menjadi sakit hati karena adiknya aku perlakukan seperti itu, maka biarlah ia menemui aku. Aku sekarang Tumenggung. Sedangkan kakangmu itu hari ini masih saja seorang lurah prajurit.”

Wajah Glagah Putih menjadi merah. Terasa jantungnya pun berdegup semakin cepat. Dengan suara yang bergetar Glagah Putih pun berkata, “Ki Tumenggung. Di arena pendadaran ini aku sama sekali tidak akan mengemis belas kasihan siapapun juga. Tidak pula kepada Ki Tumenggung. Karena itu, seandainya aku gagal, sudah aku katakan, masih banyak sekali lapangan pengabdian yang lain. Aku tidak akan menjadi seorang prajurit dengan merendahkan harga diriku. Bayangkan, apa yang terjadi jika prajurit-prajurit Mataram itu terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai harga diri.”

“Ternyata kau sombong seperti Ki Lurah Agung Sedayu. Ingat, aku-lah yang berkuasa atasmu sekarang. Seandainya kau pingsan dan bahkan terluka parah bagian dalam tubuhmu, tidak ada orang yang dapat menyalahkan aku.”

Glagah Putih benar-benar telah kehabisan kesabaran. Karena itu maka ia pun menjawab, “Jika terjadi sebaliknya pun tidak ada orang yang dapat menyalahkan aku. Bahkan orang akan mencibirkan bibirnya melihat seorang Tumenggung yang dapat dikalahkan seorang calon prajurit yang sedang menempuh pendadaran. Tetapi Ki Tumenggung perlu ingat akan cerita tentang Mas Karebet, yang membunuh seorang calon prajurit pada saat ia melakukan pendadaran. Mas Karebet telah diusir karena kesalahannya itu.”

“Persetan dengan dongeng tentang Mas Karebet. Aku bukan Mas Karebet. Aku akan dapat memberikan alasan yang lebih baik dari Mas Karebet itu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia sadar bahwa Ki Tumenggung tidak hanya sekedar mengancamnya. Namun dengan demikian Ki Tumenggung sudah melanggar pesan-pesannya sendiri kepada para perwira yang melakukan pendadaran atas para calon prajurit.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbasena pun melihat Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka melangkah mendekati arenanya. Tetapi ia tidak melihat Ki Lurah Agung Sedayu menyertai mereka. “Bersiaplah. Sayang, kakakmu tidak menyertai Ki Patih Mandaraka. Aku ingin memperlihatkan kepadanya, bagaimana adiknya terkapar dengan nafas tersendat-sendat di arena pendadaran ini.”

Glagah Putih masih saja berdiam diri. Namun ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sebelum Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka menjadi semakin dekat, maka Ki Tumenggung Purbasena pun mulai menyerang Glagah Putih. Namun Ki Tumenggung itu masih belum terlalu garang. Ia masih saja sekedar memancing Glagah Putih untuk mulai melakukan serangan-serangan.

Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka berhenti sejenak mengamati Ki Tumenggung Purbasena dan Glagah Putih yang mulai terlibat dalam pertarungan. Tetapi nampaknya Ki Tumenggung masih belum bersungguh-sungguh.

Namun demikian Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka beranjak pergi, Glagah Putih pun terkejut. Tiba-tiba saja Ki Tumenggung Purbasena melibatnya dengan garang. Serangannya datang bagaikan angin prahara. Glagah Putih yang terkejut itu pun terdesak surut. Bahkan ketika tiba-tiba saja kaki Tumenggung Purbasena mengenai lambungnya, maka Glagah Putih itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan Glagah Putih pun telah kehilangan keseimbangannya.

Namun demikian Glagah Putih jatuh, ia pun segera berguling dengan cepatnya mengambil jarak. Namun Ki Tumenggung Purbasena yang ingin mempermalukan Glagah Putih itu tidak melepaskannya. Dengan cepat ia pun meloncat memburu. Ia ingin membuat Glagah Putih pingsan, kemudian membuat laporan bahwa ternyata Glagah Putih tidak mempunyai kemampuan cukup untuk menjadi seorang prajurit. Dengan demikian, ia tidak saja mempermalukan Glagah Putih, tetapi peristiwa itu tentu akan menyinggung pula harga diri Ki Lurah Agung Sedayu. Apapun yang akan dilakukan oleh Ki Lurah Agung Sedayu, namun ia hanyalah seorang lurah prajurit. Sedangkan Purbasena adalah seorang Tumenggung. “Agung Sedayu masih seorang lurah prajurit. Ia masih belum diwisuda serta mendapat Serat Kekancingan menjadi seorang Rangga yang ditempatkan di Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Tumenggung Purbasena di dalam hatinya.

Tetapi ternyata Glagah Putih dapat bergerak lebih cepat. Pada saat Ki Tumenggung memburunya, maka Glagah Putih masih sempat meloncat surut untuk mengambil jarak. Dengan demikian Glagah Putih pun siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi Glagah Putih telah berdiri dekat sekali dengan gawar yang mengelilingi arenanya. Jika ia meloncat keluar arena, maka perwira yang melakukan pendadaran akan dapat membuat pertimbangan tertentu. Mungkin mengurangi nilainya, atau bahkan menganggap peserta pendadaran itu kurang mempunyai keberanian. Mungkin pula perwira yang melakukan pendadaran dapat menganggapnya terlalu lemah, sehingga tidak mampu untuk mempertahankan dirinya.

Dengan demikian Glagah Putih harus berhati-hati. Nampaknya Ki Tumenggung Purbasena akan berusaha melemparkannya keluar gawar arena pendadaran itu.

Karena itu maka ketika Ki Tumenggung itu menyerang dengan kaki terjulur menyamping, sementara tubuhnya meluncur dengan derasnya, Glagah Putih pun dengan kecepatan yang tinggi telah mengelak selangkah ke samping, sehingga serangan Ki Tumenggung itu tidak menyentuhnya. Namun demikian kaki Ki Tumenggung itu menyentuh tanah,hampir menyentuh gawar arena pendadaran, dengan kecepatan yang tinggi pula Glagah Putih menyerangnya. Kakinya terayun mendatar, tepat mengenai lambung Ki Tumenggung, sehingga Ki Tumenggung itu terdorong justru searah dengan serangannya yang tidak mengenai sasaran itu.

Adalah di luar perhitungan Ki Tumenggung Purbasena bahwa Ki Tumenggung Purbasena itu-lah yang justru terdorong menimpa gawar arena pendadaran itu, Hanya karena kelenturan tubuhnya serta kemampuannya menguasai diri, maka gawar lawe di arena pendadaran itu tidak putus, serta tiangnya tidak patah dan tercabut. Dengan demikian maka Glagah Putih pun telah mendapat kesempatan untuk bergeser sedikit ke tengah arena pendadaran.

Wajah Ki Tumenggung Purbasena menjadi merah seperti bara. Ia benar-benar menjadi marah. Yang terjadi bukannya Glagah Putih yang dipermalukan, tetapi hampir saja justru dirinya sendiri. Jika Ki Tumenggung itu benar-benar terlempar keluar arena, apakah karena gawar yang ditimpanya itu terputus atau tiang gawarnya yang tercabut, maka ia akan menjadi sangat tersinggung, meskipun ia dapat saja membuat seribu alasan kepada orang lain yang mungkin mempertanyakannya. Mungkin pada perwira yang bersamanya melakukan pendadaran, jika kebetulan mereka melihat. Atau bahkan seandainya Pangeran Singasari atau Ki Putih Mandaraka, atau siapapun. Tetapi ia tidak dapat berbuat demikian kepada dirinya sendiri. Bahkan meskipun ia tidak terlempar keluar dari arena, namun Ki Tumenggung itu merasa bahwa sebenarnyalah Glagah Putih telah memperlihatkan kelebihannya.

Namun dengan demikian, Ki Tumenggung itu menjadi semakin mendendamnya. Ki Tumenggung itu benar-benar ingin mematahkan harapan Glagah Putih untuk dapat menjadi seorang prajurit. “Aku harus membuatnya pingsan. Bahkan jika ia mati sekalipun, aku tidak dapat dipersalahkan. Jika pada suatu saat, di Demak, Mas Karebet dipersalahkan karena membunuh seorang peserta pendadaran, dan kemudian dihukum untuk meninggalkan Demak dan sekitarnya, maka itu karena Mas Karebet yang kemudian menjadi Sultan Pajang tidak dapat memberikan alasan yang masuk akal.” Namun Ki Tumenggung itu berkata selanjutnya di dalam hatinya, “Tetapi aku lain. Glagah Putih pun bukan Kebo Ijo yang dibunuh oleh Mas Karebet itu.”

Demikianlah, sinar mata Ki Tumenggung pun telah memancarkan nafsu untuk menghancurkan lawannya, yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang Senapati yang melakukan pendadaran. Bahkan Ki Tumenggung sendiri pun telah memberikan pesan itu kepada para Senapati yang lain, agar mereka dapat mengendalikan dirinya.

Glagah Putih yang menyadari tidak ada satunya kata dan perbuatan dari Senapati Mataram itu, telah membuatnya semakin berhati-hati. Bahkan kemudian ia mulai berusaha lagi untuk dapat mengendalikan diri.

Pertarungan antara Glagah Putih dan Ki Tumenggung Purbasena itu semakin lama menjadi semakin sengit. Agaknya Ki Tumenggung yang berpesan mewanti-wanti kepada para Senapati itu benar-benar tidak berlaku bagi dirinya sendiri.

Dalam pada itu, pendadaran di alun-alun Pungkuran itu semakin lama memang menjadi semakin mendebarkan. Beberapa orang Senapati memang dapat menempatkan dirinya, benar-benar sebagai orang yang melakukan pendadaran. Mereka menguasai lawan-lawan mereka, para peserta pendadaran, tetapi mereka memberi para peserta kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka sampai tuntas, agar para Senapati itu tidak salah menilai para peserta pendadaran itu.

Namun ada juga Senapati yang harus menggeleng-gelengkan kepalanya. Mereka sudah memberikan banyak kesempatan, tetapi peserta pendadaran yang dihadapinya itu memang terlampau lemah, sehingga masih belum sampai ke tataran dasar yang diperlukan untuk menjadi seorang prajurit. “Meskipun orang ini dapat bertahan terhadap kedua lawannya pada dua tahap pendadaran yang terdahulu, namun ternyata bahwa kemampuan dasarnya masih belum cukup. Daya tahannya memang cukup tinggi, sehingga pada dua tahap sebelumnya orang ini tidak pingsan. Tetapi untuk menjadi seorang prajurit, diperlukan sedikit peningkatan.”

Namun masih ada kemungkinan yang akan dapat membantunya. Mereka yang tidak terlalu jauh jaraknya dari landasan dasarnya, akan dapat dimasukkan ke dalam barak bagi para calon prajurit yang mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam latihan-latihan yang khusus untuk waktu tertentu. Jika dalam waktu tertentu itu ia tidak mampu menyesuaikan tingkat kemampuannya sampai ke kemampuan dasar, maka ia benar-benar tidak akan dapat diterima menjadi seorang prajurit. Namun jika ia mampu meningkatkan ilmunya, maka ia akan mendapat kesempatan untuk menjadi seorang prajurit. Tetapi dalam kedudukan dan pangkat setingkat lebih rendah dari kawan-kawannya yang langsung dapat menembus masa pendadaran.

Sementara itu, Rara Wulan masih saja bertempur melawan Ki Rangga. Sekali-sekali Rara Wulan memang menyempatkan diri untuk menunjukkan tataran ilmunya yang sangat tinggi. Namun jika Ki Rangga itu berloncatan surut sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Rara Wulan pun segera menyadari kedudukannya, sehingga karena itu maka ia pun segera menempatkan dirinya.

“Kau membuatku merasa sangat kecil, Rara Wulan,” berkata Ki Rangga, “jika aku belum setua sekarang, agaknya aku akan minta menjadi muridmu.”

“Ki Rangga terlalu menyanjungku. Aku justru merasa sangat dimanjakan dalam pendadaran ini.”

“Aku berkata sebenarnya, Rara Wulan. Seandainya kita benar-benar bertempur, maka apa yang dapat aku lakukan untuk mengatasi ilmumu yang sangat rumit, yang baru saja kau pertunjukkan?”

“Maaf, Ki Rangga, bukan maksudku untuk menyombongkan diri. Tetapi kadang-kadang tanpa sengaja unsur-unsur gerak yang rumit itu muncul dengan sendirinya.”

“Aku mengerti,” sahut Ki Rangga.

Demikianlah, keduanya masih saja terlibat dalam pertarungan yang sengit. Ternyata Ki Rangga juga seorang yang memiliki daya tahan tubuh yang tinggi, sehingga meskipun ia harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengimbangi Rara Wulan, namun tenaganya masih belum nampak menyusut.

Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka pun kemudian naik ke panggungan. Dari atas panggungan mereka melihat seluruh arena pendadaran di alun-alun Pungkuran itu. Sementara itu, Ki Lurah Agung Sedayu yang tidak ikut berkeliling bersama Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka, telah ikut naik ke panggungan pula atas perkenan keduanya.

Ternyata perhatian mereka sempat tertarik pada pertarungan antara Ki Tumenggung Purbasena melawan Glagah Putih, yang agaknya semakin lama menjadi semakin sengit. Ki Lurah Agung Sedayu menjadi cemas. Glagah Putih masih terhitung muda, sehingga darahnya masih mudah menjadi panas dan bahkan mendidih, jika perasaannya sedikit tersinggung.

“Aku mencemaskan Glagah Putih,” desis Ki Lurah Agung Sedayu, “anak itu harus mendapat pengawasan yang cukup.”

Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka tidak segera menyahut. Tetapi mereka pun melihat bahwa Glagah Putih dan Ki Tumenggung Purbasena telah melampaui batas-batas pendadaran. Mereka telah sampai pada tataran yang tinggi.

Sebenarnyalah Ki Tumenggung Purbasena telah kehilangan kendali sebagai seorang Senapati yang melakukan pendadaran. Yang nampak di hadapannya adalah seorang yang harus ditundukkannya. Orang itu harus dikalahkannya dan dilemparkannya keluar dari arena, atau dibuatnya menjadi pingsan.

Tetapi Glagah Putih ternyata tidak segera dapat diperlakukan sebagaimana dikehendaki oleh Ki Tumenggung Purbasena. Setiap Ki Tumenggung meningkatkan ilmunya, maka Glagah Putih pun masih saja mampu mengimbanginya. Bahkan semakin lama Glagah Putih pun akhirnya merasa jemu melihat tingkah laku Ki Tumenggung Purbasena. Karena itu maka Glagah Putih-lah yang kemudian meningkatkan ilmunya lebih tinggi lagi.

Ki Tumenggung Purbasena merasakan bahwa tekanan Glagah Putih menjadi semakin berat. Ilmunya yang meningkat semakin tinggi, telah membuat Ki Tumenggung menjadi gelisah.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih adalah seorang yang masih terhitung muda yang mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia telah mewarisi dari kakak sepupunya ilmu dari aliran Ki Sadewa, tetapi juga ilmu yang mengalir dari Kiai Gringsing. Ia pun telah menjadi murid Ki Jayaraga dengan aliran ilmunya yang menjadi landasan yang berbeda pula. Tetapi di dalam diri Glagah Putih, ilmu yang bersumber dari aliran yang berbeda itu telah menjadi luluh menyatu, sehingga unsur-unsur geraknya menjadi semakin rumit. Baik Ki Lurah Agung Sedayu maupun Ki Jayaraga, telah membantunya dengan bersungguh-sungguh untuk membuat ilmu Glagah Putih itu luluh menjadi ilmu yang bulat dan utuh. Bahkan kemudian Glagah Putih telah mendapat kitab dengan cara yang ajaib dari seorang yang menyebut dirinya Kiai Namaskara. Dengan menjalani berbagai laku yang berat, Glagah Putih dan Rara Wulan telah menguasai ilmu pada tingkatan tertinggi, meskipun tidak sampai pada batas sempurna. Selain itu, maka di sepanjang pengembaraannya beberapa orang berilmu tinggi, telah memperkaya perbendaharaan ilmunya dengan aliran ilmu yang berbeda-beda. Tetapi dalam diri Glagah Putih dan Rara Wulan, ilmu itu telah menjadi satu.

Ketika Glagah Putih harus menghadapi Ki Tumenggung Purbasena yang bersikap tidak adil kepadanya, maka Glagah Putih bertekad untuk tidak mau menjadi korban kedengkian serta dendamnya. Seandainya ia tidak dapat menjadi seorang prajurit, namun Glagah Putih sudah bertekad bahwa ia tidak mau dikalahkan oleh Ki Tumenggung Purbasena. Glagah Putih sadar bahwa untuk menjadi seorang prajurit, kelebihan dalam olah kanuragan bukannya satu-satunya penilaian yang menetapkan seseorang dapat diterima atau tidak. Tetapi setidak-tidaknya ia dapat membuktikan bahwa sebagai adik sepupu Ki Lurah Agung Sedayu, ia bukan seorang yang sangat lemah.

Dengan demikian maka pertarungan antara Ki Tumenggung Purbasena dan Glagah Putih itu sudah melebihi batas-batas pendadaran. Keduanya sudah berada pada tataran ilmu yang tinggi, sehingga setiap kali terjadi benturan antara mereka, maka tanah tempat mereka berpijak seakan-akan telah tergetar.

Tekanan-tekanan Glagah Putih telah membuat Ki Tumenggung Purbasena semakin meningkatkan ilmunya. Jantungnya pun terasa berdegup semakin cepat, sehingga darahnya seakan-akan mengalir semakin deras. Tetapi betapapun Ki Tumenggung meningkatkan ilmunya, namun sulit baginya untuk dapat mengimbangi ilmu Glagah Putih yang menjadi semakin rumit. Bahkan dalam gejolak perasaannya yang menjadi semakin panas, Glagah Putih justru ingin menunjukkan kepada Ki Tumenggung Purbasena bahwa tataran ilmu Ki Lurah Agung Sedayu tentu jauh lebih tinggi dari ilmu Ki Purbasena, meskipun ia telah diangkat menjadi seorang Tumenggung, sedangkan Agung Sedayu pada hari itu masih seorang lurah prajurit.

Ketika Ki Tumenggung mengalami tekanan yang semakin berat, terdengar Glagah Putih itu berkata, “Ilmuku belum sekuku ireng dari ilmu Ki Lurah Agung Sedayu. Bayangkan, Ki Tumenggung, jika Ki Tumenggung harus berperang tanding melawan Ki Lurah Agung Sedayu, maka Ki Tumenggung Purbasena akan menjadi seekor tikus di hadapan seekor kucing yang garang.”

“Persetan kau, iblis kecil. Aku dapat saja membunuhmu jika aku mau.”

“Apakah Ki Tumenggung mengira bahwa aku tidak dapat melakukannya? Aku sadar bahwa Ki Tumenggung tentu memiliki aji pamungkas. Tetapi aku pun telah mematangkan ilmu puncakku. Jika Ki Tumenggung menghendaki, mari, kita adu ilmu puncak kita. Siapakah yang akan terkapar mati di arena pendadaran ini. Aku, seorang peserta pendadaran yang ingin menjadi seorang prajurit, atau justru seorang Tumenggung yang diserahi tanggungjawab untuk melakukan pendadaran terhadap penerimaan prajurit yang akan berada dalam lingkungan tugas sandi pada angkatan yang pertama ini.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi merah membara. Kemarahannya seakan-akan tidak lagi dapat dikekang.

Namun dalam pada itu, dari panggungan terdengar isyarat bahwa waktu pendadaran telah selesai. Para Senapati yang melakukan pendadaran memang merasa agak heran, bahwa waktu pendadaran itu selesai lebih cepat dari hari pertama dan kedua.

Sesaat sebelum matahari mencapai puncaknya, pendadaran pada hari itu sudah dianggap selesai. Namun pada umumnya para Senapati sudah dapat menentukan, apakah para peserta itu dapat diterima menjadi prajurit atau tidak. Dua orang Senapati dengan terpaksa sekali harus menyatakan bahwa para peserta yang mereka hadapi masih belum dapat begitu saja memasuki dunia keprajuritan, karena kemampuan mereka dianggap masih berada di bawah batasan awal kemampuan seorang prajurit. Bagi mereka dapat ditawarkan, apakah mereka akan mengikuti latihan khusus untuk meningkatkan ilmu mereka, atau mereka akan mengulangi saja pada masa pendadaran mendatang. Meskipun demikian, segala sesuatunya masih harus dibicarakan lebih dahulu.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbasena pun harus menghentikan pendadarannya terhadap Glagah Putih. Namun terasa bahwa jantungnya masih berdegup lebih cepat. Kemarahannya masih belum mereda. Tantangan Glagah Putih benar-benar membuat darahnya mendidih.

“Tentu ada kecurangan,” geram Ki Tumenggung Purbasena, “seharusnya pendadaran masih belum berakhir. Tetapi sudah terdengar isyarat untuk menghentikan pendadaran ini. Tentu ada orang yang memberitahukan bahwa kesempatanmu untuk memasuki dunia keprajuritan terancam, karena kau tidak dapat menunjukkan ilmu yang setidaknya berada pada tataran awal dari seorang prajurit.”

Tetapi Glagah Putih pun telah kehabisan kesabaran pula. Dengan wajah yang merah ia pun berkata, “Mumpung terdapat banyak saksi di alun-alun, para Senapati, para prajurit dan bahkan rakyat Mataram, marilah kita tuntaskan persoalan kita. Bukan lagi soal pendadaran, tetapi antara aku dan kau.”

Namun Ki Tumenggung Purbasena tidak sempat menjawab. Beberapa orang Senapati yang telah selesai melakukan pendadaran, yang lewat di sebelah arena Ki Tumenggung Purbasena, berhenti sejenak. Seorang di antara mereka berkata, “Marilah, Ki Tumenggung. Agaknya kita selesai sedikit lebih awal.”

Ki Tumenggung Purbasena berdiri termangu-mangu. Terasa tubuhnya bergetar oleh kemarahan yang membakar jantungnya, sehingga membuat darahnya mendidih di tubuhnya. Tetapi Ki Tumenggung itu berusaha untuk mengendalikan dirinya.

Beberapa orang Senapati masih berdiri di dekat arena pendadarannya. Sehingga akhirnya Ki Tumenggung itu pun beranjak dari tempatnya dan berjalan bersama-sama beberapa orang Senapati yang baru saja menyelesaikan tugas mereka. Mereka masih harus membicarakan hasil pendadaran yang mereka lakukan terhadap para peserta.

Demikianlah, para peserta pendadaran itu pun telah berkumpul. Termasuk di dalamnya Glagah Putih dan Rara Wulan.

Dengan cemas Rara Wulan mendekati Glagah Putih, yang wajahnya masih nampak gelap. Jarang sekali Glagah Putih menunjukkan gejolak perasaannya di wajahnya. “Ada apa, Kakang?”

“Persoalanku dengan Ki Tumenggung Purbasena telah bergeser. Bukan lagi soal pendadaran, tetapi ia telah menyinggung perasaanku. Ia pun telah berusaha menyakiti hati Kakang Agung Sedayu lewat aku.”

“Apa yang dilakukannya?”

Keduanya pun kemudian duduk menepi sambil menunggu hasil pembicaraan para Senapati yang melakukan pendadaran.

Sementara itu, para peserta yang lain pun telah bertebaran pula. Tetapi ada di antara mereka yang duduk bersandar dinding dengan nafas yang terengah-engah. Agaknya orang itu telah mengerahkan segenap kemampuannya selama mengikuti pendadaran.

Sementara itu, Glagah Putih pun telah dengan singkat menceritakan apa yang sudah dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbasena. Tidak saja menyinggung perasaannya, tetapi ia pun sengaja membuat Ki Lurah Agung Sedayu menjadi tersinggung pula.

“Mungkin Kakang Agung Sedayu justru tidak tersinggung,” berkata Glagah Putih kemudian, “tetapi aku yang berhadapan langsung dengan Ki Tumenggung Purbasena benar-benar merasa tersinggung. Tetapi aku sekarang belum menjadi seorang prajurit. Aku masih belum terikat pada tataran kewenangan atas dasar kepangkatan dengan Ki Tumenggung Purbasena.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku juga harus menyesuaikan diri. Jika Ki Tumenggung itu kemudian berniat menumpahkan kemarahannya kepadaku, maka aku juga harus menantangnya bertempur.”

“Mudah-mudahan ia tidak menyentuh perasaanmu,” berkata Glagah Putih kemudian dengan nada rendah, “tetapi nampaknya Ki Tumenggung itu seorang pendendam. Ia pun menjadi dengki karena Kakang Agung Sedayu mendapat anugrah kenaikan pangkat.”

Rara Wulan pun mengangguk-angguk.

Sebenarnyalah bahwa waktu pendadaran telah dipersingkat. Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka melihat bahwa yang dilakukan Ki Tumenggung Purbasena sudah melampaui batas-batas tugasnya. Karena itu, untuk mencegah kemungkinan yang lebih buruk, maka dengan terpaksa sekali Pangeran Singasari telah mengambil keputusan untuk mempersingkat waktu pendadaran. Maka kesempatan bagi para Senapati untuk menilai para peserta telah cukup.

Namun Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka sama sekali tidak berniat mengungkapkan sebab yang sebenarnya, kenapa waktu pendadaran menjadi lebih singkat dari biasanya. Tetapi dalam pertemuan para Senapati untuk menentukan para peserta yang dianggap memenuhi syarat, justru Ki Tumenggung Purbasena-lah yang telah menyatakan ketidakpuasannya terhadap kebijaksanaan Pangeran Singasari itu.

“Justru saat-saat terakhir adalah saat-saat yang menentukan bagi para peserta. Pada saat-saat terakhir, kita akan dapat mengetahui ketahanan tubuh para peserta. Kemampuan dasarnya serta kemungkinan pengembangan ilmunya.”

“Ki Tumenggung Purbasena,” berkata Pangeran Singasari, “keputusanku itu adalah yang terbaik bagi Ki Tumenggung.”

Wajah Ki Tumenggung Purbasena menjadi tegang. Apalagi ketika ia sadari bahwa beberapa orang Senapati memandangnya dengan heran. Tetapi sebelum Ki Tumenggung menjawab, Pangeran Singasari itu pun berkata, “Nanti aku ingin berbicara secara khusus dengan Ki Tumenggung. Sekarang, sebaiknya Ki Tumenggung bersama-sama para Senapati yang melakukan pendadaran membicarakan tentang para peserta, siapakah yang pantas untuk diterima dan siapakah yang tidak.”

Jantung Ki Tumenggung Purbasena menjadi berdebar-debar. Agaknya Pangeran Singasari dan tentu juga Ki Patih Mandaraka memperhatikan pendadaran yang dilakukannya atas Glagah Putih. Betapapun cerdiknya Ki Tumenggung, tetapi ia tidak akan dapat mengelabuhi Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka yang berilmu sangat tinggi itu.

“Nah, sekarang segala sesuatunya aku serahkan kembali kepada Ki Tumenggung. Silahkan Ki Tumenggung Purbasena membicarakan dengan para Senapati.”

Ki Tumenggung Purbasena tidak dapat mengelak. Ia pun segera mengambil alih pimpinan dalam pertemuan itu. Para Senapati pun segera memberikan laporan tentang pendadaran yang mereka lakukan. Hampir setiap orang menyebut bahwa waktunya agak lebih pendek, tetapi bagi mereka tidak berpengaruh apa-apa. Bagi mereka waktu yang lebih pendek itu sudah cukup, sehingga mereka tidak sependapat dengan Ki Tumenggung Purbasena bahwa waktu selebihnya itu merupakan waktu yang menentukan.

“Aku sudah yakin terhadap hasil pendadaran yang aku lakukan,” berkata seorang Tumenggung. Yang lain pun menyahut, “Tidak akan ada pengaruhnya di sisa waktu yang sedikit itu. Bagiku waktuku sudah cukup.”

Yang lain pun sependapat pula, sehingga karena itu maka Ki Tumenggung tidak dapat lagi berbicara tentang waktu.

Demikianlah, maka para Senapati itu pun seorang demi seorang telah memberikan laporan dengan sedikit ulasan tentang para peserta pendadaran yang mereka tangani. Dari antara mereka, ada dua orang Senapati yang dengan terpaksa melaporkan bahwa dua orang peserta pendadaran masih belum memenuhi syarat kemampuan dasar bagi seorang prajurit. Tetapi menurut Senapati yang melakukan pendadaran, mereka masih dapat diberi kesempatan mengikuti latihan untuk meningkatkan dasar kemampuan mereka pada waktu yang tertentu. Agaknya mereka akan dapat menyusul, sehingga mereka akan dapat diterima meskipun pada tataran yang selapis lebih rendah dari kawan-kawan mereka. Sehingga mereka memerlukan waktu sekitar setahun setelah berada di dunia keprajuritan, untuk dapat menyusul kawan-kawan mereka yang dapat diterima dalam pendadaran yang baru saja diselenggarakan.

Namun ketika Ki Tumenggung Purbasena sendiri harus membuat pernyataan tentang pendadaran yang dilakukan atas Glagah Putih, maka nampak bahwa Ki Tumenggung Purbasena menjadi ragu-ragu.

Tetapi seorang Tumenggung justru berkata, “Apa yang Ki Tumenggung ragukan pada Glagah Putih?”

Akhirnya Ki Tumenggung Purbasena itu tidak dapat mengingkari kenyataan tentang Glagah Putih. Betapapun kemarahan telah membakar jantungnya, tetapi banyak orang yang mengakui bahwa ilmu Glagah Putih bukan saja memadai bagi seorang prajurit, tetapi justru terdapat kelebihan-kelebihan padanya.

Karena itu maka Ki Tumenggung pun  kemudian harus menyatakan bahwa Glagah Putih pun telah memenuhi syarat untuk menjadi seorang prajurit.

Dengan demikian maka keputusan pertemuan itu pun segera diumumkan. Ki Tumenggung Purbasena diapit oleh Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka, telah mengumumkan para peserta yang memenuhi syarat dan dapat diterima menjadi prajurit. Sedangkan dua orang di antara mereka akan mendapat kesempatan untuk meningkatkan ilmu mereka sehingga memenuhi tataran awal bagi seorang prajurit.

Kedua orang itu juga dapat memilih cara yang lain. Mereka menyatakan mengundurkan diri dan kemudian ikut serta pada pendadaran pada kesempatan berikutnya, setelah meningkatkan ilmunya. Mungkin di sebuah perguruan, atau mungkin mendapat bimbingan dari seorang yang memiliki ilmu yang memadai.

Demikianlah, para peserta itu pun segera dipersilahkan kembali ke barak mereka. Besok mereka harus menemui para petugas untuk menyatakan sikap mereka. Apakah mereka akan tetap berniat untuk menjadi seorang prajurit, atau ada di antara mereka yang berubah pendirian dan mengundurkan diri. Segala sesuatunya yang berhubungan dengan para peserta itu akan diselenggarakan oleh para petugas esok hari. Selanjutnya para peserta itu dapat pulang untuk tiga hari. Pada hari yang keempat, mereka harus sudah siap untuk memasuki satu masa latihan serta pengenalan atas tugas-tugas yang harus mereka lakukan.

Dalam pada itu, Rara Wulan pun menyadari bahwa ia akan berada dalam satu masa yang akan menjadi lebih sulit daripada para peserta laki-laki. Tetapi Rara Wulan tidak ingin mengundurkan diri. Atas persetujuan Glagah Putih, maka Rara Wulan akan berada di barak latihan bagi para prajurit dalam tugas sandi itu.

Demikianlah, maka Glagah Putih dan Rara Wulan pun bersama-sama dengan para peserta yang lain di hari berikutnya memenuhi segala ketentuan bagi para calon prajurit itu.

Sementara itu seperti yang dikatakan oleh Pangeran Singasari, maka Ki Tumenggung Purbasena telah dipanggil menghadap Pangeran Singasari serta Ki Patih Mandaraka.

“Ki Tumenggung,” berkata Pangeran Singasari, “apakah Ki Tumenggung tidak berkeberatan jika aku berkata berterus-terang?”

Ki Tumenggung Purbasena menundukkan kepalanya. Dengan nada berat ia pun berkata, “Silahkan, Pangeran. Pangeran berhak untuk memberikan perintah, peringatan atau apapun yang ingin Pangeran sampaikan.”

“Baiklah,” Pangeran Singasari mengangguk-angguk, “aku ingin berterus-terang kepada Ki Tumenggung. Sikap Ki Tumenggung telah memaksa kami, maksudku aku dan Paman Patih Mandaraka, untuk menghentikan pendadaran sebelum waktunya, meskipun hanya berselisih waktu tidak terlalu panjang. Sejujurnya, kami melihat, jika pendadaran itu diteruskan, maka Ki Tumenggung justru sudah menyimpang dari tugas Ki Tumenggung. Berbeda dengan apa yang Ki Tumenggung sendiri pesankan kepada para Senapati yang melakukan pendadaran. Tegasnya, tidak ada satunya kata dan perbuatan pada Ki Tumenggung Purbasena.”

Ki Tumenggung tidak dapat menjawab. Ia tidak akan dapat mengelabui Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka yang berilmu tinggi.

“Jika kami tidak mengambil kebijaksanaan untuk menghentikan pendadaran, maka Ki Tumenggung justru akan dipermalukan di hadapan banyak orang. Di depan para Senapati dan bahkan rakyat Mataram. Apakah Ki Tumenggung menyadarinya?”

Ki Tumenggung menarik nafas panjang. Katanya, “Ya, Pangeran. Aku menyadarinya.”

“Nah, hampir saja Ki Tumenggung menjerumuskan diri sendiri dengan pernyataan Ki Tumenggung, bahwa di saat-saat terakhir merupakan saat yang paling menentukan. Ki Tumenggung tentu menyadari, justru setelah Ki Tumenggung sempat menilai apa yang telah terjadi di arena pendadaran, bahwa di saat-saat terakhir itulah Ki Tumenggung sendiri akan menelan pengalaman yang sangat pahit. Justru setelah Ki Tumenggung ditetapkan menjadi seorang Tumenggung.”

Ki Tumenggung mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya, Pangeran. Aku mengerti.”

“Agaknya kau masih belum ikhlas akan kekalahanmu dari seorang calon prajurit yang sedang mengikuti pendadaran. Tetapi itulah kenyataannya. Karena itu aku peringatkan, demi pangkat dan kedudukanmu, jangan kau korbankan karena dendam dan kedengkianmu itu. Bahkan sebelumnya sudah aku katakan, bahwa sebenarnya bagi Glagah Putih dan Rara Wulan pendadaran itu tidak akan ada artinya apa-apa, kecuali sekedar memenuhi syarat. Tetapi jika kau memaksa diri untuk membendungnya, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Mungkin para pemimpin di Mataram justru akan meninjau kembali pangkat dan kedudukanmu. Antara lain karena kau tidak mampu melaksanakan tugas pendadaran yang hanya diikuti oleh tidak lebih dari sekitar dua puluh orang. Lalu apa yang akan terjadi jika kau mendapat tugas untuk menerima calon prajurit yang jumlahnya ratusan orang? Atau bahkan menghirup pasukan Wiratani yang jumlahnya ribuan dan bahkan puluhan ribu orang?”

Ki Tumenggung Purbasena menundukkan kepalanya semakin dalam. Ia tidak dapat mengabaikan peringatan itu. Pangeran Singasari tentu tidak hanya sekedar mengancamnya. Tetapi agaknya ia benar-benar dapat bertindak sebagaimana dikatakannya.

“Ki Tumenggung,” berkata Ki Patih Mandaraka kemudian, “sudah bukan waktunya lagi untuk membual. Berbicara tentang hal-hal yang baik dan bahkan sangat baik, tetapi orang yang berbicara sendiri tidak mau melaksanakannya. Sudah bukan waktunya lagi untuk berbohong dan berpura-pura, menutup mata terhadap kenyataan yang terjadi di hadapan hidung kita.”

Ki Tumenggung Purbasena sama sekali tidak menyahut. Bahkan kepalanya-lah yang justru menjadi semakin menunduk.

Demikianlah, sejenak kemudian Pangeran Singasari itu pun mengijinkan Ki Tumenggung mengundurkan diri, dengan beberapa pesan. Pangeran Singasari pun mengatakan bahwa semua yang dikatakan itu semata-mata bagi kebaikan Ki Tumenggung Purbasena sendiri.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang telah menyelesaikan keperluan pernyataannya, bahwa mereka akan tetap memasuki dunia keprajuritan, hari itu akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Lurah Agung Sedayu telah menemui mereka dan Ki Lurah pun telah siap pula untuk pulang.

Sebelum mereka meninggalkan Mataram, maka mereka telah singgah di Kepatihan.

“Ki Lurah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “agaknya kau akan diwisuda bersama beberapa orang lurah prajurit, bersamaan dengan wisuda para prajurit baru yang akan ditempatkan dalam tugas sandi itu. Mereka memerlukan waktu tiga atau empat pekan untuk mendapat latihan-latihan serta petunjuk-petunjuk khusus dalam hubungan dengan tugas mereka.”

“Apakah Glagah Putih dan Rara Wulan dapat ditugaskan bersama Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh?”

Ki Patih tertawa. Katanya, “Kau ingin dikelilingi oleh sanak kadangmu dalam tugas-tugasmu?”

“Apakah mereka tidak mampu melaksanakan tugas itu, Ki Patih, sehingga tempat itu tidak sesuai bagi mereka?”

Ki Patih masih saja tertawa. Katanya, “Aku tahu bahwa keduanya mampu melaksanakan tugas itu. Yang sering menumbuhkan keberatan adalah penilaian yang hanya didasari oleh hubungan kerabat, tanpa menilai apakah mereka sesuai dengan kedudukan itu atau tidak. Siapapun mereka, jika memang sepantasnya, tentu berhak menduduki tempat apapun dan dimanapun.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Tetapi ia mengerti sepenuhnya, apa yang dimaksudkan oleh Ki Patih Mandaraka.

“Tetapi yang terjadi kadang-kadang memang tidak demikian,” berkata Ki Patih kemudian.

Ki Lurah Agung Sedayu tidak segera menjawab. Bahkan ia pun mengangguk-angguk mengiyakan.

Demikianlah, setelah Ki Patih memberikan beberapa pesan bukan saja kepada Ki Lurah Agung Sedayu, tetapi juga kepada Glagah Putih dan Rara Wulan, maka ketiganya pun segera meninggalkan Mataram.

Tanah Perdikan Menoreh memang tidak terlalu jauh. Karena itu maka mereka berharap bahwa sebelum senja mereka telah berada di rumah.

Ketika mereka sampai di tepian Kali Praga, tidak banyak orang yang berada di tepian. Karena itu mereka tidak menunggu terlalu lama. Rakit yang kemudian menepi telah membawa semua orang yang akan menyeberang, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan. Sementara itu rakit yang lain pun telah meluncur pula dari seberang, sehingga orang yang datang kemudian akan dapat segera terangkut pula ke seberang.

Demikian mereka sampai ke seberang, maka mereka pun segera meloncat ke punggung kuda mereka dan melarikannya dengan kencang, naik ke atas tanggul.

Di atas tanggul mereka sempat berpapasan dengan beberapa orang berkuda pula. Namun Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan masih belum mengenal mereka. Agaknya mereka bukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

Orang-orang berkuda itu memperhatikan ketiga orang yang berpapasan dengan mereka itu dengan kerut di kening. Namun mereka pun kemudian melanjutkan perjalanan mereka, turun ke tepian.

Ternyata mereka bersama-sama tidak dapat naik ke sebuah rakit. Karena itu, ada di antara mereka yang harus menunggu rakit berikutnya untuk membawa mereka menyeberang. Seorang di antara mereka yang menyeberang lebih dahulu itu sempat bertanya kepada tukang satangnya, “Kau kenal ketiga orang berkuda itu? Seekor di antara kuda-kuda mereka agaknya kuda yang sangat baik. Besar, kokoh dan tegar.”

Seorang di antara dua orang tukang satang yang kebetulan mengenal Ki Lurah Agung Sedayu itu pun menjawab, “Ya, Ki Sanak. Seorang di antara mereka adalah Ki Lurah Agung Sedayu. Laki-laki yang masih terhitung muda itu adalah adik sepupunya, Glagah Putih. Sedangkan perempuan itu adalah Rara Wulan, istri Glagah Putih. Kuda yang bagus, besar, kokoh dan tegar itu adalah kuda Glagah Putih.”

“Apakah mereka sering lewat tempat penyeberangan?”

“Ya, Ki Sanak. Setiap kali mereka pergi ke Mataram, maka mereka lebih sering menyeberang di penyeberangan ini daripada penyeberangan di sisi utara.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika kuda itu akan dijual, aku mau membelinya dengan harga yang mahal.”

“Kuda itu sudah lama dimilikinya. Agaknya orang muda itu tidak akan menjualnya.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Kalau orang muda itu lewat di penyeberangan ini, katakan bahwa aku, pedagang ternak yang memiliki beratus-ratus ekor lembu dari Kademangan Kepandak, ingin membeli kudanya jika kuda itu dijual. Sebut saja namaku. Hanya ada seorang di Kepandak yang disebut Ki Saudagar Wirasanta. Aku akan membeli kuda itu, atau menukarnya dengan dua ekor kuda yang cukup baik.”

Tukang satang itu mengangguk-angguk saja sambil menjawab, “Baik, Ki Saudagar.”

Demikian rakit itu menepi, maka Ki Saudagar itu pun kemudian membayar biaya penyeberangan bersama dengan orang-orang yang bersamanya, dua kali lipat.

“Ini terlalu banyak, Ki Saudagar,” berkata tukang satang

Tetapi Ki Sudagar berkata, “Biar saja. Sisanya untuk kau berdua.”

Tukang satang itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Terima kasih, Ki Saudagar.”

Namun demikian Ki Sudagar pergi, tukang satang yang seorang berkata, “Bukan hanya sisanya, semuanya untuk kita berdua. Jika tidak, lalu untuk siapa?”

Kawannya tertawa.

Tetapi keduanya tahu pasti bahwa Glagah Putih tentu tidak akan menjual kudanya yang besar dan tegar itu.

Demikianlah, Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih dan Rara Wulan pun melarikan kuda mereka langsung ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang mereka perhitungkan, sebelum senja mereka sudah berada di rumah kembali.

Ketika ketiga orang itu sampai di depan regol rumah Ki Lurah, maka mereka pun segera berloncatan turun dari kuda mereka

Ketika mereka menuntun kuda-kuda mereka memasuki regol halaman, Sukra yang sedang menyapu halaman itu berlari-lari mendapatkan mereka. Sukra-lah yang kemudian menuntun kuda Ki Lurah Agung Sedayu dan Rara Wulan. Di belakangnya Glagah Putih menuntun kudanya yang tegar ke kandang yang berada di belakang rumah.

Sekar Mirah dan Ki Jayaraga yang baru saja mandi, telah turun ke halaman pula. Sehari penuh Ki Jayaraga berada di sawah bersama Sukra. Nampaknya Sukra juga ingin segera mengetahui, apakah Glagah Putih dapat diterima menjadi prajurit Mataram.

“Tentu,” jawab Glagah Putih sambil membusungkan dadanya, “dari sembilan puluh sembilan orang calon, yang diterima hanya dua, aku dan Rara Wulan. Yang lain ternyata disisihkan karena tidak memenuhi syarat.”

“Sombongnya,” desis Sukra.

Glagah Putih tertawa.

“Kakang tidak bertanya, apakah aku diterima menjadi Pengawal Tanah Perdikan?”

“O. Apakah sudah diselenggarakan pendadaran?”

“Tentu. Tanah Perdikan tidak perlu menunggu Kakang Glagah Putih. Di sini sudah banyak orang yang dapat menilai apakah anak-anak muda dapat diterima menjadi Pengawal Tanah Perdikan yang baru.”

Glagah Putih pun tertawa berkepanjangan.

“Kau sekarang menjadi semakin lucu,” berkata Glagah Putih, “tetapi kau sendiri tidak pernah tertawa. Wajahmu terlalu dingin, seperti embun pagi yang melekat di daun talas.”

“Buat apa tertawa? Persoalan penerimaan Pengawal tanah Perdikan itu tidak untuk ditertawakan.”

“Baik, baik. Kau menjadi semakin garang. Aku tahu bahwa kau telah diterima pula menjadi Pengawal Tanah Perdikan. Karena itu maka kau justru mempertanyakan, kenapa aku tidak bertanya kepadamu tentang Pengawal Tanah Perdikan itu.”

“Aku adalah anak muda termuda yang mengikuti pendadaran. Tetapi aku adalah anak muda terbaik dalam pendadaran itu.”

“Bagus,” sahut Glagah Putih, “aku ikut bangga. Bukankah kau belajar oleh kanuragan dari aku?”

“Ya,” Sukra mengangguk, “tetapi aku selalu kau tinggal pergi. Kau jarang-jarang berada di rumah. Jika Kakang lebih banyak berada di rumah, aku tentu sudah menjadi lebih baik dari sekarang.”

“Pada saatnya aku akan banyak tinggal di rumah.”

“Pada saatnya,” Sukra menirukan, sehingga Glagah Putih pun tertawa pula.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka yang baru datang itu pun bergantian mandi. Baru kemudian setelah lampu minyak di ruang dalam dinyalakan, maka Ki Lurah Agung Sedayu berdua, Glagah Putih dan Ki Jayaraga, duduk bersama di ruang dalam. Rara Wulan masih sibuk di dapur bersama Sukra membuat minuman hangat, yang kemudian dibawanya ke ruang dalam. Sambil meletakkan minuman hangat itu, Rara Wulan pun kemudian ikut duduk pula bersama mereka

Sambil menghirup wedang sere yang hangat dengan gula kelapa, maka mereka pun telah berbincang tentang masa-masa pendadaran yang ditempuh oleh Glagah Putih dan Rara Wulan, di antaranya tentang beberapa orang yang mula-mula kurang menghargainya, justru karena ia seorang perempuan.

Namun akhirnya segala sesuatunya dapat berjalan dengan lancar. Apalagi ketika ia bertemu dengan prajurit yang pernah dikenalnya. Baik di Mataram maupun di medan pertempuran, maka para prajurit itu pun lebih banyak membantunya.

Glagah Putih-lah yang kemudian bercerita tentang sikap Ki Tumenggung Purbasena.

“Ternyata Ki Tumenggung Purbasena itu merasa sakit hati ketika Kakang Agung Sedayu ditetapkan menjadi pemimpin Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan. Ki Tumenggung Purbasena yang saat itu juga masih seorang Lurah, sebenarnya menginginkan tugas itu.”

Ki Lurah Agung Sedayu menarik nafas panjang. Keberadaan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak begitu saja dibentuk. Sebagian dari para prajurit yang ada di barak Pasukan Khusus itu pada mulanya adalah anak-anak muda Tanah Perdikan. Namun pasukan itu pun akhirnya berkembang menjadi semakin besar. Bahkan Pasukan Khusus itu masih akan dikembangkan lagi di masa datang, sejalan dengan anugrah pangkat yang akan diterima oleh Ki Lurah Agung Sedayu. Dengan demikian maka Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu nanti akan dipimpin oleh seorang Rangga, yang sudah diberitahukan oleh Ki Patih Mandaraka, adalah Agung Sedayu itu sendiri.

“Agaknya Ki Tumenggung Purbasena itu masih tetap menginginkan kedudukan Senapati pada Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu,” berkata Ki Lurah Agung Sedayu.

“Mungkin, Kakang. Tetapi jika aku ceritakan hal ini kepada Kakang, bukannya aku ingin mengadu, tetapi semata-mata agar Kakang mengetahuinya. Apabila jika Ki Tumenggung itu masih berbuat aneh-aneh, maka Kakang sudah tidak terkejut lagi.”

Ki Lurah Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kemungkinan itu memang masih ada, apalagi saat ia akan menerima anugrah pangkat, yang masih harus menunggu para calon prajurit yang akan mendapatkan bimbingan khusus tentang tugas-tugas mereka untuk beberapa pekan. Tetapi sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Agung Sedayu sendiri tidak merasa tergesa-gesa. Baginya, jika ia akan menerima anugrah itu, maka ia akan mengucapkan terima kasih. Karena anugrah itu merupakan ujud anugrah dari Yang Maha Agung, sehingga anugrah itu memang harus dijunjung tinggi. Tetapi seandainya anugrah itu akan diterima pada saat yang masih harus ditunggu, maka ia akan menunggu dengan sabar. Ia tidak merasa perlu untuk nggege mangsa, mempercepat beredarnya waktu.

Namun Ki Lurah Agung Sedayu itu pun kemudian berkata, “Nampaknya Ki Tumenggung Purbasena telah kehilangan kendali diri. Itulah sebabnya Pangeran Singasari dan Ki Patih Mandaraka harus menghentikan pendadaran agak lebih cepat. Agaknya kau pun sudah menjadi seperti orang mabuk.”

Glagah Putih tertawa pendek. Katanya, “Ya. Aku memang sudah menjadi seperti orang mabuk. Bahkan aku seakan-akan tidak lagi menyadari apa yang aku katakan dan apa yang aku lakukan pada waktu itu.”

“Baiklah. Aku akan berhati-hati menanggapi sikap Ki Tumenggung Purbasena. Tetapi kau-lah yang masih harus lebih berhati-hati. Jangan biarkan perasaanmu terlalu kau manjakan. Bukankah masih Ki Tumenggung Purbasena yang akan memimpin penyelenggaraan bimbingan tugas bagi para calon prajurit dalam tugas sandi itu? Karena itu, masih mungkin saja ia berbuat aneh-aneh terhadap kalian berdua. Terutama Glagah Putih.”

“Tetapi yang menjadi sasaran sebenarnya bukan aku sendiri, Kakang. Ia ingin menyinggung perasaan Kakang. Karena aku adik sepupu Kakang, maka mungkin aku akan dapat menjadi alat baginya untuk menyinggung perasaan Kakang.”

Ki Lurah menarik nafas panjang. Katanya, “Baiklah. Kita memang harus bersabar menghadapi orang-orang yang kecewa, seperti Ki Tumenggung Purbasena.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi darah mudanya agaknya telah membawanya kepada satu sikap, bahwa ia akan menghadapi Ki Tumenggung Purbasena jika Ki Tumenggung itu tetap saja dengan sengaja menyinggung perasaannya.

Ketika kemudian malam menjadi semakin gelap, maka Sekar Mirah dan Rara Wulan pun kemudian bangkit berdiri dan pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam mereka. Setelah makan malam, mereka masih berbincang sejenak. Ki Jayaraga mengeluh tentang hujan yang agaknya tidak sesuai dengan peredaran musim.

“Hujannya terlalu sedikit. Bahkan kadang-kadang beberapa hari tidak ada hujan sama sekali. Air di parit menjadi semakin kecil, meskipun sampai saat ini masih mencukupi jika ditata dengan tertib.”

“Bukankah di Tanah Perdikan ini penataan air terhitung tertib?” sahut Glagah Putih.

“Ya. Itulah untungnya para petani di Tanah Perdikan ini. Jarang sekali, atau bahkan tidak pernah terjadi, perselisihan yang keras karena memperebutkan air.”

Ketika malam menjadi semakin malam, maka setelah membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor, mereka, terutama yang baru datang dari Mataram, segera pergi beristirahat.

Pagi-pagi sekali Glagah Putih telah bangun. Seperti kebiasaannya jika ia berada di rumah, Glagah Putih itu pun menimba air, mengisi pakiwan. Sementara itu Rara Wulan pun telah bangun pula, membantu Sekar Mirah sibuk di dapur.

Hari itu rumah Ki Lurah itu menjadi lebih ramai dari hari-hari sebelumnya, pada saat Ki Lurah, Glagah Putih dan Rara Wulan pergi ke Mataram. Sementara itu Ki Jayaraga dan Sukra pun setelah membersihkan halaman depan, samping dan halaman belakang, bahkan setelah Sukra membelah kayu bakar dan menjemurnya di tempat yang menjelang siang hari akan kepanasan, maka keduanya pun bersiap-siap pergi ke sawah.

“Siang nanti Ki Jayaraga dan Sukra akan pulang atau aku harus mengirim makan dan minum ke sawah?” bertanya Rara Wulan.

Sebelum Ki Jayaraga menjawab, Sukra-lah yang menjawab lebih dahulu, “Bagi kami tentu lebih baik jika kami tidak usah pulang. Kami dapat beristirahat di gubug itu sejenak. Kami tidak kehilangan waktu untuk berjalan pulang di siang hari.”

“Baik,” sahut Rara Wulan, “biarlah aku nanti yang membawa makan dan minuman kalian ke sawah.”

Sejenak kemudian, Ki Jayaraga dan Sukra pun telah berangkat ke sawah. Selain membawa cangkul, Sukra juga membawa kendi berisi air minum. Mungkin mereka menjadi haus, sebelum Rara Wulan sempat pergi ke sawah menjelang tengah hari.

Pagi itu Sekar Mirah minta agar Rara Wulan saja-lah yang pergi ke pasar untuk berbelanja.

“Agar kau tidak lupa harga brambang dan bawang,” berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Baik, Mbokayu, nanti aku akan pergi ke pasar. Aku juga ingin membuat pakaian khusus yang baru. Selama masa bimbingan, aku tentu memerlukan tidak hanya sepasang pakaian khususku. Bahkan mungkin Kakang Glagah Putih juga memerlukan setidaknya sepengadeg pakaian baru.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kau harus pergi lebih pagi. Bukankah kau berjanji untuk pergi ke sawah membawa makan siang Ki Jayaraga dan Sukra?”

“Ya. Aku akan segera siap. Aku akan bertanya kepada Kakang Glagah Putih, apakah yang ia inginkan.”

Demikianlah, dalam waktu yang singkat maka Rara Wulan pun sudah siap. Bahkan Glagah Putih akan ikut pula pergi ke pasar untuk memilih baju dan kain yang sesuai baginya. Seperti Rara Wulan, Glagah Putih pun harus mempunyai pakaian sedikitnya rangkap selama ia berada dalam masa bimbingan, yang akan dijalaninya beberapa pekan.

Agar Rara Wulan tidak kesiangan pergi ke sawah, maka mereka berdua pun segera berangkat ke pasar. Pasar yang terhitung ramai karena dikunjungi oleh bukan saja orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan pada pedagang dari sebelah timur Kali Praga pun ada yang pergi ke pasar itu. Apalagi di hari pasaran seperti hari itu.

“Sudah lama aku tidak pergi ke pasar, Kakang,” berkata Rara Wulan.

“Kau tentu masih cekatan menawar harga kain dan kebutuhan sehari-hari yang akan kau beli.”

“Mudah-mudahan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku masih tetap yakin bahwa kau masih akan pintar berbelanja. Jika tidak, maka Mbokayu tidak akan minta kepadamu untuk berbelanja. Barangkali kau dapat menghemat lima atau enam keping, dibanding jika Mbokayu Sekar Mirah yang berbelanja.”

“Ah, apakah kita perlu sangat berhemat? Kita mempunyai uang sisa itu. Bukankah kita tidak mengembalikannya?”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ya. Kita masih mempunyai sisa uang.”

“Tadi Mbokayu Sekar Mirah juga memberi uang.”

“Sebenarnya kau tidak memerlukannya.”

“Aku tidak mau menolak. Nanti Mbokayu tersinggung.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Demikianlah, mereka berdua pun telah sampai di pintu gerbang pasar. Pasar itu memang termasuk pasar yang besar dan ramai. Banyak pedagang yang datang dari jauh. Mereka menjual berbagai macam dagangan. Tetapi ada pula yang datang ke pasar itu untuk membeli dagangan yang akan mereka bawa ke pasar yang lain, yang menjanjikan keuntungan bagi mereka.

“Sekarang kita pergi ke penjual kain lebih dahulu. Aku ingin membeli kain lurik ketan ireng.”

“Apakah cukup waktu bagimu untuk membuat sendiri pakaian khususmu itu? Bukankah waktu kita sangat singkat?”

“Tentu saja. Aku dapat menyelesaikannya dalam sehari semalam. Jika nanti aku mulai, maka esok siang pakaian itu tentu sudah jadi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Memang sulit untuk dapat membeli pakaian khusus yang sudah jadi, karena pakaian jenis itu adalah pakaian yang tidak terbiasa dibutuhkan.

Tetapi bagi Glagah Putih, tidak ada masalah dengan pakaiannya. la dapat membeli baju yang sudah jadi, serta kain yang tinggal memakainya saja.

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki gerbang pasar, beberapa orang yang telah dikenalnya kebetulan juga berada di pasar. Tetapi mereka tidak mempunyai waktu banyak untuk saling berbincang, karena mereka datang ke pasar dengan keperluan mereka masing-masing.

Ternyata Glagah Putih dan Rara Wulan tidak memerlukan waktu banyak untuk membeli kain yang mereka perlukan. Rara Wulan tidak termasuk seorang perempuan yang mempunyai pilihan yang sulit atas warna dan susunan anyaman kain. Karena itu maka Rara Wulan pun memilih warna yang sederhana. Lurik ketan ireng yang berwarna hitam gelap.

Sedangkan Glagah Putih juga seorang yang tidak terlalu lama memilih. Ternyata Glagah Putih justru menyesuaikan diri. Ia pun telah memilih baju lurik ketan ireng pula. Dari tempat para pedagang kain, keduanya pun pergi ke tempat para pedagang kebutuhan sehari-hari serta sayur-sayuran. Ternyata Rara Wulan cekatan juga berbelanja.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih yang hanya mengikutinya saja berdesis, “Aku mau berbicara dengan Yu Santa sebentar.”

“Yu Santa siapa?”

“Yu Santa yang tinggal di sebelah banjar.”

“O. Apakah ia juga berbelanja?”

“Bukan hanya berbelanja, tetapi Yu Santa masih saja suka memamerkan perhiasannya. Agaknya ada orang yang mengikutinya. Yu Santa tentu membawa pula uang banyak di dalam keba pandannya itu. Aku akan memperingatkannya agar ia berhati-hati.”

“Ajak saja ia kemari. Biar kita pulang bersama-sama.”

Glagah Putih pun kemudian meninggalkan Rara Wulan dan mendekati seorang perempuan yang sedang berbelanja. Seorang perempuan dengan pakaian yang terbuat dari bahan yang mahal, dengan perhiasan yang terhitung mahal pula di lehernya, di telinganya, di pergelangan tangannya dan di jari-jarinya.

Ketika Glagah Putih lebih memperhatikan perempuan itu, maka Glagah Putih melihat bahwa tidak hanya seorang yang mengikutinya.

Sejenak kemudian Glagah Putih telah berdiri di belakang Yu Santa sambil menyapa, “Belanja, Yu?”

Perempuan itu berpaling. Dengan serta merta ia pun menyahut, “Ya, Di. Adi juga belanja?”

“Jalan-jalan saja, Yu.”

“Sendiri ?”

“Tidak. Bersama Rara Wulan.”

“Di mana Adi Rara Wulan sekarang ?”

“Itu, sedang membeli terong.”

Yu Santa pun kemudian berpaling. Ia melihat punggung Rara Wulan yang masih menawar seikat terong ungu.

“Yu,” Glagah Putih berbisik, “hati-hatilah. Apakah Yu Santa sendiri?”

Yu Santa itu mengangguk.

“Ada laki-laki yang nampaknya mengikuti Yu Santa. Agaknya orang itu tertarik pada perhiasan yang Yu Santa pakai.”

“He?” wajah perempuan itu menjadi tegang. Bahkan kemudian dengan cemas ia pun bertanya sambil memandang berkeliling, “Yang mana, Adi? Yang mana?”

“Jangan berpaling kepadanya, Yu. Tetap saja tenang dan menahan diri. Tetap saja berbicara dengan wajar.”

Yu Santa menjadi pucat. Di luar sadarnya ia telah meraba kalung dan gelangnya.

“Yu, jika Yu Santa telah selesai, marilah. Nanti Yu Santa pulang bersama kami. Tetapi pada kesempatan lain, sebaiknya Yu Santa tidak usah memakai perhiasan-perhiasan itu jika pergi ke pasar.”

“Ya, ya, Di. Aku mengerti. Beruntunglah aku bertemu Adi di sini.”

“Sekarang, silahkan selesaikan dahulu. Mungkin masih ada yang Yu Santa ingin beli. Agaknya Rara Wulan juga masih akan membeli keperluan dapur.”

“Aku akan membeli bersama Adi Rara Wulan saja.”

“Kalau begitu, marilah.”

Yu Santa itu pun kemudian mengikuti Glagah Putih ke tempat Rara Wulan membeli terong ungu, justru pada saat Rara Wulan membayar harga terong itu.

“Adi Rara Wulan,” desis Yu Santa, “aku mau pulang bersama Adi. Aku jadi takut. Menurut Adi Glagah Putih, ada laki-laki yang mengikutiku.”

Di luar sadarnya Rara Wulan pun memperhatikan perhiasan emas yang dikenakan di leher, di pergelangan tangan, di telinga dan di jari-jari Yu Santa.

Agaknya Yu Santa mengerti arti tatapan mata Rara Wulan. Katanya perlahan, “Aku sudah berjanji, lain kali aku tidak akan memakai ini lagi jika aku pergi ke pasar.”

Rara Wulan menarik nafas panjang. Kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan bersama-sama pulang. Tetapi aku masih akan membeli beberapa macam kebutuhan dapur.”

“Aku juga,” sahut Yu Santa.

Keduanya pun kemudian pergi ke penjual keperluan dapur di sayap utara pasar itu. Sementara Glagah Putih mengawasi dari jarak beberapa langkah.

Namun agaknya salah seorang laki-laki yang sedang mengikuti Yu Santa itu dapat mengerti apa yang dilakukan oleh Glagah Putih, bahwa Glagah Putih sudah memberi peringatan kepada perempuan yang sedang mereka ikuti. Karena itu maka ia pun kemudian mendekati Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu.

“Ki Sanak,” sapa laki-laki itu.

Glagah Putih pura-pura terkejut. Ia pun berpaling sambil memperhatikan laki-laki itu. Wajahnya nampak garang. Matanya cekung dan tajam.

“Sebaiknya kau tidak mencampuri urusan orang Iain,” geram orang itu.

“Urusan apa Ki Sanak?” bertanya Glagah Putih.

“Kalau kau campuri urusanku, maka kau akan menyesal. Bahkan bungkusan yang kau bawa dalam keba pandanmu itu akan aku rampas pula.”

“Yang aku bawa ini adalah kain lurik dan baju, Ki Sanak,” sahut Glagah Putih.

“Apapun isinya, aku tidak peduli. Karena itu, jangan campuri persoalanku. Minggir, atau kau akan menyesali nasib burukmu.”

“Aku tidak tahu maksudmu.”

“Bohong. Kau tentu sudah tahu maksudku. Tetapi kau pura-pura tidak tahu.”

“Aku tak tahu.”

“Laki-laki dungu,” geram orang itu, “kau tadi tentu membisikkan ke telinga perempuan yang sedang aku ikuti itu untuk berhati-hati dengan perhiasan yang dipakainya. Nah, dengar. Jangan diulangi, agar kau sendiri dapat pulang dengan selamat.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-anggguk, “aku bahkan telah minta ia pulang bersamaku. Mungkin perjalanannya pulang ke padukuhan menjadi lebih aman.”

“Apakah kau tuli? Dengar sekali lagi. Jangan mencampuri urusan orang lain, agar kau sendiri tidak terganggu. Agar kau sendiri dapat pulang dengan selamat. Bahkan kau masih terlalu muda untuk mati.”

“Mati? Kau berbicara tentang kematian? Sungguh mengerikan sekali,” berkata Glagah Putih.

Orang itu pun menggeram, “Memang mengerikan. Karena itu, jangan campuri urusan orang lain.”

Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu orang itu pun kemudian bergeser menjauhi Glagah Putih. Sejenak orang itu berbicara dengan dua orang laki-laki yang agaknya adalah kawan-kawannya. Namun kemudian mereka pun segera pergi.

Orang-orang itu tentu bukan orang Tanah Perdikan Menoreh. Hampir semua orang di Tanah Perdikan Menoreh mengenal Glagah Putih. Setidak-tidaknya pernah melihat Glagah Putih, meskipun hanya sekilas.

Beberapa saat Glagah Putih berdiri termangu-mangu di tempatnya, sementara Rara Wulan dan Yu Santa masih membeli beberapa macam bumbu dapur.

Baru beberapa saat kemudian Rara Wulan dan Yu Santa pun telah selesai. Karena itu maka Rara Wulan pun berkata, “Marilah kita pulang, Kakang. Siang nanti aku harus pergi ke sawah membawa minuman dan makanan.”

“Kenapa kau harus pergi sendiri Adi Rara Wulan? Apakah tidak ada orang lain yang dapat melakukannya?”

“Tidak ada orang Iain, Yu. Karena itu aku sendiri harus pergi.”

Mereka bertiga pun kemudian meninggalkan pasar itu. Yu Santa merasa aman berjalan bersama Rara Wulan dan Glagah Putih.

“Aku menyesal bahwa aku telah memakai bermacam-macam perhiasan, Adi. Lain kali aku tidak akan melakukannya lagi. Jika saja aku tidak bertemu dengan Adi berdua, mungkin perhiasanku akan dirampas orang di perjalanan pulang ini.”

“Sebaiknya Yu Santa memang tidak memakai perhiasan yang berlebihan selagi Yu Santa pergi ke pasar. Mungkin Yu Santa dapat memakainya kalau Yu Santa pergi ke upacara pernikahan misalnya. Itu pun jika Yu Santa menempuh perjalanan agak jauh, harus berhati-hati. Atau perhiasan itu tidak dipakai di sepanjang perjalanan pergi dan pulang.”

“Ya, Di. Aku mengerti.”

Namun Yu Santa itu menjadi berdebar-debar ketika dua orang laki-laki yang garang berjalan dengan cepat mendahuluinya. Sementara itu, dua orang yang Iain berjalan dekat di belakangnya. Bahkan begitu dekat, sehingga tarikan nafasnya dapat didengar dengan jelas.

“Adi,” desis Yu Santa.

Tetapi Rara Wulan masih saja tersenyum. Katanya, “Jangan cemas, Yu. Jalan ini kan jalan yang cukup banyak dilalui orang.”

“Tetapi orang-orang itu?”

“Biarlah Kakang Glagah Putih mengatasinya, jika mereka berniat buruk.”

“Tetapi mereka berempat, Adi.”

Rara Wulan masih tetap saja tersenyum. Katanya, “Tidak apa-apa. Apalagi jika ada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang melihatnya. Mereka tentu tidak akan tinggal diam.”

Yu Santa pun berjalan semakin merapat Rara Wulan. Sementara itu agaknya Rara Wulan tidak gentar sama sekali meskipun empat orang itu menjadi semakin mendekat. Yang di depan berjalan semakin lambat, sementara yang di belakang menjadi lebih mendekat lagi.

Di jalan yang agak banyak dilalui orang itu, keempat orang yang memang berniat buruk itu harus bertindak dengan hati-hati. Baru ketika mereka sampai di simpang empat di tengah bulak, salah seorang yang berjalan di belakang itu pun menggeram, “Ikuti kedua kawanku itu. Jika mereka berbelok, kalian pun harus berbelok. Jika mereka berbelok ke kiri, kalian juga harus berbelok ke kiri. Jika mereka berbelok ke kanan, maka kalian juga harus berbelok ke kanan.”

Glagah Putih berpaling. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali. Glagah Putih itu sama sekali tidak menunjukkan perubahan sikap apapun juga. Bahkan Rara Wulan pun masih juga tersenyum dan berkata, “Jangan cemas, Yu. Tidak akan terjadi apa-apa. Mungkin Kakang Glagah Putih harus bermain-main dengan mereka sebentar. Tetapi tidak akan lama.”

Yu Santa justru mulai menjadi gemetar. Sekali-sekali dirabanya kalung di lehernya. Kemudian gelangnya dan cincin-cincinnya. Ia benar-benar menyesal bahwa ia telah memakai perhiasannya itu untuk sekedar pergi ke pasar.

Beberapa langkah lagi, mereka akan sampai di simpang empat. Ternyata kedua orang yang berjalan di depan itu pun telah berbelok ke kiri. Jalan yang lebih kecil dan agak sepi.

Tetapi Glagah Putih justru berbisik. “Kita akan berbelok ke kanan.”

“Tetapi kita harus mengikuti mereka,” suara Yu Santa menjadi gemetar.

Glagah Putih justru tertawa, “Bukankah kita dapat menentukan langkah kita sendiri? Kita bukan pengikut mereka. Kita bukan budak mereka.”

“Tetapi mereka dapat mengancam kita.”

“Aku pun dapat mengancam mereka.”

Yu Santa tidak sempat menjawab. Rara Wulan telah menggandengnya, justru berbelok ke kanan..

Kedua orang yang berjalan di belakang mereka itu pun terkejut melihat sikap ketiga orang itu. Justru karena itu, mereka terdiam sesaat. Namun kemudian seorang di antara mereka membentak, “He! Apakah kalian tuli?”

Glagah Putih dan Rara Wulan pura-pura tidak mendengarnya. Sementara Yu Santa menjadi semakin gemetar. Tetapi Rara Wulan menggandengnya, sehingga Yu Santa masih dapat melangkahkan kakinya meskipun seakan-akan hanya diseretnya saja.

Sementara itu, mendengar kedua orang kawannya yang berjalan di belakang ketiga orang itu membentak, dua orang yang berjalan di depan pun segera berhenti dan berpaling. Mereka pun menjadi heran bahwa ketiga orang itu justru berbelok ke kanan, dan sama sekali tidak menghiraukan kawannya yang membentak mereka.

“He! Berhenti! Berhenti kalian bertiga!” teriak orang yang tertua di antara mereka.

Tetapi Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berhenti. Dengan demikian maka Yu Santa pun ikut hanyut bersama mereka.

“Berhenti!” keempat orang itu berteriak hampir bersamaan.

Namun Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukannya.

Dengan demikian maka keempat orang itu pun menjadi sangat marah. Mereka berlari-lari kecil menyusul Glagah Putih dan kedua orang perempuan yang berjalan bersamanya.

Ketika keempat orang itu menyusulnya, Yu Santa menjadi benar-benar ketakutan. Tubuhnya gemetar, sedangkan jantungnya berdetak semakin cepat.

“Tidak apa-apa, Yu. Tidak apa-apa,” Rara Wulan menghibumya.

Dalam pada itu, seorang di antara keempat orang itu pun membentak hampir berteriak, “Apakah kalian benar-benar tuli, he? Kenapa kalian tidak mendengar kata-kata kami?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kalian berbicara dengan kami?”

“Anak iblis. Kau jangan membuat kami menjadi semakin marah. Sekarang tidak usah banyak berbicara. Aku inginkan perhiasan perempuan itu. Kalung, gelang, subang, cincin serta tusuk kondenya. Bahkan juga uangnya. la tentu membawa uang banyak. Jika ada yang mencoba menghalangi, maka aku akan mengambil nyawanya.”

Glagah Putih melangkah maju, sementara Rara Wulan pun mendekap Yu Santa yang menjadi hampir pingsan.

“Jangan menakut-nakuti mbokayuku, Ki Sanak. Ia menjadi sangat ketakutan karena kau mengancam akan mengambil perhiasan yang dikenakannya. Sekarang pergilah. Kami akan pulang. Kami adalah orang-orang Tanah Perdikan ini, sementara kalian agaknya orang asing di sini. Sadari, jika tetangga-tetangga kami melihat kalian menyamun kami, maka kalian akan menjadi lumat. Tubuh kalian akan luka arang kranjang. Karena itu pergilah. Jangan ganggu kami, karena kami berada di rumah kami sendiri.”

“Persetan kau. Cepat berikan! Jangan mengulur waktu untuk menunggu tetangga-tetanggamu berdatangan. Semakin banyak mereka yang mencampuri urusanku, maka korbanya pun akan menjadi semakin banyak pula. Karena itu, yang terbaik bagi kalian adalah segera menyerahkan perhiasan-perhiasan itu.”

“Maaf, Ki Sanak. Kau kira perhiasan-perhiasan mbokayuku itu dipungut dari parit itu, sehingga dengan begitu saja diberikan kepada kalian? Mbokayuku menabung sejak masih perawan hingga anaknya sudah menjadi jejaka sekarang ini. Kalau kau menginginkan perhiasan seperti yang dipakai mbokayuku itu, kau pun harus bekerja keras dan menabung sedikit demi sedikit. Bukan menjadi peminta-minta seperti yang kau lakukan sekarang.”

“Cukup!” teriak seorang yang wajahnya paling garang di antara mereka berempat. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi orang itu nampak kokoh dan menakutkan. Apalagi kumisnya yang tebal melintang di bawah hidungnya yang tebal pula.

Tetapi Glagah Putih pun menyahut, “Bagus. Kalau sudah cukup, pergilah.”

Kemarahan keempat orang itu sudah tidak tertahankan. Karena itu, hampir bersamaan keempat orang itu pun segera bergerak mendekati Glagah Putih.

Rara Wulan bergeser menjauh sambil memapah Yu Santa yang menjadi semakin gemetar. Bahkan rasa-rasanya sulit untuk menggerakkan tubuhnya, meskipun sudah dipapah oleh Rara Wulan.

“Kau akan menyesali kesombonganmu,” geram orang bertubuh tidak begitu tinggi dan berkumis tebal itu

“Tetapi masih ada waktu bagimu untuk menyelamatkan diri, jika kau berikan perhiasan mbokayumu itu segera.”

“Tidak, Ki Sanak. Kami tidak akan memberikannya.”

Orang berkumis melintang itu pun kemudian berkata kepada kawan-kawannya, “Urusi orang itu. Aku akan mengambil perhiasan itu sendiri.”

Yu Santa tiba-tiba menjadi lemas. Rara Wulan pun kemudian mendudukkannya di tanggul bersandar di sebatang pohon turi, sambil berkata, “uduk sajalah, Yu. Jika orang itu benar datang kemari, aku akan mengusirnya.”

Sebenarnyalah orang bertubuh pendek itu mendekati Yu Santa sambil berkata, “Jangan mencoba mempertahankan milikmu. Jika kau mencobanya juga, maka aku akan mengambil nyawamu lebih dahulu. Baru perhiasan itu akan aku ambil dari mayatmu.”

Tetapi tanpa merasa takut sama sekali, Rara Wulan menghadangnya sambil berkata, “Jangan main-main dengan nyawa seseorang, Ki Sanak. Nanti nyawamu sendiri akan dipermainkan orang.”

Orang itu memandang Rara Wulan dengan herannya. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Kau mau apa, Nyi?”

“Bukankah hak kami untuk mempertahankan milik kami?”

“Kau akan melawan aku?”

Rara Wulan pun menjawab, “Ya. Aku aka melawanmu. Kenapa? Kau menjadi heran atau menjadi ketakutan?”

Orang itu menjadi sangat marah. Katanya, “Jika kau tidak mau minggir, maka kau akan sangat menyesal.”

“Aku tidak mau minggir.”

Orang itu pun kemudian melangkah sambil menggeram, “Kau memang perempuan tidak tahu diri.”

Orang itu pun kemudian mengangkat kedua tangannya untuk mendorong Rara Wulan. Dengan demikian maka Rara Wulan akan terdorong dan terguling ke dalam parit yang mengalir di pinggir jalan itu.

Tetapi yang terjadi tidak seperti yang diharapkan oleh laki-laki itu. Sebelum ia sempat mendorong Rara Wulan, maka Rara Wulan pun dengan tangkasnya menepis tangan orang itu. Kemudian justru Rara Wulan-lah yang mendorong orang itu sehingga orang itu bergeser beberapa langkah surut. Hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya sehingga jatuh terlentang.

Tetapi ternyata orang itu akhirnya mampu bertahan tetap berdiri meskipun terhuyung-huyung.

Tetapi dorongan Rara Wulan itu sangat mengejutkannya. Ternyata tenaga perempuan itu demikian besarnya. Perempuan itu mampu menepis tangannya dan kemudian mendorongnya beberapa langkah surut.

Dengan nada sangat marah orang itu pun berkata, “Kau benar-benar sangat memuakkan. Jika kau masih tetap menghalangi aku, maka aku tidak akan mengampunimu lagi.”

“Ki Sanak,” berkata Rara Wulan kemudian, “sudah sejak tadi aku mencoba mengendalikan diri, tetapi kau sama sekali tidak tanggap. Bahkan kau-lah yang mengancam aku. Sekarang untuk yang terakhir kalinya aku memperingatkanmu, pergilah. Jangan ganggu mbokayuku.”

“Persetan,” geram orang itu, “kau telah menghina aku, seorang yang tidak pernah dapat dibendung kemauannya. Apapun yang aku kehendaki, tentu terjadi.”

“Sekarang kau berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kau tidak akan dapat berbuat sekehendakmu sendiri. Mungkin kau dapat melakukan di tempat lain, tetapi tidak di Tanah ini.”

Orang itu menjadi tidak sabar lagi. Tetapi sikap Rara Wulan itu telah membuat orang itu menjadi berhati-hati. Jika perempuan itu tidak mempunyai bekal apapun, maka ia tidak akan berani berbuat seperti itu.

Namun ketika ia sudah siap untuk menerkam lawannya, tiba-tiba salah seorang temannya yang bertempur melawan Glagah Putih telah terlempar dan bahkan telah menimpanya, sehingga orang itu hampir saja jatuh terjerembab.

“Iblis kau!” orang itu membentak kawannya. Dengan serta-merta tangannya justru menampar wajah kawannya itu sambil berteriak, “Bunuh saja orang itu! Aku akan menyelesaikan perempuan ini.”

“Baik, Lurahe,” jawab orang yang telah menimpanya itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Manakah yang lebih sakit, pukulanku atau tamparan kawanmu itu? Mungkin di tubuhmu terasa pukulanku lebih sakit, karena jauh lebih keras. Tetapi hatimu tentu lebih sakit, karena kawanmu sendiri telah memukulmu.”

“Tutup mulutmu!” teriak orang itu.

“Dengan berteriak, kau ingin menyembunyikan kecemasanmu.”

Orang itu tidak menjawab. Namun bersama-sama dengan kedua orang kawannya yang lain maka ia pun meloncat menyerang. Glagah Putih pun berloncatan dengan tangkasnya. Serangan-serangan ketiga orang itu tidak banyak berarti baginya. Bahkan kemudian serangan-serangan Glagah Putih-lah yang mengenai lawannya, sehingga ketiga-tiganya telah terpaksa berloncatan surut.

Sementara itu orang yang bertubuh pendek dan berkumis melintang itu pun bergeser surut ketika ia melihat Rara Wulan menyingsingkan kain panjang, sehingga yang dikenakannya kemudian adalah pakaian khususnya.

“Kau benar-benar ingin bertarung?” bertanya orang itu.

“Ya. Aku benar-benar ingin membuatmu jera melakukan kejahatan di Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang bertubuh pendek dan berkumis melintang itu menjadi semakin marah. Dengan mengerahkan kemampuannya maka ia pun telah menyerang Rara Wulan.

Tetapi serangannya itu pun tidak banyak berarti bagi Rara Wulan. Bahkan sejenak kemudian orang itu pun telah terlempar beberapa langkah surut. Kaki Rara Wulan ternyata telah mengenai dadanya.

Orang itu mengerang kesakitan. Nafasnya terasa menjadi sesak. Tetapi ia tidak mau mengakui kenyataan itu. Apalagi lawannya hanyalah seorang perempuan. Karena itu maka dengan mengesampingkan rasa sakitnya serta sesak nafasnya, ia pun berteriak sambil meloncat menyerang.

Tetapi serangan-serangannya sama sekali tidak mampu menembus pertahanan Rara Wulan. Dengan tangkas Rara Wulan menangkis serangannya, sehingga yang terjadi justru benturan yang keras. Orang itulah yang justru tergetar surut dua langkah.

“Iblis betina,” geram orang itu, “jangan menganggap bahwa kau akan dapat mengalahkan aku.”

Rara Wulan justru bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sebelum mulut orang itu terkatup, maka kaki Rara Wulan telah menyambar lambungnya. Sekali lagi orang itu terlempar. Bahkan justru orang itulah yang kemudian jatuh dan berguling masuk ke dalam parit.

Ketika orang itu berusaha untuk bangkit dan berdiri tertatih-tatih naik ke tanggul, Rara Wulan mendekatinya sambil tertawa. Katanya, “Kalau kau nekad mandi di parit di pinggir jalan, memang sebaiknya kau pakai pakaianmu.”

“Perempuan iblis,” geram orang itu.

“Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi, Ki Sanak. Jika pada saat kau naik ke tanggul aku menyerangmu, maka sekali lagi kau akan terlempar ke dalam parit. Jika kemudian aku meloncat menginjak lehermu, maka kau tidak akan mampu melepaskan diri, sampai kau akan mati lemas karena kepalamu terbenam di dalam air parit, yang meskipun alirannya tidak begitu deras, tetapi akan dapat membenamkan wajahmu.”

Orang bertubuh pendek itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu ia melihat ketiga orang kawannya sudah tidak berdaya, duduk terkulai di pinggir jalan.

“Katakan, apakah kau menjadi jera atau tidak?” berkata Rara Wulan.

Orang bertubuh pendek dan berkumis tebal itu termangu-mangu.

“Sudah aku katakan bahwa kau berada di Tanah Perdikan Menoreh. Kau tidak dapat main-main di sini. Mbokayu yang akan kau rampas perhiasannya memang tidak seliar aku dan beberapa orang lainnya di Tanah Perdikan ini. Demikian pula ketiga orang kawanmu tidak jatuh ke tangan para pengawal Tanah Perdikan, apalagi mereka yang baru saja diterima. Jika mereka jatuh ke tangan para pengawal, maka nasib mereka tentu akan lebih buruk. Bahkan mungkin mereka masih harus menjalani hukuman cukup lama. Nah, apa katamu?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Nampaknya ketiga orang kawannya memang sudah tidak berdaya.

Akhirnya orang itu memang harus menerima kenyataan. Ia tidak akan dapat mengalahkan perempuan itu. Bahkan jika laki-laki yang telah mengalahkan ketiga orang kawannya itu melibatkan diri, maka ia tentu akan semakin mengalami kesulitan.

“Nah, apa katamu? Apakah kau masih akan melawan? Atau aku harus memanggil para pengawal Tanah Perdikan?”

“Tidak. Jangan. Aku menyerah. Aku tidak akan mengganggu orang Tanah Perdikan ini lagi.”

“Tidak hanya orang Tanah Perdikan ini. Tetapi orang manapun juga dan kapanpun juga. Pasar itu terletak di Tanah Perdikan, meskipun di padukuhan yang berada di pinggir Tanah Perdikan. Aku akan memberitahukan kepada petugas di pasar itu. Jika kalian melakukannya lagi terhadap siapapun, maka para pengawal Tanah Perdikan akan membuat kalian menjadi lumat seperti debu.”

“Kami benar-benar telah menjadi jera.”

“Tidak hanya di pasar yang terletak di Tanah Perdikan. Pokoknya dimana-mana, kau harus menghentikan perbuatan kalian yang terkutuk itu. Dengan pertanda yang kami punya atas anugrah dari penguasa di Mataram, kami dapat memburu kalian kemana saja kalian pergi, tidak hanya di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kami mendapat pelilah untuk berhubungan dan minta bantuan para prajurit Mataram dimanapun mereka berada.”

“Kami akan berhenti. Kami benar-benar tidak akan melakukannya lagi.”

“Ingat kata-kata kami. Jika ternyata kalian ingkar, maka bukan hanya kalian yang akan menderita, tetapi seluruh keluarga kalian. Orang tua, mertua, istri, anak-anak dan semua ipar, dan keluarga yang manapun juga, akan mengalami peristiwa yang sangat pahit.”

“Kami berjanji.”

“Jika demikian, pergilah. Kalian membuat kami menjadi sangat muak.”

Demikianlah, maka orang bertubuh pendek dan berkumis tebal itu pun telah memerintahkan kepada ketiga orang kawannya untuk bangkit dan pergi meninggalkan tempat itu.

Tertatih-tatih ketiga orang yang telah bertempur melawan Glagah Putih itu berusaha untuk bangkit berdiri. Terasa seluruh tubuh mereka menjadi sakit. Tulang-tulangnya bagaikan telah menjadi retak.

Namun mereka berempat pun kemudian telah pergi meninggalkan Glagah Putih, Rara Wulan dan Yu Santa.

“Marilah, Yu,” ajak Rara Wulan, “mereka telah pergi. Mereka tidak akan mengganggu Yu Santa lagi, dan bahkan mereka berjanji untuk tidak mengganggu siapapun. Jika mereka melanggar janji itu dan sempat kami dengar, maka kami akan memburu mereka sampai dapat.”

“Terima kasih, Adi Rara Wulan. Jika aku tidak bertemu Adi berdua, mungkin perhiasanku sudah tidak aku miliki lagi,”

“Sudahlah. Tetapi Yu Santa pun harus berjanji, bahwa Yu Santa tidak akan memakai perhiasan-perhiasan Yu Santa yang mahal itu ke pasar.”

“Ya. Aku berjanji. Ternyata aku menjadi sangat ketakutan.”

Demikianlah, mereka bertiga pun bergegas melanjutkan perjalanan mereka pulang. Bahkan Rara Wulan pun nampak sedikit tergesa-gesa, karena masakan harus siap sebelum matahari mencapai puncak langit

“Mudah-mudahan Mbokayu Sekar Mirah sudah mulai masak apa saja yang dapat disiapkan lebih dahulu.”

Demikian mereka sampai ke padukuhan induk, maka Rara Wulan pun berkata, “Nah, Yu Santa, sekarang kau sudah aman. Kita sudah sampai di rumah. Silahkan segera pulang. Aku juga akan segera bekerja di dapur. Mbokayu Sekar Mirah tentu sudah menunggu.”

“Aku takut, Di. Tolong antar aku sampai ke rumah.”

“Kita sudah di rumah sekarang.”

“Tetapi jika aku bertemu dengan mereka di tikungan?”

“Mereka tidak akan berani memasuki padukuhan induk ini, Yu. Jangankan padukuhan induk, mereka tentu sudah keluar dari Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi aku takut, Di.”

“Baiklah. Biar Kakang Glagah Putih mengantarkan Yu Santa. Aku akan membawa kebutuhan dapur ini pulang.”

“Baiklah,” sahut Yu Santa, “sebelumnya aku mengucapkan terima kasih.”

Glagah Putih-lah yang kemudian mengantar Yu Santa pulang. Sebenamyalah bahwa Yu Santa telah dicengkam oleh ketakutan yang sangat yang masih belum dapat dilupakannya begitu saja, meskipun ia melihat sendiri bahwa orang-orang yang berniat buruk itu tidak berdaya menghadapi Glagah Putih dan Rara Wulan.

Beberapa saat kemudian, Yu Santa yang diantar oleh Glagah Putih pun telah memasuki halaman rumahnya. Sambil berteriak memanggil-manggil, Yu Santa itu berlari naik ke pendapa rumahnya.

“Kakang! Kakang Santa! Aku takut, Kang!”

Karena tidak segera ada jawaban, Yu Santa itu berteriak lagi memanggil suaminya, “Kakang! Kakang Santa! Aku takut!”

Ki Santa yang ada di ruang dalam terkejut mendengar istrinya berteriak. Ia pun segera berlari membuka pintu pringgitan.

Demikian pintu terbuka, maka dengan serta-merta Yu Santa itu mendekap suaminya sambil menangis, “Kang, aku takut.”

“Takut? Apa yang terjadi?”

Yu Santa tidak segera menjawab. Tetapi ia justru terisak-isak di dada suaminya.

Wajah Ki Santa menjadi merah. Dipandanginya Glagah Putih yang berdiri di depan pendapa rumahnya termangu-mangu.

Tiba-tiba saja Ki Santa itu pun mendorong istrinya ke samping. Dengan langkah-langkah panjang Ki Santa pun menyeberangi pendapa rumahnya, kemudian turun ke halaman. Sambil bertolak pinggang ia pun berkata, “Jadi itukah yang kau lakukan, Glagah Putih? Kau masih muda, dan aku pun tahu bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi apakah dengan ilmumu yang tinggi itu kau berhak menakut-nakuti perempuan, apalagi sepadukuhan, dan yang pantas menjadi mbokayumu?”

Glagah Putih terkejut sekali. Rasa-rasanya bagaikan disambar petir luput.

“Glagah Putih,” berkata Ki Santa kemudian, “kau dapat mengganggu mbokayumu, tetapi bunuh dahulu aku. Jangan kau kira bahwa aku bukan seorang laki-laki. Meskipun aku tahu bahwa aku tidak akan dapat melawanmu.”

“Apa yang kau katakan kepada Kang Santa, Yu?” bertanya Glagah Putih.

Tetapi Yu Santa tidak sempat berbicara. Ki Santa itu sudah meloncat memukul wajah Glagah Putih dengan sekuat tenaga.

Glagah Putih tidak mengelak dan tidak menangkis. Ia hanya meningkatkan saja daya tahan tubuhnya, sehingga pukulan Ki Santa itu tidak menyakitinya.

Yu Santa pun kemudian menyadari bahwa telah terjadi salah paham pada Ki Santa. Karena itu maka Yu Santa itu pun segera berlari dan mendekap suaminya dari belakang.

“Kakang, jangan! Tunggu, aku akan berbicara.”

“Tidak ada yang harus dibicarakan, Nyi. Jika Glagah Putih ingin membunuhku, biarlah ia membunuhku. Tetapi aku akan mati sebagai seorang laki-laki.”

“Kau salah paham, Kang. Kau salah.”

“Apanya yang salah? Bukankah aku suamimu?”

“Tetapi kenapa kau justru menjadi marah kepada Adi Glagah Putih? Kakang, kau justru harus berterima kasih kepadanya dan berterima kasih kepada Adi Rara Wulan.”

“He? Kenapa aku harus berterima kasih?”

“Aku telah dicegat oleh empat orang penyamun, Kang.”

“Penyamun? Penyamun apa maksudmu? Apakah di siang hari seperti ini ada penyamun? Apa pula yang akan mereka rampas?”

“Kang, aku memang salah. Aku telah mengenakan perhiasanku ketika aku pergi ke pasar. Empat orang telah mengikutiku untuk merampas perhiasanku. Ketika aku sampai di tempat yang sunyi, maka mereka mulai mencegatku. Tetapi aku pulang dari pasar bersama Adi Glagah Putih dan Adi Rara Wulan. Mereka-lah yang telah mengusir para penyamun itu.”

“He?”

“Itulah yang terjadi, Kang.”

“Kalau begitu… kalau begitu aku telah keliru menanggapi sikapmu.”

“Ya, Kakang terlalu tergesa-gesa mengambil sikap.”

“Kalau begitu aku harus minta maaf kepada Adi Glagah Putih. Ternyata aku benar-benar tidak tahu diri.”

Tetapi Glagah Putih pun berkata, “Sudahlah. Biarlah nanti Yu Santa menjelaskan persoalannya sampai sejelas-jelasnya. Sekarang aku minta diri.”

Ketika Glagah Putih pergi meninggalkan halaman rumah Yu Santa, maka masih terdengar Ki Santa itu memanggilnya, “Adi Glagah Putih! Adi!”

Glagah Putih memang berpaling. Ia mengangkat tangannya sambil tertawa pendek. Tetapi Glagah Putih tidak berhenti.

“Nyi, bagaimana ini Nyi, jika Glagah Putih marah? Bahkan jika Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh marah? Kenapa kau lambat sekali memberi keterangan kepadaku?”

“Kau sudah semakin tua, Kang, tapi kau masih saja seorang pemarah. Sekarang kau terbentur pada satu sikap yang salah. Apalagi terhadap Adi Glagah Putih.”

“Aku akan menyusulnya, Nyi. Aku harus minta maaf. Jika Glagah Putih mau menghukumku, biarlah ia melakukannya.”

Sebelum Ki Santa menyusul Glagah Putih, Nyi Santa sempat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Tentang empat orang penyamun yang menginginkan perhiasannya.

“Baik. Aku harus menemuinya.”

Setelah membenahi pakaiannya dengan berganti baju, maka Ki Santa itu pun segera pergi menyusul Glagah Putih.

Dalam pada itu, Rara Wulan telah sampai di rumah. Sekar Mirah memang sudah sibuk di dapur. Demikian Rara Wulan datang, Sekar Mirah pun berkata, “Aku kira kau lupa berbelanja, Rara. Kau habiskan waktumu dengan memilih kain yang terbaik untuk membuat pakaian khususmu itu.”

“Maaf, Mbokayu. Kami telah disibukkan oleh Yu Santa.”

“Yu Santa yang rumahnya dekat banjar itu?”

“Ya.”

“Kenapa?”

Rara Wulan pun kemudian duduk di amben bambu di dapur. Sambil menurunkan kebutuhan sehari-hari dari kereneng bambu, Rara Wulan pun sempat bercerita. Sekar Mirah mendengarkannya sambil sibuk menyenduk nasi yang sudah masak dari kendil tembaga.

Rara Wulan pun kemudian memetik kangkung untuk memilih daunnya yang muda sambil meneruskan ceritanya.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Yu Santa memang seorang yang suka memamerkan miliknya. Untunglah Yu Santa sempat pulang bersama kalian. Jika tidak, memang perhiasannya yang mahal itu tentu sudah tidak dimilikinya lagi. Penyamun yang berani melakukan pekerjaannya di siang hari, tentu sekelompok penjahat yang sangat yakin akan kemampuannya. Tetapi agaknya kalian telah membuat mereka jera.”

Dalam pada itu, selagi Rara Wulan bercerita, Glagah Putih telah masuk ke dapur sambil berkata, “Kepalaku telah membentur awang-awang.”

Rara Wulan dan Sekar Mirah tertarik pada kata-kata itu.

Dengan kerut di dahi, Rara Wulan pun bertanya, “Apa maksud Kakang dengan membentur awang-awang?”

Glagah Putih pun kemudian telah bercerita tentang sikap suami Yu Santa. Dengan mengusap wajahnya ia pun berkata, “Ternyata tenaga kang Santa itu cukup besar pula. Ia memukul wajahku dengan sekuat tenaganya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar